PEMBAHASAN
B. ANALISIS HUKUM
1. ANALISIS HASIL KUNJUNGAN
Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang
mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari
harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari suatu generasi ke
generasi berikutnya. Menurut Soepomo, hukum waris adat merupakan
ketentuan-ketentuan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan
barang-barang harta benda dan barang yang tak berwujud benda dalam suatu
angkatan manusia (generasi) kapada keturunannya. Dari pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa hukum waris adat pada intinya mengatur tentang
suatu proses penerusan atau perpindahan harta warisan dari pewaris kepada
ahli warisnya secara turun temurun dan berkelanjutan. Maka, terlihat
perbedaan dalam hukum waris adat Bali dengan hukum waris Islam maupun
hukum waris perdata. Perbedaan tersebut terletak dari cara pembagian harta
warisan atau terbukanya peluang waris. Menurut hukum waris Islam dan
perdata, harta warisan hanya dapat dibagi apabila pewaris meninggal dunia,
namun dalam waris adat proses pewarisan telah dimulai pada saat si pewaris
masih hidup sehingga kematian tidak berpengaruh terhadap proses pewarisan.
Hukum adat bagi masyarakat Bali dianggap sebagai “a tool of social
engineering” yang memiliki tujuan utama untuk menciptakan ketertiban dan
keteraturan untuk mencapai sebuah keadilan. Dalam hukum adat, terdapat
berbagai ketentuan dan putusan adat maupun pengadilan yang dijadikan
sebagai pedoman berperilaku dalam tatanan masyarakat adat. Adanya
ketentuan ini menimbulkan lahirnya rasa keadilan dan kesetaraan bagi kaum
laki-laki maupun perempuan dalam masyarakat adat. Pada hukum adat
masyarakat Bali, dikenal Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman
(selanjutnya disebut Keputusan MUDP) yang dianggap memiliki pengaruh
besar dalam meleburkan kekakuan dalam hukum waris Adat Bali.
Pembagian warisan dilakukan secara musyawarah diantara ahli waris
berdasarkan asas laras, rukun dan patut yang dipimpin oleh orang tuanya
sendiri. Apabila orang tuanya sudah tidak ada, maka musyawarah dipimpin
oleh anak laki-laki yang tertua, dapat juga mengundang pejabat desa (kepala
desa dan kelian desa pakraman) untuk meniadi saksi. Dalam musyawarah
tersebut dibicarakan segala sesuatu terkait tanggung jawab masing-masing
ahli waris, jenis harta warisan, jenis dan tingkat kesuburan tanah, nilai
ekonomi tanah dan sebagainya, kemudian disepakati mengenai bagian
masing-masing. Dikenal juga harta warisan yang tidak dapat dibagi, seperti
sanggah/merajan, duwe tengah (tanah milik bersama) yang diperuntukkan
untuk laba (pembiayaan) sanggah/merajan. Untuk harta warisan golongan ini
umumnya diwarisi secara kolektif. Sedangkan terhadap tanah-tanah adat
seperti tanah pekarangan desa dan tanah ayahan desa lazimnya diwarisi oleh
seorang anak, anak laki-laki sulung atau anak laki-laki bungsu (sistem
kewarisan mayorat) tergantung aturan adat dari masyarakat setempat.
Pada dasarnya laki-laki memiliki kedudukan yang tinggi dan sangat penting di
dalam masyarakat Bali, dan sistem kewarisan tersebut tidak terlepas dari aliran kitab
Manawa Dharmasastra yang merupakan salah satu kitab hukum bagi umat agama
Hindu, namun dalam perkembangannya masyarakat Adat Bali berusaha untuk
menyamakan hak antara perempuan dengan laki-laki dengan cara sentana rajeg atau
memberikan jiwa dana kepada anak perempuannya.