Anda di halaman 1dari 32

Hukum Perkawinan

Hukum Perkawinan Bagi Umat Hindu di Bali[1]


Oleh I Ketut Sudantra.

Pendahuluan
Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan), berbagai peraturan pelaksanaannya mulai
dibuat. Selain Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang merupakan peraturan terpenting
dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, beberapa peraturan penting lainnya telah
dikeluarkan untuk melengkapi Undang-undang Perkawinan ini, antara lain Keputusan Menteri
Dalam Negeri Tanggal 1 Oktober 1975 No.22a Tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan
Perceraian pada Kantor Catatan Sipil Sehubungan dengan Berlakunya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974; Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 tangal 25 Februari 1983 tentang Penataan
dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil; Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 tanggal 21 April 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri
Sipil; dan lain-lain.
Keseluruhan peraturan-peraturan di bidang Perkawinan tersebut dapat dipandang sebagai
Hukum Perkawinan Nasional yang berlaku untuk seluruh wilayah dan warga negara Indonesia.
Dengan demikian asas-asas dan materi undang-undang tersebut secara otomatis berlaku bagi umat
Hindu di Indonesia, tidak terkecuali bagi umat Hindu di Bali. Tetapi perlu pula dicatat bahwa
Undang-undang Perkawinan ternyata adalah suatu unifikasi hukum yang unik karena masih
menghargai dan mengormati keanekaragaman kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia.
Melalui Pasal 2 ayat (1), pelaksanaan perkawinan khususnya yang berkaitan dengan sahnya
perkawinan diserahkan pengaturannya menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Dengan demikian keanekaragaman agama yang dianut masyarakat Indonesia
akan mewarnai pelaksanaan Undang-undang Perkawinan. Pada banyak daerah, khususnya bagi
Umat Hindu di Bali, pelaksanaan perkawinan juga akan diwarnai oleh berlakunya hukum adat, di
samping karena antara adat dan agama sulit dipisahkan, hukum perkawinan juga sangat
dipengaruhi oleh hukum keluarga yang masih dikuasai oleh hukum adat. Sistem kekeluargaan
purusa (patrilineal) yang dianut dalam hukum adat keluarga di Bali (dresta Bali) sangat penting
pengaruhnya terhadap hukum perkawinan bagi umat Hindu di Bali. Pengaruh tersebut sangat jelas
tampak terhadap bentuk-bentuk perkawinan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap status
suami istri dan anak-anak dalam keluarga.

Pengertian dan Tujuan Perkawinan


Dalam masyarakat Bali, perkawinan dikenal dengan istilah pawiwahan. Istilah ini
umumnya sudah menjadi istilah teknis yang dipergunakan dalam peraturan-peraturan adat yang
disebut dengan awig-awig, terutama awig-awig desa pakraman (dulu disebut: desa adat). Di
samping itu, di dalam masyarakat ditemukan pula istilah-istilah yang mempunyai makna sama
dengan perkawinan, seperti alakirabi, pewarangan, dan seterusnya. Perkataan "kawin" sendiri
dalam bahasa sehari-hari lebih umum disebut nganten, mesomahan, atau mekurenan sebagai
istilah-istilah yang umum digunakan dikalangan jaba, sementara dikalangan triwangsa istilah
yang lazim dipergunakan adalah merabian, mekerab atau mekerab kambe (Astiti,1981)
Dalam masyarakat adat di Bali, perkawinan tidak hanya dipandang sebagai suatu perbuatan
hukum yang bersifat duniawi (sekala) belaka, melainkan juga berkaitan dengan kehidupan dunia
gaib (niskala) sehingga sangat disakralkan (suci). Konsep perkawinan sebagai perbuatan hukum
yang bersifat sekala-niskala umumnya dirumuskan dengan jelas dalam awig-awig desa pakraman,
khususnya dalam pasal (pawos) yang secara khusus membahas prihal perkawinan (indik
pawiwahan). Contohnya adalah Pawos 77 Awig-awig Desa Pakraman Tumbak Bayuh, Badung
(1992) yang menyatakan sebagai betrikut:
”Pawiwahan inggih punika patemining purusa pradana, malarapan patunggalan kayun suka-cita,
kadulurin upasaksi sekala -niskala”
Konsep sekala-niskala merupakan konsepsi yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
masyarakat Bali yang relegius, yang senantiasa menjaga keharmonisan hubungan antara dunia
nyata (sekala) dan dunia gaib (niskala) dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk dalam
perkawinan. Itulah sebabnya, pelaksanaan perkawinan tidak hanya menjadi urusan pribadi calon
mempelai, keluarga dan masyarakat (banjar), melainkan juga berurusan dengan betara-betari (roh
leluhur) yang bersemayam di sanggah atau merajan, bhuta kala, dan Hyang Widhi, sebagaimana
dapat dimaknai dari konsep tri upasaksi (manusa saksi, dewa saksi dan bhuta saksi) dalam
pengesahan perkawinan. Pengertian demikian sangat sejalan dengan prinsip yang dianut oleh
Undang-undang Perkawinan. Dalam Pasal 1 Undang-undang tersebut dengan jelas dinyatakan
bahwa : "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang perempuan
sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Dasar relegius dalam suatu perkawinan diharapkan dapat mengokohkan lembaga
perkawinan itu sendiri sehingga tujuan perkawinan dapat dicapai. Tujuan perkawinan seperti
ditegaskan dalam Pasal 1 di atas adalah terbentuknya keluarga yang kekal dan bahagia. Istilah
"kekal" dapat dimaknai bahwa perkawinan diharapkan hanya terjadi sekali dalam hidup ini
sehingga diharapkan perkawinan tidak putus di tengah jalan karena perceraian. Keluarga "bahagia"
diakui merupakan rumusan yang masih abstrak dan relatif, sebab ukuran yang dipakai oleh
masing-masing orang bisa berbeda. Tetapi karena masyarakat Bali adalah masyarakat yang
relegius, tentu ukuran standar yang bisa digunakan adalah keluarga ideal menurut ajaran agama
dan kepercayaan yang dianut. Menurut kepercayaan umat Hindu di Bali, adanya keturunan yang
lahir dari perkawinan sangatlah penting sehingga dapat dikatakan menjadi salah satu tujuan
penting dari perkawinan. Dalam masyarakat Bali, keturunan –terutama anak laki-laki, sangat
didambakan oleh setiap pasangan suami istri sebab dari anak laki-lakilah digantungkan harapan-
harapan, seperti menjadi penerus generasi; mengganti kedudukan bapaknya dalam masyarakat
kalau sudah kawin (menjadi kerama banjar atau kerama desa); memelihara dan memberi nafkah
jika orang tuanya sudah tidak mampu; melaksanakan upacara agama (seperti: ngaben, dan lain-
lain); serta selalu astiti-bhakti (menyembah) kepada leluhur yang bersemayam di sanggah atau
merajan (Tim Peneliti,FH Unud,1991). Dalam masyarakat Bali Hindu masih sangat kuat dianut
suatu kepercayaan bahwa keberadaan keturunan (laki-laki) dalam keluarga sangatlah penting
untuk membebaskan roh leluhur (pitara) dari kawah neraka dan mengantarkannya menuju alam
sorga. Kepercayaan ini tampaknya diilhami dari kisah yang diceritrakan dalam Kitab Adiparwa.
Dalam kitab tersebut diceritrakan mengenai nasib Sang Wiku Wara Bhrata yang hampir jatuh ke
kawah neraka akibat beliau tidak mempunyai keturunan kerena putra beliau yaitu Sang Jaratkaru
berketatapan hati untuk nyukla brahmacari (tidak kawin selama hidup). Mengetahui nasib roh
leluhurnya yang demikian, akhimya Sang Jaratkaru memutuskan untuk kawin, sehingga roh
leluhurnya dapat menuju alam sorga setelah ia mempunyai putra yang bernama Sang Astika
(Ngurah Adhi, 1972). Dalam bahasa sehari-hari kepercayaan mengenai pentingnya peranan
keturunan (cucu) laki-laki untuk membebaskan roh leluhur dari kawah neraka ini sering
dikemukakan dengan ungkapan "i cucu nyupat i kaki".

Bentuk Perkawinan
Dalam masyarakat adat di Bali, status hukum suami-istri serta anak-anak dalam keluarga
sangat ditentukan oleh bentuk perkawinanmya. Apakah suami-istri itu dan anak-anaknya
berkedudukan hukum di keluarga pihak suami ataukah di keluarga pihak istri sangat dipengaruhi
oleh bentuk perkawinan yang dipilih. Undang-undang Perkawinan tidak mengatur mengenai
bentuk-bentuk perkawinan ini, namun demikian persoalan mengenai bentuk-bentuk perkawinan
ini samasekali tidak dapat diabaikan dalam keseluruhan sistem perkawinan yang berlaku bagi umat
Hindu di Bali. Status atau kedudukan hukum seseorang di dalam keluarga sangat penting artinya
dalam hukum adat Bali karena akan mempengaruhi hak (swadikara) dan kewajiban (swadharma)
orang tersebut dalam keluarga dan masyarakat (banjar/desa pakraman). Swadharma dan
swadikara dalam keluarga misalnya menyangkut tanggungjawab pemeliharaan terhadap anak atau
pemeliharaan terhadap orang tua di masa tuanya, hak dan kewajiban terhadap harta warisan,
tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan kelangsungan serta pemujaan terhadap tempat
persembahyangan keluarga (sanggah/merajan) di mana roh leluhur disemayamkan, dan lain-
lain. Sedangkan tanggungjawab kemasyarakatan menyangkut tanggungjawab sebagai anggota
kesatuan masyarakat hukum adat (banjar/desa pakraman, subak, dadia), baik dalam bentuk
ayahan (kewajiban kerja), pawedalan/papeson (urunan berupa uang atau barang), dan lain-lain.
Pada masa lalu, dalam masyarakat adat di Bali dikenal beberapa bentuk perkawinan.
Sebagian dari bentuk-bentuk perkawinan tersebut sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat karena
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Bentuk perkawinan yang dulu ada tetapi
kini sudah ditinggalkan adalah bentuk perkawinan matunggu atau nunggonin dan bentuk
perkawinan paselang (Windia,dkk, 2009). Berikut ini akan dijelaskan bentuk-bentuk perkawinan
yang masih lazim dilakukan dalam masyarakat umat Hindu di Bali serta bentuk perkawinan baru
yang tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat.

a. Perkawinan biasa
Masyarakat adat Bali yang beragama Hindu menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau
kebapaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah kapurusa atau purusa
(Panetja,1986.Korn,1978),. Sesuai dengan prinsip-prinsip umum dalam sistem kekeluargaan
patrilineal, paling tidak ada tiga prinsip dasar yang dianut dalam sistem kekeluargaan purusa
(Windia dan Sudantra, 2006). Pertama, keturunan dilacak dari garis laki-laki (bapak). Secara
hukum hanya individu-individu yang berasal dari satu bapak asal (wit, menjadi kawitan) yang
diperhitungkan sebagai keluarga baik dalam keluarga batih (terdiri dari bapak, ibu, dan anak)
maupun keluarga luas yang terhimpun dalam dadia. Orang-orang yang termasuk dalam garis inilah
yang termasuk keluarga garis purusa, yang lazim disebut keluarga saking purusa. Sedangkan
orang-orang dari pihak keluarga ibu yang lazim disebut keluarga saking pradana sama sekali tidak
diperhitungkan sebagai keluarga. Itu sebabnya nilai atau derajat hubungan seseorang dengan sanak
saudara dari garis purusa jauh lebih penting dibandingkan dengan hubungannya dengan sanak
saudara dari pihak ibu (saking pradana).
Prinsip kedua yang penting dalam sistem kekeluargaan purusa adalah bahwa dalam
perkawinan, mempelai perempuan dilepaskan dari hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya
(orang tua dan saudara kandungnya) untuk selanjutnya masuk secara total dalam keluarga
suaminya. Dengan demikian, seorang anak perempuan yang sudah kawin tidak lagi diperhitungkan
hak dan kewajibannya dalam keluarga asalnya, melainkan diperhitungkan dalam keluarga
suaminya.
Prinsip ketiga adalah bahwa anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut mendapatkan
sanak saudara atau kerabat (keluarga luas) dari pihak bapak, sedangkan dengan sanak saudara dari
pihak ibu (saking pradana) anak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum.
Sesuai dengan sestem kekeluargaan kapurusa (patrilineal) ini, maka bentuk perkawinan
yang paling umum dilakukan adalah bentuk perkawinan di mana istri mengikuti suami. Inilah yang
lazim disebut perkawinan biasa. Dalam perkawinan biasa, suami berstatus sebagai purusa,
sedangkan istri sebagai pradana. Dalam bentuk perkawinan ini, istri dilepaskan hubungan
hukumnya dengan keluarga asalnya (orang tua kandungnya) selanjutnya masuk ke dalam
lingkungan keluarga suaminya. Dengan demikian, hubungan hukum kekeluargaan antara istri
dengan keluarga asalnya tidak ada lagi, selanjutnya ia menunaikan hak (swadikara) dan
kewajibannya (swadharma) dalam keluarga suami. Anak-anak yang lahir dari perkawinan ini
hanya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan keluarga pihak bapak (saking purusa)
sedangkan dengan keluarga pihak ibu (saking pradana) hanya berapa hubungan sosial dan moral
saja. Dengan demikian, anak yang lahir dari perkawinan ini secara hukum hanya menunaikan
kewajiban (swadharma) dan mendapatkan haknya (swadikara) dari keluarga bapaknya., termasuk
hak dan kewajiban dalam pewarisan.

b. Perkawinan nyeburin
Di luar bentuk perkawinan yang umum tersebut, dibeberapa daerah di Bali, terutama
Tabanan, Badung, Gianyar, dan Bangli sudah lazim pula ditemui bentuk perkawinan yang
sekarang lazim disebut nyeburin. Dibeberapa tempat bentuk perkawinan ini lebih dikenal dengan
sebutan nyentana atau nyaluk sentana (Korn,1978). Dalam bentuk perkawinan ini justru suamilah
yang mengikuti istri. Secara sepintas, bentuk perkawinan ini tampak menyimpang dari sistem
kepurusa yang menekankan bahwa keturunan dilanjutkan oleh keturunan laki-laki (purusa). Tetapi
bila diamati secara seksama, perkawinan nyeburin ternyata tetap konsisten dengan sistem
kekeluargaan kepurusa sebab dalam perkawinan ini status istri adalah purusa karena telah
ditetapkan sebagai sentana rajeg dalam keluarganya.
Sentana rajeg (sentana = keturunan, ahli waris; rajeg= kukuh, tegak; karajegang=
dikukuhkan, ditegakkan) adalah anak perempuan yang kerajegang sentana yaitu dikukuhkan
statusnya menjadi penerus keturunan atau purusa. Dalam Kitab Manawa Dharmacastra (IX:127),
sentana rajeg disebut dengan istilah putrika yang kedudukannya sama dengan anak laki-laki, yaitu
sebagai pelanjut keturunan dan ahli waris terhadap harta orang tuanya (Sudantra,2002a).
Dalam bentuk perkawinan ini, suami yang berstatus sebagai pradana dilepaskan hubungan
hukumnya dengan keluarga asalnya selanjutnya masuk dalam keluarga kepurusa istrinya. Dengan
demikian keturunan dalam keluarga kepurusa itu tetap dilanjutkan oleh anak yang berstatus
purusa. Anak yang lahir dari perkawinan ini berkedudukan hukum dalam keluarga ibunya,
sehingga menunaikan kewajiban (swadharma) dan mendapatkan haknya (swadikara) dalam
keluarga ibu.
Ciri yang menunjukkan bahwa bentuk perkawinan tersebut adalah nyeburin bukanlah
semata-mata karena suami (umumnya) tinggal di rumah keluarga istri, melainkan lebih dapat
dilihat dari fakta bahwa upacara pengesahan perkawinan (pasakapari) dilaksanakan di rumah
keluarga mempelai perempuan dan keluarga mempelai perempuanlah yang mengantarkan sajen-
sajen pemelepehan (jauman) ke rumah keluarga mempelai laki-laki sebagai sarana untuk
melepaskan hubungan hukum mempelai laki-laki terhadap keluarga asalnya (Panetja,1986).
Beberapa orang menganggap bahwa bentuk perkawinan nyeburin ini sebagai penghargaan
terhadap perempuan Bali karena dengan diangkat statusnya sebagai sentana rajeg, perempuan
yang kawin kaceburin sekaligus menjadi ahli waris dari harta orang tuanya. Dikaitkan dengan
pewarisan, barangkali pandangan tersebut ada benarnya karena anak perempuan yang semula
bukan sebagai ahli waris dapat menjadi ahli waris terhadap harta orang tuanya. Tetapi dalam kasus
tertentu, sesungguhnya pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar, terutama jika dikaitkan
dengan kebebasan anak perempuan dalam memilih jodoh. Akibat dari tangungjawabnya yang akan
ditetapkan sebagai sentana rajeg yang harus ”tinggal di rumah” ia harus berhati-hati jatuh cinta
pada laki-laki, karena ia mesti menyelidiki dan memastikan terlebih dahulu bahwa laki-laki yang
mendekatinya mau nyentana. Di jaman di mana banyak keluarga melaksanakan keluarga
berencana dengan semboyan ”dua anak cukup, laki-perempuan sama saja”, tentu saja cukup sulit
menemukan laki-laki yang besedia nyentana. Dengan demikian, perempuan itu bisa ”terpenjara”
dengan statusnya sebagai sentana rajeg.

