Anda di halaman 1dari 21

A.

Pengertian Hukum Kekerabatan Adat

Hukum kekerabatan adat ialah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan

pribadi seseorang sebagai anggota dalam kerabat, kedudukan anak terhadap orang tuanya

ataupun sebaliknya, serta kedudukan anak terhadap kerabatnya ataupun sebaliknya dan masalah

perwalian anak. Secara sederhananya, hukum kekerabatan adat mengatur tentang pertalian sanak

saudara berdasarkan pertalian darah, pertalian perkawinan dan pertalian adat. Pada dasarnya

pengertian hukum kekerabatan dibagi menjadi dua. Pertama, pengertian keturunan yaitu

hubungan darah antara satu orang dengan yang lainnya. Dengan adanya keturunan ini maka

seorang individu memiliki hak dan kewajiban yang berhubungan dengan keluarga serta

silsilahnya.Kedua, adalah hubungan anak dengan orang tua.1

Dalam sistem kekerabatan masyarakat adat, keturunan merupakan hal yang penting untuk

meneruskan garis keturunan (clan) baik garis keturunan lurus atau menyamping. seperti di

masyarakat Bali dimana laki-laki nantinya akan meneruskan puara keluarga untuk menyembah

para leluhurnya. Pada umumnya keturunan mempunyai hubungan hukum yang didasarkan pada

hubungan darah, antara lain antara orangtua dengan ank-anaknya. Juga akibat hukum yang

berhubungan dengan keturunan yang bergandengan dengan ketunggalan leluhur diseluruh daerah

tidak sama. Tapi akibat hukum tersebut tidak semuanya sama diseluruh daerah. Meskipun akibat

hukum yang berhubungan dengan ketunggalan leluhurnya, dalam kenyataannya terdapat satu

pandangan pokok yang sama terhadap masalah keturunan ini diseluruh daerah, yaitu bahwa

keturunan adalah merupakan unsure yang hakiki serta mutlak bagi suatu klan, suku ataupun

1
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,2003), hlm. 201.

1
kerabat yang menginginkan agar garis keturunannya tidak punah, sehingga ada generasi

penerusnya.

Apabila dalam suatu klan, suku ataupun kerabat khawatir akan menghadapi

kepunahan klan, suku ataupun kerabat ini pada umumnya melakukan adopsi

(pengangkatan anak) untuk meneruskan garis keturunan, maupun pengangkatan anak yang

dilakukan dengan perkawinan atau pengangkatan anak untuk penghormatan. Seperti dalam

masyarakat Lampung dimana anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi diambil dari

anak yang masih bertali kerabat dengan bapak angkatnya.

Individu sebagai keturunan (anggota keluarga ) mempunyai hak dan kewajiban tertentu

yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan. Misalnya,

boleh ikut menggunakan nama keluarga (marga) dan boleh ikut menggunakan dan berhak atas

kekayaan Keluarga, wajib saling membantu, dapat saling mewakili dalam melakukan perbuatan

hukum dengan pihak ketiga dan lain sebagainya.2

Menurut Prof. Bushar Muhammad, SH keturunan dapat bersifat:

1. Lurus, apabila ada seseorang merupakan langsung keturunan dari yang lain. Misalnya

antara bapak dan anak, antara kakek.Bapak dan anak disebut lurus ke bawah apabila

rangkaiannya dilihat dari kakek, bapak lalu ke anak.

2. Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih terdapat adanya

ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau sekakek nenek

Semenjak dahulu kala, sistem-sistem kekerabatan menarik perhatian para ahli ilmu-ilmu

social maupun kalangan-kalangan lainnya. Hal ini disebabkan, oleh karena manusia ingin

2
Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, (Jakarta: PT Pradnya Paramita,2006), hlm. 3

2
mengetahui sejerah perkembangan kehidupan keluarga dalam masyarakat, sebagai suatu system

social yang menyeluruh. System kekerabatan sebenarnya merupakan terjemahan dari istilah

kinship-systems (bahasa Inggris) yang diartikan sebagai “The social recognition and expression

of genealogical relation ships, both consanguined and affinal”.

Didalam kamus sosiologi yang berjudul A Dictionary of sociology, sistem kekerabatan

diartikan sebagai “ social relationship based on real, putative or fictive consanguinity; or on the

model of consanguine relations”.

Walaupun didalam anthropology lazimnya istilah kekerabatan sering dipergunakan dalam

arti kekerabatan dan perkawinan, akan tetapi kedua hal itu dapat dibedakan, dimana kekerabatan

merupakan hubungan darah sedangkan hubungan perkawinan diberi istilah affinity. Dengan

demikian, maka didalam bahasa Inggris orang tua dengan anak adalah kerabat (kin) sedangkan

suami dan istri adalah affines.

Menurut Murdock, maka suatu analisa sistematis yang memberikan suatu arti ilmiah pada

pembahasan mengenai system-sistem kekerabatan, untuk pertama kali diakui oleh Morgan.

Walaupun ajaran-ajaran Morgan sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan

akhir-akhir ini, akan tetapi dia merupakan seorang pelopor yang kemudian di ikuti oleh

antropolog-antropolog terkemuka lainnya, seperti misalnya, Rivers, Kroeber, Lowie, Radcliffie-

Brown, dan lain-lain. Hasil karya Morgan tersebut, berjudul System of Consanguinity of the

Human Family, diterbitkan didalam Smithsonian Contributions to Knowladge, XVII (1870).

Murdock menyatakan, bahwa system kekerabatan berbeda dengan lain-lain organisasi

social di dalam masyarakat. Suatu system kekerabatan bukanlah suatu kelompok social, serta

tidak dikaitkan dengan suatu kumpulan individu-individu yang terorganisasikan. Suatu system

3
kekerabatan tidak lain merupakan “….A structured sytem of relationship tertentu in which

individuals are bound one to another by Complex interlocking and ramifying ties”. Sudah tentu

bahwa ikatan-ikatan kekerabatan tertentu, mungkin berfungsi sebagai sarana untuk mengikat

individu-individu tertentu, ke dalam kelompok-kelompok social, seperti misalnya, keluarga atau

keluarga luas.

Titik tolak dari analisa Murdock terhadap system kekerabatan, adalah keluarga batih

( Nuclear family). Secara umum, didalam keluarga batih seorang anak mula-mula

mengembangkan kebiasaan-kebiasaan untuk mengadakan hubungan timbale balik yang saling

pengaruh-mempengaruhi.

Hubungan yang terbatas pada keluarga batih, lama-kelamanan berkembang keluar

lingkungan terbatas tersebut. Perilaku dengan pihak-pihak lain akan mendapat dukungan apabila

sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku didalam masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya

juga terbaik hukuman-hukuman, apabila perilaku tersebut terlalu menyimpang atau

menyeleweng.

Hubungan-hubungan yang terjadi didalam keluarga batih, tidaklah terbatas pada usia

semasa anak-anak, akan tetapi berlaku apabila yang bersangkutan telah menginjak usia dewasa

(secara biologis maupun secara social). Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa suatu

keluarga batih berfungsi sebagai :

1. Kelompok dimana si individu itu pada dasar nya dapat menikmati bantuan utama dari

sesamanya serta keamanan dalam hidup.

2. Kelompok dimana si individu itu, waktu ia sebagai kanak-kanak masih belum berdaya,

mendapat pengasuhan dan permulaan dari pendidikannya.

4
Menurut Murdock, maka didalam suatu keluarga batih, akan dapat dijumpai ciri

hubungan atau pola interaksi. Ciri tersebut ditandai dengan adanya kerja sama, kesetiaan,

solidaritas dan kasih sayang. Ciri-ciri tersebut sebagai berikut:

1) Suami dengan istri spesialis ekonomi dan kerja sama, hubungan seksual, tanggung jawab

bersama terhadap pengasuh dan pendidikan anak, hak-hak timbal balik mengenai harta

kekeyaan, perceraian, wewenang-wewenang tertentu, dan seterusnya.

2) Ayah dengan anak laki-laki aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh pria di bawah

pimpinan ayah, kewajiban memberikan tunjangan materil oleh ayah dan oleh anak pada

saat ayah mencapai usia lanjut; tanggung jawab ayah untuk mendidik serta menanamkan

disiplin pada anak laki-laki, kewajiban dari anak laki-laki untuk patuh dan mengahargai

ayahnya, serta rasa persahabatan.

3) Ibu dengan anak perempuan; suatu hubungan yang sama dengan hubungan antara ayah

dengan laki-laki, dengan tekanan pada pengasuhan dan kerja sama ekonomi.

4) Ibu dengan anak laki-laki, ketergantungan anak laki-laki selama usia anak-anak

penanaman disiplin pada tahap awal, kerja sama ekonomi selama usia anak-anak,

perkembangan awal dari adanya larangan terhadap hubungan sumbang, tunjangan materil

dari anak laki-laki kepada ibu semasa usia lanjutnya.

