Anda di halaman 1dari 26

Teori Hukum Dari Masa Ke Masa

Teori hukum yang muncul dari abad keabad dan dari generasi ke generasi, tidak hanya
memperlihatkan warna kosmologi dan semangat zamannya, tetapi juga memunculkan pergeseran
cara pandang sesuai dengan peralihan zaman.
1. Teori Hukum Zaman Klasik
Teori hukum sejak filsuf Ionia hingga Epicurus diwarnai cakrawala religiusitas, baik yang
bersumber pada mistis (pra abad ke-6 Seb. M) maupun yang bersumber pada religi Olympus (abad
ke-5 sampai abad ke-1 Seb. M). dalam kosmologi era sebelum abad ke-6 Seb. M, yang ilahi itu
ada dalam alam. Alam sepenuhnya dikuasai oleh kekuatan mistis, karenanya alam dipahami
sebagai kekuatan yang mengancam, serba gelap, dan berjalan alamiah. Hidup manusia, dengan
demikian sepenuhnya tergantung pada nasib. manusia harus tunduk dan rela menerima nasib sesuai
aturan alam, yakni lewat seleksi alam.
Masuk abad ke-6 yang berlanjut hingga abad ke-1 Seb. M, kosmologi serba mistis berganti
kosmologi religi Olympus. Dalam kosmologi ini, yang ilahi itu (telah) ada dalam diri manusia,
lewat logos (akal). Logos merupakan akal dewa dewi yang mencerahkan dan menuntun manusia
pada pengenalan akan yang benar, baik, dan patut. Berkat logos yang mencerahkan itu,
dimungkinkan terciptanya suasana keteraturan (nomos). Nomos inilah yang menjadi petunjuk
hidup di dunia riil. Nomos dapat mengambil bentuk dalam wujud kebiasaan maupun wujud aturan
yang menuntun kehidupan umat manusia yang bermartabat.
2. Hukum Itu Tatanan Kekuatan
Teori Filsuf Ionia
Teori ini adalah bagian dari para filsuf pertama Yunani sebelum abad ke-6 masehi. Generasi ini
dikenal sebagai filsuf Ionia, seperti Anaximander, Thales, Heraklitus, dan Empedocles. Sebagai
generasi filsuf awal, mereka sangat lekat dengan kosmologi alam dan mistis yang melahirkan
pandangan bahwa kekuatan merupakan inti tatanan alam.
Teori ini adalah mengenai hukum sebagai kekuatan, benar-benar merupakan strategi tertib hidup
dari manusia zaman itu yang memilih adaptasi terhadap alam. Sesuai tingkat peradaban masa itu,
maka alam dijadikan sebagai titik-tolak analisis. Ketika itu, alam dipahami sebagai jagad penuh
kuasa yang hanya tersusun dari benda-benda materi (manusia juga dianggap benda materi). Oleh
karena bangunan benda materi-materi belaka, maka tidak dikenal adanya tatanan moral sebagai
panduan kehidupan.
Oleh karena itu praktis alam dikuasai oleh logika dasarnya, yakni kekuatan dalam logika
kekuatan itulah, manusia sebagai bagian dari alam menjalankan kehidupan ragawinya sehari-hari.
Di sinilah hukum siapa yang kuat akan bertahan berlaku, yakni ada atau lenyap. Terjadilah seleksi
alam. Siapa yang kuat dan cerdik, ia akan bertahan. Dan siapa yang mampu survive, dia
berkesempatan menjadi sumber hukum.
Hukum Sebagai Tatanan Logos
Teori Kaum Sofis
Dengan latar belakang konsepsi religi Olympus tentang manusia (manusia memiliki jiwa dan
raga), filsuf Sofis tidak lagi memandang kekuatan setelanjang barisan filsuf pertama. Dunia materi
bukan segala-galanya.
Ada unsur lain yang lebih utama: Logos yang dimiliki manusia. Dunia berpusat pada manusia yang
punya logos (ilmu) itu, sehingga pun hukum pun juga berpusat pada manusia yang memiliki logos
itu.
Bagi kaum Sofis, hukum bukan lagi melulu sebagai gejala alam yang telanjang per se. Mereka
mengaitkan hukum dengan moral alam, yakni logos semacam roh ilahi yang memandu manusia
pada hidup yang patut. wujudnya adalah nomos yang dalam tradisi Yunani menunjuk pada
kebiasaan sacral dan penentu segala sesuatu yang baik. Nomos hanya bisa eksis di dalam polis
(negara kota di Yunani). Di luar polis hanya ada kekacauan.
Esensi nomos sebenarnya soal kepatutan. Ya kepatutan yang dapat diterima akal sehat orang-orang
waras. Nomos menjunjung keadilan, menjamin keamanan, serta mendatangkan kesejahteraan.
Karena nomos mengandung moral logos, maka pelanggar terhadap nomos perlu dihukum karena
dianggap melakukan kesombongan. Nomos ini menurut Protagoras (salah satu eksponen Sofis),
bisa tampil dalam bentuk kebiasaan, dan juga dalam bentuk undang-undang. Oleh karena itu,
dalam tradisi Yunani, hukum (nomos) dan UU (nomoi) sangatlah penting untuk menata polis.
Hukum Sebagai Tatanan Kebajikan
Teori Socrates
Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum merupakan tatanan kebajikan.
Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum bukanlah aturan yang
dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filsuf Ionia), bukan pula aturan untuk
memenuhi naluri hedonisme diri (kontra kaum Sofis). Hukum sejatinya adalah tatanan objektif
untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum.
Pemikiran Socrates itu harus dipahami dalam kkonteks pemikiran etisnya eudaimonia. Tujuan
kehidupan manusia menurut Socrates adalah eudaimonia (kebahagiaan). Tentu menurut Socrates
adalah kebahagiaan seperti dipahami orang Yunani, yakni suatu keadaan obyektif yang tidak
tergantung pada perasaab subyektif. Bagi bangsa Yunani, eudaimonia berarti kesempurnaan jiwa
yang oleh Plato dan Aristoteles diakui sebagai tujuan tertinggi dalam hidup manusia.
Eudaimonia (kesempurnaan jiwa) menjadi inti filsafat kebijaksanaan Socrates. Demi
mempertahankan filsafatnya, dia bersedia mati dengan meminum hemlock. Dari tiga butir yang
menjadi saripati filsafat kebijaksanaan Socrates, dua diantaranya relevan diungkapkan di sini.
Butir pertama, peningkatan jiwa, kepedulian terhadap kebijaksanaan dan kebenaran, merupakan
keutamaan tertinggi (primum et summum bonum) dalam hidup manusia. Butir kedua adalah
kebajikan yang tidak lain adalah pengetahuan. Menurut prinsip ini, untuk mengetahui kebaikan
adalah dengan melakukan kebaikan. Kejahatan, kekeliruan atau semacamnya muncul karena
kurangnya pengetahuan, ketidakacuhan, dan ketiadaan lainnya. Butir kedua ini adalah menyangkut
integritas manusia.
Hukum Sebagai Sarana Keadilan
Teori Plato
Dengan mengambil inti ajaran kebijaksanaan Sokrates, Plato sang murid, juga mengaitkan hukum
dengan kebijaksanaan dalam teorinya tentang hukum. Akan tetapi ia tidak menempatkan
kebijaksanaan dalam konteks mutu pribadi individu warga polis. Sebaliknya, ia mengaitkan
kebijaksanaan dengan tipe ideal Negara polis di bawah pimpinan kaum aristokrat. Dasar perbedaan
tersebut terletak pada perbedaan asumsi tentang peluang kesempurnaan pada manusia. Bagi
Socrates, secara individual manusia dimungkinkan mencapai kesempurnaan jiwa secara
swasembada. Sedangkan Plato tidak percaya pada tesis gurunya tersebut. Bagi Plato kesempurnaan
individu hanya mungkin tercipta dalam konteks negara di bawah kendali para guru moral, para
pimpinan yang bijak, para mitra bestari, yakni kaum aristokrat. Menurut Popper, model Plato
tersebut merupakan kerajaan orang yang paling bijak dan menyerupai dewa.
Secara riil, Plato merumuskan teorinya tentang hukum, demikian:
(i) Hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia fenomena yang penuh situasi
ketidakadilan,
(ii) Aturan-aturan hukum harus dihimpun dalam satu kitab, supaya tidak muncul kekacauan
hukum,
(iii) Setiap UU harus didahului preambule tentang motif dan tujuan UU tersebut. Manfaatnya
adalah agar rakyat dapat mengetahui dan memahami kegunaan menaati hukum,
(iv) Tugas hukum adalah membimbing para warga (lewat UU) pada suatu hidup yang saleh dan
sempurna,
(v) Orang yang melanggar UU harus dihukum. Tapi itu bukan balas dendam. Karena
pelanggaran adalah suatu penyakit intelektual manusia karena kebodohan. Cara mendidik itu
adalah lewat hukuman yang bertujuan memerbaiki sikap moral para penjahat. Jika penyakit itu
tidak dapat disembuhkan, maka orang itu harus dibunuh.
Hukum Itu Rasa Sosial-Etis
Teori Aristoteles
Aristoteles mengaitkan teorinya tentang hukum dengan perasaan sosial-etis yang bukanlah bawaan
alamiah manusia sempurna versi Socrates, bukan pula mutu kaum terpilih (aristocrat) model
Plato. Perasaan sosial-etis ada dalam konteks individu sebagai warga Negara (polis). Berdiri
sendiri lepas dari polis, seorang individu tidak saja bakal menuai bencana, tetapi juga akan
cenderung lard an tak terkendai karena bawaan alamiah Dionysian-nya.
