Anda di halaman 1dari 5

A.

Tujuan Psikoterapi Behavioristik


Secara umum, tujuan psikoterapi behavioristik adalah untuk menciptakan kondisi
baru yang dapat digunakan untuk belajar.1 Artinya adalah bahwa pengalaman belajar
individu ketika melakukan psikoterapi ini akan dapat memperbaiki tingkah laku bermasalah.
Dalam pelaksanaan psikoterapi behavioristik, terapis akan mengarahkan individu kepada
tujuan-tujuan untuk memperoleh tingkah laku yang baru, melakukan penghapusan terhadap
tingkah laku yang maladaptif, serta memperkuat dan mempertahankan tingkah laku yang
diinginkan.2
Sejalan dengan hal di atas, Corey (1997) menyatakan bahwa psikoterapi
behavioristik adalah terapi yang berorientasi pada pengubahan atau modifikasi perilaku
individu.3 Modifikasi perilaku tersebut berorientasi pada beberapa hal, yang mana hal
tersebut menjadi tujuan dari terapis psikoterapi behavioristik, yakni :
1. Menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar.
2. Melakukan penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif.
3. Memberi pengalaman belajar yang adaptif, namun belum dipelajari.
4. Membantu individu untuk membuang respon-respon yang lama yang merusak diri
atau maladaptif dan mempelajari respon-respon baru yang lebih sehat dan sesuai
dengan (adjustive).
5. Individu belajar memiliki perilaku baru dan mengeliminasi perilaku yang maladaptif,
memperkuat, serta mempertahankan perilaku yang diinginkan.
6. Melakukan penetapan tujuan dan tingkah laku serta upaya pencapaian sasaran
yang dilakukan bersama antara terapis dan klien.4
Dalam bukunya, Latipun (2008) juga menuliskan bahwa psikoterapi behavioristik
memiliki tujuan berupa terapis membantu individu untuk mencapai kehidupan tanpa
mengalami perilaku simptomatik, artinya adalah melalui kehidupan tanpa mengalami
kesulitan atau hambatan perilaku yang dapat membuat ketidakpuasan dalam jangka
panjang atau mengalami konflik dengan kehidupan sosial.5
Selain berdasar pada tujuan umum yang telah dituliskan di atas, seorang terapis
juga dapat berpedoman pada tujuan psikoterapi sesuai dengan teknik-tekniknya. Dalam
1
Dewa Kadek Sudyana, I Kadek Satria, dan I Ketut Winantra, “Konseling Behavioral dan Penguatan
Positif dalam Meningkatkan Prilaku Sosial Peserta Didik”, Widyanatya, 2(2), 2020, hlm.82.
2
Mahdi, N.K, “Terapi Behavior Dalam Perspektif Islam (Upaya Penanganan Perilaku Maladaptif Remaja
Pecandu Game Online”, Jurnal At-Taujih Bimbingan dan Konseling Islam, 5(1), 2022, hlm.17.
3
Ibid., hlm.17.
4
Ibid., hlm.17.
5
Asrul Haq Alang, “Teknik Pelaksanaan Terapi Perilaku (Behaviour)”, Al-Irsyad Al-Nafs: Jurnal
Bimbingan dan Penyuluhan Islam, 7(1), 2020, hlm.36.
psikoterapi behavioristik, terdapat beberapa macam teknik yang dapat digunakan dengan
tujuan masing-masing yang berbeda. Berikut merupakan teknik yang dapat digunakan
dalam psikoterapi behavioristik dengan tujuan yang berbeda :
1. Penguatan positif : bertujuan memberikan penguatan yang menyenangkan setelah
tingkah laku yang diinginkan ditampilkan. Dari hal tersebut, diharapkan bahwa
tingkah laku yang diinginkan cenderung diulang, dan akan meningkat serta menetap
di masa yang akan datang.
2. Kartu berharga (token economy) : bertujuan untuk mengembangkan perilaku adaptif
melalui pemberian reinforcement melalui token.
3. Desensitisasi sistemasis : bertujuan untuk mengahpus rasa cemas dan tingkah laku
yang diperkuat secara negatif, dengan disertakan pemunculan tingkah laku yang
hendak dihapus.
4. Asertive : mengharuskan individu dapat belajar untuk membedakan tingkah laku
agresif, pasir, dan asertif, yang bertujuan agar individu belajar bertingkah laku
asertif.
5. Aversi : bertujuan untuk meredakan gangguan perilaku yang spesifik. Diharapkan
bahwa individu dapat bertingkah laku sesuai dengan yang diinginkan. Stimulus yang
digunakan adalah berupa hukuman-hukuman.
6. Shapping : bertujuan untuk membentuk tingkah laku yang sebelumnya belum
ditampilkan dengan memberikan reinforcement secara sistematik dan setiap kali
tingkah laku ditampilkan.
7. Teknik relaksasi : bertujuan untuk menurunkan atau mengurangi ketegangan fisik
dan mental selama proses terapi. Hal tersebut dilakukan dengan latihan pelemasan
otot-otot dan pembayangan situasi yang menyenangkan.
8. Teknik flooding : bertujuan untuk membantu klien mengatasi kecemasan dan
ketakutan terhadap suatu hal dengan cara menghadapkan klien dengan situasi
yang menimbulkan kecemasan atau ketakutan secara berulang-ulang.
9. Reinforcement technique : bertujuan untuk membantu klien meningkatkan perilaku
yang diinginkan dengan cara memberikan penguatan terhadap perilaku tersebut.
10. Modelling : bertujuan untuk mengubah tingkah laku yang lama dengan meniru
tingkah laku klien menggunakan model.
11. Cognitive restructuring : bertujuan untuk menekankan pengubahan pola pikiran,
penalaran, dan sikap klien yang tidak rasional menjadi rasional dan logis.
12. Self management : bertujuan untuk prosedur dimana klien mengatur perilakunya
sendiri melalui pantauan diri, kendali diri, dan ganjar diri.
13. Behavioral reharsal : bertujuan agar klien belajar keterampilan antarpribadi yang
efektif atau perilaku yang layak.
14. Kontrak : bertujuan untuk mengatur kondisi sehingga klien menampilkan tingkah
laku yang diinginkan berdasarkan kontrak antara terapis dan klien.
15. Pekerjaan rumah : bertujuan untuk memberikan tugas atau aktivitas yang dirancang
agar dilakukan klien di rumah.
16. Extinction (penghapusan) : bertujuan untuk menghentikan reinforcement pada
tingkah laku yang sebelumnya.
17. Punishment (hukuman) : merupakan intervensi operant-conditioning yang
digunakan terapis untuk mengurangi tingkah laku yang tidak diinginkan.
18. Satitation (penjenuhan) : yaitu membuat diri jenuh terhadap suatu tingkah laku,
sehingga tidak lagi bersedia melakukannya.
19. Time-out : bertujuan untuk menyisihkan peluang individu untuk mendapatkan
penguatan positif.6

B. Hubungan Klien dan Terapis


Dalam proses psikoterapi behavioristik, hubungan klien dan terapis bersifat
hubungan pekerjaan yang kolaboratif.7 Artinya adalah adanya pola dan bentuk hubungan
yang dilakukan antarindividu yang berkeinginan saling berbagi untuk menyelesaikan
masalah secara bersama-sama dengan bertukar gagasan atau ide. Satu fondasi pada
strategi pengobatan yang dibangun untuk menolong perubahan klien pada arah harapan
terapis dan klien.8 Dalam menjalankan hubungannya, terapis diharuskan aktif dan direktif,
serta berfungsi sebagai guru atau pelatih dalam membantu klien belajar tingkah laku yang
lebih efektif. Klien juga harus aktif selama proses dan bereksperimen dengan tingkah laku
baru. Meskipun dalam psikoterapi hubungan antara terapis dan klien tidak ditekankan,
hubungan kerja yang baik menjadi kerangka landasan bagi pelaksanaan prosedur-prosedur
terapi.9

6
Ibid., hlm.38-39.
7
Mefi Kartika Sari, “Terapi Behavior”, (https://www.slideshare.net/MEFIKARTIKASARI/terapi-behavior,
diakses pada 17 Maret 2023)
8
Ibid.
9
Thomi Suryana, “Hubungan Antara Terapis Dan Klien”,
(https://id.scribd.com/document/437717606/Hubungan-Antara-Terapis-Dan-Klien#, diakses pada 17
Maret 2023)
Selain itu, hubungan antara terapis dan klien juga dapat terjalin karena adanya (1)
transference, yaitu perasaan apapun yang dinyatakan atau dirasakan oleh klien terhadap
konselor, baik berupa reaksi rasional terhadap kepribadian konselor atau proyeksi terhadap
tingkah laku awal dan sikap-sikap selanjutnya dari konselor. (2) Counttransference, yang
merupakan kebalikan dari tranference, adalah reaksi emosinal terapis kepada klien yang
didasarkan pada kebutuhan tidak sadar terapis dan konflik dan akan mengganggu
kemampuan terapis untuk memahami klien, dan (3) efeknya. 10

