Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

BUDAYA MANGGARAI DALAM ASPEK


KEBIDANAN

DISUSUN OLEH:
1. MARIA DELVASARI MULTI
2. MARIA FEBRIANI SURYA
3. MARIA ANILA
4. MARELDA VIANNEY LEGA
5. VERONIKA BAWAH
6. YASINTA MENDRA LIMAS
7. MARIA ALFIANI MENSA

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA SANTU PAULUS


RUTENG
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI DIII KBIDANAN
2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materi.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
COVER...............................................................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
1.1 LATAR BELAKANG.........................................................................................
1.2 RUMUSAN MASALAH.....................................................................................
1.3 TUJUAN...............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................
2.1 DEFINISI BUDAYA DALAM ASPEK KESEHATAN...................................
2.2 BUDAYA MANGGARAI DALAM ASPEK PRAKEHAMILAN..................
2.3 BUDAYA MANGGARAI DALAM ASPEK KEHAMILAN..........................
2.4 BUDAYA MANGGARAI DALAM ASPEK PERSALINAN..........................
2.5 BUDAYA MANGGARAI DALAM ASPEK IBU NIFAS................................
2.6 BUDAYA MANGGARAI DALAM ASPEK BBL DAN BALITA..................
2.7 BUDAYA MANGGARAI DALAM ASPEK KEBIDANAN DAN
TOKOH ADAT..................................................................................................................
BAB III PENUTUP...........................................................................................................
3.1 KESIMPULAN....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Salah satu kendala utama penerimaan program-program kesehatan adalah
kendala budaya pada masyarakat yang semula hanya mengenal sistem medis
tradisional. Masyarakat dalam kesatuan suku-suku dengan identitas
kebudayaannya masingmasing, memiliki dan mengembangkan sistim medisnya
sendiri sebagai bagian dari kebudayaan mereka secara turun temurun.'
Terbentuknya janin dan kelahiran bayi merupakan suatu fenomena yang wajar
dalam kelangsungan kehidupan manusia, namun berbagai kelompok masyarakat
dengan kebudayaannya di seluruh dunia memiliki aneka persepsi, interpretasi dan
respon perilaku dalam menghadapinya, dengan berbagai implikasinya terhadap
kesehatan.
Karena itu hal-hal yang berkenaan dengan proses pembentukan janin
hingga kelahiran bayi serta pengaruhnya terhadap kondisi kesehatan ibunya perlu
dilihat dalam aspek biososiokulturalnya sebagai suatu kesatuan. Persepsi tentang
kehamilan yang dimiliki oleh masyarakat sangat menentukan perilaku masyarakat
terhadap kehamilan. Persepsi tentang kehamilan ini terbentuk berdasarkan
kepercayaan-kepercayaan dan simbol-simbol yang dimiliki oleh masyarakat.
Pengalaman kehamilan khususnya adalah sumber dari simbol tentang kesuburan,
pertumbuhan bayi dalam kandungan, dan kesehatan ibu dan anak.
Banyak kepercayaan-kepercayaan dari budaya manggarai yang menjadi
tradisi yang dianggap dapat melindungi masyarakat setempat.Adanya tradisi
tersebut yang menjadi salah satu hal yang harus dipahami dan juga diperhatikan
oleh tenaga kesehatan.Banyak masyarakat manggari percaya bahwa jika kebiasaan
atau adat tersebut tidak dilakukan atau dilaksanakan maka akan terjadi suatu
kelainan pada bayi saat lahir.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Defenisi budaya dalam aspek kesehatan
2. Budaya manggarai dalam aspek prakehamilan
3. Budaya manggarai dalam aspek kehamilan
4. Budaya manggarai dalam aspek persalinan
5. Budaya manggarai dalm aspek ibu nifas
6. Budaya manggarai dalam aspek kebidanan dan tokoh adat
7. Budaya manggarai dalam aspek BBL dab balita
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui budaya alam aspek kesehatan
2. Untuk mengetahui budaya manggarai dalam aspek prakehamilan
3. Untuk mengetahui budaya manggarai dalam aspek kehamilan
4. Untuk mengetahui budaya manggarai dalam aspek persalinan
5. Untuk mengetahui budaya manggarai dalam aspek ibu nifas
6. Untuk mengetahui budaya manggarai dalam aspek kebidanan
7. Untuk mengetahui budaya manggarai dalam aspek BBL dan
Balita
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi budaya dalam aspek kesehatan
Aspek sosial budaya dalam perilaku kesehatan timbul ketika kalangan
medis mulai mengarah ke“community medicine”, mencangkup kesehatan mental,
kesehatan fisik, dan kesehatan sosial.Tujuan pembangunan sosial memberikan
kesempatan pada masyarakat untuk hidup wajarmental, fisik, dan sosial menuntut
peran ilmu sosial yang lebih besar untuk ikut memecahkanmasalah kesehatan.
Upaya kesehatan memuat usaha-usaha terencana untuk merubah tingkah
lakuindividu, kelompok, dan masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
melalui pendidikan. Tujuan pendidikan kesehatan adalah merubah perilaku ke
arah yang menguntungkankesehatan. Perilaku kesehatan sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sosial budaya di manaindividu tersebut hidup. Seperti contoh, petugas
kesehatan perlu mengetahui aspek sosial budayanya agar usaha pendidikan yang
dilakukan berhasil.
Seorang antrololog yaitu E.B. Tylor (1871) memberikan definisi
kebudayaan bahwa kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan
lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup semuanya yang didapatkan
atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat, terdiri dari
segalasesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya,
mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardib merumuskan kebudayaan
sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat
menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah
(material kultur). Rasa meliputi jiwa manusia yang mewujudkan segala kaidah-
kaidah dan nilai-nilai sosial. Misalnya agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan
semua unsur hasil ekspresi jiwa. Cipta merupakan kemampuan mental,
kemampuan berpikir orang-orang yang hidup bermasyarakat. Semua karya, rasa,
dan cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang 2 menentukan kegunaannya agar
sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau dengan seluruh masyarakat.
2.2 Budaya manggarai dalam aspek prakehamilan
Dalam masyarakat Manggarai, sebuah cerita hidup yang menggambarkan
seorang ibu yang telah lama berkeluarga tanpa memiliki keturunan memunculkan
tindakan yang diakui oleh adat istiadat setempat. Ketidaksuburan yang dialami
oleh perempuan tersebut mengakibatkan pilihan untuk mencari bantuan dari
seorang dukun beranak, seseorang yang dihormati dalam masyarakat Manggarai
karena kemampuannya dalam ritual kehamilan dan kelahiran.Tradisi ini tidak
hanya sekadar ritual fisik, tetapi juga mencakup aspek spiritual dengan meminta
air untuk kesuburan dari dukun beranak. Ini mencerminkan keyakinan mendalam
dalam kekuatan mistis dan spiritual dalam mencapai kehamilan.
Dalam konteks budaya Manggarai, peran dukun beranak bukan hanya
sebagai penyelenggara ritual, tetapi juga sebagai penjaga keberlanjutan keturunan
dan pemeliharaan nilai-nilai tradisional.Keputusan untuk mengikuti adat ini dapat
mencerminkan tekanan sosial dan ekspektasi masyarakat terhadap peran
perempuan dalam melanjutkan garis keturunan.
Selain itu, kehadiran dukun beranak menciptakan ruang untuk kebersamaan
di antara anggota masyarakat yang mendukung perempuan yang mengalami
kesulitan dalam hal kehamilan. Meskipun masyarakat Manggarai mungkin telah
mengalami modernisasi, tetapi tradisi seperti ini terus dijaga sebagai bagian tak
terpisahkan dari identitas budaya mereka.Pergi ke dukun beranak bukan hanya
sebagai solusi medis, tetapi juga sebagai ekspresi kepercayaan dan keterlibatan
dalam warisan budaya yang diteruskan dari generasi ke generasi.
Adat ini menciptakan jaringan kepercayaan yang kompleks di antara
masyarakat Manggarai, menggambarkan betapa kuatnya ikatan antarindividu
dalam mencapai kebahagiaan keluarga.Dengan demikian, keberlanjutan tradisi ini
mengakar dalam upaya menjaga identitas budaya Manggarai dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kehidupan yang mereka anut.
2.2 Budaya manggarai dalam aspek kehamilan
Dalam konteks budaya Manggarai, tatanan kehamilan diwarnai oleh
sejumlah larangan dan anjuran yang diyakini masyarakat setempat. Salah satu
larangan khusus adalah terkait konsumsi nasi dingin oleh ibu hamil, kecuali jika
nasi tersebut telah mengalami proses Sungke, yaitu melemparkan sedikit nasi ke
arah belakang sebagai bentuk persiapan.Tradisi Sungke menjadi bagian integral
dari pandangan masyarakat Manggarai terhadap aspek kesehatan selama
kehamilan.
Tindakan ini dipercayai dapat melibatkan kekuatan spiritual dan memastikan
bahwa nasi yang dikonsumsi oleh ibu hamil adalah yang terbaik.Dalam hal ini,
larangan dan anjuran terkait makanan mengungkapkan kompleksitas kepercayaan
budaya yang dipegang teguh oleh masyarakat Manggarai. Menjalani tradisi
tertentu menjadi cara untuk memastikan keselamatan ibu hamil dan bayi yang
dikandungnya.Selain larangan terhadap konsumsi makanan, budaya Manggarai
juga menciptakan larangan terhadap aktivitas ibu hamil di luar rumah pada sore
hari atau malam hari. Alasan di balik larangan ini terkait dengan keyakinan bahwa
"Bayi bisa diambil oleh Setan," menandakan potensi bahaya bagi bayi yang tidak
dapat dihindari jika ibu hamil keluar pada waktu tersebut.
Larangan ini mencerminkan hubungan erat antara kepercayaan spiritual dan
praktik sehari-hari dalam menjaga kehamilan. Memahami dan menghormati
larangan ini dianggap sebagai langkah penting untuk memastikan keselamatan ibu
dan bayi.Seiring berjalannya waktu, budaya Manggarai beradaptasi dengan
perkembangan modern, namun keberlanjutan tradisi seperti Sungke dan larangan
keluar pada malam hari tetap menjadi bagian penting dari identitas dan warisan
budaya. Keberlanjutan praktik-praktik ini menggambarkan kesinambungan antara
generasi, di mana pengetahuan budaya berpindah dari orang tua kepada anak-anak
mereka sebagai bagian dari proses pembentukan identitas budaya.
Budaya Manggarai mengajarkan bahwa tindakan-tindakan yang diperlukan
selama kehamilan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga memperhitungkan aspek
spiritual dan sosial yang mencerminkan kekayaan dan keunikan budaya
setempat.Oleh karena itu, memahami dan menghormati larangan serta anjuran
dalam kehamilan menjadi esensial dalam membangun keseimbangan antara tradisi
lokal dan perkembangan zaman. Kesimpulannya, praktik-praktik seperti Sungke
dan larangan keluar pada malam hari menjadi bagian integral dari budaya
Manggarai, menggambarkan bagaimana nilai-nilai dan keyakinan lokal
memainkan peran penting dalam membentuk pengalaman kehamilan dan menjaga
keberlanjutan warisan budaya.
Dalam masyarakat Manggarai, kesehatan dan keamanan selama kehamilan
ditekankan melalui sejumlah larangan terkait konsumsi dan perilaku. Salah satu
larangan yang sangat dijunjung tinggi adalah terkait dengan minuman keras,
seperti Tuak atau yang dikenal sebagai Moke.Tradisi ini menetapkan bahwa
selama janin masih dalam tahap pertumbuhan yang rentan, ibu hamil dilarang
keras mengonsumsi minuman keras seperti Tuak. Pandangan ini mencerminkan
kekhawatiran akan potensi dampak negatif alkohol terhadap perkembangan janin
dan kesehatan ibu hamil.Di samping larangan terhadap minuman keras, budaya
Manggarai juga mengekang ibu hamil dari paparan asap rokok.
Menghirup asap rokok dianggap berpotensi membahayakan janin dan
mengganggu proses kehamilan.Keputusan untuk melarang minuman keras dan
asap rokok selama kehamilan mencerminkan perhatian mendalam terhadap
kesejahteraan ibu dan janin. Ini juga mencerminkan nilai-nilai kesehatan yang
dijunjung tinggi dalam masyarakat Manggarai.Larangan ini juga mencerminkan
pemahaman yang mendalam tentang bahaya zat-zat beracun terhadap proses
perkembangan janin. Peran orang tua dan tokoh masyarakat dalam menyampaikan
pengetahuan ini menjadi kunci dalam memastikan pemahaman dan kepatuhan
terhadap larangan tersebut.
Dalam konteks budaya Manggarai, kehamilan dianggap sebagai tahap suci
dan penting dalam kehidupan keluarga. Oleh karena itu, melindungi kesehatan ibu
hamil dan janin menjadi prioritas utama, dan larangan terhadap minuman keras
dan asap rokok mencerminkan komitmen terhadap nilai-nilai tersebut.Meskipun
perkembangan zaman membawa perubahan, larangan ini tetap menjadi bagian
integral dari warisan budaya Manggarai. Generasi muda diharapkan untuk tetap
menghormati dan mempraktikkan larangan-larangan ini demi kesejahteraan
keluarga dan masyarakat.
Pentingnya memahami dan menghormati larangan-larangan ini juga terletak
pada upaya menjaga tradisi dan identitas budaya Manggarai di tengah arus
globalisasi yang terus berkembang.Keberlanjutan nilai-nilai ini diwariskan
melalui generasi, menegaskan bahwa peran keluarga dan komunitas sangat
penting dalam membentuk perilaku sehat selama kehamilan.Dalam
kesimpulannya, larangan terhadap minuman keras dan asap rokok selama
kehamilan menjadi pilar penting dalam budaya Manggarai, mencerminkan
perhatian mendalam terhadap kesehatan ibu dan janin, serta menegaskan
komitmen terhadap nilai-nilai tradisional yang kaya dan berharga.
Dalam budaya Manggarai, fase awal kehamilan diawali dengan ritual
istimewa yang dikenal sebagai 'Takung ase Kae Weki', yang secara harfiah dapat
diterjemahkan sebagai Memberi makan pada Nenek Moyang yang sudah
meninggal. Ritual ini memiliki tujuan utama untuk memberikan perlindungan
khusus pada ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Takung ase Kae Weki
mencerminkan hubungan yang dalam antara masyarakat Manggarai dengan nenek
moyang mereka. Ritual ini diyakini dapat memperoleh berkah dan dukungan
spiritual dari nenek moyang, menciptakan lapisan perlindungan bagi ibu hamil
dan janinnya.
Proses memberikan makan pada nenek moyang yang sudah meninggal
dianggap sebagai ungkapan rasa hormat dan rasa terima kasih kepada leluhur,
sekaligus sebagai bentuk komunikasi spiritual untuk meminta perlindungan
selama masa kehamilan.Dalam konteks budaya Manggarai, kehamilan dianggap
sebagai suatu peristiwa sakral yang tidak hanya melibatkan individu, tetapi juga
melibatkan keterhubungan dengan alam spiritual dan leluhur. Takung ase Kae
Weki menjadi simbol dari kesinambungan hubungan tersebut. Ritual ini juga
mencerminkan keyakinan akan keberlanjutan garis keturunan dan hubungan yang
erat dengan leluhur sebagai pemegang nilai-nilai kehidupan yang harus dijaga
dengan rasa hormat dan perhatian.Di samping dimensi spiritual, Takung ase Kae
Weki dapat dianggap sebagai momen untuk mempererat ikatan sosial dalam
masyarakat Manggarai.
Partisipasi keluarga dan komunitas menjadi penting dalam mendukung ibu
hamil dan merayakan kehidupan yang sedang tumbuh.Dalam perspektif kesehatan
holistik, ritual ini menciptakan suasana yang positif dan mendukung bagi ibu
hamil. Keseimbangan antara dimensi rohaniah dan fisik dianggap sebagai kunci
untuk mencapai kehamilan yang sehat. Meskipun zaman terus berubah, Takung
ase Kae Weki tetap menjadi tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Hal
ini mencerminkan upaya masyarakat Manggarai untuk mempertahankan akar
budaya mereka dalam menghadapi perubahan modern.
Melalui ritual ini, ibu hamil tidak hanya mendapatkan dukungan spiritual,
tetapi juga merasakan kehangatan komunitas. Ini menunjukkan bahwa kehamilan
tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga merupakan peristiwa
yang merayakan kebersamaan dalam keluarga dan masyarakat. Kesimpulannya,
Takung ase Kae Weki bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga menyiratkan makna
yang mendalam dalam budaya Manggarai. Sebagai bentuk persembahan dan
koneksi spiritual, ritual ini menciptakan landasan penting bagi ibu hamil dalam
mengarungi perjalanan kehamilannya dengan penuh keberkahan dan
perlindungan. Dalam masyarakat Manggarai, kehamilan seringkali melibatkan
perbedaan pandangan antara generasi yang lebih tua dan generasi muda terkait
dengan keyakinan dan praktik kesehatan.
Meskipun tidak ada keyakinan khusus yang mengharuskan lebih
mempercayai budaya, tetapi fenomena ini menggambarkan evolusi sikap terhadap
kehamilan di kalangan masyarakat tersebut.Beberapa ibu hamil masih memilih
untuk pergi kepada dukun, meskipun hanya untuk menanyakan mengenai kondisi
atau keadaan janin. Ini mencerminkan adanya keinginan untuk mencari saran dari
sumber yang memiliki hubungan dengan tradisi lokal dan kepercayaan budaya.
Seiring dengan perubahan zaman, terjadi pergeseran dalam pelaksanaan atau
kebiasaan selama kehamilan antara generasi yang lebih tua dan generasi muda di
masyarakat Manggarai. Pada masa lalu, orang-orang cenderung lebih
mempercayai dukun daripada tenaga kesehatan, khususnya dalam konteks proses
persalinan.Tradisi bersalin dijaga dengan erat oleh generasi sebelumnya, di mana
dukun dianggap sebagai pilihan yang lebih utama dibandingkan dengan tenaga
kesehatan. Kepercayaan pada kearifan lokal dan metode tradisional menciptakan
preferensi terhadap dukun.Namun, perubahan terjadi ketika generasi muda lebih
memilih tenaga kesehatan untuk memandu proses persalinan. Perbedaan ini dapat
diatribusikan pada peningkatan akses terhadap informasi kesehatan, perubahan
norma sosial, dan peningkatan kesadaran akan praktik kesehatan modern.
Generasi muda cenderung memilih tenaga kesehatan karena keyakinan
bahwa pelayanan medis modern dapat memberikan perawatan yang lebih aman
dan terjamin selama proses kehamilan dan persalinan. Fenomena ini
mencerminkan dinamika budaya yang terus berkembang di tengah arus
modernisasi. Generasi yang lebih muda menggabungkan nilai-nilai tradisional
dengan pendekatan yang lebih rasional terhadap kesehatan ibu hamil dan
janin.Terdapat keberagaman dalam pendekatan masyarakat Manggarai terhadap
kehamilan, dan perbedaan antar generasi menyiratkan bahwa setiap generasi
memiliki cara sendiri dalam menjalani perjalanan kehamilan sesuai dengan
konteks budayanya.
Walaupun ada perbedaan dalam memilih dukun atau tenaga kesehatan,
penting untuk dicatat bahwa keputusan ini sering kali dipengaruhi oleh faktor
sosial, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan preferensi juga dapat terjadi seiring
dengan evolusi informasi dan pemahaman kesehatan.Kesimpulannya, perbedaan
dalam pelaksanaan atau kebiasaan selama kehamilan antara generasi yang lebih
tua dan generasi muda di masyarakat Manggarai mencerminkan dinamika budaya
yang terus berubah. Sementara beberapa masih mempercayai dukun, ada pula
yang memilih tenaga kesehatan, menciptakan lanskap budaya yang kaya dan
beragam dalam menghadapi proses kehamilan.

2.3 Budaya manggarai dalam aspek persalinan


Peran keluarga dalam proses persalinan di masyarakat Manggarai
dianggap sebagai hal yang sangat penting. Dalam konteks ini, keluarga
diharapkan memberikan dukungan yang kuat kepada ibu bersalin, terutama peran
suami yang dianggap vital selama proses persalinan.Keterlibatan suami dalam
mendampingi istri selama persalinan mencerminkan nilai-nilai kebersamaan dan
tanggung jawab keluarga Manggarai. Suami diharapkan memberikan dukungan
moral dan emosional agar ibu merasa tenang dan aman selama proses
berlangsung.Apabila ibu hamil memilih untuk melahirkan di rumah sakit,
keluarga tetap memegang peran sentral dalam memberikan dukungan. Dukun desa
juga turut hadir untuk memberikan bantuan dan pemahaman khusus terkait tradisi
lokal selama proses persalinan di lingkungan rumah sakit.
Dukun desa dihargai karena memiliki pengetahuan tradisional yang kaya
terkait dengan kehamilan dan persalinan. Keberadaannya menjadi penting untuk
membantu ibu hamil melewati berbagai tahapan persalinan dan memberikan
nasihat sesuai dengan keyakinan budaya setempat. Peran keluarga dan dukun desa
ini menciptakan suasana dukungan yang penuh kehangatan dan keakraban selama
proses persalinan. Dengan adanya kehadiran keluarga dan dukun desa, diharapkan
ibu dapat merasakan keberadaan yang membantu dan memastikan
kesejahteraannya.
Dalam kehamilan dan persalinan di rumah sakit, kolaborasi antara dukun
desa dan tenaga kesehatan modern dapat terjadi. Ini menciptakan integrasi antara
pengetahuan tradisional dan praktik medis modern, mencerminkan upaya untuk
menjaga nilai-nilai budaya sambil mengoptimalkan pelayanan kesehatan.Adanya
dukungan keluarga dan dukun desa juga dapat memengaruhi keputusan ibu hamil
untuk memilih tempat persalinan. Keyakinan akan kehadiran orang-orang terdekat
dan dukun desa dapat memberikan rasa nyaman dan kepercayaan yang mendalam
terhadap proses persalinan.Dalam kerangka ini, peran suami, keluarga, dan dukun
desa tidak hanya berkaitan dengan aspek fisik, tetapi juga dengan dimensi
emosional dan spiritual dalam menjalani proses persalinan.
Pentingnya peran keluarga dan dukun desa dalam proses persalinan
menciptakan jaringan dukungan yang saling memperkuat, memberikan keberanian
dan kepercayaan kepada ibu hamil untuk melewati momen berharga ini.
Kesimpulannya, peran keluarga, terutama suami, dan keberadaan dukun desa
dalam proses persalinan di masyarakat Manggarai menunjukkan betapa
pentingnya keterlibatan dan dukungan dari lingkungan terdekat. Ini membentuk
landasan kuat untuk memastikan kehamilan dan persalinan berlangsung dengan
penuh kelembutan, menjaga tradisi lokal sambil mengintegrasikannya dengan
pelayanan kesehatan modern. Dalam budaya Manggarai, penanganan rasa sakit
selama persalinan diatasi melalui praktik Sungke.
Metode ini melibatkan makan pucuk daun pisang sebagai cara untuk
meredakan ketidaknyamanan dan meningkatkan kenyamanan ibu hamil menjelang
persalinan.Tradisi Sungke mencerminkan pendekatan holistik terhadap kesehatan
ibu hamil dalam masyarakat Manggarai. Pemilihan pucuk daun pisang sebagai
elemen utama dalam Sungke dipercayai memiliki khasiat tertentu yang dapat
membantu mengurangi rasa sakit dan mendukung kesejahteraan ibu saat
melahirkan.Proses Sungke bukan hanya sekadar upaya medis, tetapi juga
merupakan bagian dari warisan budaya yang dijaga dan diwariskan dari generasi
ke generasi. Hal ini mencerminkan kearifan lokal dalam menjalani proses
kehamilan dan persalinan.Selain praktik Sungke, terdapat larangan khusus yang
mengiringi masa menjelang persalinan. Ibu dan suaminya dilarang mengikat kayu
dan pakaian, diyakini bahwa tindakan ini dapat mempengaruhi tali pusat bayi saat
lahir, khususnya terlilit di jari kaki bayi, terutama jari jempol.
Larangan ini menunjukkan betapa kuatnya keyakinan budaya Manggarai
terhadap aspek spiritual dan simbolik dalam menjalani proses persalinan.
Dukungan terhadap tradisi ini diharapkan dapat menjaga keselamatan dan
kesehatan bayi yang baru lahir. Kendati terdapat perbedaan keyakinan dan praktik
antara satu budaya dengan budaya lainnya, Sungke dan larangan terkait
pengikatan kayu dan pakaian mencerminkan penghargaan terhadap kearifan lokal
dan norma budaya di dalam masyarakat Manggarai.Kesadaran akan praktik-
praktik tradisional ini dapat membantu membangun kepercayaan diri dan
ketenangan bagi ibu hamil. Ini menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
proses persalinan, di mana aspek fisik dan spiritual dijaga dengan
cermat.Pentingnya memahami dan menghormati tradisi-tradisi ini juga
menegaskan peran keluarga, terutama suami, dalam mendukung ibu hamil
menjelang persalinan.
Keterlibatan suami tidak hanya mencakup dukungan fisik, tetapi juga
penghargaan terhadap keyakinan dan praktik budaya yang dipegang teguh oleh
keluarga Manggarai.Melalui praktik Sungke dan larangan terkait pengikatan kayu
dan pakaian, budaya Manggarai menawarkan perspektif yang unik terhadap
kehamilan dan persalinan. Ini menciptakan kerangka kerja yang kaya akan nilai-
nilai budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.Kesimpulannya, praktik
Sungke dan larangan terkait persiapan menjelang persalinan di masyarakat
Manggarai mencerminkan kekayaan tradisi lokal dan kepercayaan spiritual.
Dalam menghadapi momen penting ini, penggabungan antara aspek budaya dan
praktik medis menciptakan pendekatan holistik yang memelihara keseimbangan
antara fisik dan spiritual.
2.4 Budaya manggarai adalam aspek ibu nifas
Tradisi "Teti wae Inung" merupakan suatu adat yang dilaksanakan setelah 5
hari sejak bayi dilahirkan. Perhitungan waktu dimulai sejak saat kelahiran, dan
tujuan utamanya adalah sebagai tanda bahwa pusat bayi telah terlepas dari perut
ibu. Selama periode ini, keluarga terdekat memiliki peran yang signifikan, dimana
mereka datang dan bersedia membantu dalam tugas rumah tangga serta merawat
bayi.Prosesi ini bertujuan untuk memberikan istirahat kepada ibu baru,
memungkinkannya pulih dari proses persalinan. Sebagai bagian dari tradisi,
keluarga juga melibatkan diri dalam memberikan makanan bergizi. Langkah ini
diambil untuk memperlancar produksi Air Susu Ibu (ASI) dan memastikan
kesehatan bayi serta ibu dalam fase awal kehidupan.
Melibatkan keluarga dalam periode paska kelahiran ini tidak hanya
menciptakan dukungan praktis dalam menjalani tugas sehari-hari, tetapi juga
menciptakan ikatan erat antara anggota keluarga yang dapat berlanjut sepanjang
kehidupan. Selain itu, fokus pada aspek nutrisi membuktikan kepedulian terhadap
kesehatan ibu dan bayi, memberikan dasar yang kuat untuk pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal. Dengan demikian, "Teti wae Inung" bukan hanya
sekadar adat, tetapi juga mencerminkan kebijakan yang mendalam dalam merawat
dan merayakan kehidupan baru dalam keluarga.
Adat "Teti wae Inung" merupakan sebuah tradisi yang dijalankan dalam
masyarakat setelah berlalunya lima hari sejak kelahiran seorang
bayi.Penghitungan waktu untuk pelaksanaan adat ini dimulai sejak bayi pertama
kali melihat dunia, dan tujuannya adalah sebagai tanda bahwa pusat bayi sudah
terlepas dari perut ibu Proses "Teti wae Inung" tidak hanya menjadi sebuah ritual
semata, melainkan mencerminkan nilai-nilai kekeluargaan dan kepedulian di
dalam suatu komunitas.Dalam pelaksanaannya, keluarga terdekat memiliki peran
penting dengan datang dan bersedia membantu dalam tugas rumah tangga sehari-
hal Selain membantu dalam pekerjaan rumah tangga, keluarga juga turut serta
merawat bayi untuk memberikan istirahat kepada ibu yang baru melahirkan.
Kebersamaan keluarga dalam menjalankan "Teti wae Inung" menjadi
momen penting yang memperkuat ikatan dan keharmonisan di dalam lingkungan
keluarga.Tradisi ini tidak hanya memperhatikan kesejahteraan ibu, namun juga
bayi, dengan memberikan perhatian khusus dan kebersihan yang
diperlukan.Seiring dengan membantu merawat bayi, terdapat pula tradisi
memberikan makanan bergizi, bertujuan untuk memperlancar produksi ASI.
Pemberian makanan bergizi bukan hanya sebagai upaya menjaga kesehatan
ibu, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap kualitas ASI yang
dihasilkan."Teti wae Inung" bukan hanya sekadar warisan budaya, melainkan juga
merupakan wujud konkret dari kepedulian, kerjasama, dan kebahagiaan yang
terpancar dalam nilai-nilai keluarga.
Dalam masyarakat juga, terdapat sebuah kebiasaan yang telah diwariskan
secara turun temurun, yaitu memasang Narong (Tamu Lawak) pada baju bayi atau
topi bayi sebagai bagian dari perawatan tradisional. Penggunaan Narong pada
pakaian bayi atau topi bayi bukan hanya sekadar upaya dekoratif, melainkan
memiliki tujuan yang lebih mendalam, yaitu sebagai bentuk pelindung.
Narong, yang dapat diletakkan dengan beragam kreativitas, memiliki peran
khusus dalam memastikan perlindungan terhadap bayi dari segala bentuk energi
negatif atau roh-roh jahat.Pemasangan Narong tidak hanya merupakan suatu
kegiatan rutin, tetapi juga mencerminkan keyakinan dan kepercayaan masyarakat
terhadap kekuatan simbolis yang melekat pada benda tersebut.Tradisi ini
menunjukkan bahwa masyarakat memberikan perhatian khusus terhadap
keamanan dan kesejahteraan bayi, dengan memanfaatkan simbol-simbol
tradisional yang dianggap memiliki kekuatan magis.
Pemilihan tempat pemasangan Narong, baik itu pada baju bayi atau topi bayi,
mungkin berkaitan dengan keyakinan tertentu atau norma-norma lokal yang telah
diwariskan dari generasi ke generas. Melalui tindakan ini, keluarga dan
masyarakat lokal menunjukkan kepedulian mendalam terhadap aspek spiritual dan
perlindungan pada masa awal kehidupan seorang bayi.
Narong tidak hanya menjadi bagian dari tradisi, tetapi juga merupakan
simbol keharmonisan dan persatuan dalam menjaga keberlangsungan adat-istiadat
di tengah perubahan zaman. Upaya pelestarian kebiasaan memasang Narong di
tengah modernisasi menunjukkan rasa bangga dan penghargaan terhadap warisan
budaya yang dipegang teguh oleh komunitas tersebut.Dengan demikian,
pemasangan Narong pada baju atau topi bayi bukan hanya sebagai manifestasi
kepercayaan, melainkan juga sebagai warisan yang mencerminkan kekayaan
budaya dan kebersamaan dalam melindungi generasi penerus.

2.5 Budaya manggarai dalam aspek kesehatan dalam kebidanan dan tokoh
adat
A.Budaya manggarai dalam aspek kebidanan
Dalam praktik kebidanan di Puskesmas, penting untuk menekankan
penghormatan terhadap keberagaman budaya yang mungkin dihadapi, terutama
ketika pasien berasal dari luar wilayah. Suatu contoh nyata adalah ketika seorang
ibu hamil dari Bali datang untuk melahirkan di Puskesmas. Dalam situasi ini,
sikap dan pendekatan bidan sangatlah krusial untuk memastikan pelayanan
kesehatan yang sensitif terhadap kebudayaan.Bidan yang merawat ibu hamil
tersebut tidak hanya memandang perannya sebagai penyedia layanan medis, tetapi
juga sebagai mediator kebudayaan yang menghargai praktik-praktik dan
kebiasaan khusus yang dimiliki oleh pasien.
Pemahaman mendalam terhadap budaya pasien menjadi dasar untuk
memberikan pelayanan yang sesuai dan menciptakan lingkungan yang
mendukung selama proses persalinan.Dalam konteks ini, bidan tidak akan
memaksa pasien untuk mengikuti kebiasaan atau tradisi yang berbeda dari budaya
aslinya. Sebaliknya, bidan berkomitmen untuk menghormati dan mendukung
keputusan pasien sesuai dengan kebudayaannya.Keterbukaan dan kesediaan untuk
belajar tentang berbagai praktik kebudayaan menjadi landasan bagi bidan untuk
menyediakan perawatan yang penuh pengertian dan menghargai keunikannya.
Kesadaran akan keberagaman budaya dalam pelayanan kebidanan tidak
hanya menciptakan hubungan yang lebih baik antara bidan dan pasien, tetapi juga
meningkatkan kepercayaan dan keamanan pasien dalam proses persalinan.Melalui
pendekatan ini, bidan tidak hanya menjadi penyedia layanan kesehatan, tetapi juga
pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman dalam praktik
kebidanan.
Menjaga keragaman budaya dalam pelayanan kebidanan adalah langkah
penting menuju pelayanan kesehatan yang inklusif dan responsif terhadap
kebutuhan individu dari berbagai latar belakang budaya.Dengan demikian,
kesadaran dan penghormatan terhadap kebudayaan pasien menjadi salah satu
aspek kunci dalam memberikan pelayanan kebidanan yang berkualitas dan
mengutamakan kepentingan serta nilai-nilai pasien.
Peran dukun dalam proses persalinan seringkali dipahami sebagai pendamping
dan bukan sebagai penyelenggara persalinan itu sendiri, seperti diungkapkan oleh
Nyonya R, seorang bidan.Bidan memahami bahwa masyarakat memiliki
kepercayaan kepada dukun, dan dalam pendekatan mereka, tidaklah menjadi
larangan bagi dukun untuk turut serta, tetapi sebagai pendamping.
Kerja sama yang baik antara bidan dan dukun menjadi kunci utama dalam
memberikan perawatan kesehatan yang optimal kepada ibu hamil. Dalam
menjalankan tugasnya, bidan memberikan dukun kebebasan untuk memberikan
dukungan moral atau tradisional yang dianggap relevan tanpa mengabaikan peran
kesehatan yang dimainkan oleh tenaga kesehatan. Meskipun bidan menerima
kehadiran dukun, tetapi pada saat yang sama, mereka memberikan penekanan kuat
bahwa persalinan sebaiknya dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih.
Dalam menjelaskan pandangan ini kepada masyarakat yang lebih
mempercayai dukun, bidan memberikan penjelasan terinci mengenai risiko dan
keamanan yang dapat terjadi jika persalinan dilakukan oleh non-
profesional.Komunikasi yang terbuka dan pendekatan yang penuh pengertian
membantu bidan memberikan informasi yang jelas dan meyakinkan kepada ibu
hamil mengenai pentingnya perawatan oleh tenaga kesehatan. Bidan memahami
bahwa masyarakat memiliki adat dan keyakinan tertentu, sehingga mereka
berusaha untuk memahami dan menghormati nilai-nilai budaya
tersebut.Penjelasan mengenai pentingnya persalinan oleh tenaga kesehatan tidak
hanya bersifat preventif, tetapi juga mendukung keamanan dan kesejahteraan ibu
dan bayi.
Bidan menjelaskan bahwa memahami nilai-nilai budaya tidak berarti
mengabaikan standar keamanan dan kualitas dalam proses persalinan.Dalam
memberikan pelayanan, bidan juga mengakui keunikan setiap individu dan
memberikan perawatan yang sesuai dengan konteks budaya pasien.
Bidan juga harus memahami bahwa beberapa keyakinan seperti pemeriksaan janin
setelah 4 bulan kehamilan atau persiapan pakaian bayi setelah lahir merupakan
mitos dan dapat memberikan penjelasan yang memadai kepada ibu hamil.
Menghilangkan kekhawatiran atau keyakinan yang tidak sesuai dengan
praktik kesehatan yang disarankan menjadi tugas utama bidan. Penekanan pada
pentingnya pemeriksaan janin sejak awal kehamilan dan persiapan segala
kebutuhan bayi sebelum lahir menjadi bagian dari upaya bidan untuk
meningkatkan pemahaman masyarakat. Dengan demikian, pendekatan bidan
dalam aspek kehamilan tidak hanya melibatkan pelayanan medis, tetapi juga
menghargai dan memahami nilai-nilai budaya yang membentuk pemahaman dan
praktek ibu hamil.

B.Budaya manggarai dalam aspek tokoh adat terkait kesehatan


Adat dan kepercayaan terkait pola makan selama kehamilan dan persalinan
mencerminkan nilai-nilai budaya yang menjadi bagian penting dalam perawatan
kesehatan.Salah satu larangan yang diterapkan dalam kehamilan adalah larangan
untuk ibu hamil mengonsumsi nasi dingin. Ini mencerminkan kepercayaan bahwa
makanan panas lebih baik untuk kesehatan ibu dan janin.Selain itu, terdapat
kebiasaan khusus ketika ibu hamil ingin mengonsumsi nasi dingin, yaitu dengan
menyungke terlebih dahulu. Tindakan ini melibatkan mengambil sedikit nasi yang
akan dimakan dan melemparkannya ke belakang sebagai bagian dari ritual.
Ritual ini dapat memberikan gambaran tentang pentingnya penghormatan
terhadap tradisi dan keyakinan masyarakat terhadap makanan selama masa
kehamilan.Setelah melahirkan di rumah sakit, terdapat praktik khusus yang
disebut "Cencar," yang melibatkan pemakaman ari-ari bayi di luar rumah,
tepatnya di samping kamar tidur bayi.Acara "Cencar" dilakukan oleh keluarga
dari bayi, bukan orang tua bayi. Pada acara ini, mereka menggunakan parang atau
tombak untuk memukul dinding sebanyak lima kali.
Ritual pukulan pada dinding tersebut diikuti dengan pertanyaan kepada orang
tua bayi tentang jenis kelamin bayi, apakah pe'ang inewai (orang luar perempuan)
atau ko ata one ata rona (orang dalam laki-laki).Parang atau tombak yang
digunakan dalam ritual diletakkan di luar kamar, dan selama lima hari lima
malam, bayi tidak boleh dibawa keluar dari kama. Aspek kesehatan terkait dengan
praktik ini mencakup pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan
bayi, terutama dengan menguburkan ari-ari di tempat yang ditentukan.
Dalam konteks ini, kepercayaan dan tradisi tersebut juga dapat memengaruhi
perilaku kesehatan ibu dan bayi setelah persalinan.
Dengan adanya ritual "Cencar," masyarakat lokal dapat mengapresiasi perbedaan
status gender bayi dan merayakan kedatangan mereka dengan cara yang sesuai
dengan kepercayaan tradisional.Pemahaman bidang kesehatan perlu mencakup
aspek-aspek budaya dan tradisional ini untuk memberikan perawatan yang sesuai
dan memahami perspektif masyarakat lokal.
Bagi petugas kesehatan, penting untuk berkomunikasi secara terbuka dengan
keluarga dan memahami makna di balik tradisi-tradisi tersebut.Dengan
mengintegrasikan pengetahuan budaya, pelayanan kesehatan dapat disesuaikan
dengan nilai-nilai lokal, menjembatani kesenjangan antara praktik kesehatan
modern dan tradisional. Dalam keseluruhan konteks ini, kesehatan ibu dan bayi
terkait erat dengan nilai-nilai budaya dan tradisi yang membentuk pandangan
masyarakat terhadap perawatan dan keselamatan selama masa kehamilan dan
persalinan. Acara "Cear cumpe" dalam budaya setempat melibatkan ritual
membunuh ayam, khususnya dengan menggunakan telur ayam kampong yang
dikenal sebagai Teti ka'eng.Teti ka'eng atau telur ayam kampong menjadi simbol
penting dalam acara ini, mungkin melambangkan kesuburan dan perlindungan
untuk bayi yang baru lahir.
Ritual "Cear cumpe" juga mencakup penghormatan terhadap ari-ari bayi
yang telah dikubur, yang dikenal sebagai Ase ka'e Weki. Aspek kesehatan dalam
ritual ini mungkin lebih berkaitan dengan dimensi spiritual dan simbolis,
menunjukkan perhatian terhadap perlindungan dan kesejahteraan bayi.Sungke,
yang dilakukan ketika bayi pertama kali keluar dari rumah, melibatkan pemakaian
Narong. Narong kemudian ditusukkan ke Peneti dan diletakkan di topi atau baju
bayi. Narong mungkin memiliki fungsi lebih dari sekadar elemen dekoratif,
karena tradisi ini tampaknya memiliki makna simbolis dan spiritual dalam
menjaga kesejahteraan bayi.
Penggunaan daun ubi jalar di bawah bantal tidur bayi juga mencerminkan
perhatian terhadap kenyamanan dan tidur yang nyenyak untuk bayi.Tradisi
Sungke ketika bayi berkunjung ke rumah orang lain, dengan abu yang diletakkan
di atas kepala bayi, menunjukkan penghargaan terhadap norma dan adat lokal.
Rantang babang, yang tidak dijelaskan lebih lanjut, mungkin memiliki peran
khusus dalam menjaga kesehatan bayi atau ibu bayi, tetapi informasi lebih lanjut
diperlukan untuk pemahaman yang lebih mendalam. Dalam konteks ini, aspek
kesehatan tidak hanya terkait dengan fisik, tetapi juga dengan kesejahteraan
emosional dan spiritual bayi.
Dalam kondisi di mana ibu mengalami kesulitan saat menyusui, upaya untuk
memperbaiki situasi ini dapat melibatkan minum Tuak Mince. Tuak Mince, yang
tidak dijelaskan dengan rinci, mungkin dianggap sebagai solusi tradisional untuk
membantu kelancaran produksi ASI pada ibu menyusui. Tradisi penggunaan Tuak
Mince sebagai bagian dari acara Sungke menunjukkan integrasi antara
kepercayaan lokal dan perawatan kesehatan yang dapat dilakukan.Penting untuk
dicatat bahwa dalam budaya ini, aspek spiritual dan tradisional sangat
memengaruhi upaya untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan bayi.
Praktik-praktik ini dapat memengaruhi persepsi masyarakat terhadap
kesehatan bayi dan ibu melalui hubungan antara tradisi dan kesehatan. Dengan
memahami dan menghargai praktik-praktik budaya ini, pelayan kesehatan dapat
memberikan dukungan dan perawatan yang sesuai dengan nilai-nilai lokal.
Dengan demikian, keberhasilan upaya kesehatan tidak hanya tergantung pada
dimensi medis, tetapi juga pada pemahaman mendalam terhadap budaya dan
tradisi masyarakat setempat.
Melalui penerapan pengetahuan ini, praktisi kesehatan dapat membangun
hubungan yang kuat dengan masyarakat dan memfasilitasi pemberian perawatan
yang holistik.Oleh karena itu, menciptakan keselarasan antara praktik kesehatan
modern dan tradisional menjadi kunci untuk mendukung kesehatan dan
kesejahteraan keluarga.Kesimpulannya, interaksi antara kepercayaan, tradisi, dan
aspek kesehatan dalam budaya lokal menjadi landasan penting dalam memberikan
perawatan kesehatan yang efektif dan bersifat budaya.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Banyak dari masyarakat yang mempercayai adat istiadat
setempat,kebudayaan dalam masyarakat manggarai masih sangat melekat dalam
diri-diri masing masing individu.Dalam aspek kesehatan masyarakat manggarai
masih mempercayai mitos -mitos setempat seperti; "Cear cumpe," "Sungke," dan
"Takung ase Kae Weki" mencerminkan perpaduan antara kepercayaan mistis,
norma sosial, dan perhatian terhadap kesejahteraan ibu hamil dan janin.Tradisi-
tradisi ini tidak hanya menjaga nilai-nilai budaya Manggarai tetap hidup, tetapi
juga menciptakan kebersamaan dalam masyarakat.
Larangan dan anjuran terkait makanan, aktivitas, serta keputusan untuk
mencari bantuan dari dukun beranak, mencerminkan kompleksitas nilai dan
keyakinan yang melandasi pandangan mereka terhadap kehamilan.Keberlanjutan
tradisi ini menjadi kunci untuk menjaga identitas budaya Manggarai di tengah
arus globalisasi. Melalui perpaduan antara kebijakan kesehatan modern dan tradisi
lokal, masyarakat Manggarai memperlihatkan kemampuan mereka untuk
mengadaptasi perubahan zaman sambil tetap memelihara nilai-nilai kuno yang
memiliki signifikansi mendalam bagi mereka.
Dalam keseluruhan, makalah ini menyoroti bahwa pemahaman dan
penghormatan terhadap tradisi-tradisi lokal sangat penting dalam konteks
perawatan kesehatan maternal. Kesinambungan praktik-praktik ini tidak hanya
memperkuat hubungan antar-generasi, tetapi juga memberikan landasan untuk
kesejahteraan ibu hamil dan janin.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/9725129/Aspek_Sosial_Budaya_dalam_Kesehatan
https://ners.umku.ac.id/budaya-kesehatan.php

Anda mungkin juga menyukai