Ciri atau pola hubungan yang terurai diatas, dengan perbedaan-perbedaan

tertentu, akan dapat dijumpai pada setiap keluarga batih yang lengkap dengan jumlah

anak paling sedikit dua yang terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan. Setiap pria

didalam suatu masyarakat akan memainkan peranan sebagai suami atau ayah, anak dan

kakak di dalam suatu masyarakat keluarga batih, pada usia-usia tertentu. Demikian pula

halnya dengan wanita yang memainkan peranan sebagai seorang istri, ibu anak dan

5
kakak. Pantangan hubungan sumbang mencegah seorang laki-laki untuk sekaligus

memainkan peranan sebagai suami dan ayah didalam suatu keluarga batih. Dan apabila

seseorang menikah, maka ia sekaligus menjadi anggota atau warga dari dua keluarga

batih ( dalam hal perkawinan monogami )

Menurut Murdock, maka kenyataan bahwa seseorang menjadi anggota dari keluarga

batih menyebabkan timbulnya system kekerabatan. Dengan demikian, maka istilah kerabat

primer (primary relatives) dipergunakan terhadap mereka yang merupakan anggota dari

keluarga batih yang sama.

Kerabat-kerabat primer mempunyai hubungan darah, kecuali suami dengan istri, yang

terikat oleh hubungan perkawinan, halmana menimbulkan suatu dikhotomi kekerabatan pada

semua tingkat apabila ada hubungan antara dua kerabat, baik secara primer, sekunder, tersier

maupun hubungan kerabat jauh, yang juga mencakup satu atau lebih hubungan perkawinan,

kedua orang kerabat tadi tidak perlu mempunyai hubungan biologis dan biasanya

diklasifikasikan sebagai kerabat afinal (affinal relative).

Keluarga batih yang dijadikan titik tolak dari pendapat Murdock, merupakan suatu

kelompok kekerabatan (Kin-group).Dengan demikian, maka istilah kelompok kekerabatan

menunjuk pada suatu bentuk kehidupan bersama, yang sebagaimana halnya dengan kelompok

social, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a) Suatu system norma-norma yang mengatur kelakuan warga kelompok;

b) Suatu rasa kepribadian kelompok yang disadari oleh manusia warganya;

c) Aktivitas-aktivitas berkumpul dari warga-warga kelompok secara berulang-ulang;

d) Suatu system hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antara warga kelompok;

6
e) Suatu pimpinan atau pengurus yang berorganisasi aktivitas-aktivitas kelompok;

f) Suatu system hak dan kewajiban bagi para individunya terhadap sejumlah harta

produktif, harta konsumtif atau harta pusaka tertentu.

Prinsip keturunan memberikan batas-batas pada hubungan-hubungan kekerabatan, oleh

karena prinsip tersebut menentukan siapakah yang masuk batas hubungan kekerabatan dan siapa

yang secara biologis berada diluar batas tersebut. 3

B. Macam-macam Sistem Kekerabatan :

Dalam struktur masyarakat adatdi Negara Republik Indonesia terbagi menjadi :

1. Prinsip garis keturan patrilineal atau patrineal descent. Yang secara sederhana dapat

digambarkan, sebagai berikut:

”Determining the transmission of name, property through males. Patrilineal descent is

also called agnic descent”.

Koentjaraningrat menjelaskan, bahwa prinsip garis keturunan patrilineal adalah yang

menghitung hubungan kekerabatan melalui orang laki-laki saja, dank arena itu mengakibatkan

bahwa bagi tiap-tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk didalam

batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya jatuh diluar batas itu.

Hazairin menjelaskan prinsip garis keturunan partrilineal, yaitu lain keadaannya dengan

orang batak yang setiap orangnya, laki-laki atau perempuan,menarik garis keturunannya keatas

hanya melalui penguhubung yang laki-laki sebagai saluran darah, yakni setiap orang itu hanya

menguhubungkan dirinya kepada ayahnya aja dan dari ayahnya kepada ayah dari ayahnya yaitu

3
Sri Hajati,dkk.,Buku Ajar Hukum Adat,(Jakarta:Prenadamedia Group, 2018)hlm 50-52

7
datuknya dan begitu seterusnya menguhubungkan dirinya ke atas selalu menurut saluran atau

penghubung yang laki-laki. Sehingga bagi orang batak itu seorang perempuan, menurut system

kekeluargaannya yang bercorak patrilineal itu, tidak layak untuk menghasilkan keturunan bagi

keluarga ayah si perempuan itu.

2. Prinsip garis keturunan matrilineal atau matrilineal descent, yakni

“Referring to the transmission autbority, inberitance, or descent primarily through

female’’.

Menurut Koentjaraningrat, maka prinsip garis keturunan merupakan suatu prinsip

yang menghitung hubungan kekerabatan melalui orang-orang wanita saja, dank arena itu

mengakibatkan bahwa bagi tiap-tiap individu dalam masyarakat semua kerabat ibunya

masuk dalam batas hubungan kekerabatannya sedangkan semua kaum kerabat ayahnya

jatuh diluar batas itu.