C. Peran dan Fungsi Terapis


Dalam menjalannya tugasnya sebagai seorang ahli dalam psikoterapi behavioristik,
seorang terapis memiliki peran dan fungsi yang harus dijalankan, yakni :11
1. Terapis lebih edukatif-direktif kepada klien, dengan cara banyak memberikan cerita
dan penjelasan, khususnya pada tahap awal.
2. Mengkonfirmasi masalah klien secara langsung.
3. Menggunakan pendekatan yang dapat memberi semangat dan memperbaiki cara
berpikir klien, kemudian memperbaiki klien untuk dapat mendidik dirinya sendiri.
4. Dengan gigih dan berulang-ulang menekankan bahwa ide irasional itulah yang
menyebabkan hambatan emosional pada klien.
5. Mendorong klien menggunakan kemampuan rasional daripada emosinya.
6. Menggunakan pendekatan didaktif dan filosofis.
7. Menggunakan humor dan “menekan” sebagai jalan mengonfrontase berpikir secara
irasional.

D. Desensitisasi sistematis
Joseph Wolpe (1985) menjelaskan bahwa desensitisasi sistematis dirancang untuk
mengobati klien dengan kecemasan yang ekstrem atau takut terhadap perisitwa tertentu,
orang atau benda, atau memiliki ketakutan umum.12 Dalam desensitisasi sistemasis
pendekatan yang digunakan adalah mengajarkan klien menggantikan perasaan cemas

10
Universitas Udayanya, “Bahan Ajar Materi Kuliah Psikoterapi I”
(https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/9bce2706cd103e0013badd148d3f51f3.PDF,
diakses pada 17 Maret 2023)
11
Suhendri, DYP Sugiharto, dan Suwarjo, “Efektivitas Konseling Kelompok Rational-Emotif Untuk
Membantu Siswa Mengatasi Kecemasan Menghadapi Ujian”, Jurnal Bimbingan Konseling, 1(2), 2012,
hlm.124.
12
Universitas Udayanya, “Bahan Ajar Materi Kuliah Psikoterapi I”
(https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/9bce2706cd103e0013badd148d3f51f3.PDF,
diakses pada 17 Maret 2023)
mereka menjadi relaksasi. Berdasarkan hal tersebut, maka desensitisasi sistematis adalah
teknik relaksasi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negatif,
biasanya berupa kecemasan dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku
yang akan dihilangkan.
Dalam melakukan teknik relaksasi ini, terapis dalam melakukannya dengan
beberapa langkah, yakni (1) mengajarkan klien untuk mengganti kecemasannya dengan
relaksasi, (2) mengurutkan atau menilai perisitwa yang membuat klien cemas menggunakan
derajat kecemasan, (3) membangkitkan kecemasan klien ketika sedang rileks dengan
mengajak klien membayangkan situasi kecemasannya.13

DAFTAR PUSTAKA
Alang, A. H. (2020). Teknik pelaksanaan terapi perilaku (behaviour). Al-Irsyad Al-Nafs: Jurnal
Bimbingan dan Penyuluhan Islam, 7(1), 36-39.
Fikri, I. A. & Karneli, Y. (2021). Konsep behavior therapy dalam meningkatkan self efficacy pada
siswa terisolir. Muhafadzah: Jurnal Ilmiah Bimbingan Konseling Pendidikan Islam, 1(2),
17.
Mahdi, N. K. (2022). Terapi behavior dalam perspektif Islam (Upaya penanganan perilaku
maladaptif remaja pecandu game online). Jurnal At-Taujih: Bimbingan dan Konseling
Islam, 5(1), 17.
Sari, M. K. (2016). Terapi behavior. Diakses pada 17 Maret 2023 dari
https://www.slideshare.net/MEFIKARTIKASARI/terapi-behavior
Sudayana, D. K., Satria, I. K., & Winantra, I. K. (2020). Konseling behavioral dan penguatan
positif dalam meningkatkan prilaku sosial peserta didik. WIDYANATYA, 2(2), 82.
Suhendri., Sugiharto, DYP., & Suwarjo. (2012). Efektivitas konseling kelompok rational-emotif
untuk membantu siswa mengatasi kecemasan menghadapi ujian. Jurnal Bimbingan
Konseling, 1(2), 124.
Suryana, T. (2019). Hubungan Antara Terapis dan Klien. Diakses pada 17 Maret 2023 dari
https://id.scribd.com/document/437717606/Hubungan-Antara-Terapis-Dan-Klien#
Universitas Udayanya. (2017). Bahan Ajar Materi Kuliah Psikoterapi I. Diakses pada 17 Maret
2023 dari
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/9bce2706cd103e0013badd148d3
f51f3.PDF

13
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai