Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat Minangkabau terkenal dengan kegiatan merantau. Hal ini sudah
dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu, baik untuk berdagang, bekerja maupun bersekolah.
Mereka kerapkali diidentifikasikan dengan etnis Tionghoa yang juga melakukan kegiatan
merantau secara massif. Namun, tidak serta-merta memiliki kesamaan motivasi dan landasan
pemikiran yang sama. Gagasan penulis dalam makalah ini ialah merantau dalam masyarakat
Minangkabau didorong oleh faktor ekonomi dan budaya , yang mana, kedua faktor itu
berpijak pada pepatah alam takambang dijadikan guru . Pepatah ini menjadi inspirasi bagi
dinamika sosial masyarakat Minangkabau di samping agama Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tradisi merantau di Minangkabau?
2. Apa faktor penyebab merantau?
3. Bagaimana filosofi yang miliki oleh merantau?
BAB 11
PEMBAHASAN

1. Tradisi Merantau di Minangkabau

Rantau merupakan suatu kawasan atau negeri yang berada di luar kampung


halaman.Dalam konsep budaya Minangkabau, rantau dapat bermaksud juga suatu kawasan
yang diteroka dan berada di luar kawasan darek (pedalaman atau inti) Minangkabau. Selain
itu kata rantau juga dapat bermakna garis pantai atau daerah aliran sungai maupun hal yang
merujuk kepada perbatasan.1

Rantau bagi masyarakat Minang adalah bagian dari Alam Minangkabau dan memiliki
hubungan saling ketergantungan dengan darek sebagai kawasan inti mereka. Selanjutnya
kawasan rantau dibagi atas rantau di hilia dan rantau di mudiak, yang dikenal dengan
istilah rantau nan duo. Berkaitan dengan ini, rantau oleh masyarakat Minang juga menjadi
pintu gerbang menuju Alam Minangkabau, dalam istilah lainnya rantau dapat
bermakna pelabuhan. Kawasan rantau dalam sisi kehidupan merupakan tempat pencarian,
kawasan perdagangan, maupun dapat menjadi saluran ke luar dari sejumlah kelebihan dari
darek berupa tenaga, penduduk, kekecewaan, keingintahuan dan ambisi sehingga hal ini
menjadi perluasan dan pengembangan kawasan rantau itu sendiri.2

Tome Pires dalam Suma Oriental telah mencatat beberapa kawasan rantau di pesisir


barat Sumatra seperti Pariaman, Tikudan Barus sebagai kawasan pelabuhan Raja
Minangkabau, begitu juga kawasan Kampar dan Indragiri di pesisir timur Sumatra.3

Rantau Minangkabau secara teritori adalah daerah di luar “luhak nan tigo” yang
merupakan daerah asal orang minangkabau  bermukim dan menjalani kehidupan.Rantau
dalam pengertian ekonomi adalah daerah di luar daerah asal atau tanah tempat mencari
kehidupan.

Merantau adalah budaya orang Minangkabau untuk mengembangkan diri dan mencari
penghidupan. Namun tidak tertutup kemungkinan untuk mengembangkan kebudayaan daerah
asal diperantauan.

1
Tsuyoshi Kato,Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Balai Pustaka, ISBN
979-690-360-1,2005), hal 35
2
Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang, Yayasan Obor Indonesia, hal 56
3
Armando Cortesão, The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 1994, hal 89
KedudukanRantau

Dari segi adat, kedudukan rantau sama dengan luhak. Rantau memiliki otonomi
sendiri seperti luhak. Masyarakat rantau hidup di lingkungan adatnya. Mereka berhak
mengurus dirinya, mengurus kekayaan rantaunya, membangun kehidupan ekonominya, dan
menetapkan pemimpinnya. Pedoman utamanya tetap adat minangkabau. Jadi rantau dan
luhak sama-sama wilayah minangkabau dan sama-sama memakai adat dan budaya
minangkabau.

Rantau yang merupakan wilayah kultural kedua orang Minangkabau adalah dataran
rendah. Dimulai dari daerah pantai timur Sumatera. Ke utara luhak Agam; Pasaman, Lubuk
Sikaping dan Rao. Ke selatan dan tenggara luhak Tanah Data; Solok Silayo, Muaro Paneh,
Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah lunto Sijunjung, sampai
perbatasan Riau dan Jambi. Daerah ini disebut sebagai ikue rantau.4

Kemudian rantau sepanjang iliran sungai sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar,
Kuantan/Indragiri dan Batang Hari. Daerah ini disebut Minangkabau Timur yang terdiri dari;5

1. Rantau 12 koto (sepanjang Batang Sangir); Nagari Cati nan Batigo (sepanjang Batang
Hari sampai ke Batas Jambi), Siguntue (Sungai Dareh), Sitiuang, Koto Basa.
2. Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah (rantau Kuantan)
3. Rantau Bandaro nan 44 (sekitar Sungai Tapuang dengan Batang Kampar)
4. Rantau Juduhan (rantau Y.D.Rajo Bungsu anak Rajo Pagaruyung; Koto Ubi, Koto
Ilalang, Batu Tabaka)
5. NegeriSembilan

Merantau adalah perginya seseorang dari tempat asal dimana ia tumbuh besar ke
wilayah lain untuk menjalani kehidupan atau mencari pengalaman. Banyak faktor yang
menyebabkan seseorang merantau, diantara karena faktor ekonomi, faktor alam, faktor
pendidikan, bahkan ada juga karena faktor tradisi atau budaya. Namun faktor paling dominan
yang me-nyebabkan kebanyakan orang untuk merantau adalah karena permasalahan
ekonomi. Dalam hal ini merantau dianggap memberikan harapan untuk kehidupan yang lebih
baik di tempat yang dituju.

4
Dt. Batuah. loc. cit.
5
Ibid.
Namun ada suatu suku dimana penduduknya merantau bukan hanya disebabkan
karena faktor ekonomi atau permasalahan ekonomi saja, tetapi juga karena tradisi atau
kebudayaan yang masih dipercaya dan dilakukan hingga sekarang, yaitu suku Minangkabau. 6
Suku Minangkabau mendiami hampir seluruh wilayah provinsi Sumatera Barat dengan
penduduknya yang sudah tersebar ke seluruh wilayah di Indonesia. Seperti di wilayah
lainnya, adat dan tradisi Minangkabau telah banyak mengalami perubahan karena dianggap
tidak dapat memenuhi tuntutan dan perkembangan zaman. Tetapi ada satu tradisi yang hingga
sekarang tetap dipercaya dan dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau, yaitu tradisi
merantau.

Merantau dalam budaya Minangkabau merupakan keharusan, khususnya kepada para


pemuda jika ia ingin dipandang dewasa dalam masyarakat. Masyarakat Minang menganggap
bahwa laki-laki remaja hingga pemuda yang belum menikah dan tidak pergi merantau
sebagai orang-orang yang penakut dan tidak bisa hidup mandiri. 7 Dikatakan penakut karena
tidak mau atau tidak berani mencoba kehidupan baru di luar daerah Minang. Sedangkan tidak
bisa hidup mandiri disebabkan karena ketergantungan terhadap saudara atau sanak keluarga
di daerah Minang.

2. Faktor Yang Menyebabkan Merantau

Merantau yang dilakukan orang Minangkabau tentu disebabkan karena hal-hal ter-
tentu. Adapun penyebab tersebut adalah sebagai berikut:

1.       Faktor Sistem Matrilineal

Merantau dalam tradisi Minangkabau dipercaya timbul karena adanya sistem mat-
rilineal. Sistem ini masih dipertahankan hingga sekarang. Sistem matrilineal Minangkabau
hanya memberikan harta pusaka atau hak waris kepada pihak perempuan, sedangkan pihak
laki-laki hanya memiliki hak yang kecil. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang
memilih untuk merantau. Namun perempuan minang pada masa sekarang juga telah banyak
pergi merantau.

2.       Faktor Budaya

6
Moensoer, Budaya Alam Minangkabau, Padang: Rajawali Ekspress, 1970, hal. 24
7
Datuak Bandaro CH Latief, N, Etnis dan Adat Minangkabau, Permasalahan dan Hari Depannya. Angkasa:
Bandung.
Pepatah Minang mengatakan “Karatau tumbuah dihulu, babuah babungo alun,
marantau bujang dahulu, dirumah baguno alun”. Pepatah ini menegaskan bahwa anak laki-
laki yang masih bujangan atau belum menikah tidak mempunyai peranan atau posisi dalam
adat.8 Keputusan dalam keluargapun tidak bisa diputuskan oleh anak tersebut. Hal ini
dikarenakan anak dianggap belum memiliki pengalaman. Oleh sebab itu, si anak harus
mencari pengalaman dengan cara pergi merantau. Para orang tua sebenarnya menyadari hal
ini. Terbukti dengan adanya ajakan dan anjuran orang tua kepada anak remaja Minangkabau
untuk pergi merantau. Bahkan ada orang tua yang memaksa agar anak remajanya merantau
sejauh-jauhnya dari wilayah Minangkabau sebab ada pandangan bahwa semakin jauh tempat
perantauan, maka pengalaman hidup yang didapatkan juga semakin banyak sehingga si anak
semakin berguna dalam masyarakat ketika ia kembali.

3.       Faktor Ekonomi

Faktor lainnya adalah karena permasalahan ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa


jumlah penduduk selalu bertambah dan tidak diiringi dengan penambahan lapangan kerja.
Hal tersebut juga terjadi di Minangkabau. Di Minangkabau, kaum laki-laki akan merasa
sangat malu jika tidak bisa bekerja. Oleh sebab itu, agar tidak di sebut sebagai pemalas, maka
kebanyakan kaum laki-laki yang masih bujangan bekerja membantu orang tua. 9 Umumnya
masyarakat Minangkabau berprofesi sebagai petani dan/atau pedagang. Hasil dari tani bia-
sanya dijual sendiri ke pasar.

Seiiring meningkatnya kebutuhan, para kaum laki-laki merasa bahwa mereka hanya
menambah beban orang tua. Membantu bekerja di kebun atau di sawah tidak lagi bisa men-
cukupi kebutuhan mereka, apalagi membantu ekonomi keluarga. Lalu, kaum laki-laki akan
berpikir untuk mencari pekerjaan baru agar tidak terus-terusan bergantung pada orang tua.
awalnya pekerjaan yang dicari biasanya berkisar di daerah tempat tinggal. Tetapi, karena per-
masalahan pertambahan penduduk dan lapangan pekerjaan, maka merantau merupakan solusi
satu-satunya. Dengan merantau, diyakini bahwa permasalahn ekonomi bisa teratasi.

4.       Faktor Ekologi

Dilihat dari segi ekologinya bentuk fisik pedalaman Sumatera Barat yang terletak di
sepanjang pegunungan Bukit Barisan yang subur. Letak ini sangat cocok untuk pertanian dan
orang Minangkabau telah mengembangkan keterampilannya dalam bidang pertanian. Hal
8
Edward Jamaris, Pengantar Sastar minangkabau, Jakarta: UMM, 1996, hal. 41
9
Idrus Hakimy, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau. PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 1978,
hal. 55
tersebut dapat dilihat bahwa 25% dari penduduk kota di Sumatera Barat masih bekerja di
bidang ini.10 Akan tetapi, karena bertambahnya populasi manusia diperkirakan tanah yang
tersedia tidak akan cukup untuk memberi hidup orang yang jumlahnya selalu bertambah,
maka dari itu dorongan untuk merantau menjadi semakin kuat. Menurut lokasinya sendiri,
Minangkabau adalah daerah yang terpencil (di luar pusat kegiatan perdagangan dan politik).
Keadaan ini menyebabkan dunia luar tidak mendatangi Minangkabau tapi orang
Minangkabau yang harus pergi ke dunia luar.

5.       Faktor Pendidikan

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam masyarakat Minangkabau, ter-
utama pendidikan Agama Islam. Adanya hukum ”adat basandi sara’, sara’ basandi kita-
bullah mempertegas bahwa masyarakat Minang harus menguasai pengetahuan dalam Islam.
Namun keterbatasan tingkat pendidikan yang ada di daerah Minang, memaksa orang-orang
yang ingin menuntut ilmu untuk pergi keluar dari wilayah Minang.

6.       Malanjutkan Kesuksesan Para Perantau Sebelumnya

Adanya cerita orang-orang terdahulu yang sukses dalam perantauan merupakan moti-
vasi tersendiri yang mendorong terjadinya tradisi merantau di dalam masyarakat Minang. Se-
but saja misalnya kesuksesan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang menjadi imam Masjid
Al-Haram. Muncul kebanggan tersendiri pada setiap masyarakat Minang khususnya pemuda
untuk meneruskan kesuksesan yang pernah di raih pendahulunya tersebut.11

Dari uraian diatas, diketahui bahwa konsep merantau bagi masyarakat Minangkabau
berbeda dengan  merantau yang dilakukan masyarakat daerah lainnya. Di daerah lain, faktor
utama yang meyebabkan seseorang merantau adalah karena permasalahan ekonomi. Pada
masyarakat Minang, merantau bukan hanya semata-mata untuk memperoleh kekayaan, atau
memperoleh kehidupan yang lebih baik dibidang ekonomi saja, tetapi yang diutamakan
masyarakat Minang dalam merantau adalah penemuan jati diri, pengalaman dan nilai-nilai
hidup yang tidak didapatkan di daerah asal. Jadi ketika kembali ke tanah kelahiran, si pe-
rantau benar-benar telah siap secara mental dan sikap untuk hidup bersama masyarakat.

10
Auda Murad, Merantau: Outmigration in a Matrilinieal Society of West Sumatra. Australian National
University: Canberra, 1980, hal. 47
11
Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Pustaka LP3ES:
Jakarta, 1994, hal. 52
3. Filosofi dari Merantau

Sebagian besar dari tokoh tokoh Indonesia dari Minang yang berpengaruh adalah
produk "perantauan". Bangsa Indonesia tentu tak akan pernah lupa dengan jasa jasa para
pejuang dan pahlawan negara ini yang berasal dari Minangkabau seperti Tan
Malaka, Mohammad hatta, dan Sjahrir yang dianggap tokoh Indonesia paling penting
bersama Soekarno dan Jendral Soedirman dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Selain ketiga tokoh tersebut tentu masih banyak tokoh produk perantauan lainnya
seperti Mohammad Natsir yang pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim se Dunia
dan perdana mentri Indonesia, Mohammad Yamin yang jadi pelopor Sumpah Pemuda pada
tahun 1928, juga Agus Salim yang jadi diplomat ulung, bahkan seorang presiden yang
di(ter)lupakan Assat.

Di bidang agama, Minang perantauan juga melahirkan ulama ulama besar


seperti Ahmad Kathib Al-Minangkabaui, orang non Arab pertama yang jadi Imam
Besar di Masjidil Haram Mekkah yang juga jadi guru bagi banyak ulama besar di nusantara.
Juga ada Hamka yang dihormati dan dikagumi tidak hanya oleh umat muslim Indonesia tapi
juga umat muslim di negara negara Asia Tenggara lainnya. Di bidang sastra juga lahir dua
orang pionir yaitu Chairil Anwar pelopor Angkatan '45 dan Sultan
Takdir Alisjahbana pelopor Pujanggan Baru, sementara Usmar Ismail dikemudian hari
digelari Bapak Film Indonesia, dan banyak lagi yang lainnya.12

Semua tokoh tokoh besar tersebut adalah produk "perantauan". Pencapaian yang
tinggi oleh perantau-perantau itu akhirnya menimbulkan pertanyaan, apakah tujuan dan
filosofi orang orang Minang dalam "merantau". Secara sederhana bisa direnungkan makna
dari sebuah pepatah bijak Minangkabau yaitu Iduik bajaso, mati bapusako (Hidup berjasa,
mati berpusaka) yang bermakna selagi hidup harus memberi jasa agar setelah mati
meninggalkan pusaka (warisan nama baik) yang bisa dikenang sepanjang masa.13

Orang orang Minangkabau merantau dengan hati dan pikiran terbuka serta imajinasi
yang tinggi. Antropolog Mochtar Naim berpendapat bahwa disamping merantau dan
berdagang, pola hidup masyarakat Minangkabau yang sangat menonjol adalah
suka berpikir dan menelaah. Kebiasaan positif tersebut pada akhirnya menghasilkan para

12
Mochtar Naim, Perkembangan Kota-Kota di Sumatra Barat, Prisma,Padang, 1973.hal. 22
13
Mochtar Naim, "Merantau : Pola Migrasi Suku Bangsa Minangkabau". Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 1979, hal. 37
pemikir dan tokoh tokoh berpengaruh di nusantara ini. Mereka adalah manusia manusia yang
tak cepat berpuas diri, mereka akan menggapai apapun setinggi mungkin. Kemampuan dan
keberanian menjelajah dunia lain yang berbeda dengan kampung halaman mereka telah
menjadikan kaum itu sebagai perantau ulung yang tercatat dalam sejarah bangsa bangsa
nusantara.14 Salah satu falsafah hidup mereka yang paling penting yaitu Alam Takambang
Jadi Guru ikut berperan dalam kemampuan mereka beradaptasi dengan alam yang berbeda
dengan alam Minangkabau, kampung halaman yang tak pernah mereka lupakan sejauh
apapun mereka merantau.

Kebiasaan merantau juga berfungsi sebagai suatu perjalanan spiritual dan batu ujian
bagi kaum lelaki Minangkabau dalam menjalani kehidupan. Pada masa lalu kaum lelaki
Minangkabau yang biasanya telah menguasai ilmu beladiri silat untuk menjaga diri,
berangkat pergi merantau dari kampung ketempat yang jauh hanya berbekal seadanya,
bahkan tak jarang tanpa bekal sama sekali. 15 Kehidupan yang keras, jauh dari sanak saudara
dan kampung halaman diharapkan menjadi cobaan untuk menempa jiwa, kegigihan, dan
keuletan si lelaki Minang dalam meningkatkan derajat kehidupannya.

14
Muchtar Naim. "Merantau : Minangkabau Voluntary Migration", Disertasi Ph.D, Singapore : Faculty of Arts
and Social Sciences University of Singapore.1974. hal. 26
15
Gusti Anan, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: Akiko Iwata Balai Pustaka,
2005, hal. 31
BAB 111
PENUTUP

A. Kesimpulan

Merantau adalah perginya seseorang dari tempat asal dimana ia tumbuh besar ke
wilayah lain untuk menjalani kehidupan atau mencari pengalaman. Banyak faktor yang
menyebabkan seseorang merantau, diantara karena faktor ekonomi, faktor alam, faktor
pendidikan, bahkan ada juga karena faktor tradisi atau budaya.
Orang orang Minangkabau merantau dengan hati dan pikiran terbuka serta imajinasi
yang tinggi. Antropolog Mochtar Naim berpendapat bahwa disamping merantau dan
berdagang, pola hidup masyarakat Minangkabau yang sangat menonjol adalah
suka berpikir dan menelaah. Kebiasaan positif tersebut pada akhirnya menghasilkan para
pemikir dan tokoh tokoh berpengaruh di nusantara ini.
Kebiasaan merantau juga berfungsi sebagai suatu perjalanan spiritual dan batu ujian
bagi kaum lelaki Minangkabau dalam menjalani kehidupan. Pada masa lalu kaum lelaki
Minangkabau yang biasanya telah menguasai ilmu beladiri silat untuk menjaga diri,
berangkat pergi merantau dari kampung ketempat yang jauh hanya berbekal seadanya,
bahkan tak jarang tanpa bekal sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA

Kato, Tsuyoshi, (2005), Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Balai
Pustaka, ISBN 979-690-360-1.

Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang, Yayasan Obor Indonesia.

Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2
vol
Jamaris, Edward, (1996). Pengantar Sastar minangkabau, Jakarta: UMM

Naim, Muchtar. "Merantau : Minangkabau Voluntary Migration", Disertasi Ph.D,


Singapore : Faculty of Arts and Social Sciences University of Singapore.1974.

Naim, Mochtar, "Merantau : Pola Migrasi Suku Bangsa Minangkabau". Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press, 1979.

Moensoer, (1970). Budaya Alam Minangkabau, Padang; Rajawali Ekspress


Latief, N, CH, Bandoro, DT.2002. Etnis dan Adat Minangkabau, Permasalahan dan Hari
Depannya. Angkasa: Bandung.

Murad, Auda.1980. Merantau: Outmigration in a Matrilinieal Society of West Sumatra.


Australian National University: Canberra

Pelly, Usman.1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan
Mandailing. Pustaka LP3ES: Jakarta

Hakimy, Idrus.1978. Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau. PT Remaja


Rosdakarya: Bandung

Anan, Gusti, 2005, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah,Akiko Iwata
Balai Pustaka, Jakarta.

Naim, Mochtar, 1973, Perkembangan Kota-Kota di Sumatra Barat, Prisma,Padang.

Anda mungkin juga menyukai