Anda di halaman 1dari 12

“HUKUM ADAT DAYAK NGAJU”

Pelaksanaan perkawinan ditinjau dari hukum Islam

Nama kelompok :
Karina Aktasia
Norjannah
Maya Mardatila
Ahmad Fikrian
Wardatul jennah
Kata pengantar

Puji syukur saya haturkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang Ia
berikan sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih juga kami
ucapkan kepada semua anggota kelompok yang berkontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Kami berharap makalah ini dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan menjadikan acuan untuk pembelajaran berikutnya. Kami sadar bahwa dalam
proses penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran.

Palangkaraya, 02 Februari 2023

Karina Aktasia
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. 1
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................................ 2
1.1 LATAR BELAKANG...................................................................................................2
1.2 RUMUSAN MASALAH.............................................................................................. 3
BAB 2 PEMBAHASAN........................................................................................................... 4
1.3 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................... 4
1.3 HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................................... 5
SIMPULAN DAN SARAN...................................................................................................... 7
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... 8
BAB 1
Pendahuluan
1.1 Latar belakang

Sebagaimana diketahui bahwa sebelum berlakunya atau


diundangkannya undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, di
Indonesia berlaku sebagai macam hukum perkawinan. Wilayah nusantara
Indonesia yang terkenal dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang
terdiri dari beribu-ribu pulau, penduduknya terdiri dari berbagai macam suku
etnis bangsa dan hidup dalam kelompok masyarakat sendiri-sendiri
terbentang dari Sabang Nanggroe Aceh Darussalam sampai Merauke Papua.
Setiap suku bangsa atau kelompok masyarakat mempunyai peraturan
kebudayaan dan adat istiadat tersendiri yang berbeda dengan suku bangsa
atau kelompok masyarakat lainnya keseluruhan peraturan inilah yang
kemudian disebut dengan hukum adat. Dalam kehidupan masyarakat yang
poskolonial hukum adat mempunyai pendekatan yang pertama pendekatan
interdisipliner dan yang kedua adalah perspektif pluralisme hukum yang
mana menjadi peran kunci dalam kemunculan hukum adat. Hukum adat
merefleksikan peraturan masyarakat lama yang berseberangan dengan
peraturan masyarakat baru yang merupakan hasil dari kehendak masyarakat
modern. Hukum pemerintah atau negara akan paling tidak sedikit bercampur
tangan dengan hukum adat yang dibuat sementara hukum adat juga berkaitan
dengan permasalahan prinsip seperti bagaimana hukum adat dibuat diakui dan
dipublikasikan siapa yang terikat dengan hukum tersebut dan bagaimana
mereka bisa diakui dan jika ia bagaimana seharusnya hukum tersebut diakui
sejauh apa dan dengan dasar seperti apa.

