Oleh:
I Gede Satya Putra Wibawa
2004551436
X2
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2023
1. Di bidang perkawinan, dalam masyarakat adat Bali berlaku pluralisme hukum.
a. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pluralism hukum di bidang perkawinan.
Jawab:
Pluralisme hukum adalah munculnya suatu ketentuan atau sebuah aturan
hukum yang lebih dari satu di dalam kehidupan sosial. Jika dikaitkan dengan
Perkawinan Plurarisme di Bidang Perkawinan adalah berbagai aturan atau tata
cara melakukan perkawinan menurut adat istiadat, hukum agama dan hukum
nasional yang berlaku di Indonesia.
b. Tunjukkan pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
memberi peluang berlakunya hukum adat Bali.
Jawab:
pasal 2 ayat (1): ”perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu” Dari Perspektif
Teori-Teori Relasi Hukum Adatdan Agama (Teori Receptio In Complexu
& Teori Receptie), Dalam Konteks Umat Hindu Di Bali, Frasa ”Hukum
Masing-Masing Agamanya” Dapat Ditafsirkan Bahwa Perkawinan Adalah
sah Apabila Dilakukan Menurut Hukum Adat Bali Yang Dijiwai Oleh
Agama Hindu
Pasal 37: “bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing” Menurut penjelasan terhadap pasal 37
yang dimaksud ”hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum
adat dan hukum-hukumlainnya
c. Jelaskan pengaruh sistem kekeluargaan purusa terhadap hukum perkawinan
yang berlaku di Bali.
Jawab:
Hukum Perkawinan: Dalam sistem kekeluargaan purusa, perkawinan
umumnya diatur berdasarkan kasta, kelas sosial, dan garis keturunan yang jelas.
Pemilihan pasangan hidup sering kali didasarkan pada pertimbangan yang
melibatkan keluarga dan garis keturunan yang dianggap penting. Misalnya,
perkawinan antara anggota kasta yang berbeda mungkin tidak diterima atau
dikendalikan oleh aturan ketat. Sistem ini mempengaruhi pilihan perkawinan
individu dan menentukan lingkup dan struktur keluarga dalam masyarakat.
b. Hukum apa yang berlaku bagi masyarakat adat Bali di bidang pewarisan?
Jawab:
Hukum yang berlaku bagi masyarakat adat Bali di bidang pewarisan
adalah Sistem pewarisan hukum adat Bali menerapkan garis keturunan dari pihak
laki-laki. Sistem pewarisan ini tidak terlepas dari sistem kekeluargaan yang dianut
oleh masyarakat Bali yaitu patrilineal. Sehingga dalam keluarga masyarakat Bali,
pihak laki-laki terkesan berkuasa dan mempunyai hak penuh dalam keluaraga.
c. Jelaskan pengaruh sistem kekeluargaan purusa terhadap hukum waris yang
berlaku di Bali.
Jawab:
Dalam hal pewarisan, pihak purusa dalam hal ini istri berhak untuk
mewaris seperti halnya saudara saudara laki-laki lainnya apabila ada. Apabila
tidak maka dialah yang menjadi pewaris tunggal. Apabila dibandingkan antara
mereka yang lakilaki yang berstatus kepurusa dan perempuan yang berstatus
kepurusa maka kepurusa ( laki-laki) jauh lebih banyak. Hal ini disebabkan oleh
karena lembaga perkawinan nyentana yang mengakibatkan berubahnya status
perempuan menjadi kepurusa kebanyakan dilakukan karena terpaksa oleh karena
di keluarga tersebut tidak memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunan. Jadi
dapat kita simpulkan bahwa perkawinan nyentana hanya dilakukan dalam
keadaan terpaksa
d. Bagaimana hak waris anak perempuan menurut hukum adat Bali?
Jawab:
Menurut Wayan P. Windia dalam hukum adat Bali yang berdasarkan pada
sistem kekeluargaan ke purusa orang-orang yang dapat di perhitungkan sebagai
ahli waris dalam garis pokok keutamaan dan garis pokok pengganti adalah para
lakilaki dalam keluarga yang bersangkutan sepanjang tidak terputus ahaknya
sebagai ahli waris. Kelompok orangorang yang termasuk dalam garis keutamaan
pertama sebagai ahli waris adalah keturunan pewaris kenceng ke bawah, yaitu
anak kandung laki-laki ataupun anak perempuan yang ditingkat kan statusnya
sebagai penerus keturunan (sentana rajeg ) dan anak angkat (sentana peperasan).
Soerjono Soekanto mengatakan pada masyarakat di Bali walaupun anak
perempuan dan janda bukanlah merupakan ahli waris akan tetapi mereka berhak
menikmati atas bagian dari harta warisan selama tidak terputus haknya.
3. Hukum adat pelanggaran dan penyelesaian perkara:
a. Apa yang dimaksud perkara adat?
Jawab:
Perkara adat adalah sengketa perdata adat dan perkara pidana adat di
antara para warga masyarakat adat
b. Sebutkan bentuk-bentuk sanski adat (pamidanda) yang termasuk dalam
golongan artha danda.
Jawab:
Arta danda (sanksi berupa harta benda atau benda-benda materiil). Contohnya :
a. Danda artha, seperti : dosa, danda saha panikel-nikelnya miwah panikel
urunan. (denda berupa uang beserta denda-denda yang lainnya).
b. Kataban. (diambil dan dimiliki).
c. Kedaut karang ayahan desanya. (diambil-alih tempat kediamannya yang
berupa karang ayahan desa).
d. Kerampag (harta miliknya diambil paksa atau dirampas).
e. Ganti rugi berupa benda-benda materiil. f. Ngingu banjar/desa (menjamu
seluruh anggota banjar/desa).
c. Apa tujuan penjatuhan sanksi adat menurut hukum adat Bali?
Jawab:
Penjatuhan hukuman dalam hukum adat Bali adalah bertujuan
untuk mengembalikan keseimbangan alam kosmos yaitu alam lahir (kala) dan
alam gaib (niskala) yang telah terganggu.
d. Apa yang dimaksud dengan Kertha Desa Adat dan apa tugasnya?
Jawab:
Kerta Desa Adat adalah lembaga mitra kerja Prajuru Desa Adat yang
melaksanakan fungsi penyelesaian perkara adat/wicara berdasarkan hukum adat
yang berlaku di Desa Adat setempat dan ditugasi untuk memberi masukan atau
pertimbangan hukum jika bendesa dihadapkan oleh masalah-masalah hukum.
Kerta Desa pada kenyataannya sering mendampingi bendesa untuk menyelesaikan
masalah hukum yang melibatkan desa adat (Bendesa).
e. Bagaimana tahapan penyelesaian perkara adat apabila perkara tersebut tidak
dapat diselesaikan di tingkat desa adat?
Jawab:
Pada penyelesaian sengketa ini para prajuru desa adat tidak dapat
menemukan penyelesaiannya sehingga melibatkan apparat pemerintahan. Maka
dapat dilihat bahwa negara mengakui satuan adat yang terdapat pada banjar untuk
dapat menyelesaikan sengketa tersebut. Akan tetapi dengan tidak ditemukannya
penyelesaian oleh para prajuru adat dan dengan semakin mengkhawatirkannya
keadaan di daerah tersebut maka barulah aparat pemerintahan turun tangan karena
dirasa perlu untuk menengahkan dan memberi penyelesaian terhadap sengketa
tersebut. Dengan kata lain negara mengakui keberadaan desa adat dan
pemerintahan adat selama peraturan dan pemerintahan adat tersebut masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia