DOSEN PENGAMPU
Dr.Ruliah Ariehidayah, S.H.,M.H
OLEH
ZULKIFLI
H1A117506
Puji syukur kita panjatkan atas kehdirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan penyusunan
makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan kita Nabi
Besar Muhammad SAW, yang telah menyampaikan petunjuk Allah SWT untuk kita semua,
sebuah petunjuk paling benar yakni syariah agama islam yang sempurna dan satu satunya
karunia paling besar kepada seluruh alam semesta.
Dengan mengucapkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, maka kami bisa
menyelesaikan makalah yang berjudul “HUKUM ADAT WARIS BERDASARKAN
ADAT BUGIS” dan dengan harapan semoga makalah ini bisa bermanfaat dan menjadikan
referensi bagi kita.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan .............................................................................................................
B. Saran .......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad,
oleh karena itu maka tiap bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang
satu dengan lainnya tidak sama. Justru oleh karena ketidaksamaan inilah dapat dikatakan,
bahwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa
yang bersangkutan.
dimiliki oleh daerah-daerah suku-suku bangsa yang berbeda-beda, meskipun dasar serta
sifatnya adalah satu, yaitu ke-Indonesiaannya. Oleh karena itu maka adat bangsa Indonesia
itu dikatakan merupakan “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetapi tetap satu juga). Adat
istiadat yang ada di Indonesia tidaklah mati di tinggal zaman, melainkan senantiasa bergerak
serta adanya keharusan selalu dalam keadaan evolusi mengikuti proses perkembangan
peradaban bangsanya. Tidak jarang adat istiadat tersebut dijadikan sebagai suatu hukum yang
mengikat dan berlaku terhadap masyarakatnya, atau yang sering dikenal sebagai Hukum
Adat.
Hukum adat sebagai suatu sistem hukum yang ada pada masyarakat adat bertujuan
mewujudkan tatanan kehidupan yang damai dan tentram dalam bermasyarakat, dengan
adanya kedamaian dan ketentraman itulah akan tercipta keadilan hukum bagi mereka, dalam
hal ini pemaknaan keadilan lebih terarah pada keseimbangan dari berbagai aspek dalam
tatanan nilai-nilai kehidupan yang diyakini untuk keselamatan kehidupan individu dan
Hukum adat pada umumnya belum atau tidak tertulis. Adat istiadat atau kebiasaan
yang berkembang didalam masyarakat tersebut kemudian menjadi suatu hukum yang harus
dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat, oleh karena itu dilihat dari mata seorang ahli
hukum, hukum adat itu memang tidak teratur, tidak sempurna dan tidak tegas, namun apabila
di lihat dari mata masyarakat adat, hukum adat sangatlah sempurna dan sangat tegas
dikarenakan hukum adat juga dibarengi dengan sanksi adat bagi pelanggarnya.
Meskipun demikian, keberlakuan hukum adat tersebut terbatas hanya pada bidang-
bidang hukum tertentu, dimana salah satu dari bidang hukum yang dimaksud adalah bidang
hukum kewarisan, untuk masalah kewarisan belum ada hukum waris nasional ataupun
undang-undang yang mengatur mengenai masalah pewarisan bagi seluruh warga negara
Indonesia. Sampai saat ini, masih terdapat pluralisme hukum waris di Indonesia. Hukum
waris yang berlaku di Indonesia terdiri atas hukum waris. menurut hukum Perdata Barat,
Masing-masing hukum waris tersebut berlaku pada subjek hukum yang berbeda, bagi
mereka yang beragama Islam, berlaku hukum waris Islam dalam pembagian harta warisan
dan dibolehkan apabila para ahli waris bersepakat untuk membagi harta warisan tersebut
dengan hukum waris lain, misalnya hukum waris adat yang dianut oleh mereka, namun jika
terjadi sengketa dalam pembagian harta warisan, para ahli waris tidak dapat memilih hukum
Hukum Waris berkaitan dengan aturan-aturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari
suatu angkatan manusia kepada keturunannya. Jadi dalam hal ini masalah warisan erat
hukum adat mereka dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan dan sistem perkawinan yang
mereka anut. Hukum waris yang berlaku di kalangan masyarakat Indonesia sampai sekarang
masih bersifat pluralistis, yaitu ada yang tunduk kepada Hukum Waris Perdata, Hukum Waris
Islam dan Hukum Waris Adat. Masyarakat Indonesia yang terdiri atas beragam suku bangsa
memiliki adat istiadat dan hukum adat yang beragam antara yang satu dengan yang lainnya
berbeda dan memiliki karakteristik tersendiri yang menjadikan hukum adat termasuk di
dalamnya hukum waris menjadi pluralistis pula, namun negara tetap mengakui keberadaan
hukum adat yang ada di Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 18B
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang”.
Hukum waris suatu golongan masyarakat sangat dipengaruhi oleh bentuk kekerabatan
dari masyarakat itu sendiri, setiap kekerabatan atau kekeluargaan memiliki sistem hukum
masalah hukum kewarisan, disamping itu juga antara sistem kekerabatan yang satu dengan
Beberapa suku dengan populasi terbesar seperti suku Batak, Banjar, Jawa, Sunda,
Bali, Minangkabau, Melayu, Dayak, Bugis, dan berpuluh-puluh suku dengan populasi relatif
kecil lainnya, telah dikenal adat istiadatnya yang spesifik dengan karakternya masing-masing.
Suku Bugis merupakan salah satu dari empat suku utama yang mendiami Sulawesi
Selatan, yaitu Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Selain itu terdapat juga suku-suku kecil
dan masyarakat lokal dengan bahasa dan dialeknya masing-masing (di luar empat bahasa
daerah utama) yaitu Massenrenpulu (Enrekang), Selayar, Malili, Kajang, dan Balangnipa.
Suku-suku tersebut kecuali suku Toraja yang mayoritas Kristen dan masih kuat menganut
adat “alu’ tudolo” yaitu adat turun temurun yang cenderung animisne, maka hampir semua
Sistem pewarisan dalam suku Bugis adalah sistem kekerabatan Parental, yakni yang
menganut sistem kekeluargan dengan menarik garis keturunan dari kedua belah pihak orang
tua, yaitu baik dari garis bapak maupun dari garis ibu. Sistem kekeluargaan parental atau
bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yang merupakan ahli waris adalah
anak laki-laki maupun anak perempuan. Mereka mempunyai hak yang sama atas harta
peninggalan orangtuanya sehingga dalam proses pengalihan sejumlah harta kekayaan dari
pewaris kepada ahli waris, anak lakilaki dan anak perempuan mempunyai hak untuk
diperlakukan sama.
Masyarakat suku Bugis yang berdiam di Kecamatan Enok memiliki adat istiadat dan
hukum adat yang merupakan warisan dari nenek moyang dan berlaku secara turun-temurun
dari generasi ke generasi. Dilihat dari asal berkembangnya masyarakat adat Suku Bugis yang
berasal Sulawesi Selatan, maka tidak tertutup kemungkinan terjadinya pergeseran kebiasaan
adat yang mereka kenal sejak jaman nenek moyang mereka, mengingat sifat daripada hukum
Beberapa kasus pembagian waris yang dijumpai adalah berupa perselisihan pendapat
terhadap peranan wanita dalam menguasai hak waris pusaka berupa si pewaris. Dimana
menurut pembagian waris adat suku bugis, harta peninggalan berupa rumah merupakan hak
dari pada keturunan perempuan dari si pewaris. Kasus pembagian waris lainnya juga
dijumpai seperti penolakan pembagian secara musyawarah dan lebih memilih pembagian
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan diteliti dan
2. Bagaimana Hubungan hukum islam dan Hukum adat Bugis tentang pewarisan?
C. Tujuan
2. Mengetahui Hubungan hukum islam dan Hukum adat Bugis tentang pewarisan
PEMBAHASAN
Istilah adat dan hukum adat sudah tidak asing lagi di dengar oleh masyarakat namun
apa makna yang terkandung di dalamnya masih kurang diketahui dan dipahami oleh
masyarakat.
