Anda di halaman 1dari 22

Pergulalan Globalisasi vs Lokalisasi dalam Hukum Indonesia 51

PERGULATAN GLOBALITAS VS. LOKALITAS


DALAM HUKUM INDONESIA
Agus Brotosusilo

Melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994


tentang Ralifikasi Perjanjian Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia. Indonesia
telah menjadi anggola the World Trade
Organization (WTOJ. WTO mewajibkan
anggota-anggotanya untuk melakukan liberalisasi
perdagangan. antara laill dengan penghapusan
hambatan-hambatan yang dapat menimbulkan
distorsi dalam perdagtlllgan. Dalam kondisi
yang demikian. akhir-akhir ini hambatan dan
disrorsi terhadap arus perdagangan di dalam
negeri justru semakin meningkat akibat
diberlakukannya Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

1. Latar Belakang

Pergulatan antara globalitas vs. lokalitas dalam hukum di


Indonesia antara lain tampak manifestasinya pada arus lalu-lintas barang
dan jasa. Lalu-lintas barang dan jasa dalam perdagangan adalah urat-nadi
perekonomian. Tingkat perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat
suatu negara sangat dipengaruhi oleh kelancaran arus lalu-lintas ini.
Teori ekonomi liberal mengedepankan ide bahwa mekanisme
pasar bisa bekerja dengan baik sehingga tidak diperlukan lagi campur

Nomar 1 Tahun XXXi1


52 Hukum dan Pembangunan

tangan dari pemerintah. I Sebagai konsekuensinya, campur tangan ini juga


tidak dikehendaki pada perihal yang berkaitan dengan lalu-lintas barang
dan jasa.
Pada sistem ekonomi kerakyatan, misalnya seperti yang dikehendaki
oleh Undang-undang Oasar 1945, campur tangan pemerintah dalam
pengaturan arus lalu-lintas barang dan jasa di dalam negeri bukanlah
sesuatu yang diharamkan , paling tidak apabila mengenai "haj at hidup
orang banyak" dan tujuan akhirnya adalah "untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat".
Oalam hal kondisi perdagangan nasional memerlukan pengaturan,
maka bentuk pengaturan yang dibutuhkan harus dalam batas koridor yang
dapat :
a) Membantu mencegah terjadinya inflasi tinggi dan fluktuasi harga yang
tajam di dalam negeri . lnflasi tinggi bisa lepas kendali menjadi hyper
inflation yang umumnya bermuara pada terjadinya stagnasi disektor
produksi dan ekonomi secara keseluruhan.
b) Mencegah merosotnya daya saing komoditi ekspor di pasar dunia.
Elastisitas substitusi berbagai barang impor di negara tujuan ekspor
utama seperti AS dan Eropah sangat tinggi. Sehingga jika harga jual
relatif tinggi dan tidak stabil konsumen dinegara tersebut sangat
gampang beralih ke produk impor dari negara lain. Sel ain itu,
dibawah naungan WTO, praktek perdagangan internasional semakin
bebas dan mengglobal sehingga intervensi yang bersifat bilateral (yang
sering diperaktekkan Indonesia selama ini) untuk memperoleh segment
pasar di negara tertentu tidak lagi dibenarkan.
c) Memperlancar arus barang (produk akhir) dari produsen (sentra
produksi) ke konsumen dan arus bahan baku ke lokasi produksi
(pabrik). Oengan demikian, dapat dicegah terjadinya penirnbunan
barang di simpuI distribusi tertentu atau yang populer dikenal dengan
praktek spekulasi.
d) Membantu menciptakan iklim usaha yang kondusif dan kompetitif bagi
semua pelaku usaha di semua wilayah di Indonesia . Perlakuan
diskriminatif yang mengarah pada pemberian penguasaan yang bersifat
monopoli atau oligopoli pada kelompok tertentu dapat dicegah.
e) Membantu meningkatkan efisiensi produksi nasional karena bisa
mencegah terjadinya kerusakan barang setelah paska panen. Oi sentra

I Lihat A.J Taylor: Laissez-Iaire and State Interven/ion in Nineteenth -century Britain, 1972.

lanuari - Maret 2002


Pergulalan Globalisasi vs Lokalisasi dalam Hukum Indonesia 53

produksi tidak bertumpuk barang dan di lokasi konsumen yang


rnernbutuhkan barang tidak terjadi kelangkaan.

Secara ekonornis, yang harus rnenjadi sasaran akhir dari


kelancaran lalu !intas barang dan jasa adalah:
a) Konsurnen (dirnanapun berada) dapat menikmati pasokan barang
kebutuhan yang lancar , rnencukupi dan kualitas terjamin dengan
tingkat harga yang wajar dan tingkat fluktuasi yang rendah,
b) Produsen terrnasuk petani, rnenerirna harga yang relatif tinggi (ada
keuntungan) sehingga ada insentif untuk melanjutkan produksinya.
c) Pedagang (pelaku distribusi) tetap rnendapatkan keuntungan tetapi
margin perdagangan tidak berlebihan, dalarn arti terjadi efisiensi
dalarn distribusi perdagangan dari tingkat produsen hingga ke
konsurnen.
Dengan demikian semua pihak: produsen, konsurnen dan para
pelaku distribusi , mendapatkan benefit.

Pengaturan lalu !intas barang dan jasa di dalarn negeri berarti ada
aturan yang bersifat formal. Aturan ini menata pergerakan barang dan
jasa di dalarn negeri, terutarna yang terkait dengan rnekanisme alokasi dan
distribusi barang dan jasa yang rnelibatkan sernua rnata-rantai alokasi
bahan mentah dan distribusi produk dari produsen hingga ke konsumen.
Kebutuhan akan pengaturan ini serna kin rnendesak apabila diingat
kewajiban-kewajiban RI sebagai anggota WTO.
Melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi
Perjanjian Pernbentukan Organisasi Perdagangan Dunia , Indonesia secara
resmi telah rnenjadi anggota the World Trade Organization (WTO).
Berdasarkan kaedah hukurn kebiasaan internasional, ratifikasi
rnenirnbulkan akibat hukum eksternal maupun internal bagi negara yang
rnelakukannya" Akibat hukum eksternal yang tirnbul adalah bahwa
melalui tindakan tersebut berarti negara yang bersangkutan telah
menerirna segal a kewajiban yang dibebankan oleh persetujuan
internasional yang dirnaksud. Sedangkan akibat hukurn internal adalah

2 Lihat "the Vienna Convention on the Law a/Treaties, May 23, 1969". Meskipun Indonesia
belum meratifikasi "Konvensi Wina, 1969" ini, namun kaedah-kaedah yang ada dapat
dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional yang berlaku di lingkungan masyarakat
internasional.

