Anda di halaman 1dari 18

Tugas Antropologi Kesehatan

“KEBIASAAN / BUDAYA SUKU BUGIS PADA MASA KEHAMILAN,


PERSALINAN / MELAHIRKAN, NIFAS, DAN PADA BAYI”

DOSEN PEMBIMBING : Sitti Aisa, AM.Keb,S.Pd.,M.Pd

DI SUSUN OLEH :

NAMA : WINDA NURUL ADRIANI

NIM : P00324021077

KELAS : 2B

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI

PRODI D-III KEBIDANAN

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga tugas
ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih
atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya. Harapan kami semoga tugas ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca dan untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi tugas agar menjadi lebih baik lagi karena keterbatasan pengetahuan maupun
pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan dalam tugas ini. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan tugas ini.

Kendari, 10 Oktober 2022

Winda Nurul Adriani

ii
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Sampul ....................................................................................................... i
Kata Pengantar .......................................................................................................... ii
Daftar Isi ..................................................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang ................................................................................................ 1
I.2. Rumusan Masalah ........................................................................................... 2
I.3. Tujuan ............................................................................................................. 2
II. PEMBAHASAN
II.1........................................................................................................................... Kebiasaa
n/Kebudayaan Adat Suku Bugis pada Masa Kehamilan.................................. 3
II.2........................................................................................................................... Kebiasaa
n/Kebudayaan Adat Suku Bugis pada Masa Persalinan atau
Melahirkan....................................................................................................... 5
2.3. Kebiasaan/Kebudayaan Adat Suku Bugis pada Masa Nifas dan Menyusui. . . 6
2.4. Kebiasaan/Kebudayaan Adat Suku Bugis pada Bayi ..................................... 6
Peta Lokasi Pengambilan Data atau Wawancara ........................................................ 10
Dokumentasi Wawancara ............................................................................................ 11
Jurnal Penelitian .......................................................................................................... 12
III. PENUTUP
III.1......................................................................................................................... Kesimpu
lan .................................................................................................................... 14
III.2......................................................................................................................... Saran
.......................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 15

iii
1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan Negara kepulaun terbesar


di dunia (Farih, 2016). Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau dengan letak geografis yang
tidak sama. Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika Indonesia memiliki beragam suku, budaya,
adat istiadat dan kepercayaan. Budaya adalah nilai-nilai, kepercayaan, sikap dan adat yang
terbagi dalam suatu kelompok yang berlanjut dari generasi kegenerasi selanjutnya. Budaya
telah digunakan oleh seorang atau suatu kelompok dengan rasa aman dan nyaman dari waktu
ke waktu dengan tidak memikirkan kebenarannya. Tiap-tiap suku atau kelompok masyarakat
mempunyai peraturan, adat istiadat dan kepercayaan yang berbeda-beda, termasuk dalam hal
budaya perilaku ibu saat hamil (Anwar, 2019).
Selain angka kematian, yang masih menjadi salah satu indikator besar lainnya adalah
masalah kesehatan reproduksi ibu dan kesehatan anak. Penyakit seperti ISPA, diare, infeksi
cacing bahkan tetanus. Penyakit tersebut adalah penyakit yang sering menyerang pada bayi,
balita dan juga anak-anak. Dan terkadang penyakit tersebut bahkan menyebabkan kematian
pada bayi dan anak-anak. Selain itu juga dengan penyakit yang diderita oleh ibu seperti
anemia, hepatitis, hipertensi dan lain-lain juga bisa beresiko pada kematian baik itu sebelum,
sedang atau bahkan setelah proses persalinan (Astuti dan Ertiana, 2018).
Masalah-masalah tersebut baik kematian maupun kesehatan yang terjadi pada ibu
dan bayi sebenarnya tidak terlepas dari faktor sosial budaya dan lingkungan dalam lingkup
masyarakat dimana mereka tinggal. Disadari atau tidak pengaruh budaya terhadap status
kesehatan ibu dan bayi tidak dapat diabaikan begitu saja. Kesehatan adalah bagian
menyeluruh dari kebudayaan. Dari berbagai etnis di Indonesia menunjukan bahwa masalah
kesehatan ibu dan bayi yang berkaitan dengan budaya kesehatan sungguh meprihatinkan.
Pengetahuan menyeluruh tentang perubahan fisiologis dan psikologis pada masa
puerperium adalah sangat penting jika bidan menilai status kesehatan ibu secara akurat dan
memastikan bahwa pemulihan sesuai dengan standar yang diharapkan. Hal yang sama
pentingnya adalah menyadari potensi morbiditas pascapartum dalam jangka panjang dan
factor-faktor yang berhubungan dengannnya seperti obstetric, anestesi dan factor social.
Pengaruh sosial budaya pada ibu hamil dan keluarga di sejumlah daerah di Indonesia
yang menyambut masa-masa kehamilan sangat sering dilakukan. Upacara-upacara yang
2

diselenggarakan mulai dari kehamilan 3 bulan, 7 bulan, masa melahirkan dan masa nifas
sangat beragam menurut adat istiadat daerah masing-masing.
Faktor yang paling mempengaruhi status kesehatan masyarakat terutama bagi ibu
hamil, bersalin, dan nifas, adalah lingkungan juga pendidikan dari masing-masing dari kaum
ibu tersebut dan seandainya mengetahui dan memahami hal-hal yang mempengaruhi status
kesehatan terhadap hal itu. Masyarakat masih banyak melakukan kebiasaan atau adat istiadat
yang merugikan kesehatan. Dalam adat suku bugis masih mempertahankan budaya yakni
rangkaian ritual dari masa kehamilan sampai melahirkan dan pada bayinya. Oleh karena itu,
makalah ini bertujuan untuk mengetahui kesehatan ibu hamil dari persepsi adat suku Bugis
yang meliputi kebiasaan yang harus dilakukan ibu pada saat hamil, pantangan/larangan yang
harus diikuti ibu pada saat hamil, melahirkan, masa nifas dan menyusui serta pada bayi.
Selain itu juga untuk mendapatkan penjelasan dari masyarakat mengenai manfaat dan
dampak dari praktik tersebut terhadap kesehatan ibu dan janinnya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
yaitu:
1. Bagaimana kebiasaan/kebudayaan adat suku bugis pada masa kehamilan?
2. Bagaimana kebiasaan/kebudayaan adat suku bugis pada masa persalinan atau melahirkan?
3. Bagaimana kebiasaan/kebudayaan adat suku bugis pada masa nifas dan menyusui?
4. Bagaimana kebiasaan/kebudayaan adat suku bugis pada bayi?

1.3. Tujuan

Tujuan dari makalah ini yaitu:


1. Untuk mengetahui kebiasaan/kebudayaan adat suku bugis pada masa kehamilan.
2. Untuk mengetahui kebiasaan/kebudayaan adat suku bugis pada masa persalinan atau
melahirkan.
3. Untuk mengetahui kebiasaan/kebudayaan adat suku bugis pada masa nifas dan menyusui
4. Untuk mengetahui kebiasaan/kebudayaan adat suku bugis pada bayi.
3

II. PEMBAHASAN

2.1. Kebiasaan/Kebudayaan Adat Suku Bugis Pada Masa Kehamilan

Kehamilan merupakan hasil pembuahan sel telur dari perempuan dan sperma dari
laki-laki, sel telur akan hidup selama maksimal 448 jam, spermatozoa sel yang sangat kecil
dan ekor yang panjang bergerak memungkinkan untuk dapat menembus sel telur (konsepsi),
sel-sel benih akan dapat bertahan kemampuan fertilisasinya selama 2-4 hari, proses
selanjutnya akan terjadi nidasi, jika nidasi ini terjadi, barulah disebut adanya kehamilan. Pada
umumnya nidasi terjadi di dinding depan atau belakang rahim. dekat pada fundus uteri,
semakin hari akan mengalami pertumbuhan. Jika kehamilan berjalan secara normal semakin
membesar dan kehamilan akan mencapai aterm (genap bulan) (Sunarti, 2013).
1. Mappanre to-mangideng (menyuapi ibu hamil)
Upacara yang dilakukan pada bulan pertama masa kehamilan, atau dalam suku bugis
disebut mangngideng atau ngidam. Biasanya dilalui dengan berbagai macam acara. Selain itu
diberikan pantangan untuk makan makanan tertentu dan melakukan perbuatan tertentu, baik
untuk calon ibu maupun calon ayah.
Di suku bugus, wanita hamil dilarang memakan buah nenas dan tape, buah nanas
tidak boleh dikonsumsi selama kehamilan karena nanas dapat menyebabkan terjadinya
kontraksi sebelum waktunya. Hal ini terjadi akibat dari enzim bromelain yang terkandung
dalam dalam nanas yang dapat menyebabkan lemahnya leher Rahim, sehingga bisa
mengakibatkan Rahim kontraksi. Tape merupakan salah satu makanan khas Indonesia yang
pembuatannya melalui hasil fermentasi. Dalam hal ini menggunakan fermentasi karbohidrat
yang menggunakan ragi dan dibantu beberapa mikroba seperti Saccharomyses cerevisae,
Rhizopus oryzae, Endomycopsis burtoni, Mucor sp, dan lain sebagainya. Selain itu diperlukan
alkohol, jika pembuatan tape memerlukan waktu cukup lama, maka alkohol yang di perlukan
juga semakin tinggi. Dampak negatif alkohol terlalu tinggi resikonya untuk tetap
mempertahankan kondisi kehamilan.
2. Upacara Tujuh Bulan Kehamilan
Dalam bahasa Bugis Bone disebut Mappassili, yang artinya memandikan. Makna
upacara ini adalah untuk tolak bala atau menghindari dari malapetaka atau bencana,
menjauhkan dari roh-roh jahat sehingga segala kesialan hilang dan lenyap. Berikut ini
merupakan tahapan dari upacara tujuh bulan kehamilan:
4

a. Calon ibu yang hamil tujuh bulan dari pasangan muda ini harus melewati sebuah
anyaman bambu yang disebut Sapana yang terdiri dari tujuh anak tangga, memberi
makna agar rezeki anak yang dilahirkan bisa naik terus seperti langkah kaki menaiki
tangga.
b. Iring-iringan pasangan muda (suami-istri), dalam pakaian adat Bugis menuju sebuah
rumah-rumahan yang terbuat dari bambu dengan hiasan bunga dan pelaminan yang
meriah oleh warna-warna yang mencolok. Sebelumnya, Upacara Mappassilidiawali
dengan membacakan doa-doa yang diakhiri oleh surat Al-Fatihah oleh seorang ustadzah.
Bunyi tabuh-tabuhan dari kuningan yang dipegang oleh seorang bocah laki-laki
mengiringi terus upacara ini.
c. Kemudian upacara ini dipimpin oleh seorang dukun. Ia mengambil tempat pembakaran
dupa dan diputar-putarkan di atas kepala sang ibu. Asap dupa yang keluar, diusap-
usapkan di rambut calon ibu tersebut. Perbuatan ini memberi makna untuk mengusir roh-
roh jahat yang bisa mengganggu kelahiran bayi. Menurut kepercayaan mereka, roh jahat
itu terbang bersama asap dupa.
d. Calon ibu di perciki air dengan menggunakan beberapa helai daun ke bagian tubuh
tertentu, mulai dari atas kepala, bahu, lalu turun ke perut. Bahu menyimbolkan agar anak
punya tanggung jawab yang besar dalam kehidupannya. Demikian pula tata cara
percikan air dari atas kepala turun ke perut, tak lain agar anaknya nanti bisa meluncur
seperti air, mudah dilahirkan dan kehidupannya lancar bagai air. Calon ibu mengenakan
pakaian adat Bone yang berwarna merah, dilanjutkan dengan upacara Makarawa Babua
yang berarti memegang atau mengelus perut. Pernik-pernik pelengkap upacara ini lebih
meriah lagi ditambah lagi dengan beraneka macam panganan yang masing-masing
memiliki simbol tertentu.
e. Calon ibu yang telah berganti pakaian adat Bone berwarna merah ditidurkan di tempat
pelaminan. Sang dukun akan mengelus perut calon ibu tersebut dan membacakan doa.
Selanjutnya daun sirih yang ditaburi beras diletakkan di kaki, perut, kening kepala calon
ibu dimaksudkan agar pikiran ibu tetap tenang, tidak stress. Diletakkan di bagian kaki
sebagai harapan agar anak melangkahkan kakinya yang benar. Sementara beras sebagai
perlambang agar anak tak kekurangan pangan. Seekor ayam jago sengaja diletakkan di
bawah kaki calon ibu. Bila ternyata ayam tersebut malas mematuk beras, menurut
mereka ini pertanda anak yang akan lahir perempuan.
5

