Pendahuluan
Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan), berbagai peraturan pelaksanaannya mulai
dibuat. Selain Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang merupakan peraturan terpenting
dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, beberapa peraturan penting lainnya telah
dikeluarkan untuk melengkapi Undang-undang Perkawinan ini, antara lain Keputusan Menteri
Dalam Negeri Tanggal 1 Oktober 1975 No.22a Tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan
Perceraian pada Kantor Catatan Sipil Sehubungan dengan Berlakunya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974; Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983 tangal 25 Februari 1983 tentang Penataan
dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil; Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 tanggal 21 April 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri
Sipil; dan lain-lain.
Keseluruhan peraturan-peraturan di bidang Perkawinan tersebut dapat dipandang sebagai
Hukum Perkawinan Nasional yang berlaku untuk seluruh wilayah dan warga negara Indonesia.
Dengan demikian asas-asas dan materi undang-undang tersebut secara otomatis berlaku bagi umat
Hindu di Indonesia, tidak terkecuali bagi umat Hindu di Bali. Tetapi perlu pula dicatat bahwa
Undang-undang Perkawinan ternyata adalah suatu unifikasi hukum yang unik karena masih
menghargai dan mengormati keanekaragaman kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia.
Melalui Pasal 2 ayat (1), pelaksanaan perkawinan khususnya yang berkaitan dengan sahnya
perkawinan diserahkan pengaturannya menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya. Dengan demikian keanekaragaman agama yang dianut masyarakat Indonesia
akan mewarnai pelaksanaan Undang-undang Perkawinan. Pada banyak daerah, khususnya bagi
Umat Hindu di Bali, pelaksanaan perkawinan juga akan diwarnai oleh berlakunya hukum adat, di
samping karena antara adat dan agama sulit dipisahkan, hukum perkawinan juga sangat
dipengaruhi oleh hukum keluarga yang masih dikuasai oleh hukum adat. Sistem kekeluargaan
purusa (patrilineal) yang dianut dalam hukum adat keluarga di Bali (dresta Bali) sangat penting
pengaruhnya terhadap hukum perkawinan bagi umat Hindu di Bali. Pengaruh tersebut sangat jelas
tampak terhadap bentuk-bentuk perkawinan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap status
suami istri dan anak-anak dalam keluarga.
Bentuk Perkawinan
Dalam masyarakat adat di Bali, status hukum suami-istri serta anak-anak dalam keluarga
sangat ditentukan oleh bentuk perkawinanmya. Apakah suami-istri itu dan anak-anaknya
berkedudukan hukum di keluarga pihak suami ataukah di keluarga pihak istri sangat dipengaruhi
oleh bentuk perkawinan yang dipilih. Undang-undang Perkawinan tidak mengatur mengenai
bentuk-bentuk perkawinan ini, namun demikian persoalan mengenai bentuk-bentuk perkawinan
ini samasekali tidak dapat diabaikan dalam keseluruhan sistem perkawinan yang berlaku bagi umat
Hindu di Bali. Status atau kedudukan hukum seseorang di dalam keluarga sangat penting artinya
dalam hukum adat Bali karena akan mempengaruhi hak (swadikara) dan kewajiban (swadharma)
orang tersebut dalam keluarga dan masyarakat (banjar/desa pakraman). Swadharma dan
swadikara dalam keluarga misalnya menyangkut tanggungjawab pemeliharaan terhadap anak atau
pemeliharaan terhadap orang tua di masa tuanya, hak dan kewajiban terhadap harta warisan,
tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan kelangsungan serta pemujaan terhadap tempat
persembahyangan keluarga (sanggah/merajan) di mana roh leluhur disemayamkan, dan lain-
lain. Sedangkan tanggungjawab kemasyarakatan menyangkut tanggungjawab sebagai anggota
kesatuan masyarakat hukum adat (banjar/desa pakraman, subak, dadia), baik dalam bentuk
ayahan (kewajiban kerja), pawedalan/papeson (urunan berupa uang atau barang), dan lain-lain.
Pada masa lalu, dalam masyarakat adat di Bali dikenal beberapa bentuk perkawinan.