Nomor 1 Tahun XXXlI


54 Hukum dan Pembangunan

kewajiban bagi negara yang bersangkutan untuk merubah hukum


nasionalnya agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan
internasional yang bersangkutan. Jadi semua produk perundang-undangan
nasional RI harus mengacu pada prinsip-prinsip WTO, diantaranya adalah
dihapuskannya segal a hambatan non-tarif dalam perdagangan (noll-tariff
trade barrier/NTB) yang sekiranya dapat menimbulkan distorsi dalam
perdagangan. Hambatan terhadap kelancaran arus lalu-lintas barang dan
jasa di dalam negeri juga dapat timbul karena pungutan-pungutan ganda,
bahkan jamak, baik dengan label pajak, retribusi, sumbangan pihak ketiga
maupun bentuk-bentuk lain.
Namun pada kenyataannya, hingga saat ini Indonesia belum
memiliki perundang-undangan yang integral dan komprehensif di bidang
perdagangan, termasuk yang mengatur lalu lintas barang dan jasa di dalam
negeri. Dengan demikian tujuan untuk secara bertahap membebaskan arus
perdagangan dari segal a hambatan dan distorsi di negeri ini belum dapat
terwujud secara maksimal.
Dalam kondisi yang demikian, akhir-akhir ini hambatan dan
distorsi terhadap arus perdagangan dalam negeri justru semakin meningkat
akibat diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Adapun penyebabnya adalah: undang-undang ini
telah diberlakukan sejak 4 Mei 1999, namun setelah sekian waktu berlalu
ternyata belum dilengkapi dengan peraturan-pelaksana yang memadai. 3
Tidak adanya pedoman, sementara pemerintah daerah tetap harus
menjalankan fungsinya sehari-hari, memancing timbulnya agresifitas yang
berlebihan dari pemerintahan daerah otonom untuk merumuskan sendiri
kebijakan-kebijakan untuk mendukung pelaksanaan kegiatannya. Diantara
kebijakan-kebijakan sementara pemerintah daerah otonom, misalnya saja
yang berkaitan dengan beraneka-ragam pungutan yang dimaksudkan untuk
peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), akibat tidak adilnya system
anggaran (terutama perihal pembagian keuangan antara pemerimah pusat
dan daerah). Beraneka ragam pungutan ini jelas merupakan hambatan baru
yang dapat meningkatkan distorsi dalam arus lalu lintas barang dan jasa.

3Ryaas Rasyid, mantan Menteri Negara Otonomi Daerah yang ikut membidani lahirnya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berpendapal bahwa:
untuk peraturan pelaksanaan undang-undang ini. kecuali dibutuhkan cukup banyak Peraluran
Pemerintah, juga memerlukan ratusan Keppres. Sebagai contoh, khusus hanya untuk bidang
pemerintahan saja, diperlukan lebih dari 190 Kepprcs sebagai pedoman bagi pemerintah
daerah.

Januari - Marer 2002

...
Pergularan Globalisasi vs Lokalisasi dalam Hukum Indonesia 55

Berdasarkan pasal 11 ayat 2 Undang-undang Nomor 22 Tahun


1999 tentang Pemerintah Daerah tugas-tugas di bidang perdagangan
diserahkan sepenuhnya dan wajib dilaksanakan oleh kabupaten atau kota.
Namun Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah
Otonom , menyerahkan kembali sebagian kewenangan tersebut kepada
pemerintah pus at, diantaranya adalah kewenangan untuk melakukan
pengaturan lalu lintas barang dan jasa di dalam negeri.
Meskipun Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Undang-undang No. 1811997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, yang sekaligus merupakan revisi terhadap Undang-
undang No.I8 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
telah mengatur persyaratan-persyarartan yang ketat untuk pungutan di
daerah, dalam praktek cukup banyak Pemerintah Dearah Otonom
(kabupaten dan kota) yang masih tetap menarik beraneka macam
pungutan, bukan hanya pajak dan retribusi, tetapi juga apa yang disebut
sebagai "sumbangan pihak ketiga". Beberapa pehenomena yang perlu
menjadi perhatian mengenai sikap daerah (kabupatenlkota) akhir-akhir ini
antara lain adalah:
a) Daerah sedang stres atau panik karena khawatir kalau daerahnya
(kabupaten) dilebur karena tidak sanggup melaksanakan otonomi
daerah.
b) DAU yang dialokasikan pusat oleh daerah dianggap belum mencukupi
untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah.
c) Alokasi DAU tidak mencukupi karena sebahagian besar untuk belanja
pegawai (sekitar 90 %), sehingga hampir nihil unruk membiayai
kegiatan pembangunan.
d) Daerah menganggap bahwa kunci kesuksesan pelaksanaan otonomi
daerah adalah penerimaan yang maksimal. Karena itu, daerah
mencoba memaksimalkan penerimaan PAD dari berbagai sumber dan
berbagai benruk pungutan.
e) Pemda kabupaten masih dalam tahap memikirkan kepentingan satu sisi
yaitu meningkatkan pendapatan daerah sebanyak mungkin dan tidak
menghiraukan pertimbangan jangka panjang bahwa pungutan tersebut
banyak yang bersifat counter productive, yaitu justru mematikan
aktivitas produksi di wilayahnya yang pada akhirnya penerimaan PAD
juga ikut merosot karena aktivisitas produktif yang menjadi sumber
pungutan tidak berdaya lagi.

Nomor 1 Tahun XXXII


56 Hukum dan Pembangunan

t) Dengan otonomi, pemda kabupaten/kota mendapatkan banyak


kewenangan. Tetapi masih lebih banyak digunakan untuk kepentingan
meningkatkan pendapatan dari pada memperbaiki kualitas pelayanan
kepada masyarakat, khususnya dunia usaha . Padahal tujuan otonomi
daerah adalah untuk mendekatkan pengambilan keputusan (dulu
sentralisasi sekarang desentralisasi) dalam meningkatkan kualiatas
pelayanan kepada masyarakat.

Sikap daerah seperti yang dikemukakan di atas, dapat merupakan


gejala jangka pendek, namun dapat juga menjadi sikap permanen yang
akan terus dipertahankan daerah. Karena itu diperlukan usaha yang serius
dari pemerintah pusat untuk mengoreksinya. Tentu saja koreksi yang
dilakukan bukanlah merupakan "resentralisasi"
Adapun keeenderungan dampak sikap pemerintah daerah tersebut
terhadap distribusilperdagangan barang dan jasa di dalam negeri antara
lain adalah:
I. jika sikap dan persepsi pemda/daerah tentang otonomi seperti itu ,
maka dampaknya akan negatif karena:
a) akan menghambat kelanearan pengiriman/pergerakan barang dan
jasa,
b) akan meningkatkan biaya distribusilbiaya margin distribusi ,
e) akan meningkatkan harga jual ditingkat konsumen,
d) akan menekan harga yang diterima petani dan/atau produsen
barang serta jasa,
e) akan menekan daya saing komoditi ekspor,
t) akan memieu kemungkinan timbulnya konflik sosial yang
berakibat pad a terhentinya kegiatan produksi.
2) Selain itu, ada kemungkinan (belum ada tanda-tanda kearah itu tetapi
perlu diantisipasi) mengarah pada muneulnya 'egoisme' masing-
masing daerah yang berusaha mempromosikan semua proses nilai
tambah dilakukan di daerahnya masing-masing , walaupun seeara
ekonomis tidak efisien. Kalau ini dilakukan, maka akan terjadi
pengkotak-kotakan kegiatan ekonomi seperti halnya dengan suatu
negara yang menganut import-substitution trade policy dalam konteks
perdagangan internasional.

lanuari - Maret 2002


Pergulatan Globalisasi vs Lokalisasi da/am Hukum lndanesia 57

2. Permasalahan

Dalam bidang lalu lintas barang dan jasa yang diperdagangkan di


dalam negeri, dewasa ini masih dihadapi beraneka permasalahan, antara
lain:
2.1. Masing-masing pemerintah daerah merumuskan sendiri pengaturan
lalu lintas barang dan jasa di wilayah mereka.
2.2. Masih banyak peraturan daerah yang dapat menimbulkan biaya
pajak dan retribusi ganda/jamak, diskriminasi antar daerah, dan
mengakibatkan dis torsi pasar.
2.3. Setiap kali perekonomian berada pad a kondisi yang kritis, seringkali
terjadi pelaku usaha melakukan spekulasi, misalnya dalam bentuk
penimbunan barang, untuk mendapatkan keuntungan yang tidak
wajar.
2.4. Belum ada mekanisme pengawasan dan pengendalian terhadap lalu
lintas barang dan jasa di dalam negeri.

3. Urgensi dan Manfaat Kajian

Sebagai anggota WTO, Indonesia terikat pad a kewajiban untuk


mewujudkan tujuan organisasi internasional tersebut, yaitu melakukan
Iiberalisasi di bidang perdagangan, sehingga segala distorsi dan hambatan
non-tarif di bidang perdagangan harus dihapuskan segera, sedangkan tarif
diturunkan secara bertahap.
Namun diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah telah merangsang sebagian besar Daerah
Otonom untuk memberlakukan beraneka peraturan perihal pungutan-
pungutan yang dilakukan dalam rangka pengumpulan PAD. Tidak jarang
produsen barang dan jasa serta pelaku usaha lainnya dikenai beban
pungutan ganda, bahkan jamak. Hal ini akan berakibat bahwa pelaku
usaha nasional tidak memiliki daya saing yang tinggi pada saat harus
berhadapan dengan para pelaku usaha asing dalam memperebutkan
pangsa pasar lokal maupun internasional. Akibatnya pelaku usaha nasional
hanya jadi jago kandang, yang kegiatannya usahanya menimbulkan anti-
eiespor bias --hanya mampu menghasilkan produk berbiaya tinggi-- sehingga
selalu menuntut proteksi berlebihan dan berakibat dikorbankannya
kepentingan konsumen domestik.

Nomor I Tahun XXXII


58 Hukum dan Pembangunan

Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Lalu Lintas


Barang dan Jasa adalah salah satu upaya untuk mewujudkan peningkatan
efisiensi dalam perekonomian, agar tercipta "contestability" dalam
penyediaan barang-barang maupun jasa, sehingga semua produsen
potensiel (domestik maupun asing) tidak dihambat melalui berbagai cara
untuk memasuki pasar maupun keluar darinya Ifree entry and free exit),
tanpa dibebani dengan "sunk cost ". Dengan demikian konsumen dapat
memperoleh barang-barang maupun jasa dengan harga dan kualitas yang
paling baik.

4. Hasil-hasil Penelitian Lapangan


Hukum adalah suatu sistem, yang menurut Lawrence M. Friedman
terdiri dari komponen substansi, komponen struktural, dan komponen
budaya hukum.'
Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran menyeluruh perihal
phenomena-phenomena yang berhasil diungkap, hasil-hasil penelitian ini
disajikan sesuai dengan lingkup masing-masing komponen dari sistem
tersebut.
4.1. Lingkup Substansi Hukum.
4.1.1. Pola-pola Perniagaan
Disamping tiga pola perdagangan seperti di kemukakan pad a
bag ian wacana, yaitu (a) perdagangan antara desa dengan kota, (b)
perdagangan antar daerah, dan (c) perdagangan antar pulau, pada
penelitian lapangan diketemukan pola ke-empat yang berbeda dari ketiga
pola tersebut, yaitu (d) perdagangan ke dan dari wilayah yang terisolir.
Pada pola ini, lokasi daerah konsumen yang terpencil dan tiadanya infra-
struktur yang memadai berakibat tingginya biaya transportasi, yang pada
akhirnya akan berujung pada tingginya harga pada tingkat konsumen. Pola
perusahaan semacam ini dijumpai misalnya saja di wilayah pedalaman
Kalimantan dan Papua. 5

4 Friedman, Lawrence M.: American Law. W.W. Norton & Company, New York, 1984, pp.l-
20.
5 Sebagai gambaran sepintas di pedalaman hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur,
harga bensin pada pertengahan November 2001 (musim hujan) adalah Rp 5000.- per liter,
minyak tanah Rp 4500 ,- per liter dan beTas Rp 6500,- per kilogram. Dapat dipastikan pada
musim kemarau, saat pelayaran sangat terganggu akibat rendahnya permukaall air sungai,
harga-harga akan semakin meningkat. Sedangkan untuk kabupaten Jayawijaya yang

lanuari - Maret 2002


Pergulalan Globalisasi vs Lokalisasi dalam Hukum Indonesia 59

4.1.2. Aneka Faktor Penyebab Hambatan Lalu-Lintas Barang dan


Jasa
Cukup banyak pelaku usaha yang berpendapat bahwa beraneka
pungutan yang timbul sebagai upaya pemerintah daerah untuk
meningkatkan PAD memang telah mengganggu kelancaran lalu-lintas
barang maupun Jasa. Namun tidak sedikit diantaranya yang
mengemukakan bahwa arus lalu-lintas barang dan jasa tidak semata-mata
ditentukan oleh Perda-perda yang menghambat kelancarannya. Bahkan
mereka berpendapat bahwa ada faktor-faktor lain yang lebih kuat
pengaruhnya terhadap kelancaran arus lalu-lintas barang dan jasa.
Beberapa faktor tersebut antara lain adalah: keamanan, kepastian hukum
dalam berusaha, stabilitas politik nasional, kualitas sumber daya manusia
di daerah, faktor geografis, dan kelemahan pemerintah untuk melakukan
konsolidasi ke bawah. 6

herpenduduk sekitar 400.000 jiwa pada tahun 2001 oleh pemerintah rusat disediakan dana
subsidi angkutan tujuh hahan pokok sebesar Rp 3 milyar. Untuk tallUn anggaran 2002
subsidi dari pemerintah pusat ini akan dihapus. Diharapkan subsidi untuk tahun berikutnya
disediakan oleh pemerintah daerah. Di wilayah-wilayah terisolir ini biaya transportasi
untuk kebutuhan sehari-hari. termasuk semhako, menjadi tinggi karena alat transportasi
adalah pesawat terbang, dan bila memungkinkan melalui angkutan sungai . Angkutan
sungai menjadi makin mahal bilamana angkutan terganggu oleh faktor cuaca yang
mempengaruhi tingginya permukaan air.

A Para pelaku usaha berpendapat bahwa masalah keamanan merupakan kendala utama
dalam kelancaran kegiatannya. Pungutan-pungutan liar tidak hanya dilakukan oleh aparat
pertahanan/keamanan ataupun aparat pemerintah, tetapi di beberapa daerah juga dilakukan
oleh kalangan preman/organisasi-organisasi pemuda. Biaya-biaya siluman dan pungutan-
pungutan liar tersebut dirasakan jauh lebih berat dibandingkan dengan pungutan-pungutan
resmi yang dilakukan pihak pemerintah, baik berupa pajak maupun retribusi.
Kepastian hukum dalam berusaha sangat berpengaruh terhadap kegiatan pelaku usaha,
antara lain agar mereka dapat melakukan perencanaan dan kalkulasi yang tepat
berdasarkan kondisi-kondisi yang dapat diprediksi.
Stabilitas politik nasional dan kualitas sumber daya manusia juga dianggap sebagai aneka
faktor yang berpengaruh terhadap iklim usaha di daerah.
Faktor geografis sangat berpengaruh terhadap arus lalu lintas barang dan jasa di dalam
negeri. Daerah-daerah yang mengalami isolasi geografis (di daerah pedalaman maupun di
wilayah kepulauan) cenderung tidak memiliki infrastruktUf yang lengkap dan memadai. Di
wiIayah kepulauan misalnya, infrastruktur berupa jalan darat ada yang tersedia dengan
sangat bagus, tetapi infrastruktur ini akhirnya kurang bermanfaat karena sulitnya sarana
perhubungan laut. Tidak lengkap dan memadainya infrastruktur ini pada akhirnya
berdampak pada hambatan terhadap arus Ialu lintas barang dan jasa. Hambatan tidak hanya
berakibat tingginya harga, telapi juga langkanya sediaan barang maupun jasa di daerah
tersebut.

Nomor 1 Tahun XXXII


60 Hukum dan Pembangunan

4.1.3. Pungutan-pungutan yang Tidak Sesuai Ketentuan Undang-


undang
Banyak kalangan pemerintah daerah maupun DPRD yang
mengakui bahwa mereka tidak begitu mernaharni Undang-undang Nomor
30 Tahun 2000. Akibatnya mereka menolak untuk memberikan pandangan
yang berkaitan dengan undang-undang ini. Namun fraksi Golkar di
Privinsi Sulawesi Utara yang merupakan pemenang pemilu berpendapat
bahwa dihasilkannya Perda-perda yang tidak mendukung perbaikan iklim
usaha di daerahnya dilakukan dengan penuh kesadaran. Hal tersebut
dilakukan karena rnereka yakin bahwa dalam waktu dekat memang tidak
akan ada investasi yang masuk ke wilayah mereka, karena hambatan-
hambatan terhadap minat investasi tidak hanya dipengaruhi oleh Perda-
perda saja. Tiadanya investasi tersebut sarna sekali bukan karena Perda-
perda yang dihasilkan pemerintah daerah, tetapi karena situasi nasional
secara keseluruhan memang tidak kondusif bagi iklim investasi.
Dari wawancara dengan pengusaha di bidang perikanan di
Sulawasi Utara diperoleh keterangan bahwa pada dasarnya mereka tidak
keberatan dikenai retribusi, sepanjang oleh pemerintah daerah disediakan
infra-struktur yang memadai untuk kegiatan usahanya.'

Ke1emahan pemerintah uotuk mclakukan kon so lidasi ke bawah juga dikemukakan sebagai
satu diatara aneka sebab hambatan terhadap lalu liotas barang dan jasa.
J Pada kenyataannya harapan para pengusaha tersebut seringkali tidak terpenuhi, karena

beraneka retribusi memang se lalu d ipungut. namun tidak diimbangi dengan penyediaan
infra-struktur yang memadai. Minimnya infra-struktur bukan saja tidak tersedianya Tempat
Pendaratan/Pelelangan Ikan yang mernadai, tetapi juga pelabuhan eksport yang ada sangat
terbatas dan harus berebut kesempatan anlara kapaJ barang dan kapa! penumpang. Padaha!
dalam keadaan demikian kapa! penumpang harus didahulukan, sehingga kapal barang
harus dikalahkan .
Bahkan di kOla Bitung, kawasan pelabuhan alam propinsi Sulawasi Utara , oleh Kepala
Bagian Hukum Pemerintah Kota Bitung dikemukakan bahwa . sebagian besar pungutan
dalam era otonomi daerah dilakukan tidak berdasarkan Perda telapi berdasarkan Sural
Keputusan Walikota. Hal ini le rjadi karena penentangan antara DPRD dengan Wa likota.
Wal ikota tidak diakui Jagi oJeh pihak DPRD karena dianggap cacat hukum, karena pernah
dijatuhi pidana oleh Pengadilan. Walikota berpendirian selama helum dipecat oleh
pemerintah pusat maka dirinya letap pimpinan pemerintah daerah yang syah. Jadi seJama
tahun 2000 hanya dihasilkan 2 Perda tentang pungutan: Perda No.912000 tentang Retribusi
Perikanan Kota Bitung; dan Perda No . 10/2000 tentang Pene rimaan Sumbangan Pihak
Ketiga kepada Pemerintah Daerah KOla Bitung. Namun beraneka pungutan telap
di laksanakan meskipun hanya mengacu pada Surat Keputusan Walikota. Pihak pemerintah
daerah di kola ini berpendapat bahwa meskipun ada sengketa antara mereka dengan pihak
DPRD, namun pemerintahan sehari-hari, termasuk pungutan-pungutan untuk membiayainya ,

lanuari - Maret 2002


Pergulatan Globalisasi vs Lokalisasi dalam Hukum Indonesia 61

4.1.4. Hambatan-hambatan Non-tarif


Sehubungan dengan dikeluarkan SK. Gubernur NO.4dz/03/891
tanggal 13 September 200 I tentang Penangguhan Sementara Pendirian
Pedagang Besar Farmasi di Sulawesi Utara, oleh narasumber lain dari
Jakarta dikemukakan bahwa SK Gubernur Sulawasi Utara tersebut telah
menimbulkan keprihatinan di lingkungan KADIN. Berdasarkan SK ini,
untuk proteksi kepada pengusaha lokal, kepemilikan apotik oleh
pengusaha yang tidak berdomisili di wilayah Sulawesi Utara dibatasi.
Namun oleh para anggota DPRD Propinsi dari fraksi pemenang pemilu
yang di wawancara peneliti dikemukakan bahwa mereka tidak bereaksi
terhadap SK Gubernur tersebut karena sampai saat wawancara dilakukan
tidak ada keluhan maupun protes dari kalangan manapun terhadap SK
tersebut. 8
4.1.5. Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah: Tidak Adil
Semua nara sumber yang diwawancara berpendapat bahwa
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, yang dicoba dijembatani
melalui DAU tidak adil. Ketidak-adilan ini terutama menyangkut soal
transparansi dalam perhitungan PBH. Daerah tidak tahu berapa besar
pemasukan yang ditarik oleh pemerintah pusat. Daerah hanya mendapatkan
bag ian yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah pusat tanpa rincian
perhitungan.
Ukuran keadilan bukan semata-mata didasarkan pada jumlah dana,
tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi daerah. Daerah andalan penghasil
devisa negara melalui jasa pariwisata seperti Denpasar/Bali merasa
perhitungan PAD yang tidak mempertimbangkan komponen penghasilan
dari kegiatan bidang jasa, dan terlalu menekankan pada penghasilan dari
sumber daya alam adalah tidak adil.

harus tClap berlangsung. Di kola ini bahkan label yang ditempel pada kaleng ikan untuk
ekspor juga dikenai pungutall karena dianggap sebagai "iklan".
Pengaturan yang berkaitan dcngan lalu-lintas barang yang dilakukan olch pihak eksckutif di
tingkat pemerintah daerah tidak berlandaskan pcrda, tetapi hanya berdasarkan Surat
Keputusan kepala daerah setempat juga dijumpai di wi layah lain. Oi Kalimantan Barat olch
Gubernur dikeluarkan Surat Keputusan pembentukan tim pelaksana untuk melakukan
pcmutihan terhadap kayu-kayu curian di wilayahnya .
• Ditambahkan oleh para anggota DPRD tersebut bahwa mereka yakin dalam waktu dekat
beberepa tahun mendatang tidak akan terjadi investasi asing ke Sulawesi Utara.

