Anda di halaman 1dari 12

MASA KEHAMILAN PADA BUDAYA ADAT ISTIADAT SUKU JAWA

Disusun Oleh :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN


FAKULTAS KESEHATAN
INSTITUT KESEHATAN IMMANUEL BANDUNG
2023
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena telah memberikan
kesempatan pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya
lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Masa Kehamilan Pada Budaya
Adat Istiadat Suku Jawa”
Pada kesempatan kali ini, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu
Sundari.,SST.,M.,Keb selaku dosen mata kuliah Konsep Kebidanan, yang telah
membimbing saya untuk menyelesaikan makalah ini. Selain itu, saya juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu saya dalam
menyelesaikan makalah singkat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menulis makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun diharapkan dapat membuat
makalah singkat ini menjadi lebih baik serta bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Bandung, 15 November 2023


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................1
1.3 Tujuan..............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................2
2.1 Pengertian Masa Kehamilan...........................................................................2
2.2 Pantangan Ibu Hamil Menurut Adat Jawa......................................................4
2.3 Sikap Bidan Dalam Menghadapi Adat Istiadat Masyarakat Suku Jawa.........5

BAB III PENUTUP.......................................................................................................8


3.1 Kesimpulan.....................................................................................................8
3.2 Saran...............................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara dengan berbagai macam suku dan kebudayaan.
Maka, beragam budaya yang ada di Indonesia, merupakan kekayaan yang sangat
bernilai bagi negara, dan budaya juga merupakan penciri kepribadian suatu daerah.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah sukubangsa yang banyak.
Kehamilan merupakan suatu proses yang fisiologis, namun di masyarakat banyak
ditemui berbagai kepercayaan, budaya ataupun mitos yang dipraktikkan oleh
masyarakat secara turun temurun untuk menjaga atau merawat kehamilan. Demikian
pula di masyarakat Jawa yang memilliki berbagai kepercayaan, adat istiadat atau
mitos seputar kehamilan. Penelitian yang dilakukan oleh Cukarso & Herbawani
(2020) mengenai kepercayaan dan praktik tradisional antara perempuan hamil di
masyarakat Jawa (tinjauan literatur) mendapatkan hasil bahwa kepercayaan
tradisional dan praktik budaya dapat berdampak positif dan negative untuk sang ibu
hamil maupun janinnya.
Hal ini menjadikan suku jawa menjadi daya tarik untuk dapat diteliti dan dilihat
lebih jauh, tentang budayanya, utamanya yang berkaitan dengan kesehatan
reproduksi.
Menurut World Health Organization (WHO), kehamilan adalah proses selama
sembilan bulan atau lebih dimana seseorang perempuan membawa embrio dan janin
yang sedang berkembang di dalam rahimnya. Periode kehamilan tersebut dibagi
menjadi 3, yaitu masa awal kehamilan (trimester 1), tengah (trimester kedua), dan
akhir kehamilan (trimester ketiga).
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka peneliti tertarik meneliti ritual kehamilan
pada masyarakat suku jawa.

1.1 Rumusan Masalah


a. Bagaimana ritual kehamilan dalam budaya masyarakat Suku Jawa?
b. Apa saja pantangan ibu hamil dalam adat Jawa?
c. Bagaimana sikap bidan dalam mengahadapi adat istiadat Suku Jawa?

1.2 Tujuan
a. Untuk mengetahui ritual kehamilan dalam budaya masyarakat Suku Jawa.
b. Untuk mengetahui apa saja pantangan ibu hamil dalam adat Jawa.
c. Untuk menetahui sikap bidan dalam mengahadapi adat istiadat Suku Jawa.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Masa Kehamilan


Upacara tradisi pada masa kehamilan yang sampai saat ini masih sering
dilakukan oleh masyarakat Jawa dapat dikategorikan dalam beberapa jenis, yaitu 1)
Ngebor-ebor (masa kehamilan 1-4 bulan); 2) Tingkepan (masa kehamilan 7 bulan); 3)
Ndadung atau procotan (masa kehamilan 9 bulan); dan 4) Ndaweti (masa kehamilan 9-10
bulan). Dalam kehidupan masyarakat Jawa upacara-upacara ini disebut selametan, yang
fungsinya untuk menumbuhkan harapan agar kehidupan manusia selamat dunia-akhirat.

a. Ngebor-ebori
Upacara tradisi menandai usia kehamilan 1 (satu) bulan sampai dengan 4 (empat)
bulan biasanya diadakan secara sederhana. Upacara tradisi ini ditandai dengan
pembuatan jenang sumsum yaitu bubur dari beras putih yang diberi juruh atau gula
aren cair, yang kemudian dibagikan kepada para tetangga dan kerabat. Jenang
sumsum merupakan simbol dari kekuatan dan harapan agar calon ibu diberi kekuatan
selama masa kehamilan hingga bayi dilahirkan.
Makna upacara yang disebut ngebor-Ebori adalah memberi tanda bahwa ada
calon ibu yang sedang hamil muda atau nyidam (Rumidjah, 1982-1983: 8). Ubo
rampe (perlengkapan upacara) yang berupa bubur sumsum putih merupakan simbol
bibit pria berupa sperma yang berproses menjadi janin/bayi dan gula merah sebagai
simbol darah; sehingga makna bubur sumsum dan gula merah merupakan tanda
menyatunya benih laki-laki dan perempuan dalam wadah (tempat) reproduksi
perempuan calon ibu. Upacara ini berfungsi sebagai pemberitahuan bahwa ada calon
ibu beserta bayi yang dikandungnya, yang harus dijaga keselamatannya lahir dan
batin

b. Tingkepan atau Mitoni


Upacara tingkepan sering disebut mitoni yaitu berasal dari kata Jawa pitu yang
artinya 7. Upacara mitoni ini dilaksanakan setelah usia kehamilan mencapai 7 bulan
pada kehamilan pertama. Upacara tingkepan ini biasanya dilaksanakan pada tanggal-
tanggal yang mengandung nilai 7 yaitu seperti tanggal 7, tanggal 17 dan tanggal 27.
Diantara tanggal-tanggal tersebut, yang sering dipilih oleh masyarakat Jawa adalah
tanggal 27, karena tanggal tersebut adalah tanggal yang mengandung nilai 7 yang
paling tua dalam bulan tersebut. Waktu untuk melaksanakan upacara biasanya pagi
hari sekitar pukul 10.00 atau sore hari sekitar pukul 16.00. Upacara tingkepan
dilaksanakan di ruang depan atau ruang tamu. Untuk acara siraman calon ibu
dilakukan disumur atau kamar mandi. Upacara ini melibatkan beberapa pihak, yaitu
pasangan suami istri yang sedang menantikan kelahiran putra atau putrinya, dukun
bayi, keluarga dan krabat dekat, serta para tetangga.
Perlengkapan upacara tingkepan yang perlu dipersiapkan meliputi beberapa jenis
makanan berupa rujak dari buah-buahan, yaitu 7 macam buah, waluh atau labu, pala
penden (umbi-umbian), tumpeng lengkap dengan lauk-pauk ikan laut, ingkung
ayam, kuluban atau urap dari sayuran, nasi liwet, ketupat, lepet, 7 Macam bubur,

2
jajan pasar (jajanan yang dijual di pasar), dan dawet. Selain bahan-bahan tersebut di
atas, ada beberapa perlengkapan lain seperti air dari 7 Sumur atau sumber, telur
ayam, cengkir (kelapa yang masih muda), kembang setaman atau 7 jenis bunga, 7
lembar kain batik dengan 7 (tujuh) Macam motif.
Waktu yang dipilih untuk melaksanakan upacara tingkepan adalah hari yang
dianggap baik yaitu hari Selasa (terhitung mulai hari Senin pukul 12.00 sampai hari
Selasa sebelum pukul 12.00) dan hari Sabtu (terhitung mulai hari Jum’at pukul 12.00
sampai hari Sabtu sebelum pukul 12.00). Upacara tingkepan ini biasanya
dilaksanakan pada siang atau sore hari.
Tempat upacara biasanya di rumah orang tua calon ibu atau di rumah pasangan
suami istri yang mengadakan upacara itu, dengan dipandu oleh orang yang dituakan
(sesepuh) atau dukun bayi. Upacara Tingkepan ini dibuka dengan doa yang dipimpin
oleh sesepuh atau modin, dilanjutkan dengan acara adat yang berupa siraman yang
dilakukan di kamar mandi atau di sumur. Siraman dilakukan oleh 7 (tujuh) wanita
yang dihormati sebagai sesepuh, yang secara bergantian menyiram tubuh calon ibu
dengan air dari 7 (tujuh) sumber yang telah diberi kembang 7 (tujuh) rupa.
Setelah siraman selesai, Siwur (gayung yang terbuat dari batok/tempurung
kelapa) dan pengaron (tempat air dari tanah liat) dipecah. Setelah acara siraman
dilanjutkan dengan tahapan prosesi berikutnya, yaitu upacara memasukkan telur oleh
calon ayah dari bagian atas dada calon ibu ke dalam kain/sarung yang dipakainya
sampai telur tersebut meluncur kebagian bawah. Selanjutnya dilakukan upacara
brojolan, Yaitu memasukkan dua buah cengkir (kelapa muda) gading yang dilukis
wajah pasangan tokoh pewayangan Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan
Sembadra. Ketika dua buah cengkir ini diluncurkan dari atas perut ke dalam kain
calon ibu, orang tua perempuan dari pasangan calon ayah dan ibu menerima dua
buah cengkir tersebut dibagian bawah tubuh calon ibu. Dua cengkir ini lalu
digendong seperti bayi dan diletakkan di atas tempat tidur. Adakalanya di beberapa
daerah cengkir gading yang telah dilukis tersebut dibelah oleh calon ayah.
Setelah upacara brojolan dilakukan upacara ganti pakaian. Dalam upacara ini
telah disiapkan 7 (tujuh) pasang pakaian yang terdiri dari kebaya warna-warni,
kemben dan jarik (kain batik panjang) berbagai motif, seperti Sidomukti, Sidoluhur,
Truntum, Parangkusuma, Udan Riris, Cakar Ayam, dan batik Lasem dengan kemben
motif dringin. Di beberapa daerah selain motif jarik seperti tersebut di atas, ada
beberapa motif jarik yang agak berbeda seperti motif Wahyu Tumurun, Semen Rama
dan Sido Asih. Apapun motif jarik yang digunakan dalam upacara tradisi tingkepan
ini selalu dimaknai sebagai sesuatu yang baik, yang diharapkan akan mendatangkan
kebahagiaan. Upacara ganti pakaian ini dilakukan diruang tengah, yang
memungkinkan tamu berkumpul. Setiap kali calon ibu berganti pakaian, para
undangan berseru ”durung patut” (belum pantas) sampai pada pakaian terakhir
barulah tamu undangan berseru ”wis patut” (sudah pantas).
Selanjutnya disusul dengan upacara Medhot Lawe yaitu memutus benang atau
kadang janur yang dililitkan diperut calon ibu. Medhot Lawe ini dilakukan oleh
calon ayah.
Kadang di beberapa daerah rangkaian upacara ini dilengkapi dengan prosesi
Nyolong endok atau mencuri telur yang dilakukan oleh calon ayah, yang setelah
berhasil mencuri telur lalu berlari mengelilingi kampung dengan membawa telur
curian. Upacara kemudian ditutup dengan doa dan selametan dengan membagi
makanan untuk disantap bersama dan/atau dibawa pulang. Doa yang dibacakan
dalam upacara Tingkepan ini adalah doa dalam agama Islam. Setelah doa dibacakan

3
oleh Kyai atau Modin, para tamu menikmati hidangan yang telah dipersiapkan dan
Ketika pulang diberi berkat.

c. Ndadung atau Procotan


Jika pada usia kehamilan 9 (sembilan) bulan atau lebih belum ada tanda-tanda
akan kelahiran maka diadakan upacara sederhana yaitu upacara Procotan. Pada
upacara ini disajikan jenang atau bubur dari tepung ketan dan santan yang dicampur
gula merahdan kadang diberi pisang, yang disebut buburatau jenang Procot, yang
dibagikan kepada para tetangga dan kerabat. Dalam upacara ini leher calon ibu diikat
secara longgar dengan dadung atau tali kemudian dituntun oleh calon ayah
kekandang kerbau atau sapi.
Upacara Procotan yang dilakukan pada usia kehamilan 9 (sembilan) bulan atau
lebih dengan sajian bubur atau jenang Procot bermakna harapan agar bayi yang
dikandung segera lahir dengan lancar tanpa halangan. Makna dari ndadung leher
calon ibu dan kemudian menuntunnya ke kandang kerbau atau sapi adalah agar
kelahiran bayi tidak menyulitkan, yang diibaratkan seperti kelahiran sapi atau
kerbau.

d. Ndaweti
Ketika usia kehamilan memasuki 10 bulan dan bayi belum lahir, maka dilakukan
upacara Ndaweti. Perlengkapan upacara adalah minuman Dawet Plencing yang
terbuat dari tepung beras, dengan santan dan gula merah. Dawet ini secara simbolis
dijual kepada anak-anak yang ada di sekitar rumah. Anak-anak membayar dengan
kreweng yaitu pecahan genting atau pecahan alat rumah tangga yang terbuat dari
tanah liat. Upacara tradisi ini dilaksanakan secara sederhana dan tidak melibatkan
Kyai/Modin sebagai pemandu upacara.
Makna upacara Ndaweti adalah harapan agar bayi yang dikandung segera lahir
dengan lancar, ibarat proses pembuatan Dawet yang meluncur cepat dari alat
cetakannya. Nama minuman ini disebut Dawet Plencing karena setelah anak-anak
minum dawet mereka pulang dengan berlari kencang.

2.2 . PANTANGAN IBU HAMIL MENURUT ADAT JAWA


Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pantangan berasal dari kata
pantang yaitu hal (perbuatan dan sebagainya) yang terlarang menurut adat atau
kepercayaan. Berdasarkan definisi tersebut dapat dinyatakan bahwa pantangan bersumber
dari budaya yang ada dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini pantangan suku jawa terbagi
menjadi beberapa sebagai berikut.
1. Tidak boleh duduk ditengah pintu
Jika pantangan ini dilanggar akan mendapatkan halangan saat
melahirkan. Duduk ditengah pintu akan membuat proses kelahiran menjadi susah
serta menyakitkan.

2. Tidak Boleh Merendam Pakaian Kotor Terlalu Lama


Pantangan ibu hamil menurut adat Jawa yang kedua adalah seorang ibu
hamil tak diperbolehkan merendam pakaian atau cucian kotor terlalu lama.
Menurut adat Jawa, mengapa wanita hamil dilarang merendam pakaian kotor
terlalu lama karena dipercaya bisa membuat kaki ibu hamil bengkak dan terasa
berat.

3. Tidak Boleh Membunuh Hewan

4
Pantangan ibu hamil menurut adat Jawa yang ketiga adalah bahwa ibu
hamil tidak boleh membunuh hewan. Tidak diperkenankan bagi ibu hamil untuk
membunuh segala macam hewan, apapun alasannya. Suami wanita yang sedang
hamil juga dilarang membunuh hewan karena dipercaya bisa membuat janin di
kandungan cacat atau bahkan gugur.

4. Tidak Boleh Membatin


Pantangan ibu hamil menurut adat Jawa yang keempat adalah bahwa
ibu hamil tidak boleh membatin. Wanita hamil dilarang bergumam atau
"mbhatin" tentang sesuatu hal yang dirasa cukup aneh. Karena, hal ini dipercaya
akan membuat bayi yang dikandung mengalami hal serupa dengan apa yang
digumamkan ibunya.

5. Tidak Boleh Menggaruk Perut atau Bokong Jadi Salah Satu Pantangan Ibu
Hamil Menurut Adat Jawa
Pantangan ibu hamil adat Jawa yang kelima adalah bahwa ibu hamil
tidak diperbolehkan menggaruk perut dan bokongnya. Ibu hamil dilarang
menggaruk perut atau bokong yang gatal karena hal ini dipercaya bisa membuat
kulit bayi di dalam kandungan lebam.

6. Keluar Malam
Merupakan pantangan yang bagi ibu hamil untuk mencegah gangguan
mahkluk gaib. Pasalnya, mahkluk gaib dapat mengambil janin yang ada di dalam
kandungan.

7. Tidak Membakar Semua Bekas Alat Untuk Membersihkan Tubuh


Selama masa kehamilan, mungkin istri akan membersihkan
tubuhnya dengan hal-hal sepele yang nantinya akan dibuang (misalnya
tissu, kain tipis, atau peralatan sepele lainnya). Menurut mitos, sebaiknya
benda-benda seperti itu tidak dibakar atau dibuang sembarangan (karena
ditakutkan benda itu akan tak dibakar oleh orang lain secara tidak
sengaja).Mitos percaya bahwa kondisi ini akan menyebabkan kulit si
jabang bayi menjadi merah-merah iritasi seperti terbakar.

8. Memercikan Air Sisa di Ember ke Kaki


Suami yang istrinya sedang hamil, dan termasuk sang istri itu
sendiri menurut mitos juga dilarang memercikkan air sisa di ember ke
kakinya. Hal tersebut dipercaya dapat membuat sang ibu hamil akan
mengalami gangguan pada kencingnya, yaitu kondisi kencing sendiri tanpa
terasa atau tanpa diperintah oleh otak.

2.3 SIKAP BIDAN DALAM MENGHADAPI ADAT ISTIADAT MASYARAKAT SUKU JAWA

Beberapa upaya yang dilakukan tenaga kesehatan di Indonesia antara lain melalui
pemberian pendidikan kesehatan, pengadaan program yang melibatkan masyarakat, serta
menjalin kemitraan dengan dukun dan Masyarakat. Bidan sebagai salah seorang anggota
tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat,mempunyai peran yang sangat

5
menentukan dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat,khususnya kesehatan ibu
dan anak di wilayah kerjanya.

Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat khususnya,


berkaitandengan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, bufas, bayi baru lahir, anak remaja dan
usia lanjut.Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi yang cukup berkaitan dengan
tugas, peran sertatanggung jawabnya.

Dalam rangka peningkatan kualitas dan mutu pelayanan kebidanan diperlukan


pendekatan-pendekatan khususnya sosial budaya, untuk itu sebagai tenaga kesehatan
khususnyacalon bidan agar mengetahui dan mampu melaksanakan berbagai upaya untuk
meningkatkan peran aktif masyarakat agar masyarakat sadar pentingnya kesehatan.

Menurut Departemen Kesehatan RI, fungsi bidan di wilayah kerjanya adalah


sebagai berikut:

1. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di rumah-rumah, mengenai


persalinan, pelayanan keluarga berencana, dan pengayoman medis kontrasepsi.
2. Menggerakkan dan membina peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan,
denganmelakukan penyuluhan kesehatan yang sesuai dengan permasalahan
kesehatan setempat.
3. Membina dan memberikan bimbingan teknis kepada kader serta dukun bayi.
4. Membina kelompok dasa wisma di bidang kesehatan.
5. Membina kerja sama lintas program, lintas sektoral, dan lembaga swadaya
masyarakat.
6. Melakukan rujukan medis maupun rujukan kesehatan ke fasilitas kesehatan
lainnya.
7. Mendeteksi dini adanya efek samping dan komplikasi pemakaian kontrasepsi
serta adanya penyakit-penyakit lain dan berusaha mengatasi sesuai dengan
kemampuannya.

Melihat dari luasnya fungsi bidan tersebut, aspek sosial-budaya perlu diperhatikan
oleh bidan. Sesuai kewenangan tugas bidan yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya,
telahdiuraikan dalam peraturan Menteri Kesehatan No. 363/Menkes/Per/IX/1980 yaitu :
Mengenai wilayah, struktur kemasyarakatan dan komposisi penduduk, serta sistem
pemerintahan desa dengan cara :

1. Menghubungi pamong desa untuk mendapatkan peta desa yang telah ada
pembagian wilayah pendukuhan/RK dan pembagian wilayah RT serta mencari
keterangan tentang penduduk dari masing-masing RT.
2. Mengenali struktur kemasyarakatan seperti LKMD, PKK, LSM, karang taruna,
tokoh masyarakat, kelompok pengajian, kelompok arisan, dan lain-lain.
3. Mempelajari data penduduk yang meliputi:
 Jenis kelamin
 Umur
 Mata pencaharian
 Pendidikan
 Agama
4. Mempelajari peta desa

6
5. Mencatat jumlah KK, PUS, dan penduduk menurut jenis kelamin dan golongan.

Agar seluruh tugas dan fungsi bidan dapat dilaksanakan secara efektif, bidan harus
mengupayakan hubungan yang efektif dengan masyarakat. Salah satu kunci keberhasilan
hubungan yang efektif adalah komunikasi. Kegiatan bidan yang pertama kali harus
dilakukan bila datang ke suatu wilayah adalah mempelajari bahasa yang digunakan oleh
masyarakat setempat.

Kemudian seorang bidan perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang


meliputi tingkat pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan
kebiasaan sehari-hari, pandangan norma dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal
lain yang berkaitan dengan wilayah tersebut.

Bidan dapat menunjukan otonominya dan akuntabilitas profesi melalui pendekatan


socialdan budaya yang akurat. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang di anugerahi
pikiran, perasaan dan kemauan secara naluriah memerlukan prantara budaya untuk
menyatakan rasaseninya, baik secara aktif dalam kegiatan kreatif, maupun secara pasif
dalam kegiatan apresiatif. Dalam kegiatan apresiatif, yaitu mengadakan pendekatan
terhadap kesenian atau kebudayaan seolah kita memasuki suatu alam rasa yang kasat
mata. Maka itu dalam mengadakan pendekatan terhadap kesenian kita tidak cukup hanya
bersimpati terhadap kesenian itu, tetapi lebih dari itu yaitu secara empati.

Upaya lain yang dilakukan adalah pemberian edukasi melalui kegiatan posyandu
dan kelas ibu hamil. Dalam kegiatan tersebut ibu dapart saling bertukar pengalaman serta
mendapatkan edukasi dari bidan seputar kehamilan, persalinan dan nifas. Kelas ibu hamil
sangat berpotensi mengajarkan ibu dalam menyusun strategi saat bersalin serta membantu
dalam menjawab kebingungan terkait kesehatannya. Kelas ibu hamil memiliki metode
pendekatan yang terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan ibu hamil. “kita kan
kelas ibu hamil tiap bulan” Saat dilakukan kelas hamil, terkadang ibu hamil diminta
untuk mengajak suaminya. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar suami juga terpapar
pendidikan.

7
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Analisis terhadap tradisi upacara kehamilan telah menghasilkan kesimpulan


bahwa adat kehamilan yang dipraktikkan di desa mengandung sistem kepercayaan yang
diilhami oleh adanya kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat Jawa dan
dijunjung tinggi karena mereka dating dari leluhur atau nenek moyang untuk menghindari
bencana dan memperoleh keselamatan. Dunia yang lebih dekat dengan sumber kehidupan
dan dapat melimpahkan manfaat keselamatan adalah dunia yang dipersembahkan kepada
orang tua dan leluhur. Warga Desa tetap melakukan pawai upacara adat, namun sudah
dimodifikasi untuk menampung calon ibu beserta keluarganya. Maraji memainkan peran
penting dalam mengawasi ritual ini. Jadi, meskipun penggunaan maraji oleh masyarakat
berdampingan dan meningkatkan profesional kesehatan, maraji tetap berkuasa dalam
penyediaan perawatan kehamilan.

Perilaku tradisional umumnya dilakukan karena adanya anjuran dan dorongan


dari orang tua atau keluarga yang dituakan. Sehingga strategi yang dilakukan tidak hanya
dengan peningkatan pengetahuan pasien saja, melainkan kepada kerabatnya. Selain itu,
faktor keberhasilan lainnya adalah adanya dukungan dari kader, tokoh masyarakat dan
tokoh agama. Adanya dukungan tersebut sangat membantu penyampaian edukasi lebih
meluas tidak hanya pada pasien melainkan juga kerabatnya. Tidak hanya itu, dengan
memanfaatkan teknologi informasi, tenaga kesehatan sangat terbantu dalam
penyebaran informasi kesehatan khususnya pada masyarakat yang jarang mendatangi
pelayanan kesehatan dan tersentuh tenaga medis. Oleh karena itu, masyarakat akan lebih
pintar memilah perilaku tradisional masih dapat dijalankan dan mana yang sebaiknya
mulai dihindari.

3.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka saran yang dapat disampaikan adalah:
1. Bagi Ibu Hamil
Diharapkan ibu hamil harus paham akan memilah milih untuk menjaga kesehatan
ibu dan bayi dalam kandungan.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Untuk peneliti selanjutya diharapkan untuk melakukan penelitian mendalam
mengenai ritual dalam masa ibu hamil dalam adat istiadat.

8
DAFTAR PUSTAKA

Cukarso, S. N. A., & Herbawani, C. K. (2020).Traditional Beliefs And Practices


Among Pregnant Women In Javanese Communities: A Literature Review (Kepercayaan
Dan Praktik Tradisional Antara Perempuan Hamil Di Masyarakat Jawa: Tinjauan
Litelatur). JPH Recode, 4(1), 71-80.
Dinas Kebudayaan DIY. (2012). Mitoni atau Tingkeban Kehamilan. Retrieved
from https://budaya.jogjaprov.go.id/artikel/detail/77-mitoni-atau-tingkeban-kehamilan
Anggraini Nurul F. 2022. Mama Pedia: Pantangan Ibu Hamil Menurut Adat
Jawa. Jakarta: Mooimom
Murniasih, N. P., Masfiah, S., & Hariyadi, B. (2016). Perilaku Perawatan
Kehamilan dalam Perspektif Budaya Jawa di Desa Kaliori Kecamatan Kalibagor. Jurnal
Kesmas Indonesia, 8(1),56–66.
Murwati. (2015). Faktor Ibu, Bayi dan Budaya yang Mempengaruhi Kejadian
Kematian Bayi di Puskesmas Pedan. Jurnal Kesehatan. 2015. 6(1):83 88
Ipa, M., Prasetyo, D. A., & Kasnodihardjo, K. (2016). Praktik Budaya
Perawatan Dalam Kehamilan Persalinan Dan Nifas Pada Etnik Baduy Dalam. Jurnal
Kesehatan Reproduksi, 7(1).https://doi.org/10.2245/kespro.v7i1.5097. 25-36
Jimung, M. (2021). Antropologi Kesehatan Konsep dan Aplikasi. Jakarta: CV.
Trans Info Media.

Jawa : Tinjauan
Literatur). JPH Recode,
4(1), 71–80.

Anda mungkin juga menyukai