Anda di halaman 1dari 21

Makalah Hukum Waris

“HUKUM ADAT WARIS BERDASARKAN ADAT BUGIS ”

DOSEN PENGAMPU
Dr.Ruliah Ariehidayah, S.H.,M.H

OLEH

ZULKIFLI

H1A117506

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehdirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan penyusunan
makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa pula kita haturkan kepada junjungan kita Nabi
Besar Muhammad SAW, yang telah menyampaikan petunjuk Allah SWT untuk kita semua,
sebuah petunjuk paling benar yakni syariah agama islam yang sempurna dan satu satunya
karunia paling besar kepada seluruh alam semesta.

Dengan mengucapkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, maka kami bisa
menyelesaikan makalah yang berjudul “HUKUM ADAT WARIS BERDASARKAN
ADAT BUGIS” dan dengan harapan semoga makalah ini bisa bermanfaat dan menjadikan
referensi bagi kita.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................

DAFTAR ISI.......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................


B. Rumusan Masalah ...................................................................................................
C. Tujuan .....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Adat Waris ...............................................................................


B. Hubungan Hukum Islam dan Hukum Adat Bugis ..................................................
C. Pembagian warisan bedasarkan adat bugis .............................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................................
B. Saran .......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, dan

merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad,

oleh karena itu maka tiap bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang

satu dengan lainnya tidak sama. Justru oleh karena ketidaksamaan inilah dapat dikatakan,

bahwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa

yang bersangkutan.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan masyarakat adatnya, yang

dimiliki oleh daerah-daerah suku-suku bangsa yang berbeda-beda, meskipun dasar serta

sifatnya adalah satu, yaitu ke-Indonesiaannya. Oleh karena itu maka adat bangsa Indonesia

itu dikatakan merupakan “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetapi tetap satu juga). Adat

istiadat yang ada di Indonesia tidaklah mati di tinggal zaman, melainkan senantiasa bergerak

serta adanya keharusan selalu dalam keadaan evolusi mengikuti proses perkembangan

peradaban bangsanya. Tidak jarang adat istiadat tersebut dijadikan sebagai suatu hukum yang

mengikat dan berlaku terhadap masyarakatnya, atau yang sering dikenal sebagai Hukum

Adat.

Hukum adat sebagai suatu sistem hukum yang ada pada masyarakat adat bertujuan

mewujudkan tatanan kehidupan yang damai dan tentram dalam bermasyarakat, dengan

adanya kedamaian dan ketentraman itulah akan tercipta keadilan hukum bagi mereka, dalam

hal ini pemaknaan keadilan lebih terarah pada keseimbangan dari berbagai aspek dalam
tatanan nilai-nilai kehidupan yang diyakini untuk keselamatan kehidupan individu dan

masyarakat, bahkan sampai kepada dimensi spiritual.

Hukum adat pada umumnya belum atau tidak tertulis. Adat istiadat atau kebiasaan

yang berkembang didalam masyarakat tersebut kemudian menjadi suatu hukum yang harus

dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat, oleh karena itu dilihat dari mata seorang ahli

hukum, hukum adat itu memang tidak teratur, tidak sempurna dan tidak tegas, namun apabila

di lihat dari mata masyarakat adat, hukum adat sangatlah sempurna dan sangat tegas

dikarenakan hukum adat juga dibarengi dengan sanksi adat bagi pelanggarnya.

Meskipun demikian, keberlakuan hukum adat tersebut terbatas hanya pada bidang-

bidang hukum tertentu, dimana salah satu dari bidang hukum yang dimaksud adalah bidang

hukum kewarisan, untuk masalah kewarisan belum ada hukum waris nasional ataupun

undang-undang yang mengatur mengenai masalah pewarisan bagi seluruh warga negara

Indonesia. Sampai saat ini, masih terdapat pluralisme hukum waris di Indonesia. Hukum

waris yang berlaku di Indonesia terdiri atas hukum waris. menurut hukum Perdata Barat,

menurut hukum Islam dan hukum waris menurut hukum Adat.

Masing-masing hukum waris tersebut berlaku pada subjek hukum yang berbeda, bagi

mereka yang beragama Islam, berlaku hukum waris Islam dalam pembagian harta warisan

dan dibolehkan apabila para ahli waris bersepakat untuk membagi harta warisan tersebut

dengan hukum waris lain, misalnya hukum waris adat yang dianut oleh mereka, namun jika

terjadi sengketa dalam pembagian harta warisan, para ahli waris tidak dapat memilih hukum

waris mana yang akan digunakan dalam membagi warisan tersebut.

Hukum Waris berkaitan dengan aturan-aturan yang mengatur proses meneruskan serta

mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari
suatu angkatan manusia kepada keturunannya. Jadi dalam hal ini masalah warisan erat

kaitannya dengan masalah harta kekayaan.

Masyarakat adat Indonesia mempunyai hukum adat waris sendiri-sendiri. Biasanya

hukum adat mereka dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan dan sistem perkawinan yang

mereka anut. Hukum waris yang berlaku di kalangan masyarakat Indonesia sampai sekarang

masih bersifat pluralistis, yaitu ada yang tunduk kepada Hukum Waris Perdata, Hukum Waris

Islam dan Hukum Waris Adat. Masyarakat Indonesia yang terdiri atas beragam suku bangsa

memiliki adat istiadat dan hukum adat yang beragam antara yang satu dengan yang lainnya

berbeda dan memiliki karakteristik tersendiri yang menjadikan hukum adat termasuk di

dalamnya hukum waris menjadi pluralistis pula, namun negara tetap mengakui keberadaan

hukum adat yang ada di Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 18B

ayat (2) yang berbunyi :

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-

undang”.

Hukum waris suatu golongan masyarakat sangat dipengaruhi oleh bentuk kekerabatan

dari masyarakat itu sendiri, setiap kekerabatan atau kekeluargaan memiliki sistem hukum

waris sendiri-sendiri. Sistem kekerabatan ini berpengaruh dan sekaligus membedakan

masalah hukum kewarisan, disamping itu juga antara sistem kekerabatan yang satu dengan

yang lain dalam hal perkawinan.

Beberapa suku dengan populasi terbesar seperti suku Batak, Banjar, Jawa, Sunda,

Bali, Minangkabau, Melayu, Dayak, Bugis, dan berpuluh-puluh suku dengan populasi relatif

kecil lainnya, telah dikenal adat istiadatnya yang spesifik dengan karakternya masing-masing.
Suku Bugis merupakan salah satu dari empat suku utama yang mendiami Sulawesi

Selatan, yaitu Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Selain itu terdapat juga suku-suku kecil

dan masyarakat lokal dengan bahasa dan dialeknya masing-masing (di luar empat bahasa

daerah utama) yaitu Massenrenpulu (Enrekang), Selayar, Malili, Kajang, dan Balangnipa.

Suku-suku tersebut kecuali suku Toraja yang mayoritas Kristen dan masih kuat menganut

adat “alu’ tudolo” yaitu adat turun temurun yang cenderung animisne, maka hampir semua

suku lainnya menganut agama Islam beserta hukum waris adatnya.

Sistem pewarisan dalam suku Bugis adalah sistem kekerabatan Parental, yakni yang

menganut sistem kekeluargan dengan menarik garis keturunan dari kedua belah pihak orang

tua, yaitu baik dari garis bapak maupun dari garis ibu. Sistem kekeluargaan parental atau

bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yang merupakan ahli waris adalah

anak laki-laki maupun anak perempuan. Mereka mempunyai hak yang sama atas harta

peninggalan orangtuanya sehingga dalam proses pengalihan sejumlah harta kekayaan dari

pewaris kepada ahli waris, anak lakilaki dan anak perempuan mempunyai hak untuk

diperlakukan sama.

Masyarakat suku Bugis yang berdiam di Kecamatan Enok memiliki adat istiadat dan

hukum adat yang merupakan warisan dari nenek moyang dan berlaku secara turun-temurun

dari generasi ke generasi. Dilihat dari asal berkembangnya masyarakat adat Suku Bugis yang

berasal Sulawesi Selatan, maka tidak tertutup kemungkinan terjadinya pergeseran kebiasaan

adat yang mereka kenal sejak jaman nenek moyang mereka, mengingat sifat daripada hukum

adat yang Dinamis.

Beberapa kasus pembagian waris yang dijumpai adalah berupa perselisihan pendapat

terhadap peranan wanita dalam menguasai hak waris pusaka berupa si pewaris. Dimana

menurut pembagian waris adat suku bugis, harta peninggalan berupa rumah merupakan hak
dari pada keturunan perempuan dari si pewaris. Kasus pembagian waris lainnya juga

dijumpai seperti penolakan pembagian secara musyawarah dan lebih memilih pembagian

dengan sistem kewarisan menurut agama Islam.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan diteliti dan

di bahas dalam makalah ini:

1. Apa itu Hukum waris Adat?

2. Bagaimana Hubungan hukum islam dan Hukum adat Bugis tentang pewarisan?

3. Bagaimanakah pembagian waris pada masyarakat suku Bugis?

C. Tujuan

1. Mengetahui Apa itu Hukum waris Adat

2. Mengetahui Hubungan hukum islam dan Hukum adat Bugis tentang pewarisan

3. Mengetahui Bagaimanakah pembagian waris pada masyarakat suku Bugis


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Adat Waris

Istilah adat dan hukum adat sudah tidak asing lagi di dengar oleh masyarakat namun

apa makna yang terkandung di dalamnya masih kurang diketahui dan dipahami oleh

masyarakat.

Suriyaman Mustari Pide menguraikan bahwa kata adat berasal dari bahasa arab yang

berarti kebiasaan. Terjadinya hukum bermula dari pribadi manusia yang menimbbulkan

kebiasaan pribadi kemudian ditiru orang lain maka lambat laun itu menjadi adat yang harus

berlaku bagi semua anggota masyarakat sehingga menjadi hukum adat. Hukum adat

merupakan terjemahan dari adaptrecht. Nomenklatur ini pertama kalinya diperkenankan

secara ilmiah oleh snouck hurgronje. Kemudia ditahun 1893, snouck hurgronje dalam

bukunya yang berjudul De Atjhers menyebutkan istilah hukum adat sebagai adat recht

(bahasa belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social

control) yang hidup dalam masyarakat indonesia.

Kepastian yang pasti dihadapi oleh manusia didunia adalah kepastian yang

menyatakan bahwa semua manusia akan meninggal dunia. Sewaktu ia masih hidup sebagai
anggota masyarakat disertai hak dan kewajiban terhadap orang, misalnya terhadap anak

saudara yang ditinggalkan. dan sebagaimana diketahui terdapat bermacam-macam

perhubungan hukum menyangkut meninggalnya seseorang, menyangkut tentang harta benda,

yang pada hakikatnya akan berpindah kepada orang-orang lain. Kematian seseorang sudah

jelas tidak melenyapkan perhubungan hukum tersebut. Sehingga dalam kenyataannya

diperlukan cara dan bagaimana hak dan kewajiban yang menyangkut harta benda saat yang

bersangkutan meninggal dunia akan berpindah kepada orang yang masih hidup. Karena itulah

umumnya masyarakat menghendaki adanya suatu peraturan yang menyangkut harta benda

yang ditinggalkan setelah ia meninggal dunia.

Menurut para pakar bahwa dalam perjalanan manusia didunia mengalami tiga

peristiwa yang penting, yaitu pertama waktu ia dilahirkan, tumbuh tugas baru didalam

keluarganya dan menjadi pengemban hak dan kewajiban. Kedua, waktu ia kawin, setelah

dewasa ia kawin untuk tetap membangun berlangsungnya keturunan. Ketiga, waktu ia

meninggal dunia, manusia pada suatu saat akan meninggal yang tentu juga sama dengan

kedua peristiwa adalah peristiwa penting.

Sebelum kita melangkah lebih jauh mengenai hukum adat waris, maka sebaiknya kita

mengenal dahulu apa pengertian dari hukum adat waris atau hukum adat kewarisan, jika kita

bicara mengenai kewarisan sudah barang tentu kata kuncinya disini adalah ada orang yang

meninggal dunia sebagai pewaris, ada harta warisan / harta peninggalan, dan ada ahli waris

atau waris.

Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan akan menyerahkan harta warisan atau harta

peninggalan kepada ahli waris / waris baik berupa harta budel / harta pusaka baik melalui

pernyataan-pernyataan yang dituangkan dalam surat wasiat / testamen maupun secara lisan.
harta peninggalan disini tidak hanya berupa harta benda, seperti uang dan barang maupun

utang piutang atau yang bagi dalam harta yang berwujud dan harta yang tak berwujud.

Warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris / waris baik yang

dituangkan melalui surat wasiat / testamen yang memuat pernyataan-pernyataan dari pewaris

tentang bagaimana cara meneruskan, pengurus, mengolah, harta peninggalan / harta warisan

sehingga tetap terjaga dan tidak jatuh ketangan orang yang tidak berhak.

Ahli waris adalah orang yang menerima harta warisan atau harta peninggalan dari pewaris.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukum

adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan / harta warisan dapat diteruskan

kepada waris dari suatu generasi kegenerasi berikutnya.

Hukum adat waris sangatlah erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan

daripada masyarakat hukum yang bersangkutan beserta pengaruhnya pada harta kekayaan

yang ditinggalkan dan berada dalam masyarakat itu. Lain daripada itu hukum adat waris juga

mendapat pengaruh tidak hanya dari perubahan-perubahan sosial, misalnya yang disebabkan

makin kuatnya hubungan kekeluargaan “SOMAH” dan makin lemahnya ikatan CLAN dan

KERABAT akan tetapi juga dari peraturan-peraturan hukum asing sejenis yang oleh para

haki m agama selalu diterapkan “in concreto” walaupun pengaruhnya itu sangat kecil.

B. Hubungan hukum islam dan Hukum adat Bugis tentang pewarisan

Pengaruh kuat hukum Islam dalam hukum kewarisan adat di Tanah Bugis, dapat

ditemukan dalam teori dan praktek penyelenggaraan hukum kewarisan di berbagai tempat di

tanah Bugis, yang mana di antaranya sudah mendapat pengakuan dan menjadi dasar

penyelenggaraan pada Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Unsur-unsur persamaan

tersebut meliputi :
1. Sistem kekeluargaan masyarakat Bugis

Sistem kekeluargaan dalam masyarakat Bugis adalah sistem kekeluargaan bilateral, yakni

menarik garis keturunan ke atas melalui bapak dan ibu. Jadi, sistem kekeluargaan masyarakat

Bugis ini berbeda dengan sistem kemasyaraktan di berbagai tempat, seperti di Ambon, Alas,

Bali, Batak, Tanah Gayo, Irian, dan Lampung yang menganut sistem patrilinial, yaitu suatu

sistem kekeluargaan yang hanya menarik garis keturunan ke atas melalui bapak saja. Berbeda

pula di Minangkabau yang menarik garis keturunan ke atas melalui ibu (matrilinial).

Di sinilah persamaan yang paling mendasar antara hukum waris dalam Islam dan hukum

kewarisan adat di tanah Bugis, keduanya mempunyai konsepsi kemasyarakatan yang bersifat

bilateral, sementara hukum perkawinannya pada prinsipnya pula telah sesuai dengan hukum

Islam.

2. Harta Peninggalan (mauruts)

Konsepsi hukum Islam dan hukum kewarisan adat di tanah Bugis, pada dasarnya pula tidak

terdapat banyak perbedaan. Kedua kelompok hukum ini sama-sama menjadikan harta

peninggalan itu sebagai salah satu rukun kewarisan. Sebelum dibagikan kepada masing-

masing yang berhak, terlebih dahulu dikeluarkan biaya penguburan, pembayaran utang,

pembayaran wasiat (kalau ada) dan dalam hukum Islam ditambah dengan pengeluaran zakat

bila nishab dan haul-nya telah cukup. Menurut Soepomo, spontanitas pembagian pusaka

setelah pewaris meninggal, tidak sesuai dengan jiwa hukum adat.

3. Pewaris (muwarrits)

Sebagai prasyarat dalam memperoleh harta warisan, pewaris haruslah dinyatakan telah

meninggal dunia. Ketentuan ini rupanya bukan saja berlaku dalam hukum Islam dan hukum
adat, tetapi juga ditegaskan dalam KUH Perdata bahwa “Pewarisan hanya berlangsung karena

kematian”.

Namun dalam praktek sering diketemukan dalam anggota masyarakat Bugis mengadakan

pembagian harta di saat orang tua masih hidup, sebagai upaya untuk mencegah terjadinya

percekcokan antar keluarga di kemudian hari, tetapi pembagian dan pemberian tersebut nanti

berlaku secara efektif setelah orang tua meninggal dunia. Pembagian yang seperti ini

biasanya tidak semua harta yang ada dibagikan, tetapi ada tersisa untuk biaya semasih hidup

dan nantinya untuk biaya penguburan dan sebagainya.

4. Ahli Waris

Pengaruh hukum Islam dalam hal ihwal ahli waris ini, dapat dilihat pada hal-hal berikut :

1) Dalam hukum Islam ada yang dikenal dengan mahjub atau mawani’ al-irts, yakni hal-hal

yang menghalangi seseorang dalam menerima harta pusaka, misalnya keluarga yang jauh

dihalangi oleh keluarga yang lebih dekat, maka dalam hukum kewarisan adat Bugis dikenal

dengan istilah polo aleteng, yang maksudnya sama dengan di atas. Jadi, dalam hukum adat

Bugis, seperti halnya hukum Islam, tidak mengenal penggantian ahli waris (plats verfulling).

2) Dalam hukum Islam, porsi pebagian dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki

mendapat satu bagian dan perempuan mendapat seperdua bagian, sebagaimana firman Allah:

Allah mensyariatkan bagimu tentang anak-anakmu, yaitu bahagian seorang laki-laki sama

dengan bahagian dua anak perempuan (Q.S.al-Nisa’: 11). Hal ini sama dengan dalam hukum

kewarisan adat Bugis yang mengistilahkannya dengan majjujung mallempa, yakni

menjunjung bagi perempuan dan memikul bagi laki-laki.

3) Anak laki-laki yang tidak sah (anak laki-laki yang lahir di luar perkawinan) kedua

kelompok hukum di atas mencelanya dengan tegas dan menetapkan bahwa bagian anak itu

hanya berhak mendapatkan dari pihak ibunya, tidak dari pihak bapaknya.
4) Tentang anak angkat, kedua hukum tadi, tidak mengakuinya sebagai ahli waris. Firman

Allah:

Dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandung (Q.S.al-Ahzab : 4).

5) Dalam hukum kewarisan adat Bugis, Mahkamah Agung membenarkan bahwa bagian

janda adalah ¼ jika tidak punya anak dan 1/8 kalau punya anak, sedangkan bagi duda

mendapat ½ bila tidak punya anak dan ¼ bila punya anak. Hal ini jelas sama dengan hukum

Islam.

Dalam hukum adat Bugis, tidak membenarkan wasiat itu menyebabkan anak yang lain tidak

mendapatkan harta warisan, hal ini sejalan dengan hukum Islam yang menetapkan banyaknya

wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dari keseluruhan jumlah harta.

6) Besarnya hibah tidak diperhitungkan pada waktu diadakan pembagian harta warisan,

melainkan beberapa saat sebelumnya. Demikian pula hibah dalam keadaan sakit (keras)

dibatasi. Hal yang seperti itu sejalan pula dengan hukum Islam.

C. Pembagian warisan menurut Adat Bugis

Fungsi atau arti Adat bagi masyarakat bugis tidak hanya sekedar mengatur

tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat, akan tetapi dia mempunyai

arti yang lebih dalam lagi. Didalam adat itu terkandung unsur kepercayaan yang

hakiki dari setiap manusia kepada kekuasaan yang mahatinggi yang telah menciptakan

seluruh alam semesta ini. Adat itu dapat membimbing masyarakat bersuku bugis dalam

bermasyarakat.

Di setiap daerah, ada nilai-nilai kearifan lokal yang patut disenergikan dengan

nilai-nilai Agama, termasuk dalam persoalan kewarisan. Dalam hal ini masyarakat

Bugis memiliki budaya yang sarat dengan nilai-nilai kearifan. Orang-orang Bugis

mempunyai karakter budaya yang khas dan telah berlangsung jauh sebelum Islam
datang, dan ini perlu dijadikan sebagai pertimbangan dalam memaknai teks-teks

agama tanpa harus mengorbankan teks-teks agama.

Masyarakat Bugis, merupakan kelompok masyarakat yang taat terhadap agama

sekaligus terikat kuat oleh adat yang telah berlangsung turun temurun dalam kebidupan

mereka. Sistem kekerabatan pada orang Bugis disebut assea-jingeng ialah bersifat bilateral,

Tetapi ada pula yang berpendapat sistem yang dianut itu ialah bilateral-parental. Iiberal

sistem kesatuan kekeluargaan dimana setiap orang menghubungkan dirinya dalam hal

keturunan kepada pihak ibu dan pihak bapaknya, dikaitkan dengan kewarisan maka

mempunyai makna dapat menerima harta waris dari kedua belah pihak baik pihak kerabat

laki-laki maupun pihak kerabat perempuan. Jauh sebelumnya datangnya Islam di Sulawesi

Selatan, masyarakat suku Bugis telah memiliki pedoman hidup yang tercatat dalam Lontarak

yang disebut dengan Pangngadereng (aturan-aturan dan tata kehidupan). Di dalamnya dimuat

tata nilai yang mengatur kehidupan masyarakat agar tidak terjadi konflik. Tata nilai tersebut

ditaati sehingga penyelesaian masalah kewarisan dapat diselesaikan secara

kultural dan secara kekeluargaan.

Dalam konteks budaya Bugis, asas kepatutan dalam bahasa Bugis disebut asitinajang.

Kata ini berasal dari tinaja yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Lontarak

mengatakan: “Duduki kedudukanmu, tempati tempatmu.” Ade’ Wari (adat

perbedaan) pada prinsipnya mengatur segala sesuatu agar berada pada tempatnya,

termasuk perbuatan mappasitinaja. Kewajiban yang dibaktikan memperoleh hak yang

sepadan adalah sesuatu perbuatan yang patut. Banyak atau sedikit, tidak dipersoalkan

dalam konsep sitinaja. Mengambil yang sedikit jika yang sedikit itu mendatangkan

kebaikan, dan menolak yang banyak apabila yang banyak itu mendatangkan

kebinasaan “alai cedde’e risesena engkai mappideceng, sampeangngi maegai risesena

engkai makkasolang” Mengambil hak (warisan) juga harus mempertimbangkan asas


kepatutan dan keadilan demi memproteksi terjadinya kecemburuan dan konflik keluarga

muslim. Budaya “pessse” (solidaritas, empati, rasa ibah, dan kebersamaan) juga telah lama

mewarnai cara berpikir dan berprilaku masyarakat Bugis dalam menyikapi pembagian

pusaka, sehingga tidak menyebabkan terjadinya ketegangan antara para ahli waris, khususnya

antara saudara perempuan dan laki-laki. Hal ini juga erat kaitannya dengan budaya Bugis

asitinajang (kepatutan) dan lempu’ (kejujuran). Ketika Tociung, Cendikiawan Luwu, diminta

nasihatnya oleh calon raja (datu) Soppeng, La Manussa’ Toakkareng, Tociung menyatakan

ada empat perbuatan jujur, yaitu:

1). memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya,

2). dipercaya lalu tidak curang, artinya disandari lalu tidak berdusta,

3) tidak menyerakahi yang bukan haknya, dan

4) tidak memandang kebaikan kalau hanya untuk dirinya, baginya baru

dikatakan kebaikan kalau bisa dinikmati bersama.

Dalam bahasa Bugis dikatakan: “Eppa’ gau’na lempu’e: risalaie naddampeng,

riparennuangie temmacekko bettuanna risanresi teppabbelleang, temmangoangenngi tenia

alona, tennaseng deceng rekko nassamarini pudeceng”. Ada empat inti perbuatan jujur:

Memaafkan kesalahan orang lain padanya, jujur dalam menerima amanah, artinya tidak

berkhianat, tidak serakah dan tidak mengambil yang bukan haknya, ia tidak menganggap

kebaikan kecuali baik juga bagi orang lain. Tidak serakah (temmangoa) dan tidak

memandang sesuatu itu baik kalu hanya kebaikan pada dirinya merupakan cara pandang yang

mengandung nilai-nilai solidaritas dan rasa ibah (pesse) kepada sesama saudara termasuk

dalam persoalan kewarisan. Sikap “serakah dan mementingkan diri sendiri” saja merupakan

sikap yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya Bugis.


Budaya asitinajang (nilai kepatutan) merupakan pendekatan dalam

memandang keadilan dalam format kewarisan, sehingga penerapan teks tentang

kewarisan tidak kaku, karena mereka merujuk pada kepatutan (asitinajang) yang

mencerminkan keadilan. Dengan kata lain, penerapannya relevan dengan prinsip

zhannî al-tanfîdz wa qath‘î al-wurûd (kemutlakan teks dan elastisitas pada

opersionalnya).

Dengan kaidah ini ulama berupaya menangkap pesan ideal (ruh) keadilan.

Kepatutan dalam bahasa dan budaya Bugis disebut asitinajang. Kata ini berasal dari

tinaja yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Lontarak mengatakan: “Duduki

kedudukanmu, tempati tempatmu.” Ade’ Wari (adat perbedaan) dalam budaya

Bugis pada prinsipnya mengatur segala sesuatu agar berada pada tempatnya,

termasuk perbuatan mappasitinaja. Merusak tata tertib adalah kezaliman. Kewajiban

yang dibaktikan dengan memperoleh hak yang sepadan adalah sesuatu perbuatan

yang patut, banyak atau sedikit, tidak dipersoalkan dalam konsep sitinaja. Hal ini

sesuai dengan petuah: “Alai cedde’e risesena engkai mappideceng, sampeangngi

maegai risesena engkai makkasolang”. Artinya: “Ambillah yang sedikit jika yang

sedikit itu mendatangkan kebaikan, dan menolak yang banyak apabila yang banyak

itu mendatangkan kebinasaan”. Dalam praktik kewarisan budaya Bugis tidak selalu

memandang secara kuantitatif, melainkan juga pada nilai-nilai kebaikan dan

kepatutan.

Bagi masyarakat Bugis, pemahaman mereka mengenai pembagian harta

warisan mengikuti syariat, yaitu sebagaimana sering diungkapkan bahwa “mallempa’

orownewe-e, majjujung makkunraiye” “laki-laki memikul (membawa dua),

perempuan menjunjung (membawa satu)” (2 : 1). Filosofi format 2 :1 (mallempa’

ana’ orowane-e majjujung ana’ makkunrai-iye) tidak hanya dalam konteks hak warisan,
tetapi laki-laki apabila orangtuanya sudah meninggal maka ia bertanggungjawab atas

sudaranya perempuannya yang belum menikah. Ia bertanggungjawab terhadap keluarga dan

saudara perempuannya.

Syarat mendapatkan dua kali lipat yaitu apabila ia bertanggungjawab memikul

(mallempa’) beban kebutuhan saudara perempuannya yang belum menikah. Jadi, memikul

berarti di bagian depan ia membawa tanggung jawab dan di belakang membawa haknya.

Inilah bentuk keseimbangan yang mendekati keadilan dalam budaya Bugis.

Sebaliknya, jika perempuan mendapatkan lebih banyak daripada saudaranya

yang laki-laki sebagaimana biasa dijumpai dalam tradisi sebagian masyarakat Bugis

yang mewariskan barang yang lebih besar nilainya (misalnya rumah, ruko, emas)

sedangkan saudara laki-laki hanya memperoleh bagian yang lebih kecil sehingga

menimbulkan ketidakadilan maka itu juga merupakan bentuk kezhaliman dalam

kewarisan. Oleh karena itu, asas asitinajang (kepatutan) dapat menjadi salah satu

alternatif untuk mendekati keadilan dalam praktik kewarisan. Budaya asitinajang

mengandung makna bahwa sejatinya pembagian harta warisan mengandung nilainilai

kearifan lokal (al-‘urf) yang diakomodir dalam Islam. Esensi asitinajang dalam

konteks ini adalah terealisirnya nilai-nilai keadilan dan terciptanya harmoni antara

ahli waris.

Suku Bugis di Sulawesi Selatan bila mereka melakukan pembagian harta

warisan kepada ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan maka pembagiannya

dilakukan berdasarkan pembagian yang sama jumlahnya, yaitu bagian harta warisan

seorang anak laki-laki sama dengan bagian harta warisan seorang anak perempuan

(sama wae asanna manae atau 1:1). Namun, setelah mereka memeluk agama Islam,

maka pembagian harta warisan dimaksud, berubah untuk mengikuti hukum kewarisan

Islam, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian duaorang anak
perempuan (2:1). Pembagian harta warisan dimaksud, tertuang dalam ungkapan suku Bugis

“majjujung makkunraie mallempa oroane”. Pada dasarnya di masyarakat suku bugis dikenal

istilah sanre-i ade-E ri saraE artinya ketentuan hukum adat bersandar atau bersumber dari

hukum Islam. Di lain pihak adat kebiasaan, perubahan kondisi sosial dan hukum Islam

merupakan pegangan masyarakat di dalam menentukan hidup dan masa depannya. Namun

kadang-kadang terjadi sikap individu atau masyarakat yang terkesan terlalu berani

mengambil resiko, hal tersebut adalah pengaruh kuat dari adat kebiasaan yang

bertumpu pada “siri” (harga diri) dan kemudian disandarkan kepada syariat Islam.

Hanya di dalam penerapannya menghadapi permasalahan yaitu kadang-kadang

hukum Islam dianggap bagian hukum Adat, atau kadang-kadang juga terjadi

sebaliknya, yaitu hukum Adat dianggap bagian dari hukum Islam, bahkan tidak

diketahui apakah suatu kaidah hukum adalah hukum Islam atau hukum Adat.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan akan menyerahkan harta warisan atau harta

peninggalan kepada ahli waris / waris baik berupa harta budel / harta pusaka baik melalui

pernyataan-pernyataan yang dituangkan dalam surat wasiat / testamen maupun secara lisan.

harta peninggalan disini tidak hanya berupa harta benda, seperti uang dan barang maupun

utang piutang atau yang bagi dalam harta yang berwujud dan harta yang tak berwujud.

Warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris / waris baik yang

dituangkan melalui surat wasiat / testamen yang memuat pernyataan-pernyataan dari pewaris

tentang bagaimana cara meneruskan, pengurus, mengolah, harta peninggalan / harta warisan

sehingga tetap terjaga dan tidak jatuh ketangan orang yang tidak berhak.

Ahli waris adalah orang yang menerima harta warisan atau harta peninggalan dari pewaris.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukum

adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan / harta warisan dapat diteruskan

kepada waris dari suatu generasi kegenerasi berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Ariehidayah,Ruliah,”KEWIBAWAAN HUKUM ADAT KALOSARA”, Kendari,2019.

Samosir,Djamanat,”Hukum Adat Indonesia”,Kendari,2019.

Meliala,Djaja S, “Himpunan Hukum Jurisprudensi Hukum waris Indonesia”,

Kendari,2019.

Soekanto,soerjono dan Soleman B Taneko,”Hukum Adat Indonesia”,Kendari,2019.

https://www.referensimakalah.com/2012/08/Persamaan-Hukum-Islam-dan-Bugis-

tentang-Kewarisan-harta-waris.html, Kendari,2019.

http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/470/147011108.pdf?sequence=1&

isAllowed=y, Kendari,2019.

Anda mungkin juga menyukai