c. Perkawinan pada gelahang


Apabila kedua bentuk perkawinan tersebut di atas (perkawinan biasa dan nyeburin) tidak
dapat dipilih karena masing-masing calon mempelai adalah anak tunggal dalam keluarganya,
kebelakangan ini dalam masyarakat Bali mulai tumbuh dan berkembang satu bentuk perkawinan
baru, yang disebut perkawinan pada gelahang. Eksistensi bentuk perkawinan ini pun kini telah
diakui oleh Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali melalui Keputusan Pasamuan Agung III
Majelis Utama Desa Pakraman tanggal 15 Oktober 2010. Berdasarkan hasil penelitian yang saya
lakukan dengan teman-teman dari Perhimpunan Dosen Hukum Adat (PERSHADA) Bali yang kini
telah dibukukan dalam buku berjudul ”Perkawinan pada Gelahang di Bali” (Windia,dkk., 2009),
faktor utama yang melatarbelakangi pasangan pengantin dan keluarganya melangsungkan
perkawinan pada gelahang adalah kekhawatiran warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya –
baik yang berwujud material maupun immaterial, tidak ada yang mengurus dan meneruskannya.
Dalam hukum adat Bali, warisan tidak hanya menyangkut hak (swadikara) terhadap harta,
melainkan juga menyangkut kewajiban (swadharma), seperti kewajiban memelihara orang tua di
masa tua; kewajiban meneruskan generasi; kewajiban melaksanakan penguburan atau upacara
ngaben terhadap jenasah orang tua yang telah meninggal, kewajiban terhadap roh leluhur yang
bersemayam di sanggah/merajan (tempat persembahyangan keluarga), dan kewajiban-kewajiban
kemasyarakatan, seperti melaksanakan kewajiban kepada kesatuan masyarakat hukum adat
(banjar/desa pakraman/subak) di mana keluarga itu menjadi anggotanya. Menurut hukum adat
Bali, pengabaian terhadap swadharma tersebut dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan status
seseorang sebagai ahli waris.
Dari hasil penelitian tersebut terungkap pula bahwa pada dasarnya proses
dilangsungkannya perkawinan pada gelahang hampir sama dengan perkawinan biasa atau
nyeburin. Perbedaannya terletak pada adanya kesepakatan kedua mempelai dan keluarganya yang
dibuat sebelum terjadinya perkawinan bahwa kedua pihak sepakat melaksanakan perkawinan pada
gelahang, yang intinya menegaskan bahwa perkawinan dilangsungkan dengan maksud agar
keluarga kedua belah pihak sama-sama memiliki keturunan yang nantinya diharapkan dapat
mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, baik yang berupa
kewajiban (swadharma)maupun yang berupa hak (swadikara). Bentuk dan isi kesepakatan
tersebut bervariasi, tetapi umumnya sudah dibicarakan dan disepakati ketika proses memadik
(lamaran) dilakukan yang disaksikan perwakilan keluarga besar masing-masing dan prajuru adat
(kepala adat).
Pada umumnya inti kesepakatan yang dibuat tersebut menyangkut kedudukan suami-istri
serta anak dalam keluarga setelah perkawinan dilangsungkan yang berimplikasi kepada
tanggungjawab terhadap keluarga masing-masing serta terhadap keanggotaan banjar dan desa
pakraman. Barkaitan dengan tanggung jawab masing-masing setelah perakawinan, sebagian
pelaku perkawinan pada gelahang merumuskan bahwa suami dan istri bertanggungjawab dan
mempunyai hak penuh di keluarga masing-masing, suami bertanggung jawab dan berhak penuh di
keluarga pihak laki-laki, sedangkan istri bertanggung jawab dan berhak penuh di keluarga pihak
perempuan. Sebagian pelaku lain tidak merumuskan mengenai hal itu secara ekplisit. Mengenai
kedudukan anak, sebagian merumuskan bahwa apabila dari perkawinan tersebut lahir lebih dari
satu orang anak, maka kedudukan anak-anak ”dibagi” untuk meneruskan keturunan pada masing-
masing pihak. Apabila hanya lahir seorang anak, status anak itu ditentukan apakah ikut keluarga
pihak laki-laki atau perempuan, sementara pada pihak lainnya diusahakan mengangkat anak. Ada
juga pelaku perkawinan pada gelahang membuat kesepakatan bahwa dalam hal hanya lahir
seorang anak, maka kedudukan hukumnya diserahkan kepada pilihan anak yang bersangkutan
setelah anak tersebut dewasa.
Dalam kesepakatan tersebut juga ditentukan mengenai proses upacara perkawinan. Dari
hasil penelitian tersebut di atas, hampir semua perkawinan pada gelahang yang berhasil diteliti
melakukan upacara byakaonan (salah satu upacara dalam rangkaian upacara perkawinan) di dua
tempat pada hari yang sama, yaitu di rumah mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Soal di
rumah keluarga mana yang dilaksanakan lebih dahulu, tergantung isi kesepakatan yang telah
dibuat. Semua pasangan yang melaksanakan perkawinan pada gelahang yang diteliti tersebut tidak
melanjutkan ketahapan upacara mepejati
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari seluruh pelaku perkawinan pada gelahang
yang diteliti, hanya dua pasangan yang merumuskan kesepakatan yang mereka buat dalam bentuk
perjanjian tertulis. Selebihnya hanya dirumuskan secara lisan saja (Windia, dkk., 2009). Bentuk
perkawinan pada gelahang memang termasuk ranah hukum adat, sehingga bentuk kesepakatan
(perjanjian) yang dibuat tetap sah walau hanya didasarkan atas dasar kesepakatan secara lisan.
Tetapi untuk mengantisipasi keadaan yang tidak diinginkan, misalnya terjadi masalah dikemudian
hari di mana para pelaku dan saksi-saksi sudah tiada (meninggal) atau daya ingatnya sudah tidak
bagus lagi, sebaiknya kesepakatan-kesepakatan yang dicapai dalam perkawinan pada gelahang
dirumuskan dalam bentuk perjanjian tertulis yang memenuhi standar surat perjanjian pada
umumnya. Ditandatangani oleh para pelaku dan pihak-pihak yang berkepentingan (keluarga
terdekat) dan saksi-saksi, terutama saksi dari prajuru adat (pemimpin adat) Dengan demikian, ada
jaminan kepastian hukum mengenai status perkawinan tersebut beserta akibat-akibat yang
mengikutinya.

Syarat -syarat Perkawinan


a. Persetujuan kedua mempelai
Undang-undang Perkawinan menegaskan beberapa syarat agar perkawinan dapat
dilangsungkan. Syarat pertama adalah perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai. Demikian bunyi Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan. Menurut penjelasan
resminya, disamping syarat ini sesuai dengan hak asasi manusia, ketentuan ini diadakan untuk
mendukung agar tujuan pekawinan, yaitu untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia
dapat dicapai.
Dengan ditegaskannya syarat bahwa perkawinan harus di dasarkan kepada persetujuan
kedua calon mempelai, maka cara-cara pemaksaan dalam pelaksanaan perkawinan tidak
dibenarkan lagi, seperti cara perkawinan melegandang (raksasa wiwaha) yang di masa lalu sering
terjadi.

b. Ijin orang tua


Syarat kedua adalah seperti disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2). Disebutkan bahwa untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus
mendapat ijin kedua orang tua. Selanjutnya disebutkan dalam ayat (3) bahwa dalam hal salah
seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya maka izin dimaksud cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang
tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Jika ada
perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebutkan di atas, atau salah seorang diantara
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka berdasarkan ayat (4) pasal ini, Pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberikan ijin, setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut di atas.
Berkaitan dengan syarat kedua ini, timbul persoalan mengenai eksisensi perkawinan yang
dilakukan dengan cara "kawin lari" yang didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
Bentuk perkawinan ini dalam masyarakat Bali disebut ngerorod atau merangkat, yang masih lazim
dilakukan sebagai alternatif lain dari cara perkawinan meminang (memadik). Motif perkawinan
ngerorod antara lain adalah karena adanya halangan (tidak adanya persetujuan) dari orang tua
calon mempelai perempuan, disamping motif-motif lain seperti adanya halangan adat, perbedaan
kasta, dan lain-lain. Di samping karena halangan keluarga atau adat, beberapa kalangan masih
menilai cara perkawinan ngerorod ini sebagai cara perkawinan yang bernilai utama karena
mengikuti cara perkawinan tokoh pewayangan Arjuna dalam kisah Arjuna Wiwaha.
Bagaimanakah eksistensi perkawinan dengan cara ngerorod ini dilihat dari kacamata
Undang-undang Perkawinan? Kalau ayat ijin orang tua dalam Pasal 6 ayat (2) dibaca secara
terpisah dengan keseluruhan isi pasal, jelas semua perkawinan yang dilakukan dengan cara
ngerorod tanpa ijin orang tua bertentangan dengan undang-undang. Tetapi apabila ayat (2) tersebut
dibaca sebagai bagian dari satu kesatuan Pasal 6, tampaknya dalam kondisi sekarang eksistensi
perkawinan secara ngerorod masih dapat ditoleransi oleh Undang-undang perkawinan sepanjang
mempelai sudah mencapai batas usia perkawinan yang ditentukan undang-undang (mempelai pria
sudah mencapai usia 19 tahun, mempelai perempuan sudah mencapai usia 16 tahun). Pasal yang
dapat dijadikan dasar adalah Pasal 6 ayat (6), yang secara tegas menyebutkan bahwa "ketentuan
ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain". Ini artinya, ketentuan
mengenai syarat perkawinan yaitu adanya persetujuan kedua orang tua bagi perkawinan yang
dilakukan oleh calon memepelai di bawah umur 21 tahun seperti disebutkan di atas dapat
disimpangi bila hukum agama dan kepercayaannya menentukan lain. Berdasarkan hukum agama
dan adat yang kini masih berlaku bagi umat Hindu di Bali, perkawinan secara ngerorod masih
diakui. Setidaknya demikian disebutkan dalam Surat Direktur Jendral Hukum Perundang-
undangan Departemen Kehakiman RI Nomor JHD.1/1/11 tanggal 20 April 1976 jo Surat Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor Kesra.II/c/115/76 tanggal 28 Februari 1976 (dalam
Dirksen,1983). Dalam kitab Manawa Dharmaçastra (Buku III:32) juga diakui adanya perkawinan
secara gandarwa wiwaha yang mempunyai makna sama dengan ngerorod (Pudja,1975). Dalam
awig-awig desa pakraman di Bali hingga saat ini cara perkawinan ngerorod juga masih diakui
pula eksistensinya sebagai salah satu cara perkawinan (lihat Sudantra, 2002b).
Walaupun berdasarkan UU Perkawinan cara perkawinan ngerorod masih dimungkinkan,
tetapi laki-laki yang melarikan gadis itu harus siap-siap berhadapan dengan Pasal 332 ayat (1e)
KUHP, yaitu diancam hukuman penjara selama tujuh tahun karena melarikan perempuan belum
dewasa (belum 21 tahun) tidak dengan kemauan orang tuanya. Memang penuntutan hanya
mungkin atas dasar pengaduan (delik aduan), dan tidak akan dijatuhi hukuman sebelum
perkawinan itu dibatalkan (lihat R Soesilo,1990:236). Jadi, seorang laki-laki yang melarikan
perempuan untuk dikawini dengan cara ngerorod hanya akan dijatuhi hukuman apabila terlebih
dahulu perkawinannya dibatalkan oleh hakim dengan prosedur pembatalan perkawinan yang akan
dijelaskan dalam uraian lain di bawah.
c. Batas umur perkawinan
Syarat ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai batas umur untuk perkawinan.
Berdasarkan Pasal 7, perkawinan hanya dizinkan jika calon mempelai pria sudah mencapai umur
19 (sembian belas) tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Penyimpangan terhadap ketentuan ini hanya dimungkinkan bila ada dispensasi dari Pengadilan
atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun perempuan. Menurut
penjelasan resmi terhadap Pasal 7, penetapan batas usia untuk perkawinan ini dimaksudkan untuk
menjaga kesehatan suami istri dan keturunan.