Sebagian dari bentuk-bentuk perkawinan tersebut sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat karena
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Bentuk perkawinan yang dulu ada tetapi
kini sudah ditinggalkan adalah bentuk perkawinan matunggu atau nunggonin dan bentuk
perkawinan paselang (Windia,dkk, 2009). Berikut ini akan dijelaskan bentuk-bentuk perkawinan
yang masih lazim dilakukan dalam masyarakat umat Hindu di Bali serta bentuk perkawinan baru
yang tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat.
a. Perkawinan biasa
Masyarakat adat Bali yang beragama Hindu menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau
kebapaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah kapurusa atau purusa
(Panetja,1986.Korn,1978),. Sesuai dengan prinsip-prinsip umum dalam sistem kekeluargaan
patrilineal, paling tidak ada tiga prinsip dasar yang dianut dalam sistem kekeluargaan purusa
(Windia dan Sudantra, 2006). Pertama, keturunan dilacak dari garis laki-laki (bapak). Secara
hukum hanya individu-individu yang berasal dari satu bapak asal (wit, menjadi kawitan) yang
diperhitungkan sebagai keluarga baik dalam keluarga batih (terdiri dari bapak, ibu, dan anak)
maupun keluarga luas yang terhimpun dalam dadia. Orang-orang yang termasuk dalam garis inilah
yang termasuk keluarga garis purusa, yang lazim disebut keluarga saking purusa. Sedangkan
orang-orang dari pihak keluarga ibu yang lazim disebut keluarga saking pradana sama sekali tidak
diperhitungkan sebagai keluarga. Itu sebabnya nilai atau derajat hubungan seseorang dengan sanak
saudara dari garis purusa jauh lebih penting dibandingkan dengan hubungannya dengan sanak
saudara dari pihak ibu (saking pradana).
Prinsip kedua yang penting dalam sistem kekeluargaan purusa adalah bahwa dalam
perkawinan, mempelai perempuan dilepaskan dari hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya
(orang tua dan saudara kandungnya) untuk selanjutnya masuk secara total dalam keluarga
suaminya. Dengan demikian, seorang anak perempuan yang sudah kawin tidak lagi diperhitungkan
hak dan kewajibannya dalam keluarga asalnya, melainkan diperhitungkan dalam keluarga
suaminya.
Prinsip ketiga adalah bahwa anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut mendapatkan
sanak saudara atau kerabat (keluarga luas) dari pihak bapak, sedangkan dengan sanak saudara dari
pihak ibu (saking pradana) anak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum.
Sesuai dengan sestem kekeluargaan kapurusa (patrilineal) ini, maka bentuk perkawinan
yang paling umum dilakukan adalah bentuk perkawinan di mana istri mengikuti suami. Inilah yang
lazim disebut perkawinan biasa. Dalam perkawinan biasa, suami berstatus sebagai purusa,
sedangkan istri sebagai pradana. Dalam bentuk perkawinan ini, istri dilepaskan hubungan
hukumnya dengan keluarga asalnya (orang tua kandungnya) selanjutnya masuk ke dalam
lingkungan keluarga suaminya. Dengan demikian, hubungan hukum kekeluargaan antara istri
dengan keluarga asalnya tidak ada lagi, selanjutnya ia menunaikan hak (swadikara) dan
kewajibannya (swadharma) dalam keluarga suami. Anak-anak yang lahir dari perkawinan ini
hanya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan keluarga pihak bapak (saking purusa)
sedangkan dengan keluarga pihak ibu (saking pradana) hanya berapa hubungan sosial dan moral
saja. Dengan demikian, anak yang lahir dari perkawinan ini secara hukum hanya menunaikan
kewajiban (swadharma) dan mendapatkan haknya (swadikara) dari keluarga bapaknya., termasuk
hak dan kewajiban dalam pewarisan.
b. Perkawinan nyeburin
Di luar bentuk perkawinan yang umum tersebut, dibeberapa daerah di Bali, terutama
Tabanan, Badung, Gianyar, dan Bangli sudah lazim pula ditemui bentuk perkawinan yang
sekarang lazim disebut nyeburin. Dibeberapa tempat bentuk perkawinan ini lebih dikenal dengan
sebutan nyentana atau nyaluk sentana (Korn,1978). Dalam bentuk perkawinan ini justru suamilah
yang mengikuti istri. Secara sepintas, bentuk perkawinan ini tampak menyimpang dari sistem
kepurusa yang menekankan bahwa keturunan dilanjutkan oleh keturunan laki-laki (purusa). Tetapi
bila diamati secara seksama, perkawinan nyeburin ternyata tetap konsisten dengan sistem
kekeluargaan kepurusa sebab dalam perkawinan ini status istri adalah purusa karena telah
ditetapkan sebagai sentana rajeg dalam keluarganya.
