Anda di halaman 1dari 67

Buku III: Tugas Gereja Mengajar (Kan.

747-833)

A. Dasar-dasar teologis
1. Kewajiban dan hak Gereja terhadap kebenaran yang diwahyukan dan
diberikan oleh Kristus kepadanya.

Kan. 747 - § 1. Kepada Gereja dipercayakan oleh Kristus Tuhan khazanah iman
agar Gereja dengan bantuan Roh Kudus menjaga tanpa cela kebenaran yang
diwahyukan, menyelidikinya secara lebih mendalam, mewartakan dan
menjelaskannya dengan setia; Gereja mempunyai tugas dan hak asli untuk
mewartakan Injil kepada segala bangsa, juga dengan alat-alat komunikasi sosial
yang dimiliki Gereja sendiri, tanpa tergantung pada kekuasaan insani mana pun
juga.

§ 2. Gereja berwenang untuk selalu dan di mana-mana memaklumkan prinsip-


prinsip moral, juga yang menyangkut tata-kemasyarakatan, dan untuk
membawa suatu penilaian tentang segala hal-ikhwal insani, sejauh hak-hak asasi
manusia atau keselamatan jiwa-jiwa menuntutnya.

Kanon 747 memuat tiga prinsip menyangkut khazanah iman, prinsip-prinsip


moral dan membawa suatu penilaian tentang segala hal insani.

Gereja harus menjaga khazanah iman dengan menjaga tanpa cela kebenaran
yang diwahyukan, menyelidikinya secara mendalam, yaitu mengupayakan
pendalaman-pendalaman baru dan penerapan-penerapan baru pada waktu dan
orang, mewartakan dan menjelaskannya dengan setia kepada semua bangsa.

Kuasa Gereja ini satu dan berasal dari misi Kristus; Kristus memerintah para
rasul untuk mewartakan Injil; para rasul digantikan oleh para uskup, yang
dibantu oleh para imam. Perintah Yesus kepada rasul berlaku juga bagi Gereja.
Gereja yang lahir dari pewartaan Kristus dan para rasul menjadi utusan Kristus
untuk mewartakan.

Elemen yuridis dari kanon 747 adalah:

a) Hak-kewajiban Gereja untuk mewartakan Injil: kepada seluruh bangsa,


tanpa tergantung dari kuasa manusiawi manapun, serta melalui alat-alat
komunikasi sosial
b) Tugas Gereja adalah: mewartakan selalu dan di manapun prinsip-prinsip

1
moral, juga yang menyangkut tata-kemasyarakatan, membawa suatu penilaian
atas segala hal ihwal insani, sejauh hak-hak asasi manusia atau keselamatan
jiwa-jiwa menuntutnya. Contoh: ensiklik-ensiklik Paus

2. Kewajiban dan hak semua orang untuk mencari dan menemukan


kebenaran atas Allah

Kan. 748 - § 1. Semua orang wajib mencari kebenaran dalam hal-hal yang
menyangkut Allah dan Gereja-Nya, dan berdasarkan hukum ilahi mereka wajib
dan berhak memeluk dan memelihara kebenaran yang mereka kenal.

§ 2. Tak seorang pun boleh memaksa orang untuk memeluk iman katolik
melawan hati nuraninya.

Kan. 748 ini

a) Meneguhkan hak semua manusia untuk mencari kebenaran akan Allah


dan atas Gereja dan ketika mengenalnya, berdasarkan hukum ilahi, memeluk
dan memeliharanya
b) Menetapkan bahwa tak seorang pun dapat dipaksa untuk memeluk iman
katolik melawan hati nuraninya. Kebebasan beragama merupakan prinsip utama
dan dasar semua kebebasan lainnya;
c) Orang yang telah katolik mempunyai kewajiban, juga yuridis, untuk
bertahan dalam iman itu. Orang yang murtad akan dihukum (bdk. kan. 1364).

3. Ketidak-dapat-sesatan kuasa Mengajar Gereja

Kan. 749 - § 1. Berdasarkan jabatannya Paus memiliki ketidak-dapat-sesatan


(infallibilitas) dalam Magisterium, apabila selaku Gembala dan Pengajar
tertinggi seluruh kaum beriman, yang bertugas untuk meneguhkan iman
saudara-saudaranya, memaklumkan secara definitif bahwa suatu ajaran di
bidang iman atau di bidang moral harus diterima.

§ 2. Ketidak-dapat-sesatan dalam Magisterium dimiliki pula oleh Kolegium


para Uskup, apabila para Uskup, tergabung dalam Konsili Ekumenis,
melaksanakan tugas mengajar dan selaku pengajar dan hakim iman dan moral,
menetapkan bagi seluruh Gereja bahwa suatu ajaran di bidang iman atau moral
harus diterima secara definitif; ataupun apabila mereka, tersebar di seluruh
dunia, namun memelihara ikatan persekutuan antara mereka dan dengan
pengganti Petrus, mengajarkan secara otentik, bersama dengan Uskup Roma itu,

2
sesuatu dari iman atau dari moral dan mereka seia-sekata bahwa ajaran itu harus
diterima secara definitif.

§ 3. Tiada satu ajaran pun dianggap sudah ditetapkan secara tak-dapat-sesat,


kecuali hal itu nyata dengan pasti.

Berdasarkan kanon 749 Paus mempunyai infallibilitas dalam hal ini

a) Sebagai pengganti Petrus, dengan tugasnya untuk meneguhkan iman para


saudara
b) Ketika bertindak sebagai Gembala dan Pengajar tertinggi seluruh kaum
beriman, bukan secara sederhana sebagai uskup kota Roma atau seorang teolog
yang mengungkapkan pandangan pribadinya;
c) Dan bersama menyatakan suatu ajaran harus diterima dengan ketaatan
iman;
d) Dan menyatakannya dengan tindakan resmi yang jelas

Contohnya: dogma Maria dikandung tanpa noda dosa (1854) dan Diangkat ke
Surga (1950).

Kolegium para uskup memiliki infallibilitas dalam dua hal:

a) Ketika uskup-uskup, bergabung dalam konsili ekumenis (bdk. kan. 336-


337), sebagai guru dan hakim iman dan moral, menyatakan untuk Gereja
universal bahwa suatu kebenaran iman atau moral harus diterima secara
definitif;
b) Ketika para uskup, dalam kebersamaan di antara mereka dan Paus,
meskipun tersebar di seluruh dunia, mengajarkan secara otentik sesuatu dari
iman dan moral dan mereka seia-sekata bahwa ajaran itu harus diterima dengan
pasti.
Di sini perlu diperhatikan maksud untuk “diterima secara definitif” agar ajaran
itu tak-dapat-sesat. “Nyata dengan pasti” berarti bahwa suatu ajaran dapat
dianggap sebagai tak-dapat-sesat hanya jika dilakukan dengan cara jelas dan
tidak meragukan.
4. Kebenaran yang menuntut ketaatan iman ilahi dan katolik

Kan. 750 - § 1. Dengan sikap iman ilahi dan katolik harus diimani semuanya
yang terkandung dalam sabda Allah, yang ditulis atau yang ditradisikan, yaitu
dalam khazanah iman yang satu yang dipercayakan kepada Gereja, dan
sekaligus sebagai yang diwahyukan Allah dikemukakan entah oleh Magisterium
Gereja secara meriah, entah oleh Magisterium Gereja secara biasa dan umum;
3
adapun khazanah iman itu menjadi nyata dari kesepakatan orang-orang beriman
kristiani di bawah bimbingan Magisterium yang suci; maka semua harus
menghindari ajaran apapun yang bertentangan dengan itu.

§ 2. Dengan teguh harus juga dipeluk dan dipertahankan semua dan setiap hal
yang menyangkut ajaran iman atau moral yang dikemukakan secara definitif
oleh Magisterium Gereja, yaitu hal-hal yang dituntut untuk menjaga tanpa cela
dan menerangkan dengan setia khazanah iman tersebut. Maka dari itu adalah
melawan ajaran Gereja katolik orang yang menolak proposisi yang harus
dipegang secara definitif tersebut.

Dari pihak orang katolik dituntut dua konsekuensi bersifat yuridis-kanonis:

a. Mereka terikat kewajiban dari suara hatinya untuk menghindari ajaran


apapun yang bertentangan dengan kebenaran iman dan taat serta mengikutinya
secara total dengan budi dan kehendak;
b. Dengan menaati Magisterium Gereja yang tak-dapat-sesat, orang katolik
ambil bagian dalam ketidak-dapat-sesatan ajaran itu

Kanon ini menjelaskan obyek iman adalah kebenaran yang terkandung dalam
Sabda Allah tertulis (Kitab Suci) dan Tradisi, yang diberikan kepada Gereja
lewat:

a. Ajaran meriah melalui Paus ketika berbicara dari Takhta (ex cathedra)
(kan. 331), konsili ekumenis (kan. 337, § 1); tindakan para uskup yang tersebar
di seluruh dunia, namun secara kolegial (kan. 337, § 2);
b. Magisterium Gereja biasa dan universal

5. Tingkatan penolakan dalam hal ketaatan iman

Kan. 751 - Yang disebut bidaah (heresis) ialah menyangkal atau meragukan
dengan membandel suatu kebenaran yang harus diimani dengan sikap iman ilahi
dan katolik sesudah penerimaan sakramen baptis; kemurtadan (apostasia) ialah
menyangkal iman kristiani secara menyeluruh; skisma (schisma) ialah menolak
ketaklukan kepada Paus atau persekutuan dengan anggota-anggota Gereja yang
takluk kepadanya.

Bidaah: menyangkal atau meragukan dengan membandel suatu kebenaran yang


harus diimani dengan sikap iman ilahi dan katolik sesudah penerimaan
sakramen baptis

4
Kemurtadan: menyangkal iman kristiani secara menyeluruh

Skisma: ialah menolak ketaklukan kepada Paus atau persekutuan dengan


anggota-anggota Gereja yang takluk kepadanya

6. Ketaatan religius intelektual dan kehendak dari pihak kaum beriman pada
pengajaran otoritas tertinggi: paus dan kolegium para uskup

Kan. 752 - Memang bukan persetujuan iman, melainkan ketaatan (obsequium)


religius dari budi dan kehendak yang harus diberikan terhadap ajaran yang
dinyatakan atau oleh Paus atau oleh Kolegium para Uskup mengenai iman atau
moral, bila mereka menjalankan tugas mengajar yang otentik, meskipun tidak
bermaksud untuk memaklumkannya secara definitif; maka umat beriman
kristiani hendaknya berusaha menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan
ajaran itu.

7. Ketaatan religius kaum beriman atas pengajaran para uskup

Kan. 753 - Uskup-uskup yang berada dalam persekutuan dengan kepala dan
anggota-anggota Kolegium, entah sendiri-sendiri entah tergabung dalam
Konferensi para Uskup atau dalam konsili-konsili partikular, adalah guru dan
pengajar otentik dari iman kaum beriman yang dipercayakan kepada reksa
mereka, meskipun mereka tidak memiliki ketidak-dapat-sesatan dalam
mengajar; orang beriman kristiani wajib menganut Magisterium yang otentik
dari Uskup-uskup mereka dengan sikap ketaatan religius.

8. Kewajiban menepati konstitusi dan dekret yang dikeluarkan oleh otoritas


gerejawi berwenang

Kan. 754 - Semua orang beriman kristiani berkewajiban menepati konstitusi-


konstitusi dan dekret-dekret yang ditetapkan oleh kuasa Gereja yang legitim
untuk mengemukakan suatu ajaran atau untuk menolak pendapat-pendapat yang
sesat; tetapi secara khusus hal ini berlaku bagi ketetapan yang dikeluarkan oleh
Paus atau Kolegium para Uskup.

9. Kewajiban otoritas gerejawi untuk memajukan dan memimpin gerakan


ekumenis

Kan. 755 - § 1. Seluruh Kolegium para Uskup dan Takhta Apostolik


mempunyai tugas utama untuk memajukan dan membimbing gerakan ekumenis
di kalangan umat katolik, yang tujuannya ialah pemulihan kesatuan antara

5
semua orang kristiani yang menurut kehendak Kristus harus diperjuangkan oleh
Gereja.

§ 2. Demikian pula para Uskup dan, menurut norma hukum, konferensi para
Uskup, wajib memperjuangkan kesatuan tersebut dan, sesuai dengan bermacam-
macam kebutuhan atau kesempatan, wajib memberikan norma-norma praktis
dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas
tertinggi Gereja.

B. Pelayanan Sabda Allah secara umum


1. Penanggung jawab pelayanan Sabda
1.1 otoritas tertinggi

Kan. 756 - § 1. Sejauh menyangkut Gereja universal, tugas untuk


memaklumkan Injil dipercayakan terutama kepada Paus dan kepada Kolegium
para Uskup.

1.2 Para uskup

§ 2. Sejauh menyangkut Gereja partikular yang dipercayakan kepadanya, tugas


itu dilaksanakan oleh masing-masing Uskup, sebab di sana mereka adalah
pemimpin seluruh pelayanan sabda; tetapi adakalanya beberapa Uskup
melaksanakan bersama-sama tugas itu secara serentak untuk beberapa Gereja
yang berbeda-beda, menurut norma hukum.

1.3 Para imam

Kan. 757 - Tugas khas dari imam-imam yang adalah rekan kerja para Uskup
ialah memaklumkan Injil Allah; terutama para pastor paroki dan mereka yang
diserahi tugas reksa jiwa-jiwa, mempunyai kewajiban ini terhadap umat yang
dipercayakan kepada mereka; juga para diakon, dalam persatuan dengan Uskup
dan presbiteriumnya, harus mengabdi umat Allah dalam pelayanan sabda.

6
1.4 Para diakon

Kan. 757 - Tugas khas dari imam-imam yang adalah rekan kerja para Uskup
ialah memaklumkan Injil Allah; terutama para pastor paroki dan mereka yang
diserahi tugas reksa jiwa-jiwa, mempunyai kewajiban ini terhadap umat yang
dipercayakan kepada mereka; juga para diakon, dalam persatuan dengan Uskup
dan presbiteriumnya, harus mengabdi umat Allah dalam pelayanan sabda.

1.5 Anggota tarekat hidup bakti

Kan. 758 - Para anggota tarekat-tarekat hidup bakti, berdasarkan pembaktian


khas dirinya kepada Allah, memberikan kesaksian secara khusus tentang Injil;
mereka pun diikutsertakan sepantasnya oleh Uskup untuk membantu
pemakluman Injil.

1.6 Awam

Kan. 759 - Kaum beriman kristiani awam, berkat sakramen baptis dan
penguatan, adalah saksi-saksi warta injili dengan perkataan dan teladan hidup
kristiani; mereka dapat dipanggil pula untuk bekerjasama dengan Uskup dan
para imam dalam melaksanakan pelayanan sabda.

2. Obyek pelayanan sabda

Kan. 760 - Dalam pelayanan sabda yang harus berdasarkan pada Kitab Suci,
Tradisi, liturgi, Magisterium dan kehidupan Gereja, hendaknya misteri Kristus
diwartakan secara utuh dan setia.

7
3. Sarana-saran dalam pelayanan sabda

Kan. 761 - Hendaknya dipergunakan segala macam sarana yang tersedia untuk
mewartakan ajaran kristiani, terutama khotbah serta pengajaran kateketik yang
senantiasa menduduki tempat paling penting, tetapi juga penyampaian ajaran di
sekolah-sekolah, di akademi-akademi, konferensi-konferensi dan semua jenis
pertemuan; demikian pula penyebaran ajaran kristiani lewat pernyataan-
pernyataan publik yang dikeluarkan oleh otoritas yang legitim pada kesempatan
pelbagai peristiwa, lewat pers dan sarana-sarana komunikasi sosial lainnya.

C. PEWARTAAN SABDA ALLAH


1. Kewajiban umum untuk pewartaan

Kan. 762 - Oleh karena umat Allah dihimpun pertama-tama oleh sabda Allah
yang hidup, yang sangat patut diperoleh dari mulut para imam, maka para
pelayan rohani hendaknya menjunjung tinggi tugas mereka berkhotbah; dan
memang di antara tugas-tugas mereka yang utama adalah mewartakan Injil
Allah kepada semua orang.

2. Kewajiban pewartaan secara khusus


2.1 Para uskup

Kan. 763 - Para Uskup berhak untuk berkhotbah di mana-mana, tak terkecuali
di dalam gereja dan ruang doa dari tarekat-tarekat religius bertingkat kepausan,
kecuali Uskup setempat, dalam kasus-kasus khusus, melarangnya secara jelas.

2.2 Para imam dan diakon

Kan. 764 - Dengan tetap berlaku ketentuan kan.765, para imam dan diakon
mempunyai kewenangan untuk berkhotbah di mana-mana dengan persetujuan,
yang setidak-tidaknya diandaikan, dari rektor gereja, kecuali Ordinaris yang
berwenang membatasi kewenangan itu atau malah mencabutnya, atau juga jika
menurut undang-undang khusus diperlukan suatu izin yang jelas.

8
Kan. 765 - Untuk berkhotbah bagi religius di dalam gereja atau tempat doa
mereka, dibutuhkan izin dari Pemimpin yang berwenang, menurut norma
konstitusi.

2.3 Para awam

Kan. 766 - Kaum awam dapat diperkenankan untuk berkhotbah di dalam gereja
atau ruang doa, jika dalam situasi tertentu kebutuhan menuntutnya atau dalam
kasus-kasus khusus manfaat menganjurkannya demikian, menurut ketentuan-
ketentuan Konferensi para Uskup dengan tetap mengindahkan kan. 767, § 1.

3. Bentuk khusus pewartaan: homili

Kan. 767 - § 1. Di antara bentuk-bentuk khotbah, homililah yang paling unggul,


yang adalah bagian dari liturgi itu sendiri dan direservasi bagi imam atau
diakon; dalam homili itu hendaknya dijelaskan misteri-misteri iman dan norma-
norma hidup kristiani, dari teks suci sepanjang tahun liturgi.

§ 2. Dalam semua Misa pada hari-hari Minggu dan hari-hari raya wajib yang
dirayakan oleh kumpulan umat, homili harus diadakan dan tak dapat ditiadakan,
kecuali ada alasan yang berat.

§ 3. Jika cukup banyak umat berkumpul, sangat dianjurkan agar diadakan


homili, juga pada perayaan Misa harian, terutama pada masa adven dan
prapaskah atau pula pada kesempatan suatu pesta atau peristiwa duka.

§ 4. Pastor paroki atau rektor gereja wajib mengusahakan agar ketentuan-


ketentuan ini ditepati dengan seksama.

4. Isi dan gaya pewartaan

Kan. 768 - § 1. Hendaknya para bentara sabda Allah terutama menyajikan


kepada umat beriman kristiani apa yang harus mereka imani dan lakukan demi
kemuliaan Allah dan demi keselamatan manusia.

§ 2. Hendaknya mereka juga menyampaikan kepada kaum beriman ajaran yang


diajukan oleh Magisterium Gereja tentang martabat dan kebebasan pribadi
9
manusia, tentang kesatuan dan kemantapan keluarga serta tugas-tugasnya,
tentang kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan manusia sebagai
anggota masyarakat dan pula tentang hal-hal keduniaan yang harus diatur
menurut tatanan yang ditetapkan oleh Allah.

5. Pewartaan luar biasa

Kan. 769 - Hendaknya ajaran kristiani disajikan dengan cara yang cocok
dengan keadaan para pendengar dan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
zaman.

Kan. 770 - Hendaknya para pastor paroki pada waktu-waktu tertentu, menurut
ketentuan-ketentuan Uskup diosesan, menyelenggarakan pewartaan yang
disebut latihan rohani dan retret umat (sacrae missiones), atau bentuk-bentuk
lain yang sesuai dengan kebutuhan.

6. Pewartaan kepada kelompok khusus

Kan. 771 - § 1. Hendaknya para gembala jiwa, terutama para Uskup dan pastor
paroki, memperhatikan agar sabda Allah juga diwartakan kepada orang-orang
beriman yang oleh karena keadaan hidup mereka, tidak cukup menikmati
pelayanan pastoral umum dan biasa atau malahan sama sekali tidak
menikmatinya.

§ 2. Hendaknya mereka juga berusaha agar warta Injil menjangkau orang-orang


tak beriman yang tinggal di daerah itu, karena memang reksa jiwa-jiwa harus
meliputi juga mereka yang tidak beriman, sama seperti kaum beriman.

7. Pedoman khusus dari uskup diosesan

Kan. 772 - § 1. Mengenai pelaksanaan pewartaan itu, selain ketentuan-


ketentuan di atas, norma-norma yang dikeluarkan oleh Uskup diosesan harus
diindahkan oleh semua.

§ 2. Untuk menyampaikan pembahasan tentang ajaran kristiani lewat siaran


radio atau televisi hendaknya ditepati ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh
Konferensi para Uskup.

10
D. PENGAJARAN KATEKETIK

Kata katekese berasal dari bahasa latin catechesis, dari bahasa Yunani:
katēkhēsis, turunan dari katēkhéō, artinya: saya mengajar dengan suara.
Katekese adalah pengajaran iman kristiani.

1. Penanggung jawab katekese secara umum

Kan. 773 - Menjadi tugas khusus dan berat, terutama bagi para gembala jiwa-
jiwa, untuk mengusahakan katekese umat kristiani agar iman kaum beriman
melalui pengajaran agama dan melalui pengalaman kehidupan kristiani, menjadi
hidup, berkembang, serta penuh daya.

Katekese Paus setiap hari Rabu siang waktu Italia (17.00 atau 18.00 WIB).

Kan. 774 - § 1. Perhatian terhadap katekese, dibawah bimbingan otoritas


gerejawi yang legitim, menjadi kewajiban dari semua anggota Gereja, masing-
masing sesuai dengan perannya.

§ 2. Melebihi semua yang lain, orangtua wajib untuk membina anak-anak


mereka dalam iman dan dalam praktek kehidupan kristiani, baik lewat
perkataan maupun teladan hidup mereka; demikian pula terikat kewajiban yang
sama mereka yang menggantikan orangtua dan para wali baptis.

2. Penanggung jawab katekese secara khusus

2.1 Uskup diosesan

Kan. 775 - § 1. Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dari Takhta


Apostolik, Uskup diosesan bertugas menerbitkan norma-norma mengenai
katekese, demikian pula mengusahakan agar tersedia sarana-sarana kateketik
yang sesuai, juga dengan mempersiapkan katekismus, jika dianggap tepat, serta
mendorong dan melakukan koordinasi atas prakarsa-prakarsa di bidang
kateketik.

Komisi kateketik Keuskupan. Katekismus bahasa daerah: 100 Sungkun-


sungkun agama Katolik.

11
2.2 Konferensi waligereja

kan. 775 - § 2. Adalah tugas Konferensi para Uskup mengusahakan, jika


dianggap berguna, agar diterbitkan buku-buku katekismus bagi wilayah yang
bersangkutan, setelah memperoleh aprobasi dari Takhta Apostolik.

§ 3. Pada Konferensi para Uskup dapat didirikan suatu lembaga kateketik


dengan tugas utama memberi bantuan kepada masing-masing keuskupan di
bidang kateketik.

Ketua: Mgr. Paulinus Yan Olla, MSF

Sekretaris Eksekutif: RD Fransiskus Emanuel Da Santo

Komisi Kateketik KWI bekerja sama dengan Penerbit PT Kanisius Yogyakarta,


menyusun buku Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti ini mulai dari
Kelas 1 SD sampai dengan kelas 12 SMA, baik buku Guru maupun buku Siswa
dengan sub judul masing sesuai jenjang pendidikan.

Buku SD bersub judul “Belajar Mengenal Yesus.

Buku SMP, “Belajar Mengikuti Yesus”.

Buku SMA bersub judul “Diutus sebagai Murid Yesus”.

Sejumlah buku katekismus diterbitkan:

Iman Katolik. Buku Informasi dan Referensi

Katekismus Gereja Katolik

2.3 Pastor paroki

Kan. 776 – Pastor paroki, berdasarkan jabatannya, harus mengusahakan


pembinaan kateketik orang-orang dewasa, orang muda dan anak-anak; untuk
tujuan itu hendaknya ia mempergunakan bantuan para klerikus yang
diperbantukan kepada paroki, para anggota tarekat hidup bakti dan serikat hidup
kerasulan, dengan memperhitungkan ciri khas masing-masing tarekat, serta
orang-orang beriman kristiani awam, terutama para katekis; mereka itu semua
hendaknya bersedia dengan senang hati memberikan bantuannya, kecuali secara
legitim terhalang. Hendaknya pastor paroki mendorong dan memupuk tugas
orangtua dalam katekese keluarga yang disebut dalam kan. 774, § 2.

Kan. 777 - Dengan tetap memperhatikan norma-norma yang ditetapkan oleh

12
Uskup diosesan, secara khusus hendaknya pastor paroki berusaha:

10 supaya diberikan katekese yang sesuai untuk perayaan sakramen-sakramen;

20 supaya anak-anak, dengan pengajaran kateketik selama waktu yang cukup,


disiapkan dengan pantas untuk penerimaan pertama sakramen-sakramen tobat
dan Ekaristi mahakudus serta untuk penerimaan sakramen penguatan;

30 supaya anak-anak itu, sesudah penerimaan komuni pertama, ditumbuh-


kembangkan dengan pengajaran kateketik yang lebih melimpah dan mendalam;

40 supaya pengajaran kateketik diberikan pula kepada mereka yang menyandang


cacat fisik atau mental, sejauh keadaan mereka mengizinkannya;

50 supaya iman kaum muda dan kaum dewasa diteguhkan, diterangi dan
diperkembangkan dengan bermacam-macam bentuk dan prakarsa.

2.4 Superior religius

Kan. 778 - Hendaknya pemimpin-pemimpin religius dan serikat hidup


kerasulan berusaha agar di dalam gereja mereka sendiri, di sekolah atau karya-
karya lain yang dengan salah satu cara dipercayakan kepada mereka, diberikan
pengajaran kateketik dengan rajin.

3. Orang-orang menjadi sasaran katekese

4. Sarana-sarana teknis untuk pengajaran kateketik

Kan. 779 - Hendaknya pengajaran kateketik diberikan dengan mempergunakan


segala bantuan, sarana didaktis dan alat-alat komunikasi sosial yang dipandang
lebih efektif, agar kaum beriman, mengingat sifat, kemampuan, umur dan
keadaan hidupnya, dapat mempelajari ajaran katolik dengan lebih lengkap dan
dapat mempraktekkannya dengan lebih tepat.

5. Persiapan para katekis


13
Kan. 780 - Hendaknya para Ordinaris wilayah berusaha agar para katekis
disiapkan dengan semestinya untuk dapat melaksanakan tugas mereka dengan
sebaik-baiknya, yakni supaya dengan diberikan pembinaan yang terus-menerus
mereka memahami dengan baik ajaran Gereja dan mempelajari secara teoretis
dan praktis norma-norma yang khas untuk ilmu-ilmu pendidikan.

Semua norma yang digariskan dalam kanon-kanon saat ini akan menjadi sia-sia
jikalau para katekis tidak dipersiapkan dengan baik. Kanon ini menekankan
betapa petingnya peran setiap ordinaris wilayah, sebagai pribadi yang
mempunyai tanggung jawab lebih besar perihal katekese di Gereja partikular.

Ada perbedaan arti “katekis” dalam kanon ini dengan arti katekis dalam kanon
785.

1. Kan. 780 tidak mempunyai kanon yang sejajar dengan KHK 17; sumber
dari kanon ini adalah dekret konsili vatikan Christus Dominus 14; yang
memantulkan gema Catechesi tradendae, 71; di sini referensi adalah hidup
biasa dalam Gereja yang telah terbentuk; dibicarakan di sini tentang katekis
dalam arti luas, bukan katekis yang bekerja penuh waktu
2. Kan. 785 mempunyai sumber langsung yang utama Ad Gentes 17;
dibicarakan di sini Gereja di daerah misi; ditegaskan di sini bahwa para katekis
seharusnya menerima suatu pengutusan kanonik dengan sebuah perayaan liturgi
publik; mereka haruslah bekerja penuh waktu dan mendapat upah

Ordinaris wilayah harus menyelenggarakan bahwa para katekis mempunyai


rangkaian pembinaan awal yang membuat mereka mampu memenuhi tugas
mereka. Persiapan demikian mengarah bahwa katekis:

1. Mengenal doktrin Gereja dengan cara memadai pada lingkungan dan


budaya kaum beriman yang hendak diajari;
2. Mengetahui teori dan praktek pedagogis.

Kepada para katekis harus disediakan pembinaan permanen, yang


memungkinkan penyegaran berkelanjutan dalam pendalaman doktrinal, atas
metode-metode pengajaran, pemakaian instrumen yang diberikan oleh dunia
teknik, yang memperkaya secara spiritual, dengan demikian mereka dapat
memberikan, dengan pengajaran teoretis yang benar, juga kesaksian iman, yang
bersatu dengan contoh otentik hidup kristiani dan kerelaan berkurban.

Kewajiban ordinaris wilayah juga sejalan dengan hak kaum awam untuk
memperoleh pengetahuan perlu akan doktrin kristiani yang harus mereka hidupi
14
dan wartakan, khususnya jika mereka dihunjuk secara permanen pada tugas
tertentu.

E. KEGIATAN MISIONER GEREJA

Karakter kegiatan misioner Gereja adalah:

a. Sasaran adalah bangsa-bangsa dan grup-grup yang masih belum percaya


kepada Kristus, di daerah di mana Gereja belum berdiri secara kokoh, belum
memiliki akar;
b. Isi dari pewartaan adalah pewartaan Injil untuk pertama kali, tentang
Kristus yang diutus Bapa untuk keselamatan dunia;
c. Tujuannya adalah agar Gereja baru kiranya didirikan secara penuh, yakni
dipenuhi oleh daya dan sarana memadai untuk mampu memenuhi dari dirinya
karya evangelisasi.

1. Kewajiban fundamental Umat Allah

kan. 781 - Karena seluruh Gereja dari hakikatnya misioner dan karya
evangelisasi harus dipandang sebagai tugas pokok dari umat Allah, maka
hendaknya semua orang beriman kristiani, sadar akan tanggungjawabnya
sendiri, mengambil bagian dalam karya misioner itu.

Tugas misioner secara benar disebut oleh kanon ini sebagai kewajiban dasar
bagi seluruh kaum beriman dalam Gereja. Juga dalam kan. 211 disebut bahwa
merupakan salah satu hak dan kewajiban setiap orang beriman untuk
mengusahakan agar pewartaan ilahi tentang keselamatan kiranya disebarkan ke
seluruh umat manusia dalam setiap masa dan tempat.

Dalam kanon ini tugas ini diingatkan kembali untuk mengantar kanon-kanon
mengenai karya misioner dan meneguhkan kewajiban moral yang diemban oleh
semua kaum beriman sebagai pekerjaannya dan sadar akan tanggung jawab
tersebut. Yang dimaksud dengan kaum beriman adalah paus, para uskup,
masing-masing umat beriman, baik klerikus maupun awam. Bagi para gembala
tugas ini berasal dari tahbisan suci dan tugas eksplisit dari Kristus: “Pergilah...
wartdakanlah (Mat 28 19); bagi awam tugas ini berasal dari penerimaan
sakramen baptisan dan krisma. Masing-masing harus mewujudkan kewajiban
dasariah ini menrut perannya masing-masing.

15
2. Tanggung jawab khusus
2.1 Paus dan dewan para uskup

Kan. 782 - § 1. Kepemimpinan tertinggi dan koordinasi dari prakarsa dan


kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan karya misi dan kerjasama misioner
adalah wewenang Paus dan Kolegium para Uskup.

Pada tangan paus dan kolegium para uskup, sebagai penanggung jawab utama
dalam hidup Gereja dan evangelisasi dunia, terletak tanggung jawa terbesar
dalam kegiatan misioner, yakni sebagai “Kepemimpinan tertinggi dan
koordinasi dari prakarsa dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan karya
misi dan kerjasama misioner”. Apa alasannya? Paus adalah subyek utama dan
promotor pertama dari seluruh kegiatan pastoral yang menyangkut organisasi
dan perkembangan kerasulan dari negara-negara misi, dan kerjasama misioner
yang berlangsung di negara-negara kristiani.

Kolegium para uskup berperan khususnya dalam kasus luar biasa. Secara biasa,
semua hal ini berada dalam diri Paus. Baginya sembagai suatu sarana berperan
Kongregasi untuk Evangelisasi para bangsa, yang bertugas untuk memimpin
dan mengkoordinasi di seluruh dunia karya evangelisasi, kecuali di wilayah
yang di bawah wewenang kongregasi untuk Gereja Timur (bdk. Pastor Bonus
no. 85). Oleh karena itu kongregasi ini memajukan penelitian-penelitian
berkarakter teologis, spiritualitas, pastoral misioner dan menunjukkan garis-
garis tindakan. Kongregasi ini berusaha untuk meluaskan panggilan misioner
dalam umat Allah dan meningkatkan panggilan misioner, termasuk membentuk
klerus sekuler (keuskupan) dan katekis dalam wilayah kerja mereka.

Congregation for the Evangelization of Peoples, Guide for Catechists.


Document of vocational, formative and promotional orientation of Catechists in
the territories dependenton the Congregation for the Evangelization of Peoples,
1993.

Congregation for the Evangelization of Peoples, Pastoral Guide for Diocesan


Priests in Churches Dependent on the Congregation for the Evangelization of
Peoples, Rome, June 1989

2.2 Para uskup

§ 2. Setiap Uskup, selaku penanggungjawab atas Gereja universal dan semua


Gereja, hendaknya menaruh perhatian khusus terhadap karya misi, terutama
dengan membangkitkan, memupuk dan mendukung prakarsa-prakarsa misioner
16
dalam Gereja partikularnya sendiri.

Dasar dari tanggung jawab para uskup bagi karya misioner terletak pada prinsip
bahwa mereka adalah penjamin Gereja semesta dan masing-masing Gereja
partikular. Ketika berbicara tentang uskup sebagai kepala Gereja lokal, masing-
masing uskup tidak boleh dianggap sebagai penanggung jawwab dari suatu
bagian Gereja yang terpisah sama sekali (bdk. Ad gentes 38). Dengan menajdi
penanggung jawab dari suatu Gereja lokal, uskup memerintah Gereja itu
sebagai bagian dari Gereja universal dan dalam persekutuan dengan Gereja-
gereja partikular lainnya, termasuk yang masih dalam pembentukan (bdk. kan.
368). Persekutuan ini mencakup tawaran bantuan, sikap berbagi inisiatif dan
permasalahan di seluruh Gereja lokal.

Wujud dari gerakan memajukan karya misioner itu adalah membangkitkan,


memupuk dan mendukung inisiatif-inisiatif misioner. Tidak tertutup
kemungkinan bahwa para uskup dapat bertindak dalam konferensi para uskup.
KHK 1983 berbicara tentang hal ini dalam hal menerima dan membantu orang-
orang yang datang dari daerah misi demi tugas belajar atau pekerjaan.

2.3 Anggota tarekat hidup bakti

Kan. 783 - Anggota-anggota tarekat hidup bakti, karena mempersembahkan diri


bagi pelayanan Gereja berdasarkan pembaktian dirinya, wajib berkarya secara
khusus dalam kegiatan misioner, dengan cara yang khas bagi tarekat mereka
sendiri.

Kelompok lain yang mempunyai kewajiban khusus memberikan karya misioner


adalah anggota tarekat hidup bakti. Istilah tarekat hidup bakti mencakup
anggota tarekat religius dan tarekat sekular. Dalam arti luas hidup eremit atau
anakoret dan para perawan adalah bentuk hidup di samping tarekat hidup bakti;
dengan kata lain, mereka ini secara yuridis termasuk bagian tarekat hidup bakti
dalam arti luas (bdk. kann. 603 dan 604).

3. Penunjukan para misionaris

Kan. 784 - Para misionaris, sebagai yang diutus oleh otoritas gerejawi yang
berwenang untuk melaksanakan karya misi, dapat dipilih baik putra daerah
maupun bukan, entah klerikus sekular, entah anggota tarekat hidup bakti atau
serikat hidup kerasulan, entah umat beriman kristiani awam lain.

Para misionaris, dalam arti sempit dan sebenarnya, adalah mereka yang diutus

17
oleh otoritas gerejawi yang berwenang untuk melaksanakan karya misi.
Sementara konsep tradisional tentang misionaris adalah imam dari negara
kristiani yang diutus ke negara lain di mana kekristenan belum tertanam atau
sedang berada dalam pembentukannya. Oleh karena itu dapatlah diutus
misionaris: penduduk asli sendiri; orang asing; klerikus sekular; anggota tarekat
hidup bakti dan serikat karya kerasulan (klerikus, awam, laki-laki, wanita);
kaum awam.

Agar dapat diutus sebagai misionaris, orang kiranya memiliki elemen-elemen


berikut:

a. Syarat pertama, bahwa memiliki panggilan khusus (bdk. AG 23)


b.

Kan. 785 - § 1. Dalam menjalankan karya misi hendaknya diikutsertakan


katekis-katekis, yakni umat beriman kristiani awam yang dibekali dengan
semestinya dan unggul dalam kehidupan kristiani; di bawah bimbingan seorang
misionaris, mereka itu membaktikan diri bagi ajaran injil yang harus diwartakan
dan bagi perayaan-perayaan liturgi serta karya amalkasih yang harus diatur.

§ 2. Hendaknya katekis-katekis dibina di sekolah-sekolah untuk maksud


tersebut atau, kalau tidak ada, dibimbing oleh para misionaris.

Kan. 786 - Kegiatan khas misioner untuk menanamkan Gereja di tengah-tengah


bangsa atau kelompok dimana Gereja belum berakar, dilaksanakan oleh Gereja
terutama dengan mengutus bentara-bentara Injil sampai Gereja-gereja muda itu
tumbuh dewasa, yakni memiliki tenaga sendiri dan sarana cukup yang
diperlukan untuk dapat meneruskan sendiri karya evangelisasi.

Kan. 787 - § 1. Hendaknya para misionaris dengan kesaksian hidup dan


perkataan mengadakan suatu dialog yang tulus dengan mereka yang belum
percaya akan Kristus agar terbukalah bagi mereka jalan untuk mengenal warta
injili dengan cara yang cocok dengan watak dan budaya mereka.

§ 2. Hendaknya para misionaris berusaha agar orang-orang yang mereka nilai


siap menerima pewartaan injil mendapat pelajaran mengenai kebenaran-
kebenaran iman sedemikian sehingga mereka dapat diterima untuk dibaptis jika
mereka memintanya dengan bebas.

4. Penerimaan para katekis


5. Karakter dinamis kegiatan misioner

18
6. Metode misioner
6.1 Pertemuan pertama dengan orang yang tak beriman
6.2 Perjalanan katekumen
6.3 Pendampingan orang orang baru lahir
7. wewenang dalam daerah misi

Kan. 788 - § 1. Mereka yang telah menyatakan kemauan untuk memeluk iman
akan Kristus, setelah menyelesaikan masa prakatekumenat, diterima ke dalam
katekumenat dengan upacara liturgi; dan nama mereka hendaknya dicatat dalam
buku yang dimaksudkan untuk itu.

§ 2. Para katekumen, melalui pengajaran dan masa percobaan hidup kristiani,


hendaknya diperkenalkan dengan tepat kepada misteri keselamatan serta diantar
masuk ke dalam kehidupan iman, liturgi dan cinta kasih umat Allah serta hidup
kerasulan.

§ 3. Konferensi para Uskup bertugas untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan


tentang katekumenat, dengan menentukan apa yang harus dilaksanakan oleh
para katekumen dan merumuskan hak-hak istimewa yang diakui bagi mereka.

Kan. 789 - Hendaknya orang yang baru dibaptis dibina agar mereka melalui
suatu pengajaran yang tepat dapat semakin mengenali kebenaran injili dan
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diterima dalam baptis; hendaknya
mereka diresapi dengan cinta sejati terhadap Kristus dan Gereja-Nya.

8. Sistem yuridis penyerahan misi


8.1 Sistem Commissionis
Sampai tahun 1969 berkaitan dengan pengelolaan misi berlaku sistem
commissionis. Dengan sistem ini Takhta Suci, melalui KOngregasi untuk
Evangelisasi para Bangsa, menyerahakan kepada tarekat religius tertentu, atau
serikat hidup kerasulan, suatu wilayah dengan membangun suatu prefektur
apostolik, vikariat apostolik atau missio sui iuris. Menunjuk pemimpin wilayah
itu dengan pengajuan daftar nama dari pemimpin umumnya.
Ius commissionis ini berakhir dengan pendirian daerah misi menjadi sebuah
keuskupan.
- Takta suci mempercayakan suatu daerah misi kepada suatu tarekat
religius
- Tarekat menerimanya, lalu wajib mengirim tenaga misionaris yang

19
dibutuhkan dan menyediakan semua kebutuhannya
- Takhta Suci umunya tidak mengirim tarekat klerikal lainnya ke daerah
itu. Tetapi dapat mengirim tenaga religius wanita, religius pria sebagai rekan
kerja
- Pemimpin gerejawi dipilih dari antara anggota tarekat
8.2 Sistem mandatum
Adalah sistem baru yang menggantikan sistem commissionis. Bentuk sistem ini
adalah kerja sama antara tarekat dan uskup daerah misi.
- Suatu tarekat religius dapat bekerja sama dengan uskup diosesan dari
daerah misi
- Mandat diawali dengan permintaan uskup misi
- Semua tarekat religius atau serikah hidup kerasulan dapat amenerima
mandat
- Tarekat ini dan Ordinaris misi membuat kesepakatan tertulis: karya,
jumlah tenaga, ekonomi.
9. Kerja sama misioner
9.1 Tingkat keuskupan
9.2 Tingkat konferensi waligereja

Kan. 790 - § 1. Uskup diosesan di daerah misi bertugas untuk:

10 memajukan, memimpin dan mengkoordinasi prakarsa dan karya yang


berhubungan dengan kegiatan misioner;

20 berusaha agar diadakan perjanjian-perjanjian yang perlu dengan Pemimpin-


pemimpin lembaga yang membaktikan diri bagi karya misioner dan agar
hubungan-hubungan dengan mereka menguntungkan misi.

§ 2. Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh Uskup diosesan, sebagaimana


disebut dalam § 1, 10, haruslah ditaati oleh semua misionaris, juga para religius
beserta pembantu-pembantu mereka yang tinggal dalam daerah Uskup itu.

Kan. 791 - Di setiap keuskupan, untuk memajukan kerja-sama misioner:

10 hendaknya dipromosikan panggilan-panggilan misioner;

20 hendaknya ditugaskan seorang imam untuk memajukan secara efektif


prakarsa-prakarsa untuk misi, terutama Karya Misi Kepausan;

30 hendaknya setiap tahun dirayakan hari misi;

20
40 hendaknya setiap tahun bagi misi diberikan suatu sumbangan (stips) yang
layak yang harus dikirimkan kepada Takhta Suci.

KARYA MISI KEPAUSAN

THE PONTIFICAL MISSION WORKS

Karya Misi Kepausan (The Pontifical Mission Works) atau juga disebut Serikat
Misi Kepausan (The Pontifical Mission Societies) atau lebih dikenal dengan
istilah yang lebih singkat Karya Kepausan adalah sebuah lembaga yang
membantu tugas Bapa Paus yang secara struktural berada di bawah Kongregasi
Suci untuk Penginjilan (Evangelisasi) Bangsa-bangsa (Sacred Congregation for
Evangelization of Peoples).

Prefek Kongregasi Suci untuk Penginjilan Bangsa-bangsa saat ini adalah His
Eminence Kardinal Fernando Filoni; sedangkan Presiden untuk Karya
Kepausan saat ini adalah His Excellency Mgr. Protase Rugambwa. Dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari, Presiden Karya Kepausan dibantu oleh empat (4)
Sekretaris Jenderal yang membawahi empat Serikat Kepausan yang ada di
bawah tanggungjawabnya masing-masing.

Empat Serikat Kepausan tersebut adalah:

1. Serikat Kepausan untuk Pengembangan Iman (The Pontifical Society for


the Propagation of Faith). Serikat ini didirikan oleh: Pauline Marie Jaricot
(1799-1862), pada tanggal 3 Mei 1822. Sekretaris Jenderal Serikat Kepausan
untuk Pengembangan Iman saat ini adalah : Msgr. Timothy Lahane, SVD

2. Serikat Kepausan St. Petrus Rasul untuk Pengembangan Panggilan (The


Pontifical Society of St. Peter Apostle). Serikat ini didirikan oleh seorang ibu
bersama putrinya, Stephanie dan Jeanne Bigard (1859-1934), pada tahun 1889.
Sekretaris Jenderal Serikat Kepausan St. Petrus Rasul saat ini adalah : Msgr. Jan
Dumon

3. Serikat Kepausan Anak/Remaja Misioner (The Pontifical Society of The


Holy Childhood) didirikan oleh Mgr. Charles de Forbin Janson (1785-1844),
pada tanggal 19 Mei 1843. Sekretaris Jenderal Serikat Kepausan Anak/Remaja
Misioner saat ini adalah: Miss. Dr. Baptistine Joanne Ralamboarison

21
4. Serikat Kepausan Persekutuan Misioner untuk Imam, Religius dan Awam
(The Pontifical Missionary Union for Priest, Religious and Laity), didirikan
oleh: Beato Paolo Manna, PIME (1872-1952), pada tahun 1916. Sekretaris
Jenderal Serikat Kepausan Persekutuan Misioner untuk Imam, Religius dan
Awam saat ini adalah: Mgr. Vito del Prete, PIME.

Tiga serikat yang pertama yaitu Serikat Kepausan untuk Pengembangan Iman,
Serikat Kepausan St. Petrus Rasul untuk Pengembangan Panggilan dan Serikat
Kepausan Anak/Remaja Misioner mendapat status kepausan pada tanggal 3 Mei
1922, sementara Serikat Kepausan Persekutuan Misioner untuk
Imam/Religius/Awam baru mendapat status kepausan pada tanggal 28 Oktober
1956. Dengan penganugerahan status tingkat kepausan berarti telah mengangkat
status serikat-serikat itu dari serikat lokal menjadi serikat yang bersifat mondial
atau internasional langsung di bawah kewenangan (yurisdiksi) Bapa Paus.

Tujuan keempat serikat ini secara umum adalah untuk membangkitkan


kesadaran dan tanggung jawab misioner dalam hati setiap umat Katolik yang
terbaptis, sehingga seluruh umat Allah memiliki kepekaan dan tanggungjawab
terhadap tugas karya perutusan Gereja secara universal.

Di setiap negara atau gabungan beberapa negara, terdapat Biro Nasional Karya
Kepausan yang menjalankan fungsinya untuk pengembangan karya-karya misi
Gereja universal di setiap negara atau gabungan beberapa negara tersebut. Dan
setiap Biro Nasional Karya Kepausan dipimpin oleh seorang Direktur Nasional
(Dirnas).

Khusus untuk negara Indonesia: Karya Kepausan di Indonesia baru mulai hadir
setelah Perang Dunia I, tepatnya pada tahun 1919. Pada saat itu Indonesia masih
berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda (Nederlands Indie) sehingga
Karya Kepausan Indonesia (KKI) masih di bawah koordinasi Karya Kepausan
Negeri Belanda.

Selama kurang lebih lima dasawarsa, Karya Kepausan Indonesia (KKI) tidak
dapat berkembang dengan baik antara lain karena pada saat itu Indonesia masih
dalam masa penjajahan Belanda, yang kemudian dilanjutkan oleh penjajahan
Jepang. Dengan demikian perhatian Gereja (dan bangsa Indonesia) pada masa
itu lebih terfokus pada perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan. Bahkan
setelah kemerdekaan-pun, perhatian Gereja (dan bangsa Indonesia) masih
difokuskan pada usaha pemulihan dan pembenahan keadaan dalam negeri yang
serba memprihatinkan.
22
Baru pada tahun 1970-an, boleh dikatakan bahwa Karya Kepausan Indonesia
(KKI) mulai bangkit dan mendirikan kantor pusat di Jakarta dengan nama Biro
Nasional Karya Kepausan Indonesia. Dalam hubungan dengan dunia
Internasional, kantor pusat ini disebut The National Office of The Pontifical
Mission Societies of Indonesia.

Dalam sidang MAWI (sekarang KWI) tanggal 22 November – 4 Desember


1971, para Uskup Indonesia telah mengakui keberadaan dan peran penting
Karya Kepausan Indonesia (KKI) dalam mengemban tugas untuk
membangkitkan kesadaran dan tanggung-jawab misioner di dalam hati seluruh
umat Katolik Indonesia. Sejak itu Karya Kepausan Indonesia mulai
diperkenalkan di keuskupan-keuskupan seluruh Indonesia.

Para Direktur Nasional yang pernah memimpin Karya Kepausan Indonesia


adalah :

1. R.P. H. Bastiaanse, SJ ( … – 3 Juni 1971)

2. R.P. Diaz Viera, SVD (1972 – 1982)

3. R.P. Theo Tidja Balela, SVD (1984 – 1993)

4. R.D. Petrus Turang (1993 – 1998)

5. R.D. Th. Terry Ponomban (1998 – 2003)

6. R.P. Patrisius Pa, SVD (2003 – 2009)

7. R.P. Romanus E. Harjito, O.Carm (2009 – 2014)

8. RD. Markus Nur Widipranoto (2014 -…)

Di setiap Gereja lokal atau keuskupan, diangkat seorang pejabat Direktur


Diosesan (Dirdios) KKI yang menjalankan fungsi-fungsi Karya Kepausan
Indonesia. Berikut ini adalah para pejabat KKI baik sebagai Direktur Nasional
(Dirnas) maupun sebagai Direktur Diosesan (Dirdios) Karya Kepausan
Indonesia:

Kan. 792 - Konferensi para Uskup hendaknya mendirikan dan memajukan


karya-karya untuk menerima mereka yang datang dari tanah misi ke wilayahnya
untuk bekerja atau untuk belajar, dalam semangat persaudaraan dan membantu
mereka dengan pelayanan pastoral yang cocok.

23
24
d. PENDIDIKAN KATOLIK
1. Prinsip umum mengenai pendidikan

1. Hak dan kewajiban utama orang tua: kan. 793

Pendidikan adalah salah satu tema yang sangat penting dalam masyarakat sipil
dan religius. Dari berbagai sudut, KHK menyoroti pendidikan, misalnya:

- Pendidikan kristiani: kan. 217 dan 226, § 1


- Pendidikan katolik, kan. 793
- Pendidikan moral: kan. 799 dan 804, § 1
- Pendidikan religius: kan 799 dan 804, § 1
- Pendidikan budaya, sosial dan fisik: kan. 1136

Semua orang berhak mendapat pendidikan (UUD 1945, Pasal 31)

1) “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”.


2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya.
3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system
pendidikan nasional”.

Gravissimum Educationis no. 1, Deklarasi KV II mengenai Pendidikan kristiani,

“Semua orang dari suku, kondisi atau usia manapun juga, berdasarkan martabat
mereka selaku pribadi mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas
pendidikan, yang cocok dengan tujuan maupun sifat-perangai mereka,
mengindahkan perbedaan jenis, serasi dengan tradisitradisi kebudayaan serta
para leluhur, sekaligus juga terbuka bagi persekutuan persaudaraan dengan
bangsa-bangsa lain, untuk menumbuhkan kesatuan dan damai yang sejati di
dunia”.

GE 3:

“Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, terikat


kewajiban amat berat untuk mendidik anak mereka. Maka orang tualah yang
harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama”.

Surat YP kepada Keluarga Gratissimam sane (2 februari 1994), n. 16:


https://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/letters/1994/documents/hf_jp-ii

25
let_02021994_families.html

“Parents are the first and most important educators of their own children”

Deklarasi HAM 1948:

1) Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the
elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory.
Technical and professional education shall be made generally available and
higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit.

(2) Education shall be directed to the full development of the human personality
and to the strengthening of respect for human rights and fundamental freedoms.
It shall promote understanding, tolerance and friendship among all nations,
racial or religious groups, and shall further the activities of the United Nations
for the maintenance of peace.

(3) Parents have a prior right to choose the kind of education that shall be given
to their children.

Charter of the Rights of the Family,


https://web.archive.org/web/20101212204809/http://www.vatican.va/roman_cur
ia/pontifical_councils/family/documents/rc_pc_family_doc_19831022_family-
rights_en.html

Article 5

Since they have conferred life on their children, parents have the original,
primary and inalienable right to educate them; hence they must be
acknowledged as the first and foremost educators of their children.

a) Parents have the right to educate their children in conformity with their moral
and religious convictions, taking into account the cultural traditions of the
family which favor the good and the dignity of the child; they should also
receive from society the necessary aid and assistance to perform their
educational role properly.

b) Parents have the right to freely choose schools or other means necessary to
educate their children in keeping with their convictions. Public authorities must
ensure that public subsidies are so allocated that parents are truly free to
exercise this right without incurring unjust burdens. Parents should not have to

26
sustain, directly or indirectly, extra charges which would deny or unjustly limit
the exercise of this freedom.

c) Parents have the right to ensure that their children are not compelled to attend
classes which are not in agreement with their own moral and religious
convictions. In particular, sex education is a basic right of the parents and must
always be carried out under their close supervision, whether at home or in
educational centers chosen and controlled by them.

d) The rights of parents are violated when a compulsory system of education is


imposed by the State from which all religious formation is excluded.

e) The primary right of parents to educate their children must be upheld in all
forms of collaboration between parents, teachers and school authorities, and
particularly in forms of participation designed to give citizens a voice in the
functioning of schools and in the formulation and implementation of
educational policies.

f) The family has the right to expect that the means of social communication
will be positive instruments for the building up of society, and will reinforce the
fundamental values of the family. At the same time the family has the right to
be adequately protected, especially with regard to its youngest members, from
the negative effects and misuse of the mass media.

2. Hak dan kewajiban Gereja: kan. 794

GE 3 memberi dua alasan:

- Karena Gereja dikenal sebagai komunitas yang mampu


menyelenggarakan pendidikan
- Karena Gereja mempunya misi ilahi untuk mewartakan kepada semua
manusia jalan keselamatan dan mengkomunikasikan kepada kaum beriman
hidup Kristus, dengan menolong mereka mencapai kepenuhan
2. Tujuan dan isi pendidikan yang sejati: kan. 795
Sejalan dengan GE 1:
- pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi manusia
seutuhnya, yang memperhatikan tujuan akhir dari manusia dan sekaligus pula
kesejahteraan umum dari masyarakat
- maka anak-anak dan kaum muda hendaknya dibina sedemikian sehingga
dapat mengembangkan bakat-bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara

27
harmonis, “dengan menggunakan kemajuan ilmu psikologi, pedagogi dan
pengajaran” (GE 1)
- mereka memperoleh rasa tanggungjawab yang lebih sempurna dan dapat
menggunakan kebebasan mereka dengan benar, dan terbina pula untuk
berperan-serta secara aktif dalam kehidupan sosial.

Termasuk pendidikan seksual (Kongregasi Pendikan Katolik, Educational


Guidance in Human Love, Outlines for sex education, 8 Desember 1983,
http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/ccatheduc/documents/
rc_con_ccatheduc_doc_19831101_sexual-education_en.html)

Dewan Kepausan untuk keluarga, The Truth and Meaning of Human Sexuality,
Guidelines for Education within the Family,
http://www.vatican.va/roman_curia/pontifical_councils/family/documents/
rc_pc_family_doc_08121995_human-sexuality_en.html

Sekolah
1.1 Pentingnya Sekolah: kan. 796, § 1
GE 5
“Diantara segala upaya pendidikan sekolah mempunyai makna yang istimewa.
Sementara terusmenerus mengembangkan daya kemampuan akalbudi,
berdasarkan misinya sekolah menumbuhkan kemampuan memberi penilaian
yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun oleh
generasi-gerasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata nilai,
menyiapkan siswa untuk mengelola kejuruan tertentu, memeupuk rukun
persahabatan antara para siswa yang beraneka watak-perangai maupun kondisi
hidupnya, dan mengembangkan sikap saling memahami”.

1.2 Kerja Sama timbal balik antara orangtua dan guru: kan. 796, § 2
Sekolah tidak mengganikan keluarga. Fungsi sekolah bersifat sekunder,
menjadikan utuh, karena orangtua tidak mampu jika sendirian mendidik
anaknya. Perlu kerja sama timbal balik antara sekolah dan keluarga.
“The primary right of parents to educate their children must be upheld in all
forms of collaboration between parents, teachers and school authorities, and
particularly in forms of participation designed to give citizens a voice in the
functioning of schools and in the formulation and implementation of
educational policies (Charter of the Rights of the Family, art. 5, huruf e).
1.2.1 Pilihan atas sekolah: kan. 797

28
Hak bebas memilih sekolah dari pihak orangtua.
1.2.2 Perlunya pendidian katolik

1.2.3 kewajiban-hak orangtua untuk mendidik anak-anak secara katolik


1.2.4 kewajiban kaum beriman mengusahakan undang-undang adil
tentang sekolah
1.3 Sekolah katolik
1.3.1 konsep sekolah katolik
1.3.2 hak Gereja untuk memiliki sekolah sendiri
1.3.3 misi khusus beberapa tarekat religius
1.3.4 tanggung jawab untuk mendirikan sekolah katolik
1.3.5 otoritas bertanggung jawab dalam pengajaran religius
1.4 Universitas-universitas katolik
1.4.1 hak Gereja atas universitas katolik
1.4.2 pemakaian nama Universitas Katolik
1.4.3 Tanggung jawab dari konferensi waligereja

Kan. 793 - § 1. Orangtua dan juga para pengganti mereka berkewajiban dan
berhak untuk mendidik anaknya; para orangtua katolik mempunyai tugas dan
juga hak untuk memilih sarana dan lembaga yang menyelenggarakan
pendidikan katolik untuk anak-anak mereka dengan lebih baik, sesuai dengan
keadaan setempat.

§ 2. Para orangtua berhak pula untuk mendapat bantuan yang harus diberikan
oleh masyarakat sipil dan yang mereka butuhkan bagi pendidikan katolik anak-
anak mereka.

Kan. 794 - § 1. Secara khusus tugas dan hak mendidik itu mengena pada Gereja
yang diserahi perutusan ilahi untuk menolong orang-orang agar dapat mencapai
kepenuhan hidup kristiani.

§ 2. Para gembala jiwa-jiwa mempunyai tugas untuk mengatur segala sesuatu


sedemikian sehingga semua orang beriman dapat menikmati pendidikan katolik.

Kan. 795 - Karena pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi
manusia seutuhnya, yang memperhatikan tujuan akhir dari manusia dan
sekaligus pula kesejahteraan umum dari masyarakat, maka anak-anak dan kaum
muda hendaknya dibina sedemikian sehingga dapat mengembangkan bakat-
bakat fisik, moral, dan intelektual mereka secara harmonis, agar mereka
memperoleh rasa tanggungjawab yang lebih sempurna dan dapat menggunakan
29
kebebasan mereka dengan benar, dan terbina pula untuk berperan-serta secara
aktif dalam kehidupan sosial.

BAB I

SEKOLAH

Kan. 796 - § 1. Di antara sarana-sarana penyelenggaraan pendidikan,


hendaknya umat beriman kristiani menjunjung tinggi sekolah-sekolah yang
sangat membantu para orangtua dalam memenuhi tugas mendidik.

§ 2. Para orangtua yang mempercayakan anak mereka kepada para guru


sekolah, harus bekerjasama dengan mereka secara erat; dan hendaknya para
guru dalam pelaksanaan tugas mereka, bekerjasama erat dengan orangtua yang
harus didengarkan dengan rela; hendaknya didirikan persatuan-persatuan
orangtua atau diadakan pertemuan-pertemuan yang semuanya pantas dijunjung
tinggi.

Kan. 797 - Para orangtua harus menikmati kebebasan yang sungguh-sungguh


dalam hal memilih sekolah; karena itu orang-orang beriman kristiani harus
memperhatikan agar masyarakat sipil mengakui kebebasan ini bagi para
orangtua dan, dengan mengindahkan keadilan distributif, melindunginya juga
dengan bantuan-bantuan.

Kan. 798 - Hendaknya para orangtua mempercayakan anak mereka kepada


sekolah-sekolah tempat pendidikan katolik diselengga-rakan; jika hal itu tidak
mungkin, mereka wajib mengusahakan agar pendidikan katolik mereka yang
semestinya itu dilaksanakan di luar sekolah.

Kan. 799 - Hendaknya kaum beriman kristiani berusaha agar undang-undang


yang dalam masyarakat sipil mengatur pembinaan kaum muda, memperhatikan
juga di sekolah-sekolah itu pendidikan keagamaan dan moral mereka, sesuai
dengan suara hati orangtua.

Kan. 800 - § 1. Gereja berhak untuk mendirikan dan mengarahkan sekolah-


sekolah dari jurusan, jenis dan jenjang mana pun.

§ 2. Hendaknya kaum beriman kristiani mendukung sekolah-sekolah katolik

30
dengan membantu sekuat tenaga dalam mendirikan dan menopang sekolah-
sekolah itu.

Kan. 801 - Hendaknya tarekat-tarekat religius yang mempunyai perutusan khas


di bidang pendidikan, dengan setia mempertahankan perutusannya itu dan
mencurahkan segala tenaganya di bidang pendidikan katolik, juga melalui
sekolah-sekolah yang mereka dirikan dengan persetujuan Uskup diosesan.

Kan. 802 - § 1. Kalau belum ada sekolah dimana diberikan pendidikan yang
diresapi semangat kristiani, Uskup diosesan bertugas mengusahakan agar
didirikan.

§ 2. Sejauh berguna hendaknya Uskup diosesan berusaha agar didirikan juga


sekolah-sekolah kejuruan dan teknik, serta juga sekolah-sekolah lain yang
menjawab kebutuhan-kebutuhan khusus.

Kan. 803 - § 1. Sekolah katolik ialah suatu sekolah yang dipimpin oleh otoritas
gerejawi yang berwenang atau oleh badan hukum gerejawi publik atau yang
diakui demikian oleh otoritas gerejawi melalui dokumen tertulis.

§ 2. Pengajaran dan pendidikan di sekolah katolik harus berdasarkan asas-asas


ajaran katolik; hendaknya para pengajar unggul dalam ajaran yang benar dan
hidup yang baik.

§ 3. Tiada satu sekolah pun, kendati pada kenyataannya katolik, boleh


membawa nama sekolah katolik, kecuali dengan persetujuan otoritas gerejawi
yang berwenang.

Kan. 804 - § 1. Otoritas Gereja berwenang atas pengajaran dan pendidikan


agama katolik, yang diberikan di sekolah-sekolah mana pun atau
diselenggarakan dengan pelbagai sarana komunikasi sosial; Konferensi para
Uskup bertugas mengeluarkan norma-norma umum di bidang kegiatan itu, dan
Uskup diosesan bertugas mengatur dan mengawasinya.

§ 2. Hendaknya Ordinaris wilayah memperhatikan agar mereka yang diangkat


menjadi guru-guru agama di sekolah, juga di sekolah bukan katolik, adalah
orang-orang yang unggul dalam ajaran yang benar, dalam kesaksian hidup
kristiani dan juga ahli dalam pendidikan.

Kan. 805 - Ordinaris wilayah berhak mengangkat atau menyetujui guru-guru


agama untuk keuskupannya, demikian pula memberhentikan atau menuntut

31
pemberhentian mereka jika alasan keagamaan atau moral menuntutnya.

Kan. 806 - § 1. Uskup diosesan berhak mengawasi dan mengunjungi sekolah-


sekolah katolik yang berada di wilayahnya, termasuk sekolah-sekolah yang
didirikan atau dipimpin oleh anggota-anggota tarekat religius; Uskup diosesan
berhak pula untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang menyangkut
penyelenggaraan umum sekolah-sekolah katolik: ketentuan-ketentuan itu
berlaku pula bagi sekolah-sekolah yang dipimpin oleh anggota tarekat tersebut,
dengan tetap mengindahkan otonomi mereka sejauh menyangkut kepemimpinan
intern sekolah-sekolah itu.

§ 2. Hendaknya para Pemimpin sekolah-sekolah katolik, dibawah pengawasan


Ordinaris wilayah, mengusahakan agar pendidikan yang diberikan di sekolah-
sekolah itu unggul secara ilmiah, sekurang-kurangnya setingkat dengan
pendidikan di sekolah-sekolah lain di daerah itu.

BAB II

UNIVERSITAS KATOLIK DAN PERGURUAN TINGGI LAIN

Kan. 807 - Adalah hak Gereja untuk mendirikan dan memimpin universitas-
universitas, yang memang memajukan kebudayaan bangsa manusia ke taraf
lebih tinggi dan pribadi manusia ke taraf lebih penuh, dan juga untuk memenuhi
tugas Gereja mengajar.

Kan. 808 - Tiada satu universitas pun, kendati pada kenyataannya katolik, boleh
membawa sebutan atau nama universitas katolik, kecuali dengan persetujuan
otoritas gerejawi yang berwenang.

Kan. 809 - Hendaknya Konferensi para Uskup berusaha agar, jika mungkin dan
berguna, didirikan universitas-universitas atau sekurang-kurangnya fakultas-
fakultas yang tersebar secara baik di wilayah itu; adapun di universitas dan
fakultas itu, dengan tetap mengindahkan otonomi ilmiah, hendaknya diselidiki
dan diajarkan pelbagai matakuliah dengan cahaya ajaran katolik.

Kan. 810 - § 1. Adalah tugas otoritas yang berwenang menurut statuta, untuk
mengusahakan agar di universitas-universitas katolik diangkat dosen-dosen,
yang selain memiliki kecakapan ilmiah dan pedagogis, juga utuh ajarannya dan
tak tercela hidupnya; dan jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, adalah tugasnya
untuk memberhentikan mereka dari jabatan dengan menepati prosedur yang
32
ditentukan dalam statuta.

§ 2. Konferensi para Uskup dan Uskup diosesan yang bersangkutan,


berkewajiban dan berhak untuk mengawasi agar di universitas-universitas itu
dengan setia dipegang teguh asas-asas ajaran katolik.

Kan. 811 - § 1. Hendaknya otoritas gerejawi yang berwenang berusaha agar di


universitas-universitas katolik didirikan fakultas atau institut atau sekurang-
kurangnya suatu mimbar bagi teologi dimana mahasiswa awam juga dapat
mengikuti kuliah.

§ 2. Di setiap universitas katolik hendaknya diberikan kuliah-kuliah dimana


dibahas terutama masalah-masalah teologis, yang mempunyai hubungan dengan
ilmu-ilmu dari fakultas itu.

Kan. 812 - Mereka yang memberikan kuliah-kuliah teologi dalam perguruan


tinggi mana pun, haruslah mempunyai mandat dari otoritas gerejawi yang
berwenang.

Kan. 813 - Uskup diosesan hendaknya sungguh memperhatikan reksa pastoral


bagi para mahasiswa, juga dengan mendirikan paroki khusus atau sekurang-
kurangnya dengan mengangkat secara tetap imam-imam untuk tugas itu, dan
hendaknya ia berusaha agar di universitas-universitas, juga yang tidak katolik,
didirikan pusat-pusat kegiatan katolik tingkat universitas, yang memberi
bantuan kepada kaum muda, lebih-lebih di bidang rohani.

Kan. 814 - Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan mengenai universitas-


universitas juga berlaku sama bagi perguruan-perguruan tinggi lain.

BAB III
UNIVERSITAS DAN FAKULTAS GEREJAWI

Kan. 815 - Berdasarkan tugasnya untuk mewartakan kebenaran yang


diwahyukan, Gereja mempunyai universitas-universitas atau fakultas-fakultas
gerejawi untuk menelaah ilmu-ilmu suci atau ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
ilmu suci itu dan untuk mendidik mahasiswa-mahasiswa dalam ilmu-ilmu
tersebut secara ilmiah.

Kan. 816 - § 1. Universitas-universitas dan fakultas-fakultas gerejawi hanya


dapat didirikan oleh Takhta Apostolik atau dengan aprobasi yang diberikan
olehnya; juga pada dialah kewenangan kepemimpinan tertinggi atasnya.

33
§ 2. Setiap universitas dan fakultas gerejawi harus mempunyai statuta dan
pedoman studi sendiri yang mendapat aprobasi dari Takhta Apostolik.

Kan. 817 - Gelar-gelar akademis yang mempunyai efek kanonik dalam Gereja,
hanya dapat diberikan oleh universitas atau fakultas yang didirikan oleh atau
mendapat aprobasi dari Takhta Apostolik.

Kan. 818 - Ketentuan-ketentuan yang ditetapkan mengenai universitas katolik


dalam kan. 810, 812 dan 813 berlaku pula bagi universitas-universitas dan
fakultas-fakultas gerejawi.

Kan. 819 - Sejauh kepentingan keuskupan, atau tarekat religius atau bahkan
kepentingan seluruh Gereja sendiri menuntut, para Uskup diosesan atau
Pemimpin tarekat yang berwenang harus mengirim kaum muda baik klerikus
maupun anggota tarekat religiusnya, yang unggul dalam watak, keutamaan dan
bakat, ke universitas-universitas atau fakultas-fakultas gerejawi.

Kan. 820 - Hendaknya para Pemimpin dan guru besar dari universitas-
universitas dan fakultas-fakultas gerejawi berusaha agar pelbagai fakultas dari
satu universitas saling bekerjasama sejauh bahannya mengizinkannya, dan agar
antara universitas atau fakultas sendiri dengan universitas-universitas atau
fakultas-fakultas lain, juga yang bukan gerejawi, ada kerja sama timbal-balik;
tujuannya ialah agar universitas atau fakultas itu dengan karya terpadu,
pertemuan-pertemuan, penelitian-penelitian ilmiah yang terkoordinasi dan
sarana-sarana lainnya, dapat bersama-sama menyumbang bagi perkembangan
ilmu-ilmu.

Kan. 821 - Hendaknya Konferensi para Uskup dan Uskup diosesan


mengusahakan, dimana mungkin, agar didirikan lembaga-lembaga tinggi ilmu
keagamaan dimana diajarkan ilmu-ilmu teologis dan ilmu-ilmu lain yang
berhubungan dengan kebudayaan kristiani.

JUDUL IV

SARANA KOMUNIKASI SOSIAL DAN KHUSUSNYA BUKU

Kan. 822 - § 1. Hendaknya para gembala Gereja, dengan menggunakan hak


Gereja dalam memenuhi tugasnya, senantiasa memanfaatkan sarana-sarana
komunikasi sosial.

§ 2. Hendaknya para gembala itu berusaha untuk mengajar umat beriman bahwa

34
mereka wajib bekerjasama agar penggunaan sarana-sarana komunikasi sosial
dijiwai oleh semangat manusiawi dan kristiani.

§ 3. Semua kaum beriman kristiani, terutama mereka yang dengan salah satu
cara mengambil bagian dalam pengaturan atau penggunaan sarana-sarana itu,
hendaknya sungguh-sungguh membantu kegiatan pastoral sedemikian sehingga
Gereja, juga dengan sarana-sarana itu, dapat melaksanakan tugasnya secara
efektif.

Kan. 823 - § 1. Supaya keutuhan kebenaran iman dan moral terpelihara, para
gembala Gereja berkewajiban dan berhak untuk men-jaga agar iman dan moral
dari kaum beriman kristiani tidak dirugikan oleh tulisan-tulisan atau
penggunaan sarana-sarana komunikasi sosial; demikian juga untuk menuntut
agar tulisan-tulisan mengenai iman dan moral yang akan diterbitkan oleh orang-
orang beriman kristiani, diserahkan kepada penilaian mereka; dan juga untuk
menolak tulisan yang merugikan iman yang benar atau moral yang baik.

§ 2. Kewajiban dan hak yang disebut dalam § 1 dimiliki para Uskup, baik
sendiri maupun bila berkumpul dalam konsili-konsili partikular atau dalam
Konferensi para Uskup, sejauh menyangkut umat beriman kristiani yang
dipercayakan kepada reksa mereka; tetapi bila menyangkut seluruh umat Allah,
dimiliki otoritas tertinggi Gereja.

Kan. 824 - § 1. Kecuali ditentukan lain, Ordinaris wilayah yang izinnya atau
aprobasinya harus diminta untuk menerbitkan buku-buku sesuai dengan kanon-
kanon Judul ini, adalah Ordinaris wilayah dari pengarang sendiri atau Ordinaris
wilayah dimana buku itu akan diterbitkan.

§ 2. Hal-hal yang ditentukan dalam kanon-kanon Judul ini mengenai buku-


buku, harus diterapkan pula pada segala macam tulisan yang dimaksudkan bagi
peredaran umum, kecuali nyata lain.

Kan. 825 - § 1. Buku-buku Kitab Suci hanya boleh diterbitkan dengan aprobasi
Takhta Apostolik atau Konferensi para Uskup; demikian pula untuk dapat
diterbitkan terjemahan-terjemahannya dalam bahasa setempat dituntut agar
mendapat aprobasi dari otoritas yang sama dan sekaligus dilengkapi dengan
keterangan-keterangan yang perlu dan mencukupi.

§ 2. Umat beriman kristiani katolik, dengan izin Konferensi para Uskup, dapat
mempersiapkan dan menerbitkan terjemahan-terjemahan Kitab Suci yang
dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang cocok, juga dalam kerjasama
35
dengan saudara-saudara terpisah.

Kan. 826 - § 1. Mengenai buku-buku liturgi hendaknya ditepati ketentuan-


ketentuan kan. 838.

§ 2. Agar buku-buku liturgi dan terjemahan-terjemahannya dalam bahasa


setempat atau bagian-bagian dari padanya dapat diterbitkan ulang, haruslah
pasti mengenai kesesuaiannya dengan penerbitan yang mendapat aprobasi
berdasarkan kesaksian Ordinaris wilayah dimana buku itu diterbitkan.

§ 3. Jangan diterbitkan buku-buku doa, entah dipakai oleh orang beriman secara
umum atau secara pribadi, tanpa izin Ordinaris wilayah.

Kan. 827 - § 1. Untuk menerbitkan katekismus dan juga tulisan-tulisan lain


yang berhubungan dengan pengajaran kateketik ataupun terjemahan-
terjemahannya, dibutuhkan aprobasi dari Ordinaris wilayah, dengan tetap
berlaku ketentuan kan. 775, § 2.

§ 2. Buku-buku yang menyangkut soal-soal yang berhubungan dengan Kitab


Suci, teologi, hukum kanonik, sejarah Gereja, ilmu agama atau ilmu moral,
tidak boleh dipakai sebagai buku pegangan di sekolah dasar, sekolah menengah
atau sekolah tinggi, kecuali buku itu diterbitkan dengan aprobasi otoritas
gerejawi yang berwenang atau kemudian mendapat aprobasi darinya.

§ 3. Dianjurkan agar buku-buku yang membahas masalah-masalah yang disebut


dalam § 2, diserahkan kepada penilaian Ordinaris wilayah, biarpun buku itu
tidak dipakai sebagai buku pegangan dalam pengajaran; anjuran yang sama
berlaku pula bagi tulisan-tulisan yang berisi sesuatu yang secara khusus
menyangkut martabat agama atau moral.

§ 4. Di dalam gereja-gereja atau ruang-ruang doa tidak dapat dipamerkan, dijual


atau dihadiahkan buku-buku atau tulisan-tulisan lain tentang soal-soal agama
atau moral, kecuali yang diterbitkan dengan izin otoritas gerejawi yang
berwenang atau yang mendapat aprobasi darinya kemudian.

Kan. 828 - Kumpulan-kumpulan dekret-dekret dan akta-akta yang diterbitkan


oleh suatu otoritas gerejawi, tak boleh diterbitkan kembali tanpa izin terlebih
dahulu dari otoritas yang berwenang tersebut dan menepati syarat-syarat yang
ditetapkannya.

Kan. 829 - Aprobasi atau izin bagi penerbitan salah satu karya berlaku bagi teks

36
yang asli, tetapi tidak berlaku bagi terbitan-terbitan ulang atau terjemahannya.

Kan. 830 - § 1. Dengan tetap utuh hak setiap Ordinaris wilayah untuk
menyerahkan penilaian buku-buku kepada orang-orang yang dipilihnya,
Konferensi para Uskup dapat membuat daftar pemeriksa buku yang unggul di
bidang ilmu, ajaran yang benar dan kearifan, yang membantu kuria-kuria
diosesan atau juga dapat membentuk suatu panitia pemeriksa buku yang bisa
diminta nasihatnya oleh para Ordinaris wilayah.

§ 2. Pemeriksa buku dalam melaksanakan tugasnya hendaklah bersikap tanpa


pandang bulu dan hanya memperhatikan ajaran Gereja di bidang iman dan
moral, sebagaimana diajarkan oleh Magisterium Gereja.

§ 3. Pemeriksa buku harus memberikan penilaiannya secara tertulis; jika


penilaian itu positif, hendaknya Ordinaris menurut keputusannya yang arif
memberi izin penerbitan dengan menyebut namanya dan juga tanggal dan
tempat izin itu diberikan; jikalau ia tidak memberikan izin itu, hendaknya ia
memberitahukan alasan-alasannya kepada penulis karya itu.

Kan. 831 - § 1. Kaum beriman kristiani jangan menulis sesuatu dalam harian-
harian, majalah-majalah dan terbitan-terbitan berkala yang biasa terang-
terangan menyerang agama katolik atau moral, kecuali ada suatu alasan yang
wajar dan masuk akal; sedangkan para klerikus dan anggota-anggota tarekat
religius hanya boleh menulis dengan izin Ordinaris wilayah.

§ 2. Konferensi para Uskup bertugas menetapkan norma-norma dan syarat-


syarat bagi peranserta para klerikus dan anggota-anggota tarekat religius dalam
siaran radio atau televisi mengenai soal-soal yang menyangkut ajaran katolik
atau moral.

Kan. 832 - Para anggota tarekat religius membutuhkan izin dari Pemimpin
tinggi mereka menurut norma konstitusi, bila mereka mau menerbitkan tulisan-
tulisan tentang soal-soal agama atau moral.

JUDUL V

PENGAKUAN IMAN

37
Kan. 833 - Mereka yang disebut di bawah ini wajib menyatakan pengakuan
iman secara pribadi menurut formula yang disahkan oleh Takhta Apostolik:

10 semua peserta konsili Ekumenis atau partikular, sinode para Uskup dan
sinode keuskupan, yang hadir dengan hak suara entah deliberatif entah
konsultatif, di hadapan ketua atau delegatusnya; sedangkan ketua di hadapan
Konsili atau sinode;

20 mereka yang diangkat untuk martabat kardinal, menurut statuta dari


Kolegium suci itu;

30 semua yang diangkat untuk jabatan Uskup, demikian pula yang disamakan
dengan Uskup diosesan, di hadapan utusan dari Takhta Apostolik;

40 Administrator diosesan, di hadapan kolegium konsultor;

50 Vikaris jenderal, Vikaris episkopal dan juga Vikaris yudisial, di hadapan


Uskup diosesan atau delegatusnya;

60 semua pastor paroki, rektor, dosen teologi dan filsafat dalam seminari, di
hadapan Ordinaris wilayah atau delegatusnya, pada awal memangku jabatan;
juga mereka yang akan ditahbiskan menjadi diakon;

70 rektor dari Universitas gerejawi atau katolik di hadapan Kanselir Agung atau,
jika ia tidak hadir, di hadapan Ordinaris wilayah atau delegatus mereka pada
awal memangku jabatan; para dosen yang memberikan kuliah-kuliah
berhubungan dengan iman atau moral di Universitas mana pun, di hadapan
rektor jika ia seorang imam, atau di hadapan Ordinaris wilayah atau delegatus
mereka, pada awal memangku jabatan;

80 para Pemimpin dalam tarekat religius dan dalam serikat-serikat hidup


kerasulan klerikal, menurut norma konstitusi.

38
Sakramen Baptis (Kan 849 – 878)

Tujuan

a. Menguasai kodrat, efek rahmat dan unsur esensial S. Baptis

b. Menguasai ritus, persiapan calon baptis, kriteria air, cara, nama baptis, waktu,
tempat

c.Menguasai pelayan biasa dan luar biasa, dalam kasus mendesak, ijin
membaptis

d. Menguasai kriteria penerima baptis dewaa, baptis bayi, baptis bersyarat

e. Menguasai tugas bapak/ibu baptis, jumlah, syarat

f. Mampu menangani Pembuktian dan Pencatatan baptis

Kan. 849: kodrat, efek rahmat dan unsur esensial S. Baptis

Kodrat: Sakramen Baptis adalah pintu bagi sakramen-sakramen lainnya, yang


berguna untuk keselamatan.

Rahmat

1. Melalui baptisan seseorang dibebaskan dari dosa-dosa, dilahirkan


kembali sebagai anak Allah (Rm. 8,15; 2Ptr 1: 4), berpakaian Kristus
(Gal 3: 27), menjadi anggota Kristus (1Kor 12: 12-13.27),
2. menjadi anggota Umat Allah dan mengambil bagian seturut dengan
caranya masing-masing dengan tugas imamat, kenabian dan rajawi
kristus (bdk. kan. 204, § 1)
3. disatukan dengan Gereja dan menjadi persona, yakni pemilik hak dan
kewajiban orang-orang kristiani (bdk. kan. 96).

Unsur esensial

39
Baptisan dilayankan dengan sah hanya melalui bejana air baptis (materia
prossima) yang berisi air alami (materia remota) yang diikuti dengan forma,
yakni rumusan kata-kata trinitaris (bapa, Putera dan Roh Kudus)1

Perayaan Baptis: Kann. 850 – 860

1.1. Perayaan Baptis (Kan. 850)

Dalam perayaan sakramen Babtis, ritus yang harus dipakai dan diikuti yaitu
ritus yang latin (romawi) yang telah direvisi. Kanon ini membedakan dua situasi
yakni dalam situasi normal dan mendesak. Dalam situasi normal, baptisan harus
diterimakan menurut ritus liturgi yang resmi. Dalam situsai darurat diterimakan
dengan cara menepati hal-hal yang dituntut demi sahnya baptisan tersebut.
Baptisan dengan kasus darurat seperti dalam keadaan bahaya maut, dalam masa
pengejaran dan pengeniayaan, ada ketidaksetujuan atau penolakan keras
terhadap keluarga.2

1.2. Persiapan Baptis (Kan. 851)

Persiapan untuk perayaan baptis adalah sesuai dengan ketentuan dari kanon 836
dan 834, yang menegaskan tentang perlunya suatu persiapan secukupnya bagi
perayaan baptis, untuk baptisan orang dewasa maupun bayi.

a. Pembahasan tentang baptis dewasa (kan.862), dalam persiapan


baptisan melibatkan mereka yang mau dibaptis dengan mengikuti pra
ketekumenat sebelumnya, yang sudah ditetapkan dalam konsili
vatikan II, dan jika memungkinkan melaksanakan melalui bermacam-
macam sakramen menurut ritus yang sudah ditetapakan oleh konfrensi
para Uskup dan norma khusus yang ditetapkan oleh Uskup Diosesan.

Periode yang sering disebut sebagai pra katekumenat adalah masa pencarian
bagi katekumen dan masa evengelisasi bagi Gereja. Masa ini berakhir dengan
upacara penerimaan menjadi katekumen. Dengan diterimanya calon baptis,
maka mereka akan mendapat nama baru, bukan lagi “pencari” tetapi katekumen.

1
Herman Yosef Ga I, Sakramen dan Sakramentali menurut Kitab Hukum Kanonik, Vol. 1, (Bogor:
Grafika Mardi Yuana, 2014), hlm. 60.
2
Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 65.

40
b. Pembahasan tentang baptisan bayi, persiapannya melibatkan orang tua
dan wali baptis (bapa permandian), dengan mana mereka hendaknya
diberikan pengajaran yang cukp atas arti baptis dan kewajiban-
kewajiban yang berkaitan dengannya. Tanggung jawab untuk
mempersiapkannya itu ada pada pastor paroki, yang
menyelenggarakan secara pribadi atau melalui kerjasama dengan
orang lain.

Kanon ini menganjurkan diadakan suatu persiapan kateketik dan spiritual yakni
suatu kegiatan pengajaran yang memungkinkan serta disediakan waktu untuk
doa bersama, perkumpulan kelurga dan kunjungan-kunjungan keluarga.3

1.3. Pengertian Dewasa dan Anak-anak (Kan. 852)

Dalam ketentuan-ketentuan tentang baptis, dibedakan antara baptisan orang


dewasa dan anak. Seorang anak, dikatakan belum dewasa apabila ia belum
berusia mencapai 7 tahun (kan.97-2), sebaliknya dikatakan sebagai dewasa
apabila ia sudah mencapai usia 7 tahun dan dalam waktu yang sama sudah dapat
menggunakan akal budinya. Orang yang telah melebihi usia anak-anak, tetapi
terganggu secara psikis/mental maka dianggap tidak dapat bertanggungjawab
atau tidak dapat menggunakan akal budi, maka untuk dapat menerima baptisan
ia disamakan dengan kanak-kanak.4

1.4. Air yang Digunakan dalam Baptisan (Kan. 853)

Materi untuk baptisan adalah air alami yang berasal sungai, danau, sumur, mata
air, air hujan. Air seperti itu harus diberkati terlebih dahulu menurut ketentuan
dalam buku liturgi. Pemberkatan air mempunyai tujuan untuk penghormatan
sebagai suatu sakramen dan juga mau menyatakan bahwa air dalam dirinya
sendiri tidak mempunyai daya penyucian tetapi daya itu diterima dari Allah.

1.5. Dimasukkan ke dalam air atau dituangi air (Kan. 854)

Materi prossima adalah permandian, yakni mengalirkan/menuangkan air diatas


pribadi yang dibaptis dalam bentuk permandian. Permandian dapat dilakukan
dengan 2 cara:

3
Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 68.
4
Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 74.

41
a. Dengan penuangan air, menuangkan air keatas kepala atau dahi,
penuangan air diatas kepala atau dahi adalah suatu yang paling baik
dan penting dari tubuh manusia.

b. Dengan dimasukkan ke dalam air, yakni menenggelamkan orang yang


dibaptis kedalam air. Cara ini merupakan ritus dari komunitas Gereja
perdana dan biasa dilakukan sampai dengan akhir abad XII, dan masih
dipertahankan dalam Gereja Orintalis. Dalam ritus ini dihadirkan
suatu kegembiraan besar berkat kelahiran kembali orang kristian
melalui pembaptisan yang menurut ajaran paulus adalah suatu
pembaharuan dari misteri paskah kristus.

Kedua cara ini dipertimbangkan sebagai sah untuk pembaptisan. Kodeks 1983
mempertahankan 2 cara ini yang lebih tepat yang dipergunakan untuk
pembaptisan. Sebagaimana disetujui oleh konferensi para uskup, antara
penuangan atau harus sesuai dengan keadaan-situasi setempat, seperti
kebiasaan, budaya, dan tradisi dan pelayan babtis hendaknya memperhatikan
kebersihan air yang akan dipakai dalam babtisan tersebut.5

1.6. Pemberian Nama (Kan. 855)

Disposisi kanon 761 KHK 1917 masih sangat kentara. Kanon ini menegaskan
bahwa pastor paroki hendaknya memberikan nama baptis kristiani, dan jika
tidak memungkinkan, maka ia harus menggabungkan dari inisiatifnya suatu
nama dari seorang santo, menerangkan dua nama dalam buku paroki.
Ketentuan dari kodeks 1983 menegaskan bahwa cukuplah kalau tidak
memberikan nama yang asing dari cita rasa kristiani.

Dalam sebuah ritus romawi, para katekumen diberi kebebasan untuk


menggunakan nama-nama yang dipilih oleh para katekumen sendiri sebagai
nama kristiani atau setidak-tidaknya memiliki cita rasa kristiani. Kebebasan
yang lebih luas ini sekaligus sebagai peringatan agar jangan mengabaikan
begitu saja nama-nama dari para kudus.6

1.7. Waktu Perayaan (Kan. 856)

Penerimaan sakramen Baptis dapat dilakukan pada hari apa saja. Hukum
kananok mengizinkan pembaptisan untuk dirakayakan pada apa saja. Ketentuan
ini bermakna bahwa calon baptis, bukan pada situasi darurat, pada masa
5
Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 78-79.
6
Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 80.

42
prapaskah kiranya tidak diadakan pembaptisan, karena mengingat kelahiran
baru, sangat tudak cocok dengan makna sengsara atau kematian.

Akan tetapi sangat dianjurkan bila dilaksanakan pada hari minggu dan jika
memungkinkan pada hari paskah sebagai suatu pengungkapan atas kemuliaan
dalam hubunganya dengan misteri Kristus. Malan paskah merupakan waktu
yang sangat tepat, maka dengan itu sangat dianjurkan untyk melaksankan
perayan baptis pada malam paskah untuk orang dewasa maupun untuk anak-
anak.7

1.8. Tempat Perayaan (Kan. 857-859)

Baptis adalah suatu sakramen, suatu ritus tentang rahmat. Tempat perayaannya
adalah gereja atau ruang doa, kecuali karena alasan mendesak dapat juga
dirayakan di tempat lain. Dengan baptis, seseorang diinkorporasikan pada
Gereja dan berkat hasil dari rahmat sacramental itu, baptis menuntut bahwa
inkorporasi itu dating melalui konunitas ekklesial yang konkrit (contoh: paroki
sebagai satu komunitas, menerima tanggung jawab dan kewajibab untuk
membantu pembaptisan baru dalam menumbuhkan dan mengembangkan iman
serta dalam mendewasakan hati nurani kristiani). Menurut aturan, bejanan
baptis haruslah ditempatkan di gereja paroki yang akan dipakai untuk
pembaptisan dewasa maupun pembaptisan bayi. Dalam pembabtisan dewasa
akan melibatkan peran orang yang dibaptis itu sendiri, sedangkan dalam baptis
bayi hendaknya melibatkan orang tua anak..

Atas aturan tentang tempat bejana baptis, mengajunrkan bahwa di setiap gereja
paroki hendaknya tersedia bejana baptis, yang menghadirkan suatu komunitas
parochial. Demi kemudahan dan juga karena alasan lain, setelah mendengarkan
pastor paroki ordianaris wilayah dapat mengijinkan untuk menempatkan bejana
baptis itu di gereja atau ruang doa lain di wilayah paroki tersebut.8

1.9. Rumah Pribadi dan Rumah Sakit (Kan. 860)

Memperhatikan karakter suci dari sakramen baptis dilaksanakan di gereja dan


janganlah dirayakan di rumah pribadi, kecuali ordianaris wilayah
mengijinknnya karena kasus khusus. Perintah kanon ini baru, jika dibandingkan
kodeks sebelumnya yang meminta hanya “ karena alasan yang wajar dan masuk
akan”. Kan. 776 menegaskan “dalam kasus yang luar biasa”
7
Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 81-82.
8
Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 81-89.

43
Dalam kasus darurat (bahaya mati, sakit, lanjut usia), untuk melaksanakan
pembaptisan di rumah pribadi atau dirumah sakit, tidak membutuhkan otoritas
ordinaris wilayah. Kanon yang sama mengijinkan , “hanya dalam keadaan
darurat”

Di sejumlah rumah sakit dan klinik bersalin, dari dirinya sendiri dapat
dilayankan sakramen baptis dalam keadaan darurat dan karena alasan pastoral
yang masuk akal, menurut norma yang ditetapkan oleh Uskup Diosesan.9

2. Pelayan Baptis (Kan. 861 – 863)

2.1. Pelayan biasa dan pelayan luar biasa (Kan. 861)

Penerimaan baptis, dengan sendirinya dikhususkan bagi seorang pelayan10


suci: Uskup, imam dan diakon (bdk. Kan. 1009, §1). Perayaannya diserahkan
kepada Pastor paroki, yakni pastor yang bertanggungjawab atas komunitas
paroki (Kan. 536, §1), atau kepada imam lain atau kepada seorang diakon, yang
mempunyai wewenang dari Pastor paroki atau Ordinaris wilayah. Namun
demikian, Pastor paroki tetaplah yang bertanggungjawab untuk mempersiapkan
baptisan, menurut kan. 851.11

Dalam kasus ketiadaan atau terhalangnya pelayan biasa, baptis dapat


dilayankan oleh katekis atau oleh orang lain yang ditunjuk oleh Ordinaris
wilayah untuk tugas tersebut. Perayaan baptis dapat dilakukan, baik oleh pria
atau pun wanita, menurut kan. 742, §2 Kodeks 1917, namun dalam §3
ditegaskan bahwa dilarang untuk orang tua (ayah atau ibu) mempermandikan
anaknya sendiri.12

9
Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 89-91.
10
Kata pelayan (minister) secara umum tidak hanya berlaku bagi mereka yang tertahbis, melainkan
juga kepada mereka yang tidak tertahbis seperti orang tua, katekis ibu dan bapa baptis yang disebut sebagai
pelayan luar biasa. Namun dalam kanon ini kata pelayan ditujukan kepada mereka yang tertahbis. [lihat
Herman Yosef Ga I, Sakramen dan Sakramentali menurut Kitab Hukum Kanonik, Vol. 1, (Bogor: Grafika Mardi
Yuana, 2014), hlm. 93.]

11
Jhon P Beal, James A Cordien. dkk., New Commentary on the Code of Canon Law (New York:
Paulist Press, tanpa penerbit), hlm. 1049-1050.

12
Jhon P Beal, James A Cordien. dkk., New Commentary..., hlm. 1049-1050.

44
Dalam keadaan darurat, dipertimbangkan dalam hubungannya dengan
keselamatan abadi, baptisan - in re vel saltem in voto ad salutem necessarius
(Kan. 849) – dapat dilayankan oleh siapa pun: seorang heretik, yang terkena
eskkomunikasi, orang tak dibaptis, orang murtad atau atheis, tetapi dilakukan
dengan maksud semestinya, yakni menurut suatu ungkapan dari Konsili Trente,
tetapi secara nyata mempunyai maksud seperti yang dilakukan oleh Gereja.13

Pengharapan atas kemungkinan tentang pelayanan baptis dalam keadaan


darurat, kanon menugaskan kepada para gembala jiwa-jiwa, terutama Pastor
paroki untuk memperhatikan kaum beriman: diberitahukan tentang bagaimana
cara membaptis yang benar dalam keadaan darurat (bahaya mati).14

2.2. Izin untuk membaptis (Kan. 862)

Semua umat beriman awam, berdasar pada imamat umum, terutama para
orangtua dalam tugas-tugas mereka, para katekis, bidan dan pembantu rumah
tangga serta pekerja sosial, para perawat, tenaga medis dan ahli bedah, perlu
memperoleh pengetahuan yang lebih baik tentang cara yang lebih baik untuk
melayankan baptis dalam keadaan darurat. Para Pastor paroki, diakon, katekis
diberi tugas untuk mengajarkannya; para Uskup di dioses mereka hendaknya
menyediakan sarana-sarana untuk pengajaran itu.15

Di luar keadaan darurat, adalah tidak licit bagi seseorang untuk melayankan
baptis di wilayah teritorial lain, sekalipun untuk bawahannya sendiri bila tanpa
izin. Hal ini didasari pada pentingnya sakramen baptis sebagai pintu masuk ke
dalam komunitas atau kelompok umat beriman setempat. Dalam (kan 862),
secara jelas ditekankan bahwa izin dapat diberikan oleh ordinaris setempat.16

2.3. Baptis orang dewasa (Kan. 863)

Baptis untuk orang dewasa diserahkan kepada Uskup diosesan. Uskup


dikaruniai kepenuhan tahbisan dan dari dirinya tergantung baik imam maupun
diakon dalam kuasa mereka. Uskup adalah kepala gereja lokal. Uskup adalah

13
Jhon P Beal, James A Cordien. dkk., New Commentary..., hlm. 1049.
14
Jhon P Beal, James A Cordien. dkk., New Commentary..., hlm. 1050.
15
Jhon P Beal, James A Cordien. dkk., New Commentary..., hlm. 1049.

16
Herman Yosef Ga I, Sakramen..., hlm. 97.

45
Penentu pelaksanaan tahbisan baik secara pribadi atau diserahkan kepada Pastor
paroki atau kepada imam lain atas namanya dengan delegasi khusus.17

Apabila pelayanan inisiasi diberikan secara lengkap kepada baptisan orang


dewasa oleh Pastor paroki atau imam lain, maka menurut Kan. 866, mereka
harus diberi wewenang (fakultas) untuk melayankan sakramen krisma.18

Konsep tentang dewasa dalam kanon ini sesuai dengan Kan 852, §1, yang
membicarakan tentang orang dewasa yang sudah dapat menggunakan akal
budinya dengan baik. Dalam Kan 836, konsep orang dewasa (adulti) adalah
mereka yang minimal berusia 14 tahun atau bahkan lebih tua dari umur tersebut.
Sedangkan dalam Kan 817 kodeks 1980 dijelaskan bahwa pemberian baptisan
dewasa adalah mereka yang berusia enam belas tahun.19

3. Calon Baptis (Kan. 864 – 871)

3.1. Syarat utama calon baptis (Kan. 864)

Ada tiga syarat utama seorang dapat dibaptis: syrat pertama yang utama
ialah: semua manusia dan hanya manusia, belum dibaptis dan manusia yang
hidup. KHK kanon ini tidak sama sekali menyinggung pembabtisan dalam
kandungan ibunya yang menghadapi bahaya mati. Dalam Rituale Romawi 1962,
Paus Paulus VI menegaskan bahwa tidak boleh membabtis bayi dalam
kandungan kalau jelas bisa dilahirkan kecuali jelas ada bahaya mati mendesak,
jika bayi dapat dilahirkan hendaknya dibaptis ulang bersyarat(Lih. Kan 746)
kasus ini berpijak pada ketentuan Kan. 19-20 untuk belajar dari Jurisprudensi
dan pendapat ahli.20

3.2. Syarat baptis orang dewasa (Kan. 865)

17
Jhon P Beal, James A Cordien. dkk., New Commentary..., hlm. 1051.
18
Jhon P Beal, James A Cordien. dkk., New Commentary..., hlm. 1056.
19
Jhon P Beal, James A Cordien. dkk., New Commentary..., hlm. 1051.
20
Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 102.

46
Dalam baptisan orang dewasa persyaratan baptisan dibagi menjadi dua yaitu:

1. Membahas tentang persyaratan pembabtisan orang dewasa dalam


keadaan biasa (Kan. 865 §1)

Ada empat syarat yang ditetapkan Kanon ini diluar kasus darurat, dan bahaya
maut. Dituntut kemampuan konstitutif seorang sebagai syarat untuk baptis.

a. Kehendak atau Maksud Hati

Kehandak ini harus dimanifestasi secara lahiria, hal ini akan tampak pada
perbuatan positif bagi publik, kehendak Habitual berupa kerinduan yang amat
besar dan kehendak atau mksd hati implisit. Syarat ini diminta demi validitas
pembabtisan.

b. Pengetahuan akan Iman Katolik

Hal ini sangat tergantung dari kemampuan pribadi, keadaan lingkungan dan
latar belakang hidup, serta umur calon baptis itu sendiri, sebab ketiadaan iman
menjadikan baptisan invalid.

c. Katekumenat: Persiapan untuk Inisiasi Kristiani

Masa katekumenat terdiri dari tiga tahap penerimaan, pemilihan dan


pembabtisan

d. Menyesali Dosa

Seorang calon baptis dianjurkan untuk menyesali dosa-dosanya terlebih dahulu.


Dengan ini seluruh dosa calon babtis akan dihapuskan ketika ia menerima
pembaptisannya.21

2. Syarat baptis orang dewasa dalam bahaya maut (Kan. 865 §2)

a. Kehendak atau Maksud Hati untuk Dibaptis dalam Bahaya Maut

Bahasa Kanon In Quovis Modo (dalam cara tertentu) bisa perkataan atau
perbuatan. Bila ia seorang katekumen, keanggotaanya merupakan manifestasi
kehendaknya untuk dibaptis. Bila ia bukan seorang katekumen harus ada
sesuatu yang mengindikasikan bahwa ia mau dibaptis.

b. Pengetahuan dalam Bahaya Maut

21
Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 105-106.

47
Tetap dituntut bahwa si calon mengakui kebenaran pokok pokok iman yang
perlu untuk keselamatan. Untuk kebaikan si calon maka jika ia bukan
ketekumen ada kemauan untuk mengikiti proses bila sembuh. Jika ia seorang
katekumen, hendaknya mengikuti kembali masa ketekumenat.

c. Berjanji

Sesuai dengan kodrat liturgi publik, maka janji harus diuangkapkan secara
lahiriah di depan publik pula.22

3.3. Inisasi Penuh (Kan. 866)

Dalam kanon ini ditegaskan bahwa penguatan dan komuni harus diterima oleh
baptisan baru (neophytus) segera setelah pembaptisan, yang diadakan dalam
satu upacara liturgis.

3.4. Persyaratan untuk baptis kanak-kanak Kan. 867-868

Persyaratan yang diberikan untuk baptisan bayi yaitu:

a. Orangtuanya, sekurang-kurangnya satu dari mereka atau yang secara


legitim menggantikan orangtuanya, menyetujuinya;

b. Ada harapan yang beralasan anak itu akan dididik dalam agama Katolik23

3.5. Keadaan Khusus (Kan. 869-871)

Baptisan bersyarat Kan. 869, lihat juga Kan, 845. Adapun alasan baptisan
bersyarat terjadi ketika dari gereja non katolik hendak masuk atau menjadi
katolik. Mengapa baptisan bersyarat perlu dilakukan:

a. Karena Sakramen baptis tidak dapat diulang

b. Karena baptisan, pintu masuk dalam gereja dan semua sakramen lainnya.

Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan baptisan bersyarat:

a. Masih ada keraguan

22
Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 106-108.
23
Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm.115.

48
b. Telah melakukan penyelidikan secara seksama

Dalam kanon ini ditegaskan kembali penyelidikan yang seksama untuk


memastikan bahwa bayi belum dibaptis. (Kan. 870.) Baptisan khusus juga
berlaku pada janin yang keguguran (Kan. 871). Adapun alasan pembabtisan
janin yaitu;

a. Janin atau embrio pada tahap mana pun adalah manusia

b. Untuk bayi abortus yang dipakai ialah pembaptisan Absulete bukan


pembabtisan Sub Conditione, jika yakin bayi masih hidup.24

4. Bapak/Ibu Babtis (Kan. 872 – 874)

4.1. Tanggung Jawab Ibu/Bapa Baptis (Kan. 872)

Adapun baptisan dibedakan menjadi dua bentuk, yakni baptis dewasa dan anak.
konsep tanggung jawab dari wali baptis untuk baptisan dewasa dan anak sama.
Secara umum baik dalam baptisan dewasa dan anak, wali baptis membantu
sekurang-kurangnya dalam persiapan akhir pembaptisan. Wali baptis juga
menyertai calon baptis dewasa dan anak dalam mengajukan pembaptisan
sebagai saksi iman, moral dan maksud baik dari calon baptis.

Prinsipnya, wali baptis ialah orang yang dipilih calon baptis dewasa atau anak
bila calon baptis ialah bayi maka dipilih oleh orangtua calon baptis, disesuaikan
dengan delegasi Gereja setempat dalam peresetujuan imam yang berwenang.
Wali baptis memiliki tanggung jawab mengajar dan membantu orangtua calon
baptis terkait dengan mempraktekan pesan Injil dalam hidup pribadi dan sosial.
Dalam tugas ini, wali baptis serentak menjadi pembawa atau pemberi kesaksian
Injil dan pelindung atas pertumbuhan dan perkembangan iman calon baptis
sebagai buah Sakramen Baptis.25

4.2. Jumlah dan Syarat menjadi Ibu/Bapa Baptis (Kan. 873 - 874)

Dalam kanon dinyatakan bahwa jumlah wali baptis sekurang-kurangnya hanya


satu entah pria atau wanita. (Kan. 873). Kanon menentukan beberapa syarat-
syarat untuk menjadi wali baptis, yakni:
24
Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 117-122.
25
Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 125-128; bdk. Angel Marzoa et al.,
Exgetical Commentary on the Codex of Canon Law vol. III/I (Canada: MTF, 2004), hlm. 480.

49
a. Wali baptis adalah orang yang dipilih oleh calon baptis (untuk baptisan
dewasa) dan oleh orangtua (untuk baptisan bayi) atau oleh Pastor Paroki
yang dengan catatan ali baptis menerima pilihan Pastor Paroki.

b. Memiliki kualitas dan kehendak untuk menjalankan peran sebagai wali


baptis

c. Telah berumur enam belas tahun dengan syarat melalui persetujuan


Uskup Diosesan dan alasan pertimbangan yang dapat dibenarkan.

d. Seorang katolik yang telah menerima sakramen inisasi dan memiliki


hidup kekatolikan yang baik

e. Tidak terhalang oleh hukuman gerejawi tertentu

f. Bukan bapa/ibu calon baptis sendiri.

Selain syarat-syarat di atas Uskup Diosesan memiliki fakultas untuk menetukan


syarat untuk mempertegas menjadi wali baptis.26

5. Pembuktian dan Pencatatan Babtis yang telah diberikan (Kan. 875 -


878)

5.1. Bukti Baptis (Kan. 875 – 876)

Pembuktian penyelenggaraan baptis harus memiliki kejelasan secara yuridis.


Seseorang yang sudah dibaptis harus dapat dibuktikan kebenarannya melalui
adanya surat baptis. Jika tidak ada surat baptis, maka dibutuhkan seseorang
yang menjadi saksi. Kanon 875 menyatakan bahwa “Yang melayani baptis
hendaknya mengusahakan agar, kecuali ada Wali Baptis, sekurang-kurangnya
ada seorang saksi yang dapat membuktikan baptis itu.” Kanon ini menjelaskan
bahwa pembuktian baptis harus memiliki Wali Baptis atau sekurang-kurangnya
ada seorang saksi untuk memberi kesaksian atas pelaksanaan baptis yang sudah
dilaksanakan. Sementata itu, kanon 876 menerangkan tentang keabsahan
pembaptisan melalui seorang saksi atau berdasarkan sumpah dari orang yang
sudah dibaptis (bila baptis dewasa). Kesaksian ini dibutuhkan agar seseorang
yang sudah dibaptis dapat menerimakan sakramen-sakramen lainnya.27
26

Herman Yosef Ga l, Sakramen dan Sakramentali ..., hlm. 129-132.


27
Herman Yosef Ga I, Sakramen dan Sakramentali …, hlm. 133-134.

50
5.2. Buku dan Pencatatan Baptis (Kan. 877 – 878)

Adalah tugas dan tanggungjawab pastor paroki untuk mencatat dengan tepat dan
teliti nama orang-orang yang sudah dibaptis dalam sebuah buku baptis di
wilayah parokinya. Sedangkan kanon 878 menegaskan bahwa pastor paroki
memiliki wewenang untuk mengetahui semua pembaptisan yang ada di wilayah
parokinya.28

Sebuah paroki harus memiliki buku baptis. Hal ini ditegaskan dalam
kanon 535, § 1 “Dalam setiap paroki hendaknya ada buku-buku paroki, yakni
buku baptis […].” Buku baptis adalah salah satu dari beberapa buku penting
yang wajib dimiliki dalah sebuah paroki. Seluruh baptisan yang sudah
dilaksanakan harus senantiasa dicatat dalam buku baptis.

Adapun hal-hal yang wajib dicatat dalam buku baptis menurut ketentuan kanon
877, § 1, adalah nomor urut, nama yang terbaptis, nama orangtua, nama pelayan
baptis, nama wali baptis, nama saksi-saksi (jika ada), tempat baptis, tanggal,
bulan dan tahun baptis, tempat kelahiran, tanggal,bulan dan tahun kelahiran.
Berdasarkan kanon 535, § 2, dijelaskan tentang hal-hal penting lainnya yang
juga harus dicantumkan dalam buku baptis ialah penerimaan penguatan,
pentahbisan, perkawinan, adopsi, profesi atau kaul kekal dan perpindahan ritus
Gereja.29

Penutup

Sakramen baptis adalah pintu utama untuk sakramen-sakramen yang


lainnya (Kan.849) untuk mencapai keselamatan. Karena sakramen baptis adalah
pintu utama, maka penting bagi para pelayan baptis untuk mempersiapkan
segala sesuatunya agar para calon baptis dapat sampai pada penghayatan akan
imannya kepada Yesus Kristus.

Bibliografi

28
Herman Yosef Ga I, Sakramen dan …, hlm. 138.
29
Herman Yosef Ga I, Sakramen dan …, hlm. 135-136.

51
Jhon P Beal, James A Cordien. dkk. New Commentary on the Code of Canon
Law. New York: Paulist Press (tanpa tahun penerbit).

Angel Marzoa et al. Exgetical Commentary on the Codex of Canon Law vol.
III/I. Canada: MTF. 2004.

Yosef Ga I. Herman. Sakramen dan Sakramentali menurut Kitab Hukum


Kanonik, Vol. 1. Bogor: Grafika Mardi Yuana. 2014.

52
Anggota Kelompok
Ardiansyah Laia (150510014)
Agusman Zalukhu (150510005)
Indra Tamba (150510030)
Mario L. Barus (150510036)
Syukurniaman Halawa (150510055)
Tohapna Silaban (150510058)
Willy Vitalis (150510060)

53
EKARISTI MAHAKUDUS

I. Pengantar
Istilah Ekaristi berasal dari Bahasa Yunani eucharistia, yang berarti puji syukur. Istilah
tersebut diterjemahkan dari Bahasa Yahudi birkat. Birkat berarti doa puji syukur sekaligus
permohonan atas karya penyelamatan Allah yang kemudian ditekankan sebagai karya penyelamatan
Allah melalui Yesus Kristus.30 Pada malam Yesus diserahkan (1Kor 11: 23), Ia menetapkan Kurban
Ekaristi tubuh dan darahNya. Ekaristi menjadi penghadiran Sakramental Yesus Kristus yang kurban
salib-Nya diabadikan sepanjang masa.31 Dengan Ekaristi, hakikat misteri Gereja ditegaskan dalam
pengalaman iman sehari-hari. Gereja pun mengaturnya dalam aturan hukum Gereja, secara khusus
Kitab Hukum Kanonik (KHK). Karena itu, tulisan ini hendak mengulas aturan khusus yang terdapat
dalam KHK Buku IV.

II. Hal-hal Yang Berlaku Dalam Perayaan Ekaristi


Judul III
Ekaristi Mahakudus
Sakramen yang terluhur ialah Ekaristi mahakudus, di dalamnya Kristus Tuhan sendiri
dihadirkan, dipersembahkan dan disantap, dan melaluinya Gereja selalu hidup dan berkembang.
Ekaristi adalah Tuhan sendiri yang hadir di tengah-tengah kita dalam rupa roti dan anggur.32 Seperti
kehadiran YHWH yang kudus di tengah umat menuntut umat menjadi kudus, demikian juga
sebenarnya, kehadiran Yesus dalam Ekaristi menuntut disposisi batin tertentu. Orang tidak bisa
seenaknya menerima Tubuh Tuhan. Ini sebenarnya merupakan dosa sakrilegi. (Kan. 897)
Umat beriman Kristiani hendaknya menaruh hormat yang sebesar-besarnya terhadap Ekaristi
mahakudus dengan mengambil bagian aktif dalam perayaan Kurban mahaluhur itu. Penghormatan
yang layak diberikan kepada Sakramen Ekaristi, baik selama perayaan atau di luar itu, adalah
penyembahan latria, yaitu penyembahan yang layak diberikan kepada Allah.33 Gereja membawanya
orang sakit dan mereka yang tidak mungkin berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi; juga
mentahtakan dalam adorasi kepada umat beriman, dan mengaraknya dalam prosesi. Gereja
menganjurkan umat beriman untuk mengunjungi dan menghormati Sakramen Mahakudus yang di
simpan dalam tabernakel. (Kan. 898)
Bab I

30
E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 269.
31
Surat Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Seri Dokumen Gerejawi No. 67, Ecclesia De Eucharistia (Jakarta:
KWI, 2004), hlm. 5.
32
Y.B. Prasetyantha (Ed), Ekaristi dalam Hidup kita (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 95.
33
Komisi Waligereja Indonesia, Kompendium Katekismus Gereja Katolik (Jakarta: KWI, 2009), hlm. 103.
54
Perayaan Ekaristi
Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus sendiri dalam Gereja. Ekaristi adalah sebuah
perayaan pertama-tama adalah perayaan seluruh Tubuh Mistik Yesus Kristus, yakni Kepala dan
anggota-Nya (SC 7).34 Dengan kata lain, subjek Perayaan Ekaristi adalah Tuhan Yesus Kristus dan
Gereja-Nya. Ekaristi sebagai tindakan Kristus sudah sangat jelas karena Kristuslah Sang Imam
Agung Sejati, satu-satunya Imam Agung Perjanjian Baru. Kehadiran pribadi Kristus dan karya
penebusan-Nya dalam kurban salib itu mengalami penampakan objektif dalam kehadiran real
Tubuh dan Darah-Nya dalam rupa roti dan anggur. Dari tradisi ini kita mengenal istilah
transsubstantiatio (Kan. 899).35
Artikel I
Pelayan Ekaristi Mahakudus
Ekaristi adalah sakramen terluhur dan pusat hidup Kristiani. Maka perlu ada pelayan khusus
untuk memimpinnya. Pelayan Khusus ini dibuat supaya sakramen itu sungguh dilindungi dari
penyalahgunaan dan juga dari kehadiran para imam “palsu”. Pelayan Ekaristi adalah hanyalah
imam yang ditahbiskan secara sah (kan. 900). Merayakan ekaristi berarti imam itu yang dapat
memimpin perayaan ekaristi dan mengkonsekrasi roti dan anggur secara sah (valid) dan licit.
Pelayan Ekaristi bertindak sebagai in persona Christi atau sebagai pribadi Kristus. Merekalah yang
membawa dan memprsembahkan kurban Ekaristi kepada Allah atas nama seluruh umat beriman.
Para imam berhak mengaplikasikan Misa bagi siapa pun, baik yang masih hidup maupun
yang sudah meninggal (Kanon. 901). Dalam KHK 1983 dijelaskan bahwa misa dapat
dipersembahkan bagi siapa saja, baik mereka yang sudah dibaptis atau belum, baik mereka yang
percaya atau tidak percaya, baik mereka yang berdosa atau yang suci, baik mereka yang murtad
atau yang saleh, baik yang masih hidup atau sudah meninggal. Tetapi, untuk mencegah sandungan,
hendaknya intensi misa untuk orang-orang tertentu tidak diumumkan kepada publik tetapi cukup
secara diam36.
Dalam perayaan Misa ada juga yang disebut konselebrasi (kan. 902). Konselebrasi adalah
merayakan secara bersama-sama atau orang-orang yang merayakannya bersama-sama di altar.
Konselebrasi ini merujuk kepada perayaan Misa yang dipimpin oleh seorang imam dan didampingi
oleh bebebapa imam. Mereka bersama-sama mengucapkan kata-kata atau doa-doa dalam Ekaristi.
Tujuan konselebrasi adalah mewujudkan kesatuan kurban, imamat, menandai, memaknai, dan
memperkokoh ikatan persaudaraan antara para imam. Perayaan Misa itu harus unicita, yaitu yang
dikonsekrasikan hanya ada satu patena/hosti dan satu anggur untuk semua imam.
34
E. Martasudjita, Ekaristi, Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Patoral (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 106.
35
E. Martasudjita, Ekaristi, Tinjauan Teologis…, hlm. 356.
36
Herman Yosef, Sakramen dan Sakramentali Menurut Kitab Hukum Kanonik, (Jakarta: obor, 2014), hlm. 224.
55
Dalam KHK 1983 dijelaskan bahwa konselebrasi selalu diijinkan. Tetapi asalkan
konselebrasi itu tidak bertentangan dengan atau mengabaikan kebutuhan umat beriman. Artinya
disini adalah bahwa imam tidak diijinkan untuk mengikuti konselebrasi bila pada saat yang sama
umatnya memerlukannya untuk Misa yang lain dan tidak ada imam lain dapat menggantikannya.
Karena seorang imam bukanlah imam untuk dirinya sendiri tetapi adalah seorang pelayan umat37.
Para imam yang hendak memimpin Misa harus memiliki selebret (kan. 903). Selebret
adalah surat pernyataan dan rekomendasi dari ordinaris atau superior imam yang bersangkutan yang
memberikan kesaksian dan membenarkan validitas tahbisan serta kelayakan atau tidak ada halangan
apa pun pada diri imam tersebut untuk merayakan Misa atau mendengarkan pengakuan dosa.
Tujuan selebret adalah untuk melindungi umat dari imam palsu. Selebret ini hanya berlaku sah
untuk masa satu tahun sejak tanggal dikeluarkannya38.
Para imam dianjurkan dan bukan “diwajibkan” (kan. 904) untuk merayakan Ekaristi setiap
hari walaupun umat beriman tidak dapat hadir setiap hari. Para imam hanya boleh merayakan Misa
satu kali dalam sehari kecuali ada alasan khusus. Alasan bahwa imam hanya boleh merayakan Misa
satu kali dalam sehari adalah untuk mencegah penyalahgunaan banyaknya Misa untuk maksud dan
alasan tidak patut atau dari motif dan intensi yang keliru, seperti hanya untuk mendapatkan stips.
Stipendium (stips) adalah derma, sedekah, dan gaji 39. Stips adalah persembahan yang dihaturkan
agar misa diaplikasikan bagi sebuah intensi tertentu 40. Persembahan ini bertujuan untuk membantu
kesejahteraan Gereja dan mendukung kehidupan para imam (kan. 946). Selain itu, merayakan
ekaristi terlalu banyak setiap hari membuat imam pelayan berlaku seperti robot pembuat misa,
karena kelelahan41.
Kanon 906; Jika tiada alasan yang wajar dan masuk akal, imam jangan merayakan kurban
Ekaristi tanpa ikutsertanya paling tidak satu orang beriman42. Sejarah mencatat larangan bagi
imam untuk merayakan Misa seorang diri tanpa kehadiran satu orang beriman pun telah
berlangsung sejak Abad XII, pada zaman Paus Aleksander III. Sejak itu, setiap Misa dituntut
kehadiran sekurang-kurangnya satu orang umat beriman. Alasannya adalah karena makna teologis
Misa yang adalah perayaan komunitas serta tuntutan rubrik yang sepanjang Misa penuh dengan
dialog antar imam dan peserta Misa.

37
Herman Yosef, sakramen…, hlm. 227.
38
Herman Yosef, Sakramen…, hlm. 234.
39
Silvester Susianto Budi, Kamus Kitab Hukum Kanonik, (Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 224.
40
Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983), Edisi Bahasa Indonesia, Diterjemahkan oleh
Sekretariat KWI (Jakarta: KWI, 2016), Kan. 946. Penulisan Kitab Hukum Kanonik selanjutnya disingkat dengan Kan
dan diikuti oleh nomor.
41
Herman Yosef, Sakramen…, hlm. 238.
42
Kan. 906.
56
Dalam KHK 1983 dijelaskan bahwa kanon 906 ini mengubah peraturan lama dalam dua hal,
yaitu kehadiran seorang minister tidak lagi diwajibkan, cukup sebgai umat, cukup sebgai umat, dan
alasan untuk mengijinkan Misa pribadi, yaitu asalakan wajar dan masuk akal. Alasan wajar dan
masuk akal misalnya bila imam dalam perjalanan, sedang sakit, cacat dan lain-lain43.
Pelayan Ekaristi mempunyai doa khusus dalam perayaan Misa (Kan. 907). Hal ini sudah
ditentukan Gereja yang diatur secara hierarki. Dalam Misa ada doa-doa khusus untuk para imam
(doa presidensial). Doa ini khusus untuk orang yang memimpin perayaan Misa. Hanya ada satu
presiden dalam satu perayaan yaitu selebran utama44. Ada 4 doa presindensial di dalam ekaristi,
yaitu; doa pembuka, doa persembahan, doa syukur agung, dan doa sesudah komuni.
Pelayan ekaristi dilarang merayakan konselebrasi antar gereja (kan. 908) karena
konselebrasi macam ini hanya mengungkapkan bahwa tidak adanya kesatuan. Konselebrasi
sebenarnya mengungkapkan dan mewujudkan kesatuan Gereja serta kesatuan atau persaudaraan
antar imam. Dalam perayaan Misa, para imam mempunyai doa pribadi khususnya untuk
persiapan dan syukur setelah Misa (kan. 909). Misalnya: Doa sebelum mengenakan pakaian Misa,
saat mencuci tangan untuk meminta kemurnian, saat mengenakan amik sebagai tanda kekebalan
terhadap godaan dan lain-lain.
Pelayan Ekaristi dibagi menjadi dua yaitu pertama; pelayan biasa komuni suci yang terdiri
dari Uskup, imam dan diakon (Kan 910). Mereka ini adalah umat beriman yang sudah menerima
tahbisan. Kedua; Pelayan luar biasa komuni adalah akolit dan juga orang beriman lain yang
ditugaskan sesuai ketentuan (kan. 230 §-3). Pelayan luar biasa ialah mereka yang telah dilantik
dalam Gereja.
Dalam pelayanan Ekaristi ada juga disebut sebagai viaticum (kan. 911). Viaticum adalah
makanan untuk yang mengadakan perjalanan45. Viaticum adalah penerimaan komuni bagi mereka
yang sakit. Viaticum bagi orang sakit jangan terlalu tertunda-tunda (kan. 922). Pelayan Viaticum ini
adalah pastor paroki, vikaris paroki, kapelan, superior lembaga hidup bakti, rektor seminari
keuskupan (kan. 911). Tetapi, ada juga pelayan lain yang dapat melakukan pelayanan ini. Mereka
adalah diakon dan awam jika pelayan-pelayan semua yang di atas tidak tersedia46.
ARTIKEL II
Partisipasi Dalam Ekaristi Mahakudus
Seorang yang telah menerima baptisan di Gereja katolik dan oleh hukum yang berlaku, dapat
menerima komuni suci tanpa terkecuali. Dalam penerimaan komuni suci, hanya mereka yang bisa
sudah mampu memahami Ekaristi itu sendiri. Sesuai hukum yang berlaku, seorang anak yang
43
Herman Yosef, Sakramen…, hlm. 245.
44
Herman Yosef, Sakramen…, hlm. 249.
45
Silvester Susianto Budi, Kamus…hlm. 248.
46
Herman Yosef, Sakramen…, hlm. 267-269.
57
menerima Ekaristi harus mampu memahami ajaran, arti Ekaristi, dan sungguh percaya pada Kristus
dengan seksama. Dengan demikian, seorang anak tersebut bisa menerima Ekaristi dengan imannya
sendiri. Tetapi, seorang anak yang dalam keadaan maut, sesuai anjuran dapat diberi komuni suci
dengan alasan bahwa anak tersebut memiliki pengetahuan tentang komuni suci.
Tugas utama orangtua dan juga pastor paroki ialah mengajarkan anak-anak yang mampu
menggunakan akal budi penerimaan sakramen tobat. Sakramen tobat diajarkan agar anak tersebut
memiliki hati dan pikiran yang baik dan menerima komuni dengan baik. Dan anak yang kurang
mampu memahami tentang komuni dan belum bisa menyambut, pastor paroki atau pelayan lain
memberi petunjuk secara khusus tanpa diberi komuni suci.47 Dalam penerimaan komuni suci kepada
umat, terutama kepada mereka yang tidak memiliki hak menerima komuni tidak diperbolehkan.
Seperti terkena ekskomunikasi karena tidak menghormati Perayaan Ekaristi atau tidak percaya pada
ajaran Gereja. Juga kepada mereka yang memiliki dosa berat karena melakukan pembunuhan, atau
meragukan kebenaran. Jika mereka menerima komuni, mereka harus terlebih dahulu menjalankan
hukum yang diberi oleh otoritas setempat. Contoh menerima pengakuan dosa serta membuat tobat
sempurna.48
Umat yang telah menerima komuni suci pada perayaan Ekaristi, dan pada hari itu juga bisa
menyambut komuni lagi sesuai ketentuan yang berlaku dalam kan. 921§2- meskipun pada hari yang
sama telah menerima komuni suci, sangat dianjurkan agar mereka yang berada dalam bahaya maut
menerima komuni lagi. Tetapi ketentuan ini bisa tidak dilaksanakan sejauh yang bersangkutan tidak
menginginkan. Jika si sakit meminta, maka akan dengan mengindahkan liturgi. Sesuai dengan
hukum yang berlaku bahwa sebelum menyambut komuni, umat diwajibkan untuk puasa makan,
kecuali air minum, satu jam sebelum perayaan. Dengan tujuan ialah agar umat yang menyambut
komuni dapat disegarkan dan dikuatkan oleh tubuh Tuhan yang telah diberkati. Tetapi bagi mereka
yang sakit, ketentuan tersebut tidak berlaku. Sesuai perintah Gereja, umat beriman wajib
menyambut komuni sekali setahun pada masa paska. Sekali setahun ini berlaku bagi pelayanan
pastoral yang jarang dikunjungi pastor paroki atau rekan pastor paroki karena jauh.49
Viaticum dalam arti harafiah adalah makanan untuk yang mengadakan perjalanan. Viaticum
adalah penerimaan komuni bagi umat beriman kristiani yang berada dalam bahaya maut. 50 Bagi
pelayan pastoral kepada umat yang mengalami sakit dan tidak dapat datang ke perayaan Ekaristi,
harus secepat diberikan komuni kepada mereka. Dengan demikian, mereka dikuatkan oleh tubuh

47
Surat Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Seri Dokumen Gerejawi, Ecclesia…, hlm. 42.
48
Y. B. Prasetyantha, Ekaristi Dalam Hidup Kita (Yogyakarta: Kanisius, 2008), Hlm. 92.
49
Y. B. Prasetyantha, Ekaristi Dalam…, hlm. 95.
50
Silvester Susianto Budi, Kamus Kitab …, hlm. 248.
58
Tuhan dalam kesadaran mereka. Dan umat beriman yang tidak sakit wajib menerima komuni dalam
perayaan yang telah ditentukan oleh Gereja. 51
Artikel 3
Ritus upacara perayaan Ekaristi (kan. 924 – 930)
Perlu diketahui bahwa kanon-kanon yang terdapat dalam KHK ini berkaitan dengan ajaran
resmi Gereja Katolik. Baik itu dari tinjauan dogma teologis maupun ketentuan liturgis Gereja
Katolik. Selain itu, kanon-kanon dalam KHK ini berlaku dalam Gereja Katolik Ritus Latin. 52 Jadi,
ketentuan dan ritus perayaan dalam Kan. 924-930 berasal dari pedoman umum Gereja Ritus Latin
atau PUMR.53
Kanon 924-930, berbicara tentang ritus dan upacara perayaan Ekaristi Suci. Dalam perayaan
Ekaristi terdapat hal yang paling esensial yang harus ada. Hal yang paling esensial itu terdiri dari
bahan material (anggur, roti, dan air)54 dan bahan forma (doa-doa yang dilakukan oleh seroang
imam ketika konsekrasi).
Penggunaan roti dan anggur bersumber dari pemakluman Yesus ketika perjamuan terakhir
(bdk. Luk 22:19-20), diteruskan oleh Para Rasul dan jemaat perdana (bdk. Kis 2:41). Gereja Katolik
sungguh berakar dari sejarah perkembangan iman umat Kristen awal. Demikianlah yang dituliskan
dalam bukunya yang terkenal itu, Essay on the Development of Christian Doctrine (1845), berikut
ini adalah kutipannya:
“Sejarah Kekristenan bukanlah Protestanisme. Jika ada yang namanya kebenaran yang
aman, inilah dia. Dan Protestanism juga merasakan hal ini… Ini terlihat dalam
keyakinan… untuk membuang semua sejarah kekristenan, dan membentuk Kekristenan
dari Alkitab saja: orang-orang tidak akan pernah membuang sesuatu kecuali jika mereka
sudah berputus asa tentang hal itu…. Untuk menjadi seseorang yang berakar pada
sejarah, maka ia berhenti menjadi seorang Protestan.”55
Jadi, tradisi penggunaan roti dan anggur dalam Gereja Katolik merupakan warisan dari
perkembangan iman Kristen awal. Untuk itu, bahan-bahan material (Hosti dan Anggur) harus
terjamin originalitasnya. Keoriginalitas ini dipelihara agar warisan iman itu dihayati dan diteruskan
kepada Gereja yang sedang berjiarah di dunia sampai sekarang dan untuk mencegah adanya bahan-
bahan anggur dan hosti yang palsu. Keaslian itu juga menggambarkan keyakinan iman akan segala
sesuatu yang dilakukan oleh Kristus. Umat Kristiani harus melakukan apa yang dikatakan oleh

51
Surat Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Seri Dokumen Gerejawi, Ecclesia…, hlm. 27.
52
Kan. 1.
53
Komisi Liturgi KWI, Pedoman Umum Misale Romawi, Cetakan IV (Flores: Nusa Indah Ende, 2008), hlm.
124. No. 324. Penulisan Pedoman Umum Misale Romawi selanjutnya disingkat dengan PUMR dan diikuti oleh nomor.
54
Kan. 924-1§ -3.
55
John Henry Cardinal Newman, Essay on the Development of Christian Doctrine (Notre Dame, Indiana: Notre
Dame Press, 1989), hlm. 7-8.
59
Yesus. Tindakan itu mau menunjukkan keberadaan iman komunitas kristiani tidak hanya dalam
bentuk imitasi (meniru), tetapi squela (mengikuti Kristus).56
Selain alasan di atas, bahan roti yang digunakan dalam Ekaristi benar-benar murni dan tidak
basi. Penekanan bahwa roti harus murni, mengandaikan bahwa roti yang digunakan pada perayaan
misa sungguh-sungguh tidak tercampur bahan material lainnya. Pewaspadaan terhadap material lain
tidak boleh bercampur dengan roti Ekaristi bertujuan untuk menjaga keawetan hosti serta keaslian
roti itu sendiri. Sehingga roti benar-benar berasal dari bahan gandum yang murni.57
Begitu juga dengan anggur yang digunakan saat Ekaristi. Dalam PUMR, anggur untuk
perayaan Ekaristi harus berasal dari buah pohon anggur (bdk. Luk 22:18). Anggur itu benar-benar
murni dan asli, tanpa campuran bahan lain. Bahkan dalam pedoman umum misale romawi
menegaskan, seandainya terjadi kekeliruan saat konsekrasi, karena salah satu bahan material
Ekaristi tertukar atau kesalahan teknis lainnya, selekas itu juga seorang imam melakukan konsekrasi
terhadap bahan material Ekaristi yang sah.58
Komuni yang diterimakan kepada umat beriman hanya dalam bentuk roti saja. Pemberian
komuni dengan hanya roti dilatarbelakangi dengan dua nilai penting yaitu nilai teologis dan nilai
praktis. Pemberian hosti dalam bentuk roti tidak mengurangi keutuhan substansi Tubuh Kristus
sendiri. Bisa dikatakan dengan cara sederhana, bahwa di mana ada tubuh yang hidup, di sana juga
terdapat darah yang hidup.
Dalam Katekismus no. 1378, menyatakan kehadiran Yesus dalam Ekaristi seutuhnya.
Bahkan sampai pada partikel yang terkecil dan dalam setiap tetes anggur terdapat keutuhan Tubuh
Kristus. Dengan demikian tidak ada alasan bahwa harus dalam komuni dua rupa baru sempurna
kehadiran Kristus.59 Dalam perayaan Ekaristi tersebut perlu memperhatikan kaidah-kaidah yang
berlaku dalam norma-norma liturgi. Bila karena alasan tertentu, komuni bisa diterimakan dalam
bentuk anggur saja.60
Alasan kedua pemberian komuni dalam rupa roti dengan alasan nilai praktis. Alasan ini
dilakukan dengan beberapa pertimbangan sederhana. Dalam hal ini, pemberian komuni dalam rupa
roti tidak membuat permasalahan baru dalam perasaan umat. Ada indikasi bahwa bila hosti dan
anggur diberikan kepada umat saat pemberian komuni, maka umat yang terakhir merasa kecewa
karena tidak kebagian anggur. Untuk itulah pemberian komuni dalam rupa roti saja. Adapun alasan-

56
Dr. Manangar C. Marpaung, Spiritual Awam, Imam, Religius (Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 2018),
hlm. 18 [diktat].
57
PUMR, No. 320.
58
PUMR, No. 324.
59
Konferensi Waligerja Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik, Edisi Resmi Bahasa Indonesia,
diterjemahkan berdasarkan edisi Jerman oleh P. Herman Emburub (Ende: Nusa Indah, 2014), hlm. 350. No. 1378.
60
Kan. 925.
60
alasan lain, mengapa hanya dalam rupa roti saja disebabkan alasan ekonomis dan keterbatasan
imam
Dalam ritus dan upacara perayaan Ekaristi ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan
tentang bahan hosti yang digunakan oleh imam. Roti yang digunakan dalam perayaan Ekaristi tidak
mengandung ragi. Ketentuan ini berlaku tanpa ada pengecualian. Dimana pun imam merayakan,
imam hanya menggunakan roti tak beragi. Penegasana kanon ini berkaitan dengan Ketentuan-
ketentuan yang dipertegas dalam “Pedoman Umum Misale Romawi” (No 320) dan yang paling
akhir dalam “Redemptionis Sacramentum” (“Bahan Ekaristi Mahakudus,” No 48). Dalam
“Redemptionis Sacramentum” menyatakan hal ini dengan jelas:
“Roti yang dipergunakan dalam perayaan Kurban Ekaristi Maha Kudus harus tak
beragi, semuanya dikerjakan dari tepung dan segar, sehingga menghindari bahaya dari
basi, Karena itu roti yang dibuat dari bahan lain, dari gandum atau yang dicampur
dengan suatu bahan yang bukan tepung demikian rupa sehingga orang tidak lagi
memandang itu sebagai roti, tidak merupakan bahan sah untuk dipergunakan pada
perayaan kurban dan sakramen Ekaristi, Adalah pelanggaran berat untuk memasukan
bahan lain ke dalam roti untuk Ekaristi itu, misalnya buah-buahan atau gula atau madu,
tentu saja hendaknya hosti-hosti dikerjakan oleh orang yang bukan hanya menyolok
Karena kesalehannya tetapi juga terampil dalam hal mengerjakan seraya diperlengkapi
dengan peralatan yang sesuai.”61

Patokan-patokan lain yang terdapat dalam kanon 926-927, merupakan ketentuan-ketentuan


sah tidak sahnya perayaan Ekaristi. Kanon 926 mengandung penegasan penting tentang keabsahan
sebuah tindakan Ekaristi. Keabsahan itu tejadi ketika memenuhi bahan-bahan yang dikonsekrasi
yang diaprobasi secara legitim dan waktu pengkonsekrasian bahan-bahan Ekaristi. Keabsahan ini
penting karena ketetapan-ketetapan terjadinya perayaan Ekaristi sesuai dengan ketentuan PUMR
(no. 319). 62
Selain patokan-patokan di atas, perayaan Ekaristi selalu mengindahkan kesatuannya dengan
gereja universal dalam ritus latin yang menggunakan bahasa latin dan juga bahasa daerah setempat
(kan. 928-929) yang sudah diaprobasi secara Geraja Katolik. Selain ketentuan penggunaan bahasa
latin, dalam perayaan Ekaristi perlu memperhatikan aksesoris yang digunakannya dalam perayaan
misa sesuai dengan kewajiban-kewajiban dan hak-hak klerus sebagaimana terdapat dalam kanon.
284, pakaian-pakaian liturgis yang berlaku PUMR (No. 335-347).63
Pada bagian kanon terakhir ritus dan upacara perayaan Ekaristi dalam kanon. 930 berbicara
tentan seorang imam yang memiliki masalah kesehatan. Tetapi, ada kerinduan merayakan Ekaristi
sebagai konsekuensi dari jabatan imamatnya sesuai dengan kanon 276-§2. Hakekat imamat seorang
61
F. X. Agis Triatmo, Iman Katolik Media Informasi dan Katekese, dalam Redemptioneis Sacramentum.
http://www.imankatolik.or.id/kvii.php?d=Redemptionis+Sacramentum&q=0-1000.
62
PUMR, No. 319.
63
PUMR, No. 335-347.
61
imam mengharuskan dia untuk menyadari tugasnya dalam melakukan tugas suci. Seorang imam
bisa merayakan Ekaristi dalam keadaan sakit atau lanjut usia, tetapi dengan mengindahkan hukum-
hukum liturgy setempat, tidak dihadapan umat, kecuali dengan izin ordinaris wilayahnya. Pada
paragraph ke dua, seorang imam yang mengalami sakit khusus dibantu oleh seorang imam lain atau
daikon, atau oleh seorang awam yang telah dipersiapkan untuk membantunya.64
Waktu dan tempat perayaan Ekaristi menurut KHK 931-932
Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus bersama umat Allah yang tersusun secara hirarkis.
Baik Gereja universal, Partikular maupun bagi setiap orang beriman, ekaristi merupakan pusat
seluruh kehidupan Kristen. Sebab dalam peryaan Ekaristi terletak puncak karya Allah yang
menguduskan dunia dan puncak karya manusia memuliakan Allah Bapa lewat Yesus Kristus Putera
Allah dalam Roh Kudus. Oleh karena itu, perayaan Ekaristi pengenangan misteri penebusan
sepanjang tahun dihadrikan untuk umat sebagai sumber iman dan puncak kehidupan sehari-hari. 65
Sebagaimana yang terungkap dalam KHK 931 bahwa Ekaristi dapat dirayakan pada hari dan jam
manapun sepanjang tahun. Kecuali pada hari-hari tertentu yang telah ditentukan dalam norma-
norma liturgi. Misalnya pada masa Jumat Agung setiap tahun tidak ada sama sekali perayaan
Ekaristi. Karena Jumat Agung adalah Jumat dalam pekan suci atau jumat sebelum paskah, bagian
dari Trihari Paskah yakni Jumat Agung, sabtu Suci dan Hari raya Paskah. Pada Jumat Agung ini
Gereja mengenang sengsara dan wafat Tuhan Yesus Kristus. Jumat Agung ini diisi dengan
peringatan sengsara dan wafat Tuhan Yesus Kristus melalui ibadat Sabda dan pembacaan kisah
sengsara Tuhan Yesus Kristus menurut Yohanes, doa umat meriah, penghormatan salin dan
pemabgian komuni yang telah dikonsekrarirdalam perayaan misa pada kamis malam sebelum Jumat
Agung.66
Perayaan Ekaristi hendaknya dilakukan ditempat yang suci, gereja pada Umumnya. Kecuali
dalam kasus kebutuhan khusus menuntut hal lain. Misalanya perayaan Ekaristi bagi kelompok-
kelompok khsusus seperti Perayaan Ekaristi bagi para peserta Ret-ret, Rekoleksi, pertemuan-
pertemuan yang membahas perkembangan pastoral di Paroki selama dua atau tiga hari dan
kelompok-kelompok khusus lainnya yang menuntut perayaan ekaristi khusus. Maka perlu
diperhatikan:

64
Kan. 928-930.
65
Komisi Liturgi KWI, Pedoman Umum Misale Romawi (Ende-Flores: Nusa Indah, 2018), No. 16. Selanjutnya,
Pedoman Umum Misale Romawi, disingkat dengan PUMR dan diikuti dengan Nomor.
66
Mengkonsakrir berasal dari kata konsekrasi atau consecrare dalam bahasa Latin yang berarti memberkati dan
menguduskan. Dengan konsekrasi orang atau barang dikuduskan dan disisihkan untuk memuliakan Allah. Istilah
konsekrasi hanya dipakai untuk roti dan anggur dalam Perayaan Ekaristi. Kaum beriman Kristiani percaya bahwa dalam
konsekrasi roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus. [Lihat. Pusat Kateketik: Gereja dan…, hlm.16.
Bdk. Ernest Maryanto, Kamus Liturgi, (Yogyakarta Kanisius, 2004), hlm.91-92.
62
Ekaristi harus dilaksanakan di atas Altar atau meja yang layak untuk digunakan sebagai
Altar untuk mempersembahkan Misa. Altar harus ditutup sekurang-kurangnya dengan sehelai kain
puith Korporal, di dekatnya dipasang sekurang-kurang dua lilin bernyala dengan sebuah salib
dengan sosok Kristus Yang tersalib terpajang pada Altar di dekatnya. Buku injil (evagenliarum),
Buku bacaan misa (lectionarium) harus ada dan dipersiapkan. Kemudian Piala, korporale,
Purifikatorim, palla bila ada, sibori, hosti (imam dan umat), ampul (tempat air dan anggur, patena
untuk komuni umat dan perlengkapan untuk membasuh tangan imam, hendaknya dipersiapkan
dengan baik. Bisa diletakan di atas altar dan bias juga disiapkan disebuah meja kecil di sekita altar.
Untuk pakain imam yang memimpin perayaan Ekaristi tersebut hendaknya disediakan alba, stola
dan kasula. Bila dimulai denan peraraka hendakan dipersiapkan dengan baik sebagaimana yang
berlaku pada Misa umat pada umumnya.67. Sesuai dengan tradisi liturgi segala bentuk misa berlaku
penghormatan altar dan kitab suci, berlutut dan membungkuk pada momen-monen tertentu dan
pembersihan benjana-benjana suci.68
Misa untuk berbagai keperluan ini dapat dirayakan dapat dirayakan dalam atau pada saat-
saat tertentu di tempat-tempat yang dianggap layak dan cocok untuk menjawab kebutuhan
kelompok-kelompok, ssperti di sebuah ruang ibadat, Gereja, alam terbuka asalkan teratur dan sesuai
dengan keperluan khsusu kelompok, demi meningkatkan karya pastoral terhadap umat dan izin dari
ordinaris wilayah tertent.69 Selain meperhatikan ketentuan ini, misa-untuk kelompok-kelompok
khusus hendaknya disesuiakan dengan rumus-rumus Misa untuk berbagai keperluan yang
ditetapkan oleh Konferensi Uskup dalam kurun tahun liturgi untuk menghindarkan sandungan
dalam liturgi Gereja.70
Maka, perayaan misa dalam berbagai bentuk apapau tidak boleh disisip dalam suatu
perjamuan biasa yang sedang berlangsung. Tanpa alas an yang berat misa tidak boleh dirayakan
pada sebuah meja makan biasa, 71
atau dalam sebuah rumah makan diaman ada tersedia makanan
atau ditempat dimana para hadiri terpaksa harus duduk-duduk di atas meja. Jika karena alasan berat,
Misa dapat dirayakan di tempat dimana perjamuan biasa diadakan setelahnya maka janganlah
makanan di tempatkan dihadapan para peserta selama misa sedangfn berlangsung. 72 Tidak diizinkan
mengaitkan perayaan Misa dengan peristiwa-peristiwa profan datau duniawi yang tidak spenuhnya
berkitan dengan ajaran Gereja katolik supaya Ekaristi tidak kehilangan artinya yang otentik. 73
Bab II
67
PUMR, no. 117-119.
68
PUMR, no. 273-287.
69
PUMR, no.374
70
PUMR, no.373. bdk Kan. 932-933.
71
Kongregasi Suci untuk Ibadat Ilahi, Instruksi Liturgicae Instauraurationes, no. 95.
72
Komisi liturgi-KWI, Redemtionis Sacramentum (Sakramen Penebusan), (Jakarta: Obor, 2004), no. 77.
73
Komisi liturgi-KWI, Redemtionis Sacramentum…, no. 78.
63
Menyimpan dan Menghormati Ekaristi Kudus
Ekaristi Kudus tidak diperkenankan dibawa-bawa atau disimpan oleh seseorang secara
pribadi, kecuali karena alasan pastoral di mana imam harus tinggal berjauhan dari tempat
penyimpanan resmi Ekaristi Kudus. Mengenai hal tersebut, diatur oleh Uskup secara khusus (Kanon
935). Ekaristi Kudus harus disimpan. Jenis tempat yang memperoleh izin kanonis untuk menyimpan
Ekaristi Kudus ialah katedral, gereja paroki, rumah religius atau rumah apostolik. Di luar tempat-
tempat tersebut, seperti di kapel uskup, kapel dan tempat doa lainnya, diperlukan izin khusus
(Kanon 934 §1). 74
Tempat-tempat tersebut harus dijaga (walaupun tidak harus oleh seorang imam) dan
dirayakan misa, minimal dua kali dalam sebulan (Kanon 934 §2). Ekaristi Kudus dapat disimpan
untuk dibagikan kepada yang sakit apabila kedua persyaratan tersebut dipenuhi. Sehubungan
dengan rumah religius dan pendidikan, hanya diperkenankan ada satu tempat khusus untuk
penyimpanan Ekaristi Kudus, kecuali dalam lingkungan tersebut ada lebih dari dua komunitas,
maka diperlukan izin khusus (Kanon 936).75
Gereja sebagai tempat penyimpanan Ekaristi Kudus harus terus dibuka, kecuali karena alasan
khusus yang darurat, seperti adanya pencurian padahal tempat tersebut tidak selalu diawasi. Dalam
keadaan tersebut, tempat tersebut dapat dibuka setidaknya selama beberapa jam (Kanon 937). 76
Ekaristi Kudus hanya disimpan di satu tabernakel (Kanon 938 §1). Tabernakel sebaiknya diletakkan
di kapel yang terhubung dengan Gereja. Jika hal tersebut tidak bisa terpenuhi, tabernakel dapat
diletakkan di dekat altar. Bahan material untuk tabernakel harus keras dan padat (Kanon 938 §3).
Tabernakel harus dijaga (Kanon 938 §5).77 Di dekat Tabernakel, diletakkan lampu minyak atau lilin.
(Kanon 940).78
Kanon mengatur bahwa jumlah Hosti Kudus yang disimpan sebaiknya bergantung pada
kebutuhan dan ditaruh seminimal mungkin. Pembaruan Hosti Kudus bergantung pada iklim dan
kondisi lingkungan. Tempat Hosti Kudus dapat berupa Siborium atau benda lain yang berupa kayu.
Anggur Kudus sebaiknya tidak disimpan kecuali memang untuk orang sakit dan kalau disimpan
harus dijaga supaya tidak tumpah dari piala (Kanon 939).79
Selain tentang penyimpanan, bab II juga mengatur tentang penahtaan Ekaristi Kudus. Ada
beberapa prinsip berkaitan dengan hal ini, salah satunya menjaga kesatuan umat dalam Ekaristi.
74
John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary on the Code of Canon Law (New York:
Paulist Press, 2000), hlm. 1123, klm. 2.
75
John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1124, klm. 1 dan 2.
76
John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1125, klm. 1.
77
John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1125, klm. 2 dan hlm. 1126,
klm. 1.
78
John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm.1126, klm. 2 dan hlm. 1127,
klm. 1.
79
John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1126, klm. 1 dan 2.
64
Penahtaan tidak perlu dilakukan lebih dari satu hari. Penahtaan juga tidak perlu dilakukan lebih dari
dua kali dalam satu hari, bisa dilakukan hanya pagi dan sore saja. Dalam ritus singkat, harus
diadakan bacaan, mazmur, doa, dan waktu hening meditasi. (Kanon 941 dan 942). 80 Dalam
penghormatan terhadap Ekaristi Kudus, ada juga tradisi perarakan yang diatur oleh Uskup (Kanon
944).81 Pelayan dalam penahtaan dibagi dua. Pertama, pelayan biasa, yaitu imam dan diakon.
Kedua, pelayan luar biasa, yaitu akolit, pelayan komuni khusus, atau orang yang ditugaskan oleh
ordinaris wilayah. Para pelayan luar biasa dapat membuka tabernakel, memasukkan Ekaristi Kudus
ke Monstrans atau tempat penahtaan, dan mengganti Sakramen Kudus, tapi tidak boleh memberikan
berkat (Kanon 943).82
Bab III
Stips yang Dipersembahkan untuk Perayaan Misa
Bagian pertama mengatur persembahan dan intensi misa. Persembahan merupakan hak
seorang imam, namun imam tidak boleh mengabaikan orang miskin bahkan walau tidak
menyumbang (Kanon 945). Dalam Firma in Traditione, Paus Paulus VI menyatakan bahwa
pemberian stipendium merupakan tanda turut serta membangun Gereja di mana umat menyatukan
diri dengan pengurbanan Kristus di salib (Kanon 946). Stipendium harus dihindarkan dari praktek
komersialisasi yaitu sekedar mencari keuntungan (Kanon 947).83
Pada awalnya, imam hanya boleh menerima satu stips untuk satu misa. Pada tahun 1991,
Kongregasi Para Imam memperkenankan agar kumpulan intensi disatukan dalam satu misa dengan
syarat bahwa pemberi harus mengetahui bahwa intensinya akan digabung. Dan kepadanya
diberitahukan tempat Misa. Misa yang demikian tidak boleh dilakukan lebih dari sekali dalam dua
minggu. Biar bagaimanapun, kelebihan stips harus diberi kepada ordinaris wilayah (Kanon 948 dan
956).84 Apabila stips sudah diterima, imam bertanggung jawab merayakan Misa, bahkan walaupun
hilang. Ini berkaitan dengan kanon 1308-1309 (Kanon 949). Stipendium diberikan dalam jumlah
tertentu tanpa kejelasan berapa misa yang diadakan, sebaiknya digunakan aturan setempat di tempat
tinggal pemberi (Kanon 950).85 Imam boleh menerima persembahan dalam satu hari, tapi yang
menjadi haknya hanya satu dalam sehari. Bagi setiap misa yang persembahannya memang

80
John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1127, klm. 1 dan 2.
81
John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1128, klm. 2 dan hlm. 1129,
klm. 1.
82
John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1128, klm. 1 dan 2.
83
John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1131, klm. 2 dan hlm. 1132
klm. 1.
84
John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1132, klm. 1.
85
John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1132, klm. 2 dan hlm. 1133,
klm. 1.
65
ditujukan untuk paroki, stipendium wajib disetor kepada ordinaris wilayah. Imam tidak boleh
menerima stips untuk misa yang kedua walaupun dengan alasan untuk ordinaris (Kanon 951).86
Jumlah stipendium diatur secara khusus oleh Konferensi Para Uskup setempat untuk
menjamin kesamaan jumlah antar keuskupan yang berdekatan. Bila tidak ada, uskup setempat bisa
mengatur sendiri (Kanon 952). Kanon 953 mencegah imam menerima terlalu banyak dengan
kekhawatiran tidak sanggup. Pencegahan ini hanya berlaku bagi imam secara pribadi, bukan
mencegah imam tersebut untuk memberikannya pada yang lain.87
Apabila ada kelebihan intensi misa dalam satu gereja, intensi misa dapat dilaksanakan di
tempat yang lain dengan izin dari pemberi (Kanon 954). Dan, apabila intensi misa sudah cukup
untuk satu tahun, intensi dapat dialihkan kepada yang lain. Misa dengan intensi dapat dilakukan
selambatnya setahun dari masa persembahan kecuali diberitahukan waktu definitif (Kanon 955).
Pelaksanaan Misa dengan intensi wajib diawasi ordinaris wilayah (Kanon 957). Setiap pemberian
stipendium dan pelaksanaan Misa harus dibuat sebuah catatan khusus (Kanon 958).88
III. PENUTUP
Perayaan Ekaristi bukan lagi hal yang baru bagi kita sebagai umat beriman tetapi kepada kita
dituntut untuk semakin menghayati Ekaristi itu dalam menyambut tubuh Tuhan. Dalam perayaan
Ekaristi, setiap orang banyak cara yang dibuat demi kecintaannya terhadap perayaan. Bukan berarti
mengurangi nilai perayaan Ekaristi yang paling luhur. Dalam perayaan Ekaristi, umat
membutuhkan imam karena melalui tangan mereka sebagai tangan Tuhan, kita dapat menerima
komuni suci. Bahwa misteri ini harus dialami dan dihayati dalam kebenaran, baik dalam perayaan
maupun dalam kemesraan dialog dengan Yesus, yang terjadi sesudah komuni. KHK menjadi aturan
yang mengakomodir umat beriman untuk semakin menghayati Kristus dalam pengalaman hidup
beriman sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

Agis Triatmo, F. X. Iman Katolik Media Informasi dan Katekese, dalam Redemptioneis
Sacramentum. http://www.imankatolik.or.id/kvii.php?d=Redemptionis+Sacramentum&q=0-
1000.
Cardinal Newman, John Henry. Essay on the Development of Christian Doctrine Notre Dame,
Indiana: Notre Dame Press, 1989.

86
John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1132, klm. 2 dan hlm. 1133,
klm. 1 dan 2.
87
John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm. 1133, klm. 2 dan hlm. 1134,
klm. 1.
88
John P Beal, James A Coriden dan Thomas J Green, New Commentary…, hlm.1134, klm. 2 sampai hlm. 1136,
klm. 1.
66
James A Coriden dan Thomas J Green, John P Beal. New Commentary on the Code of Canon Law
New York: Paulist Press, 2000.
Komisi liturgi-KWI. Redemtionis Sacramentum (Sakramen Penebusan) Jakarta: Obor, 2004.
Komisi Liturgi-KWI. “Tahun Liturgi”, dalam, Kumpulan Dokumen Liturgi, Bina Liturgia Jakarta:
Obor, 1988.
Komisi Liturgi -KWI, Pedoman Umum Misale Romawi Ende-Flores: Nusa Indah, 2018.
Komisi Liturgi KWI, Pedoman Umum Misale Romawi, Cetakan IV Flores: Nusa Indah Ende, 2008.
Komisi Waligereja Indonesia, Kompendium Katekismus Gereja Katolik.Jakarta: KW, 2009.
Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja Yogyakarta: Kanisius, 2003.
_____________ Ekaristi, Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Patoral, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Maryanto, Ernest. Kamus Liturgi, Yogyakarta Kanisius, 2004.
Prasetyantha (ed.), Y.B. Ekaristi dalam Hidup kita, Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Prasetyantha, Y. B. Ekaristi Dalam Hidup Kita Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Susianto Budi, Silvester. Kamus Kitab Hukum Kanonik, Yogyakarta: Kanisius, 2014.
Surat Ensiklik Paus Yohanes Paulus II. Seri Dokumen Gerejawi No. 67, Ecclesia De Eucharistia
Jakarta: KWI, 2004.
Yosef, Herman. Sakramen dan Sakramentali Menurut Kitab Hukum Kanonik, Jakarta: obor, 2014.

67

Anda mungkin juga menyukai