Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENYELESAIAN SENGKETA HARTA PERKAWINAN

“Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan agama”

Dosen Pengampu: Aris Bintania, M. Ag

Disusun Oleh:

Fara Niza (191227)

Muhammad Alif Iqbal (191242)

Nurul Fatihah (191282)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

SULTAN ABDURRAHMAN

KEPULAUAN RIAU

T.A 2022

0
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatuallahi wabarakatuh.

Puji syukur kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat serta hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Penyelesaian Sengketa Harta Perkawinan” ini sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan.

Shalawat serta salam tidak lupa penulis hanturkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun kita dari zaman jahiliyah menuju
zaman yang penuh dengan pengetahuan seperti saat ini.

Dan kami selaku pemakalah mengucapkan terima kasih kepada Bapak Aris
Bintania, M. Ag yang telah memberikan tugas ini sehingga menambah
pengetahuan dan wawasan yang sesuai dengan bidang studi yang kami pelajari.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh sebab itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan demi tersusunnya makalah
yang lebih baik pada tugas berikutnya.

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai makhluk yang diciptakan dalam keadaan lemah dan serba
kekurangan, manusia tidak mampu untuk hidup sendiri dalam memenuhi
kebutuhan hiudpnya, ia selalu membutuhkan orang lain. Hal ini merupakan
kebutuhan sosial.
Hidup saling membutuhkan itu lalu terciptalah hubungan antara
individu dengan individu, antara kelompok dengan kelompok lainnya, yang
direalisasikan dengan ikatan perjanjian yang kuat untuk saling kerjasama.
Salah satu hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk perkawinan yang
merupakan perjanjian yang luhur antara seorang laki-laki dengan seorang
wanita.
Perkawinan merupakan salah satu ketentuan Allah, yang berlaku
bagi semua makhluk, bagi manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.
Oleh karena itu demi terjaga kehormatan dan kemuliaan manusia, maka
Allah membuat hukum tentang perkawinan sesuai dengan martabatnya,
sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan itu diatur secara
terhormat dan saling ridho meridhoi dengan upacara akad nikah. sebagai
lambang dan rasa saling ridho meridhoi dihadiri para saksi yang
menyaksikan bahwa kedua laki-laki dan perempuan itu telah terikat.
Di dalam melaksanakan perkawinan diperlukan persiapan yang
matang, baik dari segi materi maupun segi mental (kejiwaan) dimana kedua
hal itu saling bertautan, mentalnya harus siap dan juga tidak kalah
pentingnya materi, sebab perkawinan buklah hanya sekedar melepas hawa
nafsu belaka, tetapi lebih dari itu dituntut tanggung jawab yang penuh bagi
masing-masing pihak baik suami maupun istri, karena bagaimanapun juga
materi dalam sebuah perkawinan cukup menentukan sukses tidaknya
sebuah keluarga.

1
Hal tersebut khususnya tentang uang yang identik dengan harta,
maka perlu pengkajian tentang harta yang dimiliki dalam sebuah
perkawinan, karena masalah harta kadangkala perkawinan itu rentan
konflik, sehingga tidak dapat mewujudkan keluarga yang bahagia dan
sejahtera yang diharapkan, padahal perkawinan itu merupakan peristiwa
sakral dengan harapan hanya terjadi satukali bagi setiap orang.
Maka dari itu, pemakalah disini akan membahas yang berkaitan
dengan harta dalam rumah tangga, harta bersama serta penyelesaian
sengketa harta perkawinan.

B. Rumus an Masalah
1. Apa pengertian dari harta bersama ?
2. Apa dasar hukum harta bersama ?
3. Bagaimana ruang lingkup harta bersama ?
4. Apasakah macam-macam harta bersama ?
5. Bagaimanakah terbentuknya harta bersama?
6. Bagaimana penyelesaian sengketa harta perkawinan (harta bersama) ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari harta bersama
2. Mengetahui dasar hukum harta bersama
3. Mengetahui ruang lingkup harta bersama
4. Mengetahui apa saja macam-macam harta bersama.
5. Mengetahui bagaimana terbentuknya harta bersama.
6. Mengetahui penyelesaian sengketa harta perkwinan (harta bersama)

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Harta bersama


Harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan
berlangsung sejak perkawinan dilangsungkan hingga perkawinan berakhir
atau putusnya perkawinan akibat perceraian, nantinya, maupun putusan
pengadilan, Harta bersama meliputi:
a. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung
b. Harta yang diperoleh sebagai hadiah, pemberian, atau warisan apabila
tidak ditentukan demikian.
c. Utang-utang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang
merupakan harta pribadi masing-masing suami istri

Menurut Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan bahwa, harta bersama suami istri hanyalah meliputi harta yang
diperoleh suami istri sepanjang perkawinan, hingga termasuk harta bersama
adalah hasil dan pendapatan suami, hasil dan pendapatan istri.1

B. Dasar Hukum Harta Bersama


Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak
ada pencampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.
Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian
juga harta suami. Ketentuan ini memberikan pemahaman bahwa harta yang
dibawa suami dan istri kedalam perkawinan tetap menjadi harta pribadi
masing-masing selama mereka tidak menentukan lain lewat perjanjian.
Menurut ketentuan yang tercantum dalam pasal 86 tersebut adalah
bersifat fakultatif yang dibuktikan dengan adanya ketentuan mengenai harta
bersama dan perjanjian kawin yang menyimpangi ketentuan tersebut. Dasar
hukum adanya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal 1 huruf
1
Evi Djumiarti, “Hukum Harta Bersama Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan
KUH Perdata”, (Jurnal Penelitian Hukum, DE JURE Vol. 17 No. 4, Desember 2017), hlm 447

3
KHI ketentuan tersebut memberikan legitimasi bahwa harta bersama diakui
dalam perkawinan nasional.
Al-Qur’an dan hadis sendiri tidak menegaskan bahwa harta yang
diperoleh suami dalam perkawinan, secara lengsung, istri juga ikut berhak
atasnya. 2

C. Ruang Lingkup Harta Bersama


Harta bersama dapat berupa benda berwujud dan tidak berwujud,
harta berwujud dapat berupa benda bergerakndan benda yang tidak
bergerak termasuk surat-surat berharga. Sedangkan harta yang tidak
berwujud beupa hak dan kewajiban. Harta bersama ini dapat dijadikan
jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan yang lainnya. Baik suami
atau istri tidak boleh menjual atau memindahkan harta bersama tanpa
adanya kesepakatan terlebih dahulu.
Ada beberapa faktor dalam menentukan apakah suatu barang
termasuk harta bersama atau tidak, yakni :
1. Ditentukan pada saat pembelian barang tersebut.
2. Ditentukan oleh asal usul uang biaya pembelian atau pembangunan
barang yang bersangkutan, meskipun barang tersebut dibeli setelah
proses perkawinan terhenti.
3. Ditentukan oleh keberhasilan dalam membuktikan dalam persidangan
bahwa harta sengketa atau harta yang digugat benar-benar diperoleh
selama perkawinan berlangsung, dan uang yang digunakan untuk
membeli harta tersebut bukan berasal dari harta pribadi.
4. Ditentukan oleh pertumbuhan dan perkembangan harta tersebut.

Hukum melarang memindahkan harta bersama secara sepihak oleh


suami atau istri. Penjualan, penggunaan, penghibahan, atau penukaran harta
bersama tanpa kesepakatan bersama suami atau istri, dianggap bertentangan
dengan hukum. Untuk menjual, menghibahkan, atau menggunakan harta
bersama oleh suami harus mendapat persetujuan dari istri. Terutama
2
John Kenedi, “Analisis Fungsi dan Manfaat Perjanjian Perkawinan” (Yogyakarta: Samudra Biru,
cet 1, 2018), hlm 81

4
mengenai pemindahan harta bersama yang berbentuk benda tidak bergerak
seperti tanah atau rumah. Sekurang-kurangnya harus ada persetujuan izin
dari suami atau istri.

Tujuannya adalah untuk menghindari penyalahgunaan oleh suami dan


istri dalam hal kedudukannya sebagai kepala rumah tangga dapat bertindak
sesuka hati menhual atau menghibahkan harta bersama tanpa
memperdulikan kesejahteraan dan keselamatan keluarga.3

D. Macam- Macam Harta Bersama


Ada beberapa harta yang berkenaan dengan harta Bersama yang
lazim dikenal di Indonesia antara lain yaitu:
a. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh para pihak kerena usaha
mereka masing-masing, harta jernih ini adalah hak dan dikuasai
masing-masing pihak suami dan istri.
b. Harta yang pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua
mempelai mungkin berupa modal usaha atau perabotan rumah tangga
atau tempat tinggal, apabila terjadi perceraian maka harta tersebut
kembali kepada orang tua atau keluarga yang memberikan semula.
c. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung karena hibah atau
warisan dari orang tua mereka atau keluarga terdekat.
d. Harta yang didapatkan sesudah mereka dalam hubungan perkawinan
berlangsung atau usaha mereka berdua atau salah seorang dari mereka
disebut juga harta mata pencaharian, dan harta jenis ini menjadi harta
Bersama.4
E. Terbentuknya Harta Bersama
Harta Bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan,
yang telah diamanatkan oleh pasal 35 UU Nomor 1 tahun 1974, ini
mengartikan syirkah atau harta Bersama itu terbentuk sejak tanggal
terjadinya perkawinan sampai perkawinan itu putus. Ketentuan tentang satu
barang atau benda masuk kedalam harta persatuan atau tidak ditentukan

3
Ibid, hlm 90-92
4

5
oleh factor selama perkawinan antara suami dan istri berlangsung, barang
menjadi harta Bersama kecuali harta yang diperoleh berupa warisan, wasiat
atau hibah oleh satu pihak, harta ini menjadi harta pribadi yang
menerimanya.
Kemudian dalam pasal 1 fjo pasal 85 Kompilasi Hukum Islam
menyebytkan bahwa harta Bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang
perkawinan, baik bend aitu terdaftar atas nama suami ataupun sebaliknya
atas nama istri. Akan tetapi akan menjadi barang pribadi apabila harta yang
dipergunakan untuk membeli benda tersebut menggunakan harta pribadi
suami atau istri dengan kata lain harta yang dibeli dengan harta yang
berasala dari barang pribadi ialah milik pribadi. Bisa juga terjadi suami istri
memiliki harta Bersama setelah terjadi perceraian, dengan ketentuan bahwa
uang yang digunakan untuk membeli benda itu berasal dari atau harta
Bersama semasa perkawinan terdahulu, sehingga ini juga akan tetap dibagi
sama banyak.5

F. Penyelesaian Sengketa Harta Perkawinan (Harta Bersam)


Pembagian harta Bersama dalam perkawinan haruslah didasarkan pada
aspek keadilan untuk semua pihak, keadilan yang dimaksud mencakup
pada pengertian bahwa pembagian tersebut tidak mendikriminasikan salah
satu pihak. Kepentingan masing-masing pihak pelu untuk diakomodasikan
asalkan sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Didalam persoalan
harta milik dan harta Bersama serta nafkah didalam dan setelah bubarnya
perkawinan, pihak perempuan kerap menjadi pihak yang dirugikan.
Apalagi disebakan karena pasangan yang menikah biasanya tidak pernah
memikirkan harta bawaannya masing-masing serta harta Bersama dan harta
milik yang didapat setalah perkawinan. Ketika awal menikah dulu mereka
umumnya tidak pernah berfikir untuk bercerai sehingga Ketika rumah
tangganya ternyata bubar ditengah jalan, mereka baru bingung soal
pembagian harta Bersama.Pembagian dengan komposisi dibagi dua (atau
presentase 50:50) pun belum tentu sepenuhnya dianggap adil dan
5
J. Satrio, “Hukum Harta Perkawinan”, cet. Ke-3 (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 74-75