Hukum adat ini telah lama berlaku di tanah air kita kapan mulai
berlakunya hukum ini tidak dapat diketahui dengan pasti tetapi dapat
dikatakan bahwa hukum adat lah yang tertua bila dibandingkan dengan
hukum Islam dan hukum nasional. Ada kaitan antara tanah atau lingkungan
alam dengan hukum adat yang biasanya dilanggengkan oleh para penduduk
asli wilayah tertentu penduduk asli lebih dulu ada menduduki wilayah adat
atau suku mereka sehingga hukum adat sudah ada dan dilaksanakan jauh
sebelum datangnya agama-agama dari luar Indonesia dan juga sebelum
terbentuknya negara Indonesia. Ini adalah hukum yang sudah ada sebelum
kedatangan kolonial dan barulah diberi perhatian selama masa kolonial oleh
penjajah hukum adat sebagai institusi pada tingkat komunal mempunyai
tradisi suku asli yang bisa berlawanan dengan struktur politik negara
meskipun begitu percampuran hukum adat bisa terjadi dengan menghargai
karakteristik yang universal dan menyatukan maka berdasarkan pendapat
Robin hukum adat harus dirawat selama tidak berlawanan dengan prinsip
umum dari kemanusiaan yang diakui oleh seluruh peradaban dunia
kemanusiaan adalah bentuk potensial untuk konten yang sifatnya absolut dan
mutlak pelanggaran prinsip umum kemanusiaan meliputi pembunuhan
menggunakan pendeportasian dan ketidakadilan ras sehingga hukum adat
yang masih mempraktikkan hal-hal ini tidak seharusnya dilanggankan dan
dirawat keberlangsungannya sebagaimana diketahui perkawinan merupakan
perbuatan mengandung nilai sakral sehingga suatu perkawinan tidak boleh
menyimpang dari agama atau hukum agama. Sebab agama atau hukum agama
lah yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinan agama adalah faktor
budaya yang penting yang mempengaruhi transisi untuk pernikahan
pernikahan adalah sebuah instruksi yang tidak begitu saja ditemukan oleh
masyarakat melainkan konstruksi melalui hukum-hukum yang diakui oleh
masyarakat termasuk agama. Menurut Islam perkawinan adalah peristiwa
sakral dalam kehidupan manusia dan merupakan salah satu tonggak sejarah
terpenting dalam kehidupan seseorang. Apakah seorang ini manusia
terpandang atau menjadi manusia hina ikut ditentukan oleh perkawinannya
menurut hukum Islam perkawinan yang merupakan sunnah nabi merupakan
kehendak kemanusiaan kebudayaan kebutuhan rohani dan jasmani dengan
demikian perkawinan disyariatkan supaya manusia mempunyai keturunan
dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat di
bawah naungan cinta kasih dan Ridha Ilahi ini menunjukkan bahwa
perkawinan membutuhkan cinta sebagai dasarnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik rumusan masalah mengenai


bagaimana pelaksanaan perkawinan menurut hukum adat Dayak ngaju dan
bagaimana perbandingan hukum Islam terhadap pelaksanaan perkawinan
hukum adat Dayak ngaju dengan tujuan penelitian untuk mengetahui
pelaksanaan perkawinan menurut hukum adat Dayak ngaju dan untuk
mengetahui perbandingan hukum Islam terhadap pelaksanaan perkawinan
hukum adat Dayak ngaju. Manfaat dari penelitian diharapkan dapat
memperkaya pengetahuan khususnya dalam hukum perkawinan adat Dayak
Kapuas agar dapat mengetahui cara pelaksanaan pernikahan secara adat
Dayak Kapuas dan berjalannya peraturan-peraturan perkawinan adat daya
Kapuas serta saksi yang dilanggar apabila tidak sesuai dengan hukum adat
secara praktis penelitian ini memberikan pengetahuan bagi masyarakat Dayak
Kapuas tentang hukum adat Dayak Kapuas tentang perkawinan adat.
BAB 2
PEMBAHASAN

1.3 Tinjauan pustaka

Menurut hukum adat, perkawinan bukan saja merupakan soal yang mengenai
orang-orang yang bersangkutan (sebagai suami istri), melainkan juga merupakan
kepentingan seluruh keluarga dan bahkan masyarakat Adat pun ikut berkepentingan dalam
soal Perkawinan itu. Bagi hukum adat, perkawinan itu adalah perbuatan yang tidak hanya
bersifat keduniaan, melainkan juga bersifat kebatinan atau keagamaan (Taufiqurrohman,
1993). Mengenai tujuan perkawinan menurut hukum adat pada umumnya adalah
mempertahankan dan meneruskan kelangsungan hidup masyarakat adatnya. Namun,
karena sistem kekerabatan atau kekeluargaan masing-masing masyarakat berlainan, maka
penekanan dari tujuan perkawinan disesuaikan dengan sistem kekeluargaan (Prododikoro,
1981). Selain itu, terkenal pula larangan perkawinan parallel cousin (anak-anak dua
saudara perempuan atau anak- anak dua saudara laki-laki), larangan perkawinan cross
cousin (anak saudara perempuan dengan anak saudara laki-laki), larangan perkawinan
karena hubungan darah, larangan kawin bagi adik perempuan sebelum kakaknya yang
perempuan kawin, dan larangan kawin bagi perempuan dengan laki-laki yang derajatnya
lebih rendah. Perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah
satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan-aturan
hukum baik yang tertulis (hukum negara) maupun yang tidak tertulis (hukum adat) (Ilyas,
2000).

Dari uraian penjelasan di atas, pada dasarnya semua rumusan mengenai


perkawinan hukum Islam berdasarkan pada ketentuan yang didasarkan oleh peraturan
yang di ambil dari Kompilasi Hukum Islam, yang dijelaskan dengan:
(1) Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita;
(2) Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat
yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali
nikah;
(3) Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang
diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi;
(4)Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai
wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam Taklil - talak ialah perjanjian yang diucapkan calon
(5) Taklil- talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad
nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada
suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang;
(6) Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syarkah adalah harta yang diperoleh
baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung
selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun;
(7) Pemeliharaan atak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan
mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri;
(8) Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk
melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak
yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap
melakukan perbuatan hukum;
(9) Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan
memberikan tebusan atauiwadl kepada dan atas persetujuan suaminya;
(10) Mutah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa
benda atau uang dan lainnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan juga mengenai rukun dan syarat
perkawinan yaitu calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi dan Ijab dan Kabul.

1.4 Hasil Dan Pembahasan

Walaupun hukum adat sudah berlaku di Indonesia, baru pada akhir abad ke-19
istilah hukum adat yang merupakan terjemahan dari istilah “adatrecht” untuk pertama
kalinya diperkenalkan oleh Snouck Hurgonje (Hadikusuma, 1997). Kemudian
pengembangannya dilanjutkan oleh para sarjana hukum adat. Hukum adat hanya
merupakan istilah teknis ilmiah saja untuk membedakan antara Hukum Barat dengan
Hukum Bumi Putera, yakni Hukum Barat yang terulis dan Hukum Bumi Putera yang
kebanyakan tidak tertulis. Hukum tidak tertulis seperti kontrak sosial yang tidak pernah
dituliskan tetapi bisa dan mungkin masih berlaku hingga sekarang (Benson, 1992). Hukum
tertulis biasanya sudah tertuang di dalam teks yang merupakan dokumen tertulis yang
menetapkan sistem prinsip-prinsip dasar yang dengannya negara atau bangsa dibentuk dan
diatur, serta yang paling utama untuk menempatkan kekuasaan kedaulatan (Pryor, 2007).
Meskipun begitu, gagasan tentang hukum tidak tertulis berperan dalam pencapaian paling
mengesankan di dalam sejarah filsafat politik (Nelson, 2012). Oleh karena itu, hukum tidak
tertulis berperan juga untuk mendorong dalam mencari aturan hukum di luar hukum
tertulis (Sachs, 2013). Di sinilah dapat dilihat dalam konteks Indonesia, Hukum Barat yang
merupakan hasil konstitusi Hindi Belanda adalah hukum yang dibuat untuk memudahkan
mereka membangun pemerintahan dan menguasai tanah air. Sementara, Hukum Bumi
Putera yang sudah lama ada, tidak tertulis, dan dijalankan dari generasi ke generasi adalah
yang disebut dengan Hukum adat yang bisa berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain.
Hukum adat tersebut mengurus kegiatan sehari-hari hingga hal yang berkaitan dengan
hubungan individu dengan individu lainnya, termasuk perkawinan.

