Anda di halaman 1dari 44

PERKAWINAN MENURUT AGAMA HINDU

Dalam
agama
Hindu
di
Bali
istilah
perkawinan
biasa
disebut Pawiwahan. Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang
etimologi atau asal katanya, kata pawiwahanberasal dari kata dasar
wiwaha.
Dalam
Kamus
Bahasa
Indonesia
disebutkan
bahwa
kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan;
perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang
berbeda
beda
sesuai
dengan
pedoman
yang
digunakan.
Pengertian pawiwahan tersebut antara lain: menurut Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan
yang berbunyi: Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan
Yang Maha Esa.
Berdasarkan
pengertian-pengertian
diatas
dapat
saya
simpulkan
bahwa pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara
seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang
diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.
Tujuan wiwaha menurut Agama Hindu
Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk
sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuantujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis
kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari
perannya masing-masing.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita
mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam
segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan
proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban
bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava
dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah.
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah
Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu
diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk
dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).

Menurut I Made Titib dalam makalah Menumbuhkembangkan pendidikan


agama pada keluarga disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama
Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:
1.
Dharmasampati,
kedua
mempelai
secara
bersama-sama
melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama
seperti melaksanakan Yaja , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yaja
dapat dilaksanakan secara sempurna.
Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan
melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yaja dan
lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa
kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru
(Rsi rna).
2.

Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan


kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan
berlandaskan Dharma.
3.

Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu


dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang
dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk
keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu
sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah
terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup
manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101102 sebagai berikut:
Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah
Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati,
singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri.
Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram
Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan,
mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai
dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain
(Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak
menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar
perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi
pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka

kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda
dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:
Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam
Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula
sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal ( Pudja dan
Sudharta, 2002: 148).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama
Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua
dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta
keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).
Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8
bentuk perkawinan sebagai berikut:
Sistem Pawiwahan dalam Agama Hindu
1.
Brahma wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan
memberikan seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan
berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita.
Daiwa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan
memberikan seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara.
2.

Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak


timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan
dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.
3.

Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan


seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai
dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan
dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.
4.

Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki


menerima wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang
diminta oleh pihak wanita.
5.

Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama


cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu.
6.

Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil


paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.
7.

Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan


diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat
hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang.
8.

Syarat Sah suatu Pawiwahan menurut Hindu.

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava


Dharmasastra maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin
dan administrasi, sebagai berikut:
Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari
kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan
tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin
serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang
memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah. Dalam
ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus
dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang
berbunyi:
Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya
Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului
dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna
lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama (Pudja
dan Sudharta, 2002: 141).
Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak
karena jika belum mencapai umur.
minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan
persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan
tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana
dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun
seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal
bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh
calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3
tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat
dinikahkan dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat
untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun,
sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21
tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).
Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun
1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari
dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan

sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara
suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga
yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit
wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.

Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu


disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat
keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan
tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat
keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat
keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan
surat ijin orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat
permulaan sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam
Manava Dharma sastra II. 26 sebagai berikut:
Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca
Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci
hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta
upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat
mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal
dunia (Pudja dan Sudharta, 2002:69).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu
tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam
agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman
pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun
disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara
dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara
adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa.
Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:
Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,
iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham
Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka
suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di
dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas
(tak ternilai) ( Pudja dan Sudharta, 2002: 63).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun
adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin
harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu

dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60
dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan
Upacara, sebagai berikut:
1)
Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan
kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi
(estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak
telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2)
Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol
mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk
tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan
mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masingmasing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra
atau stotra.
3)
Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan
puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan
Budha, 2001:36).
4)
Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan
keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai
pelaksanaan yaja harus
diyakini
kebenarannya. Yaja tidak
akan
menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan
yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam
sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya
keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki
arti dan hanya sebagai pajangan biasa.
5)
Lascarya artinya suatu yaja yang dilakukan dengan penuh keiklasan.
6)
Sastra artinya suatu yaja harus dilakukan sesuai dengan sastra atau
kitab suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yaja disebut Yaja
Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan
dasar dan pedoman pelaksanaan yaja.
7)
Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara
dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta
yang memimpin upacara.
8)
Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yaja harus ada mantra
atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.
9)
Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yaja hendaknya ada
jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.
10) Nasmita artinya suatu upacara yaja hendaknya tidak dilaksanakan
dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.

Demikianlah tinjauan secara umum tentang pelaksanaan perkawinan atau


pawiwahan yang ideal menurut agama Hindu. Perkawinan yang sakral tidak
boleh dilakukan secara sembarangan dan oleh sebab itu sebelum melakukan
perkawinan hendaknya dipikirkan dahulu secara matang agar nantinya tidak
menimbulkan permasalahan dalam rumah tangga setelah menikah.
Upacara Perkawinan Adat Bali
Dalam ajaran Hindu terdapat empat tahap dalam mencapai tujuan hidup,
adapun tujuan hidup tersebut dinamakan Catur Purusa Artha terdiri
dari Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Dalam pelaksanaannya dilakukan
secara bertahap.
Sementara dalam Perkawinan adalah bentuk perujudan dari suatu usaha
untuk mencapai tujuan hidup. Dalam lontar Agastya
Parwa disebutkan "Yatha sakti Kayika Dharma" ini bermakna dengan
kemampuan sendiri melaksanakan Dharma
Upacara perkawinan pada hakekatnya adalah upacara persaksian ke
hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang
yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri. Sedangkan
pengertian perkawinaan sendiri adalah jalinan ikatan secara lahir batin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk suatu keluarga yang bahagia dan abadi selamanya hingga akhir
usia.
Bila seseorang sudah berniat melakukan perkawinan, diharapkan sudah
mereka sudah siap lahir dan batin dalam menempuk bahtera rumah tangga
kelak.
Dalam perkawinan umat Hindu di Bali, ada dua tujuan hidup yang harus
dapat diselesaikan dengan tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang
berdasarkan Dharma.
Sebelum seseorang memasuki jenjang perkawinan dibutuhkan suatu
bimbingan, nasehat dan wejangan agar dalam pelaksaanaannya nanti tidak
mengalami kendala, masalah yang mungkin akan timbul dalam mengarui
biduk bahtera rumah tangga, bimbingan ini diberikan dari orang yang
mengerti dan ahli dalam bidang agama Hindu, orang yang mengerti agama
ini akan menerangkan apa yang menjadi tugas dan kewajiban bagi orang
yang telah terikat dalam pernikahan sehinggabisa mandiri di dalam
mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama berdasarkan
Dharma.
Lalu dilanjutkan dengan proses penyucian diri yang bertujuan memberikan
kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka

memperbaiki karmanya (umat Hindu di Bali percaya leluhur yang sudah


meninggal dapat berenkarnasi dalam perujudan anak cucu kembali) untuk
peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah
manfaat jadi manusia. Melahirkan anak lewat perkawinan mengasuh,
membimbing, memeliharanya dan mendidik dengan penuh kasih sayang
sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Terlebih lagi kalau anak
tersebut dapat menjadi manusia yang sempurna, akan merupakan suatu
perbuatan melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara.
Perkawinan bagi umat Hindu merupakan sesuatu yang suci dan sakral. Saat
itu perkawinan layak atau tidak nya ditentukan oleh seorang Resi, dimana
sang Resi (Bramana Sista) ini mampu melihat lewat mata batin cocok
tidaknya dari pasanngan yang akan dinikahkan, bila tidak cocok atau jodoh
akan dibatalkan karena bisa berakibat buruk bagi kehidupan rumah tangga
mereka nanti. Namun seiring masa berganti dan pertimbangan duniawi lebih
mempengaruhi orang tua dalam memilih jodoh untuk anak anak mereka dan
bukan lagi nilai budi pekerti yang di junjung tinggi
Pernikahan adat Bali menggunakan sistem patriarki yaitu semua tahapan
dan proses pernikahan dilakukan di rumah mempelai pria.
Menurut UU perkawinan no 1 thn 1974, sah tidaknya suatu perkawinan
adalah sesuai menurut hukum dan agama masing masing.
Proses upacara adat pernikahan di Bali disebut Mekala-kalaan (natab
banten). Pelaksaan upacara ini dipimpin oleh seorang pendeta yang
diadakan di halaman rumah sebagai titik sentral kekuatan Kala Bhucari yang
dipercaya sebagai penguasa wilayah madyaning mandala perumahan.
Makalan-kalaan sendiri berasal dari kata Kala yang mengandung pengertian
energi. Upacara mekala-kalaan ini mempunyai maksud untuk menetralisir
kekuatan kala/energi yang bersifat buruk/negatif dan berubah menjadi
positif/baik.
Adapun maksud dari upacara ini adalah sebagai pengesahan perkawinan
antara kedua mempelai dan sekaligus penyucian benih yang terkandung di
dalam diri kedua mempelai.
Peralatan Mekala-kalaan dan symbol upacara adat perkawinan Bali
Sanggah Surya/bambu melekungmerupakan niyasa (simbol)
istana Sang Hyang Widhi Wasa, ini merupakan istananya Dewa
Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Di
sebelah kanan digantungkan biyu lalung simbol kekuatan purusa dari Sang
Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusaini bermanifestasi sebagai Sang Hyang
Semara Jaya sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol

pengantin pria dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi
beremsimbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi dan bermanifestasi
sebagai Sang Hyang Semara Ratih dewi kecantikan serta kebijaksanaan
simbol pengantin wanita.

Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)simbol calon pengantin yang


diletakkan
sebagai alas upacara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua
calon pengantin.

Tikeh Dadakan (tikar kecil)Tikar yang diduduki oleh pengantin wanita


sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari
sudut spiritual, tikar adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti
(kekuatan yoni).

Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon


pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya
sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.

Benang Putihdibuatkan sepanjang setengah meter, terdiri dari 12


bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masingmasing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm. Angka 12
berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya
Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan
otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan
upacara penyucian tersebut. Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol
dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk
meningkatkan alam kehidupannya dariBrahmacari Asrama menuju
alam Grhasta Asrama.

Tegen tegenanMakna tegen-tegenan merupakan simbol dari


pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala. Adapun Perangkat
tegen-tegenan ini :
Batang tebu berarti hidup pengantin mengandung arti kehidup dijalani
secara bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis.
1.

Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja,


berkarma berdasarkan Dharma.
2.
3.

Periuk simbol windhu.

4.

Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi).

Seekor yuyu/kepiting simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan


kerahayuan.
5.

Suwun-suwunan(sarana jinjingan)Berupa bakul yang dijinjing mempelai


wanita yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan
tugas wanita atau istri mengembangkan benih yang diberikan suami,
diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil
berkembang menjadi besar.

Dagang-daganganmelambangkan kesepakatan dari suami istri untuk


membangun rumah tangga dan siap menanggung segala resiko yang timbul
akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli
dalam transaksi dagang.

Sapu lidi (3 lebih). Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan
wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan
serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri
Rna berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik,
disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan
kehidupan rumah tangga.

Sambuk Kupakan (serabut kelapa). Serabut kelapa dibelah tiga, di


dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya
diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga
simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri
Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian.Telor bebek simbol
manik. Kedua Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk)
sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin
wanita. Ini mengandung pengertian Apabila mengalami perselisihan agar
bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu
menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan
triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini diletakkan di
bawah tempat tidur mempelai.

Tetimpugadalah bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh


yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.
(Sumber Asli)
Rangkaian tahapan upacara pernikahan adat Bali:
Upacara Ngekeb:
Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari
kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga dengan
memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia
menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka
diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.

Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi
luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras
yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air
bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun
tersedia untuk keramas.
Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan
dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam
kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya
calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai
calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan,
pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya
akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang
bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai
remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan
hidupnya.
Mungkah Lawang (Buka Pintu):
Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat
pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi
olehseorang Malat yang menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut
adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput
pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.
Upacara Mesegehagung:
Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria,
keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan
upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat
datang kepada pengantin wanita, kemudian keduanya ditandu lagi menuju
kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut
dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang
menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang
kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya
berjumlah dua ratus kepeng
Madengendengen:
Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua
pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh
seorang pemangku adat atau Balian
Mewidhi Widana:
Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan
upacara Mewidhi Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida

Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk


meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara
acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat
pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin
oleh seorang pemangku merajan
Mejauman Ngabe Tipat Bantal:
Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka
pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut
mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin
wanita untuk melakukan upacara Mejamuan/menerima tamu. Acara ini
dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak
keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat
itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar
suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan
membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas
Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras,
gula, kopi, the, sirih pinang, bermacam buahbuahan serta lauk pauk khas
Bali.

IDEALNYA PERKAWINAN
I Wayan Sudarma (Shri Danu D.P)-Bekasi

1.

Pengertian pawiwahan

Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar wiwaha. Dalam Kamus
Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan;
perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman
yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain:
1.

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi:

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.

1.

Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut:
Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang
lama(Subekti, 1985: 23).

2.

Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita,
untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).

3.

Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan
( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu
gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti
secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua
itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).

4.

Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga, masyarakat,
martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan Dengan terjadinya perkawinan,
maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang
tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum Adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria
dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina
kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para

anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Bukan itu saja menurut hukum adat, perkawinan
dilaksanakan tidak hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang
telah meninggal dunia. Oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan secara Adat
mengunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka. (Sumiarni, 2004:4).
5.

Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan
bahwa perkawinan ialah ikatan sekala niskala (lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi) (Parisada
Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa: pawiwahan adalah

ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal
yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.

1.

Tujuan wiwaha menurut Agama Hindu

Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup
bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis
kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling
mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali
dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan
telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah
Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan
karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).

Menurut I Made Titib dalam makalah Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga disebutkan bahwa
tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:
1.

Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua
aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yaja , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yaja
dapat dilaksanakan secara sempurna.

2.

Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban
kepada leluhur. Melalui Yaja dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang
jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).

3.

Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama)
yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.

Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal. Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang
dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia
dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya
sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava
Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:
Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah
Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum
tertinggi sebagai suami istri.

Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,


Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram
Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemujemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain
(Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).

Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan
sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan
suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini
sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:

Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,

Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam


Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya,
kebahagiaan pasti kekal ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan
dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga
yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).

1.

Sistem pawiwahan

Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk perkawinan sebagai berikut:
1.

Brahma wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada
seorang pria ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita.

2.

Daiwa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada
seorang pendeta pemimpin upacara.

3.

Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak timbal-balik kedua belah pihak
antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.

4.

Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah
terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu
berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.

5.

Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih dahulu
ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.

6.

Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama cinta dimana pihak orang tua tidak
ikut campur walaupun mungkin tahu.

7.

Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan.
Bentuk perkawinan ini dilarang.

8.

Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan diam-diam memperkosa gadis
ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang.

1.

Sah dan Syarat pawiwahan

System perkawinan di Indonesia dianggap sah selain telah memenuhi syarat-syarat yang telah diatur oleh agama
masing-masing juga harus terpenuhinya administrasi untuk pemerintah. Oleh karena itu dalam setiap perkawinan,
harus dilakukan pencatatan perkawinan oleh petugas catatan sipil
Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dan 2 yang
berbunyi;perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu
serta tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, R. Soetojo Prawirohamidjojo mengatakan bahwa untuk sahnya perkawinan, hanya ada satu syarat saja yaitu
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sedangkan pencatatan
menurut pasal 2 ayat 2 tidak lain daripada suatu tindakan administrasi Hal tersebut diperkuat pula oleh
Abdulrahman yang berpendapat bahwa pencatatan perkawinan bukanlah syarat yang menentukan sahnya
perkawinan karena segala perkawinan di Indonesia sudah dianggap sah apabila hukum agama dan kepercayaan
sudah menyatakan sah. Meskipun demikian pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan,
karena pencatatan merupakan suatu syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh Negara yang membawa
konsekvensi bagi yang bersangkutan (Sumiarni, 2004: 9-10).
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka syarat tersebut
menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:
1.

Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan
izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin
serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali
yang masih ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu
yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang
berbunyi:

Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,


Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya

Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah
disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama (Pudja dan
Sudharta, 2002: 141).

1.

Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan
belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah
mutlak karena jika belum mencapai umur minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka

diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava Dharmasastra IX.8990 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal
bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik
atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat
dinikahkan dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan
umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun
(Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).
1.

Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan
yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada
hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak
mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat,
keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.

2.

Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara
lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang
orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6,
surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga
dan surat ijin orang tua.

Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu perkawinan. Hal
tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra II. 26 sebagai berikut:
Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca
Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi
pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat
mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia (Pudja dan Sudharta, 2002:69).

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah
terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman
pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara.
Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan
didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9
sebagai berikut:
Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,

iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham


Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang
keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak
ternilai) ( Pudja dan Sudharta, 2002: 63).

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus diingat
bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu
dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14
sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:
1)

Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih

kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak telur,
melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2)

Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan

altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan
mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing
mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
3)

Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua

mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).


4)

Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah

diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yaja harus diyakini kebenarannya. Yaja tidak akan
menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang
menyebabkan semua simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan
maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.
5)

Lascarya artinya suatu yaja yang dilakukan dengan penuh keiklasan.

6)

Sastra artinya suatu yaja harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam

pelaksanaan yaja disebut Yaja Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar
dan pedoman pelaksanaan yaja.
7)

Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang

dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.

8)

Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yaja harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.

9)

Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yaja hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu

dengan ramah tamah.


10) Nasmita artinya suatu upacara yaja hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan
kemewahan.
Demikian tinjauan umum tentang idealnya perkawinan menurut Hindu

Sekarang ini banyak kita temui kasus hamil di luar nikah itu tidak lepas dari maraknya aktifitas seks para
remaja yang baru menginjak dewasa, peran orang tua dalam hal ini sangat diperlukan dalam membantu
mendidik mental anaknya..
Bagi semeton yang beragama Hindu patut mengetahui bagaimana kebiasaan berhubungan seks dan
hamil di luar nikah menurut pandangan Hindu karena kita menjadikan Hindu bukan hanya sebagai agama
saja namun juga kita menjadikan pelajaran di dalam Hindu sebagai way of life kita sehari-hari.
Prinsipnya, hubungan seks di luar nikah oleh agama manapun dilarang. Bagi pemeluk Hindu di Bali,
diuraikan dalam Trikaya Parisudha tentang Kayika, yang disebut: tan paradara.

Pengertian tan paradara ini diartikan luas sebagai menggoda, bersentuhan seks,
berhubungan seks, bahkan menghayalkan seks dengan wanita/ lelaki lain yang bukan istri/
suaminya yang sah.
Dalam kitab-kitab suci antara lain Manawadharmasastra, Sarasamuscaya, dan Parasaradharmasastra,
hubungan seks senantiasa dianggap sebagai hal yang suci yang hanya diperkenankan setelah melalui
proses pawiwahan yang menurut Manawadharmasastra ada delapan cara.
Bahkan menurut Ida Pedanda Made Gunung, Dalam ajaran Hindu, dosa yang tidak terampuni adalah
perbuatan selingkuh. Orang yang terjerumus dalam perselingkuhan dan sampai akhir hayatnya tidak ada
perbaikan moral, dalam reinkarnasi nanti mereka akan menjelma menjadi makhluk rendah. Sulit untuk
menjelma menjadi manusia kembali. "Saya sudah membuka buku segala mantram penglukatan. Dari 125
mantram penglukatan yang ada, tidak satu pun yang dapat digunakan untuk nglukat dosa selingkuh.
Maka itu, siap-siaplah bagi mereka yang doyan selingkuh untuk menyambut kehidupan mendatang
menjadi binatang kelas rendah, seperti lintah misalnya," Tutur Beliau.
Dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu yang disahkan oleh
PHDI tahun 1987 diatur tentang keadan cuntaka (tidak suci menurut keyakinan agama Hindu) yang
berhubungan dengan masalah seks di luar nikah (pawiwahan) sebagai berikut:
1. Wanita hamil tanpa beakaon dan memitra ngalang (kumpul kebo), yang kena cuntaka adalah wanita
itu sendiri beserta kamar tidurnya. Cuntaka ini berakhir bila dia dinikahkan dalam upacara pawiwahan.
2. Anak yang lahir dari kehamilan sebelum pawiwahan (panak dia-diu), yang kena cuntaka: si wanita
(ibu), anak, dan rumah yang ditempatinya. Cuntaka ini berakhir bila anak itu ada yang meras yaitu
diangkat sebagai anak dengan upacara tertentu.

Jika dihayati lebih jauh, seolah-olah hukuman cuntaka itu hanya ditimpakan kepada wanita dan anakanak saja. Pertanyaannya bagaimana mengenai si lelaki pasangan zina/ kumpul kebonya apakah terkena
cuntaka juga?
Secara tegas kesatuan tafsir tidak mengatur, tetapi dosa atas perbuatan paradara jelas disebutkan dalam
Sarasamuscaya.
Selain itu pawiwahan yang menyimpang dari ajaran agama juga dinyatakan sebagai dosa yang
disebutkan dalam Manawadharmasastra dan Parasaradharmasastra.
Bagaimana jika terjadi kehamilan diluar nikah? apa yang harus dilakukan menurut Hindu Bali? Jika
terlanjur hamil sebelum menikah, harus dilanjutkan dengan upcara pernikahan, dan ketika sang anak
sudah lahir, perlu dilaksanakan upacara meperas bersamaan dengan upacara tiga bulanan.
artikel ini dikutip dari Catatan Fanpage Hindu Bali

Minimnya pengetahuan tentang agama membuat orang terperosok dalam dosa,


sebarkan pengetahuan ini agar para semeton yang lain menghindari hubungan
seksual diluar nikah dan tidak terjerumus dalam kegiatan asusila

Vemale.com - Ladies, belakangan ini banyak kita temui maraknya free sex dikalangan
remaja dan kasus hamil di luar nikah. Hal tersebut tidak lepas dari maraknya aktivitas
seks para remaja yang baru menginjak dewasa, dan peran orang tua dalam hal ini
sangat diperlukan dalam membantu mendidik mental anaknya.
Free sex sangatlah dilarang di semua agama, tak terkecuali agama Hindu. Menurut
pandangan Hindu, melakukan seks pranikah tidak dibenarkan. Semua Agama telah
memberikan rambu-rambu agar tidak melakukan hubungan seks sebelum adanya
upacara perkawinan. Melakukan hubungan seks sebelum adanya upacara perkawinan
dianggap perbuatan berzina.
Dijelaskan pada situs stitidharma.org, bahwa dalam Agama Hindu perbuatan zina
merupakan hubungan seks yang dilakukan tidak dengan pasangan suami-isteri yang
sah. Perbuatan tersebut dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra VIII sloka 353 sloka
sebagai berikut:
Striyam sprcada deca yah
Sprsto wa marsayettaya
Parasparasyanumate

Sarwam samagrahanam smrtam


Artinya: Bila seorang yang menyentuh wanita di bagian yang tidak harus disentuh atau
membiarkan seseorang menyentuhnya bagian itu, semua perbuatan itu dilakukan
dengan persetujuan bersama, dinyatakan sebagai perbuatan berzina.
Pengendalian diri terhadap adanya dorongan nafsu seks sangat penting dilakukan
karena nafsu seks yang tidak terkendali akan menjerumuskan manusia. Penyaluran
dorongan seks hanya dibenarkan melalui lembaga perkawinan (vivaha) dan
perkawinan dianggap sah apabila dilakukan dengan vivahasamskara.
Memang tak dapat dipungkiri pada nyatanya pemahaman dan sudut pandang manusia
tentang seks berbeda-beda menurut agama, adat dan kebudayaannya masing-masing.
Hal ini terungkap dari temuan manuskrip-manuskrip sastra yang memuat tentang
ajaran seksologi di berbagai negara. Dari berbagai temuan dari peradaban dunia
seperti di India yang dengan jelas menuliskan semua hal tentang seks. Dikatakan juga
bahwa seks sebagai seni bercinta adalah kegiatan ritual mistis sebagai bagian dari
harmoni kehidupan.

RITUAL PAWIWAHAN DALAM HUKUM HINDU SERTA FENOMENA


FENOMENA YANG MUNCUL
BAB I

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG
Umat Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha yaitu Dharma,
Artha, Kama dan Moksa. Hal ini tidak bisa diwujudkan sekaligus tetapi secara bertahap. Tahapan
untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut dengan Catur Asrama. Pada tahap Brahmacari
asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mendapatkan Dharma. Grhasta Asrama
memprioritaskan mewujudkan artha dan kama. Sedangkan pada Wanaprasta Asrama dan Sanyasa
Asrama tujuan hidup diprioritaskan untuk mencapai moksa.
Perkawinan atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta
Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan

suatu kehidupan yang disebut "Yatha sakti Kayika Dharma" yang artinya dengan kemampuan
sendiri melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri
mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus
benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.
Dalam perkawinan ada dua tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan tuntas
yaitu
mewujudkan
artha
dan
kama
yang
berdasarkan
Dharma.
Pada tahap persiapan, seseorang yang akan memasuki jenjang perkawinan amat membutuhkan
bimbingan, khususnya agar dapat melakukannya dengan sukses atau memperkecil rintanganrintangan yang mungkin timbul. Bimbingan tersebut akan amat baik kalau diberikan oleh
seorang yang ahli dalam bidang agama Hindu, terutama mengenai tugas dan kewajiban seorang
grhastha, untuk bisa mandiri di dalam mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama
berdasarkan Dharma.
Dalam urusan pernikahan di Bali terkadang muncul beberapa masalah, salah satunya
pernikahan beda kasta dan fenomena hamil di luar nikah. Kasta sangat sering menimbulkan pro
dan kontra bahkan kadang menjadi masalah yang cukup rumit. Sama seperti pernikahan beda
agama, di Bali pernikahan beda kasta juga biasanya dihindari. Walaupun jaman sudah semakin
terbuka, tapi pernikahan beda kasta yang bermasalah kadang masih terjadi. Untuk menghindari
masalah yang demikian, diperlukan pemahaman yang benar mengenai hal hal tersebut.

1.2

RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas, maka didapat rumusan masalah sebagai berikut :

1.2.1

Apakah pengertian perkawinan, tujuan, dan sistem perkawinan menurut Hindu?

1.2.2

Bagaimana syarat perkawinan dan pelaksanaannya menurut hukum Hindu?

1.2.3

Apa saja fenomena fenomena permasalahan yang sering muncul dalam ritual perkawinan
Hindi di Bali pada dewasa ini?

1.3

TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah makan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk
mengetahui tentang pengertian perkawinan atau pawiwahan, tujuan, sistem pawiwahan dalam
veda, syarat dan pelaksanaan pawiwahan menurut hukum Hindu, serta mengenai fenomena
fenomena permasalahan yang muncul dalam ritual pawiwahan Hindu di Bali dewasa ini. Selain
itu, pemaparan materi ini juga bertujuan untuk menambah wawasan kita mengenai upacara

upacara ritual Hindu di Bali khususnya menyangkut masalah pawiwahan dan membangkitkan
minat kita semua untuk menengok sekejap mengenai fenomena fenomena yang terjadi
disekeliling kita, agar kita bisa mencermati dan membandingkannya dengan apa yang telah
tertuang dalam kita suci Veda apakah hal tersebut bisa dianggap benar ataukah tidak.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

PENGERTIAN PAWIWAHAN (PERKAWINAN)


Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar
wiwaha. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwahaberasal dari bahasa
sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1997:1130). Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda
beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain:
1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang
berbunyi:
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
2. Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai
berikut: Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan
untuk waktu yang lama(Subekti, 1985: 23).
3. Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan
seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).
4. Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan
Perkawinan ( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti
resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja
bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk
untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).

5. Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga,
masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan Dengan
terjadinya perkawinan, maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang
akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum Adat tidak
semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud
mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga,
tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak
istri dan pihak suami. Bukan itu saja menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak hanya
menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah
meninggal dunia. Oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan secara
Adat mengunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka. (Sumiarni, 2004:4).
6. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV
dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan sekala niskala (lahir bathin) antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal (satya alaki rabi)(Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
Berdasarkan
beberapa
pengertian
di
atas
maka
dapat
disimpulkan
bahwa: pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan
wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama
dan Adat.
2.1.1

TUJUAN WIWAHA MENURUT AGAMA HINDU

Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial,
sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah
menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing
telah menyadari perannya masing-masing.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai
naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda
seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan
peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava
dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah
Artinya : Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu
diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh
suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).

Kitab Manavadharmasastra menyatakan bahwa tujuan wiwaha dalam agama Hindu


mewujudkan 3 hal, meliputi:
1. Dharmasampati yang berarti bahwa pernikahan merupakan salah satu dharma yang harus
dilaksanakan sebagai umat Hindu sesuai dengan ajaran Catur Ashrama, sehingga pasangan suami
istri melaksanakan: Dharmasastra, Artasastra, dan Kamasastra. Jika dikaitkan dengan Catur
Purusaarta, maka pada masa Grhasta manusia Hindu telah melaksanakan Tripurusa, yaitu
Dharma, Artha, dan Kama. Purusa keempat (Moksa) akan sempurna dilaksanakan bila telah
melampaui masa Grhasta yaitu Wanaprasta dan Saniyasin. Melalui pernikahan ini juga kedua
mempelai diberikan jalan untuk dapat melaksanakan dharma secara utuh seperti dharma seorang
suami atau istri, dharma sebagai orang tua, dharma seorang menantu, dharma sebagai ipar,
dharma sebagai anggota masyarakat sosial, dharma sebagai umat, dll.
2. Praja yang berarti bahwa pernikahan bertujuan untuk melahirkan keturunan yang akan
meneruskan roda kehidupan di dunia. Tanpa keturunan, maka roda kehidupan manusia akan
punah dan berhenti berputar. sehingga Pernikahan / pawiwahan sangat dimuliakan karena bisa
memberi peluang kepada anak/ keturunan untuk melebur dosa-dosa leluhurnya agar bisa
menjelma kembali sebagai manusia. Dari perkawinan diharapkan lahir anak keturunan yang
dikemudian hari bertugas melakukan Sraddha Pitra Yadnya bagi kedua orang tuanya sehingga
arwah mereka dapat mencapai Nirwana. Sebagai orang tua, suami-istri diwajibkan memberikan
bimbingan dharma kepada semua keturunan agar mereka kelak dapat meneruskan kehidupan
yang harmonis, damai, dan sejahtera. Anak keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan atau
eksistensi keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut Putra asal kata dari Put (berarti
neraka) dan Ra (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya: yang menyelamatkan dari
neraka. Suatu kekeliruan istilah di masyarakat dewasa ini, bahwa anak laki-laki dinamakan
putra dan anak perempuan dinamakan putri; melihat arti putra seperti di atas, maka putri tidak
mempunyai makna apa-apa karena ri tidak ada dalam kamus Bahasa Kawi. Pandita
berpendapat lebih baik anak perempuan dinamakan Putra Istri, bukannya putri.
3. Rati yang berarti pernikahan adalah jalan yang sah bagi pasangan mempelai untuk menikmati
kehidupan seksual dan kenikmatan duniawi lainnya. Merasakan nikmat duniawi secara sah
diyakini akan dapat memberikan ketenangan batin yang pada akhirnya membawa jiwa berevolusi
menuju spiritualitas yang meningkat dari waktu kewaktu. Kedua mempelai diharapkan dapat
membangun keluarga yang sukinah (selalu harmonis dan berbahagia), laksmi (sejahtera lahir
batin), siddhi (teguh, tangguh, tegar, dan kuat menghadapi segala masalah yang menerpa), dan
dirgahayu (pernikahan berumur panjang dan tidak akan tercerai berai). Hal ini sesuai dengan
mantra yang seringkali kita lantunkan dalam puja bhakti sehari hari: Om Sarwa Sukinah
Bhawantu. Om Laksmi, Sidhis ca Dirgahayuh astu tad astu swaha

Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1
Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk
membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu
sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga
yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava
Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:
Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah, Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh
parah
Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus
dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri.
Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau, Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram
Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan
dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar
kesetiaan antara satu dengan yang lain (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan
adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya
dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga
bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran
Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:
Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca, Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai
dhruwam
Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap
suaminya, kebahagiaan pasti kekal ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah
mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra
yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan
kekal (moksa).

2.1.2

SISTEM PAWIWAHAN DALAM VEDA

Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk
perkawinan sebagai berikut:
1. Brahma wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita
kepada seorang pria ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang oleh pihak
wanita. (Manawa Dharma Sastra, III. 27)
2. Daiwa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita
kepada seorang pendeta pemimpin upacara. (Manawa Dharma Sastra, III.28)
3. Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak timbal-balik kedua belah
pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut
kitab suci. (Manawa Dharma Sastra, III.29) Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan
dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua
mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu
dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki. (Manawa Dharma Sastra, III.30)
4. Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah
terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.(Manawa Dharma
Sastra, III. 31)
5. Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama cinta dimana pihak orang
tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu. (Manawa Dharma Sastra, III.32)
6. Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil paksa wanita dengan
kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang. (Manawa Dharma Sastra, III. 33)
7. Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan diam-diam
memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk
perkawinan ini dilarang. (Manawa Dharma Sastra, III.34
2.2 SAH DAN SYARAT PERKAWINAN
Sistem perkawinan di Indonesia dianggap sah selain telah memenuhi syarat-syarat yang
telah diatur oleh agama masing-masing juga harus terpenuhinya administrasi untuk pemerintah.
Oleh karena itu dalam setiap perkawinan, harus dilakukan pencatatan perkawinan oleh petugas
catatan sipil.
Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 2
ayat 1 dan 2 yang berbunyi; perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaan itu serta tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Namun, R. Soetojo Prawirohamidjojo mengatakan bahwa untuk sahnya perkawinan,
hanya ada satu syarat saja yaitu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, sedangkan pencatatan menurut pasal 2 ayat 2 tidak lain daripada suatu
tindakan administrasi. Hal tersebut diperkuat pula oleh Abdulrahman yang berpendapat bahwa
pencatatan perkawinan bukanlah syarat yang menentukan sahnya perkawinan karena segala
perkawinan di Indonesia sudah dianggap sah apabila hukum agama dan kepercayaan sudah

menyatakan sah. Meskipun demikian pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat
menentukan, karena pencatatan merupakan suatu syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan
oleh Negara yang membawa konsekvensi bagi yang bersangkutan (Sumiarni, 2004: 9-10).
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra
maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:
1. Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.dan
mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan
paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka
yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah.
Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal
tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:
Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya
Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air
suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan
persetujuan bersama (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).
2. Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur minimal tersebut untuk
melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan
tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava
Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia
layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia
tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3
tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan dan orang
tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan
umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah
berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).
3. Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu
perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11
adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan
upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang
anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit
maag dan wanita yang tidak memiliki etika.

4. Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon
pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal
usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat
keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum
pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu
perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra II. 26 sebagai
berikut:
Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca
Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya
dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan
lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun
setelah meninggal dunia (Pudja dan Sudharta, 2002:69).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak
mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda
sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan
yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara
dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan
didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava
Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:
Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah, iha kirtimawapnoti pretya canuttamam
sukham
Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti
adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah meninggal
menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai) ( Pudja dan Sudharta, 2002: 63).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat
maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu
dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab
Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara,
sebagai berikut:

1)
Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai itu.
Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya
daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2)
Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon
mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa
dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masingmasing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
3)
Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk
kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
4)
Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh
bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yaja harus diyakini
kebenarannya. Yaja tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh
suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam sesaji
menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol
yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.
5)

Lascarya artinya suatu yaja yang dilakukan dengan penuh keiklasan.

6)
Sastra artinya suatu yaja harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum
yang berlaku dalam pelaksanaan yaja disebut Yaja Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada
lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaanyaja.
7)
Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau
uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.
8)
Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yaja harus ada mantra atau nyanyian pujaan
yang dilantunkan.
9)
Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yaja hendaknya ada jamuan makan dan
menerima tamu dengan ramah tamah.
10) Nasmita artinya suatu upacara yaja hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk
memamerkan kemewahan.
2.2.1

PERKAWINAN MENURUT HUKUM HINDU


Sah atau tidaknya perkawinan menurut hukum hindu itu adalah apabila sesuai atau tidak
dengan persyaratan yang ada. Suatu perkawinan Dikatakan sah menurut hokum hindu ialah :

1. Perkawinan dikatakan sah apabila saat wiwaha dilakukan oleh rohanian seperti Brahmana atau
pandita. Dan juga bisa dilakukan oleh pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan
perbuatan itu.
2. Perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut agama hindu
3. Berdasarkan tradisi di bali, perkawinan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara biakala
sebagai rangkaian upacara wiwaha.
4. Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan perkawinan.
5. Tidak ada kelainan, seperti tidak banci, tidak pernah haid, atau sehat jasmani dan rohani.
6. Calon mempelai cukup umur bagi pria berumur minimal 21 tahun dan wanita berumur minimal
18 tahun.
7. Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat, atau sapinda.
8. Untuk di Bali upacara perkawinan agar dilakukan:
- Dirumah pihak yang akan berkedudukan purusa
- Diberi tirta pemuput oleh Rohaniawan
- Adanya sajen petak kepada Bhatara bhatari, leluhur dan Hyang Widhi
- Adanya sajen yang diperuntukan persaksian terhadap Buta sebagai mahluk bawahan
- Adanya sajen yang diayab bersama oleh mempelai
- Kehadiran para saksi seperti perangkat Desa atau banjar dan warga yang lain.
Perkawinan dilarang atau dicegah apabila :
- Calon mempelai berhubungn darah dala garis keturunan lurus keatas dan kebawah
- Berhubungan darah daalam garis keturunan memanjang yaiyu antara saudara dengan saudara
orang tua
- Berhubungan semenda, yaitu Mertua. Anak tiri, Menantu, daan Ibu/bapak tiri
- Berhubungaan saudara dengan istri atau sebagai Bibi atau kemenakan dari Istri dalam hal
seorang Suami beristri lebih dari seorang.
Sarana dan Tata cara Perkawinan
Sarana upacara perkawinan dalam agama Hindu mengenal tiga tingkat yang terdiri dari : tingkat
sederhana, tingkat menengah dan tingkat paling besar. Sarana upacara yang paling sederhana
terdiri dari :
- Air
- Api/dupa
- Bunga/daun
- Buah
- Saksi saksi
- Hari baik /dewasa
- Pendeta/pinandita

A.
-

B.

1.

2.

3.
4.

Sarana tersebut diatas tidak dapat ditinggalkan dalam pelaksanaan upacara perkawinan
Hindu. Sedangkan tingkatan sarana upacara perkawinan Hindu dalam bentuk menengah dan
besar dapat disesuaikan dengan desa, kala, patra.
Adapun tata cara perkawinan Hindu menurut Drsta di Bali adalah sebagai berikut:
Vivaha Samskara Menurut Drsta di Bali
Perkawinan Hindu di Bali dari segi ritualnya terbagi menjadi beberapa tingkatan yaitu :
kecil/nista, sedang/madya, besar/utama. Walau menjadi tiga tingkatan namun nilai spiritualnya
sama.
Tata Cara Upacara
Penyambutan kedua mempelai
Sebelum memasuki pintu halaman rumah adalah simbol untuk melenyapkan unsur unsur
negatif yang mungkin dibawa oleh kedua mempelai agar tidak mengganggu jalannya upacara.
Mabyakala
Mabyakala adalah upacara untuk membersihkan lahir bathin terhadap kedua mempelai terutama
sukla swanita yaitu sel benih pria dan sel benih wanita agar menjadi suputra.
Mapejati atau pesaksian
Mapejati merupakan upacara kesaksian tentang pengesahan perkawinan kehadapan Hyang
Widhi, juga kepada masyarakat, bahwa kedua mempelai telah mengikat diri sebagai suami istri
yang sah.
Sarana / Upakara
Jenis upacara yang digunakan pada upacara ini secara sederhana adalah :
- Banten pemapag, segehan, dan tumpeng dadanan
- Banten pesaksi, pras daksina, ajuman
- Banten untuk mempelai, byakala, banten kurenan dan pengulap pengambean
Adapun kelengkapan upakara lainnya seperti :
Papegatan
Berupa dua buah canang, dadap yang ditancapkan ditempat upacara, jarak yang satu dengan
yang lainnya agak berjauhan dan keduanya dihubungkan dengan benang putih dalam keadaan
terentang.
Tetimpug
Beberapa pohon bambu kecil yang masih muda dan ada ruasnya sebanyak lima ruas atau tujuh
ruas.
Sok Dagang
Sebuah bakul berisi buah buahan, rempah rempah, keladi
Kala Sepetan
Disimboliskan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa dibelah tiga yang diikat dengan benang
tridatu, diselipi lidi tiga buah dan tiga lembar daun dadap. Kala sepetan adalah nama salah satu
bhuta kala yang akan menerima pakala kalaan.

5. Tegen Tegenan
Batang tebu atau carang dadap yang kedua ujungnya diisi gantungan bingkisan nasi dan uang.
Jalannya Upacara
1. Upacara penyambutan kedua mempelai
Begitu calon mempelai masuk pintu halaman pekarangan rumah, disambut dengan upacara
mesegehan dan tumpeng dandanan
2. Upacara mabyakala
Sebelum upacara ini dimulai dengan upacara puja astiti oleh pemimpin upakara. Pelaksanaannya
kedua mempelai melangkahi tetimpug sebanyak tiga kali dan selanjutnya banten pabyakalaan.
Kemudian natab pabyakalaan. Masing masing ibu jari kedua mempelai disentuhkan dengan
telur ayam mentah didepan kaki sebanyak 3 kali. Selanjutnya kedua mempelai dilukat dengan
penglukatan, lalu berjalan mengelilingi banten pesaksi dan kala sepetan yang disebut Murwa
Daksina. Saat berjalan mempelai wanita berada didepan sambil menggendong sok dagangan,
diiringi dengan mempelai pria dengan memikul tegen tegenan. Setiap melewati kala sepetan
kakinya yaitu ibu jari kanan kedua mempelai disentuhkan pada bakul lambang kala sepetan.
Mempelai wanita saat berjalan dicemeti (dipukuli) dengan tiga buah lidi oleh si pria sebagai
simbul telah terjadi kesepakatan untuk sehidup semati. Yang terakhir kedua mempelai
memutuskan benang papegatan sebagai tanda mereka kedua telah memasuki hidu Grhasta.
3. Upacara Mapejati atau Persaksian
Dalam upacara pesaksian kepada Hyang Widhi, maka kedua mempelai melaksanakan puja bhakti
sebanyak lima kali. Setelah mebakti kedua mempelai diperciki tirtha pembersihan oleh
pemimpin upacara. Kemudian natab banten Widhi Wadhana dan majaya jaya.
Dengan demikian maka selesailah pelaksanaan samskara vivaha. Selesai vivaha samskara
adalah penandatanganan surat perkawinan oleh kedua belah pihak dihadapan saksi dan pejabat
yang berwenang.

2.3

FENOMENA PERMASALAHAN YANG SERING MUNCUL DALAM RITUAL


PERKAWINAN HINDU DI BALI DEWASA INI

2.3.1

PERKAWINAN BEDA KASTA (WARNA/WANGSA) DALAM MASYARAKAT HINDU


DI BALI
Pada uraian ini akan membahas tentang Perkawinan Beda Kasta di Bali. Saat ini masalah
kasta tentu saja masih menjadi pro dan kontra. Ada yang masih begitu fanatik dengan kasta
namun ada juga yang bersikap biasa saja dan tidak terlalu peduli masalah kasta. Saat ini bisa
dikatakan kasta di Bali yang saya tahu terdiri dari 3 bagian yaitu :
Golongan 1 : Ida Bagus dan lainnya
Golongan 2 : Cokorda, Anak Agung, Gusti dan lainnya
Golongan 3 : Tidak berkasta

Kasta Dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat di Bali


Dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya mereka yang berkasta menggunakan
bahasa Bali halus untuk berkomunikasi dengan kasta yang selevel dan level di atasnya.
Sementara ketika berbicara dengan orang yang berkasta lebih rendah, orang yang memiliki kasta
lebih tinggi kadang dianggap bisa menggunakan bahasa yang biasa atau lebih frontalnya
kasar. Dalam kegiatan sosial masyarakat, mereka yang berkasta lebih tinggi juga biasanya lebih
dihormati. Apalagi mereka yang berkasta itu kebetulan secara ekonomi lebih mampu alias kaya.
Tentu tidak semua orang seperti itu, banyak juga mereka yang tidak berkasta namun tetap
dihormati. Dan kembali kepada masing-masing orang karena pada kenyataannya tidak ada aturan
yang mengharuskan seseorang hormat kepada mereka yang berkasta.
Pernikahan
Dalam urusan pernikahan, kasta sangat sering menimbulkan pro dan kontra bahkan
kadang menjadi masalah. Sama seperti pernikahan beda agama, di Bali pernikahan beda kasta
juga biasanya dihindari. Walaupun jaman sudah semakin terbuka, tapi pernikahan beda kasta
yang bermasalah kadang masih terjadi. Sebenarnya Hindu tidak mengenal kasta, yang dikenal
adalah warna (berdasarkan profesi) atau wangsa (berdasarkan keturunan). Dalam sistem sosialbudaya Bali, yang kita kenal adalah wangsa, yakni silsilah keluarga berdasarkan garis
keturunan. Akan tetapi dalam kenyataan dimasyarakat istilah kasta lebih populer dan dikenal,
meskipun yang pada dasarnya tidak ada sistem kasta dalam agama Hindu. Baik menurut hukum
agama maupun hukum negara, tidak ada hukuman atau ganjaran bagi orang yang menikah beda
kasta/wangsa. Sistem sosial dan budaya Bali menganut sistem Patrilineal. Dalam sistem
patrilineal, maka hukum adat yang berlaku adalah mengikuti garis keturunan, wangsa, dan waris
suami. Mungkin yang kita tahu bahwa seorang laki-laki dengan kasta (wangsa) bawah yang
menikah dengan wanita kasta atas tidak bisa ikut kasta wanita tersebut, sedangkan jika wanita
kasta (wangsa) bawah menikah dengan laki-laki kasta atas maka si wanita itu bisa ikut kasta lakilaki tersebut.
Ternyata secara agama tidak dijelaskan akibat dari seorang yang menikah beda kasta.
Tetapi, secara sosio-religius konseksuensinya adalah si wanita harus mengikuti silsilah keluarga
suami, karena si wanita sudah masuk ke dalam silsilah keluarga sang suami. Wangsa tidak
menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih
tinggi dari Wangsa yang lain).
Perkawinan beda kasta sudah ada sejak dulu dan beberapa keluarga yang dulunya berasal
dari wangsa yang berbeda, sekarang juga bisa hidup rukun dan membina keluarga dengan

baik. Dalam hal ini, yang diperlukan adalah komunikasi yang baik antara dua keluarga dari calon
mempelai. Seandainya, sudah ada kesepakatan tentang tata cara pelaksanaan upacara dan
sebagainya, mungkin tidak akan ada masalah. Pernikahan beda kasta sendiri dikenal ada dua
macam, yaitu :
a.

Kasta istri lebih rendah dari kasta suami. Pernikahan beda kasta ini-lah yang sudah seringterjadi
di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga
perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan
secara otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus
siap mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara pernikahan,
biasanya batenan untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa
daerah, sang istri harus rela melayani para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih
tinggi. Walaupun zaman sekarang hal tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa
orang yang masih kental kasta-nya menegakan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kastanya.
b. Kasta istri tinggi dari kasta suami. Pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh
penduduk Bali. Karena pihak perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah
dengan lelaki yang memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi
secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai "ngemaling" atau kawin lari sebagai
alternatifnya. Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan
mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang disebut sebagai "nyerod". Menurut berita
yang sering beredar, sebagian besar penduduk Bali lebih menyukai dan lebih dapat menerima
laki-laki yang bukan orang Bali sebagai menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta
lebih rendah, dan mengalami penurunan kasta.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang
memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang
lain. Untuk merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi.
Oleh karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.

2.3.2

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT HINDU


Perkawinan beda agama, bagi kita umat Hindu tidak dibenarkan, karena:

1. Manawa Dharmasastra, Buku ke-III (Tritiyo dhyayah) pasal 27 tertulis:


ACCHADYA CARCAYITWA CA, SRUTI SILA WATE SWAYAM, AHUYA DANAM
KANYAYA, BRAHMA DHARMAH PRAKIRTITAH.

Artinya : Pemberian seorang gadis setelah terlebih dahulu dirias dan setelah menghormat kepada
seorang ahli weda yang berbudi bahasa baik yang diundang oleh ayah si gadis, itulah perkawinan
brahma wiwaha.
Tafsirnya: seorang wanita yang hendak dikawini oleh seorang lelaki yang beragama Hindu
(meyakini kitab suci Weda), hendaklah seorang wanita yang berpendidikan baik (dirias) dan
seorang wanita yang taat beragama Hindu (karena ia harus terlebih dahulu mendapat restu orang
tua dan disucikan oleh seorang Wiku).
2. Oleh karena itu, sesuai dengan isi sloka diatas bila ada perkawinan beda agama, maka si wanita
agar di-Hindu-kan terlebih dahulu dengan upacara sudhi waddani.
3. Setelah itu barulah pawiwahan dapat dilaksanakan.
Adapun syarat sahnya perkawinan beda agama dalam agama Hindu, yaitu :
1. Pasangan beda agama membuat pernyataan siap masuk Hindu tanpa ada paksaan dari siapapun
di atas kertas bermaterai Rp. 6.000,2. Melaksanakan Upacara Sudi Wadani sebagai syarat pengesahan/legalitas masuk Hindu. Upacara
ini dilakukan oleh rohaniawan (Pemangku atau Pendeta) dengan terlebih dulu mengisi blangko
Sudi Wadani yang dapat diambil di Kantor Parisada (PHDI) setempat.
3. Upacara Perkawinan dapat dilakukan setelah pelaksanaan Sudi Wadani. Upacara Perkawinan ini
dilaksanakan dengan menghadirkan saksi-saksi antara lain, Rohaniawan, Petugas Pencatat
Perkawinan (Bagi Hindu di Luar Bali), Kepala Dusun, Klian Adat, dan pihak-pihak lain yang
berkompeten. Jika dilaksanakan di Bali, Blangko Catatan Perkawinan sudah tersedia pada
Kepala Dusun masing-masing
4. Blangko Sudi Wadani dan blangko catatan perkawinan yang sudah lengkap ditandatangani oleh
pihak-pihak terkait, kemudian diserahkan ke kantor catatan sipil setempat untuk dicatat dan
mendapatkan Akta Perkawinan
2.3.3

HUBUNGAN SEKS DI LUAR NIKAH MENURUT HINDU


Prinsipnya, hubungan seks di luar nikah oleh agama manapun dilarang. Bagi pemeluk

Hindu di Bali, diuraikan dalam Trikaya Parisudha tentang Kayika, yang disebut: tan paradara.
Pengertian

tan

paradara

ini

diartikan

luas

sebagai

menggoda,

bersentuhan seks,

berhubungan seks, bahkan menghayalkan seks dengan wanita/ lelaki lain yang bukan istri/
suaminya yang sah.
Dalam kitab-kitab suci antara lain Manawadharmasastra, Sarasamuscaya, dan
Parasaradharmasastra, hubungan seks senantiasa dianggap sebagai hal yang suci yang hanya
diperkenankan setelah melalui proses pawiwahan yang menurut Manawadharmasastra ada
delapan cara.

Dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu yang
disahkan oleh PHDI tahun 1987 diatur tentang keadan cuntaka (tidak suci menurut keyakinan
agama Hindu) yang berhubungan dengan masalah seks di luar nikah (pawiwahan) sebagai
berikut:
1.

Wanita hamil tanpa beakaon dan memitra ngalang (kumpul kebo), yang kena cuntaka adalah
wanita itu sendiri beserta kamar tidurnya. Cuntaka ini berakhir bila dia dinikahkan dalam
upacara pawiwahan.

2.

Anak yang lahir dari kehamilan sebelum pawiwahan (panak dia-diu), yang kena cuntaka: si
wanita (ibu), anak, dan rumah yang ditempatinya. Cuntaka ini berakhir bila anak itu ada yang
meras yaitu diangkat sebagai anak dengan upacara tertentu.
Jika dihayati lebih jauh, seolah-olah hukuman cuntaka itu hanya ditimpakan kepada wanita
dan anak-anak saja. Pertanyaannya bagaimana mengenai si lelaki pasangan zina/ kumpul
kebonya apakah terkena cuntaka juga? Secara tegas kesatuan tafsir tidak mengatur, tetapi
dosa atas perbuatan paradara jelas disebutkan dalam Sarasamuscaya. Selain itu pawiwahan
yang menyimpang dari ajaran agama juga dinyatakan sebagai dosa yang disebutkan dalam
Manawadharmasastra dan Parasaradharmasastra.
Di Bali (Desa Pengotan Bangli), Hamil di Luar Nikah Didenda 40 ribu Per Hari
Menikah bukan sekadar urusan menyatukan dua manusia yang saling mencinta. Ada
makna yang lebih luas lagi, seperti kemauan berbagi beban hidup dan menyatukan dua atau
lebih keluarga. Di Desa Pengotan, Kabupaten Bangli, Bali, kedua makna pernikahan itu lebih
kental terasa.
Tradisi pernikahan di Desa Pengotan memiliki dua keunikan. Pertama, pernikahan
hanya boleh dilakukan sebanyak dua kali dalam satu tahun berdasarkan kalender Hindu.
Pernikahan dilakukan pada sasih kapat (bulan keempat) dan sasih kedasa (bulan kesepuluh)
atau dalam kalender Masehi sekitar bulan September-Oktober dan Februari-Maret.
Kedua, karena hanya berlangsung dua kali dalam satu tahun, pernikahan selalu
dilaksanakan secara massal. Dalam satu kali upacara pernikahan, bisa ada 70 pasang atau
sedikitnya hanya 5 pasang pengantin. Oleh karena itu, setiap kali ada upacara pernikahan
massal, suasana di Desa Pengotan mendadak ramai. Warga dari luar desa juga berbondongbondong ingin melihat keunikan pernikahan itu.
Rangkaian upacara pernikahan itu total berlangsung selama enam hari. Tiga hari
sebelum upacara puncak, setiap pasang pengantin menghaturkan canang sedah berupa sesaji
kepada pemimpin adat desa. Ritual itu menyimbolkan kesungguhan pengantin yang akan
melakukan pernikahan. Setelah upacara pernikahan berlangsung, pengantin pria dan

