Anda di halaman 1dari 133

TEOLOGI SPIRITUAL

Deskripsi Mata Kuliah

“Teologi Spiritual” merupakan salah satu cabang dari Teologi Kristen Katolik
yang terbilang cukup baru, sangat muda, dan sedang dalam proses penerimaannya ke
dalam seluruh kerangka Teologi Kristen, yang pada umumnya dibagi atas tiga bagian
yakni (1) Teologi Historis atau Teologi Biblis, (2) Teologi Sistematik/Spekulatif, dan (3)
Teologi Praktis/Kontekstual. Dalam konteks ini, Teologi Spiritual dapat dilihat sebagai
bagian dari Teologi Praktis, yang menunjuk pada studi organik dengan metode teologis
menyangkut penghayatan hidup spiritual setiap individu atau kelompok disertai refleksi
ilmiah atasnya. Materi Teologi Spiritual sesungguhnya sangat kompleks dan karena itu
patut diapresiasi dari perspektif teologis, khazanah sejarah serta pengalaman spiritual
setiap orang/kelompok dari setiap zaman. Materi kuliah Teologi Spiritual yang diberikan
kepada mahasiswa-mahasiswi semester VI ini akan disajikan dalam tujuh bab atau pokok
bahasan, yakni: (1) Pandangan tentang Teologi Spiritual, (2) Landasan Doktrinal dan
Sifat Dasar Teologi Spiritual, (3) Kehidupan Orang Kristen di dalam Yesus dan Maria,
(4) Organisme Supra-Natural, (5) Kesempurnaan Hidup Kristiani, (6) Spiritualitas Imam,
dan (7) Spiritualitas Awam.

KERANGKA DAN RENCANA PEMBELAJARAN

NO POKOK BAHASAN SUB POKOK BAHASAN JLH


. PERTE
MUAN
X
BEBAN
MK
(JLH
SKS)
1. Pandangan Tentang Teologi a. Pengantar
Spiritual b. Lapangan dan Terminologi “Spiritual”
c. Teologi Spiritual
d. Aneka Ungkapan Tentang “Spiritualitas” dan
Pengertiannya 1x2
2. Landasan Doktrinal dan a. Pengantar

1
Sifat Dasar Teologi Spiritual b. Spiritualitas dan Teologi
c. Konsep Tradisional Tentang Teologi
d. Definisi tentang Teologi Spiritual
e. Metode Teologi Spiritual
f. Sumber-sumber Teologi Spiritual
g. Sekolah-sekolah Spiritual

2x2
3. Kehidupan Kita Di Dalam a. Kesaksian Biblis
Yesus dan Maria b. Yesus adalah Jalan
c. Yesus adalah Kebenaran
d. Yesus adalah Kehidupan
e. Maria dan Peranannya Dalam Kekudusan
f. Alasan Untuk Memperoleh Rahmat Melalui Maria
g. Mengejar Kekudusan Melalui Doa
2x2
4. Organisme Supra Natural a. Jiwa
b. Rahmat Pengudusan
c. Peran Rahmat Dalam Kehidupan Kristiani
d. Tiga Fungsi Rahmat Aktual
e. Keutamaan-keutamaan
f. Sapta Karunia
g. Anugerah Roh Kudus 2x2
5. Kesempurnaan Hidup a. Arti Kata “Kesempurnaan”
Kristiani b. Kesempurnaan Absolut dan Kesempurnaan Relatif
c. Kesempurnaan Primer dan Sekunder
d. Dasar Kesempurnaan Hidup Kristiani 2x2
e. Yesus Model Kesempurnaan Kita
6. Spiritualitas Imam a. Dinamika Kekudusan Umat Kristen
b. Dinamika Kekudusan Imamat
c. Dimensi Spiritualitas Keimaman
d. Karya Pastoral dan Kehidupan Moral Imam
e. Doa Seorang Imam
f. Ketaatan Pada Otoritas
g. Kemiskinan Imam 3x2
h. Kehidupan Ekaristi Imam
i. Persaudaraan Dalam Imamat
j. Dewan Imam dan Dewan Pastoral
k. Kebersamaan Dalam Kerasulan
l. Arti dan Motivasi Selibat
m. Dimensi-dimensi Antar-Pribadi Selibater

7. Spiritualitas Awam a. Ciri Sekular Relasi Kristiani Terhadap Dunia dan


Unsur Khas Spiritualitas
b. Dimensi Teologal Awam
c. Dimensi Sakramental Spiritualitas Awam
d. Dimensi Sekular Spiritualitas Awam 2x2
e. Perwujudan Spiritualitas Awam
f. Tugas-tugas Awam secara Spiritual
g. Pendampingan Komisi “Kerawam” oleh para Klerus
h. Bentuk-bentuk Konkret Spiritualitas Awam

2
BAB I

PANDANGAN TENTANG TEOLOGI SPIRITUAL

1.1. Pengantar: Mengapa Teologi Spiritual Butuh Metodologi Tersendiri?

 Teologi Spiritual butuh metodologi tersendiri karena beberapa motif/alasan:


 Pertama: karena Teologi Spiritual adalah suatu bidang ilmu teologi yang baru,
sangat muda, dan sedang dalam proses penerimaannya ke dalam seluruh
kerangka Teologi Kristen
 Kedua: Teologi Spiritual dapat ditemukan sebagai sebuah materi yang sangat
kompleks dan pada waktu yang sama perlu dihargai dari sudut pandang
teologi dan dalam kekayaan sejarah serta pengalaman spiritual setiap
orang/kelompok
 Ketiga: Teologi Spiritual merupakan ilmu yang benar dan khusus, karena
bukan sekadar mempelajari suatu cabang ilmu teologi dan bahkan disiplin
ilmu yang lain.
 Karena itu, sebagai langkah pertama, kita perlu kenal terminologi-terminologi yang
sering dihubungkan dengan Spiritualitas atau Teologi Spiritual.

1.2. Lapangan dan Terminologi “Spiritual”

 Sepanjang sejarah telah diterima banyak nama lain yang tidak jauh artinya dari kata
“spiritus/spiritual”
 Pada tempat pertama ditemukan beberapa nama/istilah/terminologi yang
diaplikasikan ke dalam hidup. Istilah-istilah itu antara lain:
 Keilahian (Divina)
 Askese/mati-raga (Ascetica)
 Mistik (Mistica)
 Kekudusan (Sanctità)
 Kesempurnaan (Perfezione)
 Kekristenan (Cristiana)
 Interior (Interiore)
 Supernatural (Supernaturale)
 Dari antara sekian banyak terminologi di atas, kata “askese/asketik” dan “mistik”,
kedua-duanya baik terpisah maupun bersama-sama, baik dalam praksis hidup maupun
dalam penggunaannya sebagai ilmu, lebih dekat artinya dengan kata
“spiritus/spiritual”.

3
 Terminologi ini (“spiritus/spiritual”) mengatasi krisisnya sendiri. Kata “spiritualitas”
dewasa ini sangat kuat serta luas pengaruhnya. Secara khusus istilah ini mengemban
tugas pengintegrasian nilai-nilai kristiani menurut perspektif yang berbeda-beda: atau
kelihatan dalam penghayatan nilai rohani perorangan, atau nampak dalam aneka
gerakan dan aliran spiritual.
 Dalam arti yang lebih khusus, spiritualitas diartikan dalam kehidupan kristiani
sebagai:
 Spiritualitas kristiani dengan berbagai macam bentuknya, misalnya:
Spiritualitas Ortodoks, Spiritualitas Anglikan, Spiritualitas Katolik, dst.
 Spiritualitas khusus, misalnya: karisma dari Ordo-ordo, Serikat-serikat,
Kongregasi, Tarekat, gerakan Karismatik, Organisasi-organisasi Katolik,
serikat Santo Vinsensius, Legio Maria, dll.
 Aspek-aspek khusus, seperti: spiritualitas doa, spiritualitas kerja, dll.

1.3. Teologi Spiritual

 Penggunaan terminologi baru ini (‘spiritualitas’) menarik semua bentuk “kehidupan


spiritual” ke suatu level teologis. Karena itu tidak perlu dibuat pertentangan antara
Spiritualitas dan Teologi Spiritual. Keduanya memang tidak persis sama namun juga
tidak begitu saja berbeda.
 Spiritualitas lebih ekspresif dan bahkan lebih luas. Lebih “ekspresif” karena berhubungan
dengan hidup secara langsung untuk selanjutnya menghasilkan doktrin/ajaran. “Lebih
luas” karena ia dapat diaplikasikan pada nilai-nilai khusus, sintese khusus, dan tema-tema
khusus pula.
 Sedangkan Teologi Spiritual menunjuk pada studi organik dengan metode teologis dan
tema-tema mendasar yang memberikan dasar serta prospektif pada sektor itu disertai
refleksi ilmiah atasnya.
 Karena itu, kedua hal di atas (Spiritualitas dan Teologi Spiritual) dengan segala
penjelasannya adalah benar, penting, dan punya tujuan yang luhur.

1.4. Aneka Ungkapan Tentang “Spiritualitas” dan Pengertiannya

 Ada berbagai macam ungkapan tentang Spiritualitas dengan pengertiannya masing-


masing, misalnya:
 Hidup Kristiani: Kristus menjadi sentral atau pusat kehidupan orang-orang
kristen
 Hidup Iman: di mana iman merupakan akar hidup yang ditafsir dan dimengerti
sebagai tanggapan manusia terhadap panggilan kasih dan tawaran keselamatan
Allah
 Hidup Rahmat: yaitu partisipasi di dalam hidup ilahi Allah sendiri

4
 Hidup Kudus: yaitu hidup yang diarahkan kepada persatuan dengan Allah yang
Mahakudus
 Kesempurnaan: suatu keadaan yang dapat digapai manusia melalui askese atau
mati-raga
 Kesalehan: yang dimengerti terutama sebagai kesediaan dalam memberi
penghormatan dan sembah-bakti kepada Allah
 Mistik: suatu keadaan persatuan mesra dengan Allah
 Askese: disposisi batin yang dilengkapi dengan tindakan nyata berupa mati-raga
untuk mempersiapkan diri masuk ke dalam persatuan mesra dengan Allah.
 Dari berbagai ungkapan tentang Spiritualitas dengan pengertiannya masing-masing ini
dapat dilihat betapa ekspresif dan luasnya cakupan makna Spiritualitas sebagaimana telah
diuraikan (pada poin 1.2 dan 1.3) di atas.
 Bertolak dari aneka ungkapan serta pengertian di atas, kita boleh mendefinisikan
“Spiritualitas” sebagai praktik sekaligus permenungan sistematis atas hidup Kristiani
yang ditandai oleh doa, kebaktian, dan disiplin. Ini berarti bahwa spiritualitas kristiani
selalu menuntut hidup asketis dan doa, di dalamnya pembimbing rohani dalam terang
Roh Kudus membantu orang untuk menjernihkan arah ke mana pribadi-pribadi atau
komunitas harus melangkah (Bdk. 1Tes 5:19-22; 1Yoh 4:1).
 Sebagai suatu bidang studi, Spiritualitas mencakup unsur-unsur teologis, liturgis, Kitab
Suci, sejarah, antropologi, sosiologi, dan psikologi.

Tugas:

 Sebagai latihan dan evaluasi terhadap materi bahasan I di atas, maka mahasiswa-
mahaiswi diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut:

1. Jelaskan mengapa Teologi Spiritual membutuhkan Metodologi tersendiri!


2. Jelaskan lapangan dan aneka terminologi “spiritual”!
3. Jelaskan hubungan (kesamaan dan perbedaan) antara “Spiritualitas” dan “Teologi
Spiritual”!
4. Jelaskan aneka ungkapan mengenai Spiritualitas dan pengertiannya masing-
masing!
 Catatan:
 Untuk mengerjakan tugas ini, gunakan juga referensi atau sumber-sumber bacaan
pribadi lain (selain materi perkuliahan yang telah disajikan di atas), untuk
menambah wawasan anda.
 Tugas ini dikumpulkan paling lambat sehari sebelum pertemuan berikutnya.
 Tugas ini bisa dikumpulkan secara online via e-mail ataupun secara
langsung/manual/offline.
 Alamat e-mail dosen pengampu mata-kuliah: hironimuspakaenoni@yahoo.com

5
BAB II

LANDASAN DOKTRINAL DAN SIFAT DASAR TEOLOGI SPIRITUAL

2.1. Pengantar

 Terminologi Teologi Spiritual telah dikenal dalam bermacam nama/istilah sepanjang


sejarah pertumbuhan dan perkembangan teologi. Sebagian orang menamakannya secara
sederhana dengan istilah “Spiritualitas”; yang lain lagi menamakannya “Kehidupan
Spiritual” (Spiritual Life); “Kesalehan Hidup” (Devout Life); “Kehidupan Interior”
(Interior Life); “Evolusi Mistik” (Mystical Evolution); “Teologi Kesempurnaan Hidup
Kristiani” (Theology of Christian Life Perfection).
 Terminologi “Teologi Spiritual” ini masih digunakan secara umum untuk menunjukkan
bahwa refleksi (teologis) sistematis atas kehidupan spiritual adalah teologi asketik dan
teologi mistik, walaupun kedua kata itu (askese dan mistik) tidak mengandung pengertian
yang sama dengan kata teologi.
 Kata ‘asketik’ (ascetical) berasal dari kata Yunani askeein yang berarti usaha, praktek,
atau latihan teratur untuk memperoleh kemahiran/keterampilan (skill) secara khusus bagi
seorang atlet (Bdk. 1Kor 9:24-27; Flp 3:14)
 Selanjutnya kata askeein berarti studi filosofis atas praktek kehendak, dan arti ini telah
dipakai dalam filsafat Yunani.
 Dalam pembelaannya di hadapan Feliks, wali negeri Kaisarea, Paulus hanya satu kali
menggunakan kata ini di dalam Kisah Para Rasul, “Sebab itu aku senantiasa berusaha
untuk hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia” (Kis 24:16).
 Akan tetapi, di dalam Surat-suratnya, Paulus sering menarik hubungan antara praktek
kehidupan umat Kristen dan latihan atletik, “Tidak tahukah kamu bahwa dalam
gelanggang pertandingan, semua peserta turut berlari tetapi bahwa hanya satu orang saja
yang mendapat hadiah? Karena itu, larilah begitu rupa sehingga kamu memperolehnya!
Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan menguasai dirinya
dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana,
tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi” (1 Kor 9:24-25. Bdk. Flp 3:13-
14; 2Tim 4:5. 8; 1Tim 4:7-8; Ibr 5:14 dan 12:11).
 Hal ini didukung oleh Dobrosielski, seorang Fransiskan, yang memperkenalkan kata
“askese” ke dalam pemakaian teologi Barat pada tahun 1655. Antara tahun 1952-1954,
Scaranelli, seorang Yesuit Italia, menggunakan term itu (“askese”) dalam arti yang
bertentangan dengan arti kata “mistik”.
 Terminologi “mistik” juga berasal dari bahasa Yunani, Mystikos, yang berarti rahasia
(geheim), serba rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen), gelap (donker), atau
terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld). Menurut De Kleine W.P.
Encyclopaedie (1950), kata mistik berasal dari bahasa Yunani myein yang artinya

6
menutup mata, dan musterion yang artinya suatu rahasia. Dengan demikian, ada
hubungan antara kata mystikos dan musterion. Kata musterion (misteri) digunakan juga
dalam Kitab Daniel dan Kitab-kitab Deutero Kanonika. Dalam Perjanjian Baru, kata
musterion (misteri) ini digunakan oleh Santo Paulus untuk menunjukkan misteri Allah
yang mengarah kepada keselamatan manusia, yang tersembunyi, arti simbolis dari suatu
kisah, atau sesuatu kekuatan yang terselubung.
 Mengingat perkembangan sejarah terminologi ini maka tidak heran bahwa Teologi
Modern tidak menyetujui jika kedua kata ini (askese dan mistik) digunakan sebagai
sinonim untuk istilah Spiritual (-itas). Karena itu dianjurkan kepada mahasiswa/i teologi
mistik dan asketik untuk membiasakan diri dengan berbagai istilah lain sebelum mencoba
mengevaluasi ajaran dan tulisan para teolog.
 Para penulis modern akan selalu jatuh ke dalam kategori-kategori berikut ini ketika
menggunakan term askese dan mistik:
 Term askese dan mistik dapat ditukar satu sama lain dan dapat juga digunakan
untuk mewakili seluruh bidang teologi spiritual
 Teologi Asketik mempelajari kehidupan spiritual sejak awal sampai ke ambang
pintu kontemplasi. Sedangkan Teologi Mistik sungguh-sungguh merupakan suatu
pentas pengaruh kontemplasi. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa Teologi
Asketik merupakan “persiapan” untuk masuk ke dalam Teologi Mistik.
 Teologi Asketik menyelidiki pembersihan, pencerahan dan kesatuan jalan, sejauh
rahmat Allah merupakan prinsip operatif bagi semuanya. Sedangkan Teologi
Mistik dibatasi untuk mempengaruhi kontemplasi sebagai efek dari rahmat
istimewa yang kadang-kadang mempempengaruhi kontemplasi.
 Teologi Asketik membicarakan cara penyucian dan pemurnian, sedangkan
Teologi Mistik mempelajari jalan universal
 Perbedaan antara aspek askese dan aspek mistik dari kehidupan spiritual dibatasi
oleh keunggulan dari penerimaan dan pengaruh kehendak atau keunggulan karya
Roh Kudus. Dalam hal ini, askese lebih menekankan aspek kehendak dan usaha
dari pihak manusia; sedangkan mistik lebih menekankan dan mengutamakan
rahmat serta karya Roh Kudus.
 Dalam Teologi Protestan, kata askese biasanya berkaitan dengan rasa malu dan
penyangkalan diri. Sedangkan mistik/mistisisme berarti setiap pengalaman budi
tentang wujud tertinggi menurut accutisme (suatu bentuk hidup spiritual yang
sungguh terasah/tajam/peka), spiritualisme dan ekstase religius dengan fenomen-
fenomen psikologis yang menakjubkan. Banyak teolog protestan kontemporer
menolak term-term askese dan mistik, dan lebih cenderung berbicara tentang piety
(kesalehan).
 Penyebab terjadinya ketidaksesuaian dalam penggunaan term askese dan mistik yakni
karena term-term itu bukanlah nama yang diterima umum untuk teologi tentang
kesempurnaan kristiani. Karena itu, nama/istilah yang lebih cocok dan diterima umum

7
adalah “Teologi Spiritual”. Penggunaan nama atau istilah ini membawa keuntungan
karena merangkum keduanya (askese maupun mistik).

2.2. Spiritualitas dan Teologi

 Konsep tentang spiritualitas tidak dibatasi pada agama tertentu, tetapi justru dipakai pada
setiap orang yang memiliki kepercayaan terhadap yang Ilahi. Dalam arti terbatas,
spiritualitas orisinal berpusat pada Yesus Kristus (sebagai contoh manusia sempurna)
yang senantiasa berorientasi pada dan menyatu dengan Allah. Dalam hal ini, setiap
manusia hendaknya juga senantiasa mengarah kepada Allah Tritunggal.
 Dalam dokumen Konsili Vatikan II yakni Konstitusi Pastoral tentang Gereja Di Dunia
Dewasa Ini, ditekankan bahwa segala ciptaan hanya mempunyai satu spiritualitas dan
semuanya itu berpartisipasi dalam misteri Kristus (Gaudium et Spes artikel 22).
 Spiritualitas sering menjadi masalah bila dijadikan obyek studi atau penyelidikan. Hal ini
antara lain dapat dilihat dalam literatur spiritual yang pada umumnya dibagi dalam tiga
tipe tulisan:
 Tulisan yang terkesan memaksa manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup
dan ada instruksi/perintah supaya orang hidup seperti itu
 Tulisan yang merekam pengalaman hidup religius tentang orang Kristen yang
sudah mencapai tahap asketik dan mistik. Misalnya: Santo Yohanes dari Salib
 Hasil studi tentang asal-usul dan tujuan kesempurnaan orang Kristen, serta
bagaimana usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan itu.

2.3. Konsep Tradisional tentang Teologi

 Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan atau tentang gejala yang
berhubungan dengan Tuhan.
 Santo Thomas Aquinas mengatakan bahwa doktrin suci adalah prinsip suatu ilmu
spekulasi sebab ia mencari pengetahuan lewat sebab dan menarik kesimpulan lewat
prinsip-prinsip menurut aturan hukum logika1.
 Oleh karena itu, para filsuf mempersoalkan teologi spiritual dengan tiga alasan berikut:
 Skolastik menekankan keutuhan teologi untuk menghapus perbedaan antara
teologi spiritual dan cabang-cabang lain dari teologi

1
Dengan bertolak dari prinsip Inkarnasi, Thomas Aquinas berusaha mendamaikan Iman dan Ilmu. Ia
melihat seluruh alam ciptaan sebagai jalan/cara untuk mengenal Pencipta. Dalam konteks ini, indra (senses)
dilihatnya sebagai jendela pengetahuan, dengannya manusia bisa mengenal Allah. Ia merumuskan keyakinannya ini
dengan singkat, video ut credam (saya melihat untuk percaya). Baginya, permulaan pengetahuan adalah indra
(conversio ad phantasma). Akal budi, meski mulai dengan persepsi indrawi, melalui kejujuran intelektual, akan
sampai kepada Tuhan, minimal pengakuan akan eksistensi Tuhan dan realitas immaterial…

8
 Kehidupan spiritual adalah suatu dinamika dari mistik interior yang menolong
dirinya sendiri dan eksistensi setiap orang Kristen. Oleh karena itu, teologi
spiritual sebaiknya membicarakan persoalan-persoalan pribadi yang tidak
menyinggung teologi sebagai ilmu pengetahuan
 Teologi Spiritual berbicara tentang:
 Data psikologi dari setiap pengalaman spiritual
 Aplikasi prinsip-prinsip teologis
 Petunjuk-petunjuk praktis tentang kemajuan kehidupan spiritual

2.4. Definisi tentang Teologi Spiritual

 Teologi Spiritual adalah bagian dari teologi yang bertolak dari kebenaran wahyu ilahi dan
pengalaman religius setiap pribadi menuju kesempurnaan kristiani. Akan tetapi, Teologi
Spiritual memiliki metode tersendiri sebagai teologi terapan atau teologi praktis, dan
sasaran utamanya ialah mencapai kesempurnaan kristiani. Dalam usaha ini, peranan
teologi dogmatik dan teologi moral menjadi dasar doktrinnya.
 Teologi Spiritual merupakan hasil prinsip refleksi ilahi. Karena itu kerap kali dikatakan
bahwa Tuhan itu obyek teologi dan iman adalah prinsip teologi. Studi tentang teologi
dapat mempengaruhi iman kita akan Tuhan, yang sekaligus dapat
dipertanggungjawabkan (inteligo ut credam: saya mengerti supaya saya percaya).
 Teologi Spiritual memformulasikan hukum-hukum dan petunjuk-petunjuk yang mengatur
pertumbuhan dan perkembangan spiritual seseorang
 Teologi Spiritual mendeskripsikan proses normal manusia menuju kesempurnaan hidup
kristiani. Walaupun diakui karya Tuhan dalam bermacam cara dan Roh Kudus bertiup ke
mana saja Ia mau, tetapi manusia yang otonom dapat menentukan gaya hidup
spiritualitasnya menuju kesempurnaan.

2.5. Metode Teologi Spiritual

 Sebagai sebuah ilmu, Teologi Spiritual adalah sesuatu yang spekulatif sekaligus praktis.
Obyek studi dari teologi adalah Allah sendiri. Karena itu, intervensi Allah dalam sejarah
manusia akan terasa, dan Teologi Spiritual merefleksikan tentang rahasia partisipasi
manusia dalam kehidupan ilahi. Karena itu juga, metode Teologi Spiritual bersifat
deduktif sekaligus induktif untuk menjamin keseimbangan antara hal-hal umum dan
prinsipiil di satu pihak, serta penerapannya secara spesifik di lain pihak. Metode deduktif
bertolak dari prinsip-prinsip umum teologis. Sedangkan metode induktif bertolak dari
praksis kehidupan berdasarkan gejala fisik dan psikologis manusia.

2.6. Sumber-sumber Teologi Spiritual

2.6.1. Kitab Suci

9
 Kitab Suci adalah norma utama (norma normans) yang menjadi standar bagi segala
otentisitas spiritual, sekaligus sumber yang tidak dapat diragukan karena ia menghadirkan
Tuhan sebagai yang transenden sekaligus imanen.
 Kitab Suci adalah sabda Tuhan yang ditulis dalam ilham Roh Kudus, yang bersama
Tradisi suci dipercayakan kepada para Rasul untuk diteruskan kepada manusia sepanjang
zaman.

2.6.2. Tradisi Gereja

 Tradisi Suci yang diajarkan Gereja Katolik adalah Tradisi Apostolik yang diperoleh dari
para Rasul dan yang diperintahkan oleh Kristus untuk mewartakan semua
ajaran/perintahNya (Bdk. Mat 28:19-20). Yang diwartakan dan diteruskan para Rasul
serta para pengganti mereka itu mencakup segala sesuatu yang membantu umat Allah
untuk menjalani hidup yang suci dan untuk berkembang dalam imannya….. (DV. 8).
 Karena itu, sebagaimana Kitab Suci, demikian pun Tradisi suci merupakan sumber
sekaligus landasan tetap bagi teologi, termasuk di dalamnya teologi spiritual (Bdk. DV.
24) .

2.6.3. Magisterium Gereja

 Magisterium Gereja punya wewenang untuk mewartakan dan menjelaskan ajaran resmi
Gereja sepanjang masa. Kitab Suci dan Tradisi Suci merupakan kekayaan Gereja yang
dipercayakan kepada Magisterium atau Kuasa Mengajar Gereja. Dalam hal ini, tugas
utama Magisterium adalah:
 Menafsir secara otentik Sabda Allah baik secara tertulis maupun lisan yang
dipercayakan kepada wewenang Gereja, dan kewibawaannya diterima dan
dilaksanakan atas nama Yesus (Bdk. DV. 10).
 Wewenang mengajar ini mendapat kekuatan dan bantuan dari Roh Kudus.
Dengan gerakan Roh Kudus, Magisterium membantu secara efektif keselamatan
jiwa-jiwa (Bdk. DV. 9, 10).

2.6.4. Liturgi

 Melalui Liturgi, orang beriman mengekspresikan kehidupan dan imannya, serta


memperlihatkan kepada orang lain misteri Kristus dan arti sesungguhnya dari Gereja
yang benar.
 Liturgi mengungkapkan secara hidup bagaimana seharusnya hidup dalam terang Sabda
Allah, sebab di dalam Liturgi, kita tidak hanya punya satu ekspresi iman, tetapi juga satu
ekspresi hidup (Bdk. SC. 10).

2.6.5. Teologi Moral dan Teologi Dogmatik

10
 Penggunaan teologi moral dan teologi dogmatik sebagai sumber teologi spiritual
bertujuan untuk menyelidiki doktrin yang hidup dalam hubungan dengan norma tertinggi
yakni dalam kehidupan moralitas.
 Selain itu, dengan bantuan teologi dogmatik dan moral, para spiritual dapat melihat
kriteria keaslian ajaran dari Magisterium Gereja
 Ada tiga tahap dalam pendekatan ini:
 Pendekatan dalam kehidupan liturgis dan sakramen
 Dialami dalam kehidupan Gereja
 Lewat hukum-hukum pribadi, kemampuan pribadi, bimbingan para pemimpin,
askese, kontemplasi aktif dan seluruh kehidupan Gereja.

2.6.6. Sejarah Spiritual

 Sejarah spiritual menyediakan data empiris bagi teologi spiritual. Tanpa sejarah spiritual,
para teolog akan membangun ilmu sesuai dengan eksklusivitas dirinya berdasarkan
metode apriori.
 Karena itu, pengetahuan akan sejarah spiritual menolong para teolog untuk mengenal
kekhasan kehidupan spiritual sepanjang masa.

2.6.7. Pengalaman-pengalaman Pribadi dan Macam-macam Cabang Ilmu Psikologi

 Sumber-sumber ini secara khusus sangat penting untuk menyuburkan seni pembimbingan
spiritual dan ketajaman kehidupan rohani. Pengalaman pribadi merupakan sumber yang
penting untuk studi teologi spiritual, karena dengan pengalaman pribadi dan juga
pengalaman orang lain, kita dapat mengerti karya kehidupan spiritual dan pengalaman-
pengalaman ini bisa dialami lewat kesaksian para Santo-Santa dan para mistikus.

2.7. Sekolah-sekolah Spiritual

 Sekolah-sekolah Spiritual muncul sebagai kebutuhan Gereja terhadap produk zaman.


Hadirnya sekolah-sekolah spiritual akan membantu anggota Gereja untuk menghidupi
misteri Kristus sehingga dengan demikian akan bertumbuhlah kekudusan dalam diri
manusia-manusia Kristen. Jika orang-orang Kristen menjadi kudus, mereka akan
mengambil bagian dalam kekudusan Allah.

Tugas

 Sebagai latihan dan evaluasi terhadap materi bahasan II di atas, maka mahasiswa-
mahaiswi diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1. Dalam sejarah, terminologi “spiritual” sering disebut juga dengan istilah
“asekese/asketik” dan “mistik”. Jelaskan makna etimologis kata “asekese/asketik”
dan “mistik”!

11
2. Pada dasarnya Teologi Modern tidak terlalu menyetujui jika kata “askese” dan
“mistik” digunakan sebagai sinonim dari kata “spiritual”. Karena itu juga istilah
Teologi Spiritual tidak bisa secara naïf diganti dengan istilah Teologi Asketik atau
Teologi Mistik. Mengapa? Jelaskan!
3. Mengapa Spiritualitas merupakan bagian dari Teologi? Jelaskan!
4. Jelaskan konsep tradisional tentang Teologi!
5. Jelaskan definisi Teologi Spiritual serta Metode Teologi Spiritual!
6. Sebutkan dan jelaskan sumber-sumber Teologi Spiritual!

 Catatan:
 Untuk mengerjakan tugas ini, gunakan juga referensi atau sumber-sumber bacaan
pribadi lain (selain materi perkuliahan yang telah disajikan di atas), untuk
menambah wawasan anda.
 Tugas ini dikumpulkan paling lambat sehari sebelum pertemuan berikutnya.
 Tugas ini bisa dikumpulkan secara online via e-mail ataupun secara
langsung/manual/offline.
 Alamat e-mail dosen pengampu mata-kuliah: hironimuspakaenoni@yahoo.com
atau pakaenoni69hironimus@gmail.com

BAB III

KEHIDUPAN KITA DI DALAM KRISTUS DAN MARIA

12
3.1. Peran Sentral Yesus Kristus

 Ada beberapa teks Kitab Suci yang memperkenalkan kepada kita peranan sentral Yesus
Kristus dalam hal kekudusan kita:
 “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan
manusia, yaitu manusia Yesus Kristus yang telah menyerahkan diriNya sebagai
tebusan bagi manusia; itu kesaksian pada waktu yang ditentukan” (1Tim 2:5-6).
Dalam hal ini, kekudusan manusia secara ontologis merupakan buah dari rahmat
penebusan Yesus Kristus, satu-satunya pengantara antara Allah dan manusia.
Dan rahmat penebusan sebagai sebab utama kekudusan manusia itu terwujud
karena Yesus Kristus rela menyerahkan diriNya lewat sengsara, wafat, dan
kebangkitanNya.
 “Dan inilah kesaksian itu: Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal kepada
kita dan hidup itu ada di dalam AnakNya. Barangsiapa memiliki Anak, ia
memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup”
(1Yoh 5:11-12). Dalam hal ini, kekudusan manusia dimengerti sebagai karunia
untuk berpartisipasi dalam hidup kekal yang dianugerahkan Allah melalui
AnakNya, Yesus Kristus. “Dalam Dia ada hidup, dan hidup itu adalah terang bagi
manusia” (Yoh 1:4). Karena itu juga, hanya mereka yang memiliki Dia, yakni
mereka yang percaya kepadaNya, boleh memiliki hidup kekal itu. Hal ini juga
ingin menegaskan bahwa Yesus Kristuslah satu-satunya Jalan, Kebenaran dan
Hidup bagi manusia (Bdk. Yoh 14:6a). Dengan demikian, Yesus Kristus memiliki
peran sentral terhadap kekudusan manusia, di mana kekudusan itu dipahami
sebagai buah dari rahmat penebusan yang memungkinkan manusia berpartisipasi
dalam hidup yang kekal.
 Sejak Konsili Vatikan II, terjadi pergeseran penekanan berkaitan dengan sentralitas atau
pusat (sejarah) keselamatan. Dalam hal ini terjadi pergeseran penekanan dari
ekklesiosentrisme, yakni anggapan bahwa Gereja adalah pusat keselamatan, ke
kristosentrisme, yakni pengakuan akan Yesus Kristus sebagai pusat keselamatan (Bdk.
LG. 1, 2, 48). Dengan demikian, hidup rohani umat Allah pun mestinya selalu berpusat
pada Yesus Kristus sebagai model sekaligus sebab dari kekudusan manusia.
 Namun dalam sejarah spiritualitas, muncul fenomen di mana peran sentral Yesus Kristus
ini cenderung digeser oleh berbagai bentuk devosi (dulia), dan juga oleh penekanan
berlebihan pada aspek kemanusiaan Yesus yang pada gilirannya semakin mengaburkan
dimensi keilahianNya. Karena itu tidak heran jika pada setiap zaman muncul banyak
teolog dan para penulis spiritual yang mengajarkan serta mempromosikan spiritualitas
yang benar yang berpusat pada Yesus Kristus.
 “Sebab semua orang yang dipilihNya dari semula, mereka juga telah ditentukanNya dari
semula untuk menjadi serupa dengan gambaran AnakNya, supaya Ia, AnakNya itu,
menjadi yang sulung di antara banyak saudara” (Rm 8:29). Dengan demikian, bersatu
dengan Kristus merupakan pusat dogma di dalam revelasi Kristen. Santo Thomas

13
Aquinas mengatakan bahwa “yang pertama dalam hukum baru adalah rahmat Roh Kudus
yang ditunjukkan di dalam karya iman lewat cinta. Sekarang kita memperoleh rahmat ini
lewat Putera Allah yang menjadi manusia. Rahmat pertama-tama memenuhi
kemanusiaanNya dan dibawa kepada kita. Karena itu, rahmat yang diberikan kepada
Yesus Kristus merupakan prinsip universal dari semua mereka yang memperoleh
rahmat”.

3.2. Persatuan Dengan Yesus Kristus

 Penginjil Yohanes memberikan empat konsep tentang persatuan kita dengan Yesus
Kristus:
 Kristus adalah Sabda Kehidupan
Hidup manusia sangat bergantung pada Yesus Kristus yang adalah Sabda
Kehidupan. Roh Kuduslah yang hidup dan berkarya dalam diri kita untuk
menghayati Sabda Kehidupan itu. Karena itu juga Sabda Allah hendaknya
menjadi pedoman bagi manusia dalam mengejar kekudusan (Bdk. Yoh 8:31-32)
 Kristus adalah Pokok Anggur
Jika Kristus adalah Pokok Anggur maka kita adalah ranting-rantingnya. Supaya
tetap hidup dan menghasilkan buah maka kita mesti bersatu dengan pokok anggur
itu. Terpisah dari pokok anggur berarti mati dan tidak berguna. Demikianlah
kerohanian manusia akan tetap hidup dan menghasilkan buah berlimpah jika
manusia selalu bersatu dengan Yesus Kristus (Bdk. Yoh 15:5).
 Kristus adalah Sabda Kebenaran
Kristuslah Firman yang telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Dia juga
telah menampakkan kemuliaanNya kepada kita, yaitu kemuliaan yang diberikan
kepadaNya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran
(Bdk. Yoh 1:4). Karena itu juga, sebagai orang-orang yang telah menerima Dia
sebagai Sabda Kebenaran, hendaknya kita juga terus berjuang untuk hidup dalam
kebenaran dan mewartakan kebenaran itu kepada sesama.
 Kristus adalah Jalan menuju Allah Tritunggal
Kristus yang adalah Jalan menuju Allah Tritunggal dapat menghantar kita untuk
mencapai kebahagiaan kekal yakni persatuan kita dengan ketiga Pribadi Ilahi
sebagaimana ditegaskan Yesus dalam doaNya bagi semua orang yang percaya
kepadaNya menjelang kepergianNya kepada Bapa (Yoh 17:20-24). Kristalisasi
dari peran sentral Yesus terhadap kekudusan hidup manusia ini dapat kita

14
temukan dalam injil Yohanes 14:62 yang berisikan kesaksian Yesus tentang
diriNya sebagai Jalan, Kebenaran, dan Hidup.
 Kristus adalah Jalan
Kristuslah satu-satunya Jalan kepada Bapa dan Dia jugalah penjelmaan
kekudusan yang benar sesuai dengan Jalan Ilahi. Dia jugalah satu-satunya
jalan bagi manusia dalam menggapai kekudusan. Karena itu, persatuan
dengan Kristus merupakan landasan kekudusan kita. Ini berarti juga
bahwa untuk mengejar kekudusan dan kesempurnaan hidup, manusia
perlu menghargai seluruh misteri hidup Kristus yang berpuncak pada
sengsara, wafat, dan kebangkitanNya.
 Kristus adalah Kebenaran
Kristuslah penjelmaan Sabda Kebijaksanaan Ilahi. Dan penjelmaan Sabda
menjadi manusia itu hanya mungkin terwujud karena di dalam Dia hanya
ada Kebenaran. Di sini, Kebenaran itu dapat kita pahami seturut konsep
filosofis, yakni persesuaian antara pikiran dan kenyataan. Bahwasanya
sejak semula Allah telah berencana (= berpikir) untuk menyelamatkan
umat manusia. Dan kini, rencana itu terwujud dalam diri Yesus, sang
Sabda yang menjelma. Selanjutnya, di dalam Dia hanya ada Kebenaran.
Selama hidupNya di dunia, Yesus senantiasa menunjukkan keselarasan
antara apa yang dipikirkan dengan apa yang dikatakan dan dilakukanNya.
Tiada sedikitpun kepalsuan atau kebohongan dalam diriNya. Dan tujuan
utama penjelmaan Sang Sabda itu ialah demi keselamatan seluruh umat
manusia. Sedangkan tujuan sekundernya ialah untuk memberikan kita
contoh serta model kekudusan sebagaimana terpancar dari dalam diri
Yesus Kristus. Ini berarti bahwa untuk menjadi kudus dan sempurna,
manusia mesti belajar dari Yesus yang tidak hanya merupakan Guru dan
Petunjuk kebenaran, melainkan juga yang adalah Kebenaran itu sendiri.
 Kristus adalah Kehidupan
Untuk memahami perkataan/kesaksian Yesus mengenai diriNya yang
adalah Kehidupan, pertama-tama kita perlu merujuk pada dua teks Kitab
Suci, yakni Yoh 1:4 (“Di dalam Dia ada Hidup dan Hidup itu adalah
Terang bagi manusia”) dan 1Yoh 5:11-12 (“Dan inilah kesaksian itu:
Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal kepada kita dan hidup itu ada
di dalam AnakNya. Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup;
barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup”). Hal ini
berarti bahwa Hidup yang berasal dari Allah itu sesungguhnya sudah ada
2
St. Agustinus merangkum ayat ini dengan berkata, “Tuhan bersabda, Akulah jalan, kebenaran dan hidup, artinya: di
samping-Ku engkau harus berjalan [karena Aku adalah Jalan], kepadaKu engkau harus datang [karena Aku adalah
Kebenaran] dan di dalamKu engkau harus berada [karena Aku adalah Hidup]. (St. Augustine, de Sent. num. 268. as
quoted in Cornelius A. Lapide, Commentary on John 14:6).

15
di dalam AnakNya sejak kekal, dan kini, melalui AnakNya - Yesus
Kristus, Hidup kekal itu dianugerahkan kepada semua orang yang percaya
kepadaNya. Pernyataan-pernyataan biblis di atas ingin menggarisbawahi
beberapa hal:
 Jasa Yesus Kristus. Bahwa sesudah kejatuhan manusia pertama ke dalam
dosa, sesungguhnya Adam dan semua keturunannya telah kehilangan
kehidupan (kekal) itu. Namun berkat jasa Yesus Kristus yang rela
menderita, wafat, dan bangkit kembali dengan mulia maka kini hidup
kekal itu boleh dimiliki lagi oleh semua orang yang percaya kepadaNya.
Dengan demikian, kehidupan kekal merupakan rahmat atau pemberian
gratis dari Allah kepada manusia melalui Yesus Kristus, AnakNya.
 Hidup yang berdaya-guna (Flp 2:6-11). Penjelmaan sang Sabda menjadi
manusia yang sekaligus menunjuk pada pengosongan diri yang total
Putera Allah menjadi seorang hamba (kenosis), sesungguhnya membawa
hidup yang berdaya-guna bagi keselamatan atau kehidupan kekal umat
manusia. Di sini tersirat kebenaran bahwa sebagaimana Sabda Ilahi perlu
menyatu dengan kodrat manusia agar sang Sabda itu bisa mati demi
keselamatan manusia, demikianlah Pribadi Ilahi menggunakan
kemanusiaan Yesus sebagai sarana untuk menyalurkan rahmat adikodrati
yakni kehidupan kekal kepada manusia.
 Bersatu dengan Yesus Kristus. Inti dari hidup kristiani adalah kemuliaan
Allah Tritunggal, sebagaimana dikatakan Santo Ireneus, Gloria Dei, homo
vivens. Karena itu, sebagaimana Yesus Kristus selama hidupNya telah
menunjukkan persatuanNya yang intim dengan BapaNya, demikian pula
hendaknya umat manusia senantiasa bersatu secara intim dengan Yesus
Kristus serta menjalankan segala sesuatu di dalam Dia. Hidup dalam
persatuan dengan Yesus Kristus, mengimaniNya, merenungkan misteri
hidupNya, serta menerima sakramen-sakramen yang ditetapkanNya,
teristimewa Ekaristi, sesungguhnya merupakan jaminan bagi kekudusan
sekaligus kehidupan kekal manusia.

16
3.3. Maria dan Peranannya Dalam Kekudusan Manusia

3.3.1. Landasan Doktrinal

 Secara doktrinal, diskursus tentang peranan Maria dalam hal kekudusan dan kesalehan
hidup kaum beriman memiliki landasannya yang kokoh, seimbang dan proporsional
dalam ajaran Konsili Vatikan II, khususnya dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja,
Lumen Gentium. Bab VIII dari dokumen ini diberi judul “Santa Maria, Perawan dan
Bunda Allah, dalam misteri Kristus dan misteri Gereja”. Judul ini dinilai cukup seimbang
dan proporsional karena memperhatikan dua aspek penting menyangkut Maria, yakni
hubungannya yang unik dengan Kristus serta peranannya dalam karya penyelamatan di
satu pihak, serta kedudukannya yang istimewa di dalam dan terhadap Gereja, di lain
pihak. Maria mempunyai kedudukan istimewa di dalam Gereja dan bisa dipandang
sebagai typos Gereja hanya karena hubungannya yang unik dengan Kristus. Sebaliknya,
jika mau memandang Maria dalam hubungan dengan Kristus dan karyaNya maka Kristus
tidak pernah boleh diisolir dan dipisahkan dari Gereja yang adalah Tubuh mistikNya.
 Pada bagian pertama/pendahuluan (artikel 52-54), konstitusi memperkenalkan program
dan maksud seluruh bab tentang Maria, sebagaimana telah diuraikan di atas.
 Selanjutnya bagian kedua berbicara tentang tugas/peranan Maria dalam karya sang
Penyelamat (artikel 55-59). Bagian kedua ini menguraikan secara rinci peranan Maria
dalam tata keselamatan yang, “bila dibaca dan ditafsir dalam terang iman”, sudah dimulai
sejak Perjanjian Lama (art.55) hingga mencapai pemenuhannya di dalam Perjanjian Baru
yang diawali dengan fiat Maria (art.56). Di sini Lumen Gentium menegaskan dua aspek
mendasar yang menentukan keterpilihan Maria sebagai Bunda [Putera] Allah yakni
rahmat dan pilihan bebas dari Allah sendiri di satu pihak, serta jawaban berupa
persetujuan bebas dari Maria terhadap tawaran rahmat Allah itu, di lain pihak.
Selanjutnya dalam artikel 57-58, Lumen Gentium menggambarkan bagaimana “ya”
fundamental Maria itu diejawantahkan pada berbagai fase hidup dan karya Yesus. Pada
setiap tahap dan peristiwa, konstitusi menekankan dua aspek yakni, bagaimana Maria
sendiri dikuduskan dan diberi bagian dalam karya keselamatan yang dikerjakan
Puteranya di satu pihak, dan arti serta nilai dari partisipasi Maria dalam karya
keselamatan itu bagi semua orang beriman di lain pihak. Dalam semuanya ini,
ditampilkan secara jelas dinamika iman Maria dalam memahami dan menyingkapkan
kehendak serta maksud Allah. Dalam konteks ini pula Maria lalu menjadi saudari kita
dalam hal iman, namun sebagai saudari sulung yang imannya bersinar di depan kita
sebagai contoh dan pedoman jalan. Sedangkan artikel 59 merupakan pengantar untuk
bagian ketiga.
 Bagian ketiga (artikel 60-65) menggambarkan peranan Maria dalam misteri Gereja
[sebagai semacam “ibu rohani” sekaligus “typos” bagi Gereja]. Pada bagian ini,
konstitusi menjelaskan tentang dasar partisipasi Maria dalam “kepengantaraan tunggal”
Yesus Kristus dalam hal keselamatan bagi umat manusia, yang memungkinkan Maria

17
menjadi semacam “ibu rohani” bagi masing-masing kita (artikel 60). Keibuan rohani
Maria terhadap orang-orang beriman ini dijelaskan lebih lanjut menurut kedua unsurnya
di dalam artikel 61 dan 62. Kedua unsur dimaksud adalah pertama, partisipasi historis
dari Maria dalam karya Yesus di Palestina ketika Maria menemani Dia sebagai “teman
setia” dalam segala suka-duka karya itu (art. 61); dan yang kedua, berkaitan dengan
keibuan aktual Maria bagi kita semua di sini dan sekarang ini (art. 62). Namun sekali lagi
konstitusi menegaskan bahwa dalam menghormatinya sebagai pembantu (Auxiliaris) dan
pengantara (Mediatrix), Gereja sama sekali tidak bermaksud menyamakan atau
menyejajarkan Maria dengan Yesus Kristus yang adalah satu-satunya sumber segala
rahmat dan keselamatan. Selanjutnya dalam artikel 63-65, konstitusi berbicara tentang
Maria sebagai typos (gambar asli, model) Gereja. Dalam misterinya sebagai perawan
sekaligus ibu, Maria sesungguhnya mencerminkan inti tugas Gereja. Sebagai perawan
yang dinaungi Roh Kudus, Maria melahirkan Putera ke atas dunia ini berkat iman
kepercayaannya yang teguh, di dalamnya Maria menjadi Hawa baru. Dalam iman itu,
Maria sebagai pengikut beriman berpartisipasi dalam karya Puteranya dan menjadi ibu
secara rohani bagi orang-orang beriman yang adalah saudara-saudari Puteranya.
Dengan kasih-sayang seorang ibu, Maria tetap berusaha dan berpartisipasi dalam
kelahiran dan pendidikan orang-orang beriman yaitu di dalam tugas utama bunda Gereja
(artikel 63). Selanjutnya artikel 64 berbicara tentang Gereja yang mengemban tugas yang
sama serta berpartisipasi dalam misteri yang sama seperti bunda Maria. Gereja sendiri
pun menjadi bunda dengan “merenungkan kekudusan Bunda yang ajaib, dengan
mengikuti cinta-kasihnya, dan memenuhi kehendak Bapa dengan setia sambil menerima
Sabda Allah dengan taat”. Dengan pewartaan dan permandian, Gereja melahirkan putra-
putrinya yang dikandung dari Roh Kudus dan dilahirkan dari Allah untuk hidup baru dan
kekal. Kelahiran rohani itu hanya mungkin terjadi karena Gereja sebagai mempelai-
perawan erat bersatu dengan Kristus…..Sedangkan artikel 65 berbicara tentang orang-
orang beriman di dalam Gereja yang diharapkan meneladani Maria dalam hal
kekudusan dan kesetiaan kepada Kristus. Namun kalau Maria dianjurkan sebagai teladan
bagi orang-orang beriman maka hal ini pun tidak berarti dia menggeser posisi Kristus
sebagai patokan hidup kristiani, karena Maria justru harus diteladani sebagai pengikut
setia Puteranya, Yesus Kristus. Dalam tugas kerasulan dan dalam tugasnya untuk
memperoleh dan melahirkan manusia baru, Gereja bisa berpaling kepada Bunda Maria
yang melahirkan Kristus bagi seluruh dunia dan bagi segala orang.
 Selanjutnya konstitusi berbicara tentang ibadat dan penghormatan yang benar kepada
Perawan suci dalam Gereja (artikel 66) serta ajakan dan nasihat kepada semua orang
beriman untuk menghindari dua sikap ekstrem berkaitan dengan penghormatan terhadap
bunda Maria, yakni bahaya Minimalisme atau kecenderungan menganggap remeh
peranan Maria di satu pihak, dan Maksimalisme atau kecenderungan untuk melebih-
lebihkan peranan dan posisi Maria di lain pihak (artikel 67).
 Lumen Gentium menutup uraiannya tentang Maria dengan mengangkat mata penuh
kerinduan kepada dia yang sudah dimuliakan dan menikmati kebahagiaan penuh bersama
18
Kristus. Maria yang dimuliakan itu bisa mengobarkan harapan orang-orang beriman
bahwa mereka pun akan memperoleh kebahagiaan dan kemuliaan abadi yang sudah
dinikmati Bunda Maria sekarang ini (artikel 68). Dan pada akhirnya dalam artikel 69,
Bapa-bapa Konsili mengungkapkan kegembiraan mereka, “karena juga di antara para
saudara terpisah ada yang menghormati semestinya Bunda Tuhan dan Juruselamat”.
Semua orang Kristen diajak untuk memanjatkan permohonan kepada Maria, agar ia
mendoakan Gereja dan seluruh umat manusia, supaya orang-orang Kristen dan semua
manusia semakin bersatu seturut kehendak Allah Tritunggal.
 Dari keseluruhan ajaran Lumen Gentium mengenai Bunda Maria di atas, kita dapat
melihat secara jelas alasan mengapa Maria dapat menjadi model dan teladan ideal bagi
kita dalam upaya menghayati kehidupan spiritual yang benar demi menggapai
kekudusan dan kesempurnaan dalam hidup kita.

3.3.2. Beberapa Alasan Untuk Memperoleh Rahmat Melalui Maria

 Dari semua makhluk ciptaan, hanya Maria saja yang berahmat di hadapan Allah, di mana
rahmat itu tidak hanya diperuntukkan bagi dirinya sendiri, melainkan juga disalurkan
seutuhnya kepada orang lain.
 Maria melahirkan Yesus Kristus yang adalah sumber segala rahmat, dan yang karena itu
ia disebut Bunda Penuh Rahmat
 Dengan memberikan dirinya secara total kepada Putera Tunggal Allah, Maria
dianugerahi segala rahmat oleh Allah Bapa
 Allah mengukuhkan Maria sebagai pembagi rahmat kepada siapa saja dan kapan saja
 Maria adalah Puteri Allah Bapa, Bunda Allah Putera, serta Mempelai tersuci Alah Roh
Kudus
 Secara kodrati seorang anak manusia dilahirkan oleh ibunya, namun secara adikodrati
dan spiritual, Maria sebagai typos Gereja-lah yang melahirkan, mendidik dan
menguatkan putera-puterinya.
 Barangsiapa menemukan Maria, ia pasti menemukan Kristus karena Kristus selalu ada
bersama BundaNya.

3.3.3. Karakteristik Yang Benar Devosi Kepada Bunda Maria

 Devosi harus bersifat interior, mengalir dari dan ditaruh dalam hati dan pikiran
 Devosi bersifat lemah-lembut, diwarnai rasa hormat dan percaya kepada Bunda kekasih kita
 Devosi bersifat kudus, menghindari hidup dari dosa dan memelihara kebajikan-kebajikan kristiani
dengan mengejar kekudusan seturut teladan Bunda Maria
 Devosi harus bersifat kontinyu, terus-menerus, dengan tujuan menguatkan jiwa-jiwa agar tidak
mengabaikan latihan rohani
 Devosi bersifat tidak memihak dan tidak egois, yang memampukan kita untuk melawan sikap
ingat diri, dan hanya mencari Allah serta kemuliaanNya.

3.4. Manusia Mengejar Kekudusan Lewat Doa

19
3.4.1. Doa sebagai Prinsip Pertama Teologi Spiritual

 Gereja menyediakan konteks untuk menyelidiki latihan-latihan rohani (askesis) seperti


tindakan penyembahan/devosi, doa, pembacaan firman Allah, dll. sebagai sarana kasih
karunia. Semuanya ini muncul dari kesadaran tentang Gereja sebagai komunitas
perayaan. Namun lebih dari itu, askesis atau latihan-latihan rohani itu muncul dari fakta
penyatuan kita ke dalam tubuh Kristus. Pemahaman tentang fakta ini membentuk
tindakan pertama doa atau rekoleksi. Dengan kata lain, doa adalah tindakan pertama yang
menghubungkan doktrin dengan praktek, dan semua latihan rohani lainnya sekadar
merupakan perincian lanjut dari tindakan utama ini (doa). Karena itu, latihan-latihan
rohani lainnya tidak memiliki status independen, tetapi secara mendalam dibentuk oleh
konsep khusus tentang Allah, kemanusiaan, keselamatan, dan Gereja.
 Fokus pada latihan-latihan rohani terutama doa menyiratkan bahwa struktur dasar
kehidupan rohani bersifat asketik, tetapi tidak mengecualikan dimensi Injili dan
karismatik. Dengan demikian, teologi spiritual kita akan tetap bersifat Trinitarian secara
otentik.
 Dalam hubungan dengan teologi spiritual, doa merupakan prinsip pertama teologi
spiritual, dalam arti doa merupakan satu tindakan yang mempengaruhi semua
kegiatan/latihan rohani lainnya. Doa juga merupakan prinsip pertama, dalam arti prinsip-
prinsip teologis lainnya diaktifkan melalui doa. Dalam doa, seseorang masuk ke dalam
hubungan pribadi dengan Trinitas, melakukan penguasaan diri, dan bertumbuh dalam
nilai kebajikan.
 Bagaimanapun, ada beberapa awasan/peringatan yang perlu diperhatikan berkaitan
dengan berbagai latihan rohani, khususnya doa:
 Tawaran sejumlah bantuan tidak menunjukkan bahwa kecakapan spiritual
tergantung pada keahlian dalam sebanyak mungkin latihan rohani. Terampil
dalam salah satu sarana kasih karunia jauh lebih baik daripada biasa-biasa saja
dalam beberapa hal.
 Bantuan berupa latihan-latihan rohani (termasuk doa) sebenarnya cumalah sarana
untuk mencapai tujuan, dan bukannya tujuan dalam dirinya sendiri. Tujuan
kehidupan Kristen bukanlah untuk menghasilkan contoh orang kudus yang baik,
melainkan untuk menikmati persekutuan dengan Allah yakni memuliakan Allah
dan menikmati/mengalami Allah secara abadi sebagai penggenapan tujuan akhir
kita diciptakan. Dan persekutuan abadi dengan Allah itu bukanlah persekutuan
eksklusif atau kenikmatan pribadi, melainkan peneguhan identitas dan
tanggungjawab eklesial kita dalam tatanan penciptaan.
 Latihan-latihan rohani (termasuk doa) pada akhirnya harus diintegrasikan ke
dalam pola hidup yang lebih besar. Maksudnya, segala latihan rohani sebagai
bentuk introspeksi diri sendiri tidak boleh terbatas pada kondisi dan hubungan
pribadi saya dengan Allah, tetapi mesti mencakup kejujuran, kesetiaan, dan

20
“kesediaan untuk dibawa oleh Realitas yang lebih” 3. Jika latihan rohani sebagai
bentuk introspeksi diri sendiri tidak memunculkan pertanyaan serius tentang sikap
kita terhadap dunia yang lebih luas, terutama dunia kebutuhan dan penderitaan
manusia maka kita ada dalam bahaya nyata sekadar introspeksi diri saja.
 Banyak hal tergantung pada kecakapan dalam memakai sarana-sarana rohani.
Dalam hal ini, bukan sarana-sarana teknologi rohani terbaru yang dapat
membantu orang Kristen menjadi lebih baik, melainkan kecakapan dalam
menggunakan sarana-sarana rohani tersebut untuk mendapatkan manfaat spiritual
yang sebesar-besarnya.
 Selanjutnya, untuk menghargai fungsi utama doa dalam teologi spiritual, kita perlu secara
singkat menyelidiki sifat-sifat atau teologi doa.

3.4.2. Sifat-sifat atau Teologi Doa

3.4.2.1. Doa sebagai Tindakan Kebiasaan

 Istilah doa memiliki “pengertian luas” dan “pengertian sempit”. Secara tradisional, doa
dalam pengertian luas sering disebut juga “doa secara kebiasaan/habitual”, sedangkan
doa dalam pengertian sempit sering disebut “doa aktual”.
 Dalam pengertian yang luas, doa (habitual) mengacu pada tindakan fundamental orang
Kristen terhadap Allah dan hubungannya secara pribadi dengan Allah. Dalam hal ini,
seluruh kehidupan orang Kristen dapat digambarkan sebagai kehidupan doa. Kehidupan
doa semacam ini merupakan perwujudan perintah Santo Paulus untuk berdoa terus-
menerus tanpa henti (Ef 6:18; Bdk. Flp 1:4; Kol 1:9; 1Tes3:10; 5:17; 2Tes 1:11;
Ibr:13:18)4. Pertumbuhan dalam kehidupan doa melibatkan tingkat keintiman yang
berbeda-beda dengan Allah. Para penulis rohani membedakan tingkat doa yang berbeda-
beda sebagai tanda tingkat kedekatan hubungan dengan Allah yang berbeda-beda. Santa
Teresia dari Avila menyebutkan tujuh tingkat atau bangunan besar di bagian dalam puri
doa. Jadi, pertumbuhan dalam kehidupan Kristen dapat dijelaskan secara luas dalam
lingkup pertumbuhan dalam doa.
 Sedangan dalam pengertian sempit, doa (aktual) mengacu pada tindakan seseorang
secara spesifik dalam persekutuan dengan Allah. Doa aktual dapat dibedakan melalui
cara-cara berdoa yang berbeda-beda, seperti: doa baku/yang sudah dirumuskan, doa
bebas, doa spontan; juga jenis doa yang berbeda-beda seperti: doa pengakuan,
permohonan, ucapan syukur, dan pemujaan; serta konteks doa yang berbeda-beda seperti:
doa publik dan doa pribadi. Latihan rohani seperti meditasi dan pemeriksaan diri

3
John Sobrino, Spirituality of Liberation, pp. 14-20
4
Ef 6:18, “….Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doa-doamu itu dengan
permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus…”. Flp 1:4, “Dan setiap kali aku berdoa untuk
kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita”. Kol 1:9, “Sebab itu, sejak waktu kami mendengarnya, kami tiada
berhenti-henti berdoa untuk kamu……..”. 1Tes 3:10, “Siang-malam kami berdoa sungguh-sungguh, supaya kita
bertemu muka dengan muka dan menambahkan apa yang masih kurang pada imanmu……”

21
sebenarnya lebih merupakan persiapan/pendahuluan untuk doa5, tetapi biasanya
dimasukkan ke dalam kategori doa. Beberapa bentuk doa bersifat kebiasaan/habitual
sekaligus aktual. Praktek merasakan kehadiran Allah (istilah teknisnya “doa rekoleksi”)
mencakup tindakan khusus mengingat hadirat Allah (aktual), dan kebiasaan tinggal di
dalam hadirat Allah (habitual).
 Baik doa aktual maupun doa habitual sama-sama penting. Kegiatan doa (aktual)
membantu mengembangkan kebiasaan berdoa (habitual) dan menjamin bahwa kebiasaan
berdoa itu tidak berubah menjadi formalistik. Dan pada waktu yang sama, kebiasaan itu
memampukan penampilan kegiatan doa (aktual) secara regular. Jadi, baik doa aktual
maupun doa habitual saling memelihara satu sama lain.

3.4.2.2. Doa Melalui Inisiatif Ilahi

 Doa merupakan manifestasi dari baptisan 6. Ini berarti bahwa doa muncul dari fakta
bahwa kita dibaptiskan ke dalam tubuh Kristus, ikut berpartisipasi dalam kehidupan
Kristus dan firmanNya dalam tubuh Kristus (Gereja). Doa secara hakiki merupakan
respons manusia terhadap Firman. Ini berarti pula bahwa kita tidak melahirkan doa;
sebaliknya doa sudah berlangsung dalam diri kita. Firman Allahlah yang memiliki
inisiatif dan kita sekarang menjadi pendengarNya.
 Dinamika doa (inisiatif ilahi dan respons manusia) telah diungkapkan dalam berbagai
cara. Thornton menyebutnya prinsip media via, artinya ibadah muncul dari doktrin,
perasaan muncul dari fakta7. “Umat manusia diciptakan untuk mendengar Firman, dan
hanya dengan menanggapi Firman itu muncullah kemuliaannya sepenuhnya”8. Dalam
menanggapi Firman, kita menemukan keberadaan kita yang terdalam, yaitu kehidupan
kita dalam Trinitas. Tanpa hal itu kita akan mati selagi kita masih hidup, dan kita tidak
mampu menjadi seperti rencana Allah sepenuhnya. Kita ada sebagaimana kita ada karena
nilai kebajikan dari kedekatan hubungan ini. “Tidak ada hubungan yang lebih dekat,
lebih berakar dalam dirinya sendiri daripada hubungan antara manusia yang
memperoleh kasih karunia dengan Tuhan yang memberikan kasih karunia, antara
Kepala dengan tubuh, antara Pokok Anggur dengan ranting-rantingnya. Tetapi
hubungan ini hanya dapat dimainkan sepenuhnya…..jika kebebasan Firman tersebut
dijawab dengan kesiapan yang sesuai pada pihak manusia yang mendengar untuk
menuruti dan menaatinya”9.
 Jika doa sungguh-sungguh merupakan kesiapan manusia untuk mendengar, menuruti, dan
menaati sehingga hubungan yang paling dasar dengan Allah dapat lebih disadari

5
Thornton, Christian Profeciency, p. 71
6
E. Kadloubovsky and G.E.H. Palmer (translators), Writings from the “Philokalia” on Prayer of the Heart,
(London: Faber & Faber, 1951), p. 62.
7
Thornton, English Spirituality, pp. 48-49.
8
Hans Urs von Balthasar, Prayer (London: S.P.C.K., 1973), pp. 18-19.
9
Ibid., .18

22
sepenuhnya maka hal itu dapat menjelaskan mengapa doa dipandang sebagai inti agama,
pedang orang-orang kudus10, dan ibu serta sumber terangkatnya jiwa kita kepada Allah.11
 Dalam doa, kita mulai melihat diri kita sendiri sebagaimana Allah memandangnya dan
kita melihat Allah sebagaimana Ia ada. Dalam doa, kita mengakui bahwa bukan kita yang
memegang kendali, melainkan Allah. Tidak berdoa berarti menaruh nasib kita ke dalam
tangan kita sendiri, memalsukan diri kita yang sebenarnya sebagai ciptaan yang
tergantung, dan menyangkal Allah sebagai Oknum yang berdaulat.

3.4.2.3. Berdoa di Luar Diri Kita Sendiri

 Jika kita melihat Allah sebagai pusat segala sesuatu, maka doa kita mulai punya implikasi
sosial yang luas. Kita mulai sadar bahwa segala sesuatu akhirnya terkait dengan Allah
atau segala sesuatu punya tempat di dalam Allah. Kita tidak dapat sungguh-sungguh
berdoa tanpa melihat saling terkaitnya semua hal. Teologi Yunani menyebut pengetahuan
yang muncul dari doa sebagai pengetahuan rohani. “Sekalipun doa kita sepenuhnya
mengandung kasih, hal itu tidak mengizinkan pikiran kita meluas dan menjangkau visi
Allah kecuali jika kita telah menang karena mampu mengasihi orang lain sekalipun ia
marah kepada kita tanpa alasan”12. Dengan kata lain, doa merupakan proses
“menghilangkan egoisme” di setiap wilayah sosial dan politik.13
 Doa merohanikan segala aspek kehidupan. Doa membuat segala kegiatan, baik pikiran,
pekerjaan, maupun segala hal lain menjadi religius. Tanpa doa, hukum cinta kasih hanya
sekadar menjadi perintah etis, dan membela hak-hak orang miskin sekadar etika sosial.
Bagaimanapun, doa bukan pengganti pekerjaan atau segala sesuatu yang harus kita
kerjakan. “Doa bukan pengganti yang malas bagi pekerjaan dan pikiran: ladang-ladang
tidak dibajak karena seseorang berdoa untuknya. Tetapi biarlah seseorang juga mengingat
bahwa ladang-ladang menjadi pekerjaan yang membosankan atau pekerjaan yang
merusak atau bahkan ketamakan dan kepahitan, kecuali kalau pekerjaan membajak
dilakukan dengan berdoa”.14
 Dunia modern semakin ditentukan oleh ekonomi pasar. Di sini pekerjaan telah menjadi
salah satu kegiatan paling penting yang dicari banyak orang. Dalam doa, pekerjaan
kehilangan sifat melayani diri sendiri atau mencari untung bagi diri sendiri, dan
selanjutnya diarahkan untuk melayani Allah, memperluas berkat penciptaan, serta
menahan dampak kejahatan.15
 Teologi pekerjaan dalam peraturan monastik Basil memang tidak merangkul konsep
besar yang merupakan tujuan akhir setiap pekerjaan manusia yakni sebagai bentuk
10
George Arthur Buttrick, Prayer (New York: Abingdon Cokesbury, 1941), p. 16
11
St. Bonaventure, The Soul’s Journey to God, translated by Awert Cousins (New York: Paulist, 1978), 2:1.
12
Diadochos dari Photiki, On Spiritual Knowledge and Discrimination, vol. I, in G.E.H. Palmer, cs. (eds.),
Philokalia (London: Faber & Faber,, 1979), p.290.
13
Eugene Peterson, Earth and Altar: The Community of Prayer in a Self-Bound Society (Downers Grove, III: Inter
Varsity Press, 1985), p.48
14
George Arthur Buttrick, Prayer, Op.Cit., p. 32.
15
Eugene Peterson, Earth and Altar… Op.Cit., p. 129

23
partisipasi di dalam pekerjaan Allah yang kreatif, tetapi lebih berfokus pada langkah-
langkah intervensi. Ini berarti bahwa pekerjaan dimaksudkan terutama untuk menjauhkan
roh kemalasan dan membuat seseorang berguna bagi orang lain atau masyarakat. Hal ini
juga bertolak dari keyakinan Basil bahwa apapun yang kita lakukan bagi salah seorang
yang paling hina, kita telah melakukannya bagi Allah.16
 Untuk menyadari rencana Allah dalam pekerjaan, kita memerlukan askese, yaitu sekadar
melakukan pekerjaan kita dengan berdoa tanpa kenal lelah. Kombinasi bekerja dan
berdoa ini akan mulai punya dampak formatif yang positif dalam kehidupan kita. Tentang
hal ini, kita punya contoh dari peraturan Benediktus yang telah mencapai integrasi
tertinggi dalam ora et labora. Peraturan komunitas Benediktus ini berkisar di antara dua
kutub yakni: berdoa (opus Dei = pekerjaan/karya Allah) dan bekerja (opus manuale =
kerja tangan manusia). Ritme doa dan kerja dipelihara dalam peraturan sehingga doa
secara progresif menguduskan pekerjaan.
 Bagaimanapun, dalam usaha mengintegrasikan doa dan kerja, kita perlu menghindari
beberapa bahaya kuno yang menyatakan dirinya kembali dalam masyarakat teknologi
modern, seperti:
 Sihir: yang berusaha memanipulasi kuasa natural atau supernatural untuk
melayani tujuan pribadi kita. Di sini, ego-lah yang berdiri di pusat alam semesta,
dan bukannya Allah. Dalam hal ini, ahli teknologi modern sesungguhnya adalah
penerus tukang sihir kafir.17 Sikap magis seperti ini sering muncul juga di antara
orang Kristen yang berpikiran teknologis yang mengatakan bahwa jika kita
memiliki iman maka apapun yang kita minta dalam doa akan menjadi milik kita.
Di sini doa menjadi teknik menelikung tangan Allah untuk mendapatkan apa saja
yang kita inginkan. Doa-doa semacam ini merupakan penyalahgunaan hubungan,
dan penyalahgunaan hubungan persahabatan berarti kehilangan hubungan
persahatan itu.
 Berusaha membuat doa bekerja untuk kita. Di sini kita memakai doa bukan untuk
menyingkirkan egoisme kita, melainkan untuk semakin meneguhkannya. Bahkan
sebagaimana kaum Farisi, doa dipakai sebagai alat manipulasi (Bdk. Luk 18:11) 18.
Untuk menghindari bahaya semacam ini, maka diperlukan kejujuran dalam doa.
Buttrick memperingatkan kita, “Doa yang tulus akan menjaga anda dari penipuan
diri sendiri, atau penipuan diri sendiri akan mencegah anda menaikkan doa-
doa”.19
 Doa ideal adalah doa yang sederhana dan jujur. Dalam hal ini, kita perlu belajar dari anak
kecil yang polos, yang doa-doanya sangat sederhana, tulus, jujur, apa adanya. Dan satu-
16
St. Basil, “The Long Rules”, dalam M. Monica Wagner (penerj.), Ascetical Works, vol.9, dari The Fathers of the
Church (New York: The Fathers of the Church, 1950), p. 308
17
Eugene Peterson, Earth and Altar… Op.Cit., p. 142.
18
“Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepadaMu, karena aku
tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti
pemungut cukai ini…..” (Luk 18:11).
19
George Arthur Buttrick, Prayer….Op.Cit., p.163.

24
satunya cara untuk memurnikan motivasi kita serta menyingkirkan penipuan diri sendiri
dalam doa adalah melalui doa itu sendiri: “Selidikilah aku, ya Tuhan, dan ketahuilah
hatiku. Cobalah aku dan ketahuilah pikiranku”.

3.4.2.4. Pertumbuhan Dalam Doa

 Kedekatan hubungan dengan Allah ditandai dengan kehidupan doa. Kedekatan hubungan
itu adalah karunia Roh Allah yang berdiam di dalam diri orang percaya dan
membangkitkan kesadaran bahwa mereka adalah anak-anak Allah sehingga secara
naluriah bisa berseru, “Abba, ya Bapa” (Rm 8:15-16). Semua doa bersifat karismatik
karena merupakan karunia Roh Kudus yang menghidupkan.20
 Bagaimanapun, pertumbuhan dalam doa, sebagaimana dalam setiap hubungan pribadi
antar-manusia, tidak selalu mudah. Semakin dalam hubungan itu, semakin kita didorong
untuk menyingkapkan diri kita yang sebenarnya dan menghadapi kebenaran tentang diri
sendiri. Tetapi, penanggalan topeng-topeng diri itu tidak terjadi seketika melainkan
melalui proses, tahap demi tahap. Secara khusus, kedekatan hubungan manusia dengan
Allah dalam doa sangatlah sulit, karena “kesalahan” yang menyebabkan terganggunya
hubungan itu tidak pernah berasal dari dua pihak. Dalam hal ini, manusia yang merasa
diri paling benar sekalipun tidak pernah dapat menuding Allah sebagai pihak yang salah
atau keliru (Bdk. Ayb 42:1-6). Sebaliknya, kita pun tidak pernah bisa mengalami
kepuasan karena mampu berpaling kepada Allah dan mengalami kedekatan hubungan
denganNya sambil berkata dengan penuh percaya diri bahwa “kali ini diri kitalah yang
benar”. Inilah bentuk-bentuk kekacauan atau kebingungan yang sering kita alami dalam
membangun kedekatan dengan Allah melalui doa.
 Persoalannya ialah, apakah kita bisa secara bebas mengungkapkan kekacauan batiniah,
kebingungan yang gelap, dan ‘perasaan’ disalahpahami melalui doa? Pemazmur telah
melakukannya, lebih banyak dari biasanya. Demikian juga Teresa dari Avila, orang
kudus yang mengajar kita pelajaran tentang doa secara paling dalam. Ia menyadari
kesulitan itu, dan kesulitan itu harus dihadapi dengan jujur. Hal ini berarti bahwa kita
boleh saja mengungkapkan berbagai keluhan mengenai kekacauan batiniah, kebingungan
yang gelap, dan ‘perasaan’ disalahpahami melalui doa. Akan tetapi, pada akhirnya
jawaban sepenuhnya selalu berasal dari dan bergantung pada Allah yang “Mahabenar”.
 Di sinilah letak kesulitan dalam hidup rohani. Bagaimanapun, kita punya banyak guru
dan pendamping spiritual yang telah mendahului kita (para kudus). Kemajuan mereka
dalam doa memampukan mereka untuk menggambarkan langkah-langkah pertumbuhan
yang secara umum dapat diandalkan.
 Menurut mereka, ada dua aspek pertumbuhan dalam doa yang perlu dipahami. Pertama,
tahap-tahap pertumbuhan dalam doa tidak dapat dipisahkan dengan tegas, meskipun kita
bisa membeda-bedakan sifat-sifat yang dimiliki para pemula dan orang yang sudah
mahir. Kedua, pertumbuhan dalam doa tampaknya mengikuti pola perkembangan yang
20
Kenneth Leech, True Prayer: An Invitation to Christian Spirituality (San Francisco: Harper & Row, 1980), p.61

25
mirip dengan pertumbuhan dalam pernikahan. Sebagaimana pengantin yang masih muda,
demikianlah orang Kristen yang masih muda mengasihi Allah berdasarkan pertimbangan
yang egois, yang tercermin dalam doa-doa yang berpusat pada pergumulan pribadi demi
pemenuhan kebutuhan diri. Namun semakin lama, seseorang yang bertumbuh dalam doa
akan bergerak semakin jauh dari doa-doa permohonan yang berpusat pada kepentingan
diri sendiri, dan mulai beralih pada doa pujian serta ucapan syukur kepada Allah.
Demikianpun doa-doa verbal semakin jarang diucapkan dan lebih berlangsung di dalam
mental. Pada saat seseorang masuk lebih jauh ke dalam jantung doa, kata-kata dan
gambar-gambar menjadi kurang penting. Seseorang yang berdoa bersekutu dengan Allah
dengan perhatian pikiran yang sederhana dan penerapan kehendak yang sama
sederhananya. Doa-doa teragung adalah doa-doa di mana Allah-lah yang berdoa di
dalam kita, “Berdoalah sendiri di dalamku, ya Allah, agar doa-doaku terarah pada
kemulianMu”.21
 Demikianlah, analogi antara pertumbuhan dalam doa dan pertumbuhan dalam pernikahan
mengandung pelajaran bagi setiap orang yang mengejar kehidupan doa yang lebih dalam.
Pola dasarnya adalah: sukacita  dukacita  sukacita. Di sini, romantika hidup rohani
memberi jalan pada realitas dalam periode penemuan dan perbaikan yang sering
menyakitkan. Ketika benih muda itu sudah mulai berakar kuat sehingga dapat menahan
panas matahari di siang hari, pelindung yang protektif pelan-pelan ditarik dan
penyangganya dilepaskan. Doa lalu menjadi pergumulan konstan dengan banyak
gangguan. Sekalipun terkadang ada masa-masa indah yang menyenangkan sebagaimana
masa bulan madu, namun orang mesti terus berjalan dengan susah-payah melalui ibadah
yang seakan tidak bernyawa. Inilah pergumulan hidup rohani sebagai bagian dasar
pertumbuhan spiritual. Namun sesungguhnya pergumulan yang dilalui melewati saat-saat
gersang penuh tantangan, kesulitan, dan gangguan merupakan bagian dari kemajuan doa.
Harus ada penyucian, pemangkasan, dan pembedahan untuk mengembangkan kualitas
tertentu dalam persekutuan dengan Allah. Di sini, pengobatan yang paling berkelanjutan
dapat ditemukan dalam dua mahakarya Santo Yohanes dari Salib: Mendaki Gunung
Karmel, dan Malam Gelap bagi Jiwaku.22

21
Jean Nicholas Grou, How to Pray (Greewood, SC.: Attic, 1964), p. 33. Hal ini sangat mirip dengan doa François
Fénelon: “O Tuhan, O Kasih, kasihilah diriMu dalam diriku!”. Seperti halnya banyak orang sebelumnya, Jean
Nicholas Grou memandang doa sekadar sebagai kasih dalam tindakan. Pandangannya tentang pertumbuhan dalam
doa dari permohonan yang berfokus pada diri sendiri kepada pemujaan kepada Allah sangat mirip dengan konsep St.
Bernardus tentang perkembangan kasih: dari mengasihi diri sendiri dan Allah demi diri sendiri, ke mengasihi Allah
dan diri sendiri demi Allah.
22
Kieran Kavanaugh, OCD dan Otilio Rodriguez (penerj.), The Collected Works of St. John of the Cross
(Washington D.C.: Institute of Carmelite Studies, 1973). Bagi Yohanes dari Salib, malam gelap tidak terbatas pada
satu fase kehidupan orang Kristen. De facto, hal itu semakin meningkat intensitasnya sepanjang hidup pada saat
seseorang semakin dekat dengan Allah. Untuk membedakan ‘malam yang gelap’ dengan kebosanan terhadap
kehidupan, Yohanes dari Salib menjelaskannya dalam seluruh karyanya bahwa ketika seseorang menjalani ‘malam
yang gelap’, betatapun kecilnya perasaan yang ia miliki, ia akan tetap dan terus bertahan dalam doa, menempuh
‘perjalanan iman dalam gelap dan kemurnian’. Makin kecil seseorang bergantung pada perasaan, ia makin siap
mengalami persatuan dengan Allah.

26
 Problem dalam doa seringkali mencerminkan kesulitan dalam hubungan antar-manusia.
Misalnya, jika kita mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang-orang, kita
juga mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan Allah. Sebaliknya, bila kita
membangun harmoni dengan sesama serta merasakan adanya perhatian dan kasih dari
mereka, kita pun akan lebih mudah mengalami serta merasakan perhatian serta kasih-
karunia dari Allah. Akan tetapi, hal yang sebaliknya juga benar. Belajar mempercayai
Allah dan menerima anugerahNya dengan cuma-cuma menuntun kepada hubungan yang
lebih baik dan harmoni dengan sesama.
 Jadi, ada dua sisi dari problem doa. Kita perlu dalam keadaan benar dengan sesama agar
benar pula dengan Allah, dan kita perlu dalam keadaan benar dengan Allah agar benar
pula dengan sesama. Persoalannya ialah, kita harus mulai dahulu dari mana? Apakah kita
perlu dibenarkan dahulu dengan sesama dan kemudian dibenarkan dengan Allah, atau
sebaliknya? Pengajaran Yesus tentang meninggalkan korban di mezbah dan berdamai
dahulu dengan sesama menyiratkan bahwa hubungan dengan sesama itu lebih penting
(Bdk. Mat 5:23,24). Tetapi, bukankah benar juga bahwa orang yang diberitahu untuk
pergi berdamai dahulu dengan sesamanya, pertama-tama berada di depan mezbah
korban? Di sanalah ia sadar bahwa ia sudah menyakiti saudaranya. Dengan demikian, hal
terpenting yang perlu diingat ialah bahwa semua proses rekonsiliasi selalu dimulai
dengan doa. Jadi, doa merupakan prinsip pertama dalam teologi spiritual/asketik.

3.4.2.5. Berdoa dengan Peraturan

 Jika doa adalah manifestasi dari baptisan, maka setiap orang Kristen tidak dapat tidak
berdoa. Persoalannya, semakin dalam seseorang masuk ke dalam hidup doa, semakin
banyak kesulitan yang bakal dijumpainya. Teresa dari Avila yang telah mengajar begitu
banyak doa kepada kita mengetahui hal ini dengan tepat. “Saya seringkali lebih dikuasai
oleh keinginan untuk melihat akhir dari jam doa saya. Saya sesungguhnya biasa
memandang pada gelas pasir. Dan kesedihan yang kadang-kadang saya rasakan saat
memasuki kapel untuk berdoa demikian besar sehingga membutuhkan keberanian saya
untuk memaksa diri saya dari dalam”.23
 Akan tetapi, Teresa pun menasihati kita untuk tetap bertahan dan bertekun dalam doa
meskipun perasaan kita menentangnya: “Dan ketika saya bertahan seperti itu, saya
menemukan kedamaian dan sukacita yang jauh lebih besar daripada ketika saya berdoa
dengan gairah dan daya tarik emosi”. 24 Di sini Teresa mengajarkan kita sebuah kebenaran
yang sangat mendasar dan sederhana: satu-satunya cara belajar berdoa adalah dengan
berdoa. Doa yang riil tidak muncul dari beberapa teknik esoterik, meskipun mempelajari
beberapa teknik pernafasan dan posisi tubuh yang benar dapat membantu kita berdoa
dengan lebih baik. Tetapi, penguasaan teknik tidak berarti kita sudah menguasai doa.
Teknik doa sama seperti teknik pergi ke gereja. Pertanyaannya bukan, apakah kamu tahu

23
James Houston (ed.), A Life of Prayer by Teresa of Avila (Portland, Ore.: Multnomah, 1983), p. 2.
24
Ibid.

27
bagaimana pergi ke gereja, melainkan apakah kamu ingin pergi ke gereja? Demikian pun
setiap orang yang dalam bahaya tentu tahu bagaimana cara berdoa. Namun persoalannya
ialah apakah orang tetap ingin berdoa setelah krisis/bahaya berlalu? Di sini problem
kehendak adalah problem askese, dan itu adalah problem teologi spiritual/asketik.
 Karena itu, tugas teologi spiritual/asketik adalah menyediakan peraturan kehidupan yang
efisien dan dasar alasan yang baik sehingga kita termotivasi menuruti peraturan itu.
Peraturan kehidupan dapat dijelaskan secara sederhana sebagai “jadwal kesibukan dan
praktek kesalehan yang harus dilakukan seseorang sepanjang hari”. Hidup dengan
peraturan (regula) inilah yang mengubah seseorang menjadi orang Kristen regular, yang
orientasi dasarnya dalam kehidupan adalah menjadi orang Kristen full-time. Thornton
menjelaskan bahwa orang Kristen awam regular adalah “seseorang yang bermaksud dan
berusaha menata kehidupan doanya dengan cara khusus, menurut beberapa contoh yang
akurat”.25 Peraturan tersebut membahas problem kehendak dalam doa secara tepat.
Peraturan doa terkait dengan ritme kehidupan di mana doa merupakan cara hidup. Di sini,
peraturan menolong dan mendorong kehendak untuk berdoa secara kontinyu dalam
situasi apa pun.

3.4.2.6. Doa Permohonan

 Doa muncul dari fakta penyatuan kita ke dalam Kristus. Dengan kata lain, doa
merupakan manifestasi dari baptisan. Di sini, doa selalu merupakan respons terhadap
inisiatif Allah. Teologi dasar tentang doa muncul pada fokus jika sifat doa permohonan
diamati. Ini berarti bahwa doa permohonan bukanlah pelengkap iman yang tidak penting,
melainkan bersifat sentral dan hakiki bagi kehidupan doa. Doa adalah tanda kehidupan
dari orang-orang yang ada di dalam Kristus. Tangisan pertama dari orang yang barusan
dilahirkan kembali melalui pembaptisan merupakan permohonan yang bersifat spontan.
Baptisan yang menandai perjalanan melalui krisis pertobatan dari kerajaan gelap menuju
Kerajaan Anak Allah (Kol 1:13) dinyatakan melalui permintaan seperti anak kecil yang
tidak kenal rasa malu. Orang-orang yang berada dalam krisis tahu bagaimana cara berdoa
dengan kembali pada insting awal mereka (ketika dibaptis).
 Semua doa pada dasarnya dimulai dengan permohonan. Pada inti doa terdapat iman yang
sederhana dan yang muncul dengan sendirinya untuk memohon, “Berikanlah kami pada
hari ini makanan kami yang secukupnya”(Mat 6:11, par.). Tuhan sendiri berjanji,
“Mintalah maka akan diberikan kepadamu; carilah maka kamu akan mendapat; ketuklah
maka pintu akan dibukakan bagimu”(Mat 7:7, par.). Dengan pengajaran ini, Ia
meletakkan dasar untuk seluruh bangunan atas teologi spiritual/asketik.
 Pada dasarnya, kita sesungguhnya berdoa dan dimampukan untuk berdoa. Hal ini
dibuktikan oleh doa permohonan. Bayi yang baru dilahirkan dan orang yang baru
dilahirkan kembali melalui pembaptisan juga menunjukkan hal itu. Persoalannya ialah,
mengapa kemudian doa sebagai hal yang spontan dan alamiah itu lalu berhenti? Mengapa
25
Thornton, Christian Profeciency,…Op.Cit., p. 47.

28
doa lalu menjadi tugas yang sulit? Problem ini sebagian terkait dengan fakta
pertumbuhan dalam doa yang memang diperlukan, namun sebagian lagi terkait dengan
fakta yang tidak perlu karena keteledoran manusia sepenuhnya.
 Orang yang merasa bahwa tantangan pertumbuhan dalam doa terlalu menyakitkan akan
memilih menghindari doa itu atau menghentikannya sama sekali. Insting pertama yang
mereka peroleh pada saat pertobatan menjadi padam. Di sini kita dapat bayangkan
bagaimana konsekuensi akhir percakapan dengan Allah yang menakutkan. Jika kemajuan
berhenti maka kemunduran akan mulai. Akhir doa mungkin berupa pengasingan dari
masyarakat manusia yang dilakukan sendiri dan akhir dari semua percakapan. “Bagi
orang yang memandang rendah firman Allah, kata-kata manusia juga akan diambil dari
mereka”.26 Inilah fakta yang disebabkan oleh keteledoran atau kesalahan manusia sendiri.
 Sementara itu, ada yang tetap bertahan dalam doa, meskipun bahasa doa mereka tertahan
pada tingkat bayi berupa doa-doa permohonan terus-menerus untuk kebutuhan mereka
yang egois. Di sini orang perlu sadar, bahwa doa permohonan, sekalipun perlu dan
pokok, ia bukanlah segalanya. Pertama-tama, isi doa permohonan perlu terus-menerus
dimurnikan dan dibersihkan dari segala bentuk egoisme serta mulai mengarah ke luar diri
sendiri. Selanjutnya, bahasa doa kita pun mesti terus berkembang untuk mencakup
pengetahuan yang lebih luas tentang Allah, yang menemukan ekspresinya dalam bahasa
konferensi, ucapan syukur dan pemujaan, yang lebih berkembang.27 Ini berarti bahwa hal
yang dahulunya muncul secara spontan, alamiah, dan naluriah, kini harus dikerjakan
dengan sengaja. Di sini askese dan peraturan diperlukan untuk memelihara doa, dan
disiplin dalam doa mestinya bisa dijalani karena sesungguhnya sudah ada naluri doa
dalam diri setiap orang.

3.4.3. Karakteristik Doa Kristiani yang Benar

3.4.3.1. Bersifat Theosentris

 Yang menjadi pusat perhatian dalam doa adalah Allah (Bapa) yang mahabaik. Pokok doa
selalu mengenai penyelenggaraanNya yang mahabijaksana dan cinta-kasihNya kepada
umat manusia. Doa sejati selalu berkaitan dengan suatu gambaran tertentu mengenai
Allah yang diimani.
 Hal ini berarti bahwa doa menempatkan Allah pada pusat segala sesuatu, dan doa yang
tiada henti-hentinya menempatkan Allah dalam setiap aspek keberadaan kita dalam
kehidupan sehari-hari. Kita mulai melihat Allah dalam ciptaan, dalam setiap makhluk,
dalam setiap peristiwa di dunia atau sejarah, dalam setiap perjumpaan dengan
konsekuensi atau hal-hal yang nampaknya tidak berkaitan satu sama lain.
 Karena Allah adalah pusat segala sesuatu maka kita pun perlu mengembangkan doa yang
tiada henti-hentinya dengan tiga latihan yang saling berkaitan yakni: mempraktekkan

26
C.S.Lewis, That Hideous Strength (New York:MacMillan, 1946), p. 418.
27
Thornton, Christian Profeciency,…Op.Cit., pp. 59-107.

29
kehadiran Allah, menuruti kehendak Allah, dan memelihara kesetiaan terhadap kasih-
karunia.
 Mempraktekkan kehadiran Allah berarti merasakan kehadiranNya melalui doa rekoleksi
yang terdiri dari kegiatan mengingat sesering mungkin bahwa Allah hadir di mana-mana,
terutama pada kedalaman jiwa seseorang. Contoh terkenal dari pelaku jenis doa ini
adalah Brother Lawrence yang pernah bersaksi sebagai berikut: “Bagi saya, waktu untuk
bisnis tidak berbeda dari waktu untuk berdoa. Dalam kebisingan dan kegaduhan dapur
saya, sementara beberapa orang pada waktu yang sama meminta hal yang berbeda-beda,
saya memiliki Allah sebagai obat penenang yang luar biasa, seolah-olah saya sedang
bertelut doa dalam sakramen yang penuh berkat”. 28 Di sini, rekoleksi dipahami bukan
terutama sebagai tindakan formal yang terpaku pada jadwal waktu yang teratur,
melainkan lebih sebagai “kebiasaan berada dalam hadirat Allah dan berpaling kepadaNya
pada waktu-waktu tertentu sepanjang hari kerja”.29
 Menuruti kehendak Allah secara biblis berarti menyatukan kehendak kita dengan
kehendakNya dalam kasih. Kita tidak mungkin memilih mengikuti Allah atau menuruti
kehendakNya kalau kita tidak mengasihi Dia dengan kasih sebagaimana Dia telah
mengasihi kita. Jadi, mengasihi Allah berarti kita sudah disatukan dengan Dia dan
menuruti kehendakNya. Itulah sebabnya mengapa Alkitab menyamakan hal mengasihi
Allah dengan mengenal Allah (1Yoh 4:7-8). Dalam hal ini Santo Agustinus benar ketika
ia berkata, “Kasihilah Allah dan lakukan apapun yang anda sukai”. Sebab seseorang yang
mengasihi Allah dengan sungguh-sungguh tidak mungkin keluar dari kehendakNya.
 Sedangkan kesetiaan pada kasih karunia mengacu pada tindakan khusus ketaatan, yakni
respons yang rendah hati terhadap kasih karunia yang aktual. Dalam hidup ini kita sering
mengalami saat-saat atau momen-momen di mana kita “merasa dipimpin” untuk
melakukan sesuatu kebajikan sekecil apa pun kepada sesama yang sangat
membutuhkannya, meskipun situasinya mungkin saja berat bagi kita, sebagai wujud
ketaatan yang rendah hati terhadap kasih karunia yang aktual itu. Dalam hal ini, Fénelon
pernah berkata, “Siapa pun yang melangkah maju ke hadapan Allah dalam hal-hal yang
paling sepele tidak akan berhenti untuk melakukan pekerjaan Allah, sekalipun ia
tampaknya tidak melakukan sesuatu yang penting atau serius”.30

3.4.3.2. Bersifat Kristosentris

 Selain bersifat Theosentris, doa kristiani juga bersifat Kristosentris, dalam pengertian
bahwa Allah yang Mahakuasa dan Mahabaik itu hadir secara nyata, kelihatan dalam
hidup kita melalui PuteraNya Yesus Kristus, sang Sabda yang menjelma dan tinggal di
antara kita. Di sini, kehadiran Yesus Kristus sungguh menampakkan wajah kasih Allah
kepada umat manusia. Puncak kasih Allah itu dinyatakan dalam misteri penyelamatan
28
Brother Lawrence, The Practice of the Presence of God: The Best Rule of a Holy Life (New York: Fleming H.
Revel, 1895), p. 20.
29
Thornton, Christian Profeciency,…Op.Cit.,p.62.
30
François Fénelon, Christian Perfection,…., p. 8.

30
yang terlaksana melalui sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus. Dalam hal ini,
hanya Yesus Kristus-lah yang memampukan kita untuk mengenal siapa sesungguhnya
Allah, sekaligus mengantar kita kepada persekutuan dengan Allah. Dialah satu-satunya
pengantara kita dengan Allah Bapa.
 Selain itu, doa kristiani juga bersifat Kristosentris dalam pengertian bahwa Kristus hadir
secara khusus bersama orang percaya yang berdoa dan bahwa Kristus tepat berada di
samping kita secara pasti pada saat kita berdoa, sebagaimana Ia hadir secara lokal dalam
sakramen.31

3.4.3.3. Bersifat Pneumatis

 Iman kita berdasarkan karya Roh Kudus dalam Gereja dan dalam diri kita. Dalam
diam/hening, kita menyadari pengaruh Roh Kudus yang berkarya dari dalam diri kita.
Roh Kuduslah yang berdoa dalam hati kita, memberi kita ilham untuk menyapa Yesus
Kristus sebagai satu-satunya Tuhan dan Penyelamat.
 Menurut Jean Grou, doa senantiasa merupakan “doa dari hati” yang diciptakan oleh Roh
Kudus yang tinggal di dalam hati kita. Kehendak Roh adalah untuk selalu berdoa di
dalam kita. Hal ini tidak berarti bahwa “tindakan khusus berdoa harus dilakukan setiap
waktu”, tetapi bahwa “hati selalu terbuka untuk Roh Kudus, untuk melakukan tindakan
berdoa sesuai kehendakNya, dan benih itu akan dipelihara di tanah jiwa, serta siap untuk
dikembangkan pada saat kesempatannya tiba”.32

3.4.3.4. Bersifat Eklesial

 Iman seorang Kristen selalu merupakan partisipasi dalam iman Gereja. Karena itu, semua
doa harus dilaksanakan dalam kesatuan dengan Gereja
 Ini berarti pula bahwa doa hanya mungkin dilakukan jika kita memandang diri sendiri
sebagai anggota tubuh Kristus di seluruh dunia. Tidak peduli bagaimanapun doa itu
dilakukan seseorang, yang jelas orang itu tetap masih perlu tidur/beristirahat. Tetapi,
sementara salah satu anggota tubuh beristirahat, anggota tubuh yang lain dapat tetap
berdoa. Jadi, panggilan untuk selalu berdoa merupakan panggilan untuk terlibat aktif
dalam pekerjaan Gereja. Kita berdoa dan selalu berdoa hanya sebagai anggota Gereja
yang adalah tubuh Kristus.

3.4.3.5. Bersifat Biblis

 Iman kita dibangun di atas pewartaan Sabda yang bersumber pada Kitab Suci. Karena itu,
iman kita berakar, bertumbuh, dan berkembang dari Sabda Allah yang diajarkan oleh
Gereja. Sabda Allah yang sudah diresapkan akan menggetarkan serta menggerakkan hati
kita untuk berdoa kepada Tuhan.

31
Francis de Sales, Introduction to a Devout Life, 2.2.
32
Jean Grou, How to Pray, pp. 80-81.

31
 Dalam hal ini, seluruh isi Kitab Suci, dan bukan hanya sebagiannya saja, menyatakan
kehendak Allah dalam pengertian merupakan kisah naratif mengenai hubungan Allah
dengan dunia. Seluruh isi Kitab Suci menceriterakan penciptaan Allah, rencana dan
pelaksanaan keselamatan Allah, maksud dan rencana Allah yang terdalam untuk dunia
dan segala sesuatu di dalamnya. Dalam pengertian primer inilah Kitab Suci menyatakan
kehendak Allah. Karena itu, seluruh isi Kitab Suci, dan bukan hanya sebagiannya saja,
hendaknya selalu digunakan untuk menguji pengalaman tertentu hidup manusia dalam
hubungannya dengan kehendak Allah melalui kegiatan doa.

Tugas

 Sebagai latihan dan evaluasi terhadap materi bahasan dalam Bab III di atas, maka
mahasiswa-mahaiswi diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1. Jelaskan peran sentral Yesus Kristus dalam hal kekudusan manusia.
2. Jelaskan empat konsep tentang persatuan kita dengan Yesus Kristus sebagai jaminan
untuk kekudusan kita.
3. Jelaskan landasan doktrinal mengenai peranan Maria dalam hal kekudusan manusia.
4. Jelaskan karakteristik yang benar berkaitan dengan Devosi kepada Bunda Maria.
5. Doa merupakan prinsip utama teologi spiritual/asketik. Jelaskan!
6. Jelaskan beberapa awasan/peringatan yang harus diperhatikan berkaitan dengan doa
dan latihan-latihan rohani lainnya.
7. Jelaskan sifat-sifat atau teologi doa.
8. Jelaskan karakteristik doa kristiani yang benar.

 Catatan:
 Untuk mengerjakan tugas ini, gunakan juga referensi atau sumber-sumber bacaan
pribadi lain (selain materi perkuliahan yang telah disajikan di atas), untuk
menambah wawasan anda.
 Tugas ini dikumpulkan paling lambat sehari sebelum pertemuan berikutnya.
 Tugas ini bisa dikumpulkan secara online via e-mail ataupun secara
langsung/manual/offline.
 Alamat e-mail dosen pengampu mata-kuliah: hironimuspakaenoni@yahoo.com
atau pakaenoni69hironimus@gmail.com

32
BAB IV

ORGANISME SUPRA NATURAL

4.1. Jiwa

 Menurut Antropologi Yunani (Hellenis) yang berciri dualistis, manusia dibedakan atas
tubuh dan jiwa, di mana jiwa dilihat sebagai yang unggul atas tubuh. Paham jiwa sebagai
yang unggul atas tubuh yang sesungguhnya sudah ditemukan dalam agama Dionysian

33
dan kaum Pythagorean ini kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam filsafat Plato.
Menurut Plato, jiwa sebagai realitas terdalam manusia, adalah hidup immortal (yang
baka, abadi, tidak dapat mati) dari dirinya sendiri, dan yang karena itu juga lebih vital
dibandingkan dengan hidup atau kehidupan dalam kaitan dengan tubuh yang bersifat
mortal (fana, dapat mati). Sedangkan Aristoteles memandang jiwa sebagai forma dan
tubuh sebagai materia, di mana jiwa merupakan forma bagi tubuh, sambil membedakan
jiwa atas dua aspek yakni rasional dan irasional. Jadi, menurut Aristoteles, sesungguhnya
ada jiwa rasional (psukhe logikhe) yang juga sering disebut Nous (Roh), dan ada jiwa
irasional (psukhe alogikhe).33
 Selanjutnya, Roh (Nous/psukhe logikhe) ini dapat dipahami menurut beberapa pengertian:
 Nafas kehidupan, di mana hidup dipahami sebagai semacam uap air atau udara
yang menjiwai organisme. Dalam manusia, nous (psukhe logikhe) kadang-kadang
dipahami sebagai pengantara antara tubuh dan jiwa (dalam arti jiwa irasional).
Atau sering juga dipandang sebagai anugerah dari Tuhan, bahkan sebagai bagian
dari nafas Tuhan.
 Jiwa, yakni pelaku immaterial dalam manusia yang merupakan sebab kesadaran
(termasuk kehendak) dan fungsi-fungsi kehidupan seperti: pertumbuhan, selera,
perasaan.
 Jiwa dunia
 Jiwa yang tidak menjelma seperti setan atau hantu. Tidak terjelmanya jiwa ini
bisa mengambil berbagai bentuk: (i) jiwa tanpa suatu tubuh yang mendiami suatu
dunia yang tidak kelihatan seperti: Hades, Surga, atau Neraka; (ii) jiwa tanpa
suatu tubuh tetapi yang tampak pada kehidupan dalam rupa suatu tubuh; (iii) jiwa
tanpa tubuh fisik di mana ia melekat selama hidup, tetapi melekat pada tubuh
rohaninya seperti pada kebangkitan seseorang sesudah mati.34
 Para filsuf Yunani kuno menganggap Roh sebagai kegiatan pemikiran abstrak. Bagi
Aristoteles, kegiatan roh tertinggi adalah pemikiran tentang pemikiran. Namun roh juga
dianggap sebagai prinsip adirasional yang ditangkap secara langsung dan intuitif.
Pandangan ini tampaknya berhubungan erat dengan agama. Dan menurut agama, roh
tertinggi adalah Tuhan, Ada Adikodrati, yang hanya bisa dikenal melalui iman.35
 Dengan demikian, secara filosofis-metafisis, konsep tentang jiwa manusia yang
sesungguhnya adalah jiwa rasional (psukhe logikhe), dan itu tidak lain daripada Roh
(Nous). Dengan kata lain, istilah Roh/nous dan Jiwa dalam antropologi hellenis kurang-
lebih bersifat sinonim, dalam arti bahwa “jiwa” yang dimaksud adalah “jiwa rasional”
(psukhe logikhe), sebagai unsur adikodrati atau supra-natural dalam diri manusia, yang
dibedakan baik dari jiwa irasional (psukhe alogikhe) yang lebih berkaitan dengan tingkat
kepekaan infrahuman, maupun dari tubuh (soma) manusia.

33
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 380.
34
Ibid., hlm. 957
35
Ibid., hlm. 958.

34
 Sebagaimana konsep hellenis tentang jiwa dan roh, demikian juga kurang-lebih konsep
kekristenan. Namun, berbeda dari gagasan Platonisme dan Gnostisisme yang menegaskan
soal immortalitas dan kebakaan jiwa sebagai sesuatu yang bersifat alamiah/natural dan
hakiki dari dirinya sendiri, gagasan Kristen justru menegaskan bahwa kebakaan dan
immortalitas jiwa adalah sesuatu yang bersifat supranatural dan adikodrati, sebagai datum
(keterberian) dan gratia atau hadiah cuma-cuma dari Allah, yang menurut kehendakNya
yang bebas, menganugerahkan kepada jiwa manusia bagian dari kehidupan ilahiNya
sendiri.
 Selain itu, berbeda dari antropologi hellenis yang berciri dualistis yang cenderung
membedakan bahkan mempertentangkan secara tegas keberadaan dan kualitas jiwa dan
badan karena dianggap berasal dari dua sumber yang berbeda, antropologi Kristen
sebagaimana juga antropologi Ibrani yang berciri sintetis memandang manusia sebagai
satu kesatuan utuh tak terpisahkan antara jiwa dan badan, di mana kedua-duanya berasal
dari sumber yang satu dan sama yakni Allah sendiri, dan keduanya baik adanya.
Perjanjian Baru pun tetap memiliki pandangan yang sama tentang manusia. Itulah
sebabnya mengapa Perjanjian Baru yang meskipun menggunakan bahasa Yunani, namun
arti dari kata-kata itu tetaplah arti menurut antropologi Ibrani. Sebab itu misalnya dalam
teologi Paulus, pertentangan antara roh (Yun.: pneuma; Latin: spiritus) dan daging (Yun.:
sarx; Latin: caro) tidak merupakan pertentangan antara jiwa (Yun.: psukhikos; Latin: anima)
dan badan (Yun.: soma; Latin: corpus), melainkan antara dua macam cara hidup manusia, yaitu
hidup menurut corak Adam dan cara hidup menurut corak Kristus (Bdk. Gal 3:3; 5:10-17; 1Kor
3:1-3; Rm 7:14 – 8:14). Dalam kaitan dengan ini, selanjutnya Santo Paulus membedakan
“manusia duniawi” dan “manusia rohani” sebagaimana tertulis di dalam suratnya kepada jemaat di
Korintus (1Kor 2:14-15).
 Dalam perbedaan ini, “manusia duniawi” menurut Paulus adalah manusia “yang dikuasai
oleh dosa” (Rm 8:3) dengan mengikuti keinginan daging. Dan tanda-tanda manusia
duniawi adalah perbuatan-perbuatan daging seperti, “percabulan, kecemaran, hawa nafsu,
penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri
sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya”
(Gal 5:19-21). Bagi Paulus, manusia rohani adalah “orang yang seluruh eksistensi dan
hidupnya diarahkan, dipimpin, dan dipengaruhi oleh Roh Allah”.36
 Dengan demikian, dalam diri “manusia rohani” terdapat tiga unsur kehidupan yang
integral, yaitu “badan, jiwa, dan Roh (Kudus)”.37 Di antara tiga unsur kehidupan ini, Roh
(Kudus) yang dipandang sebagai Roh Allah sendiri menjadi “jiwa dari jiwa kita”,
disatukan dengan “aku-nya” kita dan memberikan kekuatan atau tenaga kepada semua
yang manusiawi dalam diri kita. Dengan Roh Kudus atau Roh Allah sendiri, jiwa kita
menjadi hidup, baik, dan benar. Menurut Santo Agustinus, “jiwa adalah kehidupan tubuh;
Allah adalah kehidupan jiwa. Seperti kehidupan, yaitu jiwa, hadir dalam tubuh supaya

36
Walter H. Principe, “Spirituality, Christian”, dalam: NDCS, p. 931.
37
Thomas Spidlik, Manuale Fondamentale di Spiritualità, (Roma: Edizioni Piemme, 1994), p. 12

35
tubuh itu tidak mati, demikian juga kehidupan, yaitu Allah, mesti hadir dalam jiwa
supaya jiwa itu tidak mati”.38
 Dengan pikiran Santo Agustinus di atas, terkesan seakan Allah hadir hanya dalam jiwa
manusia saja, sedangkan dalam tubuh manusia seakan-akan Ia “absen” sama sekali.
Pandangan atau kesan semacam ini tentunya tidak dapat dipertahankan sebab kehadiran
Allah tidak terbatas hanya pada jiwa atau hati manusia, tetapi dalam seluruh realitas
kehidupan di dunia ini, baik manusia maupun ciptaan-ciptaan lainnya. “Di sekitar kita
dan di dalam kita – dalam ciptaan, orang-orang dan peristiwa-peristiwa, Allah terus-
menerus datang dan hadir untuk menyatakan yang tak terbatas melalui dunia yang
terbatas. Dalam hal-ikhwal iman, percaya kepada kebenaran revelasi Allah ini mengantar
kita kepada kapasitas untuk melihat revelasi diri Allah dalam segala sesuatu. Iman ini lalu
mengubah persepsi kita yang terbatas tentang peristiwa-peristiwa harian dari kejadian-
kejadian sederhana dan biasa menjadi kesempatan-kesempatan yang luar biasa bagi
perjumpaan dengan Allah”.39
 Akan tetapi, meskipun Allah hadir dalam segala sesuatu, namun modalitas atau cara
kehadiran Allah itu tidak sama dalam segala sesuatu. Pada diri manusia, Allah melalui
Roh-Nya yang Kudus hadir secara sangat khusus dalam jiwa atau hati manusia, sebab
“hati-nurani adalah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ, ia seorang
diri bersama Allah, yang sapaanNya menggema dalam batinnya”.40 Menurut Santo
Fransiskus dari Sales, “Allah tidak hanya berada di tempat engkau berada, tetapi secara
sangat istimewa berada di dalam hatimu dan pada pusat rohmu atau jiwamu”.41
 Keistimewaan kehadiran Allah dalam diri manusia terletak pada pengaruhNya yang
khusus bagi keseluruhan tingkah laku manusia. Dengan kehadiran Allah melalui RohNya
yang Kudus, tubuh fisik kita dapat berbuat baik dan benar. Santo Agustinus berkata,
“Kaki-kaki berjalan. Dengan ini saya mengakui bahwa tubuh hidup. Namun, ke mana
mereka berjalan? Kepada perbuatan zinah? Maka dengan demikian jiwa mati. Karena itu,
sangat tepat ketika Kitab Suci mengatakan: ‘Seorang janda yang hidup mewah dan
berlebih-lebihan, ia sudah mati selagi hidup’ (1Tim 5:6)”.42
 Sebab itu, dalam segala tingkah laku dan perbuatannya, manusia mesti berusaha mencari
Allah untuk mendengarkan bisikan RohNya yang baik dan benar. “Dengan cara mana
aku mencari Engkau, ya Tuhan? Karena kalau aku mencari Engkau, Allahku, aku
mencari kehidupan yang bahagia. Aku hendak mencari Engkau, supaya jiwaku hidup.
Karena tubuhku hidup dalam jiwaku, dan jiwaku hidup dalam Engkau”. 43 Dengan
38
St. Augustine, Sermon 65:5.
39
Gloria Schaab, “On Letting God Be God”, dalam: Spiritual Life, Vol. 46, No. 1, Spring: 2000, p. 5
40
Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja Dalam Dunia Dewasa Ini, “Gaudium et Spes”, dalam: R.
Hardawiryana, S.J., Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), Artikel 16. Untuk kutipan selanjutnya akan
disingkat GS diikuti nomor artikelnya.
41
Lynn Klammer, “Why Do Kids Join Gangs?”, dalam: Pastoral Life, Vol. 48, No. 11, November 1999, p. 31.
42
St. Augustine, Sermon 65:6.
43
St. Augustine, Confessiones 10: 29. Bdk. Paus Yohanes Paulus II (Promulgator), Catechismus Ecclesiae
Cattolicae (Citta del Vaticano: Libreria Editrice Vaticana, 1993), Numero 1718, dalam: P. Herman Embuiru, SVD.
(Penerj.), Katekismus Gereja Katolik (Ende: Propinsi Gerejani Ende, 1995), Nomor 1718. Untuk kutipan-kutipan

36
mencari Allah, tubuh dan jiwa manusia pasti akan hidup baik dan juga akan berbuat baik,
sebab dalam Dia “terkumpul segala yang baik dengan sempurna, yang selalu ada dan
tetap akan ada”44 padaNya.
 Dalam arti yang positif ini, kehadiran Allah melalui RohNya yang Kudus senantiasa
menjadikan kita kudus dan bersatu dengan Allah sendiri sebagaimana ditegaskan oleh
Santo Agustinus kepada kita: “Benar bahwa kita menerima roh yang dilihat sebagai jiwa
manusia. Namun benar juga bahwa kita telah menerima Roh yang lain untuk berada dan
untuk menjadi orang kudus. Roh Kuduslah yang membuat kita tinggal dalam Allah dan
Allah dalam kita. Inilah karya cinta”.45
 Berbeda dengan “manusia rohani”, kehidupan “manusia duniawi” benar-benar terjadi
sebaliknya. Seperti manusia rohani, manusia duniawi memang bertubuh dan berjiwa,
namun jiwa, pikiran, atau kehendaknya bisa menjadi sangat karnalis, karena ia hidup
menurut keinginan daging. “Keinginan daging adalah maut….Keinginan daging adalah
perseteruan dengan Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang
tidak mungkin baginya. Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan
kepada Allah” (Bdk. Rm 8:5-8).
 Dari keseluruhan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa “Jiwa” yang dimaksud di
sini bukanlah sekadar prinsip dan daya kodrati yang menggerakkan dan menghidupi
tubuh manusia agar tidak mati, melainkan lebih dari itu, merupakan prinsip dan daya
rohani, adikodrati, dan ilahi yang menghidupi manusia serta terus menggerakkan dan
mengarahkannya untuk menggapai persekutuan dengan Yang Mahakudus melalui
ketaatan serta kesetiaan melaksanakan segala perintah, kehendak, dan hukumNya.
Dalam pengertian ini, Jiwa dimaksud tidak lain daripada Roh yakni Roh Allah sendiri
yang mendiami hati-batin manusia, yang senatiasa menghidupi, menggerakkan serta
mengarahkan manusia untuk menggapai kekudusan yang tidak lain dari persatuan yang
intim dengan Allah. Jiwa atau Roh dimaksud merupakan organisme supranatural dalam
diri manusia yang secara bebas dan gratis dianugerahkan Allah kepada manusia agar
manusia boleh mengambil bagian dalam kehidupan Ilahi Allah sendiri.

4.2. Rahmat Pengudusan


 Istilah “rahmat pengudusan” mulai muncul dan dikenal sejak zaman Skolastik yang
berpuncak pada Thomas Aquinas. Dalam teologinya, Thomas Aquinas membedakan
rahmat atas dua macam yakni gratia increata (rahmat yang tidak diciptakan) dan gratia
creata (rahmat yang diciptakan). Gratia increata berkaitan dengan sikap Allah sendiri
terhadap manusia, yakni sikap Allah yang memperhatikan, mencintai, dan mengampuni
manusia. Dan bila cinta Allah itu (gratia increata) sungguh sampai pada diri manusia,
maka keadaan manusia akan diubah, dibaharui dan disembuhkan (gratia creata).

selanjutnya akan disingkat KGK dan nomornya.


44
Thomas a Kempis, Mengikuti Jejak Kristus (Jakarta: Obor, 1986), hlm. 145.
45
San Agostino D’Ippona, Il Maestro Interiore (Milano: Edizioni Paoline, 1992), p. 72.

37
Singkatnya, gratia increata itu menghasilkan gratia creata (rahmat tercipta) dalam diri
manusia.46
 Selanjutnya, Thomas Aquinas menjelaskan gratia increata yang dihadiahkan Allah
secara cuma-cuma itu sebagai forma dan sarana penyempurna adikodrati/supranatural
bagi jiwa manusia. Gratia increata itu memulai proses “pembenaran” dalam diri manusia
dengan tujuan untuk pengampunan dosa. Di dalam proses “pembenaran” itu, kehendak
bebas manusia digerakkan agar ia dapat melaksanakan lagi perbuatan yang berkenan
kepada Allah. Dengan demikian, rahmat menjadi akar dan pangkal bagi suatu keadaan
baru, dengannya manusia bisa memulai suatu tingkah laku yang baru. Namun
bagaimanapun, tingkah laku yang baru itu harus tetap dan terus-menerus disertai rahmat
Tuhan yang membantu, agar manusia bisa bertahan dalam keterarahan kepada Allah dan
sanggup mengatasi kecenderungan-kecenderungan jahat yang tetap mengganggu
manusia.
 Inilah “rahmat pembenaran” dari pihak Allah, yang selanjutnya dikenal juga dengan
istilah “rahmat pengudusan”, yang dibedakan dari “rahmat pembantu”. Pembedaan ini
sengaja dibuat untuk meringankan dilemma antara karya Allah di satu pihak, dan
kebebasan manusia di pihak lain, dalam proses pembenaran dan atau pengudusan
manusia.47
 Jika ditelusuri lebih jauh, istilah “rahmat pengudusan” ini sebenarnya muncul dalam
konteks upaya Thomas Aquinas menjawab problem pertentangan antara rahmat Allah di
satu pihak, dan kebebasan (kodrat) manusia di pihak lain, yang sebelumnya sudah
dimulai dalam perdebatan antara Santo Agustinus dan Pelagius. Singkatnya, untuk
menjawabi pesimisme Agustinus berkaitan dengan partisipasi kodrat (kekebasan)
manusia dalam rahmat di satu pihak, dan optimisme Pelagius menyangkut keikutsertaan
kodrat (kebebasan) manusia dalam rahmat di pihak lain, maka Thomas Aquinas mencoba
menawarkan jalan tengah melalui ajarannya di atas. Menurut Thomas Aquinas, kodrat
manusia bersifat istimewa, karena ia bukanlah kerangka tetap dan tertutup yang
membatasi manusia, melainkan kerangka dinamis, terbuka dan tak terbatas dalam intensi
dan kerinduannya. Justru karena sifatnya yang dinamis dan terbuka kepada yang tak
terbatas ini, maka kodrat manusia hanya bisa disempurnakan oleh rahmat, di dalamnya
Allah yang tak terbatas menghadiahkan diriNya untuk memenuhi kerinduan kodrati
manusia. Karena itu, bagi Thomas, rahmat adikodrati atau supra-natural itu bukanlah
sekadar sesuatu dari luar yang ditambahkan kepada kodrat manusia yang sudah selesai
dan lengkap dalam dirinya sendiri, melainkan rahmat adikodrati-lah yang membuat
kodrat manusia menjadi lengkap, dan membuat manusia menemukan dirinya sesuai
intensinya yang benar. Dalam hal ini, rahmat mengandaikan kodrat sekaligus
menyempurnakannya (gratia supponit naturam et perficit illam).48
46
Georg Kirchberger, Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Penerbit Ledalero, 2007), hlm.
349-350.
47
Ibid., hlm. 350.
48
Ibid., hlm. 351.

38
 Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa rahmat sudah termasuk dalam kodrat
manusia. Hanya keterbukaan terhadap rahmat termasuk kodrat manusia. Dengan kata
lain, hakekat kodrat (juga setelah kejatuhannya ke dalam dosa), adalah keterbukaan
terhadap rahmat, tetapi kodrat itu sendiri bukanlah rahmat, atau pun sebaliknya.
Keduanya tetaplah berbeda. Rahmat tetap merupakan hadiah bebas dari Allah, di
dalamnya Allah memberikan diri kepada manusia, menjadi sahabat manusia, dan
menyempurnakan serta membahagiakannya.
 Selanjutnya, Konsili Trente dalam dekritnya mengenai “pembenaran” berusaha untuk
menjawab persoalan yang ditimbulkan Luther dengan penekanannya pada rahmat yang
semata-mata merupakan inisiatif bebas dan murni dari pihak Allah, tanpa keikutsertaan
sedikit pun dari pihak manusia. Sama seperti Luther dan para Reformator lainnya, Trente
juga menegaskan bahwa manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri, melainkan
hanya karena rahmat Allah, manusia bisa selamat dan bisa dijadikan manusia benar di
hadapan Allah. Akan tetapi, sambil menolak pendapat Reformator, Trente menegaskan
bahwa rahmat Allah tidak membuat manusia menjadi pasif semata-mata, melainkan
membebaskan manusia agar manusia bisa menempuh jalan menuju keselamatan. Dalam
hal ini, kebebasan manusia tidak dimatikan, melainkan dihidupkan oleh rahmat Allah.49
 Selain itu, berbeda dari pendapat Luther yang membedakan rahmat pembenaran dan rahmat pengudus
dengan argumentasi bahwa manusia belum serta-merta “dikuduskan” dan diangkat ke dalam hidup
adikodrati dengan dibenarkannya dia oleh Allah 50, Konsili Trente – sebagaimana Thomas Aquinas – justru
memandang rahmat pembenaran sebagai rahmat pengudus[-an] yang sungguh-sungguh menghasilkan
keadaan baru dalam diri manusia, di mana manusia dijadikan anak Allah dan diberikan kesanggupan untuk
dapat menghasilkan buah-buah Roh.51
 Jadi, dalam hal ini, rahmat pengudusan (dan atau rahmat pembenaran) merupakan prinsip formal dari
kehidupan supra-natural atau adikodrati sekaligus kualitas super-natural yang melekat dalam jiwa manusia,
melaluinya seseorang ikut berpartisipasi dalam kodrat dan kehidupan ilahi.
4.3. Efek atau Buah-buah Rahmat
 Buah pertama dari rahmat adalah pengangkatan kita sebagai anak-anak Allah (Bdk.
Kis 17:28-29). Dengan rahmatNya, kita dijadikan anak-anak angkat Allah sendiri (Bdk.
Rm 8:15-17). Dalam status sebagai anak angkat ini, kita tentu saja berbeda dengan
Kristus sendiri. Dalam perbedaan ini, Allah Bapa dari hakikatNya hanya memiliki
seorang Putra, yaitu Sabda Kekal dalam diri Yesus Kristus Tuhan kita. Hanya kepada
Dia-lah diberikan secara kekal - melalui suatu kelahiran intelektual yang tak terperikan
– hakikat ilahi dalam seluruh kesempurnaannya. Berkat kelahiran yang abadi ini,
Pribadi Kedua dari Tritunggal Mahakudus memiliki esensi ilahi yang benar dari Bapa.
Ia juga adalah Allah sepenuhnya seperti Bapa adalah Allah. Sebab itu, Yesus Kristus
yang hakikat manusiawiNya disatukan secara hipostatik dengan Pribadi Sang Sabda,
tidak diangkat sebagai Putra Bapa seperti manusia, melainkan Ia memang benar-benar

49
Ibid., hlm. 352.
50
Dr. Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2, Ekonomi Keselamatan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2004), hlm. 178.
51
Georg Kirchberger, Allah Menggugat…., Loc.Cit.

39
Putra dalam arti kata sepenuhnya. Dengan kata lain, Dia adalah “Anak Kandung” Allah
yang sesungguhnya.
Berbeda dengan Yesus Kristus, keputraan ilahi kita melalui rahmat bukanlah sebuah
keputraan alami/kodrati, melainkan sebuah keputraan adopsi. Secara otentik, adopsi
berarti menerima secara gratis seorang asing ke dalam sebuah keluarga. Dengan adopsi,
anak yang diangkat itu dianggap sebagai seorang putra atau putri dalam keluarga. Ia
juga diberi hak warisan atas harta kekayaan, karena ia adalah anak yang sah, sekalipun
tanpa ada hubungan darah dengan keluarga yang mengangkatnya. Dengan adopsi ini
jelas tidak terjadi perubahan intrinsik apa pun dalam diri pribadi anak yang diangkat itu.
Inilah adopsi alamiah di dunia ini.
Adopsi kita sebagai anak Allah berbeda dari adopsi alamiah ini. Ketika Allah
mengangkat kita menjadi anak-anakNya, Ia menuangkan ke dalam diri kita rahmat yang
menguduskan. Rahmat itu memberi kita suatu partisipasi riil dan formal dalam hakikat
Allah sendiri. Dengan ini, adopsi kita oleh Allah bukan lagi sebuah adopsi ekstrinsik,
melainkan adopsi intrinsik. Adopsi intrinsik ini secara fisik dan formal menempatkan
dalam jiwa kita suatu realitas ilahi. Dengan adopsi ini, kita benar-benar mengambil
bagian dalam kehidupan ilahi Allah sendiri. Inilah suatu kelahiran spiritual yang benar,
yang secara analogis mencerminkan kelahiran abadi Sabda Allah sendiri dari Bapa.
Secara eksplisit, Santo Yohanes mengatakan bahwa rahmat yang menguduskan tidak
hanya memberi kita hak untuk disapa sebagai anak-anak Allah, tetapi juga sungguh-
sungguh menjadikan kita anak-anak Allah (Bdk. 1Yoh 3:1).
 Buah kedua dari rahmat ilahi yaitu bahwa kita menjadi ahli waris Allah (Bdk. Rm
8:17). Warisan utama kita sebagai anak angkat Allah pasti bukanlah “emas atau perak
atau tembaga” (Mat 10:9), melainkan Allah sendiri dalam diri Yesus Kristus PutraNya
(Bdk. Kis 3:6). Harta warisan yang ada pada diri Allah bukanlah kekayaan dunia
melainkan Yesus Kristus sebagai perwujudan nyata dari diri Allah sendiri. Kristuslah
ungkapan segala harta yang tersembunyi di dalam Allah (Bdk. Kol 2:3).
Dalam dan melalui Kristus, hal penting yang diterima dan dinikmati manusia dari
warisan Allah adalah visio beatifica (pandangan yang membahagiakan dari muka ke
muka). Visio beatifica ini memberikan jiwa kita perasaan gembira dan bahagia yang
dapat memuaskan sepenuhnya semua aspirasi dan kerinduan kita akan Allah. 52 Untuk
menerima dan menikmati warisan visio beatifica ini, kita yang masih berziarah di dunia
ini diminta untuk senantiasa memuliakan Allah dalam seluruh hidup dan karya kita.
Tugas untuk memuliakan Allah ini lahir dari rahmat Allah dalam setiap kegiatan
adikodrati yang kita lakukan. Menurut Thomas Aquinas, “rahmat tidak lain dari awal
atau permulaan kemuliaan dalam diri kita”.53 Rahmat mengawali kehidupan yang luhur
dan mulia dalam diri kita. Tanpa rahmat, kita tidak mungkin mencapai kemuliaan dalam
hidup di dunia ini. Selain menjadi awal dari kemuliaan hidup, rahmat itu juga menjadi
pendorong bagi upaya manusia untuk memuliakan Allah. Karena itu, apabila rahmat
52
Bdk. KGK., No. 1028
53
St. Thomas Aquinas, Pt.I, q.44, a.4.

40
sudah meresapi hidup seseorang, maka tidak ada lagi tugas lain dalam kehidupannya
selain tugas untuk memuliakan Allah (Bdk. Yer 13:16). Dengan memuliakan Allah,
manusia dapat menghindari suasana gelap dalam hidupnya. Bagi kita, kemuliaan Allah
adalah terang dalam kegelapan, sehingga kita sendiri tidak akan tersandung dan juga
tidak membuat orang lain tersandung.
 Buah ketiga dari rahmat Allah yakni bahwa kita semua dijadikan ahli waris Kristus.
Buah rahmat ini terjadi karena kita menyapa Allah sebagai “Bapa”, sebagaimana
Kristus sendiri menyapaNya. Apabila dalam Kristus, Allah menjadi Bapa kita, maka
dengan sendirinya kita juga menyapa Kristus sebagai Saudara sulung kita (Bdk. Kol
1:18). Dalam relasi ini, rahmat yang menguduskan mencurahkan kepada kita suatu
partisipasi dalam kehidupan ilahi yang dimiliki oleh Kristus dalam segala
kepenuhannya. Dengan komunikasi ini, kita lalu menjadi saudara-saudari dari Kristus
sendiri dan anak-anak dari Bapa yang sama. Menurut kemanusiaanNya, Yesus Kristus
mau menjadi Saudara kita, supaya kita menjadi saudaraNya menurut keAllahanNya
(Bdk. Rm 8:29). Di sini, dari hakikatNya, Yesus Kristus tetap merupakan Putra Bapa
satu-satunya, namun dalam tata rahmat dan adopsi, Dia adalah Saudara sulung kita.
Untuk semuanya itu, kita patut bersyukur kepada Allah (Bdk. Ef 5:20; Kol 3:17).
Karena alasan ini maka Bapa merelakan diriNya untuk memperhatikan kita, seakan-
akan kita adalah satu dengan PutraNya, Yesus Kristus. Allah memandang Kristus
sebagai saudara kita dan menganugerahkan kepada kita warisan nama yang sama pula.
Kita adalah sama-sama ahli waris dengan Kristus (Bdk. Ibr 2:10-12).
Dengan penegasan ini, Allah telah membentuk kita menurut teladan Kristus. Berkat
rahmat Allah ini, kita semua bersama dengan Kristus menjadi anak-anak dari Bapa yang
satu dan sama. Relasi kita sebagai anak dengan Bapa dalam Kristus sebagai Saudara ini
akan terlaksana dengan baik jika kita menjadi satu dengan Kristus sebagaimana Kristus
sendiri adalah satu dengan BapaNya (Bdk. Yoh 10:30; Gal 3:28). Bersatu dalam dan
dengan Kristus membuat kita akan bersatu juga dengan Allah Bapa dalam rumahNya
yakni dalam Gereja dan masyarakat di dunia sekarang ini maupun dalam KerajaanNya
yang kekal abadi di surga kelak. Dalam hal inilah, Kristus menjadi Jalan kita menuju
persekutuan dengan Allah.
 Buah keempat dari rahmat membuat kita benar dan berkenan kepada Allah. Buah
rahmat ini berkaitan erat dengan realitas manusia yang berdosa (Bdk. Rm 3:23-25).
Dosa sebagai sesuatu yang universal melekat pada siapa saja dan dapat dilakukan oleh
siapa saja. Menyangkal kenyataan ini berarti menipu diri sendiri dan dengan demikian
tidak ada kebenaran dalam diri kita (Bdk. 1Yoh 1:8).
Dalam efek ini, rahmat memberi kita bagian dalam keadilan dan kekudusan ilahi.
Meskipun dengan dosa asal manusia secara keseluruhan kehilangan “kemuliaan Allah”
(Rm 3:23) dan “keserupaan dengan Dia”54, namun dosa asal itu sungguh-sungguh telah
diampuni dan tidak hanya ditutup, oleh karena kekayaan rahmat dan kebesaran

54
KGK., No. 705.

41
kasihNya kepada kita (Bdk. Ef 2:4). Dalam arti ini, “kita memperoleh pembenaran
berkat rahmat Allah”.55 Menurut Konsili Trente, pembenaran manusia oleh rahmat
Allah ini tidak cuma berarti “pengampunan atas dosa-dosa, tetapi juga pengudusan dan
renovasi internal atau pembaharuan batin manusia melalui penerimaan secara sukarela
rahmat dan anugerah-anugerah, dengannya manusia diubah dari orang yang tidak benar
menjadi orang benar, dari seorang lawan menjadi seorang kawan. Dengan demikian ia
‘berhak menerima hidup kekal sesuai dengan pengharapannya’”. 56 Secara formal,
sebab-musabab tunggal dari pembenaran manusia di dunia ini adalah kebenaran Allah:
suatu kebenaran yang tidak bermaksud membuat Allah benar, melainkan membuat
manusia benar. Kebenaran Allah ini membaharui kita secara internal dan membuat kita
tidak hanya dihormati sebagai orang benar, tetapi kita benar-benar disebut orang benar
dan tetap benar dalam kebenaran Allah (Bdk. Rm 3:21-24). Dengan kebenaran Allah
ini, karena iman akan Yesus Kristus, “rahmat pengudusan sungguh menghasilkan suatu
efek, suatu keadaan baru dalam diri manusia di mana manusia dijadikan anak Allah dan
diberi kesanggupan baru agar dapat menghasilkan buah roh”. 57 Dengan rahmatNya ini,
“Allah memberikan kehidupanNya secara cuma-cuma kepada kita. Ia mencurahkannya
ke dalam hati kita melalui Roh Kudus, untuk menyembuhkan kita dari dosa dan untuk
menguduskan kita. Itulah rahmat pengudusan dan rahmat pengilahian yang telah kita
terima dalam pembaptisan. Ia merupakan asal ‘karya keselamatan’ di dalam kita”.58
 Buah rahmat yang kelima adalah memberi manusia kemampuan untuk memperoleh
pahala adikodrati. Dalam arti ini, “rahmat adalah kemurahan hati, pertolongan sukarela
yang Allah berikan kepada kita, agar kita dapat menjawab panggilanNya” 59 dalam
pekerjaan-pekerjaan yang kita lakukan setiap hari. Dengan pertolongan rahmat Allah,
kita di satu sisi sanggup bekerja dan melakukan perbuatan-perbuatan baik. Di sisi lain,
dengan rahmat Allah, semua pekerjaan dan perbuatan baik kita tidak akan sia-sia dan
percuma. Dalam hidup kita di dunia ini, rahmat Allah senantiasa membuat pekerjaan
dan usaha kita berhasil dan berbuah, bukan terutama karena kita yang bekerja
melainkan Allah sendiri yang bekerjasama dengan kita. Dalam rencana dan program
hidup kita, “memang kita juga bekerja, namun kita hanya bekerjasama dengan Allah
yang bekerja. Karena kerahiman telah mendahului kita, supaya setelah disembuhkan,
kita dihidupkan; Ia mendahului kita, supaya kita dipanggil, dan Ia mengikuti kita,
supaya kita dimuliakan. Ia mendahului kita supaya kita hidup saleh, dan Ia mengikuti
kita supaya kita hidup bersama Allah untuk selama-lamanya, karena tanpa Dia, kita
tidak dapat berbuat apa-apa”.60
Dari pekerjaan kita, Allah tidak hanya memberi kita hasil-hasil atau buah-buah
kehidupan sesaat untuk kebutuhan hari ini, tetapi juga pahala adikodrati dalam
55
KGK., No. 1996.
56
Sipke van der Land, Pengakuan Agustinus (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1984), hlm. 11.
57
St. Thomas Aquinas, Pt.I, q.26, a.1.
58
KGK., No. 1999.
59
KGK., No. 1996.
60
KGK., No. 2001.

42
kehidupan bersama Allah untuk selama-lamanya. Inilah pahala akhir yang Allah
sediakan dan berikan kepada kita dari setiap pekerjaan dan usaha kita, yaitu
“mengambil bagian dalam kodrat ilahi dan dalam kehidupan abadi”. 61 Sebab itu, dalam
setiap pekerjaan dan usaha kita setiap hari, “hendaknya kita memperhatikan hal-hal
surgawi, bukan (hanya) hal-hal duniawi….Sementara kita berada dalam perjalanan
sebagai musafir, peziarah dan tamu dari dunia ini, janganlah membiarkan diri kita
dijerat dengan hasrat-hasrat dan nafsu-nafsu (duniawi), tetapi isilah pikiran kita dengan
hal-hal surgawi dan rohani. Hendaknya nyanyian utama kita demikian, ‘Kapankah aku
akan datang dan tampil di hadapan wajah Allah?’”.62 Kesadaran ini diperlukan, karena
untuk orang beriman, Allah “telah menyediakan baginya sebuah takdir untuk kehidupan
kekal. Ia mengetahui bahwa manusia bukan hanya sebuah tubuh yang dihukum untuk
kematian karena dosa, melainkan juga ia memiliki sebuah jiwa yang abadi”.63
 Buah keenam yakni rahmat menyatukan kita dengan Allah. Melalui keberadaan,
kehadiran, dan kekuatanNya, Allah sungguh hadir pada semua ciptaanNya. Lebih dari
kehadiranNya, Ia juga benar-benar bersatu dengan kita dan kita disatukan dengan Dia.
Peran rahmat Allah dalam hal ini adalah memperkokoh persekutuan yang ada,
mengubahnya dan mengangkatnya ke suatu model persekutuan yang lebih tinggi,yakni
“ikut-serta dalam persekutuan Tritunggal sendiri”.64 Dalam persekutuan ini, Allah
berkat rahmat-Nya hadir dalam jiwa orang yang benar. Kehadiran Allah dalam jiwa
manusia menjadikan kita kenisah Allah Tritunggal, sehingga kita sepantasnya berdoa
seperti Santa Elisabeth dari Tritunggal demikian, “Ya Allahku, Tritunggal yang
kusembah, bantulah aku untuk melupakan diriku sepenuhnya. Dengan demikian, aku
boleh dibangun di dalam Dikau secara tetap dan damai, seakan-akan jiwaku sudah
berada dalam keabadian…..Berilah damai kepada jiwaku, jadikanlah jiwaku itu surga-
Mu, tempat kediamanMu yang terkasih, tempat istirahatMu…Ya Allahku Tritunggal,
diriku seluruhnya, kebahagiaaku, perhatian dan keluasan yang tak terbatas, di
dalamnya diriku melebur hilang, kuserahkan diriku kepadaMu…..sampai aku
meninggal dunia untuk merenungkan dalam terangMu ngarai kebesaranMu”.65
Dalam bingkai refleksi ini, Allah tidak hanya hadir dan bersatu dengan manusia. Tetapi
berkat rahmatNya, Ia – dalam kehadiranNya itu – membangun juga suatu perubahan
cinta dan persahabatan timbal-balik antara jiwa orang benar dengan diriNya: “Jika
seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firmanKu, dan BapaKu akan mengasihi dia,
dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia” (Yoh 14:23).
Dengan kasih, Allah hadir dalam diri kita. Ia berdiam bersama kita, bahkan Ia tinggal di
61
KGK., No. 1996.
62
St. Augustine, Sermon 53:6.
63
St. Augustine, Sermon 53A:11.

64
Paus Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik “Vita Consecrata” (25 Maret 1996), dalam: R. Hardawirjana, SJ.
(Penerj.), Hidup Bakti Bagi Para Religius (Jakarta: Dokpen KWI, 2002), Artikel 41. Untuk kutipan selanjutnya
akan disingkat VC dan nomor artikelnya.
65
St. John of the Cross, The Dark Night, II, 20,6, dalam: CWJC, p. 378.

43
dalam kita dan kita di dalam Dia. Hal ini mungkin, sebab “Allah adalah kasih, dan
barangsiapa tetap berada dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam
dia” (1Yoh 4:16). Dalam kasih ini, kiranya kita dapat berdoa kepada Tuhan Yesus
sebagaimana ditunjukkan oleh Santa Elisabeth dari Tritunggal: “Di kaki salibMu ya
Yesus kekasihku, Yesus cintaku yang tersalib, aku berkata, ‘Ambillah hatiku dan jangan
pernah kembalikan lagi padaku, o Mempelaiku surgawi, Penyelamat ilahi, agar aku
menjadi milikMu semata-mata. Aku menolak segala kebahagiaan dan persatuan di
dunia ini. Aku ingin menjadi milikMu seutuhnya, supaya aku lebih banyak lagi
mencintaiMu, dan bersyukur untuk cintaMu sendiri. Ya Mempelaiku, hartaku yang
paling berharga, hanya Engkaulah yang tahu betapa aku mencintaiMu”.66

4.4. Rahmat Aktual


 Menurut Konsili Trente, rahmat pembenaran (keselamatan) membuka suatu proses
pengudusan, di dalamnya manusia tahap demi tahap menjadi lebih kuat berakar di
dalam keadaan baru sebagai anak Allah berkat bimbingan rahmat Allah dan usaha
manusia dalam mengikuti bimbingan itu.67 Selanjutnya, rahmat pembenaran yang
menuntun kepada pengampunan dan pengudusan itu disebut rahmat habitual, sebab
rahmat ini menetap, menjadi kebiasaan, sehingga jiwa tidak terkena oleh dosa berat.
Rahmat habitual ini dibedakan dari rahmat aktual yang secara momental
mempengaruhi jiwa dengan mendorong akal budi untuk melihat atau memotivasi
kehendak untuk melakukan kebaikan dan atau menghindari kejahatan.
 Singkatnya, rahmat pembenaran yang menuntun kepada pengampunan dan pengudusan
itu menyebabkan timbulnya rahmat-rahmat aktual yang lain, yang pada akhirnya juga
membantu perkembangan rahmat pengudusan. Santo Paulus menggambarkan urutan
ketiga langkah ini, “Rahmat Allah yang membawa keselamatan telah datang kepada
semua orang. Dia mengajar kita untuk mengatakan ‘Tidak’ kepada kefasikan dan
kesenangan-kesenangan duniawi, dan untuk hidup secara bijaksana, adil, dan beribadah
kepada Tuhan” (bdk. Tit. 2:11-12). Atau di tempat lain, Santo Paulus berkata, “Dalam
66
Jordan Aumann, Spiritual Theology (London: Sheed & Ward, 1980), p. 42.
67
Georg Kirchberger, Allah Menggugat….Op.Cit., hlm. 353.

44
Kristus kita beroleh penebusan dan pengampunan menurut kekayaan kasih dan rahmat-
Nya, yang dilimpahkan kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian” (Ef. 1:7).
 Pada dasarnya, semua rahmat itu (baik rahmat pembenaran/keselamatan, rahmat
pengampunan dan pengudusan, maupun rahmat-rahmat aktual lainnya) merupakan
hadiah atau pemberian cuma-cuma dari Allah kepada manusia, tanpa sedikitpun jasa
dari pihak manusia. Tentang hal ini Santo Paulus menulis, “Sebab karena kasih karunia
kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu
bukan hasil pekerjaanmu sehingga jangan ada orang yang memegahkan diri” (Ef. 2:8-
9).
 Akan tetapi terhadap rahmat yang diberikan, kita dapat menggunakannya,
mengabaikannya, menolaknya atau bahkan menghilangkannya. Dalam hal ini Santo
Paulus menasihati kita untuk tidak menyia-nyiakan segala rahmat dan karunia Allah
yang sangat berharga, melainkan terus mengembangkannya:“Kami menasihatkan kamu,
supaya kamu jangan membuat menjadi sia-sia kasih karunia Allah, yang telah kamu
terima” (2Kor 6:1). Santo Agustinus menunjukkan suatu bagian yang penting dalam
menerima rahmat, “Allah memberi ketika Dia menemukan tangan-tangan yang
terbuka.” Ketika tangan kita penuh dengan banyak barang, bagaimana mungkin kita
dapat menerima hadiah lainnya? Jika kita dibebani oleh segala macam kesenangan
duniawi, bagaimana kita dapat menerima rahmat yang berlimpah dari tangan Allah?
Karena itu, Santo Yakobus memperingatkan, “Setiap orang yang memilih persahabatan
dengan dunia menjadi musuh Allah” (bdk. Yak. 4:4).
 Hanya jika kita dapat melihat “Kekayaan kasih karunia Allah yang berlimpah-limpah,”
maka dengan berbagai cara akan dicurahkan hujan rahmat kepada kita masing-masing.
Seperti para pengembara kehausan di padang gurun yang menikmati air hujan yang
turun dengan derasnya, kita akan berusaha keras untuk memperoleh setiap tetesan hujan
rahmat dari hati Allah yang penuh cinta sehingga kita akan hidup dan berkembang
dalam kasih karunia Allah. Tidak ada sesuatu pun yang dapat menyenangkan hati Allah
selain melimpahkan segala kasih karunia dan rahmat-Nya kepada kita, supaya kita
senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu, malahan berkelebihan di dalam
pelbagai kebajikan.68
 Dari semua uraian di atas, kita boleh menyimpulkan bahwa rahmat aktual memiliki tiga
fungsi atau peran utama dalam hidup manusia, yakni: (i) menjaga atau memelihara
kebiasaan-kebiasaan baik dan benar yang merupakan buah dari rahmat habitual yakni
rahmat pembenaran dan pengudusan; (ii) mengaktualisasikan kebiasaan-kebiasaan baik
dan benar itu dalam perbuatan-perbuatan konkret yang baik dan benar,sambil
menghindari perbuatan-perbuatan yang buruk dan jahat; dan (iii) mempersiapkan jiwa
untuk menerima keutamaan-keutamaan atau kebajikan-kebajikan.

4.5. Keutamaan-Keutamaan (Kebajikan-Kebajikan)


 Dalam nasihat-nasihatnya yang terakhir kepada jemaat di Filipi, Santo Paulus
mengajak jemaat untuk senantiasa memikirkan apa yang disebut kebajikan dan yang
patut dipuji yakni semua yang benar, yang mulia, yang adil, yang suci, yang manis,
dan yang sedap didengar (Bdk. Flp 4:8).
68
John H. Hampsch, CMF, The Art of Loving God, dalam: Sr. Marie Alphonsa, P.Karm. (Penerj.), Seni Mencintai
Allah…….

45
 Selanjutnya, Magisterium Gereja mengartikan “kebajikan/keutamaan” itu sebagai
suatu kecenderungan yang tetap dan teguh untuk melakukan yang baik. Kebajikan
memungkinkan manusia untuk melakukan bukan hanya perbuatan baik, melainkan
juga menghasilkan yang terbaik seturut kemampuannya. Dengan segala kekuatan
moral dan rohani yang dimilikinya, manusia yang berkebajikan berusaha untuk
melakukan yang baik, serta berusaha untuk mencapai dan memilihnya dalam
tindakan yang konkret.69 Semuanya itu bertujuan agar manusia boleh menjadi serupa
dengan Allah.70
 Kebajikan-kebajikan itu sendiri dibedakan atas dua macam, yakni (i) Kebajikan
Manusiawi atau Kebajikan Moral yang terdiri dari empat hal pokok/utama yang
sering disebut Kebajikan Kardinal; dan (ii) Kebajikan Teologal/Ilahi.
4.5.1. Kebajikan Manusiawi atau Kebajikan Moral

 Kebajikan ini merupakan sikap yang teguh, kecenderungan yang dapat diandalkan,
kesempurnaan akal-budi dan kehendak yang tetap, yang mengarahkan perbuatan,
mengatur hawa nafsu, dan membimbing tingkah laku manusia supaya sesuai dengan
akal budi dan kehendak bebas. Dalam hal ini, baik akal budi maupun kehendak bebas
memberi kemudahan, kepastian, dan kegembiraan bagi manusia untuk menjalankan
kehidupan moral secara baik. Dengan demikian, kebajikan manusiawi atau
kebajikan moral sesungguhnya dapat diperoleh manusia melalui usahanya sendiri
berdasarkan akal budi dan kebebasan yang dimilikinya, dan yang karena itu bersifat
kodrati. Ia adalah buah sekaligus benih untuk perbuatan baik secara moral, dan yang
mengarahkan seluruh kekuatan manusia kepada tujuan agar dapat hidup bersatu
dengan cinta ilahi.71
 Selanjutnya, para filsuf Yunani kuno, khususnya Plato dan Aristoteles
mengidentifikasi empat hal utama/pokok berkaitan dengan kebajikan manusiawi ini,
yang dinilai sebagai poros kehidupan moral, dan yang kemudian sesudah penulisan
Kitab Suci Perjanjian baru disebut sebagai Kebajikan Kardinal. Empat hal
utama/pokok itu adalah: (i) kebijaksanaan; (ii) keadilan; (iii) keberanian; dan (iv)
kesederhaan (penguasaan diri atau pengendalian diri). Magisterium Gereja pun
menegaskan bahwa empat kebajikan ini merupakan poros kehidupan moral, 72 di
mana semua kebajikan moral lainnya berada di sekeliling mereka.
 Kebijaksanaan: adalah kebajikan yang membuat akal budi praktis rela supaya
dalam tiap situasi mengerti kebaikan yang benar dan memilih sarana yang
tepat untuk mencapainya (Bdk. Ams 14:15; 1Ptr 4:7). Dengan mengikuti
pikiran Aristoteles, Santo Thomas Aquinas menulis demikian,
“Kebijaksanaan ialah akal-budi benar sebagai dasar untuk bertindak”.
Kebijaksanaan tidak punya hubungan dengan rasa malu dan rasa takut,
dengan lidah bercabang atau berpura-pura. Orang menamakan dia “auriga
virtutum” (pengemudi kebajikan); ia mengemudikan kebajikan-kebajikan
lain, karena ia memberi kepada mereka peraturan dan ukuran. Kebijaksanaan

69
Bdk. KGK, No. 1803.
70
Bdk. Gregorius dari Nisa, beat. 1.
71
Bdk. KGK, No. 1804.
72
Bdk. KGK, No. 1805.

46
langsung mengatur keputusan hati nurani. Manusia bijak menentukan dan
mengatur tingkah lakunya sesuai dengan keputusan ini. Berkat kebajikan ini,
kita menerapkan prinsip-prinsip moral tanpa keliru atas situasi tertentu dan
mengatasi keragu-raguan tentang yang baik yang harus dilakukan, dan yang
buruk yang harus dielakkan.73
 Keadilan. Sebagai kebajikan moral, keadilan adalah kehendak yang tetap dan
teguh untuk memberikan kepada Allah apa yang menjadi hakNya dan kepada
sesama apa yang menjadi haknya. Keadilan terhadap Allah dinamakan orang
“kebajikan penghormatan terhadap Allah” (virtus religionis). Keadilan
terhadap manusia mengatur supaya menghormati hak setiap orang dan
membentuk dalam hubungan antar-manusia, harmoni yang memajukan
kejujuran terhadap pribadi-pribadi dan kesejahteraan bersama. Manusia yang
adil yang sering dibicarakan Kitab Suci, menonjol karena kejujuran
pikirannya dan ketepatan tingkah-lakunya terhadap sesama (Bdk. Im 19:15;
Kol 4:1).74
 Keberanian adalah kebajikan moral yang membuat tabah dalam kesulitan dan
tekun dalam mengejar yang baik. Ia meneguhkan kebulatan tekad, supaya
melawan godaan dan supaya mengatasi halangan-halangan dalam kehidupan
moral. Kebajikan keberanian memungkinkan untuk mengalahkan ketakutan,
juga ketakutan terhadap kematian dan untuk menghadapi segala percobaan
dan penghambatan. Ia juga membuat orang rela untuk mengurbankan
kehidupan sendiri bagi suatu hal yang benar (Bdk. Mzm 118:14; Yoh
16:33).75
 Penguasaan diri adalah kebajikan moral yang mengekang kecenderungan
kepada berbagai macam kenikmatan dan yang membuat kita mempergunakan
benda-benda duniawi dengan ukuran yang tepat. Ia menjamin penguasaan
kehendak atas kecenderungan dan tidak membiarkan kecenderungan
melampaui batas-batas yang patut dihormati. Manusia yang menguasai diri
mengarahkan kehendak inderawinya kepada yang baik, mempertahankan
kemampuan sehat untuk menilai dan berpegang pada kata-kata:”Jangan
mengikuti setiap kecenderungan walaupun engkau mampu, dan jangan
engkau mengikuti hawa nafsumu” (Sir 5:2; Bdk. Sir 37:27-31). Kebajikan
penguasaan diri sering dipuji dalam Perjanjian Lama (Lih. Sir 18:30). Dalam
Perjanjian Baru, ia dinamakan “kebijaksanaan” atau “ketenangan” (Bdk. Tit
2:12).76
 Santo Agustinus meringkaskan empat kebajikan utama di atas sebagai berikut:
“Hidup yang baik itu tidak lain dari mencintai Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa,
dan dengan segenap pikiran. (Oleh penguasaan diri) orang mencintaiNya dengan cinta sempurna
yang tidak dapat digoyahkan oleh kemalangan apa pun (karena keberanian), yang hanya
mematuhi Dia (karena keadilan) dan yang siaga supaya menilai semua hal, supaya jangan
dikalahkan oleh kelicikan dan penipuan (inilah kebijaksanaan)”.77

73
KGK, No. 1806.
74
KGK, No. 1807.
75
KGK, No. 1808.
76
KGK, No. 1809.
77
St. Augustine, Mor. Eccl. 1, 25, 46.

47
 Kebajikan-kebajikan manusiawi atau moral yang bersifat kodrati di atas tentu saja
diperoleh melalui pendidikan, latihan, dan ketekunan dalam usaha. Akan tetapi,
karena kodrat manusia sendiri telah dilukai oleh dosa yang membuatnya tidak
mudah untuk melaksanakan dan mempertahankan kebajikan-kebajikan itu secara
seimbang dan maksimal dengan dayanya sendiri, maka diperlukan bantuan rahmat
Allah. Hanya dengan bantuan rahmat Allah, kebajikan-kebajikan kodrati itu dapat
menggembleng watak dan memberi kemudahan bagi manusia dalam melakukan
yang baik dengan gembira. Dalam hal ini, keselamatan yang dikaruniakan oleh
Kristus memberi kita rahmat yang dibutuhkan supaya tabah dalam mengejar
kebajikan. Ini berarti pula bahwa tiap orang mesti selalu memohon rahmat terang
dan kekuatan, mesti mencari bantuan dalam Sakramen-sakramen, mesti
bekerjasama dengan Roh Kudus dan mengikuti ajakanNya untuk mencintai yang
baik dan waspada terhadap yang jahat.78

4.5.2. Kebajikan Teologal atau Kebajikan Ilahi


 Selain kebajikan-kebajikan manusiawi atau kebajikan moral sebagaimana telah diuraikan
di atas, ada juga kebajikan-kebajikan yang disebut kebajikan teologal/kebajikan ilahi.
Kebajikan-kebajikan manusiawi/moral sesungguhnya berakar dalam kebajikan
ilahi/teologal yang memungkinkan kemampuan manusiawi mengambil bagian dalam
kodrat ilahi (Bdk. 2Ptr 1:4; 1Kor 13:13). Karena kebajikan ilahi itu langsung
berhubungan dengan Allah maka kebajikan itu memungkinkan orang Kristen supaya
hidup dalam hubungan dengan Tritunggal Mahakudus. Kebajikan ilahi ini memiliki Allah
Tritunggal sebagai asal, sebab, sekaligus obyek segala kebajikan insani. Ia juga
merupakan dasar, jiwa, dan tanda pengenal tindakan moral orang Kristen, sekaligus
membentuk dan menjiwai semua kebajikan moral. Kebajikan ilahi ini dicurahkan oleh
Allah ke dalam jiwa umat beriman untuk memungkinkan mereka bertindak sebagai anak-
anak Allah dan memperoleh hidup abadi. Kebajikan ilahi ini merupakan jaminan
mengenai kehadiran dan kegiatan Roh Kudus dalam kemampuan manusia.79
 Dalam kekristenan dikenal tiga kebajikan ilahi/teologal, yakni (i) iman; (ii) harapan; (iii)
kasih.
 Iman, adalah kebajikan ilahi, olehnya kita percaya akan Allah dan segala sesuatu
yang telah disampaikan dan diwahyukanNya kepada kita, dan apa yang diajukan
Gereja kudus untuk dipercayai. Karena Allah adalah Kebenaran itu sendiri, maka
dalam iman, “manusia secara bebas menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah”. 80
Karena itu, manusia beriman berikhtiar untuk mengenal dan melaksanakan
kehendak Allah (Bdk. Rm 1:7; Gal 5:6). Anugerah iman tinggal di dalam dia yang
tidak berdosa terhadapnya. Bagaimanapun, “iman tanpa perbuatan adalah mati”
(Yak 2:26). Iman tanpa harapan dan kasih tidak sepenuhnya mempersatukan

78
Bdk. KGK., No. 1810 – 1811.
79
Bdk. KGK., No. 1812-1813.
80
Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum (18 November 1965), dalam: R.
Hardawiryana, SJ. (Penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), Artikel 5. Untuk kutipan
selanjutnya akan disingkat DV diikuti nomor artikelnya.

48
orang beriman dengan Kristus dan tidak menjadikannya anggota yang hidup
dalam TubuhNya.81
Karena itu, para murid Kristus dituntut untuk mempertahankan iman itu dan hidup
darinya, memberikan kesaksian dengan berani dan melanjutkannya. Semua orang
harus “siap-sedia mengakui Kristus di muka orang-orang, dan mengikutiNya
menempuh jalan salib di tengah penganiayaan yang selalu saja menimpa
Gereja”.82 Pengabdian dan kesaksian untuk iman sungguh perlu bagi keselamatan
(Bdk. Mat 10:32-33).83
 Harapan, adalah kebajikan ilahi yang olehya kita rindukan Kerajaan Surga dan
kehidupan abadi sebagai kebahagiaan kita, dengan berharap kepada janji-janji
Kristus dan tidak mengandalkan kekuatan kita, melainkan bantuan rahmat Roh
Kudus (Bdk. Ibr 10:23; Tit 3:6-7). 84 Kebajikan harapan itu sejalan dengan
kerinduan akan kebahagiaan yang telah Allah letakkan di dalam hati setiap
manusia. Ia merangkum harapan yang menjiwai perbuatan manusia:
memurnikannya supaya mengarahkannya kepada Kerajaan Surga; ia
melindunginya terhadap kekecewaan; ia memberi kemantapan dalam kesepian; ia
membuka hati lebar-lebar dalam menantikan kebahagiaan abadi. Semangat yang
diberikan oleh harapan membebaskan manusia dari egoisme dan dan
mengantarnya kepada kebahagiaan cinta-kasih Kristen.85
Harapan Kristen mengambil alih dan memenuhi harapan umat terpilih, yang
memiliki asal dan contohnya dalam harapan Abraham yang diberkati oleh Allah
secara berlimpah melalui janji-janji yang terpenuhi dalam Ishak dan dibersihkan
melalui ujian kurban (Bdk. Kej 17:4-8; 22:1-18; Rom 4:18). 86 Harapan Kristen
dibentangkan langsung pada awal kotbah Yesus dalam Sabda Bahagia, yang
mengarahkan harapan kita ke Surga sebagai tanah terjanji baru, dan menunjukkan
jalan melalui percobaan-percobaan yang dihadapi murid-murid Yesus. Tetapi oleh
jasa Yesus Kristus dan sengsaraNya, Allah mempertahankan kita dalam harapan
(Bdk. Rom 5:5; Ibr 6:19-20). Harapan juga merupakan senjata yang membela kita
dalam perjuangan demi keselamatan kita (Bdk. 1Tes 5:8). Harapan memberikan
kita kegembiraan dalam percobaan sekalipun (Bdk. Rom 12:12). Harapan
mengungkapkan diri dalam dan dikuatkan oleh doa terutama doa Bapa Kami
sebagai kesimpulan dari segala sesuatu yang kita rindukan dalam harapan.87
Dengan demikian, kita dapat mengharapkan kemuliaan Surga yang telah
dijanjikan Allah kepada mereka yang mencintai Dia (bdk. Rom 8:28-30) dan
melakukan kehendakNya (Bdk. Mat 7:21). Dalam tiap situasi kita mesti berharap
81
KGK., No. 1814 – 1815.
82
Bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium (21 November 1964), dalam: R.
Hardawiryana, SJ. (Penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), Artikel 42. Untuk kutipan
selanjutnya akan disingkat LG diikuti nomor artikelnya.
83
KGK., No. 1816.
84
KGK., No. 1817.
85
KGK., No. 1818.
86
KGK., No. 1819.
87
KGK., No. 1820.

49
agar dengan rahmat Allah kita “dapat bertahan sampai akhir” (Bdk. Mat 10:22)
dan mendapat kegembiraan Surga sebagai ganjaran yang diberikan Allah terhadap
perbuatan baik yang dilaksankan dengan rahmat Kristus. Dengan penuh harapan,
Gereja berdoa supaya “semua orang diselamatkan” (1Tim 2:4).88
 Kasih, adalah kebajikan ilahi, dengannya kita mengasihi Allah di atas segala-
galanya demi diriNya sendiri, dan karena kasih kepada Allah, kita mengasihi
sesama seperti diri kita sendiri.89 Yesus membuat kasih menjadi suatu perintah
baru (Bdk. Yo 13:43). Karena Ia mengasihi orang-orangNya “sampai pada
kesudahannya” (Yoh 13:1). Yesus menyatakan kasih yang Ia terima dari
BapaNya. Melalui kasih satu sama lain, para murid mencontohi kasih Yesus yang
mereka terima dari Dia (Bdk. Yoh 15:9, 12).90 Sebagai buah roh dan
penyempurnaan hukum, kasih mematuhi perintah-perintah Allah dan Kristus:
“Tinggallah di dalam kasihKu! Jikalau kamu menuruti perintahKu, kamu akan
tinggal di dalam kasihKu” (Yoh 15:9-10; Bdk. Mat 22:40; Rm 13:8-10). 91 Kristus
telah wafat karena kasih terhadap kita, ketika kita masih sebagai “musuh” (Rm
5:10). Karena itu Tuhan menghendaki agar kita mengasihi “musuh-musuh” kita
menurut teladanNya (Mat 5:44); menunjukkan diri kita sebagai sesama kepada
orang yang terasing (Bdk. Luk 10:27-37); mengasihi anak-anak (Bdk. Mrk 9:37)
dan kaum miskin (Bdk. Mat 25:40.45).92 Gambaran mengenai kasih yang tiada
tandingannya, yang mengatasi semua kebajikan lainnya, dan yang merupakan
kebajikan ilahi yang paling utama dapat kita baca di dalam 1Kor 13:1-7.13. 93 Hal
ini berarti pula bahwa pelaksanaan semua kebajikan lain dijiwai dan digerakkan
oleh kasih. Singkatnya, kasih adalah pengikat, pembentuk, penentu, dan pengatur
semua kebajikan lainnya. Kasih Kristen juga mengamankan dan memurnikan
kekuatan kasih manusiawi kita, meninggikannya sampai kepada kesempurnaan
adikodrati yakni kepada kasih ilahi. 94 Kehidupan moral yang dijiwai oleh kasih
memberikan kepada orang Kristen kebebasan anak-anak Allah. Di hadapan Allah,
orang Kristen tidak lagi bersikap sebagai seorang hamba dengan ketakutan yang
merendahkan dan juga bukan sebagai sebagai seorang buruh harian yang ingin
dibayar, melainkan sebagai seorang anak yang memberikan jawaban kepada kasih
dari Dia yang telah “lebih dahulu mengasihi kita” (1Yoh 4:19). 95 Akhirnya, buah-
buah kasih adalah kegembiraan, perdamaian, dan kerahiman. Kasih menghendaki
kemurahan hati dan teguran persaudaraan; ia adalah perhatian yang ingin
memberi dan menerima, tanpa pamrih dan murah hati. Kasih adalah persahabatan
dan persekutuan.96
88
KGK., No. 1821.
89
KGK., No. 1822.
90
KGK., No. 1823.
91
KGK., No. 1824.
92
KGK., No. 1825.
93
Bdk.KGK., No. 1826.
94
Bdk.KGK., No. 1827.
95
KGK., No. 1828.
96
KGK., No. 1829.

50
 Demikianlah, dalam Kekristenan dikenal dua macam kebajikan yakni kebajikan
manusiawi/moral yang terdiri atas empat kebajikan utama/pokok/kardinal, dan kebajikan
ilahi/teologal yang terdiri atas tiga yakni iman, harapan, dan kasih. Dalam sejarah
kekristenan, ada tendensi untuk menyatukan semua kebajikan yang terdapat di dalam diri
orang beriman, dan karena itu dikenal dengan tujuh kebajikan (kebijaksanaan, keadilan,
keberanian,kesederhaan/penguasaan diri; iman, harapan, dan cinta-kasih). Namun
bagaimanapun, kebajikan ilahi/teologal tetap dipandang sebagai kebajikan yang
membentuk sekaligus menjiwai semua kebajikan moral/manusiawi.

4.6. Anugerah dan Buah-buah Roh Kudus

4.6.1. Anugerah atau Karunia Roh Kudus

 Selain kebajikan ilahi/teologal, dalam diri orang-orang Kristen terdapat juga


anugerah/karunia-karunia Roh Kudus, yang ikut menopang kehidupan moral orang-orang
Kristen. Anugerah/karunia-karunia ini merupakan sikap yang tetap, yang
mencondongkan manusia supaya mengikuti dorongan Roh Kudus.
 Dasar dari anugerah/karunia Roh Kudus ini adalah Allah sendiri, yang sangat penting dan
perlu untuk keselamatan manusia. Anugerah-anugerah ini dibutuhkan saat kebajikan-
kebajikan Kristen tidak/belum dihayati sebagai suatu kebiasaan.
 Menurut Kitab Suci, ada tujuh anugerah/karunia Roh Kudus yang dicurahkan ke dalam
diri kaum beriman, yang sering disebut Sapta (Tujuh) Karunia, yakni: (i) kebijaksanaan;
(ii) pengertian; (iii) nasihat; (iv) keperkasaan; (v) pengenal; (vi) kesalehan; dan (vii) rasa
takut kepada Allah. Dalam seluruh kepenuhannya, karunia-karunia roh ini adalah milik
Kristus, Putera Daud (Bdk. Yes 11:1-3). Karunia-karunia ini melengkapkan dan
menyempurnakan kebajikan dari mereka yang menerimanya, dan membuat umat beriman
siap mematuhi ilham ilahi dengan sukarela.97

4.6.2. Buah-buah Roh

 Buah-buah Roh merupakan kesempurnaan yang dihasilkan oleh Roh Kudus di dalam diri
kaum beriman sebagai buah-buah sulung kemuliaan abadi.
 Tradisi Gereja menyebutkan dua belas macam buah Roh, yakni: (1) kasih; (2) sukacita;
(3) damai sejahtera; (4) kesabaran; (5) kemurahan; (6) kebaikan; (7) kesetiaan; (8)
kelemah-lembutan; (9) penguasaan diri; (10) kerendahan hati; (11) kesederhanaan; (12)
kemurnian.98

97
KGK., No. 1831.
98
KGK., No. 1832.

51
Tugas

 Sebagai latihan dan evaluasi terhadap materi bahasan dalam Bab IV di atas, maka
mahasiswa-mahaiswi diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan “organisme spiritual”?


2. Jelaskan hubungan antara “jiwa” dan “roh” dalam diri manusia!
3. Apakah “jiwa” manusia merupakan bagian dari organisme spiritual? Jelaskan!
4. Jelaskan konsep biblis Kristen mengenai “Rahmat”! (Bdk. MK Anropologi Teologis, Bab
V).
5. Apa itu Rahmat Pengudusan, dan bagaimana hubungannya dengan Rahmat Pembenaran?
Jelaskan!
6. Apa itu Rahmat Aktual, dan bagaimana hubungannya dengan Rahmat Habitual?
Jelaskan!
7. Jelaskan efek atau buah-buah rahmat!
8. Apa yang dimaksud dengan Kebajikan/Keutamaan?
9. Jelaskan jenis-jenis Kebajikan/Keutamaan dalam diri orang-orang Kristen!
10. Jelaskan anugerah-anugerah serta buah-buah Roh (Kudus) dalam hidup manusia!
 Catatan:
 Untuk mengerjakan tugas ini, gunakan juga referensi atau sumber-sumber bacaan
pribadi lain (selain materi perkuliahan yang telah disajikan di atas), untuk
menambah wawasan anda.
 Tugas ini dikumpulkan paling lambat sehari sebelum pertemuan berikutnya.
 Tugas ini bisa dikumpulkan secara online via e-mail ataupun secara
langsung/manual/offline.
 Alamat e-mail dosen pengampu mata-kuliah: hironimuspakaenoni@yahoo.com
atau pakaenoni69hironimus@gmail.com

52
BAB V

KESEMPURNAAN HIDUP KRISTIANI

5.1. Dasar Biblis

 Panggilan universal umat Allah kepada kesempurnaan dan kekudusan merupakan ajaran
khas baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. “Jadilah kudus, sebab Aku ini
kudus” (Im 11:45; 19:2), demikian bunyi perintah kitab Imamat di dalam Perjanjian
Lama.
 Di dalam Perjanjian Baru, perintah ini memiliki paralelismenya dalam ajakan Kristus,
“Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna” (Mat
5:48). Selanjutnya kita akan mencoba menyimak apa yang disimpulkan dari kedua
perintah di atas.

5.1.1. Perjanjian Lama

 Kata Ibrani yang umumnya digunakan untuk melukiskan kesempurnaan manusiawi


adalah tom, tam, tamim.99 Arti utamanya adalah ketidakberdosaan, keutuhan,
ketidakbercelaan. Perlu diingat bahwa Perjanjian Lama tidak mengenakan atribut atau
sifat kesempurnaan pada Allah. Alasannya, Allah adalah kudus, dan hal itu hendak
mengatakan bahwa Dia sama sekali lain dari makhluk ciptaan. Singkatnya, orang tidak
pernah melukiskan Allah sebagai yang “sempurna”. Karena itu, bila Perjanjian Lama

99
Karl-Heinz Peschke, SVD., Etika Kristiani Jilid I: Pendasaran Teologi Moral, dalam: Alex Armanjaya, dkk.
(Penerj.), (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), hlm. 403.

53
berbicara tentang kesempurnaan karya Allah (Ul 32:4), hukumNya (Mzm 19:8), dan
jalan-jalanNya (2Sam 22:31), pelukisan itu tetap berada di dalam kerangka pemikiran di
atas.
 Ketika Allah Mahasuci memilih suatu bangsa, maka bangsa tersebut menjadi suci, yang
berarti ditahbiskan bagi Allah dan dipisahkan dari dunia profan. Sekaligus di dalamnya
terbersit tantangan akan kesempurnaan (Im 11:44-45; Ul 7:6). Apa yang telah ditahbiskan
untuk Allah harus sempurna, tanpa salah dan cacat. Kesempurnaan yang dituntut dari
manusia terkandung di dalam integritas religius dan moral. Yahweh ingin penyembahan
dengan hati utuh, dengan ketulusan dan kesetiaan (Ul 6:5; 10:12; 1Raj 8:61).
 Seorang Israel yang saleh harus menjadi milik Tuhan dengan segenap hati, bebas dari
penyembahan berhala, magi atau praktek-praktek najis lainnya (Ul 18:9-14). Tentang
Nuh misalnya dapat kita baca: “Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di
antara orang-orang sezamannya; dan Nuh hidup bergaul dengan Allah” (Kej 6:9; Bdk. Sir
44:17). Contoh kehidupan yang layak menjadi panutan dilukiskan dengan perkataan:
Seorang yang tulus hati, yang takut akan Allah, menjalankan “hidup yang tidak bercela”
(Mzm 101:2,6; Bdk. Ams 11:20; 20:7; 28:18); “tempuhlah jalan orang baik”, tinggal di
atas jalan-jalan orang benar dan bersikap jujur adalah hal yang sama (Bdk. Ams 2:20-21).
 Berdasarkan perjanjian maka pertama-tama diharapkan dari pihak manusia kesediaan
untuk mematuhi perintah-perintah Allah dan melayaniNya dengan segenap hati.
“Lakukanlah dengan sangat setia perintah dan hukum yang diperintahkan kepadamu oleh
Musa, hamba Tuhan itu, yakni mengasihi Tuhan Allahmu, hidup menurut segala jalan
yang ditunjukkanNya, tetap mengikuti perintahNya, berpaut padaNya dan berbakti
kepadaNya dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu” (Yos 22:5; Bdk. Bil
15:40; Ul 10:12; 11:13).
 Secara khusus perintah penyerahan diri yang utuh dan sepenuhnya kepada Allah
termaktub di dalam perintah cinta-kasih terhadap Allah: “Kasihilah Tuhan Allahmu,
dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”
(Ul 6:5). Cinta tersebut adalah keterlibatan seluruh pribadi. Cinta itu menuntut
penyerahan diri secara utuh dan tuntas kepada pelayanan terhadap Allah. Singkatnya,
yang dituntut adalah cinta yang utuh dan sempurna.
 Secara biblis, pemikiran tentang kesempurnaan seringkali terkait dengan ide tentang
“jalan” atau “berjalan”. Tuntutan untuk “berjalan dengan penuh rendah hati bersama
Allah” adalah ungkapan yang paling lantang yang menunjuk pada etos perjanjian di
dalam Perjanjian Lama. Dalam ungkapan itu tersirat kenangan akan eksodus, ketika
Israel bersama Yahweh menempuh jalan yang, tidak saja menuju ke negeri terjanji, tetapi
juga ke dalam sejarahnya. Karena itu, kita turut menyaksikan perjalanan tersebut ketika
kita menjumpai ucapan: “Nuh menempuh jalannya bersama Allah [= Nuh hidup bergaul
dengan Allah]” (Kej 6:9; Mal 2:6); “menempuh jalanNya [= hidup menurut jalan yang
ditunjukkanNya]” (Ul 19:9; 28:9; Mzm 81:14); atau “menempuh jalan di hadapan
Yahweh [= hiduplah di hadapanKu]” (Kej 17:1; 48:15; 1Raj 9:4). Hal ini berarti bahwa
manusia menjadi sempurna manakala dia berjalan bersama Allah atau menempuh jalan
Allah, serta mengelakkan jalan yang berdosa dan yang menjauhkan seseorang dari Allah.

54
Berdasarkan titik pijak ini, eksistensi manusia memperoleh kualitas dinamis dan
keterbukaan di hadapan Allah bagi masa depan.
 Sebagai kesimpulan, dapat kita katakan bahwa konsep kesempurnaan di dalam Perjanjian
Lama adalah sembah bakti dengan segenap hati kepada Allah dengan menaati perintah-
perintahNya dengan cinta yang setia dan tidak terbagi. Ideal tersebut berlaku bagi bangsa
terpilih Israel yang telah mengikat perjanjian dengan Allah. Karena itu, ideal tersebut
memiliki ciri universal dan dimaksudkan sebagai tujuan yang bisa dan harus didambakan
setiap anggota bangsa terjanji.

5.1.2. Perjanjian Baru

 Di dalam Injil, hanya terdapat dua teks di mana Yesus secara gamblang berbicara tentang
kesempurnaan. Pertama, di dalam Kotbah di Bukit tertera tuntutan: “Karena itu, haruslah
kamu sempurna sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna” (Mat 5:48; Bdk.
1Ptr 1:16). Karena logion100 sebelumnya berisi imbauan untuk mencintai sesama dengan
segenap hati dan bahkan mencintai musuh menurut contoh Bapa di surga yang
menerbitkan matahari dan menurunkan hujan bagi orang baik dan jahat, maka kita dapat
mengatakan bahwa kesempurnaan yang seharusnya dimiliki murid Yesus terutama
merupakan cinta yang tulus yang diukur menurut pribadi Allah. Seberapa jauh cinta
tersebut melebihi takaran normal terlihat dalam kenyataan bahwa cinta tersebut juga
mencakup para musuh.
 Teks yang lain adalah perikop tentang orang muda yang kaya (Mat 19:16-24).
Kesempurnaan dalam perikop ini menambahkan pada konsep kesempurnaan di dalam
Perjanjian Lama aspek mengikuti Yesus dengan segenap hati, yang bahkan membuat
manusia melepaskan segala harta miliknya. Sebagaimana telah disinggung di atas, orang
kerap membuat kesimpulan bahwa di dalam perikop ini Yesus membedakan antara dua
model kehidupan kristiani. Pertama, hidup menurut perintah itu sendiri yang cukup untuk
mencapai kehidupan kekal, meskipun tidak cukup untuk persahabatan yang akrab dengan
Allah. Kedua, status kesempurnaan yang bersifat fakultatif dan diperuntukkan bagi jiwa-
jiwa yang tulus. Namun tafsiran seperti ini menghadapi kesulitan bahwa dalam
keseluruhan ajaran Kitab Suci, kesempurnaan dilihat sebagai tujuan yang diharapkan
dimiliki oleh semua orang, tanpa kecuali. Selain itu, orang muda yang tidak mau
melepaskan kekayaannya membahayakan keikutsertaannya di dalam Kerajaan Allah (Mat

100
Istilah  logion (bentuk jamak bahasa Yunani: λόγιον), atau bentuk tunggalnya logia (bahasa Yunani: λόγια),
digunakan dalam berbagai naskah kuno dan kesarjanaan modern sebagai referensi untuk komunikasi asal ilahi.
Dalam konteks pagan/kafir, makna utamanya adalah "orakel", sementara naskah-naskah Yahudi dan Kristen
menggunakan logia sebagai rujukan terutama pada "Kitab Suci yang diilhami secara ilahi". Kejadian terkenal dan
banyak diperdebatkan dalam istilah ini adalah dalam kisah Papias dari Hierapolis tentang asal-usul Injil kanonik.
Sejak abad ke-19, para ahil Perjanjian Baru cenderung menggunakan istilah logion untuk firman Ilahi, khususnya
yang diucapkan oleh Yesus, berbeda dengan narasinya, dan untuk menyebut kumpulan firman seperti itu,
sebagaimana dicontohkan oleh Injil Thomas, logia. Khusus dalam konteks kutipan di atas, yang dimaksud dengan
logion adalah kumpulan Sabda Bahagia yang diucapkan Yesus atau yang lazim disebut “Kotbah di Bukit”.

55
19:23-24). Karena itu, tampak bahwa untuk orang muda yang kaya tersebut, menaati
perintah-perintah tidak begitu saja cukup untuk mencapai kehidupan kekal.101
 Jelas bahwa tidak semua orang dipanggil untuk hidup menurut nasihat Injil. Tuntutan
untuk hidup miskin sebagai murid yang dekat dengan Yesus sebagaimana diminta dari
orang muda tersebut adalah suatu panggilan khusus. Sedangkan perhatian mendalam
terhadap perintah-perintah yang disebutkan Yesus merupakan syarat universal dalam
mencapai kehidupan kekal. Dan dalam hal ini, setiap dan semua orang diharapkan untuk
memenuhinya. Akan tetapi, setiap orang masih memiliki panggilan personal selaras
dengan karunia individualnya. Untuk sejumlah orang Kristen, panggilan khusus terwujud
dalam kehidupan menurut tiga nasihat Injil (taat, hidup miskin, dan selibat), sementara
untuk orang lain mengikuti nasihat yang lain, dan untuk orang lain lagi melalui
pernikahan dan sebagainya. Dari perikop tentang anak muda yang kaya di atas kita dapat
menyimpulkan aturan universal bahwa setiap orang harus mengikuti Yesus dengan rela
hati, dan melepaskan segala harta yang menjadi rintangan baginya dalam mencapai
kesempurnaan yang sesuai dengan panggilannya.
 Teks lain yang memiliki peran sentral bagi pemahaman mengenai kesempurnaan di
dalam Injil adalah perintah utama cinta-kasih sebagaimana telah dikemukakan di dalam
Perjanjian Lama, namun yang kini diperluas dan dilengkapi dengan cinta terhadap
sesama. Perintah untuk mencintai Allah dengan segenap hati dan mencintai sesama
seperti diri sendiri meringkaskan seluruh hukum. Dengan kata lain, perintah cinta-kasih
itu adalah kepenuhan hukum (Mat 22:37-40; Bdk. Mrk 12:30-31; Luk 10:27-28).
Meskipun di dalam teks-teks ini ungkapan “kesempurnaan” itu tidak dicantumkan secara
eksplisit, namun rumusannya menuntut tidak kurang dari cinta sempurna.
 Menurut Yohanes, cinta terhadap Allah dan Kristus terlihat di dalam ketaatan terhadap
perintah-perintah, terutama perintah baru yakni cinta-kasih yang kini diperluas dengan
cinta terhadap sesama menurut contoh Kristus. “Barangsiapa memegang perintahKu dan
melakukannya, dialah yang mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh BapaKu dan Aku pun
akan mengasihi dia dan akan menyatakan diriKu kepadanya” (Yoh 14:21; Bdk. 14:15,23-
24; 15:10). Surat Pertama Yohanes melengkapi konsep Injil dan menandaskan bahwa
kesempurnaan cinta terhadap Allah terlihat pada ketaatan terhadap perintahNya. Siapa
saja yang setia dan tunduk pada hukum Allah dan “menuruti firmanNya, di dalam orang
itu sungguh sudah sempurna kasih Allah” (1Yoh 2:5). Dan “jika kita saling mengasihi,
Allah tetap di dalam kita, dan kasihNya sempurna di dalam kita” (1Yoh 4:12). Dengan
itu, Yohanes melanjutkan ajaran Perjanjian Lama menyangkut sikap mengindahkan
perintah-perintah Allah sebagai jalan menuju kesempurnaan, namun dia sekaligus
melampaui ajaran itu dengan memberikan penekanan terhadap perintah baru cinta-kasih
menurut teladan Kristus sebagai gambaran dan ukuran cinta. “Sama sepertiAku telah

101
Dengan ini tepatlah kalimat di dalam teks parallel Mrk 10:21 dan Luk 18:22. Sebagai ganti frase kalimat Injil
Matius, “…jikalau engkau hendak sempurna….”, maka di dalam Mrk 10:21 dan Luk 18:22 ditempatkan rumusan,
“…hanya satu lagi kekuranganmu….”. Di sini, “satu lagi kekuranganmu” adalah kebebasan batin berhadapan
dengan kekayaan; sebuah kebebasan yang sebenarnya memungkinkan orang muda tersebut untuk mengikuti Kristus
tanpa syarat.

56
mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi” (Yoh 13:34; Bdk. 1Yoh
2:6).
 Di sini, sebagaimana juga di dalam teks-teks lain, pribadi Yesus Kristus sendiri yang
sejarah hidupNya merupakan isi Injil, menjadi wahyu baru tentang makna kesucian.
Dengan berkali-kali menuntut untuk mengikat jalinan cinta denganNya, kesucian menjadi
tugas bagi semua orang Kristen (Bdk. Mat 10:38 par; Yoh 12:26; 13:15, 34). “Ceritera-
ceritera seputar dan tentang Yesus memperlihatkan dengan gamblang bagaimana wujud
sebuah kehidupan yang dibaktikan sepenuhnya bagi Allah. Ceritera-ceritera tersebut
menunjukkan bagaimana seluruh kehidupan satu pribadi menjadi jawaban atas karunia
cinta Allah”.102 Kehidupan yang muncul dari sana bukan pertama-tama berkutat dengan
kesempurnaan diri dan altruisme humanistis, melainkan berkaitan dengan kemuliaan
Allah dan komitmen dalam pelayanan terhadap KerajaanNya.
 Untuk rasul Paulus juga, kehendak Allah terutama diarahkan kepada kesempurnaan:
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan
budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik,
yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm 12:2). Seorang Kristen yang
berjangkar pada iman harus bertumbuh melampaui kekanak-kanakannya; dia harus
mencapai “kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan
Kristus” (Ef 4:13). Paulus tahu bahwa kesempurnaan merupakan suatu tujuan yang ada di
hadapannya yang belum digapai, baik oleh dirinya maupun oleh umat Kristen. “Bukan
seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku
mengejarnya kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap
oleh Yesus Kristus” (Flp 3:12). Dan Paulus ingin agar jemaatnya juga membatini dengan
cara yang sama dan tetap berjuang mengejar tujuan kepenuhan manusia di dalam Kristus
(Bdk. Flp 3:14-15; Kol 1:28-29; 4:12).
 Surat kepada Orang Ibrani memahami kehidupan kristiani sebagai kehidupan seorang
peziarah bersama Yesus dan kepada Yesus, ke surga. “Marilah kita….berlomba dengan
tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan
mata yang tertuju kepada Yesus yang memimpin kita dalam iman dan yang membawa
iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr 12:1-2). Dalam hal ini, kesempurnaan dilihat
sebagai tujuan, dan semua orang Kristen selama hidupnya berusaha mencapainya
bersama Kristus.

5.2. Hakekat Kesempurnaan

 Penyelidikan biblis di atas menyodorkan kepada kita pelbagai aspek dari konsep tentang
kesempurnaan. Kesempurnaan dilihat sebagai pelayanan dan kebaktian kepada Allah
dengan segenap hati; ketaatan penuh setia terhadap perintah Allah; cinta penuh
pengorbanan kepada sesama dan kesediaan untuk menjadi murid yang akrab dengan
Yesus.

102
R.M. Gula, Reason Informed by Faith (New York: Paulist Press, 1989), p. 186.

57
 Refleksi teologis terus mengembangkan konsep kesempurnaan dalam terang tujuan akhir
manusia dan opsi fundamental demi tujuan itu. Di bawah aspek ini kita dapat
mendefinisikan kesempurnaan sebagai perwujudan paling konsekuen yang dapat timbul
dari keputusan tulus untuk memihak kehendak Allah yang kreatif dan menyelamatkan.
 Keputusan memihak kehendak Allah berarti jawaban “ya” seorang pribadi terhadap
Allah, dengan menghayati dan membatini rencana Allah bagi ciptaan secara menyeluruh,
dan untuk manusia serta setiap pribadi secara khusus. Karena itu, konsep kesempurnaan
dapat digambarkan sebagai pelayanan penuh komitmen dan segenap hati demi kemuliaan
Allah yang lebih besar, demi pembangunan Kerajaan Kristus dan kesejahteraan sesama.
Akhirnya kesempurnaan adalah pengembangan penuh setiap kemampuan dan pelbagai
karunia dalam diri pribadi, yang dibutuhkan untuk mewujudkan panggilan Allah. Semua
aspek dan dimensi ini terkandung di dalam keputusan untuk memihak kehendak Allah.
Aspek-aspek dan dimensi tersebut akan dijaga, dikembangkan, dan diwujudkan dalam
satu kehidupan yang mengarah kepada kesempurnaan.
 Kesempurnaan adalah satu tujuan yang harus dicapai melalui upaya juang oleh seorang
Kristen, karena sebagai tujuan, kesempurnaan itu tidak dimilikinya sejak awal. Santo
Paulus pun mengatakan bahwa dia sendiri belum mencapai kesempurnaan sehingga dia
tetap mengejarnya (Flp 3:12-14). Karena itu, orang tidak boleh mengharapkan bahwa
dirinya atau orang lain dapat dalam waktu singkat mencapai kesempurnaan; orang juga
tidak boleh putus asa manakala dia berbenturan dengan kegagalan dan
ketidaksempurnaan. Pada kenyataannya, itulah kondisi normal kehidupan manusia. Kita
patut cemas apabila seorang berhenti untuk berharap dan tidak lagi berikhtiar
memperjuangkan kemajuan dan perkembangan secara permanen. Namun selama
seseorang berlangkah maju di jalan kesucian, dia tetap setia pada panggilan kepada
kesempurnaan, juga kalau dia sesungguhnya masih jauh tertinggal di belakang ideal
tersebut. Karena itu, panggilan menuju kesempurnaan harus dipahami secara dinamis dan
bukan statis; itu berarti tidak berharap bahwa manusia sudah sempurna kini dan di sini,
tetapi bahwa dia tetap merindukan dan mengejar tujuan. Kewajibannya adalah
mengambil langkah – saat ini dan di sini – yang selaras dengan pertumbuhan dan
kemampuan moralnya.
 Lebih jauh kesempurnaan dilukiskan secara dinamis dalam arti bahwa manusia harus
terus mewujudkan kebajikan dalam bentuk tugas-tugas baru, juga kalau ia telah mencapai
ciri kedewasaan. Dia harus berikhtiar untuk tetap terbuka terhadap tuntutan-tuntutan
zaman yang baru. Berangkat dari titik tolak ini, kita - selaras dengan Kitab Suci – dapat
secara tepat melukiskan kehidupan manusia sebagai yang “berjalan” di jalan Allah dan
bersama Allah.
 Patut kita catat bahwa kekudusan bukan terutama hasil dari suatu teknik. Kesulitan yang
muncul dari “bahasa pertumbuhan dan kemajuan di dalam kehidupan kristiani adalah
bahwa pertumbuhan dan kemajuan itu sangat mudah dipahami dalam arti moralistik
dengan pengandaian bahwa keseringan mekanistis melakukan tindakan demi tindakan
membuat kita merasa semakin baik”.103 Pertumbuhan dalam hal kesucian terkandung

103
S. Hauerwas, Character and the Christian Life (San Antonio: Trinity University, 1985), pp. 218-219.

58
dalam hubungan yang semakin mendalam dengan semangat Kristus sebagai sumber dan
ilham bagi perilaku dan pandangan hidup suatu pribadi. “Ikhwal dibentuk baru, disucikan
di dalam Kristus berarti berusaha untuk membawa setiap unsur karakter kita ke dalam
kiblat dominan tersebut. Kita mempertahankan integritas kita manakala semua yang kita
yakini, yang kita lakukan atau tidak lakukan, kita perbuat dalam rangka kesetiaan kita
pada Allah”.104
 Kesucian akhirnya bukan urusan privat semata. Pada tempat pertama, kesucian adalah
anugerah rahmat yang diperantarai Gereja sebagai persekutuan umat Allah. Karena Allah
berkenan “menguduskan dan menyelamatkan orang-orang, bukannya satu per satu tanpa
hubungan satu dengan lainnya. Namun Ia hendak membentuk mereka menjadi umat yang
mengakuiNya dalam kebenaran dan mengabdi kepadaNya dengan suci”. 105 Karena itu,
Allah memilih bangsa Israel sebagai umatNya dan menguduskannya untuk pelayanan
bagiNya. Hal ini terjadi sebagai persiapan atas perjanjian yang sempurna di dalam
Kristus yang telah membangun Gereja sebagai umat Allah yang baru. Kekudusan
individual adalah keikutsertaan di dalam kekudusan Gereja yang diterimanya dari Allah
melalui Gereja. Karena itu, setiap orang yang menjadi anggota Gereja dari dalam dirinya
telah dikuduskan. Namun tetap menjadi tugas pribadi setiap orang untuk menghayati dan
mengamalkan kekudusan eksistensial itu dalam kehidupan konkret harian. Karunia Allah
dalam rupa rahmat yang menguduskan harus terwujud dan dikembangkan di dalam
dambaan akan kesempurnaan.

5.3. Universalitas Panggilan kepada Kesempurnaan

 Panggilan universal menuju kekudusan dan kesempurnaan menjadi pusat perhatian


Lumen Gentium: “Semua orang beriman, dalam keadaan dan status manapun juga,
dipanggil oleh Tuhan untuk menuju kesucian yang sempurna seperti Bapa sendiri
sempurna, masing-masing melalui jalannya sendiri. Seluruh anggota umat Allah sama-
sama memperoleh rahmat para putra, sama-sama memiliki panggilan kepada
kesempurnaan, kendati tidak semua menempuh jalan yang sama dalam mendambakan
tujuan akhir tersebut”.106 Bapa-bapa Konsili tidak puas dengan hanya memberikan
penjelasan singkat, tetapi mempersembahkan satu bab khusus dalam Lumen Gentium
untuk tema besar itu, yang diberi judul, “Panggilan Umum Untuk Kesucian Di Dalam
Gereja”.107 Mereka yakin bahwa “Dengan kesucian hidup yang dikerjakan dan
dipenuhiNya sendiri, [Tuhan Yesus, Guru dan Teladan ilahi segala kesempurnaan]
mewartakan [kesempurnaan] kepada semua dan masing-masing muridNya,
bagaimanapun juga corak hidup mereka”.108
104
Ibid., pp. 222-223.
105
Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, “Lumen Gentium”, dalam: R. Hardawiryana, S.J.,
Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), Artikel 9. Untuk kutipan selanjutnya akan disingkat LG diikuti
nomor artikelnya.

106
LG., Art. 32.
107
LG., Bab V, Art. 39-42.
108
LG., Art. 40.

59
 Alasan penekanan ini harus dicari di dalam ajaran dan tafsiran teologi masa lampau, yang
membedakan antara kehidupan biasa Kristen yang menghayati kehidupan menurut
perintah-perintah tanpa tuntutan yang lebih tinggi, dan jiwa yang lebih mulia yang
melakukan lebih daripada kewajiban mereka dan mengikuti panggilan Kristus menuju
kepada kesempurnaan. Terutama kehidupan biara menurut tiga nasihat Injil dan
kehidupan selibat seorang imam dikatakan merupakan perwujudan dari sikap sempurna
dalam mengikuti Yesus Kristus; sementara kaum awam di dunia merupakan orang
Kristen biasa yang hanya menjalankan suatu kehidupan menurut perintah-perintah (cinta-
kasih). Hal ini berdampak pada penekanan berlebihan terhadap status biarawan-biarawati
dan imam di dalam Gereja di satu pihak, serta penilaian yang agak melecehkan panggilan
kaum awam, di lain pihak. Kekurangan ajaran teologis dan asketis ini secara jelas
dirasakan oleh Konsili Vatikan II dan yang karena itu juga mau dikoreksi.
 Di luar teks kontroversial tentang anak muda yang kaya (Mat 19:16-24)., tak pelak lagi
bahwa panggilan Injil kepada kesempurnaan selalu didengungkan kepada anggota umat
terpilih dan persekutuan Kristen. Setiap anggota dituntut untuk mengasihi Allah dengan
segenap hati, mencintai sesama seperti diri sendiri, dan menjadi sempurna di dalam
cintanya (Mat 5:48; 22:3-40 par; 1Yoh 2:5). Semua orang Kristen diperingatkan untuk
hidup “sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus” (Ef 5:3).
 Pandangan teologis juga bermuara pada kesimpulan yang sama. Allah telah menciptakan
manusia, mewahyukan kemuliaanNya di dalam dan melalui dia. Allah menghendaki
bahwa manusia menjadi mitra kerja di dalam rencana keselamatanNya. Karena tugas ini
merupakan dasar sesungguhnya eksistensi manusia maka manusia harus benar-benar
menghayatinya. Manusia mewujudkan tugas tersebut dengan segenap kemampuan yang
dimilikinya sejauh dia dapat dan sebagai pelayan setia Allah. Hal ini tentu saja tidak
hanya berlaku bagi orang Kristen melainkan bagi semua manusia yang dipanggil untuk
menyelesaikan karya penciptaan dan penebusan.
 Perintah utama untuk mengasihi Allah dan sesama memang diwahyukan secara paling
gamblang di dalam Alkitab; akan tetapi, di luar wahyu kristiani pun manusia mampu
memperoleh pengetahuan itu. Cinta yang tulus dan sejati tidak mengenal batas, tetapi
selalu berusaha melakukan semua hal yang baik sejauh kemampuannya. Menurut Santo
Thomas Aquinas, perintah cinta-kasih “tidak mengenal batas-batas sehingga orang dapat
mengatakan bahwa kadar cinta tertentu merupakan perintah; sedangkan kadar yang lebih
besar yang melampaui batas perintah hanya dianjurkan. Sebaliknya, setiap orang
mendapat tugas untuk mencintai Allah sejauh kemampuannya”.109 Dengan kedewasaan
intelektual, psikologis, dan religius yang senantiasa berkembang pada seorang manusia,
cinta yang semakin sempurna patut diharapkan darinya.
 Konstitusi dogmatis tentang Gereja melihat bahwa panggilan manusia kepada
kesempurnaan terutama berlandas pada pengudusan eksistensial melalui rahmat Allah.
Allah menghendaki agar semua manusia dikuduskan oleh RohNya dan mengambil bagian
di dalam kodrat ilahi. “Para pengikut Kristus dipanggil oleh Allah bukan berdasarkan
perbuatan mereka, melainkan berdasarkan rencana dan rahmatNya. Mereka dibenarkan
109
St. Thomas Aquinas, Contra retrahentes, Kap. VI; dalam: P. Mandonnet (Ed.), Opuscula omnia IV (Paris:
1927), p. 276.

60
dalam Tuhan Yesus, dan dalam baptis iman, sungguh-sungguh dijadikan anak-anak Allah
dan ikut-serta dalam kodrat ilahi, maka sungguh menjadi suci. Maka dengan bantuan
Allah, mereka wajib mempertahankan dan mengembangkan dalam hidup mereka
kesucian yang telah mereka terima”.110
 Panggilan kepada kekudusan ditujukan kepada semua orang, namun ada pelbagai jalan
yang berbeda menuju kesempurnaan tersebut. Setiap orang menerima rahmat dalam
kadar tertentu. Allah memberikan kepada setiap orang aturan hidup, selaras dengan tugas
yang telah ditetapkan baginya dalam rencana ilahi Sang Pencipta dan karya
penyelamatanNya. Dengan kata lain, setiap orang memiliki panggilannya sendiri. Konsili
Vatikan II menegaskan bahwa “masing-masing menurut karunia dan tugasnya sendiri
wajib melangkah tanpa ragu-ragu menempuh jalan iman yang hidup, yang
membangkitkan harapan dan mewujudkan diri melalui cinta-kasih”.111
 Pewujudan individual dari panggilan bersama menuju kesucian bergantung dari karunia-
karunia personal dalam tatanan kodrati dan rahmat, lebih jauh dari situasi konkret
kehidupannya serta dari tuntunan pribadi oleh Roh Kudus. Untuk menemukan panggilan
sejatinya, manusia harus waspada dan terbuka terhadap panggilan rahmat di dalam hati.
Suatu kehidupan di bawah “hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan
orang” (Yak 1:25; 2:12), menuntut penyerahan diri terhadap Roh Kristus dan kerelaan
mengikuti tuntunanNya dengan sikap terbuka.

5.4. Jalan Menuju Kesucian atau Kesempurnaan

 Ketika berbicara mengenai cara-cara atau jalan mencapai kesucian, Konsili Vatikan II
menandaskan bahwa karunia pertama dan paling perlu adalah “cinta-kasih”. Cinta-kasih
harus dipelihara dan ditumbuhkembangkan. “Akan tetapi, supaya cinta jatuh bagaikan
benih baik yang bertunas dalam jiwa dan menghasilkan buah, setiap orang beriman wajib
mendengarkan sabda Allah dengan suka hati, dan dengan bantuan rahmatNya,
melaksanakan kehendakNya dengan tindakan nyata. Ia wajib sering menerima sakramen-
sakramen, terutama Ekaristi, dan ikut-serta dalam perayaan liturgi, pun juga dengan tabah
berdoa, mengingkari diri, melayani sesama secara aktif, dan mengamalkan segala
keutamaan”.112
 Kesucian bukan sekadar tidak berbuat dosa. Pada tempat pertama, kesucian adalah cinta-
kasih kreatif dalam melayani Kerajaan Allah. “Kita dapat katakan bahwa kesucian kita
selaras dengan kemampuan kita untuk mengabdi sebagai sarana kasihNya dalam
mendirikan KerajaanNya dan dalam membangun Tubuh MistikNya”. 113 Kasih sebagai
unsur utama kesucian menuntut kerelasediaan untuk berbela rasa dengan mereka yang
malang dan tersisihkan, dengan cara yang efisien. Pelaksanaan cinta sesama yang
dangkal dan setengah hati membuat “sejumlah orang Kristen untuk menjalankan tindakan

110
LG., Art. 40.
111
LG., Art. 41.

112
LG., Art. 42.
113
Thomas Merton, Heilig in Christus (Freiburg: Herder, 1965), p. 102.

61
belas kasih sekadar sebagai perbuatan simbolis. Cinta sesama macam ini tidak efektif,
tidak membantu orang miskin”.114 Seorang murid harus memahami makna terdalam kasih
yang dihayati Kristus, agar dapat memahami kedalaman kesempurnaan kristiani.
 Lebih jauh, karena kesucian menuntut keterbukaan penuh waspada bagi panggilan rahmat
dan tuntunan Roh Kudus, maka kesucian mengandaikan semangat doa. Seluruh
kehidupan kristiani hendaknya menjadi sikap mendengar penuh tulus atas undangan dan
panggilan Allah. Semangat doa mencakup renungan terhadap Sabda Allah di dalam
Alkitab, partisipasi aktif di dalam kehidupan liturgis dan sakramen-sakramen Gereja.
Sakramen-sakramen merupakan tanda mistis, di dalamnya Allah berkarya dan
menggerakkan hati dan seluruh indra kita, untuk menanggapi karya Allah di dalam hidup
kita. “Kita belajar untuk menjadi murid ketika orang lain mendorong kita untuk menjadi
murid. Menjadi murid, sebagaimana halnya karakter, adalah hasil karya persekutuan.
Kehidupan di dalam Yesus menuntut bahwa kita menjadi bagian dari persekutuan yang
berikrar untuk setia padaNya”.115 Dengan khazanah ritual dan religiusnya yang kaya,
Gereja menjadi pusat rujukan tak tergantikan bagi pembentukan karakter kristiani dan
pembinaan kesucian kristiani.
 Kesempurnaan kristiani adalah kesucian Kristus di dalam kita. Inilah idealnya. Namun
perwujudan ideal ini berada di akhir dan bukan di awal kehidupan. Kita sendiri
menyaksikan hal itu dalam kehidupan para rasul yang harus melewati jalan panjang
berjalan bersama Yesus, sebelum mereka memahami sepenuhnya semangat Yesus.
Manusia memiliki kemampuan berbeda-beda, demikian juga ukuran kebebasan mereka.
Askese, sebagaimana juga moral, selalu dicurigai sebagai hal yang keras dan berlebihan,
“tanpa kaitan dengan kenyataan hidup, dan tanpa tenggang rasa terhadap daya moral
setiap individu yang kerap berbeda dan tidak selalu kuat. Orang selalu mematok standar
tindakan yang hanya dapat digapai oleh segelintir orang”. 116 Sebagaimana teologi moral,
demikian pun teologi spiritual/asketis tidak dapat membebaskan diri dari penentuan
norma-norma, karena tugasnya adalah memberikan kiblat bagi suatu kehidupan yang
berhasil, bagi kehidupan individu maupun kehidupan bersama dalam keadilan dan
kedamaian, dan bagi pemeliharaan ciptaan. Dalam hal-hal ini, ada tuntutan dasar yang
bersifat niscaya karena melanggarnya akan membawa konsekuensi dan akibat fatal bagi
seorang pribadi. Namun terdapat juga tingkat-tingkat dalam kehidupan moral dan
spiritual yang mesti dipertenggangkan dan dipertimbangkan baik oleh teologi moral,
teologi spiritual, mapun toleransi manusiawi.
 Dalam konteks ini, bimbingan pastoral dan rohani yang diberikan hendaknya juga
memperhatikan prinsip pentahapan. Sambil tidak mengorbankan ideal dan standar-
standar yang diakui bersama, bimbingan pastoral dan rohani pun harus memperhitungkan
kemampuan terbatas seorang pribadi dalam mewujudkan nilai-nilai yang terkandung
dalam norma-norma.
 Teologi asketis, sebagaimana juga teologi moral, berupaya memberikan kiblat bagi
kehidupan yang sarat makna dan berhasil, dan dengan itu akhirnya bagi kehidupan yang
114
Ibid., p. 106.
115
R.M. Gula, Op.Cit., p. 197.
116
H. Weber, Allgemeine Moraltheologie (Graz: Styria, 1991), p. 339.

62
bahagia. Ia memberikan dan menunjukkan “jalan keselamatan” (Bdk. Kis 16:17) kepada
manusia, baik secara individual maupun komunal. Dalam pelaksanaan praktis, ketika kita
mengejar tujuan tersebut, kita harus tahu bagaimana memulai dari tangga paling bawah
dan langkah demi langkah, dengan bantuan rahmat Allah, hingga akhirnya dapat
menggapai puncak askese. Perjuangan ini tentu saja menuntut disiplin dan ketekunan
yang tetap. Kehidupan rutin yang sering monoton dan penuh perjuangan sesungguhnya
merupakan api yang menguji emas kehidupan yang suci. “Di dalam kehidupan ini, kita
tidak saja ‘bertobat’ satu kali, tetapi berkali-kali; dan pertobatan batin yang terus-
menerus, baik pertobatan kecil maupun besar, akhirnya berujung pada transformasi diri di
dalam Kristus”.117

5.5. Kesempurnaan Absolut dan Kesempurnaan Relatif

 Kesempurnaan Absolut dihubungkan dengan sesuatu yang memiliki pengalaman


kepenuhan dalam dirinya sendiri dan memiliki kesempurnaan tak terbatas. Kesempurnaan
ini dikatakan suci, utuh, dan kudus. Kesempurnaan ini hanya ada di dalam Allah. Dengan
kata lain, hanya sang Pencipta, yaitu Allah yang memiliki kesempurnaan dalam
pengertian yang mutlak/absolut. Tuhan Yesus mengatakan kualitas kesempurnaan dari
kebaikan Allah sebagai berikut: “Tak seorang pun yang baik selain daripada Allah saja”
(Mrk 10:18). Ini berarti pula bahwa hanya Allah saja yang memililiki kesempurnaan
mutlak, dan semua yang lain diharapkan berpartisipasi di dalam satu-satunya
kesempurnaan mutlak Allah itu: “Karena itu, hendaklah kamu sempurna, sama seperti
Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48). Allah itu tak tertandingi dalam hal
keunggulanNya; Ia layak mendapat segala pujian, dan sifat-sifat serta kuasaNya yang
menakjubkan sangat hebat, sehingga hanya namaNya saja yang tinggi tak terjangkau
(Bdk. Mzm 148:1-13; 145:2-10, 21; Ayb 36:3,4,26; 37:16,23-24). Musa mengagungkan
kesempurnaan Allah dengan mengatakan, “Sebab nama Tuhan akan kuserukan: Berilah
hormat kepada Allah kita, Gunung Batu, yang pekerjaanNya sempurna, karena segala
jalanNya adil, Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil, dan benar” (Ul 32:3-4).
Semua jalan, firman, dan hukum Allah adalah sempurna, murni, bebas dari kesalahan
atau cacat (Bdk. Mzm 18:30; 19:7; Yak 1:17,25). Tidak pernah ada alasan yang tepat
untuk membantah, mengkritik, atau mencari-cari kesalahan berkenaan dengan diriNya
atau kegiatanNya; sebaliknya, Ia senantiasa layak dipuji (Bdk. Ayb 36:22-24).
 Sedangkan kesempurnaan relatif adalah kesempurnaan terbatas yang ada pada makhluk
ciptaan, terutama manusia yang adalah Imago Dei, gambar atau citra Allah (Bdk. Kej
1:27). Akibat kejatuhannya ke dalam dosa, manusia memang telah menjadi seteru atau
musuh Allah, dan memperoleh predikat “anak-anak durhaka” (Ef 2:2). Dengan itu pula,
manusia telah kehilangan kekudusan dan keadilan yang adalah hadiah adikodrati dari
Allah sendiri. Akan tetapi, berkat wafat Yesus di salib, umat manusia dan seluruh ciptaan
telah diperdamaikan kembali dengan Allah (Bdk. Ef 2:13-16; Rm 5:1; Kol 1:20). Di atas

117
Thomas Merton, Op. Cit., p. 143.

63
kayu salib, Tuhan Yesus mengucapkan kata “Shalom”: tetelestai (Yunani) atau nish’lam
(Ibrani), yang artinya: sudah dilunasi, sudah didamaikan, sudah disempurnakan. Dengan
itu, Yesus Kristus seakan memegang tangan Allah dan tangan manusia, lalu Dia
memperdamaikan manusia dengan Allah yang hubungannya telah rusak sejak kejatuhan
manusia pertama ke dalam dosa. Dengan itu pula, manusia dan seluruh ciptaan diberi lagi
kemampuan dan peluang untuk mengambil bagian dalam kesempurnaan dan kekudusan
Allah.

5.6. Yesus Kristus: Model dan Teladan Kesempurnaan Manusia

 Menurut kesaksian biblis, Yesus Kristus dilahirkan sebagai manusia sempurna: kudus,
tanpa dosa (Luk 1:30-35; Ibr 7:26). Kesempurnaan fisikNya memang terbatas, bukan tak
terhingga, melainkan ada di dalam lingkup manusia. Dalam kenosis atau pengosongan
diriNya sebagai manusia, Ia mengalami berbagai keterbatasan manusiawi. Ia bisa menjadi
letih, haus, lapar; sedih, kecewa, marah; menanggung derita karena ditinggalkan dan
disangkal oleh sahabat-sahabatNya, dikhianati, difitnah, diolok, didera, dipaku di kayu
salib, hingga akhirnya wafat secara tragis seperti seorang penjahat (Bdk.Mrk 4:36-39;
15:37, 44-45; Mat 4:2; Yoh 4:6,7, dst.). Bagaimanapun, semua keterbatasan fisik
manusiawi itu sama sekali tidak mengurangi sedikitpun kesempurnaan [spiritual] -Nya.
 Karena kesempurnaanNya itu, Yesus Kristus menjadi Imam Agung demi kepentingan
umat manusia. Sebagai Imam Agung yang menjadi satu-satunya pengantara bagi umat
manusia, Ia telah menjadi seperti “saudara-saudaraNya dalam segala hal; Ia mengalami
penderitaan, Ia pun belajar ketaatan di bawah ujian, sebagaimana dialami juga oleh
semua manusia atau para pengikutNya. Dengan demikian, Ia dapat ber-simpati terhadap
kelemahan-kelemahan kita, [sebagai] pribadi yang telah diuji dalam segala hal seperti
kita sendiri, namun Ia tetap tanpa dosa” (Bdk. Ibr 2:10-18; 4:15,16; 5:7-10).
 Sekalipun tanpa dosa, Yesus Kristus dijadikan sebagai korban untuk menebus dosa
manusia. Dengan hadirNya Allah ke dalam dunia sebagai manusia dalam diri Yesus
Kristus, Allah sesungguhnya telah memenuhi janjiNya akan Juruselamat. Hal ini pun
sudah banyak kali disinggung di dalam Perjanjian Lama: “Aku, Akulah Tuhan dan tidak
ada juruselamat selain daripadaKu” (Yes 43:11). Berbeda dengan kita, Yesus Kristus
tidak berdosa dan tidak pernah berbuat dosa. Karena itu, Allah mengorbankan Yesus
Kristus sebagai pengganti kita yang sempurna. Dia menanggung hukuman yang
seharusnya dan sepantasnya kita tanggung akibat dosa, yaitu kematian. “Dia yang tidak
mengenal dosa telah dibuatNya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita
dibenarkan oleh Allah” (2Kor 5:21). Karena itu juga, kemanusiaan Yesus lebih dari
sekadar seorang Nabi. Allah membuat Dia menjadi Juruselamat dan Tuhan (Bdk. Flp 2:6-
11). Yesus yang adalah manusia sempurna harus mati, karena kita tidak bisa masuk
“firdaus” dengan jasa-jasa atau dengan upaya-upaya ibadah kita sendiri. Jika kita
menanggung dosa kita sendiri, kita akan menderita di dalam neraka. Namun, syukurlah,
bahwa Allah ternyata memegang teguh janjiNya dengan mengutus dan mengorbankan
Sang Anak sebagai “Pengganti” yang menanggung dosa-dosa dari orang-orang yang
percaya kepadaNya. Inilah kesempurnaan kasih Allah kepada manusia.

64
 Di dalam dunia ini, tidak ada seorang manusia pun mengakui diri tidak berdosa. Hanya
Tuhan Yesus yang berani berterus-terang mengatakan diriNya tidak berdosa: “Siapakah
di antaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa? Apabila Aku mengatakan
kebenaran, mengapakah kamu tidak percaya kepadaKu?” (Yoh 8:46). Sebelum
disalibkan, Yesus pernah diadili sebanyak enam kali, baik oleh para pemimpin
masyarakat Yahudi, para penguasa Romawi, para Imam Kepala maupun Ahli Taurat,
tetapi tidak ada satu pun di antara mereka yang dapat membuktikan dosa yang telah
dilakukan Yesus. Pilatus tiga kali berkata, “Aku tidak mendapati kesalahan apapun
padaNya” (Yoh 18:38b; 19:4, 6). Singkatnya, impeccabilitas atau ketidakberdosaan
Yesus tidak dapat disangkal oleh siapa pun, dan hanya Dia-lah satu-satunya manusia
yang tidak berdosa.
 Bagaimanapun, topik tentang kesempurnaan dan atau ketidakberdosaan Yesus
menimbulkan persoalan dilematis, terutama berkaitan dengan soal kebebasan
manusiawiNya. Sebagai manusia sempurna, Yesus juga tentu memiliki kebebasan yang
sempurna. Namun kebebasan manusiawi Yesus ini mengalami kesulitan ketika Yesus
dihubungkan dengan hal-hal yang nampaknya merupakan perintah yang ketat dari
Bapaknya seperti penderitaan dan kematianNya. Hal ini sesungguhnya merupakan akibat
logis dari bentrokan antara misi yang harus dijalaniNya dengan setia dan kekuatan-
kekuatan yang secara kolusif bergiat melawan Dia. Allah sesungguhnya tidak
menghendaki secara langsung kematian Yesus di salib, tetapi kesetiaan Yesus kepada
misi penyelamatanNya tidak dapat tidak menghantar Dia ke salib. Akan tetapi
kenyataannya adalah bahwa kematian Yesus di salib berada dalam logika rencana cinta
dan penyelamatan Allah bagi umat manusia. Hal ini dinyatakan melalui kedalaman
pengosongan diri Putera dan kedalaman cinta Allah akan umat manusia. Dalam hal ini
benar bahwa sesuai rencana Allah, Yesus harus mati di salib.
 Perjanjian Baru menyatakan, misalnya dalam Injil Lukas, bahwa Mesias "harus
menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaanNya" (24: 26). "Keharusan"
yang disebutkan di sini mempunyai makna biblis yaitu menyatakan secara tak langsung
rencana penyelamatan Allah bagi umat manusia. Bahwa Yesus, secara khusus dalam
sengsara dan wafatnya, mentaati kehendak Bapak, sangat jelas diakui dalam Perjanjian
Baru (cf. Rom 5: 19; 4: 25; Fil 2: 8; Ib 5: 8). Bila kata thelèma (Luk 22: 42) dipahami
sebagai kehendak Bapak, dan kata entolè (Yoh 14: 31) dipahami sebagai perintah Allah
bagi pelaksanaan misi Yesus, maka kehendak dan perintah tersebut hanya bisa
dilaksanakan oleh Yesus dengan suatu ketaatan yang ketat. Jadi Yesus tidak mempunyai
pilihan lain kecuali menerima kematiannya di salib.
 Ketaatan seperti di atas inilah yang menimbulkan suatu persoalan bagi kebebasan
manusiawi Yesus, secara khusus bila dihubungkan dengan ketidakberdosaan atau
impeccabilitas-Nya. Persoalan di atas dapat dikatakan suatu bentuk dilemma. Bila
dikatakan bahwa Yesus bisa tidak taat, bagaimana dengan impeccabilitas-Nya?
Bukankah ketidaktaatan itu adalah dosa? Bila dikatakan bahwa Yesus tidak dapat tidak
harus taat, tetapi dalam hal ini di mana kebebasannya? Dengan kata lain, bagaimana kita
menyatukan antara impeccabilitas Yesus dan ketaatanNya dengan suatu kebebasan
manusiawi yang sejati? Berhadapan dengan dilemma tersebut, beberapa teolog bahkan

65
berpikir bahwa persoalan kebebasan Yesus ini tidak dapat dipecahkan. Yang lain tidak
dapat merangkum ketiga faktor (impeccabilitas, ketaatan, dan kebebasan) melainkan
hanya mengangkat dua faktor sementara yang ketiga dibiarkan. Maka pendapat-pendapat
yang mencoba memecahkan persoalan ini dapat dibedakan dalam tiga kategori: 1)
mereka yang meminimalisasikan kehendak ilahi tentang kematian Yesus; 2) mereka yang
mengendorkan impeccabilitas Yesus; dan 3) mereka yang mengurangi kebebasan Yesus.
Di sini, kita harus mencari solusi yang dapat merangkum ketiga faktor di atas di mana
impeccabilitas Yesus tidak dikendorkan, kehendak Bapak atas kematian Yesus tidak
dikurangi, dan keotentikan kebebasan manusiawi Yesus tidak diganggu-gugat.
 Solusi hanya bisa ditemukan melalui suatu pendekatan yang baru atas kebebasan. Essensi
kebebasan tidak terletak pada pengaktualisasian kemampuan memilih. Bila demikian
maka dalam segala hal keharusan dan kebebasan saling bertolak belakang. Bahwa hal ini
tidak demikian bagi Allah, sangat jelas dari kenyataan bahwa Allah secara mutlak tetap
dalam mengenal dan mencintai diriNya sendiri, sementara pada saat yang sama Dia
memiliki kebebasan paling tinggi dan tak terbatas. Demikian juga dengan mereka yang
telah berbahagia di Surga, sekalipun mereka memiliki keharusan mencintai Allah tetapi
mereka juga memiliki kebebasan yang sempurna. Kebebasan merupakan suatu
kesempurnaan ontologis bagi seorang pribadi, diwujudkan dalam berbagai cara dan
tingkatan pada Allah dan pada pribadi manusia.
 Essensi kebebasan harus ditempatkan pada penentuan diri sendiri yang membentuk
martabat seseorang. Seorang pribadi memiliki penentuan dirinya sendiri dan menjadi
dirinya sendiri. Essensi kebebasan terletak dalam kegiatan-kegiatan seseorang yang
berasal dari dirinya sendiri dan sungguh-sungguh merupakan kegiatannya sendiri. St.
Thomas mendefinisikan kebebasan sebagai "penguasaan seseorang atas kegiatan-
kegiatannya sendiri" (dominium sui actus).118 Kebebasan menciptakan tanggungjawab
pribadi pada manusia. Pribadi bertanggungjawab atas kegiatan-kegiatannya karena dan
sejauh kegiatan-kegiatan itu sungguh berasal dari penentuan dirinya sendiri. Kebebasan
bukanlah pembatasan diri sendiri melainkan penyatuan antara pembatasan diri sendiri
dan proses menjadi diri sendiri melalui penentuan diri sendiri dengan tujuan menjadi diri
yang diidealkan. Kebebasan bukanlah suatu hak istimewa yang dimiliki tetapi suatu
kesempurnaan yang harus kita raih ke arah mana kita harus bertumbuh; jadi suatu
anugerah dan tugas, suatu panggilan hidup. Kemampuan memilih di dalam hidup adalah
cara konkret seorang pribadi menjalankan kebebasannya, sekaligus juga suatu tanda
ketidaksempurnaan yang masih dialami kini. Semakin sempurna seorang pribadi semakin
kehendak pribadinya diwajibkan untuk melakukan yang baik. Semakin sedikit ruang
lingkup pilihan moral, semakin sempurna kebebasan seseorang sampai akhirnya dia
secara penuh dibatasi dalam penglihatan akan Allah ketika mencapai tujuan akhir
hidupnya di dunia ini, di mana seorang pribadi mencapai kepenuhan dan kesempurnaan
kebebasannya.
 Kini menjadi jelas bahwa tidak setiap keharusan bertentangan dengan kebebasan.
Tentulah keharusan-keharusan dari luar diri terus menekan kebebasan; demikian halnya

118
St. Thomas Aquinas, Summa contra gentiles, II, 22.

66
dengan semua keharusan hakiki yang buta di dalam pribadi manusia, di mana kehendak
tidak berdaya. Akan tetapi bila keharusan itu hakiki bagi kehendak sendiri (jika seorang
pribadi mengenal secara penuh tujuan akhir yang mau dicapainya dan didorong oleh
gerakan hati yang tertarik kepada kehendak sendiri akan kebaikan, dan dia membatasi
dirinya sendiri untuk mencapai tujuan itu) pembatasan diri seperti ini merupakan tanda
kebebasan yang semakin matang dan penuh. Kesempurnaan kebebasan bertumbuh
sejalan dengan pembatasan kehendak sendiri menuju pada hal yang baik. Allah berada
dalam pembatasan diri sendiri secara total dan memiliki kebebasan yang tak terbatas.
Orang-orang suci, dengan sepenuh hati setia kepada status kesucian yang membatasi
mereka dan mereka mencapai kebebasan yang penuh. Para kudus semakin hari semakin
tertarik kepada Allah yang panggilannya hendak mereka jawabi dengan sepenuh hati,
mencapai kebebasannya. Manusia di dunia ini mencari-cari kebebasan dengan secara
berangsur-angsur mengembangkan suatu tanggungjawab yang wajib demi kesetiaan
kepada Allah.
 Konsep kebebasan seperti ini, betapapun nampaknya sangat filosofis, sangat sesuai
dengan pemahaman biblis. Secara singkat kita lihat dalam ajaran Paulus. Bagi Paulus,
"kita dipanggil kepada kebebasan" di dalam Yesus Kristus (Gal 5: 13). Orang-orang suci
bebas sementara orang-orang berdosa adalah budak. Pertobatan kepada Allah di dalam
Kristus adalah pencapaian kebebasan, karena Kristus membebaskan kita dari perbudakan
dosa (cf. Gal 5: 1; 5: 13; 2 Kor3: 17); menjadi milik Kristus berarti menjadi orang bebas
(1 Kor 3: 22-23). Demikian juga bagi Yohanes, budak sesungguhnya adalah orang yang
diperbudak oleh dosa (Yoh 8: 34). Sebaliknya kebebasan lahir dari ketaatan kepada
Kristus dan dengan dibebaskan dari dosa oleh Dia (Yoh 8: 32, 36); "tetapi barangsiapa
yang melakukan yang benar, dia datang kepada terang" (Yoh 3: 21). Kebaruan yang
didapati di dalam Yesus Kristus, dapat dikatakan, pencapaian kebebasan pribadi manusia
melalui dia di dalam Roh, yang merupakan prinsip penentuan diri kita sendiri.
 Sekarang kita kembali kepada kebebasan Yesus dalam terang analisis atas kebebasan
manusia seperti di atas. Harus dikatakan bahwa kebebasan manusiawi Yesus sangat
sempurna. Bilamana tidak ada secara jelas kehendak Bapak yang menentukan maka
pilihan bebas ada pada Yesus. Demikianlah yang terjadi pada umumnya dengan cara dan
model pelaksanaan misi Yesus, di mana tersedia ruang yang luas bagi inisiatif dan daya
cipta Yesus sendiri. Tetapi bukan hal ini yang menjadikan kebebasan Yesus itu
sempurna. Hal ini justru merupakan tanda bahwa selama hidupnya Ia tetap berada dalam
ziarah menuju tujuan akhir hidupNya. Sekali Dia mencapai kemuliaanNya, kehendak
manusiawiNya dibatasi secara penuh hanya untuk bakti kepada Bapak dan pelaksanaan
daya penyelamatanNya. Akan tetapi, bila dalam hidup duniawiNya Dia berada dalam
tuntutan ketaatan yang ketat akan kehendak Bapak, Yesus tidak mempunyai daya untuk
memilih. Dengan pemahaman yang jelas akan tujuan akhir hidupNya yang dicariNya
dengan segenap keberadaanNya, maka Dia membatasi diriNya sendiri untuk tetap taat.
Dia menyesuaikan kehendakNya secara sempurna dengan kehendak Bapaknya. Apa yang
telah ditetapkanNya dengan kegiatan pembatasan diri yang otentik sejalan dengan
kehendak ilahi. Kapanpun tuntutan ilahi datang kepadaNya, Yesus dibatasi oleh tuntutan
ilahi tersebut, tetapi kehendak manusiawiNya didorong untuk menerima tuntutan itu dan

67
melaksanakan pembatasan diri sendiri, bukan karena tekanan tuntutan ilahi yang datang
dari luar melainkan karena gerakan hati dari dalam diriNya sendiri. Penglihatan langsung
akan Allah tidak bergiat mengganggu gerakan hati yang menghasilkan pembatasan diri
sendiri, tetapi berfungsi sebagai tujuan yang menarik untuk dicapai dan intuisi yang
menerangi pembatasan diri sendiri tersebut. Hal ini nampak secara implisit dalam uraian
K. Rahner: “Kedekatan dan kejauhan, ketaatan dan kebebasan makhluk tidak bertumbuh
berlawanan tetapi bersesuaian. Jadi Kristus merupakan manusia sungguh-sungguh dan
kemanusiaanNya merupakan yang paling bebas dan tak tergantung, bukan walaupun
melainkan karena diangkat dan dijadikan sebagai pengungkapan diri Allah”.119
 Hal ini mengungkapkan pula kebebasan manusiawi Yesus, menurut tradisi Injil secara
khusus dalam misteri sengsara dan wafatnya. Tidak pernah dikatakan bahwa Dia memilih
secara bebas untuk mati. Sebaliknya Dia menyebut kematianNya sebagai pilihan dan
kehendak dari pihak Bapak (Bdk. Mrk 14: 36 par; Mat 26: 53; Ibr 5: 7). Tetapi di pihak
lain, Yesus mengatakan bahwa Dia meletakkan hidupNya dalam pilihan dan penentuan
diriNya sendiri dengan kebebasan yang sempurna: "Bapak mengasihi Aku oleh karena
Aku memberikan nyawaKu untuk menerimanya kembali. Tidak seorang pun
mengambilnya dari padaKu, melainkan Aku memberikannya menurut kehendakKu
sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah tugas yang
Kuterima dari BapakKu." (Yoh 10: 17-18; Bdk. Gal 2: 20; Ibr 7: 27; 9: 14).
 Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya Yesus Kristus adalah manusia
sempurna, dalam arti satu-satunya yang tidak berdosa justru karena Ia telah menghayati
kebebasan manusiawiNya secara benar; sebuah kebebasan yang – tidak hanya senantiasa
disesuaikan dengan dan tunduk/taat kepada kehendak ilahi BapaNya, melainkan juga yang sesuai
dengan gerakan hatiNya sendiri dan pembatasan DiriNya sendiri demi misi penyelamatan yang
diembanNya serta tujuan akhir hidup yang hendak diraihNya yakni kemuliaan. Dengan demikian,
kita dapat juga mengatakan bahwa kesempurnaan manusiawi Yesus bukanlah sesuatu yang telah
ditakdirkan atau ditetapkan sejak semula dan yang karena itu juga bersifat statis, melainkan
kesempurnaan dinamis yang senantiasa diperjuangkan selama hidup serta tunduk pada hukum-
hukum psikologis dan aktivitas spiritual manusiawi. Karena itu, selain kebebasan, demikian juga
pengetahuan/kesadaran diri manusiawi Yesus sebagai Putera dan penglihatan akan Allah yang
menyertai kesadaran tersebut, bertumbuh perlahan-lahan seturut pertumbuhannya menuju ke
kedewasaan manusiawi sampai pada pelayanan publikNya. Kesadaran/pengetahuan Yesus akan
misi mesianisNya dan cara pemenuhan misi tersebut juga bertumbuh secara normal, mulai dari
pembaptisanNya di sungai Yordan ketika Dia diidentifikasikan dengan Hamba Yahweh yang
menderita, sampai di Yerusalem di mana Dia menghadapi kematianNya di kayu salib. Justru
karena inilah, maka Yesus disebut sebagai model dalam hal kesempurnaan bagi kita manusia;
sebuah model ideal yang dapat ditiru dan diikuti, dan bukan sekadar model ilusif belaka.

119
Karl Rahner, "On the Theology of Incarnation", Theological Investigations, vol. 4, London: Darton, Longman
and Todd, 1974, p. 117.

68
Tugas (Bab V)

 Sebagai latihan dan evaluasi terhadap materi bahasan dalam Bab V di atas, maka mahasiswa-
mahaiswi diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1. Jelaskan dasar biblis panggilan universal umat Allah kepada kekudusan/kesempurnaan!
2. Jelaskan Hakekat Kesempurnaan Kristiani!
3. Jelaskan pandangan Lumen Gentium Bab V tentang Universalitas Panggilan kepada
Kesempurnaan!
4. Jelaskan jalan/cara-cara menuju kepada kesucian/kesempurnaan hidup Kristiani!
5. Jelaskan perbedaan antara Kesempurnaan Absolut dan Kesempurnaan Relatif!
6. Mengapa Yesus Kristus disebut sebagai Model dan Teladan Kesempurnaan Manusia?
Jelaskan!
 Catatan:
 Untuk mengerjakan tugas ini, gunakan juga referensi atau sumber-sumber bacaan pribadi
lain (selain materi perkuliahan yang telah disajikan di atas), untuk menambah wawasan
anda.
 Tugas ini dikumpulkan paling lambat sehari sebelum pertemuan berikutnya.
 Tugas ini bisa dikumpulkan secara online via e-mail ataupun secara
langsung/manual/offline.
 Alamat e-mail dosen pengampu mata-kuliah: hironimuspakaenoni@yahoo.com atau
pakaenoni69hironimus@gmail.com

69
BAB VI
SPIRITUALITAS IMAM

6.1. Pengantar

 Spiritualitas Imam dipelajari dalam terang realitas Gereja yang kudus. Dalam hal ini,
Gereja mesti menampakkan kesucian/kekudusannya dalam diri kaum beriman,
termasuk kelompok imam atau kaum klerus. Karena itu, sebagaimana Gereja,
demikianlah semua umat beriman tanpa kecuali dipanggil kepada kekudusan.

6.2. Gereja yang Kudus


 Dengan menyebut jemaah sebagai Gereja Yang Kudus, tidak dimaksudkan untuk
mengatakan bahwa Gereja ini kumpulan bukan-pendosa melainkan, bahwa Gereja
bertolak dari dan hidup seputar serta menuju kepada Yang Kudus.
 Konstitusi dogmatis tentang Gereja mengatakan. ”Gereja sebagai perwujudan
Kehendak Allah Yang Mahakudus untuk juga sekarang mau bersatu dengan dan
mempersatukan manusia dalam kekudusan”120.
 Pernyataan Konsili di atas dipandang sebagai tanda Gereja yang benar (DS 3013 st;
NR 385). Bahkan sebelum rumusan Syahadat dikenal orang telah memberi Gereja
sebutan 'yang kudus' (lih. DS 1-2, 11, 41, 150, dll; NR 250). Hal itu menentukan
sikap terhadap para pendosa. Secara obyektif sifat 'kudus' berarti bahwa Gereja
adalah sarana keselamatan dan rahmat Tuhan di dunia serta merupakan tanda
Rahmat Allah yang kudus, yang akan menang secara definitif pada eskaton 121. Secara
subyektif sifat 'kudus' berarti bahwa Gereja tak akan kehabisan tanda dan orang
kudus (bdk. Ibr 2:1). Hal ini menunjuk pada kekudusan para subyek.
 Ajaran ini harus dipahami bersama dengan ajaran iman bahwa pendosa itu pun
anggota Gereja sehingga Gereja memang Perhimpunan Kaum Pendosa pula (Mat
120
Bdk. LG. 39, 41, 48
121
Bdk. LG. 19; 48; 59; GS 42; 45

70
13:47-50; 18:17). Maksudnya, tak hanya bahwa dalam Gereja ada pendosa tetapi
juga bahwa Gereja itu pendosa sejauh warganya, juga para pemukanya memang
berdosa dan akan berdosa. Karena itu, Gereja harus diperbaharui terus menerus
(Ecclesia semper reformanda).122. Lalu sifat 'kudus' berarti bahwa Gereja, yang
dinodai oleh dosa itu tak akan sebegitu dirusak oleh dosa sehingga Roh Kudus sama
sekali meninggalkannya atau tak kelihatan lagi (Mat 16:18). Gereja dijamin oleh
Tuhan untuk tak kehilangan RahmatNya kendati dosa. ’Kudus’ berasal dari akar kata
qds yang ditasrifkan selanjutnya menjadi qados (suci) dan qodoes (kesucian) yang
merupakan ciri Allah. Arti dasarnya "terkhususkan", "tersendirikan". Di dalamnya
tersimpan 3 segi: (1) bahwa semua yang disebut Kudus itu berasal dari Allah Sang
Mahakudus; (2) bahwa kekudusan kultis merupakan sifat ciptaan yang dikhususkan
bagi pengarahan manusia kepada Allah; (3) secara kesusilaan kekudusan itu hanya
dimiliki oleh Allah. Kekudusan pola itu dapat pula berkaitan dengan pengertian
Transenden dari semua yang diciptakan.
 Dalam Perjanjian Baru, kekudusan melanjutkan arti PL yang berlatarbelakang
pandangan bahwa Allah satu-satunya Yang Kudus (bdk Yes 6:3), tetapi dikaitkan
dengan Kristus, yang menerima eksistensinya dari Yang Kudus (Lk 1:35). Dengan
begitu Kristus memang merupakan keseluruhan datangnya Yang Kudus kepada
manusia. Sejak itu hidup manusia menjadi juga hidup dalam Roh dan bersifat
'rohani', spiritual.
 Dalam Gereja umat menjadi suci juga berkat hadirnya Roh Kudus, Roh Yesus
Kristus. Maka menjadi Gereja Kudus (1 Ptr 2:9). Gereja disebut "communio
sanctorum" dalam arti (1) paguyuban yang diikutsertakan dalam Hal yang kudus
(Tubuh dan Darah Tuhan) dan (2) paguyuban orang-orang yang kudus (dalam arti
baik persatuannya orang-orang yang dikuduskan Allah maupun paguyubannya warga
Gereja yang berjuang dengan mereka yang telah mulia di surga).
 Meskipun Gereja disebut Kudus, namun tetap mengakui adanya dosa di dalamnya.
Di satu pihak Gereja itu suci karena dari Allah, tetapi di lain pihak Gereja terdiri dari
manusia yang harus mengaktualisasikan kehadiran Yang Mahakudus. Jadi ada
ketegangan antara "sudah" dan "belum sepenuhnya" kudus. Iman dalam hal ini
berarti menerima bahwa Allah sudah mendatangi namun sadar bahwa belum kudus
("simul iustus et peccator").
 Gereja itu kudus dalam prinsip-prinsip formalnya, yaitu bahwa segala yang ada
padanya itu dari Allah. Sehingga Gereja secara prinsipiil menjadi Sakramen
kesucian. Aktualisasi kekudusan itu masih harus diperjuangkan terus menerus. Jadi
arti primer kekudusan Gereja itu adalah bahwa seluruh hidup dan adanya Gereja itu
dalam rangkuman Sang Kudus. Sebagai himpunan manusia konkret, Gereja yang
beriman kepada Yang Kudus ini tidak sempurna dan kerap gagal dalam menyambut
rahmatNya. Gereja pendosa. Dalam arti ini Dosa menjadi dimensi/matra terbatas dan
materiil-historik dalam Gereja. Paguyuban ini merangkum manusia, pembadanan
keterbatasan. Harapannya: di suatu waktu dosa akan secara aktual diolah dalam
122
Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Ekumenisme, Unitatis Redintegratio, dalam: R. Hardawiryana, SJ. (Penerj.),
Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), Artikel 4;6. Untuk kutipan selanjutnya akan digunakan singkatan
UR diikuti nomor artikelnya.

71
Kebangkitan Badan, dalam eschaton.
 Maka dari itu juga: dosa dilihat tidak hanya sebagai sesuatu yang personal,
melainkan merupakan sesuatu yang secara struktural ada dalam Gereja. Tobat tidak
hanya perlu terjadi secara personal tetapi juga struktural. Secara personal dan
struktural, Gereja itu semper reformanda.
6.3. Dinamika Kekudusan Umat Kristen
 Panggilan kepada kekudusan sesungguhnya tidak lain daripada panggilan kepada
kesempurnaan, ”Hendaklah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga
sempurna adanya” (Mat 5:48). Panggilan ini tidak hanya ditujukan kepada
sekelompok atau segelintir orang di dalam Gereja, melainkan kepada semua dan
masing-masing anggota Gereja yang adalah Mempelai Kristus.
 Panggilan umum kepada kekudusan di dalam Gereja dibahas oleh Konsili Vatikan II,
khususnya di dalam konstitusi dogmatis tentang Gereja: ”....adapun kesucian Gereja
itu tiada hentinya tampil dan harus nampak pada buah-buah rahmat yang dihasilkan
oleh Roh dalam kaum beriman. Kekudusan itu dengan aneka cara terungkap pada
masing-masing orang, yang dalam corak hidupnya, menuju kesempurnaan cinta-
kasih dengan memberi teladan baik kepada sesama...”.123
 Panggilan kepada kekudusan atau kesucian yang ditujukan kepada para pengikut
Kristus ini bukan pertama-tama berdasarkan perbuatan mereka, melainkan
berdasarkan rencana dan rahmat Allah, yang di dalam Yesus Kristus membenarkan
mereka, dan di dalam baptis iman, mereka sungguh-sungguh dijadikan anak-anak
Allah dan ikut-serta dalam kodrat ilahi. Karena itu, dengan bantuan Allah, mereka
wajib mempertahankan dan mengembangkan dalam hidup mereka kesucian yang
telah mereka terima.... dengan mengenakan sikap belas kasihan, kemurahan,
kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran (Bdk. Kol 3:12), serta
menghasilkan buah-buah Roh.....dan terus-menerus memohon belaskasihan dan
pengampunan Allah atas dosa-dosa mereka. Dengan demikian, jelaslah bahwa semua
orang Kristiani, bagaimanapun status dan corak hidup mereka, dipanggil untuk
mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta-kasih.124
6.4. Dinamika Kekudusan Imamat
6.4.1. Jati Diri Imam
 Secara umum, jati-diri seorang imam berasal dari imamat Kristus sendiri. Melalui
sakramen Tahbisan yang dicurahkan lewat penumpangan tangan dan doa tahbisan
dari Uskup Pentahbis, dibangunlah sejak saat tahbisan itu dalam diri seorang
imam suatu ”ikatan ontologis yang mendalam, yang menyatukan imamat dengan
Kristus, sang Imam Agung dan Gembala Baik”125. Dengan demikian, jati-diri
imam berasal dari partisipasi khas dalam imamat Kristus. Dengan itu juga,
123
LG., Art. 39.
124
Bdk. LG., Art. 40.
125
Paus Yohanes Paulus II, Pastores Dabo Vobis, Anjuran Apostolik tentang Pembinaan Imam Dalam Situasi
Zaman Sekarang, dalam: R. Hardawiryana, SJ. (Penerj.), Gembala-gembala Akan Kuangkat Bagimu (Jakarta:
Departemen Dokpen KWI, 1992), Artikel 11. Selanjutnya akan disingkat PDV dan nomor artikelnya.

72
seorang imam menjadi citra Kristus yang nyata, hidup, dan setia; serta menjadi
penampilan sakramental dari Kristus, sang Kepala dan Gembala, di dalam dan
demi Gereja. Selain itu, melalui pentahbisan, seorang Imam dikaruniai kuasa
rohani, yakni keikutsertaan dalam kewibawaan Yesus Kristus, membimbing
Gereja melalui RohNya. Identifikasi sakramental dengan Sang Imam Agung yang
Kekal itu secara istimewa memasukkan imam ke dalam misteri Tritunggal dan,
melalui misteri Kristus, ke dalam persekutuan ministerial Gereja, untuk melayani
umat Allah.
 Dengan demikian, ”jati diri imam, sebagaimana jati diri kekristenan, bersumber
pada Tritunggal yang diwahyukan dan disampaikan kepada umat manusia dalam
Kristus, dan yang dalam Kristus serta melalui Roh Kudus, mendirikan Gereja
sebagai benih serta awal Kerajaan Allah”126. Dalam bingkai ini, spiritualitas bagi
seorang imam berarti ”menghidupkan hubungannya dengan Allah dengan
perantaraan Yesus Kristus dalam karunia Roh Kudus dalam situasi riil, dalam
mana ia ditempatkan di tengah-tengah Gereja dan keluarga bangsa manusia”.127
 Dengan kata lain, berkat kuasa pentahbisan yang diterima melalui sakramen
tahbisan, imam ditempatkan dalam hubungan yang amat khas dengan Bapa
bersama Putra dan Roh Kudus. Dengan demikian, pada dasarnya jati-diri imam
bersumber dari cinta-kasih Bapa; pandangannya diarahkan kepada Putra yang,
oleh Bapa diutus sebagai Imam Agung dan Gembala Baik. Berkat kuasa Roh
Kudus, imam secara sakramental disatukan dengan Yesus Kristus dalam imamat
ministerial. Dengan itu, hidup dan kegiatannya adalah melangsungkan hidup dan
kegiatan Kristus sendiri. Itulah jati-diri, martabat, dan dasar sejati hidup imam.
Seorang imam bersukacita bila ia memahami dan menghayati sumber jati-dirinya
dalam relasinya yang istimewa dengan Allah Tritunggal Mahakudus di tengah
situasi hidupnya yang nyata setiap hari. Dalam alur kebenaran ini, sesungguhnya
terdapat empat dimensi utama dari jati diri seorang imam yakni dimensi paternal
(teologis), dimensi kristologis, dimensi pneumatologis, dan dimensi eklesial.
 Jati-diri atau identitas seorang imam memang tidak begitu mudah dikenal dalam
kehidupan sehari-hari tanpa sebutan-sebutan yang konkret. Karena itu, berikut ini
akan dikemukakan beberapa sebutan yang agak dominan bagi seorang imam
seperti: Manusia Kultus, Manusia Pengantara, Nabi Penyangga, Manusia
Tertahbis, dan Lambang Kristus.128 Sebutan-sebutan ini sekalipun tidak secara
persis dan lengkap menunjukkan jati diri seorang imam, namun sekurang-
kurangnya dapat memberi sedikit gambaran kepada kita tentang siapakah imam
itu atau model macam manakah imam itu dalam kehidupan yang nyata dan
kelihatan.
6.4.2. Spiritualitas Seorang Imam
 Spiritualitas kehidupan dan pelayanan seorang imam bukanlah sebuah bangunan
rohani tanpa dasar atau fundamen. Dasar dari spiritualitas imamat adalah Yesus
126
PDV, Art. 12
127
Agustino Favale, “Spiritualità del Presbitero”, dalam: DES, a cura di Ermanno Ancilli (Roma: Città Nuova,
1990), p. 2010.
128
Mario Caprioli, Sacerdotio e Santità (Roma: Edizioni del Teresianum, 1983), pp. 53-77.

73
Kristus sendiri, karena Dia adalah ”Kepastian Hidup kita pada semua ruang dan
tempat, pada segala zaman dan waktu. Bagi siapapun peziarah di dunia ini, Tuhan
Yesus adalah ’batu karang rohani’ (1Kor 10:4) yang kokoh kuat dan kebal hancur
terhadap goncangan apa pun dalam hidup ini”.129 Kehidupan manusia dengan
”keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidupnya” akan lenyap,
”namun orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya”
(Bdk. 1Yoh 2:16-17).
 Di sini, Yesus Kristus adalah Inkarnasi atau Wahyu Diri Allah, Sabda dan
KehendakNya yang kekal abadi dalam sejarah manusia (Bdk. Yoh 1:14.18).
”PadaNya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran” (Yak 1:17),
sebab ”Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai
selama-selamanya” (Ibr 13:8).
 Dalam garis pemikiran di atas, kita akan membahas dasar spiritualitas imamat
dalam dua butir refleksi, yakni pusat kehidupan dan spiritualitas seorang imam,
serta kekudusan hidupnya dalam kaitan dengan tugas pelayanannya.
6.4.2.1. Pusat Kehidupan dan Spiritualitas Seorang Imam
 Sejalan dengan jati dirinya sebagai ”sarana yang hidup bagi Kristus, Sang Imam
Abadi, untuk dapat melangsungkan di sepanjang masa karyaNya yang
mengagumkan”130, spiritualitas seorang imam berpusat pada Yesus Kristus. Bagi
seorang imam, ”Yesus Kristus adalah kehidupan dan segala-galanya”, dan juga
”segala-galanya berhubungan dengan Kristus sumber segala terang, segala
kehidupan, segala kekudusan. Dialah pusat dan denyut jantung kehidupan kita
yang paling dalam dan paling autentik. Yesus dikenal, dicintai, dihidupi, dan
diteladani, sebab Dia dan hanya Dialah Kehidupan yang benar dari kehidupan
kita”.131
 Sebagai pusat, Yesus Kristus menjadi ”standar dan prototipe” 132 dari spiritualitas
imamat seorang imam. Dalam hal spiritualitas, Yesus Kristus menjadi ukuran
dan model dari imam, sebab Dia adalah terang yang ”menerangi setiap orang
yang datang ke dalam dunia” (Yoh 1:9). Selaku Sabda yang menjelma, Dia mau
menjadi manusia bagi keselamatan kita. Ia tinggal di antara kita untuk
menunjukkan kepada kita ”kemuliaan yang diberikan kepadaNya sebagai Anak
Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yoh 1:14). Sebagai model
spiritualitas, Ia memberikan kepada kita orang Kristen dan terutama calon imam
serta imam contoh setiap kebajikan”.133
 Dalam kesatuan dengan Yesus Kristus selaku ukuran dan model bagi
spiritualitasnya, seorang imam sesungguhnya adalah the man for others. Ia
129
Hubertus Leteng, Gereja Menyambut Yubileum Agung Tahun 2000 (Ruteng: Sekpas Keuskupan Ruteng, 1999),
p. iii.
130
PDV, Art. 20
131
Dom Columba Marmion, seperti dikutip oleh Paolo Risso, “Christ, the true life of every soul”, dalam:
L’Osservatore Romano, N.32/33, 9/16 August, 2000, p.5.
132
Gisbert Greshake, The Meaning of Christian Priesthood (Dublin: Four Courts Press Ltd., 1988), pp. 105-165.
133
Bdk. Paulus VI, Epistula Apostolica Summi Dei Verbum, De institutione in seminariis tradenda, 4/11/1963,
dalam: EVa, Vol.2 (Bologna: EDB, 1989), p. 111.

74
berada untuk orang-orang lain dalam penyerahan diri sepenuhnya kepada
mereka dalam pelayanannya sebagai imam setiap hari. Akan tetapi, ia menjadi
the man for others hanya karena ia adalah the man of God and the man for God.
Ia berada untuk manusia karena dia adalah miliknya Allah dan berada untuk
Allah dengan menerima misinya dari Allah untuk menyelamatkan manusia.
Hanya dengan posisi ini, seorang imam dapat mewartakan kepada orang-orang
lain pengampunan dan cinta Allah. Dengan menjadi orangNya Allah, ia mampu
membawa kepada orang-orang lain keyakinan, keberanian dan harapan. Ia juga
dapat mengumpulkan mereka dalam satu keluarga Allah, satu komunitas
persaudaraan bersama Allah sendiri (Bdk. Mat 12:29), yang siap menerima
keselamatan akhir dari Allah.
 Dalam relasi ganda ini, misi yang dilakukan dan dibawa oleh seorang imam lahir
dari misi Yesus Kristus sendiri yang datang dari Allah untuk keselamatan
manusia. Secara biblis, misi ini diungkapkan Yesus dalam pemakluman tentang
Kerajaan Allah, ”Waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat.
Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk 1:15). Dengan demikian, pusat
kehidupan dan misi Yesus di dunia adalah pewartaan tentang Kerajaan Allah,
dengannya Ia menyampaikan kepada manusia bahwa dalam diriNya Allah kini
datang ke dunia untuk memberikan cintaNya yang definitif kepada manusia.
Dalam misi ini, ”Allah yang berlimpah belas-kasih itulah yang telah dinyatakan
oleh Yesus Kristus kepada kita sebagai Bapa, dan PutraNya sendirilah dalam
diriNya memperlihatkan dan mempermaklumkan Bapa itu kepada kita”. 134
Selanjutnya, dalam merealisasikan misi sentral ini, ”Kristus tidak hanya
mewartakan Kerajaan Allah, tetapi Kerajaan itu pun hadir serta terpenuhi di
dalam Dia. Hal ini terjadi tidak hanya melalui kata-kata dan perbuatanNya,
tetapi terutama Kerajaan itu tampil dalam Pribadi Kristus sendiri, Putra Allah
dan Putra Manusia yang datang untuk ’melayani dan untuk memberikan
nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang’ (Mrk 10:45)”.135
 Selanjutnya, sebagaimana Kerajaan Allah itu menjadi sentral kehidupan dan
misi Yesus, demikian jugalah Kerajaan Allah yang sama menjadi pusat
kehidupan dan pelayanan seorang Imam. Hal ini disebabkan karena dengan
sakramen tahbisan, ”para imam Perjanjian Baru....menjadi murid-murid Tuhan,
yang berkat rahmat panggilan Allah diikutsertakan dalam KerajaanNya”. 136
Dalam arti ini, imam selaku pejabat atau pelayan dalam Gereja pertama-tama
adalah the man of God, orang atau milikNya Allah untuk manusia. Sebagai milik
Allah, ia secara mendalam hendaknya disetir, digerakkan, dan diarahkan oleh
Allah. Ia juga menerima misi Kerajaan Allah dari Kristus sahabatnya, dan
memperluas wilayah pengaruh dari Kerajaan Allah itu juga demi namaNya.
Tuhan Yesus sendiri bersabda, ”Kamu adalah sahabatKu, jikalau kamu berbuat
134
Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptoris Missio, dalam: Marsel Beding (Penerj.), (Ende: Nusa Indah,
1992), Artikel 12. Selanjutnya akan disingkat RM diikuti nomor artikelnya.
135
RM., Art. 18
136
Konsili Vatikan II, Dekrit “Presbyterorum Ordinis”,tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam, dalam: R.
Hardawiryana, SJ. (Penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), Artikel 9. Untuk kutipan selanjutnya
akan digunakan singkatan PO diikuti nomor artikelnya.

75
apa yang Kuperintahkan kepadaMu. Aku tidak menyebut kamu lagi hamba,
sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut
kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu
yang telah Kudengar dari BapaKu” (Yoh 15:14-15). Imam di sini adalah sahabat
Yesus untuk meneruskan misi perluasan Kerajaan Allah ke segala penjuru dunia
sebagai perintah untuk dilaksanakan dengan setia dan penuh tanggung jawab.
”Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan
segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:8-10).
6.4.2.2. Kekudusan Dalam Pelayanan Seorang Imam
 Dengan berpusat pada Pribadi Kristus dan kehidupanNya, ”panggilan imam itu pada
hakikatnya adalah panggilan kepada kekudusan dalam corak yang sesuai dengan
sakramen tahbisan.....Kekudusan itu cinta-kasih tanpa syarat terhadap jiwa-jiwa,
penyerahan diri sendiri untuk mereka dan demi kesejahteraan mereka yang sejati.
Kekudusan berarti mengasihi Gereja yang suci dan menghendaki kita menjadi suci,
karena memang itulah misi yang oleh Yesus dipercayakan kepada kita”.137
 Dalam arah ini, kekudusan merupakan ”rumah bersama” dari Kristus dan imam untuk
menemukan dan menimba kehangatan, semangat, inspirasi dan kekuatan hidup bagi
orang-orang lain dalam karya pelayanan. Dengan kekudusan, Kristus hidup di dalam
imam dan sebaliknya imam juga hidup di dalam Kristus. Komunio atau persekutuan
kehidupan dengan Kristus di dalam ”rumah kekudusan” ini menjadi bagi imam semacam
api yang senantiasa membakar semangat dan jiwanya dalam mencintai dan melayani
orang-orang lain dalam Gereja. Dalam bingkai pemikiran ini, ada beberapa buah refleksi
yang dapat kita renungkan lebih lanjut tentang korelasi antara kekudusan dan karya
seorang imam.
6.4.2.2.1. Karakter Indelebilis Panggilan Imamat
 Misi panggilan dan pelayanan seorang imam di dunia ini adalah menjadi tanda dan
sarana dari Allah, yang hadir dan bekerja secara efektif di dalam GerejaNya. Dalam
arah ini, orientasi dan muara hidup serta karya seorang imam adalah Kerajaan Allah
seperti halnya misi dan karya Yesus Kristus sendiri. Misi ini benar dalam tugas
seorang imam sejauh misi ini lahir secara obyektif dari jati dirinya yang sakramental.
Dengan sakramen tahbisan, perbuatan seorang imam bukan lagi sekadar menjadi
tindakan pribadinya sendiri yang bersifat subyektif-individual, melainkan benar-
benar menjadi sesuatu yang obyektif-institusional, karena imamat dan misinya
berasal dari imamat Kristus sendiri. Memang perbuatan seorang imam bergantung
juga pada prestasi, bakat, dan kepribadiannya sendiri selaku individu, namun secara
obyektif perbuatan seorang imam pertama-tama lahir dari ”hubungannya yang
khusus dan mendalam dengan Kristus, Sang Gembala Baik, satu-satunya yang tetap
menjadi pemimpin utama di tiap kegiatan pastoral”.138

137
PDV, Art. 33.
138
Paus Yohanes Paulus II, Direktorium tentang Pelayanan dan Hidup Para Imam (31 Januari 1994), dalam: R.
Hardawiryana, SJ (Penerj.), Seri Dokumen Gerejawi No. 48 (Jakarta: Departemen Dokpen KWI, 1996), Artikel 38.
Selanjutnya akan disingkat DPHI diikuti nomor artikelnya.

76
 Dengan ini, tugas membangun komunitas Gereja atau persekutuan umat beriman
secara obyektif bukanlah terutama seorang petugas seperti imam, melainkan Tuhan
sendiri. Dalam tugas ini, imam itu dapat diibaratkan dengan sebuah jendela kaca
dalam sebuah rumah yang bukan merupakan halangan, rintangan atau gangguan
yang berada di antara matahari dan ruangan, melainkan benar-benar sebuah medium
transparan yang memungkinkan pertemuan antara sinar matahari dan ruangan dalam
sebuah rumah. Dengan adanya jendela kaca, matahari dapat membiaskan sinar
cahayanya yang sejuk dan menghangatkan bagi segala sesuatu yang berada di dalam
sebuah rumah. Seperti jendela kaca itulah kiranya posisi dan peran seorang imam
dalam relasi antara Tuhan dan umat beriman dalam Gereja. Dalam posisi ini, peran
seorang imam adalah melakukan tugas mediasi dalam relasi mutual yang langsung
antara Tuhan dan umat beriman.
 Namun demikian, tugas dan peran ini hanya mungkin dilakukan oleh seorang imam,
karena dengan tahbisan, ia sendiri sebagai petugas Gereja telah menerima suatu
kekuasaan dari Kristus. Kekuasaan itu membuat ia sanggup untuk bertindak atas
nama Kristus (in persona Christi) dan untuk menghadirkan Kristus secara
sakramental. Kekuasaan dan kemampuan ini tidak tergantung pada perbuatan pribadi
imam sendiri, tetapi bergantung pada tugas dan panggilannya, kepada tahbisan dan
misinya. Pelayanan spiritual seorang imam selaku petugas Gereja berada jauh di luar
kemampuan manusiawinya sendiri. Ia tidak dapat dan tidak mungkin mampu begitu
saja mengerjakan tugas pelayanan spiritual itu apabila Tuhan melalui pelimpahan
tugas dan wewenang dari Gereja tidak lebih dahulu memberi jaminan atau bantuan
Roh Kudus kepadanya pada momentum tahbisan suci.
 Dalam Gereja, kekuasaan imamat dicurahkan dan diberikan kepada seorang imam
pada momentum tahbisan suci melalui penumpangan tangan dan doa atau kata-kata
tahbisan dari Uskup Pentahbis. Secara tradisional, kekuasaan imamat ini memiliki
karakter indelebilis, semacam cap atau ”tanda rohani yang tidak terhapus dan tidak
dapat diulangi atau dikembalikan”.139 Tanda rohani dari sakramen imamat tidak
terhapuskan dari diri seorang imam, karena tanda itu dilakukan atau diukir oleh janji
Kristus sendiri yang tak terbatalkan, dan kehendakNya yang tidak berubah untuk
menyebarkan karya keselamatan ke seluruh dunia melalui pelayanan orang-orang
tertahbis. Janji dan kehendak Tuhan untuk menyelamatkan manusia tidak pernah
berubah dan juga tidak pernah terbatalkan (Bdk. Yes 51:8).
 Dalam garis pemikiran ini, kekuasaan imamat untuk melakukan pelayanan ofisial
dalam Gereja datang dari Allah sendiri sesuai dengan perkataan Santo Paulus (Lih.
2Kor 3:5-6). Dalam tahbisan, Allah menganugerahkan kepada orang tertahbis
karunia Roh Kudus sebagai kekuasaan ilahi yang tak bisa hilang dari dirinya. Dalam
karunia Roh Kudus itu, Allah memberikan kepada imam ”bukan roh ketakutan,
melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan ketertiban” (2Tim 1:6-7).
 Oleh karena kekuasaan imamat merupakan ”pekerjaan Allah” yang berasal dari
diriNya, maka dosa dan kegagalan manusia sama sekali tidak menghancurkan
imamat dalam diri seorang imam. Menurut Paus Pius XI, ”ketidaklayakan seorang
pelayan (imam) tidak membatalkan sakramen-sakramen yang ia layani, sebab
139
KGK, No. 1582.

77
sakramen-sakramen menerima kemujarabannya dari Darah Kristus, terlepas dari
kekudusan (diri imam sebagai) sarana. Seperti diungkapkan dalam bahasa Skolastik,
sakramen-sakramen mengerjakan pengaruh atau efektivitasnya ex opere operato.”140
Dalam arti ini, meskipun seorang imam berada dalam keadaan berdosa, namun
dalam jabatannya ia tetap imam yang sah dan pelayanannya juga tetap sah di
hadapan Tuhan dan efektif bagi umat beriman. Kelemahan dan ”keadaan berdosa
dari pemberi tidak dapat menghalangi buah-buah rahmat”141 Allah, dan sama sekali
tidak bisa membatalkan tugas pelayanan seorang imam, sebab ”jika kita tidak setia,
Ia tetap setia, karena Ia tidak dapat menyangkal diriNya” (2Tim 2:13). Dengan
kebenaran ini, karakter indelebilis dari kekuasaan imamat kiranya tidak membangun
suatu posisi superior dan sikap oportunis dalam diri seorang imam ketika ia
berhadapan dengan komunitas umat beriman. Tidak ada alasan yang cukup bagi
seorang imam untuk menganggap dirinya lebih tinggi, lebih hebat, atau lebih baik
daripada umat beriman, sebab pelayanan ofisialnya tidak bergantung pada kapasitas
dirinya sendiri, tetapi terutama bergantung pada Allah. Dalam pelayanan ofisial,
”Roh Kudus menyanggupkan (seorang imam) untuk melaksanakan kuasa kudus
(sacra potestas), yang hanya dapat diberikan oleh Kristus sendiri melalui GerejaNya.
Ordinatio dinamakan juga tahbisan (consecratio), karena ia terdiri dari pemilihan
dan pengangkatan yang dilakukan Kristus sendiri demi pelayanan dalam Gereja”.142
 Jikalau pelayanan keselamatan bergantung pada kekudusan pribadi seorang imam,
maka imam dengan itu tidak hanya akan dipaksa sepenuhnya dalam hidup, tetapi
juga keselamatan yang final dan eskatologis yang disediakan oleh Allah dalam diri
Yesus Kristus akan dibatasi oleh dosa dan kelemahan manusia. Dengan posisi seperti
ini, kebenaran fundamental tentang keselamatan akan terbuka bagi sebuah diskusi
teologis yang sulit selesai dan sulit terpecahkan. Sebab itu, doktrin tentang tanda
indelebilis dari kekuasaan imamat bukanlah sebuah deklarasi bahwa kekudusan
seorang imam selaku petugas Gereja melebihi kaum awam. Sebaliknya, tanda
indelebilis itu merupakan kondisi yang memungkinkan Gereja untuk percaya
sepenuhnya kepada janji Kristus, sekalipun para imam selaku petugas-petugas ofisial
Gereja memiliki dosa dan kelemahan dalam diri dan hidupnya. Dalam pelayanan dan
pekerjaan imam yang diutusNya sendiri, Kristus hadir dan berkarya ”untuk
membangun, menguduskan, dan membimbing TubuhNya”143, yakni Gereja.
 Bagi imam sendiri, tanda indelebilis dari panggilan imamat yang dikaruniakan
kepadanya dalam tahbisan adalah suatu tanda kerendahan dari seorang imam di
hadapan Allah. Tanda ini tetap mengingatkan imam sendiri bahwa ia sama sekali
tidak berkuasa merombak pekerjaan Kristus dan eksistensi GerejaNya. Inilah tanda
pertama dan terutama yang memungkinkan Gereja untuk melaksanakan tugas
gerejawi tanpa prasangka, kecemasan, dan kesulitan. Dengan tanda ini, sakramen
tahbisan sebagai pencurahan kekuasaan imamat memberikan kekudusan obyektif
kepada imam. Itu berarti bahwa tugas imamat secara obyektif adalah tugas suci yang

140
Pius XI, Encyclical Letter Ad Catholici Sacerdotii, 32, dalam: Precis of Official Catholic Teaching on the
Ordained Priesthood (selanjutnya disingkat PTOP), p. 16
141
KGK, No. 1550.
142
KGK, No. 1538.
143
KGK, No. 1563.

78
tidak bergantung pada kekudusan pribadi seorang imam atau pelayan Gereja.
 Dengan kekudusan obyektif ini, apa pun yang dilakukan oleh seorang imam dalam
tugasnya yang resmi sebagai wakil Kristus dan wakil Gereja tetap sah, sekalipun
kesaksian hidupnya sering tidak sesuai dengan keluhuran panggilan dan tugasnya itu.
Alasan dari hal ini adalah karena rahmat sakramen dihasilkan ex opere operato dan
bukan ex opere operantis. Dengan pernyataan ini, efektivitas atau daya guna dari sari
suatu sakramen tidak bergantung dari kekudusan pribadi si pemberi, melainkan dari
kesetiaan dan cinta Allah yang menyelamatkan dan menguduskan kita melalui
sakramen.144 Di sini, ”Sakramen-sakramen bekerja ex opere operato (arti harafiah:
dari/atas dasar karya atau kegiatan yang dilakukan). Artinya, mereka berdaya berkat
karya keselamatan Kristus yang dilaksanakan satu kali untuk selamanya. Karena itu,
’sakramen tidak dilaksanakan oleh kesucian manusia yang memberi atau
menerimanya, tetapi oleh kuasa Allah’. Pada saat sakramen dirayakan sesuai dengan
maksud Gereja, bekerjalah dalam dia dan oleh dia kuasa Kristus dan RohNya, dan
tidak bergantung pada kekudusan pribadi pemberi. Bagaimanapun, buah-buah
sakramen juga bergantung pada sikap batin orang yang menerimanya”.145 Dalam
kerangka ini, tugas yang dijalankan oleh seorang imam berasal dari Kristus dan
Kristus sendiri jugalah yang berkarya melalui RohNya dalam dirinya. Inilah pikiran
Santo Agustinus dalam hubungan dengan sakramen permandian yang dilakukan oleh
seorang imam, ”Bukanlah menjadi soal apakah Yohanes atau Yudas yang
mengadakan permandian; itu selalu permandian Kristus. Orang-orang yang
dipermandikan oleh seorang pemabuk, atau seorang pembunuh, atau seorang
pezinah, adalah mereka yang telah dipermandikan oleh Kristus sendiri, sebab itu
adalah permandian Kristus. Saya tidak takut kepada pezinah, pemabuk, pembunuh,
selagi saya melihat kepada Gereja Katolik, melalui mana saya disampaikan, ’Inilah
Dia yang mempermandikan, yaitu Kristus’”.146
 Buah refleksi Santo Agustinus ini menjadi pokok pikiran dan ajaran Magisterium
Gereja untuk merumuskan kebenaran yang sama mengenai kekudusan obyektif dari
panggilan hidup imamat. ”Pada dasarnya Kristus sendiri yang mendatangkan
keselamatan dengan perantaraan pelayan yang ditahbis dan bekerja melalui dia.
Ketidaklayakannya tidak dapat menghalang-halangi Kristus untuk bertindak. Santo
Agustinus mengatakan ini dengan kata-kata yang sangat tegas: Pejabat yang angkuh
harus digolongkan dengan setan. Anugerah Kristus tidak dinodai karena itu; yang
mengalir melalui dia, pertahankan kemurniannya; yang disalurkan melalui dia,
tinggal bersih dan sampai ke tanah yang subur....Kekuatan rohani sakramen adalah
serupa dengan terang; siapa yang harus disinari, menerimanya dalam kejernihannya,
dan apabila ia harus melewati yang kotor, ia sendiri tidak menjadi kotor”.147

144
G. Kirchberger, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus (Ende: Nusa Indah, 1991), hlm. 174
145
KGK, No. 1128.
146
Gisbert Greshake, The Meaning of Christian Priesthood ….Op.Cit., pp. 110-111..
147
KGK, No. 1584.

79
6.4.2.2.2. Keteladanan Hidup Seorang Imam
 Doktrin tentang karakter indelebilis dari sakramen tahbisan adalah satu
keputusan Gereja yang perlu dan sekaligus berisiko bagi seorang imam. Perlu,
karena dengan keputusan ini menjadi jelas bahwa Gereja atau komunitas umat
beriman tidak terlalu bergantung pada kepribadian individual atau kekudusan
subyektif dari diri imam selaku petugas Gereja, tetapi bergantung pada
kekuasaan ilahi yang dilimpahkan kepadanya oleh Tuhan sendiri pada saat
tahbisan. Namun keputusan Gereja ini juga berisiko, sebab keputusan ini
mengandung bahaya fungsionalisme yang menekan kehidupan seorang imam.
Bahkan keputusan ini dapat mengaburkan ciri esensial dari amanat revelasi ilahi.
Melalui banyak cara, Kitab Suci menunjukkan bahwa ketika Allah mengangkat
seseorang menjadi pelayanNya dan mempercayakan tugas-tugas kepadanya, dan
ketika sabdaNya disampaikan kepada manusia, maka hal yang dituntut dari
orang bersangkutan bukan hanya penerimaan individual dari diri pribadinya,
melainkan juga life style atau gaya hidupnya sendiri yang sesuai dengan
panggilan Allah atas dirinya itu. Dengan demikian, Allah yang hadir melalui diri
dan pelayanannya menjadi kelihatan dan dipercayai oleh orang-orang lain.
 Dalam Perjanjian Lama kita dapat melihat contoh dari hal ini dalam panggilan
dan kehidupan Abraham. Ketika Abraham dipanggil Allah untuk menjadi
sebuah berkat bagi segala bangsa, ”menjadi bangsa yang besar” (Kej 12:2), dan
sejak ia serta keturunannya dijanjikan sebuah ”kota yang mempunyai dasar yang
direncanakan dan dibangun oleh Allah” (Ibr 11:10), maka dalam dan dengan
iman, ia lalu meninggalkan rumahnya, dan masuk ke dalam kegelapan. Ia
menjadi orang asing tanpa rumah. Dengan cara beginilah panggilan Allah yang
diterimanya itu mengambil bentuk yang kelihatan. Lebih lanjut, Musa dan para
nabi mengembangkan kesatuan antara panggilan dan kesaksian hidup mereka.
Kepada mereka dipercayakan perkataan dan amanat Allah, namun dengan cara
itu mereka juga mesti bersiap-sedia untuk menghadapi tantangan dan memikul
resiko yang datang dari umat yang ”berkepala batu dan bertegar hati” (Yeh 3:7).
Mereka harus memperlihatkan kesatuan antara panggilan ilahi di satu sisi, dan
kesaksian atau gaya hidup mereka di sisi lain.
 Dalam arti ini, terkadang kita menemukan kehendak Allah yang tegas dan keras
untuk menghantam para gembala agar selalu menjaga kesesuaian antara
kehidupan mereka dan panggilan Allah sendiri (Lih. Zak 13:7). Dengan ini,
Allah akan menghantam seorang imam, apabila ia tidak menyesuaikan
kehidupannya dengan panggilan Allah dalam tugasnya menggembalakan umat.
Sikap Allah yang tegas ini dapat kita temukan juga dalam panggilan nabi
Yehezkiel (Lih. Yeh 3:18-19).
 Dengan Sabda di atas, para imam seperti halnya para nabi akan dipersalahkan

80
oleh Allah, apabila mereka melalaikan tugas mereka untuk memberikan
peringatan kepada orang-orang lain menyangkut kesalahan atau kejahatan yang
mereka lakukan. Dengan ini jelas bahwa panggilan Allah mesti dihayati dalam
kesaksian hidup seorang imam. Inilah kesaksian hidup nabi Zakharia dan nabi
Yehezkiel. Kesaksian yang sama juga ditunjukkan oleh nabi-nabi lainnya. Hosea
misalnya dikenal sangat setia dalam kehidupan perkawinan. Yeremia menolak
perkawinan demi Allah. Hamba Yahweh bersikap taat dalam penderitaan (Bdk.
Yes 50:4-11). Lalu Yohanes Pembaptis selaku seorang nabi pada masa transisi
dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru benar-benar menghayati kehidupan
yang sangat asketis di padang gurun.
 Dalam Perjanjian Baru, kita menyaksikan dalam diri Yesus Kristus sendiri
kesatuan yang sempurna antara misi dan hidupNya. Pusat misi dan karya Yesus
Kristus adalah supremasi Allah, BapaNya yang menjadi realitas dalam diriNya
sebelum Ia membawa atau menyaksikan hal itu kepada manusia. Menurut
Origenes, ”Yesus Kristus adalah auto basileia tou Theou, artinya Allah telah
merealisasi Kerajaan hanya dalam diri utusanNya”.148 Dalam alur ini, Kerajaan
Allah itu mempribadi dalam diri Yesus Kristus, menyatu dengan diriNya
menurut perkataanNya sendiri, ”Tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa,
dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak” (Mat 11:27). Sungguh,
”tidak seorang pun yang pernah melihat Allah, tetapi Anak Tunggal Allah yang
ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakanNya” (Yoh 1:18). Dalam
kesatuan relasi ilahi yang eksistensial ini, Yesus Kristus menjadi apa yang
dikerjakanNya dan Ia mengerjakan apa yang menjadi diriNya. Dalam diri, hidup,
dan karyaNya, Ia menjadi kesatuan antara tanda dan realitas, antara saksi dan
kesaksian, antara perkataan dan perbuatan. ”Oleh karena Kabar Baik itu adalah
Kristus, maka terdapat kesatupaduan antara pesan dengan si pembawa pesan itu,
antara perkataan, perbuatan, dan hidup. Daya kekuatanNya, rahasia efektivitas
dari tindakan-tindakanNya, terletak dalam kesamaanNya yang total dengan
pesan yang diwartakanNya: Ia memberitakan Kabar Baik tidak hanya dengan
perkataan dan perbuatanNya saja, tetapi juga dengan diriNya sendiri
sebagaimana adaNya”.149 Singkatnya, bagi Yesus Kristus, tidak ada perbedaan
antara misi dan kehidupanNya sendiri.
 Selain Yesus Kristus sendiri, Santo Paulus juga dalam Perjanjian Baru berusaha
menghayati dan memperlihatkan kesatuan antara misi dan kehidupan dalam
karya pelayanannya terhadap umat beriman. Bagi Santo Paulus, Salib dan
Kebangkitan Kristus sebagai peristiwa munculnya Kerajaan Allah di dunia ini
mesti dipraktekkan lebih dahulu dalam hidupnya sendiri sebelum diwartakan
kepada orang-orang lain dan dianjurkan kepada komunitas umat beriman.
Karena itu, dengan tegas ia mengatakan, ”Kami senantiasa membawa kematian
Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di
dalam tubuh kami. Sebab kami yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan
kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam
tubuh kami yang fana ini” (2Kor 4:10-11). Dengan kata-kata ini, Salib dan
148
Leonardo Boff, Yesus Kristus Pembebas (Maumere: LPBAJ, 2000), hlm. 136.
149
RM., Art. 13.

81
Kebangkitan Kristus merupakan pusat karya apostolik Santo Paulus. Salib dan
Kebangkitan ini menjadi prinsip yang fundamental dari hidup dan karyanya
sendiri. Atas dasar ini maka Santo Paulus tidak hanya mewartakan Injil Kristus,
melainkan juga ia mencontohi pewartaan Injil itu dalam seluruh kehidupannya.
Dengan dasar inilah ia lalu mengajak komunitas umatnya demikian, ”Jadilah
pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus” (1Kor 11:1).
Dengan demikian, Santo Paulus mengajak umatnya, tidak hanya dengan
perkataan atau pewartaan mulutnya, tetapi terutama dengan teladan hidupnya
sendiri.
 Dalam perjalanan selanjutnya, komunitas umat beriman ingin menemukan dalam
diri para rasul seperti dihayati oleh Santo Paulus suatu model konkret dari
kehidupan Kristen yang lahir dari contoh dan teladan Kristus sendiri dan dari
harapan akan kedatangan Kerajaan Allah. Dalam arti ini, Kristus mesti dihayati
dan diperlihatkan oleh para rasul di hadapan umat beriman dengan hidup dan
karya pelayanan mereka setiap hari. Yang dihayati dan diperlihatkan di sini tidak
hanya keteladanan moral, tetapi juga menunjuk kepada kelemahan, penderitaan,
dan kontradiksi yang dialami dalam kehidupan apostolik mereka. Dengan
demikian, akan tampaklah dalam kehidupan mereka tidak hanya ketahanan
mereka terhadap kesulitan, tetapi juga bentuk kehidupan Kristus yang tersalib
dan realitas kebangkitanNya.
 Dengan tuntutan ini, elemen sakramental obyektif dan subyektif, atau kekudusan
obyektif dan subyektif dalam diri seorang imam memang berbeda dalam Gereja,
namun keduanya saling mempengaruhi, saling membutuhkan, dan saling
menyempurnakan. Dalam korelasi di antara keduanya, elemen sakramental
obyektif adalah pelaksanaan cinta Allah melalui Kristus yang hadir bagi satu
komunitas khusus atau bagi individu atau bagi situasi khusus. Kehadiran cinta
ilahi dijamin oleh janji Kristus dan juga oleh kehadiran pelayanan di dalam
Gereja. Namun untuk mencapai maksud dan tujuan ini sangat dituntut kesadaran
dan tanggungjawab penuh dari imam yang menerima cinta ilahi itu dalam
panggilan hidup dan pelayanannya. Kesadaran dan tanggungjawab itu diminta
dari imam, sebab panggilan imamat itu begitu luhur dan mulia. Sebagai efek
lanjut, tugas imamat itu menuntut juga kekudusan dari imam yang memegang
dan melaksanakannya. Dalam hal inilah ”imam itu hendaknya memiliki suatu
ketinggian semangat, kemurnian hati, dan kekudusan hidup sesuai dengan
keluhuran tugasnya itu”.150
 Dengan adanya harmonisasi antara pola hidup dan keluhuran tugas ini,
kekudusan obyektif dari panggilan imamat di satu sisi akan membantu imam
sendiri ”untuk mengalami kehadiran tersembunyi Tuhan yang bangkit mulia
(bdk. Mat 18:20)” dalam dirinya. 151 Pada sisi lain, kekudusan obyektif yang
sama akan menjadi modal kekuatan adikodrati bagi diri imam untuk
”mengarahkan pandangan manusia, menunjukkan kepada kesadaran dan
150
Pius XI, Ad Catholici Sacerdotii, 33, Op. Cit., p. 16.
151
Paus Yohanes Paulus II, Vita Consecrata, Anjuran Apostolik Tentang Hidup Bakti Bagi Para Religius (25 Maret
1996), dalam: R. Hardawiryana, SJ., Seri Dokumen Gerejawi No.51 (Jakarta: Departemen Dokpen KWI, 2002),
Artikel 42. Selanjutnya akan disingkat VC dan nomor artikelnya.

82
pengalaman segenap umat manusia misteri Allah, membantu semua orang untuk
menjadi akrab dengan inti terdalam Penebusan yang terjadi dalam Kristus
Yesus”.152 Kesatuan antara kekudusan obyektif dan kekudusan subyektif akan
membuat imam mampu untuk ”menampilkan Kristus kepada dunia,
mendampingi tiap orang menemukan dirinya dalam Kristus, dan membantu
angkatan saudara-saudari kita zaman sekarang, rakyat-rakyat, bangsa-bangsa,
negara-negara, umat manusia, negeri-negeri yang sedang berkembang maupun
yang sudah kaya; singkatnya, menolong setiap orang untuk mengenal kekayaan
Kristus yang tidak terduga, karena kekayaan itu memang diperuntukkan bagi
tiap orang dan menjadi milik tiap orang”.153
 Karena itu, sangat tidak tepat apabila ada dikotomi dalam diri seorang imam,
sebagai seorang ofisial yang secara sakramental menghadirkan Kristus berkat
kekuatan sakramen tahbisan di satu pihak, dan sebagai seorang pribadi manusia
yang penuh kasih sayang serta seorang pembangun komunitas umat beriman di
lain pihak. Tanpa penyesuaian dengan praktek kehidupan pribadi, imamat
tertahbis dalam diri seorang imam akan menjadi satu birokrasi religius, tidak
berbuah, abstrak, tidak hidup, tidak menarik. Imam yang tidak berbuat lebih dari
sekadar menjalankan tugas-tugas ofisialnya semata-mata adalah sebuah monster
atau robot yang kaku. Karena itu, kiranya ”kita harus mengambil....piala
keselamatan. Kita diperlukan bagi manusia. Sungguh, kita amat diperlukan, dan
bukan bagi pelayanan setengah-setengah atau pelayanan setengah waktu seperti
pelayanan ’para pegawai’! Kita perlu menjadi orang yang memberikan kesaksian
dan membangkitkan dalam diri orang-orang lain kebutuhan untuk memberikan
kesaksian. Dan seandainya kadang-kadang kita tampaknya tidak diperlukan, hal
itu sebetulnya hendak mengatakan bahwa kita harus mulai memberikan suatu
kesaksian yang lebih jelas, dan karenanya menyadari bahwa betapa dunia
sekarang membutuhkan kesaksian imamat kita, pelayanan kita, imamat kita”.154
 Demi kesaksian ini maka dalam upacara tahbisan, imam selalu dihimbau
demikian, ”Hayatilah misteri yang telah ditaruh ke dalam tanganmu....Sadarilah
apa yang akan Anda lakukan....Janganlah mengabaikan karunia yang ada
padamu” (1Tim 4:14; Bdk. 2Tim 1:6).155 Contoh konkret dari himbauan ini
misalnya berkaitan dengan kata-kata konsekrasi dari Kristus sendiri. Dalam
contoh ini, apabila imam pada perayaan Ekaristi berkata ”Inilah TubuhKu yang
diserahkan bagimu”, maka ia dalam hal ini mengucapkan kata-kata itu in
persona Christi, atas nama Kristus sendiri. Dengan kata lain, Kristus sendirilah
yang mengatakan kata-kata itu melalui mulut imam. Kata-kata itu tidak sekadar
pengucapan ritual formal dan sakramental belaka. Secara obyektif, tentu saja
pengucapan kata-kata itu sudah valid atau sah untuk menyelamatkan jiwa
manusia. Walau demikian, Kristus sendiri mau dilihat dalam kepenuhanNya
sebagai seorang Pribadi. Karena itu, kata-kata institusi Ekaristi ”Inilah TubuhKu
152
Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Redemptor Hominis, Penebus Umat Manusia (4 Maret 1979), dalam: R.
Hardawiryana, SJ. (Penerj.), Seri Dokumen Gerejawi No. 38 (Jakarta: Departemen Dokpen KWI, 1995), Artikel 10.
Selanjutnya akan disingkat RH dan nomor artikelnya.
153
RH., Art. 11
154
Giovanni Paulo II, Cari Sacerdoti, 467, a cura di Diego Coletti (Milano: Edizioni Paoline, 1990), p.332
155
PDV., Art. 24.

83
yang diserahkan bagimu”, hendaknya juga menjadi perkataan pribadi dari imam
sendiri. Hal ini berarti bahwa sebagaimana Kristus sendiri, demikian pun imam
dituntut untuk menyerahkan seluruh diri dan hidupnya demi keselamatan umat
yang dilayaninya. Apabila kata-kata konsekrasi ekaristi itu diucapkan tidak
dengan nuansa ini, maka akan muncul kontradiksi antara kegiatan sakramental
ofisial dan kehidupan pribadi dari seorang imam.
 Apabila ada kontradiksi atau dikotomi antara misi dan kehidupan pribadi
seorang imam, hal ini sering menjadi kesulitan besar bagi imam sendiri sebagai
petugas ofisial Gereja dan bagi umat beriman. Kesulitan karena kontradiksi atau
dikotomi ini mesti secepatnya diatasi oleh imam itu sendiri. Inilah tugas imam
yang pertama dan utama untuk segera dilakukan. Demi tugas ini maka dalam
mengikuti Tuhan Yesus, imam pertama-tama mesti berupaya menjadi the man of
God atau orangnya Allah yang mengejar ”keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih,
kesabaran, dan kelemahlembutan....Karena untuk itulah engkau telah dipanggil
dan telah engkau ikrarkan ikrar yang benar di depan banyak saksi” (Bdk. 1Tim
6:11-12). Dengan ini seorang imam mesti yakin bahwa hidupnya adalah milik
Allah, dan dengan itu pula Kerajaan Allah mendapat tempat pertama dalam
hidupnya.
 Inilah kewajiban seorang imam yang menjadi tuntutan eksistensial bagi dirinya.
Dalam Injil, ada banyak teks tentang panggilan para murid Tuhan Yesus (mis.
Mat 10:5; 8:18; 16:24) yang mengungkapkan tuntutan eksistensial ini. Teks-teks
ini menunjukkan harapan Tuhan Yesus terhadap mereka yang dipilih dan
diutusNya untuk mewartakan Kerajaan Allah. Dalam harapan itu, para murid
yang diutus hendaknya seperti Tuhan Yesus sendiri memperlihatkan secara
nyata melalui gaya hidup mereka permulaan dari Kerajaan Allah dan
”kelainannya yang penuh” di dunia ini. Untuk itu para murid Yesus harus
berbeda dengan orang-orang lain. Mereka harus mempertahankan suatu ”gaya
hidup alternatif”: harus meninggalkan segala sesuatu di belakang mereka dan
harus berjalan tanpa membawa kekuasaan dan pundi-pundi/uang; harus bersikap
miskin dan siap sedia; harus menjadi tanda kedamaian dan rekonsiliasi. Hanya
dengan cara demikianlah mereka akan menjadi tanda supremasi Allah yang
dalam kelainanNya menunjukkan standar kehidupan dari dunia ini. Kesaksian
hidup seperti ini membuat mereka hidup dan berkarya lebih dari seorang birokrat
religius. Dengan demikian, perkataan dan perbuatan mereka akan diterima,
didengar, dan dipercayai oleh orang-orang lain yang tersentuh hatinya.
 Untuk dapat mencapai tujuan ini, imam harus lebih dahulu dipenuhi dan
disentuh oleh Kristus sendiri, sebelum ia diutus ke ”tempat yang akan
dikunjungiNya” (Luk 10:1). Sebelum melakukan segala sesuatu yang lain,
seorang imam harus lebih dahulu menjadi orang yang tahu mendengarkan Allah,
supaya dengan itu ia dapat membawa kehendak Allah kepada manusia. Ia harus
lebih dahulu mengikuti Kristus dan dirasuki oleh cintaNya, supaya dengan itu ia
dapat mengundang orang lain untuk mengikuti Kristus, dan dapat
mengkomunikasikan cintaNya kepada mereka. Ia harus lebih dahulu menjadi
orang yang memiliki harapan yang kokoh dan percaya kepada dunia Allah yang
baru, supaya ia dapat membangkitkan harapan dalam diri orang-orang lain

84
sebuah harapan akan Kerajaan Allah. Dengan cara begini, imam tidak hanya
memiliki misi ofisial yang resmi, tetapi lebih dari itu, ia juga dipanggil secara
pribadi untuk menjadikan Kerajaan Allah pusat hidupnya, dan untuk mengikuti
jalan kehidupan Tuhan Yesus dengan semangat yang khusus, radikal, dan
kelihatan.
 Komitmen yang total ini adalah sebuah petualangan kontinyu yang menuntut
banyak hal dari seorang imam. Sejalan dengan inspirasi dari Perjanjian Baru,
Dietrich Bonhoeffer menunjukkan niat dan usahanya yang baik, agar kehidupan
sebagai murid Tuhan Yesus itu menjadi suatu kenyataan yang seluruhnya
kelihatan, seimbang, dan mudah dimengerti. ”Anjurkanlah supaya murid Tuhan
itu membuat dirinya terbuka dan bersedia meletakkan kondisi dirinya sendiri.
Jelas di sini bahwa mengikuti Tuhan berarti berhenti mengikuti diri sendiri,
sebab ketika panggilan Allah datang kepada manusia, hanya ada suatu hal yang
mungkin dari manusia, yakni persetujuan tanpa syarat. Tentu Allah tidak
memadamkan bara api seperti dikatakan dalam Kitab Suci, namun Dialah ’nyala
api yang hendak memakan habis’ (Yes 29:6) segala sesuatu. Dengan ini,
benarlah apa yang dikatakan oleh Kierkegaard: ’Mencari persekutuan yang dekat
dengan Tuhan lewat cara lain selain cara dilukai adalah mustahil dan tidak
mungkin....Orang yang mencari persekutuan dengan Allah tanpa penyerahan diri
yang total, tidak akan mencapainya. Dalam relasi dengan Allah, tidak mungkin
manusia mencapai persekutuan denganNya hanya pada tingkat tertentu saja,
sejauh Ia berlawanan dengan segala sesuatu yang terbatas menurut
derajatnya’”.156
 Dalam nuansa ini maka hendaknya dalam diri seorang imam ada suatu dorongan
hati kepada radikalisme yang tampak dalam seluruh rincian hidupnya yang
konkret, apabila ia benar-benar menjadi the man of God, mengikuti secara
pribadi dan membiarkan diri untuk dipengaruhi oleh Kerajaan Allah. Seandainya
radikalisme ini tidak ada atau dikurangi dan dipalsukan oleh banyak hal duniawi,
maka hidup dan karya seorang imam akan kurang efektif dan kurang dipercayai.
Hal seperti ini sama sekali tidak cocok dengan cinta-kasih yang diminta oleh
Yesus kepada Simon Petrus sebagai satu syarat untuk mengikuti Dia, ”Simon,
anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” (Yoh
21:15). Dalam pertanyaan ini, sama sekali tidak diminta kesediaan Simon Petrus
untuk berkorban bagi keselamatan manusia, tetapi terutama cintanya kepada
Kristus sendiri. Seorang imam diminta hanya untuk mengambil bagian dalam
kurban Kristus sendiri yang memberi diriNya bagi kawanan dombaNya.
 Dalam semangat inilah, Kitab Suci memberi banyak indikasi bahwa kesatuan
antara panggilan dan gaya hidup, atau integrasi antara kekudusan obyektif dan
kekudusan subyektif, dapat memenuhi tuntutan pelayanan imamat dari seorang
imam. Karena itu Santo Fransiskus dari Sales menegaskan bahwa perbedaan
antara Sabda Injil yang tertulis dan kehidupan orang-orang kudus adalah sama
seperti perbedaan antara satu bagian musik dan permainan musik itu seluruhnya.
Dengan perbandingan ini ia hendak menyampaikan bahwa seorang imam tidak

156
Gisbert Greshake, The Meaning of Christian Priesthood ….Op.Cit., pp. 115.

85
cuma menyentuh bagian demi bagian, tetapi mesti terlibat secara penuh dalam
keseluruhan pelaksanaan hidup dan karya imamatnya setiap hari. Artinya, ia
perlu senantiasa berusaha untuk ”menampilkan ciri kenabian Gereja: kesaksian
dan pengajaran berlangsung bersama”.157 Hanya dengan demikianlah ia menjadi
suatu pujian bagi Tuhan.
6.4.2.2.3. Kekudusan: Suatu Pelayanan Bagi Orang Lain
 Kesatuan antara kekudusan obyektif dan kekudusan subyektif tidak hanya
bernilai atau berarti bagi diri imam sendiri, tetapi terutama bagi orang-orang lain
di tengah masyarakat dunia, dan khususnya bagi umat beriman dalam Gereja.
Integritas kekudusan ini sangat perlu dalam diri seorang imam, sebab suatu
”bahaya tetap dalam dunia modern sekarang ini adalah hilangnya rasa akan
Allah dan tidak mampunya manusia untuk menemukan jejak-jejak kehadiran
Allah dalam ciptaan dan sejarah”158 hidup manusia. Akibat dari bahaya ini,
orang-orang modern dewasa ini cenderung bersikap skeptis terhadap norma-
norma, tuntutan-tuntutan yang lahir dari otoritas formal dan resmi, atau dari
warisan institusi dan kekuasaan-kekuasaan tradisional dalam Gereja. Mereka
melihat transmisi misteri Kristus sama seperti ideologi yang munafik dari upaya
dominasi atau sakramentalisme kaum klerus untuk melumpuhkan gaya hidup
mereka.
 Di balik sikap skeptis ini, sebetulnya orang-orang modern menyadari
sepenuhnya arti kemerdekaan dalam kehidupan manusia pada umumnya. Dalam
arah ini, orang-orang modern dapat mengalami otoritas subyektif sebagai
sesuatu yang berarti dan bermakna, apabila mereka melihat dan menemukan
dalam otoritas Gereja itu suatu bentuk ”kebebasan serta ruang gerak....untuk atas
kerelaan sendiri memanfaatkan peluang yang baik dengan memulai kegiatan-
kegiatan”159, atau partisipasi mereka dalam pembangunan kehidupan Gereja.
Mereka juga menerima otoritas Gereja apabila mereka menemukan semangat,
komitmen pribadi dalam tanda-tanda obyektif yang ditunjukkan oleh petugas-
petugas Gereja. Dengan kata lain, mereka mengakui otoritas resmi Gereja,
apabila dalam diri petugas-petugas resmi Gereja itu ada suatu komitmen atau
semangat pelayanan yang tidak egois dalam diri mereka.
 Kritik-kritik terakhir terhadap otoritas Gereja yang beredar luas dewasa ini
banyak muncul dari kekecewaan orang-orang modern, dari ketidakmampuan
mereka yang riil untuk mengalami otoritas yang suci secara obyektif dalam suatu
konteks kekudusan subyektif dari para petugas Gereja. Mereka melihat
kehidupan para petugas Gereja yang banyak kali tidak sesuai dengan kekudusan
obyektif dari karya pelayanan mereka. Berhadapan dengan kesulitan ini maka
petugas-petugas ofisial Gereja mempunyai suatu kewajiban tidak hanya untuk
bertindak secara ofisial menggantikan Kristus, tetapi juga untuk berlaku

157
RH., Art. 19.
158
John Paul II, “Teach Young People the Gospel of Life”, Address to the teachers and students of Pontifical Faculty
of Educational Sciences ‘Auxilium’, on Friday, 19 May 2000, dalam: L’Osservatore Romano, N.25, 21 June 2000,
p. 7.
159
PO., Art. 9

86
sedemikian rupa sehingga karya Kristus yang menyelamatkan dapat mencapai
orang-orang modern dewasa ini melalui diri mereka sebagai suatu persembahan
riil yang secara efektif dapat memerdekakan atau membebaskan manusia dari
kehidupan yang terbelenggu oleh dosa, tindak kekerasan, dan oleh pelbagai
bentuk penindasan dewasa ini.
 Untuk maksud ini maka sangatlah perlu bahwa para imam selaku petugas resmi
Gereja menjadi ”pengatur rumah Allah” dan ”penilik jemaat” yang ”tidak
bercacad, tidak angkuh, bukan pemberang, bukan peminum, bukan pemarah,
tidak serakah, melainkan suka memberi tumpangan, suka akan yang baik,
bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri dan berpegang pada perkataan yang
benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat” (Tit 1:7-9). Namun lebih dari itu
sangat perlu juga bahwa imam mesti menjadi seorang yang pertama-tama
dipengaruhi secara pribadi oleh Kristus. Gaya hidupnya mesti ditandai oleh
keteladanan Kristus dan oleh kedatangan Kerajaan Allah.
 Memang benar bahwa efektivitas dari ajaran seorang imam, pelayanan sakramen
dan bimbingannya atas komunitas umat beriman tidak bergantung pada
kehidupannya secara pribadi sebagai seorang yang percaya, berharap, dan
mencinta. Namun bagaimanapun juga hanya imam yang kuduslah yang dapat
menjamin bahwa komunitas keselamatan yang obyektif akan mencapai tujuan
atau sasarannya. Dalam kenyataan, hanya apabila kehendak para pendengar atau
umat beriman bersemangat dan terbuka, sabda pasti akan diterima dengan iman,
sakramen-sakramen akan dirayakan secara berhasil dan pewartaan akan
didengarkan dengan kerelaan internal atau persetujuan hati. Sebab itu, seorang
imam yang diserahi tugas imamat mempunyai hak dan kewajiban untuk
menampilkan pewartaan iman dalam disposisi dan konteks situasi sedemikian
rupa sehingga pewartaan imannya itu dapat diterima secara aktual dengan iman,
dan dengan itu dapat berhasil secara efektif.
 Dalam arah ini, kekudusan seorang imam dalam arti tertentu mesti dijelmakan
atau diterjemahkan ke dalam motif kredibilitas dari para pendengar. Semangat
hidup diperoleh dari orang yang jiwanya berkobar-kobar, iman dinyalakan oleh
orang yang percaya, keteladanan Kristus digerakkan oleh seorang murid yang
telah mengikuti Dia, dan kemerdekaan dapat dicapai hanya oleh pengalaman
kemerdekaan itu sendiri. Dengan demikian ada suatu ikatan yang erat antara
tugas gerejawi dan gaya hidup aktual dari seorang imam. Imam yang dipanggil
kepada kekudusan dalam konteks umat beriman tidak hanya memandang
kesatuan antara misi dan kesaksian hidupnya (yang diterangi dan diusulkan
dalam Kitab Suci), tetapi juga akan memperhatikan situasi aktual hari ini, atau
tanda-tanda yang senantiasa menuntut suatu pewartaan yang mempribadi dan
dipercayai.
 Sesuai dengan tuntutan ini, maka ”tanda-tanda zaman ini hendaknya membuat
imam waspada. Entah secara diam-diam atau secara langsung – namun selalu
dengan mendesak – imam ditanya: sungguh-sungguhkah kamu percaya akan apa
yang kamu wartakan? Sungguhkah kamu mewartakan yang kamu percayai?
Lebih dari dahulu kesaksian hidup merupakan suatu kondisi yang hakiki agar

87
sungguh-sungguh efektif dalam pewartaan”.160 Dewasa ini, ”manusia modern
sudah jenuh dengan omongan. Ia kelihatannya bosan mendengarkan, dan yang
lebih jelek lagi tak tergerak oleh kata-kata. Kita juga menyadari bahwa banyak
ahli ilmu jiwa dan para sosiolog mengungkapkan pandangan mereka bahwa
manusia modern telah melampaui peradaban kata, yang sekarang ini tidak efektif
dan tidak berguna....Manusia modern lebih senang mendengarkan kesaksian
daripada para pengajar. Dan bila mereka mendengarkan para pengajar, hal itu
disebabkan karena para pengajar itu adalah saksi-saksi”.161 Dalam haluan inilah,
seorang imam sebenarnya dipanggil bukan kepada suatu model kekudusan yang
lain dari kekudusan yang didambakan oleh umat beriman. Namun demikian,
perhatian untuk mencapai kesatuan antara misinya yang ofisial dan kekudusan
pribadinya adalah motivasi spesifik, dan karena itu merupakan bentuk khusus
dari spiritualitas seorang imam.
6.4.2.2.4. Kekudusan: Suatu Panggilan Seumur Hidup
 Kesatuan antara tugas dan kehidupan pribadi, antara kekudusan obyektif dan
kekudusan subyektif ini mewarnai kehidupan seorang imam, bukan saja dalam
keseluruhan aspeknya, melainkan juga meliputi keseluruhan waktu hidupnya. Waktu
adalah satu hal yang penting apabila kita berbicara tentang pengorbanan dan
pengabdian manusia. Dalam arti ini, radikalisme dan totalitas pengorbanan serta
pengabdian seorang imam mesti berjalan dalam seluruh masa hidupnya sampai akhir
hayat. Yang dikehendaki dari imam di sini adalah mengorbankan atau
mempersembahkan seluruh waktunya kepada Tuhan dan sesama. Hal ini perlu, sebab
”barangsiapa memberi waktu kepada orang-orang lain, sesungguhnya ia sedang
memberi kehidupan kepada mereka”.162
 Radikalisme dalam pengorbanan waktu ini berlaku dalam setiap komitmen seorang
imam terhadap keputusan menyangkut panggilan hidupnya. Dalam arah ini,
keputusan imamat tidak dapat diubah-ubah setiap kali imam itu merasa senang atau
tidak dengan panggilannya. Keputusan yang bertanggungjawab senantiasa dibaharui,
namun tidak dapat diganti-ganti. Secara esensial, keputusan diambil hanya satu kali
saja dalam hidup manusia. Ia tidak dapat diubah-ubah dan tidak dapat dicabut
kembali. Hal ini terjadi dalam setiap keputusan riil atas kehidupan konkret yang
biasa setiap hari. Kalau keputusan dalam hidup yang biasa saja sudah terjadi
demikian, apalagi menyangkut keputusan atas misi kehidupan yang datang dari
Tuhan dan kesediaan untuk melayani Dia dalam panggilan imamat.
 Sudah sejak para nabi dalam Perjanjian Lama, Allah mengambil sedemikian rupa
kehidupan orang yang dipanggilNya, sehingga orang itu tidak dapat lagi melarikan
diri dari panggilanNya (Lih. Yer 20:7). Di dalam Perjanjian Baru, Santo Paulus pun
mengalami hal yang sama (Lih. Flp 3:12-14). Dalam penegasan ini, Santo Paulus
160
Paus Paulus VI, Ensiklik Evangelii Nuntiandi, dalam: R. Hardiwiryana, SJ. (Penerj.), Seri Dokumen Gerejawi
No…., (Jakarta: Departemen Dokpen KWI, 1994), Artikel 76. Selanjutnya akan disingkat EN diikuti nomor
artikelnya.
161
EN., Art. 41 & 42.
162
John Paul II, “Time is imbued with God’s presence and saving action”, Message to the Archbishop Ludwig
Averkamp of Hamburg for 94th German ‘Katholikentag’, 23 May 2000, dalam: L’Osservatore Romano, N.27, 5 July
2000, p. 9.

88
mengalami dan merasakan bahwa Kristus telah menangkap dirinya dalam panggilan
untuk menjadi seorang rasul. Tangkapan Kristus itu begitu kuat dalam panggilan
hidupnya, sehingga dalam situasi bagaimanapun ia tidak mungkin lagi dapat mundur
atau melarikan diri, tetapi terus-menerus ia berlari ke depan mengikuti panggilan
hidupnya itu. Proses seperti ini semestinya terjadi juga dalam panggilan hidup
seorang imam. Dalam panggilannya, seorang imam mesti menghadirkan
pengorbanan Tuhan Yesus kepada manusia. Hal ini dapat dilakukan secara
meyakinkan hanya jika imam itu sanggup menyatakan bahwa ia telah ditangkap,
dipanggil, dan dipilih oleh Tuhan sendiri untuk mengorbankan semua kekuatan
dirinya, dan untuk mempersembahkan seluruh waktu hidupnya dalam pengabdian
penuh cinta terhadap Tuhan dan sesama. Dengan inilah panggilan seorang imam
secara esensial benar-benar merupakan suatu panggilan seumur hidup.
 Dalam perjalanan waktu, kesatuan antara posisi ofisial dan kekudusan subyektif, atau antara
pelayanan obyektif dan kehidupan pribadi, bisa saja pada waktu-waktu tertentu maju-
mundur atau menjadi kabur dalam diri seorang imam. Namun demikian, tuntutan untuk
memelihara integritas kekudusan itu selalu ada dan selalu ditegakkan. Tuntutan ini tidak
boleh mengendor, sebab ”hanya imam yang menghayati apa yang diakuinya dengan bibir
mempunyai harapan untuk didengarkan oleh orang-orang lain. Imam harus menyadari bahwa
lingkungan sosial kadang-kadang tidak mengizinkan suatu pewartaan yang eksplisit tentang
Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Penyelamat semua orang. Karena itu, kesaksian hidup
yang penuh sikap hormat, murni, tidak melekat pada kekayaan, serta bebas dari kekuasaan
dunia ini, singkatnya kesaksian dari kekudusan hidup dapat mewahyukan semua
kekuatannya yang meyakinkan, walaupun kesaksian itu dipersembahkan secara tersembunyi
dan diam-diam dalam keheningan”.163 Hanya kalau imam menyaksikan kehidupan yang
kudus dalam seluruh masa baktinya, ia akan didengar, diterima, dan dipercaya oleh orang-
orang lain di dunia ini.
 Atas dasar inilah maka sudah sejak permulaan, Bunda Gereja memiliki sejumlah kriteria
bagi calon tahbisan imam untuk menilai apakah mungkin imam itu sebagai petugas Gereja di
masa depan sungguh-sungguh mendapat panggilan dari Allah, memiliki anugerah-anugerah
spiritual yang perlu, dan benar-benar bersedia untuk mengabdikan seluruh hidupnya bagi
karya pelayanan imamat. Dasar pertimbangan ini mendorong Santo Paulus untuk
menegaskan kepada Timotius demikian, ”Janganlah engkau terburu-buru menumpangkan
tangan atas seseorang dan janganlah terbawa-bawa ke dalam dosa orang lain. Jagalah
kemurnian dirimu” (1Tim5:22). Perkataan Santo Paulus ini mengandung ajakan bagi para
pemimpin dalam hal ini para Uskup, agar tidak terburu-buru menahbiskan seorang imam
tanpa lolos seleksi dan ujian, atau tanpa suatu prosedur yang seharusnya dipenuhi oleh calon
imam bersangkutan. Kriteria-kriteria yang ditetapkan untuk menentukan layak-tidaknya
seseorang ditahbiskan sangat berguna, pertama-tama untuk memberi kepastian yang lebih
besar kepada Gereja akan mutu imam yang diharapkannya. Selain itu juga sangat membantu
calon imam sendiri untuk menguji keaslian motivasi panggilannya dan sekaligus mengukur
kesediaannya bagi pelayanan imamat.

6.5. Sumber Spiritualitas Imamat

163
John Paul II, “Spirit sends us to proclaim the Gospel”, Pentecost Homily, on Saturday, 11 June 2000, dalam:
L’Osservatore Romano, N.24, 14 June 2000, p. 9.

89
 Sumber spiritualitas dalam konteks imamat dipahami sebagai bentuk-bentuk karunia khusus yang
diterima oleh imam pada momentum tahbisan. Karunia-karunia khusus itu selain membangun
dasar dan keabsahan panggilan imamat, juga sekaligus menghembuskan nafas kehidupan ke
dalam diri seorang imam untuk hidup dan berkarya bagi Allah dan GerejaNya. Dalam batasan ini,
ada beberapa sumber yang menjadi karunia khusus bagi seorang imam untuk membangun
spiritualitas hidup dan karyanya bagi Allah dan manusia. Sumber-sumber itu antara lain: (1)
rahmat Allah yang menguduskan; (2) partisipasi dalam kehidupan Kristus; (3) ikatan dengan
sakramen-sakramen inisiasi; (4) tahbisan imamat.
6.5.1. Rahmat Allah Yang Menguduskan
 ”Karena para imam dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas para rasul, mereka
dikaruniai rahmat oleh Allah untuk menjadi pelayan Kristus Yesus di tengah para bangsa dengan
menunaikan tugas Injil yang suci supaya persembahan para bangsa yang disucikan dalam Roh
Kudus berkenan kepada Allah”.164 Dengan ini, sumber utama dari spiritualitas imamat adalah the
primacy of grace165, yakni keunggulan atau keutamaan rahmat Allah. Dalam sumber ini, rahmat
Allah merupakan ”prioritas mutlak” 166 dalam panggilan hidup dan karya seorang imam. Menurut
ritus hakiki dari sakramen tahbisan, ”uskup meletakkan tangannya di atas kepala orang yang
ditahbis dan memohon dalam doa tahbisan yang bersangkutan dari Tuhan curahan Roh Kudus
dan anugerah-anugerah rahmat yang khusus untuk pelayanan, untuk mana calon itu ditahbis”. 167
Peletakan tangan serta doa tahbisan oleh uskup pada saat tahbisan adalah simbol pencurahan
rahmat khusus dari Allah kepada seorang imam melalui kuasa Roh Kudus. Melalui peristiwa ini
”panggilan merupakan karunia rahmat Allah dan tak pernah hak manusia, sehingga tidak pernah
hidup imam boleh dianggap sebagai perkara manusiawi belaka, atau perutusan pelayan melulu
sebagai proyek pribadi. Dengan demikian setiap klaim atau sikap menuntut di pihak mereka yang
dipanggil, ditolak secara radikal ” (Bdk. Ibr 5:4...dst.). 168
 Secara umum, rahmat khusus dari Allah itu menguduskan, menyucikan, dan mengangkat manusia
kepada status mulia anak-anak Allah sebagai imamNya dan ahli waris Kerajaan Surga (Bdk. Rm
8:16-18). Dalam gambaran umum ini, terdapat dua pikiran mengenai rahmat Allah, yaitu rahmat
sebagai bentuk partisipasi, dan efek atau buah dari rahmat Allah itu sendiri bagi kehidupan
seorang imam.
 Rahmat Allah yang menguduskan dapat didefinisikan sebagai suatu kualitas adikodrati yang
diwariskan dalam jiwa manusia. Sebagai warisan adikodrati, ”rahmat adalah bantuan yang Allah
berikan kepada kita supaya kita dapat menjawab panggilan kita menjadi anak angkatNya. Ia
mengantar kita masuk ke dalam kehidupan Tritunggal yang paling dalam”. 169 Dalam batasan ini,
secara analogis dan aksidensial, rahmat Allah memberi kita suatu partisipasi fisik dan formal
dalam hakikat dan kehidupan Allah. Dalam bentuk partisipasi, rahmat Allah menjadi suatu
prinsip formal yang mengangkat dan menentukan kita dalam kehidupan adikodrati. Rahmat Allah
itu sendiri melampaui segala sesuatu dan membuat kita masuk ke dalam lingkungan serta suasana
ilahi melalui partisipasi.
 Selanjutnya, melalui partisipasi itu, rahmat Allah pun berkarya dan menghasilkan berbagai efek

164
PO., Art. 2
165
Paus Yohanes Paulus II, Apostolik Letter Novo Millenio Ineunte (6 Januari 2001), dalam: R. Hardawiryana. SJ.,
(Penerj.), Seruan Apostolik Pada Awal Millenium Baru, Seri Dokumen Gerejawi No. 62 (Jakarta: Departemen
Dokpen KWI, 2002), Artikel 38. Selanjutnya akan disingkat NMI, Art., dan nomor artikelnya.
166
PDV., Art. 36
167
KGK., No. 1573
168
PDV., Art. 36
169
KGK., No. 2021

90
atau buah dalam diri seorang imam, antara lain: (i) menjadikannya sebagai anak angkat Allah; (ii)
menjadikannya sebagai ahli waris Allah; (iii) menjadikannya sebagai ahli waris Kristus; (iv)
membuatnya benar dan berkenan kepada Allah; (v) memampukannya untuk memperoleh pahala
adikodrati; dan (vi) menyatukannya dengan Allah sendiri.
6.5.2. Partisipasi Dalam Kehidupan Kristus
 Tidak ada panggilan Kristen dan tidak ada pula pelayanan dalam Gereja kalau panggilan dan
pelayanan itu tidak lahir dari sebuah acuan langsung pada pribadi Yesus Kristus sendiri, yaitu
pada partisipasi dalam konsekrasi dan misiNya, dengan bentuk dan intensitas yang berbeda-beda.
Kristus adalah satu-satunya ”Pengantara antara Allah dan manusia” (1Tim 2:5). Ia telah
mendamaikan Allah dengan manusia dan manusia dengan Allah (2Kor 5:18-19). Dengan
inkarnasiNya, Ia mengambil dan menyatukan sepenuhnya dengan diriNya secara baru dan benar
fungsi-fungsi yang dalam Perjanjian Baru dilakukan oleh orang-orang yang berbeda-beda.
 Sudah sejak awal, Gereja yang satu ini memiliki kemajemukan yang luar biasa. Di satu pihak,
kemajemukan itu disebabkan oleh perbedaan anugerah-anugerah Allah, dan di lain pihak, oleh
keanekaan orang yang menerimanya....Di antara anggota-anggota Gereja, ada keanekaragaman
anugerah, tugas, syarat-syarat dan cara hidup. 170
 Lewat sakramen permandian, Yesus Kristus mengkomunikasikan kepada semua anggota
TubuhNya yakni Gereja, suatu partisipasi dalam konsekrasi dan misiNya, yang dikukuhkan
dengan sakramen krisma. Partisipasi riil dalam konsekrasi dan misi Kristus ini bersifat komplit,
sempurna. Dengan cara demikian, semua orang yang dipermandikan menjadi orang-orang yang
”ditahbiskan”. Artinya, mereka dikuduskan oleh pengurapan Roh Kudus dan dikonfigurasikan
dengan Kristus. ”Dengan menjadi anak-anak Allah, putra-putri angkatNya, mereka melalui
sakramen permandian menyerupai Dia juga, menjadi kerajaan dan imam-imam, dan menerima
imamat rajawi”.171 Mereka menjadi partisipan dalam imamatNya yang profetis dan rajawi. Ke
mana saja dan di mana saja mereka juga akan siap diutus kepada orang-orang lain sebagai saksi-
saksi dari warta keselamatan Kristus. Menurut Paus Yohanes Paulus II, ”semua orang beriman
mengambil bagian dalam imamat Kristus, dan partisipasi demikian berarti bahwa sudah sejak
permandian dari air dan Roh Kudus mereka ditahbiskan untuk mempersembahkan kurban-kurban
rohani dalam kesatuan dengan kurban keselamatan satu-satunya yang dipersembahkan Kristus
sendiri. Semua orang beriman – sebagaimana umat mesianik dari Perjanjian Baru – menjadi
dalam Kristus ’imamat yang rajawi’ (1Ptr 2:9)”. 172
 Sekalipun demikian, demi kepentingan umat seluruhnya, tahbisan imamat tetap memberi suatu
partisipasi yang khusus dalam konsekrasi dan misi Kristus. Partisipasi khusus dari kaum tertahbis
ini (Uskup, Imam, Diakon) sudah dimulai dalam sakramen permandian dan krisma, namun yang
belum lengkap sepenuhnya, sejauh mereka (kaum tertahbis) sebagai wakil Kristus dan wakil
Gereja ditempatkan pada tingkatan lain dalam hubungan dengan tugas-tugas tertentu yang mereka
laksanakan bagi kepentingan umat beriman dalam Gereja. Dengan dasar ini, pelayanan kaum
tertahbis tidak dapat direduksi begitu saja kepada suatu intensifikasi sederhana atau
perkembangan dari imamat umum kaum beriman. Sebaliknya, pelayanan kaum tertahbis
merupakan visibilisasi atau representasi sakramental dari kekuasaan Kristus satu-satunya.
Dengan kekuasaanNya, Kristus tak henti-hentinya melahirkan dan mengukuhkan imamat profetis
dan rajawi dari umat beriman melalui pelayanan Sabda, pelayanan Sakramen-sakramen dan
pelayanan Kepemimpinan, yang seharusnya dilakukan para pelayan Gereja berkat sakramen
tahbisan (imamat ministerial). Tanda khusus sakramental dan tanda khusus kekuasaan atau

170
KGK., No. 814
171
RH., Art. 20.
172
Giovanni Paulo II, Cari Sacerdoti, 569, Op.Cit., p.116. Bdk. LG., Art. 10; PO., Art. 2

91
wewenang menciptakan suatu perbedaan esensial antara imamat umum dan imamat khusus. 173
6.5.3. Ikatan Dengan Sakramen-sakramen Inisiasi
 Setiap tipe spiritualitas dan kekudusan berakar dalam sakramen-sakramen inisiasi Kristen, dan
mendasarkan suatu pengalaman pribadi dengan Kristus serta kelekatan pada InjilNya. Sakramen
permandian menenggelamkan seorang beriman ke dalam misteri kematian dan kebangkitan
Kristus, memasukkan dia ke dalam Gereja dan membuat dia mengambil bagian dalam buah-buah
keselamatan. Seluruh proses ini menaruh dan menanamkan dalam diri orang yang dibaptis sebuh
ciri-khas dan tuntutan transenden dan eskatologis dari kehidupan Kristen. Tuntutan transenden
maksudnya ialah bahwa melalui permandian, seseorang dituntun menuju Allah yang adalah
tujuan adikodrati segala sesuatu. Sedangkan tuntutan eskatologis berarti bahwa dengan menerima
sakramen permandian, di dalam diri orang terbaptis sudah dimulai sekarang di dunia ini benih-
benih kehidupan abadi yang kepenuhannya baru akan dicapai kemudian dalam perjumpaan
terakhir dengan Allah di surga. Dari sudut pandang ini, setiap orang yang menerima sakramen
permandian adalah ciptaan baru, karena kehidupan Kristen mengandung suatu kelebihan atau
keunggulan di atas aturan hidup yang murni alamiah. Dengan keadaan sebagai ciptaan baru ini,
sangat diharapkan agar semua orang terbaptis mampu melihat dan membaca segala sesuatu
dengan mata yang baru pula, yakni mata iman.
 Melalui sakramen permandian, orang Kristen dipilih oleh Allah dan dikuduskan oleh Roh Kudus
menjadi orang tertahbis yang diutus ke tengah-tengah dunia untuk mewartakan Kabar Baik
Kerajaan Allah. Dalam misinya ini, ia mesti masuk ke dalam dunia seperti ragi yang
mengkhamiri adonan roti (Bdk. Mat 13:33). Aspek inkarnasi ini menemukan dasarnya yang
khusus dalam karunia sakramen krisma, yang mengukuhkan ikatan kepemilikan orang yang
dipermandikan kepada Gereja dengan suatu pencurahan baru dari Roh Kudus. Pencurahan baru
ini mendorong seseorang untuk menyaksikan Kristus secara lebih tepat di dunia melalui sikap
hidup, perkataan, dan perbuatannya. Berkat sakramen baptis dan krisma, kaum beriman Kristiani
diberi tugas untuk, ”.....menyinari dan mengatur semua hal fana, yang erat-erat melibatkan
mereka sedemikian rupa, sehingga semuanya itu selalu terlaksana dan berkembang menurut
kehendak Kristus, demi kemuliaan Sang Pencipta dan Penebus”. 174 Dengan ini, kehadiran kaum
beriman Kristiani (Awam) di tengah dunia, sambil menyatakan cinta Allah yang merangkul dunia
dan menyelamatkannya, menjadi langkah pertama dan terutama dari animasi Kristen terhadap
struktur dunia, melaluinya mereka dikuduskan dalam kehidupan profesional dan sosial sehari-
hari. Karena itu, ”..... guna menjawab panggilannya, kaum beriman (awam) mesti memandang
kegiatan-kegiatan mereka sehari-hari sebagai peluang untuk menggabungkan diri mereka dengan
Allah, melaksanakan kehendakNya, melayani orang lain dan menuntun mereka kepada persatuan
dengan Allah dalam Kristus”.175
 Selanjutnya, dibandingkan dengan kaum awam, kehidupan rohani seorang imam tetap memiliki
nilai-nilai umum dan autentik yang lahir dari sakramen-sakramen inisiasi Kristen. Dari diri
seorang imam, nilai-nilai umum dan autentik itu tidak hilang, sebab ”imamat para imam memang
mengandaikan sakramen-sakramen inisiasi Kristen”. 176 Fakta menunjukkan bahwa sebelum
ditahbiskan menjadi pelayan Kristus, imam adalah seorang terbaptis yang harus menghidupi
tuntutan-tuntutan dasar dari agama Kristen. Dengan demikian, hal mengikuti Kristus yang
bermula dari penerimaan sakramen permandian dan krisma menuntut suatu upaya yang kontinyu
dari imam untuk bertobat menurut nilai Injil (Bdk. Mrk 1:15). Upaya metanoia yang kontinyu ini
mencakup seluruh eksistensi seorang imam dari hari ke hari selama hidupnya, bahkan ketika ia
173
Bdk. PO., Art. 2.
174
Bdk. LG., Art 31; AA., Art. 7.
175
Bdk. CFL., Art, 17.
176
KGK., No. 1563.

92
masih berada di bangku pendidikan sebagai seorang calon imam. Upaya pertobatan dengan
orientasi dasar kepada pelayanan-pelayanan khusus seorang imam ini hendaknya memberi warna
dan cap istimewa kepada spiritualitas kehidupan dari siapa saja yang mau menjadi imam.
 Satu kewajiban pokok yang lahir dari upaya tobat ini adalah pertumbuhan Kerajaan Allah dalam
diri imam dan penyebarannya secara nyata dalam dunia dengan menyaksikan ”sikap-sikap Yesus
yaitu kebaikan, kejujuran, keprihatinan, keadilan, penolakan kekerasan dan kebencian, serta
kesediaan untuk memaafkan”. 177 Hasrat utama yang hidup dan yang menuntun pertumbuhan ini
adalah Kasih Allah yang telah dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus (Rm 5:5); sebuah
kasih yang menguasai kita (Bdk. 2Kor 5:14); sebuah kasih, dengannya kita tidak dapat dipisahkan
dari Kristus (Rm 8:35-39); sebuah kasih yang mempersiapkan kita bagi perjumpaan terakhir
dengan Allah yang adalah Kasih. Dengan kasih itu, kita – pada saat perjumpaan terakhir – akan
melihat Allah muka dengan muka (visio beatifica). Kita akan mengenal Dia dengan sempurna,
seperti kita sendiri dikenal (Bdk. 1Kor 13:12).
 Dalam ruang kasih ini, kehidupan seorang imam akan bergerak dalam tiga poros, yakni: aku-nya
imam, orang lain, dan Allah. Peran cinta-kasih dalam hal ini adalah mengatur dinamika relasi
seorang imam menurut tiga poros kehidupan ini. Pada akhir kehidupan, buah kasih dalam
pekerjaan dan usaha setiap hari ini menjadi tolok ukur untuk menilai dan mengadili setiap orang,
termasuk imam, apakah ia layak atau tidak untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah (Bdk. Mat
7:21.22-23). Dengan ini, patokan bagi keselamatan manusia pada akhir zaman adalah perwujudan
kasih dalam perbuatan dan pekerjaan sehari-hari bagi orang-orang kecil, seperti orang yang lapar,
haus, orang asing, orang telanjang, orang sakit, dan para tawanan (Bdk. Mat 25:35-36). Kasih
yang dimaksud bahkan juga harus meluas dan menjangkau kasih kepada para musuh dan lawan
(Bdk. Mat 6:12-15; Yoh 13:35).
 Dalam haluan kasih sampai kepada musuh ini, seorang imam hendaknya menghidupkan dan
menumbuhkan persekutuan dengan Bapa melalui Putra dalam Roh Kudus. Persekutuan kasih ini
dapat dicapai oleh imam apabila ia menggunakan bantuan-bantuan rohani yang diberikan
kepadanya seperti: berbagai bentuk doa, sakramen-sakramen, hari-hari retret, latihan-latihan
spiritual dan dedikasi kepada sesama. Sarana-sarana rohani ini penting bagi seorang imam, sebab
”mengikuti Kristus dengan cinta yang murah hati menuntut pertumbuhan internal yang intens dan
kontinyu. Demi pertumbuhan ini, sangat diperlukan upaya untuk memelihara kehidupan doa yang
teratur, berpartisipasi sesering mungkin dalam Ekaristi dan sakramen Tobat, dan mempraktekkan
kebajikan-kebajikan Injil, khususnya cinta kasih”. 178 Bagi seorang imam dalam hidup dan
karyanya, ”tidak ada pembaruan, bahkan pembaruan sosial yang tidak mulai dengan kontemplasi.
Perjumpaan dengan Tuhan dalam doa mengilhami peredaran sejarah dengan kekuatan yang
misterius yang menyentuh hati dan membimbingnya kepada perubahan dan pembaruan.
Tepatnya, perjumpaan dengan Tuhan dalam hal ini menjadi suatu kekuatan yang secara historis
bertenaga dalam perubahan-perubahan struktur sosial”. 179
 Inilah program kehidupan spiritual yang berlaku umum bagi semua orang yang dipermandikan,
dan teristimewa bagi seorang imam. Dalam program spiritual ini, imam lebih dari umat beriman
lainnya, dituntut secara istimewa untuk menghayati dalam hidupnya kesatuan yang tak
terceraikan antara: keberadaan dan perbuatannya, misi dan tingkah lakunya.

177
Frans Magnis-Suseno, “Di Tahun 2000 Umat Katolik Indonesia Melihat ke Depan”, dalam: Penyalur,
November-Desember 2000, Vol. XVII, No. 06, p. 642.
178
John Paul II, “All are called to bear witness to Christ”, Address to Pilgrims from Padua, on Friday, 3 March 2000,
dalam: L’Osservatore Romano, N. 11-15, March 2000, p. 4.
179
John Paul II, “Subsidiarity: an important principle of social philosophy”, Message for 43rd Italian Catholic Social
Week, dalam: L’Osservatore Romano, N. 2-12, January 2000, p. 8.

93
6.5.4. Tahbisan Imamat
 Dengan menerima sakramen permandian, ”semua orang kristiani, bagaimanapun status dan corak
hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta-
kasih”180 dalam persekutuan yang hidup dengan Kristus dan dengan sesama. Dalam panggilan
dasar ini, semua orang yang ”dibaptis karena kelahiran kembali dan pengurapan Roh Kudus
disucikan menjadi kediaman rohani dan imamat suci, untuk sebagai orang kristiani, dengan
segala perbuatan mereka, mempersembahkan kurban rohani, dan untuk mewartakan daya
kekuatan Dia yang telah memanggil mereka dari kegelapan ke dalam cahayaNya yang
mengagumkan”(Bdk. 1Ptr 2:4-10).181 Panggilan umum kepada kekudusan ini ”mengobarkan
semangat setiap orang yang dipermandikan dan menuntut setiap orang supaya mengikuti dan
meneladani Yesus Kristus dalam memeluk ajaran Kebahagiaan, dalam mendengarkan dan
merenungkan Sabda Allah, dalam partisipasi yang sadar dan aktif dalam kehidupan liturgi serta
sakramen Gereja, dalam doa pribadi, dalam keluarga atau dalam persekutuan, dalam kelaparan
serta kehausan akan keadilan, dalam praktek perintah kasih dalam segala keadaan hidup serta
pelayanan kepada saudara-saudari, teristimewa yang paling kecil, yang miskin, dan yang
menderita”.182
 Dalam panggilan umum ini, imam sebagaimana umat beriman lainnya, sudah diperkaya sejak
menerima sakramen baptis dengan rahmat Allah yang membimbingnya untuk mencari dan
mencapai kesempurnaan menurut perintah Tuhan ini: ”Karena itu, haruslah kamu sempurna,
sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna” (Mat 5:48). Dengan ini, tahbisan imamat
sama sekali tidak menghapuskan, tetapi sebaliknya justru mengembangkan potensialitas
pertumbuhan rohani seorang imam yang berasal dari sakramen baptis. Imam tetaplah seorang
Kristen dengan semua kewajiban dasar yang berakar dalam pembaptisan, namun yang dibubuhi
juga dengan realitas pelayanan tertahbis sesuai dengan tugas yang diembannya. Dengan
demikian, sekalipun imam itu pada dasarnya adalah ”sesama saudara” 183 dengan murid-murid
Tuhan yang lain, namun secara khas ia tetap berbeda secara radikal dengan mereka. Perbedaan ini
lahir dari pengurapan Roh Kudus pada saat tahbisan, yang membuat dia ”ditandai dengan meterai
istimewa, dan dengan demikian dijadikan serupa dengan Kristus Sang Imam, sehingga (ia)
mampu bertindak dalam atau atas nama pribadi Kristus Kepala”. 184
 Dengan kenyataan ini maka pada dasar panggilan imamat selalu ada suatu pilihan atau titel baru
yang datang dari Kristus sendiri. Pilihan ini mengikat orang yang tertahbis ”untuk mengabdi
Allah serta meluhurkanNya karena alasan yang baru dan istimewa” 185 dalam panggilan imamat.
Dengan kuasa Roh Kudus, Kristus sendiri mengundang orang-orang yang terpanggil untuk
”mengikuti Dia” (Mat 9:9; Mrk 2:14; Luk 5:27), untuk ”melihat Dia” dan untuk ”tinggal
bersama-sama dengan Dia” (Yoh 1:39). Dia juga mengajak mereka untuk ikut-serta dalam
misiNya ”memberitakan Injil” (Mrk 3:14). Dengan ritus ”penumpangan tangan dan dengan kata-
kata tahbisan, rahmat Roh Kudus diberikan, dan meterai suci dicapkan sedemikian rupa, sehingga
para imam, atas cara yang luhur dan kelihatan menjalankan peran Kristus: Guru, Gembala, dan
Imam Agung sendiri, dan bertindak dalam/atas nama pribadiNya (in Eius persona agant)”.186
Dengan kejadian istimewa ini, karunia panggilan imamat dikukuhkan oleh Roh Kudus pada diri
orang yang tertahbis dengan karisma yang tak terhapuskan. Karisma ini memberikan imam suatu
konfigurasi khusus dengan Kristus dalam realitasNya sebagai Imam Agung dan Abadi. Karisma
180
LG., Art. 40
181
LG., Art. 10
182
CFL., Art. 16
183
PO., Art. 9
184
PO., Art. 2
185
LG., Art. 4
186
KGK., No. 1558

94
yang sama membuat dia sanggup untuk mengaktualisasikan kekuasaan khusus dari Kristus dalam
membangun, membimbing, dan memimpin GerejaNya. Dengan karisma yang sama, ia juga
diangkat untuk menjadi tanda pribadi dari dan bagi Kristus sendiri. Karisma ini membuat dia
bertindak atas nama Kristus dalam lingkungan internal pelayanan Gereja, sejauh Gereja masih
berziarah di dunia ini sampai kepada kepenuhannya dalam Kerajaan Allah yang akan datang.
 Anugerah Roh Kudus yang dikaruniakan Bapa dan Putra pada momentum tahbisan tidak hanya
menetapkan permulaan sakramental dari imamat dalam diri seorang imam; juga tidak hanya
mencurahkan dalam dirinya kekuasaan untuk berkarya in persona Christi dan in persona
Ecclesiae, serta kewenangan inkorporasinya dalam jajaran apostolik melalui kolegialitas para
uskup, tetapi juga menjadi baginya sumber pembaruan internal yang mencakup totalitas
keberadaan hidupnya. Dalam kerangka pembaruan internal ini, karunia Roh Kudus pada saat
tahbisan tinggal dalam diri imam, meresapi dia dan memberinya hidup dari dalam. Karunia Roh
Kudus itu hadir dalam bagian terdalam dari dirinya, dalam pikirannya, dalam nurani dan
hatinya187, sehingga ia benar-benar ”siap sedia dibentuk dari dalam oleh Roh Kudus” 188, untuk
menjadi lebih serupa lagi dengan Kristus.
 Sebagai konsekuensi dari pembaruan dan ”perubahan batin ini” 189, tugas untuk menghadirkan
Kristus dan GerejaNya, serta kuasa untuk bertindak sebagai imamNya mengandung dan meminta
dari pihak imam suatu tuntutan khusus kepada kebajikan dan kekudusan untuk keluar dari diri
sendiri dan untuk memberi kepada orang-orang lain kebaikan-kebaikan yang dimilikinya, mulai
dengan karunia pemberian yang paling berharga dari semuanya, yaitu imannya sendiri. 190 Model
utama kebajikan dan kekudusan dalam arah ini adalah Kristus sendiri yang adalah Kudus dan
Pengudus, yang mempersembahkan diriNya kepada Bapa bagi keselamatan manusia, dan dengan
demikian Ia dapat masuk ke dalam kemuliaan. Secara analogis, imam juga melalui konfigurasi
dengan Kristus yang dilakukan oleh Roh Kudus pada saat tahbisan, hendaknya berusaha untuk
mencapai dan menghayati kekudusan subyektif dalam hidupnya. Hal ini dapat dicapai bila imam
berupaya mematikan dalam dirinya perbuatan daging, dan membaktikan diri seutuhnya dalam
pengabdian kepada sesama, dengan demikian ia mampu melangkah maju dalam kekudusan
menuju kedewasaan penuh dalam panggilan imamat.191
 Dalam bingkai kekudusan ini, panggilan dan pelayanan imamat bukanlah suatu hal yang bersifat
eksternal, marginal atau pinggiran. Imamat memberi imam suatu status atau tempat dalam Gereja
yang ”diteguhkan oleh daya Tuhan yang bangkit untuk dapat mengatasi sengsara dan
kesulitannya baik dari dalam maupun dari luar, dengan kesabaran dan cinta kasih, dan untuk
dengan setia mewahyukan misteri Tuhan di dunia, kendati dalam kegelapan, sampai ditampakkan
pada akhir zaman dalam cahaya yang penuh”. 192 Melalui tahbisan imamat, seorang imam ”dengan
ikatan tak terputuskan bersatu dengan Gereja mempelaiNya” 193 selama hidup dalam misteri cinta
kasih Allah ”yang tersembunyi sejak kekal.....dalam Kristus”. 194
 Dengan ini, imamat memberi suatu kualifikasi baru dan istimewa kepada seorang imam
sepanjang hidupnya untuk mewakili Kristus Sang Gembala dalam komunitas Gereja dan di

187
Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Dominum Et Vivificantem, tentang Roh Kudus Dalam Kehidupan Gereja dan
Dunia (16 Mei 1986), dalam: J. Hadiwikarta, Pr. (Penerj.), Seri Dokumen Gerejawi No. 18 (Jakarta: Departemen
Dokpen KWI, 2004), Artikel 54. Selanjutnya akan disingkat DEV, Art., dan nomor artikelnya.
188
RM., Art. 87
189
EN., Art. 18
190
RM., Art. 49
191
Bdk. PO., Art. 12.
192
LG., Art. 8
193
LG., Art. 44
194
PO., Art. 13

95
hadapannya dengan pewartaan Sabda Allah, perayaan Ekaristi, pengampunan dosa-dosa, animasi
injili dan bimbingan umat beriman. Pada titik ini, panggilan imamat meminta dari setiap imam
suatu asimilasi yang total dan sempurna pada sikap Kristus, yang karena cinta dan demi cinta
memberi karunia imamat kepada dirinya. Sejak menerima sakramen imamat, orang yang
ditahbiskan memasuki dan merealisasi kontak pribadi dengan Kristus dalam aneka macam
tuntutan pelayanan imamat. Imam mesti menerima dengan sadar kedudukannya ini di antara
anggota-anggota umat Allah dan memperhatikan kehidupan serta perbuatannya di tengah-tengah
mereka.
 Tahbisan imamat secara istimewa memfigurasikan imam dengan Kristus dan menjadikannya
”tanda pribadi” Kristus Gembala dalam karya pelayanan Injil, pelayanan rahmat dan pelayanan
umat Allah dalam Gereja dan dalam dunia. Dengan ini, imam mesti menampakkan titel baru dan
motivasi-motivasi hidupnya yang konsisten yang mendorong dia untuk memenuhi secara lebih
intens tuntutan dan kesaksian hidup Kristen. Intensitas yang lebih tinggi dari pelaksanaan
tuntutan dan kesaksian hidup seorang imam menjadi model bagi orang-orang Kristen lainnya dan
mewarnai secara mendalam kehidupan spiritual dan kekudusan mereka dalam wujud
”kesederhanaan hidup, semangat doa, kasih terhadap semua orang, lebih-lebih terhadap orang
yang rendah dan miskin, ketaatan dan kerendahan hati, sikap lepas bebas dan pengorbanan diri.
Tanpa tanda kesucian ini, kata-kata kita akan sulit menyentuh hati orang-orang modern, bahkan
ada risiko akan menjadi sia-sia dan mandul”.195
 Dalam haluan ini, imam dalam pelaksanaan tugas kewajibannya sehari-hari harus bertindak
sebagai pelayan tertahbis dalam perannya sebagai kepala dan penghubung, sebagai animator dan
model bagi kawanan dombanya. Untuk maksud ini, imam sendiri hendaknya menunjukkan dalam
kehidupannya apa yang diajarkannya. Ia sendiri hendaknya mempraktekkan kebajikan-kebajikan
yang mendidik bagi orang lain. Ia hendaknya mengimani dalam adorasinya syukur dan pujian,
serta permohonan yang dikotbahkannya. Hendaknya ia membentuk eksistensinya sesuai dengan
pesan radikal dari Injil yang diwartakannya. Ia tidak cepat lelah untuk menyampaikan kepada
semua orang buah-buah keselamatan dari Kristus. Ia memiliki kemampuan untuk memberi, juga
ketika waktunya tidak tampan. Ia kiranya mengalami sendiri pertama-tama jalan-jalan asketik
atau pengorbanan yang dianjurkannya kepada orang-orang lain. Ia mesti tahu menahan
penderitaan, kegagalan, salah paham, penghinaan, apabila kehendak Allah dan misiNya meminta
demikian. Kesaksian-kesaksian nyata seperti ini amatlah diperlukan, sebab ”manusia dewasa ini
lebih percaya pada pemberi-pemberi kesaksian daripada pengajar-pengajar, lebih percaya pada
pengalaman daripada ajaran, dan lebih percaya pada kehidupan dan tindakan daripada teori-
teori”.196 Dalam cara ini, imam menyaksikan dalam harapan kesuburan dari salib Kristus yang
unggul.
 Pada lorong kesaksian hidup seperti ini, sakramen tahbisan memiliki kekhususan dan
keistimewaan. Kekhususan dalam kesaksian ini menempatkan sakramen tahbisan pada puncak
dari sakramen-sakramen lain. Di sini, imam ditahbiskan tidak untuk dirinya sendiri, tetapi untuk
membangun disposisi-disposisi sebelumnya dan untuk merayakan sakramen-sakramen,
dengannya manusia berada dalam suatu kontak dengan kuasa Kristus yang menyelamatkan.
Dengan ini, imam tidak lagi menjadi kepunyaan dirinya sendiri, melainkan wakil dan pelayan
Kristus serta Gereja untuk kepentingan manusia. Jika ia menerima model keberadaannya ini maka
ia menemukan dalam misinya dan pemberian dirinya kepada orang lain, sumber dari kehidupan
spiritual dan pengudusan hidupnya.
6.6. Orientasi Spiritualitas Imamat

195
EN., Art. 76
196
RM., Art. 42

96
 Kitab Suci dan Tradisi Gereja selalu mengajarkan suatu kebenaran pokok bahwa ”dunia
diciptakan demi kemuliaan Allah. Sebagaimana Santo Bonaventura jelaskan, Tuhan menciptakan
segala sesuatu bukan untuk menambah kemuliaanNya, melainkan untuk mewartakan dan
menyampaikan kemuliaanNya”197 kepada manusia di dunia ini. Dalam kebenaran pokok ini,
”tujuan utama hidup manusia adalah memuliakan Allah”. 198
 Sejalan dengan kebenaran pokok di atas, maka orientasi atau sasaran utama dari spiritualitas
hidup dan karya seorang imam adalah kemuliaan Allah. Selain orientasi utama ini, ada juga
orientasi sampingan lainnya yaitu: keselamatan, kekudusan manusia, dan ketakutan suci.
6.6.1.Kemuliaan Allah
 Orientasi utama spiritualitas hidup seorang imam adalah kemuliaan Allah. Orientasi utama ini
ditegaskan oleh Konsili Vatikan II sebagai berikut: ”Tujuan yang mau dicapai oleh para imam
melalui pelayanan maupun hidup mereka ialah kemuliaan Allah Bapa dalam Kristus. Kemuliaan
itu tercapai bila orang-orang secara sadar, bebas dan penuh syukur menerima karya Allah yang
terlaksana dalam Kristus, dan menampakkan itu melalui seluruh hidup mereka. Maka bila para
imam meluangkan waktu bagi doa dan sembah sujud, atau mewartakan Sabda, atau
mempersembahkan kurban Ekaristi dan menerimakan sakramen-sakramen lainnya, atau
menjalankan pelayanan-pelayanan lain bagi sesama, mereka ikut menambah kemuliaan Allah dan
membantu sesama berkembang dalam kehidupan ilahi”. 199
 Berkaitan dengan kemuliaan Allah ini, para teolog secara umum melihat dua jenis kemuliaan
pada Allah, yakni kemuliaan intrinsik dari kehidupan internal Allah Tritunggal, dan kemuliaan
ekstrinsik yang ada padaNya melalui karya-karyaNya yang eksternal.
 Kemuliaan intrinsik berarti kemuliaan dalam kehidupan internal ilahi yang terdiri dari keindahan
yang tak terbatas, kebaikan, dan kebenaran Allah Tritunggal. Dalam kemuliaan intrinsik ini,
orientasi dari spiritualitas imamat adalah ”mewartakan apa yang oleh Bapa, dengan perantaraan
Putra dan dalam Roh Kudus dilaksanakan dalam cinta-kasihNya, kebaikanNya, dan
keindahanNya”.200 Dalam kehidupan internal ilahi, Allah Bapa menghasilkan untuk selama-
lamanya suatu keserupaan dengan diriNya yang sempurna dalam kelahiran Sang Sabda, Putra
kesayangan Bapa satu-satunya. Dari hasil kontemplasi timbal-balik antara Bapa dan Putra,
muncullah secara kekal sebuah aliran cinta ilahi, yaitu Roh Kudus. Dengan korelasi ini maka
dalam kehidupan internal ilahi, ”Bapa adalah yang melahirkan, Putra adalah Dia yang dilahirkan,
dan Roh Kudus adalah Dia yang dihembuskan”.201
 Selain secara intrinsik, kemuliaan Allah juga eksis secara ekstrinsik. Kemuliaan ekstrinsik Allah
dapat dimengerti sebagai suatu partisipasi dalam keindahan, kebenaran, dan kebaikan Allah
sendiri, atau sebagai perwujudan keluar dari kemuliaan instrinsikNya. Tentang hal ini, Santo
Paulus pernah mengatakan: ”Apa yang tidak tampak dariNya yaitu kekuatanNya yang kekal dan
keilahianNya, dapat tampak kepada pikiran dari karyaNya sejak dunia diciptakan, sehingga
mereka tidak dapat berdalih” (Rm 1:20). Dengan kata lain, apa yang baik, benar, dan indah pada
ciptaan merupakan satu refleksi atau pantulan dari kebaikan, kebenaran, dan keindahan Allah
sendiri. Karena itu, tugas kewajiban dari seluruh alam semesta adalah mewartakan dan
menyampaikan kemuliaan Allah, sebab ”seluruh alam ciptaan pada kenyataannya adalah

197
KGK., No. 293
198
J. Darminta, “Yesus Sang Pendoa (6), Doa Penuh Daya: Bapa, Muliakanlah NamaMu”, dalam Rohani, No.02,
Thn. ke-47, Februari 2000, p. 32
199
PO., Art. 2
200
VC., Art. 20
201
KGK., No. 254

97
manifestasi kemuliaanNya”.202
 Selanjutnya, lebih dari semua ciptaan lainnya, manusia yang dianugerahi Allah dengan intelek
dan kehendak, dipanggil secara khusus untuk mengambil bagian dalam kehidupan internal Allah
Tritunggal sendiri. Sesuai dengan keistimewaannya, maka ”manusia, kendati dibentuk dari debu
bumi, menampilkan Allah di dunia, menandakan kehadiranNya, mencerminkan kemuliaanNya.
Itulah yang hendak ditekankan Santo Ireneus dari Lyon dengan definisinya, Gloria Dei, homo
vivens (Kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup). Manusia dikaruniai martabat yang amat
luhur, berdasarkan ikatan sangat erat yang menyatukannya dengan Penciptanya: pada manusia
terpancarkan pantulan Allah sendiri”, atau ”kemuliaan Allah memancar pada wajah manusia.
Dalam diri manusia, Sang Pencipta menemukan persemayamanNya”. 203 Melalui proses deifikasi
atau divinisasi atau konsekrasi pada momentum tahbisan, kemuliaan Allah ini bersinar dengan
cemerlang dalam jiwa-jiwa orang benar seperti para imam.
6.6.2.Keselamatan Manusia
 Seorang imam sebagai guru dan teolog berkewajiban untuk ”memeliara, meresapi dengan lebih
mendalam, menunjukkan, mengajarkan dan membela depositum fidei bagi pelayanan umat Allah
dan keselamatan seluruh dunia, dan keselamatan manusia”. 204 Inilah salah satu tujuan sampingan
dari hidup dan karya seorang imam di dunia ini, yakni keselamatan manusia. Tujuan ini penting
mendapat perhatian dari seorang imam karena ”keselamatan itu tidak hanya dianugerahkan
kepada orang yang secara eksplisit percaya akan Kristus dan telah masuk anggota Gereja. Oleh
karena keselamatan ditawarkan kepada semua orang maka keselamatan itu harus tersedia secara
nyata bagi semua orang”.205 Tugas imam dalam hal ini adalah menawarkan keselamatan itu
kepada semua orang melalui penghayatan spiritualitas hidupnya yang memadai.
 Dalam kenyataan, keselamatan pada umumnya lebih langsung mengenai kehidupan manusia, dan
lebih besar pengaruhnya atas kehidupan dan kegiatan manusia daripada pikiran tentang
kemuliaan Allah. Dibandingkan dengan kemuliaan Allah, keselamatan manusia lebih kerap
muncul sebagai suatu motif yang dominan dalam kehidupan manusia, sebab ”setiap manusia
membutuhkan Yesus Kristus yang telah mengalahkan dosa dan maut serta memperdamaikan
umat manusia dengan Allah”.206 Keselamatan dalam arti ini merupakan kerinduan kodrati
manusia akan kebahagiaan hidup di dunia ini dan di akhirat kelak. ”Kerinduan ini berasal dari
Allah. Ia telah meletakkannya dalam hati manusia, supaya menarik mereka kepada diriNya,
karena hanya Allah dapat memenuhinya: Pastilah kita semua hendak hidup bahagia, dan dalam
umat manusia tidak ada seorang pun yang tidak setuju dengan rumus ini, malahan sebelum ia
selesai diucapkan”.207 Bagaimanapun, keselamatan dan kebahagiaan kekal sebagai ekspresi
kerinduan kodrati manusia ini hanya akan terwujud dalam kerangka kemuliaan Allah, ketika umat
manusia boleh bertemu dengan Allah dari ke muka dalam kesemarakan kemuliaanNya. Dalam
arti ini, imam sendiri mesti secara aktif mencintai dan melayani Allah dalam hidup dan karyanya,
agar ia (dan semua mereka yang dilayaninya) dapat mencapai kebahagiaan atau keselamatan

202
Paus Yohanes Paulus II, Apostolic Letter Tertio Millenio Adveniente, , dalam:  A. Widyamartaya (Penerj.),Surat
Apostolik tentang Kedatangan Millenium Ketiga (Yogyakarta: Kanisius, 1997), Artikel 6. Selanjutnya akan
disingkat TMA, Art., dan nomor artikelnya.
203
Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Evangelium Vitae, Injil Kehidupan (25 Maret 1995) , dalam: R. Hardawiryana,
SJ., (Penerj.), Seri Dokumen Gerejawi, No. 41 (Jakarta: Departemen Dokpen KWI, 1996), Artikel 34-35.
Selanjutnya akan disingkat EV, Art., dan nomor artikelnya.
204
Paulus VI, Adhortatio apostolic Gaudete in Domino (7 Mai, 1975) dalam: Eva, Vol.5, (Bologna: EDB, 1990),
Artikel 20. Selanjutnya akan disingkat GD, Art., dan nomor artikelnya.
205
RM., Art.10
206
RM., Art. 11
207
KGK., No. 1718

98
terakhir di surga. Dalam segala hal, ”ia harus bekerja oleh kasih (Gal 5:6), ditopang oleh
pengharapan, dan berakar dalam iman Gereja” 208 akan kehidupan abadi di surga.
6.6.3.Kekudusan
 Sesudah kemuliaan Allah dan keselamatan abadi dalam pandangan bahagia (visio beatifica) di
surga, kehidupan spiritual seorang imam masih memiliki sasaran dan tujuan sampingan lain yakni
kekudusan jiwa, sebab memang ”panggilan imam itu pada hakikatnya adalah panggilan untuk
kekudusan, dalam corak yang sesuai dengan sakramen tahbisan”. 209 Pada sasaran ini, para imam
sebagaimana orang Kristen lainnya mesti berjuang menuju kesempurnaan hidup rohani sejalan
dengan ajaran Kitab Suci, ”Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah
sempurna” (Mat 5:48).
 Kekudusan seorang imam adalah panggilan dari Allah sendiri. ”Inilah kehendak Allah:
Pengudusanmu” (1Tes 4:3). Para imam adalah mereka ”yang dikasihi, yang dipanggil dan
dijadikan orang-orang kudus” (Rm 1:7). Bahkan melalui Kristus, panggilan Allah kepada
kekudusan ini sudah ada sejak awal mula ciptaan dunia, sebab ”di dalam Dia, Allah telah memilih
kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tidak bercacad di hadapanNya” (Ef 1:4).
Bagi imam, panggilan ilahi kepada kekudusan ini dikukuhkan dengan tahbisan. Dengan tahbisan
itu, mengikuti Kristus bagi seorang imam ”bukanlah meneladani secara lahiriah, sebab ini
menyentuh manusia sampai ke lubuk hatinya yang terdalam. Menjadi seorang pengikut Kristus
berarti menjadi serupa dengan Dia, yang menjadi seorang hamba, bahkan sampai memberikan
diriNya di salib (Bdk. Flp 2:5-8). Santo Agustinus berseru, ”Maka....marilah kita bersukacita dan
bersyukur...., karena kita tidak hanya menjadi orang-orang kristiani, melainkan Kristus.
Takjublah dan bergembiralah: kita telah menjadi Kristus”. 210 Menjadi serupa dengan Kristus
adalah puncak tertinggi dari panggilan imam kepada kekudusan. Panggilan Allah kepada
kekudusan dalam keserupaan dengan Kristus ini menjadi sumber kegembiraan dan sukacita
terbesar bagi eksistensi dan kehidupan seorang imam.
 Selain berasal dari panggilan Allah, kekudusan hidup seorang imam keluar juga dari hakikatnya
sebagai manusia, yang sudah dari kodratnya mencari dan mengarah kepada kesempurnaan.
Menurut Thomas Aquinas, ”manusia dari hakikatnya merindukan sesuatu yang terakhir. Dan apa
saja yang dirindukannya itu selalu baik, sehingga ia selalu terdorong kepadanya”. 211 Hal terakhir
yang dirindukan oleh manusia tidak lain adalah kebaikan yang tidak diciptakan, yakni Allah
sendiri. Kebaikan Allah tidak terbatas, maka hanya Allah sendirilah yang secara sempurna
memuaskan kerinduan manusia”.212 ”Kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia
karena manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah. Allah tidak henti-hentinya menarik
manusia kepada diriNya. Hanya dalam Allah, manusia dapat menemukan kebenaran dan
kebahagiaan yang dicarinya terus-menerus”. 213
6.6.4.Ketakutan Suci
 Orientasi atau ideal imamat lain menurut Santo Yohanes Krisostomus adalah ketakutan suci.
208
KGK., No. 162
209
PDV., Art. 33
210
Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Veritatis Splendor (Cahaya Kebenaran), tentang Pertanyaan-pertanyaan
Fundamental Tertentu Mengenai Ajaran Moral Gereja (6 Agustus 1993), dalam: J. Hadiwikarta, Pr. (Penerj.), Seri
Dokumen Gerejawi No. 35 (Jakarta: Departemen Dokpen KWI, 1994), Artikel 21. Selanjutnya akan disingkat VS,
Art., dan nomor artikelnya.
211
Thomas Aquinas, Pt.I-II, q.1,a.6.Bdk. Hubertus Leteng, “Panggilan Imam Kepada Kekudusan”, dalam: Biduk,
Edisi II Thn. XXXIII, Juni 1997 (Maumere: Ritapiret, 1997), pp. 46-56.
212
Ibid., Pt.I-II,q.3, a.1.
213
KGK., No. 27

99
”Takut akan Tuhan itu suci, tetap ada untuk selamanya” (Mzm 19:10). Ketakutan suci sebagai
ideal atau orientasi spiritualitas imamat di sini adalah suatu kondisi jiwa ”antara takut dan cinta”
akan imamat itu sendiri sebagai anugerah gratis dari Tuhan. Dalam pembicaraannya tentang
imamat, Santo Yohanes Krisostomus memberi jawaban kepada Santo Gregorius dari Niza yang
memintanya untuk menjadi uskup. Jawabannya itu mulai dengan sebuah pertanyaan, ”apakah
imamat itu?” Imamat adalah sebuah ministerium atau tugas pelayanan yang begitu luhur dan
mulia, sehingga orang-orang yang tidak layak tidak boleh menerimanya; tetapi juga calon-calon
yang dianggap layak untuk menerima dan melaksanakannya tidak boleh menolaknya. Inilah satu
ideal atau orientasi dari spiritualitas imamat, yaitu ketakutan suci, suatu ketakutan karena cinta
dan demi cinta akan imamat sebagai sebuah anugerah Tuhan yang paling indah kepada manusia.
Oleh karena ketakutan inilah maka dalam pikirannya, Yohanes Krisostomus menolak jabatan
uskup untuk dirinya. Di samping itu, ia juga merasa dirinya terlalu muda untuk memikul beban
jabatan dan tanggungjawab sebagai uskup.
 Dalam hal ini, Santo Paulus pernah memberi peringatan kepada umatnya di Roma demikian:
”Janganlah kamu sombog, tetapi takutlah! Sebab kalau Allah tidak menyayangkan cabang-cabang
asli, Ia juga tidak akan menyayangkan kamu. Sebab itu perhatikanlah kemurahan Allah dan juga
kekerasanNya, yaitu kekerasan atas orang-orang yang telah jatuh, namun atas kamu
kemurahanNya, yaitu jika kamu tetap dalam kemurahanNya; jika tidak, kamu pun akan dipotong
juga” (Rm 11:20-22).
 Dengan ini, Santo Paulus memahami imamat sebagai satu anugerah kemurahan Allah, dan karena
itu, ketakutan suci kepadaNya menjadi salah satu ideal atau orientasi kehidupan spiritual seorang
imam. ”Takut bersalah adalah sebuah tanda jiwa yang baik, juga bila kesalahan itu tidak sampai
terjadi”.Dalam arti ini, ketakutan menumbuhkan dalam diri imam kewaspadaan dalam
mengekspresikan afeksi secara vulgar kepada lawan jenis, keengganan menghalau sikap arogan
dan kesombongan imamat, ketidakberanian mempertebal ketergantungan kepada rahmat Tuhan.
Ketakutan yang suci juga meningkatkan kesetiaan seorang imam kepada Tuhan dan kesetiaan
Tuhan kepadanya. ”Setinggi langit di atas bumi, demikian besarnya kasih-setiaNya atas orang-
orang yang takut akan Dia....Kasih setia Tuhan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas
orang-orang yang takut akan Dia” (Mzm 103:11.17).
 Karena itu, untuk seorang imam berlaku nasihat-nasihat berikut ini, ”Beribadahlah kepada Tuhan
dengan takut dan ciumlah kakiNya dengan gemetar, supaya Ia jangan murka dan kamu binasa di
jalan, sebab mudah sekali murkaNya menyala” (Mzm 2:11-12). ”Tuhan semesta alam, Dialah
yang harus kamu akui sebagai Yang Kudus; kepadaNya-lah harus kamu takut dan terhadap Dia-
lah harus kamu gentar” (Yes 8:13). ”Takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-
perintahNya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Karena Allah akam membawa setiap
perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah
itu jahat” (Pkh 12:13-14). Takut akan Allah adalah kewajiban seorang imam. Dengan rasa takut
akan Allah, seorang imam tidak akan berbuat sembarangan menurut selera dan kesukaan hatinya
sendiri. Ketakutan menghindari murka Allah atas diri imam dan mengelakkan terjadinya
kebinasaan atas dirinya serta kecelakaan dalam hidupnya.

6.7. Spiritualitas Persekutuan atau Relasi


 Salah satu aspek penting dari Gereja yang dibahas secara intens sejak Konsili Vatikan II adalah
aspek communio atau persekutuan. Gereja bukanlah suatu persekutuan dalam dan untuk dirinya
sendiri, melainkan suatu persekutuan yang ”tampil sebagai sekelompok manusia yang diciptakan
satu dengan kesatuan Bapa, Putra, dan Roh Kudus”. Dengan ini, persekutuan Gereja lahir dari
persekutuan cinta Allah Tritunggal yang dibagikan kepada umat beriman melalui misteri Paskah.

100
Salah satu unsur esensial dari Gereja sebagai persekutuan adalah anugerah cinta-kasih dari Roh
Kudus yang tetap membentuk dan menyatukan dalam organisme yang harmonis anggota-anggota
umat Allah. Sebagai suatu organisme yang harmonis, persekutuan Gereja ini dinyatakan dalam
bentuk pertukaran timbal-balik anugerah-anugerah dan pelayanan-pelayanan yang dimiliki oleh
semua anggota umat Allah dalam suatu seri relasi cinta persaudaraan pada level yang berbeda-
beda.
 Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa persekutuan atau relasi yang
dihayati anggota-anggota Gereja pada umumnya dan para imam khususnya mengandung dua
dimensi yakni dimensi vertikal menyangkut persekutuan atau relasi dengan Allah Tritunggal serta
Para Kudus, dan dimensi horisontal menyangkut hubungan atau persekutuan dengan Gereja serta
masyarakat pada umumnya.
6.7.1.Persekutuan atau Relasi Vertikal
6.7.1.1.Dengan Allah Tritunggal
 Setiap intervensi ilahi dalam hidup manusia adalah buah inisiatif Allah Tritunggal Mahakudus.
Dalam intervensi ini, segala hal yang baik dalam diri manusia berasal dari kekuasaan Bapa yang
mencipta dan memiliki rencana keselamatan yang universal bagi semua orang. Semua rencana
keselamatan dari Bapa ini terjadi melalui inkarnasi Sang Putra sebagai perwujudan konkret dari
”Gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol 1:15) bagi manusia. Oleh Putra, seluruh rencana
keselamatan ini dilaksanakan dalam kesatuan dengan Roh Kudus ”sebagai prinsip vital dari
Gereja, di mana Ia (Roh Kudus) bekerja dalam persatuan dengan Kepala Tubuh Mistik, yakni
Kristus”.214
 Intervensi Allah Tritunggal ini terjadi juga dalam diri seorang imam. Dalam sakramen imamat,
Allah Bapa adalah sumber pelayanan tertahbis dari seorang imam dalam tingkatan pelayanan
yang berbeda dengan umat beriman lainnya. Dari Allah Bapa, Yesus Kristus selaku Sabda yang
menjelma menerima tugas perutusanNya ke dunia, yang selanjutnya diserahkanNya kepada
pelayan-pelayan tertahbis menurut tiga misiNya sendiri sebagai Guru atau Nabi, Imam atau
Pengudus (Liturgo), dan sebagai Raja atau Gembala. Untuk menjamin tugas perutusanNya ini
oleh para imam, maka Ia kemudian ”menyucikan mereka dengan menyerahkan Roh Kudus
kepada mereka, supaya mereka pun memuliakan Bapa di atas bumi dan menyelamatkan orang-
orang ’demi pembangunan Tubuh Kristus’ (Ef 4:12) yakni Gereja”. 215
 Dengan bantuan Roh Kudus, realitas imamat menjadi panggilan hidup yang bertahan sampai
kekal dalam diri imam sesuai dengan rencana penyelamatan Allah sendiri, yang juga kekal abadi
atas diri manusia. Selain itu, dengan bantuan Roh Kudus, imam juga menjadi kolaborator atau
rekan sekerja uskup dalam tugas ”untuk mengajar semua bangsa, dan menguduskan orang-orang
dalam kebenaran, serta menggembalakan mereka”. 216 Dengan demikian, pelayanan imamat
tertahbis merupakan karya Allah Tritunggal Mahakudus. Karya pelayanan itu berasal dari Bapa,
yang melalui Roh Kudus menyatukan seorang imam secara istimewa dengan Kristus. Konfigurasi
khusus dengan Kristus ini memberi imam kapasitas untuk selalu bersatu secara lebih intim
dengan Dia dan menyatakan cintaNya yang hidup kepada orang lain dalam Gereja dan
masyarakat. Dengan tahbisan suci, imam ”menjadi milik Kristus untuk membawa orang-orang
kepada Kristus” menuju komunio dengan Bapa dalam kesatuan dengan Roh Kudus.
 Menyadari intervensi Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus dalam keseluruhan panggilan imamat ini
maka kiranya imam dalam hidupnya tidak henti-hentinya ”meluhurkan Allah Tritunggal yang
214
DEV, Art. 2
215
CD., Art. 1
216
CD., Art. 1

101
menjadi sumber berasalnya segala sesuatu dalam dunia dan dalam sejarah, dan yang menjadi
tujuan kembalinya segala sesuatu”.217
6.7.1.2.Dengan Santa Perawan Maria
 Sehubungan dengan umat beriman, khususnya para imam, Santa Perawan Maria tidak hanya
menunjukkan perhatian dan solidaritas keibuan kepada putra-putrinya, tetapi pada saat yang sama
ia juga berdiri di depan mereka sebagai seorang Guru. Pada titik ini, dalam kesatuan dengan
Gereja, Santa Maria sebagai ”Bunda adalah juga Guru. Ia memiliki otoritas untuk mengasuh dan
mengajar anak-anaknya, dan dengan demikian mengantar mereka kepada keselamatan. Sebagai
Bunda Gereja, Santa Maria dalam kesatuan dengan Kristus memberi kelahiran kepada putra dan
putrinya; ia memelihara dan mendidik mereka. Ia mengumpulkan anak-anaknya bersama-sama
dan mengutus mereka semua sambil meyakinkan mereka bahwa mereka selamat dalam pelukan
keibuannya. Pada waktu yang sama, ia disedihkan oleh mereka yang sudah jatuh dan membiarkan
pintu terbuka bagi rekonsiliasi, yang merupakan keprihatinannya yang tetap. Dengan ini jelas
bahwa Santa Perawan Maria, selain sebagai Bunda, adalah juga Guru bagi bangsa manusia,
khususnya bagi para imam. Dengan ”melahirkan Putra, yang oleh Allah dijadikan yang sulung di
antara banyak saudara (Rm 8:29).....Maria bekerjasama dengan cinta kasih keibuannya untuk
melahirkan dan mendidik mereka”.218
 Dalam perannya sebagai Guru, Santa Maria bagi para imam menjadi Tokoh Teladan atau ”pola
Gereja dalam hal iman, cinta-kasih, dan persatuan sempurna dengan Kristus”. 219 Peran Maria
sebagai ”model dan penopang” sangat penting dan urgen bagi siapa saja yang mau mengikuti
Yesus sampai tingkat tertinggi, ”tingkat pemberian diri”, seperti khususnya para imam, karena
”tanpa dia, ada bahaya munculnya suatu spiritualitas yang dingin dan picik. Tidak seorang pun
lebih baik dari dia dalam mengenal Kristus dan menghasilkan kebajikan-kebajikan. Ia adalah
model untuk kehidupan aktif dan kontemplatif; ia bersama dengan Marta. Ia menerima Sabda
Allah secara tidak terbandingkan dan memberi segala sesuatu kepadaNya: tubuh, darah, susu,
cinta, waktu, dan tenaga. Pada gilirannya, ia juga dibalas secara luar biasa oleh Kristus, Sabda
Allah, dan menerima jauh melebihi apa yang ia berikan. Dan justru karena semuanya ini, maka
kaum beriman pada umumnya, serta para imam khususnya semestinya senantiasa membangun
relasi dan persekutuan mesra dengan dia dalam seluruh ziarah hidupnya di dunia.
 Dalam konteks persekutuan dan relasi dan Santa Perawan Maria ini, Paus Yohanes Paulus II pada
hari Kamis Putih 1955 mengajak semua imam untuk mempercayakan kesukaran-kesukaran
mereka dalam menghayati selibat kepada Santa Perawan Maria. Alasan teologis mengapa seorang
imam mesti berdoa memohon bantuan Santa Perawan Maria dalam berbagai kesukaran yang
dihadapi berkaitan dengan hidup selibat yakni karena dia selain sebagai Bunda Allah, Bunda
Kristus, dan Bunda Gereja, dia juga adalah Bunda dan Guru Imamat kita. Sebagai guru, Santa
Perawan Maria tidak saja menjadi pola Gereja, tetapi juga pola dan model pelayanan imam dalam
menghayati kehidupan yang perawan/selibat. Dialah perawan dari para perawan. Dialah Ratu
para imam/selibater.
6.7.1.3.Dengan Para Kudus
 Persekutuan dengan para Kudus merupakan bagian dari relasi vertikal seorang imam selibater.
Sesungguhnya banyak orang Kudus telah menghayati hidup selibat oleh karena Kerajaan Allah.
Berkaitan dengan hal ini, seorang imam selibater menjalin relasi dengan para Kudus demi
mendapatkan teladan/panutan dan inspirasi dalam menghayati kehidupan yang kudus, sekaligus
meminta doa mereka agar tetap setia berkanjang dalam upaya meraih kebahagiaan sejati yang
217
TMA., Art. 55
218
LG., Art. 63
219
LG., Art. 63

102
tidak tidak lain daripada persekutuan dengan Allah Tritunggal.
 Para Kudus adalah para pekerja menakjubkan, pembantu sekaligus pengantara yang terus-
menerus menyampaikan doa permohonan kita dan juga membantu para imam dalam berbagai
kesukaran berhadapan dengan selibat karena sesungguhnya para Kudus telah mendapatkan
rahmat istimewa dari Allah sendiri. Juga berhubung para Kudus memiliki relasi yang khusus
dengan Kristus dan GerejaNya, maka seorang imam perlu berdoa kepada Allah dalam Kristus
melalui perantaraan para Kudus untuk melindungi kehidupan selibatnya.
6.7.2.Persekutuan Horisontal (Dengan Gereja)
 Bagi imam, persekutuan atau relasinya dengan Gereja dalam aspek-aspeknya sebagai
misteri dan komunitas gerejawi berdasarkan persatuan/persekutuan mendasar dengan
Kristus dan dengan Tritunggal220.
 Secara konkret, persekutuan gerejawi imam dihidupi dalam berbagai cara. Sungguh,
dengan tahbisan sakramental, ia masuk ke dalam ikatan istimewa dengan Hirarki (Paus,
Dewan Para Uskup, dan Uskupnya sendiri), dengan para imam lain, dan dengan umat
beriman awam.
6.7.2.1.Dengan Hirarki (Paus, Dewan Para Uskup, dan Uskupnya sendiri)
 Persekutuan sebagai ciri imamat, didasarkan pada kesatuan dengan Kepala, Gembala,
dan Mempelai Gereja, yakni Kristus.221
 Dalam persekutuan pelayanan seperti itu, beberapa ikatan yang pas dijalin dengan Paus,
Dewan para Uskup dan dengan Uskupnya sendiri. “Memang tidak dapat ada pelayanan
imam yang sejati di luar persekutuan dengan Paus dan Dewan para Uskup, khususnya
dengan Uskup setempat, yang sudah selayaknya ‘dihormati sebagai bapa dan dipatuhi’
seperti dijanjikan dalam upacara tahbisan.”222
 Dengan demikian, inilah sebuah persekutuan hierarkis, yakni persekutuan dalam hierarki
itu sebagaimana tersusun di dalamnya. Berkat partisipasi, pada tingkat di bawah para
Uskup – yang dilengkapi dengan kekuasaan “yang mereka jalankan sendiri atas nama
Kristus itu, bersifat pribadi, biasa dan langsung, walaupun penggunaannya akhirnya
diatur oleh kewibawaan tertinggi Gereja”223 - dalam satu-satunya imamat pelayanan,
persekutuan itu mencakup juga ikatan spiritual dan organik-struktural para imam dengan
segenap jajaran para Uskup dan dengan Paus. Itu dikukuhkan oleh kenyataan bahwa
seluruh jajaran para Uskup dalam kebersamaan dan Uskup masing-masing harus berada
dalam persekutuan hierarkis dengan Kepala Dewan.224 Sesungguhnya, Dewan itu hanya
terdiri dari Uskup-uskup yang dikonsekrasikan, yang ada dalam persekutuan hierarkis
dengan Kepala beserta para anggotanya.
 Persekutuan hierarkis dinyatakan dengan jelas sekali dalam Doa Syukur Agung. Pada
saat imam mendoakan Paus, Dewan para Uskup dan untuk Uskupnya sendiri, ia tidak
hanya mengungkapkan hormat bakti saja, tetapi juga memberi kesaksian tentang
220
Bdk. LG., Art. 8
221
Bdk. Santo Agustinus, Sermo 46, 30: CCL 41, 555-557
222
PDV, Art. 28
223
LG., Art. 27
224
Bdk. LG., Art. 22; CD., Art. 4; KHK 1983, kan. 336

103
kesejatian perayaannya.225 Konselebrasi Ekaristi sendiri, dalam keadaan-keadaan dan
kondisi-kondisi yang ditetapkan,226 khususnya ketika dipimpin oleh Uskup dan dengan
partisipasi umat beriman, jelas mengungkapkan kesatuan imamat Kristus dalam
pluralitas para pelayan-Nya, begitu pula kesatuan kurban dan Umat Allah.227 Selain itu,
konselebrasi ikut serta memperteguh persaudaraan pelayanan di antara para imam.228
 Setiap imam harus mempunyai ikatan ketaatan dan cinta kasih yang mendalam, rendah
hati, dan penuh bakti dengan pribadi Bapa Suci dan patuh kepada pelayanannya selaku
pengganti Petrus dalam kewenangan mengajar, pengudusan dan kepemimpinan, dengan
kepatuhan yang patut diteladan.229
 Kesatuan penuh bakti dengan Uskupnya, adalah syarat mutlak keefektifan pelayanan
imamatnya. Bagi para pastor yang berpengalaman mudahlah melihat perlunya
menghindari setiap bentuk subyektivisme dalam pelaksanaan pelayanan sucinya dan
mematuhi secara bertanggung jawab bersama-sama program-program pastoral. Selain
mengungkapkan kematangan pribadi, kepatuhan itu yang mencakup bergerak maju
sejalan dengan pemikiran Uskup, ikut serta membangun kesatuan dalam persekutuan
yang mutlak perlu bagi karya evangelisasi.230
 Dengan rasa hormat penuh kepada subordinasi hierarkis, hendaklah imam memupuk
hubungan setulus hati dengan Uskupnya, yang ditandai dengan kepercayaan yang tulus,
persahabatan yang hangat, doa bagi pribadi dan intensi-intensinya, usaha yang sungguh
untuk kesesuaian dan keterpaduan cita-cita dan program-program, yang tidak mengambil
apa pun dari kemampuan cemerlang bagi inisiatif pribadi dan upaya pastoral.231
 Mengingat pertumbuhan spiritual dan pastoralnya sendiri, dan demi cinta kepada
kawanannya, imam hendaknya menerima dengan penuh syukur, dan lebih-lebih mencari
dengan teratur, petunjuk dari Uskup atau para wakilnya demi perkembangan pelayanan
pastoralnya. Meminta pendapat dari para imam yang lebih cakap dan para awam yang
memiliki keahlian tentang metode-metode pastoral yang paling tepat juga merupakan
praktik yang patut dipuji.
6.7.2.2. Dengan Rekan-rekan Imam
 Berdasarkan daya Sakramen Tahbisan “setiap imam, bersatu dengan para anggota lainnya
dalam jajaran para imam, dan karena ikatan-ikatan khas cinta kasih rasuli, pelayanan
serta persaudaraan.”232 Sungguh, ia dimasukkan ke dalam Ordo Presbyterorum dengan
225
Bdk. Kongregasi untuk Ajaran Iman, Surat tentang Gereja sebagai persekutuan Communionis notio, 14.
226
Bdk. KHK 1983., kan. 902; Kongregasi Suci untuk Sakramen-sakramen dan Ibadat ilahi, Dekret Promulgato
Codice (12 September 1983), II, I, 153: Notitiae 19 (1983), 542.
227
Bdk. St. Thomas Aquino, Summa theol.,III, q. 82, a. 2 ad 2; Sent. IV, d. 13, q. 1, a 2, q 2; SC., Art. 41 & 57.
228
Bdk. Kongregasi Suci untuk Ritus-ritus, Instruksi Eucharisticum Mysterium (25 Mei 1967), 47: AAS 59 (1967),
565-566
229
Bdk. KHK 1983. kan. 273.
230
Bdk. PO., Art., 15; PDV., Art., 65; 79.
231
St. Ignatius dari Antiokia, Ad Ephesios, XX, 1-2: «[...] Jika Tuhan akan menyingkapkan kepadaku yang bahwa,
setiap orang masing-masing dan semua bersama-sama [...] kalian disatukan dengan hati dalam ketaatan tak
tergoyahkan kepada Uskup dan dewan imam, dengan memecah-mecahkan satu-satunya roti yang adalah obat
kehidupan kekal, obat penawar untuk tidak mati, namun untuk hidup selamanya dalam Yesus Kristus” »: Patres
Apostolici, ed. F.X. Funk, II, 203-205.
232
PDV., Art., 17; Bdk. LG., Art. 28; PO., Art. 8; KHK 1983., kan. 275, § 1.

104
membentuk kesatuan itu yang bisa disebut satu keluarga sejati yang ikatan-ikatannya
bukan dari daging atau darah, melainkan berasal dari rahmat Tahbisan.233 Keanggotaan
dalam suatu dewan imam (presbyterium)234 khusus selalu terjadi dalam konteks Gereja
partikular, pada suatu Ordinariat atau Prelatur personal –yakni, dalam “misi keuskupan”,
bukan hanya karena alasan inkardinasi–, yang tidak mengubah fakta bahwa imam, oleh
karena ia juga telah dibaptis, seketika itu juga menjadi bagian dari Gereja universal. Di
dalam Gereja tak seorang pun sebagai orang asing; seluruh Gereja, dan setiap Keuskupan,
adalah keluarga, keluarga Allah.235
 Oleh karena itu, persaudaraan imamat dan keanggotaan dalam Presbiterium merupakan
unsur-unsur yang menandai imam. Ritus penumpangan tangan dalam tahbisan imam oleh
Uskup, di mana semua imam yang hadir ikut serta, memberi makna khusus karena
menunjukkan baik kesetaraan partisipasi pada tingkat pelayanan yang sama, maupun
bahwa imam tidak bisa bertindak dari dirinya sendiri, namun selalu dalam kesatuan
Presbiterium, dengan menjadi konfrater dari mereka yang membentuknya. 236 “Para uskup
dan para imam menerima perutusan dan wewenang [kekuasaan kudus] untuk bertindak
‘dalam nama Kristus, Kepala’ [in persona Christi Capitis], para diakon menerima
kekuatan untuk melayani Umat Allah dalam “diaconia” (pelayanan) liturgi, Sabda dan
cinta kasih, dalam persekutuan dengan Uskup dan dewan imamnya.”237
 Inkardinasi di dalam “Gereja partikular atau Prelatur personal, atau suatu Tarekat
Hidup-bakti atau suatu Serikat yang mempunyai wewenang itu” 238 yang ditentukan
membentuk suatu ikatan yuridis autentik239 yang juga memiliki nilai spiritual, karena
darinya lahirlah “hubungan imam dengan Uskupnya dalam presbiterium, keterlibatannya
dalam kepedulian gerejawi Uskup, dan bakti dirinya kepada reksa injili terhadap Umat
Allah dalam situasi sejarah dan lingkungan Gereja partikular yang serba tertentu.”240
 Dalam hal ini, hendaknya tidak dilupakan, bahwa imam-imam sekulir yang tidak
diinkardinasikan dalam Keuskupan dan para imam anggota suatu Tarekat Religius atau
Serikat hidup kerasulan, yang tinggal di Keuskupan, serta menjalankan suatu tugas untuk
kesejahteraan keuskupan, meskipun tetap masih tunduk pada para Ordinaris mereka yang
sah, menurut hak penuh atau berbeda, tergabung dalam klerus keuskupan itu 241 : di situ
mereka “memiliki hak pemilihan baik aktif maupun pasif untuk membentuk dewan
imam.”242
 Para imam religius, khususnya, dalam kesatuan kekuatan, membagikan kepedulian
233
Bdk. PDV., Art. 74; Kongregasi untuk Evangelisasi Bangsa-Bangsa, Petunjuk pastoral bagi para imam diosesan
Gereja-gereja yang tergantung pada Kongregasi untuk Evangelisasi Bangsa-Bangsa, 6.
234
Bdk. PO., Art. 8; KHK 1983., kan. 369; 498; 499.
235
Bdk. LG., Art. 6; Paua Benediktus XVI, Angelus (19 Juni 2005): Insegnamenti I (2005), 255-256; Yohanes
Paulus II, Anjuran Apostolik pasca-sinode Ecclesia in Africa (14 September 1995): AAS 88 (1996), 63
236
Bdk. Pontificale Romanum, De Ordinatione Episcopi, Presbyterorum et Diaconorum, cap. II, 105; 130; PO.,
Art. 8.
237
KGK., No. 875.
238
KHK 1983., kan. 265.
239
Bdk. Yohanes Paulus II, Pidato di Katedral Quito kepada para Uskup, para Imam, para Religius dan
Seminaris, (29 Januari 1985): Insegnamenti VIII/1 (1985), 247-253.
240
PDV., Art. 31.
241
PDV., Art. 17; 74.
242
KHK 1983., kan. 498, § 1, 2°.

105
pastoral dengan menawarkan sumbangan karisma-karisma khusus dan “dengan kehadiran
mereka, mereka mendorong Gereja partikular, untuk kian membuka diri bagi Gereja di
seluruh dunia.”243 Para imam, yang diinkardinasikan di suatu Keuskupan, namun
melayani berbagai gerakan gerejawi atau komunitas baru yang disetujui oleh Otoritas
gerejawi yang berwenang244 hendaknya menyadari keanggotaannya dalam Dewan Imam
Keuskupan di mana mereka menjalankan pelayanannya dan harus bekerja sama secara
tulus dengannya.
 Uskup yang menerima inkardinasi, pada gilirannya, hendaklah mendukung secara positif
hak atas bentuk khas spiritualitas yang diakui oleh hukum bagi semua umat beriman, 245
hendaklah juga menghormati corak hidup yang dituntut oleh keanggotaan pada suatu
gerakan, dan hendaklah siap, sesuai hukum yang berlaku, untuk mengizinkan imam agar
bisa memberikan pelayanannya sendiri di Gereja-gereja lokal lainnya, jika hal itu harus
menjadi bagian dari karisma gerakan itu sendiri 246 , sementara selalu berusaha
menguatkan persekutuan gerejawi.
 Presbiterium adalah tempat istimewa di mana imam bisa menemukan sarana-sarana
khusus pembinaan, pengudusan dan penginjilan dan dibantu untuk mengatasi
keterbatasan-keterbatasan dan kelemahan-kelemahan yang memang merupakan kodrat
manusiawi. Oleh karena itu, imam akan berusaha sedapat mungkin menghindari
menghidupi tugas imamatnya secara terisolasi dan subyektif, dan akan berusaha
mengembangkan persekutuan persaudaraan dengan memberi dan menerima –dari dan
untuk imam– kehangatan persahabatan, bantuan penuh kasih, penerimaan, koreksi
persaudaraan (correctio fraterna)247 seraya sungguh menyadari bahwa rahmat Tahbisan
“menampung dan mengangkat ikatan-ikatan perasaan dan persahabatan yang bersifat
manusiawi dan psikologis, begitu pula ikatan-ikatan rohani antara para imam [...] dan
terungkapkan dalam aneka ragam bantuan timbal balik di bidang rohani maupun
materiil.”248 Selain dalam Misa Krisma –sebagai ungkapan persekutuan para imam
dengan Uskupnya–, semua itu diungkapkan dalam liturgi Misa In Coena Domini Kamis
Putih, yang menunjukkan, bagaimana melalui persekutuan Ekaristi –yang lahir pada
Perjamuan Terakhir– para imam menerima kemampuan untuk saling mengasihi, seperti
sang Guru mengasihi mereka.249
 Rasa mendalam dan gerejawi Presbiterium tidaklah merintangi, namun malah
memperkuat tanggung jawab pribadi setiap imam dalam melakukan pelayanan khusus
yang dipercayakan Uskup kepadanya.250 Kemampuan mengolah dan menghidupi
persahabatan imamat yang mendalam dan dewasa terbukti menjadi sumber ketenteraman
dan kegembiraan dalam pelaksanaan pelayanan, dukungan yang sangat menentukan
dalam menghadapi kesukaran-kesukaran, dan bantuan amat berharga bagi peningkatan
cinta kasih pastoral. Hendaklah para imam mengalami persahabatan itu secara khusus

243
PDV., Art. 31.
244
Bdk. PDV., Art. 31, 41, 68.
245
Bdk. KHK 1983., kan. 214-215.
246
Bdk. KHK 1983., kan. 271.
247
Bdk. Paus Benediktus XVI, Pesan untuk Masa Prapaskah 2012 (3 November 2011): AAS 104 (2012), 199-204.
248
PDV., Art. 74.
249
Yohanes Paulus II, Audiensi umum (4 Agustus 1993), 4: Insegnamenti XVI/2, 139-140.
250
Bdk. PO., Art. 12-14

106
justru terhadap para konfrater yang berada dalam kesulitan yang membutuhkan
pemahaman, bantuan, dan dukungan.251 Persaudaraan imamat adalah ungkapan hukum
cinta kasih dan, jauh dari sekedar ungkapan rasa perasaan saja, menjadi bagi para imam
suatu kenangan eksistensial tentang Kristus dan suatu kesaksian kerasulan persekutuan
gerejawi.
 Persekutuan itu diungkapkan juga melalui “hidup bersama” (vita comune) yang
senantiasa didukung oleh Gereja252, yang akhir-akhir ini ditekankan oleh dokumen-
dokumen Konsili Ekumenis Vatikan II253 dan oleh Magisterium sesudahnya254 dan
diterapkan secara positif di banyak Keuskupan. “Hidup bersama mengungkapkan suatu
bantuan yang Kristus berikan kepada keberadaan kita, dengan memanggil kita, melalui
kehadiran para saudara, untuk menyelaraskan lebih mendalam kepada pribadi-Nya.
Hidup dengan orang lain berarti menerima perlunya pertobatan diri terus-menerus dan
terlebih menemukan keindahan dari perjalanan itu, sukacita dari kerendahan hati,
penyesalan, namun juga pertobatan, pengampunan satu sama lain, dukungan timbal balik.
Ecce quam bonum et quam iucundum habitare fratres in unum! (Sungguh, alangkah
baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!) (Mzm.
133:1).”255 Untuk menghadapi salah satu dari masalah-masalah yang sangat penting
dalam hidup imamat saat ini, yakni kesepian imam, “tidak pernah cukuplah untuk
menganjurkan kepada para imam suatu hidup bersama tertentu yang semuanya ditujukan
kepada pelayanan rohani; praktik perjumpaan-perjumpaan yang sering dengan pertukaran
persaudaraan tentang ide-ide, nasihat dan pengalaman dengan para konfrater; gerakan
untuk membentuk perhimpunan-perhimpunan yang menyuburkan kekudusan imamat.”256
 Di antara berbagai bentuk hidup bersama (rumah komunitas, makan bersama, dan
sebagainya) haruslah dijunjung tinggi partisipasi komuniter dalam doa liturgis. 257
Keragaman bentuk hendaknya didorong sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan dan
kondisi-kondisi praktis, tanpa harus menjiplak, sekalipun pantas dipuji, model-model
khas hidup religius. Secara khusus, pantaslah dipuji perhimpunan-perhimpunan yang
mendukung persaudaraan imamat, kekudusan dalam pelaksanaan pelayanan, dan
persekutuan dengan Uskup dan segenap Gereja.258 Menyadari betapa pentingnya bahwa
para imam tinggal di sekitar tempat tinggal orang-orang yang mereka layani, diharapkan
bahwa para pastor paroki hendaknya siap sedia untuk mendorong hidup bersama di
rumah pastoran dengan para vikaris parochial,259 dan secara efektif memandang mereka
sebagai rekan-rekan kerja dan yang turut ambil bagian dalam reksa pastoral. Dari
pihaknya, para vikaris parokial, untuk membangun persekutuan imamat, hendaklah

251
Bdk. PO., Art. 8
252
Bdk. St. Agustinus, Sermones 355, 356, De vita et moribus clericorum: PL 39, 1568-1581
253
Bdk. LG., Art. 28; PO, Art. 8; CD., Art. 30.
254
Bdk. Kongregasi Suci untuk Para Uskup, Direktorium Ecclesiae Imago (22 Februari 1973), 112; Kongregasi
Suci untuk Para Uskup, Direktorium Apostolorum Successores untuk pelayanan pastoral para Uskup (22 Februari
2004), LEV, Kota Vatikan 2004, 211; KHK 1983., kan. 280; 245, § 2; 550, § 1; PDV., Art. 81
255
Benediktus XVI, Audiensi pribadi kepada para imam Persaudaraan Santo Carolus dalam rangka ulang tahun
ke-25 pendiriannya. (12 Februari 2011): “L’Osservatore Romano”, 13 Februari 2011, 8.
256
Paulus VI, Ensiklik Sacerdotalis caelibatus (24 Juni 1967), Art. 80.
257
Bdk. SC., Art. 26; 99; Institutio generalis Liturgiae Horarum, 25.
258
Bdk. KHK 1983., kan. 278, § 2; PDV., Art. 31; 68; 81.
259
Bdk. KHK 1983., kan. 550, § 2.

107
mengakui dan menghormati otoritas pastor paroki.260 Dalam kasus-kasus di mana hanya
ada satu imam saja di paroki, sangat dianjurkan kemungkinan hidup bersama dengan para
imam dari paroki-paroki yang berdekatan.261 Di banyak tempat, pengalaman hidup
bersama seperti itu sangatlah positif karena telah menjadi bantuan nyata bagi imam:
tercipta suatu suasana kekeluargaan, dan dengan izin dari Ordinaris setempat 262 bisa
memiliki kapel dengan Sakramen Mahakudus, bisa berdoa bersama, dan sebagainya.
Selain itu, sebagaimana kita belajar dari pengalaman dan pengajaran para Kudus, “tak
seorang pun bisa menerima daya kekuatan yang membarui hidup bersama tanpa doa [...],
tanpa suatu hidup sakramental yang dihidupi dengan kesetiaan. Jika imam tidak masuk
dalam dialog kekal yang dimiliki Sang Putra dengan Bapa dalam Roh Kudus, tak
mungkin ada hidup bersama yang autentik. Perlulah tinggal bersama dengan Yesus untuk
bisa tinggal dengan orang lain.”263 Ada banyak kasus di mana para imam telah
menemukan sumber-sumber bantuan yang penting, baik untuk kebutuhan-kebutuhan
pribadi maupun pelaksanaan pelayanan pastoral mereka, dengan mengambil bentuk-
bentuk hidup komuniter yang menguntungkan.
 Hidup bersama adalah gambaran dari apostolica vivendi forma (bentuk hidup rasuli)
Yesus dengan para rasul-Nya. Dengan anugerah selibat suci demi Kerajaan Allah, Tuhan
telah menjadikan kita secara khusus sebagai anggota-anggota keluarga-Nya. Dalam suatu
komunitas yang sangat diwarnai individualisme, imam memerlukan hubungan pribadi
lebih mendalam dan ruang sangat vital yang ditandai dengan persahabatan persaudaraan
di mana ia bisa hidup sebagai seorang Kristiani dan imam: “saat-saat doa dan belajar
bersama, sharing kebutuhan hidup dan karya imamat adalah bagian yang sangat penting
dalam hidup kalian.”264 Demikianlah, dalam suasana saling membantu, imam menemukan
tempat yang tepat untuk bertekun dalam panggilan pelayanan terhadap Gereja: “Dalam
persekutuan Kristus dan para imam saudara-saudara-Nya, setiap imam mendapatkan
energi yang dibutuhkan untuk memelihara umat, untuk memenuhi dirinya dengan
kebutuhan-kebutuhan rohani dan materi yang ia jumpai, dan dengan kata-kata yang selalu
baru, yang diperintahkan oleh cinta, mengajar kebenaran kekal iman kepada mereka yang
haus, termasuk juga orang-orang zaman kita ini.” 265 Dalam doa imamat pada Perjamuan
Terakhir, Yesus berdoa untuk kesatuan para murid-Nya: “Supaya mereka semua menjadi
satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau” (Yoh
17:21). Setiap persekutuan dalam Gereja “berasal dari kesatuan Bapa, Putra dan Roh
Kudus.”266 Para imam hendaklah yakin bahwa persekutuan persaudaraan mereka,
khususnya dalam hidup bersama, merupakan suatu kesaksian, sesuai apa yang Tuhan
Yesus jelaskan dalam doa-Nya kepada Bapa: semoga para murid menjadi satu supaya
dunia “percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh 17:21) dan tahu
bahwa “Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi Aku” (Yoh 17:23).
260
Bdk. KHK 1983., kan. 545, § 1.
261
Bdk.KHK 1983 ., kan. 533, § 1.
262
Bdk. KHK 1983., kan. 1226; 1228.
263
Benediktus XVI, Audiensi pribadi kepada para imam Persaudaraan Santo Carolus dalam rangka ulang tahun
ke-25 pendiriannya. (12 Februari 2011): l.c., 8.
264
Benediktus XVI, Homili dalam rangka Perayaan Ibadat Sore (Fatima, 12 Mei 2010): Insegnamenti VI/1 (2010),
685-688.
265
Benediktus XVI, Audiensi pribadi kepada para imam Persaudaraan Santo Carolus dalam rangka ulang tahun
ke-25 pendiriannya. (12 Februari 2011): l.c., 8
266
St. Siprianus, De Oratione Domini, 23: PL 4, 553; Bdk. LG., Art. 4.

108
“Yesus meminta agar komunitas imamat menjadi pantulan dan partisipasi dari
persekutuan Trinitaris: sungguh keadaan ideal yang amat luhur!”267
6.7.2.3.Dengan Umat Beriman Awam
 Sebagai manusia persekutuan, imam tidak bisa mengungkapkan cintanya kepada Tuhan
dan kepada Gereja tanpa mewujudkannya dalam cinta sesungguhnya dan tanpa syarat
bagi umat Kristiani, tujuan dari reksa pastoralnya.268
 Seperti Kristus, imam harus “menampilkan Kristus di tengah kawanan” yang
dipercayakan kepadanya,269 dengan menempatkan dirinya dalam relasi positif dengan
umat beriman awam. Dengan mengakui martabat mereka sebagai anak-anak Allah, imam
meningkatkan peran mereka dalam Gereja dan, demi pelayanan kepada mereka,
memberikan semua pelayanan imamat dan cinta kasih pastoralnya.270 Sikap cinta dan
belas kasih itu jauh dari apa yang disebut “laikalisasi para imam”, yang justru
melemahkan dalam diri para imam apa yang merupakan jati dirinya: umat beriman
meminta para imam mereka untuk menunjukkan jati dirinya itu, baik secara lahiriah
maupun batiniah, di setiap saat, tempat dan keadaan. Suatu kesempatan berharga bagi
gembala jiwa-jiwa dalam misi evangelisasi adalah kunjungan tradisional tahunan dan
berkat Paskah untuk keluarga-keluarga.
 Perwujudan khas dimensi ini dalam membangun komunitas Kristiani terletak dalam
mengatasi setiap sikap partikularistik (mengutamakan kepentingan pribadi di atas
kepentingan umum). Sungguh, jangan pernah para imam menempatkan pelayanan
mereka pada ideologi partikular, yang akan menghilangkan efektivitas pelayanan mereka.
Hubungan antara imam dan umat beriman harus selalu bersifat imamat.
 Dengan menyadari persekutuan mendalam yang menautkannya dengan umat beriman
awam dan para religius, imam akan berusaha sekuat tenaga untuk “membangkitkan serta
memperdalam rasa ikut bertanggung jawab dalam satu misi bersama demi penyelamatan
sesama, dengan penghargaan yang siaga dan setulus hati terhadap segala karisma dan
tugas, yang oleh Roh diserahkan kepada umat beriman untuk membangun Gereja.”271
 Secara lebih konkret, pastor paroki, dengan selalu mengusahakan kebaikan bersama
dalam Gereja, akan mendorong perkumpulan-perkumpulan umat beriman dan gerakan-
gerakan atau komunitas-komunitas baru yang memiliki tujuan-tujuan religius,272 dengan
menerima mereka semua dan membantu mereka menemukan di antara mereka sendiri
kesatuan tujuan, dalam doa dan karya kerasulan.
 Salah satu tugas yang membutuhkan perhatian khusus adalah pembinaan para awam.
Imam tidak boleh puas diri bahwa umat beriman memiliki suatu pemahaman iman yang
dangkal, namun harus berusaha memberikan kepada mereka suatu pembinaan yang
berbobot, dengan bertekun dalam usahausahanya melalui pelajaran-pelajaran teologi,
267
Yohanes Paulus II, Audiensi umum (4 Agustus 1993), 4: Insegnamenti XVI/2, 139-140.
268
Bdk. Yohanes Paulus II, Audiensi umum (7 Juli 1993): Insegnamenti XVI/2, 34- 44; PO., Art. 15.
269
PDV., Art. 15
270
Bdk. PO., Art. 9; KHK 1983., kan. 275, § 2; 529, § 2.
271
PDV., Art. 74

272
Bdk. KHK 1983., kan. 529, § 2.

109
kursus-kursus tentang ajaran Kristiani, khususnya dengan mempelajari Katekismus
Gereja Katolik dan Kompendiumnya. Pembinaan seperti itu akan membantu para awam
untuk mengembangkan secara penuh perannya sebagai animator Kristiani urusan-urusan
keduniawian (politik, budaya, ekonomi, sosial).273 Selain itu, dalam kasus-kasus tertentu,
mungkin beberapa tugas bisa dipercayakan kepada para awam, yang memiliki pendidikan
yang memadai dan keinginan yang tulus untuk melayani Gereja, –selaras dengan tata
aturan Gereja– yang tidak dikhususkan bagi pelayanan imamat dan yang bisa mereka
kembangkan berdasarkan pengalaman profesional dan pribadi mereka. Dengan demikian,
imam akan lebih leluasa dalam menjalankan dengan lebih baik tugas-tugas utamanya,
yakni khotbah, perayaan Sakramen-sakramen dan bimbingan rohani. Dalam arti itu, satu
dari tugas penting para pastor paroki adalah menemukan di antara umat beriman orang
orang dengan kecakapan, keutamaan dan hidup Kristiani yang seimbang –misalnya
dalam hal perkawinan–, yang bisa membantu secara efektif dalam berbagai kegiatan
pastoral: persiapan penerimaan komuni pertama dan pengakuan dosa pertama bagi anak-
anak atau persiapan Krisma bagi remaja, kerasulan keluarga, katekese bagi mereka yang
akan menikah, dan sebagainya. Demikian juga, perhatian bagi pembinaan orang-orang
tersebut – yang merupakan teladan bagi banyak orang lain – dan kenyataan bahwa
membantu mereka dalam perjalanan iman mereka harus menjadi salah satu perhatian
utama para imam.
 Sejauh ia menyatukan keluarga Allah dan mewujudkan Gereja-persekutuan, imam –
sadar akan rahmat agung panggilannya– menjadi pontifex (jembatan), yakni dia yang
menyatukan manusia kepada Allah, dengan menjadikan dirinya saudara bagi sesamanya
dalam tindakan itu yang dengannya ia ingin menjadi gembala, bapa dan guru mereka. 274
Bagi manusia sekarang, yang mencari makna keberadaannya, dia adalah Gembala Baik
dan penuntun yang membimbing kepada perjumpaan dengan Kristus, perjumpaan yang
terjadi sebagai pewartaan dan sebagai realitas yang telah hadir dalam Gereja, meskipun
belum secara definitif. Dalam cara ini imam, yang ditempatkan bagi pelayanan Umat
Allah, akan menampilkan dirinya sebagai pakar dalam kemanusiaan, manusia kebenaran
dan persekutuan, saksi akan perhatian dari Satu-satunya Gembala bagi masing-masing
dan tiaptiap anggota kawanan-Nya. Komunitas akan bisa mengandalkan dengan penuh
percaya diri kesiap-sediaannya, karya evangelisasinya, dan terlebih lagi cintanya yang
setia dan tanpa syarat. Perwujudan cinta itu terutama dalam dedikasinya dalam khotbah,
pada perayaan Sakramen-sakramen, khususnya Ekaristi dan Pengakuan dosa, dan dalam
bimbingan rohani, sebagai sarana untuk membantu memahami tanda-tanda kehendak
Allah.275 Dengan selalu menampilkan dirinya sebagai imam, maka ia melakukan
perutusan rohaninya dengan kebaikan hati dan keteguhan, dengan kerendahan hati dan
semangat pelayanan,276 dengan mengenakan bela rasa, dengan mengambil bagian di
dalam penderitaan-penderitaan yang melanda manusia karena berbagai bentuk
kemiskinan, rohani dan jasmani, lama maupun baru. Imam juga akan tahu bagaimana
membungkuk dengan belas kasih terhadap perjalanan sulit dan tak tentu dari pertobatan
para pendosa, kepada siapa ia akan menyediakan anugerah kebenaran dan kesabaran, dan
273
Bdk. LG., Art. 31
274
Bdk. PDV., Art. 74; Paulus VI, Ensiklik Ecclesiam suam (6 Agustus 1964), III: AAS 56 (1964), 647.
275
Bdk. Kongregasi Klerus, Imam, pelayan Kerahiman Ilahi. Bahan bagi para Bapa Pengakuan dan Pembimbing
rohani. (9 Maret 2011): buklet, LEV, Kota Vatikan 2011
276
Bdk. Yohanes Paulus II, Audiensi umum (7 Juli 1993): l.c., 34-44.

110
kebaikan hati yang meneguhkan dari Gembala Baik, yang tidak mencerca domba yang
hilang, tetapi memanggulnya di atas pundaknya dan mengadakan pesta atas kembalinya
ke tengah kawanannya (bdk. Luk. 15:4-7).277
 Ini adalah masalah menegaskan cinta kasih Kristus sebagai asal dan perwujudan
sempurna manusia baru (bdk. Ef. 2:15), yakni tentang manusia dalam kebenaran
penuhnya. Cinta kasih itu diwujudkan dalam hidup imam dalam semangat sejati yang
menata secara eksplisit pelayanannya dalam fungsi penerusan umat Kristiani.
6.7.2.4.Dengan Anggota-anggota Tarekat Hidup Bakti
 Perhatian khusus diberikan kepada relasi dengan saudarasaudari yang mempersembahkan
hidup dalam pembaktian diri khusus kepada Allah dalam segala bentuknya, dengan
menunjukkan kepada mereka penghargaan yang tulus dan semangat kerja sama kerasulan
yang nyata, dengan menghormati dan mengembangkan karisma-karisma khas mereka.
Lebih lanjut, ia akan bekerja sama agar hidup bakti tampak selalu lebih cemerlang dan
bermanfaat bagi seluruh Gereja, dan semakin persuasif dan menarik bagi generasi-
generasi baru.
 Dalam semangat penghargaan terhadap hidup bakti, imam akan memberi perhatian
khusus bagi komunitas-komunitas yang, dengan berbagai alasan, semakin membutuhkan
pengajaran yang baik, pelayanan dan dukungan dalam kesetiaan dan dalam promosi
panggilan.
6.7.2.5.Dengan Masyarakat Luas
 Dalam Kristus, Gereja sebagai sakramen keselamatan adalah ”tanda dan sarana persatuan mesra
dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia”. 278 Pada titik ini, imam dalam hidup dan
karyanya tidak mungkin dapat menghindari perjumpaan dan pergaulan dengan masyarakat luas,
di dalamnya ia akan senantiasa bertemu dengan aneka ”perpaduan antara pelbagai kelompok
penduduk, beserta jawatan-jawatan sipil dan lembaga-lembaga sosial, yang mewujudkan tata-
susunan organisnya”279 masing-masing dalam persekutuan hidup yang harmonis dengan warga
masyarakat seluruhnya.
 Hubungan dengan masyarakat luas tidak terelakkan dari kehidupan, karya, dan perhatian seorang
imam, sebab Gereja sendiri ”hadir di dunia, hidup bersamanya dan bertindak di
dalamnya.....Adanya Gereja sudah hadir di dunia, terhimpun dari orang-orang yang termasuk
warga masyarakat dunia. Mereka dipanggil supaya sejak dalam sejarah umat manusia ini sudah
membentuk keluarga putra-putri Allah, yang terus-menerus harus berkembang hingga kedatangan
Tuhan”.280 Dalam kebenaran ini, semua manusia di dunia dipanggil Allah untuk hidup bersama
sebagai satu keluarga besar. Inilah rencana Bapa sejak kekal, yaitu ”kesatuan segenap umat
manusia yang terbagi-bagi.....agar mereka bersatu, membentuk persekutuan yang hidup” 281 dalam
keluarga besar Allah sendiri. Dalam keluarga besar ini, Allah menjadi ”Bapa semua orang” dan
277
Bdk. KHK 1983., kan. 529, § 1.
278
LG., Art. 1.
279
CD., Art. 23
280
Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, dalam: R.
Hardawiryana, SJ. (Penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), Artikel 40. Untuk kutipan
selanjutnya akan digunakan singkatan GS, Art., dan nomor artikelnya.
281
Paus Yohanes Paulus II, Ensiklik Ut Unum Sint, tentang Komitmen Terhadap Ekumenisme (25 Mei 1995),
dalam: R. Hardawiryana, SJ. (Penerj.), Seri Dokumen Gerejawi No.46 (Jakarta: Departemen Dokpen KWI, 1996),
Artikel 6. Selanjutnya akan disingkat UUS, Art., dan nomornya.

111
semua manusia adalah anak-anakNya dan ”saudara” satu terhadap yang lain. ”Hubungan manusia
dengan Allah Bapa dan hubungannya dengan sesama manusia saudaranya begitu erat, sehingga
Alkitab berkata, ’Barangsiapa tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah’ (1Yoh 4:8)”. 282
 Dengan orientasi ini, imam dalam misi khususnya yang ”bersifat keagamaan” di dunia untuk
”melayani pembentukan dan peneguhan masyarakat manusia menurut Hukum Ilahi” 283 akan
menjadi seorang pelintas batas yang bergaul dengan siapa saja tanpa memandang agama, bangsa,
ras, dan golongan. Lewat cara begini, imamatnya diabdikan sebagai pelayan kehendak Tuhan
yang mau berbela rasa dengan semua orang, teristimewa yang miskin dan terindas 284 untuk
”memanusiakan” dan ”mempribadikan” masyarakat. Masyarakat dimaksud akan memiliki dan
menghayati semangat ”memberi secara sukarela” yang diwujudkan dalam sikap menerima setulus
hati, perjumpaan dan dialog, sikap tersedia tanpa pamrih, pengabdian dengan kemurahan hati, dan
sikap setia kawan yang mendalam”.285
 Dalam kerangka ini, imam hendaknya memiliki suatu keberanian untuk passing over dan going
in. Keberanian passing over merupakan satu perubahan sikap untuk beralih kepada sikap sebuah
budaya, cara hidup, atau agama yang lain terdorong oleh satu pemahaman simpatetis. Sedangkan
sikap going in merupakan sejenis inkarnasi diri ke dalam sebuah dunia lain berdasarkan
kesadaran akan keterbatasan kita agar supaya kita dapat terbuka untuk belajar dari orang-orang
lain.286 Keberanian passing over dan going in ini dimiliki oleh imam apabila ia menaruh sikap
hormat terhadap setiap orang, ”memandang sesamanya, tidak seorang pun terkecualikan, sebagai
’dirinya yang lain’, terutama mengindahkan peri hidup mereka beserta upaya-upaya yang mereka
butuhkan untuk hidup secara layak”. 287 Dengan sikap seperti ini, imam ”kendati disadari aneka
ragam ras, suku, budaya (dan agama), akan menjunjung tinggi kekeluargaan dan persaudaraan,
menghormati dan menjamu tamu serta orang asing” untuk akhirnya ”rukun hidup, hidup dalam
communio atau persekutuan antarpribadi dengan sesama dalam perjalanan bersama untuk
semakin mendekati Allah, tujuan mutakhir serta kebahagiaan sejati” 288 dari kehidupan manusia.
 Perwujudan lebih konkret dari sikap positif terhadap orang lain ini dapat ditunjukkan oleh imam
melalui keikutsertaannya di dalam upaya bersama membangun kesejahteraan umum dan
”mengusahakan kemajuan umat manusia dalam keadilan.....pembebasan, perkembangan, dan
perdamaian dalam dunia”.289 Kesejahteraan umum yang dimaksud merupakan ”keseluruhan
kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-
anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka
sendiri. Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta aspirasi-aspirasi
kelompok-kelompok lain yang wajar, bahkan kesejahteraan umum segenap keluarga manusia”. 290
 Dewasa ini ada dua bentuk upaya paling mendesak untuk membangun kesejahteraan umum

282
Konsili Vatikan II, Nostra Aetate, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama Bukan Kristiani,
dalam: R. Hardawiryana, SJ. (Penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), Artikel 5. Untuk kutipan
selanjutnya akan digunakan singkatan NA, Art., dan nomor artikelnya.
283
GS, Art. 42
284
Paulus Mujiran, “Menggali Visi Hidup Romo Mangun”, Tinjauan Buku Romo Mangun Imam Bagi Kaum Kecil,
dalam: Kompas, 23 Juni 2001, p. 32
285
Bdk. FC., Art. 43
286
Bdk. Yosef Suban Hayon, “Pastoral Lintas Batas: Tinjauan dari Perspektif Teologis”, dalam: Biduk, Edisi I, Thn.
XXXVII, Januari-Juni 2001, Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret, pp. 11-12
287
GS., Art. 27
288
Robert Hardawiryana, Dialog Umat Kristiani dengan Umat Pluri-Agama-Kpercayaan di Nusantara
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), pp. 68-69.
289
EN., Art. 31
290
GS., Art. 26

112
masyarakat manusia, yaitu solidaritas dan dialog. Sehubungan dengan solidaritas, imam
hendaknya melalui pewartaan dan karya pelayanan lainnya senantiasa menumbuhkan kesadaran
dan keyakinan iman dalam diri manusia bahwa ”Allah menciptkan orang-orang bukan untuk
hidup sendiri-sendiri, melainkan untuk membentuk persatuan sosial. Begitu pula Ia bermaksud
menguduskan dan menyelamatkan orang-orang bukannya satu per satu tanpa hubungan satu
dengan lainnya, melainkan Ia hendak membentuk mereka menjadi umat yang mengakuiNya
dalam kebenaran dan mengabdi kepadaNya dengan suci”. 291 Dengan kesadaran dan keyakinan
iman ini, ”manusia bersama dengan saudara-saudarinya diwajibkan untuk ikut menyumbang
kepentingan umum masyarakat pada segala tingkatan”. Dalam pengertian ini, ”solidaritas
bukanlah perasaan iba yang kabur atau kerisauan yang dangkal tentang nasib malang begitu
banyak orang, yang dekat maupun yang jauh. Sebaliknya, solidaritas merupakan tekad yang
kukuh dan tekun hendak membaktikan diri seseorang kepada kesejahteraan umum, sebab kita
semua benar-benar bertanggungjawab bagi semua orang....”. 292
 Untuk dapat membangun kesejahteraan umum, diperlukan juga upaya ”dialog dan kerjasama
dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman seperti peri
hidup kristiani, mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta-kekayaan rohani dan moral
serta nilai-nilai sosio-budaya yang terdapat pada mereka”. 293 Dialog dan kerjasama dengan para
penganut agama lain ini tidak bisa dihindari oleh imam, sebab dalam kenyataan sehari-hari sudah
”terjalin hubungan yang semakin meningkat dalam dunia sekarang ini antara orang-orang
kristiani dengan orang-orang dari agama-agama lain”.
 Lewat aneka dialog, entah dialog kehidupan, dialog peradaban, dialog kebudayaan atau terutama
lewat dialog antarumat beragama, hendaknya imam senantiasa membangun dan ”membutuhkan
keterbukaan, siap bertemu dengan saudara-saudari bukan Kristen pada semua tingkat, untuk
melayani mereka dengan cinta-kasih, sesuai teladan Sang Guru, punya keberanian, serentak
dengan itu meragi dengan iman kita, mengakui besarnya kekuatan rohani mereka, sambil mencari
apa yang menyatukan dan kurang berkonsentrasi pada apa yang memisahkan kita. Yakinlah
bahwa kita saling membutuhkan, belajar satu dari yang lain, rendah hati, dan hidup berdasarkan
solidaritas kemanusiaan, karena kita semua adalah anak-anak Allah yang satu, dengannya kita
bersaudara”.294
Tugas

 Sebagai latihan dan evaluasi terhadap materi bahasan dalam Bab VI (tentang Spiritualitas Imam)
di atas, maka mahasiswa-mahaiswi diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1) Apa yang anda ketahui tentang Jati-diri dan Spiritualitas seorang Imam? Jelaskan!
2) Jelaskan Pusat Kehidupan dan Spiritualitas seorang Imam!
3) Jelaskan empat butir refleksi mengenai korelasi antara kekudusan dan karya seorang
imam!
4) Jelaskan empat sumber Spiritualitas seorang Imam!
5) Jelaskan empat orientasi atau sasaran utama Spiritualitas Imamat!
6) Jelaskan dimensi vertikal dan dimensi horizontal menyangkut Spiritualitas Persekutuan
atau Relasi seorang Imam!

291
GS., Art. 32
292
CFL., Art. 42
293
NA., Art. 2
294
Armando Bortolaso, “Dialog Kehidupan”, dalam: Kirchberger dan Prior (Eds.), Yesus Kristus Penyelamat:
Sinode Asia (Maumere: LPBAJ, 1999), pp. 150-151.

113
 Catatan:
 Untuk mengerjakan tugas ini, gunakan juga referensi atau sumber-sumber bacaan pribadi
lain (selain materi perkuliahan yang telah disajikan di atas), untuk menambah wawasan
anda.
 Tugas ini dikumpulkan paling lambat sehari sebelum pertemuan berikutnya.
 Tugas ini bisa dikumpulkan secara online via e-mail ataupun secara
langsung/manual/offline.
 Alamat e-mail dosen pengampu mata-kuliah: hironimuspakaenoni@yahoo.com atau
pakaenoni69hironimus@gmail.com

BAB VII
SPIRITUALITAS AWAM

7.1. Pengertian Kaum Awam


 Yang dimaksud dengan kaum Awam adalah semua orang beriman Kristiani yang tidak
termasuk golongan yang menerima tahbisan suci dan status kebiarawanan yang diakui
dalam Gereja. Definisi Awam dalam praktek dan dalam dokumen-dokumen Gereja
ternyata terdiri atas dua macam:
 Definisi teologis: Awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan. Jadi, Awam
meliputi Biarawan/Biarawati seperti Suster dan Bruder yang tidak menerima
tahbisan suci.

114
Definisi tipologis: Awam adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga
bukan Biarawan/Biarawati. Maka dari itu Awam tidak mencakup para Suster dan
Bruder.
 Definisi tipologis di atas diambil dari rumusan Konsili Vatikan II: “Yang dimaksudkan
dengan istilah “awam” di sini ialah semua orang beriman kristiani kecuali mereka yang
termasuk golongan imam atau status religius yang diakui dalam Gereja. Jadi kaum
beriman kristiani, yang berkat Baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun
menjadi Umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat,
kenabian dan rajawi Kristus, dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka
melaksanakan perutusan segenap Umat kristiani dalam Gereja dan di dunia.295
 Untuk selanjutnya istilah “Awam” yang digunakan adalah sesuai dengan pengertian
tipologis di atas.

7.2.Peranan Awam
 Peranan Awam sering diistilahkan sebagai Kerasulan Awam yang tugasnya dibedakan
sebagai Kerasulan internal dan eksternal. Kerasulan internal atau kerasulan “di dalam
Gereja” adalah kerasulan membangun jemaat. Kerasulan ini lebih diperani oleh jajaran
hierarkis, walaupun Awam dituntut juga untuk mengambil bagian di dalamnya.
Kerasulan eksternal atau kerasulan “dalam tata dunia” lebih diperani oleh para Awam.
Namun harus disadari bahwa kerasulan dalam Gereja bermuara pula ke dunia. Gereja
hadir di dunia ini tidak untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dunia. Gereja hadir untuk
membangun Kerajaan Allah di dunia ini.
 Kerasulan dalam tata Dunia (eksternal).
 Berdasarkan panggilan khasnya, Awam bertugas mencari Kerajaan Allah dengan
mengusahakan hal-hal duniawi dan mengaturnya sesuai dengan kehendak Allah.
Mereka hidup dalam dunia, yakni dalam semua dan tiap jabatan serta kegiatan
dunia. Mereka dipanggil Allah menjalankan tugas khasnya dan dibimbing oleh
semangat Injil. Mereka dapat menguduskan dunia dari dalam laksana ragi 296.
Kaum Awam dapat menjalankan kerasulannya dengan kegiatan penginjilan dan
pengudusan manusia serta meresapkan dan memantapkan semangat Injil ke dalam
“tata dunia”sedemikian rupa sehingga kegiatan mereka sungguh-sungguh
memberikan kesaksian tentang karya Kristus dan melayani keselamatan manusia.
 Dengan kata lain “tata dunia” adalah medan bakti khas kaum Awam. Hidup
keluarga dan masyarakat yang bergumul dalam bidang-bidang
ipoleksosbudhamkamnas hendaknya menjadi medan bakti mereka.
 Sampai sekarang ini, masih banyak di antara kita yang melihat kerasulan dalam
tata dunia bukan sebagai kegiatan kerasulan. Mereka menyangka bahwa kerasulan
hanya berurusan dengan hal-hal rohani yang sakral, kudus, serba keagamaan, dan
yang menyangkut kegiatan-kegiatan dalam lingkup Gereja.
 Dengan paham gereja sebagai “Tanda dan Sarana Keselamatan Dunia” yang
dimunculkan oleh Gaudium et Spes, di mana otonomi dunia dan sifatnya yang
sekuler diakui, maka dunia dan lingkungannya mulai diterima sebagai partner
dialog yang dapat saling memperkaya diri. Orang mulai menyadari bahwa
295
LG., Art. 31
296
LG., Art. 31

115
menjalankan tugas-tugas duniawi tidak hanya berdasarkan alasan kewargaan
dalam masyarakat atau negara saja, tetapi juga karena dorongan iman dan tugas
keRasulan kita, asalkan dengan motivasi yang baik. Iman tidak hanya
menghubungkan kita dengan Tuhan, tetapi sekaligus juga menghubungkan
dengan sesama kita di dunia ini.
 Kerasulan dalam Gereja (internal)
 Karena Gereja itu Umat Allah, maka Gereja harus sungguh-sungguh menjadi
Umat Allah. Ia hendaknya mengkonsolidasi diri untuk benar-benar menjadi Umat
Allah. Ini adalah tugas membangun gereja. Tugas ini dapat disebut kerasulan
internal. Tugas ini pada dasarnya dipercayakan kepada golongan hierarkis
(kerasulan hierarkis), tetapi Awam dituntut pula untuk ambil bagian di dalamnya.
Keterlibatan Awam dalam tugas membangun gereja ini bukanlah karena menjadi
perpanjangan tangan dari hierarki atau ditugaskan hierarki, tetapi karena
pembaptisan, ia mendapat tugas itu dari Kristus.
 Awam hendaknya berpartisipasi dalam tri tugas Kristus sebagai Nabi, Imam, dan
Raja. 1) Dalam tugas nabiah (pewarta sabda), seorang Awam dapat mengajar
agama, sebagai katekis, memimpin kegiatan pendalaman Kitab Suci atau
pendalaman iman, dsb. 2) Dalam tugas Imamiah (menguduskan), seorang Awam
dapat:Memimpin doa dalam pertemuan umat, Memimpin koor atau nyanyian
dalam ibadah, Membagi komuni sebagi proDiakon, Menjadi pelayan putra Altar,
dsb. 3) Dalam tugas Rajawi (gembala/pemimpin/pelayan), seorang Awam dapat:
Menjadi anggota dewan paroki, Menjadi ketua seksi, ketua lingkungan atau
wilayah, dan sebagainya.

7.3. Kerjasama Kaum Awam dan Hirarki


 Sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan II, Hierarki dan Awam memiliki martabat yang
sama, hanya berbeda fungsi. Semua fungsi sama luhurnya, asal dilaksanakan dengan
motivasi yang baik, demi Kerajaan Allah.
 Dalam hal ini, Hierarki bertugas memimpin (melayani) dan mempersatukan Umat Allah.
Biarawan/biarawati dengan kaul-kaulnya mengarahkan Umat Allah pada dunia yang akan
datang (eskatologis). Para Awam bertugas merasul dalam tata dunia. Mereka menjadi
Rasul dalam keluarga-keluarga dan dalam masyarakat di bidang
ipoleksosobudhamkamnas. Jika setiap komponen gereja menjalankan fungsi atau
perannya masing-masing dengan baik, maka kerja sama yang baik pasti terjamin.
 Walaupun tiap komponen memiliki fungsinya masing-masing, namun untuk bidang-
bidang tertentu, terlebih dalam kerasulan internal yaitu membangun hidup menggereja,
masih dibutuhkan partisipasi dan kerja sama dari semua komponen. Dalam hal ini
hendaknya hierarki tampil sebagai pelayan yang memimpin dan mempersatukan.
Pimpinan tertahbis, yaitu dewan Diakon, dewan Presbyter, dan dewan Uskup tidak
berfungsi untuk mengumpulkan kekuasaan ke dalam tangan mereka, melainkan untuk
menyatukan rupa-rupa tipe, jenis, dan fungsi pelayanan (kharisma) yang ada.
 Hierarki berperan untuk memelihara keseimbangan dan persaudaraan di antara sekian
banyak tugas pelayanan. Para pemimpin tertahbis memperhatikan serta memelihara
keseluruhan visi, misi, dan reksa pastoral. Karena itu, tidak mengherankan bahwa di
antara mereka yang termasuk dalam dewan hierarki ini, ada yang bertanggungjawab
untuk memelihara ajaran yang benar dan memimpin perayaan sakramen-sakramen.

116
7.4. Spiritualitas Awam
 Hidup religius dengan kaul-kaul dalam Gereja kerap disebut sebagai status perfectionis,
status hidup sempurna, dan terlalu sering tradisi Katolik cenderung mengatakan seolah-
olah spiritualitas hanya berkaitan dengan hidup yang dijalani oleh kaum religius atau pun
klerus. “Identitas orang Kristiani awam telah menjadi amat kabur selama berabad-abad
karena hidup religius menjadi kerangka normatif bagi hidup Kristiani”. 297 Kita cenderung
lupa bahwa banyak tradisi spiritual yang kaya dalam Gereja diciptakan oleh pria dan
wanita awam. Bapa-bapa dan ibu-ibu padang gurun awal adalah orang-orang awam,
bukan religius atau klerus. Beguine dan Beghard dari abad ke-12 dan ke-13 merupakan
gerakan awam seperti halnya spiritualitas Santo Fransiskus Assisi.
 Hal ini berarti bahwa semua orang Kristiani, entah pria dan wanita awam ataupun religius
dan klerus, sama-sama dipanggil kepada hidup rohani. Dengan demikian, pentinglah
memperluas konsep spiritualitas untuk mencerminkan lingkungan dan kebutuhan orang
awam yang berbeda-beda, entah yang menikah atau pun yang hidup sendiri. Santo
Fransiskus dari Sales mengenal keanekaragaman spiritualitas itu. Dalam bukunya
Introduction to the Devout Life, beliau menekankan bahwa praktek devosi harus
disesuaikan untuk setiap orang menurut tugas dan pekerjaannya masing-masing.298
 Konsili Vatikan II, dengan penekanannya pada panggilan umum untuk kesucian 299
memberikan dasar untuk berbagai spiritualitas awam. Dasar semua spiritualitas adalah
sakramen baptis yang memasukkan seseorang ke dalam Kristus dan Gereja, dan memberi
bagian kepada masing-masing, baik awam, religius, maupun klerus (kaum tertahbis)
dalam fungsi Kristus sebagai imam, nabi, dan raja.300
 Spiritualitas awam mengembangkan panggilan baptis ini baik di dalam Gereja maupun di
dalam dunia. Sebagai panggilan di dalam Gereja, spiritualitas awam dipupuk oleh Sabda
Allah dan Sakramen-sakramen. Sebagai panggilan di dalam dunia, spiritualitas awam
harus bersifat inkarnatoris. Maksudnya, spiritualitas awam harus dapat menemukan
kehadiran Allah di tengah-tengah hal yang biasa dan sehari-hari, serta mengetahui bahwa
kerja dapat menjadi ungkapan keterlibatan Kristiani seseorang. Spiritualitas awam dapat
dihayati dalam perkawinan atau pun dalam hidup sendiri tanpa menikah.
 Pasangan suami-istri dipanggil untuk menghidupi spiritualitas yang pada dasarnya
bersifat relasional, saling berhubungan satu sama lain. Panggilan utama mereka adalah
perkawinan dan keluarga. Mereka dipanggil untuk hidup bersama yang saling
menghormati dan mengatasi perbedaan-perbedaan. Cinta seksual mereka merupakan
ungkapan spiritualitas mereka, sekaligus merupakan tanda yang penting dari cinta Allah
yang lembut dan yang rela menyerahkan diri. Kebahagiaan seksual mengikat suami dan
istri satu sama lain, serta menyembuhkan friksi dan konflik yang sering muncul dari
hidup bersama.301 Dalam arti yang sebenarnya, suami dan istri menggambarkan Allah
bagi pasangannya dan bagi anak-anak mereka. Keluarga dan rumah tangga mereka

297
Philip Sheldrake, Spirituality and History (New York: Crossroad, 1992), p. 107
298
St. Francis de Sales, Introduction to the Devout Life, trans. & ed. by John K. Ryan (New York: Harper &
Brothers, 1950), p. 6
299
LG., Art.42
300
LG., Art.31
301
Andrew M. Greeley, Sex: The Catholic Experience (Chicago: Thomas More, 1994), p.12

117
menjadi tempat di mana orang-orang lain dapat mengalami kegembiraan dan jaminan
kasih Allah.
 Gerakan Marriage Encounter telah amat berjasa dalam meningkatkan spiritualitas
perkawinan. Marriage Encounter telah membantu banyak pasangan suami-istri
menemukan apa sesungguhnya makna menjalani perkawinan Kristiani sebagai
sakramen. Sementara itu, ada juga yang memilih hidup sendiri tanpa menikah sebagai
cara untuk mengembangkan keakraban dengan Allah dan untuk menyerahkan diri secara
lebih lengkap bagi pelayanan khusus di dalam Gereja, misalnya sebagai Pro-Diakon atau
Diakon Awam. Dalam hal ini, cara hidup mereka dapat merupakan ungkapan selibat
demi Kerajaan Allah (Bdk. Mat 19:12).
 Selain Marriage Encounter, gerakan Pembaharuan Karismatik pun telah menolong
banyak orang awam untuk mengalami hidup yang mendalam dalam roh. Gerakan
Cursillo, yang didasarkan pada pembaharuan rohani pada akhir minggu, meningkatkan
spiritualitas yang menemukan kehadiran Allah dalam hidup sehari-hari, di rumah, di
tempat kerja, dan terutama di dalam Gereja lokal. Penemuan kembali pelayanan awam
sesungguhnya menuntut spiritualitas pelayanan.
 Konsili Vatikan II merumuskan secara padat spiritualitas kaum awam ini dan
menempatkannya dalam konteks kerasulan mereka baik di dalam Gereja maupun di
dalam dunia, dalam Dekrit mengenai Kerasulan Awam sebagai berikut:

“Spiritualitas awam dalam tata kerasulan Kristus yang diutus oleh Bapa menjadi sumber dan
asal seluruh kerasulan Gereja. Maka jelaslah kesuburan kerasulan awam tergantung dari
persatuan mereka dengan Kristus yang memang perlu untuk hidup menurut sabda Tuhan:
"Barangsiapa tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia, ia menghasilkan buah banyak, sebab
tanpa Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa" (Yoh 15:5).
Kehidupan dalam persatuan mesra dengan K.ristus itu dalam Gereja dipupuk dengan
bantuan-bantuan rohani, yang diperuntukkan bagi semua orang beriman, terutama dengan
keikutsertaan aktif dalam Liturgi suci. Upaya-upaya itu hendaknya digunakan oleh para
awam sedernikian rupa, sehingga mereka – sementara menunaikan dengan saksama tugas-
tugas duniawi dalam keadaan hidup yang serba biasa – tidak menceraikan persatuan dengan
Kristus dari hidup mereka, melainkan sambil melaksanakan tugas mereka menurut kehendak
Allah, tetap berkembang dalam persatuan itu.
Melalui jalan itu kaum awam harus maju dalam kesucian dengan hati riang gembira,
sementara mereka berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan dengan bijaksana dan sabar. Baik
tugas-pekerjaan dalam keluarga maupun urusan-urusan keduniaan lainnya jangan sampai
menjadi asing terhadap cara hidup rohani, menurut amanat Rasul: "Apa pun yang kamu
lakukan dalam kata-kata maupun perbuatan, itu semua harus kamu jalankan atas nama Tuhan
Yesus Kristus, sambil bersyukur kepada Allah dan Bapa kita melalui Dia" (Kol 3:17).
Hidup seperti itu menuntut perwujudan iman, harapan, dan cintakasih, yang tiada hentinya.
Hanya dalam cahaya iman dan berkat renungan sabda Allah, manusia dapat selalu dan di
mana-mana mengenal Allah, - "kita hidup dan bergerak dan berada" dalam Dia (Kis 17:28), -
dalam segala peristiwa mencari kehendak-Nya, memandang Kristus dalam semua orang,
entah mereka termasuk kaum kerabat entah tidak, mempertimbangkan dengan cermat makna
serta nilai hal-hal duniawi yang sesungguhnya, dalam dirinya maupun sehubungan dengan
tujuan manusia.
Barangsiapa mempunyai iman itu, hidup dalam harapan akan penampakan putera-putera
Allah, sambil mengenangkan salib dan kebangkitan Tuhan. Dalam perantauan hidup ini,
tersembunyi bersama Kristus dalam Allah dan dibebaskan dari perbudakan kekayaan,
sementara mencari harta yang kekal abadi, mereka dengan kebesaran jiwa membaktikan diri
seutuhnya untuk meluaskan kerajaan Allah dan untuk merasuki dan menyempurnakan tata
dunia ini dengan semangat kristiani. Di tengah kemalangan hidup ini mereka menemukan
kekuatan dalam harapan, sementara berpandangan bahwa "penderitaan zaman sekarang ini

118
tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan di masa mendatang yang akan dinyatakan dalam
diri kita" (Rom 8:18).
Didorong oleh cinta kasih yang berasal dari Allah, mereka mengamalkan kebaikan terhadap
semua orang, terutama terhadap rekan-rekan seiman (lih. Gal 6:10), sementara mereka
menanggalkan "segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan,
kedengkian dan fitnah" (1Ptr 2:1), dan dengan demikian menarik sesama kepada Kristus.
Sebab cinta kasih Allah, yang "dicurahkan ke dalam hati kita melalui Roh Kudus yang
dikurniakan kepada kita" (Rom 5:5), menjadikan kaum awam mampu untuk sungguh-
sungguh mewujudkan semangat Sabda Bahagia dalam hidup mereka.
Sementara mengikuti Yesus yang miskin, mereka tidak merasa hancur karena kekurangan
harta duniawi, tetapi juga tidak menjadi sombong karena kelimpahan. Sambil mengikuti
Kristus yang rendah hati, mereka tidak gila hormat (lih. Gal 5:26), melainkan berusaha
berkenan kepada Allah lebih daripada kepada manusia, serta selalu siap sedia untuk
meninggalkan segalanya demi Kristus (lih. Luk 14:26) dan menanggung penganiayaan demi
keadilan (lih. Mat 5:10), sementara mengenangkan sabda Tuhan: "Barangsiapa mau
mengikuti Aku, hendaklah ia mengingkari dirinya dan memikul salibnya dan mengikuti Aku"
(Mat 16:24). Mereka saling bersahabat secara kristiani, dan saling membantu dalam
kebutuhan mana pun juga.
Corak hidup rohani kaum awam itu harus memperoleh ciri khusus berdasarkan status
pernikahan dan hidup berkeluarga, selibat atau hidup menjanda, dari keadaan sakit, kegiatan
profesi dan sosial. Oleh karena itu, janganlah mereka berhenti memupuk dengan tekun sifat-
sifat dan keutamaan-keutamaan sesuai dengan keadaan-keadaan itu yang telah mereka
terima, dan mengamalkan kurnia-kurnia yang telah mereka terima dari Roh Kudus. Selain itu
para awam, yang mengikuti panggilan mereka telah masuk anggota salah satu perserikatan
atau lembaga yang telah disahkan oleh Gereja, begitu pula berusaha mengenakan dengan
setia corak hidup rohaninya yang istimewa.
Hendaknya mereka menjunjung tinggi juga kemahiran kejuruan, cita rasa kekeluargaan dan
kewarganegaraan, maupun keutamaan-keutamaan yang termasuk hidup kemasyarakatan
sehari-hari, yakni: kejujuran, semangat keadilan, ketulusan hati, perikemanusiaan, keteguhan
jiwa, yang memang amat perlu juga bagi hidup kristiani yang sejati.
Suri teladan yang sempurna bagi hidup rohani dan hidup merasul itu ialah Santa Perawan
Maria, Ratu para Rasul. Selama di dunia ia menjalani hidup kebanyakan orang, penuh
kesibukan keluarga dan jerih payah, tetapi selalu mesra bersatu dengan Putera-Nya, dan
dengan cara yang sangat istimewa ia bekerja sama dengan karya Sang Penyelamat. Tetapi
sekarang ia telah diangkat ke surga, dan "dengan cinta kasih keibuannya ia memperhatikan
saudara-saudara Puteranya, yang masih dalam peziarahan dan menghadapi bahaya-bahaya
serta kesukaran-kesukaran, sampai mereka mencapai tanah air yang penuh kebahagiaan".
Hendaknya semua saja penuh khidmat berbakti kepadanya, dan menyerahkan hidup serta
kerasulan mereka kepada perhatiannya yang penuh rasa keibuan”.302

7.5. Beberapa Dimensi Spiritualitas Kaum Awam


 Dari rumusan Konsili Vatikan II baik mengenai Hakekat, Peran, maupun Spiritualitas
Awam di atas, dapat disimpulkan bahwa Spiritualitas Awam sesungguhnya mengandung
beberapa dimensi seperti dimensi teologal, sakramental, eklesial, dan sekular.
7.5.1.Dimensi Teologal

302
Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Kerasulan Awam “Apostolicam Actuositatem”, dalam: R. Hardawiryana, S.J.
(Penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), Artikel 4. Untuk kutipan selanjutnya akan disingkat
AA diikuti nomor artikelnya.

119
 Peran Allah Bapa
 Peran Allah Bapa dalam hidup dan spiritualitas kaum beriman awam dibahas
pertama-tama dalam konteks misteri Gereja sebagai perwujudan rencana
penyelamatan Allah bagi umat manusia melalui misteri Inkarnasi. “Atas
keputusan kebijaksanaan serta kebaikan-Nya yang sama sekali bebas dan rahasia,
Bapa yang kekal menciptakan dunia semesta. Ia menetapkan, bahwa Ia akan
mengangkat manusia untuk ikut serta menghayati hidup ilahi. Adapun semua
orang, yang sebelum segala zaman telah dipilih oleh Bapa, “telah dikenal-Nya
dan ditentukan-Nya sejak semula, untuk menyerupai citra Putera-Nya, supaya
Dialah yang menjadi sulung di antara banyak saudara” (Rom. 8:29). Bapa
menetapkan untuk menghimpun mereka yang beriman akan Kristus dalam Gereja
kudus….”303.
 Akan tetapi, untuk dapat mengambil bagian dalam misteri Gereja sebagai
perwujudan rencana keselamatan itu, manusia perlu terlebih dahulu dilahirkan
kembali dan diangkat menjadi anak-anak Allah yang tertebus melalui
pembaptisan. “Sebab mereka yang dibaptis karena kelahiran kembali dan
pengurapan Roh Kudus disucikan menjadi kediaman rohani dan imamat suci,
untuk sebagai orang kristiani, dengan segala perbuatan mereka,
mempersembahkan korban rohani, dan untuk mewartakan daya-kekuatan Dia,
yang telah memanggil mereka dari kegelapan ke dalam cahaya-Nya yang
mengagumkan (lih. 1Ptr. 2:4-10). Maka hendaknya semua murid Kristus, yang
bertekun dalam doa dan memuji Allah (lih. Kis 2:42-47), mempersembahkan diri
sebagai korban yang hidup, suci, berkenan kepada Allah (lih. Rom. 12:1).
Hendaknya mereka di seluruh bumi memberi kesaksian tentang Kristus, dan
kepada mereka yang memintanya memberi pertanggungjawaban tentang harapan
akan hidup kekal, yang ada pada mereka (lih. 1Ptr. 3:15).304
 Demikianlah, Allah Bapa sebagai sumber dan asal kekudusan Gereja 305,
memanggil semua umat beriman Kristiani untuk mengambil bagian dalam
kekudusan yakni di dalam hidup Allah Tritunggal sendiri melalui pembaptisan
dan dengan menjalankan tugas perutusan yang telah diterima sejak pembaptisan
itu.

 Peranan Kristus
 Salah satu gambaran Kitab Suci yang sering digunakan untuk mengungkapkan
secara khusus hakekat dan sifat internal Gereja sebagai Umat Allah ialah gambaran
mengenai Pokok Anggur. Dari perspektif ini, kaum awam beriman di dalam Gereja
bukan semata-mata sebagai para pekerja yang siap bekerja di dalam kebun anggur,
melainkan mereka sendiri adalah bagian dari kebun anggur itu. Yesus bersabda,
“Aku ini pokok anggur, dan kamulah ranting-rantingnya” (Yoh 15:5). Dalam
konteks Injil Yohanes, gambaran mengenai Pokok Anggur ini tidak hanya
melambangkan misteri Gereja sebagai Umat Allah, melainkan juga dan terutama
menunjuk pada Yesus sendiri. Dialah Pokok Anggur itu dan kita sebagai murid-
murid adalah ranting-rantingnya. Dialah “pokok anggur sejati”, yang padaNya
303
LG., Art. 2.
304
LG., Art. 10
305
LG., Art. 47

120
ranting-ranting dipersatukan supaya memiliki kehidupan (Bdk. Yoh 15:1 dst.).306
Konsili Vatikan II, dalam konteks gambarannya mengenai misteri Gereja,
menganjurkan lagi gambaran pokok anggur dan ranting-ranting:” Kristuslah pokok
anggur yang sejati. Dialah yang memberi hidup dan kesuburan kepada cabang-
cabang, yakni kita, yang karena Gereja tinggal dalam Dia, dan yang tidak mampu
berbuat apa pun tanpa Dia (lih. Yoh. 15: 1-5).307
 Dari gambaran biblis mengenai “pokok anggur” di atas, kita dapat melihat hubungan
erat tak terpisahkan antara Kristus dan Gereja sebagai Umat Allah dan Persekutuan
Murid-murid, termasuk di dalamnya kaum awam beriman. Hanya dalam konteks
hubungan ini, jati diri kaum awam beriman dinyatakan, dan martabatnya yang
fundamental disingkapkan. Hanya di dalam konteks martabat ini pula panggilan
serta perutusan mereka di dalam Gereja dan di dalam dunia dapat dirumuskan.308

 Peranan Roh Kudus


 Peran Roh Kudus dalam kehidupan kaum beriman awam dikemukakan terutama
dalam konteks martabat mereka yang diperoleh sejak pembaptisan. Dengan
menggunakan gambaran sebuah bangunan, Rasul Petrus merumuskan semua
orang yang sudah dibaptis sebagai “batu-batu hidup” yang bertumpu pada Kristus,
“batu sendi”, dan ditentukan untuk “pembangunan sebuah bangunan rohani” (1Ptr
2:5 dst.). Gambaran ini memperkenalkan kita dengan suatu aspek lain sifat baru
kehidupan Kristen yang berasal dari Permandian dan dilukiskan oleh Konsili
Vatikan II, “Oleh kelahiran kembali dan pengurapan Roh Kudus, semua orang
yang dipermandikan ditahbiskan menjadi suatu bangunan rohani”.309
 Dalam hal ini, Roh Kudus “mengurapi” orang yang dipermandikan, memeterai
mereka masing-masing dengan suatu cirri yang tak terhapuskan (Bdk. 2Kor 1:21-
22), dan membentuk mereka masing-masing menjadi suatu kenisah rohani.
Maksudnya, Roh Kudus mengisi kenisah ini dengan kehadiran suci Allah sebagai
hasil setiap pribadi dipersatukan dan dijadikan serupa dengan Yesus Kristus.
 Dengan “pengurapan rohani” ini maka orang-orang Kristen (termasuk di
dalamnya kaum beriman awam) dapat mengulangi secara perorangan kata-kata
Yesus, “Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku untuk
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus
Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan
penglihatan bagi orang-orang buta; untuk membebaskan orang-orang yang
tertindas; untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk 4:18-19,
par.). Dengan pencurahan Roh Kudus di dalam Permandian dan Penguatan, orang
beriman Kristen mengambil bagian dalam perutusan Yesus Kristus, Almasih dan
Juruselamat.310

306
Paus Yohanes Paulus II, Imbauan Apostolik Christi Fideles Laici, Tentang Panggilan dan Tugas Kaum Awam
Beriman di dalam Gereja dan di dalam Dunia (12 Maret 1989), dalam: Marcel Beding (Penerj.), Seri Dokumen
Gerejawi No. 5 (Jakarta: Departemen Dokpen KWI, 1989), Artikel 8. Untuk kutipan-kutipan selanjutnya akan
disingkat CFL dan nomor artikelnya.
307
LG., Art. 6
308
CFL., Art. 8
309
LG., Art. 10
310
CFL., Art. 13

121
 Keutamaan teologal: Iman, Harap, Kasih
 Dalam hubungan dengan spiritualitas kaum beriman awam, Konsili Vatikan
dalam Dekritnya tentang Kerasulan Awam menyebut juga tiga keutamaan
teologal yakni iman, harap, dan kasih, yang diharapkan menjiwai kaum beriman
awam dalam menjalankan tugas kerasulannya di tengah-tengah dunia.
 Dalam Dekrit itu, Konsili mendefinisikan “iman” sebagai penyerahan diri total
kepada Allah, dengannya kaum beriman awam mampu mengenal Allah dan
rencanaNya yang tersembunyi. Sementara “harapan” yang dilandasi iman
merupakan keutamaan yang memampukan kaum beriman tetap bertahan dalam
menanggung segala penderitaan, kesulitan, tantangan, dan ketidakpastian hidup,
dengan keyakinan akan penyelesaian akhir yang membahagiakan. Sedangkan
“kasih” yang berasal dari Allah memampukan kaum beriman untuk mengamalkan
kebaikan kepada semua orang sembari menjauhkan segala sesuatu yang jahat,
sekaligus menyanggupkan kaum beriman untuk mewujudkan semangat Sabda
Bahagia di dalam hidup mereka.311
7.5.2.Dimensi Sakramental
 Dimensi sakramental spiritualitas awam dapat dipahami dalam konteks pembahasan
mengenai hakekat Gereja sebagai Sakramen, di dalamnya tersirat implikasi hubungan
Allah dengan umatNya, hubungan Kristus dengan GerejaNya, dan hubungan Gereja
dengan dunia, serta implikasi ketujuh sakramen terutama sakramen-sakramen inisiasi
dalam hidup kaum beriman.
 Konsili Vatikan II secara jelas merumuskan hakekat Gereja sebagai Sakramen sebagai
berikut, “Namun Gereja itu dalam Kristus bagaikan sakramen, yakni tanda dan sarana
persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia. Maka dari itu….,
Gereja bermaksud menyatakan dengan lebih cermat kepada umatnya yang beriman dan
kepada seluruh dunia, manakah hakekat dan perutusannya bagi semua orang. Keadaan
zaman sekarang lebih mendesak Gereja untuk menunaikan tugas itu, yakni supaya semua
orang, yang dewasa ini tergabungkan secara lebih erat berkat pelbagai hubungan sosial,
teknis dan budaya, memperoleh kesatuan sepenuhnya dalam Kristus”.312
 Dari rumusan Konsili di atas, terlihat bahwa Gereja sebagai Umat Allah merupakan
perwujudan rencana keselamatan Allah bagi semua orang.313 Akan tetapi, perwujudan
rencana keselamatan Allah itu hanya mungkin terjadi berkat jasa Yesus Kristus: “Adapun
semua orang, yang sebelum segala zaman telah dipilih oleh Bapa, “telah dikenal-Nya dan
ditentukan-Nya sejak semula, untuk menyerupai citra Putera-Nya, supaya Dialah yang
menjadi sulung di antara banyak saudara” (Rom. 8:29). Bapa menetapkan untuk
menghimpun mereka yang beriman akan Kristus dalam Gereja kudus….”314 Dengan ini,
keberadaan Gereja sebagai umat Allah tidak dapat dipikirkan tanpa hubungannya yang
erat dan tak terpisahkan dengan Allah Bapa dan PutraNya. “Karena begitu besar kasih
Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya
setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”

311
AA., Art. 4
312
LG., Art. 1
313
Bdk. LG., Art. 2
314
LG., Art. 2

122
(Yoh 3:16). Demikianlah, keberadaan Gereja merupakan ungkapan kasih Allah untuk
menyelamatkan umat manusia melalui Yesus Kristus, PutraNya.
 Selain itu, dalam rumusan mengenai hakekat Gereja sebagai Sakramen, terkandung pula
tugas perutusan yang mesti diemban segenap anggota Gereja sebagai umat Allah dan
persekutuan murid-murid Kristus. Dalam hal ini, melalui pembaptisan, seluruh anggota
Gereja, termasuk kaum beriman awam, “berpartisipasi, demi bagian mereka, di dalam
perutusan rangkap tiga Kristus selaku Imam, Nabi, dan Raja....315
 Partisipasi kaum awam beriman di dalam tugas rangkap tiga Kristus selaku Imam, Nabi,
dan Raja menemukan sumbernya di dalam pengurapan Permandian, pengembangannya
lebih lanjut di dalam Penguatan, dan perwujudan serta ketahanannya yang dinamik di
dalam Ekaristi Kudus.316
 Itulah partisipasi yang diberikan kepada setiap anggota kaum awam beriman secara
perorangan, sejauh mereka itu masing-masing merupakan salah satu dari banyak orang
yang membentuk satu Tubuh Tuhan.
7.5.3.Dimensi Eklesial
 Kaum awam beriman berpartisipasi di dalam kehidupan Gereja bukan hanya dalam
menjalankan tugas-tugas dan karisma-karisma mereka, melainkan juga dengan banyak
cara yang lain.
 Partisipasi semacam itu pertama-tama dan perlu diungkapkan di dalam kehidupan serta
tugas Gereja partikular, di dalam dioses yang di dalamnya “Gereja Kristus yang satu,
kudus, katolik, dan apostolik, sungguh-sungguh hadir dan berkarya”.317
 Konsili Vatikan II mendorong kaum awam beriman untuk secara aktif menghayati
keanggotaan mereka di dalam Gereja partikular, sambil serentak pula memiliki semangat
“katolik” yang terus meningkat: “Hendaklah mereka selalu penuh perhatian terhadap
keuskupan – yang dari padanya paroki merupakan semacam selnya – dan senantiasa
bersedia untuk memenuhi undangan Gembala mereka, serta menyumbangkan tenaga
mereka kepada usaha-usaha keuskupan. Bahkan untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan
kota-kota dan daerah-daerah pedesaan, hendaknya mereka jangan membatasi sumbangan
tenaga mereka dalam batas-batas paroki atau keuskupan, melainkan berusaha
memperluasnya ke bidang-bidang antarparoki, antarkeuskupan, nasional atau
internasional, apalagi karena semakin meningkatnya perpindahan bangsa-bangsa,
bertambahnya hubungan-hubungan timbal-balik dan kemudahan komunikasi sudah tidak
lagi membiarkan sebagian masyarakat pun tetap terkungkung dalam dirinya. Begitulah

315
CFL., Art. 14. Bdk. LG. Art. 34, 35, 36.
316
CFL., Art. 14
317
CD., Art. 11. Bdk. CFL., Art. 25. Untuk kepentingan partisipasi yang memadai di dalam kehidupan gerejani, kaum
awam beriman mutlak memiliki wawasan yang jelas dan tepat tentang Gereja Partikular dengan ikatan
primordialnya dengan Gereja Universal. Gereja partikular itu tidak lahir dari semacam fragmentasi atau pemecahan
Gereja universal; demikian pula Gereja universal tidak lahir dari penggabungan begitu saja Gereja-gereja partikular.
Tetapi ada ikatan yang nyata, hakiki, dan tetap yang mempersatukan mereka masing-masing dan inilah sebabnya
mengapa Gereja universal itu ada dan dimanifestasikan di dalam Gereja-gereja partikular. Karena alasan ini maka
Konsili mengatakan bahwa Gereja-gereja partikular itu “terbentuk menurut model Gereja universal; justru di dalam
dan dari Gereja-gereja partikular ini lahirlah Gereja Katolik yang satu dan khas (LG. Art. 23)

123
hendaknya mereka penuh perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan umat Allah yang
tersebar di seluruh dunia”.318
7.5.4.Dimensi Sekular
 Karena memiliki satu martabat yang mengalir dari Permandian, maka setiap anggota
kaum awam beriman bersama para petugas tertahbis dan kaum rohaniwan-rohaniwati
berbagi tanggungjawab atas tugas perutusan Gereja.
 Akan tetapi, di kalangan kaum awam beriman martabat permandian yang satu ini
mengenakan suatu cara hidup yang memisahkan seorang pribadi, namun, tanpa
menimbulkan pemisahan dengan imamat pelayanan atau dengan kaum rohaniwan-
rohaniwati. Konsili Vatikan II melukiskan cara hidup ini sebagai “ciri sekular, yang tepat
dan khusus berlaku bagi kaum awam beriman”.319
 Pengertian teologis yang mendalam mengenai ciri sekular kaum awam beriman di dalam
cahaya rencana penyelamatan Allah dan dalam hubungannya dengan misteri Gereja,
dikemukakan secara jelas oleh Paus Paulus VI: “Gereja mempunyai suatu dimensi
sekular sejati yang melekat pada sifat dan tugas batinnya, yang berakar mendalam di
dalam misteri Sabda Yang Menjelma, dan yang diwujudkan dalam pelbagai bentuk
melalui para anggotanya”.320
 Gereja itu sesungguhnya hidup di dalam dunia, sekali pun dia bukan dari dunia ini (Bdk.
Yoh 17:16). Dia diutus supaya melanjutkan karya penebusan Yesus Kristus, yang “dari
kodratnya memperhatikan keselamatan umat manusia, dan juga menyangkut
pembaharuan segenap tertib duniawi”.321
 Tentu saja semua anggota Gereja merupakan peserta-peserta di dalam dimensi sekular
ini, tetapi dengan cara yang berbeda-beda. Khususnya penyertaan kaum awam beriman
mempunyai cara pewujudan dan fungsi sendiri yang, menurut Konsili, “tepat dan khusus
berlaku” bagi mereka. Cara semacam itulah yang dimaksud dengan ungkapan “ciri
sekular”.322 Sebenarnya Konsili – dalam melukiskan situasi kaum awam beriman di
dalam dunia sekular – menunjukkan hal itu terutama sebagai tempat yang di dalamnya
mereka menerima panggilannya dari Allah, “Di sanalah mereka itu dipanggil oleh
Allah”.323
 “Tempat” di sini diuraikan dan disajikan dengan istilah-istilah yang dinamis: “kaum
awam beriman hidup di dalam dunia, artinya: menjalankan segala macam tugas dan
pekerjaan duniawi, dan berada di tengah kenyataan biasa hidup berkeluarga dan sosial.
Hidup mereka kurang-lebih terjalin dengan semuanya itu”.324 Mereka adalah pribadi-
pribadi yang menghayati kehidupan yang biasa di dalam dunia: belajar, bekerja, menjalin
hubungan-hubungan persahabatan, orang-orang professional, anggota-anggota
masyarakat, kebudayaan, dan sebagainya. Namun demikian, Konsili memandang keadaan
mereka bukan cuma suatu kerangka eksternal dan lingkungan semata, melainkan sebagai
suatu kenyataan yang dimaksudkan agar menemukan dalam Yesus Kristus kepenuhan
318
AA., Art. 10; Bdk. CFL., Art. 25
319
LG., Art. 31
320
Paus Paulus VI, Pidato kepada para Anggota Lembaga-lembaga Sekuler (2 Februari 1972), dalam: AAS 64
(1972), p. 208. Bdk. CFL., Art. 15
321
AA., Art. 5
322
LG., Art. 31
323
LG., Art. 31
324
LG., Art. 31

124
maknanya”.325 Hal ini menimbulkan penegasan bahwa, “Sabda yang menjadi daging itu
berkenan mengambil bagian dalam kekerabatan manusia….Dia menguduskan ikatan-
ikatan manusiawi ini, teristimewa ikatan-ikatan keluarga, yang dari padanya timbul
hubungan-hubungan sosial, dengan sukarela menundukkan dirinya kepada hukum-hukum
negerinya. Dia memilih menjalani kehidupan seorang tukang biasa di masa dan
tempatnya sendiri”.326
 Dengan demikian, “dunia menjadi tempat dan sarana bagi kaum awam beriman guna menunaikan
panggilan Kristen mereka, sebab dunia itu sendiri dimaksudkan supaya memuliakan Allah Bapa
dalam Kristus. Di situlah mereka dipanggil oleh Allah, untuk menunaikan tugas mereka sendiri
dengan dijiwai semangat Injil, dan dengan demikian ibarat ragi membawa sumbangan mereka
demi pengudusan dunia bagaikan dari dalam. Begitulah mereka memancarkan iman, harapan dan
cinta kasih terutama dengan kesaksian hidup mereka, serta menampakkan Kristus kepada
sesame”.327 Karena itu, bagi kaum awam beriman, hadir dan aktif di dalam dunia bukanlah hanya
suatu kenyataan antropologis dan sosiologis, melainkan secara istimewa, juga suatu kenyataan
teologis dan eklesiologis.328
 Dengan demikian, posisi kaum awam beriman di dalam Gereja haruslah dirumuskan secara
fundamental oleh keadaan mereka yang baru di dalam kehidupan Kristen dan dibedakan oleh ciri
sekular mereka. Di dalam situasi mereka di dalam dunia itulah Allah memanifestasikan
rencanaNya dan mengkomunikasikan kepada mereka panggilan mereka yang khas yakni,
“mencari Kerajaan Allah dengan melibatkan diri di dalam urusan-urusan duniawi dan dengan
menata semuanya itu sesuai dengan rencana Allah”. 329

7.6. Bentuk-bentuk Konkret Spiritualitas Awam


7.6.1. Spiritualitas Perkawinan dan Keluarga
 Sakramen Perkawinan sesungguhnya adalah sakramen status, di mana orang diberi status
sebagai suami-istri, ayah-ibu. Perkawinan juga adalah tanda cinta-kasih Ilahi dalam hidup
suami-istri. Selain itu, ada juga nilai-nilai eklesial dan sosial dalam sakramen
perkawinan, yang mewajibkan keluarga untuk terlibat dalam kehidupan Gereja dan
masyarakat. Untuk membantu mengembangkan Spiritualitas Keluarga demi terciptanya
hubungan serta komunikasi kasih yang harmonis antara suami-istri serta antara orang-tua
dan anak-anak maka muncullah berbagai gerakan, antara lain Marriage Encounter.
 Ada beberapa unsur spiritualitas perkawinan suami-istri, antara lain:
 Status baru pasangan suami-istri kristiani sesungguhnya dicurahi dengan Roh
Kristus yakni Roh Kudus yang kehadiranNya di dalam Gereja mendukung serta
memperkokoh kehadiranNya di dalam keluarga yang lahir dari sakramen
perkawinan. Roh Kudus ini melimpahi kehidupan keluarga dengan keutamaan
iman, harap, dan kasih, sebagai keutamaan teologal yang turut menguduskan
keluarga kristiani. Roh Kudus yang meresapi pasangan suami-istri dalam
perayaan sakramen perkawinan memberikan meterai Allah, bukan hanya pada
jiwa suami dan istri, melainkan juga pada persekutuan hidup mereka sebagai
suami-istri.
325
LG., Art. 48
326
GS., Art. 32
327
LG., Art. 31
328
CFL., Art. 15
329
LG., Art. 31.

125
 Cinta-kasih suami-istri dalam perkawinan sakramental juga dilihat sebagai
sesuatu yang berada di bawah tanda Salib. Dalam hal ini, sebagaimana Salib
Kristus merupakan tanda cintaNya yang rela mengampuni para pendosa,
demikian pula suami-istri hendaknya saling memaafkan dan mengampuni,
menerima satu sama lain apa adanya, termasuk segala keterbatasan, kekurangan,
kelemahan, kekeliruan dan kesalahan, sebagai tanda cinta-kasih di antara
mereka.330
 Bagi pasangan suami-istri, sakramen perkawinan merupakan sarana, melaluinya
pasutri memuliakan Allah331. Hal ini dilakukan dengan pengudusan diri yang
diperoleh berkat kehadiran Kristus yang menebus dalam sakramen itu sendiri.
Dalam hal ini, kehidupan suami-istri yang disyeringkan bersama dalam keluarga
menyucikan seluruh keluarga serta memantulkan cinta-kasih, keindahan dan
kemuliaan Allah di sekelilingnya.
 Peran menguduskan keluarga Kristen mencapai puncaknya dalam sakramen
Ekaristi sebagai sumber perkawinan Kristen, yang melambangkan sekaligus
menghadirkan perjanjian cinta-kasih Kristus dengan GerejaNya, yang dimeterai
oleh darahNya yang tertumpah di kayu Salib, sebagai satu-satunya korban
perjanjian baru dan kekal. Sebagai penghadiran korban cinta-kasih Kristus
terhadap GerejaNya, Ekaristi juga memancarkan cinta-kasih bagi pasutri,
sekaligus memampukan mereka untuk saling memberikan diri satu sama lain,
sebagaimana Kristus sendiri telah memberikan diriNya bagi Gereja,
MempelaiNya yang terkasih, melalui korban salib yang diabadikan dalam
Ekaristi.
 Sakramen Krisma sebagai salah satu sakramen inisiasi Kristen yang diterima oleh
pasangan suami-istri sesungguhnya turut menopang seluruh kehidupan keluarga
dan pasutri. Karena itu juga, pasutri diharapkan untuk saling menopang,
meneguhkan, dan menguatkan satu sama lain dalam perjalanan kehidupan
berkeluarga, serta saling menegaskan komitmen perkawinan mereka sepanjang
hidup mereka.
 Persekutuan suami-istri yang dilandasi cinta-kasih Kristus selanjutnya diperluas menjadi
persekutuan keluarga, yang ditandai dengan kelahiran atau kehadiran anak-anak 332,
sebagai buah kasih suami-istri. Dalam hal ini, persekutuan keluarga lalu dilihat sebagai
Ecclesia Domestica, Gereja Mini atau Gereja Rumah Tangga333, yang dihimpun dan
dihidupi oleh Sabda dan Sakramen, dilandasi cinta-kasih, serta diutus untuk mewartakan
kabar gembira keselamatan kepada semua orang.334 Dengan demikian, persekutuan
suami-istri yang diperluas menjadi persekutuan keluarga sesungguhnya mengemban
panggilan sejati kepada kekudusan. Hal ini berarti bahwa jawaban atas panggilan kasih
Tuhan kepada kekudusan hidup sesungguhnya bersumber dari dan berdasarkan martabat

330
Bdk. Paus Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik, Familiaris Consortio, tentang Peranan Keluarga Kristen
dalam Dunia Modern (22 November 1981), dalam: R. Hardawiryana, SJ (Penerj.), Seri Dokumen Gerejawi No. 30
(Jakarta: Departemen Dokpen KWI, 2011), Artikel 58, 56, 54, 48. Untuk kutipan selanjutnya, akan digunakan
singkatan FC diikuti nomor artikelnya.
331
Bdk. GS., Art. 48
332
Bdk. FC., Art. 15, 21
333
Bdk. FC., Art. 49
334
Bdk. FC., Art. 54, 17

126
keluarga. Jawaban keluarga atas panggilan kepada kekudusan itu sendiri mengandung
momen-momen sejarah keselamatan seperti:
 Spiritualitas Penciptaan sebagai pilihan fundamental untuk prokreasi atau
pengadaan keturunan335
 Spiritualias Salib yang mengundang suami-istri dan keluarga untuk saling
menyerahkan hidup satu sama lain, serta setia-berkanjang dalam menghadapi
aneka kesulitan, tantangan, dan penderitaan
 Spiritualitas Kebangkitan, yang mengundang suami-istri serta segenap anggota
keluarga untuk saling mengungkapkan kegembiraan hidup seraya bersedia
mengampuni satu sama lain.
 Spiritualitas Tanda, yang mewajibkan suami-istri serta segenap anggota keluarga
untuk menjai saksi kasih, saling menghormati dan menghargai satu sama lain,
membangun dialog dan komunikasi yang harmonis, serta hidup dalam semangat
sederhana dan ugahari
 Spiritualitas Kerja, yang mengundang keluarga-keluarga Kristen sebagai kaum
awam beriman untuk berpartisipasi dalam Tritugas Kristus berdasarkan sakramen
permandian336
 Spiritualitas Eskatologis, yang mendorong pasutri serta segenap anggota keluarga
untuk mengejar tujuan hidup abadi melalui kebahagiaan sebagai salah satu tujuan
hidup perkawinan.

7.6.2. Spiritualitas Keadilan dan Solidaritas dengan Kaum Miskin


 Salah satu aliran yang paling kuat mempengaruhi spiritualitas dalam abad ke-20 adalah
gabungan spiritualitas kontemplatif dengan keterlibatan untuk memperjuangkan keadilan
sosial dan solidaritas dengan kaum miskin. Spiritualitas pembebasan yang berkembang
dari teologi pembebasan di Amerika Latin merupakan ungkapan dari aliran spiritualitas
itu. Gagasan tentang solidaritas dengan kaum miskin bukan merupakan hal baru dalam
sejarah Gereja. Meskipun retorikanya berbeda, panggilan mengikuti Yesus yang miskin,
yang didengar oleh Santo Fransiskus Assisi dan Saudara-saudara Dina-nya, serta praktek
kemiskinan mereka dengan mengemis pasti merupakan ungkapan dari apa yang dewasa
ini disebut preferential option for the poor (pilihan untuk mengutamakan kaum miskin).
 Charles de Foucauld, dalam usahanya mewartakan Injil dengan meneladani hidup Yesus
yang tersembunyi di Nazaret, dengan hidupnya sendiri di tengah suku-suku Sahara
merupakan contoh modern dari tradisi ini. Ia mempunyai pengaruh yang amat besar pada
komunitas yang didirikan oleh pria dan wanita awam seperti komunitas Pekerja Katolik-
nya Dorothy Day dan l’Arche-nya Jean Vanier, yang anggota-anggotanya berusaha
menggabungkan kontemplasi, kesederhanaan hidup (ugahari), dan pelayanan langsung
kepada orang miskin dalam hidup mereka.
 Spiritualitas gerakan Pekerja Katolik didasarkan pada Injil. Dalam sebuah pahatan yang
dibuat oleh seniman Quacker, Fritz Eichenberg, yang menjadi semacam ikon tidak resmi
dari gerakan itu, Yesus berdiri kedinginan dan tak dikenal dalam deretan orang-orang
miskin yang dengan sabar menunggu. Para Pekerja Katolik melihat hubungan yang jelas
335
Bdk. GS., Art. 50; FC., Art. 28
336
Bdk. FC., Art. 50

127
antara praktek perayaan Ekaristi dan makanan yang mereka sajikan kepada orang-orang
lapar di dapur mereka. Mereka mengulang kata-kata Dorothy Day, “Kita mengenal
Kristus dalam pemecahan roti. Kita mengenal satu sama lain dalam pemecahan roti”.337
 Mereka yang tertarik pada l’Arche merasakan dalam orang-orang yang cacad mental
kerentanan yang membuat mereka terbuka terhadap Allah dengan cara khusus.
Spiritualitas mereka didasarkan pada kebenaran dasar Injil: Yesus menyamakan diri
dengan orang miskin dan menderita, dan bila kita membuka hati kita bagi orang miskin,
kita dapat mengenal kedamaian dan kehadiranNya. Mereka tidak dapat meneruskan
hidup sehari-hari mereka untuk merawat orang-orang cacad jika mereka tidak yakin akan
kebenaran itu. Sabda Bahagia (Mat 5:3-12, par.) menjadi pusat spiritualitas mereka.
Mereka yang disebut bahagia oleh Yesus adalah mereka yang miskin, menderita, dan
berbelaskasihan, dan bukannya mereka yang enak dan berkuasa. Sabda Bahagia
merupakan tantangan yang terus-menerus bagi kita, karena Sabda itu menjungkirbalikkan
nilai-nilai konvensional kita dan membuka pandangan dunia yang sama sekali baru.
 Spiritualitas keadilan dan solidaritas dengan kaum miskin itu sendiri mengandung
sekaligus mensyaratkan beberapa ciri, yang memungkinkannya tetap eksis sekaligus
menghasilkan buah. Ciri-ciri adalah:
 Pertama, spiritualitas itu harus berakar pada doa dan kontemplasi, yang selalu
merupakan pergulatan untuk mencapai kenyataan, untuk melihat segala sesuatu
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Membaca Kitab Suci sehingga hidup
sehari-hari seseorang dimengerti menurut penerangannya.
 Kedua, kesederhanaan hidup. Sulit bahkan mustahil untuk solider dengan kaum
miskin sementara seseorang menjalani gaya hidup enak, makmur, melimpah.
Pada kenyataannya, budaya kelimpahan yang dapat membunuh roh merupakan
produk jaringan ekonomi dan struktur-struktur sosial yang memungkinkan
sejumlah kecil orang hidup melimpah dengan mengorbankan mayoritas orang.
 Ketiga, keinginan kuat untuk membangun masyarakat yang mencakup semua
orang dan yang mengatasi segala batas dan halangan. Gereja sendiri merupakan
tanda kesatuan semua orang untuk kedatangan Kerajaan Allah. Perpecahan antara
mereka yang telah dibaptis, entah didasarkan ras, jenis kelamin, kekayaan, atau
status sosial, memecah kesatuan Tubuh Mistik Kristus. Menurut Santo Paulus,
semuanya itu merupakan pelanggaran melawan Tubuh dan Darah Tuhan (Bdk.
1Kor 11:17-31).338
 Inilah beberapa bentuk konkret Spiritualitas Awam yang sempat dikemukakan sebagai
contoh sekaligus bukti, bahwasanya spiritualitas awam itu bukanlah sesuatu yang sekadar
terbatas pada ajaran, teori, atau wacana belaka, melainkan yang dapat dan seharusnya
direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari kaum awam beriman Kristen, sebagai jalan
sekaligus jawaban atas panggilan kepada kekudusan.

337
Thomas P Rausch, Catholicism: At The Dawn of The Third Millennium, dalam: Agus M. Hardjana (Penerj.),
Katolisisme: Teologi Bagi Kaum Awam (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), p. 289
338
Ibid., pp. 291-292

128
Tugas

Sebagai latihan dan evaluasi terhadap materi bahasan dalam Bab VII (tentang Spiritualitas
Awam) di atas, maka mahasiswa-mahaiswi diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan
berikut:

1. Siapa itu Kaum Awam Beriman?


2. Apa peran atau tugas Kaum Awam Beriman, baik di dalam Gereja maupun di dalam
dunia?
3. Bagaimana hubungan kerjasama antara Kaum Awam Beriman dan Hirarki Gereja?
4. Bagaimana Spiritualitas Kaum Awam Beriman menurut Dokumen Apostolicam
Actuositatem, Artikel 4? Jelaskan!
5. Jelaskan empat dimensi Spiritualitas Kaum Awam Beriman!
6. Tulis dan jelaskan dua bentuk konkret Spiritualitas Kaum Awam Beriman!

 Catatan:
 Untuk mengerjakan tugas ini, gunakan juga referensi atau sumber-sumber bacaan
pribadi lain (selain materi perkuliahan yang telah disajikan di atas), untuk
menambah wawasan anda.
 Tugas ini dikumpulkan paling lambat sehari sebelum pertemuan berikutnya.

129
 Tugas ini bisa dikumpulkan secara online via e-mail ataupun secara
langsung/manual/offline.
 Alamat e-mail dosen pengampu mata-kuliah: hironimuspakaenoni@yahoo.com
atau pakaenoni69hironimus@gmail.com
 Bahan atau Materi Ujian Akhir Semester diambil dari: Bab IV (Organisme Supra
Natural), Bab V (Kesempurnaan Hidup Kristiani), Bab VI (Spiritualitas
Imamat), dan Bab VII (Spiritualitas Awam).
 Waktu Ujian Akhir Semester MK Teologi Spiritual disesuaikan dengan Roster
Ujian yang dikeluarkan Fakultas/Prodi.
 Selamat belajar. Semoga sukses!!!

BAB VI
SPIRITUALITAS IMAM

6.1. Pengantar

6.2. Gereja yang Kudus


 Bdk. LG. 39, 41, 48
 Bdk. LG. 19; 48; 59; GS 42; 45; UR. 4,6
 Perlu bedakan:
 Kekudusan Obyektif (Ontologis)
 Kekudusan Subyektif (Moral)

6.3. Dinamika Kekudusan Umat Kristen


 ”Hendaklah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga sempurna adanya” (Mat
5:48).
 LG., Art. 39; Bdk. LG., Art. 40.

6.4. Dinamika Kekudusan Imamat


6.4.1. Jati Diri Imam
 Bdk. PDV, 11: Ikatan ontologis dengan YX, Imam Agung dan Gembala Baik
6.4.2. Spiritualitas Seorang Imam

130
 Bersumber pada spiritualitas YX
6.4.2.1. Pusat Kehidupan dan Spiritualitas Seorang Imam
 Yesus Kristus: Pusat Kehidupan dan Spiritualitas Imam
 Akan tetapi, ia menjadi the man for others hanya karena ia adalah the man of God and the
man for God.
6.4.2.2. Kekudusan Dalam Pelayanan Seorang Imam

6.4.2.2.1. Karakter Indelebilis Panggilan Imamat


 Sakramen Imamat : sebuah tanda yang tak terhapuskan dan tak terbatalkan oleh kuasa
(duniawi) apapun
 Sakramen Imamat memberikan sacra potestas sekaligus kekudusan obyektif bagi seorang
Imam utk jalankan pelanan resmi demi kekudusan umat beriman
 Prinsip: ex opere operato
6.4.2.2.2. Keteladanan Hidup Seorang Imam
6.4.2.2.3. Kekudusan: Suatu Pelayanan Bagi Orang Lain
6.4.2.2.4. Kekudusan: Suatu Panggilan Seumur Hidup
6.5. Sumber Spiritualitas Imamat
6.5.1. Rahmat Allah Yang Menguduskan
6.5.2. Partisipasi Dalam Kehidupan Kristus
6.5.3. Ikatan Dengan Sakramen-sakramen Inisiasi
6.5.4. Tahbisan Imamat
6.6. Orientasi Spiritualitas Imamat
6.6.1. Kemuliaan Allah
6.6.2. Keselamatan Manusia
6.6.3. Kekudusan
6.6.4. Ketakutan Suci
6.7. Spiritualitas Persekutuan atau Relasi
6.7.1. Persekutuan atau Relasi Vertikal
6.7.1.1.Dengan Allah Tritunggal
6.7.1.2. Dengan Santa Perawan Maria
6.7.1.3. Dengan Para Kudus
6.7.2.Persekutuan Horisontal (Dengan Gereja)

131
6.7.2.1.Dengan Hirarki (Paus, Dewan Para Uskup, dan Uskupnya sendiri)
6.7.2.2. Dengan Rekan-rekan Imam
6.7.2.3.Dengan Umat Beriman Awam
6.7.2.4.Dengan Anggota-anggota Tarekat Hidup Bakti
6.7.2.5.Dengan Masyarakat Luas

BAB VII
SPIRITUALITAS AWAM

7.1. Pengertian Kaum Awam


7.2.Peranan Awam
 Kerasulan dalam tata Dunia (eksternal).
 Kerasulan dalam Gereja (internal)
7.3. Kerjasama Kaum Awam dan Hirarki
7.4. Spiritualitas Awam
7.5. Beberapa Dimensi Spiritualitas Kaum Awam
7.5.1.Dimensi Teologal
 Peran Allah Bapa
 Peranan Kristus
 Peranan Roh Kudus
 Keutamaan teologal: Iman, Harap, Kasih
7.5.2.Dimensi Sakramental
7.5.3.Dimensi Eklesial

132
7.5.4.Dimensi Sekular
7.6. Bentuk-bentuk Konkret Spiritualitas Awam
7.6.1. Spiritualitas Perkawinan dan Keluarga
7.6.2. Spiritualitas Keadilan dan Solidaritas dengan Kaum Miskin

133

Anda mungkin juga menyukai