Larangan Perkawinan
a. Karena berhubungan darah dekat
Disamping syarat-syarat di atas, undang-undang juga menetapkan larangan-larangan
perkawinan. Pasal 8 menyebutkan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menanru dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang
suami berisrri lebih dari seorang;
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Dalam Pasal 8 tersebut, pada prinsipnya diatur larangan perkawinan karena mempunyai
hubungan darah atau hubungan kekeluargaan yang dekat dan karena mempunyai hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Larangan-larangan perkawinan
karena hubungan keluarga sangat dekat, dalam masyarakat Bali disebut gamia-gamana.
Keputusan Pesamuhan Desa pakraman seluruh Kabupaten Badung di Kesiman (12 - 15 Juli 1974)
menyebut gamia-gamana ini dengan istilah agamiagamana yang berarti perkawinan yang dilarang
karena tidak menurut ajaran-ajaran agama. Menurut hasil pesamuhan tersebut, rincian
agamiagamana tersebut adalah meliputi: kawin dengan bapak atau ibu, kawin dengan saudara
kandung atau saudara tiri, kawin dengan anak kandung atau anak tiri, kawin dengan menantu atau
mertua, kawin dengan besan, kawin dengan cucu karena hubungan menantu (Parisadha Hindu
Dharma Kabupaten Badung,1986). Menurut Kaler (tanpa tahun), di luar gamia gamana seperti
disebutkan di atas, dalam masyarakat Bali masih terdapat perkawinan yang dihindari yang juga
disebut gamia tetapi tidak dilarang secara mutlak, yang pada masing-masing daerah bervariasi,
seperti perkawinan antara seorang pria dengan perempuan yang berkedudukan sebagai nenek atau
bibi tingkat sepupu sekali atau dua kali (nenek ata bibi dimisan/dimindon). Penelitian yang
dilakukan oleh Fakultas Hukum Unud (1981) juga menemukan perkawinan yang dihindari seperti
perkawinan saling ambil (mekedeng ngad), dan lain-lain. Perkawinan seperti ini tidak dilarang,
tetapi dihindari karena dianggap amanasi awaknia priawak (menimbulkan penderitan bagi diri
sendiri) sedangkan gamia-gamana multak dilarang karena dianggap amanasi rat, yaitu
menimbulkan ketidakharmonisan dalam masyarakat (Kaler,tanpa tahun). Pada masa lalu, sanksi
terhadap gamia-gamana adalah hukuman selong (mekutang, hukuman buang) seperti pernah
diputuskan oleh RaadKertha Singaraja dalam Putusan Nomor 18/Kriminil/1949 tanggal 2 Juli
1949, yang menghukum selong selama dua tahun ayah dan anak pelaku gamia gamana
(Astiti,1981).
Di samping karena berhubungan darah/keluarga dekat, Pasal 8 juga menyebutkan larangan
perkawinan antara orang-orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya dilarang kawin.
Ketentuan ini dapat ditafsirkan bahwa berkaitan dengan larangan perkawinan ini harus
diperhatikan pula syarat yang ditentukan oleh agama yang bersangkutan. Menurut agama Hindu
yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bali, perkawinan yang dapat disahkan secara Hindu adalah
perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua calon mempelai yang sama-sama memeluk agama
yang sama, yaitu Hindu. Apabila salah satu atau kedua-duanya belum beragama Hindu, maka
terlebih dahulu calon mempelai harus di sudhi-kan (sudhi wadani), suatu upacara keagamaan
untuk meresmikan seseorang memeluk agama Hindu (Pudja,1975).

b. Larangan perkawinan bagi pasangan yang telah bercerai dua kali


Salah satu perkawinan yang dilarang dalam Undang-undang Perkawinan adalah larangan
perkawinan bagi pasangan yang telah bercerai dua kali. Dalam Pasal 10 disebutkan bahwa apabila
suami dan istri yang telah cerai kawin lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu dari
yang bersangkutan tidak menentukan lain. Melalui pasal ini, kembali undang-undang menetapkan
suatu ketentuan yang dapat disimpangi oleh hukum agama dan kepercayaannya itu. Dalam hukum
agama Hindu, belum ditemukan ketentuan yang secara tegas melarang perkawinan bagi pasangan
yang telah bercerai berkali-kali. Dalam beberapa awig-awig desa pakraman sebagai cerminan
hukum agama dalam masyarakat Bali, perkawinan pasangan yang telah bercerai diperbolehkan
dengan syarat tertentu. Misalnya dalam Pawos 79 Awig-awig Desa Pakraman Tumbak Bayuh,
Badung (1992) diatur bahwa perkawinan pasangan yang telah pernah bercerai (sang palas adung
malih) dapat dilakukan dengan syarat upacara perkawainan diadakan kembali serta dikenakan
sanksi (pamidanda) nikel saking palase, yaitu denda dua kali lipat dari denda perceraian.
Dibeberapa tempat, peristiwa itu disebut tulak wali. Hal yang hampir serupa diatur dalam Pawos
57 Awig-awig Desa Pakraman Bangklet, Bangli (1996), Pawos 56 Awig-awig Desa Batumulapan
Nusa Penida Kelungkung (1998), dan lain-lain. Tidak ditemukan ketentuan tegas, berapa kali
pasangan tersebut dapat melakukan kawin-cerai (Sudantra,2002b).

c. Larangan poligami
Disamping larangan seperti disebutkan dalam Pasal 8 dan Pasal 10 di atas, undang-undang
juga melarang poligami dan poliandri. Poligami artinya seorang suami beristri lebih dan seorang,
sedangkan poliandri adalah apabila seorang perempuan bersuami lebih dari seorang. Pasal 9
Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa "sesorang yang masih terikat tali perkawinan
dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-undang ini". Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 yang dimaksud adalah mengenai pengecualian
dari asas poligami. Ketentuan di atas dapat dipandang sebagai larangan poligami atau poliandri,
yang dalam masyarakat Bali lazim disebut memadu. Pasal 9 merupakan penjabaran dari asas
monogami yang dianut dalam Pasal 3 Undang-undang Perkawinan, yang selengkapnya
menyebutkan bahwa "pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri, seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami".
Sebelum berlakunya Undang-undang Perkawinan, dalam masyarakat Bali tidak ditemukan
larangan untuk beristri lebih dari seorang (poligami), bahkan batasan mengenai jumlah istri yang
dapat dimiliki oleh seorang suami juga tidak ada ketentuan yang jelas (Kaler,tanpa tahun). Tetapi
mengenai poliandri, walaupun tidak ditemuan peraturan yang melarang, secara sosiologis tidak
dapat diterima oleh masyarakat apabila seorang istri mempunyai lebih dari seorang suami. Setelah
berlakunya Undang-undang Perkawinan, poligami dan poliandri tidak diperbolehkan. Poliandri
dilarang secara mutlak, sedangkan poligami dilarang dengan pengecualian, yaitu dapat dilakukan
apabila ada ijin dari Pengadilan. Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa
"Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan".
Syarat yang diperlukan agar seorang suami dapat beristri lebih dari seorang cukup berat.
Pertama, ia harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya (Pasal
4 ayat 1). Kedua, untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan harus dipenuhi syarat-
syarat, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 5 ayat (1), yaitu:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istrinya;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-
anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Bahkan, menurut Pasal 4 ayat (2), Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat diseribuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Akibat Hukum dari Pelanggaran Syarat-syarat dan Larangan Perkawinan


Bagaimanakah akibat hukum apabila perkawinan yang dilangsungkan tidak memenuhi
syarat ataupun melanggar larangan-larangan seperti tersebut di atas?
Dari sudut Undang-undang Perkawinan, akibat hukum bagi perkawinan yang melanggar
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang adalah bahwa perkawinan tersebut dapat
dicegah atau dapat dibatalkan. Tidak ada sanksi pidana terhadap pelanggaran tersebut kecuali
khusus terhadap pelanggaran ketentuan poligami dan syarat batas usia perkawinan. Pelanngaran
terhadap pasal-pasal poliganmi oleh Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 diancam
sanksi denda setinggi-tingginya Rp.7.500,- dan berdasar 279 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) diancam dengan pidana penjara, yaitu selama-lamanya 5 (lima) tahun.
Selengkapnya Pasal 279 KUHP menyatakan bahwa "Dihukum penjara selama-lamanya lima tahun
barangsiapa yang kawin sedang diketahuinya bahwa perkawinannya yang sudah ada menjadi
halangan yang sah baginya untuk kawin” (R-Soesilo, 1990). Sedangkan pelanggaran terhadap
pasal yang mengatur batas usia perkawinan, dalam Undang-undang Perkawinan tidak ada sanksi
pidananya. Tetapi laki-laki yang mengawini perempuan di bawah umur dapat dijerat sanksi pidana
berdasarkan Pasal 77 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu
pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun penjara dan/atau denda setinggi-tingginya Rp.
100.000.000 (seratus juta rupiah).

a. Pencegahan Perkawinan
Pasal 13 Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa "Perkawinan dapat dicegah
apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan".
Pencegahan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana
perkawinan tersebut akan dilangsungkan dengan memberitahukan hal itu kepada para calon
mempelai (Pasal 17). Pihak yang berhak mengajukan pencegahan perkawinan sudah diatur pula
secara tegas, yaitu keluarga dalam haris lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali,
pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan seperti
pegawai pencatat perkawinan, pihak-pihak (suami atau istri) yang masih terikat perkawinan
dengan salah satu calon mempelai (Pasal 14). Apabila ada salah satu pihak seperti yang disebutkan
itu mengajukan upaya pencegahan perkawinan sesuai prosedur yang ditentukan maka perkawinan
tidak dapat dilangsungkan selama pencegahan tersebut belum dicabut (Pasal 19). Pencabutan
pencegahan perkawinan dapat dilakukan dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada
Pengadilan oleh pihak yang mencegah.