6
keputusannya juga dianggap tidak mutlak. Yang pada umumnya,
pembagian komposisi itu hanya sebatas membagi harta secara formal,
seperti contohnya gaji.
Pihak pengadilan dapat memutuskan presentase lain dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Misalnya, pertimbangan siapa yang
mengurus anak, siapa yang berkontribusi terhadap harta Bersama yang
lebih besar, dan juga siapa yang ternyata mampu membiayai hidup sendiri.
Dalam kasus bagaimana dengan istri yang tidak bekerja (secara formal)?
Dalam banyak kasus seperti ini istri yang tidak bekerja kerap mendapat
perlakuan yang tidak adil dalam hal pembagian harta Bersama setelah
adanya perceraian secara resmi. Sudah seharusnya istri yang tidak bekerja
tetap mendapat bagian dari harta gono gininya Bersama suami. Dengan
alasan apa yang dikerjakan oleh istri selama hidup dengan suami adalah
termasuk kedalam kegiatan bekerja juga. Jadi istri yang tidaak bekerja tetap
mendapat bagian harta Bersama.
Lalu bagimana dengan suami yang tidak bekerja (secara formal)?,
berdasarkan atas ketentuan yang berlaku harta Bersama yang didalamnya
termasuk dalam penghasilan istri tetap akan dibagi dua. Seperti halnya
dengan kondisi Ketika istri tidak bekerja (secara formal), maka suami yang
tidak bekerja juga mendapatkan haknya dalam pembagian harta Bersama.
Hal tersebut didasarkan atas logika bahwa jika salah satu pihak tidak
menghasilkan, pihak yang lain tidak bisa menghasilkan tanpa bantuan yang
satunya. Yang artinya meskipun salah satudari mereka tidak bekerja sevara
forma, ada pekerjaan-pekerjaan lain yang itu dianggap dapat membantu
urusan rumah tangga. Suami yang tidak bekerja secara forma perlu dilihat
juga bagaimana kondisinya, apakah ia menganggur total, mempunyai
perkerjaan serabutan, atau jika suami menganggur total tapi mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan domestic. Jika ternyata suami tersebut menganggur
total, tetapi tidak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestic, dan harta
Bersama dibagi dua akan menjadi suatu pertanyaan besar, pembagian
seperti ini bisa dikatakan adil atau tidak. Maka dari itu pembagian harta

7
Bersama juga perlu memperhatikan siapa yang berkontribusi paling besar
dalam kebersamaan harta kekayaan suami istri.
Didalam realitas kehidupan dimasyarakat, pembagian harta Bersama
kerap menimbulkan persengketaan diantara pasanagan suami dan istri yang
telah bercerai, yang terutama dikarenakan salah satu pasanagan ada yang
menganggur, baik istri ataupun suami. Didasrkan atas ketentuan dalam UU
Perkawinan, KUHPerdata, dan KHI sebagaimana telah dijelaskan, maka
yang telah djelaskan masing-masing dari pasangan tersebut mendapat
bagian yang sama. Yang artinya, pasagan yang tidak bekerja tetap
mendapat bagian, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwasannya
istri yang tidak bekerja tetap dianggap bekerja dan berkontribusi dalam
kebersamaan harta Bersama. Namun demikian, pembagian dengan
presntase 50:50 tidak mutlak, bisa juga didasarkan pada pertimbangan siapa
yang paling besar penghasilannya.
Ada enam kiat strategis mengenai pembagian harta Bersama yaitu:
a. Yang pertama, seluruh harta keluarga perlu diinventarisasikan dan
dipisahkan mana yang merupakan harta Bersama, harta bawaan, dan
harta perolehan.
b. Setalah diketahui mana yang merupakan harta gono gini, maka
kemudian seluruh asset harta tersebut perlu didata secara lengkap,
yang meliputi harta bergerakdan harta yang tidak bergerak.
c. Menginventariskan asuransi dan asset investasi yang dimiliki,
khusunya yang berbentuk portofolio keuangan, yang meliputi
tabungan, deposito, rekening valas di bank, obligasi, reksa dana atau
investasi lainnya.
d. Setelah asset dihitung, lalu kemudian dilakukan kegiatan mendaftar
dan menghitung semua utang keluarga. Penentuan cicilan kredit
biasanya dihitung berdasarkan penghasilan gabungan suami istri
e. Jika salah satu pasangan ngotot untuk ingin menguasai asset kredit
tersebut, sebaiknya pasangan yang lain mendatangi bank atau
perusahaan yang memberikan kredit. Salah satu pasangan yang

