PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana fisolofi minangkabau tentang adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah?
2. Apa faktor yang mendorong rektualisasi adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah.
3. Bagaimana strategi pendidikan islam dalam pelaksanaan adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah?
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Welhendri Azwar. Gerakan Sosial Kaum Tarekat. (2015). h. 152
2
Chairul Anwar, 1997, Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka Cipta ,Jakarta, hlm 38
2
Lebih lanjut Buya Hamka menjelaskan bahwa falsafah adat minangkabau “
adat basandi syarak syarak basandi katabullah, syarak mangato adat mamakai, alam
takambang jadi guru ” sebagai berikut :
a. “Syarak mangato adat mamakai ”kata syarak diambil dari al-Qur’an, sunnah dan
fiqih, akhirnya dipakai dalam adat.
b. “Syarak bertelanjang-adat bersamping”, maknanya syarak terang dan tegas
dalam menentukan suatu hukum, sedangkan adat diatur berdasarkan prosedur
yang benar berdasarkan membaca yang tersurat, tersirat dan tersusruk,
selanjutnya juga mempertimbangkan sesuatu itu dengan seksama dan bijaksana.
c. “adat yang kawi, syarak yang lazim”, artinya adat tidak akan berdiri kalau tidak
dikawikan atau tidak dikuatkan. ( kawi ) berasal dari bahasa arab “Qowiyyun”
bararti kuat. Syarak tidak akan berjalan kalau tidak dilazimkan atau tidak
diwajibkan. Lazim artinya biasa, namun lebih aktif dari wajib. Wajib artinya
berdosa kalau ditinggalkan, lazim artinya nerpahala kalau ditinggalkan.3
3
Hamka. Islam dan Adat Minangkabau . (Jakarta: Punjimas. 1984) h. 137
4
Salmadanis. Adat Basandi Syarak. (Jakarta: Kartina Insan Lestari, 2003), h. 13
3
a. Mengutamakan prinsip hidup berkeseimbangan
Nikmat Allah, sangat banyak Allah SW. Berfirman sebagaiman berikut :
“Dan jika kamu menghitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kamu tidak
dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Pengampun lagi maha Penyayang” (QS.16, An Nahl : 18).
Hukum Syara’ menghendaki keseimbangan antara hidup rohani dan
jasmani ; “Sesungguhnya jiwamu (rohani-mu) berhak atas kamu (supaya kamu
pelihara) dan badanmu (jasmanimu) pun berhak atasmu supaya kamu pelihara”
(Hadist). Keseimbangan ini semakin jelas wujud dalam kemakmuran di ranah
ini, seperti ungkapan ;
“Rumah gadang gajah maharam, Lumbuang baririk di halaman,
Rangkiang tujuah sajaja, Sabuah si bayau-bayau, Panenggang anak dagang lalu,
Sabuah si Tinjau lauik, Birawati lumbuang nan banyak, Makanan anak
kamanakan.
Manjilih ditapi aie, Mardeso di paruik kanyang.
Sesuai bimbingan syara’, “Berbuatlah untuk hidup akhiratmu seolah-olah kamu
akan mati besok dan berbuatlah untuk hidup duniamu, seolah-olah akan hidup
selama-lamanya” (Hadist).
b. Kesadaran kepada luasnya bumi Allah, merantaulah
Allah telah menjadikan bumi mudah untuk digunakan. Maka berjalanlah
di atas permukaan bumi, dan makanlah dari rezekiNya dan kepada Nya lah
tempat kamu kembali. “Maka berpencarlah kamu diatas bumi, dan carilah
karunia Allah dan (di samping itu) banyaklah ingat akan Allah, supaya kamu
mencapai kejayaan“, (QS.62, Al Jumu’ah : 10).
Agar supaya “jangan tetap tertinggal dan terkurung dalam lingkungan
yang kecil”, dan sempit (QS.4, An Nisak : 97). Karantau madang di hulu
babuah babungo balun. Marantau buyuang dahulu di rumah paguno
balun. Ditanamkan pentingnya kehati-hatian, “Ingek sa-balun kanai, Kulimek
sa-balun abih, Ingek-ingek nan ka-pai, Agak-agak nan ka-tingga”.
c. Mencari nafkah dengan “usaha sendiri”
Memiliki jati diri, self help dengan tulang delapan kerat dengan cara
amat sederhana sekalipun “lebih terhormat”, daripada meminta-minta dan
menjadi beban orang lain, “Kamu ambil seutas tali, dan dengan itu kamu pergi
kehutan belukar mencari kayu bakar untuk dijual pencukupkan nafkah bagi
keluargamu, itu adalah lebih baik bagimu dari pada berkeliling meminta-minta”.
(Hadist). Membiarkan diri hidup dalam kemiskinan tanpa berupaya adalah salah
, “Kefakiran (kemiskinan) membawa orang kepada kekufuran (ke-engkaran)“
(Hadist).
4
d. Tawakkal dengan bekerja dan tidak boros
Tawakkal, bukan “hanya menyerahkan nasib” dengan tidak berbuat apa-
apa, “Bertawakkal lah kamu, seperti burung itu bertawakkal“ (Atsar dari
Shahabat). Artinya, pemahaman syarak menanamkan dinamika hidup yang
tinggi.
e. Kesadaran kepada ruang dan waktu
Menyadari bahwa peredaran bumi, bulan dan matahari, pertukaran
malam dan siang, menjadi bertukar musim berganti bulan dan tahun, adalah
hukum alam semata. “Kami jadikan malam menyelimuti kamu (untuk
beristirahat), dan kami jadikan siang untuk kamu mencari nafkah hidup“.
(QS.78, An Naba’ : 10-11). Ditananamkan kearifan akan adanya perubahan-
perubahan. Yang perlu dijaga ialah supaya dalam segala sesuatu harus pandai
mengendalikan diri, agar jangan melewati batas, dan berlebihan,
“Ka lauik riak mahampeh, Ka karang rancam ma-aruih, Ka pantai ombak
mamacah. Jiko mangauik kameh-kameh, Jiko mencancang, putuih – putuih, Lah
salasai mangko-nyo sudah”.
Artinya, pemahaman syarak menekankan kepada kehidupan yang
dinamis, mempunyai martabat (izzah diri), bekerja sepenuh hati, menggerakkan
semua potensi yang ada, dengan tidak menyisakan kelalaian ataupun ke-
engganan. Tidak berhenti sebelum sampai. Tidak berakhir sebelum benar-benar
sudah.
5
Dalam Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah juga terkandung
prinsip dasar dan nilai operasional yang melembaga dalam struktur sosial
masyarakat Minangkabau.
a. Adab dan budi, inti dari ajaran adat Minangkabau, sebagai pelaksanaan dari
prinsip adat. “indak nan indah pado budi, indak nan elok dari baso” .Tidak
ada yang indah dari pada budi dan baso basi. Yang dicari bukan emas, bukan
pangkat, akan tetapi budi pekerti yang dihargai. Agar jauh silang sengketa,
perhalus basa dan basi (budi pekerti).
b. kebersamaan, lahir dari hasil musyawarah bulek aia ke pambuluah, bulek
kato ka mufakat, yang dijabarkan “dalam senteang ba-bilai, singkek ba-
uleh” sebagai pancaran iman kepada Allah swt. Di dalam masyarakat yang
beradat dan beradab (madani) mempunyai semangat kebersamaam, sa-ciok
bak ayam, sadancing bak basi”. Membangun kebersamaan dengan
mengikutsertakan setiap unsur anggota masyarakat di setiap korong,
kampung dan nagari di Minangkabau, sehingga semua yang dicita-
citakan tidak akan sulit diujudkannya.
c. Keragaman masyarakat yang terdiri dari banyak suku dan asal muasal dari
berbagai ranah bersatu dalam kaedah “hinggok mancakam, tabang
basitumpu”, menyesuaikan dengan lingkungan dan saling
menghargai, dima bumi dipijak, disatu langit dijunjung.
d. kearifan, kemampuan menangkap perubahan yang terjadi, sakali aia gadang,
sakali tapian baralieh, sakali tahun baganti, sakali musim batuka,” Perubahan
tidak mengganti sifat adat. Perubahan adalah sunatullah. Setiap usaha untuk
mencari jalan keluar dari problematika perubahan sosial, politik dan
ekonomi menjauhkan fikiran dengan menjauhkan dari hal yang tidak
mungkin. Seorang yang arif tidak boleh melarikan diri dari perbedaan
pendapat, karena pada hakekatnya perbedaan itu membuka peluang untuk
memilih yang lebih baik.
e. tanggungjawab sosial yang adil, seia sekata menjaga semangat gotong
royong. Semua dapat merasakan dan memikul tanggung jawab bersama
pula. Saketek bari bacacah, banyak bari baumpuak, Kalau tidak ada, sama-
sama giat mencarinya, dan sama pula menikmatinya.
f. keseimbangan antara kehidupan rohani dan jasmani berujud dalam
kemakmuran, Munjilih di tapi aia, mardeso di paruik kanyang. Memerangi
kemaksiatan, diawali dengan menghapus kemiskinan dan
kemelaratan. Rumah gadang gajah maharam, lumbuang baririk di halaman,
lambang kemakmuran.
g. toleransi sesuai dengan pesan Rasulullah, bahwa sesungguhnya zaman
berubah, masa berganti. Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat
Minangkabau diarahkan kepada pandai hidup dengan jiwa toleran, Seorang
yang arif tidak boleh melarikan diri dari perbedaan pendapat. Perbedaan
6
pendapat mendorong dan membuka peluang untuk memilih yang lebih baik
di antara beberapa kemungkinan yang tersedia. (Hujarat ;13).
h. kesetaraan, timbul dari sikap bermusyawarah yang telah hidup subur dalam
masyarakat Minangkabau. Sejalan dengan itu diperlukan saling tolong
menolong dengan moral dan buah pikir dalam mempabanyak lawan baiyo
(musyawarah), melipat gandakan teman berunding. Sikap musyawarah
membuka pintu berkah dari langit dan bumi. Kedudukan
pemimpin, didahulukan selangkah, ditinggikan seranting.
i. kerjasama mengutamakan kepentingan orang banyak dengan sikap pemurah
yang merupakan sikap mental dan kejiwaan yang tercermin dalam mufakat.
Mufakat bertujuan menegakkan kebenaran dengan pedoman tunggal,
hidayah dari Allah.
j. sehina semalu, dasar untuk memahami persoalan berdasarkan atas masalah
seseorang dengan bersama dan bersama dengan seseorang. Dalam adat
Minangkabau sesuatu hal adalah sebagian dari keseluruhan, yang satu
bersangkut paut dengan lainnya, semuanya topang menopang walau hal
sekecil apa pun
k. tenggang rasa dan saling menghormati adalah inti dari fatwa adat tentang
budi atau akhlaqul karimah.
l. keterpaduan, saling meringankan dengan kesediaan memberikan dukungan
dalam kehidupan. “barek sapikua, ringan sajinjiang”, Kerja baik
dipersamakan dengan saling memberi tahu sanak saudara dan jiran. “Karajo
baiak baimbauan, karajo buruak baambauan. Apabila musibah menimpa diri
seseorang, maka tetangga serta merta menjenguk tanpa diundang.
Prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip operasional yang melembaga di
dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau. Jiwa ilahiyah menjadi
pendorong bagi tindakan sebagai makhluk Allah yang mempunyai
tanggungjawab sebagai khalifah. Setiap kebijakan, keputusan dan tindakan
berorientasi pada kebajikan dan kemashlahatan ummat; pengayom bagi yang
kecil dan menjadi suluh bagi orang banyak. Jiwa insaniyah merupakan sebuah
aksi kemanusiaan dalam melakukan transformasi sosial. Dalam kerangka inilah
masyarakat Minangkabau ditempatkan dan berproses dengan amal saleh
untuk kemashalahatan umat
7
Sebagai implikasinya dapat dilihat dalam bidang kemasyarakatan,
Islam menyempurnakan adat seperti terlihat dalam arsitektur sakral pada bangunan
masjid dan surau, terdapat menara mempunyai struktur yang terdiri atas simbol
bangunan adat (bergonjong) dan simbol arsitektur bangunan Islam (berkubah).
Begitu juga arsitektur bangunan sivil dalam wujud rumah penduduk dan rumah
gadang adat mengesankan adat berdampingan dengan rumah ibadah.
Dalam sistem pemerintahan pada mulanya di Minangkabau hanya ada
lembaga Raja Alam dan Raja Adat yang mengurus pemerintahan adat dan khusus
urusan adat, kemudian dilengkapi dengan ada lembaga Raja Ibadat yang mengurus
ibadah (persoalan agama Islam). Maka terbentuklah lembaga baru dengan nama
“Rajo nan Tigo Selo” (Raja yang tiga bertahta duduk berdampingan), yakni Raja
Adat di Buo Lintau, Raja Ibadat di Sumpur Kudus dan Raja Alam di pusat
pemerintahan Pagaruyuang (sekarang ketiga daerah ini masuk ke wilayah
administratif Kabupaten Tanah Datar)”.
Di bidang pemerintahan juga dikenal dengan Dewan Menteri dengan nama
“Basa Ampek Balai” (Besar Empat Balai), yakni Bandaro di Sungai Tarab,
Indomo di Saruaso, Tuan Kadi di Padang Gantiang, dan Makhudum di Sumanik
(juga di Tanah Datar). Bandaro, Indomo dan Makhudum merupakan pelaksana
tugas bidang pemerintahan dari Raja Alam di Pagaruyung, sedangkan Tuan Kadi
sebagai pelaksana tugas dari Raja Ibadat untuk mengurus urusan keagamaan. Pada
tingkat bawah juga dikenal dengan “penghulu, manti,dan dubalang”. Setelah
Islam masuk, ditambah dengan “malin”. Penghulu dari kelompok ninik mamak,
manti dari kelompok cerdik pandai, dubalang dari kelompok kaum muda dan
malin dari kelompok alim ulama.
Wewenang dan hak/ kepiawaian bicara masing-masing digambarkan dalam
pepatah sebagai berikut :
Kato panghulu kato manyalasai (kata penghulu kata menyelesaikan)
Kato ninik mamak kato barubuang (kata ninik mamak kata bermanfaat
Kato malin kato hakikaik (kata malin kata hakekat)
Kato dubalang kato mandareh (kata dubalang kata tegas/ keras)
8
Perbenturan antara adat Minangkabau dengan ajaran Islam pernah juga
terjadi karena pilaku pemangku adat yang tidak memahami syara’ dan t. okoh
agama yang tidak memahami adat. Fenomena benturan/ diperbenturkan adat dan
syara’ itu terkesan dalam “bidang sosial budaya khususnya seperti menyangkut
sistem kekerabatan yang menentukan bentuk perkawinan, kediaman dan
pergaulan, serta pewarisan harta”15terutama puska tinggi. Adat Minang menganut
sistem kekerabatan matrilinial, sedangkan ajaran Islam menganut
kekerabatan parental. Dalam kehidupan tempat tinggal keluarga menurut adat
adalah secara matrilokal, sedangkan ajaran Islam menghendaki tempat tinggal
keluarga disediakan oleh suami. Sistem kewarisan yang berlaku dalam adat
adalahunilateral kolektif sedangkan menurut ajaran Islam adalah bilateral
individual.16
Oleh karena kedua belah pihak (tokoh adat dan syara’) yang berbeda dalam
prinsip, maka persentuhan dan penyesuaian berlangsung lama dan berlarut-larut.
Pada mulanya terlihat bahwa tidak ada di antaranya yang memberikan tempat ke
pada pihak lain. Keduanya berkelanjutan adanya berdampingan tangan. Berkat
kepiawaian dan toleransi antara pemuka adat dan pemuka agama, secara perlahan-
lahan akhirnya dapat diselesaikan secara konsensus tanpa menghilangkan hal-hal
yang bersifat prinsip baik dalam adat maupun dalam agama.
Suatu konsensus tentang pembagian harta warisan oleh pemuka adat dan
pemuka agama adalah “Harato pusako dibagi sacaro adaik, harato pancarian
dibagi sacaro hukum faraidh”. Harta pusaka tinggi dalam adat tidak boleh dibagi,
tidak boleh dijual dan tidak boleh digadaikan. Ibarat memiliki sebuah pokok
tanaman, buah manisnya boleh dimakan, tetapi batangnya tidak boleh dijual dan
digadai. Harta pusaka tinggi itu dari mamak turun ke keponakan. Keponakan tidak
tahu asal usulnya yang pasti karena tidak baik/ tidak boleh dijual.
Berarti, harta pencaharianlah yang boleh dibagi menurut hukum Islam
(faraidh) sementara harga pusaka tinggi bukanlah harta dari si mayit atau yang
meninggal itu, tetapi harta turun temurun yang dipusakai dari nenek moyang
dahulu, yang dapat dianalogikan sebagai “wakaf” kaum. Harta pusaka yang waqaf
kaum ini umumnya berupa tanah, termasuk tanah sawah, ladang, bintalak, dan
sebagainya, lalu rumah dan harta tak bergerak lainnya.
Jika harta pusaka tinggi ini juga dibagi, maka itulah yang salah, karena
membagi harta yang bukan punya si mayit. Hukum faraidh, bagaimanapun,
sendirinya berlaku untuk harta pencaharian.
Menurut Mochtar Naim, secara sosiologis, bagaimanapun karena ada
keharusan melindungi kaum yang perempuan dalam setting budaya matrilineal itu,
maka bukan saja tanah dan harta pusaka tinggi lainnya yang tidak dibagi, rumah
yang dibikinkan oleh suami yang meninggal pun tidak dibagi menurut hukum
faraidh, tetapi tetap tinggal pada istri dan anak-anak perempuannya. Ini bisa jatuh
kepada masalah “mashalihul mursalah” demi menjaga muruah dan martabat
anggota kaum yang lemah yang perlu dilindungi itu. Perlakuan penghargaan yang
9
tinggi terhadap perempuan dalam adat dan budaya Minangkabau hanya bisa
tertandingi oleh hukum Islam yang juga sangat menjunjung tinggi akan muruah
dan martabat wanita.17
Karenanya konsensus ABS – SBK yang mendamaikan adat Minangkabau
dan agama Islam, bisa berjalin berkelindan bagai cincin lekat di jari manis.
Praktek ini pernah dilembagakan secara spasifik dengan era tipe nagari ABS –
SBK, namun kemudian bentuk nagari itu berubah apalagi setelah kemerdekaan
struktur dan bentuk wilayah pemerintahan berubah sesuai peraturan perundang-
undangan sampai sekarang ke era otonomi menerapkan UU No. 22 tahun 1999
tentang Otonomi Daerah diganti dengan UU No. 32/ 2004 plus UU No.
08/2005 dan Sumatera Barat mengimplementasikan otonomi daerah itu dengan
sistim kembali ke nagari berbasis surau dilandasi Perda No. 9/ 2000 dandirevisi
dengan Perda No. 02/ 2007, baik otonomi dalam bidang politik, ekonomi, maupun
sosial budaya termasuk pendidikan. Dengan sistem otonomi Sumatera Barat
kembali ke nagari yang berbasis surau ini bermaksud hendak melaksanakan
konsensus ABS – SBK namun yang berjalan belum maksimal, apakah mungkin
karena pelaksanaannya setengah hati. Islam dan adat dalam hubungannya dengan
pembangunan aspek lain dalam pemerintahan daerah otonomi belum optimal
damai, karena terkesan, membangun agama dan adat baru sloganistik pejabat,
tetapi pasilitas amat kecil dibanding dengan pasilitas pembangunan aspek lainnya,
makanya dalam fenomena ini konsensus ABS – SBK perlu direpitalisasi dalam
pemerintahan otonomi Sumatera Barat.
Berbalik kepada persoalan perdamaian adat dan syara’, dalam Islam yang
sama sekali tidak boleh ditolerir adalah yang berkaitan dengan masalah ‘akidah
dan ‘ubudiyah, yang kalau dilakukan menjadi syirik dan bid’ah. Islam sebagai
sebuah agama yang di dalamnya terdapat budaya sangat menyadari akan arti dan
keberadaan dirinya, di samping juga menyadari akan arti dan keberadaan
budaya dan masyarakat yang didatanginya. Islam datang bukan untuk
melenyapkan budaya dan nilai budaya dari daerah-daerah yang dimasukinya,
Islam malah memperkayanya. Misalnya masuknya Islam ke Mesir, ke benua
Afrika lainnya, ke Spanyol, ke Persi, ke India dan lain-lain menunjukkan betapa
Islam datang bukan untuk mengikis adat dan budaya-budaya yang ada, tetapi
justru memberi jiwa dan semangat baru dan memperkayanya.
Yang penting yang harus diperkenalkan adalah kredo “tauhid” menggantikan
kredo-kredo lainnya, sementara urusan ‘amaliyah ijtima’iyah pada dasarnya
sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yaitu ; “Kamu yang lebih tahu tentang
urusan duniamu”. Dari hasil perkawinan budaya-budaya itulah lahirnya budaya
dan peradaban Islam yang bersifat akomodatif, toleran, integratif dan universal.
Walaupun pada masa-masa tertentu terjadi persengketaan antara adat dan
syara’ (Islam) namun wilayah persengketaan sebegitu jauh lebih pada interpretasi
dan praktek pelaksanaannya dan bukan pada aspek filosofinya. Perbedaan
intepretasi dan praktek pelaksanaan inilah yang sampai saat ini masih mengganjal
10
dan cukup memenuhi ruang-ruang pengadilan di peradilan adat dan peradilan
negeri, baik yang bersifat perdata maupun pidana sekalipun. Masyarakat
Minangkabau bahkan cukup direpotkan dengan masalah harta ini, terutama
dengan perubahan nilai dan pergeseran orientasi nilai yang terjadi sepanjang abad
20 sampai saat ini.18
Secara sosiologis kita menyaksikan perubahan-perubahan yang cukup
signifikan yang sedang terjadi, baik dalam struktur sosial, ekonomi, politik, dan
bahkan kebudayaan itu sendiri. Masyarakat Minangkabau sedang beranjak dari
masyarakat agraris berorientasi modal lahan/ tanah pusaka ke masyarakat modern
yang berorientasi uang. Kehidupan yang tadinya bersifat komunal beranjak kepada
kehidupan yang bersifat individual didominasi hak private. Kehidupan rural
berpindah ke kehidupan urban dan global. Yang terjadi adalah juga pendangkalan
aqidah dan rasa kebersamaan, serta terjadi pergeseran dari sistem nilai yang
bersifat absolut ke sistem nilai yang bersifat relatif.
Masyarakat Minangkabau sebagaimana juga dengan masyarakat lainnya di
Indonesia, sekarang ini sedang menghadapi goncangan-goncangan
budaya (culture shocks) yang sangat hebat akibat tantangan dan serangan yang
datang dari berbagai penjuru dunia secara bertubi-tubi, di samping juga akibat
proses pelapukan yang juga terjadi dari dalam sendiri, yang semua ini bisa
membahayakan eksistensi dan keberkelanjutannya sendiri.19
Hanya kesadaran dan keinginan untuk mempertahankan harga diri sebagai
orang Minangkabau yang bisa menyelamatkannya. Proses globalisasi bisa
melemahkan dan melenyapkan semua budaya-budaya daerah tetapi juga bisa
menempatkannya sebagai budaya pemandu, manakala nilai-nilai budaya yang
dikandungnya bernuansa global dan universal, seperti yang dilakukan oleh Jepang
setelah perang dunia, bahkan Islam mempunyai peluang yang lebih besar untuk itu
justru karena memiliki nilai budaya yang bernuansa global dan universal itu.
Prinsip kesamaan dan kebersamaan sangat menonjol dalam Islam, sedang prinsip
keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum merupakan prinsip dasar dalam ajaran
Islam.20
Sehubungan dengan semua fenomena, masalah dan pemikiran sebagai
jawabannya di atas tadi, masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat) pada saat ini
tetap mengasosiasikan diri dengan budaya dan nilai-nilai keislaman. Sebagai
indikatornya dapat dilihat dengan lahirnya beberapa peraturan daerah (Perda)
seperti Perda “Kembali ke Surau”, Perda “Kembali ke Nagari”, Perda “Pemakaian
Busana Muslim”, Perda “Penambahan Mata Pelajaran Tulis Baca al Qur’an dan
Budaya Alam Minangkabau (BAM)” dalam kurikulum Muatan Lokal pada setiap
jenis dan jenjang pendidikan di Sumatera Barat. Ini semua secara substansial
pemerintahan daerah otonomi Sumatera Barat tetap ingin melaksanakan secara
optimal konsensus traktat Marapalam yang isinya ABS – SBK.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah adalah rumusan
hubungan antara adat Minangkabau dengan agama Islam. Rumusan ini tidak begitu
saja muncul, tetapi melalui perjalanan panjang, konflik sosial, konflik budaya
sampai pada terjadinya konflik fisik (senjata). Rumusan falsafah adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah yang sampai sekarang masih dipegang oleh
masyarakat Minangkabau, dna dijadikan dasar gerakan dan perjuangan untuk
menciptakan masyarakat Minangkabau yang beragama dan beradat
Adat Nan Qawi, Syarak nan Lazim
"Adat yang kawi, syarak yang lazim." Artinya adat tidak akan berdiri kalau
tidak dikawikan atau dikuatkan . "Kawi" berasal dari bahasa Arab "qawyyun"
berarti kuat. Syarak tidak akan berjalan kalau tidak dilazimkan atau diwajibkan.
Lazim artinya biasa, namun lebih aktif dari wajib. Wajib artinya berdosa kalau
ditinggalkan. Lazim artinya berpahala atau dikerjakan. "Zim" dikenakan sanksi
siapa yang tidak mengerjakannya
Syarak mangato, Adat Mamakai
Ungkapan “Syarak mangato adat memakai” merupakan kelanjutan dari
pepatah yang berbunyi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang artinya
agama islam sebagai ajaran dan landasan pokok yang mengatur segala sisi
kehidupan memberikan fatwa atau tuntunan yang kemudian dalam bentuk
praktisnya dilaksanakan oleh adat.
Buya Hamka menjelaskan bahwa falsafah adat minangkabau
a. Syarak mangato adat mamakai ”kata syarak diambil dari al-Qur’an, sunnah dan
fiqih, akhirnya dipakai dalam adat.
b. “Syarak bertelanjang-adat bersamping”, maknanya syarak terang dan tegas
dalam menentukan suatu hukum, sedangkan adat diatur berdasarkan prosedur
yang benar berdasarkan membaca yang tersurat, tersirat dan tersusruk,
selanjutnya juga mempertimbangkan sesuatu itu dengan seksama dan bijaksana
adat yang kawi, syarak yang lazim”, artinya adat tidak akan berdiri kalau tidak
dikawikan atau tidak dikuatkan. ( kawi ) berasal dari bahasa arab “Qowiyyun”
bararti kuat. Syarak tidak akan berjalan kalau tidak dilazimkan atau tidak
diwajibkan. Lazim artinya biasa, namun lebih aktif dari wajib. Wajib artinya
berdosa kalau ditinggalkan, lazim artinya nerpahala kalau ditinggalkan
B. Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manfaat
bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami.
12
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Chairul, 1997, Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka Cipta, Jakarta.
A. Azra. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru.
Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
Naim, Mochtar. 2000. Konflik dan Konsensus antara Adat dan Syarak di Minangkabau.
Makalah Seminar ABS-SBK Gebu Minang III, Bukittinggi.
13