Anda di halaman 1dari 23

CRITICAL BOOK REPORT

(CBR)

Nama : Adelina Marpaung (5193510008)


Tiardo Panjaitan (5193510011)
Mata Kuliah : Pendidikan Agama Kristen
Dosen Pengampu : Luhut Simarmata, M.Th

D3 TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa


yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua sehingga
saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Dalam menyelesaikan tugas Critical Book Reviewe (CBR) ini,kami


banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, baik material,
sipiritual, informasi dan administrasi. Untuk itu pada kesempatan ini kami
dengan tulus menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini terkhusus kepada Luhut
Simarmata, M.Th. selaku dosen pengampu yang telah memberikan tugas ini.

Meskipun makalah ini disusun dengan segala kemampuan yang ada,


namun demikian kami menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan
masih jauh dari sempurna.Hal ini disebabkan karena kemampuan dan
terbatasnya pengetahuan, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat diharapkan oleh saya dari semua pihak demi perbaikan
makalah ini.

Semoga penyusunan makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat


khususnya bagi kalangan akademis, sekian dan terima kasih.

Medan, April 2021

Penyusun
BAB II
RINGKASAN ISI BUKU
1.1. Identitas Buku

1. Judul Buku : Pendidika Agama Kristen (Buku Utama)


1 Edisi : Pertama (I)
2 Penulis : Pdt. Dr. Sampitmo Habeahan, M.Th, M.Pd.
dkk
3 Penerbit : CV. Permata Mitra Sari
4 Tahun terbit : 2017
5 Kota Terbit : Medan
6 ISBN : 978-602-1516-14-0

1.2. Ringkasan Isi Buku

BAB 8

KEBUDAYAAN DIPANDANG DARI SUDUT ALKITAB

Kebudayaan menurut Alkitab dapat dilihat dari beberapa aspeknya, yaitu: (1)
Allah memberikan manusia „tugas kebudayaan‟ karena pada dasarnya „manusia
memiliki gambar seorang pencipta‟ (Kej.1:26-27) dan manusia diberi TUGAS
agar „menaklukkan dan memerintah bumi‟ (Kej.1:28). Jadi, manusia menerima
suatu mandat dari Allah dan mandat itu adalah MANDAT kebudayaan. Lebih
jelas lagi disebutkan bahwa: “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan
menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara
taman itu.” (Kej.2:15); (2) Sesuai Mazmur 150 kita dapat melihat bahwa
TUJUAN kebudayaan yang utama adalah untuk „memuliakan dan mengasihi
Allah, dan agar kebudayaan itu digunakan untuk melayani dan mengasihi
sesama manusia seperti diri sendiri.‟

Mandat budaya Sebagai panggilan suara kenabian yang mewartakan kebenaran


alkitab didalam memandang seluruh problematika kehidupan disegala bidang
baik pendidikan ekonomi, sosial, hukum, kemasyarakat dll. Bila Alkitab
berbicara begitu positif mengenai kebudayaan, mengapa kebudayaan menjadi
suatu yang dipersoalkan? Apa yang menyebabkannya? Penyimpangan
kebudayaan terjadi misalnya dalam peristiwa „Menara Babel‟ dimana tujuan
kebudayaan menyimpang diarahkan untuk penyembahan berhala dan
kebanggaan diri/kelompok (Kej.11). Tema dosa yang merusak tujuan
kebudayaan adalah „ingin menjadi seperti Allah‟ (Kej.3:5) dan „mencari nama‟
(Kej.11:4). Jadi dosa telah menyimpangkan kebudayaan sehingga berpotensi
bukan saja untuk tidak memuliakan penciptanya, sebaliknya malah digunakan
untuk alat meninggikan diri dan menantang Allah.

Memang tidak mudah untuk melihat kuasa dosa itu kelihatan di dalam
kebudayaan, kadang-kadang terlihat dari „hasil‟ kebudayaan seperti patung lalu
disembah, musik digunakan untuk memuliakan manusia & dosa dan
menyembah dewa-dewi, dan filsafatpun dapat digunakan tidak sesuai dengan
firman Allah (Kol.2:8). Kadang-kadang kuasa dosa terlihat dari „cara
menggunakan‟ hasil kebudayaan itu. Rekayasa genetika dengan kloningnya
menghadapi bahaya kearah ini, demikian juga penyalah gunaan senjata nuklir.
Film & Sinema dengan jelas menunjukkan betapa hasil kebudayaan telah
dikuasai dosa pornografi, sadisme dan okultisme tanpa bisa dibendung. Sesuatu
yang mendukacitakan Allah pencipta manusia dan kemanusiaan. Yesus
berfirman: “Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang kepada adat-istiadat
manusia.” (Mrk.6:8)
II. Sikap Kristen Terhadap Kebudayaan

Sikap umat Kristen menghadapi kebudayaan dapat digolongkan ke


dalam lima macam, yaitu:
(1) Antagonistis, yaitu sikap menentang dan menolak, atau sikap negatif
terhadap semua hasil dan penggunaan kebudayaan, sikap ini melihat
pertentangan iman dan kebudayaan yang tidak terdamaikan antara iman Kristen
dan kebudayaan dalam segala aspeknya;

(2) Akomodasi, adalah sikap yang sebaliknya dari antagonistis yaitu


menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang ada. Agama kristen dikorbankan
demi kepentingan kebudayaan yang ada. Akomodasi demikian sering kita lihat
dalam hubungan dengan agama-agama animis dan adat istiadat sehingga terjadi
sinkretisme yang berbahaya. Sikap demikian terlihat misalnya dalam usaha
untuk menganggap bahwa „semua agama itu sama saja‟ atau yang belakangan
ini lebih dikenal sebagai „semua agama menuju yang SATU‟ (inklusivisme);

(3) Dominasi, biasa dilakukan dalam gereja RK dimana sesuai teologia


Thomas Aquinas yang menganggap bahwa „sekalipin manusia dalam dosa telah
merosot citra ilahinya karena kejatuhan dalam dosa‟, pada dasarnya manusia
tidak jatuh total, melainkan masih memiliki kehendak bebas yang mandiri.
Itulah sebabnya dalam menghadapi kebudayaan kafir sekalipun, umat bisa
melakukan akomodasi secara penuh dan menjadikan kebudayaan kafir itu
menjadi bagian iman, namun kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan oleh
sakramen yang menjadi alat anugerah ilahi;

(4) Dualisme, sikap ini mendua yang memisahkan agama dan budaya secara
dikotomis. Pada satu pihak terdapatlah dalam kehidupan manusia beriman
kepercayaan kepada pekerjaan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus, namun
manusia yang sama tetap berdiri di dalam kebudayaan kafir dan hidup di
dalamnya. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah hati manusia yang
berdosa dan mengubahnya menjadi kehidupan dalam iman tidak ada artinya
dalam menghadapi kebudayaan. Manusia beriman hidup dalam kedua suasana
atau lapangan baik agama maupun kebudayaan secara bersama-sama;

(5) Pengudusan, adalah yang tidak menolak secara total (antagonistis)


namun juga tidak menerima secara total (akomodasi), tetapi dengan sikap
keyakinan yang teguh bahwa kejatuhan manusia dalam dosa tidak
menghilangkan kasih Allah atas manusia melainkan menawarkan pengampunan
dan kesembuhan bagi manusia untuk memulai suatu kehidupan yang lebih baik
dengan mengalami transformasi kehidupan etika dan moral. Manusia melakukan
dan menerima hasil kebudayaan selama hasil-hasil itu memuliakan Allah, tidak
menyembah berhala, dan mengasihi sesama dan kemanusiaan. Sebaliknya, bila
kebudayaan itu memenuhi salah satu atau malah ketiga sikap budaya yang salah
itu, umat beriman harus menggunakan firman Tuhan untuk mengkuduskan
kebudayaan itu sehingga terjadi transformasi budaya ke arah „memuliakan
Allah‟, „tidak menyembah berhala‟, dan „mengasihi manusia dan kemanusiaan.‟
Kelihatannya Alkitab lebih condong untuk mengajarkan umat Kristen agar
melakukan sikap „Pengudusan‟ sebagai kesaksian iman Kristiani dalam
kehidupan berbudaya. Rasul Paulus memberikan peringatan agar: “Hati-hatilah,
supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan
palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut
Kristus.” (Kol.2:8).
III. Sikap Gereja Terhadap Kebudayaan

H.Richard Niebuhr dari Yale University di Amerika Serikat telah membuat


bagan tentang sikap gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and
Culture atau Kristus dan Kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap gereja
terhadap kebudayaan sepanjang zaman dalam 5 sikap:

1. Gereja anti kebudayaan


2. Gereja dari kebudayaan
3. Gereja diatas kebudayaan
4. Gereja dan kebudayaan dalam hubungan paradoks
5. Gereja pengubah kebudayaan

Dapatlah kita simpulkan bahwa sikap gereja terhadap kebudayaan adalah:

1. Gereja menentang kebudayaan khususnya terhadap unsur-unsur yang secara


total bertentangan dengan injil, umpanya terhadap cultur agama, suku, dan tata
kehidupan yang tidak membangun seperti poligami, perjudian, perhambaan.

2. Menerima unsur-unsur kebudayaan yang bersesuaian dengan injil dan bermanfaat bagi
kehidupan.

3. Menerima unsur-unsur kebudayaan tertentu dan mentransformasikannya


dengan injil. Umpanya tata perkawinan, seni tari, dll. Sehingga dapat menjadi
sarana injil.

Bagi mereka yang takut akan Allah, rasanya semua tindakan kita dalam
menerima adat-istiadat perlu berorientasi pada Allah dan kehendak-Nya, ini
menghasilkan empat pertimbangan berikut, yaitu sikap menghadapi adat-istiadat
yang:

1. Memuji dan memuliakan Allah


2. Tidak menyembah berhala
3. Mencerminkan kekudusan Allah
4. Mengasihi manusia dan kemanusiaan. Keempatnya berurutan dari atas
ke bawah dimana memuji dan memuliakan Allah adalah tugas utama
umat Kristen (Mazmur 150) dan ketiga lainnya diukur dari apakah itu
meneguhkan kepujian dan kemuliaan Allah atau tidak.

Lalu adakah tingkat-tingkat pertumbuhan yang menentukan umat kristen


bersikap? Kedewasaan umat kristen dalam bersikap perlu mengarah pada
kecenderungan kelima yaitu transformatif, yaitu ia hidup dengan
mentransformasikan setiap adat-istiadat agar sesuai dengan kepujian, kemuliaan
dan kehendak Allah. Ia semula hidup berkajang dalam dosa dan melakukan
adat-istiadat dimana kuasa dosa banyak berpengaruh. Pengenalannya akan
Tuhan Yesus Kristus membawanya kepada pertobatan (metanoea) dimana ia
mulai merasakan perubahan arah dalam hidupnya dari dosa menuju kebenaran,
dan seperti apa yang dikatakan oleh rasul Paulus: Jadi siapa yang ada di dalam
Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang
baru sudah datang (2Kor.5:17).

Dari perubahan yang transformatif inilah ia terus menerus melakukan


trasformasi dari dosa menuju kebenaran sehingga kehidupannya makin hari
makin baik. Rasul Paulus mengatakan bahwa: Bukan seolah-olah aku telah
memperoleh hal ini atau telah menjadi sempurna, melainkan aku mengejarnya
(Flp.3:12). Namun, harus disadari bahwa transformasi itu bukanlah hasil usaha
manusia dengan kekuatannya sendiri tetapi sebagai hasil interaksi iman kita yang
mendatangkan rahmat Allah: Dan semuanya itu dari Allah, yang dengan
perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri- Nya dan yang telah
mempercayakan pelayanan perdamaian itu kepada kami (2Kor.5:18).
IV. Budaya yang harus dikembangkan jaman Modern ini

Banyak orang ingin sukses tapi tidak santun. Ada orang pintar karena
tidak santun maka sulit diterima keberadaannya. Ada pemimpin karena
pribadinya tidak santun maka kepemimpinannya juga sulit diterima
kehadirannya. Dalam hal hubungannya dengan iman Kristen aktifitas berkirir
yang kritis itu dan dalam upaya untuk berkarya, maka judul di atas erat
kaitannya dalam kerangka untuk mengerti dan melakukan kehendak Tuhan.
Dalam kerangka itulahlah tiap orang Kristen harus kritis dan berkarya. Oleh
sebab itu judul tsb menarik untuk dibaca bagi mereka yang hidupnya ingin
sukses. Sebab berbicara tentang kata “kritis” dan “karya”, adalah dua kata yang
saling melengkapi. Misalnya, Firman Tuhan berkata, “Sebab itu, janganlah kamu
bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan”(Efesus
5:17). Tetapi juga kita dituntut untuk berkarya. Firman Tuhan berkata: “Apa pun
juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan
dan bukan untuk manusia” (Kol.3:23).

Ke dua nats di atas ini, tujuannya agar agar hari-hari hidup setiap umat
dapat bermakna dan bernilai. Tegasnya, menjadi orang yang paling sukses.
Kesuksesan yang akan kita capai tidak bergantung pada bukan berapa banyak
uang yang kita kumpulkan, atau berapa besar karya-karya yang akan kita capai.
Kesuksesan juga bukan terletak pada berapa banyak pekerjaan yang kita
lakukan, atau berapa tingginya posisi yang kita miliki. Kesuksesan kita diukur
dari seberapa jauh kita mengerti dan melakukan kehendak Tuhan. Kritis
berpikir dan santun berkarya tujuannya agar kita mengerti dan melakukan
kehendak Tuhan.

Kita perlu terus belajar, terus menambah pengetahuan dan belajar dari
kegagalan atau keberhasilan, pada waktu sulit atau tenang, bahkan diharuskan
untuk belajar atas perubahan yang ada, bukan lihai atau licik, tapi cerdik. Jadi,
dalam mengkritisi zaman ini agar orang-orang percaya jangan hanyut terbawa
arus atau tergilas atau ketinggalan, tercecer, dalam perkembangan zaman. Para
pemimpin gereja harus membantu umatnya menyadari bahaya zaman ini dengan
melengkapi mereka melalui upaya perlengkapan iman yang terus bertumbuh
dewasa, agar mampu mengahadapi serigala zaman ini.

Dengan demikian hidup beragama itu ialah berpikir dan berkarya


berdasarkan Kitab Suci atau Alkitab. Di dalam Firman tsb dijelaskan, manusia
tidak diciptakan Tuhan Allah seperti robotyang kemampuan berpikirnya sebatas
yang terprogram. Tetapi diciptakan dengan penuh kesadaran akan dirinya, alam
dan Tuhannya. Maksudnya, beragama yang benar, atau beriman kepada Tuhan
Pencipta langit dan bumi dengan segala isinya, tujuannya agar dalam
memelihara ciptaanNya tiap orang Kristen terpanggil untuk setia dan
mengasihinya dengan caraNya sendiri. Di sanalah sifat santun itu menjadi
penting. Yaitu, mengkiritisi panggilanNya agar membawa pengenalan akan
Tuhan secara benar (Kel 3:13 – 4:1ff). Semuan itu diarahkan agar iman
kepercayaan kita semakin bertumbuh dan bekerkembang sesuai dengan talenta
yang dimilikinya. Demikianlah proses mengerti dan melakukan kehendak Allah.
Manusia tidak berjalan dalam kehendak yang kaku, tetapi selalu ada di dalam
pembaruan, baik itu kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya.

Lebih dari itu, berpikir kritis, santun berkarya bagaikan kompas hidup
yang tepat bagi manusia melihat pemandangan yang luas (ke depan) dan
beragam objek yang memukau perhatian dan sekaligus mengundang banyak
pertanyaan tentang objek-objek yang terpapar di depan kita. Tuhan
menghendaki agar kita membangun pekerjaan dan pelayanan yang sungguh-
sungguh berkenan kepada-Nya. Itu berarti kita tidak bekerja atau melayani
secara sembarangan, atau mengambil muka kepada pimpinan (Ef.6:6), tetapi
“dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani
Tuhan, bukan manusia.”
Atas dasar itulah, sifat mengkritisi harus ditopang sikap santun agar karya-karya
yang kita lakukan menjadi berkat bagi diri kita sendiri, tentu juga bagi orang lain.
Dalam hal ini, kita dapat belajar dari hamba Tuhan abad 1 itu, Yaitu Rasul Paulus.
Karena dia juga berpikir kritis terhadap tradisi umat Israel yang sangat dikenalnya
dan diihayatinya itu, tetapi dia terbuka pada tuntutan baru dari iman yang berpusat
pada Yesus Kristus yang mati dan bangkit itu, sehingga dia melihat dan percaya
bahwa kita tidak dapat diselamatkan oleh Taurat (Yahudi), melainkan hanya oleh
Yesus Kristus sebagai penggenapan Hukum Taurat itu. Berdasarkan
pernyataannya itulah, kepada orang- orang percaya sepanjang zaman dia
menyerukan melalui tulisannya kepada jemaat Tessalonika itu : “ujilah segala
sesuatu dan peganglah yang baik ( 1 Tes 5 : 21 ).

Berpikir kritis adalah senana dengan tuntutan Alkitab itu sendiri, seperti
kita lihat dalam sikap Rasul Paulus di atas. Mengkritisi dengan demikian agar
kita bertindak hati-hati atau waspada (santun). Sebagai gereja yang memang
berpusat pada Alkitab – ingat prinsip dasar Martin Luther “Sola Scriptura” abad
XVI itu Dengan kata lain, Alkitab adalah buku kesaksian iman, bukan buku
tentang fakta-fakta historis (historia), fakta-fakta biologis, antropologis atau
fakta-fakta ilmu-ilmu lainnya.

Berpikir Kritis dan santun berkarya sangat tepat dihubungkan dengan


merespons Firman Tuhan. Itu yang dimaksudkan dengan tetap selalu memegang
yang baik. Yaitu, adanya kesadaran dan tindakan menjadi sesuatu yang urgen
dalam tata sosial dan orde kehidupan kita agar lebih beradab dan bermartabat,
sekaligus menjadi daya hidup dan autentisitas iman agar hidup semakin
bermakna. Tuhan menghendaki agar kita makin mengenal dan mengasihi Dia,
serta semakin dewasa seperti Kristus (Efesus 4:13 dan 5:21). Hal itu juga yang
ditegaskan Allah melalui Nabi Yeremia: “… Barangsiapa mau bermegah,
baiklah bermegah karena yang berikut, bahwa Ia memahami dan mengenal
Aku” (9:24). Seruan itu telah menjadi kerinduan dan ambisi rasul Paulus: “Yang
kukehendaki adalah mengenal Dia” (Fil.3:10).

Akhirnya, berpikir kritis, dan santun berkarya, kita akan menguji segala
sesuatu dengan tujuan supaya kita memegang yang baik, melakukannya dalam
tindakantindakan konkrit dalam pelayanan di gereja. Sebab gereja dan umat
Kristen yang menyatakan Ktistus mestilah seirama dengan tindakan Kristus di
dunia ini. Oleh karena itu, betapa pun sibuknya, jangan melalaikan hubungan
pribadi dengan Tuhan. Pelihara dan tingkatkan kualitas saat teduh. Tuhan
menghendaki agar kita membangun keluarga yang berpusatkan Kristus (Efesus
5:21-6:4). Amin.
3.1. Identitas Buku Pembanding

1. Judul Buku : Pengantar ilmu Agama (Buku


Pembanding)
2. Edisi : ke lima (5)
3. Penulis : Koentjaraningrat
4. Penerbit : PT Renaka Cipta
5. Tahun terbit : 1990
6. Kota Terbit : Jakarta
7. ISBN : 978-602-6470-02-7

BAB
4

HUBUNGAN AGAMA KRISTEN & BUDAYA

Pertemuan Injil dan kebudayan

Injil diberitakan ditengah-tengah dunia yang penuh kebudayaan yang


bentuknya dapat diumpamakan seperti kuelapis. Lapisan-lapisan kebudayaan itu
misalnya di Indonesia terdiri dari lapisan yang diwarnai oleh agama pribumi,
Hinduisme, Buddhisme, Islam, Kristen dan terakhir modernisme. Intensitas
pengaruh itu berbeda satu dengan lain bergantung pada etnografis, geografis
dan sejarah masing-masing wilayah. Tetapi bagaimanapun Injil yang
diberitakan itu tetap berhadapan dengan kebudayaan bangsa-bangsa dan suku-
suku.

Dalam pertemuan injil dan kebudayaan tersebut, secara khusus adalah


dengan unsur-unsur kebudayaan yang pasti terdapat dalam semua kebudayaan
yang dinamai unsur kebudayaan universal, terdiri dari : Sisten relegi dan
upacara keagamaan, Sistem dan organisasi masyarakat, Sistem pengetahuan,
Sistem bahasa, Sistem Kesenian, Sistem Mata pencaharian, dan Sistem
teknologi. Lapisan-lapisan kebudayaan itu tidak statis, masing-masing
salingberpenetarasi, maka unsur kebudayaan yang universal itu selalu berada
dalam perobahan.

Demikianlah Injil selalu berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan


tersebut dengan membawa nilai Injil secara khusus dengan sistem religi,sistem
pengetahuan, kesenian dan mata pencaharian. Sewaktu Yesus memberitakan
Injil, Ia ditentang oleh Yudaisme dalam soal-soal doktrin dan kesucian,
perkawinan,sistem ekonomi yang berlandaskan usaha kerja, sedang Injil
menekankan anugerah Allah sebagai jaminan kehidupan (Mattius 5 : 25-34);
tentangkasih dan keadilan yang menentang hukum balas-membalas (Mattius 5 :
38-48).

Hal yang sama terjadi setelah Injil dibawa keluar Israel ke masyarakat
Hellenisme dan Romawi. Injil menentang absolutisme kekaisaran romawi
dimana kaisar dianggap dan dipuja sebagai Tuhan dan agama rakyat yang
politheistis dan hubungan seksual termasuk dalam sistem religi yang membuat
tata susila yang permissif, sini tari yang membangkitkan birahi dan bentuk-
bentuk olah raga yang tidak manusiawi. Oleh sebab itu gereja tidak dapat tidak
harus menentukan sikap terhadap kebudayaan yang dihadapinya.

Sikap Gereja terhadap kebudayaan

H. Richard Niebuhr dari Yale University di Amerika serikat telah membuat


bagan tentang sikap Gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and
Culture atau Kristus dan kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap Gereja
terhadap kebudayaan sepanjang zaman dalam 5 sikap, yaitu : Gereja anti
kebudayan, Gereja dari kebudayaan, Gereja diatas kebudayaan, Gereja dan
kebudayaan dalam hubungan paradoks, Gereja pengubah kebudayaan.

Ini adalah gambaran –gambaran umum, sedang dapat kita benarkan pendapat
yang mengatakan bahwa tidak ada gereja yang secara murni mengambil salah
satu sikap tersebut. Namun ada baiknya kita membicarakan posisi-posisi itu satu
persatu :

1. Gereja anti kebudayan

Gereja memandang dunia di bawah kekuasaan si jahat sebagai kerajaan


kegelapan. Warga Gereja disebut oleh Injil adalah anak-anak terang, karena itun
tidak hidup dalam kegelapan. Dunia kegelapan ini dikuasai oleh nafsu
kedagangan, nafsu mata, kesombongan. Semua itu akan berlalu sebab mereka
akan dikalahkan oleh iman kepada Kristus (Niebuhr, 56).

Sikap menentang kebudayaan ini telah dilancarkan oleh Tertullianus


tokoh Gereja abad ke 2. Ia mengatakan bahwa konflik-konflik orang percaya
bukan dengan alam tetapi dengan kebudayaan. Dosa asal itu menurut
Tertullianus disebarkan oleh kebudayaan melalui pendidikan anak. Olehn karena
itu kata tertullianus tugas Gereja adalah menerangi semua orang yang sudah
berada di bawah ilusi kebudayan, supaya mereka dibawa kepada pengetahuan
akan kebenaran. Yang paling buruk dari kebudayaan adalah agama sosial, kafir
atau politheisme, hawa nafsu dan kemaksiatan (Niebuhr, 60). Tetapi pada pihak
lain, tertullianus menganjurkan agar Gereja memupuk kebersamaan, tidak
meninggalkan pertemuan umum, tempat pemandian, kede, penginapan, pasar
mingguan tempat perdgangan sebab Gereja dengan semua itu numpang bersama
dalam dunia. Selanjutnya kata Tertullianus, kami berlayar bersama berjuang
denganmu, mengolah tanah denganmu bahkan dalam bidang seni untuk umum.
Pada pihak lain Tertullianus mengajak orang menjauhi keterlibatan dalam soal-
soal kenegaraan, antara lain menolak dinas militer sebab melanggar perintah
Injil yang melarang menggunakan pedang dan tidak ikut dalam sumpah setia
kepada kaisar dan keturut sertaan dalam upacara kafir. Ia menolak bentuk
kekristenan yang berfusi dengan Stoa dan Plato. Menurut pendapatnya, tidak
ada hubungan Kristus dengan filsafat. Walau Tertullianus tidak menolak seluruh
kebudayaan, tapi Niebuhr menyebutnya termasuk dalam posisi Gereja lawan
kebudayaan.

2. Gereja dari kebudayaan

Kelompok yang menganut paham ini merasa tidak ada ketegangan besar
antara gereja dan dunia, antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara karya
rahmat Illahi dengan karya manusia. Mereka menafsirkan kebudayaan melalui
Kristus danberpendapat bahwa pekerjaan dan pribadi Kristus adalah sangan
sesuai dengan kebudayaan. Dipihak lain, kelompok ini berpendapat jika Kristus
ditafsirkan melalui kebudayaan, maka hal-hal yang terbaik dalam kebudayaan
adalah cocok dengan ajaran dan kehidupan Kristus. Namun penyesuaian ini
bukan sembarangan, sebab telah dilakukan juga penjungkiran bagian-bagian
kebudayaan yang tidak sesuai dengan Injil dan bagian-bagian Injil yang tidak
sesuai dengan adat istiadat sosial (Niebuhr : 94).
Tetapi kaum Gnostik Kristen menafsirkan Kristus sepenuhnya sesuai dengan
konsep kebudayaan, tidak ada pertentangan antara keduanya. Dengan demikian
ada perdamaian Injil dengan kebudayaan dan karena itu kekristenan telah
menjadi sistem agama dan filsafat dan Gereja hanya sebagai perhimpunan
religius bukan sebagai gereja atau masyarakat baru. Tokoh-tokoh penyesuaian ini
dalam sejarah Gereja adalah Clemens (200) dan Origines (185-254)- (Fuklaan-
Berkhof, 1981 : 41). Pada abad pertengahan posisi Gereja dari kebudayaan
dilanjutkan oleh Petrus Abelardus (1079- 1142) yang mengakui karya Filsuf
Socrates dan Plato sebagai guru mendidik walaupun lebih rendah tingkatnya
tyetapi bersesuaian dengan ajaran Yesus (Niebuhr, 100).

Tokoh yang lain adalah Ritschl yang menggagasi untuk merekonsiliasi


kekristenan dengan kebudayaan. Kelompok ini secara keseluruhan disebut
Protestantisme kebudayaan melalui gagasan tentang kerajaan Allah yang telah
disamakan dengan suatu kerajaan umat manusia yang terhimpun dalam suatu
keluarga, di bawah ikatan kebajikan, perdamaian, keperluan bersama.
Perhimpunan ini terbentuk melalui aksi moral secara timbal balik dari anggota-
anggotanya yaitu suatu aksi melalui pertimbangan alamiah (Niebuhz, 109).
Dalam gagasan ini, kesetiaan orang kepada Kristus menentukan orang untuk
berpartisipasi secara aktif dalam karya kebudayaan (Niebuhr, 110).

3. Gereja diatas kebudayaan.

Pandangan ini berawal dari pandangan tingkatan hirarkis dari alam


(natural) dan spiritual (rohani). Menurut Thomas Aquinas (1225-1274),
kebudayaan menciptakan aturan suatu kehidupan sosial yang ditemukan oleh
akan budi manusia yang dapat dikenal oleh semua yang berakal sehat sebab
bersifat hukum alam. Tapi disamping hukum alam ada hukum Ilahi yang
dinyatakan Allah melalui para Nabi yang melampaui hukum alam. Sebagian
hukum Ilahi adalah harmonis dengan hukum alam dan sebagaian lagi
melampauinya dan itulah menjadi hukum dari hidup supernatural manusia (ordo
supernaturalis). Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: jualah semua apa yang
kamu miliki, berikan kepada orang miskin sedang hukum alam terdapat dalam
perintah kamu tidak boleh mencuri, yaitu hukum yang sama dapat ditemui oleh
akal manusia dan didalam wahyu. Dari contoh itu Thomas Aquinas
menyimpilkan bahwa hukum alam yang ditemui yang terdapat dalam kodrat
hidup manusia berada dubawah ordo supernaturalis.

Manusia dalam hidupnya sudah kehilangan ordo supernaturalis dan untuk dapat
memulihkannya kembali hanyalah melalui sakraman. Gereja berada dalam ordo
supernatulis. Oleh karena itu kebudayaan berada di bawah hirarkis gwereja.
Dengan itu pada abad pertengahan gereja menguasai seluruh kebudayaan dalam
tatanan Corpus Christianum.

4. Hubungan Gereja dan kebudayaan dalam paradoks.

Dalam pandangan ini, iman dan kebudayaan dipisahkan. Orang beriman


(Kristen) berada dalam dua suasana yaitu berada dalam kebudayaan dan
sekaligus berada dalam anugerah Allah dalam Kristus. Oleh sebab itu orang
beriman dihimpit oleh dua suasana yaitu hidup dalam iman dan hidp dalam
kebudayaan.

Dalam sejarah Gereja, Marcian seorang tokoh gereja abad ke 2 yang


berpendirian bahwa dalam kebudayaan manusia di bawah Allah yang rendah
derajadnya yang dinamainya domiurgos sedang dalam pembaharuan ciptaan,
manusia hidup di bawah Allah Rahmani. Dengan itu ia telah mempelopori
hidup secara dualisme. Ajaran ini ditolak gereja pada masa itu dan
dikategorikan sebagai ajaran sesat. Pandangan dualisme kelihatan juga secara
samar dalam ajaran Marthin Luther yang mencetuskan reformasi pada tahun
1517 Menurut dia orang beriman hidup dalam dua kerajaan, yaitu kerajaan
Allah yang rohani dan kerajaan duniawi. Kerajaan Allah adalah suatu kerajaan
anugerah dan kemuliaan, tetapi kerajaan duniawi adalah suatu kerajaan
kemurkaan dan kekerasan. Kedua kerajaan itu tidak dapat dicampur adukkan.
Masing-masing lingkungan menurutaturannya. Jadi manusia hidup dalam dua
tatanan yaitu tatanan kebudayaan berdasarkan hukum alam dan tatanan rohani
yaitu tatanan surgawi. Ada kesan bahwa Marthin Luther tidak
menghubungkan tatanan duniawi dengan yang surgawi sehingga kehidupan
dalam kebudayaan dan surgawi tidak berhubungnan. Dengan itu ada
kemungkinan orang tidak lagi membawa imannya dalam kehidupan dalam
kebudayaan (Niebuhr, 194).

Pada abad ini pandangan itu dipertahankan oleh seorang Teolog bernama
William Roger. Manusia menurut Roger, harus berbakti kepada Allah maupun
raja, kendati ada ketegangan antara keduanya. Orang beriman seyogianya hanya
berbakti kepada Allah tetapi tidak dapat tidak harus berbakti kepada
kebudayaan. Kita tidak dapat tidak hidup seperti ampibi, yaitu hidup dalam
rahmat Allah dan sekaligus dalam kebudayaan. Kedua lingkungan ini terpisah
dan tidak saling berhubungan. Hal ini mungkin bahwa seorang dapat hidup
berdasarkan imannya pada lingkungan rohani atau hidup menurut imannya pada
lingkungan rahmat dan pada pihak lain ia hidup menurut aturan duniawi dalam
lingkungan dunia (Niebuhr:207).

5. Gereja pengubah kebudayaa

Banya orang Kristen sepanjang abad tidak menyetujui keempat


pendirian tersebut baik dalam teori maupun dalam politik. Mereka juga tidak
bersedia menyerah kepadakebudayaan karena mereka memahami kebudayaan
mempunyai kelemahan-kelemahan. Mereka juga menolak takluk kepada
kebudayaan yang dipaksakan gereja sebab kebudayaan yang dipaksakan gereja
selalu berbentuk sintesa antara kerajaan Allah dan kerajaan dunia dan ada
kecenderungan memandang kebudayaan yang masih berdosa ini dianggap suci
sebab berada di bawah gereja. Tapi adalah tidak benar, jika dikatakan bahwa
kerajaan Allah telah diwujudkan dalam kebudayaan yang diciptakan gereja
(Verkugl, 1982 : 49).

Sikap gereja yang tepat menurut H. R. Niebuhr adalah sikap gereja pengubah kebudayaan.

Seorang teolog bernama Augustinus (354-430) telah mempelopori sikap gereja


pengubah kebudayaan. Posisi ini berangkat dari pendirian bahwa tidak ada
suatu kodrat yang tidak mengandung kebaikan, karena itu kodrat setan
sendiripun tidaklah jahat, sejauh itu adalah kodrat, tapi ia menjadi jahat karena
dirusak (Niebuhr, 239). Tetapi Allah kata Augustinus, memerintah dan
mengatasi manusia dalam pribadi dan sosial mereka yang rusak. Pandangan ini
berasal dari pemahaman bahwa oleh sifat kreatifitas Allah maka Allah tetap
menggunakan dengan baik kehendak manusia yang jahat sekalipun, sehingga
m,anusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kebudayaannya. Sikap
Allah ini mendapat wujudnya dalam Yesus Kristus yang telah datang kepada
manusia yang telah rusak untuk menyembuhkan dan memperbaharui apa yang
telah ditulari melalui hidup dan kematiannya, ia mengatakan kebesaran kasih
Allah dan tentang begitu dalamnya dosa manusia (241). Denganjalan Injilnya ia
memulihkan apa yang telah rusak dan memberi arah baru terhadap kehidupan
yang telah rusak (242). Atas pemikiran teologis tersebut, Agustinus meletakkan
gagasan Injil pengubah kebudayaan atau Injil adalah Conversionis terhadap
kebudayaan. Pemikiran Augustinis ini dilanjutkan oleh Johanes Calvin pada
awal abad ke 16. Titik tolak pikirannya berawal pada pandangannya bahwa
hukum-hukum kerajaan Allah telah ditulis dalam kodrat manusia dan dapat
terbaca dalam kebudayaannya. Dengan itu hidup dan kebudayaan manusia dapat
ditransformasikan sebab kodrat dan kebudayaan manusia dapat dicerahkan,
sebab mengandung kemungkinan itu pada dirinya sebagai pemberian Ilahi. Oleh
sebab itu Injil harus diaktualisasikan dalam kebudayaan supaya kebudayaan
lebih dapat mensejahterakan manusia (245-246).

Gereja dan kebudayaan di Indonesia


Seperti telah disinggung sebelumnya, unsur-unsur kebudayaan yang dihadapi Injil
di Indonesia sarat dengan pengaruh agama-agama, mulai dari agama pribumi,
Hindu, Buddha dan Islam dalam intensitasyang berbeda-beda. Pengaruh itu dalam
bentuk lapisan-lapisan, namun saling berpenetrasi antara satu dengan yang lain.
Secara umum dapat dikatakan pengaruh Hindu dan Islam berpengaruh dalam
kebudayaan di Sumatwera Utara khususnya diantara orang Batak terdapat
pengaruh agama Hindu dan agama pribumi. Sewaktu Injil diberitakan kepada
suku-suku bangsa di Indonesia maka Injil berhadapan dengan unsur-unsur
kebudayaan setempat. Persoalan kita bagaimana sikap gereja terhadap
kebudayaan setempat.

Gereja-gereja berlatar belakang reformasi yang membawa Injil ke


Indonesia menekankan sekali kemurnian Injil dan disiplin kehidupan umat
sesuai nilai-nilai yang termuiat dalam Injil. Oleh sebab itu geraja selalu
mengawasi agar unsur-unsur yang bertentangan dengan Injil tidak memasuki
kehidupan umat Kristen. Oleh karena itu gereja menolak kultus roh nenek
moyang dan semua ritus- ritus untuk menguatkan roh atau jiwa seseorang.
Tujuan utama penolakan ini, agar tidak terjadi penyembahan kepada ilah-ilah
selain dari Allah Jahweh (Keluaran 20 : 2-5).

Tetapi gereja menyadari bahwa simbol-simbol yang digunakan


masyarakat adalah bermuatan agama sedang bagi masyarakat pribumi suatu
simbol selalu identik dengan yang disimbolkan. Oleh sebab itu gereja tidak saja
menolak kultus kepada yang bukan Allah tetapi juga mendesakralisasikan suatu
simbol sehingga dapat menjadi sarana untuk mencapai kesejahteraan manusia.

Upaya ini nampak jelas dalam penerimaan gereja terhadap tatanan


masyarakat Batak yang dinamai dilikan na tolu, yaitu tiga tungku (Batak toba,
Angkola, Simalungun dan Dairi) atau sangkep si telu (Batak Karo). Tatanan ini
bersumber dari kepercayaan orang Batak kepada tiga Dewata, yang pertama
berkediaman di dunia atas, yang kedua di dunia tengah dan ketiga di dunia
bawah. Berdasarkan pandangnan kosmologis tersebut, maka masyarakat Batak
dibagi atas unsur hula-hula atau kalimbubu (Karo) yaitu kelompok si pemberi
dara, dongan atau senina (Karo) yaitu kelompok satu klan dan boru atau anak
beru (Karo) yaitu kelompok si pengambil dara. Ketiga dewata itu diharapkan
selalu harmonis agar kehidupan manusia di dunia tengah tidak diganggu oleh
dunia bawah dan atas. Harapan ini terungkap dalam doa orang Karo bunyinya:
turunlah dewata diatas, naiklah dewata di bawah dan duduklah dewata ditengah.
Sebagaimana harus ada keharmonisan antara dunia atas, tengah dan bawah,
demikian juga ketiga unsur kerabat tersebut harus selalu bertindak dalam
keserasian. (Ph. L. Tobing, the structure of Batak Belief in the High God:
1963:28-29) Bahwa orang batak memahami seluruh kosmos sebagai
keselueruhan dunia bawah, tengah dan atas. Dalam totalitas ini, masing-masing
dunia yang tiga itu mempunyai fungsi, melalui mana keserasian dan keberadaan
manusia itu mungkin. Penghapusan salah satu dari totalitas itu berarti
pemusnahan jagad raya dan juga keberadaan masing-masing. Demikian juga
keberadaan kosmos yang menjadi bagian dari pada ruang adalah kesatuan
totaliter. Tanpa memandang luas kecil operasinya, ia adalah kesatuan dari kuasa-
kuasa yang bertentangan (terjemahan : penulis).

Gereja mengadopsi tatanan dalihan na tolu tau sangkep si telu tersebut


dengan mencopot unsur mythologisnya dan menanamkan nilai-nilai etis agama
Kristen kedalamnya agar peran masing- masing unsur lebih rasional dan
fungsional. Hal yang sama dilakukan gerja-gereja dalam kebudayaan setempat
di Indonesia antara lain gereja di Ambon mengadopsi tatanan “pela gandong”
yaitu suatu ikatan sosial masyarakat berdasarkan ikrar nenek moyang pada
waktu yang tidak diketahui lagi, tetapi tetap diteruskan kepada generasi-
generasi seterusnya tanpa membedakan agama yang merekla anut. Kepatuhan
orang terhadap tatanan dalihan na tolu maupun pela gandong tersebut bukan
semata-mata oleh ikatan hukum, tapi mengandung nilai-nilai moral dan oleh
sebab itu kepatuhan tersebut bersifat devasi atau ibadah dan orang yang
melanggarnya dikategorikan sebagai pelanggar moral.
BAB III
PEMBAHASAN

1. Keunggulan

Dari kedua buku yang telah di review penulis menemukan keungulan setiap buku dan
memiliki ke unggulan tersebut:

Buku Utama : Keunggulan yang terdapat pada buku utama ialah pembahasan yang sangat
luas dan mencakup ke aspek-aspek lainnya, kemudian tata bahasa dan penulisan yang rapi,
membuat pembaca lebih tertarik untuk memhaminya lebih dalam dan cocok untuk digunakan
sebagai buku acuan pembelajaran.

Buku Pembanding : Keunggulan yang terdapat pada buku pembanding sama seperti
keunggulan yang terdapat pada buku utama, ialah tata bahasa nya yang bagus dan rapi dan
penulisan yang bagus

2. Kelemahan

Penulis juga menemukan kelemahan dari kedua buku tersebut dan akan menerapkannya seperti:

Buku utama : Kelemahan pada buku utama ialah pada halaman 152 paragraf ke 3 terdapat
kata sebahagian yang menurut penulis itu terlalu baku, kecuali dengan penambahan kata
depan (–se)

Buku Pembanding : Penulis juga menemukan ada beberapa penulisan kata yang salah dalam
buku tersebut, seperti di halaman 48, 52 dengan paragraf yang berbeda-beda seperti kata
“sala” yang seharusnya “salah” dan kata “perumpaman” yang seharusnya “perumpamaan”
.
BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari ringkasan buku dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Melalui
pertemuan Injil dengan sub kultur-sub kultur di Indonesia timbullah kebudayaan sub kultur
Kristen di Indonesia. Hal ini mengatakan tidak ada kebudayaan Kristen yang universal di
Indonesia. Dengan itu agama Kristen telah menjadi salah satu sumber kekuatan untuk
melahirkan kebudayaan. Oleh sebab kelokalan itu maka kebudayaan sub kultur Kristen itu
tidak seluruhnya menyapa semua manusia disegala zaman dan tempat. Hal itu berarti Injil
yang universal itu dijadikan menjadi Injil yang lokal, yang menjawab persoalan dan
kebutuhan lokal. Proses ini dapat menjadi ancaman sebab Injil yang universal dikaburkan
dalam kelokalannya.

2. Saran

Menurut penulis buku yang pantas untuk dibuat sebagai buku acuan pembelajaran ialah buku
utama karena buku tersebut sangat membahas secara luas dan terperinci sehingga
penggunapun bisa mengerti dengan maksud dari buku tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Sampitmo H.dkk, 2017. Pendidikan Agama Kristen, Medan,


CV. Pertama Mitra Sari. Koentjaraningrat, 1990, Pengantar
Ilmu Antropologi, Jakarta, PT. Renaka Cipta

Anda mungkin juga menyukai