Hazairin mengemukakan contoh masyarakat Minangkabau, untuk menjelaskan

prinsip garis keturunan matrilineal, yaitu orang Minangkabau lain pula caranya menarik

garis keturunan yang menentukan keluarga bagi mereka, yaitu setiap orang laki-laki dan

perempuan, menarik garis keturunannya keatas hanya melalui penghubung-pengubung

yang perempuan saja sebagai saluran darah, yaitu setiap orang itu menarik garis

keturunannya kepada ibunya dan kepada ibunya kepada ibu dari ibunya yaitu neneknya,

dan dari neneknya itu kepada ibunya plus dari neneknya, dan dari neneknya itu kepada

ibunya dan seterusnya. Cucu laki-laki dan cucu perempuan yang lahir dari anaknya yang

perempuan selanjutnya piut-piut laki-laki dan piut-piut perempuan yang lahir dari cucu

8
perempuan. Sehingga menurut sitem Minangkabau yang bercorak Matrilineal itu seorang

laki-laki tidak mempunya keterunan yang menjadi anggota keluarganya

3. Prinsip garis keturunan bilateral atau parental (bilateral descent)

“A term use to describe the transmission of descent or of property rights through both

male and female parents, without emphasizing either one or the other lines. The term bilateral is

used in contradiction to the term unilineal”4

Murdock kadang-kadang mempergunakan istilah cognatic descent untuk bilateral

tersebut.Mengenai hal ini, dengan menyebut masyarakat jawa sebagai contoh. Hazairin

menjelaskannya, sebagai berikut “orang jawa mempunyai masyarakat yang system

kekeluargaannya menurut cara bilateral, yaitu setiap orang berhak menarik garis keturunannya,

keatas baik pun melalui ayahnya ataupun melalui ibunya, demikian pula dilakukan oleh ayahnya

ataupun melalui ibunya, demikian pula dilakukan oleh ayahnya itu dan ibunya itu dan terus

begitu selanjutnya”.

Prinsip garis keturunan bilineal atau bilineal descent yang kadang-kadang juga disebut

dubble descent atau dubble unilineal. Menurut Koentjaraningrat, maka prinsip garis keturunan

bilineal adalah yang mengitung hubungan kekerabatan melalui orang laki-laki saja untuk

sejumlah hak dan kewajiban tertentu, dan melalui wanita saja untuk sejumlah hak dan kewajiban

yang lain, dankarena itu nengakibatkan ahwa bagi tiap-tiap individu dalam masyarakat kadang-

kadang semua kaum kerabat ayahnya masuk dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan

kaum kerabat ibunya jatuh diluar batas itu, dan kadang-kadang sebaliknya.

4
Ibid., hlm.42

9
4. Sistem Kekerabatan Kebapakan Beralih (Alternatif)

Masyarakat adat yang bersendi kebapakan beralih (Alternatif) maksudnya yaitu

kekerabatan yang mengutamakan garis keturunan laki-laki namun adakalanya mengikuti

garis keturunan wanita karena adanya faktor pengaruh lingkungan waktu dan tempat.

Masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi atas dua golongan menurutdasar

susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi)dan berdasar

lingkungan daerah (teritorial).5

Masyarakat hukum atau persekutuanhukum yang teritorial adalah masyarakat yang tetap

dan teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman

tertentu, baik dalamkaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani

sebagaitempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur. Masyarakat atau persekutuan hukumyang

bersifat genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat teratur, dimana paraanggotanya terikat

pada suatu keturunan yang sama dan leluhur, baik secaralangsung karena hubungan darah

(keturunan) atau secara tidak langsung karenapertalian keturunan atau pertalian adat.

Melalui sudut bentuknya, maka masyarakat hukum adat tersebut ada yang

berdirisendiri, menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih tinggi ataumencakup

beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah, serta merupakanperserikatan dari

beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat.

C. Hubungan Anak Dengan Orangtuanya

Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam tiap somah (gezin) dalam

suatu masyarakat adat. Oleh orang tua, anak itu dilihat sebagai penerus generasinya,

5
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia.( Jakarta: Rajawali Pers,2010), hlm. 95.

10
juga dipandang sebagai wadah di mana semua harapan orangtuanya dikelak kemudian hari

wajib ditumpahkan, puladipandang sebagai pelindung orangtuanya kelak bila orangtua sudah

tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri.6

Menurut hukum adat anak kandung yang sah adalah anak yang dilahirkan dari

perkawinan bapak ibu yang sah , walaupun terjadinya perkawinan tersebut setelah ibunya

melahirkan terlebih dahulu. Oleh karena itu sejak dalam kandungan hingga anak tersebut lahir

sampai dengan anak tersebut tumbuh didalam masyarakat adat akan selalu diadakan ritual

khusus untuk mendoakan keselamatan anak tersebut.

Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dimana anak tersebut lahir dari

perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana nantinya wanita tersebut yang

akan melahirkan dan pria tersebut akan menjadi bapak dan menjadi suami dari wanita

tersebut. Itu merupakan keadaan yang normal.

