Anda di halaman 1dari 204

SPIRITUALITAS

FUNDAMENTAL

INTRODUKSI
dan
SISTEMATIK

Manangar C. Marpaung

(Diktat untuk Kuliah)

STFT ST. YOHANES


PEMATANGSIANTAR - SUMATERA UTARA
2010
INTRODUKSI 1

1Sumber utama untuk diktat ini ialah A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza. Introduzione metodologica allo
studio della vita spirituale cristiana, Milano 1990; CH. A. BERNARD, Teologia spirituale, Roma 1983; Corso di
spiritualita, esperienza - sistematica - proiezioni (Kursus Spiritualitas, Pengalaman-Sistematik-Proyeksi) (yang
diterbitkan oleh B. SECONDIN - T. GOFFI), Brescia 1989; The Study of Spirituality (Edited by C. JONES, G.
WAINWRIGHT, E. YARNOLD), Cambridge 1992; J. AUMANN, Spiritual Theology, London 1991; A. BENIGAR,

2
Spiritualitas sebagai ilmu merupakan yang baru, yang lahir pada abad 20. Dalam pembahasannya
sebagai ilmu, bidang ini dapat dibagi dalam tiga bagian:
I. Teologi Spiritual (Spiritualitas)
II. Promosi (Pastoral) Spiritualitas
III. Spiritualitas dalam Sejarah (Sejarah Spiritualitas)2

Sebagai ilmu baru, Spiritualitas disebut juga Teologi Spiritual, yang dulu dianggap sebagai bagian
integral dari Teologi Dogmatik dan Teologi Moral. Setelah Spiritualitas diakui sebagai ilmu yang
otonom, terutama kalau dilihat kaitan eratnya dengan Teologi Dogmatik dan Teologi Moral, maka
bermunculan tulisan-tulisan mengenai ilmu baru ini.
Dalam diktat ini, Spiritualitas akan dibahas dari segi teologi. Untuk itu, pembahasan ini akan dibagi
dalam dua bagian, yaitu:

- bagian Introduksi Umum


- bagian Inti atau bagian Sistematik

Dalam bagian Introduksi Umum itu akan dibicarakan apa itu Spiritualitas atau Teologi Spiritual
yang menyangkut: peristilahan, munculnya bidang ini sebagai ilmu, percabangannya, dan pokok
bahasannya, yaitu pengalaman rohani. Dalam bagian inti atau bagian Sistematik akan dibicarakan
muatan atau bagian inti Teologi itu, yaitu hubungan Allah dan manusia dalam pengalaman rohani
manusia itu, yang menyangkut hubungan timbal balik antara Allah dan manusia: Allah
mewahyukan diri-Nya dan manusia menjawab.

A. PERISTILAHAN
I. ARTI ISTILAH SPIRITUALITAS DALAM SEJARAH
Istilah Spiritualitas sudah muncul pada zaman patristik dalam tulisan Pelagius (yang meninggal
kira-kira tahun 423-429): Age, ut in spiritualitate proficias (berbuatlah sedemikian agar berkembang
dalam spiritualitas). Ungkapan ini menunjukkan konsep spiritualitas sebagai hidup seturut Roh
Allah dan sebagai langkah maju yang terbuka pada realisasi yang lebih lanjut, seturut rahmat
baptisan. Satu abad kemudian, Dionisius si Kecil menterjemahkan kata Yunani pneumatike menjadi
spiritualitas dalam bahasa Latin yang diartikan sebagai "berada dalam kesempurnaan hidup seturut
Allah". Sejak saat ini muncul ungkapan yang berkaitan dengan istilah itu: doa murni, kemurnian
hati, teori, kontemplasi, mistik, dll. Mungkin, dari traktat klasik yang paling lama bertahan dan
berpengaruh ialah Teologia Mistik dari pseudo-Dionisius Areopagita pada abad ke V3.

Theologia spiritualis, Roma 1964; La spiritualita come teologia. Simposio organizzato dall'Istituto di Spiritualita
dell'Universita Gregoriana, Roma 25-28 aprile 1991 (diterbitkan oleh Ch. A. Bernard), Milano 1993.

Sumber lain yang dikonsultir ialah beberapa Kamus atau Dictioner Spiritualitas: Dizionario degli Istituti di Perfezione
(Kamus mengenai Institut-Institut Religius) (diterbitkan oleh G. PELLICCIA dan G.C. ROCCA; 8 Volume), Roma
1974 - ...); Dizionario enciclopedico di spiritualita (Kamus Ensiklopedis Spiritualitas) (diterbitkan oleh E. ANCILLI
dan PONTIFICIO ISTITUTO DI SPIRITUALITA DEL TERESIANUM; 3 Volume), Roma 1990; Nuovo dizionario di
spiritualita (Kamus Baru Spiritualitas) (diterbitkan oleh S. DE FIORES dan T. GOFFI), Milano 1985; Dizionario di
spiritualita dei laici (Kamus Spiritualitas Awam) (diterbitkan oleh E. ANCILLI; 2 Volume), Milano 1981; The New
Dictionary of Catholic Spirituality (Editor: M. DOWNEY), Minnesota 1993; A Dictionary of Christian Spirituality
(Edited by G. S. WAKEFIELD), London 1989.
2Demikian misalnya buku-buku Manual Spiritualitas dan Ensiklopedi-Ensiklopedi, seperti, antara lain: The Study of
Spirituality (edited by C. JONES, G. WAINWRIGHT, E. YARNOLD), Cambridge, 1992; Dizionario enciclopedico di
spiritualita, Vol 3 (diterbitkan oleh E. ANCILLI dan PONTIFICIO ISTITUTO DI SPIRITUALITA DEL
TERESIANUM), Roma 1990, 2707-2722.
3B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale dalam Corso di spiritualita, esperienza - sistematica - proiezione
(diterbitkah oleh B. SECONDIN - T. GOFFI), Brescia 1989, 9.

3
Sejak abad IX hingga XI, istilah spiritualitas selalu memaksudkan realitas dan aktivitas yang tidak
berasal dari kodrat, tapi dari rahmat Roh Kudus, yang hadir dalam diri manusia; dengan ini
dimaksud dalam istilah sekarang "hidup adikodrati" (supernatural). Sejak abad XII, arti istilah ini
menjadi homogen: di satu pihak tetap berarti "adikodrati", seperti hidup dalam terang iman yang
bertentangan dengan keberadaan (existensi) tanpa rahmat; dan di pihak lain menunjukkan hal yang
"non material" (immaterial) yang kontra dengan realitas material, obyektif dan dapat disentuh. Santo
Thomas Aquinas (meninggal tahun 1274) memakai istilah spiritualitas untuk menunjukkan baik
realitas Ordo Religius maupun hal yang kontrast dengan materi. Pada Abad Pertengahan, istilah ini
dipakai juga dalam gereja dalam arti yuridis untuk menunjukkan hal-hal yang kontrast dengan
materialitas dalam gereja, yaitu harta benda umum gereja yang harus selalu diinventarisasi. Para
filsuf juga memakai istilah ini untuk menunjukkan apa yang bertentangan dengan corporeitas /
corporalitas; jadi dengan istilah spiritualitas dimaksudkan qualitas (filosofis) esse. Kalau istilah ini
dikaitkan dengan pengertian hidup devotis dan hidup batin, maka yang dimaksud ialah "hidup
affektif" dan hidup batin4.
Dalam bahasa vulgar juga dipergunakan istilah spiritualitas: dalam bahasa Perancis sejak abad XII;
dalam bahasa Italia pada permulaan tahun 1500, khususnya dalam karya Marianus dari Firenze
(meninggal tahun 1523) yang berjudul La vita spirituale: dalam karya ini istilah spiritualitas
memaksudkan pengorientasian manusia yang ingin menjadi manusia rohani (spiritualis), yakni
menjadi serupa (mirip) dengan Allah, sumber "spiritualitas". Dalam waktu yang sama muncul juga
istilah ini di Spanyol dalam arti "doktrin spiritual"5.
Mulai abad XVII istilah ini dipakai terutama untuk mengungkapkan hubungan affektif dengan Allah
(misalnya dalam Fransiskus dari Sales). Tetapi krisis "quietisme" 6 pada akhir abad XVII telah
mengacaubalaukan pengertian istilah itu dan terutama mengacaukan seluruh sektor mistik. Baru
pada abad ke XX kemudian muncul istilah itu yang memaksudkan "hidup rohani" sejauh merupakan
pengalaman yang dihidupi yang menyangkut hidup batin, askese, mistik, pengembangan anugerah
Roh, bimbingan rohani, dlsb, dan juga menyangkut disiplin akademis spiritualitas7.

II. ARTI SPIRITUALITAS DALAM DIRINYA SENDIRI


Dalam Kitab Suci sulit ditemukan suatu "teori" mengenai "spiritualitas". Tapi isinya dapat
ditemukan, khususnya dalam Paulus, di mana sering dapat ditemukan undangan untuk hidup sebagai
"orang rohani" (1Kor 2:13; Gal 6:1; Rom 8:9), untuk hidup dalam "pengudusan hingga
kesempurnaan: roh, jiwa dan badan" (1Tes 5:23). Dengan exhortasi ini Paulus hendak merangkum
apa itu gaya hidup kristen. Hidup yang dimaksud ialah hidup yang didominir oleh Roh Tuhan yang
bangkit, hidup sebagai anggota Gereja, sebagai keterbukaan existensial kepada seluruh
kemanusiaan, sebagai penantian akan kepenuhan yang akan datang bagi manusia dan bagi seluruh
kosmos (Rom 8)8.

4B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 9-10.


5B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 10.
6Aliran "quietisme" adalah aliran kontemplatif yang muncul pada abad 17 di Italia dan Perancis. Aliran ini mengatakan
bahwa usaha manusia, khususnya askese aktif dan praktis, adalah haram. Usaha itu harus dihapus agar dapat sampai
pada kontemplasi sempurna. Kesempurnaan hanya dapat dicapai melalui keheningan batin tanpa berbuat apa-apa.
Segala bentuk doa dan spiritualitas praktis, termasuk meditasi atas kemanusiaan Kristus, dan juga kebajikan-kebajikan
lain, seperti adorasi dan devosi, merupakan gangguan utuk kontemplasi. Aliran ini ditokohi oleh Miguel de Molinos.
Dan ini sudah dihukum sebagai heretik oleh Paus Innocentius XI tahun 1687. Keterangan lebih lengkap akan aliran ini
dapat dilihat dalam K. R. BARRON, "Quietism" dalam The New Dictionary of Catholic Spirituality (diterbitkan oleh M.
DOWNEY), Minnesota 1993, 803; E. PACHO, "Quietismo" dalam Dizionario enciclopedico di spiritualita (a cura di E.
ANCILLI e PONTIFICIO ISTITUTO DI SPIRITUALITA DEL TERESIANUM), Roma 1990, 2111-2115; M.M.
SALUTINI, "Quietismo" dalam Dizionario degli Istituti di Perfezione (diretto da G. PELLICIA [1962-1968] e da G.
ROCCA [1969-], Vol. 7, Roma 1983, 1160-1174.
7B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 10.
8B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 11; bdk W.H. PRINCIPE, "Spirituality, Christian" dalam The New
Dictionary of Catholic Spirituality, Minnesota 1993, 931; bdk R. MORETTI, "Spiritualita" dalam Dizionario di
spiritualita dei Laici, (Vol II), Milano 1981, 292-293.

4
Hidup sedemikian merupakan status essensiil keberadaan orang beriman. Karena itu, berbicara
mengenai spiritualitas - atau mengenai pengalaman rohani, hidup rohani, perjalanan hidup seturut
Roh, perjalanan menuju kekudusan dan kesempurnaan, asketik dan mistik - berarti berbicara
mengenai hidup kristen yang berkembang, bergerak menuju kematangan, baik seturut hukum
perkembangan antropologis dan psikologis, maupun seturut ritme misteri rahmat9.
Tapi aliran Gnostik10 segera menekankan dominasi "roh" atas aspek material, dan oleh karena itu,
menurut aliran ini, "berada sebagai orang rohani" berarti pelepasan diri dari segala sesuatu yang
material dan psikis. Untuk menentang pandangan yang salah ini, Ireneus dari Lion (meninggal tahun
200) segera menyebarkan ajaran bahwa seluruh diri manusia, badan dan jiwa, masuk dalam hidup
yang baru: "Semua orang yang takut akan Allah dan percaya akan segala peristiwa yang dialami
oleh Putera, dan bahwa mereka, dalam iman, memberi ruang bagi Roh Allah dalam hati, patut
disebut murni, rohani dan hidup bagi Allah"11.
Menurut Clemens dari Alexandria (meninggal tahun 215), memiliki Roh terutama berarti tahu
"membaca" Kitab Suci dan mengerti akan pesan profetis akan hidup yang disodorkan oleh Kitab itu.
Sementara Basilius dari Kaisarea (meninggal tahun 379) mengatakan bahwa orang "rohani" yang
benar bukanlah mereka yang menggunakan inteligensinya untuk berspekulasi akan Allah (yaitu
yang mengkontemplasikan Allah), tapi yang dibimbing oleh Roh dan yang menyesuaikan hidupnya
pada "gerakan" Roh itu: dan gerakan prinsipil Roh ialah kasih, yang lebih berharga dari
pengetahuan, lebih mulia dari kenabian, dan mengatasi segala kharisma yang lain. Santo Thomas
juga (meninggal tahun 1274) menyepakati superioritas cinta dalam spiritualitas: kesempurnaan cinta
adalah pusat segala kesempurnaan lain; semua mengarah pada kesempurnaan cinta ini dengan
berbagai jalan dan cara12.

B. SPIRITUALITAS SEBAGAI ILMU

I. LAHIRNYA SPIRITUALITAS SEBAGAI ILMU


Sekitar tahun 1920-an, muncul diskusi hangat mengenai hakekat, metode dan sumber-sumber
Spiritualitas, terutama kalau dilihat hubungannya dengan Teologi Moral. Dari tahun 1920 hingga
tahun 1930 masih hangat diskusi mengenai pembedaan dan pemisahan Spiritualitas atau Teologi
Spiritual dari Teologi Dogmatik dan terutama dari Teologi Moral, yang kemudian juga pembedaan
dan pemisahan dari Teologi Pastoral dan Pedagogi Religius13. Ini berarti bahwa munculnya atau
lahirnya Spiritualitas sebagai ilmu sudah pada tahun sebelum 1920-an. Dan sejak tahun 1920-an ini

9B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 11.


10Gnostik berasal dari kata Yunani "gnosis" yang berarti ilmu atau pengetahuan. Kata ini dipakai untuk memaksudkan
segala jenis ilmu. Dalam konteks hidup rohani, aliran gnostik memaksudkan orang yang mempunyai pengetahuan
khusus mengenai Allah atau mengenai keillahian, yang diperoleh atau diterima melalui revelasi, illuminasi atau inisiasi.
Keterangan selanjutnya dan yang lebih lengkap lihat dalam A. LOUTH, "Gnosticism" dalam A Dictionary of Christian
Spirituality (Edited by G.S. WAKEFIELD), London 1989, 178; D.G. HUNTER, "Gnosis, Gnosticism", dalam The New
Dictionary of Catholic Spirituality (Editor: M. DOWNEY), Minnesota 1993, 440; M. DI SANTA MARIA - L.
DATTRINO, "Gnosticismo" dalam Dizionario enciclopedico di spiritualita (a cura di E. ANCILLI e del PONTIFICIO
ISTITUTO DI SPIRITUALITA DEL TERESIANUM), Roma 1990, Vol 2, 1193-1195.
11B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 11.
12B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 11-12.
13A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, Introduzione metodologica allo studio della vita spirituale cristiana,
Milano 1990, 17-18. 117-118.

5
sudah mulai muncul tulisan-tulisan mengenai Spiritualitas, seperti artikel-artikel dalam majallah-
majallah14, majallah-majallah khusus mengenai spiritualitas15, buku pegangan16, dll.
Sekitar tahun 1940-an, Spiritualitas diakui sebagai ilmu yang otonom. Dan dalam tahun ini hampir
secara umum diajarkan bahwa Teologi Hidup Rohani adalah suatu ilmu teologis yang berbeda
tidak hanya dari Teologi Dogmatik tetapi juga dari Teologi Moral. Teologi Dogmatik mengajarkan
apa yang harus diimani. Teologi Moral mengajarkan apa yang harus dilaksanakan agar tidak jatuh
dalam dosa yang bertentangan dengan perintah-perintah atau aturan-aturan. Sedangkan Teologi
Hidup Rohani atau Teologi Spiritual mengajarkan apa yang harus dilakukan agar orang dapat
mencapai kesempurnaan. Dalam Teologi Hidup Rohani ini terkandung pula askese dan mistik.
Askese mengetengahkan latihan-latihan yang perlu untuk mencapai kesempurnaan, sedangkan
mistik berbicara mengenai fakta-fakta, keadaan atau peristiwa-peristiwa luar biasa yang terkait
dengan hidup mistik.

Rumusan di atas menimbulkan banyak diskusi, dan oleh karena itu tidak dapat diterima begitu saja.
Beberapa poin perlu dilihat mengenai rumusan ini:
1) Perbedaan antara Teologi Moral dan Teologi Spiritual atau Teologi Hidup Rohani mengandaikan
adanya perbedaan antara kesempurnaan moral dan kesempurnaan spiritual. Teologi Moral yang
menghantar orang pada kesempurnaan moral terkait dengan perintah-perintah serta aturan-aturan,
sedangkan Teologi Spiritual yang membimbing orang pada kesempurnaan spiritual terkait dengan
nasihat-nasihat. Teologi Moral berkaitan dengan kehidupan orang-orang awam atau orang-orang
beriman biasa, sedangkan Teologi Spiritual berkaitan dengan kehidupan para religius. Kalau
diterima kesatuan antara kesempurnaan dan hidup kristiani (dan mistik), sebagaimana secara umum
diterima sekarang ini, maka perbedaan material antara Teologi Moral dan Teologi Spiritual tidak
dapat dipertahankan, dan dengan demikian juga perbedaan antara askese dan mistik. Kalau
perbedaan materi kedua bidang ini dipertahankan, maka dapat dipertanyakan kembali mengenai
otonomi ilmiah spiritualitas di hadapan Teologi Moral.
2) Studi mengenai mistik (fakta, keadaan dan peristiwa-peristiwa yang secara demonstratif luar
biasa dan yang tidak jarang mengiringi kesempurnaan) telah memodifikasi obyek material Teologi
Spiritual. Berkat studi ini pula kemudian disadari mutlak perlunya penyelidikan mengenai kejiwaan
manusia (Psikologi), dan kemudian tentang sejarah hidup manusia-manusia rohani. Sejarah hidup
orang rohani ini tidak bisa diabaikan, karena studi rispektif Psikologis maupun penilaian tepat dan
definitif mengenai orang-orang rohani tersebut sangat tergantung dari kepastian historis (bukti-bukti
kritis yang dihasilkan dalam studi mengenai sejarah).
3) Problematik pengalaman dalam studi mengenai Teologi Spiritual. Pengalaman, sebagai buah-
buah praktek dan sekaligus mengarah kepada praktek, semakin dirasakan dan berpengaruh terhadap
realitas. Pengalaman itu diwujudkan baik oleh Teologi Spiritual maupun oleh seni, sejauh
tergantung dari dan terarah kepada praktek: ars artium regimen animarum.
Ketiga poin ini muncul dari relasi antara Teologi Moral dan Teologi Spiritual. Kedua ilmu ini -
sekalipun obyek materialnya sama atau hampir sama yaitu: hidup, kesempurnaan atau kekudusan
kristiani - memiliki obyek formal, metode dan sumber-sumber yang berbeda. Teologi Moral lebih
bersifat ontologis, teologis, spekulatif atau deduktif (analisis), sedangkan Teologi Spiritual lebih
bersifat fenomenologis atau induktif dan praktis. Di sini, dikatakan lebih karena Teologi Moral juga
menaruh perhatian pada sejarah, pengalaman dan praktek. Di sisi lain, Teologi Spiritual juga tidak
mengabaikan Teologi Spekulatif. Perbedaan antara kedua ilmu itu justru terletak pada perbandingan
proporsional antara deduksi dan induksi, antara spekulasi dan pengalaman, antara elemen-elemen
yang khas teologis dan elemen-elemen yang khas human (sejarah manusia) dari masing-masing.
Berdasarkan keterangan ini semakin diperjelas hubungan antara Teologi dan Sejarah, serta antara
teori dan pengalaman hidup rohani. Dengan demikian, semakin kuat pula alasan untuk lebih

14MENESSIER, Notes de theologie spirituelle in "Vie Spirituelle", 1935; REGAMEY, Reflexions sur la theologie
spirituelle in "Vie spirituelle", 1938.
15Tahun 1920 sudah ada majallah khusus mengenai spiritualitas yang bernama Revue d'ascetique et de mystique. Sejak
tahun 1964, majallah ini sudah memuat bibliografi Spiritualitas yang masih dalam bahasa Perancis.
16Seperti H. HEERINCK, Introduction in Theologiam spiritualem asceticam et mysticam, Roma 1931; R.
GARRIGOU-LAGRANGE, Perfezione cristiana e contemplazione, Torino 1933; J. DE GUIBERT, Theologia
spiritualis ascetica et mystica, Roma 1939.

6
mempergunakan istilah Spiritualitas dari pada Teologi Spiritual atau Teologi Mistik dan Asketik.
Sebab penjelasan teologis mengenai hidup sesuai dengan Roh tidak bisa dipisahkan dari situasi
manusia dalam sejarahnya. Di samping itu terdapat pula hubungan erat antara fenomenologi dan
ontologi hidup kristiani, antara pengalaman-pengalaman etis-religius dan pengalaman-pengalaman
non kristiani.

II. NAMA
Karena ilmu ini masih tergolong muda dalam teologi, maka hingga sekarang belum ada kesatuan
kriteri bagi para penulis untuk menentukan nama umum bagi bidang ini. Nama yang muncul hingga
sekarang bermacam-macam. Ada yang menyebut Hidup Interior (MEYNARD, MERCIER,
POLLIEN); yang lain menamainya Hidup Rohani (LE GAUDIER, SCHRIJVERS), atau Hidup
Supernatural (CH. DE SMEDT); yang lain lagi menyebut Teologi Spiritual (HEERINCK), atau
Teologia Rohani Asketik dan Mistik (DE GUIBERT); lagi, ada yang menyebut Asketik dan Mistik
(CRISOGONO DE YESUS), atau Teologi Asketik dan Mistik (NAPAL, TANQUEREY); dan ada
lagi yang menyebut Kesempurnaan dan Kontemplasi (GARRIGOU-LAGRANGE)17. Selain nama-
nama ini, ada juga, akhir-akhir ini yang menyebut Teologi Hidup Rohani dan juga Spiritualitas18.
Masing-masing nama ini punya kelemahan sendiri. Teologi Mistik dan Asketik, misalnya, meski
sudah lama nama ini muncul, tapi toh tidak begitu bersifat khas kristiani; juga Teologi Spiritual
rasanya kurang persis, karena setiap teologi bersifat spiritual; demikian pun istilah Spiritualitas
meski agak umum dipakai akhir-akhir ini, tapi kurang menunjukkan ciri khas ilmiah, melainkan
lebih bersifat praktis dan pedagogis19.
Tapi, meski demikian, nama Spiritualitas mungkin lebih tepat disebut, karena dua alasan ini: 1)
istilah ini berasal dari kata Spiritus (Roh), dan oleh karena itu terasa atau nampak lebih kristiani, dan
ini cocok dengan apa yang dikatakan oleh Paulus dalam Gal 5,25: Jikalau kita hidup oleh roh,
baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh; 2) istilah ini menunjukkan obyek studi, yaitu kenyataan
yang pada dasarnya bersifat spiritual20.

III. DEFINISI
Karena ilmu ini masih baru dan belum ada kesatuan kriteri untuk menentukan nama umum baginya,
maka definisinya pun masih bervariasi. Beberapa definisi yang pernah muncul ialah yang berikut
ini:

1) P. GARRIGOU - LAGRANGE
Teologi Asketik dan Mistik tidak lain dari pada applikasi Teologi Moral untuk mengarahkan jiwa
pada kesatuan yang semakin intim dengan Allah. Teologi ini mengandaikan semua yang diajarkan
oleh doktrin suci mengenai hakekat dan apa yang terkandung dalam kebajikan kristen dan dalam
anugerah Roh Kudus, dan mempelajari hukum-hukum dan kondisi perkembangannya dari sudut
kesempurnaan.
Kemudian, disambung lagi demikian dalam tulisan yang lain:
Bagian teologi ini adalah terutama pengembangan traktat mengenai cinta Allah dan mengenai
anugerah Roh Kudus, dan tujuannya ialah untuk menunjukkan applikasinya dan membimbing jiwa-
jiwa pada kesatuan dengan yang Illahi21.

17A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, Milano 1987, 14-15.
18A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 37.
19A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 37-38.
20A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 38-39.
21Rumusan ini diambil dari A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 21-22. Rumusan Lagrange ini
terdapat dalam bukunya Perfezione cristiana e contemplazione, Torino 1933, 3, dan dalam Le tre eta della vita
interiore, Torino 1950, 9.

7
2) P. DE GUIBERT:
Teologi Spiritual dapat dirumuskan sebagai ilmu yang berasal dari prinsip-prinsip yang
diwahyukan dan menerangkan apa itu kesempurnaan hidup rohani dan bagaimana manusia
mengarah ke dan mengikuti kesempurnaan itu22.
3) A. TANQUEREY
A. Tanquerey membatasi dirinya dengan mengatakan bahwa Teologi Spiritual adalah ilmu yang
membicarakan tujuan ke mana jiwa-jiwa diarahkan, yaitu kepada kesempurnaan kristen. Tetapi
kemudian, ketika ia berusaha membedakan Askese dan Mistik, ia sampai pada rumusan bahwa
Askese adalah bagian ilmu kerohanian yang berbicara mengenai teori dan praktek kesempurnaan
kristen dari awal hingga pada puncaknya, yaitu kontemplasi. Sedangkan Mistik adalah bagian lain
dari ilmu kerohanian itu yang berbicara mengenai teori dan praktek hidup kontemplasi mulai dari
"malam pertama" dan keheningan kontemplasi itu hingga pada "perkawinan rohani"23.

4) SCHRIJVERS
Schrijvers mengatakan bahwa ilmu tentang hidup rohani mengajarkan bagaimana mengarahkan
seluruh aktivitas orang kristen kepada kesempurnaan adikodrati24.

5) P. NAVAL
P. Naval merumuskan mistik sebagai ilmu yang berbicara mengenai kesempurnaan kristen dan
bimbingan bagi jiwa-jiwa menuju kesempurnaan itu25.

6) A. ROYO MARIN
Teologia Spiritual adalah bagian dari teologi yang berdasarkan prinsip wahyu illahi dan
pengalaman-pengalaman hidup orang-orang kudus, mempelajari organisme hidup adikodrati dan
menerangkan hukum-hukum perkembangan yang diikuti oleh jiwa semenjak memasuki hidup
kristiani hingga mencapai puncak kesempurnaan26.

7) G. MOIOLI
Theologia Spiritualis berkewajiban mempelajari perkembangan konkrit hidup kristiani:
memperhatikan bagaimana hidup baru itu, yang memiliki Roh Kudus sebagai dasar dalam dirinya,
diwujudkan secara konkrit dalam diri manusia di bawah terang iman27.

8) A. BENIGAR
Theologia spiritualis est illa pars theologia, quae tractat de Deo amanter et suaviter perficiente
membra corporis Christi mystici cum ardenti, studiosa ac generosa eorundem membrorum
cooperatione a germine vitae deiformis usque "in virum perfectum in mensuram aetatis
plenitudinis" sui divini Capitis28.

9) P. VANDENBROUCKE
Spiritualitas pada hakekatnya adalah ilmu tentang reaksi-reaksi kesadaran religius di hadapan
obyek-obyek iman dan ini merupakan aspek intelektualnya; kemudian, spiritualitas adalah juga
ilmu yang mempelajari kegiatan-kegiatan manusia dalam hubungan khususnya dengan Allah
(dinamakan juga askese dan mistik). Dengan kata lain, spiritualitas dapat disebut sebagai ilmu
mengenai penerapan (applikasi) Injil ke dalam hidup orang kristen, baik dalam batas-batas
intelektual maupun mistik29.
22Rumusan ini diambil dari A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 21-22. Rumusan DE GUIBERT ini
terdapat dalam bukunya Theologia spiritualis ascetica et mystica, Roma 1939, 1-38, no. 9.
23A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 22.
24A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 22.
25A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 22.
26A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 23.
27G. MOIOLI, "La vita cristiana come oggetto della Teologia Spirituale" dalam La Scuola Cattolica 91 (1963) 103.
28A. BENIGAR, Theologia Spiritualis, Roma 1964, 2.
29P. VANDENBROUCKE, "Spiritualite et Spiritualites" dalam Concilium 1 (1965) 47.

8
10) LASIC
Theologia christiana perfectidica est doctrina et scientia quaedam, quae secundum principia per
Christum revelata, naturalibus quoque pro modo subiunctis, tractat de Deo, prout secundum
Christum-normam totalitatis se communicat homini viatori in hac conclusiva secum cooperatione30.
11) CH. A. BERNARD
Teologi Spiritual adalah disiplin teologis berdasarkan prinsip-prinsip rivelasi yang mempelajari
pengalaman rohani kristen, melukiskan perkembangannya, dan menunjukkan struktur dan hukum-
hukumnya31.

12) B. SECONDIN dan T. GOFFI


Teologi Spiritual ialah disiplin teologis yang menyelidiki secara sistematis kehadiran dan aksi
misteri yang diwahyukan dalam hidup dan dalam kesadaran Gereja dan orang beriman, sambil
melukiskan struktur dan hukum-hukum perkembangannya hingga ke puncak, yaitu pada kekudusan,
yang merupakan kesempurnaan kasih32.

13) J. AUMANN
Teologi Spiritual adalah bagian dari teologi yang - terpancar dari kebenaran-kebenaran wahyu
illahi dan pengalaman religius setiap individu - merumuskan kodrat hidup supernatural,
merumuskan arah perkembangannya, dan menerangkan proses perkembangan itu dengan mana
jiwa-jiwa bergerak maju dari permulaan hidup rohani hingga kesempurnaannya yang penuh33.

14) A. G. MATANIC
Menurut A. G. Matanic34, untuk semua rumusan di atas masih perlu lagi ditambahkan beberapa poin
pemikiran dan konsep riil dan dasariah yang memberikan tekanan lebih umum pada aspek-aspek
tertentu:
1) Spiritualitas adalah "qualitas dari segala sesuatu yang adalah spiritual". Pemikiran ini adalah
umum dan dapat ditemukan dalam kamus-kamus, dan ini merupakan salah satu dari rumusan-
rumusan filosofis yang pertama.
2) Spiritualitas dimengerti juga sebagai sinonim dengan kesalehan (pietas) atau hidup keagamaan
yang diwujudkan dan dialami, misalnya yang diwujudkan dan dialami oleh seorang santo atau santa,
atau oleh siapa saja yang mempunyai hubungan pribadi dengan Yang Illahi dalam konteks
pelayanan. Karena itu, pengalaman kesalehan dan hidup keagamaan atau religiositas ini tidak hanya
terbatas pada orang-orang kristen saja. Dan memang, kenyataannya, ada spiritualitas sebelum
kekristenan, dan ada juga spiritualitas non kristen. Tetapi, karena yang dibicarakan di sini adalah
spiritualitas atau religiositas kekristenan, atau kenyataan kekristenan yang dihidupi, maka
spiritualitas di sini dimengerti sebagai bakti pelayanan kristiani bagi Allah. Di sini, spiritualitas pada
tingkatnya yang paling atas identik dengan kekudusan. Karena itu, maka literatur yang ditulis oleh
seorang penulis dalam hal ini seharusnya mengungkapkan kekudusan si penulis itu sendiri.
3) Selain sebagai pengalaman keagamaan, spiritualitas dilihat juga sebagai ilmu yang mempelajari
serta mengajarkan prinsip-prinsip dan praktek-praktek untuk hidup saleh, data-data mengenai hidup
keagamaan, bakti kepada Allah dan hidup rohani pada umumnya. Dengan pandangan ini maka
spiritualitas disamakan dengan ajaran spiritual atau Teologi Hidup Rohani, khususnya menurut
agama kristen. Karena itu, untuk menjawab pertanyaan mengenai "Apa itu Spiritualitas?", harus
dibedakan apa itu kenyataan spiritual yang dihidupi dan apa itu ilmu atau studi tentang kenyataan
yang dihidupi itu. Dengan kesadaran ini, maka spiritualitas kiranya dapat dirumuskan sebagai
berikut:

30LASIC, Theologia christiana, 1967, 198.


31Ch.A. BERNARD, Teologia Spirituale, Roma 1983, 68.
32B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 14.
33J. AUMANN, Spiritual Theology, London 1980, 22.
34A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 39-42.

9
Spiritualitas ialah ilmu tentang hidup rohani, yang menyelidiki
baik dimensi teologis-nya maupun dimensi fenome-nologisnya.
Rumusan ini mengandung empat elemen essensiil:
a) Spiritualitas sebagai ilmu berarti sebagai suatu studi, penyelidikan atau penelitian,
tetapi tidak terpisah dari praktek; di sini ada serangkaian prinsip dan praktek sebagai sarana
untuk sampai pada "cognito per causas"
b) Hidup Rohani - yang adalah kesempurnaan, kekudusan (dalam pengertian kristiani)
merupakan obyek material dari Spiritualitas ini sebagai ilmu
c) Bagaimana hidup ini dipelajari, dan bagaimana sifatnya yang teologis (bagi sumber-
sumbernya dari teologi) dan sekaligus fenomenologis (sehubungan dengan sumber-sumber
human, historis dan sosialnya) merupakan obyek formal ilmu ini
d) Usaha untuk mencari bagaimana terciptanya kekhususan spritualitas spesifik ialah
dengan memperhatikan secara seksama dimensi fenomenologis ilmu itu.

4) Spiritualitas kadang-kadang disamakan dengan "aliran spiritualitas". Aliran ini tidak lain dari
pada kumpulan orang atau literatur yang mewujudkan atau merupakan perwujudan dari prinsip-
prinsip serta praktek-praktek hidup spiritual tertentu, misalnya spiritualitas masing-masing Ordo
atau Kongregasi yang terdapat dalam Gereja. Identifikasi antara spiritualitas dan aliran spiritualitas
tidak selalu tepat, karena tidak semua spiritualitas mempunyai suatu aliran, sementara itu setiap
aliran spiritualitas, kalau ada, mengandaikan adanya data-data mengenai spiritualitas.

Dari semua keterangan ini jelas bahwa yang paling penting mengenai pengertian tentang
spiritualitas ialah bahwa spiritualitas itu adalah pertama-tama sebagai kenyataan hidup yang
dialami, dan yang kedua sebagai ilmu yang mempelajari kenyataan hidup itu. Spiritualitas sebagai
ilmu mengandaikan spiritualitas sebagai kenyataan hidup yang dialami, karena spiritualitas itu
terlebih dahulu harus dihidupi dulu baru kemudian dipelajari dan diajarkan (yang untuk selanjutnya
dihidupi kembali).

IV. METODE 35

1. PROBLEMATIK METODOLOGIS

Karena Spiritualitas atau Teologi Spiritual masih baru sebagai ilmu, maka metodenya juga masih
baru atau masih dalam usaha untuk semakin menyempurnakannya. Karena Teologi Spiritual ini
baru disadari sebagai ilmu yang otonom sekitar tahun 1940 yang lalu, maka para penulis mengenai
bidang ini sebelumnya belum mempersoalkan metode bidang ini sebagai ilmu, karena pada masa itu
Spiritualitas masih merupakan bagian integral dari ilmu Teologi Dogmatik dan Teologi Moral.
Karena dianggap perlu bahwa Teologi Spiritual terpisah dari Teologi Moral terutama, maka perlu
juga mencari metodenya. Tentu saja kalau Teologi Spiritual adalah bagian dari Teologi, maka
metodenya pun harus bersifat teologis, dan sumber-sumbernya pun harus diambil dari sumber-
sumber teologis. Tetapi justru karena keterpisahan dari Teologi Moral ini, maka metode dan
bibliografinya pun agak problematik sebagai yang harus otonom.
Seperti sudah dikemukakan, Spiritualitas adalah ilmu tentang hidup spiritual baik dalam dimensi
teologis maupun dalam dimensi fenomenologisnya. Karena mengandung dua dimensi yang berbeda,
maka obyek materialnya sungguh-sungguh luas, yakni meliputi sumber-sumber yang bersifat
antropologis (psikologis) dan historis.

2. METODE YANG KOMPLEKS

35A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 91-94.

10
Spiritualitas adalah suatu ilmu yang majemuk karena muatannya secara prinsipiil merupakan bagian
dari Teologi, Sejarah dan Psikologi. Masing-masing ketiga ilmu ini mengandung aspek praktis dan
sumber-sumbernya majemuk.
Ke-kompleks-an metode dalam studi mengenai Spiritualitas sangat ditentukan oleh kenyataan yang
disebut di atas. Alhasil, secara metodologis dikenal:
- Spiritualitas spekulatif, dengan metode khas teologis dan deduktif (analisis)
- Spiritualitas praktis, dengan metode khas psikologis, pedagogis, formatif
- Spiritualitas positif atau historis, dengan metode deskriptif dan induktif
Ke-kompleks-an ilmu ini nampak juga dari pemakaian sebutan ganda untuk ilmu ini, sebagaimana
nampak dari pelbagai daftar kepustakaan yang ada hingga sekarang:
- Teologi dan Spiritualitas
- Sejarah dan Spiritualitas
- Psikologi dan Spiritualitas

Dari sebutan ganda ini dapat disimpulkan bahwa metode deduktif saja tidak cukup dalam studi
mengenai Spiritualitas ini. Metode deduktif ini perlu dilengkapi juga dengan metode induktif,
terutama kalau harus menghadapi fakta-fakta historis dan pengalaman-pengalaman konkrit.
Sebutan ganda Teologi dan Spiritualitas menunjukkan bahwa Spiritualitas adalah bagian dari
Teologi dan secara organis menyatu dengannya. Oleh karena itu Spiritualitas dapat dipaparkan
seperti semua ilmu teologis dan sesuai dengan metode teologis.
Dari sebutan ganda Sejarah dan Spiritualitas dapat disimpulkan bahwa Spiritualitas, baik sebagai
ilmu maupun sebagai realitas yang dihidupi, punya sejarahnya. Karena itu, metode yang tepat
untuknya ialah metode historis-kritis.
Sedangkan ungkapan Psikologi dan Spiritualitas menunjukkan bahwa Spiritualitas juga adalah
suatu ilmu tentang manusia, yaitu subyek dari hidup dan kesempurnaan spiritual, dan bahwa studi
mengenai manusia ini menjadi bagian dari Spiritualitas. Dalam hal ini dapat dipakai suatu metode
yang cocok untuk ilmu mengenai manusia. Karena itu sifatnya adalah eksperiensial (pengalaman)
dan rasional.
Sebagai rangkuman dapat dikatakan bahwa problematik metodologis spiritualitas praktisnya
menyangkut:
a) Penguasaan pelbagai metode terkait yang telah disebut di atas. Hal ini akan membantu
tercapainya pemahaman yang lebih baik mengenai spiritualitas itu sendiri
b) Kemampuan untuk memberikan nilai yang tepat kepada masing-masing metode
c) Kesanggupan menerapkan pelbagai metode terkait
d) Kemampuan merangkumkan pelbagai risultan yang diperoleh lewat masing-masing
metode.

Jadi, studi mengenai spiritualitas seharusnya dilaksanakan dengan menerapkan pelbagai metode
ilmiah, walaupun di lain pihak orang hendaknya membatasi diri pada dimensi-dimensi teologis,
historis dan psikologis. Lebih lanjut kebutuhan manusia dewasa ini menuntut bahwa setiap argumen
sedapat mungkin bersifat universal. Oleh karena itu perlu mengetahui pelbagai metode dan bidang
studi, sehingga wawasan ilmu yang bersangkutan akan lebih luas dan sifatnya menyeluruh.

V. SUMBER-SUMBER SPIRITUALITAS36
Pendekatan terhadap pelbagai sumber menuntut pemahaman metode-metode yang berbeda-beda.
Sejalan dengan adanya banyak sumber, maka terdapat pula beraneka-ragam metode.

Sumber-sumber untuk spiritualitas dibagi dalam pelbagai kelompok:


1) Kelompok pertama disebut Sumber-sumber teologis umum (loca theologica), yang meliputi
Wahyu scripta et tradita, Ajaran resmi Gereja (Magisterium), dan Liturgi. Ke dalam kelompok ini
harus juga dimasukkan Anggaran Dasar, Konstitusi dan Statuta Hidup Religius sejauh disahkan oleh
kuasa gerejani.
36A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 95-103.

11
2) Kelompok kedua ialah Sumber-sumber literer atau teoretis yang disebut juga sumber-sumber
teologis khusus (partikular): sumber-sumber ini tertuang dalam pelbagai tulisan dari pelbagai
pengarang (penulis) spiritualitas paling karakteristik dan kwalitatif, khususnya bila memiliki otoritas
besar, karena kekudusan dan pengalaman si penulisnya, untuk menjadi sesuatu yang bersifat
normatif. Dalam kaitannya dengan teologi, pengarang-pengarang yang dimaksudkan dapat
dimasukkan sebagai bagian dari tradisi; contoh konkritnya ialah para Bapa Suci dan Doktor-Doktor
Gereja.
Akan tetapi, sumber-sumber ini dapat juga berupa kepustakaan besar, entah mengenai Liturgi,
Gereja atau Maria, yang merupakan kesaksian dari satu periode atau tendensi tertentu.
3) Kelompok ketiga ialah Sumber-sumber faktual atau fenomenologis atau eksperiensial (documenta
non scripta): sumber-sumber ini berasal langsung dari kehidupan, praktek atau pengalaman konkrit
yang sejajar dengan fakta spiritual, historis dan sosial. Ke dalam kelompok ini dimasukkan juga
cerita-cerita mengenai orang-orang kudus dan yang sangat representatif bagi spiritualitas, fakta-
fakta dan fenomena religius dan moral yang mencirikan suatu periode, gerakan serta aliran religius,
devosi dan praktek hidup, folklore religius, fakta-fakta artistik (misalnya ikonografi), dst. Dewasa
ini banyak dari sumber-sumber tersebut dipelajari dengan bantuan ilmu-ilmu statistik, diteliti lewat
angket, diskusi, interview, dan sejauh menyangkut psikologi, diterapkan pelbagai tekhnik psikologis
dan sosiologis.
Dalam studi mengenai Spiritualitas, pengalaman pribadi juga memainkan peranan penting. Pada
umumnya sebagian besar pengarang atau penulis spiritualitas adalah para akhli hidup spiritual, para
bapa pengakuan, rektor Institut dan pembimbing rohani. Mereka bisa mengajarkan "terang" karena
mereka memiliki "terang" itu. Hidup rohani praktis punya hubungan erat dengan pengetahuan
teologis. Dengan kata lain, pengalaman hidup rohani merupakan sarana atau dasar bagi
perkembangan pengetahuan mengenai spiritualitas.
Keragaman serta banyaknya sumber-sumber bagi studi Spiritualitas menimbulkan persoalan lain
sehubungan dengan proses penyelidikan, hermeneutik (hal mencari duduk perkaranya yang
sebenarnya) serta interpretasi. Setiap kelompok sumber menuntut proses penyelidikan dengan
norma-norma serta hukum interpretasi tertentu yang diketahui oleh si penyelidik. Selain itu, tidak
jarang bahwa masing-masing kelompok sumber harus diinterpretasikan berdasarkan kriteria-kriteria
dari kelompok lain, sehingga dengan demikian bisa saling melengkapi.

Masih dalam kaitannya dengan problematik eksegetis sumber-sumber, perlu ditambahkan beberapa
catatan:
1) Sumber-sumber teologis yang berasal dari Tradisi dan Magisterium diterima bukan saja karena
memiliki kekuatan teologis, tetapi juga sebagai kesaksian historis, karena sumber-sumber ini bisa
merupakan kesaksian dari seorang Bapa atau Pujangga (penulis) Gereja, atau berupa affirmasi
historis yang dimasukkan ke dalam suatu dokumen kepausan atau suatu keputusan yuridis. Singkat
kata, untuk memahami sumber-sumber ini diperlukan prospektif historis dengan memperhatikan
pula perkembangan yang mungkin dialami oleh suatu ide yang terkandung di dalam dokumen
tersebut.
2) Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, adalah sumber teologis utama bagi
masing-masing dan seluruh Spiritualitas kristiani. Namun sering pula dikatakan atau disebutkan
Spiritualitas Biblis, Spiritualitas Perjanjian Lama, Spiritualitas Perjanjian Baru, dst. Kalau hal ini
dikatakan, ini berarti memaksudkan Spiritualitas Khusus, sejauh terbatas untuk periode tertentu,
sejajar misalnya dengan Spiritualitas Apostolik, Spiritualitas Orang Kristen Pertama, dst. Di lain
pihak, pemakaian Kitab Suci dalam Spiritualitas mengandung persoalan yang terkait dengan arti
spiritual dari setiap interpretasi. Dengan kata lain, setiap interpretasi mengenai Kitab Suci
mengandung makna spiritual tertentu, dan arti spiritual dari setiap interpretasi ditentukan oleh
kebenaran interpretasi tersebut. Karena itu bisa diajukan pertanyaan: apa hubungan antara Kitab
Suci dengan Spiritualitas?
3) Mengenai sumber-sumber yang berasal dari kuasa dan hukum Gerejani, harus dikatakan bahwa
tidak mudah membuat dokumentasi tentang kaitan obyektifnya dengan Spiritualitas yang dihidupi
secara riil; sampai kini kuasa dan hukum Gerejani mempengaruhi Spiritualitas, tetapi sampai
sekarang terjadi juga sebaliknya. Di samping itu perlu juga membedakan antara Spiritualitas hukum
atau ideal dengan Spiritualitas praktis (faktual). Sebagai contoh: Spiritualitas Imam pada abad ke-

12
20 menurut Hukum Gereja berbeda dari Spiritualitas Imam yang dipraktekkan pada abad yang
sama. Demikian pula dengan Spiritualitas Hidup Religius: lain berbicara mengenai Spiritualitas
menurut Konstitusinya dari pada berbicara mengenai Spiritualitas riil yang dihidupi oleh Hidup
Religius tersebut.
4) Tentang sumber-sumber teologis dalam arti harafiah (literatur teologis) perlu ditekankan
perbedaan antara aspek teoretis dan aspek praktisnya, apakah literatur tersebut berbicara mengenai
realitas atau kesaksian riil. Pada kenyataannya realitas bisa sangat berbeda dari apa yang diajarkan
(teori). Secara literer harus pula dikatakan bahwa banyaknya kepustakaan mengenai Spiritualitas
dalam bahasa tertentu tidak bisa dijadikan jaminan bahwa dalam lingkungan masyarakat yang
memakai bahasa tersebut terdapat banyak akhli hidup rohani.
5) Sejauh menyangkut sumber-sumber faktual atau eksperiential (documenta non scripta) harus
dikatakan bahwa terdapat banyak kritik yang sangat kompleks berkaitan dengan keragamannya.
Akan tetapi problematiknya lebih bersifat historis: sejauh mana sumber-sumber tersebut obyektif
dan bagaimana menilainya secara obyektif pula. Misalnya mengenai hasil dari metode atau tekhnik
modern tertentu, seperti angket, interview, dst.
6) Dalam usaha memaparkan pelbagai Spiritualitas spesifik, misalnya Spiritualitas dari seorang
santo atau santa, Spiritualitas Institut Religius tertentu, periode historis tertentu, dst, harus dihindari
usaha penyempitan ke dalam suatu elemen tertentu yang mengkarakterisir pribadi, Institut atau
periode yang bersangkutan. Spiritualitas adalah realitas kompleks dan tidak mungkin dipadatkan ke
dalam satu elemen tertentu saja. Dengan kata lain, perlu berhati-hati terhadap penilaian yang
bersifat sintesis dan terhadap usaha meng-generalisasikan.
7) Harus dihindari pula interpretasi akronologis: sumber-sumber dari masa lampau tidak bisa dilihat
dengan kaca mata masa kini dan sebaliknya, terutama bila menyangkut ide-ide serta
pelaksanaannya.
8) Dengan beredarnya (berputarnya) zaman akan semakin banyak kemungkinan studi perbandingan
Spiritualitas, misalnya antara Spiritualitas kristiani dan Spiritualitas non kristiani, Spiritualitas
paleokristiani dan Spiritualitas Abad Pertengahan, dst.
Pendekatan dan studi perbandingan ini sangat membantu usaha menemukan serta mengenal ciri-ciri
khas masing-masing Spiritualitas dan pengaruh timbal balik terhadap satu sama lain, dsb.

Mengingat banyaknya sumber-sumber dan kompleksnya metode bidang studi Spiritualitas, maka
tidak mungkin menampilkan suatu rangkuman (kumpulan) yang berisikan semua sumber dengan
segala metode dan introduksinya masing-masing. Kumpulan yang ada sampai sekarang pada
umumnya sangat terbatas, karena berupa buku-buku pegangan dan sering dengan teks-teks yang
tidak original (terjemahan saja). Selain itu terdapat koleksi, katalog atau inventaris dari sumber-
sumber "pembantu" yang bersifat didaktis-formatif untuk mempermudah menelusuri masing-masing
serta pelbagai sumber yang ada.

VI. ILMU-ILMU PENUNJANG BAGI SPIRITUALITAS37


Karena Spiritualitas sebagai ilmu membahas kehidupan spiritual konkrit, maka untuk
mengembangkan pemahaman yang lebih menyeluruh dan akurat dibutuhkan ilmu-ilmu penunjang.
Pembicaraan mengenai ilmu penunjang bagi Spiritualitas mulai muncul pada tahun 30-an.
Sebelumnya pokok ini tidak dikenal, karena masih hangat dibicarakan mengenai pemisahan
Spiritualitas dari Teologi Dogmatik, Teologi Pastoral, dan dari Pedagogi Religius. Baru sesudah
munculnya Spiritualitas sebagai ilmu otonom mulai dirasakan perlunya berbicara mengenai pelbagai
ilmu lain yang terkait dan yang dapat dipakai sebagai bantuan untuk mempelajarinya.
Sulit untuk menentukan secara pasti berapa banyak ilmu yang dianggap sebagai penunjang studi
Spiritualitas, karena masing-masing penulis punya pendapat lain. Menurut Bibliographia
Internationalis Spiritualitatis (1966 - ...) - hasil kerja para Karmelit tanpa kasut - ilmu-ilmu yang
terkait dengan Spiritualitas adalah: Teologi Dogmatik, Teologi Moral, Teologi Pastoral, Pedagogik
37A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 117-139.

13
(Umum), Psikologi dan Psikhiatri. Kita menerima Teologi Dogmatik dan Teologi Moral sebagai
ilmu yang pada kenyataannya dan secara doktrinal diandaikan dalam studi Spiritualitas. Namun
banyak pengarang melihat kedua ilmu tersebut sebagai ilmu penunjang belaka dalam studi
Spiritualitas.
Sampai sekarang masih dilihat adanya hubungan erat antara Teologi Dogmatik dan Spiritualitas.
Malahan kadang-kadang sulit membedakan apakah yang dibicarakan itu Teologia Dogmatik atau
Spiritualitas. Hubungan erat antara kedua ilmu ini dapat diterima, karena menyangkut ajaran dan
kehidupan konkrit.
Selain yang disebut di atas, perlu juga diperhatikan hubungan khusus antara studi historis mengenai
Spiritualitas dan Sejarah Gereja pada umumnya. Sejarah Spiritualitas adalah bagian dari Sejarah
Gereja. Karena itu Sejarah Gereja dilihat sebagai ilmu yang diandaikan dan sekaligus sebagai
bantuan bagi studi Spiritualitas, khususnya bila harus berhadapan dengan faktor-faktor kausal dari
pelbagai fenomena spiritual. Contohnya: studi mengenai pelbagai lingkungan historis dan geografis
dan pelbagai pengaruh.
Selanjutnya antara Spiritualitas dan ilmu-ilmu Biblis terdapat juga hubungan yang tidak boleh
diabaikan. Sebagaimana diketahui, Wahyu Tertulis merupakan salah satu sumber utama bagi studi
Spiritualitas. Oleh karena itu, bila orang dapat memahami atas cara lebih baik ilmu-ilmu Biblis, dia
akan memperoleh pemahaman yang baik pula tentang Spiritualitas.
Akhirnya perlu juga diingat bahwa setiap Spiritualitas khusus memiliki pula ilmu-ilmu penunjang,
misalnya yang terkait dengan Spiritualitas Hidup Religius atau dari periode historis tertentu.

Ilmu-ilmu yang termasuk pada umumnya sebagai penunjang untuk studi Spiritualitas ialah:
1) Ilmu-ilmu mengenai agama pada umumnya, khususnya Sejarah Agama-Agama
dan Asketisme
2) Patrologi dan Patristik, Sejarah Teologi Kristiani dan Katolik (di sini perlu
diingat bahwa banyak pengarang Spiritualitas hidup sezaman dengan Bapak-
Bapak Suci, Pujangga Gereja dan Teolog. Selain itu ada relasi antara
pengetahuan dan bahasa teologis, pengetahuan dan bahasa mistik, konsep-konsep
teologis dan mistik)
3) Biografi, Autobiografi, dan secara khusus Hagiografi
4) Sejarah berdirinya suatu Institut Religius dan Sejarah ini diikuti oleh berdirinya
"aliran spiritualitas" tertentu dari Institut yang bersangkutan
5) Psikologi, sebagai salah satu ilmu yang paling penting mengenai manusia,
khususnya Psikologi differensiil, Psikologi Karakterologis, Psikologi Pastoral,
Psikologi Pedagogik, Psikologi Dinamis dan Psikhiatri
6) Liturgi, khususnya yang bersifat historis dan teologis
7) Teologi Pastoral
8) Pedagogi Hidup Religius (salah satu spesialisasi dari Teologi Pastoral). Ilmu ini
berkaitan secara khas dengan Spiritualitas Praktis
9) Sosiologi Religius

Ilmu penunjang secara khusus bagi Spiritualitas ialah:


1) Biografi-Hagiografi
2) Psikologi
3) Sosiologi-Religius.

Biografi-Hagiografi lebih tradisional, sedangkan Psikologi dan Sosiologi-Religius lebih modern.


Ketiga ilmu penunjang ini sangat aktual, dan ini terbukti karena mendapat tekanan tertentu dalam
dokumen-dokumen Gereja dewasa ini, termasuk dokumen Konsili Vatikan II.

1) Biografi-Hagiografi. Tidak dapat dipungkiri bahwa Biografi dan cabangnya Autobiografi dan
Hagiografi punya peranan penting dalam studi praktis dan teoretis Spiritualitas. Hagiografi adalah
ilmu tentang orang-orang kudus yang berbicara mengenai sejarah hidup dan peribadatannya. Ilmu
ini menelaah peri hidup orang-orang yang sungguh-sungguh mempraktekkan prinsip-prinsip
Spiritualitas dan dilihat sebagai model yang dapat dicontoh. Pengalaman serta praktek hidup

14
mereka, khususnya kalau bersifat kharismatis, mempunyai pengaruh sosial-religius. Di samping itu,
studi tentang pokok ini dapat mengkonfirmasikan kebenaran ajaran spiritual kristiani lewat
kesaksian hidup serta contoh-contoh konkrit dalam ekspressi otentik aksioma hidup spiritual. Latar
belakang semuanya ialah imitatio Christi. Jadi, usaha-usaha konkrit orang-orang kudus untuk
mengikuti Kristus tidak bisa diabaikan (Bdk LG 50-51). Dalam hal ini perlu diingat secara khusus
studi teologis tentang Maria.
Orang-orang kudus yang dimaksudkan dalam studi ini tidak terbatas pada mereka yang diakui
kekudusannya secara kanonik. Di dalamnya termasuk juga semua hamba Allah yang
mengembangkan hidup spiritual atas cara khas dan karena itu pantas menjadi contoh kesempurnaan.
Walaupun demikian, perlu pula diperhatikan ajaran serta norma Gerejani bagi kanonisasi orang-
orang kudus sebagai patokan dan tolok ukur bagi kekudusan serta kesempurnaan kristiani.

2) Psikologi. Terdapat hubungan khusus antara studi Spiritualitas dan pelbagai cabang Psikologi
modern, khususnya dengan Psikologi Religius (suatu studi positif tentang religiositas manusia).
Sampai sekarang cukup banyak cabang Psikologi ini, antara lain:
a) Psikologi Perbandingan
b) Psikologi Differensiil
c) Psikologi Karakterologis, Psikologi Pedagogis
d) Psikologi Dinamis
e) Psikhiatri.

Studi Psikologis sangat dibutuhkan dalam kaitannya dengan:


- Problematik mistik
- Studi Agama-Agama dan Mistik, juga yang non kristiani, termasuk masalah
bertobatnya orang kepada Agama tertentu
- Applikasi praktis-pedagogis Psikologi yang terlaksana juga dalam Hidup Religius
dengan adanya Psikologi Asketik, Psikologi Pastoral, Psikologi Karakterologis,
Psikologi Vocational, Psikologi Doa, dll
- Munculnya Psikologi Bawah Sadar, khususnya Psikoanalisa dan Para-Psikologi.
Dalam hal ini yang mendapat perhatian istimewa ialah hubungan antara Psikoanalisa
dan Spiritualitas
- Munculnya riset Antropologis yang menyentuh pelbagai problem Spiritualitas,
misalnya relativitas dari norma-norma tingkah laku tertentu, kematangan serta
keseimbangan manusia, kebajikannya, dst. Cukup banyak buku yang berbicara
mengenai pokok-pokok ini.

3) Sosiologi Religius. Ilmu yang masih relatif muda ini banyak dimanfaatkan di bidang pastoral.
Sebagai ilmu, Sosiologi Religius adalah bagian dari Sosiologi Modern yang umumnya disebut
positif, deskriptif atau eksperiential, berbeda dari Sosiologi yang lebih tradisional baik yang bersifat
filosofis (rasional) maupun teologis. Ilmu ini dapat dirumuskan sebagai studi ilmiah mengenai
hubungan antara masyarakat dan Agama-Agama atau antara masyarakat dengan pelbagai sikap
keagamaan. Jadi, Sosiologi Religius diterapkan khususnya pada fakta-fakta religius sejauh juga
sebagai fakta-fakta sosial, entah bersifat lahiriah maupun batiniah, kelihatan atau tidak kelihatan,
yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh masyarakat. Sebagai ilmu, Sosiologi Religius mengenai
hal-hal per causas et effectus, yakni lewat data-data positif dan induktif, misalnya data-data statistik.
Dengan bantuan ilmu ini dapat dibicarakan secara lebih akurat hubungan antara pelaksanaan hidup
beragama atau aturan-aturan yang semata-mata berdasarkan hukum (secara yuridis) dan yang secara
personal otentik sifatnya, atau antara religiositas konvensional / palsu dan religiositas yang
sungguh-sungguh meyakinkan / asli, atau antara elemen-elemen religiositas yang ditentukan oleh
lingkungan sosial dan elemen-elemen religiositas yang sungguh-sungguh personal atau yang
dipersonalkan, dst.
Sekarang interpretasi sosiologis fakta-fakta religius mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.
Interpretasi ini mengikuti interpretasi historis dan mendahului interpretasi teologis. Dengan terang
dan dengan bantuan Sosiologi Religius dapat dibedakan secara lebih baik elemen individual dan
elemen kollektif-sosial dari religiositas. Berkat ilmu ini pula berhasil dikoreksi secara ilmiah atau

15
dapat dikoreksi pelbagai opini dan penilaian dalam bidang religius dan spiritual, misalnya
Spiritualitas Khusus yang ditentukan oleh batasan waktu, tempat atau pribadi. Selanjutnya, dengan
bantuan ilmu ini dapat pula dianalisa dan dinilai secara lebih baik religiositas yang benar dan yang
tidak, dan untuk kasus yang disebutkan terakhir ini dapat dilakukan perbaikan atau penyembuhan.

VII. HUBUNGAN ERAT ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN


TEOLOGI DOGMA DAN MORAL38
Kalau dulu Spiritualitas dianggap sebagai bagian integral dari Teologi Dogmatis dan Moral, dan
sekarang sudah diakui sebagai ilmu otonom; dan kalau Teologi Dogmatis dan Moral bukan hanya
sekedar pendukung atau penunjang Spiritualitas, lalu ini jelas berarti bahwa Spiritualitas dengan
kedua ilmu teologi itu begitu erat; dan sekarang pertanyaan ialah bagaimana hubungan erat antara
Spiritualitas dengan kedua ilmu itu?
Secara khusus, pemahaman kristen mengenai dialog dengan Allah, perjanjian antara Allah dengan
manusia, dan panggilan pribadi, dibahas dalam Spiritualitas atau Teologi Spiritual. Tetapi,
sekaligus, pemahaman ini juga termasuk pokok bahasan dalam Teologi Dogmatik. Maka, oleh
karena itu, untuk sampai pada pengertian yang benar mengenai apa itu Teologi Spiritual yang
membahas pemahaman tersebut, perlu dilihat bersama-sama kedua teologi itu, yang memperlihatkan
secara eksplisit kondisi hidup kristen, hubungannya dengan Kristus, karya Roh Kudus, dan hakekat
kebajikan teologal.

1. HUBUNGAN SPIRITUALITAS DENGAN ILMU SAKRAL DALAM SEJARAH

Kalau dilihat Kitab Suci sebagai sumber segala pembicaraan teologis maka akan nampak bahwa
pesan rivelasi dalam kesatuannya memaparkan aspek doktrin, yang berbicara mengenai Allah dan
sejarah keselamatan-Nya, dan aspek praktis, yang dirumuskan dalam hukum dan yang merangkum
semua eksortasi parenetis yang terdapat dalam Perjanjian Lama dan Baru.
Aspek praktis berisikan dua hal yang saling berkaitan tapi sekaligus berbeda. Yang pertama ialah
hukum, perintah Tuhan dan preskripsi yang hendak mengatur sikap orang beriman, anggota umat
Allah. Yang kedua ialah teks-teks lain yang melukiskan hidup iman dan mengajak umat untuk
melakukan kewajiban. Kedua sisi ini nampak misalnya dalam Mazmur yang berisikan doa umat
beriman dan melukiskan figur heroik yang selalu menjadi teladan untuk diikuti.
Tidak kurang buku-buku Kitab Suci yang isinya sangat dekat dengan Spiritualitas. Pertama-tama,
dalam Perjanjian Lama, kitab-kitab Kebijaksanaan yang tidak hanya mengajak untuk memiliki
kebijaksanaan tetapi juga kondisi dan tahap selanjutnya dari kebijaksanaan itu; kemudian Kidung
Agung yang melukiskan kesatuan dengan Allah dalam bentuk hubungan cinta antara laki-laki dan
wanita; lagi, kitab Ayub yang menceriterakan meditasi yang panjang dan dramatis mengenai
hubungan penderitaan dengan dosa. Dalam Perjanjian Baru, surat-surat Paulus, Petrus dan Yakobus
melukiskan pengalaman rohani kristen yang begitu kaya dan beraneka ragam.
Berdasarkan Kitab Suci, para Bapa Gereja, dalam komentar mereka, selalu mengembangkan
berbagai aspek hidup kristen: refleksi teologis mereka tidak hanya dalam aspek doktrinal, tetapi
juga dalam aspek moral dan spiritual. Mereka memakai metode yang dapat menjelaskan berbagai
tingkat pengertian yang berhubungan dengan berbagai arti yang terdapat dalam Kitab Suci, seperti:
arti literer dan historis, arti typical (yang dekat dengan arti doktrinal), arti anagogis (yang mencoba
mengangkat budi kepada hidup kekal), arti moral dan arti mistik. Berdasarkan kecondongan iman,
yaitu bahwa hidup kristen adalah antisipasi realisasi hidup kekal, maka arti mistik yang
dikembangkan oleh para Bapa Gereja itu telah menjadi materi pembahasan Teologi Spiritual, yaitu
perkembangan jiwa dan hidup doa.

38Bagian ini diambil dari CH.A. BERNARD, Teologia Spirituale, Roma 1983, 52-66.

16
Mengenai pengembangan arti biblis ini, patut diingat dua penulis besar dari zaman Patristik di
bidang rohani, yang telah berpengaruh besar selama Abad Pertengahan, yaitu Origenes dan
Gregorius dari Nissa. Komentar mereka mengenai Kidung Agung khususnya telah merupakan
forma untuk seluruh perjalanan kerohanian seturut kitab tersebut, yang selalu dikembangkan hingga
dewasa ini. Sebenarnya pada saat ini sudah mulai suatu Teologi Spiritual yang belum sistematik.
Pada penghujung Abad Pertengahan, untuk sebagian besar, tradisi patristik ini diikuti. Tapi dalam
banyak traktat teologi monastik sudah muncul diskusi mengenai tingkat-tingkat hidup rohani
(seperti tingkat-tingkat kasih dari Riccardo san Vittore: amor, eros, agape; tingkat-tingkat
kerendahan hati dari St. Bernardus). Traktat-Traktat ini, yang mengambil bahan dan
mengembangkannya dari skema-skema yang dikerjakan oleh para pendiri hidup monastik (seperti
St. Basilius, St. Benediktus, Cassianus, dll), termasuk literatur hidup rohani. Kemudian, pada traktat
ini ditambahkan kesaksian hidup rohani yang mendalam, yang dilukiskan dalam Anggaran Dasar -
Anggaran Dasar hidup religius, pengajaran-pengajaran hidup rohani dan biografi-biografi.
Pada akhir abad XII dan selama abad XIII pembicaraan teologis cenderung mau menerima forma
scientific yang semakin menjauhkannya dari teologi konsep seperti komentar pada Kitab Suci; dan
forma scientific ini semakin mendekatkan teologi itu pada penyelidikan filosofis. Sejak saat ini
mulai dibedakan antara komentar eksegetis dan Summa Teologis (walaupun St. Thomas sendiri,
sebagai seorang teolog, berpegang pada les eksegese dan teologi).
Apa perbedaan les seorang guru dalam teologi dengan konferensi seorang rahib dalam bimbingan
rohani? Teolog berusaha menjelaskan isi obyektif teks Kitab Suci dan sampai pada suatu ilmu
(science) yang cenderung mengesampingkan sama sekali sisi affektif dan sisi personal teks itu.
Sabda Allah dibahas secara obyektif sehingga les guru dalam teologi ini kurang dalam hal
pendalaman pribadi. Sementara para Rahib berusaha merenungkan Kitab Suci, para guru teologi
membahas Kitab Suci itu sebagai suatu ilmu obyektif yang dikaitkan dengan ilmu-ilmu lain,
terutama filsafat. Teologi yang disebut dogma atau spekulatif selalu berusaha mencari sebab-sebab
dan alasan isi iman.
Usaha penyelidikan ilmiah yang semakin mendetail, akhirnya membawa ilmu teologi pada
pembagiannya di berbagai segi. Walaupun Summa Teologi sebenarnya adalah satu dan sama, tetapi
dalam pengajarannya dibagi dalam beberapa bagian seturut temanya yang kemudian ditetapkan dan
dirumuskan berbagai disiplin teologis.
Untuk kita sekarang ini, kalau seseorang membahas suatu ilmu, maka ilmu yang dibahas itu benar-
benar obyektif, tanpa memperhatikan status subyektif orang yang membahasnya. Tetapi sebaliknya,
bagi ilmuwan skolastik, teologi dimengerti sebagai refleksi pribadi intellectus fidei, tetapi tidak
dibahas dari sisi hidup rohani. Dalam arti inilah dapat dimengerti apa yang dikatakan oleh St.
Bonaventura bahwa "ilmu teologis adalah suatu "habitus" affektif (suatu disposisi subyektif-
affektif), yang berada di antara spekulasi dan praksis, dan tujuannya ialah baik kontemplasi maupun
perkembangan pribadi, bahkan tujuan prinsipilnya adalah perkembangan pribadi tersebut; dan
"habitus" itu disebut "sapientia", yang pada masa itu berarti pengenalan dan cinta. Karena itu dapat
dilihat bahwa pengertian "ilmu teologi" pada masa skolastik berbeda dengan pengertian "ilmu
teologi" kita sekarang, yang bahkan ada yang tidak memerlukan iman untuk mempelajarinya (walau
sebenarnya ilmu teologi tanpa iman sudah jatuh menjadi filsafat).
Meski demikian para teolog besar memaksudkan dan menghidupi bahwa teologi semakin
merupakan science obiective yang dapat diterima oleh semua. Pembedaan yang dibuat oleh St.
Bonaventura, yaitu dari segi refleksi teologis (subyektif), menjadi pembedaan yang obyektif:
teologi, yang dibedakan dari eksegese, dibagi dalam teologi spekulatif atau dogmatik, teologi
praktis atau moral, dan teologi affektif atau spiritual.
Pada teologi affektif atau spiritual ini termasuk kontemplasi mistik, suatu bidang spiritual yang
originalitasnya diakui oleh semua orang. Karya terkenal dari Dionysius Areopagita yang berjudul
De theologia mystica, yang ditulis pada abad IV dalam lingkungan Hellenis Siria, sangat
berpengaruh, baik dalam teologi barat maupun dalam teologi timur (melalui Evagrio il Pontico).
Dan jelas bahwa problem mistik tetap merupakan bidang yang tak terdiskusikan dalam teologi
spiritual, karena seorang mistik membuat referensi langsung pada pengalamannya sendiri akan
Allah, yang diakui secara passif: karena itu mistik tak bisa menjadi obyek deduksi (analisis); mistik
adalah pengalaman.

17
Di hadapan pembentukan berbagai disiplin teologis dan karakternya yang semakin abstrak dan jauh
dari hidup kristen, maka hidup rohani pelan-pelan menjurus otonominya dan masuk pada bidang
hidup interior. Hidup doa dan hidup saleh semakin dijauhkan dari refleksi teologis, dan bahkan
dipertentangkan. Dengan arus spiritual devotio moderna, di mana imitasi Kristus merupakan
emanasinya yang paling asli, hidup interior menjadi argumen yang eksklusif dalam pembicaraan
kerohanian. Yang sangat diperhitungkan dalam hal ini ialah dialog intim yang diadakan dengan
Kristus dalam keheningan doa dan komuni ekaristis.
Pada zaman modern, masih sehubungan dengan hidup interior, kesadaran pribadi, di bawah
pengaruh reformasi protestan dan kemudian di bawah pengaruh filsafat kartesian, semakin mencapai
hak-hak otonominya. Dan ini diikuti oleh semakin menjauhnya hidup interior dan spiritual dari
hidup religius komuniter, jadi merupakan suatu individualisme yang diterima oleh guru-guru besar
Spanyol sebagai pendahuluan untuk traktat mereka yang besar di bidang spiritualitas.
Dalam karya mereka ini perhatian terutama dicurahkan pada kondisi psikologis hidup interior dan
khususnya dalam hidup doa. Mungkin para guru besar ini menyadari bahwa tidak dapat dilihat jalan
bagaimana melukiskan pengalaman rohani para manusia rohani besar yang berkaitan dengan
kedalaman kontemplatif dan ketepatan fenomen psikologis.
Pada situasi sekarang, sebagai warisan situasi sejarah spiritualitas yang sebelumnya, di satu pihak,
disiplin teologis semakin ditandai dengan karakter tekhnik-scientific. Tidak lagi hanya terdapat
pembagian fundamental teologi seperti sudah disebut, tetapi telah diperbanyak spesialisasi yang
muncul dari kekompleksan kultur scientific: dalam bidang dogmatik dimasukkan juga soal historis
dan hermeneutik yang baru selain spekulatif; bidang moral ditempatkan di hadapan munculnya
problem kategorial yang baru. Di pihak lain, dengan menekankan karakter psikologisnya, Teologi
Spiritual menjadi semakin tergantung dari perkembangan usaha penyelidikan psikologis: bahkan
metode doa pun sudah dimasukkan dalam disiplin psikologis yang lahir dalam konteks spiritual
yang lain.
Lagi, kalau diikuti evolusi mentalitas scientific, nampak bahwa semakin ditekankan penentuan nilai
dan bidang penyelidikan yang sedang diteliti. Dalam hal ini Teologi Spiritual juga didesak untuk
memasukkan bagian didaktik yang disarankan oleh otoritas gerejani.

2. SPIRITUALITAS DAN DOGMA

Hubungan ketergantungan Spiritualitas dari Dogmatik sudah semakin berkurang, bahkan sudah
ditekankan hubungan unilateral di antara keduanya. Karena itu yang perlu dikaitkan dalam
hubungan ini ialah pembedaannya dan komplementaritasnya (kesalingmelengkapiannya).
Secara historis, hidup rohani, misalnya yang berasal dari suatu sekolah atau mazhab spiritualitas,
tidak pernah tergantung dari teologi zamannya dan tidak diperkembangkan secara sistematis seperti
suatu sistem teologis. Bahkan, pernah terjadi, bahwa suatu spiritualitas lahir sebagai reaksi pada
suatu mentalitas teologis yang dominan. Demikian, misalnya, devotio moderna muncul sebagai
reaksi kontra terhadap suatu teologi nominalistik dan yang terlalu abstrak: dalam hal ini penganut
imitatio Christi tidak lagi percaya pada konstruksi dan diskusi teologis; dan yang paling dekat
dengan kita, misalnya, santa Teresa dari Lisieux meminta agar kembali pada Injil dan Kitab Suci,
dan kesadaran seperti ini belum muncul pada saat itu; dan gerakan kharismatik sangat sedikit
menyinggung spekulasi teologis, dan teologi sangat sulit mengakui dan membenarkan kharismatik
itu.
Kalau pengalaman rohani mendahului refleksi teologis, mengapa teologi spiritual tidak harus
memperhitungkan ketidak-tergantungannya dari teologi? Benar bahwa suatu ketidak-tergantungan
tidak pernah sama sekali lepas tanpa kaitan dengan yang lain, dan oleh karena itu tak mungkin
teologi spiritual mengabaikan teologi dogmatik.
Karena itu, untuk memperjelas soal ini, perlu dibedakan dengan baik doktrin umum Gereja, yang
muncul dari Kitab Suci, dari sistem teologis partikular.
Suatu teologi partikular sebenarnya bukanlah suatu teologi. Teolog (seperti St. Thomas, St.
Bonaventura, Suarez, K. Rahner, K. Barth) adalah penulis suatu refleksi sistematik yang tetap
terbatas: refleksi ini bercermin pada kondisi historis di mana para teolog bekerja selain dari
mengalami sendiri secara personal kondisi itu; kekayaan dan nilai suatu teologi partikular

18
tergantung dari tugas si teolog, dari kekudusannya dan dari lingkungan kultural di mana ia hidup.
Karena itu, suatu teologi partikular tidak dapat dianggap normatif secara mutlak.

a. DARI DOGMATIK PADA SPIRITUALITAS

Perlu bahwa Spiritualitas selalu dibentuk seturut doktrin umum Gereja untuk menanamkan prinsip-
prinsipnya mengenai pengertian hidup kristen. Semua setuju bahwa Teologi Spiritual berada di
bawah doktrin gerejani. Apa yang merupakan indikatif dalam doktrin yang disampaikan, adalah
norma yang merupakan imperatif dalam teologi moral dan mendasari pengalaman spiritual.
Kalau hidup rohani adalah aktualisasi penuh rahmat baptisan, maka dapat dikatakan bahwa Teologi
Spiritual adalah judul baru bagi dogmatik, karena dogmatik membicarakan dan mengajarkan bahwa
baptisan adalah komunikasi hidup kristen yang terjadi melalui sakramen dan membuat seseorang
yang dibaptis menjadi anggota Gereja. Pada umumnya, dasar hidup adikodrati, yaitu hidup rahmat
dan kebajikan yang menyertainya, dilukiskan dalam doktrin Gereja yang didasarkan pada Kitab
Suci, dan yang merefleksi doktrin ini adalah dogmatik.
Tapi perlu dicatat bahwa sejauh suatu Teologi Partikular mengangkat aspek antropologis dan
eksperiensial ke permukaan, maka teologi itu dekat dengan Teologi Spiritual. Dewasa ini teologi
berusaha mencapai hingga pada arti eksistensial, vital, eksperiensial; karena itu, sebagai ganti
mengatakan bahwa Spiritualitas tergantung dari dogmatik, maka lebih tepat mengatakan bahwa
Teologi diinspirasikan oleh Spiritualitas.
Tetapi tetap masih ada satu problem lain lagi. Benar bahwa refleksi teologis telah memaparkan
pemahaman dan skema yang membantu untuk memasuki arti misteri iman: teologi triniter berputar
sekitar pemahaman kodrat, pribadi, ekonomi, missi, kesamaan Pribadi itu, dll; teologi tentang Sabda
yang Menjelma mempelajari soal hubungan antara misteri inkarnasi dan misteri penebusan; dll.
Tapi pengalaman rohani, dari pihaknya, mengikuti skema atau pemahaman ini? Atau dikembangkan
menurut logikanya sendiri? Atau menurut spontanitasnya yang bebas?

b. ORIGINALITAS PENGALAMAN ROHANI

Untuk memecahkan soal itu, perlu menerangkan dengan persis bahwa pengalaman rohani mencari
substansi misteri iman. Dan ini dapat dilihat dalam sejarah Spiritualitas.
Aspek pertama yang rasanya perlu diperhatikan ialah bahwa persepsi spiritual selalu parsial.
Kenyataannya, pada zaman Patristik dan Abad Pertengahan, dalam totalitas misteri itu terpisah
aspek yang satu dengan aspek yang lain: bagi para Bapa Gereja, tema fundamental ialah mengenai
gambaran dan kemiripan dengan Allah, sedangkan bagi Abad Pertengahan kontemplasi akan
kemanusiaan Kristus mendapat privilege yang hampir universal; kemudian sampai pada
kontemplasi akan Hati yang Tertikam dan pada tema-tema reparasi; dalam kenyataannya, sulit
bahwa suatu homili tidak menyentuh cita rasa kewajiban konkrit cinta; atau dibuka lagi tema
kharisma, dst.
Tetapi parsialitas ini bukanlah suatu ketidaksetiaan atau kepalsuan, sebab berbagai aspek misteri
saling mengkondisikan atau saling menentukan dan saling membentuk satu sama lain secara tak
terpisahkan. Orang yang dengan perantaraan iman yang hidup berpegang pada suatu aspek khusus
dari misteri itu, ia kontak dengan seluruh misteri itu dan melekat pada Allah sumber unik rencana
keselamatan. Ini dapat dilihat misalnya dalam suatu fenomen karakteristik hidup kristen: dalam
membentuk diri dengan berbagai devosi (seperti devosi pada Hati Kudus Yesus, pada Bunda Maria,
pada Cinta yang berbelaskasihan, pada Penyelenggaraan illahi, dsb), yang berangkat dari suatu
aspek khusus, tetapi memberi tempat untuk berbagai konfigurasi spiritual yang kurang lebih organis
dan personal.
Untuk membenarkan kemungkinan ini dapat dikatakan bahwa dalam suatu visi parsial dan sekaligus
autentik ditemukan kenyataan bahwa pengalaman kristen didasarkan pada iman; iman itu tidak
berhenti pada pemahaman suatu proposisi tertentu, tetapi merangkul realitas ke mana iman itu
condong, sekalipun melekat pada pemakluman bertahap dan parsial. Iman bukan hanya actus intelek
yang memahami isi obyektif, tetapi juga merupakan anugerah Allah, anugerah vital yang oleh

19
karenanya manusia melekat pada misteri secara keseluruhan dan pada Allah sebagai sumber
revelasi.
Aspek kedua ialah obyek iman. "Obyek iman ini terdiri dari dua aspek yang ganda: yang pertama
ialah sesuatu yang dipercayai, yakni kenyataan sendiri yang kita percayai; yang kedua ialah orang
yang percaya, jadi obyek yang lebih kompleks, seperti juga bahasa yang dipakai oleh orang itu
untuk mengungkapkan imannya ... Actus orang beriman tidak berhenti pada ungkapan linguistik,
tapi pada realitas itu sendiri: kita membentuk ungkapan linguistik hanya sebagai alat untuk
pengenalan realitas, dan ini lebih untuk ilmu dari pada untuk iman" (St. Thomas Aquinas).
Pembentukan bahasa rohani tidak begitu berbeda dengan bahasa yang dipakai untuk
mengungkapkan iman Gereja. Seseorang dapat merasakan suatu misteri khusus (seperti Ekaristi atau
pribadi Maria, dsb) dan seterusnya orang itu berusaha memasuki semua kekayaan misteri itu.
Dengan terpaut pada keseluruhan misteri itu, maka misteri khusus itu menjadi pusat prospektif
untuk persepsi keseluruhan misteri itu; kemudian, sejauh dilihat dari sisi subyektif, maka
dibangkitkan sikap rohani yang menyatu dengan hidup etis. Dengan demikian lahirlah suatu devosi
atau suatu konfigurasi (bentuk\wujud) personal hidup rohani.
Kemudian, yang terakhir (aspek ketiga), dapat juga diperhatikan fakta pengalaman umum:
assimilasi misteri iman selalu progressif. Walau akar dan substansi hidup rohani, yaitu partisipasi
dalam hidup illahi dalam Kristus, adalah sama untuk semua orang, tetapi evolusi hidup rohani tidak
dapat dinilai dari dasar ontologisnya, melainkan hanya dari pelaksanaan kebajikan teologal dan
terutama kasih.
Realisasi kebajikan ini tergantung dari kebebasan human, tidak hanya dalam situasi bekerjasama
dengan rahmat Allah, entah secara kurang atau lebih sempurna, tetapi juga dalam situasi
keberdosaan yang merusak atau memperlambat progress itu. Jadi, bukanlah bahwa sekali
ditanamkan dasar dan akhir perkembangan itu, lalu itulah untuk seterusnya penentuan jalan dan
intensitas hidup pribadi. Hidup rohani itu berkembang dan dinamis. Walaupun kesatuan dengan
Allah terjadi melalui Kristus dan dalam Roh Kudus, tetapi cara untuk menyatu dengan Allah itu
hanya ditentukan secara global. Kemudian, ada banyak bentuk, melaluinya Kristus dikenal dan
menjadi obyek imitasi (seperti aktivitas apostolis, persembahan diri kepada Allah [oblat], doa,
kemiskinan, keperawanan, dsb). Dan berbeda pula, dalam pengalaman triniter, kesadaran akan
hubungan dengan masing-masing Pribadi Illahi.

Singkatnya: dasar ontologis unik hidup kristen, yang adalah obyek spesifik Teologi Dogmatik,
berbeda dari kesadaran si subyek yang mengimaninya melalui pengalaman, yang menjadikannya
sebagai materi studi Teologi Spiritual.

3. SPIRITUALITAS DAN MORAL

Sementara perbedaan Teologi Dogmatik dan Teologi Spiritual tergantung dari tekanan yang diberi
oleh masing-masing (dogma menekankan refleksi spekulatif; spiritualitas menekankan
pengalaman), sebaliknya, kriteri pembedaan Teologi Moral dan Teologi Spiritual tidak begitu jelas;
keduanya sama-sama memperhatikan hidup konkrit dan sama-sama meneropong sisi praktis dari
keberadaan human.
Evolusi Teologi Moral dewasa ini sangat memperhatikan sulitnya menemukan suatu kriteri yang
jelas. Pada abad-abad sebelumnya, para moralis tidak merasakan kesulitan mengenai kriteri, karena
mereka mereduksikan Teologi Moral pada sisi kasuistik kewajiban moral yang dikaitkan dengan
pelaksanaan berbagai perintah; dalam konteks ini Teologi Spiritual disarankan untuk dirumuskan
sebagai suatu perjalanan hidup kesempurnaan dan menunjukkan sarana-sarana prinsipil, yaitu hidup
sakramental dan doa. Tetapi, sebaliknya, ketika para moralis menekankan bahwa Teologi Moral
harus mempelajari ideal hidup kristen dalam keseluruhannya dan dalam penyesuaiannya dengan
ideal injili, maka menjadi lebih sulit melihat batas antara Teologi Moral itu dengan Teologi
Spiritual. Dan Konsili Vatikan II sendiri merumuskan prospektif yang baru demikian: "Demikian
pula hendaklah vak-vak teologi lainnya diperbaharui melalui kontak yang lebih hidup dengan
Misteri Kristus dan sejarah keselamatan. Secara khas hendaklah diusahakan penyempurnaan
Teologi Moral. Hendaknya itu diuraikan secara ilmiah, lebih mengacu kepada ajaran Kitab Suci,

20
sehingga sungguh menjelaskan keluhuran panggilan umat beriman dalam Kristus serta kewajiban
mereka untuk demi kehidupan dunia menghasilkan buah dalam cinta kasih" (OT 16).
Dalam bahasa sekarang dapat dikatakan bahwa Teologi Moral tidak tertutup dalam prospektif
kategorial (mengenai berbagai kebajikan, perintah-perintah khusus, dll), tapi harus memperluas
dirinya hingga menentukan dasar-dasar transendental hidup kristen (panggilan pada kekudusan,
realisasinya melalui kesatuan dengan Kristus dan partisipasi dalam Roh Kudus, dst). Karena itu
dapat dimengerti dengan cepat bahwa dalam hal ini Teologi Moral sangat dekat dengan Teologi
Spiritual.

a. KESAMAAN

Antara Teologi Moral dan Teologi Spiritual tidak ada perbedaan kecuali perbedaan obyek: Moral
membicarakan kewajiban dan perintah-perintah dan Spiritualitas membicarakan kesempurnaan dan
nasehat-nasehat; Teologi Moral harus membicarakan baik dasar-dasar hidup kristen maupun
tujuannya, yaitu kekudusan manusia. Teologi Moral dan Teologi Spiritual sama-sama merangkul
hidup human dalam totalitasnya, keduanya merupakan bagian atau aspek antropologi supernatural
yang melihat manusia dalam pergerakannya menuju kepenuhan hidup illahi. Seperti panggilan Allah
pada kekudusan, atau kepenuhan hidup, adalah dasar umum baik bagi moralitas transendental
maupun bagi hidup rohani, sehingga dengan demikian setiap actus kesadaran rohani mengandaikan
suatu keputusan bebas dan mengandung suatu aspek etis.

b. PERBEDAAN

Teologi Moral dan Teologi Spiritual dibedakan dalam aspek formal obyek dan dalam metode
pembahasannya. Dalam Teologi Moral dan Teologi Spiritual perlu dibedakan antara ordo caritatis
dan commercium caritatis: setiap perbuatan konkrit harus menghormati suatu ordo atau aturan
tertentu yang berasal dari cinta; lagi pula, dalam hidup kristen setiap perbuatan disarankan untuk
diarahkan pada kesatuan yang lebih mendalam dengan Allah melalui penyesuaian kehendak kita
dengan kehendak illahi.
Teologi Moral membahas struktur perbuatan dan menetapkan hukum-hukum untuk mengaturnya.
Teologi Moral mengkaitkan seluruh circumstansi pada perbuatan itu, tetapi selalu seturut aspek
universal: bagaimana seorang medis harus berbuat sesuatu dalam tugasnya, bagaimana sepasang
keluarga harus berbuat dalam rumah tangga mereka. Jadi, metode Teologi Moral adalah metode
rasional, meski yang dikerjakan adalah semua keputusan konkrit: kenyataannya tak pernah
dilewatkan hak-hak. Dalam Teologi Moral, pengalaman bukanlah normatif: walaupun
kenyataannya, misalnya, semua berbohong, tetapi dari kenyataan itu tidak bisa disimpulkan bahwa
bohong adalah sah; demikian juga halnya dalam aturan kemurnian, dari pertimbangan statistik tidak
diikuti kesahan perbuatan, tetapi hanya penilaian hal-hal yang konkrit.
Sebaliknya, Teologi Spiritual membahas evolusi eksistensial hidup kristen, dengan mendekatkan
diri pada seni. Hukum-hukum yang ditetapkan untuk itu tidak merupakan kewajiban, tetapi hukum
itu merupakan aturan praktis untuk menerangi perjalanan rohani setiap orang sejauh perjalanan itu
merupakan obyek rencana khusus Allah bagi orang itu dan membangun suatu dialog personal
dengan Dia: Teologi Spiritual tidak berhenti pada kewajiban doa, tapi mempelajari cara berdoa dan
evolusinya; dalam hidup perkawinan, Teologi Spiritual mendalami bagaimana pasangan suami-
isteri, dalam status mereka, dapat berkembang menuju kepenuhan hidup kristen. Metode Teologi
Spiritual tidak dapat mengesampingkan diri dari pengalaman: juga tidak dapat menjauhkan diri dari
orang yang sudah mencapai kesempurnaan, juga dari sejarah konkrit orang-orang yang condong
pada kepenuhan, dan juga dari pengalaman umum, yang dari padanya dapat diturunkan aturan
tertentu aksi illahi dalam semangat orang beriman.

c. HUBUNGAN INTRINSIK ANTARA TEOLOGI MORAL DAN TEOLOGI SPIRITUAL

21
Teologi Spiritual mengandaikan Teologi Moral, karena menyangkutkan penyesuaian kehendak
human dengan kehendak Allah. Dengan kondisi yang harus ada ini, maka Teologi Spiritual berada
di bawah Teologi Moral. Teologi Moral membimbing orang kristen hingga pada konkretisasi penuh
hidup kekristenannya, jadi hingga membentuk dialog dengan Allah, dan aturan untuk ini dibahas
oleh Teologi Spiritual.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kalau hidup rohani dilihat dalam dimensi historisnya, maka
hidup itu mengkaitkan struktur obyektif kondisi human, dan struktur obyektif itu sekaligus
meletakkan dasar untuk evolusi personal.

4. SUMBANGAN SPIRITUALITAS PADA TEOLOGI

Karena Teologi Spiritual memasukkan kekayaan pengalaman yang dihidupi dalam refleksi
kekristenan, ini tidak berarti bahwa Teologi Spiritual itu disempitkan hanya sebagai applikasi
konkrit akan prinsip-prinsip Teologi Dogmatik, atau hanya sebagai bagian integral Teologi Moral.
Teologi spiritual sendiri memberi sumbangan pada ilmu teologis lain. Benar bahwa pengalaman
rohani tidak memberi sesuatu untuk menambah atau memperbanyak isi pengetahuan teologis, tapi
dapat membawa teologi untuk mengembangkan pengetahuan implisit (sebagaimana terjadi pada
ajaran tentang Maria). Pengalaman rohani membimbing untuk masuk pada realitas misteri
keselamatan dengan menggali dari semangat batin. Masuknya pada realitas misteri keselamatan ini
merupakan buah perpaduan yang dihidupi antara jiwa yang memiliki Roh Kudus dan "misteri" yang
adalah misteri cinta.
Terhadap kesadaran etis, hidup rohani memberi arti akan "moralitas transendental", yang
mengandaikan terobosan menuju hidup kekal, panggilan pribadi dan kehadiran Roh Kudus. Ide
hidup kekal dan hidup illahi tumbuh dari ide regular moralitas konkrit (kategorial). Fungsi hidup
rohani ini dapat juga dilihat dalam hubungan dengan pengetahuan dogmatik: pengenalan yang
samar-samar akan Allah memberi peluang untuk menilai pengenalan partikular dan untuk
membenarkan keterpautannya dengan misteri iman.
Pengalaman rohani juga mempunyai fungsi ordinario: masuknya dan kelekatan pada misteri iman
membimbing pada unifikasi pemikiran teologis, bukan dengan penumpukan pengenalan partikular,
tetapi dengan suatu integrasi kebenaran parsial dalam suatu ide komprehensif dan subur untuk hidup
rohani: St. Katarina dari Genova, misalnya, melihat seluruh Misteri terselubung dalam konsep
Cinta.
Secara resiprok, pengenalan rohani menuntut suatu usaha baik sebagai obyektivasi maupun sebagai
ekspressi. Teologi Dogmatik, sebagaimana ditunjukkan oleh Gereja, memberi gambaran ekspressif
umum yang menilai dan mengatur pengenalan rohani. Kalau tidak demikian, maka resikonya ialah
bahwa suatu persepsi bisa terlalu subyektif mengenai Misteri.
Lalu, yang terakhir, ada bidang yang umum untuk semua: konsep passivitas dan aktivitas, konsep
buah-buah sakramental, dan konsep buah-buah rahmat, lahir langsung dari pengalaman rohani.
Yang lain, seperti kebajikan teologal, anugerah Roh Kudus atau sakramen-sakramen, mengandaikan
suatu penyelidikan atau studi umum.
Dewasa ini semakin disadari bahwa Dogma akan menjadi lebih dapat diungkapkan dan diterima
kalau Dogma itu dihidupi terutama oleh yang menerangkan dan mengajarkannya. Apalagi kalau
Dogma itu diwujudkan dalam bidang moral dan spiritual, akan semakin jelas bahwa hidup itu
sendiri mengukuhkan ajaran dogma itu, dan dengan ini akan terbantu untuk menerima ajaran itu.
Siapa yang tinggal dalam Yesus, akan menjadi murid-Nya dan akan mengenal kebenaran, dan
kebenaran itu akan membuat mereka menjadi orang merdeka (Yoh 8:31ss). Justru dalam Yesus
sendiri nampak persesuaian antara apa yang diajarkan dan yang dihidupi. Apa yang dikatakan oleh
Yesus, dihidupi-Nya dengan sangat sempurna. Apa yang dikatakan oleh Yesus dalam khotbah di
bukit, itu berasal dari pengalaman hidup-Nya. Ketika Dia mengatakan bahwa cinta yang paling
besar ialah cinta orang yang rela memberikan hidupnya bagi orang lain, dan ini sudah dilaksanakan
oleh Yesus sendiri. Dia mengatakan bahwa agar dapat menjadi murid-Nya, harus memikul salibnya,
dan Yesus sendiri telah memikul salib-Nya ke Golgota. Para murid pun mencoba hidup seperti yang
diajarkan oleh Yesus. Berdasarkan pengajaran dan hidup Yesus ini, maka dewasa ini dalam bidang

22
teologis sangat diperhatikan hubungan antara hidup dan ajaran dan hubungan antara ajaran dan
hidup39.

C. PEMBAGIAN/JENIS-JENIS SPIRITUALITAS 40

Spiritualitas sebagai ilmu memerlukan pembagian dan pembedaan serta sistematisasi ke dalam
traktat organis yang perlu untuk itu. Sekarang ini dapat dibedakan segi-segi atau bidang-bidang
spiritualitas baik sebagai realitas yang dihidupi maupun sebagai ilmu yang dipelajari, misalnya:
1) Spiritualitas Umum (Universal) dan Spiritualitas Khusus
2) Spiritualitas Teoretis, Praktis dan Historis
3) Siritualitas Trinitaris, Kristologis, "Pneumatologis" (sehubungan dengan Roh Kudus)
dan Mariologis (sehubungan dengan Maria).

Dengan ini ditunjukkan pula pembagian dan pembedaan lain mengenai spiritualitas yang satu
dengan yang lain:
1) Pembedaan spiritualitas berdasarkan segi metode ilmiah yang dipakai. Dengan pembedaan dari
segi metode ini maka dapat dibedakan bahwa ada spiritualitas spekulatif atau teoretis, ada
spiritualitas praktis dan ada spiritualitas historis. Untuk spiritualitas teoretis dipakai metode teologis
spekulatif, dan sumber-sumbernya bersifat teologis pula (yang berupa penjelasan sistematis dan
manualistis yang lebih tradisional). Sedangkan untuk spiritualitas praktis dipakai metode
experiensial (pengalaman) dengan sumber-sumber yang diambil dari pengalaman hidup, misalnya
dengan menerangkan kebajikan-kebajikan dan sarana-sarana yang perlu untuk mencapai
kesempurnaan. Dan untuk spiritualitas historis dipakai metode historis-positif, dan sumber-
sumbernya diambil dari sejarah, misalnya hidup rohani seorang santo atau santa, atau dari siapa saja
yang mengalami Allah dalam hidupnya, dari suatu periode historis tertentu.
2) Spiritualitas dibedakan juga berdasarkan siapa subyek dan apa obyek yang terkait dengan
spiritualitas itu. Dalam hal ini kita mengenal Spiritualitas Umum atau Universal, artinya yang
terarah kepada semua dari segala lapisan dan berlaku di mana saja dan kapan pun juga serta
memaparkan secara sistematis dan organis semua materi yang berkaitan dengan spiritualitas tersebut
(buku-buku pegangan). Kemudian ada pula Spiritualitas Khusus yang terkait hanya dengan
kelompok atau kategori tertentu, terbatas pada kurun waktu tertentu, dalam wilayah geografis
tertentu, atau karena hanya mengemukakan materi tertentu berdasarkan sudut pandang tertentu pula.
[Mengenai Spiritualitas Khusus ini, ada beberapa hal yang menentukan kekhasannya: kaitannya
dengan kelompok orang-orang tertentu; ruang dan waktunya terbatas; materi yang ditampilkannya
hanya partial; penjelasan yang diberikan didasarkan pada sudut pandang tertentu]. Jenis spiritualitas
ini sangat aktual dan penting justru karena ada di antaranya terkait erat dengan keluarga hidup
religius tertentu yang terdapat dalam Gereja.
Seperti halnya dalam Spiritualitas Umum, demikian juga dalam Spiritualitas Khusus perlu
dibedakan apakah spiritualitas itu sebagai kenyataan yang dihidupi dan dipraktekkan atau
spiritualitas itu sebagai ilmu yang mempelajari kenyataan yang dihidupi tersebut. Demikian pun apa
dan bagaimana rumusan atau definisi Spiritualitas Umum sebagai ilmu yang mempelajari kenyataan
yang dihidupi dan dipraktekkan, begitu juga rumusan atau definisi apa itu Spiritualitas Khusus
sebagai ilmu, yaitu suatu ilmu mengenai hidup rohani dalam dimensi teologis dan
fenomenologisnya dengan segala obyek serta subyek yang terkait dengannya. Hanya ada sedikit
perbedaan mengenai elemen-elemen yang terkandung dalam kedua jenis spiritualitas ini. Kalau
dalam definisi Spiritualitas Umum ada empat elemen terkandung, maka dalam definisi Spiritualitas
Khusus hanya ada tiga elemen yang sama dengan spiritualitas umum itu, yaitu sebagai ilmu, sebagai
yang mempunyai karakter teologis dan sebagai yang mempunyai karakter fenomenologis;
sedangkan subyek dan obyek keduanya berbeda. Subyek dan obyek Spiritualitas Khusus sangat
ditentukan oleh karakter manusia yang terkait dengannya, dan oleh tempat, waktu, agama,

39A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 109-110.


40A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 43-53.

23
moralitas, lingkungan sosial, dst. Oleh karena termasuk bagian dari kehidupan spiritual, maka
kesemuanya itu bisa menjadi pokok studi Spiritualitas. Inilah salah satu sebab mengapa spiritualitas
berbeda dari Teologi Moral.
Perlu diketahui bahwa Spiritualitas Khusus berasal dari Spiritualitas Umum, dan Spiritualitas
Khusus itu terarah kembali kepada Spiritualitas Umum, sebagaimana halnya setiap hidup rohani
orang kristen berasal dari Spiritualitas Kristiani umum serta menunjang spiritualitas itu. Setiap
hidup rohani kristen memuat isi umum hidup kristiani, namun dalam masing-masing hidup tersebut
terkandung pula aspek-aspek khas yang membedakannya satu sama lain.
Kekudusan adalah satu dan sama karena termuat dalam persekutuan kasih dengan Allah. Akan
tetapi, cara mewujudkannya berbeda-beda dan dalam ukuran yang berbeda-beda pula: kekudusan
seorang anak berbeda dari kekudusan seorang dewasa, kekudusan seorang wanita lain dari
kekudusan seorang pria, kekudusan seorang tentara lain pula dari kekudusan seorang guru, dst. Satu
hal yang sangat penting ialah bahwa setiap orang dipanggil untuk menjadi kudus.

Pada umumnya Spiritualitas Khusus ini dapat dibedakan berdasarkan tujuh kriteria:
1) Seturut kriteria etnis-geografis: menurut kriteria ini, Spiritualitas dapat dibedakan berdasarkan
letak geografis dan suku atau bangsa yang terkait dengan Spiritualitas itu, misalnya: Spiritualitas
Timur, Spiritualitas Barat, Spiritualitas Italia, Spiritualitas Perancis, dst.
2) Seturut kriteria doktrinal: seturut kriteria ini, spiritualitas dibedakan berdasarkan tekanan utama
yang diberikan kepada satu kebenaran iman atau lebih dari satu, misalnya: Spiritualitas Trinitaris
(Spiritualitas tentang Allah Tritunggal), Spiritualitas Ekaristi, Spiritualitas Maria, Spiritualitas
Ekklesial (Gerejani), spiritualitas Sakramental, dst.
3) Seturut kriteria asketik-praktis: menurut kriteria ini, tekanan utama diberikan kepada salah satu
atau lebih kebajikan yang diajarkan serta dilaksanakan secara khusus, misalnya: spiritualitas cinta-
kasih, spiritualitas pertobatan, spiritualitas kemiskinan, spiritualitas kerja, spiritualitas pelayanan,
spiritualitas ekumenis, spiritualitas kerasulan, dst. Atas cara tertentu, spiritualitas ini terkait erat
dengan spiritualitas praktis pada umumnya: mampu menghidupi kebajikan-kebajikan tersebut.
4) Seturut kriteria antropologis-psikologis: menurut kriteria ini, spiritualitas dicirikan oleh sorotan
utama terhadap kemampuan manusiawi yang berperanan penting dalam spiritualitas tersebut,
misalnya: spiritualitas intelektual, spiritualitas spekulatif, spiritualitas afektif, spiritualitas praktis,
spiritualitas konkrit. Ke dalam jenis spiritualitas ini perlu dimasukkan pula spiritualitas yang
ditentukan oleh umur atau perbedaan jenis kelamin, misalnya: spiritualitas orang dewasa atau orang
tua, spiritualitas anak-anak, spiritualitas feminin, dst.
5) Seturut kriteria berdasarkan status orang beriman dalam Gereja, misalnya: spiritualitas awam,
spiritualitas religius dan biarawan-biarawati, spiritualitas imam, spiritualitas dokter, spiritualitas
guru, spiritualitas politikus, spiritualitas pekerja atau buruh, dst.
6) Seturut kriteria historis-kronologis: menurut kriteria ini, kekhasan Spiritualitas tergantung dari
zaman atau periode historis tertentu, misalnya: Spiritualitas Zaman para Rasul, Spiritualitas
Patristik, Spiritualitas Abad Pertengahan, Spiritualitas Zaman Modern, dan Spiritualitas
Kontemporer atau Masa Kini. Dalam Spiritualitas masa kini masih dapat lagi dibedakan:
Spiritualitas sebelum Konsili Vatikan II, Spiritualitas Konsili Vatikan II, dan Spiritualitas sesudah
Konsili Vatikan II.
7) Seturut kriteria yang berdasarkan pendiri Ordo atau Kongregasi atau berdasarkan Ordo atau
Kongregasi itu sendiri, misalnya: Spiritualitas Basilian, Spiritualitas Agustinian, Spiritualitas
Salesian, Spiritualitas Benediktin, Spiritualitas Fransiskan, Spiritualitas Karmelit, Spiritualitas
Ignatian, Spiritualitas Dominikan, dst.

Menentukan kekhasan suatu spiritualitas berarti pula mempelajari dimensi fenomenologis khas
spiritualitas tersebut dalam usaha menemukan konsep pasti tentangnya. Untuk mencapai
pemahaman yang demikian serta untuk melakukan studi tentang hal tersebut tidak gampang, karena
harus ada dasar yang kuat, yakni bahwa sumber ini tidak jarang kurang dipelajari dan tidak begitu
dikenal, karena itu bisa saja muncul pelbagai opini yang simpang siur tentangnya.

24
D. PENGALAMAN ROHANI 41

I. PENGALAMAN

1. REALITAS DI LUAR SAYA

Pengalaman adalah suatu proses. Hal yang pertama dalam pengalaman ialah bahwa ada sesuatu atau
seseorang di luar saya. Sesuatu atau orang itu mendahului saya. Tak seorang pun melahirkan orang
tuanya; orang tualah yang melahirkan anak-anaknya. Seorang anak mengalami sesuatu dari orang
tuanya. Jadi, ada, sekurang-kurangnya, prioritas kodrat baik dalam hubungan dengan orang tua
maupun dalam hubungan dengan orang lain atau hal lain.
Pengalaman mulai dari luar, dari sesuatu atau seseorang yang muncul di hadapan kita sebelum kita
mempunyai kesadaran. Apa yang muncul dari luar itu, dapat menyarankan atau menimbulkan
pengalaman. Realitas ekstern menjadi sumber pengalaman bagi setiap orang.
Tidak semua realitas ekstern dapat menimbulkan pengalaman yang benar bagi setiap orang. Bisa
saja orang itu sendiri menciptakan realitas untuk dialami dan menghindarkan realitas lain yang tidak
ingin dialami. Atau bisa saja realitas itu sendiri, entah karena dibuat orang lain atau karena kurang
dimengerti, menipu orang yang ingin mengalaminya. Karena itu bisa terjadi pengalaman palsu.
Demikian pun iman merupakan suatu realitas yang dapat dialami. Setiap orang dapat sejak awal
mengalami iman, kalau orang tua memperkenalkannya. Demikian pun Allah dialami setiap orang
beriman sebagai realitas yang benar. Tapi bisa saja orang tidak dapat mengalami-Nya kalau tidak
diperkenalkan atau kalau sengaja disembunyikan bagi orang itu. Tetapi pada dasarnya manusia, dari
kodratnya, bertanya dan ingin mencari Yang Mahakuasa dan Pencipta, dan mau mengalami-Nya.

2. SUBYEK

Hal material dan tak berjiwa menyatakan dirinya dengan jelas sebagai kebenaran. Manusia pun
demikian, dan dapat lebih dalam lagi. Manusia tidak hanya dapat menyatakan dirinya sebagai ada
atau sebagai realitas, tapi lebih lagi dari itu. Manusia punya kemampuan untuk mencipta dalam
hubungannya dengan realitas. Atau mungkin tidak sampai mencipta, tapi sekurang-kurangnya
memodifisir realitas itu secara lebih mendalam. Karena itu, dalam hal ini, nampak bahwa penting
subyek dalam proses pengalaman. Siapakah manusia itu yang dapat mengalami sesuatu?

a. MANUSIA TERDIRI DARI TUBUH

Bagi manusia, tubuh itu sering dianggap sebagai sesuatu yang dicurigai, dan aktivitasnya dilihat
dengan bermacam-macam perbedaan. Bagi penganut dualisme, tubuh itu adalah penjara, tempat
tawanan jiwa. Menurut mereka, tubuh itu hanya sedikit atau hanya masuk dalam pengalaman hidup
tertentu saja.
Dalam spiritualitas, pengalaman badani dilihat dalam dua arah, yaitu pengalaman dosa atau
perbaikan. Di dunia Timur, tubuh itu diarahkan pada jalan pembatinan. Tetapi, sebenarnya,
pengalaman human tidak harus dipertentangkan dengan pengalaman animal. Pengalaman human
punya dimensi pengalaman animal juga. Sebenarnya, manusia adalah "animal yang
berpengalaman". Tubuh itu bukanlah suatu terowongan yang harus dilalui cepat-cepat. Tubuh itu
adalah bagian kenyataan hidup, keinginan untuk mengalami hidup. Tubuh itu sadar akan kekuatan
dan kelemahannya. Membiarkan tubuh di luar pengalaman berarti mempermiskin subyek
pengalaman itu sendiri.

41Bagian ini diambil dari A. GUERRA, Natura e luoghi dell'esperienza spirituale dalam Corso di spiritualita, 25-55.

25
b. MANUSIA BERADA SECARA HISTORIS

Subyek pengalaman bukanlah suatu konsep, figur tertentu dan suatu teori. Manusia adalah seorang
pribadi yang berada secara konkrit: manusia itu berangkat dari dirinya sendiri dan bergerak dalam
dirinya sendiri. Pengalaman itu terjadi dalam subyek yang mengalaminya bukanlah hanya secara
batin (interior) tapi juga secara lahir (material). Karena itu, manusia sebagai subyek pengalaman itu
tidak luput dari sejarah dan situasinya yang beraneka ragam: ekonomis, sosial, politik dan religius.

c. MANUSIA ITU MAKHLUK RASIONAL

Rasionalitas tidak bisa disingkirkan dari manusia, bahkan merupakan kekhususan manusia itu.
Rasionalitas menggerakkan dan mencirikan manusia itu. Rasionalitas adalah bagian dasar
inteligensi manusia, dan ikut menentukan pengalaman manusia.

3. MENGALAMI

Mengalami berarti ambil bagian dari dalam diri akan sesuatu yang dialami, mengikuti jalannya apa
yang dialami itu, membiarkannya masuk dalam diri dan menghidupinya beserta konsekwensinya
yang akan muncul. Mengalami merupakan cara untuk mengukuhkan keyakinan akan sesuatu.
Dalam mengalami diperoleh pengalaman.

a. BERBUAT DAN BERCERITA

"Cerita dan pengalaman" merupakan nama ganda dewasa ini, yang mengungkapkan eratnya kedua
aktus itu. Aktualitas cerita berkaitan erat dengan aktualitas pengalaman. Teologi dapat dituturkan
sejauh teologi itu menjadi kenyataan yang dihidupi. Ada kesan bahwa teologi secara teoretis
meremehkan cerita sebagai suatu bentuk pengungkapan yang kurang kritis. Cerita tanpa fakta
adalah kosong, romantis dan idealis. Teologi yang dituturkan seharusnya adalah teologi yang
dialami. Karena itu teologi dan spiritualitas tidak perlu kontras dengan cerita pengalaman iman.
Bahkan dituntut agar teologi dan spiritualitas yang diceriterakan adalah teologi dan spiritualitas
yang dihidupi dan dialami. Orang yang berceritera mengenai hidup rohani seharusnya adalah orang
yang sebelumnya sudah mengalami dan menghidupi apa yang diceriterakan.

b. BERBUAT ATAU DIAM?

Hanya orang yang mengalami sesuatu dapat berceritera mengenai pengalaman akan sesuatu itu.
Benar, bahwa tidak segala-galanya dapat diceriterakan atau diungkapkan. Ada juga pengalaman
yang tak terungkapkan dengan kata. Karena itu pengalaman terbuka untuk ditafsirkan. Pengalaman
juga dapat diuji kebenarannya.

II. APA ITU PENGALAMAN


Banyak orang tidak tahu apa itu pengalaman. Juga banyak orang yang mengaku belum tahu apa
unsur-unsurnya.

1. JALAN PENTING

26
Ada tiga sekolah yang mencoba merumuskan pengalaman dan unsur-unsurnya: Aristotelisme
menganggap ulangan-ulangan sebagai komponen pengalaman; Empirisme melihat pengalaman
sebagai penerimaan kenyataan-kenyataan dari luar; Idealisme Hegel menganggap kreativitas human
sebagai prinsip pengalaman itu sendiri.

2. PENGALAMAN DARI DALAM

Pengalaman bukanlah pengenalan eksterior yang diperoleh dari buku atau manusia, tetapi suatu
pengenalan interior, yang kena diri dan batin seseorang, yang menyentuh lubuk hati seseorang. Jadi,
mengalami berarti mengenal atau mengetahui dari dalam diri.

3. KEKUATAN PENGALAMAN

Pengalaman menyatakan kekuatannya dalam diri manusia. Pengalaman membangkitkan semangat,


tetapi bukan hanya semangat untuk yang baik, melainkan juga untuk yang buruk. Memang tidak
semua pengalaman mempunyai kekuatan yang sama. Ada pengalaman yang kuat, ada yang lemah.
Qualitas dan gradasi pengalaman berbeda-beda. Pengalaman selalu merupakan sesuatu yang vital.
4. KORRELASI PENGALAMAN-PENGALAMAN

Manusia adalah tempat tumpukan pengalaman-pengalaman. Manusia adalah "animal eksperiensial"


(makhluk yang berpengalaman). Hanya manusia dari segala ciptaan yang dapat mempunyai
pengalaman.
Pengalaman manusia itu terdiri dari keraguan, ketakutan, kegembiraan, pengharapan, emosi,
pengenalan, kebodohan, dll. Pengalaman-pengalaman itu berbeda-beda, juga bisa kontradiksi satu
sama lain, punya jarak dalam waktu dan intensitas yang berbeda-beda.
Pengalaman human dan spiritual bukanlah suatu pengalaman atau suatu hidup yang diciptakan dari
satu pengalaman saja, tetapi sebagai keberadaan personal yang diciptakan dari berbagai pengalaman
yang bertemu dan terjalin dalam hidup dan secara bersama-sama menciptakan suatu cara berada,
cara merasa, dan cara beraksi. Dalam diri manusia, ada pasang naik dan pasang surut, aksi dan
reaksi. Semua ini membentuk pengalaman, yang terus berlangsung hingga membentuk kepribadian.

5. PENGALAMAN YANG BERLANGSUNG TERUS

Pengalaman terjadi dalam hidup dan tugas. Hidup dan tugas itu sendiri berlangsung terus, maka
karena itu pengalaman pun muncul dan berlangsung terus. Hidup dan tugas itu mempersiapkan
pengalaman dan merealisirnya. Memang pengalaman yang satu terjadi lebih dulu dari pengalaman
yang lain, tetapi bersatu dalam diri orang yang memiliki pengalaman itu.

Sebagai konklusi dan sintese dapat dikatakan bahwa dalam pengalaman ada elemen atau komponen
extra-personal (obyek) dan interpersonal (subyek). Keduanya bersatu dan punya hubungan dialektis
yang reciprok: dari hubungan itu muncul dan nyata keutuhan pribadi seseorang. Dalam keutuhan
personal dan dialektis itu, seseorang digerakkan, dicipta dan dibentuk kembali - dalam jiwa dan
badan - secara tak terduga-duga. Pelan-pelan pengalaman itu membimbing seseorang itu dengan
menunjukkan jalan yang harus dilalui. Manusia adalah "animal yang berpengalaman".

III. PENGALAMAN ROHANI


Pengalaman rohani menunjuk pada relasi dengan Roh yang mencirikan dan mengkhususkan
spiritualitas. Suatu spiritualitas merupakan suatu forma (bentuk) konkrit, yang dibangkitkan oleh
Roh, untuk menghidupi Injil. Dalam arti yang ketat dan mendalam istilah itu, spiritualitas adalah

27
areal aksi Roh. Spiritualitas timbul dari pengalaman rohani intensif, yang kemudian ditematisir dan
dipersaksikan. Dengan demikian pengalaman rohani dapat dirumuskan sebagai suatu pengenalan
dari dalam akan kehadiran dan aksi Roh.

IV. TEMPAT PENGALAMAN


Di mana tempat pengalaman? Ini sama dengan bertanya: di mana muncul relasi antara Roh dan
pribadi, yang memberi tempat pada pengalaman?

1. TEMPAT DAN STADION KLASIK

Menurut Ll Duch: "Tempat normal pengalaman religius di Barat atau dalam kekristenan ialah
Gereja". Dan lebih konkrit lagi: "Tradisi religius barat menunjukkan beberapa tempat, seperti,
secara khusus, tindakan (perbuatan) untuk melaksanakan pengalaman religius (kultus, pendarasan
doa, silentium, dsb). Menurut F. Ruiz: "Kita biasa berbicara mengenai pengalaman hanya pada
kesempatan berbicara mengenai pengalaman para mistikus".
Menurut kesaksian ini, yang bukan personal, tetapi sosiologis, pengalaman dihidupi dalam
lingkungan konkrit yang ditunjuk, dibentuk dari kecemasan atau karya konkrit dan dari tingkat
hidup spiritual. Sudah banyak tulisan yang menganalisa pengalaman rohani di tempat dan stadion
yang disebut di atas.

2. TEMPAT DAN STADION BARU

Membatasi tempat pengalaman rohani pada tempat klasik itu berarti kembali pada spiritualitas khas
monastik dan medieval (abad pertengahan) yang dianggap sebagai model spiritualitas; berarti juga
mengabaikan hidup riil; mengesampingkan orang kristen biasa - yang dianggap berada dalam
kategori yang lebih rendah (inferior) dari orang-orang kristen elit -; berarti membatasi pengalaman
pada suatu pengalaman interval (berselang, tidak terus menerus); berarti tidak tanggap pada
dorongan Roh, yang membimbing bukan hanya Gereja, tetapi juga dunia.
Perlunya mencapai tempat dan stadion baru bagi pengalaman merupakan suatu kebutuhan yang
dirasakan dan dikukuhkan sebagai wajar dan dengan demikian diakui juga tempat seturut pandangan
klasik di atas. Tempat baru sebagai "zone" realitas perlu dicapai sebagai tempat kehidupan. Dengan
ini pengalaman dikaitkan dengan hidup. Dan atas hidup itu, pengalaman punya dasar. Tempat baru
itu perlu dicapai, karena tempat seturut pandangan klasik dapat menjadi usang.

Ada tiga tempat penting yang belum termasuk pada tempat seturut pandangan klasik itu, yang perlu
ditemukan, dicapai dan diterima terutama oleh spiritualitas, karena pentingnya dan keselarasannya
dalam perjalanan sejarah. Ketiga tempat itu ialah materi, kewajiban temporal (kewajiban sehari-
hari), keterpinggiran (emarginalitas). Ketiga tempat ini sangat umum, maka oleh karena itu banyak
dapat dikaitkan dengannya.

a. MATERI

Yang dimaksud dengan materi dalam diri manusia ialah segala sesuatu yang ada kaitannya dengan
asal-usul, struktur dan susunan duniawi dan dagingiah manusia itu. Roh, jiwa dan
badan/materi/tubuh manusia itu adalah tempat pengalaman rohani. Bagi penganut dualisme, materi
itu dikesampingkan. Dan ini pun sering terjadi dalam spiritualitas. Menurut pandangan dualisme ini,
dunia dan daging itu buruk dan tempat dosa. Pernah ada apa yang disebut "spiritualitas materi".
Pemisahan ini memang tidak gampang dapat dipersalahkan. Bahkan hingga sekarang sulit

28
menunjukkan dengan jelas hubungan Roh dan materi. Ini berarti bahwa sulit juga berbicara tentang
pengalaman rohani akan materi dan dalam materi. Tetapi, sekarang ini muncul pelan-pelan iklim
baru; pelan-pelan disadari bahwa roh dan daging tidak harus dipertentangkan. Seluruh diri manusia,
roh dan daging, mengalami Roh. Diri manusia seluruhnya diresapi oleh Roh.

b. KEWAJIBAN TEMPORAL

Realitas temporal/duniawi sering dikesampingkan dalam teologi dan juga dalam spiritualitas. Sering
juga terpikirkan dan terjadi bahwa pengalaman rohani diperoleh di luar tugas di dunia ini, di luar
pekerjaan sehari-hari dan di luar kehidupan yang riil di dunia ini: tehnik, sosio-politis, ekonomi.
Sekarang ini teologi modern telah memasukkan realitas dunia ini ke dalam refleksi teologisnya.
Demikian pun spiritualitas mengaitkan diri manusia dengan tugas dan pekerjaannya dalam
pengalaman rohaninya. Kerja, tehnik, politik, hak-hak manusia, kultur, kemiskinan, telah masuk
dalam pembahasan spiritualitas dalam menyelidiki dan mempelajari pengalaman rohani manusia.

c. EMARGINASI

Emarginasi di sini dikaitkan dengan hidup harian masyarakat yang sederhana, masyarakat yang
tenggelam dalam situasi hidup yang sulit: para wanita di rumah tangga yang harus tinggal di rumah
seluruh hari untuk urusan keluarga; masyarakat pinggiran yang tidak mempunyai pekerjaan; para
imigran, orang-orang malang, dlsb.
Orang-orang ini pun punya pengalaman rohani. Diri dan keadaan mereka adalah tempat spiritualitas
mereka. Spiritualitas tradisional sering melupakan orang ini. Teologi dan spiritualitas pembebasan
membahas dan menyelidiki hidup dan spiritualitas mereka ini.

3. PENGALAMAN ROHANI DAN TEMPAT BARU

Pengalaman rohani di tempat yang disebut teologi dan spiritualitas klasik, tidak gampang ditemukan
di tempat baru seturut teologi dan spiritualitas modern. Perlu waktu untuk mengerti betapa normal
isi pengalaman rohani di tempat baru. Untuk ini perlu diperhatikan tiga hal:
1) Roh Tuhan mengisi seluruh jagad raya. Ini dinyatakan oleh Kitab Suci (Sir 1:7) dan dokumen
Konsili Vatikan II (GS). Pernyataan ini dapat membawa dan membimbing untuk melihat betapa
normal kehadiran Roh dengan karyaNya yang beraneka ragam dalam seluruh realitas, realitas jenis
apa pun. Dalam hal ini GS telah "membebaskan" Roh itu dari kungkungan intimis (kesalehan) dan
ekklesial di mana kita juga tertutup, dengan membukanya pada kehadiran-Nya yang menyuburkan
dalam dunia dan dalam evolusi sejarah.
2) Mengenai "spiritualitas temporal", K. Rahner mengatakan: "Allah dan rahmat-Nya, sampai juga
di mana tidak ada didirikan altar bagi Allah ... Juga dalam hidup orang kristen Allah dapat
ditemukan, di mana hidup dunia ini dihidupi dengan gembira, wajar, serius dan semangat".
3) Tidak penting atau bahkan tidak berguna terlalu memusatkan perhatian pada psikologi effektif
dan juga terlalu mempertanyakan relasi dengan Allah dalam kegiatan politis, ekonomi, tehnik, sport,
dll. Teologi dan spiritualitas klasik telah menekankan dengan sangat kesadaran psikologis akan
relasi dengan Allah, seolah-olah mau menganggapnya sebagai dasar usaha mental untuk
berkonsentrasi. Ini memberi kesan bahwa Allah tidak akan lari lagi, Ia sudah ada di tangan. Dengan
ini ada bahaya bahwa spiritualitas diobah menjadi psikologi murni.
Di tempat baru dapat dikukuhkan pengalaman obyektif, yaitu kesadaran akan arti yang mendalam
dari realitas, yang harus dihidupi agar dapat dibawa lebih jauh dari kehancuran dan pelecehannya.
Karena Allah, maka segala sesuatu punya arti yang mendalam, dan kalau arti yang mendalam itu
dilihat dan dimiliki oleh manusia, berarti manusia itu membiarkan diri dimiliki oleh Allah, yang
telah membangkitkan dalam diri manusia itu pengalaman - dalam arti psikologis-rohani dan juga
organis.

29
Kesadaran akan ketiga hal di atas dapat membawa kita untuk mengakui bahwa Roh dapat ditemukan
di mana pun, dapat dilihat bahwa Roh itu sedang menganimasi segala sesuatu. Lebih lagi, kesadaran
itu dapat membawa kita untuk mengukuhkan bahwa pribadi human dapat menemukan dirinya di
hadapan Roh di mana pun; juga untuk mengakui bagaimana Roh itu datang menemui pribadi itu.
Dan dalam pertemuan itulah tersembur dan terpantul pengalaman rohani, pengalaman akan Roh.
Dalam pengalaman itu Roh meninggalkan jejak keberadaan dan karya-Nya: "Angin bertiup ke mana
ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana
ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh" (Yoh 3:8). Demikianlah
juga pengalaman rohani.
Bentuk pengalaman rohani ini disebut juga pengalaman implisit atau anonim atau obyektif, dan sulit
juga untuk menyangkalnya sebagai suatu pengalaman rohani.

V. MENGUJI PENGALAMAN ROHANI


Menguji pengalaman rohani di sini berarti melihat apakah pengalaman itu benar atau palsu. Ini
berarti juga mengkaji yang benar dari yang palsu dalam pengalaman. Secara tradisional ini disebut
"mengkaji roh". Dalam keadaan sekarang disebut pengkajian pengalaman.
Menguji pengalaman rohani perlu, karena pengalaman itu sendiri begitu kompleks, dan oleh karena
begitu kompleks maka tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kalau ini dibiarkan, pengalaman itu bisa
akan sangat membosankan dan tak akan ada obat untuk memulihkannya. Ujian dan pengkajian ini
hanya mungkin dengan "teori" kemungkinan sebab pengalaman bukanlah pengetahuan eksak.
Ada empat kriteri untuk menguji pengalaman rohani. Yang pertama dan kedua adalah kriteri negatif
yang hendak mengatakan bahwa tidak mungkin suatu pengalaman dihadapkan dengan kriteri
tertentu, sebab kalau demikian kriteri itu adalah hukuman bagi pengalaman itu. Yang ketiga dan
keempat adalah kriteri positif, yang mau mengatakan bahwa mungkinlah pengalaman rohani
membangkitkan sikap hidup tertentu.

1. ARTI UMUM

Arti umum sebagai kriteri untuk menguji pengalaman rohani ialah arti umum setiap orang, arti
umum semua orang, dan arti umum dunia dalam moment sejarah tertentu. “Ada” bukanlah hanya
merupakan arti umum orang beriman, tetapi juga arti umum semua manusia dan arti sejarah. Arti
umum ini dapat dilihat dalam beberapa hal:
1) Setiap orang harus dipandang sebagai punya arti, sekalipun orang yang paling rendah dan paling
kecil. Melupakan orang kecil berati juga melupakan kriteri yang paling sederhana.
2) Tidak sedikit pengalaman religius dan spiritual yang memerlukan kriteri arti umum manusia.
Umat manusia selalu dekat dengan mentalitas magis. Orang intelektual sulit membedakan kesalehan
yang tulus dengan magic. Tetapi kalau arti umum dipakai di sini maka akan lebih gampang
membedakannya. Jadi, arti umum itu dapat menilai fenomen ekstern dan intern tersebut.

2. RATIO HUMAN

Ratio human adalah bagian manusia, khususnya sebagai pembimbingnya. Dunia Barat begitu
mengagungkan ratio sebagai komponen manusia, dan manusia dirumuskan sebagai "animal
rational".
Ratio tidak selalu ratio diskorsif (akali belaka). Ada juga ratio intuitif, yang menangkap dan
memasuki kebenaran, dengan membedakannya dari kepalsuan dengan kemungkinan ratio diskorsif.
Ratio ini perlu untuk menguji segala sesuatu yang terjadi pada manusia.

3. PENGIKUT YESUS

30
Pengalaman rohani yang autentik membangkitkan semangat untuk mengikuti Yesus. Di antara
orang kristen, ini tidak perlu diragukan. Dari fakta ini timbul bahwa mengikuti Yesus sering
dianggap sebagai kriteri kebenaran pengalaman konkrit.
Tetapi mengikuti Yesus, sebagaimana dipaparkan dalam Injil, punya skala realisasi yang sangat luas
dan tak seorang pun akan sanggup memeluknya seluruhnya. Roh Kuduslah yang memanggil untuk
mengikuti Yesus dalam aspek dan bentuk tertentu, konkrit dan berbeda dari orang ke orang. Tetapi
meski berbeda-beda, ada aspek yang tidak berada di luar yang umum, artinya yang berlaku umum
bagi semua orang yang mengikuti Yesus:
1) Horizontalitas dan Vertikalitas. Kedua hal ini merupakan elemen konstitutif pengalaman Yesus,
yang tidak dapat saling meniadakan satu sama lain dalam pengungkapannya secara langsung dan
konkrit. Dalam kesempatan dan moment tertentu, bisa saja ditekankan salah satu. Realitas kedua
aspek ini dalam Yesus tidak perlu didiskusikan. Pengalaman yang hanya mengikuti satu garis, tanpa
melihat pentingnya garis yang lain, sebagai saling melengkapi dan tidak bertentangan, perlu
dipertanyakan apakah ada arti kristen lagi dalam garis yang dialami tersebut.
2) Koinsidensi Kristologis. Justru karena misteri Kristus begitu tak terselami dan tak terhabiskan,
maka manusia terus bergerak mengikuti-Nya. Setiap saat dirasa perlu memandang Yesus, dengan
cara yang berbeda dengan orang lain. Tetapi masing-masing pandangan bertumpu (koinsidensi)
pada Dia yang diutus ke dunia yang konkrit ini. Setiap pengalaman rohani yang tidak bertumpu
pada orbit pusat itu, dapat dipertanyakan apakah pengalaman itu adalah pengalaman kristen.
3) Hidup Yesus. Hidup Yesus adalah patokan hidup kristen. Pengalaman rohani kristen dalam
kesibukan dan masalah hidup riil di dunia ini berpatokan pada hidup Yesus. Yesus sendiri pun
sudah hidup di dunia ini. Mempertemukan pengalaman rohani dengan pengalaman human dan illahi
Yesus yang ditunjukkan dalam Injil adalah jaminan dan ujian pengalaman rohani itu sendiri.
4) Dalam hidup Yesus dan dalam dimensi horizontal dan vertikalnya, orang miskin merasakan
kehadiran-Nya yang khusus. Ada kecenderungan yang luas dalam Gereja dan sejarah untuk
mengaktualisir aspek konkrit dan penting ini. Peniadaan kecenderungan ini dapat dipertanyakan
apakah dengan itu atau apakah tanpa perhatian khusus pada orang kecil masih dapat disebut
pengalaman kristen.

4. BUAH ROH

Suatu pengalaman yang adalah pengalaman akan Roh tidak mungkin tidak menghasilkan buah-buah
Roh, yang sesuai dengan intensitas dan qualitas Roh itu. "Buah-buah Roh ialah cinta, kegembiraan,
damai, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kelembutan, kesetiaan, penguasaan diri" (Gal 5:22). Dan
semua ini dirangkum dalam cinta. Semua buah-buah yang lain tidak lain dari pada dimensi atau
qualitas konkrit cinta itu. Cinta itu dapat dilihat dalam sisi-sisi berikut ini:
1) Cinta teologal. Cinta teologal ialah cinta yang hidup bersama dengan iman dan pengharapan.
Kalau cinta dipisahkan dari iman dan harapan, yang merupakan kebajikan orang dalam perjalanan
hidup ini, bisa berakibat bahwa kita dihadapkan pada cinta celestial sebelum segala zaman. Ini
berarti bahwa cinta itu tidak menyentuh waktu dan masalah kita.
2) Cinta provokatif. Cinta provokatif (cinta yang membangkitkan) sering tidak muncul dalam
spiritualitas, karena ungkapan ini sering terlalu dikaitkan dengan seks dan juga dengan
romantisisme dan kecenderungan pelarian. Cinta provokatif lebih luas dari itu. Cinta provokatif
adalah yang sampai pada akar problem, dan mencoba membangkitkannya agar dapat dipecahkan
atau sekurang-kurangnya mencoba memecahkannya.
Tidak mungkin membuat program konkrit untuk provokasi, karena situasi selalu berbeda-beda dari
waktu ke waktu di berbagai tempat. Karena itu perlu selalu memohon kekuatan Roh Kudus untuk
campur tangan dalam cinta yang lemah dan lesu, agar dapat menggerakkan realitas.
3) Realitas dan Kriteri. Cinta sebagai kriteri pengalaman rohani adalah cinta kepada sesama, dan
bukan cinta kepada Allah, sebab cinta kepada Allah tidak dapat dibuktikan dan diserap atau
dipahami. Tetapi ini tidak berarti bahwa cinta kepada Allah tidak penting bagi orang kristen. Tetapi,
dalam hal ini, yang dapat menjadi kriteri adalah cinta kepada sesama.

31
32
SISTEMATIK
A. FUNDAMEN VITAL

I. REFERENSI DAN PENGALAMAN AKAN ALLAH DALAM


KONTEKS SEKULARISASI
Sebelum menganalisa kesaksian biblis akan iman kristen tentang Allah, untuk melihat intesitas
pengalaman rohani, perlu menekankan beberapa hal dalam situasi yang dihidupi dalam masyarakat
modern dan post modern, di mana Allah dialami. Bukan lagi pembahasan figur iman akan Allah
yang kadang sulit dipahami, sementara yang lain membahas resonansi baru. Sekarang perlu dilihat
religiositas modern dan post modern. Spiritualitas terasa sangat penting untuk membahas secara
baru iman akan Allah dan relasi serta pengalaman akan Dia, tapi sekaligus membuka nyala baru
bagi tradisi rohani. Dalam abad modern iman akan Allah tidak lagi dilihat sebagai berasal dari
kepastian dan warisan iman itu, tetapi bertolak dari cara bagaimana manusia dimengerti dan
dialami. Di mana pengalaman akan pengenalan dunia dan pencarian rohani dibuka pada kedalaman
transenden yang memungkinkan kita memanggil nama Allah? Ke mana condong dinamisme
kebebasan human dan keputusan etis, dinamisme pertemuan antar pribadi dan kewajiban sosial?
Bukankah tujuan atau sasaran dunia dan nilai otonomi etis dibuka pada instansi transenden dan
tanpa syarat yang dapat membuat transparan bagaimana asal dan tujuannya adalah kehendak Allah
dan kehendak Bapa? Relasi dan pengalaman akan Allah terjadi dalam situasi dan konteks di mana
kita hidup dan berada.

1. PURIFIKASI KRITIS

Dulu, iman akan Allah harus selalu dijaga kemurniannya dengan selalu memurnikan gambaran
Allah. Sekarang ini, iman akan Allah dan pengalaman di dunia tidak lagi dibiarkan terjerat.

33
Pengenalan dan pengakuan akan Allah tidak mendapat tempat hanya dalam pengenalan human dan
dalam karyanya, seolah-olah kebesaran illahi harus disempitkan dalam kesempitan human: Allah
lebih besar dari kemampuan manusia mengenal. Kemampuan manusia yang terbatas tidak boleh
menyempitkan kebenaran dan kehendak Allah. Bonhoeffer pernah mengatakan bahwa Allah adalah
transenden dalam pusat dunia kita. Karl Rahner juga mengungkapkan ide yang sama dengan
mengatakan bahwa Allah dan manusia tidaklah bertolak belakang, sebagaimana dalam Yesus
Kristus bahwa kodrat illahi tidak menghapuskan kodrat human dan aktivitasnya. Iman akan Allah
beserta pengalaman dan spiritualitas yang dihidupi tidak dapat lagi mengesampingkan dunia, alam
dan kosmos beserta perobahannya, tidak dapat lagi mengesampingkan konsep yang dimurnikan
tentang immanensi dan transendensi Allah di dunia yang sudah dewasa. Iman akan Allah tidaklah
menyangkal otonomi manusia. Allah memberi kebebasan kepada manusia serta kemampuan
berkarya dalam proyek keselamatan historisnya sendiri dalam dunia di mana manusia itu hidup.
Kehadiran Allah menjadi kebijaksanaan bagi manusia dalam hidup dan tugasnya. Dan orang
beriman dapat merasakan Allah dekat hanya dalam kehadiran-Nya yang membawa kebijaksanaan
itu.

2. RELIGIOSITAS POST-MODERN

Dalam zaman modern ini tidak mungkin lagi religiositas dipisahkan dari dunia dan alam yang dapat
dikenal, diselidiki dan ditemukan oleh manusia. Dunia dan alam itu yang sekarang diubah atau
bahkan dirusak tetap merupakan ciptaan Allah, dan oleh karena itu harus dihormati. Alam
menyokong variasi dalam hidup human, biologis dan ekologis. Di sini pun Allah berkarya. Manusia
sadar akan keterbatasan dan kebebasannya, dan dicoba mengintegrir diri dan kemampuannya serta
perasaannya dengan alam di sekitarnya. Dewasa ini tidak diterima lagi cara patriarchal-maschilist
(penundukan) bila berhadapan dengan dunia, tetapi cara matriarchal-femminist (pemeliharaan dan
perawatan) terhadap dunia. Dunia ciptaan harus dijaga dan dilayani. Pengrusakan brutal harus
disingkirkan. Dan ini hanya mungkin lewat agama dan religiositas.

3. ALLAH SELALU TERARAH KEPADA KITA

Mengatakan bahwa Allah selalu terarah kepada kita tidak berarti bahwa sisi antropologis
pengalaman akan Allah dan akan relasi dengan-Nya harus disingkirkan. Sebaliknya, justru sisi ini
yang hendak diangkat ke permukaan.
Sekarang ini disadari bahwa jangan mulai dengan cara bicara yang abstrak tentang Allah dalam diri-
Nya sendiri dan demi diri-Nya sendiri, tetapi berangkat dari apa yang kita tahu dan alami dari Dia
yang datang kepada kita; bukan berangkat dari apa yang jauh dan asing bagi Allah, tetapi dari apa
yang terlibat dan terarah kepada Allah. Tidak cukup memulai pembicaraan mengenai hubungan dan
pengalaman kristen akan Allah dengan bertitik tolak dari misteri Trinitas Illahi yang dalam diri-Nya
sendiri tertutup, tapi juga harus berangkat dari misteri Trinitas yang keluar dari dan menyingkapkan
diri-Nya sendiri, sejauh Ia mau menjadi Bapa kita, dalam Kristus Putera-Nya, dan kita menjadi
putra-putri-Nya, dan mengikat hubungan dengan kita dalam Roh dalam gerakan hidup dan cinta
yang resiprok. Sebenarnya, hidup dan cinta resiprok Trinitaris yang diberikan kepada kita adalah
konklusi pengalaman rohani dan pengenalan kita akan Dia. Tetapi semua jalan menuju misteri ini,
dalam spiritualitas, yang terjadi baik dalam sejarah umum dan universal, maupun dalam iman dan
hidup, berlangsung karena dan dalam keterbukaan Allah kepada manusia dan dalam pengalaman
manusia akan Dia. Allah Tritunggal dalam immanensi-Nya sendiri adalah Allah Tritunggal yang
terbuka pada kita dalam keabadian dan dalam sejarah. Allah Tritunggal ini terbuka pada kita melalui
Kristus Putera dan dalam Roh Kudus, walau juga dapat diterima keterbukaan sebelum Kristus dan
di luar konteks kekristenan.
Dewasa ini kita lebih merasa sebagai subyek dan aktor sejarah human kita, yang sebenarnya adalah
sejarah yang dicampuri (diintervensi) oleh tangan Allah. Bahkan bagi kita tuturan biblis telah
menunjukkan model mengenai sejarah kita sendiri. Dalam model itu kita tidak bisa membatasi diri
hanya dengan membaca inisiatif Allah, pengukuhan-Nya dan kekuasaan-Nya, tetapi kita petik juga

34
suatu keputusan dan tanggungjawab human. Memang tuturan biblis Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru tidak dipaparkan dalam transparansi yang mutlak, apa lagi bagi orang sekarang ini. Tapi yang
perlu diketahui ialah bahwa Allah terarah kepada manusia dan dunia dalam sejarahnya yang konkrit,
seturut arah dan arti yang selalu rahasia yang tidak selalu dapat diterangkan. Sebaliknya, sejarah
adalah tempat dan lingkungan (areal) pengalaman manusia yang kemudian, dan orang beriman yang
sekarang mengalami Allah terarah kepada mereka, Allah yang dipercayai, yang lebih dekat dari
pada yang dapat dikenal. Tetapi tuturan biblis yang mengenal perjanjian Allah dengan Abraham,
Musa dan bangsa Israel bukanlah penentu sejarah khusus keselamatan, tetapi hanya berguna sebagai
model interpretatif. Tuturan itu mengungkapkan bahwa Allah menemui manusia. Dan ini pun dapat
terwujud dalam sejarah hidup dan kemanusiaan kita. Allah tidak hanya terarah pada suatu bangsa
tertentu saja dan tidak terbatas hanya pada waktu tertentu saja, tetapi terbuka secara universal
dengan segala kekhususannya. Dalam pengalaman kita yang terjadi dalam sejarah, dalam kebebasan
dan aktivitas, sekalipun itu mungkin dingin dan kurang terungkap, kita dapat mengakui inisiatif dan
disposisi Allah, yang dapat dijejaki tidak hanya dalam keluaran dari Mesir menuju Tanah Terjanji,
dalam kembalinya dari pembuangan di Babilon, tetapi juga dalam perjalanan yang dilakukan oleh
para murid dengan Yesus di Yerusalem dan perjalanan Gereja muda di daerah Timur Tengah.

4. TINGKAT-TINGKAT RIVELASI

Struktur sejarah Allah dengan kita manusia nampak dalam berbagai tingkat intensitas: pendekatan,
yang begitu nyata, yang ditunjukkan Allah kepada kita dalam Kristus didahului seluruhnya oleh
suatu pengalaman dan bahasa relasi yang dipadatkan dalam perjanjian, di mana sudah ditemukan
Allah yang terarah kepada kita dengan tuntutan, cinta dan kesetiaan yang telah ditentukan untuk
berlangsung selama-lamanya. Karena itu Yesus Kristus, Emmanuel, “Allah beserta kita”, dapat
dimengerti sebagai intensifikasi dan radikalisasi keterarahan Allah kepada kita, dan struktur
relasional yang sama ini dapat membuat nampak juga figur atau gambaran atau lukisan aksi historis
Allah yang mendahuluinya dan yang kurang dimaklumkan sebelumnya. Tetapi suatu hal yang
terutama penting ialah bahwa di sini kita dapat mengoreksi dan mengkritik suatu tradisi teologis
yang nakal, yaitu yang memaparkan kepada kita Allah Pencipta yang dijauhkan dari hubungan
cinta-Nya dan relasi-Nya yang Ia inginkan dengan kita, jadi ada jarak - menurut teologi ini - antara
Allah Pencipta dengan manusia ciptaan.
Sebaliknya, cara radikal di mana Allah disingkapkan kepada manusia hendak menunjukkan kepada
kita bagaimana komunikasi kreatif hidup dan eksistensi hendaknya disokong oleh cinta dan gerakan
itu sendiri, yaitu yang mengandung dalam dirinya anugerah keberadaan kodrati dan creatural
manusia, tetapi juga basis dan keterjaminan yang dimiliki oleh kondisi hidup kodrati dan kodrat.
Juga sejauh sebagai ciptaan, alamat dan pemodel hidup kodratinya dan hidup duniawinya dari mana
ia hidup, manusia bertemu dengan Allah sendiri yang menyatakan diri kepada manusia itu dan
mendekatkan diri dalam Kristus, Emmanuel. Karena dan untuk itu juga pengalaman yang dialami
oleh manusia itu sejauh sebagai ciptaan, kodrati dan bereksistensi, adalah juga suatu pengalaman
kedekatan manusia kepada Allah dan pengalaman kedekatan Allah sendiri kepada manusia.
Tetapi relasi ini terbuka juga pada masa yang akan datang, pada suatu intensitas yang lebih dalam
dan besar lagi. Baik perjanjian dalam Perjanjian Lama maupun perumpamaan-perumpamaan Yesus
mengenai Kerajaan Allah dan epifani Paskah menunjukkan suatu kedekatan dan keterbukaan Allah
kepada dunia secara lebih besar, lebih tinggi dalam seluruh pengalaman akan Allah yang
sebelumnya, yang begitu menjamur dan transparan, menuju suatu kontak langsung kehadiran yang
tak teratasi, tak terbandingkan, dan tak terlampaui, di mana Allah akan menjadi segalanya dalam
segala sesuatu. Motif penghantar "Allah beserta kita" dan "kita beserta Allah" tidak menyempitkan
sejarah Allah bersama manusia, tetapi mengarahkannya pada pemenuhan eskatologis dan
merealisirnya setiap saat dan terus menerus.

5. CIPTAAN YANG TERINTEGRIR (ECO-SPIRITUALITY)

35
Cara modern untuk mengerti dan menunjukkan relasi manusia dengan Allah memunculkan
religiositas yang tidak lagi membiarkan hubungan universal antara Allah Pencipta dan eksistensi
tercipta di awang-awang. Cara modern mengangkat ke permukaan hubungan si tercipta dengan
Pencipta, yang menunjukkan keberadaan human dalam kekhususan kemanusiaannya,
kepribadiannya, pengenalannya dan kebebasannya. Ini sudah merupakan satu langkah maju, kalau
dibandingkan dengan pemikiran masa lampau.
Tetapi meski sudah suatu langkah maju, namun dimensi eksplisit mana dari ciptaan dan keterciptaan
itu yang terdapat dalam spiritualitas kristen belum begitu jelas. Dari tradisi, sisi religius dari alam
ciptaan itu ditunjukkan oleh Fransiskus dari Assisi dalam Kidung Saudara Matahari, suatu
nyanyian mengenai ciptaan, sementara pendekatan tekhnik-scientific pada kosmos dibuat oleh
Teilhard de Chardin pada abad kita ini, mengembangkan secara baru lingkungan vital manusia dan
kristen menuju suatu dunia yang lebih luas dan yang berevolusi.
Tetapi hubungan dengan dunia dan kosmos ini pun masih menunjukkan ciri antropologis, meski
pengenalan scientifik akan kodrat dan evolusi tekhnik yang ditunjukkan pada pengaturan dan
penggunaan realitas sudah mengangkat martabat spiritualitas kristologis dan kristo-eskatologis yang
lebih tinggi: tapi di sini pun, terutama di sini, ciptaan dan kodrat masih belum dihargai dan
dipertahankan seperti dalam dirinya sendiri.
Kesulitan yang membingungkan akan suatu pengenalan dan penggunaan dunia dan alam dari pihak
ilmu dan tekhnik human, bersama dengan konsekwensi kerusakan ke mana kita dibawa oleh
pengrusakan basis itu, di mana manusia hidup dan kemanusiaan terancam dalam perjuangan hidup,
akan menjadi dorongan untuk berhati-hati dalam keberadaan dan hidup kita, yang dulu diremehkan
dan kurang diperhatikan. Terang bahwa suatu pengenalan, kebebasan dan suatu sejarah ada hanya
pada saat dan dalam ukuran di mana ada suatu lapisan dan subyek dasar hidup human. Tetapi
kemudian penting bahwa keterciptaan dasar, anugerah dan tanggungjawab eksistensi dan hidup
diselipkan secara baru, dengan kejelasan yang lebih besar dan kesadaran, dalam tanggungjawab
iman. Sekaligus perlu diakui bahwa anugerah dan penerimaan hidup, dari pihak manusia,
disebarkan pada seluruh kosmos dan alam, di mana justru ancaman dewasa ini dihadapkan pada
konteks hidup kita, yang membuat kita mengerti bahwa seluruh hidup kita adalah anugerah Allah,
tetapi sekaligus juga sebagai tugas yang dipercayakan pada tanggungjawab yang harus kita -
makhluk insani - tunjukkan terhadap dunia dan hidup itu sendiri. Maka karena itu Allah Pencipta
menunjukkan dasar yang paling luas dan integral, yang dari padanya relasi personal dan bebas
manusia dengan Allah sama sekali tidak dapat dikesampingkan. Allah Pencipta - seperti dulu sering
dianggap - bukan lagi suatu pengembangan semata kekuasaan dan "pemerasan" yang diteruskan
oleh manusia pada dunia, dan sekarang ini sudah jelas-jelas ditunjukkan suatu kritik atas dominasi
imperialistik patriarchal seperti itu dalam dominasi akan dunia, dan sudah diadakan suatu koreksi
dengan menyebarkan suatu ide mengenai Allah yang diberi "cap" perasaaan keibuan, demi
menghormati dan membela hidup. Tapi ini tidak berarti tidak mengakui posisi manusia dalam
kosmos, dan juga bukan mau mengatakan bahwa perlu manusia itu terserap secara tak sadar dalam
alam, pun tidak memaksudkan penghapusan perbedaan antara Allah yang transenden dan ciptaan-
Nya. Yang hanya hendak digarisbawahi oleh zaman modern dalam aspek ini ialah kesadaran bahwa
dunia harus dipandang sebagai anugerah hidup, suatu dunia ciptaan di mana manusia juga merasa
diri termasuk dan terintegrir sebagai ciptaan, bahkan sebagai suatu tempat di mana manusia itu
harus menghidupi pengenalan personalnya sendiri dan caranya yang baru untuk mengorganisir
realitas duniawi. Bahkan sekarang ini diingatkan perlunya juga memakai atau menggunakan
sumbangan yang berasal dari tradisi agama lain yang berkaitan dengan alam, tetapi terutama
sumbangan dari teologi dan spiritualitas femminist.

II. PENJELASAN TENTANG DAN PENUNDUKAN PADA ALLAH


TRITUNGGAL
Kalau hendak berbicara secara lebih konkrit dan luas mengenai Allah yang mengarahkan diri
kepada kita melalui Yesus Kristus, Putera-Nya, dan dalam Roh Kudus yang tercurah kepada kita,
maka tidak dapat dikesampingkan misteri trinitaris. Sebab kalau tidak, kita jatuh lagi dalam

36
triteisme heretik yang melihat ketiga Pribadi illahi itu sebagai tidak ber-relasi dan tidak ber-refleksi
antar ketiganya. Tetapi juga sekaligus, harus dihindarkan suatu penciutan yang lain, yang juga
heretik, yaitu pandangan monoteistik yang tidak melihat dan mengakui autokomunikasi personal
Allah melalui Yesus Kristus dan dalam Roh Kudus, bahkan jauh dari pandangan monoteisme
Yudaisme sendiri yang mengungkapkan semua vitalitas dan kekuatan Allah dalam sejarah.
Mengenai hidup keillahian Allah, jadi mengenai spiritualitas trinitaris, yang ditunjukkan oleh
sejarah kesalehan dengan begitu hidup dan ekspressif, dapat dibicarakan hanya setelah mendalami
autorivelasi dan autokomunikasi Allah dalam sejarah. Ini penting agar tidak memberi kesan
spekulasi yang melayang-layang atau mengawang tentang Trinitas, baik dalam menggunakan dan
mengukuhkan apa yang dipetik dari rivelasi sejarah keselamatan.

1. HIDUP DALAM KRISTUS: HIDUP SEBAGAI PUTRA DAN PUTRI ALLAH

Sekurang-kurangnya dalam teologi, spiritualitas tidak harus terbatas pada suatu kristologi dogmatik
yang disempitkan, tetapi sebaliknya, perlu berusaha mengamati tempat pengalaman eksistensial dan
praksis akan iman yang dihidupi, tempat pengalaman relasi yang ditetapkan antara Kristus dan
orang beriman, dan lagi, mungkin, antara orang beriman dan Yesus Kristus! Ini ditegaskan karena
spiritualitas tidak pernah dapat menjadi antidogmatik, tidak pernah dapat bergerak dalam
lingkungan yang mendahului atau melewati orientasi biblis atau refleksi teologis. Bahkan kristologi
biblis pun atau ajaran iman, kalau dimengerti dengan baik, tak akan pernah dapat disendirikan untuk
terpisah dari hubungannya dengan eksistensi dan hidup praktis. Pengisoliran teologi sedemikian
akan menjadi suatu penciutan (reduksi) dan abstraksi yang berbelit-belit. Dalam kesaksian biblis
dan tradisi, juga pembicaraan ter-refleksi akan misteri Kristus lahir dan dimengerti di bawah terang
pengalaman iman dan dalam pandangan atasnya. Demikian juga kalau berbicara mengenai "Kristus
dalam diri-Nya sendiri", yang dimaksud terutama serta sasarannya ialah justru selalu mengenai
"Kristus bagiku" dan "Kristus bagi kita"; "bagi kita" maksudnya bahwa oleh Kristus kita dilibatkan,
oleh-Nya kita ditarik!

2. REFERENSI PADA KRISTUS, DALAM RELASI DENGAN ALLAH

Spiritualitas kristologis pun, yang tertutup dalam dirinya sendiri, tidak dapat kita terima. Kalau kita
terima bahwa relasi antara Allah dan manusia / dunia dikonkritkan dalam Yesus, dalam pribadi-Nya
dan dalam sejarah-Nya, maka kita tidak dapat menghindar dari penyingkapan yang paling besar ini,
dan sebaliknya kita mengakui bahwa cara di mana Allah mendekat pada kita justru direalisir dalam
konkretisasi ini, dan di dalamnya pula berlanjut terus selalu penyerahan diri-Nya kepada kita.
Seharusnya tidak tepat menspesifikkan spiritualitas secara kristiani dengan membedakannya dari
relasi religius yang paling umum yang kita punya dengan Allah, justru karena selain referensi pada
Allah, seharusnya dipaparkan juga referensi pada Kristus.
Benar juga sebaliknya bahwa sejak awal timbulnya, spiritualitas itu dikembangkan selalu dalam
gerakan yang luas dan terbuka antara Allah dan manusia, dalam perendahan diri historis-Nya dan
dalam jawaban kita yang historis, human dan duniawi kepada-Nya. Tetapi tidak diingatkan betapa
terang bahwa kristologi yang dalam Perjanjian Baru dan juga dalam tradisi, telah dikembangkan
sebagai doktrin kristologi Perjanjian Baru, bersama dengan predikat dan titel kekuatannya, dan lebih
lagi cara mengembangkan suatu kristologi dogmatik yang didasarkan pada kodrat illahi dan human
Kristus, diperluas dalam horizon yang paling luas di mana Yesus hidup bersama dengan bangsa
Hibrani-Nya, bersama dengan gereja kristen, dan juga bersama dengan orang-orang dari agama lain,
di hadapan Allah, dari Allah dan untuk Allah.
Dalam stadion primitif kristologi Perjanjian Baru tempat dan arti yang diakui bagi Yesus dalam
Kerajaan Allah, dalam aksi Allah dan dalam relasi manusia dengan-Nya belum dipaparkan secara
tepat, tapi hanya dibayangkan secara implisit. Lama pandangan diarahkan pada waktu sebelum
Yesus dan sesudah Dia, jadi yang terbuka pada Allah yang diwartakan-Nya dan dipercayai-Nya.
Dan juga selanjutnya, spiritualitas kristen tidak akan dapat menjadi kristosentris kalau dihilangkan
karakter teosentris dan patrosentrisnya, sebagai relasionalitas kristologisnya: Yesus selalu hidup

37
dalam relasi yang luas ini yang menghubungkan Allah dengan manusia, Ia selalu hidup dan
berkarya dalam hubungan-Nya yang selalu khusus dan baru dengan Allah. Ini tidak memaksudkan
penipisan teologis, tapi ini adalah satu-satunya kemungkinan untuk menjamin iman dalam Kristus,
juga posisi monoteistik. Tambah lagi bahwa hanya dengan cara demikian akan berhasil menghindari
ketidakterkaitan dan kontradiksi antara iman dalam Kristus dengan misteri trinitaris. Allah Yesus
Kristus bukanlah Kristus, tapi Allah dan Bapa Yesus Kristus, dan Kristus adalah tetap dan selalu
Kristus Allah. Integrasi resiprok ini tidak hanya dituntut oleh teologi spekulatif, tetapi juga oleh
spiritualitas kristen, ke mana semua orang kristen dipanggil untuk menghidupinya.

3. MISTERI KRISTUS: HIDUP YANG DIHIDUPI DI HADAPAN ALLAH

Juga keterbukaan Yesus dari diri-Nya sendiri, yang begitu baru dan memberi harapan, mulai dan
berlanjut terus terarah dalam konteks iman yang sudah ada dan yang sekarang diterima, konteks
iman Yahudi. Yesus hidup dengan Allah sendiri, Allah para bapa bangsa-Nya sendiri, Allah
saudara-saudari-Nya: Allah dari sejarah pemilihan bangsa itu, Allah dari perjanjian yang didasarkan
pada kesetiaan dan Allah dari hukum yang terus membuat kuat instansi-Nya sendiri. Meski Allah
dan hubungan kita dengan-Nya dapat ditinjau dari sudut pandangan baru dan mengagumkan, tapi
Yesus tidak menjauhkan diri dari jalur umum, dan juga khotbah-khotbah dan wewenang-Nya, yang
begitu khas, bersandar (bertopang) pada pengandaian religius sebelumnya, baik secara linguistik
maupun secara praktis: tuturan historis, hukum-hukum, perjanjian, mazmur, dsb. Justru dalam dan
melalui yang "lama" Ia dapat menterjemahkan yang "baru" dalam kata dan karya. Allah-lah yang
dimaksudkan dan disampaikan oleh Yesus secara baru. Kerajaan Allah itu, ke mana semua orang
Yahudi percaya, dan yang dinantikan pada hari terakhir, "dipetik" oleh Yesus, dengan banyak
urgensi, kedekatan dan kemungkinan realisasi, sudah pada kehadirannya dan pada manusia yang
kepadanya Ia mengarahkan diri dan menarik mereka. Allah itu menyatakan seluruh keterbukaan-
Nya dan pengatasan-Nya akan hal-hal yang terbatas sedemikian rupa di mana Yesus terarah pada
orang-orang terbuang, dan menunjukkan gambaran Bapa yang penuh cinta dan belaskasihan dalam
kesiapsediaan yang selalu ditunjukkan oleh Yesus kepada orang-orang asing. Tetapi dengan tekanan
yang lebih kuat lagi dan dengan urgensi yang lebih tegas Yesus menegaskan perlunya ketaatan
tanpa syarat, pemenuhan hukum baik secara lahir maupun secara batin, keputusan dan pertobatan
yang harus dilaksanakan "hari ini", tanpa menunda-nunda hingga hari "esok".
Yang lebih bebas dan membebaskan lagi ialah kehendak-Nya yang diarahkan pada situasi konkrit
manusia, pada kepapaan sesama, pada pengabdian illahi yang tidak menerima ritualisasi. Apa yang
"menarik" bagi Yesus bukanlah diri-Nya sendiri, tetapi Allah yang atas terang-Nya Ia berbicara dan
berkarya, Allah kerajaan yang "menyatakan" dan mengukuhkan ordo-Nya yang baru dan
menganugerahkan keselamatan, yang untuk itu Yesus ingin mempersiapkan diri dan dengannya Ia
bermaksud mempersiapkan para pendengar-Nya dan si alamat keselamatan itu.
Kemudian Yesus sendiri, sabda-Nya dan aksi-Nya, pribadi-Nya, mendapat arti yang khusus, dan
inilah effeknya yang berikut, bukan tema-tema khotbah-Nya. Yesus, dengan seluruh pribadi, sabda
dan karya-Nya, bukanlah suatu realitas terisolir. Perumpamaan-perumpamaan dan realisasi praktis
Kerajaan Allah yang dikerjakan-Nya (penyembuhan, panggilan, undangan untuk memilih ...) tidak
terpisahkan dari dan terikat pada pribadi-Nya yang mewarta dan berkarya, hingga dapat dikatakan
bahwa dari kristologi implisit dapat dikembangkan kristologi eksplisit, otonom.

Yesus hidup, berada dan memaklumkan pesan dari Allah dan juga mengenai Allah. Ia hidup dengan
iman dan ketaatan, dalam keyakinan akan Allah dan dalam ketentuan untuk melaksanakan
kehendak-Nya, di hadapan yang kekuasaan dan ordo baru-Nya diwartakan oleh Yesus. Cara-Nya
yang baru untuk berdoa dan berkarya terungkap dalam bahasa Mazmur dan disesuaikan dengan
praksis hidup orang Yahudi yang saleh. Justru pada hidup yang dihidupi ini di hadapan dan seturut
Allah Ia mengundang para pendengar-Nya, yang adalah asal-usul mereka, dan juga situasi di mana
mereka hidup. Dengan Yesus dibuka kemungkinan untuk berada dan hidup di hadapan Allah dalam
arti bahwa religiositas Yudaisme tradisional belum mengenalnya. Ini dapat dilihat dari
perumpamaan-perumpamaan yang dengan seluruh kebebasan dan simplicitas mengundang manusia
pada doa dan pada permohonan yang terus menerus, dan juga pada kontak langsung antara manusia

38
dan Allah yang diungkapkan secara bebas baik secara batin maupun lahir dalam religiositas Israel
yang disusun seturut skema kultus. Juga dapat digali dari sebutan Allah, yang dipanggil Yesus
sebagai "Bapa" dan yang mengundang kita juga untuk memanggil-Nya dengan nama yang sama.
Pada dasarnya dapat diungkapkan arti mendasar dan konstitutif yang dimiliki oleh Yesus dalam
hubungan-Nya dengan Allah, tanpa harus melihat dan mengamati khotbah-khotbah-Nya yang
eksplisit dan penyingkapan diri-Nya sendiri (autorivelasi), karena cukup menunjukkan bagaimana
Yesus sendiri hidup dan berbicara selalu dalam hubungan yang sama antara bangsa-Nya saat itu
dengan Allah, sementara bagi para pendengar-Nya perjalanan ini hanya terbuka dengan jawaban
mereka pada Yesus. Hanya pada saat kemudian hubungan itu terbuka dalam seluruh skala iman dan
keyakinan, sebagaimana juga terjadi dalam hidup dan aktivitas, dalam doa dengan kata atau juga
dalam aksi tanpa kata.
Kemudian selanjutnya, dalam terang Kristus yang bangkit dan karena iman murid-murid yang sudah
lebih matang, dalam pengalaman dan kenangan itu disisipkan pula gelar-gelar kristologis akan
kekuasaan-Nya, tetapi tidak berarti bahwa situasi original dilupakan oleh keterangan kristologis
yang dibuat dengan gelar-gelar yang digali dari tradisi Yudaisme dan dari penantian messianis, dan
selanjutnya dari warisan Hellenistik yang merupakan rappresentasi dalam hal keselamatan dan
penyelamat, selalu menunjukkan pula suatu "sisa-sisa" mengenai situasi dan peristiwa yang hendak
dilukiskan, sisa-sisa yang juga ditafsirkan. Predikat kristologis dogmatik, baik dalam Perjanjian
Baru maupun dalam evolusi yang berikutnya, lebih memaparkan tingkat intelektual yang lebih
tinggi dan penjelasan terminologis, seperti pula suatu pengurangan kontak langsung dan cukup pada
situasi. Dan menjadi problematik, terutama jikalau dimotivasikan pribadi, posisi dan arti Yesus
dalam diri-Nya sendiri, dengan menciutkan hubungan relasi yang lebih luas yang mengikat pada
Allah dan pada manusia, seperti ketika dari Mesias, yang diurapi oleh Allah, dan Putera, yang
kepada-Nya Allah telah memberi otoritas dan yang telah mengukuhkan Tuhan sampai pada Putera
Allah dan Allah-Kristus secara absolut, yang kurang relasi. Dengan mengkaitkan lagi pada
kristologi implisit dari awal, kita tidak lagi hanya tertuju pada suatu instansi eksegetik-historis,
tetapi juga terarah dengan cara yang lebih gampang pada spiritualitas kristologis zaman kita.

III. JALAN YESUS: PENEBUSAN, SALIB DAN KEBANGKITAN


Di sini tidak dimaksud hanya suatu perluasan secara narratif, tetapi juga suatu koreksi penting
mengenai cara melihat Yesus, yang tidak hanya terbatas pada penjelasan istilah-istilah mengenai
kematian dan kebangkitan-Nya tetapi diperluas hingga mengerti seluruh perjalanan hidup dan
aktivitas-Nya. Konsekwensi penyempitan pandangan seperti itu cukup menentukan bagi teologi
penebusan dan terlebih bagi spiritualitas kristen setiap hari, dan oleh karena itu perlu koreksi yang
akan mengubah tekanan tidak hanya di bidang kristologi tetapi juga dalam "sphere" (lingkungan)
spiritual: dalam prospektif ini belum ada satu pun dari ketiga tahap tersebut yang sudah diterangkan
secara utuh.

1. SITUASI PERSIS PENEBUSAN: INKARNASI, KEMATIAN DI SALIB

Banyak alasan yang menerangkan mengapa dalam tradisi teologis dan spiritual peristiwa
keselamatan dilihat secara persis tidak hanya dalam "misteri hidup Yesus", perjalanan hidup dan
karya Yesus, tetapi dalam poin konstitutif hidup-Nya: awal dan akhir.
Untuk tradisi Gereja Timur, peristiwa decisif keselamatan dilihat (hingga sekarang juga) dalam
moment inkarnasi Logos, yaitu ketika kodrat illahi bertemu dengan kodrat human, ketika kodrat
human yang mortal diisi dan diserap oleh keabadian Logos illahi. Kemudian lebih lanjut lagi bahwa
Paskah dalam hal ini adalah pernyataan dan pemenuhan penyatuan dan pertemuan kedua kodrat itu
yang berdasar pada inkarnasi. Ini menerangkan, baik sebagai sebab maupun sebagai effek, motif
mengapa kristologi ini kemudian lebih tertarik pada susunan ontologis Sabda yang menjelma dan

39
kesatuan hipostatik Allah dan manusia, dari pada masing-masing fakta dan karya atau perjalanan
hidup Yesus.
Dalam Teologi Barat dan dalam cara atau metodenya untuk mengerti keselamatan kita temukan
kategori lain, yang berasal dari mentalitas yuridis bangsa Romawi dan Jerman. Di sini refleksi atas
Kristus dan juga pendalaman akan Dia dengan kata kunci "soteriologis", dan hendak dijelaskan
terutama dengan atau melalui peristiwa di mana hendak diletakkan aktus yuridis decisive kepuasan
antara Allah dan manusia, yaitu aktus melalui mana Yesus Kristus, Manusia-Allah,
mempersembahkan diri-Nya sendiri dan atas cara demikian memuaskan tuntutan yang tak terbatas
dari Allah yang tidak diakui kebenaran-Nya (oleh manusia).
Jadi hal yang hendak diintegrir dari sejarah yang sebelumnya bukanlah perjalanan hidup dan
aktivitas Yesus, tetapi hanya inkarnasi, yang membentuk "subyek" kepuasan, yang dituntut oleh
kebenaran: justru untuk inilah maka Allah menjadi manusia (Anselmus dari Canterbury: "Cur Deus
homo?").
Meski dengan perbedaan dalam kedua pandangan ini (Timur dan Barat), model penebusan yang
dipaparkan oleh keduanya punya kelemahan yang sama, yaitu tidak diterangkan dengan tepat
gerakan hidup historis Yesus dan manusia, juga dalam hubungannya dengan Allah. Konsekwensi
hal ini adalah fatal dan berat tidak hanya untuk teologi atau soteriologi (ajaran tentang penebusan)
tetapi juga atau terutama bagi spiritualitas, dengan cara mana sesuai dengan hidup harian orang
kristen menghidupi eksistensinya. Demikian dalam Yesus Kristus tidak diperhatikan lagi saat
berkhotbah dan berkarya-Nya di depan publik, walau itu penting, atau diciutkan pada upaya-Nya
untuk siap menerima kematian. Jadi ada kesan bahwa segala sesuatu yang perlu telah disimpulkan
dalam inkarnasi, yang tidak lagi memetingkan hidup dan aktivitas yang melanjutkan inkarnasi itu.
Atau diyakini bahwa kematian dan pengurbanan diri-Nya di salib punya arti dan keterangannya
hanya dalam dirinya sendiri, tanpa kaitan dengan sejarah hidup dan aktivitas-Nya yang mendahului
kematian dan peristiwa salib itu. Jadi nampak suatu jalan sempit antara dua kutub awal dan akhir,
yang tidak punya kaitan satu sama lain.
Hilangnya perhatian pada hidup dan aktivitas Yesus ini harus ditemukan kembali demi mengikuti
jejak Kristus ("sequela Christi") bagi orang kristen yang percaya kepada-Nya, karena dalam
"sphere" itulah sebagian besar eksistensi Yesus terkait, sebab dengan demikianlah percobaan dalam
hidup dapat diatasi, dengan bertemu dengan orang yang serupa dengan Dia, melaksanakan tugas-
tugas sebagaimana Yesus melaksanakan tugas-Nya, menghidupkan karya penyelamatan Yesus yang
jauh dan asing serta yang ketinggalan zaman atau terlalu maju dengan lingkungan tersekularisir dan
dalam konteks sosial. Kalau tidak demikian, kita menempatkan diri di depan salib yang tidak terkait
dengan perjalanan hidup dan aksi Yesus, salib yang merupakan penderitaan, sementara "sequela
Christi" dilihat sebagai aktivitas yang membaharui dunia, tanpa menentukan kebersamaan dalam
perjalanan hidup. Kalau demikian apa yang digemari manusia dalam dunia akan dilihat sebagai
penderitaan yang harus ditahankan, yang seharusnya ditolak, dan oleh karena itu muncullah "fuga
mundi" (lari dari dunia) dan ketakutan untuk berbuat.
Mungkin teologi pembebasan amerika latin-lah yang akan memancing perhatian akan kekurangan
itu, yang akan mengundang untuk mengikuti perjalanan dan perbuatan yang sudah dilaksanakan
oleh Yesus. Dan di sini kita dihadapkan pada contoh interaksi antara spiritualitas praktis dan refleksi
teologis, yang merupakan praksis pembebasan yang dihidupi oleh orang-orang kristen untuk
membuka mata dari kebutaan akan penebusan.

2. PRAKSIS YESUS YANG MEMBEBASKAN

Bersama dengan lukisan rangkuman akan aktivitas pembebasan Yesus, nampak juga seri-seri situasi
dan tanda konkrit keselamatan, yang walaupun menyebar di sana sini toh jelas titik fokus umum dari
mana memancar dan ke mana mengumpul situasi dan tanda keselamatan itu. Suatu traktat bagi
lukisan rangkuman yang konkrit ini adalah juga lukisan mengenai aktivitas Yesus yang
menyelamatkan dalam terang Kerajaan Allah yang dinantikan dan dengan demikian membuat
transparan Kristologi yang berkaitan dengannya: Yesus berbuat sebagai Hamba yang diutus dan
diurapi oleh Allah, sebagai seorang yang memaklumkan dan merealisir kekuasaan illahi, saat
eskatologis kedekatan Allah. Sebagaimana spektrum simbol "kekuasaan Allah" itu hanya berasal

40
dari masing-masing situasi terkombinasi, demikian juga misteri pribadi Kristus tidak lain dari pada
kombinasi masing-masing perkataan dan perbuatan Yesus. Bagi orang beriman, yang penting
bukanlah saran dan prestasi ordo dogmatik, tetapi langkah-langkah pendek pemahaman dan sequela
yang konkrit untuk mendekatkan diri pada misteri pribadi Yesus, untuk dialami dan disaksikan
dalam praksis iman.
"Roh Tuhan ada padaKu, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik
kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada
orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang
yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang" (Lk 4:18ss).

Ini adalah ucapan profetis yang kepenuhannya tercapai dalam Yesus: dalam penyembuhan orang
sakit, pencelikan orang buta, pembebasan dari kerasukan setan, penghimpunan orang-orang berdosa,
dengan menawarkan perjamuan messianis sebelum Perjamuan Terakhir. Selain penebusan yang
berasal dari salib, tanda-tanda keselamatan ini adalah pelaksanaan pertama yang positif dan vital
akan keselamatan messianis, tanda atau isyarat pertama pembebasan, jadi bukan hanya sekedar
undangan atau ajakan untuk memikul salib, tetapi justru pembaharuan integral hidup human, tanpa
memisahkan secara dualistis antara jiwa dan badan, suatu realisasi aktual akan keselamatan tanpa
menunda dan menangguhkannya hingga saat akhir. Bukanlah kebetulan bahwa Teologi Pembebasan
Amerika Latin telah mengambil dimensi aksi pembebasan Yesus ini yang selama ini diabaikan, dan
dengan demikian diatasi penciutan dan penyempitan aksi penyembuhan yang dikenal oleh iman
kristen dan praksis sequela pada saat itu. Antara cara mengerti penebusan Yesus sebagai jalan
penderitaan dan sikap passif di hadapan penderitaan dan ketidakadilan dunia ini, dari pihak orang
kristen, masih merupakan lingkaran setan yang fatal: spiritualitas kristen masih seolah-olah
memberi kesan bahwa harus lari dari dunia riil, untuk mengekang diri demi keselamatan spiritual
dan religiusnya, sambil mengharapkan dari intervensi Allah modifikasi yang hingga sekarang dapat
dibawa dalam konteks ketidakadilan.
Sikap perbuatan Yesus jelas: Ia aktif bekerja demi pembebasan; terarah pada seluruh diri manusia:
jiwa dan badan; mengerjakan keselamatan "hic et nunc", tanpa menunda-nunda. Semua ini dapat
ditemukan justru dalam spiritualitas pembebasan, dalam keterarahan kepada orang miskin dan
dalam bekerja sama dengan kekuatan lain dalam masyarakat untuk pelaksanaannya, jadi ada suatu
kaitan antara aksi Yesus yang membebaskan dan pembebasan manusia. Nasehat Magisterium
Gereja Katolik bahwa pembebasan kristen jangan disempitkan pada level realitas duniawi dan
politis, sekalipun itu merupakan realitas kemalangan, penindasan dan pemerasan di berbagai lapisan
sosial sebagai kecemasan iman. Ini bisa saja diperhatikan. Tetapi bahwa kesediaan untuk menerima
resiko dan untuk menderita, yang jelas-jelas terdapat dalam komunitas basis Amerika Latin, juga
bisa saja mengandaikan seluruh kebenaran misteri penebusan. Mungkin sudah cukup suatu
pengalaman nyata akan upaya ini untuk memperhatikan bahwa Kerajaan Allah sampai pada sasaran
yang hendak dicapai dan diinginkan oleh manusia, yang adalah anugerah Allah yang dijanjikan
kepada manusia dan dinantikan oleh manusia itu.
Memang dalam spritualitas pembebasan dianggap sebagai sangat penting dimensi politis dan sosio-
struktural. Tetapi dengannya jangan dipertentangkan aksi penyelamatan Yesus. Kalau dalam
khotbah dan praksis Yesus nampak dipadamkan refleksi yang tok sosio-politis, tetapi tetap benar
bahwa Yesus bergerak dalam hubungan sosial saat itu, dalam konteks di mana struktur religius,
sosial dan politis terkait satu sama lain; dan Ia juga bergerak dalam lingkungan sosio-religius
Yudaisme.

3. SALIB KRISTUS: LEBIH MERUPAKAN KONFLIK DARI PADA PENDERITAAN

Apa yang nampaknya paling penting secara tradisional mengenai kematian Yesus di salib, bagi kita
sekarang nampaknya terlalu sempit. Kalau kematian Yesus misalnya dimaksudkan sebagai
"sengsara" yang mewakili sengsara manusia, sebagai tebusan bagi banyak orang, kurban silih bagi
pendosa, penyerahan diri yang total pada cinta Allah dan bagi semua orang, ini adalah keterangan
yang sangat bagus mengenai arti kematian itu secara tradisional, tetapi sekarang ini nampak sebagai
kurang memberi perhatian pada Yesus historis, pada warta-Nya sebelum paskah, pada praksis
hidup-Nya, dan pada aksi pembebasan-Nya; dan juga dengan ini bahkan tidak muncul hubungan

41
antara hidup dan matinya Yesus, atau terlalu berat sebelah sisi hidup-Nya dilihat. Jadi, sengsara dan
kematian Yesus terisolir dari konteks hidup-Nya yang lebih luas.
Hubungan yang paling erat antara salib dan hidup Yesus nampak kalau salib itu dilihat sebagai
akibat rasa opposisi atas aksi dan khotbah Yesus, dan kemudian juga sebagai rasa kontra pada
pribadi, autoritas dan tuntutan-Nya yang dipaparkan. Penyaliban adalah hasil akhir dari penolakan-
penolakan yang sudah banyak muncul sebelumnya pada Yesus, bahkan cara bicara dan berkarya-
Nya pun sudah ditolak. Apa yang sudah muncul jauh-jauh sebelumnya sebagai penolakan bagi
Yesus ialah: kekurangpercayaan atau keraguan akan Dia, irritasi (kejengkelan atau kemarahan) dan
skandal yang timbul karena Ia memaparkan kehendak Allah, menerangkan hukum-hukum, aturan
sabat, aturan-aturan kemurnian, rintangan-rintangan etnis dan sosial, dalam pendekatan-Nya yang
sangat erat dengan individu-individu dan situasi. Juga yang menimbulkan irritasi dan skandal ialah
karena dari sikap-Nya yang praktis dan sosial nampak Allah yang berbeda dari Allah yang dikenal
dan dimengerti dalam tradisi Yudaisme dan dalam pemahaman sosio-religius pada saat itu. Allah
Yesus Kristus adalah Allah yang selalu hadir dalam seluruh situasi dan aksi-Nya. Karena keyakinan
inilah maka muncul opposisi pada pribadi Yesus, pada aksi-Nya, keberadaan-Nya, misteri-Nya.
Jadi, suatu opposisi yang tidak terisolir, kontra messianitas-Nya, kontra tuntutan messianis-Nya
yang dipaparkan sekurang-kurangnya secara implisit. Tetapi yang terutama dan lebih langsung ialah
kontra cara-Nya berbuat dan bertindak, karena Ia menyebut diri-Nya Mesias. Tetapi juga dalam hal
ini, orang percaya pada-Nya, tidak terisolir pada pengakuan messianis-Nya saja, melainkan
menerima keselamatan yang ditawarkan-Nya dan menempuh jalan praksis hidup yang baru dan
pembebasan. Jadi, baik yang percaya maupun yang tidak percaya mengarahkan perhatian pada apa
yang dibuat oleh Yesus, yaitu mengenai keselamatan.
Tetapi Yesus mengerjakan keselamatan seturut restu Allah. Karena itu cara-Nya mendengar Allah
identik dengan kehendak Allah itu sendiri; cinta Allah yang berbelaskasihan sama dengan
kehendak-Nya. Dengan ini pulalah dapat diterangkan baik cara hidup maupun cara mati Yesus
sendiri; Ia hidup dan mati dalam memenuhi kehendak Allah itu. Jadi motivasi kematian Yesus
berkaitan dengan relasi-Nya kepada Allah; dan oleh karena itu dapat dimengerti bahwa alasan
kematian Yesus bukan hanya karena alasan politis, duniawi dan pribadi. Yesus berkarya,
menyembuhkan dan membebaskan manusia dengan keyakinan bahwa Ia melaksanakan itu untuk
merealisir apa yang dikehendaki oleh Allah dan untuk itulah Ia diutus, yaitu untuk melaksanakan
janji Kerajaan Allah, untuk mewujudnyatakan apa yang dikehendaki oleh Allah bagi manusia.
Karena itu Ia selalu merasa terarah pada kekuasaan Allah yang hendak ditunjukkan-Nya dan
dinyatakan di dunia, jadi Dia hidup dengan keyakinan yang besar dari dan bagi Allah, hidup dalam
iman, pengharapan dan ketaatan yang berbelaskasih di hadapan-Nya. Kematian di salib justru
"mempermasalahkan" kedekatan dan kesetiaan illahi Yesus, dan sekaligus menunjukkan bagaimana
Ia hidup dan berkarya, baik dalam praksis pembebasan-Nya maupun dalam kontras mortal dengan
para penentang-Nya, seturut prinsip dasar, yaitu iman, ketaatan, keyakinan, tetapi juga harapan dan
penantian Kerajaan Allah. Jadi relasi dengan Allah adalah struktur konstan yang menentukan dan
mengisyaratkan baik hidup maupun kematian Yesus. Ini juga yang mengisyaratkan sikap Yesus
yang membebaskan, yang paling konkrit, yaitu sikap-Nya bagi orang miskin. Juga keselamatan
yang lebih konkrit lagi, yaitu dalam hubungan sosial dan antar pribadi, hingga pada realitas
dagingiah, masuk dalam struktur dan motivasi hubungan Yesus dengan Allah, yang mencirikan aksi
dan sengsara-Nya, khotbah dan karya-Nya, dan juga pribadi-Nya, pokoknya segala sesuatu yang
dapat dikaitkan dengan gelar kristologis-Nya sebagai "Putera Allah" dan yang mendorong kita
untuk menyatakan bahwa Yesus benar-benar sudah dibunuh karena Ia menyatakan diri-Nya (juga
dalam praktek) sebagai "Putera Allah". Pemahaman yang lebih luas mengenai keputraan illahi
Yesus ini, bersama dengan aksi pembebasan-Nya dan hubungan relasional-Nya yang dihidupi dalam
ketaatan dan keyakinan serta kesetiaan pada Allah, tidak hanya berbeda dari pengertian tradisional
mengenai Kristus dan penebusan-Nya, bahkan juga mengetengahkan apa yang hingga sekarang
masih diabaikan dan dilupakan.

4. “SEQUELA CRUCIS” SEBAGAI PENDERITAAN YANG DITERIMA

42
Dalam salib Kristus dan salib orang kristen, dan di balik semua usaha kita untuk meringankan
penderitaan dan menopang hidup, kita akan selalu menemukan pengalaman penderitaan. Dalam
salib Kristus nampak diikhtisarkan keinginan menyembuhkan manusia secara aktif dan integral,
tetapi sekaligus nampak juga batas (limit) dan impotensi keinginan itu. Walau salib Kristus
bukanlah semata-mata hanya sebagai impotensi dan kegagalan, tetapi tetap benar bahwa di
dalamnya ada hal itu (impotensi dan kegagalan), yang dulu dan yang sekarang. Dalam keinginan-
Nya untuk menyelamatkan, Yesus berbenturan dengan batas (limit) yang ada pada-Nya sejak
pengalaman human penderitaan: dari jumlah orang sakit dan menderita, orang miskin dan tertindas
yang tidak menentu, korban bencana alam dan dari orang yang harus dirawat. Ia terbentur juga
dengan limit keinginan dan kuasa-Nya sendiri, dengan limit bahwa tidak dapat begitu saja
dipasrahkan pada kuasa illahi, tetapi harus diterima dan ditopang secara human, sebagaimana juga
orang lain harus melakukannya. Salib Kristus dan salib orang kristen juga menunjukkan tanda
ketidakberhasilan dan ketidakmampuan, perbudakan dan impotensi, di hadapan kekuatan-kekuatan
perusak alam dan sejarah manusia. Sedikit dari penderitaan ini dapat dihindari, diringankan dan
dikalahkan. Tetapi banyak, atau hampir seluruhnya, harus diterima dan disangga.
Penderitaan Yesus juga berdasar pada sikap taat dan setia, bukan dalam arti bahwa Ia berhasil
memetik arti terdalam penderitaan itu, tetapi dalam arti bahwa Ia berada dalam situasi yang sama
dengan penderitaan orang lain. Ia tahu dan sadar bahwa Ia ditopang dan dilindungi oleh kehendak
illahi. Yesus menghadapi penderitaan ini sejauh Dia adalah Putera Allah, dan dengan demikian Ia
merasa terarah kepada Bapa, dan itulah yang Ia rasakan pada moment itu. Dengan cara dan rasa itu
Ia menerima orang-orang yang akan datang mengikuti Dia, yaitu manusia dengan pengalaman
sakitnya dan kepapaannya, ketidakbebasan dan kesalahannya, di hadapan Allah dan manusia.
Bersama dengan Yesus, orang kristen juga percaya bahwa dalam situasi itu Allah hadir. Seperti
Bapa, dan bersama dengan Dia, berharap bahwa dalam situasi itu Ia menyingkapkan dan
menunjukkan kekuatan vital-Nya, dan bahwa pengalaman itu tidaklah tetap tinggal demikian atas
manusia, dunia dan sejarah. Allah tidak akan terus tersembunyi dalam situasi itu. Akan tiba saatnya
bahwa Allah menyatakan kesetiaan dan kuasa-Nya yang membebaskan manusia yang menderita dan
mati, seperti yang Dia tunjukkan pada Yesus yang tersalib dan dibunuh. Meski dengan segala
penolakan yang dialami Yesus dan manusia yang nyata pada salib, tapi baik Yesus maupun manusia
yang setia tidak akan ditinggalkan oleh Allah yang setia yang telah menjanjikan hidup bagi mereka.
Tapi perlu dibedakan antara salib yang tidak bisa tidak ada, dan salib yang harus diterima, meski
batas keduanya tidak selalu jelas dan definitif.

5. PEMBANGKITAN: MASA DEPAN BAGI YESUS DAN BAGI ORANG BERIMAN

Dalam teologi kebangkitan nampak dibiarkan terpisah kebangkitan Yesus dari mati dengan
kebangkitan orang beriman dalam spiritualitas yang berpusat pada kebangkitan. Pembangkitan
Yesus dari mati selalu melibatkan pemberian diri Allah sendiri kepada orang beriman. Bahkan
dalam Yesus dan dalam orang beriman tetap terkait dunia kita dan masyarakat human dalam
dinamisme yang sama. Karena itu kebangkitan Kristus dan kebangkitan orang beriman tidak
terpisah, tetapi terkait satu sama lain. Gerakan dan relasi Allah dan Yesus, Putera-Nya, selalu
melibatkan gerakan dan relasi yang lebih luas dan solider yang menyangkutpautkan keberadaan
human, dan sebaliknya: pengalaman kematian yang kita alami selalu "terbungkus" atau terselubungi
oleh misteri sengsara dan kematian Yesus. Tetapi tersangkut-paut atau termasuk di sini tidak berarti
menghapus perbedaan: pembangkitan Yesus tidaklah hanya sekedar kasus khusus dalam janji
kehidupan secara universal, melainkan dimengerti sebagai alasan effektif pengharapan itu. Dalam
Perjanjian Baru nampak jelas bahwa ide pembangkitan dan kebangkitan, yang sudah dilihat atau
diprospektifkan oleh Yudaisme dan kemudian dikutip oleh Paulus dan pengarang lain, tidak hanya
diterima begitu saja, tetapi juga dikonkretisir dan dikoreksi dengan pengalaman baru yang tidak
dapat dideduksikan, yaitu dengan pertemuan dengan Kristus yang bangkit. Dan pada pembangkitan
konkrit inilah orang beriman akan ambil bagian.

6. ALLAH SETIA PADA YESUS

43
Ide pembangkitan (bukan kebangkitan) sebagai ide yang lebih asli dan lebih tepat dalam kristologi
biblis dan dogmatis, dapat mengkondisikan iman dan harapan orang kristen. Pada hari Paskah Yesus
bangkit tidak hanya karena sekedar energi illahi interior-Nya, karena kalau demikian tidak dapat
dimengerti mengapa Dia tidak bertindak sebelum salib. Tetapi sebaliknya, kita akui bahwa praksis
hidup Yesus, dan juga sengsara dan pembangkitan-Nya, terarah pada relasi-Nya dengan Allah.
"Pembangkitan" menunjukkan dengan jelas intervensi Allah atas Yesus, sementara "kebangkitan"
menyempitkan relasi Yesus dengan Allah Bapa pada kodrat illahi-Nya.
Atas cara demikian, pembangkitan Yesus dimasukkan dalam kalangan orang-orang benar dalam
Perjanjian Lama dan dalam kalangan para nabi yang telah menerima dan melaksanakan panggilan
mereka sampai mati, dengan yakin akan Allah dalam perjanjian dan kesetiaan-Nya. Dengan
kesetiaan yang sama itu, bahkan dengan kesetiaan yang lebih tinggi lagi, Allah menjawab seruan
permohonan iman Yesus: Jadi pembangkitan adalah bukti kesetiaan Allah, relasi riil dan yang
sedang terrealisir yang dilekatkan pada manusia juga dalam kematian dan ketiadaan. Justru karena
Yesus memperhitungkan relasi yang mencipta ini, yaitu suatu perbuatan pencipta juga dalam
pancaran sinar aksi akan kematian, maka Ia dapat berharap dalam kebangkitan: Allah sendiri yang
menunjukkan diri-Nya yang setia kepada Abraham, Isak, dan Yakub, dan yang mewahyukan diri-
Nya sebagai Allah yang hidup dan menghidupkan, adalah Allah yang sama yang menunjukkan diri
juga kepada Yesus. Jadi selalu sama, baik pada waktu yang lampau, maupun bagi Yesus dan bagi
orang beriman, bahwa Allah itu bukanlah Allah orang mati, tetapi Allah orang hidup (Mk 12:27):
bagi Dia, segala sesuatu adalah hidup. Seperti bagi Yesus, demikian juga bagi para murid-Nya dan
bagi seluruh orang yang percaya dan berharap kepada-Nya, terbuka kemungkinan untuk ambil
bagian dalam kumpulan orang beriman dari Perjanjian Lama. Perkenanan Allah, pemanggilan
nama-Nya dan janji akan kuasa vital-Nya, membentur terutama situasi kematian yang terbatas, di
mana nampak kekuatanNya yang meyakinkan. Dan oleh pengharapan inilah dihidupi mereka yang
percaya bersama dengan Yesus, sebelum percaya dalam kebangkitan-Nya. Di sini juga
pembangkitan Yesus, sebagai karya Allah, mengkondisikan solidaritas-Nya dengan kita dalam iman
dalam konteks yang lebih baik dari apa yang terjadi dalam kebangkitan yang oleh Yesus Kristus
terjadi karena kekuatan-Nya sendiri dan bukan karena Ia beriman.

7. BANGKIT BERSAMA KRISTUS: BERSAMA PRIBADI, JALAN DAN KARYA-NYA

Kristologi biblis telah menjelaskan kaitan yang lebih erat lagi antara jalan, karya dan pewartaan
Yesus dan pribadi-Nya, dan sebaliknya: demikian dirangkum secara konkrit misteri pribadi-Nya
hanya bertitik tolak dari jalan yang diikuti-Nya dan dari karya yang dilakukan-Nya. Tetapi, bersama
dengan pribadi Yesus, karya ini pun masuk dalam krisis kematian dan krisis karena ditinggalkan
oleh Allah: Yesus dan karya-Nya diselesaikan dengan krisis ditinggalkan oleh Allah. Tetapi
kemudian pembangkitan juga mesti diperluas hingga sampai pada pemahaman kedua dimensi itu,
yang tak terbagi dan tak terpisahkan. Di sini pun Teologi Pembebasan Amerika Latin telah
menguatkan suatu kaitan erat antara karya penebusan dan pribadi yang menebus. Dengan
pembangkitan karena karya Allah, apa yang dibenarkan dan dipulihkan/dikuatkan di hadapan
seantero dunia bukanlah Putera Allah yang abstrak dan terisolir, tetapi Yesus dan karya messianis-
Nya. Realisasi keselamatan eskatologis yang diantisipir, awal Kerajaan Allah dalam sejarah kita,
punya asal-usulnya dalam Yesus, dalam pewartaan-Nya akan khabar gembira Injil, dalam
penyembuhan dan pembebasan orang sakit, tertindas dan musuh, dalam pembentukan komunitas
baru, yang diinspirasikan oleh rasa persaudaraan, tetapi juga dalam eksistensi, di hadapan Allah dan
manusia, di hadapan kebebasan yang sekaligus spiritual dan korporal, sosial dan politis. Yesus yang
telah mendahului dan memulai dan para murid yang mengikuti-Nya, kalau dengan kematian di salib
nampaknya mereka dikejar dan diburu ke dalam gang sempit dan gelap dan mereka telah kehilangan
arah, sekarang, sekali lagi, hal itu diperlihatkan sebagai perjalanan hidup. Praksis permulaan yang
dibuka oleh Yesus, tanda-tanda dan kesaksian para murid-Nya, sikap baru di hadapan perintah baru,
sekarang dibenarkan sebagai aksi human, historis dan duniawi yang dituntut oleh Kerajaan Allah.
Ini tidak hanya menyangkut aksi illahi atas kematian sendiri, tetapi penyingkapan dan pengatasan
situasi, kondisi dan hubungan dengan kematian. Akhir hidup manusia bukanlah kematian. Akan ada

44
pembangkitan yang membuka penutup kuburan dalam kerajaan kematian, dan itu sudah mulai
dengan awal hidup baru yang lebih human dan bebas di dunia ini. Demikian anugerah hidup baru
pada masa yang akan datang tidak terpisahkan dari hidup yang ada sekarang. Hidup yang akan
datang itu bukan hanya perpanjangan hidup yang ada sekarang, tetapi keduanya bersambung tanpa
terpisah. Dan hidup yang akan datang itu, yaitu hidup eskatologis, adalah hidup sebagai pengambil-
bagianan dalam hidup Kristus yang bangkit. Anugerah hidup itu tidak terpisah dari anugerah yang
selalu disebarkan oleh Allah setiap saat, dan sekaligus juga sebagai tugas iman, harap dan kasih
kristen yang dapat dilaksanakan sekarang ini.

IV. ROH KUDUS: KOMUNIKASI DINAMIS


Seperti untuk Trinitas, demikian juga untuk Roh Kudus tidak harus berangkat secara spekulatif dari
Trinitas immanen yang tidak tergantung dari sejarah, tetapi dari apa yang telah dikerjakan oleh
Allah dalam Roh dan sebagai Roh: jejak-jejak historis keselamatan dan rivelasi merupakan
kemungkinan satu-satunya untuk sampai kepada hidup Allah Tritunggal dan membuatnya menjadi
pengalaman. Di sini juga, atau bahkan terutama dalam hal ini, lingkup rivelasi historis-salvific Allah
harus diperluas hingga melewati "sejarah keselamatan" yang dikembangkan dalam konteks
perjanjian baru: Sejarah keselamatan sampai juga hingga di mana Allah memanggil manusia dan di
mana manusia membiarkan diri memanggil dan bergerak dari Allah.

1. ROH SEBAGAI ANUGERAH YANG MENCIPTA KEHIDUPAN

Tuturan biblis mengenai ciptaan menunjukkan aneka cara berkarya Allah Pencipta: selain Sabda
yang mencipta, lukisan Jahwist juga menunjukkan Roh yang dimengerti sebagai kekuatan vital,
yaitu yang memungkinkan kehidupan bagi manusia rapuh, mortal dan fana. Tetapi yang
menunjukkan lebih jelas lagi asal-usul kehidupan itu ialah hembusan atau nafas vital Allah, yang
diberikan kepada manusia dan karena itu manusia itu hidup tidak hanya pada permulaan tetapi
berlanjut terus. Hidup ciptaan seperti alam dalam berbagai pohon dan hewan, dalam kerapuhan
kondisi hidup dan keseimbangan ekologis, tetapi lebih lagi hidup manusia sebagai pribadi, sebagai
penyelenggara dan pengatur dunia, sebagai rekan sekerja Allah, dan dalam berbagai relasi inter-
human, semua ini membentuk suatu creatio continua (ciptaan yang berlanjut terus), suatu ciptaan
yang diarahkan terus pada kontak bebas nafas vital dari pihak Allah (creatio in praesenti), dan tanpa
ini akan segera lenyap semuanya. Karena berbagai cara kerja Roh dan berbagai buah-Nya, jelas
bahwa hidup kita punya asal dalam kebebasan dan pemberian, diterima secara gratis dan dipelihara
secara mulia.

2. ROH SEBAGAI MISSI AUTORITATIF

Sebelum mengembangkannya hingga pada dimensi kosmis dalam menghidupkan alam dan manusia,
iman biblis, dalam bangsa Israel, telah mengalami dan memahami Roh terutama sebagai potensi
Allah yang berkarya dalam sejarah. Dengan Roh Allah para penyelamat bangsa dibangkitkan, yang
punya tugas untuk membimbing dan menyemangati bangsa itu ketika diserang oleh musuh dan
dipaksa mengalami penganiayaan. Karena dorongan Roh Allah, para nabi berbicara dan sambil
mengkritik dan menyemangati semua menonjolkan kehendak Allah, hukum dan perjanjian-Nya,
tetapi mereka juga membuka diri pada harapan baru, sementara bangsa itu sedang hidup dalam
penindasan dan pembuangan.
Dorongan Roh ini spontan, tanpa ancang-ancang; tidak mengikuti keturunan atau dinasti; tidak
terkait dengan suatu Institut Religius atau Kultual; dorongan Roh ini tidak mengenal batasan-
batasan ini, tetapi ditetapkan permulaan baru.
Inilah cara berkarya Roh. Atas terang cara berkarya Roh ini, maka Roh itu ditunjukkan sebagai
suatu faktor kebebasan dan yang tak dapat diduga-duga, faktor kebebasan di hadapan Institusi-
Institusi dan Ordo-Ordo, faktor kebebasan yang kritis dan tak terkontrol yang mengatasi Gereja,
bahkan dalam doktrinnya yang dirumuskan dan aktivitasnya yang terorganisir; desakan Roh ini juga
sudah terdapat dalam Yudaisme dan Perjanjian Baru, demikian juga dalam Gereja institusional.

45
Allah yang bukan hanya Sabda, tetapi juga Roh, selalu hadir dalam Gereja, dan juga dalam diri
setiap orang beriman, sebagai Allah yang bebas dan mobil (bergerak). Dan gerakan ini terus, juga
ketika - bertolak dari gerakan yang dihasilkan oleh Roh, dari hilangnya tanggungjawab sendiri,
kesadaran dan obyektivitas - sampai pada "normalisasi" di mana desakan illahi itu diterima dalam
suatu refleksi dan keputusan human dan rasional, dalam suatu cara perencanaan, yaitu perencanaan
organisasi dan institusi. Tak akan mungkin tercapai suatu koinsidensi (keterpaduan) perfekt, tanpa
ketegangan antara Roh Allah dan tindakan manusia yang berencana dalam kebebasan.

3. ROH ADALAH ANUGERAH MESSIANIS BAGI YESUS

Bertolak dari arti ini, garis pemikiran segera berpusat pada figur Mesias, yang atas-Nya berdiam
Roh Allah, dalam seluruh aneka ragam, kepenuhan dan potensi hasil yang dikerjakan-Nya. Ini
dikatakan karena masing-masing buku dalam Perjanjian Baru melukiskan gambaran ini, dan lebih
konkrit dan personal lagi kalau yang dimaksud adalah Yesus sendiri dan aktivitas-Nya. Buku-buku
ini terus bereferensi pada khotbah dan kegiatan Yesus yang membebaskan, pada doa-doa dan
hubungan-Nya dengan Allah, Roh yang mengalir pada kesalingterarahan Allah dan Yesus, yang
berbicara dan berbuat pada Yesus dan otoritas dan di dalamnya juga Yesus terarah pada Allah
dalam doa. Demikian dalam masing-masing figur biblis, Allah menunjukkan diri dalam vitalitas
triniter-Nya. Epifani ini selalu merupakan rivelasi Allah Triniter, yang membuka dan
mengkomunikasikan diri, yang berbuat dan berkarya secara historis, tidak hanya berkomunikasi
antar diri-Nya sendiri saja.
Dalam peristiwa baptisan Yesus, dalam hidup-Nya di Nazareth sebagai Hamba Allah dan
Pembebas, tak pernah lepas dari sejarah human-Nya, tetapi sebaliknya, selalu mengkondisikan
misteri hidup Allah dalam eksistensi dan aktivitas-Nya sendiri. Dalam masa kanak-kanak-Nya pun,
Allah Triniter berkarya, yang jelas nyata dalam khabar dari malaikat Gabriel yang diterima oleh
Maria, yang akan melahirkan Yesus. Roh Kudus menaungi Maria, dan Putera yang akan dilahirkan
berasal dari Roh Kudus. Tetapi tidak hanya dalam asal-usul-Nya Yesus dipenuhi dengan Roh
Kudus, tetapi juga dalam perjalanan kegiatan publik dan messianis-Nya, di mana Ia selalu menerima
tugas dan otoritas dari Allah. Demikian pun dalam sengsara-Nya, Ia dikuatkan oleh Roh Kudus (Lk
23:46). Begitu juga kebangkitan-Nya dari mati dilihat sebagai karya Roh Allah.
Teologi dan Kristologi Roh menekankan relasi yang ada antara Allah dan Yesus. Dengan
dibangkitkan dan dimuliakan, Yesus punya relasi baru dengan Roh. Kalau pada mulanya Roh turun
dari Allah atas Yesus dan berkarya dalam Dia, kemudian, sesudah kebangkitan, Ia memiliki Roh itu
bersama dengan Bapa dan dengan-Nya dikomunikasikan, dan dari kesatuan vital dan eskatologis ini,
bagi manusia pun, Yesus dan Roh tidak tersembunyi (dan ini nyata dalam rumusan baptisan:
"Dalam Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus"), dan Yesus sendiri memohon Roh Kudus itu dari
Bapa, dan dari Bapa Ia menerima-Nya, dan bersama dengan Bapa Ia mengkomunikasikannya
kepada kita. Jadi Allah Triniter itu tidak tertutup dalam diri-Nya sendiri. Ia kita kenal tidak secara
abstrak. Komunikasi dan partisipasi para Trinitas itu, yang mewahyukan diri pada kita, terselubung
dalam misteri Trinitas itu, yaitu: Allah yang datang kepada kita, yang hidup dalam dan bersama
dengan kita.

4. ROH SEBAGAI PENGEMBANGAN KEPUTRAAN DAN KEBEBASAN

Yang membentuk dan membangun Gereja ialah karya kreatif Roh, bukan kesatuan orang yang
terorganisir di dalamnya, atau tugas religius mereka. Sebagaimana Yesus telah diurapi dan menjadi
Kristus hanya karena Roh Kudus turun atas-Nya, demikian pun Gereja ada hanya karena karya Roh
Kudus dalam rahmat dan dalam hubungan filial dengan Allah. Baik dalam pembenaran pendosa dan
pengarahannya pada hidup baru, maupun dalam pembentukan Gereja, Roh Kudus selalu hadir
sebagai Pemberi hidup. Dan juga sesudahnya, dalam hidup baru dalam Kristus dan dalam Roh,
dalam pertumbuhan dan perkembangan historis Gereja, Roh diberi kepadanya untuk membentuknya
selalu, membangkitkannya dan menghidupkannya. Secara analog, sebagaimana terjadi pada
manusia dan kosmos, yang dicipta dan dihidupkan terus, demikian juga hidup dan kelangsungan

46
Gereja, komunitas iman dan hidup, merupakan creatio continua yang selalu hidup dan berharap
pada Roh yang menghidupkan, bukan karena usaha Gereja itu sendiri.
Berkat Roh Kudus, eksistensi khusus dan unik, yang dihidupi Yesus dalam suatu moment historis
tertentu, dikomunikasikan dalam sejarah, sehingga manusia di berbagai tempat dan zaman ambil
bagian di dalamnya, dan dengan demikian manusia itu bersaudara dan bersaudari dalam Roh Kudus
itu, dan dapat memanggil Allah sebagai "Abba", Bapa, dan mereka hidup berdampingan, dan
kesatuan mereka tak dapat digugat oleh kekuatan sosial dan institusional mana pun di dunia ini.
Bahkan kuasa institusional Gereja pun tidak dapat mencampuri hubungan antara Allah dan masing-
masing orang dalam Roh Kudus. Bahkan Gereja sesudah Kristus pun tidak dapat membatasinya.
Inilah kebebasan yang diberikan oleh Roh Kudus kepada masing-masing individu dan kepada
Gereja sendiri secara keseluruhan. Kehadiran Allah dan Roh Kudus dalam Gereja tetap mengatasi
Gereja itu sebagai Institusi.

5. ROH SEBAGAI ENERGI ESKATOLOGIS

Anugerah Roh Kudus dan buah-buah-Nya meresapi seluruh keberadaan spiritual kristen dan Gereja
dan pemenuhan eskatologisnya. Roh Kudus meresapi peristiwa keselamatan yang terikat secara
historis pada Kristus, meresapi eksistensi yang dihidupi sekarang ini, dan juga kepenuhan yang akan
datang, yang sedang dinantikan. Roh Kudus itu sendirilah yang menghubungkan waktu dulu,
sekarang dan yang akan datang dari sejarah keselamatan itu. Tanpa kehadiran Roh Kudus, maka
karya dan pribadi Yesus Kristus terblokir (terkungkung) pada masa yang lampau. Justru dalam Roh
Kudus maka Tuhan yang bangkit dan dimuliakan hadir dalam iman, dalam hidup Gereja, ketika Ia
berkarya di dunia ini.
Tanpa Roh Kudus maka hidup yang dijanjikan akan tetap tinggal janji, tanpa terlaksana. Tetapi Roh
Kudus sendiri telah merupakan antisipasi akan hidup yang dijanjikan itu. Roh Kudus-lah yang
melanjutkan karya keselamatan dalam Gereja. Dalam kekuatan Roh, karya keselamatan hadir.
Dalam kehidupan orang beriman kini, Roh Kudus tidak hanya merupakan dinamisme vital, tetapi
sekaligus juga merupakan energi yang mendorong pada hidup baru dalam Kristus, suatu komunitas
yang terbuka bagi seluruh saudara dan saudari dalam Gereja, suatu hidup gerejani yang bebas dan
mengatasi Institusi. Roh Kudus tidak membiarkan kita passif untuk menantikan pemenuhan
eskatologis. Roh Kudus, seperti dalam pembangkitan Yesus dari mati, mendorong dan
membangkitkan dalam praksis hidup baru, untuk bangkit bersama dengan orang lain, dengan
masyarakat, dan dengan kosmos, dalam suatu hidup baru.

V. HIDUP DALAM GEREJA


1. GEREJA SEBAGAI LINGKUNGAN VITAL IMAN

Misteri autorivelasi dan sejarah keselamatan Allah dengan manusia selalu dibuka dan
dikembangkan terhadap lingkungan vital Gereja yang lebih luas. Dalam hidup dan iman, kita selalu
ditopang oleh "perhimpunan para kudus", pendahulu kita dalam iman, dan juga oleh saudara dan
saudari kita sekarang ini yang bersama-sama dengan kita sama-sama percaya. Tetapi Gereja ini,
yang telah memungkinkan kita beriman, dan yang telah membantu kita untuk percaya, punya
kesulitan juga dalam ordo iman: bersama dengan kesaksian Gereja itu yang menguatkan kita,
terdapat juga kelemahannya, yaitu sebagai Gereja pendosa. Cinta Allah dalam Yesus Kristus dan
kebebasan vital dalam Roh tidak hanya disaksikan dan diberi melalui Gereja, tetapi juga dan selalu
diberi oleh Gereja itu sendiri.
Sabda rivelasi Allah selalu dialamatkan kepada manusia secara keseluruhan, bukan sebagai
individu-individu, tetapi sebagai bangsa, bangsa Israel, dan yang lebih luas lagi, yaitu umat Allah
seluruhnya, yang adalah Gereja. Dan Sabda inilah yang selalu memanggil dan mendorong manusia
dalam umat Allah untuk membimbingnya semua secara bersama-sama menuju kepenuhan. Dari
dulu, Allah selalu menyatakan rencana keselamatan-Nya tidak hanya dengan orang-orang tertentu
yang dipilih secara individu, tetapi juga, melalui orang-orang tertentu itu, Ia menghimpun dan

47
membimbing, membangun dan memurnikan seluruh umat-Nya. Inilah kehendak Allah yang
dinyatakan dalam umat-Nya, dalam Gereja.
Asal usul timbulnya Gereja ini terjadi karena panggilan Allah sendiri, penyatuan dalam Kristus, dan
aksi penghidupan dalam Roh Kudus. Dan ini terjadi tidak hanya pada saat awal, tetapi juga dalam
proses pertumbuhan Gereja itu dalam sejarah perjalanan hidupnya, hingga sampai pada
kepenuhannya, yaitu dalam misteri Trinitas Allah. Karena pertumbuhan itu, maka Gereja juga
terbuka pada pembaharuan. Gereja adalah creatura Verbi, yaitu yang dicipta dan diatur oleh Sabda
Allah, dihidupkan dan dimurnikan dari keadaannya yang berdosa melalui Roh Kudus dan Pengudus.
Dalam spiritualitas ekklesial ini terdapat juga aspek natural antropologis sosial yang terkombinasi.
Anggota Gereja itu adalah manusia yang juga punya kekuatan human dan sosial. Sekaligus Gereja
itu diterangi juga oleh kedalaman misteri keselamatan. Jadi sisi atau dimensi teologis juga
melengkapi sisi sosial-antropologis Gereja itu yang tidak saling menciutkan satu sama lain. Visi
teologis dan spiritual diterima dalam aspek human yang tersusun menjadi spiritualitas gerejani.
Semua aspek ini selalu ada; spiritualitas gerejani tidaklah memistifisir aspek human menjadi
teologis dan spiritual.

2. UMAT ALLAH: KOLLEKTIVITAS YANG LEBIH LUAS

Dalam Lumen Gentium Gereja disebut sebagai "umat Allah". Ini hendak menunjukkan bahwa dalam
Gereja ada suatu kollektivitas yang lebih luas, yang tidak dapat hilang begitu saja karena perbedaan
pelayanan masing-masing anggota yang ada di dalam Gereja itu. Dengan perbedaan kharisma dan
pelayanan, semua umat Allah dalam Gereja adalah satu. Semua orang beriman dalam gereja ambil
bagian dalam karya dan pelayanan Kristus. Seluruh orang beriman dalam Gereja telah menerima
berbagai bentuk pelayanan dari Kristus. Dari fungsi yang berbeda-beda dalam Gereja, muncullah
tugas yang berbeda-beda pula. Tapi ini tidak mengurangi kollektivitas yang lebih luas dalam Gereja
itu. Semua orang kristen bertanggungjawab secara aktif untuk menyebarkan iman, tidak sebagai
pendengar yang passif, tetapi ambil bagian secara aktif, bersama dengan seluruh umat Allah.
Pelayanan profetis Kristus diungkapkan dalam dan melalui kharisma-kharisma yang terdapat dalam
umat-Nya, untuk menyebarkan Sabda Allah. Tanggungjawab pastoral dalam Gereja tidak dapat
dibatasi hanya pada para imam, tetapi semua umat Allah menerima tanggungjawab itu. Semua umat
Allah dalam Gereja sama-sama bertanggungjawab atas pelayanan pastoral ini. Inilah tanda
kollektivitas umat Allah dalam Gereja. Dan di sinilah nampak bahwa Gereja adalah umat Allah.
Dan dengan ini pula diperluas ide atau konsep Gereja sebagai "Tubuh Kristus".

3. UMAT ALLAH: GERAKAN DAN KETERBUKAAN HISTORIS

Gereja yang bergerak dan terbuka juga telah memperluas konsep Gereja sebagai "Tubuh Kristus".
Dengan ini Gereja telah masuk dalam sejarah keselamatan yang lebih luas, dan yang telah dipilih
oleh Allah sebagaimana Ia telah memilih bangsa Israel sebagai bangsa-Nya. Karena itu, Gereja
sebagai umat Allah menggemakan dinamisme keluaran dari Mesir. Gereja itu bergerak, berjalan,
keluar dari kesempitannya pada kebebasan. Gereja sebagai umat Allah terbuka dan mobil. Gereja
adalah umat Allah yang berziarah menuju kepenuhan eskatologis. Karena itu, semua umat Allah,
tanpa kecuali, ambil bagian untuk memperlancar perjalanan Gereja itu, bukan untuk
memperlambatnya.
Keterbukaan Gereja ini sebagai "umat Allah" terarah juga pada arah yang lain. Sekarang, dengan
istilah "umat Allah", maka Gereja itu menunjuk pada suatu komunitas yang lebih luas, yaitu dengan
Gereja lain, yang kristen dan juga yang non kristen. Dengan ini Gereja adalah komunitas besar,
yang meliputi seluruh umat manusia. Gereja merangkul semua orang, tidak dibatasi oleh waktu,
daerah, suku, bahasa, dan sebagainya. Inilah pengertian Gereja sebagai umat Allah yang tidak
terbatas pada Gereja katolik Roma. Sebagai umat Allah, semua adalah saudara dan saudari, sebagai
anak-anak Allah, secara universal.

48
4. UMAT ALLAH: STRUKTUR YANG DIDINAMISIR

Gereja sebagai umat Allah terdiri dari berbagai anggota dengan kharisma dan tugas yang berbeda-
beda. Bertolak dari komunitas basis, kharisma dan tugas itu perlu diatur secara dinamis. Dengan
tugas dan tahbisan khusus para imam, nampaknya Gereja itu terpusat pada pemerintahan gerejani.
Tapi ini harus semua berdasar pada komunitas basis yang dapat diorganisir dan diatur, agar semua
anggota Gereja itu benar-benar berfungsi sesuai dengan kharismanya. Baik awam maupun imam,
semua sama-sama bertanggungjawab dalam perjalanan Gereja itu. Pengaturan tugas dan kharisma
itu tidak berarti sentralisasi pada pemerintahan Gereja itu. Gereja adalah komunitas basis yang
anggota-anggotanya punya martabat yang sama.

VI. PERCAYA BERSAMA MARIA


Spiritualitas dibedakan dari teologi scientific, juga karena Spiritualitas itu direferensikan pada atau
menyentuh langsung keberadaan konkrit, dan direferensikan pada biografi dan praksis hidup iman.
Jadi tidak mengherankan kalau dalam Spiritualitas, lebih dari pada teologi, diingat nama-nama,
pribadi-pribadi, biografi konkrit, para kudus dan mistik, para saksi iman dan cinta, dan di antara
semuanya ini terutama diingat khususnya Maria, sekurang-kurangnya dalam spiritualitas katolik.

1. MARIA "TYPUS" IMAN

Sudah merupakan satu langkah maju dalam kesalehan Marian kalau Maria dilihat bukan lagi dalam
"kesendiriannya" sebagai penyimpan rahasia iman, tetapi memahaminya sebagai teladan beriman
secara kristen atau untuk hidup dalam Gereja. Dengan ungkapan "Maria typus iman" atau "Maria -
Gereja", kesalehan Marian tidak lagi terisolir. Memang kita mengakui bahwa dengan gerakan
sirkuler: "Maria - iman - Maria" atau "Maria - Gereja - Maria", belum membuang semua
ambiquitas. Maria adalah aktualisasi konkrit iman dan harapan: justru dalam hal ini ide biblis dapat
dikaitkan, bahwa yang dituturkan bukanlah terutama cara historis, tetapi cara tipologis beriman dan
berharap Israel dalam Maria atau cara beriman dan berharap Gereja dalam Maria. Tuturan biblis
tidak begitu tertarik melukiskan wajah konkrit-individual Maria, atau hidupnya, tetapi menunjukkan
pemenuhan harapan Israel dalam dia, pemenuhan harapan orang miskin Yahweh atau Gereja. Inilah
yang ditunjukkan, diceriterakan dan dihidupi dalam dan bersama Maria. Jadi eksistensi konkrit telah
dipenuhi dan dicirikan oleh sikap fundamental yang menyertai kesalehan dan hidup komunitas
Yudaisme atau komunitas kristen.

2. IMAN MARIA: KERELAAN DAN INISIATIF YANG BEBAS

Sudah sejak dulu khotbah dan bimbingan rohani memberi tekanan pada perkataan-perkataan dan
sikap Maria yang terinspirasi dari ketaatan: kabar malaikat dan tugas yang diterima Maria dalam
sejarah messianis keselamatan, kesiapsediaan menerima Sabda Allah dan Sabda Yesus sendiri,
meditasi dalam silentium yang dilakukan dalam hatinya, sequela Yesus sepanjang jalan salib,
permohonan pada Roh Kudus, bersama dengan para murid, sebelum Pentekosta. Dengan itu
digariskan gambaran iman yang taat, silentium, siap mengikuti apa yang diperintahkan, tidak pernah
kontras dengan kehendak Allah, pelayanan dan kerjasama dalam karya keselamatan dalam
keheningan dan silentium.
Tetapi sekarang tidak dapat dibuat lebih selain mengamati tuturan dan tekanan biblis mengenai
peranan Maria, dan ini sebenarnya dapat berdampak pada model sosial dalam diri wanita dewasa
ini. Dalam tuturan itu dapat lagi digali lebih mengenai ideal sosial wanita, awam dalam Gereja
secara sederhana. Karena itu sebenarnya teks biblis itu tidak dapat lagi dipakai sebagai argumen
untuk mengesampingkan kemungkinan pentahbisan wanita. Tuturan biblis menunjukkan Maria
dengan kebebasan inisiatif dan spontanitasnya. Dalam menerima kabar dari malaikat, di hadapan

49
tugas yang dipercayakan oleh Allah kepadanya, dalam seluruh kesederhanaannya, ia memohon apa
yang mungkin. Kunjungannya kepada Elisabeth, dalam kondisi sosial pada saat itu, menunjukkan
bahwa dia bersikap sangat bebas, dan bukan penurut saja dalam keadaan masyarakat saat itu. Tetapi
terutama Magnificat tidak harus diterjemahkan sebagai pengukuhan ketaatan dan kesabaran "status
quo" Maria. Di sini nampak tindakan langsung Maria yang mengobah hal secara revolusioner. Ini
menunjukkan bahwa Maria adalah typus iman, perwujudnyataan iman. Di sini Maria nampak
sebagai typus iman, tidak hanya iman yang taat, silentium dan menunduk, tetapi juga iman yang
aktif, mengubah dan revolusioner.

3. MISSI MARIA: KESIAPSEDIAAN DAN KETERBUKAAN YANG BEBAS

Juga dalam keberadaan konkrit dan typical, seperti spiritualitas Maria, spiritualitas kristen selalu
bergerak dalam dua arah: pada asal-usul keselamatan dan gerakan keselamatan yang diarahkan pada
keberadaan human. Tidak ada keberadaan, sekalipun di pertapaan, yang terpisah dari gerakan
keselamatan yang universal ini. Ini dapat diterangkan karena setiap saat orang kristen dapat melihat
dalam diri Maria tidak hanya sebagai pendengar Sabda, tetapi juga seorang wanita yang terbuka
pada gerakan missi: bagi bangsa Israel, bagi Gereja muda, bagi dunia. Juga tuturan biblis mengenai
Maria menunjukkan hal ini. Dari kabar malaikat kepadanya nampak bahwa ia dipanggil untuk
melayani dalam penantian kedatangan kerajaan Daud, kerajaan yang tidak akan berakhir.
Kunjungannya pada Elisabeth juga menunjukkan masa penantian kerajaan messianis itu. Dalam
gerakan exemplar Maria ini dikondisikan jalan setiap orang beriman dan jalan Gereja; untuk itu
perjalanan hidup Maria dituturkan sebagai yang harus diikuti dalam missi personal dan ekklesial.
Iman harus subur bagi dunia, demikian pun Maria telah melahirkan Yesus untuk dunia.
Dalam gerakan ini Maria tidak hanya ikut begitu saja, tapi ia juga bertanya dan mencoba mengatasi
kesulitan. Ia bebas dalam menjalankan missinya. Dengan menjadi "sequela" exemplar dan
kehadirannya di kaki salib, ia ikut dalam jalan salib Yesus. Dengan itu ia ikut ambil bagian dalam
missi Yesus. Inilah missi Maria yang siap sedia, terbuka dan bebas.

B. JALAN-JALAN ROH
Sebelum memasukkan tema hidup injili dalam kekristenan awal, masih bisa membicarakan
spiritualitas pada zaman itu. Hanya, ada resikonya: bisa terlalu memusatkan perhatian pada pribadi
dan subyektivitas, sebagaimana kemudian dikeluhkan oleh protestan. Pada perkembangan
selanjutnya, gerakan-gerakan yang antusias akan spiritualitas dalam Gereja Katolik, telah
mengarahkan pengalaman kristen pada riset yang terlalu unilateral akan "Allah yang adalah untuk
kegembiraanku". Oleh karena itu, nampaknya terlalu sering menonjolkan bacaan subyektif akan
Kitab Suci dari pada ketelanjangan iman dalam penerimaan segala sesuatu yang dikehendaki oleh
Allah. Ini berarti melupakan bahwa rahmat dari dirinya sendiri selalu mengatasi individu: menjadi
anggota Tubuh (Kristus), carang pohon anggur, batu bangunan, warga komunitas (kristen).
Karena itu, yang hendak dibicarakan di sini, bukanlah tentang "spiritualitas", tapi tentang hidup
seturut Roh atau hidup dalam Roh. Ini merupakan pusat hidup dalam atau oleh rahmat seperti
dimaksudkan oleh Tradisi. Untuk ini dapat dibicarakan berturut-turut: tentang Sabda, Paskah
kristen, Sakramen, doa.
I. SABDA KESELAMATAN
1. SABDA DAN PENGALAMAN KRISTEN

a. SABDA YAHWEH: DERMAGA PENGALAMAN KRISTEN

50
Pengalaman kristen tak akan dapat dimengerti tanpa diakarkan pada Perjanjian (Allah) dengan
Abraham dan tanpa refleksi yang terus menerus akan iman Israel yang berlabuh pada Sabda Jahweh.
Pengakuan dan refleksi ini mencirikan pengalaman tersebut: pengalaman itu adalah pengalaman
akan Allah yang setia pada Sabda-Nya sendiri dan pada Perjanjian-Nya.

b. SABDA DI MANA MISSI YESUS DIMAHKOTAI

Kekristenan tidaklah didasarkan pada pribadi Kristus Yesus yang tidak jelas, yang tersembur dari
karya-karya illahi. Kekristenan didasarkan pada Kristus sejauh di dalam Dia Allah memenuhi
rencana-Nya yang tersembunyi "dalam silentium berabad-abad" (Rom 16:25) dan yang sudah
diwahyukan dalam kemanusiaan sejak Abraham dan bahkan sejak dosa pertama (Kej 4:1-16).
Pengalaman kristen tidaklah kristologis tanpa teosentris, dan pada abad-abad pertama perdebatan
kristologis bermuara pada iman trinitas. Sabda, yang dari padanya Gereja hidup, bukanlah hanya
Sabda Yesus. Sabda itu adalah Sabda Allah yang di dalam-Nya missi Yesus dimahkotai (Yesus =
Logos).

c. SABDA: TITIK TEMU PENGALAMAN KRISTEN DAN ISRAEL

Teosentrisme ini "menyolder" ("mematri") pengalaman kristen dengan pengalaman Israel. Dan
dalam Kristus kaitan ini dipatri lagi. Sekarang Tradisi melihat dalam relasi itu, khususnya dalam
liturgi, sebagai kunci yang menyingkapkan inteligensi Kitab Suci dan Sabda.

2. SABDA DAN GEREJA

a. SABDA BAGI GEREJA ADALAH SABDA BAGI ISRAEL

Kisah para Rasul berceritera mengenai khotbah Petrus di Serambi Salomo dan mengenai
penyembuhan yang terjadi di sana (3,15.20-21). Kedatangan Mesias yang terakhir, yang dinantikan
oleh bangsa Israel, berkaitan dengan penantian kristen akan Parousia Tuhan Yesus. Seruan
komunitas gerejani pada meja Ekaristi akan penantian kedatangan Kristus dan pengharapan mereka,
satu dengan seruan orang Israel akan kedatangan Mesias. Bahkan istilah yang dipakai sama: duduk
semeja dengan Abraham, Isak dan Yakub dalam Kerajaan (bdk Mt 8,11).
Juga gelar Kristos yang dikenakan pada Dia yang bangkit, sama dengan apa yang mengukuhkan
pengharapan orang Israel. Bukanlah kebetulan bahwa Gereja menerima Perjanjian Lama, yang
memakai mazmur-mazmur menjadi doa mereka, dan yang membaca Perjanjian Lama dalam
Ekaristi. Sabda bagi Gereja berarti mengambil dan membaca kembali Sabda bagi orang Israel.

b. SABDA MENJANGKAU SEMUA

Pengambilan kembali ini mempunyai karakter khusus. Untuk mengertinya dengan baik, perlu
melihat keluasan kekatolikan. Kekatolikan Gereja bukanlah terutama geografis; lebih mencakup
totalitas rencana keselamatan Allah dari pada perluasan perwujudannya. Totalitas itu bukanlah
hanya tambahan begitu saja; tetapi menggemakan perjanjian dengan Abraham: "dengan
perantaraanmu semua bangsa di bumi akan terberkati" (Kej 12,3; bdk 17,5). Dalam surat kepada
orang Efesus ditunjukkan bagaimana orang kafir diterima dalam Gereja:

Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu – sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang
disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya “sunat”, yaitu sunat lahiriah
yang dikerjakan oleh tangan manusia, -- bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk
kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa
pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia (Ef 2:11-12).

Paulus menulis kepada orang Galatia: "Ini [Kristus yang disalibkan] telah terlaksana agar berkat
Abraham sampai kepada orang kafir dalam Yesus Kristus dan dengan demikian kita menerima Roh
melalui iman, obyek perjanjian itu" (Gal 3,14).

51
c. GEREJA DIBENTUK OLEH ALLAH DENGAN SABDA-NYA

Gereja lahir dari kenyataan bahwa dalam Yesus, Putra Israel, privilege ras Abraham sampai juga
pada totalitas humanitas pada saat di mana Allah merealisir kenyataan itu. Privelege itu tidaklah
diperuntukkan hanya bagi orang Israel; semua orang, laki-laki dan perempuan, dicapai, dan semua
menerima kerygma apostolis. Sebutan-sebutan "bangsa terpilih, komunitas imam dan raja, bangsa
yang kudus, umat yang diperoleh oleh Allah" (1Ptr 2,9) menjadi gelar Gereja; Perjanjian yang
mendorong orang Israel menuju perjamuan eskatologis menjadi perjanjian Gereja (Mt 8,11; Why
19,6-9); Allah dan Bapa Israel menjadi Allah dan Bapa Gereja. Dengan memakai contoh
pencangkokan Paulus menulis bahwa Israel adalah pohon zaitun yang ditanam (dengan Perjanjian
dan dengan pemeliharaan Allah) dan pada pohon itu dicangkokkan pohon zaitun liar (dari hutan)
yaitu orang kafir (Rom 11:16.24). Mengenai qualitas buah, yang tidak selalu dapat diduga
(diprediksi), ditentukan oleh getah atau zat makanan yang dihisap oleh akar dan naik ke pohon dan
dahan-dahannya (11:18). Karena ketermasukan Yesus pada keturunan Abraham, maka hidup kristen
tetap tak terpisahkan dari akar keyahudiannya. Dan Gereja tidaklah lain dari Umat Allah yang dari
awalnya telah dibentuk oleh Allah sendiri dengan Sabda dan Roh-Nya.

3. SABDA DAN IMAN

a. SABDA MEMBANGKITKAN IMAN

Tak akan dapat dimengerti dengan baik hakekat Sabda dan peranannya yang otentik dalam hidup
ekklesial kalau tidak dalam cahaya pertemuan Gereja dengan Israel. Orang kristen hidup oleh Sabda
karena hidup dalam iman dan karena dari Abraham iman selalu yang pertama bukan sesudah ada
kesatuan antara Allah dengan kemanusiaan. Dan prioritas ini tidaklah hanya secara kronologis,
seolah-olah iman itu bukanlah sesuatu selain syarat yang harus ada terlebih dahulu, pintu yang
membuka jalan masuk ke Kenisah. Iman itu menyebar hingga menjangkau seluruh pengalaman
kristen: pengalaman itu hanya dihidupi dalam iman dan oleh karena itu dalam Sabda.
Kenyataannya, bagi Kisah para Rasul, bagi corpus paulinum dan bagi literatur Yohanes, segala
sesuatu dikaitkan dengan iman. Dan sakramen-sakramen pun - termasuk Ekaristi - bukanlah
merupakan ritus kristiani kalau bukan merupakan sacramenta fidei, yaitu iman yang muncul dari
Sabda yang mencerahkan segala abad yang telah menciptakan Sejarah Bangsa yang kudus.
Untuk mengerti ini cukup membaca liturgi malam paskah. Sabda, yang - bersama dengan Roh -
memberi sakramen pada Gereja, telah mulai dikatakan di beberapa daerah Kaldea, dalam
petualangan iman Abraham.

b. SABDA: MEMORI KESELAMATAN

Dengan seringnya diwarnai oleh pietisme (kesalehan), tradisi Barat khususnya sesudah abad XV
dan XVI) telah sering jatuh pada godaan untuk memoralkan Sabda, dengan menciutkannya
sedemikian hingga menjadi effek bagi kegembiraan spiritual atau bagi kondute etis orang-orang
kristen. Tekhnik-tekhnik tertentu dari meditasi-meditasi - yang berbeda dari lectio divina! - telah
membuat Sabda itu menjadi "Sabda-untuk-ku", "bimbingan untuk hidupku", sementara Sabda itu
adalah Peringatan akan rencana keselamatan Allah dalam seluruh keluasan dan kebesarannya.
Sebelum menjadi sarana penghiburan, Sabda itu adalah Rivelasi dan undangan. Dan ini bukanlah
secara abstrak, seperti suatu program yang harus diumumkan, melainkan secara realistis: Allah
sendiri telah menaburkan Sabda itu dan memberi rahmat.
4. ALLAH BERBUAT DENGAN SABDA-NYA

a. ALLAH DIKENAL DARI PERBUATAN-NYA, IA BERBUAT DENGAN SABDA- NYA

52
Sabda biblis bukanlah seperti Kuran diturunkan dari atas dalam satu buku yang sudah lengkap
tertulis. Sabda biblis itu sampai kepada kita melalui koleksi dokumen-dokumen yang ditulis seturut
inspirasi Roh Kudus (Ruah, Pneuma) dan si penulis pun memakai kemampuan dan bakat-bakatnya
dalam menulis; kemampuan dan bakat ini dipakai oleh Allah sendiri melalui si penulis; lalu Umat
Allah yang kudus membacanya dan dalam membaca itu dirasakan campur-tangan Allah sendiri, dan
Allah sendiri akan terus berbuat ketika Sabda itu dibaca.
Wajah, hati dan rencana "Allah orang beriman" sama sekali tidak bisa dipisahkan dari aksi atau
perbuatan-Nya, karena dalam hal itulah orang Israel mengenal dan memahami Dia. Ini dapat
diketahui dan dikatakan, misalnya bahwa Dia berbelaskasih karena Dia telah melaksanakan
belaskasihan, Dia setia karena Dia berbuat dengan setia, Dia prihatin karena Dia telah melaksanakan
keprihatinan, Dia benar karena Dia telah menunjukkan bahwa Dia tidak berbohong. Dan kalau
dikatakan bahwa Dia merencanakan sesuatu bagi masa depan manusia, ini dibuktikan dari
perbuatan-perbuatan-Nya bagi masa depan bangsa Israel. Ia memelihara dan menyelenggarakan
segala sesuatu hanya dalam jalinan Sejarah Bangsa yang Kudus.

b. MATERI SABDA IALAH SEJARAH YANG DIISI OLEH ALLAH

Ketika para nabi berkhotbah, para hakim mengadili, para bijaksana menasehati, dll, pokoknya ketika
para penulis Kitab Suci menuliskan isi Kitab itu atau para pengumpul menghimpun naskah-naskah
Kitab itu, materi mereka ialah Sejarah yang diisi oleh Allah sendiri; Sejarah yang terdiri dari
penderitaan dan kejadian-kejadian dramatis hidup, kegembiraan dan pembebasan, dorongan dan
iman. Roh Kudus yang menerangi mereka waktu menulis atau mengumpul bahan itu, mendorong
mereka untuk membaca garis-garis rencana Allah, wajah dan hati-Nya, beserta isi rencana
keselamatan-Nya.

5. SABDA DAN MARTYRIA

Sabda lahir dan muncul dari martyria, dalam arti luas kata itu: yaitu kesaksian dan pengakuan iman
Bangsa itu, yang mewartakan dan menyebarkan, baik dengan kegembiraan maupun dengan air
mata, segala sesuatu yang menunjukkan Allah, segala sesuatu yang dilaksanakan oleh-Nya, dan
segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Pada hari Pentekosta, orang banyak yang berkumpul di
sekitar para Rasul telah masuk dan bergabung pada Sabda yang muncul dari martyria orang Israel
itu. Dan dalam martyria orang banyak itu masuk pula martyria apostolis.
Demikianlah kedalaman dan kepadatan Sabda itu. Ketika komunitas apostolis (dalam Roh)
terdorong untuk mengaitkan iman mereka sendiri dengan kesaksian Kitab Suci (bdk Lk 24,27; Kis
8,32-35), mereka merasa tertopang bukan pada kata-kata verbal atau pada transkripsi khotbah-
khotbah. Yang mereka terima ialah Sabda, yang, sudah sebelum Yesus Kristus, punya daging: yaitu
martyria Perjanjian antara Allah yang tidak nampak, tidak dapat didengar dan yang tak dapat
diungkapkan, dengan bangsa Israel. Sabda Yesus sendiri sudah melekat (terpatri) pada petualangan
primitif Allah dan Israel ini, sebagaimana dikatakan dalam prolog surat pada orang Ibrani dan dalam
prolog Injil Yohanes. Allah Yesus tidak lain dari pada Allah Abraham (Yoh 8,31-59; Kis 3,13). Doa
yang diajarkan kepada para murid-Nya (doa "Bapa kami") bermodelkan dan tersusun dari fragmen-
fragmen doa-doa Israel (Mt 6,9-14). Oleh karena itu kerygma Kisah para Rasul menunjukkan Salib
dan Kebangkitan sebagai pemenuhan Perjanjian (Kis 2,39) dan meterai yang dibubuhkan pada
pengharapan yang telah "menetas" sejak para Bapa Bangsa (3,25). Bersama dengan Perjanjian Baru,
dengan keragaman pendekatannya yang begitu luas, akan ditunjukkan dari keinginan hati untuk
tidak menggantikan Sabda bagi orang Israel dengan sabda lain, tapi sebaliknya untuk menunjukkan
kemekarannya, yaitu dengan membaca-Nya (Sabda itu) kembali melalui martyria Kristus Yesus
(yang disebut oleh Yohanes sebagai Logos Allah yang telah menjadi daging) dan martyria
komunitas para saksi yang pertama (martyroi) yang akhirnya menyingkapkan artinya yang terakhir.
Kalau orang kristen tahu, melalui Sabda injili, bahwa Allah adalah Allah yang setia dan sejati,
berbelaskasih dan adil, Agape, Pencipta dan Penyelamat, itu bukanlah hanya melalui khotbah Yesus.
Mereka tahu itu juga melalui apa saja yang disampaikan oleh komunitas apostolis mengenai kaitan

53
radikal yang menghubungkan (melekatkan) apa yang telah "terlaksana" dalam Yesus dengan apa
yang sudah dipersiapkan sejak Perjanjian. Dan kalau mereka tahu akan tuntutan injili pada mereka,
itu tidak hanya berasal dari nasehat-nasehat apostolis yang menentukan dan memperjelas
kewajiban-kewajiban mereka atau menunjukkan apa yang harus mereka hindari. Mereka juga
"menerima" itu dari praxis hidup Bangsa Perjanjian itu yang mengharukan dan membangkitkan rasa
belaskasihan mereka.
Karena terlalu memusatkan perhatian hanya pada soal praktek hidup orang Yahudi, para exeget
kurang menggarisbawahi bagaimana kekristenan yang muncul kemudian "menerima", dengan
membuatnya menjadi norma hidup mereka, sikap iman, harapan, martyria dan perilaku mendalam
orang Israel di hadapan Allah. Tanpa hubungan atau kaitan dengan Sabda bagi orang Israel itu,
Sabda aspostolis akan menjadi seperti suatu suara tenor yang berbunyi atau menyanyi sendirian
dalam suatu koor, tanpa suara lain. Jadi, sebagian dari suara-suara dari musik atau koor itu
dituliskan untuk bersama-sama dengan suara-suara lain dan di luar itu tidak dapat didengar bagian-
bagian yang ditulis itu seturut kodrat benar musik atau koor itu.
Perlu diingat di sini bahwa, kalau Sabda injili merupakan buah penerimaan kebaruan Kristus dalam
peleburan iman antik orang Yahudi, Sabda injili itu sendirilah juga yang diwartakan oleh Yesus atau
yang dikhotbahkan oleh para Rasul.
Perjanjian Baru tidak akan merupakan Sabda Allah kalau tidak berasal, dalam Roh Kudus, dari hasil
bacaan akan acta et dicta Yesus, tapi tentu dalam cahaya segala sesuatu yang telah diperbuat oleh
Allah dengan membangkitkan Yesus. Bagi generasi yang pertama, (yang berkas kesaksiannya
dikumpul dalam himpunan yang dikenal pada abad IV sebagai Kanon Kitab Suci), dengan
intervensi-Nya dalam Kebangkitan Yesus - yang Hidup dan Kematian-Nya merupakan martyria
tertinggi yang dikaitkan dengan isi riil Perjanjian - Allah telah membawa sampai pada
kepenuhannya Rivelasi rencana keselamatan-Nya dan Keberadaan-Nya, bahkan juga kepenuhan
Rivelasi Sabda-Nya. Sabda yang diwartakan oleh para Rasul tidak lain dari pada apa yang
dinyatakan oleh Allah. Pernyataan Allah itu, dalam istilah human, dan di bawah perlindungan Roh,
merupakan terjemahan dari apa yang telah ditunjukkan oleh Allah secara definitif (bdk Ibr 1,2) akan
Diri-Nya sendiri, dengan mengutus Putera-Nya dan dengan membangkitkan-Nya, dalam kesetiaan
pada Perjanjian-Nya. Sabda itu adalah memoria akan segala sesuatu yang telah dinyatakan oleh
Allah mengenai Keberadaan dan rencana keselamatan-Nya. Memoria itu selalu direferensikan pada
kesetiaan Allah. Dan atas cara demikianlah Sabda itu mendasari iman, yang adalah terutama
merupakan keyakinan akan Allah yang dapat dipercaya. Dengan demikian, beriman berarti
melekatkan diri seutuhnya pada Allah yang telah menyingkapkan Diri sedemikian sehingga ia dapat
diyakini dan dipercayai (bdk Mk 11,22; Kis 14,9; Yak 1,6).
Kalau Sabda dan iman berderap dengan langkah yang sama, itu bisa terjadi karena Sabda - dalam
kemunculannya dalam pengertian karena dibangkitkan oleh Roh akan implikasi karya Allah
(mirabilia Dei) - memuat dalam diri-Nya sendiri kekuatan yang mendorong pada kerelaan memberi
diri. Abraham taat dan menerima untuk pergi bersama Isak menuju tempat kurban karena kelahiran
Isak sendiri sudah sesuatu yang mengatakan kepada Abraham bahwa Allah layak diyakini.
Perbuatan itu bisa saja bagi Abraham sebagai sesuatu yang absurd, tapi kendati demikian ia tidak
ragu akan arti misteriusnya, yaitu arti iman di dalamnya (Ibr 11:17-19).

6. SABDA DAN ROH

Kalau Sabda dalam hal ini adalah memoria, dan memoria yang mempunyai kekuatan dalam dirinya
sendiri yang mendorong untuk melekatkan diri pada apa yang diingat, maka apa yang diingat itu
berasal dari pertaliannya yang tak terpisahkan dari apa yang disebut oleh Perjanjian Lama Ruah dan
yang disebut oleh Perjanjian Baru Pneuma, yaitu Roh Kudus Allah. Tradisi Yohanes
mengungkapkan bahwa Yesus, dalam konteks Penderitaan sendiri - antara rivelasi penghianatan
Yudas (Yoh 13,26-29) dan penangkapan Yesus yang dilaksanakan oleh grup yang diorganisir oleh
si penghianat (18,2-5) - menyebutkan pernyataan penting mengenai peranan Roh. Peranan Roh ini
dipertalikan dengan Sabda, karena peranan atau tugas itu adalah missi memoria, dan semuanya itu
dipusatkan pada diri Yesus dan karya-Nya (Yoh 14,22-26). Roh, Paraclitus, adalah yang
"mengajarkan segala sesuatu" dan "mengingatkan" segala sesuatu yang telah dikatakan (oleh

54
Yesus)" (14,26). Roh itu membangkitkan ingatan akan apa yang merupakan Allah dan akan segala
sesuatu yang merupakan karya-Nya. Tetapi Roh melakukan itu bukanlah dengan membatasi diri
pada huruf-huruf yang tertulis dalam Kitab Suci yang dibacakan dalam Gereja, Roh itu bukan
penjaga huruf-huruf itu agar tidak berobah-obah, Roh itu tidaklah membatasi diri pada khotbah-
khotbah yang disebarkan oleh Yesus. Roh itu bukanlah gudang dan tempat menyimpan fakta-fakta
dan tanda-tanda, bukan pemelihara arsip dan dokumen-dokumen seperti dilakukan oleh sejarahwan.
Roh itu adalah Yang membuat orang mengerti dan memahami arti, implikasi, hal yang tidak
dikatakan, affinitas dan nilai-nilai pemenuhan, tonalitas (warna suara) sesuatu yang tak dapat
dicerna sebelum Salib, singkatnya menunjukkan Kebangkitan yang dirasakan dan dimengerti dalam
acta et dicta Tuhan Yesus. Pokoknya, Roh itu adalah Yang memasukkan karya Yesus dalam
perkembangan Sabda yang luas, yaitu karya sejak Abraham. Melalui Roh itu, yang adalah fajar
Pentekosta, para Rasul sanggup mewartakan Yesus sebagai Dia yang di dalam-Nya "terlaksana"
Sabda. Demikian Roh itu membaharui segala "perkataan-perkataan" atas Yesus dalam "perkataan"
akan Allah.
Oleh karena itu maka dapat dimengerti dengan lebih baik bagaimana sakramen-sakramen, dan
khususnya sakramen-sakramen inisiasi kristen yang berpuncak pada Ekaristi, merupakan peristiwa
Sabda dan Roh. Setiap sakramen merupakan buah epiklesi (seruan) Gereja yang berhimpun.
Sebaliknya, sebagaimana biasanya ditulis, epiklesi itu bukanlah doa kepada Roh. Epiklesi itu adalah
doa kepada Bapa melalui Roh: "curahkanlah Roh-Mu pada air ini", "... pada roti dan anggur ini", "...
pada mereka yang telah terpilih menjadi pelayan", "semoga Roh-Mu turun atas minyak ini".
Tetapi kedatangan atau pengutusan Roh ini mempunyai satu tujuan: bukan memberi begitu saja
rahmat yang ditimba secara abstrak dari sumur Agape Allah yang tak akan pernah habis, tetapi
menciptakan kesatuan sekarang ini, dalam Tuhan yang bangkit, dengan apa yang dikatakan oleh
Sabda mengenai rencana Allah yang telah dinyatakan dalam sejarah Israel dan sejarah Yesus,
sejarah yang satu dan tak terpisahkan. Jadi, oleh karena itu, "kenangan" menjadi indikasi, deskripsi
dan definisi rahmat yang dicurahkan, tetapi dengan selalu menghubungkannya kembali kepada apa
yang telah dilaksanakan oleh Allah, jadi dengan apa yang telah disampaikan oleh Sabda. Dengan
kata lain, bukan hanya pada apa yang sedang dikerjakan oleh Allah (melalui Roh-Nya) kini dan di
sini ("hic et nunc) yang tetutup pada apa yang telah dibuat dan apa yang akan dibuat, tetapi rahmat
yang dicurahkan itu ditandai secara intrinsik oleh referensi ganda itu (yaitu pada masa yang lampau
dan pada masa yang akan datang), dan bahkan ditandai oleh segala sesuatu yang dimuat dan
dikandung oleh Sabda itu.
Dalam setiap sakramen yang dirayakan, dapat dibaca lewat teks tanda-tanda, simbol-simbol, verba
dan elementa, sesuatu yang lebih dalam dari pada yang terungkap dalam rumus efficax itu. Jadi
yang dimaksud ialah pewartaan Sabda, dalam Roh, yang selalu lebih luas dan eksplisit, yang selalu
menghadirkan gesta Dei (isyarat Allah) bagi siapa pun yang mengenal Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru.
Effek sakramen baptisan tidak lain dari pada aktualisasi aksi Allah yang meluas bagi orang beriman,
tentangnya Sabda menyimpan dan menyebarkan memoria. Ini jelas bagi baptisan, dan jauh lebih
jelas lagi bagi Ekaristi, memoria Paskah. Oleh karena itu, juga pada level sakramental, hidup kristen
tidak pernah berhenti sebagai hidup dalam Sabda dan dalam Roh. Dan berkat referensi itulah maka
hidup kristen itu adalah hidup dalam iman.

7. SABDA DAN EKARISTI

Lagi, masih perlu lebih dalam lagi untuk memahami hakekat dan fungsi Sabda ini; dan terutama
hingga melihat kaitannya dengan Ekaristi. Tidak cukup hanya yakin akan tujuan Kenangan akan
Tuhan dalam menyantap Tubuh dan minum Darah-Nya. Karena Tubuh dan Darah Tuhan yang
diterima itu adalah sakramental, maka harus diterima tidak hanya dengan mulut tetapi juga dengan
hati. Agustinus mengatakan: crede et manducasti (percayalah dan makanlah). Rahmat ekaristis
bukanlah sesuatu yang magis sehubungan dengan yang kudus. Ekaristi itu menuntut penerimaan
dalam iman. Oleh karena itu, bersama dengan roti dan cawan yang dikonsakrir itu, perlu
"menerima" Sabda yang effeknya tidak hanya terletak begitu saja dalam menunjukkan apa yang

55
diterima ("Inilah Tubuh, inilah Darah Tuhan"), tetapi juga - atau mungkin terutama - dalam
menghadirkan aksi Allah yang meluas di mana dimasukkan sakramen itu dan tuntutannya.
Hanya kemudian, dengan pandangan kontemplatif dan keperluan permohonan bahwa Sabda itu
membangkitkan hati, maka disambut anugerah Allah. Karena hanya kemudian kita membiarkan diri
kosong dari kesadaran akan segala sesuatu yang menutup Agape, tentangnya diketahui bahwa
berada bersama sebagai si penerima anugerah dan dalam arti tertentu dipersatukan. Sebagai
penerima anugerah, kita bersembah sujud; sebagai yang disatukan, kita merasa dikenakan akan
tuntutan yang kuat. Dalam Meja Perjamuan Suci disambut Kristus Yesus yang membuat orang
kristen menjadi anggota Tubuh-Nya, tidak secara passif, tetapi dipersatukan dengan missi-Nya. Apa
yang direalisir oleh sakramen Ekaristi untuk fakta itu sendiri ialah bahwa - seturut ungkapan padat
dan berbobot dari Agustinus - orang beriman kemudian menjadi apa yang mereka terima dan
dipersatukan antar mereka sendiri - dan dipersatukan dengan apa yang mereka jawab: Amen - dan
ini harus diterjemahkan dalam eksistensi konkrit.
Ini semua adalah mengenai rahmat ekaristis; mengenai "Liturgi segala Liturgi". Sejauh sudah
dirayakan Ekaristi itu sebagai "kenangan" akan Tuhan Yesus, orang-orang yang merayakan itu juga
menjadi anggota Tubuh-Nya. Dan "kenangan" itu, seperti sudah disebut di atas, tidak hanya
merangkul aktus Paskah Tuhan sendiri, tetapi juga merupakan "rekapitulasi" seluruh karya Allah.
Dengan ini dimaksudkan partisipasi orang kristen pada missi Kristus - pada kesatuan mereka - dan
pada keluasan missi itu. Lalu, bagaimana sampai pada kesadaran dan pada iman orang beriman
kalau bukan melalui Sabda? Oleh karena itu hal ini bukan hanya sesuatu - dalam kesatuan dengan
Roh - yang menganugerahkan Tubuh dan Darah dalam perobahan misterius roti dan anggur. Ekaristi
itu adalah juga komuni dalam kebenaran yang berarti komuni dalam Tubuh ekaristis. Menurut
Skolastik Ekaristi itu bukan hanya res et sacramentum, tetapi juga res tantum, yang tidak lain dari
pada Gereja dalam realitas kesatuan-nya yang mendalam dengan Kristus, Kepala-nya.
Ekaristi adalah santapan ganda akan Kristus, yaitu santapan pada Meja Perjamuan Sabda dan pada
Meja Perjamuan Ekaristi. Khusus, setelah Konsili Vatikan II menegaskan tema ini, "santapan
Sabda" tidak lagi dibatasi pada persambungannya dengan "santapan ekaristis", yang seolah-olah
merangkum "santapan Sabda" itu, seperti imitasi saja. "Santapan Sabda" dan "santapan Ekaristi"
bukanlah bersambungan tetapi satu dan berpautan. "Santapan Sabda" bukanlah bagian pertama dari
Ekaristi dan terpisah dari padanya. "Santapan Sabda" dan "santapan Ekaristi" bersamaan dan
berpautan. "Santapan Ekaristi" menyatu dengan "santapan Sabda", meresapi dan menyertainya, dan
keduanya tak terpisahkan, bahkan juga dalam effek rahmat Kenangan akan Tuhan. Dari pada
mencoba memisahkan keduanya, atau bahkan menekankan transendensi "santapan Ekaristi" atas
"santapan Sabda", lebih baik melihatnya dalam simbiose yang tak teruraikan.
Studi mendalam akan bab VI Injil Yohanes menunjukkan bahwa "penindihan" roti sebagai Sabda
dan roti sebagai daging ekaristis dengan cepat dapat dimengerti sebagai sesuatu yang menunjukkan
kepenuhan komuni akan anugerah Allah dalam Yesus Kristus. Dalam kebenaran tidaklah dapat
menyantap Tubuh (daging) Tuhan tanpa sekaligus menyantap Sabda. Di sini perlu lagi dihadirkan
(pandangan) Agustinus. Kristus Yesus bukanlah santapan yang menghidupkan kalau tidak sekaligus
sebagai Tubuh sakramental (yang dikonsakrir oleh Roh) dan Sabda iman, yang diterima dengan
mulut dan disantap dengan hati: "bukan menyantap apa yang dilihat, tapi menyantap apa yang
dipercayai", "bukan membuka mulut, tapi membuka hati", ... "dengan menerimanya, kita tahu
tentang apa kita pikir", "dan kita menerima sepotong kecil dari roti itu dan dengan demikian kita
diperkaya dalam hati". Anafor besar ekaristis tidak lain dari pada Sabda yang merangkum seluruh
karya Allah.

8. SABDA: OBYEK KEKAGUMAN

Fungsi Sabda Allah, sebagai sumber hidup dalam Roh, tidak terbatas pada peranan-Nya sebagai
osmose iman dan Ekaristi yang secara bersama-sama dan tak terpisah "membuat Gereja". Untuk
seluruh eksistensi kristen, Sabda adalah dasar segala sesuatu yang membentuk sikap injili
fundamental: sikap kontemplatif pujian, adorasi, dan aksi rahmat yang bertumbuh dalam hidup
teologal.

56
Sesungguhnya, hidup kristen terarah di hadapan Allah. Menyedihkan dan kurang menyenangkan
bahwa orang kristen Barat sempat condong, terutama pada akhir Abad Pertengahan, melihat
kekristenan di hadapan Allah ini sebagai sumber eksistensi yang dihidupi "dengan takut dan
gentar", seolah-olah seperti di hadapan hakim, terjebak dan tidak dapat membela diri lagi. Ini dapat
dilihat dalam Victor Hugo dan di depan mata Allah harus mengikuti Kain hingga ke kuburan. Sering
bahwa muncul perasaan tidak dapat lari lagi dari penghakiman Bapa, ini sebenarnya terjadi karena
ketakutan akan konsekwensi "fuga" itu dan konsekwensi hukuman yang diwujudkan, yang tidak
bisa tidak harus ada. Pemahaman biblis tentang "ketakutan" sering dalam arti "ketakutan hambawi",
yang lebih mengungkapkan perasaan yang mendorong untuk bersujud di hadapan Keagungan Tuhan
dari pada perasaan yang mendorong untuk menghindari kekejaman Hakim. Di sini pun kekristenan
Barat telah memoralkannya, padahal sebelumnya memaksudkan keutamaan teologal.
Di hadapan Allah, bagi hidup iman, dan oleh karena hakekat pengalaman kristen, adalah terutama
sesuatu yang kontemplatif. Dan obyek pengalaman ini tidak lain dari pada Allah yang paras-Nya
yang essensial disingkapkan oleh campur tangan-Nya dalam Sejarah. Sabda adalah apa yang
memberi kepada kita sejauh kita dapat mengetahui gesta Dei. Oleh karena itu, bagi setiap orang,
hidup di hadapan Allah, dalam Roh Kudus yang tinggal di dalam dia dan yang mempersatukannya
dengan Tubuh ekklesial Kristus yang merupakan jiwa kesatuan itu, berarti membuat isi Sabda itu
sebagai obyek kekaguman yang terus menerus, yang menganugerahkan aksi rahmat, yang
membangkitkan pujian dan yang menciptakan dan mempertahankan iklim adorasi dalam
eksistensinya.

9. SABDA MENGEMBANGKAN VIRTUTES TEOLOGALES

Tetapi ada lagi sesuatu yang lebih mendalam. Sesungguhnya aksi-aksi teologal kasih dan
pengharapan bersimbiose dengan iman dan bersama dengan iman itu membentuk tenunan hidup-
dalam-Roh. Untuk condong dan mengarahkan diri kepada Allah secara langsung, tak akan dapat
berbuat banyak tanpa Sabda. Ketiga virtutes teologales tidak dapat dipilah-pilah: semakin mencintai
Allah yang wajah dan hati-Nya ditunjukkan oleh Sabda, maka akan semakin berharap akan apa
yang disampaikan oleh Sabda itu, yaitu rencana keselamatan. Kalau Kasih dan Harapan tidak buta,
kalau cinta kristen punya Allah sebagai obyek yang merupakan ide abstrak tetapi memiliki paras
yang sejati, kalau pengharapan kristen terarah pada tujuan konkrit, itu semua bisa jadi oleh karena
Sabda. Baik secara teologal pada dasarnya maupun secara religius (yang bersifat religius dan
sembah sujud) dalam pengungkapannya, yang keduanya tidak dapat dipisahkan, berada di hadapan
Allah itu seluruhnya tergantung dari Roh dan dari Sabda.

10. SABDA TERARAH KEPADA SEMUA

Relasi dengan Sabda - yang dulu selalu dijaga dan dipertahankan oleh lectio divina - tidak dapat
mengungkung orang beriman dalam dirinya sendiri atas cara apa pun. Sesungguhnya, kalau
seseorang, yang setia pada Roh, membiarkan dirinya diresapi oleh Sabda, maka ia akan melihat dan
menemukan bahwa Sabda itu menenggelamkannya dalam realitas yang lebih luas dan yang
mengatasinya. Sabda tidak terarah pada diri orang itu kalau tidak terarah pada semua orang lain,
tidak kena pada nasib personalnya kalau tidak kena pada rencana keselamatan yang diperuntukkan
bagi seluruh kemanusiaan. Oleh karena itu tidak boleh mencari dalam Sabda itu - sebagaimana
sering diusahakan dalam "metode meditasi" - hanya apa yang berguna untuk perkembangan rohani-
ku, hanya apa yang dapat memberi jawaban pada situasi-ku, hanya apa yang membantuku untuk
mengungkapkan perasaan-perasaan-ku. Tidak boleh menolak begitu saja buku-buku yang keras
dalam Perjanjian Lama, mazmur-mazmur yang mengutuk dengan dalih salah, yang "tidak kena
dengan diri-ku". Jadi Sabda itu (Kitab Suci itu) bukanlah daftar menu di mana banyak kemungkinan
bagiku untuk memilih. Sabda itu diarahkan pada Gereja, dan terarah kepada-ku sejauh terarah
kepada Gereja secara keseluruhan. Mengarahkan pandangan kepada Allah berarti juga memaparkan
seluruh kemurahan hati-Nya. Ini harus menjadi obyek setiap adorasi, setiap aksi rahmat, setiap
pujian dan setiap permohonan kristen.

57
11. SABDA SEBAGAI INSTAURATRIX KOINONIA

Hal mengenai Sabda ini masih dapat lagi lebih difahami kalau dilihat mengapa dan bagaimana
Sabda itu (dengan Ekaristi, tetapi dengan cara yang berbeda) sebagai instauratrix (reparatrix: yang
memperbaiki) kesatuan (koinonia). Terutama Sabda itu menghaturkan pikiran dan hati orang
beriman dalam kesatuan pengenalan akan Allah dan kesatuan cinta akan Allah, tetapi bukan Allah
abstrak para filsuf atau Allah para penganut agama kodrati, tetapi Allah yang disebut oleh Paulus
sebagai cinta abadi bagi kemanusiaan, obyek "misteri" (Rom 16,25-26; 1Kor 2,7-9; bdk Ef 1,9; 3,3-
10; Kol 1,26-27) yang tersembunyi dalam kedalaman yang paling rahasia dari keberadaan illahi-
Nya. Bagi iman (keyakinan) judeo-kristiani, Allah selalu difahami - dalam hubungan dengan misteri
- dalam kesatuan-Nya dengan manusia. Sekelompok ekseget melihat gema visi ini dalam perkataan-
perkataan Yesus yang terdapat dalam Injil Yohanes: "Engkau telah mencintai Aku sebelum dunia
dijadikan" (Yoh 17,24).

a. SABDA MEMPERSATUKAN ORANG BERIMAN DARI SELURUH GENERASI

Tapi Sabda itu juga mempersatukan orang beriman, dalam waktu, dengan seluruh generasi yang
martyria-nya memberi peluang bagi iman untuk mengungkapkan diri dan untuk bertahan. Di
hadapan Allah, orang kristen sekarang tidak dapat membayangkan epos Keluaran, misalnya,
sebagai suatu dokumen murni dan sederhana mengenai sejarah yang baginya barangkali asing.
Keluaran itu adalah sejarahnya di mana ia terikat dan terlibat, dan sejarah seluruh komunitas
gerejani (ekklesial). Oleh karena itu ia harus menjadikan saat kini kegembiraan dan aksi rahmat
Umat Allah yang menyeberang dari perbudakan kepada Keselamatan. Ketika pada malam Paskah
Gereja menyanyikan nyanyian Musa (Kel 15,1-20), si orang kristen itu harus membuat itu menjadi
pujiannya sendiri: ia bersatu dengan jiwa orang Israel.
Apa yang dimungkinkan oleh ikon-ikon oriental (Timur) - yaitu kehadiran "aktual" para "leluhur
dalam iman" melalui ikon itu - direalisir oleh Sabda berdasarkan hakekat-Nya sebagai memoria.
Seperti sudah disebut di atas bahwa bagi pemikiran biblis memoria tak pernah merupakan kehadiran
gambaran yang murni obyektif dan selalu menyatakan kehadiran dinamis dari realitas yang
dihadirkan. Sabda yang mengulangi yang lalu berarti mempersatukan (si pendengar) dengan masa
lalu itu, suatu kesatuan iman dan hati, di mana Roh Kudus menenun serat-serat berharga "kesatuan
para kudus", suatu species kontemporanitas mistik.

b. SABDA MEMPERSATUKAN SEMUA ORANG SEKARANG INI

Dari pihak lain Sabda memberi peluang untuk kesatuan dengan semua orang yang sekarang ini -
yang tersebar di dunia - menghidupi situasi yang berbeda-beda di hadapan Allah, yang nampaknya
tak dapat diperdamaikan. Misalnya, orang yang terdorong untuk memahami arti pendarasan
mazmur, ia akan tahu dan menemukan bahwa ada di dalamnya suatu pusat kekuatan akan kesatuan
yang membawanya untuk mengatasi status personal semangatnya. Ketika, secara pribadi
dibingungkan oleh penderitaan, aku menyanyikan bait-bait yang disusun oleh pemazmur yang
memuji Allah karena kegembiraan dan penghiburan diberikannya, jelas bahwa aku dapat tulus-iklas
hanya dalam ukuran di mana aku kemudian menerimanya dalam hati dan pada bibir, dengan
menyanyikannya bersama dengan orang lain, madah kegembiraan para sahabat-sahabat Allah yang
lain. Dan ketika, kosong dari kegembiraan, aku mengerang karena kepedihan dan kesusahan orang
benar yang dianiaya yang berteriak minta pertolongan, di sini aku tidak benar kalau tidak dalam
ukuran di mana - dengan melupakan diri sendiri - aku mengingat dalam permohonanku hukuman
dan sengsara para sahabat Allah yang lain, dengan bermohon bersama dengan mereka. Jadi, Roh -

58
yang di sini juga tidak terpisah dari Sabda - membuat bahwa, "dengan menerima" Sabda, aku
"menerima" di dalamnya, dengan mengitegrasikannya dengan kesadaranku, dengan kecemasanku
dan dengan doaku, bersama dengan kegembiraan dan drama Umat Allah. Dimensi kesatuan ini,
yang didasarkan seluruhnya atas Sabda, juga membentuk serat-serat penting untuk tenunan hidup-
dalam-Roh.

12. SABDA ABADI DAN SABDA YANG DIPERUNTUKKAN BAGI KEMANUSIAAN

Masih ada yang lebih dalam lagi. Injil Yohanes dan Surat kepada orang Ibrani mendermagakan
dalam keberadaan Allah sendiri Sabda yang dimengerti oleh Umat Kudus - dan mungkin saja ini
adalah komunitas apostolis dari zaman sesudah Pentekosta - terutama sebagai Allah dalam
pengkomunikasian diri-Nya dan dalam hubungan-Nya yang abadi dengan kemanusiaan. Dalam
Allah sendiri, Sabda abadi adalah Sabda yang diperuntukkan bagi kemanusiaan. Sabda inilah yang
menjadi daging dalam Kristus Yesus, dengan memenuhi (dalam garis aksi Allah sendiri yang penuh
cinta) aktus tertinggi Keselamatan. Sesungguhnya, dalam Yesus, rivelasi mysterion sampai pada
ekspressinya yang paling sempurna pada saat yang sama di mana janji Allah untuk Keselamatan
sampai pada poin terakhirnya: Dia, di mana Sabda mencapai kepenuhan-Nya, adalah, dalam
kenyataannya, Putera Bapa yang terkasih, Putera Allah satu-satunya.
Mungkin kekristenan Barat tidak menegaskan secukupnya kesejajaran dan kaitan antara Sabda dan
Putera yang dinyatakan dengan jelas oleh Prolog Injil Yohanes. Tentu perlu memegang bahwa
dalam arti sempit "Yesus menjadi Sabda Allah adalah dalam hubungan-Nya dengan dunia dan
dengan manusia". Akan tetapi, dalam kedalaman keberadaan-Nya, Dia yang nampak dalam pusat
Rivelasi Allah adalah "Putera satu-satunya yang berada di pangkuan Bapa" (Yoh 1,18). Sangat
terang bahwa banyak ayat-ayat dalam teks tradisi Yohanes yang berbicara bahwa Putera "datang
dari Bapa dan datang ke dunia, yang sekarang pergi kepada Bapa" (demikian Yoh 16,28), dan
Yesaya pun berbicara tentang Sabda ini (Yes 55,10).

13. SABDA YANG BERASAL DARI DAN KEMBALI KEPADA BAPA

Skema exitus-redditus, yang di sekitarnya dibangun seluruh teologi, tentulah tidak sekaku apa yang
diyakini oleh teolog-teolog tertentu, yang memaparkan teologi mereka secara simplistis. Teologi
yang dimaksud harus dipelajari lebih atau terutama atas terang risultan Tradisi dan harus dicari dan
ditemukan lebih atau terutama affinitasnya dengan intuisi Perjanjian Baru dan realitas Putera kekal -
yang tak dapat dimasuki oleh akal human. Mengenai Putera ini Paulus sendiri mengatakan bahwa
Dia "diutus", dan untuk perutusan itu Dia "dilahirkan dari seorang wanita dan di bawah hukum"
(Gal 4,4-5). Tentu, tema "emanasi (berasal atau mengalir dari) dan kembali (ke)" berakar dari
Neoplatonisme. Tapi, kalau dimengerti bahwa kekristenan dengan menerima ide (atau tema
Neoplatonisme) itu meletakkan pusatnya (as-nya) dalam realitas Inkarnasi sendiri, berarti
kekristenan itu mengambil kemudian suatu dimensi baru. Sesungguhnya, apa yang berasal dari
Allah dan kembali kepada-Nya tidaklah hanya Ciptaan, tetapi juga seluruh Ordo Kosmis di mana
termasuk juga kemanusiaan. Secara fundamental, Sabda sendirilah (sebagai Sabda Pencipta dan
Penebus) yang berperan di sini, sesuai dengan kodrat-Nya (seperti sudah disebut di atas), yaitu
sejauh Sabda itu menguasai dan mengungkapkan karya Allah. Tetapi Sabda ini - menurut Injil
Yohanes - termasuk dalam keberadaan Allah yang hidup. Sabda itu ada dalam Bapa. Sabda itu
adalah Aktor essensial hidup intim Bapa - Tradisi menyebut pribadi-pribadi Trinitas-Nya - yang
mengatasi sejarah. Sabda itu, dalam Agape abadi, sebagai identitas Putera sendiri yang satu-satunya,
dilihat dalam relasi-Nya dengan realisasi historis rencana keselamatan yang selalu hadir dalam
Bapa, "sebelum segala abad", dan oleh karena itu berarti sebelum penciptaan dunia dan sebelum
karya keselamatan-Nya (1Kor 2,7), dalam instansi yang membentuk keabadiannya. Dengan
demikian diintuisikan kemudian bagaimana karya Allah sudah ada dan sudah ditemukan
tersembunyi dalam realitasnya yang abadi. Keselamatan yang diberikan oleh Allah bukanlah sesuatu
yang kebetulan. Karya-karya keselamatan Allah itu tersembunyi bukanlah dalam satu kata yang

59
hanya sebagai pelaksana eksekusi dekrit-dekrit illahi, tetapi dalam Sabda yang adalah salah satu
Pribadi Trinitas, yaitu Putera sendiri, yang kalau Dia tidak ada berarti Allah (Bapa) tidak ada.

14. SABDA YANG SUDAH DARI KEKAL MENJADI SABDA KESELAMATAN

a. SABDA YANG PENUH DALAM DAGING PUTERA

Lalu dengan demikian, ditunjukkan dengan jelas suatu paralel yang lain, yaitu paralel antara
penciptaan dalam Sabda (Yoh 1,3; Ibr 11,3) dan penciptaan dalam Tuhan Yesus Kristus (1Kor 8,6;
Kol 1,15-17; Ibr 1,2). Dan sebagai Sabda Ia telah mencapai kepenuhan-Nya dalam "daging" Putera
yang telah menjadi daging yang telah menyatakan, dengan menyingkapkan-Nya (dengan khotbah-
khotbah-Nya, dengan perbuatan-perbuatan belaskasih-Nya, dan terutama dengan Salib dan Paskah-
Nya), artinya yang terdalam, demikian pula Ia akan mencapai tujuannya yang terakhir dalam
pembaharuan eskatologis segala sesuatu yang ada yang akan terjadi sekaligus bersamaan dengan
Parousia Putera yang telah menjadi daging dan dengan penyerahan Kerajaan kepada Allah Bapa
(1Kor 15,24-28).

b. SABDA MERANGKUL SELURUH PENYERAHAN DIRI ALLAH KEPADA MANUSIA

Oleh karena itu tidak cukup hanya menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan kembali
kepada-Nya. Perlu menekankan bahwa segala sesuatu masuk dalam suatu dinamisme yang termasuk
dalam keberadaan kekal Allah-Trinitas. Sebagaimana keabadian menyembunyikan
(menyimpan/merangkum) dalam kilat instansi-nya segala instansi lain, maka demikian pun, sama
halnya, penyerahan abadi Bapa dan Putera (Sabda abadi mereka) merangkul seluruh penyerahan diri
Allah kepada kemanusiaan, yang berpuncak pada penyerahan diri yang terakhir dalam Inkarnasi dan
Salib:
“Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek
moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada
kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala
yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan
gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan.
Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di
tempat yang tinggi, jauh lebih tinggi dari pada malaikat-malaikat, sama seperti nama yang
dikaruniakan kepada-Nya jauh lebih indah dari pada nama mereka” (Ibr 1,1-4).

c. SABDA MERANGKUL SELURUH KELUASANNYA

Yang dimaksud dan dinyatakan dalam cahaya ini ialah bahwa Sabda Allah selalu merangkul seluruh
keluasan-Nya. Sabda Allah, yang dinyatakan oleh cahaya itu, muncul dan nampak bagi orang
beriman sebagai penyingkap pendasaran absolut oikonomia (yaitu, seturut pandangan tajam Ireneus,
karya Allah yang menyebar sepanjang zaman dan dalam sejarah) dalam theologia (yaitu dalam
rahasia keberadaan Allah). Mengenakan kepada Allah attribut-attribut biblis: berbelaskasih, setia,
pengasih, tidak berarti bahwa Dia hanya melakukan karya belaskasih, hanya setia pada janji-Nya,
hanya merasa kasihan dan iba, dan hanya melakukan keadilan; tetapi juga mengakui (dalam iman,
dengan apa yang terselubung dan terbayang) bahwa Dia dalam keberadaan-Nya adalah
berbelaskasih, setia, iba dan adil bagi manusia. Nuansa-nuansa ini sangat mendasar. Sudah dalam
Allah, bahwa Sabda itu adalah Sabda Keselamatan bagi manusia.

d. SABDA MENYATAKAN TINDAKAN PENYELAMATAN ALLAH

Dalam kedalaman-Nya, demikianlah kodrat Sabda Allah. Oleh karena itu tidaklah berlebihan
mengatakan, bersama dengan tradisi liturgis, bahwa Sabda itu mencipta dan membentuk lingkungan
di mana dikembangkan hidup-dalam-Roh. Dan ini sudah terjadi sebelum munculnya iman.
Sesungguhnya sudah ditemukan bagaimana realitas yang, selalu dengan Roh, membuka pikiran dan
hati orang pada kepastian akan adanya keselamatan yang tergantung secara integral dari aksi atau

60
perbuatan Allah. Tetapi aksi ini, yang dinyatakan dan dibenarkan oleh Sabda serta artinya
disingkapkan, berobyekkan suatu situasi baru kemanusiaan sedemikian, ke mana setiap orang
dipanggil untuk menggabungkan diri. Secara tak langsung, Sabda itu bergerak menuju Kerajaan,
Kerajaan yang tidak lain dari pada pemberian murni bagi orang kristen yang diselamatkan, tetapi
yang mewujudkan hidup-dalam-kesatuan di mana setiap orang ada hanya dalam identitasnya
sebagai anggota Tubuh Kristus, sebagai cabang Pohon Anggur Bapa, sebagai batu-batu hidup
Kenisah rohani, dan sebagai warga Kota Allah. Sabda itu menyingkapkan kepada orang beriman
bahwa (seturut ungkapan Emmanuel Mounier) jalan Keselamatan kristen "selalu berlalu melalui
orang lain", tetapi orang lain itu adalah mereka sendiri yang telah digenggam oleh Allah dalam
Kristus. Atas cara demikian Sabda itu menyingkapkan keluhuran-Nya pada eksistensi kristen.
II. DOA INJILI
1. SABDA DAN DOA

Iklim teologal dan religius bersama dengan adorasi, aksi rahmat dan permohonan sering ditunjukkan
secara global sebagai status doa. Doa, dengan komponen-komponen ini adalah jawaban bagi
penerimaan Sabda. Tetapi di lain pihak, Sabda dan doa saling terkait, yaitu bahwa Sabda biblis
untuk sebagian besar menarik asal-Nya dari doa-doa komunitas orang beriman.
Ini terjadi dalam Perjanjian Lama dan juga dalam Perjanjian Baru. Kumpulan orang beriman -
tentunya dalam perayaan liturgi - atas nama Tuhan, dalam kepastian akan kehadiran-Nya dalam Roh
(Mt 18,20), mengadakan perayaan doa sebagai salah satu dari kebiasaan mereka, di mana, dalam
Roh Kudus, "kenangan" akan hidup, akan aksi dan akan Kematian-Kebangkitan Tuhan, lalu
kemudian akan khotbah-khotbah para saksi yang pertama (Lk 1,1-4; Kis 1,1-5), selalu hidup,
dipertahankan dan dirayakan. Juga di luar kumpulan doa-doa yang mengagumkan yang disusun dari
mazmur-mazmur, Kitab Suci diselami dengan lapisan liturgis yang bertumbuh di mana-mana.
Fragmen-fragmen madah-madah antik atau doa-doa antik tersebar dalam Perjanjian Baru sendiri,
terutama dalam poin-poin intensitasnya yang tinggi (demikian Lk 1,46-54. 67-79; Kis 4,25-31; 1Kor
16,22; Ef 5,14; Kol 1,12-20; Fil 2,6-11; 1Ptr 1,2-9; 2,4-10; Why 4,8.11; 5,9-15; 7,10-12; 15,3-4;
19,1-9; 22,17.20-21; dll). Tidak ada yang diragukan di sini. Sesungguhnya, kalau diakui bahwa
Sabda yang diwahyukan diendapkan lambat laun dalam pernyataan iman Umat - yang menyelidiki
dengan kekuatan dan cahaya Roh arti dan implikasi intervensi Allah - maka perlu mendeduksikan
bahwa doa dalam hal ini mengembangkan dan membentangkan fungsi essensial. Iman dan doa tidak
terpisah.

2. DIMENSI ANAMNESE DOA

Sesungguhnya iman secara fundamental adalah pelekatan yang terpatri pada Kabar Gembira akan
Allah yang peka pada kebutuhan umat-Nya (bdk Kel 3,7-9), dan bahkan Ia siap untuk mengabulkan
apa yang dimohon. Lagi, dalam kultur Semitik di mana disisipkan bagian essensial dari teks-teks
yang diwahyukan (teks Kitab tsb), peringatan atau kenangan (memoria) selalu mempunyai - seperti
sudah disebut di atas - dampak yang mendalam atas situasi yang nyata pada saat itu. Dengan
memoria, suatu kejadian di masa lampau, yang tertanam dalam "kompos" atau humus sejarah,
tidaklah hanya dihadirkan (dalam ingatan), tetapi juga berkekuatan untuk menunjukkan dan
meresapi apa yang sedang "dikenang". Doa kristen, seperti setiap doa biblis, selalu mempunyi aspek
anamnese (penghadiran kembali). Ini berarti, misalnya, bahwa permintaan pertolongan oleh orang-
orang sakit, permohonan para pendosa, dan permohonan para Rasul di tengah percobaan dan jeritan
Yesus sendiri dalam kenyerian sengsara-Nya, terungkap di bibir dan menggema dalam hati
komunitas (kristen kemudian), dan dikonfrontasikan dengan kemalangan dan pencobaan yang
dialami oleh mereka sendiri. Karena itu dapat dimengerti kemudian mengapa mereka tidak pernah
lupa akan kenangan-kenangan apostolis: doa mengingatkan itu kembali kepada mereka. Dimensi
anamnese doa itu memberi peluang bagi mereka untuk mencamkan dalam ingatan dalam berbagai
cara akan "kenangan-kenangan" itu yang mencapai kepenuhan pengalaman human. Dengan
demikian, dalam kedalaman ini, dapat dibenarkan lex orandi lex credendi.

61
Dimensi anamnese ini (penghadiran kembali) adalah sentral karena dalam Umat beriman (dan ini
sudah sejak orang Israel), secara eksplisit atau implisit, setiap doa "meng-orkestra-kan" seruan
kepada Allah: "Ingatlah, ya Allah!". Dan seruan ini: "Ingatlah", tidak lagi hanya merupakan sikap
religius, tapi, dalam arti sempit, juga merupakan pernyataan iman. Dan seruan ini tidaklah diarahkan
kepada Allah yang abstrak, yang ditemukan hanya dari rasio yang berpikir dan dari hati yang
tergerak pada saat itu. Seruan itu adalah ungkapan yang diarahkan kepada Dia yang menunjukkan
diri sebagai bersatu dengan kemanusiaan dalam Perjanjian, Persahabatan, dan dalam perhatian dan
kepekaan kepada Umat-Nya. Dan justru di sinilah "disingkapkan" bahwa Dia dapat dipercaya: Dia
adalah Allah yang diingat (dikenang) oleh umat-Nya. Ia mengingat mereka yang dicintai-Nya.
Ingatan Allah ini adalah kemurahan dan rahmat-Nya.

3. MEMORIA ALLAH

Nabi-Nabi besar membangun di atas batu padas itu pengharapan Umat: "Anak kesayangankah
gerangan Efraim bagiku atau anak kesukaan? Sebab setiap kali Aku menghardik dia, tak putus-
putusnya Aku terkenang kepadanya; sebab itu hatiKu terharu terhadap dia; tak dapat tidak Aku akan
menyanginya?' (Yer 31,20). "Aku teringat kepada kasihmu pada masa mudamu" (Yer 2,2). Dan
Jahweh menyambung lagi: "Aku tidak mengingat-ingat dosamu" (Yes 43,25). Pengaharapan
mengungkit memoria Allah.
Disemangati oleh keinginan untuk mendasarkan kondute Umat atas penghadiran keillahian yang
mengagumkan, tradisi Sacerdotal - yang penting bagi teologi biblis tentang doa - bahkan merayakan
memoria Allah ini sebagai fundamen kokoh sejarah Umat. Yehezkiel menyebutkan bahwa Allah
menyatakan perasaan kasih sayang-Nya: "Tetapi Aku akan mengingat perjanjianKu dengan engkau
pada masa mudamu" (Yeh 16,60). Dan dalam tradisi ini affirmasi sedemikian kembali terus
menerus pada refren: "Untuk keselamatan mereka Aku akan mengingat perjanjian dengan orang-
orang dahulu yang Kubawa keluar dari tanah Mesir di depan mata bangsa-bangsa lain, supaya Aku
menjadi Allah mereka; Akulah Tuhan" (Im 26,45); "Aku akan mengingat perjanjian-Ku dengan
Yakub; juga perjanjian dengan Ishak dan perjanjian-Ku dengan Abraham pun akan Kuingat dan
negeri itu akan Kuingat juga" (Im 26,42). "Aku akan mengingat perjanjian-Ku yang telah ada antara
Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, segala yang bernyawa" (Kej 9,15). Dan
kenyataannya: "Allah ingat kepada Abraham, lalu dikeluarkannyalah Lot dari tengah-tengah tempat
yang ditunggangbalikkan itu" (Kej 19,29); "Lalu ingatlah Allah akan Rachel; Allah mendengarkan
permohonannya serta membuka kandungannya" (Kej 30,22); "Allah mendengar mereka mengerang,
lalu Ia mengingat kepada perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Yakub" (Kel 2,24; bdk 6,5).
Di sini disingkapkan wajah-Nya yang otentik.
Perjanjian Baru, kalau dibaca dengan cermat, nampak sebagai rivelasi actus supremus Allah yang
"mengingat" (umat-Nya). Bukanlah kebetulan bahwa Lukas, dalam kedua nyanyian yang membuka
presentasinya mengenai peristiwa yang terlaksana oleh Allah (Lk 1,1), menyanyikan Allah yang
"mengingat belaskasihan-Nya" dan "yang mengingat perjanjian-Nya" (Lk 1,54.72). Kadang-kadang
Surat kepada orang Ibrani membuat komentar mengenai Allah yang "mengingat" ini (Ibr 2,5-8;
10,17). Dengan mengatakan bahwa Allah "mengingat" berarti menyatakan secara konkrit kesetian-
Nya (bdk Kis 3,25; Rom 11,2), dengan menggarisbawahi bahwa hal itu adalah suatu realitas yang
selalu ada dalam Dia, yang tak pernah lenyap. Allah yang diimani itu tak akan dapat dimengerti
tanpa memoria-Nya akan keselamatan.
Dalam dimensi "syukur"-nya, yang essensial dalam dirinya, liturgi Umat beriman tak pernah
berhenti memuji Allah dengan qualitas-Nya yang "mengingat" itu. Dan sesungguhnya sangat
istimewa bahwa, ketika Kitab Suci dengan madah-madahnya menyanyikan dan memuji Allah, Allah
itu dicirikan sebagai "Dia yang mengingat" (umat-Nya). Dan inilah gambaran karakteristik-Nya.
Beginilah para pemazmur mengulang-ulangi ungkapan (doa) ini: "Dia yang mengingat kita dalam
kerendahan kita" (Mzm 136,23); "Ia mengingat kasih setia dan kesetiaan-Nya terhadap kaum Israel"
(98,3); "Ia ingat akan Firman-Nya yang kudus, akan Abraham, hamba-Nya" (105,42; bdk 106,45).
Pendeknya, Ia selalu ingat akan perjanjian-Nya (Mzm 111,5; bdk 105,8). Masih lebih luas lagi,
bahwa Dia mengingat apakah manusia itu, yang diciptakan-Nya lemah tapi demi cinta: "Sebab Dia
sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita debu" Mzm 103,14); "Ia ingat bahwa mereka itu daging,

62
angin yang berlalu, yang tidak akan kembali" (Mzm 78,39). Dan kalau Ia ingat terutama "orang-
orang yang mencari-Nya", dengan menopang mereka dalam percobaan (Mzm 9,13), memoria ini
merangkul seluruh kemanusiaan, dan tak pernah dilupakan sekalipun sangat rapuh: "Jika aku
melihat langit-Mu, ... apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia,
sehingga Engkau mengindahkannya?" (Mzm 8,5).

4. MEMORIA UMAT BERIMAN

Pandangan sedemikian yang diarahkan kepada Allah memberi artinya yang seluruhnya pada seruan
permohonan besar: "ingatlah" (ya Tuhan). Seruan ini bukanlah seruan kosong; seruan ini adalah
seruan iman. Seruan dan iman secara bersama-sama membentuk realitas permohonan dalam bangsa
Israel, dan kemudian dalam Gereja. Seruan dan iman itu, dalam osmosenya, membentuk kodrat doa
kristen dalam arti sempit, dan dengan demikian, permohonan pertolongan secara implisit adalah
pengakuan akan kodrat Allah: "Engkaulah Allah yang setia, sejati; jadi ... ingatlah akan kami".
Ungkapan "ingatlah" mempunyai banyak "obyek" (alamat, sasaran). Dalam bangsa Israel, ungkapan
"ingatlah" itu terutama mengenai kebangkitan Umat: "Ingatlah akan umat-Mu yang telah
Kauperoleh pada zaman purbakala, yang Kautebus menjadi bangsa milikMu sendiri" (Mzm 74,2);
"Ingatlah segala rahmat-Mu dan kasih setia-Mu, ya Tuhan, sebab semua itu sudah ada sejak
purbakala" (Mzm 25,6); "Ingatlah akan hamba-hamba-Mu, kepada Abraham, Ishak dan Yakub" (Ul
9,27; bdk Kel 32,13); "ingatlah akan segala kasih setia-Mu kepada Daud, hamba-Mu" (2Taw 6,42);
"Ingatlah perjanjian-Mu dengan kami, janganlah membatalkannya!" (Yer 14,21); "Ingatlah, ya
Tuhan, kepada Daud dan segala penderitaannya" (Mzm 132,1).
Tetapi sering orang beriman bermohon untuk dirinya sendiri: "ingatlah aku dan perhatikanlah aku,
lakukanlah pembalasan untukku terhadap orang-orang yang mengejar aku" (Yer 15,15); "Tuhan
semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan
mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini
seorang anak laki-laki" (1Sam 1,11); "ingatlah kiranya akan daku dan buatlah aku kuat, sekali ini
saja" (Hak 16,28); "ingatlah kiranya, bahwa aku telah hidup di hadapan-Mu dengan setia dan
dengan tulus hati" (Yes 38,3); "Ya Allahku, demi kesejahteraanku, ingatlah segala yang kubuat
untuk bangsa ini" (Neh 5,19; bdk 13,14.22.31).
Dan bermohon bagi kelemahan sendiri sebagai ciptaan: "Ingatlah, bahwa Engkau yang membuat
aku dari tanah liat, tetapi Engkau hendak menjadikan aku debu kembali?" (Ayub 10,9); "Ingatlah
apa umur hidup itu, betapa sia-sia Kauciptakan semua anak manusia!" (Mzm 89,48).
Bermohon juga bagi yang lain: "Ingatlah bahwa aku telah berdiri di hadapan-Mu, dan telah
berbicara membela mereka, supaya amarah-Mu disurutkan dari mereka" (Yer 18,20).
Bahkan terjadi juga permohonan bagi Allah sendiri: "Bangunlah, ya Allah, lakukanlah perjuangan-
Mu! Ingatlah akan cela kepada-Mu dari pihak orang yang bebal sepanjang hari" (Mzm 74,22; bdk
74,18).

Semua contoh ini menunjukkan bahwa, dengan menghadirkan kembali memoria Allah dan
perbuatan-perbuatan-Nya, doa Umat Kudus selalu ditancapkan secara formal dalam iman, sekalipun
obyek doa itu adalah Ciptaan dan reaksi orang beriman di hadapan kelemahannya sendiri sebagai
ciptaan.

5. MEMORIA GEREJA APOSTOLIS

Dengan istilah yang berbeda, tetapi berasal dari akar yang sama, Gereja apostolis juga masuk pada
permohonan untuk mengingat dan menghadirkan kembali memoria Allah. Ketika Lukas
menyatakan bahwa doa-doa Kornelius di hadapan Allah adalah sebagai kenangan (Kis 10,4.31),
nampak justru menunjukkan bahwa doa-doa itu dilaksanakan agar Allah selalu "mengingat" dia
(sebagai arti terbalik dari "ingatlah" dalam kejahatan di Babilon, Why 16,19; 18,5). Dan Didache,
salah satu di antara teks-teks kristen yang paling antik, memohon: "ingatlah akan Gereja-Mu untuk
membebaskannya dari setiap yang jahat dan kuduskanlah dalam cinta-Mu; himpunkanlah Gereja-

63
Mu itu dari ke-empat penjuru mata angin, Gereja-Mu yang dikuduskan ini, dalam Kerajaan-Mu
yang dipersiapkan baginya" (10,5). Jadi tetap nampak hubungan yang diletakkan oleh orang Israel
antara kenangan dan doa.

6. MEMORIA EKARISTIS

Lebih lagi, ketika Paulus dan Lukas menyebut bahwa Yesus, dalam perjamuan malam terakhir,
mengucapkan kata-kata ini: "perbuatlah ini sebagai kenangan akan Daku" (1Kor 11,24-25; Lk
22,19), ini menunjukkan bahwa perayaan perjamuan malam terakhir mengarahkan dan mengajak
para murid untuk membangkitkan memoria Allah. Dengan melakukan kembali di hadapan Allah
apa yang dipesankan oleh Tuhan ini, ini berarti bahwa Allah mengingat karya-Nya yang besar, yang
diaktualisir dalam komunitas dan dipenuhi dalam Kerajaan. Allah mengingat umat-Nya dalam
Yesus Kristus dan dalam Paskah-Nya, dan terjadi "hingga kedatangan-Nya" yang terakhir dalam
kemuliaan. Jadi ritus Ekaristi menggantikan kenangan akan David dan akan semua penderitaannya"
(Mzm 132,1). Dalam hal inilah Ekaristi menjadi doa khusus dan teristimewa, karena terjadi dalam
kehadiran-Nya sendiri - yang sakramental tapi sekaligus benar - yang atasnya bertumpu setiap doa,
karya rahmat Allah yang mencapai kepenuhannya dalam Paskah Tuhan Yesus.
Kodrat partikular Kenangan ekaristis ini, sebagai sumber dan puncak doa Gereja, menjelaskan
mengapa sangat sering disisipkan doa Bapa kami dalam perayaan Perjamuan Tuhan. Dapat dilihat
bahwa, sejak dari Didache, doa Bapa kami dianggap sebagai doa kristen yang paling karakteristik.
Doa ini harus didoakan sebanyak tiga kali sehari, dan dengan demikian doa itu menggantikan doa
orang Yahudi: "janganlah berdoa seperti orang-orang munafik; tetapi, sebagaimana Tuhan telah
memerintahkan kepada kamu dalam Injil-Nya, berdoalah demikian: 'Bapa kami ...'; berdoalah
demikian sebagai tiga kali sehari" (8,2-3). Dan bukanlah kebetulan dan begitu saja Didache
berbicara tentang kaitan antara baptisan dan Ekaristi, bahkan sebelum kaitan itu pun mulai
dinyatakan, Didache sudah masuk pada "jantung" atau kedalaman hubungan itu. Dan hubungan itu
menyingkapkan intuisi yang sangat mendalam: yaitu bahwa doa termasuk dalam misteri
keselamatan.

7. DOA KRISTEN

Sejak itu dan selain dari itu komentar-komentar para Bapa Gereja menunjukkan bahwa Doa
mingguan, sebagaimana dinamai demikian mulai dari Cyprianus, dengan cepat diintegrasikan secara
ketat dengan inisiasi kristen, dan bertolak dari situ diintegrasikan juga dengan ritus-ritus lain dan
dengan prosedur untuk "menjadi kristen". Hal ini diterangkan dalam katekese baptisan, terutama
sebelum baptisan itu sendiri dari pada sesudahnya. Mengapa? Karena, menurut pengamatan
Agustinus, setelah mempelajari apa yang harus dipercayai dan kepada siapa percaya, perlu lagi
mempelajari bagaimana memohon kepada Dia yang dipercaya. Permohonan akan pertolongan
mengikuti dan bergantung pada iman dan ketegangannya menuju pengabulannya. Sesungguhnya
percaya dan berdoa tidak dapat dipisahkan. Doa menunjukkan reaksi pertama orang beriman dan
Gereja di hadapan kemiskinan mereka dan kebutuhan mereka: dengan mengetahui siapa itu Allah,
tidak akan dapat disadari kemalangan sendiri tanpa mengarahkan diri secara instink kepada Dia
dengan keyakinan, dengan berseru kepada-Nya: "Ingatlah" (kami, ya Tuhan!). Bukankah kesetiaan
termasuk pada keberadaannya sendiri? Doa adalah ungkapan (kata-kata) pengharapan iman.
Kemungkinan sekali inilah motif mengapa refleksi para Bapa Gereja atas doa terutama diselidiki
dalam komentar-komentar mengenai doa Bapa kami, dan penyelidikan ini terutama terjadi dalam
katekese baptisan. Konstatasi (pernyataan / pembuktian) ini sangat mendasar. Kalau akar doa kristen
hendak dicari, maka ini dapat dilakukan bukan dalam kehausan religius yang mengawang akan
hidup mistik, tetapi dalam apa yang disebut Kitab Suci "pengenalan" (atau pengalaman) akan Allah
dan Bapa Yesus. Nuansa-nuansa pengenalan ini adalah essensial. Dan ini dapat dilihat dalam
katekese-katekese pre atau post baptisan. Di Afrika, ini terdapat dalam Tertulianus, Cyprianus,
Agustinus; di Milano dalam Ambrosius; di Timur dalam Cyrillus dari Yerusalem dan dalam
Teodorus di Mesopotamia. Semua mereka memberi kesaksian tentang kaitan essensial antara iman

64
dan doa, dan, doa dan iman. Mereka menunjukkan ketermasukan doa kristen dalam dunia di mana
termasuk juga sakramen-sakramen. Doa itu tertenun dalam sakramen-sakramen, dan sakramen-
sakramen itu tertenun dalam doa. Karena itu tidak mengherankan bagaimana tema anamnese
ekaristis terdapat dalam traktat Cyprianus.

a. DIARAHKAN KEPADA BAPA

Umumnya, doa kristen diarahkan kepada Bapa. Aturan ini sangat jelas dalam Perjanjian Baru,
dalam Liturgi dan dalam komentar-komentar patristik. Tidaklah hanya anafor besar ekaristis yang
menekankan semua aturan itu - menurut tradisi yang didasarkan pada Konsili di Hippo (tahun 393)
dan di Kartago (tahun 397) - atau doa-doa Missale yang diarahkan kepada Allah, yaitu Bapa. Tetapi
terutama ini adalah doa-doa Perjanjian Baru sendiri. Dalam hal ini doa Bapa kami bukanlah di luar
atau terkecuali dari doa-doa tersebut, dan ini dapat diterangkan dari kenyataan bahwa Mateus dan
Lukas bukan karena hanya kebetulan saja menyebut doa itu sebagai doa yang diucapkan dan
diajarkan oleh Yesus, dan dengan demikian doa itu ditempatkan pada tempat sentral dari semua
doa-doa lain, sebab kalau tidak demikian ini berarti bertentangan dengan aturan-aturan itu. Dapat
dilihat bahwa dalam berbagai situasi Yesus selalu ditempatkan pada pusat situasi itu (demikian
misalnya Mt 11,27; 25,31-46; Lk 12,8-12; Mk 14,58-63; dll). Kalau seluruh doa Perjanjian Baru
diarahkan kepada Bapa - baik permohonan maupun karya rahmat - itu adalah, sebagaimana sudah
disinggung di atas, karena doa sedemikian adalah gerakan Rivelasi Injil Allah sendiri dan gerakan
Keselamatan. Alasannya adalah dogmatik, bukan etis.
Tentang hal ini doa-doa dalam Kisah para Rasul - yang berasal dari suatu komunitas yang yakin
bahwa Yesus telah ditinggikan sebagai Tuhan (Kis 2,36; 3,16; 5,41) - merupakan kesaksian khusus.
Demikian doa sesudah pembebasan Petrus dan Yohanes (4,24-30), atau perjalanan doa dalam
Stefanus dari doa yang diarahkan kepada Tuhan Yesus kepada doa yang diarahkan kepada Allah.
Karyanya berada pada pusat rencana keselamatan illahi (Kis 5,8-14; 15,4; 1Tim 3,16); ini dirayakan
dengan merayakan Allah. Ini tidak dapat dipisahkan dari kemuliaan Allah. Wahyu telah melahirkan
iman. Tetapi walaupun demikian, gelar Tuhan punya tonalitas kultual. Tetapi ini jarang diterangkan
dengan doa permohonan. Kalimat Paulus (2Kor 12,8) sering dikutip sebagai dasar untuk peralihan
"dari doa yang diarahkan kepada Bapa kepada doa yang diarahkan kepada Kristus" dan juga sebagai
dasar untuk menyampaikan permohonan kepada Kristus dengan alasan khusus dalam arti sempit -
1Kor 1,2 dan 1Tes 3,12-13 bicara secara tak langsung (mengenai hal ini) - tetapi ini terlalu sempit
untuk dilihat sebagai kontradiksi dengan norma doa. Tetapi meskipun demikian, dalam konteks ini,
semua dapat melihat bahwa Paulus ingin terutama menggarisbawahi kesatuannya dengan situasi
Tuhan (bdk Mk 14,35-41).

b. DOA KRISTUS DAN DOA KRISTEN

Doa normal ialah doa yang diarahkan kepada Bapa, dan disebut doa normal terutama adalah karena
rahmat tertinggi ialah rahmat yang membuat orang-orang yang dibaptis menjadi putra-putra Allah.
Roh yang diberikan dalam baptisan (Kis 2,38) adalah Roh Kristus sendiri, yang membuat orang-
orang beriman menjadi saudara dan saudari Kristus, "anak-anak angkat" yang mampu berseru
kepada Allah dengan menyebut Dia "Bapa" sebagaimana Yesus sendiri memakai sebutan itu (Rom
8,14-17; Gal 44,6). Lagi, Roh itu pulalah yang menempatkan kata-kata dalam hati dan pada mulut
orang beriman yang cocok dengan kondisi mereka yang otentik dan yang tidak dapat mereka
temukan dari diri mereka sendiri (Rom 8,26-27). Oleh karena sudah menjadi anggota Kristus yang
hidup (Rom 12,4-6; 1Kor 10,17), dan bahkan telah dipersatukan secara ketat dengan Dia, maka
mereka dapat mengambil doa Kristus menjadi doa mereka, dan, Dia, mengambil doa mereka
menjadi doa-Nya (kepada Bapa). Oleh karena itu, setiap doa otentik menjadi seperti doa Kristus
dalam seluruh Tubuh-Nya atau dalam diri anggota-anggota-Nya.
Augustinus mengatakan: "Kristus berdoa dalam diri kita sebagai kepala kita ... Kita mengakui dalam
Dia suara kita dan suara-Nya dalam diri kita ... kita mengucapkan doa bersama dengan Dia dan Dia
mengucapkan doa mazmur dalam diri kita".

65
Kalau kita menyampaikan doa permohonan dengan mengatakan "aku berseru kepada-Mu (ya
Tuhan)", melalui Roh, ini berarti bahwa kita membiarkan suara seluruh Tubuh Kristus, Kepala dan
anggota-anggota-Nya, lewat dan bermohon dalam dan melalui diri kita.
Sesungguhnya, di antara para Bapa Gereja, Agustinus nampak sebagai yang paling mengangkat ke
permukaan konsekwensi rahmat baptisan, yang membuat orang beriman menjadi putra-putri
[Allah] dalam Putera. Sudah selama hidup-Nya di dunia, penderitaan Kristus adalah penderitaan
seluruh Tubuh-Nya, kesulitan dan keyakinan-Nya adalah kesulitan dan keyakinan para anggota-
Nya, dan bahkan seruan dan uangkapan-Nya "ingatlah" adalah seruan dan ungkapan seluruh Gereja-
Nya. Sejak Pentekosta, komunitas orang beriman ini tak pernah berhenti. Dalam diri orang kristen
yang menderita, berdoa, mengungkapkan kebutuhannya atau kesusahannya, ada Kristus yang terus
membawa dan menghidupi drama human dalam diri salah satu anggota-Nya. Ungkapan Yesus ini:
"Ketika Aku lapar ..., ketika Aku haus ..., ketika Aku seorang asing, ... ketika Aku telanjang, ...
ketika Aku sakit, ... ketika Aku di penjara, ..." (Mt 25,35-36.42-43) dapat dilihat sebagai ungkapan
dari "salah seorang yang dari saudara-Ku (Yesus) yang paling hina" mengatakan: "aku berseru
kepada-Mu, ya Bapa" (Mt 25,40.45).
Bahkan ungkapan "ingatlah" dalam permohonan kristen mempunyai tonalitas kristik. Ini adalah
essensial. Dengan mengatakan kepada Bapa "ingatlah aku", "ingatlah Gereja-Mu", "ingatlah seluruh
manusia yang tenggelam dalam kesusahan", ini adalah berbagai cara yang selalu berarti mengatakan
kepada-Nya (Bapa itu) "ingatlah Putera-Mu Yesus Kristus", "jangan berhenti melihat Putera-Mu
dalam diri kami", "dengarkanlah kami sebagaimana Engkau mendengarkan doa Putera-Mu". Dalam
memoria akan Perjanjian-Nya dengan kita karya Putera hadir dan hubungan khusus dengan-Nya
dalam kelembutan dan belaskasihan terjadi dalam Putera tersebut. Dalam seruan kita terdapat seruan
Putera yang telah menjadi manusia dan Ia (Bapa) "mengingat" kita dengan "mengingat" Putera-Nya.
Dalam kenyataan ini, Allah, yang kepada-Nya diarahkan doa permohonan kristen, menerima wajah
baru dalam Kristus. Allah kita adalah Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, dan kita berbicara kepada-
Nya (Bapa) dengan berkomunikasi dengan-Nya (Putera) sebagaimana Dia, yang kebangkitan-Nya
menunjukkan bahwa Dia adalah Putera, berbicara kepada-Nya.

c. DOA KEPADA BAPA

Paulus menulis bagaimana kita menyebut Allah, yaitu Abba (Rom 8,15; Gal 4,6); Mateus, dalam
doa Tuhan, memberi gelar yang kompleks: "Bapa kami, yang ada di surga" (Mt 6,9); kemudian
Lukas memberi gelar "Bapa" (Lk 11,2) sebagaimana Yesus menyebut demikian (10,21; 22,42;
23,34.46). Apa persisnya isi gelar Bapa ini? Cukup terkenal beberapa spesialist yang berpendapat
bahwa Abba (Mk 14,36) mungkin merupakan cara untuk mengarahkan diri kepada Allah, yang
diucapkan oleh Yesus karena kesadaran-Nya akan hubungan-Nya yang khusus dengan Bapa yang
mempersatukan diri-Nya dengan Bapa tersebut; dan sebutan ini tidak dikenal dalam agama
judaisme. Oleh karena itu, sangat mungkin bahwa sebutan Abba adalah "sebutan yang otentik dan
sangat personal yang berasal dari Yesus sendiri". Dan Bapa adalah terjemahan dari Abba. Kalau
pendapat ini benar, maka diintuisikan relief pada setiap doa kristen yang memohon kepada Allah
dengan menyebut dan memanggil Dia sebagai Abba: "Roh mengambil [sebutan Abba ini) dari hati
dan mulut Yesus dan menempatkannya dalam hati dan mulut orang lain [orang beriman]. Tetapi,
bagaimana pun itu, baik mengenai kaitan antara Abba dan Bapa maupun mengenai kesadaran akan
Yesus yang masuk dalam sphere illahi, satu hal adalah pasti. Gereja cepat mengerti bahwa Roh
memasukkan orang-orang kristen dalam hubungan Yesus Kristus dengan Dia yang disebut Bapa-
Nya. Walaupun sebutan Bapa dalam Perjanjian Baru tidak selalu mempunyai nada atau ton yang
menunjukkan intimitas sebagaimana ditunjukkan oleh sebutan Abba dalam bahasa Aram, namun
penyisipan atau pemakaian sebutan itu membentuk secara obyektif tanda fundamental akan rahmat.
Dan lagi, kalau benar (sebagaimana kita percayai) bahwa dalam doa mingguan sebutan Bapa adalah
juga pembawa tonalitas judaisme - dan ini kiranya jelas dalam Lukas - maka Pribadi yang kepada-
Nya Yesus condong ialah justru Dia yang kehadiran-Nya dan sokongan-Nya telah menopang hidup,
missi, nasib Yesus, hingga dalam doa di kebun zaitun dan dalam seruan-Nya di salib (Lk 22,42;
23,46). Dia itu adalah Bapa Yesus.
Tetapi di sini perlu jelas dan tepat. Di satu pihak, dalam Sinoptik tak pernah ditemukan satu kata
pun yang diattributkan kepada Yesus di mana ditegaskan tentang Allah bahwa Allah itu adalah Bapa

66
"kita" (bersama dengan Yesus), Bapa-Nya, Bapa kita (kita tanpa Yesus). Yang dibicarakan dan
diulas secara luas dalam Injil Yohanes ialah ungkapan Yesus ini: "Aku akan pergi kepada Bapa-Ku
dan Bapa-mu, kepada Allah-Ku dan Allah-mu" (Yoh 20,17). Beberapa membaca ungkapan ini dan
mengertinya sebagai menunjukkan kehendak Kristus untuk mengambil jarak dari para murid-Nya
sebelum menyentuh relasi (Nya) dengan Bapa yang sama dan satu-satunya. Dari pihak lain, jelas
bahwa ada intuisi terpadu Perjanjian Baru. Studi yang cermat dan teliti akan pandangan Paulus
menunjukkan bahwa kesadaran kristen terresapi akan kepastian bahwa Allah telah membuat Putra
menjadi saudara sejati orang beriman sejauh Dia adalah "Yang Sulung di antara para saudara" (Rom
8,29).
Kedua aspek ini tidaklah kontradiksi. Tetapi perlu mencatat dengan cermat bagaimana generasi
kristen pertama bersatu dengan pasti, dan mengenai mereka ini Paulus juga menjadi saksi dengan
kepastian yang lain. Bagi mereka, kondisi orang kristen, sehubungan dengan Bapa, berasal secara
radikal dari karya Kristus Yesus, dan tergantung dari pada-Nya. Inilah konsekwensi relasi-Nya yang
sekaligus “ekonomis” dan kekal / abadi dengan Bapa. Tetapi selain itu, dalam tulisan Yohanes,
hanya Dia-lah Putra, dan yang lain adalah “putra-putri Allah” (Yoh 1,12; 1Yoh 3,1-2.10; 5,2). Bagi
tradisi lain, dalam komunitas messianis - pemenuhan bangsa Putra - Yesus dibedakan dari yang lain,
juga dari lingkungan (para) 12 Murid, yang mewakili suku Israel. Jadi, ada sekaligus komunitas
yang mendalam dengan Kristus, komunitas keputraan / keanakan (filiasi) dan - dalam kesatuan ini -
ada status khusus Kristus Yesus. Dengan kata lain, dalam keputraan itu ada ordo atau tata.

d. DOA MELALUI KRISTUS DAN DALAM ROH KUDUS

Tempat unik Kristus ini dalam filiasi (keputraan) kristen penting untuk doa para terbaptis. Dari
sebab itu, maka doa mereka selalu diucapkan dalam kondisi ketergantungan, jadi dalam kondisi
kemiskinan, yang korrelatif dengan rahmat. Walaupun memiliki Roh, orang kristen tidak dapat
berdoa kalau tidak melalui Kristus. Ketika mereka memohon kepada Bapa “ingatlah (ya Tuhan)”,
ini dikatakan sejauh ditebus dan diangkat dalam salib dan dalam kemenangan Tuhan Yesus Kristus.
Tetapi, biarpun begitu, kalau dapat mengatakan “ingatlah (ya Tuhan)” kepada Allah yang disebut
Bapa, ini tidak dapat dikatakan kalau tidak mengembalikannya pada memoria akan Putra kekal.
Setiap doa kristen harus menjadi anamnese Putra, dalam Roh. Karena itu, doa itu adalah triniter,
yang masuk dalam gerakan abadi yang membawa Bapa kepada Putra dan sebaliknya, dalam Roh.
Melalui doa permohonan, memoria akan Putra sampai pada memoria akan Allah. Memoria akan
Putra terjadi dalam Allah.
Inilah dimensi kristologis - teosentris dan bukan kristosentris - yang menerangkan mengapa doa
kristen hendaknya selalu diresapi oleh kecemasan atau perhatian akan orang lain, akan seluruh
Gereja dan akan komunitas human.
Berdoa dalam Roh dan dalam rahmat-Nya berarti berdoa dalam Tubuh Kristus, yang meliputi
keperluan, instansi, penderitaan atau kegembiraan dan karya rahmat anggota lain dari Tubuh yang
sama. Dalam doa “ingatlah (ya Tuhan)”, yang disampaikan kepada Allah, terdapat gema hati orang
(anggota lain) dan gema hati komunitas gerejawi yang mengucapkan doa itu. Permohonan kristen
selalu mempunyai nada permohonan pertolongan, juga ketika doa itu merupakan teriakan orang
beriman yang tersobek hatinya.

e. DOA BAGI YANG LAIN

Kalau Perjanjian Baru dilihat akan nampak di mana-mana pentingnya doa bagi orang lain. Terutama
doa itu nampak sebagai tanda (manifestasi) utama koinonia gerejani dan sebagai salah satu bentuk
kasih. Contoh doa seperti ini berasal dari atas, dari Kristus sendiri, dari tradisi sinoptik dan dari
literatur Yohanes. Dalam hal ini sangat signifikan apa yang diungkapkan oleh Lukas, yaitu kata-kata
Yesus kepada Petrus: “Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur” (Lk 22,32),
dan di sini dapat dicatat bahwa melalui Petrus pandangan diarahkan kepada seluruh komunitas yang
akan “mengukuhkan saudara-saudara”. Hal yang sama dapat juga dilihat dalam Yohanes bab 17. Di
sini jelas nampak intensitas permohonan (17,9.20) yang sama luasnya dengan obyeknya: “Aku
berdoa untuk mereka”. Tetapi perlu terutama digarisbawahi bagaimana Yesus memohon sedemikian

67
bagi yang lain pada saat di mana Ia sekaligus berdoa untuk kemuliaan-Nya (17,1-2.5), dengan
membuat anamnese karya apostolis-Nya kepada Bapa (“Aku telah menyatakan nama-Mu” (17,6),
“Aku memelihara mereka dalam nama-Mu” (17,12), “Aku telah menjaga mereka” (17,26), “segala
Firman yang Engkau sampaikan kepada-Ku telah Kusampaikan kepada mereka” (17,8). Kalau
Yesus benar-benar memberi seluruh diri kepada Bapa dan sekaligus memberi seluruh diri bagi yang
lain, dan untuk itu Ia hidup bagi yang lain demi rencana keselamatan Bapa, ini terutama
diungkapkan dalam doa-doa-Nya. Dan Surat kepada Orang Ibrani tanpa ragu menyatakan bahwa,
dari pemuliaan-Nya di sisi kanan Bapa, Kristus tetap sebagai pemohon bagi umat-Nya (Ibr 7,25).
Dan ini merupakan bagian dari kondisi-Nya yang mulia.
Tekanan Perjanjian Baru pada kenangan akan yang lain (dalam mengingat yang lain) dalam doa
dikaitkan dengan alur permohonan Kristus. Kalau Paulus mengajak orang beriman untuk “berjuang”
(“bergumul”) bersama dengan dia dalam doa-doa yang diperuntukkan baginya, yang terarah kepada
Allah (Rom 15,30), tidaklah juga berhenti dari pihak dia (Paulus) untuk “mengingat” orang-orang
Romawi (Rom 1,9), orang-orang Tessalonika (1Tes 1,2), Filemon (1,4) dalam doa-doanya sendiri.
Surat kepada orang Filippi memuat ungkapan yang bagus ini: “Aku mengucap syukur kepada Allah-
ku setiap kali aku mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu
berdoa dengan sukacita” (Fil 1,3-4). Ini terdapat juga dalam Surat kepada orang Efesus (Ef 1,16).
Bahkan penulis Surat ke-II kepada Timotius menyatakan: “Aku mengucap syukur kepada Allah,
yang kulayani dengan hati nurani yang murni seperti yang dilakukan nenek moyangku. Dan selalu
aku mengingat engkau dalam permohonanku, baik siang maupun malam” (2Tim 1,3).

8. JANGKAUAN (KELUASAN) DOA

Mencari akar doa Yesus dalam tradisi Umat Perjanjian memberi peluang untuk memberi seluruh
keluasannya pada doa permohonan kristen. Doa “bagi orang lain” tidaklah hanya bagi mereka yang
didoakan, tetapi juga bagi mereka yang ikut berdoa bersama-sama pada saat itu. Ini dapat
dibenarkan dalam doa Bapa kami sendiri. Dalam doa Yesus sendiri, dan dalam doa yang diajarkan
kepada para murid-Nya seturut Mateus dan Lukas, Allah disebut Bapa. Nama illahi ini diwariskan
dari tradisi Judaisme. Gereja berdoa bersama dengan Israel.
Nyatanya Perjanjian Lama memberi nama “Bapa” kepada Allah. Ini diberi terutama untuk
mencirikan relasi kelembutan, belaskasihan dan relasi kesetiaan-Nya yang khusus dengan Umat /
Bangsa yang memanggil-Nya dalam iman sebagai “Bapa kami” (demikian Dt 32,6; Tb 13,4; Yer
3,4-5.19; 31,9; Yes 63,16; 64,7-8; Ml 2,10; Mzm 103,13) dan disebut juga “Umat / Bangsa”, “putra-
putri” (demikian Dt 14,1; Os 1,3). Tetapi ada juga nama yang mencerminkan qualitas relasi Allah
dengan Raja-Mesias (“Putra-Nya” seperti dalam 2Sam 7,14), yang pada saat itu menyebut Allah
sebagai “Bapa-ku” (Mzm 89,27). Nampaknya jelas dan pasti bahwa gelar Bapa belum dimunculkan
(belum dipakai) sebelum kekristenan dalam doa pribadi. Tapi nampak jelas -- sekalipun ada soal
khusus mengenai Abba -- bahwa Perjanjian Baru mengenakan kepada doa apa yang dikenakan pada
realitas umum akan iman Umat / Bangsa yang kudus. Perjanjian Baru menampung data-data dari
Perjanjian Lama dengan memasukkannya dalam dinamisme misteri Kristus Yesus. Dengan cara itu
Perjanjian Baru membawa Perjanjian Lama pada pemenuhannya. Melalui doa pribadi Yesus, di
mana iman mengakui, Putra messianis (Mt 16,16) yang dinyatakan dalam Kebangkitan sebagai
Putra unik dan abadi Allah (Rom 1,3-4; Ibr 1,2-3; Yoh 1,18), doa Israel mencapai kepenuhan dan
pemenuhan (yang menginspirasikan doa Yesus itu). Dan dalam Roh yang membuat mereka menjadi
putra-putri dalam Putra, doalah (melalui doa Tuhan Yesus) yang naik dari kedalaman sejarah Umat
/ Bangsa yang Kudus, yang membawanya pada bibir orang kristen ketika mereka berdoa, dalam
kesunyian atau secara komuniter. Inilah yang terus ada hingga sampai pada Marana-tha liturgi
ekaristis. Tambahan pula, seturut pandangan para spesialist, gelar Bapa kami seturut Mateus adalah
terjemahan Abinu (abunam) doa Judaisme.
Kalau Bapa, yang kepada-Nya dikatakan “ingatlah, ya Bapa”, adalah Allah Abraham, Isak dan
Yakub, yang telah menyingkapkan wajah-Nya sepenuhnya dalam Kristus Yesus, maka doa kristen
terbuka pada seluruh keluasan rencana keselamatan illahi. Dalam doa itu terdapat kecemasan Paulus
dalam Surat kepada orang di Roma (9,2-5; 10,1). Ketika Gereja meminta “Bapa, ingatlah”, dengan
suaranya, kata-katanya, tekanannya dan anamnesinya, ini dimengerti sebagai suara, perkataan,

68
tekanan dan anamnesi seluruh umat Allah. Panggilan dan nasib Israel terukir dalam jiwa Gereja.
Allah yang dipanggil oleh Gereja “Bapa kami” adalah juga Bapa yang sama, yang dipanggil oleh
orang Israel sejak fajar zaman. Ini adalah nama yang telah biasa diucapkan oleh Yesus, bersama
dengan seluruh orang beriman dari desa-Nya atau dari Yerusalem, setelah dipelajari-Nya dari tradisi
Umat / Bangsa-Nya, dan itulah yang disampaikanNya (diajarkanNya) kepada para murid-Nya
setelah diterima-Nya demikian (dari Bangsa-Nya). Inilah nama (Bapa) yang kepada-Nya orang
Israel (Yahudi) masih setia hingga hari ini dalam iman mereka, tetapi yang belum mengakui dalam
diri Yesus Mesias yang dinantikan, dan mereka mengucapkan nama itu dalam doa mereka. Dan
perasaan-perasaan yang mereka ungkapkan kemudian adalah sama dengan apa yang dibuat oleh
orang kristen menjadi obyek (alamat) permohonan-permohonan mereka.

9. TONALITAS KESATUAN DALAM DOA

Sebagaimana nampak, tekanan Tradisi kristen atas doa kepada Bapa penuh dengan implikasi. Doa
itu mempunyai tonalitas kesatuan yang biasanya tidak diarahkan kepada Kristus Yesus. Karena itu
doa yang diarahkan kepada Yesus tidak dapat menjadi norma doa kristen, karena dengan demikian
terjadi penciutan. Doa seperti itu diciutkan menjadi suatu permohonan yang tidak dikaitkan lagi
dengan horizon rencana keselamatan Allah yang begitu luas dan mulia. Dalam kedalamannya dan
dalam kebenarannya doa seperti itu tidak lagi menjangkau teriakan atau seruan “ingatlah, ya, Bapa”
yang dilontarkan oleh orang yang percaya kepada Bapa, yang mereka abdi, yang mereka
perhitungkan, dan mereka tidak lagi sampai kepada-Nya seandainya pun mereka tidak menerima
Yesus Kristus. Kalau doa seperti itu diucapkan berarti mengucapkan “skisma” antara Israel dengan
Gereja. Bagi orang kristen, berdoa kepada Bapa berarti -- dalam sikap pengampunan Yesus Kristus
yang meresap dalam hati mereka -- mengkomunikasikan permohonan Israel: “dimuliakan dan
dikuduskan Nama-Mu”; “Semoga Engkau meraja dalam kerajaan-Mu”.

a. KESATUAN ISRAEL DAN PAGAN (KAFIR)

Dalam Gereja doa kepada Bapa adalah “katolik” dalam arti terdalam kata itu, yaitu yang merangkul
seluruh kenyataan dalam rahmat yang pada suatu waktu dulu dinyatakan kepada Abraham, dan yang
kemudian, melalui Kristus Yesus, Putra Israel disebarkan / diperluas hingga mencapai seluruh
bangsa. Sesungguhnya Gereja merupakan kesatuan orang-orang pagan (kafir) dalam berkat dan
Perjanjian yang telah dibuat dengan “bapa orang beriman” (Gal 3,6-16.28-29; Rom 4,9-12.16-25).
Berdoa dalam Gereja berarti berdoa dalam umat Allah yang begitu besar, yang mempersatukan
orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir (Ef 2,11-12) dan rahmat-Nya telah disemaikan dalam
iman Abraham. Berdoa dengan doa Abraham “ingatlah kami ya Allah”. Maka dengan demikian
dapat lagi diperluas apa yang dikhotbahkan oleh Augustinus dalam referensi (yang berkaitan)
dengan orang-orang yang dirahmati sehingga dengan demikian merangkul juga orang Israel (yang
untuk Augustinus sendiri hanyalah orang kristen saja): “ingin atau tidak ingin, mereka adalah
saudara kita: mereka tidak lagi saudara kita kalau mereka tidak lagi mengatakan: ‘Bapa kami’”.
Bagi orang kristen, kesatuan dengan seluruh Umat Allah dalam doa penuh dengan implikasi.
Demikian juga dengan doa Mazmur. Mazmur adalah doa seluruh umat Allah. Doa ini sampai
kepada kita lewat olesan sejarah.
Ketika orang kristen meminta kepada Bapa, dalam Tubuh Kristus, “ingatlah umat-Mu ya Bapa”,
mereka sekaligus “mengingat” (menyadari) bahwa sejak fajar Perjanjian tak terhitung orang
beriman telah mengucapkan itu dan dengan demikian mereka diingat, dan sekarang doa itu
diucapkan dalam berbagai bahasa dan dalam segala situasi, dan ini pun akan diucapkan hingga Hari
Tuhan, Putera Manusia, dan kata-kata yang sama dari doa itu serta tekanan yang sama pula akan
diucapkan, agar Bapa melihat kebutuhan mereka, mendengar permohonan mereka, dan menjawab
kesusahan mereka.
Doa berasal dari pengalaman iman yang dimatangkan oleh komunitas orang beriman; dan dimensi-
dimensi doa ini meresap di bukit dan di lembah serta di sungai sejarah Allah dan sejarah umat-Nya.
Orang kristen tak pernah sendirian dalam berdoa. Solidaritas dalam doa “ingatlah, ya Tuhan”,

69
sebagai yang essensiil bagi doa, masuk dalam persekutuan atau ikatan kesatuan para kudus yang
mendalam. Suara dan seruan kita berasal dari kita sendiri dan dari yang lain secara tak terpisah.

b. KESATUAN SEMUA ORANG DAN KESATUAN MEREKA DENGAN ALLAH

Lebih dalam lagi ketika orang kristen berdoa, mereka masuk dalam dialog antara Allah dengan
umat-Nya; dialog ini adalah sumber hidup dan pengharapan Gereja Allah, mulai dari asal-usulnya
yang paling awal. Permohonan iman menyatakan rahmat yang diterima dari seruan yang didengar,
sebanding dengan silentium Allah. Kodrat sejati kesatuan semua orang (umat Allah) dan kesatuan
mereka dengan Allah, kalau tidak dirasakan -- dan mungkinkah ini di atas dunia ini? -- sekurang-
kurangnya terus “dihadirkan” (“dipanggil kembali”), dan dengan penghadiran itu, maka kesatuan itu
dikukuhkan. Elie Wiesel mengungkapkan: “Kalau tidak berdoa bukanlah dosa, tetapi tersiksa”,
karena “ganjaran doa tidak lain dari pada doa”. Tanpa doa ini, hati orang beriman akan kosong,
gelap, terisolir, atau bahkan hilang; dan keadaan ini terjadi karena rusaknya jaringan besar
solidaritas. Sekiranya pun seruan orang beriman itu tidak mendapat jawaban yang dinantikan, tapi
toh dirasa digenggam dalam rahmat, yiatu rahmat Perjanjian. Ia tidak lagi merasa sendirian. Bukan
lagi hanya dia yang menganggap bahwa mungkin seruannya tidak didengar, bukan lagi hanya dia
yang merasa harus menanggung itu.

c. DOA ADALAH TANDA KEKUKUHAN IMAN

Dalam kesatuan dengan seluruh Umat Allah, bertekun dalam doa menjadi tanda dan bekal --
Sacramentum -- ketekunan tegar iman. Dalam doa ratapan (keluh kesah) komunitasnya bisa juga
meluncur ratapan (keluh kesah) sendiri kepada Allah (seperti Ayub, dan bahkan juga seperti Yesus
di salib): “Engkau, ... membiarkan kami kena umpat” (Mzm 43,10), “Lesu aku karena berseru-seru,
kerongkonganku kering, mataku nyeri karena mengharapkan Allahku” (Mzm 69,4), “Mengapa
Engkau tidur, ya Tuhan? Bangunlah! ... Mengapa Engkau menyembunyikan wajah-Mu? (Mzm
43,24-25). Kalau dilihat dari instink, lebih baik meneriakkan kekecewaan, ratapan dan kepahitan
sendiri dari pada mendiamkannya. Tapi berapa orang beriman yang selalu dikabulkan? Atau, kapan
umat Allah berhenti berdoa? Ada hikmat / kebijaksanaan dalam perjuangan orang Yahudi yang
dianiaya: “Jangan terlalu yakin akan mukjizat-mukjizat, tapi daraslah mazmur”, terutama (mzm)
permohonan, yang memberi peluang pada iman untuk bertahan.

d. DOA DAN KEHADIRAN ORANG LAIN

Jelas juga bahwa doa adalah moment di mana setiap orang dalam iman sadar akan kehadiran interior
yang lain yang berbeda dari kehadiran orang itu. Hal ini penuh konsekwensi. Nyata bahwa setiap
orang yang mengungkapkan dirinya -- baik dalam buku harian maupun dalam autobiografi -- terjadi
hanya kalau didorong oleh si alamat / si penerima. Dan refleksi filosofis kontemporer
menggarisbawahi bahwa tidak banyak “yang lain yang perlu dicari”: “aku” dan “kau” terbuka pada
“kita”, yang menantikan “aku” menyingkapkan diri pada “kau”. Bukankah ini mungkin yang
diverifikasi dalam ucapan “ingatlah, ya Tuhan”, dalam doa? “Aku” berdoa di hadapan “Engkau”
yang adalah Bapa, yang atas cara demikian menyingkapkan kepadaku sendiri apa yang paling
mendalam di hatiku, hingga sampai pada apa yang tak terkatakan, dan pasti bahwa Dia itu adalah
Allah yang “menguji hati dan batin” (mzm 7,10; Yer 11,20). Dengan demikian, dalam kesadaranku,
naik “sphere” intim keberadaanku, atau sebaliknya bisa juga terkubur dengan menghalangiku
menyadari diri dalam kebenaranku. Bahkan dalam doa komuniter dan personal di hadapan Allah
sendiri tanpa kesukaran dapat mengungkapkan kegentaran kesusahan imanku: “Tuhan, Engkau
menyelidiki dan mengenal aku” (Mzm 139,1; Yer 12,3). Beberapa doa yang tulus ikhlas dapat
berakhir hanya dengan teriakan bapa seorang anak yang kerasukan: “Aku percaya. Tolonglah aku
yang tidak percaya ini!” (Mk 9,24).

10. DOA TUBUH

70
Tetapi, seperti sudah kita lihat, setiap orang kristen, yang dimasukkan dalam Tubuh Kristus, sadar
bahwa ia digabungkan pada (dalam) doa seluruh Tubuh itu. Ia tahu bahwa kebutuhannya /
keperluannya, kesusahannya dan kekecewaannya diterima dalam doa orang beriman lain. Ketika
mereka mengatakan kepada Bapa “ingatlah, ya Bapa”, atau kalau mereka mengambil nyanyian
kesusahan para pemazmur, itu bukanlah hanya untuk mereka sendiri. Permohonan seluruh anggota
Kristus, dan oleh karena itu doanya sendiri, masuk dalam permohonan mereka. Doa kristen adalah
selalu doa kepada Allah dari seluruh Tubuh Kristus, juga kalau dalam doa itu muncul sungut-sungut
karena keterasingan yang begitu jauh.
Berdoa (dalam arti khusus: memohon) jelas menuntut agar sadar akan kemiskinan sendiri dan
terutama agar siap mengungkapkannya. Jadi -- dan inilah poin yang sering diabaikan oleh traktat
“spiritualitas” -- ada situasi di mana dapat berdoa hanya dengan tubuh dalam peziarahan, dengan
perjalanan yang meletihkan di terik matahari atau pada cuaca dingin, dan doa tubuh ini
mengikutsertakan kodrat (Peguy). Ada saatnya di mana -- terdesak oleh problem, kecil hati karena
silentium Allah, takut / putus asa karena gagal akan proyek-proyek utama dan mulia -- rasio tidak
dapat lagi berbuat apa pun selain diam. Kalau demikian, maka harus berhenti berdoa? Kiranya ini
berarti melupakan bahwa kodrat human tidaklah hanya roh / spirit, tetapi juga tubuh / jasmani, dan
bahwa ini dapat juga, atas caranya sendiri, menjadi teriakan / jeritan yang disampaikan kepada
Allah: “Ingatlah, ya Tuhan”. Pada sore tertentu, doa dapat dilaksanakan / dimulai dengan berlutut
lama sambil silentium, dalam kehadiran dalam Gereja atau koor religius yang bernyanyi dan
bermohon kepada Allah. Tubuh berdoa. Siapa yang tidak mengalami ini? Sekolah-sekolah
“spiritualitas”, yang terlalu eksklusif memusatkan perhatian pada metode-metode meditasi dan doa,
telah terlalu melihat peranan tubuh itu hanya sebagai aspek pendukung bagi doa roh (roh yang
berdoa). Ini berarti melupakan bahwa tubuh itu, sebagai makhluk yang berbudi dan percaya
(beriman) merupakan tanda / isyarat permohonan, yang menarik dan melibatkan seluruh pribadi.
Bahkan nampaknya bahwa doa tubuh ini saja, tubuh yang tidak sanggup mengartikulasikan
permohonan, sudah termasuk pada pengalaman normal iman, dengannya dapat dirasakan dimensi
kemiskinan. Di sini pun sangat instruktif kesatuan antik dengan Israel.
Dalam perjalanan sejarahnya yang sulit, banyak saksi dan bukti bahwa orang beriman Israel masih
percaya kepada Allah (Yahweh) setelah tahun 70, tetapi mereka tidak mengakui Yesus Kristus.
Tetapi Allah tetap diam, dan silentium Allah ini menimbulkan ujian bagi iman mereka. Bukankah
demikian juga yang dialami oleh banyak orang kristen dalam iman mereka terhadap Yahweh yang
sama, Allah dan Bapa Yesus? Pasti. Bagi mereka pun dapat dikatakan bahwa silentium Allah itu
berat.
Jadi, silentium Allah dijawab oleh silentium hati dan roh. Ini tidak berarti absensi iman. Atau lebih
baik dikatakan, ini adalah justru tanda kemiskinan dan kecemasan iman itu, yang melekatkan tanpa
mengerti. Iman itu akan tetap sekalipun gelap atau bahkan berskandal. Iman itu bertahan terus dan
berlabuh pada memoria, tetapi secara intrinsik miskin. “Ketidakjelasan-nya” tidaklah hanya sebagai
spekulatif; iman itu menunjukkan kesehari-harian existensi. Seruan / jeritan orang Israel yang
dianiaya analog dengan seruan / jeritan orang-orang kristen yang martir. Kesulitan yang diturunkan
kepada mereka dari ketidakcocokan antara pengakuan kesetiaan mereka yang penuh cinta akan
Allah dan lamanya kebangkitan mereka atau, parallel dengan ungkapan “aku tidak mengerti”
khalayak ramai orang kristen yang berkeping-keping karena kepedihan.
Dalam doa, intelligensi bisa menjadi lemah dan lumpuh. Kalaupun terus percaya, itu adalah berkat
“gerakan animo yang mendalam dan tak ter-rem” (Bernanos) yang menghimpun intelligensi atau
rasio dan melibatkan intimitas pribadi. Iman mengatasi rasio. Ini pasti karena iman berasal dari Roh
Allah. Maka apa yang telah kita lukiskan sebagai permohonan atau adorasi tubuh menjadi ungkapan
-- realistik dan benar -- “ya” dari pribadi pada realitas yang mengatasi pemahaman / akal budi. Roh
Kudus, yang menyatakan dan menerangkan ke-takterungkapan iman kepada roh human (Rom
8,16.26-27; Gal 4,6) dan memberi kepastian kepadanya bahwa “semua berlomba / terarah kepada
kebaikan / kesejahteraan orang-orang yang mencintai Allah, yang dipanggil seturut rencana-Nya”
(Rom 8,28), menginspirasikan (kemudian) isyarat tubuh (yang tanpa kata-kata), kehadiran fisik
yang sederhana, kadang-kadang air mata atau sikap bersembah sujud di hadapan Allah. Untuk
menghadapi kaum intelektualisme yang terlalu Cartesian (penganut sistem filsafat Cartesian), yang
berdalih bahwa sikap-sikap corporal ini “yang kosong akan minat spiritual” adalah “formalistis dan
hanya mau bereaksi terhadap effek kebiasaan”, harus dikatakan bahwa sikap-sikap korporal itu

71
sering menunjukkan kondisi otentik orang beriman. Bahkan perlu lagi ditambahkan bahwa sikap-
sikap korporal itu adalah Sacramentum transendensi iman atas logika rasio. Untuk ini sikap-sikap
korporal tersebut bisa muncul untuk membentuk poin terakhir dari dermaga iman tersebut,
pelekatan terakhir isinya yang mencemaskan dan menantang, tapi walaupun demikian tidak mau
meninggalkannya karena membuat melekat pada semua yang ada. Ini dapat diverifikasi mulai dari
isyarat Abraham yang tanpa kata, yang mengenakan pelana pada keledainya, membelah kayu api
(untuk membakar kurban), meletakkan kayu api itu di pundak putranya Isak, mempersiapkan api
dan pisau dan meneruskannya (Kej 22,3-10).
Mungkin doa kemiskinan ini -- yakni doa manusia / tubuh dan bukan doa malaikat -- dalam
kenyataannya adalah yang paling efficax. Polyeucte Corneille mengatakan bahwa “Allah
menyentuh hati ketika kita kurang berpikir tentang Dia”. Dengan mengomentari ini, Charles Peguy
berbicara mengenai “kronik rahmat”, yaitu literatur spiritual. Doa yang kurang miskin, akan kurang
berahmat.
Dalam doa yang menciut pada kehadiran “Saudara keledai” yang membandel, ungkapan “ingatlah,
ya Tuhan” mempunyai realisme yang jarang dicapai dengan madah dan nyanyian-nyanyian.
Keringat dan darah Getsemane jatuh dalam keindahan (estetika) kata-kata.

11. DOA EKARISTI

Sebagaimana Sabda dalam Ekaristi mempunyai peristiwa prinsipalnya dalam kekinian Gereja
(dalam Gereja kini), demikian pun doa mencapai puncaknya dalam Ekaristi. Dan ini tidak hanya
berasal dari kodrat Memorial (Peringatan) yang tidak dihadirkan sebelumnya, juga tidak hanya dari
penyisipan doa Bapa kami dalam salah satu moment kunci dari perayaan. Ekaristi yang dilihat dari
pihak Gereja yang merayakannya, dan bukan dari pihak Allah yang memberikan roti hidup dan
piala Perjanjian dalam Putra-Nya, adalah seluruhnya aksi rahmat dan permohonan (implorasi).
Kalau hanya implorasi saja merupakan oratio dalam arti sempit, maka karya rahmat termasuk pada
apa yang disebut oleh Tradisi, dalam arti luas: “doa Gereja”.
1) Bahwa Ekaristi merupakan implorasi, maka untuk meyakinkan ini cukup membaca anaphor besar
oriental, Canon Romawi tradisional, anaphor baru Missale Katolik Barat, Prayer Book Anglikan,
Perjamuan Kudus Protestan. Pemberian Tubuh dan Darah Tuhan, bagi Liturgi yang paling antik,
adalah ke mana disambungkan lagi (dikancingkan lagi) pembaharuan (reformasi) Konsili Vatikan II,
pengabulan permohonan besar yang dibentuk oleh epiklesi. Sudah ditegaskan bahwa ini, dalam
bentuknya yang biasa, bukanlah doa kepada Roh, tetapi suatu doa kepada Bapa melalui anugerah
Roh. Dan permohonan itu sendiri melalui Roh terbuka pada permohonan lain: diminta semoga
(agar) Roh “membaharui”. Dan pembaharuan ini adalah ganda. Ini berkenaan dengan roti dan
anggur. Tetapi perubahan ini ada agar, berkat Tubuh dan Darah sakramental Tuhan, hidup orang
yang hendak menerima komuni dan qualitas komunitas ekklesial berbuah. Ungkapan “ingatlah”
yang dibentuk dari Memorial (Peringatan) mengingatkan kepada Bapa hasil akhir karya Yesus:
“jangan lupa mengutus Roh karena hanya Dialah yang mengkomunikasikan harta keselamatan”.
Dengan cara itu seluruh perayaan “terkurung” dalam doa untuk keselamatan.
Doa inilah yang dieksplisitkan, seturut tradisi liturgis, baik dalam “memoria” (atau moment)
(kenangan) akan orang hidup dan mati, dalam memohon keperluan Gereja dan komunitas, dalam
litani permohonan, maupun dalam daftar kebutuhan kota-kota dan dunia, yang disisipkan di antara
anaphor atau kanon. Perlu diperhatikan bahwa prosfektif ini cepat menyatu dengan rencana Allah.
Dari sini berasal kekaguman doa-doa ini, khususnya dalam Liturgi oriental tertentu, walau agak
panjang lebar.
2) Inspirasi besar ini, yang berpancar di sekitar epiklesi, bersimbiose dengan karya rahmat dengan
mana selalu terbuka anaphora -- dalam apa yang disebut oleh Gereja Timur: Prefasi -- dan atas mana
ditutup dengan doxologi. Pada kenyataannya, dalam Memorial, karya rahmat mengatasi
permohonan, tetapi tanpa merelativirnya. Keduanya adalah essensial bagi “doa ekaristi”.

Di sini pun istilah-istilah biblis (Hibrani dan Yunani) punya perbedaan-perbedaan kecil yang kurang
diperhatikan dengan baik oleh bahasa modern kita. Tapi biarpun begitu diungkapkan juga aspek-
aspek yang berbeda dari doa doxologis. Berkat (berkah) atau puji-pujian, sejauh nampak,

72
menterjemahkan terutama kekaguman gratis komunitas orang beriman di hadapan mirabilia Dei
(kekaguman akan Allah), di hadapan kekaguman Ciptaan dan Keselamatan. Karya rahmat
nampaknya lebih mengimplikasikan proklamasi pujian akan kekaguman-kekaguman itu dan dengan
itu (diimplikasikan juga) pengakuan akan belaskasihan dan kesetiaan illahi, dengan konotasi
sakrifikal. Untuk Sinaxis Memorial (Peringatan), sementara anugerah tertinggi Agape Allah
dihadirkan dan ditawarkan padanya, komunitas kristen “mengingat” (akan) apa yang telah
dilaksanakan oleh Allah mereka. Karena itu Ia dipuji, disyukuri dan dimuliakan.
3) Implorasi (permohonan), doa syafaat, karya rahmat, pujian, semua bentuk doa kristen ini (dalam
arti luas) berpusat pada perayaan Memorial ekaristis, dan Memorial ini ditenun [dari doa-doa
tersebut] dengan membentuk forma ritualnya (kata-kata anaphor sendiri), dan doa-doa itu berasal
pula daripadanya. Ketermasukan pada ethos ekaristik inilah yang memberi kepada doa tempatnya
yang essensial dalam hidup kristen. Dengan hal ini maka doa itu masuk dalam dinamisme ekklesial
Paskah Kristus. Tidak ada hidup kristen tanpa doa, karena tidak ada hidup kristen tanpa referensi
(rujukan) pada Kematian dan Kebangkitan Tuhan.
4) Hubungan doa-doa ini dengan Ekaristi memberi pula peluang untuk mengerti mengapa dan
bagaimana dalam Tradisi besar ekklesial forma doa yang paling penuh (adalah) hendaknya doa
liturgis. Yang dimaksud dalam arti luas di sini ialah kata-kata yang ditujukan kepada Allah yang
meliputi perayaan setiap sakramen dan terutama yang dimaksud ialah apa yang disebut “Offisi
illahi” atau “Ibadat Harian”, di mana ditemukan semua elemen seperti sudah di sebut di atas.

Sehubungan dengan itu, dalam kebulatan sikap dan pemahaman, yang ditunjukkan (diperlihatkan)
oleh rangkuman Kisah Para Rasul sebagai karakteristik prinsipal sikap liturgis komunitas kristen
pertama (Kis 2,46-47), orang beriman menempatkan diri di hadapan Allah sebagai Tubuh Kristus.
Kadang-kadang dengan berkomunikasi secara timbal balik motif-motif pujian atau sengsara mereka,
dengan selalu mengangkat dalam doa yang bulat dan satu-satunya syukur dan kebutuhan semua,
juga dengan membuka diri pada rahmat dan pada permohonan bersama komunitas kristen yang
tersebar di dunia serta orang-orang yang sudah dibaptis, dan akhirnya dengan
mengkomunikasikannya pada kondisi seluruh kemanusiaan, dalam doa-doa liturgis orang-orang
yang ikut ambil bagian berbicara hanya dalam bentuk plural. Mereka mengatakan “kami” dan tak
pernah “aku”. Ini mereka tempatkan dalam saat-saat doa permohonan. Dan kata-kata yang mereka
ambil dan mereka ucapkan dengan mulut mereka -- dalam mazmur-mazmur dan dalam nyanyian
yang diinspirasikan -- adalah kata-kata yang sampai kepada mereka dari yang sangat jauh dari
sejarah Israel dan dari zaman apostolis. Dan juga kata-kata itu berada dalam keadaan kesatuan
dengan seluruh Gereja Allah, yaitu yang dimulai dengan anamnese umat Allah (jam ab Abel justo).

12. DOA LITURGIS

Lagi, doa liturgis -- dalam seluruh tradisi -- bersandar pada perkembangan lambat laun masa
liturgis, yang melaluinya ditunjukkan pada iman Gereja berbagai fase hidup Yesus dan karya-Nya,
tanpa dilepaskan dari pendasarannya dalam pengharapan dan pengalaman Israel. Atas cara demikian
memoria akan mirabilia Dei dan ungkapan “ingatlah” yang diarahkan kepada Bapa dapat
menemukan seluruh keluasan dan dimensinya yang benar. Qualitas ini adalah yang benar dan nyata
yang selalu dikandung oleh Offisi Illahi sebagai pusatnya dalam sinaxis ekaristis yang dipersiapkan,
digubah dan diperpanjangnya. Atas cara demikian doa (Offisi) itu diintegrasikan dengan doa Tubuh
ekklesial (dalam seluruh katolisitas ras, kutlur, situasi, tempat, zaman dan persekutuannya)
permohonan Kepala itu sendiri, yaitu permohonan Tuhan Yesus, tentangnya dalam Surat kepada
orang Ibrani tertulis bahwa Ia adalah Imam (satu-satunya) “sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi
Pengantara mereka” (umat-Nya) (Ibr 7,25), yang masuk ke dalam bait kudus Allah “untuk
menghadap hadirat Allah (Nya) guna kepentingan kita” (Ibr 9,24). Tak satu doa individual pun, dan
juga tak satu doa yang paling khusuk (membara) pun secara mistik, dapat mempunyai intensitas
ekklesial sebagaimana dimiliki oleh Offisi liturgis yang paling kecil yang dirayakan, mungkin
dalam kemiskinan maksimal, “dalam kesatuan dengan seluruh Umat Allah”.

73
13. DOA DAN SABDA (DOA TIDAK TERPISAH DARI SABDA)

Dalam prospektif ini jelas bahwa doa, yang secara tak terpisahkan dari Sabda yang bergema dalam
Gereja dan dalam diri setiap orang beriman, membentuk tenunan (persekutuan) yang atasnya
ditenun seluruh serat-serat lain pengalaman kristen. Para teolog yang berbicara mengenai hidup-
dalam-roh tidak menggarisbawahi secukupnya bagaimana seharusnya Sabda Allah dan doa, dalam
areal Keselamatan, merupakan kedua anugerah fundamental Roh (Ruah, pneuma).
Dengan perantaraan iman segala sesuatu tergantung dari Roh, dan “dalam Roh” segala sesuatu
terlaksana. Gereja kemudian mengatakan bahwa dia memaklumkan dan mempersiapkan kedatangan
Mesias memberikan daging kepada-Nya dalam rahim Maria, Dia turun atas-Nya dalam
pembaptisan-Nya (di sungai Yordan), “mempersenjatai-Nya dalam pelayanan-Nya (Lk 4,1-14),
memuliakan-Nya. Tetapi, hingga pada sengsara, hidup Yesus, yang begitu dipegang dalam Roh,
diikhtisarkan demikian: Ia berbicara (yaitu berkhotbah dan berbuat) dan berdoa kepada Bapa,
“dalam kuasa Roh” (Lk 4,14; 10,21). Maka Sabda Allah dan doa Umat adalah kedua jalan prinsipal
Roh untuk membimbing orang Israel hingga pada pemahkotaan messianis Yesus. Karena itu
aktivitas Yesus dimasukkan dalam “ekonomi” ini, yang membawa Dia sendiri kepada misteri
paskal-Nya. Dan sejak hari Pentekosta, yang digerakkan dan didorong oleh kebangkitan, ekonomi
yang sama itulah, dengan Sabda dan doa, yang membawa orang-orang kristen pada Paskah Tuhan,
yang secara misteri hadir (oleh Roh) dalam Memorial ekaristik. Paskah tidak dapat dimengerti kalau
sebelumnya tidak dicari dan dipetik kodrat Sabda dan doa, Jalan-jalan Roh.

III. PASKAH
Pada saat di mana Umat Israel / Ibrani, dalam doa yang hangat membara dan dalam pewartaan
Sabda, merayakan Memorial (zikkaron) Paskah Keluaran -- peristiwa yang karena Tradisinya
membentuk peristiwa pendiri Sejarah -- Yesus menjadi martir di Kota Suci. Tiga hari kemudian
komunitas kecil para murid-Nya memaklumkan bahwa Allah -- Allah Abaraham, Isak dan Jakob,
Allah para Bapa bangsa -- telah “meninggikan-Nya, dengan membangkitkan-Nya dari antara orang
mati. Segera sesudah itu dinyatakan bahwa ditemukan dalam Peristiwa itu kepastian bahwa Yesus
adalah Kristus, Mesias dan Tuhan, yang diberitakan oleh Sabda dan yang doa-Nya “mengingatkan
kepada Allah” akan janji-Nya (bdk Mzm 2;45; 72; 110,1-17; 132,10-18; 2Sam 7,12-16; Mika 4,14;
Ez 34,23; Ag 2,23). Di sana, melalui perjanjian itu, terjadi dan terbentuklah Umat Allah, dan itulah
juga masa depannya.

1. SAKSI DAN KERYGMA PENTEKOSTA

Tentang keyakinan ini semua kesaksian (saksi-saksi) dan kerygma-lah yang, dalam Kisah para
Rasul, menggubah dan meng-orkestra-kan theophany besar Pentekosta, dengan mengembangkan
artinya. ... Kerygma hari Pentekosta mengatakan:
“Hai orang-orang Israel, dengarlah perkataan ini: Yang aku maksudkan, ialah Yesus dari Nazaret,
seorang yang ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan
mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-
tengah kamu, seperti yang kamu tahu. Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-
Nya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka. Tetapi Allah
membangkitkan Dia dengan melepaskan Dia dari sengsara maut, karena tidak mungkin Ia tetap
berada dalam kuasa maut itu. Sebab Daud berkata tentang Dia: Aku senantiasa memandang kepada
Tuhan, karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah. Sebab itu hatiku bersukacita dan
jiwaku bersorak-sorak, bahkan tubuhku akan diam dengan tenteram, sebab Engkau tidak
menyerahkan aku kepada dunia orang mati, dan tidak membiarkan Orang KudusMu melihat
kebinasaan. Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; Engkau akan melimpahi aku
dengan sukacita di hadapanMu. Saudara-saudara, aku boleh berkata-kata dengan terus terang
kepadamu tentang Daud, bapa bangsa kita. Ia telah mati dan dikubur, dan kuburannya masih ada
pada kita sampai hari ini. Tetapi ia adalah seorang nabi dan ia tahu, bahwa Allah telah berjanji
kepadanya dengan mengangkat sumpah, bahwa Ia akan mendudukkan seorang dari keturunan Daud

74
sendiri di atas takhtanya. Karena itu ia telah melihat ke depan dan telah berbicara tentang
kebangkitan Mesias, ketika ia mengatakan, bahwa Dia tidak ditinggalkan di dalam dunia orang mati,
dan bahwa dagingNya tidak mengalami kebinasaan. Yesus inilah yang dibangkitkan Allah, dan
tentang hal itu kami semua adalah saksi. Dan sesudah Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah dan
menerima Roh Kudus yang dijanjikan itu, maka dicurahkannya apa yang kamu lihat dan dengar di
sini. Sebab bukan Daud yang naik ke sorga, malahan Daud sendiri berkata: Tuhan telah berfirman
kepada Tuanku: Duduklah di sebelah kananKu, sampai Kubuat musuh-musuhMu menjadi tumpuan
kakiMu. Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang
kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus” (Kis 2,22-36).

Yang lebih jelas lagi ialah khotbah Petrus di serambi Kenisah:


“Allah Abraham, Ishak dan Yakub, Allah nenek moyang kita telah memuliakan HambaNya, yaitu
Yesus yang kamu serahkan dan tolak di depan Pilatus, walaupun Pilatus berpendapat, bahwa Ia
harus dilepaskan. Tetapi kamu telah menolak Yang Kudus dan Benar, serta menghendaki seorang
pembunuh sebagai hadiahmu. Demikianlah Ia, Pemimpin kepada hidup, telah kamu bunuh, tetapi
Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati; dan tentang hal ini kami adalah saksi. Dan
karena kepercayaan dalam Nama Yesus, maka Nama itu telah menguatkan orang yang kamu lihat
dan kamu kenal ini; dan kepercayaan itu telah memberi kesembuhan kepada orang ini di depan
kamu semua. Hai saudara-saudara, aku tahu bahwa kamu telah berbuat demikian karena
ketidaktahuan, sama seperti semua pemimpin kamu. Tetapi dengan jalan demikian Allah telah
menggenapi apa yang telah difirmankanNya dahulu dengan perantaraan nabi-nabiNya, yaitu bahwa
Mesias yang diutusNya harus menderita. Karena itu sadarlah dan bertobatlah, supaya dosamu
dihapuskan, agar Tuhan mendatangkan waktu kelegaan, dan mengutus Yesus, yang dari semula
diuntukkan bagimu sebagai Kristus. Kristus itu harus tinggal di sorga sampai waktu pemulihan
segala sesuatu, seperti yang difirmankan Allah dengan perantaraan nabi-nabiNya yang kudus di
zaman dahulu. Bukankah telah dikatakan Musa: Tuhan Allah akan membangkitkan bagimu seorang
nabi dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku: Dengarkanlah dia dalam segala sesuatu yang
akan dikatakannya kepadamu. Dan akan terjadi, bahwa semua orang yang tidak mendengarkan nabi
itu, akan dibasmi dari umat kita. Dan semua nabi yang pernah berbicara, mulai dari Samuel, dan
sesudah dia, telah bernubuat tentang zaman ini. Kamulah yang mewarisi nubuat-nubuat itu dan
mendapat bagian dalam perjanjian yang telah diadakan Allah dengan nenek moyang kita, ketika Ia
berfirman kepada Abraham: Oleh keturunanmu semua bangsa di muka bumi akan diberkati. Dan
bagi kamulah pertama-tama Allah membangkitkan HambaNya dan mengutusNya kepada kamu,
supaya Ia memberkati kamu dengan memimpin kamu masing-masing kembali dari segala
kejahatanmu” (Kis 3,13-26).

Dia hadapan Sanhedrin Petrus menyatakan secara baru:


“Allah nenek moyang kita telah membangkitkan Yesus, yang kamu gantungkan pada kayu salib dan
kamu bunuh. Dialah yang telah ditinggikan oleh Allah sendiri dengan tangan kananNya menjadi
Pemimpin dan Juruselamat, supaya Israel dapat bertobat dan menerima pengampunan dosa. Dan
kami adalah saksi dari segala sesuatu itu, kami dan Roh Kudus, yang dikaruniakan Allah kepada
semua orang yang mentaati Dia” (Kis 5,30-32).

2. PASKAH YAHUDI DAN PASKAH KRISTEN

Bagi komunitas apostolis Pentekosta, Salib dan Kebangkitan, sebagai karya Allah, berasal dari
dinamisme pengharapan messianis sendiri. Oleh karena itu muatannya yang otentik tidak akan dapat
dimengerti dan dipahami tanpa referensi pada Abraham, Ishak dan Yakub, tanpa kenangan
(memoria) akan Perjanjian dengan Umat / Bangsa yang kudus, dan juga (untuk sebagian besar)
tanpa pendasaran geografis pada Yerusalem, Kota Suci. Di sini terutama diverifikasi hubungan yang
tak terpisahkan antara Israel dengan Gereja.
Tak pernah diketahui apakah perjamuan malam terakhir Yesus merupakan atau kurang merupakan
perjamuan paskal tahun itu, yang diadakan-Nya dengan para murid-Nya. Barangkali secara pribadi
bisa kita cenderung menganggap bahwa perjamuan terakhir Yesus ini bukanlah perjamuan paskal.
Tetapi ini tidak terlalu penting. Bahkan sebaliknya, kalau terlalu menekankan pertanyaan ini, bisa
sampai pada resiko tidak mengerti salah satu dari dimensi essensial Paska Yesus dan dimensi
Ekaristi yang dikaitkan dengannya.

75
Kenyataannya, yang paling diperhitungkan dalam keseluruhan tradisi apostolis ialah dimasukkannya
kematian Yesus dalam konteks liturgis Paska, dan keserentakannya dengan puncak pesta. Di sini,
untuk mengetahui kepastian kronologisnya, pastilah teologi Yohanes yang paling tepat.
Nampaknya, dari semua tradisi injili, teologi Yohanes inilah yang paling baik mengungkapkan arti
mendalam dan implikasi Paska historis Kristus Yesus. Dan sekaligus di dalamnyalah, dalam Sabda
dan dalam doa syukur agung paskal di Yerusalem, Umat Perjanjian berseru dengan semangat
membara kepada Allahnya -- Allah Abraham, Ishak dan Yakub -- dengan seruan-seruan ini:
“ingatlah, ya Tuhan!”; “terbitkanlah Hari Mesias!”; “ingatlah akan Mesias!”; “Allah, kabulkanlah
doa Israel”; “singkapkanlah zaman messianik”; “Berilah rahmat yang , sejak awal zaman, atas dasar
Sabda dan perjanjian yang dibawanya, yang telah dimohon dalam kenangan akan Paska Keluaran
(Zikkaron)”. Nyatanya liturgi paskal dikhususkan dari liturgi-liturgi lain untuk permohonan yang
lebih menyala akan Mesias. Pemenuhan Sabda dan pengabulan doa inilah yang dinyatakan oleh
teofani Pentekosta di Yerusalem sendiri (Kis 2,5.14.16-21).
Jadi Paska kristen -- seturut tradisi antik, yang masih hidup pada masa Thomas Aquinas, yang
melihat dalam Perjanjian Lama kelahiran sakramentalisme sendiri -- adalah res tantum (yakni efek)
dari sakramen besar seluruh iman dan pengharapan Yahudiah yang adalah terutama Paska Yahudi.
Paskah kristen itu tidak muncul dari ketiadaan. Paska kristen itu bukanlah suatu permulaan. Serupa
dengan seluruh Perjanjian Baru yang dimeteraikannya, paska kristen itu adalah suatu
“permohonan”, suatu teleiosis. Dalam paska kristen ini, Sabda dan doa Perjanjian Lama
menghasilkan buah. Atas cara itu maka menjadi jelas tuntutan semua tradisi injili atas keserentakan
“providensial” (keserentakan yang telah “ditakdirkan” oleh Tuhan) yang dilihat antara Penderitaan
Yesus dan “pesta” (demikian Mt 26,1.5.17-19; 27,15.62; Mk 14,1-2.12-16; Lk 22,1.7-13.15-16;
Yoh 11,55-57; 12,1.12.20; 13,1; 18,28.39; 19,14.31.42). “Pesta” ini adalah Paska, secara istimewa
pesta iman dan pengharapan Umat Allah. Lagi pula, ucapan kenabian (ramalan) yang dikatakan oleh
Kaiafas, Imam Agung, menurut Injil Yohanes, untuk mendekatkan diri pada Paska, setelah tanda
Lazarus (Yoh 11,50), mengangkat kemudian seluruh artinya:
“Hal itu dikatakannya bukan dari dirinya sendiri, tetapi sebagai Imam Besar pada tahun itu ia
bernubuat, bahwa Yesus akan mati untuk bangsa itu, dan bukan untuk bangsa itu saja, tetapi juga
untuk mengumpulkan dan mempersatukan anak-anak Allah yang tercerai-berai” (Yoh 11,51-52).

Kenabian (ramalan) Kayafas adalah kenabian (ramalan) terakhir Perjanjian Lama. Dan penulis Injil
melanjutkan: “Mulai dari hari itu mereka sepakat untuk membunuh Dia” (Yoh 11,53).
Jadi bukanlah kebetulan bahwa sangat sering komunitas apostolis, untuk memasuki arti Peristiwa
Kematian-Kebangkitan Tuhan Yesus menggunakan tidak hanya teologi messianis, tetapi juga
seluruh vocabolari dan Simbolisme Liturgi besar paskal yang diresapinya. Semuanya ini
menghantar untuk melihat bahwa interpretasi messianis Nyanyian Hamba Yahweh di mana
ditemukan gambaran Anak Domba (Yes 53,6-8) -- dan yang menunjukkan suatu lapisan arkais
(kuno) kristologi -- dan simbolisme tradisional Anak Domba paskal (Kel 12,1-4) sudah melebur di
sini, dalam prospektif yang ditentukan oleh keserentakan (koinsidensi) itu, yang bukan kebetulan
bagi mata iman, antara Paska Yahudi dan “apa yang terjadi di Yerusalem pada hari itu” (Lk 24,18).
Tonalitas paskal secara formal dari “kurban” (sacrificium) messianis Tuhan Yesus nyata dengan
pasti dalam bagian-bagian liturgis formal Apokaliptis (Why 5,6.8.12-13; 6,1.16; 7,9-10.14.17; 8,1;
14,1.4.10; 15,3; 19,7-9; 21,9.22-23.27; 22,1.3): Anak Domba yang disembelih itu, yang sekarang
berdiri tegak (Why 5,6.12) ada (ditemukan) di pusat Yerusalem messianis (Why 21,1-22,5) dan di
pusat seluruhnya apa yang dirayakan di sana. Tetapi meskipun demikian gambaran Keluaran dan
Paska muncul secara konstan (Why 5,10 kembali kepada Kel 19,6; Why 7,2-4 mengenakan Kel
12,7-14; malapetaka dalam Why 8,6-13 atau dalam Why 16,1-9 menghadirkan malapetaka di Mesir
dalam Kel 7,4-11,10; lautan kristal dan nyanyian Musa dalam Why 15,1-4 membuat allusi pada Kel
15,1-20; dst). Dimensi paskal ini diterima pula oleh tradisi Yohanes, mungkin sudah dalam
penuturan tentang baptisan (Yoh 1,29), tapi yang pasti ialah dalam interpretasi akan tulang (Yesus)
yang tak jadi dipatahkan dalam penyaliban (Yesus) (Yoh 19,31-37 yang mengingat kembali Kel
12,46). Karena terresapi akan kenangan liturgis, surat Petrus yang pertama mengenal tema Kristus -
Anak Domba (1Ptr 1,18-20). Ungkapan “yang tak bercacat dan tak bernoda” (1Ptr 1,19) dengan
mana ditentukan qualitas Anak Domba itu, yakni dengan darahnya yang berharga, direferensikan
pada Anak Domba paskal “yang tak bernoda” (Kel 12,5) atau juga pada kepolosan (innosensi) Anak
Domba, yaitu Hamba (Yahweh) (Yes 53,9) dalam garis kristologis arkais doa-doa dari Kisah Para

76
Rasul (Kis 3,13.26; 4,27.30; bdk 8,32-33)? Kemungkinan besar, seperti seringkali terjadi dalam
liturgi, kedua tema itu di sini dirangkaikan.
Berbicara mengenai peristiwa Kematian-Kebangkitan dengan menyebutnya “Paska Kristus” dan
mewartakan bersama Paulus “Kristus, Paska kita, telah dikurbankan” (1Kor 5,7) -- dalam konteks
yang berreferensi secara explisit pada ritus pesta paskal Yahudi (1Kor 5,6-8) -- berarti mengakui di
dalamnya dimensi-dimensi yang selaras dengan seluruh karya Allah. Dan ini secara khusus berarti
menempatkannya dalam “sphere” Liturgi Sakramental Umat Allah yang Kudus di mana mereka
menghidupi iman mereka sendiri. Demikianlah, sebagaimana Sabda dan doa liturgis dalam
lingkupnya terbuka dan terhampar, maka Paska Kristus pun terbuka, terarah dan terhampar pada
masa lalu dari mana Paska itu berasal dan pada masa yang akan datang ke mana ia dibawa, yakni
masa yang akan datang yang adalah Hari definitif Kerajaan (Kis 3,20-21; 1Kor 15,24). Dan
sebagaimana pada saat kini dalam Ekaristi-lah Sabda dan doa menemukan intensitas dan
realismenya, demikian juga di sanalah (yakni dalam apa yang disebut oleh Tradisi: Memorialnya,
Zikkaron-nya) Paska Tuhan Yesus mencapai Gereja dengan seluruh kekuatannya.
Bahkan, juga aktualisasi hic et nunc Paska Kristus tetap tinggal “terkurung” (terkitari) dalam
osmose sakramental Sabda dan doa. Apa yang sudah dipaparkan hingga di sini sudah diintuisikan
oleh Paska itu. Anugerah Allah di mana bermuara Perjanjian, dalam simbiose dengan iman dan
hidup “sakramental” Umat, peristiwa historis Kematian-Kebangkitan Kristus Yesus kini
menguduskan Gereja dengan iman dan hidup “sakramental” yang teranyam dari Sabda dan doa
yang sekaligus mempunyai moment kepenuhannya dalam memorial ekaristik. Jadi Paska Kristus --
yang secara historis terlaksana (terpenuhi) dalam kemanusiaan Yesus yang sangat konkrit, dalam
waktu yang sangat tepat, dalam tempat tertentu -- sama seperti Paska Yahudi, tak terpisahkan dari
ekonomi “sakramental” (di mana Roh berkarya dalam kesatuan dengan Sabda dan dengan doa yang
dimohonnya). Paska itu tidak hanya datang (sampai kepada kita) melalui Perjanjian Lama, tetapi
juga mencapai Gereja, sekarang dan hingga pada Hari Tuhan, dengan perantaraannya.

3. PENCURAHAN ROH SEBAGAI BUAH PASKAH KRISTUS

Komunitas apostolis secara bersama-sama, yang tradisinya ditemukan oleh Perjanjian Baru, melihat
dalam Roh messianis buah khusus Paska Tuhan Yesus. Nyatanya pengharapan Umat Allah, yang
terpelihara, terurus dan disuburkan oleh pengajaran para nabi, ber-”obyek”-kan anugerah ini.
Sebenarnya tidaklah hanya Mesias yang harus dipenuhi oleh Roh (Yes 11,2; bdk 42,1; 61,1; 1Sam
16,13; Hak 3,10). Joel memberitakan hembusan Roh “atas setiap daging” (Joel 3,1-5) pada zaman
restorasi messianis Israel (Joel 4,1-2.15-21). Bagian pertama dari Kitab Zakaria (Zak 4,6; 6,8)
melihat orang-orang buangan, yang dipenuhi oleh roh, datang untuk merekonstruksi Bait Allah pada
suatu zaman di mana kerajaan messianis akan terlaksana oleh sang “Tunas” (Zak 3,8; 6,12; bdk Yer
23,5), sementara bagian kedua buku itu (yang tersusun bagus) berbicara tentang kebangkitan
messianis di Yerusalem yang telah direnovasi (Zak 12,2-3.7.10; 14,1-21). Jadi dihadirkan nasib
misterius “dia yang tertikam, yang diratapi sebagaimana meratapi anak satu-satunya (anak tunggal),
dan yang ditangisi seperti menangisi anak sulung” (Zak 12,10). Yeremia telah memaklumkan suatu
Perjanjian Baru (Yer 31,31-34), yang sebelumnya sudah menghormati dan menghargai janji-janji
dari Perjanjian Lama -- “mereka akan menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allah mereka” (Yer
31,33; bdk Yer 24,7; Kel 19,5-6; Ul 7,6; 14,2; Yeh 11,20) -- tetapi dengan menginteriorisasikannya,
tidak lagi dengan “mengikat” Allah orang berdosa, karena kini Hukum-Hukum(Nya) telah tertulis
pada hati mereka (Yer 31,33-34). Kemudian, lebih luas lagi dari Yesaya (Yes 32,15-20; 44,3),
Yeheskiel, dalam prospektif imamatnya, mengambil kembali intuisi mengenai intervensi Yahweh
itu yang merenovasi kesetiaan (Yeh 36,23-38; bdk Yeh 11,20; 37,27). Tetapi ia mengattributkan
(mempertalikan) pada anugerah Roh seluruh kekacauan (kebingungan) yang dimaklumkan:
“Aku akan mencurahkan kepadamu air jernih, yang akan mentahirkan kamu; dari segala
kenajisanmu dan dari semua berhala-berhalamu Aku akan mentahirkan kamu. Kamu akan
Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari
tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. RohKu akan Kuberikan diam di
dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapanKu dan tetap
berpegang pada peraturan-peraturanKu dan melakukannya. Dan kamu akan diam di dalam negeri
yang telah Kuberikan kepada nenek moyangmu dan kamu akan menjadi umatKu dan Aku akan
menjadi Allahmu” (Yeh 36,25-28; bdk 11,19; 37,14).

77
Tradisi injili Perjanjian Baru menggarisbawahi kehadiran Roh dalam diri Yesus selama pelayanan-
Nya (Mt 3,16; 4,1; 18,28; Lk 3,22; 4,1.14.18; 10,21; Kis 1,2; 10,38; Yoh 1,32-33), setelah mencatat
tentunya peranan-Nya sejak Dia dikandung (Mt 1,20; Lk 1,35). Tetapi jelas bahwa bagi tradisi-
tradisi itu semua sudah dicapai oleh anugerah paskal Roh.
Apa yang dituturkan oleh Injil Yohanes, secara singkat, dalam pertemuan sederhana dengan “para
murid” pada malam Paska (Yoh 20,19-23), dan mungkin juga sudah dalam moment di mana Yesus
“menghembusi mereka dengan Roh-Nya” (Yoh 20,23), ditunjukkan sebagai suatu teofani dalam
Pentekosta Kisah Para Rasul. Di sini kerygma Petrus menghubungkan (menggabungkan), secara
ketat tak terpisahkan antara affirmasi seturut mana masa messianis, seperti yang dimaklumkan
terutama oleh Joel, sudah sampai (tiba) (karena Roh itu akhirnya diberikan kepada semua) dan
deklarasi (pernyataan) bahwa kerygma itu berasal dari pemberian kuasa messianis Yesus, “yang
dibuat (dibentuk) oleh Allah Tuhan dan Kristus” dalam kebangkitan-Nya (Kis 2,36). Dia-lah yang
“telah menerima Roh Kudus dari Bapa dan yang telah mencurahkan Roh itu” (Kis 2,33). Itulah
sebabnya mengapa Kematian dan Kebangkitan-Nya -- Paska-Nya -- adalah Keselamatan yang
dinantikan oleh Umat Kudus. Dan setelah pertemuan Petrus dan Kornelius, dalam “Pentekosta
orang-orang pagan” di mana bahwa orang-orang pagan itu juga akan menerima Roh (Kis 10,44-48;
11,15-17; 15,7-8.12.14) dapat dimengerti kemudian bahwa keselamatan itu tidak hanya
diperuntukkan bagi orang-orang Israel saja. Privilege Umat Perjanjian dengan Abraham bukanlah
berarti dalam posisi sebagai penerima eksklusif Keselamatan, tetapi dalam keberadaan sebagai alat
Allah agar Keselamatan ini diberikan (disebarkan) kepada seluruh umat manusia.

4. PASKAH KRISTUS MEMPERSATUKAN SEMUA

Jadi Paska Yesus “memenuhi” (melaksanakan) obyek akhir Perjanjian dengan Abraham dalam
tradisi Jahwist, yang sekurang-kurangnya Kitab Putra Sirakh dan Septuaginta (LXX)
menterjemahkan demikian: “Karena itu Tuhan berjanji dengan sumpah, bahwasanya segala bangsa
akan mendapat berkat oleh keturunannya” (Sir 44,21). Tradisi Jahwist menyatakan bahwa melalui
Abraham dan keturunannya seluruh kemanusiaan diberkati. Bisa jadi bahwa ada gema janji ini,
yang tentu saja terlambat, dalam bagian akhir Mateus: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua
bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah
mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mt 28,19-20). Tetapi
bagaimanapun juga dengan teks terakhir ini (teks Mateus ini), jelas -- dan dengan kitab Kisah Para
Rasul sendiri menyatakan itu dan demikian juga sama dengan Surat Paulus kepada umat di Roma
bab 9-11 -- bahwa Keselamatan yang dibawa oleh Kematian-Kebangkitan Kristus menandakan
(mengisyaratkan; menunjukkan) masuknya seluruh bangsa (dan bahkan anggota-anggotanya) dalam
rahmat yang dinantikan, dipersiapkan, diwartakan dan dimohonkan oleh orang Israel (“ingatlah, ya
Tuhan”) sebagai “privilege”-nya. Jadi Keselamatan itu adalah kesatuan semua orang dengan orang
Israel Allah.
Cyrillus dari Alexandria juga, dalam komentarnya pada Surat kepada orang di Roma,
mengungkapkan hubungan dengan orang Israel ini dengan cara sedemikian sehingga juga
merangkum dengan sangat baik pandangan-pandangan patristik ini.

a. KESATUAN YANG TERBUKA BAGI YANG LAIN

Sangat fundamental kalau poin ini dimengerti dengan baik. Di sini disingkapkan seluruh kedalaman
Keselamatan paskal. Diselamatkan tidak begitu saja berarti luput, entah secara individual atau
secara grup, dari hukuman akan “manusia lama” (Kol 3,9; Ef 4,22) atau dari “dunia”, dunia
sebagaimana dimengerti oleh tradisi Yohanes (Yoh 1,10; 7,7; 12,31; 14,30; 15,18.19; 16,11; 17,14).
Diselamatkan berarti masuk dalam buah kemurahan Allah yang, sejauh gratis anugerah-anugerah-
Nya, telah menginginkan bahwa Keselamatan ini terlaksana melalui kewajiban “bagi orang lain”,
yakni Umat Allah, yang dengan mereka Ia telah mengadakan perjanjian sejak fajar zaman.
Sesungguhnya “privilege” orang Israel (privilege untuk diselamatkan) serentak terjadi dengan
missinya. Drama hidup hidup (yang ngeri dan menyedihkan) sebagian orang Yahudi ialah ketidak-

78
mengertian (mereka tidak mengerti) akan rencana (keselamatan) Allah ini dan, sejak awal
evangelisasi -- seperti ditunjukkan oleh kitab Kisah Para Rasul (Kis 15,1.5: tentang sunat) -- tidak
diterimanya oleh mereka keterbukaan “kepada orang lain” itu. Dan drama (yang ngeri dan
menyedihkan) sejumlah besar orang kristen ialah kalau melupakan bahwa Paska Kristus berakar
dalam orang Israel. Jadi pengakaran ini pada “suatu Bangsa / Umat yang terarah bagi orang lain”
itulah juga yang menjadi suatu dimensi konstitutif dan essensial Keselamatan kemanusiaan.
Keselamatan ini mencipta kembali umat manusia dalam solidaritasnya, yang telah terpencar-pencar
berkeping-keping dari apa yang dilukiskan oleh Kitab Suci, yakni khususnya (teristimewa)
mengenai drama hidup Menara Babel; hybris yang telah merusak kesatuan dengan Allah (Kej 3,5;
11,1-9).

b. KELAHIRAN GEREJA SEBAGAI REKONSILIASI UNIVERSAL

Anugerah paskal Roh Kudus melahirkan Gereja. Gereja ini adalah Gereja Allah, Ecclesia tu Theu
(Kis 20,28; 1Kor 1,2; 10,32; 11,16.22; 15,9; 2Kor 1,1; 1Ts 2,14; 2Ts 1,4; 1Tm 3,5.15) yang telah
dipersiapkan-Nya sejak awal dunia. Akar-akarnya ditanamkan pada asal-usul Perjanjian sendiri.
Dan di dalamnya (di dalam Gereja itu) terrealisir perlindungan (pengawasan) Allah:
menunggangbalikkan situasi tentangnya peristiwa Menara Babel hanyalah merupakan suatu simbol
dan yang telah menyingkapkan drama Kain dan Abel. Para Bapa Gereja menginterpretasikan fakta
ini dalam arti bahwa pada hari Pentekosta setiap orang mendengar para Rasul berbicara dalam
bahasanya (bahasa setiap orang itu) sendiri (Kis 2,5.11): Gereja adalah “sacramentum” rekonsiliasi
human universal. Dan Surat pertama Yohanes menampilkan sejarah Kain untuk membuka
(mengawali) exposisi (pemaparan)-nya yang panjang lebar mengenai Agape (1Yoh 3,12-24).

c. TERHIMPUN DARI PUTRA-PUTRI PERJANJIAN DAN ORANG-ORANG KAFIR

Sesungguhnya kalau qualitas Dia yang menghimpun orang banyak dalam diri-Nya, dalam anugerah
Roh, adalah essensial bagi kodrat kesatuan (communion), itulah juga qualitas komponen-komponen
orang banyak itu sendiri. Maka, kalau dilihat ke seluruh Perjanjian Baru, sekalipun dengan
perbedaan-perbedaan yang mendalam mengenai pandangan akan pahala bagi orang-orang Yahudi
yang tidak menerima kesaksian apostolis atas kemesiasan (messianitas) Yesus, orang kebanyakan
(yang terhimpun itu ) terdiri, seperti sudah disebut, dari dua grup. Dari identitas masing-masing
grup ini tergantung qualitasnya.
Orang kebanyakan (yang terhimpun itu) terutama terdiri dari “putra-putri para nabi dan putra-putri
Perjanjian yang berakhir dengan para Bapa bangsa” (Kis 3,25: “Kamulah yang mewarisi nubuat-
nubuat itu dan mendapat bagian dalam perjanjian yang telah diadakan Allah dengan nenek moyang
kita, ketika Ia berfirman kepada Abraham: Oleh keturunanmu semua bangsa di muka bumi akan
diberkati”), “orang-orang Israel yang kepada mereka termasuk bagian mereka: anak angkat (adopsi),
kemuliaan, perjanjian-perjanjian, hukum-hukum (Taurat), ibadah, janji-janji dan para Bapa bangsa”
(Rom 9,4: “Sebab mereka adalah orang Israel, mereka telah diangkat menjadi anak, dan mereka
telah menerima kemuliaan, dan perjanjian-perjanjian, dan hukum Taurat, dan ibadah, dan janji-
janji”), “mereka yang sudah sejak awal sudah percaya dalam Kristus” (Ef 1,12: “supaya kami, yang
sebelumnya telah menaruh harapan pada Kristus, boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaanNya”),
jadi semua, baik pria maupun wanita, berasal dari Umat Perjanjian Antik (Lama) (bukan Perjanjian
Lama = Testamentum).
Tetapi, selain itu, terhimpun juga “bangsa kafir” (Kis 10,45), “tunas luar (semacam pohon zaitun di
hutan) yang dicangkokkan pada (di antara) dahan-dahan (cabang-cabang) zaitun yang masih hidup”
(Rom 11,17: “Karena itu apabila beberapa cabang telah dipatahkan dan kamu sebagai tunas liar
telah dicangkokkan di antaranya dan turut mendapat bagian dalam akar pohon zaitun yang penuh
getah, ...), “mereka yang membawa tanda kekafiran dalam daging mereka ... yang waktu itu tanpa
Mesias (Kristus), tidak mempunyai hak kewargaan Israel, tidak mendapat bagian dalam ketentuan-
ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia” (Ef 2,11-12:
“Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu -- sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging,
yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya “sunat”, yaitu sunat
lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, -- bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak

79
termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan,
tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia”), yang “dulu bukan Umat Allah” (1Ptr 2,10),
jadi ketika (sejauh) termasuk pada dunia orang-orang kafir: cukup tersebar luas, sebagaimana
seturut tradisi Yahudi, bagaimana kemanusiaan dibedakan (dibagi) antara putra-putri Perjanjian dan
orang-orang pagan (kafir). Karena itu, orang banyak (umat manusia) yang membentuk kesatuan
(koinonia) kristen, karena iman Umat Allah, adalah totalitas (keseluruhan) dunia human.

d. KESATUAN YANG DIRIUNIFIKASI

Tetapi di sini juga perlu segera (cepat) membuat persis ungkapan yang baru dirumuskan itu.
Totalitas dunia human itu tidak dimaksudkan sebagai totalitas sebagaimana adanya. Tetapi yang
dimaksudkan ialah totalitas dunia ini sejauh diriunifikasi. Siapa yang menghimpunnya dalam
kesatuan (unitas)-nya ialah Kristus Yesus, yang tentang Dia tradisi Yohanes, dalam konteks besar,
mengukuhkan bahwa Dia mati “untuk bangsa itu, dan bukan untuk bangsa itu saja, tetapi juga untuk
mengumpulkan dan mempersatukan anak-anak Allah yang tercerai berai” (Yoh 11,51-52). Kesatuan
yang dimaksudkan ialah kesatuan sejauh dibentuk kembali, jadi suatu kesatuan yang “baru” (kaine).

e. DARI DUA MENJADI SATU

Surat kepada orang di Efesus, yang kemungkinan besar ditulis untuk mengoreksi suatu situasi yang
tegang, masuk lagi lebih mendalam dalam kodrat kesatuan yang “baru” itu ketika diterangkan (oleh
surat itu) bahwa kesatuan yang dimaksud ialah kesatuan yang berasal dari rekonsiliasi kemanusiaan
dan salib. Dalam hal ini tembok pembagi dan pemisah kemanusiaan kita dalam dua blok yang tidak
dapat ditembus oleh yang satu dengan yang lain sudah dihancurkan. Affirmasi-affirmasi tentang hal
ini dalam Surat kepada orang di Efesus sangat kuat. Mereka “yang dulu jauh kini sudah menjadi
‘dekat’” (Ef 2,13); “dari dua realitas telah dibuat menjadi satu realitas saja” (Ef 2,14); dari dua
bangsa (Yahudi dan kafir) telah diciptakan dalam diri-Nya menjadi satu bangsa saja”, bangsa yang
baru (kainos)” (Ef 2,15); Dia telah mendamaikan (rekonsiliasi) keduanya dalam Allah menjadi satu
tubuh saja” (Ef 2,16); “dalam (dengan) salib Ia telah menghancurkan kebencian (perseteruan)” (Ef
2,16: “Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu -- sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut
daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya “sunat”, yaitu
sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, -- bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak
termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan,
tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia. Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu,
yang dahulu “jauh”, sudah menjadi “dekat” oleh darah Kristus. Karena Dialah damai sejahtera kita,
yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu
perseteruan, sebab dengan matiNya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan
segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam
diriNya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di
dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu. Ia
datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang “jauh” dan damai sejahtera kepada
mereka yang “dekat”, karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada
Bapa. Demikianlah kamu bukanlah orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari
orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan
para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapi
tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut
dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh” [Ef 2,11-22]). Kebencian
(perseteruan) ini jauh lebih kuat dari pada interpretasi nakal akan Hukum dan bahkan telah
membuatnya menjadi alatnya sendiri (Ef 2,11.15). Gereja -- “keluarga Allah”, “kediaman Allah”,
“bait Roh Kudus” (bdk 2,18-22) -- karena karya Kristus, adalah komunitas yang tersusun dari
anggota yang dulunya terpisah / tercerai-berai atau yang biasanya tercerai-berai, tetapi yang kini
hanyalah merupakan “satu realitas saja”, satu kesatuan. Hubungan ini yang tercipta dari status
keterpisahan adalah essensial bagi keberadaan Gereja yang mendalam. Gereja ini adalah komunitas
yang terdiri dari orang banyak, karena dan dalam Kristus, tidak lagi terpisah. Karena itu, kalau
dikatakan “orang kristen terpisah”, ini adalah contradictio in terminis.

80
f. KESATUAN DALAM KEBERBEDAAN

Tetapi kesatuan “baru” yang dipaparkan oleh Surat kepada orang di Efesus ini bukanlah suatu
kesatuan sebagai suatu peleburan (pembauran), bukanlah suatu kesatuan yang menghilangkan genus
tertium di mana orang Yahudi dan orang kafir kehilangan perbedaan (kekhasan) mereka. Kesatuan
yang dimaksud ialah suatu komunitas di mana rekonsiliasi akhirnya menemukan kebesarannya
dalam fakta bahwa mereka diperdamaikan (rekonsiliasi) dengan tetap tinggal berbeda antara yang
satu dengan yang lain, grup yang satu tidaklah diserap (dilebur) oleh grup yang lain; kedua grup itu
tidaklah diserap (dilebur) dalam suatu realitas di mana keduanya dilebur; bukan digiling (ditumbuk,
dihancurkan) untuk menjadi suatu entitas yang sama sekali baru (neos). Di samping itu, sejarah
generasi kristen yang pertama, sejak adanya missi kepada orang-orang kafir, menjelaskan
bagaimana Gereja Yudeo-kristiani dan Gereja kekafiran menghidupi iman yang sama atas cara yang
berbeda. Tradisi Yohanes nampaknya merupakan suatu teks khusus (istimewa) mengenai
koesistensi (kebersamaan hidup) dan mengenai problem ditempatkannya pada koinonia.
Rekonsiliasi berjalan dengan derap langkah yang sama dengan pemeliharaan karakteristik sendiri
dari setiap (masing-masing) grup; rekonsiliasi itu cepat menjadi “katolik”.
Bahkan, ketika penulis Surat kepada orang di Efesus meneruskan refleksinya mengenai gambaran
konstruksi dan bait kudus, dinyatakan (dikukuhkan) secara implisit bahwa seluruhnya yang dibentuk
demikian perbedaan-perbedaan itu sendiri adalah pembangun (aedificatrix), dengan kata lain bahwa
kebersamaan itu bukanlah sesuatu pengganti bagi yang sebelumnya. Kebersamaan dan kesatuan itu
adalah keadaan di mana terintegrir bersama-sama orang-orang Yahudi dan orang-orang lain, dan
kebersamaan dan kesatuan yang dibangun sedemikian sebagai Bait Kudus dapat menyanyikan
kebesaran “misteri” (mysterion) yang begitu mendalam: “orang-orang kafir turut menjadi akhli-
akhli waris dan anggota-anggota tubuh dan peserta dalam janji yang diberikan dalam Kristus Yesus”
(Ef 3,6). Inilah kekayaan rekonsiliasi paskal

g. MEMBERI DIRI SECARA GRATIS

Atas cara demikian Roh messianis membuat lahir kemanusiaan baru (kaine), kemanusiaan yang
benar dan sejati, kemanusiaan di mana keberbedaan dan kesatuan (unitas) diharmonisir
(diselaraskan). Orang kafir telah kebagian dari privilege orang Yahudi; atau, dengan kata lain,
kepada orang kafir telah diberi (dihadiahkan) keselamatan yang adalah privilege orang Yahudi.
Dalam pemberian itu kita temukan dan kita kenal (akui) suatu hukum konstitutif dan essensial
keselamatan paskal. Sebagaimana dalam pemberian itu kita kenal hukum Keselamatan itu, maka
demikian pun dalam kemanusiaan yang baru ini pemberian (hadiah), pembagian, anugerah gratis
akan barang-barang, bantuan (pertolongan) satu sama lain, bahkan hingga memberi diri, hendaknya
(akan) menjadi norma hidup (Kis 2,45; 4,34-35; 11,27-30; 24,17; Rom 15,26-28.31; Gal 2,10; 1Kor
16,1; 2Kor 8,4; 9,1.12.13; Ef 4,28; Ibr 13,16; bdk Fil 4,18). Kegratisan ini adalah aspek aktif
rekonsiliasi. Bahkan Paulus mengatakan (mengukuhkan) kepada orang di Korintus, untuk mengajak
mereka bermurah hati, bahwa kegratisan itu ditempatkan pada alur kemurahan hati Tuhan Yesus
Kristus yang “bagi mereka Dia yang kaya di surga telah membuat diri-Nya miskin untuk
memperkaya mereka dari kemiskinan-Nya (2Kor 8,9). Sehubungan dengan hal ini, Surat Yohanes
yang pertama mengatakan: “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah
menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-
saudara kita. Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan
tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di
dalam dirinya? Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah,
tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1Yoh 3,16-18).
Mateus, dalam presentasinya mengenai pengadilan terakhir (“Apabila Putera manusia datang dalam
kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia, maka Ia akan bersemayam di atas
takhta kemuliaan-Nya, dan semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya” (Mt 25,31-32)
menyebutkan alasan terakhir untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah yaitu tanda-tanda kemurahan
hati dan berbagi dengan orang lapar, orang haus, orang asing, orang telanjang (tak berpakaian)
orang sakit, orang tahanan (Mt 25,31-46). Teks ini akan mengena kalau dibaca dalam terang apa

81
yang sudah disebut di atas. Kewajiban sosial Gereja bukanlah kemurahan fakultatif. Kewajiban itu
termasuk dalam keberadaan sebagai orang miskin.

h. KESATUAN YANG SALING BERBAGI

Bagi iman (Gereja) primitif, di sini pun “terpenuhi” Perjanjian Antik. Ketika rangkuman singkat
Kisah Para Rasul menggarisbawahi dengan sengaja, untuk memperkenalkan dengan baik komunitas
orang kristen pertama, bahwa di antara mereka tidak ada lagi yang berkekurangan, karena mereka
semua “saling berbagi” (Kis 4,32-35; bdk 2,44-45), benar-benar jelas intensi mereka. Teks Kisah
Para Rasul ini mengambil satu kalimat dari Kitab Ulangan yang dalam bahasa Hibrani (dalam orang
Yahudi) adalah peraturan (undang-undang; prescripsi) -- “Hendaknya tidak ada orang miskin / yang
berkekurangan di antaramu” -- tetapi terjemahan Septuaginta (LXX) mengobahnya menjadi suatu
janji: “tidak akan ada lagi orang yang berkekurangan di antara kamu” (Ul 15,4). Bagi mereka ini
bukan tetek bengek aturan-aturan: komunitas itu merealisir ideal yang disarankan oleh Allah sejak
awal Perjanjian. Ditemukan suatu pernyataan (alamat) yang sangat menyentuh dalam aturan-aturan
(prescripsi) yang paling antik: pada saat penuaian, pada saat panen anggur, pada saat memungut
hasil (buah-buahan), hendaknya selalu ditinggalkan beberapa berkas panenan, beberapa tandan,
beberapa buah “untuk orang miskin dan orang asing (pendatang) (seturut Leviticus), untuk orang
asing, untuk yatim piatu dan janda” (seturut Deuteronomium), “jangan memeras pekerja harian yang
miskin dan rendah / menderita (orang Yahudi atau orang asing yang tinggal di situ), dan hendaknya
dibayar setiap hari gaji para pekerja (Im 19,9-13; Dt 24,10-15.17-22).

i. GEREJA DAN ANGGOTANYA

Atas cara demikian Roh Kuduslah yang mengaktualisir hasil / buah Paska Kristus dalam
kemanusiaan. Dengan perantaraan Dia Gereja lahir bersama-sama sebagai kesatuan (communion)
hidup dalam Kristus dan sebagai kemanusiaan baru (kaine) yang merealisir, dalam rekonsiliasi dan
dalam berbagi hidup, nasibnya yang otentik. Dalam Gereja ini, Roh itu juga membuat setiap orang
yang percaya menjadi pembawa / bentara hidup baru. Inilah hidup seorang anggota Gereja (1Kor
12,12-13; Ef 2,18; 4,4). Dan, sebagaimana Gereja ini adalah Tubuh Kristus, Kebun Anggur Bapa
(karena Tuhan Yesus adalah Pokok Anggur itu), Bait Allah (karena Tuhan Yesus adalah Bait itu),
maka siapa pun yang termasuk pada kesatuan (communion)-Nya adalah (haruslah menjadi) anggota
Kristus, carang / ranting Kristus, batu hidup Tuhan.

j. MENJADI PUTERA ALLAH KARENA ROH

Dengan menerima Roh Kristus (dan Roh Gereja) dan kemudian -- sebagaimana Paulus dan para
muridnya suka menegaskan (mengukuhkan; affirmasi) -- Roh itu diam dalam dia (Rom 8,9.14-16;
1Kor 3,16; 6,19; 2Tim 1,14), maka setiap orang, kata Paulus, menjadi “putera Allah”. Di sini pun
Paulus radikal: “semua orang, yang dipimpin oleh Roh Allah, adalah anak Allah” (Rom 8,14-16;
bdk Gal 4,6-7), diangkat sebagai putera-putera Allah (Gal 4,5). Tradisi Yohanes, yang selalu
“menguap”, lebih persis lagi: maka Roh menyampaikan “harta Kristus untuk membuat mereka
ambil bagian pada harta itu” (Yoh 16,14). Atas cara demikian maka akan menjadi “putera-putera
Allah” (Yoh 1,12; 2,2-7; 11,52; 1Yoh 3,1-2.10; 5,1.4.18). Sesungguhnya segala sesuatu terjadi
dengan tergantung secara total dan konstan dari Kristus.

k. BERBAGI PRIVILEGE

Inilah akar (dasar) terakhir dari “berbagi akan privilege”, sumber dari “memberi kepada orang lain
dari privilege itu”, di mana kita temukan dimensi konstitutif dan essensial dari Keselamatan paskal
dan dimensi konstitutif dan essensial Gereja “tempat Keselamatan paskal itu”. Kristus Yesus, yang
diakui dalam iman sebagai Putera Tunggal (Unik) Bapa, sebagai Putera terkasih Bapa (Yoh 3,16;
1Yoh 4,9-10; Rom 8,32), membawa para pengikut-Nya untuk ambil bagian pada “privilege” ini
yang membentuk secara kekal identitasnya. Kristus memberi mereka Roh-Nya yang, dengan adopsi
(yang disebut Paulus adopsi filial: Gal 4,5) menggabungkan (mempertalikan) mereka -- tetapi

82
dengan membiarkan mereka tetap berada sebagai ciptaan (keberadaan mereka sebagai ciptaan) --
pada “privilege”nya.

l. TINGGAL DALAM KESATUAN BAPA DAN PUTERA

Untuk mengungkapkan keyakinan bahwa orang beriman “lahir dari Allah” (1Yoh 3,9; Yoh 1,12),
tradisi Yohanes kembali kepada gambaran “tempat tinggal”. Di sini ada manfaatnya
menggarisbawahi bersama-sama kedekatan yang kuat dan ketergantungan. Roh memberikan
(mengkomunikasikan) “kebaikan” (kesejahteraan) Kristus dengan menggabungkan (mempertalikan)
para murid pada kesatuan Bapa dan Putera. Mereka “tinggal” dalam kesatuan itu (Yoh 17,11.21-23;
15,4-10; 6,56-57). Di sana mereka menemukan “getah” (“kelenjar”) kehidupan baru yang sudah ada
dalam diri mereka, yaitu “hidup kekal” (Yoh 6,47.54-58: “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya
barangsiapa percaya, ia mempunyai hidup yang kekal. ... Barangsiapa makan dagingKu dan minum
darahKu, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman.
Sebab dagingKu adalah benar-benar makanan dan darahKu adalah benar-benar minuman.
Barangsiapa makan dagingKu dan minum darahKu, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia.
Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa
yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku. Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti
yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup
selama-lamanya”). Dan sebagaimana Putera adalah Dia yang, dalam Allah, menerima seluruhnya
dari Bapa dan berbuat dengan ketergantungan komplit dari-Nya (dari Bapa itu), maka demikian pun
para murid adalah orang yang, dengan menerima segala sesuatu dari Putera melalui Roh dan dengan
tinggal tetapi dalam ketergantungan komplit dari Dia, menghidupi keberadaan (keputraan) mereka
(sebagai putera) dalam Putera dengan memberi diri bagi orang lain (1Yoh 3,16-18; 2,6). Inilah
hukum Paska yang menyelamatkan. Seturut ungkapan yang bagus dari Atanasius, Putera menjadi
manusia agar manusia “menjadi” Allah. Israel -- Umat yang adalah putra-putri (Allah) (Ul 14,1; Hos
4,1-3) -- dengan menerima orang-orang pagan (kafir) (masuk) dalam “privilege”nya menempatkan
diri atas cara demikian dalam alur (perangai) Putera abadi. Di sanalah terletak akar terakhir Gereja
Allah: dalam keberadaan kekal Allah.
Agustinus, dalam ceramahnya tentang Mzm 148 yang berpusat pada Allelluya paskal, melukiskan
aspek lain dari realitas paskal Gereja. Ia mengatakan:
Maka sekarang kita memuji Allah (dengan Allelluya paskal), ketika kita berkumpul dalam Gereja.
Ketika setiap orang pergi ke rumah-Nya, nampaknya orang itu tak henti-hentinya memuji Allah.
Kalau tak henti-hentinya menghidupi yang baik, berarti ia memuji Allah terus menerus. Pujianmu
berhenti hanya kalau kau menjauhkan diri dari keadilan dan dari apa yang menyenangkan Allah.
Kalau kau tidak menjauhkan diri dari hidup saleh / suci, maka mulutmu dapat digerakkan dan hatimu
menjadi suatu aklamasi. Allah memberikan telinga pada hatimu. Sebagaimana telinga kita
mendengar suara kita, demikianlah Allah mendengar pikiran kita (Enarratio in Ps 148, in Cel 39,
2166).

Atas cara demikian ditunjukkan bahwa seluruh hidup kristen, yang dibangkitkan oleh Roh Kristus,
adalah paskal, hampir sebagai suatu Allelluya dari keberadaan (eksistensi) sendiri.

5. ROH MENCIPTAKAN DINAMISME KESATUAN DENGAN KRISTUS

Sebenarnya tidak cukup mengaffirmasikan (meneguhkan) bersama Yakobus dan Paulus persetujuan
pada pandangan bahwa Roh adalah sebagai inspirator doa (pemberi inspirasi dalam doa), sumber
keinginan yang asal-usulnya adalah dalam Allah (Yak 4,5; Rom 8,26-27). Roh itu menciptakan,
dalam hati, dinamisme kesatuan dengan Kristus (Rom 8,16-27) sehingga, seturut intuisi yang begitu
bagus dari Agustinus, memohon (in-vocare) berarti memanggil / mengundang ke dalam diri sendiri.
Dan kita tidak dapat membatasi diri mengatakan / mengaffirmasikan, dengan kutipan-kutipan yang
luas dari Perjanjian Baru, bahwa Roh Kristus adalah prinsip kelakuan moral yang kontras dengan
kelakuan daging (Rom 8,4.9.13; Gal 5,16-25; Ef 3,16-18; 5,18; 1Ptr 4,14). Perlu menspesifikkan
bahwa hidup ini secara fundamental adalah penyesuaian diri dengan Kristus dalam Paska-Nya. Ini
berarti mengimplikasikan (mewujudkan; merealisir) kesatuan dengan penderitaan-Nya (Rom 8,17;

83
Gal 6,17; Fil 3,10; Col 1,24; 1Ptr 4,14). Yang lebih mendalam lagi ialah bahwa Kebangkitan sudah
berkecambah, sudah menjadi / merupakan panjar (parsekot; antisipasi) kemuliaan (Rom 6,4;
8,11.13.23; 2Kor 1,22; 5,5; Ef 1,13-14; 4,30). Tinggal / berdiam dalam Kristus berarti sudah ambil
bagian dalam dunia kebangkitan di mana dengan kemanusiaan-Nya “tinggal” / “berdiam” selalu
(selama-lamanya) dalam kemuliaan Allah. Cyrillus dari Alexandria mengatakan bahwa ini berarti
hidup “di atas (mengatasi) daging”. Dan, seturut indikasi Surat kepada orang di Roma, kesatuan
(communio) ini diterjemahkan -- dengan selalu semakin melepaskan diri dari kekuatan yang jahat (si
jahat) -- dalam hidup untuk Allah secara otentik, dalam Kristus Yesus (Rom 6,11). Dalam penantian
akan kemuliaan, di sana sudah ada Keselamatan.

6. ROH TUHAN DAN BAPTISAN

Melalui iman dan baptisan dimeteraikan bahwa Roh Tuhan yang bangkit membawa keselamatan ini,
dengan mengkomunikasikan secara tak terpisah pengampunan dosa dan hidup (kehidupan) yang
baru (Kis 2,37-39; bdk 8,15-17; 11,17; 19,2-6; Yoh 3,5; 7,37-39; Gal 3,2.14; Rom 5,1-11; 6,4; 1Kor
6,11; Tit 3,3-5). Sesungguhnya (pada kenyataannya), dalam alur Perjanjian Lama, komunitas
apostolis telah membuat menjadi miliknya ritus sakramental baptisan, tetapi dengan membaca
kembali arti komuniter dan personal secara bersama-sama di bawah terang Paska Tuhan.

a. SELURUH KARYA KESELAMATAN KRISTUS TERRANGKUL DALAM SAKRAMENTALITAS BAPTISAN

Pada fajar (awal) Perjanjian Baru sudah ada baptisan pengampunan dosa dari Yohanes. Dulu,
baptisan ini berarti, dalam prospektif gerakan si Pembaptis, masuknya dalam komunitas penantian
eskatologis (Lk 3,16; Mt 3,11). Dengan menggabungkan (menyerahkan) diri pada ritus ini, dengan
inisiatifnya yang bebas, pada ambang pintu missi yang harus membawanya pada apa yang disebut
oleh tradisi sinoptik kemudian, yakni baptisan akan kematian-Nya (Mk 10,28; Lk 12,50) -- yakni
pada penenggelaman-Nya yang realistis dalam kematian kemartiran-Nya -- Yesus merangkul dalam
“sakramentalitas” baptisan seluruh karya keselamatan-Nya. Baptisan sedemikian, yang diwarisi
dari Perjanjian Lama, tetapi yang kepadanya (kepada baptisan itu) dihubungkan oleh tuturan-tuturan
Injil rivelasi misterius akan kemesiasan Yesus (Mt 3,16-17; Mk 1,10-11; Lk 3,21-22; Yoh 1,32-34),
telah menjadi sebagai ungkapan “sakramental” keselamatan eskatologis, pada karya Yesus sejak
awal pelayanan-Nya, yang berpuncak pada Kematian-Nya, tetapi yang sudah dinantikan dan
dipersiapkan selama berabad-abad oleh Umat Allah.

b. ARTI SIMBOLISME AIR

Lalu simbolisme air menerima seluruh artinya (arti baptisan itu). Melalui Kitab Suci baptisan itu
berkembang pada level yang dobbel (ganda). Sesungguhnya dalam Perjanjian Lama penenggelaman
“mengingatkan” terutama Air Bah (Nuh), yang dijadikan sebagai pewartaan / pemakluman profetis
akan tanda besar eskatologis (Yes 30,27-28; Mzm 69,1-2.15; bdk 1Ptr 3,18-22). Tetapi air
“mengingat” juga munculnya kehidupan (Kej 1,1.20-23; 2,4-6), kelahiran Umat Allah dalam Paska
Keluaran (Exodus) (Yeh 14,15-31), dan dengan hal itu lahirnya pengharapan akan suatu ciptaan
baru (kaine) dan akan suatu peristiwa (kejadian) yang “mengagumkan” (proses menjadi) Umat
Allah (Yes 41,14-20; 48,21; Zak 14,8-11). Yehezkiel, nabi besar dari tradisi Priester, telah
mengkhotbahkan bahwa pada akhir zaman hati setiap orang beriman akan dimurnikan (disucikan)
oleh air murni (Yeh 36,25). Dikatakan juga bahwa dari kenisah yang baru akan keluar (tersembur;
membual) sungai air yang akan membuat muncul di mana-mana suatu hidup yang “mengagumkan”
bagu Umat yang dibaharui (Yeh 47,1-12). Bahkan juga air “mengingatkan” Keselamatan
eskatologis, dengan kedua dimensi yang tak terpisahkan, yang membentuknya, yaitu: purifikasi
(pemurnian) dari kejahatan kollektif dan personal yang menggenangi (membanjiri; melanda) dunia,
dan munculnya suatu dunia yang “mengagumkan”. Dan bagi para Nabi Keselamatan ini adalah
sebagai mengambil kembali Paska Keluaran (bdk Yes 11,15-16; 40,3; 43,16-21; 51,10; 52,12-13;
63,11-13; Bar 5,7-9).

84
c. SIMBOLISME AIR SEBAGAI TANDA RAHMAT

Dalam Perjanjian Baru, Paulus cukup hati-hati mengenai simbolisme air (1Kor 6,11; Tt 3,5; bdk
1Kor 12,13), yang umumnya dikembangkan dalam Surat kepada orang di Efesus (Ef 5,25-26).
Tradisi Yohanes, dari sudut pandangnya, terus mengkaitkan simbolisme air itu pada “tanda”
(semeia) Yesus dan pada Sabda-Nya yang paling solemnis (Yoh 3,5; 4,10-14; 5,4-7; 7,37; 9,7; 13,1-
11; 19,33-34). Bagi tradisi ini, dalam sakramennya, komunitas menemukan Tuhan yang dilihat dan
disentuh oleh saksi mata. Sekarang pertemuan itu terjadi dalam iman (Yoh 20,29), dengan tanda-
tanda: dan hal itu adalah benar dan menyelamatkan sebagaimana dituturkan oleh para “saksi” itu.
Bahkan, Roh Paska dan Keselamatan yang dikomunikasikan kemudian dari pada-Nya (dari Roh
Paska itu), setelah Kristus “ditinggikan di Salib” dan “dimuliakan” (Yoh 7,37-39; 19,33-34; bdk
3,14-15), mendatangkan rahmat yang telah dipersiapkan, dilukiskan dan dimaklumkan mulai dari
intervensi Allah dahulu dalam Umat-Nya. Simbolisme air “mengingat” hal ini dan terus
“mengingat”nya. Bahkan hingga Apokaliptis (kitab Wahyu), dengan menyanyikan Yerusalem
eskatologis di mana Paska mempunyai buahnya yang terakhir, kemudian dapat mengambil lagi
simbolisme air hidup dan sungai kehidupan “yang tersembur (mengalir; membual) dari Singgasana
(takhta) Allah dan Anak Domba (Why 21,6; 22,1-2).

d. ROH KUDUS MENCIPTA KEMBALI

Atas cara demikian, iman, dalam Roh Kudus, mengerti kesatuan (unitas) misterius rencana
keselamatan Allah: air, yang melaluinya dapat masuk ke dalam kesatuan dengan “baptisan Kristus
dalam kematian-Nya”, termuat dengan (mengandung) simbolisme, ke mana setiap tahap sejarah
Umat Allah membawa tonalitasnya. Kiranya sekarang ini tidaklah dapat dibaptis dalam Baptisan
yang adalah kematian Kristus tanpa menyadari sebagai ditenggelamkan ke dalam sejarah yang
begitu panjang sepanjang sejarah petualangan Allah dengan Umat / Bangsa-Nya. “Persekutuan para
kudus” mempunyai keluasan ini. Roh Tuhan mencipta kembali dalam warisan lama ini yang naik
kepada Abraham dan hingga pa jam ab Abel justo.
Roh Kuduslah yang mencipta kembali. Didimus Alexandrinus tidaklah memalsukan kecenderungan
biblis ketika dalam suatu ungkapan yang begitu berani mengatakan (mengukuhkan): “bagi orang
beriman telah diberi kekuatan untuk menjadi putra-putri Allah, yakni kekuatan Roh Kudus, dan
untuk menjadi anggota ras Allah ... Allah yang menurunkan (menggenerasikan) itu adalah Roh
Kudus”. Roh Kudus itu memberikan hidup yang diisi dan dipenuhi dengan kemanusiaan Kristus
Yesus dalam Kebangkitan. Paskah adalah seluruhnya Paskah dalam Roh, dalam penantian Parousia
Putera manusia.

7. EKARISTI: MEMORIAL SAKRAMENTAL

Roh Kristus Yesus adalah anugerah Allah bagi zaman eskatologis. Oleh karena zaman ini sudah
terbuka dalam Peristiwa paskal, dan oleh karena dari pihak lain Ekaristi adalah Memorial
(Peringatan) sakramental peristiwa itu, yang menjadi hadir di sana bagi komunitas yang
merayakannya, Tradisi kristen kemudian dengan sangat cepat mengerti bahwa hidup Gereja
menitikberatkan ke sekitar sinaxis ekaristik. Di sana, dalam Tubuh dan dalam Darah sakramental
Tuhan, hidup itu menerima Roh yang melekatkannya dalam suatu komunitas yang telah dianugerahi
dengan anugerah Keselamatan, tetapi yang sekaligus masih terarah pada Kedatangan akhir Kerajaan
Allah.

a. EKARISTI: KEPENUHAN SABDA DAN DOA

Seperti sudah ditunjukkan, Ekaristi tidak akan menjadi moment (saat) kepenuhan Sabda dan doa
seandainya Ekaristi itu tidak terutama sebagai moment kepenuhan anugerah Roh. Dengan selalu
berakar pada kristomonisme, (Gereja) Barat telah melupakan dimensi pentekostal setiap sinaxis
ekaristik.

85
Atau, dapat dikatakan bahwa inilah isi yang benar dari epiklese. Kalau doa epiklesis itu memohon
agar pengutusan Roh mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, permohonan itu
bisa terjadi justru agar karena komunitas itu dalam kebenaran menjadi komunitas Tuhan yang sudah
bangkit, yang masih belum menyerahkan Kerajaan itu kepada Bapa “agar Allah menjadi segalanya
dalam segalanya” (1Kor 15,24-28), pendeknya agar menjadi komunitas pentekostal. Lagi, untuk
inilah maka Sabda dan doa, yang berpuncak dalam Ekaristi itu, adalah selalu merupakan Sabda
pengharapan, dan doa untuk (memohon) datangnya Kerajaan itu. Di sini perlu dicatat bagaimana
atas cara demikian ditemukan kembali dalam Ekaristi struktur seluruh karya keselamatan.
Sesungguhnya, sebagaimana Roh campur tangan dalam konsepsi dan dalam pelayanan Yesus yang
dibimbing dengan kekuatan-Nya (bdk Lk 4,14), tetapi agar setelah ditinggikan sebagai Tuhan dan
Kristus ini dapat “mencurahkan Roh” messianis (Kis 2,32-36), maka demikian pun “dengan
kekuatan-Nya” mengadakan sakramen tapi agar Gereja dengan perantaraan Dia menjadi Tubuh
Tuhan dan Kristus Yesus.

b. EKARISTI: MENGHUBUNGKAN GEREJA DENGAN KEDATANGANNYA YANG TERAKHIR DAN


DENGAN SERUAN ISRAEL

Agar terpenuhi segalanya dalam kuasa Roh messianis ini, maka Ekaristi menghubungkan Gereja
dengan pengharapan dan juga dengan seruan besar Israel: “ingatlah akan PerjanjianMu, datanglah
Kerajaan-Mu”. Karakter eskatologis ini termasuk pada kodratnya sebagai Memoriale (Peringatan).
Sesungguhnya, apa pun yang menjadi poinnya atas posisi mereka yang menganggap zikkaron itu
secara essensial sebagai suatu permohonan yang disampaikan kepada Allah, jelas bahwa, yang
dirayakan di hadapan Allah, berusaha, baik sendiri dalam doa maupun dengan apa yang ditenun
(dijalinkan) oleh doa itu, untuk mengingatkan kepada-Nya akan rencana-Nya. Dalam arti
sedemikian Paulus menggarisbawahi bahwa dalam Perjamuan Tuhan dimaklumkan Kematian
Tuhan “hingga Ia datang” (1Kor 11,26), yaitu dengan “mengkeluhkesahkan” kedatangan-Nya. Jadi
tetap tinggal dalam prospektif eskatologis yang diwarisi dari Israel dan dihadirkan kembali dalam
Injil oleh perkataan (observasi) Yesus dalam Perjamuan Malam Terakhir: “mulai dari sekarang Aku
tidak akan minum lagi hasil pokok anggur ini sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru,
bersama-sama dengan kamu dalam Kerajaan Bapa-Ku” (Mt 26,29; Mk 14,25). Dan Lukas
menyisipkan di sini janji kepada para Rasul: “kamu akan makan dan minum semeja dengan Aku di
dalam KerajaanKu dan kamu akan duduk di atas takhta untuk menghakimi keduabelas suku Israel”
(Lk 22,30).
Dalam Memorial (Peringatan) Paskah Tuhan, yang tak terpisahkan untuk selamanya dari Memorial
(Peringatan) Paskah Keluaran (Exodus), Gereja, dengan membacanya di bawah terang Kebangkitan
Kristus Yesus, mengambil kembali doa eskatologis Israel: Marana-tha, “datanglah, ya Tuhan”
(1Kor 16,21; Why 22,20; Didache 10,6). Doa ini masuk dalam seruan Israel, dan membuatnya
menjadi miliknya. Pasti bahwa Kematian-Kebangkitan Tuhan Yesus, yang dihadirkan kemudian,
membentuk peristiwa sentral keselamatan, dan masih menantikan Peristiwa akhir (final), yaitu
Parousia. Penantian akan Manifestasi final (pernyataan diri) Kristus Yesus berkaitan dengan
penantian Mesias bagi Israel yang masih tetap merasa pasti bahwa Mesias itu belum datang. Telah
kita lihat bahwa khotbah Petrus di bawah Serambi Salomo mengimplikasikan keserentakan
(koinsidensi) tersebut (Kis 3,17-26), dalam konteks penuh Pentekosta.

c. DALAM EKARISTI ROH MEMBERI TUBUH DAN DARAH TUHAN KEPADA GEREJA LOKAL

Akan tetapi Ekaristi lebih dari pada suatu Sabda dan suatu doa. Sesungguhnya pada pusat Ekaristi
ini Roh memberi pada Gereja lokal yang sudah terhimpun Tubuh dan Darah Tuhan tetapi yang
secara sakramental benar-benar hadir. Jadi efek (hasil) essensial dari anugerah sakramental ini,
dengan menguatkan lagi kesatuan (communion) seluruh partisipan (orang yang ambil bagian di
dalamnya) (yakni kesatuan dengan Allah dan kesatuan di antara mereka), ialah dalam menyesuaikan
komunitas itu dengan keyakinannya sendiri (keyakinan komunitas itu) akan Tubuh Kristus. Seperti
dikatakan oleh Agustinus kepada Gerejanya: “kalau kalian adalah Tubuh Kristus, maka sakramen
kalian (misterium) diletakkan di atas meja Tuhan: kalian menerima sakramen kalian sendiri. Kepada

86
hal inilah kalian menjawab Amen, dan kalian menandatanganinya dengan menjawabnya. Karena itu
jadilah anggota Tubuh Kristus agar menjadi benar jawaban kalian itu, yakni Amen kalian ...
Kalianlah apa yang kalian lihat dan kalian terima, yaitu apa yang adalah kalian sendiri”. Dan lagi
dikatakan: “Kita telah dibuat menjadi tubuh-Nya dan karena belaskasihan-Nya kita adalah apa yang
kita terima, ... kalian telah dijadikan roti Kristus, dan apa yang telah kalian terima”. Di sini anggota
dan Tubuh adalah satu, tak terpisahkan.

d. TUBUH KRISTUS DIBERI KEPADA GEREJA YANG SEDANG BERZIARAH

Tubuh Kristus ini, dengan menemukan kebenarannya dalam identifikasi orang beriman dengan
tubuh ekaristis yang membuatnya menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat dipecahkan, terjadi
dalam menurunkannya dari generasi ke generasi. Gereja kini adalah Gereja yang sedang berziarah,
Umat Allah yang sedang dalam perjalanan, seperti Israel dari Paskah, dalam padang gurun yang
mahaluas yang terdiri dari dunia kita, yang dihadapkan pada percobaan. Dari Paskah ke Parousia:
perjalanan ini di padang gurun adalah saat Gereja, saat perjalanan Gereja. Sekarang masa ini adalah
masa missi, masa tugas, dan masa kesaksian (martiria). Ekaristi memampukan Gereja bukan untuk
suatu tempelan kesaksian individual yang murni dan sederhana, tetapi -- kepada yang sama sekali
berbeda -- yakni pada suatu martiria kollektif. Ekaristi adalah sakramen di mana, karena kekuatan
(potensi) kemanusiaan paskal Kristus Yesus, Roh membuat Tubuh ekklesial sedemikian -- dalam
kesatuan (communion) seluruh anggotanya sebagai suatu realitas yang unik dan yang tidak nampak
-- sebagai saksi akan Allah yang hidup, hingga pada Hari Putera manusia (Mt 25,31; 16,27; 19,28;
24,26-35; 26,64; Mk 14,62; Lk 12,8; Yoh 1,51; 9,35; dll).

e. EKARISTI: BERSATU DENGAN KRISTUS DALAM PERJUANGAN DAN PENDERITAAN

Di sini banyak affirmasi teks-teks apostolis mengangkat ke permukaan apa yang menonjol.
Sesungguhnya tidak cukup memberikan kesaksian ekklesial seperti terdapat dalam tradisi Yohanes:
“Supaya mereka semua menjadi satu ... supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah
mengutus Aku” (Yoh 17,21-23). Ikut dan termasuk juga kesatuan (communion) pada perjuangan
dan penderitaan Kristus agar dunia ini menjadi dunia - yang dikehendaki oleh Allah dan agar Injil
Keselamatan menang (Gal 6,17; 2Kor 11,23-28; Kol 1,24; Yoh 15,18-24). Kini adalah giliran Umat
Allah untuk bertugas dalam perjuangan melawan kekuatan musuh Allah (1Kor 15,24-25).
Kemudian maka perjuangan itu membawa pada penganiayaan, penindasan dan kematian (bdk Mk
13,9-13; Mt 19,17-25; Lk 12,17-19) yang dalam masa yang terbuka dari Paskah sudah membuka
pintu masuk ke dalam kecelakaan (malapetaka) eskatologis yang besar (Mt 24,14-25). Tetapi
singkapan perjuangan ini adalah kesaksian positif pada perhatian akan orang kecil, orang miskin,
orang pinggiran, orang terlantar di mana Mateus menempatkan isi penghakiman (pengadilan) yang
dilaksanakan oleh Putera manusia (Mt 25,31-46). Dengan membekalinya dengan roti dan cawan
Memorial (Peringatan), Roh “mengingatkan” Gereja bahwa ia harus “mengingat” (“menyadari”)
diri sebagai diutus hingga Parousia demi kemenangan Kabar Gembira. Maka Kabar Gembira ini
ingin agar air mata terhapus dari bumi ini, jeritan orang miskin dan orang terhina hilang, luka-luka
(bencana) ketidakadilan dan kebencian lenyap, keributan senjata lenyap. Sesungguhnya harus sudah
bercahaya terang dunia yang dinyanyikan oleh kitab Wahyu (Why 21,1-6).
Jadi bukanlah kebetulan, seperti sudah ditegaskan oleh Yustinus, bahwa begitu cepat perayaan
ekaristis pada hari Minggu dihubungkan dengan bantuan satu sama lain, dengan derma, dan dengan
pendampingan orang susah. Tapi dulu pemberian-pemberian ini dipercayakan pada pemimpin
sinaxis (ekaristis) agar tidak lagi menjadi pemberian-pemberian per orangan, melainkan pemberian
Gereja lokal. “Dengan mengingat” gerakan-gerakan Kristus Yesus, komunitas itu “mengingat” pula
bahwa sebagai Tubuh Kristus, ia dipanggil untuk menjadi “Memoria” (“Peringatan”) yang hidup
akan Tuhannya dengan “gerakan-gerakan” mereka sendiri.
Martyria Gereja ini adalah penyaksian (pernyataan) bahwa Allah yang diwahyukan kepada orang
Israel adalah Allah yang setia dan benar. Jadi di sini Gereja sama sekali tidak dapat memisahkan diri
dari Israel. Dan kalau ritus-ritus Ekaristi, Sabda yang diwartakan, dan doa-doa yang diucapkan
diresapi secara komplit oleh Perjanjian Lama, itu berarti karena Perjanjian Lama itu lewat (berlalu)
dalam perayaan itu (Ekaristi itu) untuk digenggam oleh Kristus Yesus. Dalam Memorial

87
(Peringatan) itu, komunitas kristen “ingat” akan Perjanjian dan akan pemenuhannya. Komunitas itu
mewartakan kebenaran iman Abraham. Bahkan Roh “mengingatkan” komunitas itu bahwa ia
mempunyai missi untuk menegaskan bahwa Dia yang telah mengutus dan membangkitkan Kristus
Yesus adalah Allah Abraham, Ishak dan Yakub, dan tiada lain. Dengan demikian diberi kesaksian
akan kemanjuran martyria dan penderitaan Israel: merekalah (komunitas itu), dalam kuasa Roh
(Ruah), yang telah mengarahkan sejarah dari “ya” Abraham kepada “ya” Maria.

F. DALAM EKARISTI, YANG DINANTIKAN SUDAH DATANG

Akan tetapi dalam Memorial ekaristis akhir yang dinantikan sudah hadir secara misterius. Di sini
Gereja memberi tonalitas khusus pada pengharapannya sendiri. Dalam simbolisme sakramental
Tuhan kemuliaan itulah yang sudah hadir dan sudah diberikan. Ikonostasis di Timur, sebutan orang-
orang kudus dalam Kanon, “mengingatkan” Gereja, atas caranya, bahwa Gereja itu melangkah
bukan kepada sesuatu yang tidak diketahui. Obyek Pengharapan sudah terpenuhi. Pasti bahwa Umat
beriman terus menantikan. Mereka siap untuk suatu kedatangan mulia, yakni kedatangan Putera
manusia. Tetapi Dia yang akan datang sudah datang: “Kristus itu harus tinggal di sorga sampai
waktu pemulihan segala sesuatu, seperti yang difirmankan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya
yang kudus di zaman dahulu” (Kis 3,21).

C. JEJAK HIDUP
I. UMAT ALLAH DAN ETHOS KULTURAL
1. UMAT ALLAH

Allah Bapa memaklumkan hanya satu kata saja, yaitu nama Putera-Nya, yang diperanakkan
“sebelum segala ciptaan” (Kol 1,15) dan di dalam Dia dipetik cinta illahi, yaitu Roh Kudus. “Bapa
hanya mengatakan satu kata saja, dan itulah Putera-Nya, dan kata ini akan berbicara selalu dalam
silentium abadi, dan dalam silentium harus didengarkan oleh jiwa” (St. Yohanes dari Salib, Spunti
d’amore 21).
Allah Bapa, dalam aktus-Nya sendiri untuk membuat hidup (menghidupkan) ciptaan,
mengungkapkan suatu refleksi akan aktus illahi-Nya yang satu-satunya, yang memperanakkan: “Dia
selalu memperanakkan Putera-Nya, gambaran hidup, unik dan abadi akan kebesaran-Nya” (Pietro
card. de Berulle). Dia terus menumbuhkan paras (fisionomi) Putera-Nya yang sangat bagus dalam
kemanusiaan, dan demikian juga Ia mencintai kemanusiaan itu dengan cinta yang sama dengan cinta
yang diarahkannya kepada Putera-Nya. Bapa sejak semula (sejak keabadian) telah mengenal umat
pilihan-Nya (orang-orang yang dipilih-Nya) dan “dalam pengenalan itu mereka juga ditentukan-Nya
dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Putera-Nya, supaya Ia, Putera-Nya itu menjadi
yang sulung di antara banyak saudara” (Rom 8,29).
Atas cara bagaimana Allah Bapa memperanakkan kemanusiaan untuk membuatnya lahir dalam
bentuk keputraan illahi (forma filial)? Dia telah mengutus Putera-Nya untuk membuat diri-Nya
menjadi “Putera manusia”. “Dia yang adalah Sabda yang telah menjadi manusia dan telah tinggal di
antara kita manusia” (Yoh 1,14). Allah Bapa telah memperkenankan bahwa Putera-Nya dikandung
secara manusiawi melalui Roh Kudus (Lk 1,35) dan Ia telah mengarahkan daging-Nya untuk
membentuk diri terus-menerus menjadi roh yang bangkit. Daging human Sabda, yang telah menjadi
roh, nampak seluruhnya diserap dalam keberadaan dan dalam wajah Putera Allah, sehingga dengan
demikian terbentuk satu Pribadi Illahi yang unik.
Pengalaman yang dihidupi oleh Yesus, yang berobah dari status daging (yaitu status makhluk
lemah) menjadi roh yang bangkit (yaitu status kodrat yang sama dengan kodrat Allah sehingga
dengan demikian menjadi satu keberadaan unik personal dengan Dia), disebut Paska. Dalam Yesus
yang bangkit diam Roh Kudus; dan Dia dapat mengkomunikasikan-Nya kepada manusia. Untuk
tujuan apa? Karena apa? Oleh karena Roh Kristus itu dapat membuat mereka ambil bagian dalam

88
pengalaman paskal Sabda yang telah menjadi daging dan dengan demikian membuat mereka
menjadi putera-puteri dalam Putera Allah.
“Sebab karena Kristus telah wafat bagi semua orang (Rom 8,32), dan panggilan terakhir manusia
benar-benar hanya satu, yakni bersifat illahi, kita harus berpegang teguh, bahwa Roh Kudus
membuka kemungkinan bagi semua orang, untuk dengan cara yang diketahui oleh Allah
digabungkan dengan misteri Paska itu” (GS 22). Merasa bersatu dengan dan ambil bagian dalam
proses paskal Yesus Kristus berarti memperoleh dari Roh Kudus status roh yang bangkit, dan
kemudian berpartisipasi dalam bentuk (forma) filial (keputeraan) illahi dalam Kristus. “Agar dari
Dia (dari Yesus Kristus yang bangkit) dapat menerima (sesuatu seperti) tetesan rahmat, di mana
tetap tinggal utuh dalam Dia seluruh sumber Roh Kudus, seolah-olah dari kepenuhan Roh yang
tinggal dalam Kristus menyebar banyak anak sungai anugerah dan karya” (Novaziano, Sulla Trinita,
26,168).
Demikian setiap manusia dipanggil pada vitalitas baru keputeraan (filial) yang supernatural
(adikodrati) seturut Roh Kudus. St. Atanasius dari Alexandria menegaskan: “Sabda telah menerima
daging agar kita dapat menerima Roh Kudus” (PG 26,996). Lagi Atanasius menekankan: “Oleh
karena Bapa adalah sumber dan Putera disebut sungai, maka dapat dikatakan bahwa kita meminum /
meneguk Roh” (A. Serapione I,19).
Roh Kudus datang kepada kita bukan terutama untuk tinggal dalam colloquium intim, tetapi untuk
membuat kita selalu merasa bersatu dengan proses (menjadi) paskal yang dihidupi oleh Yesus
Kristus. Ia menghantar kita kepada kesatuan mistik paskal dengan Kristus dan kemudian, akhirnya,
mengintegrasikan di dalam diri kita ikon (gambar) keputeraan (filial) dengan kemuliaan Allah Bapa.
Melalui Roh Kudus “hidup kita yang benar tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah”
(Kol 3,3).
Karena kenyataan bahwa Kristus “telah mengaruniakan kita mendapat bagian dalam Roh-Nya”,
maka Ia telah memberikan Roh-Nya kepada kita” (1Yoh 4,13) dan bahwa Roh itu telah membuat
kita menjadi putera-puteri dalam Putera Allah sehingga dengan demikian dapat “berseru ‘ya Abba’,
yang berarti ‘ya Bapa’, ketika kita mengarahkan diri kepada Bapa” (Rom 8,15), “demikianlah kita
ketahui, bahwa kita tetap berada di dalam Allah dan Dia di dalam kita” (1Yoh 4,13). Seluruh
kemanusiaan, karena panggilannya, dipanggil untuk menjadikan dirinya sebagai Umat Allah Bapa
dengan ambil bagian dalam keputeraan Putra karena Roh Kudus.

2. TUBUH MISTIK

Roh Kudus, dengan membuat kita ambil bagian dalam misteri paskal Kristus, menghantar kita ke
dalam hidup spiritual Kristus: Ia membentuk kita dalam kesatuan existensial dengan Tuhan, seolah-
olah kita adalah anggota Tubuh-Nya. “Kamu semua adalah Tubuh Kristus dan kamu masing-masing
adalah anggotanya (1Kor 12,27), “kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang
lain” (Rom 12,5).
Menjadi anggota Kristus secara integral berarti ditempatkan dalam kebaruan hidup. “Jadi siapa yang
ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru” (2Kor 5,17); ia memulai suatu existensi yang benar-
benar spiritual, karena ia berbuat “atas dorongan Roh Allah” (LG 41); ia merasa diarahkan
(digerakkan) untuk mempraktekkan (untuk menghidupi) hidup yang sama, yakni hidup suci Kristus.
Tubuh mistik Kristus bukanlah suatu privilege yang diperuntukkan bagi orang kristen (saja). Oleh
karena Roh Kudus menawarkan (memberikan) “bagi semua orang, untuk dengan cara yang
diketahui oleh Allah digabungkan dengan misteri Paskah itu” (GS 22), hidup Tubuh Mistik Kristus
diperluas (diperpanjang) ke seluruh kemanusiaan. Oleh karena itu usaha menghidupi hidup spiritual
di bawah dorongan Roh Kristus “harus disebarluaskan ke seluruh dunia dan melaluinya kepada
segala abad, supaya terpenuhilah rencana kehendak Allah” (LG 13).
Dalam Tubuh Mistik universal Kristus ini “Allah telah menyerahkan kepada setiap orang (baik
kelompok [group] maupun per orangan) “tempat”, missi dalam hubungan dengan hidup spiritual
[dalam menghidupi hidup spiritual]) dalam Roh Kristus demi kedatangan Kerajaan-(Nya). Tuturan
biblis telah menunjukkan pilihan akan suatu bangsa yang ditugasi untuk membuat bangsa lain sadar
akan pengalaman spiritual yang patut dalam Roh Kristus.

89
“Maka Ia (Allah) memilih bangsa Israel menjadi umat-Nya, mengadakan perjanjian dengan mereka,
dan mendidik mereka langkah demi langkah, dengan menampakkan diri-Nya serta rencana
kehendak-Nya dalam sejarah, dan dengan menguduskan mereka bagi diri-Nya” (LG 9). Pilihan dan
perjanjian inilah yang harus “menjadi gambaran (figur) dan yang mempersiapkan umat Allah yang
baru yang hendaknya terbentuk dalam Gereja Kristus. Umat Allah yang baru itu sudah dikondisikan
sebagai bermartabat dan mempunyai kebesaran anak-anak Allah, dan Roh Kudus diam dalam hati
mereka bagaikan dalam kenisah” (LG 9).
Missi yang dipercayakan kepada umat gerejani (ekklesial) adalah mengobah dunia seluruhnya
“menjadi Umat Allah, menjadi Tubuh Tuhan dan kenisah Roh Kudus” (LG 13.17). Ini berarti
bahwa komunitas gerejani (ekklesial) dipanggil untuk siap (membuka diri) pada karya Roh untuk
ambil bagian (berpartisipasi) dari dirinya sendiri pada misteri Paskah Kristus yang membangkitkan
dalam diri bangsa lain kesiapan (keterbukaan) untuk menerima rahmat Paskah dari pihak Roh; dan
dengan demikian menjadi (berada sebagai) umat gerejani (ekklesial) missioner Roh Kristus.
Umat gerejani (ekklesial) adalah umat pilihan bukan agar dibimbing, karena lebih suka, untuk
menghidupi hidup spiritual dalam Roh Kristus secara istimewa dari orang lain. Setiap umat dipilih
untuk hidup dalam pengalaman spiritual seturut Roh Allah. Umat gerejani (ekklesial) ditopang
dengan sarana-sarana sakramental yang menyelamatkan -- menguduskan dan dengan Sabda dalam
iman eksplisit kepada Kristus Penyelamat dengan fungsi suatu missi yang untuk itu mereka harus
memberi diri; untuk memberi kesaksian akan Kristus kepada seluruh kemanusiaan; untuk
menyebarkan kebersamaan dalam Roh kepada seluruh manusia.
Umat gerejani (ekklesial), “sekalipun kadang-kadang muncul sebagai kawanan kecil, merupakan
benih (kecambah) bernas kesatuan, pengharapan dan keselamatan bagi seluruh kemanusiaan” (LG
2). Umat gerejani itu bukanlah suatu umat yang tertutup pada dirinya sendiri, tetapi memberi diri
seluruhnya secara missioner kepada yang lain, agar “kemuliaan Bapa dinyatakan dalam Putera”
(Yoh 14,13) dan ini disebarkan kepada seluruh kemanusiaan. Sekalipun umat itu berbeda-beda
dalam kharisma dan pelayanan, tetapi mereka membentuk suatu kesatuan pelayanan kasih, yang
dimurnikan dari setiap perasaan dominasi, perasaan memiliki dan perasaan diistimewakan
(privilege).

3. HUBUNGAN SOSIAL KARITATIF

Pesan Perjanjian Baru terbatas pada pemberian saran akan relasi spiritual interpersonal (hubungan
spiritual antar pribadi). Nampaknya diabaikan suatu spiritualitas yang benar-benar sosial. Tidak
bermaksud mengatur ordo / tata publik yang ada (Rom 7,2; 1Tim 2,11; 1Kor 11,3). Yang
diharapkan ialah membangkitkan relasi karitatif fraternal dengan memastikan bahwa relasi itu akan
mengubah struktur sosial itu sendiri secara spiritual.
Umat kristiani dipanggil untuk menjadi ragi yang mengkhamirkan (membaharui) seluruh realitas
yang ada; juga untuk mengubah (membaharui) keadaan sosial seturut semangat injili;
mengkomunikasikan jalan-jalan Roh Allah kepada struktur-struktur sosial dan ekklesial sendiri.
Umat kristiani adalah umat yang, justru karena bertindak (beraksi) karena / setelah digerakkan oleh
Roh Allah, tahu mengorientasikan masyarakat kepada Kerajaan di mana yang dominan ialah saling
menerima satu sama lain dengan segala kebesaran illahi. Karena itu dapat dikatakan apa yang
dikatakan oleh Maister Eckhart: “Allah ialah apa yang selalu semakin dikomunikasikan, ... karena
dalam segala anugerah yang diberikan-Nya, Ia terutama selalu memberikan diri-Nya sendiri”.

4. ETHOS KULTURAL

Terbagi-baginya kemanusiaan dalam berbagai bangsa dan negara cocok dengan rencana
penyelenggaraan illahi. Hal ini diingatkan oleh Nyanyian Musa: “Ketika Sang Mahatinggi
membagi-bagikan milik pusaka kepada bangsa-bangsa, ketika Ia memisah-misah anak-anak
manusia, maka Ia menetapkan wilayah bangsa-bangsa menurut bilangan anak-anak Israel” (Ul
32,8), Ia berusaha mengarahkan (mengorientasikan) kemanusiaan secara teratur kepada Hamba

90
yang menderita, rajawi dan imam, yang dilukiskan (ditunjukkan) sebagai “Terang (Cahaya) bagi
bangsa-bangsa” (Yes 42,6).
Tuhan Yesus sendiri menjadi warga suatu bangsa, tetapi dengan tugas untuk menginjili
(mewartakan Injil kepada) seluruh bangsa, dengan mengutus para murid “kepada seluruh bangsa”,
untuk berkhotbah di mana-mana, kepada setiap makhluk (ciptaan)” (Mt 28,16-20; Mk 16,15-20).
Sekaligus Ia mengundang (mengajak) untuk meneladani-Nya dengan masuk dalam sistem ekonomi-
sosial kultural zaman dan lingkungan itu sendiri (Mt 22,15ss; Lk 12,13ss), dan juga dengan
mengatasi secara radikal lingkungan sendiri sehubungan dengan kerajaan baru (Mt 20,1; Lk 12,24;
Mk 11,7).
Komunitas gerejani (ekklesial) nampak berhadapan dengan dua sikap spiritual yang berbeda. Pada
kesempatan (zaman) tertentu ia lebih suka menolak setiap nilai kultur duniawi untuk hidup dalam
suatu perspektif yang eskatologis mungkin. Pada kesempatan (zaman) yang lain ia menghargai,
menghormati dan menginjili setiap kultur humanistik otentik yang ada.
Mengenai cara menerima hidup humanistik kultural berbagai bangsa ini komunitas gerejani
(ekklesial) mempunyai sikap yang bervariasi yang dapat disintesekan dalam dua bentuk
fundamental. Kadang-kadang ia menganggap bahwa dapat disarankan suatu hidup kultural murni
yang dikristenkan secara mendalam, yang “menunjukkan (mengindikasikan) sudut pandang definitif
atas kesalingterkaitan eksistensi kita dan atas realitas kosmos”. Pada kesempatan lain komunitas
gerejani (ekklesial) itu menerima bahwa humanisme kultural dinyatakan sebagai otonom murni
(awam) di hadapan iman kristen dan dipercayakan pada kelihaian (kecerdikan) kreatif semua umat
baik kelompok-kelompok (grup-grup) maupun perorangan (masing-masing). Suatu humanisme
pluralistik selalu memerlukan penyempurnaan selanjutnya, dan kepadanya umat kristen
mengkomunikasikan semangat paskal karitatif. Konsili Vatikan II, dalam dekrit Ad Gentes,
mengundang orang kristen untuk mengikat dan melibatkan diri dalam hidup kultural dan sosial
negeri mereka, dengan mengakrabkan diri dengan tradisi nasional dan religius untuk “menemukan
dengan gembira dan menghargai benih-benih Sabda yang terdapat secara tersembunyi di dalamnya”
(AG 11).
Direstui agar orang kristen menciptakan kulturnya sendiri yang dijiwai oleh semangat (spirit) injili
dan, sekaligus, agar mereka mengikat dan melibatkan diri untuk menghimpun dan menginjili setiap
kultur yang ada yang dihidupi oleh orang lain, dan dengan demikian diambil sebagai materi
kerajaan Allah” (GS 38). Sekarang ini yang lebih disukai dibicarakan bukan terutama mengenai
spiritualitas kristen, tetapi spiritualitas kristen yang disesuaikan dengan zamannya sendiri.
Spiritualitas sedemikian adalah spiritualitas yang mencerminkan (memantulkan) pesan injili akan
inkarnasi Sabda dan yang tahu mengharmonisasikan diri dengan tanda-tanda zaman dengan respek
(rasa hormat) demokratis setiap kultur.
Dalam Gereja kontemporer (pada tahun 1960-an) ada contoh konkrit dari umat Afrika yang terlibat
dalam memberi suatu karakter spesifik, wajah tertentu dan warna yang khas Afrika pada kekristenan
yang berasal dari Barat. Mereka telah membentuk suatu teologi spiritual dengan “penyesuaian”
(yang disesuaikan dengan kultur dan konteks mereka), yang membedakan hidup spiritual kristen
essensial dari pakaian luarnya (kultur Barat); mereka telah menemukan (menghidupi) kekristenan
dalam bahasa yang lebih cocok dengan mereka sendiri, yang cocok dengan gaya hidup dan
mentalitas orang Afrika.
Pengalaman akan penyesuaian itu nampak (tersingkap) sebagai “ambiquus” (mendua arti) karena
terbatas pada pemunculan (tawaran) suatu spiritualitas yang dipindahkan (transplantasi) dari satu
kultur kepada kultur yang lain sekalipun dengan bentuk dan pengungkapan (ekspressi) yang baru.
Dalam Sinode tahun 1974 para Uskup Afrika menyatakan (mengumumkan) bahwa sudah selesai
masa penyesuaian, dan sekaligus menyatakan (mengumumkan) bahwa mereka mendukung
(memihak pada) suatu teologi inkarnasi: “suatu teologi afrikan yang terbuka pada aspirasi
fundamental umat afrikan yang tahu dan siap mengarahkan Injil untuk berinkarnasi
(mengingkarnasikan diri) secara langsung dalam hidup dan dalam kultur umat dari benua hitam.
Mereka diminta untuk merancang (menemukan) kembali kekristenan otentik atas kultur Afrika.
“Kami mau menjadi orang kristen otentik -- kata para Uskup itu -- tapi sekaligus tetap sebagai orang
Afrika yang otentik.
Dalam hal ini dapat dilihat, misalnya, arti afrikan akan pesta dan liturgi sebagai ruang bagi Allah
dan sebagai moment keseimbangan dan rekonsiliasi kosmis; dapat juga dilihat nilai-nilai afrikan

91
akan paternitas, maternitas dan akan relasi interpersonal (hubungan antar pribadi), yang dicapkan
pada suatu persaudaraan human dan spiritual yang hangat; dan lagi, dapat dilihat ide akan Allah
yang dipahami sebagai sumber setiap hidup, selaras dengan apa yang hidup dan segala sesuatu yang
hidup.

5. ETHOS KULTURAL DALAM PERTOBATAN SPIRITUAL

Bagaimana dapat berbicara mengenai nilai-nilai kultural dalam hidup spiritual kristiani, kalau hidup
spiritual itu cenderung untuk “menggelapkan diri dan menyangkal diri terhadap segala sesuatu yang
eksterior dan interior yang dapat menerima? Problem akan nilai-nilai kultural dalam bidang spiritual
telah diperbincangkan dan dihidupi dengan berbagai bentuk dan ekspressi sekaitan dengan misteri
paskal, dengan Kematian-Kebangkitan, dengan penolakan-penerimaan, penerimaan-pengatasan
dengan solusi yang berbeda-beda.
Spiritualitas monastik telah menyarankan “fuga mundi” (lari dari dunia) juga secara kultural, oleh
karena segala sesuatu yang duniawi adalah daging yang bertentangan dengan roh. Kalau bagi Karl
Barth ada pertentangan antara iman dan kultur, berhubung karena spiritualitas baru dapat dikatakan
sebagai kristiani hanya kalau spiritualitas kristen merupakan dimensi yang paling dalam yang dekat
(intim, akrab) dengan kultur profan. Lazimnya spiritualitas sehari-hari, yang disesuaikan,
menyarankan untuk menempatkan nilai-nilai kultural dalam “kontak yang lebih hidup dengan
misteri Kristus dan sejarah keselamatan” (OT 16). Setiap umat kristen dipanggil untuk menghidupi
imannya, “juga melalui struktur-struktur hidup duniawi (sekular)”, dalam kondisi biasa keberadaan,
sehingga dengan demikian kekuatan Injil bersinar dalam hidup sehari-hari, dalam keluarga maupun
masyarakat” (LG 35).
Ethos kultural meminta untuk diterima tetapi sekaligus juga mau tunduk pada suatu perubahan
(transformasi) radikal seturut semangat (roh) paskal; perlu dimasuki oleh hembusan pembaharuan
semangat injili, sehingga dengan demikian juga agar komunitas kristen memberi kesaksian akan
“kehadiran tersembunyi Allah” (AG 9), “sinar kebenaran yang menerangi seluruh manusia” (Nae 2).
Dalam usaha untuk mengatasi (transendensi) moral yang murni human demi suatu pengalaman
spritual injili, kehadiran Allah itu tersingkap meluas / membentang yang nampak mulai dari Institusi
pada hidup kharismatik, dengan kekuatan hukum baru, yang adalah rahmat paskal roh sendiri”.
Hidup kultural spiritual diarahkan untuk diungkapkan dalam suatu dimensi ekklesial dalam Kristus;
diarahkan untuk menyatakan diri sebagai tuturan dari apa yang sedang dikerjakan oleh Roh Kudus
dalam sejarah human, sebagai cara konkrit untuk ambil bagian dewasa ini dalam misteri Kristus,
sebagai hidup injili yang sedang direalisir oleh komunitas ekklesial di tengah masalah-masalah
hidup sehari-hari, sebagai kecambah benih Sabda yang tumbuh terus-menerus dalam hidup
humanistik aktual. Hidup kultural spiritual itu membawa masuk nilai-nilai injili yang abadi ke
dalam suatu bentuk (wujud) (konfigurasi) eksistensial yang sulit, tetapi sekaligus melibatkan
komunitas kristen untuk mendengarkan Roh dalam hidup konkrit kultural-ekklesial sendiri.
Akan dapat dibenarkan suatu pluralisme hidup spiritual yang disesuaikan (akulturasi) yang, (kalau
hidup itu) dengan saling memperbandingkan, akan dapat saling berintegrasi antara satu sama lain.
Pluralisme spiritual sebagai “loca teologica” (sumber-sumber teologis umum: Kitab Suci, Tradisi,
Liturgi) di mana akan nampak sifat-sifat (gambaran-gambaran) semangat injili yang mungkin di
antara nilai-nilai kultural yang terbatas dari setiap umat dan akan dapat muncul dengan lebih terang
dan lebih kaya tuntutan kristen yang baru melalui berbagai tanda-tanda zaman.

II. TUBUH (JASMANI), JIWA (PSIKE), WAKTU


1. KEJASMANIAN (CORPOREITAS) DALAM KULTUR SEKARANG INI

Diskusi yang muncul dewasa ini ialah baik mengenai tubuh maupun mengenai kejasmanian
(kebertubuhan). Tubuh (badan) berallusi pada satu bagian dari manusia, yang terdiri dari jiwa
(anima) dan badan (raga; tubuh). Sementara kejasmanian adalah suatu dimensi umum dari seluruh
keberadaan personal. Kalau dengan istilah “tubuh” (badan; raga) digambarkan sesuatu yang dimiliki

92
dan yang dapat kita pisahkan dari “aku” yang mendalam, maka dengan kejasmanian (corporeitas)
diajak untuk memetik suatu dimensi badaniahnya dalam setiap kepingan keberadaan human dan
dalam setiap aktivitasnya, juga yang intern.
Yang badaniah bukanlah menunjukkan suatu limit yang sempit, tetapi cara berada yang khas
human. St. Thomas menyimpulkan bahwa “jiwa (anima) yang disatukan dengan tubuh (corpus)
adalah lebih sempurna dari pada kalau dipisahkan dari padanya”; bahkan, “lebih mirip dengan
Allah, walaupun Allah itu secara mutlak baik simplex maupun immaterial”. Suatu pikiran atau suatu
perasaan yang tidak dapat dikatakan sebagai human sekiranya dapat dihidupi atas cara yang sama
sekali asing dari yang badaniah. Menderita suatu perkosaan seksual di luar lingkungan cinta selalu
merupakan suatu hidup seluruh pribadi yang diperkosa.
Kejasmanian memberikan perantara pada kesadaran kita agar tahu bertindak di dunia; dalam
pendidikan dan pengembangannya tahap demi tahap (progressif) diciptakan perkembangan
personal; diberi peluang kepada pribadi untuk merasa diri sehat atau sakit, cerah atau suram, laki-
laki atau wanita. Kejasmanian itu, yang masuk di antara komponen-komponen psikis,
mengkondisikan pikiran kita; dekat dengan penilaian dan kemauan kita; merupakan kekuatan yang
menentukan yang memberikan peluang untuk colloquium interpersonal (antar pribadi). Sekarang ini
dimengerti mengapa ilmu terapeutik dimunculkan, selain psiko-somatik (rasa pada level psikis
diterjemahkan dalam symptomatology fisik), juga somato-psikis (modifikasi sikap-sikap tubuh
untuk modifikasi penyimpangan-penyimpangan [deviasi] psike).
Dapat juga dimengerti bahwa pada zaman kontemporer ini tubuh dilibatkan dalam banyak bentuk
dansa (misalnya: break-dance, flashdance), hingga mengungkapkan suatu komunikasi sponsal yang
baru. Mengembangkan tubuh sendiri adalah (berarti) memperluas relasi dengan orang lain.
Untuk memasukkan diri kita ke dalam suatu pengalaman religius yang lebih dari pada bahasa
rasional perlu masuk (sampai) pada simbolisme badaniah, bukan terutama dalam tuntutan untuk
mengungkapkan yang illahi dalam diri sendiri, tetapi untuk mengintuisikannya (menyerapnya)
melalui stimulasi negatif dalam statusnya yang transenden. “Pengalaman mengajarkan bahwa
melalui aktus-aktus badaniah jiwa didorong untuk mengenal dan berefleksi (merasa). Jadi patutlah
melayani diri dengan realitas badaniah (corporal) (prestasi, berlutut, permohonan / doa dan
nyanyian) untuk mengangkat pikiran kita kepada Allah.

2. DIMENSI ESSENSIAL BADANIAH DARI SPIRITUALITAS

Spiritualitas Timur sudah sejak dahulu menyebarkan pengalaman mistik ke dalam askese badaniah.
Khususnya, asketisme hesicasme (tenang; doa hati) melalui tekhnik psiko-corporea (badaniah)
ekspirasi (mengeluarkan nafas) - inspirasi mengarahkan (mengorientasikan) seluruh pribadi pada
hidup mistik.
Spiritualitas Barat menganggap bahwa perjalanan spiritual menyangkut penyangkalan kejasmanian
(corporeitas) dan segala sesuatu yang melekat kepadanya. Spiritualitas ini memimpikan agar dapat
menempatkan diri dalam suatu bentuk hidup angelic (malaikat). Kemudian spiritualitas ini mengerti
bahwa manusia baru dapat dikatakan baik hanya kalau ia bercermin pada cahaya (terang) Roh
Kristus dalam seluruh keberadaan personalnya.
Baik tubuh (corpus) maupun roh (spirit), keduanya dituntut untuk mengungkapkan diri sebagai
gambaran Allah dalam Kristus. Orang beriman, melalui penyucian permandian tubuhnya, menerima
purifikasi (pemurnian) paskal dari Roh. Setelah dipuaskan dengan roti ekaristik, seluruh pribadi
dipelihara / dibutuhi (diberi makan) oleh Roh Kristus. “Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan
adalah persekutuan dengan Tubuh Kristus?” (1Kor 10,16). Tubuh (corpus) manusiawi (human)
mempunyai sikap dasar (kecenderungan dasar) pada status pneumatis, paskal. Dalam status rahmat,
corpus human itu punya vitalitas awal (pemula) yang transenden, seolah-olah suatu tetesan darah
illahi menyirami (mereciki)-nya. Dalam corporeitas (kejasmanian) sudah tertulis hukum spiritual:
mengungkapkan diri sedemikian dalam cinta sehingga (dengan itu) memberi kesaksian akan dirinya
sendiri dalam (melalui) pelayanan, dalam (melalui) colloquium dan dalam (melalui) kesatuan intim
dengan yang lain; bercermin pada (dalam) kasih illahi triniter dengannya Roh membuat kita ambil
bagian dalam Kristus (Yoh 17,21-22).

93
Apa yang ditimbulkan (apa dampaknya) oleh rehabilitasi (pemulihan) yang terjadi akan corporeitas
dalam spiritualitas kristen Barat? Dulu, bagi orang kristen, kelihatannya mereka dapat menempatkan
diri di dunia di antara orang yang tidak beriman dengan tidak lagi sebagai orang asing, tetapi dengan
tetap memakai istilah itu sendiri (“orang asing”), sambil berjalan (maju) dalam perjalanan
humanistis yang sama dengan menghormati nilai-nilai antropologis yang sama. Walaupun orang
beriman tetap berbeda dari orang yang tidak beriman karena cinta mereka terhadap nilai-nilai yang
ada, yang pada intinya superior terhadap nilai-nilai humanistik, yang nampaknya kurang dihargai
oleh orang lain. Dulu, bagi orang kristen, begitu mungkin memberi kesaksian secara publik
bagaimana nilai corporeitas (kejasmanian) dapat dihidupi dengan semangat (roh) kristen, dengan
menyebarkan animasi injili di dalamnya.
Penghargaan (penilaian: valorisasi) akan corporeitas dalam spiritualitas kontemporer nampaknya
menopang pangalaman paskal personal dengan lebih integral (terpadu). Kalau dulu spiritualitas
mengajak (mengundang) untuk memortifikasi tubuh, dengan menganggapnya sudah ditentukan
untuk mati dalam kesatuan dengan Kristus di salib, sekarang spiritualitas itu condong untuk
menghidupi dalam corporeitas personal, di seberang kematian paskal Tuhan, kebangkitan-Nya
sendiri. Tubuh dimortifikasikan agar nampak lebih kuat (lebih utama) dalam nilai human sendiri
Roh Tuhan yang bangkit. Spiritualitas yang semakin memeluk misteri paskal Kristus dalam
keluasannya, akan semakin dianggap otentik.
Prospektif yang dipromosikan dewasa ini akan corporeitas (kejasmanian) dapat berbahaya menjadi
kekacauan asketis. Dapat, misalnya, memperlambat (membuat terlena) animo (semangat) dalam
kenikmatan yang berlebihan di antara nilai-nilai duniawi, lupa mengarahkannya pada transendensi
eskatologis, lupa menghidupi aspirasi teologal dalam seluruh keberadaan, lupa mengarahkan yang
badaniah itu sendiri pada suatu ekspressi (ungkapan) baru dalam kasih Roh Kristus.

3. ASKESE MORTIFIKATIF BADANIAH

Bagi Hellenisme antik, daging (caro) adalah “sesuatu yang jahat (nakal)”, di mana di dalamnya jiwa
(anima) jatuh karena dosa. Jiwa, yang preexisten, karena dosa jatuh ke dalam materi. Jiwa itu harus
memelihara (mempertahankan) dirinya sebagai murni dari materi agar (untuk) dapat kembali kepada
asal-usulnya melalui kontemplasi. “Singkatnya, perlu merendahkan (memortifikasi) tubuh
seluruhnya, kalau tidak mau membiarkannya terkurung (terpenjara) dalam kenikmatan-
kenikmatannya seperti dalam lumpur ... Perlu menyiksa dan menguasai (mendominasi) tubuh,
sebagaimana orang buta menahan diri (mengerem diri) karena dorongan binatang buas” (Basilius).
Askese keras para rahib di padang gurun memantulkan pengaruh simultan pengalaman kristen akan
konkupisensi (hawa nafsu) daging dan akan perendahan platonis tubuh. Askese mortifikatif telah
teranimasi atas misteri paskal Kristus (1Kor 9,27).
Spiritualitas kontemporer mengungkapkan secara simultan (serentak) keyakinan dan ketidakyakinan
atas seluruh keberadaan personal. Sementara mengundang (mengajak) untuk mencintai diri sendiri
dalam corporeitas diri sendiri, spiritualitas itu mengingatkan juga bagaimana seluruh keberadaan
personal (dalam komponen intelektif-volitif [kehendak]-nya sendiri) menuntut purifikasi
(penyucian) mendalam agar dapat terbuka pada anugerah total Kristus. St. Agustinus mengingatkan
bahwa “setiap manusia adalah Adam, setiap manusia adalah Kristus”. Existensi human adalah
“suatu perkosaan yang terus menerus dilakukan pada kodrat, oleh karena dalam aktus itu sendiri di
mana ditunjukkan keyakinan (kepercayaan) atas kehadiran Roh yang meresapi, dituntut pada
keberadaan personal suatu discerment kritis terhadap gerakan-gerakannya yang sensitif yang tidak
teratur.

4. EKSPLORASI (PENYELIDIKAN) BADANIAH AKAN PENGALAMAN MISTIK

Menurut St. Thomas pengalaman mistik kontemplatif hanya terjadi dalam intelectus-affectus (S. th.
II - II,2, ad 1) “tanpa implikasi korporal” (tanpa keterlibatan tubuh) (S. th I - II,22,3, ad 1). Menurut
St. Yohanes dari Salib pengalaman mistik terbatas pada jiwa-essensi (S. II,13,7), walau kadang-
kadang dirasakan tidak hanya getaran intim jiwa, tapi digetarkan juga tubuh” (S. II,26,8). Dianggap

94
bahwa corporeitas, walaupun dengan kebetulan dapat mengalami refleks, dari dirinya sendiri (per
se) adalah asing bagi pengalaman mistik.
Teologi Spiritual kontemporer lebih suka melihat (menganggap) bahwa sakramentalitas paskal
membaharui seluruh keberadaan personal. Juga oleh karena “daging (caro) adalah sendi
keselamatan. Ketika jiwa disatukan dengan Allah, daginglah yang memungkinkan ikatan itu.
Daginglah yang dibaptis, agar jiwa disucikan; daging diurapi agar jiwa dikuduskan ... Pribadi
(orang) spiritual nampak ditopang (didukung) untuk suatu hidup mistik, kalau dan sejauh seluruh
keberadaannya (badaniah - psikis) dipneumatisir. Corporeitas itu sendiri diajak untuk membiarkan
diri dipneumatisir agar tahu berpengaruh dan ambil bagian dalam hidup mistik kontemplatif
personal.

5. CORPOREITAS DALAM DOA

Liturgi adalah doa Tubuh Mistik Kristus, yang ditunjukkan di antara tanda-tanda dan ritus-ritus
orang beriman yang secara corporal (badaniah; jasmaniah) disatukan dalam kemanusiaan Kristus
yang bangkit pada pujian akan Trinitas yang Mahakudus. Liturgi itu adalah perayaan komuniter
umat Allah, tidak hanya demi perasaan memuji dan menyembah yang di”sharing”kan oleh umat
beriman, tetapi terutama karena Roh (Kudus) dengan mem-pneumatisir orang beriman yang hadir --
mempersatukan mereka secara corporal (jasmani) dari sisi spiritual. “Dalam Gereja kudus,
sesungguhnya, orang banyak (penggandaan orang) telah dileburkan dalam satu realitas oleh api Roh
Kudus. Pemisahan dan pembagian ordo material dan fisik secara murni tidak dapat menggores
sakramen kesatuan ini” (St. Pier Damiani).
Liturgi, selain dari pada digunakan oleh komunitas yang dipneumatisir dalam Kristus demi pujian
kepada Allah Bapa, juga sekaligus mendalami di antara mereka suatu korporeitas yang baru. Liturgi
adalah sumber pneumatisasi dalam seluruh keberadaan badaniah umat Allah, di mana dan melalui
mana disampaikan pemuliaan komuniter kepada Trinitas Yang Mahakudus. Sikap badaniah orang
beriman menyebarkan dalam liturgi suatu simbolisme yang sangat komunikatif, memberdayakan
upaya ekspressif, membangkitkan doa persaudaraan umum, membuatnya menjadi doa tubuh mistik
gerejani. Karena komponen badaniah (jasmaniah) maka doa liturgis mendidik seluruh pribadi
masing-masing orang beriman secara spiritual, memasukkan inspirasi spiritual dalam isyarat-isyarat
personal, mempengaruhi secara tidak langsung pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan yang
tersembunyi. Para Bapa Gereja sendiri telah menasehatkan untuk mempersatukan doa dengan karya
oleh karena kasih Roh nampak secara jasmani dalam seluruh diri (persona).
Kiranya dapat ditolak bahwa para Bapa Gereja mengajak (menggiring) untuk menganggap bahwa
doa selalu semakin “murni”, sebagai kontak intim dengan Yang Absolut, dalam silentium yang
hampir total dari kecakapan (facultas) terutama yang sensible (yang dapat merasa). St. Yohanes dari
Salib sendiri mengajak untuk “kembali ke (dalam) batin”, sehingga dengan demikian membiarkan
diri tenggelam dalam kedalaman intim keberadaan (essere) personal di mana Allah diam (tinggal)
dan dari mana memancar hidup-Nya kepada kita. Dalam interioritas mendalam ini tidakkah
dibenarkan ketidakhadiran (absennya) korporeitas? Dengan mencapai puncak mistik doa bukankah
hal itu sudah pergi ke seberang -- sekurang-kurangnya secara tentatif -- suatu kesatuan jasmani
dengan Allah? Tidakkah St. Paulus sendiri ragu bahwa, untuk mempunyai initimitas mistik dengan
Tuhan, ia sudah mengatasi (melewati) bentuk (forma) badaniahnya sendiri (2Kor 12,2)?
Undangan (ajakan) untuk menenggelamkan diri dalam kedalaman batin sungguh berarti bukan
meninggalkan korporeitas sendiri, tapi membiarkan diri dimasuki oleh roh paskal dalam seluruh
keberadaan, sehingga dengan demikian tahu berkomunikasi dengan cara apa pun secara tak
langsung dengan Roh Tuhan; mengatasi dalam bentuk inisial paskal status badani karnal untuk
masuk ke dalam status badani terpneumatisir juga.
Hal yang badaniah (jasmani) dapat menjadi simbol doa (berdoa) dan simbol sakramental hanya
kalau disatukan dengan roh personal: hal ini sama sekali bukanlah hal material (sebagaimana air,
roti, anggur dilihat dalam dirinya sendiri). Ini adalah aspek badaniah (jasmaniah) pribdi yang berdoa
yang menghadirkan nilai spiritual; adalah selalu seluruh pribadi orang yang percaya yang
ditempatkan di hadapan purifikasi melalui air, yang diperlakukan sebagai tamu dengan berbagi roti
dan anggur.

95
6. PSIKE SEBAGAI PUSAT UNIFIKASI PERSONAL

Personalitas human adalah dalam aktuasi yang penuh perkembangan ketika ia dapat mengontrol
fungsi-fungsinya sendiri baik fisik maupun psikis. Kontrol tak pernah diperoleh secara total dan
definitif.
Budi menguasai tubuh, dengan membiarkan melakukan gerakan-gerakan di bawah pengaruh gejala-
gejala psikis, seperti ide dan keinginan-keinginan. Sementara emosi-emosi (kesedihan,
kegembiraan, rasa malu, rasa takut, dsb) terbentuk dan menunjukkan diri melalui proses fisiologis.
Jadi muncul suatu kesatuan psikosomatis, yaitu suatu keseluruhan personal yang bagian-bagiannya,
sekalipun tetap memegang tetap karakter-karakternya sendiri yang spesifik, tidak saling terpisah
tetapi saling kait mengait secara organis. Kekonkritan biopsikis ini memungkinkan manusia untuk
berada di dunia dan untuk menggabungkan diri dengan realitas eksterior.
Psike mengkordinir berbagai moment hidup personal sendiri dan aktivitas sendiri, dan momen itu
berganti-ganti. Psike itu adalah basis (dasar) konsep mengenai diri sendiri. “Kesatuan, yang
merupakan pengalaman saya yang paling besar: yang walaupun saya tahu bahwa saya berada dalam
perobahan yang konstan, seluruh molekul sedang berobah, semua dalam diri saya dibaharui dalam
substansinya, tetapi bagaimanapun tetap ada identitas saya, kesadaran saya bahwa tetap sama secara
essensiil dari 20 tahun yang lalu. Walaupun banyak berobah, tetapi kontinuitas identitasku tetap
berintegrasi. Mungkin karena suatu aba-aba yang tak disadari, saya terbuka untuk suatu perobahan
atas dasar suatu kodex genetik yang sudah tercap dalam keberadaanku”.
Psike, karena kapasitasnya yang menyatukan dalam persona, punya missi untuk mempedulikan
seluruh organisme bio-psikis menuju (terhadap) pengalaman personal dan spiritual yang lazim. Pada
psike itu ada (melekat) tugas untuk belajar bagaimana mengatur kembali status personal asketik
sendiri dan mengorientasikannya pada suatu pertobatan spiritual yang utuh. Seorang pribadi
(misalnya), sadar sebagai cenderung menyampaikan kritik dendam (kritik benci) terhadap orang lain
terutama pada saat-saat frustrasi pribadi atau pada saat tugas monoton yang tidak menguntungkan,
mengintensifkan permohonan-permohonan berkat atas pribadi tersebut, dengan menyatakan
penilaian eksplisit yang baik atas mereka. Ada upaya karitatif yang akan membawa animonya untuk
berdiam secara konstan di antara perasaan-perasaan altruistik karitatif.
Manusia rohani terhalang mendekat pada kebenaran seturut roh, oleh karena bio-psikis umum
sendiri yang terfossil antara pakaian-pakaian intelektif-sentimental yang tidak teratur. Pikiran-
pikiran kotor lebih berasal dari bio-psikis affektif dari pada rasionalistis. Pertobatan secara primer
harus dibawa pada kebiasaan-kebiasaan dan kecenderungan (tendensi) yang terletak dalam bio-
psikis yang tidak disadari.

7. MENGENAL ALLAH DAN KEHENDAK-NYA

Seorang pribadi nampak dapat dikenal kalau kita berada dalam hubungan affektif dengan dia. Dia
tidak dapat dikenal kalau kita menempatkan diri jauh dari dia, tidak melibatkan dia dalam eksistensi
kita. “Mengenal” itu mengungkapkan bahwa dengan pribadi tersebut kita sudah dalam hubungan
komunikatif interpersonal. Kalau antara dua pribadi diciptakan (terjadi) antipati dan perselisihan,
colloquium personal atau hidup bersama hanya membawa pada ketidaksalingmengenalan yang
semakin mendalam. Sebaliknya, kalau ada pengalaman cinta di antara mereka, yang lain akan
semakin menyingkapkan diri dengan semakin lebih terang.
Mengenal Allah mengandaikan bahwa melalui cinta kita sudah maju (bergerak) dalam mencari
Allah seturut iman. Dalam sejarah keselamatan pengenalan akan Allah nampak sebagai progressif
dalam ketergantungan hubungan karitatif yang dikomunika-sikan oleh Roh (Kudus) kepada Yang
Mahakuasa. Dan Putera Allah sendirilah, dengan datang kepada kita, yang telah
mengkomunikasikan kepada kita pengenalan cinta yang mahamulia (sublim) terhadap Allah Bapa
(1Yoh 5,20). Manusia, yang menjelma, tahu mencintai-Nya kembali karena Roh (Kudus) dan oleh
karena itu mengenal Dia secara mendalam.
Pengenalan akan Allah dalam Kristus adalah suatu proses spiritual. Tidak ada suatu sistem teologis
yang sanggup mencapai (menyamai) pengenalan yang mendalam akan Tuhan selain mencari-Nya

96
melalui iman-kasih. Hubungan cinta dengan pribadi Tuhan yang hidup tidak dapat digantikan oleh
suatu penelitian di antara faham-faham dan axioma-axioma. Teolog, yang memberi diri untuk
penelitian intelektual dan scientific, harus sadar bahwa di belakang pengetahuannya harus ada suatu
komunikasi lain yang lebih mendalam dan benar; harus merasa diri ditarik (dirangsang) kepada
pencarian pengetahuan yang membawa rasa / selera (keinginan; semangat; kecende-rungan hati)
sapiensial untuk memiliki kesatuan dengan Allah melalui iman-kasih yang dihidupi.
Hubungan kesatuan karitatif dengan Allah adalah dasar (fundamen), tidak hanya dalam mengenal
Allah, tapi juga mempelajari dan memahami kehendak-Nya. Ungkapan-ungkapan, seperti:
“mengenal kehendak Allah” (Rom 2,8; Kis 22,14), “mengenal hukum” (Rom 7,1), “mengenal
pengadilan Allah” (Rom 1,32) menunjukkan bukan suatu pengetahuan atau pengenalan teoretis,
tetapi pengakuan eksperiensial akan uniformitas (kesatuan) personal dan akan kesaksian akan cinta
sendiri dengan Allah. Ungkapan Yoh 7,49 (“angkatan ini yang tidak mengenal hokum”) tidak
membayangkan suatu informasi pemahaman yang kurang akan dia, tetapi suatu penetrasi yang tidak
cukup terhadapnya karena tidak dipraktekkan dengan cinta.
Pengenalan yang tidak dikukuhkan oleh hidup sendiri, akan mendapat pengadilan Allah (Rom 1,21).
Sementara pengakuan akan Allah, sejauh ditaati dan dicintai, adalah anugerah rahmat dan bukan
habitus intelektif sendiri begitu saja. “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi
berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak
Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rom 12,2).
St. Paulus menjelaskan: “Tentang daging persembahan berhala kita tahu: “kita semua mempunyai
pengetahuan”. Pengetahuan yang demikian membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih
membangun. Jika ada seorang menyangka, bahwa ia mempunyai sesuatu “pengetahuan”, maka ia
belum juga mencapai pengetahuan, sebagaimana yang harus dicapainya. Tetapi orang yang
mengasihi Allah, ia dikenal oleh Allah” (1Kor 8,1-3). St. Paulus mengukur konsep gnostik akan
pengenalan (akan Allah) dengan kriteri cinta yang dihidupi. Dengan pengetahuan mereka, yang
tanpa cinta, orang-orang gnostik merasa tertarik secara unik pada diri mereka sendiri, yang mereka
cemaskan ialah bagaimana menunjukkan kebebasan superior (kebebasan yang lebih tinggi) kosmos.
Sebaliknya cinta mengusahakan pembangunan (edifikasi) komunitas, yaitu keselamatan umum
dalam komunitas Yesus Kristus. Misalnya, selain demi keselamatan sendiri, adalah juga demi
keselamatan orang-orang “lemah” (1Kor 8,9), demi keselamatan orang-orang yang tidak memiliki
pengetahuan (gnosis) (1Kor 8,7), dan demi keselamatan orang-orang yang tidak punya kurnia dan
orang-orang yang tidak percaya (1Kor 14,23). Bagi Paulus pengetahuan (gnosis) hanyalah suatu
fakta passif: dalam cinta Allah-lah, dari Roh-Nya, diterima pengenalan akan kehendak (kemauan)
illahi untuk seluruh kemanusiaan.

8. PSIKE DALAM PENGALAMAN SPIRITUAL TEOLOGAL

Bagaimana pegalaman spiritual iman-kasih terjadi dalam psike? Kepada para Bapa Gereja sudah
ditanya dalam bagian mana dalam psike mungkin mencari gambaran illahi. Menurut mereka, jiwa
dibagi dalam tiga bagian. Bagian paling rendah ialah bagian sensitif atau animal; bagian menengah
(media) menyangkut ketiga potensi spiritual (intelek, ingatan [memoria], kehendak); bagian ketiga
ialah yang membentuk essensi psike itu sendiri, di mana Allah tinggal (diam) dengan rahmat illahi-
Nya. Essensi psike ini menerima nama-nama yang bermacam-macam. Ia disebut “puncak” bagi
orang yang bermaksud (berniat) mencari keinginan (kerinduan) kontemplatif; disebut juga “pusat”
(sentrum; fondo) bagi orang yang hendak menggambarkan status mistik passif di bawah aksi illahi.
St. Agustinus menganggap bahwa perlu bermenung dalam interioritas jiwa yang paling dalam untuk
menemui Allah. “Engkau telah lebih intim kepadaku dari pada aku intim dengan diriku sendiri dan
lebih terangkat dari pada setiap puncak hidupku sendiri”. Suatu perjalanan (itinerario) rohani
(spiritual) kepada Allah, tidak direduksikan pada suatu perjalanan (cammino) murni introversio
(introvert) psikologis. Pusat (sentrum; fondo) psike mengemuka dalam suatu ordo (tata) metafisik.
Ceramah mistik Abad Pertengahan, dalam saat-saat yang berbeda mengemuka-kan suatu konsepsi
baru (tentang mistik) dengan mana psike menemukan Allah secara langsung. Pada permulaan,
ceramah itu masih berbicara mengenai kedalaman atau puncak essensi psike itu, karena
menganggap bahwa jiwa identik dengan potensi-potensinya dan dengan potensi-potensi itu

97
terbentuk suatu realitas unik (satu-satunya) (cf. Isacco della Stella, PL 194, 1877). Kemudian
ceramah itu berbicara mengenai pengalaman mistik yang terjadi melalui kecakapan intelek dan
kehendak (cf. Guglielmo di Saint-Thierry, PL 180, 390 D; PL 184, 346). Teologi Spiritual sekarang
tidak lagi mengajak (mengundang) untuk bertahan dengan Allah dalam interioritas psike yang
medalam: Teologi itu menyarankan untuk bersatu dengan Dia melalui kecakapan spiritual personal.
St. Thomas menganggap bahwa kontemplasi yang mungkin akan Allah -- yang dikenal tidak dalam
essensi tapi dalam apa yang bukan dia -- terjadi melalui inteligensi yang dibedakan dengan essensi
psike, inteligensi yang terintegrasi oleh iman yang diterangi oleh anugerah kebijaksanaan, maupun
oleh kasih. Ketulusan (kejujuran) moral (atau pelaksanaan virtus moral) pasti merupakan suatu
andaian yang perlu, agar seluruh apa yang berkenan dengan penderitaan berada di bawah
pengarahan uniter rasio (S. Th II-II, 180,2).
Aliran agustinian-fransiskan memperkenalkan (mempresentasikan) pengalaman teologal dalam
primat cinta, bukan dalam primat kontemplasi (seperti dalam Thomas). Bagi St. Bonaventura
“puncak budi” (atau bunga api kesadaran), yang siap mengungkapkan diri dalam kesatuan mistik
dengan Allah, adalah puncak maksimal affeksi yang sudah dibaharui (transformatif). Aliran
agustinian-fransiskan lebih suka bicara mengenai jiwa dan bukan mengenai kecapakannya: jiwa
berada (situata) dalam passivitas di hadapan Roh yang dikomunikasikan (yang mengkomunikasikan
diri).
Bagi St. Yohanes dari Salib orang beriman mencapai kontak langsung dengan Allah hanya kalau
menghancurkan seluruh apa yang bukan Allah: “Aksi-aksinya hendaknya sama sekali hanya untuk
kehendak Allah” (S.I, 11,2). Hal itu menuntut bahwa Roh sendiri hendaknya sudah membaharui
jiwa “secara total dalam Kekasihnya” (Kid. Agung 22,1); hendaknya sudah memurnikan secara
integral kecakapan jiwa dan virtutes teologalnya. Mistik sponsal-lah, yang ditempatkan dalam
kedalaman Perjanjian. Diandaikan bahwa seluruh keinginan dipersatukan dalam satu keinginan saja,
dan semua kecakapan nampak disederhanakan dalam suatu kecakapan spiritual saja, dan segalanya
terbentuk sebagai satu, yaitu mengenal-mencintai Allah secara eksklusif (apetito de Dios =
“mencicipi” Allah).
Edith Stein menganggap dalam kedalaman (keintiman) psike mungkin ada roh. Jiwa ada dalam
dirinya sendiri sejauh ia bermenung dalam roh. Kalau ternyata bahwa jiwa condong keluar dari
dirinya sendiri, itu adalah tanda bahwa ia ada dalam suatu status kejatuhan spiritual. Dalam
kedalaman, roh psike terbuka pada kontak dengan Allah, di sana ia dapat mengalami “hal spiritual
murni”, walau pribadi, dengan kekuatannya sendiri, barangkali tidak tahu menyelidiki dan masuk
secara komplit dalam pusat (fondo: kedalaman) roh, di mana Roh Allah tinggal (diam).
Teologi Spiritual sekarang ini melancarkan kritik mengenai jiwa, tidak menganggapnya dalam
dirinya sendiri sebagai suatu subyek yang cocok akan kesatuan mistik dengan Allah. Teologi itu
beranggapan (merasa perlu) bahwa jiwa dibaharui dalam Roh. Kalau jiwa merupakan prinsip hidup
human badaniah, maka Roh (pneuma) adalah kemampuan (kapasitas) keberadaan human untuk
menerima Allah dalam keillahian-Nya; adalah keberadaan personal sejauh berada di bawah aksi
langsung Roh Kudus. Oleh karena itu pengalaman mistik terjadi di seberang kedalaman atau puncak
jiwa dan setiap potensinya; ia dilaksanakan kalau dan sejauh seluruh human (bio-psikis-rasional)
sudah dibaharui (diobah; tranformasi) dalam Roh yang bangkit dalam partisipasi dalam misteri
paskal Kristus. Dituntut pneumatisasi total keberadaan sendiri dan kecakapan sendiri, walaupun tak
pernah dapat direalisasikan secara penuh dalam eksistensi saat itu.
Hidup teologal, berkat kekuatan dinamisme paskalnya, ingin menciptakan kekosongan potensialitas
human tercipta ke mana ia tercangkok untuk membangun di dalamnya suatu kapasitas komunikatif
langsung yang baru dengan hidup illahi kharitatif triniter (cf Salita II,6). Tinggalnya suatu potensi
intelektif-volitif (kemauan; kehendak) tercipta, entah dikuatkan secara supernatural, tidak berbuat
apa pun selain memberi kesaksian akan ketakterjangkauan hidup kharitatif illahi. Hidup secara
teologal berarti mulai (iniziare) membuat “roh yang bangkit” menjadi potensialitas human operatif ;
mulai (principiare) membuatnya sanggup menempatkannya dalam hidup illahi triniter. “Maka, oleh
karena virtutes (teologales) ini bertujuan untuk menjauhkan jiwa dari segala sesuatu yang inferior
(lebih rendah; di bawah) dari Allah, punya konsekwensi juga untuk menghubungkannya
(menyatukannya) dengan Dia. Tetapi untuk mencapai tujuan ini virtutes teologales harus
menggerakkan (mutare) secara radikal potensialitas jiwa.

98
9. VISI BIBLIS MENGENAI WAKTU

Dalam konsepsi Perjanjian Lama Jahwe adalah juga Pencipta dan Tuhan waktu. Dengan mencipta,
Ia menghaturkan (menentukan) bahwa segala sesuatu terjadi pada momen yang tepat: bahwa hujan
turun pada waktu yang baik (Dt 11,14; Gb 36,28; Zc 10,1); bahwa pada momen menuai biji-bijian
sudah matang (Gb 5,26); bahwa makanan (santapan) ada pada waktunya (Rt 2,14); bahwa
dipastikan momen kelahiran (Gm 18,10; 2Re 16s) dan momen kematian (2Sam 24,15; Gb 5,26).
Allah menyelenggarakan semuanya pada waktunya” (Sir 39,40).
Bagi pengarang Perjanjian Baru, Perjanjian Baru punya arti khusus bahwa suatu kejadian terjadi
dalam bilangan waktu yang tepat (persis). Dalam Injil dirayakan saat-saat tertentu di mana Yesus
menunjukkan pekerjaan-Nya yang tak terbandingkan. Itu adalah saat-saat penting Penyelamat
(penyembuhan-penyembuhan yang diadakan-Nya) (Mt 8,13; Lk 7,21; Yoh 4,52s). Agar kemuliaan
Allah dapat memancar perlu menunggu waktu yang tepat (kairos): dan demikian untuk perbuatan-
perbuatan mukjizat Yesus (Yoh 2,4) dan untuk penderitaan-Nya (Yoh 7,30; 8,20).
Di ambang momen sengsara (penderitaan) Yesus merasakan kengerian (horror), tapi Ia mengakui
bahwa hal itu menunjukkan kehendak Bapa (Yoh 12,27). Melalui saat pemuliaan figur historis
Yesus menjadi realitas eskatologis: sejak saat itu perlu menentukan apakah pro atau kontra Dia.
Allah Pencipta menghubungkan berbagai momen, di mana Ia membuat terjadi berbagai kejadian
yang tak henti-hentinya, dengan momen puncak, yaitu momen dengan muatan eskatologis. Setelah
periode ketakutan (shock) final (Yoh 16,2; Ap 3,10), zaman akan berakhir dengan pengadilan
terakhir (Ap 14,7; Yoh 5,24ss). Saat-saat, yang dianugerahkan oleh Allah dalam waktu sekarang,
berfungsi untuk saat yang terakhir: perlu siap untuk itu (Rom 13,11); waspada terhadap tanda-tanda
zaman (Mt 16,3). Kalau setiap pecahan waktu adalah suatu anugerah dan suatu tanda kehadiran
Allah, maka “saat Yesus” dan “saat terakhir” menyingkapkan kepenuhan rahmat belaskasihan Allah
(rahmat Allah yang berbelaskasihan).

10. MUATAN SPIRITUAL KAIROS

Hidup spiritual berakar pada struktur waktu yang sudah mulai dan berjalan menuju waktu puncak
(tertinggi). Justru untuk pengorientasian pada yang eschaton ini, maka saat-saat penderitaan
diterima sebagai bagian-bagian waktu yang akan terserap oleh hal-hal yang baik yang akan
diberikan oleh Allah pada saat akhir.
Terutama di dalam ekonomi waktu yang sedang “menari” seperti rahmat Allah menuju waktu
puncak terakhir digariskan figur kairos, waktu yang favorit dari waktu ke waktu yang ditentukan
oleh Allah; saat waktu yang terus membaharui diri, di mana Allah memberi diri sebagai Penderma
yang selalu mencipta. Kairos tidak dapat diidentikkan dengan nasib baik (fortuna), yang
menaklukkan manusia pada suatu passivitas yang hampir sebagai sesuatu yang fatal. Kairos adalah
Allah yang, dengan memberi diri pada manusia, menuntut sikap yang sama juga, yang berkaitan
dengan itu, yaitu memberi diri. Membiarkan berlalu kairos itu berarti melalaikan (mengabaikan)
pengalaman rohani yang dituntut di dalamnya.
Orang kristen, sejauh sebagai manusia yang dipneumatisir yang memberi diri pada doa, punya
kemungkinan untuk menerima kairos dan melaksanakannya dalam keharmonisan dengan kehendak
illahi (Gal 6,10). Ia, dengan memberi waktu yang tepat, melaksanakan kehendak illahi (Ef 5,16; Col
4,5); dengan mengharmonisir arti dari berbagai kairos tahu mencari di mana Allah sedang
mengorientasikannya.
Mengikuti kairos yang senantiasa dibaharui kadang-kadang dapat memperbesar kecemasan modern
untuk berlalu dari suatu saat ke saat yang lain karena suatu ketidaksabaran tertentu akan situasi di
mana kita berada; kecemasan untuk saling melayani pada tiap saat waktu untuk meyakinkan bahwa
kenikmatan ditempatkan dalam bagian-bagian waktu berikutnya. Hal itu merupakan tanda bahwa
diterima fakta-fakta dan kejadian-kejadian dalam arti murni duniawi dan tidak nampak di dalam
fakta dan kejadian itu dimensi mendalam kehendak illahi. Setiap saat dicemaskan sesuatu yang
dapat dibuat, dikatakan, dilihat atau diproyekkan; dan dilalaikan mengalami pertemuan dengan
Allah di dalam momen-momen sedemikian.

99
Manusia rohani melalui iman menggunakan setiap momen untuk mendalami suatu colloquium
dengan Allah. “Waktu tercipta untuk menerima dalam Yesus Kristus dan dalam setiap aktus iman
dalam Dia karakter dan tanda kehadiran: hidup, yang dihidupi dalam iman, mempunyai dimensi
hidup abadi” (K. Barth). Melalui hidup iman sedemikian waktu nampak sebagai momen
keselamatan dalam bentuk intensif secara progressif.

11. SPIRITUALITAS HARI MINGGU

Kalau seluruh waktu diserap (diresapi) oleh misteri paskal sebagai anugerah Roh Kristus, maka
Gereja mengkonsakrir (menguduskan) hari Minggu sebagai suatu momen kontemplatif anugerah itu
secara essensiil. Hari Minggu adalah pesta paskal yang dirayakan dan dimeditasikan (direnungkan)
dalam artinya yang aktual profetis selama seminggu.
Hari Minggu bukanlah suatu promosi humanistik personal secara eksklusif. Hari Minggu, dalam
tujuan spiritual-eskatologisnya, tak henti-hentinya memproklama-sikan kepada kumpulan orang
yang percaya: Kristus adalah Tuhan Penebus yang telah bangkit (Rom 6,1-13); dalam Dia telah
terlaksana nasib tertinggi (keselamatan) kita. Hari Minggu meminta kepada orang kristen untuk
beristirahat dan bermenung akan fakta bahwa sejarah human terhampar di antara paska historis
(yang diperingati pada Hari Minggu) dan paska abadi (yang telah diantisipir oleh Hari Minggu itu).
Dengan maksud memfasilitasi prospektif spiritual kontemplatif Hari Minggu, komunitas kristen
telah membuat hari itu sebagai kebiasaan istirahat festiv dan kemudian dimasukkan menjadi
peraturan dalam hukum gerejani (Konsili Laodicea, 381).
Pada masa lalu, di hadapan suatu komunitas orang beriman yang terdesak oleh pekerjaan yang harus
jalan terus (yang tidak dapat ditinggalkan) karena situasi miskin mereka secara ekonomis, istirahat
pada Hari Tuhan mempergampang semangat mereka untuk menempatkan diri dalam kondisi
kontemplatif sejauh jauh dari kecemasan yang mendesak akan realitas duniawi. Dulu, dalam
istirahat Hari Minggu umat beriman dapat memberi diri sewaktu-waktu untuk permenungan akan
Allah dalam Kristus melalui kekayaan kultur: dulu mereka tertarik oleh keinginan akan keuntungan.
Juga dikatakan sebagai libur bagi orang yang melayani orang lain. Dalam teks masa lalu yang
disakralkan mengenai kekristenan, dianggap bebas pada Hari Minggu dari beban pekerjaan
semingguan, dan ini berarti dapat memakai Hari Minggu itu untuk bermenung dalam meditasi
kontemplatif akan Tuhan.
Sekarang ini kita hidup dalam suatu societas (masyarakat) yang selalu semakin tersekularisir. Waktu
bebas dalam dirinya sendiri tidak lagi dipakai untuk suatu permenungan religius, tetapi dipakai
untuk kesenangan dan dalam promosi humanistik kultural. Hukum gerejani sendiri (Kan. 1247 CIC)
nampaknya di satu sisi menyesuai-kan diri pada kebiasaan sekarang, dan membatasi diri meminta
bahwa pada hari pesta orang kristen hendaknya mencari suatu ruang (kesempatan) yang dipakai
untuk kultus yang diwajibkan, selain bersenang-senang secara layak sepanjang seluruh harian pesta.
Hukum kanonik lain, yang serupa dengan itu, bisa diinterpretasikan salah, seolah-olah hukum itu
membebaskan orang beriman dari hidup kontemplatif mingguan.
Hukum kanonik merupakan suatu bungkusan yang dibatasi untuk mengundang-kan
(memerintahkan) kewajiban religius ekstern yang minimum; hukum menetapkan pertalian publik
untuk suatu kontemplasi paskal yang harus tetap dipercayakan pada inisiatif spontan orang beriman.
Indikasi yuridis kanonis menetapkan suatu ruang waktu mingguan yang pendek di mana semangat
kontemplatif sedemikian kiranya dapat menempatkan diri secara komuniter. Bidang pastoral harus
menawarkan secara kreatif kebijakan gerejani yang sanggup membangkitkan suatu kebiasaan
mingguan spontan yang menjadi kebiasaan sendiri, dan itu adalah kebiasaan kontemplatif paskal.
Hanya dengan demikian Hari Minggu masih dapat menyebarkan pesan kristen spiritualnya.

12. WAKTU DALAM SPIRITUALITAS ESKATOLOGIS

Dalam kedalaman liturgi ada aspirasi untuk memasukkan masa sekarang, masa lampau dan masa
yang akan datang ke dalam kemutlakan transenden Tuhan. “Liturgi, yang dihidupi dalam iman,
menawarkan suatu hubungan yang hidup dan mengagum-kan dengan mysterium Christi: dengan
masa lalu persaudaraan-Nya dan sengsara-Nya, dengan masa yang akan datang dari pengadilan dan

100
kebangkitan-Nya, dalam masa sekarang dari mediasi-Nya (kepengantaraan-Nya) yang abadi” (J.
Mouroux). Dalam perayaan liturgis dilaksanakan waktu aktualisasi riil seluruh karya keselamatan
Yesus Kristus; dalam persembahan Tubuh dan Darah Tuhan diaktualisir masa lalu keselamatan dan
diantisipir kemuliaan yang akan datang.
Hal menghidupi masa sekarang ini, sebagai kesaksian akan panggilan akan yang absolut akan
datang yang sudah hadir sekarang ini, tidak berarti mengasingkan diri dari realitas temporal, yang
terbentang dalam aliran pintas waktu sekarang. Nyatanya setiap interiorisasi akan keabadian
membangkitkan vitalitas baru untuk suatu karya aktual yang bertanggungjawab. Orang kristen,
dalam waktu, menjadi sanggup untuk memberi kesaksian akan imannya dalam pertumbuhan cinta;
menjadi mampu untuk menenggelamkan vitalitas baru, yang diterima dari Allah, dalam pelayanan
saudara-saudari; dalam memanfaatkan waktu sepintas untuk pewartaan profetis akan suatu cinta
tertinggi.
Kadang-kadang pengalaman mistik berusaha menganulir jarak antara waktu dan keabadian. Jalan
yang umumnya ditempuh ialah jalan untuk mempengaruhi psikisme sendiri yang mendalam melalui
meditasi dan latihan konsentrasi sedemikian hingga menenggelamkan diri dalam kesatuan intim
dengan Kebaikan Abadi. Itu adalah momen pintas untuk mencari Allah dalam kedalaman jiwa:
“Hari Tuhan adalah hari di mana jiwa menghidupi keabadian dalam suatu saat essensial: Bapa
memper-anakkan (generare), dalam suatu saat sekarang, Putera-Nya yang sulung (Tunggal) dan Ia
melahirkan kembali jiwa” (Meister Eckhart). Dengan bermenung secara mistik secara mendalam
dalam Allah, jiwa merekuperir (mengembalikan) segala sesuatu yang hilang dalam momen-momen
berikut sesudah penciptaannya. Jiwa itu tidak lagi cemas baik akan masa yang lampau maupun akan
masa yang akan datang: ia menikmati masa sekarang seolah-olah merangkul seluruh keabadian.
Keinginan untuk mencelupkan waktu pada pengaruh keabadian telah membawa jiwa mistik untuk
memberitakan kepada masa sekarang peristiwa-peristiwa bersejarah yang dianggap memuat yang
absolut yang transenden. Soren Kierkegaard telah berusaha sekuat mungkin untuk merasa diri
sewaktu dengan Yesus, sehingga dengan demikian menempatkan diri karena iman dalam kesatuan
langsung dengan Putera Allah yang menjelma; ia bermaksud melewati “celah yang lebar dan
menakutkan” antara inkarnasi dan masing-masing momen historis. “Dalam hubungan dengan yang
absolut hanya ada satu waktu, yaitu: masa sekarang; yang absolut tidak ada bagi orang yang tidak
merasakan-Nya hadir. Oleh karena Kristus adalah yang Absolut, maka adalah gampang mengerti
bagaimana dalam pertemuan-pertemuan (dalam berhadapan) dengan-Nya hanya ada satu cara untuk
menemukan-Nya, yaitu: kemasakinian (kekontemporeran). Masa berabad-abad tak perlu
ditambahkan dan masa itu tidak mengurangi apa pun; masa itu tidak mengganti Dia, tapi bahkan
menyingkapkan siapa Dia. Hanya orang yang punya iman dapat mengerti siapa Dia” (Soren
Kierkegaard).

III. PERKAWINAN - KEPERAWANAN


1. HIDUP PERKAWINAN DI BAWAH TERANG PERJANJIAN KESELAMATAN

Hidup perkawinan secara biblis dimasukkan dalam konteks Perjanjian keselamatan: hidup
perkawinan itu mencerminkan dan bekerjasama dengan rencana belaskasihan illahi yang terlaksana
dalam kemanusiaan. Pada bagian dalam hubungan (berith) Perjanjian antara Jahwe dan Israel (Yer
31,31ss), Hosea melihat di dalam situasi sedih perkawinannya sendiri cinta yang dikhianati kepada
Allah, yang selalu tetap tinggal setia dalam cinta (Hos 1,2ss); sementara kitab-kitab kebijaksanaan
(seperti Kidung Agung dan Sirakh) menunjukkan dalam sejarah keselamatan yang sama itu
pemaparan cinta perkawinan gembira yang membahagiakan antara Allah dengan bangsa-Nya.
Perjanjian Baru, dengan memasukkan status perkawinan dalam sequela Christi, melanjutkan sambil
membaharui prospektif Perjanjian Lama yang sama. Perkawinan bukanlah suatu realitas demi
dirinya sendiri: perkawinan itu adalah demi pelayanan Kerajaan Allah (Mk 10; Mt 19). Perkawinan
itu adalah tempat di mana Kerajaan -- yaitu cinta definitif Allah yang nampak dalam Yesus Kristus
-- masuk di antara orang beriman; perkawinan itu menjadi proklamasi (pewartaan) seturut daging
human bahwa dalam Kristus perjanjian antara Allah dan manusia sudah definitif. Dalam hal ini
dibangun (dibentuk) penolakan akan perceraian.

101
Walaupun status kasim dapat menjadi pelayanan dalam kerajaan surga (Mt 19,12), oleh karena
sudah dengan baptisan dimasukkan dalam misteri paskal Kristus-Gereja, akan tetapi kasih
perkawinan adalah suatu eksplisitasi atau suatu perkem-bangan status baptisan itu. “Sesungguhnya,
melalui baptisan, pria dan wanita telah dimasukkan secara definitif dalam Perjanjian yang baru dan
abadi, dalam Perjanjian nikah (sponsal) Kristus dengan Gereja. Dan adalah karena ketermasukan
yang tak terhancurkan ini maka komunitas (kesatuan) intim hidup dan cinta perkawinan, yang
dibentuk oleh Pencipta, ditinggikan dan diangkat ke dalam kasih perkawinan (sponsal) Kristus, yang
ditopang dan diperkaya oleh kekuatan penebusannya” (Familiaris consortio, 13). Kedua orang
(pasangan) yang dibaptis itu dipersatukan untuk mengem-bangkan kekuatan Roh dalam diri mereka
sendiri dalam hubungan dengan Tubuh Mistik, Roh Kudus yang telah diterima sebagai anugerah
dalam baptisan.
Melalui perkawinan direalisir suatu eksplisitasi sakramentalitas baptisan. Ini bergerak (passare) dari
hidup yang dihidupi dalam keintiman kesendirian kepada hidup komuniter (bersama) perkawinan;
dari suatu santifikasi (pengudusan) yang khas personal kepada santifikasi ekklesial ruang kecil
komuniter secara spesifik.

2. HIDUP PERKAWINAN YANG DICANGKOKKAN DALAM KASIH (KHARITAS) PASKAL

Bagaimana Kristus merealisir cinta-Nya terhadap Gereja dan, melalui Gereja itu, terhadap
kemanusiaan yang berdosa? Bagaimana Ia dianggap sebagai Pengantin yang menurunkan
(memeranakkan) anak-anak Allah dalam Gereja? Mortifikasi-glorifikasi adalah motif yang meresapi
dan mengubah seluruh hidup duniawi-Nya; mortifikasi-glorifikasi adalah cara konstan yang muncul
dari kharitas apostolis-Nya; mortifikasi-glorifikasi membentuk transformasi progressif-Nya untuk
menyiapkan keberadaan human-Nya kepada kematian-kebangkitan final; mortifikasi-glorifikasi
merupakan opsi fundamental di mana diungkapkan cinta-Nya terhadap Bapa. Kini, Kristus itu,
dalam hubungan-Nya dengan Gereja, melanjutkan menghidupkan kembali, memperpanjang dan
mengembangkan kharitas paskal-Nya ini.
Dalam hidup spiritual pasangan (pengantin) sendiri Kristus melanjutkan meng-ungkapkan suatu
hidup kharitatif paskal. Rahmat Tuhan terlibat dalam menelanjangi cinta pasangan (pengantin) itu
dari kulit luar egoisme, kesombongan, individualisme, untuk membuatnya selalu semakin naik
kepada terang roh, Hal itu adalah perjalanan paskal pasangan (pengantin) itu.
Sama seperti jiwa, yang dilahirkan kembali dalam baptisan, dipanggil untuk melewati percobaan,
penderitaan, malam gelap untuk sampai pada kematangan sebagai ciptaan baru dalam Roh Tuhan,
maka demikian pun cinta perkawinan (cinta pasangan) dibimbing kepada kesempurnaan kristen dan
kesempurnaan ekklesialnya melalui krisis pertumbuhan, yang membimbing pasangan itu untuk
menjadi komunitas kasih yang baru. Dari hari di mana cinta mereka dijadikan sakramen, mereka
harus yakin bahwa segala sesuatu yang datang dari salah satu pihak pasangan (kegembiraan,
percobaan-percobaan, kesulitan karakter atau kesehatan), atau segala sesuatu yang menyentuh
kesatuan mereka (keibuan, duka, perceraian, kesulitan material), adalah jalan yang dipilih oleh
Allah untuk mempersatukan mereka seutuhnya dalam kasih Dia yang Bangkit. Itulah sebabnya
mengapa seluruh hidup pasangan ditentukan untuk dihidupi dalam prospektif iman.
Misteri paskal memberi inspirasi fundamenental kristen, tidak hanya mengenai bagaimana
menghidupi cinta perkawinan (pasangan) dalam memperkembangkannya, tetapi juga bagaimana
melaksanakan missi edukatif dalam keluarga. Karena sudah dimasukkan dalam cinta perkawinan
(cinta sponsal) Kritus-Gereja, maka pasangan (pengantin) itu ambil bagian dalam kebajikan Tuhan
dalam membimbing anak-anak kepada suatu kematangan spiritual dalam rahim Gereja. Di hadapan
perkembangan yang selalu semakin lebih luas itu yang harus dimatangkan dalam diri anak-anak,
para orang tua wajib melaksanakannya seturut roh injili, dalam membuatnya terbuka pada arti
komuniter ekklesial, dalam mencapkan kelemah-lembutan cinta paskal mereka yang menebus. Para
orang tua adalah seperti imam bagi komunitas keluarga (familiar), dan demikian mereka dibentuk
oleh karena telah dicangkokkan pada misteri paskal Tuhan melalui sakramen baptisandan
perkawinan. Oleh karena hidup mereka dalam kharitas perkawinan, yang dibekali (dibutuhi) dan
dikuduskan oleh Roti ekaristik, maka mereka adalah yang paling dipersiapkan untuk menghimpun,

102
menyucikan (memurnikan) dan meninggikan seluruh yang human yang sedang mekar (berbunga)
dalam diri anak-anak mereka, dan demikian membaharuinya seturut kasih Kristus.

3. PERJALANAN SPIRITUAL PERKAWINAN DALAM ROH

Berbicara mengenai spiritualitas keluarga biasanya menampilkan kembali kewajiban akan suatu
askese, akan aktivitas berkebajikan dari pasangan, akan perenca-naan (target) suatu pendidikan
moral bersama anak-anak untuk menjalin eksistensi keluarga di antara praktek-praktek religius yang
merupakan keharusan. Semua ini pastilah bukan untuk dilupakan, walau menuntut untuk berada di
bawah faktor primer: bahwa hidup spiritual adalah anugerah Allah dalam Roh Kristus.
Karena rahmat sakramental perkawinan maka pasangan (pengantin) itu mempunyai “hidup dalam
Kristus” yang terbuka pada sikap komuniter ekklesial, dan demikian menjadi “tanda (lambang)
misteri kesatuan dan cinta kasih yang subur yang terjadi antara Kristus dan Gereja” (Ef 5,32; LG
11). Pasangan (perkawinan) itu adalah suatu keberadaan yang dimampukan untuk suatu hidup
sendiri yang sampai ke seberang keluasan human interpersonal dan memiliki suatu hidup yang
mencerminkan pemberian diri sponsal Kristus dalam komunitas orang beriman.
Roh (Kudus) adalah pendidik (pengajar) pertama (bagi) para pasangan itu. Mereka diarahkan
(diorientasikan) dari kebaikan personal yang berkebajikan kepada hidup di dalam hidup cinta yang
kaya yang hendak dikomunikasikan oleh Kristus. Tujuan hidup spiritual keluarga (familiar) tidaklah
dikenal sebelumnya oleh pasangan itu. Roh (Kudus)-lah yang membuka dan mematangkan
semangat para pasangan pada aspek-aspek kharitatif yang baru dan pembaharu, tempat yang siap
menyambut rahmat.
Hidup spiritual pasangan-keluarga dapat dialami dalam “menjadi”, tidak hanya dalam keberadaan
personal pasangan dan anak-anak, tetapi juga dalam menempatkan diri (memposisikan diri) dalam
nukleus familiar (keluarga) dalam konteks sosio-kultural-ekklesial dalam evolusi yang
berkelanjutan. Keluarga, didorong oleh konteks sosio-kultural sekarang, nampak selalu semakin
hati-hati pada desakan otonomi personal anggota-anggotanya; selalu semakin condong
menempatkan pada basisnya (dasarnya) promosi affektivitas dari pada pemberian diri pada kultus
institusi; selalu semakin terikat (terlibat; merasa wajib) dalam bermenung tentang pembentuk cinta
antara pasangan (pengantin) dan anak-anak, dengan membiarkan bahwa setiap aktivitas kultural-
ekonomis yang lain kiranya diusahakan di luar lingkungannya.
Agar dapat diharmoniskan dengan dunia kontemporer, maka keluarga wajib (terikat untuk)
mengajar (mendidik) anggota-anggotanya menuju suatu otonomi spiritual mereka; kepada suatu
spontanitas pemberian diri sendiri; dengan mengarah-kan dan mendorong mereka pada suatu
pengalaman sendiri dalam Kristus.

4. HIDUP PERKAWINAN APOSTOLIS

Pasangan-pasangan, bersama-sama, membentuk (menciptakan) suatu realitas uniter di hadapan


Tubuh Mistik Kristus, tetapi setiap pasangan membentangkan missi spiritual sendiri seturut
kharisma sendiri. Setiap pasangan wajib mengerti dan menerima pasangannya dalam hubungan
mereka yang khusus dengan Tuhan. Pasangan lain, walau barangkali tidak praktis, dapat
mempunyai suatu hubungan dengan Tuhan yang tetap tinggal implisit dan mungkin tak disadari dari
apa yang diminati itu sendiri.
Pasangan yang sungguh-sungguh menjalankan hidupnya akan berusaha menghargai nilai-nilai
positif dalam diri pasangannya; ia akan mengingatkan bahwa komunitas keluarga bergerak menuju
Tuhan sebagai suatu Gereja kecil di mana yang paling beruntung dari rahmat illahi hendaknya
menopang yang paling lemah. Roh (Kudus) menenggelamkan (memasukkan) semua ke dalam
kelimpahan rahmat yang serupa, oleh karena Ia ingin menopang (menyokong) solidaritas kharitatif
satu sama lain, sehingga dengan demikian yang satu siap menjadi (sebagai) persembahan personal
bagi yang lain.
Keluarga dipanggil untuk menempatkan diri dalam forma dialektis di hadapan komunitas ekklesial.
Keluarga itu akan berusaha membiarkan (memberi diri untuk) dididik oleh Gereja dengan

103
berinspirasi (dengan mencari inspirasi) pada missi rahmat kharitatif paskalnya, maka oleh karena itu
(keluarga itu) telah dicangkokkan pada rahmat yang disebarkan dalam himpunan (kesatuan;
kumpulan) ekklesial. Keluarga (karena) sadar sebagai dimasukkan secara vital ke dalam Gereja,
memelihara cinta yang terarah pada sumber vitalitas spiritual ini.
Komunitas keluarga (familiar), dengan perilaku (kondute) cintanya, dipanggil untuk menjadi contoh
dan pendorong bagi Gereja sendiri, agar dibaharui dalam Roh. Komunitas keluarga itu pergi kepada
Gereja untuk menerima (menyambut) Tuhan ekaristik, lalu kemudian menunjukkannya kepada
komunitas ekklesial bagaimana rahmat yang diterima itu kiranya dapat dan harus berbunga
(bertumbuh; berkembang) dalam pengalaman cinta yang bersinar. Ekaristi yang diterima itu
membuat pasangan keluarga taat kepada Roh, yang menyarankan kepada mereka bagaimana saling
mencintai satu sama lain dan melimpahkan cinta mereka yang terhamonisir kepada anak-anak
mereka dan kepada orang-orang lain.
Biasa dikatakan bahwa Gereja membutuhkan pasangan-pasangan kristen agar dijagakan (diingatkan
selalu) dalam kelemahannya dalam relasi cinta; agar sadar dan mengerti bahwa ia harus
membersihkan diri dalam seluruh anggotanya dari persaingan yang terus menerus ada, dari tuduhan-
tuduhan dendam yang selalu bisa muncul kembali, dari opposisi-opposisi yang biasa di antrara umat
beriman. Gereja lokal, yang dalam hidupnya tidak mencerminkan cinta kharitatif yang menjiwai
keluarga kecil, tidak layak disebut Gereja Kristus.
Pasangan perkawinan (keluarga), dengan menerima kesatuannya dari kasih ekklesial dalam Kristus,
tidak bisa merasa cukup hanya dalam integrasi satu sama lain antara kedua pribadi pasangan dan
dengan anak-anak mereka. Hidup itu harus juga menginginkan dan mendambakan penyamaan dan
pembandingan diri, pengupayaan daya tarik, pengharmonisan dengan cinta pasangan keluarga
domestik kristen yang lain. Grup-grup atau persahabatan-persahabatan di antara keluarga kristen
condong dengan gampang dan gembira masuk ke dalam pengalaman spiritual ekklesial secara
komuniter (bersama; kekeluargaan). Kasih (kharitas) menopang (menyokong) dinamisme
interiornya yang condong untuk berkembang dalam komunikasi yang selalu semakin luas: dari
pribadi yang satu kepada yang lain dalam pasangan itu, dari kedua pasangan itu kepada anak-anak
mereka, dari keluarga itu secara keseluruhan kepada keluarga-keluarga lain, untuk menunjukkan diri
sebagai kasih Gereja lokal secara meluas.
Suatu keluarga kristen, yang disatukan dengan keluarga-keluarga kristen yang lain, merasa
dikuatkan untuk menyebarkan kasih dalam Roh Kristus. “Jangan katakan: ‘bagiku tidak mungkin
menggerakkan orang lain’; oleh karena kalau engkau adalah orang kristen, tak mungkinlah bahwa ia
menderita sesuatu. Hal itu menjadi bagian dari essensi orang kristen sendiri ... Barangkali lebih
gampang bagi matahari untuk tidak mengeluarkan kehangatan dan terang dari pada orang kristen
tidak menerangi (yang lain).
Masuk akallah bahwa dari keluarga-keluarga kristen, yang saling terikat antar mereka secara
kharitatif, muncul grup-grup apostolis, ekspressi otentik dari kasih (kharitas) ekklesial Kristus yang
tersebar. Mereka adalah grup-grup keluarga yang berkumpul secara periodik dengan maksud
merealisir, (seturut fisionomi spiritual sendiri), suatu sekolah doa (berdoa bersama, secara singkat,
dengan ton-ton yang bervariasi), dengan mengikat diri secara komuniter untuk mendengar Roh
mengenai (circa; sekitar) program-program spiritual keluarga, dan dengan menawarkan diri untuk
membantu demi kharitas effektif fraternal.

5. KHARITAS MATRIMONIAL - VIRGINAL (KASIH PERKAWINAN-KEPERWANAN)

Bagi St. Paulus (1Kor 7,28) dunia sekarang sedang berlalu, oleh karena dalam Tuhan Yesus Kristus
realitas eskatologis telah mulai. Dan sementara para selibat hanya memikirkan Tuhan (dan oleh
karena itu hidup secara integral dalam realitas yang akan datang), maka yang menikah harus
memikirkan juga dunia ini, di mana perbedaan seksual antara pria dan wanita adalah fundamental
untuk melanjutkan kemanusiaan. Orang-orang yang kawin memasukkan energi spiritual mereka
sendiri ke dalam kecemasan (kerinduan) akan cinta penuh sedemikian sehingga menyenangkan baik
bagi Tuhan maupun bagi pasangan itu sendiri. Kalau yang tidak kawin mungkin ingin
berkonsentrasi (memusatkan perhatian) pada tujuan satu-satunya, yakni mencintai Allah, maka yang

104
kawin disarankan untuk membentuk visi eskatologis dengan pandangan atas hal-hal yang ada di
dunia ini, konsentrasi mutlak pada Allah dengan desakan-desakan institusi socio-matrimonial.
Apa yang dikatakan oleh St. Paulus mengenai cinta verginal-matrimonial (cinta keperawanan-
perkawinan) perlu diterangkan dan didalami dengan melihat dan membacanya dalam lingkup dan
kedalaman hidup spiritual mistik Yesus Kristus. Tuhan Yesus telah menghidupi kasih (kharitas)
verginal dan sponsal secara simultan (kasih simultan verginal-sponsal). Sambil menjaga “kesatuan
dengan Bapa” (Yoh 10,30) secara verginal, Ia telah tinggal dan masih tinggal hingga sekarang di
antara kita untuk mengkomunikasikan kepada kita secara sponsal cinta-Nya kepada Allah Bapa
(Yoh 17,11). Dia menghendaki agar kita semua ambil bagian dalam cinta verginal-sponsal-Nya (Ef
5,27). Anugerah inilah yang Dia temukan terutama dan secara istimewa (khusus) dalam hati Bunda-
Nya Maria, Bunda Perawan.
Setiap orang kristen dipanggil untuk menghidupi (secara bersama-sama) kasih (kharitas) Kristus
secara simultan dalam aspek verginal dan sponsalnya: punya animo sendiri yang disatukan
seutuhnya dengan Tuhan (kharitas verginal), tapi sekaligus terikat untuk mendukung dalam diri
orang lain cinta kharitatif Allah (kharitas matrimonial). Suatu tujuan mistik tidak gampang, bahkan
hanya dapat disarankan sebagai anugerah Roh. Jiwa ditipu kalau merasa diri tahu dari diri sendiri
mengharmonisir aspek verginal kasih (kharitas) dengan aspek sponsal.
Bukanlah bahwa para selibat berurusan hanya dalam kharitas eskatologis dan orang-orang yang
kawin dalam kharitas duniawi. Mereka menunjukkan pengaruh yang lebih besar untuk yang satu
dan untuk yang lain. Setiap orang kristen (yang perawan atau yang kawin) telah dicangkokkan pada
hidup unik paskal Kristus: tinggal sudah dalam cinta eskatologis, segalanya untuk Allah, tetapi
sekaligus belum (tinggal) karena sedang hidup dan terikat di dunia ini. St. Paulus, sementara kepada
para selibat ia menasehatkan sikap-sikap berkebajikan yang berpautan dengan tugas-tugas duniawi,
kepada orang-orang yang kawin ia menyarankan suatu kecemasan (kepekaan) eskatologis: “Karena
itu dalam waktu yang masih sisa ini orang-orang yang beristeri harus berlaku seolah-olah mereka
tidak beristeri; [...] Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu” (1Kor 7,29s).
Demikian setiap orang kristen harus mengorientasikan dirinya pada jalan kharitatif matrimonial dan
verginal secara simultan. Dia menghadap Allah dengan hati yang tak terbagi, tetapi dengan
melibatkan orang lain dan ciptaan dalam pujiannya kepada Allah. Dalam kharitas verginal-
sponsalnya ini ia merasa intim dengan hidup illahi triniter sendiri. Sesungguhnya Allah diterima
semata-mata dalam intimitas triniter-Nya sedemikian sehingga berserah diri hanya satu Allah saja,
sekaligus bahwa dengan cinta sponsal Ia berjalan terus kepada segala makhluk yang ada untuk
memanggil mereka untuk hidup bersama-sama dalam cinta illahi triniter-Nya yang sangat bagus,
yang tak terperikan.

6. SPIRITUALITAS VERGINAL

Seturut indikasi injili, status verginal diharmonisir (disesuaikan) pada ekonomi dari orang-orang
hidup yang dibangkitkan dalam kerajaan Allah (Mt 22,23-33: mengenai tujuh orang bersaudara
yang mengawini seorang perempuan; ke-7 orang itu mati, tanpa ada keturunan). Roh menyebarkan
status sedemikian pada masa sekarang ini untuk menyatakan bahwa sudah sejak sekarang kerajaan
eskatologis Allah teraktualisir (Mt 19,3-12: mengenai perceraian). Status verginal adalah benar-
benar merupakan anugerah Roh Kudus, kalau dan sejauh hal itu merupakan ekspressi kharitas
paskal kesatuan dan uniformitas (kesesuaian) dengan Kristus (Lk 18,29-30: mengenai upah
mengikut Yesus); oleh karena Ia menopang keberadaan di hadapan Tuhan dengan mencemaskan,
sejauh mungkin, hanya hal-hal yang menyenangkan Dia tanpa jatuh pada kelengahan profan (1Kor
7,32ss).
Spiritualitas verginal sudah dihidupi dalam berbagai bentuk dalam berlangsungnya sejarah
keselamatan. Kalau St. Yustinus, pada tahun 150, memperkenalkan status verginal sebagai “sequela
Christi”, Origenes menjelaskan arti cinta kharitatif yang dihidupi di dalamnya. Novatianus, tahun
250, menyarankan untuk melihat dalam keperawanan (verginitas) suatu kebiasaan angelic
penyerahan diri (oblasi) yang perfek. Sementara pada abad IV-V selibat dan hidup monastik kurang
lebih nampak sama. St. Ambrosius, dengan melihat keperawanan dalam bingkai Sabda yang telah
menjadi daging dan dalam bingkai Gereja-Nya, mengandaikan bahwa keperawanan itu adalah suatu

105
sakramen yang membuat Gereja perawan dan subur dalam ambil bagian secara misteri dalam Tubuh
Kristus.
Oleh karena interpretasi patristik ini akan Injil dan akan hidup Yesus dalam Gereja, maka
muncullah, dengan merumuskan diri secara jelas, suatu apologi akan selibat yang dibaktikan, yang
begitu sah dan patut, tapi mungkin kurang menguntungkan bagi status kristen matrimonial
(perkawinan). St. Yohanes Chrisostomus, walaupun mengakui adanya pengalaman spiritual dalam
hidup perkawinan, mendevaluasi (melihat kurang bernilai) perkawinan dibandingkan dengan
keperwanan. St. Gregorius dari Nissa menganggap bahwa perkawinan mungkin ditemukan
(diadakan) sesudah dosa asal, untuk menghadapi kepedihan kematian. Sekarang ini orang lebih suka
melihat selibat dan perkawinan sebagai dua kharisma yang dianugerahkan oleh Roh Kudus kepada
umat Allah sehubungan dengan perjalanan injili bersama menuju kesempurnaan.
Status verginal (keperawanan) menuntut suatu autokontrol asketik bertarak; tapi perkembangannya
ditentukan oleh anugerah Roh. Sebenarnya jiwa adalah verginal dalam proporsi di mana hal itu
dianggap sebagai dipneumatisir oleh Roh, lalu siap mengungkapkan diri dengan kasih (kharitas) dan
dalam kasih (kharitas) sponsal dengan Tuhan. Mortifikasi, penjagaan yang bijaksana, penyangkalan-
penyangkalan dengan askese, dituntut untuk membuat kita siap menerima anugerah keperawanan
dari Roh. Tanpa penjagaan hati, anugerah Roh tak akan dapat dijaga (dipelihara), walau mungkin
mengakui bahwa dalam praktek mortifikatif ada formalitas dalam mengembangkan diri seturut
momen-momen kultural. Dalam praktek, meniadakan penjagaan hati kiranya akan menjadi seperti
berpura-pura menikmati hidup yang dibangkitkan dengan menolak pemberian diri dalam salib.

IV. HIDUP POLITIS DI ANTARA INSTANSI-INSTANSI KRISTEN


Ajakan untuk mengungkapkan dengan semangat kristiani hidup politis dengan gampang bisa kacau,
oleh karena dapat membuyarkan hubungan antara politik dan iman yang begitu berobah-obah dan
kurang lebih tidak dibedakan dengan baik. Hal ini dapat menunjukkan kemauan untuk
menghadirkan dalam hidup politis pengorientasian (pengarahan) iman yang transenden, kecemasan
akan kebenaran moral, desakan politis akan Institusi Gerejani, pilihan organisasi partai dengan
inspirasi kristen. Hidup yang bermacam-macam ini, yang berkaitan dengan iman-politis, juga ketika
dapat dipilah-pilah dengan persis, nampak sebagai agak darurat oleh karena dikondisikan dalam
proses menjadi sosio-kultural sejarah human dan sejarah keselamatan.
Lepas dari masa lampau, sekarang ini (secara aktual) bagaimana mungkin dapat menyarankan suatu
hidup politis yang cocok dalam Instansi-Instansi spiritual kristen?

1. HUBUNGAN ANTARA POLITIK DAN GEREJA INSTITUSIONAL

Dalam komunitas ekklesial, hirarki ekklesiastik biasanya berpegang pada kompetensi eksklusif
dalam berbicara dengan masing-masing pemerintahan tertentu yang dikehendaki mengenai campur
tangan antara politik dan agama (atau etika), yang biasanya menyebut materi kompetensi campur.
Misalnya, sekitar perceraian, abortus, pengajaran religius, kebebasan beragama / beribadah.
Berdasar pada reserve kompetensi ini dari pihak hirarki ekklesiastik, ajaran sosial kristen telah
menugasi orang beriman untuk terjun berkarya di bidang politik semata-mata sebagai orang kristen
(membentangkan dan mengembangkan aktivitas politis sendiri seturut etika kristen personal), tapi
bukan sejauh sebagai orang kristen (artinya sebagai rappresentan Gereja).
Antara pemerintahan dan otoritas tertinggi ekklesiastik dituntut konkordat antara Gereja dan
Negara. Sementara pemerintahan menuntut penguasan (pengesahan) parlementer untuk persetujuan
yang dituntut, hirarki ekklesiastik menolak segala bentuk kehadiran demokratis umat beriman.
Kehadiran Roh dalam seluruh Tubuh Mistik Gerejani (ekklesial) nampaknya seperti dapat
menyarankan beberapa aspek demokratis yang mungkin (sekurang-kurangnya mewakili) juga dari
pihak komunitas orang beriman dalam kesepakatan-kesepakatan resmi dengan negara.
Dalam formulasi doktrin etika sosio-politis dibenarkan kehadiran baik negara maupun Gereja
magisterium (magisterial). Biasanya Magisterium ekklesial mengumumkan tujuan dan maksud
etisnya melalui dokumen-dokumen resminya (seperti Eksortasi Apostolis Christifideles laici dari

106
Yohanes Paulus II, 30 Desember 1988). Semua warga masyarakat (juga orang kristen) agar dapat
memberi kesaksian akan eksistensi yang bebas dan bertanggungjawab secara layak haruslah matang
sedemikian sehingga dapat merumuskan norma etis-spiritual sikap politisnya sendiri dan juga
mengintegrasikan opininya sendiri di antara mereka dan dengan komunitas ekklesial. Gereja
Magisterium dipanggil untuk campur tangan sebagai Magisterium pengganti yang mulia.
Negara biasanya campur tangan di bidang moral ketika ia mengingatkan bahwa beberapa norma
moral, yang tidak dapat ditolak (tidak dapat tidak ada) demi kebenaran (keadilan) publik, dilalaikan
(tidak diperhatikan) oleh masyarakat umum (kebanyakan masyarakat). Ia mengeluarkan peraturan
untuk menciptakan kebiasaan politis yang benar. Kenyataan bahwa tercipta sekumpulan hukum itu
adalah tanda bahwa dalam negera sedang menyebar kebiasaan umum yang buruk. Negara tidak
harus menganggap bahwa mengeluarkan suatu hukum dengan pasti akan membatasi
ketidakteraturan (kekhaosan) yang sudah menyebar. Negara dipanggil untuk mengajarkan kebiasaan
dengan inisiatif yang sampai ke seberang penetapan undang-undang (pembuatan undang-undang),
sambil selalu menaruh rasa hormat pada kebebasan demokratis.
2. HIDUP POLITIS DENGAN INSPIRASI KRISTEN

Hidup politis, kalau hal itu etis, bukanlah untuk itu seorang kristen harus dinilai. Hidup politis itu
harus nampak dimasukkan dalam dan mencerminkan misteri paskal kharitatif Yesus Kristus dan
Sabda-Nya.
Referensi pada kasih (kharitas) injili Yesus (Kristus) adalah penyempurnaan akan hal-hal yang
konstitutif akan (untuk) hidup politis. Nyatanya eksistensi sosio-politis mengungkapkan
(menunjukkan) pemasukan (pengintroduksian) orang-orang ke dalam komunikasi resiprok yang
meluas dan intensif. Sebagaimana mayoritas masyarakat memberi perhatian kepada yang lain,
khususnya (terutama) yang paling membutuhkan, demikianlah dibenarkan (dibuktikan) hidup politis
yang baik (mulia).
Kasih (kharitas) memasukkan hidup politis kepada yang baru secara qualitatif. Kasih itu menuntut
untuk memberi diri dengan colloquium dan dengan pertolongan kepada yang lain dalam bidang
politis seturut kebiasaan cinta teandric yang disebarkan dalam diri kita oleh Roh Kudus. Ini tidaklah
hanya suatu hidup bersama yang oblatif fraternal demi cinta Allah. Dalam merealisir partisipasi
politis sendiri dengan sesama, orang kristen menyebarkan partisipasi dalam hidup kharitatif Kristus
di antara warga masyarakat, saudara-i-nya.
Hidup etis politis dalam arti kristen berpautan secara essensial dengan hidup kasih (kharitas).
Sebagaimana tidak mungkin ambil bagian dalam kesatuan intim dengan Allah dalam Kristus tanpa
mengungkapkan (menunjukkan) diri dalam hidup bersama politis cinta fraternal, demikian pula
tidak dapat disarankan hidup politis yang benar (tulus) untuk seorang kristen tanpa menunjukkan
partisipasinya dalam hidup illahi. St. Agustinus membenarkan bahwa dari sisi politis “manusia
seluruhnya harus menjadi kasih (kharitas)”. (Paus) Pius XI mengatakan: “Ladang politis ... adalah
ladang kasih yang lebih luas, kasih (kharitas) politis” (18-XII-1927
Prospektif hidup politis cinta injili disarankan olehYesus dalam dimensi utopis eskatologis kerajaan
Allah, di mana kasih (kharitas) illahi dalam kepenuhan otentiknya akan dapat tercurah dan
menunjukkan diri dalam segalanya (Ef 4,6). Ideal politis kristen kasih (kharitas) tak pernah dapat
direalisir sepenuhnya pun diekspressikan secara definitif dalam waktu historis sekarang. Ideal itu
menuntut aktualisasi historis yang selalu diperbaharui. Orang kristen, baik dalam bidang politis
maupun dalam bidang ekklesial, diharuskan menunjukkan diri secara kritis yang terhormat terhadap
apa yang dilaksanakan dalam dimensi kharitatif (GS 21; LG 8).

3. KASIH (KHARITAS) YANG DISEKULARISIR SECARA INJILI

Barangkali dapat ditolak sekarang ini bahwa teologi etis di masa lampau telah memperkenalkan
suatu normatif politis yang semata-mata human, yang berusaha mendukung kondute moral yang
secara universal dapat dibagikan oleh seluruh masyarakat. Memasukkan cinta kharitatif ke dalam
bidang politik tidaklah berarti memasukkan pemisahan dan kontras?
Konsili Vatikan II menegaskan: “Kita harus mengakui bahwa Roh (Kudus) memberi kepada semua
kemungkinan untuk berkontak, dengan misteri paskal” (GS 22). Ambil bagian dalam misteri paskal

107
berarti berada pada bentuk awal yang telah dipneumatisir; diorientasikan secara interior kepada
rencana keselamatan Kristus berkat Roh (Kudus) (Rom 8,22); terbuka secara intim dan condong
untuk hidup seturut cinta kharitatif Kristus yang integral. Kita harus mengakui bahwa benar-benar
“Roh Tuhan memenuhi seluruh jagad raya” (Sap 1,7).
Kalau Roh (Kudus) hadir atas cara tertentu dalam diri setiap orang, nampaklah universal panggilan
pada praxis politis kharitatif: itu adalah tuntutan yang tak terhindarkan yang dihadapi dari
kedalaman setiap hati, walaupun tidak selalu disadari. “Tak ada seorang pun di dunia ini yang
begitu ditinggalkan oleh Roh Kudus sehingga kehilangan sama sekali setiap kemungkinan
penegasan sehubungan dengan hidup secara politis dalam cinta kharitatif” (Card. C.M.Martini).
Komunitas ekklesial punya tugas untuk menolong untuk menunjukkan dan memberi kesaksian akan
tuntutan umum untuk menghidupi politik sebagai kasih (kharitas), dalam bentuk yang cocok dengan
momen historis-kultural yang sedang kita hidupi dan dalam ekspressi tersekularisir seturut
problematik tekhnik-scientific dan tuntutan zaman politis sekarang.

V. WANITA
1. SPIRITUALITAS FEMINIM YANG SEDANG DALAM PROSES MENJADI

Sekarang ini hidup spiritual melihat status personal daging dan roh. Oleh karena daging, yang
membedakan pria dan wanita, maka digariskan suatu kesiapan untuk hidup secara kharitatif atas
cara tertentu yang berbeda antara spiritualitas maschil dan feminim. Sebenarnya kemajuan spiritual
(proses berkembangnya hidup spiritual) cenderung untuk memperlemah diskiriminasi sedemikian,
dengan masuk pada unifikasi dalam Kristus seturut Roh (Gal 3,28).
Mungkin dapat diupayakan untuk menggambarkan spiritualitas khas wanita berdasarkan kharakter
human kewanitaan. Gertrude von le Fort begitu mengingatkan qualitas khas feminim ini: “Di mana
wanita secara paling mendalam menjadi dirinya sendiri, di situ ia tidak lagi dirinya sendiri, oleh
karena ia telah dipersembahkan” (Die Ewige Frans). Ini berarti bahwa spiritualitas khas feminim
menonjolkan cinta oblatif, pelayanan yang ramah tamah (yang lemah lembut), pemberian diri bagi
orang lain, penerimaan (penyambutan) maternal dan komprehensif, arti human belaskasihan secara
mendalam.
Untuk memodifikasi kebiasaan sosial feminim maka perlu merancang suatu spiritualitas feminim
yang cocok untuk itu. Dan untuk ini perlu membaca sebelumnya spiritualitas exemplar Perawan
Maria sendiri selaras dengan spiritualitas feminim yang dominan. Nyatanya, sebelumnya, ketika
spiritualitas wanita (feminim) berada di bawah spiritualitas laki-laki (maschilis), dimunculkan
kebesaran spiritual Maria yang berfokus pada kesucian keperawanannya. St. Ambrosius menyatakan
bahwa Perawan Maria, dengan bertahan di rumah, “tidak keluar dari rumah selain ke Sinagoga, dan
dia, bersama dengan orang tua dan dengan sanak saudaranya, dan di hadapan malaikat Gabriel,
takut”.
Wanita kontemporer, yang sudah ber-emansipasi, mengimpikan suatu cara baru hidup spiritual.
Mereka merasa terpanggil untuk tampil (muncul) dengan menurunkan juga secara sosial suatu
kemanusiaan yang baru seturut Roh Kristus. Dengan bentuk spiritual feminim yang baru ini,
Magisterium ekklesiastik sendiri mengajak dan mengundang untuk mengakui bahwa Maria,
“dengan pasrah secara total pada kehendak Tuhan, adalah sungguh-sungguh seorang wanita yang
lemah lembut secara passif, atau, seorang wanita dengan keagamaan (religiositas) yang digeluti
sendirian (yang “menyendiri”), tetapi sekaligus tidak ragu-ragu mewartakan bahwa Allah adalah
Pembela orang yang rendah dan tertindas, dan menurunkan orang-orang yang berkuasa dari
takhtanya (bdk Lk 1,51-53)”, dan dengan demikian dapat “dilihat dan diakui dalam diri Maria,
bahwa dia muncul di antara orang rendah dan orang miskin Tuhan, bahwa dia adalah seorang wanita
yang kuat, yang mengalami kemiskinan dan penderitaan, dan yang bebas dari pembuangan”.
Kebesaran Maria, sebagaimana ditunjukkan oleh Teologi Spiritual, mendapat pengaruh dari ideal
hidup sosial sekaitan dengan wanita. Kultus Marial sebelumnya, lebih dari pada yang biasa, telah
menunjukkan pengangkatan ke permukaan tipe kewanitaan tertentu yang dulunya dipinggirkan,
direndahkan, tetapi yang lemah lembut. Sementara sekarang, nampaknya ingin dilihat hidup dan

108
Magnificatnya sebagai kesaksian akan suatu hidup besar revolusioner pengharapan: gertakan untuk
menurunkan penguasa dari takhtanya untuk mengangkat yang tertindas; pengandaian akan
bangkitnya masyarakat sebagai pewarta (bentara) Roh Kristus.

2. SPIRITUALITAS DALAM KECONDONGAN FEMINIM

Sejarah spiritualitas telah menunjukkan kepada kita berbagai bentuk spiritualitas yang dihidupi
sekaitan dengan wanita kristen; tidak hanya karena berbagai konteks kultural yang ada, tetapi juga
karena visi spiritual ekklesial yang berbeda-beda. Dapat kita tunjukkan beberapa contoh.
Secara mendasar, wanita spiritual selalu berhadapan dengan Yesus Kristus karena RohNya, tetapi
secara implisit nampak juga cemas untuk berkonsentrasi dalam berhadapan dengan yang lain,
rivalnya, yang dikondisikan dalam situasi pria. Istilah biblis “ezer kenegdo” (pertolongan /
penolong: Kej 2,18.20), terus merangsang spiritualitas feminim dalam arti positif dalam
pengalaman-pengalaman baru yang semakin otentik; ide ini mendorong spiritualitas feminim untuk
bersikap dialektis: pertemuan-pertentangan, otonomi-ketergantungan, kesendirian-colloquium.
Wanita, dalam sikap spiritualnya, tidak lupa untuk mengejar (berambisi akan) supremasi privilege di
hadapan pria. Injil sendiri menggambarkan pelayanan kharismatik wanita dengan penjelasan yang
sama ini: wanita sebagai yang pertama ...: Maria, yang pertama di mana menjelma Sang Sabda;
Elisabeth, yang pertama mewartakanNya; orang Samaria, yang pertama yang mendengar proyek
religiositas baru; Magdalena, yang pertama menyembah Dia yang bangkit; Maria, yang pertama
yang melepaskan segala kesibukan untuk mendengar Sabda Yesus; dst. Panggilan feminim ini, yang
diindikasikan oleh Kitab Suci, diteruskan oleh para wanita dalam Gereja. “Sebagaimana benar
bahwa Gereja secara hirarkis diteruskan oleh para pengganti para Rasul, lalu kemudian oleh orang
lain, demikian juga dan bahkan lebih benar lagi bahwa para wanita dibimbing oleh mereka secara
kharismatis atas cara yang sama atau bahkan lebih lagi” (Pidato Yohanes Paulus II di Paris).
Perkawinan spiritual dengan Allah dalam Roh Kristus, walaupun ini sebenarnya untuk hidup
spiritual semua orang kristen, biasanya dilukiskan secara lebih mendetail dari sisi wanita spiritual,
seolah-olah lebih cocok dengan psikologi affektif mereka. Theresia dari Avila melukiskan
perkawinan spiritual dalam prospektif biblis, sebagai antisipasi kondisi eskatologis, puncak
intimitasnya dengan Allah dalam Roh Kristus. Ia merasa terpanggil pada tujuan (sasaran) spiritual
ini karena statusnya sebagai gambara spesial Allah, yang diredupkan oleh dosa dan dipulihkan oleh
penebusan. Ia diberi aspirasi untuk menyatakan dalam dirinya sendiri kondisi sponsal Gereja yang
dipeluk bagi Kristus Pengantin; untuk menunjukkan (mengungkapkan) kontemplasinya dan
penderitaan apostolisnya seturut forma kontemplatif sponsal. “Ketika (kalau) engkau
menenggelankan diri dalam Kebaikan Tertinggi ini, maka akan kaukenal apa yang Dia kenal, akan
kaucintai apa yang Dia cintai, dan akan kaucicipi (nikmati) apa yang Dia cicipi (nikmati), lalu kau
akan masuk dalam istirahatmu: kehendakmu akan kehilangan ketidakkukuhannya (kerapuhannya),
dan ia akan berobah”.
Elisabeth dari Trinitas (1880-1906), dalam catatan-catatan spiritualnya dan dalam
korrespondensinya, terus berbicara mengenai tinggalnya Trinitas Yang Mahakudus dalam
penyesuaian dirinya yang intim dengan Kristus. “Tuhan ingin agar saya bagiNya menjadi suatu
‘kemanusiaan sambungan’ di mana Ia masih dapat menderita demi kemuliaan Bapa, untuk bergegas
menemui orang-orang yang membutuhkan dalam Gereja (mencari kebutuhan-kebutuhan Gereja)”.
Edith Stein (1891-1943) melihat, dalam kelahiran Kristus, kedatangan / kehadiran Allah di dunia ini
“untuk membentuk dalam diri kita suatu tubuh misterius: Dia adalah Kepala kita dan kita adalah
anggota-anggotaNya ... tidak ada lagi rintangan dalam diri kita pada jalan hidup illahi” (Das
Weihnachsgeheimnis). Adrianna von Speyr (1902-1967) mengajak untuk membiarkan masuk ke
dalam diri kita Sabda sedemikian sehingga Dia yang mengambil alih kepemilikan total keberadaan
kita, sedemikian sehingga tidak dapat lagi dibedakan “Dia yang menerima dan Dia yang diterima”;
kita ambil bagian dalam aktivitasNya dan kebebasanNya yang mulia. “Dalam dia yang lahir pada
hidup illahi segalanya terpaut, dan dia seolah-olah tidak tahu lagi hal-hal yang adalah cinta Allah”.

3. SPRITUALITAS FEMINIM YANG TERFOKUS PADA YESUS

109
Mistik feminim terfokus pada pribadi Yesus sebagai Pengantin. Ini berasal dari gambaran
perkawinan antara Allah dan Israel, Allah dan Gereja, Allah dan masing-masing jiwa individual.
Tetapi juga karena wanita spiritual menghidupi pengalaman mistiknya dengan segala sesuatu yang
mencirikan personalitas affektifnya. Wanita, yang hidup dalam komunitas gerejani secara khusus
seturut keyakinannya, merasa diri terpanggil untuk hidup spiritual yang menunjukkan
keberadaannya yang khusus karena Roh Kristus, dengan menyandang gelar pengantin Kristus.
Secara khusus, seorang mistika, Dame Julian, melukiskan Yesus sebagai ibu yang memeliharanya
dengan air susu dari dadaNya sendiri, dari lambungNya yang terluka. Pelukisannya akan hal ini
penuh dengan devosi, yaitu suatu kekaguman bahwa Yesus menawarkan TubuhNya sendiri
kepadanya. Secara ekstasis ia menyerukan: “Ibu human memelihara putranya dengan air susunya,
tetapi Ibu kita yang tercinta, yaitu Yesus, memelihara kita dengan diriNya sendiri”.
Meister Eckhart menyarankan untuk melewati dan melebihi simbolisme-simbolisme mistik ini,
dengan melihat dan memahami pria dan wanita secara tak berbeda, tidak hanya sebagai sebagai
diturunkan dalam Kristus oleh Roh Kudus, tetapi mereka sendiri “menurunkan” Allah dalam
keintiman mereka sendiri (denganNya) yang mendalam. “Seandainya Maria tidak terutama
mengandung Allah secara spiritual, Ia tidak akan lahir darinya secara badani … Inilah yang paling
berkenan bagi Allah, diturunkan secara spiritual dari setiap perawan, dari setiap jiwa yang baik,
yang lahir secara badani dari Maria”.
Pelan-pelan kalau kita masuk dalam hidup mistik, maka kecemasan untuk mengadakan pembicaraan
spiritual yang berbeda bagi pria dan wanita akan hilang. Memang spiritualitas adalah suatu
spiritualitas sejauh dibedakan seturut sisi kepriaan dan kewanitaan pada tingkat asketik yang
diwajibkan untuk mengatur penyisipan yang diserap oleh sensibilitas, tetapi dalam mistik – di mana
yang berpengaruh adalah factor roh – pemisahan itu akan kehilangan nilai. St. Paulus mengatakan:
Kenakanlah Kristus (yaitu RohNya), di mana “tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu
semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3,28). Karena itulah maka St. Yohanes dari Salib,
dengan menunjukkan pengalaman mistik, nampak lain dari memperlihatkan spiritualitas yang
mempunyai cap kepriaan atau kewanitaan. Spiritualitas mistik ini adalah suatu kecondongan
spiritual yang mengatasi baik aspek kepriaan maupun kewanitaan dalam penempatan diri di hadapan
Roh.

VI. FORMASI UNTUK HIDUP SPIRITUAL GENERASI MUDA


1. KONTEKS SOSIO-KULTURAL KINI

Generasi baru sekarang secara spontan cenderung menunjukkan dirinya dengan saran
spiritual profetis yang sejalan dengan orientasi cultural yang baru yang sedang digeluti. Kiranya
bermanfaat memberi beberapa tekanan pada hidup cultural komuniter untuk memetik dan menilai
arti kecenderungan spiritual orang muda dalam hal ini.
Konteks social sekarang ini (yang sungguh dikondisikan oleh industrialisasi, urbanisme, dan
sarana-sarana komunikasi social), condong mendominasi jiwa-jiwa manusia secara menentukan;
membentuk kekuatan yang uniform di antara pribadi-pribadi; menyebarkan kesamaan cultural yang
digeneralisasi; melihat orang muda sebagai dipersembahkan dalam identitas personal spiritualnya,
sehingga mereka tidaklah bersaski dengan kreativitas yang bebas. Kalau mereka suka
mengkhususkan diri untuk hidup spiritual, mereka tidak mau membiarkan diri dibimbing oleh
system teoretis gerejani dalam hal kebajikan-kebajikan. Mereka mau tetap tunduk pada nilai-nilai
yang disarankan dan ditanamkan oleh hidup social saat ini (seperti ekologi, femminisme, badaniah,
otonomi orang muda). Dapat dikatakan bahwa orang muda sekarang dicengkeram oleh berbagai
konteks cultural.
Hal yang berikut kemudian adalah bahwa animo orang muda itu berada, bukan dalam
perspektif hidup organik uniter, tetapi di antara indikasi-indikasi essensial yang terpecah-pecah, di
antara saran-saran untuk merealisir hal-hal yang sifatnya sementara (darurat; tidak tetap), di antara
pilihan-pilihan personal yang ditimbulkan oleh situasi sosial di mana mereka berada. Animo mereka

110
ini menjadi larut dalam hal-hal ini karena ekses informasi (informasi yang berlebihan), yang berasal
dari berbagai bidang khusus (pengetahuan, industri, ekonomi, politik, gereja, dll). Karena
kekurangan dalam skala organis akan nilai-nilai ini, maka animo orang muda itu menjadi kacau di
antara opsi-opsi yang didominir oleh keinginan untuk menjawab secara langsung tuntutan-tuntutan
social itu. Nilai-nilai riil (kebebasan, damai, solidaritas, perlucutan senjata, kelaparan, dll)
dipaparkan dalam bentuk protes yang terkotak-kotak yang tidak dirangkum dalam suatu bentuk
pembaharuan yang fundamental akan eksistensi mereka sendiri.
Orang muda – karena kurang dalam hal memori historis-kultural (seperti pohon tanpa akar,
batang, dan dahan-dahan) dan kurang jelas dalam hal identitas personal kristen – perlu dididik untuk
memetik arti fundamental hidup kristen. Walau nampak secara spontan murah hati dan idealis,
tetapi keterlibatannya lemah, terbatas, bahkan mungkin kontradiksi dan tidak melibatkan secara
radikal seluruh eksistensinya, tetapi dibaharui tanpa memberi peluang pada panggilannya untuk
merangkul seluruh hidup yang akan datang. Kalau mereka suka berhimpun pada hari-hari doa atau
pada saat-saat hening yang meditatif, dan kalau pada periode tertentu mendedikasikan diri pada
aktivitas voluntir, maka pada waktu berikutnya mereka meminta agar dapat bersenang-senang, yang
bertentangan dengan apa yang mereka perjuangkan.

2. PENDIDIK SPIRITUAL ORANG-ORANG MUDA

Orang muda memahami bahwa martabat pribadi berada dalam posisi tahu berorientasi secara
otonom, walaupun dalam konkretnya merasakan perlunya pendidik spiritual. Mereka tahu
memperbaiki diri dalam hidup spiritual dalam sokongan-sokongan sesaat (kontemporer) yang
berasal dari diri mereka sendiri dan dari yang lain. Pendidik spiritual, yang diminta oleh orang muda
dalam kemendesakan yang tidak bisa lagi dihindarkan, ialah Roh Kudus. Ini adalah pendidik yang
sanggup memberi terang otentik interior pada jiwa, dengan tetap menghormati jiwa itu dalam
otonomi decisionalnya yang luas. Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan dalam Wasiatnya agar
selalu melihat perlunya mengarahkan diri pada Roh Tuhan: “Dan setelah Tuhan memberi aku
saudara, tak seorang pun menunjukkan kepadaku apa yang harus kulakukan”.
Roh Kristus tidak menolak mediasi edukatif Institusi gerejani. Bahkan hal itu dituntut dan
dikukuhkan dengan kharisma-kharismaNya. Orang muda dapat memperoleh terang Roh yang
meluas kalau ia patuh mendengar pembimbing rohani. Kebapaan spiritual gerejani ada tidaklah
hanya dalam diri para imam. Kebapaan itu adalah charisma yang diberikan oleh Roh kepada setiap
jiwa devotif baik dalam modalitas maupun dalam intensitas yang berbeda-beda. Dalam hal ini patut
diingat kebapaan spiritual para Starecs Rusia.
Sebagai suatu kharisma, edukasi spiritual gerejani diarahkan untuk berpadu pada isi dan cara
komunikasi interior yang dibuat oleh Roh. Pendidik spiritual harus selalu mendahulukan
permohonan akan bimbingan Roh sebelum memberi saran-saran asketisnya sendiri, sebagaimana
biasa dibuat oleh Santo Curato d’Ars. Pembimbing rohani (direktur spiritual) baru bisa merasa diri
sebagai diterangi hanya kalau dia mengkomunikasikan perkataan-perkataan Roh. Bahkan, bukan
hanya itu, ia juga diajak untuk mengasihi anak bimbingannya dengan kasih yang sama dengan kasih
Roh itu sendiri. Don Yohanes Bosco menulis dari Roma pada tahun 1884: “Orang-orang muda
hendaknya tidak hanya dicintai, tetapi mereka juga harus tahu bahwa mereka dicintai”. Itulah cinta
yang tertenun dari optimisme yang penuh keyakinan yang menggembirakan, karena cinta itu
didambakan karena Roh dapat membangkitkan dan membuatnya berkecambah dalam animo orang-
orang muda.
Sedari Roh menggambarkan wajah Kristus dalam masing-masing orang, sejauh mereka
secara bersama-sama merupakan unsur tersusun Tubuh Mistik Tuhan, maka orang muda merasa
condong secara spiritual untuk mengikat diri pada askese grup di antara mereka yang sebaya. Hidup
sebagai orang kristen secara otentik berarti menjadikan diri sendiri sebagai anugerah cinta bagi
orang lain (agape, 1Yoh 4,8), dan untuk itulah grup spiritual menjadi bentuk konkrit tuntutan
kharitatif kristen. Dalam grup seperti itu, orang muda dapat melaksanakan kasih fraternal; dapat
menikmati keamanan dalam perjalanan di mana mereka saling berbagi; memahami dan merasakan
sebagai berpotensi pertemuan cinta dengan Allah dalam Kristus.

111
3. METODE EDUKATIF SPIRITUAL

Pendidik spiritual disarankan memberi terang Roh sambil memperhatikan konteks sosio-
kultural di mana orang muda termasuk. Sekarang ini orang muda hidup dalam masyarakat
pluralistik, terpotong-potong seperti mosaik yang tidak homogen, berwarna-warni seperti instansi-
instansi yang tidak gampang diseragamkan. Konteks ini, kurang lebih, membuat condong orang
muda pada pilihan yang “lemah”, yaitu yang darurat dan rapuh.
Untuk menyangga perjalanan orang muda menuju kepribadian yang dewasa secara spiritual,
maka pendidik spiritual memberi perhatian pada dua aspek. Terutama mengharmonisir aksinya
dalam memperkembangkan bio-psikis orang muda, si anak didik. Yohanes Paulus II mengingatkan:
“Pendidik spiritual harus mengikuti satu perjalanan pedadogis spesifik yang, sementara menetapkan
secara tepat dinamika evolutif kemungkinan human, membangkitkan dalam diri orang muda itu
kondisi suatu jawaban yang bebas dan gradual”.
Pada umur tujuh tahun, seorang anak menghidupi hidup spiritualnya secara imitatif: secara
kodrati menunjukkan pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan dan isyarat-isyarat dari areal khusus
keluarga. Pada masa pubertas (12-15 tahun) ia menuntut agar dapat mengkutak-katik hidup
spiritualnya sendiri, untuk membuat suatu revisi yang mendalam. Ia akan mengarah pada suatu
status remaja / dewasa (adolescens) dengan spiritualitas yang dihidupi secara personal (“di prima
mano” = langsung) dan bukan yang diterima dari orang lain (“di seconda mano” = tidak langsung).
Kalau pada masa awal masa muda (pada triennium sekolah menengah atas) ia sedih atau hampir
putus asa oleh karena pergulatan interior antara sphere pulsional (emosi, perasaan, instink) dan
rasional, antara urgensi iman dan tensi interior, maka pada umur universiter si orang muda itu akan
menikmati suatu hidup spiritual tertentu yang matang dan pasti. Sementara orang muda universiter
merasa sulit membawa nilai-nilai religius ke dalam hidup sosio-politis.
Di tempat kedua, pendidik spiritual dipanggil dan ditugasi untuk mengkomunikasikan
kepada orang muda sekarang ini identitas kristen personal, untuk membuat mereka sadar mengenai
arti global uniter eksistensi kristen, dan memberi mereka rasa dan semangat akan pilihan yang
“ketat” dan stabil. Dengan cara apa? Dulu secara tradisional dimulai dengan mendiktekan satu
bidang sistematik akan hidup kebajikan (horizon sakral yang merangkum seluruhnya), di mana
setiap orang muda diwajibkan menjalankan hidup hariannya sendiri. Sekarang ini lebih disukai
“tidak mendiktekan” secara a priori arti uniter hidup spiritual, tetapi membuat dan membantu
mereka untuk menemukannya secara pelan-pelan dan bertahap sehingga dari situ muncul tuntutan-
tuntutan baru. Orang muda dihantar dengan refleksi yang agak “lemah” (yaitu secara khusus dan
sementara), tetapi secara lambat laun mampu membuka diri mereka pada arti umum eksistensi
kristen mereka. Orang muda memerlukan “grammatika arti-arti” yang memberinya kemungkinan
untuk membaca arti situasi yang terjadi dalam perjalanannya yang “lemah”, sehingga dengan
demikian memperoleh secara progressif arti spiritual umum melalui ruang dan waktu selanjutnya. Ia
dapat merekuperir “keseluruhan bertolak dari kepingan-kepingan”.
Dengan mengadopsi metode bimbingan rohani ini, orang muda tidak akan merasa terpaksa
merendahkan diri atau bertekuk lutut dalam memahami diri sebagai ditempatkan dalam suatu hidup
spiritual yang di luar keputusan otonomnya. Dalam kecerahan dibentuk suatu pengalaman yang
secara lambat laun berkembang dalam Roh Kristus. Juga di hadapan nilai-nilai baru, yang muncul
dalam masyarakat dan yang kepadanya (nilai-nilai itu) dirasa condong dengan kesukaan batiniah,
orang muda itu melekatkan diri dengan penajaman spiritual sendiri (misalnya, dalam hal otonomi,
inisiatif yang kreatif, sukacita resiprok yang penuh iman, solidaritas dalam kegratisan, cinta oblatif).
Sekalipun berada dalam lingkungan sempit, orang muda itu punya kemungkinan untuk
menganimasi nilai-nilai yang muncul secara social dalam perspektif spiritualnya sendiri; ia berhasil
mendengar di dalamnya Roh Kristus dan menghargai perjalanan otonom spiritualnya sendiri.

4. HIDUP SPIRITUAL KRISTOSENTRIS

Perlu mendidik orang muda akan hal arti spiritual akan hidup. Bagaimana hal ini
dibayangkan? Dalam hal apa hal itu diterjemahkan? Arti hidup kristen terletak dalam menyadari diri

112
sebagai anggota aktif Kristus integral; dalam membiarkan diri dengan senang hati di-cap dengan
wajah spiritual Kristus oleh Roh melalui perjalanan paskal kharitatif. St. Paulus menyatakan bahwa
“siapa yang dipersatukan dengan Tuhan akan menjadi satu denganNya secara spiritual” (1Kor 6,17),
akan menjadi putra dalam Putra Allah (Rom 8,14). Semua ini mengandaikan pengambilbagianan
dalam misteri paskal Kristus, yang membaharui secara radikal tidak hanya hidup keutamaan tetapi
pertama-tama entitas ontologisnya sendiri. Setiap orang diperbaharui dalam daging dalam Roh
Kristus yang bangkit. “Karena ketika seseorang dipersatukan dengan Kristus, maka ia menjadi
ciptaan baru: hal yang lama telah berlalu, dan semuanya telah menjadi baru” (2Kor 5,17). Arti
fundamental hidup spiritual ini dapat dikomunikasikan dan direalisir dalam diri kita hanya dalam
Roh. Orang muda dipanggil / diundang / diajak untuk siap memberi diri pada anugerah Roh itu dan
untuk menyatukan aktivitasnya pada anugerah itu.
Arti “hidup dalam Kristus integral” bukanlah secara murni diperoleh dari orang-orang muda
pada umumnya. Mereka suka memposisikan diri dalam relasi dengan Yesus Kristus, tetapi secara
khusus menilai dan melihatNya dalam dimensi antropologis-horizontal. Mereka merujuk kepadaNya
dengan memandangNya sebagai Guru exemplar persaudaraan (fraternitas), Guru exemplar cinta,
Guru exemplar keadilan dan kesamaan. Tetapi mereka tidak tahu mengarahkan secara konkrit hidup
personal dan sosio-kultural mereka sendiri kepada Yesus Kristus. Mereka hanya kira-kira tahu
mengamati aksi penyelamatan-pengudusanNya dalam hidup Gereja. Oleh karena itu mereka
biasanya merujuk pada Kristus yang cepat hilang yang tidak memberi indikasi akan pengalaman
spiritual konkret.

5. PERJALANAN SPIRITUAL

Bagaimana secara konkrit mendukung aksi kristifikatrix Roh atas diri setiap orang?
Mungkinkah mengorientasikan kepada suatu assimilasi hidup injili Kristus orang-orang muda
sekarang yang tinggal / berada dalam konteks laical-profan?
Biasanya pendidik spiritual akan berusaha mengorientasikan orang muda dalam perjalanan
berganda tiga. Terutama, dalam pendidikan spiritual liturgis, pendidik spiritual harus melihat orang
muda itu tidak hanya sebagai berkebajikan, tetapi juga masuk dan terlibat secara spiritual dalam
Kristus, dilihat sebagai dipneumatisir secara ontologis. Dalam kenyataannya, aksi liturgis
sacramental berkat Roh menghantar pada partisipasi effektif dalam misteri paskal Kristus. Rahmat
liturgis, selain melibatkan orang beriman yang ikut ambil bagian di dalamnya secara mistik,
menyarankan aspek-aspek spiritualitas kristen sebagai penghantar: tokoh absolut Roh, yang
berkonfigurasi pada Kristus (kristosentrisme), dalam kekudusan khusus Tubuh mistik gerejani.
Pendidik spiritual dinasehatkan untuk menyarankan kepada orang muda, selain partisipasi
dalam aksi liturgis sehingga dengan demikian disatukan dengan Kristus paskal, kesatuan colloquial
dengan Tuhan melalui penerimaan dan perenungan Sabda. Hal ini bisa mungkin kalau Kitab Suci
“dibaca dan diinterpretasikan dengan bantuan Roh itu sendiri yang dengan perantaraanNya Kitab itu
ditulis” (DV 12). Ketika nampak terpneumatisir (yaitu bangkit dalam Kristus berkat Roh), orang
muda itu bergerak dari pembacaan Sabda secara intelektualistik kepada pemahaman dialogisnya
dalam Roh Kristus. Mendengar Sabda secara tekun dalam cahaya Roh akan membangkitkan dalam
animo pemikiran dan perasaan akan Kristus. Arti dan pengaruh cahaya Sabda semakin memperbesar
kemungkinan bagi orang muda untuk dipersatukan dengan Tuhan. Sabda, terutama ketika
dikomunikasikan dalam aksi liturgis, seluruhnya diresapi dengan rahmat-cahaya Roh Kristus. Para
Bapa Konsili Vatikan II dengan keyakinan kuat mengatakan bahwa: “… boleh diharapkan dorongan
baru dalam hidup rohani karena Sabda Allah yang ‘tinggal selama-lamanya’” (DV 26).
Setelah dilahirkan kembali secara paskal dalam Kristus serta tinggal dalam Dia dalam
colloquium cinta melalui Sabda, orang muda diarahkan untuk menyusuri jalan dunia menuju
kerajaan Allah dengan cinta kharitatif Roh dalam suatu konteks social. Mereka dimampukan secara
progressif untuk tahu membaca, di dalam diri para saudara dan dengan partisipasi mereka dalam
konteks gerejani, rencana illahi yang telah dipetakan oleh Roh dalam sejarah human, dan untuk
menggunakan aksi mereka untuk menyokongnya dalam pengaktualan salvifiknya.
Pendidikan spiritual orang-orang muda merupakan suatu missi besar yang dibentangkan oleh
pembimbing rohani (direktur spiritual) bersama dengan Roh Kristus yang bekerja dalam komunitas

113
gerejani, karena pendidikan itu dimaksudkan untuk memperbesar dan menyempurnakan
(melengkapi) Tubuh mistik Tuhan dan untuk membuat berjalan umat beriman menuju Kerajaan
Allah demi kemuliaan Allah Bapa.

D. SARANA-SARANA UNTUK PERKEMBANGAN


SPIRITUAL

INTRODUKSI
Bagian seksi relatif bagi sarana-sarana untuk perkembangan hidup interior ini hendak
membicarakan aspek yang lebih struktural dan institusional hidup spiritual, atau aspek
perkembangan harmonis hidup spiritual pribadi yang direalisir dalam suatu komunitas atau Institusi
sosial yang terbentuk dalam horizon iman religius.
Pada umumnya Institut Sosial merupakan iklim vital bagi pertumbuhan pribadi; jadi Institut itu
menjadi penentu dinamika interior orang-orang (pribadi-pribadi) yang hidup dalam Institusi
tersebut, dan dalam hal ini Institut itu menjadi prioritas terhadap masing-masing orang di dalamnya.
Setiap orang yang lahir di dunia ini masuk dalam suatu komunitas, dan komunitas itu
membentuknya sejak awal dan dalam bentuk-bentuk awal itu, dan, walaupun Institut itu merupakan
produk human, tapi Insititut itu "menguasai" realitas obyektif orang itu, yang terjadi seturut hukum-
hukumnya sendiri, dan yang menstrukturkan orang-orang yang terlibat di dalamnya seturut
dinamikanya.
Pengalaman spiritual yang terjadi dalam suatu komunitas human, membangkitkan Institusi yang
dirumuskan secara progressif, yang bergerak, berubah dan berkembang dalam waktu, dan
menetapkan peraturan-peraturan untuk bersikap dan diungkapkan secara konkrit dalam model-
model yang hidup.
Dari satu pihak, pribadi human, dalam struktur sosial, berkembang melalui hubungannya dengan
yang lain, jadi seturut dinamika persimbolan, berhubung karena hidup tidak dapat mengungkapkan
dirinya selain melalui simbol-simbol. Jadi dinamika simbolik dan tuntutan Inkarnasi "menyetir"
hidup spiritual setiap pribadi dan Institusi dan mengatur perkembangan mereka. Setiap orang yang
menghidup suatu dimensi interior, menterjemahkan dimensi itu dalam persimbolan-persimbolan
vital dan dalam ritualitas-ritualitas sosial. Penggunaan ritus-ritus dan persimbolan-persimbolan yang
terus menerus mengembangkan dunia interior yang khusus itu yang mencirikan setiap grup sosial
dan setiap orang: sesungguhnya simbol-simbol itulah yang menstrukturkan setiap pribadi dalam
komunitas hidupnya. Oleh karena itu berefleksi tentang sarana-sarana untuk perkembangan hidup
spiritual berarti mengenali mekanisme-mekanisme fundamental yang melaluinya suatu obyek
human menjalankan proses pertumbuhan dan diidentifisir sebagai pribadi (persona), melalui
hubungannya dengan yang lain dan melalui tanda-tanda yang dituntut. Simbol-simbol hidup dapat
terdiri dari ikon-ikon (gambar-gambar), bahasa (verbal) dan tanda-tanda (gestures), dan semua dapat
berfungsi dan berkala ritual.
Jadi ada juga suatu spiritualitas struktur vital dan spiritualitas Institusi yang bukan merupakan
himpunan sikap-sikap personal, tetapi yang timbul dari tenunan tradisi dan dari pertemuan (kuala)
bawaan-bawaan atau aliran-aliran yang beraneka ragam dan disatukan dalam dinamika dan
kebiasaan otonom. Jadi norma-norma dan tradisi-tradisi merangkum perolehan-perolehan
pengalaman yang terjadi dari generasi ke generasi, dan menunjukkan perjalanan komuniter untuk
mencapai bentuk-bentuk baru kesempurnaan, serta menetapkan tahap-tahap suatu askese personal
menuju kematangan yang penuh. Dengan demikian Institusi-Institusi menjadi seperti suatu memori
organis perolehan-perolehan pengalaman itu yang dimatangkan dalam waktu, yang dirangkum

114
dalam simbol-simbol sosial, dan menunjukkannya sebagai kondisi demi integrasi obyek-obyek baru
dan ketermasukan pada struktur mereka. Perolehan-perolehan sedemikian membentuk iman mereka.
Dalam arti umum iman adalah kompleks (areal) ideal-ideal yang membimbing suatu grup sosial
atau suatu komunitas human, dan untuk itu setiap pribadi, yang dipercayakan menjadi saksi, terikat
dalam hidup yang terarah dari pada di sisi lain. Oleh karena itu berefleksi atas sarana-sarana hidup
spiritual terutama berarti mengenali mekanisme-mekanisme fundamental yang melaluinya suatu
komunitas ambil bagian dalam imannya sendiri, dan atas cara itu komunitas itu memberi kebutuhan
pada dan merangsang proses pertumbuhan seorang pribadi (dalam komunitas itu) dan membimbing
serta mengarahkan pribadi itu pada identifikasi dirinya sendiri. Setiap grup sosial, untuk hidupnya,
harus merumuskan proyek-proyeknya, membaharui tugas-tugasnya, menjajagi perjalanan-perjalanan
yang tidak dikenal, dan untuk melaksanakan ini grup itu perlu ber-referensi tanpa syarat pada nilai-
nilai yang dihimpun dan diterimanya, pada alasan yang diterima sebagai mutlak, dan pada ideal-
ideal yang belum diverifikasi sepenuhnya. Referensi-referensi ini membentuk bagi setiap orang
alasan hidup dan dilangsungkan dalam suatu tradisi historis yang memuat kesaksian-kesaksian yang
manjur (efficax). Suatu komunitas yang kehilangan horizon-horizon idealnya atau tidak mempunyai
referensi-referensi itu dalam sejarah hidupnya, maka komunitas itu memulai suatu perjalanan
kemunduran yang akhirnya terarah pada perusakan dirinya sendiri secara fatal. Agar bertahan hidup
terus setiap grup human harus menggeluti imannya sendiri dan membangkitkan kesaksian dalam
generasi muda melalui sosialisasi yang terjadi dalam komunikasi hidup dan ide-idenya, yaitu ideal-
ideal yang muncul dari tradisinya sendiri.
Agama adalah kompleks (areal) struktur dan tanda-tanda simbolis (ikon-ikon, verbal-verbal, tanda-
tanda: gestures) yang menghadirkan ideal-ideal mutlak yang diterima melalui iman, yang diyakini
sebagai hadir dan terrealisir dalam Esse Supremus (yang umumnya disebut Allah) dan yang
memverifikasi arti dalam berbagai fase pertumbuhan personal. Jadi dalam deklinasi religius, iman
merupakan sikap, yang dengannya manusia mendengar perkataan yang muncul dari pengalaman-
pengalamannya (yang dianggap sebagai gema Sabda Allah), dan yang dengannya diterima dorongan
hidup (yang dianggap sebagai emergensi aksi salvifik Allah). Jadi iman religius adalah suatu
modalitas konkrit iman vital, dan adalah bentuk (forma) yang diterima oleh iman ketika manusia
sampai pada penemuan Allah sebagai prinsip originer (asal-usul) dan sebagai fondamen
eksistensinya, dan ketika manusia itu mengorientasikan seluruh hidupnya pada Allah sebagai
horizon terakhir perjalanannya. Dapat disebut teologal sikap yang "menghasilkan" penemuan itu,
dan yang mencirikan hidup spiritual orang beriman.
Sikap teologal ini juga mempunyai simbol-simbol dan dalam perjalanan waktu akan merupakan
suatu struktur dalam penggunaan yang paling menguntungkan akan energi vital dan kharisma-
kharisma personal demi kesejahteraan semua orang. Struktur-struktur hidup iman dan Institusi-
Institusi religius mengkondensasikan dalam norma-norma dan kebiasaan-kebiasaan perolehan-
perolehan pengalaman yang dimatangkan selama berabad-abad dalam serat-serat besar tradisi
religius. Dalam tradisi-tradisi religius, struktur-struktur itu sering memiliki kemanjuran formatif
yang termasyhur bagi kekayaan memori-memori yang direkam dan bagi hidup-hidupnya
pengalaman yang diperoleh dan dirasakan. Ini dikonkretisir dalam beberapa model yang hidup yang
menunjukkan secara plastis aturan-aturan sikap, yang penting untuk kesetiaan otentik memori-
memori yang disimpan itu, dan dalam tradisi religius disebut orang-orang kudus. Ada juga model-
model kultural, yang berhubungan dengan berbagai visi perspektif atau dengan interpretasi hidup,
dan yang, dalam tradisi religius, membentuk berbagai sekolah spiritualitas. Tetapi semua proses ini
selalu dikembangkan dalam ambiquitas sejarah dan dalam batas-batas kondisi yang diciptakan; jadi
tidak dapat diinterpretasikan secara langsung, tetapi menuntut discerment dan bacaan yang teliti
akan tanda-tanda yang muncul dari aksi illahi. Atas cara demikian, anugerah Roh Kudus dan
berbagai kharisma akan dapat diakui dan didukung demi rivelasi Allah yang penuh dalam sejarah
dan demi perkembangan harmonis hidup, yang membentuk perjalanan penyempurnaan atau askese
manusia.
Jadi spiritualitas, sejauh merupakan lingkungan teologi, harus menganalisa dinamika produksi
struktur-struktur sosial suatu iman religius, dan mengenali mekanisme-mekanisme interiorisasi yang
telah dirangsangnya, untuk menginterpretasikan pengalaman, mendukung perbaikan progressif
Institusi-Institusi dan dan berartinya Institut-Institut itu bagi perobahan dan pertukaran historis.

115
PRINSIP TEOLOGIS REFERENSI

Hukum / aturan, yang mengatur proses hidup interior dan interpretasinya, seturut visi kristen akan
hidup, ialah Hukum Inkarnasi, yang merupakan hukum tertinggi keselamatan. Hidup interior
manusia, sebagaimana kita mengerti dalam referensi pada Kristus, dibutuhi / dihidupkan oleh aksi
Allah, yang membuat nampak kesempurnaan-Nya dalam bentuk human, melalui orang beriman.
Oleh karena itu, tidak mungkin mengerti, dari sudut pandang teologis, perkembangan Institusi-
Institusi dan pertumbuhan setiap pribadi, tanpa bereferensi pada modalitas aksi creatrix Allah dan
pada hukum-hukum Inkarnasi yang mengatur kehadirannya dalam sejarah.

a. HUKUM INKARNASI

Kekhususan pengalaman kristen akan nampak jelas kalau diteliti hukum yang disingkapkannya,
yaitu: Hukum Inkarnasi. Inkarnasi mengungkapkan dinamika aksi illahi, yang masuk dalam sejarah
human sebagai kelanjutan peristiwa keselamatan. Dengan istilah Inkarnasi dalam iman kristen tidak
memaksudkan, sebagaimana sering difantasikan, turunnya sesuatu yang surgawi ke dunia,
melainkan penyingkapan kesempurnaan illahi dalam daging human. Bagi iman kristen, Yesus
bukanlah "semideo" (setengah dewa setengah manusia) atau sesuatu yang ada secara metahistoris;
dalam realitas human-Nya Ia adalah manusia secara perfek dan secara eksklusif, dan tidak ada
perbuatan lain yang lebih dari pada perbuatan manusia yang Dia lakukan, yang berbeda dari
perbuatan kita. Yesus tidaklah menyingkapkan Allah karena dalam realitas-Nya Dia adalah illahi,
tetapi karena Ia adalah sedemikian perfek human untuk menjadi transparansi aksi Allah dan untuk
melihat-Nya sebagai manifestasi penuh aksi Allah itu dalam daging-Nya. Yesus ditetapkan sebagai
Mesias dan Tuhan (bdk Kis 2,36) untuk menyingkapkan / membuka, dalam pengalaman historis-
Nya, daerah-daerah / areal-areal Sabda dan aksi illahi yang menyelamatkan. Yohanes
mengungkapkan realitas ini dengan menuliskan ungkapan-ungkapan yang keluar dari mulut Yesus:
"Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa yang diam di
dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya" (Yoh 14,10) dan "Aku dan Bapa adalah satu"
(Yoh 10,30). Alasan / dasar affirmasi yang mengagumkan ini terletak dalam fakta bahwa karya-
karya Yesus adalah transparansi perfek aksi illahi dan bahwa Sabda-Nya mengungkapkan
kebenaran Allah (bdk Yoh 12,49-50; 14,10). Kekhususan pengalaman kristen terletak dalam
kesetiaan pada rivelasi yang dinyatakan ini dalam Yesus dan dalam tradisi yang muncul dari pada-
Nya. Kita dapat mengaffirmasikan bahwa Dia telah ditetapkan sebagai Mesias dan Tuhan karena
yang lain, yang bereferensi kepada-Nya, dapat melanjutkan missi-Nya. Sebenarnya, rivelasi Allah
tidak habis dalam Yesus; untuk ini penginjil Yohanes mengungkapkan jaminan Yesus dengan
ungkapan ini: "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan
melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih
besar dari pada itu" (Yoh 14,12). Karya-karya, yang dapat meneruskan rivelasi Allah sebagaimana
direalisir dalam Kristus, merupakan bentuk-bentuk baru kemanusiaan dan penciptaan / penemuan
solidaritas dengan orang yang paling kecil dan penciptaan / penemuan belaskasihan / rasa iba bagi
orang yang menderita. Agama lain mempunyai kharisma yang lain pula; kharisma agama kristen
dirumuskan dari cinta yang dilaksanakan hingga di salib. Kharisma itu telah dijadikan di dunia
sebagai simbol suatu solidaritas yang tidak takut untuk berbagi dalam kematian, dalam belaskasihan
yang tahu dan tahan menanggung akibat dari kejahatan hingga sampai menderita. Jalan ini, yang
ditandai oleh perjalanan historis Yesus, telah dilalui oleh sejumlah rombongan para kudus yang
telah memasukkan dalam sejarah human arus kemanusiaan baru dan mereka telah membuka
perkembangan berbagai societas, yaitu dengan menjadi model hidup spiritualitas human, paradigma
kesetiaan hidup.
Tantangan aktual sejarah merangsang timbulnya bentuk-bentuk rivelasi yang baru dan penciptaan
solidaritas yang baru pula yang memperkuat tingkat-tingkat kemanusiaan. Dalam perspektif ini
Inkarnasi bukanlah hanya merupakan peristiwa fundamental sejarah human, melainkan suatu
paradigma konstan aksi salvifik Allah, jadi merupakan juga hukum essensial eksistensi yang
ditebus: komponen struktural spiritualitas kristen yang otentik. Sejarah, seturut perspektif ini,
nampak sebagai tempat persembahan yang terus menerus di mana kemanusiaan perlu

116
memperkembangkan diri dan di mana setiap pribadi mendesak untuk menjadi dirinya sendiri. Tetapi
anugerah hidup terlalu besar untuk diterima hanya dalam satu instansi: kemanusiaan dapat mencapai
tingkat yang baru dan setiap pribadi dapat mendalami (menginteriorisasi) perolehan-perolehan vital
hanya secara progressif, bagian per bagian, melalui peristiwa-peristiwa historis yang berikut. Ini
berarti bahwa manusia, dengan memperkembangkan dirinya dalam waktu, dapat sampai pada
kepenuhannya hanya dalam kondisi yang terbuka setiap hari pada suatu anugerah baru. Setiap hari
tawaran creatrix Allah, yakni dorongan dari Yang Baik, dari Yang Benar dan dari Yang Adil, adalah
vital bagi manusia, dan ini akan dapat diterima oleh kemanusiaan dalam perjalanan atas cara yang
selalu semakin perfek, dalam kondisi yang selalu mengembangkan suatu sikap iman yang
mencukupi, yaitu sikap menerima. Biasanya tidak semua apa yang muncul kemudian dari sejarah
adalah positif dan otentik; yang jahat pun secara parasit, menggunakan dinamika kebaikan demi
dirinya sendiri. Dosa pun, pada kenyataannya, menghasilkan kebaruan: ada bentuk-bentuk baru
ketidakadilan, egoisme dan perpecahan, yang perlu dikenali untuk mengetahui bagaimana
menyarankan secara konkrit keselamatan dan bagaimana dewasa ini menjadi saksi cinta salvifik
Bapa. Agar sejarah human menjadi tempat teologis dan menjadi ruang emergensi aksi illahi, perlu
bahwa orang beriman membuat bergema Sabda Allah. Kalau orang-orang kudus berkurang, sejarah
akan menjadi ambiquus dan peristiwa-peristiwa akan menjadi gelap. Jadi Inkarnasi bagi manusia
adalah suatu keharusan karena manusia itu tidak dalam keadaan menerima aksi Allah dan dalam
keadaan mengerti Sabda kalau aksi dan Sabda itu tidak menjadi pengalaman human.
Oleh karena itu, hukum Inkarnasi, sebagaimana nampak terwujud (terrealisir) dalam Kristus, dapat
diungkapkan demikian: Sabda illahi akan menjadi dapat terdengar di bumi ini kalau Sabda itu
dibuat menjadi "sabda" human; cinta Allah akan menjadi manjur (efficax) bagi manusia kalau
cinta itu menjadi tanda (gesture) cinta human; belaskasihan Allah terungkap dalam sejarah kalau
belaskasihan itu menjadi pengampunan manusia; Hidup, yang adalah Dia sendiri, menjadi
anugerah bagi manuasia kalau Hidup itu dibuat menjadi realitas human.

b. AKSI TRANSENDEN ALLAH

Untuk mengerti dan memahami kedalaman dan keluasan hukum Inkarnasi ini perlu memperhatikan
karakter transenden aksi (perbuatan) illahi. Allah adalah Pencipta: hanya Dia yang selalu menjadi
Pencipta. Teilhard de Chardin, untuk menjelaskan konsep penciptaan, menulis: "Penciptaan ...
bukanlah semburan periodik dari Causa prima: tetapi suatu aktus yang menyebar dalam seluruh
jagad raya selama berabad-abad secara terus menerus". Oleh karena itu: "Di mana Allah berkarya,
bagi kita selalu mungkin (tetap pada level tertentu) untuk tidak melihat itu selain dalam karya kodrat
... Causa prima tidak bercampur baur dengan effek-effeknya: Ia berkarya dalam kodrat individual
dan dalam gerakan bersama-sama (individu-individu itu). Sebenarnya Allah, dengan bersabda,
tidaklah membuat segala sesuatu, tetapi Ia membuat agar segala sesuatu berbuat". Sehubungan
dengan itu maka harus dikatakan bahwa di mana-mana pun suatu ciptaan dapat menghadirkan dan
menunjukkan aksi creatrix Allah secara human. Dalam arti yang sama ini, K. Rahner menulis:
"Nampak bahwa di mana pun ditemukan suatu effek di dunia ini, effek itu menuntut penyebabnya di
dunia itu sendiri, dan di sana dapat dan harus dicari bahwa Allah mengerjakan segala sesuatu
melalui causa secunda ... (atau dengan kata lain) ... aksi illahi lebih menempatkan diri di dunia ini
dekat / di samping aksi ciptaan dari pada sebagai fondamen transenden seluruh aksi ciptaan". Oleh
karena itu, Rahner meneruskan menulis dalam konklusinya, "Allah tidak mengerjakan sesuatu yang
tidak dikerjakan oleh ciptaan, dan aksi illahi tidaklah bekerja di sisi atau di samping aksi ciptaan:
hanya bahwa aksi illahi ini memberi kemungkinan bagi ciptaan untuk mengatasi aksinya (aksi
ciptaan itu) sendiri. Karena itu dapat dikatakan bahwa "kejadian dan peristiwa "ens finitum" berada
terus dalam "tekanan" / dorongan (kalau dapat dikatakan demikian) "esse" illahi. "Tekanan" /
dorongan itu tidaklah masuk dalam elemen essensial konstitutif suatu keberadaan yang terbatas (ens
finitum), tetapi dapat membuat "ens finitum" itu untuk semakin menjadi dirinya sendiri dan
membuatnya menjadi dirinya sebagaimana adanya "ens" itu.
Dalam prospektif sedemikian, aksi manusia akan menjadi suatu jawaban pada tuntutan hidup hanya
kalau aksi itu menjadi epifani (penyingkapan) kesempurnaan Allah, emergensi aksi-Nya yang
mencipta, ungkapan Sabda-Nya, tempat di mana manusia dipanggil untuk membuat manjur

117
(efficax) cinta creator Allah dalam sejarah. Justru karena itulah maka penting bahwa manusia setiap
hari / setiap saat hendaknya menjadi ungkapan aksi creatrix Allah dan cinta-Nya yang
berbelaskasih. Inilah pengabdian, ke mana setiap orang dan setiap komunitas dipanggil (untuk
melaksanakannya). Semua, dan juga Institusi-Institusi, dapat memperoleh fungsi rivelatrix aksi
creatrix Allah ini. Untuk melakukan hal ini maka cukuplah bahwa aksi mereka mempunyai cap
kegratisan dan pemberian diri (oblativitas) yang memberi tanda untuk merefleksi kesempurnaan
Allah dan membuka peluang bagi aksi illahi untuk menjadi ungkapan human.

c. SIKAP TEOLOGAL

Menurut model ini, kondisi fundamental bagi suatu perkembangan harmonis hidup interior manusia
adalah sikap teologal, yang melaluinya ia menyadari kondisinya sebagai ciptaan, dan ia menjadi
sadar bagaimana seluruh eksistensinya berada di bawah "tekanan" / dorongan aksi illahi. Ia
mengingat bahwa cintanya dibangkitkan oleh Kebaikan Tertinggi, bahwa usahanya untuk selalu
mencari (kebenaran) dirangsang oleh Kebenaran yang mulia, bahwa kehausannya akan kesamaan
dihidupkan oleh suatu Keadilan yang kuat, bahwa pengangkatan / peninggian estetiknya
dibangkitkan oleh suatu Keindahan yang tanpa embel-embel, dan bahwa kebutuhannya akan
kegembiraan dibangkitkan oleh Hidup yang memberi diri. Sikap yang berikut, yang muncul sesudah
penemuan ini ialah penyangkalan diri yang penuh keyakinan dalam Allah, penantian akan anugerah-
Nya sehari-hari, penerimaan dan rivelasi (penyingkapan) cinta-Nya. Inilah nucleus spiritualitas injili
sebagaimana telah dihidupi dan dikhotbahkan oleh Yesus. Eksistensi Yesus, sebagaimana nampak
dalam Injil, secara istimewa adalah teologal dan terpusat pada Allah, yang diakui sebagai Bapa yang
berbelaskasih. Oleh karena itu maka para pengikut-Nya (umat beriman) juga dipanggil untuk
"melaksanakan karya yang telah dilaksanakan-Nya, dan untuk membuatnya lebih besar lagi" (bdk
Yoh 14-12). Spiritualitas kristen mengimplikasikan kesadaran akan missi ini dan tugas untuk
merealisirnya dengan menggemakan Sabda Allah dalam sejarah melalui keputusan dan tanda-tanda
(gestures) yang koheren dengannya. Secara konkrit semua ini berarti menerima Injil sebagai titik
acuan untuk pilihan hidup sendiri dan menerima nilai iman yang dihidupi oleh Yesus dalam
pengalaman sendiri, menyaksikan otenticitas (keotentikan) pengharapan yang dibangkitkan oleh-
Nya, dan menyebarkan gaya hidup yang diperkenalkan-Nya. Atas cara demikian, rivelasi Allah
yang telah terlaksana dalam Yesus, disebarluaskan dalam waktu, dan menjadi tradisi, struktur dan
bentuk yang diperoleh dan dicocokkan pada tuntutan baru.

I. INSTITUSI DAN NORMA


Dalam kerangka ini akan diinterpretasikan juga struktur hidup kristen, Institusi-Institusi ekklesial,
komunitas religius, dan harus diuji dan diterima norma-norma yang menentukan aktivitas-
aktivitasnya. Institusi-Institusi ekklesial merupakan struktur-struktur kesetiaan pada ideal injili,
yang sudah menerima bentuk-bentuk konkrit yang beraneka ragam dalam sejarah. Demikian
organisasi ekklesial ingin menjadi ungkapan operatif hidup teologal yang dihidupi dalam
kebersamaan (communion), iklim yang memungkinkan pelaksanaan komuniter akan kesetiaan pada
Injil, dan lingkungan Inkarnasi Allah yang terus menerus.
Sebagaimana religi (agama) adalah dimensi simbolis iman, maka demikian pun Institusi-Institusi
adalah konkretisasi dinamikan hidup spiritual. Sebagaimana Gereja adalah ungkapan institusional
tradisi yang muncul dari Yesus dari Nazareth, maka demikian pun kumpulan-kumpulan (umat)-nya,
gerakan-gerakannya, dan Institusi-Institusinya mengaktualkan secara konkrit berbagai dimensi
spiritual Injil Kristus. Memang struktur itu penting, tetapi bagaimana pun selalu tetap tidak cukup
dan kurang perfek kalau dibandingkan dengan nilai-nilai yang hendak dikonkretisir. Sebagaimana
interioritas harus membentuk jiwa setiap ekspressi religius, maka demikian pun hidup teologal
adalah kondisi essensial bagi topangan (penghidupan) dan perkembangan Institusi-Institusi
ekklesial.

118
1. SPIRITUALITAS INSTITUSI KRISTEN

Spiritualitas bukanlah soal pribadi secara eksklusif, tetapi secara prioritas merupakan karakteristik
Institusi. Sesungguhnya, interioritas pribadi dibekali oleh dorongan (tensi) vital komunitas di mana
pribadi itu berada, lalu, dengan demikian, spiritualitas merefleksikan lingkungan social, struktur
komunitas human, kebiasaan-kebiasaan grup atau umat. Bentuk-bentuk komuniter hidup teologal
biasanya dikonkretisir dalam tradisi kristen, dalam bentuk-bentuk sederhana dari perilaku dan
perbuatan yang dipusatkan pada pelaksanaan dan pemenuhan kehendak Allah, pada pembersihan
diri dari berhala-berhala, dan pada pelaksanaan cinta. Ini semua ter-rangkum dalam pelaksanaan
keutamaan teologal: iman, harap, dan kasih, yang dalam komunitas kristen telah melaksanakan
pengungkapannya yang konkrit dalam ikatan ketaatan, kemiskinan dan kemurnian. Ketaatan adalah
perwujudan iman suatu komunitas religius dan iman masing-masing pribadi dalam kedalaman
batinnya. Kemiskinan institusional adalah penjauhan diri dari harta benda sebagai perwujudan
pengharapan, dan penantian akan anugerah Allah. Kemurnian adalah cara untuk menghidupi
hubungan (dengan orang lain) dalam suatu komunitas yang didasarkan pada perwujudan cinta
oblatif sebagai rivelasi cinta Allah yang berbelaskasihan. Bisa saja beraneka ragam modalitas untuk
menghidupi ikatan / tugas komuniter ini, tetapi substansinya, yang adalah struktur teologal
eksistensinya, adalah essensial bagi semua orang kristen yang ingin menghidupi suatu hidup interior
yang otentik. Hidup secara teologal berarti menempatkan Allah pada pusat. Jadi, ketaatan,
kemiskinan dan kemurnian ekspressi konkrit komuniter hidup teologal dan kesetiaan pada Allah
sebagai Pencipta dan Penyelamat manusia. Dalam tradisi, ikatan / tugas ini disebut juga nasehat
injili. Tetapi bukan nasehat dalam arti yang mengenai cita-cita yang tidak penting, tetapi nasehat
sejauh merupakan saran yang membangkitkan pilihan kebebasan. Nasehat injili tersebut mempunyai
modalitas yang beraneka ragam, tetapi dalam substansinya nasehat itu berkenaan dengan seluruh
Institusi ekklesial seperti semua bentuk hidup laikal, presbiteral dan religius. Beberapa, karena
merasa disentuh oleh rumusan biblis yang nampaknya bagi mereka menunjukkan cita-cita hidup
kesempurnaan yang lebih lanjut, melebihi apa yang telah ditentukan oleh hukum, berpikir dan
beranggapan bahwa nasehat injili adalah mengenai cita-cita yang khusus (spesial), yang
diperuntukkan bagi beberapa orang saja. Dalam kenyataannya semua orang dipangil pada
kesempurnaan human yang komplit. Ungkapan-ungkapan biblis, yang kena pada banyak hal,
menunjukkan dan membentangkan perjalanan yang harus dijajagi / dilalui oleh setiap Institut untuk
menciptakan hasrat vital, dan yang harus dilaksanakan / dipenuhi oleh setiap orang untuk mencapai
pilihan definitif hidup. Sesungguhnya tak seorang pun sanggup untuk taat, untuk meninggalkan
harta benda (kemiskinan) atau untuk mewujudkan cinta oblatif (kemurnian). Untuk mencapai
pilihan hidup ini, yang baginya hidup harus membangkitkan segalanya, maka perlu bahwa manusia
menapaki perjalanan itu dengan selalu semakin merasa terdorong (untuk menapakinya), perlu
bertumbuh dalam kekayaan vital, perlu mencapai suatu kesempurnaan yang selalu semakin tinggi.
Ada moment-moment hidup di mana dituntut suatu langkah yang lebih jauh, suatu keputusan yang
semakin perfek, suatu keterbukaan yang semakin membentang. Oleh karena itu, nasehat injili
tersebut, dalam substansi interiornya, bukanlah indikasi yang diperuntukkan hanya untuk beberapa
orang, tetapi kena semua bentuk hidup spiritual. Nasehat-nasehat itu adalah indikasi bagi setiap
komunitas human yang ingin menciptakan iklim vital, yang penting untuk membuat tumbuh
pribadi-pribadi yang sanggup untuk menghidupi sepenuhnya dan mencapai kesempurnaan
kematangan personal.

a. KETAATAN SEBAGAI PERWUJUDAN (EXERCITIUM) IMAN

Dalam terminologi Paulus iman berhubungan (sejalan) dengan ketaatan. Mempunyai iman berarti
mentaati Allah, dan mentaati berarti mewujudkan iman. Iman adalah sikap dengannya seseorang
menyangkal diri sepenuhnya dan memberi diri kepada Allah dan menyampaikan kepada-Nya rasa
hormat intelek dan kehendak. Menghidupi peristiwa-peristiwa dalam iman tidak berarti
menganggap bahwa peristiwa-peristiwa itu dikehendaki oleh Allah, atau bahwa peristiwa-peristiwa
itu berhubungan dengan suatu rencana keselamatan-Nya di hadapan kita, tetapi bahwa dengan
menerima peristiwa-peristiwa itu kita dapat "melaksanakan kehendak Allah", yaitu menyingkapkan
cinta-Nya dan mengaktualkan nilai-nilai kerajaan-Nya. Dalam Institusi ekklesial mentaati tidak

119
berarti menganggap bahwa keputusan para Uskup, atau, pada umumnya para Superior berhubungan
(sejalan) secara perfek dengan kehendak Allah. Sangat mungkin bahwa beberapa dari keputusan
mereka dipengaruhi oleh faktor-faktor kultural, oleh tendensi personal atau oleh prasangka, dll, jadi
tidak berhubungan (sejalan) sepenuhnya dengan kehendak Allah. Tetapi bagaimana pun juga dalam
situasi yang tidak perfek ini, dan, sebagaimana tidak berhubungan (tidak cocok) dengan kemauan
mutlak Allah, adalah juga mungkin untuk mentaati Allah, yaitu melaksanakan kehendak-Nya. Oleh
karena itu melaksanakan secara terikat dan dengan hati yang cerah apa yang sudah ditetapkan, kita
tetap tinggal dalam peraturan hidup komuniter, kita mengikuti dan sampai pada kesejateraan
umum, dan dalam arti ini kita melaksanakan kehendak Allah. Kesejahteraan / kebaikan yang
diaktualisir, dengan penerimaan keputusan komuniter, biasanya adalah superior / lebih tinggi dari
pada sesuatu yang dilaksanakan yang tidak perfek, yang pelaksanaannya dipengaruhi faktor-faktor
kultur, tendensi pribadi dan prasangka, seperti disebut di atas. Dalam hal itu, walaupun tidak
melakukan yang paling perfek secara absolut, tetapi berada dalam kondisi untuk menyingkapkan
cinta Allah dan kesempurnaannya. Tetapi bagaimana pun kalau pelaksanaan kehendak Allah
diambil dari sirkumstansi yang tidak mungkin atau sangat sulit, maka akan menjadi tepat obyeksi
kesadaran, dan kalau juga obyeksi kesadaran itu dirintangi dan dipersulit secara keras, maka akan
menjadi penting penebusan / penyelamatan ketidakadilan dalam kesaksian tertinggi iman dan dalam
kemartiran.

1) Obyeksi Kesadaran

Obyeksi kesadaran adalah pengungkapan ketaatan kepada Allah ketika ketaatan itu menjadi konflik
dengan ketaatan kepada manusia; obyeksi kesadaran adalah penuntutan (rivendikasi) kebebasan
anak-anak (Allah) di hadapan hukum yang tidak mencukupi. Di hadapan Sanhedrin, St. Petrus
mengungkapkan prinsipnya secara efficax: "Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada
manusia" (Kis 5,25). Sepanjang sejarah Gereja, khususnya pada abad-abad pertama, ada berbagai
ragam bentuk obyeksi kesadaran, juga dalam modalitas tertinggi kemartiran. Tetapi lambat laun
Gereja mempunyai struktur kekuasaan atau menjadi persekutuan, maka obyeksi kesadaran menjadi
lebih jarang dan lebih sulit. Pada abad-abad terakhir ini moral kristen mengalami kesulitan untuk
mengakui secara sah beberapa bentuk obyeksi kesadaran yang nampaknya muncul sebagai
mewajibkan. Paus Pius XII, dalam suatu pidatonya, yang mempunyai suatu resonansi tertentu
karena disampaikan bentuk-bentuk awal obyeksi kesadaran kepada para katolik yang ikut wajib
militer, mengatakan: "Jadi kalau suatu perwakilan rakyat dan suatu pemerintahan ... dalam
kepentingan yang mendesak, dengan sarana-sarana politik ekstern dan intern yang sah, menetapkan
perlengkapan-perlengkapan pertahanan dan mengikuti disposisi seturut keputusan yang penting,
mereka tidak bersikap immoral dalam hal itu, dan atas cara itu masyarakat katolik tidak dapat
berpatokan pada kesadarannya sendiri untuk menolak memberi pelayanan (wajib militer) dan
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang sudah ditentukan oleh hukum". Setelah 10 tahun sesudah
pidato Paus Pius XII, Konsili memberi indikasi yang jelas sekitar kesahan obyeksi kesadaran bagi
para wajib militer dengan mengundang pemerintah untuk menentukan aturan-aturan yang
berhubungan dengan itu: "Nampaknya cocok dengan keadilan bahwa hukum bertindak secara
human bagi kasus mereka yang, karena alasan kesadaran, menolak pemakaian senjata, sementara,
bagaimanapun juga, menerima beberapa bentuk lain dari pelayanan komunitas human". Dewasa ini,
hal ini telah menjadi sikap resmi dalam Gereja, bahwa para Uskup dan Gerakan-Gerakan resmi
tidak mengalami kesulitan untuk menyarankan dan mengusulkan, misalnya, obyeksi fiskal untuk
melawan dan menentang biaya pengeluaran militer.
Tetapi obyeksi kesadaran dianggap sah hanya kalau obyeksi itu mengungkapkan kesetiaan demi
masa depan. Kalau tidak, maka obyeksi itu adalah pengungkapan interesse pribadi dan egoisme,
yang merupakan bentuk kesetiaan pada masa lampau. Jadi, obyeksi kesadaran yang benar bukanlah
suatu penolakan begitu saja, tetapi merupakan suatu kenabian dan indikasi suatu perjalanan.

2) Penebusan Ketidakadilan

Yesus pun sudah mengalami obyeksi kesadaran dengan penuh kebebasan. Tetapi pengalaman-Nya
adalah terutama berupa eksemplar bagi kemampuan untuk menjadi keselamatkan bagi setiap

120
peristiwa / kejadian. Yesus telah menghidupi kematian-Nya, yang kontras dengan proyek illahi,
sebagai suatu ketidakadilan yang sangat berat, dan dengan penyerahan diri itu kepada Bapa Ia
melaksanakan secara sempurna kehendak-Nya melalui pewartaan kerajaan dan rivelasi /
penyingkapan belaskasih-Nya. Dalam tugas inilah terdapat ketaatan Yesus dan perwujudan iman-
Nya: "Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai
kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-
Nya" (Ibr 5,8-9) dan dengan demikian menjadi "pemimpin kita dalam iman dan pembawa iman itu
kepada kesempurnaan" (Ibr 12,2), yaitu pemimpin dan pembawa ketaatan kita kepada Allah. "Ia
telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah
sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama"
(Ibr 2,8-9). Hidup teologal mengajarkan ketaatan kepada Allah dan mendidik untuk menghidupi
seluruh situasi dengan selalu melaksanakan kehendak-Nya, yaitu merealisir nilai-nilai kerajaan-Nya
dalam seluruh sirkumstansi eksistensi. Dalam prospektif ini, tak seorang pun dapat menghalangi
pelaksanaan kehendak Allah, tak seorang pun dapat untuk tidak memungkinkan rivelasi Allah
dalam daging human, kalau orang-orang yang terlibat di dalamnya telah mencapai suatu
kematangan yang mencukupi dan sadar akan aksi illahi.

3) Komunitas Ketaatan

Komunitas-Komunitas dan Institusi-Institusi ekklesial merupakan tempat ketaatan, bukan ketika


pilihan mereka sudah perfek atau hasil-hasil yang mereka capai sudah optimal, tetapi ketika iman
menjadi kriteri hidup mereka. Untuk ini tone (tinggi rendahnya nada) / nada iman komunitas
religius diberikan / ditentukan oleh gaya ketaatan mereka kepada Allah dalam kondisi hidup harian
dan bukan oleh quantitas atau kemanjuran historis karya mereka.

b. KEMISKINAN SEBAGAI PERWUJUDAN KOMUNITER PENGHARAPAN

Kemiskinan adalah penjauhan diri dari harta benda yang memungkinkan untuk menanti akan
anugerah illahi dan memberi peluang untuk masuk dalam penghayatan akan pengharapan teologal.
Kemiskinan mengandaikan keyakinan bahwa bukan harta benda yang menguatkan dan menopang
hidup, melainkan persembahan / tawaran diri Allah yang terus menerus, yang perlu dipelajari
bagaimana menantikan dan mengharapkannya. Dengan demikian pengharapan teologal adalah
penantian akan kedatangan Allah, yaitu kedatangan anugerah-Nya dalam setiap peristiwa / kejadian.
Setiap situasi dapat diterima, dalam arti menerimanya sebagai tawaran vital, jadi dapat
diprogramkan dan dihidupi dalam perspektif ini. Suatu struktur injili dihaturkan sedemikian
sehingga membangkitkan penantian akan Allah yang datang, dan mendidik orang-orang untuk
condong pada pengharapan teologal. Sebaliknya, banyak Institusi-Institusi religius distrukturkan
pada ordo / tata hal-hal yang lain: pada sukses yang dicapai, pada pengakuan orang lain, pada
persetujuan Superior, pada kekuasaan, dll. Barangsiapa tidak menantikan anugerah Allah, yang
adalah hidup yang penuh, tidak akan dapat mengakui dan menerimanya. Banyak keputusan
Institusi-Institusi tidak tepat karena tidak dibimbing oleh pengharapan (teologal) tetapi hanya oleh
keinginan yang dirasa menarik.
Dewasa ini, refleksi ini mencapai titik puncaknya bagi iklim konsumerisme kultur kita. Sekarang ini
dengan gampang diakui bahwa modalitas aktual kemajuan negara-negara industri, yang diusahakan
demi tuntutan konsumerisme, tidak cocok dengan kesejahteraan riil human. Semakin bergandanya
sekarang ini tuduhan-tuduhan sebagai penyebab hidup yang tidak sejahtera, menyingkapkan suatu
tuntutan riil, yang harus dicari bagaimana menjawabnya. Komunitas-komunitas ekklesial dan
struktur religius seharusnya menciptakan lingkungan untuk menemukan gaya hidup yang baru dan
verifikasi akan keabsahan dari apa yang disarankan oleh yang lain. Kriteri yang dapat diikuti dapat
ditunjukkan beberapa.

1) Ketidakcukupan Harta Benda

Kriteri pertama yang perlu diterima ialah ketidakcukupan harta benda, yang muncul dari model
perkembangan puncak di dunia Barat dan dari dinamika keinginan yang dijelaskan oleh model itu.

121
Kalau mulai ber-refleksi atas eksistensinya sendiri, manusia menemukan pada awal setiap
gerakannya hal-hal (material), situasi, pribadi-pribadi yang berbeda dari dirinya sendiri. Ia bergerak
karena ditarik atau dibangkitkan oleh yang lain, yang mengitarinya dalam petualangan hidup yang
baru, yang mendorongnya untuk pergi lebih jauh dari dirinya sendiri dan memunculkan baginya
pesona / daya tarik pandangan hidup yang belum diketahuinya. Penemuan ini membuka mata untuk
melihat kejatuhan pada mimpi narcisistik, yaitu illusi yang melihat diri sendiri sebagai Allah, dan
kejatuhan pada perasaan bahwa diri sendiri cukup untuk diri sendiri (tanpa orang lain). Tetapi
sebelum atau sesudahnya, juga kalau pengalaman-pengalaman berhubungan dan sesuai dengan
keinginan yang dipuaskan, manusia akan menerima ketidakcukupannya sendiri dan ia akan terus
maju lebih jauh lagi. Dari realitas yang sama itu, yang menjawab kebutuhan-kebutuhannya, manusia
selalu diajak pergi ke mana-mana. Aksi sedemikian direalisir dengan berbagai cara. Bentuk yang
pertama, yang paling gampang dan paling sering terjadi, ialah mengarahkan keinginan ke masa
depan, dengan harapan akan penggandaan hal-hal yang diinginkan itu atau akan situasi yang
dianggap akan definitif dan perfek. Tetapi illusi akan quantitas yang akan habis atau akan
kesempurnaan yang definitif, diselesaikan dengan cepat. Dewasa ini, yang lebih mungkin dari pada
hari kemarin, manusia mempunyai kemungkinan atau peluang untuk menggandakan harta benda
dan untuk merealisir proyek-proyeknya, tapi justru untuk itu ia lebih gampang menemukan
ketidakcukupannya. Kemudian dorongan vital habis, antusiasme padam, hidup diperlambat dengan
meninggalkannya secara passif, dan jangan-jangan, seperti sering terjadi dewasa ini, sampai pada
keputusasaan, pada kekosongan interior, pada pelarian pada drug (ganja, morfin, dll) atau bahkan
pada kenekadan untuk bunuh diri.
Di bawah terang iman, pengalaman ini menunjukkan dan menjelaskan suatu kecenderungan
fondamental: manusia tegang akan dan menantikan hal yang lebih besar dari dirinya sendiri. Ia
hidup dengan program yang selalu melebihi dirinya sendiri. Yesus telah mengungkapkan kebenaran
fondamental ini dengan rumusan yang sangat jelas: "sebab walaupun seorang berlimpah-limpah
hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu" (Lk 12,15); "Apa gunanya
seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?" (Lk
9,25).

2) Pertumbuhan Pribadi

Kriteri kedua yang ditawarkan oleh pengalaman sebagai jawaban positif untuk problem
pengharapan human yang otentik ialah usaha interioritas. Usaha yang susah payah untuk
pertumbuhan personal mendorong manusia kepada interioritas. Umpan balik ini, tanpa
menyingkirkan jawaban lain yang mungkin dan keputusan-keputusan yang diperbaharui akan tugas-
tugas / ikatan-ikatan, menghantar untuk menemukan suatu tawaran vital yang mendalam yang
terkandung dalam setiap situasi, ketika tawaran itu dihadapi dan dihidupi dengan sikap yang cocok.
Lalu manusia menemukan bahwa solusi tidaklah terdapat dalam menggandakan pengalaman atau
harta benda, tetapi dalam sikap yang harus ada agar dapat menghidupi setiap situasi secara positif.
Seorang antropolog mengatakan: "Peneguhan yang benar dan heroik akan hidup sendiri harus
ditempatkan melewati seks, di seberang yang lain, melewati batas-batas religi privat dan tipuan-
tipuan lain secara umum yang merendahkan dan membatasinya, dengan membiarkannya kemudian
berkeping-keping dalam ambiquitas (keterpecahan). Manusia mengalamai rasa inferioritas kalau
dalam dirinya semakin berkurang nilai-nilai intim otentik pribadi, kalau terciut pada refleksi
sederhana akan sesuatu yang ada dekat padanya, dan kemudian tidak lagi mempunyai
keseimbangan ideal yang membuatnya stabil dan berpusat pada dirinya sendiri. Untuk mencapai
stabilitas ini, setiap individu harus mendorong dan mengarahkan pandangannya melewati yang lain
dan penghiburan-penghiburan mereka, dan melewati segala sesuatu yang ada di dunia ini". Kalau
tercapai pada sasaran interioritas ini maka setiap aktus cinta tidak lagi berhenti pada harta benda
yang ditawarkan, tetapi sampai pada Kebaikan, yang diberikan melalui harta benda itu, dan yang
tetap tinggal siap-sedia, juga kalau tawaran itu nampaknya mempermiskin, atau juga kalau jawaban
atau respond kepada yang lain habis. Karena itu ditemukan bahwa pemberian yang dinantikan itu
tidak berasal hanya dari aktuasi keinginan atau dari realisasi konkrit proyek-proyek; juga bahwa
kegagalan, ketidakadilan yang diderita, dan bahkan kematian dapat dihidupi sebagai pengalaman
positif. Jadi dialami bahwa Hidup itu dapat lebih kaya dari keinginan kita, dan bahwa Hidup itu

122
ditawarkan atas cara yang berbeda dengan yang dinantikan; dimengerti bahwa Kebaikan itu selalu
lebih besar dari hati kita dan diingatkan sebagai desakan fundamental manusia: menemukan dimensi
transenden hidup.
Manusia bertumbuh seturut tingkat cinta yang hidup, seturut tipe interioritas yang membutuhi.
Yesus mengatakan dengan singkat: "di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada" (Lk
12,34).
Suatu spiritualitas yang ingin berkembang di dunia ini, harus mematangkan satu seri pertobagan
(conversion) yang urgen. Pertobatan ini tidaklah hanya secara eksterior (lahiriah); pada prinsipnya
harus mengena pada gaya Institusi-Institusi, sikap-sikap interior (batin) pribadi-pribadi, cara
berpikir dan bersikap mereka di hadapan segala hal dan kejadian-kejadian / peristiwa-peristiwa.

c. KEMURNIAN SEBAGAI STRUKTUR CINTA OBLATIF

Kemurnian adalah pembenahan harmonis seksualitas seturut tingkat-tingkat usia dan seturut
berbagai kondisi eksistensi. Seksualitas adalah kekuatan vital yang mendorong untuk men-stabil-
kan hubungan (dengan orang lain) dan oleh karena itu mengembangkan kemampuan untuk mencinta
seturut tuntutan setiap pribadi dalam pertumbuhan dan perkembangan. Untuk mengerti kaitan-kaitan
ini perlu mengingat bahwa manusia adalah (dalam proses) "menjadi", bahwa hidup diberikan /
ditawarkan kepada manusia itu secara progressif melalui hubungan-hubungan (dengan orang lain),
bahwa dorongan untuk men-stabil-kan hubungan itu berasal dari dinamika seksual, dan bahwa
kondisi setiap tawaran / pemberian vital itu dibentuk oleh cinta yang memberi kebutuhan padanya.
Anugerah / pemberian hidup tidak sampai pada seseorang kalau tidak melalui aksi yang penuh cinta
dari orang-orang lain. Jadi, cinta, yang bukan demi penyebaran hidup, merupakan suatu urgensi
untuk pertumbuhan pribadi. Dari sebab itu, maka belajar untuk mengurus dan membenahi
seksualitas merupakan kondisi untuk men-stabil-kan hubungan harmonis, untuk merealisir
perkembangan hidup, untuk memperoleh kemampuan mencinta dan akhirnya untuk mencapai
identitas pribadi sendiri.

1) Struktur Oblatif

Karakteristik fundamental keadaan / lingkungan vital ialah "oblativitas" (pemberian diri), yaitu
kemampuan pemberian (untuk memberi) diri tanpa menantikan (balasan), tanpa paksaan, dan tanpa
syarat. Seandainya semua orang mencintai / mengasihi secara possessif (dengan maksud memiliki),
maka hidup ini akan berhenti (stop) karena tak seorang pun akan memberikan hidup itu kepada
orang lain. Oleh karena itu, hidup itu sendiri, agar dapat berlanjut / berkesinambungan dalam waktu,
menuntut oblativitas dalam cinta. Jadi, hidup itu, agar tidak habis dan agar dapat menyebar,
menuntut bahwa sekurang-kurangnya beberapa hendaknya sampai pada sikap oblatif, hendaknya
sanggup untuk memberi diri secara bebas dan bukan karena interesse (pribadi). Kalau hubungan
distabilkan dan dikembangkan dengan sikap oblatif, maka hubungan itu akan menciptakan (atau
merupakan) dorongan untuk pertumbuhan pribadi-pribadi. Tetapi sebaliknya, kalau hubungan itu
distabilkan hanya karena interesse (pribadi), karena kenikmatan, karena pemuasan instink sendiri
atau kepentingan sendiri, maka hubungan itu tidak akan menciptakan keadaan atau lingkungan
pertumbuhan yang mendalam, karena hubungan itu mengembangkan dinamika possessif (bersifat
memiliki). Semua orang lahir dengan sifat possessif dan tidak sanggup untuk memberi diri
(oblativitas), tetapi kepada semua orang, kematian menunut untuk menjadi sanggup untuk
menyerahkan segalanya. Jadi, belajar untuk mengurus / membenahi seksualitas diri sendiri dengan
maksud untuk sampai pada cinta oblatif, merupakan suatu sasaran yang disarankan oleh hidup bagi
setiap orang yang berada secara human.
Tap tak seorang pun dapat sampai pada sasaran ini sendirian, semua memerlukan keadaan /
lingkungan vital, yang pada kesempatan dan moment mereka tercipta oleh struktur komuniter hidup.
Institusi-Institusi dan grup-grup sosial dapat menjadi tempat / lingkungan pertumbuhan personal
hanya berkat hubungan (relasi) yang mendukung, berkat dinamika seksual yang menggerakkan, jadi
tipe cinta yang membangkitkan. Pada awal mula setiap bentuk cinta ada pertemuan antara seorang
laki-laki dan seorang wanita, yang membentuk / merupakan ruang elementer hidup. Cinta sponsal
(perkawinan) mendasari struktur originer hubungan vital, menimbulkan kebutuhan cinta dalam

123
anak-anak, membangkitkan usaha pencarian akan yang lain, dan oleh karena itu cinta itu adalah
sumber setiap modalitas cinta yang lain. Manusia yang lambat laun bertumbuh, membutuhkan
lingkungan vital yang selalu semakin kaya, dan usaha untuk mencari terus dibangkitkan oleh
perkembangan seksualitas, yang secara progressif sampai pada dinamika cinta yang semakin
beraneka ragam, setelah mulai dalam aksi cinta dalam hubungan awal antara orang tua dengan anak-
anak. Pada akhir perjalanan personal (setiap orang), ada pemenuhan identitas, yang direalisir dengan
interiorisasi akan pribadi-pribadi orang yang dicintai, dan dengan integrasi komponen-komponen
maskulinum dan femininum, yang ada dalam diri setiap pribadi (orang), melalui pelaksanaan
harmonis seksualitas yang membimbing / mengarahkan perkembangan cinta hingga pada
oblativitas. Tetapi tidaklah penting bahwa semua orang yang masuk / terlibat dalam hubungan itu
harus selalu sanggup mengurus / membenahi seksualitas dalam bentuk oblatif. Karakteristik oblatif
dapat ditentukan hanya oleh satu bagian yang terlibat dalam hubungan itu, yaitu karena perbuatan
orang / pribadi lain. Dalam keluarga, misalnya, anak-anak mulai menghidupi hubungan-hubungan
itu dengan dinamika yang masih harus possessif, berhubung karena, dengan datangnya ke dunia ini,
manusia belum dapat berbuat lain selain menuntut pemberian-pemberian vital, tanpa siap membalas
pemberian itu pada saat itu. Tetapi sudah cukup bahwa orang tua mempunyai cinta oblatif agar
hubungan subur dan menjadi creator, agar dengan demikian menciptakan iklim yang memberi
peluang dan menopang bagi pertumbuhan pribadi-pribadi otentik. Kalau hal ini diuji dan dicoba,
maka anak-anak akan menjadi sanggup untuk mencinta, sebagai refleks / pantulan cinta yang
ditanamkan (dalam dirinya), dan, kalau tidak ada rintangan, akan bertumbuh hingga mencapai
bentuk oblativitas personal. Pengurusan / pembenahan seksualitas merupakan sarana / jalan untuk
menjamin perkembangan proses ini.
Institusi-Institusi sosial dicirikan / dikhususkan sebagai keadaan / lingkungan vital seturut dorongan
yang halus dan manis yang dilaluinya, jadi seturut gaya seksual yang berkekuatan. Setiap egoisme
orang-orang dewasa, dalam keadaan ini, akan sampai pada dimensi sosial yang buruk dalam hal ini:
egoisme itu akan menimbulkan kemunduran iklim vital, akan merusak energi yang perlu untuk
pertumbuhan semua orang, akan memasukkan sikap egosentris, dan kalau sudah sampai pada
waktunya, maka akan sampai pada kekeringan / kegersangan. Ada kaitan yang dekat dan mendalam
antara gaya seksual suatu komunitas, aggressivitas yang beredar dan mengitari dalam struktur
sosialnya dan ketidakadilan yang mencirikannya. Orang-orang pinggiran, orang tertindas dan orang-
orang miskin dalam suatu societas adalah tanda / ungkapan egoisme, kemalasan dan indifferensi;
situasi dan kondisi ini menyingkapkan suatu level cinta oblatif yang tidak mencukupi dan suatu
pembenahan seksualitas yang tidak perfek. Setiap grup human menderita karena dosa mereka yang
melakukan perkosaan dan menimbulkan diskriminasi karena ketidaksanggupan mencinta. Makanya
orang miskin tidak diangkat dari kondisi emarginasi dan penindasan mereka, karena komunitas,
yang seharusnya mengangkat mereka dengan beraneka cara, telah digenangi oleh pengotoran
spiritual. Sebaliknya, kemanusiaan diperkaya dengan usaha bersama untuk menemukan cinta yang
berkecambah dalam keadaan / lingkungan hubungan yang intensif dan kuat, dan kemurnian, atau
pengaturan harmonis seksualitas, akhirnya adalah kebajikan yang mengkondisikan suatu dimensi
human yang matang dan memperkaya dinamika vital suatu societas.

2) Institusi Religius, Struktur Kasih (Cinta)

Institusi-Institusi religius juga terbentuk dari jalinan-jalinan / persekutuan-persekutuan vital ini, dan
keselamatan yang hendak disarankan dan ditawarkan adalah kepenuhan hidup, ke mana setiap cinta
harus condong dan terarah. Cinta oblatif adalah elemen yang membaharui setiap situasi historis
dalam peristiwa keselamatan. Hanya kalau seseorang sanggup untuk mencintai secara oblatif, maka
ia siap dan dapat menerima cinta Allah dalam setiap pernyataan (hidup)-nya, siap dan dapat
menyingkapkan cinta Allah itu sepenuhnya dalam daging / tubuhnya sendiri, jadi ia siap dan dapat
menghidupi setiap situasi atas cara yang menyelamatkan. Demikian, hubungan apa pun yang
dihidupi dalam horizon iman, yaitu demi penemuan cinta Allah, menggerakkan secara khusus
dinamika oblativitas, yang membuat manjur cinta illahi, karena Allah tidak dapat mengerjakan
keselamatan selain melalui tanda-tanda historis keberadaan-keberadaan human yang mencinta. Oleh
karena itu, menghidupi hubungan-hubungan itu dan belajar untuk membenahi seksualitas bukanlah
suatu kewajiban moral begitu saja, melainkan suatu tuntutan sejarah keselamatan, dan dari sebab itu

124
sebagai suatu kondisi untuk hidup bersama umat Allah secara harmonis dan untuk kedamaian
seluruh kemanusiaan.

2. INSTITUSI SEBAGAI INSTRUMEN KESETIAAN

Ratio prinsipal Institut-Institut terletak dalam dinamika sejarah yang menuntut kontinuitas dalam
waktu, jadi menuntut kesetiaan. Banyak usaha manusia yang mengikat seluruh generasi, yang,
dengan mengikuti ideal yang sama, berhasil membuatnya konkrit dan hidup. Dengan demikian,
akhirnya, Institusi-Institusi merupakan ungkapan kesetiaan tersebut, yang dipelihara berabad-abad.
Apa yang mencirikan hidup interior atau spiritualitas seorang pribadi, ialah, dari satu pihak, sikap
teologalnya, yaitu Allah yang mana yang dia sembah (sujud-i), dan, dari pihak lain, kesetiaannya
pada Institusi di nama ia ambil bagian, yaitu kontinuitas dalam waktu akan ideal-ideal yang disebar-
luaskan / dimaklumkan. Tidak cukup hanya pilihan awal saja untuk mencirikan suatu eksistensi,
tetapi perlu perkembangannya dalam waktu, dan itulah yang dimaksud dengan kesetiaan. Tetapi
kesetiaan pada hidup mempunyai dinamika dan sesuatu yang terus menetap demikian, yang tidak
akan pernah habis dalam eksistensi human, tetapi bahkan meluas dan menyebar hingga ke seluruh
generasi. Ada bentangan-bentangan (realitas) historis di mana kesetiaan suatu generasi membuat
significant usaha-usaha semua generasi yang sebelumnya. Hidup menuntut kepada semua untuk
setia padanya (pada hidup itu), tetapi ada sirkumstansi (keadaan, kemungkinan, kejadian) di mana
kesetiaan menjadi kriteri absolut untuk menilai suatu eksistensi atau untuk menginterpretasikan
seluruh zaman. Ini bisa terjadi kalau situasi-situasi merupakan muara dari suatu persiapan panjang
dan kalau nilai-nilai dalam perbuatan-perbuatan di dalamnya adalah universal. Maka, oleh karena
itu, kesetiaan manusia menjadi garansi / jaminan arti hidup, atau, dalam istilah religius, menjadi
kesaksian akan kesetiaan Allah. Dan sekaitan dengan itu, atau dalam arti sebaliknya, ketidaksetiaan
menjadi pengkhianatan bagi pengharapan-pengharapan antik atau pemenuhan ketersesatan-
ketersesatan masa lampau. Dengan kata-kata yang membakar, Yesus mengingatkan kepada orang-
orang sezamannya arti pengkhianatan mereka akan sejarah: "Celakalah kamu, sebab kamu
membangun makam nabi-nabi, tetapi nenek moyangmu telah membunuh mereka. Dengan demikian
kamu mengaku, bahwa kamu membenarkan perbuatan-perbuatan nenek moyangmu, sebab mereka
telah membunuh nabi-nabi itu dan kamu membangun makamnya. Sebab itu hikmat Allah berkata:
Aku akan mengutus kepada mereka nabi-nabi dan rasul-rasul dan separuh dari antara nabi-nabi dan
rasul-rasul itu akan mereka bunuh dan mereka aniaya, supaya dari angkatan ini dituntut darah semua
nabi yang telah tertumpah sejak dunia dijadikan, mulai dari darah Habel sampai kepada darah
Zakharia yang telah dibunuh di antara mezbah dan Rumah Allah. Bahkan, Aku berkata kepadamu:
Semuanya itu akan dituntut dari angkatan ini" (Lk 47-51). Di hadapan dan di tengah masalah-
masalah di dunia ini banyak yang siap untuk membuat proyek, siap untuk menerima tugas-tugas /
ikatan-ikatan, siap untuk merumuskan janji-janji atau kesiapsediaan-kesiapsediaan seturut ideal-
ideal yang diakui sebagai otentik. Tetapi jarang ada kesadaran bahwa ke-konstan-an dalam
aktuasinya mempunyai suatu muatan historis, memenuhi harapan-harapan antik dan mempersiapkan
masa depan yang beraneka ragam, membawa kenabian-kenabian yang dulu kepada kepenuhannya,
dan memaklumkannya sekali lagi secara baru. Setiap generasi memproyekkan usaha-usaha historis
untuk direalisir, tetapi sering tidak setia pada pada masa lalunya dan Insitusi-Insitusinya tidak
mencukupi dan tidak memenuhi syarat. Ratio (sebab) dari ketidaksetiaan ini terletak dalam fakta
bahwa sangat sering motif pilihan tidak sesuai / tidak cocok dengan nilai-nilai yang diprofessikan
dan yang diinkarnir / diwujudkan / dijelmakan oleh Institusi-Institusi. Alasan-alasan yang benar dari
pengharapan-pengharapan itu berbeda dari alasan-alasan yang dinyatakan, dorongan-dorongan cinta
tidak besar seperti obyek yang dibangkitkannya. Dalam pelaksanaan kesetiaan banyak
kesalahpahaman berasal dari interpretasi yang keliru akan tuntutan-tuntutan kesetiaan itu. Yang
dimaksud bukanlah hanya dalam mempertahankan dan memelihara perbuatan-perbuatan dan
perilaku yang sama dan menetap, melainkan terutama dalam mengikuti secara konstan alasan-alasan
yang diinspirasikan. Kalau obyek riil dari pilihan itu tidak cocok dengan Kebaikan (Yang Baik),
maka, entah sebelum atau sesudahnya, akan nyata ketidaksetiaan pada tugas atau ikatan yang
diemban itu. Kalau sejak dari awal setiap aksi sudah ternodai, tetapi ketidaksetiaan masih tetap
terselubung hingga saat diuji. Yang setia ialah orang yang memelihara Sabda yang diberikan, orang

125
yang menyebarkan anugerah-anugerah yang diterima tanpa deformasi (tanpa perobahan bentuk),
orang yang mengikuti ideal-ideal otentik sekalipun dalam moment yang sulit: orang yang konstan
dalam menerima hal-hal yang baru, dalam dedikasi dan dalam cinta. Untuk ini, waktu merupakan
suatu kondisi fundamental untuk menilai validitas suatu struktur dan nilai-nilai yang
dianimasikannya. Kesetiaan tidak diukur dari eksessionalitas (hal-hal yang luar biasa) perbuatan-
perbuatan / aksi-aksi yang dilakukan, melainkan dari kelekatan total pada alasan-alasan yang
diinspirasikan. Kesetiaan dapat juga ada tanpa syarat dalam suantu tanda cinta yang sangat minim.
Ini jelas berlaku juga bagi setiap komunitas dan Institusi human. Kekayaannya, selain dari
otentisitas ideal-ideal terpilih, dicirikan oleh ketegangan yang mengitarinya. Ini adalah kondisi
kesetiaan semua anggota-anggotanya, tidak hanya dalam arti bahwa struktur kesetiaan personal
dibentuk oleh norma-norma dan oleh tradisi komunitas atau Institusi ketermasukan, tetapi juga
karena kesetiaan itu sendiri adalah refleks / cerminan / pantulan ketegangan vital yang mengitari
dalam Institusi yang membutuhinya.

INSTITUSI-INSTITUSI EKKLESIAL DAN KEBARUAN HIDUP

Dalam horizon kultural aktual, sesuatu yang baru, muncul untuk ambil bagian dalam kondisi
kesetiaan itu sendiri pada hidup dan untuk membentuk pendahuluan perkembangannya. Dari satu
pihak, sering Institusi-Insititusi tetap tinggal kaku dan tidak dapat dimasuki oleh yang baru. Juga
dalam prospektif teologis yang aktual, nilai dari sesuatu yang baru telah berobah secara radikal.
Dewasa ini, yang baru bisa jadi sebagai tempat prinsipal munculnya yang Benar dan yang Baik,
memecahnya masuk masa depan dalam sejarah, tempat yang mutlak perlu untuk menyambut
penyebaran Sabda Allah dalam waktu.
Tetapi menerima sesuatu yang baru tidaklah mungkin tanpa suatu kesetiaan cermat pada penyebaran
hidup, yaitu pada aksi Allah yang secara lambat laun memungkinkan setiap hari penerimaan bentuk-
bentuk anugerah kekal yang tak berobah-obah. Sabda Allah kenyataannya begitu kaya yang dapat
didengar hanya bagian demi bagian (keping demi keping) dan diinterpretasikan dalam bermacam-
macam situasi historis yang berganti-ganti. Jadi, menjadi pribadi bukanlah bahwa penerimaan
progressif anugerah hidup seturut pemberian yang dalam sejarah diikuti dan panggilan hidup bagi
manusia diterjemahkan dalam kemampuan untuk memasukkan dimensi abadi dalam eksistensi
temporal. Dalam yang baru, manusia menemukan "surprise" (keajaiban) cinta abadi Allah yang
masuk dalam keadaan konkrit sejarahnya dan dihadirkan di sana.
Institusi-Institusi religius juga berfungsi dalam kerajaan atau dalam k kemuliaan Allah, yaitu dalam
rivelasi Allah dalam sejarah human. Dalam prospektif ini aktivitas mereka bukan hanya merupakan
ekspressi iman yang menjiwai mereka, tetapi juga merupakan suatu kondisi mutlak bagi aksi
creatrix mereka, yang terbuka dan membiarkan munculnya hal yang baru. Sesungguhnya ada aspek-
aspek kesempurnaan illahi yang dapat disingkapkan hanya melalui himpunan dan perkumpulan
banyak orang, yang membentuk struktur stabil dalam lingkungan yang setia pada hidup. Jadi,
mungkin dapat dikatakan bahwa pengalaman ekklesial adalah tempat spiritualitas sejauh
kemunculannya nyata dalam bentuk yang tidak berobah-obah, sejauh merupakan kenangan akan
penemuan pengalaman masa lalu, sejauh merupakan pendahuluan bagi kreasi hidup masa depan,
dengan ukuran bahwa ruang bagi yang baru di dalamnya.
Komponen-komponen pengalaman keselamatan dapat dikwalifikasikan, seturut dimensi temporal
eksistensi, sebagai penerimaan (pada masa kini), sebagai kenangan / peringatan (pada masa lampau)
dan sebagai kenabian (pada masa depan). Untuk hal-hal ini, spiritualitas komuniter bersesuaian,
yang membiarkan kesetiaan terbuka pada yang baru, dan yang - dalam istilah injili - dapat disebut
penerimaan Roh.

1) Masa Sekarang

Masa sekarang adalah komponen yang dapat membangkitkan secara langsung setiap spiritualitas.
Setiap spiritualitas dapat berangkat hanya dari apa yang dihidupi hari ini. Tetapi, lain dari pada itu,
yang mencirikan masa sekarang ialah kebaruannya di hadapan masa lampau. Jadi, jawaban aktual
iman dan tugas orang beriman dalam sejarah yang terbentang, merupakan penyingkapan penting
rivelasi illahi dan dasar proyeksi artinya yang sehari-hari. Oleh karena itu pengalaman iman
merupakan tempat originer setiap spiritualitas tempat kemunculan Sabda Allah, yaitu tempat

126
Kebenaran yang mencari pengungkapan human, tempat Kebaikan yang ingin menterjemahkan diri
dalam tanda-tanda (gestures) historis, tempat Keadilan yang mencoba mengkonkretisir diri dalam
proyek-proyek human, tempat Hidup yang ingin menyempurnakan eksistensi manusia.
Mengenali dan menyingkapkan aksi Allah yang muncul dalam aktualiatas dan kompleksitas
peristiwa-peristiwa human adalah membaca tanda-tanda zaman. Karya Allah tidak akan nampak /
nyata kalau tidak melalui kebaruan-kebaruan yang menyelamatkan yang dikonkretisir dalam
penyempurnaan diri pribadi-pribadi yang dituntut oleh kondisi aktual hidup dan oleh pengrusakan
dosa. Juga masa lalu dapat diinterpretasikan dengan baik hanya melalui rivelasi-rivelasi baru
kebenarannya, dan penyusunan dan perumusannya kembali tidak akan lengkap dan berbuah /
berfaedah kalau tidak dimasukkan dalam lingkungan / lingkup pengalaman aktual iman dan lingkup
pemahaman akan dunia yang berkaitan dengannya. Orang beriman, sebagaimana tidak dapat
membuat inventaris data-data yang disingkapkan tanpa membiarkan diri terlibat dalam suatu tugas
historis, maka demikian pun tidak dapat berkarya dalam sejarah tanpa masuk dalam suatu
komunitas. Kesetiaan pada praksislah yang memungkinkan untuk membaca tanda-tanda zaman dan
untuk suatu interpretasi yang mengaktualkan masa lalu, dan dinamika hermeneutik inilah yang
membuka peluang untuk penerimaan rivelasi secara integral. Setiap masa lalu yang tertutup dalam
dirinya sendiri tidaklah cukup, bukan karena sudah lewat atau tanpa nilai, tetapi karena nampak
membutuhkan interpretasi yang selalu baru dan pemenuhan yang vital.
Dewasa ini, yang buruk pun, dalam kegandaannya dan kebaruannya yang buruk, mempunyai
kesalingterkaitan satu sama lain dalam penemuan suatu tindakan berbagi bersama yang lebih otentik
dan murah hati, dalam belaskasihan, dalam solidaritas, dalam pengampunan, yang dituntut, dalam
usaha untuk menciptakan situasi demi mencapai kekudusan yang dibangkitkan oleh Roh Kudus
pada saat ini, yang untuk itu kita dipanggil untuk menghidupinya. Oleh karena itu harus ada suatu
situasi religius demi mencari terus bentuk-bentuk kekudusan yang harus diungkapkan oleh setiap
generasi untuk menterjemahkan kekayaan hidup dalam perumusan pewartaan keselamatan.

2) Masa yang Lalu

Bagaimanapun, masa sekarang tidak dapat dihidupi dan dimengerti tanpa referensi yang terus
menerus pada masa lampau. Sesungguhnya, masa sekarang tidak lain dari pada tempat yang
ditentukan oleh kesetiaan generasi sebelumnya, dan oleh akumulasi vital yang telah direalisir oleh
komunitas kristen selama berabad-abad. Setiap generasi terdorong untuk menghimpun seluruh
tradisi yang turun padanya dan untuk tetap setia pada tradisi itu. Juga kebaruan-kebaruan yang
mempengaruhi, merupakan pe-nyataan / pembenaran peristiwa-peristiwa masa lalu dan
interpretasinya yang komplit. Demikian masa sekarang menjadi pelengkap masa lalu dan
menciptakan kondisi mutlak perlu untuk membaca masa lalu itu, lebih dari sekedar kriteri kebenaran
perkembangannya. Dalam prospektik inilah dimengerti fungsi "memoria" (kenangan, peringatan)
dalam sejarah keselamatan. Melalui apa yang dialami, disimpan dan dikerjakan kembali melalui
ingatan-ingatan, manusia menjadi dirinya sendiri dan belajar untuk hidup. Lebih dari pada
"umumnya", untuk seluruh kemanusiaan, peristiwa-peristiwa historis adalah kemungkinan untuk
menentukan kriteri bagi pilihan-pilihan untuk dilaksanakan karena peristiwa-peristiwa itu adalah
tempat rivelasi dan lingkungan di mana aksi Allah disebarluaskan. Oleh karena itu, mengadakan
"memoria" (kenangan, pengingatan) pengalaman yang telah dihidupi menjadi cara konkrit untuk
mengerti / memahami proyek Allah, untuk mengenali kondisi-kondisi kesempurnaan, dan, akhirnya,
untuk memprogramkan perjalanan suatu petualangan human yang cerah dan berfaedah.
Dalam prospektif ini dimengerti arti "mengenang para kudus", sebagai suatu nilai dari tradisi
berbagai komunitas kristen dan kongregasi religius. Menghadrikan kembali kekhususan para kudus
dan cara hidup mereka berguna untuk mengerti gaya illahi dalam sejarah, untuk membangkitkan
kreativitas cinta dalam situasi-situasi yang baru, untuk mengenali buah-buah pilihan akan kesetiaan.
Kita dapat memberi arti yang penuh pada peristiwa-peristiwa masa lalu, sebagaimana kita dapat
juga menghilangkan-nya dalam dinamika essensial yang telah dimasukkan oleh peristiwa itu dalam
sejarah, dan sebagaimana kita dapat juga melalaikan janji. Sesungguhnya, peristiwa-peristiwa
keselamatan masih belum dapat habis dimengerti sebelum kemanjuran historisnya belum habis.
Jadi, melaksanakan "memoria" adalah kondisi untuk membuat berkarya motif-motif ideal peristiwa-
peristiwa yang telah terjadi.

127
Suatu Institusi tidak akan terarah pada pelayanannyha kalau tidak mengingatkan dan
menggarisbawahi referensi yang terus menerus ini pada masa lalu sebagai kondisi otentisitas masa
sekarang.
Jadi, suatu spiritualitas yang tidak mempunyai tehnik "memoria" dan sarana untuk memelihara /
menjaga tradisi akan sangat sulit dan sama sekali tidak mencukupi untuk memperkembangkan jalur-
jalurnya dalam masa sekarang.

3) Masa Yang akan Datang

Masa sekarang yang dibekali / ditopang oleh "memoria" (kenangan, peringatan) dan interpretasi
masa lalu, membentuk juga ukuran relativitasnya, karena sementara masa sekarang itu menerima
masa lalu, sekaligus juga ditunjukkan ketegangan / kecondongan / keterarahan pada suatu kebenaran
masa yang akan datang yang dinantikan dan didorong untuk mencapainya. Oleh karena itu, masa
yang akan datang adalah alasan / motif / penyebab dan proyek dari ketegangan / keterarahan itu
yang dibawa / dimuat oleh masa sekarang. Sesungguhnya, sejarah condong pada suatu pemenuhan,
di mana, karena akibat dari dosa, kemanusiaan selalu terlambat. Meneliti / mencermati masuknya
masa yang akan datang secara "menyerbu" ke dalam masa sekarang, maka penolakan / sifat
bertahan masa sekarang yang ditemukan oleh masa yang akan datang itu serta kebaruan-kebaruan
yang disebarkan secara tensional oleh masa yang akan datang itu, merupakan tindakan untuk
membaca tanda-tadan zaman dan merealisir tanda-tanda itu.

3. RESIKO DAN AMBIQUITAS INSTITUSI

Juga Institusi-Institusi religius berada di bawah dan harus siap menerima resiko-resiko
(kemungkinan berbahaya) dari seluruh struktur-struktur. Yang paling "subtil" (halus) bisa terjadi
dan dapat dilihat dalam pemutlakan (absolutisasi) hukum dan tradisi, yang memadamkan /
mematikan kreativitas, dalam mekanisme effisiensi atau karir, yang mengaburkan dan menodai
pilihan-pilihan, dalam tuntutan kontinuitas atau perjuangan hidup yang diungkapkan dalam
menanamkan hal-hal seturut interesse pribadi. Untuk hal-hal yang kurang baik ini sering
ditambahkan juga bentuk-bentuk presumsi (pengandaian, keangkuhan) yang sendiri dirasa sudah
cukup (tanpa yang lain), bentuk-bentuk integrisme (kesempurnaan yang dirasa sudah tercapai), dan
bentuk-bentuk fundamentalisme.

a. HUKUM DAN KEBEBASAN

Salah satu dari konflik awal yang dihidupi oleh komunitas kristen telah melihat sikap yang harus
dipegang dalam menghadapi Hukum dan tradisi Yahudi. Yesus sendiri nampak membela /
mempertahankan kebebasan di hadapan kaum Farisi dan akhli Taurat: "Celakalah kamu, hai ahli-
ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih,
adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu:
keadilan dan belaskasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan
diabaikan" (Mt 23,23). "Kamu membenarkan diri di hadapan orang, tetapi Allah mengetahui
hatimu. Sebab apa yang dikagumi oleh manusia, dibenci oleh Allah" (Lk 16,15). Paulu telah
mengambil perdebatan ini dalam konteks yang lain, tetapi dengan kegeraman yang sama (bdk Gal 3;
Rom 7-8; Ef 2,15).
Spiritualitas injili tak pernah harus menganggap hukum sebagai kriteri absolut untuk perilaku, tetapi
hanya sebagai berfungsi bagi suatu pilihan mencukupi akan kebebasan. Hukum merefleksikan masa
lalu dan mengkondensasikan kekayaan-kekayaan yang diakumulasikan dari pengalaman seluruh
generasi, tetapi hukum tidak bisa mengungkapkan tuntutan baru dari Roh, dan hanya suatu kesetiaan
yang membedakannya / memisahkannya dari pengkondisian tahu memahaminya.

b. TEMPAT PERTAMA, KARIR DAN HIDUP

128
Setiap struktur menggerakkan proses ketermasukan yang mempunyai dinamika yang sangat kuat
dan sering melibatkan orang-orang secara tidak sadar. Dinamika ini diungkapkan dalam keinginan
akan tempat pertama, dalam kehendak untuk melibihi, dan dalam menantikan kuasa. Yesus merasa
harus mengoreksi sikap-sikap ini dalam diri para murid-Nya sendiri (Mk 10,36; Mt 18,1-5; Lk
22,24) dan karena memperthati-kan kecenderungan ini ada dalam diri para Farisi, maka ia
mengingatkan dengan keras: "Celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu suka duduk di
tempat terdepan di rumah ibadat dan suka menerima penghormatan di pasar" (Lk 11,43; bdk Lk
14,7-11: orang Farisi mencari tempat yang terdepan). Yesus memberi indikasi yang sangat konkrit
untuk hidup seturut tuntutan kerajaan (Allah): "Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu,
hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu,
hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk
dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi
banyak orang" (Mk 10,43-45); "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan
orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di
sorga. Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang
dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong supaya mereka dipuji orang.
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi jika engkau
memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu.
Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi akan membalasnya kepadamu. Dan
apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya
dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka
dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya". "Dan
apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air
mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu:
Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya" (Mt 6,1-5.16). Alasan ajakan ini bukanlah terletak
dalam perasaan yang bersifat masochistis, tetapi dalam prinsip teologis fundamental yang sampai
pada hukum Inkarnasi: kebesaran manusia atau ganjaran aksinya (bdk Mt 6,5.16), tidak terletak
dalam pertimbangan orang lain, tetapi dalam "proses menjadi" orang itu. Dan "proses menjadi"
secara eksklusif tergantung dari ruang yang diberikan orang itu kepada aksi illahi, kepada rivelasi
cinta-Nya. Dalam terminologi Yesus, hal ini berkaitan dengan "menjadi orang benar" (bdk Lk
18,14) atau dengan "nama yang tertulis / terdaftar di surga" (Lk 10,20). Dengan maksud yang sama,
"bagi beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain"
(Lk 18,9) (Yesus) menceritakan perumpamaan mengenai pemungut bea dan orang Farisi, yang naik
(pergi) ke Bait Allah untuk berdoa dengan sikap yang berbeda dan dengan hasil yang berlawanan.
Untuk itu, kepada para murid yang kembali secara antusias dari pengalaman pertama kerasulan
(apostolik) mereka, Yesus menganjurkan: "Namun demikian janganlah bersukacita karena roh-roh
itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di surga" (Lk 10,20).
Struktur religius, seperti semua struktur kekuasaan, bisa menyukai sikap kesombongan, mencari
tempat yang pertama, dan usaha untuk mencapai karir, kalau tidak diresapi oleh sikap teologal,
kalau tidak memegang teguh pelayanan sebagai kriteri mutlak (absolut) hidup, dan kalau tidak
dibekali / ditopang oleh sikap kerendahan hati. Hanya dengan demikian struktur religius dapat
menciptakan lingkungan pertumbuhan otentik orang-orang dan berhasil mengalahkan /
menundukkan setan karir-isme dan setan kuasa. Bagi Yesus, kerendahan, lebih dari pada suatu
kebajikan / keutamaan saja, adalah iklim eksistensi, pengakuan akan kekuasaan Allah dan akan
kondisi keterciptaan di mana setiap manusia ada / dapat ditemukan.

c. KONTINUITAS DAN PROSELITISME

Setiap struktur condong mengabadikan dirinya sendiri, dan kemudian selanjutnya untuk
pengabadian itu, perlu mengorganisir dirinya sedemikian untuk menopang kontinuitasnya. Tetapi ini
sering mengarahkan pada penyelidikan yang meletihkan oleh para pengikut / murid-murid strutktur
itu, pada bentuk-bentuk yang kurang lebih berselubungkan penjiblakan, paksaan dan pengkondisian.
Antara lain, Yesus mencela orang-orang Farisi yang "mengarungi lautan dan menjelajah daratan,
untuk mentobatkan satu orang saja menjadi penganut agama mereka" (Mt 23,25). Sejarah Institusi-
Institusi religius mencatat bentuk-bentuk jiblakan yang ramai (hingar-bingar), jiblakan yang maju

129
dan menyebar bahkan hingga memprovokasi - dalam kasus tertentu - otolesionistis (melukai diri
sendiri [agar mendapat sesuatu]) dan bunuh diri massa. Atau, kalau pun tidak sampai hingga pada
bentuk ekstrim ini, beberapa Institusi bisa juga menciptakan iklim intimidasi dan melahirkan sikap-
sikap yang memaksa. Dalam kasus ini, jelas, bahwa Institusi sedemikian tidaklah membentuk atau
membuka peluang untuk kebebasan, tetapi mencari uniformitas (kesatuan) pikiran dan sikap,
sebagai kondisi ketermasukan dan keselamatan.
Sebaliknya, spiritualitas suatu Institusi injili menghidupkan kesaksian, dan tidak memberi peluang
untuk bergeraknya mekanisme yang menindas. Dan kesaksian itu bekerja hanya untuk induksi vital
dan tidak akan melancarkan paksaan intelektual atau terorisme religius.

d. KETIDAKCUKUPAN DAN INTEGRISME

Integrisme terdapat dalam keyakinan memiliki dalam pengalaman religius sendiri atau pengalaman
kultural semua elemen demi untuk menghimpun arti keberadaan human dan demi untuk
menentukan konsekwensinya seturut kebaikan. Lebih atau selain dari pada atas masa lampau,
integrisme ditentukan juga atas masa sekarang sendiri, yang dianggap sebagai ungkapan definitif
akan Yang Benar dan Yang Baik. Sering bahwa integrisme berasal dari ketidak-mampuan berdialog
dan bertemu dengan yang lain, dan mengarahkan orang beriman untuk mengesampingkan muatan
spiritual dan muatan yang memanusiakan dari agama lain atau dari aktivitas profan.
Sebaliknya, suatu spiritualitas injili secara otentik mengajarkan / membimbing pada pluralisme,
pada aksi mendengar dengan teliti keberbedaan-keberbedaan dan pada penerimaan perbedaan-
perbedaan sebagai nilai. Orang beriman tahu bahwa kebenaran, yang adalah Allah, tidak dapat
ditandakan dengan simbol-simbol yang eksklusif dan univok. Orang beriman itu berada pada
pencarian bentuk-bentuk yang berganda dan beranekan ragam, yang diterima oleh Dia Yang Benar,
Yang Baik, Yang Adil dan Yang Indah dalam aneka ragam manifestasi-Nya yang human.

e. TRADISIONALISME DAN FONDAMENTALISME

Sering setelah dipersatukan dengan integrisme, tradisionalisme mempunyai dinamikanya sendiri,


yang kadang-kadang membedakannya dari yang satu. Seperti integrisme, tradisionalisme merasa
memiliki semua elemen untuk menilai sejarah dan untuk menghidupi semua situasi secara otentik,
tetapi lebih-lebih lagi, tradisionalisme yakin memiliki semua formulasi pada masa lalunya.
Trasionalisme dilabuhkan pada masa lalu hingga tidak mengakui lagi undang-undang, dan melihat
setiap kebaruan sebagai merusak. Fondamentalisme adalah suatu bentuk dari tradisionalisme yang
secara primer memberi tekanan pada pentingnya teks-teks tertulis atau pada norma yang sudah
terkodifisir yang dianggap mutlak dan tak dapat diobah. Setiap Institusi religius bisa dengan
gampang tergoda untuk menentukan secara definitif doktrin-doktrinnya atau norma-norma sikapnya,
dengan mengattributkan pada diri sendiri dan mengattributkan pada doktrin dan norma-norma itu
ketidakberobahan hal-hal abadi.
Sebaliknya, kesetiaan pada hidup dan spiritualitasnya yang sesuai, menuntut kemampuan untuk
menerima yang baru dalam kesinambungan dengan yang lewat. Seni yang sulit untuk berjalan
dengan sejarah, untuk memahami kebaruan dan untuk membuka diri pada masa depannya,
merupakan penyusun dan penentuan essensial spiritualitas inkarnasi.

4. KEMATIAN SEBAGAI KRITERI HIDUP KRISTEN

Kematian bukanlah suatu kecelakaan dalam hidup human. Kematian adalah pemenuhan usaha vital,
jadi sebagai kriteri tertinggi hidup: kita hidup agar menjadi sanggup untuk mati, seperti janin tetap
tinggal dalam rahim ibu agar menjadi sanggup untuk keluar. Jadi pengertian atau pemahaman akan
sikap-sikap bahwa kematian itu menuntut adalah penting bagi semua, tidak hanya agar siap mati,
tetapi agar belajar untuk hidup secara penuh. Kriteri ini sama dengan kriteri Injil. Bagi Yesus, apa
yang menjadi kriteri ialah "nama yang tertulis / terdaftar di surga" (Lk 10,20), hidup abadi, apa yang
berasal dari "hati", dimensi-dimensi yang membuat manusia sebagai putera Allah secara definitif.

130
Dalam prospektif ini kematian disingkapkan dan dibentangkan dalam sejarah fase berikut hidup
human. Oleh karena itu apa yang diharuskan ialah mengetahui apa yang dituntut oleh kematian dari
setiap manusia, agar ia tahu menghidupi kematian. Kematian akan menuntut dari semua orang untuk
belajar mempercayakan diri sedemikian pada hidup agar tahu kehilangan hidup itu demi
memperolehnya, untuk memperkuat dan meneguhkan identitas kita hingga tahu mengisi panggilan
sendiri, untuk mengambil jarak dari hal-hal (materiil) agar tahu menderita tanpa membawa apa pun
dalam dirinya sendiri, untuk belajar mencinta sedemikian oblatif hingga memberi segalanya tanpa
sedih.

a. IDENTITAS DEFINITIF

Identitas manusia belumlah terbentuk (seutuhnya) dari awal perjalanan (hidup)nya, tetapi baru
menerima parasnya yang definitif pada saat akhir. Sesungguhnya, pada kelahirannya manusia
hanyalah suatu kompleks (tempat) kemungkinan-kemungkinan vital yang terbuka pada sejumlah
muara-muara. Identifikasi pribadi terjadi secara progressif melalui pilihan-pilihan setiap hari, yang
mengaktualkan hanya beberapa dari pilihan itu sementara banyak kemungkinan riil lainnya hilang.
Pilihan itu kadang-kadang menahan dan mempertahankan kemampuan untuk menimbulkan banyak
yang hilang, dengan mendahulukan sebagian pengalaman dan penderitaan akan kematian. Ini tejadi
demikian karena dalam realitas setiap keputusan, terutama kalau penting, menentukan sifat seorang
pribadi dalam suatu cara yang tertentu dengan hilangnya banyak kemungkinan yang lain. Agar
identitas sendiri diteguhkan, manusia mengidentifisir dirinya sendiri melalui realitas di luar dirinya:
tempat dan data-data kelahirannya, professinya, orang tuanya, dll. Untuk bertumbuh sebagai pribadi
maka dituntut tahap demi tahap meninggalkan referensi-referensi pada identitas ini dan memperoleh
bentuk personalnya sendiri yang ditentukan oleh interioritas. Untuk ini penuaan (menjadi tua)
menuntut kemampuan untuk mengurangi semua referensi identifikasi, agar dapat menjadi dirinya
sendiri saja, dalam suatu penyanggupan yang terus menerus, melalui osmose banyak anugerah yang
diterima dan dipelihara sebagai waduk tekanan / ketegangan vitalnya sendiri. Kematian akan
menuntut bahwa sudah diperoleh nama / panggilan sendiri secara komplit dan definitif, agar tahu
menekuninya, tanpa harus bereferensi pada yang lain.

b. PERGI / BERANGKAT SENDIRIAN

Setiap tahap eksistensi human melibatkan keberangkatan-keberangkatannya yang selalu semakin


mengikat. Keberangkatan-keberangkatan ini mulai dengan kelahiran, yang merupakan keluarnya
dari suatu bentuk hidup dan masuknya pada suatu bentuk lain. Dengan bertumbuh, manusia harus
meninggalkan secara progressif bentuk-bentuk eksistensinya yang tidak matang untuk masuk dalam
modalitas yang lain yang berbeda-beda: meninggalkan rumah untuk pergi ke sekolah, meninggalkan
orang tua untuk bertemu dengan yang lain, meninggalkan permainan untuk memulai kerja,
meninggalkan keluarga untuk membentuk keluarga baru, dll. Keberangkatan-keberangkatan yang
bermacam-macam itu menjadi mungkin karena / berkat cinta, yang melaluinya manusia didorong
untuk bertumbuh, dan kemudian berkat interiorisasi anugerah-anugerah vital yang diberikan /
ditawarkan oleh yang lain. Pada mulanya seseorang membimbing kita dengan tangan dalam
berbagai keberangkatan hidup, kemudian struktur-struktur personal, yang diikuti karena cinta akan
yang lain, menjadi kukuh / teguh dan secara progressif memungkinkan bentuk-bentuk kesendirian
yang selalu semakin radikal dan keberangkatan-keberangkatan pada petualangan vital yang baru
yang selalu semakin mengikat. Kematian menjadi rappresentasi keberangkatan terakhir bentuk
aktual keberadaan dan menuntut suatu kemampuan untuk sendirian secara total. Ini mungkin berkat
interiorisasi progressif akan pribadi-pribadi yang, dengan mencintai kita, menentukan secara
definitif kehadiran mereka di dalam diri kita. Oleh karena itu, kematian, ketika eksistensi sudah
dibekali / dibutuhi oleh cinta, merupakan suatu kesendirian yang didiami oleh banyak kehadiran.
Kehadiran-kehadiran ini mempergampang atau sekurang-kurangnya memungkinkan berangkat
tanpa ditemani oleh siapa pun dengan memegang tangan kita.

c. PENJAUHAN DIRI DARI HARTA BENDA

131
Kematian menuntut bahwa sudah dicapai suatu jarak sedemikian dari hal-hal (material) agar
sanggup meninggalkan segalanya tanpa membawa apa-apa dalam diri kita. Sementara pribadi-
pribadi harus diinteriorisir agar tahu berangkat, hal-hal (material) pun harus diserahkan karena
berguna bagi orang lain. Setiap hal-hal material menjadi rintangan untuk mati. Oleh karena itu
kehidupan menuntut agar dipelajari mengurangi segalanya, agar dapat memusatkan perhatian pada
hal-hal yang essensial, yang tinggal dalam interioritas kita.
Kalau disposisi oblatif ini tidak dicapai, maka manusia akan mengalami / menderita kematian
sebagai suatu pencurian, yang mengambil segala sesuatu dari padanya yang dia anggap miliknya.
Dalam realitas tak ada sesuatu apa pun yang termasuk dan mejadi milik manusia selain namanya
sendiri, yang menentukan identitasnya yang definitif: nama yang tertulis / terdaftar di surga (bdk Lk
10,20). Tetapi disposisi ini tidak akan diperoleh kalau tidak melalui pelaksanaan cinta yang gratis
dan yang tidak mementingkan diri. Kematian menuntut dari setiap orang bahwa sudah belajar
mencinta hingga tidak lagi menyimpan sesuatu untuk dirinya sendiri, bahkan tubuhnya sendiri, jadi
agar tahu menyerahkan segalanya. Oleh karena itu, eksistensi adalah tempat untuk belajar mencinta
secara sedemikian oblatif untuk menjadi sanggup dalam kematian, untuk menyerahkan segala
sesuatu tanpa syarat apa yang sudah diserahkan oleh hidup sehingga kita menjadi hidup secara
definitif.

d. KEYAKINAN DALAM HIDUP

Yesus mengatakan bahwa barangsiapa menyayangkan hidupnya maka ia akan kehilangannya, dan
hanya orang yang belajar memberikan hidupnya dialah dapat menemukannya dan akan selalu
menemukannya (bdk Mt 16,21; Lk 17,33; Yoh 12,25). Tetapi menyerahkan diri menjadi mungkin
kalau sanggup memberikan diri pada Hidup, mempercayakan diri pada Cinta, hingga meletakkan
eksistensi sendiri dalam tangan-Nya (bdk Lk 23,46). Kematian akan menuntut bahwa sudah belajar
dan faham untuk mempercayakan diri sedemikian akan pada hidup agar tahu menyerahkannya
seluruhnya demi menemukannya secara baru dan tanpa was-was. Ini adalah sikap essensial bahwa
hidup menuntut kepada semua untuk dihidupi setiap hari secara penuh. Kematian hanya akan
menjadi pengungkapannya yang terakhir.

e. HIDUP BAKTI (VITA CONSECRATA) DAN SPIRITUALITAS KEMATIAN

Dalam prospektif ini, dalam Gereja, nilai ini dimiliki oleh Institusi-Insitusi hidup bakti (vita
consecrata). Para religius yang dibentuk (oleh Institusi-Institusi itu), menghidupi bentuk-bentuk
hidup teologal komuniter melalui kaul-kaul, atau janji-janji, seturut modalitas spesifik yang
dibentuk oleh bentuk-bentuk (forma-forma) tradisional ketaatan total, bentuk-bentuk kemiskinan
radikal dan bentuk-bentuk kemurnian selibater. Ini adalah bentuk-bentuk eksemplar sikap-sikap
vital yang dituntut oleh kematian dari setiap manusia. Dalam arti ini dapat dikatakan bahwa
komunitas religius menunjukkan secara simbolik kondisi-kondisi yang dituntut oleh kematian dari
setiap orang untuk dihidupi, menunjukkan kriteri bahwa kematian diberi untuk hidup sepenuhnya.

II. ASKESE
Setiap orang lahir secara terbagi-bagi dan harus merealisir kesatuan interior, lahir dengan hilang di
antara segala hal dan harus mencapai konsentrasi, lahir dengan terproyeksi ke luar dirinya sendiri
dan harus menetapkan pusat (sentrum)nya, lahir dengan gelap dan harus mencapai transparansi,
lahir kosong dan harus tumbuh hingga pada kepenuhannya. Institusi-Institusi dan komunitas-
komunitas merupakan lingkungan vital yang mendukung proses ini: pelatihan untuk interioritas,

132
pelaksanaan ketaatan untuk mempelajari dan memahami iman, ruang bagi kemiskinan agar tidak
jatuh pada idolatri dan pendorong bagi oblativitas untuk menyingkapkan cinta Allah. Ini adalah
suatu perjalanan panjang yang berlangsung selama hidup melalui tahap yang berbeda-beda, dan
horizonnya adalah dunia, yaitu: ciptaan dan sejarah. Tingkat-tingkat hidup spiritual ini, baik
personal maupun komuniter, tidaklah dicapai karena dorongan yang memaksa atau melalui proses
otomatis. Tingkat-tingkat ini menuntut keputusan yang disadari, keterlibatan personal, dan latihan-
latihan yang terus menerus. Dalam terminologi religius perjalanan ini disebut: askese.

IKATAN ASKETIS

Askese, dalam arti etimologisnya (dari bahasa Yunani askesis dan dari kata kerja askeo = berusaha,
melatih diri) menunjukkan latihan (excercitium), ikatan / tugas yang meletihkan dan metodik untuk
mencapai suatu kemajuan (progress) fisik atau spiritual. Dalam arti moral, yang juga sudah terdapat
dalam bahasa Yunani, istilah ini menunjukkan latihan dan usaha untuk mencapai penguasaan
"dunia" interior sendiri, yang membuka peluang untuk kebebasan, kebijaksanaan dan kebajikan /
keutamaan. Para Sophist antik, misalnya, sudah mengurutkan askese di antara tiga komponen
essensial setiap pendidikan bersama dengan kodrat dan pemahaman. Secara simbolis Filo
mengattributkan (mempertali-kan) ketiga fungsi ini masing-masing kepada bapa para bangsa:
Abraham (atlit atau pejuang, bdk Kej 32,24), Isak dan Jakob dan menggarisbawahi pentingnya
pengendalian diri dan perjuangan demi penguasaan penderitaan. Dalam Perjanjian Baru kata kerja
arkeo muncul hanya satu kali saja dalam Kis 24,16 di mana Paulus, di hadapan pengadilan Feliks,
pemerintah Romawi, menyatakan: "Sebab itu aku senantiasa berusaha untuk hidup dengan hati
nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia". Tetapi ide mengenai latihan yang terus menerus
dan penting ini untuk menjadi perfekt sering muncul dalam seluruh Perjanjian Baru walaupun
diungkapkan dengan kata lain dan metafor-metafor yang lain. Juga rumusan: "memikul salib dan
mengikuti Kristus" (bdk Mt 10,38) dan undangan Yesus untuk "berjaga dan berdoa untuk
memperoleh kekuatan" ditempatkan dalam prosfektif tugas yang dituntut dari manusia untuk
menolak yang jahat dan untuk sampai pada menjadi sempurna sebagaimana Bapa di surga adalah
sempurna. Dalam Paulus sering muncul metafor-metafor perjuangan, metafor berlari dan metafor
perang untuk menunjukkan sokongan / partisipasi dari manusia untuk mencapai kemenangan atas
yang jahat dan untuk memperoleh kesempurnaan (bdk 1Kor 9,24-27; lari: Gal 5,7; Fil 2,6; 3,12-14;
2Tim 4,7; Ibr 12,1; perjuangan bersenjata: Ef 6,10-17; 1Tes 5,8).
Dalam tradisi kristen tugas / ikatan asketis telah menerima aspek-aspek yang sangat beraneka ragam
dalam bentuk hidup heremit, dalam monachisme, dalam berbagai organisasi hidup bakti (vita
consecrata) dan dalam tradisi pietas / spiritualitas populer.
Dalam arti teologis, askese adalah kompleks (lingkungan) latihan-latihan (exercitium) yang
memungkinkan transparansi pada aksi Allah, pada resonansi Sabda-Nya dan pada munculnya
kekuatan vital Roh-Nya. Dalam jalinan keterlibat-an manusia, askese adalah kompleks (lingkungan)
latihan-latihan (exercitium) yang mengobah manusia dan membuatnya mampu untuk menyatu
dengan Yang Baik yang diungkapkan dalam dirinya sebagai cinta, untuk menyatu dengan Yang
Benar yang dirumuskan dalam kata-kata human, untuk menyatu dengan Yang Adil yang
diterjemahkan dalam proyek-proyek konkrit persaudaraan dan kesamaan, untuk menyatu dengan
Kecantikan yang diungkapkan dalam harmoni bentuk-bentuk tercipta, untuk menyatu dengan Yang
Hidup yang menjadi eksistensi dan anugerah. Jadi askese adalah perjalanan yang harus dilalui oleh
manusia untuk mencapai kesatuan dengan Allah, yang merealisir identitas personalnya dan
kesempurnaannya.
Kompleks (lingkungan) praktek dan latihan (exercitium) spiritual yang mencirikan suatu religi
adalah struktur komuniter hidup asketik. Setiap perjalanan spiritual selalu dilaksanakan dalam
situasi konkrit sejarah. Oleh karena itu, askese perlu dikondisikan oleh ruang dan waktu keberadaan
(eksistensi). Bagi orang kristen, trayek perjalanan ialah apa yang ditentukan oleh tradisi yang
muncul dari pengalaman Yesus dan dari pengajaran-Nya: Ia adalah jalan perjalanan asketik (bdk
Yoh 14,6) dan mengikuti-Nya berarti belajar memikul salib (bdk Mk 8,34). Tetapi indikasi-indikasi
ini telah membangkitkan / melahirkan bentuk-bentuk askese kristen yang sangat beraneka ragam,
seturut sensibilitas religius dan kultur berbagai bangsa selama berabad-abad. Oleh karena itu dapat

133
ditanya tujuan fondamental mana disarankan oleh Injil untuk tugas historis manusia dan sarana-
sarana apa yang ditunjukkan bagi semua orang. Dengan ini dapat dianalisa secara khusus tuntutan
aktual askese untuk hidup interior yang sepatutnya dan secukupnya.

a. PERJALANAN INTERIORITAS DEMI KEMULIAAN ALLAH

Akan sering digunakan di sini konsep pagan (kafir) atau stoisme mengenai askese, yang seolah-olah
condong pada kesempurnaan moral, pada sikap baik atau pada penghindaran kekurangan.
Kesempurnaan kristen, ke mana askese diorienta-sikan, tidaklah terletak dalam exemplaritas sikap-
sikap human, tetapi dalam rivelasi Allah, yang direalisir melalui aktus human. Kekudusan injili
selalu merupakan suatu konsekrasi (pengudusan). Oleh karena itu, menjadi kudus berarti merelakan
dan membiarkan diri menjadi ruang yang disediakan bagi Allah, menjadi tempat epifani-Nya demi
keselamatan semua orang. Menjadi suci berarti membiarkan diri untuk membentuk tempat
kehadiran Allah, berarti memberi ruang bagi kehadiran aksi-Nya dalam sejarah, berarti
merambatkan dan mengumandangkan gema Sabda-Nya yang menyelamatkan. Yesus juga "telah
disempurnakan / dikuduskan" untuk dibentuk sebagai "pokok keselamatan yang abadi bagi semua
orang yang taat kepada-Nya" (Ibr 5,9). Yohanes merangkumkan dengan baik pemahaman dan
kesadaran bahwa Yesus mempunyai missi-Nya yang epifanis dalam doa: "Aku menguduskan diri-
Ku bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran" (Yoh 17,19). Oleh karena itu,
menjadi kudus adalah missi yang menyelamatkan yang melibatkan banyak orang: "Aku telah
menyatakan nama-Mu kepada semua orang, yang Engkau berikan kepada-Ku dari dunia. ... segala
Firman yang Engkau sampaikan kepada-Ku telah Kusampaikan kepada mereka" (Yoh 17,6.8).
Yesus, sejauh sebagai manusia, adalah konkretisasi kebijaksanaan illahi, yang "adalah
kebijaksanaan yang merupakan pantulan cahaya kekal, dan cermin tak bernoda dari kegiatan Allah,
dan gambar kebaikan-Nya" (Kebij 7,26). Untuk itu maka Ia telah dijadikan Mesias dan Tuhan agar
menjadi rivelasi kemuliaan Allah bagi semua orang (bdk Yoh 1,14.17-18).

b. PERJALANAN UNTUK KESEMPURNAAN

Kekurangan-kekurangan atau kelalaian-kelalaian kita menjadu sesuatu yang jahat atau buruk
hanyalah kalau merintangi munculnya aksi penyelamatan Allah. Alasan penolakan akan ideal-ideal
yang palsu dan alasan tugas atau ikatan asketis demi otentisitas hidup, atau untuk kekudusan,
tidaklah terletak terutama dalam kesempurnaan subyek, tetapi dalam rivelasi kesempurnaan illahi,
yang membuat sempurna. Oleh karena itu, kecemasan tak langsung akan tugas asketis tidaklah
harus eleminasi murni akan kekurangan-kekurangan atau kelalaian-kelalaian personal, melainkan
eleminasi akan hambatan yang dapat timbul atau tercipta dari kekurangan-kekurangan atau
kelalaian-kelalaian itu, yaitu hambatan atau rintangan akan rivelasi Allah dalam sejarah human.
Jadi, tujuan askese, sehubungan dengan pribadi, diletakkan dalam gerak dinamika yang akan
mencegah kelalaian-kelalaian yang membuat tidak harmonis hubungan dengan pribadi lain dan
yang menodai komunitas, dan dengan demikian menghambat atau merintangi rivelasi Allah. Dalam
seluruh pribadi manusia ada batas-batas atau kekurangan-kekurangan struktural yang tidak dapat
hilang, tetapi yang dapat dikontrol agar tidak berpengaruh secara negatif pada pilihan dan aktivitas.
Untuk kekurangan-kekurangan atau kelalaian-kelalaian ini, maka tugas atau ikatan yang harus
dilaksanakan ialah mengetahui dan mengenal kebijaksanaan akan subsidiaritas, yaitu cara
dengannya kita membiarkan diri dilengkapi oleh yang lain sedemikian rupa karena orang lain itu
dapat mengisi kekurangan-kekurangan kita. Tetapi bagi ketidakmatangan sebagai kekurangan sudah
lain masalahnya, karena kekurangan-kekurangan itu yang menimbulkan ketidakmatangan adalah
hasil dari pertumbuhan personal (yang kurang normal). Akan tetapi seseorang tidak akan bertumbuh
kalau hanya menghindarkan kekurangan-kekurangan itu, tetapi karena menerima anugerah hidup
dan membuka diri pada aksi illahi. Oleh karena itu, tujuan (finalitas) setiap tugas / ikatan asketis
adalah atau haruslah penerimaan anugerah-anugerah vital yang melaluinya kemuliaan Allah bersinar
dan bersemarak dalam ciptaan, kekurangan-kekurangan yang menimbulkan ketidakmatangan hilang
lambat laun (secara progressif), kekurangan-kekurangan struktural tidak lagi menjadi keburukan

134
atau kejahatan karena adanya hubungan-hubungan (yang lancar dan baik), dan, singkatnya, manusia
menjadi hidup.

c. DUNIA SEBAGAI TEMPAT ASKESE

Perjalanan ini dikembangkan dalam konteks yang idealnya berseberangan dengan ideal Injil dan
yang ditunjukkan adalah model-model yang berbeda-beda. Tetapi askese tetap dimengerti sebagai
penolakan akan ideal-ideal yang palsu dan menolak model-model yang dianggap tidak otentik.

1) Situasi Aktual

Dalam mentalitas yang sedang beredar sekarang ini, sehubungan dengan bentuk-bentuk eksistensi
yang belum matang, bukanlah para kudus yang dianggap sebagai model hidup dan sebagai
pahlawan zaman kita ini, melainkan orang yang mencapai sukses. Investasi (penanaman modal)
yang menguntungkan, kerja dengan upah yang tinggi, tempat terpenting, hirup pikuk duniawi,
penaklukan-penaklukan cinta, dan kesukaan, dianggap sebagai kondisi ideal hidup, sebagai alasan
(penyebab) kebahagiaan dan tingkat (hidup) yang harus dicapai dengan biaya tinggi. Keselamatan
manusia diwartakan dan diikuti lewat jalan kuasa ekonomis dan politis, jalan kenikmatan seksual
yang terbatas pada dirinya sendiri, jalan kepuasan yang berasal dari kekayaan yang selalu semakin
melebar. Ideal-ideal dunia terarah pada tiga idolatri konsumist: Milik, Kenikmatan, dan Kuasa, yang
harus disebarkan oleh struktur ekonomis untuk mempertahankan diri dalam hidup. Ideal-ideal ini
meyakini bahwa keselamatan berasal dari produksi harta benda yang semakin lama semakin banyak
(jumlahnya), dari perolehan kuasa yang semakin besar, dan dari kepuasan instink yang semakin
terpenuhi. Situasi ini merasuki mekanisme-mekanisme sosial yang sangat menyebar dan membawa
kepada suatu pengalaman khusus, dan ini harus diperhatikan oleh spiritualitas.

2) Sikap Umum

Mekanisme-mekanisme yang tidak lancar adalah mekanisme khas masyarakat konsumeristis.


Ensiklik Solitudo rei socialis (30 Desember 1987) telah melukiskan mekanisme-mekanisme tersebut
dengan sangat jelas. Mengenai perkem-bangan hebat "yang terdapat dalam disponibilitas yang
berlebihan akan setiap tipe harta material demi kepentingan beberapa ikatan sosial, Ensislik itu
menulis bahwa perkembangan hebat itu "akam membuat manusia dengan gampang untuk menjadi
budak 'milik' dan budak kenikmatan langsung, tanpa horizon lain selain penggandaan atau
penggantian yang terus menerus akan segala hal, yang sudah dimiliki, dengan yang lain yang masih
lebih perfek".
Pengalaman yang dibangkitkan oleh sikap-sikap sedemikian terkait dengan penemuan akan
ketidakcukupan harta benda. Ensiklik Sollicitudo rei socialis menulis: "Sesungguhnya dewasa ini
telah dimengerti secara lebih baik bahwa akumulasi (penumpukan) murni harta benda dan
pelayanan (kerja), sekalipun itu demi kepentingan orang banyak (mayoritas), tidak cukup untuk
merealisir kebahagiaan human. Konsekwensinya, disponibilitas akan penggandaan dan perbanyakan
untung riil, yang dibawa / diangkat dalam waktu terakhir ini oleh ilmu dan oleh tehnik, termasuk
oleh informasi, membiarkan pembebasan dari setiap bentuk perbudakan ... Semua kita menyentuh
dengan tangan effek-effek yang menyedihkan dari ketaatan buta pada konsumerisme murni ini:
terutama suatu bentuk materialisme yang kasar, dan sekaligus suatu ketidakpuasan radikal, karena
dapat dimengerti dengan cepat bahwa ... semakin memiliki maka akan semakin ingin, sementara
aspirasi yang paling mendalam tetap tak terpuaskan dan mungkin juga semakin tercekik". Fenomen-
fenomen sosial yang telah meluas seperti kecanduan ganja dan freqwensi bunuh diri yang semakin
banyak, jelas dapat dihubungkan dengan usaha pencarian kekayaan absolut yang bertubrukan
dengan penemuan suatu ketidakcukupan radikal akan jawaban historis.

3) Ratio Situasi Ini

Ada alasan yang dapat diterima dan patu dipuji dalam penempatan hidup ini dan ada juga penjelasan
yang sangat terang untuk pengalaman yang dibang-kitkannya.

135
Alasan penyelidikan / pencarian yang meletihkan akan manusia itu terletak dalam kenyataan bahwa
manusia itu benar-benar dipanggil pada kebaha-giaan, pada kesejahteraan, dan pada kemuliaan.
Panggilan ini mempunyai pantulan-pantulan dalam dinamika instinktif, yang harus dibentangkan
dalam pencarian / penyelidikan yang terus menerus akan kegembiraan maksimal dalam hidup.
Alasan ketidakpuasan terletak dalam kekeliruan akan sasaran dan dalam kebingungan akan horizon.
Segala sesuatu, segala situasi, dan pribadi-pribadi merupakan simbol harta definitif dan abadi, dan
simbol sedemikian membangkit-kan dinamika absolut. Tetapi, ketegangan yang timbul dalam diri
manusia dari segala hal (materi) itu tidaklah berakhir pada materi itu, melainkan diorien-tasikan
pada yang lain. Sebelum ditemukan terminal riil setiap ketegangan vital, maka tidak akan dapat
mengerti kondisi kreatural dan tidak akan dapat menikmati hidup sepenuhnya. Masyarakat
konsumeristis dengan sangat gampang mengembangkan dinamika idolatris karena menunjukkan
harta benda, situasi dan pribadi-pribadi sebagai alasan yang cocok dan mencukupi bagi keinginan
vital dan instink yang berkaitan dengannya. Juga pada abad-abad sebelumnya, dinamika idolatris ini
sering muncul, tetapi tidak memberi kemungkinan yang sama (seperti yang ada sekarang), namun
dapat diuji kebenarannya bahwa begitu sering muncul. Perkembangan aktual ilmu pengetahuan dan
tehnik telah sangat mempergampang sambutan pada barang-barang dan juga sekaligus sangat
berbahaya. Ini menjadi gampang karena dengan perkembangan tehnik dan dengan perlombaan cepat
untuk mencapai produksi, telah membuka peluang dan kemungkinan bagi penyediaan sarana-sarana
yang baru dan beraneka ragam. Tapi ini sekaligus sangat membahayakan sambutan itu karena
dengan akselerasi (pemacuan, pelajuan) cepat proses historis telah menyokong habisnya ideal-ideal
dan telah menunjuk-kan ketidakcukupannya.

4) Alternatif

Dari konstatasi ini, yang semakin tersebar, muncul bermacam-macam saran, yang selalu semakin
banyak diperkenalkan dan ditunjukkan sebagai alternatif bagi masyarakat konsumeristis yang
semakin muncul pada saat akhir-akhir ini. Komunitas-komunitas ekklesial patut menyokong saran-
saran ini dan membuat verifikasi konkrit. Tetapi, sebaliknya, sering dianggap sudah cukup, dan
dikesampingkan sejauh tidak merintanginya. Untuk menunjukkan beberapa jalan penyelidikan,
dapat dilihat komunitas-komunitas yang menghimpun orang-orang kecil, yang merupakan salah satu
dari kekayaan puncak gereja aktual. Komunitas - komunitas ini mempunyai bentuk dan ciri yang
beraneka ragam, tetapi semua bertujuan dan berbuat untuk berbagi hidup, untuk solidaritas dengan
orang-orang tawanan, orang-orang lumpuh, orang-orang yang kecanduan narkotik dan obat bius,
dan orang-orang pinggiran pada umumnya yang berjang mempertahankan hidup. Beberapa dari
komunitas itu telah mengorganisir perkumpulan para tukang dan petani yang saling bekerjasama,
mendukung pilihan kerja yang tanpa kekerasan, dan mengorganisir aktivitas ekologis yang kontras
secara eksplisit dengan ideal-ideal konsumeristis masyarakat sekarang. Di dalam komunitas-
komunitas ini sedang dimatangkan ideal-ideal dan pengalaman-pengalaman yang sudah dapat
merupakan referensi essensial bagi suatu reformasi radikal akan kebiasaan sosial kita. Tetapi sangat
significatif fakta yang ada bahwa banyak dari komunitas ini, sekalipun dengan mengembangkan
perjalanannya dalam horizon iman kristen dan dengan demikian memasukkan sumbangannya dalam
sarana keselamatan yang lahir dari Injil, terbuka pada setiap bentuk kerjasama. Di dalam komunitas-
komuitas ini akan dapat lahir figur-figur manusia baru yang mempersiapkan socitas yang bercorak
lain, di mana pahlawan-pahlawannya bukan-lah orang-orang yang sukses (dalam hal materi atau
produksi), melainkan orang-orang yang otentik, di mana kekayaan bukanlah dalam uang, tetapi
dalam kemam-puan mendengar, berdialog dan mencintai dengan cinta oblatif.

d. TAHAP-TAHAP ASKESE

Perjalanan menuju transparansi hidup untuk menyambut rivelasi Allah tidak dapat berlangsung
hanya satu hari. Waktu adalah komponen essensial setiap ciptaan dan harus menciptakan struktur
yang memuat setiap upaya human. Illusi bahwa dapat membakar tahap-tahap itu dan melangkahi
kondisi yang ber-asal dari waktu merupakan percobaan yang sering muncul, tetapi berbahaya.
Setiap program hidup harus mengandaikan waktu yang panjang. Sesungguhnya, anugerah Allah itu
begitu kaya, yang tidak dapat diterima hanya sesaat saja, tetapi menuntut seluruh hidup untuk

136
diinteriorisasi. Kiranya terlalu angkuh kalau mengatakan dapat menggariskan seluruh tahap-tahap
yang harus dilalui oleh semua orang untuk mencapai kematangan. Pada kenyataannya, tahap-tahap
itu sesuai dengan umur seseorang dan dengan iklim keberadaan, tetapi biasanya manusia terlambat
(menjalani tahap itu) dengan umurnya yang ada. Manusia interior (batiniah) (bdk 2Kor 5,3)
biasanya mempunyai umur yang lebih pendek dari pada apa yang dicatat dalam daftar.
Dalam tradisi spiritual ada bermacam-macam model deskripsi tahap-tahap spiritual yang disebut
"gradus" atau "via" itinerarium pada kesempurnaan. Di sekolah Alexandria, dengan inspirasi
neoplatonis, beranggapan bahwa ada dua tahap besar dalam hidup ini: fase praktis atau operatif dan
fase gnostik atau kontemplatif. Pada Abad Pertengahan, tahap-tahap itu biasanya dibagi dalam tiga
tahap / kondisi: incoepientes, profecientes, perfectus. St. Thomas menganalisa tahap-tahap ini
seturut ordo perkembangan (progress) kasih, seperti: berbalik dari dosa, intensi untuk mengikuti
yang baik, dan pelekatan diri pada Allah. Yang lebih mendetail lagi ialah deskripsi perjalanan
spiritual menurut para mistikus dari abad XVI-XVII.
Tetapi lebih dari pada sekedar menunjukkan tahap-tahap perjalanan (spi-ritual) personal, sering
sangat berbeda kalau dibandingkan dengan perjalanan spiritual komunitas, karena kondisi subyektif
tak dapat direduksikan dalam satu skema uniter, maka oleh karena itu berguna melihat dan
mengenali modali-tas pertobatan (conversion) yang harus diingatkan oleh komunitas dewasa ini
demi menjadi saksi keselamatan di dunia ini dan menopang perjalanan spiritu-alitas otentik.

1) Perkembangan Otentik Human

Pertobatan pertama melihat penilaian progress human dan usaha mengatasi mentalitas
konsumeristik. Proses historis yang cepat dengan cepat pula membuat krisis harapan-harapan suatu
generasi dan dengan krisis harapan itu muncul pula krisis model aktual perkembangan yang nyata
dalam kontradiksi konsep kemajuan, yang menaklukkannya. Ensiklik Sollicitudo rei socialis yang
meng-ingatkan kembali Populorum progressio mencatat bahwa "perkembangan itu bukan-lah suatu
proses yang lurus, tetapi yang hampir otomatis dan dari dirinya sendiri tidak terbatas, seolah-olah,
pada kondisi tertentu, humanitas yang umum harus berjalan menuju suatu species kesempurnaan
yang tidak tentu (tidak jelas). Konsepsi yang serupa, yang terikat pada suatu pemahaman 'kemajuan'
(progress) dari konnotasi filosofis tipe illuministik, dari pada yang terikat pada pemahaman
'perkembangan' ... nampaknya sekarang begitu diragukan secara serius". Konsepsi ini telah
membawa pada penggandaan inisiatif ekonomis untuk memperbanyak (menumpuk) harta benda
secara tak terbatas demi kepentingan manu-sia. Seolah-oleh timbunan harta benda ini sudah dirasa
cukup untuk kesejahte-raan human dan untuk men-suplai ketidakcukupan masing-masing barang
yang ada.
Jadi kemajuan (progress) tidak bisa terjadi sekaligus bersama-sama dengan produksi yang tak
terbatas dari segi kwantitatif karena materia prima yang perlu untuk manusia adalah terbatas dan
oleh karena itu produksi harta benda harus diteruskan untuk generasi berikut bukan dengan "cek
kosong" atau "karcis yang belum terisi". Untuk melaksanakan ini maka setiap komunitas harus
membebaskan diri dari mentalitas konsumeristik, yaitu mentalitas yang mengang-gap pemilikan
harta benda sebagai dasar kebahagiaan manusia yang tidak tergan-tung dari sikap batin, dan
mentalitas yang merupakan keinginan untuk semakin memiliki seturut kemampuan untuk
memperoleh dan bukan seturut kebutuhan riil atau kegunaan effektif. Kerakusan mendorong untuk
menumpuk harta benda di luar kemungkinan penggunaannya: membeli buku lebih banyak dari pada
yang sanggup dibaca, memiliki rumah lebih dari pada yang dapat ditempati, memiliki pakaian atau
sepatu lebih dari pada yang dibutuhkan, membeli alat-alat permainan tetapi tidak mempunyai waktu
untuk memakainya, menghasilkan makanan lebih dari pada yang perlu untuk hidup, dll.
Konsekwensi dari semuanya ini ialah bahwa sebagian besar dari barang-barang yang diproduksi itu
menjadi tidak berguna, menjadi rusak atau akan rusak, dan tidak memberi kemungkinan untuk
merekuperir materia prima yang perlu untuk menghasilkan barang-barang itu dan banyak energi
hilang.

2) Rasa Hormat pada Alam

137
Pertobatan kedua berkaitan dengan lingkungan. Produksi barang-barang, hingga sekarang ini
terjadi, telah dan sedang berdampak negatif pada lingkung-an di mana manusia hidup. Ini
memancing timbulnya konsekwensi yang merusak bagi kesehatan manusia, bagi kelayakan huni
bumi ini dan bagi kelanjutan hidup human umum. Hingga sekarang ini manusia kurang memberi
perhatian pada dampak atau konsekwensi kerjanya pada lingkungan, baik karena belum disadari
penuh maupun karena hingga pada saat belum lama ini dampak itu belum begitu meng-ganggu
keseimbangan. Sebaliknya, sekarang, keadaan sudah berobah: "Dari peng-amatan akan data-data
yang ada, sama sekali sudah lain keadaannya, dan tidak terjamin lagi: areal hutan sudah semakin
berkurang, padang gurun semakin meluas dan bumi sedang dilanda erosi, dan ini semua terjadi
dalam waktu yang sangat singkat. Setiap tahun ribuan species tumbuh-tumbuhan dan hewan hilang,
dan banyak di antaranya masih belum diidentifisir dan dikatalogkan. Lapisan ozon sebagai
pelindung dari radiasi ultraviolet semakin tipis. Temperatur bumi semakin naik, dan ini berbahaya
bagi dimensi-dimensi yang masih belum dikenal tetapi yang perlu untuk sistem penopang hidup
yang darinya kemanusiaan tergantung". Juga Komisi Internasional, di bawah nauangan PBB, demi
pengembangan dan lingkungan, telah mengakhiri kerjanya, dengan mengharapkan perobahan urgen
dalam gaya hidup manusia di bumi: “Keyakinan kita adalah sama, yakni bahwa keamanan,
kesejahteraan dan perjuangan planet kita sendiri tergantung langsung dari awal perobahan itu”.
Orang beriman perlu menerima undangan para akhli ini. Mereka harus sadar bahwa bumi ini
dipercayakan kepada mereka untuk dipelihara dan diperindah, untuk membuatnya menjadi rumah
umum bagi semua putra-putri Allah.

3) Sensibilitas Ekumenis

Pertobatan ketiga ialah mengenai horizon universal perpektif (pengharapan) itu. Belum
lama ini, penghargaan akan dunia dan sejarah masih terbatas dalam horizon sempit. Setiap keluarga,
daerah dan negara, ketika bekerja dengan bijaksana, masih mengupayakan hidup ekonomisnya
sendiri, dengan menghindari pemborosan dalam lingkungannya sendiri dan dengan memelihara
lingkungannya sendiri, tanpa memikirkan konsekwensi bahwa upaya untuk memenuhi kepentingan
dan interesse sendiri tidak lepas dari yang lain dan dari generasi berikut. Sekarang ini, sikap seperti
ini tidak bisa lagi. Sekarang ini, semua masalah sudah menjadi universal. Adalah suatu kerabunan
atau kebutaan jika semakin mengotori planet ini tetapi sekaligus merasa bebas di dalamnya, atau
kalau semakin menyebarkan gas asam arang karbon di atmosfer kita, padahal itu akan semakin
tersebar ke mana-mana. Adalah suatu keegoisan, atau bahkan mati rasa, bila masih mengambil
untung dari reduksi harga materi pertama itu, dengan memanfaatkan dunia ketiga, atau
menghempang upah yang layak bagi pekerja yang lapar. Untuk mengatasi kejahatan ini, baik moral
maupun spiritual, yang kena seluruh manusia, karena bumi ini sedang menjadi dunia yang satu-
satunya, maka perlu agar semua mulai memikirkannya dengan parameter universal. Ini, lambat laun,
akan membawa kepada kesadaran untuk melihat dan mencermati ketidakadilan yang telah kelewat
batas oleh ulah-ulah manusia sendiri, yang harus dihadapi dan diatasi dengan menekankan pentinya
dan urgennya keadilan, kesamaan dan keseimbangan dalam dunia ini.
Spiritualitas Institusi-Institusi sekarang ini harus condong pada keuniversalan ini.
Komunitas-Komunitas yang masih dalam horizon sempit, tidak lagi menunjukkan model manjur
(efficax) dan tidak lagi menumbuh-kembangkan sikap otentik. Kalau Komunitas-Komunitas
membatasi diri hanya mengatasi yang jahat yang telah mengkontaminasikannya, dan hanya
berefleksi atas pengalaman sempit yang berasal dari pengkontaminasian itu, itu berarti bahwa
Komunitas itu tidak lagi mewartakan keselamatan bagi semua, bahkan bagi dirinya sendiri secara
intern. Kejahatan social punya dimensi luas dan mendalam, yang mengotori semua pilihan hidup
manusia dan Komunitas, sekalipun pilihan itu baik. Setiap dosa menghasilkan mau dan merusak di
mana-mana, dan dosa-dosa negara-negara kaya tertumpah bagaikan angin topan siklon yang
membasmi apa saja yang dilaluinya di seantero dunia ini. Oleh karena itu, komunitas-komunitas
kristen akan menjadi penyelamat hanya kalau mereka dapat menjadi saksi kehidupan di hadapan
manusia yang tenor hidup dan pilihan mereka menghasilkan kematian dan kerusakan. Oleh karena
itu, spiritualitas suatu bangsa atau suatu grup social, akan menjadi cocok dan mencukupi hanya
kalau memperhatikan juga pengalaman komunitas-komunitas itu yang sedang berada pada

138
perbatasan perjalanan human, di mana kejahatan dunia seluruhnya mendatangkan kerusakan fisik
dan moral.

4) Perhatian bagi Orang Miskin

Pertobatan keempat berkaitan dengan perhatian kepada orang-orang miskin. Dalam fase
actual perkembangan human, kehadiran orang-orang miskin bukan lagi suatu kefatalan, yang
tergantung dari kurangnya sarana-sarana penopang. Sekarang, kehadiran orang-orang miskin telah
menjadi suatu ketidakadilan pada saat kemanusiaan sebenarnya punya sarana untuk mewujudkan
kesejahteraan dengan materi yang sebetulnya mencukupi untuk itu bagi semua. Komisi Brundland
melihat bahwa menyebarnya kemiskinan tidak terhindarkan lagi. Kemiskinan bukanlah hanya
sesuatu yang buruk dalam dirinya sendiri, dan tidak cukup hanya mengatasi itu, tapi perlu
pengembangan yang dapat menopang untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan mendasar semua
orang dan memberi kemungkinan kepada semua untuk mengaktualisir aspirasinya sendiri untuk
mencapai hidup yang lebih baik … Pemenuhan dan pemuasan kebutuhan essensial itu menuntut
tidak hanya suatu era baru pertumbuhan ekonomis bagi bangsa-bangsa di mana mayoritas
penduduknya adalah miskin, tetapi juga garansi bahwa orang miskin itu ikut mempunyai bagiannya
yang adil dalam memunculkan keperluan-keperluan untuk menopang pertumbuhan itu. Solidaritas
yang harus menjadi penghantar pada cita-cita dan sasaran ini tidak cukup hanya bertahan pada
nafasnya yang pendek untuk membela interesse nasional atau sektorial, tetapi menuntut bahwa
semua manusia, secara bersama-sama, menentukan untuk membagi kembali harta ciptaan yang
adalah untuk kepentingan semua manusia.
Suatu spiritualitas otentik dewasa ini harus menumbuhkembangkan cita-cita ini, dan
kemudian harus dicirikan oleh suatu sensibilitas terhadap orang miskin, oleh perhatian akan
kesadaran social akan cita-cita itu dan oleh rasa berbagi kehidupan secara radikal dengan orang-
orang marginal.

III. KHARISMA
Istilah “charisma” berasal dari bahasa Yunani, yang dipakai dalam Perjanjian Baru, yang
berarti “pemberian / anugerah dari kemurahhatian”, dan akar katanya ialah “kharis” (rahmat).
Konsili Vatikan II telah mengartikan secara baru pemahaman istilah kharisma ini dan dibedakan
antara pemberian / anugerah kharismatik dan hirarkis (LG 2) atau institusional (yang dihubungkan
dengan sakramen-sakramen dan pelayanan-pelayanan). Kharisma-kharisma dalam konsep Konsili
disebut “anugerah khusus”, anugerah Roh, “anugerah luar biasa atau juga yang lebih simple atau
lebih umum”, yang “dirasa cocok atau siap untuk menerima berbagai karya atau tugas yang berguna
bagi pembaharuan Gereja dan perkembangan pembangunannya” (LG 12).

KHARISMA: ANUGERAH BAGI KOMUNITAS

Dalam Perjanjian Baru istilah kharisma digunakan dalam arti biasa / umum untuk
menunjukkan semua anugerah illahi, bentuk-bentuk hidup dan aksi yang baru, walau dalam arti
sangat khusus, yang dibangkitkan oleh Roh Kudus dalam diri orang beriman demi pelekatan diri
kepada Injil. St. Paulus, misalnya, mengatakan bahwa “anugerah (charismata) dan panggilan Allah
tidak dapat lenyap” (Rom 5,15), dan di tempat lain (2Kor 2,10-11) menyebut charisma sebagai
pembebasan - seperti bagi orang tahanan - yang dinantikan dari Allah. Penggunaan aktual istilah ini
memberi privilege untuk arti yang lebih spesifik, yang juga terdapat dalam Perjanjian Baru, yaitu
sebagai anugerah-anugerah khusus Roh yang diberikan sebagai kurnia bagi komunitas seluruhnya
“demi kesejahteraan umum” (1Kor 12,7) atau sebagai pengabdian bagi yang lain, sebagai pelayan-
pelayan yang baik akan berbagai rahmat Allah” (1Ptr 4,10). Dalam arti ini juga berbagai pelayanan
gerejani lahir sebagai kharisma-kharisma Roh, yang kemudian (dalam perjalanan waktu) sampai

139
pada suatu kharakter institusional dan stabil. Jadi, kharisma-kharisma itu, sebagaimana sekarang ini
juga dimengerti, adalah anugerah-anugerah illahi, yang “terutama cocok dan berguna untuk
kepentingan Gereja” (LG 12), tapi seturut modalitas yang bervariasi, bebas dan otonom, berkisar
pada struktur yang sudah stabil. Dalam perspektif ini memang muncul problem mengenai hubungan
antara institusi dan kharisma.

a. YESUS SANG KHARISMATIK

Dari berbagai interpretasi yang diberi mengenai Kristus, satu hal tetap tinggal tak
tersanggah: Dia telah membentangkan aktivitasNya di luar struktur kuasa pada saat itu, tetapi
dengan suatu otoritas (exusia) yang membuat takjub / tercengang orang-orang sezamanNya (Mk
1,22.27). otoritas Yesus itu tidak berasal dari hukum atau posisi sosial, tidak dianggap sah, tetapi
berasal dari kemanjuran / kemujarraban / kekuasaan yang sudah dimilikiNya dalam memaklumkan
Sabda dan dalam menyembuhkan orang-orang sakit. Orang-orang sezamanNya menyebut “suatu
ajaran baru diajarkan dengan otoritas” dan mereka mengatakan: “Ia memerintah bahkan roh-roh
jahat dan mereka mentaatiNya” (Mk 1,27). “Apa yang nampak dalam khotbah Yesus, bukanlah
institusi religius atau ordo sosial, tetapi kuasa yang dalam khotbahNya menunjukkan kehadiran
kerajaan Allah dan menghimpun manusia yang taat kepadaNya”. Kriteri kesetiaan Yesus bukanlah
hokum atau tradisi, tetapi kekuatan Roh yang membimbingNya. Itulah potensi kharismatikNya.

b. GEREJA SEBAGAI KOMUNITAS KHARISMATIK

Bagi komunitas kristen, masalah mengenai hubungan antara kharisma dan institusi menjadi
muncul secara khusus oleh karena Gereja muncul sebagai ekspressi kharismatik yang kontras
dengan struktur agama yang kaku pada saat itu. Sekali distrukturkan, bagaimana pun, bisa jadi
menjadi kaku, demikian pun komunitas kristen telah sampai pada forma-forma yang kaku yang
telah menimbulkan soal yang tidak ringan bagi dinamika Roh yang bebas. Oleh karena itu,
hubungan antara kharisma dan institusi telah tak terelak lagi menjadi dialektis, karena kharisma
sering ditempatkan dalam posisi bertentangan dengan struktur institusional.
Gereja didasarkan dan dibangun di atas para Rasul dan para Nabi (Ef 2,20), yaitu di atas
orang-orang yang tidak termasuk dalam struktur kuasa religius pada saat itu, bukan orang pagan,
pun bukan orang Hibrani. Mereka adalah pembawa / pemilik kuasa yang berbeda, yakni yang diberi
kepada mereka oleh Roh Allah. Beberapa dari kharisma itu berfungsi pemimpin, pengajar, dan yang
lain sebagai penolong: tetapi semua berciri pelayanan komunitas, yaitu sebagai alamat yang tepat
akan pengalaman keselamatan dan akan kuasa-kuasa mereka. Memang bukan di sini tempatnya
untuk menganalisis cirri-ciri komunitas awal (primitif-kristen purba) dan peran khusus yang
dilaksanakan oleh para Rasul, para Nabi dan para kharismatik yang lain (ini merupakan tema yang
sangat rumit / kompleks karena berbeda-beda di berbagai komunitas). Tetapi, walaupun demikian,
barangkali dapat dikatakan tanpa kesulitan bahwa: “kalau memang kenyataannya, sebagaimana
dimaksudkan oleh orang-orang kristen pertama bahwa, komunitas kristen adalah ‘gereja Allah’ (1Ts
2,14; 1Kor 1,2; 10,32; 11,22; 15,9; 2Ts 1,14; Kis 20,28), ‘gereja Kristus’ (Rom 16,16; bdk 1Ts 1,1)
dan ‘bait Roh Kudus’ (1Kor 3,16; 6,19), berarti jelas bahwa kalau sejauh lahir secara spontan dari
basis (sekarang ini kita sebut: seturut hokum sosiologis formasi grup) itu berarti, secara essensial
dan dengan hak, dialami secara spontan dan diinterpretasikan secara eksplisit sebagai ‘anugerah
Allah’ (Ef 4,8-11; 1Tim 4,14; 2Tim 1,6). Dalam pujiannya karena ‘berkat dari atas’, Perjanjian Baru
tidak mengenal opposisi posterior antara apa yang datang dari atas dan yang datang dari bawah.
Sebaliknya, seluruh komunitas adalah bait Roh, tubuh Kristus”.

c. KONFLIK KHARISMA - INSTITUSI

Sejak awal, kecemasan prinsipal St. Paulus adalah kesatuan antara berbagai anugerah Roh.
Alasannya ialah asal-usul anugerah itu yang unik dan juga tujuannya yang unik juga. Asal-usul yang
umum ialah tindakan / aksi “satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang diatas semua dan oleh
semua dan di dalam semua” (Ef 4,6). “Tujuan dan alasan kesatuan ini ditunjukkan dalam ‘formasi
para kudus untuk melaksanakan pelayanan (pengabdian = servitium), hingga membangun tubuh

140
Kristus’. Sebagai sokongan pada kesatuan itu dipaparkan ‘tugas-tugas dan pelayanan’”. Dapat
dimengerti dengan gampang bagaimana gereja, dengan mengembangkan dirinya selama berabad-
abad, harus memodifisir statuta originernya. Sebenarnya, suatu kharisma, ketika menjadi struktur
stabil memperolah dinamika institusional, yang berkonflik dengan bentuk-bentuk (forma-forma) dan
dinamika-dinamika baru yang dibangkitkan oleh hidup secara konstan. Selama berabad-abad hal ini
telah memancing pertentangan dan kontras, yang dalam berbagai cara yang membuat tetap ada
keterpecahan-keterpecahan, yang hingga kini ada dalam gereja Kristus. Urgensi akan kesatuan
sedang mendesak berbagai komunitas Kristen untuk mencari dan menemukan kriteri-kriteri
kesatuan yang baru, dengan maksud agar pluralisme kharisma-kharisma dapat dapat juga
mengungkapkan diri secara memadai dalam pluralisme institusi-institusi dan disiplin. Hal ini perlu
menganut suatu spiritualitas pluralistik atau ekumenis, yang dinamika-dinamikanya baru sedang
digariskan dalam upaya-upaya yang rumit (kompleks) untuk dialog-dialog yang sekarang ini sedang
berlangsung di antara gereja-gereja.

IV. MODEL-MODEL
Hidup spiritual tersebar melalui induksi vital dan perlu diinterpretasikan seturut model-
model ringkas masa lalu dan model-model yang harmonis dengan kultur pada zamannya. Tidak ada
pengalaman yang lepas dari hukum ketat eksistensi dan pengenalan human ini. Jadi, suatu
spiritualitas yang matang harus mengenali model-model yang sedang ada dan jika perlu melihat
batas-batasnya dan mengembangkan kekayannya.

BERBAGAI MODEL

Sekurang-kurangnya ada tiga model yang memberi kemungkinan untuk perkembagan dan
intrepretasi hidup interior: model orang-orang hidup, model kultural, dan model guru-guru rohani.
Model orang-orang hidup ialah para kudus, saksi akan benarnya pilihan-pilihan historis (akan hidup
beriman) dan sikap-sikap interior. Model-model kultural ialah perspektif-perspektif dan paradigma-
paradigma yang melaluinya berbagai pengalaman vital diorientasikan dan diinterpretasikan. Model-
model guru-guru rohani ialah mereka yang menjadi titik-titik referensi yang menghubungkan
kekayaan pengalaman dengan pengenalan doktrin-doktrin dan interpretasi-interpretasi.

a. PARA KUDUS

Nilai pilihan-pilihan vital dan nilai alasan-alasan yang memberi inspirasi pada nilai itu tidak
dapat ditunjukkan dengan argumentasi-argumentasi sederhana atau dengan refleksi-refleksi teoretis,
tetapi hal itu nampak hanya melalui hidup. Bahwa cinta membangun, dan bahwa kebencian
merusak, bahwa pengampunan menyelamatkan dan bahwa balas dendam menyesatkan, bahwa
kontemplasi memurnikan dan bahwa immersion ke dalam banyak hal menceraiberaikan, dapat
dikukuhkan hanya melalui verifikasi pengalaman atau pertemuan dengan realitas. Bagaimanapun
pengalaman-pengalaman tidak selalu dapat diulangi dan dilaksanakan lagi di mana pun dan dari
segala sesuatu yang tanpa kena peraturan. Ada pengalaman-pengalaman yang tidak dapat kembali
lagi. Selain itu, ada sikap-sikap vital, yang dapat ditemukan hanya dalam lingkungan khusus yang
ditandai dengan hidup yang intens, walau, sekali waktu ditemukan, dapat diterima dan dihidupi oleh
semua. Para kudus ialah orang-orang yang mempunyai otoritas moral untuk mengarahkan sikap-
sikap dan untuk menunjukkan benarnya pilihan-pilihan histories. Fungsi para kudus ialah
menjelajahi jalan hidup, lalu kemudian semua orang lain dapat berjalan di situ.
Untuk mengerti dinamika dari fungsi institusi ini perlu melihat tiga ciri (kharakter)
konstitutif kekudusan kristen: fungsi rivelatif, dimensi komuniter, dan referensi (rujukan) pada
model tertinggi, yaitu Yesus.

141
1) Kekudusan sebagai Rivelasi

Kekudusan human, menurut Kitab Suci, adalah refleks dari kekudusan Allah. Hanya Allah-
lah yang kudus dan, dengan mewahyukan diriNya, Ia membuat kudus (yang lain). Jadi, syarat
(kondisi) kekudusan adalah kesatuan dengan Allah, penerimaan aksiNya yang menghidupkan.
Hukum inkarnasi perlu diikuti oleh dinamika transparansi. Jadi, menjadi kudus berarti membuat
Allah dapat dilihat, membuat efficax (manjur) aksiNya, mengeksplisitkan belaskasihanNya. Secara
essensial, kekudusan tidaklah berada dalam kesempurnaan moral seseorang (walaupun
kesempurnaan moral itu mengikutinya), tetapi dalam kemuliaan Allah atau dalam rivelasi
memperkembangkan dan menyokongnya.
Konsekwensinya, menjadi model kekudusan tidak berarti mengajarkan doktrin-doktrin yang
mendalam atau tahu memerintah seturut hukum kebijaksanaan, tetapi dapat dan pandai
mengarahkan sikap-sikap dan perlakuan-perlakuan untuk menunjukkan benarnya pilihan hidup,
untuk membuat cemerlang kehadiran batin yang rahasia. Kekuatan yang menyebarkan
kebijaksanaan vital bukanlah akal budi (hasil pemikiran) atau hukum, tetapi cinta dan pesona dari
Yang Baik. Orang kudus bukanlah seorang kepala (pemimpin) yang merumuskan peraturan-
peraturan, juga bukan seorang bijak, pintar, dan akhli yang mengajarkan doktrin-doktrin akbar-
luhur-indah (walaupun hal itu bisa jadi), tetapi, sebagai orang kudus, mereka adalah pewahyu Allah
dan yang membawa kesempurnaan dengan kedekatan yang mereka realisir dan membuat atraksi
menuju yang baik yang mereka bangkitkan.

2) Kekudusan Komuniter atau Ekklesial (Gerejani)

Ada aspek-aspek aksi keselamatan Allah yang menuntut ikatan dari manusia, pemusatan
berbagai kehendak untuk diterima dan disingkapkan. Untuk itu kekudusan injili adalah komuniter,
kesepakatan terpadu dari banyak orang yang menerima, seperti kesejahteraan umum, kemuliaan
Allah: “Dan Aku telah memberi kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan kepadaKu, supaya
mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu” (Yoh 17,22). Ini berhubungan dengan hukum
inkarnasi: aksi Allah tidak akan nampak bagi kita kalau tidak melalui aksi manusia. Setiap orang
masuk ke dalam hubungan dengan Allah hanya melalui suatu tradisi historis, yang diberi kepadanya
oleh suatu komunitas yang hidup. Setiap orang dapat menjadi kudus hanya sebagai ekspressi dari
suatu arus hidup yang yang dipelihara dan diberi kebutuhan oleh banyak orang. Para kudus adalah
ekspressi tradisi histories dan ekspressi komunitas yang hidup, dan, jadi, dapat dipahami hanya
dalam intern mereka, sebagai penunjukan dan keluaran mereka. Alamat rivelasi kekudusan Allah
dalam sejarah human, bukanlah seseorang, tapi suatu komunitas. Apa yang dituntut dari manusia
untuk menyingkapkan Allah ialah memberi peluang pada kesempurnaannya untuk mengungkapkan
diri dalam hidupnya, seturut hukum inkarnasi. Ada beberapa ekspressi kesempurnaan illahi yang
tidak dapat habis dalam diri seorang, tetapi menuntut pemusatan yang harmonis dari banyak
eksistensi.

3) Kristus Model Suppremus

Untuk orang Kristen, menjadi kudus berarti disatukan dengan Kristus, karena Dia adalah
ekspressi human penuh dan sempurna dari kesatuan dengan Allah, epifani Allah, “cahaya kemuliaan
Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan Firman-Nya yang penuh
kekuasaan” (Ibr 1,3). Ia telah menjadi pengudusan kita (bdk 1Kor 3,30) karena melalui Dia aksi
illahi sampai kepada kita. Sesungguhnya Allah sendirilah yang “menguduskan hingga sampai pada
kesempurnaan” (bdk 1Ts 5,23). Jadi, untuk orang Kristen, referensi / rujukan pertama kekudusan
adalah kepada Yesus, karena Dialah tempat human rivelasi illahi.
Kristus adalah event (peristiwa) definitive sejarah yang melaluiNya Allah masuk ke dalam
petualangan human dan melalui Dia kita masuk ke dalam hubungan denganNya. Kristus adalah
paradigma dari seri-seri yang panjang dari peristiwa-peristiwa, dan melalui peristiwa-peristiwa itu
Allah menjadi anugerah bagi manusia. Maka dengan demikian Ia menjadi indikasi modalitas, dan
seturut indikasi itu Allah menjadi kelihatan bagi manusia, menjadi indikasi gaya kehadiranNya di

142
dunia. Petualangan Kristus adalah aksi seorang manusia yang dibangkitkan oleh Allah, yang diakui
sebagai Exemplar dan oleh karena itu ditentukan sebagai Prinsip keselamatan. Ini terjadi bukan
karena realitas human Yesus berbeda dari realitas kita, tapi sebaliknya justru karena realitas Yesus
itu adalah human untuk dibangun oleh Allah sebagai indikasi bagi semua, sebagai referensi /
rujukan kehadiranNya dalam petualangan human. Dari pihal lain, eksistensi Yesus adalah hasil dari
suatu komunitas yang sedang menghidupi iman akan Allah dalam kesetiaan tertinggi, yang
memelihara dan menyuburkan pengharapan otentik dan mencintai tanpa syarat. Struktur eksistensi
Yesus adalah teologal secara istimewa, terpusat pada Allah, yang diakui sebagai Bapa yang
berbelaskasih. Ia dapat mengatakan: “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10,30). Alasan affirmasi ini
secara menakjubkan terletak pada kenyataan bahwa karya Yesus merupakan terjemahan dari aksi
illahi, perkataan-perkataanNya mengungkapkan kebenaran Allah (bdk Yoh 12,49-50; 14,10). Para
pengikutNya juga dipanggil untuk menyatakan / menunjukkan aksi Allah di dunia, untuk
“melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sudah Ia lakukan, dan bahkan pekerjaan-pekerjaan yang
lebih besar dari pada itu” (bdk Yoh 14,12).

4) Sequela atau Imitasi

Hubungan dengan suatu model biasanya diungkapkan dengan istilah imitasi, tetapi dalam
tradisi kristen istilah yang paling tepat adalah sequela, seturut ungkapan injili: “Setiap orang yang
mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mt
16,24). Istilah sequela secara lebih pas menunjukkan jawaban pada fungsi exemplar model-model
dalam perspektif vital dan dinamis. Di sini tidak dimaksudkan mengulangi isyarat-isyarat yang telah
dilakukan oleh orang lain atau meniru pilihan-pilihan mereka. Sebaliknya, yang dimaksud ialah
menemukan dan mengidealkan bentuk-bentuk hidup yang baru, yang ditekuni dengan kesetiaan
kepada sesuatu yang ideal yang diinkarnir dalam beberapa pengalaman historis. Inilah juga yang
merupakan muatan dari istilah imitasi sebagaimana dipakai, misalnya, dalam corpus paulinum yang
bereferensi pada Kristus (bdk Rom 15,3.7; 2Kor 5,14; 8,9; 10,1; Fil 2,5ss; Ef 5,2.25). Petrus juga
menyatukan kedua konsep ini dalam hanya satu ungkapan ketika ia menulis bahwa Yesus telah
meninggalkan bagi kita suatu contoh agar kita mengikuti jejakNya (bdk 1Ptr 2,21). “Kristus
bukanlah Obyek untuk ditiru, tetapi Ia adalah Subyek yang harus menginspirir kondute orang
beriman. Dalam kesatuan dengan Dia orang membangun dan merealisir identitasnya sendiri, dan
oleh karena itu pelekatan diri kepadaNya tidak terutama terletak pada garis akan hal-hal untuk
dilakukan, tetapi pada realisasi diri ‘kita’: momen operatif adalah yang berikut dari penyesuaian diri
kepadaNya (penyesuaian diri kepadaNya adalah yang pertama, lalu diikuti oleh karya). Kristus
adalah Subyek di mana di dalamNya, denganNya dan melaluiNya orang beriman berpikir, mencinta
dan berkarya. Lebih lagi Paulus, ketika lebih menekankan kepada Kristus, sebagai rujukan, dari
pada kepada traktat-traktat konkret hidup duniawi, lebih menekankan pada otoritas dari Yang
Bangkit itu yang hadir sekarang dalam SabdaNya, dalam Roh Kudus dan dalam otoritas apostolis”.

b. MODEL-MODEL KULTURAL

Pengalaman, yang merupakan asal-usul dan awal setiap pengenalan human, tak pernah
dipaparkan dalam integritas dan kesempurnaannya, tapi selalu dihidupi dalam horizon-horizon
kultur dan lalu selalu diinterpretasikan di bawah terang model-model pemikiran yang khusus. Untuk
pengetahuan (science) manusia sekarang ini adalah “primat teori tertentu dan primat model atas
pengalaman sudah aman, kecuali kalau ada yang lain, dalam arti bahwa untuk sebaliknya tidak
dapat memberi sesuatu pada suatu pengalaman yang bukan merupakan hasil yang terkait sekurang-
kurangnya dengan suatu teori implisit, dan, sebaliknya, bahwa tidak dapat digali dari pengalaman
dan melalui induksi teori-teori, kalau bukan suatu inisiatif kreatif spirit human sendiri. Penggunaan
model-model diikuti oleh crri (kharakter) sementara (tidak tetap) dan parsial setiap pengalaman dan
setiap interpretasinya. Sejauh parsial, setiap model mengandaikan model-model yang lain dan
bahkan menuntut untuk dilengkapi. Sejauh sementara, setiap model selalu menimbulkan ketegangan
pada penyelesaiannya yang selanjutnya. Juga untuk hidup spiritual, harus dibicarakan model-model
dalam arti bahwa setiap pengalaman kenyataannya dihidupi secara berbeda, seturut ideal-ideal dari
yang menganimasinya, seturut alasan-alasan yang menginspirirnya, seturut referensi-referensi

143
(rujukan-rujukan) historis yang memberinya informasi. Untuk alasan pengalaman iman sendiri,
selalu diterangkan melalui model-model atau paradigma-paradigma yang terkait dengan visi khusus
dunia atau dengan horizon-horizon kultural spesifik. Dari perspektif partikular ini lahirlah berbagai
sekolah spiritualitas. Di samping itu, pengalaman akan keberagaman ini dibenarkan pula dalam
sejarah setiap orang: dalam momen-momen berikut pengalaman yang sama dapat mempunyai ciri
dan risonansi yang berbeda, seturut horizon-horizon di mana pengalaman terbentang dan sensibilitas
diperoleh. Tetapi keberbedaan itu terutama menjadi stabil dalam pengalaman yang dilalui oleh lebih
dari seorang atau dalam berbagai grup sosial. Dalam hidup religius pengalaman-pengalaman
kontemplasi, doa, penyangkalan diri yang setiap dalam Allah, persahabatan, penderitaan,
keheningan, dll, dapat mempunyai arti dan memberi rangsangan yang sangat bervariasi. Berbagai
interpretasi pengalaman iman biasanya condong untuk membentuk system homogen dan organis
mengenai interpretasi hidup spiritual, lalu, dalam perjalanan panjang, condong untuk menciptakan
suatu pluralitas sekolah atau tradisi spiritual. Sejarah spiritualitas memperlihatkan suatu bingkai
yang berbeda-beda mengenai tradisi yang diikuti selama berabad-abad, seturut tuntutan-tuntutan
partikular berbagai musim kultural, atau, yang dijajagi (dijalin) dalam periode historis sendiri untuk
menjawab berbagai sensibilitas orang dan kultur. Jelas bahwa perbedaan itu begitu terang kalau
dilihat agama-agama dunia, yang memelihara spiritualitas secara sangat berbeda dan kadang-kadang
kontras satu sama lain. Barangkali merupakan suatu “error” meremehkannya karena dianggap
relative, tetapi juga sama saja tetap merupakan suatu “error” kalau memutlakkannya karena
dianggap benar dan signifikatif. Suatu spiritualitas organis, dari satu pihak, harus menawarkan suatu
bingkai uniter untuk menginterpretasikan secara harmonis pengalaman-pengalaman yang dihidupi,
dan dari pihak lain, harus mendidik di hadapan perspektif sendiri secara terus menerus dengan
perspektif berbagai tradisi untuk melihat batas-batas dan kekayaan berbagai sekolah spiritual.
c. GURU-GURU SPIRITUALITAS

Pengaruh paradigmatic yang terjadi oleh seorang santo habis pada masa itu. Para kudus,
untuk terus membentangkan peranan sesudah ia tiada lagi, harus meninggalkan doktrin dan
komunitas yang menunjukkan secara plastis nilai dan menyimpannya dalam memoria. Tetapi,
doktrin spiritual, sebagaimana adanya secara murni, tidak cukup untuk membangkitkan keanggotaan
stabil (menetap) dan untuk meneruskan tradisi-tradisi hidup spiritual dalam kebervariasian kultur
yang begitu cepat. Perlu juga ada guru-guru spiritual; mereka menempatkan diri pada pertemuan
(kuala) antara model-model yang hidup (para kudus) dan model-model interpretatif. Guru-guru
spiritualitas adalah mereka, yaitu, yang menjaga dan memelihara memoria-memoria dan artinya,
dan, kemudian, menolong untuk mengaktualisir doktrin-doktrin dalam hidup, dan
menginterpretasikan, dalam perspektif mereka, berbagai pengalaman. Guru-guru spiritual adalah
orang yang sudah dewasa dalam iman, yang, sebagaimana dikatakan dalam surat kepada orang
Ibrani, “yang mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang
jahat” (Ibr 5,14). Kondisi (syarat) kematangan dalam iman tidaklah berasal dari kesempurnaan
moral sederhana (simplex), tetapi dari assimilasi mendalam pengalaman salvifik yang bermuara
dalam sejarah dan yang diinteriorisir (dibatinkan) melalui pengalaman sendiri. Waktu adalah suatu
dimensi essensial eksistensi human dan lalu dimensi kebijaksanaan. Sebaliknya, kekudusan dalam
diri suatu subyek (orang) tertentu lepas dari umur (tidak memperhitungkan umur); di mana
kekudusan itu adalah ekspressi suatu tradisi iman yang terpusat dalam diri seorang pribadi saja.
Untuk ini tidaklah selalu orang kudus harus menjadi guru yang efficax dan tidak selalu perlu bahwa
para guru rohani haruslah orang kudus. Dari orang kudus diminta, di tempat pertama, kesetiaan pada
tradisi spiritual, sedangkan dari guru rohani, terutama, dituntut kebijaksanaan atau pengenalan /
pengetahuan vital akan doktrin. Tak perlu gusar akan pembedaan (distinksi) ini karena
kebijaksanaan tidak dapat diperoleh kalau tidak di dalam suatu pengalaman vital, walau tidak
perfek. Setiap pengalaman, kalau dihidupi dengan kadar mencukupi dalam hal otentisitas, akan
menghantar pada kebijaksanaan, sementara mengganti subyek yang terlibat di dalamnya. Juga dosa,
kalau sudah diampuni, dapat menjadi sumber kebijaksanaan, tapi, dalam beberapa kasus, dapat
terjadi bahwa dosa menghalangi perbaikan (rekuperasi) total masa lalu dan membuat lebih
kompleks dan menderita kesempurnaan exemplar itu, yang dituntut dari orang kudus.

144
V. DISCERMENT
Aturan (hukum) inkarnasi dan dinamika simbolisme membuat ambigu (mendua) setiap even
(peristiwa) dalam perspektif salvifik karena artinya selalu lewat (melebihi) realisasinya. Juga hidup
spiritual terbentang dalam ambiquitas ini dan oleh karena itu harus diinterpretasikan: hidup spiritual
itu menuntut penajaman / pendalaman (discernment) berbagai proses interior dan berbagai desakan
(solisitasi) yang mereka tanamkan.

DISCERMENT SPIRITUAL

Umumnya, membuat suatu penajaman / pendalaman (discernment) spiritual berarti


menganalisa nilai ketegangan sendiri atau perobahan interior dan keinginan, yang berasal dari luar.
Jadi, penajaman / penegasan (discernment) adalah analisis, yang dilaksanakan dalam iman,
mengenai mosi interior, situasi, sirkumstansi dan orang-orang, dengan maksud untuk sampai pada
keputusan-keputusan yang berkatian dengan yang baik dan dengan kehendak Allah. Dengan kata
lain: “Discerment adalah suatu proses pencarian / penyelidikan orang yang berdoa untuk
memahami, dalam iklim kebebasan interior, asal-usul berbagai mosi yang dialami baik oleh grup
maupun oleh pribadi; discernment adalah suatu proses yang menghantar untuk menginterpretasikan
kehendak Allah dalam suatu situasi tertentu”. Atau, secara metaforik: “Discerment adalah suatu
aktus yang memungkinkan untuk menangkap / menerika kehendak Allah di antara berbagai suara
yang sampai kepada kita”. Yang terkait dengan discernment ialah pembacaan akan tanda-tanda
zaman mengenai emergensi aksi Allah melalui manusia yang beriman, di dalam proses histories.
Oleh karena tanda-tanda zaman itu dapat juga dilihat dalam bagian lain, maka perlu dilihat aturan
umum untuk discernment personal dan komuniter.

a. DOKTRIN BIBLIS

Ada suatu ajakan biblis yang terang untuk membuat pembedaan / penegasan (discernment)
akan roh-roh dan untuk membaca tanda-tanda zaman. Yesus mengatakan: “Pada petang hari karena
langit merah, kamu berkata: Hari akan cerah, dan pada pagi hari, karena langit merah dan redup,
kamu berkata: Hari buruk. Rupa langit kamu tahu membedakannya tetapi tanda-tanda zaman tidak”
(Mt 16,3). “Hai orang-orang munafik, rupa bumi dan langit kamu tahu menilainya, mengapakah
kamu tidak tahu menilai zaman ini? Dan mengapakah engkau juga tidak memutuskan sendiri apa
yang benar?” (Lk 12,56-57). Paulus juga, dari pihaknya, menasehatkan: “Janganlah padamkan Roh,
dan janganlah anggap rendah nubuat-nubuat. Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.
Jauhkanlah dirimu dari segala jenis kejahatan” (1Tes 5,19-22); atas cara yang sama, ia juga
mengajak orang-orang Romawi untuk “membedakan (discernere) manakah kehendak Allah: apa
yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rom 12,2) yaitu “apa yang penting”
dan meminta agar kasih orang-orang Filippi “semakin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan
dalam segala macam pengertian, sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci
dan tak bercacat menjelang hari Kristus, Tuhan” (Flp 1,9-10”. Sesungguhnya, Paulus menganggap
bahwa “pembedaan akan bermacam-macam roh itu” (1Kor 12,10) adalah salah satu dari kharisma
yang dianugerahkan oleh Roh Kudus. St Yohanes menulis: “Saudara-saudaraku yang terkasih,
janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab
banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia” 1Yoh 4,1), dan itu, menurut
Yohanes, adalah mungkin, karena: “Anak Allah telah dating dan telah mengaruniakan pengertian
kepada kita, supaya kita mengenal Yang Benar; dan kita ada di dalam Yang Benar, di dalam Anak-
Nya Yesus Kristus. Dia adalah Allah yang benar dan hidup yang kekal ” (1Yoh 5,20).
Komunitas-Komunitas kristen yang pertama telah melaksanakan discernment itu sejak
semula. Ini, misalnya, nampak ketika Matius dipilih untuk menggantikan Yudas (Kis 1,15-26),
ketika Paulus memutuskan untuk mempermandikan Kornelius (Kis 10), dan pada saat Konsili
(Yerusalem) yang pertama untuk menyelesaikan masalah hukum mosaik yang diinginkan oleh

145
sebagian orang kristen itu untuk diterapkan kepada orang-orang Kristen yang berasal dari kaum
kafir yang bertobat (Kis 15). Cukup solutif, dalam hal ini, kata-kata Yakobus di dalam sirkumstansi
ini. Dia kontra akan innovasi-innovasi itu, dan rujukannya pada hukum mosaik itu adalah yang
paling setia, dan ia menemukan alas an dalam tradisi untuk membenarkan sikap Petrus dan
menerima kebaruan-kebaruan sebagai respon pada kehendak Allah (Kis 15,13-21). Kalau dikaitkan
dengan Nabi Amos (9,11-12) Yakobus melihat kejadian-kejadian itu sebagai realisasi proyak illahi:
“Kemudian Aku akan kembali dan membangunkan kembali pondok Daud yang telah roboh, dan
reruntuhannya akan Kubangun kembali dan akan Kuteguhkan, supaya semua orang lain mencari
Tuhan dan segala bangsa yang tidak mengenal Allah, yang Kusebut milik-Ku demikianlah firman
Tuhan yang melakukan semuanya ini, yang telah diketahui dari sejak semula” (Kis 15,16-17).
Perlunya menafsirkan kehendak Allah – artinya melaksanakan discernment spiritual – telah
ikut menyertai Gereja dalam perjalanannya dan menuntut refleksi yang terus menerus. Karya ini –
yang sudah menjadi klasik dalam Gereja – telah menggariskan poin-poin seluruh sejarah
spiritualitas kristen.

b. OBYEK DISCERMENT

Mungkin, hal yang paling penting dalam hal ini ialah penentuan obyek spesifik discernment
ini. Obyek spesifik ini dapat menunjukkan modalitas untuk melaksanakan kehendak Allah dalam
situasi-situasi histories, yang diberikan kepada kita untuk dihidupi. Tidak dimaksudkan di sini untuk
mengetahui apa yang ditentukan oleh Allah bagi kita, atau peristiwa historis mana mewujudkan
rencana keselamatan Allah, karena tak satu pun peristiwa historis yang merealisir keselamatan
secara penuh dan menghubungkannya secara eksak dengan kehendak-Nya. Tidak pernah ada aksi
illahi dalam sejarah yang begitu murni dilihat sebagai suatu peristiwa yang mutlak perfek,
sementara yang lain benar-benar buruk. Oleh karena itu, setiap peristiwa historis dapat dihidupi
sebagai menyelamatkan, tetapi tak satu pun peristiwa historis yang begitu mutlak dapat
menghalangi ketidaksetiaan manusia walaupun dihidupi seturut dinamika-dinamikanya yang intern.
Jadi, sekaitan dengan kehendak illahi dan rencana keselamatan-Nya, setiap situasi adalah ambigu
dan tidak sama, berhubung karena dosa ada di dunia dan masuk begitu mendalam dalam pusat
sejarah. Akan tetapi, menegaskan (discernere) kehendak Allah berarti menunjukkan bagaimana
mengihdupi situasi-situasi historis dengan melaksanakan kehendak Allah, juga ketika situasi-situasi
itu dihidupi secara kurang memadai atau kurang perfek. Sesungguhnya, kehendak Allah tak pernah
sejajar sepenuhnya dengan peristiwa-peristiwa yang dihidupi, tetapi selalu melampauinya.
Kehendak Allah ialah menerima Injil, menunjukkan belaskasihan, menghidupi kesatuan, merealisir
persaudaraan, mengungkapkan pengampunan, membangun damai, dll. Tetapi tidak ada satu pun
peristiwa historis sedemikian yang dapat disamakan atau disejajarkan sepenuhnya dengan nilai-nilai
atau momen-momen itu. Jadi, menegasikan (discernere) berarti memahami dan mengalami sedapat
mungkin, dalam berbagai sirkumstamsi sejarah, mengaktualisasikan proyek illahi yang
disingkapkan dalam Yesus. Jelas bahwa tidak semua situasi historis memberi kemungkinan tersebut
sekaitan dengan nilai-nilai Kerajaan Allah. Untuk itu, penegasan (discernment) harus juga tahu
menguji berbagai sirkumstansi dengan terang kriteri-kriteri tersebut, dan harus menunjukkan
sirkumstansi historis mana dapat dimanfaatkan secara lebih baik untuk menghidupi Injil. Tetapi,
bagaimanapun, upaya prinsipil harus melihat sikap-sikap dan pilihan yang cocok untuk menghidupi
berbagai situasi historis, yang barangkali tidak perfek dan tidak cukup, tetapi yang selalu
melaksanakan kehendak Allah. Criteria salib, dalam hal ini, merupakan contoh yang pas. Yesus
telah berhasil melaksanakan kehendak Allah, yaitu menyingkapkan belaskasihan-Nya dan cinta-
Nya, bahkan juga dalam situasi yang jelas-jelas bertentangan dengan kehendak Allah, seperti dalam
situasi hukuman mati yang ditimpakan kepada-Nya, yang nampak sebagai suatu ketidakadilan dan
hukuman bagi pendosa berat.
Dalam prospektif ini harus dilihat juga pembacaan tanda-tanda zaman, yang merupakan
momen essensial penegasan (discernment) untuk keputusan-keputusan historis, terutama komuniter.
Penegasan (discernment) spiritual, terutama komuniter, mengandaikan pembacaan tanda-tanda
zaman yang dilaksanakan melalui model-model teologis yang tepat agar tidak jatuh ke dalam
interpretasi antropomorfistis akan aksi illahi dalam sejarah human. Setepatnya, obyek pembacaan

146
itu ialah aksi creatrix Allah yang nampak dalam setiap realitas tercipta, tetapi yang tetap diselubungi
dan sering dicemari oleh keputusan-manusia manusia atau oleh imperfeksi makhluk ciptaan.

c. KRITERI-KRITERI DISCERMENT

Kriteri referensi fundamental untuk penegasan (discernment) spiritual ialah hidup dan
pertumbuhannya, berhubung karena keselamatan adalah hidup yang dimiliki sepenuhnya. Maka,
oleh karena itu, buah-buah hidup itu adalah kriteri referensi itu secara mutlak. “Hal yang baik”
adalah sesuatu yang membuat pribadi-pribadi orang berkembang, yang membentuk pribadi-pribadi
itu dalam identitasnya dan yang membawanya kepenuhan abadi. Tetapi, oleh karena buah-buah
hidup itu dipetik sesudah ditunggu lama dan dianalisis dengan sabar, maka kriteri buah-buah hidp
itu tidak cukup untuk pilihan-pilihan (program-rencana) harian.
Oleh karena itu, maka perlu kriteri evaluasi (penilaian), kesementaraan dan kecondongan.
Kriteri-kriteri ini adalah aturan (hukum) atau tradisi sebagai indikasi perjalanan, pertemuan atau
dialog dengan yang lain untuk menganalisa buah-buah vital, resonansi harmonis dari interioritas
pribadi untuk melekatkan diri pada dinamika-dinamika keberadaan dan sejarah.
Kondisi (syarat) global untuk penegasan (discernment) ialah kesetiaan yang membuka
peluang untuk pemahaman akan hal-hal yang baru yang vital demi kesatuan dan kebersamaan.

d. DISCERMENT PERSONAL

Penegasan (discernment) personal ialah pengujian oleh iman akan kejadian-kejadian atau
peristiwa-peristiwa dalam eksistensi pribadi dalam menantikan atau menerima anugerah Allah yang
termuat dalam kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa itu, menerima anugerah itu dengan
keputusan yang tepat dan murah hati demi pertumbuhan dan perkembangan pribadi sebagai putra
dan untuk ditawarkan kepada sesame (saudara). Jadi, tujuan penegasan (discernment) itu ialah
pertumbuhan pribadi dan pembangunan Kerajaan Allah (1Kor 12,7; 14,12.26) atau kemuliaan Allah
(yaitu manifestasi kesempurnaan illahi secara human).
Momen-momen penegasan (discernment) personal itu ialah: doa, analisa situasi, dialog
sebagai saran, refleksi atas pengalaman masa lalu, dan keputusan.
e. DISCERMENT KOMUNITER
Aspek yang paling penting, tetapi juga yang paling sulit, dari penegasan (discernment)
profetis ialah penegasan (discernment) komuniter. Setiap kali, penegasan (discernment) komuniter
ini perlu pada saat suatu komunitas, suatu group, dan suatu keluarga harus memutuskan sesuatu di
sekitar situasi yang baru. Penegasan (discernment) komuniter adalah “suatu proses spiritual yang
melaluinya suatu komunitas, melalui Misa dalam komunitas di mana ada kesatuan pikiran dan cita-
cita, yang terlaksana dalam iklim iman dan doa, meresapi kehadiran aktif Allah dan tindakan-Nya,
sadar akan hal-hal yang telah disepakati untuk dilakukan dan akan cara-cara berbuat yang sudah
disetujui bersama, dengan syarat bahwa seluruh eksistensinya tetap berada di bawah pengaruh Roh,
dan “selalu melakukan apa yang berkenan kepada Allah (Yoh 8,19)”.
Momen-momen essensial penegasan (discernment) komuniter ini ialah dialog, doa
komunitas, dan refleksi. Dialog adalah tahap fundamental penegasan (discernment). Dialog ini
berguna untuk merumuskan masalah dengan baik, untuk menunjukkan seluruh komponen, dan
untuk mencari suatu solusi. Berdialog tidak hanya berarti memaparkan ide-ide sendiri, tetapi juga
mendengar orang lain dan siap berdiskusi. Sensibilitas pluralistik adalah kondisi (syarat) utama
untuk suatu dialog yang berbuah. Adalah sesuatu yang pluralistik kalau tahu menghormati dan
menghargai keberbedaan pendapat, dan mau melihat juga hal-hal dari sudut pandang (prospektif)
orang lain. Doa komunitas adalah momen kuat yang lain dari penegasan (discernment) komuniter.
Doa memungkinkan upaya menemukan pilihan-pilihan ideal, pencerahan pikiran-pikiran yang
sedang bergelut, pengendapan dan pelunakan ketegangan-ketegangan, pencahayaan kegelapan
batin. Ada banyak realitas yang baru nampak setelah lama mengamatinya dalam kegelapan, dan itu
hanya nampak bagi orang yang tahu berkontemplasi. Menjadi orang kontemplatif berarti tahu
mengarahkan pandangan melampaui permukaan hal-hal yang nampak dan menerobos kegelapan
peristiwa-peristiwa.

147
Tahap-tahap penegasan (discernment) komuniter bisa sangat berbeda-beda. Tidak akan
menguntungkan bila tahap-tahap itu ditetapkan secara ketat dan kaku. Hal itu sangat tergantung dari
kodrat komunitas, problem yang harus diuji, dan obyek keputusan.

f. VERIFIKASI DISCERMENT
Sikap penegasan (discernment) punya verifikasi dalam tindakan umum. Sesungguhnya,
penegasan (discernment) itu, kalau diarahkan seturut dinamika-dinamika otentik, harus juga
menggerakkan suatu sikap operatif yang benar. Kalau suatu saat diambil suatu keputusan umum,
maka orang yang tidak ikut mengambil keputusan itu harus juga sanggup ikut bergabung
sepenuhnya untuk melaksanakan keputusan itu, dan tidak boleh menganggap keberbedaan pendapat
sebagai alas an untuk tidak terikat atau untuk mengambil jarak. Siapa sanggup akan penegasan itu
maka ia akan berhasil untuk menunjukkan bagaimana melaksanakan kehendak Allah dalam segala
situasi, walaupun tidak selalu optimal dan tidak selalu cocok dengan saran-saram atau usul-usul
pribadi.

KONKLUSI
Hidup spiritual selalu memperhatikan sfere personal karena sfere itu terkait dengan identitas
manusia intern yang tumbuh hingga mencapai sosok putera Allah. Tetapi hidup personal pada
gilirannya dirangsang dan terus dibekali oleh struktur komuniter di mana si subyek lahir dan
berkembang. Oleh karena itu, kiranya akan merugikan kalau hanya menghargai sarana-sarana
individual hidup spiritual itu secara eksklusif, sementara sarana-sarana struktural dan komuniter
diabaikan. Barangkali sebaliknya dapat dikukuhkan bahwa subyek hidup spiritual adalah persona
(pribadi), tetapi landasan dasarnya ialah komunitas, yang menopangnya. Sarana-sarana prinsipil dan
paling penting dari interioritas disarankan dan ditawarkan oleh struktur sosial, yang kepadanya
pribadi dipercayakan, dan pribadi itu sendiri menyumbangkan sesuatu untuk perbaikan. Oleh karena
itu, suatu komunitas iman tidak bisa membatasi inisiatif-inisiatifnya pada lingkungan pribadi. Kalau
ingin menumbuhkembang-kan putra-putri Allah maka harus membekali / membutuhi lingkungan
sosial iman, harus menciptakan struktur berbagi, harus menanamkan harapan historis bahwa aksi
(perbuatan) dari Yang Baik, Yang Benar, Yang Adil dapat menemukan ruang emergensi yang cocok
dalam dunia manusia.

E. PERTUMBUHAN DAN KEMATANGAN


I. PERTUMBUHAN DAN KEMATANGAN
Kedua istilah ini tidaklah sinonim, tetapi saling berinteraksi satu sama lain, dalam arti bahwa
pertumbuhan itu menunjukkan suatu proses pertumbuhan volume (misalnya tubuh human, yang
hingga pada umur tertentu menambah dimensi-dimensinya); sekarang ini sedang direalisir suatu
modifikasi “qualitas” prestasi yang diperlengkapi oleh organisme sendiri dan bagian-bagiannya,
sedemikian, sehingga dapat menghadapi tuntututan-tuntutan eksistensial. Contoh yang paling khas
ialah embrio human, yang pada bulan ketiga sudah terbentuk dengan organ-organ secara
keseluruhan; pada bulan-bulan berikutnya organ-organ itu mengembangkan dimensi-dimensinya,
yaitu fungsi-fungsinya sesuai dengan tuntutan hidup yang harus dipasok dari luar. Sesudah sampai
pada umur tertentu (pemuda), tubuh tidak lagi bertambah tinggi dan dimensi fundamental organ-
organnya pun tidak lagi bertambah, tetapi dapat bertumbuh dalam volume (proses penggemukan,
perkembangan otot-otot karena latihan fisik). Kondisi yang ideal ialah kalau tercapai berat-bentuk

148
badan yang konstan, yaitu tidak gemuk dan tidak kurus, dan demikian terus sesuai dengan struktur
tubuh (elemen dasar, seturut faktor genetik, familiar, dan lingkungan).
Walau dimensi-dimensi tubuh terbatas (karena hokum kodrat), tetapi perkembangan fungsi-
fungsi tubuh itu selalu mungkin, dalam arti memperbaiki secara qualitative, melalui perilaku, yang
bisa bervariasi seturut lingkungan, di mana orangnya hidup. Yang paling penting ialah
pengembangan satu organ tubuh yang menjadi pusat pengatur seluruh hidup, yaitu otak. Qualitas
hidup seseorang tergantung dari kondisi dan fungsi otak ini. Sejak kelahiran, kita sudah mempunyai
sejumlah sel yang kemudian semakin bertambah kalau kita sudah dewasa, dan sel-sel ini akan
semakin sempurna dalam perjalanan waktu dan akan semakin berkembang dalam bobotnya;
sekarang ini dilihat bahwa otak punya kemungkinan berkembang dalam apa yang disebut “hidup
mental”. Dengan kata lain, sementara organ-organ tubuh yang lain akan berhenti dalam
perkembangannya dalam limit waktu tertentu, sebaliknya, hidup mental berkembang terus melalui
pelajaran yang diterimanya dan selalu mendapat kapasitas yang baru, menyerapnya dan
menggunakannya dalam perjalanan eksistensinya sesuai dengan kebutuhannya di lingkungannya,
dan sesuai dengan tujuannya yang khusus. Jadi, otak itu adalah organ yang berkembang / bertumbuh
terus secara fungsional hingga tak terbatas, dan hanya karena keterputusan generasi oleh karena
proses ketuaan atau oleh karena sakit atau mati, baru ia berhenti belajar: kita tahu bahwa hingga
umur 80-90 tahun pun selalu mungkin belajar akan sesuatu; jadi, kemungkinan belajar itu selalu
ada.
Yang dimaksud dengan “hidup mental” ialah seluruh kompleks aktivitas yang dikomandoi
oleh otak, yaitu bagian-bagian kognitif dan affektif, proses sosialisasi, motivasi-motivasi secara
bersama-sama, hal-hal ideal (social, politis, religius selain yang individual), juga tidak ketinggalan
pengaturan sikap yang muncul dari hal-hal tersebut. Jadi, spiritualitas juga termasuk dalam hidup
mental itu, masuk dalam proses-proses psikologis; hal yang membedakan (mengkhususkan)
spiritualitas itu ialah penempatan khusus motivasi-motivasi, interpretasi-interpretasi hidup, nilai-
nilai atau relasi-relasi dengan diri sendiri dan dengan yang lain. Suatu keistimewaan “qualitatif”
akan “isi” mental dan sikap yang terinspirir pada spiritualitas tersebut. Observasi ini nampaknya
perlu, karena sering dianggap bahwa spiritualitas adalah sesuatu yang berada di atas psikologi
(sebenarnya ini adalah cara pandang lama); sesungguhnya, spiritualitas itu ambil bagian dalam
psikologi, yaitu sebagai dinamika hidup mental dalam totalitasnya dan juga sebagai dinamika studi,
dan sebagai pengetahuan ia adalah relatif terhadap dinamika itu. Oleh karena itu, konsekwensinya
ialah bahwa psikologi mempelajari juga spiritualitas, sebagainana juga dipelajari filsafat, sastra atau
ilmu alam, ekonomi, sambil / dengan mengamati (mengobservasi) proses-proses (yaitu
“bagaimananya”) yang membawa / mengarah kepada suatu isi / muatan mental tertentu dan suatu
sikap / perilaku tertentu. Studi akan proses-proses pikiran, studi akan proses-proses emosi yang
menyertainya, studi akan proses-proses hal-hal ideal yang merangsang riset (pencarian) akan
“kebenaran”, studi akan proses-proses relasi interpersonal dan ikatan-ikatan yang terbentuk di antara
kelompok-kelompok dan populasi yang beraneka ragam, adalah tugas psikologi yang terbagi-bagi
dalam berbagai cabang seturut tuntutan metodologi yang ketat.
Jadi, kritik reduksionisme atau materialisme yang sering dilontarkan pada ilmu psikologi ini
adalah tanda penghambat dan tanda ketidakmengertian akan fungsi ilmu ini; kita tahu bahwa studi
psikologi akan fenomen religius telah memberi kontribusi besar, tanpa mengurangi arti eksistensial
religiositas dan religi (agama) institusional, sambil / dengan mengklarifikasi motivasi-motivasi dan
penyimpangan-pengyimpangan, dan sebagai konsekwensinya memberi kepada fenomen itu sendiri
kemungkinan perbaikan baik pada level teori maupun pada level sikap. Jadi, yang dimaksud ialah
kontribusi pada perkembangan “qualitatif” fenomen religius, yang tidak menyinggung, misalnya,
soal isi wahyu; bahkan sebaliknya, dalam kasus tertentu, mengukuhkannya.
Konsep kedua yang perlu dijelaskan ialah “normalitas”, yang sering disamakan ataupun
dipertentangkan dengan “kematangan” (“maturitas”).
Istilah “normalitas” (normal – biasa) dipakai dalam dua arti, yang tidak sama dengan yang
lain: yang pertama memaksudkan “kesehatan”, baik fisik maupun psikis; yang kedua memaksudkan
suatu nilai ideal, suatu utopi yang perlu dicapai.
Normalitas sebagai “kesehatan” berarti “ketiadaan penyakit” dan status baik secara global.
Karena normal, maka seseorang merasa baik (enak), teradaptasi dengan baik dengan lingkungan di
mana ia hidup, melakukan apa yang dilakukan oleh semua orang, dan bekerja, mencintai dan

149
membentuk keluarga dan berrelasi secara effektif dengan orang lain, ambil bagian dalam hidup
sosial dan percaya / yakin akan sesuatu, yang dapat bermuatan “natural” secara elok / manis,
“laicus” dalam arti luas, atau lebih spesifik “religius”. Segala sesuatu dengan batas-batasnya
sekarang ini kita sebut “statistik”. Sebenarnya, konsep normalitas, terutama, adalah konsep statistik,
artinya dirujukkan pada hasil riset atau hal-hal yang menonjol dalam masyarakat. Dari riset itu
muncul “distribusi” sikap / perilaku (juga dalam arti mental) sebanyak 64% dari subyek yang
distudikan; di luar dari yang 64% itu adalah mereka yang berperilaku lain, yang “berbeda” (yang
lebih atau kurang ari yang distudikan itu). Maka, untuk suatu kalkulasi yang tepat (eksak) dari
normalitas perlu menentukan “kriteri”, kriteri variable karena tidak mungkin mempelajari fenomen
secara global. Hidup ini sangat kompleks, dan sifat-sifat (variable) yang dipelajari, praktisnya tak
terbatas. Karena itu, maka ditetapkan, misalnya, untuk mempelajari level perkembangan kognitif
(IQ), level kultural, yang direfleksikan pada isi tertentu (persekolahan, misalnya), level
perkembangan emotif atau sosial, dll. Dari relasi antar sifat-sifat ini muncul suatu gambaran, yang
dapat menunjukkan bagaimana pada umumnya (mayoritas) orang-orang berperilaku dalam
lingkungan tertentu, dalam masyarakat, suku, level sosial, dll.
Oleh karena itu, kriteri normalitas merupakan hal yang pokok untuk banyak interpretasi
yang beranekaragam. Ada suatu penilaian approximatif, justru untuk cara berpikir umum, seturut
mana “dimasuki” normalitas seseorang; bagaimanapun perlu harus sangat hati-hati dalam menilai.
Kriteinya ialah kriteri “medietas” (kemediuman), kriteri “medium” di antara banyak yang lain;
tetapi ini adalah kriteri yang sangat labil. Sebaliknya, kriteri statistik yang ketat akan sangat berguna
dalam (untuk) menilai distribusi karakter human, walau, seperti sudah dikatakan, restriktif untuk
sifat-sifat yang diobservasi.
Arti kedua dari normalitas itu ialah arti relatif dari suatu nilai yang ideal, pada suatu status
yang diinginkan oleh semua orang yang menunjukkan pemungsian optimal kepribadian. Yang
dimaksud ialah suatu utopia, suatu profil sikap (perilaku) dan motivasi di mana barangkali
dimanifestasikan apa yang lebih baik dari yang lebih baik dari (dalam) kodrat human. Perlu diingat
dalam (hal) istilah ini, bahwa utopia tak akan pernah tercapai (sepenuhnya), karena kita tidak tahu
apa itu sebenarnya “yang lebih baik” dalam arti mutlak, (mungkin) dapat kita andaikan
(hipotesekan) bagaimana kelak keberadaan human pada masa yang datang, dalam proses
menjadinya yang terus-menerus tanpa henti-hentinya, dalam kemungkinan-kemungkinannya yang
tak terbatas akan perkembangan (untuk berkembang). Jadi, kalau demikian, utopi itu tidak berguna?
Non sense. Utopi adalah suatu rangsangan untuk perkembangan; kesadaran bahwa dapat “menjadi”
(“proses menjadi”) lebih baik; ungkapan pemahaman bahwa kemanusiaan tidaklah sama sekali
statis, tak bervariasi (tak bersifat), tetapi tumbuh terus dalam “qualitas”. Tanpa utopi, kemanusiaan
(prosesnya) barangkali akan berhenti dan lebih buruk. Tetapi, sebaliknya, perlu memegang utopi,
tanpa melupakan fungsi terbatas rangsangan, bahkan melihatnya (menganggapnya) sebagai tak
terjangkau.
Suatu cara bicara yang sama dapat juga dipakai untuk konsep maturitas (kematangan), yang
dapat dipakai dalam psikologi klinis, pedagogi, pastoral. Di sini pun kita punya (pakai) kriteri
penilaian “statistik” dan kriteri “utopis”. Kriteri penilaian statistik melihat level-level
perkembangan masing-masing umur dan direferensikan pada “normalitas” pertumbuhan fisik dan
psikis sehubungan dengan umur individu yang sedang dalam observasi. Mungkin dapat dikatakan
bahwa ini adalah konsep yang lebih (paling) komprehensif dan paling global bila dibandingkan
dengan konsep normalitas yang sebelumnya, dalam arti bahwa dinilai kepribadian (personalitas)
secara keseluruhan; tetapi ada juga kriteri penilaian sehubungan dengan sifat-sifat dalam
perkembangan kognitif, kapasitas pemahaman akan fenomen-fenomen affektif dan sosial, sifat-sifat
emotif dan perilaku-perilaku. Seorang bayi yang berumur satu tahun, misalnya, sudah dapat disebut
“matang” (“maturus”) kalau ia sudah mencapai berat tertentu, kalau ia sudah mulai berjalan dan
mengucapkan sekitar lima kata, kalau ia sudah mulai mempunyai 4-6 gigi, kalau ia diberi nutrisi
dengan aneka makanan (tentu yang “cocok” selalu), kalau ia sudah bisa bersosialisasi dengan orang
lain, sekurang-kurangnya pada awalnya dengan berbagai orang dari keluarga, dengan / sambil
mengatasi ketakutan akan orang asing, dst. Tetapi untuk seorang dewasa kurang gampang berbicara
mengenai kematangan, karena hidup seorang dewasa punya banyak manifestasi. Seseorang dapat
dianggap dewasa, bila ia: sudah mencapai suatu medium pemahaman akan faktor-faktor kultural
(tidak hanya skolastik) dari lingkungannya; bertanggung-jawab dalam pilihan-pilihan

150
komportamental (perilaku); punya rasa hormat tertentu akan diri sendiri dan orang lain; tahu bekerja
dan mengelola uangnya secara langsung; dapat mengatasi ketidakpastian seksual, dengan memiliki
sikap yang benar (dalam atau di luar perkawinan); mempunyai hal-hal yang ideal dan ambil bagian
dalam hidup kelompoknya; akhirnya: merasa tenang secara relatif bahwa sudah merealisir cita-
citanya dan sudah dapat melihat masa depannya dengan suatu keyakinan yang pasti.
Jadi, di sini, sebagaimana sudah dilihat, yang dimaksud ialah informasi-informasi atas maturitas
yang digali dari pengalaman dan dari observasi akan sikap-sikap / perilaku-perilaku individual dan
kollektif.
Konsep lain tentang maturitas, dalam arti utopis, dan barangkali juga yang dapat dilihat
sebagai sinonim: individu yang matang ialah individu yang perfek atau hampir perfek. Tetapi, kita
tahu bahwa hal itu tidak mungkin dan bahwa suatu kematangan (maturitas) jenis ini berarti “ideal”
untuk dicapai, dan tidak pasti untuk dapat mencapainya.
Oleh karena itu, cara bicara relativistiklah yang dapat mengarahkan definisi kata-kata yang
dipakai untuk melukiskan kematangan itu: artinya, kata-kata itu pun punya nilai praktis, dalam arti,
memberi arah pada situasi seseorang, setelah memahami dan mengevaluasinya, terutama untuk
sasaran yang hendak dicapai, sesuai dengan pertolongan yang diberi, atau pedagogis, atau
psikologis, atau pastoral, atau terapeutik.
Kemudian, perlu lagi memperjelas konsep normalitas dan maturitas: kriteri statistic tidak
menunjukkan uniformitas (keseragaman) karakteristik, tetapi hanya kesamaan muatan (kematangan
itu) dan perilaku. Kalau psikologi klinis dikatakan berperan, maksudnya ialah dalam
menggarisbawahi dengan jelas (dalam menekankan dengan kuat kekhususan setiap individu, pun
dalam lingkup normalitas [kematangan]). Sudah puluhan tahun yang lalu dirumuskan individu
human sebagai suatu realitas unik dan tak ada duanya (tak terulangi); setiap individu dicirikan oleh
kekhususan-kekhususan, baik fisik maupun psikis, yang menghambat “pembauran” dengan individu
yang lain. Juga, dalam rilevasi statistik yang ketat nampak fenomen “perbedaan / keberbedaan
dalam kematangan (normalitas)”. Jadi, normal (matang) tidak berarti semua sama, tetapi tidak sama,
baik dalam sikap / perilaku, aspirasi, karakteristik fisik dan psikis yang dimiliki secara umum.
Hanya dalam perbedaan / keberbedaan yang sangat hebat, dapat disebut non-normalitas, anomaly,
“perbedaan yang sangat nyata”. Tapi, di sini pun perlu merumuskan dalam hal apa perbedaan /
keberbedaan itu, karena kekurangan yang berat (handicap, penyakit fisik atau mental yang berat
situasi social yang sangat terganggu, dll), atau apakah karena individu yang satu lebih pintar atau
lebih “original” dinamikanya dari yang lain, atau lebih “kreatif” atau seorang “genius” dalam
memilih dan bersikap (seorang pribadi bisa berbeda dari yang lain, seperti Ibu Teresa dari Kalkutta,
misalnya, karena pemahanan dan perasaannya akan kemanusiaan lebih tinggi dan lebih peka dari
yang lain; atau seorang akhli yang menemukan hokum-hukum / teori-teori baru).
Sekarang ini banyak dibicarakan mengenai masalah-masalah “perbedaan”, dalam arti yang
lebih negatif daripada positif; orang yang satu berbeda dari yang lain karena kebutuhan yang
berbeda, atau karena cacat, atau karena berbeda ras. Tidak bisa semua disatukan / disamakan dalam
satu penilaian, tetapi harus diobservasi dalam kekhususan (spesifikasi) perbedaan / keberbedaan itu.
Kriteri statistic yang diterima dalam bagian riset scientific memberi pertimbangan demikian:
“perbedaan” / “keberbedaan” antara “normalitas” dan diversitas dari banyak faktor dan membentuk
suatu kesinambungan, bukan kepingan-kepingan. Pasti ada suatu lompatan qualitatif, tetapi
dinamika-dinamika psikologis nampak normal dan berbeda dan berkembang secara analog dalam
beberapa sektor kepribadian. Kalau perbedaan / keberbedaan badaniah, itu biasanya tergantung dari
faktor-faktor genetik atau kadang-kadang dari penyakit yang tak tersembuhkan, dalam bidang
psikis, dan terutama dalam bidang affektif, rasa hormat, pengakuan akan hak-hak (dan kewajiban-
kewajiban), kebutuhan akan sosialisasi dan pertolongan. Observasi ini haruslah menolong untuk
mengatasi “ketakutan untuk berbeda”, yang menyangkut (kena pada) hampir seluruh kemanusiaan
(dan oleh karena itu bisa saja “normal” dalam arti statistik, tetapi tidak “berguna” untuk hubungan
sosial) – dan membawa pada (sikap) penerimaan yang toleran akan keberbedaan, tidak hanya untuk
teori awal atas nilai keberadaan human, tetapi juga untuk menyatakan pembentukan cara berada kita
secara umum dan bersama-sama. Ini adalah masalah serius yang dilihat secara positif dan negative
dalam sikap / perilaku individual dan sosial yang sedang diobservasi.
Sebenarnya, ada bahaya menyamakan normalitas dan conformisme, dan akibatnya tentu saja
anormalitas dan non-konformisme, originalitas dan individualisme. Dalam kenyataannya seorang

151
pribadi “normal” masuk (menyelinap) dalam lingkungan di mana ia hidup, tetapi (sekaligus)
menyimpan suatu sikap kritis terhadap lingkungan itu sendiri dna tidak menutup kebebasannya
untuk berefleksi dan untuk memilih sikap (bersikap). Kalau kadang-kadang terjadi “tidak
konformist”, itu berarti bahwa ada vitalitas pemikiran, motivasi dan aspirasi. Konformisme, pada
umumnya, adalah penyangkalan akan kekhususan (singularitas) sendiri, untuk melarikan diri dari
kungkungan aman (rumah keong) passivitas, yang nampaknya seolah-olah merupakan suatu
perlindungan (proteksi). Juga konservatisme masuk dalam proteksi aman ketidakbertukaran
(kemapanan), tetapi itu adalah pertanda minimnya vitalitas.
Dengan observasi terakhir ini maka dapat disimpulkan bahwa “normalitas” adalah suatu
proses perkembangan yang terus menerus, suatu pertumbuhan berlanjut dengan mengikuti hokum
kodrat dan dengan mengikuti perjalanan-perjalanan itu, yang ditunjukkan oleh kultur (dalam arti
antropologis) sebagai garis direktif sikap yang “berguna” untuk mengikuti perkembangan itu.
Terakhir, normalitas berarti mengikuti dorongan vital menuju tujuan yang belum banyak kita tahu
tentangnya, tetapi yang nampak bagi kita sebagai dirindukan dan pas untuk kita dan untuk orang
lain. Kemudian, akan menjadi tugas setiap orang dan terutama para pendidik menyarankan yang
mana dari tujuan itu dapat dicapai dan dengan sarana apa dan dengan batu uji apa.
Dalam “kursus (perjalanan) spiritualitas” nampaknya begitu penting bertolak dari kriteri
relativisistik ini, oleh karena setiap individu bisa saja siap merealisir tipe hidup mental ini yang
disebut “spiritual”, dengan motivasi, metode, sikap / perilaku yang begitu personal (pribadi),
sekalipun dalam penerimaan umum normalitas. “Kata ‘spiritual’ – kata P. Evdokimov –
mengarahkan kepada Roh Kudus dan menunjukkan (mendesain) level keberadaan sendiri pada
‘kelahiran dari atas’, pada ‘misteri nupsial’ (misteri pernikahan); menyingkapkan fenomen awal
setiap keberadaan human dengan melihat asal-usul surgawinya. Karena tidaklah hanya dalam
sejarah, tetapi juga dalam kedalaman spirit human (bahwa) Kristus lahir, mati dan bangkit: baptisan
menspesifikkan hal itu. Dalam interioritas inilah diikat hubungan antara Allah dan manusia dan
dijejaki perjalanan hidup rohani”. Kesadaran akan kehadiran interior inilah yang perlu dihidupi
dengan intensitas mayor dan minor, tetapi fenomen itu adalah umum untuk semua, dalam arti bahwa
semua orang karena kodrat dan rahmat, disiapkan terlebih dahulu pada pemahaman akan suatu
hubungan dengan Yang Lain, dari-Nya mereka berasal. Perbedaan antara individu-individu ada
hanyalah dalam perbedaan anugerah dasar, disponibilitas, kapasitas merealisir.
Bukan di sini tempatnya untuk membuat daftar kemungkinan variasi dalam bidang normalitas dan
kemungkinan perbedaan yang keluar dari normalitas itu, karena untuk itu perlu memakai yang
berasal dari psikologi klinis atau psikiatrix. Yang menarik ialah observasi bahwa ada “godaan”
untuk mengkatalogkan individu-individu seturut perbedaan spesifik mereka dan hingga sampai
menyusun suatu “karakterologi”, yang sangat disukai dalam psikologi puluhan tahun yang lalu,
tetapi yang sekarang sudah dilampaui berkat sumbangan yang diberikan oleh studi mengenai
motivasi-motivasi. Karakterologi adalah suatu percobaan (tentatif), karena akan aman untuk dapat
membagi individu-individu dan grup-grup individu dalam kategori yang persis, sehingga dengan
demikian mungkin akan lebih gampang masuk dalam hubungan dengan mereka dan menemukan
“metode yang pasti” untuk memahami dan mendidik mereka. Tetapi, realitas psikis sangat “cair”
dan semua percobaan-percobaan / upaya-upaya yang diarahkan oleh sekolah-sekolah karakterologi
tidak begitu membantu bagi pedagogi, psikoterapi atau pastoral. Sekarang ini seorang pribadi dilihat
dalam keunikannya dan dalam ketidakterbagiannya (keutuhannya). Kategori-kategori yang fix,
tetapi yang dicoba memahaminya, dengan aneka metode, sejauh dapat diketahui, yang mana yang
merupakan kemungkinan-kemungkinan perkembangannya, motivasi-motivasinya untuk bertumbuh
atau tetap dalam skema-skema perilaku yang tidak cocok dengan usianya dan kondisinya, yang
mana yang merupakan ideal-ideal dan tujuan-tujuannya, realistis atau utopis, yang mana biografi
interiornya dan yang mana yang merupakan pergaulan sosialnya. Mungkin saja segala sesuatu dapat
dikorelasikan, yang didekati dengan bijaksana, hati-hati, kapasitas mendorong pada kemajuan
global dan – dalam pokok kita – spiritual. Maksudnya ialah mendongkrak (membangkitkan)
beberapa dinamika, harapan-harapan / cita-cita, yang padanya berpusat dorongan dan pertolongan.
Semua hal ini begitu kompleks dan oleh karena itu orang tua sering menemui kesulitan menghadapi
anak-anaknya, yang bertumbuh dan memerlukan bimbingan karena mereka masih muda; juga,
karena dalam lingkungan religius begitu sulit memperoleh hasil yang meyakinkan, dalam arti
merealisir suatu religiositas yang inteligen, yang berlandasan pada iman yang bukan merupakan

152
superstisi (takhyul) atau kelekatan conformist yang mendangkal (superficial) atau sikap passif
ketaatan yang tanpa kritis dan tanpa pertanggungjawaban. Lagi, oleh karena begitu sulit
membimbing kepada “spiritualitas”, sebagai pengakuan akan nilai-nilai yang mendalam, seperti
disebut di atas. Kekompleks-an masyarakat di mana orang hidup menghambat rumusan / formulasi
mana pun untuk tipe karakterologi, karena kultur lingkungan terus berobah-obah (bervariasi) dan
juga menuntut variasi (perobahan) motivasi dan penyesuaian.
Jadi, tidak mungkin mendefinisikan seorang pribadi? Bukanlah tidak mungkin, tetapi dengan syarat
bahwa dirumuskan dengan istilah / terminology “dinamis”, yaitu dengan variabilitas (sifat
bervariasi) dan bukan dalam istilah / terminology statis, oleh karena hidup psikis, juga kalau
nampaknya berhenti, nyatanya selalu dalam pergerakan (bergerak), sehingga dengan demikian
selalu dibentuk “kebaruan”, dalam arti, baru terhadap situasi sebelumnya. Ketak-terprediksi-an reasi
terhadap kondisi tertentu dapat membingungkan / menggagalkan, tetapi itu adalah symptom vitalitas
dan tendensi kodrati pada variasi.
Riset scientifik (ilmiah) dan pengalaman individual dapat menolong, dalam arti, bahwa dengan
memberi informasi, baik mengenai normalitas, maupun mengenai perbedaan-perbedaan yang
mungkin terjadi, memberi sautu sarana pemahaman dan terutama memungkinkan untuk tidak
terpaku mati pada kategori yang menghambat keterlibatan eksistensial. Suatu kekeliruan umum
ialah memakai definisi scientifik (ilmiah) untuk “mengkapsul” baik keterlibatan maupun
pembicaraan akan “kasus” dalam observasi. Disebut “kasus” di sini adalah dalam arti generic,
kesempatan pertemuan, bukan dalam arti patologis dan medis. Lebih lagi, riset scientifik (ilmiah)
berguna untuk memberi saran akan metode untuk intervensi, dengan memilih salah satu dari yang
diperlihatkan sebagai yang paling pantas / layak untuk sampai pada suatu hasil. Misalnya, kalau
dilihat atau masuk dalam bidang pastoral, akan berbeda ulasan kalau berbicara dengan suatu grup
(di mana harus cocok dengan karakter umum) atau kalau berbicara dengan seorang individu (dengan
mana hubungan pasti lebih mendalam dan lebih spesifik).
Konsekwensi ialah bahwa perlu membuat diri sendiri selalu lebih “mobil” secara interior, lebih
fleksibel, lebih sanggup mengenal juga pada level intelektual variabilitas-variabilitas realitas dan
menerima, pada level emotif, kesusahan / kesukaran untuk kontak dengan emotivitas yang berbeda-
beda, yang motivasinya kadang-kadang dapat juga lari (menghindar) dari seorang pemngamat yang
tajam. Mobilisasi interior sikap sendiri pada relasi interpersonal membentuk fundamen
kemungkinan untuk membangkitkan dalam diri orang lain suatu mobilisasi interior yang cocok;
kapan dan bagaimana hal itu mungkin dapat terjadi, sering tak dapat diprediksi, dan itu termasuk
“misteri” dinamika psikologis individual. Juga, bisa saja perlu bertahun-tahun agar mobilisasi ini
teruji; tetapi, bukanlah tidak mungkin bahwa hal itu dapat diuji.
Tugas orang yang memilih untuk masuk dalam hubungan yang mendalam dengan orang lain, untuk
membimbing mereka kepada kematangan spiritual yang cocok dengan kemungkinan-kemungkinan
yang ada pada mereka, adalah perbuatan sensibilitas dan inteligensi, baginya kultur, dalam arti
instruksi dan formasi, memberi support yang begitu berguna. Kemudian, setiap orang bertindak
seturut karakteristik personal sendiri.

II. HIDUP DALAM KRISTUS DALAM ROH


Psikologi bertanya apa kiranya arti kebesaran Kristus, tidak terutama dari sisi histories, tapi
dari segi kelekatan pada ajaran-Nya. Seorang Psikoanalisis pernah mengatakan bahwa “Kristus
adalah simbol dari aku yang bertumbuh”. Ini adalah rumusan yang diberikan oleh seorang asing,
tapi bukan tak berarti bagi nilai religius kristen. Kristus telah memaklumkan perlunya
perkembangan iman: dalam hal ini Injil Yohanes sungguh fundamental, yang menekankan
hubungan Kristus-Allah, tetapi juga yang menebar pesan mengenai dorongan yang terus-menerus
untuk menyempurnakan diri sendiri dalam perkembangan iman seturut model hidup ini. Bahkan,
Kristus dirumuskan sebagai “Hidup”, “Cahaya” yang menerangi setiap orang, artinya, “suatu
kehadiran yang tak henti-hentinya” dalam keberadaan human.
Lepas dari pemikiran teologis, model hidup yang disarankan oleh Kristus ialah pelekatan
total pada “kodrat anak-anak Allah” sendiri; ini adalah sebagai indikasi / petunjuk bagi arah
perkembangan yang benar bahwa, di dalam kedalaman aspirasi bagi sesuatu yang signifikatif, ada

153
kebutuhan untuk membuat berkembang arti dan “nilai” dari keberadaan sendiri, yang hadir dalam
semua peradaban. Jadi, melekatkan diri pada Kristus berarti menemukan tidak hanya fundamen
keberadaan (eksistensi) sendiri (Dia adalah Hidup), tetapi juga menemukan garis direktif yang
barangkali memberi sedikit keyakinan dalam pilihan personal. Individu human mempunyai
kemungkinan pilihan yang tak terbatas, pada awalnya, dan ketakterbatasan / ketaktentuan ini dapat
juga membawa orangnya kepada kesusahan akan ketidaktahuan “bagaimana” dan “mau berbuat
apa” untuk merealisir kebutuhannya untuk kepenuhan. Oleh karena itu, ada keharusan untuk
memilih satu atau lebih “model” yang selalu dikonfrontir, untuk menemukan pengarahan minimal
pada awalnya.
Identifikasi adalah suatu proses yang lahir pada saat keberadaan human yang masih kecil
(baru lahir) sadar bahwa sudah exist dan tidak lagi dalam simbiose dengan ibu atau lingkungan,
secara mendalam mengassimilasikan sikap-sikap / perilaku intern dan ekstern orang-orang yang
dengannya ia kontak. Identifikasi-identifikasi itu terjadi secara tak sadar, bervariasi / berubah-ubah
secara ekstrim berganda, dan merupakan bantuan besar justru karena memberi “bentuk” / “forma”
ketaktentuan awal, dan menyalurkannya dalam satu arahan (direksi) yang nampak memuaskan.
Dengan pertumbuhan kebutuhan-kebutuhan existensial dan dengan perkembangan kemungkinan-
kemungkinan kritis, model-model untuk identifikasi ini nampak selalu kurang dalam beberapa
bagian atau tidak cocok dengan kebutuhan-kebutuhan khusus orang-orang dan terutama untuk hal-
hal yang menghambat ekspressi yang lebih genuine. Pada masa dewasa (adolescens) dilihat
berbagai model, dan kemudian darinya dipilih, hingga mengangkat apa yang paling cocok dengan
ideal hidup sendiri. Tetapi, ketidakcukupan model itu secara kodrati, yang terdiri dari orang-orang
yang tidak sempurna, menumbuhkan kesulitan untuk memilih, dalam suatu momen dari keberadaan
(existensi) di mana barangkali perlu mempunyai petunjuk (indikasi yang jelas) untuk masa depan.
Sekaligus, pada waktu yang sama, model-model itu dapat bersifat memaksa, menindas (oppressif),
kurang memberi nilai, dan kebutuhan untuk “memberi arti pada hidup” dipertajam.
Maka, Model-Kristus, kalau demikian dimaksud, menjadi sugestif secara ekstrim, karena
Kristus adalah “segalanya”, Ia adalah pusat keberadaan sejauh menghadirkan nilai-nilai essensial
hidup, tanpa “perintah” / pengaturan dari luar. Pemunculan ikonografi hanya menunjukkan
percobaan untuk melukiskan “suatu kemanusiaan” sebagaimana adanya karena dicocokkan dengan /
kepada seluruh momen (zaman) dan bisa saja atas cara tertentu direinkarnir dalam seluruh zaman,
dengan mencocokkannya dengan seluruh peradaban, atau lebih tepat lagi, dengan memberi arti pada
seluruh variasi cultural, oleh karena tak dapat dirumuskan secara temporal.
Dalam teorisasi psikologis Aku adalah bagian “organisatrix” seluruh personalitas dan inilah
yang condong untuk mengembangkan diri (berkembang) hingga pada yang tak terbatas, seturut
kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh realitas. Oleh karena itu, Aku adalah essensi
manusia, yang ingin dilukiskan kemudian. Ia adalah “hidup mental” dalam totalitasnya, seperti
inteligensi, cinta, kehendak, sosialitas, operativitas. Dalam arti ini identifikasi si Aku dengan Kristus
dapat digabungkan / sepadan secara perfek dengan struktur keberadaan human. Aku yang human
ini, yang mencari suatu model pengarahan eksistensial, meneruskan, dalam Kristus, “arah” (direksi)
essensial dan identifikasi dengan-Nya adalah aspek yang paling menjamin dan paling
menghidupkan dalam perjalanan hidup yang sulit. Fakta bahwa “sikap” / “perilaku” Kristus
nampaknya begitu sedikit dilukiskan dalam Injil Yohanes (dan juga dalam Injil Sinoptik), ini adalah
signifikatif: orang Kristen pertama tidak meminta “norma-norma” (aturan-aturan) praktis, tetapi
mencari “ratio vitae” pada saat kesusuhan berat psikologis, dalam pembauran berbagai kultur yang
saling bertentangan. Sekarang ini pun hal yang sama menuntut “arti” (yang ada) di balik sikap /
perilaku yang dihukumkan / dinormakan, menggerakkan (agitasi) kesadaran yang dapat lebih
sensitif dan sentralitas keberadaan muncul lebih dari pada saran rumus-rumus. Oleh karena itu
Model-Kristus cocok untuk menjawab pertanyaan mengenai arti hidup ini, cocok untuk menjawab
tuntutan untuk mengaffirmasi kembali nilai manusia, cocok untuk menjawab perlunya damai yang
benar, cocok untuk menjawab penghadiran kemungkinan ikatan antar manusia, yang kiranya
mengatasi interesse kelompok.
Hidup “dalam” Kristus berarti mengakui bahwa totalitas Warta-Nya memberi jawaban pada
tuntutan yang lebih medalam; yang sulit ialah bagaimana dapat berhasil dalam kesulitan yang begitu
rumit mengangkat perlunya sentralitas dan pengatasan (solusi) partikularisme konkrit.

154
Model-Kristus mendorong untuk menghargai kebenaran, cinta, persaudaraan, iman akan apa
yang tidak dapat dimengerti, tetapi bahwa “dirasa” ada, pengharapan bahwa segalanya tidak sesuai
dengan atau habis dalam hal-hal yang konkrit dan secara langsung, arti sengsara yang bertujuan
untuk perkembangan spiritual, pengatasan (mengatasi) akan rasa takut akan kematian dan
penerimaan akan kebertukaran (keberlanjutan) generasi, sebagai keberlanjutan species, dalam
essensinya sebagai homosapiens, manusia yang “mengerti dan merasakan (mencicipi)” hidup dalam
totalitas ketakterbatasannya yang temporal.
Proses identifikasi menghasilkan assimilasi interior dengan model: untuk itu seluruh hidup
terikat untuk merealisir dalam diri sendiri “perasaan-perasaan” yang sama, yang kemudian secara
otomatis tanpa terelak, kalau orangnya hidup dalam integritasnya dalam hubungan antara motivasi
dan aksi, diterjemahkan dalam “sikap / perilaku” praktis. Ajaran Paulus adalah juga melengkapi
secara teori saran Yohanes: ajaran itu menghadirkan realitas komunikasi psikologis antara seluruh
keberadaan human dalam kontemplasi akan suatu tujuan yang disebut “pleroma Christi”.
Dari sisi applikasi, mungkin hanya refleksi atas model itulah yang dapat menunjukkan jalan
realisasi (untuk merealisir). Tugas dari upaya pastoral ialah menunjukkan kemungkinan
perkembangan dan applikasi konkrit pelekatan pada model itu.
Model telah menunjukkan dalam “Roh” gerakan menaik perkembangan atau pertumbuhan
interior: “lahir dari Roh”, “dilahirkan kembali dalam Roh”, “dibimbing oleh Roh”, “berbahagia
dalam Roh”, “dikumpulkan kembali dalam Roh”. Tekanan terletak pada tuntutan human untuk
mengatasi batas-batas sempit gratifikasi langsung untuk membuka diri pada pemahaman yang lebih
tinggi akan gratifikasi yang lain, tidak secara egosentris, tetapi terbuka pada penilaian akan apa yang
human secara spesifik, yaitu hidup rohani.
Pasti, tanpa ragu, Model-Kristus dan hidup dalam Roh bukanlah hal yang gampang
dipahami, sebagaimana tidak gampang dimengerti setiap pembicaraan mengenai kodrat spiritual
manusia. Ini adalah pemahaman yang “terlupakan” atau data yang tidak masuk hitungan, suatu hal
yang kurang lebih terlewatkan, dengan melupakan konsekwensi negative dari pengabaian aspek-
aspek ini. Nyatanya, kalau tidak ada, maka kesadaran akan sentralitas “nilai” tertentu, peradaban
hilang. Konsumerisme dikritik, tapi tidak berani menunjukkan betapa merusak hal itu. Secara
mendalam, dengan menjatuhkan manusia secara langsung dan menghapuskan kebiasaan untuk
menginginkan apa yang tidak jatuh secara langsung ke dalam pengalaman subyektif. Luput juga dari
perhatian konsumerisme spiritual, yang nyatanya lebih merusak dari pada konsumerisme material
itu, karena mereduksi (menciutkan) iman dan aksi pada suatu kalkulasi mendangkal akan jasa atau
tidak berjasa: segalanya diukur seturut kriteri penilaian yang sangat diperdebatkan.
Hidup dalam roh (juga dalam huruf kecil) dan dalam “Roh” (seturut rivelasi kristen) adalah
(berarti) membiarkan diri larut terbawa oleh pemahaman akan kebesaran iman, yang memberi arti
pada masa sekarang. Modalitas ini bukanlah privilege orang-orang yang lebih pintar, tetapi itu
adalah kebutuhan semua: itu adalah “normal” dalam arti luas kata itu; orang yang buta huruf pun
mengakui kebutuhan itu.
Bagi semua, perlu seorang mediator antara Christus dan kemanusiaan umum, yang bisa saja
imam atau orang beriman (awam). Mereka menterjemahkan model yang tidak nampak itu, yaitu
Christus, menjadi model yang nampak. Dengan demikian dikukuhkan suatu jalinan mata rantai,
yang dibuat sebagai identifikasi-identifikasi parsial dengan model total. Model itu, dengannya ada
kontak, menyampaikan pesan melalui komunikasi akan hal-hal sebagaimana adanya, lebih dari pada
melalui apa yang dibuat; tetapi kedua hal itu merupakan faktor penggerak (pengarah) kepada
kesempurnaan (kepenuhan) hidup.
Sarana-sarana yang siap pakai ada banyak: terutama siklus liturgis, yang terus “berulang”
seturut skema-skema yang dipilih secara tepat, siklus hidup Kristus, dengan memberi kepada
renungan atas homili suatu garis perkembangan misteri-Nya, baik sebagai misteri hidup “human” di
atas bumi, baik sebagai misteri rivelasi yang progressif. Tugas homili (dan bacaan dan doa-doa
terkait) ialah memperkenalkan selalu dengan lebih baik model itu dan menghasilkan emosi
(perasaan) yang korrelatif dengan itu, yang dihidupi dalam aksi / tindakan sacral, sehingga dengan
demikian dimasukkan prinsip-prinsip fundamental rivelasi. Liturgi suci dapat membangkitkan emosi
(perasaan) yang mempergampang untuk memasuki model-model itu: sesungguhnya, sejak awal
kehidupan, “pemahaman akan apa yang essensial terjadi secara tak disadari, seperti sudah dikatakan
sebelumnya, dan di bawah dorongan dan arahan faktor-faktor affektif. Kerap, emosi / perasaan-lah

155
yang membawa pengenalan, bukan sebaliknya. Affirmasi ini dapat diterima terutama untuk periode
(masa) kanak-kanak dan sebelum remaja; selanjutnya, dengan pematangan pemikiran rasional,
faktor-faktor kognitif berpadanan dengan faktor-faktor emotif; untuk beberapa orang, yang lebih
matang, pengenalan mengistimewakan metode pendekatan, dan emosi (perasaan) membei topangan
yang perlu, walaupun pengalaman para pemikir besar religius menunjukkan bagaimana faktor
emotif semakin berkembang dan “ketelanjangan” Warta Kristus semakin nampak dalam seluruh
kecemerlangannya. Untuk manusia secara umum, fenomen Liturgi menjadi signifikatif terutama
karena fenomen itu adalah “aksi”, dan juga (ada aspek) pertunjukan, dalam batas-batas tertentu, dan
membawa kepada intuisi akan apa yang begitu sulit dimengerti secara rasional. Bahaya bahwa
Liturgi menjadi pertunjukan (show), yang seharusnya membawa kepada partisipasi penuh orang-
orang, ialah bila sarana pertunjukan (show) itu terlalu ditonjolkan dengan mereduksi (menciutkan)
bagian refleksi. Aspek pertunjukan (show) adalah suatu karakteristik zaman kita, sejak gambar
(immagine) berada di atas kata, tetapi dapat menyentuk sewaktu-waktu (saja) dan jejak yang
ditinggalkannya justru labil dan gampang terciut (habis pelan-pelan) oleh gambar lain.
Mungkin, siklus liturgis dapat menunjukkan cara (modus) untuk menghidupkan dalam psike
setiap orang beriman rangsangan (dorongan) pada iman, dengan melengkapi isi. Dekat dengan
manifestasi ini, yang masih harus disepakati – walau partisipasi itu begitu direduksi (diciutkan) ke
masa lalu – tertutama dalam kesempatan pesta, pastoral Sabda menjaga nilai / kepentingan
primernya, demi motivasi yang sudah ditunjukkan sebelumnya: pastoral Sabda itu harus condong
(lebih) menunjukkan aktualitas Warta itu dan kemungkinan penerimaannya, meskipun dalam
kesulitan-kesulitan biasa bahwa religiositas perlu dipurifikasi dari buih-buih passivitas, superstisi
dan dari keinginan akan pertunjukan (show) atau mukjizat, kecuali penolakan untuk berserah pada
misteri.
Kemudian, hidup “dalam Kristus” mendapat pertolongan dalam praktek sacramental, yaitu
sebagai partisipasi dalam Kristus-sakramen. Tetapi, dalam hal ini, teologi-lah yang berbicara. Dari
sutu pandang psikologis, nampaknya begitu penting menggarisbawahi kodrat benar sakramen (yang
tersembunyi dalam sakramen-sakramen) sebagai alat identifikasi dengan Kristus dan kemudian
sebagai Kenaikan (kebangkitan) hidup, yakni hidup-Nya. Modalitas eksterior, karena yang adalah
spiritual lari pada keindraan, tapi, seperti bagi liturgi, perlu menetapkan batas-batas juga pada
rangsangan indra, untuk mengelakkan resiko tinggal dalam permukaan (mendangkal), dan tradisi
mekanis (yang sukar) akan praktek sacramental yang dicoba diredusir seminim mungkin oleh
Konsili Vatikan II. Baik diketahui bahwa tanpa kelekatan kepada Kristus, praktek (hidup) adalah
tanpa arti secara substansial dan akan terus menggeser jauh orang-orang yang “mencari” arti hidup.
Penelitian mengenai hidup religius benar-benar menunjukkan pergeseran itu, terutama di
kalangan orang muda, karena hilang arti mendalam sakramentalitas dengan mengistimewakan aspek
praktek yang terpecah-pecah.
Level intensitas dalam “hidup dalam Kristus” tergantung dari banyak faktor, seperti sudah
ditekankan; tetapi, kiranya, perlu memberi suatu aspek “qualitative” pada undangan untuk
menjawab undangan itu, untuk membawa kemabali keberadaan human untuk mengakui Warta itu.
Suatu tugas yang besar, yang berdurasi hingga kemanusiaan punya hidup di atas bumi.

III. PENGALAMAN BERKEBAJIKAN (“VIRTUOSA”)


Biasanya, dalam bahasa umum, “kebajikan” dimengerti sebagai sikap-sikap / perilaku-
perilaku “khusus”, tidak umum, bahkan istimewa, seperti kebajikan heroic (kepahlawanan) yang
bercelupkan hagiografia tradisional.
Tetapi kalau diamati dengan seksama dan secara riil, maka akan nampak bahwa dinamika
psikologis kebajikan, yakni yang dimaksud sebagai “sikap / perilaku konstruktif”, realitas, positif,
bermaksud /berniat baik, melakukan yang baik, bertengger pada “motivasi” untuk bertindak /
berbuat demi penyesuaian dengan hidup, yakni atas suatu proyek untuk merealisir sesuatu yang
kiranya punya arti positif dalam menolong diri sendiri dan orang lain. Dari motivasi bergerak
kepada sikap / perilaku, yang kiranya harus cocok dengan motivasi itu. Jadi, yang dimaksud dengan
kebajikan ialah suatu bentuk sikap / perilaku yang masuk kembali ke dalam normalitas.

156
Terkenal tulisan Erikson dan Maslow mengenai pentingnya motivasi (produk / yang
dihasilkan oleh kebutuhan-kebutuhan dalam perkembangan sikap human.
“Skala” Maslow menggariskan suatu hierarki kebutuhan dan dengan itu berarti juga suatu
hierarki motivasi yang dikaitkan dengan berbagai level arti. Secara skematis, kebutuhan dan
motivasi itu dibagi sebagai berikut: secara mendasar adalah motivasi fisiologis (lapar, haus,
ngantuk, penyisipan affektif primer); kemudian, yang kedua, motivasi keamanan kecemasan, dan
aggressivitas; di tempat ketiga, kebutuhan cinta dan ketermasukan / kepunyaan; keempat, kebutuhan
rasa hormat dan martabat; kelima, autorealisasi dan kesuksesan. Kebutuhan-kebutuhan itu
ditunjukkan pelan-pelan yang terpenuhi dalam level yang lebih rendah: yang ada di puncak,
barangkali, adalah kebutuhan-kebutuhan “autorealisasi” yang berhubungan dengan berbagai bentuk
aktivitas untuk penyesuaian sosial dan pemenuhan identitas pribadi. Motivasi termaksud sedemikian
menyangkut juga kebutuhan merealisir kepenuhan kemanusiaan sendiri yang terus diikuti walaupun
sadar akan kodrat spiritual sendiri, dalam arti yang sudah ditunjukkan sebelumnya, artinya dalam
religiositas yang dimaksudkan dan yang dihidupi / dihayati. Kebutuhan-kebutuhan eksploratif,
kognitif, jelas menopang motivasi sedemikian, oleh karena kebutuhan-kebutuhan itu diarahkan
untuk memperoleh informasi atas (mengenai) isi dari saran-saran yang ditawarkan oleh lingkungan
(bdk misalnya pengenalan akan rivelasi kristen), untuk ujian kritis atas saran itu; kematangan /
maturitas global yang tercapai memberi kapasitas untuk mengaktualisir proyek itu. Hierarki yang
disarankan itu sangat skematis, karena mengandaikan kesinambungan suatu perkembangan psikis
yang mencukupi untuk menetapkan dalam kepribadian itu, suatu korrelasi antara keinginan,
pengenalan, proyek, aksi.
Suatu karakteristik yang sudah diobservasi dalam studi mengenai perilaku ialah kehadiran
suatu basis neorofisiologis integral, yang bisa men-support kemungkinan untuk melaksanakan
tindakan yang sudah diproyekkan.
Jadi, dengan tetap berada dalam lingkup normalitas fisiologis, maka di sini ada berbagai
jenis faktor dan khususnya kecondongan yang ada dalam perkembangan inteligensi, perkembangan
pelajaran, perkembangan memori, dan juga tidak ketinggalan dinamika emotif, yang tergantung dari
pengalaman berrelasi dengan diri sendiri dan dengan orang lain, dalam proses pertumbuhan.
Aspek ini sangat ditekankan oleh Erikson, dengan menunjukkan bagaimana mungkin ada
“kebajikan” yang tetap kokoh walaupun lingkungan di mana anak-anak dididik untuk
menentangnya. Erikson menunjukkan kemungkinan untuk membagi-bagi “siklus hidup” dalam 8
(delapan) fase, yang hanya dapat dibagi secara skematis saja, tetapi identifikasinya dapat
menunjukkan munculnya beberapa sikap / perilaku khusus, yang kemudian tetap selalu dapat
muncul dalam hidup pada masa dewasa. Setiap fase ini dicirikan oleh perkembangan “kebajikan”,
seperti kesetiaan (fiducia) (fase I), otonomi (fase II), spirit inisiatif (fase III), industrialitas (fase IV),
identitas (fase V), intimitas (fase VI), generativitas (fase VII), integritas (fase VIII). Periode dari
ketiga fase pertama (fase I-III) berkaitan dengan masa bayi (infanzia), periode dari fase IV dengan
masa kanak-kanak (fanciulezza), periode dari fase V dengan masa remaja (adolescenza), periode
dari fase VI dengan masa muda (gioventu), periode dari fase VII dengan masa dewasa (adulta),
periode dari fase VIII dengan masa matang (umur lanjut) (maturitas). Oleh karena itu, dalam
elaborasi teoretis pengarang ini, individu yang matang memiliki semua kebajikan yang dilukiskan
tersebut dan ditunjukkan sebagai “dibiasakan” oleh pengalaman untuk melaksanakannya dengan
baik. Erikson juga tidak lupa menunjukkan lawan (antagonist) kebajikan-kebajikan itu, yang
merupakan kekurangan dalam keseimbangan emotif seseorang, karena kesulitan dalam reaksi
interpersonal. Lawan (antagonist) itu ialah: ketidaksetiaan, keraguan, perasaan bersalah, perasaan
rendah (inferiorita), kekaburan / kekacauan (identitas), pengisolasian, “tidak berbuat apa-apa”
(stagnasi [ketidakbergerakan fisik]), dan keputusasaan. Siklus hidup itu berkembang juga dalam
konflik (conflictualita) dan dalam kesilihbergantian antara kebajikan (virtu) dan ketidakbajikan
(controvirtu), tanpa mengandaikan perkembangan linear, harmonis dan tanpa kefrustrasian, karena
hal itu tidak realistis.
Kekuatan si Aku, sebagai elemen pengatur (organisator) dan penyeimbang (equilibrator)
pengalaman dan bahkan merupakan kapasitas untuk mengatasi frustrasi, memungkinkan adanya
kekuatan (penguatan) sikap / perilaku berkebajikan dalam diri orang yang, walau berbagai halangan,
tidak kehilangan keyakinan dasar, dan juga otonomi dan inisiatif. Interpretasi kebajikan ini, sebagai
cirri kodrati keberadaan human, memungkinkan untuk menunjukkan yang mana tuntutan

157
(permintaan) dan yang mana jawaban yang dapat dibangun / dibentuk (instaurare) dalam berbagai
tingkat umur. Intervensi dari faktor-faktor lingkungan terkait erat dengan tendensi kodrati kepada
perkembangan, sejauh menolong, mengukuhkan dan membenarkan. Bertolak dari keyakinan dasar,
dengan agak sukar, seorang individu berada dalam posisi yang terarah pada pengukuhan oleh iman,
oleh karena ia hidup dalam depressi (walaupun bukan sakit depressi); bertolak dari kemungkinan
untuk mengungkapkan “perbedaan”nya sebagai individu dari individu-individu yang lain atau dari
lingkungan, dengan agak sulit ia berada dalam posisi siap menerima tanggungjawab dan memajukan
/ melaksanakannya; bertolak dari identitas, ia berbaur dengan massa dan ia merasa “hilang”,
terisolir, tak mungkin berkomunikasi dengan yang lain; konsekwensinya, hidup psikisnya berhenti
dalam immobilisme dan ia menarik diri hingga jatuh pada keputus-asa-an ketika kegembiraan
ekstern tidak lagi menyangganya.
Walau “Skala Epigenetik” Erikson sudahkurang diingat sekarang, karena sudah berkembang
metode-metode observasi lain, tapi Skala itu masih punya nilai orientatif. Oleh karena itu psikologi
terbaru, di bawah baying-bayang pengarang ini, terarah pada pemikiran “life span” (yaitu seluruh
busur hidup) kalau / ketika mempelajari personalitas dan tidak lagi dibatasi pada variabel tersendiri.
Maksudnya ialah pemikiran yang lebih dinamis, ke mana bertumpu semua teori-teori dan
metodologi sebelumnya.
Canestrari dan Godino mengamati bahwa suatu pendekatan yang barangkali khusus untuk
fase-fase usia tidak memakai arti prosessual modifikasi-modifikasi sedemikian dan bisa saja tidak
bernilai … arti evolutif konstruksi (pengetahuan) sedemikian … Perluasan (atau penyempitan kecil)
definisi perkembangan menuntut baik untuk memahami lagi dalam bidang observasi elemen-elemen
di masa lalu yang dilihat secara idiografik atau secara berbeda (seperti elemen-elemen konstekstual
atau peristiwa-peristiwa yang tidak normative dan incidental) maupun untuk mengevaluasi strategi
obsevatif sejenis biografis atau longitudinal (strategi yang menonjolkan perbedaan-perbedaan
dindividual dan kelompok). Singkatnya dapat ditegaskan bahwa prospektif psikologi “life span” …
masuk dalam suatu ekspansi di bidang evolutif dengan integrasi prinsip dan skema-skema dari
disiplin-disiplin lain.
Jadi, observasi akan perilaku, yang dianggap sebagai kebajikan, melibatkan berbagai disiplin ilmu,
di antaranya etika, psikologi dan semua ilmu human pada umumnya.
“Konstannya” perilaku membentuk karakteristik kedua kebajikan itu, setelah yang pertama
(utama) yang merupakan integrasi antara pem-proyek-an dan aksi. Sebaliknya, teori antik mengenai
karakter dan karakterologi-karakterologi yang sudah ditinggalkan sekarang ini menggarisbawahi
aspek ini, yang mendefinisikan karakter bersama dengan perilaku-perilaku ”habitual” seorang
individu. Ditanya: kalau demikian apakah kebajikan merupakan perilaku habitual? Pasti bisa juga,
tetapi dijaga kekonstanan motivasi dan tidak jatuh dalam penegasan atau pandangan bahwa habitus
melaksanakan kebajikan tertentu sudah hampir secara otomatis dan dijauhkan dari motivasi.
Sebaliknya, mungkin dapat dirumuskan bahwa kebajikan seperti keyakinan dan (konsekuensinya
tentu saja ikut iman) sekurang-kurangnya secara periodik ditinjau secara kritis oleh orang yang
melakukannya, untuk menguji motivasi dasar. Benar bahwa realitas sehari-hari sudah mewajibkan
dari dirinya sendiri untuk melihat kembali arti dari perilaku sendiri, bagi konflik yang terdesak
dalam kodrat realitas human; tetapi hal itu mungkin tidak cukup. Mungkin perlu motivasi-motivasi
pada level yang lebih tinggi. Dengan kata lain, kalau kebajikan-kebajikan itu berhasil dicapai secara
teguh pada masa bayi dan kanak-kanak, maka modalitas-modalitas, dengannya kebajikan itu
ditunjukkan, adalah subyek bagi modifikasi selanjutnya, karena personalitas mencapai bentuk-
bentuk baru penyesuaian, reaksi-reaksi sosial yang baru, pengalaman-pengalaman essensial yang
baru. Keyakinan bayi adalah total dan menyeluruh, keyakinan seorang dewasa adalah hati-hati, yang
berdasar pada batu uji dan juga ditopang oleh aspirasi dan ideal-ideal pada level tingkat tinggi.
Keyakinan seorang bayi adalah egosentris, keyakinan orang dewasa sosiosentris. Contoh ini bisa
saja diperluas secara metodologis pada semua kebajikan seperti sudah dijejerkan di atas dan pada
kebajikan lain tentangnya dapat dimuat daftar tambahan yang tidak terbatas praktisnya.
Tetapi terdiri dari apa “pengalaman kebajikan” itu? Apa perlunya kebajikan itu?
Di sini pun perlu beberapa kutipan dari studi psikologi ekperiensial dan psikoanalisis. Perilaku dapat
mempunyai aneka motivasi: yang pertama, yang ditopang oleh psikoanalisis awal dan juga oleh
psikologi ekperiensial, adalah reduksi ketegangan, keutuhan, kemudian penstabilan kembali
“omeostasi”, yaitu ketenangan fisik dan psikis kalau itu perlu bagi orang-orang yang berjuang untuk

158
kehidupan, bagaimana pun ini tidak cocok dengan dinamika psikis yang riil yang sangat kompleks.
Sesungguhnya, sudah diamati bahwa dalam kondisi bukan dalam kemalangann total
kebutuhan-kebutuhan dasar untuk hidup disebut dan diperlukan dalam konteks di mana termasuk
tuntutan estetis, affektif, sosial. Contoh penekanan kebutuhan itu sudah disebut. Begitu juga untuk
kebutuhan tidur, kebersihan dan aspirasi. Kemudian ada kebutuhan-kebutuhan psikis secara halus,
tetapi untuknya tidak cukup menunjukkan omeostasi sebagai tujuan: kebutuhan untuk mengetahui
tidak akan pernah sampai pada kepuasan total, karena terus tumbuh dan sering bergulat dengan
“misteri”. Tentangnya diintuisikan manfaatnya tetapi tiak berhasil menemukan hakekatnya. Juga
kebutuhan cinta terus digerakkan seperti juga kebutuhan asketis dan religius atau kebutuhan
kemajuan sosial. Kalau demikian cukup hanya mencapai ketenangan?
Fornari dan Imbasciati menggarisbawahi bahwa motivasi ini tersimpul/terlarut dalam
keterarahan kepada kematian, bukan kepada kehidupan. Sesungguhnya, memang yang pertama
menekankan bahwa dalam ekonomi budi keinginan yang dilukiskan oleh Freud (sebagai berbalik
kepada omeostasis) tidak membawa kepada hidup, tetapi kepada kematian. Prinsip keinginan
Freudian bukanlah Hidup, juga bukan Eros, tetapi negasi hubungan, negasi pengakuan akan ikatan
dengan orang lain, yaitu cinta, negasi pengakuan akan realitas dan pikiran sendiri. Imbasciati
menambahkan bahwa “keinginan (yang berasal dari perilaku) bagi manusia adalah signal hidup”.
Jadi, perilaku berkebajikan, selain bahwa semuanya normal, perlu untuk membekali cinta hidup dan
tak hanya untuk menjaga keseimbangan psikologis dasar.
Suatu pertanyaan yang lain adalah lebih membingungkan: pelaksanaan kebajikan, kepuasaan
apa yang dihasilkannya? Dengan mengandaikan bahwa tidak cukup mencapai keseimbangan
psikofisik, maka di seberang hal ini apa yang dapat diperoleh? Kepuasaan narcisistik? Tentulah juga
perlu dipikir kepuasaan karena sudah “berperilaku baik”, karena memperkuat rasa hormat akan diri
sendiri, yang selalu dibutuhkan; tetapi, lebih dari ini, apa yang tinggal? Kebajikan sebagai keiklasan
hati, ketaatan, kejujuran dalam segala kesempatan belum menjamin ganjaran dan bahkan sering
menjadi penyebab ketidakmengertian akan penderitaan, akan reaksi-reaksi negatif dari pihak
lingkungan atau kurang dari konsekuensi-konsekuensi ideal yang dinantikan. Bisa gampang
mengatakan kebajikan memfasilitasi hubungan sosial; tetapi ini dapat terjadi kalau kebajikan itu
dilaksanakan oleh semua atau hampir semua. Justru inilah realitas dimana manusia hidup, inikah
dunia yang lebih baik di antara sekian banyak kemungkinan? Atau, apakah ini utopia yang terikat
pada illusi akan kemungkinan yang tidak banyak? Maka, manfaat apa yang ada terdapat dalam suatu
pembicaraan mengenai kebajikan?
Kebajikan-kebajikan yang dipresentasikan oleh Erikson menentukan dimensi-dimensi minimal
personalitas, yang perlu untuk hidup “secara normal”. Ini menunjukkan instrumen-instrumen psikis
demi hubungan yang baik dengan diri sendiri dan dengan lingkungan. Penulis tidak melihat, kecuali
dalam pembicaraan akan fase yang kedelapan, aspek-aspek religiositas, walau tidak sulit
mengaitkan keyakinan dan iman, otonomi dengan kebebasan memilih (juga dalam hal religius),
kerajinan dengan kapasitas bekerja di bidang sosial, intimitas dengan kecenderungan untuk
memahami, generativitas kepada kharitas, dan akhirnya integritas si Aku dengan totalitas iman dan
pengharapan.
Kalau kita melihat lagi pembicaraan mengenai pengalaman, maka perlu menambahkan observasi
yang lain: pengalaman tidak hanya terjadi dalam menghidupi realitas-realitas tertentu, tetapi juga
atas realitas-realitas itu dan mengerti apa artinya. Adalah pengamatan umum bahwa banyak orang
dalam hidup mereka menjalani bermacam-macam situasi (“petualangan”), tetapi sedikit saja yang
“belajar” dari situasi itu. Pengalaman yang benar ialah terjadi dalam “memahami” apa yang terjadi,
dalam memetik artinya, dalam menunjukkan kemudian sikap dengan melengkapi atau mengoreksi
atau lari dari kejadian itu. Pengulangan dimotivisir oleh konstitusi bahwa kejadian itu – perilaku –
sudah produktif, koreksi dimotivisir oleh sudah dipahaminya bahwa beberapa aspeknya adalah salah
(error), lari atau mengelak, termotivisir oleh konstatasi (pembuktian) bahwa dilihat ada kesalahan
(error) yang merugikan. Hanya dalam kondisi inilah mungkin berbicara mengenai pengalaman yang
benar.
Sekarang, pengalaman kebajikan selalu menuntut verifikasi, karena perlu mengontrol sampai
dimana rupanya pengalaman itu telah terjadi secara memadai. Masih kita beri sekali lagi sebagai
contoh, iman: kalau iman itu diwujudkan seturut dinamika infantil, diwujudkan atau dirasakan
dalam pengharapan akan pertolongan secara mukjizat dari pihak beberapa orang, dan diperlihatkan

159
atau oleh karena kekecewaan berat atau oleh karena kena tipu bagi orang yang lebih bijaksana, atau
justru diwujudkan dengan penyesuaian passif pada konteks sosial, kurang kritis; penggeraknya
adalah penantian egosentris dengan kurangnya observasi akan realitas ekstern. Iman yang dihidupi
oleh seorang dewasa yang matang adalah sesuatu yang lain, juga pada level kodrati: iman di sini
adalah keyakinan yang mendalam, yang diuji dalam pengalaman hidup dan dalam konflik biasa,
yang diperkuat oleh refleksi atas nilai dari apa yang diimani, yang dimodifisir dalam ekspressinya
dan dicocokkan dengan tuntutan tidak hanya personal, tetapi terutama sosial. Kemudian imam
religius menarik motivasinya dari percaya kepada Yang Transenden, kepada rivelasi, kepada
penyesuaian dengan Warta Kristus; kalau dihidupi demikian maka akan menjadi stimulus yang
besar bagi kemajuan spiritual lingkungan dan kontribusi bagi pemikiran kolektif, melengkapi
pemahaman akan nilai-nilai Injil.
Teladan iman adalah salah satu dari poin penting hidup pada umumnya dan hidup spiritual
pada khususnya.
Kebajikan yang dipresentasikan oleh Erikson adalah menonjol di antara perilaku-perilaku
interior yang mendasar, yang kemudian memerlukan “pematangan” melalui pengalaman akan
realitas eksistensial dan melalui pengenalan akan aneka kemungkinan reaksi orang lain terhadap
perilaku yang diperlihatkan oleh seorang individu. Adanya kehati-hatian (misalnya kebijaksanaan),
itu adalah pertanda kematangan psikis dan juga memberi fundamen yang kuat pada iman. Begitu
juga untuk kebajikan akan intimitas, yaitu kesanggupan untuk berada bersama dengan yang lain,
untuk mengerti mereka, untuk mengikat diri dengan mereka secara effektif: bagian puncak antara
simbiose (hidup bersama) dan pemahaman, bersatu dengan sangat erat dan gampang jatuh dalam
kedekatan dengan saling bergantung daripada sampai kepada pemahaman yang menghormati
ketidakbergantungan dari yang lain. Pembicaraan yang berkisar pada contoh-contoh bisa saja
diteruskan, tetapi nampaknya tidak banyak gunanya: apa yang mensintesekan rujukan itu ialah
penggarisbawahan bahwa setiap kebajikan memerlukan dukungan seseorang yang matang sekurang-
kurangnya (yaitu dalam hal umur, lingkungan, bawaan personal), agar dapat secara efektif menjadi
promotor kesejahteraan perorangan dan sosial. Kalau tidak, maka akan berubah menjadi alat
kemunduran dan kejatuhan kepada keputusasaan. Sebaliknya, pengalaman sebagai refleksi dan
verifikasi memungkinkan untuk bergerak dari satu stadium kebelumjelasan dan ujicoba kepada
pengaturan perilaku secara lebih baik, kepada proses dinamis perkembangan kebajikan itu sendiri,
dalam pendalaman motivasi-motivasi dan tindakan-tindakan yang berikutnya.
Perlu juga diperhatikan bahwa kebajikan-kebajikan tertentu “berguna” dalam periode-
periode tertentu dalam hidup, tetapi tidak perlu dalam periode-periode lain. Untuk ditempatkan
sebagai baris bagi perkembangan minimal, seseorang kadang-kadang “memiliki” sikap yang paling
cocok dan menghindarkan standardisasi perilaku, yang biasanya merugikan dan tidak cocok. Kalau
berbicara mengenai “personalitas yang kaku”, yang melakukan kebajikan secara kaku, ditunjukkan
sekaligus perilaku yang sudah distandardkan, yang otomatis, yang kurang terefleksi dan kurang hati-
hati akan efek dari apa yang dilakukan. Interpretasi yang keliru akan kebajikan akan membuatnya
kurang cocok dengan keadaan sekitarnya: orang yang kaku gampang bergantung pada “norma-
norma peraturan”, pada ideal-ideal yang dihidupi dalam dirinya sendiri dan bukan sebagai stimulus
untuk tindakan produktif, karena ia merasa rapuh, memerlukan skema-skema perilaku untuk selalu
menjamin kesuksesan baginya (dalam arti untuk menghindar dari kesalahan [error], yang selalu
membuat takut bahwa hal itu akan terjadi). Kalau kebajikan itu secara objektif dapat diakui, maka
ada yang dipertanyakan, yaitu manfaat effektif psikologis mana dari cara yang begitu ketat
memaksudkan perilaku berkebajikan. Dan kekecewaan serta kerusakan interior mana yang akan ada
kalau hasil tidak cocok dengan maksud. Dan pada level sosial, apa manfaat effektif bagi kelompok
dalam perjalanan menuju tujuan tertentu.
Kemudian, ada kemungkinan untuk memilih, tetapi di bawah sadar, pelaksanaan beberapa
kebajikan sehubungan dengan orang lain. Setiap personalitas dikhususkan untuk perilaku-perilaku
yang penerimaannya tergantung dari keadaan sekitar dimana orang itu ada, tergantung dari
interfamiliar dan sosial, tergantung dari elaborasi interiornya akan setiap kejadian, tergantung dari
perilakunya mengatur dan membela diri untuk menjaga identitasnya. Formasi karakter tergantung
dari semua faktor ini. Atas alasan mana terutama, misalnya, seseorang lebih suka melaksanakan
kebajikan, kesabaran, selain dari alasan yang berasal dari inisiatifnya sendiri, ini dapat diterangkan
hanya dengan mengenal interpretasi yang dalam hidup mentalnya (kejiwaannya) telah membuat

160
kejadian-kejadian tertentu, dengan memilih sebagai alat yang cocok perilaku khusus itu dari pada
yang lain. Demikianlah dibentuk karakter “sabar”, yang dapat menunjukkan diri secara sangat
positif yang mempergampang hubungan sosial tanpa kehilangan ketidaktergantungannya.
Kemudian, dari proses formasi bawah sadar, orang yang sama, setelah dewasa (adolescen), dapat
sampai pada kesadaran rasional akan validitas perilakunya, dan memberinya arti tidak lagi hanya
adaptif, tetapi juga “kharitatif”, kalau ada motivasi altruistik yang bukan egosentris. Pelaksanaan
kebajikan khusus itu, yaitu kesabaran, dapat membawanya kepada toleransi, disponibilitas
pemahaman dan pada semua kebajikan yang mungkin yang lain yang mengitari perilaku sabar:
seseorang akan menjadi faktor kenyamanan bagi orang yang mengitarinya, dapat melaksanakan aksi
sosial yang bernilai tinggi (misalnya dalam bidang tolong menolong, bidang pendidikan, dll).
Kesadaran untuk memilih untuk melaksanakan hal itu dapat menopang aktivitas sedemikian juga
dalam momen-momen lelah, dan dalam momen ketidakpahaman, dan menolong untuk yakin
kembali ketika keadaan sekitar diarahkan untuk mengobah perilaku. Konstannya perilaku yang
termotivasi dan yang disadari dapat memperlihatkan kebajikan dalam arti penuh sebagai perilaku
yang begitu kuat dan teguh.
Esemplifikasi (pemberian contoh-contoh) barangkali dapat diteruskan: setiap orang punya
kemungkinan untuk melaksanakan beberapa “kebajikan” yang lebih disukai, yang membedakannya
dari yang lain. Dengan tidak gampang semua kebajikan diterima oleh karena setiap orang lahir
dengan kebutuhan-kebutuhan psikologis tertentu dan berusaha memuaskan dirinya seturut harapan-
harapannya dan seturut kemungkinan-kemungkinannya. Perbedaan-perbedaan di antara berbagai
orang merupakan fenomena formalitas; atas alasan ini tidak dapat “menasihatkan” kebajikan seturut
skema-skema yang sudah ditentukan terlebih dahulu.
Oleh karena itu pembicaraan mengenai kebajikan adalah begitu kompleks dan diterjemahkan
dalam pembicaraan mengenai kematangan seseorang dan masyarakat, mengenai ideal-ideal yang
disodorkan, mengenai modalitas edukatif pada perilaku adaptif, mengenai fleksibilitas pengaturan
psikis, dll.
Mengembangkan kepribadian berarti membawanya pada level kapasitas kognitif dan
operatif sedemikian sehingga tahu mengadopsi suatu perilaku tertentu – yang dalam dirinya positif –
seturut pandangan tertentu, dengan kekonstanan maksud tertentu (pilihan eksistensial) dan dengan
keterbukaan pada perubahan sendiri yang harus ada karena mau dan karena pengalaman dan
perubahan dalam masyarakat di mana ia hidup. Kemudian setiap kelompok sosial akan
mengembangkan upaya-upaya untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu, di mana seseorang ada
untuk berbuat. Maka, konsekuensinya ialah bahwa akan diprivilegekan perilaku-perilaku tertentu
yang ditambahkan secara lebih baik kepada tujuan-tujuan kelompok. Maksudnya ialah saran-saran,
tentu bukan maksudnya mengenai tujuan-tujuan wajib, yang diberikan oleh kelompok yang
kompeten, ke mana setiap orang tetap bebas berhubungan atau tidak berhubungan.
Sebagai pelengkap bagian ini, tampaknya perlu membahas secara mendetail beberapa dari
kebajikan prinsipil yang dihargai dalam dunia, dengan memberi peluang bahwa di sini dipakai
istilah “kebajikan”, sebagaimana kemudian muncul berbagai terminologi relatif berkaitan dengan
kebajikan, yang selalu dalam akses perilaku berkebajikan, sekalipun tidak beralasan mengenakan
eksistensi kebajikan dalam dirinya sendiri, tetapi sebaliknya bahwa sangat realistis berbicara
mengenai perilaku, misalnya perilaku iman dari pihak individu. Sebaliknya abstraksi dari yang
konkret sungguh berguna untuk mempersingkat pembicaraan, bukan untuk menunjukkan eksistensi
dari sesuatu yang tidak tergantung dari manusia. Hanya, kalau berbicara mengenai perilaku, itu
memungkinkan untuk mengandaikan (hipotesa) juga suatu pedagogi yang relatif pada perilaku
sedemikian. Lebih lanjut lagi, digarisbawahi bahwa setiap perilaku selalu dihubungkan dengan
faktor-faktor emotif, juga ketika tampak hanya rasional dan kurang dalam hal perasaan, dan selalu
dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, yang mendorongnya atau menentukannya atau
menghalanginya.

Mari kita mulai dengan kebajikan-kebajikan yang didaftarkan oleh Erikson sendiri, untuk
mengikuti tata pembicaraan sebelumnya.

Keyakinan (fiducia): “punya keyakinan memaksudkan pada umumnya tidak hanya tahu

161
berpasrah pada kesinambungan dan identitas pelaku ekstern, tetapi juga tahu berkeyakinan dalam
diri sendiri dan dalam kapasitas organ-organ sendiri dan berada dalam posisi dapat melihat diri
sebagai cukup layak akan yakin diri yang tidak meletakkan dalam diri pelaku luar suatu sikap yang
bijaksana”. Jadi, diungkapkan di sini hubungan dengan diri sendiri dan dengan yang lain, dalam
resiprositas.
“Keyakinan fundamental harus menjaga diri seumur hidup terhadap serangan gabungan dari
rasa (sensasi) terusir oleh sesuatu, rasa terbagi-bagi dan rasa ditinggalkan”. Keyakinan, yang
berakar pada pemeliharaan, membangun aktualitas setiap agama (aktualitas = aktualisasi dalam
individu).
Berasal dari: iman: iman dalam faktor-faktor natural, iman dalam faktor-faktor supernatural,
dalam diri sendiri sebagai ciptaan Allah yang diarahkan kepada keselamatan, kepada Allah yang
memberi keselamatan. Berasal dari kesetiaan: perilaku yang koheren dengan iman.
Lawannya (controvirtu): tidak yakin, kurangnya iman, ketidaksetiaan.

Otonomi: “pengalaman akan dua kebersamaan simultan akan modalitas sosial: menahan dan
membiarkan pergi”; kapasitas otodominasi, kapasitas mengurus sendiri, kapasitas untuk bebas.
Otonomi itu berkaitan dengan formasi diri sendiri, yang merupakan kesadaran akan tanggung jawab
akan apa yang dilakukan. Otonomi itu mengandaikan pencapaian kesadaran sebagai “berbeda” dari
yang lain, tidak kacau balau dengan mereka. Otonomi tidaklah konflik dengan printah-perintah,
hukum, keadilan, tetapi dimotivisir oleh alasan-alasan valid.
Berasal dari: ketaatan rasional dan bijaksana pada prinsip perintah dan pada pemaknaan
bahwa otonomi itu berguna untuk perkembangan manusia; penerimaan norma sosial, prinsip-prinsip
etis, tetapi menghormati martabat sendiri dan kebebasan, kebutuhan akan kebebasan sebagai
ekspresi martabat human. Penerimaan misteri, tetapi dimengerti secara bijaksana. Kapasitas untuk
memilih secara personal ketika kepribadian sudah lebih matang.
Lawannya (controvirtu): rasa malu, keraguan, ketidakpastian, ketergantungan simbiotik
(kebersamaan), ketergantungan kurang kritis, ketaatan pasif, ketidaksanggupan memilih dan
bertanggung jawab, pemberontakan yang keras kepala dan sistematik, tidak tenang (tidak dapat
diam) dan ketidakstabilan yang motorik.

Inisiatif: pelengkap otonomi, untuk memperoleh kapasitas, untuk mengusahakan sesuatu


sekalipun dengan risiko salah (error) (tetapi dengan keyakinan dapat juga memodifikasi kesalahan
itu), kapasitas untuk merencanakan, memproyekkan, menopang tugas. Semangat inisiatif adalah
unsur penting untuk setiap aktus, dan manusia membutuhkan itu untuk setiap usaha yang diketahui
dan dipelajari.
Berasal dari: kreativitas, finalisasi formalisasi fantasi untuk tujuan realistis, kapasitas untuk
mengatasi problem-problem baru atas bimbingan inteligen, keberanian, kuriositas untuk mengenal
lingkungan, perkembangan seksualitas dan kuriositas relatif, pengenalan akan tubuh sendiri dan
pengurusannya, perstudian.
Lawannya (controvirtu): ke-apatis-an, rasa bersalah karena kurangnya inisiatif, rasa bersalah
yang dikaitkan dengan problematik seksual, amarah, kecemburuan (kedengkian), persaingan,
pergulatan, agressivitas, exhibisionisme.

Kerajinan (industriositas): kapasitas untuk mengerjakan secara konkrit material-material


untuk siap merealisir apa yang disarankan oleh inisiatif. Pada umumnya, kapasitas menghargai
kerja, studi (sekolah!) dalam hubungan dengan model-model sosial untuk membuat sesuatu yang
tidak tergantung dari orang lain dan dengan yang lain. Awal dari kepekaan moral, dalam persepsi
resiprositas perilaku. Perkembangan kewaspadaan dan kerajinan yang bertekun, perlu untuk
merealisir karya dan studi. Kesosialan dalam paham resiprositas dan pertolongan resiprok.
Persahabatan sebagai yang berasal dari kebersamaan intensi kooperatif.
Berasal dari: realisme, praktek, rasionalitas kooperatif, kekonstanan, dan lain-lain.
Lawannya (controvirtu): perasaan inferioritas, ketidakcukupan, larangan (halangan),
operatif, pengisolasian menolak bekerjasama, menolak studi dan tugas.

Identitas: mengatasi identifikasi infantil untuk mencapai kesadaran akan kapasitas si Aku

162
untuk mengintegrasikan sikap-sikap sendiri, pengharapan-pengharapan dan perencanaan-
perencanaan untuk masa depan, selaras dengan verifikasi-verifikasi yang berasal dari lingkungan
sosial. Kesadaran akan “berlanjutnya” hidup setiap orang, walaupun ada perubahan-perubahan fisik
dan psikis tertentu oleh karena pertumbuhan. Keyakinan dalam diri sendiri diperkuat dan
diteguhkan. Ini sudah mengatasi masa muda (adolescens) dan sudah sampai pada titik puncak
perkembangan human. “Aku adalah aku” adalah sintesi dari konsep identitas. Cinta seksual adalah
konfirmasi identitas itu.
Berasal dari: kapasitas untuk menantikan atau mengharapkan hasil dari pilihan eksistensial;
perencanaan akan pilihan professional, sosial, matrimonial, dll.; kapasitas untuk memetik nilai dari
yang ideal lalu juga kapasitas akan religiositas yang benar, tidak lagi mirakolistik (menanti
mukjizat) atau superstisi (berhala), terikat pada pikiran magis infantil. Kewajiban untuk merealisir
yang ideal, berkat keyakinan dalam identitas sendiri.
Lawannya (controvirtu): kekacauan si Aku (sikap yang tersembur dari keterpecahan batin);
kesulitan mengaitkan pemikiran (ideasi) dan aksi; mencari cinta sebagai topangan egosentris atau
sebagai kemunduran (regressi) pada kebutuhan simbiosis (kebersamaan); ketidakterorganisiran
operatif, rasa ditinggalkan dan depressif; ketidaksanggupan melihat muara konstruktif dalam masa
depan sendiri; kecenderungan mengisolir diri; mengembangkan pengembangan diri yang terlalu
intelektualistik sebagai penghalang kekurangan identitas; takut terikat kewajiban dengan orang lain.
Bertambahnya kesusahan yang mendalam dan berkepanjangan.

Intimitas: kapasitas bersatu dengan masyarakat dan persahabatan-persahabatan, dan tetap


setia pada pertalian itu, walau hal itu menuntut kurban yang istimewa dan kompromi. Kapasitas
mencinta, maksudnya, sebagai kelembutan dan genitalitas, kapasitas berproduksi dalam bidang
sosial (kerja). Genitalitas terdiri dari kapasitas tanpa halangan untuk mengembangkan potensi
orgastik yang sudah lepas dari (masa) pregenetalitas untuk diungkapkan dalam heterosekseksualitas
reciprok”, tanpa takut kehilangan identitas sendiri. Deskripsi mengenai utopi genitalitas yang dibuat
oleh Erikson adalah sebagai berikut: merealisir resiprositas orgasme dengan seorang subyek yang
dicintai, dan jenis seks (kelamin) yang lain, yang kepadanya ada keyakinan penuh, dan dengannya
dapat dan ingin dibagi (berbagi) siklus laboratif sendiri, siklus prokreatif, siklus rekreatif, yang
sekalipun juga untuk menjamin perkembangan elok anak-anak.
Kemudian, ada bentuk genetalitas yang luhur mentransper kepada aktivitas sosial energi-
energi yang terarah secara kodrati kepada genitalitas pasangan dan yang diterjemahkan dalam mata
kerja sama dan produktivitas hal-hal psikis, dengan kepuasan penuh personal dan dengan
perkembangan yang semakin besar dari aktivitas yang dikerjakan (kerja, aktivitas kultural, aktivitas
religius dan politis, dll.). Genitalitas yang luhur memperbolehkan relasi antar seks-seks yang
dikontrol oleh motivasi-motivasi ideal dalam pertukaran resiprok potensialitas cognitif, emotif dan
ideal. Kapasitas untuk intimitas membawa kepada kontrol debaran seksual, dengan mengatasinya
dalam pertukaran hal-hal lain, seperti pengertian resiprok (saling pengertian), kerja sama dalam
aktivitas-aktivitas yang ditanggungjawabi, keyakinan akan kegunaan dan dalam sukses dari apa
yang dilakukan, sebagai “filiasi” simbolis, tetapi riil dalam efek-efek sosial.
Berasal dari: keyakinan akan kapasitas sendiri sebagai berguna secara sosial; keyakinan akan
masa yang akan datang, karena keinginan akan berhasil dan juga untuk menerima kesulitan yang
mungkin akan terjadi, menerima hambatan-hambatan, menerima frustrasi-frustrasi, dengan niat
untuk mencoba lagi kalau gagal; keyakinan kuat akan ideal-ideal tertentu yang dipilih sebagai
motifasi untuk memberikan arti pada hidup; kapasitas untuk menikmati hal-hal yang ditawarkan
oleh masyarakat; untuk menikmati buah-buah (hasil) karya sendiri; untuk membuka diri pada
innovasi-innovasi kultural yang dihasilkan oleh waktu; pemahaman akan generasi-generasi baru dan
kebutuhan mereka untuk bertumbuh (berkembang) dengan baik; keterbukaan pada pemahaman akan
kebutuhan-kebutuhan orang-orang yang kurang bertalenta (orang-orang lemah); mengatasi rasisme-
rasisme defensif dan ideologi-ideologi sempit dan legalistik; kepenuhan kapasitas mencintai, tidak
hanya orang-orang dekat sendiri (ranah keluarga, tetangga, dll), tetapi juga orang-orang asing;
pemahaman akan nilai damai universal; mengatasi kemiskinan kompetitif, dll. Kapasitas (bagi
beberapa orang) untuk mengerti karya-karya besar yang memberi kontribusi untuk memperbaiki
kondisi hidup; perkembangan profesional progressif (bagi beberapa orang); kreativitas untuk gaya-
gaya hidup yang baru, sesuai dengan tuntutan zaman; re-elaborasi kultural dan kontribusi untuk

163
meneliti dan memberi saran. Perkembangan genitalitas yang dimaksud secara otentik praktisnya
adalah tak terbatas; ia menunjukkan “qualitas fundamental” kematangan human.
Lawannya (controvirtù): pengisolasian, narcisisme (semua harus terarah untuk keterjaminan
individual), egoisme, seksualitas yang memperalat yang lain, ketertutupan sosial, kemonotonan
interesse-interesse, pembelaan diri yang terus menerus kontra intimitas dengan yang lain,
ketidakpahaman relatif akan jenis seks (kelamin) yang lain, ketidaksanggupan untuk hal-hal ideal
yang benar atau untuk kultur akan hal-hal ideal tetapi menjauhkan diri dari relasi human,
kekakuan/keketatan moral atau laksisme moral, dll.

Generativitas: ini dikaitkan secara ketat dengan genitalitas dan memang inilah
pengembangannya, maka oleh karena itu banyak yang sudah dikatakan di atas kiranya perlu
diulangi di sini. “Manusia yang matang – kata Erikson – butuh bahwa ia dibutuhkan”. Orang itu
dituntut untuk produktif dan kreatif, sebagai ekspressi pemberian diri. Kapasitas meninggalkan diri
dan intelek membawa dalam dirinya sendiri ekspansi gradual interesse dari si Aku dan pengenaan
libido (= kekuatan untuk mempersatukan makhluk di antara mereka) pada obyek generasi.
“Generativitas lebih membentuk momen essensial psikoseksual dari pada psikososial”.
Stadium perkembangan ini terjadi pada umur “matang” sebagai momen puncak siklus hidup.
Membuat stabil pada usia sudah matang tidaklah gampang, terutama dalam masyarakat di mana –
berbeda dari zaman saat Erikson menulis – hidup diperpanjang secara istimewa dan momen-momen
pematangan sudah menerima berbagai ritme. Memang periode masa muda (adolescen) diperpanjang
secara istimewa dan pencapaian identitas sekarang ini nampaknya lebih terancam dari pada lebih
favorit, karena kompleksnya stimulasi ekstern; nampaknya dipercepat proses perkembangan fisik
dengan penantian seksual yang relatif. Dengan demikian terjadi keterpecahan antara pematangan
efektif psikis dan pematangan fisik, yang tidak diatur dengan baik. “Identitas yang belum
sempurna” merupakan karakteristik orang muda (adolescen) antara 20 hingga 25 tahun, periode
dimana desakan sosial menuntut identitas yang terstruktur dengan baik. Sebagai balasan
diperpanjang juga waktu usia matang, oleh karena batas-batas “usia ketiga” dan “ketuaan’ begitu
diperluas. Konsekuensinya ialah bahwa ada ruang temporal yang sangat luas di mana orang dapat
melanjutkan proses pertumbuhannya, dengan mengembangkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
sudah disebut di atas, dengan ritme, yang walaupun lambat, tetapi terjamin.
Kesalahan (error) – dari sundut pandang pedagogis pastoral – seharusnya mendorong untuk
mendapatkan kematangan dalam periode-periode siklus hidup yang kurang memadai untuk
mengembangkannya (bahaya untuk merujuk terutama pada masa muda [adalescen]) dan untuk
membuat menerima “perilaku matang” yang hanya ekstern, yang terpaksa disesuaikan dengan
saran-saran yang berasal entah dari keluarga entah dari kelompok-kelompok yang hanya dengan
suggesti-suggesti ideal, untuk membentuk personalitas yang cocok dengan tugas-tugas kematangan.
Ketika tiba periode di mana kewajiban-kewajiban eksistensial menjadi lebih berat dan mendesak,
benturan dengan realitas akan membuat nampak terang kerapuhan konstruksi dan diverifikasi
“keruntuhan-keruntuhan” yang kadang-kadang mengandung konsekwensi-konsekwensi berat. Salah
satu dari bidang, di mana lebih gampang terjadi longsoran psikologis, ialah bidang cinta, hidup
seksualitas; yang lain adalah bidang kerja, yang lain lagi ialah relasi pasangan: periode yang
“riskan” ialah pada usia sekitar 30 hingga 35 tahun. Yang lain adalah sekitar 50-an.
Genitalitas dan generativitas merupakan tahap yang sangat lambat dicapai dan yang harus didorong
(stimulasi) dengan penuh kebijaksanaan, dengan menjamin bahwa harus dikonsolidasikan realisasi-
realisasi usia sebelumnya. Pencapaian “kebjikan” yang nampak dalam periode-periode ini
merupakan proses yang harus dikembangkan secara mendalam, melalui pedagogi dan pastoral yang
sangat cermat, hati-hati, sabar, setia, tetapi juga bersifat preventif terhadap kemungkinan-
kemungkinan konflik yang tak teratasi dan yang dapat dilihat sebagai penuh dengan kejadian
kesalahan (error), dengan mengarahkan kepada refleksi dengan pemahaman dan keteguhan. Ini
adalah pekrjaan yang harus dibuat sebelum masa muda (adolescen), dengan mengelakkan saran-
saran interpretasi psikologis yang salah, seturut mana adalah bagus membiarkan agar masa bayi dan
masa kanak-kanak tidak mengalami dan menderita penekanan.
Di sini masuk juga sekalian problematik sehubungan dengan frustrasi. Menghindari frustrasi
untuk memberi kecerahan pada masa kanak-kanak pastilah penting; tetapi lagi-lagi Erikson dan
semua psikoanalisa, setelah 100 tahun berpengalaman, mengingatkan kepada kita bahwa “bukan

164
frustrasi-frustrasi yang membuat anak-anak nervous, tetapi kurangnya arti sosial dalam frustrasi ini,
yaitu arti yang ada dalam rintangan yang dihadapi dan dalam kekecewaan yang terjadi dalam
realitas. Pertolongan selanjutnya untuk mentolerir frustrasi, sebagai datum realitas, dan untuk
mengatasinya dengan keyakinan, dengan misiatif dan otonomi, akan memberi dasar yang solid bagi
pertumbuhan anak dan kekanakan, sedemikian, sehingga dalam masa muda (adolescen) orang siap
menghadapi ketakutan yang sangat mencekam dan untuk mencapai stabilitas identitas yang
kemudian memungkinkan untuk tahu memberi diri pada generativitas psikis.
Jadi, pembicaraan mengenai kebajikan sebagai “perilaku interior termotivasi” adalah
essensial dan lari dari setiap retorik: perilaku sedemikian adalah sekaligus cara untuk mencoba
masuk ke dalam introspeksi; adalah cara berperilaku yang dapat dimasuki orang lain; adalah
kondisi interior yang dapat dikenali dengan perantaraan tekhnik-tekhnik psikologis yang lebih
halus.

Yang terakhir dari kebajikan yang dibahas oleh Erikson ialah integritas dari si Aku, yakni kapasitas
untuk memelihara organisasi (pengaturan) personalitas, dalam kepastian untuk merealisir aturan dan
keberartian pribadi sendiri. Ditambahkan pula “penerimaan siklus hidup sendiri dan tak terulangi
sebagai sesuatu yang penting dan tak tergantikan”, rasa bersatu dengan kebiasaan sosial yang punya
arti dalam kegunaan bagi kemanusiaan “untuk mendekatkan diri pada integritas dan untuk
mempunyai pengalaman. Maka seorang individu harus tahu mengikuti figur-figur ideal agama dan
politik, ekonomi dan tekhnik, aristokrasi, seni dan ilmu pengetahuan. Jadi, integritas diri si Aku
mengimplikasikan baik partisipasi emotif dalam kualitas pengikut maupun penerimaan
tanggungjawab pembimbing.
Ketakutan akan kematian yang akan datang, yang terkait secara erat dengan semakin
senjanya usia, bisa menopang atau menjatuhkan, tergantung dari apakah seseorang sudah tetap
menyadari bahwa hidupnya sudah dan terus punya arti; sebaliknya, ketakutan akan kematian
menghancurkan konstruksi rapuh hidup yang dihidupi hanya dipermukaan (mendangkal) dan
dengan motivasi yang kurang berarti.
Berasal dari: kebijaksanaan / kearifan (saggeza), keyakinan bahwa sesuatu dari dirinya
sendiri dapat tetap ada, pendampingan orang-orang muda, atas dasar pengalaman hidup, iman akan
immortalitas, yaitu bahwa kepercayaan bahwa sesuatu tetap ada di seberang hancurnya tubuh,
pengharapan akan hidup yang lebih baik dalam pergulatan psikis.
Lawannya (controvirtu): keputusasaan, depressi, bunuh diri (sering terjadi pada orang yang
sudah tua), kesendirian yang putus asa, tajam terhadap orang muda, konservatisme yang bersifat
opposisi, tuntutan-tuntutan otoriter, pengenaan tuntutan narcisistik sendiri, ratap-tangis, dan keadaan
yang ditinggalkan.

Skema-skema ini yang berkaitan dengan perilaku yang terarah pada pertumbuhan seseorang
(seorang pribadi) pasti tidak lemah dan penempatannya secara kronologis dapat juga dimodifisir,
dengan mengantisipasi, misalnya, motivasi untuk interesse sosial, politis, religius, yang ditempatkan
oleh Erikson pada akhir siklus hidup, pada usia yang sangat cepat matang, dengan melihat bahwa
partisipasi dalam hidup sosial dan kemudian pada interesse-interesse, yang adalah realitas yang
tidak dapat ditinggalkan, sekurang-kurangnya tidak terisolir dan kurang akan dorongan ideal;
sebaliknya, akan diupayakan untuk mencocokkan tuntutan-tuntutan dengan kemungkinan masing-
masing orang secara efektif untuk mendapatkan dorongan dan merealisirnya kemudian secara lebih
solid dan lebih produktif. Skema yang ditawarkan itu berguna untuk menunjukkan perilaku yang
mana dapat dibangkitkan dan digerakkan dalam berbagai usia, lebih dari mengistimewakan secara
khusus beberapa di antaranya: jadi, menunjukkan pembingbing bagi orang yang kiranya memilih
untuk mendedikasikan diri kepada pendidikan manusia, dengan memilih metode-metode yang
paling cocok, untuk menghindari sekurang-kurangnya kesalahan-kesalahan (error) yang lebih besar.

Sebagai kesimpulan singkat, dapat dikatakan bahwa ini menunjukkan jalan bagi realisasi
dimensi etis baik dalam perilaku individual maupun dalam sikap atau perilaku untuk menolong bagi
pertumbuhan, dengan melihat sekaligus norma-norma etis sebagai pertolongan yang ditunjukkan
untuk pertumbuhan manusia dalam kepenuhan martabatnya, yang kodrati dan adikodrati.

165
Untuk melengkapi pembicaraan ini masih perlu lagi dibahas mengenai kebajikan yang
disebut kebajikan “utama” (cardinal) oleh tradisi teologis kristen: yaitu kebajikan kebijaksanaan,
keadilan, keteguhan dan kesederhanaan. Ini adalah aspek-aspek perilaku yang sama yang
ditunjukkan sebelumnya dan dapat dikaitkan dengannya atas cara ini..

Kebijaksanaan: ini berasal dari kapasitas untuk otokontrol, yang dihubungkan dengan
verifikasi realitas dan dengan upaya, melihat konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan (aksi-
aksi) sendiri. Ini didasarkan pada adanya sikap untuk melihat “secara lebih dulu” hubungan sebab
akibat antara perilaku sendiri dan bagi orang lain. Selanjutnya masuk juga kontrol akan perilaku itu
sendiri atau penolakan terhadapnya, kalau tidak sopan.
Berasal dari: sikap hati-hati, kepekaan terhadap orang lain, inteligensi yang bijaksana dalam
mengamati rangkaian kesombongan perbuatan-perbuatan, memori akan relasi antar mereka.
Lawannya (controvirtu): ketiadaan gerakan hati, ketidaksabaran, kapasitas yang kurang
untuk mengevaluasi perilaku, melawan norma-norma, hukum, menolak tuntutan etis.

Keadilan: berhubungan dengan pematangan rasa resiprositas, yang membawa untuk melihat
kesamaan antar manusia (dalam hal hak-hak dan kewajiban-kewajiban). Ini diwujudkan secara tak
teerbatas dalam seluruh situasi (sosial, ekonomi, politis, religious) baik dengan diri sendiri maupun
dengan orang lain.
Berasal dari: rasa hormat terhadap martabat human, baik martabat sendiri maupun martabat
orang lain; kapasitas untuk bekerja secara “jujur” atau “tulus”; kejujuran intelektual (tidak
mengecualikan kebenaran), realisme dalam hubungan antar pribadi; kebijakan dalam hubungan
tersebut.
Lawannya (controvirtu): perbuatan jahat, mendominasi kelompok, rasisme, keserakahan,
kurangnya prinsip-prinsip etis, ketidakberagaman.

Keteguhan: ini adalah kekonstanan perilaku positif pun dalam keadaan yang bertentangan
dengannya, kemampuan agar tidak bertekuk lutut terhadap dan tidak diperalat oleh orang lain,
pembelaan otonomi dan kebebasan, koherensi dengan keyakinan sendiri, penjagaan identitas.
Berasal dari: keteguhan dalam niat, menerima letihnya hidup dan rasa frustrasi, kapasitas
melaksanakan perjalanan yang tak putus-putusnya dalam rintangan-rintangan.
Lawannya (controvirtu): kelemahan kemauan, ketidakstabilan dalam motivasi,
ketergantungan tanpa kritis terhadap keadaan, kelabilan psikis, dan lain-lain.

Kesederhanaan: ini bereferensi pada modulasi autokontrol, pada moderasi (kemoderatan;


kesederhanaan) keinginan-keinginan, dorongan-dorongan dan perilaku. Juga kapasitas untuk
menolak, kalau perlu, keinginan-keinginan atau niat-niat demi kepentingan superior personal dan
sosial. Dengan kata lain, mungkin dapat dirumuskan sebagai kapasitas akan keseimbangan psikis
global.

Keempat dimensi personalitas ini dapat direduksi menjadi satu saja: kekuatan dari si Aku
untuk beradaptasi pada realitas, dengan melihatnya dalam memprediksi hasil-hasil yang berguna,
yang muncul kemudian. Intensitas pengaruhnya dalam dinamika personal, sebagaimana sudah
diulangi beberapa kali, tergantung dari perkembangan yang dicapai dalam setiap tingkat usia,
tergantung dari kapasitas memahami tujuan yang melekat pada diri sendiri, dan dari perlunya
kebersamaan dalam relasi sosial yang barangkali mengganjari. Dinamika eksistensial bergerak
dalam konflik antara keinginan subyektif dan kemungkinan realisasi obyektif; kekuatan dari si Aku
memberi peluang untuk memilih pelan-pelan perilaku yang pantas, dengan menghindarkan kerugian
psikologis, fisik atau sosial, dan sebaliknya mengupayakan perbaikan kondisi umum hidup.
Motivasi religius memberi arti yang penuh untuk mencocokan seorang pribadi dengan tujuan
“keselamatan” yang kemudian, dan mengarahkannya untuk memilih modalitas-modalitas yang lebih
disesuaikan pada realisasi nilai-nilai spiritual yang diberikan oleh Kristus.

Akhirnya, nampaknya berguna memberi tekanan pada salah satu kebajikan, yang karena
penyimpangan-penyimpangan (distorsi) interpretatif yang telah terjadi dalam beberapa periode

166
historis, menimbulkkan masalah serius dan kadang-kadang juga menjadi obyek pelecehan, yaitu
kemurnian. Fakta bahwa kebajikan ini selalu dihubungkan dengan perilaku seksual, maka
pentingnnya dan artinya yang eksistensial dikurangi. Kemurnian adalah kemampuan untuk melihat
segala hal, dunia, diri sendiri, dan juga tubuh, dalam integritasnya yang asli, diluar kepemilikan,
kejahatan, egoisme. Kemurnian ialah tahu melihat “ketulusan” dari Yang Ada (definisi dari St.
Katarina Fieschi mengenai Allah) dalam segala sesuatu atau dalam setiap prilaku, dan sebagai
konsekuensinya ialah tahu berperilaku. Kemurnian ialah menggunakan segala sesuatu sebagai
berfungsi demi harta rohani, dengan menyadari bahwa segala sesuatu dapat dipakai, tetapi bahwa
tujuannya adalah di atas segala sesuatu itu. Kemurnian adalah “transparansi” perilaku, yang berbeda
(lain) dari kesederhanaan pemikiran, dari ketidaksadaran infantil, dari kebodohan yang gampang
percaya kepada orang lain, dan dari ketaatan passif. Meredusir kemurnian itu hanya dalam hal
dimensi seksual, itu berarti mengosongkannya dari kekayaan akan intuisi keindahan semesta alam
dan kecantikan manusia. Yesus mengatakan: “berbahagialah orang yang murni dalam roh”. Dan St.
Katarina mengundang kita untuk meniru Allah yang adalah, menurut dia, “kebeningan, transparansi,
dan dari ketulusan Yang Ada”.

IV. KEBAJIKAN TEOLOGAL (VIRTUTES THEOLOGALES)


Untuk kelompok orang “kristen” nampaknya ada beberapa kebajikan yang dianggap khusus.
Pembedaan dan pembicaraan apakah kebajikan-kebajikan itu kodrati atau yang dicurahkan, itu
adalah tugas teologi.
Seperti bagi semua kelompok sosial, “norma-norma” yang diketengahkan menunjuk pada
suatu tujuan: untuk orang kristen tujuan khusus adalah “hidup dalam Kristus” dan merealisir tujuan
spiritual untuknya Kristus telah memberi petunjuk. Dari sudut pandang psikologi biasanya tidak
begitu penting mengetahui apakah kebajikan-kebajikan itu natural atau dicurahkan, karena soal yang
hendak digeluti lebih pada motivasi untuk menerima “saran” itu daripada mengetahui bagaimana
kebajikan-kebajikan itu masuk ke dalam hidup setiap orang. Nampaknya, yang paling penting ialah
menguji motivasi itu, dan juga serta terutama mengenai basis konstatasi historis bahwa iman, harap
dan kasih tidak asing bagi dunia non-kristen. Perbedaannya ialah dalam cara (modus), dengannya
dapat dilihat apa yang dimaksud dengan kebajikan itu, dan mengapa kebajikan-kebajikan itu
mendapat tempat istimewa (privilege) dalam etika kristen. Kebajikan-kebajikan itu nampak sebagai
kebajikan-kebajikan spesifik Kristus yang dalam pengajaran-Nya Dia tidak membuat traktat teoritis,
tetapi Dia pada hakikatnya membangun model perilaku: dalam keyakinan mutlak dan taat pada
”perutusan” Bapa; dalam pengharapan bahwa seluruh karya-Nya sudah punya tujuan yang jelas,
yaitu membangun “Kerajaan Allah” dalam kasih yang sangat besar. Ia telah mengasihi dan Ia telah
rela mati untuk mereka. Jadi ada perubahan radikal kemanusiaan, yaitu bahwa telah dicapai
“kualitas” anak-anak Allah.
Kalau Kristus diterima sebagai model sentralitas keberadaan, yang terarah kepada hidup
illahi, maka logisnya secara deduktif ialah bahwa apa yang Dia katakan dan tunjukkan adalah hal
yang baik untuk dicapai: sebagai deduksi rasional ialah bahwa hal itu harus ditopang, sekalipun
meletihkan, yaitu terus merevisi perilaku sendiri agar selalu semakin serupa dengan kebaikan
(Kristus) itu.
Kebajikan-kebajikan yang disebut teologal nampaknya, bagi dinamika psikologis, punya arti
dalam proporsi hubungannya yang ketat dengan kepastian (yang dikerjakan oleh imam dan
didasarkan secara historis) bahwa saran itu bergema dan persuasif dan bahwa berguna
mengadopsinya dengan menjawab “panggilan”. Kalau kepastian ini tidak ada, sekurang-kurangnya
pada awalnya, maka tidak dapat dimengerti apa perbedaan antara iman “kodrati” dan iman yang
“dicurahkan” (dianugerahkan) dalam arti kristen.
Oleh karena itu kembali lagi jatuh pada motivasi yang berdasar pada “pengetahuan” akan
Warta, tidak hanya dalam arti intelektualistik, tetapi juga dalam arti eksistensial, dalam
kesinambungan antara “mengetahui” dan bertindak, justru oleh orang (personalitas) “normal”,
secepat Warta itu diketahui, maka secepat itu pula ada jawaban. Pesan (Warta) Kristen tentu adalah

167
superior karena isi dan karena modalitas expressif terhadap Warta-Warta religius yang lain,
mungkin saja karena berbeda dari agama-agama historis yang lain sejauh memaparkan
kemungkinan ”penebusan” dari tidak hanya kemungkinan ekspiasi dan purifikasi. Diberi kepastian
bahwa pembaharuan interior dijamin oleh seseorang yang telah menunjukkan sebagai siap untuk
sampai pada kontemplasi akan Allah melalui saluran (kanal) cinta dan tidak hanya melalui kanal
meditasi rasional. Daya tarik bahwa kematian-pengorbanan atas nama seseorang pahlawan yang
ideal untuk seluruh kemanusiaan, di sini diteguhkan oleh pengharapan bahwa, melalui partisipasi
misterius siapa pun pada hidup illahi, sesuatu dari kebesaran hidup ini dijamin juga bagi siapa pun.
Bahwa memang didirikan “komunitas orang” yang hidup dalam intensionalitas iman yang sama
dalam kemungkinan untuk membangun “kerajaan” di mana cinta meraja dan di mana diatasi
kelemahan, kebencian, kompetisi (persaingan) dan batas-batas hidup sehari-hari. Sebaliknya,
keyakinan ini menentukan operativitas: kalau demikianlah tujuannya, maka “aturan” (“regula”)
berjalannya juga dapat diterima.
”Perlunya rasa” khas zaman kita - dan terutama rasa khas generasi yang lebih muda -
menyingkirkan sikap ”kharismatik” atau interpretasi tradisional - skolastik tentang teori kebajikan.
Psikologi telah memberi secukupnya kepada kita informasi untuk mengerti bahwa kebenaran intuisi
melalui Warta yang disebarkan oleh kelompok yang termasuk hingga disahkan oleh pengalaman
konkret, yang telah diuji secara historis, dengan hidupnya, bahwa Warta-Nya adalah berguna setiap
saat, maka otomatis pelekatan pada norma-normaNya terealisir. Bahwa kemudian mungkin ada
kesulitan untuk mengaktualisir Warta itu, itu tergantung dari banyak sirkumstansi dan dari apa yang
ditunjukkan sebagai ”kelemahan kodrat human”: kodrat yang kompleks, tentangnya tidak banyak
diketahui dan akibatnya sulit mengorientasikan selalu kepada tujuan-tujuan yang sudah ditentukan.
Orang modern condong menghindari skema-skema teoritis dan distinksi-distinksi teologis,
karena lebih dipikirkan globalitas arti hidup. Ini berada dalam posisi radikal, dalam arti bahwa
diteliti akar-akar gerakan pemikiran dan agama dari paparan-paparan mengenai asal-usul kebajikan-
kebajikan yang dirasa menarik secara relatif.
Sebaliknya yang lebih masuk akal lagi ialah membawa kepada kesadaran akan korelasi yang
penting antar pemahaman akan misteri dan aksi, yang terungkap dalam perilaku iman, harap dan
kasih. Masih lebih menarik lagi bahwa bisa jadi ada analisis modelitas di mana dapat diungkapkan
masing-masing kebajikan.
Sebenarnya, tidaklah terlalu original mengingat bahwa kebajikan ”kasih” sudah dianggap
sebagai satu-satunya kebajikan kristen yang benar atau seturut pemikiran Paulus, sebagai yang
berada di atas semua kebajikan lain dan memuatnya. Inilah madah kasih dari 1 Kor 13 yang
merangkum dengan lirik yang luar bisasa sentralitas kebajikan ini:
”Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika
aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang
gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala
rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk
memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan
sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku
untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku.
Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak
sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak
pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan,
tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala
sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir, bahasa
roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita
tidak sempurna. Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap. Ketika
aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku
berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat
kanak-kanak itu. Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar,
tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak
sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal.
Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di
antaranya ialah kasih.”

Teks Paulus memberi motivasi dasar untuk semua kebajikan, yang dimaksudkan untuk

168
mengelakkan cacat cela yang bertentangan dan oleh karena itu sebagai aktualisasi akan sesuatu yang
baik yang dihadapkan dengan tendensi kodrati untuk merusak hubungan dengan orang lain, dan
yang dimaksudkan sebagai pilihan sikap yang sampai ke seberang upaya hanya mengelakkan yang
pahit: ”bergembira dalam kebenaran”. Tekanan diletakkan pada cinta untuk mengenal apa yang
adalah manusia dengan arahnya sebagai anak-anak Allah (kebenaran), diletakkan pada sikap yang
berharap akan segalanya, yaitu berharap bahwa nasib itu terlaksana dalam totalitasnya, diletakkan
pada kapasitas untuk ”mensupport segalanya”, yaitu untuk menerima juga derita, frustrasi,
ketidakmengertian, hilangnya dan separasi; dan juga sikap untuk ”memaafkan” semuanya, untuk
mentolerir kekeliruan demi untuk menggali relasi yang lebih baik sehubungan dengan tujuan positif
yang terkandung dalam ketersesatan tersebut.
Kemudian diungkapkan lagi kesabaran, kemurahan, ke-rendah (hati)-an, keterbatasan,
mengatasi narcisisme, hormat (respek) akan keadilan dan hak-hak orang lain, tidak materialistis dan
psikologis, dapat mengontrol agressivitas dan amarah, melupakan kesalahan orang lain dan lalu
memberi ampun; satu seri kebajikan yang juga dituntut dalam level spiritualitas kodrati, sebagai
faktor-faktor hubungan yang baik di antara sesama manusia dan berbagai relasi dengan nilai besar
dan mendasar martabat manusia. Kasih, dalam paham Paulus, ialah sesuatu yang memberi arti yang
transenden terhadap perilaku etis normal. Adakah identifikasi dengan Kristus yang membuat ”nilai”,
yang menjadi poros bagi semua nilai yang lain; untuk ini ”tidak boleh kurang apa pun”. Melalui
mediasi Kristus diberikan kepada manusia keterjaminan untuk membawa ke dalam diri sendiri sikap
kepada totalitas cinta ini, secara unik karena masuk dalam diri Kristus (yaitu, dalam istilah
psikologis, identifikasi total) adalah demikian untuk memberi garansi padanya: itu adalah fakta yang
sudah terjadi dan yang akan terulang terus hingga terpenuhi hanya penebusan. Radikalitas
identifikasi ini adalah ”kebenaran” historis yang telah menggerakkan kebangkitan dunia. ”Kamu ada
dalam Aku dan Aku dalam kamu” kata Yohanes (Yoh 14;20) dan diteruskan dengan mengutip
khotbah Yesus: ”Kalau kamu mencintai Aku, laksanakanlah perintah-perintah Ku” (Yoh 14;15).
Jadi, percaya pada janji ini berarti percaya bahwa ada (selalu) kemungkinan untuk
melaksanakan perintah itu. Kalau eksistensi ditandai dengan kelemahan, ketidaksetiaan, dan dosa,
saling benci, agressivitas yang jahat, kelobaan, kerakusan, dst, ini tidak berarti bahwa tidak mungkin
mengobati dan meneruskan perjalanan, asal tetap percaya secara total dalam janji. Orang yang
percaya kepada Kristus - berbeda dengan orang yang tidak percaya - punya cara untuk menolong
dirinya yang menjamin keberhasilannya. Perkataan ini jelas lebih “kualitatif” daripada “operatif”.
Ketersesatan bukan tidak diakui dan tidak dijauhkan selalu; hal itu ada, tetapi bisa saja
dikompensasi dengan terus kembali pada motivasi iman, kalau cinta kepada Kristus diterima dan
dikembangkan.
Kata teolog-teolog sekarang, ini adalah optio fundamental: ”jawaban” kepada panggilan.
Sejauh dapat disimpulkan dari perilaku orang-orang sekarang, ini adalah motivasi satu-satunya yang
dapat membawa kepada menerima pengarahan etis kristen. Di luar ini, sedikit saja yang dapat
dikatakan mengenai masing-masing kebajikan-kebajikan, paparan menjadi pedagogis dan asketis,
untuk dipilih terus-menerus, dengan tujuan untuk merealisir intensionalitas kasih dalam tindakan
praktis. “Iman” dalam perjanjian menjadi pengharapan realisasi.
Pengharapan perlu bagi manusia untuk memikul beban hidup. Berharap berarti menganggap
bahwa apa yang dibuat akan mempunyai pemenuhannya yang signifikatif: berharap berarti tanggap
bahwa komunitas antara orang per orang dikembangkan dalam saling menolong untuk kesatuan,
persaudaraan, realisasi “Kerajaan Allah”; berharap berati percaya bahwa tidaklah segalanya mati
kalau pun terjadi frustrasi, derita, kematian. Berharap berarti menganggap bahwa hidup punya arti.
Tetapi semua ini tergantung dari kapasitas mencinta.
Dalam siklus evolutif manusia, penaklukan kapasitas mencinta adalah momen puncak
kematangan: pada masa bayi, ada mencinta, hanya kalau dicintai, karena keperluan untuk menerima
pertolongan dari orang yang lebih terisi dengan sarana-sarana pertolonngan. Cinta seorang bayi
adalah egosentris, kalau menarik, jarang sanggup bergerak secara altruistik, karena kerapuhan psikis
bayi itu sendiri. Selanjutnya, dengan pematangan kapasitas untuk memahami relasi human,
dikembangkan perasaan resiprositas, kesamaan (dan kemudian prakata kapasitas keadilan). Hanya
kalau beranjak dewasa (adolescen) kebutuhan menerima cinta diperkaya dengan kebutuhan
memberinya: adalah pertukaran perasaan itu yang mulai menjadi bagian integral pengalaman yang
mematangkan. Tetapi cinta itu menuntut revisi yang terus-menerus akan tendensi egosentris, demi

169
nilai etis yang lebih luas terhadap perhatian akan orang lain. Pematangan seksual sendiri
memasukkan energi yang condong untuk pertukaran cinta, hingga pada kapasitas “perkawinan”,
yang dimaksud sebagai ikatan ketat koperasi untuk mengintensifkan perkembangan hidup.
Bukanlah omong-kosong bahwa model perkawinan dipakai dalam lingkungan pengajaran religius
untuk menyimbolkan kesatuan Kristus dengan Gereja dan – oleh para mistikus kesatuan roh dengan
Roh. Kematangan, kalau dikembangkan dalam kepenuhannya, memberi kapasitas penuh untuk
mencinta, dalam apa yang didefinisikan oleh Erikson “generativitas”, dan Freud sudah lebih dulu
mendefinisikan “genitalitas”: ini menunjukkan sikap “memberi hidup” kepada sesuatu yang tetap
tinggal begitu atau sebagai penerusan spesies atau perluasan kultur atau sebagai kepenuhan spiritual.
Generativitas adalah ungkapan cinta untuk hidup in toto (dalam keseluruhan), dalam
pengganjarannya dan dalam frustrasinya: generativitas adalah pemahaman bahwa hidup,
bagaimanapun, adalah suatu nilai; walaupun kemudian definisi eksak nilai itu lari pada setiap
percobaan deskriptif. Hidup nampak semakin seperti misteri daripada hidup orang yang matang,
tetapi misteri membuat kurang takut karena pematangan itu sendiri memperlengkapi dengan energi
untuk memikul beban dan untuk merenungkannya dalam aspek-aspeknya yang membangkitkan.
Oleh karena itu generativitas menjadi “kasih’ dalam arti penuh istilah kristen, berdasarkan model
Kristus, yang bersama Bapa, melalui Penghibur dan Yang Menghidupkan, telah menunjukkan
dalam hidup essensi (hakikat) perasaan yang menghubungkan manusia dengan sesamanya dan
dengan Allah.
Bagi manusia modern yang tergoda untuk menolak misteri karena ingin mengenal
seluruhnya, untuk dapat mendominasi dan memanipulasi semua, misteri kasih tidaklah tidak dapat
dipahami, karena kehausan besar akan cinta yang membuat ingin selalu mencari. Di sinilah ada
kemungkinan untuk menjawab. Ditetapkan suatu komunikasi yang memberi damai, sekalipun dalam
pencarian yang terus-menerus akan yang tak terkatakan.
Perilaku-perilaku selalu dapat menjadi “stabil” – berkebajikan - kalau ditopang oleh
prospektif damai ini, oleh prospektif penghiburan yang menopang semua aktivitas psikis dan
kemudian sampai pada operativitas.

V. PENGALAMAN KOMUNITER AKAN KEBAJIKAN


Dengan menggarisbawahi aspek “adaptatif” kebajikan sebagai perilaku yang pantas untuk
mengembangkan persona dan societas, digarisbawahi juga nilai komuniternya. Riset psikologi sosial
dengan pendahuluan tematis relasional (dalam kasus khusus, dinamika-dinamika kelompok) telah
melancarkan hipotesa – yang diverifikasi kemudian dengan pengalaman langsung – bahwa ada pada
awal hidup psikis setiap orang situasi “asli”, “original”, yang didefinisikan sebagai “berkelompok”,
yang membentuk pengalaman hidup yang pertama sekali. “Observasi dari para neonatolog –
menjelaskan kompetensi orang yang baru lahir untuk sepakat dengan lingkungan yang
mengitarinya, tidak hanya untuk merespon masukan dan keinginan maternal; realitas fisik dan psikis
paternal dan fraternal juga ada dalam keseluruhan infantil yang terlalu cepat tumbuh dewasa …
psikis orang yang baru lahir melebur dalam aparat psikis familiar (Ruffiot), demikian pun bahwa
cinta, yang kemudian akan diperkembangkan, tidak lain selain merupakan – berhasil atau tidak –
pencobaan untuk menyusun kembali pertama-tama realitas grup familiar, lalu kemudian sosial.
Sudah sejak dahulu Aristoteles mendefinisikan kebajikan manusia sebagai animal sosial, dan
psikologi sekarang sudah menyelidiki modalitas ekspresi dan hasil-hasilnya. Jadi, “penyesuaian”
adalah sekaligus strategi yang membawa kepada formasi pemasukan seseorang ke dalam kelompok,
pada awal hidup, dan kemudian, karena penemuan teknik-teknik yang beraneka ragam, untuk
membuatnya menjadi bagian stabil dan untuk menyusunnya sekali lagi. Jadi, tetap natural
mempertimbangkan strategi-strategi yang ditunjukkan oleh kebajikan-kebajikan dari berbagai jenis,
yang sudah dilukiskan beberapa di antaranya, sebagai perilaku yang dimaksudkan untuk
menguatkan, memperbaiki, menyempurnakan hubungan-hubungan kelompok, dengan
mengembangkan rasa komuniter. Sebetulnya, sebagian besar dari kebajikan itu bertujuan sosial,
memungkinkan kebersamaan yang saling mendukung atau saling damai atau kreatif akan bentuk-
bentuk hidup kemudian yang baru (aturan-aturan hidup yang baru), dalam kerja sama antar anggota.
Tujuan kelompok ialah memberikan kepada setiap orang formasi akan kelompok dengan ciri-cirinya

170
yang berbeda, dan spesifik. Seseorang (orang yang sama) dapat ambil bagian dalam kelompok-
kelompok yang berbeda dengan mengembangkan dalam masing-masing kelompok sikap-sikap yang
berbeda; ketermasukan itu sendiri dalam berbagai kelompok memperkaya kepribadian orang itu,
karena kesempatan mengalami berbagai modalitas interaksi antar individu-individu.
Mengenai tujuan kristen dalam kelompok, tujuan khusus ialah penyusunan “komunitas” di
mana kewajiban iman dan kasih membentuk titik temu di antara orang beriman, dan sekaligus titik
tolak pembangunan “Kerajaan Allah”, kemana mereka percaya. Kekristenan tidaklah lahir sebagai
agama individualitas, tetapi sebagai “agama komuniter”, di mana dapat direalisir “kesatuan” semua:
“ut unum sint” (“semoga mereka satu”) (Yoh 17,11). Hidup dalam Gereja, komunitas konkret,
berarti bertemu dengan pribadi Yesus Kristus yang konkret, dan oleh karena itu, melalui Dia
mengalami Bapa, mengenal dan mencintai kehendak-Nya yang menyelamatkan, mengalami
kesatuan dengan Allah dan disatukan dengan-Nya melalui misteri keselamatan.
Dari psikologi kita tahu ada dalam diri manusia “energi psikis” yang bertujuan untuk
formasi ikatan dengan semua makhluk, terutama dengan insan human, walau ikatan dengan alam,
yang ekstrem pada insan human, adalah sama-sama penting tidak hanya untuk menggali sarana-
sarana hidup atau perjuangan hidup, tetapi juga untuk mencintainya sebagai ciptaan Allah, yang
dikuduskan melalui manusia, dibawa kembali kepada Allah, direstorasi martabatnya: adalah cinta
yang mengikat para makhluk antar mereka, yang membuat mereka hidup, yang membuat mereka
bersahabat dan bersaudara agar mereka, dalam persatuan mereka, dapat saling menolong untuk
melanjutkan hidup dalam hal-hal temporal. Oleh karena itu cap “kelompok” bertindak sebagai
“program” dan membimbing untuk berperilaku untuk merealisir program itu.
Stimulus untuk mempraktekkan semua kewajiban, yang menyatu dalam kasih, ada dalam
kodrat berkelompok ini, dengan memperlihatkan dalam perbuatan perilaku-perilaku yang pantas
dan menjaga serta memelihara perilaku itu hingga tugas yang dituntutnya terrealisir. Tugas spesifik
orang kristen ialah mempraktekkan dan semakin mengembangkan perilaku-perilaku yang
menfasilitasi hubungan antar anggota dan membimbing kepada persepsi rasa menyatu,
memfasilitasi partisipasi pada aksi Roh, yang menanamkan ke dalam diri setiap orang iman kepada
Kristus, memfasilitasi pengharapan akan keselamatan dan cinta bagi kesejahteraan umum (bonum
commune). Elemen mendasar ialah keyakinan bahwa dalam Kristus semua adalah saudara, atau
lebih lagi, semua adalah “ putra-putri Bapa yang sama dan satu”, jadi semua sama, sekalipun dalam
ketidaksamaan karena bobot yang berbeda-beda, dan bahwa “kebahagiaan” ada sebagai pertukaran
harta spiritual dan material antar anggota yang beraneka ragam. Kerja sama, yang mengungkapkan
atau menunjukkan melekatnya mereka, merupakan ungkapan iman dan menjadi kolaborasi dengan
Allah.
Dalam dinamika-dinamika hidup komuniter kristen diulangi dinamika-dinamika komunitas
natural, atas fundamen, bagaimanapun, forma iman partikular dan tujuan. Adalah pasti bahwa kalau
komunitas kristen berhasil hidup dalam dimensi “kelompok” yang otentik, maka komunitas itu
menjadi “ragi yang mengkhamirkan roti”. Komunitas yang berfungsi baik akan menyebarkan
kemodelannya ke sekitar teritorialnya secara operatif dan meluaskan pengaruhnya dalam sejarah
generasi yang berikutnya; akan demikianlah kesaksian di mana Warta keselamatan akan dapat
diterima juga pada masa yang akan datang, dengan meniru apa yang sudah terjadi dan dalam
keselarasan dengan perubahan-perubahan sosial. Transmissi kultur terjadi dari generasi ke generasi
yang masing-masing membawa kontribusi untuk interpretasi yang semakin mendalam akan model
yang disarankan; jadi, tugas komunitas adalah juga upaya untuk mencapai pengenalan yang semakin
mendalam akan Warta, demi terpenuhinya “pemahaman”nya.
Dalam kelompok-kelompok bisa terjadi krisis pertumbuhan, perbedaan interpretasi,
pembagian-pembagian peranan yang mengkompromikan keteguhan dan fungsionalitas, persaingan-
persaingan kelompok-kelompok yang lebih kecil, saran-saran yang tidak dimengerti pada saat di
mana saran-saran itu dipaparkan, pemunduran pada posisi yang lebih kuno karena fenomena
ketakutan akan hal yang baru dan karena serangan defensif. Komunitas kristen tidaklah tidak rugi
dari peristiwa-peristiwa ini yang memukul kelompok-kelompok lain dan nampaknya menggelapkan
kesahannya. Inilah sejarah manusia dalam dirinya sendiri dan menuntut sewaktu-waktu
pembaharuan iman, riset akan “akar-akar”nya, akan motivasi-motivasi, akan harapan-harapan, dan
mendapatkan kembali kemauan untuk memproses. Selama 2000 tahun sejarah komunitas kristen
telah mendokumentasikan kesusahan berat, masa-masa gelap, di mana nampak tenggelam bahkan

171
Warta fundamental dan muncul setan kemanusiaan yang menghilangkan pengharapan akan tindakan
Allah di dunia. Semua ini sudah terjadi dan mungkin saja akan masih terjadi lagi; tetapi kekuatan
kehadiran Kristus di dunia tidaklah sama sekali dikurangi. Walaupun aspek-aspek eksterior praktek
kristen sekarang ini gelap secara efektif dan bisa saja hilang, tapi substansi Injil tetap merupakan
batu fundamental bagi masyarakat dunia.
Menjadi giliran orang kristen untuk membaharui dengan energi rasa berkelompok, dengan
menghindarkan keterpecahan-keterpecahan dalam religiositas individualistik, mungkin akan lebih
memuaskan religiositas komuniter, tetapi lebih baik lagi semakin memupuk arti panggilan pada
perjanjian antara Allah dengan manusia. Kesulitan berasal dari keharusan mengurbankan sesuatu
dari diri sendiri untuk membuat dominan “hubungan dengan” yang lain dan untuk menemukan
dalam validitas ideal komuniter “kekuatan” yang perlu untuk mengawinkan otonomi dan solidaritas,
ketidaktergantungan dan ketaatan.
Institusi Gereja mengkoordinir berbagai kelompok, berbagai komunitas dengan
memasukkannya dalam konteks unifikasi interpretasi “universal” Warta Gembira, dengan mengatasi
kecenderungan (yang sudah dilihat dalam komunitas-komunitas kristen purba) memusatkan diri
seturut kriteria “lokal” atau seturut kuasa beberapa leader dengan kuasa otoriter, dengan
menunjukkan, dengan “keteguhan” Institusi sendiri kesolidan relasi antar orang kristen. Seperti
semua Institusi, juga Gereja, dapat menerima aspek yang lebih birokratis daripada spiritual, lebih
hirarkis dan fraternal, lebih otoriter daripada karitatif, karena memang (Gereja itu) tersusun dari
orang-orang yang sama, yang sudah ambil bagian dalam komunitas basis. Tetapi, bagaimanapun,
Gereja itu, terutama setelah krisis besar pada abad-abad terakhir ini, cenderung memenuhi
kebutuhan akan ikatan sosieter ke mana orang terus terbuka, dan tanpa ikatan itu tidak dapat
merealisir dan mengembangkan diri sepenuhnya. Ikatan sosieter itu menempatkan realisasi diri
manusia dalam apa yang membawanya kepada hubungan yang hidup dengan semua, dengan yang
Absolut, dengan yang Ideal dari Aku yang total yang direpresentir oleh Kristus. Tuntutan dari
spiritualitas, yang semakin besar, dan dari relasi kuasa, yang berpengaruh agak kecil, membuat
komunitas-komunitas merasa bahwa mereka mengangkat level tunggal dan global dunia kristen dan
mendorongnya untuk membuat terang harmonisasi antara ikatan sosieter dan realisasi (diri)
kepribadian (orang), dalam potensinya yang multiform, dengan berjalan ”bersama dengan“ sejarah
dan bukan ”di luar” sejarah, sebagaimana kadang-kadang terjadi atas nama kemutlakan dogma dan
kestatisan isi rivelasi. Pertemuan antara orang beriman awam (laikus) dan orang beriman yang
tersusun sebagai hierarki, pastilah tidak gampang, oleh karena Institusi, sebagai Institusi, punya
fungsi perwakilan yang dapat juga kontras dengan harapan otentik religius dari basis dengan
manifestasi permohonan aktual akan keadilan sosial, akan rasa hormat akan martabat human, akan
penolakan akan perbuatan-perbuatan memperalat secara politis yang membanjir dalam sejarah
sekarang, akan praktek iman yang lebih integral dan dalam penyelamatan martabat Institusi sendiri,
agar tidak bekerja sama dengan tipuan yang disebabkan oleh penipu dari penguasa. Keawaman
menunjukkan tendensi yang kuat untuk merasakan ”komunitas” dalam keinginan ini, dengan
bergerak dengan otonomi pemikiran tertentu, yang juga menghormati otoritas Institusi. Simpulan
yang hendak dibuka/diuraikan ialah hubungan yang analog dengan yang ada dalam masyarakat
dengan struktur ”demokratis ”, di mana hak-hak warga harus terintegrir dengan otoritas Negara,
yang organisasinya dimaksudkan untuk pelayanan komunitas, masyarakat. Juga Gereja harus
melihat diri sendiri sebagai struktur untuk melayani orang beriman, untuk mengarahkan mereka
pada realisasi ”Kerajaan Allah”. Jadi, tugas yang sulit, untuknya komunitas yang berkembang
menjadi terbebani, dengan mempelajari modalitas ekspressif tugas sedemikian, dengan
mengusulkan interpretasi aktual yang mungkin akan Warta itu, dengan mengorganisir bentuk-
bentuk khusus intervensi atas masyarakat; ini khususnya subur kalau menjaga kebajikan persatuan
yang kuat, resiprositas, kerja sama, kreativitas dan terutama kebajikan iman dan kasih. Ini adalah
perjalanan yang dilaksanakan secara bersama, antara puncak dan basis, yang menjadi subur dan
harmonis kekuasaan yang diberikan kepada para Rasul dan diteruskan kepada para pengganti
mereka yang sah (yang pada awalnya dipilih oleh komunitas) dan dimaksudkan sebagai
“pelayanan”, dengan ketaatan bijak umat beriman, yang tidak menyangkal kebebasan mereka, tapi
bahwa mengangkatnya dalam kolaborasi dan dalam terjemahan dalam hanya Warta spiritual.

172
VI. MISTAGOGI
“Mistagogi”, dalam bahasa religius khusus, berarti “inisiasi kepada misteri”; direferensikan
kepada ritus-ritus “inisiatik” yang dipakai dalam agama-agama antik, terutama agama-agama
dengan karakter apa yang disebut “misterik”, dalam mana perayaan-perayaan khusus membawa
kepada emosi yang sangat intens “komunikasi” dengan keilahian, ritus-ritus dan kultus-kultus yang
rahasia secara kuat, yang kontra dengan kultus-kultus publik. Agama-agama ini dicirikan oleh
immersion ke dalam realitas tersembunyi, kadang-kadang mengejutkan dan meninggi tidak dapat
dijangkau kalau hanya dengan kekuatan ratio sendiri dan oleh karena hal itu hanya dapat dicapai
melalui perilaku yang khusus. Kelahiran kembali dari praktek-praktek kultural yang khas misterik
ini nampak dalam kuil-kuil sekarang ini, dalam formasi berbagai sekte, yang menunjukkan
kelahiran kembali religiositas non-intelektualistik ini, yang tidak diatur, tetapi termotivasi secara
emosional dan butuh untuk “mengalami” kontak dengan yang “kudus” atau dengan keilahian dalam
bentuk yang dapat diraba, dapat dirasa, terlibat, dan, untuk aspek-aspek tertentu, mengeluarkan
kesadaran rasional dari dalam diri untuk mendapatkan energi vital yang irrasional.
Ritus-ritus dionisian, orfician, eleusinian, merupakan bukti yang tidak hanya melalui
dokumen literer, tetapi terutama melalui karya lukis yang tidak ikut hancur pada masa pengrusakan
pada zaman itu dan yang ditemukan dari penggalian arkeologis. Agama misterik berlawanan dengan
agama intelektuilistik, rasional: adalah kedua aspek dari kebutuhan yang sama untuk memberi arti
kepada hidup dan untuk merealisir kontak dengan keilahian, yang dimengerti sebagai yang ada,
tetapi jauh dari pengalaman langsung manusia. “Misteri” hidup adalah kerygma (teka-teki;
pertanyaan, hal yang sulit, soal pokok pertanyaan) di hadapan mana kemanusiaan masih dihentikan,
yang setiap kali mencoba mendalami risetnya di setiap bidang ilmu dan human. Ada titik yang
belum bisa dilampaui (sekurang-kurangnya hingga sekarang), dan untuk itu mulai tipe riset yang
lain, yang mencoba melewati batas itu melalui bentuk-bentuk yang bergerak dari praktek magis ke
praktek liturgis dan kepada ritus-ritus yang lebih kompleks, dalam mana kepada aksi konkret
dihubungkan simbolisasi-simbolisasi yang dimaksudkan “mengintuisikan” apa yang dilambangkan
oleh misteri.
Seturut tradisi kristen, yang sensitif pada persepsi misteri, mistatogi telah menerima arti “pedadogi
misteri yang diwahyukan” melalui pengalaman liturgis.
Tradisi kristen menerima pemahaman akan misteri hanya dalam arti sebagai “kebenaran
yang diwahyukan” dan bukan dalam arti yang lebih umum ini, yaitu sebagai “realitas yang tidak
dimengerti’. Jadi, seturut Konsili Vatikan II, misteri adalah sekaligus “kebenaran-kebenaran yang
diwahyukan yang tetap superior terhadap ratio human”, kebenaran-kebenaran yang tersembunyi
dalam Allah, yang diketahui hanya karena reaksi ilahi, dan yang, juga dalam hal ini, tidak dapat
dipahami sepenuhnya oleh intelek.
Informasi yang dimiliki secara verbal oleh orang-orang yang telah ambil bagian dalam
persiapan Konsili Vatikan II dan dalam reformasi liturgis selanjutnya, mengingatkan bahwa, kalau
ingin mengerti kekristenan primitif, sumber indikasi yang paling terjamin berasal dari doa-doa yang
dipakai pada abad-abad pertama sesudah Kristus dalam komunitas-komunitas kristen: dalam doa-
doa itu nampak beberapa garis orientatif atas apa yang diorganisir oleh teologi dan dimodifisir
sebagai “corpus” doktrinal untuk disampaikan kepada umat beriman. Doa-doa sedemikian dibuat
lagi karena diinspisir langsung oleh pengajaran langsung para Rasul, oleh tradisi biblis, oleh
pengalaman kontak langsung dengan Kristus yang masih hidup waktu itu atau belum lama setelah
kepergian-Nya. Jadi doa-doa itu dibuat seturut pemahaman Yesus, ekspresi yang hidup akan misteri
proyek Allah atas kemanusiaan, tentangya kita temukan affirmasi maksimal dalam ajaran Paulus.
Dalam Paulus misteri adalah proyek Allah atas sejarah dan atas manusia, yang selalu ada dalam
keabadian Allah, tetapi “diwahyukan” oleh Kristus kepada mereka yang terbuka pada dimensi
spiritual. Jadi, rivelasi bukanlah pengetahuan intelektual, tetapi partisipasi hidup dalam pribadi-
peristiwa Kristus, suatu kebenaran eksistensial yang terinkarnir dalam sejarah dan menjadi sejarah
yang berevolusi. Dalam hal ini dualisme antara manusia yang mencari Allah dan ketidaksanggupan
mencapai Allah menemukan prinsip pemersatu kalau ada partisipasi hidup dan kemungkinan
menerjemahkan dalam pengalaman misteri, dengan menolak, hingga batas-batas tertent, kebutuhan
pemahaman intelektual atau rasional. Oleh karena itu dituntut proses perjalanan “global”

173
personalitas total menuju komunikasi yang menjaga ketidaksanggupannya memahami, tetapi yang
hanya akan “empati” (sikap untuk menghasilkan dalam diri seseorang perhatian akan orang lain,
dengan tujuan untuk memahami orang lain). “Semoga kalian dalam dirimu sendiri merasa seperti
Kristus merasa”.
Maka, aksi liturgis adalah ekspresi ganda kesatuan ini, yang menjadi pengalaman vital,
misteri yang dihidupi dalam diri sendiri, “keberadaan dalam relasi” yang terus menerus, yang
ditandai dengan momen-momen “keras” seperti perayaan ritus dan dengan momen pengerjaan
kembali secara silentium (maksudnya di tingkat ketidaksadaran) akan hal yang sudah ditunjukkan
oleh momen keras itu.
Maka, seorang mistagog adalah seorang yang sanggup membawa kepada pemahaman dan
penerimaan yang mendalam akan misteri, melalui aneka bentuk dan khususnya melalui aksi liturgi,
dalam banyak manifestasinya.
Ketika berbicara mengenai “hidup dalam Kristus” sudah ditekankan siklus liturgi sebagai
teknik untuk mengenal semakin lebih baik Kristus dan sebagai alat untuk mengalami identifikasi
dengan-Nya. Maka oleh karena itu seorang mistagog hendaknya seorang yang sudah secara khusus
dan yang terutama memahami dan melaksanakan proses fundamental ini. Oleh karena itu, ia
tidaklah hanya seorang yang ahli dalam “katekese liturgi”, tetapi seorang ahli dalam hidup rohani
kristen, yakin akan apa yang dikatakannya sendiri, akan apa yang dibuatnya sendiri, dan akan yang
menjadi kecondongan dan keinginan untuk berkomunikasi dengan yang lain.
Oleh karena itu ditanya, apa kiranya sikap-sikap prinsipiil untuk benar-benar menjadi
seorang mistagog; barangkali itu terutama adalah kapasitas kognitif yang baik (dalam arti mengenal
secara mendalam argumen), kapasitas yang baik untuk memperhatikan gerakan-gerakan kultural
dan tuntutan-tuntutan untuk “mengaktualisir” dan mengadaptasikan Warta kristen, dengan
mengatasi skema-skema aman yang dapat diulang-ulangi, yang tidak selalu dapat diaplikasikan
secara otomatis kepada semua kultur; pengenalan akan tuntutan-tuntutan dari berbagai umur dari
orang-orang kepada siapa diarahkan misteri itu (setiap umur butuh akan pemahaman-pemahaman);
pengetahuan yang baik akan psikologi, dalam arti memahami sekurang-kurangnya dalam garis-garis
fundamental dinamika-dinamika hidup mental dan oleh karena itu perlu juga pengetahuan akan
religiositas; kapasitas yang baik untuk berkomunikasi (khususnya komunikasi verbal, untuk
menyebarkan Warta dengan terang, dan juga komunikasi “empatik”, seperti komunikasi perasaan-
perasaan); sikap yang baik untuk menerima kepemimpinan kelompok (perlu juga “tahu
membimbing” orang-orang dan memotivasi mereka kepada pengalaman spiritual dalam
totalitasnya). Akhirnya, perlu juga tahu mengarahkan katekese, dengan mengasimilasikan teknik
pedagogis dan didaktis yang disarankan pelan-pelan oleh pengalaman riset di bidang ini. Perlu
dilihat lingkungan di mana katekese itu dilaksanakan, dan mencocokkan metode-metode dengan
kapasitas orang beriman.
Jadi, mistagog adalah pendidik orang beriman, orang yang membimbing mereka secara
langsung, tapi tanpa memaksa mereka untuk menerima terutama misteri hidup dan kemudian untuk
memahami dan mengasimilasikan misteri keselamatan, yang diwahyukan oleh Kristus. Demikian
berjalan dari kekonkritan aksi liturgis kepada pemahaman seluruh misteri. Liturgi adalah alat yang
dapat dirasa untuk sampai kepada yang tak dapat dirasa, dan praktek sakramental, dari partisipasi
dalam Ekaristi (yang paling diikuti) kepada penitensi (yang paling ditinggalkan) dan kepada
sakramen-sakramen yang lain, kepada pemahaman akan apa yang berarti, yang mewakili, yang
mengaktualisir kembali. Pusat ialah Kristus-sakramen, sarana keselamatan. Tanda liturgis adalah
momen signifikatif dalam hidup yang paling mendalam akan identifikasi dengan Kristus. Semua
bentuk-bentuk katekese, doa, praxis, mendapat arti melalui bacaan “sakaramental” hidup.
Akan selalu kembali kepada perlunya membangkitkan “motivasi-motivasi” kepada jawaban
kepada panggilan Allah; hanya ini yang masuk hitungan, karena hal-hal itulah yang merupakan
motor pusat aksi. Seorang mistagog yang “tahu” (akan hal itu) akan berhasil juga untuk memodifisir
lingkungan, untuk menciptakan bentuk-bentuk baru revitalisasi Warta, untuk mereinkarnirnya
dalam diri masing-masing orang dengannya ia kontak: dia sendiri akan menjadi “Warta hidup”
misteri dan perantara antara manusia dengan Kristus.

174
VII. PENGALAMAN MISTIK DAN ASKETIK
Beberapa aspek mistisisme adalah spektakuler, dan lebih spektakuler lagi pada masa-masa
dulu. Ekstase, status “terrampas”, ketiadaan kontak dengan yang ada, emosi luar biasa; penglihatan-
penglihatan, munculnya stigmata-stigmata, keterangkatan, yang menyentuh fantasi populer dan
merupakan obyek kekaguman, bagi orang yang berusaha memahami alam. Akhirnya bahwa
interpretasi yang diberi menggoyahkan antara menganggap bahwa sedang dibicarakan “hanya
illahi” atau “hanya setan” dan dengan demikian mencairkan masalah secukupnya secara superfisial.
Atas dasar dokumentasi hagiografis baru-baru ini, yang dimurnikan oleh legenda dan mirakolisme
(kemukjizatan), dapat dibenarkan bahwa ini tak pernah merupakan fenomena “sebelum” status
mistik. Hal sedemikian adalah sporadis dan dihidupi oleh orang yang secara sungguh-sungguh
religius, lebih dengan penderitaan dari pada dengan kesenangan: maksudnya ialah hilangnya secara
sesaat keseimbangan emotif dan – barangkali – intelektual; lagi, maksudnya ialah ketiadaan
(absennya) secara sesaat akan kontrol atau sistem nervous, oleh karena itu hal sedemikian itulah
yang perlu ditanamkan secara mendalam dalam rasa hormat akan diri sendiri, akan kesehatan fisik
sendiri, akan keraguan atas realisasi akan “harta” spiritual tertentu, yang tidak memerlukan
manifestasi khusus untuk dikukuhkan.
Ilmu psikiater dan psikoanalisis berusaha memahami mekanisme-mekanisme fisiologis mana
yang ada dalam basis kejadian-kejadian ini, tidak dilihat dalam dirinya sendiri yang patologis
(secara patologis), walaupun tidak biasa. Satu dari lembaran Freud yang terkenal memberi hipotesa
interpretatif yang berguna diingat di sini. Dengan menguji relasi dalam status emotif khusus yang
dihidupi dan dilukiskan oleh seorang kenalannya, maka ia, tahun 1929, berbicara mengenai
“regressi” kepada stadium infantil, di mana dominan “perasaan kesatuan dengan semua yang besar”,
kembali kepada kondisi di mana si Aku merangkum semua…”, dengan menambahkan: “Arti dari si
Aku kita yang sekarang hanyalah sisa-sisa yang layu dari perasaan yang begitu inklusif, bahkan dari
perasaan yang sangat komprehensif yang berhubungan dengan kesatuan yang tak pernah intim
antara si Aku dengan lingkungan.” Selanjutnya risetnya menjelaskan apa yang dirumuskan dengan
“regressi fungsional dari si Aku”, di mana kembali kepada stadium psikis arkais “berfaedah” untuk
konsolidasi (peneguhan, penguatan) pengalaman interior atau untuk perkembangan fungsi sosial
terutama dalam tipe empatik (= pemahaman atau kesadaran akan kebutuhan orang lain).
Srukturalisasi pertahanan-pertahanan yang normal, yang memberi peluang kepada orang untuk
beradaptasi pada realitas, dapat, dalam beberapa kasus, berdestrukturalisasi, dengan membiarkan
struktur itu bebas untuk ekspressi akan emosi-emosi (perasaan-perasaan) yang lebih intens, yang
biasanya direm dan dirasionalisir. Contoh ialah regressi “normal” akan perasaan ekstase yang
dialami dalam momen cinta tekstual, dalam orgasme; dari pengalaman ini - yang adalah dan tetap
temporer - lahir suatu perasaan kekuatan, perasaan yakin, perasaan vitalitas yang menolong untuk
terus ikut dalam hubungan pasangan dan dalam prokreasi. Tingkat intensitas dan kualitas “perasaan
yang sangat luas (oceanico)” sangat tergantung dari struktur personalitas dan dari jawaban-jawaban
yang dapat diberikan oleh sistem nervous, dalam koneksi yang masih misterius antara budi dan
tubuh yang menghasilkan ”somatisasi-somatisasi” (yaitu ekspresi fisik emosi dalam organ-organ
atau dalam kulit).
Jadi, jawaban pada pertanyaan itu tidaklah bersifat “mukjizat”, tapi hanyalah penggunaan
sederhana akan mekanisme nervous untuk mengungkapkan status khusus. “Kualitas“ status khusus
itu berasal dari motivasinya: ia dapat berasal dari riset yang spesifik religius, seperti dari riset
egosentris atau sama sekali buruk. Oleh karena itu psikolog menyelidiki motivasi yang tersisip
dalam globalitas seluruh hidup spiritual suatu obyek dan menarik dari observasi itu beberapa
hipotese interpretatif; yaitu memutuskan apakah yang dimaksud barangkali adalah ekspressi-
ekspressi emosi religius yang otentik atau kalau yang dimaksud adalah halusinasi subjektif atau
menifestasi-manifestasi histeris, dsb. Penilaian atas fenomena-fenomena mistik sedemikian biasanya
harus sangat hati-hati dan berpegang pada data-data dari fakta yang mengenai hidup interior, bukan
manifestasi eksterior.
Kalau bidang ini dikosongkan dari hal-hal yang mempengaruhi maka akan sampai pada
definisi mistisisme dengan melihat dinamika psikis mistik. Maka, karena itu, disadari bahwa
mistisisme adalah status di mana “penetrasi” dalam misteri keselamatan dan identifikasi dengan
Kristus akan mencapai level yang begitu mendalam, untuk dilengkapi dengan “kebijaksanaan”

175
khusus, komprehensif, partisipasi yang mencirikan seluruh hidup. Pasti bahwa ada komponen-
komponen emosional yang khusus, yang mungkin dialami barangkali hanya satu kali saja dalam
hidup, tetapi hal itu akan tetap ada sebagai tanda yang tidak terhapuskan. Ada momen-momen di
mana perasaan “bersatu” dengan Kristus atau dengan Allah adalah hidup, yang dalam selanjutnya
tidak dapat diragukan. Jadi, dalam batas-batas tertentu, setiap orang beriman dapat membuat
pengalaman mistik, kalau hal itu “diambil” dari kebenaran yang diwahyukan dan dihidupi sebagai
ekspresi diri yang masuk dalam Kristus.
Dalam diri orang yang lebih berkualitas dan khususnya yang peka, baik pada penetrasi ke
dalam arti rivelasi / penebusan / kharitas, maupun pada disponibilitas emotif dan imaginatif,
pengalaman mistik mencapai kedalaman tidaklah secara umum. Sejarah agama-agama meregistrasi
fenomena-fenomena hal ini dalam personalitas yang telah meninggalkan tanda pembaharu dalam
agama itu sendiri.
Oleh karena itu, mistik kristen tidaklah “luar biasa” dalam dinamika psikologisnya, tetapi
luar biasa karena adalah luar biasa Warta Kristus ke mana mistikus melekat dengan seluruh dirinya.
Mari kita selalu kembali pada tema motivasi. “Isi”, obyek ke mana mistikus kristen melekat, adalah
gancu (pengait) yang terjamin dan tak tergantikan kepada apa yang diajarkan oleh rivelasi kristen.
Seseorang menyatakan bahwa hal itu terjadi “tanpa gelombang keraguan”, tetapi bacaan akan
kesaksian para mistikus besar sepertinya kurang memberi perhatian pada afirmasi ini. Keraguan
selalu mungkin, juga ketika iman berlandasan kuat. Bahkan, sekalipun begitu intens partisipasi pada
“misteri” dalam momen “pemakluman”, akan semakin kuat pula kemudian refleksi – jadi,
pertanyaan – atas validitas pengalaman yang dihidupi. Adakah jawaban pada pertanyaan itu yang
berasal dari iman dan memberi kembali keyakinan. Kalau tidak, maka tidak akan dapat dimengerti
ekspressi-ekspressi seperti “malam gelap” dari St. Yohanes dari Salib atau dari St. Teresa dari
Kanak-kanak Yesus, yang melukiskan status penderitaan yang sangat buruk atau tak terkatakan
dalam ketakutan bahwa sudah hilang sistem keselarasan atau kesesuaian atau hubungan antara
dirinya sendiri dengan Allah. Juga St. Paulus, ketika berbicara mengenai “penculikan” pada surga
ketiga, tidak tahu bagaimana menilainya, karena ia telah melihat dan mendengar “hal-hal yang tak
terperikan atau yang bagus sekali”, tentangnya tidak mungkin memberi deskripsi. Mistikus modern
sangat kurang peka pada peristiwa-peristiwa emotif seperti dimaksud ini, tetapi menghidupi
hubungan dengan Allah dengan stabilitas yang besar dan kuat, meskipun tidak dengan bebas dari
“cobaan-cobaan” (yaitu keraguan-keraguan) akan validitas semua hal ke mana si mistikus melekat
dengan seluruh budi. Mungkin dapat dikatakan bahwa sekarang ini orang dapat hidup secara mistik
dalam bentuk yang kurang nampak, tanpa manifestasi ekstern yang khusus, tetapi dengan perasaan
yang lebih dalam dan lebih terlindung untuk berpartisipasi dalam kesatuan antara Kristus dengan
Bapa, dengan menggali kekayaan elaborasi, Juga intelektual, yang dapat disebarkan kepada yang
lain, tanpa mempengaruhi mereka melalui keluarbiasaan status animo, tetapi meyakinkan mereka
dengan keteguhan iman dan dengan cita rasa (khasiat) yang berasal dari kedalaman pengalaman
kontemplatif. Ukuran status mistik ada dalam penyerapan hasil dalam hidup individual dan dalam
refleksi-refleksinya atas hidup sosial. Di luar penilaian ini, bisa saja ada “godaan”
pengkategorisasian, tipologi, deskripsi personalitas yang barangkali merupakan prototipe mistik;
tetapi sebagaimana semua tipologi tidak menghasilkan sama sekali pertanyaan sentral: yakni, kalau
status mistik terbuka bagi orang kristen sebagaimana adanya mereka atau kalau hanya terbuka
kepada personalitas – yang hampir “ditentukan” (“predestinasi”) kepada pengalaman sedemikian.
Jawaban dalam arti kedua terlampau berbahaya, sekurang-kurangnya bahwa tidak diuji perjalanan
yang sedang berlangsung dalam pendalaman hidup spiritual dan tidak sampai pada membenarkan
status mistik itu dengan hasil-hasil suatu askese yang sangat terkualifikasi. Jawaban sampai pada
ujian akan “sarana-sarana” untuk mencapai status mistik dan bukan pada affirmasi akan spesies
predestinasi. Kalau tidak akan pernah dapat berbicara akan “predisposisi” (kecondongan) untuk
bobot natural partikular (inteligensi, kekayaan emotif dan imajinatif, kapasitas akan riset religius
yang konstan, tugas kharitatif, dll), favorit juga dari pemasukan dalam lingkungan yang
memfasilitasi (pengkonkritan penyebaran Warta, pertolongan pedagodis dan asketis, komunitas
yang berfungsi); anugerah-anugerah natural yang dalam setiap bidang membentuk pendahuluan
keberhasilan dalam beberapa aktivitas khusus. Dan ini pun adalah juga misteri.
Ada daya tarik dari “mistisisme” ini dalam masyarakat sekarang ini, yang nampak jelas dari
munculnya, dalam dua dekade terakhir ini, “sekte-sekte” dan “komunitas-komunitas” yang dicirikan

176
oleh desakan yang hebat untuk “mengalami” secara langsung kontak dengan Allah, yang tidak
tergantung dari askese sebelumnya atau dengan kekuatan askese yang didasarkan terutama pada
saran-saran dari tokoh-tokoh “kharismatik”. Ini adalah fenomena yang menolak penderitaan dan
kesusahan untuk tetap tinggal dalam batas-batas sempit di mana ruang untuk emosi-emosi dan
perasaan-perasaan begitu sempit dan riset untuk kontak emotif yang lebih dapat dilihat dengan yang
transenden. Jalan keluar dari intelektualisme dan dari konformisme praktis, untuk sampai pada
sumber-sumber yang paling mendalam dari keyakinan personal, dari kontak interpersonal langsung
dan mendorong yang menemukan dalam subjek-subjek yang benar-benar emotif tempat yang cocok
untuk manifestasi-manifestasi dalam tipe mistik. Ini adalah kebutuhan “iman” yang ditopang oleh
perasaan dalam bentuk yang dapat diraba.
Pengalaman mistik dapat berguna untuk beberapa orang, untuk memperkuat iman, tetapi
kalau sudah berhenti dalam pengalaman saat itu dan berjalan menuju “penelanjangan” dari segala
sesuatu yang dapat diraba yang sebaliknya nampak mencirikan tidak hanya iman yang mendalam
tetapi juga mistisisme yang kokoh, yakni (mistisisme) pada saat di mana diserap (dipahami;
disadari) kehadiran Allah di luar dan di seberang data yang dapat diraba: “malam perasaan “, karena
kontak terealisir dalam sphere psikis yang lebih atau paling mendalam.
Bagaimanapun ada selalu data untuk diverifikasi dalam “kualitas”-nya, dalam pelekatannya
pada “kebenaran” tertentu yang diwahyukan, kalau harus didefinisikan mistisisme kristen.
Askese adalah syarat (kondisi) untuk mencapai tingkat kapasitas iman dan pelaksanaan kasih
yang semakin tinggi, dengan seluruh “kebajikan” yang dikandungnya. Dan adalah usaha manusia
untuk menerima – dan mempraktekkan – eliminasi segala sesuatu yang bertentangan dengan tujuan
itu. Seturut keadaan zaman telah dipikir dalam aneka cara, tetapi selalu dengan petunjuk, bahwa
pada awal hidup spiritual perlu melaksanakan “purifikasi” interpretasi iman dan sikap individual
dan kolektif. Jadi, maksudnya ialah, perlu secara lambat laun dan tekun, sampai pada “penitensi”
(pertobatan”) dalam arti etimologis istilah itu, pada “conversio” (pertobatan), bergerak dari cara
melihat segala sesuatu secara naturalistik kepada cara berkontemplasi serutu dimensi-dimensi
supernatural. Ia (pertobatan itu) berjalan dengan derap langkah yang sama dengan pertumbuhan
human dan bahkan mengandaikannya, dengan menetapkan “disiplin” hidup yang menjauhkan
infantilisme, egosentrisme, superstisi, kebutuhan langsung untuk membuka diri terbuka pada
pematangan natural dan kemudian konsekuensinya, pada kapasitas memiliki spirit rivelasi. Kalau
tidak diverifikasi suatu pematangan benar dari pribadi sendiri, maka tidak akan diverifikasi juga
pematangan iman dan kasih. Ini sekarang diakui oleh teologi kontemporer, yang telah
menggarisbawahi perlunya penyangkalan-penyangkalan untuk membangun manusia rohani. Apa
yang akan dikatakan nanti mengenai pendosa dapat diambil ke sini di bawah aspek lain. Orang
yang belajar dari pengalaman bahwa hanya dengan menolak egosentrisme dan kenikmatan langsung
akan berhasil untuk menghadapi secara lebih baik masuknya ia ke dalam hidup sosial dan
mempunyai keyakinan besar dalam dirinya sendiri, senang akan hal-hal untuk membatasi diri,
memberi aturan dalam keinginan-keinginan, mengatur perilaku-perilaku seturut ideal hidup, yang
dibangun.
Karya asketis, yakni pertobatan (conversion) tersebut yang dimotifisir oleh pelekatan (diri)
pada model-Kristus, sekarang ini membawa disiplin tubuh dan disiplin budi. Sebenarnya, yang
dimaksud dengan disiplin tubuh sekarang ini adalah sebagai “pemoderatan” kebutuhan-kebutuhan
yang dapat diraba, yang tidak tergantung dari praktek-praktek antik, yakni siksa diri. Diberi
kekuatan yang lebih kepada aktivitas untuk kontrol mental, sekaitan dengan perendahan dan
ketakutan akan kejasmanian. Bahkan, sebaliknya, kejasmanian itu benar-benar dihayati sebagai
support dan kendaraan pengalaman iman, dipandang sebagai partisipasi dalam kemanusiaan Kristus,
diluhurkan dalam kontemplasi sebagai “bait Roh Kudus”. Semua pedagogi mengenai rasa hormat
(penghargaan) akan tubuh, yang menyangkut juga norma-norma higienis yang diprogramkan oleh
pengobatan preventif, menuntut kapasitas autokontrol yang istimewa, karena kepuasan langsung
keinginan, yang barangkali terlalu intens, hendaknya digantikan dengan gratifikasi yang lebih jauh
yang memperkuatnya dan memberinya peluang untuk menopang aktivitas psikis dalam keselarasan
kerja sama. Tubuh, dalam dirinya sendiri, bukanlah musuh roh, tetapi pembawanya. Keyakinan
yang dicapai akan keutuhan (diri), dalam keharmonisan fungsi-fungsi fisik dan mental, memberi
peluang untuk meninggalkan praktek askese antik yang terinspirasi dari dualisme tubuh - jiwa, yang
tak pernah dapat diatasi, yang mempertanyakan yang satu dengan yang lain. Memang bisa lebih

177
gampang membenci tubuh karena dianggap sebagai pembawa kejahatan moral, daripada
menerimanya dan membimbingnya kepada ketaatan kepada nilai-nilai yang lebih tinggi. Tipe
hubungan dengan tubuh sendiri sekarang ini dilihat sebagai simpton kesehatan atau penyakit mental
(kejiwaan); siapa melihat tubuh sebagai miliknya sendiri (cosa propria) dan menghormati
organisasinya yang mengagumkan, bisa juga melihatnya sebagai anugerah Allah, yang menciptakan
dan yang menghormatinya, dengan memeliharanya dalam batas-batas keugaharian yang dianggap
sebagai “kebajikan utama” (virtus cardinal)
Kapasitas kemampuan untuk menyangkal melalui pendidikan tubuh, menjadi kapasitas
untuk menolak fantasi (angan-angan) untuk berkuasa, menyangkal keinginan untuk memiliki segala
sesuatu dan seluruh dunia dan semua orang, kapasitas untuk mereduksi diri sendiri kepada
pemahaman akan “makhluk” ciptaan yang taat pada hukum Allah. Kapasitas sedemikian mengelak
dari menganggap penolakan penyangkalan itu sebagai tujuan pada diri sendiri. Tidak bisa diakui
askese yang tidak menunjukkan untuk alasan apa penyangkalan itu harus dilaksanakan. “Si
penyangkal” menyangkal juga keinginan untuk memakai hal-hal yang ”baik’, dan konsekuensinya
menolak juga memakai rahmat: merosot kepada ketersendatan total dalam hidup psikis, dalam
fantasi kreatif, dalam solidaritas dengan yang lain. Psikologi mengajarkan kepada kita bahwa situasi
sejenis ini adalah simpton dari seri-seri gangguan, yang kira-kira tergantung dari perasan salah yang
terlampau berat, darinya diyakini dapat bebas dengan mengoreksi diri dari keinginan apa pun dan
terutama kenikmatan hidup. Jadi, ini adalah mengenai patologi atau individual atau patologi
kelompok yang tidak terorientasi dengan baik.
Perasaan bersalah diatasi dengan perbuatan yang baik, bukan dengan hukuman dengan harus
membenci diri sendiri. Ini pun adalah salah satu aspek dari askese-askese. Membebaskan diri dari
perasaan bersalah tidak berarti tidak mempersalahkan diri, tetapi mengakui diri sebagai pendosa dan
minta pertolongan rahmat untuk melakukan yang baik, yang atas beberapa cara tidak dilakukan
karena penyimpangan-penyimpangan interpretatif.
Kewajiban asketis mempertahankan nilainya dalam ukuran di mana dihidupkan figur model,
ke mana diupayakan pemiripan, dengan tugas berat dalam batas-batas yang mungkin. Langkah
selanjutnya dapat dibuat kalau direnungkan juga dalam penderitaan sengsara yang menebus. Adalah
penerimaan penderitaan yang sering menolong untuk melihat nilai-nilai yang lebih tinggi akan
kekristenan; penyakit, kematian, hilangnya orang-orang yang dicintai atau harta materi (katastrof
natural, peperangan-peperangan yang membuat lenyap) dapat memberi arti akan partisipasi dalam
fase terakhir hidup Yesus, ketika nampak bahwa misi-Nya mulai dengan kegagalan.
Di samping itu Kristus sendiri telah meramalkan kemungkinan itu untuk melihat sebagai
kegagalan pengalaman-pengalaman akan penderitaan dan kekecewaan: “sebentar lagi kamu masih
melihat Aku, tetapi kemudian tidak lagi melihat aku”; tapi Ia kemudian menjanjikan Roh Penghibur.
Perlu iman yang mendalam juga untuk melihat dalam kegagalan pengharapan-pengharapan akan
semua yang normal, juga bagi orang kristen, kemungkinan perbaikan (rekuperasi), nilai restorasi,
sekurang-kurangnya dalam Kerajaan Roh. Kalau tidak, maka keputusasaanlah yang akan menang.
Elaborasi (solusi-solusi) akan kefrustrasian adalah bagian dari askese, seperti penderitaan untuk
mencari arti, “arti dalam yang tidak berarti” dalam dan akan hidup.
Kemudian setiap orang akan mengadopsi praktek-praktek itu yang disesuaikan dengan baik
dengan masalah-masalah pribadi dengan sifat-sifat dasarnya. Nampaknya tidak dapat di tarik suatu
garis askestik standar bagi setiap orang kristen; pun dari pihak lain tidak tampak manfaatnya, karena
adanya warisan setiap orang, yang tidak dapat dilihat, yakni keunikannya sebagai pribadi dari waktu
ke waktu dan seturut tujuan-tujuannya yang disarankan dalam kelompok ke mana ia masuk, akan
dapat dipilih orientasi-orientasi ini atau itu, yang dituntut oleh keadaan historis. Orang kristen hidup
dalam sejarah dan berusaha menghidupkannya (sejarah itu) dengan kehadirannya yang “ koheren”
dengan kebiasaan, adat, tradisi zaman itu, dengan menggali dalam diri setiap orang ruang untuk
(tempat) pemasukan Warta kristen, dengan berusaha mengerti arti periode (itu) di mana ia hidup dan
dengan mengatur sikapnya untuk menjawab tuntutan-tuntutan akan “ kebaikan” yang diungkapkan.
Saran-saran dari pedagogi dapat memberi support yang kuat kepada askese dengan
menunjukkan apa (yang mana) dapat menjadi sesuatu yang lebih cocok, dari waktu ke waktu atau
dalam konteks lingkungan secara keseluruhan. Ilmu-ilmu human memberi informasi berharga dalam
hal ini dan menguatkan dorongan untuk melakukan perjalanan purifikasi dan iman.

178
VIII. PENDOSA
Salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh orang yang beriman dengan tingkat kecemasan
yang tinggi ialah: apa itu dosa? Atau, dalam hal apa saya menjadi seorang pendosa dan kapan?
Dalam hal apa saya ”khilap” sehubungan dengan nilai-nilai yang dituntut masyarakat di mana saya
hidup, kepada saya dan dalam kaitan dengan hidup personal saya? Dan kemudian pertanyaan yang
lain: exist-kah seorang “pendosa”, yaitu orang yang ditandai secara khusus oleh dosa?
Dengan terminologi-terminologi ini, pertanyaan sulit mendapat jawaban, sebab kalau benar
bahwa siapa pun dapat khilap akan arah motivasi dan perilaku, maka nampaknya terlalu berlebihan
mendefinisikan “berdosa” itu sebagai perilaku “stabil” seseorang secara fix. Jadi, tidak dapat
dibayangkan bahwa seseorang khilaf selalu dan selamanya. Seringkali begitulah tercipta dikotomi
yang berbahaya di antara kategori-kategori orang, semacam hirarki “kualitas orang dengan
pengelompokan antara ”orang-orang baik dan orang-orang jahat”, dan ini telah menjadi
ketidakadilan yang tertinggi. Yang lebih selaras dengan realitas fakta-fakta ialah melihat bahwa ada
kondisi ke-error-an, yang kurang lebih sementara, yang dihubungkan dengan kondisi orientasi yang
benar, di mana dapat tertemukan oleh siapa pun; kerap perilaku yang error bisa juga menjadi “biasa”
(“habitual”) dan mempunyai dimensi yang dominan dalam perilaku; tetapi adalah selalu bijak untuk
tidak sampai pada definisi-definisi anarkis dan kepada penilaian, atas mana termuat tanggung jawab
yang bersifat mapan yang pasti kontras dengan pemahaman yang sah akan kompleksitas kodrat
human.
Adalah benar bahwa kebiasaan umum gampang saja menuduh orang sebagai “kriminal’,
‘penjahat’, pembunuh, pemerkosa, dsb, kalau faktanya sepertinya tidak dapat diputuskan, disiapkan
terlebih dahulu sebagai pilihan personal akan kejahatan itu, yang kadang-kadang bisa menjadi
kebiasaan, tapi kiranya perlu menyelidiki biografi mereka, dalam sistem penilaian mereka, dalam
frustrasi mereka, dalam tekanan-tekanan sosial yang mereka hadapi, asal-usul (genesis) perilaku
(mereka) yang dinilai kriminal itu. Tugas tribunal-tribunal adalah menjatuhkan hukuman untuk
konsekuensi-konsekuensi negatif dan untuk kerusakan yang ditimbulkan bagi orang lain, tetapi juga
adalah tugas untuk menyelidiki motivasi dan hal-hal yang meringankan jika ada, sebelum
menjatuhkan hukuman. Tetapi dalam keinginan dan harapan proyek hidup, komitmen yang tidak
begitu condong pada realisasi keadilan sebagai hukuman atau ganti rugi, tetapi lebih kepada
realisasi “keadilan” sebagai pembenaran dan keselamatan. Pembicaraan akan terbalik. Gambaran
(figur) “pendosa” barangkali terletak pada akhir “kelanjutan” statistik, tentangnyadibahas tentang
“normalitas”, seturut kriteria yang begitu berbeda, seturut bagaimana dibayangkan “keadilan”itu.
Sisi kemungkinan error sama-sama lahir dengan keberadaan human, keterangan yang
diupayakan diberikan oleh berbagai agama adalah upaya untuk “menghumanisir” dimensi itu,
dengan menerimanya sebagai misteri, mengaitkannya dengan pelanggaran moral (dosa asal), dahulu
kala, pada masa prehistoris, yang dalam essensinya menyatakan “kebebasan” awal keberadaan
human dan oleh karena itu kemungkinannya untuk memilih antara sikap melekat pada saran akan
“nilai-nilai” atau menolak saran itu. Isi pelanggaran itu tidak begitu penting jika dibandingkan
dengan kesengajaan pelanggaran itu sendiri. Barangkali perlu memahami secara mendalam
mengapa keberadaan human selalu ingin melanggar norma, entah dari apa pun asalnya. Tujuan apa
yang hendak dicapai oleh orang yang melanggar itu? Hal-hal apa yang hendak direalisir? Efek mana
yang ingin diikuti? Konflik interior ini ada antara kecenderungan menuju apa yang dianggap umum
atau karena rivelasi sebagai “yang baik”, “keselamatan”, dari mana berasal? Inilah pertanyaan-
pertanyaan pada umumnya (yang kurang lebih) yang belum mendapat jawaban. Kepada pertanyaan
itu ditambah lagi sesuatu yang lain yang masih lebih menyedihkan: mengapa ada orang, boleh
dikatakan, ingin pelanggaran dan yang lain sangat kurang? Dan mengapa begitu sulit melekat pada
norma yang, seturut analisis fakta, “berguna”, sementara pelanggaran sering disingkapkan sebagai
tak berguna atau merugikan? Atau, minimal, sangat sukar, paling sukar untuk menerima norma?
Pembicaraan diperdalam dalam ketakterselamian misteri kodrat, atau, bagi orang yang
percaya, dalam ketidakterselamian misteri hubungan antara Allah dan manusia.
Jawaban yang diberi, pada umumnya, dibatasi pada konstatasi bahwa konflik ada (exists); tidak
berhasil pergi lebih jauh ke seberang dan memberi keterangan. Sejarah riset teologis adalah contoh
yang sangat jelas. Semua diskusi tentang kehendak bebas, tentang predestinasi, tantang memilih

179
Allah dalam pandangan manusia belum mempunyai jawaban yang memuaskan. Tetap tinggal
sebagai misteri, baik sebagai ketiadaan kemungkinan untuk memahami maupun sebagai jawaban
untuk rivelasi”
Riset psikologis, dalam batas-batas tertentu, untuk memahami istilah-istilah ”eksistensial”
konflik, untuk meregistrasi ”bagaimana” konflik-konflik tertentu sudah diatasi, bagaimana perilaku
berikutnya dikembangkan dalam satu arah atau dalam arah yang lain. Tetapi, ini pun tidak berhasil
memberi jawaban kepada misteri eksistensi konflik. Kalau tidak pernah menolong, atas dasar
pengalaman dan riset empirik, untuk menerimanya sebagai ”data fakta” dan untuk memahami,
dalam beberapa cara, keberadaan human, bisa saja menerima beberapa penolongnya untuk
memperkuat pelekatannya pada norma, dengan menjauhkan diri sedapat mungkin dari pelanggaran.
Suatu ekscursus singkat mengenai evolusi hidup psikis dapat, atas cara tertentu, membantu
untuk menjelaskan dinamika-dinamika tertentu, bertolak dari konstatasi, buah penyelidikan
psikologis dan psikoanalitis, yang sudah sejak awal kehidupan eksist dalam setiap pribadi aktivitas
”fantastik” (yaitu kapasitas mencipta [ideasi-dalam ilmu jiwa]) yang condong ”memperlengkapi”
segala sesuatu yang nampaknya cocok untuk memenuhi kebutuhan untuk meneguhkan eksistensi
sendiri dan untuk menolak apa yang bertentangan (dengan eksistensi itu). Isi daya cipta (ideasi)
sedemikian sama sekali subjektif: dilihat, dengan suatu pendasaran tertentu, bahwa aktivitas
imaginatif ini sudah ada dalam janin (fetus) pada bulan-bulan terakhir kehamilan dan sudah
disiapkan, atas cara tertentu, kepada relasi dengan realita ekstern. Jadi, yang menjadi cirri khas
manusia ialah menetapkan relasi antara kebutuhan subjektif sendiri dan jawaban kepada realitas
ekstern; realitas yang dapat menerima dimensi-dimensi dengan isi yang kontras dengan apa yang
dapat diberikan oleh realitas secara effektif, dan menandai diri dengan bayangan penantian bahwa
tidak mungkin mendapatkan jawaban. Terlempar begitu dalam hidup, pada saat kelahiran, si kecil
dipaksa untuk terus mengusahakan harapan-harapan? Impiannya untuk memberi dimensi pada
impian itu dalam kontak dengan orang yang mengitarinya dan memberi dia apa yang dapat mereka
beri, yaitu sesuatu yang terbatas dan bukan sesuatu yang tak terbatas, yang sangat besar dan tak
terukur, bahkan imajinasi itu telah dia programkan. Mengenai dimensi intim kebutuhan akan yang
tak terbatas sepertinya berdasar pada ”kehausan akan yang tak terbatas, yang dianggap sebagai
fundamen religiositas. Ini adalah riset akan sesuatu yang tak berhasil dimiliki. Dan konsekuensinya
ialah bahwa akan ada ketegangan yang terus-menerus terhadap hal ini, sesuatu, ke mana tidak diberi
jawaban secukupnya oleh relasi human; suatu penderitaan yang sangat hebat, sumber kesusahan
(kita ingat ”kesusahan eksistensial”, ”penyakit mortal” Haidegger dan para eksistensialist).
Tugas orang tua dan para pendidik ialah memberi, dalam batas yang mungkin, pemeliharaan
yang maksimal, yang diungkapkan dalam bentuk ”cinta”, darinya dibangkitkan keyakinan bahwa ia
dapat memiliki sesuatu yang perlu untuk hidup, tetapi juga memberi, dalam bentuk konkrit,
pengalaman yang dapat diperoleh oleh siapa pun, walaupun itu selalu terbatas. Semua ini dapat
mendatangkan frustrasi sekaitan dengan impian asali seorang bayi. Bimbingan konkrit dalam
pertumbuhan akan membawa secara progresif dan lambat laun pada konstatasi bahwa perlu
memiliki secukupnya dan sejauh realitas dapat memberi dengan menolak produk imajinasi yang
begitu totaliter: ini berarti rela mengerem keinginan, dengan membentuknya kembali dari yang tak
terbatas kepada yang terbatas. Mengakui eksistensi dari yang tak terbatas merupakan langkah
pertama menuju penerimaan realitas dan pemahaman bahwa dapat dimiliki sesuatu secukupnya dan
bukan semua. Ukuran (dosis) gradual frustrasi, seiring dengan norma-norma yang menandai batas
keinginan dan berlaku relatif, menetapkan hubungan yang benar dengan realitas dan
mengembangkan rasa keyakinan, dalam arti bahwa selalu dapat diminta pertolongan, walaupun
pertolongan ini tetap tinggal dalam batas yang mungkin.
Keluarnya dari dunia fantastis infantil ini merupakan langkah pertama menuju kematangan;
ia pada awal memancing kekecewaan ke mana tidak semua bayi memberi respon positif,
menimbulkan rasa deprepssif, yang, bagaimana pun, kalau kondisi umum tetap normal (yaitu
terdukung), juga diatasi pada basis persepsi akan keberadaan secara otonom dan, kemudian, bahwa
dapat memperoleh apa yang diinginkan dengan sarana sendiri. Sehubungan dengan otonomi, dapat
dibicarakan kebajikan; dapat diingat di sini bahwa otonomi dan norma tidaklah kontras, dan dapat
saling menjaga dalam relasi yang baik, kalau dari bagian-bagian keduanya masuk penilaian
perkembangan berikut yang mungkin dari personalitas.
Nampaknya untuk beberapa orang, sudab pada masa bayi yang pertama, terlalu sulit

180
menerima limit realitas; bahwa imaginasi mengatasi selalu kemungkinan realisasi bahwa energi
yang dikembangkan dalam momen di mana matang kapasitas operatif, dihantar kepada realisasi
proyek fantastik, selain dari proyek realistik. Nampaknya kesalehan punya acuan dalam keinginan
”memiliki” dan memperoleh ini, sesuatu yang berada di luar kemungkinan hidup harian yang
normal dan terbatas, yang memberi jawaban kepada ”proyek besar dan tinggi”, pada affirmasi akan
diri sendiri sebagai yang mahakuasa. Terutama kesalahan besar, yang bukan termotivasi oleh
keharusan pergulatan hidup, nampaknya berbasis pada kekukuhan fantasi akan kemahakuasaan:
cukup mengingat tangga kepada kuasa para diktator, perusahaan dari para pemodal besar
(konglomerat) (yang sering berunjung pada kerusakan-kerusakan tanpa ganti rugi bagi masyarakat,
strategi dari beberapa politisi, kejahatan yang diorganisir. Proyek-proyek besar yang tak
mempedulikan realitas eksistensi orang lain selain hanya sebagai alat untuk kepuasam keinginan
mereka sendiri, memang pastilah direalisir dengan keletihan, tetapi dimotifisir oleh kebutuhan untuk
memuaskan terutama diri mereka sendiri.
Sedikit saja diberi perhatian kepada aspek-aspek dinamika infantil ini, yang membawa
kepada prilaku yang jahat. Barangkali sangat sulit menemukan ukuran eksak dalam aplikasi
larangan dan dalam dorongan menuju prilaku yang cocok. Teknik-teknik pedagogis yang patut
diadopsi harus melihat bahwa bayi merasa perlu di bantu untuk mengikuti garis direktif yang
membimbingnya menuju affirmasi dirinya sendiri, yang sekaligus membantu dia menuju
keharmonisan dengan orang lain. Nampaknya, sesungguhnya tidak ada dalam diri siapa pun
“kecenderungan kepada yang jahat” secara benar dan berasal dari diri sendiri, yang hampri
merupakan bawaan lahir, tetapi memanga bahwa ada kesulitan besar untuk mengharmonisir dunia
interior sendiri, yang sering sangat mendesak, dengan dunia eksterior. Penyangkalan akan fantasi
sendiri akan kekuasaan itulah nampaknya yang paling keras di antara penyangkalan-penyangkalan
lain ke mana hidup harus takluk. Dengah kata lain, penyangkalan pada subjektivitas sendiri, pada
egosentrisme sendiri, pada menganggap diri sendiri sebagai yang pertama dan terutama, merupakan
tugas seluruh eksistensi. Jadi, tugas sosial, yang sangat penting ialah pendidikan masa kanak-kanak
sejak hari pertama kelahiran dan penciptaan lingkungan yang “siap” untuk memahami dan
membimbing dalam perjalanan dari satu stadium ke stadium lain.
Yang masih menjadi masalah ialah kebebasan: pelekatan pada norma, penyangkalan pada
subjektivitas tidak mengancam yang baik, tentangnya orang yang baru lahir tidak menampakkan
bahwa ia tahu akan hal itu? (Juga yang baru lahir tahu menyatakan kesukaannya dan
opposivitasnya). Hak suci ini, yang konek secara ketat dengan essensi, manusia, bagaimana dapat
melaksanakan tanpa dipaksa menyangkal apa yang paling spesifik dalam setiap personalitas?
Problem lain yang dikeluhkan oleh para pedagog dan yang menuntut jawaban yang harus terus
dibaharui, lambat laun terjadi pada generasi-generasi baru.
Jawaban dapat di beri oleh konstatasi bahwa kebebasan, hal yang tak dapat disangkal, selalu
dibatasi oleh eksistensi orang lain dan oleh realitas ekstern. “Roh” kebebasan total adalah prerogatif
(hal istimewa) masa pertama kanak-kanak, ketika fantasi melampaui batas-batas dari hal-hal riil dan
mengelaborasi proyek yang ditandai oleh kemungkinan total realisasi. Tidak perlu lama (buang
waktu) agar juga si bayi kecil melihat bahwa (hal itu) tidak mungkin; pada mulanya ia bereaksi
dengan marah, dengan opposivitas, tapi kemudian akan mengalah. Lahir dan diperkuat prinsip
realitas kontra prinsip keinginan, yang mengatur imaginasi. Contoh khas kesadaran ini adalah
mimpi, di mana berbagai situasi yang mengungkapkan keinginan bertubrukan dengan “rintangan-
rintangan” yang pada dasarnya tidak dapat dirumuskan, dengan menimbulkan kesusahan: dalam
mimpi cukup terang persepsi bahwa tidak mungkin menghasilkan dalam kebebasan penuh apa yang
diinginkan. Hanya dalam bentuk halusinasi mimpi menunjukkan realisasi suatu keinginan, dan
umumnya mimpi itu berhenti sebelum keinginan itu terpenuhi, dengan menunjukkan ketidaksadaran
akan batas-batas dan kemudian kesadaran bahwa kebebasan tidaklah absolut.
Sebagai konsekuensinya, pertumbuhan psikologis melibatkan juga kesadaran progressif akan
limit yang ada dalam hubungan manusia – realitas dan penerimaan limit itu tanpa kesusahan; hal itu
tidak merintangi untuk bekerja untuk mengafirmasi sakralitas dari hal baik tersebut. Transformasi
interior membimbing agar tahu membatasi keinginan sendiri akan kebebasan dengan motivasi untuk
“menyucikannya sekaligus demi suatu tujuan yang dianggap “berguna”, sesuatu yang baik direalisir,
suatu “nilai” personal dan sosial. Jadi bukan lagi maksudnya kebebasan operatif dalam arti absolut,
tetapi “kebebasan terbatas” karena motivasi yang kuat. Ini adalah aspek konstruktif “ketaatan yang

181
bijaksana dan bebas”. Suatu tahap ke mana si bayi sudah sampai kalau cukup “yakin” bahwa
berguna menyangkal sesuatu, untuk sementara waktu, demi sesuatu yang lain yang lebih penting.
Pentingnya fase hidup ini akan nampak pada periode-periode berikutnya, sejauh keinginan-
keinginan bertambah banyak, kebutuhan-kebutuhan gratifikasi semakin bertambah sekaitan dengan
pertumbuhan kompleksitas hidup. Kalau tidak diterima pada awalnya dan selamanya prinsip
autokontrol, memimpin sendiri dengan bebas, ketaatan yang masuk akal, konflik pasti tidak hilang,
tapi nampak kurang dramatis, karena si Aku didukung oleh pelaksanaan progresif pengalaman yang
“dapat” memenangkan pertempuran untuk yang baik. “Keyakinan” dasar, yang dipadukan dengan
“otonomi”, memberi fundamen pada pilihan bebas akan prilaku yang dianggap lebih cocok dengan
situasi di mana kita dipertemukan. Untuk ini digarisbawahi pentingnya pekerjaan membimbing
secara cermat sudah pada tahun-tahun yang pertama sekali dalam hidup. Problematika-problematika
yang berikut ialah mengenai hubungan dengan tubuh sendiri, seksualitas, kemasyarakatan, kerja,
cinta, hidup politis, pelekatan pada Warta religius. Dengan berjalannya waktu kapasitas si Aku
dikuatkan dan berhadapan dengan berbagai “pilihan” dengan keyakinan yang baik akan kekuatan
sendiri dan akan pertolongan orang lain, termasuk juga pertolongan-pertolongan yang berasal dari
agama. “Rahmat” dapat diterima bukan dalam penerimaannya “secara terpaksa sebagaimana
diinginkan oleh Gereja”, tetapi dalam artinya yang paling dalam sebagai komunikasi hidup dan
“kekuatan” yang cukup untuk mengatasi konflik dan merealisir “keselamatan” dan sebagai
pelekatan bebas pada misteri, yang beban psikologinya diringankan oleh keyakinan bagi orang yang
diberi keselamatan.
Jadi, orang yang berdosa, siapa itu? Pasti perlu dipertanyakan yang manakah dulunya garis-
garis perkembangan seseorang untuk tidak berhasil menyangkal perilaku yang membawanya kepada
kesalahan (error). Psikologi dan psikoanalisis telah menyingkapkan adanya “penghentian evolutif”
pada stadium infantil, yang disebut “pregenital” (yakni jauh dari sudah memperoleh genitalitas,
seperti sudah disebut sebelumnya), dengan mem-fix-kan beberapa pilihan akan aspek cinta (yakni
akan hal-hal darinya dinantikan gratifikasi affektif) yang tidak sampai pada dinamika perkembangan
sosial seseorang. Demikian bisa ada fiksasi yang ketat pada gratifikasi narcisistik yang berasal dari
ketergantungan dari ibu (dan dari penggantiannya secara simbolis), kesukaan yang berlebihan pada
objek-objek konkrit, pada milik mereka, pada kebiasaan mereka yang tidak tertimbang, dengan
pemborosan (ketamakan, keinginan “memiliki” uang dan segala sesuatu yang diinginkan), pada
kekuasaan yang tidak terbatas pada orang-orang lain (keinginan mendominasi dan memperbudak),
keinginan yang berlebihan untuk mengumbar dimensi-dimensi seksual fisik sendiri
(exhibisionisme). Agressivitas yang tak terkontrol terungkap dalam kekejaman dengan mana tujuan-
tujuan itu hendak dicapai, hingga menghancurkan barang-barang dan orang (para “tuan perang”,
bos-bos mafia, kriminalitas terorganisir, para pemodal yang berbahaya yang menghancurkan
kelompok ekonomis kecil, para politis yang tidak peduli [yang mati rasa] yang merealisir
kediktatoran entah secara parsial atau total, orang-orang ”seks maniak” besar yang merusak orang-
orang saat di mana mereka ingin mempraktekkannya, dan sebagainya). Inilah penyimpangan besar
yang paling mengacaukan dan mencemaskan, tentangnya, dengan begitu aneh, kita digentarkan,
tetapi tidak selalu berhasil merumuskan hukuman eksplisit, karena begitu erat terkait dengan
kekuasaan, dan juga Institut-Institut Religius terlibat di dalamnya karena salah sangka bahwa
dengan hal itu dapat memperoleh pertolongan atau fasilitas untuk penyebaran agama. Yang paling
gampang ialah melihat pendosa kecil, individu umum yang melakukan kesalahan (error), yang,
sebagai dinamika, mengulangi penyimpangan (deviasi) seperti sudah disebut di atas, tapi dalam
batas yang telah dipersempit dan lebih terbuka pada valutasi langsung. Secara paradoks bisa terjadi,
yaitu lebih gampang menghukum pendosa kecil daripada pendosa besar, yang dimensinya luput dari
persepsi umum karena lebih gampang ditopang oleh inteligensi dan kelicikan, tipu muslihat yang
menutupi (topeng; masker) kerusakan kolektif.
Tapi, tetap ada pertanyaan mengenai “tanggung jawab orang-orang” dsb. Apakah ini harus
dianggap sebagai “penyakit mental / kejiwaan’? Penyelidikan pengadilan sungguh menyampaikan
pertanyaan ini, sebelum memperoleh definisi hukuman. Kerusakan “objektif” dipisah dari
“tanggung jawab subjektif” dengan kesulitan berikutnya untuk merumuskan pembayaran ganti rugi
(silih). Dalam pikiran penilaian pengadilan moral yang koheren dengan pertanyaan itu masih lebih
susah lagi. Tanggung jawab mana yang rupanya harus ada pada orang yang begitu jauh dari
“normalitas” psikis karena melakukan kesalahan yang begitu dramatis? Dan dalam kasus kecil

182
setiap hari, bagaimana berperilaku bila berhadapan dengan kerusakan-kerusakan yang membuat
sulit hidup bersama dan yang memprovokasi, atau pengucilan dari keluarga, atau kesulitan
pertumbuhan anak atau ketiadaan pendidikan bagi seluruh kelompok orang muda, atau hilangnya
harta individual seperti kesehatan fisik atau psikis.
Kalau masuk dalam bidang psikoterapi dan kita berhadapan dengan pertanyaan ini,
bagaimana nampak terlibat di dalamnya imam, bapa pengakuan dan moralist. Dalam semua kasus
ini, bagaimanapun, ada sesuatu yang sebelumnya mempengaruhi yang begitu penting: si “pendosa”
ingin keluar dari status error itu. Dengan kata lain, ia “ingin” berubah dan dapat dipengaruhi,
bahkan pada awal sebelum kejadian, kepada perubahan motivasi dan kepada memperoleh kapasitas
untuk mereorientasikan hidupnya, dengan minta tolong, baik untuk “mengerti” maupun untuk
“mengusahakan” perubahan. Sudah ditegaskan kesadaran, perbaikan subjektif, keinginan untuk
menjauh dari “fiksasi” negatif yang telah menyeretnya kepada yang “jahat”.
Untuk yang lain tidak terverifikasi kondisi-kondisi sedemikan: tidak untuk pemberian
pertolongan, tidak juga untuk keinginan perubahan, pun tidak untuk hipotese “penyesalan”.
Nampaknya tidak ada sesuatu apapun yang ikut campur tangan. Untuk menunjukkan bahwa atas
cara tertentu mungkin ada kesadaran, pengharapan, agar tidak jatuh lagi dalam kesalahan yang
dilakukan. Bahkan ada spesies kekerasan hati dalam perilaku yang diadopsi, yang mengandaikan
kelanjutannya: kondisi psikologis inilah yang didefinisikan oleh Codex Penal sebagai “kejahatan
habitual” dan “keberbahayaan sosial”. Dibicarakan juga “kebebalan”, sebagai perilaku dominan,
karena ”menyimpang” dari norma. Inilah kasus-kasus dimana penilaian akan tanggung jawab
menjadi lebih sulit dirumuskan: mereka “bebas” atau tidak “bebas” dalam pilihan mereka? Dan
beban apa yang ada pada kondisi sosial dalam menentukan penyimpangan yang dimaksud?
Sekarang ini kita hidup dalam periode dimana perkosaan meledak di setiap sektor hidup
sosial dan politis, dimana norma-norma etis nampaknya tenggelam dalam kekhaosan hukum yang
tidak mengarahkan orang yang menghadapi tugasnya untuk membimbing, selain dirinya sendiri,
juga orang lain, menuju ideal hidup yang lebih baik. Pertanyaan mendasar ialah, apakah nilai-nilai
yang dipercayai secara tradisional sudah hilang lenyap, tanpa meninggalkan ruang untuk yang lain
yang dapat ditopang secara sama.
Pembicaraan tentang “krisis nilai” berputar dalam ketergantungan pada konstatasi bahwa
“apa yang menyimpang“ (dari yang tradisional) melanda semua level, dan kalau tidak dapat
ditegaskan dalam realitas bahwa semua masyarakat susah, bagaimanapun harus diakui bahwa ada
keadaan sukar yang sangat khas, dan bahwa tidak gampang menemukan arah baru untuk merealisir
perjalanan spiritual yang gampang dilaksanakan.
Sebagai konsekuensi dari krisis nilai-nilai yang sudah terbukti itu sangat sering dikatakan
bahwa sedang hilang sekarang “arti dosa”, dan apa yang “sebelumnya” jelas dikatakan sebagai
dosa, sekarang dalam persepsi mayoritas orang, tidak lagi (dianggap sebagai dosa). Tentang otoritas
siapa sudah menunjukkan garis-garis batas antara dosa dan tidak dosa berkurang pelan-pelan dan
selalu semakin kurang diterima.

Jadi, definisi dosa menjadi objek riset-riset yang baru, yang merupakan tugas para moralist.
Tapi, dengan riset-riset ini belum dapat dikatakan bahwa sudah ada konkordansi yang dapat dilihat
mengenai dosa itu. Definisi dosa dalam Dictioner Teologi Moral, karya D. Mongillo, merupakan
penjelasan yang sangat berharga.

Dari sudut pandang psikologis mungkin dapat didefinisikan dosa sebagai segala sesuatu
yang menghalangi atau menjauhkan perkembangan integral personalitas, dengan diferensiasi
singkat, yang tergantung dari beratnya penyimpangan.

Sistim “alasan” yang dipakai dalam dinamika psikis adalah “rasa bersalah”. Ini nampak
sudah ada dalam tahun-tahun pertama kali masa kanak-kanak (infanzia), dan menolak persepsi
subjektif bahwa apa yang dinginkan atau apa yang dibuat adalah kontras dengan ideal “kebaikan”
yang juga dipakai dalam intensionalitas subjektif. “Hukum” kodrati pertumbuhan dan
perkembangan, fisik dan psikis, sudah tertulis dalam codex genetis dari makhluk-makhluk yang
hidup, dan khususnya dalam makhluk human. Untuk realitas misterius yang kita sebut “kesadaran”,
dan yang ditunjukkan pertama-tama pada level tak sadar dan kemudian pada level sadar, inteligensi

183
mengerti, mula-mula gelap, tapi kemudian semakin terang, bahwa “sesuatu sudah jalan dalam arah
yang benar”, dan persepsi sedemikian diterjemahkan dengan “rasa bersalah”. Pasti yang dimaksud
di sini ialah mengenai persepsi subyektif, sering tidak tergantung dari verifikasi obyektif; tapi yang
dimaksud ialah mengenai realitas yang sangat penting. Definisi dari “apa yang tidak jalan dalam
arah yang benar”, bisa juga sulit karena “rasa bersalah”, sekalipun sungguh tidak disadari, lari pada
analisis eksak. Seperti sudah dikatakan, “sistim alam” itulah yang harus didecodifikasi dan
diterjemahkan dalam deskripsi yang terang. Valutasinya adalah subjek bagi kemungkinan error,
dalam subjek yang menghidupinya, dalam ketergantungan dari kesulitan yang bertentangan dengan
pematangan kognitif yang belum mencukupi, yang khas bagi kanak-kanak, dari kurangnya
reformasi mengenai apa yang adalah bagian dari keterbatasan kemungkinan realisasi keinginan
sendiri, mengenai konflik yang dibuat oleh hubungan dengan orang lain, mengenai keterbatasan
natural kebebasan, mengenai tekanan yang dilakukan kepada orang lain oleh kesalahan-kesalahan,
mengenai kesenjangan antara ideal pertumbuhan dan hambatannya (kelalaian dalam pertumbuhan
itu). Bayi adalah kaya akan rasa bersalah karena ia miskin akan akal. Oleh karena itu, sistim-sistim
alamnya dapat juga didecodifikasi olehnya dalam arah yang tidak eksak (tidak tepat) dan sudah
membuat dari dirinya sendiri rintangan atau hambatan pada pertumbuhan, kalau terlampau intens.
Pada umumnya yang paling menyusahkan terreferensi pada “ketakutannya” sendiri yang tidak
dalam posisi mengontrol perasaan dan perilaku, terreferensi pada ketakutan bahwa sudah
melampaui dan sudah kehilangan atau tidak mendapatkan secukupnya otonomi dan kontrol yang
dibutuhkan. Inilah ekspresi “kelemahan” dari si Aku. Pertolongan yang berasal dari luar memberi
peluang untuk mengerjakan decodifikasi itu, melalui informasi atas atau mengenai yang mana dapat
menjadi perkembangan “konstruktif” aksi yang digerakkan oleh keinginan, dan yang mana
sebaliknya yang berlawanan. Benteng (kekuatan) bimbingan ini- yang serentak kognitif dan emotif,
pengkayaan total - si Aku diperkuat, mendapat pengarahan. “Model-model” merupakan alat
transmissi kapasitas untuk mengatasi rasa bersalah, dengan menunjukkan arah yang diikuti. Di sini
dimasukkan bantuan norma-norma sosial dan religius: ini (norma-norma itu) adalah indikator-
indikator arah dan memberi peluang untuk seleksi antara rasa bersalah yang termonovisitir secara
benar dan rasa bersalah yang dilakukan secara fantastik. Keluarnya (jalan keluar) dari “roh”
(fantasma) itu membawa kepada pemahaman yang semakin realistik akan perbedaan antara
perilaku-perilaku yang menghalanginya. Pentingnya “model-Kristus” adalah terang karena
menghadapkan kepada “roh (fantasma) imaginer atau mahakuasa” model historis dan hadir selalu
secara real, hal demikian akan memenuhi tuntutan untuk mencapai spiritualitas sebagai puncak
kemungkinan pertumbuhan interior.
Jadi, pembedaan mengenai dosa dijelaskan dan diberi peluang untuk membedakan antara
moralisme preceptistik (peraturan) (yang tidak selalu valid dan selalu restrictif) dan moral natural
atau moral kristen, etika yang mendalam, dinamis, dan terorientasi secara dinamis.
Juga, tanpa tergantung dari persetujuan penerimaan agama, model-Kristus telah menandai
sejarah dengan penantian (kecondongan) akan kesempurnaan yang sulit dihapus. Yang dimaksud
hanyalah untuk menunjukkan bagaimana manusia “naturaliter christianus” dapat merealisir
kepenuhannya dengan mengakui jejak yang ditinggalkan oleh peristiwa historis kristen. Selain itu,
“dosa” adalah pelanggaran hukum-hukum, yang sering begitu didiskusikan, karena terjadi oleh
situasi sosial sesaat dan juga dikodefisir oleh waktu yang berbeda-beda.
Pelanggaran, sehubungan dengan model-Kristus, adalah kondisi umum, dan karena itu
dibayangkan kondisi “pendosa” sebagai kondisi universal, yang menunjukkan ketidakmungkinan
untuk mencapai kesempurnaan yang disarankan: tapi keyakinan dalam “rahmat” menolong untuk
mengatasi perasaan bersalah (tidak menyangkalnya) untuk menggemakannya sebagai sinyal (tanda)
bahwa masih perlu berjalan “ dan lama, seumur hidup, untuk mencapai tujuan atau garis finis yang
ditunjukkan dalam teologi Paulus. Obyektivitas dari yang jahat dari kerusakan yang ditimbulkannya
tidak dapat disangkal: konsekuensi-konsekuensi dari perilaku yang menyimpang exsist (ada) dan
sering demikian tetap exsist (ada) selama seluruh generasi (teringat akan konsekuensi-konsekuensi
kondisi politis dan model-model sosial yang menyimpang): tetapi “depressi” yang diakibatkan oleh
kesadaran akan ketersesatan sendiri dapat disembuhkan oleh stimulasi untuk percaya dalam
kemungkinan pengobatan; memang tidak akan mungkin (kalau ada suatu pembunuhan, maka
kebangkitan tidak akan terjadi), tetapi dapat bangkit lagi pada saat itu dengan aksi “penitensi”
(pertobatan) yang konstan, yaitu pertobatan kembali menuju arah (yang ditunjukkan) model itu.

184
Kalau ditekankan dengan menggarisbawahi “kerelaan” (“volontaritas”) akan aksi yang
menyimpang, sebaliknya dapat dilaksanakan mengenai “kerelaan” akan aksi reparatif. Bagi setiap
orang reparasi, perubahan punya modalitas berbeda. Pengalaman psikoterapi adalah model juga
untuk pastoral pertobatan: berhasil membuat memahami kesalahan yang sudah ada pada level
motivasi, memahami ke-absurd-an “roh” yang diikuti, memahami irrealisme perilaku, dan
membangkitkan energi, yang dimuati kepada setiap orang untuk bertindak dalam arah motivasional
yang lebih cocok untuk kebutuhan-kebutuhan pertumbuhan setiap orang. Setiap orang adalah
misteri dan si ahli terapi mengobservasi dan mengharapkan “menemukan bersama” dengan pasien
“bagaimana” keluar dari labirin (masalah rumit). Secara analog, ini harus ada bagi “pastor”
(gembala), pendidik, imam yang bertugas untuk menolong, untuk merealisir keselamatan.
Jadi, “pendosa” nampak sebagai seorang pribadi yang condong mencari dengan susah payah
apa yang terbaik bagi dirinya sendiri, yang susah karena kesalahan-kesalahan motivasi, yang kerap
disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak tergantung dari kemauannya (ketika masih) sebagai bayi,
tetapi tidak asing bagi persepsi bahwa ada kemungkinan untuk melakukan yang lebih baik.
Kreativitas dan generativitas orang yang mendampinginya menjadi pertolongan baginya. Sangat
sering bahwa hasil tidak terang; maka hanyalah Allah yang dapat menilai dengan manusia pada
gilirannya tidak kehilangan pengharapan bahwa/agar pada suatu saat ia campur tangan untuk
memodifikasi apa yang nampaknya tidak dapat dimodifisir. Kebajikan kesabaran dalam keletihan
menggalang untuk memberi pertolongan.

IX. KEKUDUSAN
Risultan perjalanan asketis harusnya adalah kekudusan. Ini adalah tujuan akhir ke mana
condong misteri keselamatan. Dan pasti dapat dinyatakan bahwa kalau seandainya tidak eksplisit
pandangan ini, maka tidak ada arti saran asketik itu.
Titik tolak ialah afirmasi yang dibuat oleh Paulus ketika dia menyebut “kudus” para
pengikutnya dan orang kristen pada umumnya, untuk menunjukkan bahwa mereka sudah
dikuduskan oleh kematian Kristus. Paham ini, seturut interpretasi teologis, memberi kondisi
“ontologis”; kekudusan adalah kualitas spesifik komunitas kristen, Gereja, karena ia telah diberikan
oleh Kristus kekudusan melalui anugerah Roh Kudus. Gereja adalah kudus karena sudah
diverifikasi demikian secara historis; orang-orang Kristen adalah kudus karena ambil bagian dalam
kekudusan itu. Semua adalah kudus dalam visi global universum (jagad) human, mulai dari Kristus
“hingga akhir zaman”. Maka kekudusan individual tiada lain adalah realisasi dari apa (kekudusan)
yang sudah ditetapkan.
Ilmu genetika (ilmu keturunan; ilmu tentang pewarisan gen) memberi kita model refleksi
yang dapat menolong atas cara tertentu untuk mengerti arti ganda kata “kudus” – dan kekudusan.
Penemuan-penemuan ilmu ini telah menandai eksistensi “codex genetik” karakteristik setiap spesies
yang hidup; setiap spesies menunjukkan, dalam pengamatan mikroskop dan pengamatan
immunologi, disposisi khusus kromosom-kromosom dan protein konstitutif; kekhususan itu adalah
yang menghasilkan perkembangan dari benih kepada seluruh organisme (jasad) seturut hukumnya
sendiri. Codex genetik “tertulis”, misalnya, dalam spesies human dengan karakteristik, dan – kalau
mutasi-mutasi tidak campur tangan – perkembangan keberadaan human akan human, lain tidak.
Sebagai analogi, dapat kita amati pemikiran Paulus: Kristus telah membawa ke dalam
kemanusiaan, terutama dengan kematian-Nya, karakteristik yang sebelumnya tidak ada (atau hanya
secara parsial ada, dalam Perjanjian Lama) yang mencerminkan “ciptaan baru”. Tugas setiap orang
ialah mengembangkan “codex” spritual yang baru ini dan mengaktualkan apa yang dalam
terminologi Aristotelis – hanya potensial. Contoh yang lain ialah apa yang ditarik dari sejarah: suatu
saat dimasukkan dalam sejarah kemanusiaan suatu “prinsip” (“principio” = awal; permulaan) yang
sebelumnya terabaikan (misalnya permulaan kebebasan), “principium” sedemikian “bertindak” dan
mengarahkan manifestasi-manifestasi kemanusiaan berikut.
Oleh karena itu semua kita adalah dan harus menjadi “kudus”, dalam dialektik keaktualan
temporal. Ini adalah sebagaimana dikatakan bahwa codex genetic membuat kita manusia, codex
baru yang dibawa oleh Kristus membuat kita “kudus”. Dan sebagai generasi human terus berlanjut

185
dalam perputaran-perputaran masing-masing generasi, maka demikian pun generasi ilahi berlanjut
terus dalam masing-masing individualitas yang melekat kepada Kristus.
Kalau untuk aspek-aspek organis (jasad) teknik-teknik penyelidikan memberi peluang pada
verifikasi afirmasi-afirmasi yang disarankan, maka untuk aspek-aspek spiritual tidak ada teknik-
teknik penyelidikan yang memberi peluang pada verifikasi dari apa yang sudah ditetapkan sebagai
rivelasi. Di sini ada misteri iman dan di sini kita harus berhenti. Kita hanya dapat mengerti nilai
konsep-konsep yang dibawa oleh rivelasi dengan mengamati bentangan sejauh di bawah pengaruh
kekristenan, tetapi sering juga justru bentangan sedemikian yang membuat ragu akan kebenaran dari
apa yang sudah ditetapkan. Bagaimanapun di bawah, kekurangan demonstratif historis, tetap ada
transmissi iman, eksistensi dari realitas yang adalah Gereja orang beriman, yang hidup terus dan
terus berkembang, mungkin tidak secara numerik (jumlah), tetapi terutama secara kualitatif. Ratio
tidak tahu mengatakan apa dan permenungan intelektualistik menyingkapkan batas-batasnya. Atau
diterima atau tidak diterima, bagaimanapun, penerimaan adalah masuk akal dan merupakan sumber
stimulasi untuk “menjadi” dalam arti realisasi proyek yang nampak, untuk kebutuhan human akan
arti hidup, masuk akal, bahkan sugestif.
Jadi, kekudusan adalah panggilan setiap manusia, sebagai perkembangan dari benih yang
dimasukkan secara tak terrusakkan dalam kemanusiaan global. Dan sebagaimana setiap personalitas
dapat mencapai tingkat perkembangannya sendiri, seturut kemungkinan originernya, demikian juga
dalam bidang spiritual: setiap orang mencapai tingkat partisipasi dalam kekudusan Allah yang
memberinya kemungkinan untuk mencapainya, dengan menggunakan sarana-sarana yang tersedia
(katekese, sakramen-sakramen, askese, dan lain-lain), dan tidak mau capek untuk mengusahakan
“yang lebih baik”, tanpa setuju pada sifat yang sedang, tidak baik dan tidak buruk, tetapi juga tanpa
(kepongahan) presepsi akan pandangan-pandangan satu arah yang absolut. Dalam arti ini
dibicarakan juga panggilan setiap orang: setiap orang menggunakan bakat yang dianugerahkan
kepadanya, untuk merealisir, pada level praktis, partisipasi dalam kekudusan Kristus. Lalu bahwa
ada orang yang punya kemungkinan untuk realisasi besar tidak menyangkut prinsip bahwa semua
dapat menjadi kudus, sebagaimana fakta bahwa ada ilmuwan besar tidak menyangkal prinsip bahwa
setiap orang berada dalam posisi menggunakan inteligensi.
Tambahan lagi, tahu sebagai termasuk, sejauh dibabtis, ke dalam komunitas para kudus,
memberi rasa yakin dan ketenangan, gerak misterius itu yang mendorong keberadaan human untuk
maju dengan merealisir selalu yang lebih baik sedapat mungkin, menemukan pembenaran dan
menghilangkan kesusahan (penderitaan) yang dialami oleh orang-orang yang tidak memakai apa
yang dari rivelasi. Rasa yang mencirikan kekudusan nampaknya adalah kerendahan (humilitas) dan
rasa syukur: disebut kerendahan karena semuanya sudah “dianugerahkan”, disebut rasa syukur
karena anugerah yang diterima. Hidup adalah serentak dikuatkan untuk mengatasi narcisisme,
kesombongan egosentris dan aksi rahmat karena anugerah yang telah diterima.

F. PROSPEKTIF TEOLOGIS KEMAJUAN SPIRITUAL


I. DOKTRIN KONSTAN SECARA TRADISIONAL
Hidup spiritual berkembang menuju proses menjadinya. Untuk keperluan intrinsik dibuka
dalam penghaturan yang menetap dalam bentuk-bentuk yang baru yang dapat menunjukkan
kemajuan atau kemunduran. Tidak tahu apakah tetap fix secara statistik. Dijaga efisiensi hanya
kalau maju. Baginya berhenti berarti mulai menuju pemahaman sendiri. Axioma antik mengatakan:
“Tidak maju berarti mundur”.
Kemajuan spiritual adalah petualangan yang tidak terpotong seperti aktivitas human secara
eksklusif. Di dalamnya terikat Pribadi-Pribadi Illahi dalam komunikasi intim cinta Mereka.
Mengenai tugas spiritual kita Allah bapa mencurahkan potensi generatif-Nya dengan mengangkat
kita menjadi anak-anak-Nya; Sabda yang menjelma mengkomunikasikan kepada kita partisipasi

186
dalam misteri paskah-Nya untuk bangkit bersama Dia; Roh Kudus memberi kesaksian kepada kita
akan orang-orang pilihan karena cinta karitatif ilahi. Hidup secara spiritual adalah meta petualangan
sendiri, berarti bertualang bukan sebagai orang yang terisolir, tetapi hidup bersama Allah dan dalam
Allah. Keberhentian universal dari pemajuan spiritual dalam diri manusia berarti pencobaan
pembunuhan pada komunikasi cinta karitatif illahi triniter dalam universum (jagat raya).
Pengalaman progressif spiritual jelas ditunjukkan dalam Kitab Suci (Ibr 5: 11-14) dan
dijelaskan dalam para Bapa gereja. Para teolog spiritual terikat secara konstan dalam melukiskan
bagaimana evolusi itu diuraikan. Tugas yang harus mereka kembangkan untuk menolong jiwa-jiwa
orang beriman dalam eksistensi spiritual mereka, tetapi terutama karena melalui pengetahuan akan
proses kemajuan spiritual adalah memungkinkan untuk membuat nampak kebaikan cinta Trinitas
Mahakudus terhadap manusia.
Kenyataannya tidak ada indikasi-indikasi teologis mengenai proses “menjadi” spiritual
begitu salah bentuk. Ini memang tergantung dari pengalaman-pengalaman yang sudah dimiliki oleh
masing-masing spiritualist; tergantung dari pemikiran-pemikiran doktrinal teologis dari mana
mereka bertolak, tergantung dari lingkungan komuniter eklesial di mana hal itu terselipkan;
tergantung dari kecemasan-kecemasan spiritual konkrit yang bermaksud membuat berhadapan
dengan ekspresi-ekspresi teologis mereka. Dapat kita liat beberapa contoh doktrinal.
St. Thomas Aquinas (S. Th. II-II, 24,9) menyamakan perjalanan spiritual progressif dengan
kasih yang diuraikan dalam tiga tingkat (tripple tingkat). Dalam kebajikan kasih, yang diterima
sebagai anugerah dari Roh Kudus, para pemula mempunyai jiwa yang dimurnikan (purificata) dan
dijauhkan dari dosa. Yang sudah maju (proficienti), yang dianimasi oleh kasih, masuk dalam
praktek-praktek kebajikan. Yang sudah sempurna (perfecti) menghidupi kasih sebagai kesatuan
intim yang menggembirakan dengan Allah.
St. Bonaventura melihat perjalanan menuju kesempurnaan sebagai suatu pendakian
progressif yang berkelanjutan (terus menerus) menuju kontemplasi estatik. Perjalanan itu mulai dari
purifikasi etis-intelek yang menelanjangi jiwa dari bayangan (immagine) apa pun dan dari setiap ide
yang diperoleh melalui kontak dengan realitas tercipta; dimasukkan dalam cahaya ilahi (illuminasi)
untuk mencapai satu-satunya kebaikan illahi melalui ekstasi cinta dan penglihatan akan Allah.
Untuk St. Yohannes dari Salib, para pemula membutuhkan bentuk-bentuk dan perhatian-
perhatian yang peka sebagai sarana penggerak untuk mengarahkan diri menuju kesatuan dengan
Tuhan; mereka membutuhkan teladan untuk mengangkat hati kepada Allah (2S 12, 5-6); menjaga
(sogliono) agar tidak jatuh dalam banyak kekurangan dan cacat cela (1S 13,1); dan ketika mereka
pada mulanya dibawa masuk oleh Alah ke dalam hidup kontemplatif, mereka masuk pada malam
pertama yang menyucikan bagian sensitif jiwa mereka (1S 1, 3); mereka menghidupi hidup spiritual
melalui meditasi. Sebaliknya, yang sudah lebih maju (proficienti) menikmati pengalaman illumatif
atau pengalaman kontemplasi yang dianugerahkan (infuso) (1N 14,1). Adalah kontemplasi yang
begitu tenang yang berlimpah akan cita rasa spiritual, namun tidak immune dari kekeringan dan
kegelapan (2N 1,1). Dan oleh karena masih tetap ada beberapa kekurangan habitual dan aktual (2N
2, 1-3), untuk menyiapkan diri pada kesatuan ilahi (2N 2,4-5) si yang sudah maju (proficienti)
memerlukan malam Roh. Dalam status yang sudah perfek (perfecsionist) jiwa nampak kosong,
telanjang, disucikan dari setiap nafsu (1S 5,6). Ini memberi nikmat akan Allah dalam setiap hal dan
tak pernah pada diri sendiri (1N 3,23); semua ditenggelamkan dalam kesatuan dengan Allah (CB
25,4).

II. KEMAJUAN SPIRITUAL DALAM INDIKASI MANUALISTIK


Setiap spiritualis, terutama kalau ia sudah menghidupi secara personal pengalaman
spiritualnya sendiri, suka melukiskan dengan nuansanya sendiri kemajuan spiritual yang untuk itu
jiwa dipanggil untuk mengejarnya. Umumnya semua sepakat mengenai aspek fundamental:
kemajuan spiritual adalah purifikasi yang diperdalam dalam proporsi bahwa jiwa siap dirahmati
oleh cinta Roh Kristus. Lahir da;am hidup roh yang baru mengandaikan mati dalam hidup daging,
seturut ungkapan St. Paulus.
Para spiritualis, walaupun menganggap bahwa tidak exist stadium-stadium spiritual yang
berbeda secara kategorial dalam arti sebenarnya, oleh karena progress spiritual terurai dalam

187
dinamika (satu-satunya) yang tanpa henti di bawah inisiatif bebas roh, suka melukiskan beberapa
karakteristik yang berbunga indah dalam momen-momen perjalanan spiritual yang berikut. Mereka
umumnya berorientasi pada dua kemungkinan skema progres spiritual.
Skema pertama, yang nampak lebih favorit karena indikasi praksisnya akan bimbingan
rohani, membagi perjalanan kepada kesempurnaan spiritual dalam tiga tingkat atau jalan: pemula
(principianti), yang sudah maju ( proficienti) dan yang sudah sempurna (perfetti). Para pemula ialah
mereka yang sudah masuk “dalam kasih sedemikian untuk menghindari secara habitual dosa berat
dan untuk mengurangi jumlah kekurangan (dosa) ringan“. Untuk status kharitas habitual yang
dimiliki, mereka mempunyai pengertian akan kejahatan masing-masing dosa; mereka harus punya
keberanian untuk menarik diri dari dosa-dosa itu; mereka mengembangkan purifikasi intim pada
akhir dari pencabutan setiap rasa bersalah dari kedalaman interior. Para pemula dengan maksud
tidak membiarkan diri berlalu dari hawa nafsu yang tidak teratur, lebih dari pada (selain)
memperbaiki (mereparasi) dosa-dosa, tetap terikat dalam perjuangan melawan hawa nafsu yang
belum sebagai mortifikasi (siksa diri) atau melawan mentalitas yang bertentangan dengan iman;
mereka menjaga perilaku asketis habitual; mereka setia pada praktek-praktek pietas; mereka
memberi diri untuk memperoleh habitus-habitus berkebajikan.
Yang sudah maju (propicienti) telah mengatasi hawa nafsu sedemikian sehingga mereka sudah
berada di luar bahaya berdosa berat dan menghindarkan dosa-dosa ringan. Mereka tahu bagaimana
mengarahkan diri dalam perjalanan spiritual yang lebih lanjut: mereka lebih stabil dalam
mempraktekkan pelaksanaan-pelaksanaan opportun hidup spiritual; mereka condong pada
pembaharuan interior dengan menyerupakan diri dengan Kristus: mereka mengupayakan
permenungan budi dan penjagaan hati dengan memperdalam kasih; mereka mempraktekkan
penyangkalan diri dan kerendahan hati dengan membiarkan diri pada bimbingan roh; dengan hati
yang sudah dimurnikan mereka terarah pada cahaya ilahi dan pada cinta Allah.
Yang sudah sempurna (perfetti) tinggal dalam kasih penuh yang bercahaya sedemikian
untuk tidak layu oleh karena motivasi-motivasi duniawi. Mereka menaklukkan setiap gerakan
afektif mereka sendiri dengan kepatuhan penuh pada inspirasi-inspirasi Roh Kudus; dalam gerakan
kebajikan satu-satunya mereka mengungkapkan kegairahan untuk Allah dan cinta bagi sesama.
Walaupun mereka tidak tahu menghidupi status karitatif yang begitu tinggi secara begitu konstan,
tetapi agar tidak menunjukkannya kadang-kadang sebagai diredupkan oleh kerapuhan dan
penyimpangan-penyimpangan ringan. Justru karena di atas bumi tidak eksit status definitif cinta
murni.
Terhadap para spiritualist ditunjukkan skema yang lebih lanjut akan progress spiritual. Kita
dapat melihatnya dari doktrin Origines. Kalau dalam skema sebelumnya muncul kecemasan untuk
menetapkan perilaku yang patut dari manusia spiritual atas dasar yang bersifat menentukan dari aksi
Roh Allah, maka dalam skema Origines ada intensi untuk mengangkat dimensi kontemplatif sebagai
anugerah Roh ke dalam tugas personal yang berkebajikan.
Origenes, dalam perjalanan spiritual, membedakan jalan aktif (via active; via etica) dan
kontemplatif (via contemplativa) (yang dibagi dalam physike theoria dan theologia). Progress
spiritual mulai dengan etika, bertugas untuk untuk mentransformir kondute eksterior manusia;
dalam memurnikan jiwa dari hawa nafsu sedemikian untuk masuk dalam apatheia. Hawa nafsu
tidaklah dianggap negatif karena ia merupakan bagian dari kodrat human. Diupayakan
memortifikasinya, oleh karena ia cenderung menangkap jiwa di antara ciptaan, dan membuatnya
lupa akan Pencipta. Ia didukung oleh ketenangan yang tak mengurangi gerak hawa nafsu tetapi
menguasainya hingga memberi kepada animo disponibilitas penuh pada hidup kharitatif. Jalan etika
(via etica), lebih dari pada pembenaran kodrat human, merupakan kebangkitan spiritual menuju
pengenalan mistik, suatu transformasi positif seluruh personalitas, suatu pertumbuhan dalam
kebajikan-kebajikan Yesus Kristus sendiri. Baginya jiwa datang dengan mengasimilasikan diri
dengan sebuah kebijaksanaan Allah; diperkaya dengan kebajikan yang mengidentifikasikannya
dengan Kristus; didahulukan, sejauh merupakan gambaran Allah, menuju divinisasinya sendiri.
Karena itulah maka tidak ada progress etik yang tidak sekaligus juga merupakan progress spiritual
mistik.
Dalam stadium spiritual kedua (fisik), jiwa merenungkan setiap realitas dan
mengharmonisasikannya dengan penggunaan yang dikehendaki oleh Pencipta; ia merenungkan
makhluk ciptaan, berjasad dan tidak berjasad (jasmani dan rohani), sesuai dengan ratio illahi; ia

188
melihat dunia yang jasmani (berjasad), yang pada hakikatnya rapuh dan fana, tidak jahat, tapi
dengan nilai sekunder dan fana bila dibandingkan dengan realitas abadi; ia tidak meremehkan hal-
hal duniawi, tetapi di dalamnya ada dorongan spiritual yang membuatnya dicintai dalam Allah di
seberang keberadaannya yang terbatas dan yang dapat diraba. Dalam stadium fisik jiwa tahu
mengembangkan dari kodrat dimensi yang lebih lanjut: ia mengambilnya sebagai rivelasi Allah dan
kehendak-Nya, yang (bersifat) mencipta; di dalamnya ia membaca misteri dari aksi Pencipta
sedemikian hingga merenungkan kehendak Allah yang terinkarnir. Dan oleh karena itu dalam Yesus
Kristus terhimpun semua intensi kreatif Allah Bapa, maka ilmu tentang dunia yang dimiliki oleh
manusia spiritual dalam instansi terakhir direduksi pada pengenalan akan Sabda yang menjelma.
Tahap tertinggi (suprema) dari perjalanan spiritual terbentuk dari enoptica atau inspettiva, di
mana jiwa digerakkan untuk mengenal Allah secara mistik di seberang bermacam-macam ide yang
berbeda-beda; di mana ia ingin merenungkan yang illahi yang tidak nampak, dalam dirinya sendiri;
di mana ia mencari kontak langsung dengan kebijaksanaan Allah tanpa perantaraan imaginatif atau
konseptual. Kesempurnaan spiritual yang sama mengandaikan bahwa jiwa kiranya diillahikan
secara mendalam, berhubung karena pengenalan terjadi demi keserupaan. Dalam status enoptica ini
jiwa memperoleh pemahaman spiritual interiorisasi akan Kitab Suci, yang memperkenankannya
untuk mencari jantung rencana ilahi yang terealisir sepenuhnya hanya dalam Yesus Kristus.
Ketiga tahap progres spiritual yang ditunjukkan oleh Origines tidak saling menggantikan
antar mereka dalam waktu. Itu adalah proses spiritual yang saling berintegrasi antar mereka hingga
mentransformir keberadaan personal dalam integralitasnya, tidak terutama untuk pengalaman mistik
duniawi, tetapi lebih membuat untuk mengecap terlebih dahulu sekarang ini pandangan yang
membahagiakan (visione beatifica).

III. KEMAJUAN SPIRITUAL DALAM TEOLOGI KONTEMPORER


Refleksi teologis kontemporer mengundang atau mengajak untuk menjajaki proses spiritual
orang kristen, yang mungkin, atas dasar hidup spiritual orang kristen, sebagaimana dilukiskan dalam
Injil.
Yesus, berkat Roh, sejak Dia dikandung, telah memiliki personalitas yang dipneumatisir
(Luk 1:35), tapi itu berlangsung dengan selalu sedemikian secara progresif; Dia telah menghidupi
cinta mistik yang semakin diseragamkan secara intensif dengan atau pada kharitas Illahi Triniter;
Dia punya keberadaan dari daging yang diterima (-Nya), yang berangsur-angsur dipneumatisir
dalam bentuk yang paling mendalam oleh pribadi Sabda Allah. Ia sudah mengalami penghidupan
mistik-Nya yang kekal (perenne) dalam modalitas-modalitas yang berikutnya yang lebih intern, dan
Injil telah mengingatkannya dengan menekankan turunnya berulang-ulang Roh Kudus atas-Nya
(bdk Luk. 3:22 dan yang paralel dengan itu). Atas dasar tuturan (narrasi) Injil dapat kita bedakan
tiga modalitas berikut dalam penghidupan spiritual mistik Yesus.
Dalam periode masa muda (adolessen), Yesus menunjukkan kondisi yang sudah terartur
semuanya dalam arti asketis: taat kepada orang tua (Luk. 2:51), dihormati oleh orang-orang yang
mengenal-Nya (kenalan-Nya) karena kondute-Nya yang berkebajikan (Luk. 2:52). Dengan kondute
spiritual asketis yang tinggi ini, Yesus pada awalnya berhadapan dengan kerasulan publik (Ia
menghadapi percobaan di padang gurun: Mat. 4:1-11; Ia menerima baptisan dari Yohanes: Mat.
3:13-17; secara personal Ia menyebarkan baptisan pertobatan Yohanes: Yoh. 3:26; sambil
menyeragakannya dengan kotbah asketis Yohanes Pembaptis).
Selanjutnya Ia mengobah hidup spiritual dan hidup apostolis, sementara Yohanes Pembaptis
tetap bungkam dan mengirim utusan kepada-Nya untuk bertanya apakah Dia yang harus datang itu
(Mat 11:3; Luk 7:23). Sekarang Yesus hidup atas Sabda, karena Sabda itu mengkomunikasikan
“hidup yang datang dari Roh Allah” (Yoh. 6:63). Dia merasa diutus oleh Bapa untuk
mengkomunikasikan Sabda-Nya (Yoh 17:8); siapa mendengar Sabda, Dia melakukan kehendak
Bapa (Yoh 4:34) dan mengenai Sabda ini akan ada pengadilan demi keselamatan (Gb 12:47-48).
Secara pribadi Yesus, melalui Sabda tetap tinggal dalam intimitas mistik dengan Bapa berkat Roh
yang berkarya dalam Dia.
Ia menghadapi krisis galileian. Yesus mengatakan bahwa para murid tidak siap untuk
memahami Sabda. Ia membatasi diri untuk berbicara kepada mereka dengan perumpamaan (Mrk.

189
4:34). Melalui tuturan-tuturan (narrasi) perumpamaan, yang akhirnya secara spiritual tidak dapat
dipahami, (Yesus) ingin menyakinkan para murid-Nya bahwa hanya Roh yang membuat mereka
sanggup untuk mengerti pesan atau warta ilahi (Mat 13:13; Yoh 14:26; 16:13). Justru karena Ia
memiliki Roh maka dapat mengerti atau memahami Sabda Bapa dan menyingkapkan arti-Nya
kepada para murid (Luk 24:45).
Demikian Yesus, untuk menyempurnakan hidup spiritual-Nya sendiri dan untuk memiliki
Roh secara penuh, masuk dalam hidup spiritual paskah: mati dalam daging untuk dilahirkan kembali
dalam roh (Mat 16:21ss). Dalam waktu berikut dalam hidup duniawi Yesus, Roh Kudus diberi
untuk membuat manusia ambil bagian dalam hidup paskah Yesus Kristus, dengan maksud untuk
membuat mereka sanggup bangkit bersama Kristus dan dalam Kristus. Novasianus menerangkan
demikian: Yesus sudah menghidupi paskah ”agar dari Dia orang lain dapat menerima paskah
sebagai tetes-tetes rahmat, dengan tetap utuh dalam Dia seluruh sumber membual Roh Kudus,
seolah dari kepenuhan Roh yang diam dalam Kristus tersebar bercabang-cabang banyak anak sungai
akan anugerah dan pekerjaan (Sulla Trinita 26, 168). Yesus paskal memberikan Roh Kudus, yakni
yang menyelamatkan dan menguduskan. ”Oleh karena Bapa adalah sumber dan Putera disebut
Sungai, dikatakan bahwa kita meneguk Roh” (St. Antonius a Serapione I, 19).
Dalam pengalaman-pengalaman injili ini, sekarang ditekankan, Yesus tidak bergerak dari
satu fase spiritual kepada fase yang lain. Semua aspek spiritual ada dan tetap ada dalam diri Yesus
sejak Ia dikandung; dan setiap aspek itu dilakukan oleh-Nya juga kalau Ia menunjukkan secara
publik bahwa (Ia) mengatasinya menuju fase yang lebih lanjut. Yesus, ketika bermenung atas Sabda
dalam colloquium intim dengan Bapa, bertekun dalam askese yang berkebajikan. Dan apabila Ia
memberi diri pada hidup paskah dalam Roh, Ia terus menghidupi secara baru dan mulia askese dan
pendengaran akan cinta menuju Sabda paternal. Di atas salib, dalam keadaan hendak wafat, Ia
mengungkapkan secara tersintesekan eksistensi spiritual-Nya: dengan mempercayakan diri
sepenuhnya kepada Sabda Bapa, Ia mempersembahkan secara asketik persembahan atau
pengorbanan total tubuh-Nya (Mat 27:43), dengan menyatakan bahwa sekarang seluruh Roh (-Nya)
intim dengan hidup Illahi Triniter (Luk 23:46).
Orang Kristen, dengan baptisan, memulai hidup spiritualnya, dengan dicangkokkan oleh
Roh pada hidup paskal Kristus. Ia memulai perjalanan yang disarankan secara simultan sebagai
asketis dan mistik, yang diaktualisir sebagai anugerah Roh dalam aktivitas personal yang
berkebajikan, yang dapat direalisir berkat rahmat di dalam aktivitas sendiri yang bertanggung jawab.
Progress perjalanan spiritual diungkapkan sebagai hidup yang semakin perfek secara
berkebajikan dalam keberadaan personal yang dipneumatisir diorientasikan dalam jalan kharitatif
paskal oleh Roh Tuhan.
St. Yohanes dari salib telah mengalami jalan paskal malam gelap roh yang telah
memasukkannya ke dalam kesempurnaan kesatuan mistik kharitatif perkawinan spiritual. Sementara
St. Paulus dari Salib telah mengenal malam-malam yang memurnikan tidak sebagai disposisi yang
sebelumnya untuk kesatuan kharitatif yang mentrasformir, tetapi sebagai status permanen mistik. Ia
telah menghidupi puncak kesempurnaan spiritual kharitatif yang sama sebagaimana terserap semua
akan purifikasi paskah. Indikasi St. Paulus dari Salib ini dapat dihargai berhubung karena dalam
Yesus kemajuan kharitatif yang mempneumatisasi, Allah menunjukkan hidup yang sekaitan dengan
kematian paskal yang paling mendalam.
Orang percaya, pada awalnya takut mengungkapkan diri dalam askese yang mengikatnya
dalam status yang semakin berkebajikan. Status asketik ini dikonkritkan dalam disponibilitas untuk
menerima dari Roh status progressif pneumatik paskal kharitatif. Dapat terjadi bahwa orang
beriman, terutama karena pendidikan spiritual yang diterima, secara eksterior berperilaku selalu
seperti asket, walaupun secara interior Roh mengutusnya dengan membawanya menuju puncak
unitif kharitatif.
Jiwa, yang hidup dalam kemurahan hati asketik, secara teratur terus dipanggil oleh Roh
untuk melakukan dalam pengalaman spiritual apa yang dilakukan secara injili oleh Yesus sendiri:
mendengar Sabda Bapa berkat Roh. Inilah cara yang paling mendalam secara intim untuk hidup
bersama Kristus dan dalam Kristus yang bukan dalam askese yang berkebajikan; ini adalah
kegemaran sendiri dalam colloqium cinta dengan Dia; ini adalah membuat ambil bagian dalam
kasih Kristus yang menjadi komunikasi intim setiap orang yang dipanggil. Pengalaman spiritual
yang sama dihidupi dalam bentuk-bentuk yang paling berlainan seturut anugerah Roh. Dalam St.

190
Gemma Galgani, bentuk pengalaman spiritual itu adalah keberadaan yang sedang conversasi cinta
aktual dengan Yesus; bagi Charles de Foucauld bentuk pengalaman spiritual itu adalah
merenungkan Injil untuk mencapkan atas diri sendiri wajah tercinta Tuhan; bagi St. Teresa dari
Lisieux melalui Sabda, bentuk pengalaman spiritual itu adalah sadar bahwa ia mencintai Tuhan
dengan cinta yang sama Ia mencintainya. Roh mengarahkan jiwa yang kudus untuk mendengar atas
cara tertentu Sabda Injili Kristus sebagaimana yang dimaklumkan oleh Bapa dalam keabadian:
“Dalam satu Kata saja Bapa telah berbicara, dan itulah Putra, dan Kata ini terus bersabda dalam
silentium abadi, dan dalam silentium harus didengar oleh jiwa” (Yohanes dari Salib, Spunti
d’amore, 21).
Jiwa, selain dibuat ambil bagian secara sakramental dalam miteri paskah Kristus, sering
dipanggil untuk bersaksi sedemikian juga dalam eksistensi yang disadari secara eksterior. Ia
mempersembahkan diri dalam persembahan (kurban) personal yang begitu bertekun dan
menyengsarakan sedemikian bahwa perjalanan spiritualnya adalah paskal seluruhnya (seperti dalam
St. Paulus dari Salib). Ia tidak mencari penderitaan dalam dirinya sendiri, tetapi purifikasi interior
sedemikian untuk mengungkapkan diri sebagai satu hal saja dalam Kristus dan bersama Kristus
yang wafat-bangkit. Ada jiwa-jiwa heroik dalam mengassimilasikan diri dengan Kristus yang
menderita (misalnya, Veronica Giuliani, Maria Magdalena Martinengo), yang tidak inferior secara
spiritual bila dibandingkan dengan para martir yang telah menyerahkan hidup demi cinta akan
Tuhan. Benedetta Bianchi Porro, buta, lumpuh, tergeletak di tempat tidur tanpa kata dan tanpa rasa,
menulis: “Dalam Kalvari-ku aku tidak putus asa, aku tahu bahwa di tengah jalan Yesus menunggu
aku.”
Sebagai konklusi, progress spiritual yang dilukiskan dalam Injil dirumuskan sebagai
pengarahan jiwa menuju Allah Bapa dalam jalinan Roh dan Kristus yang tak terpisahkan untuk
membentuk Tubuh Mistik Ekklesial Tuhan. “Kita sudah ditandai dengan meterai Roh, oleh karena
dalam Putera kita mempunyai gambar Bapa dan dalam Roh kita menerima meterai Putra”
(Ambrosius, Le Vergini 1, 8, 48). St. Elisabeth dari Trinitas telah memberi kesaksian kepada kita
secara mengagumkan perjalanan spiritual menuju puncak mistik triniter: memberi diri tanpa kenal
lelah pada askese agar Roh melalui partisipasi dalam misteri paskal Kristus menyingkapkan kepada
kita arti spiritual Sabda Bapa yang tersembunyi dan menenggelamkan kita dalam lautan kasih
triniter dengan menjadi anggota Tubuh Mistik Tuhan yang dibangkitkan.

191
PERTANYAAN-PERTANYAAN UNTUK UJIAN

INTRODUKSI

1. Terangkanlah arti istilah "Spiritualitas" dalam sejarah!


2. Terangkanlah arti istilah "Spiritualitas" dalam dirinya sendiri!
3. Lukiskanlah bagaimana Spiritualitas lahir sebagai ilmu otonom!
4. Sebutkan tiga poin yang harus diperhatikan dalam rumusan Teologi Spiritual yang muncul
tahun 1940-an!
5. Sebutkan berbagai nama yang diberi pada Teologi Spiritual dan mengapa istilah
"Spiritualitas" lebih cocok untuk bidang tersebut?
6. Tuliskanlah definisi-definisi Teologi Spiritual menurut berbagai penulis!
7. Apa komentar A. G. Matanic untuk rumusan Teologi Spiritual dewasa ini, dan bagaimana ia
sendiri memberi rumusan, serta unsur apa yang terkandung dalam rumusannya?
8. Apa problematik metodologis Spiritualitas dan bagaimana metode itu sebagai yang
kompleks?
9. Sebutkan dan terangkanlah secara lengkap tiga kelompok sumber-sumber Spiritualitas!
10. Apa yang harus diperhatikan dalam problematik eksegetis sumber-sumber Spiritualitas?
11. Apa ilmu-ilmu penunjang bagi Spiritualitas? Sebutkan dan terangkanlah!
12. Terangkanlah hubungan Spiritualitas dengan Ilmu-Ilmu Sakral dalam sejarah!
13. Terangkanlah hubungan Spiritualitas dengan Dogma!
14. Terangkanlah hubungan Spiritualitas dengan Moral!
15. Apa sumbangan Spiritualitas pada Teologi?
16. Terangkanlah pembagian Spiritualitas secara umum!
17. Spiritualitas khusus dapat dibedakan berdasarkan 7 kriteri. Sebutkanlah dan terangkanlah!
18. Terangkanlah apa itu pengalaman!
19. Apa artinya mengalami?
20. Apa itu pengalaman rohani?
21. Sebutkan dan terangkanlah tiga tempat dan stadion baru bagi pengalaman rohani dewasa ini!
22. Sebutkan dan terangkanlah tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pengalaman rohani di
tempat baru!
23. Sebutkan dan terangkanlah 4 kriteri untuk menguji pengalaman rohani

BAGIAN SISTEMATIK

24. Apa sikap kritis zaman modern terhadap hubungan Allah, manusia dan kosmos?
25. Bagaimana cara agar dapat mengintegrir diri dan kemampuan dengan alam?
26. Apa artinya Allah selalu terarah kepada manusia?
27. Terangkanlah bahwa "Emmanuel, Allah beserta kita" dan kehadiran Kerajaan Allah adalah
intensifikasi dan radikalisasi Allah yang terarah kepada kita!
28. Apa maksudnya bahwa manusia harus terintegrir dalam alam ciptaan?
29. Apa yang harus dihindarkan kalau kita hendak berbicara, memahami dan menghayati Allah
yang mengarahkan diri kepada kita dalam Yesus Kristus, Putera-Nya, dan dalam Roh
Kudus?
30. Apa artinya memahami dan menghayati "Kristus dalam diri-Nya sendiri"?
31. Terangkanlah kaitan antara spiritualitas kristosentris, teosentris dan patrosentris!
32. Bagaimana kaitan praksis hidup, eksistensi dan iman Yesus, Yahudi dan kita
33. Terangkanlah kelemahan pemahaman teologi Timur dan Barat mengenai penebusan! Dan
bagaimana menurut pandangan modern?
34. Bagaimana praksis Yesus yang membebaskan harus dipahami?
35. Terangkanlah kaitan salib Kristus dengan seluruh fakta hidup-Nya!

192
36. Apa maksudnya bahwa salib sebagai penderitaan harus diterima?
37. Terangkanlah bahwa pembangkitan adalah masa depan bagi Yesus dan bagi orang beriman!
38. Terangkanlah bahwa pembangkitan adalah bukti intervensi dan kesetiaan Allah pada Yesus!
39. Apa maksudnya bangkit bersama Kristus?
40. Terangkanlah apa maksudnya Roh Pencipta!
41. Apa maksudnya Roh sebagai gerakan kekuatan Allah?
42. Apa maksudnya Roh sebagai anugerah messianis bagi Yesus?
43. Apa maksudnya Roh sebagai pengembangan keputraan dan kebebasan?
44. Apa maksudnya Roh sebagai energi eskatologis?
45. Terangkanlah apa maksudnya Gereja sebagai lingkungan vital iman!
46. Apa maksudnya Gereja sebagai "Umat Allah"?
47. Apa maksudnya Maria sebagai "typus" iman?
48. Terangkanlah bahwa dalam iman Maria terkandung kerelaan dan inisiatif yang bebas!
49. Terangkanlah bahwa missi Maria adalah kesiapsediaan dan keterbukaan yang bebas!
50. Terangkanlah bahwa Sabda itu diperuntukkan bagi semua orang!
51. Terangkanlah bahwa Sabda itu lahir dan muncul dari martyria!
52. Terangkanlah bahwa Sabda itu adalah memoria!
53. Terangkanlah kaitan Sabda dengan Ekaristi!
54. Terangkanlah kaitan Sabda dengan ketiga virtutes teologales!
55. Terangkanlah bahwa Sabda itu mempersatukan semua orang beriman!
56. Terangkanlah Sabda itu dalam skema exitus-redditus!
57. Terangkanlah bahwa Sabda yang sudah dari kekal kemudian menjadi Sabda keselamatan!
58. Terangkanlah hubungan Sabda dengan doa!
59. Apa itu dimensi anamnese doa? Terangkanlah!
60. Apa itu memoria Allah? Terangkanlah!
61. Apa itu memoria umat beriman? Terangkanlah!
62. Apa itu memoria Gereja apostolis? Terangkanlah!
63. Apa itu memoria ekaristis? Terangkanlah!
64. Apa itu doa kristen! Terangkanlah!
65. Doa kristen itu diarahkan kepada Bapa. Apa maksudnya? Terangkanlah!
66. Doa kristen itu berkaitan dengan doa Kristus. Apa maksudnya? Terangkanlah!
67. Doa kristen itu adalah doa kepada Bapa. Apa maksudnya? Terangkanlah!
68. Doa kristen itu adalah doa melalui Kristus dan dalam Roh Kudus. Apa maksudnya?
Terangkanlah!
69. Doa adalah juga bagi orang lain. Apa maksudnya? Terangkanlah!
70. Jangkauan doa itu luas. Apa maksudnya? Terangkanlah!
71. Ada tonalitas kesatuan dalam doa? Apa maksudnya? Terangkanlah!
72. Terangkanlah bahwa dalam doa, Israel bersatu dengan orang-orang pagan!
73. Terangkanlah bahwa dalam doa, semua orang bersatu antar mereka dan dengan Allah!
74. Terangkanlah bahwa doa adalah tanda ketegaran iman!
75. Terangkanlah bahwa dalam doa, orang lain hadir!
76. Apa itu doa tubuh? Terangkanlah!
77. Apa itu doa Ekaristi? Terangkanlah!
78. Apa itu doa Liturgis? Terangkanlah!
79. Terangkanlah bahwa doa itu tidak terpisah dari Sabda!
80. Kesaksian dan kerygma meng-orkestra-kan theophani Pentekosta. Apa maksudnya?
Terangkanlah!
81. Terangkanlah kaitan antara Paskah Yahudi dengan Paskah kristen!
82. Perncurahan Roh adalah buah Paskah. Apa maksudnya? Terangkanlah!
83. Terangkanlah bahwa paska Kristus mempersatukan semua!
84. Kesatuan yang tercipta oleh Paskah Kristus terbuka bagi yang lain. Apa maksudnya?
Terangkanlah!
85. Kelahiran Gereja sebagai anugerah Paskah Roh Kudus merupakan rekonsiliasi human
universal. Apa maksudnya? Terangkanlah!
86. Orang yang dipersatukan oleh Paskah itu terhimpun dari putra-putri perjanjian dan orang-

193
orang kafir. Apa maksudnya? Terangkanlah!
87. Orang yang terhimpun itu adalah orang yang diriunifikasi dan dijadikan dari dua menjadi
satu. Apa maksudnya? Terangkanlah!
88. Kesatuan orang-orang yang terhimpun itu adalah kesatuan dalam keberbedaan. Apa
maksudnya? Terangkanlah!
89. Kesatuan itu berarti memberi diri secara gratis. Apa maksudnya? Terangkanlah!
90. Kesatuan itu berari saling berbagi. Apa maksudnya? Terangkanlah!
91. Kesatuan itu adalah kesatuan Gereja dan anggota-anggotanya. Apa maksudnya?
Terangkanlah!
92. Kesatuan itu berarti menjadi putra-putri Allah karena Roh dan berbagi privilege. Apa
maksudnya? Terangkanlah!
93. Kesatuan itu berarti tinggal dalam kesatuan dengan Bapa dan Putra. Apa maksudnya?
Terangkanlah!
94. Roh menciptakan dinamisme kesatuan dengan Kristus. Apa maksudnya? Terangkanlah!
95. Terangkanlah bahwa seluruh karya keselamatan Kristus terrangkul, dalam sakra mentalitas
baptisan.
96. Terangkanlah arti simbolisme air!
97. Terangkanlah arti simbolisme air sebagai tanda rahmat!
98. Roh Kudus itu mencipta kembali. Apa maksudnya? Terangkanlah!
99. Ekaristi adalah memorial sacramental peristiwa paskal. Dalam hal ini Ekaristi adalah
kepenuhan Sabda dan doa. Apa maksudnya? Terangkanlah!
100. Ekaristi adalah memorial sacramental peristiwa paskal. Dalam hal ini Ekaristi
menghubungkan Gereja dengan kedatangan Kristus yang terakhir dan dengan seruan Israel.
Apa maksudnya? Terangkanlah!
101. Ekaristi adalah memorial sacramental peristiwa paskal. Dalam hal ini, dalam Ekaristi, Roh
memberi Tubuh dan Darah Tuhan kepada Gereja lokal dan Gereja yang sedang berziarah.
Apa maksudnya? Terangkanlah!
102. Ekaristi adalah memorial sacramental peristiwa paskal. Dalam hal ini Ekaristi berarti bersatu
dengan Kristus dalam perjuangan dan penderitaan. Apa maksudnya? Terangkanlah!
103. Ekaristi adalah memorial sakramental peristiwa paskal. Dalam hal ini, dalam Ekaristi, yang
dinantikan sudah datang. Apa maksudnya? Terangkanlah!
104. Apa maksudnya “umat Allah” menyatu dengan Putera dan ambil bagian dalam seluruh
misteri hidupNya? Terangkanlah!
105. Apa maksudnya “tubuh mistik” kemanusiaan dan seluruh ciptaan dalam kaitannya dengan
Tubuh Mistik Kristus? Terangkanlah!
106. Apa maksudnya hubungan sosial kharitatif? Terangkanlah!
107. Apa itu ethos kultural? Terangkanlah!
108. Apa maksudnya ethos kultural dalam pertobatan spiritual? Terangkanlah!
109. Bagaimana kejasmanian (corporeitas) dalam kultur sekarang ini? Terangkanlah!
110. Apa itu dimensi essensial badaniah spiritualitas? Terangkanlah!
111. Apa itu askese mortifikatif badaniah? Terangkanlah!
112. Apa itu eksplorasi badaniah dalam pengalaman mistik? Terangkanlah!
113. Bagaimana corporeitas dalam doa? Terangkanlah!
114. Apa maksudnya psike sebagai pusat unifikasi personal? Terangkanlah!
115. Apa maksudnya “mengenal Allah dan kehendakNya”? Terangkanlah!
116. Bagaimana psike dalam pengalaman spiritualitas teologal? Terangkanlah!
117. Bagaimana visi biblis mengenai waktu? Terangkanlah!
118. Apa muatan spiritualitas kairos? Terangkanlah!
119. Terangkanlah apa itu spiritualitas hari Minggu!
120. Bagaimana waktu dalam spiritualitas eskatologis? Terangkanlah!
121. Bagaimana setiap pribadi, persimbolan-persimpolan, sikap-sikap personal, iman personal,
agama, sikap teologal dalam spiritualitas Institut-Institut dan komunitas-komunitas?
Terangkanlah!
122. Apa itu hukum inkarnasi? Terangkanlah!
123. Apa itu aksi transenden Allah? Terangkanlah!

194
124. Apa itu sikap teologal! Terangkanlah!
125. Bagaimana spiritualitas dan struktur Institut dan norma? Terangkanlah!
126. Apa itu spiritualitas Institut Kristen? Terangkanlah!
127. Bagaimana ketaatan sebagai perwujudan (excertitium) iman? Terangkanlah!
128. Bagaimana kemiskinan sebagai perwujudan (excercitium) komuniter pengharapan?
Terangkanlah!
129. Bagaimana kemurnian sebagai struktur cinta oblatif? Terangkanlah!

195
196
197
DAFTAR ISI
INTRODUKSI …………………………………………………………………………… 3
A. PERISTILAHAN ................................................................................................................... 3
I. ARTI ISTILAH SPIRITUALITAS DALAM SEJARAH ....................................................... 3
II. ARTI SPIRITUALITAS DALAM DIRINYA SENDIRI ....................................................... 4
B. SPIRITUALITAS SEBAGAI ILMU ............................................................................. . 5
I. LAHIRNYA SPIRITUALITAS SEBAGAI ILMU .................................................................
5
II. NAMA ..................................................................................................................................... 7
III. DEFINISI ................................................................................................................................ 7
IV. METODE .............................................................................................................................. 10
1. PROBLEMATIK METODOLOGIS ........................................................................................... 10
2. METODE YANG KOMPLEKS ................................................................................................ 10
V. SUMBER-SUMBER SPIRITUALITAS ATAU TEOLOGI SPIRITUAL .......................... 11
VI. ILMU-ILMU PENUNJANG BAGI SPIRITUALITAS ....................................................... 13
VII. HUBUNGAN ERAT ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN TEOLOGI DOGMA DAN
TEOLOGI MORAL …………………………………………………………………….... 16
1. HUBUNGAN SPIRITUALITAS DENGAN ILMU SAKRAL DALAM SEJARAH ........................... 16
2. SPIRITUALITAS DAN DOGMA ............................................................................................. 18
a. DARI DOGMATIK PADA SPIRITUALITAS ........................................................................................ 18
b. ORIGINALITAS PENGALAMAN ROHANI ...................................................................................... 19
3. SPIRITUALITAS DAN MORAL ............................................................................................ 20
a. KESAMAAN ....................................................................................................................... 20
b. PERBEDAAN ...................................................................................................................... 21
c. HUBUNGAN INTRINSIK ANTARA TEOLOGI MORAL DAN TEOLOGI SPIRITUAL ……………………..… 21
4. SUMBANGAN SPIRITUALITAS PADA TEOLOGI .................................................................
24
C. PEMBAGIAN / JENIS-JENIS SPIRITUALITAS .................................................... 22
D. PENGALAMAN ROHANI .............................................................................................. 24
I. PENGALAMAN ……………………………..……………………………………………. 24
1. REALITAS DI LUAR SAYA ................................................................................................. 24
2. SUBYEK ............................................................................................................................. 25
a. MANUSIA TERDIRI DARI TUBUH ............................................................................................... 25
b. MANUSIA BERADA SECARA HISTORIS ......................................................................................... 25
c. MANUSIA ITU MAKHLUK RASIONAL ......................................................................................... 25
3. MENGALAMI ...................................................................................................................... 26
a. BERBUAT DAN BERCERITA .................................................................................................... 26
b. BERBUAT ATAU DIAM? ........................................................................................................ 26
II. APA ITU PENGALAMAN ................................................................................................ 26
1. JALAN PENTING ................................................................................................................ 26
2. PENGALAMAN DARI DALAM ............................................................................................ 26

198
3. KEKUATAN PENGALAMAN ............................................................................................... 26
4. KORRELASI PENGALAMAN-PENGALAMAN ...................................................................... 27
5. PENGALAMAN YANG BERLANGSUNG TERUS ................................................................... 27
III. PENGALAMAN ROHANI ................................................................................................. 27
IV. TEMPAT PENGALAMAN ............................................................................................... 27
1. TEMPAT DAN STADION KLASIK ........................................................................................ 27
2. TEMPAT DAN STADION BARU ........................................................................................... 28
a. MATERI ............................................................................................................................. 28
b. KEWAJIBAN TEMPORAL ........................................................................................................ 28
c. EMARGINASI ...................................................................................................................... 29
3. PENGALAMAN ROHANI DAN TEMPAT BARU .................................................................... 29
V. MENGUJI PENGALAMAN ROHANI ............................................................................... 29
1. ARTI UMUM ...................................................................................................................... 30
2. RATIO HUMAN .................................................................................................................. 30
3. PENGIKUT YESUS ............................................................................................................ 30
4. BUAH ROH ....................................................................................................................... 31
SISTEMATIK ................................................................................................................ 33

A. FUNDAMEN VITAL ........................................................................................................ 33


I. REFERENSI DAN PENGALAMAN AKAN ALLAH DALAM KONTEKS
SEKULARISASI ……………………………………………………………………...…. 33
1. PURIFIKASI KRITIS ............................................................................................................. 33
2. RELIGIOSITAS POST-MODERN .......................................................................................... 33
3. ALLAH SELALU TERARAH KEPADA KITA ............................................................................ 34
4. TINGKAT-TINGKAT RIVELASI ............................................................................................. 34
5. CIPTAAN YANG TERINTEGRIR (ECO-SPIRITUALITY) .......................................................... 35
II. PENJELASAN DAN PENUNDUKAN PADA ALLAH TRITUNGGAL ........................... 36
1. HIDUP DALAM KRISTUS: HIDUP SEBAGAI PUTRA DAN PUTRI ALLAH ................................. 36
2. REFERENSI PADA KRISTUS, DALAM RELASI DENGAN ALLAH ............................................. 37
3. MISTERI KRISTUS: HIDUP YANG DIHIDUPI DI HADAPAN ALLAH ......................................... 37
III. JALAN YESUS: PEMBEBASAN, SALIB DAN KEBANGKITAN ................................... 39
1. SITUASI PERSIS PENEBUSAN: INKARNASI, KEMATIAN DI SALIB ......................................... 39
2. PRAKSIS YESUS YANG MEMBEBASKAN .............................................................................. 40
3. SALIB KRISTUS: LEBIH MERUPAKAN KONFLIK DARI PADA PENDERITAAN ........................ 41
4. “SEQUELA CRUCIS” SEBAGAI PENDERITAAN YANG DITERIMA ........................................... 42
5. PEMBANGKITAN: MASA DEPAN BAGI YESUS DAN BAGI ORANG BERIMAN ........................ 42
6. ALLAH SETIA PADA YESUS .................................................................................................. 43
7. BANGKIT BERSAMA YESUS: BERSAMA PRIBADI, JALAN DAN KARYA-NYA ......................... 43
IV. ROH KUDUS: KOMUNIKASI DINAMIS .......................................................................... 44
1. ROH SEBAGAI ANUGERAH YANG MENCIPTA KEHIDUPAN .................................................. 44
2. ROH SEBAGAI MISSI AUTORITATIF ..................................................................................... 44
3. ROH ADALAH ANUGERAH MESSIANIS BAGI YESUS .............................................................
45
4. ROH SEBAGAI PENGEMBANGAN KEPUTRAAN DAN KEBEBASAN ....................................... 46
5. ROH SEBAGAI ENERGI ESKATOLOGIS ................................................................................. 46
V. HIDUP DALAM GEREJA ...................................................................................................... 46
1. GEREJA SEBAGAI LINGKUNGAN VITAL IMAN .................................................................... 46
2. UMAT ALLAH: KOLLEKTIVITAS YANG LEBIH LUAS ............................................................ 47
3. UMAT ALLAH: GERAKAN DAN KETERBUKAAN HISTORIS ................................................... 47
4. UMAT ALLAH: STRUKTUR YANG DIDINAMISIR ................................................................... 48
VI. PERCAYA BERSAMA MARIA ........................................................................................... 48
1. MARIA “TYPUS” IMAN ......................................................................................................... 48
2. IMAN MARIA: KERELAAN DAN INISIATIF YANG BEBAS ...................................................... 49
3. MISSI MARIA: KESIAPSEDIAAN DAN KETERBUKAAN YANG BEBAS .................................... 56
B. JALAN-JALAN ROH ........................................................................................................ 48

199
I. SABDA KESELAMATAN ................................................................................................... 50
1. SABDA DAN PENGALAMAN KRISTEN …………………………………………………….. 50
a. SABDA JAHWEH: DERMAGA PENGALAMAN KRISTEN ……………………………………………… 50
b. SABDA DI MANA MISSI YESUS DIMAHKOTAI ………………………………………...………….. 50
c. SABDA: TITIK TEMU PENGALAMAN KRISTEN DAN ISRAEL …………………………………………. 50
2. SABDA DAN GEREJA ……………………………………………………………………… 50
a. SABDA BAGI GEREJA ADALAH SABDA BAGI ISRAEL ………………………………………………. 50
b. SABDA MENJANGKAU SEMUA ………………………………………………………………… 50
c. GEREJA DIBENTUK OLEH ALLAH DENGAN SABDANYA …………………………………………….. 51
3. SABDA DAN IMAN ……………………………………………...………………………… 51
a. SABDA MEMBANGKITKAN IMAN ………………………………………………………………. 51
b. SABDA: MEMORI KESELAMATAN ………………………………………………………………. 51
4. ALLAH BERBUAT DENGAN SABDANYA …………………………………..……………… 52
a. ALLAH DIKENAL DARI PERBUATANNYA, IA BERBUAT DENGAN SABDANYA ………………………….. 52
b. MATERI SABDA IALAH SEJARAH YANG DIISI OLEH ALLAH ………………………………………… 52
5. SABDA DAN MARTYRIA ………………………………………………………………….. 52
6. SABDA DAN ROH …………………………………………………………………………. 53
7. SABDA DAN EKARISTI ………………………………………...…………………………. 54
8. SABDA: OBYEK KEKAGUMAN …………………………..……………………………….. 55
9. SABDA MENGEMBANGKAN VIRTUTES TEOLOGALES …………………………………… 56
10. SABDA TERARAH KEPADA SEMUA ……………………………………………………… 56
11. SABDA SEBAGAI INSTAURATRIX KOINONIA ……………………………………………. 57
a. SABDA MEMPERSATUKAN ORANG BERIMAN DAN SELURUH GENERASI …………………………….. 57
b. SABDA MEMPERSATUKAN SEMUA ORANG SEKARANG INI ………………………………………... 57
12. SABDA ABADI DAN SABDA YANG DIPERUNTUKKAN BAGI KEMANUSIAAN …………….. 58
13. SABDA YANG BERASAL DARI DAN KEMBALI KEPADA BAPA ……………………………. 58
14. SABDA YANG SUDAH DARI KEKAL MENJADI SABDA KESELAMATAN ……………...…… 58
a. SABDA YANG PENUH DALAM DAGTNG PUTERA ……………………………………...…………. 58
b. SABDA MERANGKUL SELURUH PENYERAHAN DIRI ALLAH KEPADA MANUSIA ……………………….. 59
c. SABDA MERANGKUL SELURUH KELUASANNYA …………………………………………………. 59
d. SABDA MENYATAKAN TINDAKAN PENYELAMATAN ALLAH ……………………………………….. 59
II. DOA INJILI ............................................................................................................................ 60
1. SABDA DAN DOA …………………………………………………………………………. 60
2. DIMENSI ANAMNESE DOA ………………………………………………………………... 60
3. MEMORIA ALLAH ………………………………………………………………………… 61
4. MEMORIA UMAT BERIMAN ………………………………………………………………. 61
5. MEMORIA GEREJA APOSTOLIS …………………………………………………………… 62
6. MEMORIA EKARISTIS …………………………………………………………………….. 62
7. DOA KRISTEN ……………………………………………………………………………..
63
a. DIARAHKAN KEPADA BAPA …………………………………………………………………… 63
b. DOA KRISTUS DAN DOA KRISTEN ………………………………………………………………. 64
c. DOA KEPADA BAPA ………………………………………………………………………….. 65
d. DOA MELALUI KRISTUS DAN DALAM ROH KUDUS ………………………………………………… 66
e. DOA BAGI YANG LAIN ………………………………………………………………………... 66
8. JANGKAUAN (KELUASAN) DOA …………………………………………………………… 67
9. TONALITAS KESATUAN DALAM DOA ……………………………………………………... 67
a. KESATUAN ISRAEL DAN PAGAN (KAFIR) …………………………………………………………. 68
b. KESATUAN SEMUA ORANG DAN KESATUAN MEREKA DENGAN ALLAH ………………………………... 68
c. DOA ADALAH TANDA KEKUKUHAN IMAN ………………………………………………………... 68
d. DOA DAN KEHADIRAN ORANG LAIN …………………………………………………………….. 69
10. DOA TUBUH ……………………………………………………………………………….. 69
11. DOA EKARISTI …………………………………………………………………………….. 70
12. DOA LITURGIS …………………………………………………………………………….. 72
13. DOA DAN SABDA (DOA TIDAK TERPISAH DARI SABDA …………………………………… 72

200
III. PASKAH ................................................................................................................................... 72
1. SAKSI DAN KERYGMA PENTEKOSTA ………………………………………………………. 73
2. PASKAH YAHUDI DAN PASKAH KRISTEN ………………………………………………….. 74
3. PENCURAHAN ROH SEBAGAI BUAH PASKAH KRISTUS …………………………………….
75
4. PASKAH KRISTUS MEMPERSATUKAN SEMUA ……………………………………………... 76
a. KESATUAN YANG TERBUKA BAGI SEMUA ………………………………………………………… 77
b. KELAHIRAN GEREJA SEBAGAI REKONSILIASI UNIVERSAL …………………………………………… 77
c. TERHIMPUN DARI PUTRA-PUTRI PERJANJIAN DAN ORANG-ORANG KAFIR ……………………………… 77
d. KESATUAN YANG DIRIUNIFIKASI ……………………………………………………………….. 78
e. DARI DUA MENJADI SATU ……………………………………………………………………… 78
f. KESATUAN DALAM KEBERBEDAAN ……………………………………………………………… 79
g. MEMBERI DIRI SECARA GRATIS …………………………………………………………………. 79
h. KESATUAN YANG SALING BERBAGI ……………………………………………………………… 80
i. GEREJA DAN ANGGOTANYA ……………………………………………………………………. 80
j. MENJADI PUTERA ALLAH KARENA ROH ………………………………………………………….. 80
k. BERBAGI PRIVILEGE ………………………………………………………………………….. 81
l. TINGGAL DALAM KESATUAN BAPA DAN PUTERA …………………………………………………... 81
5. ROH MENCIPTAKAN DINAMISME KESATUAN DENGAN KRISTUS ………………………….. 82
6. ROH TUHAN DAN BAPTISAN ……………………………………………………………….. 82
a. SELURUH KARYA KESELAMATAN KRISTUS TERRANGKUL DALAM SAKRAMENTALITAS BAPTISAN ………… 82
b. ARTI SIMBOLISME AIR ………………………………………………………………………… 82
c. SIMBOLISME AIR SEBAGAI TANDA RAHMAT ………………………………………………………. 83
d. ROH KUDUS MENCIPTA KEMBALI ……………………………………………………………….. 83
7. EKARISTI: MEMORIAL SAKRAMENTAL …………………………………………………….
83
a. EKARISTI: KEPENUHAN SABDA DAN DOA ………………………………………………………… 84
b. EKARISTI: MENGHUBUNGKAN GEREJA DENGAN KEDATANGANNYA YANG TERAKHIR DAN DENGAN SERUAN
ISRAEL …………………………………………………………………………………….. 84
c. DALAM EKARISTI ROH MEMBERI TUBUH DAN DARAH TUHAN KEPADA GEREJA LOKAL ………………….. 85
d. TUBUH KRISTUS DIBERI KEPADA GEREJA YANG SEDANG BERZIARAH ………………………………… 85
e. EKARISTI: BERSATU DENGAN KRISTUS DALAM PERJUANGAN DAN PENDERITAAN ………………………. 85
f. DALAM EKARISTI, YANG DINANTIKAN SUDAH DATANG …………………………………………….. 86
C. JEJAK HIDUP ........................................................................................................................ 86
I. UMAT ALLAH DAN ETHOS KULTURAL ....................................................................... 86
1. UMAT ALLAH ......................................................................................................................
86
2. TUBUH MISTIK ..................................................................................................................... 87
3. HUBUNGAN SOSIAL KARITATIF ......................................................................................... 88
4. ETHOS KULTURAL .............................................................................................................. 88
5. ETHOS KULTURAL DALAM PERTOBATAN SPIRITUAL ......................................................... 90
II. TUBUH (JASMANIAH), JIWA (PSIKE), WAKTU ........................................................... 90
1. KEJASMANIAN (CORPOREITAS) DALAM KULTUR SEKARANG INI ...................................... 90
2. DIMENSI ESSENSIAL BADANIAH DARI SPIRITUALITAS ...................................................... 91
3. ASKESE MORITIFIKATIF BADANIAH ................................................................................... 92
4. EKSPLORASI (PENYELIDIKAN) BADANIAH AKAN PENGALAMAN MISTIK ......................... 92
5. CORPOREITAS DALAM DOA ................................................................................................ 93
6. PSIKE SEBAGAP PUSAT UNIFIKASI PERSONAL ………………………………………….. 94
7. MENGENAL ALLAH DAN KEHENDAK-NYA ……………………………………………… 94
8. PSIKE DALAM PENGALAMAN SPIRITUAL TEOLOGAL …………………………………… 95
9. VISI BIBLIS MENGENAI WAKTU ………………………………………………………….. 96
10. MUATAN SPIRITUAL KAIROS …………………………………………………………….. 97
11. SPIRIUALITAS HARI MINGGU …………………………………………………………….. 98
12. WAKTU DALAM SPIRITUALITAS ESKATOLOGIS …………………………………………. 98
III. PERKAWINAN – KEPERAWANAN …………………………………………………….. 99
1. HIDUP PERKAWINAN DI BAWAH TERANG PERJANJIAN KESELAMATAN …………………. 99

201
2. HIDUP PERKAWINAN YANG DICANGKOKKAN DALAM KASIH (KHARITAS) PASKAL ……..100
3. PERJALANAN SPIRITUAL PERKAWINAN DALAM ROH …………………………………… 100
4. HIDUP PERKAWINAN APOSTOLIS ………………………………………………………… 101
5. KHARITAS MATRIMONIAL-VIRGINAL (KASIH PERKAWINAN-KEPERAWANAN) …………. 102
6. SPIRITUALITAS VIRGINAL ……………………………………………………………….. 103
IV. HIDUP POLITIS DI ANTARA INSTANSI-INSTANSI KRISTEN ……………………… 104
1. HUBUNGAN ANTARA POLITIK DAN GEREJA INSTITUSIONAL …………………………….. 104
2. HIDUP POLITIS DENGAN INSPIRASI KRISTEN …………………………………………….. 105
3. KASIH (KHARITAS) YANG DISEKULARISIR SECARA INJILI ……………………………….. 105
V. WANITA …………………………………………………………………………………...
106
1. SPIRITUALITAS FEMINIM YANG SEDANG DALAM PROSES MENJADI ……………………..
106
2. SPIRITUALITAS DALAM KECONDONGAN FEMINIM ………………………………………. 106
3. SPIRITUALITAS FEMINIM YANG TERFOKUS PADA YESUS ………………………………... 107
VI. FORMASI UNTUK HIDUP SPIRITUAL GENERASI MUDA ………………………….. 108
1. KONTEKS SOSIO-KULTURAL KINI ………………………………………………………… 108
2. PENDIDIK SPIRITUAL ORANG-ORANG MUDA …………………………………………….. 109
3. METODE EDUKATIF SPIRITUAL …………………………………………………………... 109
4. HIDUP SPIRITUAL KRISTOSENTRIS ……………………………………………………….. 110
5. PERJALANAN SPIRITUAL …………………………………………………………………. 111
D. SARANA-SARANA UNTUK PERKEMBANGAN SPIRITUAL ……………... 111
INTRODUKSI ………………………………………………………………………………. 111
PRINSIP TEOLOGIS REFERENSI …………………………………………………………….. 113
a. HUKUM INKARNASI …………………………………………………………………………. 113
b. AKSI TRANSENDEN ALLAH …………………………………………………………………… 115
c. SIKAP TEOLOGAL …………………………………………………………………………… 115
I. INSTITUSI DAN NORMA ………………………………………………………………. 116
1. SPIRITUALITAS INSTITUSI KRISTEN …………………………………………………….. 116
a. ETAATAN SEBAGAI PERWUJUDAN (EXERCITIUM) IMAN ………………………………………….. 117
1) Obyeksi Kesadaran …………………………………………………………………………………. 117
2) Penebusan Ketidakadilan .............................................................................................. 118
3) Komunitas Ketaatan ………………………………………………………………………………. 118
b. EMISKINAN SEBAGAI PERWUJUDAN KOMUNITER PENGHARAPAN ………………………………… 118
1) Ketidakcukupan Harta Benda ………………………………………………………… 119
2) Pertumbuhan Pribadi ………………………………………………………………... 119
c. KEMURNIAN SEBAGAI STRUKTUR CINTA OBLATIF ……………………………………………… 120
1) Struktur Oblatif ………………………………………………………………………. 120
2) Institusi Religius, Struktur Kasih (Cinta) ……………………………………………….. 122
2. INSTITUSI SEBAGAI INSTRUMEN KESETIAAN …………………………………………… 122
INSTITUSI-INSTITUSI EKKLESIAL DAN KEBARUAN HIDUP ………………………………………….. 123
1) Masa Sekarang …………………………………………………………………………. 124
2) Masa yang Lalu ……………………………………………………………………………….. 124
3) Masa Yang akan Datang ………………………………………………………………… 125
3. RESIKO DAN AMBIQUITAS INSTITUSI …………………………………………………… 125
a. HUKUM DAN KEBEBASAN …………………………………………………………………… 125
b. TEMPAT PERTAMA, KARIR DAN HIDUP ………………………………………………………… 126
c. KONTINUITAS DAN PROSELITISME ……………………………………………………………. 127
d. KETIDAKCUKUPAN DAN INTEGRISME …………………………………………………………. 127
e. TRADISIONALISME DAN FONDAMENTALISME …………………………………………………... 127
4. KEMATIAN SEBAGAI KRITERI HIDUP KRISTEN …………………………………………... 127
a. IDENTITAS DEFINITIF ……………………………………………………………………….. 127
b. PERGI / BERANGKAT SENDIRIAN ……………………………………………………………… 127
c. PENJAUHAN DIRI DARI HARTA BENDA …………………………………………………………. 129
d. KEYAKINAN DALAM HIDUP ………………………………………………………………….. 129
e. HIDUP BAKTI (VITA CONSECRATA) DAN SPIRITUALITAS KEMATIAN ………………………………… 129

202
II. ASKESE …………………………………………………………………………………… 129
IKATAN ASKETIS …………………………………………………………………………... 130
a. PERJALANAN INTERIORITAS DEMI KEMULIAAN ALLAH …………………………………………... 131
b. PERJALANAN UNTUK KESEMPURNAAN ………………………………………………………… 131
c. DUNIA SEBAGAI TEMPAT ASKESE ……………………………………………………………... 131
1) Situasi Aktual ………………………………………………………………………….. 132
2) Sikap Umum …………………………………………………………………………... 132
3) Ratio Situasi Ini ………………………………………………………………………... 132
4) Alternatif ……………………………………………………………………………… 133
d. TAHAP-TAHAP ASKESE ……………………………………………………………………… 133
1) Perkembangan Otentik Human ………………………………………………………… 134
2) Rasa Hormat pada Alam ………………………………………………………………. 134
3) Sensibilitas Ekumenis ………………………………………………………………….. 135
4) Perhatian bagi Orang Miskin …………………………………………………………… 135
III. KHARISMA ………………………………………………………………………………. 136
KHARISMA: ANUGERAH BAGI KOMUNITAS ……………………………………………….. 136
a. YESUS SANG KHARISMATIK …………………………………………………………………… 136
b. GEREJA SEBAGAI KOMUNITAS KHARISMATIK ……………………………………………………. 137
c. KONFLIK KHARISMA – INSTITUSI ……………………………………………………………………. 137
IV. MODEL-MODEL ………………………………………………………………………… 138
BERBAGAI MODEL ………………………………………………………………………… 138
a. PARA KUDUS ………………………………………………………………………………... 138
a) Kekudusan sebagai Rivelasi ……………………………………………………………… 138
b) Kekudusan Komuniter atau Ekklesial ……………………………………………………. 139
c) Kristus Model Suppremus ……………………………………………………………….. 139
d) Sequela atau Imitasi …………………………………………………………………………... 139
b. MODEL-MODEL KULTURAL …………………………………………………………………… 140
c. GURU-GURU SPIRITUALITAS …………………………………………………………………... 141
V. DISCERMENT …………………………………………………………………………… 141
DISCERMENT SPIRITUAL …………………………………………………………………… 141
a. DOKTRIN BIBLIS ………………………………………………………………………………142
b. OBYEK DISCERMENT …………………………………………………………………………. 142
c. KRITERI-KRITERI DISCERMENT ………………………………………………………………… 143
d. DISCERMENT PERSONAL ……………………………………………………………………… 143
e. DISCERMENT KOMUNITER …………………………………………………………………….. 144
f. VERIFIKASI DISCERMENT ……………………………………………………………………… 144
KONKLUSI ………………………………………………………………………………. 144
E. PERTUMBUHAN DAN KEMATANGAN ………………………………………… 145
I. PERTUMBUHAN DAN KEMATANGAN ………………………………………………
145
II. HIDUP DALAM KRISTUS DALAM ROH ……………………………………………… 149
III. PENGALAMAN BERKEBAJIKAN (“VIRTUOSA”) …………………………………... 152
IV. KEBAJIKAN TEOLOGAL (VIRTUTES THEOLOGALES) …………………………… 163
V. PENGALAMAN KOMUNITER KEBAJIKAN ………………………………………….. 166
VI. MISTAGOGI ……………………………………………………………………………... 168
VII. PENGALAMAN MISTIK DAN ASKETIK …………………………………………….. 170
VIII. PENDOSA ……………………………………………………………………………….. 174
IX. KEKUDUSAN ……………………………………………………………………………
180
F. PROSPEKTIF TEOLOGIS KEMAJUAN SPIRITUAL ………………………….. 181
I. DOKTRIN KONSTAN SECARA TRADISIONAL ……………………………………...
181
II. KEMAJUAN SPIRITUAL DALAM INDIKASI MANUALISTIK ……………………… 182
III. KEMAJUAN SPIRITUAL DALAM TEOLOGI KONTEMPORER ……………………. 184

203
PERTANYAAN-PERTANYAAN UNTUK UJIAN ……………………… 187

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………… 193

204

Anda mungkin juga menyukai