Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HUKUM ADAT

(HUKUM PEWARISAN ADAT)

Disusun Oleh :

Kelompok 1

1. Aldy Maulana Rohman (2130101141)


2. Mutiara Jannah (2130101142)
3. Ziyaulhaq (2130101143)
4. Mujtahidin Taufik (2130101144)
5. Rindia Piore Tanesa (2130101147)
6. Wilhi Mina (2130101148)
7. Ela Alberti (2130101150)
Dosen Pengampu : Romziaatusaadah, S.H, M.Hum

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG 2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur kami panjatkankepada Allah Swt karena berkat limpahan dan karunia-
Nya lah sehingga kami dapat dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad Saw yang kita nanti-
nanti kan syafaatnya di yaumul qiyamah nanti. Tidak lupa pula kami ucapkan terimakasih
kepada Bapak ROMZIAATUSAADAH, S.H, M.Hum selaku dosen pengampu mata kuliah
Hukum adat.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk memberikan tambahan wawasan baik bagi penulis
maupun bagi pembaca.

Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak sekali kekurangan dan
kekeliruan bahkan masih jauh dari kata sempurna, baik dari segi materi pembahasan maupun
teknik pengetikan. Maka dari itu membutuhkan kritik dan saran yang membangun guna untuk
memperbaiki kesalahan sebagaimana mestinya.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Palembang 20 Maret 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum adat merupakan salah satu aturan hukum yang masih digunakan dalam proses
pewarisan. Proses pewarisan yang mengedepankan musyawarah sebagai landasannya
merupakan hal terpenting, agar keselarasan dan kerukunan dalam keluarga tetap terjaga.
Pewarisan merupakan salah satu proses yang dilalui dalam kehidupan keluarga. Pewarisan
mempunyai arti dan pemahaman sebagai salah satu proses beralihnya harta peninggalan pewaris
kepada ahli warisnya. Keberadaan ahli waris mempunyai kedudukan penting dalam proses
pewarisan. Kedudukan ahli waris, seperti janda harus dipenuhi haknya sebagai ahli waris dalam
pembagian harta warisan.

Pengertian yang lazim di Indonesia pewarisan ialah perpindahan berbagai hak dan kewajiban
tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup. 1Secara
umum dalam setiap pewarisan disyaratkan memenuhi unsur-unsur yang terdiri atas: (a) pewaris,
(b) harta warisan, dan (c) ahli waris.2Pengertian pewaris sendiri dapat diartikan sebagai seorang
peninggal warisan yang pada waktu wafatnya meninggalkan harta kekayaan pada orang yang
masih hidup.3 Ahli waris adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia yang
menggantikan kedudukan pewaris.4 Sedangkan harta warisan menurut hukum adat adalah harta
pencaharian yaitu harta yang diperoleh semasa masa perkawinan dan harta bawaan.5

Proses beralihnya harta peninggalan pewaris kepada ahli warisnya harus dilakukan sesuai
ketentuan aturan hukum yang berlaku, dengan tetap menjadikan musyawarah dan kesepakatan
sebagai landasan dalam pembagiannya. Keberadaan hukum waris adat sangat penting dalam
proses pewarisan, keberadaan hukum waris adat tersebut dapat dijadikan dasar dalam tatanan

1
Muslich Maruci, Ilmu Waris, Semarang: Penerbit Mujahidin, 1990, hal. 1
2
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 2
3
Mg. Sri Wiyarti, Hukum Adat dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bagian B, Surakarta: Universitas Sebelas Maret,
2000, hal. 4.
4
ibid
5
Satrio Wicaksono, Hukum Waris: Cara Mudah dan Tepat Membagi Harta Warisan, Jakarta: Transmedia Pustaka.
2011, hal. 10.
pembagian harta warisan dalam keluarga. Pengertian hukum waris adat sendiri adalah aturan-
aturan hukum yang mengatur cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari
harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut.6
Keberadaan harta warisan dalam hukum adat dapat materiil benda seperti tanah, dan perhiasan,
serta dapat pula imateriil benda, melainkan suatu nilai atau prestise, misalnya dalam hal ini
adalah status jabatan, seperti status raja maupun kepala adat.

