Anda di halaman 1dari 32

Upacara Tingkeban (Nujuh Bulanan)

Upacara Tingkeban adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini disebut juga mitoni
berasal dari kata pitu yang arti nya tujuh, upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh
bulan dan pada kehamilan pertama kali.Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan saja
setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini
sang ibu yang sedang hamil di mandikan dengan air kembang setaman dan di sertai doa yang
bertujuan untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan berkah
sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.

Tata Cara pelaksanaan Upacara Tingkeban :

Siraman yang di lakukan oleh para sesepuh sebanyak 7 orang


termasuk ayah dan ibu wanita hamil serta suami dari calon ibu. Siraman ini bermakna
memohon doa restu agar proses persalinan lancar dan anak yang akan dilahirkan selamat dan
sehat jasmani dan rohani. Sebaiknya yang memandikan adalah orang tua yang sudah
mempunyai cucu.

Setelah siraman selesai, dilanjutkan dengan upacara memasukan telur ayam dan cengkir
gading. Calon ayah memasukan telur ayam mentah ke dalam sarung/kain yang di kenakan
oleh calon ibu melalui perut sampai pecah kemudian menyusul kedua cengkir gading di
teroboskan dari atas ke dalam kain yang di pakai calon ibu sambil di terima di bawah oleh
calon nenek dan kelapa gading tersebut di gendong oleh calon nenek dan di letak kan
sementara di kamar. Hal ini merupakan symbol harapan semoga bayi akan lahir dengan
mudah tanpa ada halangan.
Upacara Ganti Pakaian
Calon Ibu mengenakan kain putih sebagai dasar pakaian pertama, kain tersebut
melambangkan bahwa bayi yang akan di lahirkan adalah suci dan mendapat berkah dari
Tuhan YME. Calon Ibu berganti baju 6 kali dengan di iringi pertanyaan “ sudah pantas
belum?”, dan di jawab oleh ibu ibu yang hadir “ belum pantas” sampai yang terakhir ke tujuh
kali di jawab “ pantas”. Sebagai informasi, kain yang di pakai pada upacara berganti busana
memiliki beberapa pilihan motif yang semua nya dapat dimaknai secara baik :

Gambar untuk motif Wahyu Temurun:

Wahyu Temurun:
Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang selalu mendekatkan diri pada Allah
SWT dan selalu mendapat perlindungan Nya.
Gambar untuk motif Sido Asih:

Sido Asih :
Maknanya agar bayi yang akan lahir akan selalu mendapatkan cinta dan kasih oleh sesama
dan memiliki sifat belas kasih.

Gambar untuk motif Sido Mukti:

Sido Mukti:
Maknanya agar bayi yang akan lahir memiliki sifat berwibawa dan di segani oleh
sekelilingnya
Gambar untuk motif Truntum:

Truntum :
Maknanya agar keluhuran budi kedua orang tua menurun pada sang bayi

Gambar untuk motif Sido Luhur:

Sido Luhur :
Maknanya agar bayi yang akan lahir akan memiliki sifat berbudi pekerti luhur dan sopan
santun

Gambar untuk motif Semen Romo:


Semen Romo :
Maknanya agar bayi yang dilahirkan memiliki rasa cinta kasih kepada sesama layaknya cinta
kasih Rama dan Sinta kepada rakyatnya.

Gambar untuk motif Sido Dadi:

Sido Dadi:
Maknanya agar bayi yang di lahirkan kelak akan selalu sukses dalam hidupnya

Gambar untuk motif Babon Anggrem:

Babon Anggrem:
Maknanya berisi harapan agar calon ibu dapat melahirkan secara normal dan lancar.
Gambar untuk motif Sido Derajat :

Sido Derajat :
Maknanya agar bayi yang dilahirkan mendapat derajat yang baik dalam hidupnya.

Setelah selesai mengenakan kain dan kebaya sebanyak 7 kali, dilaksanakan pemutusan
benang lawe atau janur yang di lingkarkan di perut calon ibu, di lakukan oleh calon ayah
dengan maksud agar bayi yang di kandung akan lahir dengan mudah.

Upacara Angrem
Setelah upacara ganti busana Calon ibu duduk di atas tumpukan baju dan kain yang tadi habis
di gunakan. Hal ini memiliki symbol bahwa calon ibu akan selalu menjaga kehamilan dan
anak yang di kandungnya dengan hati hati dan penuh kasih sayang. Calon Ayah menyuapi
calon Ibu dengan nasi tumpeng dan bubur merah putih sebagai symbol kasih sayang seorang
suami dan calon ayah.
Upacara Mecah Kelapa
Kelapa gading yang tadi di bawa ke kamar, kembali di gendong oleh calon nenek untuk di
bawa keluar dan di letak kan dalam posisi terbalik (gambar tidak terlihat) untuk di pecah,
Kelapa gading nya berjumlah 2 dan masing masing di gambari tokoh Wayang Kamajaya dan
Kamaratih. Calon ayah memilih salah satu dari kedua kelapa tersebut.

Apabila calon ayah memilih Kamajaya maka bayi akan lahir Laki laki, sedangkan jika
memilih Kamaratih akan lahir perempuan ( hal ini hanya pengharapan saja, belum merupakan
suatu kesungguhan)

Dodol Rujak
Pada upacara ini, calon ibu membuat rujak di dampingi oleh calon ayah, para tamu yang
hadir membeli nya dengan menggunakan kereweng sebagai mata uang. Makna dari upacara
ini agar kelak anak yang di lahirkan mendapat banyak rejeki dan dapat menghidupi keluarga
nya.

*Berbagai Sumber
Upacara Tingkeban

adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini disebut juga mitoni berasal

dari kata pitu yang arti nya tujuh. Upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan

tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali. Upacara ini bermakna bahwa

pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di

dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil di mandikan

dengan air kembang setaman dan disertai doa yang bertujuan untuk memohon

kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang

akan dilahirkan selamat dan sehat.

Menurut tradisi Jawa, upacara dilaksanakan pada tanggal ganjil sebelum bulan

purnama seperti 3,5,7,9,11, 13 atau 15. bulan Jawa ,dilaksanakan di kiri atau kanan

rumah menghadap kearah matahari terbit. Yang memandikan jumlahnya juga ganjil

misalnya 5,7,atau 9 orang. Setelah siram di pakaikan kain /jarik sampai tujuh kali,

yang terakhir/ ketujuh yang dianggap paling pantas dikenakan , kemudian acara

pemotongan tumpeng tujuh yang diawali dengan doa kemudian makan rujak.dst.

Hakekat yang mendasar dari semua tradisi Jawa adalah suatu ungkapan syukur dan

permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan kenteraman , namun

di ungkapkan dalam bentuk lambang -lambang yang masing-masing mempunyai

makna.

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat

serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah Adat

Istiadat ini tepat pada waktunya yang berjudul “TINGKEBAN DALAM PERSPEKTIF

BUDAYA BANGSA”
Makalah ini berisikan tentang informasi, tata cara melaksanakan TINGKEBAN

dan perlengkapan-perlengkapan yang dipergunakan pada upacara adat

TINGKEBAN.

Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang

upacara adat atau tradisi TINGKEBAN.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik

dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi

kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan

serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT

senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Ponorogo, 22 Februari 2013

Penyusun

Dafar Isi

ABSTRAKSI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH

C. TUJUAN PENELITIAN

D. MANFAAT PENELITIAN

BAB II PEMBAHASAN

A. SEJARAH MUNCULNYA TINGKEBAN

B. PERLENGKAPAN TINGKEBAN

C. RANGKAIAN ACARA TINGKEBAN

D. KAITAN TINGKEBAN DENGAN ISLAM

BAB III KESIMPULAN

A. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tingkeban sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia,

sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Ponorogo, dan sekitarnya. Menurut ilmu

sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu

bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam

hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik

selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang

terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum

mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan

hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Ponorogo dan sekitarnya.
Sedemikian rumitnya ritual tingkeban ini, hingga memerlukan tenaga, pikiran,

bahkan materi baik dalam persiapan maupun ketika pelaksanaannya. Semua tahap-

tahap tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai tahap-tahap yang harus dilalui.