f. Tahap akhir upacara tujuh bulan Bone ini adalah suap-suapan yang dilakukan oleh
dukun, pasangan tersebut (sebagai calon bapak dan ibu) dan orang tua keduanya. Acara
ditutup dengan rebutan hiasan anyaman berbentuk ikan dan berisi telur bagi ibu-ibu yang
memiliki anak gadis atau yang sudah menikah. Ini sebagai perlambang agar anak-
anaknya segera mendapat jodoh yang baik, dan nantinya melahirkan dengan mudah.
3. Ma’cerra wettang
Ritual budaya yang dilakukan oleh masyarakat bugis pada ibu hamil. Ritual ini
dilaksanakan ketika umur ibu hamil (Nasruddin 2017). Memasuki bulan ketujuh atau saat
awal masuk masa trimester tiga. Menurut masyarakat bugis ritual ini dapat memperlancar
persalinan, dapat membuat posisi janin menjadi sempurna dan dijauhkan dari segala
gangguan dari makhluk halus. Prosesi ma’cerra wettang dilakukan oleh dukun beranak atau
paraji. Prosesnya yaitu dengan mengurut perut ibu hamil dengan menggunakan minyak
goreng yang dicampur dengan bawang merah. Hal itu dapat dipercaya bahwa akan
memudahkan ibu dalam melahirkan dan anaknya akan lahir dengan selamat.
4. Makkatenni sanro (Menghubungi Dukun)
Upacara penyampaian kepada dukun yang telah dipilih berdasarkan musyawarah
kedua keluarga atau nasehat dari masyarakat dan orang tua. Jika pemilihan dukun disetujui
maka dukun tersebut akan diberikan kepercayaan untuk merawat ibu dan anaknya nanti.
5. Tidak Diizinkan untuk Keluar dari Rumah Sebelum 40 Hari Setelah Mengandung
Anak
Tidak diizinkan untuk pergi dari rumah sebelum 40 hari, karena diharapkan ibu tidak
dimasuki oleh roh jahat. Adalah tabu untuk turun ke tanah sebelum tiba pada hari ke 7 setelah
mengandung anak, karena akan menyebabkan cuecuereng (air susu ibu menjadi kotor). Ibu-
ibu yang mengalami efek buruk cuecuereng dianjurkan untuk membersihkan payudaranya
dengan menggunakan batu palang yang telah dikonsumsi, kemudian ibu tersebut mengunyah
panir dan kemudian memuntahkan/meludahi batu palang tersebut, ini berarti bahwa ia telah
membuang susu yang berantakan.

2.2. Kebiasaan/Kebudayaan Adat Suku Bugis pada Masa Persalinan atau

Melahirkan

Setelah masa kehamilan mencapai 9 bulan dan menanti masa-masa melahirkan


(Mattajeng esso: menunggu hari kelahiran). Pada saat kelahiran biasanya dihadiri keluarga
untuk menunggu proses kelahiran. Proses kelahiran di bantu oleh dukun yang telah dipilih.
6

Berbeda makna mantra yang terkandung pada saat ibu yang mengandung akan
melahirkan bayinya, yang biasa dilakukan pada saat ibu sudah merasa kesakitan. dukun
beranak meniupkan doa agar ibu yang akan melahirkan diberi kemudahan saat proses
kelahiran anak, isi mantranya menyiratkan makna yang menyandarkan harapan dan
permintaan agar dimudahkan saat bayi dalam kandungan akan keluar. Dukun beranak yang
mengucapkan mantra yang dimikinya, maka dapat dimaknai sebagai ungkapan doa, harapan
dan permintaan untuk diberi kemudahan dalam proses kelahiran. Sehingga makna mantra
yang diungkapkan sanro ana’ dalam proses kelahiran dalam tahap kesakitan merupakan gaya
bahasa yang menjadi tanda bermakna kemudahan.
Pada prosesi kelahiran saat keluarnya bayi dari kandungan ibu, sanro ana’
meniupkan atau membacakan mantranya yang bertujuan agar bayi yang berada dalam
kandungan dan ibu yang melahirkan diberi kekuatan dan bermohon diberikan keselamatan.
Setiap mantra dari masing-masing sanro ana’ menyiratkan makna doa yang menjadi
permintaan saat perjuangan hidup mati seorang ibu dalam melahirkan anaknya senantiasa
diberikan keselamatan. Gaya bahasa yang digunakan dalam mantra pada proses kelahiran
mengandung makna keselamatan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tahapan ini sanro
ana’ yang membacakan mantranya mengandung makna dari tanda yang merupakan lambing
bunyi dari bahasa yang digunakannya bermakna keselamatan.

2.3. Kebiasaan/Kebudayaan Adat Suku Bugis pada Masa Nifas dan Menyusui

1. Perawatan Vagina dan Perilaku/Kepercayaan dalam Perawatan Vagina


a. Cara perawatan vagina
Ibu nifas/menyusui suku Bugis melakukan perawatan vagina yang telah
dianjurkan untuk ibu postpartum yaitu membasuh vagina dengan air bersih setelah
berkemih dan buang air besar dan dari arah depan ke belakang. Ibu nifas juga selalu
menjaga vagina selalu dalam keadaan kering. Ibu nifas mengganti pembalut setiap kali
mandi, setelah buang air besar atau kecil atau setiap tiga sampai empat jam sekali.
b. Perilaku/kepercayaan dalam perawatan vagina
Bakera (ratus vagina) dapat membantu perawatan nifas pada ibu yang melahirkan
normal. Dengan melakukan ratus vagina itu akan mempercepat proses penyembuhan
setelah melahirkan dan menyembuhkan luka pasca-melahirkan, dengan membantu
memperlancar pengeluaran lokhea dan membantu memeperlancar aliran sirkulasi darah.
7

Tradisi yang dilakukan oleh ibu nifas suku Bugis untuk supaya mempercepat proses
penyembuhan setelah melahirkan yaitu dengan melakukan ratus vagina.
Pada budaya suku Bugis, ibu nifas tidak dibolehkan melakukan aktivitas yang
berat, seperti mengangkat, mencuci, dan berbagai aktivitas lain yang dapat
menyebabkan kelelahan pada ibu. Karena dikhawatirkan jika ibu nifas/menyusui
melakukan aktivitas fisik yang berlebih akan menyebabkan sakit pada area vagina
karena jika mengangkat berat otot yang berperan adalah area panggul kebawah.
2. Perawatan Payudara dan Perilaku/Kepercayaan dalam Perawatan Payudara
a. Perawatan payudara
Ibu nifas/menyusui suku Bugis melakukan perawatan payudara dengan cara rutin
membersihkan baik itu payudara atau putting susu dengan teliti setiap hari selama
mandi, sehabis keluar rumah dan ketika hendak menyusui dan mengganti bra yang
lebih nyaman dipakai
b. Kepercayaan dalam perawatan payudara
Pada hari-hari awal pasca persalinan, yaitu hari pertama, kedua dan ketiga ibu
dianjurkan untuk menekan-nekan area payudara pada saat mandi. Tujuannya untuk
membantu menstimulus pengeluaran ASI dengan cepat. Kebiasaan yang mereka kenal
dengan istilah “Iperra’i” ini terbukti membantu kelancaran ASI, serta dapat mencegah
payudara bengkak.
Kemudian perilaku ibu dalam perawatan payudara menganjurkan ibu nifas untuk
meminum wae pura di jappi (air yang sudah dimantrai) kegiatan ini pergi ke orang
pintar, dalam hal ini orang pintar membuat obat agar badan tidak lemas. Caranya adalah
membawa air kepada orang pintar tersebut agar dibacakan doa-doa kemudian diminum
oleh ibu selepas melahirkan.
3. Perilaku Pada Saat Menyusui Bayi
a. Perlindungan Anak terhadap Mencret dan Demam
Perempuan Bugis mempunyai konsep bahwa anak tidak boleh diberi ASI yang
panas, karena anak bisa mencret dan demam. Sebelum diberikan kepada anak, ASI
dibuang sedikit oleh karena ASI yang ada di puting susu ibu sudah basi dan kotor,
karena tubuh ibu yang baru pulang dari bepergian berkeringat dan kotor. Apabila anak
mengkonsumsi ASI tersebut, dikhawatirkan anak bisa sakit.
b. Perlindungan Bayi terhadap Makhluk Halus
8

Jika baru pulang dari berpergian, para perempuan Bugis tidak boleh langsung
menyentuh anak mereka apalagi memberi ASI. Mereka baru boleh menyentuh anak
setelah beberapa saat karena takut ada makhluk yang mengikuti mereka. Makna
perilaku tersebut adalah menjauhkan bayi dari berbagai hal yang kotor yang dapat
menyebabkan penyakit.
c. Pemberian ASI pada Tempat Tertentu
Perempuan Bugis tetap menyusui bayi mereka di tempat tertentu, apabila anak
menangis tetap diberikan ASI tapi dengan ditutup-tutupi. Namun, jika anak masih mau
dibujuk untuk tidak diberi ASI, maka ibu tidak menyusui bayi mereka.
d. Cara Pemberian ASI
Perempuan Bugis biasanya memberikan ASI pada anaknya mulai dari payudara
kanan kemudian sebelah kiri. Makna dari perilaku ini adalah bahwa payudara sebelah
kanan adalah makanan dan payudara kiri adalah minumannya.

2.4. Kebiasaan/Kebudayaan Adat Suku Bugis pada Bayi

Masyarakat Bugis memiliki adat istiadat dinamakan dengan naik tojang. Naik tojang
sendiri berasal dari bahasa bugis. Naik artinya menaiki atau menempati, sedangkan Tojang
artinya ayunan atau alat untuk berayun. Tradisi ini merupakan adat untuk melaksanakan
kelahiran bayi, ditandai dengan dimulainya seorang bayi diperbolehkan masuk ke ayunan.
Setelah itu, orang tua perempuan bisa turun ke air atau sungai untuk melakukan berbagai
aktivitas.
Dalam pelaksanaanya, adat ini dilakukan disaat sang bayi telah berumur 7 hari, 9
hari ataupun 13 hari, boleh dilaksanakan di hari lain dengan syarat harus dilaksanakan di
hari-hari ganjil dan masih dalam rentang waktu 40 hari. Hal ini dikarenakan, masyarakat
Bugis percaya bahwa angka ganjil diperuntukkan untuk bayi yang lahir karena kelahiran
bermakna adanya rasa sukacita, kesejahteraan dan keberuntungan sedangkan angka genap
diperuntukkan bagi orang yang meninggal, karena kematian memberi makna bahwa manusia
itu pada akhirnya memberi arti total pada sejarah hidupnya.
Menurut kepercayaan masyarakat suku Bugis, tujuan dari pelaksanaan naik tojang
ini adalah untuk meminta keberkahan dari Allah dan mendoakan sang bayi agar diberi
keselematan oleh Allah serta agar sang bayi menjadi anak yang taat kepada agama dan orang
tua. Bagi setiap masyarakat yang tidak melaksakannya diyakini akan mendapatkan
malapetaka atau musibah terhadap sang bayi serta dikhawatirkan dapat berpengaruh terhadap
9

tumbuh kembang sang bayi, bisa berupa kurangnya kecerdasan dan tidak mendapatkan
keberkahan dalam hidupnya.
Untuk menentukan hari akan diadakan adat naik tojang, harus didasari bahwa ketika
bayi telah lahir, maka keluarga harus menentukan kapan adat ini akan dilaksanakan. Jika
pelaksanaannya akan dilaksanakan pada hari ke 7 (tujuh) maka langkah pertama adalah bayi
tersebut diletakkan di dalam ceper (nampan) yang berbentuk bulat dan berukuran besar atau
sedang, lalu di atas ceper tersebut diletakkan kain pertama dihari pertama bayi dilahirkan,
terus menerus kain tersebut ditambah setiap harinya hingga hari ke 7 (tujuh), begitu pula
dengan penggunaan hari ke 9 (sembilan), 11 (sebelas) ataupun di hari ganjil yang lain. Ini
dilakukan sebelum memasuki hari diadakannya adat naik tojang (ayun).
Alat yang diperlukan yakni, pulut dengan 4 (empat) warna yakni (pulut merah, pulut
kuning, pulut putih dan pulut hitam), telur ayam, ayam panggang, ketupat, beras putih,
minyak goreng, gula, pisang berangan, pisang nipah, lepat- lepat pulut, air putih, buah pinang,
sirih, minyak bau(sejenis wewangian yang diolah dari minyak kelapa dan rempah-rempah
campurannya), lesuji(wadah yang berbentuk persegi terbuat dari anyaman bambu), seekor
kucing, pinang, kelapa, keminting, kain kuning, juju’ (potongan kain yang digulung lalu
dibakar), kayu belidak, Bereteh (padi yang digoreng tanpa minyak sehingga berwarna putih), sirih,
kelapa, cincin emas, garam dan batu.Adapun yang melaksanakan adat ini adalah keluarga
yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan bayi, dalam pelaksanaanya baik sang ibu ataupun anak yang
akan melalui prosesi adat ini diharuskan menggunakan kain yang berwarna kuning. Pemimpin
pelaksanaan adat ini adalah dukun yang membantu proses persalinan, jika dukun yang
membantu selama persalinan tidak mengerti adat naik tojang diharuskan menggunakan 1
orang dukun lagi, dalam hal ini yang bisa disebut pemuka adat.
10

PETA LOKASI PENGAMBILAN DATA / WAWANCARA

Lokasi :

Provinsi :
11

DOKUMENTASI WAWANCARA

Narasumber :

Umur :

Suku :

Pekerjaan :
12

Jurnal Terkait Antropologi Kesehatan Mengenai Kebiasaan Adat Suku Bugis pada
Masa Kehamilan
13
14

III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Persepsi ibu terkait perawatan vagina ibu nifas suku Bugis dapat dilihat dari budayanya
dalam melakukan perilaku ratus vagina (penguapan vagina), kemudian perilaku seperti
larangan mengangkat beban berat serta aktivitas berat lainnya yang dapat menimbulkan
kelelahan dan larangan keluar rumah selama 40 hari.
2. Persepsi ibu terhadap perawatan payudara ibu nifas suku Bugis dapat dilihat dari budaya
perilaku menekan area payudara saat mandi atau dikenal dengan istilah “i perra’i”,
meminum wae pura dijappi (air yang sudah dijappi) untuk menambah stamina.

3.2. Saran

1. Bagi tenaga kesehatan:


Bidan diharapkan dapat memberikan asuhan dan pelayanan kebidanan yang baik,
dengan memahami, memecahkan dan menelaah secara kritis dan rasional tentang berbagai
fenomena sosial budaya serta untuk mengetahui sikap masyarakat / pola perilaku manusia
dalam kehidupan bermasyarakat sehingga kita dapat lebih dekat dengan masyarakat agar
dapat membantu menjaga kesehatan ibu hamil dan mempercepat pemulihan keadaan ibu dan
bayi (agar meningkatkan pengetahuan terkait kebiasan budaya yang memiliki dampak positif
sehingga bisa mentransferkan ilmunya kepada masyarakat).
2. Bagi masyarakat:
Saran-saran yaitu bagi masyarakat adalah masyarakat diharapkan agar meningkatkan
pengetahuannya tentang budaya atau kebiasaan yang dapat membantu kesehatan ibu dan
bayinya.
3. Bagi institusi pendidikan:
Diharapkan hasil Pengabdian Kepada Masyarakat ini dapat menjadi masukan untuk
segenap civitas akademika dalam melakukan proses Pengabdian Kepada Masyarakat
selanjutnya agar menjadi lebih baik.
15

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Khalidatul Khair. 2019. “Kearifan Budaya Lokal Dalam Pelayanan Kesehatan Ibu
Dan Anak Pada Suku Bajo.” In Prosiding Seminar Nasional, , 58.

Astuti, Reni Y, Dwi E. 2018. Anemia dalam Kehamilan. Semarang. Pustaka Abadi.

Farih A. 2016. Nahdlatul Ulama (NU) dan Kontribusinya Dalam Memperjuangkan


Kemerdekaan dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Walisongo. Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan. 24(2): 251–84.

Hamzah A, Sukri, Jompa H. 2007. Perilaku Menyusui Bayi pada Etnik Bugis di Pekkae.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 1(5): 195-201.

Mahmud M. 2009. Bahasa dan Genre dalam Masyarakat Bugis. Makassar. Pustaka Refleksi.

Nasruddin. 2017. Tradisi Mappamula (Panen Pertama) Pada Masyarakat Bugis Tolotang Di
Sidenreng Rappang (Kajian Antropologi Budaya). Jurnal Sejarah dan Kebudayaan.
5(1): 1–15.

Nisa U. 2021. Budaya Perilaku Ibu Hamil di Indonesia. Jurnal Sosial dan Sains. 1(11): 1407-
1512.

Saleh F. 2019. Baca-Baca Sanro Ana’: Tradisi Dan Religi Pada Kelahiran Tradisional
Masyarakat Bugis Di Sulawesi Selatan. Jurnal kajian Bahasa dan Budaya. 9(1): 39-
51.

Anda mungkin juga menyukai