Perpindahan harta warisan harus mampu dilakukan dengan jalan kekeluargaan, dengan
menjadikan musyawarah dan kebersamaan sebagai rujukannya. Kebersamaan dalam hubungan
kekerabatan harus dipertahankan sebagai identitas nilai luhur, seperti keberadaan Suku Samin
yang tetap menjaga kebersamaan dalam hubungan kekerabatan sebagai identitas budaya yang
tetap dijaga. Dalam menjaga dan melestarikan hubungan kekerabatan masyarakat samin
memiliki tradisi untuk saling berkunjung terutama pada saat satu keluarga mempunyai hajat
sekalipun tempat tinggal jauh.7 Hubungan kekerabatan dalam hukum waris adat harus tetap
dijaga sebagai salah satu aturan dan rujukan dalam pembagian warisan, yang sesuai ketentuan
dan semangat kebersamaan, seperti dalam keluarga Suku Samin yang mendasarkan musyawarah
dan mufakat sebagai dasar dan landasan pembagian harta warisan dalam keluarga.

B. Rumusan Masalah

Suatu penelitian perlu sekali adanya pembatasan masalah atau ruang lingkup
permasalahan pada suatu obyek yang akan diteliti, karena akan mempermudah penulis dalam
pengumpulan data.

Guna mempermudah pemahaman dalam pembahasan permasalahan yang akan diteliti


serta untuk mencapai tujuan penelitian yang lebih mendalam dan terarah, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan harta perkawinan menurut hukum adat dan Undang – undang?
2. Apa saja Jenis-jenis harta perkawinan?
3. Apa yang dimaksud dengan waris adat?
4. Bagaimana sistem pewarisan adat?

6
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Cipta Aditya Bhakti, 1993, hal. 23.
7
Ajaran Samin. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Samin. Diunduh pada hari Senin 12 Oktober 2016. Pukul
13:35.
5. Apa saja usnur-unsur pewarisan adat?
6. Dan Bagaimana perkembangan waris adat di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Suatu kegiatan penelitian harus memiliki tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Adapun
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui proses pewarisan menurut hukum adat.


2. Dapat mengetahui apa itu harta perkawinan baik menurut adat maupun Undang-undang.
3. Dapat membedakan jenis-jenis harta perkawinan.
4. Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan waris adat.
5. Dan dapat mengetahui unsur-unsur yang terdapat dalam waris adat.
6. Serta mengetahui perkembangan waris adat di Indonesia.
BAB II
Hukum Pewarisan Adat

A. Harta Perkawinan Menurut Hukum Adat dan UU No.1 Tahun 1974


a. Harta Perkawinan Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan ialahsemua harta yang
dikuasai suami dan istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta perse
orangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan
sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami-istri dan barang-barang hadiah.
b. Harta Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenal 3 (tiga) macam
harta, yaitu: Pertama, harta bersama; kedua, harta bawaan; dan ketiga, harta
perolehan. Setelah terjadinya perkawinan, maka kedudukan harta benda 2 orang yang
saling mengikatkan diri dalam ikatan hukum perkawinan akan berubah.
B. Jenis-Jenis Harta Perkawinan
Menurut pasal 35 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), harta benda
dalam perkawinan terbagi dalam tiga bentuk yakni harta bersama, harta bawaan dan
harta perolehan.
a. Harta Bersama (psl 36 ayat (1) UUP No 1/1974).
Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh sesudah suami-istri berada
dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari
mereka. Harta bersama dikuasai oleh suami dan istri, sehingga baik suami maupun istri
punya hak dan kewajiban yang sama untuk memperlakukan harta mereka dengan
persetujuan kedua belah pihak. Bila terjadi perceraian, maka menurut pasal 37 UUP,
harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan
„hukumnya‟ masing-masing adalah hukum yang berlaku sebelumnya bagi suami istri,
yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lain (KUH Perdata misalnya).
b. Harta Bawaan (psl 36 ayat ( 2) UUP)
Yaitu harta benda yang telah dimiliki masing-masing suami-istri sebelum
mereka melangsungkan perkawinan, baik yang berasal dari warisan, hibah, atau usaha
mereka sendiri-sendiri. Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu
suami atau
istri. Artinya, seorang istri atau suami berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya masing-masing. Tetapi bila suami istri menentukan
lain yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan misalnya, maka penguasaan harta
bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian pula bila terjadi
perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali
jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Untuk itu penyimpanan surat-surat
berharga sangat penting disini.
c. Harta Perolehan
Yaitu harta masing-masing suami-istri yang dimilikinya sesudah mereka berada
dalam hubungan perkawinan. Harta ini diperoleh bukan dari usaha mereka baik seorang
atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat atau warisan masing-masing. Pada
dasarnya penguasaan harta perolehan ini sama seperti harta bawaan, yakni suami atau
istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
perolehannya masing-masing dan jika ada kesepakatan lain yang dibuat dalam
perjanjian perkawinan maka penguasaan harta perolehan dilakukan sesuai dengan isi
perjanjian. Demikian juga jika terjadi perceraian.

