Anda di halaman 1dari 11

Panghulu -492 - Andiko - Sa-andiko: Penghulu -514

Kata pangulu (bahasa Indonesia : penghulu) menurut adat Minangkabau


berasal dari 'pengenggam hulu" atau "pangkal hulu". Penggenggam mengandung
arti seorang pemimpin. Jadi, menurut adat Minangkabau, yang disebut penghulu
ialah orang yang berbicara dan berbudi halus. Hal ini dijelaskan oleh pepatah adat
yang mengatakan, Elok nagari dek pangulu, elok kampuang dek nan tuo.

Pangulu itu menjadi penggenggam hulu anak kemenakan, penggenggam hulu


dan pangkal hulu korong, kampung dan nagari. Artinya ia seorang pemimpin dan
pelindung bagi anak kemenakan, korong kampung dan nagarinya. Ini pun sesuai
dengan asal kata pangulu dari bahasa Malayu Kuno, pang = kepala dan hulun =
rakyat.

Tolok ukur keberhasilan sebagai pemimpin bagi seorang pangulu dalam


melaksanakan tugasnya dan kewajibannya terhadap anak kemenakan, korong
kampung dan nagari disebut cupak. Cupak bagi seorang penghulu ialah
berkumain undang-undang. Maksudnya ia harus memakai dan mempergunakan
undang-undang untuk kebahagiaan anak kemenakan, korong kampung dan nagari,
lahir dan batin. Untuk itu kedudukan penghulu itu diperlukan sifat bicara yang
halus dan budi yang dalam.

Seorang penghulu harus dapat membedakan antara ucapan dengan


pembicaraan. Suara yang dikeluarkan si berunding terdiri dari huruf tersusun
menjadi kalimat. Suara itu ialah ucapannya. Sesuatu pembicaraan disampaikan
dengan suara sebagai bunyi yang ditangkap oleh alat pendengar ketika berunding.
Tetapi "bicara" tidak dapat ditangkap semata-mata dengan telinga sebagai alat
pendengaran saja, tetapi bicara itu ditangkap dengan jalan memahaminya.'Bicara"
ialah hasil olahan akal dengan budi. Ucapan siperunding harus dipahami maksud
yang terkandung di dalamnya. Inti sari dari kata-kata yang disampaikan kepada si
pendengar itulah yang dikatakan bicara. Bicara yang halus merupakan inti dari
suatu sari pembicaraan, yaitu hasil penemuan akal dengan budi halus, sehingga
menjadi bagian sifat terpuji, tidak tercela.
Budi ialah gerak hati yang ditimbulkan oleh cita-cita, mengalir untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Sedangkan yang dimaksud dengan budi yang
dalam ialah gerak hati yang telah merangkak dan langsung mencapai tujuan
yang diharapkan yang berpantang kandas, sehingga cita-cita itu tercapai dan
terlaksana dengan sebaik-baiknya. Karenanya seorang penghulu itu seharusnya
memahami sifat yang terkandung dalam budi yang dalam.

Kemudian ada satu hal lagi yang harus dipunyai penghulu itu ialah akal, ialah
cahaya yang ditanamkan Alah di dalam hati manusia, kemudian bersinar ke otak,
sehingga dapat membedakan yang mudah dan sulit. Sifat akal itu menjalar
bagaikan air, mengalir ke bagian yang rendah. Itulah sifat dan gerak akal. Setelah
suatu cita-cita yang menimbulkan gerak hati, kemudian budi itu merangkak
menjadi maksud dan diusahakan oleh akal sampai tercapai apa uang dicita-citakan
itu. Akhir perjalanan budi dengan akal itulah yang merupakan kesimpulannya
yang dikatakan "bicara" itu.

Untuk mencapai bicara halus dan budi yang dalam seorang penghulu harus
memahami adat Minangkabau yang secara garis besar dibagi atas 4 bagian kajian,
yakni: penghulu, *cupak, *adat, dan *undang-undang.

Guna memperlihatkan persamaan dan perbedaannya, maka sebelumnya perlu


dikemukakan lebih dahulu tiga jenis penghulu dalam masyarakat Minangkabau
berdasarkan masa perkembangannya, yaitu:

1) Penghulu pada masa Hindu Budha

Pada masa ini penghulu itu dianggap sebagai orang pertama menciptakan dan
memimpin suatu pekerjaan. Pada masa ini sifat penghlu tidak terlepas dari
sifat umum yang harus dipunyai seorang penghulu, yaitu bicara yang halus
dan budi yang dalam. Sifat penghulu di dalam adat Datuk Perpatih Nan
Sabatang dan Datuk Katumanggungan ada dua saja, pertama, lurus dan kedua,
benar. Kedua sifat ini terasa sederhana sekali, tidak cukup bagi sifat seorang
pemimpin . Walaupun pemimpin kaum yang berarti sekelompok kecil ulayat
dan rakyatnya, namun pemimpin kaum itu adalah orang yang
bertanggungjawab dalam kaum dan dalam nagarinya. Sungguhpun demikian
amatlah luas dan dalam artinya. Seperti halnya sifat penghulu yang dua itu,
amat luas sekali pengertiannya.

Sifat "benar" , mengandung arti benar dalam segala hal, benar pada lahir dan
batin, benar dalam berkata, benar dalam kepribadian, benar dalam pemikiran,
dan lain sebagainya.

Sementara itu sifat "lurus" mengandung maksud lurus dalam segala bidang;
Lurus mengandung arti tidak menyimpang dari garis-garis adat, karena dalam
adat Minangkabau untuk setiap-tiap bidang sudah ada ukuran dan jangkanya.
Baik dalam adat secara umumnya di seluruh Minangkabau atau adat setempat
tetap ada garis atau ketentuan seperti kata adat: barih menahan tiliak, balabeh
utang menentukan.( lurus baris di pandangan, belebas yang menentukan)
Misalnya lurus alur yang diturut, lurus hilang (yang) dicari, lurus salah (yang)
ditimbang. Sungguh amat luas pengertian dan tujuan sifat lurus itu.

2) Penghulu menurut ajaran (agama) Islam, yakni orang yang sanggup


memelihara kaumnya, dunia dan akhirat. Namun sifat bicara yang halus dan
budi yang dalam tetap menjadi pegangannya. Setelah Islam menjadi pegangan
hidup bagi orang Minangkabau, ternyata agama Islam tidak meruntuhkan adat,
bahkan Islam menyempurnakan adat. Sifat nabi Muhammad sebagai penghulu
umat, harus pula menjadi sifat penghulu di Minangkabau. Sifat-sifat itu ialah
siddik artinya benar, sama dengan sifat sebelum Islam; tabligh artinya
menyampaikan, dan amanah artinya kepercayaan. Kedua sifat lurus dan benar
telah mencakup ketiga sifat nabi, siddik, tabligh dan amanah. Sedangkan
fatanah artinya kesempurnaan cerdik, dalam memelihara agama dan harta.

Sifat cerdik cendekia adalah sifat orang yang pandai melaksanakan segala
sesuatu. Orang yang cerdik ialah orang sanggup melaksanakan kewajibannya,
baik terhadap diri sendiri, maupun terhadap orang yang dipimpinnya, seperti
anak kemenakan, korong kampung dan nagari.

Cerdik dalam dakwa dan jawab, maksudnya kewajiban menuntut haknya


kepada orang laindan mempertahankan dirinya membela anak kemenakan,
korong kampung dan anak nagari.
Cerdik dalam berkata-kata, yaitu ahli dalam berunding, berbicara dan
berpidato. Berpidato bukanlah berbicara di hadapan orang banyak, tetapi
pandai mempergunakan kata-kata dalam musyawarah dan persembahan.
Seorang pemimpin atau penghulu yang tidak mempunyai sifat tablig tidak
akan sanggup menunaikan tugasnya, menyampaikan sesuatu persoalan
(berkomunikasi) dengan anak kemenakan dengan cukup pengertian yang
dapat diterima oleh yang berhak menerimannya. Penerangan dan perundingan
yangtidak tepat mungkin menyebabkan orang salah terima sehingga salah
tujuannya. Artinya menyimpang dari apa yang seharusnya disampikan.

Cerdik dalam kaji mengaji, yaitu sanggup menganalisa segala sesuatu hal,
mengaji baik atau buruk dampaknya, serta mengaji awal. dan akhir. Seseorang
penghulu harus sanggup mengaji membuat masa kini dan perkiraan di masa
datang.

Andaikata ada sesuatu hal yang tidak sesuai dengan garis adat, akan ditarik
dan diluruskannya kepada yang benar. Orang yang termasuk cerdik cendekia
ialah orang yang tidak pernah menyinggung perasaan orang lain. Dia selalu
menyenangkan orang lain yang bergaul dengan dia dan mau mendengar
perkataannya

Makin sempurnalah sifat penghulu sebagai pemimpin anak kemenakan,


korong kampung dan nagari dengan memakai sifat penghulu umat Tuhan.
Mulailah pula adat dan syarak sedundun. Artinya banyak aturan adat itu
ditambah dengan aturan agama, seperti dalam hal berjual beli, berijab qabul,
sehingga lahirlah ungkapan: berbalai bermesjid; balai mengaji adat, sedangkan
masjid tempat beribadah.

3) Penghulu menurut Adat Alam Minangkabau, yaitu orang yang tinggi lantaran
dianjung, yaitu diangkat dan dibesarkan oleh kaumnya dan bergelar dengan
himbauan "datuk". Penghulu adat memimpin kaumnya yang mempunyai
tanggung jawab yang banyak. Penghulu adat dipilih di antara anggota
kaumnya menurut *waris nasab keturunan ibu. Semua waris nasab berhak
menjadi penghulu dan berhak pula menurunkan penghulu itu jika ia bersalah
atau tidak menunaikan kewajiabannya. Gelar penghulu itu adalah hak
kaumnya, yang semuanya adalah waris nasab yang disebut 'nan sepayung
sepetagak, yang selingkung cupak adat". Gelar dan jabatan itu dipusakai turun
temurun sampai ke anak cucu selama waris nasab masih ada dan sepakat pula
mendirikannya. Jadi, orang yang menjunjung pangkat penghulu adat
Minangkabau, tinggi karena diangkat atau dipilih. Dia sederajat dengan
anggota kaum yang mengangkat dan memilihnya.

Pemilihan seorang pemimpin di Minangkabau dilakukan dalam proses yang


panjang, berlicak pinang, bertepung batu lebih dahulu. Maksudnya, penghulu
yang akan dipilih itu dipertimbangkan masak-masak, diteliti dengan saksama,
sehingga bulat telah dapat digolongkan, pipih dapat dilayangkan.

Ciri seorang pemimpin di Minangkabau adalah orang yang tinggi tampak


jauh. Lebih dari itu, Minangkabau menggabungkan antara kapabilitas dengan
akseptabilitas, yaitu antara kemampuan dengan persetujuan atau penerimaan
masyarakat atas dirinya.

Pengangkatan seorang penghulu yang bergelar datuk yang akan menyandang


gelar *sako, umpamanya, harus dilihat lebih dahulu, apakah ia tinggi karena
disintakkan ruas, besar (gadang) karena dilintang pungkam. Dia tinggi, bukan
karena meninggikan diri, tetapi karena ruasnya telah menyentak ke atas;
integritas pribadinya yang tinggi, mempunayi wawasan yang luas,
sebagaimana dikatakan, berpadang lapang, beralam luas. Dia kukuh dan kuat,
mempunyai pengaruh dan wibawa, karena batangnya dilintang pungkam.
Maksudnya batangnya diperkokoh (dilintang) oleh pangkal batang yang kuat
(pungkam). Inilah syarat kemampuan seorang pemimpin yang menyangkut
kepribadiannya.

Syarat kedua, akseptabilitas yang berarti ia diterima oleh anak kemenakan.


Korong kampoung dan masyarakat nagari. Ia disetujui karena ia menjadi idola
masyarakatnya sehingga lahirlah kesepakatan untuk mengangkatnya. Inilah
yang dikatakan tinggi karena dianjung, dinaikkan ke anjungan, gadang karena
diambak
Gabungan antara kemampuan kepribadian dan persetujuan untuk mengangkat
seorang pemimpin sehingga terpilih menjadi pemimpin atau penghulu
digadangkan dikatakan kelapa tumbuh di matanya. Maksudnya pilihan atas
dirinya tepat pada orang yang sanggup memikulnya. Dengan lain perkataan
pilihan atas penghulu itu sudah meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Martabat Penghulu - 454

Martabat adalah harkat kemanusiaan atau harga diri. Martabat penghulu ialah
harga diri dari seorang penghulu yang merupakan alat untuk melaksanakan
kewajibannya. Dengan martabat tersebut akan menambah kewibawaan seorang
penghulu dalam membimbing anak kemenakan, korong kampung dan nagari.

Apabila seorang penghulu kekurangan salah satu martabat itu, ia tidak akan
sempurna melaksanakan tugasnya. Alangkah binasanya orang yang dipimpinnya,
apabila ia kepalang tanggung melengkapi kewibawaannya, sebagaimana disebut
pepatah: alang (=tanggung) tukang binasa kayu; kepalang alim rusak agama,
alang cerdik binasa negeri.

Sifat seorang penghulu itu lemah lembut mulutnya dan fasih lidahnya berkata-
kata. Pepatah adat mengungkapkan: lemah lembut itu anak kunci bagi hati
sekalian manusia. Penghulu itu sebagai seorang pemimpin yang menjadi ikutan
oleh anak kemenakan, korong kampung dan nagari. Perkataannya suci dan
sifatnya benar (siddik), sebagaimana sifat yang dipunyai Nabi Muhammad s.a.w.

Martabat penghulu itu ada enam hal, yaitu:

1) Berakal, di sini mempunyai mempergunakan akal sehatnya untuk selalu


menjaga adatnya, sanggup mengikat anak kemenakan dengan peraturan
adat, sehingga tak ada yang mau melanggarnya. Begitu juga bila ia sadar,
agar jangan sampai binasa oleh karena salah memahaminya, salah
menempatkan atau memakainya atau pun disalahgunakan yang akibatnya
merusak masyarakat nagari.

2) Berilmu, dalam arti ia memahami tentang ujud keyakinan kepada Allah.

Penghulu itu mempunyai pengetahuan yang cukup tentang adat dan


agama serta mengetahui kewajibannya sebagai pemimpin dan kepala
kaum. Lebih-lebih ia harus mengamalkan faham ketauhidan terhadap
Allah Yang Maha Esa.
Apabila ia telah mengerti dan menguasai faham adat dan agama, maka
martabat pertama telah tercapai yaitu tujuan yang dilaksanakan menurut
ilmunya. Celakalah seorang penghulu yang tidak mempunyai martabat ilmu,
tak obahnya berjalan meraba-raba dalam gelap, seumpama kapal berlayar
tanpa pedoman, tak dapat menentukan arah dan tujuan. Dari itu wajib bagi
penghulu mempunyai martabat berilmu

3) Kaya dan miskin hati pada kebenaran.

Yang dimaksud dengan kaya hati ialah senag hatinya mengizinkan atau
memenuhi permintaan anak kemenakannya yang tak mau melanggar
kebenaran sesuai dengan adat dan agama. Sebaliknya miskin hati ialah tidak
mengizinkan atau memenuhi permintaan anak kemenakannya untuk pekerjaan
yang tidak di dalam patut atau yang dilarang adat dan agama atau pun dilarang
oleh cupak.

Senang hatinya melihat sesuatu pekerjaan yang baik, walaupun seharusnya


lebih dahulu atas izinnya. Dia gembira jika kemenakannya atau orang lain
yang telah melaksanakan suatu kebajikan dengan tidak lebih dahulu meminta
izinnya. Ia akan ikut serta atas segala pekerjaan yang baik dengan
mengorbankan tenaga dan pikiran yang dibutuhkan pekerjaan itu.

Sebaliknya, walau bagaimana pun anak kemenakannya minta izin untuk


mengerjakan sesuatu yang dilarang adat dan agama dengan tegas dilarangnya
seperti pepatah, "Mendinding sampai ke langit, mengempang sampai ke
seberang. "

4) Murah dan mahal peri laku atas segala perbuatan.

Ungkapan adat Minangkabau menyebutkan, dipanggil baru dituruti,


dihimbau baru disahuti. Dalam pekerjaan baik yang akan dilangsungkan,
seperti pesta perkawinan, setiap orang semenda yang akan hadir lebih dahulu
dipanggil (diundang) dengan sirih pinang dalam cerana. Seluruh mamak
tunganao dihimbau datang ke rumah, karena maksud akan mengadakan
upacara kenduri. Seorang penghulu di lingkungan adat atau agama yang nyata
mendatangkan kebaikan bagi anak kemenakannya, maka ia dengan segala
senang hati akan datang ke tempat pekerjaan itu, walau seharusnya lebih
dahulu mendapat undangan..

Begitu pula sebaliknya, dia tidak mau melangkahkan kakinya dan meringan
tangannya terhadap pekerjaan yang jelas-jelas dilarang adat dan agama, atau
yang dilarang cupak, walau ia diperlukan orang, berat baginya untuk
melangkah kaki menuruti undangan seperti itu, sekalipun diberi undangan
terhormat dan martabatnya ditinggikan.

5) Selalu waspada, imat pada awal dan jimat pada akhir. Suatu pekerjaan yang
akan dilakukan diperhitungkannya dengan hemat sebelum dilaksanakan.
Sebaliknya dengan cermat ia memperhitungkan akibatnya nanti. Ungkapan
mengatakan hemat di awal, cermat di akhir. Maksudnya ialah pada awal
pekerjaan itu dipikirkan latar belakangnya dan diperhitungkannya dengan
tepat supaya hasilnya tidak merugikan dan mengecewakan dalam
pelaksanaannya. Diperkirakan pula hambatan yang akan ditemui dalam
mencapai tujuannya. Demikian diperlukan hati-hati dalam memperhitungkan
awal dan akhir, terutama dalam memimpin anak kemenakan, korong kampung
dan masyarakat nagari.

4) Sabar, yaitu bersikap tenang dalam melaksanakan sesuatu yang dicita-


citakan. dan melaksanakan kewajiban. Bagi seorang penghulu, ketenangan
hati dalam menghadapi sesuatu dengan kadar tenaganya dan kekuatan
pikirannya yang dipunyai adalah pemberian Allah jua. Dari itu ia tak kenal
putus asa, dan akhirnya menantikan takdir Ilahi Yang Maha Esa. Ia bersikap
tenang menghadapi segala cobaan atau masalah yang dihadapinya dalam
membimbing anak kemenakan, korong kampung dan nagarinya. Ia tidak mau
gegabah dalam bertindak, bak ungkapan "Gajah terdorong gading patah,
harimau terlompat belangnya tinggal. Lantaran hendak memancarkan tuah
tahu-tahu yang keluar tahi.
Pantangan Pangulu - 493

Pantangan ialah perbuatan yang dilarang oleh adat dan kepercayaan.


Pantangan bagi penghulu yang menjadi penghalang sesuatu pekerjaan. Seperti
menghalangi suatu rencana atau pelaksanaan pekerjaan yang baik. Penghulu yang
mengakibatkan suatu pekerjaan tertahannya. Sifat penghulu yang tidak
mempunyai sifat siddik dan tablig atau mengemuikakan pembicaraannya sesuka
hatinya saja. Sifat tidak acuh terhadap perasaan orang lain yang menyebabkan
orang teraniaya akibat pembicaraan itu. Dalam berkata-kata diucapkannya
semaunya lidahnya saja dalam setiap perundingannya. Penghulu seperti inilah
yang menjadi batu penarung dalam sesuatu pekerjaan.

Suara yang keras tak keruan, seperti bunyi membakar buluh. Bila berbicara
dalam suatu musyawarah, suaranya seperti merendang kacang saja. Itulah
beberapa pantangan bagi seorang penghulu yang dapat dibagi atas dua jenis, yaitu:
penghulu pembantah dan penghulu pengalih.

1) Penghulu yang pembantah ialah pantang kelintasan; suka didahulukan


dalam segala sesuatu kegiatan asal semuanya menurut kemauannya, dan
atas namanya atau atas anjurannya. Pada hal sebenarnya dia tidak
mempunyai kesanggupan dan kemampuan untuk bertindak, maupun
memberikan anjuran, bagaimana dan apa h yang patut dilaksanakan untuk
kebaikan di dalam korong kampung, koto dan nagari. Tetapi dia mau
menjadi penganjur menurut kemauannya saja. Penghulu yang demikian
hanya bisa bicara, tapi tak pandai berbuat. Itulah sebabnya dia menjadi
batu penarung dan penghalang bagi sesuatu maksud. Dia pantang
ketinggalan, dan mau terkemuka. Dia mau mati-matian bekerja sesuatu
hal asal kerajinannya akan disebut-sebut orang dan menjadi orang yang
terpandang. Jika orang pandai mengambil hatinya dengan jalan
mendahulukanya dan mengangkatnya sebagai orang yang dipandang
pandai serta mau memuji-mujinya, dia tidak mengenal lelah dan tak
membuang tempo melaksanakan pekerjaan itu. Ia suka mengorbankan
tenaga dan uang serta materi lainnya.
2) Penghulu yang pengalih, yaitu penghulu yang suka berbicara pada hal ia
tidak berpengatahuan di bidang yang dibicarakan. Sedikit saja
pengetahuan atau tentang sesuatu hal yang sedang menjadi perhatian
orang, dengan lancang ia akan mengobrol di muka orang itu. Bila
berhadapan dengan orang yang rendah dari padanya, ia akan leluasa dan
berbicara menjual tangkai pangkulnya ayang tak bertarah itu. Bila
mendapat kesempatan demikian, ia akan merasa gembira, dianggapnya
dirinyalah yang ahli dan pandai, seperti peribahasa Minangkabau, sudah
rasa ubi benar gadung,

Limbago Adat

Anda mungkin juga menyukai