Anda di halaman 1dari 5

TUGAS MAKALAH

ETIKA PROFESI DAN ILMU PRILAKU

OLEH :

MASYITA AINUN NISA

P00341016028

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI

JURUSAN ANALIS KESAHATAN

2018
SITOBO LALANG LIPA

Sejarah Suku Bugis

Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Penciri utama
kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat. Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam
suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari
daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana,
Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya,
maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-
orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan
bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami
dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra
terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware
(Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam
tradisi masyarakat Bugis.

Adat Istiadat Suku Bugis

Dalam budaya suku bugis terdapat tiga hal yang bisa memberikan gambaran tentang
budaya orang bugis, yaitu konsep ade, siri na pesse dan simbolisme orang bugis adalah sarung
sutra. Ade yang dalam bahasa Indonesia adalah adat istiadat. Bagi masyarakat bugis, ada empat
jenis adat yaitu :

 Ade maraja, yang dipakai dikalangan Raja atau para pemimpin.


 Ade puraonro, yaitu adat yang dipakai sejak lama di masyarakat secara turun temurun,
 Ade assamaturukeng, peraturan yang ditentukan melalui kesepakatan.
 Ade abiasang, adat yang dipakai dari dulu sampai sekarang dan sudah diterapkan dalam
masyarakat.
Kebiasaan Suku Bugis

Tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia punya berbagai macam tradisi dan ritual yang
menjadi kekayaan budaya bangsa. Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan punya sebuah tradisi
untuk menyelesaikan masalah apabila tidak mencapai kata mufakat dalam sebuah
musyawarah. Ada sebuah tradisi yang sangat unik, yang dikenal dengan istilah Sitobo Lalang
Lipa (menyelesaikan masalah dalam sarung adat lipa).

Sitobo Lalang Lipa, merupakan tradisi yang dijalani oleh kaum lelaki suku Bugis,
Makassar saat menyelesaikan masalah. Tradisi tersebut berupa pertarungan antar lelaki,
namun dilakukan di dalam sarung. Dua orang yang bertikai akan menyelesaikan
permasalahannya dengan bertanding menggunakan badik (senjata khas masyarakat bugis)
dalam sebuah sarung sebagai batas arena pertandingannya. Sarung dalam Sitobo Lalang Lipa
memiliki arti sebagai simbol persatuan dan kebersamaan suku Bugis Makassar.

Biasanya pertarungan Sitobo Lalang Lipa akan memberikan hasil yang imbang, antara
kedua pihak meninggal atau kedua pihak sama-sama hidup. Setelah melakukan Sigajang Laleng
Lipa, kedua pihak yang bertikai tidak boleh lagi memiliki rasa dendam, dan masalah yang
menjadi bahan pertikaian dianggap sudah selesai.

Perilaku Suku Bugis

Duel dalam satu sarung itu atau dalam istilah bahasa Makassar, disebut ”sitobo lalang
lipa”, merupakan simbolik dari akar budaya bugis, yang berkaitan dengan substansi yang
bernama siri na pacce itu. Siri berkaitan dengan dimensi kehormatan martabat untuk terus
ditegakkan , kemudian pacce itu merupakan dimensi kemanusiaan. Artinya, walaupun kita
dalam keadaan mencabut badik dalam menegakkan harga diri, maka pada saat yang sama,
dimensi kemanusiaan juga harus ditegakkan

Duel dalam satu sarung bagi orang Bugis Makassar dengan saling dilengkapi dengan
benda tajam khas Bugis Makassar yang di sebut Kawali/ Badik, bukanlah sifat arogansi, kejam
atau saling menganiaya, tetapi di pahami semacam nilai empati, nilai penghargaan kepada
eksistensi rupa tau / penghargaan nilai kemanusiaan, substansi keadaan ini adalah perihal tarik
menarik antara penegakan harga diri berhadapan dengan penegakan dimensi kemanusiaan,
keharuan terhadap orang lain pun muncul.

Berada dalam satu sarung berarti kita dalam satu habitat bersama. Jadi sarung yang
mengikat kita bukanlah ikatan serupa rantai yang sifatnya menjerat, tetapi suatu ikatan
kebersamaan di antara manusia. Ini spesifik budaya Bugis-Makassar, ketika konflik tidak bisa
lagi dihindari, maka harga diri harus ditegakkan dengan cara saling meniadakan nyawa. Di saat
seperti itu konflik berdarah mengacu kepada orientasi sebuah ujian kemuliaan manusia

Karakter Suku Bugis

Menurut kepercayaan masyarakat suku Bugis, Sigajang Laleng Lipa kerap terjadi pada
masa kerajaan Bugis, saat kedua belah pihak yang berseteru sama-sama merasa benar dan
merasa harga dirinya terinjak.
Cara ini sebenarnya sangat dihindari, karena masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan
mengenal sebuah pepatah yang berbunyi, ''Ketika badik telah keluar dari sarungnya, pantang
diselip di pinggang sebelum terhujam di tubuh lawan. Filosofi ini bermakna sebuah masalah
dapat dicapai solusi terbaiknya tanpa harus menggunakan kekerasan meski melibatkan dewan
adat.
Tetapi apabila sudah menyangkut harga diri, mau tidak mau biasanya akan ditempuh
oleh pihak yang berkonflik. Karena dalam budaya suku Bugis terdapat dua hal yang digenggam
erat, yaitu konsep Ade' yang berarti adat istiadat yang harus dijunjung, Siri atau rasa malu, dan
Na Passe yang berarti rasa iba. Siri punya makna paling kuat dalam budaya masyarakat Bugis.
Hal ini terlihat dari sebuah pepatah Bugis yang berbunyi, "Siri Paranreng Nyawa Palao'', yang
berarti harga diri yang rusak hanya bisa dibayar dengan nyawa lawannya. Bagi masyarakat
Bugis, manusia yang tidak punya siri atau rasa malu bukanlah siapa-siapa, tapi seekor binatang.
Hubungan Dalam Bidang Kesehatan

Sitobo Lalang Lipa apabila dikaitkan dalam bidang kesehatan sangat bertentangan
karena dapat menyebabkan kematian sehingga sekarang untuk menyelesaikan masalah apabila
tidak mencapai kata mufakat dalam sebuah musyawarah sudah tidak menggunakan adat ini.

Anda mungkin juga menyukai