C. Pewarisan Menurut Hukum Adat


1. Pengertian Hukum Waris Adat
Bagian-bagian hukum adat besar pengaruhnya terhadap hukum waris adat dan
sebaliknya hukum warispun berdiri sentra dalam hubungan hukum- hukum adat lainnya,
sebab hukum waris meliputi aturan-aturan hukum yang berlainan dengan proses yang
terus-menerus dari abad ke abad, ialah suatu penerusan dan peralihan kekayaan baik
materil maupun immamterial dari suatu angkatan ke angkatan berikutnya.8
Soepomo mengatakan “Hukum adat waris memuat peraturan- peraturan yang
mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barangbarang harta benda dan barang-
barang yang yang tidak berwujud benda (Immateriele Goederen) dari suatu angkatan
manusia (Generatie) kapada turunannya. Proses itu telah dimulai dalam waktu orang tua
masih hidup.

8
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 2002), h. 39
Tidak menjadi “akuut (mempengaruhi) oleh sebab orang tua meninggal dunia,
memang meninggalnya bapak dan ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses
itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan
pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut”.9 Inti dari pandangan Soepomo
di atas adalah seluruh harta keluarga, baik harta suami, harta isteri serta harta bersama
akan menjadi hak daripada keturunannya.
Di lapangan hukum waris, dapat dengan mudah ditunjukan adanya kesatuan dan
berjenis-jenis dalam hukum adat Indonesia, tapi tidak dapat disusun suatu aturan semua
lingkungan hukum berperangai lahir yang sama.10 Aturan-aturan hukum waris tidak
hanya mengalami pengaruh perubahan sosial dan semakin eratnya pertalian keluarga,
yang berakibat semakin longgarnya pertalian klan dan suku saja, melainkan juga
mengalami pengaruh sistem hukum asing yang mendapat kekuasaan berdasarkan agama
karena ada hubungan lahir yang tertentu dengan agama itu.11
Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang
sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan itu dialihkan penguasaan dan
pemilikkannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah
hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. 12 Berikut
beberapa pengertian hukum waris adat menurut para ahli :
Menurut Ter Haar : “Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang
mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan
yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi”.13
Menurut Soepomo : “Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang
mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-
barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya”. 14
Dengan demikian, hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara

9
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 1986), h. 79
10
Ter Haar Bzn, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat (Beginselen En Stelsel Van Het Adatrecht), diterjemahkan
oleh K.Ng. Soebakti Poesponoto (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2001), h. 159
11
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003),h.7
12
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003),h.8
13
Soerojo Wignojodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1988), h. 161
14
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h. 259
penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris
kepada para ahli warisnya.
Menurut Wirjono : “Pengertian warisan ialah, bahwa warisan itu adalah soal
apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban- kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih
hidup”.15 Jadi warisan menurut Wirjono adalah cara penyelesaian hubungan hukum
dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya
seorang manusia, di mana manusia yang wafat itu meninggalkan harta kekayaan. Istilah
warisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan bendanya. Kemudian cara
penyelesaian itu sebagai akibat dari kematian seseorang.16
Hal yang penting dalam masalah warisan ini adalah bahwa pengertian warisan itu
memperlihatkan adanya tiga unsur yang masing- masing merupakan unsur yang esensial
(mutlak), yakni :
a) Seorang peninggal warisan yang pada saat wafatnya meninggalkan harta
kekayaan.
b) Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan
yang ditinggalkan ini.
c) Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan “in concreto” yang
ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris itu.17
D. Sistem Pewarisan Adat
Di bawah ini penulis akan menguraikan tiga sistem kewarisan menurut hukum
Adat Indonesia yaitu:
a. Sistem Kewarisan Individual
Ciri Sistem Kewarisan Individual, ialah bahwa harta peninggalan
itu terbagi-bagi pemilikannya kepada para waris, sebagaimana berlaku
menurut KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), dan
Hukum Islam, begitu pula berlaku di lingkungan masyarakat adat seperti
pada keluarga-keluarga Jawa, yang parental, atau juga pada keluarga-

15
Hilman Hadikusuma, Ibid, h.8
16
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 50
17
Prodjojo Hamidjojo, Hukum Waris Indonesia, (Jakarta: Stensil, 2000), h. 37
keluarga Lampung yang patrilineal. Pada umumnya sistem ini cenderung
berlaku di kalangan masyarakat keluarga mandiri, yang tidak terikat kuat
dengan hubungan kekerabatan. Pada belakangan ini di kalangan
masyarakat adat yang modern, di mana kekuasaan penghulu- penghulu
adat sudah lemah, dan tidak ada lagi milik bersama, sistem ini banyak
berlaku.
Kebaikan sistem individual ini adalah dengan adanya pembagian,
maka pribadi-pribadi waris mempunyai hak milik yang bebas atas bagian
yang telah diterimanya. Para waris bebas menentukan kehendaknya atas
harta warisan yang menjadi bagiannya, ia bebas untuk mentransaksikan
hak warisannya itu kepada orang lain. Kelemahannya, ialah bukan saja
pecahnya harta warisan, tetapi juga putusnya hubungan kekerabatan antara
keluarga waris yang satu dan yang lainnya. Hal mana berarti, lemahnya
asas hidup kebersamaan dan tolong-menolong antara keluarga yang satu
dan keluarga yang lain yang seketurunan.18

b. Sistem Kewarisan Kolektif


Ciri sistem kewarisan kolektif, ialah bahwa harta peninggalan itu
diwarisi/dikuasai oleh sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi-
bagi, yang seolah-olah merupakan suatu badan hukum keluarga kerabat
(badan hukum adat). Harta peninggalan itu di sebut hartou menyayanak di
Lampung, dalam bentuk bidang tanah kebun atau sawah, atau rumah
bersama (di Minangkabau-Gedung).19
c. Sistem Kewarisan Mayorat
Ciri sistem kewarisan mayorat, adalah bahwa harta peninggalan
orang tua atau harta peninggalan leluhur kerabat tetap utuh tidak dibagi-
bagi kepada para waris, melainkan dikuasai oleh anak tertua laki-laki
(mayorat laki-laki) di lingkungan masyarakat patrilineal Lampung dan
juga Bali, atau tetap dikuasai anak tertua perempuan (mayorat wanita) di