Suriyaman Mustari Pide menguraikan bahwa kata adat berasal dari bahasa arab yang
berarti kebiasaan. Terjadinya hukum bermula dari pribadi manusia yang menimbbulkan
kebiasaan pribadi kemudian ditiru orang lain maka lambat laun itu menjadi adat yang harus
berlaku bagi semua anggota masyarakat sehingga menjadi hukum adat. Hukum adat
secara ilmiah oleh snouck hurgronje. Kemudia ditahun 1893, snouck hurgronje dalam
bukunya yang berjudul De Atjhers menyebutkan istilah hukum adat sebagai adat recht
(bahasa belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social
Kepastian yang pasti dihadapi oleh manusia didunia adalah kepastian yang
menyatakan bahwa semua manusia akan meninggal dunia. Sewaktu ia masih hidup sebagai
anggota masyarakat disertai hak dan kewajiban terhadap orang, misalnya terhadap anak
yang pada hakikatnya akan berpindah kepada orang-orang lain. Kematian seseorang sudah
diperlukan cara dan bagaimana hak dan kewajiban yang menyangkut harta benda saat yang
bersangkutan meninggal dunia akan berpindah kepada orang yang masih hidup. Karena itulah
umumnya masyarakat menghendaki adanya suatu peraturan yang menyangkut harta benda
Menurut para pakar bahwa dalam perjalanan manusia didunia mengalami tiga
peristiwa yang penting, yaitu pertama waktu ia dilahirkan, tumbuh tugas baru didalam
keluarganya dan menjadi pengemban hak dan kewajiban. Kedua, waktu ia kawin, setelah
meninggal dunia, manusia pada suatu saat akan meninggal yang tentu juga sama dengan
Sebelum kita melangkah lebih jauh mengenai hukum adat waris, maka sebaiknya kita
mengenal dahulu apa pengertian dari hukum adat waris atau hukum adat kewarisan, jika kita
bicara mengenai kewarisan sudah barang tentu kata kuncinya disini adalah ada orang yang
meninggal dunia sebagai pewaris, ada harta warisan / harta peninggalan, dan ada ahli waris
atau waris.
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan akan menyerahkan harta warisan atau harta
peninggalan kepada ahli waris / waris baik berupa harta budel / harta pusaka baik melalui
pernyataan-pernyataan yang dituangkan dalam surat wasiat / testamen maupun secara lisan.
harta peninggalan disini tidak hanya berupa harta benda, seperti uang dan barang maupun
utang piutang atau yang bagi dalam harta yang berwujud dan harta yang tak berwujud.
Warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris / waris baik yang
dituangkan melalui surat wasiat / testamen yang memuat pernyataan-pernyataan dari pewaris
tentang bagaimana cara meneruskan, pengurus, mengolah, harta peninggalan / harta warisan
sehingga tetap terjaga dan tidak jatuh ketangan orang yang tidak berhak.
Ahli waris adalah orang yang menerima harta warisan atau harta peninggalan dari pewaris.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukum
adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan / harta warisan dapat diteruskan
daripada masyarakat hukum yang bersangkutan beserta pengaruhnya pada harta kekayaan
yang ditinggalkan dan berada dalam masyarakat itu. Lain daripada itu hukum adat waris juga
mendapat pengaruh tidak hanya dari perubahan-perubahan sosial, misalnya yang disebabkan
makin kuatnya hubungan kekeluargaan “SOMAH” dan makin lemahnya ikatan CLAN dan
KERABAT akan tetapi juga dari peraturan-peraturan hukum asing sejenis yang oleh para
haki m agama selalu diterapkan “in concreto” walaupun pengaruhnya itu sangat kecil.
Pengaruh kuat hukum Islam dalam hukum kewarisan adat di Tanah Bugis, dapat
ditemukan dalam teori dan praktek penyelenggaraan hukum kewarisan di berbagai tempat di
tanah Bugis, yang mana di antaranya sudah mendapat pengakuan dan menjadi dasar
tersebut meliputi :
1. Sistem kekeluargaan masyarakat Bugis
Sistem kekeluargaan dalam masyarakat Bugis adalah sistem kekeluargaan bilateral, yakni
menarik garis keturunan ke atas melalui bapak dan ibu. Jadi, sistem kekeluargaan masyarakat
Bugis ini berbeda dengan sistem kemasyaraktan di berbagai tempat, seperti di Ambon, Alas,
Bali, Batak, Tanah Gayo, Irian, dan Lampung yang menganut sistem patrilinial, yaitu suatu
sistem kekeluargaan yang hanya menarik garis keturunan ke atas melalui bapak saja. Berbeda
pula di Minangkabau yang menarik garis keturunan ke atas melalui ibu (matrilinial).
Di sinilah persamaan yang paling mendasar antara hukum waris dalam Islam dan hukum
kewarisan adat di tanah Bugis, keduanya mempunyai konsepsi kemasyarakatan yang bersifat
bilateral, sementara hukum perkawinannya pada prinsipnya pula telah sesuai dengan hukum
Islam.
Konsepsi hukum Islam dan hukum kewarisan adat di tanah Bugis, pada dasarnya pula tidak
terdapat banyak perbedaan. Kedua kelompok hukum ini sama-sama menjadikan harta
peninggalan itu sebagai salah satu rukun kewarisan. Sebelum dibagikan kepada masing-
masing yang berhak, terlebih dahulu dikeluarkan biaya penguburan, pembayaran utang,
pembayaran wasiat (kalau ada) dan dalam hukum Islam ditambah dengan pengeluaran zakat
bila nishab dan haul-nya telah cukup. Menurut Soepomo, spontanitas pembagian pusaka
3. Pewaris (muwarrits)
Sebagai prasyarat dalam memperoleh harta warisan, pewaris haruslah dinyatakan telah
meninggal dunia. Ketentuan ini rupanya bukan saja berlaku dalam hukum Islam dan hukum
adat, tetapi juga ditegaskan dalam KUH Perdata bahwa “Pewarisan hanya berlangsung karena
kematian”.
Namun dalam praktek sering diketemukan dalam anggota masyarakat Bugis mengadakan
pembagian harta di saat orang tua masih hidup, sebagai upaya untuk mencegah terjadinya
percekcokan antar keluarga di kemudian hari, tetapi pembagian dan pemberian tersebut nanti
berlaku secara efektif setelah orang tua meninggal dunia. Pembagian yang seperti ini
biasanya tidak semua harta yang ada dibagikan, tetapi ada tersisa untuk biaya semasih hidup
4. Ahli Waris
Pengaruh hukum Islam dalam hal ihwal ahli waris ini, dapat dilihat pada hal-hal berikut :
1) Dalam hukum Islam ada yang dikenal dengan mahjub atau mawani’ al-irts, yakni hal-hal
yang menghalangi seseorang dalam menerima harta pusaka, misalnya keluarga yang jauh
dihalangi oleh keluarga yang lebih dekat, maka dalam hukum kewarisan adat Bugis dikenal
dengan istilah polo aleteng, yang maksudnya sama dengan di atas. Jadi, dalam hukum adat
Bugis, seperti halnya hukum Islam, tidak mengenal penggantian ahli waris (plats verfulling).
2) Dalam hukum Islam, porsi pebagian dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki
mendapat satu bagian dan perempuan mendapat seperdua bagian, sebagaimana firman Allah:
Allah mensyariatkan bagimu tentang anak-anakmu, yaitu bahagian seorang laki-laki sama
dengan bahagian dua anak perempuan (Q.S.al-Nisa’: 11). Hal ini sama dengan dalam hukum
3) Anak laki-laki yang tidak sah (anak laki-laki yang lahir di luar perkawinan) kedua
kelompok hukum di atas mencelanya dengan tegas dan menetapkan bahwa bagian anak itu
hanya berhak mendapatkan dari pihak ibunya, tidak dari pihak bapaknya.
4) Tentang anak angkat, kedua hukum tadi, tidak mengakuinya sebagai ahli waris. Firman
Allah:
Dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandung (Q.S.al-Ahzab : 4).
5) Dalam hukum kewarisan adat Bugis, Mahkamah Agung membenarkan bahwa bagian
janda adalah ¼ jika tidak punya anak dan 1/8 kalau punya anak, sedangkan bagi duda
mendapat ½ bila tidak punya anak dan ¼ bila punya anak. Hal ini jelas sama dengan hukum
Islam.
Dalam hukum adat Bugis, tidak membenarkan wasiat itu menyebabkan anak yang lain tidak
mendapatkan harta warisan, hal ini sejalan dengan hukum Islam yang menetapkan banyaknya
wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dari keseluruhan jumlah harta.
6) Besarnya hibah tidak diperhitungkan pada waktu diadakan pembagian harta warisan,
melainkan beberapa saat sebelumnya. Demikian pula hibah dalam keadaan sakit (keras)
dibatasi. Hal yang seperti itu sejalan pula dengan hukum Islam.
Fungsi atau arti Adat bagi masyarakat bugis tidak hanya sekedar mengatur
tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat, akan tetapi dia mempunyai
arti yang lebih dalam lagi. Didalam adat itu terkandung unsur kepercayaan yang
hakiki dari setiap manusia kepada kekuasaan yang mahatinggi yang telah menciptakan
seluruh alam semesta ini. Adat itu dapat membimbing masyarakat bersuku bugis dalam
bermasyarakat.
Di setiap daerah, ada nilai-nilai kearifan lokal yang patut disenergikan dengan
nilai-nilai Agama, termasuk dalam persoalan kewarisan. Dalam hal ini masyarakat
Bugis memiliki budaya yang sarat dengan nilai-nilai kearifan. Orang-orang Bugis
mempunyai karakter budaya yang khas dan telah berlangsung jauh sebelum Islam
datang, dan ini perlu dijadikan sebagai pertimbangan dalam memaknai teks-teks
sekaligus terikat kuat oleh adat yang telah berlangsung turun temurun dalam kebidupan
mereka. Sistem kekerabatan pada orang Bugis disebut assea-jingeng ialah bersifat bilateral,
Tetapi ada pula yang berpendapat sistem yang dianut itu ialah bilateral-parental. Iiberal
sistem kesatuan kekeluargaan dimana setiap orang menghubungkan dirinya dalam hal
keturunan kepada pihak ibu dan pihak bapaknya, dikaitkan dengan kewarisan maka
mempunyai makna dapat menerima harta waris dari kedua belah pihak baik pihak kerabat
laki-laki maupun pihak kerabat perempuan. Jauh sebelumnya datangnya Islam di Sulawesi
Selatan, masyarakat suku Bugis telah memiliki pedoman hidup yang tercatat dalam Lontarak
yang disebut dengan Pangngadereng (aturan-aturan dan tata kehidupan). Di dalamnya dimuat
tata nilai yang mengatur kehidupan masyarakat agar tidak terjadi konflik. Tata nilai tersebut
Dalam konteks budaya Bugis, asas kepatutan dalam bahasa Bugis disebut asitinajang.
Kata ini berasal dari tinaja yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Lontarak
perbedaan) pada prinsipnya mengatur segala sesuatu agar berada pada tempatnya,
sepadan adalah sesuatu perbuatan yang patut. Banyak atau sedikit, tidak dipersoalkan
dalam konsep sitinaja. Mengambil yang sedikit jika yang sedikit itu mendatangkan
kebaikan, dan menolak yang banyak apabila yang banyak itu mendatangkan
muslim. Budaya “pessse” (solidaritas, empati, rasa ibah, dan kebersamaan) juga telah lama
mewarnai cara berpikir dan berprilaku masyarakat Bugis dalam menyikapi pembagian
pusaka, sehingga tidak menyebabkan terjadinya ketegangan antara para ahli waris, khususnya
antara saudara perempuan dan laki-laki. Hal ini juga erat kaitannya dengan budaya Bugis
asitinajang (kepatutan) dan lempu’ (kejujuran). Ketika Tociung, Cendikiawan Luwu, diminta
nasihatnya oleh calon raja (datu) Soppeng, La Manussa’ Toakkareng, Tociung menyatakan
2). dipercaya lalu tidak curang, artinya disandari lalu tidak berdusta,
alona, tennaseng deceng rekko nassamarini pudeceng”. Ada empat inti perbuatan jujur:
Memaafkan kesalahan orang lain padanya, jujur dalam menerima amanah, artinya tidak
berkhianat, tidak serakah dan tidak mengambil yang bukan haknya, ia tidak menganggap
kebaikan kecuali baik juga bagi orang lain. Tidak serakah (temmangoa) dan tidak
memandang sesuatu itu baik kalu hanya kebaikan pada dirinya merupakan cara pandang yang
mengandung nilai-nilai solidaritas dan rasa ibah (pesse) kepada sesama saudara termasuk
dalam persoalan kewarisan. Sikap “serakah dan mementingkan diri sendiri” saja merupakan
kewarisan tidak kaku, karena mereka merujuk pada kepatutan (asitinajang) yang
opersionalnya).
Dengan kaidah ini ulama berupaya menangkap pesan ideal (ruh) keadilan.
