Anda di halaman 1dari 11

PENERAPAN ASAS LEX SPECIALIS DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

DI INDONESIA

Asas lex specialis derogat legi generali memiliki makna bahwa aturan hukum yang
lebih khusus meniadakan keberlakuan aturan yang lebih umum. Di Indonesia, dalam hukum
pidana asas lex specialis derogat legi generali dinormakan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP,
yaitu:
“Jika suatu tindakan masuk dalam suatu ketentuan pidana umum, tetapi termasuk
juga dalam ketentuan pidana khusus, maka hanya yang khusus itu yang diterapkan.”
Berdasarkan pasal tersebut dapat diartikan bahwa terhadap suatu tindak pidana yang
melanggar dua ketentuan hukum pidana atau lebih, yang salah satunya adalah ketentuan
pidana umum dan lainnya adalah ketentuan pidana khusus, maka ketentuan pidana khusus lah
yang dikenakan kepada pelakunya.1 Namun, KUHP tidak memberi penjelasan lebih detail
dan ukuran yang pasti terkait dalam perkara seperti apa asas tersebut digunakan, sehingga
bukan hal yang mudah untuk menentukan secara mutlak bahwa suatu aturan hukum bersifat
khusus terhadap aturan hukum lainnya yang bersifat umum.2
Prof. Bagir Manan mengemukakan bahwa ada beberapa prinsip atau pedoman yang harus
diperhatikan dalam menerapkan asas lex specialis derogat legi generali, yaitu:3
1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum tetap berlaku, kecuali yang
diatur khusus dalam aturan khsus tersebut.
2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sejajar dengan ketentuan-ketentuan lex
generali (undang-undang dengan undang-undang).
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim)
yang sama dengan lex generali.
Sementara itu, dikutip dari artikel berjudul ‘Konsepsi Ajaran Logische Specialiteit dan
Systematische Specialiteit’ yang ditulis oleh H. Akhmad Fijiarsyah Joko Sutrisno, S.H.,
M.H., Schapffmeister mengemukakan bahwa terdapat dua cara memandang suatu ketentuan
pidana bersifat khusus atau bukan yaitu dengan cara pandang kekhususan yang logis
(logische specialiteit) atau dengan cara pandang kekhususan yang sistematis (systematische
specialiteit). Logische specialiteit dapat diterapkan apabila ketentuan pidana tersebut
disamping memuat unsur-unsur yang lain (khusus), juga memuat semua unsur dari suatu
ketentuan pidana yang bersifat umum. Sedangkan systematische specialiteit dapat diterapkan
jika suatu ketentuan pidana walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang
bersifat umum, tetap dapat dianggap sebagai suatu ketentuan yang bersifat khusus apabila
1
Shinta Agustina, “Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali Dalam Sistem Peradilan Pidana,”
MMH 44, no. 4 (2015): 503–10.
2
Nurfaqih Irfani, “Asas Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex Posterior: Pemaknaan, Problematika, dan
Penggunaannya dalam Penalaran dan Argumentasi Hukum,” Legislasi Indonesia 16, No. 3 (2020): 305–25.f
3
Septa Fajar Adi Kusuma, “Pertimbangan Hakim Tidak Berdasar Asas Lex Specialis Derogate Legi Generali
Dalam Putusan Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Menyebabkan Matinya Orang (Studi Putusan Hakim Nomor
460/Pid.B/2009/PN.Ska dan 22/Pid.B/2010/PN.Ska),” Recidive 2, no. 1 (2013).

1
dengan jelas dapat diketahui bahwa pembentuk Undang-Undang memang bermaksud untuk
memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat
khusus.4
Bahwa terhadap penerapan asas dengan kekhususan secara logis (logische
specialiteit), Lamintang memberikan beberapa contoh dan terhadap kekhususan secara
sistematis (systematische specialiteit) A.Z Abidin dan Andi Hamzah juga memberikan contoh
sebagaimana terdapat dalam tabel berikut.