Tetapi keadaan tersebut adakalanya tidak berjalan dengan normal. Di dalam

masyarakat sekitar kita sering penyimpangan-penyimpangan didalam melakukan

hubungan antara pria dengan wanita sehingga menimbulkan kejadian-kejadian yang tidak

normal (abnormal).

Kejadian – kejadian tersebut menimbulkan akibat, sebagai berikut :

a. Anak Lahir Diluar Perkawinan

Hubungan anak yang lahir diluar perkawinan dengan wanita yang melahirkan

maupun dengan pria yang bersangkutan dengan anak tersebut tiap daerah tidak

mempunyai pandangan yang sama. Di mentawai, timor, minahasa, dan ambon,

6
Ibid.

11
misalnya wanita yang melahirkan anak itu dianggap sebagai ibu anak yang bersangkutan.

Jadi biasa seperti kejadian normal seorang wanita melahirkan anak dalam

perkawinan yang sah.jadi biasa kejadian normal seorang wanita melahirkan anak dalam

perkawinan yang sah. 7

tetapi dibeberapa daerah lainnya ada pendapat yang wajib mencela si ibu yang tidak

kawin itu berserta anaknya. bahkan mereka semula lazimnya dibuang dari

persekutuannya, kadang-kadang malah dibunuh atau seperti halnya di daerah kerajaan

dahulu mereka itu dipersembahkan kepada raja sebagai budak.

Yang menimbulkan tindakan-tindakan tersebut dikarenakan takut melihat

adanya kelahiran yang tidak didahului oleh perkawinan beserta upacara-upacara dan

selamatan-selamatan yang diperlukan. Untuk mencegah nasib si ibu dengan

anaknya, terdapat suatu tindakan adat dimana akan memaksa pria yang bersangkutan

untuk kawin dengan wanita yang telah melahirkan anak itu, jadi si pria tersebut

diwajibkan melangsungkan perkawinan dengan wanita yang karena perbuatannya

menjadi hamil dan kemudian melahirkan anak pria tersebut. Di sumatera selatan tindakan

tersebut dilakukan oleh rapat marga. Demikian pula di Bali, bahkan di daerah ini

apabila yang dimaksud tidak mau mengawini wanita yang telah melahirkan anak

tersebut, akan di jatuhi hukuman.

Selain melakukan kawin paksa, adapula dengan mengawini wanita hamil

tersebut dengan laki-laki lain yang bukan bapak biologis dari anak tersebut. Perkawinan

dilakukan dengan maksud agar anak tersebut dilahirkan pada perkawinan yang sah,

sehingga anak itu menjadi anak yang sah. Perkawinan tersebut banyak dijumpai di desa-

desa di Jawa (disebut nikah tambelan) dan di tanah suku Bugis (disebut
7
Bushar Muhammad,op.cit.,hlm.30.

12
pattongkog sirik). Anak yang di lahirkan diluar perkawinan tersebut di jawa di

sebut anak haram jadah di Astra, lampung di sebut anak kappang. Anak-anak tersebut

bisa menjadi sah dan masuk dalam persekutuan apabila dengan pembayaran ataupun

sumbangan adat.

Hubungan antara anak dengan bapak yang tidak/belum kawin dengan ibu yang

melahirkan, seperti diminahasa, hubungan anak dengan pria yang tak kawin dengan ibu

yang melahirkannya, adalah biasa seperti hubungan anak dengan bapak. Bila si

ayah hendak menghilangkan kesangsian mengenai hubungan tersebut, maka ia

harus memberikan lilikur (hadiah) kepada ibu anaknya (dalam hal ini antara bapak

dengan si ibu tidak tinggal satu rumah).8 Di daerah lain, anak lahir di luar perkawinan,

menurut hukum adat adalah anak yang tidak berbapak.

b. Anak Lahir Karena Zinah

Anak zinah adalah anak yang dilahir dari suatu hubungan antara seorang wanita

dengan pria yang bukan suaminya. Menurut hukum adat suaminya akan tetap

menjadi bapak anak yang dilahirkan istrinya itu, kecuali apabila sang suami menolak

berdasarkan alasan-alasan yang dapat diteriama, dapat menolak menjadi bapak anak yang

dilahirkan oleh istrinya karena telah melakukan zinah.

c. Anak lahir setelah perceraian.

Anak yang dilahirkan setelah bercerai, menurut adat mempunyai bapak bekas

suami wanita yang melahirkan itu, apabila kelahirannya terjadi dalam batas-batas waktu

mengandung. Banyak pula di jumpai dimana seorang laki-laki yang memelihara


8
Imam sudiyat, Hukum Adat (sketsa asas), (Yogyakarta: Liberty 2007), hlm. 92.

13
selir disamping dia mempunyai istri yang sah. Anak yang dilahirkan dari selir-selir

tersebut mempunyai kedudukan serta hak-hak (seperti; hak warisan) yang tidak

sama dengan anak-anak dari isteri yang sah. Anak-anak yang dilahirkan dari istri

yang sah akan mendapatkan haknya lebih banyak.