Nomor I Tahun XXXII


62 Hukum dan Pembangunan

4.2. Lingkup Struktural/Kelembagaan Hukum.


4.2.1. Distorsi Terhadap Perdagangan di Dalam Negeri Pada Tingkat
Desa
Distorsi terhadap perdagangan dalarn negeri pada tingkat desa,
bahkan rneskipun tidak terjadi perdagangan antar desa dalarn wilayah satu
kabupaten, dijurnpai peneliti pada berbagai wilayah hukum tua (kepala
desa adat) di kawasan Minahasa. Sebagai kepala pernerintaban di wilayahnya,
hukurn tua tidak rnendapat gaji seperti lurah di wilayah perkotaan, atau
rnendapat tanah bengkok seperti halnya kepala desa di pulau Jawa.
Akibatnya, satu-satunya surnber penghasilan bagi para hukurn tua adalah
dengan jalan dikenakannya pungutan terhadap arus lalu lintas barang dan
jasa di wilayahnya.' Distorsi terhadap perdagangan dalarn negeri pad a
tingkat desa juga dijurnpai di wilayah Provinsi Riau. Dari kenyataan
tersebut di atas oleh berbagai kalangan disirnpulkan bahwa persepsi
tentang otonorni daerah yang benar bel urn sarnpai ke kalangan rnasyarakat
lapis bawah , terrnasuk masyarakat adat dan warganya.
4.2.2. Langkanya Transparansi dan Koordinasi Vertikallhorizontal
dalam Penyusunan Perda
Sernua narasurnber tingkat propinsi rnengernukakan bahwa dalarn
penysunan perda-perda pernerintah kabupaten rnaupun kota harnpir tidak
pernah rnelakukan koordinasi dengan pihak propinsi. Bukan hanya
koordinasi vertikal, bahkan diantara rnereka tidak tercerrnin adanya
prinsip transparansi, karena pernerintah daerah kabupaten rnaupun kota
jarang rnenyarnpaikan perda-perdanya kepada pihak propinsi, bahkan
rneskipun kantor rnereka hanya berseberang jalan.
Narasurnber dari kalangan pernerintah daerah mengakui bahwa
dalarn penysunan perda-perda juga tidak ada koordinasi horizontal
dikalangan aparat pernda sendiri . Usulan penetapan pajak dan retribusi
diajukan oleh rnasing-masing instansi terkait ke bagian hukurn. Sedangkan
bag ian hukurn dalarn rnernproses usulan tersebut cenderung masih bersifat

~ lenis-jenis pungutan dan hesarnya biasanya dibicarakan antara hukum tua dengan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). Distorsi te rhadap perdagangan da lam negeri pada tingkat
desa terjadi tidak dengan didasarkan pacta peraturan tertulis. Namun pelaksanaan pungutan
di tingkat ini benar-benar efektif, karena "policy making" !naupun "policy execulillg "
secara fisik berada di kawasan yang sarna.

lanuari - Maret 2002


Perglliatan Globalisasi vs Lokalisasi dalam Huklllll Indonesia 63

birokratis, akibat langkanya lembaga kajian yang berperan memproses


suatu rancangan perda.
4,2,3. Sikap Pemda dan DPRD Terhadap Perda-perda yang
Bermasalah
Sampai di awal bulan Desember 2001 Direktorat lendral Otonomi
daerah - Departemen Dalam Negeri telah menilai 68 Perda sebagai
bermasalah dan dianjurkan untuk dibatalkan. 'o Disamping perda-perda
yang telah dinilai tersebut, apabila dipergunakan kriteria yang sama dalam
penilaian alasan pembatalan , diyakini masih banyak lagi perda-perda yang
bermasalah.
Sikap pemerimah daerah yang perda-perdanya dinilai bennasalah
hampir sama, yaitu bahwa pemerintah daerah yang bersangkutan sedang
membentuk tim untuk Illelakukan kajian , apakah anjuran Dirjen, atau
bahkan Keputusan Menreri sekalipun, Illemiliki kekuatan hukum untuk
membatalkan Perda. I I Bila kesimpulannya negatif, perda-perda bermasalah
akan tetap dipertahankan. Sikap ini dilandasi dengan pendapat bahwa
Keputusan Menreri tidak tennasuk di dalam hirarkhi perundang-undangan
sebagaimana dirumuskan pad a Ketetapan MPR Nomor III Tahun 2000.
Sedangkan bila hasilnya evaluasi positif. paling tidak ada dua pilihan
sikap: pertal11a, Illengajukan masalah tersebut ke Mahkamah Agung agar
mendapatkan keputusan final; kedua, untuk membahas masalah tersebut
dengan DPRD. 11
Apabila dipilih altematif kedua, yaitu membahas masalah tersebut
dengan pihak DPRD dapat diduga bahwa sebagian besar perda bermasalah

10 Tentang isi dan alasan relllhatalan perda-perda tersehut lillat lampiran ke-2.
II Dalam hal teljadi Perda ya ng hertentangan dengan perulldang-undangan ya ng lehih
tinggi. kepada Mahkamah Agung (pasal 5 jo. rasa] 5 Ketewran MPR Nomor III Tahun
2000) maupun Pemerilllah Pu,,"t (rasal 114 ayat (I) Undang-undang NomoI" 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Oaerah) diherikan kewenangan untuk memharalkan Pea/a
(ersebut. Namun rengaiaman scl<\lna illi menunjukkan hahwa karenJ hatasan waktu dalam
umlang-undang: (pasal 5.a. Ulldang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Peruhahan Ata s
Undang-ullllang No. 18/ 1997 tcntang Pajak Daerah dan Retribusi Daerall). pcmerintah
pllsat tidak mampu melaksanakan tugasnya untuk menilai pcnla-perda yang dikeluarkall
segera setelah berlaklillya Undang-undang tentang Otollomi Daerah.
1'1 Sepanjang menyangkut pungutan-pungutan yang diharapkan sehagai PAD. sikap DPRD
mudah ditehak. Bcrhuhung pendapatan para anggora DPRD ditentukan oleh APBD remda
yang hersangkutan, pasti lehill Illenguntungkan bagi mereka hila seLuju saja lerhadar segala
inisiatif pemerin tah daerah. Penolak an DPRD terhadap inisiarif pemda untuk menamhah
PAD dapat berakibat turunnya pendapatan para anggotanya.

Nomor I Tahun XXXII


64 Hukum dan Pembangunan

akan tetap dipertahankan substansinya, meskipun mungkin formalitasnya


dikemas dalam bentuk perda baru, dilengkapi dengan argumentasi yang
mendukungnya, sebagai sanggahan terhadap alasan yang dikemukakan
oleh pihak Direktorat lendral Otonomi daerah - Departemen Dalam Negeri
sebagai ukuran untuk mengkategorikan perda-perda sebagai bermasalah.
Sikap lebih tegas dikemukakan oleh pejabat biro hukum suatu
propinsi bahwa dalam hal timbul masalah antara pemerintah daerah di
wilayahnya dengan suatu keputusan Menteri, pemerintah daerah akan
mengabaikan keputusan Menteri yang bersangkutan.

4.3. Lingkup Budaya Hukum.


4.3.1. Anggapau yang Tidak Selalu Benar: Pemda Mengeluarkan
Beraneka Perda tentang Pungutan Karena DAU Tidak Cukup
Selama In! ada anggapan bahwa oleh pemerintah daerah
dikeluarkan beraneka Perda tentang pungutan-pungutan agar PAD dapat
ditingkatkan, karena DAU yang diterima oleh kebanyakan daerah tidak
cukup untuk membiayai kebutuhan rutin birokrasi. Ternyata pendapat ini
tidak sepenuhnya benar. Terbukti Pemerintah Daerah Kabupaten Minahasa
yang untuk tahun anggaran 2001 penerimaan DAU nya telah memenuhi
segal a kebutuhan anggaran belanja rutin dan belanja pembangunan, tidak
kalah semangatnya untuk tetap mengeluarkan beraneka Perda ten tang
pungutan-pungutan.
Demikian juga hampir semua pemerintah daerah ternyata dalam
APBD nya telah mempersiapkan dana cadangan untuk tahun anggaran
berikutnya , terutama untuk menutup pembiayaan anggaran rutin sebelum
DAU dapat dicairkan.
Masalah pelik yang dihadapi pemerintah daerah kecuali sangat
dekatnya tenggang waktu antara pencairan dana dengan akhir tahun
anggaran, juga tidak pastinya jumlah DAU yang akan diterima. Hal ini
berakibat bahwa pemerintah daerah tidak memiliki waktu cukup untuk
melakukan perencanaan penggunaan D AU , bahkan hal Illl juga
mengganggu APBD. Para nara-sumber berharap agar kepastian tentang
besarnya DAU telah diketahui paling lambat bulan Oktober, sehingga
daerah dapat dapat merancang APBD dengan waktu yang cukup, dan pada
bulan lanuari APBD telah dapat disahkan.

Januar; - Maret 2002


Pergulalan Globalisasi vs Lokalisasi dalam Hukum Indonesia 6S

4.3.2. Dorongan Penyimpangan Arab Perdagangan, dari Perdagangan


di Dalam Negeri ke Perdagangan ke Luar Negeri
Karena tingginya perbedaan harga cengkeh antara kabupaten
Minahasa dan Sangir-Talaut. petani cengkeh lebih suka menjual
cengkehnya ke wilayah Sangir-Talaut. Harga di kawasan ini lebih tinggi,
karena dari sini komoditi ini dengan mudah dapat diselundupkan ke
wilayah Filipina dengan harga 2 kali lipat.
Akibat perebutan kewenangan antara Pemerintah Daerah Propinsi
dan Kabupaten. retribusi cengkih untuk wilayah Sulawesi Utara
berdasarkan keterangan pejabat propinsi yang bersangkutan di "pending"
sampai 1 Januari 2002. [ni berarti kemungkinan besar sejak saat itu Perda
tentang retribusi cengkeh di wilayah ini akan diberlakukan. Bila hal ini
terjadi, ditambah dengan diberlakukannya pungutan di tingkat desa di
wilayah hukum tua, besar kemungkinan arus penyelundupan cengkeh
untuk dijual ke luar negeri melalui perairan Sangir-Talaud akan semakin
meningkat. Penyelundupan ini jelas akan mengganggu arus lalu lintas
komoditi tersebut, bahkan mendorong penyimpangan arah perdagangan,
dari perdagangan di dalam negeri ke perdagangan ke luar negeri. Bila hal
seperti ini terjadi pada komoditi strategis, misalnya saja minyak bumi,
apalagi pada saat krisis, jelas gangguan terhadap lalu lintas perdagangan
di dalam negeri akan semakin besar dampaknya . Dampak yang akan
timbul tidak terbatas pada bidang ekonomi, tetapi justru dampak sosial
yang berpotensi untuk menimbulkan korban yang lebih besar.
4.3.3. Ditutupnya Partisipasi Warga Masyarakat Dalam Penyusunan
Perda
Para pelaku usaha baik di tingkat nasional maupun daerah
mengeluh bahwa mereka tidak dilibatkan dalam penyusunan perda-perda
yang berkaitan dengan kegiatan usaha mereka. Pihak DPRD kabupaten
Tangerang mengakui bahwa kericuhan yang berakibat dibakarnya
beberapa pos retribusi oleh para sopir truk di kabupaten dan kota
Tangerang adalah karena pada saat penyusunan Perda-perda tentang
retribusi warga masyarakat tidak dilibatkan.

5. Rekomendasi.
Dalam hal pendekatan perumusan pengaturan lalu lintas barang
dan jasa di dalam negeri, minimal terdapat dua pilihan ekstrem, yaitu:

Nomor I Tahun XXXII


66 Hukum dan Pembangunan

a) Pengaturan pergerakan barang keluar masuk daerah yang cukup detail


dan ketat untuk tujuan misi tertentu, misalnya untuk melindungi
produsen atau melindungi konsumen.
b) Hanya berisi pedoman umum yang agak longgar tetapi efektif untuk
mencegah terjadinya distorsi pasar dan distorsi dalam distribusi karena
sarat dengan sanksi yang tegas jika terjadi pelanggaran.
Masing-masing pilihan tersebut dapat menimbulkan konsekuensi
yang berbeda. Pada pendekatan pertama, pengaturan lalu lintas barang
dan jasa di dalam negeri sarat dengan peraturan pemerintah dan
memerlukan peranan birokrasi yang intensif untuk melakukan monitoring
dan mengevaluasi pelaksanaan di lapangan.
Sebaliknya pada pendekatan kedua , 'pengaturan' lalu lintas barang
dan jasa di dalam negeri tidak memerlukan banyak peraturan tambahan
karena intervensi pemerintah hampir tidak ada. Dalam hal ini pemerintah
tidak memiliki misi tertentu kecuali efisiensi dan kelancaran arus barang
secara nasional.
Dalam jangka pendek pendekatan pertama bisa efektif mencapai
misinya karena dapat dikendalikan oleh aturan birokrasi yang tegas baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Tetapi dalam jangka panjang akan
berdampak pada disinsentif kepada dunia usaha karena tidak ada
kebebasan dalam menentukan arah (direction) kemana barangnya harus
dijual berdasarkan signal pasar yang ada.
Sebaliknya pada pendekatan yang kedua, dalam jangka pendek
pelaksanaan 'pengaturan ' lalu lintas barang dan jasa di dalam negeri
mungkin 'semrawut' karena tidak banyak diatur dan dikontrol. Tetapi
dalam jangka panjang akan membentuk suatu praktek perdagangan yang
sehat dan jauh dari distorsi regulasi. Karena itu, jika pendekatan kedua
yang dipilih, dalam jangka pendek diperlukan banyak kegiatan sosialisasi
serta pembinaan baik kepada para pelaku distribusi maupun kepada pemda
agar bisa membentuk mekanisme perdagangan yang 'sehat' dan benar.
Ini merupakan salah satu tugas pemerintah pusat dan propinsi untuk
melakukan kegiatan sosialisasi dan pembinaan.
Tentu saja terdapat pilihan pendekatan ketiga, yang merupakan
bentuk antara dari kedua pilihan ekstrem tersebut di atas.
Perihal yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa pengaturan lalu
Iintas barang dan jasa adalah merupakan kepentingan Ditjen Perdagangan
Dalam Negeri, tetapi dalam implementasinya (jika undang-undangnya
sudah terbentuk) sangat perlu memperhatikan koordinasinya dengan

