Anda di halaman 1dari 40

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Cognitive Behavior Therapy

A. Pengertian Cognitive Behavior Therapy

Aaron T. Beck mendefinikan pendapatnya bahwa pendekatan

cognitive behavior therapy merupakan suatu pendekatan konseling yang

dirancang untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami oleh konseli

dengan memberikan beberapa teknik salah satunya adalah teknik

restrukturisasi kognitif. Cogntive behavior therapy merupakan gabungan

dari pendekatan cognitive behavior dan behavior therapy. Proses

konseling dari cognitive behavior therapy itu sendiri didasarkan atas

konseptualisasi serta pemahaman dari konseli atas keyakinan khusus pola

perilaku dari konseli. Harapan yang didapatkan dari pendekatan cognitive

behavior therapy itu sendiri yaitu untuk memunculkan restrukturisasi

kognitif yang menyimpang dan sistem kepercayan dari konseli serta

membawa perubahan baik dilihat dari segi perubahan emosi dan perilaku

kearah yang lebih baik. (Beck, 2011:110)

Menurut penjelasan Matson (1988:44) berpendapat bahwasannya

pendekatan cognitive behavior therapy dengan beberapa prosedural

secara spesifik menggunakan kognisi sebagai bagian penting dari proses

konseling, fokus konseling berada pada persepsi, kepercayaan dan

pikiran dari konseli. Pada dasarnya pendeketan cognitive behavior

11
therapy terbentuk dari proses stimulus-kognisi-respon yang saling

berkaitan antara satu dengan yang lainnya dimana proses kognitif dari

konseli menjadi faktor penentu didalam menjelaskan bagaimana manusia

berpikir, merasa dan bertindak dengan menekankan peran otak dalam

menganalisa, memutuskan, bertanya, bertindak, dan memutuskan

kembali. Dengan mengubah pola pemikiran dan perasaan, diharapkan

koseli dapat mengubah perilakunya, dari negatif menjadi positif.

Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa pendekatan cognitive behavior therapy merupakan

pendekatan yang digunakan konselor dalam membantu konseli

memecahkan permasalahannya dengan menitik beratkan pada modifikasi

fungsi berfikir yang berdampak pada perilaku menyimpang dengan

menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya,

bertindak, dan memutuskan kembali. Dengan mengubah pola berpikir

dan perasaan, serta konseli diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya,

dari negatif menjadi positif.

B. Tujuan Cognitive Behavior Therapy

Tujuan dari pendekatan cognitive behavior therapy adalah

mengajak konseli untuk membantu menentang pikiran dan juga emosi

yang salah dengan memberikan beberapa bukti yang selama ini

bertentangan dengan keyakinan konseli terhadap permasalahan yang

sedang dialami. (Oemarjoedi, 2003:9).

12
Sejalan dengan itu menurut pendapat dari Davidson (2010:172)

berpendapat bahwa tujuan utama dari pendekatan cognitive behavior

therapy adalah membantu meningkatkan self awareness serta

memberikan fasilitas dalam pemahaman bagi konseli sehingga dapat

membantu mengarahkan yang lebih baik dengan cara mengembangkan

kemampuan dari segi kognitif serta mengarahkan perilaku yang lebih

tepat.

Selain itu dalam memberikan fasilitas bagi konseli juga harus

menciptakan situasi emosional yang positif sehingga dapat membantu

mengimplementasikan strategi yang akan digunakan dalam membantu

konseli seperti halnya pemberian teknik restrukturisasi kognitif dalam

mengubah pemikiran yang semula dari irasional menjadi pemikiran yang

lebih rasional atau positif. (Dobson, 2010:113)

Kesimpulan yang didapat dari beberapa ahli diatas tujuan dari

pendekatan pada intinya membantu merubah dari hasil pemikiran yang

salah atau irasional dengan menggantikannya ke arah rasional atau

kearah yang lebih baik dan positif bagi diri konseli

C. Prinsip Cognitive Behavior Therapy

Dalam hal ini konseling harus bisa disesuaikan dengan

permasalahan yang dialami oleh konseli, tentunya hal ini menjadi dasar

bagi konselor dalam memahami prinsip-prinsip yang mendasari dari

cognitive behavior therapy. Menurut Laura (2009:185) prinsip yang

dipegang sebagai langkah penting dalam menangani masalah konseli,

13
berdasarkan pendekatan cognitive behavior therapy adalah dengan

melakukan analisan fungsional atau analisa masalah melalui prinsi S-O-

R-C. S(stimulus) yaitu peristiwa yang terjadi sebelum konseli

menunjukkan perilaku tertentu, O (organism) yaitu konseli dengan aspek

kognisi dan emosi didalamnya, R (response) yaitu tentang apa yang

dilakukan oleh konseli sebagai perilaku baik yang tampak maupun tidak

tampak, C (consequences) yaitu suatu peristiwa yang terjadi setelah atau

sebagai suatu hasil dari perilaku.

Adapun secara rinci prinsip-prinsip dasar menurut Beck (2011:112)

dalam hal ini menjelaskan bahwa ada beberapa prinsip yang digunakan

dalam pendekatan cognitive behavior therapy diantaranya

1. Cognitive behavior therapy didasarkan atas formulasi yang

dikembangkan dari pokok permasalahan yang dihadapi oleh konseli

serta hasil dari konseptualisai kognitif konseli.

Dalam hal ini formulasi konseli haruslah sering diperaiki dengan cara

melihat perkembangan di setiap evaluasi sesi konseling dengan

konseli. Dalam hal ini juga gunanya untuk menemukan

konseptuaslisasi kognitif dari konseli yang melakukan penyimpangan

serta membantu meluruskannya dalam penyesuaian antara berpikir,

merasa dan bertindak.

2. Cognitive behavior therapy didasarkan pada pemahaman antara

konselor dan juga konseli dalam membantu permasalahan yang

sedang dihadapi oleh konseli

14
Dalam hal ini prinsipnya didasarkan pada pemahaman yang sama

antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang dihadapi

konseli. Melalui situasi konseling yang penuh dengan kehangatan,

empati, peduli sehingga kondisi tersebut akan menunjukkan sebuah

keberhasilan dari proses konseling.

3. Cognitive behavior therapy perlu diperlukan kolaborasi antara konseli

dan juga konseli serta ikut dalam pertisipasi aktif.

Menempatkan konseli sebagai bagian dari kelompok dalam konseling

maka keputusan konseling merupakan keputusan yang disepakati

bersama antara konselor dengan konseli. Konseli diharapakan untuk

lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi konseling.

4. Cognitive behavior therapy bertujuan serta berfolus pada

permasalahan yang dihadapi oleh konseli

Setiap sesi konseling selalu dilakukan evaluasi untuk mengetahui

tingkat pencapaian tujuan. Melalui evaluasi ini diharapkan adanya

respon konseli terhadap pikiran-pikiran yang mengganggu tujuannya,

dengan kata lain tetap berfokus pada permasalahan konseli.

5. Cognitive behavior therapy berfokus pada kejadian yang dialami oleh

konseli pada saat sekarang.

Konseling dimulai dari menganalisis permasalahan konseli pada saat

ini dan di sini (here and now). Perhatian konseling beralih pada dua

keadaan. Pertama, pada saat konseli berbicara dari sumber

permasalahan. Kedua, pada saat konseli terjebak pada proses berfikir

15
yang menyimpang dan keyakinan konseli dimasa lalunya yang

berpotensi merubah kepercayaan dan tingkahlaku ke arah yang lebih

baik.

6. Cognitive behavior therapy merupakan edukasi, bertujuan

mengajarkan konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri, dan

menekankan pada pencegahan.

Sesi pertama CBT mengarahkan konseli untuk mempelajari sifat dan

permasalahan yang dihadapinya termasuk proses konseling cognitive-

behavior serta model kognitifnya karena CBT meyakini bahwa pikiran

mempengaruhi emosi dan perilaku. Konselor membantu menetapkan

tujuan konseli, mengidentifikasi dan mengevaluasi proses berfikir

serta keyakinan konseli. Kemudian merencanakan rancangan

pelatihan untuk perubahan tingkah lakunya.

7. Cognitive behavior therapy berbatas pada waktu proses pelaksanaan

konseling.

Pada kasus-kasus yang berbeda yang dialami oleh konseli, memang

membutuhkan konseling antara 6 sampai 14 sesi pertemuan.

8. Sesi cognitive behavior therapy yang terstruktur.

Struktur ini terdiri dari tiga bagian konseling. Bagian awal,

menganalisis perasaan serta emosi dari konseli, menganalisis kejadian

yang terjadi dalam satu minggu kebelakang, kemudian menetapkan

agenda untuk setiap sesi konseling. Bagian tengah, meninjau

pelaksanaan tugas rumah (homework asigment), membahas

16
permasalahan yang muncul dari setiap sesi yang telah berlangsung,

serta merancang pekerjaan rumah baru yang akan dilakukan. Bagian

akhir, melakukan umpan balik terhadap perkembangan dari setiap sesi

konseling. Sesi konseling yang terstruktur ini membuat proses

konseling lebih dipahami oleh konseli dan meningkatkan

kemungkinan mereka mampu melakukan self-help di akhir sesi

konseling.

9. Cognitive behavior therapy mengajarkan konseli untuk dapat

mengidentifikasi dirinya, mengevaluasi, serta menanggapi pemikiran

disfungsional dan keyakinan konseli sendiri.

Setiap hari konseli memiliki kesempatan dalam pikiran-pikiran

otomatisnya yang akan mempengaruhi suasana hati, emosi dan

tingkah laku mereka. Konselor membantu konseli dalam

mengidentifikasi pikirannya serta menyesuaikan dengan kondisi

realita serta perspektif adaptif yang mengarahkan konseli untuk

merasa lebih baik secara emosional, tingkahlaku dan mengurangi

kondisi psikologis negatif. Konselor juga membantu konseli untuk

dapat membentuk pengalaman baru dengan eksperimen perilaku serta

konseli dilatih untuk mendapatkan pengalaman barunya dengan cara

menguji hasil dari sebuah pemikiran mereka sendiri

17
D. Karakteristik Cognitive Behavior Therapy

Corey (2013:290) berpendapat juga bahwa ada beberapa

karakteristik dan asumsi yang ada pada pendekatan cognitive behavior

therapy sebagai berikut

1. Adanya suatu hubungan kolaboratif antara konselor dengan konseli

2. Adanya asumsi bahwa tekanan psikologis sebagian besar berasal dari

fungsi dari gangguan dalam proses kognitif

3. Fokus terhadap perubahan kognisi untuk menghasilkan perubahan

yang diinginkan oleh konseli dalam mempengaruhi perilaku konseli

4. Adanya sikap aktif dan direktif yang ditunjukkan konselor, serta

5. Adanya perlakuan pendidikan yang berfokus pada masalah target

yang tersusun secara terstruktur dan spesifik

Sejalan dengan pendapat dari Corey diatas menurut NACBT,

(2007:105) dijelaskan sebagai berikut ini

1. Cognitive behavior therapy didasarkan pada model kognitif dari

respon emosional

2. Cognitive behavior therapy lebih cepat dan dibatasi waktu.

3. Hubungan antara konseli dengan terapis atau konselor terjalin dengan

baik

4. Cognitive behavior therapy merupakan konseling kolaboratif yang

dilakukan terapis atau konselor dan konseli.

5. Cognitive behavior therapy didasarkan pada filosofi stoic (orang

yang pandai menahan hawa nafsu).

18
6. Cognitive behavior therapy mengunakan metode sokratik.

7. Cognitive behavior therapy memiliki program terstruktur dan terarah.

8. Cognitive behavior therapy didasarkan pada model pendidikan.

9. Cognitive behavior therapy merupakan teori dan teknik didasarkan

atas metode induktif.

10. Tugas rumah merupakan bagian terpenting dari teknik CBT, karena

dengan pemberian tugas, konselor memiliki informasi yang memadai

tentang perkembangan konseling yang akan dijalani konseli.

2. Teknik Restrukturisasi Kognitif

A. Pengertian Teknik Restrukturisai Kognitif

Menurut Corey (2013:294) teknik restrukturisasi kognitif

merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam pendekatan cognitive

behavioral therapy, teknik ini lebih menitikberatkan pada memodifikasi

perkiran yang irasional dan mengarahkan pikiran rasional serta

membantu konseli dalam mencari pikiran self-defeating dan mencari

alternatif rasional sehingga remaja dapat belajar menghadapi situasi

dimana menjadi penyebab suatu kecemasan. Teknik sentral dalam

konseling kognitif perilaku yang mengajarkan pada individu tentang

bagaimana cara memperbaiki diri dengan menggantikan keyakinan

irasional dengan keyakinan rasional dari individu itu sendiri.Pengubahan

keyakinan ini menjadi penting bagi konseli untuk mengubah perasaaan

maupun perbuatan yang bermasalah. Teknik ini dirancang untuk

membantu mencapai respon emosional yang lebih baik. Seperti yang

19
disampaikan oleh Erford (2015:132) dimana teknik restrukturisasi

kognitif salah satu teknik yang memungkinkan bagi konselor dan konseli

bekerjasama dalam mengenali pikiran irasional dari konseli.

Definisi restrukturisasi kognitif juga dikemukakan oleh Cormier

(2009:380) yang mengatakan bahwa cognitive restucturing, sometimes

referred to as cognitive replacement, involves fundamental cognitive

change yet is integrally inclusive of “hot” factors such as emotion,

motivation, goals, and values, reflecting the integration of findings from

arenas such as physiology, neuroanatomy, linguistics, computer

science,and cultural antropology. Pengertian restrukturisasi kognitif

menurut Cormier diatas kadang-kadang disebut sebagai kognitif

pengganti, yaitu suatu teknik yang melibatkan perubahan kognitif yang

mendasar termasuk aspek emosi, motivasi, tujuan dan nilai-nilai yang

terdapat pada konseli untuk kemudian dimodifikasi dengan kognitif baru

yang sifatnya lebih positif.

Kesimpulan dari beberapa definisi diatas teknik restrukturisasi

kognitif merupakan teknik yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi

dan mengubah keyakinan irasional konseli dan pernyataan diri atau

pikiran-pikiranyang negatif yang berasal dari konseli dan dapat juga

digunakan sebagai mengatasi permasalahan yang dialami oleh konseli

seperti kecemasan sosial. Konseli yang mengalami kecemasan sosial

dapat diberikan bantuan dengan mengunakan teknik restrukturisasi

20
kognitif dengan mengubah pola pikir konseli yang semula irasional

menjadi lebih rasional dalam berpikir.

B. Tujuan Teknik Restrukturisasi Kognitif

Menurut Corey (2013:294) tujuan adanya teknik restrukturisasi

kognitif adalah untuk membantu membangun pola pikir dari konseli yang

lebih sesuai dengan apa yang diharapkan dan bersifat positif atau

rasional. Hal ini sejalan dengan yang diutarakan oleh Deacon (2011: 218)

yang mengatakan bahwa teknik restrukturisasi dibangun agar dapat

membentuk pola pikir adaptif atau sesuai yang lebih bersifat positif.

Dalam hal ini teknik restrukturiasi kognitif dalam membantu konseli

untuk dapat bisa belajar berpikir secara berbeda yang semula mempunyai

pemikiran salah kemudian diubah atau menggantinya dengan pemikiran

yang lebih rasional dan realistis.

Tujuan pengubahan persepsi dalam teknik restrukturisasi kognitif

juga dikemukakan oleh Herink (2012:224) membantu mengubah

pandangan negatif pada sebuah kegagalan, membuat konseli lebih dapat

berusaha untuk melaksanakan kegiatan yang ingin dicapainya. Karena

konseli yang beranggapan bahwa dirinya adalah konseli yang gagal

cenderung sulit melakukan usaha-usaha kembali untuk mencapainya lagi,

berbeda jika konseli telah mengganti anggapan kegagalan menjadi

anggapan positif maka konseli akan berperilaku yang mengarah pada

keberhasilan.

21
Beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari

teknik restrukturisasi kognitif adalah untuk membantu konseli dalam

membentuk pola pikir yang adaptif atau lebih mengarahkannya ke pola

pikir yang rasional. Hal ini juga dapat membantu konseli yang

mengalami kecemasan sosial yang semula berpikiran negatif akan segala

sesuatu yang dilihatnya dapat dibantu dan diubah pola pikirnya yang

negatif ke arah lebih positif.

C. Tahap-tahap Teknik Restrukturisasi Kognitif

Menurut Cormier (2009:288) ada enam komponen dalam

mengaplikasikan teknik restrukturisasi kognitif

We describe six components of cognitive restucturing:

- Rationale: purpose and overview of the procedure

- )Identification of client thoughts in problem situations.

- Introduction and practice of coping thoughts.

- Shifting from self-defeating to coping thoughts.

- Introduction and practice of reinforcing self-statements.

- Homework and follow-up.

Penjelasannya teknik restrukturisasi kognitif diatas meliputi 1)

tahap rasional dimana peran dari seorang konselor menjelaskan tujuan

dari konseling dan prosedur yang harus dilakukan oleh konseli, 2)

identifikasi merupakan tahap dimana seorang konselor berperan dalam

melakukan identifikasi pemikiran konseli dalam mencari distorsi pikir

konseli, 3) pengenalan dan praktir dalam mengatasi pikiran yang salah,

22
4) konselor memberikan cara untuk dapat mengalihkan pikiran,

menyalahkan diri sendiri dengan memberikan bantuan tentang bagaimana

cara mengatasi pikirannya sendiri, 5) konselor memberikan penjelasan

mengenai cara melakukan teknik pernyataan diri yang positif kemudian

konseli mempraktikannya, 6) konselor memberikan tugas rumah.

Pendapat diatas dikuatkan oleh Meleshko (1993:1000) ada tujuh

langkah yang harus dilakukan oleh konselor profesional ketika akan

menggunakan teknik restrukturisasi kognitif, sebagai berikut:

- Gather background information to discover how the client handled

past and current problems.

- Assist the client in becoming aware of her thought process. Discuss

real-life examples that support the client’s conclusions and discuss

different interpretations of the evidence.

- Examine the process of rational thinking, focusing on how the client’s

thoughts affect well-being. The professional counselor can

exaggerate irrational thinking to make the point more visible for the

client.

- Provide assistance to the client to evaluate client beliefs about self

and others’ logical thought patterns.

- Help the client learn to change internal beliefs and assumptions.

- Go over the rational thought process again, this time drilling the

client on the important aspects using real-life examples. Help the

client form reasonable goals that the client will be able to attain.

23
- Combine thought stopping with simulations, homewoCR, and

relaxation until logical patterns become set.

Penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa konselor dalam

menggunakan teknik restrukturisasi kognitif harus mengikuti langkah

langkah yang telah ditetapkan sebagai berikut

- Konselor mengumpulkan informasi latar belakang untuk

mengungkap bagaimana konseli itu menangani masalah baik di masa

lalu maupun sekarang.

- Konselor membantu konseli dalam menyadarkan proses berpikirnya.

- Konselor memeriksa bagaimana proses berpikir rasional dari konseli

itu sendiri. Proses pemeriksaan memfokuskan bagaimana pikiran

logis dari konseli dalam mempengaruhi kesejahteraan fikirannya.

- Konselor diharapkan untuk membantu konseli dalam mengevaluasi

keyakinan konseli tentang pola-pola pikirannya sendiri kemudian

orang lain.

- Konselor membantu konseli belajar untuk mengubah keyakinan dan

asumsi internalnya.

- Konselor mengulangi proses rasionalisasi pikiran konseli sekali lagi.

Bantu konseli membentuk tujuan-tujuan yang masuk akal yang akan

bisa dicapai oleh konseli.

- Konselor mengkombinasikan throught stopping dengan simulasi, PR

dan relaksasi sampai pola-pola logis benar-benar terbentuk.

24
Teknik restrukturisasi kognitif yang akan digunakan dalam

penelitian ini dan dengan mengacu beberapa pendapat di atas adalah

kerangka yang sesuai dengan Dobson (2010:117) yang implementasinya

yaitu sebagai berikut:

1. Tahapan Awal : pembentukan kelompok serta mengidentifikasi

permasalahan yang terjadi terhadap konseli

2. Tahapan Kedua : mengajarkan teknik relaksasi pada saat konseli

merasa gejala gangguan kecemasan mulai muncul

3. Tahapan Ketiga : meminta konseli untuk berhadapan langsung dengan

permasalahan yang dihadapi

4. Tahapan Keempat : melakukan evaluasi terhadap hasil perubahan dari

perilaku konseli

Keberhasilan dari penerapan teknik restrukturisasi kognitif menurut

Dobson (2010:119) jika telah mencapai indikator keberhasilan sebagai

berikut

1. Konseli mampu mengetahui dan memahami terdapatnya kondisi

kognitif yang salah suai dalam menpersepsi situasi-situasi

permasalahan yang dihadapinya

2. Konseli mampu merasakan dan mengetahui dampak negatif dari

memiliki pikiran-pikiran negatif terhadap permasalahan yang

dihadapinya.

25
3. Konseli mampu mengidentifikasi pikiran-pikiran negatif yang

dimiliki terkait dengan permasalahan yang sedang dihadapi

4. Konseli mampu merumuskan pikiran-pikiran baru yang lebih positif

sebagai pengganti pikiran-pikiran yang negatif sebelumnya

5. Konseli mampu merumuskan rencana tindakan yang berguna untuk

memodifikasi pikiran negatif menjadi pikiran-pikiran positif

D. Teknik Restrukturisasi Kognitif Bagian Pendekatan Cognitive

Behavior Therapy

Fokus utama dari teknik restrukturisasi kognitif yaitu

mengidentifikasi dan mengubah keyakinan irasional konseli dan

pernyataan diri atau pikiran – pikiran yang negatif. Sehingga

permasalahan-permasalahan yang dapat ditangani dengan teknik

restrukturisasi kognitif adalah permasalahan yang berasal dari adanya

pikiran-pikiran atau keyakinan yang irasional sehingga memunculkan

sikap atau perilaku yang maladaptif. Teknik restrukturisasi kognitif telah

banyak digunakan untuk membantu klien dengan permasalahan sebagai

berikut gangguan kecemasan seperti kecemasan sosial, kecemasan

menghadapites, kecemasan untuk tampil didepan umum, perilaku

asertifharga diri yang rendah, depresi pada anak dan remaja serta

gangguan panik.

Menurut Corey (2013:294) keuntungan dari teknik restrukturisasi

kognitif adalah bahwa teknik restrukturisasi kognitif merupakan teknik

sentral dalam konseling kognitif perilaku yang mengajarkan pada

26
individu tentang bagaimana cara memperbaiki diri dengan menggantikan

keyakinan irasional dengan keyakinan rasional dari individu itu sendiri.

Teknik restrukturisasi kognitif merupakan teknik yang hanya

terdapat dalam pendekatan cognitive behavioral therapy, dalam

penelitian ini terkait dengan gangguan kecemasan sosial dari konseli

dapat menurukan atau berkurang dengan menggunakan bantuan dari

teknik restrukturisasi kognitif.

Sejalan dengan pendapat diatas, menurut Davidson (2010:172)

teknik restrukturisasi kognitif merupakan bagian dari salah satu teknik

yang berguna bagi konselor dan konseli dalam bekerjasama mengenali

pikiran irasional dari konseli dan membantu mengubahnya menjadi

rasional serta teknik ini dirancang untuk bisa membantu mencapai respon

emosional yang lebih baik. Konselor dan konseli secara bersama-sama

melakukan identifikasi pada pikiran irasional sebagai faktor utama dari

permasalahan konseli bukan pada perasaan maupun perilaku yang

ditampilkan.

3. Kecemasan Sosial

A. Pengertian Kecemasan Sosial

Kecemasan merupakan gambaran dari suatu keadaan khawatir,

gelisah, ketakutan yang disertai dengan berbagai gangguan psikologis

yang lainnya. Leary (1983:117) menjelaskan bahwa kecemasan adalah

suatu gangguan yang dapat dirasakan, dilihat oleh konseli serta gejala

fisologis seseorang yang mengalami gangguan kecemasan akan nampak

27
sangat jelas, seperti halnya seorang konseli yang mengalami gangguan

kecemasan biasanya mengalami detak jantung berdetak lebih cepat,

badan terasa gemetaran, pusing, mual serta gangguan-gangguan lainnya

yang disebabkan oleh gangguan kecemasan

Kecemasan sosial merupakan salah satu dari bentuk gangguan

kecemasan. American Psychiatric Association (2013) menjelaskan bahwa

definisi dari kecemasan sosial merupakan gangguan yang sering terjadi

pada konseli secara terus menerus pada situasi-situasi sosial tertentu dan

biasanya menimbulkan gejala yang nampak seperti perasaan takut dan

khawatir yang terjadi pada situasi-situasi sosial yang dirasa bagi konseli

kurang membuat nyaman.

Butler (2008:220) mengungkapkan bahwa definisi dari kecemasan

sosial adalah gangguan kecemasan yang timbul akibat dari hasil

pemikiran maladaptif serta ketakutan irasional dari konseli yang

diperolahnya dari hasil evaluasi negatif orang-orang disekitarnya pada

saat konseli terlibat didalam situasi tertentu.

Situasi yang dimaksudkan pada kecemasan sosial seperti ketika

konseli mengalami ketakutan yang berlebihan ketika menjadi pemateri

dalam sebuah acara atau presentasi didalam kelas, ketika konseli bertemu

dengan orang-orang baru dikenalnya cenderung menarik diri. Hal ini

ditunjang dengan adanya penelitian dari Parr (2009:46) yang menyatakan

bahwa situasi-situasi sosial tertentu yang dapat menimbulkan gangguan

kecemasan sosial, diantaranya ketika konseli berbicara didepan umum

28
sebesar 11%, diamati oleh orang lain atau orang baru serta berada dalam

situasi yang tidak nyaman sebesar 9,7%.

Beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan

sosial adalah salah satu bentuk dari gangguan kecemasan yang cenderung

dominan muncul jika konseli berada pada situasi-situasi sosial tertentu

yang membuat konseli merasa dirinya tertekan atau kurang nyaman serta

ditandai dengan gejala-gejala yang nampak pada diri konseli.

B. Gejala Kecemasan Sosial

Setiap konseli yang mengalami gangguan kecemasan sosial

biasanya memiliki gejala yang berbeda-beda. Gejala tersebut dapat

dikategorikan menjadi gejala psikis, gejala fisik, maupun gejala kognitif.

Leary (1983:118) menjelaskan konseli yang mengalami kecemasan sosial

memiliki gejela fisik diantaranya berupa hiperaktivitas, sulit tidur,

muntah-muntah, sering buang air kecil atau besar dan terjadinya

perubahan suara.

Hal ini juga dijelaskan oleh Butler (2008:231) bahwa gejala

kecemasan sosial dapat dilihat dari tiga aspek diantaranya a) kesadaran

adanya sensasi fisiologis, (b) kesadaran adanya sensasi psikologis, (c)

kesadaran adanya sensasi kognitif.

Kearney (2005:153) bahwa biasanya konseli yang mengalami

kecemasan sosial tanpa disadari memiliki gejala yang dibagi menjadi tiga

sebagai berikut

29
a. Gejala emosional

Konseli yang merasa sadar akan dirinya mengalami gugup disaat

situasi sosial dalam kehidupan sehari-hari, rasa cemas yang sering

muncul berhari-hari, berminggu-minggu akan datang sebelum

terjadinya penyebab dari kecemasan sosial, ketakutan yang sangat

mendalam bahwa konseli tersebut bisa mempermalukan dirinya.

b. Gejala fisik

Gejala fisik dari konseli yang mengalami gangguan kecemasan sosial

biasanya ditandai dengan wajah yang memerah, napas sedikit

terganggu, mual, badan merasa gemeteran, jantung akan bertedak

lebih cepat atau dada penderita kecemasan sosial akan terasa sesak,

serta munculnya banyak keringat.

c. Gejala perilaku

Konseli yang mengalami kecemasan sosial biasanya ditandai juga

dengan beberapa gejala perilaku seperti konseli akan lebih

menghindari situasi sosial tertentu, berdiam diri dan bersembunyi

dibelakang untuk menghindari bertemu dengan orang lain, biasanya

konseli yang mengalami kecemasan sosial ini selalu berusaha

mengajak temannya pergi kemanapun konseli pergi.

Kesimpulan yang didapat bahwa kecemasan sosial memiliki tiga

tanda atau gejala secara umum seperti gejala fisik biasanya ditandai

seperti jantung berdetak kencang, badan gemetar, banyak mengeluarkan

keringat karena gugup, gejala emosional biasanya ditandai dengan

30
perubahan emosi saat mengalami kecemasan sosial seperti rasa khawatir

yang berlebihan dan perasaaan cemas dan gejala perilaku seperti perilaku

menghindari situasi sosial dan cenderung menarik diri, biasanya dialami

oleh konseli yang menderita kecemasan sosial.

C. Aspek-aspek Kecemasan Sosial

Menurut Leary (1983:166) ada tiga aspek yang mempengaruhi

kecemasan sosial diantaranya sebagai berikut :

a. Ketakutan akan evaluasi negatif

Dalam hal ini konseli yang mengalami kecemasan sosial akan

merasakan ketakutan berlebih jika harus melakukan sesuatu hal yang

ditakutinya dan mendapat kritik maupaun persepsi negatif orang-

orang disekitarnya. Konseli yang seperti ini akan merasa melihat

bahwa dirinya mendapat penilaian negatif akibat dari tidak dapat

memenuhi harapan dari lingkungan sosial baik dari segi fisik ataupun

dari apa yang telah dilakukan oleh konseli jika dirinya melakukan

kesalahan serta kehiangan kontrol diri.

b. Penghindaran sosial dan rasa tertekan berada dalam kondisi situasi

yang baru atau berhubungan dengan orang-orang baru

Konseli yang mengalami kecemasan sosial cenderung akan merasa

asing dan tertekan berada dalam situasi yang baru dikenalnya.

Perasaan tidak nyaman cenderung akan lebih menghindar berada pada

situasi baru tersebut.

31
c. Penghindaran sosial serta rasa tertekan yang dialami terhadap orang-

orang yang dikenalnya secara umum

Konseli yang mengalami kecemasan sosial cenderung akan merasa

canggung saat melakukan hubungan interpersonal dengan orang lain,

meskipun orang lain tersebut sudah lama dikenalnya. Pada saat berada

disituasi tertentu, lonseli tersebut diajak untuk atau ditempat pada

situasi sosial tertentu maka konseli tersebut akan merasa cemas dan

timbul rasa ketakutan dalam dirinya.

Sejalan dengan pendapat diatas, Russel (2009:198) menjelaskan

tentang ada tiga aspek kecemasan sosial sebagai berikut:

a. Ketakutan akan evaluasi negatif ketika konseli akan melakukan

sesuatu yang dapat berujung mendapat kritik, presepsi negatif dari

orang-orang baru disekitarnya

b. Penghindaran sosial dan rasa tertekan konseli cenderung akan merasa

asing ketika berada dalam situasi yang baru dikenalnya

c. Penghindaran sosial dan rasa tertekan yang dialami secara umum atau

dengan orang baru yang dikenal, konseli yang mengalami kecemasan

sosial cenderung akan merasa takut dan tidak percaya diri saat

melakukan interaksi sosial dengan orang lain

Uraian diatas menyimpulkan bahwa setidaknya ada tiga aspek yang

mempengaruhi kecemasan sosial bagi konseli meliputi ketakutan akan

pengevaluasi negatif, penghindaran sosial dan rasa tertekan berada dalam

32
kondisi situasi yang baru, penghindaran sosial serta rasa tertekan

terhadap orang-orang yang dikenalnya secara umum.

D. Faktor-faktor Kecemasan Sosial

Menurut Leary (1983:166) ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan dari penyebab konseli mengalami gangguan kecemasan

sosial sebagai berikut

a. Faktor Perilaku

Faktor perilaku berawal dari pada masa anak-anak yang memiliki pola

perilaku menahan diri (behavioral inhibition), dan biasanya anak-anak

yang mempunyai sifat seperti ini biasanya mempunyai orang tua yang

mengalami atau menderita gangguan kecemasan sosial dampaknya

akan dialami oleh anak yang berkembang menjadi sangat pemalu.

Beberapa orang yang mengalami gangguan kecemasan sosial biasanya

menunjukkan perilaku menahan diri semasa kanak-kanaknya.

Beberapa penelitian juga telah menjelaskan bahwa orang tua pasien

kecemasan sosial kurang memperhatikan atau menjaga anaknya atau

lebih over protective terhadap anak-anaknya.

b. Faktor Psikoanalitik

Sigmund freud mengatakan bahwa gangguan ansietas sebagai akibat

dari konfllik yang berasal dari kejadian-kejadian pada fase

perkembangan psikoseksual yang tidak terselesaikan dengan baik.

Pada pasien kecemasan biasanya mekanisme pertahanan yang dipakai

adalah displacement (memindahkan situasi yang tidak bisa diterima ke

33
situasi yang lebih bisa diterima). Prinsip dasar teori psikoanalitik

adalah ide/pikiran yang merupakan sumber dari ketakutan konseli

digantikan (replaced) menjadi fobia objek lain yang memunculkan

(represent) sumber aslinya secara simbolik, melalui represi dan

displacement, atau sumber asli ketakutan dari konseli tersebut tidak

diketahui oleh konseli.

c. Faktor Neurokimiawi

Hipersensitif terhadap penolakan oleh lain disebabkan oleh sistem

dopaminergik. Menurut penelitian lain menunjukkan bahwa kadar

metabolit dopamin dalam cairan spinal meninggi pada orang-orang

ekstrovert dengan gangguan depresif dibandingkan dengan orang-

orang introvert. Pasien fobia cenderung melepaskan lebih banyak

epinefrin sentral atau perifer dibandingkan dengan orang non-fobik.

Pasien bisa sangat sensitif terhadap rangsang adrenergik normal

dimana keadaan ini berhubungan dengan tanda karakteristik seperti

denyut jantung lebih cepat berdetak, muncul banyak keluar keringat.

d. Faktor Neuroendokrin

Anak-anak dengan defisiensi hormon pertembuhan (growth hormone

deficiency, GHD) memiliki kecenderungan mengidap gangguan

penyesuaian psikologik. Anak-anak tersebut memiliki sifat imatur,

tergantung (dependent), pemalu (shy), menarik diri (withdrawal), dan

terisolasi sosial (socially isolated). Biasanya anak-anak ini

menunjukkan ketidakmampuan dalam kognitif dan perilaku. Selain itu

34
orang-orang dewasa yang mengidap growth hormone deficiency yang

diobati dengan pemberian growth hormone melaporkan bahwa adanya

perbaikan status kesehatan dan perasaan senang (wellbeing) secara

psikologi.

e. Faktor Genetik

Keluarga tingkat pertama (first degree relatives) biasanya mengalami

kecemasan sosial kira-kira tiga kali lebih sering gangguan kecemasan

sosial dibandingkan dengan keluarga tingkat pertama orang tanpa

gangguan mental atau kontrol.

Penyebab kecemasan sosial dipandang sebagai akibat dari berbagai

faktor dimana berasal dari dalam konseli dan juga berasal dari faktor

lingkungan. Lingkungan yang dimaksudkan termasuk dalam lingkungan

keluarga, karena keluarga sebagai komponen penting dan memberikan

pengaruh besar bagi konseli yang memiliki kecemasan sosial tinggi.

Ketakutan konseli terhadap orang-orang baru tidak lepas dari keberadaan

orang tua dalam mendidik. Orang tua yang over protective yang menjaga

anak secara berlebih dapat mempersulit dan menghalangi tumbuh

kembang anak didalam interaksi sosialnya dengan orang lain.

Selain itu ada faktor kecemasan sosial juga disebabkan oleh proses

kimiawi yang terdapat dalam tubuh, produksi hormon yang berlebih

disinyalir dapat memicu munculnya kecemasan sosial.

35
Hal tersebut diperkuat melalui pendapat dari Esfandiari (2013: 190)

ada beberapa faktor yang mempengaruhi konseli dalam kecemasan sosial

sebagai berikut

a. Kondisi Biologis

Biasanya konseli yang terkena gangguan kecemasan sosial

diakibatkan karena hasil dari keturunan atau gen dari keluarganya

yang juga mengalami hal serupa. Seseorang yang mengalami

gangguan kecemasan sosial ini dapat diketahui sejak masih anak-anak

ketika akan memasuki masa dunia sosialnya.

b. Kondisi Lingkungan Sosial

Konseli dapat mengalami kecemasan sosial karena terpengaruh oleh

lingkungan. Dalam hal ini konseli terpengaruh lingkungan sosial dapat

menghasilkan trauma sosial seperti merasa dikucilkan atau dibully di

lingkungannya atau mengalami suatu kejadian yang menyebabkan

konseli merasa sangat malu. Penderita kecemasan sosial sering kali

berada dalam kondisi atau situasi sosiall yang tidak berpihak, tidak

mendidik, dan tidak memberinya kesempatan dalam berinteraksi

sosial.

c. Kondisi Psikologis

Dalam hal ini konseli yang mengalami kecemasan sosial biasanya

akan merasa bahwa harga dirinya rendah. Ketakutan untuk ditolak

atau tidak diterima oleh sekitar atau sosial, tidak memiliki rasa

36
percaya diri yang cukup baik dalam segi hal penampilan fisik maupun

performa diri.

d. Kondisi Tradisi

Dalam hal ini banyak ditemukan penderita kecemasan sosial

cendurung mempunyai kepribadian yang tertekan semenjak mereka

masa anak-anak. Hal ini dikarenakan orang tua tidak mendidik mereka

dengan keterampilan sosial, selain itu domisili yang sering berpindah-

pindah tempat juga dapat menjadi pemicu terjadinya kecemasan

sosial. Oleh karena itu konseli yang mengalami gangguan kecemasan

sosial sering kali tidak memiliki cukup waktu untuk dapat

mengakrabkan diri dengan lingkungan sekitarnya.

e. Cara Berpikir dan Karakter

Cara berpikir juga dapat dipengaruhi oleh karakter konseli itu sendiri.

Cara berpikir yang instan, misalnya setiap konseli memiliki harapan

yang berlebih pada sesuatu usaha yang telah dilakukannya, akan tetapi

ketika mendapatkan hasil yang tidak sesuai, konseli akan merasa

malu, rendah diri atau merasa bersalah atas apa yang diterimanya.

Dalam urian Cenderlund diatas faktor yang mempengaruhi

kecemasan sosial semakin diperjelas dengan adanya juga faktor internal

selain karena proses kimiawi dari dalam tubuh juga ditimbulkan dari cara

berpikirdan karakter. Konseli yang menilai dirinya merasa rendah akan

mudah cemas secara sosial karena merasa malu dan takut tidak dapat

diterima oleh lingkungan.

37
Adapun Butler (2008:237) menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang

dapat menyebabkan kecemasan sosial sebagai berikut

a. Seorang dapat mewarisi kerentanan biologis menyeluruh untuk

mengembangkan kecemasan atau kecenderungan biologis untuk

menjadi sangat terhambat secara sosial. Eksistensi kerentanan

psikologis menyeluruh seperti tercermin pada perasaan atas berbagai

peristiwa, khususnya peristiwa yang sangat menimbulkan stres,

mungkin tidak dapat dikontrol dan dengan demikian akan

mempertinggi kerentanan individu. Dalam kondisi stres,kecemasan

dan perhatian yang difokuskan pada diri sendiri dapat meningkat

sampai ke titik yang mengganggu kinerja, bahkan disertai oleh

adanya alarm (serangan panik).

b. Dalam keadaan stres, seseorang mungkin mengalami serangan panik

yang tidak terduga pada sebuah situasi sosial yang selanjutnya akan

dikaitkan (dikondisikan) dengan stimulus-stimulus sosial. Individu

kemudian akan menjadi sangat cemas tentang kemungkinan untuk

mengalami alarm (serangan panik) lain (yang dipelajari) ketika

berada dalam situasi-situasi sosial yang sama atau mirip.

c. Seseorang mungkin mengalami sebuah trauma sosial riil yang

menimbulkan alarm aktual. Kecemasan lalu berkembang (terkondisir

di dalam situasi-situasi sosial yang sama atau mirip. Pengalaman

sosial yang traumatik mungkin juga meluas kembali ke masa-masa

sulit di masa kanak-kanak. Masa remaja awal biasanya antara umur

38
12 sampai 15 tahun adalah masa ketika anak-anak mengalami

serangan brutal dari teman-teman sebayanya yang berusaha

menanamkan dominasi mereka. Pengalaman inidapat menghasilkan

kecemasan dan panik yang direproduksi di dalam situasi-situasi sosial

di masa mendatang.

Berdasarkan pendapat yang telah diuraikan di atas dapat

disimpulkan bahwa terdapat berbagai ragam faktor yang dapat

menimbulkan kecemasan sosial bagi konseli yang berasal dari dalam

(internal) maupun dari luar (eksternal). Faktor internal meliputi faktor

genetik, proses kimiawi dalam tubuh serta cara berfikir dari konseli

sendiri, sedangkan faktor dari luar menitikberatkan pada lingkungan

keluarga yang mana pola asuh orang tua menjadi salah satu penyebab

dari terjadinya kecemasan sosial.

E. Karakteristik Kecemasan Sosial

Menurut Leary (1983:118) seorang konseli yang merasa

mengalami gangguan kecemasan sosial biasanya memiliki beberapa ciri

atau karakteristik diantaranya sebagai berikut :

a. Konseli yang mengalami kecemasan sosial biasanya lebih cenderung

akan mengurangi kegiatan aktivitasnya dalam situasi-situasi tertentu.

Contohnya seorang peserta didik yang mengalami kecemasan sosial

biasanya cenderung lebih menghindari dalam setiap pertemuan rapat

atau seminar.

39
b. Konseli cenderung lebih menarik diri dari situasi sosial yang membuat

konseli merasa tidak nyaman saat berada didalam situasi sosial

tersebut.

c. Konseli cendurung lebih menghindari situasi sosial yang dapat

diperkirakan menimbulkan kecemasan sosial bagi dirinya sendiri.

Sejalan dengan pendapat diatas, Butler (2008:220) mengungkapkan

bahwa karakteristik-karakteristik yang menunjukkan bahwa konseli

mengalami kecemasan sosial sebagai berikut

a. Menghindari situasi yang menyulitkan

Dalam hal ini konseli lebih memilih untuk menghindar tidak

melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan kecemasan bagi dirinya.

Ada beberapa situasi yang biasa konseli hindari seperti

1. Dalam sebuah acara konseli lebih memilih menunggu seseorang

yang dia kenal sampai datang ke acara tersebut sebelum masuk

ruangan dari pada masuk ke ruangan yang banyak orang tetapi

tidak dikenalnya.

2. Biasanya konseli lebih memilih melakukan berbagai hal secara

sendirian pada saat diundang dalam sebuah acara, tujuannya untuk

menghindari pembicaraan dengan orang-orang baru yang belum

dikenalnya.

3. Konseli yang mengalami kecemasan sosial lebih menghindari

pembicaraan dengan orang lain terutama tentang permasalahan

kehidupan pribadinya.

40
b. Perilaku yang aman

Perilaku yang aman dalam hal ini merupakan segala sesuatu hal

yang memungkinkan bagi konseli untuk bertindak lebih berhati-hati

agar tidak menarik perhatian bagi orang lain. Contohnya pada saat

diajak berbicara biasanya konseli yang mengalami kecemasan sosial

sangatlah berhati-hati saat berbicara dengan orang yang baru

dikenalnya dan lebih menghindari kontak mata dengan orang yang

mengajaknya berbicara.

c. Menjahui Masalah

Kecemasan sosial bisa datang dimana dan kapan saja, oleh

karena itu tidak dapat diprediksi dan sebagian rasa takut yang dialami

oleh konseli yang mengalami kecemasan sosial bisa muncul secara

tiba-tiba dan biasanya orang yang mengalami kecemasan sosial

cenderung untuk tidak terlibat langsung didalam masalahnya.

d. Self Esteem, sel confidence and feelings of inferiority

Kecemasan sosial menjadikan konseli merasa seperti orang yang

berbeda dengan orang yang lainnya dan selalu mempunyai pemikiran

yang negatif serta merasa lebih buruk dari orang lain hal itu pula yang

dapat mempengaruhi self esteem dan kepercayaan dirinya menurun

serta merasa minder karena merasa bahwa orang lain cenderung tidak

menyukainya dan berpikir bahwa orang lain berpikiran negatif tentang

diri konseli

41
e. Effect on Performance

Orang-orang yang mengalami kecemasan sosial biasanya

berpengaruh juga pada kemampuan untuk memaksimalkan potensi

yang ada dalam dirinya sehingga orang-orang yang mengalami

kecemasan sosial akan merasa sulit untuk mencapai kesuksesan yang

sebenarnya dapat dengan mudah untuk diraihnya.

Dalam pembahasan diatas konseli yang mengalami kecemasan

sosial memiliki karakteristik khas, terutama yang menojol pada saat

konseli berada didalam situasi-situasi yang membuat dirinya merasa

tidak nyaman dengan keadaan yang tidak diinginkannya. Hal ini

dikarenakan adanya perasaan takut, cemas dan khawatir pada konseli

yang bersangkutan akan penilaian negatif orang lain terhadap dirinya.

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Untuk mendukung penelitian mengenai efektivitas konseling

kognitif perilaku dengan menggunakan teknik restruturisasi kognitif dalam

menurunkan kecemasan sosial pada peserta didik di SMK Kusuma Terate

Madiun, maka berikut ini penulis memaparkan hasil dari beberapa

penelitian yang revelan

1. Anggia Maretta Ireel (2018) dengan Judul “Efefktivitas Layanan

Konseling Kelompok Teknik Restrukturisasi Kognitif untuk Merdeksi

Kecemasan Menghadapi Ujian Siswa Kelas VII SMP N 22 Kota

Bengkulu” Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas

layanan konseling kelompok melalui teknik restrukturisasi kognitif

42
dalam mereduksi kecemasan siswa menghadapi ujian di SMP Negeri 22

Kota Bengkulu. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini

menunjukan kecemasan siswa menghadapi ujian menurun setelah

diberikan layanan konseling kelompok dengan teknik restrukturisasi

kognitif, hal ini terlihat dari hasil pre-test dan post-test p = 0.005 maka

p <0.05, sehingga dapat disimpulkan Ho ditolak dan Ha diterima,

artinya terdapat pengaruh yang signifikan kecemasan siswa menghadapi

ujian sebelum dan sesudah diberikan layanan konseling kelompok

dengan teknik instruksi diri.

2. Suwi Wahyu Utami, S.Pd., (Yogyakarta, 2017) “Pengaruh Teknik

Restrukturisasi Kognitif Berbasis Muhasabah dalam Mereduksi

Kejenuhan Belajar Siswa Kelas VIII Boarding School SMPIT Abu

Bakar” Penelitian ini bertujuan untuk menguji seberapa besar pengaruh

teknik restrukturisasi kognitif berbasis muhasabah dalam mereduksi

kejenuhan belajar siswa kelas VIII boarding school SMP IT Abu Bakar

Yogyakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya

pengaruh teknik restrukturisasi kognitif berbasis muhasabah dalam

menurunkan kejenuhan belajar siswa.

3. Wulida Firdausu Ahla (Surabaya, ) “Efektivitas Teknik Restrukturisasi

Kognitif dalam Mereduksi Tingkat Kecemasan saat Menghadapi Tes

pada Siswa Kelas VIII Madrasah Tsanawiyah Negeri Sidoarjo” hasil

penelitian menunjukkan bahwa teknik restrukturisasi kognitif efektif

dalam mereduksi tingkat kecemasan saat menghadapi tes pada siswa

43
kelas VIII MTsN Sidoarjo yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan

yang signifikan antara hasil pre test dan post test.

4. Erin, A. H. & Ann M. K. (2007) dengan judul Interpersonal

Consequences of Social Anxiety. Journal of Abnormal Psychology.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecemasan sosial memiliki

impilkasi terhadap hubungan interpersonal dalam lingkungan sosial.

Penelitian ini meneliti bagaimana interaksi sosial antara dua konseli

sebagai subjek yang terdiri dari non sosial cemas dan konseli yang

mempunyai kecemasan sosial. Hasil akhir dari penelitian ini

menunjukkan bahwa ada pengaruh kecemasan sosial terhadap

hubungan interpersonal dengan yang lain.

5. Tood (2007) yang berjudul Social anxiety and romantic relationships:

The costs and benefitd of negative emotion expression are context-

dependent. Journal of Axienty Disorders. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa kecemasan sosial dipengaruhi oleh kapan dan bagaimana

mengekspresikan emosi untuk mempengaruhi kedekatan pribadi dalam

menjalin suatu hubungan. Hasil dari penelitian ini menggabungkan

pertisipasi hasil dari survey kemudian menganalisisnya dengan

perhitungan statisitik.

6. Stephanie L. R. (2008) dengan judul The Relationship Between Social

Anxiety and Emotional Expressivity. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa adanya hubungan korelasi negatif antara

44
kecemasan sosial dan ekspresi kasih sayang, tetapi kecemasan sosial

tidak berkorelasi dengan ekspresi kebahagiaan.

7. Mikaeili, N. (2010). yang berjudul Study of the efficacy of cognitive

restructuring teaching at student’s attribution style and academic

performance. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa pengajaran

teknik restrukturisasi kognitif oleh konselor, dapat meningkatkan

kemampuan konseli dalam mengurangi perasaan yang negatif dalam

menanggapi perisitiwa negatif. Kesimpulan pada penelitian Mikaeli dkk

sejalan dengan tujuan penelitian pada tesis ini. Peneliti akan menguji

teknik restrukturisasi kognitif untuk mengatasi kecemasan peserta didik

terhadap UN untuk wilayah dan budaya yang berbeda dari penelitian

Mikaeli dkk.

8. Deacon, B. J. (2011). dengan judul Cognitive defusion versus cognitive

restucturing in the treatment of negative self-referential thoughts: An

investigation of process and outcome. Hasil penelitian menyimpulkan

bahwa teknik restrukturisasi kognitifmampu memperbaiki pemikiran

konseli yang berlebihan dalam memaknai peristiwa

9. Marifah, N.L (2012) yang berjudul Hubungan attachment style dan self

esteem dengan kecemasan sosial pada remaja. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa secara umum terdapat hubungan attachment style

dan self esteem dengan kecemasan sosial pada remaja. Tinggi

rendahnya kecemasan sosial dan attachment style dan self esteem

berpengaruh pada remaja.

45
10. Adib Asrori (2015) dengan judul Terapi Kognitif perilaku untuk

mengatasi gangguan kecemasan sosial. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa terapi kognitif perilaku untuk gangguan kecemasan sosial yang

awalnya diberikan pada tiga subjek. Terapi kognitif perilaku yang

diberikan terhadap kedua subjek terbukti efektif menurunkan tingkat

kecemasan, dikatakan efektif sebab memenuhi kriteria yang di

isyarakatkan dalam penelitian yakni menurunnya tingkat kecemasan,

berkurang atau bahkan hilannya pemikiran dan perilaku negatif, subjek

lebih dapat berfikir positif dan rasional hingga masa tindak lanjut.

11. Suryaningrum, C. (2006) dengan judul Cognitive behavior therapy

untuk mengatasi gangguan obsesif komplusif. Hasil penelitian

menyimpulkan bahwa pendekatan cognitive behavioral therapy

menggunakan teknik relaksasi, restrukturisasi kognitif dan exposure

with respon prevention efektif dalam mengatasi gangguan obsesif-

kompulsif dibuktikan dengan melihat beberapa perubahan yang terjadi

pada konseli dalam beberapa sesi pertemuan telah terjadi suatu

perubahan yang semua irasional menjadi rasional, serta adanya

penurunan ketegangan dan penurunan perilaku komplusif yang terjadi

pada konseli.

12. Harvey, A. G. (2014) dengan judul Comparative efficacy of behavior

therapy, cognitive therapy and cognitive behavior therapy for chronic

insomnia: A randomized controlled trial. Hasil penelitian

mengemukakan bahwa konseling kognitif perilaku mampu untuk

46
mengatasi gangguan insomnia kronis. Dengan menggunakan teknik

yang ada pada konseling kognitif perilaku konseli mampu merubah cara

berpikir konseli guna mengubah keyakinan awal konseli. Hal ini sejalan

dengan penelitian pada tesis ini, peneliti akan menggunakan konseling

kognitif perilaku untuk mengatasi cara berpikir peserta didik agar

membentuk pola-pola baru yang lebih baik dari sebelumnya.

13. Genc, A. (2017). dengan judul Coping strategies as mediators in the

relationship between test anxiety and academy achievement. Hasil

penelitian bahwa coping adalah mediator yang signifikan secara

statistik dalam hubungan antara kecemasan siswa dalam menghadapi

ujian dan pencapaian nilai ujian.dari penelitian ini, peneliti akan

menggunakan teknik coping yang menjadi salah satu tahap perlakuan di

teknik restrukturisasi kognitif untuk mengatasi kecemasan agar tercapai

nilai akademik yang lebih baik.

14. Umaru, Y. (2014) dengan judul The effect of cognitive restructuring

intervention on tobacco smoking among adolescents in senior

secondary shool in zakaria kaduna state. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa restrukturisasi kognitif merupakan program intervensi secara

signifikan yang mempengaruhi penghentian pengguanaan tembakau

diantara remaja di sekolah menengah. Karena itu penggunaan kognitif

dalam hal pelatihan restrukturisasi efektif dalam mengubah

kepercayaan primordial dan negatif diposisi tentang merokok.

47
15. Nespor, K. (2012) dengan judul Social anxiety in online and real-life

interaction and their associated factors. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa kecemasan sosial lebih rendah selama melakukan interaksi

online dari pada berinteraksi tatap muka terutama bagi konseli dengan

kecemasan sosial yang tinggi. Hal ini juga menunjukkan bahwa internet

memiliki potensi yang lebih baik sebagai media alternatif untuk

penyedia informasi tentang kecemasan sosial serta cara pengobatannya

yang berhubungan dengan kecemasan sosial.

C. Kerangka Berpikir

Berikut ini gambar 1. kerangka berpikir dalam penelitian ini

Kecemasan sosial

(Kondisi Awal)

Peserta didik mengalami kecemasan sosial

Pemberian treatment

(Penggunaan cbt dengan Teknik restrukturisasi kognitif)

(Kondisi Akhir)

Peserta didik merasakan perubahan dengan ditandainya


berkurangnya kecemasan yang selama ini dialami

48
Berdasarkan bagan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerangka

berpikir pada penelitian ini dijelaskan kecemasan sosial merupakan bagian

dari hasil pemikiran negatif serta ketakutan evaluasi negatif dari masing-

masing setiap peserta didik, dan biasanya terjadi pada situasi tertentu.

Dalam hal ini kebanyakan dari peserta didik yang mengalami kecemasan

sosial ketika berbicara didepan kelas atau kelompok.

Penggunaan cognitive behavior therapy meyakini bahwa pola

pemikiran seseorang terbentuk melalui proses rangkain stimulus-kognisi-

respon, dimana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam menjelaskan

bagaimana seseorang dalam berpikir, merasa serta bertindak. Cognitive

behavior therapy diarahkan untuk memodifikasi fungsi dalam berpikir,

merasa dan bertindak menjadi positif.

Cognitive behavior therapy dianggap sebagai pengobatan

psikologis utama bagi kecemasan sosial, didukung dengan beberapa teknik

yang ada didalamnya salah satunya teknik restrukturisasi kognitif. Teknik

ini biasa digunakan oleh peneliti dalam membantu mengatasi gangguan

kecemasan, salah satunya adalah kecemasan sosial. Karena dalam teknik

restrukturisasi kognitif ini dapat mengubah keyakinan-keyakinan irasional

dan pernyataan diri negatif dari konseli yang dapat menimbulkan

permasalahan. Cara kerja dari teknik restruturisasi kognitif berpusat pada

kognitif yang menyimpang dan mengubahnya menjadi pola berpikir yang

positif

49
D. Hipotesis

Ho : Teknik restrukturisasi kognitif kurang efektif dalam menurunkan

kecemasan sosial pada peserta didik SMK Kusuma Terate Madiun

Ha : Teknik restrukturisasi kognitif efektif dalam menurunkan kecemasan

sosial pada peserta didik SMK Kusuma Terate Madiun

50

Anda mungkin juga menyukai