perempuan masih melakukan ritual pebratan. Selama tiga hari setelah pernikahan, setiap
pengantin tidak boleh keluar dari pekarangan rumah. Mereka pun memanfaatkan waktu untuk
menerima tamu yang ingin mengucapkan selamat.
Pada hari puncak pernikahan, sekitar pukul 10.00 Wita, Pura Penataran Agung
Pengotan yang menjadi tempat pusat kegiatan acara pernikahan mulai ramai. Para peduluan
atau petugas pura mulai menata sesaji. Sapi merupakan persembahan pokok dalam upacara
itu. Dulu setiap pasang pengantin wajib menyerahkan satu ekor sapi. Sekarang cukup satu
ekor sapi untuk semua pasangan. Perubahan itu dilakukan supaya tidak memberatkan
pengantin. Selain sapi, ada pula sesaji lain yang disiapkan, seperti nasi, daging ayam, dan
buah-buahan. Semua sesaji itu sudah harus tertata rapi sebelum para pengantin dipanggil
masuk ke dalam pura. Setiap pasangan yang memakai baju adat berupa kain songket khas Bali
diarak satu per satu menuju ke pura.
Di luar pura, para pengantin mengikuti ritual pembersihan diri atau pebiak kalan.
Pembersihan diri juga dilakukan di dalam pura oleh para pendeta dan sekaligus menjadi ritual
inti pernikahan massal ini. Sebelum pulang ke rumah, para pengantin harus melakukan ritual di
setiap

pura

di

desa

itu

yang

berjumlah

13

pura.

Sesampainya di rumah adat, setiap pasangan pengantin saling menyuapi makanan sebagai
simbol untuk saling menghidupi. Prosesi itu diiringi kidung berbahasa Bali yang dinyanyikan
tetua desa.
Sesuai dengan kearifan lokal hampir semua prosesi upacara nikah masih asli, sampai
sekarang tidak banyak berubah. Para pemimpin di desa itu pun berusaha keras melestarikan
tradisi satu-satunya di Bali ini karena pernikahan massal ini mengandung nilai-nilai yang positif.
Salah satunya adalah pemberian denda bagi pengantin perempuan yang hamil di luar
pernikahan. Mereka akan didenda Rp 40.000 per bulan hingga pernikahan massal itu
berlangsung. Sanksi adat berupa denda juga berlaku bagi warga Desa Pengotan yang menikah
dengan tradisi lain. Sanksi itu akan ditentukan oleh para pemimpin desa.
Bagi Desa Pengotan yang dihuni 699 keluarga dan sebagian besar di antaranya bekerja
sebagai petani, pernikahan massal itu cukup meringankan beban warga. Keluarga setiap
pasangan pengantin pun menjadi lebih akrab karena banyak hal yang ditanggung bersama.
Kearifan lokal itulah yang perlu dilestarikan.

PERKAWINAN HINDU DENGAN SIMBOL


Kawin dengan Simbol, pada sebuah desa di Gianyar terdapat satu kisah yang tergolong
unik namun sudah lumrah dilakukan menyangkut perkawinan. Di desa bersangkutan ada seorang
pemudi yang hamil di luar nikah. Dan yang menghamili tidak bertanggung jawab, dia pun
menghindar dengan pergi ke luar daerah. Betapa terenyuh hati si wanita ini, apalagi

kehamilannya terus membesar, sedangkan lelaki yang diharapkan mempertanggujawabkan


perbuatannya tidak juga datang. Wanita yang mengandung itu beserta keluarganya sempat
kebingungan. Di satu sisi ingin menyelamatkan si jabang bayi yang tak berdosa, makanya tidakk
digugurkan. Di lain pihak, bila dibiarkan sampai bayi itu lahir, berarti harus ada lelaki yang
mengawini si wanita hamil ini, sehingga anak yang lahir nanti sah secara adat maupun agama.
Pernah ada keinginan dari pihak keluarga untuk meminjam' salah satu keluarga laki agar mau
melangsungkan upacara perkawinan. Setelah upacara si laki tadi tidak lagi ada ikatan tanggung
jawab apa pun terhadap si wanita hamil maupun dengan anaknya kelak. Tetapi, tidak ada
keluarganya yang rela melakukan langkah itu, hingga akhirnya untuk menghilangkan aib
sekaligus tidak membuat leteh desa jika anaknya sampai lahir nanti, si wanita ini memilih tidak
menggugurkan kandungan. Dia rela kawin mengikuti kesepakatan keluarga, yakni dengan simbol
purusa (berwujud adegan). Dan yang menjadi pertanyaan, apakah perkawinan seperti ini bisa
dianggap sah? Bagaimana bila dihubungkan dengan etika yang berlaku di masyarakat, apakah
langkah yang ditempuh wanita hamil tadi beserta keluarganya bisa dianggap tindakan yang
benar, demi untuk menyelamatkan si bayi dan menghilangkan leteh di desa?
Penyelesaian masalah dari kejadian di atas yaitu Di Bali, kasus seperti hal diatas itu
lumrah disebut lokika sanggraha. Intinya, terjadi kehamilan pada seorang wanita karena
perbuatan seorang lelaki, namun lelaki tersebut tidak mengakui perbuatannya di kemudian hari.
Kasus seperti ini sudah sangat lumrah di Bali, sebab tidak hanya terjadi di Gianyar, melainkan
juga terjadi di mana-mana. Bahkan sudah terjadi sejak dahulu. Menikahkan wanita yang hamil
tersebut dengan simbol purusa adalah satu-satunya cara terbaik yang selama ini sudah dipilih dan
diterima luas oleh umat Hindu di Bali. Jadi, pernikahan tersebut adalah sah menurut adat, tradisi,
dan kebiasaan, serta norma yang ada sekaligus dipraktekkan oleh umat Hindu di Bali. Fenomena
ini memang tidak bisa sepenuhnya memuaskan perasaan kemanusiaan kita, apalagi perasaan
spiritual kita yang selalu harus diukur berdasarkan sasuluh sastra, guru, dan sadhu. Apakah
manusiawi, misalnya, menyandingkan sebilah keris yang kita anggap sebagai simbol purusa
dengan seorang pengantin wanita? Mungkin menurut kaidah-kaidah keagamaan dan norma
dalam tradisi hal itu dapat diterima, namun kenyataannya hal ini tetap tidak memuaskan perasaan
kemanusiaan kita. Oleh karena itu, meskipun perkawinan dengan simbol purusa ini dianggap
sah, namun orang tetap menggugatnya dengan mengajukan pertanyaan, Apakah perkawinan
seperti ini bisa dianggap sah?Logika yang dijadikan dasar pembenar terhadap pilihan
perkawinan dengan simbol purusa ini adalah untuk menyelamatkan bayi dan menghilangkan
leteh di lingkungan desa. Menyelamatkan bayi di sini mempunyai dua pengertian. Pertama,
perkawinan dengan simbol purusa ini secara otomatis menghindari tindakan menggugurkan
kandungan yang dianggap tindakan sangat berdosa, karena tergolong pembunuhan
( brunahatya ). Kedua, menyelamatkan secara sosial karena dengan perkawinan yang
menggunakan simbol purusa tersebut, anak yang akan lahir kelak mempunyai kedudukan hukum
sebagai anak yang sah. Artinya, anak itu tidak lagi dianggap lahir di luar nikah. Tentang

menghilangkan leteh lingkungan desa, dapat dijelaskan sebagai berikut. Perkawinan dalam
agama Hindu disebut wiwaha , dan wiwaha sebenarnya adalah satu bentuk prayascitta atau
penyucian diri. Jadi, dengan dilangsungkan perkawinan ini, maka wanita hamil di luar nikah
yang sebenarnya menjadi sumber leteh disucikan dengan upacara prayascitta , dan bersamaan
dengan itu lingkungan desa yang tercemar karena perbuatan asusila warganya, juga dianggap
bersih atau normal kembali karena telah dilakukan upacara prayascitta. Jadi, keputusan wanita
yang hamil untuk kawin dengan simbol purusa dan didukung oleh keluarganya adalah pilihan
yang benar. Selama ini belum ada alternatif lain yang bisa diterima secara umum. Memang,
kadang-kadang ada tawaran dari pihak keluarga, agar wanita hamil itu menikah dengan salah
satu anggota keluarganya secara simbolis. Artinya, setelah nikah lelaki itu bebas dari tanggung
jawab. Tetapi, hal ini sangat jarang terjadi. Jarangnya pilihan ini dilakukan bukanlah tanpa
alasan. Sebab, perkawinan itu, baik secara spiritual maupun sosial, mempunyai akibat hukum
sehingga tidak bisa dilakukan secara berpura-pura. Ada kalanya pernikahan antara wanita hamil
di luar nikah itu dengan salah satu anggota keluarganya dilakukan secara sungguh-sungguh.
Artinya, lelaki yang adalah keluarganya itu menerima wanita hamil luar nikah itu, sebagai
istrinya yang sah, sehingga dilangsungkanlah upacara perkawinan yang sebenarnya. Dalam
beberapa catatan hukum adat di Bali, kita menemukan solusi ini pernah dipilih oleh kalangan
yang sangat terbatas. Tetapi, karena masih menyisakan masalah-masalah ikutan, atau masih
menimbulkan polemik di masyarakat, khususnya tentang status atau kedudukan anak yang akan
dilahirkan kelak, maka langkah ini tidak menjadi populer. Penerimaan masyarakat atas sahtidaknya perkawinan dengan simbol purusa ini, apabila dilihat dari sudut pandang agama,
tampaknya sengaja dikaburkan. Itulah sebabnya, penerimaan oleh masyarakat dibatasi dalam
kerangka norma-norma adat, tradisi, dan kebiasaan yang dipraktikkan dalam masyarakat Hindu
di Bali. Pertanyaan ini adalah bertumpu pada kenyataan, bahwa titik awal dari kasus lokika
sanggraha ini adalah dimulai dari pelanggaran atas norma agama. Sebagaimana diketahui, seks
pranikah yang menjadi sumber kemelut ini adalah melanggar norma agama Hindu. Dalam agama
Hindu, perkawinan harus dilangsungkan di antara pasangan calon pengantin pria dan wanita
yang masih perawan, atau dikenal dalam purana-purana dengan terminologi a ksata-yoni. Jadi,
dapat dimaklumi apabila upacara perkawinan dengan simbol purusa ini tetap digugat
keabsahannya hingga kini, karena memang ia dimaksudkan sebagai penyelaras atas
ketidakseimbangan kosmis sebagai akibat tindakan asusila. Usaha penyelarasan itu adalah
sebuah usaha yang sangat berat. Namun, dalam hal menghindari stagnasi dan korban yang lebih
besar sebagai akibat tindakan asusila itu atau tindakan-tindaan pelanggaraan atas norma-norma
agama secara keseluruhan, maka solusi melalui perkawinan dengan simbol purusa semacam ini,
boleh dikatakan jalan keluar yang sangat cerdas.
Kiranya perlu diingatkan di sini bahwa dalam kasus lokika sanggraha ini, pihak yang
selalu menjadi korban adalah kaum wanita dan keluarganya. Mereka menerima aib sekeluarga,
bahkan desa mereka juga ikut tercemar ( leteh ), karena ulah satu orang lelaki. Oleh karena itu,

kiranya tidaklah berlebihan jika kita juga ikut mengingatkan para orangtua di Bali, agarsesuai
dengan ajaran agama Hindu: aksata yoni, yang di Bali dituangkan dalam simbol menusuk tikar
daun pandanmenjaga keperawanan putra-putrinya sampai ke jenjang pernikahan.

BAB III
PENUTUP
3.1

1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
-

SIMPULAN
Pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan wanita
untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan
Adat. Suatu perkawinan Dikatakan sah menurut hukum hindu ialah :
Perkawinan dikatakan sah apabila saat wiwaha dilakukan oleh rohanian seperti Brahmana atau
pandita. Dan juga bisa dilakukan oleh pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan
perbuatan itu.
Perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut agama hindu
Berdasarkan tradisi di bali, perkawinan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara biakala
sebagai rangkaian upacara wiwaha.
Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan perkawinan.
Tidak ada kelainan, seperti tidak banci, tidak pernah haid, atau sehat jasmani dan rohani.
Calon mempelai cukup umur bagi pria berumur minimal 21 tahun dan wanita berumur minimal
18 tahun.
Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat, atau sapinda.
Untuk di Bali upacara perkawinan agar dilakukan:
Dirumah pihak yang akan berkedudukan purusa
Diberi tirta pemuput oleh Rohaniawan
Adanya sajen petak kepada Bhatara bhatari, leluhur dan Hyang Widhi
Adanya sajen yang diperuntukan persaksian terhadap Buta sebagai mahluk bawahan
Adanya sajen yang diayab bersama oleh mempelai
Kehadiran para saksi seperti perangkat Desa atau banjar dan warga yang lain.

Dalam pembahasan diatas dilihat dari beberapa permasalahan yang ada, kita dapat
mengatakan bahwa itu merupakan sebuah Diskriminasi. Diskriminasi sendiri merupakan suatu
kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat. Ini disebabkan karena adanya kecenderungan
manusia untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak
adil karena karakteristik suku, antar golongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran
politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan
diskriminasi. Dalam pembahasan diatas sudah terlihat jelas bagaimana masyarakat di Bali masih
menganut kebudayaan yang sangat kental yang masih berlaku disana, dimana dalam sebuah
perkawinan tidak sembarang orang dapat menikahi seseorang, karena di dalam sebuah
perkawinan terdapat syarat bagaimana kedua mempelai tersebut harus mematuhi adat atau
budaya yang sudah melekat disana. Salah satu masalahnya adalah antar golongan atau lebih
dikenal sebagai kasta.
Pernikahan beda kasta akan sah jika disetujui oleh pihak keluarga masing-masing.
Khususnya secara hindu akan terjadi perbedaan upacara dalam bentuk banten untuk individu
masing-masing. Sedangkan untuk pernikahan beda agama akan sah jika tidak menyimpang dari
hukum agama masing-masing dan Undang Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Mengenai perkawinan dengan simbol purusa, logika yang dijadikan dasar pembenar
terhadap pilihan perkawinan dengan simbol purusa ini adalah untuk menyelamatkan bayi dan
menghilangkan leteh di lingkungan desa. Menyelamatkan bayi di sini mempunyai dua
pengertian. Pertama, perkawinan dengan simbol purusa ini secara otomatis menghindari tindakan
menggugurkan kandungan yang dianggap tindakan sangat berdosa, karena tergolong
pembunuhan ( brunahatya ). Kedua, menyelamatkan secara sosial karena dengan perkawinan
yang menggunakan simbol purusa tersebut, anak yang akan lahir kelak mempunyai kedudukan
hukum sebagai anak yang sah. Artinya, anak itu tidak lagi dianggap lahir di luar nikah. Tentang
menghilangkan leteh lingkungan desa, dapat dijelaskan sebagai berikut. Perkawinan dalam
agama Hindu disebut wiwaha , dan wiwaha sebenarnya adalah satu bentuk prayascitta atau
penyucian diri. Jadi, dengan dilangsungkan perkawinan ini, maka wanita hamil di luar nikah
yang sebenarnya menjadi sumber leteh disucikan dengan upacara prayascitta , dan bersamaan
dengan itu lingkungan desa yang tercemar karena perbuatan asusila warganya, juga dianggap
bersih atau normal kembali karena telah dilakukan upacara prayascitta. Jadi, keputusan wanita
yang hamil untuk kawin dengan simbol purusa dan didukung oleh keluarganya adalah pilihan
yang benar.

DAFTAR PUSTAKA
Pudja G. dan Rai Sudharta Tjokorda, 1996. Manawa Dharmasastra (Manu dharmacastra) atau
Weda Smreti Compendium Hukum Hindu. Penerbit Hanuman Sakti.

I Wayan Maswinara, 1999, Parasara Dharmasastra (Veda Smerti Untuk Kali Yuga). Surabaya,
Paramita.
Mantra, I.B.2006.Bhagavadgita.Pemerintah provinsi Bali.
Nesawan, I Nyoman.1987. Pendidikan Agama Hindu. Bandung : Ganeca Exact.
Tjok Rai Sudharta, M.A, Drs. Ida Bagus Oka Punia Atmaja.1967. Upadesa : Tentang ajaran
ajaran Agama Hindu. Surabaya : Paramita.
Annata
Gotama,
2000. Mengenal
lebih
dekat
kitab
suci
Manawa
Dharmasastra.http://www.parisada.org/index.php?
Itemid=29&id=276&option=com_content&task=view
Yayasan Bali Galang ,____.CaturAsrama. http://www.babadbali.com/canangsari/pa-caturasrama.htm
http://www.tanahlottabananbali.com
2010, Nikah Beda Kasta , Bali; stitidharma.org/nikah-beda-kasta diakses pada 7 Maret 2013
Wira,I Made, 2011, Sistem Kasta di Bali imadewira.com/sistem-kasta-di-bali/ diakses pada 7
Maret 2013

Anda mungkin juga menyukai