18
I.G.N. Sugangga, Hukum Waris Adat, (Semarang: UNDIP, 1995), h. 11
19
Hilman Hadikusuma, Ibid, h. 16
lingkungan masyarakat matrilineal semendo di Sumatera Selatan dan
Lampung.
Bagi masyarakat adat Lampung Pesisir, penduduknya
menggunakan sistem kewarisan mayorat laki-laki. Sistem kewarisan
mayorat hampir sama dengan sistem kewarisan kolektif, hanya penerusan
dan pengalihan hak penguasa atas harta yang tidak terbagi-bagi itu
dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah
tangga atau kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu
sebagai kepala keluarga.
Diserahkannya hak penguasaan atas seluruh harta kepada anak
laki- laki tertua, bagi masyarakat Adat Lampung Pesisir, maksudnya
adalah sebagai penerus tanggung jawab orang tua yang wafat, untuk
bertanggung jawab atas harta peninggalan dan kehidupan adik-adiknya
yang masih kecil, hingga mereka dapat berdiri sendiri. Di daerah Lampung
yang memimpin, mengurus, dan mengatur penguasaan harta peninggalan
adalah anak punyimbang, yaitu anak lelaki tertua dari isteri tertua.20
Kelemahan dan kebaikan sistem kewarisan mayorat, adalah
terletak pada kepemimpinan anak tertua dalam kedudukannya sebagai
pengganti orang tua yang telah wafat, dalam mengurus harta kekayaan dan
memanfaatkannya guna kepentingan semua anggota keluarga yang
ditinggalkan. Hal ini disebabkan, karena anak tertua bukanlah sebagai
pemilik harta peninggalan secara perseorangan, tetapi sebagai pemegang
mandat orang tua yang dibatasi oleh musyawarah keluarga, dibatasi oleh
kewajiban mengurus orang tua yang dibatasi oleh musyawarah keluarga
lain, dan berdasarkan atas tolong-menolong oleh bersama untuk bersama.21
E. Unsur-Unsur Pembagian Waris Adat
Pembagian warisan dengan menggunakan hukum waris adat didasarkan pada
aturan suku yang masih dipegang teguh dan dijalankan hingga saat ini.
Hukum waris adat memiliki aturan yang berbeda-beda yang menjadikan sistem
penerapannya bisa berlainan jika berdasarkan dengan adat masing-masing daerah atau

20
Hilman Hadikusuma, Ibid, h. 28
21
Hilman Hadikusuma, Ibid, h. 30
komunitas. Pada dasarnya ada tiga sistem yang dijadikan patokan dalam hukum waris
adat, yaitu:
a. Sistem Patrilineal
sistem kekerabatan yang menarik garis dari Pihak Bapak, maksudnya dalam hal ini
setiap orang hanya menarik garis keturunan dari Bapaknya saja. Hal ini mengakibatkan
kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada wanita dalam hal mewaris. Sistem
ini dianut oleh suku-suku seperti, Batak, Gayo, Nias, Lampung, Seram, NTT dan lain-
lain.
b. Sistem matrilineal
sistem kekerabatan yang ditarik dari garis Pihak Ibu. Sehingga dalam hal
kewarisan kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari pada garis Bapak.
Sistem kekerabatan ini dianut oleh masyarakat Minangkabau, Enggano dan Timor.
c. Sistem parental/bilateral
sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari kedua belah pihak Bapak dan
Ibu, sehingga kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal mewaris adalah
seimbang dan sama. Masyarakat yang menganut sistem ini misalnya Sumatera Timur,
Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan dan lain-lain.
F. Perkembangan Waris Adat
Diambil dari salah satu perkembangan kedudukan janda yang semula hanya sebagai
penguasa atas harta peninggalan suami yang wafat, dan bukan merupakan ahli waris,
kemudian berubah menjadi ahli waris. Nampak pada putusan-putusan Mahkamah Agung R.I.
sebagaimana digambarkan oleh IGN. Suganda (1978: 13) sebagai berikut:
a. Putusan MARI tanggal 11 Februari 1959 No. 387 K/Sip/1958 menyatakan bahwa,
Tidaklah tepat putusan yudex facti, bahwa janda harus menerima hanya sepertiga bagian
dari harta gono-gini, oleh karena kalangan masyarakat di Jawa Tengah sudah makin
lama makin meresap perasaan yang dipandang adil berdasarkan sama-sama ikut sertanya
para wanita dalam perjuangan nasional, bahwa seorang janda layak mendapat separoh
dari harta gono-gini, sehingga hal ini telah menjadi pertumbuhan adat di Jawa Tengah.
Putusan ini diperkuat dengan tiga putusan MARI tanggal 25 Februari 1959, 7 Maret
1959 dan 9 April 1960.
b. Putusan MARI tanggal 8 Juli 1959 No. 187 K/Sip/1960 yang menyatakan bahwa,
'Selama seorang janda belum kawin lagi, barang-barang gono-gini yang dipegang
olehnya tidak dapat dibagi-bagi, guna menjamin kehidupannya.
c. Putusan MARI tanggal 2 September 1960 No. 302 K/Sip/1960 yang menyatakan bahwa
berdasarkan alasan tersebut ditambah dengan peninjauan sehari-hari dari Mahkamah
Agung perihal isi hukum adat tentang warisan sekarang di seluruh Indonesia. Mahkamah
Agung berkesimpulan bahwa hukum adat di Indonesia perihal warisan mengenai seorang
janda perempuan selalu merupakan ahli waris terhadap barang asal dari suaminya dalam
arti, bahwa sekurang-kurangnya dari barang asal itu sebagian harus tetap berada di
tangan janda sepanjang perlu untuk hidup secara pantas sampai ia meninggal dunia atau
kawin lagi. Dipertegas lagi dengan putusan-putusan tertanggal 26 Oktober 1960 dan
tertanggal 1 November 1960.
d. Putusan MARI tanggal 27 Desember 1961 No. 301 K/Sip/1961, yang menyatakan
'Seorang janda adalah ahli waris dari almarhum suaminya, demikian berhak atas
bagian dari barang asal dan suaminya, bagian mana adalah sama dengan bagian anak
kandung dari suaminya.
e. Putusan MARI tanggal 14 Juni 1968 No. 100 K/Sip/1969 yang menyatakan bahwa
'Mengingat pertumbuhan masyarakat pada dewasa ini yang menuju ke arah persamaan
kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan janda sebagai ahli waris telah
merupakan jurisprudensi yang dianut oleh Mahkamah Agung, maka sudahlah tepat
dan benar pertimbangan dan putusan Pengadilan Tinggi dalam perkara ini.
BAB III