8
merasa dirugikan bisa saja meminta kepada bank untuk menghapus
jaminan pribadi atas kredit tersebut.
f. Setelah asset dikurangi dengan hutang-hutangnya, maka tinggal
dibagi dua, dengan porsi yang disepakati oleh masing-masing pihak.
Dengan begitu, harta gono gini telah selesai dibagi.
Cara tersebut bisa membantu kita untuk menentukan dan menghitung
mana yang merupakan bagian masing-masing dakam harta Bersama.
Langkah-langah tersebut akan lebih mudah dilakukan jika pasangan
suami yang sedang atau telah bercerai memiliki bukti perjanjian
perkawinan yang menentukan mana harta Bersama, harta bawaan,
dan harta perolehan. Akan lebih bagus jika segala bukti tertulis dari
hasil jual beli atas barang-barang yang pernah mereka lakukan
selama perkawinan masih tersimpan rapi, jadi Ketika harta tersebut
harus dibagikan akan menjadi jelas mana yang merupakan bagian
untuk masing-masing pasangan.6

BAB III

6
Felicitas Marcelina waha, “Penyelesain Sengketa Atas Harta Perkawinan Setelah Bercerai”,
(Jurnal Lex et Sociatatis, Vol 1. No 1. 2013) hlm. 60-62.

9
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari materi diatas adalah:
1. Harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan
berlangsung sejak perkawinan dilangsungkan hingga perkawinan
berakhir atau putusnya perkawinan akibat perceraian, nantinya, maupun
putusan pengadilan.
2. Ruang lingkup harta Bersama, Kompilasi Hukum Islam menjelaskan
bahwa pada dasarnya tidak ada pencampuran antara harta suami dan
harta istri karena perkawinan. Menurut ketentuan yang tercantum dalam
pasal 86 tersebut adalah bersifat fakultatif yang dibuktikan dengan
adanya ketentuan mengenai harta bersama dan perjanjian kawin yang
menyimpangi ketentuan tersebut
3. Macam-macam harta Bersama yaitu, Harta yang diperoleh sebelum
perkawinan, Harta yang pada saat mereka menikah, Harta yang
diperoleh selama perkawinan berlangsung karena hibah atau warisan
dari orang tua mereka atau keluarga terdekat, dan Harta yang
didapatkan sesudah mereka dalam hubungan perkawinan.
4. Terbentuknya harta Bersama, diamanatkan oleh pasal 35 UU Nomor 1
tahun 1974, ini mengartikan syirkah atau harta Bersama itu terbentuk
sejak tanggal terjadinya perkawinan sampai perkawinan itu putus.
5. Harta perkawinan akibat sengketa setelah terjadi perceraian, maka harta
Bersama dalam perkawinan umumnya akan dibagi dua sama rata antara
suami dan istri. Pembagian harta Bersama dalam perkwainan perlu
didasari pada aspek keadilan untuk semua pihak, yang terkait keadilan
dimaksud mencakup pada pengertian tidak mendiskriminasikan salah
satu pihak. Kepentingan masing-masing pihak perlu diakomodasikan
asalkan sesuai dengan kenyataan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

10
Djumiarti Evi, 2017, “Hukum Harta Bersama Ditinjau dari Perspektif Undang-
Undang Perkawinan dan KUH Perdata”, (Jurnal Penelitian
Hukum, DE JURE Vol. 17 No. 4)
Kenedi John, 2018 “Analisis Fungsi dan Manfaat Perjanjian Perkawinan”
(Yogyakarta: Samudra Biru, cet 1)

Marcelina Felicitas waha, 2013, “Penyelesain Sengketa Atas Harta Perkawinan


Setelah Bercerai”, (Jurnal Lex et Sociatatis, Vol 1. No 1)

Satrio J, 1993, “Hukum Harta Perkawinan”, cet. Ke-3 (Jakarta: Citra Aditya
Bakti)

11

Anda mungkin juga menyukai