PENDAHULUAN
masyarakat sejak zaman dulu dan tetap aktual sampai sekarang. Perempuan
berada di ranah domestik dan laki-laki di sektor publik. Banyak orang menganggap
bahwa hal ini merupakan sesuatu yang alamiah, terberi, dan harus diterima begitu
psikologis bahwa perempuan itu emosional, pasif, dan submisif; sedangkan laki-
laki lebih perkasa, aktif, dan agresif. Karena itu wajarlah perempuan tinggal dalam
luar rumah untuk mencari makanan atau sumber penghidupan bagi keluarga. Jadi
memahami bahwa pembagian kerja secara seksual itu tercipta karena proses
seperti itu. Perempuan dengan model seperti pandangan nature telah dibentuk
oleh masyarakat dengan tugas seperti itu. Padahal hal ini sebenarnya, dari sisi
1
Berdasarkan dua teori di atas, nampak bahwa ada jurang yang begitu
besar di antara keduanya. Masalah yang ditimbulkan oleh teori nature adalah
secara ekonomi dan bergantung pada laki-laki. Dengan teorinya, kaum nurture
sangat tepat. Citra seorang perempuan memang dibentuk oleh masyarakat dan
bukan terberi secara alamiah. Maksudnya, banyak perempuan masa kini mulai
merasa dirugikan oleh pembagian kerja itu dan mereka juga mulai mengkaji
pada masyarakat Jawa. Hal tersebut dipengaruhi oleh sistem masyarakat Jawa
yang patrilineal, yaitu hubungan keluarga yang didasarkan pada garis ayah/laki-
laki. Perempuan yang terlahir dari keluarga Jawa pasti merasakan dididik menjadi
perempuan Jawa yang terbatasi dengan nilai-nilai patriarki. Jika dilihat dari
pengertiannya menurut bahasa Jawa, perempuan atau wanita memiliki arti wani
(berani) dan tata (diatur) atau juga bisa berarti nata (mengatur). Wanita (berani
diatur) berarti wanita tidak sepenuhnya memiliki dirinya sendiri, karena ia diatur.
Akan tetapi, pada kenyataannya justru perempuan dalam artian berani diaturlah
2
struktur kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga yang secara hierarkis
memiliki kewenangan paling tinggi dalam keluarga. Hirarki ini dilanjutkan pada
perbedaan usia dan jenis kelamin anggota keluarga, misalnya saudara laki-laki
memiliki struktur sosial lebih tinggi dibanding saudara perempuan. Relasi yang
misalnya tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan
ibu/istri.
keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab
mutlak terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang
menjadi peran mutlak ibu/istri. Ketidakadilan pembagian kerja secara seksual ini
tentu saja sangat merugikan perempuan dan tentu saja menguntungkan laki-laki.
3
BAB 2
PEMBAHASAN
peran laki-laki yang lebih dominan dibanding perempuan. Dalam budaya Jawa
tunduk dan patuh pada kekuasaan laki-laki, yang pada masa dulu terlihat dalam
terhadap perempuan.
disarankan untuk tidak memilih perempuan yang memiliki status sosial dan
ekonomi yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam perkawinan, istilah kanca wingking,
yang tetap tampak lembut dan berperan dengan baik di rumah sebagai ibu
tampil dalam sektor publik karena secara normatif perempuan tidak boleh melebihi
4
kehidupan keluarga. Dalam konteks ini, istri tidak boleh mempermalukan suami.
Istri harus selalu menghormati dan menghargai suami, menempatkan suami begitu
Dalam budaya patriarki tidak hanya keluarga saja yang berhak untuk
seakan-akan punya hak. Berbagai pandangan dan aturan mereka berikan, yang
kelas kedua (second class), baik dalam bidang politik maupun hak mengenyam
pendidikan tinggi sebagai akses untuk menaikan kualitas hidupnya. Terutama bagi
wingking yang kerjanya di dapur, sumur, dan kasur yang bisanya hanya masak
memiliki hak dan tidak memiliki kecakapan dalam hal tersebut. Jika pun
perempuan mengeluarkan pendapatnya, bisa-bisa balik dicela (kamu itu tidak tahu
apa-apa, perempuan tidak usah ikut campur). Hal itu kemungkinan masih terjadi
pada keluarga Jawa yang masih konservatif. Tidak hanya berhenti di situ jika
seorang anak susah diatur maka suami tidak jarang akan menyalahkan istri karena
dianggap tidak bisa mendidik. Padahal suami juga punya peran sebagai ayah yang
tumut(surga dan neraka ikut suami), seperti itulah hubungan antara suami dan istri
yang tergambar dalam nilai-nilai patriarki budaya Jawa. Suami bisa dianggap wakil
dari dewa, jadi apa yang dikatakan harus dituruti. Hal-hal semacam itu membuat
5
perempuan tidak diberi ruang berpendapat, hak kebebasan untuk mengatakan
Tiga ikang abener lakunya ring loka/ iwirnya/ ikang iwah/ ikang udwad/
ikang janmasri// yen katelu/ wilut gatinya// yadin pweka nang istri hana satya
(Tiga yang tidak benar jalannya di bumi yaitu sungai, tanaman melata, dan
Bahwa perempuan disamakan dengan sungai dan tanaman melata yang berbelit-
Wuwusekang wus ing ngelmi/ kaprawolu wanudyo lan priyo/ Ing kabisan
kebijaksanaannya).
juga sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Dalam konteks budaya Jawa,
perempuan sebagai istri memilki tugas dan persyaratan fisik-psikis dan sosial yang
amat berat. Perempuan dalam budaya Jawa diibaratkan sebagai bunga. Ia indah
dipandang dan selalu memancarkan bau harum mewangi. Ia adalah ratu yang
bertahta dengan agung di dalam rumah tangganya. Dalam hal ini, budaya Jawa
seringkali menerangkan tiga sifat wanita sebagai ratu rumah tangga yang baik,
6
yakni merak ati, gemati, dan luluh. Merak ati dimaknai pandai menjaga kecantikan
lahir dan batin, pandai bertutur sapa dengan santun, pandai mengatur pakaian
yang pantas, murah senyum, luwes gerak-geriknya dan lumampah anut wirama,
bertindak sesuai irama. Gemati atinya menunaikan kewajiban sebagai istri dengan
dengan naluri keibuannya yang terasah. Sedangkan luluh artinya penyabar, tidak
menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Segala keputusan
yang berkait dengan diri perempuan seakan-akan diputuskan oleh laki-laki entah
laki perempuan diberi aturan ketat, ia dibatasi dengan kata kodrat perempuan.
yang bisa masak, macak, dan manak. Ketika ketidakadilan dan ketidaksetaraan
tadi berubah menjadi pemicu kekerasan, maka dianggap sebagai kewajaran yang
biasa terjadi. Celakanya, di mata masyarakat perempuan tetap pada posisi yang
salah karena dianggap pemicu masalah, karena tidak bisa menjadi istri atau ibu
Gender pernah menjadi satu kata yang sangat populer akhir-akhir ini.
Mansour Fakih mengatakan bahwa gender adalah suatu sifat yang melekat pada
kultural. Ini jelas berbeda dengan konsep jenis kelamin yang lebih berkonsentrasi
pada anatomi biologi manusia dan memang telah ditentukan secara terberi (given).
Konsep gender ini berkaitan dengan dua hal, yaitu femininitas dan maskulinitas.
7
Perempuan selalu digambarkan dengan kedamaian, keteduhan, lemah lembut,
citra kuat, jantan, bersifat sebagai pelindung, dan rasional. Perempuan juga sering
pesolek, genit, penakut sehingga beberapa pekerjaan atau posisi penting tidak
bukanlah harga mati yang kita dapat dari lahir sebagai manusia, sehingga tidak
besar justru terbentuk melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu gender
berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas,
sementara jenis kelamin biologis (seks) akan tetap tidak berubah. Gender dalam
pengertian ilmu sosial diartikan sebagai pola relasi lelaki dan perempuan yang
kerja, pola relasi kuasa, perilaku, peralatan, bahasa, persepsi yang membedakan
cerewet, pesolek, genit, penakut sehingga beberapa pekerjaan atau posisi penting
8
tidak diberikan kepada perempuan karena takut gagal. Sementara itu,
kaum laki-laki dan terutama bagi perempuan. Hal ini dapat dilihat dari manifestasi
Kita mungkin masih ingat ketika mulai tumbuh remaja, anak perempuan
terutama dari pihak ibu. Kebetulan meskipun lahir di Pontianak dari ibu Dayak
Maanyan dan ayah Jawa, tetapi saya dibesarkan di Sragen dan Purbalingga,
Jawa. Bagi masyarakat Jawa, anak perempuan harus memahami apa arti
kesopanan, meskipun siapa yang berhak menetapkan standar arti kesopanan ini
pun juga masih rancu. Apakah orang tua pada umumnya, orang tua perempuan,
orang tua laki-laki (baca: ayah, paman, kakek, dan sebagainya), atau awalnya
yang sangat patriarkis, tentu telah kita ketahui. Bagi anak perempuan,
‘diharamkan’ untuk tertawa lebar sampai terlihat seluruh giginya, apalagi berteriak-
teriak. Pamali! Sebaliknya, ia harus duduk manis dan menuruti apa yang dikatakan
ayah ibunya. Lingkungan lebih luas, seperti keluarga besar dan tetangga pun
seolah-olah juga merasa memiliki kewajiban untuk turut serta ‘mendidik’ anak
perempuan.
9
sepenuhnya oleh konstruksi sosial dan kultural yang patriarkal. Dalam masyarakat,
mereka (perempuan) menjadi the second sex -- suatu konsep subordinasi yang
kurang berhak atas pendidikan tinggi juga masih kental dalam masyarakat Jawa,
terutama bagi anak perempuan yang kebetulan terlahir dari keluarga menengah
ke bawah. Bila dalam satu keluarga ini terdapat anak laki-laki dan anak
perempuan, maka prioritas untuk pendidikan tinggi akan diberikan kepada anak
ujungnya akan kembali ke dapur juga”. Mungkin juga Anda akrab dengan
dicitrakan sebagai kanca wingking, sama sekali tidak berhak mengurusi masalah-
Hal ini tentu saja bertentangan dengan semangat yang dibangun oleh
Caroline Mosser, bahwa persoalan perempuan adalah menyangkut tiga peran (the
triple role), yaitu domestik, publik, dan sosial. Bahwa perempuan memiliki hak
10
dalam rumah tangga (KDRT), atau yang sekarang ini telah banyak terjadi,
kekerasan dalam pacaran (KDP). Posisi yang (dianggap) tidak setara, menjadikan
kekerasan dan pelecehan yang mereka alami merupakan suatu hal yang wajar.
Celakanya, ketika kekerasan yang mereka alami mengakibatkan luka fisik dan
mengherankan jika perempuan memikul beban ganda yang begitu berat, selain
keluarganya.
Dari sudut pandang agama, masalah gender dan perempuan juga masih
memegang erat tradisi penafsiran kitab suci dan ajaran agama yang didominasi
oleh semangat patriarkis. Mereka menafsirkan perintah Tuhan dan nabi hanya
Kristen, dan Islam, hanya didominasi oleh kalangan agamawan laki-laki. Sehingga
mendiskriminasikan perempuan..
tidak adil terhadap kaum perempuan. Mereka yang bekerja di luar rumah
mendapatkan gaji dan bekerja di sektor rumah tangga tidak mendapatkan gaji.
dikaitkan dengan sistem pasar, sedangkan sektor rumah tangga merupakan sektor
pribadi yang tidak dicampuri oleh sistem pasar. Dalam sistem masyarakat
11
kapitalis, segala sesuatu dinilai menurut nilai tukarnya di pasar, berdasarkan
apapun.
masa kaum perempuan pernah lebih “berkuasa” dibandingkan dengan kaum laki-
laki. Arief Budiman mengutip pendapat Ernestine Friedl, seorang ahli anthropologi
sebagai berikut: “di dalam masyarakat primitif, perempuan lebih penting daripada
kelompok itu karena matinya anggota kelompok ini satu-satu. Karena itu, jumlah
bayi baru.”
kelompok, maka kaum perempuan dianggap relatif lebih penting daripada kaum
pekerjaan berbahaya, dan karena itu harus tinggal di rumah. Inilah pembagian
bekerja di luar rumah, dan kaum perempuan bekerja di dalam rumah tanggal yang
relatif aman.
faktor kekuasaan kaum yang satu terhadap kaum yang lain. Seperti dikatakan oleh
Guettel, “pada waktu itu pembagian kerja secara seksual merupakan sesuatu yang
12
tidak bersifat eksploatatif, dalam pengertian bahwa tidak ada pihak yang
revolusi industri memisahkan secara tegas antara rumah sebagai tempat tinggal,
Toffler terbukti benar bahwa kehadiran teknologi telah memungkinkan sistem kerja
kerja.
Saat ini kita memang sudah hidup di era yang disebut oleh Bill Gates
sebagai web lifestyle (gaya hidup internet) dan web workstyle (gaya kerja internet).
gender (gender mainstream, karena itu menjadi tuntutan yang mendesak untuk
dilakukan. Seluruh masyarakat harus dididik untuk lebih peka gender, untuk
kemudian mengubah sikap dan pemikiran mereka yang masih berlatar patriarkis.
13
Suatu hal yang membanggakan ketika sekarang ini banyak bermunculan gerakan,
banyak yang berangkat dari kalangan agamawan, akademisi, dan para aktivis
14
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
dominasi laki-laki atas perempuan. Ideologi patriarki tumbuh subur dalam lembaga
keluarga yang menganut sistem patrilineal, di mana laki-laki menjadi tokoh penting
dan dominan dalam keluarga pada berbagai bidang, baik kekuasaan maupun
Dalam kehidupan rumah tangga, sejak dulu kala, perempuan Jawa lebih banyak
ruang publik. Misalnya laki-laki bertanggung jawab pada masalah keamanan dan
Sejak kecilpun anak laki-laki dan perempuan sudah diajarkan untuk bekerja dan
publik) yang dialami oleh ibu dan ayah mereka. Kehidupan komunal orang Jawa
sampai saat ini masih didominasi oleh kaum lski-laki. Dominasi patriarki demikian
memang dibentuk oleh nilai-nilai budaya dan pengalaman masa lalu yang
bahkan hingga sekarang ini, budaya patriarki, secara umum dianggap sebagai
“budaya” yang tidak bisa diubah. Bahkan hal itu dianggap sebagai bagian dari
15
3.2 Saran
Sudah saatnya disusun suatu acuan normatif yang dapat menjadi panduan
perempuan di Jawa Tengah dapat segera beralih dari cara-cara yang responsif,
16
DAFTAR PUSTAKA
and Unwin
Larasan.
Pustaka Pelajar
Kumar, Ann. 2008. Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik
Pustaka Utama.
Jakarta: PT Rajawali.
17