Anda di halaman 1dari 17

Tradisi Mitoni

Mini Riset
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Desti Widiani,S.Pd.I., M.Pd.I.

Oleh :
Erika Chandra Nuria
NIM. 192111019
Kelas: HES 2A

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2020

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya peneliti dapat
menyelesaikan karya mini riset ini sesuai waktu yang telah ditentukan. Tanpa
dorongan dan bantuan moral maupun fisik dari semua pihak, mini riset ini tidak bisa
terselesaikan. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Desti Widiani,S.Pd.I., M.Pd.I, selaku dosen mata kuliah Islam dan Budaya
Jawa, yang telah memberikan ilmu yang insyallah bermanfaat kepada peliti.
2. Teman-teman yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada peneliti
untuk menyelesaikan mini riset ini.
Peneliti menyadari bahwa ada banyak kekurangan dalam penelitian mini riset ini.
Peneliti senantiasa membuka diri terhadap kritik dan saran yang membangun
sehingga penelitian ini menjadi lebih baik lagi. Semoga mini riset ini bermanfaat bagi
semua pihak.

Surakarta, 4 Mei 2020

Penulis

ii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR............................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................1
I.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
I.3 Tujuan.....................................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................3
II.1 Sejarah Tradisi Tingkeban........................................................................................3
II.2 Perlengkapan Tingkeban..........................................................................................4
II.3 Proses atau Tahapan Tingkeban...............................................................................7
BAB III.................................................................................................................................10
III.1 Kesimpulan............................................................................................................10
Daftar Pustaka.....................................................................................................................11
Lampiran................................................................................................................................12

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tingkeban merupakan upacara selamatan kehamilan tujuh bulan. Banyak


orang mengenal upacara ini dengan sebutan mitoni yang berasal dari bahasa Jawa
pitu yang artinya tujuh. Upacara ini merupakan tradisi masyarakat Jawa yang dewasa
ini semakin jarang dilakukan seiring dengan calon orang tua yang terkadang tidak
terlalu memikirkan tradisi kuno di jaman modern seperti sekarang. Menurut ilmu
sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk
inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini,
kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa
mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti. Maka
dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum mengenal agama,
menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan hingga saat ini masih
diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa. Maksud dari perayaan mitoni ‘tujuh bulan’
atau Tingkeban ini hakikatnya adalah suatu permohonan kepada Tuhan agar anak
dalam kandungan selalu selamat dan lahir dengan lancar serta tepat waktu (Sutardjo,
2008: 101).

Sedemikian rumitnya ritual Tingkeban ini, hingga memerlukan tenaga, pikiran,


bahkan materi baik dalam persiapan maupun ketika pelaksanaannya. Semua tahap-
tahap tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai tahap-tahap yang harus dilalui. Mulai
dari pemilihan hari dan tanggal pelaksanaan saja harus memenuhi syarat dan
ketentuan yang ada. Apabila mereka melanggar, maka masyarakat sekitar akan segera
merespon negatif terhadap hal tersebut. Piranti-piranti yang tidak sedikit jumlahnya
tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit pula. Dalam persiapannya, khususnya
piranti yang berupa makanan ada yang memerlukan waktu hingga tiga hari sebelum
pelaksanaan acara, seperti jenang dodol. Bahkan ada beberapa piranti yang harus

1
terbuang sia-sia. Kebanyakan masyarakat masih banyak yang belum sadar akan hal
itu, bahkan menganggapnya wajar. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan
membahas mengenai seluk beluk tingkeban dan semua yang terkait dengan tradisi
tingkeban.

I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah sejarah tradisi Tingkeban?

2. Apa sajakah perlengkapan yang digunakan dalam tradisi Tingkeban?

3. Bagaimanakah proses atau tahapan tradisi Tingkeban?

4. Bagaimanakah hubungan antara tradisi Tingkeban dengan ajaran Islam?

I.3 Tujuan

1. Mengetahui sejarah tradisi Tingkeban.


2. Mengetahui apa saja perlengkapan yang digunakan dalam tradisi
Tingkeban.
3. Mengetahui proses atau tahapan tradisi Tingkeban.
4. Mengetahui hubungan antara tradisi Tingkeban dengan ajaran Islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Sejarah Tradisi Tingkeban

Tingkeban sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia,


sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Solo, dan sekitarnya. Menurut ilmu sosial
dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi,
yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini,
kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa
mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti. Maka
dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum mengenal agama,
menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan hingga saat ini masih
diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa.

Tingkeban menurut cerita yang dikembangkan turun-temurun secara lisan,


memang sudah ada sejak zaman dahulu. Menurut cerita asal nama “Tingkeban”
adalah berasal dari nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb, yaitu istri dari
Ki Sedya. Mereka berdua memiliki sembilan orang anak akan tetapi kesembilan
anaknya tersebut selalu mati pada usia dini. Berbagai usaha telah mereka jalani, tetapi
tidak pula membuahkan hasil. Hingga suatu saat mereka memberanikan diri untuk
menghadap kepada Kanjeng Sinuwun Jayabaya.

Jayabaya akhirnya menasehati mereka agar menjalani beberapa ritual. Namun


sebagai syarat pokok, mereka harus rajin manembah mring Hyang Widhi laku becik,
welas asih mring sapada, menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan
khusyu’, dan senantiasa berbuat baik welas asih kepada sesama. Selain itu, mereka
harus mensucikan diri, mandi dengan menggunakan air suci yang berasal dari tujuh

3
sumber air. Kemudian berpasrah diri lahir batin dengan dibarengi permohonan
kepada Gusti Allah,apa yang menjadi kehendak mereka, terutama untuk kesehatan
dan kesejahteraan si bayi. Supaya mendapat berkah dari Gusti Allah, dengan
menyertakan sesaji yang diantaranya adalah takir plontang, kembang setaman, serta
kelapa gading yang masih muda.

Setelah serangkaian ritual yang dianjurkan oleh Raja Jayabaya, ternyata Gusti
Kang Murbeng Dumadi yaitu Gusti Allah mengabulkan permohonan mereka. Ki
Sedya dan Niken Satingkeb mendapat momongan yang sehat dan berumur panjang.
Untuk mengingat nama Niken Satingkeb, serangkaian ritual tersebut ditiru oleh para
generasi selanjutnya hingga sekarang dan diberi nama Tingkeban dengan harapan
mendapat kemudahan dan tidak ada halangan selama hamil, melahirkan, hingga si
anak tumbuh dewasa. Atas dasar inilah akhirnya hingga kini ritual Tingkeban tetap
dilaksanakan bahkan menjadi suatu keharusan bagi masyarakat Jawa khususnya di
daerah Solo dan sekitarnya.

II.2 Perlengkapan Tingkeban

Dahulu masyarakat Solo mengenal tiga teradisi yang harus dilaksanakan


selama masa mengandung. Ketiga teradisi tersebut adalah tradisi Neloni, Tingkeban
atau Rujakan dan Procotan. Namun seiring perkembangan zaman, ketiga tradisi
tersebut diringkas secara pelaksanaannya menjadi satu, yaitu ketika waktu Tingkeban
atau tujuh bulan. Walaupun diringkas secara waktu tetapi ubo rampe atau piranti
yang harus disiapkan dari tiap-tiap  ritual tetap disediakan.

Jauh-jauh hari sebelum usia kandungan memasuki tujuh bulan, calon orang
tua bayi harus menentukan hari yang baik sesuai petungan Jawa. Menurut petungan
Jawa hari-hari yang baik itu yang memiliki neptu genap dan jumlahnya 12 atau 16.                                  

No Nama Hari Neptunya No Nama Pasaran Neptunya


1 Ahad 5 1 Legi 5

4
2 Senin 4 2 Paing 9
3 Selasa 3 3 Pon 7
4 Rabu 7 4 Wage 4
5 Kamis 8 5 Kliwon 8
6 Jum’at 6      
7 Sabtu 9      

Tabel 1.1 Neptunya Hari dan Pasaran Petungan Jawa

Hari-hari yang baik adalah yang neptunya 12 atau 16 misal Kamis Kliwon,
Senin Kliwon, Ahad Pon, dan sebagainya. Kamis memiliki neptu 8, dan Kliwon
memiliki neptu 8 jadi Kamis Kliwon memiliki neptu 16, begitu juga Senin Kliwon
memiliki neptu 12, dan Ahad Pon memiliki neptu 12.

Selain penentuan hari yang ada aturannya, segala ubo rampe atau piranti juga
sangat rumit pula. Masing-masing ritual ada piranti sendiri-sendiri yang beraneka
ragam. Semua piranti tersebut disediakan bukan tanpa maksud. Dari semuanya
memiliki werdi atau makna sendiri-sendiri.

No Nama Ritual Waktu Seharusnya Piranti


1 Neloni Tiga bulan dari masa Takir plontang 4 buah
mengandung Golong 7 buah
Jajan pasar
Jenang abang
Jenang putih
Jenang kuning
Jenang ireng
Jenang sengkolo
2 Tingkeban Enam bulan dari Woh-wohan
masa kehamilan Punar 2 buah
Kembang setaman
Sesaji dakripin(Suro ganep)
Daun dadap serep
Daun beringin

5
Daun andong
Janur
Mayang
      Jenang abang
Jenang putih
Jenang kuning
Jenang ireng
Jenang waras
Jenang sengkolo
3 Procotan Delapan bulan dari Jenang abang
masa kehamilan Jenang putih
Jenang kuning
Jenang ireng
Jenang waras
Jenang sengkolo
Jenang inthil-inthil
Jenang sewu (dawet)
Jenang sempuro
Jenang kembo
Jenang procot
Jenang arang-arang kambang
Ketupat lepet
No Jenis Kain Batik Maknanya
1 Sidomukti Kebahagiaan
2 Sidoluhur Kemuliaan
3 Truntun Nilai-nilai yang selalu dipegang teguh
4 Parang Kusuma Perjuangan untuk hidup
5 Semen Rama Akan lahir anak yang cinta kasih kepada orang tua yang
sebentar lagi akan menjadi bapak dan ibu tetap bertahan
selama-lamanya.
6 Udan Riris Anak yang akan lahir akan menyenagkan dalam
kehadirannya di masyarakat
7 Cakar Ayam Anak yang lahir dapat mandiri dan memenuhi
kebutuhannya sendiri.

6
II.3 Proses atau Tahapan Tingkeban

1. Pembacaan Ayat Suci Al Qur’an


2. Sungkeman

Sungkeman ini dilakukan oleh istri kepada suami dan dilanjutkan oleh
suam– istri pada orangtuanya

3. Siraman.

Orang yang hamil atau mengandung dimandikan dan dikeramasi, yang


memandikan adalah 7 sesepuh atau keluarga dan air yang digunakan  berasal
dari 7 sumber. Pada waktu mandi gayung digunakan adalah siwur yang
terbuat dari kelapa yang masih ada dagingnya dan bagian dasarnya diberi
lobang dan menggunakan air bunga setaman dengan maksud agar si ibu
selalu memohon permintaan yang baik (misal: agar bayinya selamat). Cara
mandi itu dengan duduk di kursi dan di beri alas tikar banga (dengan harapan
agar proses kelahirannya lancar dan si bayi panjang umur) dan bermacam-
macam daun yaitu: daun alang-alang dan daun apa-apa: melambangkan
supaya tidak ada halangan apapun dalam proses kelahirannya: daun kluwih
melambangkan supaya si bayi menjadi orang yang mempunyai keunggulan/
kelebihan/ kepandaian; daun kara dan dhadhap serep: melambangkan supaya
angkara murka kejahatan dapat diserap dan bisa terkendali. Selain daun-daun
tersebut di sebelah tempat duduk juga ada lawon (semacam sumbu kompor)
= lawe= salawase, (maksudnya agar si anak selalu panjang umur) dan lemek
yang berupa kain jarik (sinjang sebanyak 7 macam)

4. Pantes-pantes (Ganti Busana 7 kali)

7
Dalam acara pantes-pantes ini calon ibu dipakaikan kain dan kebaya 7
macam. Kain dan kebaya yang pertama sampai yang ke enam merupakan
busana yang menunjukkan kemewahan dan kebesaran. Ibu-ibu yang hadir
saat ditanya apakah si calon ibu pantas menggunakan busana-busana tersebut
memberikan jawaban : “dereng Pantes” (belum pantas). Setelah dipakaikan
busana ke tujuh yang berupa kain lurik dengan motif sederhana baru ibu-ibu
yang hadir menjawab : “pantes” (pantas). Di sini merupakan perlambang
bahwa ibu yang sedang mengandung sebiknya tidak memikirkan hal yang
sifatnya keduniawian dan berpenampilan bersahaja.

5. Tigas Kendit

Calon ibu kemudian diikat perutnya (dikenditi) dengan janur kuning.


Ikatan janur ini harus dipotong (ditigas) oleh calon ayah si bayi untuk
membuka ikatan yang menghalangi lahirnya si jabang bayi. Ikatan tersebut
dipotong dengan keris yang ujungnya diberi kunyit sebagai tolak bala.

6. Brojolan

Dalam acara brojolan ini, dua buah Cengkir gading (kelapa gading
muda) yang telah diberi gambar wayang (biasanya gambar Betara
Kamajaya-Kamaratih atau Harjuna – Sembadra) dengan harapan supaya
sang anak jika laki-laki sangat tampan seperti Kamajaya dan jika perempuan
amat cantik seperti Kamaratih,baik wajahnya maupun perilakunya yang
baik. Cengkir gading tersebut dimasukkan oleh calon ayah melalui perut
calon ibu dan diterima oleh nenek jabang bayi. Harapan dari acara ini adalah
supaya si jabang bayi yang lahir memiliki fisik dan sifat seperti tokoh
wayang tersebut.

7. Angrem

Di sini Calon Ibu duduk di tumpukan kain yang tadi digunakan dalam
acara Pantes-pantes seperti ayam betina yang sedang mengerami telurnya.

8
Harapannya adalah agar si jabang bayi dapat lahir cukup bulan. Pada saat
pelaksanaan acara ini dikumandangkannya bacaan-bacaan “Shalawat Nabi”
yang diiringi alunan musik rebana.

8. Dhahar Ajang Cowek (Cobek)

Di sini calon ayah duduk mendampingi calon ibu di tumpukan kain dan
berdua mengambil makanan yang disediakan dengan alas makan cowek
(cobek) dan mereka berdua memakannya sampai habis. Harapannya adalah
supaya plasenta bayi menjadi sehat sehingga si jabang bayi dapat bertumbuh
dengan sehat. Calon ayah si bayi kemudian menjatuhkan tropong (alat tenun
tradisional ) di sela kain 7 warna yang melambangkan proses kelahiran si
bayi kelak yang berjalan lancar dan sempurna.

II.4 Hubungan antara Tingkeban dengan Ajaran Islam

Sebenarnya pelaksanaan Tingkeban berangkat dari memahami hadits


nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori, yang menjelaskan tentang proses
perkembangan janin dalam rahim perkembangan seorang perempuan. Dalam
hadits tersebut dinyatakan bahwa pada saat janin berumur 120 hari (4 bulan)
dalam kandungan ditiupkan ruh dan ditentukan 4 perkara, yaitu umur, jodoh,
rizki, dan nasibnya.

Pada dasarnya “tingkeban” merupakan ritual yang bernilai sakral dan


bertujuan sangat mulia, karena di dalam ritual tingkeban terdapat
permohonan do’a kepada Gusti Allah. Dan dikumandangkan kalimat-kalimat
Shalawat Nabi merupakan bukti pelaksanaan tingkeban secara Islami
Dikumandangkannya Shalawat Nabi dalam tradisi umat Islam di Ponorogo
dikenal dengan “Berjanjen”.Berjanjen ini diharapkan dapat memberikan

9
pendidikan kepada Janin yang dikandung oleh sang ibu sejak “Si Jabang
Bayi” masih dalam kandungan seiring dengan ditiupkannya “RUH” kepada
“Si Jabang Bayi”.

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian panjang di atas dapat diambil kesimpulan bahwa


tingkeban adalah suatu bentuk inisiasi masyarakat pada jaman dahulu, yang
mengharapkan dikaruniai anak yang seperti diharapkan serta memperoleh
kelancaran baik ketika mengandung maupun saat melahirkan. Tradisi ini
dipercaya berawal pada masa Jayabaya yang di wariskan turun temurun
hingga sekarang dan ditaati oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Adapun
kaitannya dengan ajaran Islam adalah sebagai penghormatan ketika masuknya
ruh ke dalam jasad jabang bayi dengan harapan agar ruh yang diberikan
adalah ruh yang baik sehingga anak yang lahir nantinya juga berakhlak baik
pula.

III.2 Saran

Sebaiknya adat istiadat maupun tradisi harus tetap dijaga dan


dilestarikan supaya tidak hilang dengan seiringnya perkembangan zaman yang
semakin modern. Seharusnya dalam pelaksanaan mitoni dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan dan pakem-pakem yang ada, sehingga generasi muda yang
akan datang dapat mengatahui proses mitoni yang seharusnya dilakukan.

10
Daftar Pustaka

Gunasasmita. Kitab Pribmon Jawa Serbaguna. Yogyakarta: Soemodidjaja

Mahadewa, 2009

http://www.jelajahbudaya.com/ (Sabtu 2 Mei 2020 : 09.00)

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/ (Sabtu 2 Mei 2020 : 09.54)

Tjakraningrat, K.P. Harya Atassadhur Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja

Mahadewa, 1880.

Bektijamal Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 1880.

Betaljemur Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 1880.

11
Lampiran

Tradisi penyiraman pada usia kehamilan 7 bulan.

12
13

Anda mungkin juga menyukai