Kekhususan Logis Kekhususan Sistematis


Ketentuan pidana dalam Pasal 374 KUHP Kasus tindak pidana penyelundupan barang
(penggelapan dalam jabatan) sebagai tanpa membayar bea untuk memperkaya diri
ketentuan lebih khusus dari Pasal 372 sendiri dan merugikan keuangan Negara.
KUHP (penggelapan).
Ketentuan pidana dalam Pasal 363 KUHP Bahwa walaupun terhadap perbuatan
(pencurian, pembongkaran, dll.) sebagai tersebut telah memenuhi semua bagian inti
aturan khusus dari Pasal 362 KUHP delik korupsi sebagaimana diatur dalam
(pencurian). Pasal 2 UU 31/1999 sebagaimana diubah
Ketentuan pidana dalam Pasal 341 KUHP dengan UU 20/2001, namun UU tersebut
(pembunuhan bayi yang baru dilahirkan) tidak dapat diterapkan dalam kasus di atas
sebagai aturan khusus dari Pasal 338 KUHP dikarenakan telah ada UU yang bersifat
(pembunuhan). lebih khusus yang mengatur mengenai
penyelundupan yaitu pada Pasal 102 UU
10/1995 tentang Kepabeanan.

Dari contoh tersebut, dapat diketahui bahwa asas kekhususan logis digunakan dalam
menentukan ketentuan (pasal) yang diberlakukan dalam satu perundangan khusus, sementara
itu asas kekhususan sistematis dapat digunakan dalam menentukan UU khusus mana yang
diberlakukan.
Penerapannya di Indonesia
Di Indonesia, penerapan asas lex specialis derogat legi generali masih belum
konsisten. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shinta Agustina, dkk. yang kemudian
dituliskan dalam jurnal dengan judul ‘Persepsi Aparat Penegak Hukum tentang Implementasi
Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana’, inkonsistensi
penerapan asas lex specialis derogat legi generali disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi
tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana khusus serta dalam perkara pidana yang
bagaimana asas lex specialis derogat legi generali dapat diterapkan. Selain itu, sebagian
besar para penegak hukum juga memiliki perbedaan terkait pada tahapan apa asas lex
specialis derogat legi generali seharusnya diterapkan.5

4
Akhmad Fijiarsyah Joko Sutrisno, “Konsepsi Ajaran Logische Specialiteit dan Systematische Specialiteit,”
2020.

2
Sebagai contoh, inkonsistensi penerapan asas lex specialis derogat legi generalis
terdapat dalam putusan perkara lalu lintas yang menyebabkan kematian korban, yaitu dalam
perkara nomor 460/Pid.B/2009/PN.Ska dan perkara nomor 22/Pid.B/2010/PN.Ska. 6
Ketentuan yang mengatur mengenai kelalaian yang menyebabkan kematian seseorang secara
umum diatur dalam Pasal 359 KUHP, sementara dalam hal yang menyebabkan kematian
terjadi akibat kelalaian pengendara dalam mengemudikan kendaraan dapat dikenakan sanksi
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (4) UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Berdasarkan asas hukum pidana lex specialis derogate legi generali, suatu
perkara kecelakaan lalu lintas yang terjadi setelah ketentuan khusus (UULLAJ) disahkan dan
diberlakukan maka ketentuan umum (KUHP) dapat dikesampingkan. Namun kemudian
terdapat perbedaan pertimbangan hakim pada dua perkara tersebut. Bahwa terhadap putusan
nomor 460/Pid.B/2009/PN.Ska sudah sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generali,
yaitu menggunakan ketentuan khusus dalam UULLAJ. Sementara itu, dalam putusan nomor
22/Pid.B/2010/PN.Ska, Majelis Hakim lebih memilih untuk menggunakan asas peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan. Dalam pertimbangannya hakim menggunakan ketentuan
pidana sebagaimana diatur dalam KUHP dikarenakan ancaman pidananya lebih rendah.
Dalam praktiknya, masih banyak ditemukan perbedaan penerapan asas lex specialis
derogat legi generali oleh para penegak hukum sebagaimana dapat dilihat dalam beberapa
putusan di bawah ini:
1. PUTUSAN NOMOR 171/PID.SUS/2020/PNTNR
Kasus perusakan barang milik orang lain.
Dakwaan alternatif: Pasal 2 UU Darurat 12/1951 atau Pasal 406 ayat (1) KUHP
Tuntutan: Pidana penjara selama 1 tahun dan 2 bulan
Pertimbangan Hakim:
- Menimbang, bahwa berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang diajukan
diperoleh fakta-fakta hukum;
- Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah
berdasarkan fakta-fakta hukum, Terdakwa dapat dinyatakan telah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya;
- Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan
dakwaan yang berbentuk alternatif, sehingga Majelis Hakim dengan
memperhatikan fakta-fakta hukum tersebut diatas memilih langsung
dakwaan alternatif kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 406 ayat (1)
KUHP;