Masalah perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat,


karena tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga merupakan
warisan keluarga. Di dalam masyarakat tradisional, perkawinan itu di samping dilakukan
menurut tata cara dan syarat- syarat yang berlaku pada masyarakat tersebut, juga dilakukan
menurut Hukum Agama atau kepercayaan untuk disahkan oleh masyarakat yang
bersangkutan. Dapat dilihat bahwa pada dasarnya anggota-anggota kelompok masyarakat
telah secara kolektif mengonstruksi lingkungan sosial yang sangat rumit yang
membutuhkan koordinasi perilaku yang kompleks antara individu, di dalam organisasi,
dan di seluruh masyarakat (Misyak, Melkonyan, Zeitoun, & Chater, 2014). Perkawinan
atau pernikahan mampu membantu masyarakat, khususnya pasangan suami-istri, untuk
mengekspresikan kepuasan hidup yang lebih tinggi dan nilai-nilai tradisional (Ryser & Le
Goff, 2018). Dalam pernikahan tradisional, peran dan status pasangan dengan baik
disandang (Cherlin, 2004) yang dapat berguna dalam melestarikan Hukum adat. Pasangan-
pasangan tersebut yang berkomitmen satu sama lain sebagai pribadi, memiliki lebih sedikit
masalah pernikahan (Swensen, Eskew, & Kohlhepp, 1984). Sebab perkawinan adalah
sebuah institusi (Asoodeh, Khalili, Daneshpour, & Lavasani, 2010) yang ada banyak pihak
turut campur di dalamnya, maka Hukum adat tidak bisa tidak untuk ikut andil dalam
mengaturnya karena di situlah generasi berikutnya dilahirkan dan diasuh untuk
melanjutkan adat dan budaya. Bahkan dalam Hukum adat daerah-daerah tertentu terdapat
banyak aturan. Salah satunya adalah permasalahan kelas sosial atau formasi keluraga
mungkin juga menjadi relevan dalam mengonstruksi arti dari pernikahan atau perkawinan
(Jarnkvist, 2019). Pernikahan bisa berbeda-beda dimaknai tergantung pada konteks
tempatnya (Holland, 2013), termasuk dalam tata cara melakukan perkawinan tersebut.

Dalam masyarakat adat, tata cara melakukan perkawinan diatur menurut hukum
adat. Hukum adat ini yang telah lama berlaku di tanah air kita. Mengenai perkawinan,
hukum adat memandang sebagai suatu peristiwa penting dalam kehidupan
kemasyarakatan, karena perkawinan tidak hanya menyangkut wanita dan pria calon
mempelai saja, tetapi juga kedua orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya bahkan
keluarga masing-masing. Malahan, bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka
yang masih hidup saja, tetapi juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang
sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti arwah para leluhur kedua belah pihak
(Wignjodipoero, 1984). Ada ritual-ritual pernikahan yang dikembangkan dan dipahami
dalam konteks lokal (Kaplan, 2015). Salah satu contohnya adalah adanya lagu yang disebut
svadobne noty yang harus dinyanyikan dalam acara pernikahan sesuai adat di Slovakia
(Važanová, 2008). Selain itu, dalam acara pernikahan biasanya akan melalui tahapan yang
sesuai Hukum adat, hukum negara, dan hukum agama (Szabó & Caples, 2014).
SIMPULAN DAN SARAN

