Anda di halaman 1dari 15

A.

PENDAHULUAN
Perempuan memiliki tempat yang istimewa dalam adat Minangkabau. Perempuan
Minangkabau merupakan sosok yang sangat dilindungi, dikagumi dan dihormati
keberadaannya. Perempuan Minangkabau bahkan memiliki peran penting dalam
kenagarian, upacara adat, wirid pengajian dan acara acara yang berhubungan dengan
keadatan. Istilah Bundo Kanduang, yang secara harfiah berarti ‘Ibu Kandung’, juga
diartikan sebagai seseorang yang memegang peranan penting dalam meneruskan garis
keturunan dan segala yang berkaitan dengan generasi penerus suku Minangkabau (Azrial
Yulfian, 1995).1
Konstruksi perempuan Minangkabaau idealnya dalam lagenda dan Tambo
Minangkabau, yang disebut Bundo Kanduang dilambangkan sebagai seorang
perempuan yang arif dan bijaksana. hal tersebut tercermin dalam pepatah adat sebagai
berikut:
Bundo kanduang limpapeh rumah nan gadang, Umbui parui pegangan kunci,
Umbun parui alun bunian, Pusek kumpulan tali Sumarak dalam kampuang Hiasan
dalam nagari Nan gadang basa batuah Kok hiduik tampek banasa Kok mati tampek
baniaik Ka undang-undang ka Madinah ((Idrus Hakimi, 1976).2
Ibu yang berfungsi sebagai penyanggah dari keluarga, pemegang kunci harta
kekayaan, sumber segala titah, kumpulan segala sistem, membuat desa menjadi meriah,
penghias negeri, pembesar yang sakti, kehidupannya sumber segala keinginan,
kematiannya menjadi sumber segala niat, Menjadi perlindungan ke Madinah
Bundo kanduang sebagai sumarak dalam nagari memperlihatkan sanjungan
tinggi kepada perempuan/ibu sebagai orang yang pandai bergaul, memelihara diri dan
keluarga, tolong menolong dengan sesama tetangga, serta menjaga adat sopan santun.
Dalam ketentuan adat.
Namun permasalahan besar yang dihadapi orang Minang dewasa ini adalah
kehilangan dari yang paling berharga dari dirinya itu sendiri, yaitu jati diri (citra diri).
Jika jati diri betul yang sudah hilang maka yang lain-lain akan merosot dan melorot
sendirinya. Orang lain pun tidak akan memandang pada mereka. Kalaupun akan
dipandang hanyalah dengan sebelah mata dan orang lain pun mulai melihat rendah
padanya.

1
Yulfian, Azrial. Budaya Alam Minangkabau. Padang : Angkasa Raya. 1995, hal. 31
2
Idrus, Hakimy, Dt Rajo Penghulu. Peganggan Bundo Kanduang di Minangkabau. Bandung: CV.
Rosda. 1976, hal. 53

1
B. Pengertian Bundo Kanduang
Bundo kanduang secara harfiah berarti, Bundo, adalah Ibu dan Kanduang, adalah
Sejati. Jadi, Bundo Kanduang (Bunda Kandung) berarti ibu sejati. Tetapi Ada juga ahli
adat menyebutkan bundo kanduang berasal dari kata bundo ka anduang, bundo berarti
seorang ibu yang sayang kepada anak keturunannya, sedangkan anduang adalah seorang
ibu yang sayang kepada anak, cucu serta cicitnya.
Bahwa secara fitrahnya, manusia, baik perempuan maupun laki-laki, disisi Allah
drajatnya sama, yang membedakannya adalah hanya tingkat ke- Taqwaannya
semata. Demikian Syariat Islam mengangkat drajat perempuan ketempat yang mulya,
sehingga dalam Al-Quran Allah merasa perlu menjelaskannya dalam satu surat, yakni
Surat Annisa. Demikian pula banyak hadist Rasullulah selalu menyerukan akan
pentingnya menghormati perempuan, baik sebagai ibu maupun sebagai istri.
Relevan dengan itu, sebagai manifestas dari menyatunya adat dan agama Islam,
Hukum Adat Minangkabau yang disusun dan atau dibentuk berdasarkan falsafah; "Adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah, alam takambang jadi guru", maka mengingat
pentingnya keberadaan Bundo Kanduang, budaya Minangkabau telah menempatkan
kedudukannya pada posisi yang sangat tinggi dan mulya, menjadikannya memiliki peran
dan fungsi yang sangat strategis dalam menanamkan nilai-nilai adat dan budaya
Minangkabau, terutama membentuk akhlak generasi muda, dan juga diharapkan mampu
menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial lainnya, baik itu di lingkungan
keluarga, sanak famili, maupun di lingkungan tempat tinggal, baik sebagai pemimpin
dalam kaum maupun sebagai pemimpin masyarakat dalam kampung dan Nagari,
sebagaimana diungkapkan dalam gurindam adat Minang tersebut di atas.3
Berdasarkan Tambo Adat Minangkabau, Bundo Kanduang (Bunda Kandung)
adalah julukan yang diberikan kepada perempuan yang memimpin Kerajaan
Minangkabau baik sebagai ratu maupun selaku ibu dari raja (ibu suri). Gelar ini
diwariskan secara turun-menurun. Sebagian pendapat menyatakan bahwa gelar ini
pertama kali diberikan kepada Dara Jingga seorang putri dari raja Minangkabau yang
menikah dengan seorang bangsawan Kerajaan Singosari dari tanah Jawa, tapi pendapat
ini tidak mempunyai bukti yang kuat.
Berkaitan dengan itu, dalam Tambo Alam Minangkabau dinyatakan, Puti Dara
Jingga adalah cicit dari Puti Jamilan (lahir 1159), adik bungsu perempuan, seayah-

3
Mina, Elfira. Minangkabau “yang lain”: Negosiasi Matrilineal, Islam dan Identitas Minangkabau.
Dalam Penelitian Tahun 2002-2005 Ulayat. Padang : Andalas University Press. 2006, hal. 71.

2
seibu dari Datuk Perpatih nan Sabatang (Sutan Balun, lahir 1152) dari perkawinan antara
Puti Indo Jelito dengan Cati Bilang Pandai. Namun demikian Puti Jamilan dan
keturunanya, termasuk Puti Dara Jingga sebagai pemangku gelar Putri Mahkota,
dibesarkan dan di didik oleh Datuk Ketumanggungan (Sutan Panduko Basa, lahir 1147),
saudara seibu lain ayah dengan Datuk Perpatih nan Sabatang (Hasil Perkawinan antara
PutiIndo Jelito dengan suaminya yang pertama bernama Sutan Sri Maharaaja Diraja yang
menikah tahun 1127) raja Kerajaan Minangkabau. Tahun 1149 Sutan Sri Maharaaja
Diraja, mangkat, Datuk Ketumanggungan sebagai putra Mahkota menjadi raja pada usia
2 tahun, karena itu untuk sementara waktu kekuasaan dipegang oleh ibunya Puti Indo
Jelito (ibu Suri). Pada tahun 1295, karena Datuk Ketumanggungan sudah tua, maka dia
menobatkan Puti Dara Jingga sebagai Ratu Minangkabau bergelar Bundo
Kanduang. Bundo Kanduang ini lah yang melahirkan Raja Adityawarman sebagai
Putra Mahkotayang menjadi raja Minangkabau pada tahun1347- 1375, dengan gelar
Dang Tuanku (Sutan Rumanduang). Berdasarkan kisah dalam tambo tersebut di atas,
tidak dapat dipastikan apakah gelar Bundo Kanduang untuk pertama kalinya diberikan
kepada Puti Dara Jingga atau bukan, karena pada kenyataannya Puti Indo Jelito
sebenarnya secara tidak langsung sempat memerintah atau menjadi Ratu di Kerajaan
Minangkabau sebagai pengganti atau wakil dari putranya Datuk Keumanggungan yang
baru berusia 2 tahun. Sehubungan dengan itu masyarakat Minangkabau meyakini,
Mande Rubiah yang sekarang ini berada di Lunang, Pesisir Selatan, Sumatra Barat,
merupakan keturunan generasi ke-7 dari Bundo Kanduang ( Dara Jingga) yang pernah
menjadi Ratu Kerajaan Minangkabau tersebut.4
Dalam perkembangan kebudayaan Minangkabau selanjutnya, Bundo Kanduang
juga diartikan sebagai istilah atau julukan terhadap terhadap golongan perempuan di
Minangkabau, yang memiliki sifat-sifat keibuan sekaligus sifat-sifat kepemimpinan,
yang cerdas, bijaksana dan berhati mulya sebagaimana yang digambarkan dalam
gurindam adat di atas.
Bundo Kanduang ialah pemimpin non formal terhadap seluruh perempuan-
perempuan dan anak cucu dalam kaumnya. Kepemimpinannya tumbuh atas kemampuan
dan kharismanya sendiri yang diakui oleh anggota kaum yang bersangkutan. Adanya
Bundo Kanduang dalam suatu kaum karena kaum membutuhkan seorang pemimpin
perempuan yang dapat memimpin seluruh perempuan dan anak cucu dalam kaumnya.

4
Datoek. H, Batoah. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia Sumatera Barat. 1987,
hal. 95.

3
Bundo Kanduang bukanlah jabatan formal yang dipilih dalam suatu pemilihan resmi, ia
merupakan figur seorang pemimpin yang tampil secara spontan diantara pemimpin –
pemimpin yang ada. Penampilannya adalah berkat kemampuan dan Kharisma yang
tumbuh dari dalam dirinya sendiri yang didukung oleh ilmu pengetahuan yang memadai
disertai kejujuran dan tingkah laku yang baik, diterima oleh semua pihak.5
Menurut Raudha Thaib (Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, Yang Dipertuan
Gadih Pagaruyung keturunan ke-33. Kerajaan Pagaruyung), Guru Besar Fakultas
Pertanian Universitas Andalas Padang atau yang dalam dunia sastra lebih terkenal
dengan nama Upita Agustine, sistem masyarakat Minang meletakkan posisi perempuan
dan laki-laki seimbang, yang mana konsep jender dalam budaya Minang seperti tangan
kiri dan kanan. Perempuan dan laki-laki sama pentingnya, yang membedakan hanya
fungsinya. Dalam budaya Minang, keputusan tertinggi dipegang perempuan atau bundo
kanduang. lbarat sebuah perusahaan bisa diandaikan owner-nya perempuan, direkturnya
laki-laki. “Bundo kanduang” disebut sebagai penerus keturunan, pewaris harta pusaka,
penjaga kesejahteraan dalam masyarakat, dan pemegang kedaulatan utama. Oleh karena
itu peran bundo kanduang itu banyak sekali, mulai dari memotivasi kaum, mengayomi,
hingga mendistribusikan bantuan jika ada keluarga yang tidak mampu. Segala persoalan
kaum dan penyelesaiannya berpulang kepada bundo kanduang. Kedudukan itu menuntut
perempuan harus kuat karena itu tanggung jawabnya berat. Karena itu pula, untuk
memuliakan perempuan, orang Minang menjuluki istri dengan sebutan induk bareh
(induk beras). Sebaliknya, dulu dalam ritual tani, orang Minang menyebut padi, mande
sayang (ibu sayang). Ada yang tidak suka sebutan itu karena mengintepretasikannya
sebagai istri sebagai subordinat suami. “Padahal, yang dimaksud induk bareh itu adalah
induk kehidupan. Bareh itu sumber energi untuk hidup. Di Minang, perempuan jadi
induk kehidupan dan itu tecermin dalam peran bundo kanduang,” paparnya. Kata
Raudha, benih terkait kehidupan. “Di dalam benih ada kehidupan yang kita tidak bisa
ciptakan. Melihat benih seperti memandang kebesaran dan keajaiban Tuhan,”
katanya.Lewat benih pula, manusia menjadi khalifah di bumi dengan tugas
menyempumakan dan merawat ciptaan Tuhan. Kalau benih tidak dipelihara, dia tidak
akan berlanjut. Jika manusia merampas semua untuk kebutuhannya, tanpa tanggung-
jawab untuk melestarikan, kelak habislah manusia. Bagi saya pendidikan terhadap anak
perempuan lebih keras, anak perempuan tidak boleh cengeng, mereka harus bisa mandiri,

5
Mina, Elfira. Op.Cit. hal. 75

4
sebab dia akan menjadi bundo kanduang setidaknya di level rumah tangga. orang senang
itu gampang, tetapi menjadi orang susah itu yang sulit. Ada istilah bancah-darek. Kita
diajarkan bertahan dalam segala keadaan, baik di tanah basah maupun di darat. “Padi itu
benih dan dengan padi apa pun bisa menjadi,” ujar Raudha.
Dewasa ini, kata Bundo Kanduang menjadi sebutan kepada sekelompok
perempuan yang berpakaian adat Minangkabau, pendamping para Penghulu atau niniak
mama dan para pemuka adat dalam acara-acara seremonial yang diadakan oleh
pemerintah. Sebagai pribadi pendamping dimaksud terlihat mereka adalah merupakan
kemenakan perempuan atau istri dari Penghulu, niniak mama dan pemuka adat tersebut.
Dan Bundo Kanduang juga merupakan satu Lembaga dalam Kerapatan Adat
Minangkabau. Selain itu, di Minangkabau, Bundo Kanduang juga diartikan sebagai
panggilan kehormatan dari seorang anak terhadap ibunya sendiri. Panggilan tersebut
banyak disajikan dalam karya-karya seni sastra, seni drama dan seni suara.

C. Kedudukan Bundo Kanduang


Kedudukan dan peranan perempuan itu sangat besar dan sangat diharapkan
keberadaannya. Disamping itu, Sistem Kekerabatan Matrilinial, pun pula semakin
memperkokoh kedudukan perempuan di Minangkabau pada posisi yang sangat mulia dan
terhormat. Konsekwensi logis dari semua itu, seorang ibu, baik sebagai Bundo Kanduang
dalam keluarga dan kaumnya, maupun sebagai bundo kanduang dalam Nagari
mempunyai tanggung-jawab yang besar pula. Oleh karena itu kaum ibu patut mendapat
penghormatan dan dimulyakan oleh anak cucunya.
Sistem Kekerabatan Matrilinial, yang menentukan garis keterunannya
berdasarkan garis keturunan ibu, mengandung makna, agar manusia yang dilahirkan oleh
kaum ibu, patut menghormati dan memuliakan ibu atau perempuan.6 Kedudukan
perempuan yang sangat mulya dan terhormat itu, dapat dilihat dari ciri khas, antar lain:
1. Suku anak menurut suku ibu. Basuku kabakeh ibu Babangso kabakeh ayah Jauah
mancari suku Dakek mancari ibu Tabang basitumpu Hinggok mancakam Jika
seorang ibu bersuku Piliang, maka anak yang dilahirkan baik laki-laki
maupun perempuan , beruku Paliang pula sesuai dengan suku ibunya. Demikian
pula jika seorang ibu bersuku jambak atau Caniago dan lain-lain, anak-anaknya,
bersuku sama dengan suku ibunya;

6
Mina, Elfira. Op.Cit. hal. 80

5
2. Pusako tinggi turun dari mamak ka kamanakan, pusako randah turun dari bapak
kapado anak. Dalam hal ini terjadi "ganggam bauntuak" hak kuaso pada perempuan
hak mamaliharo kapado laki laki. Dan hak menikmati secara bersama sepakat kaum,
ayianyo nan buliah diminum, buah nan buliah dimakan, nan batang tatap tingga,
kabau pai kakbuangan tingga, luluak dibawok sado nan lakek di badan.
3. Exogami (kawin diluar suku).
4. Matrilokal (suami kerumah istri). Rumah tempat kediaman diperuntukkan untuk
kaum perempuan dan bukan untuk laki-laki. Hal ini dikarenakan laki-laki secara
kodrat lebih kuat dibandingkan perempuan. Mengingat pentingnya peranan wanita
dalam kehidupan dan juga kodratnya yang lemah, maka Adat Minangkabau lebih
mengutamakan perlindungan terhadap kaum wanita. Sesuai dengan pepatah adat:
“Nan lamah ditueh,
Nan condong ditungkek,
Ayam barinduak,
Sirieh bajunjuang.”
Itu pula sebabnya seorang bapak di Minangkabau selalu mempunyai cita-cita
untuk membuatkan rumah tempat tinggal anaknya yang perempuan, bukan untuk
anaknya yang laki-laki. Bahkan menurut adat Minangkabau, sudah merupakan
kewajiban yang harus dipenuhi. Hal ini sangat mempengaruhi sistem perkawinan di
Minangkabau, dimana setiap terjadi perkawinan si laki-laki menetap di rumah
perempuan, sebaliknya apabila terjadi perceraian, laki-laki yang pergi dari rumah,
perempuan tetap tinggal.
5. Sawah dan ladang merupakan sumber ekonomi, pemanfaatannya diutamakan untuk
keperluan wanita karena wanita lebih lemah dibanding laki-laki. Sebaliknya kaum
laki-laki Minangkabau diberi tugas mengurus dan mengawasi sawah ladang untuk
kepentingan bersama karena laki-laki menjadi tulang punggung bagi wanita, namun
tidak berarti bahwa kaum laki-laki tidak dapat menikmati hasil atau mendapat
manfaatnya sama sekali.
Sebagai, “bundo kanduang di dalam kaum”, atau keluarga, perempuan Minang,
harus memiliki sifat kepemimpinan dan ibu sejati. Hal ini penting karena ibu tempat
bertanya, ditiru dan menjadi teladan lingkungan keluarganya. Bahwa seorang ibu akan
lebih banyak menentukan watak manusia yang dilahirkan seperti pepatah:
“Kalau karuah aie di hulu, sampai ka muaro karuah juo, Kalau kuriak
induaknya, rintiak anaknyo, Tuturan atok jatuhan kapelimbahan”

6
Dalam bahasa Indonesia kurang lebih; Kalau keruh air dihulu/sampai ke muara
keruh juga/kalau ibunya kurik, rintik anaknya/cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan,
artinya sifat-sifat ibu akan sangat dominan ditiru oleh anak-anaknya. Hal ini wajar,
mengingat ibu lebih banyak berada disamping anak-anaknya.
Sebagai, “limpapeh rumah nan gadang”, perempuan Minang atau bundo
kanduang diibaratkan sebagai tiang utama bangunan rumah gadang yang letaknya di
tengah rumah yang akan terlihat pertama sekali ketika orang akan naik ke rumah gadang.
Pengibaratan Bundo Kanduang sebagai limpapeh, karena ia jadi orang pertama dan
utama kelihatan oleh masyarakat. Dia tampak menonjol, disegani, dihormati dan
diagungkan. Apabila tiang tengah ambruk, maka tiang yang lainnya akan berantakan.
Pengertian limpapeh disini sendiri menurut adat Minangkabau adalah seorang bundo
kanduang yang telah meningkat menjadi seorang ibu. Jadi, ibu sebagai seorang limpapeh
rumah gadang adalah tempat meniru, teladan. "Kasuri tuladan kain, kacupak tuladan
batuang, satitiak namuah jadi lawik, sakapa buliah jadi gunuang." Seorang ibu bertugas
membimbing dan mendidik anak yang dilahirkan dan semua anggota keluarga lainnya di
dalam rumah tangga.
Sebagai,”amban paruik pagangan kunci”, artinya perempuan Minang diibaratkan
sebagai kain pelilit pinggang semacam korset yang mempunyai kantong untuk
menyimpan segala sesuatu yang berkaitan dengan harta kekayaan kaum. Hal ini karena,
perempuan, sesuai dengan sifatnya yang pandai berhemat dan pandai mengatur ekonomi,
maka yang menyimpan hasil sawah ladang dipercayakan kepadanya.
Sebagai, “pusek jalo kumpulan tali”, ibarat jala ikan, Bundo Kanduang
diibaratkan sebagai pangkal semua tali, pangkal semua benang, tempat berhimpunnya
atau terkumpulnya semua informasi dan permasalahan. Oleh karena itu, perempuan atau
Bundo Kanduang, dalam musyawarah, mempunyai hak suara dan pendapat sama dengan
laki-laki menyangkut segala sesuatu yang akan dilaksanakan dalam lingkungan
kaumnya. Bahkan suara dan pendapat perempuan menentukan lancar atau tidaknya
pekerjaan tersebut. Misalnya, dalam upacara pernikahan belum dapat dilaksanakan jika
belum mendapat persetujuan dari kaum perempuan atau kaum ibu. Demikian pula dalam
mendirikan gelar penghulu dalam suatu kaum baru dapat diresmikan apabila semua ibu
dalam kaum tersebut menyetujuinya. Di samping itu penggunaan harta pusaka seperti
menggadai, atau hibah dapat dilakukan tetapi harus mendapat persetujuan dari seluruh
wanita anggota kaumnya. Penggunaannya pun untuk kepentingan bersama, misalnya

7
untuk biaya upacara kematian, biaya upacara perkawinan anak perempuan dan untuk
memperbaiki rumah gadang (rumah adat).
Sebagai, “unduang-unduang ka madinah, payuang panji ka sarugo”, dalam
pergaulan sehari-hari Bundo Kanduang harus mencerminkan sifat-sifat baik dalam
berkata-kata bertingkah laku serta benar dalam perbuatan. Dia harus menjauhi sifat
pendusta, sebaliknya selalu berpihak dan menegakkan kebenaran serta ahklak sesuai
tuntunan agama Islam. Dimasa jahiliah berlaku pelecehan terhadap anak perempuan.
Kelahiran anak perempuan disambut dengan kematian. Wanita hanya pembawa aib, bayi
perempuan mesti dibunuh. Setelah Islam, alquran menyebut perempuan dengan
"Annisaa" dan "umahat". Perempuan adalah bundo atau "ibu". Annisaa adalah tiang bagi
suatu negeri, begitu penafsiran tentang perempuan. Semenjak dua abad yang lalu,
alquran menempatkan perempuan dalam derajat yang sama dengan laki-laki pada posisi
azwajan (pasangan hidup) Perempuan menyimpan arti pemimpin (raja), orang pilihan,
ahli, yang pandai, dengan segala sifat keutamaan yang dikurniakan Allah kepada Nya
sebagaimana firman Allah Ta’ala , Artinya :
“Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum 21].
Pesan Rasulullah SAW dalam sebuah hadist, kaum ibu itu adalah tiang utama
dalam nagari, kalau mereka baik, akan baiklah seluruh nagari, dan kalau mereka rusak,
maka binasalah seluruh nagari. Sunnah Nabi menyebutkan ;
“Dunia itu adalah perhiasan dan perhiasan yang paling indah adalah
perempuan yang shalih (perempuan baik-baik yang tetap pada peran, dan konsisten
menjaga citranya).”
Perempuan Minang atau Bundo Kanduang, mestilah dapat bertingkah laku dan
bersikap sebagaimana yang diibaratkan gurindam adat berikut;
Muluik manih kucindam murah;
Baso baiak gulo di bibie, muluik manih talempong kato, sakali rundiang disabuik,
takana juo salamonyo.
Bahwa yang disebut perempuan adalah sebagai berikut :
1. Tapakai taratik dengan sopan, mamakai baso jo basi, tahu jo ereang dengan
gendeang, artinya : Perempuan itu memakai etika dan sopan santun dalam tata

8
pergaulan, dan memakai basa-basi, arif dengan keadaan, mengenal kondisi dan
memahami posisi keberadaan mereka.
2. Mamakai raso jo pareso manaruah malu dengan sopan, manjauhi sumbang jo salah,
Muluik manih baso katuju, kato baiak kucindan murah, pandai bagaua samo gadang.
3. Takuik di budi katajua Malu di paham ka tagadai Pandai menata, menyajikan
kebahagiaan di rumah tangga Pandai menuntun kepada yang baik dan
menghimpunkan yang terserak Takut budi akan terjual Sangat cemas dan malu
pendirianya akan tergadai (perempuan dalam budaya minangkabau sangat teguh
memelihara citranya dan konsisten)
4. Perempuan minangkabau pandai dan mengerti posisinya : Tau dimungkin jo patuik
Malatakan sasuatu pado tampeknyo Tahu ditinggi randah Baying-bayang sapanjang
jalan Buliah ditiru ditauladan Kasuri tauladan kain Ka cupak tuladan batuang
Artinya, Mengetahui mana yang pantas dan patut untuk dilakukan Pandai meletakan
sesuatu pada tempatnya Sangat arif (tahu mana yang harus diletakan ditempat yang
tinggi dan mana pula yang harus diletakan ditempat yang rendah) Pandai berhitung,
hemat, dan tidak boros Sikap dan perilakunya dapat ditiru, amalanya dapat dicontoh,
seperti patron kain yang dapat dipotong dan dijahit Bertindak adil seperti cupak
(gantang) dan tindakanya dapat jadi ukuran Maleleh buliah dipalik Manitiak buliah
ditampuang Satitiak buliah dilauikan Sakapa buliah digunuangkan Iyo dek urang
dinagari Pemurah dan penyantun, perbuatanya dapat dipedomani dan bermanfaat
bagi orang dinagari
5. Hiduik batampek Mati bakubua Kuburan hiduik dirumah gadang Kuburan mati di
tangah padang Artinya : Memiliki tempat dikala hidup dan memiliki kuburan dikala
mati Tempat perempuan semasa hidupnya adalah dirumah gadang dan kalau dia
sudah meninggal, kuburanya terletak ditengah padang Dapat dipahamkan bahwa
tidak pantas perempuan minangkabau bermain ditanah lapang kalau tidak ada
keperluan penting
Lebih lanjut, di dalam adat Minangkabau Hakymi Dt. Rajo Penghulu,
mengklasifikasikan perempuan ke dalam tiga bagian, yaitu (1) parampuan, (2)
simarewan, dan (3) mambang tali awan.7
Parampuan, mengacu kepada perempuan yang mempunyai budi pekerti yang
baik, tawakal kepada Allah, sopan dan hormat pada sesama. Sifat ini tampak dalam

7
Idrus, Hakimy, Dt Rajo Penghulu. Peganggan Bundo Kanduang di Minangkabau. Bandung: CV.
Rosda. 1976, hal. 80.

9
ungkapan: budi tapakai taratik dengan sopan, memakai baso-basi di ereng jo gendeng,
tahu kepada sumbang salah, takut kepada Allah dan Rasul, muluik manih baso katuju,
pandai bagaua samo gadang, hormat pado ibu jo bapa, baitupun jo urang tuo.
Simarewan, istilah yang mengacu kepada perempuan yang tidak mempunyai
pendirian, tidak mempunyai budi pekerti. Sifat ini tampak dalam ungkapan berikut:
paham sebagai gatah caia, iko elok etan katuju, bak cando pimpiang di lereng, bagai
baliang-baliang di puncak bukik, ka mano angin inyo kakian, bia balaki umpamo tidak,
itulah bathin kutuak Allah, isi narako tujuan lampiah.
Mambang tali awan, adalah perempuan yang sombong, tidak punya rasa hormat,
tenggang rasa, selalu ingin kedudukannya. Sifat ini terlihat dalam ungkapan: parampuan
tinggi ati, kalau mangecek samo gadang, barundiang kok nan rami, angan-angan indak
ado ka nan lain, tasambia juo laki awak, dibincang-bincang bapak si upiak, atau tasabuik
bapak si buyuang, sagalo labiah dari urang, baiklah tantang balanjonyo, baiak kasiah ka
suami, di rumah jarang baranjak-ranjak, dilagakkan mulia tinggi pangkek, sulit nan lain
manyamoi, walau suami jatuah hino, urang disangko tak baiduang, puji manjulang langik
juo.

D. Sifat dan Kedudukan Bundo Kanduang


Sesuai dengan tugas ibu sebagai pengantara keturunan dan mendidik anak-anak
yang dilahirkannya, menurut adat Minangkabau seorang ibu harus memiliki sifat
kepemimpinan dan ibu sejati. Hal ini penting karena ibu tempat bertanya, ditiru dan
menjadi teladan lingkungan keluarganya. Sifat yang herus dimiliki oleh Bundo
Kanduang tidak jauh berbeda dengan sifat pemimpin adat Minangkabau atau penghulu,
antara lain:8
1. Dalam pergaulan sehari-hari Bundo Kanduang harus mencerminkan sifat-sifat baik
dalam berkata-kata bertingkah laku serta benar dalam perbuatan. Dia harus menjauhi
sifat pendusta, sebaliknya selalu berpihak dan menegakkan kebenaran.
2. Mendidik lingkungannya dengan memberi contoh, perbuatan yang jujur, baik dalam
berkata-kata, berbicara maupun bertindak.
3. Dapat mengetahui dan membedakan hal yang benar dan yang salah, mengetahui
untung rugi pada waktu akan melakukan pekerjaan dan mengambil suatu keputusan.
Oleh karenanya seorang ibu harus mempunyai pengetahuan, sekurang-kurangnya

8
Dt. Sanggoeno Diradjo, Ibrahim. Tambo Alam Minangkabau. Kristal Multimdia. 2009, hal 71-74.

10
pengetahuan tentang agama, pendidikan maupun bidang kewanitaan yang sangat
berguna dalam berumahtangga. Untuk mengikuti pergaulan di lingkungan kampung
dan nagarinya perlu juga mempunyai pengetahuan tentang adat dan situasi
nagarinya.
4. Menurut adat Minangkabau seorang wanita harus pandai berbicara dalam arit fasih
mengucapkan kata-kata dan enak didengar. Kepandaian berbicara atau berkata-kata
ini sangat perlu bagi pendidikan di dalam rumah tangga, keluarga maupun di
lingkungan kaumnya karena merupakan sarana untuk memberikan bimbingan
kepada masyarakat, terutama bagi sesama kaum wanita dan anak-anak.
5. Mempunyai sifat rasa malu dalam dirinya sehingga akan mencegah perbuatan yang
melanggar adat dan menyimpang dari hukum yang berlaku. Rasa malu merupakan
benteng bagi wanita karena dapat menjauhkan sifat dan perbuatan tercela. Menurut
adat Minangkabau sifat malu merupakan peran utama dalam kehidupan kaum
wanita. Sebaliknya jika kehilangan rasa malu akan membahayakan kehidupan
rumahtangga, bahkan membahayakan masyarakat.
Selain kelima sisat tersebut, seorang wanita harus dapat menjaga nama baik agar
tetap disebut wanita sejati. Bundo Kanduang harus berhati-hati dalam tingkah laku dan
perbuatan, misalnya dalam pergaulan dengan laki-laki, cara berpakaian, makan, minum,
berbicara dan sebagainya. Mengingat pentingnya kedudukan dan fungsi wanita di dalam
kehidupan, maka anak perempuan sangat diutamakan, namun bukan berarti bahwa adat
Minangkabau tidak memerlukan keturunan laki-laki. Keduanya merupakan dua
kesinambungan dan saling mendukung.9

E. Tugas dan Kewajiban Bundo Kanduang


Kewajiban Bundo Kanduang Seorang ibu di Minangkabau mempunyai kewajiban
sebagai pemimpin dalam rumah tangga maupun kaumnya antara lain:
Menuruik alua nan lurui
Manampuah jalan nan pasa
Mamaliharo harato pusako
Mamaliharo anak dan kemenakan

9
Ibid, Hal. 87.

11
Dalam bahasa Indonesia artinya: Mengikuti aturan yang telah digariskan/Melalui
jalan yang biasa ditempuh/Memelihara/menjaga harta pusaka/Memelihara anak dan
kemenakan.
Dengan demikian kewajiban ibu adalah mentaati semua aturan dan ketentuan adat
maupun peraturan di dalam negeri yang sudah diputuskan dengan mufakat oleh para
pemimpin dan pemangku adat. Sebagai contoh dalam pelaksanaan perkawinan, kematian
dan bidang kemasyarakatan lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari hendaknya selalu
dilandasi oleh alur dan patut, yaitu melalui jalan yang dibenarkan oleh adat dan agama,
serta yang lazim ditempuh orang.
Harta pusaka seperti sawah, ladang, saluran air, tepian mandi, jalan, tanah
perkuburan dan lain-lain harus dipelihara jangan sampai habis atau berpindah tangan ke
kaum atau nagari lain. Wanita berkewajiban melarang kaum laki-laki menggadaikan
harta pusaka untuk kepentingan di luar ketentuan adat, apalagi menjualnya. Harta pusaka
ini harus dijaga keutuhannya karena kelak diteruskan kepada generasi berikutnya.
Kewajiban paling utama bagi Bundo Kanduang di Minangkabau adalah
memelihara anak dan kemenakan, yakni anak-anak dari saudara perempuan suaminya.
Memelihara anak dan kemenakan mempunyai ruang lingkup yang luas, yang pada
pokoknya menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat yang mungkar atau jahat.
Sebagai ibu mempunyai tugas merawat, membimbing, mendidik anak-anaknya
sedangkan terhadap kemenakannya berkewajiban membimbing; memberi bantuan serta
memperhatikan pendidikannya.

F. Larangan Pantangan Bundo Kanduang


Dalam interaksi sosialnya, bundo kanduang mesti mematuhi peraturan dan segala
macam larangan adat, antaranya:
1. Tidak boleh memecahbelahkan rumah tangga orang lain.
2. Tidak boleh menghasut, menfitnah dan dengki terhadap orang lain.
3. Perlu menjaga sifat-sifat perempuan dalam pergaulan dan perbuatan.
4. Tidak boleh menyakiti, bersombong dan bertakabur.
5. Tidak boleh bergaul bebas dengan laki-laki yang bukan suaminya.
6. Tidak boleh melanggar kesopanan
7. Perlu tahu norma-norma adat dan agama.
8. Tidak boleh berdusta dan menipu,
9. Perlu memberi nasihat sesama kawan.

12
10. Tidak boleh mencarut
11. Perlu berhati-hati dalam pakaian dan pergaulan.
12. Tidak boleh bercakap kasar kepada orang tua, durhaka kepada ibu bapa
13. Perlu bersopan santun dalam majlis orang ramai.

G. Kesimpulan
Kedudukan dan peranan perempuan di Minangkabau di Sumatera Barat dapat
dilihat dari dua segi. Pertama, masyarakat itu mampu bertahan dan mempertahankan
nilai-nilai kebudayaannya. Kedua, perempuan sebagai pemegang amanah dalam
melindungi dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kedua-duanya saling berkaitan
dan ada kaitan bukan sahaja dengan kebijaksanaan perempuan sendiri, tetapi juga
kebijakan penguasa. Lanjutan daripada itu, adalah disarankan apabila hendak
mengadakan perubahan, mudharat dan manfaatnya hendaklah dipertimbangkan.
Pertimbangan itu adalah untuk menjaga nilai budaya dan adat yang telah dipunyai
masyarakat Minangkabau.

13
DAFTAR PUSTAKA

Azrial, Yulfian.1995. Budaya Alam Minangkabau. Padang : Angkasa Raya.

Hakimy, Idrus, Dt Rajo Penghulu. 1976. Peganggan Bundo Kanduang di Minangkabau.


Bandung: CV. Rosda.

Elfira, Mina, 2006. Minangkabau “yang lain”: Negosiasi Matrilineal, Islam dan Identitas
Minangkabau. Dalam Penelitian Tahun 2002-2005 Ulayat. Padang : Andalas
University Press.

Batoah, Datoek. H. 1987. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia


Sumatera Barat.

Ibrahim, Dt. Sanggoeno Diradjo. 2009. Tambo Alam Minangkabau. Kristal Multimedia.

14
MAKALAH BAM

Tentang

BUNDO KANDUANG

Disusun Oleh :

KELOMPOK 14

1. Silvia Rahma Junita : 18.025

2. Muhammad Arsyad : 18.029

Dosen Pembimbing :

Drs. H. Masrial, MA

Drs. Saharman, MA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

YAYASAN TARBIYAH ISLAMIYAH

PADANG

2019

15

Anda mungkin juga menyukai