5
Nani Mulyati, Shinta Agustina, dan Iwan Kurniawan, “Persepsi Aparat Penegak Hukum Tentang Implemenasi
Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali,” Masalah-Masalah Hukum 41, no. 4 (2012): 540–48.
6
Kusuma, “Pertimbangan Hakim Tidak Berdasar Asas Lex Specialis Derogate Legi Generali Dalam Putusan
Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Menyebabkan Matinya Orang (Studi Putusan Hakim Nomor
460/Pid.B/2009/PN.Ska dan 22/Pid.B/2010/PN.Ska).”

3
- Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 406 ayat (1) KUHP telah
terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan kedua Penuntut
Umum;
Putusan: Pidana penjara selama 8 bulan

2. PUTUSAN NOMOR 43/PID.SUS/2016/PN BJN


Kasus pembunuhan terhadap anak.
Dakwaan alternatif subsidiaritas: Pasal 340 KUHP (primair), Pasal 338 KUHP
(subsidair), Pasal 365 ayat (3) KUHP (lebih subsidair) atau Pasal 80 ayat (3) UU
35/2014 tentang Perubahan Atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak
Tuntutan: Pidana Penjara selama 20 tahun
Pertimbangan Hakim:

- Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan Penuntut Umum disusun secara


alternative subsidiaritas, maka sesuai tertib hukum acara pidana, Majelis Hakim
dapat memilih dakwaan dari Penuntut Umum yang sesuai dengan fakta di
persidangan dan dari dakwaan alternatif yang dipilih tersebut maka Majelis
Hakim akan mempertimbangkan terlebih dahulu dakwaan primair, apabila
dakwaan primair tidak terbukti maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan
dakwaan subsidiair, selanjutnya apabila dari dakwaan alternatif yang telah
dipertimbangkan terlebih dahulu tidak terbukti maka Majelis Hakim akan
mempertimbangkan dakwaan alternatif selainnya;
- Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim mempertimbangkan pembelaan
point kedua dari Terdakwa yaitu tidak tepat penerapan pasal 340 KUH Pidana
sebagai dakwaan yang terbukti melainkan yang tepat adalah melanggar ketentuan
pasal 80 ayat (3) UU No. 35 tahun 2014 tentang perubahan dari UU No.23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, dengan alasan karena korban masih tergolong
anak-anak dan telah mengalami kekerasan hingga meninggal dunia serta dengan
alasan azas hukum yang berbunyi: ”Lex Specialis derogat Lex Generalis”, artinya
aturan yang khusus mengenyampingkan aturan yang umum.
- Menimbang, bahwa terhadap pembelaan Terdakwa pada point kedua ini, Majelis
Hakim tidak sependapat dengan alasan walaupun kekerasan itu adalah satu
rumpun dalam tindak pidana kejahatan terhadap tubuh dan nyawa, namun setelah
dikaji secara seksama dan mendalam berdasarkan fakta yang terungkap di
persidangan terkait perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa adalah lebih tepat
kesengajaan menghilangkan nyawa atau dengan kata lain hilangnya nyawa itu
adalah sesuatu yang dikehendaki bukan merupakan suatu akibat hal ini didasari
fakta adanya perlukaan pada tubuh korban diarahkan pada organ tubuh yang vital
dan sarana yang dipergunakan oleh Terdakwa dalam melukai korban berupa pisau

4
dan palu hingga korban meninggal dunia sebagaimana telah dipertimbangkan oleh
Majelis Hakim dan hal ini tentunya sangat berbeda dengan pasal 80 ayat (3) UU
No. 35 tahun 2014 tentang perubahan dari UU No.23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak bahwa hilangnya nyawa adalah bukan hal yang dituju atau
dimaksud melainkan hanya sebagai akibat adanya kekejaman, kekerasan atau
ancaman kekerasan atau penganiyaan yang berakibat matinya/hilangnya nyawa
orang lain dan disamping itu walaupun usia korban masih dibawah 18 tahun
bukan berarti pasal 80 ayat (3) UU No. 35 tahun 2014 tentang perubahan
dari UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menjadi Lex
Specialis dari ketentuan pasal 340 KUH Pidana karena pasal 80 ayat (3) UU
No. 35 tahun 2014 tentang perubahan dari UU No.23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak bila dikaji dari unsur-unsur obyektif maupun unsure
subyektif, adalah tidak identik dengan ketentuan pasal 340 KUH Pidana;
- Menimbang, bahwa oleh karena segenap unsur-unsur tindak pidana dalam
dakwaan alternatif kesatu primair Penuntut Umum telah terpenuhi berdasarkan
bukti-bukti yang sah dan Majelis Hakim mendapatkan keyakinan dari bukti-bukti
yang sah tersebut dan Terdakwa adalah sebagai orang yang melakukannnya dan
selama pemeriksaan tidak ditemukan bukti-bukti lain yang dapat dijadikan dasar
sebagai alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahan Terdakwa atau alasan
pembenar yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan Terdakwa,
maka oleh karena itu Terdakwa haruslah dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar pasal 340 KUH
Pidana dengan kwalifikasi “Pembunuhan berencana ”.
Putusan: Pidana penjara seumur hidup.

3. PUTUSAN NOMOR 187/PID.SUS/2017/PN Kis


Kasus kekerasan terhadap anak
Dakwaan alternatif: Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014 Atas Perubahan UU 23/2002
tentang Perlindungan Anak atau Pasal 351 ayat (1) KUHP
Tuntutan: Pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan dan denda RP10.000.000
Pertimbangan Hakim:

- Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah


berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, Terdakwa dapat dinyatakan telah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya;
- Menimbang, bahwa untuk menyatakan seseorang telah melakukan suatu tindak
pidana, maka perbuatan orang tersebut haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur
dari tindak pidana yang didakwakan kepadanya;
- Menimbang, bahwa karena dakwaan disusun secara alternatif, maka sesuai
dengan tertib hukum acara pidana, Majelis Hakim diberikan kebebasan

5
untuk memilih dakwaan yang cendrung pada perbuatan terdakwa sesuai
dengan fakta dipersidangan, Majelis Hakim menilai bahwa antara dakwaan
pertama atau dakwaan kedua merupakan sama-sama delik pidana kekerasan atau
penganiyaan yang dipersangkakan kepada terdakwa, hal mana Penuntut Umum
konstruksikan dakwaan lex specialis derogate lex generalis (undang-undang yang
khusus atau undang-undang yang umum);
- Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan bukti surat yang
menjadi korban dugaan pemukulan dalam tindak pidana tesebut adalah
mengalternatifkan yaitu seseorang yang masih tergolong anak-anak atau
belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun atau orang dewasa, sehingga
hal tersebut tidaklah menjadi substansial karena yang menjadi inti dari pasal
dakwaan Penuntut Umum adalah unsur pokok dari dakwaan yaitu kekerasan atau
penganiayaan baik subyek dalam pasal 80 ayat (1) tentang perlindungan anak
maupun subyek dalam pasal 351 ayat (1) KUHPidana tersebut, sehingga Majelis
Hakim melihat dari fakta persidangan bahwa yang diduga menjadi korban
adalah IRFAN SAGITA, sehingga tidaklah mencocoki dakwaan alternatif
kedua karena korbannya adalah anak-anak meskipun pelakunya orang
dewasa karena hal tersebut telah diatur oleh undang-undang yang lebih khusus
yaitu tentang perlindungan anak,
- Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 80 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 Atas Perubahan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah terpenuhi dan terbukti, maka
terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana Melakukan kekerasan teradap anak sebagaimana
didakwakan dalam dakwaan alternatif pertama;
Putusan: Pidana penjara selama 6 bulan dan denda sebesar Rp5.000.000