lanuari - Maret 2002


Pergulalan Globalisasi vs Lokalisasi dalam Hukum Indonesia 67

instansi lain yang paling terkait terutama: a) pertanian secara luas untuk
sektor produksi; b) dengan perhubungan dan pekerjaan umum untuk
infrastruktur jalan dan sarana transportasi; c) Departemen Dalam Negeri
sebagai pembina pemerintahan di daerah, d) berbagai departemen dan
instansi yang secara sektoral bertugas di beraneka sektor jasa, e)
pemerintah daerah ditingkat kabupaten sebagai pemegang otonomi; dan f)
Kadinda/asosiasi dan organisasi-organisasi pengusaha kecil sebagai
kelompok pelaku usaha. Secara rinci, inti pengaturan yang dibutuhkan
untuk masing-masing sub-sistem tersebut adalah sebagai berikut.
5.1. Lingkup Substansi Hukurn
Untuk memperlancar lalu lintas barang dan jasa di dalam negeri
perlu dirumuskan ketentuan yang isinya antara lain:
Kebijakan pengaturan lalu lintas barang dan Jasa di dalam negen
berada di tangan pemerintah pusat;
Pelaksanaan otonomi daerah tetap dalam kerangka NKRI, dalam lalu
lintas barang dan jasa di dalam negeri dilandasi cara pandang RI
sebagai kesatuan pasar dan ekonomi nasional;
Kebebasan pelaku usaha untuk melakukan kegiatan di seluruh wilayah
hukum RI;
Larangan atas segal a peraturan perundang-undangan yang merupakan
hambatan terhadap lalu lintas barang dan jasa di dalam negeri;
Larangan atas segala pungutan-pungutan jamak dan/atau tumpang
tindih yang dapat menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Perumusan aturan sebagai upaya penyelesaian sengketa secara damai
melalui konsiliasi atau mediasi;
5.2. Lingkup Struktural/kelembagaan Hukum
Agar efektivitas substansi hukum yang telah dirumuskan pada
butir 1. dapat dijamin , perlu dibentuk lembaga yang mampu menjalankan
peran-peran pendukungnya, antara lain:
Pengawasan dan monitoring terhadap peraturan perundang-undang di
bidang lalu lintas barang dan jasa di dalam negeri;
Pencegahan diberlakukannya peraturan perundang-undangan yang
tidak sinkron, baik vertikal maupun horizontal, dengan peraturan
perundang-undang di bidang lalu lintas barang dan jasa di dalam
negeri;

Nomor I Tahun XXXll


68 Hukum dan Pembangunan

Pembentukan mekanisme penyelesaian sengketa secara damai melalui


konsiliasi atau mediasi;
Memperlancar danlatau mendorong peran Mahkamah Agung dalam
penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan peraturan perundang-
undang di bidang lalu lintas barang dan jasa di dalam negeri yang
tidak sinkron;
Sosialisasi, evaluasi dan edukasi perihal peraturan perundang-undang
di bidang lalu lintas barang dan jasa di dalam negeri;
5,3, Lingkup Budaya Hukum
Dalam rangka upaya peningkatan dukungan warga masyarakat
terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undang di bidang lalu lintas
barang dan jasa di dalam negeri, perlu dilakukan usaha agar warga
masyarakat selalu bersikap-tindak yang sesuai dengan peraturan
perundang-undang di bidang lalu lintas barang dan jasa di dalam negeri.
Untuk me rang sang dicapainya tujuan tersebut, dapat dirumuskan sanksi,
baik positif maupun negatif. Jadi bagi pihak yang taat terhadap undang-
undang ini diberikan insentif, sedangkan bagi pihak pelanggar diberikan
penghukuman.
Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut perlu dilakukan berbagai
kegiatan penerangan, penyuluhan dan dialog atau lokakarya sehingga
secara bertahap terbentuk sikap-tindak yang kondusif di bidang lalu lintas
barang dan jasa di dalam negeri.

Dipetik dari sebagian makalah yang disajikan oleh penulis pad a


Lokakarya tentang Naskah Akademik Rancangan Undang-undang
tentang Lalu Lintas Barang dan Jasa di Dalam Negeri , kerjasama
Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Departemen Perindustrian dan
Perdagangan RI, Jakarta: 18 Februari 2002. Penulis berterima-kasih
kepada semua pihak (termasuk anggota tim) yang telah secara aktif
membantu terselenggaranya kajian ini, antara lain: Dr. Harkristuti
Harkrisnowo, S.H ., M.A., Prof. Dr. Hikmahanto Yuwono, S.H.,
LL.M., Kurnia Toha, S.H., LL.M., Dr. Ilyas Saad, Retno Murniati,
S.H., M.H., Satya Arinanto, S.H., M.H., Theodorus Sardjito, S.H.,
M.A., Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H, Ugrasena Pranidhana,
S.H., M .H., Purnawidhi Wardhana, S.H., Fernando Oktrado Manulang,
S.H., Harsanto Nursadi, S.H, Antonius Cahyadi, S.H., Agus
Supriyanto, SH., MH., dan Agus Sardjono, SH., MH.

lanuari - Morel 2002


PerguLalan GLobalisasi vs Lokalisasi daLam Hukum Indonesia 69

Daftar Kepustakaan

Adrianus Meliala (ed.), Praktek Bisnis Curang, Jakarta: Pustaka Sinar


Harapan, 1993 .
Agus Brotosusilo, bersama Purnadi Purbacaraka. Sendi·sendi Hukum
Perdata InternasionaL. (Jakarta: Penerbit Rajawali, 1983, edisi ke-
empat: 1994).
Agus Brotosusilo, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Penerbit Universitas
Terbuka, 1985).
Agus Brotosusilo, et. al. Penulisan Hukum. (Jakarta: Konsorsium IImu
Hukum, Departemen PDK, 1994).
Agus Brotosusilo, bersama Soerjono Soekanto. Kekuasaan dan
Masyarakat. (Jakarta: Penerbit Rajawali, 1986).
Agus Brotosusilo, et. al.,: Laporan Akhir Studi Kebijakan Persaingan
Usaha. Kerjasama PSIH - Program Pascasarjana Universitas Indonesia
dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, 1998.
Agus Brotosusilo, et. ai.,: Laporan Penelitian: Penyusunan Rancangan
Undang-undang Tenrang Perdagangan. Pusat Penelitian Sain dan
Teknologi - Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, dalam kerjasama
dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, 1997.
Agus Brotosusilo, et. al.,: Studi Kebijakan Persaingan Usaha. Makalah
pada Seminar Tentang Permasalahan Perdagangan Dalam Era
Globalisasi, diselenggarakan oleh PSIH - Program Pascasarjana
Universitas Indonesia dan Departemen Perindustrian dan
Perdagangan RI , 1998.
Agus Brotosusilo, Falsafah Pengaturan di Bidang Perdagangan. Materi
Pengantar Diskusi dalam rangka penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Undang-undang Perdagangan. Pusat Penelitian Sain dan
Teknologi - Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, dalam
kerjasama dengan Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI,
Jakarta: 20 Februari 1997.
Agus Brotosusilo, Hukum Tentang: Perdagangan Internasional, Modul
ke-8, Materi Kuliah Hukum Bisnis, Program Studi Magister
Managemen, Program Pascasarjana - Universitas Indonesia, 1993.
Agus Brotosusilo, Hukum Tentang: Persaingan Bisnis Curang (Unfair
Business Practices), Modul ke-ll, Materi Kuliah Hukum Bisnis,
Program Studi Magister Managemen, Program Pascasarjana -
Universitas Indonesia, 1993 .

