Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“Tradisi Dalam Aswaja”

(Mata Kuliah : Aswaja)

Dosen Pengampu :

Dr. H. Kemas Imron Rosyadi, M.Pd.I

Disusun oleh :

1. Devita (2011003153)
2. Wahyu Muflissah (2011003144)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’ARIF JAMBI


TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena

limpahan rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah tentang


“Tradisi Dalam Aswaja” dengan baik tanpa kurang suatu apapun. Tak lupa kami
juga berterimakasih dosen pengampu dalam mata kuliah ASWAJA semester II
STAI MA’ARIF JAMBI pada kelas sore yang sudah memberikan tugas ini.
Kami selaku penulis berharap semoga kelak makalah ini dapat berguna
dan juga bermanfaat serta dapat menambah wawasan kita tentang judul makalah
ini. Kami pun menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
mengharapkan kritik dan saran serta usulan demi perbaikan makalah yang kami
buat di masa yang akan mendatang. Mengingat tak aka nada sesuatu yang
sempurna tanpa ada saran yang membangun.
Mudah-mudahan makalah sederhana ini bisa di pahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya makalah yang di susun ini dapat bermanfaat bagi
kami sendiri ataupun bagi yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan dan kata kata yang kurang berkenan dalam penulisan
kami.

Jambi, Februari 2021

Pemakalah
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..............................................................................

Daftar Isi........................................................................................

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah........................................................


B. Rumusan Masalah.................................................................
C. Tujuan Penulisan...................................................................

BAB II Pembahasan

A. Pengertian Tradisi, Budaya dan NU.....................................


B.  Latar Belakang Tradisi dan Budaya dalam NU....................
C. Tradisi dan Budaya di Indonesia..........................................
D. Tradisi dan Budaya menurut Pandangan NU ......................

BAB III  Penutup..........................................................................

Daftar Pustaka...............................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sejarah diterimannya kehadiran Islam di Nusantara dengan kondisi


keagamaan masyarakat yang menganut paham animisme (Hindu-Budha), tidak
bisa dilepaskan dari cara dan model pendekatan dakwah para mubaligh Islam kala
itu yang ramah dan bersedia menghargai kearifan budaya dan tradisi lokal. Sebuah
pendekatan dakwah yang terbuka dan tidak antisipati terdapat nilai-nilai normatif
di luar Islam, melainkan mengakulturasikannya dengan membenahi
penyimpangan-penyimpangan di dalamnya memasukkan ruh-ruh keislaman ke
dalam subtstansinya. Maka lumrah jika kemudian corak amaliah ritualitas muslim
Nusantara (khususnya Jawa) hari ini, kita saksikan begitu kental diwarnai dengan 
tradisi dan budaya khas lokal, seperti ritual selametan, kenduri, dan lain-lain.

Amaliah keagamaan seperti itu tetap dipertahankan karena kaum


Nahdliyyin meyakini bahwa ritual-ritual dan amaliyah yang bercorak lokal
tersebut. Hanyalah sebatas teknis atau bentuk luaran saja, sedangkan yang
menjadi substansi didalamnya murni ajaran-ajaran Islam. Dengan kata lain, ritual-
ritual yang bercorak tradisi lokal hanyalah bungkus luar, sedangkan isinya adalah
nilai-nilai ibadah yang dianjurkan oleh Islam.

Dalam pandangan kaum Nahdliyyin, kehadiran Islam yang dibawa oleh


Rasulullah saw. Bukanlah untuk menolak segala tradisi yang mengakar menjadi
kultur budaya masyarakat, melainkan sekedar untuk melakukan pembenahan-
pembenahan dan pelurusan-pelurusan terhadap tradisi dan budaya yang tidak
sesuai dengan risalah Rasulullah saw. Budaya yang telah mapan menjadi nilai
normatif masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam akan
mengakulturasikannya bahkan mengakuinnya sebagai bagian dari budaya dan
tradisi Islam itu sendiri. Dalam hal ini, Rasululullah saw. Bersabda:

“ apa yang dilihat orang Muslim baik, maka hal itu baik disisi Allah.” (HR.
Malik).

            Kendati demikian, amaliah dan ritual keagamaan kaum Nahdliyin seperti
itu, sering mengobsesi sebagian pihak untuk menganggapnya sebagai praktik-
praktik sengkritisme, mitisme, khurafat, bid’ah bahkan syirik.
Anggapan demikian sebenarnya lebih merupakan subyektifitas akibat
terjebak dalam pemahaman Islam yang sempit dan dangkal serta tidak benar-
benar memahami hakikat amaliah dan ritual-ritual hukum Nahdliyyin tersebut.
Pihak-pihak yang seperti ini, wajar apabila kemudian dengan mudah melontarkan
‘tuduhan’ bid’ah atau syirik terhadap amaliah dan ritualitas kaum Nahdliyyin,
seperti ritual tahlilan, peringatan Maulid Nabi, Istighfar, Pembacan berzanji,
Manaqib, Ziarah kubur, dan amaliah-amaliah lainnya.

Tuduhan-tuduhan bid’ah seperti itu, sangat tidak berdasar baik secara dalil
maupun ilmiah, dan lebih merupakan sikap yang mencerminkan kedangkalan
pemahaman keislaman. Sebab sekalipun terdapat kaidah fiqh yang menyatakan:

“hukum asal ritual ibadah adalah haram”.

                             

B.     Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, saya akan merumuskan masalah yang akan dibahas, yaitu:

1. Apa Pengertian dari Tradisi, Budaya, dan NU ?


2. Bagaimana Latar Belakang Tradisi dan Budaya dalam NU ?
3. Bagaimana Tradisi Maulid Nabi, Khaul Auliya’, Dan Tawassul dalam
aswaja ?
4. Bagaimana Tradisi dan Budaya menurut Pandangan NU ?

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk Memahami Pengertian Tradisi, Budaya, dan NU.

2.      Untuk Mengetahui Latar Belakang Tradisi dan Budaya dalam NU.

3.      Untuk Memahami Tradisi dan Budaya di Indonesia.

4.      Untuk Mengetahui Tradisi dan Budaya Menurut Pandangan NU.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tradisi, Budaya, dan NU

1. Tradisi

Tradisi (Bahasa Latin: tradition, “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam


pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak
lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasannya
dari suatu Negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling
mendasar dari tradisi adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi
baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi
dapat punah1

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tradisi adalah adat kebiasaan


turun temurun yang masih dijalankan dimasyarakat dengan anggapan tersebut
bahwa cara-cara yang ada merupakan yang paling baik dan benar2

Tradisi adalah pertama, sesuatu yang ditransferensikan kepada kita.


Kedua, sesuatu yang dipahamkan kepada kita. Dan ketiga, sesuatu yang
mengarahkan perilaku kehidupan kita. Itu merupakan tiga lingkaran yang
didalamnya suatu tradisi tertentu ditransformasikan menuju tradisi yang dinamis.
Pada lingkaran pertama, tradisi menegakkan kesadaran historis, pada lingkaran
kedua menegakkan kesadaran eidetis, dan pada lingkaran ketiga menegakkan
kesadaran praksis3.

2. Budaya

Budaya atau kebudayaan berasal dari


bahasa Sanksekerta yaitu buddayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
(budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari
kata latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai
mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
1
http://id.m.wikipedia.org/wiki/tradisi.2013. tgl 02 maret 2021, pm.O9.02
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia,( Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 1208.
3
Hasan Hanafi, Islamologi 2 dari Rasionalisme ke Empirisme, ( Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta, 2004). Cet. 1.hlm. 5.
“kultur” dalam bahasa Indonesia. Budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan
dari generasi kegenerasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, sistem
agama, dan politik adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya
seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari
diri manusia sehingga cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Ketika seorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya
dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu
dipelajari.

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks,


abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia.4

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Budaya adalah sesuatu yang


sudah menjadi kebiasaan dan sukar untuk dirubah5.

3. NU

Nahdlatul Ulama’ secara etimologis mempunyai arti “Kebangkitan


Ulama’” atau “Bangkitnya para Ulama’”, sebuah organisasi yang didirikan
sebagai tempat terhimpun seluruh Ulama’ dan umat Islam. Sedangkan menurut
istilah, Nahdlatul Ulama’ adalah Jam’iyyah Diniyah yang berhaluan Ahlussunnah
Wal Jama’ah yanh didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau bertepatan pada
tanggal 31 Januari 1926 M di Surabaya yang bergerak dibidang ekonomi,
pendidikan, dan sosial.

NU didirikan atas dasar kesadaran dan keinsyafan bahwa setiap manusia


hanya dapat memenuhi kebutuhannya bila bersedia hidup bermasyarakat.

Sikap kemasyarakatan yang ditumbuhkan oleh NU adalah6:

4
Munthoha, Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: UIII Press,
1998).cet.1.hlm.7.
5
Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit.hlm.169.
6
SUNADI,dkk, Ahlussunnah Wal Jamaah Materi Dasar Nahdlatul
‘Ulama’(MDNU), (Jepara: Pimpinan Cabang Lembaga Pendidikan Ma’arif NU,
2011).hlm.2.
a. At-Tawasuth dan I’tidal, yaitu sikap tengah dengan inti keadilan dalam
kehidupan.
b. At-Tasamuh, yaitu toleran dalam perbedaan, toleran dalam urusan
kemasyarakatan dan kebudayaan.
c. At-Tawazun, yaitu keseimbangan beribadah kepada Allah swt dan
berkhidmah kepada sesama manusia serta keselarasan masa lalu, masa
kini, dan masa depan.
d. Amar Ma’ruf Nahi Munkar, yaitu mendorong perbuatan baik dan
mencegah hal-hal yang merendahkan nilai-nilai kehidupan (mencegah
kemungkaran).

B. Latar Belakang Tradisi dan Budaya dalam NU

Mayoritas umat Islam Indonesia, bahkan di dunia adalah penganut Aliran


Ahlussunnah Wal Jamaah. Ajaran-ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah begitu
berakar dan membumi dalam tradisi, budaya, dan kehidupan keseharian
masyarakat muslim Indonesia. Memang ajaran-ajaran Aswaja bisa terwujud
dalam manifestasi yang beragam diberbagai belahan dunia Islam karena cara
hidup, kebiasaan, dan adat istiadat masing-masing kawasan dunia Islam yang
berbeda. Namun, ada benang merah yang menyatukan semua adat-adat yang
berbeda itu. Ajaran Aswaja selalu menjiwai berbagai tradisi-tradisi tersebut. Pasti
ada ajaran-ajaran Aswaja yang menjadi substansi dan penggeraknya. Bagi para
Ulama’ dan kalangan terpelajar akan dengan mudah menangkap ajaran-ajaran
dibalik tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda-beda tersebut. Namun, bagi
sebagian kalangan awam mungkin agak sulit, mereka lebih memahami praktek
dari pada aspek bathiniyyahnya. Dari sinilah timbul kesalah pahaman terhadap
sebagian tradisi-tradisi keagammaan yang ada7.