PENUTUPAN

Kesimpulan

Harta Perkawinan Menurut Hukum Adat dan UU No.1 Tahun 1974


 Harta Perkawinan Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta perkawinan ialahsemua harta yang
dikuasai suami dan istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta perse
orangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan
sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami-istri dan barang-barang hadiah.
 Harta Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenal 3 (tiga) macam
harta, yaitu: Pertama, harta bersama; kedua, harta bawaan; dan ketiga, harta
perolehan. Setelah terjadinya perkawinan, maka kedudukan harta benda 2 orang yang
saling mengikatkan diri dalam ikatan hukum perkawinan akan berubah.

Jenis-Jenis Harta Perkawinan:


 Harta bawaan
 Harta bersama
 Harta peroleh

Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke
abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari
generasi pada generasi

Sistem kewarisan adat:

 Sistem kewarisan Individual


 Sistem kewarisan Kolektif
 Sistem kewarisan

Mayorat Unsur-unsur pewarisan

adat:

 Sistem patrilineal
 Sistem matrilineal
 Sistem bilanetral/Parental

Perkebangan waris adat

Diambil dari salah satu perkembangan kedudukan janda yang semula hanya sebagai
penguasa atas harta peninggalan suami yang wafat, dan bukan merupakan ahli waris,
kemudian berubah menjadi ahli waris

Saran
1. Agar pelaksanaan pembagian warisan tersebut berlangsung dengan baik sebaiknya para anggota ahli
waris, pembagiannya dilakukan dengan cara kekeluargaan dan melakukan musyawah antar keluarga
dan memberikan porsi masing-masing pada ahli waris sesuai yang telah di sepakati dan ditunjukan
oleh orang tua atau pewaris.
2. Melakukan surat perjanjian agar dikemudian hari tidak ada terjadi gugat menggugat antar sesama
pewaris, hal ini salah satu bentuk adanya perlindungan hukum terhadap ahli waris terutama
kaum perempuan.
3. Menerbitkan surat-surat yang sah yang ditandatangani oleh semua pihak keluarga dan saksi-saksi,
karna kebanyakan pembagian dari sistem tunjuk menunjuk bagian tanpa dibarengi suarat-surat yang
sah mudah menimbulkan sengketa dikemudian hari
DAFTAR PUSTAKA

Ajaran samin. (n.d.). From https:\\.


Ali, z. (2008). pelaksanaan hukum waris indonesia. jakarta: sinar grafika.
Bzn, T. h. (2001). asas-asas dan susunan hukum adat. jakarta: pradya paramitha.
Hamidjojo, p. (2000). hukum waris indonesia. jakarta: stensil.
Madikusumo, h. (1993). hukum waris adat . bandung: adytia bakhti.
Maruci, M. (1990). Ilmu Waris. Semarang: Mujahidin.
Muhammad, b. (2002). pokok-pokok hukum adat. jakarta: pradnya paramitha.
Soekanto, s. (2012). hukum adat indonesia. jakarta: raja grafindo persada.
Soepomo. (1986). bab-bab tentang hukum adat. jakarta: PT. Pradnya paramitha.
Sugangga, I. (1995). hukum waris adat. semarang: UNDIP.
Wicaksono, S. (2011). hukum waris. jakarta: transmedia jakarta.
Wignojodipoera, s. (1988). pengantar dan asas-asas hukum adat. jakarta: jakartahaji mangsagung.
Wiyarti, M. S. (2000). hukum adat dalam pembinaan hukum nasional, bagian B. Surakarta:
Universitas sebelas.
PERTANYAAN AUDIENS

Sesi pertama:

1.) Elsa permata


Bolehkan pewarisan adat itu dibagikan pada saat hidup?
Jawaban: Berdasarkan pasal 830 kitab undang-undang hukum perdata, pewarisan tanpa adanya
kematian dari pewaris, maka pemberian waris kepada ahli waris saat pewaris masih hidup tidak
bisa dilakukan.
2.) Sarpani
Apa itu sistem pewarisan kolektif?
Jawaban: Jadi sistem pewarisan kolektif itu ialah bahwa harta peninggalan itu diwarisi/dikuasai
oleh sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi-bagi, yang seolah-olah merupakan suatu
badan hukum keluarga kerabat (badan hukum adat)
3.) Yoan elza
Apakah sistem perkawinan mempengaruhi sistem pewarisan dalam hukum adat
Jawaban: sistem kekerabatan adat dan sistem perkawinan adat di indonesia, sangat berpengaruh
dan berkaitan dengan sistem pewarisan adat, sistem kekerabatan yang dianut dan pelaksanaan
perkawinan adat akan menentukan kedudukan penting dalam keluarga dan mempengaruhi sistem
keturunan dalam mewariskan harta warisan kepada ahli waris.

Sesi kedua:
1.) Widia
Apa sebab-nya janda tidak mewarisi dalam hukum adat?
Jawaban: menurut hukum waris janda, janda tidak dapat mewarisi karena janda tidak mempunyai
hubungan darah dengan suaminya, sedangkan menurut hukum waris perdata ahli waris sudah
ditentukan menurut undang-undang hukum perdata (BW), termasuk istri yang ditinggal mati oleh
suaminya.
2.) Redo bactiar
Siapa saja ahli waris dalam hukum adat?
Jawaban: terdapat dalam KHI golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara lai-laki,
paman dan kakek. Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan
nenek.
3.) Muhammad Adib Farhan
Apakah anak luar kawin dapat warisan
Jawaban: menurut norma agama anak luar perkawinan termasuk anak zina tidak berhak atas
warisan sebab secara normatif anak tersebut tidak memiliki nasab yang di akui secara de jure.
Tetapi menurut MK anak di luar perkawinan termasuk anak zina mendapatkanhak waris karena
dianggap memiliki nasab terhadap ayah biologisnya.

Anda mungkin juga menyukai