Anda di halaman 1dari 104

BAHAN AJAR

MATAKULIAH PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK


(MKU180370)

Tim Dosen
Matakuliah Pendidikan Agama Katolik

Hendrikus Endar S., S.S., M.Hum.


B. Ario Tejo Sugiarto, S.S., M.Hum.
Angga Satya Bhakti S.S, M.Hum.
Oscar Yasunari S.S., M.M.
Wilfridus Demetrius Siga S.S., M.Pd.
Yusuf Siswantara, SS., M.Hum.

Matakuliah Umum
Universitas Katolik Parahyangan
2018

Halaman 1
Pendahuluan
Sejalan dengan capaian mata kuliah, perkuliahan Pendidikan Agama Katolik
memiliki tiga tujuan utama. Pertama, membantu mahasiswa memahami Identitas Gereja
Katolik. Materi yang didalami adalah Agama dan Beragama dan Gereja Katolik, Kitab Suci,
Tradisi, dan Magisterium. Kedua, membantu mahasiswa menghayati sikap religius sesuai
dengan nilai-nilai Kekatolikan. Materi yang didalami adalah Wahyu dan Iman, Dekalog,
dan Sikap Gereja terhadap Pluralitas. Ketiga, membantu mahasiswa memiliki sikap peduli
kepada masyarakat terutama mereka yang lemah dan tersisihkan melalui tindakan kasih.
Materi yang didalami adalah Ajaran Sosial Gereja. Kuliah Pendidikan Agama Katolik tidak
dimaksudkan untuk mengkatolikan atau memotivasi mahasiswa agar menganut agama
Katolik melainkan memperkenalkan agama Katolik. Sasaran akhir dari seluruh proses
perkuliahan Agama Katolik ini adalah agar peserta matakuliah semakin menjadi homo
religiosus (yang Islam menjadi lebih Islami, yang Kristen menjadi lebih Kristiani, dll),
memiliki kepekaan religius (sensus religiosus).
Berdasarkan Struktur Kurikulum dan susunan pembelajaran MKU1, matakuliah
Pendidikan Agama Katolik berada dalam tahapan Divinisisasi. Tahapan ini mengungkapkan
proses pematangan pribadi dewasa. Pribadi dewasa mampu memaknai pengalaman
hidupnya melalui relasi dengan Yang Maha Kuasa dan relasi dengan sesamanya. Pribadi
dewasa mampu memuliakan hidup sesama, lingkungan hidup berdasarkan relasi dengan
Yang Maha Kuasa. Divinisasi merupakan tahap ke tiga dari tiga tahap proses
perkembangan kepribadian melalui ilmu-ilmu dasar pendidikan tinggi. Tiga tahap yang
dimaksud adalah: Hominisasi, Humanisasi, dan Divinisasi. Tahap pertama berisi tentang
pengenalan diri sebagai manusia, pribadi per pribadi atau hominisasi. Pengenalan diri
sebagai pribadi diikuti dengan pengenalan diri sebagai anggota sebuah kekerabatan yang
secara genetis tidak hanya menurunkan wujud fisik tetapi juga perlengkapan ideational
(berwujud gagasan) yang menyertai tubuh itu seperti adat istiadat, tradisi, atau budaya.
Oleh karena itu, tahap pengenalan diri sebagai manusia mencakup juga pengetahuan
tentang komunitas warga, komunitas kepercayaan, masyarakat, bangsa dan negara
tempat orang itu tumbuh dan berkembang. Pengenalan diri sebagai mahluk pribadi dan
kolektif ini disebut dengan hominisasi. Tahap kedua disebut sebagai humanisasi. Istilah
itu merujuk pada proses pengolahan diri dalam konteks pengalaman hidup pribadi dan
kolektif. Ringkasnya seseorang mengolah pengalaman hidupnya sedemikian rupa
sehingga hidupnya menuruti seperangkat gagasan berupa nilai hidup, kemanusiaan,
norma, tatakrama, tradisi, adat istiadat, ritual, moralitas, prinsip etis. Pengolahan
pengalaman itu mengandaikan kemampuan untuk kritis baik pada hidupnya sendiri,
lingkungan sosial maupun kritis terhadap seperangkat gagasan di atas.

1
Paparan tentang tiga tahap proses perkembangan kepribadian melalui ilmu-ilmu dasar pendidikan
tinggi diambil dari Dokumen Kurikulum 2018 Rumpun Mata Kuliah Umum Universitas Katolik
Parahyangan.

Halaman 2
AGAMA, BERAGAMA2, DAN GEREJA KATOLIK
(Hendrikus Endar S., S.S., M.Hum.)

A. Pengertian Agama
Secara etimologis, kata/istilah agama berasal dari bahasa sansekerta a-gam-a. A yang
pertama merupakan negasi (seperti dalam kata/istilah ateis), yang berarti tidak. Gam
berarti pergi ke atau menuju ke. Sedangkan a yang terakhir menyatakan sifat: kekal. Maka
agama dapat berarti diam, atau berjalan menuju yang kekal, perjalanan menuju yang
abadi

Dalam bahasa Inggris, kata/istilah yanq memiliki makna yang sama adalah , religion, yang
berasal dari bahasa Latin religio. Kata/istilah religio sendiri dapat dirunut dari kata dasar
relegere' yang berarti membaca kembali (to read again), atau mengumpulkan kembali.
Kata/istilah religio dapat juga merupakan kata turunan dari kata dasar religare, yang
berarti mengingat atau memberkas (to bind). Dari akar kata ini agama dapat diartikan
menjadi membaca kembali, atau memberkas kembali pengalaman hidup yang telah
dijalani.

Kamus Besar Bahasa lndonesia merumuska agama sebagai ajaran, sistem yang mengatur
tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan yang Mahakuasa sereta
tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan serta lingkungannya 3.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa agama adalah segenap
kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa, dsb) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-
kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu4

Dari batasan-batasan tersebut diatas, diperoleh gambaran yang lebih komprehensif,


bahwa agama merupakan kesatuan kompleks dari ajaran, kepercayaan, ungkapan dan
penghayatan terhadap Yang Kuasa, yang diakui sebagai asal, penyelenggara dan iujuan
hidup. Yang Kuasa itu (disebut Deus, God, Tuhan, Allah, Yahwe, Sang Hyang Widhi, dll)
dialami sebagai yarg menggetarkan (tremendum) tetapl sekaiigus juga
memikat/mempesona (fascinosum), mengatasi (transenden) tetapi sekaligus juga
menjiwai (imanen)5

Setiap agama berurusan degan dua sisi/dimensi yang harus diperhatikan secara
bersamaan (simultan), yakni relasi manusia dengan Allah (dimensi vertikal) dan relasi
manusia dengan sesama dan lingkungan hidupnya (dimensi horizontal). Relasi vertikal
menjadi nyata dan seimbang dalam relasi horizontal.

2 Paparan Agama dan Beragama dikutip dan diadaptasi dari Diktat Agama Katolik, UNPAR, Bandung,
2017.
3 KBBI, Jakarta, Balai Pustaka, 2002
4 KUBI, Jakarta, Balai Pustaka, 1976
5 AM.Hardjana, Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik, Yogyakarta, Kanisius, 1993, hlm 11-

12.

Halaman 3
B. Agama dan Religiusitas
Penting untuk membedakan antara agama dan religiusitas. Di tataran praksis orang
beragama belum tentu menjadi orang yang religius.

1. agama hanyalah bentuk dan wujud (akibat pelembagaan atau pembentukan wadah
dari ajaran, praktek rohani, dst.) sedangkan religiusitas adalah hakekat; substansi
2. agama ada/diciptakan agar manusia menjadi semakin religius, semakin dekat dengan
Allah. Religiusitas setingkat lebih tinggi dari agama. Cakupan religiusitas lebih luas
dari agama. Religiusitas merupakan sikap batin atau corak hidup yang mencerminkan
kedalaman hidup dan intentsitas relasi manusia dengan Allah. Religiusitas dapat digali
(tumbuh dan berkembang) dalam setiap insan melalui ajaran agama dan atau
permenungan dalam pergulatannya dengan misteri dan tantangan hidup. Religiusitas
dapat juga berasal Allah sendiri (dianugerahkan/diwahyukan oleh Allah) dan menjadi
sumbre agama-agama. Harus diakui bahwa kedua-duanya dapat saling
mengembangkan.
3. agama lebih banyak berusan dengan aspek lahiriah (ritus, dogma, hukum agama, dst),
sedangkan religiusitas lebih banyak berurusan dengan aspek batiniah/spiritual (sikap
batin). Religiusitas merupakan gejala universal, dapat tumbuh dan berkembang dalam
setiap insan.
4. agama lebih bersifat sosial/kolektif/masal, sedangkan religiusitas bersifat
personal/individual.
5. Agama rentan diperalat/ditunggangi oleh kepentingan duniawi/manusia, sedangkan
religiusitas tidak dapat diobok-obok oleh kepentingan duniawi/manusiawi.

Harus digarisbawahi bahwa hidup beragama sejatinya tidak hanya berhenti pada
menganut atau mimiliki dan menjalankan perintah agama semata, melainkan harus
mencapai taraf yang lebih tinggi, harus semakin religius (memiliki sikap batin atau corak
hidup yang mencerminkan kedalaman hidup dan intensitas relasi manusia dengan
Allah). Agama ada/diciptakan supaya manusia menjadi semkin religius.

C. Gereja Katolik6
1. Asal usul dan Arti Katanya
Kata ‘Gereja’ yang berasal dari kata igreja dibawa ke Indonesia oleh para misionaris
Portugis. Kata tersebut adalah ejaan Portugis untuk kata Latin ecclesia, yang ternyata
berasal bahasa Yunani, ekklěsia. Kata Yunani itu sebetulnya berarti ‘kumpulan’ atau
‘pertemuan’, ‘rapat’. Namun Gereja atau ekklěsia bukan sembarang kumpulan,
melainkan kelompok orang yang sangat khusus. Untuk menonjolkan kekhususan itu
dipakaikah kata asing itu. Kadang-kadang dipakai kata ‘jemaat’, atau ‘umat’. Itu tepat
juga. Tetapi perlu diingat bahwa jemaar ini sangat istimewa. Maka barangkali lebih

6
Paparan tentang Gereja Katolik (Poin C, D, dan E) dikutip dan atau dirangkum dari Buku Iman Katolik
(Buku Informasi dan Referensi) dan Katekismus Gereja Katolik.

Halaman 4
baik memakata kata ‘Gereja’ saja, yakni ekklěsia. Kata Yunani itu berasal dari kata yang
berarti ‘memanggil’. Gereja adalah umat yang dipanggil Tuhan. Itulah arti
sesungguhnya kata “Gereja”.

2. Gereja sebagai Umat Allah


Kata Umat Allah merupakan istilah dari Perjanjian Lama (dalam Perjanjian Baru
dipakai terutama dalam kutipan dari PL). Yang paling menonjol dalam sebutan ini
ialah bahwa Gereja itu umat terpilih Allah. (lih. 1Ptr 2:9). Oleh Konsili Vatikan II (LG 9)
“sebutan Umat Allah: amat dipentingkan, khususnya untuk menekankan bahwa
Gereja bukanlah pertama-tama suatu organisasi manusiawi melainkan perwujudan
karya Allah yang kongkret. Tekanan ada pada pilihan dan kasih Allah.

Dari pengalaman Roh, kita mengetahui bahwa Allah ada di dalam diri kita. Sejarah
keselamatan, yang dimulai dengan panggilan Abraham, berjalan terus dan mencapai
puncaknya dalam wafat dan kebangkitan Kristus serta pengutusan Roh Kudus. Maka
Gereja bukan hanya lanjutan umat Allah yang lama, tetapi terutama kepenuhannya,
karena kesalamatan Allah berjalan terus dan Allah memberikan diri dengan semakin
sempurna (bdk. 1 Kor 15:28).

Kekhususan Umat Allah


Umat Allah ditandai dengan kekhususan-kekhususan, yang membedakannya dari
semua kelompok agama dan bangsa, dari semua kelompok politik dan budaya dalam
sejarah:
a. Ia adalah Umat Allah. Allah bukan milik suatu bangsa secara khusus. Tetapi Ia telah
membentuk satu umat dari mereka yang sebelumnya bukan merupakan bangsa:
“bangsa yang terpilih, bangsa yan kudus” (1 Ptr. 2:29)
b. Orang menjadi anggota umat ini bukan melalui kelahiran jasmani, melainkan
melalui “kelahiran dari atas”, “dari ari dan roh” (Yoh 3: 3-5), artinya oleh iman
kepda Kristus dan Pembaptisan
c. Umat ini memiliki Yesus, sang Kristus (Terurapi, Mesias) sebagai Kepala. Karena
minyak urapan yang satu dan sama, Roh Kudus, mengalir dari Kepala ke dalam
Tubuh, ia adalah ‘umat mesianis’
d. Sebagai status hidup umat ini martabat dan kemerdekaan putera-puteri Allah, dan
Roh Kudus berdian di dalam hati mereka sebagaimna di dalam kannisah”
e. ‘Hukumnya perintah baru untuk mencintai, seperti Kristus sendiri telah mencintai
kita” (LG 9). Itulah hukum “baru” Roh Kudus”
f. Perutusannya ialah menjadi garam dunia dan terang bumi. “Bagi seluruh bangsa
manusia (ia) merupakan benih kesatuan, harapan, dan keselamatan yang amat
kuat”.
g. Tujuannya Kerajaan Allah, yang oleh Allah sendiri telah dimulai di dunia untuk
selanjutnya disebarluaskan, hingga pada akhir jaman diselesaikan oleh-Nya juga”
(LG 9)

Halaman 5
3. Sifat-Sifat atau Ciri-Ciri Gereja
Jati diri Gereja, sifat-sifatnya, yang kadang-kadang disebut ‘Ciri-ciri Gereja”
dirumuskan dengan banyak kata. Sebetulnya ciri tidak tepat sama dengan sifat. Dalam
hal ini perlu diperhatian bahwa Gereja itu sekaligus ilahi dan insani, berasal dari Yesus
dan berkembang dalam sejarah. Empat sifat Gereja berikut ini saling kait-mengkait,
tetapi tidak merupakan rumus yang siap pakai. Gereja memahaminya dengan
merefleksikan diriya sendiri serta karya Roh di dalam dirinya.

a. Gereja yang Satu


Konsili Vatikan II menyatakan bahwa “Pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan
Gereja ialah kesatuan Allah yang Tunggal dalam tiga Pribadi, Bapa, Putra, dan Roh
Kudus” (UR 2)

‘Allah telah berkenan menghimpn orang-orang yang beriman akan Kristus mejadi
Umat Allah (lih 1Ptr 2: 5-10) dan membuat mereka menjadi satu Tubuh. (lih 1Kor
12:12O” (AA 18)

“Tata susunan sosial Gereja yang tampak melambangkan kesatuannya dalam


Kristus” (GS44). Tetapi justru struktur sosial itu sekaligus juga membedakan (dan
memisahkan) Gereja yang satu dari yang lain. Dengan demikian, umat Kristen
kelihatan terpecah belah, justru karena sturktur-struktur yang mau menyatakan
kesatuan masing-masing kelompok.

“Hampir semua, kendati melalui aneka cara, menciptakan satu Gereja Allah yang
kelihatan, yang sungguh bersifat universal, dan diutus ke seluruh dunia” (UR 1).
Pusat Gereja bukannya organisasinya sendiri, melainkan Injil Yesus Kristus, yang
diwartakan, dirayakan dan dilaksanakan dalah hidup sehari-hari.

Kesatuan tidak sama dengan keberagaman. Lebih tepat bila kesatuan kesatuan
Gereja dimengerti sebagai ‘Bhineka Tunggal Ika”, baik di dalam Gereja katolik
sendiri maupun dalam persatuan ekumenis, sebab kesatuan Gereja. Kesatuan
Gereja pertama-tama adalah kesatuan iman, yang mungkin diungkapkan dengan
cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu kesatuan lahiriah bukanlah keseragaman
dan kesamaan, melainkan persekutuan dalam persaudaraan, saling meneguhkan
dan melengkapi dalam penghayatan iman.

b. Gereja yang Kudus


“Kita mengimani bahwa Gereja Tidak dapat kehilangan kesuciannya. Sebab Kristus,
Putera Allah, yang bersama dengan Bapa dan Roh Kudus dipuji bahwa ‘hanya
Dialah kudus’, mengasihi Gereja sebagai mempelainya” (LG 39). Gereja itu kudus,
karena Kristus membuatnya kudus.

Halaman 6
Kekudusan Gereja bukanlah suatu sifat yang seragam, yang sama bentuknya untuk
semua, melainkan semua mengambil bagian dalam satu kesucian Gereja, yang
berasal dari Kristus.

Dalam hal kesucian pun yang pokok bukanlah bentuk pelaksanaannya, melainkan
sikap dasarnya. “Suci” sebetulnya berarti “yang dikhususkan bagi Tuhan”. Jadi
pertama-tama ‘suci’ menyangkut seluruh bidang sakral atau keagamaan. Yang suci
bukan hanya tempat, waktu, barang yang dikhususkan bagi Tuhan atau orang.
Malahan sebenarnya harus dikatan bahwa “yang Kudus” adalah Tuah sendiri.

“Kudus” bukan ketegori moral yang menyangkut kelakuan manusia, melainkan


kategori teologal (ilahi), yang menentukan hubungan dengan Allah. Ini tidak berarti
bahwa kelakuan moral tidak penting. Apa yang dikhususkan bagi Tuhan, harus
‘sempurna’, dan kesempurnaan manusia tentu terdapat dalam taraf moral
kehidupannya.

Perjanjian Baru melihat proses pengudusan manusia sebgau “pengudusan oleh


Roh” (1Ptr 1: 2; lih. 2Tes 2: 13), “Dikuduskan karena terpanggil” (Rm 1: 7). Dari
pihak manusia kesucian hanya berarti tanggapan atas karya Allah itu, terutama
dengan sikap iman dan pengharapan (lih 1Tim2: 15). Sikap itu dinyatakan dalam
perbuatan dan kegiatan kehidiupan serba biasa. Kesucian bukanlah soal bentuk
kehidupan, melainkan sikap yang dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari.

“Gereja itu suci, dan sekaligus harus selalu dibersihkan, serta terus menerus
mejalankan pertobatan dan pembaruan” (LG 8). Kesucian Gereja adalah kesucian
perjuangan, terus menerus.

c. Gereja yang Katolik


Secara harafiah dengan kata Katolik hendak dinyatakan bahwa Gereja itu
berkembang “di seluruh dunia”. Namun, bukan bearti bahwa tidak ada tempat yang
tidak ada Gereja. Gagasan pokok bukanlah bahwa Gereja telah tersebar ke seluruh
dunia, melainkan bahwa dalam setiap jemaat hadirlah Gereja seluruhnya. Gereja
Katolik yang satu dan tunggal berada dalam Gereja-gereja setempat dan
terhimpun daripadanya (LG23)
Gereja selalu “lengkap”, penuh. Tidak ada Gereja setengah-setengah atau sebagian.
Gereja setempat , entah keuskupan atapun paroki bukanlah “cabang” Gereja
unversal. Setiap gereja setempat merupakan seluruh Gereja
Kata “Katolik” selanjutnya juga dipakai untuk menyebut Gereja yang benar, Gereja
universal yang dilawankan dengan sekte-sekte. Dengan demikian kata “Katolik”
mendapat arti yang lain: “Gereja disebut Katolik, karena tersebar di seluruh muka
bumi dan juga karena mengajarkan secara menyeluruh dan lengkap segala ajaran
iman tertuju kepada semua manusia, yang mau disembuhkan secara menyeluruh

Halaman 7
pula” (St. Sirilus dari Yerusalem). Sejak itu kata “Katolik” tidak hanya mempunya
arti geografis, tersebar ke seluruh dunia, tapi juga “menyeluruh”, dalam artai
“lengkap”, berkaitan dengan ajarannya, serta “terbuka” dalam arti tertuju kepada
siapa saja. Pada abad ke 5 masih ditambahkan bahwa gereja tidak hanya untuk
segala bangsa, tetapi juga untuk segala Zaman.

Pada zaman reformasi kata "Katolik" muncul lagi untuk menunjuk pada Gereja
yang tersebar dimana-mana, dibedakan dengan Gereja-gereja Protestan. Sejak itu
pula kata "Katolik" secara khusus dimaksudkan umat kristen yang mengakui Paus
sebagai pemimpin Gereja Universal, tetapi dalam syahadat kata "Katolik" masih
mempunyai arti asli "universal" atau "umum". Ternyata universal pun mempunyai
dua arti, yang kuantitatif dan kualitatif. Disatu pihak dikatakan bahwa Umat Allah
“hidup di tengah segala bangsa” serta “memperolehnya warganya dari semua
bangsa” Ini segi kuatitatif atau geograsis. Di pihak lain juga dikatakan bahwa
“Gereja memajukan dan menampuung segala kemampuan, kekayaan, dan adat
istiadat bangsa-bangsa”. Inilah segi kualitatifnya. Kedua aspek itu dirangkum
dalam kalimat “merangkum segenap umat manusia beserta harta-kekayaannya” Itu
terjadi “ di bawah Kristus Kepala, dalam kesatuan Roh-Nya”. Yang terakhir ini
aspek yang paling pokok. Gereja disebut “Katolik”, karena dengan perantaraannya
Roh Kudus hadir di seluruh dunia.

Dalam Konsili vatikan II tidak lagi memusatkan Gereja sebagai kelompok manusia
yang terbatas, melainkan kepada Gereja sebagai sakramen Roh Kristus.
"kekhatolikan" Gereja berarti bahwa pengaruh dan daya pengudus Roh tidak
terbatas pada para anggota Gereja saja, mealinkan juga terarah kepada seluruh
dunia. dengan sifat "katolik" dimaksudkan bahwa Gereja mampu mengatasi
keterbatasannya sendiri akrena Roh yang berkarya di dalamnya. Oleh karena itu
yang "katolik" bukanlah hanya Gereja universal, melainkan juga setiap anggotanya
sebab di dalam jemaat hadirlah seluruh Gereja.

Kesatuan Gereja hanya dapat kentara sebagai kesatuan Gereja, kalau diimbangi
oleh kekatolikannya.

d. Gereja yang Apostolik


Sifat "apostolik" atau rasuli berarti bahwa Gereja berasal dari para rasul dan tetap
berpegang teguh pada kesaksian iman mereka itu. Kesadaran bahwa Gereja
"dibangun atas dasar para rasul dan pra nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu
penjuru", sudah ada sejak zaman Gereja perdana sendiri (bdk Ef 2:20, Bdk Why
21:14), tetapi sebagai sifat khusus keapostolikan baru disebut akhir abad ke-4.
Dalam perjanjian Baru kata "rasul" tidak hanya dipakai untuk keduabelas rasul
yang namanya disebut dalam Injil (lih Mat 10:1-4)

Halaman 8
Hubungan historis itu tidak boleh dilihat sebagai macam "estafet", yang
didalamnya ajaran benar bagaikan sebuah tongkat dari rasul-rasul tertentu
diteruskan sampai kepada para uskup sekarang. yang disebut "Apostolik" bukanlah
para uskup, melainkan Gereja. Sifat apostolik berarti bahwa Gereja sekarang
mengaku diri sama dengan gereja Perdana, yakni Gereja para rasul. dimana
hubungan historis ini jangan dilihat sebagai pergantian orang, melainkan sebagai
kelangsungan iman dan pengakuan.

Sifat apostolik tidak berarti bahwa Gereja hanya mengulang-ulangi apa yang sejak
dulu kala sudah diajarkan dan dilakukan di dalam gereja, keapostolikan berarti
bahwa dalam perkembangan hidup, tergerak Roh Kudus, Gereja senantiasa
berpegang pada Gereja para rasul sebagai norma imannya. Bukan mengulangi,
tetapi merumuskan dan mengungkapkan kembali apa yang menjadi inti hidup
iman. karena seluruh Gereja bersifat apostolik, maka seluruh Gereja dan setiap
anggotanya, perlu mengetahui apa yang menjadi dasar hidupnya.

Sifat Apostolik (yang betul-betul dihayati secara nyata) harus mencegah Gereja dari
segala rutinisme yang bersifat ikut-ikutan. Keapostolikan berarti bahwa seluruh
Gereja dan setiap anggotanya tidak hanya bertanggungjawab atas ajaran gereja,
tetapi juga atas pelayanannya. Sifa keapostolikan Gereja tidak pernah "selesai",
tetapi selalu merupakan tuntutan dan tantangan. gereja, yang oleh Kristus
dikehendaki satu, kudus, Katolik, apostoli, senantiasa harus mengembangkan dan
menemukan kembali kesatuan, kekatolikan, kaeapostolikan, dan terutama
kekudusannya. Sifat-sifat Gereja diimani, berarti harus dihayati, oleh Gereja
seluruhnya dan oleh masing-masing anggotanya.

Daftar Pustaka:
1. Diktat Agama Katolik, UNPAR: Bandung, 2017.
2. KBBI, Jakarta, Balai Pustaka, 2002
3. KUBI, Jakarta, Balai Pustaka, 1976
4. Katekismus Gereja Katolik (1993), Edisi Indonesia: Para Waligereja Regio Nusa
Tenggara diakui oleh Konferensi Waligereja Indonesia. Percetakan Arnoldus Ende.
5. Konferensi Waligereja Indonesia (1996), Iman Katolik buku informasi dan referensi,
Yogyakarta dan Jakarta : kerjasama Kanisius dan Penerit Obor

Halaman 9
ALKITAB KRISTEN KATOLIK
(B. Ario Tejo Sugiarto, S.S., M.Hum.)

A. Dua Sumber iman Gereja Kristen Katolik


DV 7:
Salah tugas Gereja adalah mewartakan karya keselamatan Allah kepada semua orang di
segala jaman.
“Perintah ini dilaksanakan secara lisan dengan setia oleh para Rasul, yang dalam
pewartaan lisan, dengan teladan serta penetapan-penetapan meneruskan entah apa
yang telah mereka terima dari mulut, pergaulan dan karya Kristus sendiri, entah apa
yang atas dorongan Roh Kudus telah mereka pelajari.”  TRADISI SUCI
“Perintah Tuhan dijalankan pula oleh para Rasul dan tokoh-tokoh rasuli yang atas ilham
Roh Kudus itu juga telah membukukan amanat keselamatan”  KITAB SUCI
“Adapun supaya Injil senantiasa terpelihara secara utuh dan hidup dalam Gereja, para
Rasul meninggalkan Uskup-uskup sebagai pengganti mereka, yang “mereka serahi
kedudukan mereka untuk mengajar”.”  KUASA MENGAJAR MAGISTERIUM

DV 9:
“Jadi, Tradisi Suci dan Kitab Suci berhubungan erat sekali dan berpadu. Sebab keduanya
mengalir dari sumber Ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi
satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama.”
“Sebab Kitab Suci itu pembicaraan Allah sejauh itu termaktub dengan ilham Roh Ilahi.
Sementara oleh Tradisi suci sabda Allah, yang oleh Kristus Tuhan, dan Roh Kudus
dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka
supaya mereka ini dalam terang Roh Kebenaran dengan pewartaan mereka
memelihara, menjelaskan, dan menyebarkannya dengan setia.”
Dengan demikian, Gereja menimba kepastian tentang segala sesuatu yang diwahyukan
bukan hanya melalui Kitab Suci. Maka dari itu, keduanya (baik Tradisi maupun Kitab
Suci) harus diterima dan dihormati dengan cita rasa kesalehan dan hormat yang sama”.

Halaman 10
B. Istilah Alkitab atau Kitab Suci
Alkitab berasal dari bahasa Arab, Alkitab, yang artinya The Book, atau buku.
Bible berasal dari kata Yunani, biblos atau biblon, yang berarti The Holy Books atau The
Books.
Kesamaan kata dari The Holy Bible adalah The Holy Scriptures, yang mengacu pada
kitab-kitab yang dikenal sebagai sabda Allah.

Alkitab atau Kitab Suci merupakan


 kumpulan kitab-kitab
 yang ditulis berdasarkan pengalaman iman jemaat
 yang ditulis dalam bimbingan Roh Allah
 yang dipilih dan disahkan dalam kanonisasi berdasarkan iman jemaat
 dan disusun berdasarkan urutan sejarah karya keselamatan yang dilakukan oleh
Allah (mulai penciptaan, jatuhnya manusia ke dalam dosa, karya penyelamatan Allah
yang dimulai dari kisah terbentuknya sebuah bangsa, hidup dan karya penebusan
manusia oleh Yesus, kehidupan Gereja Perdana, sampai pada penglihatan akan
pemenuhan janji Allah akan keselamatan manusia di akhir jaman dalam kitab wahyu
yang ditulis oleh Yohanes)

C. Proses terbentuknya Kitab Suci


Secara umum, proses terbentuknya Alkitab atau Kitab Suci adalah sebagai berikut :

Kitab Suci Perjanjian Lama


Pengalaman iman yang terjadi mulai sekitar tahun 2000 sebelum masehi, mulai dengan
kehidupan Abraham dan keturunannya. Kisah ini disampaikan melalui tradisi lisan.
Tradisi tulisan dimulai dengan penulisan Kitab Taurat yang dipercaya oleh bangsa Yahudi
ditulis oleh nabi Musa. Karena itu Kitab Taurat disebut juga sebagai Kitab nabi Musa. Nabi
Musa berperan sangat penting dalam setiap peristiwa yang ada dalam kitab-kitab ini.
Selain Kitab Taurat, bangsa Yahudi juga menambahkan kitab-kitab para nabi dan kitab-
kitab lainnya sebagai pegangan imannya. Seratus tahun sebelum kelahiran Yesus Kristus,
kitab-kitab Perjanjian Lama sudah lengkap seperti yang ada sekarang.
Kitab Suci Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani. Tetapi setelah
peristiwa pembuangan bangsa Israel ke Babilonia (586-538 SM), banyak orang Israel
yang kehilangan bahasa asli mereka dan mereka mulai berbicara dalam bahasa Yunani
yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional. Karena itu, Kitab Suci Perjanjian
Lama berbahasa Yunani sangat dibutuhkan.

Halaman 11
Menurut Flavius Josephus (37-107) seorang sejarahwan Yahudi, Kitab Septuaginta
disebut di dalam surat Aristeas kepada saudaranya Philocrates. Disana dikatakan bahwa
Raja Mesir Ptolemius II Philadelphus (287-247 SM). Raja ini sedang membangun
perpustakaan besar di Aleksandria dan kepala perpustakaan yang bernama Demetrius
Phalarus mengusulkan agar perpustakaan diperkaya dengan kitab-kitab bangsa Yahudi.
Raja memerintahkan Eleazar, Imam besar Yahudi untuk memberikan kepadanya salinan
kitab-kitab suci mereka dalam bahasa Yunani. Proyek ini dilakukan oleh 70 atau 72 ahli
kitab Yahudi, yang menurut tradisi 6 orang dipilih mewakili 12 suku bangsa Israel. Kitab
Suci Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani ini disebut Septuaginta (LXX, bahasa Latin
yang berarti 70), sesuai dengan jumlah penterjemah. Terjemahan selesai tahun 250-125
SM. Terjemahan ini diakui secara resmi dan dipakai oleh orang Yahudi di Asia Kecil dan
Mesir. Kanon Yunani (Aleksandria), Septuaginta merupakan terjemahan yang digunakan
oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru. Kitab Suci Perjanjian
Baru secara keseluruhan ditulis dalam bahasa Yunani.

Sekitar tahun 100 M, para rabbi Yahudi berkumpul di Jamnia, Palestina, sebagai reaksi
terhadap perkembangan Gereja Katolik Perdana dan menetapkan empat kriteria untuk
menentukan kanon Kitab Suci mereka yaitu:
1. ditulis dalam bahasa Ibrani.
2. sesuai dengan Kitab Taurat.
3. lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM)
4. ditulis di Palestina.

Berdasarkan ini, mereka menolak tujuh buku dari Septuaginta yaitu: Tobit, Yudit,
Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, Tambahan Ester dan
Tambahan Daniel. 7 buku tersebut ditolak karena para rabbi Yahudi tidak menemukan
versi Ibraninya. Para rabbi Yahudi juga menolak Kitab Suci Perjanjian Baru karena
semuanya ditulis dalam bahasa Yunani dan lebih dari itu, mereka juga menolak Yesus
sendiri.
Gereja Katolik tetap berpegang pada Kitab Suci Perjanjian Lama Septuaginta. Dalam
konsili Hippo dan konsili Kartago, Gereja Katolik menetapkan secara resmi 46 Kitab Suci
Perjanjian Lama Septuaginta. 7 kitab serta 2 tambahan yang ditolak disebut sebagai
Deuterokanonika.

Kitab Suci Perjanjian Baru


Proses terbentuknya Kitab Suci Perjanjian Baru bermula dari pengalaman iman para
rasul bersama dengan Yesus. Pengalaman iman ini diwartakan secara lisan sampai
kurang lebih 10 tahun setelah Kristus wafat. Kitab Perjanjian Baru yang ditulis pertama
adalah Injil Matius dan surat pertama rasul Paulus kepada Jemaat di Tesalonika yaitu
sekitar tahun 50 M. Kitab Perjanjian Baru yang ditulis terakhir adalah kitab Wahyu
Yohanes pada sekitar tahun 90-100 M. Setelah tulisan-tulisan ini beredar di kalangan

Halaman 12
Gereja Katolik Perdana. Karena banyaknya tulisan-tulisan palsu juga maka diperlukan
kanonisasi Kitab Suci secara resmi oleh Gereja.
382 M, Konsili Roma, Paus Damasus I menulis dekrit yang memuat daftar Kitab Suci
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang terdiri dari 73 kitab.
393 M, Konsili Hippo, Afrika Utara, menetapkan 73 kitab untuk Kitab Suci Perjanjian
Lama dan Kitab Suci Perjanjian Baru.
397 M, Konsili Kartago, Afrika Utara, menetapkan kanon yang sama untuk Kitab Suci
Perjanjian Lama dan Kitab Suci Perjanjian Baru.
405 M, Paus Innocentius I menulis surat kepada Uskup Exsuperius dari Toulouse
menetapkan kanonisasi 73 kitab-kitab dalam Kitab Suci sebagaimana disetujui oleh
dalam konsili Hippo dan konsili Kartago.
419 M, konsili ekumenikal di Florence secara resmi mendefinisikan daftar ke-73 kitab
yang sama.
1546 M, konsili ekumenikal di Trente meneguhkan lagi kanon Kitab Suci yang terdiri dari
73 kitab tersebut.
1869 M, konsili ekumenikal Vatikan I kembali meneguhkan daftar kitab yang disebutkan
dalam konsili Trente.
Bagi umat Kristen di Afrika bahasa Latin paling banyak digunakan. Atas perintah Paus
Damasus I pada tahun 382, Santo Jerome membuat terjemahan Kitab Suci Perjanjian Baru
dalam bahasa Latin. Kemudian tahun 392-404, Santo Jerome juga membuat terjemahan
Kitab Suci Perjanjian Lama dalam bahasa latin dari Kitab Suci bahasa Ibrani (bukan
Septuaginta), kecuali kitab Mazmur yang direvisi dari versi Latin yang sudah ada. Kitab
ini disebut Vulgata. Kitab Suci ini merupakan Kitab Suci bahasa Latin yang diakui secara
resmi oleh Gereja Katolik.
Tahun 1529, Martin Luther yang mempelopori reformasi Protestan menetapkan kanon
Perjanjian Lama berdasarkan kanon Yahudi yang ditetapkan dalam konsili Jamnia,
Palestina. Luther melakukan hal tersebut sebenarnya untuk mendukung doktrin-doktrin
barunya karena banyak doktrin dalam Gereja Katolik yang dikuatkan dengan ayat-ayat
yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut. Martin Luther juga nyaris membuang beberapa
kitab dalam perjanjian Baru seperti Surat rasul Yakobus, Surat Ibrani, kitab Wahyu
karena isinya tidak sesuai dengan doktrinnya, misalnya perdebatan tentang iman dan
perbuatan. Yakobus menekankan iman tidak disertai perbuatan pada hakekatnya adalah
mati (Yak.2:17) ini bertentangan dengan prinsip Martin Luther tentang Sola Fide.

Halaman 13
Dalam konsili-konsili berikutnya, Gereja Katolik menegaskan dan meneguhkan
kanonisasi yang diputuskan dalam konsili-konsili sebelumnya.
Dari sini bisa dirangkum secara garis besar terbentuknya Kitab Suci, bahwa iman terlebih
dahulu ada ketimbang Kitab Suci dan bahwa iman sebagai ukuran kebenaran dari Kitab
Suci.

PENGALAMAN IMAN

TRADISI LISAN

TRADISI TULISAN TRADISI LISAN

KITAB SUCI TRADISI SUCI

Karena itu, untuk membaca, memahami dan menafsirkan Kitab Suci harus dalam
bimbingan Roh Allah dan dalam konteks iman jemaat. Kitab Suci tidak bisa dibaca dan
dipahami dalam konteks di luar konteks iman jemaat.

Halaman 14
D. Susunan Kitab Suci
Kitab Suci Gereja Kristen Katolik dibagi dua, yaitu Kitab Suci Perjanjian Lama dan Kitab
Suci Perjanjian Baru.
Kitab Suci Perjanjian Lama ada 46 kitab.

Kitab-kitab Taurat 31. Obaja


32. Yunus
1. Kejadian 33. Mikha
2. Keluaran 34. Nahum
3. Imamat 35. Habakuk
4. Bilangan 36. Zefanya
5. Ulangan 37. Hagai
38. Zakharia
Kitab-kitab Sejarah 39. Maleakhi

6. Yosua
7. Hakim-hakim 7 Kitab Deuterokanonika
8. Rut 1. Tobit (termasuk dalam kitab
9. 1 Samuel sejarah)
10. 2 Samuel 2. Yudit (termasuk dalam kitab
11. 1 Raja-raja sejarah)
12. 2 Raja-raja 3. Kebijaksanaan Salomo (termasuk
13. 1 Tawarikh dalam kitab puisi dan hikmat)
14. 2 Tawarikh 4. Sirakh (termasuk dalam kitab puisi
15. Ezra dan hikmat)
16. Nehemia 5. Barukh dan Surat Nabi Yeremia
17. Ester yang dianggap bagian dari Barukh
yaitu bab 6 (termasuk ke dalam
Kitab-kitab Puisi dan Hikmat kitab para nabi)
6. 1 Makabe (termasuk dalam kitab
18. Ayub sejarah)
19. Mazmur 7. 2 Makabe (termasuk dalam kitab
20. Amsal sejarah)
21. Pengkhotbah
22. Kidung Agung Tambahan Ester dihitung satu kitab
dengan Kitab Ester
Kitab-kitab Para Nabi Tambahan Daniel dihitung satu kitab
dengan Kitab Daniel
23. Yesaya
24. Yeremia
25. Ratapan
26. Yehezkiel
27. Daniel
28. Hosea
29. Yoel
30. Amos

Halaman 15
Kitab Suci Perjanjian Baru ada 27 kitab. 11. Filipi
12. Kolose
13. 1 Tesalonika
Kitab-kitab Injil 14. 2 Tesalonika
15. 1 Timotius
1. Matius 16. 2 Timotius
2. Markus 17. Titus
3. Lukas 18. Filemon
4. Yohanes 19. Ibrani

Kitab Sejarah Surat-surat Katolik (Umum)


5. Kisah Para Rasul 20. Yakobus
21. 1 Petrus
22. 2 Petrus
Surat-surat Rasul Paulus
23. 1 Yohanes
6. Roma 24. 2 Yohanes
7. 1 Korintus 25. 3 Yohanes
8. 2 Korintus 26. Yudas
9. Galatia 27. Wahyu
10. Efesus

D. Hubungan Teologis Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

1. Sejarah Keselamatan dalam Perjanjian Lama

Allah adalah kasih. Sejak awal mula penciptaan dunia, Allah secara sama sekali bebas dan
rahasia berkehendak agar manusia yang diciptakan-Nya ikut ambil bagian dalam
kehidupan ilahi-Nya. Manusia diciptakan untuk dikasihi. Karena itu, Allah menciptakan
manusia menurut gambar dan rupa-Nya (bdk. Kej.1:26-28). Manusia memiliki akal budi
dan kehendak bebas untuk bisa memikirkan, memilih dan memutuskan dengan sadar
untuk membalas kasih Allah. Dengan ikut-sertanya manusia dalam kehidupan ilahi, maka
terbentuklah suatu persekutuan antara Allah dan manusia.

Kemudian, dengan akal budi dan kehendak bebasnya, manusia juga bisa memutuskan
sebaliknya yaitu menolak kasih Allah. Manusia pertama “Adam” dengan bujukan Iblis
telah memutuskan untuk menolak kasih Allah. Ketika manusia pertama “Adam” jatuh
dalam dosa, persekutuan antara Allah dan manusia ini menjadi rusak. Hubungan antara
Allah dan manusia menjadi terputus. Sebagai Allah yang adil, Allah menjatuhkan
hukuman kepada manusia. Tetapi, sebagai Allah yang berbelaskasih, Allah tetap tidak
ingin membiarkan manusia terpisah dari-Nya dan binasa. Allah dengan cinta-Nya yang
amat sangat besar berencana untuk memulihkan hubungan ini. Rencana ini tidak dapat
dibendung dan dibatalkan oleh siapapun dan harus dilaksanakan (bdk. 2Sam.23:5,
Yes.55:3, Yeh.37:26, Ibr.13:20).

Halaman 16
Proses pemulihan hubungan ini dimulai oleh Allah sendiri dengan memilih bangsa Israel
sebagai umat-Nya dan mengadakan perjanjian dengannya. Dalam perjanjian itu, Allah
menjadi satu-satunya Allah yang benar dan menyelamatkan bagi bangsa Israel dan
bangsa Israel menjadi umat-Nya (bdk. perjanjian Allah dengan Abram yang kemudian
diganti nama Abraham dengan sunat sebagai tanda dalam Kej.17:1-11, perjanjian Allah
dengan Musa dalam 10 perintah Allah dengan darah perjanjian sebagai tanda dalam
Kel.19:5-6, 24:1-9). Bangsa Israel dipilih untuk menjadi tanda perhimpunan segala
bangsa pada masa mendatang di hadapan Tuhan (bdk. Yes.2:2-5, Mi.4:1-4). Mengapa
Allah memilih bangsa Israel, itu adalah misteri pilihan Allah sendiri. Hubungan yang
begitu erat antara Allah dan bangsa Israel ini digambarkan dengan hubungan suami-istri
dalam suatu perkawinan (bdk. Yes.54:5, 62:4-5, Hos.2:18).

Namun, dalam perjalanan bangsa Israel menjadi keras kepala, tegar hati, tidak setia dan
seringkali melawan Allah dengan menyembah berhala kepada dewa-dewa bangsa lain
dan menolak nabi-nabi utusan Allah. Bangsa Israel telah berulangkali melanggar
perjanjian (bdk. Hos.1, Yes.1:2-4, Yes.2). Perjanjian Allah dan bangsa Israel seharusnya
batal karena ketidaksetiaan bangsa Israel pada hukum Taurat. Namun, kesetiaan Allah
rupa-rupanya tidak pernah bergantung pada kesetiaan manusia (bdk. Ul.7:9, Yer.31:35-
37, 2Tim.2:13, Ibr.10:23). Allah tetap setia meskipun manusia tidak setia. Karena itu,
Allah harus memperbaharui perjanjian-Nya dengan bangsa Israel. Akhirnya Allah
mengadakan suatu perjanjian baru dan abadi melalui Yesus Kristus, Putera-Nya (bdk.
1Kor.11:25, Ibr.8:8, 9:15, 12:24).

2. Sejarah Keselamatan dalam Perjanjian Baru


Perjanjian Allah yang baru hanya merupakan perjanjian Allah kepada umat-Nya.
Perjanjian yang baru merupakan perjanjian satu pihak, yaitu perjanjian yang tidak lagi
mengandalkan kesetiaan manusia. Yesus Kristus, Sang Sabda Allah diutus Bapa ke dunia
untuk melaksanakan rencana keselamatan-Nya, yaitu memulihkan kembali hubungan-
Nya dengan manusia (bdk. Ef.1:4-5, 10). Dalam diri Yesus sendiri sebenarnya telah terjadi
persatuan yang sempurna antara Allah dan manusia sebab dalam pribadi Yesus ada dua
kodrat yang bersatu, yaitu kodrat Allah dan kodrat manusia. Yesus itu sungguh-sungguh
Putera Allah dan sungguh-sungguh putera manusia. Dengan demikian, Kerajaan Allah
yang dihadirkan oleh Yesus menampakkan diri secara konkret pertama-tama dalam
kehadiran, sabda dan karya Yesus sendiri. Mereka yang percaya akan sabda dan karya-
Nya menerima Kerajaan Allah dan membentuk suatu persekutuan yang mempunyai
hubungan yang erat dengan Allah (bdk. Mat.12:49-50). Kemudian Yesus memilih dua
belas rasul yang mewakili dua belas suku bangsa Israel (bdk. Mat.19:28, Luk.22:30) dan
menjadikan mereka batu-batu dasar Yerusalem baru (bdk. Why.21:12-14). Dengan ini,
Yesus secara tidak langsung memberikan struktur kepada persekutuan yang baru dengan
Petrus sebagai pemimpinnya (bdk. Mrk.3:14-15). Persekutuan ini-lah yang kemudian
disebut sebagai Gereja yang di dalamnya mereka yang percaya mengambil bagian dalam
kehidupan, penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus.

Halaman 17
Gereja secara definitif muncul karena penyerahan diri Yesus secara menyeluruh, yang
didahului dengan perayaan Ekaristi dan direalisasikan dalam pengorbanan dan
kematian-Nya pada kayu salib. Yesus sendiri telah menubuatkan “dan Aku, apabila Aku
ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang kepada-Ku” (Yoh.12:32). Karena
itu, setiap kali dirayakan korban salib di atas altar, tempat “... anak domba Paskah kita
disembelih, yaitu Kristus” (1Kor.5:7), dirayakan karya penebusan manusia. Semua
manusia tanpa kecuali dipanggil ke arah persatuan dengan Kristus karena semua
manusia berasal dari pada-Nya, hidup karena-Nya, dan menuju kepada-Nya. Dalam
perjamuan malam terakhir, Kristus mempersatukan Gereja dengan diri-Nya dengan
memberikan tubuh-Nya dalam rupa roti untuk dimakan dan darah-Nya dalam rupa
anggur untuk diminum (bdk. Mat.26:26-29, Mrk.14:22-25, Luk.22:15-20). Gereja terus-
menerus merayakan perjamuan Ekaristi ini sebab dalam perjamuan ini, Gereja
mempersatukan dirinya dengan Kristus, “Karena roti adalah satu, maka kita sekalipun
banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu”
(1Kor.10:17). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Gereja menghasilkan Ekaristi dan
dalam Ekaristi dihasilkan Gereja (persatuan dengan Kristus). Dengan demikian, Gereja
menjadi tanda kehadiran Kristus. Selain itu, perayaan Ekaristi menjadi sumber dan
puncak kehidupan Gereja.

Setelah menyelesaikan karya keselamatan yang dipercayakan Bapa kepada-Nya, Yesus


naik ke Surga. Namun, Ia tidak meninggalkan umat yang telah dihimpun-Nya selama di
dunia. Ia ingin agar Kerajaan Allah (persatuan antara Allah dan manusia) dilanjutkan dan
disebarluaskan sampai ke ujung bumi (bdk. Mat.28:18-20, Mrk.16:15-20, Kis.1:18). Oleh
sebab itu, Ia mengutus Roh Kudus kepada umat-Nya pada hari Pentekosta. Roh Kudus
adalah Roh Kristus sendiri. Dengan hadirnya Roh Kudus dalam Gereja, Gereja menjadi
kudus. Gereja yang kudus (the holy Church) bukan berarti bahwa tidak ada pendosa di
dalamnya melainkan bahwa Gereja itu dikuduskan oleh Roh Kudus (the sanctified
Church) dan dengan kuasa-Nya ia menguduskan semua umat manusia yang berada di
dalamnya (the sanctifying Church).

Dengan hadirnya Roh Kudus, persekutuan antara Allah dan manusia terus-menerus
dipelihara. Gereja tanpa kehadiran Roh Kudus tidak dapat lagi disebut Gereja karena
Gereja akan kehilangan unsur ilahinya dan akan menjadi suatu perkumpulan atau
organisasi manusiawi belaka dan tidak ada lagi persekutuan antara Allah dan manusia.
Namun, hal ini jangan diartikan bahwa ada dua macam Gereja, yang satu kelihatan dan
yang lain tidak kelihatan, sebab secara esensial kedua unsur ini ada sekaligus dalam satu
Gereja.

Gereja dalam bimbingan Roh Kudus melanjutkan tugas dan karya keselamatan yang
dikerjakan oleh Kristus di dunia, yaitu mempersatukan kembali seluruh umat manusia
dengan Allah sampai kepenuhannya pada akhir jaman (bdk. Kis.1:7-8) dimana manusia
dipersatukan dengan Allah secara utuh dan sempurna. Untuk melaksanakan tugasnya,
Gereja dilengkapi oleh Roh Kudus dengan berbagai karunia hierarkis dan karismatis

Halaman 18
(bdk. Ef.4:11-12, 1Kor.12:4, Gal.5:22). Dengan demikian, Gereja tampak sebagai umat
yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa, Putera dan Roh Kudus.

3. Hubungan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

Tata keselamatan Perjanjian Lama terutama dimaksudkan untuk menyiapkan


kedatangan Kristus Penebus seluruh dunia serta kerajaan Al Masih, mewartakannya
dengan nubuat-nubuat. PL mengungkapkan pengertian tentang Allah dan manusia serta
cara-cara Allah yang adil dan rahim bergaul dengan manusia. Kitab-kitab ini
memaparkan cara pendidikan Ilahi yang sejari. Mengungkapkan kesadaran hidup akan
Allah, ajaran-ajaran luhur tentang Allah serta kebijaksanaan yang menyelamatkan,
perbendaharaan doa-doa yang menakjubkan, mengemban rahasia keselamatan kita.
Kitab-kitab itu harus diterima dengan khidmat oleh Umat beriman Kristiani. DV 15

Allah pengilham dan pengarang Kitab-kitab PL maupun PB, dalam kebijaksanaan-Nya


mengatur sedemikian rupa sehingga Perjanjian Baru tersembunyi dalam perjanjian
Lama, dan Perjanjian Lama terbuka dalam Perjanjian Baru. Perjanjian Lama seutuhnya
ditampung dalam pewartaan Injil dan dalam Perjanjian Baru memperoleh dan
memperlihatkan maknanya yang penuh dan sebaliknya juga menyinari dan menjelaskan
Perjanjian Baru. DV 16

Sabda sudah menjadi daging dan diantara kita penuh rahmat dan kebenaran. Kristus
mendirikan Kerajaan Allah di dunia, dengan karya dan sebda-Nya menampakkan Bapa-
Nya dan diri-Nya sendiri, dengan wafat, kebangkitan, serta kenaikan-Nya penuh
kemuliaan, pun dengan mengutus Roh Kudus menyelesaikan karya-Nya. DV 17

4. Lectio Divina

Lectio Divina berarti bacaan ilahi atau bacaan rohani. Lectio Divina ini sudah dikenal
dan dikembangkan dalam tradisi Gereja Katolik. Lectio Divina adalah cara berdoa
dengan membaca dan merenungkan Kitab Suci untuk mencapai persatuan dengan Allah.
Lectio Divina mempunyai empat tahapan yaitu: lectio, meditatio, oratio, dan
contemplatio.

Langkah-langkah praktis Lectio Divina

1. Masuk dalam keheningan.


2. Berdoa mohon bimbingan Roh Kudus
3. Tahap lectio adalah tahap membaca Kitab Suci. Sambil membaca Kitab Suci
sebenarnya kita juga mendengarkan apa yang kita baca. Pada tahap ini, kita
membiarkan Sang Sabda berbicara kepada kita. Tujuan pembacaan ini bukan untuk
pengetahuan belaka tetapi lebih jauh daripada itu, yaitu untuk mengubah diri kita
menjadi serupa dengan Kristus sendiri.

Halaman 19
4. Tahap meditatio adalah tahap mengulang-ulang, mencerna, merenungkan, dan
menyatukan ke dalam diri kita kata-kata atau kalimat yang sangat menarik
perhatian kita sampai kata-kata itu benar-benar terinternalisasi ke dalam batin kita
dan nantinya akan mengalir dalam setiap tindakan dan perkataan kita. Dengan
demikian, kita akan memahami apa yang Allah kehendaki dalam hidup kita.
5. Tahap oratio adalah tahap doa, tahap untuk menanggapi Sabda Allah yang telah kita
renungkan. Doa ini bisa dalam bentuk apapun sesuai dengan dorongan hati kita,
bisa doa permohonan, doa pujian, doa syukur, doa pertobatan, doa penyembahan
dan lain-lain.
6. Tahap contemplatio adalah tahap persatuan dengan Allah. Pada tahap ini, kita
menyatukan diri dengan Allah, menyatukan kehendak kita dengan kehendak-Nya.
Dengan penuh kesadaran, kita hidup di dalam Allah.

Daftar Pustaka:
1. Dei Verbum 7, 9, 14, 15, 16, dan 17
2. Katekismus Gereja Katolik 120, 121-123, 128-129, 761-769
3. Iman Katolik
4. Dr. Noco Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika 1, Allah Penyelamat, Kompendium
Sepuluh Cabang, Berakar Biblika dan Berbatang Patristika, Kanisius, Yogyakarta,
2004, hal.88-100.
5. Dari mana asalnya Kitab Suci dalam http://www.katolisitas.org/
6. Menjawab Keberatan tentang Septuaginta dan Deuterokanonika dalam http://
www.katolisitas.org/
7. Pengenalan dengan Kitab Suci (Bagian ke-2) dalam http://www.katolisitas.org/
8. Sejarah Kitab Suci dalam http://www.imankatolik.or.id/

Halaman 20
TRADISI
(Angga Satya Bhakti S.S, M.Hum.)

A. Tradisi secara umum


Tradisi berasal dari bahasa Latin traditio yang berarti penyerahan sah barang dari
pemilik lama kepada pemilik yang baru. Dalam bahasa Yunani berhubungan dengan
istilah paradosis yang berarti memindahkan. Bila dalam konteks ajaran maka tradisi
ajaran adalah penerusan ajaran dari angatan ke angkatan. Traditiones adalah kebiasan-
kebiasan lama yang diterima dari angkatan-angkatan sebelumnya. Menurut KBBI tradisi
adalah 1 adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan
dalam masyarakat; 2 penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada
merupakan yang paling baik dan benar. Tradisi memiliki proses komunikatif yang aktif
(penyerahan) dan yang pasif (apa yang diserahkan), dan seterusnya akan bersifat seperti
itu.
Tradisi ada karena perjumpaan manusia yang satu dengan yang lainnya. Manusia
yang berelasi menemukan makna dan membagikan makna tersebut. Tradisi bukanlah
sesuatu yang ada sebelum manusia. Namun, tradisi tetaplah erat kaitannya dengan
sejarah. Sebagai bahasa manusia yang bersifat diteruskan, tradisi mampu
menyampaikan kebenaran sejarah. Dalam hal ini interpretasi terhadap tradisi
memampukan manusia untuk menemukan kebenaran-kbenaran yang lain. Tradisi
merupakan bagian peradaban manusia yang dirasakan mampu menjawab permasalahan
kehidupan. Menurut fungsinya tradisi mampu membentuk suatu kelompok sosial karena
adanya proses identifikasi yang berasal dari kesadaran historis yang menjembatani
beberapa generasi. Tradisi menjadi pegangan bagi masyarakat karena didalamnya
terkandung nilai yang diwariskan dan dianggap selalu relevan bagi individu atau suatu
kelompok. Maka tradisi dapat berupa material maupun ideologi.
Dalam wilayah kecil manusia hidup dengan mencontoh perilaku mereka yang
merawatnya. Hidup manusia selalu berkaitan dengan pemberian nilai dan tata cara dari
orang lain. Bayi yang melihat orangtuanya berjalan dengan dua kaki akan mencoba
belajar berjalan dengan dua kaki, begitu juga bayi yang belajar berbicara dengan berkata-
kata karena orangtuanya yang mengajarkan kata-kata kepada bayinya. Maka dalam skala
luas penerusan akan nilai-nilai dalam tata cara kehidupan merupakan bagian dari hidup
manusia yang selalu belajar dari sesuatu yang sudah ada. Tata cara tersebut yang pada
akhirnya disebut sebagai tradisi.

B. Tradisi Gereja
Dalam Gereja Katolik Tradisi sendiri memiliki dimensi suci. Tradisi merupakan
suatu wujud pengungkapan dimensi yang Ilahi melalui tindakan para rasul. Tradisi
merupakan apa yang diturunkan Yesus kepada para murid dan sekarang dilanjutkan
oleh para penggantinya. Para murid selaku orang-orang yang terdekat dengan Yesus
meneruskan ajaran-ajaran baik berupa perkataan maupun tindakan yang disampaikan
Yesus kepada mereka. Maka, tradisi bukan sekedar warisan dogma, doktrin, pemindahan

Halaman 21
pesan injil melalui kata-kata tapi tradisi juga melingkupi tindakan-tindakan yang
dipraktekan oleh gereja Perdana Misteri pribadi Yesus yang dialami para murid menjadi
isi dan dasar iman Gereja. Para rasul merupakan pelaku pertama tradisi mengenai Yesus
Kristus. Keyakianan mereka merupakan keyakinan yang dijiwai oleh Allah. Tradisi
diyakini sebagai kehidupan Gereja karena didalam tradisi itulah Roh Kudus berkarya. Di
dalam Dei Verbum Allah mewahyukan diri melalui sejarah atau tradisi selain melalui
Kitab Suci yang disusun juga melalui berbagai tradisi.
Menurut Bapa gereja tradisi memiliki ciri:
1. Antiquitas : kekunoan
2. Konsensus : Keputusan bersama
3. Universalitas : berlaku untuk umum
Tradisi memiliki proses dalam menentukan suatu dogma yang berasal
pembelajaran akan sejarah masa lalu, memformulasikan berdasarkan pertemuan
bersama (konsili) dan berlaku secara umum. Contoh: penentuan dogma yang diperoleh
dari keputusan bersama atas pelajaran masa lalu hingga berlaku untuk umum seperti
saat ini. Konsili Trente menyatakan bahwa Kristus mengutus para murid untuk
mengajarkan Injil keseluruh dunia sebagai sumber kebenaran dan ajaran moral. Konsili
vatikan II menegaskan bahwa tradisi tumbuh dalam semangat Roh Kudus. Konsili
meyakini Roh Kudus menggerakkan para rasul dalam meyampaikan tradisi, maka Roh
Kudus sendirilah yang menjadi jiwa dari tradisi. Sejarah mengenai Kristianitas
merupakan sejarah mengenai tradisi yang terbentuk sejak Gereja Perdana. Maka perlu
dipahami bahwa hidup dalam kristianitas berarti hidup di dalam tradisi. Memahami
gereja Katolik berearti memahami tradisi.

C. Hubungan Tradisi dengan Kitab Suci


Tradisi dan Kitab Suci memiliki hubungan yang erat sekali dan terpadu. Sebab
keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung
menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama” (DV 9). Kedua-duanya
menghadirkan dan mendayagunakan misteri Kristus di dalam Gereja, yang menjanjikan
akan tinggal bersama orang-orang-Nya “sampai akhir Zaman” (Mat 28: 20)
Katekismus Gereja katolik menekankan bahwa Kitab Suci dan Tradisi merupakan
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tardisi memiliki titik berat dalam Kitab Suci,
namun tidak terbatas pada Kitab Suci saja. Kitab Suci merupakan pembicaraan Allah
dengan ilham Roh Kudus. Melalui Tradisi Sabda Allah melalui Kristus dan Roh Kudus,
dipercayakan kepada para Rasul, disalurkan seutuhnya kepada para pengganti mereka,
supaya mereka dalam terang Roh Kebenaran dengan pewartaan mereka memelihara,
menjelaskan dan menyebarkan dengan setia” (DV9)
Kitab Suci dan Tradisi harus diterima dan dihormati dengan cita rasa kesalehan
dan hormat yang sama (DV 9). Gereja saat ini dipercaya untuk meneruskan dan
menjelaskan wahyu tersebut. Gereja Katolik ingin menekankan bahwa Kitab Suci dan
Tradisi meupakan proses pewahyuan. Gereja Katolik saat ini sebagai penerus gereja
perdana mengajarkan dogma yang berarti bukan suatu ajaran yang baru, melainkan
perumusan kembali sesuai dengan tuntutan zaman, Kitab Suci tetap menjadi

Halaman 22
pegangannya. Dunia yang dinamis memerlukan perumusan dan aktualisasi yang baru
agar sabda Kristus tetap berarti. “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini
dan sampai selama-lamanya”

D. Syahadat para rasul bagian dari tradisi


Syahadat para rasul merupakan salah satu bagian tradisi yang disahkan oleh
gereja melalui konsili. Syahadat merupakan hasil refleksi umat Kristen pada masa-masa
awal berdirinya Gereja. Syahadat yang terdapat dalam Gereja Katolik terdiri dari dua
jenis yang sebenarnya sama. Perbedaan terletak dari rumusan yang lebih panjang dan
detail terdapat dalam Saahadat konsili Nitea-Konstantinopel. Rumusan tersebut
digunakan untuk semakin menjelaskan esensi dari syahadat pendek.
Syahadat singkat Konsili Nitea-Konstantinopel
Aku Percaya akan Allah, Bapa yang Aku percaya akan satu Allah, Bapa yang
Mahakuasa pencipta langit dan bumi, Dan Mahakuasa Pencipta langit dan bumi, dan
akan Yesus Kristus Putra-Nya yang segala sesuatu yang kelihatan dan tidak
tunggal Tuhan kita, yang dikandung dari kelihatan, dan akan satu Tuhan Yesus
Roh Kudus dilahirkan oleh Perawan Kristus Putra Allah yang tunggal. Ia lahir
Maria, disalibkan wafat dan dimakamkan, dari Bapa sebelum segala abad, Allah dari
yang turun ke tempat penantian pada hari Allah, Terang dari terang, Allah benar dari
ketiga bangkit dari antara orang mati, Allah benar. Ia dilahirkan, bukan dijadikan
yang naik ke surga duduk disebelah kanan sehakikat dengan Bapa, segala sesuatu
Allah Bapa Yang Mahakuasa dari situ Ia dijadikan oleh-Nya. Ia turun dari surga
akan mengadili orang hidup dan mati, Aku untuk kita manusia dan untuk
percaya akan Roh Kudus Gereja Katolik keselamatan kita.Ia dikandung dari Roh
yang kudus persekutuan para Kudus, Kudus. Dilahirkan oleh Perawan Maria
pengampunan dosa kebangkitan badan dan menjadi manusia.Ia pun disalibkan
kehidupan kekal. Amin untuk kita, waktu Pontius Pilatus. Ia
menderita sampai wafat dan
dimakamkan. Pada hari ketiga Ia bangkit,
menurut Kitab Suci. Ia naik ke surga,
duduk di sisi Bapa dan akan datang
kembali dengan kemuliaan, mengadili
orang yang hidup dan yang mati kerajaan-
Nya takkan berakhir. Aku percaya akan
Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan,
Ia berasal dari Bapa dan Putera, disembah
dan dimuliakan. Ia bersabda dengan
perantaraan para nabi. Aku percaya akan
Gereja yang satu, kudus, katolik dan
apostolik. Aku mengakui satu
pembaptisan akan penghapusan dosa.
Aku menantikan kebangkitan orang mati
dan hidup.

Halaman 23
Syahadat merupakan pengakuan atas kepercayaan dan ajaran. Didalam syahadat
Para Rasul terkandung unsur-unsur keyakinan dua diantaranya adalah mengenai
Tritungal dan Maria sebagai ibu dari Yesus Kristus.

1. Tritunggal
Konsep mengenai Allah Tritunggal seringkali menjadi bahan perbincangan.
Pemahaman yang membingungkan mengenai Allah Tritunggal dipahami dari sisi
kuantitas dimana jumlah Allah yang selalu dibahas baik oleh orang-orang Kristiani
maupun pandangan agama-agama lain terhadap Kristiani. Yang penting dan harus
dipahami dalam memandang Allah Tritunggal ialah mengenai karya keselamatan-Nya
bukan mengenai jumlah. Bukan teori melainkan praktik hidupnya.
Inti pokok iman akan Allah Tritunggal dalah keyakinan bahwa Allah
menyelamatkan manusia dalam Kristus oleh Roh Kudus. Praktik kehidupan mengenai
kasih terungkap dalam relasi Allah Tritunggal. Bapa yang mencintai manusia mengutus
Putra-Nya sebagai jalan keselamatan menuju Bapa. Allah yang bersentuhan langsung
dengan manusia dan memberikan diri untuk manusia menjadi pedoman hidup bagi
manusia. Karya keselematan ini tidak berhenti dengan perutusan Putera saja. Manusia
akan bersatu dengan Allah ketika Allah sampai kedalam lubuk hatinya. Hal ini akan
terjadi karena Roh yang menghidupkan. Manusia dianugerahi mengambil bagian dalam
hidup Allah sendiri, yakni dalam cinta Bapa dan Putera dan Roh Kudus.
Banyak analogi yang diberikan untuk memberi gambaran mengenai Allah
Tritunggal, sebagai contoh: Bapa sebagai matahari, Putera sebagai sinarnya, Roh Kudus
sebagai panasnya yang terasa dalam diri manusia, atau seseorang yang bernama panjang
Angga Satya Bhakti, maka dipanggil Angga, Satya maupun Bhakti dia tetaplah satu orang
yang sama. Hal-hal seperti ini hanyalah sebuah upaya untuk memahami tanpa suatu
pertanggungjawaban yang jelas, perumpamaan tersebut tetap tidak mampu
mendefinisikan pemahaman Allah Tritunggal. Pemahaman tentang Allah Tritunggal
melampaui batasan pemahaman manusia. Allah Tritunggal adalah misteri yang hidup
(tetap diyakini dan dihayati) dalam iman Gereja Katolik.
Dibawah ini merupakan pernyataan mengenai syahadat para rasul terhadap Allah
Tritunggal:

a. Aku Percaya akan Allah Bapa


Pengakuan iman dimulai dari Allah Bapa, karena Allah adalah awal dan akhir
segala sesuatu. Allah Bapa adalah pribadi Tritunggal Mahakudus yang pertama. Ia mulai
dengan penciptaan langit dan bumi karena penciptaan adalah awal dan dasar segala
karya Allah. Dalam pernyataan ini juga mengakui kesaan Allah yang berakar dalam
wahyu Perjanjian Lama. Tuhan sebagai Yang Esa mewahyukan Diri kepada Israel, bangsa
yang dipilihNya. “Dengarlah, hai orang Israel. Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!Kasihilah
Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
kekuatanmu”(Ul 6:4-5). Allah yang esa adalah Allah yang hidup dan setia. Allah memangil
bapa-bapa bangsa Israel dan membimbing mereka dalam perjalanan mereka. “Akulah
Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub”(Kel 3-6). Ia adalah Allah yang

Halaman 24
dapat dan mau melakukan ini tanpa tergantung pada waktu dan tempat. Ia melaksanakan
rencana-Nya melalui kemahakuasaan-Nya. Allah meyatakan keberadaan-Nya melalui
pernyataan-Nya dan tindakan-Nya terhadap bangsa Israel. Bangsa Israel merupakan
bangsa terpilih yang melakukan perjanjian dengan Allah. Banyak hal yang telah terjadi
dengan bangsa Israel, seperti perbudakan, hingga menjadi bangsa yang besar dan Allah
merupakan pembimbing hidup dan penyelamat mereka. Cinta kasih Allah tercurah
kepada bangsa Israel. Dalam segala karya-Nya kemurah hatian-Nya, kebaikan-Nya,
rahmat-Nya, adalah hal yang dapat dipercaya. Bukti cinta terbesar Allah kepada bangsa
Israel yang dipilih-Nya adalah sekalipun Israel telah menyimpang dalam tindakan
perilaku seperti menyembah berhala Allah tetap mengampuni dan setia terhadap bangsa
Israel.

b. Dan akan Yesus Kristus


Dalam iman kristiani kekhasannya pertama-tama terletak dalam pribadi Yesus
Kristus. Kristologi ingin merefleksikan pribadi, perutusan dan nasib Yesus Kristus, yang
adalah Putera Allah yang menjadi manusia, dimulai dari pewartaan-Nya mengenai
Kerajaan Allah, salib:yakni penderitaan dan wafat-Nya, kebangkitan dan kenaikan-Nya
ke surga serta pengutusan Roh Kudus hingga kedatangan-Nya yang kedua kali nanti
(Parusia).
Gelar Putera Allah berasal dari tradisi biblis Yahudi. Dalam Perjanjian Lama
sebutan Anak Allah tidak berdasarkan keturunan atau asal-usul yang bersifat biologis
berasal dari ayah dan ibu. Anak Allah selalu berdasarkan suatu pilihann, perutusan yang
ditanggapi dengan ketaatan dan pelayanan. Dalam arti inilah Israel disebut anak yang
dipanggil dan dipilih oleh Allah (kel 4:22: Hos 11:1: Yer 31:9). Sebagai wakil bangsa Israel
seorang raja (Mzm 2:7;89:27-28) dan Mesias (2 Sam 7:14) dapat disebut sebagai anak
Allah dan semua orang saleh dapat disebut sebagai anak Allah (Mzm 73:15 :Keb 5:5).
Pernyataan Yesus sebagai Putra Allah adalah pernyataan iman gereja. Pernyataan
Yesus sebagai Anak Allah didasarkan oleh peristiwa Kebangkitan-Nya, pembaptisan, dan
inkarnasi(penjelmaan). Rm 1:2-4 berbunyi “Injil itu telah dijanjikan-Nya sebelumnya
dengan perantaraan nabi-nabi-Nya dalam kitab-kitab suci, tentang Anak-Nya, yang
menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud, dan menurut Roh Kekudusan
dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah
yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita”. Dalam peristiwa kebangkitan ini gelar Kristus
sebagai Putera Allah dikenakan pada diri Yesus dalam pernyataan Gereja Perdana.
Dalam pembaptisan Yesus terdengarlah suara dari surga “Engkaulah Anak-Ku
yang Kukasihi, kepadamulah Aku berkenan” (Mrk 1:9-11) peristiwa pembaptisan
mengaskan bahwa Yesus adalah Putera Allah sejak penampilan-Nya yang pertama.
Peristiwa inkarnasi ditegaskan dalam Luk 1:30-35, dalam peristiwa Maria menerima
kabar dari malaikat Tuhan. Peristiwa ini merupakan peristiwa sabda yang menjadi
daging. Yesus yang merupakan Sabda Allah sendiri mewujud dalam rupa manusia ikut
serta dalam kehidupan manusia.

Halaman 25
Yesus Kristus adalah Tuhan merupakan gelar yang sangat agung. Kata Tuhan
berasal dri bahasa Yunani Kyrios. Kyrios sendiri memiliki makna religius dan bukan
religius. Dalam makna religius Kyrios beararti mengacu pada dewa-dewi, makna bukan
religius disebutkan kepada pemilik , majikan, penguasa, atau seorang wali menurut
hukum. Dalam Perjanjian Lama gelar Tuhan digunakan Israel terhadap para pemilik
tanah, raja, atau majikan budak. Israel sendiri menyebut Allah sebagai Tuhan, yang dalam
bahsa Ibrani: Adon, adoni, adonai. Bangsa Israel menyatakan bahwa Allah adalah pemilik
mereka dan yang menguasai langit dan bumi. Allah adalah sang penguasa namun dilain
pihak Allah begitu dekat dengan bangsa-Nya sebagai pembimbing bangsa Israel.
Dalam Perjanjian Baru Yesus Kristus mendapatkan gelar Tuhan. Gelar Tuhan
menunjukkan akan Dia yang dibangkitkan. “Itulah sebabnya Allah meninggikan Dia dan
mengaruniaka kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus
bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah
bumi, dan segala lidah mengaku:’Yesus Kristus adalah Tuhan’, bagi kemuliaan Allah
Bapa!” Gelar Tuhan merupakan konsepsi relasional dimana manusia tergantung pada
Tuhan, sekaligus Tuhan bertindak dan menyelamatkan manusia. Yesus sendiri rela
menderita dan wafat disalibkan, namun Ia bangkit dan ditinggikan oleh Allah menjadi
Tuhan. Yesus Kristus juga memiliki kuasa atas bumi dan langit (Mat 28:18), kuasa seperti
ini dalam landasan biblis hanya dimiliki oleh Allah sendiri. Maka dengan demikian gelar
Tuhan untuk Yesus mengungkapkan terutama kekuasaan dari segi Ilahi-Nya.

c. Aku Percaya akan Roh Kudus


Pernyataan iman Gereja akan kepercayaan terhadap Roh Kudus termuat dalam
syahadat para Rasul atau syahadat Nikea-Konstantinopel dan berakar pada iman biblis.
Kata Roh Kudus dala bahasa Ibrani merupakan ruah ha-qodesh. Kata ruah atau ruakh
diterjemahkan dalam bahasa Yunani pneuma yang berarti hembusan nafas, nafas, udara,
angin, jiwa. Dalam syahadat Nikea-Konstantinopel disebutkan tentang Roh Kudus
sebagai “Ia Tuhan yang menghidupkan, Ia berasal dari Bapa dan Putera, yang serta Bapa
dan putera disembah dan dimuliakan, Ia bersabda dengan perantaraan para nabi.” Bapa
, Putera dan Roh Kudus sendiri dipandang sebagai Allah Tritunggal.
Perjanjian Lama dalam kitab Kebijaksanaan mengatakan “sebab kebijaksanaan
adalah roh yang sayang akan manusia...roh Tuhan memenuhi dunia semesta, dan Ia yang
merangkum segala-galanya mengetahui apapun yang disuarakan” (keb 1:6-7), Keb 7: 7
juga berbunyi : “Maka itu aku berdoa dan aku pun diberi pengertian, aku bermohon lalu
roh kebijaksanaan datang kepadaku”. Begitu pula dalam perjanjian baru Yoh 14:26
berbunyi “Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah
yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan mengingatkan kamu akan semua
yang telah Kukatakan kepadamu”. Hal ini menyatakan Roh Kudus merupakan satu
kesatuan dari Bapa dan Putera. Yesus sendiri menghendaki pembaptisan dalam nama
Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Hal inilah menyatakan akan Allah Tritunggal ada.
Hingga saat ini Roh Kudus terus menguduskan dan menjiwai Gereja. Konsili Vatikan II
menegaskan Roh Kudus sebagai Dia yang menguduskan Gereja (LG 4). Hal ini
menyatakan bahwa setiap orang adalah kudus, karena Roh Kudus sendiri yang berdiam

Halaman 26
didalam diri manusia (Rm 5: 5, 1 Kor 3 :16-17; 6:19). Para Bapa gereja , Santo Irenius dan
Agustinus memandang sebagaimana jiwa meresapi dan menghidupi badan, demikian
pula Roh Kudus meresapi dan menghidupi Gereja hingga Gereja sampai saat ini adalah
kudus adanya.

2. Peran Maria dalam Keselamatan


Maria yang biasa disapa Bunda di Indonesia oleh orang Katolik, merupakan ibu
dari Yesus Kristus. Maria dihormati secara khusus dalam gereja katolik. Maria dihormati
karena Allah yang telah memilihnya sebagai ibu dari Tuhan Yesus. Maria merupakan
wanita yang taat. Bunda Maria memiliki kaitan erat dalam peranan wanita dalam
Perjanjian Lama. “Adapun Bapa yang penuh belas kasihan menghendaki, supaya
penjelmaan Sabda didahului oleh persetujuan dari pihak dia, yang telah ditetapkan
menjadi Bunda-Nya. Dengan demikian, seperti dulu wanita mendatangkan maut,
sekarang pun wanitalah yang mendatangkan kehidupan” (LG 56). Bunda Maria
merupakan Hawa yang baru, dan Tabut Perjanjian Baru. Kepenuhan rahmat Tuhan dalam
diri Maria dan martabatnya diperoleh dari perannya sebagai Bunda Allah. Maria
dihormati selain karena teladan hidupnya adalah karena Allah dalam rupa Kristus
sendiri. Allah yang memilih Maria berarti Allah yang menentukan seorang yang mulia
yang pantas menjadi seorang yang merawat Putera-Nya.
Melalui Marialah rencana keselamatan Allah terjadi. Kedatangan Kristus
diramalkan melalui Maria dalam peryataan nabi Yesaya “ Sebab itu Tuhan sendirilah yang
akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda
mengandung dan melahrkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia
Imanuel” (Yes 7:14). Allah telah mengutus malaikat untuk menemui Maria dalam
persiapannya sebagai Bunda Kristus. Meskipun awalnya Ia merasa ragu dan bertanya
“Bagiamana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami” Malaikat menjawab
“bagi Allah tidak ada yang mustahil”.(Luk 1:26-38) Maria pun merupakan wanita yang
taat. Ia menerima rahmat Allah untuk mengandung, merawat Kristus bahkan Maria
menemani Kristus hingga Kristus wafat disalib. Maria siap menaggung segala resiko
ketika menerima rahmat Allah untuk mengandung kendati ia belum menikah dengan
Santo Yosef, hal ini mengandung resiko akan cacian dan hukuman rajam sampai mati bagi
mereka yang mengandung diluar pernikahan dalam tradisi Yahudi. Naluri seorang ibu
yang mencintai anaknya tergambar dengan baik dalam diri Maria, ia rela pergi dari
tempat tinggalnya bersama Santo Yosef karena penolakan dari masyarakat. Penolakan
demi penolakan juga ia jalani dalam mempersiapkan persalinan Yesus Kristus hingga
akhirnya Yesus dilahirkan dalam kandang para gembala di Betlehem. Selama hidupnya
Maria juga setia menemani Kristus dalam karya penyelamatan-Nya. Ketika Kristus
memanggul salib Ia dengan tabah berada disisi Kristus memberi peneguhan serta
kekuatan, Ia tidak berusaha menghentikan peristiwa jalan salaib, karena Ia percaya
bahwa ini adalah keinginan Putera-Nya yang merupakan kehendak Allah. Keteladanan
Maria dalam ketaatan dan kesetiaan inilah yang pada akhirnya Gereja Katolik
memberinya penghormatan secara khusus. Maria merupakan teladan iman, dasar
pengharapan dan sumber cinta bagi Gereja.

Halaman 27
Perlu dipahami doa-doa yang bernuansakan Maria adalah doa-doa yang
dipanjatkan untuk menghormati Bunda Maria, bukan doa yang berarti berimankan
kepada Bunda Maria sebagai Tuhan. Doa kepada Maria merupakan doa perantara melalui
Maria kepada Kristus, sebagai Bunda-Nya. Perantara dalam pemahaman umum seorang
anak semestinya ingin berbakti kepada orangtuanya, sehingga permohonan orangtua
akan diwujudkan oleh sang anak. Dalam biblis seperti peristiwa pernikahan di Kana,
mempelai yang memohonkan bantuan kepada Bunda Maria karena kekurang anggur
sebagai jamuan untuk para tamu. Yesus melakukan mukjijat mengubah air menjadi
anggur, karena tergerak hati-Nya oleh permohonan sang ibu untuk menolong mempelai
tersebut.

Catatan:
Bapa-bapa Gereja adalah para penulis Kristian klasik, yang tulisan maupun
kepribadiannya dianggap suci oleh Gereja
Konsili adalah pertemuan yang diadakan oleh dewan para uskup.
Landasan biblis adalah landasan yang didasarkan dari Kitab Suci

E. Sakraman sebagai bagian dari tradisi


Sakramen merupakan salah satu bagian dari tradisi. Baik tercantum dalam tradisi
tulisan maupun tradisi lisan.

1. Pengertian Sakramen

Sakramen berasal dari bahasa Latin yaitu sacramentum yang berakar kata dari
sacr, sacer yang berarti kudus, suci, lingkungan orang kudus atau bidang yang suci. Pada
awalnya digunakan untuk menerjemahkan mysterion. Mysterion berasal dari kat my
dengan kata kerja myein yang berarti menutup mata atau mulut sebagai reaksi akan
penagamalam yang diluar nalar dan tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Maka kata
Mysterion berarti suatu pengalaman yang tidak mampu terlukiskan dengan kata-kata
yaitu perjumpaan dengan yang Ilahi.7 Kata ini menjadi kata misteri yang berarti rahasia.
Rahasia yang dimaksud ialah keselamatan Allah yang ditampakkan melalui peristiwa-
peristiwa di dunia. Maka sakramen dapat dipahami sebagai peristiwa konkret duniawi
yang menandai, menampakkan, melaksanakan atau menyampaikan keselamatan Allah,
atau lebih tepat Allah yang menyelamatkan. Secara singkat sakramen adalah tanda
kehadiran Allah yang menyelamatkan.

Sacramentum yang merupakan keselamatan Allah diwujudkan dan terlaksana


dalam sejarah (dimulai dari Perjanjian Lama) dan memuncak dalam diri Yesus Kristus.
Secara umum Kristus sendiri adalah sakramen yang hidup. Kristus adalah sakramen
utama karena melalui Kristuslah pengalaman bersama Allah dirasakan. Dalam Kitab Suci
hal ini terwujud dalam jawaban Yesus terhadap Filipus murid-Nya dalam Yoh 14:9,
“Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal

7
Sakramen-sakramen gereja hlm61-62

Halaman 28
Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa”. Seluruh pribadi Yesus dan
karya-Nya menjadi tanda yang menghadirkan Allah secara utuh.

Kristus meneruskan kehadiran Allah tersebut dalam diri Gereja. Gereja


merupakan tanda sakramen Allah. Di dalam Gereja tanda rahasia keselamatan Allah
menjadi nyata.. Gereja merupakan saksi utama Kristus. Gereja merupakan simbol yang
menghadirkan Yesus Kristus dengan karya penebusan-Nya bagi dunia. Gereja membantu
manusia hingga samapai saat ini untuk mengenal dan berelasi dengan Yesus Kristus, dan
dalam pemahaman inilah Gereja merupakan sakramen. Semua itu dapat terjadi karena
di dalam diri Gereja tercurah Roh Kudus yang mempersatukan Gereja dengan Yesus
Kristus. Dalam tindakan konkretnya Gereja mengemban tugas perutusan-Nya tersebut
didalam peristiwa tujuh sakramen yang diakui umat katolik.

2. Tujuh Sakramen

Terdapat tujuh sakramen yang diakui oleh Gereja Katolik tujuh sakramen tersebut
terbagai menjadi tiga bagian:

a. Sakramen-sakramen Inisiasi Katolik:


Inisiasi merupakan tanda masuk atau penerimaan dan yang merupakan sakramen ini
ialah:
1) Sakramen Pembaptisan
Pembaptisan memiliki arti mencelup dari bahasa Yunani Baptizen. Melambangkan
dimakamkannya katekumen ke dalam kematian Kristus, dan keluar melalui
kebangkitan bersama Dia sebagai ciptaan baru. Dalam perkembangannya baptis
memiliki makna kelahiran kembali. Beberapa hal yang dapat dimaknai dalam
baptisan ialah, sebagai pengampunan dosa, mengaruniai Roh Kudus,
mempersatukan dalam satu tubuh Gereja, dan sebagai karunia hidup baru. Baptian
dalam katolik terjadi dalam dua bentuk yaitu baptisan bayi dan baptisan dewasa.
Baptisan bayi terjadi sebagai wujud tanggungjawab iman orangtua terhadap
pendidikan iman sang anak. Baptisan dewasa terjadi saat seseorang memahami
iman Kristiani dengan segala tanggunng jawab dan dengan kehendak bebas
melalui bimbingan Gereja hendak bersatu menjadi anggota Gereja. Kata-kata yang
digunakan untuk membaptis ialah “ aku membaptis kamu dalam nama Bapa dan
Putra dan Roh Kudus”, dengan menuangkan air di dahi atau menenggelamkan
sesaat di dalam air. Penerima akan menjawab amin yang berarti setuju. Air
menjadi simbol kehidupan. Air yang digunakan adalah air bersih.

2) Sakramen Penguatan/Krisma
Sakramen penguatan membuat orang kristiani semakin terikat pada gereja secara
lebih sempurna. Mereka diperkaya dengan daya kekuatan Roh Kudus sehingga
mereka dianggap semakin dewasa dalam iman. Mereka semakin menjadi saksi
Kristus dalam perkataan maupu perbuatan. Krisma berarti pengurapan berasa

Halaman 29
dari bahasa Yunani Chrisma, krima dengan kata kerja chrio, chriein yaitu
mengurapi. Sakramen krisma merupakan tahapan setelah sakramen baptis agar
seseorang secara penuh menjadi anggota Gereja. Krisma hanya diberikan kepada
mereka yang sudah dibaptis dan sudah dapat menggunakan akal dan dapat
bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya. Pelayan akan mengatakan “
terimalahtanda karunia Roh Kudus”, ia juga akanmenumpangkan tangan dan
mengurapi minyak krisma di dahi.

3) Sakramen Ekaristi
Sakramen Ekaristi melibatkan orang kristiani untuk ikut ambil bagian dalam
kurban Tuhan bersama seluruh jemaat. Ekaristi merupakan sumber dan puncak
seluruh hidup Grejani. (LG 11). “sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua
pelayanana gerejani serta karya kerasuan, berhubungan erat dengan Ekaristi suci
dan terarahkan kepadanya. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh
kekayaan rohani Gereja yakni Kristus sendiri, Paska kita” (PO 5). Ekaristi
menghadirkan kembali peristiwa penebusan dan keselamatan meaui diri Yesus
Kristus. Ekaristi juga menjadi ritual ibadat Gereja. Di dalam Ekaristi, anggota
Gereja merasakan kehadiran Kristus sendiri. Dalam Ekaristilah kebersamaan
dengan Allah dan sesama mencapai kepenuhan dan jawabannya.

b. Sakramen-sakramen Penyembuhan:

Dalam keyakinan Kristiani, Kristus adalah dokter jiwa dan tubuh. Kristus sendiri
didalam Ktab Suci menyembuhkan orang-orang yang sakit dan meengampuni dosa
orang-orang, kini Kristus menghendaki Gereja melanjutkan karya penyembuhan dan
penyelamatan-Nya dalam Roh Kudus. Maka sakramen yang termauk dalam bagian ini
adalah:

4) Sakaramen Tobat
Sakramen ini seringkali juga disebut sakramen perdamaian (rekonsiliasi). Mereka
yang menerima sakramen tobat memperoleh pengampunan dari belas kasih Allah
atas penghinaan mereka terhadap-Nya; sekaligus mereka didamaikan Gereja, yang
telah mereka lukai dengan berdosa, dan yang membantu pertobatan mereka
dengan cinta kasih, teladan serta doa-doanya” (LG 11). Dosa menyebabkan
rusaknya relasi manusia dengan Allah, sesama dan secara khusus Gereja.
Pertobatan hendaknya menhasilkan tindakan kebaharuan dalam diri manusia
sehingga manusia tidak melakukan kesalahan lagi. Maka unsur yang seharusnya
ada dalam situasi pengakuan dosa ialah penyesalan, keterbuakaan, dan komitmen
untuk menjadi lebih baik dari orang yang mengaku dosa. Sakramen ini dilakukan
dengan menyampaikan dosa-dosa dihadapan imam yang diyakini memiliki kuasa
atas rahmat tabisannya, maka seringkali sakramen ini juga disebut sebagai
sakramen pengakuan dosa. Imampun akan memberikan absolusi(pengampunan)
sehingga disebut sakramen pengampunan dosa.

Halaman 30
5) Sakramen Pengurapan Orang Sakit
Sakramen ini merupakan bentuk perhatian Gereja yang turut menemani
anggotanya dalam situasi sakit. Mereka yang sakit mendapat peneguhan dengan
menyatukan kesakitan mereka dengan pendertitaan yang dialami oleh Kristus.
Situasi sakit seringkali menjadikan manusia merasa takut, menutup diri dan putus
asa hingga pemberontakan terhadap Allah. Disisi lain penyakit justru dapat
mematangkan diri manusia untuk semakin matang dalam menerima kehidupan,
dan mampu membawa manusia kembali kepada Allah. Sakramen pengurapan
orang sakit bukanlah sakramen yang diberikan lantas sipenyekit sembuh dari
penyakitnya, melainkan sebagai bentuk peneguhan terhadap jiwa yang ikut sakit
karena sakit secara fisik.

c. Sakramen-sakramen Pelayanan Persekutuan dan Perutusan:

Sakramen inisiasi mengarahkan pribadi Kristiani kepada panggilan kekudusan dan


tugas yang mewartakan kabar gembira kepada dunia. Sakramen pelayanan untuk
persekutuan secara lebih konkrit membawa kehidupan pribadi Kristiani berhadapan
langsung dengan orang lain untuk menuju persekutuan yang kudus. Maka dua sakramen
yang menjadi bagiannya adalah:

6) Sakramen Tahbisan
Sakramen ini merupakan perutusam yang dipercayakan Kristus kepad Rasul-
rasul-Nya, yang didalam Gereja dilanjutkan dalam diri para pelayan Gereja seperti
Para uskup, Imam dan diakon. Sakramen ini menempatkan sistuasi dimana
manusia membutuhkan seorang pemimpin. Pemimpin yang mampu melayani dan
membimbing kehidupan mereka terutama dalam iman. Maka tahbisan ini
mencakup tiga tahap yaitu:
a) Episkopat
Tahbisan untuk menjadi seorang uskup. Tahbisan ini merupakan puncak
kepenuhan dalam sakramen imamat. Maka dalam Gereja uskup merupakan
imamat tertinggi. Menjadi Uskup memiliki tiga peranan penting: Guru,
gembala, dan Imam Agung dengan tugas mengajar dan memimpin.
b) Prebisterat
Merupakan tahbisan untuk para imam. Imam merupakan rekan kerja
uskup, dengan uskup sebagai pemimpinnya. Mereka menerima misi
kerasulan dai para uskup. Seperti memimpin perayaan ekaristi.
c) Diakonat.
Diakon berarti pelayan, tahbisan ini merupakan jenjang tahbisan sebelum
menjadi imam. Tugas diakon adalah membantu Uskup dan Imam dalam
perayaan-perayaan seperti Ekaristi, membagikan komuni kudus,
mebacakan Injil dan berkhotbah, saksi gerajani bagi perkawinan dan
memberkati para mempelai, memimpi upacara pemakaman.

Halaman 31
Tahbisan Episkopat dan Prebisterat memampukan pelayan gereja ini memiliki
tiga peranan penting Kristus yaitu sebagai imam, nabi dan raja. Imam dalam tugas
untuk menguduskan, nabi dengan tugasnya mewartakan, dan raja dalam tugasnya
sebagai pemimpin.

7) Sakramen Perkawinan
Sakramen perkawinan merupakan pria dan wanita yang ingin hidup bersama
seumur hidup. Hal ini merupakan persekutuan yang ada dalam kodrat pria dan
wanita. Persekutuan ini merupakan kehendak Allah sendiri. Tuhan menciptakan
manusia karena cinta, maka Tuhan juga yang memanggil manusia untuk mencinta.
Dalam ranah teologis, perkawinan menyimbolkan Allah yang setia kepada umat
pilihan-Nya seperti yang tergambar dalam Perjanjian Lama, dan dalam Perjanjian
Baru seperti hubungan yang mesra Yesus kepada Gereja. Kristus dengan Gereja-
Nya juga tidak terpisahkan. Perkawinan memiliki sifat yang sakral, pasangan suami
istri memiliki tantangan dalam mewartakan apa yang dilambangkan tersebut.

Ketujuh sakramen tersebut merupakan aktualisasi pelaksanaan diri Gereja sendiri


sebagai sakramen yang menghadirkan Kristus dalam situasi dasar kehidupan manusia.
Mereka yang boleh menermakan sakaramen maupun memberikan sakramen ialah:

Sakramen Pelayan Penerima


Baptisan Uskup,Imam, Diakon dan Setiap orag yang belum pernah
dalam kasus darurat siapa dibaptis
saja asal memiliki
pemahaman yang sesuai
dengan gereja
Krisma Uskup, dalam keadaan luar Mereka yang telah dibaptis dan
biasa Imam yang belum pernah menerima sakramen
didelegasikan oleh uskup penguatan
Ekaristi Uskup dan Imam Siapa saja yang telah dibaptis dan
untuk menyambut komuni, mereka
yang telah menyelesaiakan
pendidikan komui pertama
Tobat Uskup dan Imam yang Mereka yang telah dibaptis dan jatuh
memiliki kuasa yurisdiksi ke dalam dosa
untuk menerimakan
sakramen tobat
Pengurapan Uskup dan Imam Mereka yang sudah dibaptis dan
orang sakit dalam keadaan sakit ataupun bahaya
maut seperti menjelang
operasi,lansia,atau akan melakukan
kegiatan yang mempertruhkan
nyawa.

Halaman 32
Perkawinan Masing-masing dari partner Laki-laki dan perempuan yang telah
yang melangsungkan dibatis dan bebas halangan
pernikahan
Imamat Uskup Laki-laki yang sudah menyelesaikan
pendidikan calon imam (termasuk
kuliah fisafat-teologi), sudah
diijinkan oleh pihak pimpinan, dan
lektor dan akolit

3. Sakramen Ekaristi sebagai Sumber dan Puncak kehidupan Gereja

Ekaristi berasal dari bahasa Yunani yaitu eucharistia yang berarti puji syukur.
Kata ini merupakan kata benda dari eucharistein yang berarti memuji dan mengucap
syukur. Eucharistein digunakan bersama dengan kata kerja eulogein yang berarti memuji-
bersyukur, untuk menerjemahkan bahasa Ibrani barekh yang berarti memuji dan
memberkati. Kata kerja Barekh memiliki kata benda berakhah yang biasa digunakan
untuk doa berkat, perjamuan yang berisi pujian, syukur, dan permohonan. Doa tersebut
berlangsung pada saat perjamuan makan Yahudi yakni doa berkat atas roti (sebelum
perjamuan makan) dan piala (sesudah perjamuan makan). Ekaristi secara asal usul
berarti doa berkat yang berlangsung dalam perjamuan makan Yahudi.

Dalam perkembangannya Gereja, menggunakan istilah Perayaan Ekarasiti.


Perayaan ekaristi ini berlatarbelakang dari perjamuan malam terkahir Yesus Kristus
dengan para murid-Nya. Dalam Perjamuan tersebut Kristus bertindak sebagai pemimpin
yang mengambil roti, memecah, mengucap syukur dan memberkati. Yesus Kristus
melambangkan roti dan anggur sebagai Diri-Nya sendiri. Maka Perayaan Ekaristi ingin
mengungkapkan pujian syukur atas karya penyelamatan Allah yang terlaksana melalui
Yesus Kristus, sebagaimana berpuncak dalam peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus.
Dalam perjamuan ini juga Yesus berpesan kepada para murd-murid-Nya untuk
mengenangkan diri-Nya melalui peristiwa perjamuan malam terakhir. “Perbuatlah ini
guna memperingati Aku!” Namun Ekaristi bukanlah pengulangan kembali akan
perjamuan malam terakhir. Isi yang utama ialah perayaan iman gereja akan wafat dan
kebangkitan Tuhan Yesus Kristus. Perjamauan malam terkahir hanyalah sebuah kisah
dimana Kristus menjelang diserahkan diri-Nya untuk diadili, sengsara, dan wafat disalib.

Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut perayaan Ekaristi adalah misa.
Salah satu asal-usul kata misa berasal dari ungkapan “Ite, missa est” yang berarti pergilah
saudara diutus. Ini merupakan kata-kata terakhir imam dalam perayaan ekaristi. Bagian
ini disebut dimissio yang berarti mohon pamit dalam istilah Latin kuno. Missa memiliki
arti sama dengan missio dari mittere yang artinya mengirim atau mengutus. Yang ingin
disampaikan dari misa adalah segi perutusan. Setelah melakukan karya penebusan
Tuhan dalam pengenangan dan perayaan Ekaristi, umat diutus untuk menghadirkan
karya penebusan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari dalam pelayanan kepada sesama
dan dunia. Kata Misa sudah digunakan sejak abad ke IV untuk menyebut perayaan

Halaman 33
ekaristi. Dalam perkembangannya penggunaan kata misa lebih dimengerti dalam
konteks liturgi, mengacu pada ritual perayaan Ekaristi sedangkan Ekaristi adalah
perjamuan sakramental Gereja yang dirayakan sesuai dengan contoh dan perintah
Yesus.8

Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium 11 menyatakan:

“Dengan ikut serta dalam kurban Ekaristi, sumber dan puncak seluruh hidup kristiani,
mereka mempersembahkan Anak Domba Ilahi dan diri sendiri bersama dengan-Nya
kepada Allah; demikianlah semua menjalankan peranannya sendiri dalam perayaan
liturgis, baik dalam persembahan maupun dalam komuni suci, bukan dengan campur
baur, melainkan masing-masing dengan caranya sendiri. Kemudian, sesuadah
mempereoleh kekuatan dari tubuh Kristus dalam perjamuan suci, mereka secara konkret
menampilkan kesamaan Umat Allah, yang oleh sakramen mahaluhur itu dilambangkan
dengan tepat dan diwujudkan secara mengagumkan”9.

Makna Ekaristi sebagai sumber dan puncak kehidupan Gereja yaitu ekaristi
merupakan spiritualitas hidup Gereja. Ekaristi menjadi daya dalam hidup Gereja. Ekaristi
bukan sekedar ritual gereja, ekaristi merupakan suatu kesatuan kehidupan kristiani
dalam kehidupan sehari-hari. Ketika umat kristiani melakukan perayaan Ekaristi, mereka
mengenangkan dan merayakan kembali karya penebusan Tuhan. Mereka melakukan
perjamuan makan dengan Tuhan. Mereka mengingat kembali seluruh karya dan hidup
Yesus untuk mewartakan Kerajaan Allah. Yesus mewartakan Kerajaan Allah tersebut
melalui sabda dan karya. Dan mereka memiliki tanggungjawab untuk meneruskan karya
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Bentuk perayaan ekaristi dalam rupa perjamuan makan. Makan merupakan salah
satu kebutuhan dasar manusia. Dalam konteks kehidupan, makan merupakan tempat
diamana manusia duduk bersama, mengisi kebutuhan jasmani, namun disisi lain makan
juga tempat untuk berbagi cerita, dan berbagi sukacita. Dalam perayaan-perayaan
kehidupan makan menjadi suatu tradisi sendiri yang tidak bisa dihilangkan. Acara
ulangtahun, maupun pernikahan biasanya disyukuri dalam bentuk makan-makan
bersama. Seperti maknanya Ekaristi adalah perayaan syukur. Perjamuan makan ini
sebagai bentuk ungkapan syukur umat atas penebusan yang dilakukan oleh Kristus.
Perjamuan Ekaristi merupan perjamuan makan dimana manusia bersatu dengan Kristus
dalam rupa santapan rohani (tubuh dan darah Kristus). Dengan menyantap tubuh dan
darah Kristus, umat diharapkan mampu semakin bersatu dengan Kristus sehingga umat
mampu mewartakan Kerajaan Allah dalam kehidupan sehari-harinya dengan melakukan
tindakan-tindakan kebaikan.

Di dalam perayaan Ekaristi umat bersama-sama berkumpul dengan imam sebagai


wakil Kristus yang memimpin-Nya. Maka perayaan Ekaristi merupakan sukacita bersama
yang tidak bisa dilakukan secara sendiri. Di dalam perayaan Ekaristi Kristus hadir dalam

8
Lakukanlah Ini ,hlm13-15
9
Ekaristi hlm 301-302

Halaman 34
empat rupa, yakni diri Imam (mereka yang tertahbis baik presbiterat dan episkopat)
sebagai pemimpin, altar sebagai Kristus yang dipersembahkan, evangelirium (Kitab Suci)
sebagai Kristus yang bersabda, dan kesatuan tubuh dan darah Kristus sebagai Kristus
yang mempersembahkan dan menyatukan diri-Nya demi umat-Nya.

Perayaan ritual Kristiani dalam Perayaan Ekaristi terbagi menjadi 4 bagian besar:

A. Ritus Pembuka
 Perarakan Masuk dan Penghormatan Altar
 Tanda Salib dan Salam
 Kata Pengantar
 Ritus Tobat, diikti “Tuhan Kasihanilah” (Kyrie)
 Madah Kemuliaan (Gloria)
 Doa Pembuka
B. Liturgi Sabda
Dengan susunan lengkap:
 Bacaan Pertama
 Mazmur Tanggapan
 Bacaan Kedua
 Bait Pengantar Injil
 Bacaan Injil
 Homili
 Syahadat/Pernyataan Iman
 Doa umat/Permohonan
C. Liturgi Ekaristi
 Persiapan Persembahan (Kolekte,perarakan persembahan, Doa pribadi
imam, Doa persiapan Persembahan)
 Doa Syukur Agung (Doa pujian yaitu dialog, prefasi, kudus dan Doa Syukur)
 Ritus Komuni (Bapa Kami, Doa Damai, Pemecahan Roti/Anak Domba
Allah,Pembagian Tubuh Kristus, doa sesudah Komuni)
D. Ritus Penutup
 Pengumuman
 Amanat singkat
 Salam dan berkat
 Pengutusan
 Penghormatan Altar dan Perarakan keluar.

Dalam bagian besar ada istilah ritus dan liturgi, hal ini untuk manandakan nilai
utamanya. Liturgi adalah hal yang mutlak harus ada untuk membangun suatu kesatuan
utuh bagi seuah Perayaan Ekaristi. Sedangkan ritus dapat digantiatau ditambahkan
sebagai tindakan kreativitas dalam stuasi kontekstual, contoh: misa anak muda bila ada
tindakan simbolisasi yang bernuansakan anak muda dapat diletakkan di bagian ini.
Secara menyeluruh 4 bagian besar ini adalah satu rangkaian utuh daam Perayaan Ekaristi

Halaman 35
Daftar Pustaka:
1. https://kbbi.web.id/tradisi, 6 Maret 2018
2. Katekismus Gereja Katolik (1993), Edisi Indonesia: Para Waligereja Regio Nusa
Tenggara diakui oleh Konferensi Waligereja Indonesia. Percetakan Arnoldus Ende.
3. Konferensi Waligereja Indonesia (1996), Iman Katolik buku informasi dan referensi,
Yogyakarta dan Jakarta : kerjasama Kanisius dan Penerit Obor
4. Yohanes de Britto Suwartoyo (2001), Tradisi Gereja menurut Yves Congar, Bandung:
Skripsi Fakultas Ilmu Filsafat dan Teologi Universitas Katolik Parahyangan
5. Alkitab Deuterokanonika(1976), Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
6. I.Suharyo, Pr (1996)Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius terjemahan dari Gerald
O’Collins, SJ dan Edward G. Farrugia, SJ (1991) A Concise Dictionary of Theology, New
Jersey: Paulist Press
7. A.Heuken SJ (cetakan ke 3 1995), Ensiklopedi Gereja V:Tr-Z Sejarah Gereja di
Indonesia; Sejarah Gereja di Asia, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, hlm 7
8. Emanuel Martasudjita, Pr (2013) Pokok-Pokok Iman Gereja Pendalaman Teologis
Syahadat, Yogyakarta: Kanisius, hlm 126-129, 137-138, 213-218
9. E.Martasudjita, Pr (2003) Sakramen-Sakramen Gereja tinjauan Teologis, Liturgis, dan
Pastoral, Yogyakarta: Kanisius
10. E.Martasudjita, Pr (2005) Ekaristi tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral,
Yogyakarta:Kanisisus
11. C.H.Suryaugraha (2003) Lakukanlah Ini Sekitar Misa Kita, Bandung: SangKris

Halaman 36
MAGISTERIUM GEREJA
(Oscar Yasunari SS., MM)

A. Tradisi Suci dan Kitab Suci sebagai saksi Allah yang hidup
Kata tradisi berasal dari kata Latin “Traditio” yang berarti sesuatu yang telah diserahkan,
diteruskan dan diwariskan. Tradisi dalam konteks Gereja Katolik adalah Tradisi yang
terpusat dan tidak terpisahkan dari Kitab Suci “Tradisi Suci dan Kitab Suci berhubungan
erat sekali dan terpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber ilahi yang sama, dan
dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama”
(DV 9). Kedua-duanya menghadirkan dan mendaya-gunakan misteri Kristus di dalam
Gereja, yang menjanjikan akan tinggal bersama orang-orang-Nya “sampai akhir zaman”
(Mat 28:20).10

Pangkal Tradisi Suci dalam Katolik tidaklah terlepas di dalam kerangka kehidupan dan
ajaran kristus yang diwartakan oleh para pengikut Yesus. Para Rasul meneruskan apa yang
mereka ambil dari ajaran dan contoh Yesus dan yang mereka dengar dari Roh Kudus. Jemaat
perdana sendiri pada awalnya belum mempunyai Kitab Perjanjian Baru yang tertulis dan
Perjanjian Baru itu sendiri memberi kesaksian tentang proses tradisi yang hidup itu.
Tradisi-tradisi teologis, disipliner, liturgis atau religius, yang dalam perjalanan waktu
terjadi di Gereja-gereja setempat. Tradisi muncul karena adanya ungkapan yang
disesuaikan dengan tempat dan zaman yang berbeda-beda seturut perkembangan
waktu.11 Tradisi Suci dalam Gereja Katolik berkaitan dengan doktrin/ ajaran iman yang
tidak mungkin salah dan tidak dapat diubah yang ditetapkan dalam Konsili- konsili
seperti Ajaran yang diajarkan oleh Bapa Paus (Magisterium Gereja Katolik); Tulisan
pengajaran dari para Bapa Gereja dan para orang kudus (Santo/ Santa) yang sesuai
dengan pengajaran Magisterium; Katekismus Gereja Katolik ataupun sakramen-
sakramen.

Tradisi Suci selalu menghasilkan ajaran-ajaran iman atau dogma-dogma Gereja yang
wajib diikuti setelah seseorang mendapatkan babtisan. Melalui ajaran-ajaran iman dan
dogma Gereja Allah menghendaki bahwa semua manusia patut diselamatkan.

“Itulah yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juruselamat kita, yang menghendaki
supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.Karena
Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu
manusia Kristus Yesus” (1 Tim:2-5)

10
KGK 80
11
Bdk KGK 83.

Halaman 37
B. Magisterium sebagai penjaga iman Gereja
Karya cintakasih dan kesalamatan Allah pada umat manusia, dalam
mengungkapkan diriNnya, tidaklah terbatas pada cara, ruang dan waktu. Allah tidak
hanya mengungkapkan diriNya pada Kitab Suci namun juga melalui Yesus Kristus,
putraNya yang tunggal, yang mengungkapkanNya dengan cara teladan maupun dengan
sabdaNya. Kedua hal tersebut, baik lisan maupun tulisan, diteruskan oleh para rasul dan
para penerusnya secara utuh dan sungguh hidup dalam proses perjalanan Gereja.

Paus sebagai pengganti Rasul Petrus yang diberi kuasa oleh Kristus untuk
memimpin jemaat yang percaya kepadaNya dan juga para uskup sebagai pengganti para
rasul memiliki kuasa yang diamanatkan oleh Kristus untuk mewartakan karya
keselamatan tersebut. Kuasa dalam mewartakan warta kekselamatan yang dilakukan
oleh Paus dan Para Uskup atas kuasa Roh Kudus secara turun temurun ini merupakan
kuasa mengajar.
Karenanya dalam proses perjalanan Gereja Katolik rasul Petrus dan para rasul menunjuk
Paus dan para Uskup untuk menggantikan mereka dan menyerahkan kepada mereka
kedudukan untuk mengajar.

Paus, sebagai pengganti rasul Petrus dan Para Uskup, sebagai pengganti para
Rasul yang mendapatkan wewenang mengajar dari Kristus dan para rasul disebut dengan
Magisterium. Bisa dikatakan Magisterium adalah Wewenang Mengajar Gereja, yang
terdiri dari Bapa Paus (sebagai pengganti Rasul Petrus) dan para uskup (sebagai
pengganti para rasul). Magisterium mempunyai kewibawaan untuk menginterpretasikan
ajaran injil dan ajaran Kristus; menjaga dan melindungi Sabda Allah itu dari interpretasi
yang salah agar tidak keliru dan melindungi umat terhadap kekeliruan dan kelemahan
iman.

“Adapun tugas menafsirkan secara otentik Sabda Allah yang tertulis atau
diturunkan itu, dipercayakan hanya kepada Wewenang Mengajar Gereja yang hidup,
yang kewibawaannya dilaksanakan atas nama Yesus Kristus” (KGK 85 ).

“Perutusan Wewenang Mengajar berkaitan dengan sifat definitif perjanjian, yang Allah
adakan di dalam Kristus dengan Umat-Nya. Wewenang Mengajar itu harus melindungi
umat terhadap kekeliruan dan kelemahan iman dan menjamin baginya kemungkinan
obyektif, untuk mengakui iman asli, bebas dari kekeliruan. Tugas pastoral Wewenang
Mengajar ialah menjaga agar Umat Allah tetap bertahan dalam kebenaran yang
membebaskan. Untuk memenuhi pelayanan ini Kristus telah menganugerahkan kepada
para gembala karisma “tidak dapat sesat” [infallibilitas] dalam masalah-masalah
iman dan susila…..”(KGK 890)

Bisa disimpulkan Magisterium adalah merupakan kausa mengajar Gereja diamana


kuasa ini terdiri dari Paus dan para uskup, yang mempunyai kewibawaan dalam
menginterpretasikan ajaran injil dan ajaran Kristus yang tidak bisa keliru/sesat.

Halaman 38
Karenanya Paus sebagai pemimpin umat Allah, memiliki kuasa yang tertinggi dalam
memimpin, membimbing dan mengajar setiap permasalahan iman dan moral. Tradisi
Suci ini diimani oleh seluruh Umat Katolik bahwa Paus sebagai pengganti Petrus memiliki
kuasa tersebut. Kuasa dalam hal pengajaran iman dan moral yang ada pada Paus
tentunya merupakan suatu kuasa yang mengikat dan melepaskan, yang bersifat tidak
mungkin salah Atau yang sering dikenal dengan istilah infallibilitas Paus. Infallibilitas
Paus bisa diartikan bahwa dalam lingkup Gereja Katolik diyakini bahwa Paus memiliki
ketidakmampuan berbuat salah dalam kebenaran yang diajarkan/dinyatakan.

“Ciri tidak dapat sesat itu ada pada Imam Agung di Roma, kepala dewan para
Uskup, berdasarkan tugas beliau, bila selaku gembala dan guru tertinggi segenap
umat beriman, yang meneguhkan saudara-saudara beliau dalam iman, menetapkan
ajaran tentang iman atau kesusilaan dengan tindakan definitif… Sifat tidak dapat
sesat, yang dijanjikan kepada Gereja, ada pula pada Badan para Uskup, bila melaksanakan
wewenang tertinggi untuk mengajar bersama dengan pengganti Petrus” (LG 25) terutama
dalam konsili ekumenis Bdk. Konsili Vatikan 1: DS 3074.. Apabila Gereja melalui Wewenang
Mengajar tertingginya “menyampaikan sesuatu untuk diimani sebagai diwahyukan oleh
Allah” (DV 10) dan sebagai ajaran Kristus, maka umat beriman harus “menerima
ketetapan-ketetapan itu dengan ketaatan iman” (LG 25). Infallibilitas ini sama luasnya
seperti warisan wahyu ilahi Bdk. LG 25. (KGK 891)

Sifat infalibilitas Paus ini tentunya tidak berlaku dalam segala hal, namun hanya
dalam hal pengajaran iman dan moral. Dasar dari kuasa infabilitas itu sendiri adalah
kehendak Kristus yang disampaikan kepada Petrus agar dalam memimpin jemaatNya
tidak terjadi kesalahan, perpecahan dan juga tidak menghantar Gereja kepada “alam
maut” (Mat 16: 18). Yesus kritus berkehendak untuk mempertahankan kesatuan jemaat
yang percaya kepadaNYA / GerejaNya maka sudah menjadi konsekuensi bahwa “Ia
memberikan kuasa tidak dapat sesat/ infalibilitas kepada pemimpinnya (yaitu Bapa
Paus) untuk mengajarkan hal iman dan moral.(LG 25)

Kuasa infallibilitas ini hanya berlaku:


 jika Bapa Paus mengajar atas nama Rasul Petrus (jadi bukan atas nama pribadi)
istilahnya “ex-cathedra“ (di atas kursi/ atas nama Rasul Petrus);
 menyangkut pengajaran definitif tentang iman dan moral,
 pengajaran ini berlaku untuk Gereja secara universal.

Saat ketiga syarat tersebut dipenuhi maka pengajaran yang dihasilkan oleh
seorang Paus bisa dikatakan sebagai Magisterium dimana ajaran tersebut bersumber
pada sumber yang sama yaitu pengajaran Kristus dan para rasul. Namun, jika Paus
ajarannya bukan atas nama Rasul Petrus, bukan tentang iman dan moral, dan juga bukan
menyangkut Gereja universal, tapi secara pribadi (membuat buku tentang filsafat
misalnya), maka pengajarannya tidak bisa dikatakan tidak dapat sesat / infallible.

Halaman 39
Dalam Gereja Katolik tingkatan dalam pengajaran Magisterium Gereja adalah konstitusi,
dekrit dan enseklik.

Konstitusi adalah dokumen yang tertinggi yang mengandung ajaran resmi Gereja Katolik
dari Sri Paus, yang dinyatakan dan dirumuskan melalui keputusan resmi sebagai
kebenaran-kebenaran yang diwahyukan secara ilahi, melalui Paus ketika ia berbicara “ex-
cathedra” atau oleh dewan Uskup dalam konsili.
Contoh: Dei Verbum (tentang Wahyu Ilahi); Gaudium et Spes (tentang Gereja);
Sacrosanctum Concilium (tentang Liturgi Kudus).
Dekrit merupakan hasil dari suatu konsili yang merupakan penjabaran atau pernyataan
sikap Gereja tentang hal-hal / soal-soal khusus yang ingin dilaksanakan12
Contoh dekrit: Ad Gentes (tentang karya misioner Gereja); Apostolicam Actuositatem
(tentang kerasulan awam); Christus Dominus (tentang kegembalaan Uskup dalam
kehidupan gereja Katolik); Inter Mirifica (tentang alat-alat komunikasi sosial dalam
Gereja). Optatam Totius (tentang pendidikan imam); Perfectae Caritatis (mengenai
pembaharuan yang serasi hidup kebiaraan); Presbyterorum Ordinis (mengenai
kehidupan dan pelayanan para imam);
Ensiklik adalah surat amanat Paus sebagai Uskup Roma, yang memiliki wibawa
Magisterium/kuasa mengajar Gereja), mengenai iman, kesusilaan, masalah-masalah
yang ada dalam masyarakat sepertisosial, ekonomi, politik (mengenai ajaran-ajaran
sosial yang ada dalam Gereja). Surat edaran ini dikirim oleh Paus kepada para Uskup.
Oleh para Uskup dikirim kepada bawahannya. Ensiklik bukanlah dokumen tertinggi
dalam Gereja Katolik namun ketetapan dalam enseklilk dihormati oleh umat dalam
Gereja Katolik
Contoh enseklik dari Paus Yohanes Paulus II : Redemptor Hominis (1979), Laborem
Exercens (1981), Redemptoris Mater (1987), Redemptoris Missio (1990), Centesimus
Annus (1991), dekrit dari Paus Benediktus XVI : Caritas in Veritate (2008) dan dekrit dari
Paus Fransiskus : Lumen Videi (2013), Laudato Si (2015).

C. Otoritas tertinggi Gereja


Lembar sejarah kekatolikan sudah ada lebih dari dua ribu tahun lamanya dan
terus akan berkembang dalam proses perjalanan sejarah umat manusia. Setelah
kematian Kristus para rasul tetap memancarkan semangat pewartaan yang diminta oleh
Yesus kepada mereka . Jemaat-jemat yang percaya akan Kristus semakin bertambah
banyak lalu dibabtis. Semakin lama komunitas-komunitasnya pun menyebar. Jemaat-
jemaat tersebut kemudian membentuk persekutuan dalam Yesus Kritus atau yang dikenal
istilah Gereja13. Persekutuan orang yang percaya kepada Kristus inilah yang menjadi
hakekat Gereja.

12
Riyanto Cm, Armada Fx.E, Dialog Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal 32
13
Gereja berasal dari bahasa Portugis: igreja; dalam Yunani εκκλησία (ekklêsia) dalam bahasa Inggris: Church

Halaman 40
Namun wujud Gereja itu sendiri bukanlah sekedar persekutan di dalam Yesus
Kristus saja namun juga mengandung makna bahwa pesekutuan yang ada haruslah
menekankan pada tugas dan persekutuan yang di perintahkan oleh Yesus Kristus untuk
mewartakan ajarannya. Secara gamblang Yesus Kritus sendiri memerintahkan pada
para muridnya, “Pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku” (Mat 28:19); “Kamu akan
menjadi saksiKu … sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8). Kesaksian yang dilakukan oleh para
rasul terus terjadi secara berkesinambungan. Sejak Roh Kudus turun atas para rasul, para
rasul diselimuti oleh semangat Kritus dalam mewartakan ajaran dan kehendaknya
secara terus menerus. “…ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai
kepada akhir zaman." (Mat 28: 20). Karena perutusan itulah maka himpunan
persekutuan yang percaya pada Yesus Kritus selalu mengangkat para pengganti para
rasul, sebagai uskup, dan pengganti pemimpin para rasul, Petrus, sebagai Paus. Hal ini
dikehendaki oleh Kristus untuk menjadi gembala dalam Gereja-Nya hingga akhir
zaman.14 Pergantian kepemimpinan secara organisatois tampak dalam Struktur Hirarki
Gereja yang mengacu pada kekristenan awal.

1. Para Rasul
Sejarah awal perkembangan Hierarki adalah kelompok keduabelas rasul. Dalam sejarah
kekristenan struktur hierarki dimulai dengan terpilihnya kedua belas rasul yang
langsung ditunjuk oleh Kristus dan secara tegas dinyatakan bawah Petrus ditunjuk
sebagai pemimpin atas para Rasul. “Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah
Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak
akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga15 Apa yang kauikat
di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di
sorga.” (Mat 16: 18-19). Dalam perjalanan sejarah selanjutnya maka posisi petrus
sebagai pemimpin para rasul digantikan oleh Paus dan posisi para rasul digantikan oleh
para Uskup.

2. Dewan Para Uskup


Dewan para uskup setara dengan dewan para rasul dimana dewan para uskup ini
menggantikan dewan para rasul. Seseorang menjadi uskup dan masuk kedalam dewan
para uskup ketika orang tersebut menerima tahbisan uskup. Tahbisan uskup berarti
bahwa seorang anggota baru diterima kedalam dewan para uskup (Collegium

14
LG 18
15
Dalam Perjanjian Lama, istilah ”Kunci” menggambarkan suatu kisah tentang Elyakim bin Hilkia yang
bertanggungjawab memegang kunci rumah Raja Daud, simbol kekuasaan Kerajaan Yehuda, dan diberi kuasa
penuh kepadanya.“Maka pada waktu itu Aku akan memanggil hamba-Ku, Elyakim bin Hilkia: Aku akan
mengenakan jubahmu kepadanya dan ikat pinggangmu akan Kuikatkan kepadanya, dan kekuasaanmu akan
Kuberikan ke tangannya; maka ia akan menjadi bapa bagi penduduk Yerusalem dan bagi kaum Yehuda. Aku
akan menaruh kunci rumah Daud ke atas bahunya: apabila ia membuka, tidak ada yang dapat menutup;
apabila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka.” (Yes 22:20-22). Dalam diri Petrus, “kunci” yang
diberikan oleh Yesus mengisyaratkan bahwa Petrus berkuasa penuh atas pintu Kerajaan Allah dan kuasa itu
juga menyangkyutkepemimpinan seluruh umat beriman yang kemudian diteruskan oleh Magisterium Gereja,
Paus dan para uskup, dalam kuasanya untuk mengikat atau melepaskan ajaran iman dan moral.

Halaman 41
Episcopale).Karena sifatnya kolegial maka tahbisan uskup selalu dilakukan oleh paling
sedikit tiga uskup.16

3. Paus
Dalam perjalanan kekristenan, Paus diangkat menjadi pemimpin para uskup secara
berkesinambungan menggantikan Petrus yang diangkat, dalam kuasa Kristus, menjadi
kepala para rasul dalam menggembalakan umatnya. Dari kesaksian tradisi Gereja, Roma
merupakan pusat dan petunjuk seluruh ajaran Gereja dan Petrus adalah uskup Roma
yang pertama. Karenanya berdasarkan keyakinan tradisi Gereja Katolik, uskup Roma
tentunya sebagai pengganti Petrus dan Paus adalah uskup Roma yang tugas dan
kuasanya setara dengan Petrus. Dalam keseharian tradisi Gereja paus adalah seorang
uskup (uskup Roma) dan ketua dewan uskup serta pemersatu seluruh iman Gereja.
Diantara para uskup, kedudukan Paus menjadi yang utama dari para uskup, primus inter
pares (yang pertama diantara yang sederajat). Paus memimpin para uskup seperti Rasul
Petrus memimpin para rasul. Paus adalah simbol dan jaminan pemersatu Gereja Katolik.
Hanya uskkup yang diakui oleh Paus akan diakui oleh umat Katolik.17
Dalam menjalankan tuganya Paus dibantu oleh
- Kardinal
Kardinal merupakan uskup-uskup dari seluruh dunia yang ditujuk langsung oleh Paus.
Tugas dan wewenangnya adalah memilih Paus baru ketika seorang paus meninggal dunia
atau mengundurkan diri dan juga berfungsi sebagai penasihat paus. Umumnya seorang
kardinal memimpin suatu keuskupan agung. Umumnya para Kardinal adalah uskup-
uskup yang mempunyai keunggulan dalam bidang ajaran, kesusilaan, kesalehan dan
kebijaksanaan. Kardinal (latin)"cardo", berarti "yang utama" atau "pimpinan".
-Kuria Roma
Kuria Roma merupakan departemen-departemen yang menyelenggarakan urusan-
urusan gerejawi dan dipimpin oleh seorang kardinal di setiap departemennya. Kuria
Roma terdiri dari Sekretariat Negara atau Kepausan, Dewan Urusan Umum Gereja,
Kongregasi-kongregasi, Pengadilan-pengadilan, dan Lembaga-lembaga lainnya yang
susunan serta kompetensinya dirumuskan dalam undang-undang khusus.18
-Duta Besar Vatikan
Utusan Paus yang bergelar Monseignur yang ungul dalam hal diplomatik. Duta besar
Vatikan ditugaskan oleh Paus, sebagai Kepala Negara Vatikan, dalam suatu negara dan
juga dipercayakan tugas untuk secara tetap mewakili pribadi Paus sendiri pada Gereja-
gereja partikular atau Otoritas-otoritas publik ke mana mereka diutus.19

16
LG 21
17
Fras Magnis-Suseno, 2017, Katolik Itu Apa? Sosok-Ajaran-Kesaksiannya, hal: 156-157, Yogyakarta: Kanisius.
18
KHK 360
19
KHK 363

Halaman 42
4. Uskup
Pemimpin Gereja lokal yang merupakan bagian dari hirarki Gereja Katolik.Uskup diyakini
sebagai pengganti para rasul.Para uskup di dunia menjadi bagian dari dewan para uskup
di bawah pimpinan Sri Paus. Wilayah tanggungjawab uskup dinamakan dengan
Keuskupan. Tahbisan uskup ini bersifat seumur hidup. Berdasarkan tugasnya, uskup
dibedakan menjadi dua macam yaitu Uskup Diosesan, uskup yang bertugas (diberi tugas)
di suatu wilayah keuskupan dan Uskup Tituler, uskup yang tidak bertugas pada satu
wilayah namun ditunjuk oleh Tahta Suci, di Vatikan, Roma guna melayani kebutuhan
khusus seperti di Militer.
Dalam menjalankan tugasnya, uskup yang memimpin keuskupan dibantu oleh viksris
jenderal (wakil uskup), para imam/pastor dan diakon tertahbis.

5. Pastor/Imam
Imam merupakan wakil/pembantu umum uskup di dalam jemaat setempat. Imam dalam
jemaat setempat sering disebut dengan pastor Paroki. Pastor Paroki melayani umat Allah
sebagai pembantu dari seorang Uskup. Tugas para imam sama seperti uskup: untuk
mewartakan Injil, menggembalakan umat beriman, dan untuk merayakan ibadat.

6. Diakon
Diakon merupakan anggota hierarki yang bertugas sebagai pembantu khusus para uskup
dalam jemaat setempat. Diakon bisa dikatakan sebagai pembantu uskup, namun tidak
mewakilinya,

Daftar Pustaka:
1. Konstitusi Gereja Katolik Lumen Gentium
2. Katekismus Gereja Katolik (KGK)
3. Kitab Hukum Kanonik (KHK)
4. Fras Magnis-Suseno, 2017, Katolik Itu Apa? Sosok-Ajaran-Kesaksiannya, Yogyakarta:
Kanisius.
5. Ribru, K, 1983, Tonggak Sejarah pedoman arah : dokumen "konsili Vatikan II”, Jakarta:
Dokpen Mawi

Halaman 43
WAHYU DAN IMAN20

A. WAHYU
A.1. Pengertian Wahyu
Secara etimologis, kata/isilah Wahyu berasal dari bahasa Arab wahy yang berarti cepat-
cepat (to hesten). Sebagai istilah keagamaan, wahy berarti apa yang disampaikan kepada
para nabi secara langsung maupun tidak langsung, melalui seorang malaikat (dalam
mimpi atau visiun/penglihatan).21

Menurut pengertian umum, wahyu adalah petunjuk (ajaran) Tuhan yang diturunkan
dengan perwujudan dalam mimpi dan sebagainya22; petunjuk dari Allah yang diturunkan
hanya kepada para nabi dan rasul melalui mimpi dan sebagainya23. Dalam tradisi/budaya
Indonesia (Jawa khususnya), selain kata/istilah wahyu, dalam kehidupan sehari-hari
dikenal juga kata/istila yang sama-sama merupakan petunjuk dari “atas” (gaib), tetapi
bukan wahyu. Istilah tersebut adalah wangsit, firasat, dan ilham24.
a. Wangsit: pesan atau amanat (gaib). Wangsit adalah petunjuk atau isyarat dari “atas”
(gaib), yang isinya bukan berhubungan dengan agama, melainkan dengan
keberuntungan, pangkat, jodoh, dan sebagainya.
b. Firasat: keadaan yang dirasakan (dketahui) akan terjadi sesudah melihat gelagat;
kecakapan mengetahui (meramalkan) sesuatu dengan melihat keadaan (wajah, dsb);
pengetahuan tentang tanda-tanda pada badan (tangan, dsb) untuk mengetahui tabiat
(untung, malang, dsb). Firasat merupakan petunjuk atau isyarat dari “atas” (gaib),
yang isinya tidak berhubungan dengan agama, melainkan sesuatu yang akan terjadi.
c. Ilham: petunjuk Tuhan yang timbul di hati; pikiran (angan-angan) yang timbul dari
hati, bisikan hati; sesuatu yang menggerakkan hati untuk mencipta (mengarang syair,
lagu, dsb). Ilham merupakan petunjuk atau isyarat dari “atas” (gaib), yang isinya tidak
berkaitan dengan agama, melainkan dengan kreativitas.

Dalam literatur bahasa asing (Inggris), kata/istilah yang digunakan adalah revelation
(berasal dari bahasa Latin revelare = to unveil: membuka selubung, menyingkap,
memperkenalkan). Revelation berarti tersingkapnya rahasila Allah kepada manusia (the
unveiling to man of the hidden things of God)25 atau penyingkapan oleh Allah mengenai
sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui26.

20
Pokok Bahasan Wahyu dan Iman diambil dari diktat Pendidikan Agama Katolik.
21
Ensiklopedi Gereja/Adolf Heukeun SJ, Jakarta: Cipta Loka Caraka. 2004.-Entri: Wahyu
22
Kamus Umum Bahasa Indonesia/W.J.S. Poerwadarminta, Jakarta: Balai Pustaka, 1976-Entri: Wahyu
23
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2002-Entri: Wahyu
24
Penghayatan agama: yang otentik dan tidak otentik/AM. Hardjana, Yogyakarta: Kanisius, 1993, Hlm 41-42.
Lihat juga Kamus Besar Bahasa Indonesia-Entri: wansit, firasat, dan ilham.
25
The Catholic Encyclopedia for School and Home/Francis Caradinal Spellman, New York: Grolier, 1965, Entri:
revelattion.
26
Kamus Teologi/Gerald O’Collins, Edward G. Farrugia, Yogyakarta, Kanisius, 1996, Entri: wahyu.

Halaman 44
Jadi, secara umum, wahu dapat dirumuskan sebagai petunjuk (ajaran) dari Tuhan, yang
diturunkan (langsung maupun tidak langsung) hanya kepada nabi dan rasul, dalam
wujud mimpi, penampakan, dsb. Wahyu itu biasanya berkaitan dengan pengalaman yang
diperoleh dalam relasinya terhadap Yang Ilahi, meliputi pandangan tentang Yang Ilahi
sendiri, tentang kehedakNya, tentang arti kehidupan dan asal-usulnya, tentang akhirat
dan jalan menuju keselamatan, tentang morallitas, serta cara-cara beribadat27.
Menurut ajaran Gereja, wahyu adalah pernyataan diri dan cinta kasih Allah, serta
rencana kehenda-Nya; disampaikan melalui sabda atau utusan, peristiwa, dan tanda (dari
alam semesta); untuk membawa manusia pada persekutuan dengan Allah, dalam
kebahagiaan dan keselamatan abadi. Allah mewahyukan diri-Nya sejak awal dan
sepanjang sejarah manusia. Wahyu itu diperjelas dalam sejarah iman umat pililihan-Nya
(Israel: panggilan Abraham, para nabi, dst.) dan mecapai puncaknya secara istimewa dan
definitif dalam diri Yesus Kristus, sabda yang menjadi manusia. Ia sekaligus pewahyu
(pelaku), pewahyuan (proses akatif penyingkapan), dan isi wahyu itu sendiri. Manusia
yang menerima wahyu serentak mengalami keselamatan, yakni persatuan dengan Allah,
seingga semakin terbuka pada sapaan Allah melalui terang iman (lumen fidei) maupun
Kitab Suci (verba profetica).
Di mana saja wahyu Allah dapat ditemuka? Di atas telah dikemukakan bahwa wahyu
Allah itu disampaikn melalui sabda, tanda, dan peristiwa. Maka wahyu Allah pun dapat
ditemukan melalaui sabda, tanda, dan peristiwa, yaitu melalui pergaulan dengan: Kitab
Suci, alam semesta, dan manusia yang hidup di dalamnya. Melalui pergaulan dengan
Kitab Suci, manusia dapat menemukan wahyu Allah. Sebab Kitab Suci merupakan
kumpulan sabda Allah yang dismpaikan melalui para Nabi atau utusannya. Para Nabi atau
utusan tersebut tidak berbicara dari dirinya sendiri, melainkan berbicara tentang
kebenaran Allah yang diterima dari Allah sendiri. Membaca dan merenungkan sabda Alah
dalam Kitab Suci menyiapkan pertemuan manusia dengan sabda Allah. Pada waktu itu,
proses pewahyuan dihidupkan kembali. Allah mewahyukan diri kepada manusia yang
menekuni Kitab Suci dalam suasana meditasi atau doa28.

Wahyu Allah dapat dijumpai melalui pergaulan dengan alam sebab kekuasaan dan
kebesaran alam menggambarkan kekuasaan dan kebesaran Allah. Melalui alam semesta,
tanda-tanda kehadiran Allah dinampakkan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
sejarah dan alam semesta juga memperlihatkan bahwa Allah hadir dan berkarya dalam
sejarah manusia.
Mausia adalah gambar/citra Allah. Maka kehadiran Allha juga dapat ditemukan melalui
pergaulan dengan sasamanya, teutama mereka yang mederita, tersisih atau disisihkan,
sebab visi otentik keselamatan datangnya justru dari mereka yang telah ditempa oleh
penderitaan. Emanuel Levinas mengatakan bahwa dimensi Ilahi itu nampak melalui
wajah manusia (dimention du Divain, s’ouvre avec la visage de l’homme)

27
Ensiklopedi Gereja/Adolf Heukeun SJ, Jakarta: Cipta Loka Caraka. 2004.-Entri: agama
28
Ibid, Entri: wahyu

Halaman 45
A.2. Jeinis/macam Wahyu
Wahyu Allah dapat dibedakan menurut kodratnya, cakupan ata keluasannnya, sereta
menurut cara dan tempat terjadinya. Menurut kodratnya, wahyu Allah dapat dibedakan
menjadi wahyu kodrati dan adikodrati. Dalam wahyu kodrati (alami), Allah menyatakan
diri (menyingkapkan kebenaran-kebenaran-Nya) melalui keindahan, kebesaran , dan
kekuasaan alam semesta29. Melalui pergaulannya dengan alam semesta, dan berkat
terang akal budinya, manusia dapat merasakan/mengalami kehadiran Allah, Sang
Pencipta. Allah yang mewahyukan diri dalam alam semesta biasanya dianggap sebagai
prinsip, bukan sebagai pribadi. Dalam wahyu adikodrati (ilahi), Allah menyatakan
kebenaran ilahi melampaui day tangkap akal budi manusia. Untuk memahaminya,
manusia harus merenungkannya dalam terang iman.

Menurut cakupannnya, wahyu Allah dibedakan dalam dua kategori.: wahyu umum da
wahyu pribadi. Wahyu umum (disebut juga wahyu lahiriah) adalah pernyataan dari Allah
yang disampaikan kepada semua orang (lahiriah) adalah pernyataan diri Allah yang
disampaikan kepda semua orang, untuk keselamatan umat manusia, melalui peristiwa
atau kejadian (gesta), perkataan/sabda (verba) yang disampaiakan para Nabi/utusan-
Nya. Wahyu pribadi adalah pernyataan diri Allah yang disampaiakan secara
pribadi/personal/individual. Manusia menerimanya dalam kedalaman hati dan terang
iman (lumen fidei). Wahyu pribadi bisa serentak bersifat indikatif dan imperatif. Wahyu
pribadi bersifat indikatif (indicare=menunjukkan sesuatu (dengan jari)), karena
mengandung daya tarik ilahi yag membuat manusia mengenal Allah, terpikat dengannya,
dan menjalin relasi personal/intersubyektif dengan-Nya. Wahyu pribadi bersifat
imperatif (imperare=menyuruh, memerintahkan), karena mengundang/menantang
kebebasan manusia untuk menerima dan menyerah kepada-Nya.

Adapun menurut cara dan tempat terjadinya, wahyu Allah dapat dikelompokkan dalam
beberapa kategori, yaitu wahyu sebagai ajaran, sejarah, pengalaman batiniah, kehadiran
dialektis, dan kesadaran baru30.
1. Wahyu sebagai ajaran. Alla menghadirkan dirinya melalui ajaran-ajaran tentang
berbagai pernyataaan yang berkaitan dengan Allah. Kitab Suci diidentikkan dengan
wahyu, karena merupakan koleksi ajaran yang diinspirasikan dan tidak sesat.
2. Wahyu sebagai sejarah. Allah mewahyukan diri dalam karya-karya besar. Kitab Suci
dan ajaran Gereja merupakan penjelmaan/kesaksisan terhadap wahyu Allah.
3. Wahyu sebagai pengalaman batiniah. Wahyu bukanlah kumpulan kebenaran
obyektif, atau rangkaian peristiwa lahiriah dan historis, melainkan pengalaman
batiniah yang istimewa tentang rahmat atau persatuan dengan Allah.
4. Wahyu sebgai kehadiran dialektis. Allah tidak dapat dikenal sebagai obyek, baik
melalui penyimpulan berdasarkan kodrat, sejarah, atau persepsi langsung dalam
pengalaman mistis. Allah yang transenden menjumpai manusia melalui sabda, dan

29
Ibid
30
Model-Model Wahyu, Avery Dulles SJ, Ende, Nusa Indah, 1994, hlm 49-132.

Halaman 46
di dalam sabda itu iman dapat mengenal Allah. Sabda Allah secara serentak
mewahyukan dan menyembuyikan kehadiran Allah.
5. Wahyu sebagai kesadaran baru. Allah bukanlah satu obyek pengalaman, tetapi ia
hadir secara misterius, sebagai dimensi transenden dari keterlibatan manusiawi
dalam tugas-tugas kreatif.

B.IMAN
B.1. Pengertian Iman
Kata/istilah Iman (Arab) atau aman (Ibrani) mempunyai akar kata yang sama, yaitu mu
yang artinya kokoh, aman. Iman berarti percaya, berpaling kepada, menganggap pasti.
Percaya berarati menganggap/yakin/mengakui bahwa benar.31

Menurut ajaran Gereja, iman adalah sikap batin yang menyatakan kepercayaan dan
penyerahan diri secara bebas dan menyeluruh kepada Allah (yang telah mewahyukan
diri) sebagai asal, penyelenggara, andalan dan tujuan hidup. Iman mencakup dua perkara,
yakni kepercayaan terhadap kebenaran yang diwahyukan (fides quae), dan penyerahan
diri secara pribadi kepada Allah yang mewahyukan diri (fides qua)32

Iman itu merupakan jawaban manusia terhadap wahyu Allah, terhadap tawa-
ran/undangan yang diprakarsai Allah. Sebagai jawaban atas undangan (wahyu) Allah,
iman merupakan perkara yang subyektif, personal: antara subyek (manusia) dengan
subyek (Allah yang mewahyukan diri). Inisiatifnya datang dari Allah yang mewahyukan-
diri dan manusia menjawabnya dengan iman. Dengan iman, manusia melepaskan dirinya
menuju subyek yang mengundangnya, dan membangun relasi aku-Engkau. Relasi yang
tejadi karena diundang oleh yang lain dan ditanggapi dengan sikap because of you.

Iman itu sekaligus merupakan anugerah, keputusan, keterlibatan, dan tidak pernah
selesai33. Iman adalah anugerah. Tidak seluruhnya berasal dari usaha manusia, tetapi
juga dianugerahkan kepada manusia. Tuhan itu maha tinggi dan tidak terjangkau oleh
manusia. Manusia beriman karena Allah sendiri yang menghendakinya34.

Iman adalah keputusan. Dalam kehidupan, manusia menghadapi banyak pilihan. Satu
diantaranya adalah memilih yang dapat dijadikan sebagai andalan hidup. Dalam iman
manusia memahami Tuhan sebagai yang paling dapat diandalkan dan mendatangkan

31
Heuken SJ., Op.cit.
32
O’Collin, Gerald dan Farrugia, Edward G., Op.Cit, Entri: iman
33
Hardjana, AM, Op.Cit, Hlm 57-60
34
Orang dapat beriman karena bantuan Roh Kudus (Kis 16: 14; 2 Kor 3: 16-18). O’Collin, Gerald dan Farrugia,
Edward G., Op.Cit, Entri: iman

Halaman 47
kebaikan. Maka iman itu merupakan keputusan yang bebas dan bertanggung jawab untuk
memilih dan menyerahkan diri kepada Allah sebagai satu-satunya andalan hidup35.

Iman adalah keterlibatan. Iman itu merupakan jawaban manusia yang diambil secara
bebas dan bertanggung jawab, untuk menyerahkan seluruh hidup dan masa depannya
kepada Allah yang tetah berinisiatif mewahyukan diri dan kehendakNya. Beriman berarti
hidup dalam jalan Allah, melibatkan diri (committed) dalam karya keselamatan Allah,
bersedia melakukan kehendak Allah demi terwujudnya keselamatan. Maka iman tidak
hanya menyangkut budi, tetapi juga seluruh hidup : cita, cipta, rasa, karsa, dan karya.

Iman itu tak pernah selesai (eskatologis). Hidup manusia itu terus berkembang. Maka
iman pun harus berkembang sesuai dengan perkembangan akal budi dan perkembangan
zaman. oleh karena itu, orang beriman harus peka terhadap tanda-tanda jaman, dan terus
menerus mencari kehendak dan perintah Tuhan dalam situasi dan tantangan zaman yang
melingkupinya.

Menurut penghayatan dan pelaksanaannya dalam praktek kehidupan, iman dapat


dibedakan dalam dua kategori: iman ekstrinsik dan iman intrinsik 36. Iman ekstrinsik
adalah iman yang tidak menyatu dengan seluruh kehidupan/pribadinya. Iman
merupakan perkara luar yang tidak mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku.
Iman/agama hanya diperlukan/dipergunakan sejauh mendukung/memuaskan
keinginan dan kemauan pribadinya. Iman/agama hanya dipakai sebagai kedok untuk
menyamarkan keinginan dan kemauan pribadinya dalam usaha memenuhi dan
memuaskan kebutuhan psikologis (ketentraman batin, diakui, dst.), kebutuhan sosiologis
(diterima dan dihargai masyarakat), kebutuhan duniawi (memperlancar perolehan
harta, karier dst.).

Iman intrinsik adalah iman yang menyatu dan dihayati dalam seluruh sendi kehidupan,
dalam cita, cipta, karsa dan karya. Di sini iman/agama tidak dipergunakan/diperalat
untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan pribadinya, melainkan menjadi sumber
inspirasi dan sumber kekuatan (spirit) dalam menjalani kehidupan.

A.2. Iman Katolik


Seluruh proses perkuliahan Agama Katholik adalah mengajarkan iman Katolik. Namun
sering terjadi orang kebingungan menjawab pertanyaan manakah iman Katolik itu? Iman
Katolik dapat dijelaskan secara ringkas melalui 3 (tiga) kata kunci (keywords): percaya,
harapan, dan cinta. Beriman Katolik berarti percaya. Yaitu mempercayai, menyetujui
(mengamini) dan mengakui kebenaran ajaran Gereja Katolik sebagaimana disarikan
dalam syahadat (fides quae), dan oleh karenanya membiarkan dirinya dibentuk dan

35
Dengan iman kita mengakui kebenaran pewahyuan ilahi yang definitif dalam diri Kristus (Yoh 20:31;Rm
10:9), dengan taat mengikatkan diri (Rm 1:5; 16:26) dan mempercayakan masa depan kepada Allah (Rm 6:8,
Ibr 11:1), Ibid.
36
Hardjana, AM., Op.cit, hlm 64-69.

Halaman 48
diarahkan menurut ajaran tersebut; serta mempercayai dan menyerahkan diri kepada
Allah yang terus menerus berkarya dan mewahyukan diri (fides qua).

Kata kunci kedua adalah harapan. Beriman Katolik berarti selalu memiliki harapan
(optimis, tdak pernah berputus asa), percaya bahwa Allah lah yang menyelenggarakan
kehidupan ini menuju keselamatan. Betapapun hidup ini dirongrong dan digerogoti oleh
penderitaan yang mencekam dan menghimpit, tetapi tetap percaya dan optimis bahwa di
balik itu semua ada kebahagiaan, di balik kematian ada keselamatan.

Kata kunci ketiga adalah cinta. Beriman Katolik berarti berperan serta dalam karya
keselamatan Allah, karya cintakasih Allah. Untuk itu, harus senantiasa peka terhadap
tanda-tanda jaman, dan berusaha mencari solusi dan tindakan konkret yang dapat
dilakukan untuk memperlihatkan cinta kasih Allah yang menyelamatkan.

Daftar Pustaka:
1. Ensiklopedi Gereja, Andolf Heukeun SJ, Jakarta, Cipta Loka Caraka, 2004, Entri: agama,
wahyu, iman
2. Katekismus Konsili Vatikan II, Andolf Heukeun SJ, Jakarta, Cipta Loka Caraka, 1996,
hlm. 29-49
3. Mengenal Iman Katolik, Afra Siauwarjaya, Th. Huber SJ, Jakarta, Obor, 1987.
4. Model-Model Wahyu, Avery Dulles SJ, Ende, Nusa Indah, 1994.
5. Paham Allah dalam Filsafat, agama-gama, dan Teologi, Tom Jaob SJ, Yogyakarta,
Kanisius, 2002, hlm. 106-123
6. Penghayatan Agama: yang Otentik dna Tidak Otentik, AM. Hardjana, Yogyakarta,
Kanisius, 1993.

Halaman 49
DEKALOG
(Wilfridus Demetrius Siga, S.S., M.Pd.)

A. Delakog dalam Perjanjian Lama


Istilah Dekalog berasal dari bahasa Yunani deca (10) dan logos (sabda) yang
berarti sepuluh kata. Dekalog secara harafiah berarti “sepuluh firman” (Kel 20:2-17 dan
Ul 5:6-21). Sepuluh firman ini diwahyukan Allah kepada umat-Nya di Gunung Sinai.
Dekalog tidak jarang diterangkan sebagai kalimat-kalimat yang ditulis oleh jari Allah di
atas dua loh batu (Kel 31:18; bdk Kel 24:12), yaitu sebagai piagam perjanjian Allah dan
umat-Nya. Dekalog bagaikan undang-undang dasar bagi perjanjian itu. Perjanjian yang
dimaksud bukan dalam arti yang harafiah tetapi dilihat sebagai penampakan Allah
kepada umat-Nya. Kedua loh perjanjian ini harus disimpan di dalam tabut (Kel 25:16,
40:3). Dekalog bukan kode moral individual, melainkan kode etik hidup bersama.
Dekalog harus dimengerti dalam hubungan dengan keluarnya bangsa Israel dari Mesir
yang menjadi titik sentral pemahaman tentang Allah pembebas yang terdapat dalam
Perjanjian Lama. Sepuluh firman ini entah dirumuskan secara negatif sebagai larangan,
atau secara positif sebagai perintah, menunjukkan syarat-syarat untuk suatu kehidupan
(jalan hidup) yang terbebaskan dari perbudakan dosa. Singkatnya, dekalog adalah daftar
untuk hidup bersama sebagai umat milik Tuhan.
Dekalog sebagai kode etik hidup bersama mendapat tempatnya dalam hubungan
antara umat dengan Allahnya. Bagi pengarang dalam KItab Keluaran 20, Allah adalah Dia
yang “membawa umat keluar dari tanah Mesir, yaitu tempat perbudakan” (Kel 20:2).
Allah menghantar mereka ke tanah kemerdekaan, yaitu tanah yang dijanjikan-Nya.
Begitulah Allah menghendaki bangsa-Nya. Dan tanah serta “kelangsungan” hidup “di
tanah yang diberikan Yahwe, Allahmu, kepadamu” kini menjadi tanggung jawab umat di
hadapan Allahnya. Sedangkan, umat mengharapkan segala sesuatu yang dianggap perlu
untuk kelangsungan hidup di tanah menjadi “firman” atau “perintah” Allah: hidup para
warga, kepastian hukum, kemurnian, keturunan, hak milik dan warisan dilindungi, kerja
dan hidup bersama diatur secara manusiawi –demi kelangsungan hidup di tanah yang
dijanjikan. Sepuluh firman itu diucapkan oleh Allah untuk menampakkan diri-Nya
Sepuluh firman itu termasuk dalam pewahyuan diri Allah dan kemuliaan-Nya. Di dalam
firman-firman itu Allah memberi diri-Nya sendiri dan kehendak-Nya yang kudus. Dengan
menyatakan kehendak-Nya Allah menyatakan diri kepada umat-Nya.

B. Dekalog dalam Tradisi Gereja


Tradisi gereja selalu memberi peran utama kepada Dekalog. Sejak santo Agustinus
sepuluh firman itu mendapat tempat penting dalam pengajaran untuk calon baptis dan
umat beriman. Dalam abad ke-15 muncul pula kebiasaan menyusun kembali firman-
firman dekalog dalam rumusan positif dan dalam bentuk sajak yang mudah diingat.
Kebiasaan itu untuk sebagian masih ada sampai sekarang. Katekismus Gereja Katolik
sering kali menerangkan ajaran kesusilaan Kristen berdasarkan sepuluh firman.

Halaman 50
Dalam perjalanan sejarah firman-firman itu dibagi dan diurutkan secara berlain-
lainan. Katekismus Gereja Katolik mengikuti pembagian yang dibuat oleh santo
Agustinus dan telah menjadi tradisi dalam Gereja Katolik. Pembagian ini juga digunakan
dalam pengakuan iman Luteran. Bapa-Bapa Yunani memakai pembagian yang agak lain,
yang terdapat dalam Gereja Ortodoks dan persekutuan aliran Calvin.

C. Karakteristik Dekalog
Kesepuluh perintah menyatakan kasih kepada Allah dan sesama. Tiga perintah
yang pertama terutama berhubungan dengan kasih kepada Allah, “Kasihilah Tuhan
Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap akal budimu.”
Sedangkan, tujuh yang lain berhubungan dengan kasih kepada sesama, “Kasihilah
sesamamu, seperti dirimu sendiri.” Dekalog merupakan satu keseluruhan yang tidak
dapat dibagi, membentuk satu kesatuan. Siapa melanggar satu perintah, melanggar
seluruh hukum (Bdk. Yak 2:10-11). Orang tidak dapat menghormati sesama, tanpa
memuji Allah, Penciptanya. Orang tidak dapat menyembah Allah, tanpa mengasihi
manusia, yang adalah makhlukNya. Dekalog mempersatukan kehidupan rohani dan
kehidupan sosial manusia. Karena sepuluh firman menyatakan kewajiban-kewajiban
mendasar manusia terhadap Allah dan sesama, maka dekalog adalah kewajiban-
kewajiban yang mengikat semua orang. Kewajiban menaati perintah-perintah itu juga
menyangkut kewajiban-kewajiban, yang menurut masalahnya, tidak begitu berat

Halaman 51
bobotnya. Tradisi Gereja memberikan peranan istimewa dan mendasar kepada dekalog.
Dekalog menyatakan dengan sangat tepat hukum moralitas kodrati. Dekalog
merupakan tanda kasih Allah kepada manusia. Allah yang pertama-tama mengasihi
umatNya, menuntut tanggapan bebas dari manusia. Hubungan dialektis antara indicative
dan imperative nampak jelas dalam prolog Dekalog. “Akulah Tuhan Allahmu yang telah
membawa kamu keluar dari Mesir, keluar dari rumah perbudakan. Pengalaman
pembebasan ini menjadi dasar untuk umat Israel membebaskan orang-orang yang hidup
dalam penindasan, lebih tepatnya Yahwe, sang Pembebas melarang umatNya untuk
melakukan penindasan dalam bentuk apapun kepada orang lain, terutama orang asing.
Hampir semua perintah dirumuskan secara negatif, kecuali perintah yang berhubungan
dengan Sabat dan hormat pada orang tua. Jika rumusan negatif diubah menjadi rumusan
positif, memungkinkan perluasan makna. Contoh larangan membunuh dapat diubah
dengan menggunakan rumusan positif “Hormatilah kehidupan”.

D. Isi Dekalog

1. Perintah I: Jangan Ada Padamu Allah Lain di Hadapanku.


a. Maksud Awal
Larangan ini harus dipahami dalam konteks pernyataan Allah: “Akulah Tuhan,
Allahmu yang telah membawa engkau keluar dari Mesir, dari tempat perbudakan”. Dari
pernyataan tersebut menjadi jelas bahwa Allah yang benar dan otentik adalah Allah
Pembebas, yang menuntut dari umatNya pengabdian khusus, ketaatan tanpa syarat. Allah
Pembebas meminta satu relasi eksklusif dari umatNYa. Allah yang telah membawa
mereka dari negeri perbudakan mengklaim sebagai satu-satunya Allah, sehingga Israel
tidak diperkenankan memberi tempat pada Allah lain (Allah yang cemburu). Umat
terpilih diminta memiliki sikap monoloyalitas pada Yahwe. Firman pertama tidak
merupakan pernyataan metafisik mengenai Allah yang satu atau Allah yang banyak,
melainkan mengikat umat dengan seluruh eksistensinya hanya pada Yahwe. Dialah satu-
satunya Allah bagi mereka. Kitab Mazmur 15:2-8 melukiskan ketakberdayaan berhala-
berhala buatan tangan manusia (perak dan emas). Berhala hanyalah ilusi. Perintah ini
melarang bangsa Israel untuk menyembah dewa-dewa lain, illah-illah lain, karena di
negara-negara sekitar Israel memang ada kultus penyembahan dewa-dewa. Ada klaim
bahwa Israel telah menjadi milik Yahwe, maka Ia meminta satu sikap radikal,
penyembahan tunggal dengan hati yang tidak terbagi.

b. Perkembangan Makna
Perintah I dipahami sebagai larangan menyembah berhala, idol-idol. Berhala
adalah nilai manusiawi/duniawi dan terbatas sifatnya yang dimutlakan: mengallahkan
apa yang bukan Allah. Pada jaman modern berhala-berhala itu dapat berupa godaan seks,
uang, kuasa dan kemasyuran. Sebagaiman simbol bursa saham menggunakan seekor sapi
jantan yang menggambarkan akumulasi uang yang selangit (bullish). Sesungguhnya
dengan menyembah berhala, manusia menundukkan dirinya di bawah kuasa yang
diberhalakan, apa yang diTuhankan, ia ditindas, dijadikannya tidak bebas lagi. Tidak

Halaman 52
jarang orang menjadikan barang-barang duniawi sebagai andalan hidup, penentu
segalanya, penentu kebahagiaan.
Dalam kaitannya dengan larangan menyembah dewa-dewa lain, ada larangan
membuat patung. Apakah yang dilarang itu semua pembutan patung (Ulangan 4:12-16)?
Dengan membuat patung, orang mencoba mengikat Tuhan pada tempat dan kebaktian
tertentu (mereduksi Allah pada level ciptaan). Padahal Tuhan adalah Yang Mahaagung,
dan oleh karena itu tidak bisa dimanipulasikan oleh manusia dengan kebaktian apapun.
Tuhan mengatasi segala-gala nya, Ia tidak seperti dewa-dewa para bangsa. Bangsa-
bangsa lain menggambarkan dewa-dewa mereka serupa dengan raja dan para penguasa.
Para dewa pada dasarnya sama dengan manusia; makan dan minum, nikah dan
dinikahkan, saling berperang, bahkan kadang-kadang terpaksa harus tunduk kepada
maut juga. Lain dengan Tuhan, Allah Israel. Ia mengatasi segala-segalanya dan tidak
membutuhkan seorang manusia sebagai wakilnya. Ia tidak menampakkan diri dalam
seorang raja, apalagi dalam sebuah patung. Hanya satu yang dapat menjadi simbol Allah
yaitu Yesus Kristus, Sabda yang menjadi manusia. Dialah gambar Allah yang kelihatan,
yang menjadi model dan contoh bagi manusia.

c. Gambaran Kabur tentang Allah


 Allah sebagai pengintai. Ia mengintai, mengontrol bahkan mengancam jika
perbuatan kita menyimpang. Pemahaman baru: Allah mengamati kita untk
melindungi kita dari yang jahat dan membimbing kita supaya kita sanggung hidup
saling mencintai
 Orangtua super. Seperti pada umunya orangtua, stiap tindakan kita dihubungkan
dengan rasa bersalah dan dosa. Pemahaman baru: Allah itu kreatif, mencintai dan
mengampuni. Tuhan mengizinkan rasa bersalah menimpa kita, supaya timbul rasa
tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang jahat.
 Tuan rapi-bersih: kesempurnaan Allah tidak boleh disentuh. Allah yang
diperkenalkan Yesus bukan seorang yang puritan. Allah mau merendahkan diri
menjadi sama seperti manusia kecuali dalam hal dosa.
 Orang yang tak pernah tegas: Allah digambarkan sebagai sosok yang lemah
lembut saja. Pemahaman baru: Allah sejati bersikap tegas. Allah mengerti
kelemahan kita, tetapi menawarkan kita rahmat kekuatan batin.
 Rambo; Allah sebagai penakluk perang. Pemahaman baru: Allah sejati tidak
memaksakan kehendak-Nya. Allah sesuangguhnya adalah penyabar yang
berkarya selaras dengan kebebasan kita.

d. Bentuk Pelanggaran Perintah I:


1. Penyembahan berhala: mengalahkan sesuatu yang sesungguhnya bukan Allah:
uang, kekuasaan, ideologi, ras, kebebasan, dan seks.
2. Atheisme dimana manusia menjadikan dirinya sebagai tujuan, manusia
mengandalkan hidup dan usahanya mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan
hidup melulu pada kekuatan dan prestasinya sendiri. Otonomi manusia yang
diabsolutkan, akibatnya manusia menyangkal setiap ketergantungannya pada

Halaman 53
Allah, bahkan manusia memanggap Allah sebagai rival dalam mencapai
kebebasannya.
3. Ramalan dan magi: persoalan masa depan manusia tidak bisa ditentukan oleh
manusia sendiri, namun tergantung dari penyelenggaraan Ilahi. Melalui kekuatan-
kekuatan magis, manusia meminta perlindungan atau malahan mencelakakan
orang lain, yakni melalui teluh atau santet, jimat, susuk dan ngiprit.
4. Mencobai Allah dengan perkataan dan perbuatan, memaksa Allah untuk membuat
mujizat.
5. Sacrilegi: menghina, menajiskan, tidak menghormati sakramen-sakramen,
terutama ekaristi.
6. Simoni: jual beli barang rohani, karunia Allah, merendahkan martabat
berkat/anugerah Allah.
7. Sekularisme: pandangan hidup yang mengesampingkan nilai-nilai
spiritual/rohani, hanya menganggap penting yang material, sehingga manusia
menghapus Allah dari kehidupannya.
8. Agnostisisme: sikap menolak Allah karena kehadirannya tidak dapat dibuktikan.

2. Perintah II: Jangan Menyebut Nama Tuhan dengan Sembarangan


a. Dasar Biblis Perintah II
Pengertian tentang nama Tuhan yang kudus itulah yang merupakan pokok
perintah kedua (Kel. 20:7, Ul. 5:11). Larangan menyebut nama Tuhan dengan
sembarangan adalah karena nama Tuhan itu kudus. Nama menunjukkan identitas diri
Allah sendiri. Yahwe yang berarti “Aku adalah Aku” (Kel. 3:14). Larangan menyebut nama
Tuhan dengan sembarangan dikaitkan dengan identitas Allah yang adalah Kudus dan
benar. Kekudusan nama Allah menuntut bahwa orang tidak memakainya untuk hal-hal
yang tidak penting“ (Kat. Art. 2155). Dia yang kudus harus dihormati dan diesembah
dengan sikap iman. Larangan ini harus dipahami dalam konteks penyembahan Allah. Kita
diajak menjadi sadar dan peka akan kehadiran yang kudus Allah di tengah-tengah hidup
kita. Pengalaman akan yang kudus membangkitkan rasa takzim terhadap manusia dan
rasa hormat terhadap alam. Perintah kedua menuntut kita utuk menghormati kekudusan
yang ilahi. Kalau demikian kita akan juga menghormati kesucian kita sendiri, kesucian
orang lain serta kesucian alam ciptaan. Jika kita menghormati kekudusan Allah, kita tidak
akan jatuh ke dalam tindakan kejahatan, dusta, sumpah palsu, upacara magis, atau aneka
pemujaan setan. Bahkan, banyak orang telah memanipulasi Allah yang Adalah cinta
dengan memaksa orang lain untuk membenci, berkhianat dan berlaku kejam. Oleh
kartena itu jangan menyalahgunakan nama Allah.

b. Menyebut Nama Allah dengan Sembarangan


Apa maksudnya menyebut nama Tuhan dengan sembarangan? Jangan memakai
nama Allah untuk mengutuk sesama. Dengan demikian, maksud dari larangan ini adalah
supaya tidak menggunakan nama Allah untuk mencelakakan orang lain. Ini berarti
menyalahgunakan kekuasaan dan kekuatan inheren nama Allah demi tujuan jahat, yakni
membahayakan hidup orang lain. Nama Allah tidak boleh digunakan untuk sesuatu yang

Halaman 54
sia-sia, tidak sungguh-sungguh (Yes.1:13). Hormat kepada Allah menuntut hormat
kepada hidup, khususnya akan misteri hidup. Dengan mendalami hidupnya sendiri,
manusia dapat meraba dan merasakan misteri Allah sendiri. Misteri tidak sama dengan
rahasia. Misteri tidak seluruhnya tersembunyi. Misteri dapat dijangkau dan didalami,
tetapi tidak pernah dapat dipahami atau dijelaskan dengan tuntas.

c. Menyebut nama Allah dalam Sumpah Jabatan/Profesi


Konteks perintah II adalah bersumpah palsu. Dalam kebiasaan bangsa Israel kuno
dan bangsa-bangsa sekitarnya, orang bersumpah atas nama langit, bumi, tetapi bukan
atas nama Allah. Dalam katekismus dikatakan “Bersumpah atau mengangkat sumpah
berarti memanggil nama Allah sebagai saksi untuk apa yang kita ucapkan. Itu berarti
memanggil kebenaran ilahi supaya ia menjamin kejujuran orang yang bersumpah.
Sumpah mewajibkan atas nama Allah. “Engkau harus takut akan Tuhan, Allahmu; kepada
Dia haruslah engkau beribadah dan demi nama-Nya engkau haruslah engkau
bersumpah”. (Ul. 6:13).
Penggunaan nama Allah dalam mengambil sumpah sejauh itu dilakukan dengan
penuh kesungguhan, dapat dibenarkan. Artinya dalam mengangkat sumpah, orang
menggunakan nama Allah untuk menjamin kesungguhan, keseriusan sumpah tersebut.
Dalam hal ini, orang memanggil Allah sebagai saksi (Bdk. HK. Kan. 1199). Sumpah
dipengadilan menggunakan kata “demi Allah atau dalam nama Allah”, maksudnya adalah
untuk menjamin kebenaran dari perkataan saksi. Nama Allah juga digunakan dalam
konteks janji yang dibuat dengan penuh kesungguhan, misalnya janji perkawinan, kaul,
baptis. Maksudnya adalah bahwa janji yang dibuat, diikrarkan sungguh-sungguh
mengikat, mau dilaksanakan dengan setia. Nama Allah dipakai sebagai jaminan
kebenaran. Janji dibuat untuk dilaksanakan bukan untuk diingkari.
Bersumpah palsu artinya orang mengangkat sumpah dengan tidak sungguh-
sungguh, bersumpah untuk kemudian diingkari. Menggunakan nama Allah dalam
sumpah palsu berarti mempertaruhkan kekudusan dan kebenaran nama Allah dengan
sia-sia. Seorang yang bersumpah palsu berarti menjadikan Allah sebagai pembohong dan
penipu (Kat. Art. 2151).

3. Perintah III: Kuduskanlah Hari Sabat


a. Maksud awal
Perintah ketiga mengajak kita untuk mengistirahatkan hati dan budi dari urusan
sehari-hari dan membiarkan diri kita mengalami saat-saat rileks. Dalam rumusan
modern: ‘setiap pekan sisihkanlah waktu untuk membaharui diri!’ Kitab Suci mendesak
kita untuk memanfaatkan istirahat hari Sabat guna memperbaharui dan memperdalam
hubungan kita dengan Allah. Dalam Keluaran 20: 8-11, perintah ketiga menekankan segi
istirahat hari Sabat, untuk mengenang ‘istirahat Allah’ setelah menyelesaikan penciptaan.
Kitab Ulangan 5: 12 mendekati soal tersebut dengan mengajak kita untuk mengenang
hubungan kasih kita dengan Allah.
Menurut Kitab Suci, makna religius hari Sabat mencakup baik penciptaan maupun
perjanjian, dua peristiwa utama di dalam sejarah dunia. Peradaban selain Yahudi pun

Halaman 55
memiliki hari istirahat, yakni hari tabu bekerja. Tetapi bagi Israel, Sabat merupakan
persembahan waktu, yakni hari yang dikuduskan bagi Allah. Sama hal seperti orang
mempersembahkan anak sulung kawanan domba atau hasil pertama panenan, demikian
pula orang mempersembahkan waktu kerja. Ulangan 5: 14 menarik perhatian pada segi-
segi sosial Sabat: ‘’Pada hari Sabat tak seorang pun boleh bekerja, baik kamu, anak-
anakmu, hamba-hambamu, ternakmu atau orang asing yang tinggal di negerimu.’’ Naskah
berikut mengingatkan perbudakan Israel di Mesir dan perjanjian dengan Allah: ‘’itulah
sebabnya Tuhan, Allahmu, memerintahmu supaya merayakan hari Sabat.’’ (Ulangan 5,
15)
Kitab Keluaran 20: 11 mengajukan ‘alasan penciptaan’ untuk beribadat pada hari
Sabat: ‘’selama enam hari Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya;
tetapi pada hari ke-tujuh Ia beristirahat. Itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat
dan menguduskannya.’’ Keluaran 31: 12-17 menguraikan lebih mendalam hubungan
antara penciptaan dan hari Sabat ini. Gagasan bahwa Allah beristirahat pada hari Sabat
bukan hanya antropomorfisme*, melainkan ungkapan iman. Penciptaan adalah babak
pertama dalam sejarah keselamatan. Seusai karya penciptaan, Allah memulai proses
cinta kasihNya dengan semua manusia. Jika hanya bekerja, kita tidak hanya tak punya
waktu untuk bermain dan rileks, malahan kurang sempat mencinta. Allah pun
menyediakan ‘waktu’, bukan hanya untuk beristirahat, melainkan juga untuk membina
kita di dalam kasih ilahi. Ibadat adalah bagian dari proses penyegaran. Dalam liturgi
orang-orang memandang kembali pokok asal mereka, memuji dan bersyukur kepada
Allah atas kasihNya dan memperbaharui iman yang berdasarkan perjanjian bangsa
dengan Allah. Mereka menganggap seluruh hari Sabat itu kudus, karena mengingatkan
mereka akan anugerah-anugerah ilahi: perhatian-kasih Allah kepada mereka sejak
semula hingga kini.

b. Perkembangan Makna
Dalam perkembangan selanjutnya, sabat direduksi pada sikap legalistis seperti
dihayati oleh kaum Farisi. Mereka membuat banyak aturan sampai ke hal-hal kecil,
mengatur jalan sampai berapa langkah, tidak boleh memasak, tidak boleh meyembuhkan
orang. Dengan banyaknya peraturan yang harus ditaati, sabat bukannya sebagai saat
pembebasan dan istirahat, tetapi justru menjadi beban yang membelenggu dan
menindas. Berhadapan dengan sikap legalistis kaum farisi, Yesus mengembalikan sabat
pada motivasi awalnya yakni sebagai hari Tuhan, saat pembebasan sehingga berhadapan
dengan orang yang sakit Yesus lebih memperhatikan hidup dan keselamatan manusia,
membebaskan manusia dari perbudakan penyakit yang selama ini membelenggu
mereka. Sabat dibuat untuk manusia bukannya manusia untuk hari sabat. Anak manusia
adalah Tuhan atas hari Sabat. Hari sabat ditujukan untuk memanusiakan manusia bukan
sebaliknya. Dalam tradisi kristen, sabat digeser ke hari Minggu yang merupakan hari
untuk merayakan hari kebangkitan Yesus, kelahiran baru. Dalam merayakan hari Tuhan,
orang tidak dilarang bekerja dan berbuat baik. Ada beberapa makna dari hari Minggu
yang selalu kita rayakan sampai hari ini:

Halaman 56
1) Memandang tujuan penciptaan
Hari Sabat mengajarkan kita, bahwa kemakmuran bukanlah tujuan paling tinggi.
Kesombongan para pembangun menara Babel menghancurkan segala komunikasi
antar- manusia. Hari Sabat menunjuk pada sesuatu yang melampaui
pembangunan fisik, dan kemakmuran materiil. Pada hari ini, kita berhenti,
mengejar uang dan melakukan gencatan senjata dalam persaingan ekonomi. Kitab
Talmud mengatakan, bahwa Sabat adalah ‘dunia yang akan datang’. Jadi,
sepertujuh hidup kita dapat dihayati sebagai ‘masa persiapan Firdaus’ dengan
menjalani hari Minggu dengan sungguh-sungguh.
2) Kerja, Istirahat, dan Pesta (Kel 23:12, Kej 2:2, Kel 20: 9-11, Mzm 104:31).
Zaman sekarang ini orang tidak lagi bekerja dalam irama alam melainkan dalam
irama mesin di bawah perintah orang lain. Orang sekarang tidak lagi bekerja
dalam kebersamaan, melainkan demi merebut sesuap nasi melawan saingan
temen sendiri. Bekerja memang bagian hidup manusia, tetapi membuat pekerjaan
menjadi sarana produksi melulu, berarti merendahkan martabat manusia.
Terdapat tiga kewajiban bagi manusia: kewajiban bekerja, kewajiban beristirahat,
dan kewajiban melindungi mereka yang harus bekerja dalam ketergantungan.
Jangan sampai kerja menjadi lebih penting daripada hidup, dan hasil kerja diniali
lebih tinggi daripada manusia. Tuhan menghendaki supaya manusia tetap tinggal
sebagai “citra Allah” dan bukan alat produksi.
3) Persekutuan dengan yang kudus
Fungsi Sabat adalah menolong kita melihat yang-kudus sebagai imbangan atas
yang-profan, menyelamatkan kita dari kelobaan akan harta duniawi dan
menolong kita bersentuhan dengan Sang Pencipta dunia ini. Pada hari Sabat, kita
menyisihkan waktu untuk merenungkan proses dan makna hidup kita dan
seluruh alam ciptaan.
4) Hari Minggu Kristiani
Hari Sabat Yahudi mengakhiri satu pekan; Hari Minggu Kristen mengawalinya.
Hari Minggu Kristen mengingatkan Paskah dan mengarahkan perhatian ke masa
depan. Hari Minggu mengajak orang untuk mengalami dan mengamalkan
kerajaan kasih sayang, keadilan dan belas kasih Allah. Minggu menawarkan
kesempatan untuk menyaring rahmat keselamatan dari penindasan, terutama
dari dosa, dan untuk menantikan kedatangan kembali Kristus. Hari Minggu
Kristen adalah ‘Hari Tuhan’: Kata Minggu berasal dari kata Portugis (Do) minggo,
artinya ‘Tuhan’. Pada hari ini Yesus meringankan beban kita (Matius 11, 28) dan
mengantar kita kepada pengalaman kelegaan ilahi.
5) Perayaan Ekaristi
Seluruh umat beriman ikut merayakan hari Minggu dan berpatisipasi aktif dalam
Ekaristi. Kita menjadikan perayaan Ekaristi sungguh-sunguh bagian pokok hari
itu. Dengan merayakan Ekaristi, kita membuka hidup kita terhadap kasih Kristus
yang menyembuhkan, menyatukan dan menyelamatkan. Sebagaimana istirahat
dan rileks menyegarkan kembali anggota tubuh serta emosi kita, demikian kasih
Kristus menyegarkan seluruh keberadaan kita dan membentuk hati dan budi kita

Halaman 57
seturut nilai-nilainya. Jadi, Ekaristi sebagai peristiwa aktif: kita secara tulus
mencurahkan kasih kita kepada Allah dan sesama anggota jemaat yang beribadat.
6) Perayaan keluarga
Mematuhi hari bebas bekerja memungkinkan hari Minggu menjadi hari seluruh
keluarga dapat berkumpul. Hari Minggu bukan hanya untuk Misa Kudus di Gereja,
melainkan juga untuk santap bersama di rumah, agar angota-anggota keluarga
menikmati kebersamaan dalam doa sebelum dan sesudah makan. Santap bersama
keluarga menjadi peristiwa penting bagi keluarga Kristen. Santap keluarga
bagaikan pusat bagi hidup keluarga Kristiani. Sejumlah penulis menyebut santap
keluarga pada dasarnya bersifat ‘ekaristis’, mengenal Kristus dalam ‘Pemecahan
Roti’. Hal itu tidak berarti mengubah santap keluarga menjadi perayaan
keagamaan, melainkan berarti memulai santap dengan doa, yang dipahami
keluarga tersebut dan menggunakan saat makan untuk interaksi antar-anggota
keluarga. ‘Keluarga disebut ‘Gereja domestik’ suatu komunitas yang memupuk
harapan dan kasih.

4. Perintah IV: Hormatilah Ayahmu dan Ibumu


a. Maksud Awal
Perintah ini dirumuskan dengan redaksional yang positif. Perintah untuk menghormati
orang tua (Kel 20:12) ditujukkan kepada orang dewasa – bukan kepada anak-anak kecil.
Orang-orang yang dalam umur kuat dan jangan memukul orang yang sudah jompo (bdk.
Kel 21:15) atau mengutuk orang tua seakan-akan mereka hanyalah beban suku (bdk. Kel
21:17). Sebaliknya, mereka hendaknya dihormati sebagaimana Allah dihormati, “supaya
lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu” (Kel 20:12).
Maksudnya supaya tinggal lama di tanah! Tanah adalah anugerah istimewa dari Allah.
Hormat kepada orang tua seperti kepada Tuhan dihubungkan dengan kelangsungan
hidup di tanah, oleh karena itu tanah diterima sebagai janji Allah dan diteruskan dari
generasi ke generasi oleh orang tua kepada anak-anak. Motifnya adalah janji bukan
perasaan takut dihukum.

b. Mengurus Orang Tua yang Sudah Tua


Hidup yang diterima dari orangtua dan diberikan kepada anak, berasal dari Sang
Pencipta. Tidak menghormati orang tua sama saja dengan tidak menghormati Allah. Kitab
Suci memperingatkan anak-anak, supaya bermurah hati terhadap bapa-ibu yang sudah
tua dan lemah. ‘’Dengarkanlah ayah yang memperanakkan kamu. Dan janganlah
menghina ibumu kalau ia sudah tua!’’ (Amsal 23:22) Karunia ilahi yang berlimpah
dianugerahkan kepada orang, yang mengurus orangtuanya pada masa tua mereka:
‘’Barangsiapa menghormati bapanya, membersihkan dosa. Barangsiapa memuliakan
ibunya, serupa dengan orang yang mengumpulkan harta ... Dan apabila ia bersembahyang
niscaya doanya dikabulkan.’’ (Sirakh 3:3-4:5b)
Kitab Suci menegur keras orang yang mendurhakai orangtuanya: ‘’Anak yang
menganiaya dan mengusir orangtuanya, adalah anak yang memalukan dan tercela. ‘’

Halaman 58
(Amsal 19:6) Orang seperti itu akan dijauhi kemujuran: ‘’Orang yang mengutuk
orangtuanya, hidupnya akan lenyap seperti lampu yang padam di malam gelap’’ (Amsal
20:20). Perintah Keempat tidak hanya mewajibkan mengurus orangtua dengan kasih
sayang, melainkan menegaskan juga segi-segi lain hidup berkeluarga seperti stabilitas
perkawinan dan pendidikan anak-anak. Menghormati bapa-ibu bukan hanya kewajiban
anak-anak dewasa terhadap orangtua yang lanjut usia, melainkan juga tanggungjawab
anak-anak remaja terhadap orangtua mereka yang masih kuat dan sehat.

c. Perkembangan Makna
1. Peran Orang Tua
Orang tua memiliki tanggung jawab untuk membesarkan anak, supaya menjadi orang
yang sopan, bertanggung jawab dan penuh perhatian. Tidak ada metode apa pun
tentang membesarkan anak yang dapat menggantikan teladan pribadi orang tua.
Sikap kebapa-ibuan menciptakan suasana hangat dan kasih sayang, yang
memungkinkan pendidikan. Ada beberapa anjuran dalam membesarkan dan
mendidik anak:
 Membesarkan anak berarti menyayanginya, bukan mengevaluasi
keberhasilannya.
 Jangan mengabaikan atau meremehkan upaya anak untuk menjadi rendah hati
dan penyayang.
 Janganlah memberi kesan, bahwa cinta ibu mensyaratkan prestasi anak.
 Pujilah anak apa adanya; pujilah apa yang ia lakukan.
 Hardiklah kejahatan dan bukan pelakunya.
 Tekankan norma perilaku yang wajar dan tetapkanlah batas-batasnya
terdorong oleh kasih akan anak.

2. Doa Keluarga
Doa keluarga memupuk iman orangtua maupun anak. Sikap jujur dalam berdoa
kepada Tuhan mempertegas pengajaran agama. Doa murni merupakan ungkapan
kasih kepada Allah dan sesama. Jadi, doa mempedulikan keperluan dan masalah
orang lain dan tidak bertele-tele. Yohanes Paulus II menulis: ‘’Dengan berdoa
orangtua Kristen memasuki lubuk hati anak-anak, dan mematrikan kesan, yang
tidak pernah terhapuskan di kemudian hari’’ (Peran Keluarga Kristen, no. 60).
Dalam doa, orang tua mengamalkan imamat umum mereka dan mengaktifkan
rahmat pembaptisan anak-anak.

Halaman 59
5. Perintah V: Jangan Membunuh
a. Maksud Awal
Maksud awal perintah ini adalah mau melindungi hidup manusia yang tidak
bersalah, orang Israel merdeka. Kata yang gunakan untuk menunjuk pada pembunuhan
adalah ratsah dan hemit. Kata ratsah menunjuk pada pembunuhan secara keji, sengaja,
dengan maksud jahat membuat mati seseorang. Kata ratsah ini tidak termasuk pada
kasus pembunuhan waktu perang, dalam pembelaan diri, pelaksanaan hukuman mati.
Jadi pembunuhan yang dilarang adalah pembunuhan illegal. Kata ratsah memberi
kualifikasi khusus pada pembunuhan keji dengan kekerasan seorang manusia yang tidak
dapat melawan serangan: “Siapa yang memukul dengan barang besi sehingga orang itu
mati, maka ia seorang pembunuh; pastilah pembunuh itu dibunuh…” (Bil. 35,16ss).
Dekalog ini meringkas semua kaidah yagg menyangkut praktek “dendam darah” (bdk. Kel
21:14-16; 18-36). Aturan itu memang perlu demi kelangsungan suku dan demi
perdamaian dalam persekutuan suku. Rumus dekalog ini tidak lagi mempersoalkan
darah (bahan keramat yang tidak boleh ditumpahkan – bdk Kej. 4:10-12) dan tidak
membatasi larangan untuk membunuh pada anggota-anggota suku yang merdeka (bdk.
Kel 21:18 dst).

b. Pemahaman Baru
1. Bebas dari Nafsu Destrutif
Selama kasih diamalkan dan dialami, hidup ini penuh kesempatan. Inilah pesan
pokok Perintah Kelima! Jika kita menyerap nilai in, rupa-rupa dorongan destruktif
diperlemah. Nilai ini akan membebaskan kita dari kebencian, pembunuhan,
pemusnahan bertahap, penganiayaan, aborsi, euthanasia, dan segala bentuk lain
aniaya satu sama lain. Mencinta merupakan kegiatan kita yang paling mendekati
arti mencipta. Cinta melahirkan, melestarikan dan memelihara kehidupan.
Sementara orang mengumpamakan cinta dengan pakaian tanpa jahitan, yang
melindungi daya kreatif makhluk- makhluk hidup sejak awal (janin) hingga mati.
Yesus mengajak kita semacam mengenakan jubah rohani, yang melindungi
hak paling asasi setiap orang yakni hak untuk hidup, entah itu hak hidup janin,
orang sakit yang tak bisa sembuh atau orang yang tak berdaya sekalipun. Daya
kreatif kasih yang membela kehidupan, mestinya lebih kuat daripada argumen
apapun yang berasal dari dorongan destruktif.
2. Masalah hukuman mati
Pesan Perintah Kelima adalah kasih, yang berpihak pada kehidupan. Kalau
demikian, pesan itu wajib diperhatikan dalam hal hukuman mati pula. Kasih
mengajar, bahwa lingkaran kekerasan dapat dipatahkan, bahwa Allah sendirilah
Tuhan kehidupan, bahwa musuh yang bertobat seharusnya diampuni. Kasih ikut
menanggung rasa nyeri si korban, sahabat serta handa-taulannya. Kasih ikut pula
merasakan derita lahir-batin orang yang bersalah dan insaf, beserta mereka yang
mengasihinya. Jika kasih ikut main peran, maka kita dapat percaya, bahwa luka-
luka dapat disembuhkan.

Halaman 60
‘’kasihilah musuhmu! Kasihmu akan membuat mereka gila.’’ Mungkin ungkapan
seperti itu terasa tidak sopan, mengingat berbagai tantangan moral yang serius,
yang menyangkut hidup orang yang dihancurkan dengan sengaja. Namun
perhatian kita diarahkan pada sabda Yesus: ‘’Kasihilah musuh-musuhmu dan
berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu!’’ (Matius 5:44). Yesus
menyampaikan sabda yang mengagetkan itu dan menambahkan sabda tentang
kemarahan dan balas dendam: ‘”Sebab itu, jika engkau menghunjukkan
persembahanmu di atas altar dan teringat akan sesuatu yang ada dalam hati
saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahan di dekat altar itu dan
pulanglah berdamai dengan saudaramu! Lalu kamu kembali untuk
mengahaturkan persembahanmu itu’’ (Matius 5:23-24). ‘’kamu telah mendengar
firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi! Tetapi aku berkata kepadamu:
Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan
siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu!’’
(Matius 5:38-39)
Yesus menegaskan bahwa kebencian, kemarahan dan balas dendam meniadakan
visi tentang kehidupan seperti semestinya. Karena itu, Jesus secara radikal
menantang kita untuk menghormati lawan-lawan kita, untuk menjauhkan
kemarahan dan berdamai dengan sesama kita, dan untuk bertindak tegas namun
tanpa kekerasan melawan kekerasan. Jesus menyingkapkan rahasia guna
mengakhiri pembunuhan, perang, terorisme, pembantaian massal, pemusnahan
suatu suku bangsa (genosid), aborsi, hukuman mati dan pembenaran
pembunuhan secara gelap tanpa pengadilan. Kasihlah satu-satunya cara untuk
menghentikan pembunuhan.
3. Kasih
Tekanan dari firman kelima hendaknya dipahami dalam arti positif, suatu
perintah untuk mencintai, mengahargai, memelihara dan melindungi hidup
manusia dan intergritas pribadinya. Bagaiamanakah caranya untuk
mengusahakan agar hidup manusia berlangsung terus? Sikap hormat terhadap
nilai hidup manusia, pertama-tama harus menjadikan hidup manusia sebagai
tujuan bukannya sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan lain. Firman
jangan membunuh mendapat aktualitasnya pada zaman sekarang, lebih-lebih
dalam dunia yang ditandai oleh kultur kematian. Kemajuan ilmu dan pengetahuan
di satu pihak memberi keuntungan bagi hidup manusia, namun di lain pihak,
mengancam martabat hidup manusia itu sendiri: teknologi genetika bayi tabung,
cloning, intervensi atas embrio dan pembuatan embrio semata-mata demi
kepentingan riset dan farmakologi. Manusia sudah direduksi ketaraf objek,
jaringan biologis yang siap digunakan di laboratorium.

Halaman 61
c. Penerapan Perintah Jangan Membunuh
Penghormatan terhadap kehidupan manusia:
 Pada tahap awal perkembangannya
 larangan aborsi and intervensi atas embrio
 Pembelaan diri yang sah,
 Bunuh diri dan euthanasia
Hormat terhadap martabat pribadi Manusia
 Hormat pada kesehatan jiwa dan raga
 Hormat pada pribadi dalam penelitian ilmiah.
 Hormat pada integritas fisik, menyangkut tranplantasi organ.
 Pembelaan damai: perdamaian dan menghindari perang

6. Perintah VI: Jangan Berzinah (Bukan: Jangan Berbuat Cabul!)

a. Pemahaman Zina Menurut Perjanjian Lama


Dalam Perjanjian Lama, zina adalah hubungan seks yang dilakukan oleh seorang
wanita yang sudah bersuami dengan seorang pria lain yang bukan suaminya, entah
dengan pria yang kawin ataupun belum. Oleh karena itu, perzinahan hanyalah
melanggar hak suami, tak pernah melawan hak wanita. Karena dalam tradisi Yahudi
yang mempunyai hak hanyalah pria.
b. Maksud awal
Maksud awal firman ini adalah melindungi stabilitas keluarga untuk mempertahankan
keturunan yang sah. Melalui perzinahan, seorang pria mengganggu dan merongrong
kesatuan keluarga lain dan sekaligus merebut hak suami atas istri. Sedangkan seorang
wanita yang berzina itu sendiri merugikan dan menghancurkan rumah tangganya
dengan hidup tidak setia. Hubungan seksual antara seorang pria yang sudah beristri
dengan seorang pelacur atau wanita yang masih gadis, tidak dikategorikan sebagai
perzinahan.
c. Pemahaman Zina Menurut Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru, Yesus membertikan visi baru berkaitan dengan perzinahan.
Kalau dalam Perjanjian Lama, hanya suami yang mempunyai hak dalam perkawinan,
dalam Perjanjian Baru istri pun mempunyai hak yang sama seperti suami. Hal ini dapat
dilihat dalam perdebatan Yesus dengan orang Farisi berkaitan dengan soal perceraian.
“Barang siapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam
perzinahan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin
dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah”. (Mrk 10:11-12). Berkaitan dengan zina, Yesus
memperluas cakupan zinah bukan hanya perbuatan lahiriah, tetapi juga menyangkut
perbuatan kehendak, keinginan dalam hati untuk mengingini seorang perempuan:
“Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzina
dengan dia dalam hatinya” (Mat. 5:28).

Halaman 62
d. Perkembangan Makna
1. Kesetiaan: Nilai sentral
Pokok utama Perintah Keenam adalah bukan perzinahan, melainkan kesetiaan.
Dasar semua perintah itu, seperti dicerminkan oleh janji setia suami-istri. Konteks
perintah ini adalah kudusnya nilai-nilai hidup pernikahan dan keluarga. Perintah
Keenam berbicara tentang kudusnya manusia dan pentingnya hubungan tetap
yang berdasar pada kasih dan pada pengasuhan anak-anak. Kegembiraan timbal
balik yang dihasilkan dari berbagai cara untuk meningkatkan hubungan
perkawinan lebih mendalam, ketimbang kesukaan dari hubungan luar nikah yang
merusak jiwa. Rasa aman dibuahkan oleh kesetiaan, yang menyediakan rasa
tentram setiap hari bagi suami-istri.
2. Mengasuh anak-anak
Pasang suami-istri, yang mengalami buah-buah kreatif kesetiaan mereka, jauh
lebih mampu mengasuh anak-anak terdorong oleh kasih yang hangat daripada
oleh kewajiban fungsional saja. Bagi mereka anak-anak bukan alasan utama untuk
tinggal bersama. Beruntunglah anak-anak, yang orantuanya berhasil berpindah
dari ‘aku’ romantis (kasih yang menemukan) kepada ‘engkau’ (kasih yang saling
memperkaya).
3. Bagaimana tentang Seks?
Tentu saja, berzinah secara fisik bersifat seksual. Akan tetapi jelas pula, bahwa
dosa yang dikutuk Perintah Keenam adalah ketidaksetiaan. Karena itu, nilai
kesetiaan yang membebaskan itu ditekankan. Inilah makna positif perintah
tersebut. Seksualitas menyangkut masalah kesetiaan maupun ketidaksetiaan.
Seksualisasi suasana umum pada masa kita ini menuntut refleksi mengenai peran
seks dalam perkawinan dan juga kepedulian sosial terhadap perkosaan,
pelacuran, pornografi, periklanan, alat-alat kontrasepsi, AIDS dan masalah-
masalah seksual lainnya. Lalu, apa kata Kitab Suci tentang seks? Allah mencipta
kedua jenis dan melihat itu baik adanya. Kitab Kejadian memaparkan Allah Yang
mencipta seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjodohkan keduanya.
Tuhan adalah penjodoh pertama. Kita bisa membayangkan Allah Yang
mengangguk setuju atas persatuan seksual Adam dan Hawa: ‘’Sebab itu, seorang
laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga
keduanya menjadi satu’’ (Kejadian 2:24). Seksualitas bernilai positif. Sebagai
sarana komunikasi, seksualitas menyampaikan pesan mendalam kepada pihak
yang berhubungan intim, sehingga masing-masing merasa berharga dan
bermartabat. Warna seksual tidak dapat dipisahkan dari pribadi mana pun. Dalam
perkawinan, berbagai hubungan intim mengungkapkan dan memperdalam
kesepakatan kasih suami-istri. Berhubungan intim melambangkan pemberian diri
istri kepada suami dan suami kepada istrinya. Hubungan indah ini
menyingkapkan kasih agung Yesus kepada GerejaNya (lih. Efesus 5).

Halaman 63
4. Pembebasan dari ketidaksetiaan
Perzinahan adalah hubungan seksual yang dilakukan seseorang yang telah
menikah denga orang lain yang bukan suami/istrinya. Ketidaksetiaan tindakan ini
mencolok mata, karena merusak pokok hubungan perkawinan. Perzinahan tidak
mengahormati keterlibatan dasar pasangan suami-istri, yakni saling
menyerahkan diri lahir batin, lalu mengancam stabilitas keluarga. Perceraian
adalah ungkapan kedua ketidaksetiaan (Matius 19:4-6). Perceraian mengingkari
janji, ikrar asasi. Perceraian mengakibatkan rasa sakit, yang seringkali tak
berkesudahan dan tak tersembuhkan, baik bagi kedua pasangan itu maupun bagi
anak-anak mereka.
5. Bahaya meremehkan seksualitas
Perintah ini mengharamkan juga percabulan-hubungan seksual di antara orang-
orang yang tidak terikat janji perkawinan. Sebab, dalam hubungan seperti itu
bukanlah kesetiaan batu pijak. Perintah Keenam melarang perkosaan, karena
menambah paksaan yang merendahkan harkat dan martabat si korban.
6. Reproduksi manusia.
Hubungan seksual bersegi dua: menciptakan kesatuan di antara seorang pria dan
seorang wanita (segi pemersatu) dan menciptakan kehidupan baru melalui
persatuan mereka (segi prokreatif). Ajaran resmi Gereja memandang dua segi
tersebut sebagai tak terpisahkan. Oleh karena itu, ensiklik Humanae Vitae menilai
hubungan seksual yang dengan sengaja dimandulkan sehingga tak mungkin
menciptakan kehidupan baru, seperti kontrasepsi buatan, melawan maksud
Perintah Keenam. Tentu saja homoseksualitas bertolak belakang dengan makna
terciptanya manusia sebagai pria dan wanita dan karenanya merupakan
pelanggaran berat perintah ini.
7. Pelanggaran-pelanggaran yang melawan kemurnian
Ketidakmunian yakni keinginan untuk selalu mengejar keinginan dan kenikmatan
seksual. Pelanggaran yang dimaksud antara lain: masturbasi. percabulan,
prostitusi, dan homoseksual.
8. Mengatur kelahiran
Berhubungan dengan firman keenam ini juga masalah pengaturan kelahiran,
yakni menyangkut moralitas penggunaan alat kontrasepsi. Berkaitan dengan soal
pengaturan kelahiran, gereja mengajarkan supaya umat mengikuti keluarga
berencana alamiah (KBA), yakni dengan melakukan pantang berkala selama
masa-masa subur. Dalam KBA ini ada kerja sama antara suami dan istri, saling
pengertian dan mendukung, meningkatkan komunikasi di antara mereka.

Halaman 64
7. Perintah VII: Jangan Mencuri
a. Maksud awal
Maksud awal firman jangan mencuri dikaitkan dengan pencurian manusia,
penculikan manusia bebas. Jadi firman ini mau melindungi kemerdekaan orang Israel
yang bebas. Kata yang digunakan untuk menunjuk firman ini adalah kata ganav. Kata
ganav ini menunjuk pada tindakan pencurian manusia atau penculikan dalam bahasa
sekarang. Kitab Keluaran 21:16 tertulis: “Siapa yang menculik seorang manusia, baik ia
telah menjualnya, baik orang itu masih terdapat padanya, ia pasti dihukum mati” dan
Kitab Ulangan 24:7, “Apabila sekarang kedapatan sedang menculik orang, salah seorang
saudaranya dari antara orang Israel, lalu memperlakukan dia sebagai budak dan menjual
dia, maka haruslah penculik itu mati. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari
tengah-tengahmu!” Ul. 24:7. Dari kedua ayat ini menjadi jelas, bahwa firman jangan
mencuri pertama-tama mau melindungi kebebasan orang merdeka dan melarang
penjualan manusia untuk dijadikan budak. Landasan dasarnya jelas bahwa orang Israel
pun dulu sebagai budak, namun kasih dan kebaikan Allah telah membebaskan mereka
dari status budak menjadi seorang merdeka. Pengalaman pembebasan ini hendaknya
menjadi titik acuan bagi orang Israel untuk menghormati manusia lain sebagai manusia
bebas merdeka.

b. Perkembangan Pemahaman
1. Pencurian barang
Perkembangan lebih lanjut firman ini mengacu pada pencurian barang. Pencurian
barang milik orang lain jelas bertentangan dengan prinsip keadilan yang
memerintahkan memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.
Dalam perjanjian lama milik bukanlah hak mutlak sebab yang menjadi pemilik
mutlak adalah Allah sendiri. Yang dilarang dalam firman ini adalah pencurian dari
atas, tanpa mengabaikan pencurian dari bawah. Dalam kitab ulangan dikatakan
“Jika ia seorang miskin, janganlah engkau tidur dengan barang gadaiannya.
Kembalikanlah barang gadaian itu kepadanya sebelum matahari terbenam,
supaya ia dapat tidur dengan memakai kainnya sendiri dan memberkati engkau.
Maka engkau akan menjadi benar di hadapan Tuhan Allahmu” (Ul. 24, 12-13).
2. Menjujung Nilai Kepercayaan
Perintah Ketujuh menjunjung nilai percaya. Keluarga dan rukun tetangga yang
aman berdasarkan sikap saling percaya. Suatu masyarakat yang adil terwujud,
apabila orang miskin percaya, bahwa dapat meraih cara hidup yang layak dengan
bekerja keras. Karena Allah telah mempercayakan ciptaanNya kepada kita, maka
suatu lingkungan yang bebas dari eksploitasi dapat dibangun. Namun, dewasa ini
kepercayaan dan kejujuran dalam masyarakat umum sudah merosot sehingga
perlu dibina kembali. Korupsi, pemalsuan dan pencurian yang begitu umum dan
lazim mengikis nilai-nilai pokok masyarakat beradab. Kepercayaan telah terlalu
sering dikhianati, dibegal, dirampok, ditipu, dicopet, disuap, dipotong gajinya,
dijebak dan dibuat tidak berdaya, banyak orang merasa getir karena orang lain.
Sementara orang, yang ditelikung rasa takut, menderita rasa cemas berlebihan,

Halaman 65
bahwa nyawa, tanah dan tabungan mereka terancam. Sungguh pun begitu, cita-
cita Alkitab tentang percaya, yang didasarkan pada suatu perjanjian, yakni janji
kasih dengan Allah.
3. Sikap percaya dan umat manusia
Kejujuran dam keadilan menjadi barang langka di zaman ini. Tantangan Perintah
Ketujuh untuk membina kembali rasa saling percaya dewasa ini sangat mendesak.
Cita-cita saling percaya ingin membebaskan orang dari banyak bentuk kelicikan:
dari mencuri sebatang sabun di supermarket hingga penipuan bertaraf
internasional; dari praktek ilegal jual-beli saham, mark up anggaran proyek; dari
memalsukan laporan keuangan hingga kredit macet; dari ketidakpedulian
terhadap kaum miskin hingga pencemaran tanah, udara dan air karena banyak
uang.
4. Allah menuntut keadilan sosial
Perintah Ketujuh menegakkan nilai keadilan bagi kaum miskin dan tertindas.
Ajaran sosial Gereja didasarkan pada tuntutan Kitab Suci akan keadilan. Prinsip
keadilan perlu diterapkan pada masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami
perubahan mendalam akibat industrialisasi. Paus Yohanes Paulus II dalam
ensiklik ‘Kepedulian Sosial’ mengingatkan negara-negar adidaya supaya jangan
mengkhianati ‘harapan-harapan sah umat manusia.’ Sebab, persaingan antara
bangsa-bangsa kuat tak henti-hentinya menyebabkan berbagai ketimpangan
sosial tak terpecahkan.

c. Pelanggaran yang Berkaitan dengan Tindakan Pencurian


 Tindakan penumpukan kekayaan (keserakahan dan kerakusan) oleh
segelintir orang sehingga menimbulkan penderitaan dan kemiskinan bagai
sebagian besar orang.
 Manusia janganlah dijadiakn objek atau direduksi hanya sebagai alat
produksi. Bagaimanapun juga, manusia harus tetap menjadi subjek, dan
tujuan dari segala aktivitasnya.
 Jurang yang semakin lebar antara kaum kaya dan kaum miskin menuntut
adanya keadilan dalam pemerataan pembagian hasil dan pemberian
kesempatan yang sama. Untuk itu, dibutuhkan juga solidaritas antar
manusia, antar golongan, antar negara.
 Tindakan penyerobotan/perampasan terhadap harta milik orang lain.
 Tindakan memperlakukan manusia sebagai budak dalam kasus para
pembantu yang dibayar dengan gaji rendah dan jam kerja non-stop.
“Manusia yang dibebaskan Allah tidak boleh dijadikan korban kepentingan
ekonomi”.

Halaman 66
8. Perintah VIII: Jangan Mengucapkan Sansi Dusta Tentang Sesamamu
a. Maksud Awal
Larangan untuk bersaksi dusta erat kaitannya dengan perkara di pengadilan.
Dalam Kitab Keluaran 20:16, saksi dusta yang berasal dari kata Ibrani syaker yang artinya
dusta - ada unsur kesengajaan, tahu bahwa itu salah. Sedangkan dalam teks Ulangan 5:20,
mengacu pada larangan untuk bersaksi palsu yang berasal dari kata Ibrani syave. Dalam
hal ini orang memberi kesaksian tapi tidak diverifikasi terlebih dahulu, belum dibuktikan
kebenarannya. Tujuan semula dari firman ini adalah melindungi orang dari tuduhan
palsu yang berdampak negatif, merusak nama baik atau bahkan menentukan hidup
matinya seseorang. Hal ini dapat dipahami dalam konteks tradisi Israel kuno di mana
proses pengadilan dilakukan di pintu gerbang kota.

b. Perkembangan Makna
1. Nilai Hidup: Kebenaran dan Keadilan
Secara positif firman jangan bersaksi dusta tentang sesamamu mengajak orang
untuk membela kebenaran demi menyelamatkan orang benar dari tuduhan yang
tidak benar. Memberi kesaksian berarti memberi keterangan dan penegasan atas
sesuatu yang telah terjadi. Seorang saksia adalah orang yang sungguh turut
menyaksikan suatu tindak kejahatan. Maka seorang saksi yang benar dan jujur
mendukung proses pengadilan yang adil. Dengan demikian firman ini mau
menjamin keadilan di hadapan pengadilan, menjamin proses pengadilan yang
bersih, jujur dan benar, menegakkan kepastian hukum sehingga orang tidak
main-main dengan kebenaran. Yesus sendiri mengatakan kalau ya katakan ya,
kalau tidak katakan tidak, selebihnya berasal dari si jahat. Kebenaran dan
keadilan dalam pengadilan sering kali dirongrong oleh kebiasaan suap. Keadilan
dan kebenaran bisa dikorbankan karena uang, sehingga orang miskin yang tidak
punya uang sering kali menjadi korban. Hal ini sering dilakukan bahkan sudah
menjadi kebiasaan. Kitab suci melaporkan hal demikian: “Celakalah mereka yang
membenarkan orang fasik karena suap, yang memungkiri hak orang benar” (Yes.
5:22-23).
2. Ajakan untuk hidup dalam kebenaran
Hidup dalam kebenaran adalah konsekuensi dari iman kepada Allah, yang adalah
sumber segala kebenaran, bahkan kebenaran tertinggi. Sabda dan hukumNya
adalah kebenaran. Kristus sendiri menampilkan diri-Nya sebagai kebenaran,
menampilkan anugerah Roh-NYa sebagai Roh kebenaran (Yoh 14, 17) yang
membimbing pada para murid pada kebenaran. Kristus sendiri di hadapan
Pilatus, Ia sendiri menyatakan bahwa kedatangannya ke dunia untuk memberi
kesaksian tentang kebenaran (Yoh. 18:37). Hal ini mengajak umat Kristiani untuk
berani memberi kesaksian tentang kebenaran. Kristus juga telah menjadi saksi
kebenaran sampai Ia sendiri mati karena kebenaran. Ini adalah tindak
kemartiran. Kemartiran adalah kesaksian tertinggi dalam memberi kesaksian
tentang kebenaran iman.

Halaman 67
3. Kejujuran
Perintah Kedelapan mengajak kita menuju hidup jujur. Orang jujur menjunjung
kepentingan-kepentingan umat manusia dan memanfaatkan teknologi secara
positif demi masyarakat. Hidup-jujur menuntut dedikasi pada upaya mencari
kebenaran, menuntut ketetapan hati untuk berpegang pada kebenaran serta
mengamalkan dayanya yang membebaskan. Artinya, isi firman mengajak orang
untuk tidak menipu dan berbohong pada diri sendiri, sesama dan Allah. Kejujuran
terhadap diri sendiri merupakan dasar moralitas. Dalam realitas sehari-hari,
ketidakberanian orang untuk mengatakan kebenaran sering kali dikondisikan
oleh faktor-faktor keamanan. Orang yang vokal dalam menyuarakan kebenaran
dan keadilan biasanya tidak lama dalam jabatan atau tugas yang dipercayakan
kepadanya, ia menderita dikucilkan dan difitnah, dipecat dll.

4. Larangan untuk berdusta


Firman ini juga melarang orang untuk berdusta, artinya orang mengatakan yang
tidak benar dengan maksud untuk menyesatkan. Dusta berasal dari iblis: “Iblislah
bapamu, Ia tidak pernah memihak kebenaran, sebab tidak ada kebenaran
padanya. Kalau ia berdusta, itu sudah wajar karena sudah begitu sifatnya. Ia
pendusta dan asal segala dusta” (Yoh. 8:44). (Bdk. Kat. 2482). “Dusta adalah
pelanggaran paling langsung terhadap kebenaran. Berdusta berarti berbicara
atau berbuat melawan kebenaran untuk menyesatkan seseorang yang
mempunyai hak untuk mengetahui kebenaran” (Kat. 2483).
5. Larangan untuk memfitnah,
Fitnah adalah menyampaikan kesalahan dan pelanggaran seseorang kepada
orang lain yang tidak tahu menahu mengenai hal itu tanpa dasar yang obyektif
dan sah; membuat penilaian yang lancang, tanpa bukti yang memadai (Bdk. Kat.
2477) - membangun tata hidup bersama atas dasar kebenaran dan saling percaya.
“Manusia tidak dapat hidup bersama dalam suatu masyarakat kalau tidak saling
mempercayai,

9. Perintah IX: Jangan Ingin Berbuat Cabul


a. Makna Awal
Rumusan asli dari perintah ini berbunyi: “Jangan mengingini istri sesamamu”
(Ulangan 5:21a). Kata Ibrani yang merujuk pada perintah ini adalah kata hamad yang
artinya mengingini. Dalam konteks ini mengingini bukan sekedar mengingini dalam hati,
tetapi sudah mengacu pada tindakan mengambil apa yang diinginkan. Dengan demikian,
mengingini istri sesamamu berarti lebih dari sekedar rangsangan hati. Dalam perintah
kesembilan ini, larangan untuk mengingini istri sesama disertai oleh usaha untuk
mengambilnya untuk dijadikan miliknya. Yang dipertaruhkan dalam firman ini adalah
kelangsungan dan stabilitas keluarga orang lain yang dilakukan oleh pihak ketiga yang
berusama memisahkan istri dan ibu, menghancurkan keharmonisan keluarga orang lain.

Halaman 68
Dengan demikian, firman ini bermaksud menjaga keutuhan keluarga dan melindunginya
dari nafsu tak terkendali pihak ketiga.

b. Perkembangan Makna
1. Menjaga kemurnian hati
Kalau perintah ke-6 lebih mnegacu pada tindakan lahiriah, sedangkan perintah
ke-9 lebih ke sikap hati yang tidak murni, yang mencanangkan kejahatan
mengambil istri orang. Mengapa kemurnian ini mendapat penekanan? Sebab pada
hakikatnya segala dosa dan kejahatan berawal dari sikap hati yang tidak murni
dan bersih. Yesus sendiri dalam kotbah di bukit menekankan sikap hati/disposisi
batin yang baik. ”Barang siapa memandang seorang wanita dengan nafsu birahi
birahi, dia sudah berzinah dengan wanita itu dalam hatinya” (Mat. 5:28). Zinah
bukan hanya persoalan tindakan lahiriah, tetapi sikap hati yang melanggar
kemurniannya. Hati adalah tempat munculnya kebaikan dan kejahatan: “Dari hati
timbul segala pikiran jahat, perjinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu,
hujat” (Mat. 15:19). Hati murni menyanggupkan orang memandang Allah. Karena
itu, Yesus menghendaki supaya kita berhati murni. Orang dengan hati murni
berpandangan pasti dan tegas tentang kasih, yang mendekatkan mereka kepada
Allah. Kasihlah yang memandang; kasih menyingkapkan Kasih (ilahi). Itu
sebabnya Kitab Suci menegaskan, bahwa kemurnia kasih terletak dalam lubuk
hati.
2. Keinginan daging, keinginan mata, dan kesombongan dunia
Berkaitan dengan soal keinginan, St. Yohanes membedakan tiga macam hawa
nafsu atau keinginan: keinginan daging, keinginan mata dan kesombongan dunia.
Perintah kesembilan ini mengacu pada keinginan daging. Rasul Paulus
menggunakan kata keinginan pada pemberontakan daging melawan Roh (Gal.
5:16-17:24). Setiap orang diajak untuk menjaga kemurnian hati, mengendalikan
keinginan dagingnya dan membiarkan diri diarahkan oleh Roh Allah (Gal. 5:25).
Untuk mencapai kemurnian hati, orang dituntut ungtuk mengendalikan dirinya,
tidak hidup dikuasai dan diperbudak oleh nafsu, tetapi diarahkan oleh akal budi
dan disinari oleh Roh Allah sendiri. Orang yang telah dibebaskan dari perhambaan
dosa harus selalu berjuang demi kemurnian. Dengan bantuan rahmat Allah orang
mampu hidup baik (Bdk. Katekismus 2520).

10. Perintah X: Jangan Mengingini Milik Sesamamu


a. Maksud Awal
Redaksional perintah X memiliki perbedaan naskah. Kitab Keluaran merumuskan,
“Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini istrinya, atau hambanya laki-
laki atau perempuan, atau lembunya atau keledainya atau apa pun yang dimiliki
sesamamu” (Kel. 20:17). Sedangkan versi Kitab Ulangan berbunyi: “Janganlah mengingini
istri sesamamu, dan jangan menghasratkan rumahnya atau ladangnya, atau hambanya
laki-laki, atau hambanya perempuan atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai
sesamamu” (Ul. 5:21). Dari kedua versi teks ini dapat kita lihat suatu perbedaan susunan.

Halaman 69
Dalam teks keluaran istri diletakan setelah rumah sedangkan dalam teks Ulangan,
sebaliknya istri ditempatkan pertama. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran
pemahaman bahwa dalam teks keluaran istri disejajarkan dengan barang milik,
sedangkan dalam teks ulangan istri ditempatkan diatas barang milik, sebagai pribadi.
Dalam perintah kesepuluh ini yang mau ditekankan adalah perlindungan harta milik
dalam hal ini rumah dan tanah pusaka dari tindakan penyerobotan pihak lain. Dengan
kata mengingini tidak semata-mata keinginan biasa tetapi keinginan yang sudah
mengarah pada tindakan mengambil punya orang lain secara tidak adil (bdk. Ul. 7:25).
Yang dilarang adalah mengingini sesuatu yang bukan hak dan miliknya.

b. Perkembangan makna
1. Berpihak pada yang “miskin”
Selanjutnya firman jangan mengingini milik sesama diperluas jangkauannya pada
perlindungan hidup orang miskin dari tindakan sewenang-wenang:
penyerobotan, menyangkut larangan untuk meminjamkan uang dengan riba, dan
hal-hal yang perlu untuk hidup tidak boleh diambil sebagai gadaian (Ul. 24:6, 12-
13, 17-18). Firman “jangan mengingini milik sesamamu” memiliki relevansi
sangat kuat kalau kita kaitkan dengan tindakan penyerobotan dan penggusuran
yang dilakuan oleh para penguasa dan orang kaya. Sawah dan ladang digusur jadi
perumahan, kawasan perdagangan dan industri. Semuanya karena keserakahan
dan kerakusan segelintir orang.
2. Keserakahan
Perintah ini melarang keserakahan dan keinginan tanpa batas akan barang-
barang duniawi, sikap rakus dan nafsu uang. Pada prinsipnya menginginkan itu
sendiri tidaklah jahat, sejauh orang hendak mendapatkannya dengan cara-cara
yang benar dan adil, tetapi menjadi buruk kalau keinginanan akan barang-barang
tersebut dipenuhi dengan melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum
moral dan prinsip keadilan. Bentuk sederhana dari keserakahan adalah
ketamakan atas hal-hal material, uang dan atas hal-hal yang dapat dibeli dengan
uang. Kitab suci mengatakan bahwa nafsu uang adalah akar dari segala kejahatan:
“Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah
beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan
berbagai duka” (1 Tim. 6:10).
3. Jauhilah rasa iri
Perintah ini jmengajak orang untuk menjauhkan rasa iri dari hati manusia. Rasa
iri muncul pada saat melihat orang lain memiliki sesuatu lalu dalam hatinya ingin
memiliki barang tersebut, dan untuk memperoleh barang tersebut ia menempuh
cara apapun termasuk yang dilarang hukum. Rasa iri menghantar orang pada
tindakan-tindakan terjahat yang akhirnya membawa pada kematian (lihat
Yakobus 4:1-2).

Halaman 70
4. Memberi itu membahagiakan
Inti perintah Kesepuluh adalah semangat kedermawanan, dan mengalihkan daya
manusia dari ketamakan. Perintah Kesepuluh mengajak orang untuk menemukan,
bahwa memberi itu membahagiakan dan bahwa dengan memberi kita menerima.
Sikap murah hati membuat penderma sekurang-kurangnya sama bahagia seperti
si penerima (bdk. Mrk 12:41-44). Dalam seluruh Perjanjian baru, tokoh teladan
sikap murah hati yang paling dipuji adalah janda dengan persembahan uang receh
ini. Ia berkurban, yakni memberi begitu banyak – menurut keadaannya – sampai
ia sendiri berkekurangan. Pemberian tidak selalu berupa uang. Memberikan
waktu, perhatian, tenaga dapat merupakan pengurbanan. Umumnya orang
memberi dengan mengharap balasan entah penghargaan atau penghiburan;
sedangkan orang yang berkurban tidak mencari balasan seperti itu. Semangat
memberi (berbagi) mencerminkan semangat positif perintah kesepuluh, yang
menjauhkan orang dari sikap tamak dan loba, sehingga dapat bersikap murah hati.
5. Sikap murah hati Kristus dan para pengikutNya
Yesus meneladankan sikap murah hati sebagai ciri khas pelayananNya. Ia datang
untuk membawa kabar gembira kepada orang miskin, untuk memberitakan
pembebasan kepada para tawanan, penglihatan kepada orang buta, pembebasan
kepada orang tertindas, dan bahwa tahun rahmat Tuhan telah tiba (lih. Lukas 4,
18-19). Jesus menyamakan dirinya dengan orang miskin dan tak berdaya. Sabda-
Nya: “Apa pun yang kamu untuk salah seorang yang paling hina ini, kamu perbuat
untukku. Jika kamu mengabaikannya, kamu mengabaikan Aku.’’ (lih. Matius
25:31-46) Keselamatan bergantung pada penyerahan diri sepenuhnya kepada
Allah. Menurut Yesus, Allah menghendaki bahwa pemuda kaya menjual segala
yang ia miliki, memberikannya kepada orang-orang miskin, lalu mengikuti Yesus.
Ia menantang dengan pengurbanan, yakni mengikuti-Nya bahkan sampai kepada
salib. Pribadi Jesus – amanat dan teladanNya – adalah norma moralitas Kristiani.

Dekalog dalam Perjanjian Baru


Sejak masa reformasi di abad ke-16 dekalog memainkan peran penting dalam
pembinaan akhlak orang Kristen. Hal tersebut mengherankan kerena di masa itu para
teolog biasanya menguraikan moral kristen menurut keutamaan-keutamaan pokok:
keadilan dan kebijaksanaan, ketabahan dan ugahari; kerta keutamaan-keutamaan ilahi
yaitu iman, harapan dan kasih. Dalam Perjanjian Baru, dekalog tak pernah dikutip secara
lengkap. Paulus dalam Roma 13:9 mengutip “jangan berzinah – jangan membunuh –
jangan mencuri – jangan mengingini” sebagai bukti bahwa cinta kepada sesama
merupakan pemenuhan Taurat. Menurut injil sinoptik (Mat 19:16-22; Mrk 10:17-22; Luk
18:18-23), Yesus menyebut kepada pemuda kaya sebagian dari delakog “jangan
membunuh – jangan berzinah – jangan mencuri – jangan bersaksi dusta – hormatilah
ayahmu dan ibumu.” Dan kemudian Yesus melampaui segala kaidah itu dengan tuntutan:
“juallah segala sesuatu dan ikutilah Aku!” Demikian pula menurut Matius (5:20-48),
Yesus melawankan rumus-rumus dekalog dengan sabda-Nya sendiri: “Kamu telah

Halaman 71
mendengarkan yang difirmankan kepada nenek moyang kita: jangan membunuh….tetapi
aku berkata kepadamu…!” Kelima atau keenam kalimat yang mengungkapkan
perlawanan ini dikenal sebagai antithesis dari kotbah di bukit. Menurut pandangan
Perjanjian Baru, Yesus memperdalam kesepuluh firman sehingga menjadi lebih radikal.
Dalam hal manakah? Kelebihan diuraikan dalam lima kalimat (ditambah dengan satu
wejangan tentang perceraian 5:31-32) yang mempertentangkan kaidah dasariah hidup
bersama umat Perjanjian Lama dengan sabda Yesus. Manakah tuntutan-tuntutan Yesus
itu?
1) Ayat 5:21-22: Hormat terhadap martabat manusia harus utuh
2) Mat 5: 27-28: Firman mengenai larangan berbuat berzinah (untuk menjamin
keturunan murni dari warisan yang sah! Bdk Kel 20:14) telah menjadi kaidah
untuk menghormati keluarga dan perkawinan perlu dilaksanakan mulai dari
dalam batin.
3) Mat 5:33-34, 37: larangan untuk sumpah palsu, demi hormat kepada Allah yang
menjamin kebenaran. Yesus mendorong sikap dan kemauan positif, yaitu cinta
akan kebenaran. Dan cinta kebenaran yang polos mengungkapkan diri juga dalam
kata-kata yang polos.
4) Mat 5:38-39: dasar dari segala keadilan, yaitu pembalasan yang setimpal. Namun
menurut Yesus, keadilan tidak ditegakkan dengan membalas yang jahat dengan
yang jahat, baik dengan baik. Keadilan tidak ditegakkan dengan pembalasan
melainkan dengan usaha: kalahkan yang jahat dengan berbuat baik (Rm 12:17-
21). Keadilan tidak sama dengan poembalasan yang setimpal; keadilan berarti
meningkatkan kualitas hidup.
5) Mat 5:43-44: kalimat kelima ini merupakan tanggapan atas prinsip solidaritas dan
kebangsaan: “yang tidak bersama kita melawan kita.” Menurut Yesus, solidaritas
antarmanusia tidak merupakan titik tolak bagi hidup bersama melainkan sebagai
tujuan hidup bersama.

Antithesis kotbah di bukit bukan mempersoalkan moral pribadi melainkan nilai-


nilai yang menjadi dasar hidup bersama. Mengakui nilai-nilai dasar bagi hidup bersama
berarti: menginginkannya – mengusahakannya – bukan supaya nanti semuanya teratur
dan beres, melainkan agar benar-benar tercipta yang perlu untuk hidup kita: hormat
terhadap martabat dan kesucian pribadi manusia dan kejujuran dalam pergaulan satu
sama lain. Keterlibatan yang nyata harus menjadi “sepenuh hati”. Dengan keterlibatan
terciptalah solidaritas. Demikianlah orang Kristen hidup dari kepenuhan Allah. Sebab
“haruslah kamu sempurna seperti Bapamu yang di surga sempurna adanya” (Mat 5:48).
Kesempurnaan Allah tidak bias diraih oleh manusia, namun manusia dapat hidup dalam
kesempurnaan Allah yang telah dikaruniakan kepadanya. Dengan demikian setiap orang
Kristen adalah anak-anak Bapa yang di surga (Mat 5:45).

Halaman 72
E. Yesus dan Dekalog
Berkaitan dengan dekalog Yesus melihat bahwa hukum perjanjian lama, Taurat
Musa tetap berguna bahkan Ia sendiri mengatakan bahwa Aku datang bukan untuk
menghapus Taurat tetapi untuk menggenapinya. Dalam pembicaraannya dengan
pemuda kaya yang menanyakan syarat-syarat untuk memperoleh hidup yang kekal,
Yesus pertama-tama mengacu pada perintah dekalog, walaupun tidak menyebutkannya
secara komplit. Akan tetapi, Yesus tidak berhenti hanya pada pelaksanaan perintah
dekalog, tetapi menuntut lebih yakni melepaskan keterikatan pada milik, menjual apa
yang dimiliki, memberikannya kepada orang miskin lalu datang mengikuti-Nya. Pemuda
kaya diundang untuk mengikuti Yesus yang merupakan pemenuhan hukum Allah itu
sendiri. Oleh karenanya, berkaitan dengan pelaksanaan hukum, Yesus menghindari sikap
legalistis seperti kaum Farisi dan ahli taurat.
Bagi Yesus yang penting bukanlah penampilan lahiriah, namun sikap batin seseorang.
Dalam konteks inilah, Yesus memberikan sikapnya terhadap dekalog dan hukum taurat
pada umumya, Yesus dengan autoritas sendiri menuntut bukan hanya pelaksanaan
hukum secara harafiah, dan perbuatan-perbuatan yang nampak, namun menuntut sikap
batin seseorang yang merupakan dasar setiap perbuatan, sehingga berkaitan dengan soal
bersih tidak bersih, halal-haram, Yesus mengatakan bahwa bukan apa yang masuk
kedalam perut manusia yang menajiskan orang, tetapi justru apa yang keluar dari hati
manusia itulah yang jahat.
Orang dituntut untuk mengontrol dan menjaga hati, pikiran serta keinginannya.
Inilah yang tidak mudah. Kemurnian hati itulah yang dituntut (bdk. Mrk. 2:27). Dalam
sikap hidup-Nya, Yesus juga menampilkan sikap bersahabat dengan para pendosa,
dengan mereka yang tidak dianggap bersih berdasarkan hukum lama. Dari sini kita dapat
melihat bahwa bagi Yesus yang lebih penting adalah nilai hidup manusia, bukannya
ketaatan buta pada hukum. Yesus menjadi manusia bebas dan pembebas, karena untuk
itulah Ia diutus, menghadirkan wajah Allah yang baik hati dan berbelas kasih. Ia diutus
untuk melaksanakan kehendak Allah, yakni mencintai Allah dan sesama. Dalam kerangka
inilah Yesus merangkum hukum Taurat dan Kitab para nabi dalam satu perintah kasih,
yakni kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Cinta kepada Allah dikonkritkan
dalam mentaati perintah-perintah-Nya. (bdk. 1 Yoh. 2:5).

Halaman 73
Daftar Pustaka:
1. McBride. Amanat Kasih dari Gunung Sinai, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1996.
2. Dr. Bernhard Kieser, SJ. Moral Sosial: keterlibatan Umat dalam Hidup Bermasyarakat,
Yogyakarta: Kanisius, 1987.
3. Dr. Laurentius Tarpin. Pengantar Moral Hukum Allah, UNPAR: Bandung.
4. Thomas Wadson. The Ten Commandments, First published as part at A Body of
Practical Divinity, 1692 (http://www.biblesnet.com).
5. Konferensi Waligereja Indonesia. Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi,
Yoyakarta dan Jakarta: Kanisius dan Obor, 1996.
6. Diktat Agama Katolik, UNPAR: Bandung, 2017.
7. Katekismus Gereja Katolik

Halaman 74
DIALOG: SIKAP GEREJA TERHADAP PLURALITAS
(Yusuf Siswantara., S.S., M.Hum.)

A. Identitas dan Panggilan Gereja:


Sehubungan dengan pandangan Gereja terhadap agama-agama lain, terlebih dahulu,
kita menyadari dua hal tentang Gereja: 1) bahwa pandangan Gereja sedikit banyak
tergantung pada pemahaman diri Gereja sendiri. 2) Identitas Gereja inilah yang akan
mempengaruhi sikap Gereja selama perjalanan hidupnya. Artinya, identitas Gereja
mempengaruhi pilihan-pilihan sikap dan keputusan sehingga memberi warna
perjalanan sejarahnya. Untuk itu, sebelum membahasan pandangan Gereja terhadap
situasi di luar dirinya (agama dan dunia), kita pahami identitas dan tugas Gereja,
terutama dalam pemahaman dirinya sendiri.
B. Gereja menyadari jati diri sebagai Murid Yesus Kristus
Merumusan jati diri Gereja dengan segala aspeknya membawa Gereja pada pertanyaan:
siapa Gereja? Kitab suci menarasikan pendirian jemaat dalam Matius 16: 18, “Aku pun berkata
kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini aku akan mendirikan jemaat-Ku
dana lam mau tidak akan menguasainya.” Di sana, Yesus juga ‘menunjuk’ Kefas (Petrus)
sebagai pemimpin dari jemaat tersebut. Atas diri jemaat yang baru didirikan-Nya, Yesus pun
memberikan tanggung-jawab dan kuasa yang sangat besar. “Kepadamu akan Kuberikan kunci
Kerajaan Sorga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di sorga, dana pa yang kau lepaskan
di dunia ini akan terlepas di sorga (Mat 16: 19).
Pemahaman tentang Gereja bisa bermacam-macam. Avery Dulles menyebutkan37 Gereja
bisa dipahami sebagai institusi, komunitas, sakramen, pelayan, ataupun pemuridan. Dari
semuanya, identitas Gereja berhubungan dengan identitas dan misi sang Guru. Jika Yesus
adalah putra Allah demi pewartaan Kerajaan Allah, maka demikanlah kiranya Gereja. Gereja
adalah murid Yesus demi pewartaan Kerajaan Allah dengan ‘baptislah dalam nama Bapa,
Putra dan Roh Kudus’! Saat Gereja sudah selesai dan tidak berkutat dengan dirinya sendiri,
gajah bertemu dengan bangsa-bangsa dan budaya lain. Terjadilah dikotomi: dalam gereja dan
luar gereja, dimana hanya dalam Gereja ada keselamatan dan diluar gereja (institusi) tidak ada
keselamatan.
C. Gereja menyadari tugas diri sebagai pewaris misi Yesus Kristus
Gereja menyadari dirinya sebagai murid Yesus Kristus yang mengemban tugas
kemuridan di atas pundak Gereja: “wartakanlah ke seluruh dunia kabar suka cita,
baptislah dalam nama bapa dan putra dan roh kudus…!” (Mat 28: 19). Pewartaan dan
pembaptisan, inilah intinya. Persoalannya adalah apa yang harus diwartakan? Apa
konsekuensi pembaptisan?

37
Every Dulles, Model-model Gereja, Nusa Dua, 1990

Halaman 75
1. Pewartaan berarti menyampaikan kabar sukacita bahwa Kerajaan Allah sudah dekat
seperti apa yang di wartakan dilengkapi atau digenapi oleh Yesus Kristus. Hal tersebut
telah digambarkan dalam apa yang dikatakan oleh Yesus: 'orang buta melihat orang
lumpuh berjalan’ (Lukas 7: 22). Pewartaan inilah yang disampaikan dan harus
dilaksanakan oleh murid Yesus. Maksud dari Murid Yesus adalah 1) para rasul (dalam
lapis pertama) dan 2 Gereja (lapis keduanya). Para murid (baik Para Rasul dan seluruh
jemaat awal, ataupun Para hierarki beserta seluruh umat beriman) hendaknya
melaksanakannya.

2. Pembaptisan merupakan pintu gerbang masuknya seseorang menjadi pengikut


Kristus. Baptis berarti menerima Kristus Yesus. Dalam konteks Gereja, Baptis berarti
bersatunya seseorang menjadi anggota jemaat Allah.
Dengan demikian, pewartaan dan pembaptisan berarti pemakluman dan
pemberitaan Kehadiran Allah ke dunia dalam diri Yesus. Terhadap kehadiran Allah
(dalam diri Yesus) tersebut, umat manusia hendaknya menanggapi dengan
mengatakan ‘Ya’ dan menerima Yesus sebagai Allah yang hadir dan Sang Penyelamat.
Caranya, adalah ‘dengan menyerahkan dirinya untuk dibaptis sebagai murid Yesus dan
anggota jemaat Allah’.
Jelaslah bahwa akhir dari pewartaan adalah pembaptisan (yang merupakan awal dan
pintu masuk ke dalam Kerajaan Allah, dimana Yesus, sang Raja, memerintah dan
berkuasa selamanya). Inilah tugas perutusan Gereja sebagai murid Yesus, yaitu
pewartaan menuju pembaptisan.

D. Dua Pergulatan Identitas Gereja:


Gereja adalah murid Kristus Yesus yang mempunyai tugas perutusan dari Sang
Guru. Terhadap identitas dan perutusan ini, Gereja bergumul dalam perjalanan
sejarahnya. Dalam konteks ini, kita menemukan bahwa Gereja menghadapi dua
pergumulan identitas dan perutusan, yaitu: 1) masalah internal dan 2) masalah
eksternal.
1. Masalah internal Gereja: “Hanya pembaptisan dalam Gereja Katolik
membawa keselamatan. Dan, baptisan di luar Gereja Katolik, tidak ada
keselamatan”
Extra Ecclesiam Nulla Salus bersifat apologetis, yaitu berkaitan dengan
pembelaan kebenaran iman melawan kesesatan dalam gereja itu sendiri
(melawan kaum heretic dan skismatik), bukan ekslusif. Heretic adalah bidaah
atau ajaran sesat, yaitu penyangkalan atau meragukan dengan tegas suatu
kebenaran yang sebenarnya harus diimani dengan sikap iman ilahi dan katolik,
setelah penerimaan sakramen baptis (Kitab Hukum Kanonik (KHK), Kan 751).
Skisma adalah menolak ketaklukan kepada Paus atau persekutuan dengan
anggota Gereja yang takluk kepadanya (KHK, Kan 751).

Halaman 76
St. Cyprianus (abad 3). Dengan ungkapan itu, Cyprianus sesungguhnya hendak
mengatakan perihal baptisan yang diberikan oleh para bidaah (yang memisahkan
diri dari Gereja yang benar). Ia menegaskan bahwa baptisan para bidaah itu sesat
dan tidak membawa kepada keselamatan. Hanya pembaptisan dalam gereja Katolik
yang membawa keselamatan. Di luar Gereja (katolik), tidak ada keselamatan!
Pada waktu itu, yang dimaksud “Di Luar Gereja Katolik” bukan agama-agama
lain (atau semacam Gereja Kristen yang lain). “Di Luar Gereja Katolik” berarti
“selain apa yang diajarkan oleh iman katolik yang benar. Istilah tersebut tidaklah
berarti “intitusi lain di Luar Gereja”. Hal ini bias dipahami jika mengingat konteks
awal Gereja, yaitu banyaknya ajaran di internal institusi Gereja. Para rasul sibuk
mengurusi masalah internal. Misalnya adalah ‘ijin yang benar adalah injil
sebagaimana yang diwartakannya’.
Pemahaman ini juga diungkapkan oleh para Bapa Gereja lainnya, seperti
Ireneus, Clemens dari Alexandria, dan Origenes bertolak dari pemikiran bahwa
Gereja merupakan “Bahtera Nuh yang menyelamatkan para penghuni di
dalamnya”. Memisahkan atau keluar dari bahtera Nuh berarti menjauh atau
meninggalkan keselamtan (hal ini tidak berarti bergabung dengan agama lain).
“memisahkan diri” bukan lantas bergabung dengan agama lain di luar Gereja
Katolik. Memisahkan diri dari “Bahtera Nuh” berarti memeluk ajaran lain dari
ajaran resmi Gereja Katolik. Santo Agustinus juga mengatakan yang serupa bahwa
di luar Gereja Katolik ada apa saja, kecuali keselamatan. Jadi, institusi Gereja
katolik pada waktu ini tidak sedang bersaing dengan institusi agama lain. Tetapi,
dalam Gereja Katolik, ajaran resmi Gereja berhadapan dengan ajaran-ajaran lain
yang dianggap tidak benar oleh Gereja.
Walter Kasper ingin melihat sejarah secara adil. Ia menyimak maksud asli
ungkapan Extra Ecclesiam Nulla Salus tidakkah pertama-tama bersifat eksklusif.
Ungkapan itu sesungguhnya hanyalah pagar bagi kesatuan dan persatuan umat
kristen yang pada masa itu umat memprihatinkan. Ungkapan itu dimaksudkan
untuk 1) di satu pihak mencegah keluarnya umat kristen dari ajaran yang benar,
dan 2)di lain pihak ingin, meyakinkankesesatan pandangan-pandangan para
bidaah dan kaum gnosis (semacam penganut sinkretisme).
Harus diakui Fulgentius (yang adalah Uskup Rospe, Afrika Utara dan murid
setia Santo Agustinus) merupakan penentang gigih aliran Arianisme.38 Arianisme
adalah kesesatan iman yang memandang bahwa Yesus Kristus hanya memilki satu
kodrat kemanusiaan. Sementara itu, Gereja Katolik memiliki keyakinan teguh,
sebagaimana menjadi Tradisi dan kesaksian dari injil, bahwa kristus adalah
sungguh-sungguh Allah.

38
Pencetusnya bernama Arius. Dia adalah seorang pastor dan teolog yang dipandang suci
oleh para pengikutnya

Halaman 77
Konsili Florence (1442) menyebut untuk pertama kalinya ungkapan Extra
Ecclesiam Nulla Salus dalam dokumennya yang ditujukan untuk orang-orang kafir
(sesat) yang dipandang tidak terbilang dalam ekonomi keselamatan. Jadi,
ungkapan itu tidak dimaksudkan untuk orang-orang yang beragama lain atau
berkebudayaan lain, melainkan orang kafir atau secara khusus orang-orang yang
sesat dalam beriman Kristen! Ungkapan itu lebih bersifat apologetis, dan bukan
menegasi agama atau kepercayaan lain selain kristen.

2. Masalah Eksternal: Di dalam Gereja Katolik, ada keselamatan. Di luar Gereja


Katolik, tidak ada keselamatan.
Makna internal yang menjadi eksternal terjadi saat Eropa berjumpa dengan
budaya (agama) lain di luar Eropa. Makna “Di luar Gereja Katolik tidak ada
keselamatan” menjadi “Di luar institusi Gereja atau agama Kristen (khususnya,
Katolik) tidak ada keselamatan”. Salah paham ini berlangsung berabad-abad
hingga Konsili Vatikan II. Sikap eksklusif seakan menenggelamkan semangat
Gereja untuk dialogal. Ekslusif memaksudkan penyingkiran, pengusiran nilai-nilai
kebenaran lain
Pemahaman bahwa Orang-orang yang tidak percaya kepada Kristus tidak
masuk dalam keselamatan, makin mengusik para misionaris untuk pergi,
menebarkan jala, dan menyelamatkan jiwa-jiwa. Semangat misionaris ini
mengakibatkan keterkungkungan pada ekklusivisme radikal, yakni
memenangkan jiwa-jiwa yang dipandang celaka karena tidak mengenal Kristus.
Pada tahun 1455, Paus Nikolaus memberikan mandat kepada raja-raja Kristen
untuk menguasai dan sekaligus mengkristenkan benua-benua baru. Hal itu
disebabkan (terkhusus) oleh pandangan bahwa Gereja merasa terpanggil untuk
membawa orang-orang kafir masuk dalam bilangan Kerajaan Allah.

E. PANDANGAN DAN KESADARAN BARU


Pandangan eksklusif Gereja menantang seluruh umat untuk berpikir ulang
tentang imannya. Pandangan ini digeser supaya sikap inklusif (keterbukaan terhadap
‘yang lain’) bisa tumbuh subur. Tujuannya adalah ‘dialog dengan agama-agama,
terkhusus Islam dan Yahudi (agama monoteisme). Mereka yang memikirkan dan
menyumbangkan pemikirannya tentang teosentris ini, antara lain, adalah Paul Tillich,
John Hick (1973), dan Wilfred Cantwell Smith (1972, Stanley J. Samartha (1990).

Halaman 78
1. Roh Allah tidak dimonopoli dalam suatu agama (Paul Johannes Tillich)
Paul Johannes Tillich39 mengatakan ubiquitas Roh Allah. Artinya, “tindakan Allah
melalui Roh-Nya tak mungkin dimonopoli dalam suatu agama”.40 Agama (bahkan
Kristen) tidak cukup mampu ‘mengurung’ Roh Allah. Agama tidak bisa memenjarakan
karya Roh Kudus. Roh Allah melampaui batas-batas atau sekat keagamaan. Pada titik
ekstrim, Allah tidak harus berkarya di dalam ‘agama’. Ia bisa berkarya dimana ia
kehendaki.
Untuk itu, selain terminologi ‘agama’, Tillich juga mengemukakan terminologi:
quasi agama. Quasi agama adalah ‘sesuatu yang mempunyai identitas yang mirip
dengan agama. Misalnya adalah ideologi, kepercayaan tradisional, aneka tradisi
religius yang lain. Dalam sarana seperti ini, melalui Roh-Nya, Allah tetap mampu
berkarya. Transendensi Allah melingkupi dan mengatasi segala-galanya. Dengan
gagasan ubiquitas, eksklusivisme dapat mencair dan agama-agama lain (dan quasi
agama) bisa dirangkul.
2. Roh Allah berkarya di dalam semua agama (dimanapun, Roh Kudus berkarya)
(Stanley J. Samartha)
Stanley J. Samartha menyatakan bahwa keselamatan tidak bisa dipahami dalam
konteks iman Kristen saja. Umat Kristen harus dapat menemukan kembali api Roh
Kudus. Umat Kristen perlu menyadari dan mengakui bahwa Roh Kudus berkarya di
mana-mana. Banyak perbuatan baik dan penuh cinta memuliakan martabat pribadi
manusia. Hal ini disadari sebagai gerak karya Roh Kudus yang berlangsung dimana
saja tanpa terkungkung dalam suatu agama tertentu.
Pandangan teosentris memusatkan perhatian kepada Allah yang berkarya dalam
Roh Kudus. Harapannya adalah bahwa pandangan teosentris ini dapat membebaskan
agama Kristen dari kungkungan eklusivisme.
3. Roh Allah berkarya dalam ‘Gereja Anonim’ (Karl Rahner)
Karl Rahner mengungkapkan istilah penting: Gereja Anonim. Artinya, pemeluk
agama apapun merupakan sebuah ‘gereja’ karena mereka masuk dalam kawasan
Kristen. Hanya saja, karena mereka tidak tahu, mereka tidak atau belum menyadari
“kekristenannya”. Karena berada dalam ‘ketidak-tahuan’, maka mereka disebut
anonim.41
Karl Rahner tetap berpusat pada Kristus. Menurut Rahner orang-orang baik dan
saleh darin kelompok keyakinan yang lain, walau tanpa mereka ketahui, juga dapat

39
Paul Johannes Tillich (1886-1965) seorang teolog Protestan Jerman-Amerika
40
Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM, Dialog Interreligius, Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah,
Kanisius, Yogyakarta 2010, P. 273
41
Pandangan Karl Rahner sangat menentukan posisi teologis Gereja Katolik Roma dalam
mendefinisikan Keselamatan Allah dann hubungannya dengan agama-agama Keselamatan Allah
dan hubungannyadengan agama-agama lain di luar Gereja Katolik., seperti tampak dalam tiga
dokumen Penting Konsili Vatikan II.

Halaman 79
dianggap sebagai orang-orang Kristen Anonim. Sebagai ‘kristen anonim’, pemeluk
agama non-Kristen juga masuk ke dalam karya keselamatan Kristus. Pandangan
Rahner sangat mempengaruhi Dokumen Konsili Batikan II hal ini tampak dalam
dokumen Lumen Gentiun (14-16), Nostra Aetate (1) dan Ad Gentes (7).
Ketiga tokoh menyajikan model refleksi iman yang berusaha keluar dari
eksklusivisme dan masuk ke dalam inklusivisme. Tujuannya, Gereja bisa merangkul
dan bisa dirangkul oleh agama-agama lain.

F. PANDANGAN-PANDANGAN GEREJA KATOLIK


1. Terhadap Perkembangan Dunia
Paradigma dasar. Gereja melihat bahwa dunia dan situasinya adalah ‘dunia
dimana Gereja berada’. Maka, sikap Gereja adalah ‘merasakan, solider, empati
dengan pengalaman manusia’.
GS 1 menegaskan sikap Gereja terhadap dunia dalam ungkapan pertamanya:
“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan, … terutama yang miskin dan
terlantar, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid
Kristus.”42
Sementara itu AG 1 (Ad Gentes artikel 1) menjelaskan tentang sikap dan semangat
keterbukaan Gerja, serta pandangan positifnya terhadap agama-agama lain dalam
setiap daerah. Sejalan dengan hal ini, misionaris dianjurkan untuk menghomrati
cara hidup dan kebudayaan setempat dengan hidup bersama dengan masyarakat.
Dalam hal karya pewartaan iman Kristen, Gereja menghormati pemeluk agama
lain dangan melarang keras untuk melakukan pemaksaan dan penggunaan siasat
negatif demi masukkan seorang calon anggota. Kebijakan ini diturunkan atau
dikonkritkan dengan sikap kehati-hatian gereja terhadap pertobatan seorang
calon. Dengan teliti, Gereja menyelidiki dan mempelajari alasan pertobatan dan
melakukan penjernihan motiviasi ‘masuknya seseorang menjadi anggota Gereja
(AG 13). Untuk itu, selain kepentingan pewartaan iman, Gereja mendorong
kerjasama dalam berbagai hal atau sector kehidupan; misalnya melalui
perwakilan dan kerjasama kelompok (AG 35-41).

2. Terhadap Atheisme
Ateisme. Terhadap kaum Ateis, walaupun mereka menolak teisme secara mutlak
(modern ataupun sistematik),43 Gereja tetap mengakui dengan ikhlas bahwa
semua manusia yang beriman dan kaum ateis harus memberikan sumbangsihnya

42
GS 1
43
GS 19

Halaman 80
untuk membangun dunia ini dimana mereka hidup bersama. Hal ini pasti tidak
dapat terjadi tanpa dialog yang jujur dan bijaksana.44
Gereja mengajak kaum ateis untuk menjalin dialog dan kerja-sama karena Gereja
merangkul semua manusia, tidak terkecuali.45 Gereja pun mengundang para ateis
untuk mempertimbangkan Injil Kristus secara manusiawi dan hati terbuka.46
Adapaun, dasar rangkulan Gereja adalah sebagai berikut: a) Karya Roh Kudus
tidak mungkin dikurung dalam batas-batas umat yang berhimpun di dalam
Kristus sebagai kepalanya. Roh Kudus bergerak dan hidp dalam diri setiap rang
yang dikehendaki-Nya. Roh Kudus melingkupi dunia.47 b) Roh Kudus berkarya
dalam hati manusia bukan hanya membangkitkan hasrat akan masa depan tetapi
juga kehidupan yang lebih manusiawi.48 c) Roh Kudus memberikan kesadaran
baru dan segar (GS 41).
Dialog. Terhadap kaum atheis, Gereja berniat untuk mengadakan dialog dan
kerjasama. Dialog ini bersifat ‘tanpa syarat’; artinya, tidak peduli menentang atau
menerima ajakan Gereja tersebut.49

3. Terhadap Agama Kristen non-Katolik50


Hubungan Gereja Katolik dengan umat Kristen bukan Katolik ditampilkan dalam
persatuan oleh Roh Kudus di dalam Kristus.51 Konsili Vat II menekankan bahwa
hubungan dengan umat Kristen (non-Katolik) terjadi dalam konteks persatuan dan
rekonsiliasi; jadi, soal ‘sikap’, bukan ‘isi iman’. Maka, ‘isi iman’ bisa berbeda, tetapi
Gereja Katolik merangkul, mengajak bicara dan menggalang kerjasama.52
Identitas Gereja Katolik adalah pelaksanaan sakramen keselamatan Kristus, dalam
pewartaan sabda, perayaan Ekaristik kudus, dan semua persekutuan-persatuan
umat dalam Kristus. Gereja Katolik menyadari bahwa Gereja (Kristus) tidak sama
dengan Gereja Katolik; Gereja Kristus jauh lebih luas. Maka, sikap merangkul dan
kerjasama berusaha menghadirkan ‘realitas Gerejani’.53 Tetapi, Gereja Katolik juga
tidak sama dengan ‘persekutuan Gerejani’.

44
Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM, Dialog Interreligius, (Kanisius: Yogyakarta, 2010), 105-6
45
GS 21
46
Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM, Dialog Interreligius, (Kanisius: Yogyakarta, 2010), 106
47
GS 11
48
GS 38
49
Lih Dokumen Humanae Personae Dignitatem (28 Agustus 1968)
50
Sumber utama: Unitatis Redintegratio
51
Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM, Dialog Interreligius, (Kanisius: Yogyakarta, 2010), 101.
52
LC no. 15 tidak menyinggung penyebab pemisahan, atau istilah bidaah atau heretic. Konsili
menggunakan istilah ‘Gereja’ dan ‘persekutuan Gerejani’.
53
LC no. 8.

Halaman 81
4. Terhadap Agama non-Kristen: Hindu-Budha-Yahudi-Islam54
Untuk memahami pandangan gereja terhadap non-gereja, kita satukan pandangan
tentang pandangan dasar Gereja.
Pertama, Gereja dan Dunia. Dalam NA. art. 1, Gereja Katolik menyadari bahwa
dirinya adalah warga dunia yang hidup di dalam dunia. Gereja melihat banyaknya
permasalahan dan persoalan konkrit keluarga manusia sebagai masalah Gereja.
Maka, sikap Gereja adalah turut ambil bagian dalam kehidupan manusia dengan
berbagai masalah dan problematikanya.
Kedua, Gereja dan Hidup Manusia. Gereja pun menyadari bahwa Allah adalah
tujuan akhir dari perjalanan hidup seluruh umat manusia di dunia ini. Di dalam
peziarahannya, manusia menghadapi berbagai teka-teki hidup dan sekaligus terus-
menerus berusaha menjawab misteri hidup tersebut. Masalah tujuan hidup, arah
hidup, dosa, kesempurnaan, dan hidup sejati hanyalah sedikit misteri yang terus
dimengerti dan dipahami dengan berbagai jawaban. Agama adalah kompleksitas
sistem jawaban atas misteri hidup manusia tersebut.
Pertanyaannya, bagaimana sikap Gereja terhadap aneka pandangan agama-agama
di luar dirinya?
1) Dalam NA (Nostra Aetate) art. 2, Gereja melihat Hinduisme sebagai usaha untuk
memberikan jawaban atas kesesakan hidup dengan pembebasan diri melalui
eksplorasi mitos yang melimpah dan falsafah hidup yang mendalam.
2) Dalam Art. 2, Gereja melihat usaha Budhisme untuk memberikan jawaban
bahwa dunia ini tidak cukup dan mengajarkan manusia untuk hidup penuh
bakti.
3) Dalam Art. 3, Gereja memberikan penghargaan terhadap agama Islam sebagai
agama Abrahaik. Islam menghormati Allah sebagai Tuhan yang Maha Kuasa dan
Maha Tunggal. Walaupun demikian, Gereja pun menyadari bahwa ada
kekelaman sejarah, dimana terjadi hubungan yang kurang baik antara Gereja
dan Islam. Tetapi, Gereja menganjurkan untuk melihat dunia dan usaha-usaha
bersama demi kebaikan dunia, dengan tidak membawa kekelaman tersebut di
masa kini dan masa mendatang.
4) Art. 4. Yahudi: Yahudi merupakan Bangsa Terpilih dimana kepadanya Allah
mengadakan Perjanjian Lama.

NA menuliskan sikap Gereja: “Gereja katolik tidak menolak apapun, yang dalam
agama-agama itu serba benar dan suci. … dalam banyak hal berbeda dari apa
yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan
sinar kebenaran, yang menerangi semua orang.

54
Referensi utama: nostra Aaetate

Halaman 82
“Segala sesuatu yang baik dan benar di luar iman Kristen dipandang oleh Gereja
sebagai ‘persiapan Injil.’ “Yang pasti adalah bahwa Gereja menghargai segala
sesuatu yang baik, benar, dan suci di dalam mereka dan memandangnya sebagai
yang dapat mengantar kepada keselamatan. Sebab, semua itu adalah ‘persiapan
Injil’.55
Bagaimana dengan keselamatan? Kalau bukan karena kesalahan sendiri, tetapi
berusaha mencari Allah dan berbuat baik, mereka akan tetap memperoleh
keselamatan abadi. Mereka adalah Islam, Yahudi, dan umat lain yang mencari
Allah.56 Yahudi adalah bangsa terpilih; Yesus adalah orang Yahudi dan lahir-mati
di tanah Yahudi sebagai seorang Yahudi. Islam sama-sama mengaku beriman
Ibrahim (seperti tradisi Yahudi dan Kristen).57
Walaupun menyinggung agama-agama lain, LG 16 tetap menegaskan tugas
perutusan Gereja sebagai penghantar kepada keselamatan sebab apa yang
merupakan ‘persiapan Injil’ harus disempurnakan demi kemuliaan Allah dan
keselamtan semua manusia.58
Tugas mewartakan kabar keselamatan terus berjalan. Tujuannya, agar apa yang
baik dan benar yang tertabur dalam hati manusia tidak hilang dan bisa
disempurnakan. Evangelisasi harus terus berlanjut agar ssemua umat manusia
masuk dalam umat Allah, Tubuh Kristus dan kenisah Roh Kudus (LG 17).59

PENUTUP
NA menuliskan sikap Gereja: “Gereja katolik tidak menolak apapun, yang dalam
agama-agama itu serba benar dan suci. … dalam banyak hal berbeda dari apa yang
diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran,
yang menerangi semua orang. “Segala sesuatu yang baik dan benar di luar iman Kristen
dipandang oleh Gereja sebagai ‘persiapan Injil.’ “Yang pasti adalah bahwa Gereja
menghargai segala sesuatu yang baik, benar, dan suci di dalam mereka dan
memandangnya sebagai yang dapat mengantar kepada keselamatan. Sebab, semua itu
adalah ‘persiapan Injil’.60
Bagaimana dengan keselamatan? Kalau bukan karena kesalahan sendiri, tetapi
berusaha mencari Allah dan berbuat baik, mereka akan tetap memperoleh keselamatan
abadi. Mereka adalah Islam, Yahudi, dan umat lain yang mencari Allah.61 Yahudi adalah
bangsa terpilih; Yesus adalah orang Yahudi dan lahir-mati di tanah Yahudi sebagai

55
Tom Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” mengenai Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1974),
….
56
Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM, Dialog Interreligius, (Kanisius: Yogyakarta, 2010), 102
57
Budha dan Hindu tidak disinggung dalam LC (mungkin karena bukan agama monoteis).
58
Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM, Dialog Interreligius, (Kanisius: Yogyakarta, 2010), 103
59
LG 17
60
Tom Jacobs, Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” mengenai Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1974)
61
Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM, Dialog Interreligius, (Kanisius: Yogyakarta, 2010), 102

Halaman 83
seorang Yahudi. Islam sama-sama mengaku beriman Ibrahim (seperti tradisi Yahudi dan
Kristen).62
Walaupun menyinggung agama-agama lain, LG 16 tetap menegaskan tugas perutusan
Gereja sebagai penghantar kepada keselamatan sebab apa yang merupakan ‘persiapan
Injil’ harus disempurnakan demi kemuliaan Allah dan keselamtan semua manusia.63
Tugas mewartakan kabar keselamatan terus berjalan. Tujuannya, agar apa yang baik
dan benar yang tertabur dalam hati manusia tidak hilang dan bisa disempurnakan.
Evangelisasi harus terus berlanjut agar semua umat manusia masuk dalam umat Allah,
Tubuh Kristus dan kenisah Roh Kudus (LG 17).64
Tidak bisa dipungkiri bahwa proses evangelisasi sering kali berbenturan dengan
agama-agama lain. Di masa lampau, sikap Gereja terhadap agama-agama lain bernada
negative atau kurang menampilkan sikap terbuka dan dialogis. Namun, perubahan sikap
Gereja sangat jelas dalam Nostra Aetate. Nostra Aetate atau NA merupakan magna carta
sikap dialogis Gereja terhadap agama-agama lain.65 NA adalah deklarasi sikap Gereja
terhadap agama non-Kristen yang merupakan pertanggung jawaban historis dan teologis
sikap dialogal Gereja.66

62
Budha dan Hindu tidak disinggung dalam LC (mungkin karena bukan agama monoteis).
63
Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM, Dialog Interreligius, (Kanisius: Yogyakarta, 2010), 103
64
LG 17
65
https://komisihakkwi.wordpress.com/2013/05/08/nostra-aetate-magna-carta-dialog-gereja-
katolik/
66
Prof. Dr. E. Armada Riyanto CM, Dialog Interreligius, (Kanisius: Yogyakarta, 2010), 109

Halaman 84
Daftar Pustaka
Buku
1. Paus Paulus VI.,1965, Nostra Aetate (Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan
Agama-agama bukan Kristen), Konsili Vatikan II.
2. Paus Paulus VI.,1965, Ad Gentes (Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja), Konsili
Vatikan II
3. Paus Paulus VI., 1965, Lumen Gentium (Konsktitusi Dogmatis tentang Gereja), Konsili
Vatikan II, 1965
4. Armada Riyanto, 1995, Dialog, Yogyakarta: Kanisius
5. Dokumen Konsili Vatikan II, Unitatis Redintegratio (Dekrit tentang Ekumenisme),
1965
6. Hadiwikarta, J (terj), 1991, Dialog dan Pewartaan (terj dari Dialogque and
Proclamation, Dokumen Kongregasi Eangelisasi dan Sekretariat untuk Dialog antar
Agama, dalam Hak Kerukunan, XII: 72-73, September-November, hal: 11-49.
7. J.B. Banawiratma, Zainal Abidin Bagir, (ed)., 2010, Dialog Antar Umat Beragama,
Gagasan dan Parktik di Indonesia, Jakarta: Mizan Publika
8. KWI, 2002, Hiduplah selalu dalam dalmai seorang dengan yang lain (pesan Natal).
9. Raimundo Panikkar, 1994, Dialog Intra Religius (A. Sudiarja, terj), Yogyakarta:
Kanisius
10. Sahibi Naim, 1983, Kerukunan Antar Umat Beragama, Jakarta: Gunung Agung
11. Yohanes Paulus II., 1965, Redemtoris Missio: Tugas Perutusan Sang Penebus (terj.
Alfons S. Suhardi), Jakarta: Dokpen KWI (Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, tentang
Tugas Perutusan Gereja)

Artikel
1. Robert Hardawiryana, 1972, “Peranan Gereja dalam Masyarakat Pluri-Religius di Asia,
dalam Orientasi baru, th. IV, hlm. 107-138.
2. Robert Hardawiryana, 1995, “Dialog dengan Umat Islam dan Karya Misioner, dalam
SAWI, No. 10 Oktober 1995.
3. Banawiratma (ed), 1996, “Pembaharuan Gereja Indonesia sesudah Konsili Vatikan II”,
dalam Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II, Refleksi dan Tantangan, Yogyakarta: Kanisius.

Halaman 85
AJARAN SOSIAL GEREJA (ASG)
(Willfridus Demetrius Siga, S.S., M.Pd)

A. Latar Belakang Ajaran Sosial Gereja


Ajaran Sosial Gereja (ASG) digali dari Injil dan dari “filsafat Kristiani”. Paus Leo XII
misalnya menyebutnya dengan sebutan: “doktrin” yang selanjutnya oleh Paus Pius XI
menggunakan nama “filsafat sosial” dan “doktrin dalam bidang ekonomi dan sosial”. Lalu
dari mana istilah ASG berasal? Paus Pius XII yang pertama kali menyebut Ajaran Sosial
Gereja walaupun ditolak oleh Konsili Vatikan II karena memberi kesan menyindir inti
ajaran dogmatis, seolah-olah Gereja mempunyai dua jenis ajaran: dogma dan ajaran
sosial. Karena itu penggunaan sebutan “Ajaran Sosial Gereja” dihindari. Kemudian,
setelah pidato Yohanes Paulus II dalam Sinode III Uskup Amerika Latin di Puebla tahun
1979, sebutan “Ajaran Sosial Gereja” digunakan secara resmi. Ajaran Sosial Gereja
mengajarkan kita untuk belajar terus untuk mencari dan menegakkan keadilan. Ensiklik-
ensiklik para paus merupakan acuan pertama bagi ASG, namun bukan satu-satunya.
Dalam seluruh ASG ini secara garis besar dapat dibedakan menjadi empat tema, yaitu
supaya kerja dihargai dan semua orang mendapat nafkah yang wajar, hidup masyarakat
dan negara ditata secara sosial dan demokratis, diatasinya kesenjangan antara hidup
dalam kelimpaham dan kemiskinan yang ekstrem, dan pembebasan dari segala bentuk
penindasan. Kata ‘sosial’ sebagai kata sifat dalam frase “Ajaran Sosial Gereja” mempunyai
arti jamak sesuai dengan konteks dan maksud pemakaiannya: artinya lebih mengacu ke
ekonomi tetapi kemudian meluas mencakup semua saja yang berkaitan dengan relasi
antara pribadi dan relasi sosial-politik dalam masyarakat. Ada tiga makna yang mau
disampaikan dari sebutan Ajaran Sosial Gereja:
a) “Ajaran sosial Gereja” adalah keseluruhan ajaran Gereja pada masa modern (XIX-
XX) yang berkaitan dengan masalah-masalah pengaturan kehidupan sosial
(ekonomi, politik, budaya, dll). Pengertian yang lebih luas adalah: “Ajaran Sosial
Gereja” mencakup surat Uskup (pribadi, konferensi Uskup, Sinode, Konferensi
Regional seperti Medellin, Puebla, San Dominggo, Surat Para Uskup USA, dll).
Selain itu, juga mencakup karya para teolog yang menganalisa dan
mensistematisasi ajaran magisterium mengenai realitas sosial.

b) “Ajaran Sosial Gereja” dimaksudkan sebagai suatu dinamika atau kekuatan yang
muncul dari iman kristiani yang dapat menerangi dan mengubah realitas sosial
setiap masa dan di setiap situasi. Jadi ASG lebih merupakan suatu dinamika iman
dari pada ajaran formal; lebih sebagai suatu tuntutan ortodoxia dan ortopraksis
daripada suatu ajaran magisterium; lebih sebagai satu logika kehidupan dari pada
suatu argumen doktrinal. Singkatnya, sebagai suatu refleksi iman di hadapan
problematika sosial; bukan ajaran resmi atau dari hirarki, tetapi lebih sebagai
wacana teologis dari situasi dan kondisi jemaat beriman.

Halaman 86
c) Ajaran Sosial Gereja berusaha mengaplikasikan ajaran-ajaran Injil ke dalam
realitas sosial hidup bermasyarakat di dunia. Tujuan ASG adalah menghadirkan
kepada manusia rencana Allah bagi realitas sekular dan menerangi serta
membimbing manusia dalam membangun dunia seturut kehendak-Nya. Secara
umum, ajaran sosial gereja berisi tentang ajaran gereja dalam menghadapi
permasalahan sosial dan ekonomi yang ada dalam masyarakat.

B. Hakikat Ajaran Sosial Gereja


a) Ajaran Sosial Gereja “merupakan perumusan cermat hasil-hasil refleksi yang
saksama tentang kenyataan hidup manusiawi yang serba rumit, dalam
masyarakat maupun dalam tatanan internasional, dalam terang iman dan
tradisi Gereja. Oleh karena itu, ajaran sosial Gereja bercorak teologis, khususnya
teologi moral, sebab “ajaran sosial Gereja merupakan pedoman untuk
bertindak”. Ajaran itu menjadi titik temu antara kehidupan serta hati nurani
Kristen di satu pihak dan kenyataan-kenyataan konkret dunia di lain pihak.

b) Ajaran Sosial Gereja memperoleh fondasinya yang hakiki dalam pewahyuan


alkitabiah serta tradisi Gereja. Dari kedua sumber tersebut, Ajaran Sosial Gereja
menimba ilham serta terang untuk memahami, menilai dan membimbing
pengalaman manusia dan sejarah. Iman, yang menerima firman ilahi dan
mengamalkannya, secara efektif berinteraksi dengan akal budi. Pemahaman iman,
khususnya iman yang mengantar pada tindakan praktis, diberi struktur oleh akal
budi dan mendayagunakan potensi. Iman dan akal budi mewakili dua jalan
kognitif ajaran sosial Gereja: pewahyuan dan kodrat manusia. Pengetahuan iman
memahami dan mengarahkan kehidupan manusia sesuai dengan terang rahasia
keselamatan dalam sejarah: bahwa Allah mewahyukan dan mengaruniakan diri-
Nya bagi kita di dalam Kristus.

c) Ajaran sosial Gereja membuka dirinya untuk menerima segala macam


sumbangsih dari semua cabang ilmu pengetahuan, apapun sumbernya, dan
memiliki sebuah matra lintas-ilmu yang penting. Ajaran sosial gereja menjalin
dialog dengan pelbagai ilmu pengetahuan tentang manusia. Sebuah andil penting
bagi ASG juga berasal dari humaniora dan ilmu-ilmu sosial. Mengingat bahwa
bagian tertentu dari kebenaran yang bisa disingkapkannya maka tidak ada cabang
pengetahuan yang dikecualikan. Gereja mengakui dan menerima segala sesuatu
yang memberi andil bagi pemahaman tentang manusia dalam jejaring relasi
sosialnya yang semakin luas, lebih cair dan kian pelik. Keterbukaan dan perhatian
pada cabang - cabang lain ilmu pengetahuan menjadikan ASG populer, konkret
serta relevan.

Halaman 87
d) Ajaran sosial adalah milik Gereja karena Gereja adalah subjek yang
merumuskannya, menyebarluaskannya dan mengajarkannya. Ajaran sosial
Gereja bukanlah sebuah hak prerogatif dari satu komponen tertentu dalam
lembaga gerejawi melainkan dari keseluruhan jemaat. Ajaran sosial Gereja adalah
cara Gereja memahami masyarakat serta posisinya sendiri berkenaan dengan
berbagai struktur serta perubahan sosial.

e) Melalui ajaran sosialnya, Gereja menunjukkan keprihatinannya bagi


kehidupan manusia di tengah masyarakat, karena menyadari bahwa mutu
kehidupan sosial – yakni relasi keadilan dan cinta kasih. Ajaran sosial Gereja
memiliki tugas mewartakan, namun juga mencela. Pada tempat pertama ajaran
sosial Gereja adalah pewartaan tentang kekhasan Gereja: “suatu pandangan
tentang manusia serta hal ihwal manusiawi dalam keseluruhannya”. Hal ini
dilakukan tidak saja pada tingkat prinsip tetapi juga dalam praktik. Ajaran sosial
Gereja tidak saja menyajikan makna, nilai serta kriteria penilaian, tetapi juga
kaidah-kaidah serta pedoman tindakan yang muncul darinya. Gereja tidak
berupaya menata atau mengatur masyarakat melalui ajaran sosialnya, tetapi
untuk berseru kepada, membimbing serta membentuk hati nurani. Ajaran sosial
ini juga mencakup suatu kewajiban untuk mencela, ketika dosa dosa ketidakadilan
dan tindak kekerasan dialami masyarakat. Melalui celaan, ASG menjadi hakim dan
pembela hak-hak yang tidak diakui dan dilecehkan, khususnya hak-hak kaum
miskin, kaum lemah, dan termajinalkan. Keadilan sosial adalah jawaban yang
tepat.

f) Ajaran Sosial Gereja berada pada tatanan religius dan moral. Religius karena misi
penginjilan serta keselamatan Gereja merangkul manusia “dalam
seluruhkebenaran hidupnya, keberadaannya secara pribadi serta kekerabatan
maupun hidup sosialnya”. Moral karena Gereja adalah humanism secara utuh,
artinya pembebasan dari setiap hal yang menindas manusia dan pemenuhan
manusia seutuhnya.

g) Sebuah amanat bagi para putra dan putri Gereja dan bagi umat manusia.
Penerima pertama ASG adalah jemaat Gereja dalam segenap diri para anggotanya,
karena setiap orang memiliki tanggung jawab sosial yang mesti ditunaikan. Hati
nurani dipanggil oleh ajaran sosial ini untuk mengakui dan memenuhi kewajiban-
kewajiban keadilan dan cinta kasih di dalam masyarakat. Ajaran sosial ini juga
mencakup rupa-rupa tanggung jawab berkenaan dengan pembangunan, penataan
serta keberfungsian masyarakat, artinya kewajiban-kewajiban politik, ekonomi
dan administratif – kewajiban-kewajiban yang bercorak duniawi – yang menjadi
tugas perutusan kaum awam beriman. Dengan memenuhi berbagai tanggung
jawab kaum awam beriman mengejawantahkan ASG dalam tindakan dan dengan
demikian menunaikan tugas perutusan keduniaan Gereja.

Halaman 88
h) Ajaran sosialnya juga memiliki sebuah sasaran universal. Cahaya Injil yang
dipancarkan ajaran sosial Gereja pada masyarakat menerangi semua orang, dan
hati nurani dan akal budi menangkap kedalaman makna dan nilai manusiawi yang
diungkapkan di dalamnya serta potensi kemanusiaan dan pemanusiawian
yangterkandung setiap tindakan. Ajaran sosial merupakan sebuah ajaran yang
secara gamblang ditujukan kepada semua orang yang berkehendak baik.

i) Ajaran sosial Gereja dicirikan oleh kesinambungan dan pembaruan. Terutama


menunjukkan kesinambungan ajaran yangmerujuk pada nilai-nilai universal yang
ditimba dari pewahyuan dan kodrat manusia. Karena alasan in maka ASG
tidak bergantung pada berbagai kebudayaan, ideologi atau pendapat; ia adalah
sebuah ajarantetap yang senantiasa sama saja dalam asas-asasnya yang paling
mendasar, dalam prinsip-prinsip refleksinya, norma-norma penilaian, pedoman-
pedoman dasar untuk bertindak, dan terutama dalam hubungannya dengan Injil
Tuhan.

C. Makna Teologis-Eklesial Ajaran Sosial Gereja


Ajaran sosial Gereja mengandung di dalamnya makna “teologis” dan “gerejani”. Secara
sintesis makna tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Ajaran sosial Gereja adalah peristiwa gerejani
Ajaran sosial Gereja tidak cuma berisi rumusan moral. ASG adalah peristiwa Gerejani
dan merupakan peristiwa-peristiwa dalam Gereja dan yang ditanggapi oleh Gereja
dalam dua abad terakhir. Dalam kejadian-kejadian itu Gereja menyatakan dan
membangun model serta ajarannya. Dalam ajaran sosialnya kita menemukan: (1).
Gereja cenderung mengidentifikasikan diri dengan hirarki atau merepresentasikan
diri melalui hirarki, lebih khusus lagi Paus, yang menyampaikan pandangan dan ajaran
sosialnya. (2) Gereja yang dengan kekuatannya mempunyai pengaruh moral
memproklamasikan nilai-nilai martabat manusia. (3). Gereja yang membela hak orang
lemah dan pada saat yang sama juga menampilkan diri sebagai penentu tatanan sosial.

b. Ajaran sosial Gereja: kebutuhan teologis-moral.


Ajaran sosial Gereja terbingkai dalam suatu “kebutuhan teologis Gereja”, maksudnya
bahwa dalam menanggapi persoalan sosial Gereja menyampaikan pandangan serta
ajarannya yang bersumber pada wahyu dan tradisi. Meskipun, sebagai kegiatan
magisterial, ajaran sosial Gereja adalah bagian dari pelayanan pastoral. Ajaran sosial
Gereja adalah bentuk pelayanan pastoral Gereja kepada dunia, walaupun dalam
struktur isinya terkandung pandangan teologis-moral. Dalam Ajaran sosial Gereja kita
menemukan: (1). suatu refleksi teologis, yang merupakan paduan dari iman dan
pengetahuan manusia. (2) Ajaran moral yang mengacu kepada nilai universal, (3) ASG
termasuk dalam teologi moral, tepatnya moral sosial.

Halaman 89
c. Ajaran sosial Gereja merupakan aplikasi teologi moral dalam bidang sosial.
Ajaran sosial Gereja merupakan bagian teologi moral, tetapi seperti sudah dikatakan
di atas, juga merupakan suatu peristiwa Gerejani, sehingga tidak terlepas dari pokok-
pokok berikut: dimensi magisterial: dalam ajaran sosial gereja ditampilkan dimensi
magisterial dari hirarki. ASG adalah aplikasi kuasa mengajar Gereja. Terkait dengan
kekatolikan: ajaran sosial gereja menjalankan suatu fungsi memadukan,
memberdayakan dan mengarahkan kekuatan sosial dari gereja Katolik. Ajaran sosial
Gereja dapat merupakan pembenaran atau penolakan terhadap opsi sosial global
(misalmya: kapitalisme, sosialisme, dllsb).

D. Gereja Katolik dalam Keterlibatan Sosial


a) Gereja tidak mengemban tanggung jawab untuk setiap segi kehidupan di dalam
masyarakat, namun berbicara dengan kompetensi yang dipunyainya yakni
mewartakan Kristus Sang Penebus. “Tugas perutusan khusus yang oleh Kristus
telah dipercayakan kepada Gereja-Nya tidak terletak di bidang politik, ekonomi atau
sosial; sebab tujuan yang telah ditetapkanNya untuk Gereja bersifat keagamaan. Tentu
saja dari misi keagamaan itu sendiri muncullah tugas, terang dan daya kekuatan yang
dapat melayani pembentukan dan peneguhan masyarakat manusia menurut hukum
ilahi. Ini berarti bahwa Gereja tidak campur tangan dalam persoalan-persoalan teknis
dengan ajaran sosialnya dan tidak menganjurkan atau mendirikan sistem atau
model organisasi sosial.

b) Sebagaimana agam lain, Gereja diharapkan untuk menyumbangkan jawaban bagi


persoalan hidup manusia dalam masyarakat Gereja berhak dan wajib untuk ikut bicara
dalam persoalan sosial sejauh menyangkut moral dan pemeliharaan hukum kodrat.

c) Gereja membina imannya dengan menghayatinya sebagai saksi dalam lingkungannya,


sebagai konkretisasi perutusan Kristus. Pendekatan Injili yang yang mendalam dan
bermakna terwujud dalam pribadi Yesus mewartakan kabar gembira pembebasan
bagi orang yang tertindas dan kerajaan Allah yang dimaklumkan bagi orang yang
miskin.

d) Melalui ajaran sosialnya, Gereja bermaksud “membantu manusia dalam perjalanannya


menuju keselamatan. Inilah tujuannya yang utama dan satu-satunya. Gereja berhak
menjadi guru bagi umat manusia, guru kebenaran iman: bukan hanya kebenaran
dogma-dogma melainkan juga kebenaran moral yang sumbernya terletak dalam
kodrat manusia itu sendiri dan di dalam Injil. Sesungguhnya firman Injil tidak saja
mesti didengarkan tetapi juga harus ditaati dan dihayati (bdk.Mat 24; Luk6: 46-4; Yoh
14:21, 2324; Yak 1:22). Konsistensi dalam tindakan memperlihatkan apa yang
sepenuhnya diyakini seseorang dan tidak cuma terbatas pada kehidupan menggereja
atau hal-hal rohaniah belaka, tetapi melibatkan manusia dalam segenap pengalaman
hidupnya dan dalam konteks seluruh tanggung jawabnya.

Halaman 90
E. Ketertarikan Gereja untuk Keterlibatan Sosial: Demi Perwujudan Iman
Kompetensi gereja dalam bidang social dan interese dan maksud gereja dalam
keterlibatan dan dalam pengajarannya:
a) Gereja dipandang sebagai “societas perfecta” yaitu sebagai suatu kelompok sosial,
maka keterlibatan sosial dipandang sebagai hubungan antara dua masyarakat,
yaitu gereja sebagai masyarakat rohani dan masyarakat sekular bagaimanapun
bentuknya. Keterlibatan sosial dimaksudkan untuk menyampaikan ajaran.

b) Melalui ajaran sosialnya, Gereja berupaya mewartakan Injil dan menghadirkannya


di tengah jejaring relasi sosial yang serba rumit. Ini bukan sekadar perkara
menjangkau manusia di tengah masyarakat – manusia sebagai penerima pesan
Injil – melainkan perihal memperkaya dan meresapi masyarakat itu sendiri
dengan Injil. Oleh karena itu, bagi Gereja peduli terhadap berbagai kebutuhan
manusia berarti bahwa ia juga terlibat di tengah masyarakat dalam
karya perutusan dan penyelamatannya.

c) Melalui ajaran sosialnya, Gereja mengemban tugas mewartakan apa yang telah
dipercayakan Tuhan kepadanya. Gereja menjadikan amanat tentang kebebasan
dan penebusan yang dibawa oleh Kristus, yakni Injil Kerajaan Allah, hadir dalam
sejarah manusia. Dengan mewartakan Injil, Gereja memberi kesaksian kepada
manusia, atas nama Kristus. Gereja mengajarkan keadilan dan cinta kasih yang
sesuai dengan kebijaksanaan ilahi.

d) Keterlibatan merupakan ikut serta dalam perjuangan sosial agar benar-benar


terlaksana hidup dan iman manusia. Maksud utamanya adalah membangkitkan
aktivitas sosial demi penghayatan iman yang jujur dan realistis.

e) Kepentingan resmi gereja terletak pada ajaran iman, sedangkan keterlibatan


sosial merupakan kewajiban sehari-hari setiap anggota gereja untuk terlibat dlam
dunia.

f) Iman gereja baru memperoleh wujud dan menjadi kenyataan jika meninggalkan
ruang gereja dan menggemakan jawaban manusia akan panggilan Allah justru
berhadapan dengan tantangan hidup sehari-hari. Dalam keterlibatan sosial,
masalah tidak ditentukan oleh kepentingan gereja, melainkan oleh harapan dan
penderitaan manusia. Iman dihayati di tengah-tengah persoalan hidup dan
dengan demikian iman menanggapi soal-soal hidup manusia.

Halaman 91
F. Pendapat Gereja tentang Kemiskinan
Salah satu landasan awal Perjanjian Baru tentang ajaran sosialnya adalah kisah tentang
orang muda yang kaya (Mat 19:16-26; Mrk 10:17-27; Luk 18:18-27). Kisah tersebut
memiliki ciri khas yaitu suatu pembicaraan antara guru dan muridnya mengenai “jalan
kehidupan”. Titik tolaknya merupakan hasrat seseorang yang mencari gurunya untuk
menemukan petunjuk mengenai perbuatan baik untuk memperoleh hidup yang kekal.
Perbuatan baik tersebut adalah menjalankan perintah-perintah-Nya. Jika telah
melakukan perintah-perintah tersebut, untuk mendekati sempurna hendaklah berikan
segala yang kita punya untuk orang-orang miskin maka akan memperoleh harta di surga.
Pesan yang dapat ditarik dari kisah di atas:
1. Hasrat seorang yang mencari gurunya telah menjadi dasar untuk membedakan
dua jalan hidup, yaitu jalan kesepuluh perintah dan jalan kesempurnaan.
Berhadapan dengan Bapa yang ingin mengaruniakan kesempurnaan-Nya, orang
yang mencari jalan kehidupan hanya dapat melepaskan diri dari segala kelekatan
duniawi.
2. Yang baik diciptakan hanyalah oleh mereka yang miskin sendiri dan yang
memberi sedekah, karena mereka sendiri dikaruniai oleh Allah dengan
berlimpah-limpah.
3. Kerajaan Allah – Prinsip Perbuatan Orang Kristen. Yesus menekankan bahwa
kerajaan Allah sekaligus hadir dan aktual (bdk. Mat 11:12, Luk 11:20) dan sekalius
mendatang (Luk 11:2). Sejauh Allah senyatanya menyapa kita, Kerajaan Allah
sudah sampai; sejauh Allahlah yang menyapa kita, yaitu Allah yang tak terjangkau,
maka Allah selalu di depan manusia yang dipanggil-Nya. Kerajaan Allah menjadi
prinsip perbuatan. Dimana Kerajaan Allah tersebut menjadi titik tolak dan dasar
bagi perbuatan. Moral Kerajaan Allah terarah ke masa depan, dalam keterlibatan
yang berani memikul resiko, karena orang disapa secara pribadi dan perorangan
kena di hati.
4. Sikap moral yang ditanamkan bukan karena asal menuruti peraturan, bukan
moral yang berorientasi pada kewajiban, melainkan moral yang berlari-lari
menanggapi panggilan Allah dan bergegas menyongsong masa depan kerajaan-
Nya, dengan melakukan sesuatu! Bagi kebanyakan orang, moral berarti:
keselarasan.

G. Gambaran Allah yang Melibatkan Diri


a. Allah untuk Orang Miskin
Kerajaan Allah diwartakan untuk orang miskin. Bersama mereka yang miskin,
Yesus hidup; orang-orang itulah yang mengatakan bahwa Kerajaan Allah telah
dekat. Mereka yang membutuhkan pertolongan diajari berdoa “Datanglah
kerajaan-Mu”. Gambaran kemiskinan ini mau menyapa setiap hati orang yang
kurang hening untuk berjumpa dengan Allah untuk terarah-Nya, yaitu Allah yang
dijumpai dalam penderitaan: Allah Penolong orang hidup. Orang beriman hidup
dalam pengharapan, yaitu dalam iman yang menerima pewartaan Yesus tentang
Allah penolong, dan dalam kerelaan, kesiapsiagaan, ketekunan, keberanian hidup,

Halaman 92
supaya dengan menerima hidup kita berjumpa dengan Allah penolong hidup.
Pengalaman dalam keterlibatan sosial mengajarkan kita untuk bersikap kritis.
Sebagai orang beragama kita diajar untuk tidak memutlakan nilai-nilai duniawi,
melainkan untuk menantikan pemenuhan hidup dalam nilai-nilai transenden,
yaitu rahmat Allah melalui keterlibatan praktis pada suka duka hidup yang
merupakan harapan kristiani.

b. Allah untuk Para Pendosa


Yesus makan dengan orang pendosa, nampaknya menimbulkan kesulitan, bukan
hanya dalam kalangan orang Farisi. Dalam kisah Zakheus dengan Yesus. Zakheus
yang merupakan seorang pendosa dan pengkhianat mencari Yesus, dan kemudian
Yesus mendatanginya untuk menumpang di rumahnya. Ciri khas pertemuanya
adalah sukacita. Zakheus –biarpun pendosa- tetaplah anak Abraham. Allah
mengambil sikap terhadap dosa dan terhadap orang berdosa namun bukan
dengan membuang orang berdosa. Dosa diatasi, waktu Allah (Yesus) menumpang
di rumah orang pendosa. Dosa diatasi dengan perdamaian oleh Allah. Allah adalah
Allah bagi orang pendosa. Hubungan orang beriman dengan Allah selalu
merupakan hubungan perdamaian. Sikap tobat merupakan kerendahan hati yang
membiarkan diri didamaikan dan suatu tekad iman untuk memikul beban, yang
berarti keberanian untuk memberantas dosa. Surat Apostolik Paul Yohanes
Paulus II membicarakan “dosa sosial”, namun melihat pertobatan sebagai proses
hati manusia sendiri. Sebagaimana tidak ada dosa tanpa tanggung jawab pribadi,
demikian pula pertobatan tak mungkin semata-mata “bersama”. Persoalan pokok
bukan mengenai unsur sosial dalam proses pertobatan melainkan mengenai
pokok “perdamaian” dalam hidup sosial.

H. Ringkasan Ajaran Sosial Gereja


1. Rerum Novarum
Ensiklik Rerum Novarum ditulis oleh Paus Leo XIII pada tahun 1891. Isinya adalah
tanggapan Gereja Katolik Roma pada situasi kerja kaum buruh di negara-negara yang
mengalami revolusi industri. Situasi Rakyat Miskin dan Kaum Buruh. Kemerosotan
moralitas umum selama Revolusi Industri membuka jalan bagi pemerasan para
pekerja yang tidak terlindungi undang-undang dan asosiasi. Ketamakan manusia dan
proses produksi secara keseluruhan melahirkan suatu situasi di mana segelincir orang
kaya memperbudak pekerja yang tidak memiliki sarana produksi. RN dengan tegas
mengecam pemecahan sosialis yang mengingkari hak milik pribadi. RN membela hak-
hak para buruh untuk memiliki barang melalui kerja keras mereka. Inilah hak kodrati
manusia, pria maupun wanita. Meniadakan hak ini berarti memperkosa hak-hak para
pemilik yang sah. Tiga solusi yang ditawarkan: a) Gereja berhak berbicara mengenai
masalah-masalah sosial. Karena, persoalan sosial mempengaruhi agama dan moralitas
(#24). b) Dengan menggunakan prinsip-prinsip injil, Gereja dapat membantu
mendamaikan dan mempersatukan kelas-kelas sosial (para majikan dan buruh, orang
kaya dan miskin). Adalah suatu kesalahan menerima dengan gampang bahwa suatu

Halaman 93
kelas masyarakat adalah tidak bersahabat dengan yang lain, seakan-akan kodrat telah
mengadu-dombakan antara si kaya dan si miskin (#25, 27, 33, 41). c) Gereja dapat
mendidik orang untuk bertindak adil (#40, 41). Misalnya, RN mengajarkan bahwa para
buruh tidak boleh diperlakukan sebagai budak; keadilan menuntut penghormatan
akan martabat pribadi manusia.

2. Quadragessimo Anno (Pembangunan Kembali Tatanan Sosial)


Dokumen ini ditulis oleh Paus Pius X pada tahun1931. Isinya adalah tanggapan Gereja
Katolik Roma pada depresi ekonomi yang dialami dunia. QA menegaskan kembali hak
dan kewajiban Gereja untuk memberikan penilaian atas isu-isu moral yang berkaitan
dengan persoalan sosial-ekonomi (#41). Pertama, Hak memiliki kekayaan (#45-51).
Hak milik atas kekayaan bercorak individual maupun sosial (bilamana menyangkut
kesejahteraan umum) (#45). Oleh karena itu, dua bahaya yang mungkin timbul harus
dihindari: “Individualisme”, bilamana aspek sosial atau umum dari pemilikan itu
disangkal; dan “kolektivisme”, bilamana pemilikan individual itu ditolak (#46). Hak
memiliki kekayaan berbeda dengan penggunaannya. Hak pribadi atas kekayaan tak
dapat dihancurkan, namun serentak pula kewajiban sosial dari kekayaan tak dapat
dilupakan (#47-48). QA mengajarkan pula, kelebihan pendapatan dapat dipergunakan
untuk karya cinta kasih atau penciptaan pekerjaan (# 50-51). Karena hak milik atas
kekayaan bukan tanpa syarat, fungsi Negara adalah merumuskan kewajiban-
kewajiban dari kepemilikan (#49). Kedua, Modal dan tenaga kerja. Tenaga kerja
(buruh atau orang upahan) dan modal (pemilik modal atau majikan) saling
membutuhkan. Dalam sejarah, modal selalu menguasai dengan tidak adil seluruh
produksi dan keuntungan dan menyisahkan balas jasa yang amat sedikit untuk tenaga
kerja. Adalah tidak adil pula tuntutan bahwa seluruh produksi dan keuntungan
menjadi milik kaum pekerja (#53-55). QA mendukung prinsip pembagian kekayaan
secara adil demi kesejahteraan umum (#56). Ketiga, Memperbaiki kondisi kaum
proletar. QA menyajikan dua cara perbaikan kondisi buruh, 1) memberi kesempatan
kepada para buruh mendapatkan barang milik dengan hanya memperbolehkan kaum
kaya mengambil bagian yang adil dari keuntungan produksi (#61), 2) memberikan
upah yang adil kepada para buruh agar mereka dapat memiliki barang milik secara
wajar (#62).

3. Mater et Magistra (Orang Kristiani dan Kemajuan Sosial)


Dokumen ini ditulis oleh Paus Yohannes XXIII pada tahun 1961. Isinya adalah upaya
Gereja Katolik Roma untuk mendampingi negara-negara berkembang yang masih
mengalami kesulitan pangan. Pemulihan hubungan Sosial dalam kebenaran, Keadilan
dan Cinta kasih. 1) Falsafah Hidup yang Tidak Utuh. Kendati terdapat kemajuan ilmu
dan teknologi, banyak falsafah hidup tidak menyentuh seluruh pribadi manusia atau
menghormati martabat manusia. Segala kemajuan harus berakar dalam Allah. Adalah
suatu ketololan membangun tata dunia tanpa berlandaskan Allah (#213-217). 2)
Pengajaran Sosial Gereja. Gereja tetap menunjukkan jalan dalam kehidupan modern.
Karena Gereja melihat pribadi manusia sebagai dasar, sebab, dan tujuan semua

Halaman 94
lembaga sosial. Karena itu, Pengajaran Sosial Gereja tidak dapat dipisahkan dari
pengajaran Gereja tentang kehidupan dan harus diajarkan di semua jenjang
pendidikan dan melalui berbagai media. Orang-orang Katolik haruslah memahami
pengajaran sosial Gereja dan perilaku sosial-ekonomi mereka harus diselaraskan
dengan prinsip-prinsip pengajaran sosial Gereja itu. Karena penerapan praktis
prinsip-prinsip pengajaran sosial sulit, kepada orang-orang Katolik diberikan
beberapa saran praktis sbb: meneliti situasi (mengamati), Mengevalusinya dengan
mengacu pada Pengajaran Sosial Gereja (menilai), dan Memutuskan bagaimana
bertindak (bertindak) (#219-241). 3) Tugas Kaum Awam. Sambil mengakui perlunya
campur tangan pemerintah dalam kemajuan rakyat, adalah terutama tanggung jawab
warga masyarakat sendiri untuk menentukan kemajuan dan perkembangan mereka.
Tugas setiap orang kristiani adalah berkarya demi suatu dunia yang lebih adil. 4)
Menuju suatu Masyarakat Global. Kemajuan sosial harus berkaitan dan kemajuan
ekonomi. Daerah-daerah yang lebih berkembang harus membantu perkembangan
daerah-daerah kurang berkembang. Namun, bantuan ini harus menjangkau segenap
bangsa di dunia. Tanggung jawab orang-orang kristiani adalah membangun suatu
masyarakat global dengan dituntun oleh nilai-nilai Injil yaitu kebenaran dan keadilan.

4. Pacem in Terris (Perdamaian di Dunia)


Dokumen ini ditulis oleh Paus Yohannes XXIII pada tahun 1963. Isinya adalah
tanggapan Gereja Katolik Roma pada ancaman perang nuklir, himbauan untuk
menciptakan perdamaian dan upaya mewujudkan masyarakat yang memperhatikan
hak-hak azasi dan kewajiban manusia untuk secara aktif ambil bagian di dalam
membangun kebaikan bersama untuk semua orang. Perdamaian “berlandaskan
Kebenaran, dibangun selaras dengan Keadilan, diilhami dan dipadukan oleh Cinta
Kasih, dan dilaksanakan dalam Kebebasan” (#167). Perdamaian dapat ditegakkan
sekarang ini khususnya bilamana hubungan antarbangsa dilandasi nilai-nilai rohani.
Dalam dunia yang sadar akan bahaya perang nuklir, Yohanes XXIII berbicara tentang
hak-hak dan kewajiban individu, pejabat negara, pemerintah, dan masyarakat dunia.
Hal-hal utama yang tercakup dalam Pacem in Terris adalah: a) Tata tertib di antara
Manusia – hak-hak dan kewajiban manusia, b) Hubungan antara Individu dan Negara
– hakekat kekuasaan dan pengembangan kesejahteraan umum, c) Hubungan
antarnegara – suatu hubungan yang berlandaskan kebenaran, keadilan, dan
kebebasan, d) Hubungan Rakyat dan Negara dengan Masyarakat Dunia – masyarakat
politis dunia menjadi saling tergantung, dan e) Iman dan Tindakan – Orang-orang
Kristiani harus memadukan keyakinan agama dan tindakan.

5. Gaudium et Spes (Gereja dalam Dunia Modern)


Dokumen ini dihasilkan dalam Konsili Vatikan II pada tahun 1965. Isinya adalah upaya
Gereja Katolik Roma untuk semakin terbuka pada perkembangan dunia. Kegembiraan
dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang dewasa ini, khususnya mereka yang
miskin dan mereka yang menderita adalah juga kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan para pengikut Kristus. Ketaatan umat manusia terhadap Allah membuat

Halaman 95
pribadi manusia sebagai makhluk yang terpecah dalam dirinya. Kehidupan individual
maupun sosial merupakan suatu pergumulan keras antara kebaikan dan kejahatan.
Permasalahan bangsa dalam dunia modern meliputi: Tugas Gereja untuk meneliti
“tanda-tanda zaman” dalam terang Injil (#4), Perubahan-perubahan intelektual dan
teknologis telah menyebabkan perubahan-perubahan sosial dan spiritual yang
mempengaruhi kehidupan segenap bangsa secara kolektif dan kehidupan setiap
orang-perorangan (#5-7), Perubahan-perubahan ini juga telah menimbulkan situasi
pertentangan: kekayaan dan kemiskinan, kebebasan dan perbudakan, kehidupan
material yang lebih baik dan kemiskinan spiritual. Tetapi Gereja percaya, umat
manusia dapat menciptakan tatanan politis, sosial, dan ekonomik yang akan mengabdi
martabat manusia (#4 dan 9). Gereja dan panggilan mausia mencakup: (A)
MARTABAT MANUSIA. Pribadi manusia merupakan pusat yang terpenting dari
seluruh ciptaan di bumi. Manusia, pria maupun wanita, diciptakan menurut citra Allah-
bebas, cerdas, dan sebagai makhluk sosial (#12). Ketidaktaatan umat manusia kepada
Allah membuat pribadi manusia sebagai makhluk yang terpecah dalam dirinya.
Kehidupan individual maupun kehidupan sosial merupakan suatu pergumulan keras
antara kebaikan dan kejahatan (#13). Suara hati nurani memanggil setiap pribadi
untuk mencintai kebaikan dan menghindari kejahatan. Martabat manusia tergantung
pada kebebasan untuk mematuhi suara hatinya ini (#16). Alasan mendasar bagi
martabat manusia terletak pada panggilan pribadi manusia untuk menjalin hubungan
mesra dengan Allah. Namun, selain ada orang-orang yang tidak mengakui Allah, ada
pula yang sepenuhnya menolak (#19). Ateisme modern membuat manusia
sedemikian bebasnya sehingga ketergantungan pada Allah merupakan suatu kesulitan
(#20). Gereja menolak, dan akan tetap menolak, Ateisme. Menerima Allah tidak
bertentangan dengan martabat manusia (#21). Iman yang hidup dan dewasa
memotivasi orang-orang kristiani mencapai keadilan dan cinta, dan mengatasi
kecurigaan terhadap agama (#21). (B) MASYARAKAT MANUSIA. Perkembangan
teknologi menciptakan kesalingtergantungan antar manusia. Namun, dialog sejati
antar pribadi tidak dengan sendirinya selalu terjadi (#23). Hubungan dan
persahabatan pribadi yang mendalam hanya dapat terlaksana bilamana terdapat
saling menghormati akan martabat rohani masing-masing (#23). Pengembangan
tatanan sosial bagi kesejahteraan umum harus pula menguntungkan martabat pribadi
manusia (#26). Setiap pribadi manusia harus dihormati dan dicintai. Kesalahan harus
ditolak, tetapi orang yang bersalah tidak pernah harus kehilangan martabat mereka
sebagai pribadi manusia (#27-28). Pribadi manusia diciptakan bukan dalam
keterasingan melainkan untuk pembentukan kesatuan sosial. Dalam masyarakat ini,
Yesus memanggil kita anak-anak Allah sehingga kita harus memperlakukan satu sama
lain sebagai saudara dan saudari (#32). (C) KERJA MANUSIA DI DUNIA. Segala
kegiatan dan karya manusia merupakan bagian dari rencana Allah. Orang-orang
melakukan kehendak Allah bilamana mereka mengatur dunia dengan keadilan dan
kesucian (#34). Kegiatan manusia berasal dari pribadi manusia, dan untuk melayani
pribadi manusia (#35). Sementara orang ingin memisahkan kegiatan manusia dan
iman. Adalah salah pemikiran bahwa barang-barang tercipta tidak tergantung pada

Halaman 96
Allah (#36). Segala kegiatan manusia harus dimurnikan dan disempurnakan dengan
kekuatan salib Kristus dan Kebangkitan-Nya (#37). (D) PERANAN GEREJA DALAM
DUNIA. Gereja dan umat manusia mengalami situasi yang sama. Gereja juga adalah ragi
dan jiwa bagi masyarakat manusia.

6. Popularum Progressio (Perkembangan Bangsa-Bangsa)


Dokumen ini ditulis oleh Paus Paulus VI pada tahun 1967. Isinya adalah himbauan
Gereja Katolik Roma untuk pengembangan masyarakat dan perdamaian dunia.
Pengalamannya di PBB dan kunjungan pribadinya ke Dunia Ketiga ikut hakekat
internasional dari isu-isu yang berkaitan dengan perkembangan. Perlunya tindakan
sedunia untuk memerangi kemiskinan berhubungan erat dengan kebutuhan akan
perkembangan pribadi manusia seutuhnya. Solidaritas semua bangsa sangatlah
mendesak. Sri Paus menyimpulkan, “Perkembangan adalah nama baru untuk
perdamaian.” Cinta kasih universal. Apa artinya bagi mereka di negara maju?” 1) Kita
berkewajiban menerima orang lain, suatau kewajiban yang bersumber pada
solidaritas manusia dan cinta kasih kristiani. 2) Hal ini ditujukan kepada mereka yang
kesepian, yang terlan-tar dan tertekan (#67), kaum muda (#68), dan para pekerja
pendatang, yang hidup dalam keadaan yang tidak manusiawi (#69). 3) Kita perlu peka
terhadap kemajuan sosial dan pemajuan manusia dalam proses industrialisasi di
negara-negara kurang berkembang (#70). 4) Mereka yang terlibat dalam misi
perkembangan harus menjadi pembantu dan sesama pekerja, bukan tuan-tuan.
Mereka bukanlah ahli di segala bidang dan harus berdialog dengan kekayaan budaya
dari negeri yang menerima mereka (#71-73). 5) Seruan kepada generasi muda agar
melayani orang miskin di negara-negara lain (#74). 6) Doa hendaknya disertai
komitmen untuk berjuang melawan sebab-sebab keterbelakangan (#75).

7. Octogesima Adveniens (Panggilan untuk Bertindak)


Dokumen ini ditulis oleh Paus Paulus VI pada tahun 1971. Isinya berkisar tanggapan
Gereja Katolik Roma perihal gejala Urbanisasi yang menciptakan banyak masalah-
masalah sosial baru. Gereja memanggil semua umat kristiani untuk bertindak antara
lain:
 “Kaum miskin baru” yang diciptakan urbanisasi, yaitu orang-orang cacat, jompo,
dan tersingkir, harus dilindungi dalam masyarakat yang kompetitif (#15).
 Diskriminasi ras, keturunan, warna kulit, kebudayaan, jenis kelamin, atau agama
masih ada dan tidak dapat dibenarkan (#16).
 Emigrasi merupakan suatu hak. Perilaku nasionalistis yang sempit harus dilewati
(#17).
 Lapangan kerja harus segera diciptakan melalui suatu kebijakan penanaman modal
yang tepat guna, pendidikan, serta organisasi produksi dan perdagangan (#18).
 Para pengelola media komunikasi sosial mempunyai tanggung jawab moral untuk
memajukan kesejahteraan umum (#20).
 Semua orang bertanggung jawab melindungi lingkungan (#21).

Halaman 97
8. Justicia in Mundo (Keadilan di Dunia)
Dokumen ini ditulis pada tahun 1971. Isinya merupakan pernyataan Gereja, bahwa
keadilan merupakan bagian penting dari kehidupan orang beriman. Pesan injil dan
perutusan Gereja dalam menghadapi persoalan keadilan di dunia menekankan
beberapa hal:
 Dalam dunia yang ditandai dengan dosa berat ketidakadilan, kami mengakui
tanggung jawab maupun ketidakmampuan kami untuk menanggulanginya
dengan kekuatan kami sendiri. Kami perlu mendengarkan Sabda Allah dengan
rendah hati sehingga kami dapat bertindak demi keadilan di dalam dunia
(#29).
 Dalam Perjanjian Lama Allah menyatakan dirinya sendiri sebagai pembebas
kaum tertindas dan pembela kaum miskin, sambil menuntut dari kita
kepercayaan akan Dia serta keadilan terhadap sesamanya (#30)
 Dalam Perjanjian Baru Yesus menyerahkan diri-Nya secara total kepada Allah
demi keselamatan dan pembebasan segenap manusia. Ia menyamakan diri-Nya
dengan “saudara-saudara-Nya yang paling hina” (#31)
 Wafat dan Kebangkitan Kristus merupakan panggilan Allah untuk berbalik
kepada keyakinan akan Kristus dan cinta akan sesama.
 Menurut St. Paulus, hidup kristiani adalah iman yang memercikan cinta kasih
dan pelayanan kepada sesama. Kehidupan ini mengarah kepada pembebasan
diri yang sejati serta penyerahan diri bagi kebebasan orang lain. (#33)
 Hubungan manusia dengan sesamanya terkait dengan hubungannya dengan
Allah dalam cinta. “Cinta sesama kristiani dan keadilan tak dapat dipisahkan.”
cinta mengandung tuntutan mutlak akan keadilan. Keadilan mencapai
kepenuhan batinnya hanya dalam cinta (#34)
 Tugas pewartaan Injil menuntut pengabdian diri kita bagi pembebasan umat
manusia dalam dunia ini. Amanat cinta dan keadilan kristiani hanya akan
mendapatkan kepercayaan orang-orang dewasa ini, bilamana kita
menunjukkan kedayagunaannya lewat tindakan demi keadilan dalam dunia
(#35).
 Pesan Injil memberikan kepada Gereja hak dan kewajiban untuk
memaklumkan keadilan ditingkat sosial, nasional dan internasional, dan
mencela hal-hal yang tidak adil, bilamana hak-hak asasi manusia dan
keselamatannya menuntut hal itu. Gerejapun berhak dan wajib bersaksi
tentang cinta dan keadilan dalam lembaga-lembaga gerejani dan dalam
kehidupan kita. (#36)

9. Evangelii Nuntiandi (Pewartaan Injil dalam Dunia Modern)


Dokumen ini ditulis oleh Paus Paulus VI pada tahun 1975. Isinya adalah himbauan
Gereja Katolik Roma untuk menghubungkan evangelisasi dan pembebasan maupun
kemajuan manusia yang berlangsung di semua level komunitas manusia. Evangelii
Nuntiandi meneguhkan pengajaran Konsili Vatikan II tentang peranan aktif yang harus
dilaksanakan Gereja sebagai lembaga maupun sebagai anggota umat Allah dalam

Halaman 98
menegakkan keadilan di dunia. Nasihat Apostolik ini menyajikan pula ajaran utama
Paus Paulus VI tentang misi pewartaan Injil Gereja. Isi Pewartaan Injil meliputi:
 Penebusan – Pesan utama pewartaan Injil adalah bahwa “dalam Yesus Kristus,
Putera Allah yang menjadi manusia, yang wafat dan bangkit dari kematian,
penebusan ditawarkan kepada semua orang sebagai suatu karunia rahmat dan
belas kasih Allah” (#27).
 Harapan – Pewartaan Injil menyangkut pewartaan tentang kehidupan akhirat.
Pewartaan Injil mencakup pula pewartaan tentang harapan akan janji yang
dibuat Allah dalam Perjanjian Baru dalam Yesus Kristus, pewartaan tentang
misteri kejahatan dan usaha mencari kebaikan secara aktif. Pewartaan tentang
pencarian aktif akan Allah dilakukan lewat doa, Komuni, dan Sakramen-
Sakramen (#28).
 Kehidupan Seutuhnya – Pewartaan Injil memiliki dimensi pribadi, keluarga,
dan sosial yang mencakup hak-hak dan kewajiban manusia, kehidupan
keluarga, kehidupan dalam masyarakat dan kehidupan internasional,
perdamaian, keadilan, perkembangan, dan pembebasan (#29).
 Pembebasan – Gereja mempunyai kewajiban untuk mewartakan pembebasan
ini, memberikan kesaksian, dan menjamin bahwa hal ini adalah sempurna.
Semuanya ini bukanlah suatu yang asing melainkan menyatu dengan
pewartaan Injil (#30).
 Pemajuan Manusia – Rencana penebusan meliputi karya menentang
ketidakadilan. Dalam pewartaan Injil keadilan tak dapat diabaikan.
 Integral dan Total – Penyelamatan dan pembebasan tidak dapat dikurangi
hanya pada kesejahteraan materiil belaka. Dimensi spiritual dan religius tak
dapat diingkari (#32).
 Pembebasan Injil – Pembebasan tak dapat dibatasi pada ekonomi, politik,
kehidupan sosial atau budaya. Ia harus mencakup seluruh pribadi (#33).
 Yang Berpusat pada Kerajaan Allah – Pewartaan Kerajaan Allah tak dapat
digantikan dengan pewartaan tentang bentuk-bentuk pembebasan manusia.
Sumbangan Gereja bagi pembebasan adalah tidak lengkap jika ia mengabaikan
pewartaan keselamatan dalam Yesus Kristus (#34).
 Pewartaan Injil dan Pembebasan – Pembebasan manusia dan penebusan
dihubungkan dalam Yesus Kristus. Pembebasan sejati harus digerakkan oleh
keadilan dan cinta kasih, dan tujuan akhirnya haruslah penebusan dan
kebahagiaan dalam Allah (#35).
 Pertobatan – Pertobatan pribadi diperlukan dalam membangun struktur-
struktur yang lebih manusiawi, adil, menghormati hak-hak manusia, tidak
menindas dan tidak memperbudak (#36).
 Tanpa Kekerasan - Kekerasan tidak selaras dengan pembebasan sejati.
Kekerasan akan membangkitkan kekerasan dan membawa bentuk-bentuk
penindasan dan perbudakan baru dan lebih berat (#37).
 Kebebasan Beragama adalah hak asasi manusia yang penting (#39).

Halaman 99
10. Redemptor Hominis (Rahasia Penebusan dan Martabat Manusia)
Dokumen ini ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1979. Dokumen ini
membahas martabat manusia, HAM, perkembangan teknologi modern, penjualan
senjata ilegal dan pengembangan senjata pemusnah massal yang membahayakan
umat manusia. Gereja dewasa ini lapar akan Roh, yaitu keadilan, perdamaian, cinta,
kebaikan, keberanian, tanggungjawab dan martabat manusia. Kehidupan Gereja
berkisar dan berpusat pada Rahasia Penebusan, darimana Gereja mendapatkan terang
dan kekuatan yang tak terhingga nilainya untuk perutusannya. Bilamana kita
menyadari bahwa kita mengambil-bagian dalam ketiga peran Kristus sebagai
imam,nabi,raja, maka kita menjadi lebih insaf bahwa masyarakat dan persekutuan
umat Allah harus menerima pengabdian dari Gereja. Kita harus mengerti bagaimana
kita masing-masing mampu ambil-bagian dalam perutusan dan pengabdian ini.
Bilamana Gereja mengakui dan mengajarkan iman, dia harus berpegang teguh pada
kebenaran ilahi. Gereja harus menterjemahkannya menjadi sikap-sikap hidup
“ketaatan yang rasional”. Sebagai pengambil bagian dalam perutusan Kristus, kita
bertanggungjawab atas kebenaran. Hal ini berarti mencintai kebenaran dan
memahaminya dengan penuh kecermatan, sehingga membuat kita lebih dekat pada
kekuasaan, kesemarakan dan kedalaman yang menyelamatkan dalam kesederhanaan.
Teologi (pemahaman dan penafsiran akan Sabda Allah) senantiasa menjadi
kepentingan Gereja dan umat Allah sehingga kita mampu mengambil bagian secara
kreatif dan berhasil dalam perutusan Kristus sebagai nabi. “Sabda yang kamu dengar
bukanlah dari saya tetapi Bapa yang mengutus aku”. Tak seorangpun dapat
merumuskan teologi sebagai suatu kumpulan sederhana dari gagasan-gagasan
pribadi, tetapi setiap orang harus menyadari kesatuan mesra dengan perutusan
pengajaran akan kebenaran yang menjadi tanggungjawab Gereja.

11. Laborem Exercens (Kerja)


Dokumen ini ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun1981. Bisa dibilang ini
adalah inti dari ajaran sosial Paus Yohanes Paulus II. Baginya kerja haruslah
meningkatkan martabat manusia. Dalam arti ini manusia haruslah ditempatkan lebih
tinggi dari modal, ataupun niat untuk mencari keberuntungan. Spiritualitas Kerja:
Karena kerja melibatkan seluruh pribadi, badan maupun jiwa, gereja melihat pula
aspek rohani yang terkandung di dalamnya. Semua kegiatan manusisa harus
disesuaikan dengan kehendak Allah dan kerja manusia ikut serta dalam dan
meneladani kegiatan Allah serta memberi martabat. Melalui kerja pribadi manusia
ikut serta dalam kegiatan kreatif Allah. Dalam arti tertentu, Kitab Kejadian adalah “Injil
Kerja” yang pertama. Dasar spiritualitas kerja adalah pengakuan bahwa kerja
merupakan sarana perwujudan dalam sejarah perencanaan ilahi. Kita dipanggil
melalui kerja untuk membangun dunia ciptaan Allah. Inilah yang menggerakkan kita
untuk berkarya demi keadilan, cinta kasih, dan perdamaian. Yesus seorang manusia
pekerja dan dalam Injil, kehidupan Kristus menyatu dengan dunia kerja. Yesus setuju
dengan aneka bentuk kerja manusia yang mencerminkan kesamaan pribadi manusia
dengan Allah. Kitab Suci menjadi landasan pengembangan suatu spiritualitas kerja

Halaman 100
baru. Kerja dipandang gereja terkait dengan Salib dan Kebangkitan. Dengan
melakukan kerja keras, pribadi manusia dipersatukan dengan Kristus dalam
penderitaan. Kerja adalah vital, bukan hanya untuk kemajuan duniawi, tetapi juga
untuk pengembangan Kerajaan Allah dan dunia.

12. Sollicitudo Rei Socialis (Rahasia Penebusan dan Martabat Manusia)


Dokumen ini ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun1987. Isinya merupakan
analisis terbaru terkait dengan dokumen Populorum Progressio. Paus Yohanes Paulus
II mengeluarkan dokumen “Keprihatinan Sosial Gereja” ini tahun 1987 dalam rangka
memperingati ulang tahun ke-20 ensiklik “Perkembangan Bangsa-Bangsa” (1967) dari
Paus Paulus VI. Dalam ensiklik ini Paus Yohanes Paulus II merefleksikan keadaan
buruk ekonomi global tahun 1980-an dan dampaknya yang merugikan jutaan orang,
baik di negara sedang berkembang, sambil menyebut kendala perkembangan sebagai
“struktur-struktur dosa” dari mana semua orang dipanggil kepada pertobatan dan
kesetiakawanan demi menjadikan kehidupan bangsa-bangsa lebih manusiawi.
Aspirasi kemerdekaan dari segala bentuk perbudakan adalah mulia dan sah. Kendala
utama yang harus ditanggulangi adalah dosa dan struktur-struktur yang
dihasilkannya akibat penggandaan dan penyebabnya. Gereja dengan gigih
menegaskan kemungkinan tertanggulanginya dosa pribadi dengan rahmat ilahi dan
keyakinannya akan “kebaikan” mendasar setiap pribadi dan dengan segera
menghimbau agar setiap orang YAKIN akan keseriusan saat ini; MENERAPKAN
ukuran-ukuran yang berinspirasikan SOLIDARITAS dan CINTA YANG
MENGUTAMAKAN KAUM MISKIN. Kaum AWAM, SEBAGAI AGEN-AGEN PERDAMAIAN
DAN KEADILAN mengemban tugas untuk menganimasi kenyataan-kenyataan duniawi
dengan komitmen kristiani. Paus menghimbau kerja sama yang lebih besar dengan
sesama Kristen lain, orang-orang Yahudi dan semua penganut agama-agama besar
untuk bersaksi tentang kebenaran. Kita sekalian yang mengambil bagian dalam
Ekaristi dipanggil untuk menemukan kembali MAKNA tindakan kita serta memiliki
KOMITMEN pribadi yang mendalam dalam memajukan perkembangan dan
perdamaian. Kepada Bunda Maria, Sri Paus mempercayakan “saat yang sulit” ini serta
upaya-upaya demi perkembangan sejati segenap umat manusia.

13. Centesimus Annus


Dokumen ini ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1991. Isinya adalah
semacam pemaparan dan refleksi dari seratus tahun terakhir, setelah dokumen Rerum
Novarum. Selanjutnya dalam Ensiklik itu kami juga menyerukan kepada Gereja-Gereja
kristen dan semua agama yang tersebar di seluruh dunia, supaya semuanya serentak
memberi kesaksian tentang keyakinan-keyakinan kita bersama mengenai martabat
manusia yang diciptakan oleh Allah. Sebab kami yakin, bahwa sekarang ini dan di masa
mendatang agama-agama akan memainkan peranan penting sekali dalam memelihara
perdamaian dan membangun masyarakat yang layak bagi manusia. Memang
benarlah,pada zaman penuh pergolakan, sementara pertentangan kelas berkecamuk
sesudah Perang Dunia I Gereja berperanserta untuk melindungi manusia terhadap

Halaman 101
eksploatasi di bidang perekonomian dan terhadap tirani pemerintah-pemerintah
totaliter. Seusai Perang Dunia II Gereja menempatkan martabat pribadi manusia di
pusat amanat-amanat sosialnya, seraya menekankan bahwa harta-benda materiil
diperuntukkan bagi semua orang, dan bahwa tata masyarakat harus bebas dari segala
penindasan, dan didasarkan pada kemauan untuk bekerja sama dan menggalang
solidaritas. Sesudah itu Gereja terus menerus menyerukan, bahwa pribadi manusia
maupun masyarakat tidak hanya membutuhkan harta-benda materiil itu, melainkan
harta-kekayaan rohani dan keagamaan juga. Selanjutnya Gereja semakin menyadari,
bahwa terlampau banyak orang tidak menikmati kesejahteraan dunia Barat,
melainkan menderita kemiskinan Negara-Negara yang sedang berkembang,dan
menanggung nasib yang sampai sekarang pun masih ”menyerupai beban budak
belian”. Maka Gereja telah dan tetap merasa wajib untuk menyiarkan kenyataan-
kenyataan itu sejelas mungkin dan sejujur-jujurnya, walaupun menyadari bahwa
seruannya itu tidak selalu akan disambut baik oleh khalayak ramai.

14. Caritas in Veritate (Cinta Kasih dalam Kebenaran)


Dokumen ini ditulis oleh Paus Benediktus XVI pada tahun 2009. Isinya adalah
pengembangan terbaru dari Populorum Progressio ditambahkan dengan beberapa
refleksi teologis yang amat mendalam soal krisis ekonomi dan etika bisnis. Dapat
dikatakan bahwa dokumen ini memberikan kerangka teologis ASG. Kasih adalah cinta
yang diterima dan diberikan. Kasih adalah “rahmat” (charis). Sumbernya adalah mata
air Allah Bapa kepada Allah Putera di dalam Roh Kudus. Kasih turun kepada kita dari
Allah Putera. Kasih adalah cinta yang mencipta, yang olehnya kita ada; kasih adalah
cinta yang menyelamatkan, yang olehnya kita diciptakan kembali. Kasih dinyatakan
dan dihadirkan oleh Kristus (lih. Yoh 13:1) dan “dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh
Kudus” (Rom 5:5). Sebagai sasaran dari kasih Tuhan, kaum pria dan wanita menjadi
sasaran kasih, mereka dipanggil untuk menjadikan diri mereka alat-alat rahmat, untuk
membagikan kasih Tuhan dan untuk menjalin rangkaian kasih. Dinamika kasih yang
diterima dan dibagikan ini adalah yang mengakibatkan timbulnya ajaran Gereja di
bidang sosial, yang adalah caritas in veritate in re sociali: pewartaan kebenaran kasih
Kristus di dalam masyarakat. Ajaran ini adalah sebuah pelayanan bagi kasih, tetapi
tempatnya adalah kebenaran. Kebenaran menjaga dan mengekspresikan kekuatan
kasih untuk memerdekakan di dalam kejadian-kejadian yang selalu berubah di dalam
sejarah. Kasih adalah, pada saat yang sama, kebenaran iman dan kebenaran akal, baik
di dalam pembedaan dan juga dalam persatuan dari kedua bidang pengertian tersebut.
Perkembangan, kesejahteraan sosial, pencarian sebuah solusi yang memuaskan
terhadap problem serius tentang sosial ekonomi yang menyangkut kemanusiaan,
semua itu membutuhkan kebenaran ini. Apa yang dibutuhkan mereka secara lebih lagi
adalah bahwa kebenaran ini harus dicintai dan dilakukan. Tanpa kebenaran, tanpa
kepercayaan dan cinta kepada apa yang benar, maka tidak ada nurani sosial dan
tanggung jawab, dan kegiatan sosial berakhir dengan melayani kebutuhan-kebutuhan
pribadi dan logika kekuasaan, yang menghasilkan perpecahan sosial, terutama di
dalam masyarakat global pada saat-saat yang sulit seperti sekarang ini. “Caritas in

Halaman 102
veritate” adalah prinsip yang mengarahkan ajaran sosial Gereja, sebuah prinsip yang
mengambil bentuk praktis di dalam kriteria yang mengatur tindakan moral. Secara
khusus, saya mempertimbangkan kedua hal ini, tentang hubungan khusus terhadap
komitmen untuk perkembangan di dalam sebuah masyarakat global yang
berkembang: keadilan dan kebaikan bersama/common good.

15. Laudato Si’ (Perawatan Rumah Kita Bersama)


Dokumen ini di tulis Paus Fransiskus 24 Mei 2015, secara khusus berbicara tentang
ekologi. Ensiklik ini lahir dari keprihatinan Gereja atas alam ciptaan yang semakin
rusak akibat ulah manusia. Alih-alih menjaga dan merawatnya, manusia justru
semakin hari semakin merusak alam dalam berbagai bentuknya, tanpa kendali. Alam
ciptaan Tuhan menangis. Kesemena-menaan yang didorong oleh sikap rakus dan
serakah harus dihentikan. Manusia harus ambil bagian secara nyata dalam pelestarian
alam dan lingkungan, yang merupakan anugerah Tuhan bagi kita, sekaligus titipan
anak-cucu kita. "LAUDATO SI ', mi' Signore", "Terpujilah Engkau, Tuhanku". Dalam
nyanyian yang indah ini, Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita bahwa rumah
kita bersama bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti ibu yang
jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka. "Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menopang dan mengasuh kami, dan
menumbuhkan berbagai buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rerumputan”.
Saudari ini sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan
padanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan dan menyalahgunakan
kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita bahkan berpikir bahwa kitalah
pemilik dan penguasa yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada dalam
hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat
pada tanah, air, udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu bumi,
terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan
oleh kita. Ia "mengeluh dalam rasa sakit bersalin” (Roma 8:22). Kita lupa bahwa kita
sendiri dibentuk dari debu tanah (Kejadian 2: 7); tubuh kita tersusun dari partikel-
partikel bumi, kita menghirup udaranya dan dihidupkan serta disegarkan oleh airnya.

16. Amoris Laetitia


Dokumen ini di tulis Paus Fransiskus 19 Maret 2016. Isinya mengenai cinta kasih
dalam keharmonisan sebuah keluarga. Pertama, memahami setiap keluarga dan
individu: Paus menekankan perlunya Gereja memahami setiap keluarga dan individu
dengan segala kompleksitas mereka. Ada sepuluh (10) inti seruan Paus:
a) Menegaskan, Gereja perlu bertemu mereka di mana mereka berada. Imam
hendaknya menghindari penilaian-penilaian yang tidak mempertimbangkan
kompleksitas dari berbagai situasi.
b) Pentingnya hati nurani: Paus menyatakan, hati nurani berperan penting dalam
membuat keputusan moral.

Halaman 103
c) Terkait umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi: Menurut Paus, mereka
perlu secara penuh diintegrasikan ke dalam Gereja. Mereka tidak
diekskomunikasikan. Perlakuan demikian, kata dia, karena mereka masih
bagian dari Gereja.
d) Sungguh-sungguh menjadi Kristiani: Paus mengajak semua anggota keluarga
untuk secara baik menjalani kehidupan Kristiani. Seruan Paus ini banyak berisi
tentang refleksi tentang Injil dan ajaran Gereja tentang cinta kasih, keluarga
dan anak-anak.
e) Terkait orang yang hidup dalam dosa. Paus mengatakan, kita tidak seharusnya
bicara lagi soal orang yang hidup dalam dosa. Menurutnya, tidak bisa sekedar
mengatakan bahwa mereka yang hidup dalam situasi yang tidak wajar atau
kondisi khusus seperti single mother perlu dimengerti, dihibur dan diterima.
f) Adaptasi dengan situasi setempat. Ia mengatakan, apa yang bisa dilakukan di
satu tempat belum tentu bisa dilakukan di tempat lain. Setiap negara atau
daerah bisa mencari solusi yang baik yang sesuai dengan kebudayaan dan peka
terhadap tradisi dan kebutuhan setempat.
g) Posisi Gereja tegas soal perkawinan: Ajaran tradisional tentang perkawinan itu
tegas, tapi Gereja hendaknya tidak membebani umat dengan ekspektasi yang
tidak realistis. Para calon imam dan imam perlu dilatih dengan lebih baik untuk
memahami kompleksitas kehidupan berkeluarga.
h) Pendidikan seks dan seksualitas: Anak-anak harus dididik soal seks dan
seksualitas. Seks harus selalu dipahami sebagai berkah atas kehidupan baru.
i) Gay dan lesbian hendaknya dihormati: Perkawinan sejenis tidak
diperbolehkan, tapi Paus mengatakan bahwa ia ingin menegaskan kembali
bahwa gay dan lesbian harus dihormati martabatnya dan diperlakukan dengan
baik.
j) Menerima semua orang: Gereja harus membantu keluarga dan mengerti
ketidaksempurnaan mereka dan bahwa mereka dicintai Allah dan bisa
membantu orang lain untuk mengalami kasih itu.

Daftar Pustaka:
1. Dr. Bernhard Kieser, SJ. Moral Sosial: keterlibatan Umat dalam Hidup Bermasyarakat,
Yogyakarta: Kanisius, 1987.
2. Seri Dokumen Gerejawi: Ajaran Sosial Gereja KWI
3. Kompendium Ajaran Sosial Gereja
4. Ensiklik Laodato Si’ (Terj. P. Martin harun, OFM), Obor: Jakarta 2015.
5. P. Peter C. Aman, OFM dalam http://jpicofmindonesia.com/2017/02/ajaran-sosial-
gereja-sejarah-dokumen-dokumen-serta-makna/
6. http://www.katolisitas.org/caritas-in-veritate/
7. https://katoliknews.com/2016/04/14/ini-10-inti-seruan-paus-dalam-amoris-
laetitia/

Halaman 104

Anda mungkin juga menyukai