Nomor I Tahun XXXII


70 Hukum dan Pembangunan

Agus Brotosusilo, Pengantar Hukum Ekonomi, Kertas Kerja, Disajikan


dalam Diskusi antar Bagian di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Depok: 25 Oktober 1994.
Agus Brotosusilo, Sistem Ekonomi Indonesia. Makalah sebagai bahan
Seminar Terbatas dalam rangka perkuliahan Sosiologi Indonesia,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 1995.
Agus Brotosusilo. "Ketentuan Anti Dumping: Pedang Bermata Ganda
Dalam Pencegahan Praktek Bisnis Curang". Majalah Hukum dan
Pembangunan, Tahun ke-XXIV, No.2, April 1994.
Agus Brotosusilo. "GATT: Uruguay Round dan Kepentingan Indonesia".
Majalah Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-XXII, No.6,
Desember 1992.
Agus Brotosusilo: Dampak Yuridis, Pertimbangan Ekonomis, dan
Cakrawala Sosiologis Ratifikasi Agreement Establishing the World
Trade OrganizationlWTO oleh Indonesia. Majalah Hukum dan
Pembangunan, Nomor 2 Tahun XXVI, April 1996.
Agus Brotosusilo: Hak-hak Produsen dalam Hukum Perlindungan
Konsumen. Majalah Hukum dan Pembangunan, Nomor 5 Tahun
XXII, Oktober 1992.
Agus Brotosusilo: Pokok-pokok Pengaturan Rancangan Akademik
Undang-undang tentang Perdagangan. Makalah utama, disajikan
pada Seminar Penyusunan Rncangan Undang-undang tentang
Perdagangan. Pus at Penelitian Sain dan Teknologi - Lembaga
Penelitian Universitas Indonesia, dalam kerjasama dengan
Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI, Jakarta: 10 Juli
1997.
Agus Brotosusilo, Pokok-pokok Bahasan Pada RUU Persaingan Usaha.
Makalah disajikan pad a Dialog Hukum dan Ekonomi dengan thema:
Urgensi Peranan Hukum Dalam Menghadapi Kebijakan Ekonomi.
Diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Keilmuan - Senat Mahasiswa
Fakultas Hukum UI, Jakarta: 17 April 1998.
Agus Brotosusilo: Tinjauan Dari Segi Hukum Ekonomi Terhadap
Rancangan Undang-undang Tentang Larangan Praktek Monopoli.
Makalah pada seminar tentang Mewujudkan Undang-undang
Antimonopoli yang Kondusif Bagi Perkembangan Dunia Usaha.
Diselenggarakan oleh PT. Indofood Sumber Makmur - Bogasari
Flourmills, Cempaka Room - Hilton Executive Club, Jakarta: 22
Oktober, 1998.

lanuari - Marer 2002


Pergulatan Globalisasi vs Lokalisasi dalam Hukum Indonesia 71

Andari, R., Hunga, I., and Sandee, H. 'Pungutan and Sumbangan' in


Central Java, Case Study, CESS/Asia Foundation, Jakarta, 1997.
Bahl, Roy dan James Aim, Decentralization in Indonesia: Prospects and
Problems, Working Report, USAID, Juni, 1999.
Baker, Jonathan B. "Vertical Restraints with Horizontal Consequences:
Competitive Effects of "Most-Favored-Customer" Clauses."
Antitrust Law Journal, Vol. 64, Issue. 3, 1996.
Baldwin, R. and Venables, A., Methodologies for an Aggregate ex-post
Evaluation of the Completion of the Internal Market. Mimeo
Graduate School of International Studies (Geneva) and London
School of Economics, 1984.
Bennett, Chris P. "Decentralization and Domestic Trade: Divisive
Threats to Intra-and Inter-Regional Trade in Indonesia," working
paper, Development Planning Assistance , Sub Project SP-81
Natural Resource Management Policy under Decentralization,
Bappenas - Hickling (CIDA) , Juli, 2000.
Bird, Richard, M. and Francois Vaillancourt, Fiscal Decentralization
in Developing Countries, Cambridge University Press, Cambridge,
1998.
Boner, Roger Alan. "Antitrust and State Action in Transition
Economies. "The Antitrust Bulletin, Vol. XLIII, No. liSping 1998.
Devas, Nick, et ai, , Financing Local Government in Indonesia, OHIO
University, Monographs in International Studies, Southeast Asia
Series, No. 84, 1989.
Iqbal, Farrukh dan William E. James, Pengalaman Indonesia dengan
Kebijaksanaan Perdagangan dan Investasi: Distorsi, Deregulasi dan
Reformasi Masa Depan, Westport and London, Preger, 2001.
Istijoso, Bralunantio, Ubaidillah, et.al.. Desentralisasi Fiskal dan
Implikasinya Terhadap Kondusifitas Iklim Usaha di Daerah Kota
dan kabupaten. Regional Policy Workshop Papers. Center for
Economic and Social Studies. Jakarta, 2001.
Jacobson, Jonathan M. and Tracy Greer. "Twenty-One of Antitrust
Injury: Down the Alley with Brunswick v. Pueblo' Bowl-O-Mat . ..
Antitrust Law Journal, Vol. 66, Issue 2, 1998.
James, William E. and Oleksandr Movshuk, "International Economic
Integration and Competitiveness: An Analysis of Market Share in
Manufacturing Industries in Japan, Korea, Taiwan and the United

Nomor 1 Tahun XXXII


72 Hukum dall Pemballgunan

States," ICSEAD Working Paper Series, Vol. 2000-04, May,


Kitakyushu, Japan , 2000.
James, William E., The Gains from open International Trade and
Investment in the deregulation Era: Implications for Indonesia's
International Economic Policy in the 21" Century," ICSEAD
Working Paper Series, VoI.2001-06, March, Kitakyushu, Japan,
2001.
James, William E., dan Eric D. Ramstetter, "Implikasi Globalisasi
bagi Indonesia: Kebijaksanaan Perdagaan, Multinasional dan
Persaingan", dalam Satya Dev Gupta (ed.), Dinamika Globalisasi
dan Perkembangan, Boston, Dordrecht dan London: Kluwer
Academic Publishers, 1997.
LPEM-FEUI, The Impacl of lhe Crises on Local Government Finances:
Findings Based on Field Survey in 22 Regions, Laporan Penelitian
(tidak diterbitkan) untuk CLEAN Urban Project - Departemen
Keuangan, Juli , 1999.
Ray, D., and Darma, R. Studi Tentang Hambatan-Hambatan Pada
Perdagangan dall Persaingan Bebas di Propinsi Sulawesi Selman.
Partnership for Economic Growth, USAID, 2000.
Ray, David and Gary Goodpaster "Policies and Institutions to Ensure
Free Internal Trade Under Decentralization", paper presented at
the PEG/USAID Conference on Domestic Trade, Decentralization,
and Globalization, Jakarta, Indonesia, April, 2001.
Romer, Paul, "New Goods, Old Theory and the Welfare Cost of Trade
Restrictions," Journal of development Economics, 43(1), February:
5-38, 1994.
Sidik, Machfud, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dall
Daerah serta Implikasinya terhadap Pembiayaan Otonomi Daerah,
Yayasan Indonesia Forum, 1999.
Winarno Yudho dan Agus Brotosusilo, Sistem Hukum Indonesia,
Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka, 1986.
Yayasan Indonesia Forum: Laporan Hasi! Kajian OlOnomi Daerah.
Presented at the Konperensi Nasional Tentang Otonomi Daerah,
President Hotel, Jakarta 9 May 2000.

fanuari - Maret 2002

Anda mungkin juga menyukai