Oleh sebab itu, hukum seperti halnya polis, merupakan wacana yang diperlukan untuk
mengarahkan manusia ada nilai-nilai moral yang rasional. Inti manusia moral yang rasional
menurut Aristoteles adalah memandang kebenaran (theoria, kontemplasi) sebagai keutamaan
hidup (summum bonum). Dalam rangka ini, manusia dipandu dua pemandu, yakni akal dan moral.
Akal (rasio, nalar) memandu pada pengenalan hal yang benar dan yang salah secara nalar murni,
serta serentak memastikan mana barang-barang materi yang dianggap baik bagi hidupnya. Jadi
akal memiliki dua fungsi, yaitu teoritis dan praksis. Untuk yang pertama, Aristoteles menggunakan
kata Sophia yang menunjuk pada kearifan. Untuk yang kedua digunakan akta phronesis yang
dalam terminologi Skolatik abad pertengahan disebut prudentia (prudence). Moral sendiri
menurut Aristoteles, memandu manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrim yang
berlawanan, termasuk dalam menentukan keadilan. Moral memandu pada sikap moderat, sikap
yang dalam bahasa sansekerta disebut dengan purata kencana.
Dalam konstruksi filosofis mahluk moral yang rasional inilah, Aristoteles menyusun teorinya
tentang hukum. Karena hukum menjadi pengarah manusia pada nilai-nilai moral yang rasional,
maka ia harus adil. Keadilan hukum identik dengan keadilan umum, yang ditandai dengan
hubungan yang baik antara satu sama lain, tidak mengutamakan kepentingan pribadi tapi juga
tidak mengutamakan kepentingan pihak lain, serta ada kesamaan. Di sini tampak kembali apa yang
menjadi dasar teori Aristoteles, yakni perasaan sosial-etis. Tidak mengherankan jika
formulasinya tentang keadilan bertumpu pada tiga sari hukum alam yang dianggapnya sebagai
prinsip keadilan utama, yaitu: Honeste vivere, alterum non laedere, suum quique tribuere (hidup
secara terhormat, tidak mengganggu orang lain, dan memberi kepada tiap orang bagiannya).
Hukum dan Kepentingan Individu
Teori Epicurus
Epicurus membangun teorinya tentang hukum melalui konteks etika epicurunisme di mana tujuan
kehidupan adalah kebahagiaan yang hanya mungkin tercipta jika tiada penderitaan jiwa-raga.
Segala sesuatu yang dapat menyusahkan jiwa raga harus dihindari begitu juga kesenangan sensual
dan indrawi yang mengakibatkan sakit raga dan penderitaan jiwa pun harus dijauhi. Gagasan
utamanya adalah gagasan atomistik (individu-individu yang terpisah), yang muncul di tengah
peperangan dan pergolakan politik yang melanda polis polis Yunani kala itu, di mana semua
peristiwa tersebut dianggap menderitakan raga dan menyengsarakan jiwa.
Dari Epicurianisme inilah, hukum (sebagai aturan public), mesti dipandang sebagai tatanan untuk
melindungi kepentingan-kepentingan perorangan. Undang-undang diperlukan demi mencegah
terjadinya kekerasan dan menghindari ketidakadilan akibat konflik kepentingan individual yang
senantiasa muncul. Dengan kata lain, hukum diperlukan untuk mengatur kepentingan-kepentingan
individu secara damai demi terjaganya keamanan raga dan kedamaian jiwa. Oleh karena itu, tugas
hukum adalah sebagai instrument ketertiban dan keamanan bagi individu-individu yang sama-
sama merindukan hidup tenang dan tentram.
1. 2. Teori Hukum Abad Pertengahan
Abad pertengahan merupakan suatu era di mana pemikiran serba Ilahiah (utamanya teologi
Kristen) begitu dominan. Manusia dan alam dianggap berada di bawah kendali Alhalik. Sama
seperti logos di era sebelumnya. Tokoh-tokoh dalam teoeri hukum ini adalah Agustinus
(penghujung terakhir zaman klasik/tahun 400 M) dan Thomas Aquinas (paruh kedua abad
pertengahan/Tahun1200 M) tertib manusia, termasuk teori tentang hukum diletakan dalam tatanan
cinta kasih dan hidup damai yang merupakan jawaban atas campur tangan Ilahi dalam hidup
manusia.
Hukum Itu Tatanan Hidup Damai:
Teori St. Agustinus
Serupa dengan nuansa hukum alam zaman Yunani dan Romawi Kuno, St. Agustinus membangun
teorinya mengenai hukum di bawah tema keadilan juga. Akan tetapi karena pengalaman pahit
pergolakan menjelang keruntuhan kekaisaran Romawi, menyebabkan ia memberi poin tambahan
pada unsur hukum alam sebelumnya, yaitu mengenal Tuhan dan hidup saleh, yang merupakan
salah satu unsur penting dari keadilan selalin hiudp yang baik, tidak menyakiti siapa pun dan
memberi kepada setiap orang apa yang menjadi miliknya.
Agustinus mengadopsi zwei zwaarden theorie (teori dua pedang) dari Paus Gelasius yakni pedang
kerohanian dan pedang keduniawian. Pemilahan tersebut berdampak bagi pembentukan hukum
sebagai berikut: (i) Hukum yang mengatur soal keduniawian (kenegaraan), (ii) Hukum yang
mengatur soal keagamaan (kerohanian). Selain itu terdapat juga dua macam kodifikasi hukum: (i)
kodifikasi yang diselenggarakan oleh Raja Theodosius dan Raja Justianus, yang merupakan
kodifikasi oleh Negara dan dinamakan Corpus Iuris, dan (ii) kodifikasi yang diselenggarakan oleh
Paus Innocentius, yang diadakan oleh gereja dan dinamakan Corpus Iuris Canonici.
Corpus Iuris terdiri atas empat bagian: Instuten, ajaran yang mengikat seperti undang-undang,
maksudnya bila ada hal-hal yang kurang jelas pengaturannya dapat dicari dalam Instuten.
Pandecten: penafsiran suatu peraturan oleh para sarjana. Codex: Peraturan atau undang-undang
yang ditetapkan oleh raja. Novellen: Tambahan dari suatu peraturan atas undang-undang.
Sebagai tokoh agama, Agustinus menempatkan hukum Ilahi (lex aeterna) sebagai cita dan hukum
positif yang tidak boleh dilampaui. Jika hukum positif (lex tempralis) melanggar aturan Ilahi itu,
maka ia telah kehilangan kualitas hukumnya.
Hukum Itu Bagian Tatanan Ilahi:
Teori Thomas Aquinas
Tidak berbeda jauh dengan Agustinus, Aquinas pun mendasarkan teorinya tentang hukum dalam
konteks moral agama Kristen. Hukum diperlukan untuk menegakan moral di dunia. Karena zaman
ini merupakan era dominasi agama (yang diawali oleh agama Kristen), maka kehidupan moral
dimaksud menunjuk pada ukuran agama tersebut.
Imperatif-impertif moral tersebut berpengaruh pula terhadap hukum. Tata hukum harus dibangun
dalam struktur yang berpuncak pada kehendak Tuhan. Karena itu, sebagaimana tercerminkan
dalam doktrin Thomas Aquinas, konfigurasi tata hukum dimulai dari (i) Lez Aeterna: Hukum dan
kehendak Tuhan, (ii) Lex Naturalis: Prinsip umum (hukum alam), (iii) Lex Devina: Hukum Tuhan
yang dalam Kitab Suci (iv) Lex Humane: hukum buatan manusia yang sesuai dengan hukum alam.
Hukum pada dasarnya merupakan cerminan tatatan Ilahi. Legislasi hanya memiliki fungsi untuk
mengklarisfikasi dan menjelaskan tatanan Ilahi itu. Tugas hakim adalah untuk menegakkan
keadilan melalui fungsinya menerapkan hukum dalam kaitan dengan pemberlakuan undang-
undang. Pemikiran Aquinas ini hanya bisa dipahami dalam konteks kosmologi dan ontology
Skolatik. Kosmologi dimaksud adalah mengijinkan penalaran rasional selama batas-batas yang
diterapkan oleh wahyu Ilahi tidak dilanggar. Penerapan hukum positif pada kasus riil, harus dibaca
sebagai implementasi hukum Ilahi.
Dalam konteks itulah Aquinas membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu, dengan
hukum yang dijangkau oleh akal manusia. Hukum yang berasal dari wahyu disebut ius divinum
positivum (hukum Ilahi positif). Sedangkan hukum yang ditemui lewat kegiatan akal, terdiri dari
beberapa jenis, yakni (i) Ius naturale (hukum alam), (ii) Ius gentium (hukum bangsa-bangsa), dan
(iii) Ius positivum humanum (hukum positif buatan manusia).
Dalam system Aquinas, akal berada di atas kehendak. Bagi Aquinas, akal berada di atas kehendak.
Akal itu mencerahkan, sedangkan kehendak cenderung naluriah. Itulah sebabnya, hukum yang
berintikan iustum (keadilan), mutlak merupakan produk akal. Tentang keadilan Aquinas
membedakan dalam tiga kategori: (i) Iustitia distributiva (keadilan distributif), yang menunjuk
pada prinsip kepada yang sama diberikan sama, kepada yang tidak sama diberikan yang tidak sama
pula. Ini disebut kesaderajatan geometris. (ii) Iustitia commutative (keadilan komutatif atau tukar
menukar), menunjuk pada keadilan berdasarkan prinsip aritmetis, yaitu penyesuaian yang harus
dilakukan apabila terjadi perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum. (iii) Iustitia legalis (keadilan
hukum), yang menunjuk pada ketaatan terhadap hukum. Bagi Aquinas, menaati hukum bermakna
sama dengan bersikap baik dalam segala hal (dan diasumsikan hukum itu berisi kepentingan
umum), maka keadilan hukum disebut juga sebagai keadilan umum (iustitia generalis).
1. 3. Teori Hukum Era Renaissance
Sebagai filsuf, para pemikir zaman modern, terutama era Renaissance, masih juga dipengaruhi
kosmologi metafisika. Mereka tetap mengakui adanya hukum alam tapi tidak menjadikanya
sebagai perhatian utama. Bagi filsuf-filsuf seperti Jean Bodin (1530-1596), Hugo Grotius (1583-
1645), dan Thomas Hobbes (1588-1679) hukum positiflah (buatan manusia) yang menjadi fokus
perhatian.
Hukum itu Perintah Penguasa Berdaulat
Teori Jean Bodin
Bagi Bodin, kekuasaan raja adalah kekuasaan tertinggi atas warga dan rakyat. Raja sendiri tidak
terikat oleh hukum (summa in cires ac subditos legibusque solute potestas). Sebab jika raja berada
di bawah hukum, maka itu akan menghancurkan makna dasar kedaulatan (yang satu, bulat, dan
superior).
Karena teorinya tentang kedaulatan yang menjurus pada negara, maka Bodin dikenal sebagai
penganut doktrin kedaulatan negara. Bagi Bodin, hukum adalah penjelmaan dari kehendak Negara.
Negaralah yang menciptakan hukum, dan Negara adalah satu-satunya sumber hukum yang
memiliki kedaulatan. Di luar Negara, tidak ada yang berwenang menetapkan hukum.
Apakah dengan demikian Bodin menjadi penganjur kekuasaan otoritarian? Dalam teorinya tentang
hukum, Bodin terkesan tidak sepenuhnya memihak kekuasaan mutlak. Ia masih berpegang pada
cita hukum alam. Hukum (jus) adalah baik dan tanpa perintah. Sedangkan perundang-undangan
(leges) dihasilkan dari penerapan kedaulatan orang yang memerintah. Implisit ia membedakan
hukum sebagai perundang-undangan, dengan hukum yang bersumber dari moral dan keadilan.
Hukum itu Tatanan Keamanan:
Teori Thomas Hobbes
Thomas Hobbes melihat hukum sebagai kebutuhan dasar bagi keamanan individu. Di tengah
orang-orang liar yang suka saling memangsa, hukum merupakan alat yang penting bagi terciptanya
masyarakat yang aman dan damai. Tidak ada pengertian adil atau tidak adil. Yang ada, hanya
nafsu-nafsu manusia. Dalam keadaan seperti itu, terjadilah bellum omnium contra omnes di mana
setiap orang selalu memperlihatkan keinginannya yang sungguh-sungguh egoistis. Watak manusia
ala Dionisyan ala filsun Ionia dan individu egoistis Epicurus, seolah hidup kembali dalam teori
Hobbes.
Jika tidak ada hukum, maka demi mengejar kepentingan diri, mereka akan terlibat dalam war all
against all (perang semua melawan semua). Tanpa hukum yang ditegakkan oleh penguasa yang
kuat, maka individu-individu akan saling membinasakan (homo homini lupus). Hukum adalah
pilihan sadar manusia untuk mengamankan hidup masing-masing terhadap serangan orang lain.
Agar efektif, hukum butuh penegak yang kuat, yaitu penguasa yang punya kekuasaan yang besar.
Thomas Hobbes juga melihat hukum alam (yang intinya keadilan, kesetaraan, kerendahatian,
kemurahatian, dan semua yang sebaiknya dilakukan) sebagai tatanan perilaku yang terdiri dari
aturan-aturan bijak. Keluhuran hukum alam menjadi panduan bagi raja dalam mengeluarkan
perintah.
Hukum itu Kesadaran Sosialitas:
Teori Hugo Grotius
Grotius merupakan penganut humanisme awal zaman modern. Ia memandang manusia sebagai
oknum pribadi yang bebas serta memiliki hak-hak tertentu. Hal ini berlaku bagi setiap manusia.
Hukum sangat dibutuhkan agar tiap orang kembali pada kodratnya sebagai manusia sosial yang
berbudi. Hukum yang demikian, merupakan pengawal dalam sosiabilitas manusia untuk
menjamin agar prinsip-prinsip individu sosial yang berbudi itu tetap tegak. Prinsip-prinsip yang
dimaksud: (1) milik orang lain harus dihormati; (2) kesetiaan pada janji. Kontrak yang harus
dihormati (pacta sunt servanda); (3) harus ada ganti rugi untuk tiap kerugian yang diderita; (4)
harus ada hukuman untuk setiap pelanggaran.
Empat prinsip di atas, merupakan inti hukum alam versi Grotius. Menurutnya hukum ama adalah
segala ketentuan yang benar dan baik menurut rasio, tidak mungkin salah, lagipula adil. Bahkan
tidak dapat diganggu gugat. Tuhan sendiri tidak dapat mengubaj kebenaran hukum itu. Seandainya
Tuhan tidak ada pun, atau tidak memperdulikan manusia, maka hukum alam sebagai hasil akal
manusia, dapat memimpin manusia itu sendiri. Tesis ini sekaligus membantah Aquinas dan
Althusius yang mengatakan hukum alam itu berasal dari Tuhan. Bagi Grotius, hukum alam berasal
dari rasio, bukan dari Tuhan.
1. 4. Teori Hukum Era AufKlarung
Kosmologi era Aufklarung diwarnai kekuasaan akal atau rasio manusia. Manusia era ini adalah
individu yang rasional, bebas dan otonom. Disini muncul teori tentang hukum sebagai tatanan
perlindungan hak-hak dasar manusia.
Hukum Itu Perlindungan Hak Kodrat
Teori John Locke
Sebagai penganut hukum alam abad ke-18, locke berpegang pada prinsip hukum alam zaman itu
yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio. Ia juga mengajarkan kontrak sosial, serupa dengan
Hobbes, perbedaannya dengan Hobbes, Locke menyatakan bahwa yang melakukan kontrak sosial
bukanlah orang yang takut dan pasrah melainkan adalah orang-orang yang tertib, elan, dan
menghargai kebebasan, hak hidup, dan kepemilikan harta sebagai hak bawaan setiap manusia.
Menurut Locke, hak-hak tersebut tidak ikut diserahkan kepada penguasa ketika kontrak sosial
dilakukan. Oleh karena itu, kekuasaan penguasa yang diberikan lewat kontrak sosial dengan
sendirinya tidak mungkin bersifat mutlak. Rakyat sendirilah yang harus menjadi pembuat hukum.
Locke menempatkan kekuasaan legislasi sebagai inti bagi kehidupan politik, sehingga hukum yang
dibuat negara pun bertugas untuk melindungi hak-hak dasar tersebut.
Hukum Itu Produk Akal Praktis
Immanuel Kant
Kant dikenal dengan Imperatif kategorisnya di mana ada dua norma yang mendasari prinsip ini:
(i) Tiap manusia diperlakukan sama sesuai martabatnya, harus diperlakukan selaku subjek,
bukan objek;
(ii) Manusia harus mendasari tindakannya dengan dalil berdasarkan prinsip semesta.
Menurut Kant, dalam kebebasan dan otonominya, tiap-tiap individu cenderung memperjuangkan
kemerdekaan yang dimilikinya. Tapi sangat mungkin pelaksanaan kemerdekaan seseorang bisa
merugikan kemerdekaan orang lain sehingga untuk menghindarinya dibutuhkan hukum
Karena hukum harus berpedoman pada dua prinsip kategoris dimaksud, maka Kant memasukkan
hukum dalam bidang akal praktis. Hukum merupakan bidang sollen, bukan bidang sein. Akal
murni merupakan media untuk melihat yang ada (sein) yakni alam, fakta dan semua yang dapat
direkam oleh indera. Sedangkan akal praktis merupakan media untuk menangkap bidang harus
(sollen), yakni norma-norma. Aturan hukum sebagai norma hukum positif, bukanlah bidang
keharusan yang otonom. Ia merupakan lembaga keharusan yang heteronom.
Hukum Itu Keharusan
Teori Cristian Wolff
Teori dari Cristian Wolff ini berangkat dari pengandaian bahwa hukum alam, seperti juga hukum
lainnya, berbasis kewajiban. Tiada hukum tanpa kewajiban yang mendahului keberadaannya.
Wolff mengajukan tiga eselon norma yang menjadi pedoman norma hukum. Pertama norma
tingkat rendah (mengatur hubungan manusia dengan benda). Prinsip dasar dalam norma ini
adalah : Jangan merugikan orang lain (neminem laedere). Kedua, norma tingkat menengah
(mengatur hubungan antar-orang). Prinsip utama disini ialah Berikan setiap orang menurut haknya
(unicuique suum tribuere). Ketiga, norma tingkat tinggi (mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan). Disini berlaku hak dan kewajiban orang untuk berbakti kepada Tuhan (ius pictatis atau
ius internum). Prinsip dasar dalam bidang ini ialah bertingkah laku secara luhur dan terhormat
(honeste vivere).
Hukum dan Lingkungan Fisik
Teori Mostesquieu
Mostesquieu berpendapat bahwa hukum adalah soal jenis-jenis hukum. Menurutnya, semua
makhluk termasuk manusia mempunyai hukumnya sendiri-sendiri. Pertama, hukum alam yang
jelas tidak dapat di ubah dan dipertetangkan. Kedua, hukum agama yang berasal dari Tuhan.
Ketiga, hukum moral dari ahli filsafat dimana hukum ini dapat dibuat dan diubah. Keempat, hukum
politik dan sipil. hukum sipil adalah produk produk civil state yang bernuansa non-politik.
