Anda di halaman 1dari 20

Jurnal Teologi “Cultivation”

Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55


pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

Recalling to Warning:
Sosial-Scientific Criticism (SSC) of 1 Corinthians 10:1-13

Tiffany Tamba, M.Si. Teol


Institut Agama Kristen Negeri Tarutung
tiffanytamba26@gmail.com

Abstract
The meeting of certain cultures and religions with outside cultures and religions results in
complex cultural contacts that even overlap. Add more, the high heterogeneity which will
affect the process of acculturation, assimilation, inculturation and even enculturation
which may increase diversity immunity, but on the contrary triggers sosial irregularities
experienced such as the Corinthian Christians in 1 Cor. 10: 1-13. The purpose of this study
is to see the sosial dynamics of 1 Cor. 10: 1-13 and find the theological message in it by
using the interpretation of Sosial-Scientific Criticism (SSC). The use of this method is
successful in tracing the sosial aspects that accompany Paul's warnings, advice and
message to the diverse Corinthian Christian church. As a result, Paul did a recalling to
warning (vv. 1-5) regarding the parallel experiences between his ancestors and them to
become learning (vv. 6-10) to then turn to turn (vv. 11-13) towards optimal and total
balance. starting with religious regularity, namely loyalty to Allah.

Key words: recalling to warning; Sosial-Scientific Criticism (SSC) interpretation;


heterogeneity; 1 Cor. 10: 1-13
Abstrak
Pertemuan budaya dan agama tertentu dengan budaya dan agama luar menghasilkan kontak
budaya yang kompleks bahkan tumpang tindih. Ditambah lagi heterogenitas yang tinggi
yang akan mempengaruhi proses akulturasi, asimilasi, inkulturasi bahkan enkulturasi yang
bisa jadi meningkatkan imunitas kepelbagaian, bahkan sebaliknya memicu ketidakteraturan
sosial seperti yang dialami jemaat Kristen Korintus di 1 Kor. 10:1-13. Tujuan penelitian ini
adalah untuk melihat dinamika sosial 1 Kor. 10:1-13 dan menemukan pesan teologis di
dalamnya dengan menggunakan tafsir Sosial-Scientific Criticism (SSC). Penggunaan
metode ini berhasil menelusuri aspek-aspek sosial yang menyertai peringatan, nasehat dan
pesan Paulus pada jemaat Kristen Korintus yang majemuk itu. Hasilnya, Paulus melakukan
recalling to warning (ay. 1-5) tentang adanya kesejajaran pengalaman antara leluhurnya
dengan mereka agar menjadi pembelajaran (ay. 6-10). Lalu kemudian menoleh untuk
berpaling (ay. 11-13) menuju keseimbangan optimal dan total yang dimulai dengan
keteraturan religiousitas yaitu kesetiaan kepada Allah.

Kata kunci: recalling to warning; tafsir Sosial-Scientific Criticism (SSC); heterogenitas; 1


Kor. 10:1-13

Pendahuluan
Heterogenitas akan membuka keran akulturasi, asimilasi, inkulturasi dan
enkulturasi. Suatu daerah heterogen akan membuka pertemuan lebih dari satu budaya dan
agama yang memicu kontak budaya (akulturasi), peleburan budaya (asimilasi), interpolasi
budaya (inkulturasi), bahkan pembaitan seseorang ke dalam budaya (enkulturasi). Secara
langsung maupun tidak langsung, suatu agama dan budaya akan tarik-menarik dengan

36 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany


Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

agama dan budaya tertentu. Ditambah lagi, perkembangan keanekaragaman itu tidak bisa
dibatasi siapapun. Memang, kenyataan ini akan memperkuat eksistensi kepelbagaian yang
berujung pada kedewasaan beragama dan bermasyarakat yakni siap menerima lapisan
masyarakat multikultural sekaligus multireligius dengan segala konsekuensi pluralisnya.
Dengan dugaan, eratnya eksklusivitas berbudaya dan beragama ke dalam dan cairnya
inklusivitas berbudaya dan beragama ke luar. Namun juga sebaliknya, melahirkan tendensi
lain di masyarakat yaitu hilangnya ciri khas suatu agama dan budaya tertentu yang
nantinya meredupkan keyakinan religius, mengikis persaudaraan, memicu ketidakteraturan
sosial yang menimbulkan perpecahan, meninggalkan kemurnian, dan gaya hidup yang
tercemar (menuju penyimpangan sosial).
Agaknya hal inilah yang terjadi di Korintus. Secara alami, Korintus sebagai kota
pelabuhan yang besar membuka kemungkinan-kemungkinan bercampurnya budaya
setempat dengan budaya asing, termasuk agama-agama tertentu, misalnya unsur-unsur
religius Yudaisme, pemujaan yang dilakukan orang-orang Mesir dan agama Greco Roma
lokal yang masih memiliki penganut paling banyak, sehingga mau tidak mau, orang
Kristen Korintus juga berhadapan dengan praktek-praktek religius yang ada, seperti
menyembah patung dan pergi ke kuil. Jemaat Korintus memecah diri ke dalam kelompok-
kelompok dan sekte-sekte.1 Kelompok-kelompok yang berbeda ini memiliki status sosial
yang berbeda pula. Bahkan ada kelompok yang dibentuk berdasarkan pemahaman tentang
sesuatu hal, misalnya tentang makanan (1 Kor. 11:17-24) dan sikap terhadap daging yang
dipersembahkan kepada berhala (1 Kor. 8). Dalam konteks perjumpaan ini, orang Kristen
Korintus menghadapi beberapa persoalan yang membutuhkan jalan keluar, sehingga
mereka mengirimkan surat kepada Paulus (1 Kor. 7:1).2

Metode Penelitian
Terhadap 1 Kor. 10:1-13, penulis menggunakan metode tafsir Sosial-Scientific
Criticism (SSC)3 yakni sebuah metode tafsir yang lahir dari presuposisi bahwa teks Alkitab

1
William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap hari: Surat 1 & 2 Korintus, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2008, 21.
2
Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian baru: Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-masalah,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994, 77.
3
Penulis akan menggunakan SSC kemudian
37 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany
Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

tidak dapat dilepaskan dari matra sosiologis, mengingat manusia (yang darinya teks
Alkitab berasal dan ditujukan) selalu hidup dalam dunia yang komprehensif meliputi
antropo-sosial. Kenyataan yang jelas bahwa terdapat perbedaan konteks sosial penerima
surat pada masa itu dengan konteks pembaca hari ini, sehingga dengan metode SSC, teks
akan diletakkan dalam konteks sosialnya sehingga dapat diketahui apa yang ingin
disampaikan penulis terhadap pembaca aslinya.4
Jhon H. Elliot mengatakan metode eksegese ini dapat membantu kita menganalisa
perspektif sosial, budaya dan konteks lingkungan pada zamannya melalui pandangan, teori,
model dan penelitian sains sosial.5 Dengan demikian aplikasi metode ini menawarkan
kepada kita sebuah cara pandang sosial sebagai sarana dalam interaksi sosial. SSC
merupakan sebuah fase tugas eksegetis yang menganalisis dimensi sosial, budaya teks dan
lingkungan konteksnya melalui pemanfaatan perspektif, teori, model dan penelitian ilmu-
ilmu sosial. SSC merupakan sebuah komponen metode historis kritis yang menginvestigasi
teks biblika sebagai konfigurasi bahasa penuh makna yang dimaksudkan untuk
mengomunikasikan pengarang dan pembaca. Ada 3 hal penting yang perlu diperhatikan
dalam proses menafsir SSC:6

(1) Not only the sosial aspect of the form and content of text but also the
conditioning factors of and intended consequences of the communication process;
(2) the correlation of the text linguistic, literary, theological (ideological), and
sosial dimensions; and (3) the manner in which this textual communication was
both a reflection of a response to a specific sosial and cultural context – that is, how
it was designed to serve as an effective vehicle of sosial interaction and an
instrument of sosial as well as literary and theological consequence.

Ketiga poin penting itu meliputi faktor yang mengkondisikan peristiwa, korelasi
lingustik teks, literatur, teologi (ideologi) dan dimensi sosial dan cara beradanya sebuah
teks dilihat dari interaksi dan instrumen sosial.

4
Jhon H. Elliot, A Home for the Homeless: A Sosial-Scientific Criticism of 1 Peter, Its Situation and
Strategy, Minneapolis: Fortress Press, 7.
5
Jhon H. Elliot, What Is Sosial-Scientific Criticsm, Minneapolis: Fortress Press, 1993, 7.
6
Jhon H. Elliot, What Is Sosial-Scientific Criticsm, 7.
38 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany
Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

Kota Korintus di Tengah Kemajuan


Salah satu hal yang menjadi ciri khas orang Korintus adalah kebhinekaan
masyarakatnya. Komposisi masyarakat Korintus majemuk yang memungkinkan banyaknya
variasi agama, aliran, dan kepercayaan mendapat pendukung dan penganut di kota itu.
Agama-agama yang ada bukan saja berasal dari Roma dan Yunani, tetapi juga malah
terutama agama-agama yang berasal dari kawasan timur, khususnya dari Mesir. Dewi yang
paling laku dan paling dipuja di Korintus ialah Aphrodite (Latin: Venus). Ia adalah dewi
cinta birahi. Kuilnya banyak dikunjungi orang-orang di kota itu dan dahulu dewi itu dipuja
melalui sundal suci, sehingga di sana tersedia ribuan pelacur (suci). Bahkan ditemukan
berbagai patung tanah liat berbentuk alat kelamin yang dipersembahkan untuk dewa obat
Asklepius yang turut menegaskan kesan cabul dari kota ini. Ratusan kuil pelacuran dan
penyembahan kepada dewi cinta Afrodit merupakan bukti lain betapa perzinahan tidak
dapat dipisahkan dari kota ini.7
Kedudukannya sebagai pelabuhan laut yang penting pada salah satu rute yang
paling ramai di Laut Tengah telah memastikan hal tersebut. Selain itu, penduduk kota
Korintus mempunyai watak yang sangat dinamis.8 Jemaat di Korintus terdiri dari beberapa
orang Yahudi tetapi kebanyakan adalah orang bukan Yahudi yang dahulu menyembah
berhala. Setelah Paulus meninggalkan Korintus, berbagai macam masalah timbul dalam
gereja yang masih muda itu, yang memerlukan wewenang dan pengajaran rasulinya. 9
Berbeda dengan penduduk kota Athena, orang-orang Korintus terbuka untuk pengaruh
asing (sebab tidak mempunyai pegangan asli dan tradisonal). Macam-macam aliran
tersebar di Korintus dan kota itu terbuka untuk perkembangan, pembaharuan dan masa
depan. Tetapi sekaligus penduduk itu suka menempuh jalannya sendiri, lepas dari segala
ikatan, mencoba sana-sini dan mencampurkan segala apa yang disenangi dan dipilih.
Mereka suka keras kepala dan rewel.10 Bahkan tidaklah mengherankan jika orang-orang
dengan latar belakang rohani dan intelektual yang begitu berbeda, masing-masing

7
C. Groenen OFM, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru……, 238.
8
C. Groenen OFM, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru……, 228.
9
Jhon Drane, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012, 350.
10
Edward Adams dan David G. Horrell, ed., Christianity at Corinth…, 6.
39 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany
Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

membawa gagasan-gagasan dan ide-ide yang berlainan.11 Akhirnya, jemaat Korintus pecah
menjadi empat kelompok yang berlainan, yang disebut Paulus dalam 1 Korintus 1:10-17. 12
Jemaat Korintus mengalami perpecahan, yang berdampak pada perbedaan-perbedaan
penafsiran terhadap iman Kristen. Dengan demikian timbullah sikap membanggakan
golongan sendiri dan menganggap golongan lain tidak begitu tepat.

Atas situasi sosial di atas, saya mengajukan analisa sebagai berikut:


Recalling dalam Rangka Peringatan (ay. 1-5)
Surat 1 Korintus adalah salah satu surat Paulus yang paling bervariasi baik dari segi
isi maupun gayanya.13 J. Sidlow Baxter menyebutnya sebagai “sabda penghidupan” untuk
melawan ajaran sesat.14 Setiap bagiannya penuh dengan kuasa, kasih, pertimbangan, dan
berfaedah bagi kita hari ini karena jelas 1 Korintus berisi banyak celaan atas kesalahan
dalam kehidupan sehari-hari.15 Perikop 1 Kor. 10:1-13 berisi teguran Paulus terhadap sikap
dan tindakan jemaat Kristen Korintus. Data historis yang ada menunjukkan bahwa kota ini
juga dihuni oleh para mantan budak yang berasal dari kota Roma. Penemuan sebuah
prasasti Kuno di Kota Korintus membuktikan bahwa sejak dahulu kota itu juga didiami
sejumlah besar orang Yahudi dengan rumah ibadat mereka (Kis. 18:4). Orang-orang
Yunani pun tidak ketinggalan turut mendiami kota baru yang nyaman ini. Mereka tentu
saja tetap membawa budaya Hellenis (Yunani) mereka dalam bentuk bahasa Yunani Koine
sebagai bahasa persatuan, filsafat, keagamaan, teater dan stadion olahraga. Kemajemukan
ini juga tergambar dalam kemajemukan jemaat Korintus. Jemaat terdiri dari orang-orang
berpendidikan dan terhormat maupun sebaliknya (1 Kor. 1:26), orang Yahudi maupun non
Yahudi (1 Kor. 7:18-19), budak maupun orang merdeka (7:21-22), kaya maupun miskin
(11:22).16 Kondisi ini menuntut Paulus untuk menegur jemaat itu dengan memperhatikan
pengetahuan jemaat orang Korintus yang terdiri dari berbagai kalangan ini.

11
Edward Adams dan David G. Horrell, ed., Christianity at Corinth…., 88.
12
Haposan Silalahi, Pengetahuan dasar tentang Kitab Perjanjian Baru, Medan: Mitra, 2012, 28.
13
Merryl C. Tenney, Survei Perjanjian Baru, Malang: Gandum Mas, 1992, 367.
14
J Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab 4; Roma-Wahyu, Jakarta: YKBK, 1996, 51.
15
J Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab 4; Roma-Wahyu…., 43.
16
Horsley, Abingdon New Testament Commentaries…, 23-24.
40 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany
Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

Walaupun kota ini penduduknya sangat majemuk dan dalam taraf tertentu tetap
mempertahankan budaya masing-masing, tetapi sebagai sebuah koloni yang langsung
diperintah oleh prokonsul Romawi, kota ini sangat dipengaruhi oleh hukum, budaya dan
keagamaan Romawi. Beberapa penulis kuno bahkan menyebut Korintus sebagai miniature
Roma. Beberapa prasasti publik dan uang koin yang berhasil ditemukan di Korintus
menunjukkan bahwa bahasa Latin merupakan bahasa yang dipakai dalam hal-hal yang
formal. Sebuah kuil di bagian barat yang dipersembahkan untuk keluarga Kaisar semakin
mempertegas kesan Romawi di kota Korintus. Beberapa nama orang yang disebut dalam
surat 1 Korintus sangat bernuansa Romawi-seperti Krispus dan Gayus (1 Kor. 1:14),
Stefanus, Fortunatus dan Akhaius (1 Kor. 16:17) dan merupakan salah satu bukti pengaruh
Romawi yang sangat kuat bagi penduduk Korintus.17 Justru inilah yang menjadi peringatan
keras Paulus. Perjumpaan iman jemaat Kristen Korintus dengan prinsip, budaya, dan
tradisi iman kekaisaran berpotensi membinasakan iman mereka.
Identifikasi tersebut semakin jelas melihat kota ini berada pada jalur yang strategis.
Kota ini terletak di tanah genting (Isthimus) yang menghubungkan Peloponis dengan
daerah-daerah Yunani lainnya. Letak yang dekat dengan pelabuhan Lekhaeum di sebelah
utara (Teluk Korintus), dan Kankrea di sebelah timur (telat Saronik) membuat Korintus
menjadi kota penghubung perdagangan antar barat dan timur. Jalur ini sekaligus menjadi
alternatif bijaksana bagi para pelaut untuk menghindari kondisi perairan sekitar peloponis
yang rawan dengan badai. Situasi ini dengan cepat mengubah kota Korintus menjadi
sebuah kota metropolitan yang makmur. Banyak penduduk yang kaya di samping orang-
orang miskin juga tetap ada. Kesenjangan sosial yang sangat tinggi antara orang kaya dan
orang miskin merupakan salah satu fenomena umum di kota Korintus, sebagaimana dicatat
oleh beberapa penulis sejarah kuno waktu itu. Kesenjangan ini tidak jarang menjurus pada
penindasan dan penghinaan terhadap orang miskin.18
Kemajuan kota pada gilirannya mempengaruhi cara berpikir orang-orang Korintus
tentang nilai-nilai kehidupan. Kebanggaan atau kemuliaan merupakan nilai hidup yang
paling penting. Status sosial merupakan segala-galanya bagi mereka. Ada beragam faktor

17
Margaret Y. Macdonald, The Pauline Churches; A Socio-historical study of Institutionalization in
the Pauline and Deutero-pauline Writings, Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
18
Edward Adams dan David G. Horrell, ed., Christianity at Corinth; The Quest for the Pauline
Church…, 4.
41 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany
Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

yang dianggap menentukan status sosial seseorang, misalnya jenis pekerjaan, kekayaan,
pengetahuan/ pendidikan, kemurnian religius, posisi keluarga dan kelompok etnis. Ambisi
untuk mencapai status sosial yang terhormat direalisasikan melalui berbagia cara:
pengadaan hubungan pribadi, dukungan dana untuk pertandingan maupun festival tertentu,
peranan penting dalam suatu ibadah tertentu, demonstrasi retorika dan pengetahuan
filsafat. Pencitraan sosial yang berlebihan ini tanpa terelakkan telah menciptakan
perpecahan dan sentimen kelompok. Suatu kelompok berusaha merangkul sebanyak
mungkin pengikut melalui kekayaan dan kemampuan retorika mereka, sementara
kelompok yang lain meresponi itu dengan tindakan yang sama. Tidak jarang para pengikut
seorang orator menjelek-jelekkan pengikut dari aliran lain. Situasi ini semakin memperkuat
kesan bahwa kehormatan, kebanggaan, dan kemuliaan secara sosial adalah segala-galanya.
Orang rela mengorbankan dan melakukan apapun untuk memperoleh kemegahan duniawi
ini. 19
Ciri khas orang Korintus yang sangat berambisi untuk mendapatkan kehormatan
sosial merupakan nilai hidup yang sangat bertentangan dengan kekristenan. Kota Korintus
mengajarkan bahwa kebesaran seseorang terletak pada seberapa besar kuasa yang ia
dapatkan. Sedangkan salib Kristus mengukur kebesaran berdasarkan seberapa besar
seseorang mau melepaskan kuasa yang ia miliki. Prinsip duniawi melepaskan merupakan
tindakan yang terpuji (1 Kor. 9:12-18). Bagi orang-orang Korintus kemegahan berkaitan
dengan kemampuan, sedangkan Injil justru mellihat kemegahan terletak pada kesadaran
diri untuk mengakui ketidakmampuan kita dan perlunya menyandarkan diri pada Allah (1
Kor. 1 27-29). Bagi orang Korintus status sebagi tokoh atau pemimpin tidak lebih daripada
sekadar hamba (1 Kor. 3:5) yang tidak boleh dijadikan dasar kemegahan (1 Kor. 3:21).
Ketika Paulus menasehati jemaat untuk meniru hidupnya, hal itu pun sejauh Paulus sendiri
telah meneladani Kristus (1 Kor. 4:6-17; 11:1). Begitu kontrasnya dua nilai kehidupan ini
sehingga tidak heran berita salib dianggap sebagai suatu kebodohan (1:18, 22-23).20
Sayangnya tidak semua jemaat Korintus hidup berpadanan dengan kebenaran.
Mereka lebih tertarik dengan prinsip duniawi. Mereka menyukai cara berpikir dunia (1

19
Edward Adams dan David G. Horrell, ed., Christianity at Corinth; The Quest for the Pauline
Church…., 7.
20
Edward Adams dan David G. Horrell, ed., Christianity at Corinth; The Quest for the Pauline
Church…., 10.
42 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany
Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

Kor. 20; 2:12; 3:19). Hikmat (dari filsafat) dan kemampuan retorika dianggap sebagai hal
yang penting (1 Kor. 1:18-31; 2:1-5). Sama seperti para pengikut orator sekuler waktu itu,
jemaat Korintus pun saling menjatuhkan kelompok lain dan menganggap pemimpin favorit
mereka sebagai orator yang lebih hebat daripada pemimpin yang lain. Kuasa Injil (1 Kor.
1:24) melalui pekerjaan Roh Kudus (1 Kor. 2:6-16) mulai dilupakan.21 Bagi mereka berita
Injil terlalu sederhana (bahkan terkesan bodoh), sebab tidak memenuhi kriteria sebagai
“hikmat.” Keinginan untuk memiliki status sosial yang terhormat juga membuat jemaat
rentang terhadap bahaya perpecahan. Mereka ingin menonjolkan kelompok mereka sendiri.
Perpecahan ini berkaitan dengan isu seputar hikmat atau pengetahuan (1 Kor. 1:10-11, 17-
18; 2:6; 8:1-2, 7, 10), perbedaan etnis (1 Kor. 8:9-11), perbedaan jenis kelamin (11:2-16),
kesenjangan ekonomi (1 Kor. 11:17-22) dan perbedaan karunia rohani (1 Kor. 1-14:40).
Dalam situasi perpecahan seperti ini, tidak mengherankan apabila kita menemukan dua
pandangan yang sangat ekstrim dan kontradiktif muncul bersamaan dalam jemaat.
Sebagian meremehkan dosa seksual (1 Kor. 5:1-3; 6:12-13), sedangkan yang lain
menganggap seks (bahkan dalam konteks suami isteri) sebagai dosa (1 Kor. 7:1-5).
Krisis kasih dan kesatuan di atas merupakan tantangan besar bagi Paulus yang
mencoba menerapkan prinsip kesetaraan sebagai tubuh Kristus (1 Kor. 12:12-27) dan
keutamaan kasih (1 Kor. 13:3-13). Ajaran Paulus tentang perlunya mengekang kebebasan
kita demi kepentingan orang lain (1 Kor. 8:9, 13; 9:19, 22b; 10:24) pasti terlihat sungguh
aneh bagi jemaat Korintus yang sudah terpengaruh oleh prinsip dunia waktu itu. Keinginan
untuk diterima dan dihargai dalam suatu kelompok sosial juga menyebabkan sebagian
jemaat melakukan tindakan kompromi terhadap dosa tertentu (1 Kor. 5:9-11). Mereka juga
rela meleburkan diri dalam kelompok sosial tertentu sekalipun hal itu membahayakan iman
mereka, misalnya berpartisipasi aktif dalam perjamuan makan di kuil (1 Kor. 8:1; 10:1-22).
Mereka mengadopsi cara-cara duniawi dan menyelesaikan masalah (6:1-11). Pemikiran
duniawi pun diterima karena dianggap lebih rasional (1 Kor. 15:12). Pergaulan ini akhirnya
merusak kebiasaan yang baik (1 Kor. 15:33). Pendeknya, mereka tidak mau kehilangan

21
Edward Adams dan David G. Horrell, ed., Christianity at Corinth; The Quest for the Pauline
Church…., 11.
43 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany
Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

respek penerimaan dari kelompok mereka sendiri, karena bagi mereka status sosial adalah
segalanya.22
Pengaruh lain dalam bidang sosial berkaitan dengan isu moralitas. Fakta bahwa
dosa percabulan dengan pelacur dan perkawinan antar keluarga (incest) mampu
mempengaruhi orang Kristen di Korintus (1 Kor. 5:1-13; 6:12-20) menunjukkan betapa
kuatnya godaan seksual dan kemerosotan moral yang ada di kota Korintus. Bahaya
percabulan yang dikuatirkan Paulus di 1 Kor. 7:2a kemungkinan juga berhubungan dengan
situasi konkrit di Korintus (faktor eksternal), walaupun dosa seksual tetap melibatkan
kelemahan dalam diri seseorang (faktor internal). Semua penjelasan di atas seharusnya
menjadi pelajaran rohani bagi orang-orang Kristen modern. Kita memang tidak mungkin
hidup di luar dunia ini (1 Kor. 5:10). Kita akan selalu bersentuhan dengan orang-orang
yang tidak percaya (1 Kor. 5:10; 10:27). Kita bahkan dipanggil untuk peka terhadap
budaya orang lain demi pemberitaan Injil (1 Kor. 9:19-23).
Posisi jemaat Korintus di ataslah mendorong Paulus untuk memperingatkan jemaat
itu supaya jangan jatuh pada kesalahan yang sama seperti umat Israel. Ini adalah recalling
dalam rangka memperingati mereka. Melihat unsur jemaat yang tidak hanya miskin dan
berpengetahuan luas agaknya menjadi sumber penyelewengan bagi mereka untuk tidak
berpadanan dengan Injil. Penyembahan berhala, percabulan, bernafsu terhadap kejahatan,
dan lain-lain identk dengan perilaku menyimpang Umat Israel. Agaknya Paulus
menunjukkan kesamaan antara bangsa Israel dan jemaat Korintus. Mereka sama-sama
umat Allah. Mereka memiliki aturan-aturan keagamaan yang sama, pengalaman luar biasa
yang sama dengan Allah dan kesamaan inilah yang membuat nasihat dan peringatan 1 Kor.
10:1-13 menjadi relevan bagi jemaat Korintus. Dengan demikian, persamaan ini yang
digunakan Paulus untuk recalling mereka dalam rangka memperingatkan mereka.
Kesejajaran Pengalaman Menjadi Pembelajaran (ay. 6-10)
Perikop ini diawali dengan pernyataan positif Paulus tentang kesejajaran jemaat
Kristen Korintus dengan Umat Israel. Richard A. Horsley mengatakan 1 Kor. 10: 1-13
secara integral terhubung dengan seluruh 1 Kor. 8-10 dan diarahkan secara khusus kepada
jemaat Kristen Korintus yang dikhususkan memiliki gnosis. Paulus mengatakan hubungan
orang Israel dan orang Kristen Korintus sama yaitu sebagai umat Tuhan yang mengalami

22
Edward Adams dan David G. Horrell, ed., Christianity at Corinth; The Quest for the Pauline
Church…., 13-15.
44 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany
Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

peristiwa salfivik. Paulus mendeskripsikan Umat Israel sebagai leluhur rohani orang
Kristen Korintus dengan menguraikan simbol-simbol keselamatan transenden yang
diterima nenek moyang πατέρες (Umat Israel) sewaktu mereka di Padang Gurun (1 Kor.
10:1-4).23 Horsley mengatakan baik Paulus, Apolos dan Korintus pada dasarnya hidup
dalam budaya lisan sehingga jarang ada orang yang benar-benar mengutip dari teks yang
sebenarnya. Dari generasi ke generasi, berbagai cara untuk menceritakan kisah-kisah
penting tentang pembebasan Allah dari perbudakan Mesir dan perjalanan di padang gurun
telah berkembang. Sehingga tidak heran jika Paulus pun menggunakan kisah tersebut
untuk menegur mereka. Craig S. Keener mengatakan bahwa 1 Kor. 10:1-13 berisi argumen
Paulus tentang penyembahan berhala sebagai hal yang salah dan menghantarkan seseorang
kepada hidup yang akhirnya menjadi batu sandungan bagi orang lain.24
Paulus seolah membuka memori lama Israel untuk jadi peringatan bagi orang
Kristen Korintus dapat belajar dari praktek negatif di padang gurun seperti yang
disampaikan David E. Garland.25 Dia mengatakan bagian ini menunjukkan bahwa Paulus
hendak menekankan Perjanjian Lama sebagai sumber otoritatif dan aplikatif bagi orang
Kristen Korintus. Garland mengumpamakan posisi Paulus seperti seorang ayah yang
bersedih karena orang Korintus yang “bermesraan” dengan bahaya berhala. Ia melihat
tindakan melanggar kewajiban perjanjian dengan Allah dan menguji Allah ἐκπειράζωμεν τὸν
Χριστόν adalah tindakan bunuh diri walaupun mereka telah berpengalaman dengan proteksi
Allah, kehadiran Kristus, prefigurasi baptisan dan persekutuan dalam perjamuan Tuhan
namun mereka gagal memasuki tanah perjanjian karena penyembahan berhala μηδὲ
εἰδωλολάτραι γίνεσθε καθώς τινες αὐτῶν mereka. Agaknya disini Paulus menjadikan
pengalaman nenek moyang Israel menjadi sebuah peringatan langsung kepada Korintus
atas situasi penyembahan berhala yang mereka lakukan.26
Ia memulainya dengan sebuah langkah menginformasikan kepada generasi ini
bagaimana nenek moyang mereka dahulu dilindungi oleh Tuhan. Ia mengawalinya dengan
kalimat, “Aku mau, supaya kamu mengetahui, saudara-saudara…. Kata “saudara-saudara”

23
Horsley, Abingdon New Testament Commentaries…., 134.
24
Craig S. Keener, 1-2 Corinthians, New York: Cambridge University Press, 2005, 84.
25
David E. Garland, 1 Corinthians; Baker Exegetical Commentary of the New Testament, USA:
Grand Rapids, 2003, 446.
26
Garland, 1 Corinthians...., 447.
45 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany
Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

sepertinya menunjukkan pergeseran bicara yang biasanya kepada pelayanannya sendiri ke


sebuah diskusi teologi alkitab.27 Secara jelas, agaknya Paulus menilai orang Kristen
Korintus sudah familiar dengan kisah Perjanjian Lama dan ia menggarisbawahi bahwa
mereka kehilangan ingatan itu.28 Paulus merasa bahwa kepada mereka perlu ditekankan
bagaimana Allah sudah berkali-kali memberikan perhatian-Nya, namun bangsa itu
akhirnya binasa (1 Kor.10:5). Ayat ini mengandung makna, “pengetahuan” adalah ketika
semua pelajaran dapat diaplikasikan dan hasilnya benar-benar membangun mereka (1 Kor.
8:1-3).29
Pandangan Yahudi di atas agaknya diketahui oleh Paulus. Karena dia sendiri adalah
orang Yahudi yang sudah tentu mewarisi tradisi lisan nenek moyang mereka. Menurut
Garland, Paulus melihat kesejajaran pengalaman spiritual orang Kristen Korintus dengan
interpretasi peristiwa keluaran dalam hal ini. Sehingga ia mengklaim bahwa generasi
padang gurun juga menerima baptisan. Dalam hal ini ia membandingkan pembebasan dari
padang gurun dengan baptisan sebagai simbol pembebasan. Bukan berarti dia memandang
hal ini sebagai sebuah ritus sakramen (band. Titus 3:5) akan tetapi ia membayangkan laut
seperti roti, bayangan awan di padang gurun yang mengandung baptisan dalam Musa.
Kemudian makna istilah “baptis” ditarik jauh (far-fetched), mirip dengan 1 Pet.3:20-21
dimana delapan roh (eight souls) diselamatkan dari air bah. Sebenarnya bagi orang Yahudi
tidak ada istilah “baptisan”, namun agaknya Paulus yang mengetahui tradisi Yahudi yang
mengklaim bahwa Orang Israel di Sinai menerima keselamatan melalui “pencelupan”.
Kemungkinan Paulus dipengaruhi kepercayaan Yahudi yang menyebut “penebus yang
terakhir” (the latter redeemer).30
Selanjutnya, menarik ketika Barret menyebut makan makanan rohani dan minum
minuman rohani yang sama diterjemahkan dengan “same spiritual drink and spiritual
bread” sama dengan the same spiritual blessings. Bahkan Paulus menggunakan istilah
“batu karang rohani” yang dikenal sebagai spiritual karena sepertinya Paulus hendak

27
W. L. Willis, “Idol Meat in Corinth: The Pauline Argument in 1 Corinthians 8 and 10. Society of
biblical Literature Dissertasion Series 68. Chico, calif.: Scholars Press” dalam Garland, 1 Corinthians…,
448.
28
R. B. Hays, Echoesos Scripture in the Letters of Paul” dalam Garland, 1 Corinthians…, 448.
29
Garland, 1 Corinthians…, 448.
30
Garland, 1 Corinthians...., 458.
46 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany
Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

memberitahu bahwa tidak ada hubungan antara hukum alam dengan kekuatan Tuhan.
Karena Tuhan memiliki elemen natural independen. Hal ini erat kaitannya dengan
perspektif Yahudi dalam kisah di padang Gurun, bahwa laut juga hidup dan berada.
Keberadaan Israel yang manusiawi dan berulang kali mengalami ketegangan dengan Musa,
Tuhan dan keadaan menunjukkan kedirian yang tidak layak untuk diteladani. Sehingga 1
Kor. 10:1-13 menjadi peringatan bagi Kristen Korintus yang agaknya memiliki kebiasaan
yang mirip-mirip.
Perlu kita ketahui bahwa sekalipun Paulus sangat berjasa bagi jemaat Korintus,
namun sikap jemaat terhadap dia tidak selalu positif. Mereka membandingkan Paulus
dengan rasul-rasul lain (1 Kor. 1:12), menghakiminya (1 Kor. 4:3-5) dan mengkritiknya (1
Kor. 9:3) sekalipun ia adalah pendiri jemaat itu. Walaupun Paulus sudah meresponi hal ini
dengan adil (1 Kor. 3:5-7), rendah hati (1 Kor. 3:22; 4:9) dan lemah-lembut (1 Kor. 4:14-
15, 21), tetapi relasinya dengan jemaat Korintus tampaknya tetap buruk. Memang
pertentangan tersebut terlihat masih belum mencapai taraf serius dan frontal. Hal ini dapat
kita ketahui dari sebagian jemaat yang masih memberi dukungan pada Paulus (1 Kor. 1:
12-13). Mereka pun masih mau menanyakan pendapat Paulus tentang beberapa hal (1 Kor.
7:1). Ada banyak faktor yang melatarbelakangi sikap tersebut. Masing-masing kelompok
yang tidak menyukai Paulus memiliki alasan tersendiri. Pertama, kehadiran dan kehebatan
retorika Apolos. Setelah Paulus meninggalkan Korintus, pelayanan di sana digantikan oleh
Apolos (Kis. 19:1) yang terkenal dengan kepandaiannya dalam kitab suci maupun retorika
(Kis. 18:24, 28). Jika dinilai dari sisi retorika, khotbah Paulus memang tidak seberapa
bagus, karena tidak disampaikan dalam hikmat perkataan (1 Kor. 1:17b; 2:1) dan dipenuhi
kelemahan dan kegentaran (1 Kor. 2:3). Walaupun Apolos dan Paulus tidak memiliki
problem relasi sama sekali (1 Kor. 16:12; bdk. 3:8-9), namun kelebihan Apolos dianggap
memenuhi selera jemaat yang sangat mengagungkan retorika dan hikmat duniawi.
Ditambah dengan semangat hidup yang ambisius terhadap kehormatan diri sendiri dan
kelompok, jemaat Korintus memanfaatkan perbedaan dua rasul tersebut sebagai sumber
pertikaian. Bagi mereka yang sudah tidak suka dengan Paulus, kehebatan Paulus,

47 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany


Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

kehebatan Apolos adalah senjata yang efektif untuk merendahkan Paulus. Paulus dianggap
lemah secara retorika (2 Kor. 10:10).31
Kedua, Paulus enggan menerima tunjangan hidup. Paulus beberapa kali
menegaskan bahwa ia tidak menerima tunjangan apapun dari jemaat Korintus (1 Kor. 9:15-
18; 2 Kor. 11:7-12; 12:13). Ia memilih untuk bekerja sendiri (Kis. 18:2-3) atau didukung
oleh jemaat lain (2 Kor. 11:8). Sikap di atas ternyata menimbulkan masalah. Sekilas hal ini
tampak aneh di telinga orang modern. Jika kita melihat ini secara sosiologis, maka kita
akan menemukan alasan yang masuk akal. Waktu itu memberi bantuan dana bagi
perkembangan suatu ajaran melalui para pengkhotbahnya merupakan kebanggaan
tersendiri. Para pengkhotbah keliling, baik dari kalangan filsuf maupun tokoh agama,
mereka didukung oleh orang-orang yang mereka layani (bdk. 9:4, 6, 11-12, 14). Mereka
bahkan sangat menggantungkan diri pada pemberi bantuan. Ketika Paulus menolak untuk
didukung secara finansial, ia dianggap menutup kesempatan jemaat Korintus untuk
membanggakan diri. Bukan hanya menutup kesempatan, tetapi juga merendahkan mereka,
karena dalam kenyataannya Paulus bersedia menerima dukungan materi dari jemaat lain (2
Kor. 11:7-8). Di samping itu, penolakan ini dimanfaatkan jemaat Korintus untuk
meragukan kapasitas Paulus sebagai pengkhotbah. Mereka beranggapan bahwa seandainya
Paulus benar-benar seorang pengkhotbah ulung, maka ia seharusnya juga menerima
tunjangan, sama seperti para pengkhotbah yang lain. Pekerjaan sebagai pembuat tenda
waktu itu seringkali dipandang sebagai pekerjaan yang rendah secara sosial (1 Kor. 4:10-
13; 2 Kor. 11:9, 27), sehingga hal ini semakin mempertegas gambaran negatif bahwa
Paulus tidak seperti Pengkhotbah hebat yang disanjung banyak orang.
Kita tidak mengetahui secara pasti mengapa Paulus menolak menerima tunjangan
dari jemaat Korintus. Ia hanya menjelaskan bahwa ia tidak mau pekabaran Injil terhambat
gara-gara hal tersebut (1 Kor. 9:12b). Alasan di balik penolakan ini pasti bukan
pertimbangan ekonomis (jemaat Korintus terlalu miskin untuk memberi), sebab Paulus
sendiri mau menerima bantuan dari jemaat lain yang miskin (2 Kor. 8:2; 11:9; Fil. 4:14-20)
dan jemaat Korintus ternyata berlebihan secara materi (2 Kor. 8:13-14). Ini mungkin hanya
sekadar kebiasaan Paulus dalam pemberitaan Injil (1 Tes. 2:9; 2 Tes. 3:7-9; 1 Kor. 4:12),
namun kita bertanya-tanya mengapa ia mau menerima tunjangan dari tempat atau orang

31
John R. Levison, “The Spirit and The Temple in Paul’s Letters to The Corinthians” dalam Stanley
E. Porter, ed., Paul and His Theology Volume 3, Leiden: Koninklijke Brill NV, 2006, 189.
48 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany
Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

lain. Walaupun penolakan Paulus mungkin didorong oleh alasan yang beragam, tergantung
pada masing-masing jemaat, tetapi dalam kasus jemaat Korintus penolakan ini
kemungkinan besar berkaitan dengan ambisi mereka untuk membanggakan diri melalui
bantuan yang diberikan.
Ketiga, konsep tentang kerohanian yang salah. Beberapa ayat menunjukkan bahwa
jemaat Korintus merasa diri lebih baik daripada Paulus, karena itu mereka merasa berhak
untuk menghakimi dia (1 Kor. 4:3; 9:3). Semua ini berakar dari konsep tertentu yang salah,
sebagaimana terlihat dari pemakaian ungkapan “jika seseorang menyangka bahwa ia…” (1
Kor. 3:18; 8:2; 14:37). Salah paham ini berhubungan dengan hikmat, pengetahuan, dan
kerohanian. Tidak heran, Paulus sering menyinggung tentang masalah kemegahan atau
kesombongan rohani (1 Kor. 1:31; 3:21; 4:6, 7, 18; 5:2). Salah satu istilah yang dipakai
oleh sebagian penafsir untuk menggambarkan orang-orang yang salah konsep ini adalah
pneumatikoi (1 Kor. 14:37 “orang yang rohani”). Mereka menganggap diri memiliki
hikmat dan pengetahuan khusus serta berada dalam tahap kerohanian yang sangat tinggi.
Mereka merasa sudah hidup pada penggenapan eskatologis yang sempurna. Mereka
mengaku bisa berkata-kata dalam bahasa malaikat (1 Kor. 13:1) dan mengetahui segala
rahasia (1 Kor. 13:2). Mereka menganggap diri sudah menjadi raja (1 Kor. 4:8). Penekanan
Paulus bahwa dia juga mendapat perintah Tuhan (1 Kor. 7:25; 14:37) atau memiliki roh
(7:25b, 40) merupakan upaya Paulus untuk menentang konsep kerohanian yang cenderung
mistis ini. Begitu “tingginya” tingkatan rohani mereka, sampai-sampai sebagian dari
mereka menganggap bahwa apapun yang mereka kerjakan dengan tubuh mereka (materi)
tidak akan berpengaruh pada kerohanian. Tubuh dianggap sebagai materi yang tidak
bernilai sama sekali (1 Kor. 6:13). Karena itulah mengapa sebagian jemaat justru bangga
dengan dosa percabulan (1 Kor. 5:1-2). Sebagai orang yang “rohani”, mereka merasa
memiliki kebebasan penuh untuk melakukan apapun (1 Kor. 6:12, 10:23). Mereka dengan
sombong menganggap persekutuan dengan orang kafir di kuil tidak akan mempengaruhi
kerohanian mereka (1 Kor. 10:12, 20-22). Kepada mereka yang merasa diri rohani, Paulus
menyebut mereka sebagai bayi rohani dan masih duniawi (1 Kor. 3:1-3).
Keempat, tuduhan terhadap ajaran dan hidup Paulus. Beberapa kesalahpahaman
yang terjadi nampaknya berkaitan dengan ajaran dan tindakan Paulus. Mereka hanya
mengutip suatu gagasan Paulus secara sembarangan dan memakai itu untuk membenarkan
konsep dan tindakan mereka (bdk. Rom. 3:8). Konsep “segala sesuatu diperbolehkan” (1
49 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany
Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

Kor. 6:12; 10:23) mungkin merupakan penyalahgunaan ajaran Paulus tentang kebebasan
kristiani (Kol. 2:20-22). Sikap menjauhi hubungan seks dalam hubungan rumah tangga (1
Kor. 1:1-5) mungkin dipicu oleh gaya hidup Paulus yang tidak mau menikah (1 Kor. 7:7).
Demikian pula dengan kebiasaan makan di kuil (1 Kor. 10:1-22) yang didasarkan pada
tindakan Paulus yang dianggap kompromis (9:19-23; 10:30), sehingga Paulus perlu
menjelaskan alasan (1 Kor. 10:24, 31-33) dan situasi detil (1 Kor. 10:25-29) yang membuat
dia terkesan tidak konsisten. Setidaknya identifikasi di atas menerangi kita tentang konteks
sosial jemaat Kristen Korintus. Kesejajaran pengalaman jemaat Kristen Korintus dengan
nenek moyangnya, umat Israel menjadi pembelajaran.

Menoleh untuk Berpaling (ay. 11-13)


Menurut Horsley, penggunaan simbol-simbol pembebasan dalam kisah keluaran
Umat Israel dari Mesir dan selama di padang gurun adalah sebuah upaya spritualisasi
religiusitas. Menurut Horsley baik ‘awan’ (artinya pelindung), ‘manna dan air’ (simbol
makanan dan minuman rohani) yang disediakan Tuhan atau Sophia untuk jiwa yang lapar
dan haus akan keabadian dan ketidaksempurnaan, dan ‘batu karang’ πέτρας (yang
menyediakan air) adalah bagian dari simbol Sophia ilahi (baca Wisdom of Solomon; Wis.
10:17, 18; 19:17). Jadi “makanan rohani” dan “minuman rohani” merupakan referensi
paralel dari “di bawah perlindungan awan” dan “di baptis (ἐβαπτίσαντο) di dalam awan dan
dalam laut” (ἐν τῇ νεφέλῃ καὶ ἐν τῇ θαλάσσῃ: 1 Kor. 10: 1-4) merupakan simbol dari Sophia
atau gnosis yang diperoleh dari meditasi terhadap kisah Keluaran dan simbol padang
gurun. Peristiwa itu dipahami secara rohani. Manfaat yang diperoleh dengan berada “di
bawah awan”, “melewati laut”, dan “perjamuan makanan rohani” (πνευματικὸν βρῶμα
ἔφαγον) adalah bagian dari keamanan dan kepastian keselamatan transenden dari Sophia.
Agaknya Paulus menggunakan analogi ini untuk menjelaskan teologinya karena keadaan
jemaat Kristen Korintus yang memuja gnostik. Selanjutnya, penentangan dramatis Paulus
terhadap fokus rohani Korintus pada simbol-simbol Sophia sebagai sumber pencerahan dan
keamanan mereka dengan tegas ditegur Paulus sebagai hal yang salah, jahat dan Allah
tidak berkenan untuk hal-hal itu (ay. 5). Paulus menjelaskan peringatan-peringatannya
berturut-turut ini dalam 10: 6-11 dengan kalimat “jangan kita ... seperti yang telah mereka

50 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany


Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

perbuat”. Dia membingkai nasihat dalam 10: 6-11 sebagai pernyataan yang paralel dengan
apa yang terjadi pada orang Israel kuno.32
Paulus yang berdiri di dalam tradisi Yahudi-Israel mendasarkan nasihatnya pada
insiden di padang gurun yang mengacu pada pandangan dan praktik penyembahan berhala
orang Korintus. Ia memilih contoh-contoh τυπικῶς penyimpangan Umat Israel yang
memiliki resonansi yang sama dengan pandangan dan praktik “kejahatan” orang Korintus.
Orang-orang Korintus juga memahami “keinginan” daging sebagai lawan dari kehidupan
rohani transenden mereka di alam material-sosial (seperti yang disarankan oleh prinsip-
prinsip mereka yang dikutip oleh Paulus dalam 1 Kor. 6:13). Dalam penekanan di ayat 7,
sebenarnya Paulus mengutip pengalaman umat Israel keluar dari Mesir dan dalam
perjalanan di padang gurun hanya sehubungan dengan penyembahan berhala dan bagian
ini sebagai perhatian utamanya. Pemberian korban persembahan dan anak lembu emas
(Kel 32: 6) merupakan perjamuan di hadapan berhala sekaligus contoh klasik dari
penyembahan berhala Israel. Persekutuan dengan dewa-dewa asing bisa jadi menyatukan
spirit berhala dengan orang yang melakukan ritus itu seperti yang dikatakan Margaret Y.
Macdonald.33 Ditambah lagi amoralitas seksual (ay. 8) yang merupakan perhatian utama
Paulus dalam pasal 5, 6, dan 7 yang secara teratur terkait dengan penyembahan berhala.
Horsley menilai kalimat “dua puluh tiga ribu” orang ditewaskan dalam ayat 8 καὶ ἔπεσαν
μιᾷ ἡμέρᾳ εἴκοσι τρεῖς χιλιάδες berkaitan dengan orang-orang yang berpasangan dengan
anak-anak perempuan Moab (Bil. 25: 1-9). Dalam ayat 11 Paulus menyimpulkan bahwa
dari pengalaman Israel sebaiknya orang Kristen Korintus belajar dan menjadikannya acuan
dan menjadi peringatan. Paradigma yang ditawarkan perikop ini adalah bahwa pengalaman
Umat Israel Kuno mengartikulasikan pemahaman khusus tentang tujuan tradisi kitab suci
yang dituliskan menjadi Kitab Suci. Alkitab menceritakan peristiwa yang terjadi pada
bangsa Israel kuno yang bisa jadi untuk mengajar kita generasi pembaca di lain generasi
dalam hal ini Korintus. 1 Kor. 1:1-13 diakhiri dengan ayat 12-13.
Horsley mengatakan orang-orang Korintus sangat yakin akan keselamatan rohani
mereka karena merasa telah mempraktikkan disiplin diri untuk mencapai kerajaan Allah,
padahal sudah seharusnya mereka waspada sebab jika mereka mempertahankan sikap dan

32
Horsley, Abingdon New Testament Commentaries…., 337.
33
Margaret M. Macdonald, The Pauline Churches …., 41.
51 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany
Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

tindakan di atas, maka mereka akan berakhir seperti orang Israel yang gagal mencapai
tanah perjanjian karena gagal mengerjakan keselamatan mereka dengan melakukan
penyembahan berhala dan memprovokasi Tuhan agar murka.34 Dalam ayat 13 Paulus
menyebutkan kesetiaan Allah sebagai jaminan bagi orang-orang Korintus yang
tercerahkan. Ia hendak mendorong orang Kristen Korintus untuk tidak meragukan
kemampuan mereka yang bisa saja bertahan jika ada keinginan penyembahan berhala. Ia
meyakinkan mereka bahwa Tuhan tidak akan membiarkan mereka diuji di luar kekuatan
mereka untuk bertahan di samping dia tidak membebaskan mereka dari tanggung jawab
waspada. Dia menafsirkan makan makanan berhala sebagai ujian di mana mereka harus
segera menemukan jalan mereka.35
Dengan demikian bagian ini ditutup dengan ayat 13 yang mengatakan pencobaan
dalam bh. Yunani πειρασμὸς (temptation) adalah paket kehidupan. Pencobaan adalah
bagian dan paket dari keberadaan manusia sebagai mahkluk hidup yang tentu tidak
menyenangkan akan tetapi manusia akan mengalaminya walau sebagai sebuah penolakan.
Namun perlu ada keyakinan bahwa Tuhan akan memperbesar kapasitas seseorang sehingga
dapat menanggungnya. Bagi sebagian penafsir ini merupakan peringatan, misalnya
Anthony C. Thieselton menilai orang Kristen Korintus seharusnya tidak sombong supaya
mereka jangan gelisah dan jatuh dalam pencobaan.36 Namun Garland melihat ini adalah
dorongan yang mengingatkan mereka selaku umat perjanjian yang mewarisi janji Tuhan.
Dengan begitu mereka mampu bertahan (bear up under) dalam pencobaan karena rahmat
Tuhan tidak dibatasi oleh kapasitas manusia.37 Namun bagi penulis, bagian ini tetap
merupakan sebuah peringatan yang di dalamnya mengandung dorongan yang
memungkinan orang Kristen Korintus untuk memikirkan ulang sikap dan tindakan bersalah
mereka berdasarkan ulasan back memory yang ditawarkan Paulus. Sehingga masa lalu
orang Israel bisa jadi kenangan di masa lalu, tapi jadi peringatan untuk orang Kristen
Korintus kemudian.

34
Horsley, Abingdon New Testament Commentaries…., 138-139.
35
Horsley, Abingdon New Testament Commentaries…., 139.
36
Anthony C. Thieselton, The International Greek Testament Commentary NIGTC; The First
Epistle to the Corinthians, Michigan: Grand Rapids, 2000, 749.
37
Garland, 1 Corinthians...., 468.
52 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany
Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

Ada kecenderungan Paulus memperingatkan jemaat itu agar menoleh kisah Umat
Israel untuk kemudian berpaling dan bertolak menuju perubahan perilaku (seperti, tidak
menyembah berhala lagi, jangan mencobai Tuhan lagi, jangan bersungut-sungut lagi,
jangan melakukan percabulan lagi, dan jangan menginginkan hal-hal yang jahat lagi).
Karena bagi penulis, kalimat, “pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-
pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia karena itu Ia
tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai
Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya”
mengidentifikasi bahwa ada pembelaan sepihak dari jemaat Kristen Korintus mengenai
perilaku menyimpang mereka sebagai hal yang sulit untuk dihindarkan. Misalnya, bisa jadi
ada percakapan seperti, “apa daya kami harus mengambil langkah ini!” “Apa boleh buat,
kami tidak memiliki pilihan lain!” “Apa mau dikata, situasi yang memaksa kami
melakukan ini!” “Sebenarnya kami tidak mau berbuat seperti ini, tetapi mereka
mempengaruhi kami!” Penulis menduga, heterogenitas Korintus meruntuhkan kekuatan-
kekuatan baik religiousitas personal,maupun impersonal jemaat Korintus. Terjadi
disorientasi keyakinan dan tindakan kumulatif dalam diri jemaat Kristen Korintus yang
mendegradasi pertumbuhan eksponensial kesetiaan jemaat Kristen Korintus kepada Allah
yang setia.

Kesimpulan
Konteks majemuk jemaat Korintus agaknya dipandang buruk dan merugikan oleh
Paulus. Jika dirunut dari heterogenitas jemaat Korintus yang berdampingan dengan
kebudayaan asing agaknya meningkatkan kecemasan yang maksimum bagi Paulus. Alih-
alih memuji kepelbagaian kota Korintus yang mempengaruhi religiousitas jemaat Kristen
Korintus tersebut, Paulus mengkhawatirkan kemajemukan yang optimal itu. Dalam 1
Korintus 10:1-13 kelihatan Paulus cenderung kontradiktif dengan penurunan imunitas
religiousitas jemaat yang ditandai dengan kejahatan (ay. 6), penyembahan berhala (ay. 7),
percabulan (ay. 8), kemurtadan (ay. 9) dan lain-lain. Paulus berkali-kali menggunakan
kisah Umat Israel sebagai reminder bahkan recalling bagi jemaat Kristen Korintus dalam
rangka memperingati dan menasehati mereka. Paulus mengatakan bersekutu dengan
penyembahan berhala adalah kebiasaan yang tidak bisa dipertahankan. Kesetiaan kepada
Tuhan menolong umat Tuhan untuk jauh dari persekutuan dengan berhala (10:13).
53 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany
Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

Paulus menggunakan kisah Israel untuk kasus krusial yang dialami jemaat
Korintus. Allah menghendaki umatnya bersih dari tahayul politeistik. Allah tidak
menginginkan siapapun dari umat-Nya mencoba-coba terlibat dalam penyembahan
berhala. Umat Israel harus takut pada murka Allah sekalipun mereka tidak takut kepada
dewa-dewa lain. Paulus beranggapan bahwa orang Korintus familiar dengan kisah PL
sehingga berusaha menganalogikan kisah keluaran Umat Israel dengan sikap dan tindakan
menyimpang orang Korintus saat itu. Paulus mengklaim awan sebagai representasi
kehadiran Allah atau Roh Tuhan yang memiliki keterkaitan dengan baptisan atau bahkan
praeksistensi Kristus. Paulus sedang berusaha menemukan koneksi simbolis di dalamnya,
namun catatan perjalanan orang Israel sendiri menjelaskannya (Maz. 105:39, Bil. 14:14,
Neh. 9:12, Kel. 14:21-22, Maz. 78:13). Paulus beranjak dari pengalaman orang Kristen
Korintus untuk menemukan analogi keadaan spritualitas yang pararel di dalam tradisi kitab
suci dan menerjemahkan kisah keluaran umat Israel dari Mesir sehingga jelas dan relevan
bagi mereka. Dengan kata lain, ada kecenderungan Paulus selain untuk menyuarakan
imperative verb (seperti, bangunlah, duduklah, janganlah, dan bersukaria) menuju “kehati-
hati” melangkah melalui relatedness nasehat Paulus mengenai kisah Umat Israel (dari ayat
1-10). Paulus juga sedang mengingatkan jemaat itu tentang pretensi menyimpang yang
lama-lama terinstitusional dalam diri jemaat Kristen Korintus karena heterogenitas yang
tinggi itu.
Dengan demikian, berdasarkan penyelidikan penulis pada bagian ini, kelihatan
Paulus tidak atau belum serta-merta mengamini kepelbagaian sebagai sebuah kekayaan
yang harus dirayakan sebagai bagian dari perayaan heterogenitas agama dan budaya,
karena Paulus tidak menemukan indikasi religiousitas maksimum dalam diri jemaat
Kristen Korintus yang dibungkus oleh kemajemukan. Tafsir SSC memperlihatkan bahwa
Kelihatan Paulus anti terhadap perkawinan budaya yang mengantarkan umat pada
pembangkangan rohani yaitu menyeleweng kepada penyembahan berhala, percabulan dan
lain-lain. Jika mau dibaca dari sudut pandang sosiologi, pada bagian ini, pertama-tama
Paulus bukan hendak menghimbau jemaat Kristen Korintus untuk merangkul
kepelbagaian, karena faktanya Paulus banyak mengkritisi hasil percampuran budaya-
budaya dan agama-agama di lingkungan jamak jemaat Kristen Korintus. Paulus bukan pula
mengutuki keanekaragaman yang ada, justru Paulus melakukan recalling to warning
jemaat tersebut. Bagi penulis ini jelas dalam surat 1 Kor. 10:1-13. Recalling dalam rangka
54 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany
Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation
Jurnal Teologi “Cultivation”
Vol. 4, No. 2, Desember 2020, pp. 36-55
pISSN:2581 - 0499, eISSN: 2581 – 0510
http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

memperingatkan mereka (ay. 1-5) tentang adanya kesejajaran pengalaman antara


leluhurnya dengan mereka, agar menjadi pembelajaran (ay. 6-10) untuk kemudian menoleh
untuk berpaling (ay. 11-13) menuju keseimbangan optimal dan total yang dimulai dengan
keteraturan religiousitas yaitu kesetiaan kepada Allah.

Daftar Pustaka
Barclay, William, Pemahaman Alkitab Setiap hari: Surat 1 & 2 Korintus, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2008
Baxter, J Sidlow, Menggali Isi Alkitab 4; Roma-Wahyu, Jakarta: YKBK, 1996
Drane, Jhon, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012
Elliot, Jhon H, What It Is Sosial-Scientific Criticsm, Minneapolis: Fortress Press, 1993
A Home for the Homeless: A Sosial-Scientific Criticism of 1 Peter, Its Situation
and Strategy, Minneapolis: Fortress Press, 1981
Garland, David E, 1 Corinthians; Baker Exegetical Commentary of the New Testament,
USA: Grand Rapids, 2003
Groenen, C, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 1984
Horrell, Edward Adams dan David G. Christianity at Corinth; The Quest for The Pauline
Church, Kentucky: Westminster John Knox Press Louisville, 2004
Horsley, Richard A, Abingdon New Testament Commentaries; 1 Corinthians, Nashville:
Abingdon Press, 1998
Keener, Craig S, 1-2 Corinthians, New York: Cambridge University Press, 2005
Macdonald, Margaret M, The Pauline Churches; A Sosio-Historical Study of
Institutionalization in the Pauline and Deutero-Pauline Writings, Cambridge:
Cambridge University Press, 1988
Marxsen, Willi, Pengantar Perjanjian baru: Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-
masalah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994
Merryl C. Tenney, Survei Perjanjian Baru, Malang: Gandum Mas, 1992
Pfitzner, V. C, Kesatuan dalam Kepelbagaian; Tafsiran atas Surat 1 Korintus, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2004
Porter, Stanley E. ed., Paul and His Theology Volume 3, Leiden: Koninklijke Brill NV,
2006
Silalahi, Haposan, Pengetahuan dasar tentang Kitab Perjanjian Baru, Medan: MITRA,
2012
Thieselton, Anthony C, The International Greek Testament Commentary NIGTC; The First
Epistle to the Corinthians, Michigan: Grand Rapids, 2000

55 | Recalling to Warning..., Tamba, Tiffany


Jurnal Teologi “Cultivation”| http://e-journal.iakntarutung.ac.id/index.php/cultivation

Anda mungkin juga menyukai