Anda di halaman 1dari 2

Pernikahan dalam Agama Hindu

Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Pengertian
Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan
berasal dari kata dasar “wiwaha”.

Wiwaha atau perkawinan dalam masyarakat hindu memiliki kedudukan dan arti yang
sangat penting, dalam catur asrama wiwaha termasuk kedalam Grenhastha Asrama.

Wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia, seperti dijelaskan dalam kitab
Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha tersebut bersifat sakral yang hukumnya wajib, dalam
artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewajiban dalam hidupnya.

Secara umum, mencintai orang lain selain istri atau suami sendiri dianggap umum
sudah mengurangi kadar kesetiaan dalam perkawinan. Karena itu, Hindu mengajarkan kepada
umatnya untuk sejauh mungkin menghindari poligami dan poliandri.

Dalam ajaran Hindu, poligami itu sesuatu keterpaksaan karena takdir. Takdir itu turun
karena karma. Untuk menghindari poligami lakukanlah perbuatan-perbuatan yang
mendorong kita terhindar dari poligami.

Adapun syarat-syarat wiwaha dalam agama Hindu adalah :

1. Perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum hindu.


2. Untuk mengesahkan perkawinan menurut hukum hindu harus dilakukan oleh
pendeta/rohaniawan atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan
perbuatan itu.
3. Suatu perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut agama
hindu.
4. Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, perkawinan dikatakan sah setelah
melaksanakan upacara byakala/biakaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha.
5. Calon mempelai tidak terikat oleh suatu pernikahan.
6. Tidak ada kelainan, seperti tidak banci, kuming (tidak pernah haid), tidak sakit jiwa
atau sehat jasmani dan rohani.
7. Calon mempelai cukup umur, pria berumur 21 tahun, dan wanita minimal 18 tahun.
8. Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat atau sepinda

Sistem pernikahan yang umum dilaksankan oleh umat Hindu etnis Bali adalah dengan cara :

A. Memadik/Meminang/Melamar
B. Merangkat/Ngerorod
Pernikahan secara Ngerorod/Merangkat, seluruh ritual dan administrasi Nikahnya
dilakukan dipihak mempelai Pria.

Kebiasaan pernikahan selama ini di Bali seluruhnya dilakukan di rumah mempelai


Pria, karena pernikahannya dilakukan secara Ngerorod/Merangkat. Sehingga pihak mempelai
wanita sangat pasif.
Di era yang makin maju, dimana per-nikahan antara kedua mempelai sudah mendapat
restu kedua orang tua, sebaik-nya pernikahan dilakukan dengan cara meminang/memadik.
Tradisi merangkat/ngerorod dijaman dahulu dilakukan untuk menyiasati kakunya
sistem soroh/wangsa atau kasta. Pernikahan dengan system Ngerorod/ Merangkat sangat
merugikan pihak wanita, karena hak-hak keperdata-annya (perlindungan hukumnya sangat
lemah).

Pernikahan Beda Agama menurut Agama Hindu


Dalam agama Hindu, tidak dikenal adanya perkawinan beda agama. Karena memang
agama ini melarang adanya hal tersebut.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra, Buku ke-III (Tritiyo
‘dhyayah) pasal 27 bahwa seorang wanita yang hendak dikawini ooleh seorang lelaki yang
beragam Hindu, hendaklah seorang wanita yang berpendidikan baik (dirias) dann seorang
wanita yang taat beragama Hindu.
Oleh karena itu, jika ada beda agama, maka si wanita ‘di-Hindu-kan’ terlebih dahulu
dengan upacara sudhi waddani. Setelah itu barulah pernikahan dapat dilaksanakan.

Pandangan Pluralisme dalam Agama Hindu


Agama ini memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran. Hindu
mengakui Pluralisme.

Anda mungkin juga menyukai