Anda di halaman 1dari 98

SKRIPSI

RITUAL MA’ATOR REPE AM


WATU PINAWETENGAN
DARI PERSPEKTIF TEOLOGI KONTEKSTUAL DI
KGPM SIDANG EBEN HAEZER PINABETENGAN

ALVA SONDAKH
1802228

Skirpsi Yang Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teologi

INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI MANADO


FAKULTAS TEOLOGI
PROGRAM STUDI TEOLOGI
2022
SKRIPSI

RITUAL MA’ATOR REPE AM


WATU PINAWETENGAN
DARI PERSPEKTIF TEOLOGI KONTEKSTUAL DI
KGPM SIDANG EBEN HAEZER PINABETENGAN

ALVA SONDAKH
1802228

Skirpsi Yang Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teologi

INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI MANADO


FAKULTAS TEOLOGI
PROGRAM STUDI TEOLOGI
2022
FORMAT PERSETUJUAN SKRIPSI

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

PERSETUJUAN KOMISI PEMBIMBING


DIPERSYARATKAN UNTUK UJIAN SKRIPSI

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. J. Nicolaas Gara, S.Th., MA. .

Mengetahui,
Ketua Program Studi Teologi
IAKN Manado

Nama : Alva Sondakh


NIM : 1802228
Angkatan :

i
RITUAL MA’ATOR REPE AM
WATU PINAWETENGAN
DARI PERSPEKTIF TEOLOGI KONTEKSTUAL DI
KGPM SIDANG EBEN HAEZER PINABETENGAN

ALVA SONDAKH

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari tahu tentang apa itu Ritual
Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan, bagaimana jemaat KGPM Sidang Eben
Haezer Pinabetengan menyikapi fenomena Ritual Ma’ator Repe Am Watu
Pinawetengan, serta bagaimana Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan
Dari Perspektif Teologi Kontekstual Di KGPM Sidang Eben Haezer
Pinabetengan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilaksanakan di
KGPM Sidang Eben Haezer Pinabetengan pada tahun 2022.

Data dikumpulkan melalui teknik dokumentasi, observasi dan wawancara.


Dari hasil analisis dan interpretasi data diperoleh indikasi bahwa: (1) mayoritas
jemaat mengetahui mengenai Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan yang
merupakan warisan budaya oleh leluhur. (2) ini merupakan budaya yang harus di
jaga dan di lestarikan, yang dimana ritual bukan merupakan sebuah hal yang
harus di jauhi ataupun sebuah hal yang menduakan Tuhan. (3) budaya ini tidak
berlawanan dengan nilai-nilai Kristen, ini seperti Tuhan yang merendahakan diri
serta mengasosiasikan dirinya dengan budaya sehingga lewat budaya pun
manusia dapat menyembahNya.

Dari hasil temuan tersebut maka direkomendasikan agar gereja sekiranya


dapat terus merawat keharmonisan antara Agama yakni Gereja dengan Budaya,
agar tidak terjadi ketimpangang dan kesalahpahaman yang akan berakibat fatal
bagi kehidupan jemaat serta masyarakat. Kiranya juga Gereja menjadi sarana
pemersatu perbedaan lewat sosialisasi ataupun lewat seminar, karena banyak
paradigma negatif tentang kegiatan ritual ini di tengah-tengah masyarakat.
Disamping itu, anggota jemaat diharapkan senantiasa untuk dapat
mengembangkan diri dalam kebenaran firman Tuhan dan pengajaran dalam
ibadah, dan tetap terus merawat budaya yang telah menjadi warisan para
leluhur, kiranya memelihara kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan ini.

Kata Kunci: Ritual, Teologi Kontekstual

ii
KATA PENGANTAR

iii
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN i

ABSTRAK ii
KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Fokus Penelitian 6
C. Rumusan Masalah 6
D. Tujuan Penelitian 7
E. Manfaat Penelitian 7

BAB II: KAJIAN TEORETIK


A. Teologi Kontekstual 10
1. Teologi Kontekstual Menurut Stephen B. Bevans 15
2. Model-model Teologi Kontekstual 16
a. Model Terjemahan 17
b. Model Antropologi 19
c. Model Praksis 20
d. Model Transendental 21
e. Model SIntesis 22
f. Model Budaya Tandingan 23
B. Budaya 24
C. Kristus dan Kebudayaan 25
1. Christ Against Culture 26
2. Christ Of Culture 27
3. Christ Above Culture 28
4. Christ And Culture In Paradox 29
5. Christ Transforms Culture 30
D. Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan 31
1. Pemanggilan Arwah dalam Perspektif Alkitab 33

BAB III: METODE PENELITIAN


A. Metode dan Prosedur Penelitian 37
B. Waktu dan Tempat Penelitian 38
C. Instrumen Penelitian 39
D. Sumber Data Penelitian 39
E. Prosedur dan Teknik Pengumpulan Data 40
1. Penelitian Kepustakaan 40

v
2. Observasi 40
3. Wawancara 41
4. Dokumentasi 42
F. Teknik Analisis Data 43
1. Reduksi Data 43
2. Penyajian Data 44
3. Verifikasi/ Kesimpulan 44

BAB IV: PAPARAN DATA, TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Paparan Data 45
B. Temuan Penelitian 60
C. Pembahasan 65

BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan 77
B. Saran 79
DAFTAR PUSTAKA 82
LAMPIRAN

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tabel Teologi Kontekstual 11

Tabel 2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Teologi Kontekstual 12

Tabel 4.1 Daftar Pimpinan Majelis Sidang KGPM SIdang Eben Haezer

Pinabetengan 54

Tabel 4.2 Struktur Pimpinan Majelis Gereja KGPM SIdang Eben Haezer

Pinabetengan 55

Tabel 4.3 Data Keanggotaan KGPM sidang Eben Haezer pinabetengan

Tahun 2022 56

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model Terjemahan 19

Gambar 2.2 Model Antropologi 20

Gambar 2.3 Model Praksis 21

Gambar 2.4 Model Transendental 22

Gambar 2.5 Model Sintetis 23

Gambar 2.6 Model Tandingan 24

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan kehidupan manusia di bumi sudah sangat lama dan

terbagi atas beberapa zaman. Di tiap-tiap zaman pasti memunculkan

pola-pola hidup manusia yang berbeda yang dapat memudahkan

aktivitasnya sehari-hari dan disesuaikan dengan konteks zaman

tersebut. Namun, setiap manusia di tiap zaman yang berbeda sejatinya

ingin memiliki sesuatu yang dapat mereka percayai dalam

kehidupannya. Hal itu di sebabkan oleh sifat dasar manusia yang

rapuh dan butuh pegangan. Mereka pun menanggap bahwa ada hal

yang lebih besar dan kuat yang menciptakan mereka serta mengatur

segala tatanan alam semesta ini.

Sifat manusia yang rapuh inilah yang membuat manusia mulai

mencoba berpikir serta mengeksplorasi tentang perwujudan dari sang

penjaga keteraturan dunia. Kepercayaan ini pun dimanifestasikan

dalam rupa-rupa bagian dari alam yang dianggap bahwa melalui rupa-

rupa bentuk tersebutlah mereka dapat berinteraksi dengan sesuatu

yang lebih besar dan kuat itu. Perwujudan dari rupa-rupa bentuk alam

sesuai dengan kepercayaan mereka seperti, Pohon, Gunung, Batu,

Air, Matahari, hewan, dsb.

Adapun bentuk-bentuk kepercayaan serta penyembahan ini

diturun-temurunkan dari generasi ke generasi yang pada akhirnya

membentuk sebuah tradisi dari sebuah budaya. Bentuk-bentuk

1
2

kepercayaan serta penyembahan kepada rupa-rupa bagian alam ini

pun, saat ini kita kenal dengan istilah Animisme1 dan Dinamisme2.

Hal serupa pun tak dipungkiri juga terdapat di wilayah Sulawesi

Utara, lebih khususnya suku Minahasa. Persebaran masyarakat suku

Minahasa ini hampir meliputi setengah wilayah Sulawesi Utara. Tradisi

dalam budaya Minahasa pun masih sangat dipertahankan oleh orang-

orang Minahasa baik yang ada di seputaran Minahasa ataupun yang

keluar daerah. Dalam mitologi orang Minahasa rupanya sistem

kepercayaan dahulu mengenal banyak dewa. Dewa disebut Empung

atau Opo sedangkan dewa tertinggi disebut Opo Walian Wangko yang

dipercayai sebagai dewa/tuhan yang meciptakan seluruh alam dan

dunia serta segala isinya. Diketahui ada juga dewa yang penting

setelah dewa tertinggi yang disebut Karema. Dewa ini adalah dewa

yang mewujudkan diri sebagai manusia juga alat penunjuk jalan bagi

nenek moyang Minahasa serta memberikan pemahaman khusus

1
Animisme berasal dari kata anima, anime; dari bahasa latin animus dan bahasa
Yunani avepos dan dalam bahasa sang sanksekerta disebut prana. Ia adalah ajaran
doktrin tentang realitas jiwa. Dalam biologis atau psikologis animisme adalah pandangan
bahwa pikiran atau jiwa adalah salah satu elemen immaterial yang bekerja sama dalam
tubuh memulai otak dan sistem saraf. Dalam filsafat, animisme adalah doktrin yang
menepatkan asal mula kehidupana mental dan fisik dalam suatu energi yang lepas atau
sekurang-kurangnya berbeda dengan jasadnya; atau, animisnme adalah teori bahwa
segala objek-objek alami ini bernyawa atau berjiwa, mempunyai spirit dan bahwa
kehidupan mental dan fisik bersumber pada nyawa, jiwa atau spirit tadi. Zakiah Daradjat,
Perbandingan Agama 1, cet. 2, (Jakarta: IAIN Jakarta, 1982), h. 25.
2
Dinamisme berasal dari kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu dunamos
yang dalam terjemahan bahasa Indonesia berarti: kekuatan, kekuasaan atau khasiat dan
dapat juga diterjemahkan dengan daya. N. Soderblom memandang dinamisme adalah
sebagai salah satu macam bentuk struktur dari agama primitive karena ia mengemukaan
tiga macam struktur yang terdapat dalam agama primitive itu yaitu: animisme, dinamisme
dan kepercayaan kepada dewa tertinggi. Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama 1, cet. 2,
(Jakarta: IAIN Jakarta, 1982), h. 26.
3

tentang cara-cara bertani atau dewa ini diartikan sebagai cultural

hero.3

Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan, bertujuan selain

untuk menggali ingatan-ingatan lama mengenai nilai-nilai kehidupan

yang penting dari para leluhur, untuk mendapatkan kesembuhan dari

segala bentuk sakit penyakit tapi juga sebagai bentuk identitas budaya

masyarakat. Ritual ini diawali dengan doa memohonkan kekuatan,

berkat dan kesehatan dalam bahasa Minahasa. Biasanya dalam ritual

Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan, Tonaas yakni pemimpin yang

bertugas memimpin ritual, akan mengalami transfigurasi atau

kerasukan dari arwah leluhur dan menyampaikan pesan leluhur yang

telah merasuki dirinya. Pesan-pesan itu diucap dengan menggunakan

bahasa Minahasa dan diterjemahkan oleh seorang pelaku ritual. Arti

ucapan-ucapan tersebut biasanya merupakan petunjuk untuk

mendapatkan kesembuhan, dan arahan atau binaan leluhur untuk

generasinya.4

Demikan hal ini terus dilakukan beberapa masyarakat Minahasa

sampai sekarang melalui ritual termasuk Ma’ator Repe Am Watu

Pinawetengan untuk memohonkan nasihat dari leluhur. Pada

pelaksanaan ritual, hal yang paling sering menjadi tujuan ritual adalah

memohonkan wejangan untuk kesembuhan dari penyakit. Sudah sejak

zaman bahari hingga sekarang ini, budaya pengobatan tradisional

3
Keoentjaraningrat, Manusia dan kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan,
1991), h. 23.
4
M. L. Mawuntu, Redefinisi dan Rekonstruksi Tou, (Disertasi: Fakultas Teologi
UKSW, 2017), h. 7.
4

Minahasa sebagai salah satu warisan leluhur orang Minahasa,

senantiasa diamalkan dengan baik dan tekun oleh para pemimpin adat

atau juga dukun (Walian) Minahasa kepada siapa saja yang

membutuhkan pertolongan, secara cuma-cuma tanpa mengharapkan

balas jasa.

Realita yang terjadi saat ini dimana masyarakat Minahasa ada yang

mendukung untuk tetap melestarikan dan merawat budaya yang telah

diturunkan oleh nenek moyang orang Minahasa. Namun, tak sedikit

juga kelompok masyarakat Minahasa sendiri yang tidak senang dan

juga mengganggap bahwa ritual Ma’ator Repe Am Watu

Pinawetengan merupakan pemujaan terhadap hal-hal yang diluar dari

pengajaran agama atau dapat dikatakan sebagai sesuatu yang sesat.

Mayoritas masyarakat Sulawesi Utara beragama Kristen dan ritual ini

dianggap sebagai sebuah pemujaan kepada hal-hal yang tidak sesuai

dengan iman Kristen yang mempercayai Yesus Kristus sebagai Tuhan

dan yang sebenarnya harus di sembah. Ritual ini di anggap sesat

karena tujuan dari ritual ini untuk meminta wejangan dan arahan dari

para leluhur dan wejangan itu harus di lakukan dalam kehidupan

orang-orang yang melakukan ritual tersebut. Lebih miris lagi, orang-

orang yang melakukan atau mengikuti ritual ini adalah mereka yang

telah memeluk agama Kristen sejak kecil, makanya ritual ini dianggap

sebagai sebuah penistaan akan Tuhan dan kemurtadan.

Adapun di tengah perseteruan antara setuju dan tidak setuju

tentang ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan, masyarakat yang


5

tinggal di desa Pinabetengan ini sendiri tidak terpengaruh bahkan tidak

merasa ritual ini menjadi sebuah hal yang sesat. Hal ini dilihat dari

perilaku atau sikap warga masyarakat desa Pinabetengan, terlebih

khusus anggota jemaat KGPM Sidang Eben Haezer Pinabetengan

yang menganggap bahwa ritual itu merupakan warisan budaya leluhur

yang harus di rawat dan dilestarikan. Anggota jemaat KGPM Sidang

Eben Haezer Pinabetengan tidak merasa adanya kesalahan dalam

ritual tersebut, bahkan sang juru kunci dari situs budaya Watu

Pinawetengan ini sendiri merupakan Penatua yang menjabat sebagai

Sekretaris BPS/PMS Sidang dan tak sedikit anggota jemaat yang

merupakan praktisi juga Tonaas dalam ritual Ma’ator Repe Am Watu

Pinawetengan. Ritual ini pun tak mempengaruhi sikap hidup serta iman

anggota jemaat kepada Kristus. Para anggota jemaat menganggap

bahwa lewat ritual ini dapat meningkatkan solidaritas mereka terhadap

sesama anggota jemaat lewat kegiatan peribadatan dan yang juga

upaya untuk mengahargai alam ini.

Manusia selalu bertindak berdasarkan standar kebenaran yang

telah berlaku dan disepkati bersama-sama secara turun-temurun,

itulah sebabnya mengapa hukuk adat sangat berperan penting dalam

kehidupan masyarakat pada umumnya. Sekalipun standar itu

melanggar Firman Tuhan namun terus dijalani dalam kehidupan orang-

orang yang telah menjadi Kristen dan percaya kepada Tuhan”. 5 Seperti

itulah yang terjadi di suku Minahasa mereka tau jalan kebenaran

5
Billy Graham, Menghadapi Kematian dan Kehidupan Sesudahnya, (Bandung:
Lembaga Literatur Baptis, 2001), h. 8.
6

namun sebagian besar masih percaya akan budaya pemanggilan

arwah ini. Untuk itu kita perlu memahami apa yang dikatakan Alkitab

tentang pemanggilan arwah orang mati.

Berdasarkan situasi ini peneliti tergerak untuk meneliti tentang

Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan dari perspektif Teologi

Kontekstual di KGPM Sidang Eben Haezer Pinabetengan dengan

menggunakan pendekatan teologi kontekstual lewat topoli ke-2 Christ

of Culture (Kristus dari Kebudayaan) oleh Richard Niebuhr yang

menjadi metodologi penelitian (Pisau bedah) untuk mengkaji fenomena

ini. Oleh sebab itu, penelitian ini diberi judul “RITUAL MA’ATOR

REPE AM WATU PINAWETENGAN DARI PERSPEKTIF TEOLOGI

KONTEKSTUAL DI KGPM SIDANG EBEN HAEZER

PINABETENGAN”.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, peneliti memfokuskan

penelitian pada “Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan Dari

Perspektif Teologi Kontekstual Di KGPM Sidang Eben Haezer

Pinabetengan”.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka, peneliti

merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apa itu Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan?;


7

2. Bagaimana jemaat KGPM Sidang Eben Haezer Pinabetengan

menyikapi fenomena Ritual Ma’ator Repe Am Watu

Pinawetengan?;

3. Bagaimana Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan Dari

Perspektif Teologi Kontekstual Di KGPM Sidang Eben Haezer

Pinabetengan?

D. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian

ini, ialah :

1. Untuk mengetahui tentang Ritual Ma’ator Repe Am Watu

Pinawetengan;

2. Untuk mengetahui respon jemaat KGPM Sidang Eben Haezer

Pinabetengan tentang fenomena Ritual Ma’ator Repe Am Watu

Pinawetengan;

3. Untuk mengetahui Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan

Dari Perspektif Teologi Kontekstual Di KGPM Sidang Eben

Haezer Pinabetengan.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini terdiri dari dua bagian. Yakni,

manfaat teoritis yang berdasarkan studi teologi kontekstual, dan

manfaat praktis bagi pemahaman tentang sikap hidup di tengah

pengaruh kebudayaan.
8

Secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang teologi

kontekstual yang berkenaan dengan Gereja, sembari berharap bisa

menjadi pedoman dan bahan referensi dalam memperoleh

pemahaman yang benar, dan menjabarkannya agar jemaat dapat

memahami pentingnya sikap hidup sebagai orang Kristen di tengah

budaya, sehingga mampu menerapkannya dengan penuh tanggung

jawab di tengah-tengah masyarakat.

Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat untuk:

1. Gereja secara Institusi dapat merekonstruksikan kembali

pemahaman teologi tentang kebudayaan dan pengaruhnya,

guna memaksimalkan tugas dan tanggung jawab, serta

keterpanggilannya di tengah dunia; dan kiranya menjadi bahan

referensi serta dapat meningkatkan kualitas diri;

2. Peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pintu masuk

dalam kerangka studi teologi, dan titik tolak dalam melanjutkan

penelitian yang lebih mendalam dalam mengembangkan

pemahaman teologi kontekstual.

3. Kampus, memberikan sumbangan pemikiran dan pemahaman

tentang teologi sistematika, serta dapat menjadi referensi bagi

mahasiswa lain, khususnya studi teologi kontekstual dalam

upaya berteologi.
9

4. Masyarakat, dapat menjadi referensi untuk menemukan solusi

dalam menyikapi fenomena yang terjadi di tengah kehidupan

masyarakat.
BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Teologi Kontekstual

Secara etimologi, teologi kontekstual adalah refleksi dari individu

dalam konteks hidupnya atas Injil Yesus Kristus, maksudnya ialah

tentang bagaimana Injil yang sudah ada dan utuh itu dibubuhi sampul

yang baru yang bertujuan untuk memberikan keseimbangan melalui

refleksi teologis dari penerima Injil (individu) tersebut. Setiap individu

yang merefleksikan proses teologi kontekstual akan memperoleh

pemahaman, penerimaan, pendirian dan keseimbangan terhadap

kejadian atau peristiwa dari kenyataan yang dikondisikan berdasarkan

kebudayaan dan sejarah manusia dengan situasi yang dialami saat

ini.6 Teologi kontekstual merupakan dasar dari semua teologi yang

ada, diantaranya; teologi feminis, teologi hitam, teologi pembebasan

dan teologi Filipina. Untuk memahami teologi kontekstual dibutuhkan

upaya yang bersumber dari sudut pandang refleksi objektif, yang

berdasarkan; iman, kitab, kebiasaan atau tradisi dan pengalaman

masa kini.7

Dalam penerapannya Teologi Kontekstual mengalami proses

kontekstualisasi. Proses tersebut tampak dengan timbulnya keyakinan

individu terhadap sesuatu yang diperoleh melalui proses berpikir,

6
Y. Tomatala, Teologi Kontekstual (suatu pengantar), (Malang: Yayasan Penerbit
Gandum Mas, 1996), h. 2.
7
Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero,
2002), h. 1.

10
11

sehingga memperoleh pengetahuan melalui aktivitas mengingat,

menalar dan analisa.8 Pengalaman kontekstualisasi merupakan

sumber dalam berteologi, perbedaan cara berpikir dalam memahami

fenomena yang ada menjadikan teologi kontekstual hadir sebagai

penutup atau pelindung yang bersifat subjektif juga bersifat relatif.

Akan tetapi pada kenyatannya setiap individu pasti akan tetap terikat

dengan tradisi karena secara historis hal tersebut merupakan asal-usul

dan sumber sejarah.9

TABEL TEOLOGI KONTEKSTUAL10

Pengalaman masa lampau Pengalaman masa sekarang

yang terekam dalam Kitab - Pengalaman


personal/komunal
Suci; disimpan, dibelah
- Kebudayaan
dalam tradisi
- lokasi sosial

- perubahan sosial

Tabel 2.1 Sumber: Buku Model-model Teologi Kontekstual

Tabel berikut menjelaskan bahwa pengalaman masa lampau dan

masa kini memiliki dua potensi, yang pertama saling bertabrakan

karena pengalaman masa lampau dan masa kini tidak dapat

dipaksakan untuk menjadi sama; yang kedua, pengalaman masa

8
Y. Tomatala, Teologi Kontekstual (suatu pengantar), (Malang: Yayasan Penerbit
Gandum Mas, 1996), h. 2.
9
Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero,
2002), hh. 2-3.
10
Ibid, h. 9.
12

lampau merupakan pembentukan sedangkan pengalaman masa kini

lebih berperan untuk memberikan nyawa atau wadah realitas agar

sesuai dengan konteks masa kini. Namun, interaksi diantara keduanya

tetap tidak dapat dipisahkan karena adanya dialog kritis timbal balik

yang membuat pengalaman masa lalu dan masa kini harus

berdampingan agar seimbang.11

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TEOLOGI

KONTEKSTUAL:

Faktor internal (merujuki Faktor eksternal (kenyataan

berdasarkan teks/tradisi) diluar teks/tradisi)

- aspek inkarnasi - ketidakpuasan terhadap

ketidakselarasan konteks
- aspek sakramen realitas

- menyadari ciri opresif


- aspek katolisasi

- mengakui keberadaan konteks

Tabel 2.2 Sumber: Buku Model-model Teologi Kontekstual

Manfaat Teologi Kontekstual adalah sebagai berikut;

1. Orang percaya ditolong untuk memahami konteks atau

persoalan hidup sebaik- baiknya, karena teologi kontekstual

biasanya menukik dengan tajam kedalam isu-isu yang konkret.

2. Orang percaya dibimbing untuk tidak menolak atau

menerima dengan begitu saja warisan gereja yang sudah


11
Stephen B. Bevans, Teologi dalam Perspektif Global: Sebuah Pengantar,
(Maumere: Flores NTT, 2010), hh. 229-230.
13

turun-temurun, termasuk temuan-temuan sesama orang

percaya dari komunitas yang sama maupun yang lain.

3. Memperlengkapi pada praktisnya untuk bersikap kritis

terhadap kebudayaan sendiri dengan semua

perangkatnya, termasuk budaya dan gaya hidup modern.

4. Mendorong manusia untuk menjalani kehidupan percaya

bukan dengan melihat ke dalam Alkitab, melainkan melihat

melalui Alkitab otoritas Alkitab sebagai Firman Allah tidak

disangkal atau ditolak.

Dasar dari Teologi Kontekstual merupakan inkulturasi yang

berhubungan dengan pemberdayaan budaya setempat yang relatif

tradisional sebagai sarana untuk berkomunikasi tentang kabar

sukacita.12 Allah menyatakan diri-Nya dan berinkarnasi melalui wahyu

dalam Alkitab sebagai sang pencipta, sehingga Allah menjadikan

kehendak-Nya yang abadi dan menciptakan manusia. Penekanan

utamanya adalah Allah merupakan penggerak utama atas

kontekstualisasi, dimulai ketika Allah menyatakan diri-Nya dan

semuanya yang ada berasal dari-Nya.13 Pernyataan Allah akan diri-

Nya, membangun relasi/hubungan-Nya dengan manusia (objek

penerima injil) melalui wahyu.

12
Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks, (Yogyakarta: BPK Gunung
Mulia, 2000), h. 17.
13
Y. Tomatala, Teologi Kontekstual (suatu pengantar), (Malang: Yayasan
Penerbit Gandum Mas, 1996), h. 12.
14

Kontekstualisasi dinyatakan dalam konteks budaya total dari suatu

masyarakat yang berkembang oleh kreativitas manusia dan refleksi

teologis dinyatakan lewat filter budaya dan akan seimbang dengan

pemahaman/penerimaan yang terbungkus dalam kebudayaan. 14

Manusia diciptakan untuk berkreativitas dalam berbudaya dan

menjadikan Wahyu Allah sebagai dasarnya. Terdapat dua hal yang

dapat dipahami dalam pernyataan tersebut yaitu; hubungan Allah

sebagai pencipta dan bertanggungjawab atas penyataan diri-Nya dan

manusia yang menerima pernyataan-diri Allah melalui filter

kebudayaan.15

Dalam pemahamannya, teologi kontekstual memiliki dua sisi, yang

pertama; setiap individu berhadapan dengan konteks, budaya dan

agama tradisional; di sisi lainnya setiap individu bergumul dengan

konteks modernisasi yang menyebabkan perubahan terhadap nilai dan

kebiasaan setiap individu. Terdapat beberapa konteks yang

mempengaruhi teologi konteksual, diantaranya konteks Alkitab, konteks

tradisi sistematis dan konteks kita masa kini.16 Proses kontekstualisasi

terjadi ketika seseorang mampu untuk memposisikan diri ditengah

lingkungannya, namun tidak harus berubah total agar menjadi sama

dan diterima oleh lingkungannya.

Dalam ilmu psikologi, kita tahu bahwa orang yang menolak masa

lalu sebetulnya menolak dirinya sendiri dan hal tersebut membuat


14
Y. Tomatala, Teologi Kontekstual (suatu pengantar), (Malang: Yayasan
Penerbit Gandum Mas, 1996), h. 18.
15
Ibid, h. 13.
16
Ibid, hh. 18-19.
15

orang tersebut sulit untuk menghadapi masa depan. Perlunya

peneriman diri sendiri dan kemampuan menyesuaikan diri dengan

konteks merupakan proses kontekstualisasi, maksudnya ialah kita tidak

harus menolak masa lalu, namun menjadikan masa lalu sebagai

warisan/tradisi.17 Adapun unsur-unsur yang selalu tampak dalam

kontekstualisasi ialah pernyataan-diri Allah, transformasi dan

penghayatan perjanjian berkat Allah yang direfleksikan dari perspektif

sudut pandang budaya.18

1. Teologi Kontekstual menurut Stephen B. Bevans

Bevans merujuk dari analisis kritis teolog-teolog sebelumnya

dalam mengemukakan pembedaan terhadap pemutlakan dua sumber

yaitu Alkitab dan Kitab Suci. Teologi Kontekstual merupakan upaya

untuk memperbaharui pemahaman masa lampau untuk disesuaikan

dengan konteks masa kini, berdasarkan indikator bukan untuk

mengubah namun memberikan warna yang baru berdasarkan realitas.

Teologi Kontekstual sebagai sebuah proses upaya dalam beriman

secara budaya, bukan semata-mata membahasakan kebenaran-

kebenaran dan keyakinan kodrat dalam paham-paham yang dikenal

manusia melalui budaya. Teologi kontekstual bertujuan untuk

menemukan makna yang baru atau memperluas makna yang sudah

ada dengan tantangan konteks yang baru secara terus- menerus.30

Berteologi kontekstual adalah tugas dan tanggungjawab orang Kristen


17
Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks, (Yogyakarta: BPK Gunung
Mulia, 2000), hh. 18-19.
18
Y. Tomatala, Teologi Kontekstual (suatu pengantar), (Malang: Yayasan
Penerbit Gandum Mas, 1996), h. 18.
16

yang beriman, kerena hal tersebut merupakan tantangan yang akan

menghadapkan seseorang untuk mampu berteologi dalam konteks

yang bersifat subjektif.

Teologi kontekstual harus melakukan pendekatan dengan cara

membedah, memahami, memetakan kenyataan yang plural

berdasarkan sudut pandang tertentu. Misalnya harus memahami

terlebih dahulu tentang keseluruhan unsur realitas injil, yaitu; Yesus,

gereja, Alkitab dan orang-orangnya. Agar dapat dipahami, maka teologi

kontestual juga harus memahami bahwa kebudayaan tidak pernah

statis, sehingga teologi kontestual harus menata, menghadapi realitas

kebudayaan dan dinamis agar dapat diterima dan diterapkan dalam

kehidupan setiap orang yang memahaminya.19

2. Model-model Teologi Kontekstual

Hakikat masing-masing model kontekstual yang pertama, tidak

pernah mencukupi atau tidak dapat menyikapi secara utuh/tuntas; yang

kedua, sebjektifitas yang melibatkan sudut pandang dan keyakinan

personal; yang ketiga, tidak menggunakan secara tunggal absolud atau

memutlakkan satu pendekatan sebagai yang paling benar; yang

keempat adanya interaktif yang bersinergi. Peran dari model-model

kontekstual adalah untuk membedah dan memahami bagian- bagian

realitas saja bukan secara keseluruhan.

19
Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero,
2002), h. 45.
17

Dalam menyelesaikan masalah yang melibatkan model-model

teologi kontekstual dapat menggunakan satu model, namun tidak

menutup kemungkinan untuk menggunakan lebih dari satu model.

Karena untuk memahami masalah yang ada, peran model-model

kontekstual berbeda-beda dan dibutuhkan analisa dari beberapa sudut

pandang, agar ditemukan kesesuaian penggunaan.20

Berikut model-model yang terdapat dalam teori kontekstual

menurut Bevans, diantaranya21:

a. Model Terjemahan

Model terjemahan merupakan sebuah proses menafsir

namun tidak secara harafiah untuk mengartikan atau

menterjemahkan kata per kata dari sebuah kalimat, melainkan

model terjemahan merupakan jembatan untuk menemukan

makna secara relevan sesuai konteks dengan arti yang

konkret. Prinsipnya seperti injil yang kekal tidak berubah,

sedangkan konteks akan menjadi wadah injil yang akan

memberi penampilan yang berbeda. Misalnya seperti khotbah,

dikemas dan disampaikan dengan sampul yang berbeda-

beda, namun tetap bertujuan untuk mentransfer rasa yang

sama, yaitu makna injil. Model terjemahan merupakan model

yang menghargai teks, penghargaan terhadap konteks lebih

menonjol bukan hanya sekedar menjadi sarana yang akan


20
Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero,
2002), hh. 51-56.
21
Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero,
2002), h. 59..
18

berharga, apabila ada inti atau isi didalamnya.22 Kelemahan

dari model tersebut adalah model tersebut tidak memiliki nilai

sama sekali, tetapi akan sangat berharga dan berfungsi

apabila ada inti atau isi di dalamnya. Model terjemahan bersifat

dinamis, sehingga apabila tidak memahami model ini maka

akan timbul pemikiran yang berat sebelah, yang beranggapan

bahwa budaya lebih penting dari pada konteks atau

sebaliknya.

Kebudayaan sering kali menjadi sorotan dalam model ini,

namun pertimbangannya budaya tidak dapat sepenuhnya

menjadi sentral agar diterima seutuhnya dengan begitu saja,

namun tetap harus diimbangi dengan sikap kritis, agar tidak

timbul ketidaksetaraan dalam menilai dan memahami model

tersebut. Penghargaan terhadap model terjemahan sangat

bergantung pada kedua sisi, baik inti atau tradisi dari konteks

itu sendiri dengan konteks masa kini keduanya sama- sama

penting dan bernilai, seperti bagan berikut;

Injil Konteks

Dinamis

Tradisi Perubahan Sosial

Gambar 2.1 Model Terjemahan23


22
Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero,
2002), h. 75.
23
Ibid, h. 73.
19

b. Model Antropologis

Model Antropologis merupakan model yang tidak kaku,

memiliki warna yang berbeda namun kadang terlalu bebas

tanpa batasan dalam konteks yang baru dan berpusat pada

nilai dan kebaikan pribadi secara individual. Prinsip keabsahan

konteksnya diakui sejak awal sebagai sesuatu yang unik dan

berharga. Manusia sebagai sarana pewahyuan Ilahi sadar

bahwa manusia sendiri memiliki peran masing-masing,

sehingga konteks adalah sesuatu yang kudus, karena ada nilai

keabsahan dalam setiap konteks, sehingga konteks akan

menentukan isi dari teks (setiap konteks unik). Model

antropologis memiliki prinsip untuk mempertahankan esensi

budaya dan tetap melibatkan konteks di dalamnya. Seperti

bagan di bawah menjelaskan bahwa konteks dengan tradisi

bersifat fleksibel.24

Konteks Injil

Stabil/fleksibel

Perubahan Sosial Tradisi

24
Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero,
2002), h. 98.
20

Gambar 2.2 Model Antropologis

c. Model Praksis
Model Praksis merupakan perpaduan antara praktik (aksi)

dan refleksi atas aksi dalam sebuah spiral yang berkelanjutan

dan model ini menjadi titik pusat jati diri Kristen dalam konteks

tertentu sering disebut dengan teologi pembangunan. Model

praksis terbentuk melalui cara berpikir yang lebih intensif

(mendalam) tidak mengambang dan penekanannya ialah,

setiap tindakan harus memberi makna dalam perubahan

sosial.

Model praksis bukan model untuk menafsirkan dunia,

melainkan sebuah model untuk mengubah dunia. Misalnya

dalam situasi kemiskinan yang merajalela, penindasan dan

marginalisasi manusia berjalan secara terus-menerus. Model

praksis menekankan bahwa setiap orang tidak hanya sekedar

mendengarkan firman, tetapi juga melakukannya (Yak 1:22). 25

Kelemahan dari model praksis adalah pelakunya terkadang

kurang tegas dan berani dalam menggunakan model tersebut,

lebih dominan hanya sekedar teori dan minim praktik.

Aksi
Analisis teks
dan -{ Kitab Suci & Tradisi }-
25 Analisis konteks
Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero,
Refleksi
2002), hh. 128-133.
21

Gambar 2.3 Model Praksis

d. Model Trasendental

Manusia sebagai personal (identitas) dan komunal

(profesi) yang memiliki kepekaan terhadap yang Ilahi,

memahami teologi sebagai proses menalar untuk memahami

iman secara autentik. Tinjauan kritis terhadap model tersebut

yaitu; mengabaikan celah relativitas, melihat dan menilai

bahwa setiap konsep memiliki pengalaman secara personal

dan mengandaikan persamaan proses menalar dalam diri

manusia, sekalipun berbeda konteks. Kelemahan dari model

trasendental yaitu sering berbeda pendapat karena kebebasan

dalam berpikir, meskipun sama-sama menganalisa satu hal

tetap saja akan lahir pemahaman yang berbeda. Semua

diandaikan seakan sama padahal tidak. Menerima semua

pendapat tanpa mempertimbangkan dan tanpa memberi

batasan yang memberi peluang untuk kesalahpahaman,

seperti bagan berikut;

Budaya

Teologi Kontekstual
22

Subjek yang otentik Religius/Kekristenan

Gambar 2.4 Model Transendental26

e. Model Sintesis

Model sintesis merupakan model memiliki pendirian yang

tidak konsisten. Model sintesis bertujuan untuk

mempertahankan injil, konteks lain dialogis dan analogis.

Model tersebut merupakan campur aduk dari berbagai konteks

hidup manusia, setiap konteks memiliki keunikan masing-

masing, setiap orang bisa belajar dari orang lain dan

pengakuan diri sendiri oleh orang lain.27 Kelemahan model

sintesis adalah tidak menerima semua sintesis, cenderung

bimbang (berusaha menjangkau orang lain, namun tanpa

tujuan yang pasti), sulit menerima transparansi dan kritikan

namun ingin menjadi teladan. Pengaruh yang paling buruk

adalah sikap model tersebut yang menerima pendapat/pujian

“yang baik saja” tanpa menyeleksi.

Injil/Tradisi

Budaya Perubahan Sosial

26
Yuli, Gunnawan A.S, Khotbah Paulus Areopagus sebagai sebuah Model
Berteologi Kontestual (Studi Pendekatan Retorik Kis. 17:16-34), (Program Pasca
Sarjana: Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, 2003), h. 122.
27
Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero,
2002), hh. 165-169.
23

Bentuk pemikiran/budaya lain

Gambar 2.5 Model Sintesis28

f. Model Budaya Tandingan

Model budaya tandingan bukan bersikap anti budaya,

melainkan pengakuan terhadap ambiguitas budaya dan

konteks; baik dan buruknya. Model ini mengkritisi dan

menganalisis konteks. Konteks itu sendiri membutuhkan

pengakuan terhadap injil sebagai lensa dan pengarah. Model

ini merupakan perjumpaan atau keterlibatan konteks melalui

analisis kritis, namun tetap menghargai injil seutuhnya dalam

nubuat injil secara dinamis ditengah lingkungan yang kuat

bahkan dalam keadaan bermusuhan sekalipun. Model budaya

tandingan setia terhadap injil dan tidak berada jauh dari injil,

tetap mempertahankan injilnya dan berusaha agar relevan

dan tetap berpusat pada konteks.42 Kelemahan model tersebut

ialah memiliki sikap (inklusif), konteks berada di bawah injil

tetapi tidak berjauhan dan tetap mempertahankan injil.

Model Trasendental Model Sintetis


Model Antropologis
Model Praksis
Model Budaya Tandingan

Model Terjemahan
28
Ibid, h.170.
24

Konteks

Gambar 2.6 Model Budaya Tandingan

B. Budaya

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Kebudayaan adalah: 1)

Hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti

kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. 2) Kebudayaan adalah antara

keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang

digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang

menjadi pedoman tingkah lakunya.29 Menurut Kamus Umum Bahasa

Indonesia Kebudayaan adalah: 1) Segala sesuatu yang dilakukan oleh

manusia sebagai hasil pemikiran dan akal budinya. 2) Peradaban sebagai

hasil akal budi manusia. 3) Ilmu pengetahuan manusia sebagai mahluk

sosial yang dimanfaatkan untuk kehidupannya dan memberikan manfaat

kepadanya.30

Menurut Edward B. Taylor, Kebudayaan merupakan keseluruhan

yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan,

kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain

yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.

29
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Budaya, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 170.
30
J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), h. 211.
25

Menurut Koentjaraningrat, Kebudayaan adalah keseluruhan sistem

gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

Menurut William H. Haviland, Kebudayaan adalah seperangkat

peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota

masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan

melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di terima ole semua

masyarakat.

Menurut Ki Hajar Dewantara, Kebudayaan berarti buah budi

manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat,

yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia

untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan

penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang

pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

C. Kristus dan Kebudayaan

Perjumpaan antara Injil dan budaya merupakan isu yang menarik

untuk diperbincangkan. Injil tidak hadir dalam ruang hampa, melainkan ia

hadir dalam dunia yang telah memiliki nilai-nilai budaya sebagai

identitasnya.31 Karena itu, perjumpaan antara Injil dan Kebudayaan sering

menimbulkan persoalan: apakah Injil menguasai budaya atau sebaliknya.

Upaya dan proses berteologi secara kontekstual, termasuk di Indonesia,

mencerminkan pergumulan dan ketegangan yang terus menerus. Tidak

31
A. A. Yewangoe, Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), h. 80.
26

ada jawaban final yang dapat diberikan terhadap setiap isu dan kasus

perjumpaan antara Injil atau iman Kristen dengan budaya atau

kepercayaan suku mana pun.32 Itu berati, perjumpaan antara Injil dan

Kebudayaan merupakan persoalan yang telah dan akan terus terjadi

dalam sejarah, selama Injil masih berada di tengah-tengah kebudayaan

dunia.

Bahkan Richard Niebuhr ketika berbicara tentang perjumpaan

antara Injil dan Kebudayaan cenderung mengatakan, perjumpaan antara

Injil dan Kebudayaan merupakan the enduring problem (masalah yang tak

berkesudahan).33 Melihat problem itu, Niebuhr kemudian mencetuskan

lima tipologi relasi Injil dan Kebudayaan. Kelima tipologi yang dimasud

adalah34:

1. Christ Against Culture (Kristus menentang kebudayaan)

Tipologi ini bersifat radikal, di mana dunia dipandang jahat,

karena itu dunia yang jahat harus ditolak. Di dalam dunia yang

jahat, tidak ada unsur kebudayaan yang dapat digunakan

sebagai wahana untuk menyampaikan Injil. Bahkan Injil Kristus

diproklamirkan untuk melawan kebudayaan. Ketaatan kepada

Kristus membuat manusia harus menolak segala sesuatu yang

berhubungan dengan dunia. Dimana mereka yang menolak

dunia, pastinya akan dengan teguh mempertahankankan

keyakinannya kepada Kristus. Banyak diantara mereka yang

telah menderita secara mental dan fisik demi menjalankan


32
Ibid, h. 83.
33
R. H. Niebuhr, Christ and Culture, (London: Harper and Brothers, 1956), h. 1.
34
Ibid, hh. 10-25.
27

keinginan mereka. Bahkan mereka rela menyerahkan rumah,

harta, dan juga hak perlindungan negara demi pergerakan

mereka menolak dunia.

2. Christ of Culture (Kristus dari kebudayaan)

Tipologi ini bersifat akomodatir, di mana dalam tipologi ini

tidak ada pertentangan antara Injil dan Kebudayaan. Injil

bahkan diakomodasikan ke dalam kebudayaan. Dalam

pandangan ini, manusia memposisikan Yesus sebagai Mesias

dalam suatu lingkungan sosial mereka, sosok yang dapat

memenuhi segala harapan dan aspirasi mereka,

penyempurnaan keyakinan mereka, sumber dari roh kudus

mereka. Di sisi lain, mereka menginterpretasikan Kristus melalui

budaya, menseleksi dari pengajaran-pengajaran Kristen yang

paling harmonis dengan sistem sosial dan budaya mereka,

itulah yang akan mereka aplikasikan dalam kehidupan mereka.

Melalui tipologi ini, para pelaku budaya menginterpretasikan

kebudayaan melalui Kristus, kemudian menyimpulkan bahwa

segala unsur kebudayaan sangat bersesuaian dengan Injil. Di

sisi lain, para pelaku budaya juga memahami Kristus melalui

kebudayaan. Mereka memilih ajaran Alkitab dan perilaku Kristus

kemudian menyatakannya sesuai dengan kebudayaan mereka.

Jadi melalui tipologi ini, Kristus diharmonisasikan dengan

kebudayaan.

3. Christ above Culture (Kristus di atas kebudayaan).


28

Tipologi ini bersifat sintesis, di mana tipologi ini memilik

kesamaan dengan tipologi kedua di atas. Dalam tipologi ini, Injil

dilihat sebagai sesuatu yang relevan dengan kebudayaan, tetapi

di sisi lain, Injil juga dilihat mengatasi kebudayaan. Tipologi ini

menempatkan Kristus sebagai Tuhan atas kebudayaan.

Pandangan ini sama sekali tidak menghadirkan pertentangan

antara Kristus dengan budaya. Yang dihadirkan justru adalah

pertentangan antara Kristus yang suci dengan manusia yang

berdosa. Penganut paham ini menekankan bahwa Kristuslah

yang berada di atas segala budaya, yang membentuk dan

mengijinkannya untuk terjadi, maka dari itu budaya tidak bisa

dikatakan buruk, tapi juga tidak bisa dikatakan baik. Ketika

seorang manusia melakukan dosa, lalu kemudian

mengekspresikan pemberontakannya kepada Tuhan lewat

suatu bentuk-bentuk budaya, itu juga tidak mengartikan bahwa

budaya merupaka suatu yang buruk.

Mereka mengatakan bahwa budaya ada karena Kristus yang

menciptakannya secara penuh, dan mereka melihat bahwa

keselarasan antara Kristus dan budaya adalah sebuah jawaban

yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan. Menurut

Niebuhr, penganut paham ini tidak bisa membedakan antara

pekerjaan manusia (yang adalah budaya) dari kemuliaan

Tuhan, karena semua pekerjaan manusia itu bisa terjadi juga

karena kemuliaan Tuhan. Tapi mereka juga tidak bisa


29

memisahkan antara pengalaman akan kemuliaan Tuhan dari

aktivitas budaya mereka, karena bagaimana mungkin

seseorang bisa mencintai Allah yang tidak kelihatan, tanpa

melayani saudara-saudara mereka yang kelihatan?

4. Christ and Culture in Paradox (Kristus dan kebudayaan dalam

Paradoks)

Tipologi ini bersifat dualis, di mana Luther pada abad ke-16

menjadi wakilnya. Dalam tipologi ini, manusia mengakui dan

hidup dalam dua kerajaan, yaitu: kerajaan Allah dan kerajaan

masyarakat. Tetapi di antara dua kerajaan itu tidak

berhubungan bahkan bertentangan satu sama lain. Ini adalah

paham yang kurang lebuh mirip dengan Christ above culture.

Perbedaannya adalah, ketika penganut paham ini berkeinginan

untuk mempertahankan kesetiaan pada Kristus dan sisi lain

juga ingin mempertahankan tanggung jawab terhadap budaya

secara bersama-sama, mereka percaya bahwa integrasi ini

bukanlah suatu hal yang seimbang dan menyenangkan, seperti

yang penganut above-culture rasakan. Mereka menekankan

bahwa ada sebuha paradoks, dimana konflik yang terjadi antara

Kristus dan budaya disebabkan karena dosa yang terdapat

dalam budaya.

5. Christ Transforms Culture (Kristus bertransformasi ke dalam

kebudayaan)
30

Agustinus pada abad ke-5 dan Calvin pada abad ke-16

mewakili tipologi ini. Tipologi ini melihat bahwa ada

pertentangan antara Injil dan Kebudayaan, karena kebudayaan

dilihat sebagai sesuatu yang telah jatuh dalam dosa. Akan

tetapi, orang Kristen tidak perlu memisahkan diri dari dunia,

karena Injil dapat mengubah kebudayaan dan masyarakat. Jadi

tipologi ini melihat Kristus sebagai penebus yang

memperbaharui masyarakat.

Ini adalah sebuah paham yang paling disarankan oleh

Niebuhr, dimana secara teologis, pandangan ini memiliki 3 garis

besar , yaitu melihat Tuhan sebagai pencipta, menyadari bahwa

kejatuhan manusia dari sesuatu yang baik, dan memandang

bahwa kita merasakan interaksi antara Tuhan dengan manusia

dalam perjalanan hidup manusia yang historis. Maka dari itu,

penganut paham ini percaya bahwa kebudayaan manusia

adalah kehidupan manusia yang telah ditransformasikan ke

dalam dan di dalam kemuliaan Tuhan. Pada prakteknya,

pandangan ini memiliki arti bahwa we bekerja dalam sebuah

lingkup budaya untuk mengupayakan sesuatu yang lebih baik,

karena Tuhan pada dasarnya telah menberikan manusia

kretifitas, dan itu baik (dan jelas bisa menjadi baik). Kita juga

bisa berkontribusi dalam pekerjaan transformasi ini, karena

ketika di dalam budaya.


31

D. Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan

Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan atau disebut

Pemanggilan arwah leluhur itu adalah budaya kepercayaan asli suku

Minahasa yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Pemanggilan arwah

leluhur biasa dilakukan ketika ada ritual adat baik ritual yang berbentuk

umum (upacara besar yang melibatkan seluruh kepala adat/Tonaas) dan

ritual yang berbentuk khusus (biasanya dilakukan oleh ormas ataupun

kelompok-kelompok masyarakat). Ritual umum biasanya dilakukan setiap

hari-hari besar yang sudah ditentukan seperti awal tahun bulan Januari

dan pertengahan tahun bulan Juli. Sedangkan ritual khusus tidak

tergantung dari hari-hari besar melainkan biasanya dilakukan ketika bulan

baru, bulan purnama (mahtambulelen), bulan setengah/ bulan potong

(bulan permesta), dan juga ritual khusus ini dilakukan tergantung dari

pa’kampetan yang mengatur waktu yang tepat untuk melakukan ritual

khusus yang sederhananya ritual khusus dapat dilakukan kapan saja.

Maksud dan tujuan ritual yaitu:

1. Memberikan kesempatan kepada arwah yang dipercayai adalah

nenek moyang mereka supaya memberikan amanah, pesan,

dan wejangan kepada keturunan (poyo-poyo) untuk melakukan

apa yang baik dalam kehidupan, yang selalu di dasari dari

falsafah orang minahasa “Si Tou Timou Tu Mou Tou” yang

artinya “manusia lain hidup untuk memanusiakan manusia”.


32

2. Meminta arahan atau permohonan kepada arwah leluhur agar

supaya dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dan

menyembukan orang yang sakit.

3. Meminta pegangan yang berupa notes (mantra) atau benda-

benda seperti batu, akar, pernak-pernik jaman dulu, dan benda

lainnya untuk pertahanan diri, melindungi diri.

4. Oleh karena arwah orang mati itulah yang memimpin ritual itu

sendiri, dimana pa’kampetan hanyalah sarana bagi arwa itu

untuk menjadikan dia tunggangan atau rumah sementara bagi

arwah itu untuk masuk dan berkomunikasi langsung dengan

poyo-poyonya. Salah satu bagian dari ritual itu adalah arwah

orang mati ini memimpin upacara karay (mandi kebal) di mana

arwah itu sendiri yang memandikan calon waraney untuk

menjadi kebal yang secara bersamaan di potong menggunakan

parang (santi) yang membuktikan bahwa para waraney itu

sudah kebal.

Ritual ini biasa dilaksanakan di waruga (kubur tua minahasa)

tempat dimana para leluhur atau kepala suku beristirahat, di batu-batu dan

pohon-pohon dan tempat keramat lainnya yang dipercayai sebagai

persinggahan (tempat bertedu) para leluhur, dan sebagai tempat

penyimpanan pusaka para leluhur, dan tempat pusatnya adalah Watu

Pinawetengan yang adalah pusat berkumpulnya sembilan suku Minahasa.

Pinawetengan yang berarti tempat musyawarah, mufakat, bersatu, dan

tempat pembagian adalah tempat dimana pembagian wilayah-wilayah


33

suku pada awalnya dilakukan di Watu Pinabetengan. Tempat rapat para

leluhur untuk menentukan daerah tempat tinggal mereka. Namun,

seringkali juga ritual ini dilakukan di rimah-rumah orang Minahasa. Waktu

pelaksanaan ritual ini tergantung apa yang diminta orang orang-orang

yang hadir dan apa yang dilakukan oleh para leluhur, namun seringkali

ketika ritual pemanggilan arwah leluhur dilakukan bukan hanya satu arwah

yang datang melainkan ada beberapa arwah leluhur ini masuk secara

bergantian sampai pesan serta wejangan itu tersampaikan baru mereka

pergi dan demikian selesailah upacara itu.

Bahan-bahan yang digunakan untuk ritual adalah berupa sesajen

yaitu sembilan siri, sembilan pinang, sembilan telur ayam kampung,

sembilan batang tembakau, satu kepala babi (tidak selalu) yang sudah di

bakar, tiga gelas saguer (minuman has minahasa), tiga gelas cap tikus

(fermentasi dari saguer) dan tiga gelas kopi dan sering juga minuman

modern yaitu bir bintang satu kaleng. Alat-alat yang digunakan adalah

benda-benda pusaka yang ada seperti keris, batu, tongkat kain merah,

kemenyan, dupa dll, dan juga Alkitab.

1. Pemanggilan Arwah Dalam Perspektif Alkitab

Terlepas dari doktrin kekristenan yang memiliki pandangan

bahwa kematian bukanlah titik terakhir dari kehidupan. Orang

Minahasa pun percaya bahwa ketika seseorang mati orang itu

bukan menghilang atau pun pergi ke dimensi lain, melainkan

mereka percaya bahwa orang yang sudah mati tetap hidup di

dunia ini namun sudah tidak bertubuh lagi sehingga tidak dapat
34

dilihat oleh mata jasmani manusia hidup. Namun ada beberapa

orang yang dikaruniai penglihatan bisa melihat orang-orang

yang sudah mati yang mata batinnya terbuka sejak lahir.

Waruga dan kuburan adalah tempat tinggal dari sebagian

arwah-arwah itu.

Orang Minahasa percaya bahwa orang yang mati dengan

baik dia akan menjadi arwah yang tenang tetapi orang yang

mati mantah (secara tidak wajar) akan menjadi arwah penunggu

yang gentayangan yang juga bisa di sebut mambao/setang

(setan) yang sering menjadi penyebab kecelakaan.

Billy Graham berkata “dari Alkitab kita mengetahui bahwa di

balik kematian ada kehidupan yang berkelimpahan bagi para

pengikut Kristus. Mereka yang sudah menyambut kasih karunia-

Nya dan yang sudah diselamatkan akan kelak berada bersama-

sama dengan Yesus di Sorga”.35 Ketakutan terbesar manusia

adalah kematian dan itu tidak dapat disangkali dan hal itu wajar-

wajar saja, namun karena itulah setiap manusia berusaha

dengan keras untuk tetap hidup di dunia ini bahkan untuk hidup

abadi yang walaupun mereka tau mereka tetap akan mati cepat

atau lambat.

Dalam Perjanjian Lama ada kisah pemanggilan arwah yang

terdapat dalam I Samuel 28:3-25. Dari kisah ini banyak orang

berpikir bahwa pemanggilan arwah dalam agama Kristen

35
Billy Graham, Menghadapi Kematian dan Kehidupan Sesudahnya, (Bandung:
Lembaga Literatur Baptis, 2001), h. 41.
35

diperbolekan namun, harus dibaca perikop ini dengan teliti

sehingga mendapatkan arti sebenarnya. “Yang menampakan

diri pada perempuan di endor dalam kisah ini adalah Iblis itu

sendiri yang menyamar, menampakan diri seperti Samuel

dalam gerak-gerik, tentang hal itu tidak perlu heran karena Iblis

dapat menyamar seperti Malaikat terang (II Kor 11:4). Dan dari

Ayub 7:9-10; 14:10-12, dapat diketahui dengan jelas bahwa roh

orang yang sudah mati tidak akan muncul lagi di bumi ini

sampai langit hilang lenyap. Roh orang mati tidak mungkin

berkeliaran dengan bebas di bumi ini, apalagi menolong dan

mengganggu orang yang masih hidup. Tuhan menentang

bentuk spiritisme apapun (Im 19:31; Ul 18:10-13; Yes 8:19,

20).36

Dalam Perjanjian Baru doktrin Kebangkitan orang mati

diperjelas. Dalam kisah Kebangkitan Lazarus sebelumnya

terjadi percakapan antara Yesus dan Marta saudara Lazarus.

Marta berkata “aku tahu bahwa ia akan bangkit pada waktu

orang-orang bangkit pada akhir zaman” (Yoh 11:24). Menurut

pondsius Takaliwang, “Firman Allah membuka keadaaan orang

yang sudah mati. Alkitab adalah buku yang paling dibenci oleh

Iblis, karena kedoknya ditelanjangi habis dalam Alkitab. Juga

jalan keselamatan diterangkan dengan jelas dan sederhana.

Keterlibatan dalam okultisme, banyak disebabkan karena kita

36
H. Soekahar, Satanisme Dalam Pelayanan Pastoral, (Malang: Gandum Mas,
1986), h. 23.
36

tidak mengerti keadaan orang mati, sebab banyak diantara kita

yang menyangka bahwa orang hidup dapat menghubungi orang

mati.37

Lukas menceritakan tentang Lazarus dan seorang yang

kaya yang terdapat dalam Lukas 16:19-31, dimana kedua orang

ini jau berbeda ketika mereka masi hidup dalam dunia ini,

namun akhirnya mereka mati saat mati tempat mereka berdua

berbeda dimana Lazarus yang selalu berbuat kebaikan

walaupun dia seorang miskin dan tuhan menepatkan Lazarus

bersama dengan Bapa Abraham tetapi sebaliknya orang kaya

itu brada di alam maut dan menderita sengsara oleh karena

perbuatannya. Dalam perikop ini diceritakan bahwa orangkaya

ini menyesal akan perbuatannya selama di dunia sehingga

dalam ayat 27 dan 28 orang kaya ini meminta kepada Abraham

untuk mengutus orang mati kepada keluarganya supaya

diselamatkan tetapi Bapa Abraham berkata “... sekalipun oleh

seorang yang bangkit dari antara orang mati” mereka juga tidak

akan mau diyakinkan kalau mereke tidak mau mendengar

kesaksian para nabi. Yang artinya bahwa memang jelas dalam

perumpamaan yang diberika Tuhan Yesus ini bahwa orang mati

dan orang yang hidup itu terpisah dan tidak dapat bertemu

kecuali orang yang mati itu hidup kembali dan memiliki tubuh

seperti selayaknya manusia hidup.

37
Pondsius Takaliuang, Antara Kuasa Gelap Dan Kuasa Terang, (Malang:
Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil, 1980), h. 14.
37
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Metode dan Prosedur Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan (ilmiah) yang ditempuh

melalui serangkaian proses yang panjang. Dalam konteks ilmu sosial,

kegiatan penelitian diawali dengan adanya minat untuk mengkaji secara

mendalam terhadap munculnya fenomena tertentu.38 Sebagai langkah

awal dalam mengkaji fenomena yang ada, maka pada kesempatan ini,

peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dalam memperoleh data

lapangan, dimana untuk mendapati makna tidak dengan melakukan

generalisasi tetapi lebih menekankan pada informasi, sehingga bisa

sampai pada tingkat makna.

Penelitian kualitatif menunjuk bahwa penelitian ini memang terjadi

secara alamiah, apa adanya, dalam situasi normal dan tidak dimanipulasi

keadaan atau kondisinya, serta menekankan pada deskripsi secara alami.

Dengan sifatnya ini, peneliti dituntun secara langsung di lapangan. 39

Sebab penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat interpretif

(menggunakan penafsiran) yang melibatkan banyak metode, dalam

menelaah masalah penelitiannya.40 Penelitian kualitatif berfokus pada

fenomena sosial dan pada pemberian suara pada perasaan dan persepsi

dari partisipasi di bawah studi.41 Sedangkan pendekatan kualitatif


38
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011)
h. 75.
39
Arikuno Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2006), h. 12.
40
Dedy Solatun, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2008), h. 5.
41
Emzir, Metode Penelitian Kualitatif Analisis Data, (Jakarta: Rajawali Pers,
2011), h. 2.

38
39

merupakan suatu pendekatan primer yang menggunakan paradigma

pengetahuan berdasarkan pandangan konstruktif (seperti makna jamak

dari pengalaman individu, makna yang secara sosial dan historis dibangun

dengan maksud mengembangkan suatu teori atau pola).42

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Berkenaan dengan judul penelitian ini, maka yang menjadi tempat

berlangsungnya penelitian ini ialah, bertempat di Perpustakaan Institut

Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado dan di KGPM Sidang Eben Haezer

Pinabetengan. Jemaat ini terletak secara teritorial berada di desa

Pinabetengan, Kecamatan Tompaso Barat, Kabupaten Minahasa,

Sulawesi Utara.

Adapun rentang waktu pelaksanaan yang dibutuhkan peneliti dalam

melakukan penelitian ini, terhitung sejak pengajuan proposal skripsi

diterima dan dinyatakan layak untuk dilanjutkan ke tahapan berikutnya.

Oleh karena itu, kurun waktu yang dibutuhkan peneliti dalam meneliti

kurang lebih tiga bulan, dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan

Maret 2022, sebagaimana kalender akademik yang dikeluarkan oleh

Program Studi Teologi, Fakultas Teologi, Institut Agama Kristen Negeri

(IAKN) Manado.

C. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif instrument utamanya adalah peneliti

sendiri, namun selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka

42
Emzir, Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), h. 28.
40

kemungkinan akan dikembangkan instrument penelitian sederhana yang

diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkannya dengan data

yang ditemukan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. 43 Jadi,

dalam penelitian ini yang menjadi instrument penelitian adalah peneliti

sendiri yang kemudian ditunjang oleh peralatan yang digunakan dalam

penelitian berupa buku catatan untuk mencatat semua hal-hal penting

yang diamati selama proses penelitian.

D. Sumber Data Penelitian

Dalam penelitian ini, sumber data diperoleh dengan cara

mengumpulkan data dari kepustakaan, berupa buku penunjang sebagai

bahan referensi. Sedangkan untuk memperoleh data lapangan, data

peneliti diperoleh dari hasil observasi melalui pengamatan dan

dokumentasi dari data-data atau dokumen-dokumen gereja, serta melalui

wawancara dari para informan yang ada di jemaat KGPM Sidang Eben

Haezer Pinabetengan. Dalam hal ini, para informan adalah anggota sidi

jemaat, pelayan khusus, maupun Gembala yang nanti akan dibagi juga

kedalam beberapa pembagian Kelompok umur. Kelompok 1: Umur 20 –

35, Kelompok 2: Umur 36 – 50, dan Kelompok 3: Umur 51 – 69.

E. Prosedur dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, proses pengumpulan data yang dilakukan

peneliti terakumulasi dari beberapa teknik. Antara lain sebagai berikut:

43
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Bandung; Alfabeta
2008), hh. 223-224.
41

1. Penelitian Kepustakaan

Pada hakikatnya data yang diperoleh dengan penelitian

kepustakaan dapat menjadi landasan dasar dan alat utama bagi

pelaksanaan penelitian lapangan.44 Penelitian kepustakaan

dilaksanakan dengan cara pengumpulan data dan informasi

berasal dari dokumen-dokumen, buku-buku, majalah, jurnal dan

catatan-catatan, atau berbagai literatur maupun referensi yang

berkaitan dengan Ritual di Watu Pinawetengan dan sikap hidup

orang Kristen. Hal ini dilakukan dengan tujuan, agar supaya

pandangan-pandangan yang sudah bisa menjadi acuan dasar

dalam penelitian yang akan dilakukan.

2. Observasi

Observasi (Pengamatan) adalah pengumpulan data dimana

peneliti mencatat informasi sebagaimana yang di saksikan selama

penelitian. Oleh karena itu teknik observasi atau pengamatan dapat

didefinisikan sebagai perhatian yang terfokus terhadap kejadian,

gejala, atau segala yang berkenaan yang yang akan diteliti dengan

maksud menafsirkannya, mengungkapkan faktor-faktor penyebab,

dan menemukan kaidah-kaidah yang mengaturnya.45 Dalam

menggunakan teknik observasi cara yang paling efektif adalah

melengkapinya dengan format atau belangko pengamatan sebagai

instrument, format yang disusun berisi item-item tentang kejadian

44
Mardalis, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 28.
45
Emzir, Metode Penelitian Kualitatif Analisis Data, (Jakarta Rajawali Pers,
2011), h. 38.
42

atau tingkah laku yang digambarkan akan terjadi.46 Adapun dalam

observasi ini dilakukan pengamatan-pengamatan yang terjadi

dalam jemaat. Dalam melakukan pengamatan peneliti

berpartisipasi langsung dan berperan serta dalam kegiatan

pengamatan. Keikutsertaan peneliti bertujuan untuk mengamati

lebih dalam agar mendapati data yang sebenarnya.

3. Wawancara

Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, di

mana seorang dari mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan,

berdasarkan tujuan tertentu dengan maksud menggali informasi

dari seorang yang lain.47 Apabila teknik ini dilakukan dengan baik.

Maka, akan meghasilkan data yang mendalam, yang tidak mungkin

diperoleh melalui angket, sebab pewawancara dapat

mengkomunikasikan kembali jika memperoleh jawaban yang

kurang jelas atau lengkap.48 Adapun secara garis besar teknik

wawancara dapat dibagi dua. Pertama, wawancara terstruktur atau

wawancara baku. Teknik ini harus dimulai dengan persiapan yang

matang dari pewawancara dalam menyusun pertanyaan yang akan

dilayangkan kepada informan. Kedua, wawancara tidak terstruktur

atau wawancara mendalam.49 Dalam teknik ini, pewawancara

mengajukan pertanyaan secara bebas, pokok-pokok pertanyaan


46
Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2006), h. 229.
47
Dedy Muliana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006), h. 180.
48
Hamid Darmi, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011), h.
158.
49
Dedy Muliana, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 180.
43

yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara berurutan dan

pemilihan kata-katanya tidak baku tetapi dimodifikasi pada saat

wawancara berdasarkan situasinya. Pihak yang diwawancara

diminta pendapat atau ide-idenya tanpa terikat pada apapun.50

Berdasarkan kedua metode di atas untuk memperoleh data

penunjang penelitian. Maka dalam penelitian ini, wawancara

dilakukan dengan cara menggunakan teknik mix atau

mengabungkan antara wawancara yang terstruktur dan tak

terstruktur, agar memperoleh hasil yang maksimal.

4. Dokumentasi

Selain observasi dan wawancara peneliti juga akan

menggunakan dokumentasi untuk pengumpulan data. Dokumen

merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu dan

dideskripsikan dalam bentuk tulisan serta gambar.51 Dalam hal ini

peneliti akan mengkaji catatan-catatan atau dokumen gereja

kemudian menghubungkannya dengan masalah yang diteliti.

Selain itu, peneliti juga akan mengambil gambar untuk mendukung

proses penelitian.

F. Teknik Analisis Data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan,

dan bahan-bahan lainnya, sehingga dapat dengan mudah dipahami, dan

50
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:
Alfabeta 2011), h. 135.
51
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2007), h. 82.
44

temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Cara menganalisa

data adalah dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam

unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana

yang akan dipelajari dan dianggap penting, dan membuat kesimpulan

yang dapat diceritakan kepada orang lain.52 Sedangkan analisis data

kualitatif adalah analisis yang bersifat induksi, yaitu bentuk

pengembangan dari data yang diperoleh menjadi sebuah hipotesis.53

Adapun dalam penelitian ini, teknik analisis data dilakuakan dengan cara:

1. Reduksi Data

Reduksi data dilakukan secara berkesinambunggan dari

awal hingga akhir penelitian, yaitu dengan memilah dan memilih

hal-hal yang penting, kemudian memfokuskan pada hal-hal

tersebut, agar dapat memberikan gambaran yang jelas dan

mempermudah dalam proses pengumpulan data.54 Seperti

memberikan hasil observasi awal penelitian, hasil pengumpulan

data, sampai pada hasil pengolahan data.

2. Penyajian Data

Setelah menyelesaikan proses reduksi, langkah selanjutnya

ialah menyajikan atau memaparkan data tersebut sebagai

kumpulan informasi terstruktur yang memungkinkan untuk

52
Ibid., h. 88.
53
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 335.
54
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, h. 247.
45

mengambil kesimpulan atau tindakan dalam penelitian sesuai

dengan tujuan yang hendak dicapai.

3. Verifikasi / Kesimpulan

Pada bagian terakhir ialah pengambilan kesimpulan. Namun,

hal ini harus dilakukan jika telah didukung oleh bukti yang valid dan

konsisten, barulah kesimpulan tersebut sudah kredibel. Entah itu

berupa temuan baru yang belum pernah ada, atau berupa

deskripsi, maupun gambaran suatu objek yang sebelumnya masih

gelap.55

55
Ibid. h. 253.
BAB IV

PAPARAN DATA, TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Paparan Data

Mengacu dari metode yang digunakan dalam memperoleh data

lapangan, maka pada bagian ini peneliti mengelompokan paparan data

ke dalam tiga bagian yang bersumber dari dokumentasi atau data-data

dokumen gereja, kemudian dari hasil observasi terhadap keadaan

jemaat baik dari perspektif sosial maupun spiritualitas, dan terakhir

data diperoleh dari wawancara dengan para informan yang berdomisili

dalam wilayah penelitian. Dalam hal ini adalah KGPM Sidang Eben

Haezer Pinabetengan.

1. Berdasarkan Dokumentasi

KGPM Sidang Eben Haezer Pinabetengan secara

administratif merupakan Sidang yang berada di bawah

Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) yang secara

teritorial berada di Wilayah XXII Tompaso-Langowan, yang

beralamatkan di Jl. Siswa, Pinabetengan Utara, Kec. Tompaso

Barat, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

1.1 Sejarah Sidang

Muncul dan berdirinya KGPM pada tahun 1933,

sebagai satu gereja di Minahasa, merupakan jawaban

atas berbagai masalah yang ada pada Gereja Negara

(Indische Kerk) yang menguasai kehidupan kerohanian

46
47

jemaat-jemaat protestan sejak permulaan abad ke-19

sampai dengan permulaan abad ke-20. Namun,

kelahiran KGPM itu tidaklah secara tiba-tiba, melainkan

melalui suatu proses perjuangan yang cukup lama

dengan dasar dan latar belakang yang kuat seperti:

kepincangan/kelemahan Indishe Kerk (aspek

gerejawi/rohani), kepincangan social dan situasi

perjuangan bangsa Indonesia ketika itu (aspek politik).

Berbagai kelemahan dan kepincangan itu dihayati

oleh jemaat-jemaat dan kemudian sadar, bahwa hal-hal

itu harus diatasi. Lahirlah gagasan untuk memperbaiki

dan mengadakan perubahan atas cara kerja Indische

Kerk yng mana usah-usaha itu pada puncaknya ditandai

dengan berdirinya KGPM, sebagai gereja yang berusaha

berbuat untuk mengikis segala kepincangan yang

dialami dlam kehidupan gereja. Itulah yang kemudian

dilakukan KGPM kemudian dengan berusaha

menumbuhkan dan mengembangkan sikap serta nilai

yang bertentangan dengan apa yang berkembang dalam

Indische Kerk.

Sekitar tahun 1931 dan 1932 gerakan keluar dari

Indische Kerk semakin meluas dan semakin hangat

dibicarakan di kalangan masyarakat. Gerakan ini

semakin kuat karena pemerintah tidak mau melepaskan


48

gereja dari Negara dan akan mengabil alih kembali NZG

pada tahun 1930.

Dalam kondisi seperti itu Komisi Reorganisasi (Komisi

XII) dibentuk Ds. De Vreede tepat melaksanakan tugas.

Pada tahun 1932 Komisi XII memutuskan mengangkat

GSSJ. Ratulangi, R. Tumbelaka dan Mr. A. A. Maramis,

sebagai wakil masyarakat untuk memperjuangkan

kepada pemerintah kolonial Belanda di Batavia

berdirinya gereja otonom di Minahasa.

Pada bulan Agustus 1932 Perserikatan Pangkal Setia

mengundang Majelis Gereja Manado dan lain-lain

mengadakan rapat besar di Kuranga, Tomohon dengan

keputusan:

1. Membentuk Gereja Minahasa berdiri sendiri,

dengan pemimpin orang Minahasa.

2. Dibentuk Panitia Kerapatan Gereja Protestan


Minahasa. Panitia ini bertugas untuk persiapan
berdirinya gereja otonom, dengan sembilan
anggota:
1. Ketua: Josef Jacobus (Ketua Pengadilan
Negeri Manado),
2. Wakil ketua: Zacharias Talumepa
(pensiunan Inlands Leraren Bond),
3. Sekretaris: B. W. Lapian (Pangkal Setia).
4. Anggota-anggota:
1. A. Kandou (pensiunan School
Opziener),
49

2. B. Warouw (pensiunan Hoof


Opziener),
3. E. Sumampouw (pensiunan guru
Manadosche School),
4. A. E. Tumbel (pensiunan guru
Manadosche School),
5. P. A. Ratulangi (pensiunan Kepala
Distrik)
6. J. L. Tambajong (pensiunan Kepala
Distrik).

Pada 11 Maret 1933 bertempat di Sicieteit Harmoni


(sekarang Bank BNI 1946) yang dulunya dikenal dengan
jalan Juliana Lau kemudian jalan Hatta, berkumpullah 75
orang tokoh gereja dan tokoh masyarakat seperti: J. U.
Mangowal, J. Jacobus, F. E. Kumontoy, dr. C. Singal, d.r
A. B. Andu, Z. Talumepa, N. B. Pandean, B. W. Lapian,
R. C. Pesik dan lain-lain. Mereka bertemu dengan GSSJ
Ratulangi yang memimpin pertemuan. Pertemuan itu
membicarakan pemisahan gereja dan Negara dan
tuntutan untuk segera mendirikan Gereja Protestan
Minahasa.

Meski belum mendapat restu dari pemerintah Belanda


untuk mendirikan gereja berdiri sendiri, namun para
peserta telah sepakat mendirikan gereja otonom.
Dengan memilih Josep Jacobus menjadi formatur
tunggal sebagai ketua badan dan membentuk
pengurusnya. Hasil ini diminta disampaikan oleh Sam
Ratulangi pada sidang Volksraad berikut. Pertemuan ini
sempat heboh setelah diberitakan dalam media melalui
Mingguan Pikiran Pangkal Setia, Keng Hwa Poo,
Menara, Pewarta dan media lain.
50

Pertemuan dilanjutkan seminggu kemudian yakni 18


Maret 1933 di rumah Joseph Jacobus di Tikala Manado.
Pertemuan ini tidak lagi dihadiri oleh Sam Ratulangi, Mr.
A. A. Maramis dan Tumbelaka karena mereka telah
kembali ke Batavia. Pada pertemuann ini berhasil
ditetapkan Badan Pengurus Organisasi Gereja dan
nama pengurus organisasi gereja.

Susunan Organisasi:

1. Pengurus Badan Organisasi:


1. Ketua: Joseph Jacobus,
2. Wakil Ketua: Zacharias Talumepa,
3. Sekretaris: B. W. Lapian,
4. Bendahara: A. K. Kandou.
5. Pembantu-pembantu: B. Warouw, E.
Sumampouw, P. A. Ratulangi, E. A. Tumbel
dan J. L. Tambajong.
2. Badan Pengembalaan: Zacharias Talumepa, H.
Sinaulan dan N. B. Pandean.
3. Badan Penasihat: GSSJ Ratulangi, A. B. Andu,
Ch. Singal dan A. Mononutu.
4. Badan Pendamping: J. U. Mangowal, A. M.
Pangkey dan H. M. Pesik.

Nama organisasi yang disepakati waktu itu adalah:


KERAPATAN GEREJA PROTESTAN MINAHASA
disingkat KGPM.

Pada hari bahagia yang dinanti – nantikan yaitu


tepatnya hari minggu tanggal 29 Oktober 1933 pukul
08.00 pagi, tiba di Wakan Pengurus Besar KGPM B.W
Lapian, J.L. Tambayong dan H. Sinaulan dari Manado
serta A.S. Pangkey dari Amurang. Dari Motoling hadir
51

pula Y.D. Kesek, E.F. Paat dan R. Sondakh Guru


sekolah partikulir ketiganya adalah anggota Perserikatan
Pangkal Setia cabang Motoling. Pada pukul 09.00 pagi
pihak Indische Kerk memulai kebaktian di gedung Gereja
baru, dipimpin oleh David Moring yang di upayakan
Indische Kerk menggantikan Indische Kerk
menggantikan Joost Rembet Guru Jemaat yang sudah
diskors sejak 19 Oktober 1933 oleh Pimpinan Indische
Kerk.

Dari Pengurus Besar KGPM turut hadir dalam


kebaktian itu ada 4 orang jemputan lain dan 5 orang
anggota Majelis Gereja Indische Kerk, sehingga jumlah
yang hadir menjadi 13 orang. Dari Jemaat / masyarakat
Wakan tidak ada yang menghadiri ibadah tersebut.
Selesai kebaktian ini, Diaturlah kebaktian Gereja
Minahasa Merdeka Otonom bertempat dirumah Yohakim
Lapian. Dalam sekejap saja rumah tersebut penuh sesak
oleh Jemaat Wakan. Telah hadir pula Pengurus Besar
KGPM beserta para undangan sehingga jumlah yang
hadir semuanya mencapai 198 orang.

Kebaktian di Pimpin oleh H. Sinaulan dari Pengurus


Besar KGPM dengan nats pembimbing dari Roma 8:31.
Selesai kebaktian, Jemaat mendesak Ketua Hoofd
Bestuur B.W. Lapian untuk terus melaksanakan maksud
pertemuan mulia itu, yaitu meresmikan / mengesahkan
Jemaat dan Gereja Wale Pinaesaan E Wakan menjadi
Jemaat dan Gereja KGPM Berdiri Sendiri / Otonom.

B.W. Lapian menyatakan setuju, lalu segera bangkit


berdiri menyampaikan sambutannya sebagai Ketua
Pengurus Besar KGPM dalam bahasa daerah
52

Tontembuan yang antara lain mengatakan sebagai


berikut: “Po’opo’ow pakasa, mayo waya kita rumangat
ing ngaran I Amang Walian Kasuruan nimena intana ‘wo
langit wo nimee mai keter Osaka sama ase’cita imbaya
asiendo anio. Po’opo’ow pakasa, sapaka aku siendo
anio ambiai selaku Ketua Hoofd Bestuur KGPM em
pa’pa’an siendo anio endo sama kita maliu – lius asi
Wale anio, mai muka ‘ing KGPM Wakan.

Karapi ing ngaran I Amang Kasuruan Muka ‘ing


KGPM / Kerapatan Gereja Protestan Minahasa –
tumo’tol am Wakan asiendo anio duminggo 29 Oktober
1933, wo sapaka eng Gereja karapi se Jemaat Wale
Pinaesaan E Wakan pakasa katare – tare tino’tolang ing
KGPM am Wakan. Kita maliu – lius wayarumangat wo
rumayo si Amang wailamn Kasuruan em papaan KGPM
asiendo anio nimamualio Gereja Minahasa Berdiri
Sendiri. Po’opo’ow pakasa sapaka sipaumungan kita
anio nimamuali asiendo kinamang anio tanggal 29
Oktober 1933 emaantaendo pataneya tinowan ing
Jemaat KGPM katare am Wakan, wo tiyo’o ipalupa –
lupa akar ing kaure – ure.

Sipoouta David Moring angka’anta mamuali Guru


Jemaat KGPM – wo sipo’owta Yoost Rembet mamuali
Gembala am KGPM– sipoowta Junus Runtuwene
mamuali Pengurus Daerah / Wilayah KGPM, J
Sombayang – ta waya sapaka eng KGPM tumo’tol
asiendo – anio akar ing kaure – ure, pakatuan wo
pakalowiren kita imbaya. Demikianlah pidato sambutan
dan Proklamasi KGPM oleh B.W. Lapian Ketua Hoofd
Bestuur KGPM, yang diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia, artinya sbb:
53

“Bahwa saya sebagai Ketua Pengurus Besar


Kerapatan Gereja Protestan Minahasa / KGPM dengan
Rahmat Tuhan Pencipta Langit dan Bumi, pada hari ini
minggu, 29 Oktober 1933 Memproklamasikan /
Menyatakan berdirinya Kerapatan Gereja Protestan
Minahasa ( KGPM ) Berdiri Sendiri / Otonom di Wakan
melalui peresmian Gereja dan Jemaat Wale Pinaesaan
E Wakan menjadi Gereja dan Jemaat KGPM pertama
dimulai di Wakan.

Kita jadikan hari bahagia ini 29 Oktober 1933 hari


sejarah lahirnya Gereja Jemaat KGPM di Minahasa kita
mengangkat saudara kita David Moring menjadi Guru
Jemaat KGPM dan saudara kita Yoost Rembet menjadi
Gembala Am KGPM sedangkan saudara kita Junus
Runtuwene menjadi Pengurus Daerah / Wilayah KGPM,
kita doakan semua kiranya KGPM mulai berdiri hari ini di
Wakan dan untuk selama – lamanya. Pakatuan wo
pakalowiren kita imbaya”

1.1.1 Perkembangan

Berangkat dari lahirnya KGPM pada 29


Oktober 1933 warga minahasa yang memiliki
semangat yang penuh untuk berdirinya Gereja yang
otonom. Tahun demi tahun berjalan dan di tahun
1937, 4 tahun setelah berdirinya KGPM, jemaat mula-
mula di desa pinawetengan pun ingin membangun
gedung Gereja KGPM di Pinabetengan, dengan
menyusun rencana pun di atur dengan sedemikian
rupa, mengumpulkan jemaat mula-malu pun di
laksanakan, dengan modal semangat dan percaya
yang maha kuasa akan menolong ada begitu banyak
54

pergumulan yang dihadapi, tidak sedikit juga orang-


orang di zaman itu membuat stigma negatif terhadap
berdirinya KGPM di desa pinawetengan.

Di desa pinabetengan sejujurnya sudah ada


jemaat KGPM akan tetapi jemaat tersebut masih
beribadah di KGPM yang ada di kawangkoan tetapi
berdomisili di desa pinabetengan. Sebuah rencana
yang sudah di pikirkan dengan baik dan matang pun
satu demi satu sudah terlaksana, segudang tanah
sudah ada untuk tempat berdirinya ruang ibadah,
jemaat pun sudah ada yang siap membangun dan
beribadah, sepetak tanah pun yang diatasnya berdiri
bangsal untuk jemaat mula-mula beribadah. Dengan
penyertaan sang maha kuasa tanah sudah ada,
tempat ibadah sudah ada, jemaat pun sudah siap
beribadah dan pada 24 Januari 1937 ibadah perdana
KGPM di Pinabetengan dilaksanakan, ada tujuh
keluarga yang beribadah di sebuah pondok/bangsal
yang sederhana antara lain:

Tujuh keluarga yang hadir dalam ibadah


perdana 24 Januari 1937

Kel. Apolos Singal- wongkar

Kel. Marten Rantumbanua – Pantow

Kel. Alex Momuat Pantow

Kel. Philep Roring Pantow

Kel. Karel Tandaju Pantow/ bpk. Epinus Telew

Kel. S. Mewengkang Nayoan


55

Kel. Iskandar Tandaju Pantow

Adapun jemaat mula-mula yang belum sempat


hadir dalam ibadah perdana:

Kel. Apeles supit-umboh-mamesah

Kel. Laurens Singal Sondakh

Kel. Andris Sondakh Sondakh

Kel. Elli Lumentah-Sengkey-Mewengkang

Kel. Omen Singal-Pesik/ Tandaju

1.1.2 Daftar Pimpinan Majelis Sidang KGPM Sidang

Eben Haezer Pinabetengan

Nama Tahun Jabatan

Gbl. I. Tandaju- Pantow 1937- 1936 Ketua Jemaat

Drs. Justus Tandaju 1970 Ketua Jemaat

Gbl. Wenas 1990-2000 Ketua Jemaat

Gbl. B. Tumundo, M. Th 2001-2003 Ketua Jemaat

Pnt. Stevie Kolompoy 2004-2006 Ketua Jemaat

Gbl. H. Lumy, M. Th 2007- 2010 Ketua Jemaat

Pnt. R.O. Sondakh, SH 2010-2011 Ketua Jemaat

Gbl. Teddy Lendo, M. Th 2011-2016 Ketua Jemaat

Gbl. R. L. Mononimbar, M. Th 2016-2021 Ketua Jemaat

Gbl. Masye Lumy, M. Th 2021- Sekarang Ketua Jemaat

Tabel 4.1 Sumber: Dokumen Sejarah Jemaat KGPM sidang Eben Haezer
pinabetengan
56

1.1.3 Strutur Kelembagaan

Data Keanggotaan BPS, PMS dan

Majelis Gereja KGPM Sidang Eben Haezer

Pinabetengan Tahun 2022

Badan pimpinan sidang ( BPS) dan Pimpinan Majelis Sidang (PMS) 2019-2024

Ketua BPS PNt. R.O.Sondakh, S. H.

Wakil Ketua Pnt. B. Tandaju

Sekretaris I Pnt. Adri Rantumbanua

Sekretaris II Pnt. F. A. S. Tandaju, S. E

Bendahara Dkn. D.D. Roring.

Ketua PMS Gbl. M. Lumy, M. Th.

Wakil ketua Pnt. B.O.S. Tandaju, SP

Majelis Jemaat

Kelompok pelayanan I - Pnt. Joice Salu


- Pnt. M. Telew
- Pnt. R.O.Sondakh. S.H
- Pnt. N. Salu
- Pnt. J. Iroth
- Dkn. I. Lumentah

Kelompok II - Pnt. S. Telew


- Pnt. N. Lumintang
- Pnt. F. Tandaju, S. E
- Pnt. B.O.S. Tandaju,SP
- Pnt. J. Tandaju
- Pnt. M. K Tandaju
- Pnt. A. Singal
- Guru Jemaat. Drs. J. Tandaju
- Pnt. E. Runtunuwu, S. Pd. K
- Pnt. N. Kolompoy
57

- Dkn. O. Koloay

Kelompok III - Pnt. N. Lolowang


- Pnt. H. Tandaju
- Pnt. Y. Tandaju
- Pnt. D. Momuat
- Dkn. A. Saean
- Dkn. S. Telew

Kelompok IV - Pnt. S. Kamu


- Pnt. D. Singal
- Pnt. J. Singal
- Dkn. D. Rantumbanua
- Dkn. Y. Tumbelaka
- Dkn. D. Roring
Kelompok V - Pnt. O. Kolompoy
- Pnt. A. Rantumbanua
- Pnt. B. Tandaju
- Pnt. M. Singal
- Pnt . M. Tewuh
- Dkn. R. Lumentah
- Dkn. O. Lumentah
- Dkn. H. Tewuh
- Dkn. I. Bentian, M. Kes

Tabel 4.2 Sumber : Buku Kerja Rapat Tahunan KGPM Sidang Eben Haezer
Pinabetengan 2022

1.1.4 Statistik Jemaat

Data Keanggotaan KGPM sidang Eben

Haezer pinabetengan Tahun 2022

Kelompok Jumlah KK Jumlah Jiwa Laki-Laki Perempuan

I 16 62 33 29

II 20 64 31 33

III 20 63 32 34
58

IV 19 52 26 26

V 18 52 22 30

Tabel 4.3 Sumber: Buku Kerja Rapat Tahunan KGPM Sidang Eben Haezer
Pinabetengan 2022

1.2 Sistem atau Tata Gereja

Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa KGPM

Sidang Eben Haezer Pinabetengan merupakan bagian dari

Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM). Oleh karena

itu, sistem atau peraturan gereja bersumber dan mengacu pada

Peraturan Gereja KGPM yang merupakan hasil keputusan yang

di tempuh lewat Sidang Raya KGPM. Adapun yang menjadi

sistem gereja yakni Kongregasional KGPM.

Kongregasional adalah jenis pemerintahan gereja yang

berpusat atau berorientasi pada jemaat atau gereja lokal. Kata

kongregasional berasal dari akar kata "kongregasi" yang

berasal bahasa Latin, congregationes, yang berarti pertemuan

bersama-sama atau pertemuan rutin. 56

2. Berdasarkan Observasi

Setelah memperoleh data dari dokumen-dokumen gereja,

selanjutnya peneliti mengumpulkan data lewat observasi atau

pengamatan. Dalam melaksanakan observasi, peneliti

melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan gerejawi, baik

dalam bentuk mengikuti ibadah maupun memimpin ibadah.

56
J.L.Ch. Abineno, Garis-garis Besar Hukum Gereja (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1995), h. 37
59

Disamping itu, peneliti juga turut berperan aktif dalam berbagai

kegiatan kemasyarakatan, seperti kerja bakti dan menjaga

keamanan. Hal ini terjadi karena peneliti pada kenyataannya

merupakan anggota masyarakat dan jemaat di tempat

berlangsungnya penelitian.

Sejauh pengamatan yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa

sebagian besar masyarakat yang berdomisili di tempat

penelitian memiliki latar belakang yang sama, mulai dari tingkat

pendidikan, ekonomi hingga pekerjaan. Tidak adanya

perbedaan yang mendasar dalam kehidupan masyarakat

Pinabetengan karena sebagian besar masyarakat adalah

petani, juga peternak dan yang jarang untuk membuka atau

mencari pekerjaan di luar desa. Kehadiran Watu Pinawetengan

juga menjadikan desa ini sebagai destinasi wisata serta

destinasi spiritual bagi bermacam pengunjung yang datang.

Di samping itu, peneliti juga mengamati tingkat antusiasme

dan minat dari jemaat dalam melibatkan diri dan berpartisipasi

aktif dalam menyukseskan program-program yang telah

diagendakan baik yang bertaraf jemaat maupun pucuk

pimpinan. Pada bagian ini keterlibatan dari anggota jemaat

terbilang sangat tinggi. Keadaan ini sangat jelas

tervisualisasikan dari persentase kehadiran anggota jemaat

yang berada dikisaran 80% disetiap kegiatan, baik dalam

peribadatan maupun kegiatan lainnya. Situasi ini dilatar


60

belakangi oleh berbagai sebab, di antaranya ialah karena

kesadaran diri dari setiap anggota jemaat perihal pentingnya

persekutuan ibadah, perhatian juga dari para pimpinan gereja

penatua dan diaken yang ada di aras Kepel dan komisi, maupun

peran Gembala yang aktif untuk saling mengingatkan dan

merangkul jemaat.

Hal ini jelas terlihat dari khotbah-khotbah yang disampaikan,

sebagian besar mengarah pada ceramah moral serta

interpretasi firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari anggota

jemaat. Senada dengan itu, program-program gereja lebih

banyak berorientasi pada pembinaan kebersamaan antar

anggota jemaat untuk menumbuhkan kerukunan serta

kebersamaan jemaat. Hal ini dipertegas dengan adanya

pelaksanaan kegiatan kerja bakti bersama yang dilakukan oleh

seluruh lapisan jemaat, maka interaksi dan komunikasi akan

selalu terjalin. Terakhir, pegamatan dilakukan dengan bertititk

tolak dari tata kelola kelembagaan. Dalam hal ini peranan dari

Ketua BPS, Guru Jemaat dan tua-tua sidang masih sangat

mendominasi setiap keputusan-keputusan rapat kerja dan

senantiasa menjadi faktor pembeda dalam kerangka kerja

pelayanan dan penatalayanan jemaat.

3. Berdasarkan Wawancara

Setelah melakukan observasi demi menunjang penelitian,

maka pada bagian ini, peneliti mendeskripsikan wawancara


61

yang dilakukan kepada 1 Gembala, dan 14 anggota sidi sidang

termasuk Majelis Pejabat Gereja KGPM Sidang Eben Haezer

Pinabetengan dengan jenis pertanyaan bersifat terbuka dalam

pertimbangan adanya kecenderungan perkembangan atau

perluasan pertanyaan sesuai dengan kebutuhan dalam proses

wawancara. Adapun jawaban dari setiap pertanyaan yang ada

berdasarkan wawancara beraneka ragam. Untuk data

pelaksanaan wawancara penelitian terlampir.

B. Temuan Penelitian

Setelah melakukan analisis terhadap data yang diperoleh, maka

selanjutnya peneliti memperoleh hasil temuan sebagai beikut:

1. Berdasarkan Dokumentasi

Hasil temuan berdasarkan dokumentasi peneliti menemukan

adanya sistem kelembagaan yang tertata dengan baik sehingga

terjadi pelaksanaan program-program pelayanan dan

penatalayanan berjalan dengan baik walaupun tak dapat

dipungkiri ada beberapa hal yang menjadi kekurangan

pelaksanaan program tersebut. Adapun pengetahuan dari

anggota jemaat mengenai ritual kebudayaan ini bukan hanya

sebatas tahu, namun ada anggota jemaat yang menjadi praktisi

dalam kegiatan ritual ma’ator repe am watu pinawetengan.

Dimana ritual ini diyakini merupakan sebuah kegiatan yang

harus di turun temurunkan sebagai upaya untuk mewarat dan

melestarikan budaya Minahasa terutama di desa Pinabetengan.


62

2. Berdasarkan Observasi

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan,

sebagaimana paparan di atas. Maka peneliti menemukan

keselarasan antara budaya ritual ini dengan kegiatan

peribadatan, dimana dapat di jumpai bahwa tidak ada anggota

jemaat yang menolak pelaksanaan ritual ini. Semua anggota

jemaat merasa tidak ada yang salah dengan pelaksanaan ritual

ini, oleh sebab ritual ini merupakan tradisi yang di wariskan dari

leluhur sampai saat ini dan memiliki nilai kekristenan di dalam

pelaksanaan ritual ini. Pengajaran atau nasehat moral yang

selalu menjadi tujuan dalam pelaksanaan ritual ini pun tidak

berlawanan dengan iman Kristen.

Dalam pelaksanaan ritual ini pun, para leluhur pun akan

beroda kepada Tuhan yang maha kuasa (Amang

Karusruan/Opo Wananatas) untuk meminta hikmat dalam

menyampaikan nasihat. Adapun dalam setiap ritual akan ada

saat untuk membaca Alkitab terlebih dahulu sebelum

mendengarkan nasihat atau wejangan dari para leluhur yang

hadir lewat mediasi tubuh tonaas. Para anggota jemaat pun tak

merasa ada yang salah dengan pelaksanaan ritual ini dan tidak

mengganggu iman serta nilai-nilai kehidupan Kristiani, malah

lewat melakukan ritual jemaat terus diingatkan oleh para leluhur

untuk tidak menganggap mereka tuhan, namun ada Tuhan yang


63

maha kuasa yang kepadaNya-lah manusia berdoa dan

meminta.

Para leluhur selalu menekanankan untuk mengingat

pentingnya peribadatan serta terus melakukan tindakan yang

baik dalam kehidupan seperti apa yang tertulis dalam Alkitab.

Peran dari para Gembala yang tidak menolak ritual ini malah

menghormatinya pun menjadi pertimbangan anggota jemaat

dalam melakukan kegiatan ritual ini. Dalam pelaksanaan ritual

ini dari sudut pandang para Gembala pun tidak terdapat sebuah

kesalahan. Ada juga Gembala yang melakukan kegiatan

peribadatan aras sidang di wilayah watu pinawetengan. Para

Gembala yang pernah melayani di KGPM Sidang Eben Haezer

Pinabetangan tidak pernah merasa terusik dengan kegiatan ini

yang dimana pelaksanaan ritual ini menggunakan Alkitab dan

berdoa kepada Tuhan yang maha kuasa serta mengajarkan

nilai-nilai kehidupan yang tidak berlawanan dengan ajaran

firman Tuhan.

3. Berdasarkan Wawancara

Pada bagian ini, peneliti menganisis hasil wawancara

dengan mengklasifikasikan para informan ke dalam kelompok-

kelompok yang di bedahkan berdasarkan tingkatan usia.

Kelompok yang pertama terdiri dari jemaat yang berusia 20 – 35

tahun, kelompok kedua terdiri dari jemaat yang berusia 36 – 50

tahun, dan kelompok yang terakhir dari jemaat yang berusia 51


64

– 69 tahun. Berdasarkan hasil wawancara yang didapatkan dan

telah dipaparkan diatas, maka pada bagian ini, peneliti

menganalisis hasil wawancara dan mendapatkan temuan

sebagai berikut:

Setiap anggota jemaat sangat memahami tentang apa itu

Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan, karena ditemukan

para infroman menjawab pertanyaan mengenai ritual ini dengan

baik dan terlihat memiliki bekal pengetahuan serta pengalaman

yang luas, serta ritual ini sendiri merupakan budaya atau

warisan yang harus terus di rawat serta dijaga agar eksistensi

Minahasa tidak punah seiring perkembangan jaman. Dimana

para informan juga menganggap bahwa pelaksanaan ritual ini

merupakan tanggung jawab yang dipikul oleh setiap orang

Minahasa untuk terus melakukannya.

Ditemukan juga bahwa anggota jemaat bukan hanya

sekedar mengatahui pelaksanaan ritual ini, namun adapun

anggota jemaat yang menjadi praktisi ritual ini, bahkan juru

kunci tempat ritual ini merupakan majelis Gereja yakni

Sekretaris Sidang KGPM Sidang Eben Haezer Pinabetengan.

Para anggota jemaat sejak dahulu tidak merasa bahwa

pelaksanaan ritual ini merupakan hal yang berdampak buruk

dalam kehidupan bermasyarakat serta kehidupan beriman

mereka. Jemaat merasa bahwa tidak ada hal-hal dalam


65

pelaksanaan ritual ini yang berlawanan dengan nilai-nilai atau

pengajaran Kristen.

Adanya hubungan antara budaya yang didalamnya Ritual

Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan dengan agama Kristen

dimana dalam setiap pelaksanaan ritual ini harus didahului

dengan berdoa serta membaca Alkitab sebelum mendengarkan

nasihat dari para leluhur, yang di anggap bahwa tidak ada

perbedaan sama sekali antara ritual ini dengan persekutuan

ibadah. Sejauh ini pun dengan adanya 6 Gembala yang pernah

dan sampai saat ini melayani di KGPM Sidang Eben Haezer

Pinabetengan, tidak pernah terjadi penolakan dari para hamba

Tuhan ini.

Tidak adanya penolakan ini bukan berarti para hamba Tuhan

ini tidak memiliki iman ataupun mereka terbuka untuk

mengilahkan para leluhur, namun karena mereka telah melihat

bagaimana pelaksanaan ritual ini dan didapati bahwa tidak ada

yang salah dengan pelaksanaan ritual ini, malah Alkitab dan

berdoa kepada Tuhan menjadi unsur yang tidak bisa

dihilangkan dari setiap pelaksanaan ritual. Oleh sebab itu para

Gembala tidak pernah menolak namun mereka menghormati

serta menghargai budaya ini. Para Gembala menganggap

bahwa di dalam ritual ini telah terjadi pertemuan antara

kebudayaan dengan Kekristenan, dimana Kristus dan

Kebudayaan berjumpa dan berjalan bersama.


66

C. Pembahasan

1. Apa itu Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan?

Ritual Ma’ator Am Repe Watu Pinawetengan merupakan

sebuah kegiatan yang biasa dilakukan oleh orang Minahasa

yang telah diwarisi dari para leluhur sampai saat ini. Ritual ini

dilakukan di dalam kawasan objek wisata budaya Watu

Pinawetengan. Dalam setiap pelaksanaan ritual ini tujuan

utamanya ialah untuk menerima wejangan/nasihat dari para

leluhur seraya merawat budaya ini agar tidak dilupakan. Ritual

ini merupakan bentuk upacara atau ibadah yang biasa

dilakukan oleh para leluhur pada masa lampau yang dimana

lewat ritual ini mereka berkumpul bersama untuk bersyukur

kepada Amang Kasuruan – Tuhan yang maha kuasa, juga

lewat ritual ini para leluhur berkumpul dan berjumpa untuk

saling mengingakan dan memberikan nasihat yang dimana

kegiatan ritual ini tetap terpelihara dan di teruskan sampai saat

ini.

Kegiatan ritual ini terus menerus dilaksanakan oleh karena

ini merupakan budaya yang adalah warisan dari para leluhur

untuk terus dipelihara dan di rawat agar tidak hilang atau


67

punah. Ritual ini juga dilaksanakan agar budaya Minahasa

akan tetap terus eksis dan di kenal oleh banyak orang. Ritual ini

biasanya dilakukan pada awal tahun baru yakni pada tanggal 3

Januari yang dimana kegiatan ini dilakukan untuk meminta

petunjuk atau nasihat dari para leluhur untuk menjalani

kehidupan di tahun yang baru. Namun, ada juga pelaksanaan

ritual ini pada saat-saat dan waktu tertentu sesuai dengan

kebutuhan, dimana di jumpai ada juga praktisi yang melakukan

ritual ini selain untuk meminta nasihat juga ada yang meminta

lewat para leluhur untuk membantu dalam pemulihan sakit.

Memang ini bukan tujuan yang sebenarnya dari pelaksanaan

ritual ini namun dapat dijumpai hal yang demikian.

Jadi, dapat dilihat bahwa Ritual Ma’ator Repe Am Watu

Pinawetengan merupakan budaya yang terus dilakukan serta di

rawat, oleh karena ini merupakan warisan yang di temurunkan

oleh para leluhur dan menjadi identitas, bukti keberadaan orang

Minahasa sampai saat ini. Adapun pelaksanaan ritual ini untuk

meminta serta menerima nasihat dari para leluhur dan

merupakan bentuk upacara menghormati sang pencipta dunia

ini. Cara mereka melakukan ritual ini dengan berbagai macam

pengaturan yang disesuaikan dari setiap sub etnis yang ada di

Minahasa lalu lewat praktisi atau orang yang telah mendapat

karunia untuk menjadi mediator dalam menyampaikan dan

pemimpin ritual.
68

Adapun Ritual ini biasa dilaksanakan di waruga (kubur tua

minahasa) tempat dimana para leluhur atau kepala suku

beristirahat, di batu-batu dan pohon-pohon dan tempat keramat

lainnya yang dipercayai sebagai persinggahan (tempat bertedu)

para leluhur, dan sebagai tempat penyimpanan pusaka para

leluhur, dan tempat pusatnya adalah Watu Pinawetengan yang

adalah pusat berkumpulnya sembilan suku Minahasa.

Pinawetengan yang berarti tempat musyawarah, mufakat,

bersatu, dan tempat pembagian adalah tempat dimana

pembagian wilayah-wilayah suku pada awalnya dilakukan di

Watu Pinabetengan. Tempat rapat para leluhur untuk

menentukan daerah tempat tinggal mereka. Namun, seringkali

juga ritual pemanggilan arwah dilakukan di rimah-rumah orang

Minahasa. Waktu pelaksanaan ritual ini tergantung apa yang

diminta orang orang-orang yang hadir dan apa yang dilakukan

oleh para leluhur, namun seringkali ketika ritual pemanggilan

arwah leluhur dilakukan bukan hanya satu arwah yang datang

melainkan ada beberapa arwah leluhur ini masuk secara

bergantian sampai pesan serta wejangan itu tersampaikan baru

mereka pergi dan demikian selesailah upacara itu.

Bahan-bahan yang digunakan untuk ritual adalah berupa

sesajen yaitu sembilan siri, sembilan pinang, sembilan telur

ayam kampung, sembilan batang tembakau, tiga gelas cap

tikus (fermentasi dari saguer) dan sering juga minuman modern


69

yaitu bir bintang. Alat-alat yang digunakan adalah benda-benda

pusaka yang ada seperti keris, batu, tongkat kain merah,

kemenyan, dupa dll, dan juga Alkitab.

2. Bagaimana jemaat KGPM Sidang Eben Haezer

Pinabetengan menyikapi fenomena Ritual Ma’ator Repe Am

Watu Pinawetengan?

Di dapati dalam wawancara penelitian, kalau jemaat

menganggap bahwa Ritual Ma’ator Repe Am Watu

Pinawetengan merupakan budaya yang harus di jaga dan di

lestarikan, yang dimana ritual ini merupakan warisan dari para

leluhur Minahasa. Anggota jemaat merasa bahwa ritual ini

bukan merupakan sebuah hal yang harus di jauhi ataupun

sebuah hal yang menduakan Tuhan. Mereka menganggap

bahwa Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan bukan

merupakan suatu tindakan atau aktivitas yang buruk dan salah,

sebaliknya mereka percaya bahwa sebagai orang Kristen di

Minahasa mereka wajib menghormati leluhur dan tetap terus

percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan yang

menciptakan dunia ini, juga yang menciptakan para leluhur di

masa lalu.

Oleh karena itu maka tidak ada pengaruh buruk yang terjadi

di tengah kehidupan jemaat KGPM Sidang Eben Haezer

Pinabetengan, karena iman mereka kepada Kristus tidak


70

berubah. Ritual ini pun merupakan bentuk ibadah yang

dilakukan oleh para leluhur di waktu yang lampau sebelum

adanya agama yang masuk di Minahasa, dan lewat ritual ini

mereka bersyukur kepada pencipta seraya saling memberikan

nasihat untuk kehidupan.

Adapun ditemui bahwa anggota jemaat bukan hanya

sebagai orang Minahasa yang sekedar menghormati budaya

namun ada dari anggota jemaat yang menjadi praktisi ritual ini,

dimana terdapat orang-orang khusus yang mendapatkan

karunia oleh Tuhan untuk menjadi mediator dalam pelaksanaan

ritual ini. Hal ini pun tidak berpengaruh apa-apa bagi kehidupan

jemaat KGPM Eben Haezer Pinabetengan, dimana mereka

tetap melakukan kegiatan-kegiatan gerejawi dan tidak berlaku

menyimpang dalam kehidpan bermasyarakat serta bergereja.

Hal yang unik di jumpai dimana ritual ini malahan bukan

menjauhkan jemaat dari kehidupan Kristen, karena dalam

pelaksanaan ritual ini para leluhur akan berdoa kepada Amang

Kasuruan dan setelah itu akan membaca Alkitab yang

setelahnya baru nasihat akan disampaikan. Adapun nasihat

yang disampaikan itu merupakan nasihat yang berasal dari

pembacaan Alkitab sebelumnya, dan inilah yang merupakan

hal penting karena tidak ada tindakan serta pengajaran yang

menyimpang dari pengajaran iman Kristen. Adapun pada masa

para leluhur yang melakukan ritual ini belum mempunyai buku


71

suci sebagai pedoman dan pegangan mereka, dan setelah

agama masuk dan ternyata agama itu idak berbeda dengan

apa yang mereka yakini maka agama itu diterima dengan baik

dan berkembang di MInahasa.

Juga dalam kehidupan bergereja KGPM Sidang Eben

Haezer Pinabetengan yang sudah pernah dilayani oleh 6

Gembala KGPM, tidak ada satu Gembala yang membuat

penolakan dengan adanya budaya ritual ini. Mereka tidak

menolak bukan karena iman mereka lemah, ataupun dalam

KGPM membenarkan hal ini, namun setelah mereka melihat

proses Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan tidak

didapati hal-hal yang menyimpang dari iman Kristen, dan

mereka lebih takjub lagi dengan penggunaan Alkitab sebagai

unsur yang tidak bisa dihilangkan dalam pelaksanaan ritual ini,

juga dimana nasihat-nasihat yang disampaikan juga tidaklah

berlawanan dengan pengajaran Alkitab. juga mereka melihat

bahwa tidak ada perubahan atau pengaruh buruk yang terjadi

kepada anggota jemaat dalam kehidupan sehari-hari ataupun

dalam mengikuti kegiatan gerejawi. Oleh sebab itu para

Gembala ini menghormati kegiatan budaya ini, serta pernah

diadakan beberapa kegiatan peribadatan di kawasan cagar

budaya Watu Pinawetengan.

Jadi, dapat dilihat bahwa respon dari jemaat tentang

kegiatan Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan ini


72

tidaklah dalam stigma yang negatif, namun ritual ini mempunyai

ruang yang khusus dalam kehidupan jemaat yang adalah orang

MInahasa, selain untuk merawat budaya tapi juga untuk

mendengarkan nasihat firman Tuhan yang disampaikan oleh

leluhur. Para anggota jemaat merasa bahwa tidak adanya

perbedaan ini merupakan sebuah hal yang penting dimana

budaya ini tidak menganggu iman mereka dan membuat

kehidupan masing-masing orang manjadi lebih baik sesuai

dengan nasihat yang berisi nilai-nilai Kristiani serta nilai moral

dalam kehidupan berjemaat dan bermasyarakat.

3. Bagaimana Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan

Dari Perspektif Teologi Kontekstual Di KGPM Sidang Eben

Haezer Pinabetengan?

Pemahaman yang sama dari setiap anggota jemaat tentang

Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan dimana tidak ada

penolakan dari jemaat ini membuat pelaksanaan budaya ini

terus berlangsung dan terjaga dengan baik. Dimana ritual ini

merupakan warisan yang telah diteruskan oleh para leluhur

sampai saat ini dan menjadi identitas orang Minahasa.

Pelaksanaan ritual ini bukan hanya sekedar untuk melestarikan

budaya, tapi juga karena ingin menerima wejangan atau

nasihat dari para leluhur untuk kehidupan. Dalam prakteknya

ritual ini menggunakan berbagai macam bentuk pengaturan

dan Alkitab yang tidak boleh dilupakan, karena dalam prosesi


73

ritual akan ada pembacaan Alkitab untuk menjadi dasar

pemberian nasihat.

Fenomena seperti ini membuat peneliti menyadari bahwa

budaya Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan ini telah

bercampur dengan nilai-nilai Kristen, dan membuat Teologi

Kontekstual. Teologi kontekstual adalah refleksi dari individu

dalam konteks hidupnya, dimana dibutuhkan upaya yang

bersumber dari sudut pandang refleksi objektif, yang

berdasarkan; iman, kitab, kebiasaan atau tradisi dan

pengalaman masa kini.57 Proses kontekstualisasi terjadi ketika

seseorang mampu untuk memposisikan diri ditengah

lingkungannya, namun tidak harus berubah total agar menjadi

sama dan diterima oleh lingkungannya.

Hal senada juga yang terjadi di tengah-tengah kehidupan

anggota jemaat KGPM Sidang Eben Haezer Pinabetengan

melihat Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan, dimana

mayoritas anggota jemaat berpendapat bahwa pelaksanaan

ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan merupakan bentuk

perawatan warisan budaya dari para leluhur bagi orang

Minahasa saat ini dan ritual ini pun menjadi bukti eksistensi

budaya Minahasa. Ritual ini menjadi bentuk upacara untuk

menghormati serta bersyukur kepada sang pencipta yang juga

untuk menerima pesa atau nasihat dari para leluhur. Dalam

57
Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero,
2002), h. 1.
74

pelaksanaan ritual ini pun Alkitab mendapatkan posisi yang

sangat penting dimana ketika ritual ini dimulai, para leluhur

yang hadir akan berdoa dan membaca Alkitab baru setelahnya

nasihat akan disampaikan sesuai dengan pembacaan Alkitab

sebelumnya.

Oleh sebab inilah peneliti melihat bahwa dalam pelaksanaan

Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan telah bercampur

dengan unsur-unsur Kekristenan, karena Injil tidak hadir dalam

ruang hampa, melainkan ia hadir dalam dunia yang telah

memiliki nilai-nilai budaya sebagai identitasnya. 58 Maka peneliti

teringat tentang seorang tokoh Etika dan Teolog Amerika yakni

Richard Niebuhr yang berbicara tentang perjumpaan antara Injil

dan Kebudayaan, serta Niebuhr mencetuskan lima tipologi

relasi injil dan kebudayaan. Dalam pembahasan tentang ritual

Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan di tengah-tengah

kehidupan jemaat KGPM Sidang Eben Haezer Pinabetengan,

peneliti melihat dari fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan

ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan Injil telah

mendapatkan tempat yang khusus.

Adapun tipologi ke-2 dari Niebuhr tentang Kristus dari

Kebudayaan sangat tepat jika digunakan melihat fenomena

ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan dalam kontek

kehidupan jemaat KGPM Sidang Eben Haezer Pinabetengan,

58
A. A. Yewangoe, Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), h. 80.
75

dimana ditemui bahwa tidak terdapat pertentanga antara Injil

dan kebudayaan. Karena dalam melakukan ritual Ma’ator Repe

Am Watu Pinawetengan akan ada saat dimana para leluhur

membuka Alkitab dan membacanya, baru setelah itu akan

disampaikan nasihat-nasihat yang berdasarkan firman Tuhan.

Disini dapat dilihat bahwa Injil terakomodasikan ke dalam

budaya dan menjadi unsur yang penting dalam terlaksananya

ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan.

Kehidupan anggota jemaat KGPM Sidang Eben Haezer

Pinabetengan tetap menjaga iman kepada Yesus Kristus

sebagai pemilik kehidupan, Juruselamat serta, yang merupakan

pencipta dunia dan pemelihara kehidupan. Namun, mereka

tetap melaksanakan kegiatan budaya yang merupakan warisan

leluhur dengan melakukan ritual Ma’ator Repe Am Watu

Pinawetengan dengan kata lain, mereka menginterpretasikan

Kristus kedalam kebudayaan lewat ritual Ma’ator Repe Am

Watu Pinawetengan. Anggota jemaat yang mengikuti ritual

Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan ini pun mengambil serta

menseleksi pengajaran-pengajaran Alkitab yang di sampaikan

dan sesuaikan oleh para leluhur lewat ritual ini, dan nasihat-

nasihat itulah yang menjadi bekal orang Minahasa dalam

kehidupan ini. Para Gembala yang pernah melayani di KGPM

Sidang Eben Haezer Pinabetengan pun tidak pernah menolak


76

dan merasa tidak ada yang salah dengan pelaksanaan ritual

Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan.

Tidak adanya penolakan dari orang Minahasa terhadap

masuknya agama Kristen dikarenakan apa yang telah disampai

teruskan oleh para leluhur dahulu sampai sekarang itu sesuai

dengan firman Tuhan dalam Alkitab. Jadi, tidak orang Minahasa

merasa apa yang mereka rawat dalam bentuk budaya dan

agama yang di yakini itu tidak memiliki perbedaan. Hanya saja

pada masa lampau para leluhur tidak memiliki buku suci

dimana memuat seluruh aturan serta nilai moral kehidupan bagi

orang Minahasa, dan pada masa itu para leluhur belum

memiliki tempat yang layak untuk dijadikan tempat bersekutu,

berkumpul bersama. Maka pohon-pohon atau batu-batu besar

menjadi tempat mereka berjumpa dan melakukan prosesi

peribadatan versi mereka kepada sang pencipta Amang

Kasuruan, dan salah satu dari tempat mereka berkumpul itu

yang kita kenal sekarang dengan Watu Pinawetengan.

Saat ini para pelaku budaya serta jemaat KGPM Sidang

Eben Haezer Pinabetengan menginterpretasikan kebudayaan

ini merupakan hal yang baik yang di ajarkan leluhur sampai

saat ini, dimana saat ini Alkitab telah menjadi pedoman yang

absolut dalam kehidupan dan tugas dari para leluhur untuk

terus megingatkan kepada orang-orang saat ini untuk tetap

terus melakukan hal-hal baik yang bersesuaian dengan nilai


77

moral kehidupan yang juga sesuai dengan firman Tuhan.

Dimana segala unsur budaya yang ada merupakan bagian dari

pengajaran Kristen yang ada saat ini. Oleh sebab itu jemaat

yang menghormati dan menjadi praktisi ritual Ma’ator Repe Am

Watu Pinawetengan ini tidak memiliki hambatan dalam

melakukan setiap kewajiban gerejawi, karena hal ini pun terus

di ingatkan oleh para leluhur dalam setiap pelaksanaan ritual.

Dari hasil dokumentasi, observasi, dan wawancara yang

peneliti lakukan dapat dikatakan bahwa Kontekstualisasi ini

begitu jelas terlihat di mana jemaat KGPM Sidang Eben Haezer

Pinabetengan merasa bahwa nilai-nilai budaya ini tidak

berlawanan dengan nilai-nilai Kristen, ini seperti Tuhan yang

merendahakan diri serta mengasosiasikan dirinya dengan

budaya sehingga lewat budaya pun manusia dapat

menyembahNya. Oleh sebab itu para leluhur lewat pelaksanaan

ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan menggunakan

Alkitab serta mencontohi kehidupan Yesus agar menjadi

pedoman yang disamapaikan lewat nasihat dan disesuaikan

dengan kebudayaan Minahasa. Jadi lewat ritual Ma’ator Repe

Am Watu Pinawetengan kontekstualisasi terjadi kepada jemaat

KGPM Sidang Eben Haezer Pinabetengan dan dapat dilihat

dengan jelas bahwa Kristus diharmonisasikan dengan

kebudayaan dan menjadi bagian dari budaya itu sendiri.


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka

peneliti dapat menyimpulkan bahwa Ritual Ma’ator Am Repe

Watu Pinawetengan merupakan sebuah kegiatan yang biasa

dilakukan oleh orang Minahasa yang telah diwarisi dari para

leluhur sampai saat ini. Ritual ini dilakukan di dalam kawasan

objek wisata budaya Watu Pinawetengan. Dalam setiap

pelaksanaan ritual ini tujuan utamanya ialah untuk menerima

wejangan/nasihat dari para leluhur seraya merawat budaya ini

agar tidak dilupakan. Ritual ini merupakan bentuk upacara atau

ibadah yang biasa dilakukan oleh para leluhur pada masa

lampau yang dimana lewat ritual ini mereka berkumpul

bersama untuk bersyukur kepada Amang Kasuruan – Tuhan

yang maha kuasa, juga lewat ritual ini para leluhur berkumpul

dan berjumpa untuk saling mengingakan dan memberikan

nasihat yang dimana kegiatan ritual ini tetap terpelihara dan di

teruskan sampai saat ini.

Disamping itu, jemaat menganggap bahwa Ritual Ma’ator

Repe Am Watu Pinawetengan merupakan budaya yang harus

di jaga dan di lestarikan, yang dimana ritual ini merupakan

warisan dari para leluhur Minahasa. Anggota jemaat merasa

bahwa ritual ini merupakan sebuah hal yang harus di jauhi

78
79

ataupun sebuah hal yang menduakan Tuhan. Mereka

menganggap bahwa Ritual Ma’ator Repe Am Watu

Pinawetengan bukan merupakan suatu tindakan atau aktivitas

yang buruk dan salah, sebaliknya mereka percaya bahwa

sebagai orang Kristen di Minahasa mereka wajib menghormati

leluhur dan tetap terus percaya kepada Yesus Kristus sebagai

Tuhan yang menciptakan dunia ini, juga yang menciptakan

para leluhur di masa lalu. Oleh karena itu maka tidak ada

pengaruh buruk yang terjadi di tengah kehidupan jemaat KGPM

Sidang Eben Haezer Pinabetengan, karena iman mereka

kepada Kristus tidak berubah. Ritual ini pun merupakan bentuk

ibadah yang dilakukan oleh para leluhur di waktu yang lampau

sebelum adanya agama yang masuk di Minahasa, dan lewat

ritual ini mereka bersyukur kepada pencipta seraya saling

memberikan nasihat untuk kehidupan.

Jadi, Ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan Dari

Perspektif Teologi Kontekstual Di KGPM Sidang Eben Haezer

Pinabetengan adalah mereka menginterpretasikan kebudayaan

ini merupakan hal yang baik yang di ajarkan leluhur sampai

saat ini, dimana saat ini Alkitab telah menjadi pedoman yang

absolut dalam kehidupan dan tugas dari para leluhur untuk

terus megingatkan kepada orang-orang saat ini untuk tetap

terus melakukan hal-hal baik yang bersesuaian dengan nilai

moral kehidupan yang juga sesuai dengan firman Tuhan.


80

Dimana segala unsur budaya yang ada merupakan bagian dari

pengajaran Kristen yang ada saat ini. Oleh sebab itu jemaat

yang menghormati dan menjadi praktisi ritual Ma’ator Repe Am

Watu Pinawetengan ini tidak memiliki hambatan dalam

melakukan setiap kewajiban gerejawi, karena hal ini pun terus

di ingatkan oleh para leluhur dalam setiap pelaksanaan ritual.

Kontekstualisasi ini begitu jelas terlihat di mana jemaat KGPM

Sidang Eben Haezer Pinabetengan merasa bahwa nilai-nilai

budaya ini tidak berlawanan dengan nilai-nilai Kristen, ini

seperti Tuhan yang merendahakan diri serta mengasosiasikan

dirinya dengan budaya sehingga lewat budaya pun manusia

dapat menyembahNya. Oleh sebab itu para leluhur lewat

pelaksanaan ritual Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan

menggunakan Alkitab serta mencontohi kehidupan Yesus agar

menjadi pedoman yang disamapaikan lewat nasihat dan

disesuaikan dengan kebudayaan Minahasa. Jadi lewat ritual

Ma’ator Repe Am Watu Pinawetengan kontekstualisasi terjadi

kepada jemaat KGPM Sidang Eben Haezer Pinabetengan dan

dapat dilihat dengan jelas bahwa Kristus diharmonisasikan

dengan kebudayaan dan menjadi bagian dari budaya itu

sendiri.

B. Saran
81

Dari hasil kesimpulan yang telah dipaparkan di atas, maka

pada kesempatan ini peneliti hendak mengajukan saran dan

masukan, yang sekiranya dapat dijadikan bahan pertimbangan.

Yakni sebagai berikut:

Gereja atau dalam hal ini KGPM Sidang Eben Haezer

Pinabetengan sekiranya dapat terus merawat keharmonisan antara

Agama yakni Gereja dengan Budaya, agar tidak terjadi

ketimpangang dan kesalahpahaman yang akan berakibat fatal bagi

kehidupan jemaat serta masyarakat. Kiranya hal ini tetap terus di

rawat agar dalam budaya pun kehadiran Kristus serta Injil akan

terasa dan menjadi fondasi iman yang kuat bagi jemaat. Kiranya

juga Gereja menjadi sarana pemersatu perbedaan lewat sosialisasi

ataupun pembinaan warga gereja ataupun lewat seminar, karena

banyak paradigma negatif tentang kegiatan ritual ini di tengah-

tengah masyarakat. Kiranya Gereja tetap menyuarakan nilai-nilai

Kristiani yang menjadi dasar kehidupan jemaat agar terdapat

kesesuaian dengan budaya yang telah tertanam lewat nilai-nilai

moral yang disampaikan.

Selanjutnya, untuk anggota jemaat diharapkan senantiasa

untuk dapat mengembangkan diri dalam kebenaran firman Tuhan

dan pengajaran dalam ibadah. Dan tetap terus merawat budaya

yang telah menjadi warisan para leluhur, kiranya memelihara

kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan ini. Hal ini

bertujuan untuk meningkatkan kualitas diri untuk menjadi orang


82

yang beriman dan juga berilmu, agar tak mudah di ombang-

ambingkan oleh rupa-rupa pengajaran.

Terakhir untuk institusi, Institut Agama Kristen Negeri (IAKN)

Manado, diharapkan untuk senantiasa menjaga, meningkatkan

mutu atau kualitas serta dapat mengembakan potensi para peserta

didik dalam kerangka pemenuhan TRIDHARMA perguruan tinggi

dan terwujudnya Universitas Kristen Negeri (UKN) Minahasa dan

cendikiawan Kristiani berperadaban Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Badudu, J.S., Zain, Sutan Mohammad, Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2000.
Bertens, K., Etika, Jakarta: Gramedia, 1993.
Brownlee, Malcolm, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor
didalamnya, Jakarta: Gunung Mulia, 2016.
Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rajawali Pers,
2011.
Darmaputera, Eka, Etika Sederhana untuk Semua, BPK Gunung Mulia,
2015.
, Etika Sederhana untuk Semua Perkenalan Pertama,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Darmi, Hamid, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2011.
Emzir, Metode Penelitian Kualitatif Analisis Data, Jakarta: Rajawali Pers,
2011.
, Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif, Jakarta:
Rajawali Pers, 2011.
Geisler, Norman, Etika Kristen, Malang: CBA, 2015.
Graham, Billy, Menghadapi Kematian dan Kehidupan Sesudahnya,
Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2001.
Keoentjaraningrat, Manusia dan kebudayaan di Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 1991.
Keraf, Sonny A., Etika Lingkungan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.
Mardalis, Metode Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Mawuntu, M. L., Redefinisi dan Rekonstruksi Tou, Disertasi: Fakultas
Teologi UKSW, 2017.
Muliana, Dedy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006.
Satori Djam’an, Komariah, Aan, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:
Alfabeta, 2011.
Soekahar, H., Satanisme Dalam Pelayanan Pastoral, Malang: Gandum
Mas, 1986.

83
Solatun, Dedy, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2008.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2007.
, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Bandung; Alfabeta
2008.
, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2011.
Suharsimi, Arikuno, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,
Jakarta: Rineka Cipta, 2006.
Suleeman, F., Sutama, A., Rajendra, A., Bergumul dalam Pengharapan,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Suseno, Franz Magnis, 13 Tokoh Etika, Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Sutarno, Etiket, Kiat Serasi Berelasi, Kanisius: Yogyakarta, 2008.
Takaliuang, Pondsius, Antara Kuasa Gelap Dan Kuasa Terang, Malang:
Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil, 1980.

REFERENSI
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Budaya,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Dokumen Sejarah Jemaat KGPM Sidang Eben Haezer Pinabetengan
Buku Kerja Rapat Tahunan Sidang KGPM Sidang Eben Haezer
Pinabetengan Tahun 2022

INTERNET
Definisi Kebudayaan, http://exalute.wordpress.com/2009/03/29/definisi-
kebudayaan-menurut-para-ahli, diakses tanggal 10 Januari 2022,
pukul 17:45 WITA.
Wikipedia Indonesia: Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia. s.v.
“Kebudayaan”, tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Kebudayaan,
diakses tanggal 10 Januari 2022, pukul 17:35 WITA.

84
LAMPIRAN

Tabulasi Hasil Wawancara


No Pertanyaan Informan Hasil/Kesimpulan
Wawancara
1 Apakah yang ada Ritual meruapakan sebuah
kegiatan untuk bisa
ketahui tentang Y.H, G.S, C.P,
menghormati Tuhan dan
A.H
budaya Ritual para leluhur (orang tua) di
tanah minahasa.
Ma’ator Am Watu
Ritual ini adalah bentuk
Pinawetengan? upacara dari para leluhur
untuk beryukur kepada
S.T, G.R, N.B,
Pencipta, untuk berjumpa
G.T, V.K
demi saling mengingatkan
dengan memberikan
Nasihat.
Ritual yang di wariskan
A.T, T.G, G.W,
dalam budaya Minahasa
J.T, A.K,
untuk menerima pesan atau
M.S, A.W, R.P,
nasehat dari para orang tua
S.K, W.H, I.K
(leluhur).
2 Mengapa budaya Budaya ini harus
dalam bentuk ritual dilaksanakan karena hal ini
S.T, G.R, G.S,
ini harus merupakan warisan adat
N.B, A.H, Y.H
dilaksanakan? yang harus di pelihara, apa
S.K, W.H, I.K,
bila tidak laksanakan maka
C.P, G.T, V.K
budya lokal/eksistenis
A.T, T.G, G.W,
orang minahasa ini akan
J.T, A.K,
hilang dimuka bumi ini, oleh
M.S, A.W, R.P
sebab itu mau tidak mau
harus dilaksanakan.
3 Bagaimana pendapat
ritual ma’ator repe am watu
anda tentang Ritual
pinabetengan merupakan
Ma’ator Am Watu
suatu kebudayaan yang
Pinawetengan? Y.H, G.S, C.P,
selalu dilaksanakan atau
S.T, V.K, A.T,
diperingati pada awal
T.G, G.W, J.T,
permulaan Tahun tepatnya
A.K, M.S, A.W,
hari ketiga di bula Januari
R.P, A.H, G.R
(di tahun yang baru, tahun
N.B, G.T, S.K,
yang diberkati Tuhan)
W.H, I.K, J.T,
adapun upacara ini di
A.K, M.S, A.W,
lakukan ketika ada
R.P
sebagian orang ingin
meminta pesan dan
nasehat dari para leluhur.

85
G.T, S.K, A.H,
Ritual ma’ator am watu
G.R, N.B, Y.H,
pinawetengan merupakan
G.S, C.P, S.T,
hal yang baik, budaya yang
V.K, A.T, W.H,
dilestarikan.
G.R, G.W, I.K

4 Bagaimana Anda I.K, A.T, W.H, Ritual ma’ator repe am


menyikapi ketika G.R, G.T, S.K, watu pinawetengan ini
diberikan tanggung A.H, G.R, N.B, bukan merupakan suatu
jawab umtuk S.T, V.K, A.W tindakan atau aktivitas yang
memberikan salah atau buruk.
pemahaman tentang G.S, J.T, M.S, hidup sebagai orang kristen
arti dan makna Ritual R.P, G.W, T.G, di tanah minahasa,
Ma’ator Am Watu C.P, Y.H menghormati leluhur yang
Pinawetengan yang ada tetapi kepercayaan
sesungguhnya? tetap kepada Allah pencipta
yang juga Tuhan yang
menghidupkan leluhur-
leluhur di masa lalu (leluhur
minahasa).
5 Bagaimana pendapat A.T, G.T, A.H, Kami merasa baik-baik saja
anggota jemaat S.K, J.T, G.S, dengan situasi seperti ini,
tentang Ritual N.B, W.H, I.K iman kami tidak berubah
Ma’ator Am Watu kepada Tuhan Yesus
Pinawetengan? A.K, M.S, A.W, Kami merasa pelestarian
R.P, Y.H, C.P, budaya lewat ritual ini baik
S.T, V.K, T.G, dan tidak mengganggu
G.W, G.R kehidupan kami
6 Apakah ada Tidak ada pengaruh buruk
A.T, G.T, A.H
pengaruh kepada yang terjadi selama ini,
S.K, J.T, G.S,
anggota jemaat yang sudah sejak dari para Apo
N.B, W.H, I.K
mengikuti kegiatan (Orang tua) sampai kepada
M.S, A.K, A.W,
Ritual Ma’ator Am generasi saat ini. Kami
R.P, Y.H, C.P,
Watu Pinawetengan? menghargai budaya tapi
S.T, V.K, T.G,
mengimani Yesus Kristus
G.W, G.R
sebagai Tuhan kami.
7 Bagaimana jika ada Budaya ini harus di lakukan
A.T, G.T, S.K,
jemaat yang menjadi terus menerus, jadi bagus
J.T, G.S, A.H
praktisi Ritual Ma’ator dan kiranya ritual ini tidak
N.B, W.H, I.K
Am Watu dilupakan
Pinawetengan? Budaya ini adalah anugerah
Tuhan dan menjadi
T.G, A.K, M.S,
tanggung jawab kita untuk
A.W, R.P, Y.H,
merawatnya, dan menjadi
C.P, S.T, V.K,
Praktisi itu merupakan
G.W, G.R
karunia untuk membantu
orang lain lewat ritual ini.

86
8 Apakah anggota Ritual ini tidak berpengaruh
jemaat yang percaya dalam kehidupan kami
T.G, A.K, A.T,
dan praktisi Ritual ini sehingga tidak ada
G.T, S.K, J.T,
masih melaksanakan hambatan kami untuk
G.S, A.H, I.K,
kewajiban sebagai beribadah di tiap minggu
N.B
orang Kristen ataupun di ibadah Kepel
A.W, R.P, M.S,
dan komisi ataupun hal
Y.H, C.P, S.T,
lainnya. Ritual ini malah
V.K, G.W, G.R,
lebih mempereat hubungan
W.H
kami dan tidak
mengganggu iman kami.
9 Jika diadakan lokarya lokarya itu dilaksanakan
tentang ritual ma’ator untuk memberikan
repe am watu pengertian dan
pinawetengan apa pemahaman mengenai
Y.H, G.S, C.P,
pendapat Anda? kebudayaan kepada
S.T, V.K, A.T,
masyarakat/jemaat. Apa
T.G, G.W, J.T,
lagi kalau hal itu diarahkan
A.K, M.S, A.W
kepada iman dan
kepercayaan kristiani.
Sebab budaya itu penting
bagi generasi berikutnya.
R.P, A.H, G.R generasi saat ini harus
N.B, G.T, S.K, berusaha mengetahui arti
W.H, I.K dari ritual ma’ator repe am
watu pinawetengan
sehingga dengan
mengetahui arti tersebut
dapat dipelajari secara
bersama.
10 Apakah Ritual G.S, V.K, T.G,
Jika ritual ini berlawanan
Ma’ator Am Watu G.W, A.K, M.S,
maka kami tidak
Pinawetengan A.W, A.H, G.R,
melakukannya
berlawanan dengan I.K
nilai-nilai Ritual ini merupakan bentuk
kekristenan? ibadah dalam konteks para
leluhur kepada pencipta
alam ini, dan itu yang kita
R.P, Y.H, C.P, kenal sekarang dengan
S.T, A.T, G.T, Tuhan Yesus, dan oleh
S.K, J.T karena tidak ada perbedaan
maka budaya menerima
agama ini, namun
sepertinya agama yang
menolak budaya/ritual ini.
N.B, W.H Kami rasa tidak ada hal
yang berlawanan, malah
sama persis dengan

87
pengajaran yang ada dalam
agama
11 Apakah hubungan
Budaya dan agama atau
Ritual Ma’ator Am
Kekristenan itu tidak ada
Watu Pinawetengan
bedanya. Jaman dahulu
dan agama Kristen?
R.P, Y.H, C.P, para leluhur belum
S.T, A.T, G.T, mempunyai buku suci yang
S.K, G.S, V.K, menjadi pedoman moral,
T.G, G.W, A.K, namun hanya berupa
M.S, A.W, A.H, Nasehat. Setelah
G.R, I.K agama/Kekristenan masuk
N.B, W.H, J.T dan ternyata sama dengan
pengajaran nenek moyang
maka Kekristenan di terima
dan berkembang
12 Selama ini
bagaimana Y.H, G.S, C.P, Tidak ada penolakan,
pandangan para S.T, V.K, A.T, malah mereka menghormati
Gembala yang T.G, G.W, J.T, budaya ini dan ada
datang melayani di A.K, M.S, A.W, beberapa Gembala yang
Pinabetengan R.P, A.H, G.R melakukan kegiatan ibadah
terhadap Ritual N.B, G.T, S.K, Gereja di wilayah watu
Ma’ator Am Watu W.H, I.K pinawetengan.
Pinawetengan?
Keterangan : Wawancara dilakukan pada bulan Juli 2022.

88

Anda mungkin juga menyukai