Anda di halaman 1dari 50

FAKTOR-FAKTOR MENURUNNYA

PELAKSANAAN RITUS ADAT PA’A LOKA


DI PERSEKUTUAN ADAT SAGA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

IMELDA PIRI
NIM: 2608

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEAGAMAAN KATOLIK


SEKOLAH TINGGI PASTORAL ATMA REKSA ENDE
TAHUN 2021/ 2022

1
BAB 1

PENDAHULUN

1.1. Latar Belakang

Hubungan manusia dan budaya sangat erat ibarat dua sisi mata uang yang sama. Di satu

sisi manusia menciptakan budaya dan di sisi lain budaya kembali “ menciptakan “ manusia.

Manusia menciptakan budaya dengan karya akal budinya. Selanjutnya budaya yang sudah

diciptakan itu berperan sebagai pedoman yang memandu manusia agar hidupnya lebih sejahtera,

damai dan bermartabat. Karena itu, keberadaan manusia dan budaya saling menentukan. Tidak

ada manusia tanpa kebudayaan dan tidak ada kebudayaan tanpa manusia. Keberadaan manusia

mengandaikan adanya budaya dan sebaliknya keberadaan budaya mengandalkan adanya manusia

(https://kompasiana.com. Hubungan Antara Manusia dan Kebudayaan. Di akses pada tanggal 4

Oktober 2021).

Dalam aspek kemasyarakatan, budaya menjadi suatu produk unggulan di mana budaya

menjadi tradisi atau pegangan hidup pada tempat-tempat tertentu. Budaya juga menjadi sumber

kehidupan spiritual yang pada akhirnya dapat dijadikan alat untuk dapat mengenal perbedaan

antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Di dalam budaya juga mengandung

keseluruhan pengertian nilai, sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-

struktur sosial, religius dan lain-lain. Wujud dari kebudayaan itu seperti upacara-upacara ritual,

pesta adat dan kepercayaan adat lainnya.

Oleh karena itu, kebudayaan itu selalu disosialisasikan dan diwariskan dari suatu generasi ke

generasi yang berikutnya. Masyarakat setempat terutama pemangku adat menjadi pihak yang

paling bertanggung jawab dalam mentradisikan kebudayaan kepada generasi berikutnya. Namun

2
dalam kenyataannya tidak sedikit kebudayaan di berbagai daerah di Indonesia yang tidak

diwariskan secara baik. Oleh karena itu kebudayaan yang menggandung nilai dan makna yang

sangat mendalam itu akhirnya pudar bersama berjalannya waktu.

Salah satu bentuk kebudayaan adalah penghormatan terhadap leluhur yang sudah

meninggal. Penghormatan terhadap leluhur menjadi sebuah tradisi yang masih bertahan di

banyak tempat di Indonesia. Kebudayaan-kebudayaan di wilayah tertentu menaruh

penghormatan terhadap leluhur sebab ada keyakinan umum bahwa roh orang-orang yang telah

meninggal masih memiliki relasi dengan manusia yang masih hidup di dunia ini. Penghormatan

ini biasanya nampak dalam ritus-ritus yang beranekaragam menurut suku, agama dan juga ras.

Keanekaragaman ritus penghormatan kepada leluhur masih bertahan di banyak tempat dan

bahkan diwariskan secara turun temurun.

Pada masyarakat sub-etnik Lio yang berada di wilayah kabupaten Ende, budaya

penghormatan kepada leluhur nyata dalam sebuah ritus yang dinamakan Pa’a Loka. ritus Pa’a

Loka tetap bertahan meskipun fakta menunjukkan bahwa ada penurunan dalam penerapannya di

kalangan pewaris tradisi Pa’a loka di wilayah Lio. Penurunan ini disebabkan oleh pewarisan

yang tidak berjalan dengan baik. Salah satu alasan yang menyebabkan kebudayaan itu tidak

diwariskan secara baik sehingga memudar nilai dan maknanya adalah karena adanya sistem

modernisasi global yang semakin berkembang sehingga kurangnya kesadaran masyarakat dalam

memahami makna ritual yang dilakukan oleh nenek moyang jaman dulu, seperti pemberian

sesajen kepada arwah leluhur ini dilakukan untuk menghormati dan menghargai sebagai orang

yang telah berada bersama Allah dengan anggota keluarga yang masih hidup (Jebadu, 2018:328-

329). Arwah leluhur diyakini dapat menunjukkan rasa senang apabila sanak keluarganya

memberikan sesajen sacara teratur dan sebaiknya tidak senang apabila keluarga dekat dari arwah

3
tidak memperhatikannya. Hal ini dapat dilihat ketika dalam melaksanakan kegiatan ada banyak

kesulitan yang tidak dimengerti oleh akal sehat manusia.

Dengan demikian tanpa doa dan restu dari para leluhur, maka sebuah rencana atau

keputusan yang diambil tidak akan berhasil karena dari roh-roh para leluhur komunitas orang

hidup menimba daya kekuatan yang menjadi sandaran hidup. Melalui ritus ini manusia mendapat

bantuan dan kekuatan dari yang ilahi, dari pada-Nya orang hidup menggantungkan harapan

kepada leluhur. Namun kepercayaan masyarakat di zaman milenium terhadap nilai-nilai religius

semakin berkurang (Lewis, 2012:438).

Kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai budaya Pa’a Loka di pesekutuan adat Saga,

Kecamatan Detusoko sebagaimana yang digambarkan di atas, dapat mengancam eksistensi

kebudayaan dan proses pewarisannya kepada generasi penerus. Oleh karena itu, perlu dicari

penyebab sampai terjadinya kurang kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai budaya Pa’a

Loka tersebut, sehingga mudah untuk menemukan solusinya. Dengan demikian eksistensi budaya

tetap bertahan dan terhadap nilai budaya serta proses pewarisannya kepada generasi mudah tetap

berlangsung sebagaimana yang diwariskan oleh para leluhur terdahulu.

Oleh karena sampai dengan saat ini belum ada titik terang untuk dapat mengetahui

kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai budaya Pa’a Loka di Desa Saga, maka peneliti

memandang perlu untuk mencari tahu faktor-faktor atau alasan-alasan yang mendasari

kurangnya keyakinan dan kepercayaan masyarakat setempat terhadap nilai budaya Pa’a Loka

tersebut.

4
Bertolak dari realita dan latar belakang diatas, maka penulis perlu mempersiapkan melalui

mekanisme penulisan dengan mengangkat persoalan tersebut untuk dikaji lebih lanjut dalam

karya tulisan yang berjudul: Faktor-Faktor Menurunnya Pelaksanaan Ritus Pa’a Loka Di

Persekutuan Adat Saga”.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan fenomena di atas peneliti menemukan hal-hal berkaitan dengan:

1. Pergeseran/ degradasi nilai dan pandangan terhadap adat istiadat sebagai akibat dari

globalisasi dan modernisme

2. Krisis kepemimpinan masyarakat adat

3. Tuntutan hidup ekonomi

4. Menurunnya keyakinan akan nilai-nilai budaya Pa’a Loka.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah : “ Mengapa terjadi penurunan dalam pelaksanaan ritus Pa’a Loka tersebut?

1.4. Tujuan Masalah

Tujuan penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya penurunan dalam pelaksanaan ritus

Pa’a Loka

5
1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Untuk memenuhi salah satu persyaratan akademik guna meraih gelar Sarjana Pendidikan

di Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa –Ende.

2. Sebagai sumbangan pemikiran bagi para masyarakat adat Saga dalam ritual budaya Pa’a

Loka.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk menghindari meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, maka peneliti membatasi

ruang lingkup masalah penelitian ini yaitu faktor-fakor penyebab menurunnya pelaksanan ritual

adat Pa’a Loka

6
BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.1. Pemahaman Tentang Teori

2.1.1. Teori Kebudayaan

Tempora Mutatur, et nos mutamur in illis. Waktu berubah dan kita (ikut) berubah juga

didalamnya. Demikian pepatah Latin kuno yang mungkin masih kita temukan aktualitasnya

hingga sekarang. Waktu berubah dan cara-cara yang tetap di dunia ini mungkin yang tetap

hanyalah perubahan itu sendiri. Begitu juga dengan budaya atau kebudayaan (culture) yang

menjadi pokok telaah dan focus kajian, seturut konteks zaman yang berubah, orang-orang

dengan alam pikir, rasa, karsa dan cipta, kebutuhan dan tantangan yang mengalami perubahan,

serta budayapun ikut berubah. Menurut Raymond William, pengamat dan kritikus kebudayaan

terkemuka kata “ kebudayaan “ (culture) merupakan salah satu dari dua atau tiga kata yang

paling kompleks penggunaannya dalam bahasa inggris, mengapa demikian? Sebab kata ini

sekarang sering digunakan untuk mengacu pada sejumlah konsep penting dalam beberapa

disiplin ilmu yang berbeda-beda dan dalam kerangka berpikir yang berbeda-beda pula. Pada

awalnya “culture” dekat pengertiannya dengan kata “Kultivasi” (Cultivasion), yaitu

pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius (yang dirinya diturunkan istilah

kultus atau “cult”). Sejak abad 16 hingga 19 istilah ini mulai diterapkan secara luas untuk

pengembangan akal budi manusia individu dan sikap perilaku pribadi lewat pembelajaran.

Dalam konteks ini, kita bisa memahami mengapa seseorang disebut “berbudaya” atau

“tidak berbudaya”. Gerakan nasionalisme di akhir abad ke 19 juga ikut mempengaruhi dinamika

pemaknaan atas budaya. Dimana lahir istilah “ budaya rakyat “ (folk culture) dan “ budaya

7
nasional “ (national culture). Mengetahui ini semua Williams berani berpendapat bahwa

perubahan-perubahan historis tersebut bisa direfleksikan ke dalam arus penggunaan istilah

budaya, yaitu pertama, yang mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual dan estetis dari

seorang induvidu, sebuah kelompok atau masyarakat. Kedua, yang mencoba memetahkan

kasanah kegiatan intektual dan artistik sekaligus produk-produk yang dihasilkan (film, benda-

benda seni dan teater) dalam penggunaan ini budaya kerap diidentifikasikan dengan istilah “

kesenian “. Ketiga, Yang menggambarkan keseluruhan cara hidup, kegiatan, keyakinan-

keyakinan, dan adat istiadat kebiasaan sejumlah kelompok, atau masyarakat. Masih terkait

dengan penggunaan istilah budaya, studi yang dilakukan oleh dua antropologi yaitu Kroeber dan

kluckhohn lebih dari 50 tahun lalu berupaya untuk memetahkan kebinekaan pengertian budaya.

Menurut mereka, ada enam pemahaman pokok budaya yaitu:

1. Defenisi deskriptif: cederung melihat budaya sebagai totalitas komperhensip yang

menyusun keseluruhan hidup sosial sekaligus menunjukkan sejumlah ranah (bidang

kajian) yang membentuk budaya.

2. Defenisi historis: cenderung melihat budaya sebagai warisan yang dialih-turunkan dari

generasi satu kegenerasi berikutnya.

3. Defenisi normatif`: bisa mengambil dua bentuk, yang pertama budaya adalah aturan atau

jalan hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakan yang konkrit. Yang kedua

menekankan peran gugus nilai tanpa mengacu pada perilaku.

4. Defenisi psikologi: cenderung memberi tekanan pada peran budaya sebagai piranti

pemecahan masalah yang membuat oaring bisa berkomunikasi, belajar, atau memenuhi

kebutuhan material maupun emosionalnya.

8
5. Defenisi struktural: mau menunjuk pada hubungan atau keterkaitan antara aspek-aspek

yang terpisah dari budaya sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya adalah abstraksi yang

berbeda dari perilaku kongkrit.

6. Defenisi genetis: defenisi budaya yang melihat asal usul bagaimana budaya itu bisa eksis

atau tetap bertahan. Defenisi ini cenderung melihat budaya lahir dari interaksi antar

manusia dan tetap bisa bertahan karena ditransmisikan dari satu generasi ke generasi

berikutnya.

Meski keenam pengertian pokok tersebut masih dipakai sampai sekarang, namun dalam

ranah teori kebudayaan terdapat sejumlah pergeseran pemahaman yang biasanya berkisar pada

tema-tema berikut:

1. Kebudayaan cenderung diperlawankan dengan yang material, teknologi dan berstruktur

sosial.

2. Kebudayaan dilihat sebagai ranah yang ideal, yang spiritual non material

3. “ Otonomi Kebudayaaan “ lebih mendapat penekanan.

4. Sejumlah upaya dibuat untuk tetap berada pada zona netral- nilai (artinya tidak berat

sebelah, misalnya menyamakan kebudayaan dengan kesenian) (Mudji Sutrisno &

Hendar Putranto 2005:7-10).

Dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan memiliki peranan yang sangat penting bagi

kehidupan manusia, karena dengan kebudayaan manusia dapat berinteraksi dengan alam

sekitarnya dan dengan masyarakat tempat manusia tersebut tinggal. Kata kebudayaan berasal

dari bahasa sansekerta budhayah, yakni bentuk jamah dari budhi yang berarti budi atau akal. Jadi

budaya adalah segala hal yang bersangkutan dengan akal. Selain itu kata budaya juga berarti

budi daya atau daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa (Sulaeman, 2015 : 35).

9
Terkait dengan pengertian kebudayaan di atas, ada beberapa pedapat para ahli yang

menguraikan pengertian sebagai berikut:

Pertama, Ki Hajar Dewantara, kebudayaan adalah buah budi manusia dalam hidup

bermasyarakat (Tantawi, 2020 . 13). Kedua, Koentjaranningrat, kebudayaan adala keseluruhan

system, gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang

dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar (Tantawi, 2020:13)

Ketiga, Bakker (1984 :37), kebudayaan sebagai penciptaan dan perkembangan nilai

meliputi segala yang ada dalam alam fisik. Personal dan sosial, yang disempurnakan untuk

realisasi tenaga manusia (Ranjabar, 2016 : 9)

Keempat, E.B Tailor (1924:1) kebudayaan adalah hal kompleks yang mencakup

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemmpuan

serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudaya

terdiri dari atas segala sesuatu yang dipelajari oleh pola-pola yang normative, artinya mencakup

segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak (Ranjabar, 2016 : 29).

Berdasarkan uraian diatas dapat disampaikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan

system gagasan, tindakan, hasil karya, rasa dan cipta manusia untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya dengan cara belajar setiap waktu sehingga menjadi panutan dalam bersikap dan

berperilaku.

10
2.1.2. Sifat Hakikat Budaya

Menurut Soejono Soekanto, (1990.199–200) sifat hakikat kebudayaan diuraikan sebagai

berikut:

Pertama, kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia. Hal itu terjadi

karena dengan adanya kebudayaan dapat mengatur manusia dalam bersikap dan bertindak.

Kedua, kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu, dan

tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan karena telah diwariskan secara

turun temurun. Ketiga, kebudayan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah

lakunya. Keempat, kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban,

tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan itu mempengaruhi pilihan dan tindakan.

2.1.3. Unsur-unsur Kebudayaan

Beberapa ahli telah mencoba merumuskan unsur-unsur pokok kebudayaan misalnya

pendapat yang ditemukan oleh Melville J. Herskovits mengajukan empat unsur pokok

kebudayaan yaitu alat-alat teknologi, system ekonomi, keluarga dan kekuasaan politik. Di

samping itu Bronislaw Malinowski, menyebutkan unsur-unsur kebudayaan antara lain : pertama,

sistim norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya

menguasai alam disekelilingnya. Kedua, organisasi ekonomi. Ketiga, alat-alat dan lembaga atau

petugas pendidikan dimana keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama. Keempat,

organisasi kekuatan (Ranjabar, 2016, 29-30).

11
2.1.4. Jenis-Jenis Kebudayaan

Jenis-jenis kebudayaan terbagi menjadi dua yakni kebudayaan material dan kebudayaan

nonmaterial. Kebudayaan material (kebudayaan), adalah wujud kebudayaan yang berupa benda-

benda konkret sebagai hasil karya manusia, seperti rumah, mobil, candi, jam, benda-benda hasil

teknologi dan sebagainya digunakan orang untuk mendefenisikan budayanya. Kebudayaan

material merupakan peninggalan dari suatu suku bangsa yang mempelajari semua bentuk

kebudayaan material yang tampil sebagai bentuk kebudayaan masa lalu dari komunitas tertentu.

Kebudayaaan nonmaterial terdiri dari bentuk-bentuk abstrak yang tidak terwujud,

misalnya adat istiadat, kebiasaan, perilaku, sikap, kepercayaan, sikap, kepercayaan, bahasa,

sastra, seni, hukum dan agama. Semua bentuk nonmaterial tersebut bersifat internal karena

mencerminkan sifat batin manusia dari kelompok atau komunitas tertentu misalnya tradisi Pa’a

Loka (Purnomo, 2018: 11-12).

2.1.5. Wujud-Wujud Kebudayaan

Dalam keyataan hidup masyarakat terdapat tiga wujud kebudayan, yaitu kompleks

gagasan, kompleks aktivitas dan kompleks benda. Ketiga wujud kebudayaan ini tidak

terpisahkan satu sama lain. Wujud dari gagasan akan mengatur dan memberikan arahan kepada

perbuatan dan karya manusia dalam menghasilkan benda-benda yang kemudian membentuk

suatu lingkungan hidup tertentu serta mempengaruhi pola-pola perbuatannya bahkan juga

mempengaruhi cara berpikirnya. Berikut uraian singkat mengenai ketiga wujud kebudayaan ini:

Pertama, kompleks gagasan, konsep dan pikiran manusia wujud ini disebut sistem

budaya, karena sifatnya abstrak dan tak dapat terlihat serta berpusat pada manusia yang

menganutnya. Wujud ini termasuk dalam sistem budaya karena gagasan dan pikiran termasuk

12
tidak merupakan kepingan-kepingan yang terlepas, melainkan saling berkaitan, sehingga menjadi

sistem gagasan dan pikiran yang relative dan berkelanjutan.

Kedua, kompleks aktivitas, berupa aktivitas manusia yang saling berinteraksi, bersifat

nyata karena dapat dialami.wujud ini juga disebut sistem sosial karena tidak dapat melepaskan

diri dari sistem budaya. Hal ini terjadi karena adanya pola interaksi yang dapat menimbulkan

gagasan, konsep, dan pikiran baruyang dapat diterima dan mendapatkan tempat dan sistem.

Ketiga, kompleks benda, aktivitas saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai

penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya. Aktivitas karya

manusia tersebut menghasilkan benda untuk berbagai keperluan hidupnya. Kebudayaan dalam

bentuk fisik, mulai dari benda yang diam sampai pada benda yang bergerak (Sulaeman, 2015:

37-38).

2.1.6. Fungsi Kebudayaan

Antropolog pertama yang memperkenalkan istilah kebudayaan, E. B. Taylor,

sebagaimana dikutip dalam Purnomo (2018: 30-31), meringkas fungsi kebudayaan bagi individu

dan bagi kelompok, sebagai berikut:

1. Bagi Individu

a. Kebudayaan membuat manusia sebagai individu berubah menjadi manusia dengan

kepribadian sesungguhnya.

b. Kebudayaan memberikan solusi bagi individu ketika menghadapi situasi yang

sederhana sampai kesituasi yang paling sulit.

13
c. Kebudayaan membantu individu untuk memberikan interpretasi berdasarkan

warisan tradisi yang diterima, termasuk berdasarkan mitos.

d. Kebudayaan membentuk kepribadian individu, tidak ada seorangpun dapat

mengembangkan kualitas dirinya tanpa lingkungan kebudayaan.

2. Bagi kelompok

a. Kubudayaan membuat hubungan sosial antar personal menjadi utuh. Kebudayaan

tidak hanya memenuhi fungsi yang dikehendaki individu tetapi fungsi bagi

kelompok. Solidaritas kelompok bertumpuh pada fondasi kebudayaan.

b. Kebudayaan telah memberikan visi baru bagi individu untuk bekerja sama antar

personal. Kebudayaan mengajarkan setiap individu untuk menganggap dirinya

sebagai bagian dari komunitas suku bangsa dan negara.

c. Kebudayaan menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru. Kebutuhan tersebut lahir

sebagai pendorong terjadinya perubahan kelompok (Purnomo, 2018, 30-31).

2.2. Pemahaman Tentang Tradisi

Pada bagian ini penulis akan memaparkan gagasan atau pendapat para ahli yang masih

relevan dengan topik yang diangkat. Gagasan-gagasan ini akan digunakan oleh penulis untuk

memahami fokus penelitian dan sekaligus untuk mengkaji permasalahan yang diangkat.

2.2.1. Pengertian Tradisi

Kata tradisi berasal dari bahasa latin, yaitu tradition yang berarti diteruskan atau kebiasaan.

Dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan

14
menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara,

kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya

informasi yang diteruskan dari generasi baik tertulis maupun lisan. Tanpa adanya hal itu, suatu

tradisi akan punah (Anton & Marwati, 2015:3).

Tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun-temurun

disampaikan seara lisan dan mencakup hal-hal tidak hanya berisi cerita rakyat, mitos, dan

legenda tetapi menyimpan sistem kekerabatan asli yang lengkap, sebagai contoh memberikan

sesajen kepada leluhur.

2.2.2. Pengertian Pa’a Loka

Secara etimologis, Pa’a Loka terdiri dari dua suku kata yaitu Pa’a dan Loka. Pa’a dalam

bahasa Lio artinya simpan, menyimpan atau menaruh. Sedangkan Loka artinya tumpah,

menumpahkan atau juga membuang. Pa’a loka berarti menyimpan sesuatu lalu membuang. Pa’a

loka berkaitan dengan makanan bagi orang yang telah meninggal sesuatu yang dipercaya punya

kekuatan gaib. Jadi pengertian Pa’a Loka adalah memberi makanan (sesajen) kepada arwah

orang yang meninggal atau sesuatu yang dipercaya punya kekuatan gaib. Ritus seperti ini,

terdapat hampir disantero muka bumi. Tentu dengan nama yang berbeda-beda.

Memberi makan kepada arwah yang meninggal atau sesuatu yang dipercaya punya

kekuatan gaib, lebih sebagai penghormatan dari orang yang masih hidup. Menghormati para

leluhur atau sesuatu yang gaib itu, sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia, khususnya

masyarakat Lio. Motivasi penghormatan yang demikian sebetulnya berlandaskan pada pemikiran

bahwa arwah orang yang meninggal terutama arwah para leluhur, atau sesuatu yang gaib

mempunyai pengaruh yang besar di depan du’a ngga’e ( wujud tertinggi suku lio ) terhadap

15
orang yang masih hidup. Arwah para leluhur dan sesuatu yang gaib itu dilihat sebagai pemberi

segala sesuatu yang baik kepada manusia. Ini menunjukkan bahwa orang Lio umumnya lebih

berorientasi pada corak dan model berpikir yang harmonis mereka selalu dan senantiasa menjaga

harmonisasi hubungan antara dirinya dengan orang lain.

Harmonisasi ini mengambil rupa dan bentuk supra-Human. Artinya harmonisasi

dipengaruhi oleh relasi antara manusia dengan sesama, manusia dengan leluhur, manusia dengan

alam dan manusia dengan yang hakiki (Du’a Ngga’e) inilah makna terdalam dari pa’a loka. Bagi

masyarakat suku Lio, Pa’a Loka dilakukan di tempat-tempat tertentu dengan tujuan tertentu pula.

Pa’a loka kepada arwah para leluhur atau orang yang sudah meninggal dilakukan di wisu lulu

(tempat khusus dirumah adat) tubu musu (tiang batu dan mesba dipelataran tempat upacara adat)

serta bhaku rate (peti berisi tulang belulang leluhur yang telah meninggal serta kubur). Pa’a loka

bisa juga dilakukan diluar dari tempat yang disebutkan diatas. Tetapi tempat yang dijadikan

sebagai tempat Pa’a Loka itu harus melalui mimpi atau petunjuk dari arwah leluhur, kepada

salah seorang anggota keluarga (https://embunida.wordpress.com di akses pada tanggal 18

oktober 2021).

2.2.3.Pelaksanaan Tradisi Pa’a Loka

Kebudayaan tidak terlepas dari kehidupan manusia karena, manusia adalah mahkluk

berbudaya. Perkembangan zaman sering memudarkan tradisi yang telah sekian lama menjadi

identitas manusia padahal keberadaan kebudayaan mengandung banyak nilai yang menjadi

tonggak sejarah kehidupan manusia dan menjadi fondasi bagi karya manusia kedepannya.

Salah satu kebudayaan yang masih hidup dan dipraktikan hingga saat ini yaitu tradisi Pa’a

Loka yang ada di masyarakat Lio terlebih khusus di persekutuan adat Saga. Bagi masyarakat

16
Saga tradisi Pa’a Loka merupakan kepercayaan kepada leluhur yang tetap hidup setelah

kematian. Tradisi ini menghantar masyarakat Saga kepada kebiasaan untuk beromunikasi dengan

leluhur dalam hal menyampaikan permohonan kepada mereka. Kegiatan ini dilakukan misalnya

pada saat gawi yang sering dilakukan setiap tahun .

Masyarakat Saga percaya bahwa kehidupan setelah kematian tidak berbeda jauh dengan

kehidupan manusia sebelum kematian di mana relasi antara orang yang masih hidup dengan

orang yang sudah meninggal yakni para leluhur didamaikan dengan ajaran gereja katolik

mengenai persekutuan para kudus (LG 49-51). Orang hidup dan orang mati membentuk sebuah

persekutuan intim dan persekutuan para kudus meliputi juga persekutuan para leluhur (Ef 1:10)

sehingga bagi orang Kristen kematian bukan dari segala titik akhir, tetapi sebagai suatu kelahiran

untuk kehidupan baru (Embuiru, 1979: 165). Dengan demikian, arwah yang sudah meninggal

pun membutuhkan makanan seperti ketika arwah tersebut masih bersatu dengan raga waktu

masih hidup di dunia ini seperti terkandung dalam suatu konsep bahwa sistem tradisi dan upacara

merupakan usaha manusia untuk mencari hubungannya dengan Tuhan, dewa-dewa atau para

leluhur (Koentjaraningrat,1981:145)

17
2.3 Kerangka Teori

Gambar 1. Kerangka Teori

Pengertian Kebudayaan

Sifat Hakikat Kebudayaan


Kebudayaan

Unsur-Unsur Kebudayaan

Jenis-Jenis Kebudayaan

Wujud-Wujud
Fungsi Kebudayaan
Kebudayaan
Teori Kebudayaan

Sifat Hakikat Kebudayaan

Unsur-unsur Kebudayaan

Jenis-jenis Kebudayaan
Pengertian Tradisi
Tradisi Pa’a
Loka Wujud-wujud Kebudayaan
Pengertian Pa’a loka
Fungsi Kebudayaan

pp Makna dari tradisi pa’a loka

18
2.4 Kerangka Berpikir

Kondisi awal: Masyarakat adat saga


sering melaksanakan ritus Pa’a Loka

Tradisi Pa’a Loka


menghormati dan
Kebudayaan mengenang para
leluhur

Manusia dan Keadaan ril tradisi


kebudayaan sangat singkat mengenai
berkaitan erat tradisi Pa’a Loka

Diduga: Ada faktor-


faktor yang
menyebabkan
menurunnya
pelaksanaan ritus adat
Pa’a Loka

19
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif. Jenis penelitian ini untuk

mencari tahu berbagai faktor yang melatarbelakangi terjadinya fenomena sosial tertentu. Jadi

jenis penelitian ini biasanya dilakukan tanpa melakukan hipotesa secara tepat (uji statistik).

Melalui jenis penelitian ini peneliti akan mendeskripsikan alasan-alasan yang menyebabkan

menurunnya pelaksanaan ritus Pa’a Loka di persekutuan adat saga.

3.2. Unit Analisis

Unit analisis merupakan unit terkecil dalam penelitian yang mengandung seluruh

karakteristik penelitian. Jadi yang menjadi unit terkecil dalam penelitian ini adalah pemangku

adat di Desa Saga.

3.3. Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofiand (1984:47) sumber data utama dalam penelitian kualitatif

ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.

Berkaitan dengan hal itu pada bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan,

sumber data tertulis, foto, dan statistic (moleong 2019:157).

Maka sumber data dalam penelitian ini menyediakan informasi langsung dari sejumlah

sumber yaitu 5 orang, yang terdiri dari : tokoh adat 3 orang, kepala desa dan tokoh masyarakat

dalam acara ritus Pa’a Loka.

20
3.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini menggunakan teknik

pengumpulan data, sebagai berikut:

3.4.1 Wawancara (interview)

Wawancara merupakan suatu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian

dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya dengan pewawancara dengan si

penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (pedoman

wawancara), fokus Tanya jawab itu sesuali dengan penelitian ini.

3.4.2 Dokumentasi

Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk

tulisan, gambar atau karya seseorang. Pengumpulan dengan cara mencatat atau mengutip data-

data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti (Sugiyono,2017:240).

3.4.3 Observasi

Observasi merupakan cara pengambilan data dengan mengamati secara langsung objek

yang diteliti.

21
3.5. Skema Data
Data yang dikumpulkan oleh peneliti berdasarkan skema data berikut:

No Topik Set Data Sumber Teknik


Data Pengumpulan
Data
1. Profil Desa Saga 1. Keadaan geografi Narasumber Wawancara
2. Keadaan demografi
3. Keadaan sosial budaya
4. Keadaan sosial ekonomi
5. Keadaan religius
2. Pelaksanaan ritus 1. Arti ritus Pa’a Loka Narasumber Wawancara
Pa’a Loka di 2. Waktu pelaksanaan Observasi
persekutuan adat 3. Tahap-tahap pelaksanaan
Saga ritus Pa’a Loka
4. Nilai-nilai yang ditemukan
dalam ritus Pa’a loka
3. Faktor-faktor 1. Pergeseran/ degradasi nilai Narasumber Wawancara
penyebab dan pandangan terhadap adat
menurunnya istiadat sebagai akibat dari
pelaksanaan ritus globalisasi dan modernisme
Pa’a Loka di 2. Krisis kepemimpinan
persekutuan adat masyarakat adat Saga
Saga 3. Tuntutan hidup ekonomi
4. Menurunnya keyakinan akan
nilai-nilai budaya Pa’a Loka

3.6. Latar dan Waktu Penelitian

Latar yang dipilih untuk melakukan penelitian ini adalah di Persekutuan Adat Saga,

Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, dan waktu penelitian telah dilaksanakan selama

penyusunan proposal sampai dengan laporan akhir. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10-

22 Januari 2022

3.7. Uji Keabsahan Data

Data-data yang telah diperoleh akn diuji keabsahan datanya dengan menggunakan teknik

triangulasi sumber data. Teknik ini adalah suatu cara pengumpulan atau rangkuman data yang

diperoleh dari berbagai sumber yang saling berbeda dengan menggunakan metode yang sama,
22
selain itu triangulasi adalah upaya pengumpulan data ganda, yang lebih dari satu sumber, yang

menunjukkan informasi yang sama (Endraswara,2017:219).

3.8. Teknik Analisis dan Interpretasi Data

Analisis data kualitatif (Bogdan & Bilken, 1982) adalah upaya dilakukan dengan jalan

bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat

dikelolah, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari,

dan memutuskan apa yang di ceritakan kepada orang lain (Moleong, 2019:248).

Dalam membuat analisa terhadap data (hasil wawancara, observasi dan dokumentasi) yang

dikumpulkan, peneliti melakukan kategorisasi atau klasifikasi data dengan memilih mana yang

lebih penting sehingga mudah dipelajari dan mudah dipahami serta bermanfaat bagi orang lain.

23
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Profil Masyarakat Adat Desa Saga Kecamatan Detusoko

Pada bagian ini, peneliti akan menyajikan beberapa hal yang berkaitan dengan lokasi

penelitian, agar para pembaca dapat memiliki gambaran serta mengenal masyarakat Adat Saga,

Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende. Pada mulanya desa Saga adalah sebuah hamente yang

wilayahnya membentang dari Puutuga sampai dengan Wolomage. Hamente Saga mengepalai 16

(enam belas) kepala Kampung yang dikepalai oleh Kapitan Poto Kota dan setelah Poto Kota

meninggal diganti oleh anaknya Nikolaus Neta Poto sampai dengan 1966. Dan ketika pada

Januari tahun 1967, setelah Desa Saga baru terbentuk keenam belas wilayah kampung yang

dibagi menjadi 6 (Enam) wilayah Desa yaitu Desa Puutuga, Roa, Wolotolo, Niowula, Wolofeo

dan Wolomage sedangkan Saga bergabung dengan Desa Niowula dan pada Tahun 1968 terjadi

pemisahan wilayah antara Desa Niowula dengan Saga sehingga Saga menjadi Desa sendiri, di

bawah wilayah Kecamatan Detusoko.

Nama kampung Saga berarti tempat persembahan atau sesajen bagi para leluhur untuk

bersyukur atau untuk memohon perlindungan dari Dua Gheta Lulu Wula Ngae Ghale Wena

Tana, (Tuhan atas langit dan Bumi). Selain itu Saga juga mempunyai arti yaitu Sa artinya Bunyi

atau Gaung dan Ga artinya Menakjubkan jadi Saga artinya Bunyi atau gaung yang

menaknjubkan. yang kemudian dipakai sebagai nama desa ini.

Terbentuknya permukiman Desa adat Saga berawal dari perkampungan yang berada di

bagian barat perkampungan yang sekarang yaitu Mboto. Di Mboto sendiri dibagi dua tempat

yaitu Mboto Wena yang ditempati oleh Embu Limbu. Kedua Embu membangun perkampungan

24
secara bersama-sama di Mboto. Wilayah permukiman adat Saga, sendiri sudah ada orang yang

mendiami yaitu Dala Wolo. Pada saat itu Dala Wolo menempati bersama adiknya Labha Dile

dengan membangun awal perkampungan Saga pada saat itu. Kedua kakak beradik membangun

rumah tradisional (Sa’o) yaitu Sa’o Nggua.

Pada saat itu kedua kakak beradik yaitu Dala Wolo dan Lele Mbele tinggal bersama di

dalam satu rumah tradisional di Sa’o Nggua Dala Wolo, karena semakin banyaknya jumlah

keluarga sehingga Dala Mbele membangun rumah tradisional sendiri yang diberi nama Sa’o

Nggua Ele Mbele, kemudian diikuti oleh Eja Kera mereka yaitu Tola Ndale dengan rumah

(Sa’o) yaitu Sa’o Ria Tola Ndale di depan rumah adat untuk melakukan upacara adat atau

kegiatan upacara lainnya. Keda yang dibangun oleh Dala Wolo fungsinya berubah.

Setelah ketiga orang yang mendiami permukiman desa Saga, maka antara kedua Embu

(Embu Wolo dan Limbu) melakukan perjanjian antara nenek moyang yang disebut Nggo Nggoro

Ngamba Kara. Perjanjian mengatakan semua masyarakat yang hidup di Mboto baik dari Embu

wolo dan Embu Limbu pindah ke permukiman Desa adat Saga dan membangun bersama-sama

perkampungan dan mendiami secara bersama-sama sampai sekarang (Dokumen Pemerintah

Desa Saga).

Melihat Desa Saga pada waktu itu wilayahnya cukup luas serta perkembangan penduduk

yang begitu pesat sehingga sulit bagi Pemerintah saat itu untuk menjangkau semua kampung

dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Maka pada tahun 1999 Desa saga dimekarkan

kembali menjadi 2 wilayah desa yakni Desa Saga dan Desa Wolomasi.

25
4.1.1. Keadaan Geografis

4.1.1.1. Keadaan Tanah

Iklim di Desa Adat Saga beriklim tropis dengan ketinggian sekitar 757 m dari permukaan

laut, sehingga sehingga daerahnya cukup dingin (Arsip Desa Tanpa Tahun).

4.1.1.2. Batas-batas wilayah

Desa Saga Kecamatan Detusoko memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Sokoria.

b. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Roa.

c. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ndito

d. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Wolomasi.

4.1.2. Keadaan Demografis

Berdasarkan data masyarakat yang dikumpulkan, jumlah penduduk desa Saga saat ini

adalah 733 jiwa yang terdiri dari laki-laki 292 orang dan 341 perempuan. Desa Saga memiliki

luas wilayah 98,89 m. yang seluruh wilayahnya berada di dataran tinggi atau daerah

pengunungan. Desa Saga memiliki 3 wilayah kedusunan, yakni dusun Saga 1, Saga 2, Saga 3.

(Kantor Desa Saga 17 Januari 2022).

4.1.3. Keadaan Sosial Budaya

Setiap masyarakat memiliki kehidupan sosial yang berbeda antara masyarakat satu dengan

masyarakat lainnya. Hal itu dapat dilihat dari adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat

26
tersebut. Adat istiadat merupakan bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengatur,

pengendali, pemberi arah kepada perlakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam

kehidupan sehari-hari, masyarakat Saga menggunakan bahasa Lio sebagai bahasa harian.

Desa saga merupakan salah satu yang masih mempertahankan budaya dan adat istiadat

yang dapat dilihat adanya upacara-upacara adat yang masih tetap dilakukan hampir sepanjang

tahun dari bulan April sampai dengan puncak acara adat di bulan September yang dinamakan

upacara nggua (Pesta Besar).

Ritual adat di Desa Saga, yang dalam bahasa lokal (Lio) biasa disebut nggua, adalah

sebuah ritual yang bermakna dalam dan penuh syukur atas segala limpahan rejeki dari yang

Maha Kuasa. Dalam bahasa keseharian, bolehlah kita sebut sebagai pesta panen, karena secara

substansi adalah untuk mensyukuri hasil yang telah dicapai mereka setahun kebelakang. Ritual

adat diadakan bertahap disertai perjamuan makan bersama. Upacara-upacara tersebut disertai

dengan tarian tradisional dan tabuhan gong.

Menurut bapak A.M Mako yang merupakan Mosalaki Atalaki Pu’u Limbu mengatakan

tingkat strata sosial di wilayah permukiman Desa Adat Saga selalu memiliki kedudukan yang

sama. Diantara para Mosalaki itu sendiri pembagian tugas dan wilayah kerjanya sudah sangat

jelas. Oleh karena itu setiap Mosalaki tidak boleh mengambil hak dan kedudukan Mosalaki lain.

Apabila hal itu terjadi maka akan terjadi perselisihan dan perkelahian antara sesama Mosalaki.

Namun sejarah ini berdasarkan hasil wawancara belum terjadi hal yang demikian. Pada

pelaksanaan upacara adat, salah satu dari kesembilan Mosalaki itu belum hadir maka, upacara

adat tersebut tidak akan dilaksanakan sampai Mosalaki tersebut itu hadir.

27
4.1.4. Keadaan Ekonomi

Prediksi pra-sejahtera bagi suatu desa salah satunya ditinjau dari aspek ekonomi. Sebagai

desa yang menyandang predikat sejahtera, desa Saga terus berbenah untuk memacu pemahaman

ekonomi yang berorientasi kepada masyarakat di berbagai bidang secara berkesinambungan dan

bertahap.

Pada umumnya masyarakat pedesaan hidup dari hasil pertanian, walaupun juga

masyarakat bekerja sebagai PNS, tukang, bisnis, dan lain-lain. Pada utamanya masyarakat Saga

adalah petani lahan kering, yang menanam jagung, coklat, cengkeh dan kopi. Selain itu juga

mereka menanam padi ladang yang digunakan sebagai upacara adat Pera Bara. Sistem pertanian

di masyarakat Saga adalah ladang berpindah, yang berpindah-pindah di dalam lingkungan tanah

adat mereka secara teratur untuk memberi kesempatan lahan-lahan yang telah digarapi menjadi

subur kembali dan hasilnya besar.

4.1.5. Keadaan Sosial Religius

Agama bagi masyarakat merupakan keyakinan dan mempunyai peran penting bagi

kehidupan. Karena dengan agama kehidupan msyarakat akan seimbang antara dunia dan akhirat.

Meski berbagai agama berkembang di Indonesia, tetapi masyarakat Saga Mayoritas memeluk

agama Katolik. Sehingga pada pemukiman Desa Adat Saga hanya terdapat satu tempat ibadat

yaitu gereja.

4.2. Jawaban atas Pokok Permasalahan Pertama

Tujuan penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu untuk mengetahui inti dari ritual

Pa’a Loka. Berkaitan dengan penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif, dengan

mewawancarai 3 orang ketua adat, kepala desa, dan 1 orang tokoh masyarakat di Desa Saga.

28
4.2.1. Hasil Penelitian

Dalam wawancara ini peneliti mengajukan satu pertanyaan kepada Narasumber yang

dilaksanakan pada tanggal 10-22 Januari 2022. Penulis memberikan satu pertanyaan wawancara

untuk ke semua narasumber. Jawaban narasumber terhadap pertanyaan : Inti dari ritual adat Pa’a

Loka. Narasumber menyampaikan pendapat mereka tentang inti dari ritual Pa’a Loka di

persekutuan adat Saga sebagai berikut :

a. Jawaban yang sama dari ke lima narasumber terkait inti dari ritual Pa’a Loka yakni:

ketika dilakukan sebuah ritual adat bisa dibuat manakala masyarakat setempat/

masyarakat lokal ada kesepakatan, kemudian kesepakatan itu dituahkan dalam ritual,

kesepakatan itu yang diakui oleh semua orang menjadi ungkapan isi hati mereka

terhadap para leluhur, para leluhur itu ada macam-macam misalnya para leluhur

penguasa wilayah, para leluhur penjaga mata air, para leluhur penjaga alam dan lain-

lain. Ritual akan dibuat di tempat yang telah ditujukan misalnya di gunung mata air

atau di gua, di mana para tua-tua adat dan pemangku adat yang punya kemampuan dan

kekuasaan yang diwariskan oleh leluhur.

b. Ritual adalah suatu hal yang berhubungan terhadap keyakinan dan kepercayaan

spiritual dengan suatu tujuan tertentu. Sedangkan Pa’a Loka adalah memberi

makanan (sesajen) kepada yang sudah meninggal atau sesuatu yang dipercaya punya

kekuatan gaib. Jadi ritual Pa’a Loka adalah sesuatu yang dianggap sakral dan

dilaksanakan secara turun-temurun. Sehingga ritual Pa’a Loka ini masih dilaksanakan

sampai sekarang.

29
4.2.2. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Ritual Pa’a Loka. Maka pembahasan ini

menjelaskan tentang inti dari ritual Pa’a Loka sebagai berikut:

Secara umum istilah pa’a loka terdiri dari dua suku kata yaitu pa’a dan loka. Pa’a dalam

bahasa lio artinya simpan, menyimpan atau menaruh. Sedangkan loka artinya tumpah,

menumpahkan atau juga membuang. Pa’a loka berarti menyimpan sesuatu lalu membuang.

Pa’a Loka berkaitan dengan makanan bagi orang yang telah meninggal sesuatu yang dipercaya

punya kekuatan gaib. Jadi pengertian pa’a loka adalah memberi makanan (sesajen) kepada

arwah orang yang meninggal atau sesuatu yang dipercaya punya kekuatan gaib. Ritus seperti ini,

terdapat hampir di santero muka bumi. Tentu dengan nama yang berbeda-beda (MW, WS, BT,

HL, & MG).

Memberi makan kepada arwah yang meninggal atau sesuatu yang dipercaya punya

kekuatan gaib, lebih sebagai penghormatan dari orang yang masih hidup. Menghormati para

leluhur atau sesuatu yang gaib itu, sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia, tradisi ini

dipraktekan juga di desa Saga. Motivasi penghormatan yang demikian sebetulnya berlandaskan

pada pemikiran bahwa arwah orang yang meninggal terutama arwah para leluhur, atau sesuatu

yang gaib mempunyai pengaruh yang besar di depan du’a ngga’e (wujud tertinggi suku lio)

terhadap orang yang masih hidup. Arwah para leluhur dan sesuatu yang gaib itu dilihat sebagai

pemberi segala sesuatu yang baik kepada manusia. Ini menunjukkan bahwa orang Lio umumnya

lebih berorientasi pada corak dan model berpikir yang harmonis. Mereka selalu dan senantiasa

menjaga harmonisasi hubungan antara dirinya dengan orang lain.

Harmonisasi ini mengambil rupa dan bentuk supra-human. Artinya harmonisasi

dipengaruhi oleh relasi antara manusia dengan sesama, manusia dengan leluhur, manusia dengan

30
alam dan manusia dengan yang hakiki (Du’a Ngga’e) inilah makna terdalam dari Pa’a Loka.

Bagi masyarakat suku Lio, pa’a loka dilakukan di tempat-tempat tertentu dengan tujuan tertentu

pula. Pa’a loka kepada arwah para leluhur atau orang yang sudah meninggal dilakukan di wisu

lulu (tempat khusus di rumah adat) tubu musu(tiang batu dan mesba di pelataran tempat upacara

adat) serta bhaku rate (peti berisi tulang belulang leluhur yang telah meninggal serta kubur).

Pa’a Loka bisa juga dilakukan di luar dari tempat yang disebutkan di atas. Tetapi tempat yang

dijadikan sebagai tempat pa’a loka itu harus melalui mimpi atau petunjuk dari arwah leluhur,

kepada salah seorang anggota keluarga.

4.2.3. Pelaksanaan Tradisi Pa’a Loka

Dewasa ini ritual adat yang diwariskan oleh para leluhur dari tahun ke tahun sudah

dilakukan sesuai dengan porsi masing-masing. Sehingga seluruh masyarakat adat yang ada

diwilayah tersebut sangat taat dengan aturan tersebut, karena jika tidak menaati maka akan

dikenakan sanksi/ denda adat. Jadi Kebudayaan tidak terlepas dari kehidupan manusia, karena

manusia adalah mahkluk berbudaya. Perkembangan zaman sering memudarkan tradisi yang telah

sekian lama menjadi identitas manusia padahal keberadaan kebudayaan mengandung banyak

nilai yang menjadi tonggak sejarah kehidupan manusia dan menjadi fondasi bagi karya manusia

ke depannya.

Salah satu kebudayaan yang masih hidup dan dipraktekan hingga saat ini yaitu tradisi

pa’a loka yang ada di masyarakat Lio terlebih khusus di persekutuan adat Saga. Bagi masyarakat

Saga tradisi pa’a loka merupakan kepercayaan bahwa arwah para leluhur tetap hidup setelah

kematian. Tradisi ini menghantar masyarakat Saga kepada kebiasaan untuk beromunikasi dengan

31
leluhur dalam hal menyampaikan permohonan kepada mereka. Kegiatan ini dilakukan misalnya

pada saat gawi yang sering dilakukan setiap tahun .

Masyarakat Saga percaya bahwa kehidupan setelah kematian tidak berbeda jauh dengan

kehidupan manusia sebelum kematian. Masih ada hubungan antara orang yang sudah meninggal

dengan orang yang masih hidup. Hal ini senapas dengan ajaran Gereja Katolik yang mengakui

bahwa ada kehidupan setelah kematian di dunia ini.

Kata “seremonial” berasal dari bahasa inggris, yaitu ‘ceremony’ yang berarti upacara.

Upacara adalah suatu aktivitas yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu, biasanya untuk

memperingati suatu kejadian maupun melakukan penyambutan. Sedangkan kata ‘adat’ adalah

aturan dan perbuatan yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala. Timbulnya adat

berawal dari usaha orang-orang dalam suatu masyarakat di daerah yang menginginkan

terciptanya ketertiban di masyarakat. Adat istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun

temurun dari generasi ke generasi sebagai warisan sehingga kuat hubungan dan penyatuannya

dengan pola-pola perilaku masyarakat.

Dari pengertian ‘seremonial’ dan ‘adat’ di atas dapat disimpulkan bahwa seremonial adat

adalah upacara yang dilaksanakan oleh suatu kelompok masyarakat untuk memperingati sesuatu

hal yang sudah diwariskan dari nenek moyang. Seremonial adat ini biasanya dijalankan oleh

pemangku adat, bersama dengan masyarakat adatnya (fai walu ana kalo). Isi dan bentuk

seremonial adat tergantung pada kekhasan budaya setempat. Di wilayah Saga terdapat banyak

seremonial adat. Seremonial tersebut berkaitan langsung dengan hidup dan pekerjaan masyarakat

setempat. Mata pencaharian masyarakat Lio sebagian besar adalah bertani. Demikian pula

sebagai petani, mereka menanam bermacam-macam tanaman, dari tanaman yang pendek

32
umurnya, hingga tanaman tahunan dan tanaman perdagangan. Sebelum menanam dan melakukan

panen, mereka melakukan upacara seremonial adat. Upacara itu dilaksanakan oleh mosalaki dan

fai walu ana kalo dengan acara pati ka bapu ata mata dan syukuran atas hasil panennya.

Seremonial adat ini mempunyai maksud dan tujuan sebagai berikut:

1. Menjaga dan melindungi masyarakat seluruhnya

2. Untuk terhindar dari ancaman marabahaya dan bencana

3. Memperoleh keberhasilan dalam usaha

4. Menghindari tanaman dari serangan hama dan penyaki

4.2.4. Waktu Pelaksanaan Ritual Pa’a Loka

Berkaitan dengan waktu berlangsungnya pemberian sesajian kepada para leluhur dalam

ritual pa’a loka, lima narasumber mengatakan bahwa, biasanya terjadi setiap hari ketika hendak

makan, dan upacara-upacara adat lainnya. Berikut peneliti menguraikan dua hal berikut:

a. Setiap hari hendak makan

Dalam memberikan sesajian kepada arwah leluhur entah itu sarapan (pagi),

makan siang dan makan malam, bahan-bahan yang sering digunakan yakni nasi, lauk

pauk dan air yang ditaruh sedikit pada rate pera yaitu sebuah batu datar tempat sesajen

terdapat di sudut kanan rumah atau juga di meja makan.

33
b. Pada saat upacara adat

Dalam memberikan sesajen kepada arwah leluhur pemimpin adat mulai

melakukan ritual dengan bahan makanan yang telah disiapkan di antaranya nasi merah,

daging babi, sirih pinang, tembakau dan moke (arak khas Lio). Semua makanan tersebut

merupakan makanan adat khusus bagi masyarakat Lio yang wajib disajikan dan ditata di

tempat khusus yaitu pane (tempat makanan khas Lio yang terbuat dari tanah). Para

pemimpin komunitas adat atau mosalaki pu’u melaksanakan puncak ritual Pati Ka yaitu

diawali dengan memberikan makan kepada leluhur, dan semua Mosalaki berdiri

mengelilingi mesbah tempat sesaji.

Pemberian sesajian itu diikuti dengan pengucapan kata-kata religius sebagai berikut:

o dua gheta lulu wula

o nggae ghale wena tana

miu mamo babo fu hajo

to,o sai ghele tana saga

mai sai miu lei sawe gha leja ina kami tau pati miu ka, tii miu pesa

medu kami miu peti gaga bo,o kewi ae

reti ghe wesu nuwa sele mbale, ana ke mae sure te,u mae koe ro,a mae ruwi,

wuga ma,e pengamedu kami kami lei sawe tebo ma,e lo, ro jie baja pawe miu

dua gheta lulu wula no’o nggae ghale wena tana.sai sebu nggegge sai segu

beu kami siwa bella mbey se angi miu tana nwatiu keli wolo, so mbo,o

34
nggegge we,e. rago beu- beu budu bewa lai sawe angi eo tau susa leka tebo ana lo,o

Artinya:

Oh Tuhan Allah yang Maha Tinggi

Oh Tuhan Allah yang Maha Rahim

Nenek Moyang serta para leluhur yang mendiami bata tanah atau wilayah Saga

Mari Datanglah kami sudah menyiapkan makanan dan memberikan

sesajian berupa nasi dan daging untuk para Arwah Nenek Moyang dulu

agar, tanaman-hewan peliharaan kami tumbuh subur dan dijauhkan dari

hama penyakit, manusia maupun hewan terhindar dari wabah penyakit.

Memohon kepada tuhan dan allah yang maha Rahim bimbinglah serta

jauhkanlah kami dari segala penyakit dan dari segala mara bahaya.

Lalu mereka meletakkan sesajian tersebut di atas mesbah. Para Mosalaki yang di

percayakan membawa sajian di sekitar altar tempat persembahan. Selesai memberi makan,

makanan itu dibagikan sedikit-sedikit antara mereka. mereka makan bersama sambil meminum

moke dan mengisap tembakau. Ritual tersebut diakhiri dengan tarian Gawi sohda oleh para

Mosalaki Pu’u mengelilingi altar sesajian.

35
Semua sesaji dalam upacara Pati Ka memiliki makna sebagai berikut:

1. Nasi Merah atau Beras Merah

Nasi merah atau beras merah adalah hasil pertanian dan bahan makanan pokok orang

Lio. Beras dalam sesaji ini dapat diartikan sebagai bekal bila bepergian bahkan sebagai

simbol pertanian, simbol kesuburan dan mewakili mata pencaharian yang sudah dirawat

mulai dari menanam, memberikan pupuk, dan saat panen tiba padi dipetik dan digiling

sehingga menjadi beras yang akan diolah menjadi nasi. Beras merah atau nasi merah bukan

sesuatu yang didapatkan dengan mudah, maka dari itu beras merah bukanlah sesaji

sembarangan yang disajikan dalam upacara Pati Ka. Bagi masyarakat Lio, menyajikan nasi

merah atau nasi putih dalam upacara Pati Ka sebenarnya sama saja. Makna nasi merah

tidak jauh berbeda dengan nasi putih yakni sebagai makanan pokok.

2. Daging Babi

Daging babi merupakan hasil peternakan yang banyak dipelihara oleh masyarakat Lio

dan dipelihara dalam waktu yang lama, mulai dari memberinya makan agar tumbuh dengan

baik, merawatnya agar tidak terkena penyakit sehingga pada saatnya diperlukan akan

menghasilkan daging yang segar dan sehat. Daging babi jiga disajikan dalam upacara Pati

Ka, hal ini dikarenakan menurut tradisi dalam setiap upacara adat Lio, makanan lain yang

wajib disajikan yakni daging babi, sehinga dapat dikatakan bahwa daging babi merupakan

salah satu makanan adat yang disukai, mewah dan terhormat bagi masyarakat Lio sejak

dulu sampai sekarang.

36
3. Pane (tempat sesaji)

Menurut tradisi Lio, dalam menyajikan makanan khusus untuk acara-acara ritual

adat seperti upacara Pati Ka ini harus menggunakan pane. Pane adalah tempat untuk

meletakkan sesaji yang terbuat dari bahan alami yakni tempurung kelapa, dan ada juga

terbuat dari bahan olahan teknologi seperti tanah liat. Hal ini dikarenakan pane tersebut

merupakan warisan orang tua sejak dahulu dan akan berkelanjutan sampai masa yang

akan datang, sehingga jika menyajikan makanan dalam upacara ritual adat apapun di Lio

harus ditempatkan pada pane.

4. Tembakau

Suguhan selingan dalam aktivitas makan dalam kehidupan masyarakat Lio

merupakan hal yang sangat penting. Salah satu suguhan/sajian selingan dalam upacara

Pati Ka Bapu Ata Mata adalah tembakau. Tembakau yang disajikan berupa tembakau

paga yang merupakan tembakau khas dari daerah Lio. Tembakau ini ditanam sendiri oleh

masyarakat adat di wilayah Lio, sehingga tidak dapat didatangkan dari luar. Kuping atau

pembungkus tembakau menggunakan kulit jagung. Hal ini sama dengan tembakau,

kuping ini berasal dari masyarakat adat yang ada di wilayah Lio. Tembakau memiliki

makna secara khusus yaitu sebagai simbol pergaulan dan keakraban bagi orang tua laki-

laki.

5. Sirih Pinang

Sama halnya dengan tembakau, sirih pinang juga merupakan makanan selingan

yang disajikan dalam upacara Pati Ka Bapu Ata Mata. Ciri khas adat yang berlaku di

wilayah Lio adalah sirih, dan sirih pinang memiliki perlambangan khusus yaitu sebagai

37
simbol kecantikan bagi orang tua perempuan. Hal ini dikarenakan sirih jika dimakan akan

menjadi warnah merah dan orang tua dulu untuk menghias bibir baik wanita maupun pria

harus menggunakan sirih. Sama halnya sekarang perkembangan zaman terutama bagi

kaum muda, menghias bibir dengan menggunakan yang namanya lipstik.

6. Moke (tuak)

Moke merupakan minuman adat khas Lio yang terbuat dari bahan alami yaitu dari

pohon lontar atau enau. Moke merupakan simbol kegembiraan atau kebebasan. Pesta

adat, upacara ritual, acara pernikahan dan acara adat lainnya selalu disajikan moke. Hal

ini sudah dilakukan sejak dahulu hingga sekarang. Moke biasa diletakkan di sebuah ceret/

kendi yang terbuat dari tanah liat dan dituangkan di cangkir yang terbuat dari tanah liat

pula, lalu disungguhkan bagi yang membutuhkan.

Ada beberapa poin penting dalam ritual adat Pa’a Loka sebagai berikut:

1. Pertama, ritual pa’a loka merupakan warisan budaya masyarakat adat Lio.

2. Kedua, ritual pa’a loka mengungkapkan persekutuan antara orang yang masih hidup

dan para leluhur yang sudah meninggal.

3. Ketiga, adanya jaminan keselamatan dan kesejahteraan hidup bagi masyarakat adat

Saga.

Tradisi pa’a loka mempunyai peran dan pengaruh yang sangat penting bagi kehidupan

masyarakat adat Saga baik pengaruh positif maupun dampak negatif jika tidak dilaksanakan. Ada

tiga poin penting yang berkaitan dengan pengaruh riual pa’a loka dalam kehidupan masyarakat

38
adat Saga, yakni warisan budaya, persekutuan antara orang hidup bersama leluhur dan jaminan

keselamatan dan kesejahteraan hidup.

Berikut uraian singkatnya:

Pertama, sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan

Menurut lima narasumber, sebelum masuk dan berkembangnya agama-agama Wahyu,

masyarakat adat Saga sudah memiliki budaya aslinya yakni budaya pa’a loka. Terhadap warisan

leluhur inilah setiap orang melakukan ritual pa’a loka sesuai dengan kepercayaannya untuk

menjamin kesejahteraan hidup. Ritual ini diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur untuk

kepentingan dan kesejahteraan hidup anggota keluarga dalam melestarikan kekhasan masa lalu

sebagai identitas masyarakat adat Saga dalam mencari sesuatu yang mampu membawanya pada

suatu kenyamanan dalam hidup dan mengindarkan diri dari berbagai persoalan hidup ( MW, WS,

BT, HL, & MG).

Keberadaan ritual pa’a loka ini menjadi identitas budaya tersendiri bagi masyarakat

pemeluknya dan kemudian akan menjadi pedoman dalam hidup bagi setiap orang serta mengakar

kuat dalam diri masyarakat Saga sehingga mereka merasa perlu untuk mempertahankan nilai-

nilai luhur dalam ritus-ritus kebudayaan ini sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan

identitas budaya yang telah menjadi ciri khas kehidupan manusia tanpa adanya tekanan dari

budaya luar.

Kedua, Persekutuan antara orang hidup dengan leluhur yang sudah meninggal.

Dari lima narasumber mengatakan bahwa tradisi pa’a loka mampu mendekatkan orang

hidup dengan para leluhur dalam melakukan komunikasi yang bersifat abstrak. Komunikasi yang

39
dibangun ini karena ada kepercayaan bahwa arwah para leluhur mempunyai kekuatan yang dapat

mendatngkan keuntungan sekaligus kerugian jika anggota keluarga tidak menaati segalah

warisan yang diterima dengan cara memberikan kutukan berupa sakit ataupun mengalami

kegagalan dalam setiap usaha (MW, WS, BT, HL, & MG).

Masyarakat adat Saga mempunyai pandangan mengenai iman kepercayaan akan

persekutuan yang berkaitan dengan leluhur baik itu relasi antar pribadi maupun antar kelompok.

Biasanya, relasi ini terjalin dengan baik dikarenakan bahwa orang yang telah meninggal dunia

merupakan bagian dari anggota keluarga yang hidup. Ikatan persaudaraan yang dibangun di

dunia nyata akan berlanjut terus dan tidak akan hilang oleh karena kematian, melainkan

persekutuan ini akan selalu hidup baik di dunia nyata maupun di akhirat.

Ketiga, Adanya jaminan keselamatan dan kesejahteraan hidup

Lima narasumber mengatakan bahwa masyarakat adat Saga mempercayai bahwa dengan

melaksanakan segala pedoman dan aturan yang diberikan leluhur maka kehidupannya

mengalami kesejahteraan dalam berbagai usaha seperti peni nge wesi nuwa yang berarti

berkembang biak (MW, WS, BT, HL, & MG).

Pengaruh tradisi pa’a loka ini berkaitan dengan kepercayaan mengenai orang yang sudah

meninggal mempunyai kekuatan yang mendatangkan keuntungan atau kerugian bagi manusia

yang hidup. Orang yang melaksanakan ritual pa’a loka hanya semata-mata untuk mengingat

kembali arwah yang telah meninggal dan juga meminta doa agar dijauhkan dari mara bahaya

serta segala bentuk penderitaan yang tidak diinginkan. Di samping itu juga, para leluhur

dipercaya mampu memberikan keselamatan bagi jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan

40
leluhur juga memberi arah dan petunjuk agar orang yang baru meninggal tidak tersesat dan

perjalanan menuju surga dapat berjalan dengan lancar.

4.2.5. Nilai-nilai yang terkandung dalam ritual Pa’a Loka

a. Nilai Ketuhanan, semua adat baik yang bernilai religius maupun bersifat spiritual

memiliki orentasi kepada sang maha tinggi. Baik kelompok maupun individu selalu

memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar mendapatkan kelancaran dalam

melaksanakan adat tradisi Pa’a Loka tersebut, serta ucapan syukur segala sesuatu yang

diberikannya.

b. Nilai Mental dan Moral, terbangun dari unsur kepercayaan dimana akan mendorong

manusia terutama masyarakat Saga untuk berbuat baik sebagai bekal kembali untuk

kemudian dalam acara adat tradisi Pa’a Loka pada tahun-tahun berikutnya. Kepala

Adat memberikan kepercayaan nilai mental dan moralnya bukan hanya kepada

masyarakat Saga melainkan kepada tamu-tamu yang datang disaat acara adat tradisi

Pa’a Loka. Perannya dalam melaksanakan Adat tradisi Pa’a Loka. Menjaga nilai-nilai

luhur budaya sebagai bentuk tatanan budaya agar tidak lekang oleh lamanya waktu.

Ajaran moral yang sangat jelas dalam tradisi Pa’a Loka adalah tetap hidup bersama

dalam persekutuan masyarakat adat dan patuh pada keputusan adat yang disepakati

bersama.

c. Nilai Toleransi, melalui upacara adat tradisi Pa’a Loka tidak membedakan berbagai

agama, keyakinan serta status sosialnya. Semua masyarakat turut mengambil bagian di

dalam upacara Pa’a Loka yang bersangkuan. Kepala adat memiliki sikap toleransi yang

sangat tinggi disaat melaksanakan acara adat tradisi Pa’a Loka. Kepala adat tidak

41
membedakan status sosial seseorang maupun dari agama dan keyakinan seseorang pada

saat melaksanakan acara adat tradisi Pa’a Loka.

d. Nilai Gotong Royong, yang terjadi dalam upacara Pa’a Loka adalah nilai

kebersamaan. Semua warga masyarakat Lio-Saga wajib terlibat dalam ritual Pa’a Loka.

Dalam melaksanakan tugasnya, semua warga terlibat penuh dengan semangat

persaudaraan yang tinggi demi terciptanya sebuah ritus yang mantap dan baik.

4.3. Jawaban atas Rumusan Masalah Kedua

Untuk mendapatkan keterengan tentang penyebab penurunan ritual adat pa’a loka di

persekutuan adat Saga.

4.3.1. Hasil penelitian

Pada tanggal 23 Januari 2022 Penulis melaksanakan wawancara kepada narasumber. Jumlah

pertanyaan adalah 8 pertanyaan yang tertuju pada semua narasumber dengan pertanyan pokok

sebagai berikut; penyebab penurunan ritual adat pa’a loka di persekutuan adat Saga. Berdasarkan

pertanyaan tersebut maka pelulis menemukan jawabannya sebagai berikut:

1. Kurang kepedulian masyarakat saga terhadap ritus pa’a loka.

Kondisi melemahnya peran lembaga adat terlihat dari semakin berkurangnya

keterlibatan lembaga adat secara langsung dalam upaya pembentukan perilaku dan

penanaman nilai-nilai adat istiadat serta modal sosial masyarakat. Sebelumnya lembaga

adat terlihat sangat aktif dalam melakukan pembinaan dan penanaman nilai-nilai luhur,

sekarang hampir tidak ditemukan lagi, karena banyak masyarakat yang lebuh fakus pada

pemenuhan kebutuhan ekonomi.

42
2. Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Perubahan perilaku masyarakat akibat perubahan zaman dan dampak kemajuan

teknologi dan informasi. Hal ini terlihat jelas dengan adanya perubahan kultur budaya

tersebut dapat dibuktikan dengan semakin terlihatnya pola perilaku yang menyimpang

dari aturan adat seperti sikap egoisme, saling curiga, bertutur kata yang tidak sopan. Di

samping itu, perwujudan tanggug jawab bersama terhadap ritus pa’a loka kurang nampak.

3. Kurangnya keseriusan dalam pelaksanaan ritual.

Kepercayaan masyarakat terhadap adat mulai menurun disebabkan oleh

kurangnya kehadiran lembaga adat memberikan contoh perilaku yang baik.

Ketidaksesuaian antara norma yang terkandung dalam adat dan praktek yang dilakukan

oleh lembaga adat menjadikan masyarakat tidak terlibat aktif dalam acara adat sehingga

banyak masyarakat yang melanggar aturan tersebut.

4. Kurang melibatkan anggota persekutuan adat.

Pada saat tokoh adat melakukan upacara adat, mereka tidak berdiskusi bersama-

sama dengan tokoh masyarakat sehingga banyak masyarakat yang melanggar aturan

tersebut dan terjadinya penurunan dalam upacara tersebut. Solidaritas dan kerja sama

antara mosalaki dan fai walu ana kalo kurang namapak. Ada penurunan semangat dalam

kerja sama untuk menyukseskan acara atau ritus adat pa’a loka. Mosalaki bekerja sendiri

dengan kurang melibatkan para anggota persekutuan sehingga ritual ini terkesan hanya

menjadi aktivitas para mosalaki saja.

43
Berdasarkan jawaban dari narasumber di atas maka penulis menyimpulkan bahwa secara

umum Ritual Pa’a Loka dalam suku saga mempunyai peran penting bagi kehidupan masyarakat

adat Saga. Karena ritual Pa’a Loka merupakan pemberian sesajen kepada arwah para leluhur

yang telah meninggal dunia dan juga merupakan sesuatu keprercayaan secara turun-temurun

mempunyai kekuatan gaib. Namun dengan perkembangan zaman yang kian hari kian berubah

membuat suatu adat kebiasaan dalam lingkup suku saga ini mulai minim untuk dikembangkan

dan dipahami oleh regenerasi penerus. Karena sebuah kebiasaan kultur budaya itu hilang maka

setiap pribadi seseorang yang berada di dalam Saga tersebut akan timbul ketidaknyamanan

dalam kehidupan budaya tersebut. Hal ini menjadi hambatan yang berkaitan dengan kepercayaan

masyarakat terhadap budaya adat-istiadat. Maka dari itu generasi penerus perluh tahu adat

budaya tersebut melalui penanaman sikap adil dan rasa memiliki terhadap kultur budaya

setempat.

Dalam proses sebuah ritual adat harus diikut sertakan oleh semua tokoh adat dan seluruh

masyarakat yang ada di wilayah tersebut, agar proses ritualnya bisa berjalan dengan baik dan

lancar. Jika dalam proses pelaksanaan ritual tersebut tidak diketahui oleh masyarakat setempat

maka tidaklah heran kalau masyarakat melanggar aturan tersebut karena bagaimanapun juga

masyarakat adalah sumber kekuatan untuk para tokoh adat dalam melaksanakan sebuah ritual.

Adapun beberapa tindakan untuk menyadarkan generasi penerus tentang kultur budaya tersebut

dengan melalui pendekatan agama, sehingga tingkat kepedulian masyarakat khususnya generasi

penerus memahami siklus ritus Pa’a Loka dengan tujuan agar kembali berjalan baik sesuai

dengan ajaran para leluhur dalam suku Saga tersebut. Apa lagi peran Orangtua “dalam rana

lingkup keluarga” pada zaman sekarang ini mereka mempunyai kesibukan yang banyak sehingga

tidak ada waktu untuk menceritakan dan menjelaskan tentang adat-istiadat dan budaya kepada

44
anak-anaknya mereka. Sehingga generasi muda sekarang tidak memahami lagi budaya yang

telah ada sejak dahulu yang telah di wariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun.

Setelah diketahui masalah utama dalam rana lingkup keluarga dapat diketahui dalam tatanan

rana budaya adapun beberapa tokoh penting yang berperan aktif seperti “Mosalaki” karena

proses pelaksanaan ritual yang dijalankan oleh “Mosalaki” masih ada sedikit kekurangan dan

hambatan, alasanya dikarenakan perekonomian yang kurang memadai sehingga banyak

masyarakat yang mengeluh, akan tetapi apapun alasannya proses pelaksanaan ritualnya tetap

dijalankan karena itu sudah menjadi tanggungjawab bersama dalam suku tersebut serta

melestarikan kebudayaan yang telah ada dan menjadi sarana turun-temurun dari generasi ke

generasi berikutnya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kehidupan masyarakat Saga

mempunyai banyak sekali perabadaban kebudayaan dan adat istiadat yang tersimpan secara

turun-temurun. Setiap pelaksanaan adat kebudayaan masyarakat suku Saga sangat berarti dan

harus dijunjung tinggi oleh masyarakat suku Saga itu sendiri dan menjadi tolak ukur dalam

pandangan sikap dan perilaku dari generasi generasi berikutnya. Pelestarian adat-istiadat Saga

terlebih khusus ritus “Pa’a Loka” harus dibudidayakan, karena kemakmuran suatu daerah yang

baik pasti dari tata cara yang baik yang diterapkan oleh parah leluhur. Oleh sebab itu suku Saga

dalam memeluk adat-istiadat dan kebudayaan menjadi modal utama bagi mereka agar dikenal

orang serta menunjukan ciri khas orang yang berada dalam kawasan suku Saga itu sendiri dan

menjadi kebanggaan tersendiri jika ada para pengunjung yang datang mengunjungi suku

tersebut.

45
4.3.2. Pembahasan

Dalam kehidupan suatu wilayah masyarakat tertentu ada banyak hal yang dapat diketahui

baik dalam rana lingkup keluarga, pendidikan, keagamaan, ekonomi, politik dan lain sebagainya.

Tentu tidak terlepas dengan adat-istiadat kultur budaya yang diterapkan secara turun-temurun,

dikarenakan sebelum masyarakat setempat keluar dari zona kehidupan lainya terlebih dahulu

mengenal adat-istiadat budaya sendiri. Apa lagi masyarakat Saga yang masih sangat kental

menjalankan tradisi adat-istiadat tersebut, karena menurut mereka tindakan ini merupakan ajaran

yang diajarkan oleh para leluhur mereka sejak dari dahulu kala seperti ritual “Pa’a Loka” yang

merupakan sesajian untuk para leluhur yang telah meninggal dunia, tujuan dari semuanya ini

adalah sebagai ucapan syukur atas hasil yang diperoleh masyarakat Saga tersebut.

Oleh sebab itu adapun hambatan-hambatan dalam proses pelaksanaan ritual adat-istiadat

tersebut, karena dalam melaksanakan adat-istiadat tersebut ada beberapa masyarakat yang pro-

kontra. Hal ini terjadi dikarenakan banyaknya dampak-dampak luar yang mempengaruhi pribadi

individu maupun kelompok ataupun kelompok dengan kelompok itu sendiri. Bahkan dengan

perkembangan zaman generasi penerus mulai melupakan kebiasaan berkaitan dengan kultur

budaya mereka sendiri yang diharuskan untuk dikembangkan akan tetapi harapan tersebut tidak

kuat untuk menjadi landasan atau fondasi generasi tersebut dikarenakan zaman teknologi yang

semakin maju, menurut mereka apa yang baru lebih baik dari pada yang dulu.

Dilihat kembali dari rana lingkup keluarga (orangtua) yang kurangnya memberi pemahaman

tentang adat budaya sekitar bahkan mereka lupa akan hal penting tersebut yang menjadi utama

dalam kehidupan mereka merupakan kesibukan pribadi terlebih dahulu dibandingkan

menjelaskan kepada regenerasi penerus tentang kultur adat budaya setempat. Kemudian itu

46
dalam ranah lingkup adat juga melakukan hal tersebut sama halnya dengan rana lingkup keluarga

lebih mementingkan kesibukan pribadi dibandingkan menjelaskan kepada generasi muda tentang

adat budaya setempat sehingga sikap ketidakpedulian itulah yang mengakibatkan generasi muda

zaman sekarang tidak memahami apa itu tradisi adat-istiadat.

Maka dari itu dampak tersebut adapun solusinya yakni perlu dilakukan pendekatan yang

baik dalam penanaman keluarga, nor ma adat dan lain sebagainya kepada generasi muda dengan

senantiasa melakukan koordinasi dan kerjasama dengan tokoh pemuda. Selain itu aturan norma

yang terkandung dalam adat istiadat harus disesuaikan kondisi perkembangan zaman agar tidak

adanya kesan pengekangan kreatifitas serta memberikan kebebasan mereka untuk berkreasi dan

berekspresi dengan tetap menjaga norma dan nilai adat serta memberikan batasan yang sesuai

dengan kondisi perkembangan zaman.

Hal tersebut dapat dilakukan seperti; Pertama, menguatnya peran lembaga adat tidak

terlepas dari adanya dukungan dari pihak lain seperti pemerintah dan warga masyarakat sendiri.

Kedua, tingkat kemampuan dan pemahaman dari pengurus lembaga adat akan adat istiadat dapat

memudahkan mereka dalam memainkan perannya di tengah masyarakat. Ketiga, lembaga adat

harus mampu memberikan contoh yang baik di tengah masyarakat sesuai dengan norma yang

diajarkan oleh adat istiadat.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kehidupan masyarakat

Saga mempunyai banyak sekali perabadaban kebudayaan dan adat istiadat yang tersimpan sejak

dahulu. Oleh sebab itu disetiap kebudayaan masyarakat Saga sangat berarti besar dan harus

dijunjung tinggi oleh masyarakat sekitar. Pentingnya pelestarian adat istiadat Saga merupakan

suatu fenomena yang banyak didatangi oleh orang-orang dari budaya luar. Bagi masyarakat Saga

47
kebudayaan dan adat istiadat menjadi modal utama bagi mereka agar dikenal orang melalui ciri

khas rumah adat yang dimiliki. Bahkan kebudayaan yang mereka miliki sekarang menjadi

sumber pemasukan daerah, karena banyaknya para turis asing yang mengunjungi wilayah

mereka untuk melihat adat-istiadat masyarakat Saga dan sebagai generasi penerus harus tetap

menjaga dan meneruskan kebiasaan tersebut agar tidak pudar.

4.4. Kesimpulan

Ritual Pa’a Loka merupakan pemberian sesajen kepada arwah para leluhur yang telah

meninggal dunia dan juga merupakan sesuatu keprercayaan secara turun-temurun mempunyai

kekuatan gaib. Namun dari rana lingkup keluarga (orangtua) yang kurangnya memberi

pemahaman tentang adat budaya sekitar bahkan mereka lupa akan hal penting tersebut yang

menjadi utama dalam kehidupan mereka merupakan kesibukan pribadi terlebih dahulu

dibandingkan menjelaskan kepada generasi penerus tentang kultur adat budaya setempat.

Kemudian itu dalam rana lingkup adat juga melakukan hal tersebut sama halnya dengan rana

lingkup keluarga lebih mementingkan kesibukan pribadi dibandingkan menjelaskan kepada

generasi muda tentang adat budaya setempat sehingga sikap ketidakpedulian itulah yang

mengakibatkan generasi muda zaman sekarang tidak memahami apa itu tradisi adat-istiadat.

Maka dari itu diperluhkan pendekatan yang baik dari pihak keluarga maupun tokoh adat terhadap

generasi muda, agar seluruh rangkaian kebudayaan yang dibuat dapat berjalan dengan baik

karena kebudayaan yang sudah diwariskan oleh nenek moyang harus dilestarikan dan menjadi

turun-temurun dari generasi ke generasi.

48
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tradisi Pa’a Loka bagi masyarakat adat

Saga, maka peneliti menyimpulkan beberapa poin sebagai berikut:

5.1.1. Makna Ritus Pa’a Loka bagi Masyarakat Adat Saga

Pertama, ritus Pa’a Loka merupakan pemberian makanan (sesajen) kepada arwah orang yang

telah meninggal atau sesuatu yang dipercaya punya kekuatan gaib.

Kedua, ritus Pa’a Loka merupakan wujud keyakinan masyarakat adat Saga akan adanya Wujud

Tertinggi sebagai pencipta yang perlu disembah.

Ketiga, ritus Pa’a Loka merupakan sebagai media untuk mendoakan jiwa orang yang meninggal

agar jiwa para arwah yang meninggal dunia dapat menikmati kebahagiaan bersama para kudus di

surga.

5.1.2. Faktor- Faktor penyebab penurunan ritual pelaksanaan adat pa’a loka

a. Kurang kepedulian masyarakat saga terhadap ritus pa’a loka.

b. Karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

c. Kurangnya keseriusan dalam pelaksanaan ritual

d. Kurang melibatkan anggota persekutuan adat.

49
5.2. Usul-Saran

Berdasarkan beberapa hal yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, maka patutlah

memberikan saran kepada pihak-pihak terkait agar dapat menjunjung tinggi nilai kebudayaan

serta dapat melestarikan kembali.

1. Bagi Para Tua Adat agar tetap melaksanakan ritual adat Pa’a Loka sehingga tetap

menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan khususnya dalam ritual Pa’a Loka.

2. Bagi pemerintah daerah, agar tetap membangun kerjasama dengan lembaga adat dan

memberikan dukungan dalam menjaga kelestarian dari tradisi Pa’a Loka.

3. Bagi kaum muda, agar tetap menjaga dan melestarikan kebudayaan sehingga kebudayaan

tetap terjaga.

4. Bagi masyarakat adat Saga, agar tetap mematuhi norma-norma adat untuk menjaga nilai-

nilai yang terkandung dalam ritual P’a Loka.

5. Bagi Gereja agar kebudayaan yang baik ikut dilestarikan karena mengandung nilai-nilai

yang tidak bertentangan dengan ajaran Kristus.

50

Anda mungkin juga menyukai