Montesquieu menganggap bahwa republik sebagai bentuk Negara terbaik karena diperintah oleh
rakyat banyak. Rakyat yang memegang kedaulatan, memberikan mandat serta legitimasi kepada
orang-orang tertentu untuk memerintah negara. Akan tetapi mandat tersebut rawan untuk
disalahgunakan sehingga untuk mencegahnya maka kekuasaaan Negara tidak boleh dimonopoli
dan tersentralisasi oleh penguasa atau lembaga politik tertentu, kekuasaan negara perlu dibagi-bagi
inilah yang kemudian dikenal dengan konsep pemisahan kekuasaan negara atau trias politica.
Pengertian dari trias politica ini adalah pengawasan (check and balance) dari suatu cabang pada
cabang yang lain .
Perwujudan dari konsep Trias Politica Mostesquieu, adalah adanya pembagian kekuasaan negara
kedalam tiga fungsi, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Mostesquieu berpendapat, kekuasaan
negara dipisahkan secara tegas menjadi tiga, kekuasaan perundang-undangan (legislatif),
kekuasaan melaksanakan pemerintahan (eksekutif), kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang
masing-masing kekuasaan itu dilaksanakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri, maka hal ini
akan menghilangkan kemungkinan tindakan yang sewenang-wenang dari seorang penguasa.
Menurut Mostesquieu dengan adanya lembaga legislatif, kepentingan rakyat dapat terwakili secara
baik.
Hukum Itu Kehendak Etis Umum
Teori Rousseau
Rousseau melihat keberadaan sejati manusia sebagai oknum yang memiliki otonomi etis. Menurut
Rousseau suatu norma hukum memiliki nilai kewajiban dan absah mengikat, bukan melulu karena
diciptakan dengan partisipasi bebas dari manusia yang tunduk padanya. Lebih dari itu ia harus
benar-benar mencerminkan kemauan bersama dari orang-orang bebas tersebut. Rakyatlah yang
berdaulat, bukan badan legislasi itu sendiri. Jelaslah bahwa hukum merupakan pribadi moral
dan pribadi publik yang berasal dari kontrak sosial dan melindungi kekuasaan bersama disampin
kekuasaan dan milik pribadi.
Hukum Itu Kaidah Menggapai Simpati
Teori David Hume
Menurut Hume, tidaklah manusia ditentukan oleh hasrat, bukan oleh rasio. Menurut Hume, segala
sesuatu yang memberi kebahagiaan bagi masyarakat, akan dengan sendirinya disambut dengan
aprobasi (penerimaan baik). Jadi dapat disimpulkan, hukum bagi Hume merupakan alat
pencapaian cita-cita sosial. Cara yang dimaksud Hume adalah melalui prinsip-prinsip hukum alam,
yakni keterjaminan kepemilikan, tidak menguasai barang secara berlebihan, perolehannya harus
dilakukan secara halal, pemindahannya harus berdasarkan kesepakatan dan berusaha setia pada
janji.
Hukum Itu Penyokong Kebahagiaan
Teori Jeremy Bentham
Teori dari Jeremy Bentham ini adalah individualisme utilitarian. Katanya, alam telah
menempatkan umat manusia dibawah pemerintahan dua penguasa, yakni suka dan duka. Doktrin
Bentham tentang manusia sebenarnya sudah kita temukan pada pemikiran Hume sebelumnya
bahwa tindakan manusia terkait dengan hasrat.
Pertentangan antara kepentingan sendiri dengan kepentingan bersama, dilakukan Mill dengan
mengadu domba naluri intelektual dan naluri non-intelektual dalam diri manusia. Teori
Utilitarisme Mill rata-rata sesunguhnya lebih berbahaya dari yang disangka orang. Menurut
Rawls, dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utalitarisme ala Mill itu, orang-
orang akan kehilangan harga diri dan lagi pula pelayanan demi perkembangan bersama akan
lenyap. Susunan dasar masyarakat dimanapun, Kata Rawls selalu ditandai oleh ketimpangan. Ada
yang lebih diuntungkan, dan ada yang kurang diuntungkan.
Oleh karena itu, hukum sebagai salah satu unsur susunan dasar masyarakat, harus berdasarkan
sedemikian rupa berdasarkan dua prinsip. Pertama, menetapkan kebebasan yang sama bagi setiap
orang untuk mendapat akses pada kekayaan, pendapatan, makanan dan kebebasan. Kedua, prinsip
perbedaan dan prinsip persamaan atau kesempatan. Menurut Rawls, prinsip yang pertama harus
berlaku terlebih dahulu sebelum prinsip yang kedua.
5. Teori Hukum Abad ke-19
Situasi zaman abad ke-19 ditandai oleh beberapa kecenderungan utama. Pertama, terjadinya
revolusi sosial ekonomi, terutama akibat revolui industri. Kedua, munculnya penolakan terhadap
rasionalisme universal abad sebelumnya yang dianggap cenderung mengabaikan ciri khas suatu
masyarakat atau bangsa. Ketiga, hampir bersamaan dengan historisme, muncul pada pemikiran
evolusionisme yang berusaha melacak perkembangan kebudayaan manusia dari tradisional ke
modern. Pemikir utama arus ini adalah Sir Henry Maine dan durkheim.
Hukum Itu Kepentingan Orang Berpunya
Teori Karl Marx
Menurut Marx, hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Faktanya hukum
melayani kepentingan orang berpunya. Karl Marx berupaya menganalisis proses-proses
ekonomi dalam intern kapitalis sebagai kompleks krisis yang akan menghancurkan sistem kapitalis
itu sendiri yang kemudian akan melahirkan masyarakat sosialis.
Dilingkungan Frankfurter Schule, kritik dipakai sebagai nama teori mazhab ini teori kritis,
membidik masalah positivisme ilmu-ilmu sosial sebagai sasaran kritik. Yaitu, anggapan bahwa
bahwa ilmu-ilmu sosial bebas nilai terlepas dari praktek sosial dan moralitas, dapat dipakai untuk
prediksi, bersifat objektif dan sebagainya.
Kritik bertolak dari sebuah kebutuhan untuk perubahan menuju yang lebih baik. Ada situasi
negatif, ada kepentingan untuk seluruh mengatasi situasi itu. Menurut Marx, sejarah manusia
merupakan sejarah dari pertentangan kelas. Dizaman feodal, terjadi pertentangan antara kelas
bangsawan dengan kelas petani. Dizaman perbudakan, muncul pertentangan antara pemilik budak
dengan budaknya. Sedangkan dizaman kapitalisme, kelas pemilik modal melawan buruhnya.
Pertentangan kelas itu baru berhenti pada saat terciptanya masyarakat komunis, dimana kelas
buruh berkuasa. Semua orang adalah buruh sekaligus majikan. Hasilnya, tidak ada pertentangan
kelas di masyarakat.
Hukum Itu Jiwa Rakyat
Teori Savigny
Menurut Savigny, terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu
bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena itu hukum adat yang tumbuh dan
berkembang dalam rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati.
Keberatan Savigny terhadap kodifikasi hukum Jerman juga didasarkan pada pertimbangan yang
lebih realistis. Menurutnya, kodifikasi hukum selalu membawa serta suatu efek negatif, yakni
menghambat perkembangan hukum. Menurut Savigny sejarah itu berjalan terus dan berkembang
setiap saat.
Memang dalam tesis Savigny, hukum itu sejak awal sejarah melekat ciri nasional. Seperti halnya
bahasa, adat istiadat dan konstitusi, ia khas bagi rakyat. Fenomena hukum tidak berdiri sendiri ia
disatukan dalam watak rakyat berkat adanya kesatuan pendirian dari rakyat itu sendiri. Roh dari
hukum itu adalah Volkgeist.
Diletakkan dalam konteks zamannya, teori Savigny ini dapat dilihat sebagai serangan terhadap dua
kekuatan yang berkuasa pada zaman itu, yakni : (i). Rasionalisme dari abad ke-18 dengan
kepercayaannya pada kekuasaan dan akal dan prinsip-prinsip absolut yang universal yang
membuahkan teori-teori hukum nasionalistik tanpa memandang fakta historis lokal, ciri khas
nasional, serta kondisi-kondisi sosial setempat, (ii). Kepercayaan dan semangat revolusi prancis
yang cenderung anti tradisi, serta telampau mengandalkan kekuatan akal dan kehendak manusia
dalam mengkonstruksi gejala-gejala hidup di bawah pesan-pesan kosmopolitannya.
Hukum Itu Fusi Kepentingan
Teori Jhering
Hukum itu untuk sebagian memang jiwa bangsa. Bagian yang lain adalah hasil adopsi dari unsur-
unsur luar, baik akibat pergaulan dengan bangsa lain maupun karena bangsa itu memang punya
kepentingan dengan unsur luar itu. Itulah teori Jhering yang sekaligus membantah Savigny. Toh
setiap bangsa itu ada egonya, kata Jhering.
Persis di titik inilah, ideologi utilitarisme Jhering meluas jelas. Teori hukum Jheringpun berbasis
ide manfaat.
Tidak ada seorangpun kata Jhering, ketika berbuat sesuatu untuk orang lain tanpa pada saat yang
bersamaan ingin melakukan sesuatu bagi diri sendiri. Menurut Jhering, posisi saya dalam dunia
bersandar pada tiga proposisi : (i). Saya disini untuk saya sendiri, (ii). Dunia ada untuk saya, dan
(iii). Saya ini untuk dunia tanpa merugikan saya.
Tekanan Jhering pada kepentingan sebagai sesuatu yang menentukan dalam hukum, khsusnya
kepentingan masyarakat menghantar dia pada intersen jurisprudenze. Kepentingan masyarakatlah
yang menjadi inti hukum.