Sentana rajeg (sentana = keturunan, ahli waris; rajeg= kukuh, tegak; karajegang=
dikukuhkan, ditegakkan) adalah anak perempuan yang kerajegang sentana yaitu dikukuhkan
statusnya menjadi penerus keturunan atau purusa. Dalam Kitab Manawa Dharmacastra (IX:127),
sentana rajeg disebut dengan istilah putrika yang kedudukannya sama dengan anak laki-laki, yaitu
sebagai pelanjut keturunan dan ahli waris terhadap harta orang tuanya (Sudantra,2002a).
Dalam bentuk perkawinan ini, suami yang berstatus sebagai pradana dilepaskan hubungan
hukumnya dengan keluarga asalnya selanjutnya masuk dalam keluarga kepurusa istrinya. Dengan
demikian keturunan dalam keluarga kepurusa itu tetap dilanjutkan oleh anak yang berstatus
purusa. Anak yang lahir dari perkawinan ini berkedudukan hukum dalam keluarga ibunya,
sehingga menunaikan kewajiban (swadharma) dan mendapatkan haknya (swadikara) dalam
keluarga ibu.
Ciri yang menunjukkan bahwa bentuk perkawinan tersebut adalah nyeburin bukanlah
semata-mata karena suami (umumnya) tinggal di rumah keluarga istri, melainkan lebih dapat
dilihat dari fakta bahwa upacara pengesahan perkawinan (pasakapari) dilaksanakan di rumah
keluarga mempelai perempuan dan keluarga mempelai perempuanlah yang mengantarkan sajen-
sajen pemelepehan (jauman) ke rumah keluarga mempelai laki-laki sebagai sarana untuk
melepaskan hubungan hukum mempelai laki-laki terhadap keluarga asalnya (Panetja,1986).
Beberapa orang menganggap bahwa bentuk perkawinan nyeburin ini sebagai penghargaan
terhadap perempuan Bali karena dengan diangkat statusnya sebagai sentana rajeg, perempuan
yang kawin kaceburin sekaligus menjadi ahli waris dari harta orang tuanya. Dikaitkan dengan
pewarisan, barangkali pandangan tersebut ada benarnya karena anak perempuan yang semula
bukan sebagai ahli waris dapat menjadi ahli waris terhadap harta orang tuanya. Tetapi dalam kasus
tertentu, sesungguhnya pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar, terutama jika dikaitkan
dengan kebebasan anak perempuan dalam memilih jodoh. Akibat dari tangungjawabnya yang akan
ditetapkan sebagai sentana rajeg yang harus ”tinggal di rumah” ia harus berhati-hati jatuh cinta
pada laki-laki, karena ia mesti menyelidiki dan memastikan terlebih dahulu bahwa laki-laki yang
mendekatinya mau nyentana. Di jaman di mana banyak keluarga melaksanakan keluarga
berencana dengan semboyan ”dua anak cukup, laki-perempuan sama saja”, tentu saja cukup sulit
menemukan laki-laki yang besedia nyentana. Dengan demikian, perempuan itu bisa ”terpenjara”
dengan statusnya sebagai sentana rajeg.
Larangan Perkawinan
a. Karena berhubungan darah dekat
Disamping syarat-syarat di atas, undang-undang juga menetapkan larangan-larangan
perkawinan. Pasal 8 menyebutkan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menanru dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang
suami berisrri lebih dari seorang;
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Dalam Pasal 8 tersebut, pada prinsipnya diatur larangan perkawinan karena mempunyai
hubungan darah atau hubungan kekeluargaan yang dekat dan karena mempunyai hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Larangan-larangan perkawinan
karena hubungan keluarga sangat dekat, dalam masyarakat Bali disebut gamia-gamana.
Keputusan Pesamuhan Desa pakraman seluruh Kabupaten Badung di Kesiman (12 - 15 Juli 1974)
menyebut gamia-gamana ini dengan istilah agamiagamana yang berarti perkawinan yang dilarang
karena tidak menurut ajaran-ajaran agama. Menurut hasil pesamuhan tersebut, rincian
agamiagamana tersebut adalah meliputi: kawin dengan bapak atau ibu, kawin dengan saudara
kandung atau saudara tiri, kawin dengan anak kandung atau anak tiri, kawin dengan menantu atau
mertua, kawin dengan besan, kawin dengan cucu karena hubungan menantu (Parisadha Hindu
Dharma Kabupaten Badung,1986). Menurut Kaler (tanpa tahun), di luar gamia gamana seperti
disebutkan di atas, dalam masyarakat Bali masih terdapat perkawinan yang dihindari yang juga
disebut gamia tetapi tidak dilarang secara mutlak, yang pada masing-masing daerah bervariasi,
seperti perkawinan antara seorang pria dengan perempuan yang berkedudukan sebagai nenek atau
bibi tingkat sepupu sekali atau dua kali (nenek ata bibi dimisan/dimindon). Penelitian yang
dilakukan oleh Fakultas Hukum Unud (1981) juga menemukan perkawinan yang dihindari seperti
perkawinan saling ambil (mekedeng ngad), dan lain-lain. Perkawinan seperti ini tidak dilarang,
tetapi dihindari karena dianggap amanasi awaknia priawak (menimbulkan penderitan bagi diri
sendiri) sedangkan gamia-gamana multak dilarang karena dianggap amanasi rat, yaitu
menimbulkan ketidakharmonisan dalam masyarakat (Kaler,tanpa tahun). Pada masa lalu, sanksi
terhadap gamia-gamana adalah hukuman selong (mekutang, hukuman buang) seperti pernah
diputuskan oleh RaadKertha Singaraja dalam Putusan Nomor 18/Kriminil/1949 tanggal 2 Juli
1949, yang menghukum selong selama dua tahun ayah dan anak pelaku gamia gamana
(Astiti,1981).
Di samping karena berhubungan darah/keluarga dekat, Pasal 8 juga menyebutkan larangan
perkawinan antara orang-orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya dilarang kawin.
Ketentuan ini dapat ditafsirkan bahwa berkaitan dengan larangan perkawinan ini harus
diperhatikan pula syarat yang ditentukan oleh agama yang bersangkutan. Menurut agama Hindu
yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bali, perkawinan yang dapat disahkan secara Hindu adalah
perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua calon mempelai yang sama-sama memeluk agama
yang sama, yaitu Hindu. Apabila salah satu atau kedua-duanya belum beragama Hindu, maka
terlebih dahulu calon mempelai harus di sudhi-kan (sudhi wadani), suatu upacara keagamaan
untuk meresmikan seseorang memeluk agama Hindu (Pudja,1975).
c. Larangan poligami
Disamping larangan seperti disebutkan dalam Pasal 8 dan Pasal 10 di atas, undang-undang
juga melarang poligami dan poliandri. Poligami artinya seorang suami beristri lebih dan seorang,
sedangkan poliandri adalah apabila seorang perempuan bersuami lebih dari seorang. Pasal 9
Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa "sesorang yang masih terikat tali perkawinan
dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-undang ini". Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 yang dimaksud adalah mengenai pengecualian
dari asas poligami. Ketentuan di atas dapat dipandang sebagai larangan poligami atau poliandri,
yang dalam masyarakat Bali lazim disebut memadu. Pasal 9 merupakan penjabaran dari asas
monogami yang dianut dalam Pasal 3 Undang-undang Perkawinan, yang selengkapnya
menyebutkan bahwa "pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri, seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami".
Sebelum berlakunya Undang-undang Perkawinan, dalam masyarakat Bali tidak ditemukan
larangan untuk beristri lebih dari seorang (poligami), bahkan batasan mengenai jumlah istri yang
dapat dimiliki oleh seorang suami juga tidak ada ketentuan yang jelas (Kaler,tanpa tahun). Tetapi
mengenai poliandri, walaupun tidak ditemuan peraturan yang melarang, secara sosiologis tidak
dapat diterima oleh masyarakat apabila seorang istri mempunyai lebih dari seorang suami. Setelah
berlakunya Undang-undang Perkawinan, poligami dan poliandri tidak diperbolehkan. Poliandri
dilarang secara mutlak, sedangkan poligami dilarang dengan pengecualian, yaitu dapat dilakukan
apabila ada ijin dari Pengadilan. Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa
"Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan".
Syarat yang diperlukan agar seorang suami dapat beristri lebih dari seorang cukup berat.
Pertama, ia harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya (Pasal
4 ayat 1). Kedua, untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan harus dipenuhi syarat-
syarat, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 5 ayat (1), yaitu:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istrinya;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-
anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Bahkan, menurut Pasal 4 ayat (2), Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat diseribuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
a. Pencegahan Perkawinan
Pasal 13 Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa "Perkawinan dapat dicegah
apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan".
Pencegahan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana
perkawinan tersebut akan dilangsungkan dengan memberitahukan hal itu kepada para calon
mempelai (Pasal 17). Pihak yang berhak mengajukan pencegahan perkawinan sudah diatur pula
secara tegas, yaitu keluarga dalam haris lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali,
pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan seperti
pegawai pencatat perkawinan, pihak-pihak (suami atau istri) yang masih terikat perkawinan
dengan salah satu calon mempelai (Pasal 14). Apabila ada salah satu pihak seperti yang disebutkan
itu mengajukan upaya pencegahan perkawinan sesuai prosedur yang ditentukan maka perkawinan
tidak dapat dilangsungkan selama pencegahan tersebut belum dicabut (Pasal 19). Pencabutan
pencegahan perkawinan dapat dilakukan dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada
Pengadilan oleh pihak yang mencegah.
b. Pembatalan Perkawinan
Dalam hal perkawinan tersebut sudah dilangsungkan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya sehingga perkawinan tersebut sudah dipandang sah tetapi ternyata diketahui
bahwa perkawinan itu tidak memenuhi syarat, maka perkawinan tersebut masih dapat dibatalkan
dengan upaya pembatalan perkawinan berdasarkan pada Pasal 22 Undang-undang Perkawinan.
Permohonan pembatalan perkawinan juga diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di
mana perkawinan tersebut dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami istri, dengan tatacara
sesuai dengan gugatan perceraian. Para phak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan juga telah ditentukan secara tegas oleh undang-undang, yaitu keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; suami atau istri; pejabat yang berwenang; pejabat
yang ditunjuk yaitu pejabat yang berwenang untuk melakukan pencegahan; setiap orang yang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya
setelah perkawinan itu putus (Pasal 23). Orang yang karena perkawinan masih terikat dengan salah
satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, juga dapat mengajukan
pembatalan perkawinan yang baru (Pasal 24). Menurut Pasal 27, seorang suami atau istri dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila : perkawinan dilangsungkan di bawah
ancaman yang melanggar hukum; terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. Apabila
ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka
waktu enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan
haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan setelah Pengadilan
memeriksa dengan teliti permohonan pembatalan tersebut. Batalnya suatu perkawinan dimulai
setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan. Keputusan tidak berlaku surut terhadap: anak-anak yang dilahirkan
dari perkawinan tersebut; suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
orang-orang ketiga lairmya sepanjang niereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum
keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Apabila para pihak yang diberi hak oleh undang-undang untuk mengajukan pembatalan
perkawinan tidak menggunakan haknya itu maka perkawinan tersebut tetap berlangsung. Dengan
kalimat lain, perkawinan yang dilakukan dengan mengabaikan syarat-syarat dan larangan
perkawinan seperti diuraikan di atas akan tetap sah apabila telah dilakukan menurut hukum agama
dan kepercayaannya itu, kecuali ada keputusan pembatalan dari Pengadilan.
b. Pencatatan Perkawinan
Walaupun secara hukum perkawinan telah sah dengan dilakukannya upacara byakala atau
byakaon, undang-undang juga menetapkan bahwa perkawinan harus dicatatkan pada Kantor
Catalan Sipil untuk memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan. Fungsi
pencatatan perkawinan ini adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan sesorang, misalnya kelahiran atau kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan, suatu akte resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan.
