Anda di halaman 1dari 107

DRAFT RUU CIPTA KERJA TENTANG PERIZINAN

No. Substansi Ketentuan Terkait RUU Cipta Kerja Analisa


1. Ketentuan Umum - Pasal 1 angka 4, 8 dan 11 RUU Ciptaker mengubah
Pasal 1 angka 4: legalitas untuk memulai dan
Perizinan Berusaha adalah legalitas menjalankan usaha menjadi
yang diberikan kepada Pelaku Usaha Perizinan Berusaha.
untuk memulai dan menjalankan
usaha dan/atau kegiatannya.
Pasal 1 angka 8: Perizinan Berusaha diberikan
Pelaku Usaha adalah orang kepada Pelaku Usaha.
perseorangan atau badan usaha yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan
pada bidang tertentu.
Pasal 1 angka 11: Untuk pembangunan Gedung
Persetujuan Bangunan Gedung berdasarkan RUU Ciptaker
adalah perizinan yang diberikan dibutuhkan Persetujuan
kepada pemilik bangunan gedung Bangunan Gedung.
untuk membangun baru, mengubah,
memperluas, mengurangi, dan/atau
merawat bangunan gedung sesuai
dengan persyaratan administratif dan
persyaratan teknis yang berlaku.
Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
4. Umum - Pasal 7: Perizinan Berusaha diberikan
(1) Perizinan Berusaha berbasis berdasarkan tingkat risiko dan
risiko sebagaimana dimaksud dalam peringkat skala usaha.
Pasal 6 huruf a dilakukan Penetapan tingkat risiko dinilai
berdasarkan penetapan tingkat risiko dari tingkat bahaya dan potensi
dan peringkat skala usaha kegiatan terjadinya bahaya akibat
usaha. kegiatan usaha yang dinilai
(2) Penetapan tingkat risiko dan dari aspek Kesehatan,
peringkat skala usaha sebagaimana keselamatan, lingkungan,
dimaksud pada ayat (1) diperoleh pemanfaatan dan pengelolaaan
berdasarkan penilaian tingkat bahaya sumber daya dan risiko
dan potensi terjadinya bahaya. (3) volatilitas.
Penilaian tingkat bahaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Tingkat risiko terbagi menjadi:
dilakukan terhadap aspek: - Kegiatan usaha
a. kesehatan; berisiko rendah
b. keselamatan; - Kegiatan usaha
c. lingkungan; berisiko menengah
d. pemanfaatan dan pengelolaan - Kegiatan usaha
sumber daya; dan/atau berisiko tinggi
e. risiko volatilitas.
(4) Untuk kegiatan tertentu, penilaian Penilaian tingkat bahaya
tingkat bahaya sebagaimana dilihat dari jenis kegiatan
dimaksud pada ayat (3) dapat usaha, kriteria kegiatan usaha
mencakup aspek lainnya sesuai lokasi kegiatan udaha dan/atau
dengan sifat kegiatan usaha. keterbatasan sumber daya.
(5) Penilaian tingkat bahaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Penialian potensi terjadinya
dan ayat (4) dilakukan dengan bahaya meliputi hamper tidak
memperhitungkan: mungkin terjadi, kemungkinan
a. jenis kegiatan usaha; kecil terjadi, kemungkinan
b. kriteria kegiatan usaha; terjadi dan hampir pasti
c. lokasi kegiatan usaha; dan/atau terjadi.
d. keterbatasan sumber daya.
(6) Penilaian potensi terjadinya
bahaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi:
a. hampir tidak mungkin terjadi;
b. kemungkinan kecil terjadi;
c. kemungkinan terjadi; atau
d. hampir pasti terjadi.
(7) Berdasarkan penilaian tingkat
bahaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), serta
penilaian potensi terjadinya bahaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
tingkat risiko dan peringkat skala
usaha kegiatan usaha ditetapkan
menjadi:
a. kegiatan usaha berisiko rendah;
b. kegiatan usaha berisiko menengah;
atau
c. kegiatan usaha berisiko tinggi.
Perizinan Berusaha Kegiatan Untuk kegiatan usaha berisiko
Usaha Berisiko Rendah rendah akan diberikan nomor
Pasal 8: induk berusaha sebagai tanda
(1) Perizinan Berusaha untuk izin menjalankan kegiatan
kegiatan usaha berisiko rendah usaha.
sebagaimana dimaksud dalam 7 ayat
(7) huruf a berupa pemberian nomor
induk berusaha yang merupakan
legalitas pelaksanaan kegiatan
berusaha.
(2) Nomor induk berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bukti
registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha
untuk melakukan kegiatan usaha dan
sebagai identitas bagi Pelaku Usaha
dalam pelaksanaan kegiatan
usahanya.
Perizinan Berusaha Kegiatan Untuk kegiatan usaha berisiko
Usaha Berisiko Menengah menengah terbagi menjadi
Pasal 9: menengah rendah dan
(1) Perizinan Berusaha untuk menengah tinggi.
kegiatan usaha berisiko menengah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal Untuk risiko menengah rendah
7 ayat (7) huruf b meliputi: akan diberikan nomor induk
a. kegiatan usaha berisiko menengah berusaha dan pernyataan
rendah; dan sertifikasi standar.
b. kegiatan usaha berisiko menengah
tinggi. Untuk risiko menengah tinggi
(2) Perizinan Berusaha untuk akan diberikan nomor induk
kegiatan usaha berisiko menengah berusaha dan pernyataan
rendah sebagaimana dimaksud pada sertifikasi standar.
ayat (1) huruf a, berupa:
a. pemberian nomor induk berusaha;
dan
b. pernyataan sertifikasi standar.
(3) Perizinan Berusaha untuk
kegiatan usaha berisiko menengah
tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, berupa:
a. nomor induk berusaha; dan
b. pemenuhan sertifikat standar.
(4) Pernyataan sertifikat standar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b merupakan pernyataan
Pelaku Usaha yang telah memenuhi
standar sebelum melakukan kegiatan
usahanya.
(5) Pemenuhan sertifikat standar
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b merupakan kewajiban
standar yang telah dipenuhi oleh
Pelaku Usaha sebelum melakukan
kegiatan usahanya.
(6) Dalam hal sertifikat standar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dan ayat (3) huruf b
diperlukan untuk standardisasi
produk, Pemerintah Pusat
menerbitkan sertifikat standar
berdasarkan hasil verifikasi
pemenuhan standar yang wajib
dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum
melakukan kegiatan komersialisasi
produk.
Perizinan Berusaha Kegiatan Untuk kegiatan usaha berisiko
Usaha Berisiko Rendah inggi akan diberikan nomor
Pasal 10: induk berusaha dan izin
(1) Perizinan Berusaha untuk sebagai tanda legalitas
kegiatan usaha berisiko tinggi menjalankan kegiatan usaha.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (7) huruf c berupa pemberian: Izin yang dimaksud
a. nomor induk berusaha; dan merupakan persetujuan dari
b. izin. Pemerintah Pusat.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b merupakan
persetujuan Pemerintah Pusat untuk
pelaksanaan kegiatan usaha yang
wajib dipenuhi oleh pelaku usaha
sebelum melaksanakan kegiatan
usahanya.
(3) Dalam hal kegiatan usaha
berisiko tinggi memerlukan
standardisasi produk, Pelaku Usaha
dipersyaratkan memiliki sertifikasi
standar yang diterbitkan oleh
Pemerintah Pusat berdasarkan hasil
verifikasi pemenuhan standar
sebelum melakukan kegiatan
komersialisasi produk.
Peraturan Pelaksanaan Akan lebih lanjut diatur dalam
Pasal 12: Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai
Perizinan Berusaha berbasis risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10,
serta tata cara pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha, Pengadaan Tanah dan Pemanfaatan Lahan
9. Umum - Pasal 13: RUU Cipta Kerja
Penyederhanaan persyaratan dasar menyederhanakan persyaratan
Perizinan Berusaha dan pengadaan dasar Perizinan Berusaha,
tanah dan pemanfaatan lahan pengadaan tanah dan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal pemanfaatan lahan.
6 huruf b meliputi:
a. kesesuaian kegiatan pemanfaatan
ruang;
b. persetujuan lingkungan; dan
c. Persetujuan Bangunan Gedung dan
sertifikat laik fungsi.
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
Perubahan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
10. Ketentuan Umum Pasal 1 angka 32: Pasal 17 angka 1 Untuk penyederhanaan
Izin pemanfaatan ruang adalah izin Pasal 1 angka 32: penataan ruang, Izin dubah
yang dipersyaratkan dalam kegiatan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan menjadi kesesuaian kegiatan
pemanfaatan ruang sesuai dengan Ruang adalah kesesuaian antara pemanfaatan ruang.
ketentuan peraturan rencana kegiatan pemanfaatan ruang
perundangundangan. dengan rencana tata ruang.
11. Pengendalian Pasal 35: Pasal 17 angka 20 Pengendalian pemanfaatan
Pemanfaatan Ruang Pengendalian pemanfaatan ruang Pasal 35: ruang tidak lagi dilakukan
dilakukan melalui penetapan peraturan Pengendalian pemanfaatan ruang melalui penetapan zonasi,
zonasi, perizinan, pemberian insentif dilakukan melalui: tetapi dilakukan dengan
dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. a. ketentuan Kesesuaian Kegiatan ketentuan kesesuaian
Pemanfaatan Ruang; kegiatanpemanfaatan ruang,
b. pemberian insentif dan disinsentif; pemberian insentif dan
dan disinsentif dan pengenaan
c. pengenaan sanksi. sanksi.
Pasal 37: Pasal 17 angka 21 Izin Pemanfaatan Ruang
(1) Ketentuan perizinan sebagaimana Pasal 37: diubah menjadi Persetujuan
dimaksud dalam Pasal 35 diatur oleh (1) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Kesesuaian Kegiatan
Pemerintah dan pemerintah daerah Pemanfaatan Ruang sebagaimana Pemanfaatan Ruang.
menurut kewenangan masing-masing dimaksud dalam Pasal 35 diterbitkan
sesuai dengan ketentuan peraturan oleh Pemerintah Pusat. Seluruh hal terkait perizinan
perundang-undangan. (2) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan menjadi kewenangan
(2) Izin pemanfaatan ruang yang tidak Pemanfaatan Ruang yang tidak Pemerintah Pusat, tidak ada
sesuai dengan rencana tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang kewenangan Pemerintah
wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan wilayah dibatalkan oleh Pemerintah Daerah dalam Perizinan.
pemerintah daerah menurut Pusat.
kewenangan masing-masing sesuai (3) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan
dengan ketentuan peraturan perundang- Pemanfaatan Ruang yang
undangan. dikeluarkan dan/atau diperoleh
(3) Izin pemanfaatan ruang yang dengan tidak melalui prosedur yang
dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan benar, batal demi hukum.
tidak melalui prosedur yang benar, batal (4) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan
demi hukum. Pemanfaatan Ruang yang diperoleh
(4) Izin pemanfaatan ruang yang melalui prosedur yang benar tetapi
diperoleh melalui prosedur yang benar kemudian terbukti tidak sesuai
tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah,
dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah Pusat.
dibatalkan oleh Pemerintah dan (5) Terhadap kerugian yang
pemerintah daerah sesuai dengan ditimbulkan akibat pembatalan
kewenangannya. persetujuan sebagaimana dimaksud
(5) Terhadap kerugian yang pada ayat (2) dan ayat (4), dapat
ditimbulkan akibat pembatalan izin dimintakan ganti kerugian yang
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), layak kepada instansi pemberi
dapat dimintakan penggantian yang persetujuan.
layak kepada instansi pemberi izin. (6) Kegiatan pemanfaatan ruang
(6) Izin pemanfaatan ruang yang tidak yang tidak sesuai lagi akibat adanya
sesuai lagi akibat adanya perubahan perubahan rencana tata ruang
rencana tata ruang wilayah dapat wilayah dapat dibatalkan oleh
dibatalkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Pusat dengan
pemerintah daerah dengan memberikan memberikan ganti kerugian yang
ganti kerugian yang layak. layak.
(7) Setiap pejabat pemerintah yang (7) Setiap pejabat pemerintah yang
berwenang menerbitkan izin berwenang dilarang menerbitkan
pemanfaatan ruang dilarang Persetujuan Kesesuaian Kegiatan
menerbitkan izin yang tidak sesuai Pemanfaatan Ruang yang tidak
dengan rencana tata ruang. sesuai dengan rencana tata ruang.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai
prosedur perolehan izin dan tata cara prosedur perolehan persetujuan
penggantian yang layak sebagaimana Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) Ruang dan tata cara pemberian ganti
diatur dengan peraturan pemerintah. kerugian yang layak sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagaimana Telah
Diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
13. Ketentuan Umum Pasal 1 angka 14: Pasal 18 angka 1 Izin diganti menjadi Perizinan
Rencana Zonasi adalah rencana yang Pasal 1 angka 14: Berusaha terkait Pemanfaatan
menentukan arah penggunaan sumber Rencana Zonasi yang selanjutnya Laut.
daya tiap-tiap satuan perencanaan disingkat RZ adalah rencana yang
disertai dengan penetapan struktur dan menentukan arah penggunaan
pola ruang pada Kawasan perencanaan sumber daya setiap satuan
yang memuat kegiatan yang boleh perencanaan disertai dengan
dilakukan dan tidak boleh dilakukan penetapan struktur dan pola ruang
serta kegiatan yang hanya dapat pada Kawasan perencanaan yang
dilakukan setelah memperoleh izin. memuat kegiatan yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan
serta kegiatan yang hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh
Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan Laut.
Pasal 1 angka 18: Pasal 18 angka 1 Izin diganti menjadi Perizinan
Izin Lokasi adalah izin yang diberikan Pasal 1 angka 18: Berusaha terkait Pemanfaatan
untuk memanfaatkan ruang dari Dihapus. Laut sehingga ketentuan
sebagian Perairan Pesisir yang mengenai izin dihapus dalam
mencakup permukaan laut dan kolom RUU Ciptaker.
air sampai dengan permukaan dasar laut
pada batas keluasan tertentu dan/atau
untuk memanfaatkan sebagian pulau-
pulau kecil.
Pasal 1 angka 18A: Pasal 18 angka 1 Izin diganti menjadi Perizinan
Izin Pengelolaan adalah izin yang Pasal 1 angka 18A: Berusaha terkait Pemanfaatan
diberikan untuk melakukan kegiatan Dihapus. Laut sehingga ketentuan
pemanfaatan sumber daya Perairan mengenai izin dihapus dalam
Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil. RUU Ciptaker.
16. Izin Pasal 16: Pasal 18 angka 11 Izin Lokasi dan Izin
Pasal 16: Pengelolaan terintegrasi
(1) Setiap Orang yang melakukan (1) Pemanfaatan ruang dari Perairan menjadi Perizinan Berusaha
pemanfaatan ruang dari sebagian Pesisir wajib sesuai dengan rencana terkait Pemanfaatan di Laut.
Perairan Pesisir dan pemanfaatan tata ruang dan/atau rencana zonasi.
sebagian pulau-pulau kecil secara (2) Setiap Orang yang melakukan
menetap wajib memiliki Izin Lokasi. pemanfaatan ruang dari Perairan
(2) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud Pesisir sebagaimana dimaksud pada
pada ayat (1) menjadi dasar pemberian ayat (1) wajib memenuhi Perizinan
Izin Pengelolaan. Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut
dari Pemerintah Pusat.
- Pasal 18 angka 12 Sanksi administratif bagi
Pasal 16A: pelaku usaha yang tidak
Setiap Orang yang memanfaatkan memiliki Perizinan Berusaha
ruang dari perairan yang tidak terkait pemanfaatan di laut.
memiliki Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan di Laut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2),
dikenai sanksi administratif.
Pasal 17: Pasal 18 angka 13 Izin Lokasi menjadi Perizinan
(1) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud Pasal 17: Berusaha terkait Pemanfaatan
dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan (1) Pemberian Perizinan Berusaha di Laut.
berdasarkan rencana zonasi wilayah terkait Pemanfaatan di Laut
pesisir dan pulau-pulau kecil. sebagaimana dimaksud dalam Pasal Di RUU Ciptaker Pasal 17
(2) Pemberian Izin Lokasi sebagaimana 16 wajib mempertimbangkan ayat (2), hanya pada zona inti
dimaksud pada ayat (1) wajib kelestarian Ekosistem perairan di Kawasan konservasi yang
mempertimbangkan kelestarian pesisir, Masyarakat, nelayan tidak dapat diberikan Perizinan
Ekosistem pesisir dan pulau-pulau tradisional, kepentingan nasional, Berusaha.
kecil, Masyarakat, nelayan tradisional, dan hak lintas damai bagi kapal
kepentingan nasional, dan hak lintas asing.
damai bagi kapal asing. (2) Perizinan Berusaha terkait
(3) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud Pemanfaatan di Laut tidak dapat
pada ayat (1) diberikan dalam luasan diberikan pada zona inti di kawasan
dan waktu tertentu. konservasi.
(4) Izin Lokasi tidak dapat diberikan
pada zona inti di kawasan konservasi,
alur laut, kawasan pelabuhan, dan
pantai umum.
- Pasal 18 angka 14 Pemerintah Pusat dapat
Pasal 17A: memberikan Perizinan
(1) Dalam hal terdapat kebijakan Berusaha terkait Pemanfaatan
nasional yang bersifat strategis yang di Laut terhadap kebijakan
belum terdapat dalam alokasi ruang nasional yang bersifat strategis
dan/atau pola ruang dalam rencana yang belum terdapat dalam
tata ruang dan/atau rencana zonasi, alokasi ruang dan/atau pola
Perizinan Berusaha terkait ruang dalam rencana tata
Pemanfaatan di Laut sebagaimana ruang dan/atau rencana zonasi
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau kebijakan nasional yang
diberikan oleh Pemerintah Pusat bersifat strategis tetapi rencana
berdasarkan rencana tata ruang tata ruang dan/atau rencana
wilayah nasional dan/atau rencana zonasi belum ditetapkan oleh
tata ruang laut. Pemerintah atau Pemerintah
(2) Dalam hal terdapat kebijakan Daerah.
nasional yang bersifat strategis tetapi
rencana tata ruang dan/atau rencana
zonasi belum ditetapkan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah,
Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan di Laut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
diberikan oleh Pemerintah Pusat
berdasarkan rencana tata ruang
wilayah nasional dan/atau rencana
tata ruang laut.
(3) Dalam hal terdapat perubahan
ketentuan peraturan perundangan-
undangan yang menjadi acuan dalam
penetapan lokasi untuk kebijakan
nasional yang bersifat strategis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), lokasi untuk kebijakan
nasional yang bersifat strategis
tersebut dalam rencana tata ruang
laut dan/atau rencana zonasi
dilaksanakan sesuai dengan
perubahan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 18: Pasal 18 angka 15 Izin Lokasi menjadi Perizinan
Dalam hal pemegang Izin Lokasi Pasal 18: Berusaha terkait Pemanfaatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Dalam hal pemegang Perizinan di Laut.
ayat (1) tidak merealisasikan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut
kegiatannya dalam jangka waktu paling sebagaimana dimaksud dalam Pasal
lama 2 (dua) tahun sejak izin 16 ayat (2) tidak merealisasikan
diterbitkan, dikenai sanksi administratif kegiatannya dalam jangka waktu
berupa pencabutan Izin Lokasi. paling lama 2 (dua) tahun sejak
Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan di Laut diterbitkan,
dikenai sanksi administratif berupa
pencabutan perizinan berusahanya.
Pasal 19: Pasal 18 angka 16 Izin Pengelolaan diubah
(1) Setiap Orang yang melakukan Pasal 19: menjadi Perizinan Berusaha.
pemanfaatan sumber daya Perairan (1) Setiap Orang yang melakukan
Pesisir dan perairan pulaupulau kecil pemanfaatan sumber daya Perairan
untuk kegiatan: Pesisir dan perairan pulau-pulau
a. produksi garam; kecil untuk kegiatan:
b. biofarmakologi laut; a. produksi garam;
c. bioteknologi laut; b. biofarmakologi laut;
d. pemanfaatan air laut selain energi; c. bioteknologi laut;
e. wisata bahari; d. pemanfaatan air laut selain energi;
f. pemasangan pipa dan kabel bawah e. wisata bahari;
laut; dan/atau f. pemasangan pipa dan kabel bawah
g. pengangkatan benda muatan kapal laut; dan/atau
tenggelam, wajib memiliki Izin g. pengangkatan benda muatan kapal
Pengelolaan. tenggelam, wajib memiliki Perizinan
(2) Izin Pengelolaan untuk kegiatan Berusaha.
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Perizinan Berusaha untuk
(1) diberikan sesuai dengan ketentuan kegiatan selain sebagaimana
peraturan perundang-undangan. dimaksud pada ayat (1) diberikan
(3) Dalam hal terdapat kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan
pemanfaatan sumber daya Perairan perundang-undangan.
Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil (3) Dalam hal terdapat kegiatan
yang belum diatur berdasarkan pemanfaatan sumber daya Perairan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pesisir dan perairan pulau-pulau
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan kecil yang belum diatur berdasarkan
Peraturan Pemerintah. ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20: Pasal 18 angka 17 Kewenangan Pemerintah
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah Pasal 20: Daerah menjadi kewenangan
wajib memfasilitasi pemberian Izin (1) Pemerintah Pusat wajib Pemerintah Pusat.
Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada memfasilitasi Perizinan Berusaha
Masyarakat Lokal dan Masyarakat terkait Pemanfaatan di Laut kepada Pada ayat (2), pemanfaatan
Tradisional. Masyarakat Lokal dan Masyarakat ruang dan perairan pulau-
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada Tradisional. pulau kecil dihapuskan.
ayat (1) diberikan kepada Masyarakat (2) Perizinan Berusaha sebagaimana
Lokal dan Masyarakat Tradisional, dimaksud pada ayat (1) diberikan
yang melakukan pemanfaatan ruang dan kepada Masyarakat Lokal dan
sumber daya Perairan Pesisir dan Masyarakat Tradisional, yang
perairan pulau-pulau kecil, untuk melakukan pemanfaatan sumber
pemenuhan kebutuhan hidup sehari- daya perairan pesisir, untuk
hari. pemenuhan kebutuhan hidup sehari-
hari.
Pasal 22: Pasal 18 angka 18 Yang dikecualikan untuk
(1) Kewajiban memiliki izin Pasal 22: memenuhi Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 (1) Kewajiban memenuhi Perizinan terkait Pemanfaatan di Laut
ayat (1) dan Pasal 19 ayat (1) Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut hanya masyarakat adat di
dikecualikan bagi Masyarakat Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal wilayah Kelola masyarakat
Adat. 16 ayat (1) dikecualikan bagi hukum adat.
(2) Masyarakat Hukum Adat Masyarakat Hukum Adat di wilayah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kelola Masyarakat Hukum Adat.
ditetapkan pengakuannya sesuai dengan (2) Masyarakat Hukum Adat
ketentuan peraturan perundang- sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
undangan. ditetapkan pengakuannya sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 22A: Pasal 18 angka 19 RUU Ciptaker mengizinkan
Izin Lokasi sebagaimana dimaksud Pasal 22A: masyarakat local untuk
dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin (1) Perizinan Berusaha sebagaimana memiliki Perizinan Berusaha.
Pengelolaan sebagaimana dimaksud dimaksud dalam Pasal 16 diberikan
dalam Pasal 19 ayat (1) diberikan kepada: Untuk pemanfaatan ruang
kepada: a. orang perseorangan warga negara peariran pesisir oleh instansi
a. orang perseorangan warga negara Indonesia; pemerintah yang tidak
Indonesia; b. korporasi yang didirikan termasuk dalam kebijakan
b. korporasi yang didirikan berdasarkan berdasarkan hukum Indonesia; nasional yang bersifat strategis
hukum Indonesia; atau c. koperasi yang dibentuk oleh diberikan dalam bentuk
c. koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat; atau konfirmasi kesesuaian ruang
Masyarakat. d. Masyarakat Lokal. laut.
(2) Pemanfaatan ruang perairan
pesisir yang dilakukan oleh instansi
pemerintah dan tidak termasuk dalam
kebijakan nasional yang bersifat
strategis diberikan dalam bentuk
konfirmasi kesesuaian ruang laut.
Pasal 22B: Pasal 18 angka 20 Untuk dapat melaukan
Orang perseorangan warga Negara Pasal 22B: pemanfaatan laut wajib
Indonesia atau korporasi yang didirikan Orang perseorangan warga Negara terlebih dahulu memenuhi
berdasarkan hukum Indonesia dan Indonesia atau korporasi yang Perizinan Berusaha.
koperasi yang dibentuk oleh didirikan berdasarkan hukum
Masyarakat yang mengajukan Izin Indonesia dan koperasi yang
Pengelolaan harus memenuhi syarat dibentuk oleh Masyarakat yang
teknis, administratif, dan operasional. mengajukan pemanfaatan laut wajib
memenuhi Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan di laut dari Pemerintah
Pusat.
Pasal 22C: Pasal 18 angka 21 Akan ada aturan lebih lanjut
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, Pasal 22C: mengenai Perizinan Berusaha
tata cara pemberian, pencabutan, jangka Ketentuan lebih lanjut mengenai terkait Pemanfaatan di laut.
waktu, luasan, dan berakhirnya Izin Perizinan Berusaha terkait
Lokasi dan Izin Pengelolaan diatur Pemanfaatan di laut diatur dengan
dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah.
Pasal 26A: Pasal 18 angka 22 Untuk penanaman modal asing
(1) Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan Pasal 26A: harus memenuhi Perizinan
pemanfaatan perairan di sekitarnya Dalam rangka penanaman modal Berusaha dari Pemerintah
dalam rangka penanaman modal asing asing, pemanfaatan pulau-pulau kecil Pusat.
harus mendapat izin Menteri. dan pemanfaatan perairan di
(2) Penanaman modal asing sekitarnya harus memenuhi Perizinan RUU Ciptaker tidak mengatur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Berusaha dari Pemerintah Pusat dan secara spesifik mengenai
harus mengutamakan kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan persyaratan penanaman modal
nasional. perundang-undangan di bidang asing.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada penanaman modal.
ayat (1) diberikan setelah mendapat Belum tahu apa saja yang
rekomendasi dari bupati/wali kota. harus dipenuhi terkait
(4) Izin sebagaimana dimaksud pada Perizinan Berusaha.
ayat (1) harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. badan hukum yang berbentuk
perseroan terbatas;
b. menjamin akses publik;
c. tidak berpenduduk;
d. belum ada pemanfaatan oleh
Masyarakat Lokal;
e. bekerja sama dengan peserta
Indonesia;
f. melakukan pengalihan saham secara
bertahap kepada peserta Indonesia;
g. melakukan alih teknologi; dan
h. memperhatikan aspek ekologi, sosial,
dan ekonomi pada luasan lahan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pengalihan saham dan luasan lahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf f dan huruf h diatur dengan
Peraturan Presiden.
- Pasal 18 angka 23 Akan ada sanksi administratif
Pasal 26B: bagi Setiap Orang yang tidak
Setiap Orang yang tidak memiliki memiliki Perizinan Berusaha
Perizinan Berusaha dalam dalam memanfaatkan pulau-
memanfaatkan pulau-pulau kecil dan pulau kecil dan pemanfaatan
pemanfaatan perairan disekitarnya perairan disekitarnya dalam
dalam rangka penanaman modal rangka penanaman modal
asing sebagaimana dimaksud dalam asing.
Pasal 26A ayat (1) dikenai sanksi
administratif.
Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
29. Pengelolaan Ruang Pasal 42: Pasal 19 angka 3 Pengelolaan ruang laut juga
Laut (1) Pengelolaan ruang Laut dilakukan Pasal 42: meliputi Pengendalian ruang
untuk: (1) Pengelolaan ruang laut dilakukan laut merupakan bagian integral
a. melindungi sumber daya dan untuk: dari pengelolaan tata ruang.
lingkungan dengan berdasar pada daya a. melindungi sumber daya dan
dukung lingkungan dan kearifan lokal; lingkungan dengan berdasar pada
b. memanfaatkan potensi sumber daya daya dukung lingkungan dan
dan/atau kegiatan di wilayah Laut yang kearifan lokal;
berskala nasional dan internasional; dan b. memanfaatkan potensi sumber
c. mengembangkan kawasan potensial daya dan/atau kegiatan di wilayah
menjadi pusat kegiatan produksi, Laut yang berskala nasional dan
distribusi, dan jasa. internasional; dan
(2) Pengelolaan ruang Laut meliputi c. mengembangkan kawasan
perencanaan, pemanfaatan, potensial menjadi pusat kegiatan
pengawasan, dan pengendalian. produksi, distribusi, dan jasa.
(3) Pengelolaan ruang Laut (2) Pengelolaan ruang laut meliputi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perencanaan, pemanfaatan,
dilaksanakan dengan berdasarkan pengawasan, dan pengendalian ruang
karakteristik Negara Kesatuan Republik laut yang merupakan bagian integral
Indonesia sebagai negara kepulauan dan dari pengelolaan tata ruang.
mempertimbangkan potensi sumber (3) Pengelolaan ruang laut
daya dan lingkungan Kelautan. sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan dengan berdasarkan
karakteristik Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai negara
kepulauan dan mempertimbangkan
potensi sumberdaya dan lingkungan
Kelautan.
Pasal 43: Pasal 19 angka 4 RUU Ciptaker
(1) Perencanaan ruang Laut Pasal 43: mengintegrasikan rencana tata
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 (1) Perencanaan ruang laut laut nasional ke dalam
ayat (2) meliputi: sebagaimana dimaksud dalam Pasal perencanaan tata ruang
a. perencanaan tata ruang Laut nasional; 42 ayat (2) meliputi: wilayah nasional.
b. perencanaan zonasi wilayah pesisir a. perencanaan tata ruang laut
dan pulau-pulau kecil; dan nasional; Rencana zonasi Kawasan
c. perencanaan zonasi kawasan Laut. b. perencanaan zonasi wilayah strategis jug adiintegrasikan ke
(2) Perencanaan tata ruang Laut pesisir dan pulau-pulau kecil; dan dalam rencana tata ruang
nasional sebagaimana dimaksud pada c. perencanaan zonasi kawasan laut. Kawasan strategis nasional.
ayat (1) huruf a merupakan proses (2) Perencanaan tata ruang laut
perencanaan untuk menghasilkan nasional sebagaimana dimaksud pada
rencana tata ruang Laut nasional. ayat (1) huruf a merupakan proses
(3) Perencanaan zonasi wilayah pesisir perencanaan untuk menghasilkan
dan pulau-pulau kecil sebagaimana rencana tata ruang laut nasional yang
dimaksud pada ayat (1) huruf b diintegrasikan ke dalam perencanaan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan tata ruang wilayah nasional.
peraturan perundang-undangan. (3) Perencanaan zonasi wilayah
(4) Perencanaan zonasi kawasan Laut pesisir dan pulau-pulau kecil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c merupakan perencanaan untuk huruf b dilaksanakan sesuai dengan
menghasilkan rencana zonasi kawasan ketentuan peraturan perundang-
strategis nasional, rencana zonasi undangan.
kawasan strategis nasional tertentu, dan (4) Perencanaan zonasi kawasan laut
rencana zonasi kawasan antarwilayah. sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai huruf c merupakan perencanaan
perencanaan ruang Laut sebagaimana untuk menghasilkan rencana zonasi
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan kawasan strategis nasional, rencana
Peraturan Pemerintah. zonasi kawasan strategis nasional
tertentu, dan rencana zonasi kawasan
antarwilayah.
(5) Rencana zonasi kawasan strategis
nasional diintegrasikan ke dalam
rencana tata ruang kawasan strategis
nasional.
(6) Dalam hal perencanaan tata ruang
laut nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a sudah
ditetapkan, pengintegrasian
dilakukan pada saat peninjauan
kembali Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional.
(7) Dalam hal rencana zonasi
kawasan strategis nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
sudah ditetapkan, pengintegrasian
dilakukan pada saat peninjauan
kembali rencana tata ruang kawasan
strategis nasional.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai
perencanaan ruang laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
- Pasal 19 angka 5 RUU Ciptaker melakukan
Pasal 43A: pengintegrasian untuk
(1) Perencanaan ruang laut menghindari terjadinya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal tumpang tindih pengaturan.
43 ayat (1) dilakukan secara
berjenjang dan komplementer.
(2) Penyusunan perencanaan ruang
laut yang dilakukan secara
berjenjang dan komplementer
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan proses penyusunan
antara:
a. rencana tata ruang laut;
b. RZ KAW, RZ KSN, dan RZ
KSNT; dan
c. RZ WP-3-K.
(3) Perencanaan ruang laut secara
berjenjang dilakukan dengan cara
rencana tata ruang laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a
dijadikan acuan dalam penyusunan
RZ KAW, RZ KSN, RZ KSNT, dan
RZ WP-3-K.
(4) RZ KAW, RZ KSN dan RZ
KSNT sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b menjadi acuan bagi
penyusunan RZ WP-3-K.
(5) Perencanaan ruang laut secara
komplementer sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan
penataan Rencana Tata Ruang Laut,
RZ KAW, RZKSN, RZ KSNT, dan
RZWP-3-K sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disusun saling
melengkapi satu sama lain dan
bersinergi sehingga tidak terjadi
tumpang tindih pengaturan.
Pasal 47: Pasal 19 angka 6 Izin Lokasi menjadi Perizinan
(1) Setiap orang yang melakukan Pasal 47: Berusaha terkait Pemanfaatan
pemanfaatan ruang Laut secara menetap (1) Setiap orang yang melakukan di Laut.
di wilayah perairan dan wilayah pemanfaatan ruang Laut secara
yurisdiksi wajib memiliki izin lokasi. menetap di wilayah perairan dan Bagi masyarakat yang
(2) Izin lokasi yang berada di wilayah wilayah yurisdiksi wajib memiliki melakukan pemanfaatan di
pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan Perizinan Berusaha terkait laut untuk kebutuhan sehari-
sesuai dengan ketentuan peraturan Pemanfaatan di Laut. hari tidak diperlukan Perizinan
perundang-undangan. (2) Ketentuan sebagamana dimaksud Berusaha terkait Pemanfaatan
(3) Setiap orang yang melakukan pada ayat (1) dikecualikan bagi di Laut.
pemanfaatan ruang Laut secara menetap masyarakat yang melakukan
di wilayah perairan dan wilayah pemanfaatan di Laut untuk Sanksi administratif dalam
yurisdiksi yang tidak sesuai dengan izin memenuhi kebutuhan sehari-hari. RUU Ciptaker (Pasal 177)
yang diberikan dikenai sanksi (3) Perizinan Berusaha terkait dapat berupa:
administratif berupa: Pemanfaatan di Laut dilakukan a. peringatan;
a. peringatan tertulis; sesuai dengan ketentuan peraturan b. penghentian sementara
b. penghentian sementara kegiatan; perundang-undangan. kegiatan berusaha;
c. penutupan lokasi; (4) Setiap orang yang melakukan c. pengenaan denda
d. pencabutan izin; pemanfaatan ruang Laut secara administratif;
e. pembatalan izin; dan/atau menetap di wilayah perairan dan d. pengenaan daya paksa
f. denda administratif. wilayah yurisdiksi yang tidak sesuai polisional;
(4) Ketentuan mengenai izin lokasi di dengan Perizinan Berusaha terkait e. pencabutan
Laut yang berada di wilayah perairan Pemanfaatan di Laut yang diberikan Lisensi/Sertifikasi/Persetujuan;
dan wilayah yurisdiksi sebagaimana dikenai sanksi administratif. dan/atau
dimaksud pada ayat (1) dan tata cara (5) Ketentuan mengenai Perizinan f. pencabutan Perizinan
pengenaan sanksi administratif Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut Berusaha.
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berada di wilayah perairan dan
diatur dengan Peraturan Pemerintah. wilayah yurisdiksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan tata cara
pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
- Pasal 19 angka 7 RUU Ciptaker menyebut
Pasal 47A: secara rinci kegiatan apa saja
(1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan yang diizinkan dalam
di Laut sebagaimana dimaksud Pemanfaatan di Laut.
dalam Pasal 47 diberikan
berdasarkan rencana tata ruang Pada ayat (2) huruf r
dan/atau rencana zonasi. disebutkan kegiatan
(2) Perizinan Berusaha Pemanfaatan pemanfaatan ruang laut
di Laut sebagaimana dimaksud pada lainnya. Tidak disebut secara
ayat (1) diberikan untuk kegiatan: spesifik apa saja yang
a. biofarmakologi laut; termasuk atau tidak termasuk.
b. bioteknologi laut;
c. pemanfaatan air laut selain energi;
d. wisata bahari;
e. pengangkatan benda muatan kapal
tenggelam
f. telekomunikasi;
g. instalasi ketenagalistrikan;
h. perikanan;
i. perhubungan;
j. kegiatan usaha minyak dan gas
bumi;
k. kegiatan usaha pertambangan
mineral dan batubara;
l. pengumpulan data dan penelitian;
m. pertahanan dan keamanan;
n. penyediaan sumber daya air;
o. pulau buatan;
p. dumping;
q. mitigasi bencana; dan
r. kegiatan pemanfaatan ruang laut
lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
kegiatan pemanfaatan ruang laut
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 48: Pasal 19 angka 8 Dalam RUU Ciptaker bukan
Setiap orang yang melakukan Pasal 48: Pemanfaatan ruang Laut
pemanfaatan ruang Laut sesuai dengan Setiap orang yang melakukan melainkan Pemanfaatan
rencana zonasi dapat diberi insentif pemanfaatan sumber daya kelautan sumber daya kelautan.
sesuai dengan ketentuan peraturan sesuai dengan rencana tata ruang
perundang-undangan. dan/atau rencana zonasi dapat diberi
insentif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 49: Pasal 19 angka 9 Izin lokasi diganti dengan
Setiap orang yang melakukan Pasal 49: Perizinan Berusaha terkait
pemanfaatan ruang Laut secara menetap Setiap orang yang melakukan Pemanfaatan di Laut.
yang tidak memiliki izin lokasi pemanfaatan ruang Laut secara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 menetap yang tidak memiliki
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara Perizinan Berusaha terkait
paling lama 6 (enam) tahun dan pidana Pemanfaatan di Laut sebagaimana
denda paling banyak dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3)
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar dikenai sanksi administratif.
rupiah).
- Pasal 19 angka 10 Ketentuan sanksi administratif.
Pasal 49A:
(1) Sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 dapat
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penutupan lokasi;
d. pembongkaran bangunan; dan/atau
e. denda administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
kriteria, jenis, besaran denda, dan
tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 49B: RUU Ciptaker memberi
Setiap orang yang melakukan hukuman pidana bagi orang
pemanfaatan ruang Laut secara yang melakukan pemanfaatan
menetap yang tidak memiliki ruang Laut secara menetap
Perizinan Berusaha terkait yang tidak memiliki Perizinan
Pemanfaatan Di Laut sebagaimana Berusaha terkait Pemanfaatan
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) Di Laut sebagaimana
yang mengakibatkan perubahan dimaksud dalam Pasal 47 ayat
fungsi ruang, dipidana dengan pidana (1) yang mengakibatkan
penjara paling lama 6 (enam) tahun perubahan fungsi ruang,
dan pidana denda paling banyak
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh
miliar rupiah).
Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
38. Penyelenggaraan Pasal 28: Pasal 20 angka 8 Izin diubah menjadi
Informasi (1) Pengumpulan DG harus Pasal 28: persetujuan dari Pemerintah
Geospasial memperoleh izin apabila: (1) Pengumpulan Data Geospasial Pusat.
a. dilakukan di daerah terlarang; harus memperoleh persetujuan dari
b. berpotensi menimbulkan bahaya; Pemerintah Pusat apabila: RUU Ciptaker
atau a. dilakukan di daerah terlarang; memperbolehkan
c. menggunakan wahana milik asing b. berpotensi menimbulkan bahaya; menggunakan tenaga asing
selain satelit. atau dalam pengumpulan data
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada c. menggunakan tenaga asing dan geospasial tapi dengan
ayat (1) dimaksudkan untuk menjamin wahana milik asing selain satelit. persetujuan Pemerintah Pusat
keselamatan dan keamanan bagi (2) Persetujuan sebagaimana terlebih dahulu.
pengumpul data dan bagi masyarakat. dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata untuk menjamin keselamatan dan
cara memperoleh izin sebagaimana keamanan bagi pengumpul data dan
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan bagi masyarakat.
Peraturan Pemerintah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara memperoleh persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 55: Pasal 20 angka 9 Akan ada ketentuan lebih
(1) Pelaksanaan IG sebagaimana Pasal 55: lanjut terkait pelaksanaan IG
dimaksud dalam Pasal 54 yang (1) Pelaksanaan IG sebagaimana oleh orang perseorangan,
dilakukan oleh orang perseorangan dimaksud dalam Pasal 54 yang kelompok orang dan badan
wajib memenuhi kualifikasi kompetensi dilakukan oleh: usaha.
yang dikeluarkan oleh lembaga yang a. orang perseorangan wajib
berwenang sesuai dengan ketentuan memenuhi kualifikasi sebagai tenaga
peraturan perundang-undangan. profesional yang tersertifikasi di
(2) Pelaksanaan IG yang dilakukan oleh bidang IG;
kelompok orang wajib memenuhi b. kelompok orang wajib memenuhi
kualifikasi sebagai kelompok yang klasifikasi dan kualifikasi sebagai
bergerak di bidang IG sesuai dengan penyedia jasa di bidang IG serta
ketentuan peraturan perundang- memiliki tenaga profesional yang
undangan. tersertifikasi di bidang IG; atau
c. badan usaha wajib memenuhi
persyaratan administratif dan
persyaratan teknis.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan IG yang dilaksanakan
oleh orang perseorangan, kelompok
orang, dan badan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56: Pasal 20 angka 10 Ketentuan mengenai
(1) Pelaksanaan IG yang dilakukan oleh Pasal 56: persyaratan pelaksanaan IG
badan usaha wajib memenuhi: Dihapus. oleh badan usaha dihapuskan
a. persyaratan administratif; dan di RUU Ciptaker.
b. persyaratan teknis.
(2) Persyaratan administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a paling sedikit meliputi:
a. akte pendirian badan hukum
Indonesia; dan
b. izin usaha sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. memiliki sertifikat yang memenuhi
klasifikasi dan kualifikasi sebagai
penyedia jasa di bidang IG; dan
b. memiliki tenaga profesional yang
tersertifikasi di bidang IG.
(4) Sertifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a dilakukan oleh
lembaga independen yang telah
mendapat akreditasi dari Badan.
(5) Sertifikat tenaga profesional
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b diterbitkan oleh lembaga yang
berwenang sesuai dengan ketentuan
Peraturan Kepala Badan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara sertifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diatur dengan Peraturan
Kepala Badan.
Persetujuan Lingkungan
Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
41. Ketentuan Umum Pasal 1 angka 12: Pasal 22 angka 1 Perubahan definisi UKL-UPL.
Upaya pengelolaan lingkungan hidup Pasal 1 angka 12:
dan upaya pemantauan lingkungan Upaya pengelolaan lingkungan hidup
hidup, yang selanjutnya disebut UKL- dan upaya pemantauan lingkungan
UPL, adalah pengelolaan dan hidup yang selanjutnya disebut UKL-
pemantauan terhadap usaha dan/atau UPL adalah rangkaian proses
kegiatan yang tidak berdampak penting pengelolaan dan pemantauan
terhadap lingkungan hidup yang lingkungan hidup yang dituangkan
diperlukan bagi proses pengambilan dalam bentuk standar untuk
keputusan tentang penyelenggaraan digunakan sebagai prasyarat
usaha dan/atau kegiatan. pengambilan keputusan serta termuat
dalam Perizinan Berusaha atau
persetujuan pemerintah.
Pasal 1 angka 35: Pasal 1 angka 35: Perubahan izin lingkungan
Izin lingkungan adalah izin yang Persetujuan Lingkungan adalah menjadi persetujuan
diberikan kepada setiap orang yang Keputusan Kelayakan Lingkungan lingkungan.
melakukan usaha dan/atau kegiatan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan
yang wajib amdal atau UKL-UPL Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
dalam rangka perlindungan dan telah mendapatkan persetujuan dari
pengelolaan lingkungan hidup sebagai Pemerintah Pusat.
prasyarat untuk memperoleh izin usaha
dan/atau kegiatan.
43. Amdal Pasal 24: Pasal 22 angka 3 Dokumen Amdal dalam RUU
Dokumen amdal sebagaimana Pasal 24: Cipta Kerja merupakan dasar
dimaksud dalam Pasal 22 merupakan (1) Dokumen Amdal merupakan uji kelayakan lingkungan
dasar penetapan keputusan kelayakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup hidup.
lingkungan hidup. untuk rencana usaha dan/atau
kegiatan. Uji kelayakan lingkungan
(2) Uji Kelayakan lingkungan hidup hidup dilakukan untuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengeluarkan Keputusan
dilakukan oleh tim uji kelayakan Kelayakan Lingkungan Hidup
yang dibentuk oleh Lembaga Uji yang merupakan syarat
Kelayakan Pemerintah Pusat. terbitnya Perizinan Berusaha.
(3) Tim Uji Kelayakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terdiri atas Ketentuan mengenai tata
unsur Pemerinta Pusat, Pemerintah laksana uji kelayakan akan
Daerah, dan ahli bersertifikat. diatur lebih lanjut dengan
(4) Pemerintah Pusat atau Peraturan Pemerintah.
Pemerintah Daerah menetapkan
Keputusan kelayakan lingkungan
hidup berdasarkan hasil kelayakan
lingkungan hidup.
(5) Keputusan kelayakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), sebagai persyaratan
penerbitan Perizinan Berusaha atau
Persetujuan pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata laksana uji kelayakan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 25: Pasal 22 angka 4 RUU Cipta Kerja
Dokumen amdal memuat: Pasal 25: menyebutkan secara spesifik
a. pengkajian mengenai dampak Dokumen Amdal memuat: masyarakat yang memberi
rencana usaha dan/atau kegiatan; a. pengkajian mengenai dampak saran masukan dan tanggapan
b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan; adalah yang terkena dampak
rencana usaha dan/atau kegiatan; b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi langsung dan relevan.
c. saran masukan serta tanggapan rencana usaha dan/atau kegiatan;
masyarakat terhadap rencana usaha c. saran masukan serta tanggapan
dan/atau kegiatan; masyarakat terkena dampak langsung
d. prakiraan terhadap besaran dampak yang relevan terhadap rencana usaha
serta sifat penting dampak yang terjadi dan/atau kegiatan;
jika rencana usaha dan/atau kegiatan d. prakiraan terhadap besaran
tersebut dilaksanakan; dampak serta sifat penting dampak
e. evaluasi secara holistik terhadap yang terjadi jika rencana usaha
dampak yang terjadi untuk menentukan dan/atau kegiatan tersebut
kelayakan atau ketidaklayakan dilaksanakan;
lingkungan hidup; dan e. evaluasi secara holistik terhadap
f. rencana pengelolaan dan pemantauan dampak yang terjadi untuk
lingkungan hidup. menentukan kelayakan atau
ketidaklayakan lingkungan hidup;
dan
f. rencana pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup.
Pasal 26: Pasal 22 angka 5 Yang dilibatkan dalam
(1) Dokumen amdal sebagaimana Pasal 26: penyusunan Amdal hanya
dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh (1) Dokumen Amdal sebagaimana masyarakat yang terkena
pemrakarsa dengan melibatkan dimaksud dalam Pasal 22 disusun dampak langsung. Pemerhati
masyarakat. oleh pemrakarsa dengan melibatkan lingkungan hidup tidak
(2) Pelibatan masyarakat harus masyarakat. disebutkan dalam RUU
dilakukan berdasarkan prinsip (2) Penyusunan dokumen Amdal Ciptaker.
pemberian informasi yang transparan dilakukan dengan melibatkan
dan lengkap serta diberitahukan masyarakat yang terkena dampak Pasal 26 ayat (4) juga tidak
sebelum kegiatan dilaksanakan. langsung terhadap rencana usaha terdapat di RUU Ciptaker
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dan/atau kegiatan. yaitu mengenai pengajuan
pada ayat (1) meliputi: (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keberatan terhadap dokumen
a. yang terkena dampak; proses pelibatan masyarakat Amdal.
b. pemerhati lingkungan hidup; sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan/atau diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun akan ada peraturan
c. yang terpengaruh atas segala bentuk lebih lanjut terkait pelibatan
keputusan dalam proses amdal. masyarakat dalam penyusunan
(4) Masyarakat sebagaimana dimaksud Amdal.
pada ayat (1) dapat mengajukan
keberatan terhadap dokumen amdal.
Pasal 27: Pasal 22 angka 6 Dalam RUU Ciptaker,
Dalam menyusun dokumen amdal, Pasal 27: pemrakarsa dapat diganti
pemrakarsa sebagaimana dimaksud Dalam menyusun dokumen Amdal, dengan pihak lain, sementara
dalam Pasal 26 ayat (1) dapat meminta pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam UU PPLH pemrakarsa
bantuan kepada pihak lain. dalam Pasal 26 ayat (1) dapat hanya dapat dibantu oleh pihak
menunjuk pihak lain. lain bukan menunjuk pihak
lain.
Pasal 28: Pasal 22 angka 7 RUU Ciptaker akan mengatur
(1) Penyusun amdal sebagaimana Pasal 28: lebih lanjut mengenai
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan (1) Penyusun Amdal sebagaimana sertifikasi dan kriteria
Pasal 27 wajib memiliki sertifikat dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) kompetensi penyusun Amdal
kompetensi penyusun amdal. dan Pasal 27 wajib memiliki dalam Peraturan Pemerintah.
(2) Kriteria untuk memperoleh sertifikat sertifikat kompetensi penyusun
kompetensi penyusun amdal Amdal.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
meliputi: sertifikasi dan kriteria kompetensi
a. penguasaan metodologi penyusunan penyusun Amdal diatur dengan
amdal; Peraturan Pemerintah.
b. kemampuan melakukan pelingkupan,
prakiraan, dan evaluasi dampak serta
pengambilan keputusan; dan
c. kemampuan menyusun rencana
pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup.
(3) Sertifikat kompetensi penyusun
amdal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi
kompetensi penyusun amdal yang
ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundangundangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
sertifikasi dan kriteria kompetensi
penyusun amdal diatur dengan
peraturan Menteri.
Pasal 29: Pasal 22 angka 8 Ketentuan mengenai Komisi
(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Pasal 29: Penilai Amdal dihapus di RUU
Penilai Amdal yang dibentuk oleh Dihapus. Ciptaker.
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Komisi Penilai Amdal wajib
memiliki lisensi dari Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Persyaratan dan tatacara lisensi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 30: Pasal 22 angka 9 Ketentuan mengenai Komisi
(1) Keanggotaan Komisi Penilai Amdal Pasal 30: Penilai Amdal dihapus di RUU
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Dihapus. Ciptaker.
terdiri atas wakil dari unsur:
a. instansi lingkungan hidup;
b. instansi teknis terkait;
c. pakar di bidang pengetahuan yang
terkait dengan jenis usaha dan/atau
kegiatan yang sedang dikaji;
d. pakar di bidang pengetahuan yang
terkait dengan dampak yang timbul dari
suatu usaha dan/atau kegiatan yang
sedang dikaji;
e. wakil dari masyarakat yang
berpotensi terkena dampak; dan
f. organisasi lingkungan hidup.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya,
Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim
teknis yang terdiri atas pakar
independen yang melakukan kajian
teknis dan sekretariat yang dibentuk
untuk itu.
(3) Pakar independen dan sekretariat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 31: Pasal 22 angka 10 Ketentuan mengenai Komisi
Berdasarkan hasil penilaian Komisi Pasal 31: Penilai Amdal dihapus di RUU
Penilai Amdal, Menteri, gubernur, atau Dihapus. Ciptaker.
bupati/walikota menetapkan keputusan
kelayakan atau ketidaklayakan
lingkungan hidup sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 32: Pasal 22 angka 11 Golongan ekonomi lemah
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah Pasal 32: diganti menjadi Usaha Mikro
membantu penyusunan amdal bagi (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah dan Kecil.
usaha dan/atau kegiatan golongan Daerah membantu penyusunan
ekonomi lemah yang berdampak Amdal bagi usaha dan/atau kegiatan
penting terhadap lingkungan hidup. Usaha Mikro dan Kecil yang
(2) Bantuan penyusunan amdal berdampak penting terhadap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lingkungan hidup.
berupa fasilitasi, biaya, dan/atau (2) Bantuan penyusunan Amdal
penyusunan amdal. sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3) Kriteria mengenai usaha dan/atau berupa fasilitasi, biaya, dan/atau
kegiatan golongan ekonomi lemah penyusunan Amdal.
diatur dengan peraturan perundang- (3) Penentuan mengenai usaha
undangan. dan/atau kegiatan Usaha Mikro dan
Kecil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan
kriteria sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
52. Perizinan Pasal 36: Pasal 22 angka 14 Dikarenakan izin lingkungan
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang Pasal 36: diubah menjadi persetujuan
wajib memiliki amdal atau UKL-UPL Dihapus. lingkungan maka ketentuan
wajib memiliki izin lingkungan. mengenai izin lingkungan
(2) Izin lingkungan sebagaimana dihapus.
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
berdasarkan keputusan kelayakan
lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 atau
rekomendasi UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib
mencantumkan persyaratan yang
dimuat dalam keputusan kelayakan
lingkungan hidup atau rekomendasi
UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 37: Pasal 22 angka 15 Dalam RUU Ciptaker tidak
(1) Menteri, gubernur, atau Pasal 37: terdapat ketentuan mengenai
bupati/walikota sesuai dengan Perizinan Berusaha dapat dibatalkan penolakan izin sebagaimana
kewenangannya wajib menolak apabila: dalam Pasal 37 ayat (1) UU
permohonan izin lingkungan apabila a. persyaratan yang diajukan dalam PPLH.
permohonan izin tidak dilengkapi permohonan Perizinan Berusaha
dengan amdal atau UKL-UPL. mengandung cacat hukum,
(2) Izin lingkungan sebagaimana kekeliruan, penyalahgunaan, serta
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat ketidakbenaran dan/atau pemalsuan
dibatalkan apabila: data, dokumen, dan/atau informasi;
a. persyaratan yang diajukan dalam b. penerbitannya tanpa memenuhi
permohonan izin mengandung cacat syarat sebagaimana tercantum dalam
hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, keputusan kelayakan lingkungan
serta ketidakbenaran dan/atau hidup atau pernyataan kesanggupan
pemalsuan data, dokumen, dan/atau pengelolaan lingkungan hidup; atau
informasi; c. kewajiban yang ditetapkan dalam
b. penerbitannya tanpa memenuhi dokumen Amdal atau UKL-UPL
syarat sebagaimana tercantum dalam tidak dilaksanakan oleh penanggung
keputusan komisi tentang kelayakan jawab usaha dan/atau kegiatan.
lingkungan hidup atau rekomendasi
UKL-UPL; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam
dokumen amdal atau UKL-UPL tidak
dilaksanakan oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 38: Pasal 22 angka 16 RUU Ciptaker menghapus
Selain ketentuan sebagaimana Pasal 38: ketentuan mengenai
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin Dihapus. pembatalan izin melalui
lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan PTUN.
keputusan pengadilan tata usaha negara.
Pasal 39: Pasal 22 angka 17 Keputusan kelayakan
(1) Menteri, gubernur, atau Pasal 39: lingkungan hidup tetap
bupati/walikota sesuai dengan (1) Keputusan kelayakan lingkungan diumumkan kepada
kewenangannya wajib mengumumkan hidup diumumkan kepada masyarakat. Namun cara
setiap permohonan dan keputusan izin masyarakat. pengumumannya berbeda.
lingkungan. (2) Pengumuman sebagaimana Dalam RUU Ciptaker
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengumuman dilakukan
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem elektronik dan atau melalui sistem elektronik dan
dengan cara yang mudah diketahui oleh cara lain yang ditetapkan oleh atau cara lain.
masyarakat. Pemerintah Pusat.
Tidak ada kejelasan lanjutan
mengenai cara lain yang
ditetapkan oleh pemerintah.
Pasal 40: Pasal 22 angka 18 Dikarenakan izin lingkungan
(1) Izin lingkungan merupakan Pasal 40: diubah menjadi persetujuan
persyaratan untuk memperoleh izin Dihapus. lingkungan maka ketentuan
usaha dan/atau kegiatan. mengenai izin lingkungan
(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, dihapus.
izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan
mengalami perubahan, penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan wajib
memperbarui izin lingkungan.
Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi
Perubahan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
57. Persyaratan Pasal 7: Pasal 24 angka 4 Persyaratan administratif dan
Bangunan Gedung (1) Setiap bangunan gedung harus Pasal 7: persyaratan teknis
memenuhi persyaratan administratif dan (1) Setiap bangunan gedung harus diintegrasikan menjadi standar
persyaratan teknis sesuai dengan fungsi memenuhi standar teknis bangunan teknis bangunan Gedung.
bangunan gedung. gedung sesuai dengan fungsi dan
(2) Persyaratan administratif bangunan klasifikasi bangunan gedung. Ketentuan lebih lanjut
gedung sebagaimana dimaksud dalam (2) Penggunaan ruang di atas mengenai standar teknis akan
ayat (1) meliputi persyaratan status hak dan/atau di bawah tanah dan/atau air diatur dengan Peraturan
atas tanah, status kepemilikan bangunan untuk bangunan gedung harus sesuai Pemerintah.
gedung, dan izin mendirikan bangunan. dengan ketentuan peraturan
(3) Persyaratan teknis bangunan gedung perundang-undangan.
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (3) Dalam hal bangunan gedung
meliputi persyaratan tata bangunan dan merupakan bangunan gedung adat
persyaratan keandalan bangunan dan cagar budaya, bangunan gedung
gedung. mengikuti ketentuan khusus sesuai
(4) Penggunaan ruang di atas dan/atau dengan ketentuan peraturan
di bawah tanah dan/atau air untuk perundang-undangan.
bangunan gedung harus memiliki izin (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penggunaan sesuai ketentuan yang standar teknis sebagaimana
berlaku. dimaksud pada ayat (1) diatur
(5) Persyaratan administratif dan teknis dengan Peraturan Pemerintah.
untuk bangunan gedung adat, bangunan
gedung semi permanen, bangunan
gedung darurat, dan bangunan gedung
yang dibangun pada daerah lokasi
bencana ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah sesuai kondisi sosial dan budaya
setempat.
58. Persyaratan Pasal 8: Pasal 24 angka 5 Ketentuan mengenai
Administratif (1) Setiap bangunan gedung harus Pasal 8: persyaratan administratif
Bangunan Gedung memenuhi persyaratan administratif Dihapus. dihapus.
yang meliputi:
a. status hak atas tanah, dan/atau izin
pemanfaatan dari pemegang hak atas
tanah;
b. status kepemilikan bangunan gedung;
dan
c. izin mendirikan bangunan gedung
sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) Setiap orang atau badan hukum
dapat memiliki bangunan gedung atau
bagian bangunan gedung.
(3) Pemerintah Daerah wajib mendata
bangunan gedung untuk keperluan
tertib pembangunan dan pemanfaatan.
(4) Ketentuan mengenai izin
mendirikan bangunan gedung,
kepemilikan, dan pendataan bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
59. Persyaratan Tata Pasal 9: Pasal 24 angka 6 ketentuan mengenai tata
Bangunan (1) Persyaratan tata bangunan Pasal 9: bangunan dihapus.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Dihapus.
ayat (3) meliputi persyaratan
peruntukan dan intensitas bangunan
gedung, arsitektur bangunan gedung,
dan persyaratan pengendalian dampak
lingkungan.
(2) Persyaratan tata bangunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan lebih lanjut dalam rencana
tata bangunan dan lingkungan oleh
Pemerintah Daerah.
(3) Ketentuan mengenai tata cara
penyusunan rencana tata bangunan dan
lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
60. Persyaratan Pasal 10: Pasal 24 angka 7 Ketentuan Persyaratan
Peruntukan dan (1) Persyaratan peruntukan dan Pasal 10: peruntukan dan intensitas
Intensitas Bangunan intensitas bangunan gedung sebagai- Dihapus. bangunan Gedung dihapus.
Gedung mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
meliputi persyaratan peruntukan lokasi,
kepadatan, ketinggian, dan jarak bebas
bangunan gedung yang ditetapkan
untuk lokasi yang bersangkutan.
(2) Pemerintah Daerah wajib
menyediakan dan memberikan
informasi secara terbuka tentang
persyaratan peruntukan dan intensitas
bangunan gedung bagi masyarakat yang
memerlukannya.
Pasal 11: Pasal 24 angka 8 Ketentuan mengenai
(1) Persyaratan peruntukan lokasi Pasal 11: Persyaratan peruntukan lokasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Dihapus. dihapus.
ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
ketentuan tentang tata ruang.
(2) Bangunan gedung yang dibangun di
atas, dan/atau di bawah tanah, air,
dan/atau prasarana dan sarana umum
tidak boleh mengganggu keseimbangan
lingkungan, fungsi lindung kawasan,
dan/atau fungsi prasarana dan sarana
umum yang bersangkutan.
(3) Ketentuan mengenai pembangunan
bangunan gedung sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12: Pasal 24 angka 9 ketentuan mengenai
(1) Persyaratan kepadatan dan Pasal 12: Persyaratan kepadatan dan
ketinggian bangunan sebagaimana Dihapus. ketinggian bangunan dihapus.
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
meliputi koefisien dasar bangunan,
koefisien lantai bangunan, dan
ketinggian bangunan sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan untuk lokasi
yang bersangkutan.
(2) Persyaratan jumlah lantai
maksimum bangunan gedung atau
bagian bangunan gedung yang
dibangun di bawah permukaan tanah
harus mempertimbangkan keamanan,
kesehatan, dan daya dukung lingkungan
yang dipersyaratkan.
(3) Bangunan gedung tidak boleh
melebihi ketentuan maksimum
kepadatan dan ketinggian yang
ditetapkan pada lokasi yang
bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara
perhitungan dan penetapan kepadatan
dan ketinggian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13: Pasal 24 angka 10 Ketentuan mengenai
(1) Persyaratan jarak bebas bangunan Pasal 13: Persyaratan jarak bebas
gedung sebagaimana dimaksud dalam Dihapus. bangunan Gedung dihapus.
Pasal 10 ayat (1) meliputi:
a. garis sempadan bangunan gedung
dengan as jalan, tepi sungai, tepi pantai,
jalan kereta api, dan/atau jaringan
tegangan tinggi;
b. jarak antara bangunan gedung
dengan batas-batas persil, dan jarak
antara as jalan dan pagar halaman yang
diizinkan pada lokasi yang
bersangkutan.
(2) Persyaratan jarak bebas bangunan
gedung atau bagian bangunan gedung
yang dibangun di bawah permukaan
tanah harus mempertimbangkan batas-
batas lokasi, keamanan, dan tidak
mengganggu fungsi utilitas kota, serta
pelaksanaan pembangunannya.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan
jarak bebas bangunan gedung
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
64. Persyaratan Pasal 14: Pasal 24 angka 11 Ketentuan mengenai
Arsitektur (1) Persyaratan arsitektur bangunan Pasal 14: Persyaratan arsitektur
Bangunan Gedung gedung sebagaimana dimaksud dalam Dihapus. bangunan Gedung dihapus.
Pasal 9 ayat (1) meliputi persyaratan
penampilan bangunan gedung, tata
ruang dalam, keseimbangan, keserasian,
dan keselarasan bangunan gedung
dengan lingkungannya, serta
pertimbangan adanya keseimbangan
antara nilai-nilai sosial budaya setempat
terhadap penerapan berbagai
perkembangan arsitektur dan rekayasa.
(2) Persyaratan penampilan bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus memperhatikan bentuk
dan karakteristik arsitektur dan
lingkungan yang ada di sekitarnya.
(3) Persyaratan tata ruang dalam
bangunan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus memperhatikan fungsi
ruang, arsitektur bangunan gedung, dan
keandalan bangunan gedung.
(4) Persyaratan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan bangunan
gedung dengan lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus mempertimbangkan terciptanya
ruang luar bangunan gedung, ruang
terbuka hijau yang seimbang, serasi,
dan selaras dengan lingkungannya.
(5) Ketentuan mengenai penampilan
bangunan gedung, tata ruang dalam,
keseimbangan, dan keselarasan
bangunan gedung dengan
lingkungannya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
65. Persyaratan Pasal 15: Pasal 24 angka 12 Persyaratan pengendalian
Pengendalian (1) Penerapan persyaratan pengendalian Pasal 15: dampak lingkungan menjadi
Dampak dampak lingkungan hanya berlaku bagi (1) Penerapan pengendalian dampak pengendalian dampak
Lingkungan bangunan gedung yang dapat lingkungan hanya berlaku bagi lingkungan.
menimbulkan dampak penting terhadap bangunan gedung yang dapat
lingkungan. menimbulkan dampak penting
(2) Persyaratan pengendalian dampak terhadap lingkungan.
lingkungan pada bangunan gedung (2) Pengendalian dampak lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada bangunan gedung sebagaimana
sesuai dengan ketentuan peraturan dimaksud pada ayat (1) sesuai
perundang-undangan yang berlaku. dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
66. Persyaratan Pasal 16: Pasal 24 angka 13 Ketentuan mengenai
Keandalan (1) Persyaratan keandalan bangunan Pasal 16: Persyaratan keandalan
Bangunan Gedung gedung sebagaimana dimaksud dalam Dihapus. bangunan Gedung dihapus.
Pasal 7 ayat (3), meliputi persyaratan
keselamatan, kesehatan, kenyamanan,
dan kemudahan.
(2) Persyaratan keandalan bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan berdasarkan fungsi
bangunan gedung.
67. Persyaratan Pasal 17: Pasal 24 angka 14 Kentetuan mengenai
Keselamatan (1) Persyaratan keselamatan bangunan Pasal 17: Persyaratan keselamatan
gedung sebagaimana dimaksud dalam Dihapus. bangunan Gedung dihapus.
Pasal 16 ayat (1) meliputi persyaratan
kemampuan bangunan gedung untuk
mendukung beban muatan, serta
kemampuan bangunan gedung dalam
mencegah dan menanggulangi bahaya
kebakaran dan bahaya petir.
(2) Persyaratan kemampuan bangunan
gedung untuk mendukung beban
muatannya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) merupakan kemampuan
struktur bangunan gedung yang stabil
dan kukuh dalam mendukung beban
muatan.
(3) Persyaratan kemampuan bangunan
gedung dalam mencegah dan
menanggulangi bahaya kebakaran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan kemampuan bangunan
gedung untuk melakukan pengamanan
terhadap bahaya kebakaran melalui
sistem proteksi pasif dan/atau proteksi
aktif.
(4) Persyaratan kemampuan bangunan
gedung dalam mencegah bahaya petir
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan kemampuan bangunan
gedung untuk melakukan pengamanan
terhadap bahaya petir melalui sistem
penangkal petir.
Pasal 18: Pasal 24 angka 15 Ketentuan mengenai
(1) Persyaratan kemampuan struktur Pasal 18: Persyaratan kemampuan
bangunan gedung yang stabil dan kukuh Dihapus. struktur bangunan Gedung
dalam mendukung beban muatan dihapus.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) merupakan kemampuan
struktur bangunan gedung yang stabil
dan kukuh sampai dengan kondisi
pembebanan maksimum dalam
mendukung beban muatan hidup dan
beban muatan mati, serta untuk
daerah/zona tertentu kemampuan untuk
mendukung beban muatan yang timbul
akibat perilaku alam.
(2) Besarnya beban muatan dihitung
berdasarkan fungsi bangunan gedung
pada kondisi pembebanan maksimum
dan variasi pembebanan agar bila
terjadi keruntuhan pengguna bangunan
gedung masih dapat menyelamatkan
diri.
(3) Ketentuan mengenai pembebanan,
ketahanan terhadap gempa bumi
dan/atau angin sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19: Pasal 24 angka 16 Ketentuan mengenai
(1) Pengamanan terhadap bahaya Pasal 19: Pengamanan terhadap bahaya
kebakaran dilakukan dengan sistem Dihapus. kebakaran dihapus.
proteksi pasif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi
kemampuan stabilitas struktur dan
elemennya, konstruksi tahan api,
kompartemenisasi dan pemisahan, serta
proteksi pada bukaan yang ada untuk
menahan dan membatasi kecepatan
menjalarnya api dan asap kebakaran.
(2) Pengamanan terhadap bahaya
kebakaran dilakukan dengan sistem
proteksi aktif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi
kemampuan peralatan dalam
mendeteksi dan memadamkan
kebakaran, pengendalian asap, dan
sarana penyelamatan kebakaran.
(3) Bangunan gedung, selain rumah
tinggal, harus dilengkapi dengan sistem
proteksi pasif dan aktif.
(4) Ketentuan mengenai sistem
pengamanan bahaya kebakaran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20: Pasal 24 angka 17 Ketentuan mengenai
(1) Pengamanan terhadap bahaya petir Pasal 20: Pengamanan terhadap bahaya
melalui sistem penangkal petir Dihapus. petir melalui sistem penangkal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 petir dihapus.
ayat (4) merupakan kemampuan
bangunan gedung untuk melindungi
semua bagian bangunan gedung,
termasuk manusia di dalamnya terhadap
bahaya sambaran petir.
(2) Sistem penangkal petir sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) merupakan
instalasi penangkal petir yang harus
dipasang pada setiap bangunan gedung
yang karena letak, sifat geografis,
bentuk, dan penggunaannya
mempunyai risiko terkena sambaran
petir.
(3) Ketentuan mengenai sistem
penangkal petir sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
71. Persyaratan Pasal 21: Pasal 24 angka 18 Ketentuan mengenai
Kesehatan Persyaratan kesehatan bangunan Pasal 21: Persyaratan kesehatan
gedung sebagaimana dimaksud dalam Dihapus. bangunan Gedung dihapus.
Pasal 16 ayat (1) meliputi persyaratan
sistem penghawaan, pencahayaan,
sanitasi, dan penggunaan bahan
bangunan gedung.
Pasal 22: Pasal 24 angka 19 Ketentuan mengenai Sistem
(1) Sistem penghawaan sebagaimana Pasal 22: penghawaan dihapus.
dimaksud dalam Pasal 21 merupakan Dihapus.
kebutuhan sirkulasi dan pertukaran
udara yang harus disediakan pada
bangunan gedung melalui bukaan
dan/atau ventilasi alami dan/atau
ventilasi buatan.
(2) Bangunan gedung tempat tinggal,
pelayanan kesehatan, pendidikan, dan
bangunan pelayanan umum lainnya
harus mempunyai bahan untuk ventilasi
alami.
(3) Ketentuan mengenai sistem
penghawaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23: Pasal 24 angka 20 Ketentuan mengenai Sistem
(1) Sistem pencahayaan sebagaimana Pasal 23: pencahayaan dihapus.
dimaksud dalam Pasal 21 merupakan Dihapus.
kebutuhan pencahayaan yang harus
disediakan pada bangunan gedung
melalui pencahayaan alami dan/atau
pencahayaan buatan, termasuk
pencahayaan darurat.
(2) Bangunan gedung tempat tinggal,
pelayanan kesehatan, pendidikan, dan
bangunan pelayanan umum lainnya
harus mempunyai bukaan untuk
pencahayaan alami.
(3) Ketentuan mengenai sistem
pencahayaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24: Pasal 24 angka 21 Ketentuan mengenai Sistem
(1) Sistem sanitasi sebagaimana Pasal 24: sanitasi dihapus.
dimaksud dalam Pasal 21 merupakan Dihapus.
kebutuhan sanitasi yang harus
disediakan di dalam dan di luar
bangunan gedung untuk memenuhi
kebutuhan air bersih, pembuangan air
kotor dan/atau air limbah, kotoran dan
sampah, serta penyaluran air hujan.
(2) Sistem sanitasi pada bangunan
gedung dan lingkungannya harus
dipasang sehingga mudah dalam
pengoperasian dan pemeliharaannya,
tidak membahayakan serta tidak
mengganggu lingkungan.
(3) Ketentuan mengenai sistem sanitasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 25: Pasal 24 angka 22 Ketentuan mengenai
(1) Penggunaan bahan bangunan Pasal 25: Penggunaan bahan bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam Dihapus. Gedung dihapus.
Pasal 21 harus aman bagi kesehatan
pengguna bangunan gedung dan tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan.
(2) Ketentuan mengenai penggunaan
bahan bangunan gedung sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
76. Persyaratan Pasal 26: Pasal 24 angka 23 Ketentuan mengenai
Kenyamanan (1) Persyaratan kenyamanan bangunan Pasal 26: Persyaratan kenyamanan
gedung sebagaimana dimaksud dalam Dihapus. bangunan Gedung dihapus.
Pasal 16 ayat (1) meliputi kenyamanan
ruang gerak dan hubungan antarruang,
kondisi udara dalam ruang, pandangan,
serta tingkat getaran dan tingkat
kebisingan.
(2) Kenyamanan ruang gerak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tingkat kenyamanan yang
diperoleh dari dimensi ruang dan tata
letak ruang yang memberikan
kenyamanan bergerak dalam ruangan.
(3) Kenyamanan hubungan antarruang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tingkat kenyamanan yang
diperoleh dari tata letak ruang dan
sirkulasi antarruang dalam bangunan
gedung untuk terselenggaranya fungsi
bangunan gedung.
(4) Kenyamanan kondisi udara dalam
ruang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) merupakan tingkat kenyamanan
yang diperoleh dari temperatur dan
kelembaban di dalam ruang untuk
terselenggaranya fungsi bangunan
gedung.
(5) Kenyamanan pandangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan kondisi dimana hak pribadi
orang dalam melaksanakan kegiatan di
dalam bangunan gedungnya tidak
terganggu dari bangunan gedung lain di
sekitarnya.
(6) Kenyamanan tingkat getaran dan
kebisingan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) merupakan tingkat
kenyamanan yang ditentukan oleh suatu
keadaan yang tidak mengakibatkan
pengguna dan fungsi bangunan gedung
terganggu oleh getaran dan/atau
kebisingan yang timbul baik dari dalam
bangunan gedung maupun
lingkungannya.
(7) Ketentuan mengenai kenyamanan
ruang gerak, tata hubungan antarruang,
tingkat kondisi udara dalam ruangan,
pandangan, serta tingkat getaran dan
kebisingan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat
(5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
77. Persyaratan Pasal 27: Pasal 24 angka 24 Ketentuan mengenai
Kemudahan (1) Persyaratan kemudahan Pasal 27: Persyaratan kemudahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Dihapus. dihapus.
ayat (1) meliputi kemudahan hubungan
ke, dari, dan di dalam bangunan
gedung, serta kelengkapan prasarana
dan sarana dalam pemanfaatan
bangunan gedung.
(2) Kemudahan hubungan ke, dari, dan
di dalam bangunan gedung
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi tersedianya fasilitas dan
aksesibilitas yang mudah, aman, dan
nyaman termasuk bagi penyandang
cacat dan lanjut usia.
(3) Kelengkapan prasarana dan sarana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pada bangunan gedung untuk
kepentingan umum meliputi penyediaan
fasilitas yang cukup untuk ruang
ibadah, ruang ganti, ruangan bayi,
toilet, tempat parkir, tempat sampah,
serta fasilitas komunikasi dan
informasi.
(4) Ketentuan mengenai kemudahan
hubungan ke, dari, dan di dalam
bangunan gedung, serta kelengkapan
prasarana dan sarana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 28: Pasal 24 angka 25 Ketentuan mengenai
(1) Kemudahan hubungan horizontal Pasal 28: kemudahan hubungan
antarruang dalam bangunan gedung Dihapus. horizontal antarruang dalam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 bangunan Gedung dihapus.
ayat (2) merupakan keharusan
bangunan gedung untuk menyediakan
pintu dan/atau koridor antar ruang.
(2) Penyediaan mengenai jumlah,
ukuran dan konstruksi teknis pintu dan
koridor disesuaikan dengan fungsi
ruang bangunan gedung.
(3) Ketentuan mengenai kemudahan
hubungan horizontal antarruang dalam
bangunan gedung sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 29: Pasal 24 angka 26 Ketentuan mengenai
(1) Kemudahan hubungan vertikal Pasal 29: kemudahan hubungan vertikal
dalam bangunan gedung, termasuk Dihapus. dalam bangunan Gedung
sarana transportasi vertikal dihapus.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (2) berupa penyediaan tangga, ram,
dan sejenisnya serta lift dan/atau tangga
berjalan dalam bangunan gedung.
(2) Bangunan gedung yang bertingkat
harus menyediakan tangga yang
menghubungkan lantai yang satu
dengan yang lainnya dengan
mempertimbangkan kemudahan,
keamanan, keselamatan, dan kesehatan
pengguna.
(3) Bangunan gedung untuk parkir
harus menyediakan ram dengan
kemiringan tertentu dan/atau sarana
akses vertikal lainnya dengan
mempertimbangkan kemudahan dan
keamanan pengguna sesuai standar
teknis yang berlaku.
(4) Bangunan gedung dengan jumlah
lantai lebih dari 5 (lima) harus
dilengkapi dengan sarana transportasi
vertikal (lift) yang dipasang sesuai
dengan kebutuhan dan fungsi bangunan
gedung.
(5) Ketentuan mengenai kemudahan
hubungan vertikal dalam bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 30: Pasal 24 angka 27 Ketentuan mengenai
(1) Akses evakuasi dalam keadaan Pasal 30: penyediaan akses evakuasi
darurat sebagaimana dimaksud dalam Dihapus. dihapus.
Pasal 27 ayat (2) harus disediakan di
dalam bangunan gedung meliputi
sistem peringatan bahaya bagi
pengguna, pintu keluar darurat, dan
jalur evakuasi apabila terjadi bencana
kebakaran dan/atau bencana lainnya,
kecuali rumah tinggal.
(2) Penyediaan akses evakuasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus dapat dicapai dengan mudah dan
dilengkapi dengan penunjuk arah yang
jelas.
(3) Ketentuan mengenai penyediaan
akses evakuasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31: Pasal 24 angka 28 Ketentuan mengenai
(1) Penyediaan fasilitas dan Pasal 31: penyediaan aksesibilitas bagi
aksesibilitas bagi penyandang cacat dan Dihapus. penyandang cacat dan lanjut
lanjut usia sebagaimana dimaksud usia dihapus.
dalam Pasal 27 ayat (2) merupakan
keharusan bagi semua bangunan
gedung, kecuali rumah tinggal.
(2) Fasilitas bagi penyandang cacat dan
lanjut usia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), termasuk penyediaan
fasilitas aksesibilitas dan fasilitas
lainnya dalam bangunan gedung dan
lingkungannya.
(3) Ketentuan mengenai penyediaan
aksesibilitas bagi penyandang cacat dan
lanjut usia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32: Pasal 24 angka 29
(1) Kelengkapan prasarana dan sarana Pasal 32:
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Dihapus.
ayat (3) merupakan keharusan bagi
semua bangunan gedung untuk
kepentingan umum.
(2) Ketentuan mengenai kelengkapan
prasarana dan sarana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah
83. Persyaratan Pasal 33: Pasal 24 angka 30 Ketentuan mengenai
Banguna Gedung Persyaratan administratif dan teknis Pasal 33: Persyaratan administratif dan
Fungsi Khusus untuk bangunan gedung fungsi khusus, Dihapus. teknis untuk bangunan gedung
selain harus memenuhi ketentuan dalam fungsi khusus dihapus.
Bagian Kedua, Bagian Ketiga, dan
Bagian Keempat pada Bab ini, juga
harus memenuhi persyaratan
administratif dan teknis khusus yang
dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang.
84. Penyelenggaraan Pasal 34: Pasal 24 angka 31 Persyaratan bangunan Gedung
Bangunan Gedung (1) Penyelenggaraan bangunan gedung Pasal 34: diganti menjadi pemenuhan
meliputi kegiatan pembangun-an, (1) Penyelenggaraan bangunan standar teknis bangunan
pemanfaatan, pelestarian, dan gedung meliputi kegiatan Gedung.
pembongkaran. pembangunan, pemanfaatan,
(2) Dalam penyelenggaraan bangunan pelestarian, dan pembongkaran. Dalam RUU Ciptaker
gedung sebagaimana dimaksud dalam (2) Dalam penyelenggaraan penyelenggara bangunan
ayat (1) penyelenggara berkewajiban bangunan gedung sebagaimana Gedung juga meliputi profesi
memenuhi persyaratan bangunan dimaksud pada ayat (1) ahli, Penilik dan pengkaji
gedung sebagaimana dimaksud dalam penyelenggara berkewajiban teknis.
Bab IV undang-undang ini. memenuhi standar teknis bangunan
(3) Penyelenggara bangunan gedung gedung.
terdiri atas pemilik bangunan gedung, (3) Penyelenggara bangunan gedung
penyedia jasa konstruksi, dan pengguna terdiri atas pemilik bangunan
bangunan gedung. gedung, penyedia jasa konstruksi,
(4) Pemilik bangunan gedung yang profesi ahli, Penilik, pengkaji teknis,
belum dapat memenuhi persyaratan dan pengguna bangunan gedung.
sebagaimana dimaksud dalam Bab IV (4) Dalam hal terdapat perubahan
undang-undang ini, tetap harus standar teknis bangunan gedung,
memenuhi ketentuan tersebut secara pemilik bangunan gedung yang
bertahap. belum memenuhi standar teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tetap harus memenuhi ketentuan
standar teknis secara bertahap.
85. Pemanfaatan Pasal 37: Pasal 24 angka 35 Pemanfaatan bangunan
(1) Pemanfaatan bangunan gedung Pasal 37: Gedung berdasarkan RUU
dilakukan oleh pemilik atau pengguna (1) Pemanfaatan bangunan gedung Ciptaker dapat dilakukan
bangunan gedung setelah bangunan dilakukan oleh pemilik dan/atau setelah terbit surat pernyataan
gedung tersebut dinyatakan memenuhi pengguna bangunan gedung setelah kelaikan fungsi dan penerbitan
persyaratan laik fungsi. bangunan gedung tersebut surat bukti kepemilikan
(2) Bangunan gedung dinyatakan mendapatkan sertifikat laik fungsi. bangunan Gedung.
memenuhi persyaratan laik fungsi (2) Sertifikat laik fungsi sebagaimana
apabila telah memenuhi persyaratan dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
teknis, sebagaimana dimaksud dalam oleh Pemerintah Pusat atau
Bab IV undang-undang ini. Pemerintah Daerah sesuai
kewenangannya berdasarkan surat
pernyataan kelaikan fungsi yang
diajukan oleh Penyedia Jasa
Pengawasan atau Manajemen
Konstruksi kepada Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah sesuai
kewenangannya melalui sistem
elektronik yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Pusat, berdasarkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.
(3) Surat pernyataan kelaikan fungsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diterbitkan setelah inspeksi tahapan
terakhir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36B ayat (4) huruf d
yang menyatakan bangunan gedung
memenuhi standar teknis bangunan
gedung.
(4) Penerbitan sertifikat laik fungsi
bangunan gedung dilakukan
bersamaan dengan penerbitan surat
bukti kepemilikan bangunan gedung.
(5) Pemeliharaan, perawatan, dan
pemeriksaan secara berkala pada
bangunan gedung harus dilakukan
untuk memastikan bangunan gedung
tetap memenuhi persyaratan laik
fungsi.
(6) Dalam pemanfaatan bangunan
gedung, pemilik dan/atau pengguna
bangunan gedung mempunyai hak
dan kewajiban sebagaimana diatur
dengan UndangUndang ini.
- Pasal 24 angka 36 Akan ada ketentuan lebih
Pasal 37A: lanjut mengenai perencanaan,
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan, pengawasan dan
perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan bangunan
pengawasan dan pemanfaatan Gedung.
bangunan gedung diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Perubahan Undang-Undang 6 Tahun 2017 tentang Arsitek
87. Persyaratan Pasal 6: Pasal 25 angka 3 Surat Tanda Registrasi Arsitek
(1) Untuk menjadi Arsitek, seseorang Pasal 6: diperlukan untuk melakukan
wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Untuk melakukan Praktik Arsitek, praktik arsitek.
Arsitek. seseorang wajib memiliki Surat
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud Tanda Registrasi Arsitek.
pada ayat (1) dikecualikan untuk
seseorang yang merancang bangunan
gedung sederhana dan bangunan
gedung adat,
- Pasal 25 angka 4 Untuk bangunan gedung
Pasal 6A: sederhana dan bangunan
Dalam hal penyelenggaraan kegiatan gedung adat tidak wajib
untuk menghasilkan karya Arsitektur
berupa bangunan gedung sederhana dilakukan arsitek.
dan bangunan gedung adat, tidak
wajib dilakukan oleh Arsitek.
89. Lisensi Pasal 14: Pasal 25 angka 6 Ada ketentuan mengenai
(1) Setiap Arsitek dalam Pasal 14: lisensi yaitu sesuai dengan
penyelenggaraan bangunan gedung (1) Setiap Arsitek dalam NSPK yang ditetapkan oleh
wajib memiliki Lisensi. penyelenggaraan bangunan gedung Pemerintah Pusat.
(2) Dalam hal Arsitek sebagaimana wajib memiliki Lisensi.
dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki (2) Dalam hal Arsitek sebagaimana
Lisensi, Arsitek wajib bekerja sama dimaksud pada ayat (1) belum
dengan Arsitek yang memiliki Lisensi. memiliki Lisensi, Arsitek wajib
(3) Lisensi sebagaimana dimaksud pada bekerja sama dengan Arsitek yang
ayat (1) diterbitkan oleh pemerintah memiliki Lisensi.
provinsi. (3) Lisensi sebagaimana dimaksud
(4) Ketentuan mengenai tata cara pada ayat (1) diterbitkan oleh
penerbitan Lisensi diatur dengan Pemerintah Provinsi sesuai dengan
Peraturan Pemerintah. NSPK yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara penerbitan Lisensi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
90. Arsitek Asing Pasal 19: Pasal 25 angka 7 Terdapat tambahan kata atau
(1) Arsitek Asing harus melakukan alih Pasal 19: di RUU Cipta Kerja pada
keahlian dan alih pengetahuan. (1) Arsitek Asing harus melakukan Pasal 19 ayat (2).
(2) Alih keahlian dan alih pengetahuan alih keahlian dan alih pengetahuan.
sebagaimana dimaksud pada ayat (i) (2) Alih keahlian dan alih Pengawasan menjadi
dilakukan dengan: pengetahuan sebagaimana dimaksud dilakukan oleh Pemerintah
a. mengembangkan dan meningkatkan pada ayat (1) dilakukan dengan: Pusat dan aturan juga diatur
jasa Praktik Arsitek pada kantor a. mengembangkan dan lebih lanjut dalam Peraturan
tempatnya bekerja; meningkatkan jasa Praktik Arsitek Pemerintah.
b. mengalihkan pengetahuan dan pada kantor tempatnya bekerja;
kemampuan profesionalnya kepada b. mengalihkan pengetahuan dan
Arsitek; dan kemampuan profesionalnya kepada
c. memberikan pendidikan dan/atau Arsitek; dan/atau
pelatihan kepada lembaga pendidikan, c. memberikan pendidikan dan/atau
lembaga penelitian, dan/atau lembaga pelatihan kepada lembaga
pengembangan dalam bidang Arsitektur pendidikan, lembaga penelitian,
tanpa dipungut biaya. dan/atau lembaga pengembangan
(3) Pengawasan terhadap pelaksanaan dalam bidang Arsitektur tanpa
kegiatan alih keahlian dan alih dipungut biaya.
pengetahuan sebagafunana dimaksud (3) Pengawasan terhadap
pada ayat (1) dilaksanakan oleh pelaksanaan kegiatan alih keahlian
Menteri. dan alih pengetahuan sebagaimana
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
cara alih keahlian dan alih pengetahuan oleh Pemerintah Pusat.
sebagaimana dimaksud pada ayat (21 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
dan pengawasan sebagaimana dimaksud tata cara alih keahlian dan alih
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan pengetahuan sebagaimana dimaksud
Menteri. pada ayat (2) dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor

Kelautan dan Perikanan


Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009
91. Pengertian Pasal 1 angka 16: Pasal 27 angka 1 Definisi terkait perizinan
Surat Izin Usaha Perikanan, yang Pasal 1 angka 16: dihapus.
selanjutnya disebut SIUP, adalah izin Dihapus.
tertulis yang harus dimiliki perusahaan
perikanan untuk melakukan usaha
perikanan dengan menggunakan sarana
produksi yang tercantum dalam izin
tersebut.
Pasal 1 angka 17: Pasal 1 angka 17: Definisi terkait perizinan
Surat Izin Penangkapan Ikan, yang Dihapus. dihapus.
selanjutnya disebut SIPI, adalah izin
tertulis yang harus dimiliki setiap kapal
perikanan untuk melakukan
penangkapan ikan yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari SIUP.
Pasal 1 angka 18: Pasal 1 angka 18: Definisi terkait perizinan
Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan, yang Dihapus. dihapus.
selanjutnya disebut SIKPI, adalah izin
tertulis yang harus dimiliki setiap kapal
perikanan untuk melakukan
pengangkutan ikan.
94. Usaha Perikanan Pasal 26: Pasal 27 angka 5: SIUP diganti menjadi
(1) Setiap orang yang melakukan usaha Pasal 26: Perizinan Berusaha.
perikanan di bidang penangkapan, (1) Setiap orang yang melakukan
pembudidayaan, pengangkutan, usaha perikanan di wilayah Dalam RUU Ciptaker tidak
pengolahan, dan pemasaran ikan di pengelolaan perikanan Negara ada pengecualian terkait
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memenuhi kewajiban memenuhi
Republik Indonesia wajib memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah Perizinan Berusaha.
SIUP; Pusat.
(2) Kewajiban memiliki SIUP (2) Jenis usaha Perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku bagi nelayan kecil terdiri dari usaha:
dan/atau pembudi daya ikan kecil. a. penangkapan Ikan;
b. pembudidayaan Ikan;
c. pengangkutan Ikan;
d. pengolahan Ikan; dan
e. pemasaran Ikan.
Pasal 27: Pasal 27 angka 6 Dalam RUU Ciptaker SIPI
(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau Pasal 27: terintegrasi menjadi Perizinan
mengoperasikan kapal penangkap ikan (1) Setiap orang yang memiliki Berusaha.
berbendera Indonesia yang digunakan dan/atau mengoperasikan kapal
untuk melakukan penangkapan ikan di penangkap ikan berbendera Ketentuan dalam Pasal ini
wilayah pengelolaan perikanan Negara Indonesia yang digunakan untuk tidak berlaku bagi nelayan
Republik Indonesia dan/atau laut lepas melakukan penangkapan ikan di kecil.
wajib memiliki SIPI. wilayah pengelolaan perikanan
(2) Setiap orang yang memiliki dan/atau Negara Republik Indonesia dan/atau
mengoperasikan kapal penangkap ikan laut lepas wajib memenuhi Perizinan
berbendera asing yang digunakan untuk Berusaha dari Pemerintah Pusat.
melakukan penangkapan ikan di ZEEI (2) Setiap orang yang memiliki
wajib memiliki SIPI. dan/atau mengoperasikan kapal
(3) Setiap orang yang mengoperasikan penangkap ikan berbendera asing
kapal penangkap ikan berbendera yang digunakan untuk melakukan
Indonesia di wilayah pengelolaan penangkapan ikan di ZEEI wajib
perikanan Negara Republik Indonesia memenuhi Perizinan Berusaha dari
atau mengoperasikan kapal penangkap Pemerintah Pusat.
ikan berbendera asing di ZEEI wajib (3) Setiap orang yang
membawa SIPI asli. mengoperasikan kapal penangkap
(4) Kapal penangkap ikan berbendera ikan berbendera Indonesia di wilayah
Indonesia yang melakukan pengelolaan perikanan Negara
penangkapan ikan di wilayah yurisdiksi Republik Indonesia atau
negara lain harus terlebih dahulu mengoperasikan kapal penangkap
mendapatkan persetujuan dari ikan berbendera asing di ZEEI wajib
Pemerintah. membawa dokumen Perizinan
(5) Kewajiban memiliki SIPI Berusaha.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (4) Kapal penangkap ikan berbendera
dan/atau membawa SIPI asli Indonesia yang melakukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penangkapan ikan di wilayah
tidak berlaku bagi nelayan kecil. yurisdiksi negara lain harus terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan dari
Pemerintah Pusat.
(5) Kewajiban memenuhi Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau membawa
dokumen Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
tidak berlaku bagi nelayan kecil.
- Pasal 27 angka 7 RUU Ciptaker menambahkan
Pasal 27A: pasal mengenai sanksi
(1) Setiap orang yang memiliki administratif bagi pelaku
dan/atau mengoperasikan kapal penangkapan ikan di wilayah
penangkap ikan berbendera pengelolaan perikanan Negara
Indonesia melakukan penangkapan Republik Indonesia yang tidak
ikan di wilayah pengelolaan memenuhi/membawa
perikanan Negara Republik dokumen Perizinan Berusaha.
Indonesia dan/atau di laut lepas, yang
tidak memenuhi persyaratan Mengenai kriteria, jenis, dan
Perizinan Berusaha sebagaimana tata cara pengenaan sanksi
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), administrative akan diatur
dikenai sanksi administratif. lebih lanjut dalam Peraturan
(2) Setiap orang yang Pemerintah.
mengoperasikan kapal penangkap
ikan berbendera Indonesia di wilayah
pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia, yang tidak
membawa dokumen Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai
sanksi administratif.
(3) Setiap orang yang
mengoperasikan kapal penangkap
ikan berbendera asing di ZEEI, yang
tidak membawa dokumen Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai
sanksi administratif.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
kriteria, jenis, dan tata cara
pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28: Pasal 27 angka 8 SIKPI diubah menjadi
(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau Pasal 28: Perizinan Berusaha.
mengoperasikan kapal pengangkut ikan (1) Setiap orang yang memiliki
berbendera Indonesia di wilayah dan/atau mengoperasikan kapal Ketentuan dalam Pasal ini
pengelolaan perikanan Negara Republik pengangkut ikan berbendera tidak berlaku bagi nelayan
Indonesia wajib memiliki SIKPI. Indonesia di wilayah pengelolaan kecil dan/atau pembudidaya
(2) Setiap orang yang memiliki dan/atau perikanan Negara Republik ikan kecil.
mengoperasikan kapal pengangkut ikan Indonesia wajib memenuhi Perizinan
berbendera asing yang digunakan untuk Berusaha dari Pemerintah Pusat.
melakukan pengangkutan ikan di (2) Setiap orang yang memiliki
wilayah pengelolaan perikanan Negara dan/atau mengoperasikan kapal
Republik Indonesia wajib memiliki pengangkut ikan berbendera asing
SIKPI. yang digunakan untuk melakukan
(3) Setiap orang yang mengoperasikan pengangkutan ikan di wilayah
kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
pengelolaan perikanan Negara Republik Republik Indonesia wajib memenuhi
Indonesia wajib membawa SIKPI asli. Perizinan Berusaha dari Pemerintah
(4) Kewajiban memiliki SIKPI Pusat.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (3) Setiap orang yang
dan/atau membawa SIKPI asli mengoperasikan kapal pengangkut
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ikan di wilayah pengelolaan
tidak berlaku bagi nelayan kecil perikanan Negara Republik
dan/atau pembudi daya-ikan kecil. Indonesia wajib membawa dokumen
Perizinan Berusaha.
(4) Kewajiban memenuhi Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau membawa
dokumen Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
tidak berlaku bagi nelayan kecil
dan/atau pembudi daya-ikan kecil.
Pasal 28A: Pasal 27 angka 9 Aturan terkait Perizinan
Setiap orang dilarang: Pasal 28A: Berusaha lebih diatur secara
a. memalsukan SIUP, SIPI, dan SIKPI; Setiap orang dilarang: spesifik yaitu termasuk tidak
dan/atau a. memalsukan dokumen Perizinan boleh menggunakan Perizinan
b. menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI Berusaha; Berusaha milik kapal/orang
palsu. b. menggunakan Perizinan Berusaha lain dan tidak boleh
palsu; menggandakan Perizinan
c. menggunakan Perizinan Berusaha Berusaha untuk digunakan
milik kapal lain atau orang lain; oleh kapal lain/milik sendiri.
dan/atau
d. menggandakan Perizinan Berusaha
untuk digunakan oleh kapal lain
dan/atau kapal milik sendiri.
Pasal 30: Pasal 27 angka 10 Surat izin usaha perikanan
(1) Pemberian surat izin usaha Pasal 30: diganti dengan Perizinan
perikanan kepada orang dan/atau badan (1) Pemberian Perizinan Berusaha Berusaha.
hukum asing yang beroperasi di ZEEI kepada orang dan/atau badan hukum
harus didahului dengan perjanjian asing yang beroperasi di ZEEI harus
perikanan, pengaturan akses, atau didahului dengan perjanjian
pengaturan lainnya antara Pemerintah perikanan, pengaturan akses, atau
Republik Indonesia dan pemerintah pengaturan lainnya antara
negara bendera kapal. Pemerintah Republik Indonesia dan
(2) Perjanjian perikanan yang dibuat pemerintah negara bendera kapal.
antara Pemerintah Republik Indonesia (2) Perjanjian perikanan yang dibuat
dan pemerintah negara bendera kapal antara Pemerintah Republik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Indonesia dan pemerintah negara
harus mencantumkan kewajiban bendera kapal sebagaimana
pemerintah negara bendera kapal untuk dimaksud pada ayat (1), harus
bertanggung jawab atas kepatuhan mencantumkan kewajiban
orang atau badan hukum negara pemerintah negara bendera kapal
bendera kapal untuk mematuhi untuk bertanggung jawab atas
perjanjian perikanan tersebut. kepatuhan orang atau badan hukum
(3) Pemerintah menetapkan pengaturan negara bendera kapal dalam
mengenai pemberian izin usaha mematuhi pelaksanaan perjanjian
perikanan kepada orang dan/atau badan perikanan tersebut.
hukum asing yang beroperasi di ZEEI, (3) Pemerintah Pusat menetapkan
perjanjian perikanan, pengaturan akses, pengaturan mengenai pemberian
atau pengaturan lainnya antara Perizinan Berusaha kepada orang
Pemerintah Republik Indonesia dan dan/atau badan hukum asing yang
pemerintah negara bendera kapal. beroperasi di ZEEI, perjanjian
perikanan, pengaturan akses, atau
pengaturan lainnya antara
Pemerintah Republik Indonesia dan
pemerintah negara bendera kapal.
Pasal 31: Pasal 27 angka 11 SIPI dan SIKPI terintegrasi
(1) Setiap kapal perikanan yang Pasal 31: dalam Perizinan Berusaha.
dipergunakan untuk menangkap ikan di (1) Setiap kapal perikanan yang
wilayah pengelolaan perikanan dipergunakan untuk menangkap ikan
Republik Indonesia wajib dilengkapi di wilayah pengelolaan perikanan
SIPI. Negara Republik Indonesia wajib
(2) Setiap kapal perikanan yang memenuhi Perizinan Berusaha dari
dipergunakan untuk mengangkut ikan Pemerintah Pusat.
di wilayah pengelolaan perikanan (2) Setiap kapal perikanan yang
Republik Indonesia wajib dilengkapi dipergunakan untuk mengangkut
SIKPI. ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik
Indonesia wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pasal 32: Pasal 27 angka 12 Aturan mengenai Perizinan
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pasal 32: Berusaha akan diatur dalam
penerbitan, tata cara, dan syarat-syarat Ketentuan lebih lanjut mengenai Peraturan Pemerintah.
pemberian SIUP, SIPI, dan SIKPI Perizinan Berusaha diatur dengan
diatur dengan Peraturan Menteri. Peraturan Pemerintah.
Pasal 33: Pasal 27 angka 13 Kegiatan penangkapan ikan
Ketentuan Iebih lanjut mengenai Pasal 33: dan/atau pembudidayaan ikan
penangkapan ikan dan/atau (1) Kegiatan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
pembudidayaan ikan di wilayah dan/atau pembudidayaan ikan di perikanan Negara Republik
pengelolaan perikanan Republik wilayah pengelolaan perikanan Indonesia yang bukan untuk
Indonesia yang bukan tujuan komersial Negara Republik Indonesia yang tujuan komersial dalam UU
diatur dengan Peraturan Menteri. bukan untuk tujuan komersial harus Perikanan harus mendapat izin
mendapatkan persetujuan dari dari Menteri, sedangkan dalam
Pemerintah Pusat dan Pemerintah RUU Ciptaker harus
Daerah sesuai dengan mendapatkan persetujuan
kewenangannya berdasarkan norma, Pemerintah Pusat.
standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Persetujuan dari Pemerintah
(2) Kegiatan penangkapan ikan Pusat dikecualikan bagi
dan/atau pembudidayaan ikan seseorang yang menangkap
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ikan dan/atau
dilakukan oleh setiap Orang yang membudidayakan ikan untuk
meliputi kegiatan dalam rangka kebutuhan sehari-hari.
pendidikan, penyuluhan, penelitian
atau kegiatan ilmiah lainnya, serta
kesenangan dan wisata.
(3) Persetujuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan
bagi seseorang yang menangkap ikan
dan/atau membudidayakan ikan
untuk kebutuhan sehari-hari.
(4) Persetujuan bagi kegiatan
penelitian atau kegiatan ilmiah
lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penangkapan ikan dan/atau
pembudidayaan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia yang bukan
untuk tujuan komersial diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 35: Pasal 27 angka 14 Seluruh kewenangan Menteri
(1) Setiap orang yang membangun, Pasal 35: dalam Pasal ini menjadi
mengimpor, atau memodifikasi kapal (1) Setiap orang yang membangun, kewenangan Pemerintah Pusat.
perikanan wajib terlebih dahulu mengimpor, atau memodifikasi kapal
mendapat persetujuan Menteri. perikanan wajib terlebih dahulu Terdapat sanksi administrative
(2) Pembangunan atau modifikasi kapal mendapat persetujuan Pemerintah bagi yang tidak memiliki
perikanan sebagaimana dimaksud pada Pusat. persetujuan Pemerintah Pusat.
ayat (1) dapat dilakukan, baik di dalam (2) Pembangunan atau modifikasi
maupun di luar negeri, setelah kapal perikanan sebagaimana
mendapat pertimbangan teknis laik dimaksud pada ayat (1) dapat
berlayar dari Menteri yang bertanggung dilakukan, baik di dalam maupun di
jawab di bidang pelayaran. luar negeri, setelah mendapat
pertimbangan teknis laik laut dari
Pemerintah Pusat.
(3) Setiap orang yang membangun,
mengimpor, atau memodifikasi kapal
perikanan yang tidak memiliki
persetujuan Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi administratif.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
kriteria, jenis, besaran denda, dan
tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35A: Pasal 27 angka 15 Izin diganti menjadi Perizinan
(1) Kapal perikanan berbendera Pasal 35A: Berusaha.
Indonesia yang melakukan (1) Kapal perikanan berbendera
penangkapan ikan di wilayah Indonesia yang melakukan Pasal 35A ayat (2) UU
pengelolaan perikanan Negara Republik penangkapan ikan di wilayah Perikanan yang mengatur
Indonesia wajib menggunakan nakhoda pengelolaan perikanan Negara mengenai pengunaan ABK
dan anak buah kapal Republik Indonesia wajib berkewarganegaraan Indonesia
berkewarganegaraan Indonesia. menggunakan nakhoda dan anak dalam kapal perikanan
(2) Kapal perikanan berbendera asing buah kapal berkewarganegaraan berbendera asing tidak
yang melakukan penangkapan ikan di Indonesia. dimasukkan dalam RUU
ZEEI wajib menggunakan anak buah (2) Pelanggaran terhadap ketentuan Ciptaker.
kapal berkewarganegaraan Indonesia penggunaan anak buah kapal
paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dari jumlah anak buah kapal. dikenakan sanksi administratif
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan berupa peringatan, pembekuan
penggunaan anak buah kapal perizinan berusaha, atau pencabutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Perizinan Berusaha.
dikenakan sanksi administratif berupa (3) Ketentuan mengenai kriteria,
peringatan, pembekuan izin, atau jenis, dan tata cara pengenaan sanksi
pencabutan izin. administratif sebagaimana dimaksud
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
pengenaan sanksi administratif Pemerintah.
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 36: Pasal 27 angka 16 Ketentuan dalam Pasal 36 ayat
(1) Kapal perikanan milik orang Pasal 36: (2) dan (3) UU Perikanan tidak
Indonesia yang dioperasikan di wilayah (1) Kapal perikanan milik orang terdapat dalam RUU Ciptaker.
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia yang dioperasikan di
Indonesia dan laut lepas wajib wilayah pengelolaan perikanan Surat tanda kebangsaan diganti
didaftarkan terlebih dahulu sebagai Negara Republik Indonesia dan laut menjadi Perizinan Berusaha.
kapal perikanan Indonesia. lepas wajib didaftarkan terlebih
(2) Pendaftaran kapal perikanan dahulu sebagai kapal perikanan Terdapat sanksi administrative
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Indonesia. bagi orang yang
dilengkapi dengan dokumen yang (2) Kapal perikanan yang telah mengoperasikan kapal
berupa: a. bukti kepemilikan; terdaftar sebagaimana dimaksud perikanan di wilayah
b. identitas pemilik; dan pada ayat (1), diberikan Perizinan pengelolaan perikanan
c. surat ukur. Berusaha dari Pemerintah Pusat. Republik Indonesia dan tidak
(3) Pendaftaran kapal perikanan yang (3) Setiap orang yang mendaftarkan kapal
dibeli atau diperoleh dari luar negeri mengoperasikan kapal perikanan di perikanannya sebagai kapal
dan sudah terdaftar di negara asal untuk wilayah pengelolaan perikanan perikanan Indonesia.
didaftar sebagai kapal perikanan Republik Indonesia yang tidak
Indonesia, selain dilengkapi dengan mendaftarkan kapal perikanannya
dokumen sebagaimana dimaksud pada sebagai kapal perikanan Indonesia
ayat (2) harus dilengkapi pula dengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
surat keterangan penghapusan dari dikenai sanksi administratif.
daftar kapal yang diterbitkan oleh (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
negara asal. kriteria, jenis, besaran dan tata cara
(4) Kapal perikanan yang telah terdaftar pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diberikan surat tanda kebangsaan sesuai diatur dengan Peraturan Pemerintah.
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 38: Pasal 27 angka 17 Izin penangkapan ikan diganti
(1) Setiap kapal penangkap ikan Pasal 38: menjadi Perizinan Berusaha
berbendera asing yang tidak memiliki (1) Setiap kapal penangkap ikan untuk melakukan penangkapan
izin penangkapan ikan selama berada di berbendera asing yang tidak ikan.
wilayah pengelolaan perikanan memenuhi Perizinan Berusaha untuk
Republik Indonesia wajib menyimpan melakukan penangkapan ikan selama
alat penangkapan ikan di dalam palka. berada di wilayah pengelolaan
(2) Setiap kapal penangkap ikan perikanan Negara Republik
berbendera asing yang telah memiliki Indonesia wajib menyimpan alat
izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) penangkapan ikan di dalam palka.
jenis alat penangkapan ikan tertentu (2) Setiap kapal penangkap ikan
pada bagian tertentu di ZEEI dilarang berbendera asing yang telah
membawa alat penangkapan ikan memenuhi Perizinan Berusaha untuk
lainnya. melakukan penangkapan ikan dengan
(3) Setiap kapal penangkap ikan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan
berbendera asing yang telah memiliki tertentu pada bagian tertentu di ZEEI
izin penangkapan ikan wajib dilarang membawa alat penangkapan
menyimpan alat penangkapan ikan di ikan lainnya.
dalam palka selama berada di luar (3) Setiap kapal penangkap ikan
daerah penangkapan ikan yang berbendera asing yang telah
diizinkan di wilayah pengelolaan memenuhi Perizinan Berusaha untuk
perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan wajib
menyimpan alat penangkapan ikan di
dalam palka selama berada di luar
daerah penangkapan ikan yang
diizinkan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik
Indonesia.
Pasal 40: Pasal 27 angka 18 Ketentuan lebih lanjut akan
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pasal 40: diatur oleh Peraturan
membangun, mengimpor, memodifikasi Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemerintah.
kapal, pendaftaran, pengukuran kapal kegiatan membangun, mengimpor,
perikanan, pemberian tanda pengenal memodifikasi kapal, pendaftaran,
kapal perikanan, serta penggunaan 2 pengukuran kapal perikanan,
(dua) jenis alat penangkapan ikan pemberian tanda pengenal kapal
secara bergantian sebagaimana perikanan, serta penggunaan 2 (dua)
dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, jenis alat penangkapan ikan secara
Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur bergantian sebagaimana dimaksud
dengan Peraturan Menteri. dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37,
Pasal 38, dan Pasal 39 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 41: Pasal 27 angka 19 Kewenangan Menteri menjadi
(1) Pemerintah menyelenggarakan dan Psaal 41: kewenangan Pemerintah Pusat.
melakukan pembinaan pengelolaan (1) Pemerintah Pusat
pelabuhan perikanan. menyelenggarakan dan melakukan Selanjutny akan diatur lebih
(2) Penyelenggaraan dan pembinaan pembinaan pengelolaan pelabuhan lanjut dengan Peraturan
pengelolaan pelabuhan perikanan perikanan. (2) Pemerintah Pusat Pemerintah.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam menyelenggarakan dan
Menteri menetapkan: melakukan pembinaan pengelolaan
a. rencana induk pelabuhan perikanan pelabuhan perikanan sebagaimana
secara nasional; dimaksud pada ayat (1) menetapkan:
b. klasifikasi pelabuhan perikanan; a. rencana induk pelabuhan
c. pengelolaan pelabuhan perikanan; perikanan secara nasional;
d. persyaratan dan/atau standar teknis b. klasifikasi pelabuhan perikanan;
dalam perencanaan, pembangunan, c. pengelolaan pelabuhan perikanan;
operasional, pembinaan, dan d. persyaratan dan/atau standar teknis
pengawasan pelabuhan perikanan; dalam perencanaan, pembangunan,
e. wilayah kerja dan pengoperasian operasional, pembinaan, dan
pelabuhan perikanan yang meliputi pengawasan pelabuhan perikanan;
bagian perairan dan daratan tertentu e. wilayah kerja dan pengoperasian
yang menjadi wilayah kerja dan pelabuhan perikanan yang meliputi
pengoperasian pelabuhan perikanan; bagian perairan dan daratan tertentu
dan yang menjadi wilayah kerja dan
f. pelabuhan perikanan yang tidak pengoperasian pelabuhan perikanan;
dibangun oleh Pemerintah. dan
(3) Setiap kapal penangkap ikan dan f. pelabuhan perikanan yang tidak
kapal pengangkut ikan harus dibangun oleh Pemerintah.
mendaratkan ikan tangkapan di (3) Setiap kapal penangkap ikan dan
pelabuhan perikanan yang ditetapkan kapal pengangkut ikan harus
atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk. mendaratkan ikan tangkapan di
(4) Setiap orang yang memiliki dan/atau
pelabuhan perikanan yang ditetapkan
mengoperasikan kapal penangkap ikan atau pelabuhan lainnya yang
dan/atau kapal pengangkut ikan yang ditunjuk.
tidak melakukan bongkar muat ikan (4) Setiap orang yang memiliki
tangkapan di pelabuhan perikanan yang dan/atau mengoperasikan kapal
ditetapkan atau pelabuhan lainnya yangpenangkap ikan dan/atau kapal
ditunjuk sebagaimana dimaksud pada pengangkut ikan yang tidak
ayat (3) dikenai sanksi administratif melakukan bongkar muat ikan
berupa peringatan, pembekuan izin, tangkapan di pelabuhan perikanan
atau pencabutan izin. yang ditetapkan atau pelabuhan
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai lainnya yang ditunjuk sebagaimana
pengenaan sanksi administratif
dimaksud pada ayat (3) dikenai
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sanksi administratif berupa
diatur dalam Peraturan Menteri. peringatan, pembekuan perizinan
berusaha, atau pencabutan perizinan
berusaha.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
kriteria, jenis, dan tata cara
pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 42: Pasal 27 angka 20 Surat persetujuan berlayar
(1) Dalam rangka keselamatan Pasal 42: menjadi persetujuan berlayar.
operasional kapal perikanan, ditunjuk (1) Dalam rangka keselamatan
syahbandar di pelabuhan perikanan. operasional kapal perikanan, ditunjuk
(2) Syahbandar di pelabuhan perikanan syahbandar di pelabuhan perikanan.
mempunyai tugas dan wewenang: (2) Syahbandar di pelabuhan
a. menerbitkan Surat Persetujuan perikanan mempunyai tugas dan
Berlayar; wewenang:
b. mengatur kedatangan dan a. menerbitkan persetujuan berlayar;
keberangkatan kapal perikanan; b. mengatur kedatangan dan
c. memeriksa ulang kelengkapan keberangkatan kapal perikanan;
dokumen kapal perikanan; c. memeriksa ulang kelengkapan
d. memeriksa teknis dan nautis kapal dokumen kapal perikanan;
perikanan dan memeriksa alat d. memeriksa teknis dan nautis kapal
penangkapan ikan, dan alat bantu perikanan dan memeriksa alat
penangkapan ikan; penangkapan ikan, dan alat bantu
e. memeriksa dan mengesahkan penangkapan ikan;
perjanjian kerja laut; e. memeriksa dan mengesahkan
f. memeriksa log book penangkapan perjanjian kerja laut;
dan pengangkutan ikan; f. memeriksa log book penangkapan
g. mengatur olah gerak dan lalulintas dan pengangkutan ikan;
kapal perikanan di pelabuhan g. mengatur olah gerak dan lalulintas
perikanan; kapal perikanan di pelabuhan
h. mengawasi pemanduan; perikanan;
i. mengawasi pengisian bahan bakar; h. mengawasi pemanduan;
j. mengawasi kegiatan pembangunan i. mengawasi pengisian bahan bakar;
fasilitas pelabuhan perikanan; j. mengawasi kegiatan pembangunan
k. melaksanakan bantuan pencarian dan fasilitas pelabuhan perikanan;
penyelamatan; k. melaksanakan bantuan pencarian
l. memimpin penanggulangan dan penyelamatan;
pencemaran dan pemadaman kebakaran l. memimpin penanggulangan
di pelabuhan perikanan; pencemaran dan pemadaman
m. mengawasi pelaksanaan kebakaran di pelabuhan perikanan;
perlindungan lingkungan maritim; m. mengawasi pelaksanaan
n. memeriksa pemenuhan persyaratan perlindungan lingkungan maritim;
pengawakan kapal perikanan; n. memeriksa pemenuhan
o. menerbitkan Surat Tanda Bukti persyaratan pengawakan kapal
Lapor Kedatangan dan Keberangkatan perikanan;
Kapal Perikanan; dan o. menerbitkan Surat Tanda Bukti
p. memeriksa sertifikat ikan hasil Lapor Kedatangan dan
tangkapan. Keberangkatan Kapal Perikanan; dan
(3) Setiap kapal perikanan yang akan p. memeriksa sertifikat ikan hasil
berlayar melakukan penangkapan ikan tangkapan.
dan/atau pengangkutan ikan dari (3) Setiap kapal perikanan yang akan
pelabuhan perikanan wajib memiliki berlayar melakukan penangkapan
Surat Persetujuan Berlayar yang ikan dan/atau pengangkutan ikan dari
dikeluarkan oleh syahbandar di pelabuhan perikanan wajib memiliki
pelabuhan perikanan. persetujuan berlayar yang
(4) Syahbandar di pelabuhan perikanan dikeluarkan oleh syahbandar di
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelabuhan perikanan.
diangkat oleh menteri yang (4) Syahbandar di pelabuhan
membidangi urusan pelayaran. perikanan sebagaimana dimaksud
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, pada ayat (1) diangkat oleh menteri
syahbandar di pelabuhan perikanan yang membidangi urusan pelayaran.
dikoordinasikan oleh pejabat yang (5) Dalam melaksanakan tugasnya,
bertanggung jawab di pelabuhan syahbandar di pelabuhan perikanan
perikanan setempat. dikoordinasikan oleh pejabat yang
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bertanggung jawab di pelabuhan
kesyahbandaran di pelabuhan perikanan perikanan setempat.
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai
peraturan perundang-undangan. kesyahbandaran di pelabuhan
perikanan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 43: Pasal 27 angka 21 Memiliki surat diganti menjadi
Setiap kapal perikanan yang melakukan Pasal 43: memenuhi standar laik operasi
kegiatan perikanan wajib memiliki surat Setiap kapal perikanan yang kapal perikanan.
laik operasi kapal perikanan dari melakukan kegiatan perikanan wajib
pengawas perikanan tanpa dikenai memenuhi standar laik operasi kapal
biaya. perikanan dari pengawas perikanan
tanpa dikenai biaya.
Pasal 44: Pasal 27 angka 22 Surat persetujuan berlayar
(1) Surat Persetujuan Berlayar Pasal 44: diganti menjadi persetujuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 (1) Persetujuan Berlayar berlayar.
ayat (2) huruf a dikeluarkan oleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal
syahbandar setelah kapal perikanan 42 ayat (2) huruf a diterbitkan oleh Memiliki surat diganti menjadi
mendapatkan surat laik operasi. syahbandar setelah kapal perikanan memenuhi standar laik operasi
(2) Surat laik operasi sebagaimana memenuhi standar laik operasi. kapal perikanan.
dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan (2) Pemenuhan standar laik operasi
oleh pengawas perikanan setelah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipenuhi persyaratan administrasi dan diterbitkan oleh pengawas perikanan
kelayakan teknis. setelah dipenuhi persyaratan
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan kelayakan teknis.
persyaratan administrasi dan kelayakan (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
teknis sebagaimana dimaksud pada ayat persyaratan administrasi dan
(2) diatur dalam Peraturan Menteri. kelayakan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 45: Pasal 27 angka 23 Surat izin berlayar diganti
Dalam hal kapal perikanan berada Pasal 45: menjadi persetujuan berlayar.
dan/atau berpangkalan di luar
Dalam hal kapal perikanan berada
pelabuhan perikanan, surat izin berlayar
dan/atau berpangkalan di luar Memiliki surat diganti menjadi
diterbitkan oleh syahbandar setempat pelabuhan perikanan, Persetujuan memenuhi standar laik operasi
setelah diperoleh surat laik operasi dari
berlayar diterbitkan oleh syahbandar kapal perikanan.
pengawas perikanan yang ditugaskan setempat setelah memenuhi standar
pada pelabuhan setempat. laik operasi dari pengawas perikanan
yang ditugaskan pada pelabuhan
setempat.
Pasal 49: Pasal 27 angka 24 Izin menjadi Perizinan
Setiap orang asing yang mendapat izin Pasal 49: Berusaha.
penangkapan ikan di ZEEI dikenakan Setiap orang asing yang mendapat
pungutan perikanan. Perizinan Berusaha untuk melakukan
penangkapan ikan di ZEEI dikenakan
pungutan perikanan.
Pertanian
Perubahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
114. Jenis dan Perizinan Pasal 42: Pasal 29 angka 12 Izin usaha perkebunan diubah
Usaha Perkebunan Kegiatan usaha budi daya Tanaman Pasal 42: menjadi Perizinan Berusaha
Perkebunan dan/atau usaha Pengolahan (1) Kegiatan usaha budi daya perkebunan yang selanjutnya
Hasil Perkebunan sebagaimana Tanaman Perkebunan dan/atau usaha akan diatur dengan Peraturan
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) Pengolahan Hasil Perkebunan Pemerintah.
hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Perkebunan apabila telah mendapatkan 41 ayat (1) hanya dapat dilakukan
hak atas tanah dan/atau izin Usaha oleh Perusahaan Perkebunan apabila
Perkebunan. telah mendapatkan hak atas tanah
dan memenuhi Perizinan Berusaha
terkait Perkebunan dari Pemerintah
Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43: Pasal 29 angka 13 Izin usaha perkebunan diubah
Kegiatan usaha Pengolahan Hasil Pasal 43: menjadi Perizinan Berusaha
Perkebunan dapat didirikan pada Kegiatan usaha Pengolahan Hasil yang diberikan oleh
wilayah Perkebunan swadaya Perkebunan dapat didirikan pada Pemerintah Pusat.
masyarakat yang belum ada usaha wilayah Perkebunan swadaya
Pengolahan Hasil Perkebunan setelah masyarakat yang belum ada usaha
memperoleh hak atas tanah dan izin Pengolahan Hasil Perkebunan setelah
Usaha Perkebunan. memperoleh hak atas tanah dan
Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
Pasal 45: Pasal 29 angka 14 Dikarenakan izin usaha
(1) Untuk mendapatkan izin Usaha Pasal 45: perkebunan diubah menjadi
Perkebunan sebagaimana dimaksud Dihapus. Perizinan Berusaha, maka
dalam Pasal 42 harus memenuhi aturan terkait izin usaha
persyaratan: perkebunan dihapus.
a. izin lingkungan;
b. kesesuaian dengan rencana tata ruang
wilayah; dan
c. kesesuaian dengan rencana
Perkebunan.
(2) Selain persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1):
a. usaha budi daya Perkebunan harus
mempunyai sarana, prasarana, sistem,
dan sarana pengendalian organisme
pengganggu tumbuhan; dan
b. usaha Pengolahan Hasil Perkebunan
harus memenuhi sekurang-kurangnya
20% (dua puluh perseratus) dari
keseluruhan bahan baku yang
dibutuhkan berasal dari kebun yang
diusahakan sendiri.
Pasal 47: Pasal 29 angka 15 Izin usaha perkebunan diubah
(1) Perusahaan Perkebunan yang Pasal 47: menjadi Perizinan Berusaha
melakukan usaha budi daya Tanaman (1) Perusahaan Perkebunan yang sehingga Pasal 47 ayat (2)
Perkebunan dengan luasan skala melakukan usaha budi daya Tanaman tentang pertimbangan
tertentu dan/atau usaha Pengolahan Perkebunan dengan luasan skala pemberian izin usaha
Hasil Perkebunan dengan kapasitas tertentu dan/atau usaha Pengolahan perkebunan dihapuskan.
pabrik tertentu wajib memiliki izin Hasil Perkebunan dengan kapasitas
Usaha Perkebunan. pabrik tertentu wajib memenuhi Akan ada sanksi administratif
(2) Izin Usaha Perkebunan diberikan Perizinan Berusaha dari Pemerintah bagi perusahaan perkebunan
dengan mempertimbangkan: Pusat. yang melakukan usaha budi
a. jenis tanaman; (2) Setiap Perusahaan Perkebunan daya tanaman perkebunan
b. kesesuaian Tanah dan agroklimat; yang melakukan usaha budi daya dengan luasan skala tertentu
c. teknologi; Tanaman Perkebunan dengan luasan dan/atau usaha pengolahan
d. tenaga kerja; dan skala tertentu dan/atau usaha hasil perkebunan dengan
e. modal. Pengolahan Hasil Perkebunan kapasitas pabrik tanpa
dengan kapasitas pabrik tertentu memiliki Perizinan Berusaha.
yang tidak memiliki Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. penghentian sementara kegiatan;
b. pengenaan denda; dan/atau c.
paksaan Pemerintah Pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
Perizinan Berusaha sebagaimana
pada ayat (1) dan kriteria, jenis,
besaran denda, dan tata cara
pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 48: Pasal 29 angka 16 Perizinan berusaha tetap
(1) Izin Usaha Perkebunan sebagaimana Pasal 48: diberikan oleh gubernur dan
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) (1) Perizinan Berusaha Perkebunan bupati/wali kota namun
diberikan oleh: sebagaimana dimaksud dalam Pasal pemberian perizinan berusaha
a. gubernur untuk wilayah lintas 47 ayat (1) diberikan oleh: didasarkan pada norma,
kabupaten/kota; dan a. gubernur untuk wilayah lintas standar, prosedur dan kriteria
b. bupati/wali kota untuk wilayah dalam kabupaten/kota; dan yang ditetapkan oleh
suatu kabupaten/kota. b. bupati/wali kota untuk wilayah Pemerintah Pusat.
(2) Dalam hal lahan Usaha Perkebunan dalam suatu kabupaten/kota,
berada pada wilayah lintas provinsi, berdasarkan norma, standar, Kewenangan Menteri menjadi
izin diberikan oleh Menteri. prosedur, dan kriteria yang kewenangan Pemerintah Pusat.
(3) Perusahaan Perkebunan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
mendapat izin Usaha Perkebunan wajib (2) Dalam hal lahan Usaha
menyampaikan laporan perkembangan Perkebunan berada pada wilayah
usahanya secara berkala sekurang- lintas provinsi, izin diberikan oleh
kurangnya 1 (satu) tahun sekali kepada Pemerintah Pusat.
pemberi izin sebagaimana dimaksud (3) Perusahaan Perkebunan yang
pada ayat (1) dan ayat (2). telah mendapat Perizinan Berusaha,
(4) Laporan perkembangan usaha secara Usaha Perkebunan wajib
berkala sebagaimana dimaksud pada menyampaikan laporan
ayat (3) juga disampaikan kepada perkembangan usahanya secara
Menteri. berkala sekurang-kurangnya 1 (satu)
tahun sekali kepada pemberi izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
atau ayat (2).
(4) Laporan perkembangan usaha
secara berkala sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) juga
disampaikan kepada Pemerintah
Pusat.
Pasal 49: Pasal 29 angka 17 Dikarenakan izin usaha
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat Pasal 49: perkebunan diubah menjadi
dan tata cara pemberian izin Usaha Dihapus. Perizinan Berusaha, maka
Perkebunan, luasan lahan tertentu untuk aturan terkait izin usaha
usaha budi daya Tanaman Perkebunan, perkebunan dihapus.
dan kapasitas pabrik tertentu untuk
usaha Pengolahan Hasil Perkebunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
sampai dengan Pasal 48 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 50: Pasal 29 angka 18 Dikarenakan izin usaha
Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota Pasal 50: perkebunan diubah menjadi
yang berwenang menerbitkan izin Dihapus. Perizinan Berusaha, maka
Usaha Perkebunan dilarang: aturan terkait izin usaha
a. menerbitkan izin yang tidak sesuai perkebunan dihapus.
peruntukkan; dan/ atau
b. menerbitkan izin yang tidak sesuai
dengan syarat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Perubahan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
121. Lisensi Pasal 43: Pasal 30 angka 4 Mengenai besaran biaya
(1) Perjanjian lisensi harus dicatatkan Pasal 43: pencatatan perjanjian lisensi
pada Kantor PVT dan dimuat dalam (1) Perjanjian lisensi harus dicatatkan disesuaikan dengan ketentuan
Daftar Umum PVT dengan membayar pada Kantor PVT dan dimuat dalam peraturan perundang-undangan
biaya yang besarnya ditetapkan oleh Daftar Umum PVT dengan di bidang Penerimaan Negara
Menteri. membayar biaya yang besarnya Bukan Pajak.
(2) Dalam hal perjanjian lisensi tidak ditetapkan sesuai dengan ketentuan
dicatatkan di Kantor PVT sebagaimana peraturan perundang-undangan di
dimaksud pada ayat (1), maka bidang Penerimaan Negara Bukan
perjanjian lisensi tersebut tidak Pajak.
mempunyai akibat hukum terhadap (2) Dalam hal perjanjian lisensi tidak
pihak ketiga. dicatatkan di Kantor PVT
(3) Ketentuan mengenai perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
lisensi diatur lebih lanjut dengan maka perjanjian lisensi tersebut tidak
Peraturan Pemerintah. mempunyai akibat hukum terhadap
pihak ketiga.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
perjanjian lisensi diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
122. Perbenihan dan Pasal 32: Pasal 31 angka 3 Izin pemasukan dan izin
Pembibitan (1) Pengadaan benih unggul melalui Pasal 32: pengeluaran dari Menteri
pemasukan dari luar negeri
(1) Pengadaan Benih unggul melalui diubah menjadi Perizinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 pemasukan dari luar negeri Berusaha yang diberikan oleh
ayat (1) dilakukan setelah mendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pemerintah Pusat.
izin dari Menteri. 31 ayat (1) dilakukan setelah
(2) Pengeluaran benih unggul dari mendapat Perizinan Berusaha dari Dalam RUU Ciptaker Petani
wilayah negara Republik Indonesia Pemerintah Pusat. tidak lagi dapat melakukan
dapat dilakukan oleh instansi
(2) Pengeluaran Benih unggul dari pengeluaran benih unggul dari
pemerintah, Petani, atau Pelaku Usaha
wilayah Negara Republik Indonesia wilayah Indonesia.
berdasarkan izin. dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pengeluaran benih unggul
izin pemasukan sebagaimana dimaksud Pemerintah Pusat. harus dengan perizinan
pada ayat (1) dan izin pengeluaran (3) Dalam hal pemasukan dari luar berusaha, sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) negeri sebagaimana dimaksud pada pengeluaran benih oleh
diatur dengan Peraturan Menteri. ayat (1) dan pengeluaran Benih instansi pemerintah hanya
unggul dari wilayah Negara Republik dengan persetujuan dari
Indonesia sebagaimana dimaksud Pemerintah Pusat.
pada ayat (2) dilakukan oleh instansi
pemerintah, harus mendapatkan
persetujuan dari Pemerintah Pusat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 43: Pasal 31 angka 4 Izin Pengeluaran Tanaman,
Pengeluaran Tanaman, Benih Tanaman, Pasal 43: Benih Tanaman, Benih
Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan Pengeluaran Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan
dari wilayah negara Republik Indonesia Tanaman, Benih Hewan, Bibit hewan dari wilayah Negara
oleh Setiap Orang dapat dilakukan jika Hewan, dan hewan dari wilayah Republik Indonesia dari
keperluan dalam negeri telah terpenuhi Negara Republik Indonesia oleh Menteri diubah menjadi
dengan memperoleh izin dari Menteri. Setiap Orang dapat dilakukan jika Perizinan Berusaha dari
keperluan dalam negeri telah Pemerintah Pusat.
terpenuhi setelah mendapat Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pasal 44: Pasal 31 angka 5 Pemenuhan standar mutu
(1) Pemasukan Tanaman, Benih Pasal 44: diubah menjadi pemenuhan
Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, (1) Pemasukan Tanaman, Benih persyaratan.
dan hewan dari luar negeri dapat Tanaman, Benih Hewan, Bibit
dilakukan untuk: Hewan, dan hewan dari luar negeri Pemasukan benih unggul harus
a. meningkatkan mutu dan keragaman dapat dilakukan untuk: dengan perizinan berusaha,
genetik; a. meningkatkan mutu dan sementara pengeluaran benih
b. mengembangkan ilmu pengetahuan keragaman genetik; oleh instansi pemerintah hanya
dan teknologi; dan/atau b. mengembangkan ilmu dengan persetujuan dari
c. memenuhi keperluan di dalam negeri. pengetahuan dan teknologi; dan/atau Pemerintah Pusat.
(2) Pemasukan sebagaimana dimaksud c. memenuhi keperluan di dalam
pada ayat (1) wajib memenuhi standar negeri.
mutu. (2) Pemasukan sebagaimana
(3) Setiap Orang yang melakukan dimaksud pada ayat (1) wajib
pemasukan sebagaimana dimaksud memenuhi persyaratan.
pada ayat (1) wajib memperoleh izin (3) Setiap Orang yang melakukan
dari Menteri. pemasukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
(4) Dalam hal pemasukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh pemerintah, harus
mendapatkan persetujuan dari
Pemerintah Pusat.
Pasal 86: Pasal 31 angka 6 Izin diubah menjadi perizinan
(1) Setiap Orang sebagaimana Pasal 86: berusaha.
dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) yang (1) Setiap Orang sebagaimana
melakukan Usaha Budi Daya Pertanian dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) Pada ayat (2) hanya disebutkan
di atas skala tertentu wajib memiliki yang melakukan Usaha Budi Daya Pemerintah Pusat yang
izin. Pertanian di atas skala tertentu wajib dilarang untuk memberikan
(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah memenuhi Perizinan Berusaha dari Perizinan Berusaha.
Daerah sesuai dengan kewenangannya Pemerintah Pusat.
dilarang memberikan izin Usaha Budi (2) Pemerintah Pusat dilarang
Daya Pertanian sebagaimana dimaksud memberikan Perizinan Berusaha
pada ayat (1) di atas tanah hak ulayat terkait Usaha Budi Daya Pertanian
masyarakat hukum adat. sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3) Ketentuan larangan sebagaimana di atas tanah hak ulayat masyarakat
dimaksud pada ayat (2) dikecualikan hukum adat.
dalam hal telah dicapai persetujuan (3) Ketentuan larangan sebagaimana
antara masyarakat hukum adat dan dimaksud pada ayat (2) dikecualikan
Pelaku Usaha. dalam hal telah dicapai persetujuan
antara masyarakat hukum adat dan
Pelaku Usaha.
Kehutanan
Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang
126. Pemanfaatan Hutan Pasal 26: Pasal 36 angka 4 Izin pemanfaatan hutan
dan Penggunaan (1) Pemanfaatan hutan lindung dapat Pasal 26: lindung melalui izin usaha
Kawasan Hutan berupa pemanfaatan kawasan, (1) Pemanfaatan Hutan Lindung pemanfaatan Kawasan, izin
pemanfaatan jasa lingkungan, dan dapat berupa pemanfaatan kawasan, usaha pemanfaatan jasa
pemungutan hasil hutan bukan kayu. pemanfaatan jasa lingkungan, dan lingkungan dan izin
(2) Pemanfaatan hutan lindung pemungutan hasil hutan bukan kayu. pemungutan hasil hutan bukan
dilaksanakan melalui pemberian izin (2) Pemanfaatan hutan lindung kayu diintegrasikan ke dalam
usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perizinan Berusaha.
pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin dilakukan dengan pemberian
pemungutan hasil hutan bukan kayu. Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.
Pasal 27: Pasal 36 angka 5 Dikarenakan seluruh izin
(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan Pasal 27: diintegrasikan dalam Perizinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Perizinan Berusaha sebagaimana Berusaha, dalam pasal ini
ayat (2) dapat diberikan kepada: dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) tidak terlalu jelas mengenai
a. perorangan, dapat diberikan kepada: pemberian izin.
b. koperasi. a. perorangan;
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa b. koperasi; Apabila perizinan berusaha
lingkungan sebagaimana dimaksud c. badan usaha milik negara, atau yang dimaksud dalam pasal ini
dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan d. badan usaha milik daerah. mencangkup seluruh
kepada: e. badan usaha milik swasta; perizinan, maka BUMN,
a. perorangan, BUMD dan Badan Usaha
b. koperasi, Milik Swasta turut dapat
c. badan usaha milik swasta Indonesia, diberikan izin usaha
d. badan usaha milik negara atau badan pemanfaatan Kawasan dan
usaha milik daerah. pemungutan hasil hutan.
(3) Izin pemungutan hasil hutan bukan
kayu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan
kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.
Pasal 28: Pasal 36 angka 6 Seluruh izin diintegrasikan ke
(1) Pemanfaatan hutan produksi dapat Pasal 28: dalam Perizinan Berusaha.
berupa pemanfaatan kawasan, (1) Pemanfaatan Hutan Produksi
pemanfaatan jasa lingkungan, dapat berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan hasil hutan kayu dan pemanfaatan jasa lingkungan,
bukan kayu, serta pemungutan hasil pemanfaatan hasil hutan kayu dan
hutan kayu dan bukan kayu. bukan kayu, serta pemungutan hasil
(2) Pemanfaatan hutan produksi hutan kayu dan bukan kayu.
dilaksanakan melalui pemberian izin (2) Pemanfaatan Hutan Produksi
usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha sebagaimana dimaksud ayat (1)
pemanfaatan jasa lingkungan, izin dengan pemberian Perizinan
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, Berusaha dari Pemerintah Pusat.
izin usaha pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu, izin pemungutan hasil
hutan kayu, dan izin pemungutan hasil
hutan bukan kayu.
Pasal 29: Pasal 36 angka 7 Dikarenakan seluruh izin
(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan Pasal 29: diintegrasikan dalam Perizinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Perizinan Berusaha sebagaimana Berusaha, dalam pasal ini
ayat (2) dapat diberikan kepada: dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) tidak terlalu jelas mengenai
a. perorangan, dapat diberikan kepada: pemberian izin.
b. koperasi. a. perseorangan;
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa b. koperasi; Apabila perizinan berusaha
lingkungan sebagaimana dimaksud c. badan usaha milik negara; yang dimaksud dalam pasal ini
dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan d. badan usaha milik daerah; atau mencangkup seluruh
kepada: e. badan usaha milik swasta. perizinan, maka BUMN,
a. perorangan, BUMD dan Badan Usaha
b. koperasi, Milik Swasta turut dapat
c. badan usaha milik swasta Indonesia, diberikan izin usaha
d. badan usaha milik negara atau badan pemanfaatan Kawasan dan
usaha milik daerah. pemungutan hasil hutan.
(3) Izin usaha pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan
kepada:
a. perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah.
(4) Izin usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan
kepada:
a. perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta Indonesia,
d. badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah.
(5) Izin pemungutan hasil hutan kayu
dan bukan kayu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan
kepada:
a. perorangan,
b. koperasi.
- Pasal 36 angka 8 RUU Ciptaker menambahkan
Pasal 29A: ketentuan kegiatan Perhutanan
(1) Pemanfaatan Hutan Lindung dan sosial.
Hutan Produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal
28 dapat dilakukan kegiatan
Perhutanan sosial.
(2) Perhutanan sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan kepada:
a. perseorangan;
b. kelompok tani hutan; dan
c. koperasi.
Pasal 29B: Ketentuannya akan diatur
Ketentuan lebih lanjut mengenai lebih lanjut dalam Peraturan
Perizinan Berusaha Pemanfaatan Pemerintah.
Hutan dan kegiatan perhutanan sosial
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 30: Pasal 36 angka 9 Seluruh izin diubah menjadi
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi Pasal 30: Perizinan Berusaha.
masyarakat, setiap badan usaha milik Dalam rangka pemberdayaan
negara, badan usaha milik daerah, dan ekonomi masyarakat, setiap badan
badan usaha milik swasta Indonesia usaha milik negara, badan usaha
yang memperoleh izin usaha milik daerah, dan badan usaha milik
pemanfaatan jasa lingkungan, izin swasta yang memperoleh Perizinan
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan Berusaha pemanfaatan hutan, wajib
bukan kayu, diwajibkan bekerja sama bekerja sama dengan koperasi
dengan koperasi masyarakat setempat. masyarakat setempat.
Pasal 31: Pasal 36 angka 10 Seluruh izin diubah menjadi
(1) Untuk menjamin asas keadilan, Pasal 31: Perizinan Berusaha.
pemerataan, dan lestari, maka izin (1) Untuk menjamin asas keadilan,
usaha pemanfaatan hutan dibatasi pemerataan, dan lestari, Perizinan
dengan mempertimbangkan aspek Berusaha terkait pemanfaatan hutan
kelestarian hutan dan aspek kepastian dibatasi dengan mempertimbangkan
usaha. aspek kelestarian hutan dan aspek
(2) Pembatasan sebagaimana dimaksud kepastian usaha.
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan (2) Ketentuan mengenai Pembatasan
Pemerintah. sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32: Pasal 36 angka 11 Seluruh izin diubah menjadi
Pemegang izin sebagaimana diatur Pasal 32: Perizinan Berusaha.
dalam Pasal 27 dan Pasal 29 Pemegang Perizinan Berusaha
berkewajiban untuk menjaga, berkewajiban untuk menjaga,
memelihara, dan melestarikan hutan memelihara dan melestarikan hutan
tempat usahanya. tempat usahanya.
Pasal 33: Pasal 36 angka 12 Ketentuan akan diatur lebih
(1) Usaha pemanfaatan hasil hutan Pasal 33: lanjut dengan Peraturan
meliputi kegiatan penanaman, (1) Usaha pemanfaatan hasil hutan Pemerintah.
pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, meliputi kegiatan penanaman,
dan pemasaran hasil hutan. pemeliharaan, pemanenan,
(2) Pemanenan dan pengolahan hasil pengolahan, dan pemasaran hasil
hutan sebagaimana dimaksud pada ayat hutan.
(1) tidak boleh melebihi daya dukung (2) Pemanenan dan pengolahan hasil
hutan secara lestari. hutan sebagaimana dimaksud pada
(3) Pengaturan, pembinaan dan ayat (1) tidak boleh melebihi daya
pengembangan pengolahan hasil hutan dukung hutan secara lestari.
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) (3) Ketentuan mengenai pembinaan
diatur oleh Menteri. dan pengembangan pengolahan hasil
hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 35: Pasal 36 angka 13 Berdasarkan RUU Ciptaker,
(1) Setiap pemegang izin usaha Pasal 35: pemegang perizinan berusaha
pemanfaatan hutan sebagaimana (1) Setiap pemegang Perizinan terkait pemanfaatan hutan
dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, Berusaha terkait pemanfaatan hutan akan dikenakan pemerimaan
dikenakan iuran izin usaha, provisi, dikenakan penerimaan negara bukan negara bukan pajak di bidang
dana reboisasi, dan dana jaminan pajak dibidang kehutanan. kehutanan yang akan
kinerja. (2) Penerimaan negara bukan pajak digunakan untuk kegiatan
(2) Setiap pemegang izin usaha dibidang kehutanan sebagaimana rehabilitasi hutan dan lahan.
pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal
dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 dari dana reboisasi hanya Pemegang perizinan berusaha
wajib menyediakan dana investasi dipergunakan untuk kegiatan terkait pemanfaatan hutan juga
untuk biaya pelestarian hutan. rehabilitasi hutan dan lahan. dowajibkan untuk
(3) Setiap pemegang izin pemungutan (3) Setiap pemegang Perizinan menyediakan dana investasi
hasil hutan sebagaimana dimaksud Berusaha terkait pemanfaatan hutan untuk biaya pelestarian hutan.
dalam Pasal 27 dan Pasal 29 hanya wajib menyediakan dana investasi
dikenakan provisi. untuk biaya pelestarian hutan. Untuk pemegang perizinan
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana (4) Setiap pemegang Perizinan berusaha terkait pemungutan
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan Berusaha terkait pemungutan hasil hasil hutan hanya dikenakan
ayat (3) diatur dengan Peraturan hutan hanya dikenakan penerimaan provisi.
Pemerintah. negara bukan pajak berupa provisi
dibidang kehutanan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pungutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 38: Pasal 36 angka 14 Izin pinjam pakai diubah
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk Pasal 38: menjadi pinjam pakai oleh
kepentingan pembangunan di luar (1) Penggunaan kawasan hutan untuk Pemerintah Pusat.
kegiatan kehutanan hanya dapat kepentingan pembangunan di luar
dilakukan di dalam kawasan hutan kegiatan kehutanan hanya dapat Ketentuan mengenai
produksi dan kawasan hutan lindung. dilakukan di dalam kawasan hutan pemberian izin pinjam pakai
(2) Penggunaan kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. yang berdampak penting dan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) Penggunaan kawasan hutan cakupan yang luas dihapus
dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam RUU Ciptaker.
pokok kawasan hutan. dapat dilakukan tanpa mengubah
(3) Penggunaan kawasan hutan untuk fungsi pokok kawasan hutan.
kepentingan pertambangan dilakukan (3) Penggunaan kawasan hutan
melalui pemberian izin pinjam pakai dilakukan melalui pinjam pakai oleh
oleh Menteri dengan Pemerintah Pusat dengan
mempertimbangkan batasan luas dan mempertimbangkan batasan luas dan
jangka waktu tertentu serta kelestarian jangka waktu tertentu serta
lingkungan. kelestarian lingkungan.
(4) Pada kawasan hutan lindung (4) Pada kawasan hutan lindung
dilarang melakukan penambangan dilarang melakukan penambangan
dengan pola pertambangan terbuka. dengan pola pertambangan terbuka.
(5) Pemberian izin pinjam pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang berdampak penting dan cakupan
yang luas serta bernilai strategis
dilakukan oleh Menteri atas persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
138. Pencegahan Pasal 7: Pasal 37 angka 2 Izin pemanfaatan hutan diubah
Perusakan Hutan Pencegahan perusakan hutan dilakukan Pasal 7: menjadi Perizinan Berusaha
oleh masyarakat, badan hukum, Pencegahan perusakan hutan terkait pemanfaatan hutan.
dan/atau korporasi yang memperoleh dilakukan oleh masyarakat, badan
izin pemanfaatan hutan. hukum, dan/atau korporasi yang
memperoleh Perizinan Berusaha
terkait pemanfaatan hutan.
139. Ketentuan Pasal 12: Pasal 37 angka 3 Seluruh izin diubah menjadi
Perbuatan Setiap orang dilarang: Pasal 12: perizinan berusaha yang
Perusakan Hutan a. melakukan penebangan pohon dalam Setiap orang dilarang: diberikan oleh Pemerintah.
kawasan hutan yang tidak sesuai a. melakukan penebangan pohon
dengan izin pemanfaatan hutan; dalam kawasan hutan yang tidak
b. melakukan penebangan pohon dalam sesuai dengan Perizinan Berusaha
kawasan hutan tanpa memiliki izin yang terkait pemanfaatan hutan;
dikeluarkan oleh pejabat yang b. melakukan penebangan pohon
berwenang; dalam kawasan hutan tanpa memiliki
c. melakukan penebangan pohon dalam Perizinan Berusaha dari Pemerintah.
kawasan hutan secara tidak sah; c. melakukan penebangan pohon
d. memuat, membongkar, dalam kawasan hutan secara tidak
mengeluarkan, mengangkut, menguasai, sah;
dan/atau memiliki hasil penebangan di d. memuat, membongkar,
kawasan hutan tanpa izin; mengeluarkan, mengangkut,
e. mengangkut, menguasai, atau menguasai, dan/atau memiliki hasil
memiliki hasil hutan kayu yang tidak penebangan di kawasan hutan tanpa
dilengkapi secara bersama surat Perizinan Berusaha dari Pemerintah;
keterangan sahnya hasil hutan; e. mengangkut, menguasai, atau
f. membawa alat-alat yang lazim memiliki hasil hutan kayu yang tidak
digunakan untuk menebang, memotong, dilengkapi secara bersama surat
atau membelah pohon di dalam keterangan sahnya hasil hutan;
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang f. membawa alat-alat yang lazim
berwenang; digunakan untuk menebang,
g. membawa alat-alat berat dan/atau memotong, atau membelah pohon di
alat-alat lainnya yang lazim atau patut dalam kawasan hutan tanpa Perizinan
diduga akan digunakan untuk Berusaha dari Pemerintah;
mengangkut hasil hutan di dalam g. membawa alat-alat berat dan/atau
kawasan hutan tanpa izin pejabat yang alat-alat lainnya yang lazim atau
berwenang; patut diduga akan digunakan untuk
h. memanfaatkan hasil hutan kayu yang mengangkut hasil hutan di dalam
diduga berasal dari hasil pembalakan kawasan hutan tanpa Perizinan
liar; Berusaha dari Pemerintah;
i. mengedarkan kayu hasil pembalakan h. memanfaatkan hasil hutan kayu
liar melalui darat, perairan, atau udara; yang diduga berasal dari hasil
j. menyelundupkan kayu yang berasal pembalakan liar;
dari atau masuk ke wilayah Negara i. mengedarkan kayu hasil
Kesatuan Republik Indonesia melalui pembalakan liar melalui darat,
sungai, darat, laut, atau udara; perairan, atau udara;
k. menerima, membeli, menjual, j. menyelundupkan kayu yang
menerima tukar, menerima titipan, berasal dari atau masuk ke wilayah
dan/atau memiliki hasil hutan yang Negara Kesatuan Republik Indonesia
diketahui berasal dari pembalakan liar; melalui sungai, darat, laut, atau
l. membeli, memasarkan, dan/atau udara;
mengolah hasil hutan kayu yang berasal k. menerima, membeli, menjual,
dari kawasan hutan yang diambil atau menerima tukar, menerima titipan,
dipungut secara tidak sah; dan/atau dan/atau memiliki hasil hutan yang
m. menerima, menjual, menerima tukar, diketahui berasal dari pembalakan
menerima titipan, menyimpan, dan/atau liar;
memiliki hasil hutan kayu yang berasal l. membeli, memasarkan, dan/atau
dari kawasan hutan yang diambil atau mengolah hasil hutan kayu yang
dipungut secara tidak sah. berasal dari kawasan hutan yang
diambil atau dipungut secara tidak
sah; dan/atau
m. menerima, menjual, menerima
tukar, menerima titipan, menyimpan,
dan/atau memiliki hasil hutan kayu
yang berasal dari kawasan hutan
yang diambil atau dipungut secara
tidak sah.
- Pasal 37 angka 4 Terdapat penambahan pasal
Pasal 12A: mengenai pengenaan sanksi.
(1) Orang perseorangan yang
bertempat tinggal di dalam dan/atau
di sekitar kawasan hutan paling
singkat 5 (lima) tahun secara terus
menerus yang melakukan
pelanggaran terhadap pasal 12 huruf
a sampai dengan huruf f, dan/atau
huruf h dikenai sanksi administratif.
(2) Pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dikecualikan terhadap:
a. orang perseorangan atau kelompok
masyarakat yang bertempat tinggal di
dalam dan/atau di sekitar kawasan
hutan paling singkat 5 (lima) tahun
secara terus-menerus dan terdaftar
dalam kebijakan penataan Kawasan
Hutan; atau
b. orang perseorangan yang telah
mendapatkan sanksi sosial atau
sanksi adat.
Pasal 17: Pasal 37 angka 5 Seluruh izin menjadi
(1) Setiap orang dilarang: Pasal 17: kewenangan Pemerintah Pusat
a. membawa alat-alat berat dan/atau (1) Setiap orang dilarang: untuk memberikannya.
alat-alat lain yang lazim atau patut a. membawa alat-alat berat dan/atau
diduga akan digunakan untuk alat-alat lain yang lazim atau patut
melakukan kegiatan penambangan diduga akan digunakan untuk
dan/atau mengangkut hasil tambang di melakukan kegiatan penambangan
dalam kawasan hutan tanpa izin dan/atau mengangkut hasil tambang
Menteri; di dalam kawasan hutan tanpa
b. melakukan kegiatan penambangan di Perizinan dari Pemerintah;
dalam kawasan hutan tanpa izin b. melakukan kegiatan penambangan
Menteri; di dalam kawasan hutan tanpa
c. mengangkut dan/atau menerima Perizinan dari Pemerintah;
titipan hasil tambang yang berasal dari c. mengangkut dan/atau menerima
kegiatan penambangan di dalam titipan hasil tambang yang berasal
kawasan hutan tanpa izin; dari kegiatan penambangan di dalam
d. menjual, menguasai, memiliki, kawasan hutan tanpa Perizinan dari
dan/atau menyimpan hasil tambang Pemerintah;
yang berasal dari kegiatan d. menjual, menguasai, memiliki,
penambangan di dalam kawasan hutan dan/atau menyimpan hasil tambang
tanpa izin; dan/atau yang berasal dari kegiatan
e. membeli, memasarkan, dan/atau penambangan di dalam kawasan
mengolah hasil tambang dari kegiatan hutan tanpa Perizinan dari
penambangan di dalam kawasan hutan Pemerintah; dan/atau
tanpa izin. e. membeli, memasarkan, dan/atau
(2) Setiap orang dilarang: mengolah hasil tambang dari
a. membawa alat-alat berat dan/atau kegiatan penambangan di dalam
alat-alat lainnya yang lazim atau patut kawasan hutan tanpa Perizinan dari
diduga akan digunakan untuk Pemerintah.
melakukan kegiatan perkebunan (2) Setiap orang dilarang:
dan/atau mengangkut hasil kebun di a. membawa alat-alat berat dan/atau
dalam kawasan hutan tanpa izin alat-alat lainnya yang lazim atau
Menteri; patut diduga akan digunakan untuk
b. melakukan kegiatan perkebunan melakukan kegiatan perkebunan
tanpa izin Menteri di dalam kawasan dan/atau mengangkut hasil kebun di
hutan; dalam kawasan hutan tanpa Perizinan
c. mengangkut dan/atau menerima dari Pemerintah;
titipan hasil perkebunan yang berasal b. melakukan kegiatan perkebunan
dari kegiatan perkebunan di dalam tanpa Perizinan dari Pemerintah
kawasan hutan tanpa izin; Pusat di dalam kawasan hutan;
d. menjual, menguasai, memiliki, c. mengangkut dan/atau menerima
dan/atau menyimpan hasil perkebunan titipan hasil perkebunan yang berasal
yang berasal dari kegiatan perkebunan dari kegiatan perkebunan di dalam
di dalam kawasan hutan tanpa izin; kawasan hutan tanpa Perizinan dari
dan/atau Pemerintah;
e. membeli, memasarkan, dan/atau d. menjual, menguasai, memiliki,
mengolah hasil kebun dari perkebunan dan/atau menyimpan hasil
yang berasal dari kegiatan perkebunan perkebunan yang berasal dari
di dalam kawasan hutan tanpa izin. kegiatan perkebunan di dalam
kawasan hutan tanpa Perizinan dari
Pemerintah; dan/atau
e. membeli, memasarkan, dan/atau
mengolah hasil kebun dari
perkebunan yang berasal dari
kegiatan perkebunan di dalam
kawasan hutan tanpa Perizinan dari
Pemerintah.
- Pasal 37 angka 6 Terdapat penambahan pasal
Pasal 17A: mengenai pengenaan sanksi.
(1) Orang perseorangan yang
bertempat tinggal di dalam dan/atau
di sekitar kawasan hutan paling
singkat 5 (lima) tahun secara terus
menerus yang melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 17 ayat
(2) huruf b, huruf c, dan/atau huruf d
dikenai sanksi administratif.
(2) Pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dikecualikan terhadap:
a. orang perseorangan atau kelompok
masyarakat yang bertempat tinggal di
dalam dan/atau di sekitar kawasan
hutan paling singkat 5 (lima) tahun
secara terus-menerus dan terdaftar
dalam kebijakan penataan Kawasan
Hutan; atau
b. orang perseorangan yang telah
mendapatkan sanksi sosial atau
sanksi adat.
Pasal 24: Pasal 37 angka 8 Surat izin pemanfaatan hasil
Setiap orang dilarang: Pasal 24: hutan kayu diubah menjadi
a. memalsukan surat izin pemanfaatan Setiap orang dilarang: Perizinan Berusaha terkait
hasil hutan kayu dan/atau penggunaan a. memalsukan Perizinan Berusaha pemanfaatan hasil hutan.
kawasan hutan; terkait pemanfaatan hasil hutan
b. menggunakan surat izin palsu dan/atau penggunaan kawasan hutan; Dalam RUU Ciptaker terdapat
pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau b. menggunakan Perizinan Berusaha larangan untuk
penggunaan kawasan hutan; dan/atau terkait pemanfaatan hasil hutan palsu memindahtangankan atau
c. memindahtangankan atau menjual dan/atau penggunaan kawasan hutan; menjual Perizinan Berusaha
izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang dan/atau terkait pemanfaatan hasil
berwenang kecuali dengan persetujuan c. memindahtangankan atau menjual hutan. Di penjelasannya
Menteri. Perizinan Berusaha terkait disebutkan bahwa ketentuan
pemanfaatan hasil hutan dari tersebut tidak termasuk
Pemerintah. akuisisi.
Pasal 28: Pasal 37 angka 9 Izin diubah menjadi Perizinan
Setiap pejabat dilarang: Pasal 28: Berusaha.
a. menerbitkan izin pemanfaatan hasil Setiap pejabat dilarang:
hutan kayu dan/atau penggunaan a. menerbitkan Perizinan Berusaha
kawasan hutan di dalam kawasan hutan terkait pemanfaatan hasil hutan kayu
yang tidak sesuai dengan dan/atau penggunaan kawasan hutan
kewenangannya; di dalam kawasan hutan yang tidak
b. menerbitkan izin pemanfaatan di sesuai dengan kewenangannya;
dalam kawasan hutan dan/atau izin b. menerbitkan Perizinan Berusaha di
penggunaan kawasan hutan yang tidak dalam kawasan hutan dan/atau
sesuai dengan ketentuan peraturan Perizinan Berusaha terkait
perundang-undangan; penggunaan kawasan hutan yang
c. melindungi pelaku pembalakan liar tidak sesuai dengan ketentuan
dan/atau penggunaan kawasan hutan peraturan perundang-undangan;
secara tidak sah; c. melindungi pelaku pembalakan
d. ikut serta atau membantu kegiatan liar dan/atau penggunaan kawasan
pembalakan liar dan/atau penggunaan hutan secara tidak sah;
kawasan hutan secara tidak sah; d. ikut serta atau membantu kegiatan
e. melakukan permufakatan untuk pembalakan liar dan/atau
terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara
penggunaan kawasan hutan secara tidak tidak sah;
sah; e. melakukan permufakatan untuk
f. menerbitkan surat keterangan sahnya terjadinya pembalakan liar dan/atau
hasil hutan tanpa hak; penggunaan kawasan hutan secara
g. dengan sengaja melakukan tidak sah;
pembiaran dalam melaksanakan tugas; f. menerbitkan surat keterangan
dan/atau sahnya hasil hutan tanpa hak;
h. lalai dalam melaksanakan tugas. g. dengan sengaja melakukan
pembiaran dalam melaksanakan
tugas; dan/atau
h. lalai dalam melaksanakan tugas.

Anda mungkin juga menyukai