Anda di halaman 1dari 14

TRADISI DAN KEBUDAYAAN SUKU BADUY DALAM KEBIDANAN

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Profesionalisme Kebidanan
Dosen Pengampu : Siti Fatimah, S. SiT ,M.KM

COVER

Disusun Oleh :
1. RIA SEPTIANA A. (2103020004)
2. YENI ITA PRATIWI (210302005)

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BREBES
2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT., karena atas berkat dan rahmatnya penulis diberi
kesehatan sehingga makalah yang berjudul ”Tradisi Dan Kebudayaan Suku Jawa Dalam
Kebidanan” dapat selesai dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi,
penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna mengingat
keterbatasan waktu dan kemampuan oleh karena itu ,penulis mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun .

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusun makalah ini.

Brebes, 18 Okteber 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL............................................................................................................................ i

KATA PENGANTAR.................................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 1

A. Latar Belakang.................................................................................................. 1

B. Rumusan............................................................................................................ 1

C. Tujuan................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................ 3

A. Definisi Tradisi Dan Kebudayaan.................................................................... 3

B. Tradisi Kebudayaan Masyarakat Yang Berhubungan Dengan Kebidanan......3-7

C. Cara Bidan Mengatasi Presepsi Tradisi Kebudayaan Tidak benar .................7-8

BAB III PENUTUP........................................................................................................ 9

A. Kesimpulan....................................................................................................... 9

B. Saran.................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki keragaman dalam kebiasaan, adat istiadat, budaya dan norma
yang berlaku di lingkungan masyarakatnya terutama yang terkait dengan kesehatan ibu
dan anak. Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut terutama faktor sosial budaya
di masyarakat.
Berdasarkan UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, Kesehatan Ibu dan Anak
(KIA) adalah pelayanan kesehatan ibu dan anak yang meliputi pelayanan ibu hamil, ibu
bersalin, ibu nifas, keluarga berencana, kesehatan reproduksi, pemeriksaan bayi, anak
balita dan anak prasekolah sehat.
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Indonesia selalu menjadi masalah pelik yang tak
kunjung membaik keadaannya. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak
tersebut diyakini memerlukan kondisi sosial politik, hukum dan budaya yang kondusif.
Situasi kesehatan ibu dan bayi baru lahir di Indonesia sama sekali belum bisa dikatakan
menggembirakan.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa tidak lepas dari upacara-upacara, baik
yang terkait dengan daur hidup maupun yang terkait dengan fenomena alam dan
peristiwa-peristiwa penting. Masyarakat Jawa sangat mempercayai hal-hal gaib dengan
mempraktekannya dalam berbagai upacara tradisi, seperti upacara tradisi tentang asal-
usul daerah atau suku, upacara tradisi daur hidup, upacara tradisi yang berkaitan dengan
kesuburan pertanian dan mata pencaharian (Suseno, 2001: 86-87).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Definisi Tradisi dan Kebudayaan?
2. Apa saja Tradisi Kebudayaan Yang Dianut Oleh Masyarakat Indonesia Yang
Berhubungan Dengan Kebidanan?
3. Bagaimana Cara Bidan untuk Mengatasi Presepsi Tradisi Kebudayaan Tidak benar
yang Berkembang di Masyarakat, Berhubungan dengan Kebidanan?

iv
C. TUJUAN
1. Untuk Mengetahui Definisi Tradisi dan Kebudayaan.
2. Untuk Mengetahui Tradisi Kebudayaan Masyarakat Yang Berhubungan Dengan
Kebidanan.
3. Untuk Mengetahui Contoh Budaya dalam pelayanan Antenatal Care, Intranatal Care,
Postnatal Care
4. Untuk Mengetahui Cara Bidan Mengatasi Presepsi Tradisi Kebudayaan Tidak benar
yang Berkembang di Masyarakat.

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Tradisi Dan Kebudayaan


Kebudayaan atau yang disebut peradapan adalah pemahaman yang meliputi :
Pengetahuan, kepercayaan , seni, moral, hukum, adat istiadat yang diperoleh dari anggota
masyarakat ( Taylor 1997 )
Tradisi atau disebut juga dengan kebiasaan merupakan sesuatu yang sudah
dilaksanakan sejak lama dan terus menjadi bagian dari kehiduap suatu kelompok
masyarakat, seringkali dilakukan oleh suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang
sama.
Pengertian lain dari tradisi adalah segala sesuatu yang diwariskan atau disalurkan dari
masa lalu ke masa saat ini atau sekarang. Tradisi dalam arti yang sempit yaitu suatu
warisan-warisan sosial khusus yang memenuhi syarat saja yakni yang tetap bertahan
hidup di masa kini, yang masih tetap kuat ikatannya dengan kehidupan masa kini.

B. Tradisi Kebudayaan Masyarakat Yang Berhubungan Dengan Kebidanan
1. Tradisi Kebudayaan dalam Antenatal Care
Berbagai kelompok masyarakat di berbagai tempat yang menitik beratkan
perhatian mereka terhadap aspek kultural dari kehamilan dan menganggap peristiwa
itu sebagai tahapan-tahapan kehidupan yang harus dijalani didunia. Masa kehamilan
dan kelahiran dianggap masa krisis yang berbahaya,baik bagi janin atau bayi maupun
bagi ibunya karna itu sejak kehamilan sampai kelahiran para kerabat dan handai-tolan
mengadakan serangkaian upacara baggi wanita hamil dengan tujuan mencari
keselamatan bagi diri wanita itu serta bayinya, saat berada di dalam kandungan
hingga saat lahir.
Penentuan seorang wanita sedang hamil di suku Baduy Dalam menurut salah
seorang informan sangat subjektif, yaitu selain tidak mendapati dirinya menstruasi
bulanan, seorang isteri sendiri ada “rasa” kalau dirinya hamil. Fenomena tabir mimpi
juga salah satu yang diyakini sebagai pertanda kehamilan, demikian yang
disampaikan oleh suami ASa (14 tahun) seorang ibu nifas.

vi
“…waktu isteri saya hamil, saya mimpi ada orang memberi saya golok…
ujungnya tumpul. wah ini pertanda kalau janin yang dikandung isteri saya bakalan
anak perempuan…” [AS, 20 tahun : Mei 2014]
Wanita hamil di suku Baduy Dalam, ritual yang dijalani yaitu
1. Tradisi Kendit,
ritual saat usia kehamilan tujuh bulan dengan cara datang ke Puun (nyareat)
dengan membawa seupaheun (sirih, gambir dan apu) dan kanteh hideung (gelang
kain berwarna hitam). Kanteh Hideung diberi mantra dan dipakai selama 3 hari 3
malam. Makna Kendit ini diharapkan prosesi kelahiran berjalan lancar.
2. Tradisi Ngaragap beuteung (pijit dibagian perut)
Dilaukan oleh Paraji (dukun beranak) sambil diusap menggunakan koneng
bau. Selain dipijit, ibu hamil meminta jampi-jampi bagi keselamatan ibu dan janin
yang dikandung. Jampe-jampe (mantera) dari paraji melalui media panglai ada
yang dimakan, ada yang dibawa-bawa di badan sebagai perlindungan diri
(tumbal). Namun tradisi Ngaragap beuteung tidak wajib tergantung masing-
masing individu termasuk juga untuk waktunya. Ngaragap Beuteung bisa
dilakukan sebulan dua kali atau sebulan sekali bahkan tidak sama sekali.
“…pijit pada bagian perut ibu hamil tidak wajib, itu tergantung masing-
masing individu. Ada yang setiap bulan datang ke saya (paraji), ada yang tidak
sama sekali. Ada yang cuma minta di syareatan (mantera-mantera) saja supaya
proses melahirkan lancar…” [NN, 55 tahun : Mei 2014]

Pantangan-pantangan wanita hamil yaitu


Seperti penuturan salah seorang tokoh pemuda Suku Baduy Dalam, AK (28
tahun), menejelsakan selain tradisi ada juga beberapa pantangan selama masa
kehamilan baik pantangan perilaku juga makanan. Pantangan tidak hanya berlaku
bagi ibu yang sedang hamil namun juga bagi suaminya.
“…waktu isteri saya hamil, saya tahan-tahan jaga perilaku. Saya kan lama
nunggu 4 tahun baru dipercaya punya anak, jadi yaa pantangan- pantangan
dihindari…” [AK, 28 tahun : Juni 2014]
1. Isteri harus berjalan didepan suami,
2. Tidak boleh keluar rumah setelah senja hari,
3. cara membawa kayu bakar posisinya congokna kahareup.
4. Pada hari rabu dan sabtu ibu hamil tidak boleh dipijat,

vii
5. dilarang mengenakan apapun di bagian leher baik itu kalung ataupun syal.
6. Sedangkan pantangan makanan diantaranya adalah dilarang mengkonsumsi
sambal, durian, petai, nenas bisa mengakibatkan panas pada janin.
7. Pantangan lainnya, saat kehamilan memasuki bulan tua tidak boleh
mengkonsumsi obat- obatan kimia sampai setelah bayi dilahirkan. Alasan tidak
diberikan obat-obatan selama kehamilan ditakutkan berdampak pada janin yang
dikandung, kacang mentah (buat anak cacingan); cai panas (janinnya nanti
kepanasan). Makanan yang sebaiknya dikonsumsi oleh wanita yang sedang hamil
adalah minum air kelapa hijau.
2. Tradisi Kebudayaan Postnatal Care
Pemilihan penolong persalinan di Suku Baduy Dalam mengikuti tradisi turun
temurun yaitu dilakukan sendiri tanpa pendampingan dukun paraji apalagi tenaga
medis. Tenaga medis dipanggil ketika mengalami kesulitan selama proses melahirkan,
sehingga selama proses melahirkan lancar cukup memanggil paraji. Sesuai dengan
penuturan AD, bapak dengan lima anak suami dari informan AmD.
“…di kami sakit apa aja termasuk melahirkan ya ikut aturan saja, dibantu sama
paraji tidak ke bidan…sebisa-bisa ya ke paraji saja. Kalau sakit yaa diobati sendiri
pake daun-daunan atau ke dukun kampung…” [AD, 45 tahun : Mei 2014]
Penjemputan paraji dilakukan ketika ibu sudah berhasil melahirkan bayinya.
Prosesi melahirkan Suku Baduy Dalam dilakukan dengan posisi Ibu duduk bersandar
dengan posisi kedua kaki diangkat nyaris seperti posisi jongkok.Tempat yang dipilih
untuk bersalin hanya ada dua pilihan tergantung keberadaan Ibu saat hendak
melahirkan yaitu di rumah atau di saung yaitu rumah yang didirikan di dekat huma
atau ladang milik mereka.
“…orang Baduy itu ada yang lagi di huma terasa mules-mules trus melahirkan
saja di saung…terus sambil digendong bayi sama ibunya yang baru melahirkan jalan
kaki pulang ke rumah…sudah biasa itu…” [NSa, 42 tahun : Juni 2014]
Pendamping selama persalinan terkadang dibantu oleh ambu (ibu) atau saudara
perempuannya, meskipun tidak jarang ketika menghadapi pertaruhan hidup dan mati
dilakukan sendirian saja. Selama proses melahirkan, suami atau laki-laki tabu untuk
mendampingi. Peran sang calon ayah berlaku sesaat setelah bayi lahir yaitu bertugas
menjemput dukun paraji untuk memotong tali ari-ari, memandikan ibu dan bayi.
Selama ambu paraji belum datang, ibu yang baru melahirkan dan bayinya hanya bisa

viii
menunggu dengan kondisi duduk dan bayi masih terhubung dengan ari-ari yang
belum terputus.
Tak seorangpun boleh mendampingi bahkan suaminya sekalipun, saudara
perempuan dan ambu hanya menengok sesekali sampai dengan dukun paraji datang.
Lama waktu menunggu dalam rentang yang tidak sebentar bisa mencapai 1-6 jam
tergantung keberadaan dan kesiapan dukun paraji. Keberadaan dukun paraji tidak ada
di setiap kampung, dengan jarak tempuh antar kampung bisa mencapai dua sampai
tiga kilometer dengan berjalan kaki. Kondisi Ibu yang lemas, kehilangan banyak
darah dan bayi hanya dibalut selimut tidak diperbolehkan makan dan minum selama
menunggu kedatangan dukun paraji.
“...sebelum datang pertolongan dari paraji tidak boleh diberi makan, karena hanya
paraji yang bisa melihat, kita kaum laki-laki tidak bisa bantu apa-apa...” [AK, 28Th:
Juni 2014]
Segera setelah Paraji datang, ayah menyiapkan hinis yaitu bambu untuk
memotong tali ari-ari bayi, bambu yang digunakan diambil dari bambu yang berada di
dekat pintu. Makna yang mereka percayai bahwa bambu dekat pintu adalah bambu
terbaik dari yang ada. Selagi sang ayah menyiapakan hinis, ambu paraji menyiapkan
tali tereup, untuk mengikat tali ari-ari bayi ketika hendak dipotong. Prosesi
pemotongan tali ari-ari bayi diawali dengan dukun paraji mengunyah panglai yang
kemudian disemburkan kekiri-kekanan-keatas dan kearah baskom yang berisi air yang
nantinya digunakan untuk memandikan bayi.
Mulut komat kamit membaca jampe-jampe atau mantra selama lebih kurang lima
menit dengan beberapa kali menyemburkan panglai yang dikunyah ke dalam air untuk
memandikan bayi. Selanjutnya ambu paraji menempatkan posisi bayi di atas kakinya,
kemudian tali ari- ari diikat menggunakan tali teureup di bagian atas dan bawahnya.
Pada bagian tali ari-ari yang hendak dipotong, dipijit menggunakan lebu haneut yaitu
abu dalam kondisi hangat hasil proses pembakaran kayu bakar yang digunakan untuk
memasak. Sesaat sebelum tali ari-ari dipotong, ambu paraji kembali membancakan
jampe dan setelah itu barulah tali ari-ari dipotong menggunakan hinis dengan koneng
santen sebagai alas.
Selanjutnya setelah merawat bayi, paraji melanjutkan dengan perawatan pada Ibu
yang selesai bersalin. Perawatan di sini tidak menggunakan media apapun untuk
menampungnya. Menurut pernyataan informan darah nifas yang keluar hanya
dibersihkan menggunakan samping yang dikenakannya saja.

ix
Tidak ada kata istirahat bagi ibu nifas Baduy Dalam, selesai dimandikan oleh
dukun paraji selanjutnya menjalani aktifitas seperti biasanya mulai mengurus rumah,
mengurus anak dan mengurus suami tetapi belum diperbolehkan untuk pergi ke huma.
Berikut tahapan praktik budaya perawatan pada masa postpartum pada ibu
nifas:
1. Hari ketiga disebut juga peureuhan tilu peuting yaitu dikasih tetes mata dari pucuk
hanjuang dan air jambe muda.
2. Pada hari ketujuh dilakukan tradisi adat yaitu peureuhan tujuh poe, yaitu pedes,
bawang putih, jahe, jambe, pucuk hanjuang, kencur, koneng ditambah air
kemudian diteteskan ke mata.
3. Angiran/gangiran, keramas di sungai untuk yang ditemani oleh paraji pada hari
ke-40.
Aktifitas pergi ke ladang bisa dilakukan ibu nifas setelah tujuh hari. Namun,
meskipun darah nifas yang keluar hanya selama tiga sampai 7 hari, namun selama 40
hari isteri tidak boleh berkumpul dulu dengan suami. Hubungan seksual antara suami
dan isteri dilakukan setelah isteri melakukan tradisi angiran/ngangiran yaitu keramas
di sungai ditemani oleh paraji pada hari ke-40.
Menahan diri tidak melakukan hubungan suami isteri selama 40 hari menurut
informan (AK) dipercaya sebagai salah satu upaya pengaturan jarak usia antara anak
pertama dan selanjutnya. Ada juga yang tidak bisa menahan diri selama 40 hari,
sehingga kemungkinan yang terjadi mengakibatkan anaknya banyak

C. Cara Bidan Mengatasi Presepsi Tradisi Kebudayaan Tidak benar yang


Berkembang di Masyarakat
Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat,
mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan
masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.
Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat khususnya,
berkaitan dengan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, bufas, bayi baru lahir, anak remaja
dan usia lanjut. Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi yang cukup berkaitan
dengan tugas, peran serta tanggung jawabnya.
Melihat dari luasnya fungsi bidan tersebut, aspek sosial-budaya perlu diperhatikan
oleh bidan. Sesuai kewenangan tugas bidan yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya,
telah diuraikan dalam peraturan Menteri Kesehatan No. 363/Menkes/Per/IX/1980 yaitu :

x
Mengenai wilayah, struktur kemasyarakatan dan komposisi penduduk, serta sistem
pemerintahan desa dengan cara :
1. Menghubungi pamong desa untuk mendapatkan peta desa yang telah ada pembagian
wilayah pendukuhan/RK dan pembagian wilayah RT serta mencari keterangan
tentang penduduk dari masing-masing RT.
2. Mengenali struktur kemasyarakatan seperti LKMD, PKK, LSM, karang taruna, tokoh
masyarakat, kelompok pengajian, kelompok arisan, dan lain- lain.
3. Mempelajari data penduduk yang meliputi :
a) Jenis kelamin
b) Umur
c) Mata pencaharian
d) Pendidikan
e) Agama
4. Mempelajari peta desa
5. Mencatat jumlah KK, PUS, dan penduduk menurut jenis kelamin dan golongan.
6. Agar seluruh tugas dan fungsi bidan dapat dilaksanakan secara efektif, bidan harus
mengupayakan hubungan yang efektif dengan masyarakat. Salah satu kunci
keberhasilan hubungan yang efektif adalah komunikasi. Kegiatan bidan yang pertama
kali harus dilakukan bila datang ke suatu wilayah adalah mempelajari bahasa yang
digunakan oleh masyarakat setempat.

Kemudian seorang bidan perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang


meliputi tingkat pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan
kebiasaan sehari-hari, pandangan norma dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal
lain yang berkaitan dengan wilayah tersebut.

Dengan kegiatan-kegiatan kebudayaan tradisional setempat bidan dapat berperan aktif


untuk melakukan promosi kesehatan kepada masyaratkat dengan melakukan penyuluhan
kesehatan di sela-sela acara kesenian atau kebudayaan tradisional tersebut. Misalnya :
Dengan Kesenian wayang kulit melalui pertunjukan ini diselipkan pesan-pesan kesehatan
yang ditampilkan di awal pertunjukan dan pada akhir pertunjukan.

xi
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Faktor - faktor sosial-budaya mempunyai peranan penting dalam memahami sikap
dan prilaku menanggapi kehamilan dan kelahira.Sebagian pandangan budaya mengenai
hal-hal tersebut telah diwariskan turun-temurun dalam kebudayaan masyarakat yang
bersangkutan.Oleh karna itu, meskipun petugas kesehatan mungkin menemukan suatu
bentuk prilaku atau sikap yang terbukti kurang menguntungkan bagi kesehatan,seringkali
tidak mudah bagi mereka untuk mengadakan perubahan terhadapnya,akibat telah
tertanamnya keyakinan yang melandasi sikap dan prilaku itu secara mendalam pada
kebudayaan warga komuniti tersebut.
Kajian antropologi mengenai kehamilan dan kelahiran bagi wanita dengan segala
konsekuensi baik dan buruknya terhadap kesehatan ini perlu dijadikan bahan
pertimbangan bagi para personil kesehatan di indonesia dalam upaya meningkatkan
keberhasilan pelayanan kesehatan yang mereka terapkan bagi ibu. Khususnya,
pemahaman yang menyeluruh dan utuh terhadap berbagai pandangan,sikap dan prilaku
kehamilan dan kelahiran dalam konteks budaya masyarakat yang bersangkutan, sangat
diperlukan bagi pembentukan strategi- strategi yang lebih tepat dalam melakukan
perubahan yang diinginkan.
Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat,
mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan
masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.
Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat khususnya,
berkaitan dengan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, bufas, bayi baru lahir, anak remaja
dan usia lanjut. Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi yang cukup berkaitan
dengan tugas, peran serta tanggung jawabnya. Agar bidan dapat menjalankan praktik atau
pelayanan kebidanan dengan baik, hendaknya bidan melakukan beberapa pendekatan
misalnya pendekatan melalui kesenian tradisional.

xii
B. Saran
1. Saat ibu sedang hamil muda (1 sampai 3 bulan) tidak melakukan pekerjaan yang berat
karena dapat menyebabkan keguguran pada janin.
2. Selalu mengkonsumsi makan yang banyak mengandung vitamin A,D,E, dan K.
3. Selalu rutin untuk memeriksakan kandungan kepada tim medis (dokter kandungan
atau bidan) .
4. Bidan perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat wilayah kerjanya, yang meliputi
tingkat pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan
sehari-hari, pandangan norma dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain
yang berkaitan dengan wilayah tersebut.

xiii
DAFTAR PUSTAKA

ejournal.undip.ac.id/index.php/sabda/article/download/13267/10052

https://www.slideshare.net/pjj_kemenkes/cara-pendekatan-sosial-budaya-dalam-
praktik-kebidanan/ (Online) Diakses tangggal 4 April 2020

xiv

Anda mungkin juga menyukai