b. Pembatalan Perkawinan
Dalam hal perkawinan tersebut sudah dilangsungkan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya sehingga perkawinan tersebut sudah dipandang sah tetapi ternyata diketahui
bahwa perkawinan itu tidak memenuhi syarat, maka perkawinan tersebut masih dapat dibatalkan
dengan upaya pembatalan perkawinan berdasarkan pada Pasal 22 Undang-undang Perkawinan.
Permohonan pembatalan perkawinan juga diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di
mana perkawinan tersebut dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami istri, dengan tatacara
sesuai dengan gugatan perceraian. Para phak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan juga telah ditentukan secara tegas oleh undang-undang, yaitu keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; suami atau istri; pejabat yang berwenang; pejabat
yang ditunjuk yaitu pejabat yang berwenang untuk melakukan pencegahan; setiap orang yang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya
setelah perkawinan itu putus (Pasal 23). Orang yang karena perkawinan masih terikat dengan salah
satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, juga dapat mengajukan
pembatalan perkawinan yang baru (Pasal 24). Menurut Pasal 27, seorang suami atau istri dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila : perkawinan dilangsungkan di bawah
ancaman yang melanggar hukum; terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. Apabila
ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka
waktu enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan
haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan setelah Pengadilan
memeriksa dengan teliti permohonan pembatalan tersebut. Batalnya suatu perkawinan dimulai
setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan. Keputusan tidak berlaku surut terhadap: anak-anak yang dilahirkan
dari perkawinan tersebut; suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
orang-orang ketiga lairmya sepanjang niereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum
keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Apabila para pihak yang diberi hak oleh undang-undang untuk mengajukan pembatalan
perkawinan tidak menggunakan haknya itu maka perkawinan tersebut tetap berlangsung. Dengan
kalimat lain, perkawinan yang dilakukan dengan mengabaikan syarat-syarat dan larangan
perkawinan seperti diuraikan di atas akan tetap sah apabila telah dilakukan menurut hukum agama
dan kepercayaannya itu, kecuali ada keputusan pembatalan dari Pengadilan.

Sahnya Perkawinan dan Pencatatan Perkawinan


a. Pengesahan Perkawinan
Pasal 2 ayat (1) dengan tegas menyatakan bahwa "perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu". Dengan demikian, bagi umat
Hindu perkawinan harus disahkan menurut ketentuan hukum Hindu. Tatacara pengesahan
perkawinan bagi umat Hindu di Indonesia tidaklah seragam karena sangat diwarnai oleh budaya
setempat. Demikian pula tatacara pengesahan perkawinan bagi umat Hindu di Bali juga bervariasi
yaitu sangat dipengaruhi oleh lokacara dan desa dresta. Menurut Keputusan-keputusan dan
Ketetapan-ketetapan Parisada Hindu Dharma (PHDI Kabupaten Badung,1986), sahnya
perkawinan ditentukan oleh adanya panyangaskara dengan bhuta saksi dan dewa saksi serta
adanya penyaksi (saksi) dari prajuru adat (kepala adat) sebagai unsur dari manusa saksi. Inilah
yang sering disebut sebagai tri upasaksi dalam upacara perkawinan (samskara wiwaha).
Berhubung proses pelaksanaan perkawinan merupakan rangkaian upacara yang mungkin
saja tidak selesai dalam waktu yang bersamaan bahkan dapat berlangsung pada hari yang berbeda,
atau mungkin juga baru selesai setelah beberapa bulan, timbul permasalahan hukum untuk
menetapkan moment yang tepat yang menjadi unsur sahnya perkawinan. Tidak mungkin
meletakkan unsur pengesahan perkawinan pada selesainya rangkaian proses di atas, karena hal itu
dapat menimbulkan akibat hukum yang tidak menguntungkan bagi status suami istri dan
menimbulkan akibat hukum yang berantai, mulai dari status anak yang lahir selama proses itu
sampai kepada masalah pewarisan dikemudian hari. Karena itu tepatlah yurisiprudensi yang
menyatakan bahwa perkawinan disebut sah sesudah kedua mempelai melakukan upacara
mabyakaon (mabyakala] Yurisprudensi tersebut adalah Keputusan Raad Kertha Singaraja Nomor
290/Crimineel, 14 April 1932 yang mempertimbangkan dalam putusannya bahwa selama
mabyakaon belum dilakukan maka perkawinan belum dipandang sah. Pengadilan Negeri Denpasar
dalam Keputusannya Nomor 602/Pdt/1960 tanggal 2 Mi 1960 menetapkan bahwa suatu
perkawinan dianggap sah menurut Hukum Adat Bali apabila telah dilakukan pabyakaonan atau
mabyakaon. Demikian pula keputusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 281/Pdt/1966/PTD
tanggal 19 Oktober 1966 (Suyatna,1997).

b. Pencatatan Perkawinan
Walaupun secara hukum perkawinan telah sah dengan dilakukannya upacara byakala atau
byakaon, undang-undang juga menetapkan bahwa perkawinan harus dicatatkan pada Kantor
Catalan Sipil untuk memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan. Fungsi
pencatatan perkawinan ini adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan sesorang, misalnya kelahiran atau kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan, suatu akte resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan.
Pada awal pelaksanaan Undang-undang Perkawinan di Bali ditunjuk Camat sebagai
pencatat perkawinan bagi umat Hindu (Keputusan Gubernur Kepala Daerali Tingkat I Bali Nomor
61/Kesra.II/ C/504/75, tanggal 29 September 1975), kemudian sejak tahun 1988 pencatatan
perkawinan bagi umat Hindu di Bali dilakukan pada Kantor Catalan Sipil (Keputusan Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Ball Nomor 242 Tahun 1988 tanggal 9 Juni 1988). Menurut Pasal 10 jo
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, perkawinan dan pencatatan perkawinan harus
dilakukan dihadapan Pegawai Pencatat pada Kantor Catalan Sipil dan dihadiri oleh dua orang
saksi. Ketentuan demikian sulit dapat dilaksanakan pada masyarakat Hindu di Bali karena tempat
upacara pengesahan perkawinan harus dilaksanakan di rumah keluarga mempelai yang berstatus
sebagai purusa (umumnya mempelai pria). Penetapan waktu upacara perkawinan bagi umat Hindu
di Bali sangat ditentukan oleh ala ayuning dewasa (baik buruknya hari) sehingga Pegawai Pencatat
Perkawinan yang ada di Kantor Catalan Sipil yang dari segi kuantitas tidak banyak jumlahnya
akan kesulilan menghadiri upacara perkawinan yang mungkin sangat banyak terjadi pada hari
tertentu yang dianggap dewasa ayu (hari baik) dan pada tempat yang tersebar pula. Menyadari
kesulilan-kesulitan itu maka berdasarkan Kepulusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bah
Nomor 233 Tahun 1990 tertanggal 26 Mei 1990 ditunjuk Bendesa pakraman /Kelian Adat sebagai
Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan bagi Umat Hindu dan menunjuk Kepala Urusan
Pemerintahan Kecamatan sebagai kordinalor. Penunjukan prajuru adat, dalam hal ini Bendesa
pakraman/Klian Adat sebagai Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan dapat dipandang sebagai
langkah yang sangat tepat. Pertama, dalam setiap pelaksanaan pengesahan perkawinan, sejak dulu
prajuru adat selalu hadir untuk menyaksikan upacara tersebut. Kedua, sejak dulu pula prajuru
adat selalu mencatat perkawinan yang dilakukan oleh warganya dalam rangka menetapkan
seseorang warga ngawitin ngeranjing makrama (mulainya seseorang secara resmi menjadi
anggota desa pakraman yang disebut kerama desa) atau ngawitin tedun ngayah (mulainya
seseorang menunaikan kewajiban kepada desa).

Kedudukan Suami Istri dalam Perkawinan


Perempuan Bali sebagai istri mempunyai kedudukan hukum di dalam lingkungan keluarga
(besar) suaminya, sebab menurut sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat Bali, yaitu
patrilineal atau kepurusa, bahwa melalui perkawinan seorang perempuan dilepaskan dari
hubungan hukum kekeluargaan dengan keluarga asal (orang tua kandung) selanjutnya masuk
dalam lingkungan keluarga suami. Dengan demikian, seorang istri akan menunaikan hak dan
kewajibannya, sekala niskala , dilingkungan keluarga suami, bukan dilingkungan keluarga
asalnya. Hal sebaliknya terjadi dalam benluk perkawinan nyeburin, di mana suami berkedukan
hukum serta menunaikan hak dan kewajibannya dilingkungan keluarga istrinya yang berslalus
sebagai purusa.
Dalam Undang-undang Perkawinan, kedudukan hukum suami istri dalam keluarga besar
tidak dipersoalkan sehingga apa yang terjadi dalam masyarakat Bali seperti tersebut di atas tetap
berlaku. Undang-undang Perkawinan lebih mengatur kedudukan suami istri dalam keluarga batih
(terdiri dari suami, istri dan anak), di mana dinyatakan bahwa kedudukan istri dalam keluarga
adalah seimbang dengan kedudukan suami. Selengkapnya Pasal 31 Undang-undang Perkawinan
menyebutkan sebagai berikut:
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah langga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Walaupun hak dan kedudukan suami dan istri dalam keluarga (rumah tangga) adalah
seimbang, undang-undang menetapkan bahwa suamilah yang berkedudukan sebagai kepala
keluarga sedangkan istri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Perbedaan kedudukan ini lebih
dipertegas lagi dengan perbedaan peranan masing-masing dalam keluarga. Pasal 34 Undang-
undang Perkawinan mengatur hal ini sebagai berikut:
(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumali tangga
sesuai dengan kemampuannya.
(2) Istri waj ib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan.

Harta Benda Perkawinan


Hal penting yang perlu diperhatikan dalam Undang-undang Perkawinan adalah mengenai
harta benda perkawinan. Harta benda perkawinan dapat dikatakan merupakan modal yang dapat
dipergunakan oleh suami istri untuk membeayai kehidupan rumah tangganya ataupun dalam
kehidupan sosial dan keagamaannya. Dalam Undang-undang Perkawinan penggolongan harta
benda perkawinan meliputi:
(1) Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh oleh suami istri selama perkawinan berlangsung
(Pasal 35 ayat 1). Dalam masyarakat Bali terdapat perbedaan penggunaan istilah untuk jenis harta
ini, yaitu ada yang menyebut dengan istilah druwe gabro, arok sekaya, dan lain-lain (Panetja,
1986). Istilah yang lazim digunakan dalam awig-awig desa pakraman adalah pegunakaya atau
gunakaya.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan (Pasal 35 ayat 2). Dalam masyarakat Bali anak perempuan bukanlah
ahli waris sehingga istri tidak mungkin memperoleh harta karena warisan. Menurut Hukum Adat
Waris Bali di masa lalu, anak perempuan hanya mungkin menerima pemberian harta dari orang
tuanya berdasarkan pemberian yang sifatnya sukarela yang disebut jiwadana. Tetapi berdasarkan
Keputusan Pasamuan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Provonsi Bali tanggal 15 Oktober
2010, anak yang ninggal kedaton terbatas, antara lain anak yang kawin ke luar (anak perempuan
dalam perkawinan biasa atau anak laki-laki dalam perkawinan nyeburin) berhak atas bagian
tertentu dari harta pegunakaya dari orang tuanya, yaitu separuh dari bagian seorang anak laki-
laki. Harta bawaan, baik yang diperoleh atas usaha sendiri sebelum perkawinan (sekaya) ataupun
yang diperoleh karena pemberian dari orang tua (jiwadana) lazim disebut tetadtadan, sedangkan
harta yang diperoleh sebagai warisan lazim disebut tetamian.
Penguasaan terhadap jenis-jenis harta di atas berbeda-beda sesuai dengan
penggolongannya. Harta bersama dikuasai oleh suami istri secara bersama -sama sehingga jika
suami atau istri melakukan tindakan hukum (seperti menjual, menggadaikan, dan lain-lain )
terhadap harta tersebut maka harus berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat
1). Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah kekuasaan masing-masing suami atau istri
tersebut kecuali para pihak menentukan lain (Pasal 35 ayat 2). Dengan demikian terhadap harta
bawaan ini suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta bendanya itu (Pasal 36 ayat 2).

Putusnya Perkawinan
a. Putus karena kematian salah satu pihak
Perkawinan dapat putus baik karena kematian salah satu pihak atau karena perceraian.
Perceraian dalam masyarakat Bali, khususnya dalam awig-awig desa pakraman lazim disebut
nyapian atau palas perabian, yang sehari-hari sering disebut palas saja. Dalam hal yang meninggal
adalah istri, tidak ada masalah bagi kedudukan suami dalam keluarga karena ia berstatus purusa
dalam keluarga tersebut dan bebas untuk kawin lagi. Tetapi apabila yang meninggal adalah suami,
maka istri tetap berkedudukan hukum dan tetap tinggal dalam lingkungan keluarga suami dengan
status sebagai balu (janda) dan harus melaksanakan swadharmaning balu (etika dan kewajiban
sebagai janda). Di dalam awig-awig desa pakraman umumnya disebutkan kewajiban-kewajiban
janda (swadharmaning balu), seperti misalnya disebutkan seperti di bawah. ini:
a. ngamanggehang patibrata, tan kengin ngamargiang paradara / dratikrama.
b. Nguwasayang waris pagunakayan, tan kengin ngadol, ngadeang, makidihang, sajawaning polih
kabebasan saking pianak utawi pakulawargan ipun,
c. kawenangang malih mawiwaha, prade sampun polih paigum saking pianak deha/teruna utawi
kulawarga kapurusan, tur prasida ngupajiwa sentana.
Dari ketentuan awig-awig di atas, dapat diketahui bahwa seorang janda bukanlah ahli waris
dari almarhum suaminya, walaupun ia tetap berhak untuk menguasai harta peninggalan suaminya
dengan hak-hak yang terbatas: tidak boleh menjual, tidak boleh menggadaikan, atau
menghibahkan, kecuali mendapat persetujuan dari anak atau keluarga terdekat.

b. Putus karena perceraian


Undang-undang Perkawinan menganut prinsip ”mempersukar perceraian” karena
perceraian tidak sesuai dengan tujuan perkawinan, yaitu terbentuknya keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal. Selain menentukan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup
alasan bahwa suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri, Undang-undang
Perkawinan juga menentukan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak (Pasal 39). Dengan demikian, walaupun proses perceraian menurut adat dan agama tetap
penting dilakukan oleh umat Hindu di Bali dalam hubungannya dengan persoalan-persoalan adat
khususnya menyangkut status keanggotaan di banjar atau desa pakraman (seperti tetegenan
kerama seperti ayah-ayah, reramon, dan sebagainya), tetapi dimata Undang-undang Perkawinan
semua proses itu tidak mempunyai makna hukum lagi. Faktor yang menentukan terjadinya
perceraian menurut hukum yang berlaku adalah adanya keputusan Pengadilan. Di luar prosedur
itu tidak terjadi perceraian.
Ketentuan undang-undang yang demikian ini sungguh tidak logis. Logikanya, sesuatu yang
diikat secara agama, pelepasannya pun semestinya secara agama pula. Bagaimana suatu
perkawinan yang dimulai dengan ikatan berdasarkan adat dan agama, ketika kemudian putus
karena perceraian lalu mengabaikan persyaratan adat dan agama? Tampaknya untuk kepentingan
harmonisasi antara hukum adat dan hukum negara, Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali
melalui Keputusan Pasamuan Agung III menegaskan tetap pentingnya proses perceraian secara
adat dan agama. Bahkan dalam salah satu butir keputusannya, Majelis Utama Desa Pakraman
menegaskan bahwa sebelum proses perceraian diajukan ke pengadilan, para pihak wajib membawa
permasalahannya terlebih dahulu kepada prajuru adat dan prajuru adat wajib memediasi para
pihak untuk sedapat mungkin dicegah terjadinya perceraian. Apabila upaya tersebut gagal, barulah
proses ke pengadilan dapat dilanjutkan.
Secara formal tatacara perceraian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Menurut Pasal 19 Peraturan Pemerintah tersebut, perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan atau
alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar
disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai suami/istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Berdasarkan alasan atau alasan-alasan di atas, suami atau istri dapat mengajukan gugatan
perceraian kepada Pengadilan. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Jika tempat
kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang
tetap demikian juga bila tergugat bertempat tinggal di luar negeri maka gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan tempat kediaman penggugat. Dalam hal tergugat bertempat tinggal di
luar negeri permohonan gugatan itu akan disampaikan kepada tergugat oleh Ketua Pengadilan
melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat ( Pasal 20 ). Dalam hal perceraian karena alasan
salah satu pihak meninggalkan pihak lain seperti disebutkan di atas maka gugatan perceraian juga
diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat (Pasal 21 ayat l).
Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan perceraian. Dalam hal tergugat bertempat tinggal di
luar negeri sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan
terhitung dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepanitraan Pengadilan (Pasal 29). Pada sidang
pemeriksaan gugatan perceraian suami istri datang sendiri atau dapat mewakilkan kepada
kuasanya (Pasal 30). Hakim yang memeriksa gugatan perceraian akan berusaha mendamaikan
kedua pihak, bahkan usaha mendamaikan kedua pihak dapat dilakukan pada setiap sidang
pemeriksaan selama perkara belum diputuskan (Pasaal 31). Apabila tercapai perdamaian, maka
tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada
sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian (Pasal
32). Jika tidak dapat dicapai perdamaian maka pemeriksan gugatan perceraian dilakukan dalam
sidang tertutup (Pasal 33), sedangkan putusannya sendiri diucapkan dalam sidang terbuka (Pasal
34 ayat 1).
Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat
pendaftarannya pada kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat (Pasal 44 ayat 2). Panitra
Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan
putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat
ditempat perceraian itu terjadi dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah
daftar yang diperuntukkan untuk itu. Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut menjadi
tanggungjawab Panitra yang bersangkutan apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian
bagi bekas suami atau istri atau keduanya (Pasal 35).

Akibat Hukum dari Perceraian


a.Akibatperceraian terhadap status suami istri
Dengan terjadinya perceraian maka perkawinan menjadi bubar. Dalam masyarakat Bali
status bekas suami dan bekas istri tersebut adalah nyapian untuk menyebut janda atau duda cerai.
Status ini akan mempengaruhi kewajiban-kewajiban mereka dalam masyarakat sebagai krama
banjar atau krama desa. Dalam bentuk perkawinan biasa, bekas suami tetap melanjutkan
kedudukannya dalam keluarganyua dan masyarakat sebagai kerama banjar atau kerama desa
tetapi kewajibannya (ayah-ayah) disesuaikan dengan keadaannya (manut pawonganya), yaitu
hanya dikenai ayahan lanang (kewajiban laki-laki) saja. Akibat perceraian terhadap status suami-
istri dalam keluarga, pada umumnya pihak yang berstatus pradana (bekas istri dalam perkawinan
biasa atau bekas suami dalam perkawinan nyeburin) akan kembali ke rumah orang tuanya dan
apabila ia diterima kembali dengan baik oleh keluarganya sebagaimana ketika ia belum kawin,
maka ia akan kembali dalam status mulih deha dalam perkawinan biasa, atau mulih teruna dalam
perkawinan nyeburin (mulih = pulang, kembali; deha = gadis; teruna = pemuda). Dengan kembali
dalam status mulih deha atau mulih teruna maka swadharma (kewajiban) dan swadikara (hak) di
rumah orang tuanya akan kembali sebagaimana ketika ia belum kawin (Sudantra,2002a).

b. Akibat perceraian terhadap kedudukan anak.


Perceraian juga menimbulkan akibat hukum terhadap kedudukan anak. Menurut Hukum
Adat Bali, apabila terjadi perceraian semua anak menjadi hak dan tanggung jawab bapaknya.
Apabila ada bayi ketika perceraian itu terjadi, bayi itu dapat diasuh oleh ibunya sampai cukup
umur untuk dipisahkan dengan ibunya sedangkan segala biaya untuk pemeliharaan itu ditanggung
oleh bapaknya. Secara hukum, bayi tersebut adalah hak dan tanggungjawab keluarga bapaknya.
Hal ini sesuai dengan sistem kekeluargaan yang berlaku (kepurusa) bahwa semua anak adalah
termasuk "darah" (maksudnya: keluarga) bapaknya. Keputusan demikian antara lain dapat dilihat
dalam Keputusan Raad Kertha Tabanan tanggal 10 Oktober 1946 Nomor 30/Civ. (Panetja,1986).
Dengan demikian, akibat perceraian tersebut seorang ibu tidak mempunyai hubungan hukum lagi
dengan anak-anaknya tersebut.
Di dalam Undang-undang Perkawinan akibat hukum perceraian terhadap kedudukan anak
diatur dalam Pasal 41. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena
perceraian ialah:
(1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak - anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
(2) Bapak bertauggungjawab atas semua biaya pemeliharan dan pendidikan yang diperlukan anak
itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Ketentuan undang-undang ini berbeda dengan prinsip yang dianut dalam Hukum Adat Bali
di masa lalu seperti diuraikan di atas. Menurut undang-undang hak dan kewajiban ibu terhadap
anak masih berlangsung setelah terjadinya perceraian sedangkan menurut Hukum Adat Bali yang
patrilineal hak dan kewajiban itu putus dengan terjadinya perceraian. Apabila seorang anak ikut
bersama ibunya dalam waktu yang cukup lama maka hubungan hukum antara anak dengan
bapaknya dapat menjadi putus. Hal demikian pernah diputus oleh Raad Kertha Kelungkung
Tanggal 31 Oktober 1940 Nomor 38/Civiel (Panetja, 1986). Tentu saja hukum adat lama tersebut
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman, karena mengabaikan prinsip ”demi
kepentingan terbaik bagi anak”. Tampaknya menyadari akan hal itu, Majelis Utama Desa
Pakraman Provinsi Bali dalam Pasamuan Agung III tanggal 15 Oktober 2010 memutuskan sebagai
berikut: ”Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan
hubungan hukum anak tersebut dengan keluarga purusa, dan anak tersebut mendapat jaminan
hidup dari pihak purusa.”

c. Akibat perceraian terhadap harta benda perkawinan.


Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara jelas mengenai akibat perceraian
terhadap harta benda perkawinan. Dalam Pasal 37 hanya disebutkan bahwa "Bila perkawinan
putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing". Dalam
penjelasan terhadap pasal ini dinyatakan bahwa "yang dimaksud dengan 'hukumnya' masing-
masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya". Hal mi menunjukkan bahwa
pengaturan mengenai kedudukan harta bersama dalam hal terjadi perceraian diserahkan kepada
hukum yang berlaku bagi perkawinan tersebut. Dengan kalimat lain, diserahkan kepada hukum
yang berlaku bagi suami istri yang bersangkutan. Bagi umat Hindu di Bali, yang berlaku adalah
Hukum Adat Bali.
Berkaitan dengan pengaturan harta bersama dalam hal terjadi perceraian ini ternyata
Hukum Adat Bali mengalami perkembangan yang cukup berarti. Jika dilihat hukum adat di masa
lalu, yaitu ketika peradilan adat (Raad Kertha) masih berlangsung, pengaturan masalah ini
cendrung tidak menguntungkan istri. Pada jaman itu, hak suami istri terhadap harta bersama dalam
hal terjadi perceraian tergantung kepada sebab perceraian. Putusan Raad Kertha Denpasar tanggal
18 September 1939 Nomor 39/Civiel menyebutkan bahwa istri yang bersalah tidak dibenarkan
menuntut bagian harta bersama. Raad Kertha Klungkung dalam putusan tahun 1951 memutuskan
bahwa istri mendapat bagian sepertiga dari harta bersama karena si suami dipandang bersalah
dalam perceraian (Panetja,1986). Sikap Raad Kertha seperti ini tampaknya dilandasi oleh
ketentuan dalam Kitab Poerwa Agama, salah satu kitab hukum (zaman kerajaan) Hindu yang
dijadikan oleh hakim sebagai pedoman untuk mengadili perkara, disamping kitab-kitab lain seperti
Kitab Agama, Adigama, dan Kutaragama. Pasal 101 Kitab PoerwaAgama menegaskan sebagai
berikut(Djlantik,1918):
Djanmane belas makoerenan sapadroewenya jogja pah tiga; jan saking moeani mamelasin, polih kalih doeman, iloeh
polih adoeman. Jan saking iloeh mamelasin, tan wenang polih doeman; maka sami jogja kadroewe antoek sane
moeani, asapoenika tingkah janmane palas makoerenan. (Orang jang bertjerai maka kekajaannja dibagi tiga. Kalaoe
pertjeraian disebabkan oleh soeami, soeami mendapatkan doea bagian, istri satoe bagian. Djika pertjeraian disebabkan
istri maka ia tidak mendapat bagian, semoea kekajaan dikoeasai soeami. Demikian atoeran pertjeraian)
Seiring dengan perkembangan jaman, sikap pengadilan saat ini tampaknya mulai bergeser.
Pergeseran sikap Pengadilan belakangan ini tampak dari Putuasan Pengadilan Negeri Nomor
27/Ngr/Pdt/1969 dan Keputusan Pengadilan Tinggi Denpasar 15 Juni 1970 Nomor
339/PTD/1969/PDT. yang menyatakan bahwa dalam hal cerai hidup masing-masing bekas suami
dan istri menerima pembagian harta bersama (Suripto,1973). Hal yang sama diputuskan oleh
Pengadilan Negeri Denpasar, tanggal 16 Desember 1991 No.71/Pdt/G/1991/PN/Dps. dalam kasus
gugatan terhadap harta bersama antara Ni Nyoman W dan I Ketut S. Keputusan Pengadilan Negeri
Denpasar ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Denpasar tanggal 28 September 1992 No.
65/Pdt/1992/PT.Dps.(Wikarsih,2002). Putusan Pengadilan di atas sama sekali tidak
mempertimbangkan dalam pertimbangan hukumnya mengenai sebab-sebab perceraian ataupun
pihak yang bersalah dalam perceraian tersebut sebagai hal yang mempengaruhi hak masing-
masing terhadap harta bersama.
Uraian di atas menunjukkan bahwa sikap yurisprudensi sekarang ini terhadap hak (bekas)
suami dan (bekas) istri terhadap harta bersama dalam hal terjadi perceraian adalah seimbang, yaitu
masing-masing pihak berhak atas bagian harta bersama, tanpa mempersoalkan pihak yang bersalah
dalam perceraian tersebut. Pergeseran sikap yurisprudensi belakangan ini sesuai pula dengan
prinsip yang dianut dalam beberapa awig-awig desa pakraman, seperti misahiya dalam Awig-awig
Desa pakraman Sekardadi Kintamani, Bangli. Dalam Pawos 54 awig-awig desa pakraman yang
bersangkutan disebutkan bahwa: "Prade palas perabiane patut: (1) pagunakaya polih pahan
pada;... ", yang artinya bahwa apabila terjadi perceraian, maka suami dan istri mendapat
pembagian yang sama atas harta bersama (gunakayda). Prinsip yang sama juga dianut dalam Awig-
awig Desa pakraman Bangklet ( Bangli ) dalam Pawos 56 huruf b dan Awig-awig Desa Pakraman
Tumbak Bayuh (Badung) pada Pawos 78. Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali telah
mengadopsi perkembangan yang terjadi dalam yurisprudensi dan beberapa awig-awig desa
pakraman di atas. Melalui Pasamuan Agung III Majelis Desa Pakraman Provinsi Bali telah
memutuskan bahwa: ”akibat hukum perceraioan adalah... masing-masing pihak berhak atas
pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi
sama rata)”
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa menurut hukum yang kini berlaku, hak
istri terhadap harta bersama (gunakaya) dalam hal terjadi perceraian adalah seimbang dengan
(bekas) suaminya. Pembagian atas harta bersama adalah sama rata, yaitu masing-masing mendapat
bagian atas ½ (setengah) dari harta bersama.
Undang-undang Perkawinan juga tidak mengatur mengenai akibat perceraian terhadap
golongan harta bawaan tetapi melalui penafsiran hukum maka sesungguhnya akibat perceraian
terhadap harta bawaan cukup jelas. Dilihat dari sifat dari harta bawaan maka secara logika dapat
ditafsirkan bahwa jika kedudukan harta tersebut selama perkawinan di bawah kekuasaan masing-
masing maka demikian pula kedudukan harta tersebut apabila terjadi perceraian. Untuk melihat
akibat perceraian terhadap harta bawaan menurut Hukum Adat Bali maka dapat dilihat
pengaturannya dalam awig-awig desa pakraman serta yurisprudensi. Dalam awig-awig desa
pakraman umumnya diatur bahwa apabila terjadi perceraian, maka harta bawaan dikuasai oleh
masing-masing pihak. Awig-awig Desa Pakraman Tumbak Bayuh, Badung (1992) misalnya
menyebutkan bahwa apabila terjadi perceraian maka "pabekel, tadtadan kakuasa niri-niri,
nanging warisan kakuasa antuk pimisa" yang kurang lebih berarti bahwa pabekel tadtadan (harta
bawaan) dikuasai oleh masing-masing pihak, sedangkan warisan dikuasai oleh suami. Hal yang
sama juga diatur dalam Awig-awig Desa Pakraman Bangklet, Bangli (1996). Prinsip yang dianut
dalam awig-awig desa pakraman tersebut sesuai dengan sikap yang pernah diambil oleh lembaga
peradilan (yuriprudensi). Raad Kertha Bangli dalam keputusannya tanggal 18 Agustus 1942
Nomor 9/Sipil menyatakan bahwa seorang perempuan yang diberi tadtadan pada waktu kawinnya,
kemudian cerai dan diterima baik kembali pulang oleh orang tuanya, tadtadan-nya itu dibawanya
kembali (Panetja,1996).

