Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS KASUS INVESTASI BODONG KAMPUNG KURMA

A. Kronologi Kasus

Investasi kampung kurma mulai marak dikenal pada akhir tahun 2017. Melaui
media sosial, pengelola kampung kurma menawarkan investasi berbasis Syariah
kepada masyarakat dengan menjajikan berbagai fasilitas serta kavling perkebunan
kurma yang hasilnya akan dibagikan kepada pemilik kavling. Pengelola Kampoeng
Kurma mengundang orang-orang untuk jadi investor dengan modal Rp99 juta. Uang
itu akan dipakai untuk mendirikan permukiman syariah yang di dalamnya akan
dibangun kolam renang, pacuan kuda, dan area memanah. Kaveling Kampoeng
Kurma tersebar di enam wilayah, dari Cirebon, Cipanas, hingga Banten Selatan.
Sebagai imbalan, pengelola memberikan investor lahan 400 meter yang di atasnya
ditanami lima pohon kurma. Dari iklan tersebut mulai banyak investor yang
menginvestasikan uangnya di bisnis tersebut.

Irvan Nasrun, salah satu korban dari kasus kampung kurma memutuskan
untuk berinvestasi pada Januari 2018 dan melunasi modal pada April 2018. Setelah
melunasi pembayaran Irvan tidak kunjung memperoleh Perjanjian Pengikatan Jual-
Beli (PPJB) dari pengelola kampung kurma dan tidak mendapat kepastian mengenai
lahan yang sudah dibelinya sehingga ia memutuskan untuk meminta ganti rugi berupa
pengembalian uang. Namun, saat meminta refund pihak pengelola kampung kurma
tidak bisa mengembalikan uang tersebut karena tidak ada dana. Pihak manajemen
kampung kurma mengungkapkan bahwa dana yang mereka miliki hanya Rp 5 juta.
Sejak saat itu kasus kampung urma menjadi perhatian publik. Atas dasar tersebut,
para korban investasi kampung kurma meutuskan untuk mengambil langkah hukum
agar permasalahan dapat selesai dan uang korban dapat kembali. Beberapa investor
mulai mengadukan kasus investasi bodong kampung kurma ke OJK, membuat
laporan ke kepolisian dan membawa kasus tersebut ke ranah hukum dengan
didampingi pengacara dari LBH Bogor.

Pada 28 April 2019, Satuan Tugas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) menghentikan kegiatan investasi kampung kurma karena produk investasi dan
penanaman pohon kampung kurma adalah illegal. Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) dan Kementerian Perdagangan RI mengonfirmasi bahwa Kampung
Kurma tidak memiliki izin usaha untuk melakukan kegiatan investasi perkebunan.
Sebelum dihentikan, Satgas Waspada Investasi juga sudah memanggil pihak
Kampung Kurma namun pihaknya tidak hadir.

LBH Bogor membuka posko pengaduan korban kampung kurma pada 11


November 2019 dan setidaknya menerima 12 pengaduan investasi bodong dari
kampung kurma dengan kerugian per orang sekitar Rp 78 juta sampai Rp 100 juta.
Pada 30 November 2019, LBH Bogor melayangkan somasi kepada kampoeng kurma
karena belum melakukan serah terima kavling ke konsumen sehingga kampung kurma
dianggap telah melakukan perbuatan wanprestasi sebagaimana dalam Pasal 1238 dan
Pasal 1243 KUH Perdata. LBH Bogor memberikan tenggat waktu selama 7 hari kerja
kepada kampung kurma agar mengembalikan seluruh uang milik konsumen senilai Rp
1,4 miliar. Dikarenakan somasi yang dilayangkan oleh LBH Bogor tidak dijawab oleh
pihak kampung kurma, pada 22 Januari 2020 dua orang korban investasi kampung
kurma atas nama Topan Manusama dan Dwi Ramdhini didampingi oleh LBH
Konsumen Jakarta mendaftarkan gugatan PKPU terhadap Kampung Kurma di
Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat dengan register perkara Nomor: 18/Pdt.Sus-
PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst dengan dasar hukum Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang. Pengajuan gugatan pailit dilakukan karena pihak perusahaan berutang kepada
klien mereka akibat membeli lahan namun lahan yang dijanjikan tersebut tidak
kunjung diberikan oleh kampung kurma.

B. Analisis

Berdasarkan kronologis kasus tersebut diatas, dapat diketahui bahwa kampung


kurma telah melakukan bisnis investasi bodong dengan mengiming – imingi investor
akan mendapatkan keuntungan yang fantastis dengan membeli lahan yang akan
ditanami pohon kurma. Namun, pada kenyataannya setelah investor melakukan
pelunasan atas lahan tersebut, pihak kamung kurma tidak kunjung memberikan Akta
Jual Beli kepada investor bahkan tidak bisa memberikan kepastian terkait lahan yang
sebelumnya dijanjikan akan menjadi milik investor. Maka dari itu, investor yang
merasa tertipu pun memutuskan untuk meminta ganti rugi berupa pengembalian uang
yang sebelumnya sudah dibayarkan oleh investor kepada pihak kampung kurma
namun kampung kurma tidak juga memberikan ganti rugi atau pengembalian uang.

Pihak kampung kurma telah melalaikan kewajibannya sebagai debitur,


sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1238 KUH Perdata yang selengkapnya
berbunyi:

“Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau
berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan
debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Dikutip dari smartlegal.id, Subekti dalam Hukum Perjanjian menyatakan terdapat


empat macam wanprestasi, yaitu:

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;


2. Melaksanakan tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tapi terlambat; dan
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Dalam kasus ini, pihak kampung kurma sebagai pengelola investasi memiliki
kewajiban untuk melakukan serah terima lahan melalui Akta Jual Beli (AJB) bagi
investor yang telah melunaskan pembayarannya, namun pihak kampung kurma tidak
kunjung memberikan AJB tersebut kepada investor sehingga pihak kampung kurma
telah melakukan perbuatan wanprestasi sebagaimana Pasal 1238 KUH Perdata dan
sebagaimana dinyatakan oleh Subekti yaitu tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukan sehingga menimbulkan kerugian. Dalam KUH Perdata juga
disebutkan bahwa pihak yang merasa dirugikan dapat menggugat ke pengadilan untuk
menuntut ganti rugi sebagaimana tercantu dalam Pasal 1243:

“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan
mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk
memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya
hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang telah ditentukan.”

Sehingga, para investor yang merasa dirugikan oleh pihak kampung kurma dapat
mengajukan gugatan wanprestasi terhadap pihak kampung kurma.
Selanjutnya, para investor mengajukan gugatan pailit untuk
memberikan kepastian serta kesanggupan kampung kurma dalam menyelesaikan
seluruh kewajibannya berupa serah terima kavling kampung kurma kepada konsumen.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang bunyinya sebagai
berikut:

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan Pengadilan, bai katas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya.”

Setidaknya ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar suatu perusahaan bisa dipailitkan,
yaitu:

1. Terdapat dua kreditor. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena
perjanjian atau Undang – Undang yang dapat ditagih dalam pengadilan.
2. Ada utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
3. Kedua hal tersebut harus dapat dibuktikan secara sederhana.

Melihat dari kronologis kasus kampung kurma, pengajuan pailit atas perusahaan
kampung kurma dapat dilakukan atas dasar:

1. Kampung kurma dalam hal ini sebagai kreditor yang mempunyai utang
berdasarkan perjanjian jual beli yang telah diperjanjikan oleh para pihak. Utang
sebagaimana dimaksud adalah belum dilakukannya penyerahan lahan ataupun
ganti rugi senilai oleh pihak kampung kurma kepada 30 investor yang telah
melunasi pembayaran.
2. Bahwa dalam perjanjian antara investor dan kampung kurma, setelah investor
melakukan pelunasan pembayaran pihak kampung kurma berkewajiban untuk
melakukan serah terima lahan kepada investor. Namun, serah terima lahan tidak
dilakukan oleh pihak kampung kurma walaupun investor sudah melakukan
pelunasan.
3. Para Investor bersama LBH Bogor dan LBH Konsumen Jakarta telah
mengumpulkan bukti – bukti atas pelanggaran yang dilakukan oleh Kampung
Kurma.
C. Kesimpulan
Dari uraian analisis diatas, Tindakan yang dilakukan oleh pihak kampung
kurma dapat dikategorikan dalam perbuatan wanprestasi sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 1238 dan Pasal 1243 KUH Perdata. Pihak Kampung Kurma tidak dapat
memenuhi kewajibannya sebagaimana telah diperjanjikan dalam perjanjian jual beli
lahan di kampung kurma. Mengingat bahwa dana yang dimiliki oleh pihak kampung
kurma hanya sejumlah Rp 5 juta sehingga tidak dapat mengganti kerugian para
investor senilai Rp 1,4 miliar dan sudah terpenuhinya persyaratan untuk dapat
dipailitkan sehingga diajukan gugatan pailit terhadap kampung kurma agar dapat
melindungi kepentingan konsumen.

Anda mungkin juga menyukai