Jhering sampai pada kesimpulan bahwa ahli hukum yang terpuji bukanlah mereka yang terpintar
dalam teknik hukum (yang dulu dipuja Jhering ketika ia menjadi penganut begriffsjurisprudenze).
Sebaliknya, yang harus dianggap ahli hukum sejati adalah mereka yang mengerti dan memahami
apa yang merupakan kepentingan masyarakat.
Hukum Itu Produk Adaptasi Sosial
Teori Henry S. Maine
Maine dikenal dengan teorinya Movement from status in contract. Teori evolusi ini dihasilkan dari
studi perbandingan yang dilakukannya pada masyarakat Asia. Dari sana, ia temukan dua tipe
masyarakat, yakni : (i). Statie Sosietis (Cina dan India), (ii). Progressive Societis (Eropa). Dalam
masyarakat yang statis, hukum bertugas meneguhkan hubungan antar status. Sebaliknya, pada
mayarakat yang progresif, hukum berfungsi sebagai media kontrak antar prestasi.
Teori Maine tidak terlepas dari telaah studi perbandingan mengenai perkembangan sistem hukum
yang bervariasi di berbagai belahan dunia.
Hukum Itu Moral Sosial
Teori Emile Durkheim
Teori Durkheim ini, menempatkan hukum sebagai moral sosial. Durkheim sendiri bukanlah
tergolong jajaran filsuf klasik yang melulu berurusan dengan persoalan moral. Menurut Durkheim,
sistem pembagian kerja menentukan solidaritas sosial. Solidaritas sosial itu sendiri merupakan
jenis yang abstrak. Ia merupakan roh yang mengikat orang-orang pada kerangka keyakinan
bersama dalam membangun hidup yang terintegrasi.
Dalam konsep Durkheim, hukum sebagai moral sosial pada hakekatnya adalah ekspresi solidaritas
sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat. Hukum adalah cerminan solidaritas.
Tampaknya, haluan aliran Marx dan Maine yang bernuansa evolusionisme dan ekonomi itu,
tertular pula pada Durkheim yang lahir hampir empat dasa wasa kemudian. Ia membangun
teorinya tentang hukum di karya utamanya pembagian kerja.
Baik hukum yang menindak maupun hukum yang memulihkan, keduanya memiliki tujuan
yang sama yakni integrasi sosial. beda jalan, tapi satu tujuan. Hukum yang menindak merupakan
jalan (cara dan strategi) yang ditempuh masyarakat tradisional. Sedangkan masyarakat modern
mengambil haluan yang berbeda, yakni lebih memanfaatkan hukum yang memulihkan.
Keduanya berbeda karena basis ideologinya berbeda.
Hukum Itu Tata Hukum
Teori Austin
Bagi Austin, tata hukum itu nyata dan berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan
sosial, bukan pula karena cermin keadilan dan logos, tetapi karena hukum itu mendapat bentuk
positifnya dari institusi yang berwenang.
John Austin sebagai analytical legal positivism-nya, menjadi penganut utama aturan positivisme
yuridis. Austin bertolak pada kenyataan bahwa terdapat suatu kekuaaan yang memberikan
perintah-perintah, dan ada orang yang pada umumnya menaati perintah-perintah tersebut.
Untuk dapat disebut hukum, kata Austin harus memiliki unsur-unsur: (1). Adanya seorang
penguasa (souvereighnity), (2). Suatu perintah (Command), (3). Kewajiban untuk menaati (duty),
(4). Sanksi bagi mereka yang tidak taat (Sanction).
Austin menggantikan ideal keadilan yang secara tradisional dipandang sebagai pokok utama segala
hukum dengan perintah seorang yang berkuasa. Aturan yang tidak mengandung keutamaan, tidak
layak disebut hukum. Ia lebih tepat dipaksa disebut paksa yang dilegalkan.
Memang Hans Kelsen berupaya memberi pendasaran normatif melalui Grundnorm. Sesuai
peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada jenjang yang
lebih tingi berpuncak pada Grundnorm. Tapi apa isi grundnorm itu, tidak menjelaskannya.
Hukum Itu Ide Umum Aturan Positif
Teori Ernst Bierling
Hukum itu, ide umum tata hukum positif itulah inti dari teori dari ajaran hukum. Ajaran hukum
umum mencari ide-ide hukum yang berlaku dimana-mana karenanya dianggap universal dan tetap.
Tapi ide-ide itu bukan diambil dari isi atau materi hukum positif, tetapi dari aspek formal
yuridisnya. Alasannya sederhana. Materi hukum selain cenderung tidak tetap dan berubah-ubah
juga karena ia berasal dari sumber-sumber non yuridis.
6. Teori Hukum Abad Ke-20
Humanisasi hidup dan berkeadilan sosial tampil sebagai kekuasaan baru yang dihadapi manusia
di abad ke-20. Persoalan sekitar dua hal itu, sangat beragam. Pertama, tragedi sosial dan
kemanusiaan akibat perang dunia I dan II. penindasan kejam dari rezim politik yang totaliter di era
Hitler dan Stalin disamping tragedi-tragedi lain tentang kemanusiaan. Kedua, kian meluasnya
struktur-struktur sosial, budaya, politik dan ekonomi yang meminggirkan dan menindas
kelompok-kelompok periferi.
Ketiga, bersamaan dengan kian kuatnya peran negara dan hukum dalam segala aspek kehidupan
sosial juga memunculkan beragam sikap.
1. A. Teori Neo-Kantian
Dimana Letak Sifat Normatif Dari Hukum ?
Ciri khas pemikir Neo-Kantian adalah, mencari suatu pengertian transedental tentang hukum, yaitu
sifat normatifnya.
Neo-kantian merupakan reaksi terhadap positivisme. Neo-kantian menolak tredo positivisme yang
terlampau empiristis. Neo kantian sendiri, terbagi dalam dua varian. Pertama, aliran Marburg yang
memberi perhatian pada penalaran logis (menurut logika ilmu alam) dalam teorisasinya. Kedua,
aliran Baden yang cenderung memberi perhatian pada nilai-nilai, dan atas refleksi tentang ilmu-
ilmu kultural.
Hukum Itu Normatif, Karena Kehendak Yuridis
Teori Rudolf Stammler
Mengenai teorinya tentang kemauan, Stammler beranjak dari asumsi tindakan bertujuan.
Katanya : orang mau berbuat sesuatu, pasti untuk mengejar suatu tujuan. Jadi tujuan menentukan
perbuatan. Bagi Stammler, perbuatan merupakan materi dari kemauan, sedangkan tujuan adalah
bentuk.
Kata Stammler, apa yang dikehendaki manusia dalam kehidupan sosial adalah hidup bersama yang
teratur. Untuk menjamin hidup (bersama) yang teratur itu, dibutuhkan perbuatan, yakni
peraturan segala yang terdapat dalam kehidupan bersama tersebut.
Dalam teori Stammler, jelas kiranya bahwa hidup bersama yang teratur, menghendaki adanya
hukum sebagai penjamin keteraturan. Kehendak akan hukum itulah yang oleh Stammler disebut
kehendak yuridis.
Hukum merupakan kehendak yuridis manusia. Kehendak itu memicu kesadaran bersama (bukan
orang perorang) suatu masyarakat manusia untuk membentuk peraturan-peraturan hukum.
Kata Stammler tanpa hubungan-hubungan yuridis yang mengikat semua tiap orang, maka
kehidupan akan cenderung ditentukan mau dan caranya orang per orang. Kehidupan seperti ini,
lambat laun akan mengarah kepada kekacauan sehingga manciderai cita-cita kehidupan berama,
yakni hidup damai dan teratur.
Hukum Itu Normatif karena Grundnorm
Teori Hans Kelsen
Kelsen bertolak dari dualisme Kant antara bentuk dan materi. Kelsen mengamini perbedaan
antara bidang ada (sein) dan bidang harus (sollen) sebagai suatu unsur dari pengetahuan
manusia. Bidang sein berhubungan dengan alam dan fakta, sedangkan bidang sollen justru
berkaitan dengan kehidupan manusia.
Menurut Hart, secara umum pengertian Austin memang tepat, sebab benarlah bahwa pemerintah
yang disebut hukum, dikeluarkan oleh seorang yang berkuasa dan bahwa perintah-perintah itu
biasanya ditaati.
Hukum Itu Normatif, Karena Nilai Keadilan
Teori Gustav Radbruch
Dalam mengkonstruksi teorinya, Radbruch bertolak dari tesis mashab Baden yakni kebudayaan.
Bagi Radbruch yang mengikuti Lask, kebudayaan itu adalah nilai-nilai manusia. Baik
pengetahuan, seni, moralitas maupun hukum adalah bagian dari kebudayaan. Menurut Radbruch
gagasan hukum sebagai gagasan kultural tidak bisa formal. Sebaliknya, ia terarah pada rechtsidee
yakni keadilan.
Tuntutan akan keadilan dan kepastian menurut Radbruch merupakan bagian-bagian yang tetap dari
hukum. Sedangkan finalitas mengandung unsur raltivitas karena tujuan keadilan untuk
menumbuhkan nilai kebaikan bagi manusia, lebih sebagai suatu nilai etis dalam hukum.
Bila tujuan hukum adalah kemajuan negara, maka tujuan itu menghasilkan tujuan hukum kolektif.
Wolfgang Friedmann menyebut semboyan-semboyan yang dilekatkan dalam tiga subjek itu adalah
kemerdekaan, bangsa, dan peradaban. Radbruch mengakui selalu terjadi pertentangan antara tiga
aspek tersebut. Dalam negara sistem hukum kolektif maka kemungkinan timbul pertentangan
antara finalitas dan keadilan. Menurut keadilan, orang itu harus dihukum, tetapi finalitas tidak
menginginkannya.
Radbruch mengakui adanya hukum alam yang mengatasi hukum positif, yaitu: (i). Setiap individu
harus diperlakukan menurut keadilan didepan pengadilan, (ii). Pengakuan dan penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar, dan (iii). Harus ada keseimbangan
antara pelanggaran dan hukuman.
1. B. Teori Dari Kubu Neo-Positivisme
Hukum Itu cermin Rasionalitas dan Otoritas
Weber membuat deskripsi-deskripsi analitis tentang tahap-tahap perkembangan hukum. Weber
menggunakan ukuran tingkat rasionalitas dan model kekuasaaan untuk mengkonstruksi
teorinya tentang hukum.
Disini ada tiga tingkat rasionalitas, yakni : (i). Substantif-irasional, (ii). Subtantif dengan sedikit
kandungan rasional, (iii). Rasional penuh.
Weber juga menggunakan tipe otorites (model kekuasaan), sebagai basis teorinya mengenai
hukum.
Tipe pertama adalah tipe kharismatik. Tipe kedua, tipe tradisional yang bertumpu pada
kepercayaan menurut tradisi terhadap orang yang dianggap layak memimpin masyarakat.
Sedangkan tipe ketiga adalah otoritas yang rasional.
Masing-masing tipe otoritas itu, menentukan model penyelenggaraan hukum ( baik law-making,
law-finding maupun law-enforcement).
Rheinstein yang mengedit dan menerjemahkan karya Weber menurunkan tipologi Weber secara
singkat, demikian :
1. Irasional, yaitu tanpa oleh aturan-aturan umum
1. Formal : dipandu oleh hal-hal yang diluar kontrol/kemampuan akal
2. Substantif : dipandu oleh reaksi terhadap kasus individual
1. Substantif dipandu oleh prinsip-prinsip dari suatu sistem ideologi disamping hukum itu
sendiri
2. Formal :
1. Secara ekstrinsik, yaitu dengan menganggap bahwa suatu kepentingan itu berasal dari
kejadian-kejadian eksternal yang dapat diamati oleh indera
2. Secara logis, yaitu dengan mengungkapkan aturan-aturan dengan penggunaan konsep-
konsep abtrak yang diciptakan oleh pemikiran hukum itu sendiri dari dipahami sebagaimana suatu
sistem yang lengkap.
1. Rasional, yaitu dengan dipandu oleh aturan-aturan umum :
Menurut Weber, hukum barat yang berkembang sejauh ini adalah hukum yang paling rasional
ditangani oleh ahli-ahlinya yang profesional dibidang kehakiman dan kepengacaraan.
Hukum Itu Tatanan Karya Sosial
Teori Leon Dugit
Duguit menempatkan solidaritas sosial sebagai dasar konstruksi teori tentang hukum. Solidaritas
sosial itu, membangkitkan dua rasa, yaitu : (i). Rasa keharusan sosial, (ii).Rasa keadilan.
Dari dua keharusan itulah hukum lahir. Nama hukum itu adalah hukum karya sosial. Menurut
Duguit kekuasaan dalam negara sebenarnya tidak lain daripada suatu alat yang diciptakan
individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu untuk mempertahankan supremasinya kepada
orang lain. hukum karya sosial menurut Duguit (harus) bersifat objektif.
Pemerintah tidak boleh menyisipkan agenda sendiri dalam hukum yang dibuatnya sekalipun
dengan selubung hukum publik. Itulah sebabnya, Duguit menolak secara radikal penggolongan
hukum ke dalam hukum publik dan hukum privat. Baik negara maupun masyarakat menurut
Duguit harus tunduk pada satu hukum, yakni hukum karya sosial.
Duguit merumuskan ketentuan tentang solidaritas karya-nya dalam bentuk perintah-perintah.
Perintah-perintah tersebut adalah :
(i). Hormati tiap perbuatan kehendak individu yang ditentukan oleh tujuan solidaritas sosial
(ii). Setiap individu harus menjauhkan diri dari tiap perbuatan yang tujuannya bertentangan
dengan solidaritas sosial
(iii). Jangan berbuat sesuatu untuk mengurangi solidaritas sosial (yang terbangun lewat
pembagian kerja).
Hukum Itu Aturan Yang Hidup
Teori Eugen Ehrlich
Ehrlich membangun teorinya tentang hukum dengan beranjak dari ide masyarakat. Menurut
Ehrlich masyarakat adalah ide umum yang dapat dignakan untuk menandakan sebuah hubungan
sosial, yakni keluarga, desa, lembaga sosial, negara, bangsa, sistem ekonomi dunia dan lain
sebagainya.
Hukum adalah hukum sosial. Ia lahir dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan
kehidupan sehari-hari. Kebiasaan itu lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang efektif.
Hukum Itu Gejala Sosial
Teori Theodor Geiger
Geiger membedakan dua macam norma. Yang satu norma yang sebenarnya. Dan yang lain
adalah norma yang tidak sebenarnya. Menurut Geiger, realitas suatu norma (norma yang
sebenarnya) terletak dalam kenyataan bahwa norma itu terjelma dalam tingkah laku anggota-
anggota masyarakat, dan (pasti) tiap orang akan bersaksi bila norma itu dilanggar. Hukum harus
dipandang sebagai kenyataan-kenyataan sosial yang dinamis juga.
Sebagai seorang positivis yang rekatuf radikal, Geiger cenderung menyangkal peran modal dalam
hukum. Hiduo bersama dalam masyarakat modern menurut Geiger, makin kurang dilandasi
pertimbangan-pertimbangan moral.
Hukum Itu Proses Penguatan
Teori Maurice Hauriou
Teori Hauriou berporos pada peran institusi untuk meneguhkan niat orang menaati hukum.
Hauriou memulai uraiannya dari gambaran tentang manusia. Mula-mula ia menyesuaikan diri
begitu saja dengan perkembangan itu, tetapi sudah menjadi sadar akan diri sendiri, ia ikut dalam
perkembangan realitas itu secara sadar dan bebas.
Menurut Hauriou, hidup bersama manusia dimulai dengan organisasi-organisasi bebas. Itu terjadi
melalui seorang yang kuat yang merebut kekuasaan. Kekuasaan itu digunakannya untuk
menciptakan damai dan untuk memelihara kepentingan-kepentingan bersama.
Dalam tahap yang kedua, orang-orang sampai pada keyakinan bahwa hidup bersama bertujuan
untuk mewujudkan nilai-nilai lintas individual.
Kekuasaan menyangkut dua hal, yaitu :
(i). Kecakapan untuk mengerti dan memahami ide-ide normatif itu dan merumuskannya.
(ii). Kewibawaan dan kehendak yang kuat.
Hukum Itu Kenyataan Normatif
Teori George Gurvitch
Ide sentral dalam teori Gurvitch ialah kenyataan normatif. Menurut Gurvitch sejumlah orang baru
mencapai kelompok yang riil bila mereka mengalami kelompoknya sebagai suatu kita. Aku
dan engkau menjadi bersatu sebagai kita.
Kenyataan normatif yaitu perwujudan keadilan dalam realitas empiris, merupakan dasar material
hubungan-hubungan sosial antara manusia. Hubungan antara hukum sosial asli dan masyarakat
merupakan hubungan saling membangun. Dapat disimpulkan bahwa hidup bersama dan hukum
sosial asli saling melahirkan dan saling memenuhi/.
Oleh karena hidup bersama fungsional menyangkut segala segi kehidupan manusia maka dari itu
hukum timbul dari kehidupan bersama itu dapat menjadi wasit dalam memecahkan segala masalah
yang timbul.
Hukum sosial adalah hukum pemerintah lokal, hukum serikat-serikat ekonomis, hukum kelompok-
kelompok sosial dan lain sebagainya. Dengan konstatasi, Gurvitch hendak mengatakan prioritas
hukum harus diberikan kepada hukum dan masyarakat yang bukan negara.
Hukum Itu Mekanisme Integrasi
Teori Talcott Parsons
Parsons menempatkan hukum sebagai salah satu sub-sistem, dalam sistem sosial yang lebih besar.
Disamping hukum, terdapat sistem lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbeda-beda. Sub
sistem yang dimaksud adalah budaya, politik dan ekonomi.
Politik bersangkut paut dengan kekuasaan dan kewenangan. Ekonomi menunjuk pada sumber daya
materil yang dibutuhkan untuk menopang hidup sistem. Empat sistem tersebut selain sebagai
realitas yang melekat pada masyarakat juga serentak merupakan tantangan yang harus dihadapi
tiap unit kehidupan sosial.
Hukum Itu Keseimbangan Kepentingan
Teori Roscoe Pound
Pragmatisme Amerika merupakan basis ideologi teori pound tentang keseimbangan kepentingan.
Bagi Pound hukum tidak boleh mengawang dalam konsep-konsep logis analitis maupun tenggelam
dalam ungkapan-ungkapan teknis yuris yang terlampau ekslusif.
Pound mengajukan tiga kategori kelompok kepentinga, yaitu kepentingan umum, sosial dan
kepentingan pribadi.
Kepentingan yang terdiri dari kepentingan umum terbagi atas dua, yaitu : (i). Kepentingan-
kepentingan negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan hakikatnya,
(ii). Kepentingan-kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan-kepentingan sosial. Sementara
yang tergolong kepentingan pribadi/kepentingan perorangan adalah :
(a). Pribadi
(b). Kepentingan-kepentingan dalam hubungan rumah tangga/domestik
(c). Kepentingan substansi meliputi perlindungan hak milik, kebebasan menyelesaikan warisan,
kebebasan berusaha dan mengadakan kontrak dan hak untuk mendapatkan keuntungan yang sah,
pekerjaan serta hak untuk berhubungan dengan orang lain.
Kepentingan sosial meliputi enam jenis kepentingan : Pertama, kepentingan sosial dalam soal
keamanan umum. Kedua, kepentingan sosial dalam soal keamanan institusi sosial, meliputi :
(a). Perlindungan hubungan-hubungan rumah tangga dan lembaga-lembaga politik serta ekonomi
yang sudah lama diakui dalam ketentuan-ketentuan hukum
(b). Keseimbangan antara kesucian perkawinan dan hak untuk bercerai
(c). Perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan antara suami isteri terhadap hak bersama untuk
menuntut ganti rugi karena perbuatan yang tidak patut
(d). Keseimbangan antara perlindungan lembaga-lembaga keagamaan dan tuntutan akan
kemerdekaanbersama
(e). Menyangkut kepentingan keamanan lembaga-lembaga politik, maka perlu ada keseimbangan
antara jaminan kebebasan berbicara dan kepentingan keselamatan negara.
Ketiga, kepentingan-kepentingan sosial menyangkut moral umum. Keempat, kepentingan sosial
menyangkut pengamanan sumber daya sosial. Kelima, kepentingan sosial menyangkut kemajuan
sosial. Keenam, kepentingan sosial menyangkut kepentingan individual.
Apa yang dibutuhkan oleh hukum dan kehidupan sosial adalah hakim yang membantu pembuat
undang-undang sebagai pemikir pembantu, dan tidak hanya menaruh perhatian kepada kata-kata
dan perintah-perintah.
Fokus utama pound dengan konsep sosial engineering adalah interest, balancing dan karenanya
yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat
kearah yang lebih maju. Bagi pound, antara hukum dan masyarakat terdapat hubungan dan
fungsional.
Hukum sebagai sarana social engineering, bermakna penggunaan hukumsecara sadar untuk
mencapai tertib ataua keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan
perubahan yang diinginkan.
Secara sistematis, 6 (enam) langkah yang harus dilakukan dalam mewujudkan hukum sebagai
sarana perubahan sosial, yaitu :
(i). Mempelajari efek sosial yang nayta dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran hukum
(ii). Melakukan studi sosiologis dalam rangka mempersiapkan perundang-undangan untuk
mempelajari pelaksanaannya dalam masyarakat serta efek yang ditimbulkan, untuk kemudian
dijalankan
(iii). Melakukan studi tentang bagaimana peraturan hukum menjadi efektif
(iv). Memperhatikan sejarah hukum
(v). Pentingnya melakuakn penyelesaian individual berdasarkan nalar, bukan berdasarkan
peraturan hukum semata
(vi). Mengusahakan secara lebih efektif agar tujuan-tujuan hukum tercapai.
1. C. Teori Dari Kubu Realisme Hukum
Realisme hukum sendiri bercabang dua, yakni realisme hukum Amerika dan realisme hukum
Skandinavia. Realisme hukum Amerika menempatkan empiris dalam sentuhan pragmatis.
Realisme hukum Skandinavia menempatkan empirisme dalam sentuhan psikologi.
Hukum Itu Perilaku Hukum
Teori Oliver Holmes
Oliver Holmes dan Jerome Frank hukum yang termuat dalam aturan-aturan hanya suatu
generalisasi mengenai dunia ideal. Tapi menurut Holmes seorang pelaksana hukum sesungguhnya
menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis. Aturan-aturan hukum dimata Holmes, hanya
menjadi salah satu factor yang patut dipertimbangkan dalam keputusan yang berbobot. Faktor
moral, soal kemanfaatan dan keutamaan kepentingan social, misalnya menjadi faktor yang tidak
kalah penting dalam mengambil keputusan yang berisi.
Solusi yang bebobot tidak bias diharapkan dari legalisme yang mematrikan aturan sebagai tempat
satu-satunya bagi hakim untuk mengadili. Dalam legalisme, hakim hanya menjadi corong wet.
Hakim hanya bias menerapkan UU secara mekanis. Egalisme, menyebabkan aturan jadi berhala
kehidupan jadi kaku, kenyataan yang kaya nuansa dilihat pakai kacamata kuda, kebenaran dan
keadilan hanya menjadi persoalan legal-tidak legal. Kearifan dan akal sehat terdorong kebelakang.
Itulah legalisme.
Hukum itu Rasa Wajib/Takut
Teori Alf Ross
Ross menempatkan hukum dalam kerangka fisio-fisis. Menurut Ross semua gejala yang muncul
dalam pengalaman tentang hukum harus diselidiki sebagai gejala psiko-fisis.
Menurut Ross, suatu aturan hukum dirasa mewajibkan karena ada hubungan antara perbuatan
yuridis dan sanksinya.
Menurut Ross, timbulnya hukum sebagai aturan yang bersifat wajib dapat diterangkan menurut
empat tahap :
(i). Tahap pertama adalah adanya paksaan aktual
(ii). Tahap kedua dimulai, bila orang-orang mulai takut akan paksaan
(iii). Tahap yang ketiga adalah situasi dimana orang-orang sudah mulai menjadi biasa dengan cara
hidup yang sedemikian, dan alam kelamaan mulai memandang cara hidup itu sebagai sesuatu yang
seharusnya
(iv). Tahap yang terakhir adalah situasi hidup bersama dimana norma-norma kelakuan ditentukan
oleh instansi-instansi yang berwibawa.
Jadi, keharusan yuridis memang unsure realitas dalam mana kita hidup.
1. D. Teori dari Kubu Neo-Maxis
Hukum itu Kepentingan Orang Berkuasa
Teori Ralf Dahrendorf
Pembentukan kelas yang dibahas Dahrendorf lebih didasarkan kekuasaan daripada kepemilikan
sarana-sarana produksi. Dalam masyarakat industri modern pemilik sarana produksi tidak
sepenting mereka yang memiliki kekuasaan.
Menurut Dahrendorf, adanya pertentangan soal legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan antar
kelas itu.
Terdapat tiga unsur utama yang menentukan strata social dalam suatu masyarakat, yakni dimensi,
prestise, privilese dan dimensi kekuasaan.
Tekanan yang diberikan oleh fungsional dan konflik mengenai stratifikasi social memperlihatkan
perbedaan yang cukup mencolok. Pokok pikiran teori fungsional mengenai struktur social :
(1). Stratifikasi adalah struktur social yang memiliki nilai-nilai dan tradisi bersama yang
digunakan sebagai dasar untuk integrasi dan stabilitas nasional
(2). Penyebaran kekuasaan, privile dan prestise dalam masyarakat pada dasarnya bersifat adil
merupakan keharusan dan berguna bagi kesejahteraan individu di satu pihak dan bagi masyarakat
di lain pihak
(3). Penggunaan kekuasaan untuk mempertahankan sistem privilese yang ada dalam masyarakat
minimal
(4). Institusi-institusi yang ada dalam masyarakat mengandung nilai-nilai consensus dan
melaksanakan kebijaksanaan yang mengandung kebaikan bersama
(5). Penghargaan yang tidak merata untuk posisi-posisi masyarakat membantu mempertahankan
dan meningkatkan kepentingan lapisan atas
(6). Posisi-posisi individu dalam masyarakat pada dasarnya memberikan kesempatan yang sama
dalam mecapai motivasi, latihan dan saluran-saluran perkembangan bagi mereka.
Hukum itu Kepentingan Kaum Lelaki
Teori Feminist Legal Theory
Bagi teori ini, hukum merupakan tatanannya kaum adam yang meminggirkan kaum hawa. Sifat
hukum yang bias itu, berdimensi structural.
Menurut Plato, jika laki-laki hidup dengan baik, maka setelah meninggal ia akan berdiam bidang
tempatnya berasal-sebuah tempat yang melimpah berkat dan kesukaan. Sebaliknya, jika hidupnya
jahat maka ia akan berubah menjadi perempuan. Perempuan. Perempuan merupakan laki-laki jahat
yang telah meninggal.
Gagasan tentang perempuan yang lemah terus dipertahankan dan disebarkan hamper oleh semua
ahli filsafat, termasuk para tokoh agama terkemuka.
Menurut FLT, mayoritas tatanan hukum dibangun atas pandangan dunia yang bias itu. FLT
berupaya melawan realitas yang tidak adil ini. Pada aras pengajaran, FLT memperkenalkan
pendekatan hukum berperspektif perempuan. Pada praktek, FLT mengkomunikasikan hasil
telaahannya dalam upaya mengoreksi keadaan dan menemukan cara terbaik untuk melakukan
reformasi bangunan hukum secara keseluruhan.
1. E. Teori dari Kubu Eksistensialis
Eksistensialisme bertolak dari eksistensi manusia sebagai kenyataan dasar dari semua pikiran.
Munculnya eksistensialisme merupakan reaksi terhadap rasionalisme Aufklarung.
Hukum itu Wujud Eksistensi dan Sosialitas
Teori Werner Maihofer
Teori Maihofer tentang hukum bertitik tolak dari kegandaan ontologi manusia yakni sebagai
individu eksistensial dan sebagai pribadi warga social. Keberadaan manusia akan hidup
masyarakat menghasilkan hukum alam institusional yang meliputi semua peraturan tentang fungsi
orang dalam masyarakat.
Maihofer mengaku sebagai seorang penganut eksistensialisme Heidegger. Bagi Heidegger
manusia merupakan Dasein.
Heidegger lebih lanjut menjelaskan keberadaan Dasein tidaklah seperti keberadaan benda-benda,
melainkan apa yang disebut Heidegger sebagai faktisitas.