Di lihat dari sudut pandang hukum islam, hukum perkawinan adat suku Dayak Ngaju
memiliki nilai-nilai dan aturan-aturan yang tidak saling bertentangan. Hukum adat Dayak
Ngaju memandang perkawinan sebagai suatu peristiwa penting dalam kehidupan
kemasyarakatan, karena perkawinan tidak hanya menyangkut wanita dan pria calon mempelai
saja, tetapi juga kedua orang tua kedua belah pihak, saudara- saudaranya bahkan keluarga
masing-masing. Tujuan perkawinan menurut hukum adat pada umumnya adalah
mempertahankan dan meneruskan kelangsungan hidup masyarakat adatnya. Namun, karena
sistem kekerabatan atau kekeluargaan masing-masing masyarakat berlainan, maka penekanan
dari tujuan perkawinan disesuaikan dengan sistem kekeluargaan. Selain itu, terkenal pula
larangan perkawinan parallel cousin (anak-anak dua saudara perempuan atau anak-anak dua
saudara laki-laki), larangan perkawinan cross cousin (anak saudara perempuan dengan anak
saudara laki-laki), larangan perkawinan karena hubungan darah, larangan kawin bagi adik
perempuan sebelum kakaknya yang perempuan kawin, dan larangan kawin bagi perempuan
dengan laki-laki yang derajatnya lebih rendah. Meski demikian tidak ada aturan yang mengatur
batas usia minimal diperbolehkan menikah, selama kedua calon sudah dianggap telah mencapai
usia yang tepat atau dewasa. Pelaksanaannya juga mengikuti aturan-aturan dan tata cara yang
telah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. D. (1997). Azas-Azas Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers. Allott, A. (1969).
Customary Law in East Africa. Africa Spectrum, 4(3), 12-22.
Asoodeh, M. H., Khalili, S., Daneshpour, M., &
Lavasani, M. G. (2010). Factors of Successful marriage: Accounts from self described happy
couples. Procedia – Social and Behavioral Sciences, Vol. 5, 2042-2046.
Bashir, A. A. (1980). Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: FH UL
Bennett, T., & Vermeulen, T. (1980).
Codification of Customary Law. Journal of African Law, 24(2), 206-219. Benson, B. (1992).
Customary law as a social contract: International commercial law.
Constit Polit Econ 3, 1-27.
Cherlin, A. J. (2004). The deinstitutionalization of American marriage. Journal of Marriage
and Family, 66, 848-861.
Demian, M. (2014). On the Repugnance of Customary Law. Comparative Studies in Society
and History, 56(2), 508-536. Diala, A. C. (2017). The concept of living
Customary law: a critique. The Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, 49(2), 143-165.
Grossi, R. (2014). Love and Marriage. In Looking for Love in the Legal Discourse of Marriage
(pp. 17-38). Canberra, Australia: ANU Press.
Simmonds, R. (2006). Customary law and treaty.
In Read P., Meyers G., & Reece B. (Eds.), What Good Condition?: Reflections on an Australian
Aboriginal Treaty 1986-2006 (pp. 171-176). ANU Press.
Smith, O. (2011). Humanity. In Vladimir Soloviev and the Spiritualization of Matter (pp. 91-
144). Brighton, MA: Academic Studies Press.
Soewondo, N. (1984). Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Sosroadmojo, A., & Aulawi, W. (1975). Hukum) Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan
Bintang.
Sprecher, S., & Hatfield, E. (2015). The importance of Love as a Basis of Marriage:
Revisiting Kephart (1967). Journal of Family Issues, Vol. 38(3), 312-335. Sudiyat, I. (1981).
Hukum Adat: Sketsa Azas. Yogyakarta: Liberty.
Swensen, C. H., Eskew, R. W., & Kohlhepp, K. A. (1984). Five factors in long-term marriages.
J Fam Econ Iss 7, 94-106.
Szabó, A., & Caples, M. (2014). Betrothal and Wedding, Church Wedding and Nuptials:
Reflections on the System of Marriages in Sixteenth- and Seventeenth-Century
Hungary. The Hungarian Historical Review, 3(1), 3-31.
Taufiqurrohman. (1993). Proses Pembentukan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 dan
Hubungan dengan Hukum Perkawinan Islam, Tesis. Jakarta: Program Pascasarjana UI.
Važanová, J. (2008). Functions of Ceremonial Wedding Tunes, Svadobné Noty, in the Context
of Traditional Culture in Slovakia and in a Cross-Cultural Perspective. Yearbook for
Traditional Music, 40, 21-32.
Wignjodipoero, S. (1984). Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung.

Anda mungkin juga menyukai