Anda di halaman 1dari 8

TUGAS HUKUM ADAT BALI

OLEH :

I KADEK AGUS WIRA PUTRA

1804551081

NO. ABSEN 18

KELAS B

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2020
1. Sebutkan prinsip-prinsip yang berlaku pada sistem kekeluargaan purusa !

Jawaban :

Dalam sistem kekeluargaan Indonesia dikenal tiga macam system kekeluargaan yaitu :

 Sistem kekeluargaan patrilineal;

 Sistem kekeluargaan matrilineal;

 Sistem kekeluargaan parental.

Sistem kekeluargaan patrilineal, dianut dalam masyarakat Batak, Nias, Sumba, Bali, dan lain-

lain. Dalam sistem kekeluargaan ini, keturunan dilacak dari garis bapak. Melalui perkawinan,

seorang istri dilepaskan dari hubungan hukum kekeluargaan dengan keluarga asalnya (orang tua

kandung) selanjutnya masuk dalam lingkungan kekeluargaan suaminya. Anak-anak yang lahir

dari perkawinan ini mendapatkan garis kekeluargaan dari garis bapaknya, sementara dengan

keluarga ibunya hanya mempunyai hubungan sosial dan moral saja, bukan hubungan hukum.

Masyarakat adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang lebih

dikenal dalam masyarakat Bali dengan istilah kepurusa atau purusa. Prinsip-prinsip dalam sistem

kekeluargaan purusa sama dengan sistem kekeluargaan yang dianut dalam Kitab Manawa

Dharmasastra. Itu sebabnya sistem kekeluargaan yang dianut masyarakat adat Bali ini dikatakan

dijiwai oleh ajaran Agama Hindu yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bali. Terdapat tiga

prinsip-prinsip umum yang dianut dalam sistem kekeluargaan purusa .

Yang pertama, keturunan dilacak dari garis laki-laki (bapak). Dimana hak dan kewajiban

selalu lahir dari garis purusa. Dalam sistem kekeluargaan purusa, keturunan dilacak dari garis

laki-laki (bapak). Secara hukum hanya individu-individu yang berasal dari satu bapak asal (wit)

yang diperhitungkan sebagai keluarga baik dalam keluarga batih maupun keluarga luas. Orang-
orang yang termasuk dalam garis ini dapat disebut dengan keluarga saking purusa. Sedangkan

keluarga dari pihak ibu disebut dengan keluarga saking pradana. Itu sebabnya nilai dan derajat

hubungan antara saudara dari garis purusa (saking purusa) jauh lebih penting dibandingkan

dengan hubungan antara saudara dari garis pradana (saking pradana).

Prinsip kedua dalam sistem purusa adalah bahwa dalam perkawinan (kecuali dalam

bentuk perkawinan nyeburin) seseorang perempuan dilepaskan dari hubungan hukumnya dengan

kekeluarga asalnya dan selanjutnya masuk secara total ke dalam keluarga suaminya. Dimana

seseorang perempuan yang sudah kawin (atau anak laki-laki yang kawin nyeburin) tidak lagi

diperhitungkan hak dan kewajibannya, materiil maupun immateriil, dalam keluarga asalnya

melain kan sepenuhnya diperhitungkan dalam keluarga suaminya. Akibat dari perkawinan adalah

terbentuknya keluarga batin yang secara ideal terdiri dari bapak, ibu, dan anak. Anak yang lahir

dari perkawinan tersebut mendapatkan sanak saudara atau kerabat dari pihak bapak, sedangkan

dengan sanak saudara dari pihak ibu anak tersebut tidak mempunyai hubungan hukum.

Walaupun demikian, hubungan-hubungan sosial dan moral antara anak dengan sanak saudara

dari pihak ibu tetap ada, bahkan dalam kaitan dengan larangan-larangan perkawinan hubungan-

hubungan tersebut tetap diperhatikan.

Yang ketiga yaitu di dalam menentukan kududukan anak. Dalam sistem

kekeluargaan purusa, maka adanya keturunan laki-laki dalam keluarga sangatlah penting.

Kedudukan anak laki-lakilah yang berfungsi sebagai pelanjut keturunan. Anak laki-laki sebagai

pelanjut keturunan ini disebut dengan istilah sentana.  Pentingnya nilai anak laki dalam suatu

keluarga sesuai dengan ajaran agama Hindu yang sering dikatakan menjiwai kehidupan

masyarakat Bali termasuk dalam pelaksanaan hukum adatnya. Dalam pandangan masyarakat

Bali, anak laki-laki memang mempunyai nilai penting dalam menjalankan kehidupan di dunia
nyata, baik dalam kehidupan keluarga maupun kemasyarakatan. Pada anak laki-laki

digantungkan harapan sebagai penerus generasi; memelihara, dan memberi nafkah jika orang

tuanya sudah tidak mampu melaksanakan upacara agama (Seperti: ngaben, dan lain-lain). Serta

selalu bhakti kepada leluhur yang bersemayam di sanggah atau merajan, dan menggantikan

kedudukan bapaknya dalam masyarakat kalau anak tersebut sudah kawin (menjadi krama

banjar  atau krama desa).

Kedudukan anak laki-laki seperti disebutkan di atas berbeda dengan kedudukan anak

perempuan, baik deha (gadis) maupun deha  tua (perawan tua, wanita yang tidak kawin sampai

tua). Terhadap anak perempuan tidak digantungkan harapan-harapan ataupun tanggung jawab

sebagaimana tanggung jawab anak laki-laki seperti diuraikan di atas, sebab anak perempuan

sesuai kodratnya suatu saat akan kawin. Prinsip dalam perkawinan purusa, adalah dengan

perkawinan itu seorang anak perempuan akan mengikuti suami dan secara hukum putus

hubungannya dengan orang tua kandung dan sanak saudara dari keluarga asalnya.

Apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, hal ini akan menimbulkan

suatu keadaan yang disebut ceput atau puntung, suatu keadaan diamana suatu keluarga (dinasti)

tidak mempunyai pelanjut keturunan. Untuk menyiasatinya/menghindari kepuntungan adalah

dengan cara sentana rajeg  dan sentana paperasan (anak angkat) yang pastinya sesuai dengan

prosedur yang berlaku.

2. Sebutkan pengaruh sistem kekeluargaan purusa ini terhadap:

a. Hukum perkawinan;

b. Hukum Waris.
Jawaban :

a. Terhadap Hukum Perkawinan

Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Dalam bentuk perkawinan di Bali, mempelai

perempuan meninggalkan keluarga asalnya (ayah dan ibu kandungnya) selanjutnya masuk

menjadi anggota keluarga dari suaminya. Suami berstatus sebagai purusa, sedangkan stri

berstatus sebagai pradana Dengan perkawinan tersebut, tidak ada lagi hak dan kewajiban

hukum dari perempuan tersebut di keluarga asalnya. Di Bali, bentuk perkawinan ini disebut

nganten biasa. Berbeda dengan perkawinan biasa, dalam perkawinan nyeburin mempelai

perempuan tetap menetap sebagai bagian keluarga asalnya, berstatus sebagai purusa. Justru,

dalam nyeburin mempelai laki-laki yang meninggalkan keluarga asalnya untuk selanjutnya

masuk menjadi bagian dari keluarga istrinya. Dalam perkawinan ini, mempelai perempuan

yang berstatus sentana rajeg itu berkedudukan sebagai purusa yang mempunyai hak dan

kewajiban sama dengan laki-laki di keluarga tersebut, sedangkan suaminya berstatus sebagai

pradana, sebagaimanan layaknya status perempuan (istri) dalam perkawinan biasa.

Dalam hukum perkawinan ini, dimana apabila perkawinan terjadi karena pengantin

laki laki nyentana atau ikut istri maka status kepurusa yang tadinya dimiliki berubah menjadi

predana begitu pula sebaliknya istri yang tadinya berstatus sebagai predana berubah menjadi

kepurusa. Dalam hal pewarisan, pihak purusa dalam hal ini istri berhak untuk mewaris

seperti halnya saudara saudara laki-laki lainnya apabila ada. Apabila tidak maka dialah yang

menjadi pewaris tunggal. Apabila dibandingkan antara mereka yang lakilaki yang berstatus
kepurusa dan perempuan yang berstatus kepurusa maka kepurusa ( laki-laki) jauh lebih

banyak. Hal ini disebabkan oleh karena lembaga perkawinan nyentana yang mengakibatkan

berubahnya status perempuan menjadi kepurusa kebanyakan dilakukan karena terpaksa oleh

karena di keluarga tersebut tidak memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunan. Jadi

dapat kita simpulkan bahwa perkawinan nyentana hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa.

b. Terhadap Hukum Waris.

Menurut Ter Haar, seorang pakar hukum dalam bukunya yang berjudul Beginselen en

Stelsel van het Adatrecht (1950), hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur

penerusan dan peralihan dari abad ke abad baik harta kekayaan yang berwujud dan tidak

berwujud dari generasi pada generasi berikut. Pengutamaan garis keturunan laki-laki sesuai pula

dengan sistem kekeluargaan patrilinial yang dianut oleh masyarakat Bali yang dalam bahasa

Balinya dikenal dengan istilah pancer purusa. Sistem kekeluargaan patrilinial yang dianut dalam

masyarakat hukum adat Bali sangat berpengaruh terhadap segala perbuatan hukum yang

dilakukan terutama yang menyangkut masalah kekeluargaan, senantiasa berpatokan pada

konsepsi purusa, antara lain dalam penentuan pelanjut keturunan, perkawinan, pengangkatan

anak dan hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya yaitu menyangkut warisan. Dalam hukum

waris adat Bali, dikenal tiga macam ahli waris, antara lain:

1. Pratisentana purusa (anak laki-laki);

2. Sentana rajeg (anak perempuan yang berstatus anak laki-laki);

3. Sentana peperasan (anak angkat).

Pada prinsipnya hanya anak laki-lakilah sebagai ahli waris (dapat dilihat dalam ketentuan

Manawadharmasastra IX, 104, 156-157 dan 185). Dalam Manawadharmasastra dinyatakan


bahwa ahli waris adalah keturunan yang disebut satu panda yang ditarik satu garis lurus ke

bawah dan ke atas, tiga tingkat turunan ke bawah dari pewaris dan tingkat ke atas dari pewaris

dinyatakan satu panda sebagai ahli waris, namun di antara keenam tingkat itu yang merupakan

ahli waris dengan hak keutamaan adalah keturunan pewaris yang ditarik melalui garis anak laki

(asas purusa). Oleh karena itu maka ahli waris adalah anak laki-laki pewaris. Namun dalam

kenyataannya, tidak semua hal yang telah diatur dapat dijalankan, karena perkawinan

sebagaimana hakekatnya, tidak selalu dapat melahirkanketurunan laki-laki sebagaimana yang

diharapkan. Tidak sedikit perkawinan Bali hanya memiliki anak perempuan. Jika sebuah

keluarga tidak memiliki keturunan lakilaki tetapi yang ada hanya keturunan perempuan, maka

anak perempuan ini dapat diangkat sebagai sentana rajeg (status purusa), perkawinan dilakukan

dengan sistem perkawinan nyentana/nyeburin. Dalam perkawinan ini, laki-laki yang telah

berubah status menjadi perempuan (predana) dan selanjutnya disebut ninggal kedaton, sehingga

kehilangan hak waris di rumah asalnya. Sedangkan pihak perempuan berubah status menjadi

laki-laki (purusa) sehingga memiliki hak mendapatkan hak waris atas keluarga.
DAFTAR BACAAN

I. BUKU

Hadikusuma, Hilman, 2003, “Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia”, Bandung, CV Mandar
Maju.

P. Windia, Wayan dan Ketut Sudantra, 2016, “Pengantar Hukum Adat Bali”, Cetakan Kedua,
Denpasar, Lembaga Dokumentasi Dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana.

II. JURNAL

Asmarajaya, I Made, 2017, “Sistem Kekerabatan Kepurusa Di Bali”, UNMAS, Denpasar.

Hemamalini, Kadek dan Untung Suhardi, 2016, “Dinamika Perkawinan Adat Bali Status Dan
Kedudukan Anak Sentana Rajeg Menurut Hukum Adat Dan Hukum Hindu”, Dharmasmrti
Vol. XIII Nomor 26 Oktober 2015, Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai