Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembagian kerja secara seksual merupakan suatu gejala sosiologis dalam

masyarakat sejak zaman dulu dan tetap aktual sampai sekarang. Perempuan

berada di ranah domestik dan laki-laki di sektor publik. Banyak orang menganggap

bahwa hal ini merupakan sesuatu yang alamiah, terberi, dan harus diterima begitu

saja tanpa ada komentar apapun.

Teori nature beranggapan bahwa pembagian kerja secara seksual yang

memosisikan perempuan di ranah domestik dan laki-laki di sektor publik

disebabkan oleh faktor-faktor biologis. Faktor-faktor itu adalah anggapan secara

psikologis bahwa perempuan itu emosional, pasif, dan submisif; sedangkan laki-

laki lebih perkasa, aktif, dan agresif. Karena itu wajarlah perempuan tinggal dalam

rumah, membesarkan anak-anak, memasak, dan memberi perhatian kepada

suaminya. Sedangkan laki-laki, sesuai dengan struktur biologisnya itu, pergi ke

luar rumah untuk mencari makanan atau sumber penghidupan bagi keluarga. Jadi

teori nature mengesahkan pandangan bahwa daerah perempuan adalah domestik

dan wilayah laki-laki adalah publik.

Sedangkan teori nurture justru menolak pandangan kaum nature, dengan

memahami bahwa pembagian kerja secara seksual itu tercipta karena proses

belajar dan lingkungan. Artinya, perempuan menempati ranah domestik karena

diciptakan oleh keluarga dan masyarakat yang mengesahkan pembagian kerja

seperti itu. Perempuan dengan model seperti pandangan nature telah dibentuk

oleh masyarakat dengan tugas seperti itu. Padahal hal ini sebenarnya, dari sisi

politik, merupakan tindakan yang direncanakan oleh sistem patriakhal untuk

mengunggulkan laki-laki menguasai perempuan.

1
Berdasarkan dua teori di atas, nampak bahwa ada jurang yang begitu

besar di antara keduanya. Masalah yang ditimbulkan oleh teori nature adalah

subodinasi perempuan yang dikurung dalam rumah dan ketidakmandirian

perempuan. Jika perempuan hanya terkurung di rumah, maka ia tidak mampu

secara ekonomi dan bergantung pada laki-laki. Dengan teorinya, kaum nurture

merupakan pendobrakan patriarki yang justru dilegalkan oleh teori nature.

Dalam perkembangan sosiologi, ternyata dalil teori nurture bahwa

pembagian kerja secara seksual disebabkan faktor pembiasaan dari lingkungan

sangat tepat. Citra seorang perempuan memang dibentuk oleh masyarakat dan

bukan terberi secara alamiah. Maksudnya, banyak perempuan masa kini mulai

merasa dirugikan oleh pembagian kerja itu dan mereka juga mulai mengkaji

kembali “kodrat” perempuan sebagaimana yang diberikan oleh teori nature.

Di Indonesia yang paling tampak dengan budaya patriarki kental adalah

pada masyarakat Jawa. Hal tersebut dipengaruhi oleh sistem masyarakat Jawa

yang patrilineal, yaitu hubungan keluarga yang didasarkan pada garis ayah/laki-

laki. Perempuan yang terlahir dari keluarga Jawa pasti merasakan dididik menjadi

perempuan Jawa yang terbatasi dengan nilai-nilai patriarki. Jika dilihat dari

pengertiannya menurut bahasa Jawa, perempuan atau wanita memiliki arti wani

(berani) dan tata (diatur) atau juga bisa berarti nata (mengatur). Wanita (berani

diatur) berarti wanita tidak sepenuhnya memiliki dirinya sendiri, karena ia diatur.

Dalam pengertian wanita (berani mengatur), mengindikasi bahwa wanita harus

mendapatkan pendidikan yang tinggi agar bisa menjalankan perannya tersebut.

Akan tetapi, pada kenyataannya justru perempuan dalam artian berani diaturlah

yang saat ini banyak terjadi.

Masyarakat Jawa secara tradisi memang menganut konsep sosial budaya

gender yang patriarkis. Implikasi secara umum adalah perempuan menjadi

subordinat pria. Peran masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh

2
struktur kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga yang secara hierarkis

memiliki kewenangan paling tinggi dalam keluarga. Hirarki ini dilanjutkan pada

perbedaan usia dan jenis kelamin anggota keluarga, misalnya saudara laki-laki

memiliki struktur sosial lebih tinggi dibanding saudara perempuan. Relasi yang

terbangun seringkali menempatkan seolah-olah laki-laki memiliki

kemampuan/kekuasaan/ kekuatan lebih besar dibanding anggota keluarga

perempuan. Banyak stereotip bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat,

misalnya tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan

ayah/suami, sementara tanggung jawab domestik merupakan tanggung jawab

ibu/istri.

Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan dalam

keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab

mutlak terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang

dibebankan kepada suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain

seperti pengasuhan dan pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya

menjadi peran mutlak ibu/istri. Ketidakadilan pembagian kerja secara seksual ini

tentu saja sangat merugikan perempuan dan tentu saja menguntungkan laki-laki.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana relasi gender dalam budaya masyarakat jawa?

2. Bagaimana pembagian secara seksual dalam masyarakat jawa?

1.3 Tujuan Penulisan

1 Untuk mengetahui relasi gender dalam budaya masyarakat jawa.

2. Untuk mengetahui pembagian secara seksual dalam masyarakat jawa

3
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Relasi Gender dalam Budaya Jawa

Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki pembatasan-

pembatasan tertentu dalam relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan

peran laki-laki yang lebih dominan dibanding perempuan. Dalam budaya Jawa

yang cenderung patriarkis, laki-laki memiliki kedudukan yang istimewa.

Perempuan Jawa diharapkan dapat menjadi seorang pribadi yang selalu

tunduk dan patuh pada kekuasaan laki-laki, yang pada masa dulu terlihat dalam

sistem kekuasaan kerajaan Jawa (keraton). Perempuan Jawa lebih banyak

menjadi sasaran ideologi gender yang hegemonik yang menimbulkan subordinasi

terhadap perempuan.

Mulai dari awal pemilihan pasangan hidup, laki-laki Jawa biasanya

disarankan untuk tidak memilih perempuan yang memiliki status sosial dan

ekonomi yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam perkawinan, istilah kanca wingking,

yakni bahwa perempuan adalah teman di dapur akan mewarnai kehidupan

perkawinan pasutri Jawa.

Selain itu bagi masyarakat Jawa, perempuan sejati adalah perempuan

yang tetap tampak lembut dan berperan dengan baik di rumah sebagai ibu

maupun istri, di dapur maupun di tempat tidur. Masyarakat Jawa berharap

perempuannya bersikap dan berperilaku halus, rela menderita, dan setia. Ia

diharapkan dapat menerima segala sesuatu bahkan yang terpahit sekalipun.

Berkaitan dengan prinsip hormat, sedapat mungkin perempuan Jawa tidak

tampil dalam sektor publik karena secara normatif perempuan tidak boleh melebihi

suami. Kalaupun kemungkinan untuk tampil tersedia, perempuan Jawa

diharapkan tidak menggunakan kesempatan itu jika dapat mengganggu harmoni

4
kehidupan keluarga. Dalam konteks ini, istri tidak boleh mempermalukan suami.

Istri harus selalu menghormati dan menghargai suami, menempatkan suami begitu

tinggi, dan memenuhi segala kebutuhan suami.

Dalam budaya patriarki tidak hanya keluarga saja yang berhak untuk

mendidik perempuan, tetapi juga lingkungan, keluarga besar, tetangga pun

seakan-akan punya hak. Berbagai pandangan dan aturan mereka berikan, yang

seakan justru mengerdilkan perempuan, karena kontruksi sosial dan budaya

patriarki. Dampaknya perempuan tersubordinasi dianggap anggota masyarakat

kelas kedua (second class), baik dalam bidang politik maupun hak mengenyam

pendidikan tinggi sebagai akses untuk menaikan kualitas hidupnya. Terutama bagi

perempuan yang terlahir dari keluarga menengah ke bawah.

Perempuan dianggap tidak penting sekolah tinggi-tinggi, karena ujung-

ujungnya mengurus dapur dan rumah tangga. Perempuan dianggap kanca

wingking yang kerjanya di dapur, sumur, dan kasur yang bisanya hanya masak

(memasak), macak (dandan), manak (melahirkan). Mereka juga jarang diikutkan

dalam membuat keputusan besar dalam keluarganya, karena dianggap tidak

memiliki hak dan tidak memiliki kecakapan dalam hal tersebut. Jika pun

perempuan mengeluarkan pendapatnya, bisa-bisa balik dicela (kamu itu tidak tahu

apa-apa, perempuan tidak usah ikut campur). Hal itu kemungkinan masih terjadi

pada keluarga Jawa yang masih konservatif. Tidak hanya berhenti di situ jika

seorang anak susah diatur maka suami tidak jarang akan menyalahkan istri karena

dianggap tidak bisa mendidik. Padahal suami juga punya peran sebagai ayah yang

tugasnya juga mendidik anak, tidak hanya mencari nafkah.

Kita tentu pernah mendengar ungkapan Jawa swarga manut, neraka

tumut(surga dan neraka ikut suami), seperti itulah hubungan antara suami dan istri

yang tergambar dalam nilai-nilai patriarki budaya Jawa. Suami bisa dianggap wakil

dari dewa, jadi apa yang dikatakan harus dituruti. Hal-hal semacam itu membuat

5
perempuan tidak diberi ruang berpendapat, hak kebebasan untuk mengatakan

pilihanya. Ia hanya bisa terkukung oleh budaya yang terkadang berlawanan

dengan hati nuraninya.

Dalam Kitab Clokantara disebutkan:

Tiga ikang abener lakunya ring loka/ iwirnya/ ikang iwah/ ikang udwad/

ikang janmasri// yen katelu/ wilut gatinya// yadin pweka nang istri hana satya

budhinya/ dadi ikang tunjung tumuwuh ring cila//

(Tiga yang tidak benar jalannya di bumi yaitu sungai, tanaman melata, dan

perempuan. Ketiganya berjalan berbelit-belit. Jika ada perempuan yang lurus

budinya, akan ada bunga tunjung tumbuh di batu).

Tampak bagaimana perempuan Jawa dicitrakan dalam kalimat tersebut.

Bahwa perempuan disamakan dengan sungai dan tanaman melata yang berbelit-

belit. Dan adalah ketidakmungkinan perempuan untuk bisa mempunyai pendirian.

Karena tidak akan ada bunga tunjung yang tumbuh di batu.

Sedangan dalam Serat Paniti Sastra disebutkan:

Wuwusekang wus ing ngelmi/ kaprawolu wanudyo lan priyo/ Ing kabisan

myang kuwate/ tuwin wiwekanipun/.

(Kata mereka yang telah selesai menuntut ilmu, perempuan hanya

seperdelapan dibanding pria dalam hal kepandaian dan kekuatan serta

kebijaksanaannya).

Pada kenyataannya, perempuan Jawa selain sebagai individu (manusia),

juga sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Dalam konteks budaya Jawa,

perempuan sebagai istri memilki tugas dan persyaratan fisik-psikis dan sosial yang

amat berat. Perempuan dalam budaya Jawa diibaratkan sebagai bunga. Ia indah

dipandang dan selalu memancarkan bau harum mewangi. Ia adalah ratu yang

bertahta dengan agung di dalam rumah tangganya. Dalam hal ini, budaya Jawa

seringkali menerangkan tiga sifat wanita sebagai ratu rumah tangga yang baik,

6
yakni merak ati, gemati, dan luluh. Merak ati dimaknai pandai menjaga kecantikan

lahir dan batin, pandai bertutur sapa dengan santun, pandai mengatur pakaian

yang pantas, murah senyum, luwes gerak-geriknya dan lumampah anut wirama,

bertindak sesuai irama. Gemati atinya menunaikan kewajiban sebagai istri dengan

sebaik-baiknya. Sebagai istri seorang perempuan harus bertugas sebagai perawat

rumah tangga dan mengatur keuangan sebaik-baiknya. Ia bertugas mendidik anak

dengan naluri keibuannya yang terasah. Sedangkan luluh artinya penyabar, tidak

keras kepala, menerima segala masalah dengan hati lapang.

Banyak dasar-dasar nilai patriarki dalam masyarakat Jawa yang

menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Segala keputusan

yang berkait dengan diri perempuan seakan-akan diputuskan oleh laki-laki entah

ayahnya, pamannya, suaminya, ataupun saudara laki-lakinya. Dibandingkan laki-

laki perempuan diberi aturan ketat, ia dibatasi dengan kata kodrat perempuan.

Kodrat perempuan harus beginilah-begitulah. Perempuan yang ideal itu adalah

yang bisa masak, macak, dan manak. Ketika ketidakadilan dan ketidaksetaraan

tadi berubah menjadi pemicu kekerasan, maka dianggap sebagai kewajaran yang

biasa terjadi. Celakanya, di mata masyarakat perempuan tetap pada posisi yang

salah karena dianggap pemicu masalah, karena tidak bisa menjadi istri atau ibu

yang baik sehingga suaminya melakukan kekerasan.

2.2 Ketidakadilan Pembagian Kerja Secara Seksual

Gender pernah menjadi satu kata yang sangat populer akhir-akhir ini.

Mansour Fakih mengatakan bahwa gender adalah suatu sifat yang melekat pada

kaum perempuan dan laki-laki, yang dikonstruksikan secara sosial maupun

kultural. Ini jelas berbeda dengan konsep jenis kelamin yang lebih berkonsentrasi

pada anatomi biologi manusia dan memang telah ditentukan secara terberi (given).

Konsep gender ini berkaitan dengan dua hal, yaitu femininitas dan maskulinitas.

7
Perempuan selalu digambarkan dengan kedamaian, keteduhan, lemah lembut,

emosional, dan lebih mengandalkan insting. Sedangkan laki-laki dikaitkan dengan

citra kuat, jantan, bersifat sebagai pelindung, dan rasional. Perempuan juga sering

mendapatkan stigma-stigma atau label-label yang merugikan kaum perempuan

dari masyarakat, misalnya: emosional, tukang ngrumpi, tidak rasional, cerewet,

pesolek, genit, penakut sehingga beberapa pekerjaan atau posisi penting tidak

diberikan kepada perempuan karena takut gagal.

Konsep gender ini merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya. Ia

bukanlah harga mati yang kita dapat dari lahir sebagai manusia, sehingga tidak

menutup kemungkinan laki-laki dan perempuan saling bertukar peran gender.

Terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal di antaranya

dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau

kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang,

sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap seolah-olah ketentuan Tuhan.

Sebaliknya melalui dialektika konstruksi sosial gender secara evolusional dan

perlahan-lahan memengaruhi biologis masing-masing.

Perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain biologis, sebagian

besar justru terbentuk melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu gender

berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas,

sementara jenis kelamin biologis (seks) akan tetap tidak berubah. Gender dalam

pengertian ilmu sosial diartikan sebagai pola relasi lelaki dan perempuan yang

didasarkan pada ciri sosial masing-masing. Tercakup di dalamnya pembagian

kerja, pola relasi kuasa, perilaku, peralatan, bahasa, persepsi yang membedakan

lelaki dengan perempuan dan banyak lagi. permasalahannya). Perempuan juga

sering mendapatkan stigma-stigma atau label-label yang merugikan kaum

perempuan dari masyarakat, misalnya : emosional, tukang ngrumpi, tidak rasional,

cerewet, pesolek, genit, penakut sehingga beberapa pekerjaan atau posisi penting

8
tidak diberikan kepada perempuan karena takut gagal. Sementara itu,

sesungguhnya keadaan seperti di atas biasanya terjadi sebagai akibat dari

ketidakadilan yang ditanggung oleh perempuan.

Perbedaan gender melahirkan ketidakadilan (gender inequalities) baik bagi

kaum laki-laki dan terutama bagi perempuan. Hal ini dapat dilihat dari manifestasi

ketidakadilan yang ada. Mansour Fakih membagi manifestasi ketimpangan gender

dalam marginalisasi atau pemiskinan perempuan, subordinasi, stereotip,

kekerasan, beban ganda dan sosialisasi ideologi nilai peran gender.

Kita mungkin masih ingat ketika mulai tumbuh remaja, anak perempuan

selalu ‘dicekoki’ dengan berbagai macam nilai-nilai dan norma kesopanan,

terutama dari pihak ibu. Kebetulan meskipun lahir di Pontianak dari ibu Dayak

Maanyan dan ayah Jawa, tetapi saya dibesarkan di Sragen dan Purbalingga,

sehingga mengenal konsep unggah-ungguh (sopan santun) dalam masyarakat

Jawa. Bagi masyarakat Jawa, anak perempuan harus memahami apa arti

kesopanan, meskipun siapa yang berhak menetapkan standar arti kesopanan ini

pun juga masih rancu. Apakah orang tua pada umumnya, orang tua perempuan,

orang tua laki-laki (baca: ayah, paman, kakek, dan sebagainya), atau awalnya

hanya didorong oleh orang tua laki-laki saja.

Bahwa masyarakat Jawa merupakan masyarakat dengan adat dan budaya

yang sangat patriarkis, tentu telah kita ketahui. Bagi anak perempuan,

‘diharamkan’ untuk tertawa lebar sampai terlihat seluruh giginya, apalagi berteriak-

teriak. Pamali! Sebaliknya, ia harus duduk manis dan menuruti apa yang dikatakan

ayah ibunya. Lingkungan lebih luas, seperti keluarga besar dan tetangga pun

seolah-olah juga merasa memiliki kewajiban untuk turut serta ‘mendidik’ anak

perempuan.

Budaya patriarki inilah yang berperan besar untuk terus menyudutkan

perempuan dengan peran gendernya, di mana tampaknya sudah ditentukan

9
sepenuhnya oleh konstruksi sosial dan kultural yang patriarkal. Dalam masyarakat,

mereka (perempuan) menjadi the second sex -- suatu konsep subordinasi yang

terus-menerus dibangun oleh masyarakat patriarki. Padahal Tuhan sendiri tidak

pernah menjadikan perempuan sebagai makhluknya sebagai kelas kedua dan

kehadirannya pun bukan semata-mata sebagai pelengkap laki-laki. Akibatnya,

perempuan kurang memiliki akses untuk peningkatan kualitas hidupnya, seperti

akses untuk pendidikan, ekonomi, sosial, politik, dan bidang-bidang lainnya.

Harus diakui, hingga sekarang ini, anggapan bahwa anak perempuan

kurang berhak atas pendidikan tinggi juga masih kental dalam masyarakat Jawa,

terutama bagi anak perempuan yang kebetulan terlahir dari keluarga menengah

ke bawah. Bila dalam satu keluarga ini terdapat anak laki-laki dan anak

perempuan, maka prioritas untuk pendidikan tinggi akan diberikan kepada anak

laki-laki, sedangkan untuk perempuan, pendidikan tinggi merupakan sesuatu yang

kondisional, melihat dulu bagaimana kondisi kemampuan keluarga. Mereka

mengatakan, “Anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-

ujungnya akan kembali ke dapur juga”. Mungkin juga Anda akrab dengan

ungkapan-ungkapan misoginis tradisional Jawa, seperti dapur, sumur, kasur, serta

macak (berdandan), manak (melahirkan), dan masak. Kaum perempuan masih

dicitrakan sebagai kanca wingking, sama sekali tidak berhak mengurusi masalah-

masalah publik, yang (katanya) hanya wilayah laki-laki.

Hal ini tentu saja bertentangan dengan semangat yang dibangun oleh

Caroline Mosser, bahwa persoalan perempuan adalah menyangkut tiga peran (the

triple role), yaitu domestik, publik, dan sosial. Bahwa perempuan memiliki hak

untuk berperan di ketiga wilayah tersebut.

Perbedaan gender dan konsep patriarki sering membawa perempuan ke

arah konflik dengan laki-laki, konflik yang semata-mata menempatkan perempuan

ke dalam posisi sebagai korban (victim). Misalnya dalam masalah kekerasan

10
dalam rumah tangga (KDRT), atau yang sekarang ini telah banyak terjadi,

kekerasan dalam pacaran (KDP). Posisi yang (dianggap) tidak setara, menjadikan

perempuan tidak memahami akan hak-haknya dan menganggap bahwa

kekerasan dan pelecehan yang mereka alami merupakan suatu hal yang wajar.

Celakanya, ketika kekerasan yang mereka alami mengakibatkan luka fisik dan

psikologis yang serius, perempuan cenderung masih memilih untuk bungkam.

Bagi mereka, mengungkapkan peristiwa kekerasan dan pelecehan merupakan

sesuatu yang memalukan dirinya dan (terutama) keluarganya. Tidak

mengherankan jika perempuan memikul beban ganda yang begitu berat, selain

harus memikul kehormatan dirinya, ia juga harus menanggung kehormatan

keluarganya.

Dari sudut pandang agama, masalah gender dan perempuan juga masih

menjadi problematika yang masih dipertentangkan. Kelompok konservatif masih

memegang erat tradisi penafsiran kitab suci dan ajaran agama yang didominasi

oleh semangat patriarkis. Mereka menafsirkan perintah Tuhan dan nabi hanya

dengan pendekatan teologis, bukan pendekatan sosiologis. Tak dapat disangkal

bahwa pada mulanya, penafsiran ajaran-ajaran agama Ibrahimik, yaitu Yahudi,

Kristen, dan Islam, hanya didominasi oleh kalangan agamawan laki-laki. Sehingga

hasil penafsiran mereka sangat kental dengan nafas patriarki dan

mendiskriminasikan perempuan..

Sistem masyarakat kapitalis sesungguhnya berperan terhadap perlakuan

tidak adil terhadap kaum perempuan. Mereka yang bekerja di luar rumah

mendapatkan gaji dan bekerja di sektor rumah tangga tidak mendapatkan gaji.

Pendapat dari Eli Zaretsky, sebagaimana dikutip oleh Arief Budiman,

menunjukkan bahwa “dalam sistem masyarakat kapitalis, sektor masyarakat

dikaitkan dengan sistem pasar, sedangkan sektor rumah tangga merupakan sektor

pribadi yang tidak dicampuri oleh sistem pasar. Dalam sistem masyarakat

11
kapitalis, segala sesuatu dinilai menurut nilai tukarnya di pasar, berdasarkan

permintaan dan penawaran.” Dalam sistem masyarakat kapitalis, manusia juga

diperlakukan sebagai komoditas, begitu juga perlakuan terhadap kaum

perempuan yang berada di sektor domestik, tidak mendapatkan penghargaan

apapun.

Sejarah pembagian kerja secara seksual menunjukkan bahwa pada suatu

masa kaum perempuan pernah lebih “berkuasa” dibandingkan dengan kaum laki-

laki. Arief Budiman mengutip pendapat Ernestine Friedl, seorang ahli anthropologi

sebagai berikut: “di dalam masyarakat primitif, perempuan lebih penting daripada

laki-laki. Pada masyarakat primitif, ketika manusia hidup masih mengembara

dalam kelompok-kelompok kecil, bahaya yang paling besar adalah musnahnya

kelompok itu karena matinya anggota kelompok ini satu-satu. Karena itu, jumlah

anggota kelompok harus sedapat-dapatnya diperbesar, dengan melahirkan bayi-

bayi baru.”

Karena kebutuhan untuk mempertahankan kesinambungan kehidupan

kelompok, maka kaum perempuan dianggap relatif lebih penting daripada kaum

laki-laki. Karena tugasnya untuk melahirkan, kaum perempuan mendapatkan

perlindungan dan dibebaskan dari kewajiban-kewajiban untuk melakukan

pekerjaan berbahaya, dan karena itu harus tinggal di rumah. Inilah pembagian

kerja berdasarkan seksual yang pertama-tama, di mana kaum laki-laki harus

bekerja di luar rumah, dan kaum perempuan bekerja di dalam rumah tanggal yang

relatif aman.

Sejatinya, sejarah juga mencatat bahwa pembagian kerja seksual lebih

disebabkan oleh kebutuhan keluarga dan masyarakat, bukan disebabkan oleh

faktor kekuasaan kaum yang satu terhadap kaum yang lain. Seperti dikatakan oleh

Guettel, “pada waktu itu pembagian kerja secara seksual merupakan sesuatu yang

12
tidak bersifat eksploatatif, dalam pengertian bahwa tidak ada pihak yang

diuntungkan karena adanya pembagian kerja seperti itu.”

Pembagian kerja secara seksual menjadi bersifat eksploitatif terjadi sejak

sistem masyarakat kapitalis. Dalam sistem masyarakat kapitalis, mereka yang

menguasai faktor-faktor produksi memiliki kekuasaan dan karena itu kedudukan

sosial dalam masyarakat menjadi kuat. Sistem masyarakat kapitalis menemukan

peak performance dengan kehadiran revolusi industri. Dalam konteks pekerjaan,

revolusi industri memisahkan secara tegas antara rumah sebagai tempat tinggal,

sementara kantor dan pabrik adalah tempat kerja yang sesungguhnya.

John Naisbitt dan Patricia Aburdene maupun Alvin Toffler pernah

meramalkan bahwa dalam masyarakat informasi dan pengetahuan, kaum

perempuan akan sangat diuntungkan dengan kehadiran teknologi. “Ramalan”

Toffler terbukti benar bahwa kehadiran teknologi telah memungkinkan sistem kerja

baru telecommuting yang “mengembalikan” bersatunya tempat tinggal dan tempat

kerja.

Saat ini kita memang sudah hidup di era yang disebut oleh Bill Gates

sebagai web lifestyle (gaya hidup internet) dan web workstyle (gaya kerja internet).

Teknologi informasi dan komunikasi mendukung siapa saja (termasuk kaum

perempuan) untuk bekerja di rumah. Meskipun demikian, karena sistem

masyarakat kapitalis masih dominan, perubahan persepsi tentang pembagian

kerja secara seksual seolah-olah berjalan di tempat. Padahal pembagian kerja

secara seksual dalam masyarakat Jawa yang sangat merugikan perempuan

memang harus diubah menjadi lebih adil.

Pemikiran yang membebaskan, terutama dengan konsep pengarusutamaan

gender (gender mainstream, karena itu menjadi tuntutan yang mendesak untuk

dilakukan. Seluruh masyarakat harus dididik untuk lebih peka gender, untuk

kemudian mengubah sikap dan pemikiran mereka yang masih berlatar patriarkis.

13
Suatu hal yang membanggakan ketika sekarang ini banyak bermunculan gerakan,

organisasi, yang concern terhadap permasalahan kaum perempuan. Mereka

banyak yang berangkat dari kalangan agamawan, akademisi, dan para aktivis

mahasiswa, yang kemudian dengan lantang meneriakkan “kesetaraan gender

(gender equality)”, dengan cara mereka masing-masing.

14
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pembagian kerja secara seksual dalam masyarakat Jawa, di mana

perempuan di wilayah domestik dan laki-laki di ranah publik semakin memperkuat

dominasi laki-laki atas perempuan. Ideologi patriarki tumbuh subur dalam lembaga

keluarga yang menganut sistem patrilineal, di mana laki-laki menjadi tokoh penting

dan dominan dalam keluarga pada berbagai bidang, baik kekuasaan maupun

dalam aksesnya terhadap aset-aset ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan.

Akibatnya kehidupan perempuan menjadi sangat tergantung kepada laki-

laki. Dalam keluarga patrilineal-patriarkis, laki-laki juga mengontrol daya kerja

perempuan secara formal dan informal.

Dalam kehidupan rumah tangga, sejak dulu kala, perempuan Jawa lebih banyak

mengerjakan pekerjaan pada ruang domestik, sedangkan laki-laki mendominasi

ruang publik. Misalnya laki-laki bertanggung jawab pada masalah keamanan dan

keselamatan keluarga, mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, keamanan,

politik, dan kegiatan sosial kemasyarakatan.

Sejak kecilpun anak laki-laki dan perempuan sudah diajarkan untuk bekerja dan

mengerjakan pekerjaan sesuai jenis kelaminnya dan sesuai ruang(domestik dan

publik) yang dialami oleh ibu dan ayah mereka. Kehidupan komunal orang Jawa

sampai saat ini masih didominasi oleh kaum lski-laki. Dominasi patriarki demikian

memang dibentuk oleh nilai-nilai budaya dan pengalaman masa lalu yang

kemudian tersosialiasi dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Akibatnya,

bahkan hingga sekarang ini, budaya patriarki, secara umum dianggap sebagai

“budaya” yang tidak bisa diubah. Bahkan hal itu dianggap sebagai bagian dari

“kodrat” kaum perempuan.

15
3.2 Saran

Komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk memberikan prioritas

tinggi pada kesejahteraan dan perlindungan perempuan adalah keputusan bernilai

strategis dan investasi jangka panjang terpenting untuk pencapaian dan

kelanggengan kondisi sebagaimana digambarkan dari visi tersebut. Tentu saja

yang dibutuhkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah selanjutnya adalah

menerjemahkan komitmen tersebut menjadi suatu sistem penyelenggaraan

perlindungan dan pemberdayaan perempuan melalui upaya yang terencana,

sistematis, dan terukur.

Sudah saatnya disusun suatu acuan normatif yang dapat menjadi panduan

dalam mengintegrasikan seluruh sumber daya pemerintah daerah dan

masyarakat, sehingga penyelenggaraan perlindungan dan pemberdayaan

perempuan di Jawa Tengah dapat segera beralih dari cara-cara yang responsif,

sporadis, diskontinyu, dan fragmental menjadi lebih sistemik.

16
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arief. 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: PT Gramedia.

Boserup, E. Women's Role in Economic Development. London: George Allen

and Unwin

Creese, Helen. 2012. Perempuan Dalam Dunia Kakawin. Denpasar: Pustaka

Larasan.

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Kumar, Ann. 2008. Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik

Jawa Akhir Abad ke-18. Jakarta: Komunitas Bambu.

Magnis-Suseno, Frans. 1984. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia.

Mangunwijaya, Y.B. 2008. Rara Mendut: Sebuah Trilogi. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Sayogyo, P. P. 1980. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa.

Jakarta: PT Rajawali.

17

Anda mungkin juga menyukai