Selama ini kita maklum, bahwa sebelum hadirnya dakwah Islam yang
diusung para wali (walisongo), masyarakta Jawa adalah pemeluk taat agama
Hindu dan juga pelaku budaya Jawa yang kental dengan nuansa Hinduisme
sampai sekarang masih di-ugemi (pedomani) sebagian masayarakat Indonesia8.

7
Abu Abdillah, Argumen Ahlussunnah Wal Jamaah, (Tangerang Selatan: Pustaka
Ta’awun, 2011).cet,II. Hlm.v.

8
Nurhidayat Muhammad, Lebih Dalam Tentang NU, (Surabay: Bina
Aswaja,2012). Cet.                I. hlm. 2.
Mengikis budaya yang tidak sejalan dengan ajaran agama dan sudah
mengakar kuat, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh perjuangan
yang ekstra keras tentunya. Sebagian dari mereka memilih jalan dakwah dengan
langsung mengajarkan dan menerapkan syari’at Islam kepada masyarakat.
Budaya dan praktek syirik yang tak sejalan dengan syari’at Islam langsung
dibabat habis. Dan ada pula yang menggunakan pendekatan sosial budaya dengan
cara yang lebih halus: dengan cara mengalir mengikuti tradisi masuarakat tanpa
harus terhanyut.

Perbedaan jalan dakwah seperti itu tidak perlu diperdebatkan karena


semuanya muncul dari cita-cita luhur mengislamkan masyarakat yang masih
memeluk agama nenek moyang yang sarat dengan syirik, kufur, dan penuh
nuansa takhayul dan khurafat.

Menurut cerita sejarah, budaya mengadakan kenduri


atau selametan kematian yang juga merupakan budaya mereka tidak serta merta
beliau hapus. Budaya selametan yang semula dipenuhi dengan ajaran kufur,
wadahnya dibiarkan, tetapi isinnya yang sarat dengan kekufuran dan cid’ah
diganti dengan ajaran yang bernuansa Islami, atau minimal jauh dari
kemusyrikan9.

Mengenai tuduhan tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir dalam


budaya lokal dilestarikan walisongo tersebut, tentu dengan mudah kami dapat
mendebat. Upacara ala Hindu dalam selametan hari kematian, misalnya, seperti
hari ke-7, ke-40, ke-100 dan lain-lain sama sekali telah diganti dengan sedekah
karena Allah, membava Al-Qur.an, shalawat, dzikir, dan do’a.

C. Tradisi dan Budaya di Indonesia


1. Peringatan Maulid Nabi

Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Seorang nabi yang diutus oleh
Allah dengan membaca sebagian ayat al-Qur’an dan menyebutkan sebagian
sifat-sifat nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh berkah dan kebaikan
yang agung, jika memang perayaan tersebut terhindar dari bid’ah sayyiah yang
dicela oleh syara’.

Walaupun Nabi Muhammad dilahirkan pada 12 tanggal Rabiul Awwal


tahun 570 M di Makkah, namun tradisi Maulid tidak hanya diperingati pada
9
Ibid. Hlm.3.
tanggal tersebut saja. Para pecinta Nabi sudah memperingati momen agung ini
setiap hari mulai dari awal sampai dengan akhir bulan. Bahkan ada yang
melaksanakannya di luar bulan Rabiul Awal dan lebih dari itu ada pula yang
menjadikan peringatan kelahiran Nabi sebagai acara di seluruh bulan.   Ini
merupakan kecintaan atas anugerah datangnya manusia paling sempurna di
muka bumi ini yang membawa risalah dari Allah SWT bagi manusia.

Ekspresi kecintaan umat Islam di Indonesia pun diwujudkan dengan


berbagai macam acara seperti pembacaan Barzanji (riwayat hidup Nabi),
ceramah keagamaan, dan juga perlombaan, seperti lomba baca Al-Qur'an,
lomba azan, lomba shalawat, dan sebagainya.

Ahli Tafsir Al-Qur’an Prof Quraish Shihab mengungkapkan bahwa


Maulid Nabi dirayakan dengan cara meriah baru dilaksanakan pada zaman
Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa kekhalifahan Al-Hakim Billah.
Menurutnya, inti dari perayaan Maulid Nabi adalah untuk memperkenalkan
Nabi Muhammad SAW kepada setiap generasi. Kenal adalah pintu untuk
mencintai. Sehingga dengan mengenal Nabi Muhammad SAW, maka umat
Muslim bisa mencintainya.   

Sementara Kiai Said menjelaskan bahwa Maulid Nabi merupakan sunah


taqririyyah yaitu perkataan, perbuatan yang tidak dilakukan nabi, tetapi
dibenarkan Rasulullah SAW. Memuji atau mengagungkan Rasullah SAW
termasuk sunnah taqririyah karena tidak pernah dilarang oleh Rasulullah.    Ini
terbukti saat salah satu sahabat yang bernama Ka’ab bin Juhair bin Abi Salma
memuji-muji Nabi Muhammad dalam bait nadhom yang sangat panjang. Di
hadapan Nabi Muhammad Ka’ab mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah
orang hebat dan orang mulia. Mendengar pujian itu nabi tidak melarang,
bahkan membenarkan. Malah Rasulullah memberi hadiah selimut bergaris-
garis yang sedang Nabi pakai, yang dalam bahasa Arab dinamakan Burdah.
Sampai saat ini, burdah Nabi Muhammad pun masih ada dan diabadikan di
Museum Toqafi Istanbul Turki. Itulah mengapa setiap ada qasidah atau syair
yang isinya memuji Nabi Muhammad disebut qasidtul burdah.  Dalil Perayaan
Maulid Ternyata, memperingati Maulid bukan hanya dilakukan oleh umat
Nabi Muhammad SAW saja. Nabi Muhammad sendiri juga memperingati
kelahirannya dengan berpuasa di hari Senin. Ketika ditanya oleh sahabat,
"Kenapa engkau berpuasa ya Rasul? aku berpuasa karena di hari itu aku
dilahirkan dan di hari itu pula lah aku mendapatkan wahyu pertama kali,"
jawab Nabi.  

Dalam artikel NU Online berjudul  Maulid Nabi Perspektif Al-Qur'an dan


Sunnah, disebutkan beberapa dalil syar’I peringatan Maulid dari Al-Qur’an
dan Hadits. Di antaranya adalah firman Allah dalam QS Yunus ayat 58 yang
artinya,

"Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmatNya (Nabi Muhammad


Saw) hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira." (QS.Yunus:
58).  

Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani Bergembira


dengan adanya Nabi Muhammad SAW ialah dianjurkan berdasarkan firman
Allah SWT pada surat Yunus ayat 58 ini. [Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-
Hasani, Ikhraj wa Ta’liq Fi Mukhtashar Sirah An-Nabawiyah, hal 6-7].   Baca
juga: Penjelasan Para Ulama Tentang Maulid Nabi Muhammad   Dalam kitab
Fathul Bari karangan al- Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani diceritakan pula
bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan siksa tiap hari senin karena dia
gembira atas kelahiran Rasulullah.    Ini membuktikan bahwa bergembira
dengan kelahiran Rasulullah memberikan manfaat yang sangat besar, bahkan
orang kafirpun dapat merasakannya. [Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz 11, hal
431].

Riwayat senada juga ditulis dalam beberapa kitab hadits di antaranya


Shohih Bukhori, Sunan Baihaqi al-Kubra dan Syi`bul Iman. [Maktabah
Syamilah, Shahih Bukhari, Juz 7, hal 9, Sunan Baihaqi al-Kubra, Juz 7, hal 9,
Syi`bulIman,Juz1,hal443].10

2. Haul

Secara bahasa haul adalah setaun secara istilah adalah peringatan


satu tahun meninggalnya seseorang. Dalam acara haul biasanya terdapat
beberapa kegiatan diantaranya: ziarah, dzikir, tahlil, halaqah, manaqib,
tausyrah, bakti social, dan lain sebagainya

Dalil-dalil tentang Haul


Ada banyak dalil syar’I tentang haul diantaranya dalam kitab Al-kawakib
ad-Durriyah, juzI, hlm 32 diterangkan:

10
https://www.nu.or.id/post/read/124167/maulid-sejarah-tradisi-dan-dalilnya
‫ب َرفَ َع‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ُزوْ ُر قَ ْت َل ُأ ُح ٍد فِ ْى ُك ِّل َحوْ ٍل َواِ َذا لَقَاهُ ْم بِال َش ْع‬
َ ِ‫ال ْال َواقِ ِد َو َكانَ َرسُوْ ُل هللا‬ َ َ‫ق‬
ْ
‫ار َو َكانَ اَبُوْ بَ ْك ٍر يَ ْف َع ُل ِمث َل َذالِكَ َو َك َذالِكَ ُع َم ُر‬ ِ ‫صبَرْ تُ ْم فَنِ ْع َم ُع ْقبَى ال َّد‬َ ‫صوْ تَهُ يَقُوْ ُل ال َّساَل ُم َعلَ ْي ُك ْم بِ َما‬َ
ُ‫ض َي هللا‬ َ َ ُّ
ِ ‫ب َسيِّ ِد الشهَدَا ِء َح ْمزة َر‬ ِ ِ‫ َوفِى َمنَاق‬-‫ال‬ َ ْ َ َ
َ ‫ْج البَ غ ِة – اِلى ان ق‬ َ ‫اَل‬ ْ َ ْ ُ َّ
ِ ‫بْنُ ا طا‬
َ‫لخ‬ ْ
ِ ‫ َوفِى نه‬. َ‫ب ث َّم عُث َمان‬
‫ْأ‬ ‫ُأ‬ ‫ْأ‬ َّ ْ
‫س ُك ِّل‬ ِ ‫صاَل ةُ َوالساَل ُم يَ تِي قُبُوْ َر ال ُّشهَدَا ِء بِ ُح ٍد َعلَى َر‬ َّ ‫ َو َكانَ َعلَ ْي ِه ال‬:‫َع ْنهُ لِل َّسيِّ ِد َج ْعفَ ِر البَرْ َز ْن ِْجي قَا ِل‬
‫الخ‬-‫ َحوْ ٍل‬.

Al-waqidi berkata: Rosul mengunjungi makam para pahlawan Uhud


setiap tahun. Jika telah sampai di Syi’ib ( tempat makam mereka ), Rosul
agar keras berucap : Assalamu ‘alaikkum bima sahabartum faniqma
‘uqba ad-dar (semoga kalian selalu beroleh kesejahteraan atas kesabaran
yang telah kalian lakukan. Sungguh, akhirat tempat yang paling nikmat .
Abu Bakar, Umar, Utsman juga melakukan hal yang serupa. Sampai kata-
kata…Dalam Manaqib sayyid as-Syuhada Hamzah bin abi Tholib yang
ditulis Sayyid Ja’far al-Barzanjy, dia berkata : Rosululoh mengunjungi
makam Syuhada Uhud setiap awal tahun..

Dalil kedua , al-fatawa al-Kubra, juz II hlm, 18 : Ahkam al-fukaha, juz III,
hlm. 41-42 :

‫ْث اَنَّهَا تَ ْشتَ ُِم غَالِبًا َعلَى‬ ُ ‫ َحي‬،‫ْض ْاالَوْ لِيَا ِء َو ْال ُعلَ َما ِء ِم َّما اَل يَ ْنهَاهُ ال َّش ِر ْي َعةُ ْال ُغرَّا ُء‬
ِ ‫ِذ ْك َر يَوْ ِم ْال َوفَا ِة لِبَع‬
‫ْأ‬ َ َ‫ َوت‬،‫ثَاَل ثَ ِة ُأ ُموْ ٍر ِم ْنهَا ِزيَا َرةُ ْالقُبُوْ ِر‬
ُ‫ َو ِم ْنهَا قِ َراَة‬،ُ‫ب َو ِكاَل هُ َما َغ ْي ُر َم ْن ِه ٍّي َع ْنه‬ ِ ‫ار‬ ِ ‫ق بِاْل َم ُكوْ ِل َو ْال َم َش‬ ُ ‫ص ُّد‬
َّ
‫ك الط ِر ْيقَتِ ِه‬ ُ ِّ ْ
ِ ْ‫ك َم ْستَحْ َس ٌن لِل َحث َغلَى ُسلو‬ َ ِ‫لو ْع ِد ال ِّد ْينِي َوقَ ْد ي ُْذ َك ُر فِ ْي ِه َمنَاقِبُ ال ُمتَ َوفى َو َذال‬
َّ ْ َ ‫ْالقُرْ آ ِن َو ْا‬
ِ ‫ارةُ شَرْ َح ِي ْال ُعبَا‬
:‫ب‬ َ َ‫ ِعب‬:ُ‫ْال َمحْ ُموْ َد ِة َك َما فِى ْالج ُْز ِء الثَّانِى ِمنَ ْالفَت َِوى ْال ُكب َْرى اِل ِ ْب ِن َح َج ٍر َونَصَّ ِعبَاَرتُه‬
-‫اِلى ا ْن قَا َل‬-‫ص َّوبَهُ ْاالَ ْسن َِوي‬
َ َ َ ‫ع َو‬ِ ْ‫ار َو َج َز َم بِ ِه فِى ْال َمجْ ُمو‬ِ ‫َويَحْ ُر ُم النَّ ْدبُ َم َع ْالبُ َكا ِء َك َما َح َكاهُ فِى ْاالَ ْذ َك‬
‫ك طَ ِر ْيقَتِ ِه َو ُحسْنُ الظَّنِّ بِ ِه بَلْ ِه َي ِح ْينَِئ ٍذ‬ ِ ْ‫ث َعلَى ُسلُو‬ ِّ ‫ح لِ ْل َح‬ٍ ِ‫صال‬ َ ْ‫ع اَو‬ ٍ ‫ب عَالِ ٍم َو َر‬ِ ‫اِاَّل ِذ ْك ُر َمنَا ِك‬
َ ْ
‫َّحابَ ِة َو َغي ِْر ِه ْم ِمنَ ال ُعل َما ِء‬ َ ْ ْ ‫ُأ‬
َ ‫بِالطَّا َع ِة َأ ْشبَهُ لِ َما يَن َش َعنهَا ِمنَ البِ ِّر َوال َخي ِْر َو ِمن ث َّم َما َزا َل َكثِ ْي ًر ِمنَ الص‬
ْ ْ ْ
ٍ ‫ار ِم ْن َغي ِْر اِ ْن َك‬
‫ار‬ ِ ‫ص‬ َ ‫يَ ْف َعلُوْ نَهَا َعلَى َم َمرِّ ْا ِال ْع‬.
Memperingati hari wafat para wali dan para ulama termasuk amal
yang tidak dilarang agama. Ini tiada lain karena peringatan itu biasanya
mengandung sedikitnya 3 hal : ziarah kubur, sedekah makanan dan
minuman dan keduanya tidak dilarang agama. Sedang unsur ketiga adalah
karena ada acara baca al’qur’an dan nasehat keagamaan. Kadang
dituturkan juga manaqib ( biografi ) orang yang telah meninggal. Cara ini
baik baik untuk mendorong orang lain untuk mengikuti jalan terpuji yang
telah dilakukan si mayit, sebagaimana telah disebutkan dalam qitab fatawa
al-Kubara,juz II, Ibnu Hajar, yang teksnya adalah ungkapan terperinci dari
al-Ubab adalah haram meratapi mayit sambil menangis seperti diceritakan
dalam kitab al-Azkar dan dipedomani dalam al-Majmu’, al-Asnawi
membenarkan cerita ini. Sampai pernyatan …kecuali menuturkan biografi
orfang alim yang Wira’i dan sleh guna mendorong orang mengikuti
jalannya dan berbaik sangka dengannya. Juga agar orang bisa lagsung
berbuat taat, melakukan kebaikan seperti jalan yang telah dilalui
almarhum. Inilah sebabnya sebian sahabat dan ulama selalu melakukan hal
ini sekian kurun waktu tanpa ada yang mengingkarinya.
Dari dalil-diatas dapat disimpulkan bahwa peringatan haul itu dapat
dibenarkan secara syara’.

2. Tawassul
Praktik tawasul menjadi diskusi yang tak kunjung selesai. Kajian
tawasul menjadi bahan perdebatan terus menerus karena memang masing-
masing pihak yang terlibat berpijak di tempat berbeda. Secara umum
praktik tawasul dianjurkan dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 35:

َ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َوا ْبتَ ُغوا ِإلَ ْي ِه ْال َو ِسيلَة‬

Artinya, “Hai orang yang beriman, takwalah kepada Allah.


Carilah wasilah kepada-Nya.”
Tawasul adalah sebuah praktik doa di mana seseorang menyertai
nama orang-orang saleh dalam doanya dengan harapan doa itu menjadi
istimewa dan diterima oleh Allah SWT. Berikut ini dua lafal tawasul yang
biasa digunakan masyarakat:
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫اَللَّهُ َّم ِإنِّي َأتَ َو َّس ُل ِإلَ ْي‬
َ ِّ‫ك بِنَبِي‬
َ ‫ك ُم َح َّم ٍد‬
Allâhumma innî atawassalu ilaika binabiyyika muhammadin
shallallâhu alaihi wa sallam.
Artinya, “Ya Allah, aku bertawasul kepada-Mu melalui kemuliaan
nabi-Mu, Nabi Muhammad SAW.”

‫اس َع ال َك َر ِم‬
ِ ‫ضى يَا َو‬ ِ ‫يَا َربِّ بِال ُمصْ طَفَى بَلِّ ْغ َمقَا‬
َ ‫ص َدنَا َوا ْغفِرْ لَنَا َما َم‬
Yâ rabbi bil mushthafâ, balligh maqâshidanâ, waghfir lanâ mâ
madhâ, yâ wâsi‘al karami.
Artinya, “Tuhanku, berkat kemuliaan kekasih pilihan-Mu
Rasulullah, sampaikanlah hajat kami. Ampunilah dosa kami yang telah
lalu, wahai Tuhan Maha Pemurah.”
Praktik tawasul seperti ini sering disalahpahami oleh sejumlah
orang. Tidak heran kalau sebagian orang mengharamkan praktik tawasul
seperti ini karena menurutnya praktik tawasul mengandung kemusyrikan.
Untuk menghindari kepasalahpahaman itu dan menghindari terjadinya
kemusyrikan, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki menyebutkan
dengan rinci hal-hal terkait tawasul yang perlu diketahui. Pandangan ini
yang menjadi pijakan dan keyakinan paham Ahlussunah wal Jamaah
sebagai berikut:
،‫الى‬¹¹‫بحانه وتع‬¹¹‫ه إلى هللا س‬¹¹‫واب التوج‬¹‫اب من أب‬¹‫ أن التوسل هو أحد طرق الدعاء وب‬:‫أوال‬
‫رب‬¹¹‫يلة للتق‬¹¹‫طة ووس‬¹¹‫ والمتوسَّل به إنما هي واس‬،‫فالمقصود األصلي الحقيقي هو هللا سبحانه وتعالى‬
‫ ومن اعتقد غير ذلك فقد أشرك‬،‫إلى هللا سبحانه وتعالى‬
Artinya, “Pertama, tawasul adalah salah satu cara doa dan salah
satu pintu tawajuh kepada Allah SWT. Tujuan hakikinya itu adalah Allah.
Sedangkan sesuatu yang dijadikan tawasul hanya bermakna jembatan dan
wasilah untuk taqarrub kepada-Nya. Siapa saja yang meyakini di luar
pengertian ini tentu jatuh dalam kemusyrikan,” (Lihat Sayyid Muhammad
bin Alwi bin Abbas Al-Hasani Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah,
Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman
123-124). Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki menyebutkan secara
jelas pada poin pertama bahwa tawasul adalah salah satu bentuk doa.
Artinya, tawasul masih berada dalam lingkaran ibadah kepada Allah yang
disebut doa. Sementara pada poin berikut ini dijelaskan bahwa wasilah
atau al-mutawassal bih mesti sesuatu atau seseorang adalah kekasih-Nya
atau sesuatu yang diridhai-Nya.
‫ أن المتوسِّل ما توسل بهذه الواسطة إال لمحبته لها واعتقاده أن هللا سبحانه وتعالى‬:‫ثانيا‬
‫ ولو ظهر خالف ذلك لكان أبعد الناس عنها وأشد الناس كراهة لها‬،‫يحبه‬
Artinya, “Kedua, orang yang bertawasul takkan menyertakan
wasilahnya dalam doa kecuali karena rasa cintanya kepada wasilah
tersebut dan karena keyakinannya bahwa Allah juga mencintainya. Kalau
yang muncul berlainan dengan pengertian ini, niscaya ia adalah orang
yang paling jauh dan paling benci dengan wasilahnya.” Pada poin ketiga,
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki mengingatkan bahwa wasilah atau
al-mutawassal bih tidak memiliki daya apapun. Kuasa dan daya hanyalah
milik Allah Yang Maha Esa. Orang yang meyakini bahwa wasilah atau al-
mutawassal bih dapat memberi pengaruh pada realitas telah jatuh dalam
kemusykiran yang dilarang Allah SWT.
‫ أن المتوسِّل لو اعتقد أن من توسل به إلى هللا ينفع ويضر بنفسه مثل هللا أو دونه فقد‬:‫ثالثا‬
‫أشرك‬
Artinya, “Ketiga, ketika meyakini bahwa orang yang dijadikan
wasilah kepada Allah dapat mendatangkan mashalat dan mafsadat dengan
sendirinya setara atau lebih rendah sedikit dari Allah, maka orang yang
bertawasul jatuh dalam kemusyrikan.” Adapun pada poin keempat ini,
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki mengingatkan bahwa tawasul
sebagaimana poin pertama adalah doa semata. Artinya, ijabah sebuah doa
tidak tergantung sama sekali pada tawasul atau tidaknya. Ijabah doa
merupakan hak mutlak Allah SWT.
‫ل‬¹¹‫ل األص‬¹¹‫ ب‬،‫ه‬¹¹‫ أن التوسل ليس أمرا الزما أو ضروريا وليست اإلجابة متوقفة علي‬:‫رابعا‬
‫وا‬¹¹‫ ِل ا ْد ُع‬¹ ُ‫ك ِعبَا ِدي َعنِّي فَِإنِّي قَ ِريبٌ و كما قال تعالى ق‬ َ َ‫دعاء هللا تعالى مطلقا كما قال تعالى َوِإ َذا َسَأل‬
‫هَّللا َ َأ ِو ا ْدعُوا الرَّحْ َمنَ َأيًّا َما تَ ْدعُوا فَلَهُ اَأْل ْس َما ُء ْال ُح ْسنَى‬
Artinya, “Keempat, praktik tawasul bukan sesuatu yang mengikat
dan bersifat memaksa. Ijabah doa tidak bergantung pada tawasul, tetapi
pada prinsipnya mutlak sekadar permohonan kepada Allah sebagai firman-
Nya, ‘Jika hamba-Ku bertanya tentang-Ku kepadamu (hai Muhammad),
sungguh Aku sangat dekat,’ atau ayat lainnya, ‘Katakanlah hai
Muhammad, ‘Serulah Allah atau serulah Yang Maha Penyayang.
Panggilan mana saja yang kalian gunakan itu, sungguh Allah memiliki
nama-nama yang bagus.’’” Dengan demikian, pengaitan praktik tawasul
dan kemusyrikan adalah sesuatu yang tidak berdasar dan tampak
memaksakan. Pasalnya, dengan empat poin itu praktik tawasul tidak
mengandung syirik sama sekali dan merupakan bentuk adab. Wallahu
a‘lam11.

Berikut ini Tradisi lain yang ada di Indonesia12:

1. Tahlilan
2. Membaca Istighfar
3. Berzanzi, Diba’an, Burdahan dan manaqiban
4. Suwuk atau Mantra
5. Tawassul
6. Tabarruk, yaitu mengharap berkah
7. Membaca shalawat
8. Membaca ayat ahir al-Baqarah
9. Mencium Tangan Orang Shalih
10. Dzikir berjama’ah
11. Membaca surat al-Ikhlas itu setara dengan membaca sepertiga al-Qur’an.
12. Membaca tasbih dan tahmid
13. Istighasat dan Mujahadah
14. Mengeraskan suara ketika berdzikir
15. Ziarah kubur
16. Dan lain-lain.

Berikut ini Budaya yang ada di Indonesia13:

https://islam.nu.or.id/post/read/85281/praktik-tawasul-dalam-pandangan-
11

ahlussunah-wal-jamaah

A. Idris Marzuqi, Dali-dalil Aqidah dan Amaliyah Nahdliyyah, (Lirboyo:Tim


12

Kodifikasi LBM PPL,2011). Cet, 3.hlm.56.

13
Nurhidayat Muhammad, op.cit. hlm. 15-17.
1. Budaya melumuri bayi dengan minyak Za’faran saat aqiqah pada hari
ketujuh dan mencukur rambut bayi
2. Mengadakan Haflah (resepsi) pernikahan, memainkan musik, dan
menghias pengantin
3. Penyerahan Pengantin, baik pria atau wanita, dengan nasehat-nasehat yang
baik
4. Melamar wanita untuk dinikahi
5. Menyerahkan mahar nikah
6. Puasa Asyura penghitungan kalender Masehi, dan lain-lain.

D. Tradisi  dan Budaya Menurut Pandangan NU

Tradisi yang dimaksud tingkah laku (behavior), kebiasaan, dan aturan-


aturan tidak tertulis yang dipegang teguh oleh para kiai NU, naik dalam
kehidupam berorganisasi maupun bermasyarakat sebagai sebagai konsekuensi dari
ajaran Islam yang dipelajari dan diajarkannya. Dalam konteks ini, tradisi,
meminjam beberapa variabel yang digunakan sebagai kompleksitas ide, gagasan,
nilai-nilai, moral dan peraturan wujud ideal dari kebudayaan yang sifatnya abstrak
yang lokasinnya terletak dalam alam pikiran manusia warga masyarakat14.

Tradisi menghormati dan menempatkan kedudukan ulama’ yang dianggap


paling senior pada posisi paling atas secara tidak disadari telah dirintis jauh
sebelum lahirnya NU. Tradisi semacam itu sangat memungkinkan terpeliharannya
kekompakan, keutuhan dan terhapusnya ancaman, perpecahan, serta kemungkinan
rebutan kedudukan. Misalnya, khusus jabatan Rais Am (jabatan tertinggi
dilingkungan NU).

Jelaslah bahwa aturan tidak tertulis yang diberlakukan bagi penempatan


seorang Rais Am memerlukan beberapa persyaratan, antara lain: a.) ulama’ yang
paling masyhur, paling dalam ilmu agamannya, tingi derajat kemuliaannya, dan
paling sepuh usiannya, b.) ulama’ yang memimpin pondok pesantren, c.) ulama’
yang tidak ambisius, tetapi tidak menolak tanggung jawab. Inilah salah satu tradisi
yang menjadi kekuatan NU15.

Manusia adalah tradisi pembacaan sejarah (tarikh) Rasulullah saw, sahabat


dan ahli baitnya, serta diselingi pujian kepada mereka, shalawat dan do’a. Adapun
14
Ali Anwar, “ADVONTURISME” NU, (Bandug: Humaniora Utama Press
(HUP), 2014),hlm.134.

15
Ibid. Hlm. 135.
merayakannya tiap bulan Rabi’ul Awal, yakni bulan kelahirannya adalah
bertujuan memperlithatkan cinta kepada beliau dibulan kelahiranya. Dan yang
paling fundamental adalah dapat menambah rasa cinta kepada Rasulullah dan
diharapkan mendapat syafa’atnya kelak dihari kiamat16.

Para ulama’ NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai


bid’ah (perbuatan yang dizaman Nabi tidak ada) namun, termasuk bid’ah hasanah
(bid’ah yang baik) yang diperbolehkan Islam. Banyak amalan seorang Muslim
yang dizaman nabi tidak ada dan sekarang dilakukan umat Islam, antara lain:
berzanjenan, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan tahlilnya tidak bid’ah, sebab
Rasulullah sendiri sering membacannya), mau’izah hasanah pada acara temanten
dan muludan17.

Budaya lokal tidak bisa saja ditolak tatkala kita membicarakan


perkembangan Islam di Indonesia sudah tidak lagi murni Islam, tetapi sudah
berubah menjadi Islam budaya. Menurut mereka Islam adalah Islam dan budaya
adalah budaya dan keduannya tidak bisa disatukan atau dicampur adukan. Dan
mudah saja kita tebak, mereka akan menunjuk budaya selametan atau kenduri
sebagai contoh yang terlarang, mencampur adukkan Islam dengan budaya. Islam
dengan versi mereka akan terlihat kaku dan sama sekali tidak fleksibel.

NU sebagai ormas Islam tradisionalis yang fleksibel dengan prinsip dan


semangat dakwah dengan hikmah yang menerima budaya tidak bisa saja di cap
sesat atau dianggap sebagai penolong tradisi Jahiliyyah seperti yang dituduhkan
orang-orang bodoh yang sok ahli tauhid was-sunnah.

BAB III

PENUTUP

A. kesimpulan

Dari kesimpulan makalah , bahwa tradisi dan budaya :


16
Nurhidayat Muhammad, op.cit. hlm. 50.
17
Munawir Abdul Fattah. Op.cit. hlm. 231.
1. Tradisi memiliki arti adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan
dimasyarakat dengan anggapan tersebut bahwa cara-cara yang ada
merupakan yang paling baik dan benar.
Budaya memiliki arti sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar
untuk dirubah. NU memiliki arti Jam’iyyah Diniyah yang berhaluan
Ahlussunnah Wal Jama’ah yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H
atau bertepatan pada tanggal 31 Januari 1926 M di Surabaya yang
bergerak dibidang ekonomi, pendidikan, dan sosial.
2. Latar belakang yang membuat tradisi dan budaya di Indonesia adalah
berasal dari Hindu-Budha yang ada sejak dahulu dari budaya Jawa.
3. Tradisi dan budaya yang ada di Indonesia yaitu: tahlilan, membaca
shalawat, suwuk atau mantra, acara tujuh bulanan, dan lain-lain.
4. Menurut pandangan NU bahwa tradisi dan budaya yang ada adalah bid’ah
Hasanah yaitu sesuatu yang baik.

B. Saran

Mudah-mudahan makalah yang saya buat bermanfaat bagi pembaca dan


apabila ada salah kata maupun tulisan yang kurang berkenan saya haturkan mohon
maaf.

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Abu. 2011. Argumen Ahlussunnah Wal Jama’ah. Tangerang Selatan:


Pustaka Ta’awun.
Anwar, Ali. 2004. “ADVONTURISME” NU. Bandung: Humaniora Utama Press
(HUP).

Departement Pendidikan Indonesia. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Jakarta: Balai Pustaka.

 Fattah, Munawir Abdul. 2006. Tradisi orang-orang NU. Yogyakarta: PT. LkiS


Pelangi Aksara.

Hanafi, Hasan. 2004. Islamologi 2 dari Rasionalisme ke Empirisme. Yogyakarta:


LkiS Yogyakarta.

Marzuqi, A. Idris. 2011. Dalil-Dalil Aqidah dan Amaliyah Nahdliyyah. Lirboyo:


Tim Kodifikasi LBM PPL.

Muhammad, Nurhidayat. 2012.  Lebih Dalam Tentang NU. Surabaya: Bina


Aswaja.

Munthoha. 1998. Pemikiran dan Peradilan Islam. Yogyakarta: UIII Press.

Sunadi. 2011. Ahlussunnah Wal Jama’ah Materi Dasar Nahdlatul Ulama’


(MDNU). Jepara: Pimpinan Cabang Ma’arif NU.

Http://id.m.wikipedia.org/wiki/Tradisi.

Anda mungkin juga menyukai