4. PUTUSAN NOMOR 349/PID.SUS/2012/PN.PSP.SBH


Kasus perbuatan cabul terhadap anak-anak.
Dakwaan alternatif: Pasal 82 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 290
ayat (2) KUHP
Tuntutan: Pidana penjara selama 7 tahun dan denda sebesar Rp 60.000.000
Pertimbangan Hakim:

- Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dipersidangan,


selanjutnya akan dipertimbangkan apakah dengan adanya fakta-fakta tersebut
telah dapat menyatakan terdakwa bersalah atau tidak bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan oleh Penuntut Umum kepadanya;

6
- Menimbang, bahwa untuk menentukan terdakwa bersalah melakukan suatu tindak
pidana, maka harus terlebih dahulu diteliti apakah fakta-fakta tersebut telah
memenuhi unsur-unsur tindak pidana seperti dalam dakwaan Penuntut Umum;
- Menimbang, bahwa karena dakwaan Penuntut Umum bersifat alternatif,
maka Pengadilan akan memilih dakwaan yang mendekati dengan fakta
hukum yang terungkap di persidangan;
- Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan, telah
terungkap fakta:
 Bahwa terdakwa didakwa melakukan perbuatan cabul terhadap korban;
 Bahwa umur korban pada saat kejadian adalah 6,5 tahun yang menurut
Undang-undang perlindungan anak adalah masih tergolong anak-anak;
 Bahwa terhadap perbuatan tindak pidana yang korbannya adalah anak-anak
maka peraturan yang harus (UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak);
 Bahwa UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan lex
specialis dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
- Menimbang, bahwa berdasarkan keadaan fakta di atas dihubungkan dengan
dakwaan Penuntut Umum maka Majelis berpendapat bahwa dakwaan
pertama lebih tepat diterapkan dalam perkara ini;
- Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut diatas maka seluruh
unsur dakwaan Penuntut Umum dalam dakwaan kedua di atas telah terpenuhi,
sehingga dakwaan Penuntut Umum tersebut haruslah dinyatakan telah terbukti,
maka terhadap terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang
didakwakan oleh Penuntut Umum dalam dakwaan pertama;
Putusan: Pidana penjara selama 6 tahun ditambah dengan denda sebesar
Rp60.000.000
Kesimpulan
Bahwa dari uraian dan putusan tersebut diatas, penerapan asas lex specialis derogat legi
generali dalam praktiknya tidak selalu digunakan oleh para penegak hukum. Penyebab dari
inkonsistensi penggunaan asas lex specialis derogat legi generali diantaranya ialah terdapat
perbedaan pemahaman antara penegak hukum terkait bagaimana dan kapan asas lex specialis
derogat legi generali harus digunakan.
Apabila melihat putusan tersebut diatas, penerapan asas lex specialis derogat legi generali
dalam beberapa putusan adalah dengan pertimbangan sebagai berikut:

No. Putusan Jenis Dakwaan Penerapan Pertimbangan Hakim


Asas
171/PID.SUS/2020/PNTNR Dakwaan X - Bahwa dikarenakan
alternatif: dakwaan bersifat
Pasal 2 UU alternatif dan
Darurat

7
12/1951 atau berdasarkan fakta-
Pasal 406 ayat fakta hukum, Majelis
(1) KUHP Hakim memilih
dakwaan alternatif
kedua yaitu Pasal
406 ayat (1) KUHP.
- Bahwa diakrenakan
unsur dalam Pasal
406 ayat (1) KUHP
telah terpenuhi maka
Terdakwa
dinyatakan telah
terbukti secara sah
melakukan tindak
pidana sebagaimana
diatur dalam
dakwaan alternatif
kedua.
43/PID.SUS/2016/PN BJN Dakwaan X - Bahwa berdasarkan
alternatif fakta-fakta hukum
subsidairitas: dan dikarenakan
Pasal 340 dakwaan merupakan
KUHP alternatif
(primair), Pasal subsidairitas, Majelis
338 KUHP Hakim akan
(subsidair), mempertimbangkan
Pasal 365 ayat terlebih dahulu
(3) KUHP dakwaan primair.
(lebih - Majelis Hakim
subsidair) atau mempertimbangkan
Pasal 80 ayat pembelaan point
(3) UU 35/2014 kedua dari Terdakwa
tentang yaitu tidak tepat
Perubahan Atas penerapan pasal 340
UU 23/2002 KUH Pidana sebagai
tentang dakwaan karena
Perlindungan korban masih
Anak tergolong anak-anak
serta dengan alasan
asas lex specialis
derogat legi
generali.
- Bahwa bila dikaji,

8
pasal 80 ayat (3) UU
35/2014 tentang
perubahan dari UU
23/2002 tentang
Perlindungan Anak
unsur-unsur obyektif
maupun unsure
subyektif pasal
tersebut adalah tidak
identik dengan
ketentuan pasal 340
KUH Pidana.
- Terdakwa
dinyatakan terbukti
melanggar pasal 340
KUH Pidana.
187/PID.SUS/2017/PN Kis Dakwaan V - Dakwaan bersifat
alternatif: Pasal alternatif sehingga
80 ayat (1) UU Majelis Hakim
35/2014 Atas diberikan kebebasan
Perubahan UU untuk memilih
23/2002 tentang dakwaan yang
Perlindungan cendrung pada
Anak atau perbuatan terdakwa
Pasal 351 ayat sesuai dengan fakta
(1) KUHP dipersidangan.
- Majelis Hakim
melihat dari fakta
persidangan bahwa
yang diduga menjadi
korban adalah
IRFAN SAGITA,
sehingga dakwaan
alternatif kedua
tidak cocok karena
korbannya adalah
anak-anak meskipun
pelakunya orang
dewasa.
- Karena unsur telah
terpenuhi, Terdakwa
haruslah dinyatakan
telah terbukti secara

9
sah dan meyakinkan
bersalah melakukan
tindak pidana
Melakukan
kekerasan teradap
anak sebagaimana
didakwakan dalam
dakwaan alternatif
pertama.
349/PID.SUS/2012/ Dakwaan V - Menimbang, bahwa
PN.PSP.SBH alternatif: karena dakwaan
Pasal 82 UU Penuntut Umum
23/2002 tentang bersifat alternatif,
Perlindungan maka Pengadilan
Anak atau akan memilih
Pasal 290 ayat dakwaan yang
(2) KUHP mendekati dengan
fakta hukum yang
terungkap di
persidangan.
- Bahwa berdasarkan
keadaan fakta
hukum, yaitu korban
masih tegolong
anak-anak dan
sebagaimana asas
lex specialis, maka
Majelis berpendapat
bahwa dakwaan
pertama lebih tepat
diterapkan dalam
perkara ini.
- Terdakwa harus
dinyatakan terbukti
secara sah dan
meyakinkan
bersalah melakukan
tindak pidana
sebagaimana yang
didakwakan oleh
Penuntut Umum
dalam dakwaan
pertama.

10
Penerapan asas lex specialis derogat legi generali saat ini didasarkan pada berbagai
macam pertimbangan dan tidak ada tolak ukur khusus mengenai penerapan asas tersebut,
sehingga dalam penerapannya masih banyak sekali ketidaksamaan persepsi baik antara Jaksa,
Hakim atau para penegak hukum lainnya.

11

Anda mungkin juga menyukai