Mulai dari pemilihan hari dan tanggal pelaksanaan saja harus memenuhi syarat dan

ketentuan yang ada. Apabila mereka melanggar, maka masyarakat sekitar akan

segera merespon negatif terhadap hal tersebut. Piranti-piranti yang tidak sedikit

jumlahnya tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit pula. Dalam persiapannya,

khususnya piranti yang berupa makanan ada yang memerlukan waktu hingga tiga

hari sebelum pelaksanaan acara, seperti jenang dodol. Bahkan ada beberapa piranti

yang harus terbuang sia-sia. Akan tetapi masih banyak masyarakat yang belum sadar

akan hal itu, bahkan mengaggapnya wajar.

Gunung Lawu bagi sebagian besar masyarakat Ponorogo sangatlah sakral

keberadaannya.Awalnya semua adat istiadat dan budaya daerah sekitar

gunung tersebut, termasuk lereng sebelah timur pun berkiblat pada Keraton

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Akan tetapi ketika runtuhnya Kerajaan

Majapahit pada tahun 1400, terjadi akulturasi budaya dengan Kerajaan Majapahit.

Hal ini terjadi karena raja Majapahit Prabu Brawijaya V memilih arah barat sebagai

tempat pelariannya ketika penyerangan oleh pasukan Islam. Dan pelarian itu

menunjukkan jalan kepada Prabu Brawijaya V sampai di Gunung Lawu sebagai

tempat pelariannya hingga akhir hayatnya

Dari beberapa pemaparan di atas, penulis memilih judul tersebut karena

merupakan tradisi warisan leluhur yang masih dianggap sangat sakral. Demikian

juga dengan memilih daerah Ponorogo sebagai tempat penelitian karena letaknya

yang berada di dekat lereng gunung Lawu. Ponorogo meruapakan salah satu daerah

yang dahulunya telah terjadi akulturasi antara budaya Yogyakarta dan Majapahit.

Selain itu juga didukung dengan sumber-sumber data yang relevan.


B. Rumusan Masalah

1. Seperti apa sejarah munculnya Tingkeban itu?

2. Apa saja perlengkapannya serta bagaimana prosesinya?

3. Adakah Kaitannya antara tradisi tersebut dengan ajaran Islam?

C. Tujuan Penelitian.

1. Untuk mengetahui sejarah munculnya upacara Tingkeban.

2. Untuk mengetahui hal-hal yang disiapkan serta jalannya upacara Tingkeban.

3. Untuk mengetahui kaitan antara upacara Tingkeban dan ajaran Islam.

D. Manfaat Penelitian.

Penelitian ini kami laksanakan dengan harapan agar masyarakat setempat

khususnya dapat memahami tradisi tersebut secara benar, baik dipandang dari segi

budaya maupun ajaran agama. Selain itu tulisan ini juga sebagai sarana berlatih bagi

penilis untuk meningkatkan kemampuan menulis penulis. Dan sebagai media

pewarisan ilmu oleh sesepuh kepada generasi penerus. Dengan adanya karya tulis ini

penulis berharap dapat memberi sedikit sumbangan kepada masyarakat terutama

masyarakat. kampus. Selain itu, mungkin dapat digunakan sebagai referensi dalam

penelitian-penelitian serupa dikemudian hari.

Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah agar upacara tradisi tingkeban yang

sangat baik ini dapat dilaksanakan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang benar-

benar bernilai Islami.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Tingkeban


Tingkeban sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia,

sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Ponorogo, dan sekitarnya. Menurut ilmu

sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu

bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam

hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik

selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang

terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum

mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan

hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Ponorogo.

Tingkeban menurut cerita yang dikembangkan turun-temurun secara lisan,

memang sudah ada sejak zaman dahulu.Menurut cerita asal nama “Tingkeban”

adalah berasal dari nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb, yaitu istri dari

Ki Sedya. Mereka berdua memiliki sembilan orang anak akan tetapi kesembilan

anaknya tersebut selalu mati pada usia dini. Berbagai usaha telah mereka jalani,

tetapi tidak pula membuahkan hasil. Hingga suatu saat mereka memberanikan diri

untuk menghadap kepada Kanjeng Sinuwun Jayabaya.

Jayabaya akhirnya menasehati mereka agar menjalani beberapa ritual.

Namun sebagai syarat pokok, mereka harus rajin manembah mring Hyang Widhi

laku becik,welas asih mring sapada, menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa

dengan khusyu’, dan senantiaasa berbuat baik welas asih kepada sesama. Selain itu,

mereka harus mensucikan diri, mandi dengan menggunakan air suci yang berasal

dari tujuh sumber air. Kemudian berpasrah diri lahir batin dengan dibarengi

permohonan kepada Gusti Allah,apa yang menjadi kehendak mereka, terutama

untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Supaya mendapat berkah dari Gusti
Allah, dengan menyertakan sesaji yang diantaranya adalah takir plontang, kembang

setaman, serta kelapa gading yang masih muda.

Setelah serangkaian ritual yang dianjurkan oleh Raja Jayabaya, ternyata Gusti

Kang Murbeng Dumadi yaitu Gusti Allah mengabulkan permohonan mereka. Ki

Sedya dan Niken Satingkeb mendapat momongan yang sehat dan berumur panjang.

Untuk mengingat nama Niken Satingkeb, serangkaian ritual tersebut ditiru oleh para

generasi selanjutnya hingga sekarang dan diberi nama Tingkeban Dengan harapan

mendapat kemudahan dan tidak ada halangan selama hamil, melahirkan, hingga si

anak tumbuh dewasa. Atas dasar inilah akhirnya hingga kini ritual tingkeban tetap

dilaksanakan bahkan menjadi suatu keharusan bagi masyaraka Jawa khususnya di

daerah Ponorogo dan sekitarnya.

B. Perlengkapan Tingkeban.

Dahulu masyarakat Ponorogo mengenal tiga teradisii yang harus

dilaksanakan selama masa mengandung. Ketiga teradisi tersebut adalah tradisi

Neloni, Tingkeban atau Rujakan dan Procotan. Akan tetapi seiring perkembangan

zaman, ketiga tradisi tersebut diringkas secara pelaksanaannya menjadi satu, yaitu

ketika waktu Tingkeban atau tujuh bulan. Walaupun diringkas secara waktu

tetapi ubo rampe atau piranti yang harus disiapkan dari tiap-tiap ritual tetap

disediakan.

Jauh-jauh hari sebelum usia kandungan memasuki tujuh bulan, calon orang

tua bayi harus mementukan hari yang baik sesuai petungan Jawa. Menurut

petungan Jawa hari-hari yang baik itu yang memiliki neptu genap dan jumlahnya 12

atau

16.
Tabel 1. Neptune Dino lan Pasaran Petungan Jawa

No Nama Hari Neptune No Nama Pasaran Neptune


1 Akhad 5 1 Pon 7
2 Senin 4 2 Wage 4
3 Selasa 3 3 Kliwon 8
4 Rabu 7 4 Legi 5
5 Kamis 8 5 Pahing 9
6 Jum’at 6
7 Sabtu 9

Hari-hari yang baik adalah yang neptunya 12 atau 16 misal Kamis Kliwon,

Senin Kliwon, Akhad Pon dan sebagainya. Kamis memiliki neptu 8 dan Kliwon

memiliki neptu 8 jadi Kamis Kliwon memiliki neptu 16, begitu juga Senin Kliwon

memiliki neptu 12 dan Akhad Pon memiliki neptu 12.

Selain penentuan hari yang ada aturannya, segala ubo rampe atau piranti juga

sangat rumit pula. Masing-masing ritual ada piranti sendiri-sendiri yang beraneka

ragam. Semua piranti tersebut disediakan bukan tanpa maksud. Dari sumuanya

memiliki werdi atau makna sendiri-sendiri.

Tabel 2. Piranti Ritual Tingkeban


No NamaRitual Waktu Piranti
Seharusnya
1 Neloni Tiga bulan dari Takir plontang 4 buah
masa Golong 7 buah
mengandung
Jajan pasar
Jenang abang
Jenang putih
Jenangkuning
Jenang ireng
Jenang sengkolo
2 Tingkeban Enam bulan dari Woh-wohan
masa kehamilan Punar 2 buah
Kembang setaman
Sesaji dakripin(Suro ganep)
Daun dadap srep
Daun beringin
Daun andong
Janur
Mayang
Jenang abang
Jenang putih
Jenang kuning
Jenang ireng
Jenang waras
Jenang sengkolo
3 Procotan Delapan bulan Jenang abang
dari masa Jenang putih
kehamilan
Jenang kuning
Jenang ireng
Jenang waras
Jenang sengkolo
Jenang inthil-inthil
Jenang sewu (dawet)
Jenang sempuro
Jenang kembo
Jenang procot
Jenang arang-arang kambang
Ketupat lepet
Kamajaya dan Kamaratih (Dewi Ratih)
Upacara tersebut dimulai denga acara kenduri telon-telon yang dihadiri oleh

tetangga, kerabat, sanak saudara dan lain-lain. Semua piranti telon-telon dibawa ke

hadapan undangan. Setelah semua piranti dihidangkan berjonggo atau sesepuh desa

ngujubne yaitu menjelaskan maksud dan tujuan diadakannya upacara tersebut dan

menjelaskan makna satu per satu dari makanan yang telah terhidang. Dengan sautan

undangan dengan kata-kata nggeh disetiap akhir kalimat yang diucapkan oleh

berjonggo. Satu per satu makanan yang dihidangkan dijelaskan hingga usai dan

dilanjutkan dengan do’a, dan yang terakhir dari rangkaian acara pertama ini adalah

memakan hidangan yang telah tersedia.

Selesai upacara yang pertama yaitu upacara telon-telon, dengan menunggu

waktu yang tepat untuk melaksanakan upacara tingkeban. Prosesi tingkeban inilah

yang penulis anggap sakral karena mulai dari hari sampai jam pelaksanaanya

diyentukan dan tidak boleh dilanngar. Sebelum acara dimulai sesepuh desa menata

beberapa lembar kain jarit batik di tengah rumah shohibul hajat. Secangkir air putih

dan kelapa muda serta sebuah sabitr besar diletakkan di depan pintu. Sedangkan di

sisi pintu luar tepatnya di teras rumah telah menunngu orang tua shohibul hajat

dengan membawa lemper dan bumbu rujak.Setelah semua siap dan waktu

pelaksanaannya tiba, kedua shohibul hajat masuk ke rumah dan duduk bersanding

di atas kain jari yang telah tertata.

Sesepuh desa membaca beberapa mantra dan mengajari beberapa kalimat

untuk ducapkan oleh shohibul hajat.Salah satu penggalan kalimat tersebut

adalah ”Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing

sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur

mendhem jero wong tuwa, migunani mring sesama,ambeg utama, yen lanang
kadya Raden Kamajaya, yen wadon kadya Dewi Kamaratih kabeh saka kersaning

Gusti.”

Usai prosesi tersebut keduanya berjalan keluar rumah dengan larangan tidak

boleh menengok ke belakang. Sesampainya di depan pintu, calon bapak memecah

kelapa muda dengan sabit yang dibarengi dengan calon ibu menyampar cangkir.

Upacara ini disebut juga upacara brojolan, yaitu memasukkan sepasang kelapa

gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Arjuna dan

Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu. Makna simbolis dari upacara

ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan.

Di sisi lain nenek dari jabang bayi tersebut menumbuk bumbu rujak yang

telah disiapkan hingga halus. Usai menyampar cangkir dan memecah kelapa muda,

keduanya mandi dan kembali ke dalam rumah melalui pintu utama. Sesampainya di

dalam rumah akan dilanjut dengan prosesi ganti busana. Prosesi ini dilakukan oleh

calon ibi dengan tujuh jenis kain batik dengan motif yang berbeda. Ibu akan

memakai model kain yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki

kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.

Tabel 3. Jenis Kain dan Maknanya.

No Jenis Kain Batik Maknanya


1 Sidomukti Kebahagiaan
2 Sidoluhur Kemuliaan
3 Truntun Nilai-nilai yang selalu dipegang teguh
4 Parang Kusuma Perjuangan untuk hidup
5 Semen Rama Akan lahir anak yang cinta kasih kepada orang
tua yang sebentar lagi akan menjadi bapak dan
ibu tetap bertahan selama-lamanya.
6 Udan Riris Anak yang akan lahir akan menyenagkan
dalam kehadirannya di masyarakat
7 Cakar Ayam Anak yang lahir dapat mandiri dan memenuhi
kebutuhannya sendiri.

Sido Mukti

Sido luhur
Truntun

Parang Kusuma
Semen Rama

Udan Riris
Cakar Ayam

Bumbu rujak yang telah dihaluskan oleh calon nenek jabang bayi tersebut

selanjutnya dibawa ke dapur untuk segera dicampur dengan beberapa buah-buahhn

dan dihidangkan kepada para undangan.

Tak lama berselang dari prosesi inti yaitu tingkeban maka langsung

melanjutkan prosesi terakhir yaitu procotan. Dalam prosesi ini tidak jauh berbeda

dengan prosesi telon-telon, yaitu semua piranti dihidangkan di hadapan undangan,

setelah tersaji sesepuh desa ngujubne dan di saksikan oleh undangan dengan

menjawab kalimat- kalimat sesepuh tersebut dengan kata “nggeh”. Seusai prosesi

tersebut di akhiri dengan do’a dan memakan hidangan yang ada.

C. Rangkaian Acara Tingkeban

1. Pembacaan Ayat Suci Al Qur’an

2. Sungkeman
Sungkeman ini dilakukan oleh istri kepada suami dan dilanjutkan oleh suami –

istri pada orangtuanya.

3. Siraman

Siraman ini dilakukan kepada calon orang tua jabang bayi dengan air dari 7

sumber dan dilakukan oleh tujuh orang sesepuh keluarga. Gayung yang dipakai

untuk siraman ini terbuat dari kelapa yang masih ada dagingnya dan bagian

dasarnya diberi lobang. Setelah siraman si calon ibu dpakaikan kain 7 warna, yang

melambangkan sifat-sifat baik yang akan dibawa oleh jabang bayi dalam kandungan.
4. Pantes-pantes (Ganti Busana 7 kali)

Dalam acara pantes-pantes ini calon ibu dipakaikan kain dan kebaya 7 macam. Kain

dan kebaya yang pertama sampai yang ke enam merupakan busana yang

menunjukkan kemewahan dan kebesaran. Ibu-ibu yang hadir saat ditanya apakah si

calon ibu pantas menggunakan busana-busana tersebut menberikan jawaban :

“dereng Pantes” (belum pantas). Setelah dipakaikan busana ke tujuh yang berupa

kain lurik dengan motif sederhana baru ibu-ibu yang hadir menjawab : “pantes”

(pantas). Di sini merupakan perlambang bahwa ibu yang sedang mengandung


sebiknya tidak memikirkan hal yang sifatnya keduniawian dan berpenampilan

bersahaja.

5. Tigas Kendit

Calon ibu kemudian diikat perutnya (dikenditi) dengan janur kuning. Ikatan janur

ini harus dipotong (ditigas) oleh calon ayah si bayi untuk membuka ikatan yang

menghalangi lahirnya si jabang bayi. Ikatan tersebut dipotong dengan keris yang

ujungnya diberi kunyit sebagai tolak bala.


Tigas Kendhit

6. Brojolan

Dalam acara brojolan ini, dua buah Cengkir gading (kelapa gading muda) yang telah

diberi gambar wayang (biasanya gambar Betara Kamajaya-Dewi Ratih atau Harjuna

– Sembadra) dimasukkan oleh calon ayah melalui perut calon ibu dan diterima oleh

nenek jabang bayi. Harapan dari acara ini adalah supaya si jabang bayi yang lahir

memiliki fisik dan sifat seperti tokoh wayang tersebut.


7. Angrem

Di sini Calon Ibu duduk di tumpukan kain yang tadi digunakan dalam acara Pantes-

pantes seperti ayam betina yang sedang mengerami telurnya. Harapannya adalah

agar si jabang bayi dapat lahir cukup bulan.

Pada saat pelaksanaan acara ini dikumandangkannya bacaan-bacaan “Shalawat

Nabi” yang diiringi alunan musik rebana.

8. Dhahar Ajang Cowek


Di sini calon ayah duduk mendamping calon ibu di tumpukan kain dan berdua

mengambil makanan yang disediakan dengan alas makan cowek (cobek)dan mereka

berdua memakannya sampai habis. Harapannya adalah supaya plasenta bayi

menjadi sehat sehingga si jabang bayi dapat bertumbuh dengan sehat.

Calon ayah si bayi kemudian menjatuhkan tropong (alat tenun tradisional ) di sela

kain 7 warna yang melambangkan proses kelahiran si bayi kelak yang berjalan lancar

dan sempurna.

D. Kaitan Tingkeban Dengan Ajaran Islam

Sebenarnya pelaksanaan tingkeban berangkat dari memahami hadits nabi yang

diriwayatkan oleh Bukhori, yang menjelaskan tentang proses perkembangan janin

dalam rahim perkembangan seorang perempuan. Dalam hadits tersebut dinyatakan

bahwa pada saat janin berumur 120 hari (4 bulan) dalam kandungan ditiupkan ruh

dan ditentukan 4 perkara, yaitu umur, jodoh, rizki, dan nasibnya.

Sekalipun dalam hadits tersebut tidak ada perintah untuk melakukan ritual, tetapi

melakukan permohonan pada saat itu tidak dilarang. Dengan dasar hadits tersebut,

maka kebiasaan orang jawa khususnya Yogya-Solo mengadakan upacara adat untuk

melakukan permohonan agar janin yang ada dalam rahim seseorang istri lahir

selamat dan menjadi anak yang soleh dan solekhah.


Pada dasarnya “Tingkeban” merupakan ritual yang bernilai sakral dan bertujuan

sangat mulia. Karena di dalam ritual Tingkeban terdapat permohonan do’a kepada

Gusti Alloh. Dan dikumandangkan kalimat-kalimat Shalawat Nabi merupakan bukti

pelaksanaan tingkeban secara Islami. Dikumandangkannya Shalawat Nabi dalam

tradisi umat Islam di Ponorogo dikenal dengan “Berjanjen”.

Berjanjen ini diharapkan dapat memberikan pendidikan kepada Janin yang

dikandung oleh sang ibu sejak “Si Jabang Bayi” masih dalam kandungan seiring

dengan ditiupkannya “RUH” kepada “Si Jabang Bayi”.

BAB III

SIMPULAN

Berdasarkan uraian panjang di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tingkeban

adalah suatu bentuk inisiasi masyarakat pada jaman dahulu, yang mengharapkan

dikaruniai anak yang seperti diharapkan serta memperoleh kelancaran baik ketika

mengandung maupun saat melahirkan. Tradisi ini dipercaya berawal pada masa

Jayabaya yang di wariskan turun temurun hingga sekarang dan ditaati oleh sebagian

besar masyarakat Jawa.

Adapun kaitannya dengan ajaran Islam adalah sebagai penghormatan ketika

masuknya ruh ke dalam jasad jabang bayi dengan harapan agar ruh yang diberikan

adalah ruh yang baik sehingga anak yang lahir nantinya juga berakhlak baik pula.

Mitoni atau tingkeban merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat

ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat jawa. Kata mitoni berasal dari kata

“am” (awalan am menunjukkan kata kerja) dan “7” yang berarti suatu kegiatan yang

dilakukan pada bulan ke-7. Upacara mitoni merupakan suatu adat kebiasaan atau
suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang

perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung

senantiasa memperoleh keselamatan. Pada hakekatnya upacara ini dipercaya sebagai

sarana menghilangkan petaka. Akan tetapi dalam syariat Islam adat seperti ini tidak

dibenarkan karena tidak sesuai dengan ajaran. Oleh karena itu seharusnya mulai

dari sekarang adat tersebut mulai untuk dihilangkan dari kehidupan masyarakat dan

akan membentuk masyarakat yang Islami.

Upacara adat 7 bulanan yang disebut mitoni ataupun tingkeban ini mengajarkan

kepada masyarakat untuk saling kerjasama menghargai terhadap sesama.tidak

hanya itu, mitoni ini mengangkat berbagai macam kain-kain yang dipakai oleh calon

ibu yang mempunyai makna masing-masing. Dari makna-makna tersebut kita dapat

mengambil pelajaran, yaitu kita sebagai manusia makhluk ciptaan Allah SWT

hendaknya harus cermat serta harus merencanakan bagaimana kita hidup di dunia

ini yang penuh dengan kesenangan ataupun sendau gurau dan lainnya. Jika kita

sebagai manusia hidup di dunia ini tidak mempunyai tujuan hidup yaitu akhirat,

alangkah menyesalnya kita sebagai manusia. Oleh sebab itu kita harus mempunyai

rencana- rencana maupun target-target hidup di masa mendatang kelak, sehingga

kita menjadi manusia yang sukses tidak hanya di dunia namun di akherat pun juga.

Dalam prosesi mitoni juga dijelaskan bahwa yang memimpin upacara adalah ibu

yang sudah berpengalaman, disini bisa dilihat bahwa dalam suatu acara maupun

kepanitiaan maupun kepemerintahan, sudah tentu kita hendaknya memilih

seseorang yang lebih mengerti maupun lebih berpengalaman untuk memimpin suatu

kelompok.
Upacara “Tingkeban” merupakan adat, tradisi dan budaya bangsa Indonesia,

khususnya masyarakat yang ada di pulau Jawa dan terlebih lagi bagi masyarakat di

Jawa Timur, Jawa Tengah maupun di Daerah Istimewa Yogjakarta.

Pada dasarnya “Tingkeban” merupakan ritual yang bernilai sakral dan bertujuan

sangat mulia. Karena di dalam ritual Tingkeban terdapat permohonan do’a kepada

Gusti Alloh. Dan dikumandangkan kalimat-kalimat Shalawat Nabi merupakan bukti

pelaksanaan tingkeban secara Islami. Dikumandangkannya Shalawat Nabi dalam

tradisi umat Islam di Ponorogo dikenal dengan “Berjanjen”.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gunasasmita. Kitab Pribmon Jawa Serbaguna. Yogyakarta: Soemodidjaja

Mahadewa, 2009

2. http://www.jelajahbudaya.com/ (Jum’at 25 November 2011: 09.00)

3. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/ (Jum’at 25 November 2011: 09.00)

4. Tjakraningrat, K.P. Harya Atassadhur Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja

Mahadewa, 1880.

5. Bektijamal Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 1880.

6. Betaljemur Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 1880.

Anda mungkin juga menyukai