Pada awal pelaksanaan Undang-undang Perkawinan di Bali ditunjuk Camat sebagai
pencatat perkawinan bagi umat Hindu (Keputusan Gubernur Kepala Daerali Tingkat I Bali Nomor
61/Kesra.II/ C/504/75, tanggal 29 September 1975), kemudian sejak tahun 1988 pencatatan
perkawinan bagi umat Hindu di Bali dilakukan pada Kantor Catalan Sipil (Keputusan Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Ball Nomor 242 Tahun 1988 tanggal 9 Juni 1988). Menurut Pasal 10 jo
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, perkawinan dan pencatatan perkawinan harus
dilakukan dihadapan Pegawai Pencatat pada Kantor Catalan Sipil dan dihadiri oleh dua orang
saksi. Ketentuan demikian sulit dapat dilaksanakan pada masyarakat Hindu di Bali karena tempat
upacara pengesahan perkawinan harus dilaksanakan di rumah keluarga mempelai yang berstatus
sebagai purusa (umumnya mempelai pria). Penetapan waktu upacara perkawinan bagi umat Hindu
di Bali sangat ditentukan oleh ala ayuning dewasa (baik buruknya hari) sehingga Pegawai Pencatat
Perkawinan yang ada di Kantor Catalan Sipil yang dari segi kuantitas tidak banyak jumlahnya
akan kesulilan menghadiri upacara perkawinan yang mungkin sangat banyak terjadi pada hari
tertentu yang dianggap dewasa ayu (hari baik) dan pada tempat yang tersebar pula. Menyadari
kesulilan-kesulitan itu maka berdasarkan Kepulusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bah
Nomor 233 Tahun 1990 tertanggal 26 Mei 1990 ditunjuk Bendesa pakraman /Kelian Adat sebagai
Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan bagi Umat Hindu dan menunjuk Kepala Urusan
Pemerintahan Kecamatan sebagai kordinalor. Penunjukan prajuru adat, dalam hal ini Bendesa
pakraman/Klian Adat sebagai Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan dapat dipandang sebagai
langkah yang sangat tepat. Pertama, dalam setiap pelaksanaan pengesahan perkawinan, sejak dulu
prajuru adat selalu hadir untuk menyaksikan upacara tersebut. Kedua, sejak dulu pula prajuru
adat selalu mencatat perkawinan yang dilakukan oleh warganya dalam rangka menetapkan
seseorang warga ngawitin ngeranjing makrama (mulainya seseorang secara resmi menjadi
anggota desa pakraman yang disebut kerama desa) atau ngawitin tedun ngayah (mulainya
seseorang menunaikan kewajiban kepada desa).
Putusnya Perkawinan
a. Putus karena kematian salah satu pihak
Perkawinan dapat putus baik karena kematian salah satu pihak atau karena perceraian.
Perceraian dalam masyarakat Bali, khususnya dalam awig-awig desa pakraman lazim disebut
nyapian atau palas perabian, yang sehari-hari sering disebut palas saja. Dalam hal yang meninggal
adalah istri, tidak ada masalah bagi kedudukan suami dalam keluarga karena ia berstatus purusa
dalam keluarga tersebut dan bebas untuk kawin lagi. Tetapi apabila yang meninggal adalah suami,
maka istri tetap berkedudukan hukum dan tetap tinggal dalam lingkungan keluarga suami dengan
status sebagai balu (janda) dan harus melaksanakan swadharmaning balu (etika dan kewajiban
sebagai janda). Di dalam awig-awig desa pakraman umumnya disebutkan kewajiban-kewajiban
janda (swadharmaning balu), seperti misalnya disebutkan seperti di bawah. ini:
a. ngamanggehang patibrata, tan kengin ngamargiang paradara / dratikrama.
b. Nguwasayang waris pagunakayan, tan kengin ngadol, ngadeang, makidihang, sajawaning polih
kabebasan saking pianak utawi pakulawargan ipun,
c. kawenangang malih mawiwaha, prade sampun polih paigum saking pianak deha/teruna utawi
kulawarga kapurusan, tur prasida ngupajiwa sentana.
Dari ketentuan awig-awig di atas, dapat diketahui bahwa seorang janda bukanlah ahli waris
dari almarhum suaminya, walaupun ia tetap berhak untuk menguasai harta peninggalan suaminya
dengan hak-hak yang terbatas: tidak boleh menjual, tidak boleh menggadaikan, atau
menghibahkan, kecuali mendapat persetujuan dari anak atau keluarga terdekat.
Penutup
Demikianlah uraian singkat mengenai hukum perkawinan yang berlaku bagi umat Hindu
di Bali. Tentu saja uraian di atas belum lengkap, karena hanya menjelaskan asas-asasnya saja. Kita
tahu, detil hukum perkawinan yang berlaku bagi umat Hindu di Bali sangatlah kompleks dan
bervariasi sehingga tidak mungkin dapat dijelaskan dalam ruangan yang terbatas ini.
Dalam uraian di atas telah disinggung prinsip-prinsip perkawinan menurut hukum yang
berlaku bagi umat Hindu di Bali, di mana bagi mereka berlaku dua sistem hukum yang berbeda,
yaitu sistem hukum perkawinan nasional dan sistem hukum adat Bali. Kedua sistem hukum
tersebut dalam bekerjanya di masyarakat berlaku secara berdampuingan saling melengkapi atau
pun saling berinteraksi satu dengan lainnya. Dalam beberapa aspek, kedua sistem hukum tersebut
berlaku saling melengkapi, seperti dalam aspek pengesahan perkawinan, akibat perceraian
terhadap harta bersama, dan sebagainya.. Dalam beberapa hal hukum perkawinan nasional
mempunyai daya berlaku lebih kuat dibandingkan dengan hukum adat, sehingga hukum adat mesti
ditinggalkan. Contohnya adalah cara perkawinan melegandang yang dulu dikenal dan sah dalam
hukum adat, kini tidak boleh dilakukan lagi karena bertentangan dengan undang-undang. Begitu
juga perkawinan poligami harus mengikuti syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-
undang. Dalam beberapa kasus, berlaku hal yang sebaliknya di mana hukum adat lebih kuat dari
ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam pasal undang-undang. Contohnya adalah perkawinan
ngerorod yang bertentangan dengan syarat ijin orang tua bagi perkawinan mempelai yang berusia
di bawah 21 tahun, dapat disimpangi karena dalam hukum adat Bali perkawinan ngerorod
diperkenankan.
Dengan uraian yang demikian, terlihat pula dinamika yang terjadi dalam hukum
perkawinan yang berlaku bagi umat Hindu di Bali. Dalam perkembangannya tampak bahwa ada
beberapa ketentuan hukum adat telah berubah dengan sendirinya secara alami karena pergeseran
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, dan ada pula yang sengaja diubah untuk
menyesuaikannya dengan perkembangan jaman. Dalam konteks inilah tampak bekerjanya fungsi
hukum sebagai sarana untuk mengubah masyarakat kearah yang diinginkan (laws as a tool social
engeneering) disamping fungsinya yang tradisional untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat
(social control).
Beberapa tradisi umat Hindu Bali yang bernilai negatif bagi terwujudnya keluarga yang
bahagia dan sejahtera telah diubah melalui undang-undang ini. Dengan ditegaskannya asas bahwa
perkawinan harus dilakukan oleh pasangan yang sudah cukup umur, maka ada jaminan yang lebih
besar bahwa pasangan suami-istri sudah matang jiwa raganya dalam menghadapi masalah-masalah
dan tantangan dalam kehidupan berumah tangga. Dengan asas ini diharapkan tidak lagi ada
perkawinan di bawah umur yang di masa lalu sering terjadi. Demikian juga, dengan diterapkannya
asas bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan sehingga perkawinan dapat dibuktikan dengan akte
perkawinan maka akan terwujud suatu kepastian hukum mengenai status perkawinan dan status
anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Walaupun dengan pengecualian tertentu, dianutnya asas
monogami dalam Undang-undang Perkawinan juga harus diakui akan dapat mengerem perilaku
poligami yang masih digemari oleh sebagian orang Bali. Tanpa asas ini, laki-laki Bali akan dengan
mudah berpoligami tanpa merasa perlu meminta persetujuan istrinya terdahulu. Demikian pula
halnya dengan dianutnya asas ”mempersukar perceraian” oleh Undang-undang Perkawinan
menyebabkan pasangan suami istri akan berpikir secara matang untuk mengucapkan kata cerai,
sehingga lebih menjamin terwujudnya perkawinan yang bahagia dan sejahtera sampai kakek-
nenek. Demikian pula dianutnya prinsip kedudukan suami-istri yang seimbang dalam keluarga
yang menjadi asas Undang-undang Perkawinan akan berpengaruh kepada adat dan budaya
patriarkhi (kekuasaan ditangan laki-laki) dalam masyarakat Hindu di Bali. Secara normatif,
berdasarkan undang-undang ini istri tidak lagi lagi dapat dianggap sebagai "pengayah" (pelayan)
suami yang bisa diperlakukan semaunya.
Perlu pula dicatat, beberapa perubahan yang dikehendaki oleh undang-undang telah
dikuatkan pula oleh lembaga adat di Bali, yaitu oleh Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali
melalui Keputusan Pasamuan Agung III yang dislenggarakan di Gedung Wiswa Sabha Kantor
Gobernur Provinsi Bali tanggal 15 Oktober 2010. Berkaitan dengan bidang hukum perkawinan,
berapa perubahan penting yang berhasil dirumuskan dalam pesamuhan agung (kongres) tersebut,
antara lain: tidak dilakukannya lagi upacara patiwangi dalam pelaksanaan perkawinan yang selama
ini lazim dilakukan dalam perkawinan beda wangsa dengan wangsa pihak perempuan lebih tinggi
(nyerod). Disamping itu, pelaksanan perceraian serta akibat perceraian terhadap kedudukan
suami-istri, kedudukan harta perkawinan, dan kedudukan anak mendapat perhatian penting pula
dalam butir-butir keputusan Pasamuan agung tersebut.
Daftar Bacaan
Astiti,Tjok Istri Putra 1981 .Perkawinan Mem/rut Hukum Adat dan Agama Hindu di Bali.Khusus
Untuk Intern. Denpasar: Biro Dokumentas & Publikasi Fakultas Hukum & Pengetahuan
Masyarakat Universitas Udayana.
Dirksen,Anak Agung Ngurah Gede. 1983. Eksistensi Hukum Perkawinan Bagi Umat Hindu di Bali.
Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Djlantik, I Goesti Poetoe.1918. WetboekPoerwaAgama. Batavia: Landerukkerik. Kaler, I Gusti Ketut.
Tanpa tahun. Cudamani Pawiwahan/Perkaw'man dalam Masyarakat Hindu di Bali.Tanpa nama
dan alamat penerbit.
Korn,VE. 1978. Hukum Adat Kekeluargaan di Bali, terjemahan dan catatan-catatan I Gde Wajan
Pangkat. DenpasarBiro Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat
Universitas Udayana.
Panetja, I Gde. 1986. Aneka Catalan tentang Hukum Adat Bali, Denpasar: CV Kayumas.
Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali, Keputusan Pasamuan Agung III Majelis Utama Desa
Pakraman Provinsi Bali Nomor 003/Kep/PSM-A3/MUDP/Bali/X/2010 tentang Hasil-hasil
Pasamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali
Ngurah Adi, Ida Bagus. 1972. "Perkawinan Nyeburin Menurut Hukum Adat Bali
".Denpasar, Berita Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Nomor 3 dan 4 Tahun ke II.
Parisada Hindhu Dharma Indonesia Kabupaten Bad\ing.\986.Keputman Pemuhan Sulinggih dan Walaka
se Kabupaten Badung.
Panetja, I Gde. 1986. Aneka Catalan tentang Hukum Adat Bali. DenpasarCV Kayumas.
Pudja, I Gede. 1975. Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu (Didasarkan
ManusmritiJ.Jakaita: Mayasari.
Pudja,G. dan Tjok Rai Sudhartal978. Manowa Dharmagastra (Manu Dharmagastra) atau Weda Smrti
Compendium Hukum Hindu. CV Junasco.
Raka Dherana, Tjokordal984. "Efektifitas Undang - undang Perkawinan (Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974) dalam Pelaksanaan Perkawinan Di Bali". Laporan Penelitian. Denpasar: Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
Republik Indonesia. 1974. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ( LNRI Tahun
1974 Nomor 1)
Republik Indonesia. 1975. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (LNRI Tahun 1975 Nomor 12)
Soesilo,R.1990. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komntar-komentrarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea
Sudantra, I Ketut. 2002a. "AMbat HukumPerkawinan Nyentana di Bidang Hukum Keluarga dan Waris".
Makalah dalam Temu Wicara Mengenai Kepedulian Pelestariuan Warisan Budaya Bali yang
diselenggarakan oleh Panitia Persiapan Pembentukan Lembaga Pelestarian BudayaBali (Bali
Heritage Trust) di Gedung Mario Tabanan, 14 Maret 2002.
Sudantra, 2002b, "Hukum Perkawinan Bagi Umat Hindu di Bali, Bahan Penyuluhan, Pusat Studi Hukum
Adat Universitas Udayana, Denpasar
Suripto, KRMH.1973. Beberapa Bab tentang Hukum Adat Waris Bali. Jember Fakultas Hukum
Universitas Negeri Jember (UNEJ)
Suyatna, I Nyoman.l997."Kajian Yuridis Terhadap Sahnya Perkawinan Wangsa di Kabupaten Daerah
Tingkat II Tabanan ".Tesis. Surabaya:Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga.
Tim Peneliti FH Unud. 198 !.//«&//« Adat 5a//'.Laporan Penelitian. Kerjasama FH Unud. - BPHN
Departemen Kehakiman.
Wikarsih, Ni Wayan. 2002. "Kedudukan Perempuan Bali Terhadap Harta Benda Perkawinan
dalam Hal Terjadi Perceraian. Skripsi. Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Dwijendra.
Windia, Wayan P, dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan
Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
Windia, Wayan P, dkk., 2009. Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Udayana University Press,
Denpasar.