No. Substansi Ketentuan Terkait RUU Cipta Kerja Analisa
1. Ketentuan Umum - Pasal 1 angka 4, 8 dan 11 RUU Ciptaker mengubah Pasal 1 angka 4: legalitas untuk memulai dan Perizinan Berusaha adalah legalitas menjalankan usaha menjadi yang diberikan kepada Pelaku Usaha Perizinan Berusaha. untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Pasal 1 angka 8: Perizinan Berusaha diberikan Pelaku Usaha adalah orang kepada Pelaku Usaha. perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. Pasal 1 angka 11: Untuk pembangunan Gedung Persetujuan Bangunan Gedung berdasarkan RUU Ciptaker adalah perizinan yang diberikan dibutuhkan Persetujuan kepada pemilik bangunan gedung Bangunan Gedung. untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku. Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko 4. Umum - Pasal 7: Perizinan Berusaha diberikan (1) Perizinan Berusaha berbasis berdasarkan tingkat risiko dan risiko sebagaimana dimaksud dalam peringkat skala usaha. Pasal 6 huruf a dilakukan Penetapan tingkat risiko dinilai berdasarkan penetapan tingkat risiko dari tingkat bahaya dan potensi dan peringkat skala usaha kegiatan terjadinya bahaya akibat usaha. kegiatan usaha yang dinilai (2) Penetapan tingkat risiko dan dari aspek Kesehatan, peringkat skala usaha sebagaimana keselamatan, lingkungan, dimaksud pada ayat (1) diperoleh pemanfaatan dan pengelolaaan berdasarkan penilaian tingkat bahaya sumber daya dan risiko dan potensi terjadinya bahaya. (3) volatilitas. Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Tingkat risiko terbagi menjadi: dilakukan terhadap aspek: - Kegiatan usaha a. kesehatan; berisiko rendah b. keselamatan; - Kegiatan usaha c. lingkungan; berisiko menengah d. pemanfaatan dan pengelolaan - Kegiatan usaha sumber daya; dan/atau berisiko tinggi e. risiko volatilitas. (4) Untuk kegiatan tertentu, penilaian Penilaian tingkat bahaya tingkat bahaya sebagaimana dilihat dari jenis kegiatan dimaksud pada ayat (3) dapat usaha, kriteria kegiatan usaha mencakup aspek lainnya sesuai lokasi kegiatan udaha dan/atau dengan sifat kegiatan usaha. keterbatasan sumber daya. (5) Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Penialian potensi terjadinya dan ayat (4) dilakukan dengan bahaya meliputi hamper tidak memperhitungkan: mungkin terjadi, kemungkinan a. jenis kegiatan usaha; kecil terjadi, kemungkinan b. kriteria kegiatan usaha; terjadi dan hampir pasti c. lokasi kegiatan usaha; dan/atau terjadi. d. keterbatasan sumber daya. (6) Penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. hampir tidak mungkin terjadi; b. kemungkinan kecil terjadi; c. kemungkinan terjadi; atau d. hampir pasti terjadi. (7) Berdasarkan penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), serta penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha ditetapkan menjadi: a. kegiatan usaha berisiko rendah; b. kegiatan usaha berisiko menengah; atau c. kegiatan usaha berisiko tinggi. Perizinan Berusaha Kegiatan Untuk kegiatan usaha berisiko Usaha Berisiko Rendah rendah akan diberikan nomor Pasal 8: induk berusaha sebagai tanda (1) Perizinan Berusaha untuk izin menjalankan kegiatan kegiatan usaha berisiko rendah usaha. sebagaimana dimaksud dalam 7 ayat (7) huruf a berupa pemberian nomor induk berusaha yang merupakan legalitas pelaksanaan kegiatan berusaha. (2) Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. Perizinan Berusaha Kegiatan Untuk kegiatan usaha berisiko Usaha Berisiko Menengah menengah terbagi menjadi Pasal 9: menengah rendah dan (1) Perizinan Berusaha untuk menengah tinggi. kegiatan usaha berisiko menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal Untuk risiko menengah rendah 7 ayat (7) huruf b meliputi: akan diberikan nomor induk a. kegiatan usaha berisiko menengah berusaha dan pernyataan rendah; dan sertifikasi standar. b. kegiatan usaha berisiko menengah tinggi. Untuk risiko menengah tinggi (2) Perizinan Berusaha untuk akan diberikan nomor induk kegiatan usaha berisiko menengah berusaha dan pernyataan rendah sebagaimana dimaksud pada sertifikasi standar. ayat (1) huruf a, berupa: a. pemberian nomor induk berusaha; dan b. pernyataan sertifikasi standar. (3) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa: a. nomor induk berusaha; dan b. pemenuhan sertifikat standar. (4) Pernyataan sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan pernyataan Pelaku Usaha yang telah memenuhi standar sebelum melakukan kegiatan usahanya. (5) Pemenuhan sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan kewajiban standar yang telah dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melakukan kegiatan usahanya. (6) Dalam hal sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b diperlukan untuk standardisasi produk, Pemerintah Pusat menerbitkan sertifikat standar berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melakukan kegiatan komersialisasi produk. Perizinan Berusaha Kegiatan Untuk kegiatan usaha berisiko Usaha Berisiko Rendah inggi akan diberikan nomor Pasal 10: induk berusaha dan izin (1) Perizinan Berusaha untuk sebagai tanda legalitas kegiatan usaha berisiko tinggi menjalankan kegiatan usaha. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf c berupa pemberian: Izin yang dimaksud a. nomor induk berusaha; dan merupakan persetujuan dari b. izin. Pemerintah Pusat. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan persetujuan Pemerintah Pusat untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya. (3) Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi memerlukan standardisasi produk, Pelaku Usaha dipersyaratkan memiliki sertifikasi standar yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar sebelum melakukan kegiatan komersialisasi produk. Peraturan Pelaksanaan Akan lebih lanjut diatur dalam Pasal 12: Peraturan Pemerintah. Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10, serta tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha, Pengadaan Tanah dan Pemanfaatan Lahan 9. Umum - Pasal 13: RUU Cipta Kerja Penyederhanaan persyaratan dasar menyederhanakan persyaratan Perizinan Berusaha dan pengadaan dasar Perizinan Berusaha, tanah dan pemanfaatan lahan pengadaan tanah dan sebagaimana dimaksud dalam Pasal pemanfaatan lahan. 6 huruf b meliputi: a. kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang; b. persetujuan lingkungan; dan c. Persetujuan Bangunan Gedung dan sertifikat laik fungsi. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Perubahan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 10. Ketentuan Umum Pasal 1 angka 32: Pasal 17 angka 1 Untuk penyederhanaan Izin pemanfaatan ruang adalah izin Pasal 1 angka 32: penataan ruang, Izin dubah yang dipersyaratkan dalam kegiatan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan menjadi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan Ruang adalah kesesuaian antara pemanfaatan ruang. ketentuan peraturan rencana kegiatan pemanfaatan ruang perundangundangan. dengan rencana tata ruang. 11. Pengendalian Pasal 35: Pasal 17 angka 20 Pengendalian pemanfaatan Pemanfaatan Ruang Pengendalian pemanfaatan ruang Pasal 35: ruang tidak lagi dilakukan dilakukan melalui penetapan peraturan Pengendalian pemanfaatan ruang melalui penetapan zonasi, zonasi, perizinan, pemberian insentif dilakukan melalui: tetapi dilakukan dengan dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. a. ketentuan Kesesuaian Kegiatan ketentuan kesesuaian Pemanfaatan Ruang; kegiatanpemanfaatan ruang, b. pemberian insentif dan disinsentif; pemberian insentif dan dan disinsentif dan pengenaan c. pengenaan sanksi. sanksi. Pasal 37: Pasal 17 angka 21 Izin Pemanfaatan Ruang (1) Ketentuan perizinan sebagaimana Pasal 37: diubah menjadi Persetujuan dimaksud dalam Pasal 35 diatur oleh (1) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Kesesuaian Kegiatan Pemerintah dan pemerintah daerah Pemanfaatan Ruang sebagaimana Pemanfaatan Ruang. menurut kewenangan masing-masing dimaksud dalam Pasal 35 diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan oleh Pemerintah Pusat. Seluruh hal terkait perizinan perundang-undangan. (2) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan menjadi kewenangan (2) Izin pemanfaatan ruang yang tidak Pemanfaatan Ruang yang tidak Pemerintah Pusat, tidak ada sesuai dengan rencana tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang kewenangan Pemerintah wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan wilayah dibatalkan oleh Pemerintah Daerah dalam Perizinan. pemerintah daerah menurut Pusat. kewenangan masing-masing sesuai (3) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan dengan ketentuan peraturan perundang- Pemanfaatan Ruang yang undangan. dikeluarkan dan/atau diperoleh (3) Izin pemanfaatan ruang yang dengan tidak melalui prosedur yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan benar, batal demi hukum. tidak melalui prosedur yang benar, batal (4) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan demi hukum. Pemanfaatan Ruang yang diperoleh (4) Izin pemanfaatan ruang yang melalui prosedur yang benar tetapi diperoleh melalui prosedur yang benar kemudian terbukti tidak sesuai tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. dibatalkan oleh Pemerintah dan (5) Terhadap kerugian yang pemerintah daerah sesuai dengan ditimbulkan akibat pembatalan kewenangannya. persetujuan sebagaimana dimaksud (5) Terhadap kerugian yang pada ayat (2) dan ayat (4), dapat ditimbulkan akibat pembatalan izin dimintakan ganti kerugian yang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), layak kepada instansi pemberi dapat dimintakan penggantian yang persetujuan. layak kepada instansi pemberi izin. (6) Kegiatan pemanfaatan ruang (6) Izin pemanfaatan ruang yang tidak yang tidak sesuai lagi akibat adanya sesuai lagi akibat adanya perubahan perubahan rencana tata ruang rencana tata ruang wilayah dapat wilayah dapat dibatalkan oleh dibatalkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Pusat dengan pemerintah daerah dengan memberikan memberikan ganti kerugian yang ganti kerugian yang layak. layak. (7) Setiap pejabat pemerintah yang (7) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin berwenang dilarang menerbitkan pemanfaatan ruang dilarang Persetujuan Kesesuaian Kegiatan menerbitkan izin yang tidak sesuai Pemanfaatan Ruang yang tidak dengan rencana tata ruang. sesuai dengan rencana tata ruang. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara prosedur perolehan persetujuan penggantian yang layak sebagaimana Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) Ruang dan tata cara pemberian ganti diatur dengan peraturan pemerintah. kerugian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 13. Ketentuan Umum Pasal 1 angka 14: Pasal 18 angka 1 Izin diganti menjadi Perizinan Rencana Zonasi adalah rencana yang Pasal 1 angka 14: Berusaha terkait Pemanfaatan menentukan arah penggunaan sumber Rencana Zonasi yang selanjutnya Laut. daya tiap-tiap satuan perencanaan disingkat RZ adalah rencana yang disertai dengan penetapan struktur dan menentukan arah penggunaan pola ruang pada Kawasan perencanaan sumber daya setiap satuan yang memuat kegiatan yang boleh perencanaan disertai dengan dilakukan dan tidak boleh dilakukan penetapan struktur dan pola ruang serta kegiatan yang hanya dapat pada Kawasan perencanaan yang dilakukan setelah memperoleh izin. memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Laut. Pasal 1 angka 18: Pasal 18 angka 1 Izin diganti menjadi Perizinan Izin Lokasi adalah izin yang diberikan Pasal 1 angka 18: Berusaha terkait Pemanfaatan untuk memanfaatkan ruang dari Dihapus. Laut sehingga ketentuan sebagian Perairan Pesisir yang mengenai izin dihapus dalam mencakup permukaan laut dan kolom RUU Ciptaker. air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau- pulau kecil. Pasal 1 angka 18A: Pasal 18 angka 1 Izin diganti menjadi Perizinan Izin Pengelolaan adalah izin yang Pasal 1 angka 18A: Berusaha terkait Pemanfaatan diberikan untuk melakukan kegiatan Dihapus. Laut sehingga ketentuan pemanfaatan sumber daya Perairan mengenai izin dihapus dalam Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil. RUU Ciptaker. 16. Izin Pasal 16: Pasal 18 angka 11 Izin Lokasi dan Izin Pasal 16: Pengelolaan terintegrasi (1) Setiap Orang yang melakukan (1) Pemanfaatan ruang dari Perairan menjadi Perizinan Berusaha pemanfaatan ruang dari sebagian Pesisir wajib sesuai dengan rencana terkait Pemanfaatan di Laut. Perairan Pesisir dan pemanfaatan tata ruang dan/atau rencana zonasi. sebagian pulau-pulau kecil secara (2) Setiap Orang yang melakukan menetap wajib memiliki Izin Lokasi. pemanfaatan ruang dari Perairan (2) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud Pesisir sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) menjadi dasar pemberian ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Izin Pengelolaan. Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut dari Pemerintah Pusat. - Pasal 18 angka 12 Sanksi administratif bagi Pasal 16A: pelaku usaha yang tidak Setiap Orang yang memanfaatkan memiliki Perizinan Berusaha ruang dari perairan yang tidak terkait pemanfaatan di laut. memiliki Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dikenai sanksi administratif. Pasal 17: Pasal 18 angka 13 Izin Lokasi menjadi Perizinan (1) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud Pasal 17: Berusaha terkait Pemanfaatan dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan (1) Pemberian Perizinan Berusaha di Laut. berdasarkan rencana zonasi wilayah terkait Pemanfaatan di Laut pesisir dan pulau-pulau kecil. sebagaimana dimaksud dalam Pasal Di RUU Ciptaker Pasal 17 (2) Pemberian Izin Lokasi sebagaimana 16 wajib mempertimbangkan ayat (2), hanya pada zona inti dimaksud pada ayat (1) wajib kelestarian Ekosistem perairan di Kawasan konservasi yang mempertimbangkan kelestarian pesisir, Masyarakat, nelayan tidak dapat diberikan Perizinan Ekosistem pesisir dan pulau-pulau tradisional, kepentingan nasional, Berusaha. kecil, Masyarakat, nelayan tradisional, dan hak lintas damai bagi kapal kepentingan nasional, dan hak lintas asing. damai bagi kapal asing. (2) Perizinan Berusaha terkait (3) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud Pemanfaatan di Laut tidak dapat pada ayat (1) diberikan dalam luasan diberikan pada zona inti di kawasan dan waktu tertentu. konservasi. (4) Izin Lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum. - Pasal 18 angka 14 Pemerintah Pusat dapat Pasal 17A: memberikan Perizinan (1) Dalam hal terdapat kebijakan Berusaha terkait Pemanfaatan nasional yang bersifat strategis yang di Laut terhadap kebijakan belum terdapat dalam alokasi ruang nasional yang bersifat strategis dan/atau pola ruang dalam rencana yang belum terdapat dalam tata ruang dan/atau rencana zonasi, alokasi ruang dan/atau pola Perizinan Berusaha terkait ruang dalam rencana tata Pemanfaatan di Laut sebagaimana ruang dan/atau rencana zonasi dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau kebijakan nasional yang diberikan oleh Pemerintah Pusat bersifat strategis tetapi rencana berdasarkan rencana tata ruang tata ruang dan/atau rencana wilayah nasional dan/atau rencana zonasi belum ditetapkan oleh tata ruang laut. Pemerintah atau Pemerintah (2) Dalam hal terdapat kebijakan Daerah. nasional yang bersifat strategis tetapi rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi belum ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional dan/atau rencana tata ruang laut. (3) Dalam hal terdapat perubahan ketentuan peraturan perundangan- undangan yang menjadi acuan dalam penetapan lokasi untuk kebijakan nasional yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), lokasi untuk kebijakan nasional yang bersifat strategis tersebut dalam rencana tata ruang laut dan/atau rencana zonasi dilaksanakan sesuai dengan perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 18: Pasal 18 angka 15 Izin Lokasi menjadi Perizinan Dalam hal pemegang Izin Lokasi Pasal 18: Berusaha terkait Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Dalam hal pemegang Perizinan di Laut. ayat (1) tidak merealisasikan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut kegiatannya dalam jangka waktu paling sebagaimana dimaksud dalam Pasal lama 2 (dua) tahun sejak izin 16 ayat (2) tidak merealisasikan diterbitkan, dikenai sanksi administratif kegiatannya dalam jangka waktu berupa pencabutan Izin Lokasi. paling lama 2 (dua) tahun sejak Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut diterbitkan, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan berusahanya. Pasal 19: Pasal 18 angka 16 Izin Pengelolaan diubah (1) Setiap Orang yang melakukan Pasal 19: menjadi Perizinan Berusaha. pemanfaatan sumber daya Perairan (1) Setiap Orang yang melakukan Pesisir dan perairan pulaupulau kecil pemanfaatan sumber daya Perairan untuk kegiatan: Pesisir dan perairan pulau-pulau a. produksi garam; kecil untuk kegiatan: b. biofarmakologi laut; a. produksi garam; c. bioteknologi laut; b. biofarmakologi laut; d. pemanfaatan air laut selain energi; c. bioteknologi laut; e. wisata bahari; d. pemanfaatan air laut selain energi; f. pemasangan pipa dan kabel bawah e. wisata bahari; laut; dan/atau f. pemasangan pipa dan kabel bawah g. pengangkatan benda muatan kapal laut; dan/atau tenggelam, wajib memiliki Izin g. pengangkatan benda muatan kapal Pengelolaan. tenggelam, wajib memiliki Perizinan (2) Izin Pengelolaan untuk kegiatan Berusaha. selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Perizinan Berusaha untuk (1) diberikan sesuai dengan ketentuan kegiatan selain sebagaimana peraturan perundang-undangan. dimaksud pada ayat (1) diberikan (3) Dalam hal terdapat kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan pemanfaatan sumber daya Perairan perundang-undangan. Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil (3) Dalam hal terdapat kegiatan yang belum diatur berdasarkan pemanfaatan sumber daya Perairan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pesisir dan perairan pulau-pulau ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan kecil yang belum diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah. ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 20: Pasal 18 angka 17 Kewenangan Pemerintah (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah Pasal 20: Daerah menjadi kewenangan wajib memfasilitasi pemberian Izin (1) Pemerintah Pusat wajib Pemerintah Pusat. Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada memfasilitasi Perizinan Berusaha Masyarakat Lokal dan Masyarakat terkait Pemanfaatan di Laut kepada Pada ayat (2), pemanfaatan Tradisional. Masyarakat Lokal dan Masyarakat ruang dan perairan pulau- (2) Izin sebagaimana dimaksud pada Tradisional. pulau kecil dihapuskan. ayat (1) diberikan kepada Masyarakat (2) Perizinan Berusaha sebagaimana Lokal dan Masyarakat Tradisional, dimaksud pada ayat (1) diberikan yang melakukan pemanfaatan ruang dan kepada Masyarakat Lokal dan sumber daya Perairan Pesisir dan Masyarakat Tradisional, yang perairan pulau-pulau kecil, untuk melakukan pemanfaatan sumber pemenuhan kebutuhan hidup sehari- daya perairan pesisir, untuk hari. pemenuhan kebutuhan hidup sehari- hari. Pasal 22: Pasal 18 angka 18 Yang dikecualikan untuk (1) Kewajiban memiliki izin Pasal 22: memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 (1) Kewajiban memenuhi Perizinan terkait Pemanfaatan di Laut ayat (1) dan Pasal 19 ayat (1) Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut hanya masyarakat adat di dikecualikan bagi Masyarakat Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal wilayah Kelola masyarakat Adat. 16 ayat (1) dikecualikan bagi hukum adat. (2) Masyarakat Hukum Adat Masyarakat Hukum Adat di wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kelola Masyarakat Hukum Adat. ditetapkan pengakuannya sesuai dengan (2) Masyarakat Hukum Adat ketentuan peraturan perundang- sebagaimana dimaksud pada ayat (1) undangan. ditetapkan pengakuannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 22A: Pasal 18 angka 19 RUU Ciptaker mengizinkan Izin Lokasi sebagaimana dimaksud Pasal 22A: masyarakat local untuk dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin (1) Perizinan Berusaha sebagaimana memiliki Perizinan Berusaha. Pengelolaan sebagaimana dimaksud dimaksud dalam Pasal 16 diberikan dalam Pasal 19 ayat (1) diberikan kepada: Untuk pemanfaatan ruang kepada: a. orang perseorangan warga negara peariran pesisir oleh instansi a. orang perseorangan warga negara Indonesia; pemerintah yang tidak Indonesia; b. korporasi yang didirikan termasuk dalam kebijakan b. korporasi yang didirikan berdasarkan berdasarkan hukum Indonesia; nasional yang bersifat strategis hukum Indonesia; atau c. koperasi yang dibentuk oleh diberikan dalam bentuk c. koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat; atau konfirmasi kesesuaian ruang Masyarakat. d. Masyarakat Lokal. laut. (2) Pemanfaatan ruang perairan pesisir yang dilakukan oleh instansi pemerintah dan tidak termasuk dalam kebijakan nasional yang bersifat strategis diberikan dalam bentuk konfirmasi kesesuaian ruang laut. Pasal 22B: Pasal 18 angka 20 Untuk dapat melaukan Orang perseorangan warga Negara Pasal 22B: pemanfaatan laut wajib Indonesia atau korporasi yang didirikan Orang perseorangan warga Negara terlebih dahulu memenuhi berdasarkan hukum Indonesia dan Indonesia atau korporasi yang Perizinan Berusaha. koperasi yang dibentuk oleh didirikan berdasarkan hukum Masyarakat yang mengajukan Izin Indonesia dan koperasi yang Pengelolaan harus memenuhi syarat dibentuk oleh Masyarakat yang teknis, administratif, dan operasional. mengajukan pemanfaatan laut wajib memenuhi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di laut dari Pemerintah Pusat. Pasal 22C: Pasal 18 angka 21 Akan ada aturan lebih lanjut Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, Pasal 22C: mengenai Perizinan Berusaha tata cara pemberian, pencabutan, jangka Ketentuan lebih lanjut mengenai terkait Pemanfaatan di laut. waktu, luasan, dan berakhirnya Izin Perizinan Berusaha terkait Lokasi dan Izin Pengelolaan diatur Pemanfaatan di laut diatur dengan dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah. Pasal 26A: Pasal 18 angka 22 Untuk penanaman modal asing (1) Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan Pasal 26A: harus memenuhi Perizinan pemanfaatan perairan di sekitarnya Dalam rangka penanaman modal Berusaha dari Pemerintah dalam rangka penanaman modal asing asing, pemanfaatan pulau-pulau kecil Pusat. harus mendapat izin Menteri. dan pemanfaatan perairan di (2) Penanaman modal asing sekitarnya harus memenuhi Perizinan RUU Ciptaker tidak mengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Berusaha dari Pemerintah Pusat dan secara spesifik mengenai harus mengutamakan kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan persyaratan penanaman modal nasional. perundang-undangan di bidang asing. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada penanaman modal. ayat (1) diberikan setelah mendapat Belum tahu apa saja yang rekomendasi dari bupati/wali kota. harus dipenuhi terkait (4) Izin sebagaimana dimaksud pada Perizinan Berusaha. ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas; b. menjamin akses publik; c. tidak berpenduduk; d. belum ada pemanfaatan oleh Masyarakat Lokal; e. bekerja sama dengan peserta Indonesia; f. melakukan pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia; g. melakukan alih teknologi; dan h. memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan saham dan luasan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f dan huruf h diatur dengan Peraturan Presiden. - Pasal 18 angka 23 Akan ada sanksi administratif Pasal 26B: bagi Setiap Orang yang tidak Setiap Orang yang tidak memiliki memiliki Perizinan Berusaha Perizinan Berusaha dalam dalam memanfaatkan pulau- memanfaatkan pulau-pulau kecil dan pulau kecil dan pemanfaatan pemanfaatan perairan disekitarnya perairan disekitarnya dalam dalam rangka penanaman modal rangka penanaman modal asing sebagaimana dimaksud dalam asing. Pasal 26A ayat (1) dikenai sanksi administratif. Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan 29. Pengelolaan Ruang Pasal 42: Pasal 19 angka 3 Pengelolaan ruang laut juga Laut (1) Pengelolaan ruang Laut dilakukan Pasal 42: meliputi Pengendalian ruang untuk: (1) Pengelolaan ruang laut dilakukan laut merupakan bagian integral a. melindungi sumber daya dan untuk: dari pengelolaan tata ruang. lingkungan dengan berdasar pada daya a. melindungi sumber daya dan dukung lingkungan dan kearifan lokal; lingkungan dengan berdasar pada b. memanfaatkan potensi sumber daya daya dukung lingkungan dan dan/atau kegiatan di wilayah Laut yang kearifan lokal; berskala nasional dan internasional; dan b. memanfaatkan potensi sumber c. mengembangkan kawasan potensial daya dan/atau kegiatan di wilayah menjadi pusat kegiatan produksi, Laut yang berskala nasional dan distribusi, dan jasa. internasional; dan (2) Pengelolaan ruang Laut meliputi c. mengembangkan kawasan perencanaan, pemanfaatan, potensial menjadi pusat kegiatan pengawasan, dan pengendalian. produksi, distribusi, dan jasa. (3) Pengelolaan ruang Laut (2) Pengelolaan ruang laut meliputi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perencanaan, pemanfaatan, dilaksanakan dengan berdasarkan pengawasan, dan pengendalian ruang karakteristik Negara Kesatuan Republik laut yang merupakan bagian integral Indonesia sebagai negara kepulauan dan dari pengelolaan tata ruang. mempertimbangkan potensi sumber (3) Pengelolaan ruang laut daya dan lingkungan Kelautan. sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan berdasarkan karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan dan mempertimbangkan potensi sumberdaya dan lingkungan Kelautan. Pasal 43: Pasal 19 angka 4 RUU Ciptaker (1) Perencanaan ruang Laut Pasal 43: mengintegrasikan rencana tata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 (1) Perencanaan ruang laut laut nasional ke dalam ayat (2) meliputi: sebagaimana dimaksud dalam Pasal perencanaan tata ruang a. perencanaan tata ruang Laut nasional; 42 ayat (2) meliputi: wilayah nasional. b. perencanaan zonasi wilayah pesisir a. perencanaan tata ruang laut dan pulau-pulau kecil; dan nasional; Rencana zonasi Kawasan c. perencanaan zonasi kawasan Laut. b. perencanaan zonasi wilayah strategis jug adiintegrasikan ke (2) Perencanaan tata ruang Laut pesisir dan pulau-pulau kecil; dan dalam rencana tata ruang nasional sebagaimana dimaksud pada c. perencanaan zonasi kawasan laut. Kawasan strategis nasional. ayat (1) huruf a merupakan proses (2) Perencanaan tata ruang laut perencanaan untuk menghasilkan nasional sebagaimana dimaksud pada rencana tata ruang Laut nasional. ayat (1) huruf a merupakan proses (3) Perencanaan zonasi wilayah pesisir perencanaan untuk menghasilkan dan pulau-pulau kecil sebagaimana rencana tata ruang laut nasional yang dimaksud pada ayat (1) huruf b diintegrasikan ke dalam perencanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan tata ruang wilayah nasional. peraturan perundang-undangan. (3) Perencanaan zonasi wilayah (4) Perencanaan zonasi kawasan Laut pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan perencanaan untuk huruf b dilaksanakan sesuai dengan menghasilkan rencana zonasi kawasan ketentuan peraturan perundang- strategis nasional, rencana zonasi undangan. kawasan strategis nasional tertentu, dan (4) Perencanaan zonasi kawasan laut rencana zonasi kawasan antarwilayah. sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai huruf c merupakan perencanaan perencanaan ruang Laut sebagaimana untuk menghasilkan rencana zonasi dimaksud pada ayat (1) diatur dengan kawasan strategis nasional, rencana Peraturan Pemerintah. zonasi kawasan strategis nasional tertentu, dan rencana zonasi kawasan antarwilayah. (5) Rencana zonasi kawasan strategis nasional diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang kawasan strategis nasional. (6) Dalam hal perencanaan tata ruang laut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sudah ditetapkan, pengintegrasian dilakukan pada saat peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. (7) Dalam hal rencana zonasi kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sudah ditetapkan, pengintegrasian dilakukan pada saat peninjauan kembali rencana tata ruang kawasan strategis nasional. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. - Pasal 19 angka 5 RUU Ciptaker melakukan Pasal 43A: pengintegrasian untuk (1) Perencanaan ruang laut menghindari terjadinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal tumpang tindih pengaturan. 43 ayat (1) dilakukan secara berjenjang dan komplementer. (2) Penyusunan perencanaan ruang laut yang dilakukan secara berjenjang dan komplementer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan proses penyusunan antara: a. rencana tata ruang laut; b. RZ KAW, RZ KSN, dan RZ KSNT; dan c. RZ WP-3-K. (3) Perencanaan ruang laut secara berjenjang dilakukan dengan cara rencana tata ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dijadikan acuan dalam penyusunan RZ KAW, RZ KSN, RZ KSNT, dan RZ WP-3-K. (4) RZ KAW, RZ KSN dan RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b menjadi acuan bagi penyusunan RZ WP-3-K. (5) Perencanaan ruang laut secara komplementer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penataan Rencana Tata Ruang Laut, RZ KAW, RZKSN, RZ KSNT, dan RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun saling melengkapi satu sama lain dan bersinergi sehingga tidak terjadi tumpang tindih pengaturan. Pasal 47: Pasal 19 angka 6 Izin Lokasi menjadi Perizinan (1) Setiap orang yang melakukan Pasal 47: Berusaha terkait Pemanfaatan pemanfaatan ruang Laut secara menetap (1) Setiap orang yang melakukan di Laut. di wilayah perairan dan wilayah pemanfaatan ruang Laut secara yurisdiksi wajib memiliki izin lokasi. menetap di wilayah perairan dan Bagi masyarakat yang (2) Izin lokasi yang berada di wilayah wilayah yurisdiksi wajib memiliki melakukan pemanfaatan di pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan Perizinan Berusaha terkait laut untuk kebutuhan sehari- sesuai dengan ketentuan peraturan Pemanfaatan di Laut. hari tidak diperlukan Perizinan perundang-undangan. (2) Ketentuan sebagamana dimaksud Berusaha terkait Pemanfaatan (3) Setiap orang yang melakukan pada ayat (1) dikecualikan bagi di Laut. pemanfaatan ruang Laut secara menetap masyarakat yang melakukan di wilayah perairan dan wilayah pemanfaatan di Laut untuk Sanksi administratif dalam yurisdiksi yang tidak sesuai dengan izin memenuhi kebutuhan sehari-hari. RUU Ciptaker (Pasal 177) yang diberikan dikenai sanksi (3) Perizinan Berusaha terkait dapat berupa: administratif berupa: Pemanfaatan di Laut dilakukan a. peringatan; a. peringatan tertulis; sesuai dengan ketentuan peraturan b. penghentian sementara b. penghentian sementara kegiatan; perundang-undangan. kegiatan berusaha; c. penutupan lokasi; (4) Setiap orang yang melakukan c. pengenaan denda d. pencabutan izin; pemanfaatan ruang Laut secara administratif; e. pembatalan izin; dan/atau menetap di wilayah perairan dan d. pengenaan daya paksa f. denda administratif. wilayah yurisdiksi yang tidak sesuai polisional; (4) Ketentuan mengenai izin lokasi di dengan Perizinan Berusaha terkait e. pencabutan Laut yang berada di wilayah perairan Pemanfaatan di Laut yang diberikan Lisensi/Sertifikasi/Persetujuan; dan wilayah yurisdiksi sebagaimana dikenai sanksi administratif. dan/atau dimaksud pada ayat (1) dan tata cara (5) Ketentuan mengenai Perizinan f. pencabutan Perizinan pengenaan sanksi administratif Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut Berusaha. sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berada di wilayah perairan dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. wilayah yurisdiksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. - Pasal 19 angka 7 RUU Ciptaker menyebut Pasal 47A: secara rinci kegiatan apa saja (1) Perizinan Berusaha Pemanfaatan yang diizinkan dalam di Laut sebagaimana dimaksud Pemanfaatan di Laut. dalam Pasal 47 diberikan berdasarkan rencana tata ruang Pada ayat (2) huruf r dan/atau rencana zonasi. disebutkan kegiatan (2) Perizinan Berusaha Pemanfaatan pemanfaatan ruang laut di Laut sebagaimana dimaksud pada lainnya. Tidak disebut secara ayat (1) diberikan untuk kegiatan: spesifik apa saja yang a. biofarmakologi laut; termasuk atau tidak termasuk. b. bioteknologi laut; c. pemanfaatan air laut selain energi; d. wisata bahari; e. pengangkatan benda muatan kapal tenggelam f. telekomunikasi; g. instalasi ketenagalistrikan; h. perikanan; i. perhubungan; j. kegiatan usaha minyak dan gas bumi; k. kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara; l. pengumpulan data dan penelitian; m. pertahanan dan keamanan; n. penyediaan sumber daya air; o. pulau buatan; p. dumping; q. mitigasi bencana; dan r. kegiatan pemanfaatan ruang laut lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 48: Pasal 19 angka 8 Dalam RUU Ciptaker bukan Setiap orang yang melakukan Pasal 48: Pemanfaatan ruang Laut pemanfaatan ruang Laut sesuai dengan Setiap orang yang melakukan melainkan Pemanfaatan rencana zonasi dapat diberi insentif pemanfaatan sumber daya kelautan sumber daya kelautan. sesuai dengan ketentuan peraturan sesuai dengan rencana tata ruang perundang-undangan. dan/atau rencana zonasi dapat diberi insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 49: Pasal 19 angka 9 Izin lokasi diganti dengan Setiap orang yang melakukan Pasal 49: Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan ruang Laut secara menetap Setiap orang yang melakukan Pemanfaatan di Laut. yang tidak memiliki izin lokasi pemanfaatan ruang Laut secara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 menetap yang tidak memiliki ayat (1) dipidana dengan pidana penjara Perizinan Berusaha terkait paling lama 6 (enam) tahun dan pidana Pemanfaatan di Laut sebagaimana denda paling banyak dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar dikenai sanksi administratif. rupiah). - Pasal 19 angka 10 Ketentuan sanksi administratif. Pasal 49A: (1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penutupan lokasi; d. pembongkaran bangunan; dan/atau e. denda administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 49B: RUU Ciptaker memberi Setiap orang yang melakukan hukuman pidana bagi orang pemanfaatan ruang Laut secara yang melakukan pemanfaatan menetap yang tidak memiliki ruang Laut secara menetap Perizinan Berusaha terkait yang tidak memiliki Perizinan Pemanfaatan Di Laut sebagaimana Berusaha terkait Pemanfaatan dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) Di Laut sebagaimana yang mengakibatkan perubahan dimaksud dalam Pasal 47 ayat fungsi ruang, dipidana dengan pidana (1) yang mengakibatkan penjara paling lama 