Memang dalam beberapa aliran eksistensialisme manusia dilukiskan sebagai suatu subjek
individual yang harus memperkembangkan diri secara otentik, yakni sesuai dengan
kepribadiannya.
Menurut Maihofer, ia dapat menyetujui jalan pikiran ini seandainya tidak terdapat faktor lain
dalam kehidupan manusia daripada keterbatasan individualnya.
Pada dasarnya, demikian Maihofer, tiap orang selalu insyaf bahwa orang lain berada sebagai
pribadi, sebagai orang-orang yang memiliki pusat hidup sendiri. Sebagai eksistensi yang hidup
bersama, manusia memerlukan Negara dan hukum.
1. F. Teori dari Kubu Aliran Hukum Alam Abad ke-20
Norma-norma hukum harus dijaga sedemikian rupa agar tetap mencerminkan prinsip-prinsip etika,
humanisasi hidup dan keadilan. Hukum yang konkret ini adalah hukum yang sesuai dengan situasi
hidup yang sebenarnya, entah relasi hidup antara orang entah situasi konkret individual warga
negaranya.
Hukum itu Keinsyafan Keadilan
Teori W.A.M. Luypen
Menurut Luypen, apa yang disebut tatahukum belum tentu dapat disebut hukum. Sebab bias
terjadi, terdapat tatahukum yang tidak mewajibkan, yakni kalau tatahukum itu tidak menurut
norma-norma keadilan.
Bagi Luypen yang menganut fenomenologi eksistensial, kedua pandanaan ektrim itu ditolak. Dari
perspektif fenomenologi eksistensial seperti dianut Luypen manusia dipandang sebagai subyek
yang memiliki solidaritas dan sejarah.
Menurut Luypen, isi norma-norma itu sendiri bersifat kontekstual menurut ruang dan waktu,
wujudnya adalah rasa keadilan, ya rasa perikemanusiaan.
Relativitas isi hukum dengan apa yang ia sebut lima sumber sejarah, yakni : (i). Kenyataan
bahwa realitas sosial bermacam-macam dan berubah-ubah, (ii). Adanya aneka ragam rintangan
yang dalam tiap situasi harus diatasi untuk memenuhi syarat-syarat nilai dalam situasi demikian,
(iii). Pelajaran yang diperolehdari pengalaman praktis mengenai pemenuhan sarana untuk
mewujudkan suatu nilai dalam suatu situasi konkrit, (iv). Adanya penentukan prioritas terkait
dengan tingkatan urgensi dari kebutuhan sosial yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa histories
kontemporer, dan (v). keanekaragaman nilai yang beberapa diantaranya berhubungan dengan
kebutuhan manusia universal, sedangkan bagian yang lain melekat pada kondisi-kondisi sejarah
yang khas yang menimbulkan norma-norma khusus bagi tiap masyarakat dan tiap situasi.
Lebih lanjut menurut Reainach, meski bidang hukum begitu dekat dengan bidang etis, namun
keduanya tetap berbeda dalam beberapa aspek : (i). Norma-norma hukum berasal dari suatu
perjanjian, sedangkan norma-norma etis melekat pada manusia sebagai pribadi, (ii). Hak-hak
yuridis dapat diserahkan kepada orang lain, sedangkan hak-hak etis tidak berpindah, (iii). Hak-hak
yuridis dapat hilang kalau tidak digunakan, sedangkan hak-hak etis tidak dapat dihilangkan karena
melekatmpada pribadi manusia, (iv). Bidang hukum hanya meliputi bidang kehidupan ekstern,
sedangakan bidang etis meliputi juga batin manusia.
Hukum itu Perlu Tafsiran Kontekstual
Teori Francois Geny
Francois Geny menganggap hukum analitis sebagai corong aturan belaka, ditampilak sebagai
dunia penuh kreativitas oleh Geny. Menurut Geny, adalah libre recherch scientifique yang
bertopang pada tiga prinsip : (i). otonomi kemauan, (ii). Kepentingan umum, (iii), keseimbangan
kepentingan. Dari metode inilah Geny lalu membangun teori tentang metode penafsiran hukum.
Teori yang serah dengan teori penafsiran Geny ini dating dari Carlos Cossio. Menurut Cassio pada
dasarnya keputusan pengadilan terdiri dari tiga unsure utama, yakni : (i). struktur logis yang
diturunkan dari suatu kerangka aturan, (ii). Kesatuan isi dari suatu situasi yang disebabkan oleh
suatu keadaan khusus, (iii). Penilaian yuridis yang diberikan oleh hakim pada dua unsure ini dalam
suatu situasi tertentu.
Geny menempatkan penafsiran hukum dalam kerangka pandangan yang menyeluruh tentang
hukum. Prinsip-prinsip hukum alam (yang sebagian telah terserap dalam sens commun) itu,
menurut Geny harus menjadi dasar hukum positif.
Prinsip-prinsip hukum alam menjadi garapan ilmuwan hukum itu, memang hanya berfungsi
sebagai pedoman bagi (materi/isi) undang-undang.
7. Teori Hukum di Masa Transisi Hukum Responsif
Teori Nonet-Selznick
Nonet-Selznick mengajukan model hukum responsif. Perubahan sosial dan keadilan sosial
membutuhkan tatanan hukum yang responsif.
Nonet dan Salznicklewat hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap
ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik.
Kompetensi sebagai tujuan berfungsi sebagai norma kritik, maka tatanan hukum responsif
menekankan : (i). keadilan substansif sebagai dasar legitimasi hukum, (ii). Peraturan merupakan
sub-ordinasi dari prinsip kebijakan, (iii) pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan
akibat bagi kemaslahatan ,masyarakat, (iv). Penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam
pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada tujuan, (v). Memupuk sistem
kewajiban sebagai ganti sistem paksaan, (vi). Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam
menjalankan hukum, (vii). Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas dalam melayani
masyarakat, (viii). Penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan terhadap legitimasi
hukum, (ix). Akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan
sosial.
Hukum represif lebih mengarah pada pelayanan kekuasaan dan menafikan aspirasi publik. Ini jelas
terlihat dalam cirri utamanya : (i). kekuasaan politik mengatasi institusi hukum sehingga
kekuasaan Negara menjadi dasar legitimasi hukum, (ii). Penyelenggaraan hukum dijalankan
menurut perspektif penguasa dan pejabat, (iii). Peraturan-peraturan yang diskriminatif, (iv). Alas
an pembuatannya bersifat ad-hoc sesuai keinginan arbiter penguasa, (v). kesempatan bertindak
bersifat serba meresap sesuai kesempatan, (vi). Pemaksaan serba mencukupi tanpa batas yang
jelas, (vii). Moralitas yang dituntut dari masyarakat adalah pengendalian diri, (viii). Kepatuhan
masyarakat harus tanpa syarat dan ketidakpatuhan dihukum sebagai kejahatan, (ix). Partisipasi
masyarakat diizinkan lewat penundukan diri sedangkan kritik dipahami sebagai pembangkangan.
Tipe tatanan hukum otonom memperlihatkan ciri : (i). Hukum terpisah dan kekuasaan yang
mengimplikasikan penolakan terhadap kekuasaan, (ii). Tata hukum mengacu pada model aturan,
(iii). Prosedur dipandang sebagai inti hukum, (iv). Loyalitas pada hukum bermakna sama dengan
kepatuhan pada hukum positif, (v). diskresi sangat dibatasi karena dapat merongrong integritas
proses hukum, (vi). Formalisme dan legalisme menjadi landasan pertimbangan utama, (vii). Kritik
terhadap aturan hukum positif harus dilaksanakan melalui proses legislasi.
Hukum responsif merupakan sebuah tatanan atau sistem yang inklusif, dalam arti mengaitkan diri
dengan sub-sistem sosial non-hukum, tak terkecuali dengan kekuasaan.
Hukum responsif menurut Nonet-Selznick merupakan suatu upaya dalam menjawab tantangan
untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial.
Hukum Progresif
Teori Satjipto Raharjo
Teori hukum progresif, tidak terlepas dari gagasan prof Satjipto Raharjo. Menurutnya, pemikiran
hukum kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut maka
manusia menjadi penentu dari titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan
sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukanlah merupakan isntitusi yang lepas dari kepentingan
manusia.
Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk
menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan
interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan.
Seperti diketahui Rahardjo, bagi konsep hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi bagi
dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada diluar dirinya.
Menurut Rahardjo, antara hukum progresif dengan legal realizm juga memiliki kemiripan logika,
yaitu dalam hal hukum tidak dilihat dari kacamata logika internal hukum itu sendiri.
Karena hukum progresif menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia atau rakyat sebagai
titik orientasinya, maka ia harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan yang timbul dalam
hubungan-hubungan manusia.
Karakter hukum progresif yang menghendaki kehadiran hukum dikaitkan dengan pemberdayaan
sebagai tujuan sosialnya, menyebabkan hukum progresif juga dekat dengan sosial enginering
dariRouscou pound.
Progresif juga memiliki kedekatan ide dengan teori-teori hukum alam, yaitu kepedulian pada apa
yang oleh Hans Kelsen disebut metayuridical. Teori-teori hukum alam sejak Socrates hingga
Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori hukum alam
mengutamakan The search for justice.
Pada dasarnya, diskresi ditempuh karena dirasakan sarana hukum kurang efektif dan terbatas
sifatnya dalam mencapai tujuan hukum dan sosial.
Menghadapi kondisi transisional dimana persoalan saling berhimpitan, serba darurat, dan penuh
komplikasi, maka aparat penegak hukum dituntut melakukan langkah-langkah terobosan dalam
melakukan penegakan, tidak sekedar menerapkan peraturan yang hitam putih

Anda mungkin juga menyukai