Hubungan anak dengan orangtua (anak dengan bapak atau anak dengan ibu)

akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut;

1) larangan kawin antara anak dengan bapak atau anak dengan ibu

2) saling berkewajiban memelihara dan memberi nafkah

3) Apabila si ayah ada, maka ia akan bertindak sebagai wali dari anak perempuannya

4) apabila pada upacara akad nikah yang dilakukan secara Islam

Menurut hukum adat yang menganut sistem kekerabatan Parental seperti di

masyarakat jawa kewajiban orangtua kepada anaknya sampai dengan anak tersebut

dewasa dan hidup mandiri. Pada sistem Parental tanggung jawab tidak hanya dibebankan

kepada bapak saja melainkan juga ibu ikut bertanggung kepada anak-anaknya.

D. Hubungan Anak Dengan Kerabatnya

Hukum adat mengatur tentang hubungan anak dengan kerabatnya dimana sesuai dengan

keadaan sosial dalam masyarakat bersangkutan yang berdasarkan dari sistem

keturunannya (sistem kekerabatannya).

Hukum adat di masyarakat Indonesia dimana persekutuan-persekutuan berlandaskan

pada tiga (3) macam garis keturunan, yaitu garis keturunan bapak dan ibu, garis keturunan

bapak, dan garis keturunan ibu.

14
Dalam masyarakat parental hubungan anak dengan kerabat bapak maupun ibunya

adalah sama. Masyarakat dengan sistem kekerabatan parental maka masalah-masalah

tentang larangan kawin, warisan, kewajiban memelihara semuanya berintensitas sama

terhadap kedua belah pihak baik kerabat ayah maupun kerabat ibu.

Menurut hukum adat dimana susunan kekerabatan yang patrilinial dan atau

matrilineal yang masih kuat, yang disebut orang tua bukan saja dalam garis lurus keatas tetapi

juga dalam garis lurus kesamping, seperti para paman, saudara ayah yang lelaki (Batak,

Lampung) dan para paman, saudara ibu yang lelaki (Minangkabau, Semenda) terus ke

atas, seperti kakek, buyut, canggah dan poyang

Di lingkungan masyarakat adat patrilineal anak tidak hanya hormat kepada ayah

maupun ibunya, tetapi anak juga hormat kepada kerabat garis keturunan ayah. Jadi

hubungan anak dengan kerabat ayahnya jauh lebih erat dan lebih penting dibandingkan

dengan kerabat dari ibu. Dalam persekutuan patrilineal dimana kerabat ayah tingkat

derajat dan lebih tinggi dibandingkan kerabat ibu, tetapi sama sekali tidak melupakan

kerabat dari Ibu. Seperti di Tapanuli pada suku Batak dimana sistem kekerabatannya

patrilineal keluarga pihak Ibu khususnya bagi pemudanya, pertama-tama diakui sebagai satu

keluarga dari lingkungan mana mereka terutama harus mencari bakal istrinya. Dimana

persekutuan keluarga ibunya merupakan apa yang disebut “hula-hula”, sedangkan

keluarga bapak merupakan “boru-nya”. Jadi hubungan keluarga bapak dan keluarga ibu

di daerah ini adalah keluarga yang bakal memberikan calon suami (boru) dan keluarga

yang bakal memberikan istri (hula-hula).

Lainnya dalam masyarakat adat matrilineal hubungan antara anak dengan keluarga

dari pihak ibu adalah jauh lebih erat dan jauh dianggap lebih penting dari pada hubungan

15
antara anak dengan keluarga pihak dari bapak. Tetapi hal tersebut juga tidak melupakan

kerabat dari pihak bapak, seperti di Minangkabau keluarga pihak bapak yang disebut “bako

kaki” dalam upacara-upacara selalu hadir, bahkan kadang-kadang pihak bapak ini

memberi bantuan dalam memelihara anak.

Dilingkungan matrilineal misalnya di Minangkabau yang terutama wajib

dihormati anak kemenakan selain ayah dan ibunya adalah semua mamak saudara lelaki ibu,

terutama yang berkedudukan mamak kepala waris

E. Pemeliharaan Anak Yatim Piatu

Dalam suatu keluarga apabila salah satu orangtua meninggal baik, bapak atau ibu

sudah tidak ada lagi sedangkan anak tersebut belum dewasa dalam susunan masyarakat

parental maka anak akan berada dalam pemeliharaan dan tetap dalam kekuasaan ibu

apabila ayah yang meninggal atau ayah apabila ibu yang meninggal dunia sampai anaknya

dewasa dan dapat hidup mandiri.

Apabila kedua orangtuanya meninggal dunia anak belum dewasa maka anak akan

dipelihara dan menjadi tanggung jawab dari kerabat ayah atau ibu yang terdekat

dengan anak tersebut dan mempunyai kemampuan sampai dengan anak tersebut dewasa dan

hidup mandiri.

Anak yatim piatu dalam masyarakat matrilineal jika yang meninggal dunia

adalah si Ibu anak tersebut tetap menetap, dipelihara dan berada dalam kekuasaan dari

kerabat Ibunya, ayah hanya akan memperhatikan kepentingan dari anak-anak tersebut.

Sedangkan si ayah yang meninggal dunia maka Ibu akan meneruskan kekuasaannya

terhadap anak-anak yang belum dewasa, misalnya; di Minangkabau.

16
Jika ayah meninggal dunia dalam masyarakat patrilineal sedangkan si anak belum

dewasa maka ibu yang akan mendidik anak tersebut, tetapi Ibu beserta anak akan menjadi

tanggung jawab dan tetap tinggal di lingkungan kerabat mendiang suaminya , misalnya di

Batak dan Bali.

Tetapi apabila si Janda ingin keluar dari lingkungan kerabat suaminya tersebut

(misalkan kawin dengan laki-laki lain) ia dapat bercerai dengan kerabat suaminya, anak tetap

dalam kekuasaan kerabat mendiang suaminya.

Jadi apabila dalam keluarga yang susunan kekerabatannya unilateral orangtuanya

meninggal dunia, jika keluarga tersebut patrilineal maka kekuasaan orangtua terhadap anak-

anak yang ditinggal selanjutnya berada pada keluarga pihak bapak dan berada pada

kekuasaan kerabat ibu jika keluarga tersebut matrilineal.

F. Adopsi Anak (Pengangkatan Anak)

Keturunan dalam masyarakat adat sangat diperlukan karena untuk meneruskan

kekerabatanya. Jadi apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak, maka dapat

dilakukan pengangkatan anak. Pengangkatan anak tidak hanya dilakukan apabila dalam

keluarga tersebut tidak mempunyai keturunan, tetapi keluarga tersebut tidak mempunyai anak

laki-laki untuk meneruskan kekerabatannya seperti pada masyarakat Bali.

Kedudukan anak angkat dapat di bedakan antara anak angkat sebagai penerus

keturunan (Lampung; tegak tegi), anak angkat karena perkawinan atau untuk penghormatan.

Di lampung anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi biasanya diambil dari anak

yang masih bertali kerabat dengan bapak angkatnya. Di Bali adopsi anak karena perkawinan

dilakukan apabila tidak mempunyai anak kekerabatannya

17
G. Bentuk-bentuk persekutuan hukum adat di Indonesia

Masyarakat hukum adat di tinjau dari sistem kekerabatannya dapat dibedakan menjadi 3

kelompok,yaitu :

1. Kekerabatan yang bersistem patrilineal,yaitu kedudukan anak laki-laki lebih utama dari

pada anak perempuan,apabila satu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki,maka

keluarga tersebut akan melakukan pengangkatan anak.sistem kekerabatan

patrilineal,berlaku adat perkawinan jujur,setelah perkawinan si istri mengikuti suami dan

menjadi anggota kerabat suami dan termasuk anak-anak yang di lahirkan dari

perkawinannya.diikut pada masyarakat gayo,Alas,Batak,Bali,Lampung,Ambon,dan Irian

jaya.

2. Kekerabatan yang bersifat matrilineal,yaitu keduduka anak perempuan lebih menonjol

dari pada anak laki-laki,sistem kekerabatan matrilineal ini,umumnya berlaku perkawinan

semendar.setelah perkawinan suami mengikuti istri akan tetapi tetap menjadi anggoata

kerabat asal dan tidak masuk ke dalam kerabat istri,sedangkan anak-anak mengikuti

anggota kerabat ibunya,diikuti masyarakat minangkabau.

3. Kekerabatan yang bersifat parental atau bilateral,yaitu sistem keturunan yang ditarik

menurut garis orangtua atau garis dua sisi (bapak-ibu),dimana kedudukan anak laki-laki

dan anak perempuan tidak dibedakan,kekerabatan parental dan bilateral berlaku

perkawinan bebas ,dimana kedudukan suami istri sederajat dan seimbangdiikuti

masyarakat Jawa, Madura, Aceh, Sumatera Timur, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan

(Dayak), Sulawesi, dan lain sebagainya.

Sri Widoyatiwiratmo soekito menyebutkan bahwa indonesia terdapat tiga sistem

kekerabatan atau kekeluargaan,yaitu sistem kekerabatan matrilineal,patrilineal,dan

18
parentalnamun kekuasaan tetap berada di tanga laki-laki.Hal ini sebagai akibat dari

pengaruh ideologi patriarki. Sistem kekerabatan matrilineal yang di anut masyarakat

minangkabau di sumatra Barat,merupakan sistem kekerabatan tertua.sistem kekerabatan

ini menempatkan status kaum perempuan yang tinggi dan disertai dengan sistem

perkawinan semendanya,dan sebagai penerus keturunan serta dalam hukum waris juga

sebagai ahli waris.pada masyarakat minangkabau di sumatra Barat dimana pada sistem

kekeluargaan ini garis keturunan ditarik dari garis perempuan (ibu) akan teteapi

kekuasaan bukan di tangan perempuan tetapi di angan laki-laki.hal ini dapat dilihat

bahwa yang menjadi mamak kepala waris yakni di jabat oleh laki-laki yakni laki-laki

tertua.Oleh karenanya,dalam sistem kekerabatan matrilineal kekuasaan tetap berada di

tangan laki-laki maka jelas terdapat isu gender didalamnya. Sistem kekerabatan patrilinial

yang di anut masyarakat Tapanuli,Lampung,Bali dan lainnya sangat jelas menempatkan

kaum laki-laki pada kedudukan yang lebih tinggi.laki-lakiberkedudukan sebagai ahli

waris,sebagai penerus warga,sebagai penerus keturunan,sebagai anggota masyarakat adat

dan juga mempunai peranan dalam pengambilan keputusan keluarga maupun masyarakat

luar.mayarakat yang mengandung sistem kekerabatan patrilineal kaum perempuan justru

sebaliknya itu mempunyai kedudukan yang sangat rendah,tidak sebagai ahli waris,tidak

sebagai pelanjut keturunan,tidak sebagai penerus keluarga karena dalam perkawinan jujur

(pada umumnya)perempuan mengikuti suami dan juga tidak menjadi anggota masyarakat

adat.

19
H. Pengaruh sistem kekerabatan yang dianut terhadap kehidupan masyarakat

Sistem kekerabatan mengatur dimensi sosial dan ekonomi.Dalam penerapannya

suatu saat dapat dimungkinkan bahwa paham sistem kekerabatandapat disalahgunakan

secara ekstrim. Dampaknya dapat kepada pembatasan sosialdan ekonomi yang akanselalu

ada pihak diuntungkan dan dirugikan karenakeberadaan sistem kekerabatan tidak adil.

Suatu permisalan seperti dalam kutipan novel berkisah orang suku Minangkabau

dapat saja pihak perempuan mengatakan kepada suaminya ‘’Beraninya kau

mendekatinya, berapa harga kepala kau!’’ Andai kata wanitaMinangkabau mengatakan

demikian, maka dapat mengindikasikan bahwa wanitaMinangkabau berwatak keras

seolah memiliki hak lebih tinggi dan menjadi sentral keluarga serta menjadi dominasi

dalam sistem keluarga daripada pihak pria.padahal sistemnya memiliki maksud yang

bagus, yang pada dasarnya mengatur pembagian tugas atas dasar psikologis wanita yang

dianggap handal mengatur ekonomi, sehingga diserahkanlah hak waris kepada pihak

wanita. namun didunia yang makin materialistis ini tujuan utama dan maksud dari

pembagian sistemkekerabatan tersebut dapat disalah artikan. orang mulai paham bahwa

uang tidak sekedar membeli makanan, minuman, kendaraan, rumah, perabotan,

perhiasan,komunikasi, pelacur, pembunuh bayaran, hukum, hingga kebenaran. Tak

dapatmenutup kemungkinan hal yang sama juga dapat terradi pada sistem kekerabatan

patrilineal.

Sistem kekerabatan juga memungkinkan terbentuknya sistem hukum adat yang

khas. seperti misalnya sistem kekerabatan endogami Klan seperti di Baliyang

masyarakatnya hidup dalam keadaan berkasta-kasta. Sehingga terkesan adanya kurang

20
pemisah secara gen. secara ekonomi mungkin tidak ada perbedaan,tetapi secara gengsi

antar klan memiliki tingkatannya sendiri. adat lama perkawinannya dapat dilakukan

diantara warga se-klan atau sederajat dalam kasta.wanita kasta yang tinggi harus menikah

dengan ketentuan kastanya sama atau lebih tinggi. Jika dilanggar akan dinyatakan keluar

dari dadia (klan) dan dihukum di buang (maselong)untuk beberapa lama ke tempat yang

Jauh.Untungnya sejak 1951 hukuman tersebut tidak dijalankan lagi.9

9
Ibid.

21

Anda mungkin juga menyukai