Kepatutan dalam bahasa dan budaya Bugis disebut asitinajang. Kata ini berasal dari
tinaja yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Lontarak mengatakan: “Duduki
Bugis pada prinsipnya mengatur segala sesuatu agar berada pada tempatnya,
yang dibaktikan dengan memperoleh hak yang sepadan adalah sesuatu perbuatan
yang patut, banyak atau sedikit, tidak dipersoalkan dalam konsep sitinaja. Hal ini
maegai risesena engkai makkasolang”. Artinya: “Ambillah yang sedikit jika yang
sedikit itu mendatangkan kebaikan, dan menolak yang banyak apabila yang banyak
itu mendatangkan kebinasaan”. Dalam praktik kewarisan budaya Bugis tidak selalu
kepatutan.
ana’ orowane-e majjujung ana’ makkunrai-iye) tidak hanya dalam konteks hak warisan,
tetapi laki-laki apabila orangtuanya sudah meninggal maka ia bertanggungjawab atas
saudara perempuannya.
(mallempa’) beban kebutuhan saudara perempuannya yang belum menikah. Jadi, memikul
berarti di bagian depan ia membawa tanggung jawab dan di belakang membawa haknya.
yang laki-laki sebagaimana biasa dijumpai dalam tradisi sebagian masyarakat Bugis
yang mewariskan barang yang lebih besar nilainya (misalnya rumah, ruko, emas)
sedangkan saudara laki-laki hanya memperoleh bagian yang lebih kecil sehingga
kewarisan. Oleh karena itu, asas asitinajang (kepatutan) dapat menjadi salah satu
kearifan lokal (al-‘urf) yang diakomodir dalam Islam. Esensi asitinajang dalam
konteks ini adalah terealisirnya nilai-nilai keadilan dan terciptanya harmoni antara
ahli waris.
warisan kepada ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan maka pembagiannya
dilakukan berdasarkan pembagian yang sama jumlahnya, yaitu bagian harta warisan
seorang anak laki-laki sama dengan bagian harta warisan seorang anak perempuan
(sama wae asanna manae atau 1:1). Namun, setelah mereka memeluk agama Islam,
maka pembagian harta warisan dimaksud, berubah untuk mengikuti hukum kewarisan
Islam, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian duaorang anak
perempuan (2:1). Pembagian harta warisan dimaksud, tertuang dalam ungkapan suku Bugis
“majjujung makkunraie mallempa oroane”. Pada dasarnya di masyarakat suku bugis dikenal
istilah sanre-i ade-E ri saraE artinya ketentuan hukum adat bersandar atau bersumber dari
hukum Islam. Di lain pihak adat kebiasaan, perubahan kondisi sosial dan hukum Islam
merupakan pegangan masyarakat di dalam menentukan hidup dan masa depannya. Namun
kadang-kadang terjadi sikap individu atau masyarakat yang terkesan terlalu berani
mengambil resiko, hal tersebut adalah pengaruh kuat dari adat kebiasaan yang
bertumpu pada “siri” (harga diri) dan kemudian disandarkan kepada syariat Islam.
hukum Islam dianggap bagian hukum Adat, atau kadang-kadang juga terjadi
sebaliknya, yaitu hukum Adat dianggap bagian dari hukum Islam, bahkan tidak
diketahui apakah suatu kaidah hukum adalah hukum Islam atau hukum Adat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan akan menyerahkan harta warisan atau harta
peninggalan kepada ahli waris / waris baik berupa harta budel / harta pusaka baik melalui
pernyataan-pernyataan yang dituangkan dalam surat wasiat / testamen maupun secara lisan.
harta peninggalan disini tidak hanya berupa harta benda, seperti uang dan barang maupun
utang piutang atau yang bagi dalam harta yang berwujud dan harta yang tak berwujud.
Warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris / waris baik yang
dituangkan melalui surat wasiat / testamen yang memuat pernyataan-pernyataan dari pewaris
tentang bagaimana cara meneruskan, pengurus, mengolah, harta peninggalan / harta warisan
sehingga tetap terjaga dan tidak jatuh ketangan orang yang tidak berhak.
Ahli waris adalah orang yang menerima harta warisan atau harta peninggalan dari pewaris.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukum
adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan / harta warisan dapat diteruskan
Kendari,2019.
https://www.referensimakalah.com/2012/08/Persamaan-Hukum-Islam-dan-Bugis-
tentang-Kewarisan-harta-waris.html, Kendari,2019.
http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/470/147011108.pdf?sequence=1&
isAllowed=y, Kendari,2019.