Penutup
Demikianlah uraian singkat mengenai hukum perkawinan yang berlaku bagi umat Hindu
di Bali. Tentu saja uraian di atas belum lengkap, karena hanya menjelaskan asas-asasnya saja. Kita
tahu, detil hukum perkawinan yang berlaku bagi umat Hindu di Bali sangatlah kompleks dan
bervariasi sehingga tidak mungkin dapat dijelaskan dalam ruangan yang terbatas ini.
Dalam uraian di atas telah disinggung prinsip-prinsip perkawinan menurut hukum yang
berlaku bagi umat Hindu di Bali, di mana bagi mereka berlaku dua sistem hukum yang berbeda,
yaitu sistem hukum perkawinan nasional dan sistem hukum adat Bali. Kedua sistem hukum
tersebut dalam bekerjanya di masyarakat berlaku secara berdampuingan saling melengkapi atau
pun saling berinteraksi satu dengan lainnya. Dalam beberapa aspek, kedua sistem hukum tersebut
berlaku saling melengkapi, seperti dalam aspek pengesahan perkawinan, akibat perceraian
terhadap harta bersama, dan sebagainya.. Dalam beberapa hal hukum perkawinan nasional
mempunyai daya berlaku lebih kuat dibandingkan dengan hukum adat, sehingga hukum adat mesti
ditinggalkan. Contohnya adalah cara perkawinan melegandang yang dulu dikenal dan sah dalam
hukum adat, kini tidak boleh dilakukan lagi karena bertentangan dengan undang-undang. Begitu
juga perkawinan poligami harus mengikuti syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-
undang. Dalam beberapa kasus, berlaku hal yang sebaliknya di mana hukum adat lebih kuat dari
ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam pasal undang-undang. Contohnya adalah perkawinan
ngerorod yang bertentangan dengan syarat ijin orang tua bagi perkawinan mempelai yang berusia
di bawah 21 tahun, dapat disimpangi karena dalam hukum adat Bali perkawinan ngerorod
diperkenankan.
Dengan uraian yang demikian, terlihat pula dinamika yang terjadi dalam hukum
perkawinan yang berlaku bagi umat Hindu di Bali. Dalam perkembangannya tampak bahwa ada
beberapa ketentuan hukum adat telah berubah dengan sendirinya secara alami karena pergeseran
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, dan ada pula yang sengaja diubah untuk
menyesuaikannya dengan perkembangan jaman. Dalam konteks inilah tampak bekerjanya fungsi
hukum sebagai sarana untuk mengubah masyarakat kearah yang diinginkan (laws as a tool social
engeneering) disamping fungsinya yang tradisional untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat
(social control).
Beberapa tradisi umat Hindu Bali yang bernilai negatif bagi terwujudnya keluarga yang
bahagia dan sejahtera telah diubah melalui undang-undang ini. Dengan ditegaskannya asas bahwa
perkawinan harus dilakukan oleh pasangan yang sudah cukup umur, maka ada jaminan yang lebih
besar bahwa pasangan suami-istri sudah matang jiwa raganya dalam menghadapi masalah-masalah
dan tantangan dalam kehidupan berumah tangga. Dengan asas ini diharapkan tidak lagi ada
perkawinan di bawah umur yang di masa lalu sering terjadi. Demikian juga, dengan diterapkannya
asas bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan sehingga perkawinan dapat dibuktikan dengan akte
perkawinan maka akan terwujud suatu kepastian hukum mengenai status perkawinan dan status
anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Walaupun dengan pengecualian tertentu, dianutnya asas
monogami dalam Undang-undang Perkawinan juga harus diakui akan dapat mengerem perilaku
poligami yang masih digemari oleh sebagian orang Bali. Tanpa asas ini, laki-laki Bali akan dengan
mudah berpoligami tanpa merasa perlu meminta persetujuan istrinya terdahulu. Demikian pula
halnya dengan dianutnya asas ”mempersukar perceraian” oleh Undang-undang Perkawinan
menyebabkan pasangan suami istri akan berpikir secara matang untuk mengucapkan kata cerai,
sehingga lebih menjamin terwujudnya perkawinan yang bahagia dan sejahtera sampai kakek-
nenek. Demikian pula dianutnya prinsip kedudukan suami-istri yang seimbang dalam keluarga
yang menjadi asas Undang-undang Perkawinan akan berpengaruh kepada adat dan budaya
patriarkhi (kekuasaan ditangan laki-laki) dalam masyarakat Hindu di Bali. Secara normatif,
berdasarkan undang-undang ini istri tidak lagi lagi dapat dianggap sebagai "pengayah" (pelayan)
suami yang bisa diperlakukan semaunya.
Perlu pula dicatat, beberapa perubahan yang dikehendaki oleh undang-undang telah
dikuatkan pula oleh lembaga adat di Bali, yaitu oleh Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali
melalui Keputusan Pasamuan Agung III yang dislenggarakan di Gedung Wiswa Sabha Kantor
Gobernur Provinsi Bali tanggal 15 Oktober 2010. Berkaitan dengan bidang hukum perkawinan,
berapa perubahan penting yang berhasil dirumuskan dalam pesamuhan agung (kongres) tersebut,
antara lain: tidak dilakukannya lagi upacara patiwangi dalam pelaksanaan perkawinan yang selama
ini lazim dilakukan dalam perkawinan beda wangsa dengan wangsa pihak perempuan lebih tinggi
(nyerod). Disamping itu, pelaksanan perceraian serta akibat perceraian terhadap kedudukan
suami-istri, kedudukan harta perkawinan, dan kedudukan anak mendapat perhatian penting pula
dalam butir-butir keputusan Pasamuan agung tersebut.

Daftar Bacaan
Astiti,Tjok Istri Putra 1981 .Perkawinan Mem/rut Hukum Adat dan Agama Hindu di Bali.Khusus
Untuk Intern. Denpasar: Biro Dokumentas & Publikasi Fakultas Hukum & Pengetahuan
Masyarakat Universitas Udayana.
Dirksen,Anak Agung Ngurah Gede. 1983. Eksistensi Hukum Perkawinan Bagi Umat Hindu di Bali.
Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Djlantik, I Goesti Poetoe.1918. WetboekPoerwaAgama. Batavia: Landerukkerik. Kaler, I Gusti Ketut.
Tanpa tahun. Cudamani Pawiwahan/Perkaw'man dalam Masyarakat Hindu di Bali.Tanpa nama
dan alamat penerbit.
Korn,VE. 1978. Hukum Adat Kekeluargaan di Bali, terjemahan dan catatan-catatan I Gde Wajan
Pangkat. DenpasarBiro Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat
Universitas Udayana.
Panetja, I Gde. 1986. Aneka Catalan tentang Hukum Adat Bali, Denpasar: CV Kayumas.
Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali, Keputusan Pasamuan Agung III Majelis Utama Desa
Pakraman Provinsi Bali Nomor 003/Kep/PSM-A3/MUDP/Bali/X/2010 tentang Hasil-hasil
Pasamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali
Ngurah Adi, Ida Bagus. 1972. "Perkawinan Nyeburin Menurut Hukum Adat Bali
".Denpasar, Berita Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Nomor 3 dan 4 Tahun ke II.
Parisada Hindhu Dharma Indonesia Kabupaten Bad\ing.\986.Keputman Pemuhan Sulinggih dan Walaka
se Kabupaten Badung.
Panetja, I Gde. 1986. Aneka Catalan tentang Hukum Adat Bali. DenpasarCV Kayumas.
Pudja, I Gede. 1975. Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu (Didasarkan
ManusmritiJ.Jakaita: Mayasari.
Pudja,G. dan Tjok Rai Sudhartal978. Manowa Dharmagastra (Manu Dharmagastra) atau Weda Smrti
Compendium Hukum Hindu. CV Junasco.
Raka Dherana, Tjokordal984. "Efektifitas Undang - undang Perkawinan (Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974) dalam Pelaksanaan Perkawinan Di Bali". Laporan Penelitian. Denpasar: Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
Republik Indonesia. 1974. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ( LNRI Tahun
1974 Nomor 1)
Republik Indonesia. 1975. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (LNRI Tahun 1975 Nomor 12)
Soesilo,R.1990. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komntar-komentrarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea
Sudantra, I Ketut. 2002a. "AMbat HukumPerkawinan Nyentana di Bidang Hukum Keluarga dan Waris".
Makalah dalam Temu Wicara Mengenai Kepedulian Pelestariuan Warisan Budaya Bali yang
diselenggarakan oleh Panitia Persiapan Pembentukan Lembaga Pelestarian BudayaBali (Bali
Heritage Trust) di Gedung Mario Tabanan, 14 Maret 2002.
Sudantra, 2002b, "Hukum Perkawinan Bagi Umat Hindu di Bali, Bahan Penyuluhan, Pusat Studi Hukum
Adat Universitas Udayana, Denpasar
Suripto, KRMH.1973. Beberapa Bab tentang Hukum Adat Waris Bali. Jember Fakultas Hukum
Universitas Negeri Jember (UNEJ)
Suyatna, I Nyoman.l997."Kajian Yuridis Terhadap Sahnya Perkawinan Wangsa di Kabupaten Daerah
Tingkat II Tabanan ".Tesis. Surabaya:Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga.
Tim Peneliti FH Unud. 198 !.//«&//« Adat 5a//'.Laporan Penelitian. Kerjasama FH Unud. - BPHN
Departemen Kehakiman.
Wikarsih, Ni Wayan. 2002. "Kedudukan Perempuan Bali Terhadap Harta Benda Perkawinan
dalam Hal Terjadi Perceraian. Skripsi. Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Dwijendra.
Windia, Wayan P, dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan
Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Windia, Wayan P, dkk., 2009. Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Udayana University Press,
Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai