Upacara Tingkeban adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini disebut juga mitoni
berasal dari kata pitu yang arti nya tujuh, upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh
bulan dan pada kehamilan pertama kali.Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan saja
setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini
sang ibu yang sedang hamil di mandikan dengan air kembang setaman dan di sertai doa yang
bertujuan untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan berkah
sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.
Setelah siraman selesai, dilanjutkan dengan upacara memasukan telur ayam dan cengkir
gading. Calon ayah memasukan telur ayam mentah ke dalam sarung/kain yang di kenakan
oleh calon ibu melalui perut sampai pecah kemudian menyusul kedua cengkir gading di
teroboskan dari atas ke dalam kain yang di pakai calon ibu sambil di terima di bawah oleh
calon nenek dan kelapa gading tersebut di gendong oleh calon nenek dan di letak kan
sementara di kamar. Hal ini merupakan symbol harapan semoga bayi akan lahir dengan
mudah tanpa ada halangan.
Upacara Ganti Pakaian
Calon Ibu mengenakan kain putih sebagai dasar pakaian pertama, kain tersebut
melambangkan bahwa bayi yang akan di lahirkan adalah suci dan mendapat berkah dari
Tuhan YME. Calon Ibu berganti baju 6 kali dengan di iringi pertanyaan “ sudah pantas
belum?”, dan di jawab oleh ibu ibu yang hadir “ belum pantas” sampai yang terakhir ke tujuh
kali di jawab “ pantas”. Sebagai informasi, kain yang di pakai pada upacara berganti busana
memiliki beberapa pilihan motif yang semua nya dapat dimaknai secara baik :
Wahyu Temurun:
Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang selalu mendekatkan diri pada Allah
SWT dan selalu mendapat perlindungan Nya.
Gambar untuk motif Sido Asih:
Sido Asih :
Maknanya agar bayi yang akan lahir akan selalu mendapatkan cinta dan kasih oleh sesama
dan memiliki sifat belas kasih.
Sido Mukti:
Maknanya agar bayi yang akan lahir memiliki sifat berwibawa dan di segani oleh
sekelilingnya
Gambar untuk motif Truntum:
Truntum :
Maknanya agar keluhuran budi kedua orang tua menurun pada sang bayi
Sido Luhur :
Maknanya agar bayi yang akan lahir akan memiliki sifat berbudi pekerti luhur dan sopan
santun
Sido Dadi:
Maknanya agar bayi yang di lahirkan kelak akan selalu sukses dalam hidupnya
Babon Anggrem:
Maknanya berisi harapan agar calon ibu dapat melahirkan secara normal dan lancar.
Gambar untuk motif Sido Derajat :
Sido Derajat :
Maknanya agar bayi yang dilahirkan mendapat derajat yang baik dalam hidupnya.
Setelah selesai mengenakan kain dan kebaya sebanyak 7 kali, dilaksanakan pemutusan
benang lawe atau janur yang di lingkarkan di perut calon ibu, di lakukan oleh calon ayah
dengan maksud agar bayi yang di kandung akan lahir dengan mudah.
Upacara Angrem
Setelah upacara ganti busana Calon ibu duduk di atas tumpukan baju dan kain yang tadi habis
di gunakan. Hal ini memiliki symbol bahwa calon ibu akan selalu menjaga kehamilan dan
anak yang di kandungnya dengan hati hati dan penuh kasih sayang. Calon Ayah menyuapi
calon Ibu dengan nasi tumpeng dan bubur merah putih sebagai symbol kasih sayang seorang
suami dan calon ayah.
Upacara Mecah Kelapa
Kelapa gading yang tadi di bawa ke kamar, kembali di gendong oleh calon nenek untuk di
bawa keluar dan di letak kan dalam posisi terbalik (gambar tidak terlihat) untuk di pecah,
Kelapa gading nya berjumlah 2 dan masing masing di gambari tokoh Wayang Kamajaya dan
Kamaratih. Calon ayah memilih salah satu dari kedua kelapa tersebut.
Apabila calon ayah memilih Kamajaya maka bayi akan lahir Laki laki, sedangkan jika
memilih Kamaratih akan lahir perempuan ( hal ini hanya pengharapan saja, belum merupakan
suatu kesungguhan)
Dodol Rujak
Pada upacara ini, calon ibu membuat rujak di dampingi oleh calon ayah, para tamu yang
hadir membeli nya dengan menggunakan kereweng sebagai mata uang. Makna dari upacara
ini agar kelak anak yang di lahirkan mendapat banyak rejeki dan dapat menghidupi keluarga
nya.
*Berbagai Sumber
Upacara Tingkeban
adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini disebut juga mitoni berasal
dari kata pitu yang arti nya tujuh. Upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan
tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali. Upacara ini bermakna bahwa
pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di
dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil di mandikan
dengan air kembang setaman dan disertai doa yang bertujuan untuk memohon
kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang
Menurut tradisi Jawa, upacara dilaksanakan pada tanggal ganjil sebelum bulan
purnama seperti 3,5,7,9,11, 13 atau 15. bulan Jawa ,dilaksanakan di kiri atau kanan
rumah menghadap kearah matahari terbit. Yang memandikan jumlahnya juga ganjil
misalnya 5,7,atau 9 orang. Setelah siram di pakaikan kain /jarik sampai tujuh kali,
yang terakhir/ ketujuh yang dianggap paling pantas dikenakan , kemudian acara
pemotongan tumpeng tujuh yang diawali dengan doa kemudian makan rujak.dst.
Hakekat yang mendasar dari semua tradisi Jawa adalah suatu ungkapan syukur dan
permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan kenteraman , namun
makna.
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah Adat
Istiadat ini tepat pada waktunya yang berjudul “TINGKEBAN DALAM PERSPEKTIF
BUDAYA BANGSA”
Makalah ini berisikan tentang informasi, tata cara melaksanakan TINGKEBAN
TINGKEBAN.
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
Penyusun
Dafar Isi
ABSTRAKSI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENELITIAN
D. MANFAAT PENELITIAN
BAB II PEMBAHASAN
B. PERLENGKAPAN TINGKEBAN
A. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Ponorogo, dan sekitarnya. Menurut ilmu
sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu
bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam
hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik
selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang
terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum
mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan
hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Ponorogo dan sekitarnya.
Sedemikian rumitnya ritual tingkeban ini, hingga memerlukan tenaga, pikiran,
bahkan materi baik dalam persiapan maupun ketika pelaksanaannya. Semua tahap-
tahap tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai tahap-tahap yang harus dilalui.
Mulai dari pemilihan hari dan tanggal pelaksanaan saja harus memenuhi syarat dan
ketentuan yang ada. Apabila mereka melanggar, maka masyarakat sekitar akan
segera merespon negatif terhadap hal tersebut. Piranti-piranti yang tidak sedikit
jumlahnya tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit pula. Dalam persiapannya,
khususnya piranti yang berupa makanan ada yang memerlukan waktu hingga tiga
hari sebelum pelaksanaan acara, seperti jenang dodol. Bahkan ada beberapa piranti
yang harus terbuang sia-sia. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang belum sadar
gunung tersebut, termasuk lereng sebelah timur pun berkiblat pada Keraton
Majapahit pada tahun 1400, terjadi akulturasi budaya dengan Kerajaan Majapahit.
Hal ini terjadi karena raja Majapahit Prabu Brawijaya V memilih arah barat sebagai
tempat pelariannya ketika penyerangan oleh pasukan Islam. Dan pelarian itu
merupakan tradisi warisan leluhur yang masih dianggap sangat sakral. Demikian
juga dengan memilih daerah Ponorogo sebagai tempat penelitian karena letaknya
yang berada di dekat lereng gunung Lawu. Ponorogo meruapakan salah satu daerah
yang dahulunya telah terjadi akulturasi antara budaya Yogyakarta dan Majapahit.
C. Tujuan Penelitian.
D. Manfaat Penelitian.
khususnya dapat memahami tradisi tersebut secara benar, baik dipandang dari segi
budaya maupun ajaran agama. Selain itu tulisan ini juga sebagai sarana berlatih bagi
pewarisan ilmu oleh sesepuh kepada generasi penerus. Dengan adanya karya tulis ini
masyarakat. kampus. Selain itu, mungkin dapat digunakan sebagai referensi dalam
Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah agar upacara tradisi tingkeban yang
sangat baik ini dapat dilaksanakan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang benar-
BAB II
PEMBAHASAN
sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Ponorogo, dan sekitarnya. Menurut ilmu
sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu
bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam
hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik
selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang
terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum
mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan
memang sudah ada sejak zaman dahulu.Menurut cerita asal nama “Tingkeban”
adalah berasal dari nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb, yaitu istri dari
Ki Sedya. Mereka berdua memiliki sembilan orang anak akan tetapi kesembilan
anaknya tersebut selalu mati pada usia dini. Berbagai usaha telah mereka jalani,
tetapi tidak pula membuahkan hasil. Hingga suatu saat mereka memberanikan diri
Namun sebagai syarat pokok, mereka harus rajin manembah mring Hyang Widhi
laku becik,welas asih mring sapada, menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa
dengan khusyu’, dan senantiaasa berbuat baik welas asih kepada sesama. Selain itu,
mereka harus mensucikan diri, mandi dengan menggunakan air suci yang berasal
dari tujuh sumber air. Kemudian berpasrah diri lahir batin dengan dibarengi
untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Supaya mendapat berkah dari Gusti
Allah, dengan menyertakan sesaji yang diantaranya adalah takir plontang, kembang
Setelah serangkaian ritual yang dianjurkan oleh Raja Jayabaya, ternyata Gusti
Sedya dan Niken Satingkeb mendapat momongan yang sehat dan berumur panjang.
Untuk mengingat nama Niken Satingkeb, serangkaian ritual tersebut ditiru oleh para
generasi selanjutnya hingga sekarang dan diberi nama Tingkeban Dengan harapan
mendapat kemudahan dan tidak ada halangan selama hamil, melahirkan, hingga si
anak tumbuh dewasa. Atas dasar inilah akhirnya hingga kini ritual tingkeban tetap
B. Perlengkapan Tingkeban.
Neloni, Tingkeban atau Rujakan dan Procotan. Akan tetapi seiring perkembangan
zaman, ketiga tradisi tersebut diringkas secara pelaksanaannya menjadi satu, yaitu
ketika waktu Tingkeban atau tujuh bulan. Walaupun diringkas secara waktu
tetapi ubo rampe atau piranti yang harus disiapkan dari tiap-tiap ritual tetap
disediakan.
Jauh-jauh hari sebelum usia kandungan memasuki tujuh bulan, calon orang
tua bayi harus mementukan hari yang baik sesuai petungan Jawa. Menurut
petungan Jawa hari-hari yang baik itu yang memiliki neptu genap dan jumlahnya 12
atau
16.
Tabel 1. Neptune Dino lan Pasaran Petungan Jawa
Hari-hari yang baik adalah yang neptunya 12 atau 16 misal Kamis Kliwon,
Senin Kliwon, Akhad Pon dan sebagainya. Kamis memiliki neptu 8 dan Kliwon
memiliki neptu 8 jadi Kamis Kliwon memiliki neptu 16, begitu juga Senin Kliwon
Selain penentuan hari yang ada aturannya, segala ubo rampe atau piranti juga
sangat rumit pula. Masing-masing ritual ada piranti sendiri-sendiri yang beraneka
ragam. Semua piranti tersebut disediakan bukan tanpa maksud. Dari sumuanya
tetangga, kerabat, sanak saudara dan lain-lain. Semua piranti telon-telon dibawa ke
hadapan undangan. Setelah semua piranti dihidangkan berjonggo atau sesepuh desa
ngujubne yaitu menjelaskan maksud dan tujuan diadakannya upacara tersebut dan
menjelaskan makna satu per satu dari makanan yang telah terhidang. Dengan sautan
undangan dengan kata-kata nggeh disetiap akhir kalimat yang diucapkan oleh
berjonggo. Satu per satu makanan yang dihidangkan dijelaskan hingga usai dan
dilanjutkan dengan do’a, dan yang terakhir dari rangkaian acara pertama ini adalah
waktu yang tepat untuk melaksanakan upacara tingkeban. Prosesi tingkeban inilah
yang penulis anggap sakral karena mulai dari hari sampai jam pelaksanaanya
diyentukan dan tidak boleh dilanngar. Sebelum acara dimulai sesepuh desa menata
beberapa lembar kain jarit batik di tengah rumah shohibul hajat. Secangkir air putih
dan kelapa muda serta sebuah sabitr besar diletakkan di depan pintu. Sedangkan di
sisi pintu luar tepatnya di teras rumah telah menunngu orang tua shohibul hajat
dengan membawa lemper dan bumbu rujak.Setelah semua siap dan waktu
pelaksanaannya tiba, kedua shohibul hajat masuk ke rumah dan duduk bersanding
adalah ”Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing
sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur
mendhem jero wong tuwa, migunani mring sesama,ambeg utama, yen lanang
kadya Raden Kamajaya, yen wadon kadya Dewi Kamaratih kabeh saka kersaning
Gusti.”
Usai prosesi tersebut keduanya berjalan keluar rumah dengan larangan tidak
kelapa muda dengan sabit yang dibarengi dengan calon ibu menyampar cangkir.
Upacara ini disebut juga upacara brojolan, yaitu memasukkan sepasang kelapa
gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Arjuna dan
Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu. Makna simbolis dari upacara
ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan.
Di sisi lain nenek dari jabang bayi tersebut menumbuk bumbu rujak yang
telah disiapkan hingga halus. Usai menyampar cangkir dan memecah kelapa muda,
keduanya mandi dan kembali ke dalam rumah melalui pintu utama. Sesampainya di
dalam rumah akan dilanjut dengan prosesi ganti busana. Prosesi ini dilakukan oleh
calon ibi dengan tujuh jenis kain batik dengan motif yang berbeda. Ibu akan
memakai model kain yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki
Sido Mukti
Sido luhur
Truntun
Parang Kusuma
Semen Rama
Udan Riris
Cakar Ayam
Bumbu rujak yang telah dihaluskan oleh calon nenek jabang bayi tersebut
Tak lama berselang dari prosesi inti yaitu tingkeban maka langsung
melanjutkan prosesi terakhir yaitu procotan. Dalam prosesi ini tidak jauh berbeda
setelah tersaji sesepuh desa ngujubne dan di saksikan oleh undangan dengan
menjawab kalimat- kalimat sesepuh tersebut dengan kata “nggeh”. Seusai prosesi
2. Sungkeman
Sungkeman ini dilakukan oleh istri kepada suami dan dilanjutkan oleh suami –
3. Siraman
Siraman ini dilakukan kepada calon orang tua jabang bayi dengan air dari 7
sumber dan dilakukan oleh tujuh orang sesepuh keluarga. Gayung yang dipakai
untuk siraman ini terbuat dari kelapa yang masih ada dagingnya dan bagian
dasarnya diberi lobang. Setelah siraman si calon ibu dpakaikan kain 7 warna, yang
melambangkan sifat-sifat baik yang akan dibawa oleh jabang bayi dalam kandungan.
4. Pantes-pantes (Ganti Busana 7 kali)
Dalam acara pantes-pantes ini calon ibu dipakaikan kain dan kebaya 7 macam. Kain
dan kebaya yang pertama sampai yang ke enam merupakan busana yang
menunjukkan kemewahan dan kebesaran. Ibu-ibu yang hadir saat ditanya apakah si
“dereng Pantes” (belum pantas). Setelah dipakaikan busana ke tujuh yang berupa
kain lurik dengan motif sederhana baru ibu-ibu yang hadir menjawab : “pantes”
bersahaja.
5. Tigas Kendit
Calon ibu kemudian diikat perutnya (dikenditi) dengan janur kuning. Ikatan janur
ini harus dipotong (ditigas) oleh calon ayah si bayi untuk membuka ikatan yang
menghalangi lahirnya si jabang bayi. Ikatan tersebut dipotong dengan keris yang
6. Brojolan
Dalam acara brojolan ini, dua buah Cengkir gading (kelapa gading muda) yang telah
diberi gambar wayang (biasanya gambar Betara Kamajaya-Dewi Ratih atau Harjuna
– Sembadra) dimasukkan oleh calon ayah melalui perut calon ibu dan diterima oleh
nenek jabang bayi. Harapan dari acara ini adalah supaya si jabang bayi yang lahir
Di sini Calon Ibu duduk di tumpukan kain yang tadi digunakan dalam acara Pantes-
pantes seperti ayam betina yang sedang mengerami telurnya. Harapannya adalah
mengambil makanan yang disediakan dengan alas makan cowek (cobek)dan mereka
Calon ayah si bayi kemudian menjatuhkan tropong (alat tenun tradisional ) di sela
kain 7 warna yang melambangkan proses kelahiran si bayi kelak yang berjalan lancar
dan sempurna.
bahwa pada saat janin berumur 120 hari (4 bulan) dalam kandungan ditiupkan ruh
Sekalipun dalam hadits tersebut tidak ada perintah untuk melakukan ritual, tetapi
melakukan permohonan pada saat itu tidak dilarang. Dengan dasar hadits tersebut,
maka kebiasaan orang jawa khususnya Yogya-Solo mengadakan upacara adat untuk
melakukan permohonan agar janin yang ada dalam rahim seseorang istri lahir
sangat mulia. Karena di dalam ritual Tingkeban terdapat permohonan do’a kepada
dikandung oleh sang ibu sejak “Si Jabang Bayi” masih dalam kandungan seiring
BAB III
SIMPULAN
adalah suatu bentuk inisiasi masyarakat pada jaman dahulu, yang mengharapkan
dikaruniai anak yang seperti diharapkan serta memperoleh kelancaran baik ketika
mengandung maupun saat melahirkan. Tradisi ini dipercaya berawal pada masa
Jayabaya yang di wariskan turun temurun hingga sekarang dan ditaati oleh sebagian
masuknya ruh ke dalam jasad jabang bayi dengan harapan agar ruh yang diberikan
adalah ruh yang baik sehingga anak yang lahir nantinya juga berakhlak baik pula.
Mitoni atau tingkeban merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat
ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat jawa. Kata mitoni berasal dari kata
“am” (awalan am menunjukkan kata kerja) dan “7” yang berarti suatu kegiatan yang
dilakukan pada bulan ke-7. Upacara mitoni merupakan suatu adat kebiasaan atau
suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang
perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung
sarana menghilangkan petaka. Akan tetapi dalam syariat Islam adat seperti ini tidak
dibenarkan karena tidak sesuai dengan ajaran. Oleh karena itu seharusnya mulai
dari sekarang adat tersebut mulai untuk dihilangkan dari kehidupan masyarakat dan
Upacara adat 7 bulanan yang disebut mitoni ataupun tingkeban ini mengajarkan
hanya itu, mitoni ini mengangkat berbagai macam kain-kain yang dipakai oleh calon
ibu yang mempunyai makna masing-masing. Dari makna-makna tersebut kita dapat
mengambil pelajaran, yaitu kita sebagai manusia makhluk ciptaan Allah SWT
hendaknya harus cermat serta harus merencanakan bagaimana kita hidup di dunia
ini yang penuh dengan kesenangan ataupun sendau gurau dan lainnya. Jika kita
sebagai manusia hidup di dunia ini tidak mempunyai tujuan hidup yaitu akhirat,
alangkah menyesalnya kita sebagai manusia. Oleh sebab itu kita harus mempunyai
kita menjadi manusia yang sukses tidak hanya di dunia namun di akherat pun juga.
Dalam prosesi mitoni juga dijelaskan bahwa yang memimpin upacara adalah ibu
yang sudah berpengalaman, disini bisa dilihat bahwa dalam suatu acara maupun
seseorang yang lebih mengerti maupun lebih berpengalaman untuk memimpin suatu
kelompok.
Upacara “Tingkeban” merupakan adat, tradisi dan budaya bangsa Indonesia,
khususnya masyarakat yang ada di pulau Jawa dan terlebih lagi bagi masyarakat di
Pada dasarnya “Tingkeban” merupakan ritual yang bernilai sakral dan bertujuan
sangat mulia. Karena di dalam ritual Tingkeban terdapat permohonan do’a kepada
DAFTAR PUSTAKA
Mahadewa, 2009
Mahadewa, 1880.