Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam
yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad.Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran
Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada
periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding
persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama
periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.1
Munculnya berbagai kelompok teologi dalam Islam tidak terlepas dari faktor
historis yang menjadi landasan kajian. Bermula ketika Nabi Muhammad saw wafat, riak-
riak perpecahan di antara kaum Muslim timbul kepermukaan. Perbedaan pendapat
dikalangan sahabat tentang siapa pengganti pemimpin setelah Rasul, memicu pertikaian
yang tidak bisa dihindari. Semua terbungkus dalam isu-isu yang bernuansa politik, dan
kemudian berkembang pada persoalan keyakinan tentang tuhan dengan
mengikutsertakan kelompok-kelompok mereka sebagai pemegang “predikat kebenaran”.
Ada beberapa kelompok besar yang pemahamannya sangat ekstrim (berlebihan)
dan saling bertolak belakang. Kelompok ini muncul di akhir era para sahabat. Diantara
kelompok tersebut Jabariyah, pemikiran jabariyah mempunyai corak pemikiran
tradisional.
Munculnya corak pemikiran yang beragam dalam Islam disebabkan karena
semakin luasnya wilayah Islam ke Timur dan ke Barat. Umat Islam mulai bersentuhan
dengan keyakinan dan pemikiran dari ajaran-ajaran lain, terutama filsafat Yunani. Seperti
diketahui wilayah-wilayah yang bergabung dengan Islam, terutama di bagian Barat
adalah wilayah-wilayah yang pernah diduduki oleh bangsa Romawi(Yunani).

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Dan Asal-Usul Jabariyah
2. Tokoh Dan Pemikiran Jabariyah
3. Dalil-Dalil Yang Menjadi Dasar Ajaran Jabariyah
4. Golongan Dalam Jabariyah
5. Pokok-Pokok Pemikiran Jabariyah

1
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an.
2004. Jakarta: Litera AntarNusa, hal. 86.

1
C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Dan Asal-Usul Jabariyah
2. Mengetahui Tokoh Dan Pemikiran Jabariyah
3. Mengetahui Dalil-Dalil Yang Menjadi Dasar Ajaran Jabariyah
4. Mengetahui Golongan Dalam Jabariyah
5. Mengetahui Pokok-Pokok Pemikiran Jabariyah

2
BAB  II
PEMBAHASAN

Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu
Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-
kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai
mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai
teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama.
Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah
digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam.Perbedaan yang pertama muncul dalam
Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik
ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.2
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka
dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui
perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat
bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan
keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi
yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang
kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan.
Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran. Diantaranya yaitu Jabariyah.

A. Pengertian Dan Asal-Usul Jabariyah


Nama jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Dalam istilah
Inggrisnya paham ini disebut fatalism atau predestination3. Dalam kamus Jhon M.
Echols, pengertian fatalism adalah kepercayaan bahwa nasib menguasai segala-galanya,
sedangkan predestination adalah takdir.4 Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama
Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya
melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha
Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari
manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah
manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). 5 Sehingga makna
2
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, 1986. Jakarta: UI-Press,
Cet ke-5, hal.1
3
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 33.
4
Jhon M.Echols, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXVIII. 2006. Jakarta: Gramedia, hal. 234 dan 443.
5
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 63.

3
secara umum adalah bahwa perbuatan manusia telah ditentukan oleh Qodo dan Qadar
Tuhan. Dalam konteks pemikiran kalam, istilah jabariyah diartikan bahwa manusia
makhluk yang terpaksa di hadapan Tuhan.
Menurut Syahrastani, Jabariyah adalah paham yang menafikan perbuatan dari
hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya,
manusia tidak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang
menentukan segala-galanya.
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa
segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah.
Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan
kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini
manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan.
Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan
Tuhan sebagai dalangnya.6
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya
penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman
sahabat dan masa Bani Umayyah.7 Paham Jabariyah ini dalam sejarah teologi Islam
ditonjolkan pertama kali oleh al-Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang mengembangkannya
kemudian adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan. 8 Jahm Ibn Safwan merupakan pendiri
golongan Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia ikut dalam gerakan melawan kekuasaan
Bani Umayyah. Jahm yang terdapat dalam aliran jabariyah  sama dengan Jahm yang
mendirikan golongan al-Jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari
Syuraih ibn al-Harits, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam
perlawanan itu Jahm dapat ditangkap dan kemudian dihukum mati di tahun 131 H 9.
Sepeninggalnya, faham jabariyah terbabi menjadi tiga firqoh yaitu aliarn Jabariyah
Jahamiyah (ekstrim), Jaham Najjamiyah (moderat) dan Jabariyah Dhirariyah.10

Selain dua tokoh tersebut, ada satu nama lagi yang cukup dikenal di kalangan
Jabariyah, yaitu al-Husein Ibn Mahmud al-Najjar, seorang tokoh dari golongan Jabariyah
6
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 31.
7
Tim, Enseklopedi Islam, Jabariyah. 1997. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, Cet ke-4, hal. 239.
8
Adapun riwayat Jahm tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa
dia berasal dari Khurasan yang juga dikenal dengan tokoh murjiah, dan sebagai pemuka golongan Jahmiyah.
Karena kelerlibatanya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah, sehingga dia ditangkap.
9
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 35.
10
K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pramodern, Cet. Ke-3. 2000. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hal.
132.

4
moderat. Paham yang dibawa tokoh-tokoh Jabariyah ini adalah lawan ekstrim dari paham
yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak
sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi
oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di
tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang
panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon
kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.11
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab
tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan
kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-
kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga
menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.12
Faham ini pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan
oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat
sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah
sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan Bani
Umayah. Sebenarnya faham al-Jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas.
Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:
1. Suatu ketika nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam
masalah takdir tuhan. Nabi melarang mereka untuk mendebatkan persoalan tersebut,
agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat tuhan mengenai takdir.13
2. Khalifah umar bin khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan
mencuri. Ketika dientrogasi, pencuri itu berkata” tuhan telah menentukan aku
mencuri” mendengar ucapan itu, umar marah sekali dan menganggap orang itu telah
berdusta kepada tuhan. Oleh karena itu, umar memberikan dua jenis hukuman
kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan. Kedua, hukuman dera karena
menggunakan dalil takdir tuhan.14
3. Ketika Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya

11
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2, hal. 64.
12
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 31.
13
Aziz Dahlan, Sejarah Pemikiran Perkembangan dalam Islam. 1987. Jakarta: Beunneubi Cipta. hal 27-
29.
14
Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. 1958. Kairo:t.t, hal. 15.

5
dengan siksa dan pahala. Orang itu bertanya apabila (perjalanan menuju perang
Siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai
balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa qadha dan qadar Tuhan bukanlah
sebuah paksaan. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, maka tidak ada
pahala dengan siksa, gugur pula janji dan dan ancaman Allah, dan tidak ada pujian
bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
4. Pada pemerintahan daulah Bani Umayyah, pandangan tentang al-Jabar
semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya memberikan
reaksi kertas kepada penduduk syria yang diduga berfaham jabariyah.
5. Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariyah, ada yang mengatakan bahwa
kemunculannya diibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama
yahudi bermazhab Qurra dan agama kristen bermazhab Yacobit.15

B. Tokoh Dan Pemikiran Jabariyah


Sebelum membahas lebih jauh tentang pemuka dan doktrin Jabariyah, maka perlu
dipahami dengan seksama, jika terdapat beberapa penggolongan tentang aliran-aliran
dalam Islam, sebagaimana yang dikutip oleh Hanafi dalam bukunya as-Syihritsani.
Penggolongan tersebut sebagai berikut;
Sifat-sifat Tuhan dan peng-Esaan sifat. Perselisihan tentang pokok persoalan ini
menimbulkan aliran-aliran Asy-‘Ariyah, Karramiah, Mujassimah dan Mu’tazilah.
Qadar dan Keadilan Tuhan. Perselisihan tentang soal ini menimbulkan golongan-
golongan: Qodariah, Nijariah, Jabariyah
Sama’ dan Akal (maksudnya apakah kebaikan dan keburukan hanya diterima dari
syara’ atau dapat diketemukan akal pikiran), keutamaan nabi dan imamah (khalifah).
Persoalan ini menimbulkan aliran: Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Karramah dan
Asy’Ariyah.16
Menurut Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,
ekstrim dan moderat. Diantara dokrin jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa
segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya
sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan oleh dirinya. Misalnya, kalau seseorang
mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul
karena qadha’ dan qadhar tuhan yang menghendaki demikian.17
15
Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Rajawali, hal. 133.
16
M. Hanafi, Theologi Islam. 1992. Jakarta:Pustaka Al-Husna, hal. 58.
17
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 286-287.

6
Diantara pemuka jabariyah ekstrim adalah sebagai berikut:
1. Jahm bin shofwan, nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham Bin Shafwan.
Ia barasal dari Khurasan bertempat tinggal di kuffah. Pendapat jahm yang berkaitan
dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut ini;
a. Syurga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain tuhan.
b. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini pendapatnya
sama dengan aliran kaum Murji’ah.
c. Kalam tuhan adalah mahluk. Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaan
dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat.18
d. Allah tidak memiliki sifat-sifat azaly, karena hal ini akan menjadikan Allah
serupa dengan makhluk.Pendapat ini sama dengan apa yang dikemukakan oleh
Mu’tazilah.
e. Bid’ah jabr. yaitu pernyataan bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan dan
daya upaya sama sekali, bahkan semua kehendaknya muncul karena dipaksa
oleh Allah Swt.
f. Bid’ah irja’, yaitu bahwa iman cukup hanya dengan ma’rifat. barang siapa yang
inkar di lisan maka hal tersebut tidak membuatnya kafir sebab ilmu dan ma’rifat
tidak bisa lenyap karena ingkar, dan keimanan tidak berkurang dan semua
hamba setara dalam keimanannya serta iman dan kufur hanya dalam hati tidak
dalam perbuatan.19
2. Ja’ad bin Dirham. Ia dibesarkan dalam lingkungan orang kristen yang senang
membicarakan tentang teologi. Ia adalah seorang maulana dari bani Hakam dan
tinggal di Damaskus. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah yaitu Khalid bin
Abdullah El-Qasri. Dokrin pokok Ja’ad secara umum sama dengan fikiran jahm Al-
Ghuraby yang menjelaskan sebagai berikut;
a. Al-quran itu adalah mahluk, oleh karena itu dia baru. Sesuatu yang baru itu
tidak dapat disifatka kepada Allah.
b. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluk, seperti berbicara,
melihat, dan mendengar.
c. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.

Berbeda dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan


18
Taib Thakhir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam, Cet. Ke- 8. 1980. Jakarta : Penerbit Wijaya, hal. 102.
19
Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah,
hal. 35.

7
memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun yang baik. Tetapi
manusia mempunyai bagian dalamnya. Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah
sebagai berikut;
1. An-Najjar, nama lengkapnya adalah husain bin muhammad an-najar, para
pengiktnya disebut An-Najariyyah atau Al-Husainiyah. Najjariyyah juga terbagi
menjadi beberapa kelompok kecil (Barghutsiyah, Za’faraniyah dan Mustadrikah),
tetapi mereka tidak berbeda dalam prinsip-prinsip pokok dalam aliran Jabariyah.20
Diantara pendapat-pendapatnya adalah sebagai berikut;
a. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil
bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang
disebut kasab dalam teori Al-Asy’ry.21
b. Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat, akan tetapi ia menyatakan bahwa tuhan dapt
saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat
melihat tuhan.22
2. Adh-Dhirar, nama lengkapnya adalah Dhirar Bin Amr. Pendapatnya tentang
perbuatan manusia sama dengan husein an-najjar, bahwa manusia tidak hanya
merupakan wayang yang digerakkan dalang, manusia mempunyai bagian dalam
perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan
perbuatannya. Mengenai ru’yat tuhan diakhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan
dapat dilihat diakhirat melalui indera keenam.23

C. Dalil-Dalil Yang Menjadi Dasar Ajaran Jabariyah


Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran
sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya
paham Jabariyah, diantaranya:

1. QS ash-Shaffat: 96
    
96. Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".24
20
Ibid, Hal. 75.
21
Ibid, Hal. 89.
22
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 35.
23
Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah,
hal. 78.
24
Al-Qur’an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq.

8
2. QS al-Anfal: 17
         
          
   

17. Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi
Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu
melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk
membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang
mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui.25

3. Q.S. al-Insan: 30
            
30. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.26

4. Q.S. al-An’am: 112


        
          
     
112. Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-
syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan
kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu
(manusia)[499]. Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak
mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.27

[499] Maksudnya syaitan-syaitan jenis jin dan manusia berupaya menipu manusia
agar tidak beriman kepada Nabi.

5. Q.S. al-Hadid: 22

25
Ibid, Hal. 90
26
Ibid, Hal. 95
27
Ibid, Hal. 125

9
            
         
22. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.28

Setelah melihat ayat-ayat yang menjadi sandaran bagi kaum Qadariyah dan
Jabariyah di atas, maka tidak mengherankan kalau dua paham ini masih tetap
berkembang dalam kalangan umat Islam, walaupun pelopor-pelopor paham ini sudah
tiada. Dalam sejarah teologi Islam, selanjutnya paham Qadariyah dianut oleh kaum
Mu’tazilah, sedangkan paham jabariyah, dilanjutkan oleh Asy’ariyah.29

D. Golongan Dalam Jabariyah


Menurut Syahrastani, terdapat tiga golongan dalam Jabariyah, yaitu :
1. Jahmiyah
Jahmiyah adalah sekte para pengikut Jahm bin Sofwan, salah seotrang yang
paling berjasa besar dalam mengembangkan aliran Jabariyah. Ajaran Jahmiyah yang
terpenting adalah al Bari Ta’ala (Allah SWT Tuhan Maha Pencipta lagi Maha
Tinggi) Allah SWT tidak boleh disifatkan dengan sifat yang dimiliki makhluk-Nya,
seperti sifat hidup (hay) dan mengetahui (‘alim), karena penyifatan seperti itu
mengandung pengertian penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya, padahal
penyerupaan seperti itu tidak mungkin terjadi.

2. Najjariyah
Sekte ini dipimpin oleh Al Husain bin Muhammad an Najjar (w. 230 H / 845
M). Ajaran yang dikemukakan bahwa Allah memiliki kehendak terhadap diri-Nya
sendiri, sebagaimana Allah mengetahui diri-Nya. Tuhan menghendaki kebaikan dan
kejelekan, sebagaimana ia menghendaki manfaat dan mudzarat.
3. Dirariyah
Sekte ini dipimpin oleh Dirar bin Amr dan Hafs al Fard. Kedua pemimpin
tersebut sepakat meniadakan sifat – sifat Tuhan dan keduanya juga berpendirian

28
Ibid, Hal. 235
29
Harun Nasution, Teologi Islam. 1986. Jakarta: UI-Press, hal. 39

10
bahwa Allah SWT itu Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, dalam pengertian bahwa
Allah itu tidak jahil (bodoh) dan tidak pula ‘ajiz (lemah).

Dari ketiga golongan ini, syahrastani mengklarifikasikan menjadi dua bagian


besar. Pertama, Jabariyah murni yang berpendapat bahwa baik tindakan maupun
kemampuan manusia melakukan seutu kemauan atau perbuatannya tidak efektif sama
sekali. Kedua Jabariyah moderat yang berpandangan bahwa manusia mempunyai sedikit
kemampuan untuk mewujudkan kehendak dan perbuatannya.

E. Pokok-Pokok Pemikiran Jabariyah


1. Manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Bahwa segala perbuatan manusia
merupakan paksaan dari Tuhan dan merupakan kehendak-Nya yang tidak bisa dito-
lak oleh manusia. Manusia tidak punya kehendak dan pilihan. Ajaran ini dike-
mukakan oleh Jahm bin Shofwan.
2. Surga dan neraka tidak kekal, begitu pun dengan yang lainnya, hanya Tuhan
yang kekal.
3. Iman adalah ma’rifat dalam hati dengan hanya membenarkan dalam hati.
Artinya bahwa manusia tetap dikatakan beriman meskipun ia meninggalkan fardhu
dan melakukan dosa besar. Tetap dikatakan beriman walaupun tanpa amal.
4. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah SWT Mahasuci dari segala sifat keseru-
paan dengan makhluk-Nya, maka Allah tidak dapat dilihat meskipun di akhirat ke-
lak, oleh karena itu Al-Qur’an sebagai makhluk adalah baru dan terpisah dari Allah,
tidak dapat disifatkan kepada Allah SWT.
5. Allah tidak mempunyai sifat serupa makhluk seperti berbicara, melihat, dan
mendengar.
6. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia berperan dalam
mewujudkan perbuatan itu. Teori ini dikemukakan oleh Al-Asy’ari yang disebut
teori kasab, sementara An-Najjar mengaplikasikannya dengan ide bahwa manusia
tidak lagi seperti wayang yang digerakkan, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa:
Jabariyah adalah paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara hakikat dan
menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya, manusia tidak punya andil
sama sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
Takdir adalah sesuatu yang harus kita imani, dan ini merupakan salah satu rukun dari
enam rukun iman.
Agama kita adalah agama rasional, sesuai dengan sabda Rasulullahi Saw: “Laa
diina liman laa ‘aqla lah”. Tetapi tidak semuanya yang bisa kita terima dengan akal, ada
beberapa hal yang harus kita terima dengan iman. Imam ‘Ali pernah berkata:
“Seandainya semua hal dalam agama ini bisa diakali, pastilah telapak khuf lebih utama
untuk disapu.”

12
DAFTAR PUSTAKA

AB Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam. 2008.


Banjarmasin: Antasari Press.

Ahmad Amin, Fajr Islam. 1965. Kairo: al-Nahdhah.

Ali Musthafa al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. 1958. Kairo:t.t.

Alkhendra, Pemikiran Kalam. 2000. Bandung: Alfabeta.

Al-Qur’an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq.

M. Hanafi, Theologi Islam. 1992. Jakarta:Pustaka Al-Husna.

Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari Mabahits fi Ulum
al-Qur'an. 2004. Jakarta: Litera AntarNusa.

Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal. Beirut: Dar al-Kutub
Ilmiah.

Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. 2006. Bandung: Puskata Setia, Cet ke-2.

Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Rajawali.

Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta).

http://www.sa36071.blogspot.com/2012/12/makalah-aliran-jabariyah.html

13
MAKALAH ILMU KALAM

Tentang

AJARAN DAN PERKEMBANGAN JABARIYAH

Disusun Oleh :

KELOMPOK 6

1. Mia Asvarina
2. Afzalul Rahman

Dosen Pembimbing :

Jurna Petri Roszi, MA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

YAYASAN TARBIYAH ISLAMIYAH

PADANG

2019

14

Anda mungkin juga menyukai