6 (enam) tahun perubahan fungsi ruang, dan pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial 38. Penyelenggaraan Pasal 28: Pasal 20 angka 8 Izin diubah menjadi Informasi (1) Pengumpulan DG harus Pasal 28: persetujuan dari Pemerintah Geospasial memperoleh izin apabila: (1) Pengumpulan Data Geospasial Pusat. a. dilakukan di daerah terlarang; harus memperoleh persetujuan dari b. berpotensi menimbulkan bahaya; Pemerintah Pusat apabila: RUU Ciptaker atau a. dilakukan di daerah terlarang; memperbolehkan c. menggunakan wahana milik asing b. berpotensi menimbulkan bahaya; menggunakan tenaga asing selain satelit. atau dalam pengumpulan data (2) Izin sebagaimana dimaksud pada c. menggunakan tenaga asing dan geospasial tapi dengan ayat (1) dimaksudkan untuk menjamin wahana milik asing selain satelit. persetujuan Pemerintah Pusat keselamatan dan keamanan bagi (2) Persetujuan sebagaimana terlebih dahulu. pengumpul data dan bagi masyarakat. dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata untuk menjamin keselamatan dan cara memperoleh izin sebagaimana keamanan bagi pengumpul data dan dimaksud pada ayat (1) diatur dengan bagi masyarakat. Peraturan Pemerintah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 55: Pasal 20 angka 9 Akan ada ketentuan lebih (1) Pelaksanaan IG sebagaimana Pasal 55: lanjut terkait pelaksanaan IG dimaksud dalam Pasal 54 yang (1) Pelaksanaan IG sebagaimana oleh orang perseorangan, dilakukan oleh orang perseorangan dimaksud dalam Pasal 54 yang kelompok orang dan badan wajib memenuhi kualifikasi kompetensi dilakukan oleh: usaha. yang dikeluarkan oleh lembaga yang a. orang perseorangan wajib berwenang sesuai dengan ketentuan memenuhi kualifikasi sebagai tenaga peraturan perundang-undangan. profesional yang tersertifikasi di (2) Pelaksanaan IG yang dilakukan oleh bidang IG; kelompok orang wajib memenuhi b. kelompok orang wajib memenuhi kualifikasi sebagai kelompok yang klasifikasi dan kualifikasi sebagai bergerak di bidang IG sesuai dengan penyedia jasa di bidang IG serta ketentuan peraturan perundang- memiliki tenaga profesional yang undangan. tersertifikasi di bidang IG; atau c. badan usaha wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan IG yang dilaksanakan oleh orang perseorangan, kelompok orang, dan badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 56: Pasal 20 angka 10 Ketentuan mengenai (1) Pelaksanaan IG yang dilakukan oleh Pasal 56: persyaratan pelaksanaan IG badan usaha wajib memenuhi: Dihapus. oleh badan usaha dihapuskan a. persyaratan administratif; dan di RUU Ciptaker. b. persyaratan teknis. (2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit meliputi: a. akte pendirian badan hukum Indonesia; dan b. izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. memiliki sertifikat yang memenuhi klasifikasi dan kualifikasi sebagai penyedia jasa di bidang IG; dan b. memiliki tenaga profesional yang tersertifikasi di bidang IG. (4) Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan oleh lembaga independen yang telah mendapat akreditasi dari Badan. (5) Sertifikat tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diterbitkan oleh lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan Peraturan Kepala Badan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Kepala Badan. Persetujuan Lingkungan Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 41. Ketentuan Umum Pasal 1 angka 12: Pasal 22 angka 1 Perubahan definisi UKL-UPL. Upaya pengelolaan lingkungan hidup Pasal 1 angka 12: dan upaya pemantauan lingkungan Upaya pengelolaan lingkungan hidup hidup, yang selanjutnya disebut UKL- dan upaya pemantauan lingkungan UPL, adalah pengelolaan dan hidup yang selanjutnya disebut UKL- pemantauan terhadap usaha dan/atau UPL adalah rangkaian proses kegiatan yang tidak berdampak penting pengelolaan dan pemantauan terhadap lingkungan hidup yang lingkungan hidup yang dituangkan diperlukan bagi proses pengambilan dalam bentuk standar untuk keputusan tentang penyelenggaraan digunakan sebagai prasyarat usaha dan/atau kegiatan. pengambilan keputusan serta termuat dalam Perizinan Berusaha atau persetujuan pemerintah. Pasal 1 angka 35: Pasal 1 angka 35: Perubahan izin lingkungan Izin lingkungan adalah izin yang Persetujuan Lingkungan adalah menjadi persetujuan diberikan kepada setiap orang yang Keputusan Kelayakan Lingkungan lingkungan. melakukan usaha dan/atau kegiatan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan yang wajib amdal atau UKL-UPL Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dalam rangka perlindungan dan telah mendapatkan persetujuan dari pengelolaan lingkungan hidup sebagai Pemerintah Pusat. prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. 43. Amdal Pasal 24: Pasal 22 angka 3 Dokumen Amdal dalam RUU Dokumen amdal sebagaimana Pasal 24: Cipta Kerja merupakan dasar dimaksud dalam Pasal 22 merupakan (1) Dokumen Amdal merupakan uji kelayakan lingkungan dasar penetapan keputusan kelayakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup hidup. lingkungan hidup. untuk rencana usaha dan/atau kegiatan. Uji kelayakan lingkungan (2) Uji Kelayakan lingkungan hidup hidup dilakukan untuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengeluarkan Keputusan dilakukan oleh tim uji kelayakan Kelayakan Lingkungan Hidup yang dibentuk oleh Lembaga Uji yang merupakan syarat Kelayakan Pemerintah Pusat. terbitnya Perizinan Berusaha. (3) Tim Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas Ketentuan mengenai tata unsur Pemerinta Pusat, Pemerintah laksana uji kelayakan akan Daerah, dan ahli bersertifikat. diatur lebih lanjut dengan (4) Pemerintah Pusat atau Peraturan Pemerintah. Pemerintah Daerah menetapkan Keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil kelayakan lingkungan hidup. (5) Keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sebagai persyaratan penerbitan Perizinan Berusaha atau Persetujuan pemerintah. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana uji kelayakan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 25: Pasal 22 angka 4 RUU Cipta Kerja Dokumen amdal memuat: Pasal 25: menyebutkan secara spesifik a. pengkajian mengenai dampak Dokumen Amdal memuat: masyarakat yang memberi rencana usaha dan/atau kegiatan; a. pengkajian mengenai dampak saran masukan dan tanggapan b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan; adalah yang terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi langsung dan relevan. c. saran masukan serta tanggapan rencana usaha dan/atau kegiatan; masyarakat terhadap rencana usaha c. saran masukan serta tanggapan dan/atau kegiatan; masyarakat terkena dampak langsung d. prakiraan terhadap besaran dampak yang relevan terhadap rencana usaha serta sifat penting dampak yang terjadi dan/atau kegiatan; jika rencana usaha dan/atau kegiatan d. prakiraan terhadap besaran tersebut dilaksanakan; dampak serta sifat penting dampak e. evaluasi secara holistik terhadap yang terjadi jika rencana usaha dampak yang terjadi untuk menentukan dan/atau kegiatan tersebut kelayakan atau ketidaklayakan dilaksanakan; lingkungan hidup; dan e. evaluasi secara holistik terhadap f. rencana pengelolaan dan pemantauan dampak yang terjadi untuk lingkungan hidup. menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan f. rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. Pasal 26: Pasal 22 angka 5 Yang dilibatkan dalam (1) Dokumen amdal sebagaimana Pasal 26: penyusunan Amdal hanya dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh (1) Dokumen Amdal sebagaimana masyarakat yang terkena pemrakarsa dengan melibatkan dimaksud dalam Pasal 22 disusun dampak langsung. Pemerhati masyarakat. oleh pemrakarsa dengan melibatkan lingkungan hidup tidak (2) Pelibatan masyarakat harus masyarakat. disebutkan dalam RUU dilakukan berdasarkan prinsip (2) Penyusunan dokumen Amdal Ciptaker. pemberian informasi yang transparan dilakukan dengan melibatkan dan lengkap serta diberitahukan masyarakat yang terkena dampak Pasal 26 ayat (4) juga tidak sebelum kegiatan dilaksanakan. langsung terhadap rencana usaha terdapat di RUU Ciptaker (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dan/atau kegiatan. yaitu mengenai pengajuan pada ayat (1) meliputi: (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keberatan terhadap dokumen a. yang terkena dampak; proses pelibatan masyarakat Amdal. b. pemerhati lingkungan hidup; sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun akan ada peraturan c. yang terpengaruh atas segala bentuk lebih lanjut terkait pelibatan keputusan dalam proses amdal. masyarakat dalam penyusunan (4) Masyarakat sebagaimana dimaksud Amdal. pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal. Pasal 27: Pasal 22 angka 6 Dalam RUU Ciptaker, Dalam menyusun dokumen amdal, Pasal 27: pemrakarsa dapat diganti pemrakarsa sebagaimana dimaksud Dalam menyusun dokumen Amdal, dengan pihak lain, sementara dalam Pasal 26 ayat (1) dapat meminta pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam UU PPLH pemrakarsa bantuan kepada pihak lain. dalam Pasal 26 ayat (1) dapat hanya dapat dibantu oleh pihak menunjuk pihak lain. lain bukan menunjuk pihak lain. Pasal 28: Pasal 22 angka 7 RUU Ciptaker akan mengatur (1) Penyusun amdal sebagaimana Pasal 28: lebih lanjut mengenai dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan (1) Penyusun Amdal sebagaimana sertifikasi dan kriteria Pasal 27 wajib memiliki sertifikat dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) kompetensi penyusun Amdal kompetensi penyusun amdal. dan Pasal 27 wajib memiliki dalam Peraturan Pemerintah. (2) Kriteria untuk memperoleh sertifikat sertifikat kompetensi penyusun kompetensi penyusun amdal Amdal. sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai meliputi: sertifikasi dan kriteria kompetensi a. penguasaan metodologi penyusunan penyusun Amdal diatur dengan amdal; Peraturan Pemerintah. b. kemampuan melakukan pelingkupan, prakiraan, dan evaluasi dampak serta pengambilan keputusan; dan c. kemampuan menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. (3) Sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi penyusun amdal yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria kompetensi penyusun amdal diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 29: Pasal 22 angka 8 Ketentuan mengenai Komisi (1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Pasal 29: Penilai Amdal dihapus di RUU Penilai Amdal yang dibentuk oleh Dihapus. Ciptaker. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Persyaratan dan tatacara lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 30: Pasal 22 angka 9 Ketentuan mengenai Komisi (1) Keanggotaan Komisi Penilai Amdal Pasal 30: Penilai Amdal dihapus di RUU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Dihapus. Ciptaker. terdiri atas wakil dari unsur: a. instansi lingkungan hidup; b. instansi teknis terkait; c. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; d. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; e. wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan f. organisasi lingkungan hidup. (2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas pakar independen yang melakukan kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk untuk itu. (3) Pakar independen dan sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 31: Pasal 22 angka 10 Ketentuan mengenai Komisi Berdasarkan hasil penilaian Komisi Pasal 31: Penilai Amdal dihapus di RUU Penilai Amdal, Menteri, gubernur, atau Dihapus. Ciptaker. bupati/walikota menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya. Pasal 32: Pasal 22 angka 11 Golongan ekonomi lemah (1) Pemerintah dan pemerintah daerah Pasal 32: diganti menjadi Usaha Mikro membantu penyusunan amdal bagi (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah dan Kecil. usaha dan/atau kegiatan golongan Daerah membantu penyusunan ekonomi lemah yang berdampak Amdal bagi usaha dan/atau kegiatan penting terhadap lingkungan hidup. Usaha Mikro dan Kecil yang (2) Bantuan penyusunan amdal berdampak penting terhadap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lingkungan hidup. berupa fasilitasi, biaya, dan/atau (2) Bantuan penyusunan Amdal penyusunan amdal. sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (3) Kriteria mengenai usaha dan/atau berupa fasilitasi, biaya, dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah penyusunan Amdal. diatur dengan peraturan perundang- (3) Penentuan mengenai usaha undangan. dan/atau kegiatan Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 52. Perizinan Pasal 36: Pasal 22 angka 14 Dikarenakan izin lingkungan (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang Pasal 36: diubah menjadi persetujuan wajib memiliki amdal atau UKL-UPL Dihapus. lingkungan maka ketentuan wajib memiliki izin lingkungan. mengenai izin lingkungan (2) Izin lingkungan sebagaimana dihapus. dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL. (3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL. (4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 37: Pasal 22 angka 15 Dalam RUU Ciptaker tidak (1) Menteri, gubernur, atau Pasal 37: terdapat ketentuan mengenai bupati/walikota sesuai dengan Perizinan Berusaha dapat dibatalkan penolakan izin sebagaimana kewenangannya wajib menolak apabila: dalam Pasal 37 ayat (1) UU permohonan izin lingkungan apabila a. persyaratan yang diajukan dalam PPLH. permohonan izin tidak dilengkapi permohonan Perizinan Berusaha dengan amdal atau UKL-UPL. mengandung cacat hukum, (2) Izin lingkungan sebagaimana kekeliruan, penyalahgunaan, serta dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat ketidakbenaran dan/atau pemalsuan dibatalkan apabila: data, dokumen, dan/atau informasi; a. persyaratan yang diajukan dalam b. penerbitannya tanpa memenuhi permohonan izin mengandung cacat syarat sebagaimana tercantum dalam hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, keputusan kelayakan lingkungan serta ketidakbenaran dan/atau hidup atau pernyataan kesanggupan pemalsuan data, dokumen, dan/atau pengelolaan lingkungan hidup; atau informasi; c. kewajiban yang ditetapkan dalam b. penerbitannya tanpa memenuhi dokumen Amdal atau UKL-UPL syarat sebagaimana tercantum dalam tidak dilaksanakan oleh penanggung keputusan komisi tentang kelayakan jawab usaha dan/atau kegiatan. lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; atau c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Pasal 38: Pasal 22 angka 16 RUU Ciptaker menghapus Selain ketentuan sebagaimana Pasal 38: ketentuan mengenai dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin Dihapus. pembatalan izin melalui lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan PTUN. keputusan pengadilan tata usaha negara. Pasal 39: Pasal 22 angka 17 Keputusan kelayakan (1) Menteri, gubernur, atau Pasal 39: lingkungan hidup tetap bupati/walikota sesuai dengan (1) Keputusan kelayakan lingkungan diumumkan kepada kewenangannya wajib mengumumkan hidup diumumkan kepada masyarakat. Namun cara setiap permohonan dan keputusan izin masyarakat. pengumumannya berbeda. lingkungan. (2) Pengumuman sebagaimana Dalam RUU Ciptaker (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengumuman dilakukan dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem elektronik dan atau melalui sistem elektronik dan dengan cara yang mudah diketahui oleh cara lain yang ditetapkan oleh atau cara lain. masyarakat. Pemerintah Pusat. Tidak ada kejelasan lanjutan mengenai cara lain yang ditetapkan oleh pemerintah. Pasal 40: Pasal 22 angka 18 Dikarenakan izin lingkungan (1) Izin lingkungan merupakan Pasal 40: diubah menjadi persetujuan persyaratan untuk memperoleh izin Dihapus. lingkungan maka ketentuan usaha dan/atau kegiatan. mengenai izin lingkungan (2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, dihapus. izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. (3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan. Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi Perubahan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung 57. Persyaratan Pasal 7: Pasal 24 angka 4 Persyaratan administratif dan Bangunan Gedung (1) Setiap bangunan gedung harus Pasal 7: persyaratan teknis memenuhi persyaratan administratif dan (1) Setiap bangunan gedung harus diintegrasikan menjadi standar persyaratan teknis sesuai dengan fungsi memenuhi standar teknis bangunan teknis bangunan Gedung. bangunan gedung. gedung sesuai dengan fungsi dan (2) Persyaratan administratif bangunan klasifikasi bangunan gedung. Ketentuan lebih lanjut gedung sebagaimana dimaksud dalam (2) Penggunaan ruang di atas mengenai standar teknis akan ayat (1) meliputi persyaratan status hak dan/atau di bawah tanah dan/atau air diatur dengan Peraturan atas tanah, status kepemilikan bangunan untuk bangunan gedung harus sesuai Pemerintah. gedung, dan izin mendirikan bangunan. dengan ketentuan peraturan (3) Persyaratan teknis bangunan gedung perundang-undangan. sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (3) Dalam hal bangunan gedung meliputi persyaratan tata bangunan dan merupakan bangunan gedung adat persyaratan keandalan bangunan dan cagar budaya, bangunan gedung gedung. mengikuti ketentuan khusus sesuai (4) Penggunaan ruang di atas dan/atau dengan ketentuan peraturan di bawah tanah dan/atau air untuk perundang-undangan. bangunan gedung harus memiliki izin (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sesuai ketentuan yang standar teknis sebagaimana berlaku. dimaksud pada ayat (1) diatur (5) Persyaratan administratif dan teknis dengan Peraturan Pemerintah. untuk bangunan gedung adat, bangunan gedung semi permanen, bangunan gedung darurat, dan bangunan gedung yang dibangun pada daerah lokasi bencana ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sesuai kondisi sosial dan budaya setempat. 58. Persyaratan Pasal 8: Pasal 24 angka 5 Ketentuan mengenai Administratif (1) Setiap bangunan gedung harus Pasal 8: persyaratan administratif Bangunan Gedung memenuhi persyaratan administratif Dihapus. dihapus. yang meliputi: a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah; b. status kepemilikan bangunan gedung; dan c. izin mendirikan bangunan gedung sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. (2) Setiap orang atau badan hukum dapat memiliki bangunan gedung atau bagian bangunan gedung. (3) Pemerintah Daerah wajib mendata bangunan gedung untuk keperluan tertib pembangunan dan pemanfaatan. (4) Ketentuan mengenai izin mendirikan bangunan gedung, kepemilikan, dan pendataan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 59. Persyaratan Tata Pasal 9: Pasal 24 angka 6 ketentuan mengenai tata Bangunan (1) Persyaratan tata bangunan Pasal 9: bangunan dihapus. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Dihapus. ayat (3) meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan. (2) Persyaratan tata bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dalam rencana tata bangunan dan lingkungan oleh Pemerintah Daerah. (3) Ketentuan mengenai tata cara penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 60. Persyaratan Pasal 10: Pasal 24 angka 7 Ketentuan Persyaratan Peruntukan dan (1) Persyaratan peruntukan dan Pasal 10: peruntukan dan intensitas Intensitas Bangunan intensitas bangunan gedung sebagai- Dihapus. bangunan Gedung dihapus. Gedung mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi persyaratan peruntukan lokasi, kepadatan, ketinggian, dan jarak bebas bangunan gedung yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan. (2) Pemerintah Daerah wajib menyediakan dan memberikan informasi secara terbuka tentang persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung bagi masyarakat yang memerlukannya. Pasal 11: Pasal 24 angka 8 Ketentuan mengenai (1) Persyaratan peruntukan lokasi Pasal 11: Persyaratan peruntukan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Dihapus. dihapus. ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan tentang tata ruang. (2) Bangunan gedung yang dibangun di atas, dan/atau di bawah tanah, air, dan/atau prasarana dan sarana umum tidak boleh mengganggu keseimbangan lingkungan, fungsi lindung kawasan, dan/atau fungsi prasarana dan sarana umum yang bersangkutan. (3) Ketentuan mengenai pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 12: Pasal 24 angka 9 ketentuan mengenai (1) Persyaratan kepadatan dan Pasal 12: Persyaratan kepadatan dan ketinggian bangunan sebagaimana Dihapus. ketinggian bangunan dihapus. dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan ketinggian bangunan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan. (2) Persyaratan jumlah lantai maksimum bangunan gedung atau bagian bangunan gedung yang dibangun di bawah permukaan tanah harus mempertimbangkan keamanan, kesehatan, dan daya dukung lingkungan yang dipersyaratkan. (3) Bangunan gedung tidak boleh melebihi ketentuan maksimum kepadatan dan ketinggian yang ditetapkan pada lokasi yang bersangkutan. (4) Ketentuan mengenai tata cara perhitungan dan penetapan kepadatan dan ketinggian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 13: Pasal 24 angka 10 Ketentuan mengenai (1) Persyaratan jarak bebas bangunan Pasal 13: Persyaratan jarak bebas gedung sebagaimana dimaksud dalam Dihapus. bangunan Gedung dihapus. Pasal 10 ayat (1) meliputi: a. garis sempadan bangunan gedung dengan as jalan, tepi sungai, tepi pantai, jalan kereta api, dan/atau jaringan tegangan tinggi; b. jarak antara bangunan gedung dengan batas-batas persil, dan jarak antara as jalan dan pagar halaman yang diizinkan pada lokasi yang bersangkutan. (2) Persyaratan jarak bebas bangunan gedung atau bagian bangunan gedung yang dibangun di bawah permukaan tanah harus mempertimbangkan batas- batas lokasi, keamanan, dan tidak mengganggu fungsi utilitas kota, serta pelaksanaan pembangunannya. (3) Ketentuan mengenai persyaratan jarak bebas bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 64. Persyaratan Pasal 14: Pasal 24 angka 11 Ketentuan mengenai Arsitektur (1) Persyaratan arsitektur bangunan Pasal 14: Persyaratan arsitektur Bangunan Gedung gedung sebagaimana dimaksud dalam Dihapus. bangunan Gedung dihapus. Pasal 9 ayat (1) meliputi persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya, serta pertimbangan adanya keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa. (2) Persyaratan penampilan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memperhatikan bentuk dan karakteristik arsitektur dan lingkungan yang ada di sekitarnya. (3) Persyaratan tata ruang dalam bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memperhatikan fungsi ruang, arsitektur bangunan gedung, dan keandalan bangunan gedung. (4) Persyaratan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. (5) Ketentuan mengenai penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 65. Persyaratan Pasal 15: Pasal 24 angka 12 Persyaratan pengendalian Pengendalian (1) Penerapan persyaratan pengendalian Pasal 15: dampak lingkungan menjadi Dampak dampak lingkungan hanya berlaku bagi (1) Penerapan pengendalian dampak pengendalian dampak Lingkungan bangunan gedung yang dapat lingkungan hanya berlaku bagi lingkungan. menimbulkan dampak penting terhadap bangunan gedung yang dapat lingkungan. menimbulkan dampak penting (2) Persyaratan pengendalian dampak terhadap lingkungan. lingkungan pada bangunan gedung (2) Pengendalian dampak lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada bangunan gedung sebagaimana sesuai dengan ketentuan peraturan dimaksud pada ayat (1) sesuai perundang-undangan yang berlaku. dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 66. Persyaratan Pasal 16: Pasal 24 angka 13 Ketentuan mengenai Keandalan (1) Persyaratan keandalan bangunan Pasal 16: Persyaratan keandalan Bangunan Gedung gedung sebagaimana dimaksud dalam Dihapus. bangunan Gedung dihapus. Pasal 7 ayat (3), meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. (2) Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan fungsi bangunan gedung. 67. Persyaratan Pasal 17: Pasal 24 angka 14 Kentetuan mengenai Keselamatan (1) Persyaratan keselamatan bangunan Pasal 17: Persyaratan keselamatan gedung sebagaimana dimaksud dalam Dihapus. bangunan Gedung dihapus. Pasal 16 ayat (1) meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, serta kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir. (2) Persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kemampuan struktur bangunan gedung yang stabil dan kukuh dalam mendukung beban muatan. (3) Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kemampuan bangunan gedung untuk melakukan pengamanan terhadap bahaya kebakaran melalui sistem proteksi pasif dan/atau proteksi aktif. (4) Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah bahaya petir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kemampuan bangunan gedung untuk melakukan pengamanan terhadap bahaya petir melalui sistem penangkal petir. Pasal 18: Pasal 24 angka 15 Ketentuan mengenai (1) Persyaratan kemampuan struktur Pasal 18: Persyaratan kemampuan bangunan gedung yang stabil dan kukuh Dihapus. struktur bangunan Gedung dalam mendukung beban muatan dihapus. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) merupakan kemampuan struktur bangunan gedung yang stabil dan kukuh sampai dengan kondisi pembebanan maksimum dalam mendukung beban muatan hidup dan beban muatan mati, serta untuk daerah/zona tertentu kemampuan untuk mendukung beban muatan yang timbul akibat perilaku alam. (2) Besarnya beban muatan dihitung berdasarkan fungsi bangunan gedung pada kondisi pembebanan maksimum dan variasi pembebanan agar bila terjadi keruntuhan pengguna bangunan gedung masih dapat menyelamatkan diri. (3) Ketentuan mengenai pembebanan, ketahanan terhadap gempa bumi dan/atau angin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 19: Pasal 24 angka 16 Ketentuan mengenai (1) Pengamanan terhadap bahaya Pasal 19: Pengamanan terhadap bahaya kebakaran dilakukan dengan sistem Dihapus. kebakaran dihapus. proteksi pasif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi kemampuan stabilitas struktur dan elemennya, konstruksi tahan api, kompartemenisasi dan pemisahan, serta proteksi pada bukaan yang ada untuk menahan dan membatasi kecepatan menjalarnya api dan asap kebakaran. (2) Pengamanan terhadap bahaya kebakaran dilakukan dengan sistem proteksi aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi kemampuan peralatan dalam mendeteksi dan memadamkan kebakaran, pengendalian asap, dan sarana penyelamatan kebakaran. (3) Bangunan gedung, selain rumah tinggal, harus dilengkapi dengan sistem proteksi pasif dan aktif. (4) Ketentuan mengenai sistem pengamanan bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 20: Pasal 24 angka 17 Ketentuan mengenai (1) Pengamanan terhadap bahaya petir Pasal 20: Pengamanan terhadap bahaya melalui sistem penangkal petir Dihapus. petir melalui sistem penangkal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 petir dihapus. ayat (4) merupakan kemampuan bangunan gedung untuk melindungi semua bagian bangunan gedung, termasuk manusia di dalamnya terhadap bahaya sambaran petir. (2) Sistem penangkal petir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan instalasi penangkal petir yang harus dipasang pada setiap bangunan gedung yang karena letak, sifat geografis, bentuk, dan penggunaannya mempunyai risiko terkena sambaran petir. (3) Ketentuan mengenai sistem penangkal petir sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 71. Persyaratan Pasal 21: Pasal 24 angka 18 Ketentuan mengenai Kesehatan Persyaratan kesehatan bangunan Pasal 21: Persyaratan kesehatan gedung sebagaimana dimaksud dalam Dihapus. bangunan Gedung dihapus. Pasal 16 ayat (1) meliputi persyaratan sistem penghawaan, pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan gedung. Pasal 22: Pasal 24 angka 19 Ketentuan mengenai Sistem (1) Sistem penghawaan sebagaimana Pasal 22: penghawaan dihapus. dimaksud dalam Pasal 21 merupakan Dihapus. kebutuhan sirkulasi dan pertukaran udara yang harus disediakan pada bangunan gedung melalui bukaan dan/atau ventilasi alami dan/atau ventilasi buatan. (2) Bangunan gedung tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bangunan pelayanan umum lainnya harus mempunyai bahan untuk ventilasi alami. (3) Ketentuan mengenai sistem penghawaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 23: Pasal 24 angka 20 Ketentuan mengenai Sistem (1) Sistem pencahayaan sebagaimana Pasal 23: pencahayaan dihapus. dimaksud dalam Pasal 21 merupakan Dihapus. kebutuhan pencahayaan yang harus disediakan pada bangunan gedung melalui pencahayaan alami dan/atau pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan darurat. (2) Bangunan gedung tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bangunan pelayanan umum lainnya harus mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami. (3) Ketentuan mengenai sistem pencahayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 24: Pasal 24 angka 21 Ketentuan mengenai Sistem (1) Sistem sanitasi sebagaimana Pasal 24: sanitasi dihapus. dimaksud dalam Pasal 21 merupakan Dihapus. kebutuhan sanitasi yang harus disediakan di dalam dan di luar bangunan gedung untuk memenuhi kebutuhan air bersih, pembuangan air kotor dan/atau air limbah, kotoran dan sampah, serta penyaluran air hujan. (2) Sistem sanitasi pada bangunan gedung dan lingkungannya harus dipasang sehingga mudah dalam pengoperasian dan pemeliharaannya, tidak membahayakan serta tidak mengganggu lingkungan. (3) Ketentuan mengenai sistem sanitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 25: Pasal 24 angka 22 Ketentuan mengenai (1) Penggunaan bahan bangunan Pasal 25: Penggunaan bahan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Dihapus. Gedung dihapus. Pasal 21 harus aman bagi kesehatan pengguna bangunan gedung dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. (2) Ketentuan mengenai penggunaan bahan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 76. Persyaratan Pasal 26: Pasal 24 angka 23 Ketentuan mengenai Kenyamanan (1) Persyaratan kenyamanan bangunan Pasal 26: Persyaratan kenyamanan gedung sebagaimana dimaksud dalam Dihapus. bangunan Gedung dihapus. Pasal 16 ayat (1) meliputi kenyamanan ruang gerak dan hubungan antarruang, kondisi udara dalam ruang, pandangan, serta tingkat getaran dan tingkat kebisingan. (2) Kenyamanan ruang gerak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tingkat kenyamanan yang diperoleh dari dimensi ruang dan tata letak ruang yang memberikan kenyamanan bergerak dalam ruangan. (3) Kenyamanan hubungan antarruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tingkat kenyamanan yang diperoleh dari tata letak ruang dan sirkulasi antarruang dalam bangunan gedung untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung. (4) Kenyamanan kondisi udara dalam ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tingkat kenyamanan yang diperoleh dari temperatur dan kelembaban di dalam ruang untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung. (5) Kenyamanan pandangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kondisi dimana hak pribadi orang dalam melaksanakan kegiatan di dalam bangunan gedungnya tidak terganggu dari bangunan gedung lain di sekitarnya. (6) Kenyamanan tingkat getaran dan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tingkat kenyamanan yang ditentukan oleh suatu keadaan yang tidak mengakibatkan pengguna dan fungsi bangunan gedung terganggu oleh getaran dan/atau kebisingan yang timbul baik dari dalam bangunan gedung maupun lingkungannya. (7) Ketentuan mengenai kenyamanan ruang gerak, tata hubungan antarruang, tingkat kondisi udara dalam ruangan, pandangan, serta tingkat getaran dan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 77. Persyaratan Pasal 27: Pasal 24 angka 24 Ketentuan mengenai Kemudahan (1) Persyaratan kemudahan Pasal 27: Persyaratan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Dihapus. dihapus. ayat (1) meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung. (2) Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia. (3) Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada bangunan gedung untuk kepentingan umum meliputi penyediaan fasilitas yang cukup untuk ruang ibadah, ruang ganti, ruangan bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan informasi. (4) Ketentuan mengenai kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 28: Pasal 24 angka 25 Ketentuan mengenai (1) Kemudahan hubungan horizontal Pasal 28: kemudahan hubungan antarruang dalam bangunan gedung Dihapus. horizontal antarruang dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 bangunan Gedung dihapus. ayat (2) merupakan keharusan bangunan gedung untuk menyediakan pintu dan/atau koridor antar ruang. (2) Penyediaan mengenai jumlah, ukuran dan konstruksi teknis pintu dan koridor disesuaikan dengan fungsi ruang bangunan gedung. (3) Ketentuan mengenai kemudahan hubungan horizontal antarruang dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 29: Pasal 24 angka 26 Ketentuan mengenai (1) Kemudahan hubungan vertikal Pasal 29: kemudahan hubungan vertikal dalam bangunan gedung, termasuk Dihapus. dalam bangunan Gedung sarana transportasi vertikal dihapus. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) berupa penyediaan tangga, ram, dan sejenisnya serta lift dan/atau tangga berjalan dalam bangunan gedung. (2) Bangunan gedung yang bertingkat harus menyediakan tangga yang menghubungkan lantai yang satu dengan yang lainnya dengan mempertimbangkan kemudahan, keamanan, keselamatan, dan kesehatan pengguna. (3) Bangunan gedung untuk parkir harus menyediakan ram dengan kemiringan tertentu dan/atau sarana akses vertikal lainnya dengan mempertimbangkan kemudahan dan keamanan pengguna sesuai standar teknis yang berlaku. (4) Bangunan gedung dengan jumlah lantai lebih dari 5 (lima) harus dilengkapi dengan sarana transportasi vertikal (lift) yang dipasang sesuai dengan kebutuhan dan fungsi bangunan gedung. (5) Ketentuan mengenai kemudahan hubungan vertikal dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 30: Pasal 24 angka 27 Ketentuan mengenai (1) Akses evakuasi dalam keadaan Pasal 30: penyediaan akses evakuasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Dihapus. dihapus. Pasal 27 ayat (2) harus disediakan di dalam bangunan gedung meliputi sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu keluar darurat, dan jalur evakuasi apabila terjadi bencana kebakaran dan/atau bencana lainnya, kecuali rumah tinggal. (2) Penyediaan akses evakuasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dapat dicapai dengan mudah dan dilengkapi dengan penunjuk arah yang jelas. (3) Ketentuan mengenai penyediaan akses evakuasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 31: Pasal 24 angka 28 Ketentuan mengenai (1) Penyediaan fasilitas dan Pasal 31: penyediaan aksesibilitas bagi aksesibilitas bagi penyandang cacat dan Dihapus. penyandang cacat dan lanjut lanjut usia sebagaimana dimaksud usia dihapus. dalam Pasal 27 ayat (2) merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali rumah tinggal. (2) Fasilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), termasuk penyediaan fasilitas aksesibilitas dan fasilitas lainnya dalam bangunan gedung dan lingkungannya. (3) Ketentuan mengenai penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 32: Pasal 24 angka 29 (1) Kelengkapan prasarana dan sarana Pasal 32: sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Dihapus. ayat (3) merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung untuk kepentingan umum. (2) Ketentuan mengenai kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah 83. Persyaratan Pasal 33: Pasal 24 angka 30 Ketentuan mengenai Banguna Gedung Persyaratan administratif dan teknis Pasal 33: Persyaratan administratif dan Fungsi Khusus untuk bangunan gedung fungsi khusus, Dihapus. teknis untuk bangunan gedung selain harus memenuhi ketentuan dalam fungsi khusus dihapus. Bagian Kedua, Bagian Ketiga, dan Bagian Keempat pada Bab ini, juga harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis khusus yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. 84. Penyelenggaraan Pasal 34: Pasal 24 angka 31 Persyaratan bangunan Gedung Bangunan Gedung (1) Penyelenggaraan bangunan gedung Pasal 34: diganti menjadi pemenuhan meliputi kegiatan pembangun-an, (1) Penyelenggaraan bangunan standar teknis bangunan pemanfaatan, pelestarian, dan gedung meliputi kegiatan Gedung. pembongkaran. pembangunan, pemanfaatan, (2) Dalam penyelenggaraan bangunan pelestarian, dan pembongkaran. Dalam RUU Ciptaker gedung sebagaimana dimaksud dalam (2) Dalam penyelenggaraan penyelenggara bangunan ayat (1) penyelenggara berkewajiban bangunan gedung sebagaimana Gedung juga meliputi profesi memenuhi persyaratan bangunan dimaksud pada ayat (1) ahli, Penilik dan pengkaji gedung sebagaimana dimaksud dalam penyelenggara berkewajiban teknis. Bab IV undang-undang ini. memenuhi standar teknis bangunan (3) Penyelenggara bangunan gedung gedung. terdiri atas pemilik bangunan gedung, (3) Penyelenggara bangunan gedung penyedia jasa konstruksi, dan pengguna terdiri atas pemilik bangunan bangunan gedung. gedung, penyedia jasa konstruksi, (4) Pemilik bangunan gedung yang profesi ahli, Penilik, pengkaji teknis, belum dapat memenuhi persyaratan dan pengguna bangunan gedung. sebagaimana dimaksud dalam Bab IV (4) Dalam hal terdapat perubahan undang-undang ini, tetap harus standar teknis bangunan gedung, memenuhi ketentuan tersebut secara pemilik bangunan gedung yang bertahap. belum memenuhi standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap harus memenuhi ketentuan standar teknis secara bertahap. 85. Pemanfaatan Pasal 37: Pasal 24 angka 35 Pemanfaatan bangunan (1) Pemanfaatan bangunan gedung Pasal 37: Gedung berdasarkan RUU dilakukan oleh pemilik atau pengguna (1) Pemanfaatan bangunan gedung Ciptaker dapat dilakukan bangunan gedung setelah bangunan dilakukan oleh pemilik dan/atau setelah terbit surat pernyataan gedung tersebut dinyatakan memenuhi pengguna bangunan gedung setelah kelaikan fungsi dan penerbitan persyaratan laik fungsi. bangunan gedung tersebut surat bukti kepemilikan (2) Bangunan gedung dinyatakan mendapatkan sertifikat laik fungsi. bangunan Gedung. memenuhi persyaratan laik fungsi (2) Sertifikat laik fungsi sebagaimana apabila telah memenuhi persyaratan dimaksud pada ayat (1) diterbitkan teknis, sebagaimana dimaksud dalam oleh Pemerintah Pusat atau Bab IV undang-undang ini. Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan surat pernyataan kelaikan fungsi yang diajukan oleh Penyedia Jasa Pengawasan atau Manajemen Konstruksi kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melalui sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (3) Surat pernyataan kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan setelah inspeksi tahapan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36B ayat (4) huruf d yang menyatakan bangunan gedung memenuhi standar teknis bangunan gedung. (4) Penerbitan sertifikat laik fungsi bangunan gedung dilakukan bersamaan dengan penerbitan surat bukti kepemilikan bangunan gedung. (5) Pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala pada bangunan gedung harus dilakukan untuk memastikan bangunan gedung tetap memenuhi persyaratan laik fungsi. (6) Dalam pemanfaatan bangunan gedung, pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana diatur dengan UndangUndang ini. - Pasal 24 angka 36 Akan ada ketentuan lebih Pasal 37A: lanjut mengenai perencanaan, Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan, pengawasan dan perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan bangunan pengawasan dan pemanfaatan Gedung. bangunan gedung diatur dengan Peraturan Pemerintah. Perubahan Undang-Undang 6 Tahun 2017 tentang Arsitek 87. Persyaratan Pasal 6: Pasal 25 angka 3 Surat Tanda Registrasi Arsitek (1) Untuk menjadi Arsitek, seseorang Pasal 6: diperlukan untuk melakukan wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Untuk melakukan Praktik Arsitek, praktik arsitek. Arsitek. seseorang wajib memiliki Surat (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud Tanda Registrasi Arsitek. pada ayat (1) dikecualikan untuk seseorang yang merancang bangunan gedung sederhana dan bangunan gedung adat, - Pasal 25 angka 4 Untuk bangunan gedung Pasal 6A: sederhana dan bangunan Dalam hal penyelenggaraan kegiatan gedung adat tidak wajib untuk menghasilkan karya Arsitektur berupa bangunan gedung sederhana dilakukan arsitek. dan bangunan gedung adat, tidak wajib dilakukan oleh Arsitek. 89. Lisensi Pasal 14: Pasal 25 angka 6 Ada ketentuan mengenai (1) Setiap Arsitek dalam Pasal 14: lisensi yaitu sesuai dengan penyelenggaraan bangunan gedung (1) Setiap Arsitek dalam NSPK yang ditetapkan oleh wajib memiliki Lisensi. penyelenggaraan bangunan gedung Pemerintah Pusat. (2) Dalam hal Arsitek sebagaimana wajib memiliki Lisensi. dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki (2) Dalam hal Arsitek sebagaimana Lisensi, Arsitek wajib bekerja sama dimaksud pada ayat (1) belum dengan Arsitek yang memiliki Lisensi. memiliki Lisensi, Arsitek wajib (3) Lisensi sebagaimana dimaksud pada bekerja sama dengan Arsitek yang ayat (1) diterbitkan oleh pemerintah memiliki Lisensi. provinsi. (3) Lisensi sebagaimana dimaksud (4) Ketentuan mengenai tata cara pada ayat (1) diterbitkan oleh penerbitan Lisensi diatur dengan Pemerintah Provinsi sesuai dengan Peraturan Pemerintah. NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan Lisensi diatur dengan Peraturan Pemerintah. 90. Arsitek Asing Pasal 19: Pasal 25 angka 7 Terdapat tambahan kata atau (1) Arsitek Asing harus melakukan alih Pasal 19: di RUU Cipta Kerja pada keahlian dan alih pengetahuan. (1) Arsitek Asing harus melakukan Pasal 19 ayat (2). (2) Alih keahlian dan alih pengetahuan alih keahlian dan alih pengetahuan. sebagaimana dimaksud pada ayat (i) (2) Alih keahlian dan alih Pengawasan menjadi dilakukan dengan: pengetahuan sebagaimana dimaksud dilakukan oleh Pemerintah a. mengembangkan dan meningkatkan pada ayat (1) dilakukan dengan: Pusat dan aturan juga diatur jasa Praktik Arsitek pada kantor a. mengembangkan dan lebih lanjut dalam Peraturan tempatnya bekerja; meningkatkan jasa Praktik Arsitek Pemerintah. b. mengalihkan pengetahuan dan pada kantor tempatnya bekerja; kemampuan profesionalnya kepada b. mengalihkan pengetahuan dan Arsitek; dan kemampuan profesionalnya kepada c. memberikan pendidikan dan/atau Arsitek; dan/atau pelatihan kepada lembaga pendidikan, c. memberikan pendidikan dan/atau lembaga penelitian, dan/atau lembaga pelatihan kepada lembaga pengembangan dalam bidang Arsitektur pendidikan, lembaga penelitian, tanpa dipungut biaya. dan/atau lembaga pengembangan (3) Pengawasan terhadap pelaksanaan dalam bidang Arsitektur tanpa kegiatan alih keahlian dan alih dipungut biaya. pengetahuan sebagafunana dimaksud (3) Pengawasan terhadap pada ayat (1) dilaksanakan oleh pelaksanaan kegiatan alih keahlian Menteri. dan alih pengetahuan sebagaimana (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan cara alih keahlian dan alih pengetahuan oleh Pemerintah Pusat. sebagaimana dimaksud pada ayat (21 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dan pengawasan sebagaimana dimaksud tata cara alih keahlian dan alih pada ayat (3) diatur dengan Peraturan pengetahuan sebagaimana dimaksud Menteri. pada ayat (2) dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor
Kelautan dan Perikanan
Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 91. Pengertian Pasal 1 angka 16: Pasal 27 angka 1 Definisi terkait perizinan Surat Izin Usaha Perikanan, yang Pasal 1 angka 16: dihapus. selanjutnya disebut SIUP, adalah izin Dihapus. tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut. Pasal 1 angka 17: Pasal 1 angka 17: Definisi terkait perizinan Surat Izin Penangkapan Ikan, yang Dihapus. dihapus. selanjutnya disebut SIPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP. Pasal 1 angka 18: Pasal 1 angka 18: Definisi terkait perizinan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan, yang Dihapus. dihapus. selanjutnya disebut SIKPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan pengangkutan ikan. 94. Usaha Perikanan Pasal 26: Pasal 27 angka 5: SIUP diganti menjadi (1) Setiap orang yang melakukan usaha Pasal 26: Perizinan Berusaha. perikanan di bidang penangkapan, (1) Setiap orang yang melakukan pembudidayaan, pengangkutan, usaha perikanan di wilayah Dalam RUU Ciptaker tidak pengolahan, dan pemasaran ikan di pengelolaan perikanan Negara ada pengecualian terkait wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memenuhi kewajiban memenuhi Republik Indonesia wajib memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah Perizinan Berusaha. SIUP; Pusat. (2) Kewajiban memiliki SIUP (2) Jenis usaha Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi nelayan kecil terdiri dari usaha: dan/atau pembudi daya ikan kecil. a. penangkapan Ikan; b. pembudidayaan Ikan; c. pengangkutan Ikan; d. pengolahan Ikan; dan e. pemasaran Ikan. Pasal 27: Pasal 27 angka 6 Dalam RUU Ciptaker SIPI (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau Pasal 27: terintegrasi menjadi Perizinan mengoperasikan kapal penangkap ikan (1) Setiap orang yang memiliki Berusaha. berbendera Indonesia yang digunakan dan/atau mengoperasikan kapal untuk melakukan penangkapan ikan di penangkap ikan berbendera Ketentuan dalam Pasal ini wilayah pengelolaan perikanan Negara Indonesia yang digunakan untuk tidak berlaku bagi nelayan Republik Indonesia dan/atau laut lepas melakukan penangkapan ikan di kecil. wajib memiliki SIPI. wilayah pengelolaan perikanan (2) Setiap orang yang memiliki dan/atau Negara Republik Indonesia dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan laut lepas wajib memenuhi Perizinan berbendera asing yang digunakan untuk Berusaha dari Pemerintah Pusat. melakukan penangkapan ikan di ZEEI (2) Setiap orang yang memiliki wajib memiliki SIPI. dan/atau mengoperasikan kapal (3) Setiap orang yang mengoperasikan penangkap ikan berbendera asing kapal penangkap ikan berbendera yang digunakan untuk melakukan Indonesia di wilayah pengelolaan penangkapan ikan di ZEEI wajib perikanan Negara Republik Indonesia memenuhi Perizinan Berusaha dari atau mengoperasikan kapal penangkap Pemerintah Pusat. ikan berbendera asing di ZEEI wajib (3) Setiap orang yang membawa SIPI asli. mengoperasikan kapal penangkap (4) Kapal penangkap ikan berbendera ikan berbendera Indonesia di wilayah Indonesia yang melakukan pengelolaan perikanan Negara penangkapan ikan di wilayah yurisdiksi Republik Indonesia atau negara lain harus terlebih dahulu mengoperasikan kapal penangkap mendapatkan persetujuan dari ikan berbendera asing di ZEEI wajib Pemerintah. membawa dokumen Perizinan (5) Kewajiban memiliki SIPI Berusaha. sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (4) Kapal penangkap ikan berbendera dan/atau membawa SIPI asli Indonesia yang melakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penangkapan ikan di wilayah tidak berlaku bagi nelayan kecil. yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. (5) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi nelayan kecil. - Pasal 27 angka 7 RUU Ciptaker menambahkan Pasal 27A: pasal mengenai sanksi (1) Setiap orang yang memiliki administratif bagi pelaku dan/atau mengoperasikan kapal penangkapan ikan di wilayah penangkap ikan berbendera pengelolaan perikanan Negara Indonesia melakukan penangkapan Republik Indonesia yang tidak ikan di wilayah pengelolaan memenuhi/membawa perikanan Negara Republik dokumen Perizinan Berusaha. Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memenuhi persyaratan Mengenai kriteria, jenis, dan Perizinan Berusaha sebagaimana tata cara pengenaan sanksi dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), administrative akan diatur dikenai sanksi administratif. lebih lanjut dalam Peraturan (2) Setiap orang yang Pemerintah. mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, yang tidak membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai sanksi administratif. (3) Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI, yang tidak membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai sanksi administratif. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 28: Pasal 27 angka 8 SIKPI diubah menjadi (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau Pasal 28: Perizinan Berusaha. mengoperasikan kapal pengangkut ikan (1) Setiap orang yang memiliki berbendera Indonesia di wilayah dan/atau mengoperasikan kapal Ketentuan dalam Pasal ini pengelolaan perikanan Negara Republik pengangkut ikan berbendera tidak berlaku bagi nelayan Indonesia wajib memiliki SIKPI. Indonesia di wilayah pengelolaan kecil dan/atau pembudidaya (2) Setiap orang yang memiliki dan/atau perikanan Negara Republik ikan kecil. mengoperasikan kapal pengangkut ikan Indonesia wajib memenuhi Perizinan berbendera asing yang digunakan untuk Berusaha dari Pemerintah Pusat. melakukan pengangkutan ikan di (2) Setiap orang yang memiliki wilayah pengelolaan perikanan Negara dan/atau mengoperasikan kapal Republik Indonesia wajib memiliki pengangkut ikan berbendera asing SIKPI. yang digunakan untuk melakukan (3) Setiap orang yang mengoperasikan pengangkutan ikan di wilayah kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara pengelolaan perikanan Negara Republik Republik Indonesia wajib memenuhi Indonesia wajib membawa SIKPI asli. Perizinan Berusaha dari Pemerintah (4) Kewajiban memiliki SIKPI Pusat. sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (3) Setiap orang yang dan/atau membawa SIKPI asli mengoperasikan kapal pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ikan di wilayah pengelolaan tidak berlaku bagi nelayan kecil perikanan Negara Republik dan/atau pembudi daya-ikan kecil. Indonesia wajib membawa dokumen Perizinan Berusaha. (4) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil. Pasal 28A: Pasal 27 angka 9 Aturan terkait Perizinan Setiap orang dilarang: Pasal 28A: Berusaha lebih diatur secara a. memalsukan SIUP, SIPI, dan SIKPI; Setiap orang dilarang: spesifik yaitu termasuk tidak dan/atau a. memalsukan dokumen Perizinan boleh menggunakan Perizinan b. menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI Berusaha; Berusaha milik kapal/orang palsu. b. menggunakan Perizinan Berusaha lain dan tidak boleh palsu; menggandakan Perizinan c. menggunakan Perizinan Berusaha Berusaha untuk digunakan milik kapal lain atau orang lain; oleh kapal lain/milik sendiri. dan/atau d. menggandakan Perizinan Berusaha untuk digunakan oleh kapal lain dan/atau kapal milik sendiri. Pasal 30: Pasal 27 angka 10 Surat izin usaha perikanan (1) Pemberian surat izin usaha Pasal 30: diganti dengan Perizinan perikanan kepada orang dan/atau badan (1) Pemberian Perizinan Berusaha Berusaha. hukum asing yang beroperasi di ZEEI kepada orang dan/atau badan hukum harus didahului dengan perjanjian asing yang beroperasi di ZEEI harus perikanan, pengaturan akses, atau didahului dengan perjanjian pengaturan lainnya antara Pemerintah perikanan, pengaturan akses, atau Republik Indonesia dan pemerintah pengaturan lainnya antara negara bendera kapal. Pemerintah Republik Indonesia dan (2) Perjanjian perikanan yang dibuat pemerintah negara bendera kapal. antara Pemerintah Republik Indonesia (2) Perjanjian perikanan yang dibuat dan pemerintah negara bendera kapal antara Pemerintah Republik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Indonesia dan pemerintah negara harus mencantumkan kewajiban bendera kapal sebagaimana pemerintah negara bendera kapal untuk dimaksud pada ayat (1), harus bertanggung jawab atas kepatuhan mencantumkan kewajiban orang atau badan hukum negara pemerintah negara bendera kapal bendera kapal untuk mematuhi untuk bertanggung jawab atas perjanjian perikanan tersebut. kepatuhan orang atau badan hukum (3) Pemerintah menetapkan pengaturan negara bendera kapal dalam mengenai pemberian izin usaha mematuhi pelaksanaan perjanjian perikanan kepada orang dan/atau badan perikanan tersebut. hukum asing yang beroperasi di ZEEI, (3) Pemerintah Pusat menetapkan perjanjian perikanan, pengaturan akses, pengaturan mengenai pemberian atau pengaturan lainnya antara Perizinan Berusaha kepada orang Pemerintah Republik Indonesia dan dan/atau badan hukum asing yang pemerintah negara bendera kapal. beroperasi di ZEEI, perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal. Pasal 31: Pasal 27 angka 11 SIPI dan SIKPI terintegrasi (1) Setiap kapal perikanan yang Pasal 31: dalam Perizinan Berusaha. dipergunakan untuk menangkap ikan di (1) Setiap kapal perikanan yang wilayah pengelolaan perikanan dipergunakan untuk menangkap ikan Republik Indonesia wajib dilengkapi di wilayah pengelolaan perikanan SIPI. Negara Republik Indonesia wajib (2) Setiap kapal perikanan yang memenuhi Perizinan Berusaha dari dipergunakan untuk mengangkut ikan Pemerintah Pusat. di wilayah pengelolaan perikanan (2) Setiap kapal perikanan yang Republik Indonesia wajib dilengkapi dipergunakan untuk mengangkut SIKPI. ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Pasal 32: Pasal 27 angka 12 Aturan mengenai Perizinan Ketentuan lebih lanjut mengenai Pasal 32: Berusaha akan diatur dalam penerbitan, tata cara, dan syarat-syarat Ketentuan lebih lanjut mengenai Peraturan Pemerintah. pemberian SIUP, SIPI, dan SIKPI Perizinan Berusaha diatur dengan diatur dengan Peraturan Menteri. Peraturan Pemerintah. Pasal 33: Pasal 27 angka 13 Kegiatan penangkapan ikan Ketentuan Iebih lanjut mengenai Pasal 33: dan/atau pembudidayaan ikan penangkapan ikan dan/atau (1) Kegiatan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan pembudidayaan ikan di wilayah dan/atau pembudidayaan ikan di perikanan Negara Republik pengelolaan perikanan Republik wilayah pengelolaan perikanan Indonesia yang bukan untuk Indonesia yang bukan tujuan komersial Negara Republik Indonesia yang tujuan komersial dalam UU diatur dengan Peraturan Menteri. bukan untuk tujuan komersial harus Perikanan harus mendapat izin mendapatkan persetujuan dari dari Menteri, sedangkan dalam Pemerintah Pusat dan Pemerintah RUU Ciptaker harus Daerah sesuai dengan mendapatkan persetujuan kewenangannya berdasarkan norma, Pemerintah Pusat. standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Persetujuan dari Pemerintah (2) Kegiatan penangkapan ikan Pusat dikecualikan bagi dan/atau pembudidayaan ikan seseorang yang menangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ikan dan/atau dilakukan oleh setiap Orang yang membudidayakan ikan untuk meliputi kegiatan dalam rangka kebutuhan sehari-hari. pendidikan, penyuluhan, penelitian atau kegiatan ilmiah lainnya, serta kesenangan dan wisata. (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi seseorang yang menangkap ikan dan/atau membudidayakan ikan untuk kebutuhan sehari-hari. (4) Persetujuan bagi kegiatan penelitian atau kegiatan ilmiah lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia yang bukan untuk tujuan komersial diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 35: Pasal 27 angka 14 Seluruh kewenangan Menteri (1) Setiap orang yang membangun, Pasal 35: dalam Pasal ini menjadi mengimpor, atau memodifikasi kapal (1) Setiap orang yang membangun, kewenangan Pemerintah Pusat. perikanan wajib terlebih dahulu mengimpor, atau memodifikasi kapal mendapat persetujuan Menteri. perikanan wajib terlebih dahulu Terdapat sanksi administrative (2) Pembangunan atau modifikasi kapal mendapat persetujuan Pemerintah bagi yang tidak memiliki perikanan sebagaimana dimaksud pada Pusat. persetujuan Pemerintah Pusat. ayat (1) dapat dilakukan, baik di dalam (2) Pembangunan atau modifikasi maupun di luar negeri, setelah kapal perikanan sebagaimana mendapat pertimbangan teknis laik dimaksud pada ayat (1) dapat berlayar dari Menteri yang bertanggung dilakukan, baik di dalam maupun di jawab di bidang pelayaran. luar negeri, setelah mendapat pertimbangan teknis laik laut dari Pemerintah Pusat. (3) Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak memiliki persetujuan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 35A: Pasal 27 angka 15 Izin diganti menjadi Perizinan (1) Kapal perikanan berbendera Pasal 35A: Berusaha. Indonesia yang melakukan (1) Kapal perikanan berbendera penangkapan ikan di wilayah Indonesia yang melakukan Pasal 35A ayat (2) UU pengelolaan perikanan Negara Republik penangkapan ikan di wilayah Perikanan yang mengatur Indonesia wajib menggunakan nakhoda pengelolaan perikanan Negara mengenai pengunaan ABK dan anak buah kapal Republik Indonesia wajib berkewarganegaraan Indonesia berkewarganegaraan Indonesia. menggunakan nakhoda dan anak dalam kapal perikanan (2) Kapal perikanan berbendera asing buah kapal berkewarganegaraan berbendera asing tidak yang melakukan penangkapan ikan di Indonesia. dimasukkan dalam RUU ZEEI wajib menggunakan anak buah (2) Pelanggaran terhadap ketentuan Ciptaker. kapal berkewarganegaraan Indonesia penggunaan anak buah kapal paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari jumlah anak buah kapal. dikenakan sanksi administratif (3) Pelanggaran terhadap ketentuan berupa peringatan, pembekuan penggunaan anak buah kapal perizinan berusaha, atau pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Perizinan Berusaha. dikenakan sanksi administratif berupa (3) Ketentuan mengenai kriteria, peringatan, pembekuan izin, atau jenis, dan tata cara pengenaan sanksi pencabutan izin. administratif sebagaimana dimaksud (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pada ayat (2) diatur dengan Peraturan pengenaan sanksi administratif Pemerintah. sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 36: Pasal 27 angka 16 Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) Kapal perikanan milik orang Pasal 36: (2) dan (3) UU Perikanan tidak Indonesia yang dioperasikan di wilayah (1) Kapal perikanan milik orang terdapat dalam RUU Ciptaker. pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia yang dioperasikan di Indonesia dan laut lepas wajib wilayah pengelolaan perikanan Surat tanda kebangsaan diganti didaftarkan terlebih dahulu sebagai Negara Republik Indonesia dan laut menjadi Perizinan Berusaha. kapal perikanan Indonesia. lepas wajib didaftarkan terlebih (2) Pendaftaran kapal perikanan dahulu sebagai kapal perikanan Terdapat sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Indonesia. bagi orang yang dilengkapi dengan dokumen yang (2) Kapal perikanan yang telah mengoperasikan kapal berupa: a. bukti kepemilikan; terdaftar sebagaimana dimaksud perikanan di wilayah b. identitas pemilik; dan pada ayat (1), diberikan Perizinan pengelolaan perikanan c. surat ukur. Berusaha dari Pemerintah Pusat. Republik Indonesia dan tidak (3) Pendaftaran kapal perikanan yang (3) Setiap orang yang mendaftarkan kapal dibeli atau diperoleh dari luar negeri mengoperasikan kapal perikanan di perikanannya sebagai kapal dan sudah terdaftar di negara asal untuk wilayah pengelolaan perikanan perikanan Indonesia. didaftar sebagai kapal perikanan Republik Indonesia yang tidak Indonesia, selain dilengkapi dengan mendaftarkan kapal perikanannya dokumen sebagaimana dimaksud pada sebagai kapal perikanan Indonesia ayat (2) harus dilengkapi pula dengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) surat keterangan penghapusan dari dikenai sanksi administratif. daftar kapal yang diterbitkan oleh (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai negara asal. kriteria, jenis, besaran dan tata cara (4) Kapal perikanan yang telah terdaftar pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan surat tanda kebangsaan sesuai diatur dengan Peraturan Pemerintah. dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 38: Pasal 27 angka 17 Izin penangkapan ikan diganti (1) Setiap kapal penangkap ikan Pasal 38: menjadi Perizinan Berusaha berbendera asing yang tidak memiliki (1) Setiap kapal penangkap ikan untuk melakukan penangkapan izin penangkapan ikan selama berada di berbendera asing yang tidak ikan. wilayah pengelolaan perikanan memenuhi Perizinan Berusaha untuk Republik Indonesia wajib menyimpan melakukan penangkapan ikan selama alat penangkapan ikan di dalam palka. berada di wilayah pengelolaan (2) Setiap kapal penangkap ikan perikanan Negara Republik berbendera asing yang telah memiliki Indonesia wajib menyimpan alat izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) penangkapan ikan di dalam palka. jenis alat penangkapan ikan tertentu (2) Setiap kapal penangkap ikan pada bagian tertentu di ZEEI dilarang berbendera asing yang telah membawa alat penangkapan ikan memenuhi Perizinan Berusaha untuk lainnya. melakukan penangkapan ikan dengan (3) Setiap kapal penangkap ikan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan berbendera asing yang telah memiliki tertentu pada bagian tertentu di ZEEI izin penangkapan ikan wajib dilarang membawa alat penangkapan menyimpan alat penangkapan ikan di ikan lainnya. dalam palka selama berada di luar (3) Setiap kapal penangkap ikan daerah penangkapan ikan yang berbendera asing yang telah diizinkan di wilayah pengelolaan memenuhi Perizinan Berusaha untuk perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Pasal 40: Pasal 27 angka 18 Ketentuan lebih lanjut akan Ketentuan lebih lanjut mengenai Pasal 40: diatur oleh Peraturan membangun, mengimpor, memodifikasi Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemerintah. kapal, pendaftaran, pengukuran kapal kegiatan membangun, mengimpor, perikanan, pemberian tanda pengenal memodifikasi kapal, pendaftaran, kapal perikanan, serta penggunaan 2 pengukuran kapal perikanan, (dua) jenis alat penangkapan ikan pemberian tanda pengenal kapal secara bergantian sebagaimana perikanan, serta penggunaan 2 (dua) dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, jenis alat penangkapan ikan secara Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur bergantian sebagaimana dimaksud dengan Peraturan Menteri. dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 41: Pasal 27 angka 19 Kewenangan Menteri menjadi (1) Pemerintah menyelenggarakan dan Psaal 41: kewenangan Pemerintah Pusat. melakukan pembinaan pengelolaan (1) Pemerintah Pusat pelabuhan perikanan. menyelenggarakan dan melakukan Selanjutny akan diatur lebih (2) Penyelenggaraan dan pembinaan pembinaan pengelolaan pelabuhan lanjut dengan Peraturan pengelolaan pelabuhan perikanan perikanan. (2) Pemerintah Pusat Pemerintah. sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam menyelenggarakan dan Menteri menetapkan: melakukan pembinaan pengelolaan a. rencana induk pelabuhan perikanan pelabuhan perikanan sebagaimana secara nasional; dimaksud pada ayat (1) menetapkan: b. klasifikasi pelabuhan perikanan; a. rencana induk pelabuhan c. pengelolaan pelabuhan perikanan; perikanan secara nasional; d. persyaratan dan/atau standar teknis b. klasifikasi pelabuhan perikanan; dalam perencanaan, pembangunan, c. pengelolaan pelabuhan perikanan; operasional, pembinaan, dan d. persyaratan dan/atau standar teknis pengawasan pelabuhan perikanan; dalam perencanaan, pembangunan, e. wilayah kerja dan pengoperasian operasional, pembinaan, dan pelabuhan perikanan yang meliputi pengawasan pelabuhan perikanan; bagian perairan dan daratan tertentu e. wilayah kerja dan pengoperasian yang menjadi wilayah kerja dan pelabuhan perikanan yang meliputi pengoperasian pelabuhan perikanan; bagian perairan dan daratan tertentu dan yang menjadi wilayah kerja dan f. pelabuhan perikanan yang tidak pengoperasian pelabuhan perikanan; dibangun oleh Pemerintah. dan (3) Setiap kapal penangkap ikan dan f. pelabuhan perikanan yang tidak kapal pengangkut ikan harus dibangun oleh Pemerintah. mendaratkan ikan tangkapan di (3) Setiap kapal penangkap ikan dan pelabuhan perikanan yang ditetapkan kapal pengangkut ikan harus atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk. mendaratkan ikan tangkapan di (4) Setiap orang yang memiliki dan/atau pelabuhan perikanan yang ditetapkan mengoperasikan kapal penangkap ikan atau pelabuhan lainnya yang dan/atau kapal pengangkut ikan yang ditunjuk. tidak melakukan bongkar muat ikan (4) Setiap orang yang memiliki tangkapan di pelabuhan perikanan yang dan/atau mengoperasikan kapal ditetapkan atau pelabuhan lainnya yangpenangkap ikan dan/atau kapal ditunjuk sebagaimana dimaksud pada pengangkut ikan yang tidak ayat (3) dikenai sanksi administratif melakukan bongkar muat ikan berupa peringatan, pembekuan izin, tangkapan di pelabuhan perikanan atau pencabutan izin. yang ditetapkan atau pelabuhan (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai lainnya yang ditunjuk sebagaimana pengenaan sanksi administratif dimaksud pada ayat (3) dikenai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sanksi administratif berupa diatur dalam Peraturan Menteri. peringatan, pembekuan perizinan berusaha, atau pencabutan perizinan berusaha. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 42: Pasal 27 angka 20 Surat persetujuan berlayar (1) Dalam rangka keselamatan Pasal 42: menjadi persetujuan berlayar. operasional kapal perikanan, ditunjuk (1) Dalam rangka keselamatan syahbandar di pelabuhan perikanan. operasional kapal perikanan, ditunjuk (2) Syahbandar di pelabuhan perikanan syahbandar di pelabuhan perikanan. mempunyai tugas dan wewenang: (2) Syahbandar di pelabuhan a. menerbitkan Surat Persetujuan perikanan mempunyai tugas dan Berlayar; wewenang: b. mengatur kedatangan dan a. menerbitkan persetujuan berlayar; keberangkatan kapal perikanan; b. mengatur kedatangan dan c. memeriksa ulang kelengkapan keberangkatan kapal perikanan; dokumen kapal perikanan; c. memeriksa ulang kelengkapan d. memeriksa teknis dan nautis kapal dokumen kapal perikanan; perikanan dan memeriksa alat d. memeriksa teknis dan nautis kapal penangkapan ikan, dan alat bantu perikanan dan memeriksa alat penangkapan ikan; penangkapan ikan, dan alat bantu e. memeriksa dan mengesahkan penangkapan ikan; perjanjian kerja laut; e. memeriksa dan mengesahkan f. memeriksa log book penangkapan perjanjian kerja laut; dan pengangkutan ikan; f. memeriksa log book penangkapan g. mengatur olah gerak dan lalulintas dan pengangkutan ikan; kapal perikanan di pelabuhan g. mengatur olah gerak dan lalulintas perikanan; kapal perikanan di pelabuhan h. mengawasi pemanduan; perikanan; i. mengawasi pengisian bahan bakar; h. mengawasi pemanduan; j. mengawasi kegiatan pembangunan i. mengawasi pengisian bahan bakar; fasilitas pelabuhan perikanan; j. mengawasi kegiatan pembangunan k. melaksanakan bantuan pencarian dan fasilitas pelabuhan perikanan; penyelamatan; k. melaksanakan bantuan pencarian l. memimpin penanggulangan dan penyelamatan; pencemaran dan pemadaman kebakaran l. memimpin penanggulangan di pelabuhan perikanan; pencemaran dan pemadaman m. mengawasi pelaksanaan kebakaran di pelabuhan perikanan; perlindungan lingkungan maritim; m. mengawasi pelaksanaan n. memeriksa pemenuhan persyaratan perlindungan lingkungan maritim; pengawakan kapal perikanan; n. memeriksa pemenuhan o. menerbitkan Surat Tanda Bukti persyaratan pengawakan kapal Lapor Kedatangan dan Keberangkatan perikanan; Kapal Perikanan; dan o. menerbitkan Surat Tanda Bukti p. memeriksa sertifikat ikan hasil Lapor Kedatangan dan tangkapan. Keberangkatan Kapal Perikanan; dan (3) Setiap kapal perikanan yang akan p. memeriksa sertifikat ikan hasil berlayar melakukan penangkapan ikan tangkapan. dan/atau pengangkutan ikan dari (3) Setiap kapal perikanan yang akan pelabuhan perikanan wajib memiliki berlayar melakukan penangkapan Surat Persetujuan Berlayar yang ikan dan/atau pengangkutan ikan dari dikeluarkan oleh syahbandar di pelabuhan perikanan wajib memiliki pelabuhan perikanan. persetujuan berlayar yang (4) Syahbandar di pelabuhan perikanan dikeluarkan oleh syahbandar di sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelabuhan perikanan. diangkat oleh menteri yang (4) Syahbandar di pelabuhan membidangi urusan pelayaran. perikanan sebagaimana dimaksud (5) Dalam melaksanakan tugasnya, pada ayat (1) diangkat oleh menteri syahbandar di pelabuhan perikanan yang membidangi urusan pelayaran. dikoordinasikan oleh pejabat yang (5) Dalam melaksanakan tugasnya, bertanggung jawab di pelabuhan syahbandar di pelabuhan perikanan perikanan setempat. dikoordinasikan oleh pejabat yang (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bertanggung jawab di pelabuhan kesyahbandaran di pelabuhan perikanan perikanan setempat. dilaksanakan sesuai dengan ketentuan (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peraturan perundang-undangan. kesyahbandaran di pelabuhan perikanan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 43: Pasal 27 angka 21 Memiliki surat diganti menjadi Setiap kapal perikanan yang melakukan Pasal 43: memenuhi standar laik operasi kegiatan perikanan wajib memiliki surat Setiap kapal perikanan yang kapal perikanan. laik operasi kapal perikanan dari melakukan kegiatan perikanan wajib pengawas perikanan tanpa dikenai memenuhi standar laik operasi kapal biaya. perikanan dari pengawas perikanan tanpa dikenai biaya. Pasal 44: Pasal 27 angka 22 Surat persetujuan berlayar (1) Surat Persetujuan Berlayar Pasal 44: diganti menjadi persetujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 (1) Persetujuan Berlayar berlayar. ayat (2) huruf a dikeluarkan oleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal syahbandar setelah kapal perikanan 42 ayat (2) huruf a diterbitkan oleh Memiliki surat diganti menjadi mendapatkan surat laik operasi. syahbandar setelah kapal perikanan memenuhi standar laik operasi (2) Surat laik operasi sebagaimana memenuhi standar laik operasi. kapal perikanan. dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan (2) Pemenuhan standar laik operasi oleh pengawas perikanan setelah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi persyaratan administrasi dan diterbitkan oleh pengawas perikanan kelayakan teknis. setelah dipenuhi persyaratan (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan kelayakan teknis. persyaratan administrasi dan kelayakan (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis sebagaimana dimaksud pada ayat persyaratan administrasi dan (2) diatur dalam Peraturan Menteri. kelayakan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 45: Pasal 27 angka 23 Surat izin berlayar diganti Dalam hal kapal perikanan berada Pasal 45: menjadi persetujuan berlayar. dan/atau berpangkalan di luar Dalam hal kapal perikanan berada pelabuhan perikanan, surat izin berlayar dan/atau berpangkalan di luar Memiliki surat diganti menjadi diterbitkan oleh syahbandar setempat pelabuhan perikanan, Persetujuan memenuhi standar laik operasi setelah diperoleh surat laik operasi dari berlayar diterbitkan oleh syahbandar kapal perikanan. pengawas perikanan yang ditugaskan setempat setelah memenuhi standar pada pelabuhan setempat. laik operasi dari pengawas perikanan yang ditugaskan pada pelabuhan setempat. Pasal 49: Pasal 27 angka 24 Izin menjadi Perizinan Setiap orang asing yang mendapat izin Pasal 49: Berusaha. penangkapan ikan di ZEEI dikenakan Setiap orang asing yang mendapat pungutan perikanan. Perizinan Berusaha untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI dikenakan pungutan perikanan. Pertanian Perubahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan 114. Jenis dan Perizinan Pasal 42: Pasal 29 angka 12 Izin usaha perkebunan diubah Usaha Perkebunan Kegiatan usaha budi daya Tanaman Pasal 42: menjadi Perizinan Berusaha Perkebunan dan/atau usaha Pengolahan (1) Kegiatan usaha budi daya perkebunan yang selanjutnya Hasil Perkebunan sebagaimana Tanaman Perkebunan dan/atau usaha akan diatur dengan Peraturan dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) Pengolahan Hasil Perkebunan Pemerintah. hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Perkebunan apabila telah mendapatkan 41 ayat (1) hanya dapat dilakukan hak atas tanah dan/atau izin Usaha oleh Perusahaan Perkebunan apabila Perkebunan. telah mendapatkan hak atas tanah dan memenuhi Perizinan Berusaha terkait Perkebunan dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 43: Pasal 29 angka 13 Izin usaha perkebunan diubah Kegiatan usaha Pengolahan Hasil Pasal 43: menjadi Perizinan Berusaha Perkebunan dapat didirikan pada Kegiatan usaha Pengolahan Hasil yang diberikan oleh wilayah Perkebunan swadaya Perkebunan dapat didirikan pada Pemerintah Pusat. masyarakat yang belum ada usaha wilayah Perkebunan swadaya Pengolahan Hasil Perkebunan setelah masyarakat yang belum ada usaha memperoleh hak atas tanah dan izin Pengolahan Hasil Perkebunan setelah Usaha Perkebunan. memperoleh hak atas tanah dan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Pasal 45: Pasal 29 angka 14 Dikarenakan izin usaha (1) Untuk mendapatkan izin Usaha Pasal 45: perkebunan diubah menjadi Perkebunan sebagaimana dimaksud Dihapus. Perizinan Berusaha, maka dalam Pasal 42 harus memenuhi aturan terkait izin usaha persyaratan: perkebunan dihapus. a. izin lingkungan; b. kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah; dan c. kesesuaian dengan rencana Perkebunan. (2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. usaha budi daya Perkebunan harus mempunyai sarana, prasarana, sistem, dan sarana pengendalian organisme pengganggu tumbuhan; dan b. usaha Pengolahan Hasil Perkebunan harus memenuhi sekurang-kurangnya 20% (dua puluh perseratus) dari keseluruhan bahan baku yang dibutuhkan berasal dari kebun yang diusahakan sendiri. Pasal 47: Pasal 29 angka 15 Izin usaha perkebunan diubah (1) Perusahaan Perkebunan yang Pasal 47: menjadi Perizinan Berusaha melakukan usaha budi daya Tanaman (1) Perusahaan Perkebunan yang sehingga Pasal 47 ayat (2) Perkebunan dengan luasan skala melakukan usaha budi daya Tanaman tentang pertimbangan tertentu dan/atau usaha Pengolahan Perkebunan dengan luasan skala pemberian izin usaha Hasil Perkebunan dengan kapasitas tertentu dan/atau usaha Pengolahan perkebunan dihapuskan. pabrik tertentu wajib memiliki izin Hasil Perkebunan dengan kapasitas Usaha Perkebunan. pabrik tertentu wajib memenuhi Akan ada sanksi administratif (2) Izin Usaha Perkebunan diberikan Perizinan Berusaha dari Pemerintah bagi perusahaan perkebunan dengan mempertimbangkan: Pusat. yang melakukan usaha budi a. jenis tanaman; (2) Setiap Perusahaan Perkebunan daya tanaman perkebunan b. kesesuaian Tanah dan agroklimat; yang melakukan usaha budi daya dengan luasan skala tertentu c. teknologi; Tanaman Perkebunan dengan luasan dan/atau usaha pengolahan d. tenaga kerja; dan skala tertentu dan/atau usaha hasil perkebunan dengan e. modal. Pengolahan Hasil Perkebunan kapasitas pabrik tanpa dengan kapasitas pabrik tertentu memiliki Perizinan Berusaha. yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a. penghentian sementara kegiatan; b. pengenaan denda; dan/atau c. paksaan Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana pada ayat (1) dan kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 48: Pasal 29 angka 16 Perizinan berusaha tetap (1) Izin Usaha Perkebunan sebagaimana Pasal 48: diberikan oleh gubernur dan dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) (1) Perizinan Berusaha Perkebunan bupati/wali kota namun diberikan oleh: sebagaimana dimaksud dalam Pasal pemberian perizinan berusaha a. gubernur untuk wilayah lintas 47 ayat (1) diberikan oleh: didasarkan pada norma, kabupaten/kota; dan a. gubernur untuk wilayah lintas standar, prosedur dan kriteria b. bupati/wali kota untuk wilayah dalam kabupaten/kota; dan yang ditetapkan oleh suatu kabupaten/kota. b. bupati/wali kota untuk wilayah Pemerintah Pusat. (2) Dalam hal lahan Usaha Perkebunan dalam suatu kabupaten/kota, berada pada wilayah lintas provinsi, berdasarkan norma, standar, Kewenangan Menteri menjadi izin diberikan oleh Menteri. prosedur, dan kriteria yang kewenangan Pemerintah Pusat. (3) Perusahaan Perkebunan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. mendapat izin Usaha Perkebunan wajib (2) Dalam hal lahan Usaha menyampaikan laporan perkembangan Perkebunan berada pada wilayah usahanya secara berkala sekurang- lintas provinsi, izin diberikan oleh kurangnya 1 (satu) tahun sekali kepada Pemerintah Pusat. pemberi izin sebagaimana dimaksud (3) Perusahaan Perkebunan yang pada ayat (1) dan ayat (2). telah mendapat Perizinan Berusaha, (4) Laporan perkembangan usaha secara Usaha Perkebunan wajib berkala sebagaimana dimaksud pada menyampaikan laporan ayat (3) juga disampaikan kepada perkembangan usahanya secara Menteri. berkala sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2). (4) Laporan perkembangan usaha secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga disampaikan kepada Pemerintah Pusat. Pasal 49: Pasal 29 angka 17 Dikarenakan izin usaha Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat Pasal 49: perkebunan diubah menjadi dan tata cara pemberian izin Usaha Dihapus. Perizinan Berusaha, maka Perkebunan, luasan lahan tertentu untuk aturan terkait izin usaha usaha budi daya Tanaman Perkebunan, perkebunan dihapus. dan kapasitas pabrik tertentu untuk usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 48 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 50: Pasal 29 angka 18 Dikarenakan izin usaha Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota Pasal 50: perkebunan diubah menjadi yang berwenang menerbitkan izin Dihapus. Perizinan Berusaha, maka Usaha Perkebunan dilarang: aturan terkait izin usaha a. menerbitkan izin yang tidak sesuai perkebunan dihapus. peruntukkan; dan/ atau b. menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perubahan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman 121. Lisensi Pasal 43: Pasal 30 angka 4 Mengenai besaran biaya (1) Perjanjian lisensi harus dicatatkan Pasal 43: pencatatan perjanjian lisensi pada Kantor PVT dan dimuat dalam (1) Perjanjian lisensi harus dicatatkan disesuaikan dengan ketentuan Daftar Umum PVT dengan membayar pada Kantor PVT dan dimuat dalam peraturan perundang-undangan biaya yang besarnya ditetapkan oleh Daftar Umum PVT dengan di bidang Penerimaan Negara Menteri. membayar biaya yang besarnya Bukan Pajak. (2) Dalam hal perjanjian lisensi tidak ditetapkan sesuai dengan ketentuan dicatatkan di Kantor PVT sebagaimana peraturan perundang-undangan di dimaksud pada ayat (1), maka bidang Penerimaan Negara Bukan perjanjian lisensi tersebut tidak Pajak. mempunyai akibat hukum terhadap (2) Dalam hal perjanjian lisensi tidak pihak ketiga. dicatatkan di Kantor PVT (3) Ketentuan mengenai perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lisensi diatur lebih lanjut dengan maka perjanjian lisensi tersebut tidak Peraturan Pemerintah. mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan 122. Perbenihan dan Pasal 32: Pasal 31 angka 3 Izin pemasukan dan izin Pembibitan (1) Pengadaan benih unggul melalui Pasal 32: pengeluaran dari Menteri pemasukan dari luar negeri (1) Pengadaan Benih unggul melalui diubah menjadi Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 pemasukan dari luar negeri Berusaha yang diberikan oleh ayat (1) dilakukan setelah mendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pemerintah Pusat. izin dari Menteri. 31 ayat (1) dilakukan setelah (2) Pengeluaran benih unggul dari mendapat Perizinan Berusaha dari Dalam RUU Ciptaker Petani wilayah negara Republik Indonesia Pemerintah Pusat. tidak lagi dapat melakukan dapat dilakukan oleh instansi (2) Pengeluaran Benih unggul dari pengeluaran benih unggul dari pemerintah, Petani, atau Pelaku Usaha wilayah Negara Republik Indonesia wilayah Indonesia. berdasarkan izin. dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pengeluaran benih unggul izin pemasukan sebagaimana dimaksud Pemerintah Pusat. harus dengan perizinan pada ayat (1) dan izin pengeluaran (3) Dalam hal pemasukan dari luar berusaha, sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) negeri sebagaimana dimaksud pada pengeluaran benih oleh diatur dengan Peraturan Menteri. ayat (1) dan pengeluaran Benih instansi pemerintah hanya unggul dari wilayah Negara Republik dengan persetujuan dari Indonesia sebagaimana dimaksud Pemerintah Pusat. pada ayat (2) dilakukan oleh instansi pemerintah, harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 43: Pasal 31 angka 4 Izin Pengeluaran Tanaman, Pengeluaran Tanaman, Benih Tanaman, Pasal 43: Benih Tanaman, Benih Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan Pengeluaran Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan dari wilayah negara Republik Indonesia Tanaman, Benih Hewan, Bibit hewan dari wilayah Negara oleh Setiap Orang dapat dilakukan jika Hewan, dan hewan dari wilayah Republik Indonesia dari keperluan dalam negeri telah terpenuhi Negara Republik Indonesia oleh Menteri diubah menjadi dengan memperoleh izin dari Menteri. Setiap Orang dapat dilakukan jika Perizinan Berusaha dari keperluan dalam negeri telah Pemerintah Pusat. terpenuhi setelah mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Pasal 44: Pasal 31 angka 5 Pemenuhan standar mutu (1) Pemasukan Tanaman, Benih Pasal 44: diubah menjadi pemenuhan Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, (1) Pemasukan Tanaman, Benih persyaratan. dan hewan dari luar negeri dapat Tanaman, Benih Hewan, Bibit dilakukan untuk: Hewan, dan hewan dari luar negeri Pemasukan benih unggul harus a. meningkatkan mutu dan keragaman dapat dilakukan untuk: dengan perizinan berusaha, genetik; a. meningkatkan mutu dan sementara pengeluaran benih b. mengembangkan ilmu pengetahuan keragaman genetik; oleh instansi pemerintah hanya dan teknologi; dan/atau b. mengembangkan ilmu dengan persetujuan dari c. memenuhi keperluan di dalam negeri. pengetahuan dan teknologi; dan/atau Pemerintah Pusat. (2) Pemasukan sebagaimana dimaksud c. memenuhi keperluan di dalam pada ayat (1) wajib memenuhi standar negeri. mutu. (2) Pemasukan sebagaimana (3) Setiap Orang yang melakukan dimaksud pada ayat (1) wajib pemasukan sebagaimana dimaksud memenuhi persyaratan. pada ayat (1) wajib memperoleh izin (3) Setiap Orang yang melakukan dari Menteri. pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (4) Dalam hal pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah, harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. Pasal 86: Pasal 31 angka 6 Izin diubah menjadi perizinan (1) Setiap Orang sebagaimana Pasal 86: berusaha. dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) yang (1) Setiap Orang sebagaimana melakukan Usaha Budi Daya Pertanian dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) Pada ayat (2) hanya disebutkan di atas skala tertentu wajib memiliki yang melakukan Usaha Budi Daya Pemerintah Pusat yang izin. Pertanian di atas skala tertentu wajib dilarang untuk memberikan (2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah memenuhi Perizinan Berusaha dari Perizinan Berusaha. Daerah sesuai dengan kewenangannya Pemerintah Pusat. dilarang memberikan izin Usaha Budi (2) Pemerintah Pusat dilarang Daya Pertanian sebagaimana dimaksud memberikan Perizinan Berusaha pada ayat (1) di atas tanah hak ulayat terkait Usaha Budi Daya Pertanian masyarakat hukum adat. sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (3) Ketentuan larangan sebagaimana di atas tanah hak ulayat masyarakat dimaksud pada ayat (2) dikecualikan hukum adat. dalam hal telah dicapai persetujuan (3) Ketentuan larangan sebagaimana antara masyarakat hukum adat dan dimaksud pada ayat (2) dikecualikan Pelaku Usaha. dalam hal telah dicapai persetujuan antara masyarakat hukum adat dan Pelaku Usaha. Kehutanan Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang 126. Pemanfaatan Hutan Pasal 26: Pasal 36 angka 4 Izin pemanfaatan hutan dan Penggunaan (1) Pemanfaatan hutan lindung dapat Pasal 26: lindung melalui izin usaha Kawasan Hutan berupa pemanfaatan kawasan, (1) Pemanfaatan Hutan Lindung pemanfaatan Kawasan, izin pemanfaatan jasa lingkungan, dan dapat berupa pemanfaatan kawasan, usaha pemanfaatan jasa pemungutan hasil hutan bukan kayu. pemanfaatan jasa lingkungan, dan lingkungan dan izin (2) Pemanfaatan hutan lindung pemungutan hasil hutan bukan kayu. pemungutan hasil hutan bukan dilaksanakan melalui pemberian izin (2) Pemanfaatan hutan lindung kayu diintegrasikan ke dalam usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perizinan Berusaha. pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin dilakukan dengan pemberian pemungutan hasil hutan bukan kayu. Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. Pasal 27: Pasal 36 angka 5 Dikarenakan seluruh izin (1) Izin usaha pemanfaatan kawasan Pasal 27: diintegrasikan dalam Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Perizinan Berusaha sebagaimana Berusaha, dalam pasal ini ayat (2) dapat diberikan kepada: dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) tidak terlalu jelas mengenai a. perorangan, dapat diberikan kepada: pemberian izin. b. koperasi. a. perorangan; (2) Izin usaha pemanfaatan jasa b. koperasi; Apabila perizinan berusaha lingkungan sebagaimana dimaksud c. badan usaha milik negara, atau yang dimaksud dalam pasal ini dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan d. badan usaha milik daerah. mencangkup seluruh kepada: e. badan usaha milik swasta; perizinan, maka BUMN, a. perorangan, BUMD dan Badan Usaha b. koperasi, Milik Swasta turut dapat c. badan usaha milik swasta Indonesia, diberikan izin usaha d. badan usaha milik negara atau badan pemanfaatan Kawasan dan usaha milik daerah. pemungutan hasil hutan. (3) Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi. Pasal 28: Pasal 36 angka 6 Seluruh izin diintegrasikan ke (1) Pemanfaatan hutan produksi dapat Pasal 28: dalam Perizinan Berusaha. berupa pemanfaatan kawasan, (1) Pemanfaatan Hutan Produksi pemanfaatan jasa lingkungan, dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan pemanfaatan jasa lingkungan, bukan kayu, serta pemungutan hasil pemanfaatan hasil hutan kayu dan hutan kayu dan bukan kayu. bukan kayu, serta pemungutan hasil (2) Pemanfaatan hutan produksi hutan kayu dan bukan kayu. dilaksanakan melalui pemberian izin (2) Pemanfaatan Hutan Produksi usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha sebagaimana dimaksud ayat (1) pemanfaatan jasa lingkungan, izin dengan pemberian Perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, Berusaha dari Pemerintah Pusat. izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pasal 29: Pasal 36 angka 7 Dikarenakan seluruh izin (1) Izin usaha pemanfaatan kawasan Pasal 29: diintegrasikan dalam Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Perizinan Berusaha sebagaimana Berusaha, dalam pasal ini ayat (2) dapat diberikan kepada: dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) tidak terlalu jelas mengenai a. perorangan, dapat diberikan kepada: pemberian izin. b. koperasi. a. perseorangan; (2) Izin usaha pemanfaatan jasa b. koperasi; Apabila perizinan berusaha lingkungan sebagaimana dimaksud c. badan usaha milik negara; yang dimaksud dalam pasal ini dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan d. badan usaha milik daerah; atau mencangkup seluruh kepada: e. badan usaha milik swasta. perizinan, maka BUMN, a. perorangan, BUMD dan Badan Usaha b. koperasi, Milik Swasta turut dapat c. badan usaha milik swasta Indonesia, diberikan izin usaha d. badan usaha milik negara atau badan pemanfaatan Kawasan dan usaha milik daerah. pemungutan hasil hutan. (3) Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi, c. badan usaha milik swasta Indonesia, d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. (4) Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi, c. badan usaha milik swasta Indonesia, d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. (5) Izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi. - Pasal 36 angka 8 RUU Ciptaker menambahkan Pasal 29A: ketentuan kegiatan Perhutanan (1) Pemanfaatan Hutan Lindung dan sosial. Hutan Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 28 dapat dilakukan kegiatan Perhutanan sosial. (2) Perhutanan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada: a. perseorangan; b. kelompok tani hutan; dan c. koperasi. Pasal 29B: Ketentuannya akan diatur Ketentuan lebih lanjut mengenai lebih lanjut dalam Peraturan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Pemerintah. Hutan dan kegiatan perhutanan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 30: Pasal 36 angka 9 Seluruh izin diubah menjadi Dalam rangka pemberdayaan ekonomi Pasal 30: Perizinan Berusaha. masyarakat, setiap badan usaha milik Dalam rangka pemberdayaan negara, badan usaha milik daerah, dan ekonomi masyarakat, setiap badan badan usaha milik swasta Indonesia usaha milik negara, badan usaha yang memperoleh izin usaha milik daerah, dan badan usaha milik pemanfaatan jasa lingkungan, izin swasta yang memperoleh Perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan Berusaha pemanfaatan hutan, wajib bukan kayu, diwajibkan bekerja sama bekerja sama dengan koperasi dengan koperasi masyarakat setempat. masyarakat setempat. Pasal 31: Pasal 36 angka 10 Seluruh izin diubah menjadi (1) Untuk menjamin asas keadilan, Pasal 31: Perizinan Berusaha. pemerataan, dan lestari, maka izin (1) Untuk menjamin asas keadilan, usaha pemanfaatan hutan dibatasi pemerataan, dan lestari, Perizinan dengan mempertimbangkan aspek Berusaha terkait pemanfaatan hutan kelestarian hutan dan aspek kepastian dibatasi dengan mempertimbangkan usaha. aspek kelestarian hutan dan aspek (2) Pembatasan sebagaimana dimaksud kepastian usaha. pada ayat (1) diatur dengan Peraturan (2) Ketentuan mengenai Pembatasan Pemerintah. sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 32: Pasal 36 angka 11 Seluruh izin diubah menjadi Pemegang izin sebagaimana diatur Pasal 32: Perizinan Berusaha. dalam Pasal 27 dan Pasal 29 Pemegang Perizinan Berusaha berkewajiban untuk menjaga, berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan memelihara dan melestarikan hutan tempat usahanya. tempat usahanya. Pasal 33: Pasal 36 angka 12 Ketentuan akan diatur lebih (1) Usaha pemanfaatan hasil hutan Pasal 33: lanjut dengan Peraturan meliputi kegiatan penanaman, (1) Usaha pemanfaatan hasil hutan Pemerintah. pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, meliputi kegiatan penanaman, dan pemasaran hasil hutan. pemeliharaan, pemanenan, (2) Pemanenan dan pengolahan hasil pengolahan, dan pemasaran hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat hutan. (1) tidak boleh melebihi daya dukung (2) Pemanenan dan pengolahan hasil hutan secara lestari. hutan sebagaimana dimaksud pada (3) Pengaturan, pembinaan dan ayat (1) tidak boleh melebihi daya pengembangan pengolahan hasil hutan dukung hutan secara lestari. sebagaimana dimaksud pada ayat (2) (3) Ketentuan mengenai pembinaan diatur oleh Menteri. dan pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 35: Pasal 36 angka 13 Berdasarkan RUU Ciptaker, (1) Setiap pemegang izin usaha Pasal 35: pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan sebagaimana (1) Setiap pemegang Perizinan terkait pemanfaatan hutan dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, Berusaha terkait pemanfaatan hutan akan dikenakan pemerimaan dikenakan iuran izin usaha, provisi, dikenakan penerimaan negara bukan negara bukan pajak di bidang dana reboisasi, dan dana jaminan pajak dibidang kehutanan. kehutanan yang akan kinerja. (2) Penerimaan negara bukan pajak digunakan untuk kegiatan (2) Setiap pemegang izin usaha dibidang kehutanan sebagaimana rehabilitasi hutan dan lahan. pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 dari dana reboisasi hanya Pemegang perizinan berusaha wajib menyediakan dana investasi dipergunakan untuk kegiatan terkait pemanfaatan hutan juga untuk biaya pelestarian hutan. rehabilitasi hutan dan lahan. dowajibkan untuk (3) Setiap pemegang izin pemungutan (3) Setiap pemegang Perizinan menyediakan dana investasi hasil hutan sebagaimana dimaksud Berusaha terkait pemanfaatan hutan untuk biaya pelestarian hutan. dalam Pasal 27 dan Pasal 29 hanya wajib menyediakan dana investasi dikenakan provisi. untuk biaya pelestarian hutan. Untuk pemegang perizinan (4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana (4) Setiap pemegang Perizinan berusaha terkait pemungutan dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan Berusaha terkait pemungutan hasil hasil hutan hanya dikenakan ayat (3) diatur dengan Peraturan hutan hanya dikenakan penerimaan provisi. Pemerintah. negara bukan pajak berupa provisi dibidang kehutanan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 38: Pasal 36 angka 14 Izin pinjam pakai diubah (1) Penggunaan kawasan hutan untuk Pasal 38: menjadi pinjam pakai oleh kepentingan pembangunan di luar (1) Penggunaan kawasan hutan untuk Pemerintah Pusat. kegiatan kehutanan hanya dapat kepentingan pembangunan di luar dilakukan di dalam kawasan hutan kegiatan kehutanan hanya dapat Ketentuan mengenai produksi dan kawasan hutan lindung. dilakukan di dalam kawasan hutan pemberian izin pinjam pakai (2) Penggunaan kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. yang berdampak penting dan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) Penggunaan kawasan hutan cakupan yang luas dihapus dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam RUU Ciptaker. pokok kawasan hutan. dapat dilakukan tanpa mengubah (3) Penggunaan kawasan hutan untuk fungsi pokok kawasan hutan. kepentingan pertambangan dilakukan (3) Penggunaan kawasan hutan melalui pemberian izin pinjam pakai dilakukan melalui pinjam pakai oleh oleh Menteri dengan Pemerintah Pusat dengan mempertimbangkan batasan luas dan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian jangka waktu tertentu serta lingkungan. kelestarian lingkungan. (4) Pada kawasan hutan lindung (4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. dengan pola pertambangan terbuka. (5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan 138. Pencegahan Pasal 7: Pasal 37 angka 2 Izin pemanfaatan hutan diubah Perusakan Hutan Pencegahan perusakan hutan dilakukan Pasal 7: menjadi Perizinan Berusaha oleh masyarakat, badan hukum, Pencegahan perusakan hutan terkait pemanfaatan hutan. dan/atau korporasi yang memperoleh dilakukan oleh masyarakat, badan izin pemanfaatan hutan. hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan. 139. Ketentuan Pasal 12: Pasal 37 angka 3 Seluruh izin diubah menjadi Perbuatan Setiap orang dilarang: Pasal 12: perizinan berusaha yang Perusakan Hutan a. melakukan penebangan pohon dalam Setiap orang dilarang: diberikan oleh Pemerintah. kawasan hutan yang tidak sesuai a. melakukan penebangan pohon dengan izin pemanfaatan hutan; dalam kawasan hutan yang tidak b. melakukan penebangan pohon dalam sesuai dengan Perizinan Berusaha kawasan hutan tanpa memiliki izin yang terkait pemanfaatan hutan; dikeluarkan oleh pejabat yang b. melakukan penebangan pohon berwenang; dalam kawasan hutan tanpa memiliki c. melakukan penebangan pohon dalam Perizinan Berusaha dari Pemerintah. kawasan hutan secara tidak sah; c. melakukan penebangan pohon d. memuat, membongkar, dalam kawasan hutan secara tidak mengeluarkan, mengangkut, menguasai, sah; dan/atau memiliki hasil penebangan di d. memuat, membongkar, kawasan hutan tanpa izin; mengeluarkan, mengangkut, e. mengangkut, menguasai, atau menguasai, dan/atau memiliki hasil memiliki hasil hutan kayu yang tidak penebangan di kawasan hutan tanpa dilengkapi secara bersama surat Perizinan Berusaha dari Pemerintah; keterangan sahnya hasil hutan; e. mengangkut, menguasai, atau f. membawa alat-alat yang lazim memiliki hasil hutan kayu yang tidak digunakan untuk menebang, memotong, dilengkapi secara bersama surat atau membelah pohon di dalam keterangan sahnya hasil hutan; kawasan hutan tanpa izin pejabat yang f. membawa alat-alat yang lazim berwenang; digunakan untuk menebang, g. membawa alat-alat berat dan/atau memotong, atau membelah pohon di alat-alat lainnya yang lazim atau patut dalam kawasan hutan tanpa Perizinan diduga akan digunakan untuk Berusaha dari Pemerintah; mengangkut hasil hutan di dalam g. membawa alat-alat berat dan/atau kawasan hutan tanpa izin pejabat yang alat-alat lainnya yang lazim atau berwenang; patut diduga akan digunakan untuk h. memanfaatkan hasil hutan kayu yang mengangkut hasil hutan di dalam diduga berasal dari hasil pembalakan kawasan hutan tanpa Perizinan liar; Berusaha dari Pemerintah; i. mengedarkan kayu hasil pembalakan h. memanfaatkan hasil hutan kayu liar melalui darat, perairan, atau udara; yang diduga berasal dari hasil j. menyelundupkan kayu yang berasal pembalakan liar; dari atau masuk ke wilayah Negara i. mengedarkan kayu hasil Kesatuan Republik Indonesia melalui pembalakan liar melalui darat, sungai, darat, laut, atau udara; perairan, atau udara; k. menerima, membeli, menjual, j. menyelundupkan kayu yang menerima tukar, menerima titipan, berasal dari atau masuk ke wilayah dan/atau memiliki hasil hutan yang Negara Kesatuan Republik Indonesia diketahui berasal dari pembalakan liar; melalui sungai, darat, laut, atau l. membeli, memasarkan, dan/atau udara; mengolah hasil hutan kayu yang berasal k. menerima, membeli, menjual, dari kawasan hutan yang diambil atau menerima tukar, menerima titipan, dipungut secara tidak sah; dan/atau dan/atau memiliki hasil hutan yang m. menerima, menjual, menerima tukar, diketahui berasal dari pembalakan menerima titipan, menyimpan, dan/atau liar; memiliki hasil hutan kayu yang berasal l. membeli, memasarkan, dan/atau dari kawasan hutan yang diambil atau mengolah hasil hutan kayu yang dipungut secara tidak sah. berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; dan/atau m. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. - Pasal 37 angka 4 Terdapat penambahan pasal Pasal 12A: mengenai pengenaan sanksi. (1) Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus yang melakukan pelanggaran terhadap pasal 12 huruf a sampai dengan huruf f, dan/atau huruf h dikenai sanksi administratif. (2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan terhadap: a. orang perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus-menerus dan terdaftar dalam kebijakan penataan Kawasan Hutan; atau b. orang perseorangan yang telah mendapatkan sanksi sosial atau sanksi adat. Pasal 17: Pasal 37 angka 5 Seluruh izin menjadi (1) Setiap orang dilarang: Pasal 17: kewenangan Pemerintah Pusat a. membawa alat-alat berat dan/atau (1) Setiap orang dilarang: untuk memberikannya. alat-alat lain yang lazim atau patut a. membawa alat-alat berat dan/atau diduga akan digunakan untuk alat-alat lain yang lazim atau patut melakukan kegiatan penambangan diduga akan digunakan untuk dan/atau mengangkut hasil tambang di melakukan kegiatan penambangan dalam kawasan hutan tanpa izin dan/atau mengangkut hasil tambang Menteri; di dalam kawasan hutan tanpa b. melakukan kegiatan penambangan di Perizinan dari Pemerintah; dalam kawasan hutan tanpa izin b. melakukan kegiatan penambangan Menteri; di dalam kawasan hutan tanpa c. mengangkut dan/atau menerima Perizinan dari Pemerintah; titipan hasil tambang yang berasal dari c. mengangkut dan/atau menerima kegiatan penambangan di dalam titipan hasil tambang yang berasal kawasan hutan tanpa izin; dari kegiatan penambangan di dalam d. menjual, menguasai, memiliki, kawasan hutan tanpa Perizinan dari dan/atau menyimpan hasil tambang Pemerintah; yang berasal dari kegiatan d. menjual, menguasai, memiliki, penambangan di dalam kawasan hutan dan/atau menyimpan hasil tambang tanpa izin; dan/atau yang berasal dari kegiatan e. membeli, memasarkan, dan/atau penambangan di dalam kawasan mengolah hasil tambang dari kegiatan hutan tanpa Perizinan dari penambangan di dalam kawasan hutan Pemerintah; dan/atau tanpa izin. e. membeli, memasarkan, dan/atau (2) Setiap orang dilarang: mengolah hasil tambang dari a. membawa alat-alat berat dan/atau kegiatan penambangan di dalam alat-alat lainnya yang lazim atau patut kawasan hutan tanpa Perizinan dari diduga akan digunakan untuk Pemerintah. melakukan kegiatan perkebunan (2) Setiap orang dilarang: dan/atau mengangkut hasil kebun di a. membawa alat-alat berat dan/atau dalam kawasan hutan tanpa izin alat-alat lainnya yang lazim atau Menteri; patut diduga akan digunakan untuk b. melakukan kegiatan perkebunan melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan dan/atau mengangkut hasil kebun di hutan; dalam kawasan hutan tanpa Perizinan c. mengangkut dan/atau menerima dari Pemerintah; titipan hasil perkebunan yang berasal b. melakukan kegiatan perkebunan dari kegiatan perkebunan di dalam tanpa Perizinan dari Pemerintah kawasan hutan tanpa izin; Pusat di dalam kawasan hutan; d. menjual, menguasai, memiliki, c. mengangkut dan/atau menerima dan/atau menyimpan hasil perkebunan titipan hasil perkebunan yang berasal yang berasal dari kegiatan perkebunan dari kegiatan perkebunan di dalam di dalam kawasan hutan tanpa izin; kawasan hutan tanpa Perizinan dari dan/atau Pemerintah; e. membeli, memasarkan, dan/atau d. menjual, menguasai, memiliki, mengolah hasil kebun dari perkebunan dan/atau menyimpan hasil yang berasal dari kegiatan perkebunan perkebunan yang berasal dari di dalam kawasan hutan tanpa izin. kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah; dan/atau e. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa Perizinan dari Pemerintah. - Pasal 37 angka 6 Terdapat penambahan pasal Pasal 17A: mengenai pengenaan sanksi. (1) Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c, dan/atau huruf d dikenai sanksi administratif. (2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan terhadap: a. orang perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus-menerus dan terdaftar dalam kebijakan penataan Kawasan Hutan; atau b. orang perseorangan yang telah mendapatkan sanksi sosial atau sanksi adat. Pasal 24: Pasal 37 angka 8 Surat izin pemanfaatan hasil Setiap orang dilarang: Pasal 24: hutan kayu diubah menjadi a. memalsukan surat izin pemanfaatan Setiap orang dilarang: Perizinan Berusaha terkait hasil hutan kayu dan/atau penggunaan a. memalsukan Perizinan Berusaha pemanfaatan hasil hutan. kawasan hutan; terkait pemanfaatan hasil hutan b. menggunakan surat izin palsu dan/atau penggunaan kawasan hutan; Dalam RUU Ciptaker terdapat pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau b. menggunakan Perizinan Berusaha larangan untuk penggunaan kawasan hutan; dan/atau terkait pemanfaatan hasil hutan palsu memindahtangankan atau c. memindahtangankan atau menjual dan/atau penggunaan kawasan hutan; menjual Perizinan Berusaha izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang dan/atau terkait pemanfaatan hasil berwenang kecuali dengan persetujuan c. memindahtangankan atau menjual hutan. Di penjelasannya Menteri. Perizinan Berusaha terkait disebutkan bahwa ketentuan pemanfaatan hasil hutan dari tersebut tidak termasuk Pemerintah. akuisisi. Pasal 28: Pasal 37 angka 9 Izin diubah menjadi Perizinan Setiap pejabat dilarang: Pasal 28: Berusaha. a. menerbitkan izin pemanfaatan hasil Setiap pejabat dilarang: hutan kayu dan/atau penggunaan a. menerbitkan Perizinan Berusaha kawasan hutan di dalam kawasan hutan terkait pemanfaatan hasil hutan kayu yang tidak sesuai dengan dan/atau penggunaan kawasan hutan kewenangannya; di dalam kawasan hutan yang tidak b. menerbitkan izin pemanfaatan di sesuai dengan kewenangannya; dalam kawasan hutan dan/atau izin b. menerbitkan Perizinan Berusaha di penggunaan kawasan hutan yang tidak dalam kawasan hutan dan/atau sesuai dengan ketentuan peraturan Perizinan Berusaha terkait perundang-undangan; penggunaan kawasan hutan yang c. melindungi pelaku pembalakan liar tidak sesuai dengan ketentuan dan/atau penggunaan kawasan hutan peraturan perundang-undangan; secara tidak sah; c. melindungi pelaku pembalakan d. ikut serta atau membantu kegiatan liar dan/atau penggunaan kawasan pembalakan liar dan/atau penggunaan hutan secara tidak sah; kawasan hutan secara tidak sah; d. ikut serta atau membantu kegiatan e. melakukan permufakatan untuk pembalakan liar dan/atau terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara penggunaan kawasan hutan secara tidak tidak sah; sah; e. melakukan permufakatan untuk f. menerbitkan surat keterangan sahnya terjadinya pembalakan liar dan/atau hasil hutan tanpa hak; penggunaan kawasan hutan secara g. dengan sengaja melakukan tidak sah; pembiaran dalam melaksanakan tugas; f. menerbitkan surat keterangan dan/atau sahnya hasil hutan tanpa hak; h. lalai dalam melaksanakan tugas. g. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas; dan/atau h. lalai dalam melaksanakan tugas.