Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN

A. HASIL KUNJUNGAN DAN TEMUAN


1. ASPEK HUKUM HASIL KUNJUNGAN
Indonesia sebagai negara yang heterogen dengan beragam “budaya”
berupa “adat istiadat” yang menjadi cermin kepribadian bangsa Indonesia. Sila
pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi
konsekuensi logis munculnya berbagai jenis aliran kepercayaan pada
masyarakat Indonesia, hal ini berpengaruh terhadap pembagian waris di
Indonesia. Sistem kekeluargaan sebagai tonggak paling penting dalam sistem
pewarisan adat, karena merupakan titik atau bentuk dasar adanya sebuah
masyarakat adat serta sifat dari kekeluargaan di Indonesia yang meruntut pada
sistem keturunan.
Pada masyarakat Bali, pembagian harta waris berkaitan dengan sistem
pewarisan adatnya. Dalam pewarisan adat Bali harta warisan dapat dibagikan
sejak pewaris masih hidup, namun jika pewaris meninggal dunia dan harta
pewaris belum dibagikan kepada keturunannya, maka seseorang dapat
membagi harta waris secara kekeluargaan berdasarkan hukum waris adat.
Tetapi jika pembagian tersebut dilaksanakan dengan adanya seseorang yang
tidak terima dengan pembagian waris tersebut karena dirasa kurang adil
sehingga menimbulkan sengketa. Maka akibat dari adanya sengketa tersebut
penyelesaiannya dapat dengan dibawa ke pengadilan oleh para ahli waris.
Menurut Darmawan, sebagian besar masyarakat Bali melakukan proses
pewarisan ketika pewaris masih hidup. Hal ini karena adanya kepercayaan
bahwa apabila dalam proses pewarisan terjadi sengketa antara ahli waris,
maka arwah si pewaris tidak bisa tenang. Untuk mencegah hal-hal yang
demikian terjadi, maka pewarisan dilakukan pada saat si pewarisnya masih
hidup, sehingga pewaris dapat mengawasi dan mencegah pertentangan
diantara para ahli warisnya, terutama apabila si pewaris mempunyai anak isteri
yang berlainan.
2. ASPEK HUKUM HASIL TEMUAN
Hukum merupakan suatu ketentuan yang telah disepakati untuk
mengatur kehidupan masyarakat agar segala bentuk hak dan kewajiban setiap
individu agar terpenuhi. Hukum adat merupakan hukum yang hidup (living
law), tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan wilayah hukum adat tersebut. Terdapat 3
hukum yang berlaku pada masyarakat Bali, yaitu :
1) Hukum Nasional Indonesia
2) Hukum Agama Hindu
3) Hukum Adat Bali
Hukum pewarisan berdasarkan ketentuan hukum adat Bali berbeda
dengan pewarisan menurut hukum Perdata atau hukum nasional Indonesia.
Perbedaan-perbedaan tersebut ada pada unsur-unsur kewarisan, azas-azas,
maupun substansi hukumnya. Masyarakat Adat Bali menganut sistem
kekerabatan Patrilineal dengan sistem kewarisan mayorat. Sistem kekerabatan
Patrilineal diambil dari garis keturunan bapak/laki-laki yang menyebabkan
adanya ketidaksetraan antara hak seorang laki-laki dengan perempuan dalam
pewarisan di Bali. Laki-laki memiliki kedudukan yang tinggi dan dianggap
sangat penting dalam masyarakat Bali, meskipun dalam hal ini anak
perempuan merupakan anak kandung dan diperoleh dari pernikahan yang sah,
namun tetap saja anak perempuan tersebut tidak mendapatkan harta warisan.
Sistem kewarisan tersebut tidak terlepas dari aliran kitab Manawa
Dharmasastra yang merupakan salah satu kitab hukum bagi umat Agama
Hindu, sebab mayoritas masyarakat adat Bali menganut agama Hindu. Pada
intinya, ahli waris atau harta waris peninggalan akan diturunkan dan
diteruskan untuk anak laki-laki.

B. ANALISIS HUKUM
1. ANALISIS HASIL KUNJUNGAN
Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang
mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari
harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari suatu generasi ke
generasi berikutnya. Menurut Soepomo, hukum waris adat merupakan
ketentuan-ketentuan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan
barang-barang harta benda dan barang yang tak berwujud benda dalam suatu
angkatan manusia (generasi) kapada keturunannya. Dari pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa hukum waris adat pada intinya mengatur tentang
suatu proses penerusan atau perpindahan harta warisan dari pewaris kepada
ahli warisnya secara turun temurun dan berkelanjutan. Maka, terlihat
perbedaan dalam hukum waris adat Bali dengan hukum waris Islam maupun
hukum waris perdata. Perbedaan tersebut terletak dari cara pembagian harta
warisan atau terbukanya peluang waris. Menurut hukum waris Islam dan
perdata, harta warisan hanya dapat dibagi apabila pewaris meninggal dunia,
namun dalam waris adat proses pewarisan telah dimulai pada saat si pewaris
masih hidup sehingga kematian tidak berpengaruh terhadap proses pewarisan.
Hukum adat bagi masyarakat Bali dianggap sebagai “a tool of social
engineering” yang memiliki tujuan utama untuk menciptakan ketertiban dan
keteraturan untuk mencapai sebuah keadilan. Dalam hukum adat, terdapat
berbagai ketentuan dan putusan adat maupun pengadilan yang dijadikan
sebagai pedoman berperilaku dalam tatanan masyarakat adat. Adanya
ketentuan ini menimbulkan lahirnya rasa keadilan dan kesetaraan bagi kaum
laki-laki maupun perempuan dalam masyarakat adat. Pada hukum adat
masyarakat Bali, dikenal Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman
(selanjutnya disebut Keputusan MUDP) yang dianggap memiliki pengaruh
besar dalam meleburkan kekakuan dalam hukum waris Adat Bali.
Pembagian warisan dilakukan secara musyawarah diantara ahli waris
berdasarkan asas laras, rukun dan patut yang dipimpin oleh orang tuanya
sendiri. Apabila orang tuanya sudah tidak ada, maka musyawarah dipimpin
oleh anak laki-laki yang tertua, dapat juga mengundang pejabat desa (kepala
desa dan kelian desa pakraman) untuk meniadi saksi. Dalam musyawarah
tersebut dibicarakan segala sesuatu terkait tanggung jawab masing-masing
ahli waris, jenis harta warisan, jenis dan tingkat kesuburan tanah, nilai
ekonomi tanah dan sebagainya, kemudian disepakati mengenai bagian
masing-masing. Dikenal juga harta warisan yang tidak dapat dibagi, seperti
sanggah/merajan, duwe tengah (tanah milik bersama) yang diperuntukkan
untuk laba (pembiayaan) sanggah/merajan. Untuk harta warisan golongan ini
umumnya diwarisi secara kolektif. Sedangkan terhadap tanah-tanah adat
seperti tanah pekarangan desa dan tanah ayahan desa lazimnya diwarisi oleh
seorang anak, anak laki-laki sulung atau anak laki-laki bungsu (sistem
kewarisan mayorat) tergantung aturan adat dari masyarakat setempat.

2. ANALISIS HASIL TEMUAN


Waris menurut adat Bali berasal dari kata warih atau air kencing atau
keturunan. Mewarih berarti kencing, tanpa warih berarti putung/ceput /camput
atau tidak memiliki keturunan. Maka, pewarisan berarti segala hal yang
berhubungan dengan warisan. Pewarisan berdasarkan hukum adat Bali tidak
identik dengan membagi harta peninggalan (warisan) orang tua dan leluhur
(pewaris) kepada ahli waris atau keturunannya, tetapi mengandung makna
pelestarian, pengurusan dan penerusan swadharma (tanggung jawab) dan
swadikara (hak) terhadap peninggalan pewaris dalam berbagai wujud dan
sifatnya.
Ciri khas pewarisan dalam hukum adat Bali yaitu bertujuan agar
sebanyak dan sedapat mungkin harta pusaka keluarga tetap utuh dan dipegang
serta diurus oleh seorang kepala keluarga, maka dengan sendirinya
pembagian-pembagian jarang dilakukan. Dasar ketentuan pewarisan
berdasarkan hukum waris adat Bali :
(a) Adat kebiasaan (tidak tertulis) yang hidup dan ditaati oleh masyarakat
hukum adat (desa adat) di Bali.
(b) Paswara 1900 (Paswara tertanggal 13 Oktober 1900) tentang hukum
waris yang berlaku bagi Penduduk Hindu Bali dari Kabupaten Buleleng
yang dikeluarkan oleh Residen Bali dan Lombok, FA Liefrinck, dengan
Permusyawarahan bersama-sama Pedanda-Pedanda dan Punggawa-
Punggawa.
(c) Awig-awig (ketentuan/tata karma) desa adat.
(d) Putusan MUDP Bali No.01/KEP/PSM-3MDP BALI/X/2010 (Keputusan
Majelis Utama Desa Pakraman Bali)
Unsur-unsur pewarisan berdasarkan adat Bali :
(1) Pewaris, yaitu orang yang meninggalkan warisan.
(2) Waris, yaitu keturunan/anak dari pewaris.
(3) Ahli waris, keturunan yang memiliki hak atas warisan.
(4) Warisan, yaitu swadharma (tanggung jawab) dan swadikara (hak)
terhadap peninggalan pewaris dalam berbagai wujud dan sifatnya.
Terdapat 3 bentuk warisan agama Hindu/adat Bali :
- Warisan parhyangan, berhubungan dengan keyakinan sebagai umat
Hindu.
- Warisan pawongan, berhubungan dengan aktivitas sosial sebagai
umat Hindu.
- Warisan palemahan, berhubungan dengan tata kelola lingkungan
alam sesuai dengan keyakinan Hindu.
Azas-azas pewarisan menurut hukum adat Bali :
(1) Keutuhan.
(2) Keutamaan.
(3) Ketergantungan.
(4) Kebersamaan.
(5) Keberlanjutan.
(6) Kemanfaatan.
Masyarakat adat Bali dengan sistem kekerabatan patrilineal berdampak
pada pembagian harta waris yang nantinya akan didapatkan oleh masing-
masing keturunan. Masyarakat Adat Bali juga mengenal adanya perkawinan
jujur atau biasa disebut pebaang. Pebaang adalah suatu bentuk penyerahan
berupa seperangkat pakaian atau hal simbolis lainnya yang diserahkan kepada
pihak perempuan yang bertujuan untuk menandai masuknya pihak perempuan
dalam keluarga pihak laki-laki, yang kemudian keturunan dari pernikahan
tersebut akan turut ikut dengan garis keturunan sang ayah. Selain itu, dikenal
juga istilah kepurusa yang artinya anak laki-laki bersifat ajeg, sedangkan anak
perempuan berubah dikarenakan mengikuti pihak suami. Atas dasar tersebut,
anak perempuan tidak diperhitungkan sebagai ahli waris. Selain itu, pewarisan
tidak hanya berkaitan dengan pembagian harta waris, namun pewarisan
sesungguhnya merupakan penerusan kewajiban dari pemberi waris. Anak laki-
laki menjadi ahli waris asli (sentana) karena dianggap sebagai pihak yang
meneruskan segala bentuk kewajiban seperti kewajiban kepada orang tua
hingga kepada masyarakat adat dan agama. Dengan adanya ketentuan ini,
tidak berarti seorang anak perempuan tidak memiliki kewajiban, anak
perempuan tetap memiliki kewajiban, namun tidak seberat yang ditanggung
oleh anak laki-laki, karenanya mereka juga berhak atas harta orang tuanya,
tetapi hanya untuk dinikmati, jika ingin diberikan tidak dilarang, hanya saja
namanya bukan warisan, melainkan bekal atau bebaktan atau tetatadan.
Ketentuan ini dapat disimpangi sehingga anak perempuan dalam pewarisan
Adat Bali dapat menjadi pewaris dengan catatan anak perempuan tersebut
memperoleh status hukum laki-laki (sentana rajeg).
Perempuan dalam adat Bali tidak dapat menjadi ahli waris dan hanya
dapat sekedar mendapatkan hak untuk menikmati harta peninggalan orang
tuanya, tetapi para perempuan Bali dapat melakukan beberapa cara untuk
mendapatkan haknya sebagai ahli waris dengan berdasarkan atas sebagai
berikut :

1) Ketentuan Manawa Dharmasastra, bahwa perempuan hanya mendapat


sekitar seperempat bagian dari masing-masing pembagian saudara laki-
lakinya. Dalam hal ini jika semakin banyak saudara laki-laki dalam
keluarga, maka dapat dimungkinkan saudara perempuan mendapat bagian
harta waris lebih banyak dari saudara laki-lakinya. Namun setelah
bersuami, perempuan tersebut tidak memiliki beban kewajiban formal
pada keluarga asalnya, tetapi ia tetap memiliki hak waris (bukan sebagai
ahli waris hanya mendapatkan bagian dari harta peninggalan).
2) Apabila di dalam suatu keluarga Bali tersebut tidak memiliki anak laki-
laki, maka dapat dilakukan proses “sentana rajeg”. Sentana rajeg
merupakan proses peningkatan status anak perempuan menjadi sentana
(anak laki-laki) melalui upacara tertentu menurut Adat Bali. Dalam hal
ini, anak perempuan akan menarik dan membawa laki-laki yang akan
menjadi suaminya untuk masuk ke dalam keluarganya lalu luluh dalam
ikatan hukum keluarga perempuan. Adanya perubahan status tersebut
mengakibatkan perempuan dalam status perkawinan tersebut berstatus
sebagai suami. Dengan adanya perubahan status perempuan menjadi laki-
laki, keluarga tersebut tetap memiliki ahli waris di dalam keluarganya.
Perempuan tersebut akan memiliki hak untuk mewaris harta keluarganya.
Hal ini berdasarkan yurisprudensi Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar
Nomor 81/ptd/1976/pdt dan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor
2/PTD/1979/pdt, yang berbunyi “anak angkat (sentana) menurut Hukum
Adat Bali adalah ahli waris dari orang tua angkatnya”.
3) Keputusan Mahkamah Agung Nomor 100/Sip/1967 tanggal 14 Juni 1968,
bahwa terdapat kemajuan dan perkembangan di dalam suatu masyarakat
yang merujuk pada persamaan hak dan kewajiban antara perempuan dan
laki-laki. Maka, perempuan ataupun janda dapat ditetapkan sebagai ahli
waris dan ditetapkan di dalam sebuah yurisprudensi.
4) Hibah atau jiwa dana, yaitu terobosan atau upaya yang dilakukan oleh
orang Bali agar anak perempuan mereka dapat menjadi ahli waris atau
mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Hibah atau jiwa dana ialah
hibah yang diberikan secara cuma-cuma dari orang tua kepada anak
perempuannya, dan anak laki-laki atau saudara laki-laki tidak memiliki
hak untuk melakukan protes. Pada dasarnya, hibah atau jiwa dana hanya
dilakukan oleh keluarga berkecukupan.
5) Keputusan Pesamuan Agung III MUDP Bali No.01/Kep/PSM-3MDP
Bali/X/2010, 15 Oktober 2010, bahwa perempuan Bali dapat menerima
setengah dari hak waris orang tua setelah dipotong sepertiga untuk harta
pusaka dan kepentingan pelestarian. Namun jika perempuan Bali tersebut
pindah ke agama lain, mereka tidak mendapat hak waris. Jika orang
tuanya ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa dana atau bekal
sukarela.

Pada dasarnya laki-laki memiliki kedudukan yang tinggi dan sangat penting di
dalam masyarakat Bali, dan sistem kewarisan tersebut tidak terlepas dari aliran kitab
Manawa Dharmasastra yang merupakan salah satu kitab hukum bagi umat agama
Hindu, namun dalam perkembangannya masyarakat Adat Bali berusaha untuk
menyamakan hak antara perempuan dengan laki-laki dengan cara sentana rajeg atau
memberikan jiwa dana kepada anak perempuannya.

Anda mungkin juga menyukai