Anda di halaman 1dari 83

PENGANTAR TEOLOGI

DR. PETRUS MARIA HANDOKO, CM

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI


WIDYA SASANA
MALANG
2010
DAFTAR ISI

BAB I. APAKAH TEOLOGI ITU 1


1. Kriterium Identifikasi 1
2. Teologi, perbuatan atau kegiatan beriman 2
3. Teologi, ilmu iman 4
4. Teologi, ilmu dan tugas kegerejaan 9
5. Kesimpulan 11

BAB II. HIDUP GEREJA: TITIK TOLAK BERTEOLOGI 12


1.Pendahuluan 12
2. Hidup Gereja Tidak Sama dengan Ajaran Magisterium 12
3. Hidup Gereja Memperlihatkan Ciri-ciri Suatu Kebudayaan 13
4. Hidup Gereja adalah suatu peristiwa bahasa 15
5. Keharusan penafsiran dan bagaimana harus ditafsirkan 18
6.Penutup 19

BAB III. SUMBER TEOLOGI: KITAB SUCI DAN TRADISI (Dimensi positif Teologi) 21
1. Teologi dan Kitab Suci 21
a. Mengapa Kitab Suci harus menjadi jiwa teologi 21
b. Apa artinya menjadi jiwa teologi? 22
c. Apakah tema-tema Alkitabiah itu? Bagaimana mencarinya? 22
d. Bagaimana mencari tema-tema Alkitabiah? 24
e. Hubungan titik tolak teologi dengan tema-tema Alkitabiah 24
2. Kitab Suci Dalam Kesatuan dengan Tradisi 24
a. Apakah tradisi itu? 25
b. Tradisi dalam Gereja 26
c. Tradisi berkembang 27
d. Kitab Suci dalam kesatuan dengan Tradisi 28
3. Penyaksi-penyaksi utama Tradisi 29
a. Bapak-bapak Gereja 29
b. Liturgi 30
c. Orang-orang Kudus 30
d. Magisterium 31
e. Kriterium kemurnian kesaksian 31
4. Ilmu penafsiran dokumen-dokumen Tradisi 32
a.Prasyarat 32
b. Garis-garis besar ilmu penafsiran 32
5. Ciri “Keaslian” penelitian naskah-naskah kuno 33
6. Kesimpulan 34

BAB IV. PENDALAMAN DATA-DATA WAHYU DIMENSI SISTEMATIS TEOLOGI 36


1. Mengerti 36
a. Merumuskan arti 37

i
b. Menerangkan hubungan antara misteri-misteri iman 37
c. Menerangkan hubungan misteri-misteri iman dengan tujuan terakhir hidup
manusia 38
d. Menggunakan gambaran: perbandingan, metafor, dan tafsiran tipologis 38
e. Analisa Fenomenologis 41
f. Deduksi 41
g. Argumen kepantasan 42
2. Menjelaskan kebenaran-kebenaran iman 42
3. Menilai pengertian iman 43
4. Hubungan antara teologi dan filsafat 43
a. Pertemuan teologi dan filsafat 44
b. Peranan filsafat dalam teologi 45

BAB V. TEOLOGI KONTEKSTUAL (dimensi praktis-pastoral teologi) 47


1. Konsili Vatikan II dan Teologi Kontekstual 47
2. Teologi kontekstual di Indonesia 48
3. Persoalan-persoalan yang dihadapi Gereja Para Rasul 49
4. Paulus sebagai pembangun suatu jemaat multikutural 51
5. Teologi kontekstual pada keempat Injil 53
6. Teologi kontekstual dalam Perjanjian Lama 54
7. Teologi Pembebasan Amerika Latin 56
8. Penutup 58

BAB VI. TEOLOGI DAN CABANG-CABANGNYA 59


1. Mengapa ada pembagian dalam cabang-cabang teologi 59
2. Pengelompokan cabang-cabang teologi dan nilainya 59
3. Cabang-cabang Teologi Sumber 60
3.1. Eksegese 60
3.2. Patrologi 61
3.3. Sejarah Gereja 62
4. Cabang-cabang teologi sistematis 64
4.1. Teologi Fundamental 64
4.2. Teologi Dogmatik 65
4.3. Teologi Moral 66
5. Cabang-cabang teologi praktis 67
5.1. Teologi Pastoral 67
5.2. Misiologi 68
5.3. Teologi Ekumenisme 69
5.4. Kateketik-Homiletik 70
5.5. Teologi Liturgi 71
5.6. Teologi Spiritualis 72
5.7. Ajaran Sosial Gereja 73
5.8. Ilmu-ilmu Hukum Gereja 75
6. Kesatuan Teologi 77

ii
BAB I
APAKAH TEOLOGI ITU

1. Kriterium Identifikasi

Apakah Teologi itu? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab berdasarkan Etimologi1 atau ilmu
mengenai asal usul kata. Menurut etimologi, teologi berarti ilmu atau pembicaraan tentang Allah
(theos=Allah). Mengapa? Karena masih ada ilmu lain yang berbicara tentang Allah, tetapi tidak
disebut teologi. Ilmu itu ialah filsafat tentang Allah yang biasanya pula teologi naturalis artinya ilmu
tentang Allah berdasarkan penalaran akal budi manusia melulu. Masih ada orang lain yang berbicara
tentang Allah dan mengaku memperoleh pengenalan akan Allah melalui ekstase, intuisi langsung atau
hubungan istimewa secara perseorangan. Pandangan ini disebut teosofi.

Lalu bagaimanakah kita harus menjawab pertanyaan di atas? Satu-satunya jalan untuk
menentukan apakah teologi itu ialah melihat apa yang dimaksud atau diartikan dengan kata itu oleh
orang-orang yang biasa menggunakannya. Arti suatu kata diartikan tidak lebih dan tidak kurang
menurut maksud orang yang menggunakannya. Arti itu biasanya terikat kepada dunia dan konteks
tertentu. Teologi adalah suatu istilah Kristen, artinya suatu kata yang digunakan dalam kalangan
Kristen. Jadi dalam dunia Kristen inilah yang harus dicari artinya. Namun sebelum melihat apa yang
dimaksudkan dengan teologi itu dalam dunia kristen barangkali ada baiknya kita melihat lebih dahulu
arti penggunaan kata ini pada awal mulanya karena sebenarnya kata teologi itu tidak dibentuk dalam
dunia kristen tetapi dalam kebudayaan Yunani.

Orang yang pertama kali menggunakan kata teologi itu ialah Plato (427-347). Bagi sang filsuf
besar ini teologi ialah ilmu ceritera tentang dewa-dewa. Ilmu ini bertujuan mendidik orang menjadi
warganegara yang baik. Orang Yunani mempunyai banyak ceritera tentang dewa-dewa. Hal ini perlu
dinilai secara kritis untuk menyingkap kebenaran yang terkandung di dalamnya. Teologi ialah
penafsiran kritis atas ceritera tentang dewa-dewa.

Aristoteles (384-322) masih menyebut penyair atau pengarang yang menulis tentang
dewa-dewa dan asal-usul dunia teologi. Namun kemudian dia menggunakan kata teologi itu dalam
arti refleksi yang terdalam dan terakhir yang menjadi awal mula adanya. “Refleksi teologis” yang
dimaksud Aristoteles ini sekarang dikenal sebagai Filsafat tentang Allah atau Teologi Naturalis.

Baiklah sekarang kita melihat apa arti teologi itu dalam pengalaman Kristen.

1
Berasal dari kata Yunani to etumon (akar kata atau yang hakiki) dan dari kata Yunani logos/ logeia/logia
(ilmu, pembicaraan).

1
2. Teologi, perbuatan atau kegiatan beriman

a. Dalam bahasa kegerejaan kata teologi itu digunakan tidak terbatas pada “pembicaraan
tentang Tuhan atau uraian-uraian tentang Tuhan”. Dewasa ini kita kerap mendengar atau
membaca kata-kata seperti “teologi tentang Gereja”, “teologi tentang hidup membiara”, “teologi
tentang imamat” dan lain sebagainya. Jelas dari penggunaan ini bahwa kata teologi itu tidak terbatas
pada pembicaraan tentang Tuhan, meskipun harus kita akui dan akan kita lihat kemudian bahwa
pembicaraan tentang hal-hal tersebut tidak mungkin tanpa mengikutsertakan Tuhan. Teologi berbicara
tentang banyak hal yang tidak langsung mengenai Tuhan tetapi selalu dari sudut Tuhan.

Dalam bahasa kegerejaan kata teologi tidak digunakan untuk setiap karya atau hasil penelitian
yang diadakan tentang fenomen-fenomen keagamaan dan kepercayaan di dunia ini. Meskipun karya
itu tentang agama Kristen sekalipun, tentang salah satu kepercayaannya atau hidup kelembagaannya,
karya tersebut belum tentu adalah suatu teologi. Mungkin karya-karya itu akan dikelompokkan dalam
bagian “ilmu-ilmu agama”, “sejarah agama-agama” dan lain-lain sebagainya. Mengapa? Kapan
suatu karya disebut teologi?

Suatu karya baru disebut teologi apabila karya itu digerakkan oleh iman Kristen. Hanya
apabila pengarangnya percaya bahwa apa yang diuraikannya itu berdasar pada wahyu Allah yang
disimpan, diteruskan dan diperkembangkan dalam suatu jemaah kegerejaan. Karyanya itu disebut
teologi. Dalam bahasa kegerejaan suatu karya belum disebut teologi apabila dia hanya berbicara
tentang iman kristen tanpa iman. Tanpa iman tidak ada teologi. Teologi adalah suatu perbuatan
yang digerakkan oleh iman.

b. Ada bermacam-macam perbuatan iman seperti berdoa, melakukan perbuatan cinta kasih.
menanti-nantikan Tuhan dan lain sebagainya. Lalu apa kekhasan teologi sebagai perbuatan iman?
Kekhasannya terletak dalam bertanya. Setiap orang beriman yang digerakkan oleh iman, bertanya
tentang imannya, dia berteologi. Dia mencari suatu pengertian yang lebih mendalam tentang apa yang
diimaninya. Dia mempunyai persoalan, dia melihat ada hal yang belum jelas. Salah satu contoh yang
paling jelas tentang tindakan iman hal peristiwa panggilan Maria (Luk 1: 26-33).

Kita mulai bertanya tentang iman kita ketika kita berumur empat lima tahun. Ketika itu kita
mulai mengajukan banyak pertanyaan iman yang besar yang tidak mudah dijawab. Berteologi sangat
erat hubungannya dengan hidup seperti tampak dari pertanyaan Bunda Maria.

c. Tetapi apakah iman itu? Meskipun hal itu akan diuraikan secara panjang lebar dalam
“teologi tentang iman”, namun baiklah di sini disinggung sedikit supaya kita mempunyai pengertian
yang cukup tepat tentang apakah teologi itu.

Iman berarti penyerahan diri secara bulat kepada Tuhan, kepada apa yang dikatakanNya
mengenai DiriNya dan rencana keselamatanNya untuk manusia. Iman adalah juga suatu keputusan, untuk
mengatakan “ya” kepada Tuhan. Ada banyak contoh perbuatan atau tindakan iman dalam Kitab
Suci, tetapi yang paling terkenal ialah tindakan iman Abraham (Kej 12: 1-4;22) dan Maria, Ibu

2
Yesus (Luk 1:26-38; 2:41-51).

Iman mulai dengan pendengaran;


“Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepadaNya, jika mereka tidak percaya
kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak
mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada
yang memberitakanNya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakanNya, jika mereka
tidak diutus?” (Rm 10:14-15a).

Iman membutuhkan rahmat:


“Aku bersyukur kepadaMu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau
sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya
Bapa, itulah yang berkenan kepadaMu. Semua telah diserahkan kepadaKu oleh BapaKu dan tidak
seorangpun mengenal Bapa selain Putera dan orang yang kepadanya Putera berkenan
menyatakannya.” (Mat 11: 25-27 bdk. 16: 17; Yoh 6: 44-45).

Iman yang sejati bermuara dalam perbuatan:


“Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan
Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di surga.” (Mat 7: 22; bdk. 1 Kor 13:
2; Yak 2: 14-17)

d. Apakah arti semuanya ini untuk mengerti teologi sebagai karya iman? Apa konsekuensinya
untuk orang yang berteologi?

Tanpa iman orang tidak bisa berteologi. Iman mendahului teologi. Bukan itu saja, Dia juga
harus menyertai dan mendukung seluruh studi teologi. Iman adalah ruang hidup studi teologi. Jika
iman itu mendahului teologi, apakah teologi itu dengan demikian adalah suatu karya irasional dan
bersifat subjektif?

Sama sekali tidak! Iman adalah suatu perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan: “…
karena aku tahu kepada siapa aku percaya…” (2 Tim 1: 12). Mereka yang tidak mempunyai iman
Kristen dan yang tidak mengakui kenyataan wahyu juga harus mengakui bahwa orang yang beriman
tidak memeluk iman itu secara irasional. Mereka mengakui bahwa orang-orang yang beriman itu
mempunyai alasan-alasan untuk beriman. Pengarang surat Petrus yang pertama bahkan mengajak
kita untuk mempertanggungjawabkan iman kita:

Kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada
segala waktu untuk memberi pertanggungjawaban kepada tiap-tiap orang yang
meminta pertanggungjawaban dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu,
tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni
supaya mereka yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus,
menjadi malu karena fitnahan mereka.” (1 Ptr 3: 15-16).

3
Iman itu dapat dibandingkan dengan pengenalan intuitif Pengenalan ini diperoleh melalui
penangkapan keseluruhan tanda-tanda yang kebenarannya dapat ditangkap secara langsung.
Pengenalan yang langsung dan intuitip ini meskipun bukanlah suatu hasil penalaran, namun dapat
dipertanggungjawabkan melalui penalaran.2 Demikianlah halnya dengan iman.

Teologi itu bukanlah suatu perbuatan yang irasional karena dalam beriman selalu ada
unsur-unsur pertanyaan, kesukaran, dan kegelapan. Ada banyak tantangan dalam beriman karena
tidak jarang ada cukup banyak pernyataan hidup yang kelihatannya seperti bertentangan dengan isi
iman kita. Orang yang tetap beriman pasti mempunyai alasan-alasannya meskipun hal itu mungkin
tidak selalu dapat dijelaskannya secara meyakinkan.

e. Iman bukan hanya suatu pengakuan akan apa yang dikerjakan dan dikatakan Tuhan, tetapi
juga suatu penyerahan kepada Tuhan sendiri. Karena itu, teologi sebagai karya iman tidak dapat
dijalankan dengan buah yang berlimpah tanpa suatu hidup penyerahan diri kepada Tuhan. Dalam
berteologi dan studi teologi kita hendaknya pertama-tama mencari Allah didorong oleh hasrat
mendengarkan sabda keselamatanNya dengan lebih baik. D. Bonhoeffer, seorang teolog ulung dari
jemaah Protestan, berkata bahwa keinginan dan ketertarikan kepada sabda Allah tersebut tidaklah
terletak dalam suatu pengalaman istimewa akan suatu panggilan Ilahi, tetapi dalam suatu
kesiapsiagaan untuk Allah, untuk sabdaNya dan untuk menjalankan kehendakNya.3

Iman mulai dari pendengaran. Pengenalan kita adalah pengenalan mulai dari pendengaran
“hidup kita ini adalah hidup karena percaya dan bukan karena penglihatan” (2 Kor 5, 7)
Iman kita bertumpu pada kesaksian orang lain, terutama pada kesaksian Yesus Kristus sendiri. Kita
belum melihat Tuhan dalam diriNya. Karena itu dalam beriman selalu ada kerinduan untuk
mengerti dan melihat. Teologi sebagai kegiatan beriman berada dalam situasi yang sama seperti
iman. Dia tidak berada dalam kondisi yang lebih baik dari iman, tetapi merupakan suatu usaha untuk
menjawab kerinduan ini yang dapat terpenuhi hanya di dunia seberang. Teologi hanya adalah suatu
cara menghayati kerinduan ini karena dalam beriman orang sudah mulai berteologi.

Karena iman membutuhkan rahmat, maka berteologi sebagai karya iman juga demikian.
Anugerah pengertian dan kebijaksanaan iman diberikan hanya kepada orang yang dikenani Tuhan.
Akan tetapi perlu ada persiapan tanah yang subur. Persiapan itu terletak dalam kerendahan hati,
keterbukaan terhadap sabda Tuhan dan semangat doa. Cinta kepada Tuhan membuat orang lebih
mudah masuk ke dalam “pikiran” dan “perasaan”Nya. Teologi sebagai kegiatan beriman
mengandaikan penghayatan iman.

3. Teologi, Ilmu Iman


a. Teologi itu bukan sembarang karya iman. Teologi itu adalah suatu karya iman yang ilmiah.
Dia adalah ilmu iman atau ilmu wahyu Kristen. Sebelum melihat sifat-sifat keilmiahan teologi itu,

2
bdk. Z. Alsezeghy-M. Flick, 18-19.
3
ibid. 23

4
hendaknya kita mempunyai suatu pandangan yang cukup jelas tentang ilmu itu.

Dalam dunia Universitas kita diperhadapkan secara nyata dengan aneka ragam ilmu: teknik,
kedokteran, ekonomi, sejarah, biologi, pendidikan, psikologi, pertanian, peternakan, politik, bahasa
dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu itu sebenarnya sangat berbeda satu dengan yang lain. Lalu apakah
mungkin orang berbicara tentang adanya kesatuan gagasan mengenai apakah ilmu itu?

Bagaimanapun besarnya perbedaan antara ilmu-ilmu itu, namun kita dapat mengatakan bahwa
setiap ilmu adalah suatu pengenalan yang bersifat menerangkan.4 “Menerangkan” termasuk ciri
khas setiap pengenalan ilmiah. Bagaimana suatu hal harus diterangkan, hal itu dimengerti dan
dijalankan secara berbeda-beda oleh setiap ilmu. Penjelasan suatu hipotese atau teori dalam ilmu fisika
misalnya harus dijalankan melalui pembahasan segala situasi yang menyebabkan kejadian itu dan
menunjukkan manakah kiranya alasannya yang pokok. Baru dengan cara ini kejadian itu dapat
“dimengerti”. Dalam ilmu sejarah tidak ada keterangan melalui eksperimen yang dapat ditangkap
dengan panca-indera.

Setiap ilmu sifatnya adalah menerangkan. Ilmu ingin menerangkan suatu pengenalan Dia
mulai dengan bertanya. Namun penjelasan ini haruslah dilakukan secara kritis, metodis, dan
sistematis.

Penjelasan yang kritis terletak dalam mempertanggungjawabkan pernyataan-pernyataan yang


diberikan. Dia tidak akan mengatakan sesuatu tanpa tahu mempertanggungjawabkannya. Dia tahu
memecahkan kesukaran-kesukaran yang timbul.

Penjelasan yang metodis terletak dalam memiliki cara kerja tertentu. Metode ialah cara dan
sistem mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Tidak mungkin orang
menghasilkan sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara kritis tanpa metode. Metode yang
baik bergerak dari titik tolak yang jelas, pasti dan benar. Cara kerjanya harus bersifat koheren.
Metode ini dapat bersifat deduktif dan induktif, analitis dan sintetis, experimental dan historis.

Penjelasan yang sistematis terletak dalam penyusunan pernyataan-pernyataan dalam urutan


yang logis dengan mengikuti suatu prinsip dan metode yang tertentu. Tata penyusunan ini haruslah
dilakukan sedemikian rupa sehingga orang dapat memperoleh suatu pandangan yang menyeluruh dan
terpadu.

Setiap ilmu mempunyai suatu bidang yang dipelajari atau diselidiki. Bidang studi ini biasanya
disebut objectum materiale (Inggris=material object). Objectum materiale ini dapat berupa manusia
ciptaan-ciptaan yang mati, ciptaan-ciptaan yang hidup, agama, hukum, hubungan antar manusia
ekonomi, dan lain sebagainya. Namun suatu bidang pengetahuan dapat diselidiki dari
bermacam-macam sudut. Manusia misalnya dapat diselidiki dari sudut kesehatannya, anatominya,

4
V. Miano, “Natura di scienza in generale e classificazzione delle scienze”, Seminarium 14 (1974), 519.

5
perkembangan kejiwaannya, pendidikannya, hubungannya dengan manusia lain, hakikatnya dan lain
sebagainya. Sudut pandangan penyelidikan ini biasanya disebut objectum formale (Inggris=formal
object). Sudut pandangan yang berbeda-beda ini menuntut pula penggunaan metode dan sarana
yang berbeda-beda pula. Sudut pandangan yang berbeda ini menyebabkan atau melahirkan ilmu yang
berbeda-beda pula.

b. Teologi adalah juga suatu ilmu karena dia juga adalah suatu pengenalan yang bersifat
menerangkan. Teologi adalah ilmu iman, ilmu wahyu Kristen. Apa artinya “menerangkan” iman
itu?

Teologi lahir dari iman. Dengan beriman orang mengenal:

“Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? PerkataanMu adalah perkataan hidup yang
kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkaulah yang Kudus dari Allah.”
(Yoh 6,68-69)

Kutipan di atas diambil dari pengakuan Petrus ketika menjawab tantangan Yesus yakni apakah
para murid juga mau meninggalkanNya karena Dia telah mengatakan bahwa Dia adalah Roti hidup
yang memberi hidup kekal. Kedua belas murid itu mengambil keputusan untuk tetap tinggal dengan
Yesus. Mereka juga menerangkan mengapa Yesus adalah Roti Hidup yakni karena Dia adalah “Yang
Kudus dari Allah” artinya yang diurapi Allah, yang diutus Allah dan lebih dari itu “yang mempunyai
hubungan yang unik dengan Allah”.

Dalam berteologi orang yang percaya bahwa Yesus adalah “Roti yang memberi hidup kekal” 5,
mencari pengertian yang lebih mendalam tentang iman ini karena suatu pengenalan telah lahir dari
iman tersebut. Orang bersikap kritis terhadap imannya. Dia menanyakan artinya. Apa artinya
“Kristus adalah roti hidup yang kekal”? Apa artinya “hidup yang kekal”? Apakah isi iman ini
dapat dipertanggungjawabkan terhadap orang yang tidak percaya? Bagaimana? Apa konsekuensinya
untuk penghayatan hidup sehari-hari? Apakah kebenaran iman ini dapat disaksikan? Bagaimana harus
diwartakan? Demikianlah beberapa pertanyaan yang bukan saja mengundang sikap kritis, melainkan
pula kemampuan untuk menjelaskan semuanya itu secara metodis dan sistematis. Apabila kita
mampu menjalankan ini semuanya, kita mulai berteologi.

Bagaimana semuanya itu dapat dan harus dijalankan secara bertanggungjawab akan kita lihat
kemudian. Berteologi mempunyai metode, sistematik dan kesatuannya tersendiri. Berteologi berarti
mencari pengertian yang lebih dalam tentang iman kita (fides quaerens intellectum).

c. Baiklah kita melihat secara lebih mendalam lagi hakikat hubungan antara iman dan
pengenalan, antara beriman dan menerangkan secara kritis, metodis dan sistematis, antara teologi
sebagai karya iman dan teologi sebagai ilmu.

5
Hidup kekal menurut Yohanes ialah “mengenal Bapa sebagai satu-satunya Allah yang benar dan Yesus
Kristus yang telah diutus Bapa” (Yoh 17, 3).

6
Kita menerima sebagai manusia berakal budi Allah dan kebenaran keselamatan yang
disampaikanNya. Sebagai manusia yang berakal budi kita bertanya dan mencari pengertian tentang
apa yang diwahyukanNya tersebut. Sebenarnya di sini ada suatu ketegangan. Kita mau berbicara
tentang Allah dan kebenaran keselamatan yang diwahyukanNya, tetapi selalu berdasarkan pernyataan
Allah sendiri. Bagaimana ketegangan ini harus kita lihat? Apakah bertanya merupakan sesuatu hal
yang tidak pantas bagi seorang yang beriman?

Apabila seorang percaya, kelihatannya seolah-olah usaha pengenalan dan pengetahuan itu
dikesampingkan dan dikeluarkan; sebaliknya apabila seorang mengenal dan mengetahui, kelihatannya
seolah-olah kepercayaan itu tidak perlu lagi, seperti sesuatu yang mubazir. Kenyataannya bukanlah
dernikian. Tak seorang sarjanapun yang akan menyangkal bahwa untuk penyelidikan dia perlu
menerima hasil-hasil yang telah ditemukan oleh orang atau lembaga lain. Demikian pula halnya dengan
orang yang beriman. Dia tahu bahwa imannya sama sekali tidak melepaskan dan membebaskan dia
dari usaha-usaha mencari pengertian.

Bertanya dan kritis terhadap iman bukanlah sesuatu hal yang tidak pantas. Hanya orang yang
benar-benar beriman bertanya dan hanya dia yang dapat menanggung pertanyaannya.
Kebenaran-kebenaran keselamatan yang kita imani, kita terima dari Allah. Kebenaran-kebenaran itu
bukanlah suatu objek pengalaman pancaindera, melainkan suatu yang berdasarkan penyaksian dan
yang kita terima dalam iman. Kita tak dapat bersifat indiferen terhadap kebenaran-kebenaran
keselamatan tersebut (seperti percaya bahwa “Yesus adalah Roti Hidup yang memberi hidup kekal”)
karena kebenaran-kebenaran itu langsung mengenai persoalan-persoalan yang paling dalam dari
hidup kita sebagai manusia. Mereka menantang kita untuk bertanya. Kita harus tahu
mempertanggungjawabkan iman kita dengan memberikan dasar-dasarnya dan berusaha menerangkan
apa yang kita imani dalam dialog dengan pengalaman-pengalaman kita dan pengenalan-pengenalan
orang lain.

d. Bagaimana ketegangan antara beriman dan bertanya, beriman dan menerangkan itu harus
dihayati? Kita telah mengenal Allah berdasarkan wahyu. Puncak pengenalan kita tentang Allah ialah
melalui, dalam dan dengan perantaraan Tuhan kita Yesus Kristus.6 Mengenal Allah dalam Kristus
berarti mengakui, menyerahkan diri dan menaati firmanNya:

“Dan inilah tandanya bahwa kita mengenal Allah yaitu jikalau kita menuruti
perintah-perintahNya. Barangsiapa berkata: Aku mengenal Dia, tetapi ia tidak
menuruti perintah-perintahNya, ia adalah seorang pendusta dan di dalam dia tidak ada
kebenaran.
Tetapi barangsiapa menuruti firmanNya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna
kasih Allah. Barangsiapa mengatakan bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama
seperti Kristus telah hidup” (1 Yoh 2: 3-5).

6
bdk. terutama Yoh l:10; 8:19; 14:7.9; 17:25-26.

7
Dari kutipan surat pertama Yohanes ini kita dapat menyimpulkan bahwa ketegangan antara
beriman dan bertanya harus dihayati melalui usaha penghayatan iman secara penuh. Bertanya tanpa
keikutsertaan pribadi untuk mencoba menghayati apa yang kita tanyakan tidak akan membawa kita
kepada pengenalan yang benar tentang Allah.

Hubungan yang erat dalam berteologi antara bertanya dan menerangkan dengan penghayatan
iman dapat dijelaskan pula melalui kenyataan ini bahwa metode dan sikap pribadi dalam
menjalankan suatu ilmu ditentukan oleh objeknya.

Objek teologi ialah iman atau apa yang dikatakan Allah tentang diriNya sendiri dan rencana
keselamatanNya. Kita beriman karena Allah telah menyatakan diriNya sendiri kepada kita. Jadi
objek teologi akhirnya adalah Allah sendiri. Dia adalah Pribadi dalam arti yang sepenuh-penuhnya.
Karena sikap pribadi dalam menjalankan suatu ilmu ditentukan oleh objeknya dan karena Allah yang
mewahyukan DiriNya adalah objek teologi, maka teologi tidak dapat dijalankan dalam suatu sikap
dingin dan acuh tak acuh tanpa suatu usaha pertemuan antar pribadi dengan Allah. Teologi haruslah
dijalankan dalam sikap ketaatan dan penyembahan kepada Allah. Kita harus merenungkan iman
dengan sikap hormat kepada misteri Allah dan karyaNya.

e. Teologi adalah suatu ilmu dan sebagai ilmu dia mempunyai tuntutan-tuntutannya sendiri
seperti kemampuan akal budi, usaha, disiplin studi, ketekunan, fantasi dan keterbukaan.

f. Teologi adalah salah satu ilmu di antara ilmu-ilmu lain. Setiap ilmu mempunyai otonominya
sendiri. Meskipun demikian antara ilmu-ilmu itu ada kesatuan, hubungan dan kaitan yang cukup erat
satu sama lain. Kesatuan antara ilmu-ilmu itu berasal: 1) dari objek materialnya. Semua ilmu
menyelidiki kenyataan yang konkret yakni segala sesuatu yang kita tangkap dengan pancaindera dan
dengan akal budi kita. Seluruh kenyataan ini merupakan suatu kesatuan. Perbedaan antara ilmu-ilmu
terletak hanya dalam bidang yang diselidiki dan sudut pandangannya. Dari kenyataan ini kita dapat
melihat bahwa tidak ada satu ilmu pun yang dapat menjawab segala persoalan dan secara menyeluruh.
Setiap ilmu saling membutuhkan. 2) dari manusia sebagai objek dan tujuan setiap karya ilmiah.
Tujuan setiap karya ilmiah ialah pembangunan dan pembinaan manusia dalam segala dimensinya.
Setiap ilmu menyumbang menurut bidangnya masing-masing.

Teologi sebagai ilmu mempunyai bidangnya sendiri. Meskipun sangat luhur, bidangnya tetap
terbatas. Teologi mau berbicara tentang Allah yang menyatakan DiriNya dalam sejarah demi kesela-
matan manusia (objek material) dan hal ini dilakukan dalam iman (objek formal). Jadi
kebenaran-kebenaran yang kita terima dalam iman itu hanya mengenai Allah yang telah menyatakan
DiriNya dalam sejarah dan mengenai keselamatan manusia. Pengertian yang lebih mendalam
tentang kedua hal itulah yang kita cari dalam teologi. Apakah dalam mencari pengertian tentang
kedua hal itu kita membutuhkan ilmu-ilmu lain?

Pertanyaan di atas harus dengan tegas kita jawab: Ya! Karena Allah telah mewahyukan
DiriNya dalam sejarah, maka sejarah dan metodeNya kita butuhkan. Kita harus cukup mengenal
konteks sejarah pernyataan Diri Allah supaya kita dapat menilai iman kita dengan lebih tepat.

8
Iman itu harus dirayakan, dihayati dan diwartakan. Timbullah pertanyaan bagaimanakah
semuanya itu harus dijalankan supaya dapat berbicara kepada manusia modern sesuai dengan kebu-
dayaannya? Supaya hal-hal itu dapat dijalankan dengan baik, teologi atau orang yang berteologi
membutuhkan pertolongan banyak ilmu lain seperti ilmu bahasa, komunikasi, psikologi, sosiologi,
antropologi budaya dan pendidikan. Ilmu-ilmu ini menjadi bagian dalam berteologi. Tanpa usaha
yang terus menerus untuk memperhatikan hasil-hasil yang telah diberikan oleh ilmu-ilmu itu, orang
tidak dapat berteologi dengan baik.

Karena teologi berbicara tentang kebenaran-kebenaran yang menyangkut keselamatan


manusia, maka tidak jarang dia harus berhadapan dengan ilmu-ilmu lain. Teologi tidak dapat menutup
mata terhadap eksperimen-eksperimen dalam bidang kedokteran atau kebijaksanaan-kebijaksanaan
politik-sosial-ekonomi yang langsung menyangkut keselamatan manusia atau penghayatan
imannya. Tugas teologi dalam hal ini sama sekali tidak mudah. Dia harus mengetahui batas-batas
bidangnya dan harus menyadari bahwa kita hidup dalam suatu masyarakat yang plural. Ilmu-ilmu lain
harus juga mengakui keterbatasannya dan hal ini kerap tidak begitu saja mau diakui.

Demikianlah satu dua catatan tentang teologi sebagai ilmu dan tentang hubungannya dengan
ilmu-ilmu lain. Kita akan kembali kepada persoalan-persoalan ini kemudian terutama tentang
hubungan antara teologi dan filsafat yang belum kita singgung di sini. Suatu teologi yang tidak
mengenal, menggunakan dan berdialog dengan ilmu-ilmu lain akan mandul dan akan menimbulkan
semacam perkara Galileo Galilei.

4. Teologi, ilmu dan tugas kegerejaan

a. Tidak mungkin ada pengenalan dan ilmu tanpa pengalaman. Pengenalan dan ilmu itu
berdasar pada pengalaman. Akan tetapi hendaknya kita mengerti dengan tepat apa yang dimaksud
dengan pengalaman itu. Pengalaman itu terjadi bukan hanya berkat adanya kontak antara pancaindera
dan benda-benda, melainkan (dan hal ini sangat hakiki) pula antara akal budi dan yang ada.7

Di samping itu filsafat bahasa mengajarkan bahwa pengenalan hanya mungkin terjadi sejauh
manusia berada dalam suatu masyarakat, kelompok atau yang semacam itu.

b. Demikian pula halnya dengan teologi. Tidak mungkin orang berteologi lepas dan terpisah
dari Gereja atau jemaah kaum beriman. Teologi adalah suatu karya dan ilmu iman. Iman adalah unsur
pokok dan mendasar dari teologi. Tetapi iman tidak mungkin ada tanpa jemaah. Iman itu kita terima
dari Gereja. Allah telah menyatakan DiriNya pertama-tama bukan kepada orang perseorangan tetapi
kepada jemaah dan untuk membentuk jemaah. Iman adalah suatu perbuatan yang bersifat menggereja,
suatu dialog yang terjadi bukan saja antara orang perseorangan dengan Allah, tetapi juga antara
jemaah kaum beriman dengan Allah.

7
Bdk. L. Bogliolo, “Sulla specificitá della filosofia”, Seminarium 14 (1974), 535-559.

9
Gerejalah yang telah menghantarkan kita kepada iman dan demi kesaksiannya kita mengetahui
bahwa Allah telah bersabda kepada kita dan memasuki sejarah kita. Berkat kesaksian Gerejalah kita
menerima Kitab Suci sebagai sabda Allah. Gerejalah yang telah memberikan kepada kita
bentuk-bentuk yang konkrit bagaimana harus hidup menurut iman kita. Gerejalah yang mengajarkan
kepada kita apa yang harus kita imani. Mengingat semuanya itu maka teologi sebagai karya dan ilmu
iman harus bersifat jemaah, harus menggereja. Orang hanya dapat berteologi di dalam Gereja.
Melepaskan diri dari Gereja berarti membunuh kemampuan berteologi. Teologi itu suatu karya dan
ilmu kegerejaan karena dia adalah karya dan ilmu iman.

c. Teologi itu bersifat jemaah juga karena dia adalah suatu ilmu. Ilmu tidak pernah merupakan
hasil pemikiran seorang pribadi melulu lepas dari kelompok. Suatu penelitian baru bersifat ilmiah
apabila orang memasukkan diri di dalam dunia penyelidikan, pendapat-pendapat, hipotese-hipotese
dan pertanyaan-pertanyaan yang telah dikemukakan orang lain. Dia harus memasukkan diri dalam
dunia tersebut supaya hasilnya dapat diuji oleh orang lain. Mutu pemikiran seseorang diukur dari
kemampuannya berdialog dengan pemikiran-pemikiran lain. Kita harus tahu apa yang telah
dipikirkan dan dikatakan orang lain mengenai suatu persoalan, mengapa mereka harus
menghadapinya, dan bagaimana mereka telah mencoba untuk memecahkannya. Apabila kita tidak
memperhatikan apa yang dipikirkan orang lain, maka pemikiran kita dari sendirinya sampai kepada
titik mati. Kita berbicara dengan diri kita sendiri.8

Demikian pula halnya dengan teologi sebagai ilmu kegerejaan. Dia harus dijalankan dalam
dialog iman dengan apa yang telah direfleksikan oleh orang lain baik dari masa yang lampau maupun
dari jaman sekarang.

d. Apakah arti kejemaahan ini bagi teologi? Bagaimana teologi harus menjalankan tugasnya
di dalam Gereja? Tujuan dan tugas setiap ilmu ialah menyelidiki kenyataan dan menerangkan
kenyataan tersebut. Ilmu harus mengabdi kebenaran.

Kenyataan yang diselidiki teologi ialah iman yang diungkapkan dan disaksikan oleh jemaah
kegerejaan. Sebagai ilmu, teologi harus menerangkan isi iman Gereja. Kenyataan iman itu adalah
suatu wahyu Allah dan wahyu ini telah sampai dan diteruskan kepada kita dengan berbagai cara di
dalam sejarah. Teologi harus menyelidiki dan membuka isi iman yang menyejarah itu di dalam jemaah
orang beriman.

Teologi harus mengabdi kebenaran dan terikat kepada kebenaran wahyu Allah yang telah
sampai kepadanya melalui pewartaan Gereja. Kebenaran itu bukanlah hasil pemikirannya, tetapi
adalah suatu yang disaksikan. Karena Gereja menghayati iman yang menyelamatkan itu di dalam
sejarah, maka teologi haruslah menyelidiki apakah wahyu Allah itu dihayati menurut arti yang
dimaksudkan Allah sendiri. Teologi sebagai ilmu bersifat kritis terhadap Gerejanya sendiri. Teologi

8
Bdk. F.Selvaggi, “Evoluzione del concetto di scienza o dell'epistemologia”, ibid, 506.

10
dalam hal ini menjalankan suatu tugas kegerejaan, suatu tugas iman.9

5. Kesimpulan

Baiklah di sini kami berikan satu dua pemikiran penutup sebagai kesimpulan atas pertanyaan
kita mengenai apakah teologi itu. Ada tiga gagasan pokok yang muncul dalam jawaban atas per-
tanyaan itu yakni iman, ilmu dan Gereja.

Teologi adalah suatu karya iman. Tanpa iman tidak ada teologi. Iman adalah dasar, penggerak
dan penjiwa teologi. Iman yang hidup dengan sendirinya membawa orang berteologi yakni mencari
pengertian iman. Tanpa usaha itu iman kita tidak akan bertahan. St. Agustinus berkata: “Barangsiapa
yang beriman, berefleksi; dengan beriman orang merenungkan dan dengan merenungkan orang
beriman . . . Iman yang tidak direfleksikan bukan iman lagi.”10

Teologi itu suatu ilmu iman. Karena dia adalah suatu ilmu, maka sama sekali tidak dibutuhkan
bahwa setiap orang beriman berteologi dalam arti penuh, yakni ilmiah. Karena teologi itu suatu ilmu,
dia juga mempunyai tuntutan-tuntutannya sendiri sebagai ilmu. Iman saja tidak cukup untuk
berteologi. Perlu ada akal budi. Orang yang tidak mempunyai kemampuan berpikir yang cukup juga
tidak dapat berteologi.

Teologi secara hakiki adalah suatu ilmu kegerejaan, karena iman itu bersifat jemaah dan
menggereja. Tidak setiap orang beriman harus berteologi. Namun teologi merupakan suatu keharusan
yang tak dapat diabaikan oleh Gereja sebagai Umat Allah.

Karena teologi adalah sekaligus suatu karya iman dan ilmu iman, maka dalam berteologi tidak
saja dituntut akal budi tetapi juga kehendak yakni “ketaatan iman” (Rom 16: 26; bdk. Rom 1: 5; 2 Kor
10: 5-6; Dei Verbum, no.5). Objektivitas dan keikutsertaan pribadi selalu dituntut dalarn berteologi.
Hal ini akan selalu menimbulkan ketegangan tetapi sekaligus memberikan kegairahan hidup.
Ketegangan ini harus dihayati dengan usaha terus menerus untuk berkontak dengan Tuhan.

9
Bdk. O. Semmelroth, “Theologie als Wissenschaft “sui generis”, “ibid, 560-570; Z.Lochman, “The
importance of Theology for Church and Society”, Scottish Journal of Theology 26 (1973), 157-170.
10
De Praed. Sanct.5, dikutip oleh G.Oggioni, “Presenza della vita teologale nell'insegnamento teologico”,
Seminarium 6 (1968/no.4). 693.

11
BAB II
HIDUP GEREJA:
TITIK TOLAK BERTEOLOGI

1. Pendahuluan

Setiap karya akal budi (karya otak) selalu bergerak dari suatu pertanyaan. Dengan bertanya
orang ingin mencari jawabannya. Setiap pertanyaan mengandaikan bahwa orang mengetahui barang
sedikit dari apa yang ditanyakan itu. Dia bertanya untuk mengetahui lebih baik, untuk mengerti lebih
dalam.

Mengungkapkan pertanyaan secara tepat sangat penting untuk memulai suatu penyelidikan.
Seluruh proses penyelidikan dan jawabannya amat ditentukan oleh pertanyaan permulaan itu.

Dalam bab I, 4 telah kita lihat bahwa kenyataan yang diselidiki oleh teologi ialah iman Gereja.
Iman itu diungkapkan Gereja melalui hidupnya. Dari sebab itu, kita harus mulai berteologi dari hidup
Gereja. Hidup Gereja adalah tempat kegiatan berteologi.

Pertanyaan kita sekarang ialah apakah hidup Gereia itu? Bagaimana kenyataan hidup Gereja
harus dilihat dan ditafsirkan? Jawaban atas kedua pertanyaan tersebut menentukan cara berteologi kita.
Teologi tidak boleh dipandang pertama-tama sebagai suatu sistem kebenaran-kebenaran iman yang harus
dipelajari; teta.pi sebagai suatu kegiatan beriman untuk menanyakan dan menjelaskan iman Gereja secara
kritis demi pembangunan Gereja itu sendiri.

Seluruh bab ini diilhami oleh karya Z. Alszeghy - M. Flick.

2. Hidup Gereja Tidak Sama dengan Ajaran Magisterium

Sebelum Konsili Vatikan II sejumlah besar teolog berpendapat, bahwa iman yang terungkap
dalam hidup Gereja itu sama dengan ajaran Magisterium atau Badan Pengajar Gereja yang terdiri dari
dewan uskup dan paus sebagai kepalanya. Menurut pandangan ini hidup Gereja itu ditentukan oleh
ajaran-ajaran Magisterium. Gereja diidentikkan dengan hirarki. Dari sebab itu, dalam berteologi
mereka bertitik tolak pertama-tama dari ajaran-ajaran Magisterium. Teologi dipandang sebagai penafsiran
dan pembelaan ajaran-ajaran tersebut seperti yang dituangkan terutama dalam dokumen-dokumen konsili
dan kepausan. Kaidah untuk mengukur kemurnian (ortodoksi) suatu teologi dilandaskan pada ajaran-
ajaran tersebut

Pandangan semacam ini tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ajaran-ajaran Magisterium memang


penting dan merupakan suatu hal yang normatif dalam hidup Gereja. Namun dari sendirinya ajaran-ajaran
tersebut tidak dapat memberikan landasan yang cukup kuat untuk mulai suatu penyelidikan teologis dan
membentuk kemampuan berteologi. Apa sebabnya?

12
Ajaran Magisterium tidak mengandung seluruh kekayaan wahyu, karena ada banyak aspek
iman kita yang tidak pernah disinggung oleh Magisterium atau dijadikan dogma. Apakah ada dogma
penebusan? Tidak ada, tetapi hal ini termasuk dasar iman kita.

Ajaran Magisterium dirumuskan dalam suatu konteks sejarah tertentu dan kerap
dikemukakan sebagai pembelaan terhadap serangan-serangan sementara anggota Gereja terhadap
iman Gereja atau terhadap ancaman-ancaman lain atas penghayatan iman tersebut. Dogma Maria
dikandung tanpa cela yang diumumkan Pius IX pada tahun 1854 misalnya, merupakan suatu jawaban
terhadap situasi sejarah zaman itu yang menyangkal adanya dosa dan kebutuhan manusia akan
penebusan.1 Dogma Infallibilitas Paus yang diumumkan oleh Pius IX pada tahun 1871 juga
merupakan jawaban terhadap situasi zaman, yakni terhadap teori-teori sosialis dan rasionalis yang
menggugat setiap kewibawaan rohani.2 Karena bersifat pembelaan, ajaran Magisterium biasanya hanya
menekankan salah satu aspek dari kebenaran yang dibela, terutama aspek yang diserang dan
disangkal.

Ajaran Magisterium kerapkali adalah hasil refleksi teologis atas iman Gereja. Magisterium
sendiri, meskipun kerap menuntut supaya teologi menguraikan dan mempertahankan ajarannya,
mengakui bahwa teologi mempunyai tugas khusus untuk mempersiapkan ajaran Magiterium.
Tanpa teologi Magisterium tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik.3

3. Hidup Gereja Memperlihatkan Ciri-ciri Suatu Kebudayaan

a. Ajaran Magisterium tidak seluruhnya sama dengan iman Gereja. Iman Gereja itu
terungkap dalam seluruh hidupnya dan tidak terungkap habis dalam ajaran-ajaran tersebut. Lalu
bagaimana kita harus melihat hidup Gereja ini? Bagaimana Gereja menampakkan dan
mengungkapkan imannya?

Iman Gereja terungkap dalam suatu visi, pandangan dan gagasan tentang manusia, dunia dan
zaman; dalam perbuatan-perbuatan, dalam bentuk-bentuk baik yang bersifat kebendaan maupun
lembaga, dalam kebiasaan-kebiasaan dan lain sebagainya. Semuanya menunjukkan ciri-ciri suatu
kebudayaan.

1
Bdk. E. Carrol, “Papal Infallibility and TheMarian Definition, Some Considerations”, Carmelus
26 (1979), 217.
2
Y. Congar, “Histoire de dogmes et histoire de 1'Eglise”, Seminarium 13 (1973), 77.
3
Bdk. LG. art. 54; untuk seluruh persoalan yang diuraikan di sini, bdk. antara lain W. Beinert,
“Eternal and Historical Element in the Church Message”, Theology Digest 18 (1970), 268-277; P.
Schoonenberg, “Historicity and Interpretation in Dogma”, Ibid., 132-143, B. Tiarney, “Origin of
Papal Infallibility”, Journal of Ecumenical Studies 8 (1971), 841-864, H. Küng, The Theologian
and Church (London: Sheed & Ward 1965).

13
b. Kebudayaan ialah keseluruhan dari cara manusia suatu zaman dan daerah,
mengungkapkan dirinya dan memberi makna kepada hidupnya baik dalam hidup keagamaan, sosial
dan kesenian maupun dalam hidup ekonomi, politik, teknis dan bahasa. Ada banyak kebudayaan
dan kebudayaan-kebudayaan itu berbeda satu sama lain bukan saja secara geografis tetapi juga
kronologis. Suatu bangsa bisa mempunyai lebih dari satu kebudayaan dan bisa mengalami
perkembangan kebudayaan sehingga kebudayaan dari satu zaman berbeda dengan zaman lain.
Keanekaragaman kebudayaan itu tampak dalam perbedaan pandangan dan gagasan tentang
manusia dan dunia, dalam tata nilai dan mentalitas yang kemudian terwujud dalam perbedaan
gaya hidup. Perbedaan dalam kebudayaan itu disebabkan terutama oleh perbedaan lingkungan alam
dan pengalaman sejarah.

Pluralisme kebudayaan dalam suatu masyarakat dapat dibedakan menurut tingkatan sosial, asal
etnis, agama, ideologi atau pengelompokan-pengelompokan lain. Unsur-unsur ini menentukan
perbedaan-perbedaan dalam cara atau gaya hidup. Pluralisme kebudayaan itu dapat ditemukan pada
orang perseorangan, sejauh dia membiarkan masuk atau mengasimilasikan pengaruh
kebudayaan-kebudayaan yang berbeda dalam dirinya.4

Biasanya dipertentangkan antara “kebudayaan” dan “kepercayaan” atau “keagamaan”, karena


kepercayaan yang sama dapat hidup dan diungkapkan dalam berbagai-bagai kebudayaan. Pembedaan
tersebut dapat diterangkan karena unsur-unsur yang paling mudah ditangkap dan diselidiki dalam
kebudayaan ialah unsur-unsur yang berada di luar kepercayaan. Akan tetapi perlu ditandaskan bahwa
kepercayaan merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kebudayaan. Hal itu dapat dilihat
terutama dalam reaksi dan perkembangan suatu kelompok kebudayaan apabila dia berhadapan dan
menerima unsur kepercayaan baru.5

c. Hidup Gereja itu menunjukkan ciri-ciri suatu kebudayaan. Hal itu dapat diamati dengan jelas
terutama dalam jemaah-jemaah homogen yang menghayati imannya dengan penuh. Jemaah tersebut
mengungkapkan dan menyatakan imannya antara lain dengan menghasilkan bentuk-bentuk tertentu baik
yang bersifat kebendaan (seperti gereja-gereja, lukisan-lukisan, pahatan-pahatan, benda-benda ibadat)
maupun yang bersifat kelembagaan (seperti bentuk-bentuk hidup membiara, hukum Gereja, ritus) dan
sosial (seperti hidup kekeluargaan, perayaan-perayaan, pendidikan, karya sosial dan lain sebagainya).

Di balik yang kelihatan ini terdapat suatu pandangan tentang manusia dan dunia. Yang
mendasari segala bentuk penghayatan itu ialah iman. Pusat iman ini ialah Yesus Kristus, Penyelamat.
Iman dan kejemaahan pengungkapannya tampak paling jelas dalam perayaan-perayaan liturgis.

4
L.Z. Legazpi, “The Catholic University with reference to culture in its pastoral task”,
Seminarium 18 (1978), 298.
5
Bdk. A. Brien, “L'homme religieux”, Seminarium 12 (1972), 203-219.

14
d. Dengan demikian hidup Gereja menunjukkan ciri-ciri suatu kebudayaan. Akan tetapi, perlu
diperhatikan bahwa iman tidak sama dengan kebudayaan. Iman itu bisa membudaya karena harus
diungkapkan, bisa pula mempengaruhi budaya setempat dan dipengaruhi olehnya dalam hal
pengungkapan-pengungkapanya.

Injil yang adalah berita keselamatan dari Allah, kekuatan Allah dan kabar gembira tentang
Kristus, mula-mula diwartakan kepada orang-orang yang berkebudayaan Yunani-Romawi. Mereka
telah menerima Injil ini. Hidup mereka telah diubah oleh Injil, tetapi sekaligus mereka telah
menghayati Injil ini dalam gaya kebudayaan mereka. Segala sesuatu yang baik dalam kebudayaan
mereka telah diterima dan diresapi oleh Injil. Berkat iman mereka telah menghayati kebudayaan
mereka secara baru dan bahkan ada cukup banyak unsur yang diubah oleh Injil.

Berita Injil ini sampai ke tanah air kita setelah bertumbuh dan berkembang di Eropa selama
15 sampai 17 abad. Dia datang dalam gaya penghayatan kebudayaan Yunani-Latin-Romawi dan
bangsa-bangsa Jerman. Tidak jarang gaya ini terasa asing bagi bangsa kita. Banyak sekali hal yang
tidak kita mengerti lagi latar belakang atau alasannya.

Dalam refleksi tentang hidup Gereja kita perlu memperhatikan kenyataan itu dan perlu
mencamkan pula bahwa Injil tidak mengidentifikasikan dirinya dengan kebudayaan manapun.

Dari keterangan singkat di atas kita dapat melihat bahwa iman yang disaksikan Gereja melalui
hidupnya tidak dapat dipisahkan dari manusia dan kebudayaan. Iman itu telah menyejarah dalam hidup
Gereja. Refleksi teologis tidak boleh melupakan unsur ini.

4. Hidup Gereja adalah suatu peristiwa bahasa

a. Hidup Gereja itu dapat pula dikatakan suatu “peristiwa bahasa”, artinya sesuatu yang
terjadi dan berkembang melalui bahasa. Namun apakah bahasa itu?

Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Bahasa dapat dikatakan kemampuan dasar insani
untuk mengungkapkan diri dan mengatakan pengalamannya. Dengan kemampuan itu manusia
mengadakan kontak dan komunikasi antar pribadi dan menghayati hidup sosialnya. Bahasa membuat
dunia ini menjadi manusiawi.6

Bahasa adalah keseluruhan sistem pengungkapan diri dalam kata. Dia menjadi sarana suatu
kelompok untuk mengungkapkan dirinya dan saling menyampaikan pikiran dan pengalamannya.
Dalam hal ini kita berbicara tentang “bahasa-bahasa”, karena ada banyak bahasa.

Bahasa adalah suatu kenyataan sosial. Dia tidak pernah hidup dan berada dalam kekosongan;
dia tidak pernah dipisahkan dari suatu kelompok yang menggunakan dan memperkembangkannya.
Bahasa adalah sarana komunikasi. Setiap orang yang lahir dalam kelompok itu dan hidup di

6
Bdk. L. A. Schokel, The Inspired Word (New York: Herder and Herder 1965), 125.

15
dalamnya harus mempelajari bahasa itu sebagai prasyarat untuk hidup sebagai manusia dan
memperkembangkan dirinya.

Bahasa mengenal kata, bunyi, tata kata, tata bahasa dan ungkapan. Betapa mengagumkan
fenomen ini apabila kita memperhatikan adanya sekian banyak bahasa di dunia ini yang begitu berbeda
satu sama lain. Dengan memperhatikan fenomen ini kita harus mengatakan bahwa bahasa adalah
bentuk pengalaman itu sendiri. Perbedaan-perbedaan dalam bahasa itu menunjukkan perbedaan
dalam pengalaman, cara berpikir, cara melihat dunia dan cara hidup. Demikianlah suatu garis besar
tentang bahasa.7

b. Hidup Gereja itu adalah suatu peristiwa bahasa, tegasnya bahasa iman. Dia lahir dari
pewartaan sabda Allah dan jawaban iman yang diberikan kepada pewartaan tersebut. Hidup Gereja
lahir dari Sabda (bdk. Rom 10: 14-15).

Hidup Gereja itu adalah suatu peristiwa bahasa karena pertumbuhannya bergantung dari
pewartaan Sabda Allah secara terus-menerus (bdk. Mat 28: 18,20). Sabda Allah yang diwartakan
ini “berkuasa membangun kamu dan menganugerahkan kepada kamu bagian yang ditentukan bagi semua
orang yang dikuduskanNya.” (Kis 20: 32). Firman Allah itu dapat membangun karena dia adalah “Firman
kasih karuniaNya” (Kis 20:32).

Hidup Gereja itu lahir dari jawaban iman yang diberikan kepada pewartaan sabda Allah.
Baru di dalam jawaban iman ini terjadilah jemaah (Kis 2: 14-41, 42-47) dan persekutuan-persekutuan
baru dari orang beriman (Kis 10). Memang tujuan terakhir dari pewartaan sabda ialah membangun
jemaah atau persekutuan:

Apa yang telah kami lihat dan telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu
juga, supaya kamu pun beroleh persekutuan dengan kami. Dan persekutuan kami
adalah persekutuan dengan Bapa dan PuteraNya, Yesus Kristus. Dan semuanya
ini kami tuliskan kepada kamu, supaya suka cita kami menjadi sempurna. (I Yoh 1:
3-4).

Demikianlah secara garis besar peristiwa bahasa dari hidup Gereja. Sekarang kita mau melihat
secara lebih dekat sifat-sifat atau ciri-ciri peristiwa bahasa hidup kegerejaan ini untuk mendalami
mengapa, dalam arti apa dan bagaimana peristiwa bahasa ini harus ditafsirkan.

c. Peristiwa bahasa hidup Gereja itu yang terdiri atas pewartaan dan jawaban iman ditandai
oleh tiga ciri, yaitu:
1. mengikutsertakan si pembicara
2. kaya dengan bahasa gambaran

7
Ibid., 121-173; D.Crystal, Linguistic, Language and Religion, Faith and Fact Books 131,
1965, terutama hal. 63-68, F. Mayer, “Language” dalam Sacramentum Mundi 3 & 4, 268-274.

16
3. terikat kepada bentuk-bentuk bahasa dari masa lampau.

Marilah kita melihat ketiga ciri ini satu persatu:

1) Mengikutsertakan si pembicara: ciri ini disebabkan karena peristiwa bahasa hidup Gereja
itu adalah bahasa iman, bahasa yang lahir dari jawaban manusia atas Sabda Allah. Injil
diwartakan supaya kita percaya (bdk. Luk 1: 1-4; Yoh 20:31). Yang beriman tidak hanya
berkata, “Kristus itu Tuhan”, tetapi “Aku percaya bahwa Kristus adalah Tuhan”. Ciri
mengikutsertakan pembicara ini paling jelas diungkapkan dalam liturgi dan doa.
Pengikutsertaan si pembicara ini dilakukan tidak hanya oleh orang perseorangan terlepas dan
terpisah dari yang lain, tetapi juga dilaksanakan secara bersama. Hal ini tampak terutama
dalam doa “Bapa Kami”.

2) Kaya dengan bahasa gambaran: Peristiwa bahasa hidup Gereja itu kaya dengan bahasa
gambaran. Yesus menyatakan diriNya sebagai “Terang dunia”, “Gembala yang baik”, “Pintu”,
“Roti kehidupan”, “Anak domba Allah”. Dia mengajar dalam begitu banyak perumpamaan.
Mengapa peristiwa bahasa yang satu ini begitu kaya akan bahasa gambaran?
Allah telah menyatakan diriNya bukan pertama-tama supaya manusia mengerti, tetapi supaya
mengambil bagian dalam hidupNya. Karya-karya Allah dalam sejarah keselamatan yang
mencapai puncaknya dalam diri PuteraNya yang telah dikaruniakanNya kepada kita (Yoh 3:
16; Ibr 1: 1-4) adalah karya-karya yang mendahsyatkan. Bersama Rasul agung St. Paulus kita
dapat berseru:

“O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah. Sungguh tak
terselami keputusan-keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya!” (Rm
11: 33)
Karena misteri Allah yang dinyatakan dalam karya-karyaNya itu tak terselami dan
karena kita dipanggil untuk mengambil bagian dalam hidupNya, maka peristiwa
bahasa dalam hidup Gereja ini penuh dengan bahasa gambaran. Bahasa gambaran
adalah suatu cara mengatakan apa yang tidak dapat diungkapkan melalui
gagasan-gagasan yang terang dan terperinci. Dia bukan saja menerangkan, melainkan
membuat orang memasuki kenyataan iman. Dia berbicara kepada seluruh
kemampuan manusia. Bahasa gambaran bukan saja mau membuat orang mengerti,
melainkan melihat dan mendengar dengan hati. Dia membuat orang berulang-ulang
melihat dan mendengar. Bahasa gambaran memberikan santapan untuk pengertian.
Dalam bahasa gambaran secara sadar dibedakan antara simbol dan yang digambarkan
“Terang” dalam bahasa wahyu menunjuk misteri keallahan Kristus. “Terang” bukanlah
Kristus, dia adalah simbol Kristus. Simbol menajamkan penangkapan kita mengenai
misteri iman kita. Di lain pihak simbol itu mengundang kita untuk memasuki misteri
tersebut dan hidup sesuai dengannya.
Daya suatu simbol dapat menjadi kabur dan lemah. Dia dapat tidak dipakai lagi karena
tidak dimengerti dan tidak mengerakkan manusia untuk mengambil bagian dalam
misteri itu. Bahasa gambaran kerapkali membutuhkan penafsiran sebelum kita

17
mengerti dan melihat apa yang dimaksudkan. Hal ini disebabkan karena bahasa
gambaran terikat kepada lingkungan alam dan kebudayaan tertentu.8

3) Terikat kepada bentuk-bentuk bahasa dari masa yang lampau: Setiap agama yang
melembaga terikat pada suatu pengalaman keagamaan awali yang memberikan kepadanya
cirinya yang khas.9 Karenanya hampir setiap bahasa keagamaan mempunyai ciri “kuno”. Hal
ini tampak secara lebih istimewa lagi dalam kristianisme.

Allah berulang kali dan dengan berbagai cara pada zaman dahulu telah menyatakan diriNya
kepada nenek moyang kita dalam iman (bdk. Ibr 1: 1). Allah hanya dapat berbicara dan
menyatakan diriNya kepada mereka apabila Dia menggunakan bahasa mereka. Bahasa
pernyataan diri Allah ini terikat kepada zaman dan tempat. Hal ini tidak berubah dengan
kedatangan PuteraNya yang dikaruniakanNya bagi kita. Hal ini selanjutnya juga tidak berubah
dengan perutusan Paulus dan para Rasul lain ke dunia kebudayaan Yunani. Bahasa pernyataan
diri Allah ini terikat kepada kebudayaan Semit dan Yunani. Di samping itu kita perlu
ingat bahwa Allah telah menyatakan diriNya selama suatu kurun waktu yang cukup panjang,
yakni kurang lebih 2000 tahun. Suatu perkembangan dalam bahasa wahyu itu dengan
sendirinya haruslah diandaikan.
Di samping bahasa wahyu ada bahasa penafsiran wahyu. Dalam perjalanan sejarahnya yang
sudah hampir 2000 tahun ini bahasa tersebut telah sampai ke tanah air kita setelah dibentuk
dalam kebudayaan Barat. Contoh bahasa penafsiran wahyu yang tidak terdapat dalam bahasa
wahyu ialah: Tritunggal, Pribadi, hidup membiara, dosa asal dan lain sebagainya. Tidaklah
terlalu mudah bagi seorang beriman pada zaman sekarang dan dari kebudayaan yang lain
mengerti semua bahasa iman itu dengan tepat.

5. Keharusan penafsiran dan bagaimana harus ditafsirkan.

a) Dari uraian di atas kiranya jelas bahwa peristiwa bahasa hidup Gereja itu membutuhkan
penafsiran. Teologi merupakan suatu keharusan.

Bahasa iman yang mengikutsertakan pendengar ini perlu dijelaskan isinya supaya yang
beriman dapat menjawab Sabda Alah secara penuh. Bahasa iman yang kuno dan asing itu
perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh pendengar. Bahasa-bahasa
gambaran perlu dijelaskan karena mereka terikat kepada lingkungan alam dan kebudayaan
zaman.

Keharusan penafsiran itu dituntut oleh hidup Gereja itu sendiri yang harus terus menerus
mewartakan, merayakan dan menghayati imannya. Sabda Allah itu harus diwartakan

8
bdk. J Macquerrie, 192-211: R.Wellek & A. Warren, Theory of Literature, A Harvest Book 75,
1956, 186-211.
9
Z. Alszeghy - M. Flick, 51.

18
kepada semua bangsa dan meresapi semua bidang kehidupan Gereja, seperti: liturgi, keluarga,
pendidikan, umat basis, karya-karya sosial, katekese. Sejarah Gereja membuktikan bahwa
tidak pernah ada kebangkitan rohani, pembaharuan hidup membiara dan peremajaan Gereja
itu sendiri yang tidak didukung oleh suatu teologi. Konsili Vatikan 11 adalah buktinya yang
paling jelas.

b) Bagaimana hidup Gereja itu harus ditafsirkan secara teologis? Kami katakan secara teologis
karena masih ada kemungkinan untuk ditafsirkan secara lain. Hidup Gereja menunjukkan
ciri-ciri “kebudayaan” dan merupakan suatu “peristiwa bahasa”. Dari sebab itu, hidup Gereja
dapat ditinjau dan diselidiki dari sudut sejarah kebudayaan, sosiologi, sosio-politik,
sosio-ekonomi, psikologi sosial dan lain sebagainya. Bagaimanapun pentingnya dan
bergunanya ilmu-ilmu ini untuk hidup Gereja dan dapat dijalankan oleh seorang yang beriman,
namun penafsiran-penafsiran tersebut tidak dapat disebut penafsiran teologis. Mengapa?
Ilmu-ilmu tersebut menafsirkan apa yang ada, sedangteologi bukan saja menafsirkan apa yang
ada, melainkan pula apa yang harus ada menurut tuntutan-tuntutan imannya. Teologi
menemukan dalam titik tolak penyelidikannya adanya suatu keharusan penafsiran dan
kriterium untuk memperhadapkan kenyataan-kenyataan yang ada dengan apa yang menurut
tuntutan imannya harus ada. Teologi mempunyai kriterium penafsiran tersendiri yang
berbeda dengan sosiologi dan lain sebagainya. Manakah kriterium itu?

Kriterium yang pertama ialah kembali ke masa lampau yakni ke sumber imamnya seperti
diungkapkan dalam Kitab Suci dan ditafsirkan dalaiil Tradisi (bab III). Penafsirannya haruslah
didasarkan pada Sabda Allah.

Kriterium yang kedua ialah memperhatikan manusia yang harus merayakan dan menghayati
iman dalam kebudayaannya dan dalam pergulatan zaman (bab V).

Teologi adalah suatu penafsiran kritis atas hidup Gereja sekarang dalam terang masa yang
lampau dan dalam pandangan kepada manusia dan persoalan-persoalan zaman. Ketiga aspek
penafsiran ini merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.10

Penafsiran teologis berbeda dengan penafsiran sosiologis dan lain sebagainya juga karena
penafsiran ini merupakan suatu ungkapan kegiatan beriman. Sang teolog terlibat secara
aktif dalam hidup Gereja. Dia ingin membangun Gereja.

6. Penutup
Dalam bab ini kita telah melihat titik tolak berteologi dan bukan objek teologi. Kedua hal
tersebut meskipun sangat erat berhubungan namun haruslah dibedakan. Pembicaraan mengenai objek
teologi melihat teologi itu sebagai suatu sistem.

10
bdk. Z. Alszeghy - M. Flick, 52-60.

19
Dalam pertanyaan mengenai apakah hidup Gereja itu, kita telah menemukan bahwa hidup
Gereja itu menunjukkan ciri-ciri suatu kebudayaan dan dapat dikatakan suatu “peristiwa bahasa”.
Penemuan ini sangat penting karena persoalan-persoalan utama yang dihadapi Gereja-Gereja yang
sedang berkembang seperti Gereja di Indonesia ialah inkulturasi artinya tentang bagaimana berita
Injil itu ditanam dan dijelmakan dalam bahasa dan bentuk-bentuk kebudayaan setempat. Persoalan
ini sebetulnya bukanlah persoalan baru. Gereja selalu menghadapinya dalam perjalanan sejarahnya
yang panjang itu. Penyelesaiannya tidaklah sederhana dan mudah, baik karena persiapan dan sikap
yang dituntut dari kita maupun karena rumit dan kompleksnya objek itu sendiri. Dalam
segala-galanya kemurnian Injil tidaklah boleh dikurbankan.11 “Pendeknya, kata-kata St. Paulus
dalam Gal 1: 10 harus menjadi pedoman dan peringatan bagi kita: “..... apakah kucari kesukaan
manusia atau kesukaan Allah? Ataukah kucoba menyenangkan manusia? Sekiranya aku masih mau
mencoba menyenangkan manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus”.

11
Bdk. P. Dezza, “Riflessione Conclusive. Prospettive sulla pastorale della cultura e delle
culture oggi”, Seminarium 18 (1978/no.2), 331-332.

20
BAB III
SUMBER TEOLOGI:
KITAB SUCI DAN TRADISI
(Dimensi positif Teologi)

Ada banyak hal dalam hidup Gereja ini yang meminta penafsiran. Ciri pertama dari penafsiran
teologis atas hidup Gereia ini ialah kembali ke awal dan perkembangan, hidup iman Gereja di masa
lampau untuk belajar dari padanya. Suatu penafsiran hidup Gereja yang mengabaikan masa lampau
tidak dapat disebut teologis.

Kembali ke masa lampau berarti kembali ke sumber dan kaidah tertinggi iman kita yakni
Kitab Suci, yang harus ditafsirkan dalam kesatuan dengan Tradisi. Dalam bab ini kita mau melihat
hubungan teologi dengan Kitab Suci, Kitab Suci dengan Tradisi dan bagaimana dokumen-dokumen
Tradisi itu haruslah ditafsirkan. Persoalan yang dibicarakan dalam bab ini termasuk yang paling penting
dalam teologi.

1. Teologi dan Kitab Suci

Konsili Vatikan II mengatakan bahwa Kitab Suci “haruslah menjadi seperti jiwa dari seluruh
teologi” (OT,16). Dalam pembinaan calon imam, studi Kitab Suci haruslah dijalankan dengan penuh
seksama. Perlu ada pengantar, kemudian pemahaman tentang metode bereksegese. Para calon harus
mendalami tema-tema pokok wahyu Ilahi dan membaca serta merenungkan Kitab Suci setiap hari
untuk memperoleh dorongan dan santapan bagi hidup rohaninya. Dalam kuliah Dogmatik
pertama-tama hendaknya dikemukakan tema-tema alkitabiah. Cabang-cabang kuliah teologi yang
lain hendaknya juga diperbaharui melalui suatu kontak yang lebih hidup dengan misteri Kristus dan
sejarah keselamatan. (ibid.)

Dari pernyataan-pernyataan Konsili Vatikan II ini timbullah pertanyaan-pertanyaan berikut:


mengapa Kitab Suci harus menjadi jiwa teologi? apa artinya hal itu? apakah tema-tema alkitabiah itu?
bagaimana dipelajari? bagaimana hubungan antara titik-tolak teologi seperti diterangkan dalam bab
II dengan pernyataan Konsili bahwa refleksi, teologis harus mulai dengan tema-tema alkitabiah?
Demikianlah satu dua pertanyaan yang perlu kita jawab dalam bagian ini.

a. Mengapa Kitab Suci harus menjadi jiwa teologi

Kitab Suci haruslah menjadi jiwa teologi karena dia adalah buku Gereja, buku imannya. Di
dalam buku ini terkandung dan terungkap iman Gereja secara utuh dan penuh dan melalui buku ini
Gereja mendewasakan imannya.

Kitab Suci adalah buku iman Gereja karena dia adalah Sabda Allah, artinya mengandung
sabda yang berasal dari Allah dan sabda tentang Allah. Tuhan hadir dan berbicara kepada kita

21
melalui buku ini artinya melalui segala sesuatu yang disaksikan di dalamnya. Kitab Suci adalah
sabda Allah karena Kristus adalah Sabda Allah dan Perjanjian Baru menyaksikan Sabda ini. Kitab Suci
adalah sabda Allah karena ditulis atas dorongan Roh Kudus (bdk. 2 Ptr 1: 19-21; 2 Tim 3: 16:
“Segala tulisan yang diilhamkan oleh Allah ...“). Tidak ada kitab yang begitu dipenuhi oleh Allah dan
digerakkan olehNya seperti Kitab Suci.1

Karena sifat-sifatnya yang demikian, maka Kitab Suci adalah “hukum dan kaidah tertinggi dari
iman Gereja”. Dia harus menjadi jiwa teologi, jiwa karya pengertian iman.

b. Apa artinya menjadi jiwa teologi?

Artinya dalam merefleksikan hidup Gereja, Kitab Suci bukan hanya menjadi titik tolaknya
melainkan pula bahwa seluruh proses refleksi teologis itu diarahkan kepada pengertian dan
penjelasan sabda Allah. Isi sabda Allah haruslah tampak dalam setiap tahap refleksi tersebut.2 Baru
dalam arti ini Kitab Suci dapat disebut jiwa teologi. Kitab Suci tidak menjadi teologi apabila hanya
dikutip-kutip atau melulu digunakan sebagai kutipan untuk mendukung dan membenarkan pernyataan
kita.

c. Apakah tema-tema Alkitabiah itu? Bagaimana mencarinya?

Refleksi teologis harus mulai dari tema-tema alkitabiah. Akan tetapi apakah tema-tema
alkitabiah itu? Tema adalah pokok pembicaraan. Pokok-pokok pembicaraan yang kita cari dalam
Kitab Suci ialah yang teologis, artinya yang berhubungan dengan Allah dengan manusia dan
sebaliknya.

Apabila kita mencari tema-tema alkitabiah kita perlu memperhatikan hal-hal berikut: pertama,
Kitab Suci bukanlah suatu uraian sistematis tentang hubungan Allah dengan manusia dan sebaliknya.
Kitab Suci adalah suatu kesaksian iman tentang karya dan Sabda Allah dalam sejarah manusia
(Israel dan Gereja para rasul) dan tentang reaksi manusia terhadap karya dan sabda Allah tersebut.
Kedua, kesaksian ini ditulis oleh banyak orang dan dari zaman, latar belakang dan tempat yang
berbeda-beda. Ketiga, Kitab Suci tidak memberikan suatu sintese tentang karya Allah tersebut.

Nah, apabila kita sekarang mencari tema-tema alkitabiah, kita harus memperhatikan unsur
sejarah dan perkembangannya. Tema alkitabiah mempunyai awal dan perkembangannya, lahir dan

1
Bdk.B.A. Pareira, Pengantar Umum Perjanjian Lama, Bab I A, 4 dan B; K.H. Schelke,
“Sacred Scripture and the Word of God”, dalam Herbert Vorgrimler (peny.), Dogmatic versus
Biblical Theology, (London: Burns & Dates 1964, 11-17).
2
Bdk. J. Alfaro, “Il tema biblico nella teologia sistematica”, dalam Cristologie e Antropologia
(Asisi: Cittadella Editrice 1972), 12.

22
bertumbuh dalam kesadaran iman sesuai dengan konteks dan perkembangan sejarah. Tema ditemukan
apabila orang membaca Kitab Suci secara keseluruhan.

Banyak hal dikatakan tentang karya Allah dalam Perjanjian Lama, misalnya bahwa Dia
menyatakan namaNya, bahwa Dia adalah Allah yang membebaskan Israel dari perbudakan Mesir,
Allah bapa-bapa bangsa, Pencipta dan lain sebagainya.

Karya-karya Allah ini terus menerus direnungkan oleh Israel/pengarang-pengarang Kitab Suci
dan ditafsirkan artinya. Kami berikan satu contoh.

Israel telah mengenal Tuhan sebagai Allah yang membebaskan mereka dari perbudakan Mesir.
Akan tetapi apa arti karya Allah ini? Bagaimana Israel merefleksikan karya ini?

Berulang-ulang Israel menyanyikan karya agung Allah ini dalam liturginya (bdk. mis. Kel
15: 1-18; Mzm 114; 136). Israel bersorak dan bermadah karena karya pembebasan ini. Akan tetapi,
nyanyian-nyanyian ini kita juga melihat bagaimana Israel menafsirkan tujuan dari karya Allah tersebut.
Tuhan telah membebaskan dan membimbing mereka untuk membawa mereka “ke tempat
kediamanNya yang kudus” (Kel 15: 13), menjadikan Yehuda dan Israel “tempat kudusNya dan daerah
kekuasaanNya” (Mzm 114: 2) dan menyerahkan Kanaan menjadi “milik pusaka Israel hambaNya”
(Mzm 136: 22). Pernyataan-pernyataan ini meskipun berbeda, namun erat hubungannya satu sama
lain.

Israel bukan saja menyanyikan karya agung Allah ini, tetapi juga menarik kesimpulan bagi
hidup sehari-hari. Karena Tuhan adalah Allah Israel dan Allah penyelamatnya, maka Israel tidak boleh
menghormati dan menyembah allah lain di samping Tuhan. Hal ini ditekankan baik oleh tradisi Elohist
(Kel 20: 2-6) maupun oleh tradisi Deuteronomist (Ul 5: 6-10). Tradisi Deuteronomist selanjutnya
menandaskan bahwa hari Sabat Tuhan haruslah dirayakan untuk mengenangkan karya pembebasan
dari perbudakan Mesir. Setiap orang Israel yang merdeka dengan seluruh harta miliknya haruslah
berhenti bekerja pada hari itu (Ul 5: 12-15).

Bagaimana para nabi menafsirkan karya pembebasan dari perbudakan Mesir ini? Nabi-nabi
melihat karya tersebut sebagai pernyataan cinta kasih Allah yang istimewa kepada Israel. Akan tetapi,
ada satu hal yang selalu mereka lihat pada Israel yakni tegar hati, penuh dosa dan enggan bertobat.
Dari sebab itu, Amos melihat bahwa Israel haruslah dihukum secara istimewa karena kesalahannya
sebab hanya dialah yang dikenal dan dikasihi Allah dari segala kaum di muka bumi (Am 3: 1-2).
Karena Israel telah menjadi kerajaan yang berdosa dan tegar hati untuk bertobat, maka Amos bahkan
menolak pandangan yang menyatakan bahwa pembebasan dari perbudakan Mesir adalah suatu yang
unik dalam sejarah karya Allah (Am 9:7). Juga Hosea dan Mikha melihat dosa Israel suatu perbuatan
melupakan kasih Allah (Hos 11: 1-11) dan tidak tahu berterimakasih (Mi 6: 1-8).

Di pembuangan Babel nabi Deuteroyesaya (Yes 40-55) mewartakan datangnya suatu eksodus
atau karya pembebasan baru yang jauh lebih hebat daripada yang pertama.

23
Di masa penindasan karya Allah yang besar ini selalu dikenang (bdk. Ydt 5: 5-21).

Perjanjian Baru melanjutkan dan memperdalam refleksi karya Allah ini, namun sekarang dengan
melihatnya dalam diri dan karya Tuhan kita Yesus Kristus.

Demikian satu contoh tentang bagaimana Israel merenungkan karya Allahnya dan melihat arti
karya Allah itu.

d. Bagaimana mencari tema-tema Alkitabiah?

Pengetahuan tentang tema-tema alkitabiah mengandaikan pengetahuan menyeluruh tentang


Kitab Suci. Hal ini tidak dapat dinantikan dari orang yang baru belajar teologi. Dari sebab itu, kita
perlu mengenal sumber-sumber di mana tema-tema itu diuraikan. Sayang sumber-sumber ini hampir
seluruhnya masih tertulis dalam bahasa asing dan kebanyakan cukup berat. Sumber-sumber itu ialah
buku-buku teologi alkitab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dan kamus-kamus teologi
alkitabiah. Salah satu kamus yang terkenal ialah LEON-DUFOUR, Dictionary of Biblical Theology
(New York: Seabury Pres, 1973)

e. Hubungan titik tolak teologi dengan tema-tema Alkitabiah

Dalam bab II telah kita lihat bahwa suatu teologi yang benar-benar mau melayani Gereja dan
yang mau subur haruslah bertitik tolak dari hidup Gereja. Timbullah pertanyaan bagaimana hal ini
dapat disesuaikan dengan pernyataan konsili Vatikan II bahwa refleksi teologis harus dimulai dari
tema-tema alkitabiah dan dijiwai olehnya? Kedua pernyataan ini sama sekali tidak bertentangan karena
suatu penafsiran teologis yang sejati dari hidup Gereja harus kembali ke Kitab Suci yang ditafsirkan
dalam kesatuan dengan Tradisi. Yang menjadi persoalan ialah dari tema-tema alkitabiah manakah
iman Gereja itu haruslah diterangkan. Persoalan ini dapat diselesaikan hanya melalui keakraban
dengan tema-tema alkitabiah. Konkretnya: teologi (alkitabiah) “Allah yang membebaskan Israel dari
perbudakan Mesir” dapat menerangkan apa-apa saja dari iman Gereja? Cukup banyak! Dia dapat
menerangkan tema-tema seperti “Penebusan”, “Penebusan dan Pengharapan”, “sikap kepada orang
yang tertindas”, “ketaatan”, dan lain sebagainya. Teologi “Allah yang membebaskan Israel dari
perbudakan Mesir” dapat menjadi salah satu unsur penerang dalam merefleksikan tema-tema tersebut.

2. Kitab Suci Dalam Kesatuan dengan Tradisi

Konsili Vatikan II dalam konstitusi Dei Verbum ayat 24 mengatakan “Teologi berdasar
seperti pada suatu dasar yang kokoh kuat yakni pada sabda Allah yang tertulis, dalam kesatuan
dengan Tradisi. Dalam dasar Kitab Suci teologi dikukuhkan secara kuat dan selalu meremajakan
dirinya dengan menyelidiki segala kebenaran yang terkandung dalam misteri Kristus di bawah terang
iman. Kitab Suci memuat sabda Allah dan karena diilhami adalah benar-benar sabda Allah; dari sebab
itu studi Kitab Suci hendaknya menjadi seperti jiwa teologi ...”

Pernyataan Konsili yang kami kutip di atas termasuk yang paling penting tentang sumber

24
teologi dan bagaimana sumber itu haruslah ditafsirkan. Pertanyaan kita: mengapa penafsiran teologis atas
iman Gereja yang berdasarkan pada Kitab Suci itu haruslah dalam kesatuan (una cum) dengan
Tradisi? Apa artinya “dalam kesatuan” itu? Apa artinya Tradisi? Pertanyaan-pertanyaan ini termasuk
yang paling mendasar dalam berteologi dan karenanya perlu kita mendalaminya dengan baik.

a. Apakah tradisi itu?

Untuk memahami apakah Tradisi iman itu secara lebih jelas baiklah kita terlebih dahulu melihat
apa arti tradisi itu sebagai fenomen insani.

Tradisi pertama-tama berarti setiap cara meneruskan dan melanjutkan apa yang bersifat insani.
Tradisi hanya mungkin terjadi dalam dunia manusia. Hanya manusia yang mampu mencipta dan
meneruskan.

Hidup manusia itu pada dasarnya ada dan terjadi karena diteruskan dan dilanjutkan melalui
generasi-generasi. Jadi tradisi dalam arti luas ialah apa yang menjadi penghubung antar generasi.
Tradisi memungkinkan adanya kelangsungan hidup. Tradisi dapat dikatakan hidup itu sendiri.

Hidup manusia itu bukanlah suatu fenomen biologis semata. Termasuk di dalamnya ialah
mengenal hidup dan merenungkan artinya. Jadi pertanyaan mengenai makna dan kebenaran hidup
membuat hidup manusia bersifat insani. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu melahirkan tradisi.

Demi kelangsungan hidup perlu dilanjutkan cara-cara tertentu untuk mengenal hidup
dan mengerti artinya. Hal itu terjadi melalui penerusan adat istiadat, kebiasaan, upacara-upacara,
nasihat-nasihat, dan hal-hal kebendaan. Semuanya itu bukanlah ciptaan kita, tetapi kita terima sebagai
suatu yang diteruskan. Hal yang terpenting dalam pelanjutan tersebut ialah bahasa, karena melalui
bahasa terjadi hubungan hidup bukan saja dengan orang-orang yang sezaman dengan kita, melainkan
juga dengan mereka yang mendahului dan menyusul kita. Setelah melihat semuanya ini kita dapat
mengatakan bahwa tradisi ialah pengalaman-pengalaman generasi-generasi yang mendahului kita
yang dituangkan dalam bentuk-bentuk tertentu dan yang menentukan serta mempengaruhi hidup
kita. Hidup manusia baru menjadi insani berkat pengalaman tersebut. Pengalaman-pengalaman yang
kita terima itu secara keseluruhan menentukan identitas kita.

Akan tetapi, hidup manusia tidak hanya dibentuk, didukung dan digerakkan oleh
pengalaman-pengalaman generasi-generasi yang mendahului kita. Hidup manusia itu ditandai dan
digerakkan pula oleh pengalaman sekarang dan pandangan ke depan. Roh manusia mampu
mengatasi apa yang diterimanya dan bertanya tentang arti dan maknanya. Dia dapat menemukan
bahwa tradisi tidak lagi mengartikan fenomen-fenomen hidupnya yang sekarang ini secara yang
bermakna. Dia dapat menemukan bahwa tradisi tidak dapat lagi menjawab persoalan-persoalan baru
yang timbul.

Apabila suatu tradisi tidak lagi mempunyai arti, timbullah krisis. Krisis tidak jarang membawa
serta konflik dan pertentangan baik dalam manusia itu sendiri secara pribadi maupun antar

25
anggota-anggota masyarakat. Krisis mengandung benih-benih bahaya dan pengharapan.

Semua itu menunjukkan bahwa manusia baru dapat mengerti makna dan kebenaran hidupnya
secara benar hanya apabila ia menafsirkan tradisi. Suatu tradisi yang tidak ditafsirkan tidak
pernah dapat memperkaya manusia dan membawa manusia menemukan arti terdalam dari
hidupnya. Suatu tradisi yang tidak ditafsirkan melumpuhkan hidup manusia.3

Dari uraian ini kita dapat melihat bahwa tradisi bukanlah segala-galanya bagi hidup manusia
karena manusia itu bukan hanya mampu mengingat, tetapi juga mampu melihat ke depan,
merencanakan, memikirkan lebih lanjut, menilai dan memahami. Hanya apabila manusia mengawinkan
ingatan dan berpikir, dia menciptakan waktu dan membuat sejarah. Di mana hanya ada ingatan, di sana
waktu dan sejarah berhenti.

b. Tradisi dalam Gereja

Juga dalam hidup Gereja ada Tradisi. Akan tetapi, berbeda dengan tradisi-tradisi insani,
Tradisi dalam Gereja berawal pada Allah dan diteruskan dengan bimbingan Allah. Dari sebab
itu Tradisi dalam Gereja haruslah ditulis dengan huruf besar.

Gereja mengakui bahwa Allah telah menyatakan diriNya dalam sejarah untuk menyelamatkan
umat manusia melalui Israel. Pernyataan diri Allah ini mencapai kepenuhannya dalam diri Tuhan kita
Yesus Kristus (lih. Ibr 1: 1-2). Mengapa? Sebab Dia adalah Firman Allah (Yoh 1: 1-18), “gambar
Allah yang tidak kelihatan” (Kol 1: 15), “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14: 6). Dalam Gereja
Tradisi mulai dengan pengakuan akan kepenuhan pernyataan diri Allah dalam Yesus Kristus. Dia
adalah awal dan perintis suatu tradisi yang baru.

Kepenuhan kebenaran keselamatan dalam diri Yesus Kristus telah sampai kepada kita
melalui para “saksi mata dan pelayan Firman” (Luk 1: 2). Apa yang telah mereka lihat, dengar, saksikan
dan raba tentang Firman hidup, itulah yang mereka sampaikan (bdk 1 Yoh 1: 1-4). Mereka
harus mewartakan firman hidup ini kepada segala bangsa dan zaman (bdk Mat 28: l9-20) dan
Kristus menjamin bahwa kebenaran keselamatan ini akan sampai kepada kita secara utuh karena Dia
sendiri akan memberikan RohNya yang menuntun kita mencapai kepenuhan kebenaran (Yoh 14:
26; “tetapi Penolong, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam namaKu, Dialah yang akan
mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu semua yang Kukatakan
kepadamu”).

Perlu dicatat di sini tentang St. Paulus. Meskipun dia termasuk pelayan Firman, namun dia
bukanlah saksi mata. Akan tetapi, St. Paulus telah meneruskan apa yang dia sendiri telah terima (bdk.

3
Tentang filsafat tradisi, bdk.W. Kasper, “Tradition als Erkennt” Theologische Praktische
Quartaischrift 155 (1975), 203-204.

26
1 Kor 15: 3). Kristus telah menampakkan diriNya juga kepada St. Paulus (Gal 1: 11-12).

Para Rasul meneruskan kebenaran keselamatan yang datang dari Kristus bukan hanya melalui
pewartaan melainkan pula melalui perayaan liturgis terutama perjamuan kudus4 dan pembatisan,5
melalui kesaksian hidup6 dan dengan mendirikan dan membangun jemaah-jemaah.7

Apa yang diwartakan dan dikerjakan para Rasul kemudian secara bertahap ditulis dan
dibukukan. Tulisan-tulisan ini mempunyai tujuan memperdalam iman dan membangun jemaah
(bdk. Luk 1: 1-4; Yoh 20: 30-31; 1 Yoh 1: 1-4). Surat-surat Paulus dan surat-surat lain ditulis juga
dengan maksud yang sama. Kita sama sekali tidak mendapat kesan dari PB bahwa tulisan-tulisan itu
pada awal mulanya dianggap oleh para penulisnya sebagai kitab suci. Mereka menulis hanya demi
kepentingan jemaah. Baru kemudian tulisan-tulisan itu secara bertahap diterima oleh Gereja sebagai
sama nilainya dengan Kitab Suci yakni Perjanjian Lama (bdk. 2 Ptr 3: 16). Surat-surat Paulus ditulis
“menurut hikmat yang dikurniakan kepadanya” (2 Ptr 3: 15). Kitab-kitab ini diilhami Roh.

Jadi apakah Tradisi itu? Dari uraian di atas kita dapat mengatakan bahwa Tradisi ialah segala
sesuatu yang dinyatakan Allah demi keselamatan umat manusia dan yang diteruskan oleh para Rasul
kepada Gereja. Kita dapat mengatakan bahwa Tradisi ialah segala sesuatu yang diimani oleh
Gereja, sebagaimana hal itu telah diturunkan melalui penyaksian dan pelayanan para Rasul. Tradisi
ialah penerusan Injil Kristus melalui para Rasul dan diterima serta dipelihara oleh Gereja (bdk.
DV, ay 7).

c. Tradisi berkembang

Konstitusi dogmatis Dei Verbum mengatakan dalam no. 8 sebagai berikut:


“Tradisi yang berasal dari para rasul dengan bantuan Roh Kudus berkembang di
dalam Gereja. Sesungguhnya pengertian tentang hal dan sabda yang diteruskan itu
berkembang baik melalui kontemplasi dan studi kaum beriman yang merenungkan

4
Kis 2: 41-47; Kor 11: 17-34; bdk. Yak 2: 1-4.
5
Kis 2: 37-40, 41.
6
Bdk. Fil 1: 3; 3: 13-17; 4: 9; Kor 4:,16; 1 Tes 1: 6; bdk. 1 Kor 11: 1; “Jadilah pengikutku, sama
seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.” 2 Tes 3: 7.
7
Kis 11: 30; 14: 23; 15: 2, 4, 6, 22-23; 16: 4.

27
semuanya itu di dalam hatinya (bdk. Luk 2: 19, 5 1), maupun melalui pengalaman
yang membuat orang mengerti lebih mendalam hal-hal rohani serta melalui pewartaan
orang-orang yang oleh penggantian jabatan keuskupan menerima kharisma kepastian
kebenaran. Memang Gereja melalui perjalanan masa, selalu menuju kepada kepenuhan
kebenaran ilahi sampai sabda Allah terpenuhi di dalam dia.”

Sungguh menarik apa yang dikatakan Konsili Vatikan II bahwa Tradisi itu berkembang
(progrediscit). Perlu kita mengerti dengan tepat arti pernyataan ini.

Tradisi itu berkembang karena yang diteruskan ialah Injil Kristus dan penerimanya adalah
manusia beriman yang harus menghayati Kristus dalam konteks yang berbeda-beda. Tradisi itu
berkembang karena prinsip penggerak hidup Gereja itu ialah Roh Kudus, Roh Kristus itu sendiri.
Dialah yang mengantarkan Gereja kepada kepenuhan kebenaran keselamatan (bdk. Yoh 14: 26).
Tradisi itu berkembang karena Gereja harus terus-menerus melanjutkan kebenaran keselamatan itu
dalam pengajaran, hidup dan ibadatnva sampai akhir zaman (bdk. Dei Verbum, no. 8).

Tradisi itu berkembang melalui tiga cara yakni : 1) renungan dan studi 2) penghayatan 3)
pengajaran. Injil itu terus-menerus berkembang karena direnungkan, dihayati dan diwartakan.
Dalam arti apa Tradisi itu berkembang? Bukan dalam isi, tetapi dalam pengertian yang lebih baik
tentang isi iman itu.

Tradisi itu terus-menerus berkembang, sampai kepada kepenuhannya yakni “sampai kepada
yang sempurna tiba dan yang tidak sempurna akan lenyap” (bdk. 1 Kor 13: 10).

Jadi karena Tradisi terus-menerus berkembang, maka Gereja sekarang belum memiliki seluruh
pengertian kebenaran dan lebih lagi tak seorangpun dapat mengatakan bahwa dia mengerti
seluruh kebenaran. Pengertian Gereja tentang imannya berkembang.

d. Kitab Suci dalam kesatuan dengan Tradisi

Dari uraian di atas kiranya menjadi jelas mengapa Kitab Suci itu haruslah ditafsirkan dalam
kesatuan dengan Tradisi. Kitab Suci tidak dapat dipisahkan dari Tradisi karena hanya melalui Tradisi
kita mengetahui bahwa kitab-kitab itu diilhami oleh Roh Kudus. Sebaliknya Tradisi juga tidak dapat
terlepas dan Kitab Suci karena dengan menentukan kanon Kitab Suci Gereja mengakui bahwa di
dalamnya terdapat tanda dan jaminan hidup imannya. Karena Tradisi dan Kitab Suci tidak dapat
dipisahkan, maka setiap pernyataan iman Gereja haruslah didasarkan pada Kitab Suci. Kitab Suci ialah
tanda dan jaminan kehadiran yang tetap dari Allah yang menyatakan diriNya, tanda bahwa Gereja
hidup dari sabda pewahyuan Allah dan di bawah undangan dan panggilanNya yang terus-menerus.
Kitab Suci mempunyai fungsi kritis dan normatif terhadap iman Gereja. Dari sebab itu, Konsili
Vatikan II menandaskan bahwa setiap pernyataan Gereja dan studi teologi haruslah dijiwai dan
bertitik-tolak dari Kitab Suci. Melepaskan diri dari Kitab Suci berarti melepaskan diri dari kaidah dan
jaminan yang utama dari iman yang murni (bdk. Dei Verbum, 10. 12; Optatam Totius, 16).

28
Meskipun Kitab Suci dan Tradisi tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena berasal dari
sumber yang sama yakni Allah dan PuteraNya Yesus Kristus, namun keduanya tidak dapat
disamakan. Hanya Kitab Suci adalah sabda Allah sedang Tradisi tidak. Tradisi adalah proses
penerusan Sabda yang terus menerus di bawah bimbingan Roh Kudus (Yoh 14: 26). Meskipun
keduanya tidak dapat disamakan, namun “baik yang satu maupun yang lain haruslah diterima dengan
rasa kesalehan dan penghormatan yang setaraf (Dei Verbum, no.9). Roh yang sama telah bekerja
dalam kedua-duanya dan kita mendapat kepastian tentang iman kita bukan hanya melalui Kitab Suci,
tetapi juga melalui Tradisi. Tanpa Tradisi hanya ada keragu-raguan dan pendapat.

3. Penyaksi-penyaksi utama Tradisi

“Tradisi dari para rasul ada dalam Gereja dan hidup di antara kita.” (St. Ireneus; bdk. Dei
Verbum, no.8). Tradisi ini disaksikan dan ditafsirkan dalam aneka bentuk pernyataan hidup Gereja
dengan cara dan ukuran yang berbeda-beda. Kita perlu menyelidiki hakikat, ciri-ciri dan nilainya
masing-masing serta menanyakan antar hubungannya. Di bawah ini kami terangkan bentuk-bentuk
pernyataan yang dapat disebut penyaksi-penyaksi utama Tradisi.

a. Bapa-bapa Gereja

Bapa-bapa Gereja menduduki tempat yang pertama dalam perkembangan pengertian Gereja
tentang kebenaran keselamatan yang disampaikan kepada kita melalui para rasul. Mereka adalah
sekelompok uskup dan teolog dari abad-abad permulaan Gereja (terhitung bahkan sampai abad ke-8)
yang unggul baik karena ajarannya maupun karena hidupnya yang suci. Mereka meneruskan Tradisi
melalui studi dan kontemplasi, pengalaman tentang hal-hal rohani dan pewartaan.

Bapa-bapa Gereja telah menentukan banyak hal dari hidup Gereja yang sekarang. Mereka
disebut “bapa” karena dalam arti tertentu telah memperanakkan, memberi makan, mendidik dan
mengajar Gereja. Mereka menjadi bapak-bapak Gereja karena terlebih dahulu telah menjadi
putera-putera Gereja yang sejati. Mereka telah hidup dari Gereja, dalam Gereja dan bagi Gereja.8
Dalam zaman mereka warisan iman kerasulan mulai dirumuskan melawan penafsiran-penafsiran
tertentu yang dianggap sebagai bidaah. Inilah zaman di mana iman kita untuk pertama kalinya
mengambil bentuk dan ungkapan dalam suatu bahasa yang dapat disebut “katolik”. Pada zaman
merekalah mulai diberi bentuk perayaan-perayaan liturgis dan mulai diberi dasar disiplin Gereja.
Pengertian iman mereka “telah disalurkan dalam praktek dan hidup Gereja dan berdoa” (Dei Verbum,
no.8). Pada zaman merekalah Tradisi yang hidup dalam Gereja melihat mana kitab-kitab yang
termasuk Kitab Suci (bdk. Dei Verbum, no.8).

Bapa-bapa Gereja adalah gembala umat. Hidup mereka hanyalah untuk Gereja.
Tulisan-tulisan mereka lahir untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan Gereja dan manusia, dan
tertuang dalam bentuk katekese, khotbah, pembelaan iman melawan bidaah-bidaah, jawaban
surat-surat, nasehat-nasehat dan buku-buku pegangan untuk pendidikan iman umat. Tulisan-tulisan

8
Bdk.Y.Congar, “Les Peres, qu' est a dire?” Seminarium 9 (1969), 151-165.

29
mereka praktis seluruhnya merupakan penafsiran Kitab Suci bagi hidup Gereja.

Nilai kesaksian para bapa Gereja tentang Tradisi pertama-tama bukan terletak dalam
keunggulan perseorangan, melainkan dalam kesatuan ajaran mereka.

b. Liturgi

Tradisi itu ada dalam Gereja dan hidup dalam liturgi. Liturgi menyaksikan iman Gereja karena
dalam liturgi Gereja memberikan jawaban kepada Bapa “dengan perantaraan Kristus, dan bersama
Dia dan dalam Dia serta bersatu dalam Roh Kudus”, atas segala sesuatu yang dikerjakanNya bagi
manusia. Liturgi adalah pelaksanaan karya keselamatan yang dikerjakan Kristus melalui
tanda-tanda. Liturgi adalah ungkapan dan perayaan iman Gereja.

Liturgi lahir bersama Gereja dan isi serta bentuknya yang sekarang banyak dijiwai oleh
ajaran-ajaran bapa-bapa Gereja. Liturgi pada umumnya bersifat konservatif, tetapi juga mengalami
perkembangan. Perlu diselidiki apakah setiap perkembangan dan perubahan benar-benar merupakan
suatu perkembangan pengertian iman.

Bahasa liturgi berbeda dengan bahasa teologi biasa. Liturgi adalah perayaan misteri-misteri
karya Allah. Sebagai perayaan iman dia menuntut penyerahan diri seluruh manusia yakni hati,
ingatan, rasa, fantasi, kehendak dan akal budi. Karena itu bahasa liturgi adalah bahasa yang
melibatkan manusia beriman dalam menyatakan imannya. Bahasa liturgi bersifat kontemplatif
dan sebagian besar dijiwai oleh Kitab Suci sendiri. Ungkapan iman yang paling tinggi dalam liturgi
terdapat dalam “doa-doa syukur agung”.9

c. Orang-orang Kudus

Tradisi itu ada dalam Gereja dan berkembang pula “melalui pengalaman yang membuat orang
mengerti lebih mendalam tentang hal-hal rohani” (bdk. Dei Verbum, ay 8). Pengertian melalui
pengalaman iman disaksikan antara lain oleh orang-orang kudus. Akan tetapi siapakah orang-orang
kudus itu dan mengapa hidup mereka merupakan salah satu bentuk kesaksian tentang Tradisi yang
paling utama?

Orang kudus ialah orang yang mengikuti dan menyaksikan Kristus secara pahlawan. Dalam
orang kudus kita melihat kebenaran Injil dalam penghayatan atau kenyataan. Karena orang kudus
mempunyai iman yang mendalam, maka mereka juga mengerti iman dengan lebih baik (bdk. Yoh 6:
69). Kebenaran iman baru dapat dimengerti sepenuhnya dalam penghayatan.

Tentang nilai tafsiran iman orang-orang kudus perlu diperhatikan hal-hal berikut. Setiap orang
kudus mempunyai cara pribadi dalam mengerti misteri iman dan kesatuannya yang hidup.

9
Bdk. L. Bouyer, “L’Eucharistie signe et instrument de coomuni on ausacrifice sauver”,
Seminarium 11 (1971), 395-404.

30
Masing-masing digerakkan oleh salah satu misteri iman atau lebih dalam hubungannya dengan
misteri-misteri lain. Hidup St. Fransiskus dari Asisi misalnya menunjukkan bagaimana dia mengerti
misteri kemiskinan Kristus yang menjadi miskin supaya kita menjadi kaya; demikian pula dengan St.
Vinsensius de Paul, St. Elisabet dari Hungaria, St. Maria Magdalena Postel tentang “kehadiran
Kristus dalam orang miskin, papa dan menderita”; St. Teresia dari Kanak-kanak Yesus tentang
“kebapaan Allah”. Bagaimanapun juga setiap orang kudus dalam mengerti dan menghayati imannya
tidak luput dari pengaruh zaman dan tempat dan dalam hal ini dia bisa secara subjektif keliru
(misalnya: St. Fransiskus de Sales yang berdoa Rosario setiap kali dia menghadiri Ekaristi yang
dinyanyikan).

d. Magisterium

Tradisi ada dalam Gereja dan berkembang “melalui pewartaan orang-orang yang oleh
penggantian jabatan keuskupan menerima kharisma kepastian kebenaran” (Dei Verbum, no. 8).
Mereka yang dianugerahi kharisma kepastian kebenaran ialah Magisterium yang terdiri dari para
uskup dengan paus sebagai kepalanya. Kedudukan mereka masing-masing akan dibicarakan secara
mendalam dalam teologi Gereja. Salah satu bentuk penafsiran Magisterium yang paling berwibawa
ialah Konsili Ekumenis.

Magisterium tidak boleh disamakan dengan Tradisi dan “tidak berada di atas sabda Allah,
tetapi menjadi pelayannya” (Dei Verbum, no. 10). Dia adalah penafsir resmi sabda Allah dalam
konteks menjaga kesatuan seluruh iman Gereja. Dalam hal ini apa yang diajarkan Magisterium tidak
berbeda dengan apa yang diimani secara umum oleh Gereja (bdk. Lumen Gentium, no. 12). Akan
tetapi, kewibawaan mengajar Magisterium tidak berasal dari umat dan kebenaran iman yang
diajarkannya tidak membutuhkan pengesahan yuridis dari seluruh Gereja.

e. Kriterium kemurnian kesaksian

Ada banyak kesaksian dan penafsiran tentang iman kita. Lalu bagaimanakah kita mengetahui
kemurnian kesaksian itu? Ukuran untuk mengetahui kemurnian suatu kesaksian sebagai buah karya
Roh Kudus ialah kesesuaiannya dan kesatuannya dengan iman seluruh Gereja.

Tidak setiap kesaksian dan tafsiran iman adalah hasil karya Roh Kudus. Devosi-devosi yang
bertentangan dengan hidup liturgis, moral yang bersifat kasuistik dan tidak teologis, bidaah serta
ajaran yang kurang murni bukanlah hasil karya Roh Kudus, tetapi akibat kelemahan insani.10 Gereja
Kristus tidak luput dari kelemahan. Dia masih berada dalam perjalanan menuju tujuan akhir di surga.
Ukuran dan kaidah utama dalam menguji setiap kesaksian dan penafsiran ialah iman seluruh Gereja
yang dalam hal ini disaksikan secara murni oleh Kitab Suci. Akan tetapi, kepastian tentang iman itu
kita peroleh tidak hanya dari Kitab Suci, tetapi juga dari Tradisi yang merumuskan iman Gereja. Yang

10
Bdk. J. Ratzinger, “Dogmatische Konstitution über die gottliche Offenbarung”, dalam Das
zweite Vatikanische Konzil, LTK, II, 1967, 519.

31
bertanggungjawab dalam perumusan ini ialah Magisterium, sedangkan teologi mempersiapkan dan
menafsirkan rumusan-rumusan iman tersebut.

4. Ilmu penafsiran dokumen-dokumen Tradisi

Tradisi yang berasal dari para rasul dengan bantuan Roh Kudus berkembang di dalam Gereja.
Tradisi ini berkembang melalui beberapa cara dan kesaksian tentang perkembangan ini telah sampai
kepada kita kebanyakan dalam bentuk tertulis. Teologi harus menafsirkan naskah-naskah tersebut.
Berteologi dengan demikian berarti menafsirkan naskah-naskah kuno. Akan tetapi bagaimanakah
naskah-naskah itu dapat ditafsirkan sebaik-baiknya? Di bawah ini kami berikan garis-garis besar ilmu
penafsiran dokumen-dokumen Tradisi dengan tekanan pada dokumen-dokumen dogmatis.

a. Prasyarat

Prasyarat suatu penafsiran ilmiah ialah bahwa orang memiliki naskah yang murni Tentang hal
ajaran Magisterium dalam hal iman dan susila ada suatu penerbitan kritis dan dalam bentuk buku
pegangan yakni Denzigner-Schonmetzer, Enchiridion Symbolorum, Difinitionum et
Declarationum (Freiburg: Herder 1965 35). Buku pegangan ini biasanya disingkat dengan DS.

Kadang-kadang terjadi bahwa suatu teks konsili diterbitkan dalam dua bahasa, tetapi bunyi
teksnya tidak seluruhnya sesuai (bdk. DS 500) atau dalam satu bahasa, tetapi dengan bacaan yang
sedikit berbeda (bdk. DS 302). Naskah-naskah ini hampir seluruhnya tertulis dalam bahasa Latin dan
Yunani. Suatu penafsiran yang benar-benar ilmiah harus berdasarkan naskah-naskah asli. Bila orang
tidak dapat membacanya dalam bahasa aslinya, maka hendaknya digunakan terjemahan yang dianggap
baik oleh para ahli.

b. Garis-garis besar ilmu penafsiran

1. Untuk teks purba perlu pertama penelitian dari sudut ilmu bahasa. Arti kata haruslah dilihat
menurut konteksnya dalam kalimat dan dalam hubungan antar kalimat. Penelitian ini hanya
dapat dikerjakan dengan baik dari bahasa asli.

2. Setelah penelitian filologis dan linguistik menyusul penelitian kesejarahan dogma-dogma.


Suatu dogma dapat dimengerti dengan baik hanya apabila dilihat dalam latar belakang
sejarahnya yakni, kapan dan mengapa dogma-dogma itu diumumkan. Kebanyakan dogma
adalah jawaban terhadap ajaran-ajaran bidaah yang timbul. Gereja mempertahankan imannya
yang katolik terhadap ajaran partikelir yang muncul. Dalam mengungkapkan dogma tersebut
biasanya ajaran bidaah itulah yang menjadi sasaran. Demikian dogma tentang primat kepausan
tidak bermaksud mengatakan segala sesuatu tentang fungsi jabatan pengganti rasul Petrus.
Dogma tersebut diumumkan terutama untuk menentang Galikanisme yang timbul waktu itu

32
di dalam Gereja.11
Dalam penafsiran kesejarahan dogma perlu diperhatikan pula latar belakang kerohanian dari
dogma tersebut. Jika suatu periode dikuasai oleh alam pikiran Plato dan Aristoteles, maka ada
kemungkinan bahwa para bapa konsili dalam merumuskan isi iman juga dipengaruhi oleh
bahasa alam pemikiran tersebut.
Lingkungan kebudayaan dan sosial suatu zaman juga mempengaruhi hidup iman Gereja
dan pengungkapannya. Dalam periode Abad Pertengahan Eropa, di mana rohaniwan
merupakan satu-satunya lapisan sosial yang terpelajar, sukar ada tempat untuk suatu teologi
tentang kaum awam. Dalam pernyataan-pernyataannya Gereja kiranya tidak akan
memperhatikan banyak peranan kaum awam. Bahasa iman mengenai kedudukan rohaniwan
dalam Gereja menjadi berat sebelah.12

3. Langkah terakhir dalam penafsiran teks-teks dogmatis ialah menyelidiki apakah kebenaran
wahyu tersebut masih berbicara kepada orang zaman kita atau tidak. Iman menuntut
pengertian dari apa yang diimani. Rumusan iman tak dapat dihayati kalau tidak dimengerti.
Pengungkapan kembali dogma-dogma adalah suatu tuntutan iman.13 Seorang teolog dapat
dikatakan baru selesai dengan tugasnya apabila dia dapat membahasakan isi dan pesan
dogma dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh orang pada zaman dan tempat ini.14

5. Ciri “Keaslian” penelitian naskah-naskah kuno

Tujuan dari setiap penelitian dokumen Tradisi bukanlah untuk mencari dan menunjukkan
bukti-bukti yang mendukung dan mempertahankan ajaran Gereja sekarang. Barangsiapa yang hanya
“mengumpulkan bukti-bukti”, dia menjadikan dirinya mandul dalam berteologi. Dia tidak akan
mencapai pengertian yang lebih mendalam tentang imannya dan lebih lagi dia tidak akan mampu
membahasakan imannya itu untuk orang-orang pada zaman sekarang. Dalam karyanya dia mudah
jatuh dalam bahaya mengambil pernyataan asli lepas dari konteksnya yang semula.

Suatu penelitian naskah-naskah kuno haruslah didukung oleh sikap ini: mencari apa yang telah
direnungkan dan menanyakan mengapa serta bagaimana iman itu telah direnungkan. Sikap ini akan

11
Bdk. J.T. Ford, “Infallibility From Vatican I to the Present”, Journal of Ecumenical Studies
8 (1971), 768-791; B. Tierney, “Origins of Papal Infallibility”, ibid., 841-846.
12
Bdk. W.Beinert, “Ewiges und Geschichtliches in der Botschaft der Kirche”, Catholica 23
(1969), 361-363.
13
J. Alfaro, art. cit., 35.
14
Bdk. A. Grabner-Heider, “Konkrete Hermeneutik” Theologische Praktische Quartaltischrift
122 (1974), 269-276; P. Schoonenberg, “Historiciteit en interpretetie van het dogma” Tijdschrift
voor-Theologie 8 (1968), 303-307; P.W,H. Hryniewicz, “La Tradition code principe d'unite de
E'enseignement theologique”, Seminarium 11 (1971), 386-393.

33
membentuk dalam diri kita kemampuan untuk memikirkan iman yang sama dalam bahasa sekarang.

6. Kesimpulan

Dalam bab ini telah kita lihat bahwa ciri pertama dari penafsiran teologis atas hidup iman
Gereja ialah kembali ke sumber dan kaidah tertinggi iman kita, yakni Kitab Suci dalam kesatuan
dengan Tradisi.

Kitab Suci harus menjadi seperti jiwa teologi karena Kitab Suci adalah buku iman Gereja,
mengandung sabda Allah dan adalah sabda Allah sendiri. Seluruh proses teologi haruslah diarahkan
kepada pengertian dan penjelasan sabda Allah. Karena itu kita harus mendalami tema-tema alkitabiah.

Kitab Suci haruslah ditafsirkan dalam kesatuan dengan Tradisi artinya dalam terang segala
sesuatu yang diimani Gereja dan yang membawa umat Allah kepada keselamatan. Tradisi ini ada
dalam Gereja, dalam ajaran, hidup dan ibadahnya. Tradisi yang berasal dari para Rasul dengan
bantuan Roh Kudus berkembang dalam Gereja. Tradisi ini berkembang dalam arti Gereja mengerti
sabda Allah, tentang segala sesuatu yang diimaninya makin lama makin lebih baik. Perkembangan ini
terjadi melalui beberapa cara. Ada penyaksi-penyaksi utama dari perkembangan Tradisi yakni
bapa-bapa Gereja, Liturgi, Orang-orang kudus dan Magisterium. Masih ada kesaksian-kesaksian
lain yang tidak disebutkan di sini dan yang tidak boleh diabaikan.

Meskipun Kitab Suci dan Tradisi tidak dapat dipisahkan dan harus diberi penghormatan yang
sama karena masing-masing berasal dari sumber yang sama serta digerakkan dan diterangi oleh Roh
Kudus yang sama, namun keduanya tidak dapat disamakan. Hanya Kitab Suci adalah sabda Allah,
sedang Tradisi tidak. Tradisi adalah penerusan sabda Allah dalam Gereja.

Tradisi yang ada dalam Gereja telah sampai kepada kita kebanyakan dalam bentuk tertulis.
Untuk mengerti dan menafsirkan dokumen-dokumen ini secara tepat perlu diadakan penelitian bahasa
dan latar belakang sejarahnya dalam arti yang sepenuh-penuhnya (politik, kerohanian, kebudayaan
dan sosial). Penafsiran yang sejati ialah penafsiran yang memperhatikan apa, mengapa, dan bagaimana
iman kita itu telah dimengerti oleh generasi-generasi yang mendahului kita.

Mungkin timbul pertanyan bagaimana segala sesuatu yang diterangkan di sini dijalankan secara
praktis dalam berteologi. Kami berikan di sini satu contoh, misalnya anda mau menulis suatu teologi
tentang doa permohonan. Apa yang harus anda kerjakan?

Tentu saja, pertama, harus diketahui persoalan-persolannya dan apa tujuan anda menulis. Baru
kemudian mengadakan penelitian.

Kedua, orang harus menanyakan apa yang dikatakan Kitab Suci tentang hal ini, mengapa dan
bagaimana dikatakan. Dalam melihat Kitab Suci orang tidak boleh melupakan aspek sejarahnya yakni
awal dan perkembangannya. Akhirnya haruslah diberi suatu kesimpulan tentang apa yang dikatakan

34
Kitab Suci tentang doa permohonan itu.

Ketiga, sesudah Kitab Suci orang harus melihat apa yang dikatakan Tradisi tentang tema ini.
Di sini orang memasuki medan yang sangat luas dan kompleks. Orang harus mengenal sumber-sumber
dan bagaimana sumber-sumber itu harus ditafsirkan. Suatu penguasaan yang sempurna dari
sumber-sumber ini hampir tidak mungkin kecuali oleh orang-orang yang membaktikan dirinya secara
khusus untuk mempelajari kesaksian-kesaksian Tradisi itu masing-masing. Kita cukup mempelajari
hasil penelitian mereka. Selanjutnya hendaknya diperhatikan apa yang dijelaskan di atas pada sub 5.

Dalam mempelajari kesaksian-kesaksian Tradisi kita perlu memperhatikan konteks


sejarahnya. Persoalan terakhir dalam penelitian kesaksian-kesaksian ini adalah sumbangan apa yang
dibawakan kesaksian-kesaksian ini masing-masing terhadap pengertian tentang tema iman yang kita
selidiki.

Keempat, kesimpulan yakni menilai kesaksian-kesaksian Tradisi dalam terang Kitab Suci
karena Kitab Suci mempunyai fungsi kritis, menentukan serta tidak ditentukan dalam penafsiran iman.
Tentu saja dalam hal ini haruslah ditanyakan apakah pengertian anda tentang Kitab Suci dapat
dipertanggungjawabkan. Iman harus terus- menerus direfleksikan. “Iman yang tidak direfleksikan
bukan lagi iman” (St. Agustinus). Kembali ke masa lampau untuk mendengarkan iman kita dalam
Kitab Suci dalam kesatuan dengan Tradisi memperdalam pengertian iman itu sendiri.

35
BAB IV
PENDALAMAN DATA-DATA WAHYU
DIMENSI SISTEMATIS TEOLOGI

Langkah pertama dari penafsiran teologis atas hidup iman Gereja ialah kembali ke sumber dan
kaidah tertinggi iman kita yakni Kitab Suci dalam kesatuan dengan Tradisi (Bab III). Kita kembali ke
Kitab Suci dan Tradisi untuk mendengarkan Sabda Allah, menentukan apa yang telah diwahyukan
Allah sehingga dengan itu memiliki data-data iman. Semuanya itu dilakukan dalam sikap iman dan
secara kritis.

Akan tetapi pendengaran iman ini (auditus fidei) belum cukup. Hati dan akal budi kita terus
bertanya dan rindu untuk mengertinya selalu lebih mendalam dan lebih baik.1 Dia ingin terus
mendalami arti kata-kata wahyu itu dan menemukan antar hubungannya yang vital agar dapat
menyusunnya dalam suatu kesatuan yang organis dan menyeluruh. Itulah tuntutan-tuntutan karya
pengertian iman (intelectus fidei).

Karya pengertian iman ini tidak dapat dijalankan dengan baik tanpa pertolongan filsafat. Akan
tetapi semuanya dilakukan dalam terang iman (ad lumen fidei).

Dalam bab ini kita pertama melihat bagaimana pendalaman data-data wahyu itu harus
dijalankan! Tugas ini terdiri atas tiga tahap : 1) mengerti kebenaran iman, 2) menyusunnya dalam
suatu kesatuan yang organis dan menyeluruh dan 3) menilai pengertian iman dan susunan yang telah
diberikan.2 Kedua melihat hubungan antara teologi dan filsafat serta menanyakan peranan dan
sumbangan filsafat dalam hal pendalaman iman.

1. M e n g e r t i

Mengerti berarti tahu mengartikan apa yang dikenal, menentukan ciri-ciri dan hakikat sesuatu
hal dengan menunjukkan persamaan dan perbedaannya dengan yang lain. Mengerti berarti tahu
menerangkan apa yang dikenal dan menjadikannya milik pribadi.

Dalam karya pengertian kita menggunakan segala bentuk pengertian yang disediakan oleh roh
manusia.

1
Bdk. La formazione teologica dei futuri sacerdoti, II, II 2.2, dokumen Kongregasi
Pendidikan Katolik tentang pembinaan teologis para calon imam, dikeluarkan pada tanggal 22
Februari 1976.
2
Bdk. R. Latourelle, 83-92; D.Chenu, Is Theology a Science?, (London: Burnes & Oates 1959),
48-114.

36
a. Merumuskan arti

Teologi senantiasa berhadapan dengan bahasa.3 Dari sebab itu, tugas pertama dalam
pendalaman iman ialah mengerti dan merumuskan dengan tepat arti kata-kata yang digunakan dalam
Kitab Suci dan Tradisi. Orang harus menganalisa arti suatu kata, membedakannya dari yang hampir
sama artinya, mengadakan perbandingan dan pengelompokan antara gagasan-gagasan yang sejenis.

Karya penyelidikan arti gagasan-gagasan yang digunakan (semantik) mempersiapkan


definisi-definisi dogmatis dan menghindarkan penafsiran-penafsiran yang keliru. Seorang teolog
menjadi filolog pada saat dia mencari pengertian dan merumuskan imannya.

Satu dua contoh mengenai karya “merumuskan arti” suatu gagasan. Inti
perumpamaan-perumpamaan Yesus ialah tentang Kerajaan Surga atau Kerajaan Allah. Timbul
pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan Kerajaan Surga itu? Mengapa digunakan istilah “kerajaan”?
Kristus menyebut DiriNya Putera manusia dan juga Putera Allah. Apa artinya “putera manusia” itu?
Apa artinya “Putera Allah”? Mengapa disebut “putera”?

Ada banyak gambaran tentang Gereja. Dia adalah suatu kawanan domba dengan satu-satunya
pintu yaitu Kristus (Yoh 10: 1-10). Gereja adalah ladang Allah (1 Kor 3: 9), bangunan Allah yang
selanjutnya disebut pula rumah Allah dimana berdiam keluarga Allah (Ef 2: 19-22) dan bait Allah
Gereja disebut “Yerusalem surgawi” dan “ibu kita” (Gal 4: 26; bdk.Why 12: 17), pengantin Anak
Domba yang tak bercela (Why 19: 7; 21: 2-9; 22: 17) dan sebagai orang buangan dalam perjalanan
(bdk. 2 Kor 5: 6; Kol 3: 1-4). Gereja adalah tubuh Kristus sendiri.4 Teologi harus menerangkan arti
semua gambaran ini, perbedaannya satu sama lain dan antar hubungannya.

Merumuskan arti gagasan-gagasan yang digunakan merupakan suatu keharusan dalam


berteologi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa tidak jarang perumusan melemahkan kekayaan arti yang
terkandung di dalamnya dan juga dinamisme dari gambaran-gambaran itu. Misteri pernyataan diri
Allah dan rahasia keselamatanNya tidak dapat diungkapkan sepenuhnya dalam bahasa manusia dan
dikurung dalam gagasan-gagasan kita.

Perlu ditambahkan di sini bahwa dalam mencari dan merumuskan gagasan-gagasan yang
digunakan kita perlu mengenal dan menggunakan kamus-kamus teologi alkitabiah dan ensiklopedi
serta leksikon teologi yang terkenal.

b. Menerangkan hubungan antara misteri-misteri iman

Bentuk pendalaman iman ini terletak dalam menemukan dan menjelaskan aneka hubungan
antara misteri-misteri iman kita sehingga tampak kesatuannya. Allah itu satu dan Dia adalah

3
Bdk.terutama bab II.
4
Bdk. Lumen Geutium, 6-7.

37
kebijaksanaan sejati. Karya-karya keselamatan yang dikerjakan Allah bagi kita manusia dan yang
menyatakan kebijaksanaanNya pasti mempunyai kaitannya satu sama lain dalam suatu kesatuan yang
organis dan dinamis. Keindahan ajaran dan khotbah-khotbah bapa-bapa Gereja terletak justru dalam
kemampuan dan seperti kemudahan mereka melihat hubungan antara misteri-misteri dan selalu
mengembalikannya pada dasarnya dan pusatnya yakni misteri Kristus dan keselamatan. Orang belum
mengerti dan meresapi misteri-misteri iman apabila dia tidak melihat antar hubungannya yang dinamis.

Keyakinan iman seseorang diperteguh apabila dia dapat melihat bahwa antara misteri-misteri
iman itu bukan hanya tidak terdapat pertentangan, melainkan pula saling berhubungan secara dinamis.

c. Menerangkan hubungan misteri-misteri iman dengan tujuan terakhir hidup manusia.

Dalam kebaikan dan kebijaksanaanNya Allah berkenan mewahyukan diriNya dan menyatakan
rahasia kehendakNya (bdk.Ef 1: 9) agar kita mengambil bagian dalam hidup ilahiNya.5 Itulah tujuan
terakhir pernyataan diri Allah. Kita dipanggil untuk menjadi “puji-pujian kemulianNya” (Ef 1: 14).
Jadi segala misteri iman kita pasti mempunyai hubungan dengan tujuan tersebut.

Tugas pendalaman teologis di sini ialah menunjukkan nilai keselamatan atau nilai praktis
dari misteri-misteri tersebut. Dari pendalaman ini kita akan melihat bahwa kebenaran-kebenaran iman
kita tidak mempunyai nilai atau kedudukan yang sama dalam hubungan dengan dasar iman kita6 dan
karenanya dengan tujuan terakhir panggilan kita. Dasar iman kita adalah misteri Kristus, “rahasia
kekayaanNya yang tidak terduga itu” (Ef 3: 8).

Contoh pendalaman iman bentuk ini: apa nilai keselamatan atau praktis dari misteri “Maria
diangkat ke surga dengan jiwa dan dengan badan?” Bagaimana hubungannya dengan misteri dasar iman
kita? Apa nilai keselamatan dari “sakramen-sakramen”? Bagaimana hubungannya dengan tujuan akhir
hidup kita?

d. Menggunakan gambaran: perbandingan, metafor, dan tafsiran tipologis.

Pendalaman iman melalui perbandingan, metafor, penafsiran tipologis dan alegori menduduki
tempat yang penting dalam Kitab Suci dan sejarah teologi. Orang yang tahu membandingkan suatu
kebenaran iman dengan sesuatu hal yang lain dari alam dan pengalaman hidup manusia dia mengerti
sesuatu lebih baik dan membuat orang melihat secara lebih mendalam kekayaan rahasia Allah.7

Teologi Abad Pertengahan yang sangat menekankan bentuk-bentuk penalaran akal budi juga
tidak jarang menggunakan gambaran. Contoh: biasanya dikatakan bahwa orang dapat melihat

5
Bdk. Dei Verbum, 2.
6
Bdk. Dekrit Unitatis redintegratio, 11.
7
Bdk. Bab II, 4b.

38
(=mengenal) Tuhan melalui alam semesta ini. Ciptaan-ciptaan Tuhan adalah cermin untuk melihat
Allah. Akan tetapi masih ada satu cermin lagi yang membuat orang melihat Allah lebih jelas yakni
manusia. Makin murni hati dan jiwa seseorang, makin jelas dia melihat Allah.8 Metafor semacam ini
sangat sugestif untuk memupuk kesalehan dan iman.9 Para nabi sangat ahli dalam bidang ini.

Satu contoh tentang hal penalaran melalui perbandingan. Apakah meditasi itu? Pertanyaan ini
dapat dijawab dengan suatu uraian, tetapi dapat juga dijelaskan melalui gambaran. Meditasi dapat
dibandingkan dengan suatu perjalanan mencari Allah. Karena dosa manusia dipisahkan dari Allah
dan berada jauh dariNya. Dalam meditasi kita berjalan mencari Allah untuk kembali dekat padaNya
dan beristirahat dalam Dia. Meditasi dapat juga dikatakan suatu perbuatan berjaga, sadar akan
kehadiran Allah yang menyelamatkan. Allah tidak jauh dari kita. Dia ada dalam kita (bdk. Ul 30:
11-14), di tengah kita (Mat 18: 20) dan dalam saudara kita terutama yang papa dan menderita (Mat
25: 31-46). Akan tetapi seperti Yakub kita tidak sadar akan kehadiran tersebut: “Sesungguhnya
Tuhan ada di tempat ini dan aku tidak mengetahuiNya” (Kej 25: 16). Meditasi adalah berjaga di kaki
Yesus seperti Maria (Luk 10: 38-42). Masih ada perbandingan lain. Meditasi berarti mengunyah
sabda Allah. “Manusia hidup bukan hanya dari roti, melainkan dari segala sesuatu yang keluar dari
mulut Allah” (Ul 8: 3). Sabda Allah adalah santapan kehidupan. Dia adalah roti hidup. 10

Sekarang tentang penafsiran tipologis, penafsiran ini bersumber pada Kitab Suci (Perjanjian
Baru) dan digunakan terutama oleh para bapa Gereja dalam khotbah-khotbah mereka. Kita perlu
mendalami penafsiran ini dengan baik.

Penafsiran tipologis ialah bentuk pendalaman iman yang melihat kesinambungan sejarah antara
tokoh, peristiwa dan lembaga Perjanjian Lama dengan tokoh, peristiwa dan lembaga dalam
Perjanjian Baru. Karya-karya keselamatan Allah dalam sejarah dilihat sebagai suatu kesatuan.
Karya-karya ini dapat dikatakan berulang, tetapi sekaligus disempurnakan. Ada garis-garis
persamaan, tetapi sekaligus penyempurnaan. Penyempurnaan ini bisa terjadi melalui perbedaan dan
pertentangan. Penafsir melihat arti baru dari suatu peristiwa di masa lampau dalam terang
pengalaman baru. Yang lama (PL) disebut tipos atau gambaran (bdk. Rom 5: 14) dan yang baru (PB)
disebut antitipos atau kenyataan (bdk. 1 Ptr 3: 21). Penafsiran tipologis berdimensi kristosentris.
Semua gambaran dalam Perjanjian Lama seperti bertemu dalam Kristus. Perbandingan yang paling
umum ialah antara Adam dan Kristus (bdk. Why 22: 1-5) dan antara Israel lama dan Israel baru yaitu
Kristus dengan tubuhNya yakni Gereja. Marilah sekarang kita melihat satu dua penafsiran tipologis
dalam Perjanjian Baru.

8
Bdk. St.Teofilus dari Antiokhia, BO 6, 199-201.
9
Bdk. M.D. Chenu, Op.Cit., 80.
10
Bdk. A.M. Besnard, “La Meditation a partir de la Parole”, La Vie Spirituelle 59 (1977 / no. 623),
812-813.

39
St. Paulus mempunyai persoalan untuk menerangkan besarnya kasih karunia, kehidupan
dan keselamatan yang dianugerahkan kepada kita dalam Kristus. Apa yang dibuat? Dia memberi
perbandingan antara Adam dan Kristus (Rm 5: 12-21). Adam adalah gambaran atau tipos dari Kristus,
tetapi bukan dalam persamaannya melainkan dalam perbedaan dan pertentangannya. Meskipun dalam
teks ini Paulus beberapa kali berkata “sama seperti .... demikian pula .... (ay. 12, 18, 19, 21), namun
dalam ay. 15 dia mengatakan bahwa “kasih karunia Allah tidaklah sama dengan pelanggaran. Sebab,
jika karena pelanggaran satu orang semua orang telah jatuh di dalam kuasa maut, jauh lebih besar lagi
kasih karunia Allah dan karuniaNya, yang dilimpahkanNya atas semua orang karena satu yakni Yesus
Kristus”. Adam adalah gambaran Kristus dalam pertentangan.

Bagaimana harus dijelaskan arti pembaptisan? Penulis surat pertama Petrus mengatakan
bahwa permandian adalah antitipos atau kenyataan dari keselamatan melalui air bah yang dialami Nuh
dan orang-orangnya dalam bahtera (1 Ptr 3: 20-21). Mengapa? Karena permandian “bukanlah untuk
membersihkan kenajisan, melainkan untuk memohonkan hati nurani yang baik kepada Allah oleh
kekuatan kebangkitan Yesus Kristus” (1 Ptr 3: 21). Pembaptisan adalah pembersihan hati nurani oleh
Allah dari segala dosa. Orang yang sadar akan karya Allah ini memiliki hati nurani yang baik. Dari
sebab itu, keselamatan melalui permandian lebih sempurna daripada keselamatan melalui air bah.

Bukan saja Adam adalah gambaran Kristus, tetapi juga Musa. Orang Israel, nenek moyang
kita dalam iman, “semuanya telah dibaptis dalam Musa, dalam awan dan laut. Mereka semua telah
makan makanan rohani dan minum dari minuman rohani yang sama. Mereka minum dari batu karang
yang sama yang selalu mengikuti mereka. Batu karang itu ialah Kristus” (1 Kor 10: 2-4).
Peristiwa-peristiwa yang disebutkan di sini adalah tipos dari peristiwa keselamatan dalam Kristus.
Namun ada suatu peringatan. Mengapa? Karena “mereka ditewaskan di padang gurun” (1 Kor 10:
5). “Semua itu telah terjadi sebagai contoh bagi kita”, tetapi bukan untuk mengikuti teladan mereka
melainkan “untuk memperingatkan kita” (1 Kor 16: 6-11).

Dari contoh-contoh di atas kita dapat melihat betapa penafsiran tipologis dapat membuka
mata iman kita untuk melihat kesatuan karya-karya Allah dan dengan demikian memperdalam iman
kita. Masih ada tipologi lain yang cukup jelas seperti Yoh 3: 14 (“seperti Musa meninggikan ular di ....”);
6: 31-33, 49-5 la (manna di padang gurun dan Kristus roti yang benar yang turun dari surga)
dan 1 Kor 5: 7 (“Sebab anak domba Paska kita juga telah disembelih yakni Kristus”).

Penafsiran tipologis haruslah dibedakan dari penafsiran alegoris. Alegori mencari arti yang
tersembunyi dari suatu teks dan bukan persamaan antara tokoh, peristiwa dan lembaga sejarah
keselamatan. Alegori mencari arti rohani untuk memupuk dan membangun iman. 11 Dengan selalu
berpedoman pada Kitab Suci harus kita akui bahwa penafsiran tipologis tidaklah mudah.12

11
Bdk. M.D. Chenu, Op. Cit., 86.
12
Tentang persoalan-persoalan penafsiran tipologis, bdk. W. Eichrodt, “Ist die typologische
Exegese sachgemasse?”; C. Westermann, Probleme alttestamentlicher Hermeneutik, ThB 11
(Munchen: Chr Kaiser Verlag 19633, 205-226; G.Fohrer, Theologische Grudstrukturen des Alten
Testements (Berlin: De Gruyter 1972), 13-17.

40
e. Analisa Fenomenologis

Fenomenologi adalah suatu metode menemukan hakikat, arti, makna kenyataan dan situasi
eksistensial manusia melalui analisa peristiwa-peristiwa dan kejadian empiris yang dikumpulkan
dengan contoh-contoh dan dipelajari secara konkret. Fenomenologi adalah suatu usaha untuk
mengerti kenyataan-kenyataan yang lebih tinggi dengan bertitik tolak dari analisa tersebut atau dengan
berusaha menggambarkan dan menguraikan kenyataan-kenyataan dengan setia.

Analisa fenomenologis dapat digunakan untuk memikirkan dan memperdalam iman. Allah telah
menyatakan diriNya melalui peristiwa-peristiwa dalam sejarah. Dalam karya penyataan diri ini Allah
menggunakan “kata” dan “bahasa”, “penyaksian” dan “pertemuan” itu. Memang harus diakui bahwa
antara kenyataan-kenyataan insani dengan kebenaran-kebenaran iman selalu terdapat ketidakseimbangan.
Akan tetapi, analisa fenomenologis tetap merupakan suatu cara pendekatan dan pendalaman iman yang
dapat dipertanggungjawabkan.13

f. Deduksi

Penalaran deduktif ini dijalankan melalui silogisme (kesimpulan logis dari yang umum ke yang
khusus; sun + logizesthai = “bersama” + “menghitung”) dan dapat mengenal berbagai bentuk. Dari
sendirinya jenis kesimpulannya juga berbeda-beda.

Kesimpulan dapat ditarik dari dua premis wahyu, misalnya: Yesus benar-benar Allah. Yesus
benar-benar manusia. Jadi Yesus mempunyai hakikat baik Allah maupun manusia; hakikat
kemanusiaanNya penuh dan berbeda dengan hakikat keallahanNya.

Kesimpulan dapat ditarik dari satu premis wahyu dan satu premis bukan wahyu (akal budi),
misalnya Kristus adalah Raja (bdk. Yoh 18: 37), sedang setiap raja mempunyai kekuasaan atas
bawahannya. Jadi Kristus mempunyai kekuasaan atas bawahanNya, yakni murid-muridNya.

Penalaran semacam ini memang dapat dijalankan dalam berteologi. Akan tetapi, cara berpikir
semacam ini mempunyai kelemahan-kelemahan yakni kesukaran menemukan arti yang sebenarnya dari
data iman tersebut (misalnya apakah artinya Kristus raja itu?) dan bahwa perhatian lebih ditujukan kepada
kesimpulan atau antar hubungannya yang logis, suatu hal yang kurang penting dalam teologi. Tujuan
utama berteologi ialah mencari pengertian iman dan menemukan kesimpulan-kesimpulannya.14

13
Bdk. R. Latourelle, 89.
14
Bdk. Z. Alszeghy-M. Flick, 28-29.

41
g. Argumen kepantasan

Dalam menghadapi misteri hidup Allah dan rencana-rencana keselamatanNya pengertian


manusia tidak selalu dapat menunjukkan alasan-alasan yang wajar dan dapat dibuktikan. Akan tetapi,
orang dapat menunjukkan kepantasannya, artinya menjelaskan dapat dimengertinya hal itu.15

Contoh: soal penjelmaan Putera Allah menjadi manusia. Mengapa awal karya penyelamatan
manusia yang begitu menentukan ini tidak langsung terjadi sesudah jatuhnya manusia dalam dosa?
Ada beberapa jawaban. Ireneus, Klemens dari Aleksandria dan Origenes (ketiga-tiganya adalah bapa
Gereja) mengatakan bahwa Allah harus mempersiapkan lebih dahulu umat manusia untuk menerima
kepenuhan anugerah-anugerah Penjelmaan. Lain lagi jawaban pengarang surat kepada Diogenes:
manusia harus mengalami dahulu ketidakmampuannya untuk masuk dalam kerajaan Allah sebelum
dia dijadikan mampu karena kuasa Allah. Chenu mengatakan bahwa karena hukum alam (dan juga
hukum akal budi) itu bergerak dari yang tak sempurna kepada yang lebih sempurna, maka Sang Sabda
harus menunggu sampai manusia siap untuk menerimanya.

Argumen-argumen ini menyegarkan dan dapat membuka iman kita, namun dia tidak dapat
memuaskan akal budi manusia sepenuhnya. Orang dapat mengatakan bahwa “Allah mempunyai
kekuasaan, bila Dia mau, untuk menyesuaikan unsur-unsur yang kurang sempurna itu kepada
rencanaNya dalam sekejap mata”.16

Perlu diperhatikan bahwa pengenaan prinsip-prinsip tadi dapat dibenarkan hanya sejauh
menerangkan suatu fakta sejarah.

2. Menjelaskan kebenaran-kebenaran iman

Ilmu selalu berusaha mencari dan menerangkan kesatuan dari segala sesuatu yang dikenalnya.
Hanya dengan menyatukan yang terpisah orang mengerti. Demikian pula dalam berteologi.

Menyintesekan berarti menyusun sesuatu yang dikenal dalam suatu kesatuan yang organis
dan menunjukkan tempat masing-masing unsur (kebenaran iman) dalam keseluruhan kesatuan
tersebut. Sintese bukanlah hasil refleksi satu hari, melainkan sesuatu yang diperoleh melalui
pendewasaan yang susah payah.

Teologi dogmatik sekarang dapat dibandingkan dengan suatu bangunan yang belum selesai,
sedang di sekitarnya tertumpuk banyak bahan bangunan yang belum diketahui mau dipasang di mana.
Ada banyak penelitian, tetapi belum ada sintese. Bagaimanapun juga idea mencari kesatuan dan
sintese hendaknya menjadi pokok perhatian baik dari dosen maupun dari mahasiswa dalam belajar
teologi. Tanpa cita-cita ini studi teologi akan kehilangan keampuhan praktisnya dan daya hidupnya

15
R. Latourelle, 87.
16
M.D. Chenu, Op. Cit., 79.

42
Sistem teologis ialah suatu keseluruhan refleksi iman yang disusun berdasarkan prinsip
tertentu Sistem adalah hasil sintese yang dikerjakan dan disusun sedemikian rupa sehingga menjadi
objek retleksi. Sistem adalah tujuan dari setiap karya ilmiah, juga dari teologi.

Ada banyak sistem teologis. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti perbedaan
penekanan penafsiran yang diberikan pada suatu kebenaran iman (misalnya tentang hakikat Gereja:
yang satu lebih menekankan aspek misterinya, dan yang lain aspek kesejarahannya), perbedaan visi
awal dengan kecondongan batiniah pada salah satu unsur iman (seperti unsur keselamatan pada St.
Bonaventura dan unsur kebenaran pada St. Tomas Aquino), perbedaan penggunaan filsafat atau
tantangan filsafat yang dihadapi (seperti Aristotelisme, Platonisme, Marksisme) dan latar belakang
kebudayaan (seperti kebudayaan Eropa Timur dan Eropa Barat). Setiap sistem mewakili suatu cara
pendekatan iman dan tidak semua sama nilainya.17

Meskipun sistem teologis itu perlu, namun tidak semua teolog mencapai titik ini. Banyak
bapa Gereja yang memiliki teologi yang mendalam, tetapi tidak pernah menyusun dalam suatu sistem
teologi. Hal ini mungkin disebabkan karena teologi mereka adalah semata-mata adalah jawaban
terhadap tantangan dan kebutuhan pastoral.18

3. Menilai pengertian iman

Berteologi tidak berarti mengulang dan membeo apa yang dikatakan orang lain bahkan oleh
Magisterium. Apa yang dikatakan Magisterium merupakan bimbingan untuk mengerti iman.
Barangsiapa membeo apa yang dikatakan orang lain, dia tidak pernah berteologi. Memang kita harus
belajar dari orang lain, tetapi kita harus mencernakan pengertian iman mereka menjadi pengertian
iman kita sendiri.19 Jadi dalam setiap tahap karya pengertian iman orang harus menilai secara kritis
pengertian imannya. Di lain pihak orang harus menyerahkan pengertian imannya kepada pertimbangan
saudara-saudara seiman terutama kepada Magisterium, unsur penyatu pengertian iman di dalam
Gereja.20

4. Hubungan antara teologi dan filsafat

Antara teologi dan filsafat ada hubungan yang sangat erat meskipun masing-masing adalah
benar-benar otonom. Teologi lahir dari pertemuan wahyu dan akal budi. Manusia beriman yang
berakal, budi menanyakan imannya untuk memperdalam dan menghayatinya lebih baik. Warta iman
Kristen yang begitu khas mau tidak mau menimbulkan pertanyaan. Pertemuan teologi dan filsafat itu

17
Tentang sistem teologis, bdk., terutama M.D. Chenu, Op. Cit., 100-113.

18
Bdk. Bab III, 3a.
19
Bdk. Bab III, 5.
20
Bdk. Bab I, 4 tentang teologi sebagai ilmu kegerejaan.

43
terjadi pertama dalam manusia yang memikirkan imannya. Berteologi berarti berpikir dan bertanya.
Karena teologi adalah fides quaerens intellectum.

Meskipun antara filsafat dan teologi ada hubungan yang sangat erat, dalam sejarahnya
hubungan ini tidak selalu sama diterima oleh semua pihak. Ada dua pandangan ekstrim yang perlu
dihindarkan dan perlu ditolak: pertama, yang seperti meleburkan teologi dalam filsafat sehingga
perbedaannya yang radikal tidak tampak lagi; kedua, yang bersifat memisahkan teologi sama sekali
dari filsafat sampai bersifat saling tidak tahu menahu atau acuh tak acuh. Orang harus sadar akan
perbedaannya yang radikal untuk melihat hubungannya.

Sejarah membuktikan bahwa teologi itu bertumbuh dan berkembang dengan subur terutama
di tempat-tempat di mana dialog antara iman dan filsafat itu dijalankan secara intensif dan mendalam.
Teologi patristik adalah hasil pertemuan wahyu Kristen dengan pandangan filsafat Yunani pada
umumnya dan Plato pada khususnya; teologi Abad Pertengahan Eropa dari pertemuan iman Kristen
dengan filsafat Aristoteles; teologi Bultmann, Tillich dan Karl Rahner dari pertemuan dengan filsafat
eksistensialisme; teologi J. Moltmann dari pertemuan dengan Marksisme dan pandangan dunia
modern seperti yang dipikirkan oleh filsuf E. Bloch.

a. Pertemuan teologi dan filsafat.

Setiap ilmu bertitik tolak dari dan berdasarkan pengalaman. Demikian pula dengan filsafat.
Filsafat bertitik tolak dari pengalaman ada. Ini adalah pengalaman akal budi yang ditangkap melalaui
pancaindera.) Pengalaman ada adalah pengalaman yang mendasar, universal dan menyeluruh. Filsafat
mempelajari yang ada sejauh ada atau dari sudut yang ada. Dia mendalami yang ada dalam dirinya (in
se).

Filsafat mempelajari kenyataan dan berusaha mengembalikan yang majemuk menjadi satu.
Filsafat adalah ilmu yang mempelajari keseluruhan dari kenyataan. Dia mempelajari dan mencari
pengertian tentang hakikat manusia dan dunia, mengenai arti, hakikat dan tujuan dari segala yang
ada. Filsafat berusaha mencari pengertian atas segala persoalan mendasar yang dihadapi manusia,
yang menggugah dan tidak menenteramkannya sepanjang masa.

Wahyu Allah merupakan pernyataan diri Allah dan rencana keselamatannya. Pernyataan ini
juga menjawab persoalan-persoalan terdalam yang dicari dan diselidiki filsafat. Teologi sebagai ilmu
iman dengan sendirinya haruslah berhadapan dengan filsafat dan sebaliknya. Pertemuan ini sungguh
mengasyikkan karena yang satu (filsafat) bertitik tolak dari akal budi dan yang lain (teologi) dari
kesaksian Allah. Filsafat berdasarkan apa yang dilihat dengan akal budi dan teologi berdasarkan apa
yang didengar dengan iman. Teologi dalam hal ini mau tidak mau harus berhadapan dengan filsafat
dan sebaliknya, apabila masing-masing mau tetap setia kepada dirinya sendiri. Dialog ini kerap kali
tidak diterima dengan senang hati oleh para filsuf (seperti Martin Heidegger). Akan tetapi, bagi teolog
dialog ini penting demi pendewasaan pemikiran imannya.

44
b. Peranan filsafat dalam teologi

Sumbangan pertama dari filsafat terhadap teologi ialah menolong yang beriman untuk
memikirkan imannya dengan lebih baik. Allah telah berbicara kepada kita dalam bahasa manusia dan
menggunakan gagasan-gagasan manusia. Jadi untuk mengerti lebih baik bahasa wahyu tersebut orang
harus mendalami arti gagasan-gagasan yang digunakan dan jenis serta hakikat dari
pengalaman yang disampaikan. Filsafat dapat menolong karya pengertian tersebut (bdk. keterangan
di atas tentang mengerti kebenaran-kebenaran iman melalui “merumuskan arti” dan “analisa
fenomenologis”).

Pertemuan antara filsafat dan teologi dapat dikatakan pertemuan dalam disiplin atau tata
tertib berpikir. Disiplin ini menyangkut “penggunaan bahasa yang saksama, pembentukan gagasan
dan penjelasan tentang antar hubungannya serta suatu kesadaran kritis tentang metode.” 21 Pemikiran
seorang teolog harus ditertibkan justru karena menyangkut kesadaran tentang kebenaran yang umum dan
yang harus didialogkan dengan suara-suara keraguan dan ketidakpercayaan manusia. Akan tetapi,
perlu pula diperhatikan keterbatasan bahasa manusia untuk mengungkapkan misteri Allah. Allah
memang menyatakan diriNya dan rahasia hidupNya dalam bahasa manusia: Dia adalah satu dalam tiga
pribadi: Bapa, Putera dan Roh Kudus. Gagasan-gagasan “Bapa”, “Putera” dan “Roh Kudus” diambil
dari bahasa manusia untuk menyatakan misteri Allah. Gagasan-gagasan ini dapat memperdalam iman
kita (dan memang diwahyukan), tetapi bahasanya tetap diambil dari pengalaman manusia dan
karenanya tidak mungkin membuka seluruh misteri rahasia Allah. Filsafat dapat memperdalam
gagasan-gagasan itu, tetapi tetap terbatas sumbangannya.

Sumbangan kedua dari filsafat terhadap teologi ialah memberikan kepadanya bahasa teknis.
Teologi sebagai refleksi sistematis atas data-data iman atau ilmu iman membutuhkan bahasa teknis.

Muncul suatu persoalan besar. Ada banyak aliran filsafat dengan bahasa teknis dan
bentuk-bentuk berpikirnya masing-masing. Dengan bahasa teknis filsafat yang mana teologi harus
berbicara? Hal-hal berikut perlu diperhatikan; 1) teologi secara radikal tidak tergantung pada sistem
filsafat manapun dan 2) teologi terbuka terhadap filsafat apa saja sejauh menyumbangkan nilai-nilai
sejati dan universal yang dapat diintegrasikan dalam refleksi iman Kristen.

Ada banyak aliran filsafat dan tidak mudah orang mengerti semuanya dengan baik. Dari sebab
itu, agar mahasiswa dapat dengan lebih mudah dan terampil berdialog dengan macam-macam filsafat
yang ada, dia perlu mematangkan dirinya dalam filsafat klasik dengan St. Thomas Aquino sebagai
gurunya.22

Dalam konteks ini perlu ditambahkan bahwa Gereja tidak terikat kepada salah satu sistem
filsafat pun. Dia memang dapat dipengaruhi oleh lingkungan kerohanian suatu zaman; namun dia hanya

21
G. Ebeling, The Study of Theology (London: Collins 1979), 65.
22
Bdk. Optatam Totius, 16; La formazione teologica dei futuri sacerdoti, II. III. 3.

45
menggunakan bahasa filsafat itu dalam arti yang umum diterima.23

Demikianlah secara singkat sumbangan filsafat bagi teologi. Kita dapat menyimpulkan bahwa
peranannya dalam berteologi ialah menolong yang beriman untuk mendalami dan menghayati imannya
dengan lebih baik dan membuatnya mampu berdialog dengan orang-orang zaman ini. Hanya denngan
bantuan filsafat, teologi “mampu mendalami secara sungguh-sungguh kebenaran yang diwahyukan,
menyusunnya, dan merumuskannya dalam suatu pertimbangan yang matang”.24 Tanpa misalnya suatu
antropologi yang fenomenologis dan benar-benar falsafiah misteri Kristus, Putera Allah yang menjadi
manusia, tidak dapat dimengerti cukup baik.25

23
Bdk. Bab III, 4.
24
La formazione dei futuri sacerdati, 11. 11. 2.2; bdk. DS, nomor 3135-3138.

25
Tentang hubungan teologi dan filsafat, bdk. terutama N.A. Luyten, “La fonction de la
philosophie dans I’education a la foi et au dialogue”, Seminarium 14 (1974), 425-442; A. R.
Javelet, “Symbiose philosophie theologie”, Seminarium 11 (1971), 280-294; M. Nedoncelle,
“Philosophy, Handmaid of Theology”, Consilium 1 (1965/n.6), 49-55; W. Weischedel, “Das
Studium - der römischen Konggregation fur das Katholische Bildungswsen”,
Herder-Korespondenz 26 (1976), 178-182; J. Moller, “Der Glaube ruft nach dem Denken: Zur
Rolle der Philosophie innerhalb des Theologiestudiums”, Herder-Korrespondenz 26 (1972),
239-243.

46
BAB V
TEOLOGI KONTEKSTUAL
(dimensi praktis-pastoral teologi)

Teologi adalah suatu ilmu dengan tugas kegerejaan. Pernyataan ini berarti bahwa teologi harus
dijalankan demi pembangunan iman dan demi pembangunan Gereja dan masyarakat. Pendalaman
Kitab Suci yang didukung dan diterangi oleh Tradisi belum mencapai sasarannya apabila teologi itu
dipelajari lepas dari persoalan-persoalan yang dihadapi Gereja. Teologi semacam itu hanya bersifat
akademis, tetapi tidak memiliki daya kehidupan baik bagi yang mengajar maupun yang belalar dan
juga bagi umat. Teologi sejati harus membina orang untuk berbicara, hidup dan bertindak dalam
terang iman sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat. Teologi sejati harus bersifat kontekstual.

1. Konsili Vatikan II dan Teologi Kontekstual

Semangat dasar Konsili Vatikan II (1962-1965) ialah menafsirkan kembali Tradisi iman
Gereja untuk menjawab persoalan-persoalan dan tuntutan-tuntutan zaman. Dalam penafsiran
kembali ini Kitab Suci telah menjadi seperti jiwa dari seluruh teologi Gereja. Konsili telah
mengunakan Kitab Suci bukan sebagai buku pembuktian kebenaran-kebenaran iman, tetapi sebagai
buku iman yang menjadi titik tolak dan jiwa refleksi iman Gereja untuk menjawab persoalan-persoalan
zaman. Itulah sebabnya Konsili Vatikan II bersifat begitu pastoral dan mendorong suatu teologi yang
bersifat kontekstual.

Gereja sesudah Perang Dunia II menghadapi suatu perubahan besar dalam dunia dan
masyarakat. Kemajuan teknologi yang begitu besar dan cepat membawa perubahan besar dalam alam
pikiran, gaya hidup, prioritas nilai-nilai dan bahasa manusia. Dunia menjadi lebih kecil karena
kemajuan teknologi. Akibatnya orang tidak bisa lagi hidup tertutup dan terkurung dalam dunianya
sendiri. Pertemuan antar bangsa, kebudayaan dan agama menjadi tak terelakkan. Gereja sesudah
Perang Dunia II juga menyaksikan bangkitnya dan munculnya bangsa-bangsa baru khususnya di Asia
dan Afrika yang berabad-abad hidup di bawah penjajahan bangsa-bangsa Barat. Bangsa-bangsa ini
bangkit dengan kesadaran baru yakni kesadaran akan dirinya sendiri. Muncullah ketegangan antara
Barat dan Timur, Utara dan Selatan. Ketegangan semacam ini juga berpengaruh di dalam Gereja.
Eropa dan Amerika Utara kiranya tidak boleh lagi memandang dirinya sebagai pusat dunia dan
menentukan apa yang harus dilakukan oleh bangsa-bangsa baru ini. Bahasa dan budaya Latin yang
sampai saat itu begitu dominan dalam Gereja mulai dipertanyakan. Singkatnya dunia pasca Perang
Dunia II memasuki suatu zaman baru dalam sejarah perkembangan peradaban umat manusia. Ada
perubahan besar hampir dalam segala bidang dan segi hidup manusia. Apa yang harus dilakukan
Gereja? Bagaimana Gereja harus menjawab tantangan zaman ini? Tidak lain kecuali bertobat,
memperbaharui dan meremajakan diri. Gereja sebelum Konsili Vatikan II adalah Gereja yang sarat
dengan warisan sejarah Eropa khususnya warisan sejarah pasca Trente dan betapa warisan sejarah ini
menjauhkan Gereja dari dunia dan membuatnya bersifat sangat sentralistis (Roma-Latinsentris),
seragam dan masih banyak lagi. Tentu saja ada hal-hal positif dalam Gereja, tetapi kekurangannya

47
juga tidak kecil. Pokoknya Gereja perlu bertobat untuk menjawab tantangan zaman dan Konsili
Vatikan II atas dorongan Roh Kudus merupakan jawaban Gereja untuk memasuki zaman baru ini.

Lalu apa yang dikatakan Konsili Vatikan II tentang teologi? Seluruh semangat, metode dan
tujuan berteologi harus diperbaharui. Persoalan ini dibicarakan dalam satu dokumen khusus tentang
pendidikan calon imam yakni Optatam Totius. Tidak perlu kita bicarakan dokumen ini di sini karena
telah berulang-ulang disinggung di depan dan masih akan kita singgung lagi. Memang teologi sebelum
Konsili Vatikan II adalah teologi Eropa yang berkembang dalam sejarah Eropa dan yang sejak Konsili
Trente sangat akademis, skolastik, banyak berpolemik dengan orang Protestan, berbahasa Latin dan
tidak menjawab persoalan-persoalan besar yang dihadapi dunia dan Gereja. Khusus mengenai teologi
yang harus dikembangkan di wilayah-wilayah yang pada waktu itu disebut tanah-tanah misi (Asia,
Afrika, Pasifik) Konsili menegaskan supaya mencari jalan bagaimana merefleksikan iman yang telah
diwariskan itu dengan “memperhatikan filsafat dan kebijaksanaan bangsa dan dengan cara
bagaimana kebiasaan, pandangan hidup dan tata sosial dapat diserasikan dengan tata hidup
yang terkandung dalam wahyu ilahi” (Ad Gentes, 22). Pernyataan besar Konsili ini haruslah dilihat
sebagai awal dari suatu semangat baru. Vatikan II sebenarnya memberi tugas kepada Gereja-Gereja
di Asia, Afrika dan Pasifik untuk membangun suatu teologi yang benar-benar bersifat kontekstual
(baca selanjutnya Lumen Gentium, 3, 16-17; Ad Gentes, 11-12, 21).

2. Teologi kontekstual di Indonesia

Teologi di Indonesia selama puluhan tahun adalah juga teologi Eropa yang diteruskan begitu
saja tanpa suatu refleksi yang lebih mendalam tentang kebutuhan dan persoalan yang dihadapi Gereja
setempat. Teologi yang diajarkan adalah suatu teologi yang sudah jadi, yang dipikirkan secara matang
dalam perkembangan Gereja di Barat. Banyak hal yang bagus dari teologi-teologi ini, tetapi teologi
ini membawa kita ke kontak yang langsun dengan hidup, artinya dengan sejarah, budaya, bahasa
dan dunia umat yang dilayani. Akibatnya refleksi iman para calon hanya dipenuhi dengan
persoalan-persoalan dan hasil-hasil yang telah dicapai di tempat lain (Eropa). Ketika mereka selesai
dengan studi, mereka tidak mampu menghadapi hidup. Khotbah dan katekese mereka tidak dapat
ditangkap umat. Gereja tetap saja dilihat sebagai warisan penjajah. Para pemimpinnya tidak mampu
melihat persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat apalagi mencoba mengarahkannya. Gereja
lepas dari hidup karena hanya tahu menjalankan tugas-tugasnya yang rutin seperti seorang novis yang
hanya tahu ikut aturan. Daya hidup dari dalam dirinya hampir tidak ada. Lalu apa yang sekarang kita
butuhkan?

Yang kita butuhkan adalah suatu teologi dari Indonesia, suatu teologi yang bersumber pada
warisan iman kita dan dibangun dalam dialog dengan sejarah, budaya, bahasa dan dunia umat yang
kita layani. Teologi ini masih harus dibangun, tetapi kita harus memiliki semangat seperti para bapa
Gereja yang memiliki teologi yang sangat pastoral karena berdialog dengan dunianya. Apabila kita
tahu berdialog dengan dunia kita, pasti persoalan-persoalan besar dari pokok-pokok iman kita akan
dibahas pula, tetapi dalam suatu semangat, isi dan bahasa baru. Lalu persoalan-persoalan besar apa
yang dihadapi Gereja di Indonesia sekarang ini yang perlu mendapat refleksi teologis khusus? Kami
sebutkan sejumlah persoalan tanpa suatu pretensi untuk mengemukakannya secara lengkap.

48
Gereja dan sejarah: sejarah Gereja Indonesia tidak bisa lepas dari penjajah dan hal ini
mempunyai dampak besar pada wajah Gereja. Persoalannya: apa-apa saja dampak sejarah penjajahan
pada wajah Gereja Indonesia? Bagaimana seharusnya sikap Gereja? Apa yang harus dilakukan?

Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia melewati suatu sejarah setengah abad yang penuh
pahit getir. Sejarah ini menyimpan dendam, kebencian, saling curiga antar kelompok yang amat
mendalam. Apa yang harus dilakukan Gereja untuk rekonsiliasi bangsa? Bagaimana sebenarnya sikap
Gereja Indonesia pada zaman kekerasan dan kekejaman Orde Baru? Apa yang sebenarnya harus kita
katakan tentang sikap dan tindakan Gereja pada waktu itu?

Gereja dan budaya: bagaimana sikap Gereja terhadap budaya? Seriuskah sikap Gereja?
Mengapa ada kesan sepertinya Gereja merasa tidak aman dan mengambil jarak terhadap budaya?
Apakah ada pertentangan antara iman dan budaya? Apakah Gereja telah menjawab kabar gembira Injil
sesuai dengan warna budayanya?

Iman dan bahasa: unsur budaya yang paling mendasar adalah bahasa. Gereja Indonesia sejak
tahun 1973 secara lantang telah mendengar perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah dalam
bahasanya sendiri (bdk Kis 2: 11) Gereja menpunyai Kitab Suci sendiri dalam bahasa Indonesia.
Sadarkah teologi akan artinya peristiwa besar ini? Bahasa tidak terpisahkan dari pengalaman, dari
alam pikiran dan perasaan. Apa yang telah dilakukan teologi Indonesia untuk menyelidiki hubungan
ini? Bagaimana hubungan antara bahasa dan teologi, bahasa dan pengungkapan iman disadari dalam
teologi?

Beriman di tengah umat yang beragama lain: apakah sudah dikembangkan suatu teologi
tentang persoalan ini? Bagaimana orang kristen harus menghayati imannya di tengah umat yang
beragama lain? Apa hubungan antara universalitas iman Kristen dengan toleransi? Bertentangankah?
Bagaimana harus dihayati?

Demikianlah sejumlah persoalan yang dapat dikemukakan untuk menunjukkan betapa perlunya
membangun suatu kontekstual. Para mahasiswa yang mulai belajar teologi harus menyadari
pentingnya persoalan ini sejak awal. Teologi adalah suatu refleksi iman yang hidup dan teologi harus
membangun iman umat yang dilayatu dan membangun Gereja. Gereja diutus ke dalam dunia meskipun
karena imannya akan Kristus dia bukan dari dunia. Teologi kontekstual merupakan suatu keharusan,
suatu tanggungjawab dalam setiap refleksi iman yang sejati. Untuk menyadari betul-betul perlunya
dan pentingnya hal ini kita perlu kembali ke Kitab Suci untuk melihat bagaimana sebenarnya
pengarang-pengarang suci sudah berteologi kontekstual. Kita mau melihat secara garis besar apa
yang telah mereka lakukan, mengapa dan bagaimana mereka mengerjakan hal itu. Kemampuan
berteologi kita dapat dibina melalui tinjauan semacam ini. Kita mulai dengan Perjanjian Baru karena
mungkin hal ini lebih mudah ditangkap, lalu kembali ke Perjanjian Lama. Sebagai penutup kita akan
bicarakan Teologi Pembebasan sebagai contoh suatu teologi kontekstual dari zaman kita ini.

3. Persoalan-persoalan yang dihadapi Gereja para Rasul


Apabila kita mau melihat persoalan-persoalan yang dihadapi Gereja para Rasul atau Gereja

49
perdana dan bagaimana mereka berteologi, kita perlu membaca Kisah Para Rasul dan surat-surat para
Rasul khususnya St. Paulus. Persoalan-persoalan besar apakah yang mereka hadapi?

Pertama, persoalan hubungan Taurat dan Injil. Hal ini dapat kita lihat khususnya dalam Kis
10-15 dan Ga12: 11-21. Persoalan ini muncul karena ada perbedaan kebudayaan dan adat istiadat
antara Yahudi Kristen dan orang-orang bukan Yahudi yang makin banyak menerima Yesus sebagai
Penyelamat. Bagi orang Yahudi sunat dan sejumlah peraturan tentang haram dan najis merupakan hal
yang sangat suci yang harus dipegang teguh dan tidak boleh dilanggar. Sunat adalah tanda
keanggotaan menjadi umat Allah, tanda ketaatan, tanda perjanjian antara Allah dan Israel (Kej 17).
Sunat adalah tanda keselamatan. Bagi sekelompok pemimpin jemaat (faksi Yakobus) sunat dan
sejumlah peraturan tentang haram dan najis ini harus ditaati pula oleh orang-orang bukan Yahudi
apabila mereka mau menjadi Kristen padahal orang ini tidak mengenal sunat. Sunat menjadi tanda
keselamatan bagi orang Kristen. Pendapat ini ditentang oleh Paulus dan Barnabas. Di mana-mana
mereka menyaksikan pertobatan orang-orang bukan Yahudi. Orang-orang ini telah menerima Roh
Kudus tanpa disunatkan terlebih dahulu. Perselisihan ini kemudian dibawa ke sidang di Yerusalem.
(Kis 15: 1-34; bdk Ga12: 1-10).1 Sidang mengambil keputusan supaya jangan membebankan kepada
orang bukan Yahudi apa yang mereka sendiri tidak dapat pikul. Mereka telah diselamatkan bukan
karena hukum, melainkan oleh karena Tuhan Yesus Kristus (Kis 15: 10-11). Teologi ini diperdalam
oleh Paulus dalam Ga12: 11-21. Yesus telah dihukum mati oleh karena hukum Taurat. Dari sebab itu,
kita bebas dari hukum Taurat apabila kita menerima Kristus. Hidup kita sebagai orang Kristen terletak
dalam persatuan kita dengan Dia (Gal 2: 19-21).

Kedua, persoalan perbedaan antara berita Injil dan pandangan-pandangan yang


terdapat dalam kebudayaan Yunani. Sebelum para murid bertemu dengan kebudayaan Yunani
sebenarnya mereka sudah berjumpa dengan kebudayaan Afrika-Etiopia (Kis 8: 26-40). Sayang Kisah
Para Rasul tidak melanjutkan kisah pertemuan ini.2 Perhatian para murid sepertinya diarahkan hanya
pada dunia Yunani-Romawi yang lebih dikenal pada waktu itu.

Pertemuan dengan kebudayaan Yunani memberi tantangan yang luar biasa kepada para murid.
St. Paulus yang masuk untuk pertama kalinya dalam pusat kebudayaan Yunani di Atena merasakan
hal itu (Kis 17: 16-34). Di pasar-pasar dia mencoba memberitakan Injil tentang Yesus dan
kebangkitanNya, tetapi dianggap sebagai pemberita ajaran dewa-dewa asing dan peleter atau
pembual. Sungguh menyedihkan! Bahasanya tidak ditangkap. Paulus kemudian diajak untuk

1
Tentang hubungan antara Kis 15 dan Gal 2: 1-10, 11-14 masih ada perbedaan pendapat di antara
para ahli. Apakah orang-orang yang disebut dalam Kis 15: 1-2 sama dengan mereka yang dikatakan
Paulus dalam Gal 2: 4-5? Apakah peristiwa yang disebutkan dalam Gal 2: 11-14 terjadi sesudah
sidang di Yerusalem?
2
Bdk. Clarice J. Martin, “A Chamberlain's Journey and the Challenge of Interpretation for Leberation,”
dlm. N.K. Gottwald-R.A. Horsley (ed.), The Bible and Leberation 485-503.

50
berbicara di depan sidang Areopagus. Paulus membuka pewartaannya dengan memuji kesalehan orang
Yunani sebagaimana disaksikannya sendiri dalam peziarahannya keliling kota (ay 22-23). Kemudian
dia menunjukkan pandangan mereka yang keliru tentang Allah yang adalah Pencipta dan Tuhan atas
segala sesuatu (ay 24-25). Paulus menegaskan hal itu karena menurut pendapatnya kita semua adalah
saudara. Kita diciptakan dari satu orang. Meskipun kita berbeda bangsa dan tempat, kita semua
sebenarnya mencari Allah yang sama yang sangat dekat dengan kita (ay 26-28). Akan tetapi, dalam
mencari Allah ini ada yang keliru dengan menyembah berhala (ay 29). Lalu apa yang dilakukan Allah?
Dia mengambil inisiatif dan memberitakan kepada manusia bagaimana mereka harus menyembahNya
dan itulah yang mau diwartakannya sekarang. Manakah kehendak Allah itu? Dia menentukan supaya
keselamatan itu terjadi melalui seorang yang telah dibangkitkanNya dari orang mati (ay 30-3 1).

Pewartaan Paulus ini dari sudut teologi Kristen ini harus diakui luar biasa. Dia telah menarik
garis pertemuan antara iman Kristen dan kepercayaan orang Yunani, tetapi sekaligus menunjukkan
kebaruan iman ini sebagai suatu wahyu yang berasal dari atas dan yang berpusat pada misteri wafat
dan kebangkitan Kristus. Lalu bagaimana reaksi para pendengarnya? Kebanyakan mengejek Paulus
dan berkata: “Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu”. (ay 32). Injil tentang
kebangkitan orang mati yang masuk dalam suatu hidup baru dengan jiwa dan badannya sulit sekali
diterima oleh orang Yunani. Mereka melihat pandangan semacam itu sebagai suatu kebodohan. Hal
itu dialami pula oleh St. Paulus di Korintus, suatu kota pusat kebudayaan Yunani yang lain (1 Kor
1: 18-2: 5). Penolakan yang gigih dari orang Yunani terhadap Injil tentang kebangkitan memperdalam
iman Paulus. Dia berjuang untuk menemukan bahasa yang dapat dimengerti oleh para pendengarnya
(bdk 1 Kor 15: 35-58).

Kedua persoalan besar yang dihadapi Gereja perdana ini memperlihatkan bahwa sudah sejak
awal pewartaan Injil itu menghadapi tantangan dalam. menghadapi kebudayaan, kepercayaan dan
situasi baru. Tanpa suatu teologi yang benar-benar dapat menjawab persoalan-persoalan tersebut Injil
tidak mungkin berkembang dan diterima oleh lebih banyak orang. Untuk mendalami persoalan ini
lebih lanjut kita sekarang melihat secara lebih mendalam teologi Paulus dalam mengembangkan iman
jemaat pada zamannya. Dialah mungkin teolog yang paling besar dalam awal Gereja.

4. Paulus sebagai pembangun suatu jemaat multikutural

Surat-surat kerasulan ditulis untuk menjawab persoalan-persoalan iman yang dihadapi oleh
jemaat jemaat perdana. Dari surat-surat ini kita dapat membaca persoalan-nersoalan ana yang mereka
hadapi dan bagaimana para penulisnya menjawab persoalan itu dalam iman. Setiap surat mempunyai
teologinya sendiri-sendiri. Setiap surat merupakan teologi kontekstual.

Untuk memahami dengan lebih baik persoalan yang dihadapi jemaah perdana kita perlu mengenal
situasi sosial politik, ekonomi, kebudayaan dan keagamaan dari kekaisaran Roma yang menguasai seluruh
wilayah Laut Tengah pada zaman itu.3

3
Bdk misalnya John Manfred Prior, “Unsur Kebaruan dalam Eyangelisasi Apostolik” dalam A. S.
Hadiwiyata (ed). Eyangelisasi Baru dan Kerasulan Kitab Suci, 46-56, 65-73.

51
Baiklah di sini kita mencatat cukup dua hal pokok. Pertama, Roma melakukan suatu politik
persatuan dan kesatuan yang tegas. Politik yang dijalankan Roma ini sebenarnya adalah suatu
politik kekuasaan atau politik keamanan dan stabilitas kekaisaran karena tujuannya hanyalah untuk
mempertahankan kekuasaan. Maklum, daerah kekaisaran Roma memang sangat luas dan terdiri atas
orang-orang dari berbagai suku bangsa, budaya, bahasa dan agama. Lalu apa yang dilakukan Roma?
Kekuasaan kota-kota dan wilayah-wilayah diberi kebebasan yang cukup besar, tetapi sebagai gantinya
mereka harus memberi dukungan ekonomi dan militer. Sebagai imbalan atas kesetiaan mereka Roma
membuka jalan-jalan raya serta menjamin keamanan dan stabilitas. Penghormatan kepada Kaisar
memainkan peranan yang tidak kecil pula dalam menjamin persatuan dan kesatuan di seluruh wilayah
kekaisaran Roma. Kedua, ada kesenjangan besar antara kelompok yang berkuasa yang tentu saja
kaya dengan rakyat biasa. Perbudakan yang mengerikan dikenal luas dan perempuan tidak dianggap.

Apa tanggapan Paulus terhadap situasi ini dalam pewartaannya? Tentu saja tidak secara
langsung karena surat-suratnya merupakan jawaban terhadap persoalan-yersoalan yang dihadapi
umat. Akan tetapi, dari teologinya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Paulus melihat komunitas
Kristen harus menjadi komunitas multikultural. Hal ini tampak secara jelas dari pernyataan yang
terkenal dalam Gal 3: 28. Karena kita semua telah dibaptis dalam Kristus, maka “tidak ada orang
Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan,
karena semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Dengan pernyataan ini Paulus mau menegaskan
bahwa dalam komunitas Kristen tidak boleh lagi ada pembedaan yang saling mengecualikan, meren-
dahkan ataupun menindas. Yang ditolak Paulus ialah pembedaan kultural bukan perbedaannya.
Paulus sendiri karena semangat Injilnya selalu menyesuaikan diri dengan semua orang yang
dihadapinya menurut situasi sosial, keyakinan dan kebudayaannya (bdk 1 Kor 9: 19-23). Suatu jemaat
yang terbuka yang mau merangkul setiap orang dalam perbedaannya, itulah yang diwartakan dan mau
dibangun Paulus sebab baginya “bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi
ciptaan baru, itulah yang ada artinya”. (Ga16: 15).4

Tentang hal perbudakan surat-surat kerasulan membicarakannya beberapa kali (1 Kor 7:


20-24; Ef 6: 5; Kol 3: 22; 1 Tim 6: 1-2; Tit 2: 9-10; 1 Ptr 2: 18-25). Hal ini memang wajar karena
kebanyakan murid dalam Gereja perdana berasal dari orang biasa (bdk 1 Kor 1: 25 - 2: 5) dan banyak
dari mereka adalah budak. Mereka sungguh telah menemukan dalam diri Yesus yang tersalib seorang
dari antara mereka sendiri. Sikap para murid kelihatannya mendua, tetapi tidaklah demikian halnya
dengan St. Paulus.5 Berulang-ulang dalam surat-suratnya Paulus menekankan kemerdekaan kita dalam
Kristus. Persoalannya adalah kemerdekaan dalam arti apa? Hanya kemerdekaan dari kuasa dosa dan
hukum Taurat ataukah mempunyai buah politik dan sosialnya khususnya bagi para budak? Memang
terjemahan dan makna dari 1 Kor 7: 20-24 masih menjadi perdebatan di antara para ahli. Akan tetapi,
pandangan Paulus tentang perbudakan seperti yang terungkap dalam suratnya kepada Filemon tidak

4
Bdk John K. Riches, “‘Neither Jew nor Greek’ : The Challenge of Building One Multicultural Religious
Community”, Concilium 1995/1, 36-44.
5
Bdk Amos Jones, “Paul's Message of Freedom”, dalam N.K. Gottwald-R.A. Horsley, op.cit.,
504-530.

52
dapat diragukan lagi. Filemon hendaknya menerima Onesimus “bukan lagi sebagai budak, melainkan
lebih daripada budak, yaitu sebagai saudara seiman yang terkasih; bagiku sudah demikian, apalagi
bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan” (ay 16).

Banyak perempuan dalam Gereja perdana terlibat secara aktif dalam pewartaan Injil dan ada
yang bahkan memimpin jemaah setempat (bdk Kis 18: 2-3, 24-28; Rm 16: 3-4,7,15). Perempuan
dapat bernubuat dalam jemaah yang sedang beribadah hanya kepalanya harus tertudung (1 Kor 11:
5). Hal ini kiranya sesuai dengan adat istiadat waktu itu. Ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dan hal ini harus tetap dijaga (l Kor 11: 2-16). Akan tetapi, di hadapan Tuhan martabatnya
sama, sebab “tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab
sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan, dan
segala sesuatu berasal dari Allah”. (ay 11-12). Mengherankan bahwa dalam 1 Kor 15: 34-35 Paulus
melarang perempuan untuk berbicara dalam jemaah. Kita tidak tahu persis apa alasannya Paulus
berkata demikian. Ada kemungkinan dia mendapat tekanan dari jemaat-jemaat lain yang tidak
mempunyai kebiasaan seperti di Korintus di mana perempuan berbicara dalam jemaat.

Dari contoh-contoh di atas kita dapat melihat bahwa teologi Paulus adalah teologi yang
benar-benar demi pembangunan iman jemaat. Dia menanggapi secara langsung persoalan-persoalan
yang ada dalam jemaat tetapi persoalan-persoalan ini bukan tanpa hubungannya dengan dunia zaman
itu. Komunitas Kristen ada dalam dunia dan Paulus mau membangun suatu komunitas alternatif.

Teologi kontekstual Paulus ini tidak hanya tampak dalam persoalan-persoalan besar yang
ditanggapinya, tetapi juga dari perbandingan perbandingan yang digunakan. Perbandingannya tentang
Gereja sebagai suatu tubuh (1 Kor 12) sebenarnya berilham pada perbandingan yang digunakan dalam
dunia politik Yunani. Dalam 1 Kor 9: 24-27 dia menggunakan gambaran yang diambil dari dunia oleh
raga (bdk pula Fil 2: 16; 3: 14). Paulus tahu menggunakan bahasa kebudayaan Yunani untuk
menerangkan misteri-misteri iman kita dan rahasia hidup kristen. Memang dia adalah seorang teolog
yang besar.

5. Teologi kontekstual pada keempat Injil

Apakah ada teologi kontekstual pada keempat Injil? Ada, tetapi lebih sulit untuk dilihat dan
dijelaskan bagi khususnya orang yang baru mulai belajar teologi. Hal ini disebabkan karena kita kerap
mendengar Injil sepotong-sepotong dan karenanya mendapat kesan sepertinya sama saja dan sudah
diketahui. Kita belum membaca keempat Injil itu masing-masing dari awal sampai akhir apalagi
membandingkannya satu sama lain. Berikut kami berikan beberapa data yang mencolok tentang
perbedaannya untuk memperlihatkan bahwa di balik semuanya itu mesti ada konteksnya.

Ada persarnaan yang sangat mendasar antara Mateus, Markus, Lukas dan Yohanes, tetapi ada
pula perbedaan yang cukup mencolok antara keempatnya. Perbedaan yang paling kentara ialah dalam
hal bahasa dan persoalan yang dibicarakan. Gaya bahasa dan kosa kata yang digunakan Yesus dalam
Yohanes lain sama sekali dari Injil-injil sinoptik. Yesus dalam Yohanes suka menggunakan kata-kata
yang mendua yang bisa mempunyai lebih dari satu arti sehingga sangat kerap disalahartikan oleh

53
pendengarnya. Yesus juga suka menggunakan kata-kata dan gagasan yang berlawanan artinya seperti
turun-naik, datang-pergi, dari dunia-bukan dari dunia. Bahasanya juga cukup abstrak,
mengulang-ulang dan kerap hubungannya tidak jelas. Bahasa semacam ini sama sekali tidak kita
temukan pada sinoptik. Kita sepertinya berhadapan dengan Yesus yang lain! Dari mana semuanya ini?
Apakah benar Yesus menggunakan dua bahasa yang berbeda untuk pendengar yang sama? Belum lagi
kita melihat persoalan yang menjadi perhatian khusus Injil Yohanes. Berulang-ulang dalam injil ini kita
mendengar Yesus berbicara tentang diriNya sendiri dan hubunganNya dengan BapaNya. Mengapa
hal ini begitu ditekankan di sini sedang dalam injil-injil sinoptik hampir tidak ada? Ada apa?
Perbedaan-perbedaan dan persoalan-persoalan ini menunjukkan bahwa Injil Yohanes pasti ditulis
dalam konteks yang sama sekali berbeda dengan keprihatinan teologis yang berbeda pula. Penginjil
telah berteologi secara kontekstual untuk menyampaikan misteri yang sama yakni misteri Tuhan kita
Yesus Kristus dan maknanya bagi hidup kita.

Sedikit lebih sulit menjelaskan adanya teologi kontekstual pada ketiga injil sinoptik. Rasanya
ketiga-tiganya sama saja, tetapi itu sama sekali tidak benar. Memang ada persamaan besar antara
ketiganya, tetapi perbedaannya juga cukup besar khususnya dalam hal keprihatinan teologisnya.
Adanya keprihatinan teologis khusus ini tidak dapat langsung dilihat. Orang perlu mempelajari
masing-masing injil dan membandingkannya satu sama lain. Lukas sendiri menyatakan pada
pembukaan injilnya bahwa dia mempunyai keprihatinan yang khusus dalam menyusun bahan-bahannya
(Luk 1: 1-4). Apa keprihatinan teologisnya tidak dikatakan, tetapi akan makin jelas kalau kita
membaca injil ini dan membandingkannya dengan kedua injil sinoptik yang lain. Lukisannya tentang
Yesus berbeda. Teologi semacam ini mesti ada konteksnya, tetapi juga kiranya tidak lepas dari
kesibukan iman, kepnbadian dan perhatian penulisnya. Kiranya sudah sedikit jelas dari uraian singkat
ini bahwa teologi kontekstual terdapat pula dalam keempat injil meskipun sulit diperlihatkan daripada
surat-surat para Rasul.

6. Teologi kontekstual dalam Perjanjian Lama

Jauh sebelum Perjanjian Baru teologi kontekstual sudah dikerjakan oleh pengarang-pengarang
Perjanjian Lama.6 Memang memperlihatkan semuanya ini jauh lebih sulit lagi karena periode yang
diliput panjang sekali (kurang lebih 1500 tahun) dan buku-buku Perjanjian Lama tebal-tebal serta
proses terjadinya untuk sebahagian buku-bukunya panjang dan rumit. Untuk melihat semuanya ini kita
perlu memahami sejumlah perubahan besar dan menentukan dalam sejarah Perjanjian Lama.
Periode-periode sejarah Israel itu dapat dibagi sebagai berikut: 1) periode awal mula atau masa
pembentuk Israel sebelum munculnya sistem kerajaan (sampai menjelang akhir abad ke 11 SM);
2) periode kerajaan (akhir abad ke 11 sampai tahun 586 SM) Inilah periode nabi-nabi besar dan
termasuk periode yang paling penuh pergolakan dalam sejarah Israel karena Israel mau
mempertahankan diri menghadapi kekuasaan-kekuasaan adidaya zaman itu; 3) periode pembuangan
Babel (586-538 SM): Israel memasuki suatu zaman yang sama sekali baru karena kehilangan segala

6
Bdk. B.A. Pareira, “Evangelisasi Baru dalam Perjanjian Lama”, dlm A.S. Hadiwiyata (ed),
op.cit, 21-43

54
identitasnya sebagai bangsa, terbuang di Babel dan tercerai di antara bangsa-bangsa; 4) periode
sesudah pembuangan atau periode pemulihan kembali (538-332 SM): orang-orang buangan boleh
kembali ke Palestina membangun kembali apa yang sudah hancur, tetapi mereka tetap di bawah
kekuasaan asing yakni Persia; 5) periode Yudaisme (332-63 SM): merupakan perkembangan dari
periode sebelumnya, tetapi Israel dapat dikatakan memasuki suatu periode yang sama sekali baru
karena mereka berada di bawah kekuasaan dan pengaruh kebudayaan Yunani yang berasal dari Barat
dan berbeda dengan kebudayaan Semit. Nah, dalam konteks perubahan-perubahan besar inilah muncul
teolog-teolog yang berteologi secara kontekstual untuk membangun iman umat Israel. Kami akan
memperlihatkan satu dua contoh dari teologi-teologi tersebut.

Iman dasar Israel yang berulang-ulang diungkapkan dalam Perjanjian Lama ialah bahwa Allah
telah membebaskan mereka dari perbudakan Mesir. Nama Allah mereka ialah YAHWEH (Orang
Yahudi membacanya Adonai). Iman semacam ini adalah khas Israel. Tuhan menyatakan diri melalui
peristiwa sejarah. Nama Allah mereka digandengkan dengan peristiwa dalam hidup mereka sebagai
suatu kelompok. Dari sinilah mereka mengakui pula Allah sebagai yang membimbing mereka melalui
padang gurun. Allah Israel adalah Allah sejarah. Iman ini berbeda sekali dengan kepercayaan
penduduk yang menetap dan bertani atau berladang. Kepercayaan mereka Allah selalu berhubungan
dengan alam, dengan hujan dan badai, dengan kesuburan tanah, dengan alam raya. Tuhan dipandang
sebagai tinggal di suatu tempat. Allah dihubungkan dengan suatu tempat. Sangat menarik bahwa
dalam Perjanjian Lama iman akan Yahweh ini di beberapa tempat dihubungkan dengan kepercayaan
akan Allah yang berhubungan dengan alam dan tempat. Kita lihat misalnya Mzm 29, TUHAN dalam
mazmur ini diagungkan sebagai Allah yang menguasai badai sehingga harus diberi pujian dan hormat
di baitNya yang kudus di Yerusalem. Jelas sekali bahwa di sini kita menjumpai suatu teologi baru
tentang Yahweh. Dia bukan hanya Allah yang membebaskan Israel dari perbudakan Mesir tetapi Allah
yang menguasai alam dan berdiam di suatu tempat. Teologi semacam ini pasti lahir dalam konteks
orang yang tinggal menetap dan membangun iman umat yang berhadapan dengan kepercayaan akan
allah-allah yang menguasai alam raya dan berdiam di suatu tempat. Dalam Mzm 46: 3 ada suatu
pernyataan yang sangat menarik tentang letaknya gunung Sion. Gunung Tuhan ini terletak “jauh di
sebelah utara”. Pernyataan ini pasti membingungkan setiap pembaca yang tahu geografi. Sion tidak
terletak jauh di sebelah utara Palestina, tetapi persis di tengahnya. Pernyataan tersebut mempunyai
latar belakang mistis. Para dewa dikatakan tinggal jauh di sebelah utara, di pegunungan yang tinggi
tempat ada sumber airnya. Kepercayaan ini diambil alih dan dikatakan tentang gunung Sion, tempat
bait suci berdiri. Di sanalah Tuhan bersemayam. TUHAN diimani sebagai “yang bersemayam di Sion”
(Mzm 9: 12).

Israel di pembuangan Babel mengalami kegoncangan iman yang besar. Di manakah Allah yang
membimbing nenek moyang mereka keluar dari perbudakan Mesir? Di manakah Allah yang berdiam
di Sion? Yerusalem telah rata dengan tanah dan bait sucinya dihancurkan. Di manakah Allah? Orang
yang percaya bahwa Tuhan terikat kepada suatu tempat pasti mengalami kegoncangan iman yang
besar, tetapi tidak demikian halnya dengan orang yang percaya pada Allah dan sejarah. Nah, di tengah
kegoncangan iman yang besar inilah Tuhan membangkitkan nabi-nabiNya yang besar di pembuangan
yakni Yehezkiel dan seorang nabi yang tidak dikenal yang disebut Deutero-Yesaya (=Yesaya II)
karena pewartaannya (Yes 40-55) digandengkan dengan pemula untuk membaca

55
pewartaan-pewartaan yang menggetarkan ini. Berulang-ulang dalam pewartaannya nabi ini
menekankan bahwa hanya TUHAN-lah yang menguasai sejarah dan hanya Dialah Allah Pencipta langit
dan buini. Hal ini dengan sangat kuat ditegaskan dalam Yes 45: 15-25, Penegasan yang begini kuat
hanya mungkin dimengerti dalam konteks pembuangan di mana orang-orang buangan yang
menghadapi kekuasaan Babel merasa diri begitu kecil dan TUHANnya sebagai Allah yang tak
berdaya. Teologi nabi Deutero-Yesaya adalah benar-benar suatu teologi kontekstual yang
membangun harus membangkitkan iman orang yang sudah putus harapan (bdk Yes 40: 12-3 1).
Tidaklah mengherankan bahwa pewartaan Deutero-Yesaya banyak digunakan oleh Gereja dalam masa
Adven.

Umat Allah yang tercerai berai di antara bangsa-bangsa (diaspora) setelah pembuangan
menghadapi banyak tantangan. Bahaya kehilangan iman sangat besar. Tentu saja hal ini menjadi
keprihatinan para teolog mereka. Muncullah teologi-teologi yang sangat menekankan identitas Israel
sebagai umat Allah. Hukum Musa khususnya hal-hal yang menyangkut ibadat dan yang menjamin
identitas mereka secara lahiriah mendapat tempat yang sentral dalam hidup keagamaan. Perkawinan
campur dilarang keras dan sunat menjadi tanda perjanjian dengan Allah, tanda kesetiaan dan ketaatan
keluarga kepada Allah. Israel adalah bangsa terpilih, yang harus hidup terpisah dari umat yang lain.
Israel menjadi kelompok ekslusif dan tertutup yang terpisah dari kelompok-kelompok yang lain.
Teologi ini dibangun untuk mempertahankan iman umat Allah yang hidup sebagai kelompok kecil di
antara bangsa-bangsa. Teologi ini sangat kuat terungkap dalam kitab-kitab Ezra dan Nehemia.
Bagaimanapun tertutupnya teologi ini, teologi ini tetap merupakan teologi kontekstual karena
menjawab kebutuhan zaman dan membangun iman umat. Teologi yang tertutup ini tidak dianut oleh
semua teolog sesudah pembuangan. Pandangan yang sangat berbeda terungkap dalam kitab Yunus
dan Rut. Tuhan bukan hanya Allah Israel, melainkan pula Allah bangsa-bangsa. Ini berarti bahwa Dia
adalah juga Allah yang murah hati kepada bangsa-bangsa lain yang bertobat bahkan terhadap bangsa
yang pernah memperlakukan Israel secara kejam seperti bangsa Asyur.7 Kemuliaan hati, keberanian
dan iman yang mendalam tidak hanya terdapat pada orang Israel. Rut, perempuan Moab,
memperlihatkan hal itu. Teologi semacam ini kiranya lahir dari tuntutan zaman. Israel tidak boleh
menjadi sempit imannya dan dengan demikian menyempitkan Allah.

Demikianlah satu dua contoh teologi kontekstual yang lahir dalam lintasan sejarah Israel.
Apabila kita memperhatikan sungguh-sungguh contoh-contoh yang diberikan di atas, kita dapat
melihat perkembangan teologi yang cukup mencolok dari zaman ke zaman. Teologi Israel
berkembang sesuai dengan zamannya sehingga kita dapat mengatakan ada banyak teologi kontekstual
dalam Perjanjian Lama. Memang setiap perubahan zaman dan tempat menuntut orang berteologi
secara baru.

7. Teologi Pembebasan Amerika Latin.

Salah satu buah terbesar dari Konsili Vatikan II ialah lahirnya Gereja-gereja Asia, Afrika dan
Amerika Latin. Gereja-gereja lokal di wilayah-wilayah ini mulai sadar bahwa mereka harus

7
Bdk B.A. Pareira, “Yunus dan kerahiman Allah”, Rohani 46/3 (1999), 97-102.

56
menampakkan wajah Gereja menurut budayanya, latar belakang sejarah dan situasinya masing-masing
dan dengan demikian memberi sumbangan yang berharga tentang keuniversalan Gereja. Akan tetapi,
pembangunan Gereja dengan wajah Asia dan sebagainya tidak mungkin terjadi tanpa teologi. Sejarah
membuktikan hal itu. Dari sebab itu, muncul pembicaraan tentang teologi kontekstual di mana-mana.
Muncul sejumlah teologi kontekstual yang baru, tetapi yang paling berpengaruh dan terkenal dari
semuanya ialah teologi(-teologi) pembebasan Amerika Latin. Kita perlu membicarakan teologi ini
secara sepintas karena tidak ada teologi di zaman modern ini yang begitu banyak ditanggapi seperti
Teologi Pembebasan dan karena pengaruhnya juga sampai di Asia.

Teologi Pembebasan lahir menjelang akhir dasawarsa 1960an dari suatu keprihatinan
teologis atas situasi Gereja di Amerika Latin.8 Tokoh-tokohnya yang terkenal ialah Gustavo
Gutierrez, Leonardo Boff, Clodofis Boff, Juan Luis Segundo, Jon Sobrino. Sebahagian terbesar
rakyat Amerika Latin adalah orang-orang kecil yang tertindas sebagai dampak dari penjajahan dan
sistem ekonomi dunia yang dikuasai oleh negara-negara Barat. Gereja memiliki banyak harta sebagai
warisan penjajahan dan keterkaitannya dengan kekuasaan. Muncullah pertanyaan: bagaimana
membangun Gereja dalam konteks semacam ini?

Teologi Pembebasan menjawab bahwa untuk membangun Gereja Amerika Latin dibutuhkan
suatu metode berteologi yang baru. Teologi akademis sebagaimana yang diwariskan dari Barat
tidak dapat menjawab persoalan Gereja Amerika Latin. Teologi ini terlalu abstrak karena bergerak
dari atas, dari gagasan-gagasan umum yang berkembang dalam suatu budaya tertentu. Teologi yang
baru ini harus bertitik-tolak dari praktik atau dari hidup, pengalaman dan situasi orang-orang yang
tertindas dan kembali ke praktik demi pembebasan orang-orang yang tertindas. Metode berteologi
yang baru ini disebut Teologi Pembebasan.

Teologi Pembebasan adalah suatu refleksi kritis atas praktek atau atas situasi orang yang
tertindas. Bagaimana seorang teolog bisa mengadakan refleksi kritis atas situasi ini yang bukan
merupakan bidangnya? Pertama, harus meminta bantuan ilmu-ilmu sosial yang mengadakan analisis
kritis atas situasi sosial, politik, ekonomi dan keagamaan orang-orang yang tertindas. Mitra dialog teologi
dalam metode ini bukan lagi dengan filsafat, melainkan dengan ilmu-ilmu sosial. Dari merekalah kita
dapat mengetahui persoalan-persoalan besar yang dihadapi oleh orang-orang yang tertindas. Kedua,
dengan melaksanakan kebenaran artinya memiliki suatu daya hidup dan kekuatan yang menyatu atau
dekat dengan orang-orang kecil. Teologi pembebasan harus lahir dari suatu pengalaman yang hidup dan
kembali ke pengalaman.

Tahap berikutnya ialah mengadakan refleksi kritis atas situasi sosial yang telah dianalisis tadi
dalam terang Kitab Suci dan Tradisi. Timbullah persoalan bagaimana Kitab Suci itu harus ditafsirkan
dalam metode berteologi ini? Para teolog pembebasan berbeda pendapat dalam hal ini, tetapi pada
intinya mereka lebih melihat Kitab Suci sebagai cermin untuk menafsirkan kehidupan dan bukan
sebagai jendela untuk melihat masa lalu. Kitab Suci mempunyai kedudukan yang sangat sentral dalam
Teologi Pembebasan. Subjek pertama penafsir Kitab Suci ialah jemaah dan di sini adalah jemaah

8
Bdk Peter C. Phan, “Method in Liberation Theologies”, Theological Studies 61 (2000), 41-63.

57
orang-orang tertindas yang membentuk umat basis.
Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangan yang tidak kecil untuk pembaharuan Gereja
Amerika Latin pasca Konsili Vatikan II. Wajah Gereja banyak berubah dan menjadi lebih dinamis
memperjuangkan keadilan dan perdamaian. Ada yang dibunuh karena imannya dan salah seorang yang
terkenal ialah Uskup Romero. Karya-karya teologis para teolog pembebasan kiranya perlu dibaca agar
kita dapat belajar bagaimana berteologi dan membangun Gereja.

8. Penutup.

Apa yang dapat kita simpulkan dari tinjauan singkat ini tentang teologi kontekstual? Kita
memulai tinjauan kita tentang teologi kontektual ini dengan melihat Kitab Suci. Ada banyak teologi
kontekstual dalam Kitab Suci. Kita dapat menyebut kitab ini sebagai suatu kumpulan teologi-teologi
kontekstual. Hanya ada satu iman tetapi iman ini terus-menerus direnungkan karena ada
situasi-situasi baru yang membawa persoalan-persoalan baru. Situasi-situasi baru ini perlu ditanggapi
secara teologis untuk membangun iman umat jemaat. Perlu ada bahasa baru dan bisa pula metode
baru dalam berteologi. Teologi dan jemaat, teologi dan budaya, teologi dan bahasa, teologi dan
persoalan-persoalan sosial-politik-ekonomi dan perubahan-perubahan besar yang disebabkan oleh
kemajuan teknologi seperti pada zaman kita ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tidak mungkin
ada teologi kontekstual apabila tidak ada keprihatinan terhadap pengembangan iman umat.

Bagaimana kita harus berteologi atau belaiar teologi dalam masa pendidikan? Kita
belajar teologi dan para dosen, tetapi kita juga belajar sendiri. Pembentukan seseorang menjadi teolog
(dan setiap kita harus menjadi teolog!) bergantung banyak dari proses pembelajaran yang terjadi di
suatu sekolah dan dari dosen-dosennya. Banyak hal bisa gagal kalau para dosennya kurang berteologi
secara kontekstual serta kurikulum dan silabusnya kurang kontekstual pula. Dari sebab itu, seorang
mahasiswa harus belajar melengkapi yang kurang dengan giat belajar sendiri dan berdiskusi dengan
kawan-kawan tentang persoalan-persoalan besar yang dihadapi masyarakat dan Gereja.
Contoh-contohnya telah kami sebutkan di atas. Tidak perlu ditegaskan di sini bahwa orang harus
belajar banyak membaca.

Belajar menginkulturasikan Injil harus dimulai seiak masa pendidikan. Kita belum memahami
apa yang dikatakan oleh Kitab Suci kalau kita belum tahu menghubungkannya dengan hidup dan
dunia kita. Kita harus tahu membahasakannya dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh pendengar
agar mereka dapat membaca hidup mereka dengan pertolongan Kitab Suci. Kita harus mengerti
nilai-nilai yang dihayati oleh para pendengar kita dan bagaimana mereka mengungkapkan nilai-nilai
tersebut. Belajar teologi itu baru menjadi suatu kegairahan kalau dijiwai oleh kasih kepada Allah dan
kepada Gereja.

58
BAB VI
TEOLOGI DAN CABANG-CABANGNYA

Teologi itu karya iman, ilmu iman dan ilmu serta tugas kegerejaan. Dalam arti ini teologi itu
satu. Akan tetapi, dalam kenyataannya kita melihat ada banyak mata kuliah teologi atau cabang
teologi. Timbullah pertanyaan mengapa ada pembagian dalam cabang-cabang teologi, bagaimana
teologi itu dibagi dan apa dasarnya, apa tugas dan metode masing-masing cabang, bagaimana
hubungan antar cabang-cabang teologi itu satu sama lain dan di mana terletak atau harus dicari
kesatuannya. Itulah persoalan-persoalan yang akan kita bicarakan dalam bab ini.

1. Mengapa ada pembagian dalam cabang-cabang teologi

Setiap ilmu mengenal pembagian dalam cabang-cabang atau jurusan. Ada fakultas, ada
jurusan. Tidak mungkin pada zaman kita ini ada ilmu tanpa pembagian dalam jurusan-jurusan. Perlu
ada pendalaman khusus dari suatu bidang dalam rangka pengertian keseluruhan. Demikian pula halnya
dengan teologi. Pembagian teologi dalam cabang-cabang dituntut karena hal-hal berikut:

Pertama, karena luasnya dan dalamnya misteri keselamatan yang disampaikan Allah kepada kita. Jadi
pembagian ini diadakan supaya orang lebih mudah mendalami misteri-misteri iman dalam rangka
keseluruhan. Pembagian ini mempunyai alasan pedagogis.

Kedua, karena munculnya persoalan-persoalan baru yang membutuhkan penanganan secara khusus
dalam rangka keseluruhan. Gereja yang mencari persatuan antar umat kristen misalnya
menuntut adanya teologi ekumenisme yang secara khusus mempelajari refleksi iman saudara-saudara
kita yang terpisah dari Gereja Katolik dan dengan itu secara lebih baik membina sikap ekumenis. Studi
khusus tentang teologi bapa-bapa Gereja antara lain disebabkan munculnya persoalan inkulturasi Injil.

Dari alasan-alasan ini dapat dilihat bahwa pembagian tersebut tidaklah didasarkan pada teologi
sebagai teologi. Teologi itu satu. Hal ini perlu sungguh-sungguh disadari supaya kita tidak kehilangan
arah baik dalam studi teologi maupun dalam berteologi.

2. Pengelompokan cabang-cabang teologi dan nilainya.

Pengelompokan dan urutan cabang-cabang teologi itu dapat dilihat dari beberapa sudut.1 Di
sini cabang-cabang teologi itu kami kelompokkan menurut dimensi dan fungsinya yang lebih
menonjol:

1
Bdk. R. Latourelle, 99-100; G. Ebeling, The Study of Theology, 1979, 9-11.

59
Pertama, cabang-cabang teologi sumber, yakni cabang-cabang teologi yang mengkhususkan
diri dalam mendalami sumber teologi, tafsiran-tafsiran iman di masa lampau dan penghayatannya
dalam pergolakan sejarah. Dalam cabang-cabang ini dimensi kembali ke sumber dan pendalaman
masa lampau dari teologi lebih mendapat tekanan. Termasuk kelompok ini ialah:
1. Eksegese
2. Patrologi
3. Sejarah Gereja

Kedua, cabang-cabang teologi sistematis yakni cabang-cabang teologi yang mengkhususkan


diri dalam mencari sintesis dari kebenaran-kebenaran iman dan konsekuensinya dalam penghayatan.
Juga termasuk dalam kelompok ini cabang teologi yang mempertanggungjawabkan dasar-dasar iman
Gereja. Termasuk kelompok ini adalah: 1. Teologi Fundamental
2. Dogmatik
3. Teologi Moral

Ketiga, cabang-cabang teologi praktis (atau terapan) yakni cabang-cabang teologi yang
secara khusus memikirkan dan mendalami segala persoalan yang berhubungan dengan pewartaan,
perayaan, penghayatan dan pastoral iman Gereja dalam konteks Gereja sekarang dan memberikan
pengarahan kepadanya.2 Termasuk kelompok ini adalah: 1. Teologi Pastoral
2. Misiologi
3. Teologi Ekumenisme
4. Liturgi
5. Kateketik-Homiletik
6. Teologi Spiritualis
7. Ajaran Sosial Gereja
8. Hukum Gereja

Perlu diperhatikan bahwa pengelompokan ini sama sekali tidak menyangkut soal berteologi.
Dari sebab itu, kami mempergunakan istilah “mengkhususkan”. Setiap cabang teologi mempunyai
dimensi kembali ke sumber (Bab III), sistematis (Bab IV) dan pastoral (Bab V) dengan kedalaman
yang berbeda-beda. Hal itu akan kita lihat di bawah.

3. Cabang-cabang Teologi Sumber

3.1. Eksegese
Kitab Suci adalah buku iman Gereja, sumber utama dan unsur penggerak dan penghidup dari
seluruh teologi (bdk. Bab II.1). Kitab Suci adalah suatu buku yang sukar. Dari sebab itu, perlu
ilmu-ilmu yang mempelajari kitab ini secara khusus.3

2
Tentang persoalan teologi praktis, bdk. ibid., 109-124.

3
Bdk. B.A Pareira, Pengantar Umum Perjanjian Lama (Malang: STFT Widya Sasana 1978),
Bab I, a-e.

60
Tujuan eksegese ialah mencari pengertian atau pemahaman yang lebih mendalam tentang isi
dan pesan Kitab Suci untuk hidup Gereja (Bdk. Dei Verbum, 23). Untuk itu Kitab Suci perlu ditaf-
sirkan menurut kenyataannya sebagai buku kesusastraan, sejarah dan iman (bdk. Dei Verbum, 12,
tentang bagaimana Kitab Suci harus ditafsirkan). Agar dapat menjalankan tugasnya ini dengan lebih
baik, eksegese membutuhkan pertolongan ilmu-ilmu lain seperti ilmu bahasa, sejarah dan refleksi
filsafat.4

Tidak dapat dipisahkan dari eksegese ialah teologi alkitabiah. Sang ekseget baru selesai
dengan tugasnya apabila ia mengadakan suatu refleksi teologi-biblis. Teologi-alkitabiah mencari suatu
sintese, suatu susunan yang organis dari kesaksian-kesaksian Kitab Suci tentang Allah dan
kehendakNya serta reaksi-reaksi manusia terhadap karya-karya tersebut baik secara keseluruhan
maupun sebagian misalnya dari salah seorang pengarang, dari suatu sekolah atau tradisi. Tidak mudah
mencari apa yang disebut “pusat” dari Perjanjian Lama, atau salah satu buku. Ada banyak teologi
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Teologi alkitabiah bukanlah teologi dogmatik atau moral karena sintesenya tetap memperhatikan
sifat-sifat sejarah teks dan wahyu serta tetap memakai bahasa alkitabiah. Teologi alkitabiah bukanlah
teologi dogmatik atau moral juga karena tidak secara eksplisit berdialog dengan persoalan-persoalan masa
kini atau dengan tradisi-tradisi teologis yang pernah muncul dalam sejarah dan masih mempunyai
pengaruh dalam Gereja. Akan tetapi, eksegese dan teologi alkitabiah harus tetap dijalankan dalam dialog
dan keterbukaan terhadap pertanyaan-pertanyaan dan persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh teologi
bapa-bapa Gereja, dogmatik, moral dan fundamental.5

Kitab Suci adalah buku iman dan hidup Gereja. Dan sebab itu, eksegese harus melayani semua
orang beriman terutama para calon imam dan para imam agar mereka menjadikan Sabda Allah itu
buku hidup rohaninya yang pertama dan utama. Studi Kitab Suci harus membina kemampuan tahu
menggunakan Kitab suci dalam aneka ragam bentuk pelayanan Sabda dan kegembalaan terutama
dalam Liturgi dan Katekese. Kitab Suci memang lahir dari dan dalam Liturgi serta Katekese dan dari
sebab itu haruslah dikembalikan ke tempatnya yang asli.6

3.2. Patrologi

Patrologi adalah ilmu tentang bapa-bapa Gereja yakni tentang hidup dan karya teologis mereka
dan tentang penulis-penulis Kristen yang hidup sezaman dengan mereka. Biasanya dibedakan

4
Bdk. La formazione teologica dei futuri sacerdoti, II.II.1.2-3.

5
Tentang persoalan ini, bdk. H. Vorgrimler (pent.), Dogmatic Versus Biblical Theology
(London: Burns & Oates 1964).

6
Bdk. B.A. Pareira, “Katekese dan Kitab Suci”, dalam Th. Huber, Arah Katekese di Indonesia
(Yogyakarta/Ende: Kanisius/Nusa Indah 1979), 82-93.

61
antara Patrologi (studi literer) dan Patristik yakni studi tentang teologi bapa-bapa Gereja sebagai
penyaksi iman Gereja. Di sini pembedaan itu kami hilangkan, tetapi sekaligus menekankan bahwa
aspek teologis harus diutamakan dalam pembinaan para calon imam.

Tugas Patrologi ialah memperlihatkan “bingkai dari teologi dan hidup Kristen pada zaman
bapa-bapa Gereja dalam konteks sejarahnya”.7 Jadi Patrologi adalah suatu cabang teologi yang
bersifat sejarah dan metodenya adalah metode sejarah. Refleksi iman para Bapa Gereja haruslah
dilihat dan ditafsirkan dalam dan dari konteks sejarahnya (bdk. bab III, 4 & 5).

Biasanya teologi dan hidup bapa-bapa Gereja dikenal melalui teologi dogmatik dan sejarah
Gereja. Akan tetapi, betapa pengenalan ini bersifat sepintas! Mereka dikenal hanya untuk melihat apa
yang mereka katakan atau untuk membuktikan sesuatu. Orang kehilangan pergaulan dengan
tokoh-tokoh! Roh dan semangatnya serta kekayaan refleksi iman mereka secara keseluruhan sama
sekali tidak diperoleh. Dari sebab itu, dalam pendidikan calon imam, Patrologi harus mendapat tempat
yang khusus artinya tidak hanya menjadi bagian dari teologi dogmatik dan sejarah Gereja. Tempat
dan peranan Bapa-bapaGereja dalam refleksi iman terlalu penting untuk dibiarkan begitu saja.8 Studi
tentang Bapa-bapa Gereja akan membina kita secara mendalam untuk memiliki rasa misteri, rasa
Tradisi dan rasa Gereja yang begitu kita butuhkan. Kita dapat belajar banyak dari Bapa-bapa Gereja
bagaimana harus berkhotbah dan berkatekese, tetapi untuk itu perlu studi khusus dengan membaca
langsung karya-karya mereka.

Perlu sekali diingatkan di sini tentang hubungan bapa-bapa Gereja dengan Kitab Suci.9
Seluruh teologi mereka bernafaskan Kitab Suci. Mereka benar-benar penafsir Sabda Allah. Meskipun
pengertian mereka tentang teks-teks Kitab Suci dalam banyak hal tidak boleh diukur menurut
perkembangan eksegese pada zaman kita, namun visi dan roh yang menjiwai mereka sangat luhur.
Seluruh misteri iman kita dilihat dari keluhuran misteri Kristus. Teologi mereka adalah teologi yang
lahir dari hidup dan tugas mereka sebagai gembala umat.

Studi tentang teologi bapa-bapa Gereja juga akan menolong pembinaan sikap ekumenis.
Mereka adalah saksi-saksi dari Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik.

3.3. Sejarah Gereja


Ilmu Sejarah Gereja mempelajari sumber-sumber sejarah Gereja untuk melihat
perkembangan Gereja dan pengalamannya sebagai umat Allah yang meluas dalam ruang dan bergulat
dalam waktu. Jadi ilmu Sejarah Gereja tidak mempergunakan metode teologi, tetapi metode
sejarah kritis. Timbullah sekarang persoalan apakah ilmu sejarah gereja itu termasuk cabang teologi

7
La formazione teologica dei futuri sacerdoti, III.II.2.2.

8
Bdk. P.Visentin, “I Padri come fonte della teologia” Seminarium 9 (1969), 166-185; T.
Camelot, La place des Peres dans la formation des clercs, ibid., 186-199.

9
Bdk. Bab III, 3a.

62
atau tidak.10 Persoalan ini dipertajam oleh kenyataan ini bahwa banyak penyelidikan dan penulisan
Sejarah Gereja yang luas dan teliti dijalankan pula oleh orang-orang yang tidak beriman
Kristen/Katolik.

Persoalan ini dapat dijawab sebagai berikut: Ilmu Sejarah Gereja memang mempergunakan
metode sejarah. Akan tetapi, objeknya adalah Gereja, yang termasuk salah satu objek iman. Ada
banyak hal dalam Gereja yang tidak dapat dimengerti dengan baik oleh orang-orang yang tidak
beriman. Selanjutnya sejarah bukanlah foto atau rekaman masa lampau. Sejarah selalu mengandung
penafsiran. Barangsiapa tidak percaya kepada Gereja sebagai misteri, dia juga tidak dapat
menafsirkannya secara teologis. Yang dapat mengerjakan hal itu hanyalah sejarawan yang beriman.
Akan tetapi, suatu penafsiran sejarah yang sama sekali bersifat netral tidak pernah ada.

Dari jawaban ini kiranya sekarang menjadi jelas bahwa ilmu Sejarah Gereja adalah sekaligus
ilmu sejarah dan teologi. Akan tetapi teologi mengenai hal apa? Teologi mengenai Gereja, atau lebih
tepat teologi sejarah tentang Gereja. Konsili Vatikan II sendiri menghimbau supaya dalam pengajaran
Sejarah Gereja diperhatikan misteri Gereja sebagaimana yang diuraikan dalam konstitusi dogmatis
Lumen Gentium (Optatam Totius, 16). Barangkali perlu ditambahkan konstitusi pastoral Gaudium
et Spes dan dekrit Ad Gentes karena Gereja diutus ke dalam dunia dan perkembangannya tidak
bisa dimengerti lepas dari konteks kebudayaan, ekonomi, sosial, politik dan keagamaan.

Tetapi apa gunanya Sejarah Gereja? Tidaklah lebih penting memperhatikan dan mempelajari
apa yang kita hadapi sekarang? Sejarah Gereja pertama, mengembangkan dan memperdalam “rasa
Gereja” (sensus Ecclesiae) dan rasa Tradisi. Sejarah adalah suatu ilmu yang banyak mengandung
unsur afektif. Dia memberikan gambaran yang realistis tentang Gereja dalam kekuatannya dan
kelemahannya, krisis dan pembaharuannya. Sejarah Gereja mempertemukan kita dengan tokoh-tokoh
yang hidup dan membuat kita mengerti tentang banyak hal dari kehidupan Gereja sekarang. Sejarah
Gereja memperlihatkan aliran hidup Gereja dari masa lampau yang ada dalam hidup Gereja sekarang.
Orang yang memahami semuanya ini dapat melangkah maju dengan kepastian yang lebih besar.
Kedua, Sejarah Gereja menolong kita tahu membedakan yang penting dari yang relatif, yang
universal dari yang partikular, yang tetap dari yang sementara. Sejarah Gereja memperluas wawasan
pandangan kita karena kita dibawa untu melihat situasi dan persoalan-persoalan yang berbeda
dengan persoalan-persoalan kita. “Barangsiapa menempatkan diri dalam sekolah sejarah, menjadikan
sejarah guru kebenaran yang ulung.”11

Sejarah Gereja adalah suatu ilmu yang sangat luas dan dapat dikatakan cabang teologi yang
paling komprehensif. Sumbernya meliputi suatu perpustakaan. Dari sebab itu, dalam mempelajari

10
Bdk. terutama H.Jedin, “Kirchengeschichte als Theologie”, Seminarium 13, (1973), 39-58;
V.Conzemius, “Kirchengeschichte als ‘nicht teologische’ Diziplin, Wissenschaftstheoretische
Thesen”, Theologihsche Quartalhchrift 155 (1975), 187-197.
11
Y.Congar, “Places et vision du laicat dans la formation des pretes apres le concile Vatican II”,
Seminarium (1976), 64.

63
Sejarah Gereja (setelah memperoleh gambaran yang menyeluruh) orang perlu memperdalam satu
periode sesuai dengan kebutuhan setempat. Hanya dengan cara itu orang belajar melihat hal yang
konkret dan terus-menerus menghubungkannya dengan persoalan-persoalan sekarang.

4. Cabang-cabang teologi sistematis

4.1. Teologi Fundamental


Seluruh teologi mengandaikan Teologi Fundamental sebagai dasar penalarannya. Teologi
Fundamental mempertanggungjawabkan kenyataan-kenyataan dasar teologi yakni wahyu Kristen dan
penerusannya dalam Gereja. Pertanggungjawaban ini dilakukan dalam dialog dengan akal budi
dengan agama dan kepercayaan lain (Islam, Buddha, Hindu dan aliran-aliran kepercayaan),
dengan ateisme, dengan kebudayaan-kebudayaan, dengan dunia yang diperhamba oleh nilai-nilai
teknologi dan ekonomi dan akhirnya dengan manusia yang beriman itu sendiri yang bertanya dan
ditanyakan tentang imannya.12

Wahyu adalah dasar, prinsip dan kunci dari seluruh refleksi teologis dalam segala cabangnya.
Teologi mengandaikan wahyu ilahi sebagai dasar ilmunya. Karena wahyu adalah dasar teologi, maka
teologi harus mempertanggungjawabkannya secara khusus dan hal ini dikerjakan oleh Teologi
Fundamental. Pertanyaan-pertanyaan berikut dengan sendirinya timbul dalam pertanggungjawaban
iman kristen: apakah wahyu itu? mungkinkah itu? bagaimana wahyu itu dapat dikenal dan diketahui?
mana bukti dan tanda-tandanya? apakah ada dasarnya untuk menerima wahyu dalam iman? bagaimana
wahyu kristen itu dapat dipertanggungjawabkan terhadap pengakuan adanya wahyu oleh
agama-agama lain? Demikianlah satu dua pertanyaan tentang wahyu yang akan menghantar kita dari
pengalaman iman yang spontan ke iman yang direfleksikan, kuat dan terpadu. Semua pertanyaan di
atas harus dihadapi secara berani, terbuka dan jujur.

Menurut iman Kristen, wahyu Allah itu mencapai puncaknya dalam diri Kristus, Tuhan kita.
Dalam Dia Allah telah berbicara kepada kita secara definitif. Wahyu itu diteruskan oleh Gereja
sebagai suatu lembaga yang dikehendaki oleh Kristus untuk melanjutkan karyaNya di dunia ini.
Teologi fundamental harus mempertanggungjawabkan iman ini. Mengapa percaya kepada Kristus
dan tidak percaya kepada pendiri-pendiri agama lain? Mengapa percaya kepada Gereja?

Dalam menjalankan tugasnya, teologi fundamental tidak dapat memakai bukti-bukti dari Kitab
Suci sebagai buku iman dan juga tidak dari ajaran Gereja, karena keduanya harus
dipertanggungjawabkan. Apakah Kitab Suci dapat dipercaya? Dapatkah dibuktikan bahwa kitab ini
memberi kesaksian yang setia tentang wahyu Allah? Teologi Fundamental harus mempergunakan
penalaran filsafat dan sejarah: yang pertama untuk menentukan hakikat dan kriteria wahyu dan yang
kedua menyangkut kenyataan dan peristiwa wahyu. Akan tetapi seluruhnya seluruhnya dijalankan
dengan sikap iman.

12
Bdk. H. Fries, “Fundamental Theology”, dalam Sacramentum Mundi jilid 2 (London: Burns
& Oates 1968), 368-372; Yohanes Paulus 11, Fides et Ratio, art. 67.

64
Apa nilai Teologi Fundamental? Dia mengembangkan kematangan iman dan membangkitkan
keberanian beriman. Tanpa keberanian beriman “tidak mungkin ada hidup Kristen yang sejati dan juga
tidak ada teologi yang bermutu.”13

4.2. Teologi Dogmatik


Teologi Dogmatik mencari pengertian tentang seluruh isi iman Gereja, tentang misteri dan
rencana keselamatan Allah dan mencoba menemukan kesatuannya dalam suatu pandangan yang
menyeluruh lengkap dan terpadu demi hidup Gereja. Dalam gambaran: Teologi Dogmatik naik ke
puncak refleksi iman untuk turun ke lapangan, ke penghayatan iman dalam hidup yang nyata. Tidak
perlu dikatakan di sini bahwa suatu pandangan dan pengertian yang menyeluruh, lengkap dan terpadu
tentang iman Gereja merupakan suatu keharusan dalam dinamisme iman.

Tujuan dan tugas Teologi Dogmatik sangat luhur dan berat. Menurut dekrit Optatam Totius 16
pendalaman iman dalam Teologi Dogmatik harus meliputi 5 langkah atau mengandung unsur-unsur
berikut:

Pertama, kembali ke sumber untuk mengenal, mengerti dan mendalami iman dalam dasar
alkitabiahnya (Bdk.Bab III,1, tentang hubungan teologi dan Kitab Suci). Uraian teologi dogmatik
harus mulai dari tema-tema alkitabiah dan diarahkan kepada pengertian dan pendalaman Sabda Allah.

Kedua, kembali ke sumber yakni Tradisi untuk mendalami pengembangan pengertian dan
perumusan iman dalam sejarah. Di sini orang harus melihat sumbangan bapa-bapa Gereja baik dari
Gereja Timur maupun dari Barat dalam meneruskan dan menerangkan setiap kebenaran iman
dengan setia. Teologi dogmatik harus mengandung studi tentang sejarah dogma. Dogma-dogma itu
bukan turun dari langit melainkan dirumuskan dalam konteks sejarah tertentu melalui suatu pergulatan
iman yang panjang. Tentang hal ini perlu diperhatikan apa yang diterangkan di depan mengenai “ilmu
penafsiran dokumen-dokumen Tradisi” dan “ciri keaslian penafsiran naskah-naskah kuno” (Bab III
4 & 5). Langkah kedua ini sangat erat hubungannya dengan Patrologi dan Sejarah Gereja.

Ketiga, memperdalam lebih lanjut misteri-misteri keselamatan yang telah dimengerti dari
Kitab Suci dalam kesatuannya dengan Tradisi. Tugas teologi di sini ialah mencari dan menerangkan
hubungan antara misteri-misteri iman (Bab IV).

Bapa-bapa konsili ramai memperdebatkan peranan St. Tomas dalam dimensi spekulatif ini.
Ada yang mengusulkan supaya nama St. Tomas dihapuskan saja, tetapi akhirnya rancangan teks
diterima. Konsili Vatikan II tidak mengabaikan pujangga-pujangga Gereja yang lain. Dia menyebut
St. Tomas secara khusus karena keterbukaan pikirannya, kesatuan refleksi imannya yang dinamis dan
rasa hormatnya yang dalam akan misteri. Langkah ketiga ini sangat erat hubungannya dengan filsafat.

13
La formazione teologica dei futuri sacerdoti, III.II.6.6.

65
Keempat, menunjukkan bagaimana misteri-misteri keselamatan itu hadir dan berkarya dalam
perayaan-perayaan Liturgi dan seluruh hidup Gereja. Keindahan iman yang dilihat dan dikagumi dalam
refleksi iman (kontemplasi) barulah dirasakan “kehangatannya” apabila dapat “dibuktikan” atau
“terbukti” dari dan dalam hidup. Teologi harus menjadi santapan hidup rohani (Optatam Totius, 16).
Langkah keempat ini ada hubungannya dengan Liturgi dan Teologi Spiritualis.

Kelima, mencari penyelesaian persoalan-persoalan manusia sekarang dalam terang wahyu,


mengenakan kebenaran-kebenaran tersebut pada kondisi manusia yang berubah dan
menyampaikannya dalam bahasa yang sesuai. Teologi harus merupakan pertemuan yang hidup antara
iman dan pertanyaan-pertanyaan masa kini. (Bab V)

Dari apa yang dikatakan Konsili Vatikan II tentang tujuan dan tugas Teologi Dogmatik ini
dapatlah dilihat bahwa apa yang diuraikan tentang metode teologi dalam pengantar teologi ini berlaku
secara khusus untuk cabang teologi ini.

Kelima langkah yang diberikan di atas menunjukkan suatu karya pengertian iman yang
menyeluruh. Akan tetapi, tidak perlu dalam setiap pendalaman iman kelima-limanya mendapat tekanan
yang sama. Ada tema yang membutuhkan uraian alkitabiah dan patristik yang lebih luas (misalnya
tentang sakramen pengampunan), sedang yang lain refleksi dan penafsiran teologis (misalnya tentang
rahmat).

Tema-tema pokok teologi dogmatik yang lazim ialah Allah, Penciptaan, Kristologi
(+Mariologi) dan Soteriologi, Rahmat, Eklesiologi, Sakramen-sakramen, Eskatologi.

4.3. Teologi Moral

Teologi Moral bertugas mendalami secara ilmiah “keluhuran panggilan kita dalam Kristus dan
kewajiban-kewajiban yang timbul dari padanya, untuk membuahkan kasih bagi hidup dunia” (Optatam
Totius, 16). Teologi Moral harus menerjemahkan ajaran iman tentang hubungan manusia dengan
Tuhan Penyelamat menjadi ajaran tentang hidup dan perbuatan Kristen dalam dunia.14

Teologi Moral haruslah dibedakan dari Teologi Dogmatik, tetapi tidak boleh dipisahkan.
Iman adalah sumber dan penggerak moral Kristen. St. Paulus hampir selalu menutup suratnya dengan
menunjukkan kewajiban-kewajiban Kristen berdasarkan persoalan-persoalan iman yang dibahas.
Dasar kewajiban moral ialah hubungan manusia dengan Allah. Bagi orang Kristen kepenuhan
hubungan itu diwujudkan dalam Kristus (bdk. 2 Kor 5: 8). Kita telah dilahirkan kembali dalam
Kristus, maka kita dipanggil untuk mengikuti Dia sampai mencapai kedewasaan di dalamNya. 15

14
Bdk. J. Fuchs, “Theologia Moralis et vita theologica”, Seminarium 8 (1968), 647-659.

15
Paul Klein, “Teologi Moral dan Keluhuran Panggilan Kristiani”, dalam H.Pidyarto (ed),
Seputar Pendidikan Calon Imam di STFT Widya Sasana (Malang 1991), 46-61.

66
Lalu bagaimana teologi moral harus menjalankan tugasnya? Dia harus belajar mengerti
manusia sekarang dan mengenal persoalan-persoalannya sebagaimana yang muncul dari pergaulan
hidup dan dari pengalaman pastoral, dan berusaha memecahkannya di bawah terang Sabda Allah dan
pengembangan pengertiannya dalam Tradisi. Lebih dari cabang-cabang teologi lainnya, teologi moral
harus memperhatikan hasil-hasil yang telah dicapai oleh ilmu-ilmu lain tentang manusia seperti:
psikologi, sosiologi, kedokteran dll. Walaupun hasil-hasil dari ilmu-ilmu tersebut tidak dapat menjadi
dasar atau bahkan menciptakan norma-norma moral, namun banyak hal tentang situasi dan sikap
manusia sekarang menjadi lebih jelas berkat ilmu-ilmu tersebut. Teologi moral harus meneruskan dan
memperdalam hasil-hasil tersebut dengan refleksi iman dan permenungan filsafat tentang manusia.

Juga teologi moral harus menjadi santapan hidup rohani si calon dan mempersiapkannya untuk
pelayanan bimbingan hidup rohani umat. Untuk itu perlu ditekankan aspek dinamis dari panggilan
Kristen, yakni mengembangkan sampai sepenuh-penuhnya gambaran Allah dalam dirinya.16

5. Cabang-cabang teologi praktis

5.1. Teologi Pastoral


Semua cabang teologi harus bersifat pastoral, tetapi dibutuhkan suatu cabang teologi sebagai
ilmu “yang menafsirkan tuntutan-tuntutan pelayanan pastoral, merangsang pengenaannya yang sejati dan
mengarahkan pelaksanaannya dalam situasi-situasi aktual sesuai dengan tuntutan iman di bawah terang
wahyu”.17 Jadi Teologi Pastoral adalah suatu refleksi kritis tentang karya-karya pastoral, dasar-dasarnya,
kemungkinan-kemungkinan kesukarannya, aspek-aspeknya, bidang-bidangnya, tekanan-tekanannya
sesuai dengan situasi dan tuntutan Gereja serta masyarakat setempat. Situasi di mana Gereja menjalankan
perutusan keselamatannya menuntut suatu analisis metodis, sosiologis dan teologis. Analisis ini
dibutuhkan agar Gereja dapat menemukan prinsip dan arah kerja pastoralnya.

Teologi Pastoral merupakan cabang teologi yang paling komprehensif dari semua cabang
teologi praktis. Dia merangkum semua bidang karya perutusan Gereja dan pelayanan imamat seperti
pembinaan iman, pastoral liturgi, umat basis, keluarga, sekolah, mahasiswa, kepemudaan, dialog
ekumenis, dialog dengan orang bukan kristen, kerasulan awam, kerasulan tenaga-tenaga inti, dan lain
sebagainya. (bdk. Optatam Totius, 19-20). Dari sebab itu, perlu ada kerjasama yang erat antara semua
dosen teologi dengan teologi pastoral sebagai pemikir, penggerak dan pemersatunya.

Teologi pastoral bukanlah sosiologi pastoral. Dia menjalankan tugasnya dalam iman. Dia
mempelajari pengenaan praktis dari apa yang diperdalam dalam teologi tentang pelayanan Gereja
dengan memperhitungkan situasi-situasi konkret dan kemajemukan kemungkinan terutama dalam hal
yang diperdebatkan seperti pentahbisan kepala keluarga menjadi imam, peranan imam dalam konteks
penindasan dan ketidakadilan sosial dan sebagainya. Sebaliknya, teologi pastoral juga bisa

16
Tentang pokok-pokok persoalan teologi moral, bdk. edisi khusus Seminarium, 1971, nomor 3.

17
La formazione teologica dei futuri sacerdoti, III.II.5.1.

67
memperhadapkan teologi dengan persoalan-persoalan yang tidak dapat dipecahkan melulu secara
empiris karena hal-hal tersebut memerlukan penyelesaian dalam cahaya iman.

Pembinaan pastoral yang harus menjiwai seluruh pendidikan calon imam juga harus
dilaksanakan melalui kontak langsung dengan pengalaman hidup dan pelayanan pastoral. Dari sebab
itu, perlu ada praktek yang terarah dan bertahap dan ada tahun pastoral (bdk. Optatam Totius, 21).
Semuanya ini harus dijiwai oleh semangat mendengarkan dan semangat belajar yang terus-menerus.

5.2. Misiologi
Gereja adalah umat Allah yang diutus ke dalam dunia dan kepada segala bangsa untuk
mewartakan rahasia kasih Allah (bdk. Ad Gentes, 1-9). Oleh karena itu, seluruh teologi harus bersifat
misioner (tentang arti pernyataan ini, lih. Bab V) Lalu apa perlu suatu cabang teologi yang
memperdalam hakikat misioner Gereja ini dan konsekuensi praktisnya? Memang hal ini masih
diperdebatkan para ahli,18 tetapi perlu ditegaskan di sini bahwa hakikat misioner Gereja dengan
segala konsekuensinya dan persoalannya yang praktis perlu mendapat penanganan yang khusus dalam
teologi. Menurut hemat kami dalam konteks Indonesia perlu ada misiologi. Hal-hal berikut perlu
mendapat perhatian khusus dalam misiologi:
- mendalami persoalan teologi kontekstual (bdk Ad Gefites,22; Lumen Gentium,13 dan 17; Bab
V pengantar teologi ini).
Konsili Vatikan II dalam membicarakan pendidikan calon imam di tanah-tanah misi berkata
: “Dalam studi filsafat dan teologi, para calon imam hendaknya melihat unsur-unsur yang
merupakan pertemuan antara tradisi dan agama asli dengan agama Kristen.” (Ad Gentes, 16).
Kiranya menjadi tanggung jawab Misiologi untuk mendalami hal ini secara khusus dan
sistematis.
- mempelajari hubungan antara iman kristen dan kebudayaan : bagaimana hidup Gereja itu tidak
menjadi unsur asing dalam kebudayaan bangsa, tetapi memasuki dan mengubahnya (Ad
Gentes, 21). Hal ini berlaku untuk semua bentuk hidup Kristen termasuk hidup membiara.
Tentang hal yang terakhir ini Konsili Vatikan II mengatakan: “Lembaga-lembaga religius yang
mengambil bagian dalam karya penanaman dan pembangunan Gereja hendaknya berusaha
mengungkapkan dan meneruskan kekayaan mistik yang meresapinya dan menjadi bagian dari
tradisi religius Gereja sesuai dengan bakat dan watak masing-masing bangsa. Hendaknya
mereka dengan penuh minat memperhatikan bagaimana tradisi-tradisi asketis dan kontemplatif
yang kadang-kadang telah dianugerahkan Allah dalam kebudayaan-kebudayaan tua sebelum
datangnya pewartaan Injil, dapat digunakan untuk hidup membiara.” (Ad Gentes, 18; bdk.
Perfectae Caritatis, 2b dan d; 20).
- mendalami misi atau tugas Gereja dalam dunia Indonesia dewasa ini. Apa sebenarnya misi
Gereja dalam masyarakat dalam hubungan dengan agama-agama lain?

Akhirnya perlu sekali lagi ditandaskan bahwa misiologi tidak dapat menjalankan tugasnya lepas
dari dogmatik, pastoral dan ilmu-ilmu manusia seperti sosiologi, ilmu-ilmu agama, psikologi dan
antropologi budaya.

18
Bdk. H. Rzepkowski, “Die Missiologie im Rahmen der Theologie”, Seminarium 13 (1973),
909-936.

68
5.3. Teologi Ekumenisme
Salah satu tujuan utama Konsili Vatikan II ialah memajukan persatuan kembali seluruh umat
Kristen (Unitatis Redintegratio, 1) Mengapa? Karena perpecahan antar umat kristen bertentangan
secara nyata dengan kehendak Kristus dan merupakan batu sandungan bagi dunia serta merugikan
tugas pewartaan Injil kepada semua makhluk. Lalu apa konsekuensinya bagi teologi? Konsili Vatikan
menandaskan supaya dalam pendidikan teologi para calon dibimbing untuk mengenal lebih baik
Gereja-gereja dan persekutuan-persekutuan kegerejaan yang terpisah dari Takhta Suci, agar mereka
dapat memajukan persatuan kembali semua umat Kristen menurut ketetapan-ketetapan yang
dikeluarkan oleh Konsili ini” (Optatam Totius, 16). Tugas ini dikerjakan oleh teologi ekumenisme.

Inti persoalan ekumenis ialah tentang Gereja. Dari sebab itu, misteri Gereja perlu didalami
sebaik-baiknya dan dari segala sudut. Akan tetapi pembinaan ekumenis tidak terbatas hanya dalam
mengenal saudara-saudara kita yang terpisah, yakni tentang ajaran dan sejarahnya, hidup rohani dan
liturginya,dan akhirnya tentang psikologi dan kebudayaannya (Unitatis Redintegratio, 9). Seluruh
teologi “haruslah diberikan dari sudut ekumenis agar menjawab kebenaran kenyataan dan
persoalannya secara lebih tepat” (Unitatis Redintegratio, 10). Teologi tidak boleh disajikan dalam
sikap polemik terutama dalam hal-hal yang berkenaan dengan saudara-saudara yang terpisah (ibid.)
Hal ini terutama berlaku untuk sejarah Gereja dan semua aspek historis dari teologi. Sebagai contoh
dapat disebut di sini tentang sejarah perpisahan Gereja-gereja Timur dari Takhta Suci dan Sejarah
Reformasi Protestan. Orang harus mendalami maksud-maksud asli dan alasan-alasan yang benar-benar
kristen dari perpecahan itu dan tidak menutup-nutupi kesalahan dari pihak Katolik dalam persoalan
itu.19

Juga “cara dan metode (ratio) mengatakan iman Katolik tidak boleh atas cara apapun
menghalangi dialog dengan saudara-saudara terpisah”. (Unitatis Redintegratio, 11). Haruslah
dibedakan antara isi dan cara iman diungkapkan. Bahasa yang digunakan hendaknya juga bisa
dimengerti oleh saudara-saudara kita yang terpisah.

Gerakan ekumenis atau karya dan usaha untuk persatuan kembali seluruh umat Kristen
bukanlah hal yang mudah. Gerakan ini mengandaikan suatu keyakinan bahwa “meskipun ada
perbedaan-perbedaan, kita dapat berbicara bersama dan di mana mungkin bekerjasama”. 20 Selanjutnya
ekumenisme menuntut supaya orang mencintai kebenaran dan hanya kebenaran dan
membicarakannya dalam kasih dan kerendahan hati. Ekumenisme menuntut orang memiliki semangat
dialog, artinya semangat dan kesabaran untuk mendengarkan orang lain dan terbuka kepada
kebutuhan-kebutuhannya dalam roh kasih (bdk. Optatam Totius, 19). Akhirnya ekumenisme menuntut

19
Bdk. J. Feinert, “Commentary on the Decree of Ecumenism”, dalam Commentary of the
Documents of Vatican II (H. Vorglimer, pen.), jilid II (Burns & Oates / Herder: London / New
York 1968, 113.

20
W. Visser’t Hooft, dikutip J. Feiner, art.cit., hal. 115.

69
pertobatan artinya perubahan pandangan, sikap dan perbuatan dalam hubungan kita dengan
saudara-saudara terpisah (bdk. Unitatis Redintegratio, 7). Semuanya ini tidak mungkin terlaksana
apabila tidak dijiwai oleh semangat doa. (bdk. Unitatis Redintegratio, 8). “Semangat doa dan
semangat kesatuan merupakan hal yang sama”. 21 Hidup beata Maria Gabriela yang mempersembahkan
seluruh penderitaannya bagi persatuan umat Kristen dapat membuktikan hal itu.

Gerakan ekumenis haruslah dilihat sebagai salah satu tugas pokok Gereja di Indonesia.
Perpecahan antara umat Kristen merupakan salah satu batu sandungan dan halangan utama dari
pewartaan Injil (Unitatis Redintegratio, 1; Ad Gentes, 6.) Sikap ekumenis hendaknya mulai ditanam
sejak awal orang menjadi Kristen (Ad Gentes, 15).

5.4. Kateketik-Homiletik
Tugas pertama Gereja adalah mewartakan Injil kepada semua bangsa (bdk. Lumen Gentium,
17, Ad Gentes, 5-9). Tugas ini diserahkan pertama-tama kepada para Uskup (bdk. Lumen Gentium,
24-25; Christus Dominus, 12) dan para pembantunya yakni para imam (Presbyterorum Ordinis, 4).
Mereka harus menjadikan Sabda Allah itu santapan kehidupan manusia. Dari sebab itu, para calon
yang dibina dan membina dirinya untuk menjadi gembala-gembala jiwa menurut teladan Tuhan Yesus
Kristus, Guru, Imam dan Gembala: “haruslah dipersiapkan kepada tugas pelayanan sabda sedemikian
rupa sehingga mereka makin lebih baik mengerti dan mendalami Sabda Allah yang diwahyukan,
menjadikannya miliknya sendiri dengan merenungkannya dan tahu menyampaikannya dengan kata
dan hidupnya.” (Optatam Totius, 4). Seluruh pembinaan teologi haruslah diarahkan kepada
kemampuan untuk mewartakan, menguraikan dan mempertahankan berita Injil dalam pelayanan
imamat (Optatam Totius, 16).

Timbullah sekarang pertanyaan apakah dibutuhkan suatu cabangteologi yang secara khusus
mempelajari bagaimana Injil itu haruslah diwartakan. Pertanyaan ini haruslah dengan tegas dijawab
: Ya! Sama sekali tidak mudah mewartakan dan menanamkan Injil itu dalam hati manusia. Mengajar
adalah suatu ilmu dan seni sekaligus. Manusia yang dihadapi itu mempunyai bermacam-macam latar
belakang, tingkat pendidikan, umur, kebutuhan dan pengharapan, tetapi kepada semua Injil harus
diwartakan (bdk. 1 Kor. 3; 6). Lalu bagaimana?

Perlu kateketik yang mendalami bagaimana “Menjadikan iman dalam hati manusia itu hidup,
sadar dan berkarya” (Christus Dominus, 14). Tugas katekese itu berat karena harus “menerangi dan
menguatkan iman, memupuk hidup menurut Roh Kristus, mengantarkan orang untuk mengambil
bagian secara sadar dan aktif pada misteri-misteri yang dirayakan dalam liturgi dan mendorong orang
kepada karya kerasulan” (Gravissimum Educationis, 4). Kateketik sebagai ilmu perlu diajarkan dalam
kerjasama yang erat dengan cabang-cabang teologi yang lain terutama eksegese, dogmatik, moral, liturgi
dan pastoral dan juga dengan berbagai cabang ilmu kemanusiaan dan kemasyarakatan seperti

21
Fenelon dikutip Y. Congar, “Spiritualite oecumenique,” Seminarium, 8 (1968), 476-489, di
sini 489.

70
pedagogi, sosiologi, antropologi budaya dan ilmu komunikasi.22

Erat hubungannya dengan kateketik ialah homiletik. Pada hemat kami ilmu ini bukan hanya
mempelajari “apa yang dapat dan harus diwartakan, diuraikan dengan senantiasa memperhatikan
orang yang disapa dalam situasinya yang sebenarnya”,23 tetapi juga bagaimana harus mendengarkan
Sabda Allah dan mempercakapkannya dengan penuh iman sehingga pendengar merasa disapa dan
mengambil keputusan iman”. Pertanyaan pertama dalam homiletik adalah bagaimana menjadi
pendengar Sabda Allah yang baik.24 Homili adalah pewartaan Sabda Allah dalam konteks Liturgi.
Tidak perlu dijelaskan di sini bahwa homiletik sangat erat hubungannya dengan eksegese dan seni
bicara. Kitab Suci adalah suatu sekolah homili yang unggul.

5.5. Teologi Liturgi


Liturgi adalah perayaan dan pelaksanaan karya-karya keselamatan Kristus dalam Gereja,
perayaan pertemuan Allah dengan Gereja di mana Gereja dikuduskan dan karenanya menjawabnya
dengan pujian, syukur, permohonan dan permintaan ampun kepada Allah. Liturgi adalah puncak
karya Gereja yakni sebagai tujuan dan sumbernya di mana dia menimba kekuatan untuk segala
karyanya yang lain (bdk. Sacrosanctum Consilium, 10). Dari sebab itu, liturgi haruslah menjadi
sumber utama dan yang mutlak dari hidup Kristen yang seiati (Optatam Totius, 16). Perlunya
suatu cabang Teologi Liturgi dapat dimengerti dengan sendirinya. Liturgi harus menjadi satu
mata-kuliah pokok (bdk. Sacrosanctum Concilium, 15).

Lalu apa tugas Teologi Liturgi? Pertama, mempelajari hakikat liturgi, yakni hakikat misteri
Kristus yang hidup.dan berkarya dalam Gereja dan misteri Gereja yang hidup dalam Kristus (aspek
teoloigis-eklesiologis). Dalam hubungan ini dia harus mendalami arti liturgi bagi hidup Gereja dan
orang beriman secara perseorangan (aspek pastoral-spiritual). Kedua, mendalami mengapa misteri
itu dirayakan demikian dan pada waktu-waktu itu (aspek historis-teologis) dan bagaimana harus
dirayakan (aspek teologis-historis-spiritual-yuridis dan afektif-estetis). Ritus harus didalami dari aspek
teologis, historis, yuridis dan spiritualnya. Si teolog harus tahu mana bagian yang tidak dapat diubah
dan mana yang bisa.25 Ketiga, mendalami segi ekumenis liturgi yakni dasar-dasar “communicatio in
sacris” (bdk. Orientalium Ecclesiarum, 24-27) dan mengenal kekayaan liturgi saudara-saudara kita
yang terpisah, terutama dari Gereja-gereja Timur (bdk Unitatis Redientegratio, 9). Keempat,
mempelajari inkulturasi liturgi (bdk. Sacrosanctum Concilium, 37-39). Untuk itu perlu didalami
sungguh-sungguh hakikat liturgi, mana bagian yang tidak dapat diubah dan mana yang bisa diubah.
Inkulturasi liturgi merupakan suatu keharusan.

22
Bdk. J. Audinet, “La catechetique; savoir ousavoir-faire?”, Seminarium 15 (1975), 103-118.
23
H. Kahlefeld, “De perikoop in de preek”, Concilium 1 (1965/10), 50, bdk. edisi bahasa
Inggris.

24
Bdk. J. Blank, Schriftauslegung in Theorie und Praxis (Munchen: Kosel Verlag 1969).

25
Bdk. Instruksi tentang pembinaan liturgis para calon imam (Roma 1979), II, 44b.

71
Hal-hal pokok yang harus dipelajari dalam liturgi ialah hakikat dan arti liturgi; ekaristi dan
penghormatan kepada ekaristi; liturgi sakramen-akramen; hal pengudusan waktu yakni perayaan hari
Minggu, tahun liturgis dan Ibadat Harian/waktu.

Mengingat pentingnya Liturgi, maka setiap mahasiswa harus mendalami sungguh-sungguh


Konstitusi Sacrosanctum Concilium dan dokumen-dokumen pokok yang dikeluarkan menyusulnya
tentang pembaharuan dan pembinaan liturgi. Untuk itu setiap mahasiswa perlu memiliki dokumen-
dokumen tersebut secara pribadi.

Teologi Liturgi banyak membuka aspek baru bagi Teologi Dogmatik dan Moral. Dia
menunjukkan misalnya, bahwa Gereja adalah suatu jemaat yang beribadah; sakramen permandian adalah
sakramen Paskah dan sakramen pertobatan adalah sakramen pendamaian kembali dengan Gereja.
Akhirnya, liturgi itu hanya bisa benar-benar didalami apabila dihayati.

5.6. Teologi Spiritualis


Perlunya, tugas, tujuan, dan pentingnya teologi spiritualis masih diperdebatkan para ahli dan
belum ada kata sepakat.26 Konsili Vatikan II sendiri dan dokumen-dokumen Gereja yang menyusulnya
rupanya tidak terlalu tegas dalam hal ini. Cabang teologi ini masih disebut dalam Konstitusi
Sacrosanctum Consilium, 16 (Konstitusi ini disahkan tgl. 4 Desember 1963), tetapi kemudian dalam
dekrit Optatam Totius (disahkan tgl. 28 Oktober 1965) yang notabene tentang pendidikan calon
imam, teologi ini sama sekali tidak lagi disinggung. Teologi Spiritualis disebut kembali dalam Ratio
Fundamentalis Institutionis Sacerdotalis, tetapi hanya sepintas dalam daftar cabang-cabang
teologi yang menjadi pusat perhatian ilmiah dan yang tidak sedikit menghadapi persoalan.

Persoalan di atas haruslah dibedakan dari pembinaan rohani. Konsili Vatikan II sendiri
menegaskan bahwa salah satu tujuan dari semua cabang teologi ialah supaya si mahasiswa menjadikan
ajaran yang ditimba dari wahyu Ilahi itu santapan hidup rohaninya sendiri (Optatam Totius, 16).
Persoalan di atas adalah persoalan tentang Teologi Spiritualis sebagai ilmu. Perlukah suatu cabang
Teologi Spiritualis di samping dogmatik dan moral? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, baiklah
dipeihatikan kedua hal berikut: Pertama teologi mencari pengertian iman. Pengertian iman itu sendiri
berkembang melalui tiga cara yakni studi-kontemplasi, pengalaman akan hal-hal rohani dan pewartaan
dan mereka yang menerima kharisma kepastian kebenaran. “Gereja, melalui perlalanan masa, selalu
menuju kepada kepenuhan kebenaran Ilahi sampai Sabda Allah terpenuhi dalam dia.” (Dei Verbum,
8; bdk. Bab III 2d). Kedua, Allah telah menyatakan diriNya agar kita mengenal Dia dan
melaksanakan kehendakNya. Allah menghendaki supaya kita mengambil bagian dalam hidup ilahiNya.
Dia berbicara kepada kita sebagai sahabat dan mau menerima kita masuk dalam persekutuan
denganNya dalam Kristus (Dei Verbum, 2). Manusia beriman menyerahkan dirinya sepenuhnya
kepadaNya dalam ketaatan iman. Ketaatan ini menyangkut akal budi dan kehendak. Roh Kudus
terus-menerus menyempurnakan iman ini dengaan anugerah-anugerahNya, menggerakkan hati,
membuka mata budi dan memberi kemanisan beriman (Dei Verbum, 5).
26
bdk. artikel-artikel G. Rambaldi, R.Moretti, T. Alvarez, J.Leclerg dan A. Huerga dalam
Seminarium 14 (1974) no. I.

72
Teologi yang mencari pengertian iman harus mendalami sampai sehabis-habisnya tujuan
pernyataan diri Allah (wahyu) ini yakni “mengenal Allah”, “mengambil bagian dalam hidup “masuk
dalam persekutuan hidup denganNya melalui Kristus dan dalam kekuatan Roh Kudus”. Dia juga harus
mendalami apa artinya “anugerah-anugerah Roh” dalam beriman, “kemanisan beriman” dan
“menyerahkan diri sebulat-bulatnya”. Si teolog harus hidup dalam arah tujuan wahyu ini agar dapat
mencapai pengertian tentangnya. Dia harus sadar bahwa perkembangan pengertian wahyu itu terjadi
melalui tiga cara yang sangat erat hubungannya satu sama lain.

Hidup Gereja menyaksikan bahwa ada perkembangan pengertian wahyu melalui pengalaman
akan hal-hal rohani dan hal ini mencapai puncaknya dalam hidup orang kudus dan para mistik (bdk.
Bab III, 3d). Teologi harus mendalami perkembangan ini yakni tentang perkembangan pengertian
akan misteri Allah yang tak terduga (bdk. Rom. 11: 33-36 dan doa Paulus dalam Ef 3: 14-21) melalui
pengalaman akan hal-hal rohani: dia harus mendalami perkembangan hidup dalam Kristus mulai
dari awal pembaptisan sampai pada puncakNya (bdk. Fil. 3: 4-21 !). Teologi harus mendalami isi,
hakikat, buah-buah, jalan-jalan, kekeliruan dan kegagalan dari perkembangan ini.27 Apabila hal ini
belum dijalankan secara sistematis dalam dogmatik dan moral, maka perlu ada suatu cabang Teologi
Spiritualis (bdk. uraian tentang Teologi Dogmatik dan Moral).

Misteri Kristus itu memasuki sejarah manusia seluruhnya, bekerja terus-menerus dalam Gereja
dan berkarya terutama melalui pelayanan imamat (bdk. Optatam Totius, 14). Jadi, hidup rohani
itu erat hubungannya dengan liturgi dan pelayanan imamat. Dengan sendirinya teologi spiritualis perlu
menerangkan pengalaman perkembangan hidup dalam Kristus yang terjadi melalui liturgi dan
pelayanan hidup imamat. Teologi Spiritualis erat hubungannya dengan teologi liturgi dan teologi
imamat.

Seluruh pembinaan dan cabang teologi harus bersifat pastoral (bdk. Optatam Totius, 4.
19-20), juga Teologi Spiritualis. Penghayatan hidup dalam Kristus itu dilaksanakan dalam konteks
yang berbeda satu sama lain: lain tuntutannya dalam ketenangan desa, lain lagi dalam kegaduhan
tantangan hidup di kota; lain sebagai buruh pabrik, lain lagi sebagai guru dan demikian selanjutnya.
Teologi spiritualis perlu mendalami semuanya ini. Apabila tidak, kita akan menjadi orang yang asing
dalam dunia dan tidak mampu membimbing orang kepada pengalaman yang makin mendalam akan
kasih Kristus.

5.7. Ajaran Sosial Gereja


Gereja diutus ke dalam dunia. Dia diutus mewujudkan kasih Kristus yang membebaskan
manusia khususnya orang-orang miskin, tersisih dan tertindas (Luk 4: 16-21 dan Mat 25: 31-46).
Lalu apa yang harus dikerjakan Gereja?

27
Bdk. R. Moretti, “L'unita della conoscenza teologica e il compito della teologia spirituale”,
Seminarium 14 (1974), 41-60); T. Alvares, “Experiencia christiana y Teologia Espiritua”, ibid,
94-110.

73
Gereja harus melibatkan diri dalam segala persoalan yang menyangkut keadilan dan
perdamaian. Gereja harus menjadi Gereja diakonia artinya Gereja bagi orang lain. Gereja bagi dunia.
Ada banyak sekali persoalan keadilan dan perdamaian dalam dunia ini seperti persoalan kemiskinan
dan kemelaratan, pengangguran dan kesejahteraan kaum buruh, perlakuan yang tidak terhormat
terhadap perempuan, anak-anak dan orang-orang yang sudah lanjut usia, narkotika, alkoholisme,
penolakan hak-hak kelompok minoritas dan masih banyak lagi. Persoalan-persoalan ini amat
kompleks dan tidak dapat dipecahkan melalui karya-karya sosial karitatif. Gereja harus ikut berjuang
memecahkan persoalan-persoalan ini. Bagaimana? Apa yang harus menjiwai Gereja?

Banyak sekali yang telah diajarkan Gereja tentang persoalan-persoalan tersebut. Berikut
kami sebutkan beberapa dokumen yang terpenting sejak Paus Yohanes XXIII: Mater et Magistra dan
Pacem in Terris dari Paus Yohanes XXIII; Inter Mirifica, Digrritatis Hrrmcrnae dan terutama
Gaudium et Spes dari Konsili Vatikan II; Populorum Progressio dan Octogessima Adveniens dari
Paus Paulus IV; Sollicitudo Rei Socialis dan Centessimus Annus dari Paus Yohanes Paulus II.
Dokumen-dokumen ini haruslah dipelajari agar para calon belajar bagaimana Injil dan
prinsip-prinsipnya haruslah dikenakan pada hidup sosial. Pembinaan yang matang dalam bidang sosial
tidak sedikit mempunyai arti untuk tugas pelayanan pastoral.

Lalu bagaimana kita harus membina diri untuk tugas panggilan yang begitu luhur, tetapi juga
yang begitu berat ini?

Pertama, perlu ada pembinaan dalam rasa sosial yakni rasa persekutuan dan persaudaraan.
Orang harus belajar mengambil bagian secara aktif dalam hidup komunitas dengan tahu mengambil
inisiatif pribadi, rasa tanggung jawab terhadap komunitas dan tahu bekerja sama dengan sesama.
Sekolah hidup dan rasa persekutuan yang paling unggul ialah perayaan Ekaristi komunitas dan Ibadat
Harian.

Kedua, kontak dengan hidup artinya dengan mereka yang menderita. Kerap kita kurang
merasakan pahit getirnya hidup orang yang menderita ketidakadilan dan lebih lagi kurang tahu hidup
bersama mereka. Rasa kita menjadi tumpul dan kita menjadi lamban untuk berbuat. Dari sebab itu,
kita perlu mengambil bagian secara aktif, bertahap dan terarah dalam karya-karya sosial dan mungkin
pula dalam bentuk pengalaman kerja yang lain.

Ketiga, belajar mengumpulkan dan menganalisa peristiwa-peristiwa sosial dan politik dalam
terang iman. Bagaimana kita dapat membimbing orang lain dan menjawab persoalan-persoalan
mereka apabila kita tidak mengenal secara cukup mendalam persoalan-persoalan sosial-politik?
Analisa ini perlu dilakukan dengan bimbingan dan dalam kelompok.

Meskipun berbeda metodenya, sosiologi sangat mendukung studi tentang Ajaran Sosial
Gereja. Pembinaan sosiologis membuat orang belajar “melihat” dan mengembangkan pengamatan
tentang persoalan sosial. Sosiologi juga membina rasa tentang kemajemukan masyarakat dengan

74
segala persoalan dan harapannya.28

5.8. Ilmu-ilmu Hukum Gereja


Dalam tahun-tahun sesudah Konsili Vatikan II muncul banyak keresahan tentang Hukum
Gereja atau hukum kanonik. Haruskah ada hukum kanonik bagi Gereja yang harus dibangun
berdasarkan “hukum Roh” atau kasih (bdk. Rm 8: 2)? Apakah sistem hukum itu sesuai dengan
hakikat Gereja? Apa tugasnya? Apa tujuannya? Demikianlah satu dua pertanyaan mendasar yang
perlu dijawab dengan baik apabila kita mau mengerti tentang hukum kanonik.

Kita tidak dapat mengerti hukum kanonik apabila kita tidak pertama-tama mendalami misteri
Gereja itu. Gereja adalah umat Allah, suatu komunitas iman, pengharapan dan kasih. Komunitas ini
adalah suatu organisme yang kelihatan. Hidupnya selalu didukung oleh Kristus, Pendiri dan
satu-satunya Pengantara kepada Bapa. Melalui Gereja ini Kristus mencurahkan kebenaran dan rahmat
kepada semua manusia. Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus, persekutuan rohani, tetapi juga Umat
Allah yang hirarkis dan kelihatan. Ciri-ciri ini merupakan suatu kenyataan yang terpadu dan tidak
boleh dipandang sebagai hal-hal yang terpisah. Gereja memiliki unsur insani dan ilahi (Lumen
Gentium, 8).

Hakikat Gereja yang rohani dan kelihatan ini menuntut adanya suatu hukum hidup yang
membimbing umat Allah untuk melaksanakan panggilannya di dunia ini dengan lebih baik. Adanya
hukum itu dikehendaki oleh Kristus sendiri. Dia telah mengutus rasul-rasulNya dan menyerahkan
kepada mereka tugas pelayanan tertentu (bdk. Yoh 20: 21-23; Mat 28: 16-20; 16: 19; 18: 18; Yoh
21: 15-19). Dia hadir pula melalui pelayan-pelayanNya (bdk. Mat 10: 40; Luk 10: 16). Surat-surat
para rasul menunjukkan bahwa sejak awal ada kewibawaan di dalam Gereja (bdk. mis. 2 Tim 3:
15-17; 4: 1-5; 1 Ptr 5: 1-11). Adanya kewibawaan ini dikehendaki oleh Kristus sendiri. Gereja
bukanlah umat Allah yang tidak teratur.

Hukum dibutuhkan karena Gereja adalah suatu komunitas keselamatan. Seorang Kristen
diselamatkan hanya dalam dan melalui persekutuan itu. Hukum bertujuan melindungi kebaikan bersama
dan salah satu nilai utama yang perlu dilindungi adalah kebebasan. Tanpa hukum akan mudah sekali
muncul anarki. “Tanpa hukum pertanggungjawaban melemah, kekacauan muncul, kebebasan menjadi
anarki, hidup sosial menjadi tidak terpadu; tanpa hukum, kewibawaan menjadi tirani, kehormatan
manusia dilanggar. Hanya hukum yang membuat ketegangan yang tidak terelakkan antara kewibawaan
dan kebebasan, disiplin dan inisiatif menjadi subur; melalui hukum ketaatan menjadi kesetiaan,
kewibawaan menjadi kepercayaan. Karya-karya besar akal budi dan kasih tidak terjadi melalui hukum,
tetapi tanpa hukum semua itu pasti gagal. Hal itu cukup untuk membenarkan perlunya hukum dan
menjadikannya pantas dihormati.”29

28
Bdk. R.A. Sigmond, “Sosiologia e dottrina sociale della Chiesa”, ibid, 721-786, P Droulers,
“La sociologie religieuse dans la formation pastorale de futur prêtes”, ibid, 816-833.

29
L.de Naurois, dikutip oleh H.Wagnon, "L'etude di Droit canonique & la formation du futur pretre",
Seminarium 15 (1975), 822-836 di sini 829-830.

75
Meskipun hukum itu merupakan suatu keharusan dalam hidup Gereja dan tinggi nilainya,
namun perlu disadari tentang tempatnya yang sebenarnya dalam misteri hidup Gereja. Yang paling
utama dalam hidup Gereja adalah kasih dan hidup batin. Ketaatan terhadap hukum tidak pernah dilihat
sebagai pengukuran kekudusan. Kasih mengatasi hukum dan hukum tidak mempunyai tujuan dalam
dirinya sendiri. Hukum bertujuan melayani umat Allah dan melindunginya dari bahaya-bahaya yang
disebutkan di atas. Hukum tidak membangkitkan iman dan menoangkat mutu perbuatan moral.30

Hukum kanonik haruslah dibedakan dengan hukum sipil. Hukum Kanonik berdasar pada
misteri Gereja, pada sabda dan sakramen. Tujuannya ialah membimbing orang beriman pada hidup
kekal.31 Dari sebab itu, tanpa suatu pembinaan teologis yang mendalam hukum kanonik tidak mungkin
dimengerti.

Mengingat Hukum Kanonik sebagai suatu yang berakar dalam misteri Gereja, maka Konsili
Vatikan II menegaskan supaya dalam mempelajarinya “diperhatikan misteri Gereja, menurut Konstitusi
Dogmatis ‘De Ecclesia’ yang dikeluarkan oleh konsili ini”. (Optatam Totius, 16). Ilmu Hukum Gereja
tidak dapat dipisahkan dari teologi. Dari sebab itu, dalam mempelajari Hukum Kanonik perlu sekali
ditanyakan pertama, dasar-dasar teologisnya (misalnya kewajiban beribadah pada hari Minggu; dewan
imam) yakni dengan melihat bagaimana peraturan itu sesuai dengan Allah yang mencari keselamatan
manusia dalam segala-galanya (Ratio Fundamentalis Institutionis Sacerdotalis 79); kedua, harus dilihat
tujuan pastoralnya. “Sebab ‘hukum’ itu memperoleh kekuatan yang lebih besar apabila dimengerti
dengan lebih baik fungsinya di dalam hidup Gereja.”32

Menurut H. Wagnon33 hal-hal berikut sangat perlu diperhatikan dalam belajar hukum kanonik:
Pertama : mengerti dan mendalami sebaik-baiknya struktur Gereja dan permainan
lembaga-lembaganya. Si calon harus tahu membedakan mana struktur yang dikehendaki oleh Kristus
sendiri (seperti keuskupan) dan mana yang berasal dari Gereja (seperti kolegium para Kardinal).
Dalam membicarakan soal struktur Gereja gagasan-gagasan seperti subsidiaritas dan
pertanggungjawaban bersama perlu dipahami dengan betul.
Kedua : prinsip-prinsip dasar disiplin kegerejaan (Normae Generales) haruslah dikuasai
dengan baik. Orang harus membedakan dengan tepat misalnya dispensatio dan licentia. Hukum
haruslah ditafsirkan menurut maksud pemberi hukumnya. Ada hukum yang harus ditafsirkan secara
strictum.

30
ibid, 829.
31
Paulus IV, dikutip oleh K.Morsdorf, “Kanonisches Recht als theologische Disziplin”, ibid,
802-821, di sini 803.
32
Surat Edaran kongregasi suci untuk pendidikan Katolik “De doctrina Iuris Canonici Candidatis
ad Sacerdotium Tradenda”, 1975, bagian I.

33
H. Wagnon, art. cit., 830-833.

76
Ketiga : bahwa hukum liturgis merupakan bagian dari Hukum Kanonik. Tujuannya ialah untuk
menjamin kemurnian ibadah dan kehormatan perayaannya.
Keempat : tentang hukum sipil yang ada kaitannya dengan hidup Gereja. Contoh hukum
perkawinan sipil, status paroki, biara dan sekolah dalam pandangan pemerintah, soal tanah dan
gedung (hak pakai, hak guna bangunan, hak milik) dan lain sebagainya.

Tidak perlu dikatakan di sini bahwa studi tentang Hukum Gereja merupakan suatu keharusan
bagi seorang calon imam. Hukum Kanonik yang dijiwai oleh semangat Injil dapat membentuk orang
menjadi manusia Gereja artinya manusia yang mengasihi dan siap melayani Gereja. Hukum kanonik
menunjukkan kepadanya perhatian Gereja yang terus menerus untuk menghormati iman dan
kebebasan anak-anak Allah. Hukum kanonik membina orang untuk memiliki “perasaan yang tajam
tentang kebutuhan rohani umat Allah dan juga keyakinan bahwa moral, hidup Kristen tidak dapat
mengabaikan hukum dan lembaga-lembaga”.34 Sekarang kita memiliki Hukum Kanonik yang baru
yang disahkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 25 Januari 1983.

6. Kesatuan Teologi

a) Kita telah membicarakan teologi dan cabang-cabangnya dan mungkin sekarang menyadari
betapa luasciya teologi itu. Kita mungkin menjadi sedikit bingung dan bertanya-tanya di mana
sebenarnya terletak kesatuan teologi itu. Pertanyaan ini sangat penting dan vital. Salah satu
kebutuhan yang paling mendalam dari akal budi manusia ialah mencari kesatuan yang organis dari
segala sesuatu yang dikenalnya. Keharusan pembidangan dalam ilmu membuat dia lebih tidak puas
lagi. Akal budinya tidak akan berhenti mencari sebelum menemukan rahasia kesatuan yang terdalam
dari segala sesuatu yang dikenalnya. Demikian pula halnya dalam teologi. Kesadaran akan kesatuan
antara cabang-cabang teologi amat vital. Teologi tidak pernah akan menjadi sumber hidup dan
kegembiraan apabila orang tidak menyadari kesatuan itu. Konsili Vatikan II dan dokumen-dokumen
yang menyusulnya tentang pembinaan calon imam sangat menekankan pula hal itu.35 Di bawah ini
kami mencoba menjawab pertanyaan tersebut dari berbagai sudut : dari objeknya, subjeknya, tujuan
dan dimensi-dimensinya serta dari sumber-sumbernya.

b) Dari objeknya

Teologi adalah ilmu iman. Dalam teologi kita mencari pengertian tentang “kekayaan, hikmat
dan pengetahuan Allah” yang tak terselidiki keputusan-keputusannya dan tak terselami jalan-jalanNya”
(Rm 11: 33). Pusat dan puncak segala pengetahuan Allah yang tak terselami ini terdapat dalam
misteri Kristus. Karena itu St. Paulus berdoa:
“Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat
memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih

34
ibid., 834.
35
Bdk. Optatam Totius, 14.17; Ratio Fundamentalis Institutionis Sacerdotalis, 61.77,
Formazione teologica die futuri sacerdoti, 111.1.2-3 secara luas dan mendalam.

77
Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan”
(Ef 3: 18-19a).
Dalam teologi kita mencari pengertian tentang rahasia kekayaan pengetahuan Allah yang tak terduga
dan tak terselami itu. Kita mendekati kekayaan pengetahuan Allah ini berulang-ulang dan dari berbagai
aspek.

Dalam Eksegese kita berhadapan dengan Allah sendiri untuk mendengarkan dan mendalami
firmanNya dan karya-karyaNya bagi umat manusia.

Dalam Patrologi kita belajar mendengarkan bagaimana bapa-bapa Gereja merenungkan


pengetahuan Allah itu mencari artinya untuk hidup.

Dalam Sejarah Gereja kita belajar mendalami perjuangan Gereja untuk menghayati
perutusannya dalam perjalanan dan pergolakan zaman.

Dalam Teologi Fundamental kita mencoba mempertanggungjawabkan iman kita itu dengan
“lemah lembut dan hormat dan dengan hati yang murni” (1 Ptr 3: 15) kepada semua orang yang
bertanya dan “memfitnah kita karena hidup kita yang saleh dalam Kristus” (bdk. l Ptr 3: 15).

Dalam Teologi Dogmatik kita mencari pengertian yang menyeluruh dan terpadu tentang “misteri
Kristus yang memasuki sejarah manusia seluruhnya, dan terus menerus bekerja dalam Gereja serta
berkarya terutama melalui pelayanan imamat” (Optatam Totius, 14), “sekalipun ia melampaui segala
pengetahuan” (Ef 3: 19b).

Dalam Teologi Pastoral kita mendalami apa-apa saja yang harus dikerjakan Gereja untuk
melaksanakan perutusannya dalam suatu situasi konkret tertentu agar jemaat dapat mengenal
kekayaan pengetahuan Allah dan memahami kasih Kristus yang melampaui segala pengetahuan.

Dalam Misiologi kita mencari bagaimana keputusan-keputusan dan jalan jalan Allah yang
tak terselidiki dan terselami itu dapat berurat dan berakar dalam nilai-nilai pra-injili kebudayaan kita
dan mendalami misi Gereja dalam suatu masyarakat.

Dalam Teologi Ekumenisme kita mendalami pemahaman Gereja-gereja dari persekutuan-


persekutuan kegerejaan lain tentang “misteri Kristus yang terus-menerus bekerja di dalam Gereja”
(Optatam Totius, 14) dan mempelajari bagaimana persatuan kembali seluruh umat Kristen itu dapat dan
harus diusahakan.

Dalam Liturgi kita mau melihat bagaimana “misteri Kristus yang terus menerus bekerja
dalam Gereja” itu harus dirayakan sebaik-baiknya “bagi kemuliaan Allah di dalam jemaat” (Ef 3:
21)

Dalam Kateketik-homiletik kita mendalami bagaimana “kekayaan, hikmat dan pengetahuan


Allah yang tak terselidiki dan tak terselami” itu dapat diwartakan “sehingga oleh iman kita, Kristus

78
diam di dalam hati jemaat dan bersama berakar serta berdasar dalam kasih” (Ef 3: 17)

Dalam Teologi Spiritualis kita mendalami “jalan-jalan untuk mencapai kepenuhan hidup
dalam Kristus” terutama yang diperoleh dari pengalaman akan hal-hal yang rohani.

Dalam Ajaran Sosial Gereja kita mempelajari bagaimana Gereja harus menghayati kasih
Kristus sekarang “untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin, memberitahukan
kebebasan kepada orang-orang yang tertindas dan memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang”
(bdk. Luk 4; 18-19a).

Dan akhirnya dalam Hukum Gereja kita mempelajari bagaimana hidup umat Allah yang
hierarkis dan selalu didukung oleh Kristus, Pendirinya, harus diatur.

c) Dari subyek atau kekuatan yang menjiwainya

Teologi adalah karya iman. Tanpa iman tidak ada teologi. Iman mendahului dan harus
menyertai seluruh refleksi kita dalam cabang teologi manapun dan dalam tahap apapun dari refleksi
tersebut. Iman adalah terang kita melihat dan mendalami segala sesuatu. Dalam sikap iman seluruh
cabang teologi menemukan kesatuannya.

d) Dari tujuan dan dimensi-dimensinya

Kesatuan cabang-cabang juga terletak dalam tujuan dan dimensi-dimensinya. Semua aspek
pembinaan calon imam, rohani, intelektual dan disipliner mempunyai tujuan pastoral. Pembina dan
yang dibina hendaknya mempunyai hanya satu tujuan yakni “menjadi gembala jiwa yang sejati
menurut teladan Yesus Kristus Tuhan, Guru, Imam dan Gembala” (Oplatam Totius, 4). Pembinaan
intelektual yang bertujuan pastoral sama sekali tidak mengurangi keilmiahan teologi, bahkan
sebaliknya. Hanya teologi yang berjiwa pastoral yang hidup dalam tujuan wahyu Allah. Teologi yang
semacam ini dengan sendirinya akan menjadi santapan rohani.

Kesatuan cabang-cabang teologi itu juga terletak dalam dimensi-dimensinya. Semua cabang
teologi harus mempunyai dimensi misioner dan ekumenis. Dia harus membentuk kesadaran dan
semangat misioner dan ekumenis.

e) Dari sumher-sumbernya

Akhirnya kesatuan teologi itu dapat diketemukan dalam sumber-sumbernya yakni Kitab Suci,
Tradisi dan Ekaristi (+Ibadat Harian).

Kitab Suci bukanlah suatu uraian sistematis tentang iman kita. Dia adalah kesaksian Israel
dan Gereja para Rasul tentang karya-karya agung yang dikerjakan Allah baginya dan bagi manusia
dan tentang reaksi atau jawaban manusia terhadap karya-karya agung itu di tengah pergolakan
sejarah dan hidup. Meskipun sama sekali tidak mudah menemukan kesatuan dari

79
kesaksian-kesaksian tersebut, namun di dalamnya kita bertemu dengan hikmat dan pengetahuan
Allah yang satu dan sama, yang tak terselidiki dan terselami keputusan-keputusanNya (Tim 11: 33).
Di dalam pertemuan dengan Allah yang satu dan sama inilah, teologi sebagai karya jawaban iman
menemukan kesatuannya.

Kesatuan teologi juga dapat dijumpai melalui Tradisi. Mungkin orang akan heran dengan
pernyataan ini. Bukankah ada begitu banyak penafsiran iman dalam Tradisi? Bukankah setiap
penafsiran iman haruslah dilihat dalam latar belakang sejarahnya? Memang semuanya itu benar,
tetapi Tradisi membimbing kita untuk tetap menjaga kesatuan iman dalam perkembangan.36

Kesatuan teologi itu akhirnya diperoleh dalam dan melalui perayaan Ekaristi37 dan Ibadat
Harian yang mengembangkan dan mempersiapkan pujian Ekaristi.38

Teologi adalah karya iman. Kebenaran iman yang kita perdalam dalam teologi adalah
kebenaran kehidupan. Ekaristi adalah pusat dan puncak seluruh hidup jemaat Kristen. Di dalamnya
Gereja memberikan jawaban kepada karya-karya agung Allah yang didengarnya melalui tanda
korban Kristus yang merupakan puncak karya kasih Allah kepada manusia. “Wafat Kristus kita
maklumkan, kebangkitanNya kita muliakan, kedatanganNya kita rindukan.” Seluruh kekayaan
iman kita dirayakan dalam Ekaristi dan diteruskan sepanjang hari dalam Ibadat Harian/Waktu
Dalam Ekaristi iman dan refleksi iman menjadi satu perayaan pujian, syukur, permohonan,
kepercayaan dan pengharapan bagi hidup dunia. Bersama Rasul agung St. Paulus kita mau dengan
rendah hati ikut berseru:
“Bagi Dialah yang dalam segala sesuatu dapat melakukan jauh lebih banyak daripada yang dapat
kita doakan atau kita pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang
bekerja dalam kita, bagi Dialah kemuliaan di dalam Gereja dan di dalam Kristus
Yesus turun-temurun sampai selama-lamanya. Amin.”
(Ef 3: 20-21)

36
Bdk. H. Hryniewicz, ‘La tradition come principe d’unite de L'ensegneiment theologique”.
Seminarium 11 (1971), 372-394.

37
Bdk. L. Bouyer, L'eucharistie signe et instrument de communion ai sacacrifice sauveur”, ibid.,
395-404.

38
Bdk. Presbiterium Ordinanis, 5; Institutio eneralis Liturgiae Horarum, 12.

80

Anda mungkin juga menyukai