Anda di halaman 1dari 8

PERSIAPAN HIDUP BERUMAH TANGGA

Ada hal yang sangat penting harus dimiliki oleh pasangan sebelum
memutuskan untuk menikah. Karena pernikahan yang baik adalah sekali seumur
hidup, apalagi nantinya akan ada anak-anak yang akan dilahirkan dan berhak
memperoleh kebahagiaan mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtua secara
utuh.

1.Siap mental
Kesiapan mental perlu dimiliki oleh pasangan yang akan menikah, karena
menikah adalah seperti melangkah ke gerbang kemandirian. Menikah adalah awal
hidup baru, yang sangat jauh berbeda dari kehidupan sebelumnya, yang selalu
terlindung dari orangtua dan keluarga lainnya. Jangan sampai keinginan menikah
karena ingin lepas dari segala keruwetan, sehingga dengan menikah diharapkan
semua beban terlepas. Menikah, walau telah mengenal calon pasangan dengan
baik, tapi tetap ada sifat-sifat yang belum terlihat, yang memerlukan penyesuaian.
Penyesuaian ini kadang terlaksana dalam waktu dekat, tapi ada juga yang
mengatakan bahwa dua tahun di awal pernikahan adalah tahun untuk saling
menyesuaikan, banyak hal yang diperdebatkan dan dipertentangkan disini.
Perdebatan dan pertentangan ini jangan dianggap tidak cocok, namun untuk
mendapatkan persepsi yang sama.

2.Telah mempunyai penghasilan


Berani menikah, berarti berani hidup sendiri tak tergantung pada orang
tua. Oleh karena itu hendaknya pasangan telah mempunyai penghasilan yang
mencukupi untuk kehidupan sehari-hari, dan tentu saja dengan tambahan anggota

1
baru (anak) nantinya. Walaupun sama-sama cinta, tak berarti menikah hanya
didasarkan oleh cinta saja, karena untuk membiayai rumah tangga diperlukan
keuangan yang cukup agar rumah tangga terselenggara dengan baik.

3.Kedua pasangan mempunyai cara pandang dalam menilai kehidupan yang


sama.
Hal ini sangat penting, misalkan salah satu pasangan sangat berhati-hati
dalam memutuskan sesuatu, sedang yang lain pengeluaran uang tak dipikirkan
masak-masak, hal ini akan menimbulkan pertentangan yang terus menerus. Perlu
diskusi yang terus menerus untuk menyamakan pendapat, agar nantinya suami
isteri mempunyai pandangan yang sama. Karena hal ini berperanan dalam cara
mendidik anak, karena diharapkan orangtua mempunyai disiplin sama dalam
menentukan hal-hal yang boleh dan tak boleh dilakukan oleh anak.

4.Menikah adalah percampuran budaya antara dua keluarga


Hal ini perlu disadari oleh kedua pasangan, karena walaupun berasal dari
suku dan kepercayaan yang sama, bisa terjadi perbedaan pandangan, apalagi
pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda latar belakang. Pasangan
harus bisa bertindak dewasa, menyikapi perbedaan pandangan antara kedua
orangtua, tanpa memihak salah satu diantaranya. Pasangan harus mempunyai
keyakinan, apa yang diinginkan berdua, itulah yang seharusnya diyakinkan pada

5. Pasangan sudah mempunyai prinsif untuk membina rumah tangga dengan


baik
Prinsif menjadi sangat perlu di terapkan di kedua orang yang akan
melakukan pernikahan karena dengan prinsif yang kuat untuk membina rumah
tangga maka keawetan rumah tangga akan terjamin, ini bisa menjadi sejenis UU
dalam kehidupan rumah tangganya sendiri dan tentunya karena kedua belah pihak
yang membuat prinsif tersebut maka untuk melanggarnya akan sangat kecil
kemungkinannya apalagi sudah saling setuju satu sama lain

2
kedua orangtua, bahwa mereka sekarang telah menjadi satu keluarga yang baru,
yang mungkin berbeda dalam cara memandang, dan menilai sesuatu dibanding
kedua orang tuanya.

Syarat seorang pasangan bisa dikatakan menikah dan sah dimata


agama dan hukum adalah sebagai berikut :

Pengesahan Perkawinan Pasangan Hindu

 Suatu perkawinan dikatakan sah apabila


kedua calon mempelai telah menganut
Agama Hindu.
 Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, perkawinan dikatakan sah setelah
melaksanakan upacara Byakala/Biakaonan sebagai rangkaian Upacara
Wiwaha.
 Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan perkawinan.
 Tidak ada kelainan seperti banci, kuming (tidak pernah haid), tidak sakit
jiwa atau sehat jasmani dan rohani.
 Perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan Hukum
Hindu.
 Untuk mengesahkan perkawinan menurut Hukum Hindu harus dilakukan
oleh Pendeta/Rohaniawan atau pejabat agama yang memenuhi syarat
untuk melakukan perbuatan itu.
 Calon mempelai cukup umur, pria berumur 21 tahun dan wanita minimal
18 tahun.
 Calon mempelai tidak mempunyai darah dekat atau sepinda.

3
Beda Agama

o Upacara Perkawinan dapat dilakukan setelah pelaksanaan Sudi


Wadani. Upacara Perkawinan ini dilaksanakan dengan
menghadirkan saksi-saksi antara lain, Rohaniawan, Petugas
Pencatat Perkawinan (Bagi Hindu di Luar Bali), Kepala Dusun,
Klian Adat, dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jika
dilaksanakan di Bali, Blangko Catatan Perkawinan sudah tersedia
pada Kepala Dusun masing-masing
o Blangko Sudi Wadani dan blangko catatan perkawinan yang sudah
lengkap ditandatangani oleh pihak-pihak terkait, kemudian
diserahkan ke kantor catatan sipil setempat untuk dicatat dan
mendapatkan Akta Perkawinan
o Pasangan beda agama membuat pernyataan siap masuk Hindu
tanpa ada paksaan dari siapapun di atas kertas bermaterai Rp.
6.000,-
o Melaksanakan Upacara Sudi Wadani sebagai syarat
pengesahan/legalitas masuk Hindu. Upacara ini dilakukan oleh
rohaniawan (Pemangku atau Pendeta) dengan terlebih dulu mengisi
blangko Sudi Wadani yang dapat diambil di Kantor Parisada
(PHDI) setempat.

Pengesahan dan Syarat Pawiwahan

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava


Dharmasastra maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan
administrasi, sebagai berikut (dharmavada):

 Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon
mempelai dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus
secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari
kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali

4
yang masih ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga
merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava
Dharmasastra III.35 yang berbunyi:

"Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,


Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”

“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan


percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup
dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002:
141).

 Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur
16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum
mencapai umur minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka
diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak
menentukan lain. Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal
tersebut dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa
walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik
tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh
calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun
setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan
dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka
tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru
dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan
Budha, 2001: 34).

1. Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974,
dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari
dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan
sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan
upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari

5
Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang
memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang
tidak memiliki etika.
2. Selain itu persyaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan
oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan
untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang
tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan
dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan
belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat
ijin orang tua.

Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan
sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava
Dharma sastra II. 26 sebagai berikut:

“Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,


Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca”

“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci


hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta
upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat
mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia”
(Pudja dan Sudharta, 2002:69).

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan (samskara) tersebut, agama Hindu


tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam
agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada
Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu
tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi
oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan
kebahagiaan di dunia (Jagadhita) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam
Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:

6
“Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,
iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”

“Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci
dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini
dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)”
( Pudja dan Sudharta, 2002: 63).

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun


adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus
sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan
upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad
Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:

1. Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan


kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi
(estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya menginjak
telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2. Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol
mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk
tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan
mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-
masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra
atau stotra.

3. Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan


puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan
Budha, 2001:36).

4. Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan


keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci
mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña tidak
akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu
keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua

7
simbol dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani.
Tanpa adanya keyakinan maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji
tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai pajangan biasa.

5. Lascarya artinya suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.

6. Sastra artinya suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab
suci. Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi.
Dalam agama Hindu dikenal ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar
dan pedoman pelaksanaan yajña.

7. Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan


harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang
memimpin upacara.

8. Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau
nyanyian pujaan yang dilantunkan.

9. Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada


jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.

10. Nasmita artinya suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan
tujuan untuk memamerkan kemewahan.

Anda mungkin juga menyukai