Anda di halaman 1dari 211

SILABUS

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA KUPANG


FAKULTAS: FILSAFAT AGAMA
PROGRAM STUDI: STRATA 1 (SATU) FILSAFAT
AGAMA KATOLIK
MATA KULIAH: TEOLOGI FUNDAMENTAL
KODE MATA KULIAH: 001
BEBAN MATA KULIAH: 2 SKS
SEMESTER: II TAHUN AJARAN 2006/2007
DOSEN: RM. DR. OKTOVIANUS NAIF, PR
KODE DOSEN: 634

1. STANDAR KOMPETENSI/SASARAN UMUM


PEMBELA-JARAN/TIU
Tujuan pembelajaran ini ialah agar
mahasiswa/i memiliki pemahaman yang
komprehensif tentang Teologi Fundamental
sebagai sebuah disiplin teologi. Pemahaman yang
mendalam bisa diperoleh melalui *kesanggupan
menelusuri secara runtun beragam problem di
seputar proses perumusan identitas Teologi
Fundamental; *kesanggupan menjelaskan secara
runtun peran Teologi Fundamental di era modern
ini; *kesanggupan menjelaskan Fundamental
sebagai teologi; *kesanggupan menjelaskan secara
tepat Teologi Fundamental sebagai fundamen;
*kesanggupan menjelaskan iman sebagai sebuah
jawaban personal yang penuh kebebasan dari
pihak manusia kepada pernyataan diri Allah.
2

Perincian standar kompetensi dapat dilihat dan


dibaca dalam indikator-indikator berikut ini (poin
2).

2. INDIKATOR/TIK
2.1. Pokok bahasan 1
Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan
beragam problem yang membentuk Teologi
Fundamental sebagai sebuah disiplin teologis.
Problem itu nampak dalam: beragam nama yang
ditawarkan untuk disiplin baru ini sebelum secara
defenitif menjadi Teologi Fundamental;
Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan problem
apologetika, razionalisme, dan demostratio yang
menjadi konteks pembentukan Teologi
Fundamental

Perincian lebih lanjut indikator ini terdapat di


dalam setiap sub pokok bahasan dalam Modul
Mata Kuliah.

2.2. Pokok Bahasan 2


Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan identitas
Teologi Fundamental.
Agar mahasiswa/i dapat menyebutkan dan
menjelaskan peran Teologi Fundamental pada
zaman modern ini
3

Agar mahasiwa/i dapat menjelaskan karakter


Teologi Fundamental yang terbuka terhadap
bantuan ilmu lain.
Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan perihal
penemuan kembali pokok-pokok ajaran iman
kristiani yang diabaikan pada zaman apologetika.
Perincian lanjut indikator ini dapat dibaca
dalam setiap pokok bahasan dalam Modul Mata
Kuliah.

2.3. Pokok bahasan 3


Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan
karakter teologis dari Fundamental
Agara mahasiswa/i dapat menjelaskan metode
yang dipakai oleh Fundamental sebagai teologi.

Perincian lanjut indikator ini dapat dibaca


dalam setiap pokok bahasan dalam Modul Mata
Kuliah.

2.4. Pokok bahasan 4


Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan
problem-problem yang berkaitan dengan Revelasi
di zaman modern ini.
Agara mahasiswa/i dapat menjelaskan arti
terdalam Revelasi.
4

Agar mahasiswa/i dapat menguraikan secara


runtun paham tentang Revelasiberdasarkan Kitab
Suci hingga pada pandangan Konsili Vatikan II.
Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan teologi
revelasi dari Revelasi.

Perincian lanjut indikator ini dapat dibaca dalam


setiap pokok bahasan dalam Modul Mata Kuliah.

2.5. Pokok bahasan 5


Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan arti
terdalam iman
Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan arti iman
menurut Kitab Suci.
Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan arti iman
menurut tradisi Patristik.
Agar mahasiwa/i dapat menjelaskan makna iman
dan pembenaran menurut Thomas Aquinas dan
Martin Luther.
Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan iman dan
pembenaran menurut Konsili Trente.
Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan arti iman
menurut Konsili Vatikan I.
Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan arti iman
menurut Konsili Vatikan II
Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan relasi antar
iman dan pengetahuan.
5

3. MATERI PEMBELAJARAN DAN ALOKASI WAKTU


POKOK SUB POKOK BAHASAN JLH PER-
BAHASAN TEMUAN
X
BEBAN MK
(JLH SKS)
1.PROBLEMATI Nama dan Asosiasi
KA Nama
MELAHIRKAN =bnyk pertanyaan ttg
TEOLOGI nama
FUNDAMEN- -bnyk paham ttg TF
TAL -usaha serius utk tahu
isi, dan defenisi TF
6

=Diasosiasikan dengan
*teologi posetif (abad
XVII-XVIII) tapi ada soal
-posetif x negatif
-posetif =apa yg sdh
diletakkan
-posetif= eksegese,
kontroversi Katolik dan
Protestan
-posetif = pergeseran
dari pengetah praksis ---
reflektf
-posetif lawan dari
skolastik
*Teologi Posetif (abad
XIX) – Neoskolastik
-teologi posetif dan
teolgi skols: dua cabang
beda dari penget yg satu
dan sama
-teo skolastik memahami
teolgi posetif
^sbg cabang yg tentukan
data basis bg teologi; teo
spekul/sko berusaha
memahami data basis
itu.
^teo pos itu kmbl teliti
akar, sumber iman demi
pemahaman yg lbh baik;
teol posetif anggap teol
7

skola sbg sbh sistem


pikir tanpa basis iman
*Teologi posetif – teol
fundam
-Pierre Annat: teologi
pos disbt jua teo
fundamentl krn teol pos
pny tugas m.pelajari
dasar iman dan
kebenaran iman. Studi
ttg dasar dan kebenarn
iman = tf
-teologi spek/sko akan jd
begitu solid dan valid
bila ide-idenya berdiri di
atas basis/tf =SA dan
Iman
-Melchior Cano:
pusatkan studi pd 10
sumber teologi
^7 sumber terpenting
(KS, traditio apostolica,
Grj Kat, konsili-konsili,
kepausan, patro,
skolastik
^3 sumber penting
(razio, fils dan sejarah
manusia
-Dennis Petau bicara ttg
^the fundamental
articles dan the
8

fundamental truths

Apologetika,
razionalisme,
demostratio
=apologetika
*tulisan-tulisan
apologetika
-Philip de Plessis-
Mornay: de la vérité de
la religion chrétienne
-Pierre Charron: les
trois vérités
-Hugo Grotius: de
veritater religi-onis
-Jaques Abbadie: Traité
de la vérité de la
religion chrétienne
-Pierre Daniel Huet:
demostratio evangelica
-Vitus Pichler: teologia
polemica
^hal-hal umum
^tf kontroversial
^hal partikular
-Tiga teolog/apoleget
besar
^Abbe Hautteville: la
religion chrétienne
provée par le fait –
9

tugas apoleget: bela


iman dr sera ngan lawan,
tahu pasti fakta mana yg
sesuai dg investigsi his-
toris dan mana yg mrp
mukjizat
^Luke-Yoseph Hook:
religionis naturalis et
revelatae –agama alami,
agama revelasi, Gereja
Xts dan prinsip dasar
iman Kato
^Pieter Maria Gazzaniga:
Prae-lectiones
theologicae –memperta-
nyakan revelasi =
meruntuhkan agma itu
sendiri; revelasi itu per-
lu bagi penget alami krn
soal dosa dan kelemahan
manusiawi; hakekat
agama itu eviden krn
mukjizat
=Demostratio dan
kritikan
*Demostratio
-religiosa
-christiana
-catolica
*kritikan
-metodenya anakronistik
10

-makna revelasi dan


fakta historis revelasi tdk
direlasikan
-gambaran partial ttg
Yesus
-aspek kredibilitas
diabaikan (fokus hny pd
inteligibilitas)
=Razionalisme
*opini salah ttg yg ilahi
dibawa masuk ke dalam
fakultas2 filsaft,
fakultas2 fils ajarkan hal
keliru, hal-hal palsu itu
tiba dan diterima olh
begitu bnyk orang =
dictator pikiran lemah
*Berpaling kepada Th.
Aquinas
-relasi iman dan akal
^fils siapkan akal utk
terima, rangkul revelasi
dan jd garansi bagi
revelasi = praembule
fidei
^tugas lanjut fils:
tampilkan lucidior
intellegentia
2. ^fils hrs jamin status
MERUMUSKAN epistemolgs teologi
IDENTITAS ===================
11

TEOLO GI ======
FUNDAMENTA
a.Merumuskan Identitas
TF
+mempelajari event
revelasi dan kredi-
bilitasnya
+masalahnya: dimensi
epistemologs-nya kabur
+mendefenisikan TF sbh
penget = menegaskan
karakter ilmiahnya,
metode, materi,
hermeneutiknya
+TF – Grenzfragen
+TF – mengapa beriman
b. Peran Teologi
Fundamental di Era
Modern Ini
=masalah modernitas
=Peran TF
*memotivasi mns utk
beriman
*menunjukkan makna
terdalm eksistensi
manusia
*menjembatani teologi
dan praksis pastoral
c. Karakter dialogal TF
*hermeneutika
12

*antropologi
*eksegese
*rangkum smua agama
Kons Vat II
mengembalikan
‘komprehensitas ajaran
iman xten
*menemukan kmbl
totalitas ajarn ttg YX
*menemukan kmbl
hakekat Grj: pelayan
sabda
*menemukan tujuan
revelasi
*menemukan kmbl
hakekat KS

3.FUNDAMENT
AL SEBAGAI Karakter Teologis
TEOLOGI Fundamental
*fundamental – teologi
*ada bersama dgn
disiplin teologis lain: isi,
metode dan meteri
*obyek studi: revelasi
dan iman
13

Masalah Metode
*imanence
*transendence
*psikologis
*korelasi
*integrasi
4. TEOLOGI
FUNDA-
MENTAL
SEBAGAI a. Problem Yg Berelsi
FUNDAMENTA Dgn Revel
L.
b. Revelasi
c.Mengenal Lebih Jauh
Revelasi
d. Teologi Revelasi dan
Revelasi

a. Iman
b. Iman Menurut Kitab
5. IMAN Suci
c. Iman Menurut
Patristik
d. Iman dan Pembenaran
Menurut Thomas
Aquinas dan Martin
Luther
e. Iman dan pembenaran
Menurut Kons Trente
f Iman Menurut Vatikan
14

I dan II
g. Iman dan pengetahuan

4. KEGIATAN/STRATEGI PEMBELAJARAN
Bahan dan kepustakan diberikan kepada
mahasiswa/i disertai penugasan untuk dipelajari
sendiri (studi dan kerja mandiri) ataupun studi
dan kerja kelompok. Lalu bahan itu dibicarakan
atau didiskusikan pada session seminar dengan
input lanjut dari peserta seminar dan dosen.
Beberapa session dipakai oleh kelompok untuk
mempersiapkan dan mempresentasikan materi
dari bacaan yang relevan dengan pokok bahasan.

5. EVALUASI/PENILAIAN
Selain studi pribadi, paper kelompok, ada juga
evaluasi dalam bentuk essay test untuk
mengetahui seberapa jauh mahasiswa/i menguasai
pelajaran yang telah diberikan.
6. ACUAN
Beberapa referensi dicantumkan agar
mahasiswa/i bisa berkonsultasi atau membacanya
secara pribadi.

Dibuat oleh
15

Rm. DR. Oktovianus Naif, Pr

Disetujui oleh
1. Ketua Jurusan

Rm. Drs. Yohanes Subani, Lic. Iur. Can.

2. Dekan Fakultas Filsafat Agama

Rm. Drs. Mikhael Valens Boy, Lic. Bibl.

MODUL 1
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA
KUPANG
FAKULTAS FILSAFAT AGAMA
PROGRAM STUDI: STRATA 1 (SATU) FILSAFAT
AGAMA KATOLIK
MATA KULIAH: TEOLOGI FUNDAMENTAL
KODE MATA KULIAH: 001
16

BEBAN MATA KULIAH: 2 SKS


SEMESTER: II, TAHUN AJARAN 2006/2007
DOSEN: RM. DR. OKTOVIANUS NAIF, PR
KODE DOSEN: 634

PROBLEMATIKA MELAHIRKAN
TEOLOGI FUNDAMENTAL SEBAGAI SEBUAH
DISIPLIN

1. Pengantar
Diceritakan dalam Kitab Bilangan bahwa sebelum
meninggalkan padang gurun Yahweh meminta
Musa untuk melakukan pengukupan atas bangsa
Israel. Setelah itu Musa mengelompokkan mereka
menurut suku lalu menuntun mereka menuju
Kanaan.
Ziarah yang harus dijalani oleh Israel
sesungguhnya tak pernah luput dari bahaya. Israel
sering menentang Musa. Ketidakpuasan bani Israel
terhadap Musa makin berkembang seiring
bertambahnya waktu ziarah. Dosa dan tobat terjadi
silih berganti berbarengan dengan kemarahan dan
pengampunan Yahweh. Kekurangan air di Meriba
melahirkan konflik besar yang menyebabkan Musa
tak bisa masuk ke tanah terjanji (Bil 20:12). Musa
hanya merindukan dan menatap Kanaan dari
kejauhan. Kanaan adalah sebuah horison dan
kerinduan bagi Musa.
Cerita berlanjut dalam Ulangan. Sebelum
masuk ke tanah terjanji, Israel harus melakukan
tiga hal yaitu: mengevaluasi periode padang gurun
17

dan beragam cobaan; merindukan tanah terjanji


dan memiliki kenangan akan masa silam.
Ini adlah sebuah ilustrasi dalam proses
melahirkan teologi fundamental. Kita sedang
berusaha keluar dari padang gurun dan melakukan
ziarah menuju tanah terjanji. Namun tapak-tapak
perjalanan ini penuh dengan saat kritis dan
kesulitan serta bahaya. Kesulitan pertama usaha
untuk melupakan periode padang gurun dan
berlari menuju tanah terjanji tapi tanpa suatu
persiapan adequat.
Pengalaman awal yang harus dijalani oleh
teologi fundamental ialah “memurnikan” semua
instrumen yang ia miliki (pengukupan).
Selanjutnya teolo-gi fundamental sebagai sebuah
disiplin dengan metode dan tujuan khususnya
harus berbesar hati menghadapi beragam
kesulitan dalam proses pembentukan identitasnya.
Problematik ini memungkinkan adanya proses
pencarian jalan keluar. Bahaya dan resiko itu patut
dihadapi oleh Teologi Fundamental bila ia ingin
bertumbuh matang dan dewasa. Sejumlah
“eksplorator” berjalan hingga tiba pada tanah
terjanji (temukan identitas Teologi Fundamental).
Mereka memperkenalkan Teologi Fundamental
dan misinya kepada umum.
Uraian Teologi Fundamental akan bertolak dari
konteks berteologi pada saat itu yakni sikap
apologetik. Konteks apologetik (membela diri dan
menyerang orang lain) ini menjadi alasan kuat bagi
para teolog untuk mencari sebuah model teologi
yang bisa menjelaskan secara baik revelasi dan
18

iman kristiani. Jadi kontkes langsung dari Teologi


Fundamental adalah apologetika.

2. STANDAR KOMPETENSI/TIU
Dengan mempelajari modul 1 ini para
mahasiswa/i diharapkan memiliki pengetahuan
yang luas tentang problem dan konteks yang ada di
sekitar proses pembentukan Teologi Fundamental.

3. INIDKATOR/TIK
Kemampuan khusus yang diharapkan dari
mahasiswa/i dari pembelajaran Modul ini adalah
sebagai berikut:
1. Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan kerumitan
memberikan nama kepada teologi fundamental
sebelum defenitif bernama teologi fundamental.
2. Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan seluk
beluk teologi apologetika.

4. KEGIATAN/STRATEGI PEMBELAJARAN DAN


POKOK BAHASAN
Bahan pembelajaran yang disajikan dalam
pokok bahasan ini akan difo-kuskan pada: nama
dan asosiasi nama teologi fundamental yang nyaris
tak ada kata sepakat (kesulitan merumuskan
identitas teologi fundamental); tulisan apologetik,
razionalisme dan demonstratio.
19

Bahan pembelajaran ini berorientasi pada


keaktifan mahasiswa/i melalui studi pribadi, studi
kelompok dan disertai input dari dosen.
Selesai pelajaran ini mahasiswa/i diharapkan
membuat suatu ringkasan yang komplit mengenai
bahan yang telah diajarkan. Bila ringkasan itu telah
memuat 70-80 % dan mampu menyelasaikan 3
soal maka mahasiswa/i dipandang menguasai
bahan dan bisa lanjut ke pkok pembahasan
berikut.
Pokok Bahasan 1

PROBLEMATIKA MELAHIRKAN
TEOLOGI FUNDAMENTAL SEBAGAI SEBUAH
DISIPLIN

Pemikiran tentang Teologi Fundamental nampak


amat ambigue dengan berbagai makna konotasi
dan denotasi. Apakah Teologi Fundamental
merupakan suatu bentuk apologi iman kristiani?
Apakah Teologi Fundamental merupakan sebuah
filsafat agama atau sebuah teologi filosofis yang
independent dari iman dan teologi sistematik?
Apakah Teologi Fundamental sungguh merupakan
suatu disiplin teologis yang berbeda dari setiap
sistem filsafat rational tentang agama?

1.1. Nama dan asosiasi nama


Pertanyaan yang beraneka di atas menunjukkan
perbedaan visi tentang Teologi Fundamental dan
perbedaan ide ini melahirkan keragaman nama
20

yang dipakai untuk menyebut Teologi Fundamental


sebelum defenitif bernama Teologi Fundamental.

1.1.1. Nama
Nama-nama yang dikenakan kepada Teologi
Fundamental itu adalah apologetika, teologi
fondasional, teologi fundamental formal, basis
pemikiran tentang iman, pengantar sebelum
memasuki dogma, teologi yang berciri filosofis dan
filsafat yang berciri teologis. Beragam nama ini
menunjukkan usaha serius untuk mengenal dan
mengetahui isi Teologi Fundamental serta
mendefenisikan Teologi Fundamental.
Teologi Fundamental merupakan usaha keras
Gereja Katolik Roma dalam rangka menjelaskan
dan menjadikan credible iman kristiani (abad XIX).
Pergeseran dari apologi kepada Teologi
Fundamental menunjukkan adanya suatu tendensi
menuju pluralitas dan diversitas teologi. Namun
pendapat ini sebenarnya tak benar. Teologi
Fundamental sebenarnya sudah muncul sejak abad
XVII/ XVIII. Usaha gigih bagi lahirnya struktur dan
perkembangan Teologi Fundamental datang bukan
dari Gereja Katolik Roma tetapi dari para penulis
Protestan. Pergeseran dari teologi apologetik ke
Teologi Fundamental nampaknya tidak
menghantar kepada pengembangan teologi tapi
lebih merupakan suatu usaha untuk meredusir
seluruh teologi kepada suatu fondasi archimedian.

1.1.2. Asosiasi nama


21

Pada pemunculan pertamanya, Teologi


Fundamental sebagai suatu disiplin teologis
diasosiasikan dengan Teologi Posetif. Karena itu
sebagai langkah pertama dan tahap persiapan bagi
perkembangan Teologi Fundamental ialah Teologi
Fundamental perlu dilihat dalam relasinya dengan
Teologi Posetif. Akan tetapi anjuran ini rupanya
implausible karena ada perbedaan antara Teologi
Fundamental dan Teologi Posetif.1 Lebih dari itu,
konsep tentang Teologi Posetif itu nampaknya
sangat ambigue.
Dalam bahasa harian term “posetif”
merupakan antonim negatif. Secara etimologis,
term posetif berasal dari past participle positivus
yang menunjuk kepada apa yang sudah diletakkan
atau apa yang sudah diposisikan.2 Makna historis
dari term “teologi posetif” begitu ambigue di abad
XVII di saat Teologi Posetif masuk dalam kancah
diskusi teologis. Saat itu ada begitu banyak tafsiran
terhadap Teologi Posetif antara lain Teologi Posetif
itu bisa saja berarti: eksegesis, teologi
kontroversial khususnya antara Katolik dan
Protestan; Teologi Posetif bisa jua menunjuk
kepada perkembangan bagus dan menjanjikan dari
teologi yakni orientasi praktis pengetahuan
menuju ke sebuah tujuan spesefik dan akhirnya
Teologi Posetif sebagai sebuah term kontrast
kepada Teologi Skolastik.
Teologi Posetif yang dikembangkan pada abad
XVII dan XVIII berbeda dari konsep Neo-Skolastik
yang berkembang pada abad XIX. Neo-Skolastik
1
T. TSHIBANGU, Théologie positive et théologie spéculative, Louvain 1965, 140-301.
2
C. T. ONIONS (ed), Oxford Dictionary of English Etymology, New York 1966, 699.
22

memahami Teologi Posetif dan Teologi Skolastik


bukan sebagai orientasi-orientasi intelektual
kontrast tetapi sebagai dua cabang berbeda dari
suatu pengetahuan teologis yang sama: an sit
(whether it is) and quid sit (what it is); Neo-
Skolastisisme mengerti Teologi Posetif sebagai
cabang dari teologi yang mana menentukan data
basis bagi teologi mengingat Teologi Spekulatif
adalah cabang teologi yang mencari untuk
memahami data yang sudah ditentukan.
Teologi Posetif dalam abad XVI mewakili suatu
orientasi intelektual yang mau kembali ke basis.
Teologi Posetif kembali kepada akar-akar iman,
kembali ke sumber-sumber iman dengan maksud
untuk mengenal akar dan sumber iman secara
lebih baik. Teologi Posetif berpaling dari spekulasi
atas kepercayaan dan mengarahkan diri kepada
akar-akar iman karena Teologi Posetif memandang
dialektika Skolastisisme dan Aristotelianisme
bukan sebagai pemahaman yang lebih dalam
tentang esensi iman tetapi sebagai sistem tanpa
sebuah dasar yang benar. Dalam usaha mencari
akar-akar dan sumber-sumber iman kristiani
Teologi Posetif tak menyelidiki hanya data atau
dasar-dasar, tetapi jua berusaha memiliki
pemahaman yang lebih mendalam tentang iman.
Kontrast antara dua orientasi intelektual yang
berbeda di abad XVI menunjukkan adanya proses
pencarian makna terdalam dari Teologi
Fundamental dalam relasi dengan Teologi Posetif.
Pada 1700 Piere Annat mempublikasikan
Apparatus ad positivam Theologiam methodicus di
23

mana ia menghubungkan Teologi Posetif dan


Teologi Fundamental. Annat menegaskan bahwa
Teologi Posetif disebut oleh banyak ahli sebagai
“teologi fundamental”. Sejak studi tentang
kebenaran-kebenaran iman adalah tugas Teologi
Posetif, maka itu adalah sebuah Teologi
Fundamental.3
P. Annat menggunakan metafor foundation
untuk menjelaskan tugas Teologi Fundamental.
Seperti sebuah rumah tak bisa kukuh berdiri tanpa
dasar atau tembok penahan, demikian halnya
Teologi Skolastik tak dapat berdiri tanpa suatu
Teologi Posetif atau Teologi Fundamental. Jika
Teologi Skolastik ingin jadi solid maka ia harus
mendasarkan dirinya pada Teologi Fundamental
yang punya tugas menyelidiki dasar dan sumber
iman Kristiani. Sabda Allah adalah dasar bagi
terbentuknya sebuah teologi.
Konsep Annat tentang Teologi Posetif sebagai
Teologi Fundamental dapat dipahami secara lebih
baik bila konsepsinya itu ditampilkan sebagai
lawan terhadap dua model Teologi Posetif klasik:
De locis theologicis (Melchior Cano, 1563) dan
Theologicorum dogmatum (Denis Petau, 1644).
Monograf dari Melchior Cano terfokus pada
sepuluh sumber teologi: tujuh sumber utama
yakni: Kitab Suci, Tradisi sebagai elemen
konstitutif bagi revelasi, Gereja Katolik, konsili-
konsili, kepausan, Bapa-Bapa Gereja, teologi-
teologi skolastik sebagai elemen interpretatif
3
Judul lengkap: Apparatus ad positivam Theologiam methodicus, in quo jam reviso,
multumque ditato, clara, brevis et expedita delineatur idea positivae et scholasticae Theologiae.
Pikiran Pierre Annat secara detail bisa dilihat dalam M. HOFMANN, Theologie, Dogma und
Dogmenentwicklung im theoogischen Werk Denis Petaus, Bern 1976, 468-470.
24

tentang agama; tiga sumber penting: akal budi,


filsafat dan sejarah manusia; tiga hal ini
menghadirkan suatu basis valid bagi argumen
teologis tetapi tidak konstitutif.
Denis Petau mengembangkan konsepsinya
tentang Teologi Posetif dalam relasinya dengan
metafor tentang dasar dan image dari sebuah
bangunan. Ia menunjuk kepada the fundamental
articles dan the fundamental truths sebagai dasar
bagi doktrin kristiani yang mengkarakterkan
kepercayaan-kepercayaan sentral iman kristiani.
Hanya bangunan yang tanpa fondasilah yang akan
runtuh, demikian halnya Gereja akan runtuh jika
kebenaran-kebenaran fondational ditolak atau
mungkin sama sekali tak eksist di dalam Gereja
atau bila eksit tapi tidak dihargai. Doktrin-doktrin
fundamental yang dimaksud adalah: monarki,
trinitas, inkarnasi, infallibilitas, posisi Gereja dalam
hal kuasa.
Struktur Apparatus-nya Annat lebih dekat
dengan Cano daripada Petau. Tulisannya dibagi ke
dalam tujuh seksi. Sesudah sebuah penjelasan
tentang perbedaan-perbedaan antara Teologi
Skolastik dan Teologi Posetif dan sebuah analisis
tentang berbagai kualifikasi dari afermasi teologis,
Annat mendiskusikan Kitab Suci, otoritasnya dan
peranan interpretasi; tradisi suci, khususnya
tradisi apostolik dan Bapa-Bapa Gereja mulai dari
Klemens dari Roma sampai dengan T. Aquinas dan
Bonaventura; konsili-konsili Gereja; dan akhirnya
heresi-heresi dalam Gereja, khususnya pada
permulaan Gereja. Seksi-seksi tentang Bapa-Bapa
25

Gereja dan konsili-konsili adalah tiga kali lebih


intensif daripada seksi-seksi yang lain. Setiap seksi
mendiskusikan tidak hanya isi tetapi jua soal
metodologis dan historis khususnya yang
berkaitan dengan fundasi iman dan Sabda Allah.
Enam sumber dari Annat berkorelasi dengan tujuh
sumber utama dari Cano.
Sementara itu konsepsi Annat lebih dekat
pada Petau dalam hal pemakaian metafor. Dalam
penggunaan metafor Annat lebih dekat dengan
Petau. Dalam kritikannya terhadap Cano Annat
tidak mencari fondasi dalam otoritas formal dari
sumber-sumber individual tetapi dalam revelasi
Allah yang ditransmisikan melalui sumber-sumber
itu. Teologi posetifnya Annat sebagai Teologi
Fundamental, ada di persimpangan antara Cano
dan Petau.
Biar berdiri di persimpangan antara Teologi
Posetif abad XVI dan Teologi Fundamental abad
XVIII-XIX, Annat adalah orang pertama yang
memakai term Teologi Fundamental. Annat
menganggap Teologi Fundamental sebagai Teologi
Posetif yang mencari fondasi bagi kebenaran-
kebenaran kristen mendasar di dalam sumber-
sumber iman Kristiani. Konsepsinya memang
masih terlalu jauh dari konsepsi tentang Teologi
Fundamental sebagai sebuah demonstrasi historis
dan rational tentang kebenaran iman tetapi
konsepsinya masih tetap merupakan benih
pertama dalam usaha membentuk Teologi
Fundamental.
26

Keistimewaan konsep Annat ialah: 1) Teologi


Fundamental lebih merupakan sebuah retrospektif
daripada sebagai sebuah prospektif. Teologi
Fundamental sebagai Teologi Posetif lebih
merupakan aktivitas arkeologikal daripada sebagai
aktivitas konstruktif. 2) Teologi Fundamental lebih
merupakan kegiatan teologis daripada sebagai
suatu kegiatan filosofis. Ia mencari dasar-dasar
iman tanpa keterlepasan dari iman, ia melakukan
investigasi fondasi-fondasi historis yang berkaitan
dengan revelasi Allah. 3) Teologi Fundamental
tidak didasarkan pada otoritas dari revelasi
sebagai titik singular bagi fondasi, tetapi pada
sejumlah kepercayaan dasar yang mengungkapkan
iman Kristiani. Karakteristik-karakteristik ini
adalah retrsopektif daripada prospektif, teologis
daripada filosofis, doktrin-doktrin dasar bagi
identitas daripada sebuah elemen fondasional
formal.

1.2. Soal apologetika


Untuk bisa memahami dan mengevaluasi
originalitas dari suatu periode maka perlu sekali
kita memperhatikan event-event partikular yang
pernah hidup pada masa itu dan peristiwa-
peristiwa itu haruslah direlasikan ke dalam suatu
horison historis yang lebih luas dalamnya bisa lahir
diskontinuitas dan kontinuitas antara masa kini
dan masa lampau.
Teologi Fundamental yang kita kenal sekarang ini
lahir dari sebuah ketidakpuasan terhadap tata cara
kerja apologetika klasik. Karya-karya apologetik
27

dituntut untuk membaharui diri dan mengubah


arah. Perubahan itu sedemikian radikal sehingga
dipandang baik kalau karya-karya apologetik
berubah nama menjadi Teologi Fundamental.
Dengan kata lain image baru dari teologi
apologetik adalah Teologi Fundamental. Perubahan
nama membawa konsekuensi bagi isi, metode dan
identitas.

1.2.1. Apologetika - άπολογητιχή


Apologetika artinya pembelaan atau
pembuktian. Apologetika adalah ilmu yang
mengemukakan alasan-alasan atau motif-motif
tentang credibilitas dan credentitas dari revelasi
ilahi yang diwartakan oleh Kristus dan yang
dilanjutkan oleh Gereja Katolik.
Tujuan apologetika adalah menuntun kepada
kredibilitas dan credentitas dari agama kristen.
Kredibilitas adalah kapasitas dari setiap kebenaran
untuk dipercayai dan dibuktikan dengan tanda-
tanda. Putusan tentang credentitas me-nyatakan
bahwa kebenaran ini harus dipercayai dengan
sebuah iman tulus karena kredibilitasnya telah
terbukti.
Apologetika itu sendiri tidak cukup untuk
melahirkan iman karena iman adalah rahmat Allah
dan mengandaikan kehendak baik. Karena itu
alasan-alasan atau motif-motif credibilitas harus
dinyatakan kepada seseorang yang memung-
kinkan orang tersebut untuk beriman.
Kepastian yang dipersembahkan oleh
apologetika adalah: kepastian metafisik: kepastian
28

yang didasarkan pada nesesitas metafisik atau


pada esensi benar dari barang-barang; kepastian
fisik: kepastian yang didasarkan pada nesesitas
fisik dari hukum-hukum alamiah; kepastian moral:
kepastian yang didasarkan pada cara-cara yang
tidak berubah di mana manusia dibiasakan untuk
bertindak.
Dalam doktrin Katolik argumen-argumen
apologetika harus menghasilkan tidak saja
probabilitas tetapi true certitude. Persetujuan iman
seharusnya menjadi sesuatu jenis persetujuan
yang terutama. Karenanya kehendak tidak dapat
me-merintah persetujuan tersebut tanpa
persetujuan riil ini yang ada di dalam perse-tujuan
dengan revelasi ilahi.4

1.2.2. Tulisan-tulisan apologetik


Salah satu teolog Protestan yang membela
kristianisme sebagai agama benar karena
didasarkan pada revelasi adalah Phillip de Plessis-
Mornay. Dalam De la vérité de la religion
chrétienne, yang dipublikasikan tahun 1579, ia
berusaha membela revelasi kristen dengan
menggunakan argumen filosofis. Usaha ini diikuti
oleh Pierre Charron, seorang teolog Katolik yang
dalam apologetiknya, les trois vérités, berusaha
mendemonstrasikan eksistensi Allah, kebenaran
Kristen dan kebenaran Gereja Katolik Roma.
Publiskasi yang signifikan bagi bakal Teologi
Fundamental adalah De veritate religionis dari
Hugo Grotius (1622), di mana ia berusaha
4
AD. TANQUEREY, A Manual of Dogmatic Theology, Desclee Comp. NY 1959, 3-6.
29

membedakan apologetika dari dogmatika dan


memfokuskan tugas apologetik pada pembelaan
akan kebenaran agama kristen. Dalam
apologetikanya, Grotius menolak untuk
mempresentasikan demonstrasi-demonstrasi
tentang kebenaran dari doktrin-doktrin kristen
individual dan ia lebih cendrung untuk
mendemonstrasikan bahwa Yesus Kristus adalah
utusan dari Allah yang menentukan kebenaran
agama. Prosedur ini dikritik oleh para teolog
sezamannya. Dalam sebuah surat kepada
saudaranya, Grotius menjawab kritikan ini dengan
argumen bahwa pembelaan terhadap ajaran-ajaran
individual tentang kristianitas bukanlah tugas
utama para apologetik melainkan para dogmatik.
Para apologetik punya tugas untuk mende-
monstrasikan asal-usul ilahi kristianisme, melalui
demonstrasi tentang Yesus Kristus sebagai utusan
ilahi. Jika kebenaran ini didemonstrasikan,
kemudian kebenaran dogma-dogma kristen
individual lahir dari demonstrasi itu.
Apa yang Grotius kerjakan dalam bentuk
outline secara retoris dikembangkan oleh Jaques
Abbadie dalam Traité de la vérité de la religion
chrétienne (1684). Abbadie mengemukakan
perlunya demonstrasi kebenaran dan perlunya
agama revelasi seperti direvelasikan dalam
kontrast dengan konsep deisme dari agama
natural. Buku Abbadie ini sangat berpengaruh di
abad 18 melampaui Pensées karya B. Paschal.
Beberapa waktu kemudian Uskup Katolik,
Pierre Daniel Huet menulis sebuah apologetika,
30

Demonstratio evangelica, di mana ia


menggunakan term dan metafor fondasi tapi bukan
Teologi Fundamental. Ia menggarisbawahi
perlunya sebuah pembuktian dan sebuah
demonstrasi yang pada saat yang sama, sebuah
fondasi (fundamentum) bagi semua teologi. Walau
ia mencari sebuah fondasi menentang rationalism,
argumennya memakai banyak presuposisi
rationalistik abad XIX khususnya pandangan yang
disajikan oleh Descartes dalam Discourse on
Method di mana geometri menjadi paradigma bagi
metode ilmiah. Huet mengembangkan sebuah
metode geometri tentang demonstrasi bagi teologi
dgn menggunakan berbagai defenisi dan aksioma.
Aksioma mencari untuk membukti-kan kebenaran
iman kristiani. Dari sini lahirlah threefold
demonstration (demonstrasi religius, demonstrasi
kristen dan demonstrasi katolik).
Tahun 1713 Vitus Pichler dalam Theologia
Polemica-nya berbicara tentang Teologi
Fundamental Kontroversial, khususnya tentang
“kontroversi-kontroversi general dan fundamental”
yang berbicara tentang eksistensi dari sebuah
agama revelasi. Revelasi dibahas sebelum diskusi
tentang Kitab Suci dan Gereja sebagai presuposisi
bagi teologi kontroversial. Pichler masih tetap
terkurung dalam bingkai rationalisme ketika ia
berargumentasi menentang deisme dengan
mengatakan bahwa prinsip-prinsip akal natural
cukup untuk mendemonstrasikan nesesitas
revelasi dan unisitas kepercayaan kristiani.
31

Dalam evolusi historis teologis ada tiga teolog


besar yang mempengaruhi perkembangan Teologi
Fundamental yakni Houtteville, Hook dan
Gazzaniga.
Pertama: Abbeé Hautteville. Dalam bukunya, La
religion chrétienne provée par les fait, ia
menegaskan bahwa tugas dari seorang apologet
adalah membela dan mempertahankan kebenaran
dari serangan para lawan di sekitarnya. Seorang
apologet mestinya tahu pasti fakta-fakta mana
yang sesuai dengan investigasi historis dan mana
yang merupakan suatu mukjizat sebagaimana
digambarkan oleh para saksi mata saat itu dalam
Kitab Suci.
Kedua, Luke-Yoseph Hooke. Dalam religionis
naturalis et revelatae, ia berbicara tentang hal-hal
ini: agama alami, agama revelasi, Gereja Kristus
dan prinsip-prinsip dasar iman Katolik. Hook
mengkombinasikan dua diskusi berbeda ke dalam
suatu karya apologetik yakni apologetik
kontroversial dari abad 16 dengan focusnya
kebenaran Gereja Katolik dan pembelaan terhadap
revelasi supranatural/agama yang direvelasikan
dari serangan deisme. Hook berbicara tentang
posibilitas, utilitas dan nesesitas revelasi. Menurut
Hook mukjizat-mukjizat dan ramalan-ramalan para
nabi adalah elemen-elemen khas dari revelasi ilahi.
Kekhasan-kekhasan ini sesungguhnya
mendemonstrasikan kodrat ilahi dan asal-usul ilahi
agama Kristen dan mencapai puncaknya dalam
Gereja Katolik.
32

Ketiga, Petrus Maria Gazzaniga. Ia berpendapat


bahwa pembelaaan terhadap agama terlampau
bersifat filosofis dan akibatnya ialah revelasi
semakin ditinggalkan.5 Dalam bukunya
Praelectiones theologicae, ia berpendapat bahwa
kritik terhadap revelasi meruntuhkan agama itu
sendiri. Menentang rationalisme dari deisme, ia
menegaskan bahwa revelasi ilahi adalah perlu bagi
pengetahuan tentang hukum alam karena situasi
kedosaan dan kelemahan manusiawi. Revelasi
perlu demi pengenalan akan kebenaran-kebenaran
dari agama natural – sebuah posisi yang kontras
dengn Huet. Tambahan pula, Gazzaniga
mengajukan bahwa sejak agama berhubungan
dengan misteri, agama tidak dapat
memproduksikan suatu evidensi baik langsung
maupun tak langsung seperti yang terjadi dalam
ilmu geometri. Sebaliknya, evidensi satu-satunya
adalah tak langsung melalui ramalan-ramalan dan
mukjizat-mukjizat. Demonstrasi historis menjadi
sebuah demonstrasi dari otoritas evidensi tak
langsung bagi kebenaran revelasi. Selanjutnya
demonstrasi historis bukanlah makna intrinsik
dari kebangkitan Yesus atau Gereja tapi otoritas
ekstrinsik dan evidensi yang bisa diprediksikan. 6

1.2.3. Apologetika klasik dan kritikannya


Dari introduksi general yang berkaitan dengan
Teologi Manualistik, terciptalah kondisi-kondisi
bagi sebuah strukturisasi berbeda dari Teologi
5
K. FEIEREIS, Die Umprägung der natürlichen Theologie in Religionsphilosophie,
Leipzig 1965, 205-212.
6
P. EICHER, Offenbarung. Prinzip neuzeitlicher Theologie, Munich 1977, 98-150.
33

Fundamental yang diorganisasikan secara lebih


spesifik menurut model apologetis. Apologetica,
pada akhirnya adalah karakter predominan
periode ini yang diekspresikan dalam tiga (3)
demostratio tetapi dengan suatu pekuliaritas
bahwa tiga pembuktian itu menjadi ‘manual’ dan
menjadi metode yang sesungguhnya bersifat
defensif.

1.2.3.1. Demostratio
1). Religion (both natural and revealed)-
Demostratio religiosa: memperkenalkan nilai
objektif agama supaya setiap orang harus percaya. 7
Pencarian akan ekspresi-ekspresi universal yang
ada dalam diri setiap orang, analisis kritis terhadap
tradisi-tradisi religius berbeda dan refleksi atas
kebenaran-kebenaran natural menjadikan bagian
ini sebagai dimensi istimewa untuk membawa
setiap orang tidak saja untuk masuk ke dalam
kemungkinan percaya tetapi juga secara prinsipil
menghantar masuk pada keharusan menerima
rivelasi yang diungkapkan dalam ‘agama benar’
yang memanifestasikan karakter-karakter
supranatural dan yang bisa menjawab tuntutan-
tuntutan setiap manusia. Alamat khusus dari
dimonstratio religiosa adalah ateisme–
demonstartio religiosa mau menunjukkan pada
ateisme ‘De vera religione.’
2). Christ, the Divine Ambassador or religion of
Christ- Demostratio christiana: memperkenalkan
nilai keselamatan dari kristianisme dan
7
Sejarah apologi umum dibahas oleh A. DULLES, A History of Apologetics, London
1971; G. RUGGIERI (ed.), Enciclopedia di teologia fondamentale, I, Genova 1987, 3-400.
34

superioritas kristianisme atas agama-agama lain.


Pembicaraannya bersifat kristologis: De Cristo
legato divino dan bertendensi menunjukkan asal-
usul ilahi kristianisme. Dua problem lahir dari
demostratio christiana: * Yesus telah menjelaskan
bahwa Ia sendiri adalah utusan Allah dan *
penjelasannya ini dikonfermasika oleh tanda-tanda
heran yang menjamin orang yang percaya untuk
sampai pada suatu “putusan terhadap kredibilitas.”
Diskusi ini dikembangkan melalui analisis tentang
“titel-titel kristologis” seperti Mesias, Putera
Manusia dan Putera Allah. Gelar-gelar ini
menghantar pada pikiran bahwa Yesus memiliki
kesadaran dan mengenal dirinya sendiri sebagai
tujuan dan kepenuhan defenitif dari penantian.
Konfirmasi terhadap pandangan ini adalah analisa
tanda-tanda zaman khususnya mujizat-mukjizat
dan ramalan-ramalan dan kebangkitan.
Demonstratio christiana dialamatkan kpd agama-
agama non kristen dan mau mempengaruhi
mereka untuk memilih kristianisme sebagai yang
benar dan superior.
3). The Church of Christ. The Catholic Church has
been instituted by Christ- Demostratio catholica:
ditujukan kepada yang non katolik untuk
menunjukkan tidak hanya Gereja yang satu
dikehendaki oleh Kristus yakni Gereja katolik tapi
juga untuk memperoleh keselamatan adalah perlu
masuk ke dalam Gereja Katolik. Demonstratio
catholica bicara tentang De vera ecclesia
berhadapan dengan gereja-gereja kristen lainnya.
35

Forma tradisional ketiga ini diperluas lagi dengan:


1). Via historica, yang secara esensial diredusir
kepada suatu via primatus, yang mencoba untuk
menunjukkan dengan analisis teks-teks klasik,
kontinuitas yang tak akan berakhir antara Gereja
Kristus dengan Gereja Katolik Roma. 2). Via
notarum: bicara tentang empat sifat luhur Gereja
Kristus: satu, kudus, katolik dan apostolik. 3). Via
empirica: menjelaskan Gereja dalam dirinya
merupakan keajaiban ilahi yang hidup sepanjang
abad sambil menantikan kepenuhan ilahinya. 8
Tiga demonstrasi ini membentuk struktur dan isi
dari apologetica. Metode istimewa yang dipakai
adalah ‘apologetik’ – siap menentang setiap posisi
yang tak sesuai dengan yang telah dikatakan; -
membela akuisisi yang telah ditetapkan oleh
teologi magisterium. Secara esensial, teologi
manualistik telah menyatu padu dengan metode
deduktif. Bahasa yang dipakai bersifat
membuktikan.
Dengan ensiklik Aeterni Patris, Paus ingin
memberikan suatu equilibrio pada relasi akal dan
iman. Dari sudut pandang teologis Paus
memberikan suatu ruang terbuka bagi pemahaman
benar tentang teologi. Menempatkan filsafat sbg
pendahuluan yang harus ada bagi sebuah teologi
punya makna menghubungkan teologi kepada
suatu filsafat tertentu; di sini seakan-akan kita
berbicara tentang philosphia perennis walaupun ia
adalah suatu elemen eksternal bagi teologi.

8
S. PIÈ-NINOT, Tratado de teologia fundamental, Salamanca 1989, 312-317; 340-349.
36

Iman dan akal agaknya tak pernah saling bertemu


walaupun mereka hidup di bawah satu atap. Akal
berasal dari dan tiba pada kebenaran “natural”
tetapi hanya iman saja membuka jalan kepada
kebenaran-kebenaran supranatural. Otoritas,
dalam setiap kasus, berada selalu di atas akal dan
ratio tak boleh berbuat lain selain menegaskan apa
yang sudah dikatakan oleh iman dengan
menyangkal untuk menjadi “akal”. Dengan
argumentasi ini, nampak jelas bahwa iman itu
dikonotasikan selalu oleh suatu forma otoritatif,
sedangkan akal dikonotasikan oleh suatu voluntas
untuk emansipasi. Pada akhirnya, kita berha-dapan
dengan penggunaan instrumental filosofis dan
sebuah defenisi reduktif dari teologi.
Kesimpulan yang bisa kita tarik ialah telah terjadi
suatu perbedaan besar antara masyarakat dan
teologi. Sebuah teologi yang menutup diri di balik
tembok akan merasa aman namun yang jelas ia
tidak tampak bagi mata dunia dan tidak akan
menggarami dunia sedikitpun juga.

1.2.3.2. Kritik atas demostratio


Apa yang dikenal sebagai apologetika tradisional
atau klasik dengan tiga model pembuktian:
demostratio religiosa, demostratio christiana et
demostratio catholica tidak merupakan akibat dari
ketidak-kritisan atas obyeknya, tujuannya, dan
metodenya tetapi semua itu muncul dari nesesitas
historis yakni usaha melawan protestantisme di
abad XVI, ateisme praktis dan libertinisme abad
XVII, dan deisme dan ensiklopedisme di abad XVIII.
37

Berhadapan dengan kaum ateis dan libertinis


kaum apologetik menampilkan sebuah teodicia
ketat dan menunjukkan betapa pentingnya
beragama. Berhadapan dengan Deisme (agama
natural) yang menolak revelasi historis, para
apologetik menegaskan agama Kristen adalah
agama benar karena Yesus Kristus berbicara dalam
nama Allah. Berhadapan Protestantisme, para
apologetik mengatakan bahwa di antara beragam
pengakuan iman kristiani, Gereja Katolik adalah
satu-satunya Gereja yang benar. Dalam hal iman,
Protestantisme menekankan elemen-elemen
subyektif, khususnya karya Roh yang menyebabkan
kita bersandar pada Sabda Allah dan memberikan
kita kepastian tentang asal-usul sabda itu. Para
apologetik Katolik, sebaliknya menekankan
kriteria obyektif. Kriteria-kriteria obyektif itu
terutama yang berkaitan dengan mukjizat-
mukjizat dan ramalan-ramalan.9
Dari sudut pandang yang lebih langsung berkaitan
dengan Teologi Fun-damental, patut dicatat bahwa
studi tentang demostratio telah menyadarkan kita
bahwa apologetika mengerahkan seluruh kekuatan
demonstratifnya untuk membuat jelas tanda-tanda
revelasi tapi ini semua hanya merupakan
argumentasi eksternal dalam usaha memahami
fakta dari revelasi. Revelasi dipahami sebagai suatu
doktrin supranatural yang melampaui setiap usaha
manusia dan hanya bisa dikenal melalu jalan

9
R. LATOURELLE, “Aplogétique et fondamentale” dalam Salesianum 27 (1965), 256;
H. BOUILLARD, “La tâche actuelle de la théologie fondamentale” dalam Le Point théologique 2
(1972), 11-14; ID, “De l’apologétique à la théologie fondamentale” dalam Les Quatre Fleuves 1:
Dieu connu en Jésus-Christ, Paris 1974, 57-70
38

revelasi. Tiga demonstratio ini menuai beberapa


reaksi10:
1). Logika kaku, metode anakronistis.
Apologetika klasik mencari untuk menunjukkan
kredibilitas revelasi tapi bukan dengan argumen
dan studi kritis terhadap realitas melainkan
dengan cara menyerang. Adalah penting
menegaskan bahwa revelasi yang dipersoalkan di
sini bukan revelasi bertipe filosofis, di mana bisa
diprediksikan lebih dahulu skemanya dan polanya
melainkan sebuah realitas yang secara absolut
spesifik yang datang kepada kita melalui jalan-
jalan historis dan inkarnasi. Hanya revelasi itu
sendiri yang dapat mengatakan kepada kita apa itu
revelasi. Karena itu, membangun sebuah
apologetika di atas sebuah defenisi nominal yang
kaku dan sempit adalah sebuah pencarian yang
beresiko yakni mengabaikan hakekat orizinal dari
sebuah problem. Yang harus diperhatikan serius
ialah: setelah berbicara tentang ‘revelasi pada
umumnya’ dan “tanda-tanda pada umumnya’,
perlu dipelajari revelasi dalam diri Yesus
Kristus dan tanda-tanda efektif revelasi
tersebut. Kebutuhan mendesak dalam apologetika
ialah memperhatikan secara saksama intervensi
Allah dalam diri Yesus Kristus dan mempelajari
semua kekayaan dan dimensi-dimensinya.
Apologetika ingin menampilkan sebuah
demonstrasi logis ilmiah perfect namun referensi
ilmiahnya sangat minim jika bukan kosong.
Demonstrasi-demonstrasinya memiliki karakter
10
R. LATOURELLE – R. FISICHELLA (eds), Dictionary of Fundamental Theology,
Crossroad Publ. Company, New York 1994, 324-326.
39

logis ‘kaku’ dan karenanya betapa sulit hal-hal itu


dikomunikasikan apalagi metodologi dari
demonstrasi-demonstrasi itu anakro-nistik atau
tak dikenal.
2). Mengabaikan makna. Para apologetik tidak
berhasil merumuskan makna revelasi dalam kaitan
dengan fakta historis revelasi. Setelah menegaskan
bahwa Yesus itu utusan Allah dan yang telah
mendirikan Gereja, para apologetik menyimpulkan
bahwa iman kita dalam keseluruhannya diterima
dari Gereja yang didirikan oleh Yesus. Mereka gagal
untuk melihat warta kristiani secara suprem
adalah intelligible dan bahwa kepenuhan
maknanya sudah menjadi sebuah alasan bagi
kredibilitas. Revelasi itu believable bukan saja
karena adanya tanda-tanda eksternl tetapi juga
karena revelasi itu menyatakan “siapa manusia itu”
kepada diri mereka sendiri; itulah kunci untuk
memahami misteri dari pribadi manusia itu.
Karena itu impossible mengisolasikan fakta historis
dan makna revelasi.
3). Ketidakseimbangan dalam menggambarkan
pribadi Yesus. Banyak praktisi dari apologetik
tradisional hanya berurusan dengan kemesiasan
Yesus. Mereka berpikir itu sudah cukup untuk
menunjukkan bahwa Yesus telah memperkenalkan
diri sebagai utusan ilahi yang berbicara dalam
nama Allah sedang kesaksian-kesaksian lain
tentang Yesus yang berkaitan dengan pribadi-Nya
itu termasuk dalam urusan dogmatik. Posisi
seperti ini tak pantas untuk diterima. Alasannya:
pertama, ide seperti itu mengharuskan adanya
40

reduksi kontinual dan tidak adil dalam gambaran


tentang Yesus sebagaimana Ia diperkenalkan dan
diakui di dalam Injil yakni sebagai Kristus, Putera
Manusia dan Putra Allah; kedua, kesaksian seperti
itu memaksa seorang pewarta untuk meletakkan
selanjutnya tuntutan-tuntutan radikal berkaitan
dengan penghakiman terakhir terhadap umat
manusia; ketiga, ide seperti itu membuat tidak
intelligible sama sekali mukjizat kebangkitan ke
dalam kemuliaan. Dikotomi antara utusan ilahi dan
Putera Bapa adalah artifisial; itu bertentangan
dengan kesaksian Yesus tentang Dirinya sendiri
dan kerigma yang berkaitan dengan diriNya.
4). Mengabaikan kondisi-kondisi manusia.
Apologetik tradisional kurang memperhatikan
kondisi-kondisi yang mungkin bagi penerimaan
revelasi dan tanda-tanda oleh manusia. Karena
tuntutan obyektivitas ilmiah para apologetik
mengabaikan aspek kredibilitas. Jika obyek
apologetika bukan sebuah kredibilitas abstrak tapi
kredibilitas humana dari revelasi maka apologetika
tidak bisa membatasi diri untuk mempelajari
hanya in-se dari revelasi dan tanda-tanda dari
revelasi tersebut tapi “apologetika harus
menyibukkan diri dengan perhatian yang sama
dalam mempelajari kondisi-kondisi yang
menentukan penerimaan yang efektif ex parte
subjecti.” 11 Dkl, ada sebuah studi obyektif tentang
subyektivitas orang beriman. Jika apologetika
mengabaikan subyek, “tidak lama lagi ia
terjerumus ke dalam sebuah ekstrinsecisme paling
11
N. DUNAS, “Les problèmes et le statut de l’apologétique” dalam Revue des sciences
philosophique et théologiques 43 (1959), 658.
41

kaku.” Di pihak lain jika apologetika meremehkan


facta divina dan ‘ingin menutup diri dalam subyek”
maka masalah itu tidak bisa diselesaikan dalam
sebuah bahasa tanpa konsistensi.12 Apologetika
subyektif dan obyektif adalah dua apsek dari satu
apologetik unik dan integral.
“Keputusan tentang kredibilitas’, yang
didasarkan di atas tanda-tanda, menghilangkan
komponen internal dan sumber pokok revelasi
yakni Yesus Kristus. Yesus Kristus pantas untuk
direfleksikan. Apologetika itu berbicara tentang
Yesus Kristus tetapi sebenarnya apologetika itu
jauh dari Yesus Kristus. Sebenarnya yang harus
ditegaskan adalah singolaritas dan unitas Yesus
Kristus dalam refleksi namun ternyata superioritas
dan eksepsionalitas Yesus lebih dijun-jung tinggi
oleh apoloegtika. Image Yesus seperti yang
diciptakan oleh para apologet ternyata jauh dari
gambaran Injil tentang Yesus Kristus. Para apologet
memakai Kitab Suci dalam diskusi tetapi Kitab Suci
dikutip hanya untuk membe-narkan diri dan ide
pribadi bukan dijadikan sebagi dasar berpikir.
5). Tertutup dalamnya diri sendiri. Sampai
dengan abad XX apologetika tidak henti-hentinya
menyerang para musuhnya seperti kaum
Protestan, kaum deistik dan para razionalistik.
Apologetika klasik tertutup dalam dirinya sendiri.
Sikap-sikap ini tidak bisa dipertahankan lagi di era
ekumenis kini. Di era ekumenis ini patut diciptakan
kondisi-kondisi yang kondusif untuk saling
mendekati satu sama lain. Daripada merumuskan
12
A. DE BOVIS, Recherches de science religieuse dalam Bulletin d’apologétique 43
(1955), 624.
42

diri dalam term-term oposisi, lebih baik


apologetika merumuskan diri dalam term-term
posisi dan proposisi. Dari sikap bela diri secara
kaku apolo-logetika bergerak menuju kepada
eksposisi yang kritis. Permusuhan dewasa ini
sebenarnya lebih banyak ditemukan di dalam hati
kaum beriman ketimbang di dalam hati orang-
orang yang tidak beriman.

1.2.4. Kesepakatan
Semua problem di atas sebenarnya lebih
merupakan sebuah otokritik yang disampaikan
oleh mereka yang memiliki tugas untuk
mengajarkan apologetika. Di antara para pengajar
terdapat kesepakatan pada level negatif dan
posetif13 terhadap beberapa point berbeda yakni:

1.2.4.1. Kesepakatan pada level negatif:


a. apologetika bukan sebuah seni, bukan pula
sebuah pastoral demi pertobatan melainkan
apologetika adalah sebuah ilmu yang memiliki
obyek, finalitas dan metodenya tersendiri;
b. apologetika bukan sebuah sistem
pembelaan terhadap para lawan;
c. apologetika bukan pula sebuah pembicaraan
filosofis-historis;
d. apologetika tidak bisa direduksikan kepada
sebuah studi tentang fakta revelasi dan semua
maknanya;

13
R. LATOURELLE, Apologétique et fondamentale, dalam Salesianum 27 (1965), 257-
261.
43

e. apologetika tidak bisa membuat sebuah


abstraksi dari kondisi-kondisi yang berkaitan
dengan subyektivitas humanum dengan maksud
membatasi diri hanya pada tantangan-tantangan
historis.

1.2.4.2. Kesepakatan pada level posetif:


a. diakui bahwa apologetika adalah sebuah
teologi yakni sebuah pencarian intelektual kaum
beriman yang diaplikasikan kepada studi tentang
hal pertama dari seluruh realitas kristiani;
b. obyek utama dari pencarian ini adalah
revelasi dalam seluruh totalitasnya: misterinya,
ketampakan historisnya, tanda-tandanya yang
dirumuskan ke dalam pembicaraan apologetik dan
dogmatik;
c. apologetika adalah sebuah studi tentang
credibilitas revelasi termasuk juga studi tentang
kristianisme sebagai fenomen historis dan sebagai
interpretasi atas eksistensi manusia;
d. apologetika adalah sebuah refleksi atas
esensi (epistemologi) dan metode (metodologi)
teologi.
e. karakter eksitensial dari fungsi apologetika
adalah pelayanan Gereja.

1.2.5. Perluasan jangkauan


Setelah masa penuh kritikan atas demostratio
itu, bermunculan beragam karya dan tulisan, buku
dan majalah tentang revelasi; melimpah ruah
komentar atas Dei Verbum. Fenomen ini disebut
44

masa perluasan/pelebaran ilmu teologis yang


dimanifestasikan pada segala level. Perluasan ini
dikonkritkan dengan mengadopsi secara defenitif
term fondamental untuk menunjukkan kebaharuan
wajahnya dan identitas barunya dalam seluruh
jajaran ilmu suci.

1.2.5.1. Perlusasan konsep


Term Fundamental bukanlah sebuah tempelan
pada sebuah disiplin ilmu yang secara substansial
hetrogen atau Fundamental bukan pula sebuah
nama belaka yang diletakkan di samping ilmu lain
demi alasan kemudahan. Tahun pertama studi
teologi adalah Fundamental sebab ia mempelajari
dogma fundamental dalam tatanan pengetahuan
teologis. Fudemental adalah fundamen bagi semua
teologi: dogma tentang revelasi...Fundamental
adalah sebuah teologi kritis tentang Sabda Allah
dalam adanya dan dalam manifestasinya, dalam
sumbernya dan sarana-sarana ekspresinya.
Refleksi kritis ini berasal dari iman dan bisa
berkembang subur bila ia tinggal dan diam dalam
terang iman. Jadi Fundamental itu secara komplit
adalah teologis.14
Menurut Y. Congar (1962) Fundamental bisa
dipandang sebagai satu bagian integral dari teologi
yakni sebagai salah satu dari beragam
pembicaraan partikular atau sebagai sebuah
keseluruhan dari begitu banyak pembicaraan
partikular yang mengambil bagian dalam program
total teologi: tidak hanya sebuah apologetika yakni
14
N. DUNAS, Les problèmes et le statut de l’apologétique, dalam Revue des sciences
philosophique et théologiques 43 (1959) 680.
45

sebuah studi tentang penerimaan dan pembelaan


Sabda Allah dari pihak manusia tetapi juga sebuah
trattato kritis tentang Sabda Allah itu baik itu
menyangkut status original revelasi itu sendiri
maupun menyangkut status tradisi dan dogmanya.
Jadi Fundamental melihat Sabda Allah dalam dua
sorotan yakni sorotan apologetik dan sorotan
dogmatik. Fondamental bisa juga dipandang
sebagai sebuah fungsi defensif dan justifikatif dari
teologi. Dalam kasus ini, teologi tidak bekerja
menurut totalitasnya tetapi teologi hanya
melaksanakan salah satu dari fungsinya, sejauh
sang teolog mencari untuk merealisasikan sebuah
mediasi kritis antara dunia iman dan dunia
manusia.15
J.P.-Torrell (1964) berpendapat bahwa
Fundamental bertugas dalam dua masa: masa
pertama: dogmatik, terkandung di dalam
menerima dari Gereja pandangan-pandangan
tentang revelasi, tradisi, dogma, iman dan
credibilitas dan menguraikan semunay itu secara
kritis dengan maksud untuk menghadirkan sebuah
pengetahuan yang sedapat mungkin tepat. Masa
kedua: momen tipical defensif dari teologi
fundamental, saat sang teolog harus melegitimasi
imannya dari sudut pandang filosofis dan historis,
di hadapan mereka yang tidak seiman. Oleh sebab
itu fundamental harus membangun sebuah
epistemologi (teologi sebagai ilmu, relasi teologi
dengan iman, dengan filosofi dan dengan ilmu-ilmu

15
Y. CONGAR, La fede e la teologia, Desclée Roma 1967, 197-198.
46

lain) dan metodologi atau studi tentang prosedur


konrit teologi.16
Mysterium Salutis vol. I (1965) mengambil
judul fondamen-fondamen dogmatik dari sejarah
keselamatan. Pada bagian introduksi dibicarakan
tentang teologi fundamental. Di sini fundamental
dilihat sebagai prolegomenon bagi teologi
dogmatik.
V. Boublik (1968) membedakan dalam
Fundamental dua bagian: yang satu bagian itu
adalah dogmatik: berkaitan dengan intelegensi
dari revelasi sebagai prinsip dan fundamen bagi
teologi; yang lain lagi adalah apologetik: lagi-lagi
tentang credibilitas revelasi baik dalam momen
historis, momen filosofis pun dalam momen
semiologis.17
H. Bouillard (1964) berbicara tentang makna
apologetik sebagai berikut: diskursus apologetis
ini, sejauh berkaitan dengan kaum beriman,
kiranya lebih baik didefenisikan sebagai Teologi
Fundamental... Sebab sesungguhnya ia
mengekspresikan fundamen padanya teologi
dogmatik dan moral harus terus menerus
kembali.18 Tahun 1965, Bouillard memakai istilah
prolegomenon untuk dogmatik sebagai sebuah
studi tentang realitas-realitas primer dari
kristianisme yang membentuk fundamen teologi
yakni: revelasi, tradisi, Kitab Suci, magisterium.
Teologi Fundamental dipakainya untuk menyebut
16
J.-P. TORRELL, Chronique de thélogie fondamentale, dalam Revue thomiste 64 (1964),
100-102.
17
V. BOUBLIK, Orientamenti attuali della teologia fondamentale, dalam Correnti teolo-
giche postconcialiari, Roma 1974, 145
18
H. BOUILLARD, Logique de la foi, paris 1964, 37.
47

apologetika: studi tentang fundamen-fundamen


razional keputusan iman.19
C. Geffre (1969) berpendapat bahwa
Fundamental itu adalah fungsi kritis dan
hermeneutik dari teologi. Sebagai fungsi kritis,
Fundamental menganalisis semua kondisi dan
posibilitas hisoris dari iman yang memungkinkan
diterimanya revelasi. Dalam konteks ini
Fundamental menunjukkan bahwa iman kristiani
itu reasonable dan karena itu credible-pantas untuk
dipercaya. Sebagai fungsi hermeneutik,
Fondamental mencari untuk menerima makna
revelasi bertolak dari intelegensi yang manusia
miliki tentang dirinya sendiri dan relasinya dengan
dunia. Di tahun 1977 ia mendefenisikan Teologi
Fundamental sebagai studi kritis tentang
fundamen-fundamen eksistensi kristiani yakni di
satu pihak tentang revelasi sejauh revelasi
menimbulkan iman, dan di pihak lain, tentang iman
sejauh iman menerima revelasi.20

1.2.5.2. Tema-tema istimewa


Dua tema istimewa dari Fundamental adalah
revelasi dan credibilitas revelasi. Revelasi adalah
aktus Allah sendiri, automanifestasi Allah,
autodonasi Allah sendiri dalam diri Yesus Kristus.
Kristus adalah Sabda epifanik Allah: IA tidak hanya
membawa dalam dirinya revelasi tetapi IA sendiri
adalah revelasi itu. Kristus adalah subyek dan

19
ID, L’expérience humaine et le point de départ de la théologie fundamentale, dalam
Concilium 6 (1965), 83-92.
20
R. RICOEUR, C. GEFRE, E. LEVINAS, E. AHULOTTE, E. CORNELIS, La Révéla-
tion, Brusselles 1977, 171.
48

obyek, pewahyu dan wahyu itu sendiri, pengantar,


puncak dan kepenuhan serta tanda..
Credibilitas harus merangkum banyak hal
yang lebih luas, supaya ia menjadi sebuah diskusi
yang sungguh-sungguh benar. Dalam proses
perluasan ini kita bisa membedakan tiga orientasi
berbeda yakni
Yang pertama berkaitan dengan problem sejarah
dan hermeneutika. Bagi para teolog pengetahuan
yang Yesus berikan kepada kita melalui Injil, belum
menjadi sebuah jaminan pasti bahwa kita
mengetahui Allah secara tuntas. Biarpun benar
bahwa Allah telah menyatakan diriNya melalui
kata-kata Yesus dan lewat seluruh kehadiran Yesus
di dunia, tetapi betapa perlunya mengetahui
bagaimana dan sejauh mana kita bisa memahami
epifani Allah sekurang-kurangnya dalam
konsistensi historis Yesus Kristus? Sekiranya kita
tidak bisa menentukan relasi yang terjadi antara
sejarah dan kerygma, kejadian dan teks, maka sia-
sia saja kita melanjutkan pencarian kita akan Yesus
Kristus sebab hal yang sungguh esensial yang
menjadi prinsip utama kekristenan inaccessible.
Dalam kaitan dengan Yesus Kristus, problem
historis ini sama dengan problem hermeneutik.
Relasi antara kejadian dan teks hanya bisa
dipastikan melalui pencarian historis dan
hermeneutik.
Yang kedua berkaitan dengan soal
antropologis Kiranya tidak cukup hanya
menunjukkan bahwa kita bisa tiba pada Yesus dari
Nazaret melalui Injil-Injil; adalah perlu juga
49

menunjukkan bahwa kabar kristiani berelasi


dengan manusia dan semua problem eksistensial
dan fundamental manusia. Inilah dimensi
antropologis dari kredibilitas.
Yang ketiga berelasi dengan tanda-tanda
revelasi. Problemnya adalah mengidentifikasikan
Yesus sebagai Allah yang ada di antara kita. Yesus
adalah forma humanum, dengannya Allah
menjumpai manusia, Yesus adalah kehadiran Allah
yang menyelamatkan di dunia ini. Kehadiran itu
hanya bisa diverifikasi melalui mediasi manusia
Yesus. Yesus adalah misteri yang patut diperdalam.
Fundamental, karena itu kembali kepada studi
kritis dan sadar tentang tanda-tanda. Tanda-tanda
yang memungkinkan kita untuk mengenal Yesus
tidak datang dari dunia eksterior melainkan
datang dari Yesus sendiri. Yesus adalah misteri.
Karena itu teologi fundamental berkewajiban
untuk mempelajari tanda-tanda revelasi itu secara
kritis dan eksegetis.

1.2.5.3. Alamat tuju


Fundamental ingin menjadi sebuah teologi
dalam dialog, tidak hanya dengan para beriman
kristiani tetapi juga dengan semua agama:
Hindusime, Buddhisme, Islamisme, Judaisme
bahkan dengan ateisme. Ketika kita berdialog
orang-orang yang tak beriman, sebenarnya kita
berdialog juga dengan diri kita sendiri. Dengan
latar belakang seperti ini, refleksi yang didasarkan
pada basis intelektual demi sebuah putusan iman
50

bukanlah sebuah permainan razional melainkan


sebuah keharusan vital.

1.2.6. Metode-metode apologetika


Para apologetik memakai beragam argumen
dan metode sesuai dengan macam-macam
serangan terhadap para musuh yang mereka
hadapi.21

1.2.6.1. Metode apologetika para Bapa Gereja


Pada abad II, st. Justinus, Minucius Felix,
Tertualianus, menolak ide-ide kaum kafir yang
sesat/tak masuk akal; kebenaran, keistimewaan
dan superioritas, ramalan dan pemenuhan ramalan
para nabi di dalam Kristus didemonstrasikan.
Pada abad III di sekolah Alexandria, Klemens
melihat filsafat sebagai sebuah direktif kepada
Kristus. Sementara itu Origines berusaha melawan
Celsus.
Pada abad IV Lactantius dan Agustinus
menemukan jalan-jalan Divine Porvidence dalam
karya De Civitate Dei.

1.2.6.2. Metode apologetika Skolastika


Dalam pertentangan dengan Averroes, st.
Thomas Aquinas menjelaskan dan membuktikan
secara detail dan komplit kebenaran-kebenaran
filosofis dan teologis kepada Averroes. Dalam
21
AD. TANQUEREY, A Manual of Dogmatic Theology, 6-9. Nama dan karya teolog
yang disebutkan dalam bagian metodologi apologetik ini bisa dicari dan ditemukan di dalam
Dizionario dei Teologi yang diedit oleh Luciano Pacomio dan Giuseppe Occhipinti. Kamus ini
memuat 2000 nama teolog Katolik, Ortodoks dan Protestan beserta tulisan dan isi ringkasan
tulisan mereka.
51

Summa Theologiae Aquinas mendemonstrasikan


dengan distinksi yang jelas harmoni antara dogma
dan akal budi.

1.2.6.3. Dari reformasi hingga abad XIX


Jacques-Beé nigne Bossuet dalam Discours sur
l’Histoire universelle menunjukkan intervensi Allah
sejak semula, kemajuan dan kelanjutan serta
perluasan kristianitas.
Pierre-Daniel Huet dalam Demostratione
Evangelica mendemonstrasikan kebenaran agama
kristen melalui sebuah demonstrasi yang mirip
dengan demonstrasi more geometrico teristimewa
menunjukkan relasi antara kebenaran agama
kristen dengan realitas historis.
Blaise Paschal dalam bukunya yang tak selesai,
Les Pensées, menun-jukkan bahwa agama pada saat
yang sama menampilkan sebuah nobilitas dan
hostilitas bagi manusia. Paschal tidak mengabaikan
argument-argument eksternal dari revelasi ilahi
yakni ramalan-ramalan dan mukjizat-mukjizat.
Walau demikian Pascal cendrung kepada
pesimisme dan fideisme.

1.2.6.4. Metode yang digunakan dalam abad XIX


François-Reneé Chaâ teaubriand
mempresentasikan dalam nada puitis divinitas
agama kristen dalam Le Géne du Christianisme:
Félicité de Lamennais me-nyerang indiferentisme
yang termuat di dalam Essai sur l’Indifférence
namun dengan berbuat demikian, ia cendrung
52

untuk menekan peran akal budi. Ia juga


menunjukkan bahwa kristianisme karena dimensi
misterisnya, merupakan agama paling tinggi dan
mulia bagi umat manusia.
Denis Frayssinous, dalam Conférences dan
August Nicolas dalam Etudes philosophiques sur le
Christianisme membuktikan kebenaran agama
kristen dengan kristeria internal dan eksternal;
Balmeè s dalam Le Protestantisme comparé au
Catholicisme dans ses rapports avec la civilisation
auropéenne menunjukkan bahwa Katolisisme, di
bawah konsiderasi sosial, adalah lebih superior
daripada Protestantisme.
Jean-Baptiste Lacordaire penuh ketelitian
menjelaskan otoritas dan kuasa doktrinal Gereja,
Founder Gereja, Kristus dan menunjukkan
divinitas Kristus berdasarkan kesaksian Kristus
sendiri. Dalam penjelasannya tentang dogma lain,
ia menunjukkan bahwa semuanya berjalan sesuai
dengan akal budi sehat.
Dalam karyanya Histoire de la Civilisation au V sicle,
Antoine-Freé deé ric Ozanam menunjukkan misi
mengagumkan yang dihadirkan oleh Gereja Katolik
dalam dalam seluruh proses civilisasi khususnya
dalam bidang intelektual dan moral. Karya
monumental lain sehubungan dengan pentingnya
misi Gereja Katolik bisa dibaca dalam
Démonstration de la religion catholique par
l’antiquité des croyances historiques, religueses et
morals.
53

1.2.6.5. Metode partikular abad XX


Di abad XX masih juga ada penulis apologetik
yang menggunakan metode tradisional seperti Guy
de Broglie: sambil memakai kriteria internal dan
eksternal, ia menambahkan argument
transendensi. Dari argumen ini ia mau
menampakkan bahwa kekristenan itu melebihi
agama-agama lain dalam hal doktrin, kekudusan
Pendiri dan ada mukjizat dalam jumlah banyak.
Kita patut mengakui divinitas kristianisme.
Penulis modern lain menggunakan metode-
metode baru yang lebih efektif seperti: Leé on Olleé -
Laprune yang menunjukkan bahwa kristianitas itu
penting disposisinya bagi kehidupan intelektual
dan moral; dan lagi hanya dengan sincerity and
goodwill kita bisa mengerti kepastian agama
kristen. Kesempurnaan dan kepenuhan hidup tak
bisa digapai tanpa agama kristen. Agama kristen
bisa memenuhi semua kerinduan natural kita.
Iman kristiani itu reasonable karena menyadarkan
dan meyakinkan manusia akan
ketidakmampuannya untuk menemukan norma-
norma moral tertinggi. Di sini akal budi
deduksikan lebih kepada kapabilitasnya daripada
kebenarannya karena akal budi manusia bisa
melahirkan alasan-alasan kuat bagi kredibilitas.
Ada juga apologet modern yang memakai
metode imanence seperti: M. Blendel. Ia
mengatakan bahwa agama tidak bisa diletakkan ke
atas pundak manusia dari ketanpaan. Tingkahlaku
manusia tidak mencapai kesempurnaannya tanpa
koperasi dengan Infinite Being. Semenjak kita tak
54

dapat mencapai Infinite Being dengan kekuatan


sendiri manusia membutuhkan koperasiNya.
Karena itu manusia memerlukan revelasi melalui
mana Allah menyatakan diriNya sendiri kepada
manusia. Apabila manusia sudah menerima
penegasan ini maka revelasi secara historis telah
dinyatakan.
Menurut Paus Pius X, sebuah metode tanpa
argumen historis adalah tidak cukup untuk
membuktikan fakta Revelasi. Metode tanpa
argumen historis hanya akan menunjukkan sebuah
necisitas moral dari revelasi dan bukan necesitas
ontologis/absolut revelasi.

1.3. Masalah razionalisme


Periode historis yang membentuk konteks
langsung teologi fundamental aktual, secara
praktis diidentikkann dengan teologi skolastik
yang dikenal juga dengan teologi manualistik. 22
Ens Leo XIII (4.8.1879), Aeterni Patris23 bisa
membantu kita untuk mengenal apologi dalam
teologi manualistik. Konteks historis dari enseklik
adalah kutukan terhadap razionalisme dan
fideisme sebagaimana tertuang dalam dokumen
Vatikan I: Dei Filius. „Jika kita memperhatikan
kebrutalan zaman kini, terbaca dalam ensiklik, dan
jika dinilai secara global status dari segala sesuatu,
baik publik maupun privat bukan tanpa derita
22
H. M. SCHIMIDINGER, Scholastik und Neuscholastik. Geschichte zweier Begriffe, in
E. CORETH (ed.), Christliche Philosophie im XIX und XX Jahrhundert, II, Freiburg 1988, 22-53;
J. WICKS, Teologia manualistica, in R. LATOURELLE – R. FISICHELLA, Dizionario di
teologia fundamentale, Assisi 1990, 1265-1269 (selanjutnya DTF).
23
Informasi tentang sejarah ensiklik ini bisa dibaca dalam R. AUBERT, Die Enzyklika
‘Aeterni Patris’ und die weiteren päpstlichen Stellungnahmen zur christlichen Philosophie, in E.
CORETH (ed.), Christliche Philosophie im XIX und XX Jahrhundert, I, Freiburg 1987, 310-332.
55

ditemukan sebab dari semua keburukan yang ada


di dekat kita dan menghancurkan kita; kejahatan-
kejahatan itu ada di dalam fakta bahwa opini-opini
yang salah terhadap realitas ilahi dan manusiawi
dimasukkan ke dalam sekolah-sekolah filosofis dan
daripadanya keluar ke seluruh strata sosial dan
opini-opini keliru itu tiba dan diterima oleh
sejumlah besar orang.“24
Komponen supranatural iman dan misteri-
misteri iman, secara konstant dirusakkan oleh
razio. Relasi antara iman dan akal yang
menemukan sintesi organisnya dalam periode
medioeval, sekali lagi menjadi problem sentral
teologi.
Menjawabi problem ini Paus berpaling kepada
pikiran Thomas Aquinas. „Dalam moment yang
sama Thomas membedakan secara sempurna iman
dari akal dan selanjutnya ia menyatukan keduanya
dengan relasi persahabatan timbal balik: ia
menghormati hak-hak yang ada di dalam iman dan
akal dan memelihara martabat dari keduanya
sampai titik di mana akal mencapai puncak
kejayaannya yang intelegensi manusiawi tak
sanggup memikirkannya; dan iman dengan susah
payah boleh berharap untuk menerima bantuan
dari akal budi yang sangat banyak jumlahnya dan
sangat berpengaruh, buah permenungan dari
Thomas.“25
Filsafat, karena itu direlasikan kepada
iman/teologi melalui tiga (3) tahap istimewa yang
menyentuh moment konstitutif aktus iman.
24
LEO XIII, Aeterni Patris, in AAS 12 (1879), 98.
25
LEO XIII, Aeterni Patris, in AAS 12 (1879), 109.
56

1) Filsafat mempersiapkan pikiran untuk


menerima dan merangkul revelasi. Ini menyangkut
pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran.
Dari sini lahir praeambula fidei yakni segala
kesadaran atau pengertian menyangkut kebenaran
universal yang bisa dicapai oleh akal budi seperti
immortalitas jiwa, eksistensi Allah dan kredibilitas
doktrin iman katolik.
2) Filsafat memiliki tugas lanjutan: terutama
menampilkan sebuah lucidior intellegentia dalam
usaha memahami misteri-misteri yang
direvelasikan dan membela iman dari kepalsuan
yang berasal dari filosofi-filosofi yang ingin
menghancurkan iman.
3) Dalam relasinya dengan teologi, filsafat
memainkan sebuah peran konstitutif: filsafat harus
menjamin status epistemologis teologi artinya
„pemakaian filsafat dituntut agar supaya teologi
memiliki natura, forma dan karakteristik dari
sebuah ilmu sejati.“26
Paus Leo XIII melihat filsafat sebagai ilmu
yang bisa menata hal lain dan dalam referensi
kepada teologi, filsafat melakonkan suatu peran
apologetis pasti bagi apa yang direvelasikan.
Teologi yang lahir dari impostasi ini menunjukkan
kekuatan intrinsik dari pikiran Th. Aquinas yang
mempresentasikan instansi akhir dari pikiran
spekulatif. Akibatnya teologi dikarekterkan secara
mendasar oleh relasinya dengan auctoritates yang
menemukan kanosisasi mereka dalam De locis
theologicis.
26
LEO XIII, Aeterni Patris, in AAS 12 (1879), 101.
57

Sumber hakiki teologi adalah Kitab Suci, Tradisi


dan Magisterium. Tapi karena ketiadaan asumsi
metodologis atau hermeneutika dalam lingkungan
Kitab Suci dan Tradisi maka teologi manualistik
memusatkan interesnya secara komplet kepada
Magisterium.
Dalam teologi ini, Kitab Suci dan Tradisi secara
kronologis menempati urutan pertama, tetapi
terbatas geraknya yakni hanya pada kenyataan
probatif yg diungkapkan dalam suatu kutipan
panjang dan cermat dari data-data dan teks-teks.
Sentrum sesungguhnya dari teologi manualistik
adalah pemujaan atau pengagungan teologi
Magisterium bukannya menjadikan teologi
magisterum sebagai garansi bagi produksi teologi
dalam kuasa carisma infallibilitas.
Sejak konsep Th. Aquinas diangkat sebagai instansi
tertinggi bagi akal, yang bisa dipakai sebagai
bantuan agar kita bisa tiba pada puncak refleksi,
adalah jelas bahwa sebuah teologi yang disinggung
pada pemahaman awal ini tak bisa lagi mengambil
bagi dirinya sendiri karakteristik historisitas yang
mewajibkan selain daripada membuka mata untuk
melihat refleksi dan pemahaman yang semakin
maju tentang misteri. Di sini Magisterium Gereja
dilihat sebagai referensi pasti dan aman dalam
mengajarkan iman dan moral. Teologia, lalu
menjadi kumpulan teks-teks Magisterium, dan
Denzinger menjadi model normatif bagi teologi
pada periode ini.
Meniadakan hermeneutika pada Kitab Suci dan
teologi manualistik, menghapuskan otoritas
58

sejarah dalam dinamisme intrinsiknya maka akan


berkurang kemungkinan untuk ‘kritik’ lantas
teologi manualistik itu sendiri menjadi ‘kritik’ bagi
ekspresi spekulatif lain dalam kuasa tuntutan
ganda tentang normativitas teologi Magisterium
dan dari insuperabilitas pikiran Aquinas.

1.4. EVALUASI/PENILAIAN
Mahasiswa/i diminta mempelajari materi
perkuliahan lalu membuat sebuah rangkuman
singkat namun lengkgap atas seluruh pokok
bahasan.
1. Rangkuman: buatlah suatu rangkuman singkat
atas 2 point besar pelajaran yang sudah diperoleh.
Perhatikanlah secara saksama point mana yang
anda kuasai secara baik dan point mana yang
belum anda kuasai. Pelajari sekali lagi dan coba
buat rangkuman lagi, disertai catatan kritis atas
bahan yang telah dipelajari dengan
mengemukakan pandangan lain dari referensi lain.
2. Latihan: sebagai latihan dan evaluasi atas daya
serap anda terhadap bahan, maka setiap
pertemuan anda diminta untuk menjawab 3
pertanyaan dari beberapa pertanyaan yang telah
disediakan ini dengan rumusan penilaian:
jumlah jawaban yang benar x 100%
3
1. Uraikanlah apa yang anda ketahui tentang
nama dan asosiasi nama teologi fundamental
sebelum resmi menjadi teologi fundamental?
59

2. Uraikanlah pikiran Piere Annat tentang


teologi posetif dan teologi fundamental?
3. Jelaskanlah secara singkat dan tepat pikiran
dari Abbe Hautteville, Luke-Yoseph Hooke dan
Petrus Maria Gazzaniga yang sangat
mempengaruhi perkembangan teologi
fundamental.
4. Jelaskan relasi antara filsafat dan teologi.
5. Jelaskanlah apa yang dimaksudkan dengan
demostratio? Ada berapa macam demostratio? Dan
jelaskanlah masing-masingnya.
6. Sebutkanlah dan jelaskanlah secara tepat
kritikan-kritikan yang ditujukan kepada
demostratio.

Bila tingkat penguasaan anda mencapai 80% ke


atas anda dapat meneruskan dengan kegiatan
belajar 2. Tetapi bila tingkat penguasaan anda
masih di bawah 80% maka anda harus mengulang
kegiatan belajar 1 terutama bagian yang belum
anda kuasai.

6. ACUAN
1. A. DULLES, A Histroy of Apologetics, London
1971.
2. F. S. FIORENZA: Foundational Theology,
Crossroad Publ. Comp, New York 1992.
3. R. LATOURELLE – R. FISICHELLA (eds),
Dictionary of Funda-mental Theology, Crossroad
Publ. Comp. New York 1994.
60

MODUL 2
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA
KUPANG
FAKULTAS FILSAFAT AGAMA
PROGRAM STUDI STRATA 1 (SATU) FILSAFAT
AGAMA KATOLIK
MATA KULIAH: TEOLOGI FUNDAMENTAL
KODE MATA KULIAH: 001
BEBAN MATA KULIAH: 2SKS
SEMESTER: II, TAHUN AJARAN 2006/2007
DOSEN: RM. DR. OKTOVIANUS NAIF, PR
KODE DOSEN: 634

EKSISTENSI TEOLOGI FUNDAMENTAL


DI ZAMAN MODERN INI

1. Pengantar
Dari apologetika menuju ke teologi fundamental.
Teologi fundamental, tahap demi tahap berjalan
menuju eksistensinya. Teologi Fundamental mulai
eksist dan mencapai klimaksnya dalam promulgasi
Dei Verbum. Teologi Fundamental sebagai
‘pendatang baru’ coba mendalami hakekatnya, apa
perannya dan tugasnya, berdialog dengan partner-
partner baru yang ada di seputarnya demi
perwujudan perannya secara tepat sasar dan
61

benar. Semua ini menemukan sebuah ekspresi


konkrit dalam adopsi defenitif nama “teologi
fundamental” yang mana memaknai image dan
identitasnya yang baru.

2. Standar Kompetisi/TIU
Dengan mempelajari Modul 2 ini para
mahasiswa/i diharapkan memiliki pengetahuan
yang komprehensif tentang Teologi Fundamental
dan peranan Teologi Fundamental di zaman
modern ini.

3. Indikator/TIK
Kemampuan khusus yang diharapkan lahir
dari para mahasiswa/i dari pembelajaran Modul 2
ini ialah:
1. Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan
secara tepat identitas Teologi Fundamental
2. Agar mahasiswa/i dapat menyebutkan dan
menjelaskan peran Teologi Fundamental di zaman
modern ini yang bercorak sekular- ateistik,
dikotomis, indiferentis.
3. Agar mahasiswa/i dapat menyebutkan dan
menjelaskan karakter Teologi Fundamental yang
terbuka untuk menerima bantuan dari ilmu-ilmu
lain.
4. Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan usaha
pengembalian dan pene-muan kembali natura dan
unitas ajaran iman kristiani yang pernah kabur di
era apologetika.
62

4. Kegiatan/strategi pembelajaran dan pokok


bahasan
Pokok pembelajaran yang akan disajikan di
sini terfokus pada soal iden-titas Teologi
Fundamental, peran Teologi Fundamental, karakter
reseptif Teologi Fundamental dan penemuan
kembali dan penempatan kembali natura ajaran
kristiani pada posisinya yang benar.
Bahan pembelajaran ini berorientasi pada
keaktifan mahasiswa melalui studi pribadi, studi
kelompok dan input dari dosen.
Selesai proses pembelajaran ini mahasiswa/i
diharapkan mampu membuat ringkasan
komprehensif mengenai bahan pembelajaran yang
telah digeluti. Bila ringkasan itu memuat 70-80%
bahan pembelajaran dan mahasiswa/i mampu
menyelesaikan 3 soal maka mahasiswa/i dianggap
menguasai materi yangdiajar-kan dan bisa lanjut
ke pokok pembelajaran berikut.
Pokok Bahasan 2
EKSISTENSI TEOLOGI FUNDAMENTAL
DI ZAMAN MODERN INI

Teologi Fundamental mempelajari secara saksama


misteri revelasi. Teologi Fundamental memotivasi
orang untuk beriman – menjawab secara bebas
panggilan Allah (revelasi); memotivasi manusia
untuk ada bagi yang lain dan menjembatani
refleksi teoritis teologi dan karya pastoral di
lapangan kehidupan.
63

2.1. Mengembalikan keutuhan ajaran iman


kristiani
Pengakuan akan eksistensi teologia
fundamental bermula dari Kons Vatikan II.
Konstitusi Dei Verbum merupakan ‘magna charta’
bagi pembaharuan dan merupakan motor
penggerak bagi suatu evolusi teologis yang
berkembang hingga dewasa ini. Dengan Konsili
Vatikan II, teologi menemukan kembali naturanya
atau unitas ajaran kristiani: Yesus Kristus, Sabda
Allah, tujuan revelasi dan peran Gereja Kristus di
dunia ini.

2.1.1. Menemukan kembali pribadi Yesus


Kristus
Periode Tridentin sampai dgn Vatikan II
ditandai oleh kuatnya evolusi eklesiosentris.
Dokumen Pastor Aeternus dari Konsili Vatikan I
yang mempro-klamasikan secara dogmatis
infalibilitas Paus memahkotai movement
eklesiologis ini. Ensiklik Mystici Corporis dari Pius
XII dengan segala unsur barunya untuk masa itu
menempatkan Gereja sebagai centrum dari refleksi
teologis.27
Mengatakan bahwa Vatikan II menemukan
kembali Yesus Kristus berarti menyadari dan
menegaskan globalitas pribadi Yesus Kristus yang
ada dalam identitasnya sebagai Revelator Bapa,
Revelasi defenitif dan Revelasi itu sendiri.

27
Y. CONGAR, L’ecclésiologie de S. Augustin à l’époque moderne, Paris 1970, 413-458;
A. ANTON, El misterio de la Iglesia, Madrid 1987, 406-423.
64

Mari kita coba mendalami sepintas Dei


Verbum 4: Kristus kepenuhan wahyu. Pada draft
pertama dikatakan: Yesus Kristus “membuktikan
keilahianNya tidak saja dengan kata-kata, tetapi
menegaskan ilahiNya dengan kekudusanNya,
mukjizat-mukjizat, kenabian, dan terutama dengan
kebangkitan muliaNya dari antara orang mati.”
Langkah yang sama direformulasikan dalam draft
defenitif: “Karena itu Yesus Kristus, dengan fakta
kehadiran diriNya sendiri dan dengan manifestasi
diriNya sendiri, dengan kata-kata dan dengan
karya-karya, dengan tanda-tanda dan dengan
mukjizat-mukjizat dan terutama dengan wafat dan
kebangkitanNya; dan akhirnya dengan perutusan
Roh kebenaran, menyelesaikan dan
menyempurnakan revelasi dan meneguhkan
kesaksian ilahi.” Judul awal nomer ini berbunyi:
“Revelatio in Christo ultima et completa” dan
redaksi final memberi judul: “De Christo
revelationis consumatore”. Perubahan judul ini
menunjukkan perubahan makna teologis: revelasi
bukan saja ada dalam Kristus tetapi bahwa Kristus
adalah Pewahyu sempurna itu sendiri.
Yesus Kristus dalam Dei Verbum bukanlah
Yesus Kristus yang dalam eksistensinya
difragmentasikan dalam momen berbeda-beda
seakan-akan terpisah dari kehidupan trinitaris
melainkan Yesus Kristus yang dalam eksistensi
historis-nya sadar tentang adaNya sebagai utusan
Bapa. Di sini Yesus Kristus memperca-yakan diri
secara bebas dalam ketaatan kepada BapaNya
sebagai forma dari eksistensiNya sendiri.28
28
H. U. VON
65

2.1.2. Menemukan kembali Kitab Suci


Kata st Hironimus: ‘ignoran pada Kitab Suci
adalah juga ignoran terhadap Kristus.’ Konsili
Vatikan II menemukan kembali peran Kitab Suci
sebagai ‘jiwa’ bagi refleksi intelektual tentang
misteri revelasi (DV 24). Refleksi teologis tak saja
didasarkan pada philosophia perennis tapi
pencarian itu harus didasarkan pada dan bertolak
dari intellegensi Sabda Allah dan daripadanya
diperoleh data bagi Tradisi dan pikiran umat
beriman.
“Penemuan kembali” unitas ajaran kristiani
oleh Vatikan II, menunjukkan adanya tapak-tapak
baru melalui mana kita berjalan hingga tiba pada
suatu identitas baru dari teologi fundamental yang
berkaitan dengan tugas-tugasnya.
Dokumen la formazione teologica dei futuri
sacerdoti- formasi teologis bagi para calon imam
(22 feb 1976) yang dikeluarkan oleh Kongregasi
Pendidikan Katolik menandai secara resmi
masuknya ‘teologi fundamental’ ke dalam
dokumen-dokumen Magisterium. Untuk pertama
kalinya teologi fundamental mendapatkan
statusnya, isi utamanya, pekuliaritasnya dan
finalitasnya dalam seluruh organigram disiplin
teologis. Secara langsung dikatakan bahwa teologi
fundamental memiliki sebagai ‘propriumnya’ studi
tentang event revelasi dan transmisinya ke dalam
Gereja. Karena itu teologi fundamental
diperkenalkan sebagai disiplin dasar yang
BALTHASAR, Teodrammatica III, L’uomo in Cristo, Milano 1983, 141-242; ID, Teodrammatica
IV, L’azione, Milano 1986, 303-392; ID, Teodrammatica V, L’ultimo atto, Milano 1986, 211-316.
66

menghantar kepada disiplin teologis lain. 29 Teologi


fundamental memiliki dua fungsi: dalam
lingkungan eklesial ia berfungsi mena-rik orang
kepada pengakuan iman ; dan sebaliknya dalam
horison yang lebih luas, teologi fundamental
dipandang sebagai ‘locus dialogicus’ dengan
agama-agama lain dan dengan forma yang
berbeda-beda dari ateisme spekulatif dan praktis.
Dokumen ini memperkenalkan draft pertama
Teologi Fundamental; yang tahap demi tahap
disempurnakan supaya cocok dengan isinya.
Adalah perlu dicatat bahwa dokumen ini lahir 10
tahun kemudian dari Dei Verbum dan dari
Optatam totius yang memang berbeda judul tetapi
berkaitan dengan disiplin kita.
Sebelum Vatikan II Teologi Skolastik
mengidentikkan tout court Teologi Fundamental
dengan apologetika beserta metode defensifnya.
Tujuan pastoral yang digelar Yohanes XXIII dalam
konsili sungguh bertentangan dengan spirit teologi
manualistik. Kategori dialog Gereja-dunia, Gereja-
ilmu pengetahuan mendapatkan tempatnya dalam
dokumen-dokumen resmi magisterium, hasil dari
suatu mentalitas baru yang semakin
mempengaruhi bapa-bapa konisli.
Elemen-elemen ini memperlihatkan pada kita
bahwa Vatikan II biarpun telah dengan segala daya
uapaya menempatkan kembali sentralitas revelasi
bagi teologi, tapi ia tak dapat menunjukkan secara
29
Teologi fundamental dipelajari sebagai disiplin introduktif kepada dogma dan bahkan
sebagai persiapan, refleksi dan pengembangan aktus iman, dalam konteks tuntutan akal budi dan
sebagai refleksi atas relasi antar iman, kultur-kultur dan agama-agama besar. Ini membantu kita
untuk berpikir tentang Fundamental karena menjadi dasar dan ‘pendahuluan’ bagi teologi atau
misteri Kristus.
67

eksplisit maksud-maksudnya kepada Teologi


Fundamental tanpa salah pengertian. Kelalaian
justru terdapat di dalam dilema itu, yang boleh jadi
menyatukan berbagai jenis teologi yakni
memahami pentingnya tema-tema utama dari
apologetika tapi tak bisa menunjuk secara
langsung tentang apologi itu sendiri.
Beberapa contoh kiranya bisa
menggambarkan secara jelas situasi ini. Dokumen
tentang liturgi, Sacrosantum concilium 9 secara
ekplisit menegaskan: «Liturgi kudus tidak
mencakup seluruh kegiatan Gereja karena sebelum
manusia dapat menghampiri Liturgi, perlulah
mereka dipanggil kepada iman dan tobat.» Adalah
jelas di sini bahwa kesadaran akan iman dan tugas
evangelisasi harus menjadi elemen-elemen dasar
di atasnya bisa dibangun suatu aksi otentik liturgis.
Dan SC 16 mengatakan «dosen-dosen disiplin
ilmiah lain terutama dosen teologi dogmatik, Kitab
Suci, teologi spiritual dan pastoral harus mengulas
misteri Kristus dan sejarah keselamatan.»
Contoh lain diambil dari dekrit Optatam totius
tentang formasi bagi para imam. Imam harus
dididik supaya tahu mewartakan secara sadar
‘Sabda Allah yg direvelasikan (OT 4); dan bahwa
para seminarist harus «belajar mengakarkan diri di
dalam iman» (OT 8) dan bahwa sedini mungkin
dalam studi, mereka bisa memhami iman sebagai
«fundamen dan jiwa dari seluruh hidup mereka
(OT 14). Biarpun Kons Vat II menyebutkan secara
eksplisit dalam OT 16 tentang berbagai disiplin
ilmu teologis spt studi Kitab Suci, teologi dogmatik,
68

patrologi, Sejarah Gereja, teologi moral, Hukum


Kanonik, Liturgi, namun Konsili tak berhasil
memasukkan baik teologi fundamental maupun
apologetika. Maksudnya «supaya para smeinaris
menimba ajaran katolik dari wahyu ilahi dengan
cermat, menja-jaginya secara mendalam,
menjadikannya santapan kehidupan rohaniahnya
dan mampu mewartakan, menjelaskan dan
melindunginya dalam pelayanan imam.»

2.1.3. Menemukan kembali tujuan dari revelasi


Untuk waktu yang lama teologi fundamental
melupakan tujuan revelasi. Dalam kelupaan itu
teologi fundamental hanya berfungsi menunjukkan
kesalahan dan menyerang orang lain. 30 Oleh
Vatikan II teologi menemukan kembali tujuan
revelasi. Subjek yang dituju rivelasi dan objek ultim
rivelasi adalah keselamatan manusia. Hal ini
diungkapkan secara sempurna dalam DV 1 bahwa
rivelasi dimaksudkan ‘supaya semua manusia bisa
datang kepada Bapa dan berpartisipasi dalam
natura ilahinya.’ Ketaatan iman adalah jawab tepat
kepada rivelasi Allah.

2.1.4. Menemukan kembali Gereja ‘pelayan’


Sabda
Dalam horizon ini Gereja tidak lagi dilihat
sebagai sentrum melainkan sebagai mediasi dari
Revelasi. Hidup sebuah komunitas terikat erat
dengan hidup Guru yang secara setia mewartakan
30
R. FISICHELLA, Teologia fondamentale: destinatario, dalam Dizionario di Teologia
Foondamentale, Assisi 1990, 1258-1263.
69

keselamatan. Dalam terang visi ini Gereja


dipandang ‘sebagai tanda dan sarana kesatuan
intim dengan Allah dan kesatuan di antara umat
manusia’ (LG 1). Kristus ‘Lumen Gentium’
memancarkan cahayaNya kepada Gereja supaya
Gereja mewartakan Sabda ke seluruh dunia.
Gereja sebagai ‘tubuh mistik’ memberikan
spasi luas kepada ide yang lebih ekspresif yakni
‘misteri’ dan ‘umat Allah’. Gereja itu ‘suatu realitas
kompleks.’Gereja sebagai ‘realitas kompleks’
meminta pertobatan terus menerus. Gereja itu
‘kudus tetapi selalu butuh purifikasi” (LG 8), Gereja
juga butuh bantuan dari manusia dewasa ini
supaya ia mampu menunaikan tugas pewartaannya
(GS 44) kepada dunia modern secara lebih tepat
sasar. Salah satu tugasnya ialah menunaikan
dengan gembira dialog dengan agama-agama lain
dan tak menolak apa yang benar dalam agama-
agama lain (NA 2) dan berusaha mewujudkan
kesatuan dan karitas (NA 1).

2.2. Menjawab masalah-masalah eksistensial


zaman modern
Ide tentang revelasi sebagai satu kebenaran yang
dikomunikasikan Allah kepada manusia beriman
masih diterima oleh banyak orang kristen tetapi
juga tak kurang pertanyaan menyangkut revelasi

2.2.1. Masalah-masalah modern


70

Ada cukup banyak pertanyaan terhadap


keabsahan revelasi. Philosophical agnosticism,
lingusitic analysis, modern epistemology, empirical
psychology, biblical criticism, the history of christian
doctrine and comparative religion31- semua bidang
kritis ini mempertanyakan dan meragukan
validnya revelasi itu.

2.2.1.1. Modernitas
Tak begitu mudah mendefenisikan konsep
“modernitas”. Dari satu sisi, konsepa ‘modernitas’
menunjukkan suatu event historis yang dimulai
dengan penemuan benua Amerika oleh Kristoforus
Columbus (1492) dan diikuti penemuan-
penemuan besar oleh Galileo dan Newton dan
berpuncak pada revolusi Perancis 1789. Dari pihak
lain, modernitas itu adalah juga suatu forma
pikiran, sebuah kultur yang menjadi jiwa dari
berbagai situasi hidup sosial dan personal yang
saling bertabrakan dalam aliran humanisme,
renaisanse dan yang menemui titik mulia dalam
filsafat Descartes, Kant, Hegel dan illuminisme
pada umumnya yang bermuara pada visi Nietzche.
Semua dimensi ini tak saja menyentuh dimensi
sosial dan kultural tetapi juga mempengaruhi
horison teologi.
Sejak abad XIX, kemajuan dunia teknik sangat
mengagumkan. Kemajuan teknologis ini menjadi
kriteria bagi modernitas. Modernitas lahir sebagai
suatu model berpikir, suatu gaya hidup dan suatu
mentalitas yang memiliki pekuliaritas tersendiri:
31
A. DULLES, Models of Revelation, Gill and Macmillan, New York 1983, 6-8.
71

hegemoni dari effesiensi yang mana melemahkan


unsur kualitas, supremasi struktur atas isi dan
image atas pikiran, promosi razionalitas dan
aktivisme untuk mengenyahkan refleksi dan
meditasi, valorisasi dari konsensus publik sebagai
kriteria bagi kebenaran tuntutan dari suatu
kebenaran obyektif.32
Modernitas, bisa dimaksudkan sebagai
lanjutan dan kemajuan yang dicapai karena suatu
kesadaran kritis yang dicapai oleh jiwa manusia
dalam usaha membebaskan diri dari perhambaan
masa lalu dan membukakan diri bagi penemuan
baru dan kebenaran razional yang dibangun oleh
jiwa. Dalam konteks ini bisa dipahami bahwa jalan
semakin terbuka bagi “ketidakber-gunaan hipotesi
Allah” yang dimulai oleh Feuerbach dan diakhiri
oleh Marx. Manusia, menjadi sentrum dari seluruh
refleksi kosmos. Satu-satunya ukuran yg terang
benderang dalam setiap refleksi adalah cogito. “Io”
yang ragu, bahkan meragukan realitas naturalnya
adalah “io” yang bebas dan karena itu ia sendiri
adalah suatu “io” personal; sebuah subyek yang
ada dalam dirinya sendiri, karena pikirannya dan
bukan karena realitas naturalnya. Jika Descartes
memulai sebuah proses yang memisahkan filsafat
dari teologi, Kant malah memisahkan filsafat dari
science. Jika yang pertama menyangkal bahwa
teologi bisa menjadi sebuah science, yang kedua
menambahkan bahwa science tak bisa menjadi
metafisika. Dengan Hegel pikiran filosofis
mencapai klimaksnya. Terbangun di atas suatu
perkembangan otonom, pikiran dan sejarahnya
32
N. PROVANCHER, Modernità, dalam DTF, 814-815.
72

sendiri, pengetahuan razional menjadi iklusif bagi


semua; sentralitas warta kristiani dan
perkembangan historis-nya, diserap oleh pikiran
total yang menyatukan semua dalam sebuah
sintesis superior.
Parabol modernitas mencapai puncaknya
dalam diri Nietzsche. Ide utamanya adalah
“kebenaran obyektif” baik sebagai forma pikiran
maupun sebagai forma aksi. Ide Nietzsche
merupakan klimaks dari sebuah antimetafisik:
“mencari kebenaran demi kebenaran adalah
superfisial! dan lagi: “sebahagian besar dari event-
event yang lebih aktual seperti “Allah mati” dan tak
perlu perca-ya lagi pada iman kristiani, sudah
mulai merasuki pikiran orang Eropa.
Menurut Heidegger, modernitas lahir dari
kapasitasnya untuk Entscheidung, aktus dari
putusan subyektif yang meninggalkan suatu image
bagi dunia. Aktus kebebasan yang manusia hayati
yakni “keterlepasan dari obligatorietas kebenaran
revelasi kristiani dan dari doktrin Gereja, menurut
visi dari suatu legis-lasi otonom dan
autosufisien.”33 Dibebaskan dari “kepastian akan
keselamatan yang didasarkan pada revelasi” dunia
menghidupi “forma kebebasan demi suatu
kepastian dalam mana manusia percaya akan
intensi benar sbg suatu kepastian dari
pengetahuannya.”34
Selanjutnya kita bicara tentang post-modernita.
Dunia antik dikarakterkan oleh sebuah “otolimitasi
33
M. HEIDEGGER, L’epoca dell’immagine del mondo, in Sentieri interrotti, Firenze
1968, 94.
34
M. HEIDEGGER, L’epoca dell’immagine del mondo, 97.
73

yang meniadakan infinitas dan kaotik”, civiltas


medio-eval ditandai oleh prioritas dari elemen
ilahi sebagi normatif bagi ordo kosmik, modernitas
ditandai oleh imposibilitas untuk menentukan
“tempat bagi eksistensi manusia.” Kultur baru
melalui manusia mencoba untuk
mengkonstrusikan eksis-tensi sebagai
karyanya...yang tak membutuhkan fondamen lain
di luar dirinya dan tidak mentolerir adanya norma
lain yang mengatasi dirinya sendiri.35

2.2.1.2. Keraguan terhadap validitas revelasi


*Philosophical agnosticism. Agnostisisme filosofis
meragukan kapasitas manusia untuk mengenal
esensi dari suatu realitas. Allah memang ada tapi
tak bisa habis dipahami akalbudi. Akibatnya bahwa
semua statemen tentang Allah dan karyaNya
sesunggunya hampa nilai kognitif. Revelasi itu
sendiri dipandang sebagai sebuah mitos atau
metafor yang tak bisa dikatakan secara literer.
*Linguistic analysis. Analisis linguistik
menegaskan lagi apa yang baru saja dikatakan oleh
agnostisisme filosofis. Analisis lingusitik
memfokuskan perhatiannya pada karakter
paradoksal dan simbolik dari Sabda Allah. Para
filsuf analitik mempertanyakan apakah bahasa
tentang yang ilahi memiliki isi kognitif defenitif
seperti yang dikatakan oleh doktrin-doktrin klasik
tentang revelasi.
*Modern epistemology. Penyelidikan terhadap
genesis of knowledge cenderung meremehkan
35
R. GUARDINI, La fine dell’epoca moderna, Brescia 1950, 48-49.
74

distinksi yang tampak jelas antara apa yang


direvelasikan dan pengetahuan yang dicapai. Ide
bahwa intelecctus humanum bisa secara pasif
menerima informasi karena adanya model
transfusi dari divinum intellectus secara luas
ditolak. Sebagai produk dari seorang pemikir,
pengetahuan manusia dalam arti tertentu harus
“digapai” dan harus menjadi subyek untuk kondisi
dan limitasi manusia. Realisasi ini membawa
pertanyaan empatik menentang otoritas ilahi yang
biasanya dikenakan kepada revelasi.
*Empirical psychology. Psikologi empiris
menghancurkan setiap naive confidence di mana
semua visi dan audisi, dapat dipercaya sebagai
yang datang dari atas. Situasi ekstatik terjadi
karena kekuatan hypnotis atau karena opium.
Halusinasi-halusinasi volunter sering kali menjadi
gejala-gejala dari situasi patologis razio manusia.
Beberapa penulis dan pemikir menduga bahwa
revelasi di abad razional ini sesungguhnya adalah
sebuah nothing. Revelasi cuma sebuah ekspresi
dari mentalitas primitif di mana subconscious or
trans-marginal regions dari psike dengan mudah
diaktifkan ketimbang adanya secara normal.
*Biblical criticism. Kritisisme biblis
mengekspose kesulitan memberikan atribut
partikular kepada the divine agency. Menurut para
ekseget modern, nabi-nabi dan para rasul
memformulasikan dan mengekspresikan ide-ide
pribadi dengan bantuan tools konseptual dan
lingusitik yang available dengan tempat dan waktu.
Kata-kata ramalan seperti “God says....” dipakai
75

untuk memperluas kesadaran dan membentuk


sebuah konvensi kesusastraan (messenger form).
Usaha membuktikan revelasi berdasarkan
mukjizat-mukjizat biblis dan ramalan-ramalan
sebenarnya sudah tidak relevan lagi saat ini karena
intervensi-intervensi ilahi seperti itu secara
historis unreliable.
*The history of Christian doctrine. Sejarah
doktrin kristen menunjukkan bahwa banyak opini
di masa lalu adalah sesat. Misalnya
mempertahankan ide biblis bahwa matahari-lah
yang mengelilingi bumi padahal yang benar ialah
bahwa bumi-lah yang berotasi mengelilingi
matahari (teori Copernicus). Dewasa ini Kitab Suci
tak lagi dipakai sebagai sumber bagi informasi
ilmiah dan ilmu penegtahuan kecuali beberapa
pemikir fundamentalis. Ajaran-ajaran resmi Gereja
seperti perkandungan perawan, inkarnasi dan
paskah bisa saja termasuk dalam mitos dan
legenda. Sungguh ini sebuah pertanyaan besar.
*Comparative religion. Comparative religion
menuntut kristianitas untuk merelasikan dirinya
dengan agama-agama lain. Apakah kekristenan
adalah satu-satunya kebenaran? Jika kekristenan
bukanlah satu-satunya kebenaran melainkan salah
satu agama di antara banyak maka terbuka jalan
bagi dialog antar agama bahkan dialog dengan
ideologi sekular.
76

2.2.2. Peran Teologi Fundamental di zaman


modern
Dalam konteks dunia kontemporer dan dlm
hidup Gereja, apakah tersedia ruang intervensi
untuk teologi fundamental? Pertanyaan retoris ini
akan terjawab ketika kita merefleksikan beberapa
situasi partikular yang hidup dalam Gereja.

2.2.2.1. Memotivasi manusia untuk beriman.


Sejak Vatikan II tumbuh dalam jumlah banyak
studi-studi yang ingin menemukan kembali makna
biblis dari konsep tentang iman dan isinya yang
lebih cocok dengan instansi-instansi
kontemporer.36 Hanya saja movement ini tak
didukung oleh motivasi-motivasi handal yang bisa
dipercayai. Motivasi itu berasal dari konfrontasi
langsung org beriman pada Kitab Suci walau tiada
kesanggupan menjelaskan alasan dari ‚kembali ke
belakang’ dan biarpun tiada alasan untuk
memotivasi kepercayaannya sebagai orang kristen.
Tanpa memberikan perhatian kepada ini semua,
orang bisa saja digiring ke arah fideisme yang
selalu menghantui keseimbangan iman.
Sebuah tugas urgen dari teologi fundamental
adalah berusaha untuk menemukan kembali suatu
refleksi teologis yang tahu dan sanggup
memotivasi betapa perlunya beriman sebagai
sebuah jawaban personal kepada revelasi.
Iman, dalam prospektif Dei Verbum adalah
„ketaatan dengannya manusia secara bebas
36
J. ALFARO, Fides in terminologia biblica, in Gregoriana 42 (1961), 463-505; ID,
Fede, in Sacramentum Mundi III, 729-750; J. RATZINGER, Theologische Principienlehre,
München 1982, 15-87.
77

menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah, sambil


mempersembahkan ketaatan akal budi dan
kehendak sepenuhnya kepada Allah Pewahyu“ (DV
5). Intelek dan kehendak sinonim dengan
globalitas individu yang harus dipandang sebagai
anugerah total Allah.
Revelasi adalah komunikasi diri Allah kepada
manusia agar manusia mengambil bagian dalam
kehidupan trinitaris (DV 6). Karena itu adalah
perlu adanya pemahaman pasti terhadap isi dari
percaya. Hanya dengan itu pilihan yang
bermotivasi dan bertujuan menjadi suatu pilihan
yang sungguh bebas.
Fundamental, dalam horison ini, harus
menunjukkan iman terutama sebagai suatu forma
pengetahuan melalui mana kaum beriman masuk
ke dalam relasi dengan obyek revelasi.
Fundamental perlu menjelaskan bahwa
‚memahami iman’ itu suatu ‚memahami’ yang
sesungguhnya bersifat manusiawi, karena bisa
direalisasikan baik dengan ‚kebenaran’ maupun
dengan ‚kebebasan.’ Karena itu dengan aktus
percaya tak terjadi ‚sacrificium intellectus’ atau
menjauhkan diri dari aktus berpikir sebaliknya
menjadi daya dorong bagi suatu forma riil
pengetahuan yang dimiliki dan dihayati oleh
manusia sebagai aktus yang menentukan
eksistensi dan pantas untuk menghantar manusia
kembali kepada sentrum dirinya sendiri.
Tema justifikasi terhadap aktus percaya
adalah hal urgen bila kita perhatikan beberapa
fenomen penggugat iman seperti lahirnya sekte-
78

sekte baru yang sangat digemari oleh generasi


muda dan realitas pluralisme agama-agama.

2.2.2.2. Menampilkan makna terdalam


eksistensi manusia
Provokasi seputar makna dari eksistensi
manusia,37 lahir dari konteks sosio-kultural yg
diwarnai oleh mentalitas indiferen. 38 Eksistensi
manusia dalam terang misteri Kristus pun menjadi
suatu problem aktual yang perlu d Indiferensi
bukanlah suatu dari sekian banyak ungkapan dunia
kontemporer tetapi sebaliknya boleh jadi suatu
ungkapan yang mewarnai gerak-gerik zaman kita
kini. Hal ini simulai dgn hilangnya makna
partisipasi dalam kehidupan sakramental,
dilanjutkan dengan adanya dicotomi dalam
praksis moral dan berkembang hingga pada
memeluk ateisme.
Di hadapan drama ini, karena subjek dipaksa
untuk hanya hidup dalam sikap apatis, maka
adalah perlu dihadirkan tema teologis seputar
makna. Makna adalah apa yang menemani hidup
personal karena, pada akhirnya, dituntut suatu
pemahaman ttg alasan mendasar mengapa harus
hidup dan mengapa harus mati bila masih ada
hidup selanjutnya.
Teologi fundamental bisa menjawab
pertanyaan ini, karena ia memper-sembahkan
37
R. FISICHELLA, Credibilità, in DTF, 220-230; ID, Teologia fondamentale: destina-
tario, in DTF, 1258-1263; R. LATOURELLE, Ricerca e dono di senso, in DTF, 1127-1131; K.
RAHNER, Il problema umano del senso di fronte al mistero assoluto di Dio, in Nuovi Saggi VII
(1981), 133-154; ID, La questione del senso come questione di Dio, in Nuovi Saggi IX (1983),
272-287; ID, Gesù Cristo, senso della vita, in Nuovi Saggi IX )1983), 288-303; G. RUGGIERI,
Sapienza e storia, Milano 1971, 14-40; ID, la compagnia della feda, Torino 1980, 31-59.
38
A. CHARRON, Indifferenza religiosa, in DTF, 593-603.
79

refleksi razional kritis atas makna dari rivelasi itu


sendiri: cinta trinitaris Allah yang cuma-cuma dan
bebas dicurahkan ke atas kematian untuk
menghancurkan kematian itu sendiri. Makna
menjadi - suatu kesadaran dari sebuah essere –
per-altro hanya karena ia dicintai; suatu pemberian
total dan penerimaan komplit hanya karena yang
lain ada dan mencintai. Tentang ini dihadapkanlah
suatu kebaruan kristiani yang adalah pewartaan
akan kebangkitan, yakni hidup demi cinta yg
melampaui batas kematian. Berhadapan dgn tema
ini adalah penting menegaskan peran revelasi
kristiani sebagai fundamen bagi iman.

2.2.2.3. Menjembatani teologi dan karya


pastoral
Sering kita temukan adanya ‘keterpisahan’
antara teologi dan aksi pastoral. Agar supaya
keduanya bisa hidup menurut keunikannya dalam
jantung pertumbuhan komunitas kristiani, maka
perlu adanya refleksi komplementaris.
Seorang teolog dan sebuah teologi yang
ketiadaan referensi pastoral kiranya ia tak berakar
dalam historisitas iman dan kekurangan konsili-
konsili yang termasuk dalam konkritisasi dari
hidup sehari-hari. Intelegensi dari misteri yang
direvelasikan, dalam kasus ini, bisa juga ketiadaan
konteks epokal dan cultural yang termasuk dalam
humanitas dan yang tak bisa dikorbankan demi
suatu speculasi atas prinsip-prinsip utama.
Adalah sama halnya juga bagi pastoral. Sebuah
pastoral yang tak berbasis teologis akan menjadi
80

steril dan tidak efesien bagi iman. Bahaya pastoral


yang tak berbasis teologis ialah memberikan
kepuasan sesaat tetapi tidak meng-hadirkan suatu
pengabdian riil kepada iman. Sebuah program
pastoral tak bisa dibatasi hanya pada soal urgensi
momental namun terutama ia harus memper-
siapkan secara matang dan reflektif masa depan
supaya ia bisa aktif di hadapan provokasi-
provokasi zaman.
Sebuah liturgi, katekese dan karya karitatif
yang hampa basis teologis, akan gampang terseret
ke dalam magi, gnosis dan filantropi. Teologi tak
boleh masuk dalam konflik dengan ekspresi-
ekspresi iman sebab baik teologi maupun ekspresi-
ekspresi iman sama isinya tapi berhadapan dgn
ekspresi-ekspresi iman itu teologi memiliki tugas
untuk menambahkan intelegensi kritis tentang
misteri supaya aktus percaya personal bisa jadi
otentik, bebas dan bertanggung jawab.

2.3. Merumuskan identitas teologi fundamental


Betapa tidak gampang mendefenisikan
identitas teologi fundamental. Kadang-kadang, di
hadapan pertanyaan: “apa itu teologi fundamental”
seorang ahli teologi merasa perlu mencari sebuah
jawaban yang bisa menghubungkan secara
koheren artikulasi-artikulasi yg berbeda-beda
tentang teologi fundamental.
Mengatakan bahwa teologi fundamental
mempelajari “event revelasi dan kredibilitasnya”
membantu kita untuk merangkul dua pilar dasar
81

namun mening-galkan dlm kekaburan dimensi


epistemologis yang termasuk dalam Fundamental.
Mendefenisikan teologi fundamental sebagai
disiplin pengetahuan berhadapan dengan
pengetahuan lain berarti menggarisbawahi
karakter ilmiah, hermeneutik dan metodis dari
ilmu ini tanpa mengatakan apa-apa sehubungan
dengan makna revelatif.
Memberikan ciri Fundamental sebagai
introduksi kepada misteri Kristus, sama dengan
menegaskan aspek-aspek yang membentuk
prospektif dialog dan batas, tapi tak
mempermudah pengetahuan tentang karakter
utamanya sebagai disiplin teologis.
Secara posetif, suatu identifikasi yang dinamis
tentang Fundamental, bisa menyisipkan ke dalam
dirinya problematik-problematik teologis yang
lahir dari karakter historis teologi dan dari
konfrontasinya dengan situasi-situasi kultural
berbeda-beda yang mempengaruhinya atau yang
dipengaruhi olehnya. Dalam arti ini, tema-tema
berbeda-beda yang umumnya disebut Grenzfragen
(problems - frontier), menemukan spasi analisis
teologis dalam keseluruhan Fundamental. Dari sini
adalah mungkin bagi kita untuk melihat suatu
dinamika konstan melalui pencarian teologis.
Pencarian teologis ini bertanya secara permanen
tentang isi dari ‘problems –frontier’ dalam terang
perolehan-perolehan baru dari pengetahuan
universal dan tahu menghadirkan pd manusia di
segala zaman, kekayaan revelasi kristiani yang tak
terbatas.
82

Secara negatif, suatu identifikasi yang kabur


tentang Fundamental nampaknya bisa
menciptakan suatu kekacauan terhadap kolokasi
ke dalam keseluruhan ilmu teologis dan konotasi
‘teologisnya.’ Ini membantu kita untuk mengerti
mengapa kadang-kadang ada kesimpang-siuran
teologi fundamental dengan macam-macam
teodice atau dengan sebuah filsafat agama.
Kiranya bisa dikatakan bahwa teologi
fundamental bicara tentang ‘mengapa beriman
dan iman menuntut komunikasi. Iman yang
dikomunikasi-kan harus didasarkan pada
kebenaran yang dihayati dan bukan pada polemik.

2.4. Evaluasi/penilaian
Mahasiswa/i diminta untuk mempelajari
secara teliti seluruh materi perku-liahan, lalu
membuat ringkasan yang komprehensif atas
seluruh pokok bahasan.
Rangkuman : buat sebuah rangkuman singkat
namun lengkap atas 4 point pokok yang sudah
anda pelajari dalam pokok bahasan ini. Perhatikan
secara serius point mana yang anda kuasai dan
mana yang belum anda kuasai. Pelajari sekali lagi
bagian yang belum dikuasai dan buatlah sekali
rangkuman, disertai catatan kristis atas bahan
yang telah diperoleh dengan mengemukan
pandangan lain dari referensi lain.
Latihan : sebagai latihan dan evaluasi atas daya
serap anda terhadap bahan pembelajaran, maka
dalam setiap pertemuan anda diminta untuk
83

menjawab 3 pertanyaan dari beberapa pertanyaan


yang telah disediakan. Rumusan penilaian :
jmlh jawaban benar x 100
3
Jelaskanlah apa yang dimaksudkan dengan Teologi
Fundamental ?
Sebutkanlah dan jelaskanlah peran Teologi
Fundamental di era modern ini !
Sebutkanlah dan jelaskanlah karakter Teologi
Fundamental !
Sebutkanlah dan jelaskanlah natura dan unitas
ajaran kristiani yang ditemukan kembali oleh
Konsili Vatikan II.
Bila tingkat penguasaan anda mencapai 80%
ke atas anda dapat melanjut-kan ke kegiatan
belajar 3. Tetapi bila tingkat penguasaan anda
masih di bawah 80 % maka anda harus mengualng
lagi kegiatan belajar 2 terutama bagian yang belum
anda kuasai.
6. Acuan
1. R. LATORELLE – R. FISICHELLA, Dictionary of
Fundamental Theology, Crossroad Publ. Comp, New
York 1994.
2. Y. CONGAR, L’ecclésiologie de S. Augustine à
l’époque moderne, Paris 1970.
3. R. GUARDINI, La fine dell’epoca moderna, Brescia
1950.
4. M. SECKLER, Handbuch der
Fundamentaltheologie IV, Freiburg 1988
84

MODUL 3
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA
KUPANG
FAKULTAS FILSAFAT AGAMA
PROGRAM STUDI STRATA 1 (SATU) FILSAFAT
AGAMA KATOLIK
MATA KULIAH: TEOLOGI FUNDAMENTAL
KODE MATA KULIAH: 001
BEBAN MATA KULIAH: 2SKS
SEMESTER: II, TAHUN AJARAN 2006/2007
DOSEN: RM. DR. OKTOVIANUS NAIF, PR
KODE DOSEN: 634

TEOLOGI FUNDAMENTAL
SEBAGAI TEOLOGI
1. Pengantar
Perlu disadari bahwa Fundamental termasuk
dalam teologi sic et simpliciter. Sembari menjadi
sebuah disiplin yang terarah kepada spesialisasi
adalah jelas Fundamental kembali ke dalam ilmu
teologis dan bersama dengan ilmu teologis,
85

Fundamental mengambil bagian dalam isi dan


metodologi teologi itu sendiri.39 Lahirnya teologi
fundamental dipandang sebagai hasil dari sebuah
dinamica kemajuan dalam aktus menstrukturisasi
dirinya sendiri dan dalam keharusan
mengkorespondensikan dirinya pada berbagai
tuntutan zaman.
Fundamental itu tidak lain daripada teologi
dan karena motif itu bersama dengan teologi,
Fundamental mengambil bagian di dalam dinamica
intern teologi. Karena itu menegaskan bahwa ia
adalah suatu disiplin teologis, sama dengan
menempatkan kembali dilema dan natura
spesifiknya di hadapan ilmu-ilmu lain.
Ini berarti penting menggarisbawahi karakter
partikular yang ada dalam teologi sebagai ‘ilmu.’
Sesuatu itu masuk dalam kategori ilmu, ditentukan
oleh obyek utamanya dan metodologi yang dipakai
dalam seluruh analisisnya serta kapasitas untuk
falsificabilitas apriori-apriori tematis. Menegaskan
bahwa teologi adalah sebuah ilmu, tidak equivalen
dengan menempatkan teologi pada level yang sama
dengan disiplin atau ilmu emperis atau ilmu
eksperimental lainnya melainkan lebih dari itu
menjernihkan bahwa, walau dgn karakter
paradoksalnya – karakternya ditentukan oleh
kewajiban untuk mempelajari rivelasi Allah –
teologi membentuk sebuah instrumen ilmiah yang
memungkin-kan kita untuk mencapai hasil-hasil yg
secara universal bisa dikomunikasikan.40
39
M. SECKLER, Teologia fondamentale: compiti e strutturazione, concetto e nomi, in
Handbuch der Fundamentaltheologie, IV Freiburg 1988, 559-375 (selanjutnya disingkat HFTh).
40
Karakter ilmiah teologi diuraikan secara lengkap oleh R. FISICHELLA, Cos’è la
teologia? In C. ROCCHETTA -R. FISICHELLA-G. POZO, La teologia tra rivelazione e storia,
86

Secara langsung bisa dikatakan bahwa obyek


studi teologi adalah event rivelasi dan iman
kristiani sebagai jawaban bebas kepada rivelasi.
Seorang teolog fundamental tanpa iman akan
mengggiring proses pencariannya kepada sejarah
tentang event; ia sendiri tak akan pernah sanggup
memahami makna terdalam dari event itu sendiri.
Jika ini terjadi maka pencarian itu akan kehilangan
konotasi kepada revelasi ilahi yg ada di balik
sebuah event revelasi. Teolog Fundamental, supaya
bisa menjadi seorang ‘ahli’ revelasi, harus sanggup
masuk ke dalam logika rivelatif dan sanggup
masuk ke dalamm hidup iman komunitas.

2. Standar Kompetisi/TIU
Dengan mempelajari Modul 3 ini para
mahasiswa/i diharapkan memiliki pengetahuan
yang sistematis mengenai konsep Fundamental
sebagai Teologi yang memiliki karakter ilmiah dan
metodologis tersendiri.

3. Indikator/TIK
Kemampuan khusus yang diharapkan lahir
dari para mahasiswa/i dari pembelajaran Modul 3
ini ialah:
1. Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan
secara tepat karakter Teologis atau karakter ilmiah
dari Fundamental
2. Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan
problem metode Teologi Fundamental.
Bologna 1988, 177-188; ID, Prospettive epistemologiche circa il fondamento della teologia in
Ricerche Teologiche 2 (1991), 5-20; M. SECKLER, Teologia e scienze, in DTF, 1235-1242.
87

4. Kegiatan/strategi pembelajaran dan pokok


bahasan
Pokok pembelajaran ini terfokus pada soal
karakter teologis Fundamental dan metode
Teologi Fundamental. Bahan pembelajaran ini
berorientasi pada keaktifan mahasiswa melalui
studi pribadi, studi kelompok dan input dari dosen.
Selesai proses pembelajaran ini mahasiswa/i
diharapkan mampu membuat ringkasan
komprehensif mengenai bahan pembelajaran yang
telah digeluti. Bila ringkasan itu memuat 70-80%
bahan pembelajaran dan mahasiswa/i mampu
menyelesaikan 2 soal maka mahasiswa/i dianggap
menguasai materi yang diajar-kan dan bisa lanjut
ke pokok pembelajaran berikut.

Pokok Bahasan 3
TEOLOGI FUNDAMENTAL
SEBAGAI TEOLOGI
88

Fundamental sebagai Teologi memiliki karakter


teologis dan metodenya tersendiri, yaitu metode
integrasi dinamis. Dengannya, dapat dikatakan
bahwa Teologi fundamental merupakan sebuah
disiplin teologis. Dengan kata lain Fundamental
adalah sebuah disiplin ilmu.

3.1. Karakter Fundamental sebagai teologi


Perlu disadari bahwa Fundamental termasuk
dalam teologi sic et simpliciter. Sembari menjadi
sebuah disiplin yang terarah kepada spesialisasi
adalah jelas Fundamental kembali ke dalam ilmu
teologis dan bersama dengan ilmu teologis,
Fundamental mengambil bagian dalam isi dan
metodologi teologi itu sendiri.41 Lahirnya teologi
fundamental dipandang sebagai hasil dari sebuah
dinamica kemajuan dalam aktus menstrukturisasi
dirinya sendiri dan dalam keharusan
mengkorespondensikan dirinya pada berbagai
tuntutan zaman.
Fundamental itu tidak lain daripada teologi
dan karena motif itu bersama dengan teologi,
Fundamental mengambil bagian di dalam dinamica
intern teologi. Karena itu menegaskan bahwa ia
adalah suatu disiplin teologis, sama dengan
menempatkan kembali dilema dan natura
spesifiknya di hadapan ilmu-ilmu lain.
Ini berarti penting menggarisbawahi karakter
partikular yang ada dalam teologi sebagai ‘ilmu.’
Sesuatu itu masuk dalam kategori ilmu, ditentukan

41
M. SECKLER, Teologia fondamentale: compiti e strutturazione, concetto e nomi, in
Handbuch der Fundamentaltheologie, IV Freiburg 1988, 559-375 (selanjutnya disingkat HFTh).
89

oleh obyek utamanya dan metodologi yang dipakai


dalam seluruh analisisnya serta kapasitas untuk
falsificabilitas apriori-apriori tematis. Menegaskan
bahwa teologi adalah sebuah ilmu, tidak equivalen
dengan menempatkan teologi pada level yang sama
dengan disiplin atau ilmu emperis atau ilmu
eksperimental lainnya melainkan lebih dari itu
menjernihkan bahwa, walau dgn karakter
paradoksalnya – karakternya ditentukan oleh
kewajiban untuk mempelajari rivelasi Allah –
teologi membentuk sebuah instrumen ilmiah yang
memungkin-kan kita untuk mencapai hasil-hasil yg
secara universal bisa dikomunikasikan.42
Secara langsung bisa dikatakan bahwa obyek
studi teologi adalah event rivelasi dan iman
kristiani sebagai jawaban bebas kepada rivelasi.
Seorang teolog fundamental tanpa iman akan
mengggiring proses pencariannya kepada sejarah
tentang event; ia sendiri tak akan pernah sanggup
memahami makna terdalam dari event itu sendiri.
Jika ini terjadi maka pencarian itu akan kehilangan
konotasi kepada revelasi ilahi yg ada di balik
sebuah event revelasi. Teolog Fundamental, supaya
bisa menjadi seorang ‘ahli’ revelasi, harus sanggup
masuk ke dalam logika rivelatif dan sanggup
masuk ke dalamm hidup iman komunitas.
Menghubungkan diri dengan revelasi kristiani,
bukan berarti membataskan ruang gerak spekulasi
dan pencarian kepada suatu lingkup sederhana di
mana ‘mungkin’ Allah mengekspresikan diri dalam
42
Karakter ilmiah teologi diuraikan secara lengkap oleh R. FISICHELLA, Cos’è la
teologia? In C. ROCCHETTA -R. FISICHELLA-G. POZO, La teologia tra rivelazione e storia,
Bologna 1988, 177-188; ID, Prospettive epistemologiche circa il fondamento della teologia in
Ricerche Teologiche 2 (1991), 5-20; M. SECKLER, Teologia e scienze, in DTF, 1235-1242.
90

sejarah; atau juga mengabstrakkan spekulasi di


dalam suatu lingkungan religius generik untuk
memverifikasi suatu pandangan tentang
transendensi. Teologi Fundamental tahu bahwa ia
memiliki misi mencari makna tepatnya event yang
direvelasikan dan mentransmisikannya kepada
komunitas beriman supaya mereka percaya dan
menjadi selamat.
Mempertahankan karakter teologis dari
Fundamental, equivalen dengan menegaskan relasi
antara pencarian dan obyek pencarian. Pencarian
ini tak bisa diverifikasi dan diulang secara komplit.
Ini tak sama dengan ilmu-ilmu lain yang secara
komplit bisa diverifikasi dan direpetisi. Sebaliknya,
isi dari teologi diberikan ‘sekali saja untuk semua’
dalam sejarah umat manusia. Pencarian ilmiah bisa
saja terjadi pada event historis yang dipahami
sebagai event revelasi Allah. Dalam horison ini,
pencarian ilmiah bisa mengevaluasi berbagai
moment dan element berbeda yang membentuk
event historis tsb: penelitian terhadap soliditas
historis melalui ilmu historis dan arkeologis
berbeda, mengevaluasi makna melalui proses
hermeneutik yang memungkinkan pemahaman
atas makna real teks, konteks dan intensi penulis,
membuktikan kredibilitas kesaksian dan
kebenaran serta kohenrensi dari kesaksian,
konsolidasi fakta-fakta dgn kesinam-bungan tradisi
yang tidak hanya memungkinkan pengetahuan atas
fakta-fakta tetapi juga membentuk suatu kunci
interpretasi yg tak bisa dieliminasikan.
91

Prospektif baru di dalamnya dimasukkan Teologi


Fundamental ditemukan pada ajaran yang
berdimensi ganda yakni dimensi dogmatik yang
menguraikan obyek studi dalam terang revelasi
dan prinsip-prinsip yang lahir dari revelasi itu; dan
dimensi apologetik, melaluinya dicari intelegenzi
dari apa yang sudah dipercaya dengan maksud
untuk menambahkan putusan bebas sepenuhnya
pada pilihan iman. Obyek studi dimensi apologetik
dianalisis dengan metodologi yang membuat
masuk akal isinya juga kepada dia atau mereka
yang tidak memiliki pengalaman iman yang sama
atas cara sedemikian sehingga orang bisa
memahami cara itu sebagai pembawa makna.
Pengakuan akan instansi apologetik
menuntun kepada konsiderasi bahwa kurang lebih
ada dua elemen yang harus menjadi obyek
langsung studi dari Fundamental yakni: pertama:
perlunya sebuah presentasi kritis terhadap aktus
percaya yang kiranya sanggup utk mengevaluasi
globalitas pribadi manusia dalam mengungkapkan
dirinya sbg subyek epistemis dan subyek beriman.
Ini adalah moment di dalamnya aktus iman
dipresentasikan sebagai aktus yang bebas dan
sebagai suatu pilihan personal. Kedua: perlunya
sebuah presentasi tentang obyektivitas dari isi
yang diberikan melalui revelasi dan karenanya
diterima oleh subyek sebagai aktus gratis yang
berasal dari Allah. Dalam hal ini juga refleksi
apologetis harus menunjukkan penghapusan atas
kurang lebih dua forma reduksionist yang berkarya
sambil berbicara atau suatu klaim eventual
92

sturktur ontologik dari subyek yang mendambakan


revelasi, dalam kekuatan realisasi dirinya sendiri
yang tak bisa terbatalkan; atau dari suatu pasivitas
subyek di hadapan revelasi seakan-akan dimensi
keterciptaannya tak memiliki nilai apapun di
hadapa transendensi Allah.
Kesatuan di anatara keduanya memungkinkan
teologi fundamental bisa menemukan kembali
identitasnya yakni memberikan argumentasi ttg
iman kpd siapa saja; kpd kaum beriman yg mencari
utk memahami, dan kpd dia yang mencari untuk
memahami supaya percaya.
Memikirkan disiplin yang begitu terstruktur,
menuntut bahwa dalam relasi dengan revelasi dan
iman, teologi fundamental mengikuti suatu
metodologi yang tidak saja tahu berkomunkasi dgn
umat beriman tetapi juga tahu mengungkapkan
secara universal data-datanya yang eksplisit di luar
horison iman.

3.2. Metodologi Fundamental sebagai teologi


Metode teologi merupakan sebuah soal.
Kesulitan obyektif itu berbareng-an dengan refleksi
atas valensi epistemologis metode dan atas
determinasi-determinasi yang berpengaruh pada
teologi ketika dihadapkan dengan ilmu-ilmu lain. 43
Di balik konsiderasi general, diskusi tentang
metode dikenakan bagi teologi fundamental
(sebagai disiplin teologis) sejauh metode
43
Informasi lengkap tentang metode teologi bisa ditemukan dalam tulisan dari W.
KASPER, Die Methoden der Dogmatik, Munchen 1967; J. BEUMER, Die theologische Methode,
Freiburg 1977; B. LONERGAN, Method in Theology, London 1973.
93

membentuk suatu epistemologi bagi strukturasi


integral ttg bagaimana memahami iman.44

3.2.1. Problematika metode


Obyek studi dari Fundamental itu unik baik
bagi refleksi dogamtis maupun apologetis; tetapi
bagi refleksi dogmatis dipakai sebuah metode yang
menyelidiki isi sedangkan bagi pikiran apologetis
dipakai metode pencarian. Dengan metode
menyelidiki kita sesugguhnya digerakan kepada
terang revelasi yang sudah diterima dan dipercaya
sebagai Sabda Allah; dengan metode mencari
diberikan spasi kepada razio-intelek yang belum
menggapai kebenaran yg dipercaya. Antara
keduanya tidak ada dikotomi kecuali karakter
komplementer.
Sejauh sebagai sebuah disiplin teologis, teologi
fundamental dimasukan ke dalam metodologi khas
yang mengatur pengetahuan tentang iman atau
menurut karakter-karakter general membahas
tema auditus fidei dan intellectus fidei. Sejauh
disiplin teologis tetapi dengan dimensi apologetis,
teologi fundamental membutuhkan metode khusus
yang bisa mengkualifikasikan baik isi analisis
maupun tujuan di mana ia harus dikomunikasikan.
Revelasi, sebagai event historis puncak dalam
diri Yesus dari Nazareth, dipandang sebagai
keputusan bebas dan intervensi gratis Allah dalam
sejarah. Prinsip untuk kredibilitasnya tak bersifat
44
R. LATOURELLE, Apologétique et fondamentale. Problème de nature et methode, in
Salesianum 28 (1965), 256-273 ; K. LEHMANN, Apologetik und Fundamentaltheologie, in
Communio 7 (1978), 289-294; D. TRACY, Plurality and Ambiguity, London 1987, 28-46 ; R.
FISICHELLA, Metodo in teologia fundamentale, in RT 1 (1990), 75-90.
94

eksternal dalam event melainkan sesuatu yang


internal dan diberikan bersamaan dengan event
itu; pribadi Yesus yang sama tak membutuhkan
kesaksian lain kecuali dari Bapa. Itu artinya obyek
pen-carian utama adalah misteri Allah dalam
dinamika dan logika otorevelasinya. Event ini
diberikan agar supaya manusia mengenal misteri
Allah bertolak dari kenosis Allah yang dalam
misteri inkarnasi mengambil kategori historisitas
dan melalui kepengantaraan komunitas para murid
segala sesuatu yang Guru ajarkan dan lakukan bisa
terpelihara dan bisa dikomunikasikan agar
generasi yang akan datang bisa bertemu dengan
Tuhan.
Menyangkut dimensi historisitas dari revelasi
harus dikatakan bahwa ia tak sama dengan suatu
reduksi kepada horison historis belaka
sebagaimana yang terjadi dalam pencarian
arkeologis terhadap fakta buruk. Mengatakan
‚historisitas’ sesungguhnya berarti menegaskan
suatu pencapaian kesadaran historis tentang Yesus
yang telah berbicara dan mengungkapkan tentang
dirinya sendiri. Ini artinya mencari untuk
memahami sejauh Yesus telah merevelasikan
misinya, perannya yg telah Ia laksanakan, kesan-
kesan dan dterminasi-deteminasi yang telah Ia
tinggalkan bagi org-org sezamannya, terutama
keputusannya di hadapan kematiannya sendiri.
Merefleksikan tema ini berarti bergumul
dengan historitas seserorang sembari memahami
bahwa historisitas ini dihadapkaan dengan sebuah
event yang memiliki seluruh karakteristik yang
95

bisa dipandang sebagai sebuah unicum, yang


direalisasikan dalam sejarah sekali untuk segala
dan yang bisa diverifikasi berdasarkan sejarah
yang sama. Dalam terang unicitas dan singularitas
yang dimanifestasikan oleh pribadi bersangkutan
dan yang tak bisa direduksikan kepada sebuah
forma super-eksaltasi (pujian selangit) tentang
subyek tunggal, didasarkan juga pada konsiderasi
sekitar finalisasi semua sejarah; Ia mengatasi
horison historis sebab Ia sanggup untuk
merangkum horizon dalam globalitasnya dan
mengorientasikan sejarah agar mengatasi dimensi
kontingens imanent. Historisitas mengandung
dalam dirinya pemahaman ttg bagaiamana event
ini tiba juga kepada kita: ditransmisikan dan
diantarai oleh pribadi-pribadi beriman yang
menghendaki agar inti beritanya bisa menjangkau
seluruh dunia hingga menjadi suatu berita
universal.
Dari segi metodologis, dalam hal ini perlu
adanya berbagai metodologi eksegetis yang bisa
menyumbangkan elemen-elemen penting supaya
elaborasi teologis setia pada makna asli spt
diinginkann oleh penulis. Di harapkan adanya
berbagai analisa linguistik tentang Kitab Suci,
Patrologi, Tradisi dan Magisterium untuk
menjelaskan relasi antara formulasi, konteks
historis kultural dan makna paling mendalam dari
kebenaran yang mau dikomunikasikan.
Historigrafi dgn arkeologi dan berbagai ilmu
hermeneutik harus membuat penelitian supaya
melalui kesaksian-kesaksian ekstern, bisa
96

direkonstruksi secara lebih obyektif data yang


diberikan oleh berbagai narasi yang telah
ditentukan oleh tujuan-tujuan yang lebih teologis.
Singkatnya metodologi dibutuhkan untuk
mempertegas prinsip intelegensi iman.
Sebuah metodologi yang benar, tidak bisa
berhenti memperhatikan isi saja tapi harus lanjut
mengelompokkan dan mengaplikasikan aturan-
aturan metodo-logis yang perlu jua untuk
mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian. Metode
karena itu ditentukan jua oleh titik tuju baginya isi
penelitian dialamatkan.
Teologi fundamental memiliki dua arah: ia
terarah kepada orang beriman dan terarah kepada
„orang lain.“45 Bila teologi fundamental diarahkan
kepada orang beriman maka ia harus memberikan
‚alasan-alasan’ mengapa berimana; dan bila teologi
fundamental diarahkan kepada „orang lain“ maka
ia harus mem-berikan motif-motif yang membuat
‚orang lain’ mempertimbangkan tantangan yang
berasal dari iman.
Jua dlm horison metode, dlm terang titik tuju
ini diproyeksikan lingkung-an dan instrument bagi
aplikasi yg berbeda-beda. Kaum beriman dlm
terang iman harus dimampukan utk menyelidiki isi
iman dengan kapasitas razional kritis yang datang
terutama dari aktus percaya.
Bagi ‚orang lain’ sebaliknya harus dijelaskan
bahwa dalam struktur ontologis dari subyek
‚percaya’ merupakan komponen menentukan demi
realisasi diri; atau dalam percaya diperkenalkan
45
H. FREIS, Teologia Fondamentale, in Sacramentum Mundi VIII, 762-763
97

suatu seri ‚alasan’ atau ‚tumpukan probabilitas’


yang bisa membuat hidup ini menjadi sungguh
manusiawi.

3.2.2. Metode integrasi dinamis


Sejarah aktual mengenal macam-macam
metode usulan para pemikir: metode immanensi
dlm tulisan M. Blondel, metode transendental dlm
proyek K. Rahner, metode psikologis dlm usaha H.
Newman atau metode korelasi menurut anjuran
Paul Tillich. Semua metode ini punya makna dan
saling melengkapi dalam literatur apologetis
tentang revelasi.
Mengabsolutkan satu metodologi saja bisa
menimbulkan fragmentasi serius juga bisa
menghapuskan hasil-hasil yang telah dicapai.
Kiranya adalah urgen menunjukkan jalan tepat
supaya Fundamental sebagai disiplin teologis
singular yang diperluas ke dlm suatu bacaan
apologetis, bisa mencapai metodenya sendiri yang
tak mengabsolutkan suatu metodologi saja, tahu
menyatukan berbagai metodologi dalam suatu visi
yang lebih homogen dan koheren dalam
kekhususannya.
Metode integrasi dinamis bisa ditampilkan
sebagai suatu posibilitas dalam solusi. Dengan
metode integrasi dinamis Fundamental sanggup
mengangkat ke dalam misteri, event historis
revelasi yang diwartakan oleh komunitas.
Integrasi dinamis dalam misteri tidak
menghina event historis sejauh misteri (biarpun
dalam terang dari suatu aktus kenotik) itu bisa
98

dikenal dalam ekspresi historis dan misteri itu


tidak bisa terpisah dari struktur historis jika ia
mengarahkan diri kepada manusia sebagai subyek
yang menerima dan mengerti.
Dengan metode integrasi dinamis dalam
bacaan teologis kita bisa memiliki suatu visi global
tentang fenomen yg menjamin tuntutan untuk
menyelamatkan transendensi Allah, razionalitas
dan libertas subyek. Dengan metode integrasi
tujuan – kepada siapa misteri dikomunikasikan
(kaum beriman dan ‘orang lain’) bisa dihormati.
Kaum beriman harus sanggup untuk memberikan
alasan tepat ttg imannya kepada siapa saja: kepada
setiap orang dan kepada semua. Itu berarti
Fundamental harus menemukan dirinya selalu
dalam kondisi siap mengevaluasi subyek individual
historis yang sarat pada masanya. Untuk itu adalah
perlu menemukan analisis yang tahu
menjembatani makna original misteri yg
direvelasikan tetapi atas cara sedemikian sehingga
bisa mempengaruhi setiap orang sehingga misteri
yang direvelasikan menemukan tempatnya dalam
sejarah personal.46
Situasi ini, dari satu sisi mewajibkan
Fundamental untuk selalu berhati-hati, di pihak
lain mendorong Fundamental untuk menjadi
provokator pertanyaan supaya setiap orang
menemukan kerinduan akan Allah dan
intelengensi akan misterinya.
CREDO UT INTELLEGAM, INTELLEGO UT CREDAM

46
E. SCHILLEBEECKX, Intelligenza della fede, Roma 1972, 117-143.
99

3.3. Evaluasi/penilaian
Mahasiswa/i diminta untuk mempelajari
secara teliti seluruh materi perku-liahan, lalu
membuat ringkasan yang komprehensif atas
seluruh pokok bahasan.
Rangkuman : buat sebuah rangkuman singkat
namun lengkap atas 2 point pokok yang sudah
anda pelajari dalam pokok bahasan ini. Perhatikan
secara serius point mana yang anda kuasai dan
mana yang belum anda kuasai. Pelajari sekali lagi
bagian yang belum dikuasai dan buatlah sekali
rangkuman, disertai catatan kristis atas bahan
yang telah diperoleh dengan mengemukan
pandangan lain dari referensi lain.
Latihan : sebagai latihan dan evaluasi atas daya
serap anda terhadap bahan pembelajaran, maka
dalam setiap pertemuan anda diminta untuk
menjawab 3 pertanyaan yang telah disediakan.
Rumusan penilaian :
jmlh jawaban benar x 100
3
Jelaskanlah apa yang dimaksudkan dengan
karakter teologis dari fundamental !
Uraikanlah secara rinci metode yang digunakan
dalam merumuskan fundamental sebagai teologi!
Apa perbedaan antara metode menyelidiki dan
metode mencari?

Bila tingkat penguasaan anda mencapai 80% ke


atas anda dapat melanjut-kan ke kegiatan belajar 4.
Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di
100

bawah 80 % maka anda harus mengualng lagi


kegiatan belajar 2 terutama bagian yang belum
anda kuasai.

6. Acuan
1. M. SECKLER, Handbuch der
Fundamentaltheologie IV, Freiburg 1988
2. R. FISICHELA, Cos’eè la teologia? Dalam C.
ROCCHETTA, et alii, La Teologia tra rivelazione e
storia, Bologna 1988.
101

MODUL 4
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA
KUPANG
FAKULTAS FILSAFAT AGAMA
PROGRAM STUDI STRATA 1 (SATU) FILSAFAT
AGAMA KATOLIK
MATA KULIAH: TEOLOGI FUNDAMENTAL
KODE MATA KULIAH: 001
BEBAN MATA KULIAH: 2SKS
SEMESTER: II, TAHUN AJARAN 2006/2007
DOSEN: RM. DR. OKTOVIANUS NAIF, PR
KODE DOSEN: 634

TEOLOGI FUNDAMENTAL
SEBAGAI FUNDAMENTAL

1. Pengantar
Dlm bab III kita telah melihat karakter teologis –
karakter ilmiah dari Fundamental sebagai teologi
dan metodologi dari Fundamental sebagai teologi.
Teologi Fundamental, dalam horison ini, mencari
untuk mengungkapkan alasan dari adanya,
tepatnya sebagai yang ‚fundamental’ bagi seluruh
teologi. Jika tujuan dari bab terdahulu adalah
menunjukkan bahwa karena isinya dan metodenya,
Teologi Fundamental lahir dari kebutuhan evolutif
ilmu teologis yg perlu menyesuaikan diri dengan
dinamika kemajuan; tujuan bab ini sebaliknya
adalah menjelaskan bahwa sebuah disiplin seperti
102

Teologi Fundamental adalah perlu bagi teologi


karena berelasi secara kritis dengan event revelatif
(revelasi), ia adalah fundamen dan sentrum dari
teologi.
Revelasi, menurut Dei Verbum dideskripsikan
bukan hanya dalam aspek obyektifnya sebagai
doktrin dan pesan tetapi juga sebagai sebuah aksi
dari Allah: manifestasi diri Allah sendiri dan
pemberian diri Allah dalam diri Yesus Kristus.
Kristus adalah Sabda epifanik Allah: Ia adalah
revelasi.
Revelasi adalah komunikasi diri Allah kepada
manusia telah dimulai sejak zaman Perjanjian
Lama, mencapai puncaknya dalam Perjanjian Baru,
direfleksi lagi oleh para bapa Gereja, para pemikir
dari dunia Skolastik dan Konsili.

2. Standar Kompetisi/TIU
Dengan mempelajari Modul 4 ini para
mahasiswa/i diharapkan memiliki pengetahuan
yang sistematis tentang konsep Teologi
Fundamental Sebagai Fundamental yakni yang
berelasi dengan hal dasariah ajaran kristiani:
Revelasi.

3. Indikator/TIK
Kemampuan khusus yang diharapkan lahir
dari para mahasiswa/i dari pembelajaran Modul 4
ini ialah:
103

Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan secara


tepat problem-problem modern yang berkaitan
dengan revelasi.
Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan konsep
Revelasi itu sendiri.
Agar mahasiswa/i dapat menguraikan secara
rinci arti Revelasi mulai dari Kitab Suci hingga
Konsili Vatikan II
Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan secara
tepat teologi Revelasi dan Revelasi itu sendiri.

4. Kegiatan/strategi pembelajaran dan pokok


bahasan
Pokok pembelajaran yang akan disajikan di
sini terfokus pada soal Revelasi dan Teologi
Revelasi. Bahan pembelajaran ini berorientasi pada
keaktifan mahasiswa melalui studi pribadi, studi
kelompok dan input dari dosen.
Selesai proses pembelajaran ini mahasiswa/i
diharapkan mampu membuat ringkasan
komprehensif mengenai bahan pembelajaran yang
telah digeluti. Bila ringkasan itu memuat 70-80%
bahan pembelajaran dan mahasiswa/i mampu
menyelesaikan 4 soal maka mahasiswa/i dianggap
menguasai materi yang diajar-kan dan bisa lanjut
ke pokok pembelajaran berikut.

Pokok Bahasan 4
TEOLOGI FUNDAMENTAL
SEBAGAI FUNDAMENTAL
104

Dalam bab 3 kita bicara tentang karakter teologis


dan metodologis dari Fundamental. Pada bagian ini
kita akan berbicara tentang mengapa Fundamental
itu sungguh fundamental dalam seluruh teologi.
Fundamental itu sungguh fundamental karena
relasinya yang kritis dengan event revelasi.
Revelasi adalah basis dan centrum dari teologi.
Teologi Fundamamental itu fundamental karena
bisa menyusun dan menguraikan sebuah teologi
tentang revelasi dari revelasi itu sendiri. Jadi
teologi Fundamental itu adalah teologi dan
fundamental sekaligus.

4.1. Teologi Fundamental dan Revelasi


Revelasi adalah hal pertama dan dasariah yang
harus dibicarakan dalam diskusi teologis. Teologi
fundamental, dikualifikasikan sebagai ‚fundamen’
karena ia menguraikan hal pertama tersebut yang
disebut revelasi. Teologi Fundamental adalah
sebuah teologi revelasi dari revelasi itu sendiri.

4.1.1. Teologi Fundamental = Prolegomena


teologi
Pro (tempat pertama, tempat awal,
permulaan), legomai (dikatakan). Pro-legomena
artinya hal-hal pertama yang harus dikatakan
dalam teologi. Prolegomena disebut juga
Epistemologi Teologi yang membahas prinsip-
prinsip pengetahuan teologi. Teologi itu ilmu iman,
105

maka caranya untuk memperoleh pengetahuan


bukan hanya melalui sensus, ratio dan intellectus
melainkan juga melalui revelatio et fides. Revelatio
et fides merupakan dasar bagi konstruksi teologi
pada umumnya. Sejauh revelasi dan iman adalah
dasar bagi aktivitas berteologi maka epistemologi
teologi disebut juga Teologi Dasar – Teologi
Fundamental.47
Revelatio et fides itu bersama-sama
merupakan komunikasi pribadi dan persatuan
personal antara Allah dan manusia (DV 2-6).
Supaya dapat diimani, wahyu ilahi atau magnalia
Dei harus dikomunikasikan kepada manusia dan
komunikasi itu terjadi dalam event-event historis.
Tata pelaksanaan wahyu ilahi itu disebut ekonomi
keselamatan.48

4.1.2. Teologi Fundametal adalah Teologi


Revelasi dari Revelasi
Peralihan dari sebuah “teologi dari dogma”
kepada “teologi dari revelasi” bukan hanya suatu
pertanyaan tentang nama tetapi sesuatu yang
penting untuk ditelusuri. Kurang lebih ada tiga
“prinsip” yang mengalir dari prospektif ini.

4.1.2.1. Revelasi adalah fundamen bagi pikiran


teologis.
Menegaskan bahwa revlasi adalah “fundamen” bagi
teologi sama dengan mengeksplisitkan relasi yang
tercipta antara fundamen dan realitas di atasnya
47
N. SYUKUR DISTER, Teologi Sistematik 1, Yogyakarta 2004, 35-36.
48
K. RAHNER, Concise Theological Dictionary, Freiburg/London 1965, 144.
106

teologi dibangun. “Fundamen” bukan suatu konsep


tapi sebuah prinsip. Fundamen adalah “id a quo
aliquid procedit.”49 Fundamen adalah prinsip
darinya sesuatu berasal termasuk mengakui bahwa
teologi berasal secara konstitutif dari revelasi dan
kepada revelasi ia harus menghubungkan dirinya
demi setiap forma real dari pengetahuan
spesefiknya yang mau disejajarkan dengan
“fundamen” itu. Lebih eksplisit lagi, revelasi
menghadirkan bagi teologi suatu fundamen
dinamis.
Mengatakan bahwa revelasi adalah
“fundamen” bagi teologi sama artinya dengan
meletakkan refleksi historis dalam revelasi sebagai
prinsip formal dan causalnya: masa lalu, masa kini
dan masa akan datang.
Mengatakan bahwa revelasi itu “fundamen”
bagi teologi berarti menemukan kembali
komponen pre-refleksif dan pre-teorik dari
revelasi yang membantu manusia untuk
memikirkan revelasi sebagai sebuah “novum” yang
diberikan kepada umat manusia.
Revelasi sebagai “fundamen” dianggap sebagai
suatu evidenza; evidenza tidak bisa dicapai
bertolak dari dirinya sendiri, sebab asal-usulnya
ada dalam dirinya sendiri yang penuh arti dan
makna yang memperkenalkan dirinya sendiri
sebagai sebuah novum yang tak pernah dikenal
sebelumnya. Evidenza ini, dalam pengetahuan
teologis, dipandang diterima melalui pengetahuan
49
Sembari menjelaskan tema trinitaris, Th. Aquinas dalam STh I, 33, 1 mendefenisikan
“fundamen” sbb: “Hoc nomen principium nihil aliud significat quam id a quo aliquid procedit;
omne enim a quo aliquid procedit, quocumque modo, dicimus esse principium”
107

akan iman yang bisa mengeksplisitkannya tetapi


tak mendemonstrasikannya.50

4.1.2.2. Karakter konstan revelasi.


Konsekuensi dari prinsip pertama adalah novitas
radikal dari revelasi. Jika kita tak ingin terperosok
masuk dalam dikotomi teologis sebelum Vatikan II,
kita perlu mempertimbangkan kenyataan bahwa
revelasi dalam dirinya sendiri bukan saja
automanifestasi personal Allah melainkan pada
saat yang adalah isi obyektif yang dipersembahkan
kepada umat beriman. Revelasi dipresentasikan
sebagai sesuatu yang secara absolut baru; karena
itu revelasi tidak ada dalam diri kita, tidak berasal
dari diri kita tetapi bisa dimengerti sebagai sesuatu
yang datang dari luar dan menjumpai diri kita.
Posibilitas pengetahuan ditentukan oleh aktus
kenotik yang dilakukan oleh Allah dalam
merevelasikan diri.
Kebaruan revelasi, dieksplisitkan kurang lebih
dalam dua hal ini: isi dan pemahaman.
Sehubungan dengan isi, patut dicatat terutama
komunikasi Allah dengan manusia. Allah memilih
Israel sebagai suatu bangsa dengannya Ia
berbicara. Komunikasi diri Allah kepada manusia
bermakna soteriologis artinya untuk
menyelamatkan manusia itu sendiri. Novitasnya
ialah tak seorangpun sanggup merealisasikan
keselamatan dalam dirinya sendiri kecuali
diberikan oleh Allah. Pemahaman berkaitan
dengan bahasa yang dipakai untuk
50
H. U. Von BALTHASAR, Gloria.Un’ estetica teologica, I, Milan 1987, 397-491.
108

mengekpresikan iman dan merefleksikan iman.


Bahasa yang mengungkapkan iman mendahului
setiap refleksi teologis sebab bahasa adalah hal
yang meletakkan dalam kenyataan refleksi itu
sendiri. Bahasa iman mengekspresikan hidup
Yesus Kristus melalui pewartaan. Yesus Kristua
adalah kepenuhan dari janji dan ekspresi defenitif
revelasi Allah.

4.1.2.3. Historisitas Yesus Kristus dari


Nazareth.
Pengetahuan manusiawi adalah sebuah mengenal
dan mengetahui historisitas sesuatu atau
seseorang. Bahasa mengisinkan temporalitas
menjadi ‘sejarah.’ Historistas bukan saja kondisi
bagi pengetahuan melainkan kondisi bagi realisasi
diri sebab melalui dimensi historis seseorang
merealisasikan dirinya sendiri lewat aktus-aktus
yang menentukan pengetahuan personal.
Debfab berbicara tentang historisitas Yesus,
mau ditegaskan kesadaran personal yesus melalui
mana Ia memperkenalkan dan
mengenal/memahami dirinya dan hidupnya
sendiri.
Melalui historisitas Yesus Kristus kita jua
berusaha melihat globalitas dari dirinya.
PewartaanNya datang kepada kita jua melalui
tingkah lakunya. Elemen yang mengkarakterkan
‘sejarah’-nya, dilihat dan ditemukan dalam
kesadaran untuk memberi makna kepada kematian
yang ada di depan matanya dalam horison dari
sebuah kekerasan.
109

Dalam kematian di salib kita berjumpa dengan


dimensi paling dalam: tidak saja dari kesadaran
Yesus tentang dirinya sendiri berhadapan dengan
hidupnya tetapi jua dan terutama berhadapan
dengan sabda suprem yang Allah ucapkan atas
makna dari manifestasi dirinya sendiri.
Dalam event ini dan dalam interpreasi yang
kita terima dari Yesus, setiap orang bisa tahu jelas
bahwa Ia berada di hadapan suatu fakta suprem
melalui mana seorang manusia memberikan
makna kepada hidupnya sendiri. Bisa saja ini
menjadi kriteria bagi normativitas hidup bagi
suatu subyek yang lain. Bila kemudian iman
melihat di dalam subyek yang lain itu Allah yang
menyerahkan diri kepada kematian dan bahwa
dalam kematian Allah merevelasikan makna dari
eksistensi trinitarian, maka iman berada di depan
unicitas dan irrepitibilitas absolut untuk mana
event historis ini membawa dalam dirinya harapan
utk menjadi kunci resolutif bagi teka-teki tentang
sejarah personal dan universal.51
4.2. Pemandangan umum seputar Revelasi
Jika kita berkonsultasi pada beragam ensiklopedi
kita akan menemukan defenisi tentang revelasi
yang kurang lebih sama. Revelasi didefenisikan
sebagai ‘komunikasi kebenaran religius dari Allah
kepada manusia, secara personal atau dengan
perantaraan malaikat’ yang telah dimulai dalam
Perjanjian Lama dan berpuncak dalam Perjanjian
Baru.

51
R. FISICHELLA, Credibilità, dalam DTF, 224-227; ID, Senso della rivelazione, dlm
DTF, 1124-1125; W. KERN, Mistero pasquale: sofferenza e morte, dlm DTF, 786-800.
110

4.2.1. Term Revelasi


Revelasi. Term revelasi (Ibrani: gālāh; Yunani:
apokalyptein; Latin: revelare; Jerman: offenbaren;
Perancis: révélation; Italia: rivelazione; Spanyol:
revelación; Inggris: revelation). Term offenbaren
sesungguhnya bukanlah sebuah term religius.
Offenbaren tidak memiliki makna khusus bila
dibandingkan dengan term revelare dan
apokalyptein.52
Namun dalam kenyataan offenbaren
mengungkapkan dalam lingkungan Jerman apa
yang dalam bahasa Romanik (Italia, Spanyol,
Perancis) atau dalam bahasa Inggris berhubungan
dengan term Latin dan Yunani: pembukaan sebuah
selubung atau penyingkapan atau „ketidak-
tertutupan.“ Namun di mana sesuatu itu dibuka
atau disingkapkan di sana selalu ada misteri yang
tersembunyi.

4.2.2. Dābhār dan Sabda Allah


Kata dābhār (Ibr) berarti kata/sabda, kata/sabda
yang dtulis dan juga sebua event serta perbuatan
dalam sejarah. Term ini berasal dari term debîr
yang artinya ada di belakang (debîr Kenisah –
bagian posterior Kenisah – Yang Kudus dari segala
yang kudus). Lebih lanjut term itu berarti sesuatu
yang tersembunyi, yang siap untuk didorong ke
depan. Dalam bahasa YunanI: λόό γoς – sabda atau
sesuatu yang dikatakan atau suatu fakta yang
diwartakan (Luk 1:37).
52
offen, offenbar, offenbaren, offenbarung, dalam J. E W. GRIMM, Deutsches Wörte-
rbuch, vol 13, München 1984, 1171-1178; J. RITTER et altri, Historisches Wörterbuch der
Philosophie, vol VI Basel 1971, 1105.
111

Term dābhār mengandung makna: ada yang


tersembunyi dalam Allah, sebuah energi yang
cendrung untuk memanifestasikan dirinya. Energi
itu mengungkapkan diri baik melalui kata yang
diekspresikan – kata yang ditulis maupun melalui
perbuatan seperti dikatakan dalam DV 2:
„...perbuatan memperlihatkan dan meneguhkan
ajaran serta kenyataan-kenyataan yang
diungkapkan dengan kata-kata, sedangkan kata-
kata menyiarkan karya-karya dan menerangkan
rahasia yang tercantum di dalamnya.“
Jelas bahwa sabda perlu untuk membahasakan
makna dari beragam fakta tetapi juga fakta-fakta
memiliki dalam diri mereka sendiri sebuah nilai
orizinal tentang revelasi: salib Kristus, sebagai
contoh, menyatakan kepada kita pada saat yang
sama penghakiman dan pengampunan-belaskasih
Allah. Sabda Allah senantiasa aktif penuh daya
dinamis. Sabda itu elemen pelahir sejarah
keselamatan: sabda adalah aktus melalui mana
Allah mewartakan kepada manusia kehendakNya
atau Pribadinya.
Allah menciptakan dunia dan segala isinya dengan
bersabda. Pada manusia Allah mengkomunikasikan
diriNya dan kehendakNya sendiri. Komunikasi
Allah itu melahirkan sebuah sejarah suci dan Allah
memanggil sekelompok manusia untuk berbicara
atas namaNya tentang sejarah suci itu. Kepada
orang-orang yang dipanggil itu Allah memberikan
roh dan fakultas ekspresif, sebuah formula valid
tentang pikiran dan kehendak Allah sendiri. Allah
diwartakan oleh manusia melalui kata yang
112

dikatakan dan tanda-tanda yang mengungkapkan


isi dari sebuah pikiran.53 Allah membangkitkan
tanda-tanda ini dalam fakultas mental dari mereka
yang „bicara“ tentang pikiran dan kehendakNya.
Karena alasan ini kita akan menemukan bahwa
kata-sabda Allah menjadi dominan atas kata-kata
manusia, tiada lagi afermasi yang bersifat
manusiawi belaka melainkan yang ada adalah
sebuah forma manusiawi yang menerjemahkan
pikiran Allah, kebenaran dari segala kebenaran
yang ada Kebenaran Pertama, tak tercipta, yakni
Kebenaran yang adalah kebenaran untuk dirinya
sendiri.
Sedangkan ekspresi „Sabda Allah“ bermakna
ganda yakni: 1) Sabda Tak Tercipta yakni aktus
Allah yang berbicara, aktus yang adalah Allah
sendiri, SabdaNya; 2) sebuah realitas tercipta,
kepadanya, Allah mempercayakan sebuah tanda
atau sebuah manisfestasi tentang diriNya dan
pikiranNya sendiri baik pada saat sabda itu
diwartakan maupun pada sabda itu ditulis.
Kebenaran Tak Tercipta dimanifestasikan
dalam tanda atau ekspresi tercipta yang kita terima
dan kita hormati. Ekspresi-ekspresi itu adalah
kata-kata dan gerak-gerak para nabi, kata-kata
Kristus dan kata-kata para rasul. Ekpresi-ekspresi
itu membentuk sacra doctrina yang diabadikan di
dalam Kitab Suci. Ajaran ini: *disampaikan dan
53
St. T. AQUINAS, Quaestiones disputate de Veritate, q. 18, a.3: “Est etiam quaedam
locutio...interior, qua loquitur (Deus) nobis per inspirationem internam. Dicitur autem ipsa interior
inspiratio locutio quaedam ad similitudinem exterioris locutionis: sicut enim in exteriori locutione
proferimus ad ipsum audientem non ipsam rem quam notificare cupimus, sed signum illius rei,
scilicet vocem significativam: ita Deus interius inspirando nen exhibet essentiam suam ad
videndum, sed aliquod suae essentiae signum, quod est aliquis spiritualis similitudo suae
sapentiae.”
113

diwartakan kepada kita, dalam arti sejatinya,


dalam cara otentik dan normatif, melalui
organisme ekklesial yang juga berasal dari
Kebenaran Pertama dan organisme eklesial itu
meneruskan misi kerasulan itu. Dalam aktusnya
yang suprem, Gereja ini dirahmati supaya infallible;
*ajaran ini dijelaskan oleh para ahli Kitab Suci dan
para teolog Katolik. Otoritas mereka berasal @dari
keyaknian bahwa mereka diutus oleh Allah untuk
mengajar dan menulis makna benar Sabda Allah
pada umat Allah; @dari persetujuan yang
diberikan oleh magisterium. Mereka diberi
wewenang mengajar dan hanya mengajarkan hal
benar yang berdasarkan pada Kitab Suci.

4.2.3. Mengenal Sumber Revelasi


Pada hakekatnya revelasi merupakan inisiatif
bebas Allah penuh cinta dengannya Allah
berkehendak menjalin sebuah relasi interpersonal
dengan manusia. Allah ingin membangun sebuah
struktur dialog dengan manusia. Relasi
interpersonal itu bisa disebut juga salutis
colloquium.

4.2.3.1. Subyek revelasi


Subyek revelasi adalah Allah sendiri. Afermasi
ini menghantar kita untuk berpresepsi tentang
Allah dan aksiNya dalam dunia kelihatan – dalam
sejarah. Problem revelasi dalam lingkungan
religius adalah juga problem tentang Allah,
problem relasi antara revelasi dan Allah. Revelasi
ilahi berarti bahwa Allah menyatakan diri dalam
114

esensiNya atau Ia menyatakan kehendakNya atau


menya-takan „sesuatu tentang diriNya sendiri.“

4.2.3.2. Tahap-tahap mengenal sumber revelasi


Karya ini hanya satu saja namun terdiri dari
beberapa tingkat dan tahap yakni: 1) kreasi
natural; 2) Sabda yang ditujukan kepada umat
Allah lalu berinkarnasi; 3) revelasi sempurna Allah
dalam kerajaan surgawi (eskatologis). Ada tiga
aspek yang menunjukkan kehadiran Allah dalam
ciptaanNya: kehadiran yang maha luas dengan
kausalitanya; rahmat, saat Allah memberikan diri
secara personal sebagai obyek pengetahuan dan
cinta namun masih jauh; kemuliaan tiada akhir.
Ketiganya mengandaikan inisiatif Allah; ketiganya
berelasi satu dengan yang lain: yang terakhir
mendukung yang kedua, lalu yang terakhir dan
yang kedua mendukung yang pertama. Semua ini
merupakan rencana unik Allah bagi manusia
ciptaanNya (Rm 8:29-30; Ef 1:4-5; 2Tim 1:9-11).

4.2.3.2.1. Melalui natura


Teks prinsipil yang berbicara tentang
pernyataan diri Allah melalui natura atau ciptaan
adalah Kebij 13:1; Rom 1:19-21 (φανερόuũ υ); Kis
17:24-29; teks lain adalah: Mazm 19:2; Yes 40:26;
1Kor 1:21. Paulus tak menghubungkan kesaksian
atau komunikasi Allah ini dengan rencana manusia
melainkan kepada aktus dan inisiatif Allah, dan
pada level ini kita bicara tentang aksi penciptaan.
Jika revelasi ini harus direlasikan ulang kepada
Kristus maka kita akan menemukan bahwa Kristus
115

adalah Kebijaksanaan Tak Tercipta.54 Kehadiran


Logos dalam dunia tercipta membuat dunia ini
menjadi sebuah dunia intelligible, logis, iconik, dan
signifikan. Segala sesuatu bisa memiliki kata
bernilai tentang Allah, karena memang segaka
sesuatu berasal dari Sabda: „Allah bersabda maka
semuanya terjadi.“ Jika manusia tak memiliki
terang Sabda ini dalam Dia maka manusia tak
mampu menerima ajaran baik yang berasal dari
master interior maupun yang datangnya dari Yesus
Kristus.55 Manusia yang adalah gambaran Allah
memiliki juga dalam dirinya terang intelektual
yang memungkinkan dia untuk melindungi nilai
ini: tidak saja sebuah ‚teologi natural’ yang
mengenal eksistensi Allah dan beragam atribut
esensial Allah tetapi juga dunia ‚poetic’: liturgi
memakai sejumlah besar karya seni puitis setelah
memurnikannya, dalam perayaan misteri
keselamatan, dalam kultusnya yang ‚logis’ dan
spiritual.
Berhadapan dengan fideisme dan
razionalisme, magisterium menegaskan bahwa
kapasitas natural inteligensi manusia bisa
mengenal Allah dengan bertolak dari realitas
tercipta.56
Namun pengetahuan ini ada batasnya: alam
semesta pada saat yang sama menyatakan dan
menyembunyikan Allah sekaligus. Alam ciptaan
hanya menghadirkan sebuah titik mula dari sebuah
‚jalan’ bagi investigasi atau pencarian; bertolak dari
54
Y. CONGAR, la Tradizione e le tradizioni, Roma 1961, 220-229.
55
P. LACORDAIRE, Jésus-Christ, Paris 1960, 117-123.
56
Dei Verbum 6
116

hal-hal tercipta, manusia bisa tiba pada


pengetahuan tentang eksistensi Allah. Namun
pengetahuan tentang eksistensi Allah atau teologi
bukanlah sebuah konklusi dari sebuah
pengetahuan kosmologis.
Pengetahuan akan Allah berdasarkan realitas
tercipta ada bahayanya. Paulus berpendapat bahwa
pengetahuan yang satu ini didestinasikan kepada
keti-daksusksesan karena manusia bisa
menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana
dengan hal-hal tercipta yang fana (Rom 1:18.21-25;
1Kor 1:21); pengetahu-an ini sulit untuk dijangkau
oleh sejumlah besar manusia.

4.2.3.2.2. Melalui Sabda


Para Nabi. Sebuah inisiatif baru: tidak lagi
„pada prinsip’ dunia melainkan dalam sejarah.
Tidak lagi dalam cara komunal dan indistingtif
sebagaimana dalam natura, melainkan dalam cara
personal dan partikolar. Kini komunikasi diri Allah
tidak lagi melalui alam melainkan melalui
SabdaNya: „Yahweh bersabda kepada Abraham“
(Kej 12:1). Inilah permulaan dari „dispensatio
temporalis“ dan ekonomi historis Sabda Allah,
yang dikatakan dan ditulis.
Allahlah yang pertama-tama berbicara kepada
bapa-bapa kita dan kepada para nabi berulangkali
dan dalam berbagai cara (Ibr 1:1). Sabda telah
mendatangi umatNya, Kebijaksanaan telah
berumah di Israel. Perjanjian Lama dan Baru
sesungguhnya merupakan kesaksian berlanjut
akan Sabda. Melalui Kitab Suci kita mengenal Allah
117

seperti Allah kehendaki dalam membuat dirinya


dikenal.
Dalam Putera. Pada akhirnya Allah berbicara
dengan perantaraan Putera-Nya. Dalam diri Yesus
Kristus tidak saja semua revelasi disatukan
melainkan dalam diri Yesus Kristus revelasi Allah
sungguh sempurna. Yesus memenuhi secara
sempurna semua fungsi profetis: Yesus Kristus
tidak menyatakan suatu elemen dari rencana Allah
atau makna dari sebuah pemberitaan melainkan
Yesus Kristus menyatakan suatu relasi iman
absolut dan sebuah misteri agung. Relasi
perjanjian itu tidak menjadi sempurna jika Allah
sendiri tidak merealisasikannya. Kesempurnaan
perjanjian tidak lain tidak bukan adalah comunio
kekal dengan Allah – divinisasi manusia.

4.2.3.2.3. Langsung
Kitab Suci mewartakan sebuah revelasi
eskatologis yang tidak lagi meru-pakan manifestasi
kata-kata melainkan revelasi final dari realitas
dalamnya kita menegaskan eksistensi dengan iman
(Ibr 11:1). Kitab Suci berbicara tentang revelasi
Yesus Kristus dan kemuliaanNya. Kemuliaan Allah
ini dinyatakan dalam kita dan atas semua ciptaan
yang menantikan dengan rindu revelasi final ini.
Di waktu final-eskatologis, tiada lagi term-
term tentang ‚revelasi’ – yang ada hanyalah
‚epignosis’ atau pengetahuan sempurna (1Kor
13:12) dan „visione beata“ – sebuah pengetahuan
langsung dari wajah ke wajah – tiada lagi mediasi.
118

Revelasi alami berelasi dengan cahaya inteligensi;


revelasi yang dinyatakan melalui sabda para nabi
dan rasul yang dilanjutkan Gereja berelasi dengan
cahaya iman; revelasi eskatologis berkaitan dengan
cahaya kemuliaan.
Dalam diri subyek yang dipanggil kepada iman, ada
‚suatu spirit revelasi’ yang berelasi dengan revelasi
obyektif. Karya Allah membangkitkan kapasitas
dalam diri manusia untuk memahami dan
membuat aktual Sabda dalam hidup nyata. Jadi
revelasi adalah kelanjutan dan perluasan sejarah
Sabda: Yesus adalah Dia yang sanggup secara
sempurna untuk menyatakan kehendak Allah
kepada siapa saja yang dikehendaki.
Allah bebas memanifestasikan diri kepada pribadi-
pribadi tertentu. Kini dia yang mengatakan
persona, mengatakan responsabilitas dan dalam
apa yang adalah ‚responsible’ ada ‚jawaban’.
Sejarah tepatnya adalah waktu yang diberi-kan
kepada manusia untuk menerima Sabda. Bertobat
dan masuk dalam rencana Allah dan bekerjasama
denganNya demi penyelamatan umat manusia.
Hukum fundamental yang memungkinkan
terjadinya komunikasi diri Allah kepada orang
tertentu adalah relasi personal dengan Allah.
Komunikasi diri Allah itu meminta iman teguh.
Iman itu menyatakan diri manusia kepada Sabda.
Kecintaan manusia pada Sabda adalah sebuah
ketaatan dan sebuah keluhuran.

4.2.4. Revelasi – bahasa - perumpamaan


119

Allah berbicara dalam cara yang manusiawi.


Supaya bisa bicara kepada manusia Allah
mengenakan pada diriNya sejarah hidup seorang
manusia. Dengan itu Allah bisa menyampaikan
pikiranNya melalui bahasa dan perumpamaan.

4.2.4.1. Bahasa Ibrani → Yunani


Keterpilihan bangsa Israel mengandung
dalam dirinya jua keterpilihan sebuah bahasa,
instrumen ekspresi dari sebuah kareakter tertentu,
kategori spesifik pikiran. Bukanlah sebuah
kebetulan bahwa Kebijaksanaan Allah memilih
untuk berdiam di Israel. Benar bahwa satu bagian
dari Perjanjian Lama dan totalitas Perjanjian Baru
ditulis dalam bahasa Yunani, tetapi studi paling
valid tidak enggan untuk menunjukkan bahwa para
penulis Perjanjian Baru yang terinspirasi, adalah
orang-orang Ibrani karena asal dan formasi,
merekalah yang membawa ke dalam bahasa Yunani
ide-ide biblis. Kalau para penulis Kitab Suci adalah
orang-orang Ibrani yang terinspirasi maka sudah
hampir pasti bahwa Sabda Allah – pernyataan diri
Allah itu dibabahasakan dengan gaya Ibrani dan
berstruktur semitis. Jadi bahasa semitik menjadi
instrumen revelasi artinya kita mendengar,
menerima dan mengenal Allah melalui sebuah
bahasa.
Dibawanya ide-ide yang khas biblis ke dalam
dunia Yunani menunjukkan dimensi transendental
wahyu dan dimensi universalitas revelasi
(keselamatan diperuntukkan bagi semua umat
manusia).
120

4.2.4.2. Perumpamaan
Kata Origines dan Dionisius, sebuah ekspresi
yang penuh dengan gambaran melahirkan sejenis
pengkianatan spiritual. Walau demikian image bisa
dipakai sarana bantu bagi manusia dalam usaha
memahami Sabda, menarik manusia masuk ke
dalam relasi personal dengan Allah.
Perjanjian Lama, Injil dan Paulus sangat banyak
memakai gambaran dalam kaitan dengan revelasi.
Beragam artikel penting yang ber-katian dengan
iman dinyatakan dalam gambaran: Kristus
Penyelamat digambarkan sebagai Domba Allah,
Gereja digambarkan sebagai kebun anggur, tubuh,
dan bangunan. Gambaran-gambaran itu
merupakan velum yang menyembunyikan:
circumvelatur atau occullatio. Kitab Suci pada saat
yang sama adalah spiritual dan korporal, kaya akan
makna yang intelligible dan konkrit.

4.2.5. Revelasi – mata - telinga


Barangsiapa berteleinga hendak ia mendengar
dan barangsiapa punya mata hendaklah ia melihat.
Mata (hati) untuk melihat apa yang tidak terlihat
oleh mata kepala. Telinga (hati) untuk mendengar
dan terus mendengarkan Sabda hingga
mendengarkan apa yang tidak dikatakan dengan
suara.
Beragam penyingkapan, penampakan diri dan
manifestasi Allah tidak dicari hanya dalam
lingkungan transendental, spiritual melainkan
dicari dalam lingkungan yang kelihatan. Tentu hal
121

ini butuh studi yang serius hingga tiba pada


pembedaan yang jelas antara yang sensus externus
dan sensus internus serta spiritualis. Namun harus
tetap disadari bahwa revelasi itu juga memiliki
dalam dirinya dimensi metatemporal dan
metaspasial.
Dalam realitas ada dua „sensus“ yang
memainkan peranan penting dalam presepsi
tentang yang ilahi: mata dan telinga; melihat dan
mendengar dan akhirnya pengalaman akan yang
terang atau iluminasi. Term melihat, mendengar
dan iluminasi menjadi bagian dari revelasi.

4.3. Revelasi Di Dalam Kitab Suci


Jika kita berkonsultasi pada beragam
ensiklopedi teologis, kurang lebih kita akan
menemukan rumusan revelasi sbb: revelasi adalah
„komunikasi kebenaran religius yang Allah lakukan
terhadap manusia, secara personal atau dengan
perantaraan seorang malaikat.“
Kontekstualisasi dan evolusi dari penggunaan
semantik dari kata-kata tak pernah mengada-ada
dalam teologi. Menarik ketika bicara tantang
‚revelasi’ dikemukakan juga relasi antara konsep
mental dan realitas yang diekspresikan dalam
term. Sangat jarang kita menemukan evolusi dari
term teknis revelasi hingga abad XIV. Kita akan
coba menyelidiki evolusi term revelasi mulai dari
Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Patristik,
Skolastik, Trente, Vatikan I dan Vatikan II.

4.3.1. Revelasi dalam Perjanjian Lama


122

Perjanjian Lama tidak memiliki suatu istilah


teknis untuk revelasi. Biarpun demikian ide
tentang Allah yang membuat diriNya dikenal,
dilihat atau ditemui oleh intervensi spesial di
dalam sejarah adalah hal yang biasa dan sudah
dikenal sejak awal. Kata-kata yang dipakai untuk
mengekspresikan ide tentang Allah dalam
Perjanjian Lama adalah: ra’ah = melihat; yada =
mengetahui; galah = menemukan. Dalam bentuk
pasif nir’ah = ia telah dilihat, ia membuat dirinya
dilihat (menampakan diri) – Kej 12:7; 17:1; 48:3;
Kel 16; noda = ia telah dikenal, ia telah membuat
dirinya dikenal (Kel 6:3) dan diakui. Singkatnya
mau dikatakan bahwa Allah memberitahukan apa
yang manusia tidak tahu; Ia mengungkapkan apa
yang tidak terungkap (bdk Ul 29:28). Intervensi ini
sesungguhnya tergantung pada pilihan bebas Allah.
Allah secara bebas memilih manusia utk
mengkomu-nikasikan diriNya, Allah bersabda-
Allah berbicara dan manusia mendengarkan
dengan iman dan ketaatan. Allah tidak berbicara
kepada massa manusia, tetapi pertama-tama Ia
memilih satu bangsa, dan melalui bangsa pilihan
itu, Ia akan melanjutkan SabdaNya kepada bangsa
lain.57

4.3.1.1. Revelasi diungkapkan dalam forma


yang berbeda
Dalam Perjanjian Lama, revelasi dikomunikasikan
dalam cara yang berbeda-beda. Revelasi yang
diekspresikan dalam forma yang berbeda-beda itu
57
R. LATOURELLE, Theology of Revelation, New York 1966, 21.
123

dikomunikasikan sebagai pengalaman yang tidak


bertujuan untuk membuktikan eksistensi Allah,
melainkan untuk memanifestasikan kehadirannya
dan karya luhurnya serta mengindikasikan apa
yang Allah lakukan, apa yang Ia inginkan dan siapa
Dia. Allah memanifestasikan kehendakNya
melalui Sabda dan peristiwa; Sabda dan peristiwa
agung menuntut ‘penglihatan’ dan ‘pendengaran.’
Telinga/pendengaran memiliki makna luhur dlm
kaitan dengan presepsi tentang Allah. Mata dan
melihat pun punya makna dalam pembicaraan
tentang Allah (Kel 24:9; Ul 34:10 – melihat Allah).

4.3.1.1.1. Sabda
Perjanjian Lama membaca event revelasi dalam
terang intervensi bebas dan penuh daya dari Allah.
Eskpresi istimewa untuk mengungkapkan
intervensi bebas itu ialah Sabda Yahweh. Sabda
Allah itu ide favorit yang lazim dipakai untuk
menyatakan komunikasi ilahi ini. Bagi manusia
biblis biar bisa ‘melihat’ atau ‘memandang’ Yahwe
namun yang terpenting adalah ‘mendengarkan’
Allah. Hal ini bisa dibuktikan secara kuantitatif
menurut LXX: term òráô (melihat) dipakai
sebanyak 520x sedangkan àkoúô (mendengar)
dipakai sebanyak 1080x.
Bagi Israel relasi dengan Yahwe dijalin melalui
kategori kata (dengar) sedangkan bagi orang
Yunani komponen dominan adalah melihat. Jika
orang Yunani adalah bangsa ‘mata’ maka orang
124

Ibrani adlh bangsa ‘telinga’ – ‘melihat Yahwe’ bagi


mereka memiliki selalu makna metaforis.58
Manusia rindu untuk melihat Allah karena
penglihatan adalah cara yang paling komplit dari
presepsi (Kej 32:31- Penuel artinya penglihatan
akan Allah – memandang Allah dari wajah ke
wajah). Ketakmungkinan melihat Allah
sesuangguhnya mau mengungkapkan adanya jarak
yang tak terjembatani antara Allah dan manusia.
Sebuah konsep tentang penampakan Allah
bagi orang Ibrani adalah suatu realitas yang tak
lazim karena manusia tak sanggup memandang
wajah Allah. Yang umum terjadi di lingkungan
Ibrani ialah “mendengar suara Allah (1 Sam 3:1-21
dan Yes 6:1-7). Agama PL adalah agama “sabda”
namun sebelum mendengarkan “kata” betapa
perlunya sikap “selentium dan mendengar”.59
Allah dinyatakan sebagai seseorang daripadanya
sabda bisa didengarkan. Pada sentrum kultus
Israel ada ‘Shema Israel’ – Dengarlah, Israel (Ul
6:4), dalamnya mengandung pengakuan akan Allah
yang esa beserta kemuliaanNya, yang
dikomunikasikan dalam tetragram (YHWH) kepada
Moses dalam semak belukar yang terbakar (Kel
3:14).
Dalam kasus yang dialami oleh Musa, penulis suci
merasa perlu menegaskan bahwa Yahwe lewat di
depan Musa dengan menunjukkan hanya bahu-
bahuNya saja “sebab Engkau tidak tahan
memandang wajahKu sebab tidak ada orang yang
memandang Aku, dapat hidup” (Kel 33:20; Yes 6:5).
58
W. MICHAELIS, “óράω” in GLNT VIII, 923-940
59
R. FISICHELLA, Silenzio, dalam DTF, 1138-1145.
125

Kesimpulan bahwa Moses berbicara dengan Yahwe


“dari wajah ke wajah” seperti seorang sahabat
berbicara dengan sahabatnya sebenarnya
mengandung suatu interese apologetik untuk
menjelaskan relasi konfidensial Moses dengan
Yahweh.
Semua eristiwa teofani kelihatan selalu tunduk
kepada Sabda. Pewahyuan melalui penglihatan
berarti juga revelasi melalui Sabda. Karena itu yang
terpenting ialah bukan kenyataan melihat
melainkan kesediaan mendengarkan Sabda Allah.
Melalui Sabda, Allah memperkenalkan kepada
manusia pengetahuan akan diriNya yang paling
dalam. Sabda Allah di dalam Perjanjian Lama,
mengarahkan, menginspirasikan sejarah yang
dimulai dengan Sabda yang Allah sabdakan pada
saat penciptaan dan berakhir dengan Sabda
menjadi daging dalam Kristus.60
Di sini nabi-nabi adalah spokesman Allah,
pengungkap kehendak Allah kepada umat (Bil
15:31; Ul 5:5; 2 Sam 12:9; Yes 50:4) dan pewarta
Sabda yang mampu mengubah (Yes 49:1; Yer 5:14;
Hos 6:5). ‘Manifestasi Allah’ dalam PL
menunjukkan: komunikasi kehendak Allah yang
bersifat kontinue sebagaimana tertuang dalam
hukum Taurat (Mzm 147:19) dan pernyataan
kemuliaan Allah (Mzm 19:2) akhirnya pernyataan
diri Allah sebagai yang adil dan berbelaskasih (Kel
19:4; Ul 4:34).61

60
R. LATOURELLE, Theology of Revelation, 21-22.
61
M. SEYBOLD et alii (eds), Die Offenbarung: Von der Schrift bis zum Ausgang der
Scholastik, Freiburg 1971, 3-12; N. S. DISTER, Teologi Sistematik I, Yogyakarta 2004, 42.
126

4.3.1.1.2. Kemuliaan/kbd
Kemuliaan menunjukkan kehadiran Allah yang
nampak atas cara yg kelihatan. Kemuliaan
diungkapkan dalam term kabod – kbd (ibrani –
menjadi berat: menjadikan berat dan penting),
doxa (yunani), gloria (Latin). Kemuliaan Allah
menjadi pengalaman akan terang, api, kilat-guntur
dan panas menggigit.
Kemuliaan Allah dinyatakan dalam ketegangan
antara ruang tak terbatas dan ruang terbatas
seperti antara yang universal dan partikular. Dari
satu pihak kemuliaan Allah memenuhi segala
ruang, langit dan bumi dan manusia penuh
kemuliaanNya. Dari pihak lain kemuliaan
dinyatakan pada tempat tertentu dan terbatas
seperti di Sinai (Kel 24:16) dan dari sini kemuliaan
Allah menemani Israel dalam bentuk awan
sepanjang ziarah melintas padang gurun.
Manifestasi kemuliaan Allah dan pewartaan Sabda
berelasi secara erat dlm kehidupan Israel.

4.3.1.1.3. Nama
Relasi antara kemuliaan Allah dan Sabda Allah
menghantar kita kepada titik berangkat, sejauh
kita mengakui bahwa Allah tampak dan berbicara
pada saat yang sama kepada umat Israel. Isi dari
revelasi Allah sesungguhnya dlm Perjanjian Lama
ditunjukkan oleh nama ‘YHWH’ dalam Kel 3:14.
YHWH adalah ‘Allah dari bapamu, Allah Abraham,
Allah Ishak dan Allah Yakub (Kel 3:6). YHWH
adalah Allah yang hidup dan kekal. Menurut
Werner H. Schmidt mengungkapkan makna
127

pengkomunikasian nama YHWH sebagai berikut:


“autorevelasi Allah dalam sabdanya membedakan
secara substansial konsep Perjanjian Lama tentang
Allah. Autorevelasi merangkul secara partikular
perbedaan antara Allah dan manusia: Allah bicara,
manusia mendengar. Semenjak Allah dikenal dgn
namanya, manusia bisa memanggil namanya.
Kepada autopresentasi, yang bisa mengingatkan
kembali suatu revelasi terdahulu, Allah mengingat
janji dengan manusia. Para nabi, yang menantikan
revelasi defenitif, mereka menjanjikan di masa
mendatang pengetahuan “bahwa saya adalah
JHWH.”62
Studi Kitab Suci menjelaskan term YHWH
dengan berbagai frase seperti ‘ego eimi ho on’ atau
‘Saya akan ada seperti dia yang akan ada’ (G. von
Rad), atau ‘Saya adalah (akan adalah) dia yang
akan ada’ (W. Pannenberg) atau ‘Saya akan ada
(dengan engkau’ (W. H. Schmidt). Setiap ide yang
dikemukankan di sini berbicara tentang sebuah
afermasi yang menempatkan Allah dalam relasi
dgn manusia dan menjadikan kehadiranNya
efesien dalam kehidupan manusia.
LIHAT KATEKISMUS GEREJA KATOLIK NO
203-214

4.3.1.2. Tipe revelasi dalam Perjanjian Lama


W. Pannenberg menampilkan 5 tipe revelasi 63
yakni: 1) pengalaman intuitif, mimpi,
mendengarkan Allah, semua ini diinterpretasikan
62
W. H. SCHMIDT, Alttestamentlicher Glaube in seiner Geschichte, Neukirchen 1990,
63-64. Katekismus Gereja Katolik, no 203-20
63
W. PANNENBERG, Systematische Teologie, vol. I, Göttingen 1988, 255-257.
128

sebagai inspirasi dari Allah. 2) pengalaman general


ini ditemani oleh suatu ‘vision’ akan Allah seperti
pengalaman profetis akan panggilan. 3)
komunikasi nama Allah kepada Musa. 4) rivelasi
kehendak Allah di Sinai. 5) penjelasan profetis.
Khususnya 2, 3 dan 5, Allah bukan saja aktor utama
melainkan isi rivelasi.
Herbert Haag meletakkan aksent lebih kepada
mediasi dan ruang rivelasi: 1) penampakan Allah
(teofani bagi seorang individu, penglihatan dan
mimpi bagi orang-orang terpilih, ‘gloria’ bagi umat
manusia. 2) Sabda Allah. 3) aksi Allah dalam
sejarah. 4). Rivelasi dalam penciptaan.64

4.3.1.3. Teori tentang revelasi dalam Perjanjian


Lama.
Ada tiga teori yg kiranya hampir sama dlm
merumuskan revelasi. Term revelasi sangat sering
dihubungkan dengan term apokalyptein dan
revelare. Namun jika kita bicara ttg kenyataan
bahwa Allah atau divinitas ‘ditampakkan’ dan
‘ditunjukkan’ maka term ini lebih dekat kepada
term Yunani epiphanein.

4.3.1.3.1.Epifani.
Dengan aksentuasi pada konsep epinfanik revelasi,65
konsep biblis revelasi dimasukkan lagi ke dlm visi
general ttg sejarah agama-agama, dlmnya ‘revelasi’
tidak lain daripada manifestasi Allah yg hidup dlm
beragam cara dan dalam cara-cara itu Allah
64
H. HAAG, Bibel-Lexikon, Einsiedeln 1982, 1245-1247.
65
M. SECKLER, Der Begriff der Offenbarung, in W. KERN et alii (edd.), Handbuch der
Fundamental-theologie, vol. II, Freiburg 1985-1989, 62-63.
129

menampakkan diri dan terutama memperkenalkan


kehendaknya, menunjukkan jalan yang
menyejukkan dan menyelamatkan. 66

4.3.1.3.2. Apokaplipsis
‘Revelasi’ Allah secara esensial adalah suatu event
eskatologis, yang bisa diverifikasi pada ‘hari Tuhan’
– pada hari penghakiman terakhir. ‘Hari Tuhan’ itu
menyangkut segala sesuatu. ‘Hari Tuhan’ adalah
hari penghakim seluruh dunia dan pada saat yang
sama adalah akhir dunia. Konsekuensinya ‘hari
Tuhan’ akan dialami juga sebagai suatu katastrofe.
‘Hari Tuhan’ dalam term J. Moltmann ‘historisasi
kosmos dalam eskatologi apokaliptik.’ 67 Dalam
konteks ini apokalip-tik dikatakan sebagai ‘ibu dari
teologi kristiani.’68 Singkat kata ide apokalipsis
menampilkan suatu dialetika antara ‘Deus
absconditus et Deus revelatus.’

4.3.1.3.3. Kebijaksanaan Allah


Dalam kaitan dengan kebijaksanaan sebagai
ciptaan pertama Allah (Kebij 8:22-31), kita bisa
mengatakan: “Ia sudah ada sejak awal
internasional, universal dan dihubungkan dengan
ciptaan. Patrimoni dari tradisinya mengandung
spekulasi tentang relasi antara pikiran-pikiran
Allah, sabda yang mewujudkan ciptaan, ordo
interior dunia tercipta, hukum-hukum yang
66
J. MOLTMANN, Theologie der Hoffnung, München 1985, 85-91.
67
ID, Theologie der Hoffnung, 120-124.
68
E. Käsemann, Die Anfänge christlicher Theologie, in Zeitschrift für katholische
Theologie 59 (1960), 162-185; R. BULTMANN, Ist die Apokalyptik die Mutter Theologie? In W.
ELTESTER – F. H. KETTLER, Apophoreta, Berlin 1964, 64-69; J. B. METZ, Glaube in
Geschichte und Gesellschaft, Mainz 1992, 165-174.
130

manusia bisa peroleh dari ciptaan dan perbuatan


mereka yang harus mengikuti hukum-hukum itu.”69
Kebijaksanaan Allah diharmonisasikan dengan
auto-intellengsi bangsa terpilih. Harmonisasi ini
terjadi di dlm Israel karena kenyataan bahwa Israel
dipilih dan dipandang sbg bangsa perjanjian.
Keterpilihan dan perjanjian ini merupakan
jembatan bagi seluruh aksi sapensial Allah, karena
fakta bahwa kebijaksanaan telah menjadikan Israel
sebagai tempat diamnya (Sirakh 24:23-34).

4.3.1.4. Pengalaman akan revelasi dalam


Perjanjian Lama.
Untuk pembagian tahap-tahap revelasi dalam
Perjanjian Lama, kita akan mengikuti pembagian
yang dibuat oleh Rene Latourele:70

4.3.1.4.1. Revelasi kepada Abraham.


Abraham adalah tokoh pertama yang menerima
rivelasi Allah (Kej 12:1-7). Panggilannya itu datang
tiba-tiba (Kej 15:1). Revelasi terjadi dalam suatu
dialog dan dalam dialog itu masa depan
disingkapkan. Dalam revelasi ini perhatian
difokuskan pada Sabda, yang datang secara cuma-
cuma sebab Allah dalam kerahimannya mau
memanggil dan memilih suatu bangsa khusus
menjadi terang bagi bangsa-bangsa lain. Allah
hendak membangun suatu era baru dalam sejarah
umat manusia. Di hadapan Sabda dan panggilan
69
N. LOHFINK, Zur Aussage des Alten testament über “Offenbarung” in G.
OBERHAMMER, Offenbarung, geistige Realität des Menschen, Wien 1974, 135-136.
70
R. LATOURELE, Theology of Revelation, New York 1966, 21-24; ID, Revelation
dalam Dictionary of Fundamental Theology, 907-911.
131

Allah, Abraham menjawab dengan iman dan


ketaatan. Konsekuensinya Abraham akan menjadi
“bapa semua orang beriman.”
Dalam revelasi ini Allah wahyukan diriNya
sendiri melalui perbuatanNya dalam sejarah.
AksiNya berbentuk janji dan pemenuhan janji. Yang
dipentingkan bukanlah “pengetahuan akan Allah”
melainkan iman yang taat (Rm 4:1ss; Gal 3:6ss; Yoh
8:33).
Revelasi kpd Abraham dikembangkan dlm
beberapa tahap berikut: a) panggilan Abraham
yang bermula dari inisiatif bebas Allah (Kej 12:1-
4)71 disusul dengan janji (Kej 12:2-3; 15:1-7),
pengukuhan janji (Kej 15:8-21; 17:1-11) dan
percobaan atas kesetiaan Abraham (Kej 22:1-18).

4.3.1.4.2. Revelasi kepada Moses


Dalam pengalaman religius Moses, tampak
beberapa hal serupa dengan Abraham, tapi punya
dimensi dan makna baru.
Panggilan Moses dan misinya (Kel 3:1-15;
6:2-8) sesungguhnya berasal dari inisiatif bebas
Allah yang keluar dari selensium, datang dan
bertemu dengan bangsa yang menderita (Kel 3:7-
8). Dlm pertemuan ini, Moses menutup wajah-nya,
sebagai tanda hormat dan kesadaran akan superio-

71
E. JACOB, Théologie de l’Ancient Testament, Paris 1968, 163-170. Ia mengatakan
bahwa ‘pemilihan dlm PL adlh suatu realitas sentral ; adlh suatu aktus inizial melalui mana Jahwe
masuk ke dlm relasi dgn umat ; pemilih-an adlh realitas permanen yg menjamin relasi. Setiap
intervensi Allah dalam sejarah Israel adalah suatu pemilihan : baik sebuah tempat utk
memanifestasikan secara lebih partikular kehadiranNya maupun suatu bangsa untuk
merealisasikan rencana-rencanaNya, pun memilih seorang manusia untuk menjadi utusanNya ;
Allah PL adalah Dia yang sambil mem-bentangkan kekuasaan universal, Ia menyatakannya
melalui disposisi bebas.
132

ritas tak terbatas Allah di hadapan manusia serta


penegasan atas transendensi ilahi Allah.72
Perlu ditegaskan bahwa panggilan Moses itu
diarahkan kepada keselamatan sebuah bangsa
biarpun itu adalah panggilan untuk seorang
manusia biasa – panggilan dari seseorang untuk
semua yakni kehadiran dan aksi kepengantaraan,
sebagai model konstan dari rivelasi yang
menyelamatkan. Moses berbeda dengan Abraham
dalam hal keraguan menerima misi yang diajukan
Allah kepadanya (Kel 3:11.13; 4:1-10.13-14),
keraguan yang bakal hadir juga dalam diri Yeremia
dan Yonas.
Dalam manifestasi ini Allah menyatakan
namaNya, suatu fakta bermakna karena nama tidak
hanya menunjukkan realitas terdalam Allah
melainkan juga ‘kehadiranNya di tengah-tengah
umat’ dengan kuasa yang membebaskan. Nama
Allah itu YHWH. JHWH didefenisikan sebagai ‘dia
yang ada’ dekat; ‘dia yang ada’ setia. Dia adalah
penyelamat umat, karena hanya Dia yang punya
kuasa untuk membebaskan dan hadir di antara
Israel sebagai yang menuntun, sebagai tuan sejarah
dari segala hal tercipta dan semua bangsa.
Pembebasan (Kel 7-15). Tuhan
memanifestasikan adaNya dan menegas-kan
kebenaran namaNya, sambil melakukan karya-
karya agung, yang membebas-kan bangsa Israel
dari perbudakan Mesir. Inti sejarah keselamtan
dalam PL adalah Allah yg omnipotent dan hanya
Dia saja adalah Tuhan dan Allah benar. ‘Tuhan
72
J. PLASTARAS, Il Dio dell’Esodo. La teologia dei racconti dell’Esodo, Torino 1977,
51-52.
133

meraja sejak kekal dan untuk selamanya.’ Dari sini


lahir monoteisme biblis. Iman bgs Israel tak
didasarkan pd sebuah pengetahuan yg telah ada
tentang nama Allah tapi iman Israel lahir dari dan
didasarkan di atas intervensi permanen Allah, di
mana setiap resistensi dan potensi manusiawi tak
berarti apa-apa.
Perjanjian (Kel 19:3-8 = janji; Kel 24:4-8 =
konklusi). Di sini diekspresikan nilai spiritual
perjanjian: Allah menyatakan keagungan dan
kekuasaan, sebuah kerinduan untuk
mengkomunikasikan diri kepada umat: ‚Saya telah
mem-buat kamu datang kepada saya.’ Dari pihak
Israel dituntut sikap mendengarkan suara Tuhan
dan kesetiaan pada perjanjian, pengakuan akan
keagungan Allah.
Pencobaan. Umat israel perlu
mempercayakan seluruh hidup kepada sabda
Allah, yang sesungguhnya membawa kpd
keselamatan. Kesetiaan pada Sabda Allah ini
mengalami cobaan. Abraham setia dalam
pencobaan sedangkan umat Israel jatuh dalam
pencobaan.
Pencobaan di padang gurun bisa diklasifikasi
sbb: *pencobaan roti (kel 16:2-6) dan air (Kel 17:2-
6). Israel memberontak dan Allah menjawab
dengan mukjizat: manna dari surga dan air dari
wadas. Manna dan air menjadi tanda efektif
keselamatan dalam PB: roti kehidupan (Yoh 6) dan
air pembersih dan penyelamat (1 Kor 10:4). 73
73
Pencobaan ini bisa diparalelkan dgn pencobaan messianik Yesus (Mat 4:2-4).
‘Sebagaimana selama eksodus pertama Allah memanggil Israel ‘putra sulungnya’ (Kel 4:22) dan
telah menuntun dia ke padang untuk mencobainya, demikian, pada saat baptisan, Allah
memanggil Yesus ‘PuteraNya yang berkenan’ dan kemudian dengan perantaraan Roh, menuntun
134

*Pencobaan idolatri- Israel menyembah lembu


emas (Kel 32:1-6). Ini adalah suatu perbuatan yang
melanggar pengakuan akan YHWH sebagai Allah
benar dan satu-satunya bagi Israel. *Pencobaan
untuk tak mengakui Moses sebagai utusan Allah.
Krn itu ada usaha untuk menentang Moses:
benarkan Allah berbicara melalui Moses dan tidak
melalui kita? (Bil 12:2), ‘baiklah kita angkat
seorang pemimpin, lalu kembali ke Mesir’ (Bil
14:4) dst.

4.3.1.4.3. Revelasi kepada para nabi


Nabi-nabi dalam pemahaman PL melingkupi
semua yang menerima komunikasi ilahi, men-
dapatkan rivelasi melalui mimpi dan
mengkomunikasikan kepada orang lain rencana-
rencana Allah yang tersembunyi. Nabi-nabi adalah
jurubicara Tuhan yang meramalkan apa yang akan
terjadi. Mereka secara istimewa adalah perantara-
perantara Sabda (bdk Kel 20:8). Misalnya dlm Yes 6
dikisahkan tentang penglihatannya, meliputi
pembersihan bibir najis. Yeremia berbicara ttg
pilihan Tuhan yang bebas atas dirinya (Yer 1:5).
Yeremia memainkan peranan yang penting dlm
teologi revelasi, sebab ia mencoba untuk
membentuk kriteria untuk membedakan Sabda
Allah yang autentik. Kriteria-kriteria ini antara
lain: pemenuhan sabda-sabda Nabi (bdk Yer 28:9;
32:6-8), kesetiaan kpd Yahweh dan tradisi religius
(bdk Yer 23:13-32) dan sering ttg suatu kesaksian
heroik diberikan oleh nabi sendiri dalam
Putera ke padang untuk dicobai… IA menang atas pencobaan di mana Israel pertama mengalami
kegagalan.
135

menjalankan panggilan kenabiannya (bdk Yer 1:4-


6; 26:12-15).
Dlm konteks revelasi ini dpt dikatakan bhw: 1)
nabi-nabi mengenal Yahweh sebab Ia telah
berbicara kepada mereka dan mempercayakan
sabda-Nya kepada mereka; 2) nabi-nabi dipa-nggil
untuk memiliki suatu relasi intim dengan Allah; 3)
mereka dipanggil untuk mengenal rahasi-rahasia
Allah (Bil 24:16-17) dan rencanaNya (Amos 3:7)
agar dapat menafsirkannya kepada orang lain.
Adalah pengalaman fundamental mereka
bahwa Sabda Yahweh di dalam diri mereka (Yer
5:13). Mereka sadar bhw Sabda ini bukan berasal
mereka melainkan dari Allah. Mereka berfungsi
sebagai mulut Yahweh (Yer 15:9) dan mereka
adalah manusia sabda (Yer 18:18). Mereka hidup
di antara manusia sebagai yang diberi kuas untuk
berbicara tentang Allah.

4.3.1.5. Isi dan karakter Revelasi dalam


Perjanjian Lama.
*Isi. Isi dari Revelasi Perjanjian Lama adalah:
pewahyuan tentang diri Allah dan rencana-Nya
untuk keselamatan umat manusia. Ia mewahyukan
diriNya sebagai Allah yang hidup dan personal,
penuh kuasa, Tuhan atas kosmos dan yang
menuntut ketaatan utuh kepadaNya. Nabi-nabi
dalam waktu mengenal sedikit demi sedikit sifat-
sifat Allah: maha-adil (keadilan- Amos), maha-cinta
(cintaNya tiada batas dan penuh kecemburuan –
Hosea), maha-tinggi (transcen-den – Yesaya),
mahakudus (kekudusan – Yesaya), dst.
136

Selain itu, keselamatan adalah aspek lain dari


pewahyuan di dalam PL. Perjanjian Lama dikaitkan
dengan rencana ilahi yang tersembunyi dan terus
diwahyukan secara bertahap hingga pada akhir
zaman-kepenuhan waktu-saat keselamatan
defenitif.
*Karakteristik Revelasi PL. Wahyu dalam PL
memiliki beberapa karakteristik: 1) Wahyu itu
bersifat personal, karena Wahyu bukan manifestasi
dari sesuatu melainkan seseorang. Yahweh adlh
subyek dan sekaligus obyek dari Wahyu ilahi:
sebagai Allah yang mewahyukan dan Allah yang
diwahyukan, Allah yang memperkenalkan diriNya
dan membiarkan diriNya dikenal. Dengan
mewahyukan diriNya Allah masuka dalam dunia
manusia dan menjalin suatu relasi personal
dengan manusia. Ia membuat suatu perjanjian
dengan manusia dan mengundang manusia untuk
masuk ke dalam suatu koinonia. 2) Wahyu biblis
berasal dari inisiatif bebas ilahi. Allah yang
pertama berinisiatif utk memper-kenalkan diriNya
kepada manusia. Allah sendiri yang karena
kebebasanNya telah memilih bangsa Israel dan
membangun perjanjian denganNya. Yahweh adalah
cinta dan kebebasan absolut. 3) Yg menjadi primasi
dalam Wahyu adalah Sabda, sehingga agama dalam
PL adalah agama mendengarkan Sabda. Sabda
menuntut iman. 4) Semua Wahyu ditujukan kepada
harapan akan keselamatan eskatologis.

4.3.2. Revelasi dalam Perjanjian Baru


137

Wahyu Allah menjadi nyata dalam diri Yesus


Kristus: “Setelah pada zaman dahulu Allah
berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara
kepada nenek moyang kita dengan perantaraan
nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah
berbicara kepada kita dengan perantaraan
AnakNya” (Ibr 1:1). Kristus adalah puncak dan
kepenuhan wahyu Allah. Di dalam dan melaluiNya
Allah mengenal segala sesuatu dan
mengekspresikan diriNya secara utuh, mengambil
daging dan bahasa manusia. Yesus Kristus menjadi
Injil agar memanggil manusia kepada kehidupan
sempurna.

4.3.2.1. Revelasi dalam tradisi sinoptik


Wahyu dalam PB adalah wahyu dalam dan oleh
Yesus Kristus, Anak Allah. Wahyu PB itu bersifat
unik karena *Yesuslah satu-satunya pembawa
wahyu dalam arti yang sempurna: mengenal Bapa
dan menyatakanNya (Yoh 1:18); *karena Yesus
(diri, sabda, karyaNya, seluruh “peristiwa Yesus”)
merupakan satu-satunya “obyek” wahyu:
“Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat
Bapa.. Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku”
(Yoh 14:9-11).
Dalam Injil Sinoptik tidak terdapat suatu
Teologi Wahyu yang sistematis yang
mengemukakan perbuatan dan perkataan yang
bersifat wahyu itu sebab sebagai kesaksian iman
angkatan pasca-Paskah yang pertama dan kedua,
Injil Sinoptik merupakan endapan tertulis dari
pewartaan yang hidup dan bukan refleksi
138

sistematis. Menurut kesaksian murid-murid yg


beriman, Allah telah menawarkan keselamatan
melalui dan dalam Yesus dari Nazareth. Dlm Injil
Sinoptik tawaran keselamatan itu diungkapkan
sebagai penyingkapan dari apa “yang tersembunyi”.
Term-term yang dipakai untuk mengekspresikan
tindakan pewahyuan adalah: keryssein
(berkotbah), euangelithein (menginjili), didaskein
(mengajar), apokalyptein (mewahyukan). Term
yang sangat dominan dalam Injil sinoptik adalah
keryssein dan didaskein – Kristus yang mewartakan
dan mengajar. Mateus dan Lukas sering memakai
term-term itu bersamaan dalam satu kalimat (Mat
4:23; Luk 20:1). Markus mempergunakan term-
term itu secara ekuivalen: Yesus mengajar (Mrk
1:23) atau mewartakan di sinagoga (Mrk 1:38.39),
Ia mengajar di kampun-kampung (Mrk 6:6).
Demikian halnya dengan Lukas: Yesus mengajar
atau mewartakan Kabar Baik di kenisah (Luk
19:47; 20:1), mengajar di desa dan kota (Luk
13:22; 23:5).
Yesus mewartakan Injil. Kerajaan Allah dan
pertobatan sbg jalan utk masuk ke dalam Kerajaan
Allah (bdk Mat 4:17; Mrk 1:14-15). Ia
mengidentikkan Kerajaan Allah dgn diriNya: “Hari
ini” adalah waktu rahmat yg diwartakan oleh para
nabi telah dekat (Luk 4:21). “Hari ini” disertai dgn
“Inilah saya, Guru yang mengajar dengan otoritas.
AjaranNya baru, kekuasaanNya tak terbandingkan
(Mat 7:29), suatu kekuasaan yang ditempatkan
pada level Allah: “Sungguh” – “Saya berkata
kepadamu” (Mat 5:22.28.32). Ia adalah nabi yang
139

akan datang di akhir zaman (mrk 6:14; 8:28; Mat


21:11).
Yesus adalah rabbi yang mengajar (bdk Mrk
9:5; 11:21; 14:45; Mat. 23:7). Tapi saat Yesus
berbicara tentang diriNya sendiri, Ia tidak
menggunakan titel nabi karena sebagai pewahyu Ia
lebih besar dari nabi-nabi (Mat 12:40; Mrk 9:2-10;
Mat 17:1-13; Luk 7:18-23; 9:28-36). AjaranNya
sering bersifat situ-asional: menjawab pertanyaan
para murid. Ia menunjukkan prinsip-prinsip moral
yang baru: semangat kemiskinan, kerendahan hati
dan cintakasih. Kepada para murid Ia memberikan
instruksi sistematis. Ia menjelaskan makna
perumpamaan-perumpamaan (bdk Mat 13:10-12;
Luk 8:9-10). Ajaran Yesus memiliki karakter yang
unik: Ia mengajar dgn wibawa (bdk Mrk 1:22;
11:28; Luk 4:31-32; Mat 7:28-29). Ia bukan
sekedar seorang rabbi tapi Ia adalah Tuan (bdk
Mat 23:10).
Yesus berkotbah dan mengajar tetapi selalu
dalam konteks menjadi Putera Bapa (Mat 7:21;
10:32-33; 11:25-27): tak seorangpun mengenal
Putera selain Bapa dan tidak seorangpun mengenal
Bapa selain Putera. Dalam kualitas sebagai Putera,
Yesus memiliki pengetahuan sempurna tentang
Bapa. Term “mengenal” (Luk: gignoskein; Mat:
epigignoskein) mengeskpresikan suatu pengenalan
yang paling mendalam menyangkut hakekat. Bapa
dan Putera saling mengenal secara mendalam.
Kristus yang adalah Putera adalah pewahyu Bapa
yang paling sempurna. Bapa juga mewahyukan
misteri dari pribadi Kristus kepada “yang kecil”
140

yang menyadari kekecilannya di hadapan Allah


namun revelasi ini juga adalah suatu anugerah
Allah, suatu cahaya interior yang diberikan Bapa
kepada mereka. Proklamasi kerajaan Allah seperti
halnya revelasi Putera Allah, dilaksanakan melalui
“Sabda dan perbuatan”, perumpamaan dan
mukjizat menurut prinsip ekonomi inkarnasional.
Kotbah dan pengajaran penuh wibawa dari
Yesus meminta iman. Iman adalah jawaban
manusia yang tepat terhadap Kabar Baik yang
diwartakan (bdk Mat 13:23) yakni menerima
Sabda Allah dalam iman dan hidup sesuai dengan
Sabda tersebut (bdk Mrk 4:20; Mat 7:24-27; Luk
6:47-49).
Namun bagi banyak orang Sabda Allah adalah
skandal (bdk Mrk 4:15-19). Orang-orang Nazareth
menolak Yesus karena SabdaNya yang
menakjubkan (Mrk 6:3). Sabda Yesus membawa
ancaman bagi orang-orang kaya (Mrk 10:23-27).
Sabda Allah yang diwartakan menuntut manusia
untuk mengambil sikap: selamat atau hukuman.
Warta kerajaan Allah menuntut pertobatan
radikal (bdk Mrk 1:15; Mat 3:2; 4:17).
Jadi dalam tradisi sinoptik Kristus adalah Dia
yang mewartakan Kerajaan Allah dan Dia sendiri
adalah wujud nyata Kerajaan Allah. Kristus
pewahyu dan pewarta Kabar Gembira Kerajaan
Allah dan mengajarkan Sabda Allah dengan
wibawa. Isi wahyu adalah keselamatan.

4.3.2.2. Revelasi dalam Kisah Para Rasul


141

Dlm kesinambungan dengan tradisi sinoptik, Kis


Ras menghadirkan para rasul sebagai “saksi-saksi
Yesus” – orang-orang yang mewartakan kabar
gembira dan mengajarkan apa yang telah mereka
terima dari Guru. Dia-marturesthai (menyaksikan),
keryssein to euangelion (memproklamasikan Injil),
didaskein (mengajar) adalah tugas dan peranan
pokok para Rasul.74
Memberikan kesaksian adalah tugas utama yg
diberikan kepada para rasul (Kis 1:8; 2:32; 3:15;
5:32; 10:39.41; 13:31). Para Rasul memiliki tiga
karakteristik: a) dipilih oleh Allah (Kis 10:41;
1:26); b). Mereka sendiri telah disatukan dengan
Kristus selama hidup publikNya dan sesudah
kebangkitanNya; c). Para Rasul adalah utusan.
Mereka adalah saksi pertama dan utama
kebangkitanNya (Kis 1:22; 2:32; 3:13-16; 4:2.33;
5:30-31; 10:39-41.42; 13:31), tapi jua dalam arti
luas meliputi seluruh karyaNya (Kis 1:21) dari
permandian hingga kebangkitanNya dan seluruh
karya yang melingkupi penderitaan dan
kebangkitanNya.
Seperti Kristus, para Rasul mewartakan kabar
gembira keselamatan (kis 2:14; 8:5.35; 9:20;
18:31). Pewartaan para Rasul diberikan dalam
kekuatan Roh yang memenuhi mereka dengan
keberanian dan Roh itu berkarya di dalam hati
mereka yang mendengarkan mereka dan dengan
demikian membuat Sabda Allah meresap dlm hati
dan diterima dengan iman (Kis 16: 14).

74
R. LATOURELLE, Theology of Revelation, 52-59
142

Obyek dari kesaksian dan pewartaan mereka


adalah mengajak pendengar untuk mendengarkan
dan menerima Kristus dan SabdaNya (Kis 5:42;
8:5. 35; 9:20; 18:5). Dengan kata lain, para Rasul
mewartakan, mengajar dan bersaksi kepada Kabar
Gembira tentang keselamatan melalui Kristus yang
telah bangkit dari kematian (Kis 2:32; 3:15; 5:30;
10:41; 13:31).

4.3.2.3. Revelasi dalam tulisan-tulisan Paulus


Term-term yang dipakai untuk mengungkapkan
sesuatu yang semula tak dikenal dan kini menjadi
dikenal adalah apokalyptein, phaneroun, photizein
dan gnorizein. Kata-kata seperti di atas dipakai
untuk memmbahasakan “misteri –Injil” yang
merupakan inti pemikiran Paulus tentang wahyu.
Misteri yang semula tersembunyi, kemudian
diwahyukan, dibuka, dikotbakan dan
diperkenalkan agar membangkitkan iman. Misteri
mengungkapkan pemahaman dasar Paulus tentang
wahyu sebagaimana terdapat dalam surat-
suratnya. Soteriologi Paulus dapat diringkaskan
dengan kata “misteri.” Hal ini nampak dalam teks-
teks berikut:
*1 Kor 2: 6-10: misteri didefenisikan sebagai
rencana keselamatan yang telah dibawa kepada
kepenuhan di dalam Kristus tetapi dihadirkan
sebagai “kebi-jaksanaan” yang memiliki sebagai
obyek adalah berkat yang Allah maksudkan untuk
mereka yg terpilih dan yg dapat dimengerti hanya
oleh mereka yg dipenuhi Roh kudus karena
143

kebijaksanaan memiliki sumbernya di dalam Roh


Allah.
*Kol 1: 26: misteri yang sebelumnya tersembunyi,
kini diungkapkan dan mencapai kepenuhannya.
Menurut Paulus Kristus adalah kepenuhan dari
sejarah (pleroma ton kairon). Misteri menjadi suatu
peristiwa historis, dengan tujuan untuk partisipasi
orang kafir dalam berkat keselamatan (Rm 16: 26;
Ef 1:9-10). Misteri didefenisikan sebagai unifikasi
semua di dalam diri Yesus Kristus baik yang di
surga maupun yang di bumi (rekapitulasi).
Misteri yang Paulus maksudkan dapat
dikategorikan pada tingkat yang berbeda-beda:
☺pertama: misteri pada tingkat intensi yakni
rencana Allah yang tersembunyi di dalam Allah
sejak keabadian;
☺kedua: misteri pada tingkat realisasi melalui dan
di dalam Kristus (misteri Kristus) yakni Allah
mengangkat Kristus sbg Pusat dari suatu ekonomi
baru dan membuatNya melalui penderitaan dan
kebangkitan sebagai satu-satunya sumber
keselamatan bagi orang kafir dan Yahudi dan
kepala dari semua;
☺ketiga: misteri pada tingkat personal (misteri
Injil, misteri sabda dan misteri iman);☺keempat:
misteri pada tingkat perluasan dalam kemanusiaan
(misteri Gereja). Jadi misteri adalah rencana ilahi
yang komplet: inkarnasi, penebusan dan kemuliaan
(bdk Ef 3: 8). Sekali misteri ini diwahyukan kepada
orang pilihan lalu kepada semua (Ef 3: 5; Kol 1: 25-
26).
144

Paulus menyebut “misteri” dan “Injil” sebagai


term-term yang ekuivalen (Rm 16: 25; Ef 1: 9-13;
3: 5-6). Keduanya menyangkut satu realitas yakni
rencana keselamatan tetapi setiapnya memandang
rencana ini dari sudut yang berbeda. Dari satu
pihak misteri itu tersembunyi namun
diungkapkan-dimanifestasikan; dari lain pihak
Kabar Gembira (Injil), misteri yang tersembunyi itu
diwartakan, diproklmasikan dan diungkapkan.
Obyek dari misteri dan Injil berdimensi ganda:
soteriologis: seluruh rencana keselamatan
direalisasikan di dalam Kristus dan Kristus adalah
komunikasi sempurna cinta ilahi (Ef 1:1-10) dan
eskatologis: kemuliaan yang dijanjikan (Kol 1: 28;
1 Kor 2:7; Ef 1: 18). Misteri yang diper-kenalkan
kepada manusia melalui pewartaan Injil menjadi
rencana keselamatan. Selain term Injil Paulus juga
memakai kata “Sabda” ( Kol 1: 25; 1 Tes 1: 6) atau
“Sabda Allah” ( 1 Tes 2: 13; Rom 9: 6) atau “Sabda
Kristus” (Rom 10: 17).
Karena misteri adalah persatuan antara orang kafir
dan Yahudi di dalam Kristus, Gereja menjadi
konkritisasi dari ekonomi ilahi. Rencana
keselamatan tidak hanya diwahyukan, lalu
diproklamasikan melalui Injil melainkan jga dibuat
menjadi realitas di dalam Tubuh Kristus (Ef 4:3).
Seperti Kristus yang adalah misteri Allah,
demikianpun Gereja adalah misteri Kristus yang
kelihatan.

4.3.2.4. Revelasi dalam Yohanes.


145

Term-term yang dipakai Yohanes untuk berbicara


tentang dimensi “conscitiva” dan “veritativa”
adalah logos, doxa, aletheia, legein, lalein dan
martyrein. Dalam Yohanes, Kristus adalah Logos
yang ada bersama dengan Bapa dan Kristus itu
adalah revelasi personal dari Bapa (bdk Yoh 1:1-
18). Yesus sendiri menegaskan secara publik
bahwa Ia mengenal Bapa dan selalu ada dalam
kontak dengan Bapa, Ia melihat dan mendenagrkan
Bapa dan tak ada satu orang pun bisa seperti itu
(bdk Yoh 3:11ss; 6:46; 7: 28ss; 8: 55; 10: 15; 17:
25). Yesus Kristus adlh jalan, kebenaran dan
kehidupan (Yoh 14:6), Yesus adalah kebe-naran
(Yoh 8:32; 14:6; 18:38).
Jadi: Kristus adalah Allah yang diwahyukan dan
yang mewahyukan. Misteri Kristus sejauh
manusia dan Allah, mengungkapkan secara
sempurna kehadiran Allah di antara manusia.
Inkrnasi menandakan event revelatif sempurna,
perjumpaan sejati Allah dengan manusia dan
manusia dengan Allah. Dalam Kristus menyatu
secara misteri kemanusiaan manusia dan keilahian
Allah.
Kristus adalah Allah pewahyu sebab Sabda,
dari dirinya sendiri sejak kekal adalah ekspresi
hidup dan komplet Bapa, dan Sabda itu eksist
bersamaan dengan natura Bapa yang memiliki
kekayaan dan kekuasaan ilahi. Karena itu sebab
dan pelaku revelasi adalah Bapa dan Roh Kudus.
Kristus adalah juga Allah yang direvelasikan.
Allah benar yang mewartakan dan memberi
kesaksian tentang dirinya sendiri, karena Ia adalah
146

Allah seperti Bapa. Kristus adalah Allah yang


berbicara dan Allah yang diwartakan; pelaku
revelasi dan isi revelasi itu sendiri, karena Ia
memiliki kesatuan ada dengan Allah; Ia adalah Dia
yang memperkenalkan misteri dan Dia sendiri
misteri in persona.
Kristus adalah juga tanda dari revelasi baik
dalam kekuatan kemanusiaan-nya sebagai realitas
yang nampak dalam terkandung ada dari Verbum
maupun dalam aksi, gestikulasi dan mukjizat-
mukjizat yang dilaksanakan sejauh semua ini
mengungkapkan dalam cara manusiawi essere dan
agire ilahi; baik dalam konsiderasi nilai
sakramental dari inkarnasi, sejauh kemanusiaan
dari Kristus tidak saja memaknai kehadiran Allah
tetapi mengkomunikasikan dan mentran-misikan
rahmat dan hidup ilahi. Inkarnasi adalah tanda
tanda tampak dan efesien dari keselamatan.
Dengan demikian Yesus Kristus adalah sungguh
tanda ultim dan sempurna sebab Ia sendiri
diidentikkan dengan tanda dan menjadikan segala
sesuatu satu dengan tanda.
Yesus Kristus adalah saksi otentik dari
kebenaran yang diwartakan baik dalam sublimitas
dan otoritas ajaranNya yang mengatasi segala
hukum; baik karena kehendakNya, karena kuasa
karya-karyaNya; karena cinta dan generositas dari
semua gestikulasinya; karena kemuliaan Allah yang
bersinar dalam diriNya dan karena kesetaraan
dengan Bapa.
Kristus adalah jawaban sempurna dari
manusia kepada sabda dan auto-komunikasi diri
147

Allah. Kristus sejauh manusia, Ia adalah jawaban


manusiawi sempurna kepada cinta Allah. Ia
membawa manusia kepada kesatuan dengan Allah
dan membuat manusia berpartisipasi dalam
keilahian.
Kematian dan kebangkitan Kristus. Makna
universal kematian Yesus yaitu nabi yang mati
sebagai saksi dan lebih dari itu Putera pengampun.
Yesus adalah manusia sejati dan nabi yang
mencintai keadilan ilahi; Dia adalah Mesias yang
menolak kekuasaan dan menerima kemiskinan;
membayar dengan hidup-Nya sendiri warta
tentang kebenaran yang berlawanan dengan setiap
harapan mesianik palsu.
Kematian Kristus adalah juga manifestasi tak
terbatas kebijaksanaan Bapa yang mengtasi setiap
logika manusiawi dan manifestasi ketaatan
sempurna Putera kepada kehendak Bapa.
Kematian Kristus bukanlah konklusi dari karyanya
dan sabdanya karena ada kebangkitan.
KebangkitanNya itu menandaskan kemaha-
kuasaan Allah. Kemuliaan Allah dinyatakan dalam
kebangkitan, kemuliaan Allah adalah kuasa tak
tertandingi dari kebaikanNya.
Dimensi Trinitaris revelasi. Revelasi adalah
pernyataan sempurna dari ada Trinitaris. Kristus
adalah “kepenuhan” karena mengungkapkan
misteri Bapa dalam kuasa Roh Kudus. Kata DV 2:
“Manusia dengan perantaraan Kristus, Sabda yang
menjadi daging, naik kepada Bapa dalam Roh
Kudus.”
148

4.3.3. Revelasi menurut teologi Patristik


Bagi para bapa apostolik75 yang hidup dan
berkarya pascarasuli, dari akhir abad I hingga
pertengahan abad II, paham wahyu mempunyai ciri
kosmik-universalistik. Harmoni semesta alam
berlaku sebagai pernyataan hukum Allah dan
peraturan etis bagi hidup manusia. Peranan Kristus
ialah menjadi Perantara suatu pendidikan
penyelamatan yang menyeluruh, yang telah
dimulai dalam PL tetapi sekarang dalam inkarnasi
melahirkan pengetahuan (gnosis) yang lebih
mendalam. Dalam Surat kepada umat di Magnesia,
santo Ignatius dari Antiokhia menulis “bahwa ada
satu Allah yang telah mewahyukan diri melalui
Yesus Kristus, PuteraNya, yang merupakan
SabdaNya; dengan Sabda itu Allah keluar dari
keheninganNya”.76 Bagi para bapa apostolik, wahyu
terutama berarti pemerintahan Allah yang
universal yang sudah menjadi nyata dalam komsos
dan peristiwa Kristus. Bapa-Bapa Gereja
memandang wahyu sebagai realitas. Mereka
kurang menonjolkan amanat biblis-eskatologis
tentang Allah yang dalam kerahimanNya berpaling
kepada manusia.
Problemnya adalah soal inkulturasi: bagaimana
wahyu dalam iman kristiani itu dibahasakan atau
75
Yang tergolong bapa apostolik dalam arti yang ketat adalah Klemens dari Roma, Igna-
tius dari Antiokhia, Polykarpus dari Smyrna, dan Papias dari Hierapolis, tetapi dalam arti luas jua
pengarang Surat Barnabas, penulis Didakhe, penulis Pastor (Hermas), penulis Kisah Kemartiran
Polykarpos dan penulis Surat kepada Diognetus.
76
Lihat Bacaan Ofisi Ibadat Harian, seri no. 11, hal 175 (hari Senina, pekan biasa ke-
16), Yogyakarta 1982.
149

dimasukan ke dalam kultur atau filsafat Yunani.


Teologi patristik secara kontekstual dikaitkan
dengan konsep-konsep filosofis yang berkembang
pada saat itu (zaman patristik). Umumnya teologi
mereka masih sangat dipengaruhi oleh Kitab Suci
dan masihdalam kontak dengan saksi-saksi mata
pertama. Pokok-pokok pikiran mereka adalah
sebagai berikut:

4.3.3.1. Dua Perjanjian: Kesatuan dan


perkembangan
Terhadap orang Yahudi yang hanya mementingkan
revelasi profetis dan menyangkal Yesus sbg
kepenuhan wahyu Perjanjian Lama, Bapa-Bapa
Gereja mengajarkan bahwa Yesus adalah
pemenuhan ramalan-ramalan para nabi: Yesus
adalah Mesias. Dan terhadap Marcion yang
mempertentangkan Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru, Irenius, Klemens dari Alexandria
dan Origines menekankan kontinuitas dari kedua
Perjanjian itu. Bagi mereka: adalah Allah yang
sama adalah pengarang dari semua wahyu melalui
SabdaNya atau LogosNya. Ciptaan, teofani, hukum
dan nabi-nabi serta inkarnasi adalah tahap-tahap
dari satu manifestasi berlanjut Allah dalam
perjalanan sejarah. Mereka menandaskan adanya
perkembangan dari satu kepada yang lain. Namun
mereka perkembangan itu dari sudut yang
berbeda:
150

*Yustinus: dalam Perjanjian Lama terjadi


manifestasi partial dan gelap dari Logos dan baru
menjadi total dan terang dalam Perjanjian baru.
*Irenius: Perjanjian Lama merupakan
persiapan, masa pedagogi dan saat janji bagi
inkarnasi, yang baru terpenuhi dalam Perjanjian
baru.
*Klemens dari Alexandria: Perjanjian Lama
berisi ramalan-ramalan yang bersifat enigmas dan
misteri. Perjanjian Baru adalah pemenuhan dan
kejelasan ramalan-ramalan.
*Origenes: dalam Perjanjian Lama misteri
diperkenalkan dan dalam Per-janjian Baru misteri
terpenuhi.

4.3.3.2. Teologi Logos: titik temu dua kultur


Mewartakan Sabda kepada kaum kafir berarti
mempertemukan kekris-tenan dan kebudayaan
lain, dengan filsafat dan pola pikira lain (Yunani).
Supaya Sabda bisa dimengerti dan diterima maka
para pewarta harus mengambil dan menggunakan
filsafat mereka, khususnya Platonisme dan
Stoisisme. Menurut filsafat-filsafat ini Allah tak
campur tangan dalam sejarah umat manusia.
*Yustinus: Untuk menghubungkan
transendensi Allah dan pewahyuan diriNya di
dalam sejarah, Yustinus menarik perhatian
manusia kepada fungsi mediator Yesus Kristus.
Yesus historis identik dengan Logos. Sabda Allah
yang nampak pertama pada Moses identik dengan
Sabda yang daging demi keselamatn umat manusia.
Yustinus memahami revelasi sebagai proses
151

soteriologis tetapi ia memberikan kepada kristus-


Logos suatu tujuan dan makna universal. Ia menye-
but Kristus Logos: “Logos spermatikos.” Sebelum
Kristus Logos sesungguhnya telah ada “spermata
tou Logou” – benih-benih Sabda ini adalah bagian-
bagian dari bentuk pengetahuan inferior dan
partial, dan hanya Kristus, Logos inkarnatif dapat
membawanya kepada kesempurnaan.
*Klemens dari Alexandria: Ia mendasarkan
teologinya pada Logos yang menyelamatkan dan
mewahyukan. Ia memberikan prioritas pada
pengetahuan akan Allah. Logos adalah sumber
terang dan keselamatan dan wahyu adalah gnosis
kristiani. Bagi Klemens: wajah bapa adalah Logos,
melalui Logos Allah dibawa keluar dari
ketersembunyianNya dan diwahyukan. Sebagai
terang dari Bapa, Logos mewahyukan segala
sesuatu yang ada di dunia, segala sesuatu yang
memapukan manusia untuk mengerti dirinya
sendiri dan mengambil bagian dalam kehidupan
Allah. Lantas Logos itu adalah satu-satunya Guru
kita. Sekarang Logos-Guru yang mengajarkan
kepada kita bagaimana menjadi anak-anak Allah.
Dialah yang menyatukan hukum, nabi-nabi dan
Injil. Pengetahuan atau gnosis yang benar hanya
ada di dalam agama kristen. Sumber pengetahuan
adalah Allah yang menghantar manusia kepada
keselamatan dan keselamatan itu tak terpisahkan
dari Kristus.
*Origenes: Menurutnya Logos adalah
gambaran Allah yangs setia: “Di dalam Sabda, yang
adalah Allah dan gambaran Allah yang tak
152

kelihatan, kita melihat Bapa yang melahirkanNya.”


Wahyu terjadi karena, Sabda menjadi daging dan
tinggal di antara manusia. Logos adalah mediator
dari wahyu yang di-mulai dari ciptaan dan maju
menuju kepada hukum-hukum, kepada nabi-nabi
dan akhirnya Injil. Wahyu mencapai puncaknya
dalam inkarnasi Logos.

4.3.3.3. Ekonomi keselamatan dan pedagogi


wahyu
Refleksi patristik selalau ditempatkan dalam
sejarah keselamatan. Menghadapi gnostisisme
yang mempertentangkan Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru, Irenius menekankan kesatuan
sejarah keselamatan. Konsekuensinya, tema wahyu
dihubungkan dengan Sabda Allah yang adalah
pencipta dan penebus. Adalah satu Allah yang
membawa kepada pemenuhan melalui SabdaNya.
Terhadap gnostisisme yang membedakan Kristus
dari Yesus secara daging, Irenius mengajukan tema
ekonomi keselamatan dan menempatkan inkarnasi
sebagai point vokal dari ekonomi ini yang memiliki
awalnya dalam Perjanjian Lama dan akhirnya
mencapai kepenuhannya dalam Kristus –
Perjanjian baru. Inilah yang menjadi unsur baru
dalam kekristenan: bukan Allah baru melainkan
manifestasi baru dari Allah dalam yesus Kristus.
Inkarnasi adalah teofani Sabda Allah. Kalau
demikian, Perjanjian Lama adalah waktu perjanjian
dan Perjanjian Baru adalah saat pemenuhan janji.
Singkatnya, Bapa-Bapa Gereja umumnya
menekankan “aspek ekonomis dari wahyu” yakni
153

wahyu dilihat sebagai rencana bijaksana Allah


tentang kesela-matan yang telah Allah rancang
sendiri sejak kekal dan secara bertahap dan dalam
kesadaran diwujudkan dalam sejarah manusia
melalui jalan-jalan yang telah Ia tentukan,
menyiapkan manusia, mendidiknya, membawanya
pada kematangan di dalam diri Yesus Kristus
sendiri. Irenius, Klemens dari Alexadria dan
Origenes mengembangkan tesis tentang pedagogi
Allah: Allah mendidik manusia untuk menerima
kepenuhan anugerah-anugerah ilahi di dalam
Yesus Kristus. Para bapa Gereja ini menandaskan
bahwa wahyu mencapai kulminasi-nya di dalam
Kristus, Sabda Allah, Logos yang berinkarnasi.
Kristus adalah pewahyu sempurna Bapa.

4.3.3.4. Tempat Kristus dalam sejarah


keselamatan
Bapa-Bapa Gereja melihat Kristus sebagai
kulminasi sejarah keselamatan. Kristus meringkas
semua bentuk inkarnasi supaya Allah dan
rencanaNya dikenal.
*Ignatius dari Antiokia: seluruh wahyu dan
seluruh keselamatan hanya ditemukan di dalam
Kristus. “Hanya satu Allah saja dan Ia telah
mewahyukan diriNya di dalam Kristus, yanga dalah
Sabda yang datang dari kesunyian.” Semua
manifestasi dalam Perjanjian Lama terarah kepada
manifestasi di dalam inkarnasi. Hanya Kristus saja
adalah penyelamat dan pewahyu.
*Irenius: seluruh revelasi sebagai suatu
keterarahan kepada inkarnasi Putera. Putera
154

adalah manifestasi hidup Bapa. Wahyu adalah


epifani dari Bapa melalu Sabda yang berinkarnasi.
Kristus adalah manifestasi kelihatan dari Bapa
yang tak kelihatan.
*Athanasius: ada dua aspek di dalam
manifestasi Sabda melalui inkarnasi: manifestasi
Kristus sebagai persona divina dan komunikasi
ajaran keselamatan oleh Kristus. Inkarnasi
memungkinkan Kristus untuk memperkenalkan
doktrin keselamatan kepada manusia dan
mengundang manusia untuk mempercayainya.
4.3.3.5. Dua dimensi wahyu
Bapa-Bapa Gereja menekankan bahwa aksi
eksterior Kristus yang berbicara, mengajar dan
berkotbah berkoresponden dengan aksi interior,
iluminasi, pengurapan dan kesaksian. Pada waktu
yang sama, ketika Gereja mewartakan Kabar
Gembira, Roh bekerja di dalam diri pendengar
untuk membantu mereka mengasimilasi sabda
yang mereka dengar dan membuatnya berbuah di
dalam diri mereka. Sabda Kristus bukanlah kata-
kata manusia tetapi memiliki dua dimensi yakni
eksterior dan interior karena rahmat yang
menemani dan menjiwa kata-kataNya. St.
Agustinus mengembangkan ajaran ini dalam
mengomentari Yoh 6:44: “tak seorangpun datang
kepadaKu kecuali ditarik oleh BapaKu.” Datang
kepada Bapa berarti percaya. Kristus berbicara
tetapi Bapa yang memungkinkan manusia untuk
menerima Yesus Kristus. Menerima Sabda Allah,
kata Agustinus, tidak sekedar mendengar secara
lahiriah dengan “telinga tubuh” melainkan
155

mendengarnya dengan “telinga hati.” Agustinus


menegaskan bahwa Sabda yang didengarkan
secara lahiriah-yang dialamatkan secara personal
kepada tidak berarti jika Roh Kristus tidak bergiat
di dalam diri kita.

4.3.3.6. Kemisterian Allah dan pengetahuan


akan Allah
Pada abad IV lahir sebuah ajaran sesat yg berasal
dari Eunomius di mana ia mengajarkan bahwa
esensi ilahi sekali diwahyukan tak lagi menjadi
misterius.
Menjawab heresi ini, Bapa-Bapa Gereja
Kapadokia menandaskan iman mereka bahwa
Allah tak dapat dipahami sepenuhnya juga setelah
Ia mewahyukan diriNya: Ia adalah kegelapan yg
misterius yag kedalamanNya tak dapat dipa-hami
oleh akal budi manusia manapun juga, termasuk
Moses, Daud dan Paulus. Essensi Allah tetap
misteri. Apa yg kita kenal dari kedalaman
tersembunyi Allah hanya dari Yesus Kristus. Hanya
Kristus sendiri yg mampu menembus ketebalan
kegelapan itu. Gregorius dari Nyssa menegaskan
bahwa iman kita datang dari Yesus Kristus yg
adalah Sabda Allah, Terang, Kehidupan dan
Kebenaran.
Sedangkan Yohanes Krisostomus menekankan
bahwa sesudah Allah mewahyukan diriNya tetap
tinggal tak kelihatan dan tak terpahami. Allah
selalu tinggal di dalam kedalaman dan kegelapan.
Kita hanya mengenal di dalam Kristus dan Roh
Kudus.
156

4.3.4. Revelasi menurut teologi Skolastik


Zaman skolastik ditandai dengan lahirnya
sekolah-sekolah filosfosi-teolo-gia di bawah
pengaruh dari intuisi anselmiana tentang fides
quaerens intellectum, yang menjadi elemen orizinal
makna terdalam dari sebuah “ordo” yang sedang
hidup di era medioeval. Atmosfir yang berhembus
pada periode ini adalah suatu kepercayaan abadi
dan suatu “penerimaan pasti dan gembira
terhadap revelasi.” Suatu relasi harmonis antara
integrasi dan superamentum, menghubungkan
revelasi dan akal. Konsepsi tentang sebuah
“ordine” adalah hal yang membantu untuk
mengatasi event-event konfliktual dan untuk
melihat suatu konjungsi permanen dari event-
event tersebut: yang dibicarkan di sini adalah
revelasi dan akal, iman dan pengetahuan, razio dan
otoritas pengalaman dan tradisi. Dkl kita bicara
tentang sebuah kooperasi continue demi
pengabdian kepada keteraturan kosmos dan
sejarah yang dikehendaki oleh Allah.
Menurut teologi skolastik revelasi adalah
“terang bagi akal” yang membe-rikan suatu
“iluminasi pasti”, demikian Bonaventura. Thomas
Aquinas mengata-kan bahwa revelasi itu adalah
“karya keselamatan”. Wahyu ditujukan kepada
keselamatan manusia. Penyelamat manusia adalah
Allah sendiri.
Revelasi itu memiliki komponen gnosiologis
melalui mana, Allah memberikan kepada umat
beriman segala kebenaran penting dan perlu demi
157

realisasi keselamatan itu. Kebenaran yang


diwayhukan atau revelatum menjadi dasar
pengetahuan tentang Allah. Bagi skolastik revelasi
adalah sebuah keseluruhan dari doktrin yang
menghantar kepada keselamatan jika diketahui.
Revelasi dibataskan pada komponen gnoselogis
dari sejarah keselamatan. Hal ini berbeda dengan
periode biblis dan patristik yang berpikir bahwa
“revelasi” dan “kesalamatan” pada hakekatnya
adalah sinonim: Allah yang membuat diriNya
dikenal adalah Allah yang menyelamatkan.
Thomas Aquinas melihat wahyu sebagai sebuah
peristiwa historis. Ia me-mandang wahyu sebagai
suatu tindakan hirarkis yang ditandai dengan
keberhasil-an, kemajuan dan penggandaan bentuk
serta makna komunikasi.
Ada hal menarik bagi Aquinas yakni “revelasi
profetik”melalui mana Thomas mencari untuk
memasukkan ke dalam horison “psikologis” aksi
supranatural dari Allah dalam merevelasikan
diriNya.77 Tidak ada banyak ruang dalam teologi
Thomas Aquinas bagi konsep tentang revelasi yang
dipahami sebagai suatu keseluruhan dari
kebenaran yang direvelasikan. Thomas tidak bicara
tentang kebenaran sebagai revelasi tetapi terlebih
sebagai “sacra dottrina”; yakni ajaran-ajaran yang
terkandung dalam Kitab Suci dan diinterpretasikan
oleh iman Gereja dan yang ada karena revelasi.
Bagi Th. Aquinas revelasi lebih tinggi dari
pengetahuan karena revelasi berasal dari satu
forma divina; tapi karena setiap pengetahuan
77
Summa Theologiae II, II.
158

harus menyim-pulkan dirinya dlm putusan


demikian jua hal bagi pengetahuan tentang
revelasi. Putusan diungkpakan dan dijernihkan
oleh persetujuan iman yg dlm rahmat dibe-rikan
kpd revelasi. Kita menemukan di sini sebuah
movement ganda: sesuatu yg turun dari Allah yang
mengkomunikasikan pengetahuannya – kebenaran
dan sesuatu yang naik menuju Allah yang
berhubungan dengan iman umat beriman.78

4.3.5. Revelasi menurut Trente dan post Trente


Konsili Trente tidak berbicara tentang revelasi
secara konkrit. Problem yang dibicarakan Trente
adalah sarana-sarana dan sumber-sumber revelasi.
Teks utama yang menjadi referensi adalah
Proemium kepad Decretum de libris sacris et
traditionibus recipiendis di mana ditemukan term
“evangelium” untuk menun-jukkan globalitas
pribadi kristus yang ditransmisikan tida hanya
melalui Kitab Suci tetapi juga melalui ajaran-ajaran
yang secara dinamis dan progresif ditrans-misikan
oleh iman umat Allah.
Periode post tridentino ditandai oleh adanya
separasi dalam kristianitas, separasi iman dari
negara sebagaimana terungkap dalam slogan
“cuius regio eius et religio. Intuisi tomistik
dalamnya preambule fidei “walaupun termasuk
dalam ordo metafisik dan ciptaan, yang diperoleh
melalui pengalaman iman dan diintegrasikan ke
dalam kesatuan pengetahuan tentang iman” tidak
78
STh I, 1; II-II, 1-7, 171-174; Contra Gentes L, III, 154; de Veritate 12; cfr. A.
PATFOORT, Tommaso d’Aquino. Introduzione a una teologia, Torino 1988, 9-11; V. WHITE, Le
concept de révélation chez st. Thomas, in “Année theologique” (1950), 1-17; 109-132.
159

bisa sanggup lagi menjamin keharmonisan relasi


iman dan akal.
Karena iman telah membagi kekristenan,
kesatuan nampaknya hanya bisa diperoleh lewat
akal sehingga lingkup interese mulai berubah dari
iman kepada akal. Akal keluar dari bingkai
relasinya dengan iman untuk masuk ke dalam
relasi dengan “agama” yang dimengerti sebaga
tuntutan natural manusia. Dengan menentang
“agama dogmatik” atau “agama revelasi” berarti
saat bagi “agama natural” mulai berperan.
Refleksi teologis ditemukan dalam suatu
“kewajiban” untuk berefleksi seputar dimensi
ganda dari aksi: dari satu pihak refleksi tentang
problem-problem yang ditimbulkan oleh
Reformasi; dan di lain pihak refleksi tentang
filsafat dan otoritas akal budi manusia. Refleksi
teologis membantu kita untuk menjunjung tinggi
revelasi sebagai “manifestasi obyek” dari
kebenaran Allah. Pandangan ini berkonsekuensi
ganda dalam teologi yakni pertama-tama lupa
berpikir tentang revelasi dalam makna gandanya
yaitu: revelasi sebagai karya Allah bagi manusia
dalam isi revelatif dan revelasi sebagai “illuminasi
intern” yang membangkitkan dalam diri manusia
posibilitas untuk mengakui dan mengenal revelasi
dan menghormatinya. Yang kedua, obyektivasi dari
isi yang direvelasikn sebagai ekspresi dari
kebenaran ilahi bisa diterima melalui “signa
revelationis.”

4.3.6. Revelasi menurut Konsili Vatikan I


160

Sejarah berjalan terus hingga pada Vatikan I


dan afermasi dogmatis tenta-ng revelasi seperti
tertuang dalam konstitusi dogmatis Dei Filius bab
II. Bab II ini berjudul “Tentang Wahyu”: “Bunda
Gereja Kudus itu juga mengakui dan meng-ajarkan
bahwa awal dan tujuan segala sesuatu, dapat
diketahui dengan pasti dengan terang kodrati nalar
manusia dari apa yang diciptakan; sebab apa yang
tak tampak dari padaNya, dapat tampak kepada
pikiran dari karyaNya sejak dunia diciptakan (Rm
1:20); tetapi (Konsili mengajarkan) juga bahwa
telah berkenan kepada kebijaksanaan dan
kebaikanNya untuk juga dengan cara lain, yakni
dengn cara adikodrati, mewahyukan kepada umat
manusia diriNya sendiri serta kepu-tusan-
keputusan kehendakNya yang abadi,s ebagaimana
dikatakan Rasul, ‘setelah pada zaman dahulu Allah
berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara
kepada nenek moyang kita dengan perantaraan
nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah
berbicara kepada kita dengan perantaraanNya’ (Ibr
1:1-2)”.79
“Adalah sebuah Gereja dalam pencarian akan
apa yang sudah diaugurasi Vatikan I.” 80 Ekspresi ini
saja yang bisa menampakkan konteks yang
menandai formulasi dari revelasi dalam Dei Filius.
Saat ini kuasa temporal Gereja dilawan bahkan
fundamen dari eksistensinya yakni revelasi
sopranatural yang menghadir-kan seorang Allah

79
DS 3004
80
M. CHAPPIN, Vaticano I, dalam DTF, 1431.
161

pencipta dan penyelamat dalam suatu eksistensi


personal pun ditantang habis-habisan.81
Veritas et auctoritas, mensintesikan dan
menjelaskan pemahaman awal terhadap revelasi
yang diformulasikan oleh Vatikan I.82 Dei Filius
memperkenalkan secara essensial suatu visi
gnoseologis dan noetik dari revelasi. Tujuan
prinsipilnya seperti tercantum dalam bab II Dei
Filius adalah memasukkan suatu konotasi
“supranatural” atau “alia via” menentang setiap
forma “posetivistis” yang mungkin tentang revelasi
terutama suatu pengetahuan natural tentang
Allah.83 Revelasi adalah benar karena sopranatural
dan mengatasi yang natural dan tidak ditentukan
oleh regula-regula manusiawi.
Supaya revelasi itu supranatural, ia keluar dari
control dan otonomi razio. Kebenaran dari isi
revelasi adalah “non propter intrinsecam rerum
veritatem naturali rationis lumine” (lawan Hermes)
tetapi dalam kuasa “auctoritas ipsius Dei revelantis
qui nec falli nec fallere potest”.84
Menurut prospektif ini, revelasi ditampilkan
dalam konsep yang secara praktis bersifat
“doktrinal”. Revelasi adalah suatu keseluruhan dari
misteri yang mengatasi akal budi manusia tetapi
akal budi manusia tahu menerimanya. Keha-diran
dari “signa” dipandang sebagai sebuah percobaan
ekstrensik dalam formu-lasi dari kredibilitas dan
“auctoritas Dei revelantis” yang membatasi ruang
81
M. CHAPPIN, Vaticano I, dalam DTF, 1431.
82
R. AUBERT, Le problème de l’actes de foi , Louvain 1945, 131-222; H. BOUILLARD,
Le concept de Révélation de Vatican I à Vatican II, in AA. VV., Révélation de Dieu et language
des hommes, Paris 1972, 5-50; P. HEICHER, Offenbarung, München 1977, 118-150.
83
DS 3004.
84
DS 3008-3026-3029.
162

gerak relasi personal dengan Allah dalam jawaban


iman.
Dei Filius menghadapi problem revelasi tidak
bertolak dari revelasi tetapi bertolak dari suatu
provokasi ekstern yakni “razionalisme.” Revelasi
menjadi obyek dari formulasi dogmatis
magisterium Gereja. Revelasi lalu dimengerti
dalam horison veritatif. Kebenaran pasti dan
absolut yang memungkinkan orang beriman masuk
dalam relasi partisipatif pada kebaikan-kebaikan
ilahi dalam hal ini: “mengatasi inteligensi
manusia”.85

4.3.7. Revelasi menurut Konsili Vatikan II


Beberapa pokok refleksi yang perlu menjadi
perhatian utama dari Konsili Vatikan II dalam
berbicara tentang revelasi adalah: dimensi
kristosentrisme dari revelasi, historisitas revelasi
dan sakramentalitas revelasi.
Dimensi kristosentrisme revelasi86
menggarisbawahi Kristus sebagai tokoh sentral
revelasi. Kristus adlh Revelator dan Revelasi
sekaligus dan identik.
Dimensi historis revelasi menggarisbawhi
masuknya Yesus Kristus ke dalam sejarah hidup
manusia: menjadi manusia, mengenakan tubuh
manusiawi, memakai bahasa manusiawi – Ia sama
dengan manusia dalam segala hal kecuali dosa.
Inilah Kenosis yang artinya menerima
“temporalitas” sebagai kategori yang harus ada
85
DS 3005.
86
T. CITRINI, La rivelazione centro della teologia fundamentale, dalam R. FISICHELLA
(ed), Gesù Rivelatore, Milano 1988, 85-99.
163

demi realisasi dirinya di antara manusia. Dimensi


historis ini mengan-dung di dalam dirinya tiga
kategori gnoseologik kontemporer yakni 1)
reakuisisi prinsip inkarnasi yang membawa
dalam dirinya beberapa konsekuensi teologis:
komponen humanisasi Allah dalamnya apa saja
yang diangkat diselamatkan; penggunaan sebuah
bahasa dan sebuah kultur manusia oleh Allah dan
sekaligus mengatasi kultur partikular yang
bersangkutan supaya bisa membuka diri kepada
universalitas87; komunikasi kepada umat manusia
melalui manusia tentang suatu makna hidup
bahwa itu terealisir jika dekat pada Yesus atau
makna hidup akan hilang jika jauh dari Yesus. 2)
konsep ekonomi revelasi: fungsi “preparatoria”
atau “prefigurativa” dari revelasi Perjanjian Lama
dan harapan akan eschaton sebagai moment
puncak dalamnya seluruh ciptaan melalui Kristus
akan diserahkan kembali ke dalam tangan Bapa. 3)
dimensi dgnnya Yesus dari Nazaret memahami
secara progresif misinya: ketaatan kepada Bapa
hingga “menyerahkan diri” kepada kematian
sebagai aktus suprem dalam merevelasikan cinta
Bapa.
Dimensi sakramentalitas revelasi:
menunjukkan aspek misteri revelasi. Revelasi lahir
dari aksi bebas Allah yang memutuskan untuk
memasukkan diri-Nya ke dalam sejarah. Revelasi
itu disampaikan dengan “gestis verbisque” yang
terpenuh dalam diri Yesus Kristus, Sabda yang
menjadi manusia, di dalam Roh Kudus menemukan
87
H. U. Von BALTHASAR, Le implicanze del Verbo, in Verbum Caro, Saggi Teolo-gici I,
Brescia 1968, 55-79.
164

jalan kepada Bapa dan mengambil bagian dalam


kodrat ilahi (DV 2) tetapi pada saat yang sama,
revelasi adalah misteri yang menuntut pemahaman
benar tentang nilai revelatif itu. Revelasi
disampaikan oleh Yesus dari Nazareth tetapi
supaya menjadi sempurna harus tiba pada misteri
Allah. Jadi ada dimensi “kristosentrik” revelasi
tetapi terbuka kepada dimensi “teocentrik” sebagai
isi ultim dan defenitif. Proses wahyu sungguh
berpusat pada Allah: Allah memulai, Allah merea-
lisasikannya dan Allah pula adalah tujuannya.
Proses wahyu tidak menyampaikan sesuatu,
melainkan menyatakan diri Allah sendiri dengan
tujuan ‘masuk dalam orbit Bapa.’

5. Evaluasi/penilaian
Mahasiswa/i diminta untuk mempelajari
secara teliti seluruh materi perku-liahan, lalu
membuat ringkasan yang komprehensif atas
seluruh pokok bahasan.
Rangkuman : buat sebuah rangkuman singkat
namun lengkap atas 4 point pokok yang sudah
anda pelajari dalam pokok bahasan ini. Perhatikan
secara serius point mana yang anda kuasai dan
mana yang belum anda kuasai. Pelajari sekali lagi
bagian yang belum dikuasai dan buatlah sekali
rangkuman, disertai catatan kristis atas bahan
yang telah diperoleh dengan mengemukakan
pandangan lain dari referensi lain.
Latihan : sebagai latihan dan evaluasi atas daya
serap anda terhadap bahan pembelajaran, maka
165

dalam setiap pertemuan anda diminta untuk


menjawab 4 pertanyaan dari beberapa pertanyaan
yang telah disediakan. Rumusan penilaian :
jmlh jawaban benar x 100
4
Jelaskanlah apa yang dimaksudkan dengan
Revelasi dan Teologi dari Revelasi?
Uraikanlah secara rinci Revelasi menurut Patristik!
Jelaskanlah perbedaan antara Revelasi menurut
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru!
Bagaimana pandangan Konsili Vatikan II tentang
Teologi Revelasi?
Jelaskanlah teologi revelasi dari revelasi!
Bila tingkat penguasaan anda mencapai 80% ke
atas anda dapat melanjut-kan ke kegiatan belajar 5.
Tetapi bila tingkat penguasaan anda masih di
bawah 80 % maka anda harus mengulang lagi
kegiatan belajar 4 terutama bagian yang belum
anda kuasai.
6. Acuan
1. A. DULLES, Models of Revelation, Gill and
Macmillan, NY 1983
2. K. RAHNER, Concise Theological Dictionary,
Freiburg/London 1965
3. T. CITRINI, La rivelazione centro della teologia
fundamentale, dalam R. FISICHELLA (ed), Gesù
Rivelatore, Milano 1988
4. E. JACOB, Théologie de l’Ancient Testament, Paris
1968
5. R. LATOURELLE, Theology of Revelation, New
York 1966
166

MODUL 5
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA
KUPANG
FAKULTAS FILSAFAT AGAMA
PROGRAM STUDI STRATA 1 (SATU) FILSAFAT
AGAMA KATOLIK
MATA KULIAH: TEOLOGI FUNDAMENTAL
KODE MATA KULIAH: 001
BEBAN MATA KULIAH: 2SKS
SEMESTER: II, TAHUN AJARAN 2006/2007
DOSEN: RM. DR. OKTOVIANUS NAIF, PR
KODE DOSEN: 634

IMAN: JAWABAN BEBAS MANUSIA KEPADA


REVELASI

1. Pengantar
Jawaban yang pantas untuk panggilan atau revelasi
diri Allah ialah iman. Iman adalah ikatan personal
manusia dengan Allah dan persetujuan bebas
terha-dap segala kebenaran yang diwahyukan oleh
Allah. Dalam iman akal budi dan kehendak
manusia bekerjasama dengan rahmat ilahi. Iman
itu sesuatu yang spiri-tual dan razional.

2. Standar Kompetisi/TIU
167

Dengan mempelajari Modul 5 ini para


mahasiswa/i diharapkan memiliki pengetahuan
yang memadai mengenai iman sebagai jawaban
bebas kepada panggilan Allah.

3. Indikator/TIK
Kemampuan khusus yang diharapkan lahir
dari para mahasiswa/i dari pembelajaran Modul 4
ini ialah:
1. Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan
secara tepat apa yang dimaksudkan dengan iman.
2. Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan iman
menurut Kitab Suci.
3. Agar mehasiswa/i dapat menjelaskan iman
menurut teologi Patristik
4. Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan iman dan
pembenaran iman menurut Thomas Aquinas,
Martin Luther
5. Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan iman dan
pembenaran menurut Konsili Trente
6. Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan iman
menurut Konsili Vatikan I 7. Agar mahasiswa/i
dapat menjelaskan iman menurut Konsili Vatikan II
8. Agar mahasiswa/i dapat menjelaskan relasi
antara dan pengetahuan.

4. Kegiatan/strategi pembelajaran dan pokok


bahasan
Pokok pembelajaran yang akan disajikan di
sini terfokus pada soal Revelasi dan Teologi
Revelasi. Bahan pembelajaran ini berorientasi pada
168

keaktifan mahasiswa melalui studi pribadi, studi


kelompok dan input dari dosen.
Selesai proses pembelajaran ini mahasiswa/i
diharapkan mampu membuat ringkasan
komprehensif mengenai bahan pembelajaran yang
telah digeluti. Bila ringkasan itu memuat 70-80%
bahan pembelajaran dan mahasiswa/i mampu
menyelesaikan 4 soal maka mahasiswa/i dianggap
menguasai materi yang diajar-kan dan bisa lanjut
ke pokok pembelajaran berikut.

Pokok Bahasan 5
IMAN:
Jawaban bebas atas panggilan Allah

Melalui wahyuNya, Allah yang tak kelihatan


dari kelimpahan cintaNya menyapa manusia
sebagai sahabat-sahabatNya dan bergaul dengan
mereka, mengundang mereka ke delam
persekutuan dengan diriNya dan menyambut
mereka di dalam kerajaan Allah (DV 2). Allah
sebagai pewahyu mengharapkan tanggapan posetif
dari manusia atas apa yang diwahyukan.
Tanggapan posetif itu berupa penyerahan diri
secara bebas kepada Allah. Jawaban pantas untuk
undangan Allah ialah iman. Menyerahkan diri
seutuhnya kepada Allah dan mengamini secara
absolut apa yang Allah katakan sebagai benar dan
169

tepat, itulah iman. Iman adalah jawaban atas Sabda


yang diwahyukan oleh Allah. Iman adalah itu suatu
anugerah Allah, suatu kebajikan adikodrati yang
dicurahkan oleh Allah kepada manusia yang
beragama. Rahmat itu ada mendahului iman.
Supaya orang dapat percaya diperlukan rahmat
Allah yang mendahului serta menolong, pun
bantuan batin Roh Kudus, yang menggerakkan hati
dan membalikkannya kepada Allah, membuka
mata budi dan menimbulkan pada semua orang
rasa manis dalam menyetujui dan mempercayai
kebenaran itu (bdk DS 3008).

5. 1. Iman
Iman adalah ikatan pribadi manusia dengan Allah
dan sekaligus, tidak terpisahkan dari itu,
persetujuan secara bebas terhadap segala
kebenaran yang diwahyuhkan Allah. Sebagai ikatan
pribadi manusia dengan Allah, iman Kristen
berbeda dengan kepercayaan yang diberikan
kepada seorang manusia. Menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Allah, dan mengimani secara
absolute apa yang Ia katakan adalah tepat dan
benar.88 Iman adalah suatu anugerah Allah, satu
kebajikan adikodrati yang dicurahkan oleh-Nya.
“Supaya orang dapat percaya seperti itu,
diperlukan rahmat Allah yang mendahului serta
menolong, pun bantuan batin Roh Kudus, yang
menggerakkan hati dan membalikannya kepada
Allah, membuka mata budi, dan menimbulkan

88
P. Herman Embuiru, SVD (Penerj.) Katekismus Gereja Katolik, Nusa Indah, Ende
1995, art. 150 (selanjutnya disingkat KGK).
170

pada semua orang rasa manis dalam menyetujui


dan mempercayai kebenaran itu”.89
Orang yang memperkenalkan diri tentu saja
mengharapkan jawaban atau tanggapan yang
positif dari pihak yang disapanya. Maka Tuhan
sebagai pewahyu yang menyatakan diri kepada
manusia, tentunya berharap agar manusia dengan
senang dan penuh syukur menerima pewahyuan
diri Allah itu dengan menjawabnya dengan
penyerahan diri pula kepada Allah pewahyu. 90
Iman adalah sikap kristiani yang mendasar dalam
kehidupan kaum beriman, sebagai jawaban penuh
kepercayaan terhadap sabda yang diwahyukan
oleh Allah.91 Gereja Katolik mengajarkan bahwa
iman ini, yang merupakan awal keselamatan
manusia, adalah kebajikan adikodrati dengan kita,
yang didorong dan dibantu oleh rahmat Allah dan
percaya kepada sesuatu yang diwahyukan oleh
Allah sebagai benar, bukan karena kebenaran
intrinsiknya yang dapat dimengerti oleh akal budi,
melainkan karena kuasa Allah sendiri yang
mewahtuhkannya, dan yang tidak dapat ditipu
ataupun menipu.
Melalui wahyu-Nya, “Allah yang tidak kelihatan dari
kelimpahan cinta-Nya menyapa manusia sebagai
sahabat-sahabat-Nya dan bergaul dengan mereka,
untuk mengundang mereka ke dalam persekutuan
dengan diri-Nya dan menyambut mereka di
dalamnya (DV 2). Jawaban yang pantas untuk

89
Dei Verbum (selanjutnya disingkat DV) art. 5.
90
Dr. Niko Syukur Dister, OFM, Pengantar Teologi, Kanisius,Yogyakarta, 1991, 127.
91
Avery Dulles, SJ, Model of Relevation, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh
Georg Kirchberger SVD, Model-Model Wahyu, Nusa Indah, Ende 1994, 14.
171

undangan itu ialah iman”.92 Melalui iman manusia


menaklukkan seluruh pikiran dan kehendaknya
kepada Allah. Dengan segenap pribadinya, manusia
menyetujui Allah yang mewahyuhkan Diri. Kitab
Suci menamakan jawaban manusia atas undangan
Tuhan yang mewahyuhkan Diri itu “Ketaatan
Iman”.93
Menurut DS 3008, hanya dengan bantuan rahmat
dan pertolongan Roh Kudus manusia mampu
percaya. Walaupun demikian, iman adalah suatu
kegiatan manusiawi yang sebenar-benarnya.
Percaya pada Allah dan menerima kebenearan-
kebenaeran yang diwahyuhkan oleh-Nya, tak
bertentangan baik dengan kebebasan maupun
pikiran manusia. Dalam hubungan antar manusia
pun tidak bertentangan dengan martabat kita,
kalau kita percaya apa yang orang lain katakan
kepada kita mengenai diri mereka sendiri dan
mengenai maksudnya, dan memberi kepercayaan
kepada perjanjiannya (umpamanya kalau seorang
pria dan wanita kawin) dan dengan demikian
masuk dalam persekutuan dengan mereka. Maka
dari itu, sama sekali tidak berlawanan dengan
martabat kita, “dalam iman memberikan kepada
Allah yang mewahyukan diri, ketaatan pikiran dan
kehendak secara utuh” dan dengan demikian
masuk ke dalam persekutuan yang mesra dengan-
Nya.
Dalam iman, akal budi dan kehendak manusia
bekerja sama dengan rahmat ilahi: “iman adalah
suatu kegiatan akal budi yang menerima
92
KGK, art. 142.
93
KGK, art. 143.
172

kebenaran ilahi atas perintah kehendak yang


digerakkan oleh Allah dengan perantaraan rahmat”
Aquinas., 5. th. 2-2, 2, 9).94
Awal iman kristiani, menurut Yohanes terletak
dalam pewahyuan oleh Yesus Kristus. Pewahyuan
sama dengan kebenaran. Awal dalam waktu
maupun awal dalam kehadiran ataupun keabadian
ialah Sang Sabda. Awal dalam sejarah adalah
pewahyuan Yesus Kristus yang menjelma
sedangkan awal ahkiki bagi orang Kristen ialah
firman dalam persatuan dengan Allah. Dalam
Yohanes 22:13 ditegaskan prinsip ini “aku adalah
alfa dan omega, yang pertama dan terakhir”. 95
Firman adalah awal, prinsip Kristen, dan iman kita.
Sedangkan manusia sekarang ini mendefenisikan
iman adalah suatu pengakuan batin akan
hubungan antara Allah dan manusia. 96 Mereka
yang percaya bahwa Yesus Kristus adalah Putra
Allah dan menjelma menjadi manusia cenderung
mengungkapkan akan pengalaman batin. Iman
yang sesuai dengan cara agama Kristen. Tetapi
warisan Kristen inilah yang sering dirasakan
manusia modern dengan buta iman yang rabun
dan ini sangat tidak menyenangkan.

5.2. Iman menurut Kitab Suci


Untuk mencari tahu arti dan peran iman dalam
Kitab Suci, kita tidak bertolak dari kata dan istilah
tertentu yang dalam bahasa modern
94
KGK, art. 155.
95
Guido Tisera, SVD, Firman Telah Menjadi Manusia, Kanisius, Yogyakarta 1992), 17
96
John Powel, S.J, Beriman Untuk Hidup Beriman Untuk Mati, Kanisius,, Yogyakarta
1991, 55.
173

diterjemahkan dengan iman, tetapi dari


pertanyaan, bagaimana Kitab Suci mengerti sikap
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan.97
Untuk itu ada dua pendekatan guna menjawabi
pertanyaan tersebut: pertama, menyelidiki gagasan
iman menurut beberapa tradisi teologis dalam
Kitab Suci; kedua, dengan melihat beberapa tokoh
biblis penting dalam sikap mereka terhadap Tuhan.

5.2.1. Iman Dalam Perjanjian Lama


Iman adalah hal radikal pertama yang harus ada
untuk persekutuan dengan Allah dalam cinta. Iman
adalah suatu pertemuan pribadi anata manusia
dan Allah dalam cinta yang berlimpah.98
Dalam Perjanjian Lama yang memainkan peran
penting unutk mengerti sikap manusia terhadap
Allah itu adalah kata “aman”, merupakan suatu
istilah formal yang menyatakan bahwa suatu
subyek dalam realita sunguh sesuai dengan ciri-ciri
khas yang seharusnya ada pada dia.99 Kalau kata
aman (dalam bentuk hifil he’emin) dipakai unutk
manusia, maka itu berarti manusia melihat dan
mengakui sikap Allah yang setia, yang dapat
diandalkan dalam hubungan yang sudah
ditetapkan-Nya dengan manusia. Iman dari pihak
manusia bisa berarti secara konkret bahwa
manusia memuji karya agung Allah, atau mentaati
firman dan penetapan dan menantikan
pemenuhan janji. He’emin dari pihak manusia
berarti mengakui Allah sebagai Allah, menempuh
97
Georg Kirchberger, Teologi Iman Perspektif Kristen, Ledalero, Maumere 2002, 10
98
Karl H. Peschke, Christian Ethics Moral Theology in the Lighat of Vatican II, 2,
Theological Publication, Bangalore 1996, 28.
99
Georg Kirchberger, Loc. Cit.
174

jalan yang ditetapkan-Nya, suatu sikap yang


sungguh menyangkut seluruh hidup dan segala
tenaga manusia.
Kata aman/he’emin ini diterjemahkan LXX
(Septuaginta) dengan pisteuein yang artinya
percaya. Istilah ini digunakan dalam Perjanjian
Lama untuk membedakan konteks iman dalam
teks Ibrani. Dalam tradisi Yunani, terjemahan
Ibrani yang dipakai adalah kata amen (dipakai
dalam sejarah liturgi kristen purba), mengandung
arti firman, sesuatu yang dipercayai; yang
memberikan janji. Iman “Amen”, artinya
menyatakan “Ya” kepada Allah dan mengakui-Nya
sebagai sumber kekuatan (Pengakuan Israel: Allah
perisaiku dan bentengku). Teks-teks Perjanjian
Lama yang berbicara tentang iman, seperti: Yes. 7:9
“Jika kamu tidak percaya sungguh, kamu tidak
teguh berdiri”. Iman sebagai kepercayaan dan
komitmen kepda Allah; Yes. 28:16 “Aku percaya,
sekalipun aku berkata: aku ini sangat tertindas”;
Kej. 15:6 “... Abraham percaya pada Allah dan Allah
memperhitungkan hal itu sebagai kebenaran”.
Abraham ditetapkan oleh Allah sebagai tokoh iman
bagi bangsanya.100 Jadi dalam Perjanjian Lama yang
paling vokal disoroti adalah iman seperti iman
Abraham, iman yang sejati. Kekuatan Abraham
terletak pada imannya akan Yahwe, Allah dan
Tuhannya. Ciri iman dalam Perjanjian Lama adalah
konsekuensinya sangat besar, bahwa yang
menyatakan dirinya sebagai hamba Yahwe ia harus
setia kepada-Nya. “Jika setia, maka berkat; dan jika
100
B. S. Mardiarmadja, Beriman Dengan Tanggung Jawab, Kanisius. Yogyakarta 1985),
138.
175

tidak setia, maka kutuk”. Hal ini punya kaitan


dengan isi perjanjian Allah dengan umat-Nya
Israel.
Sikap iman menyangkut seluruh hidup dalam
dimensinya, itu berarti mendasarkan seluruh
hidup kita pada Yahwe yang dapat diandalkan.
Sikap iman mempunyai harapan dalam situasi
krisis, kemalangan dan ketidakkeselamatan.
Misalnya dalam pembuangan, manusia yang mau
mendasarkan hidupnya kepada Yahwe itu,
menantikan dan mengharapkan uluran tangan
Tuhan untuk merubah situasi dan menciptakan
keselamatan.
Cinta kepada Allah menuntut segenap eksistensi
manusia dan harus menyata dalam perbuatan
dalam menaati petunjuk Allah (bdk. Ul. 6:4-5).
Dalam Perjanjian Lama ketiga kebijakan utama itu
(iman, harapan dan kasih) tidak dibedakan
menurut daya atau bagian dalam diri manusia
tetapi oleh situasi konkret dalamnya manusia itu
menghayati hubungannya dengan Tuhan dan selalu
melibatkan segenap eksistensi dan segala daya
manusia. Sejauh Allah itu sungguh Allah dan dalam
keilahian-Nya merupakan dasar yang dapat
diandalkan manusia, sikap manusia terhadap Allah
itu adalah IMAN. Sejauh Allah itu adalah Allah yang
tersembunyi dan manusia dalam pengalaman
konkretnya seakan-akan tidak mengalami Allah
sebagai dasar, tetapi dalam sikap “namun” tetap
mendasarkan diri dalam Tuhan yang dialami
sebagai jauh, dan menantikan perubahan
pengalaman itu, sikap manusia itu adalah
176

HARAPAN. Sejauh Allah mendekati manusia dalam


keintiman yang sebenarnya tidak bisa diharapkan
dari Allah terhadap ciptaan-Nya, manusia digugah
dalam inti pribadinya untuk mengikuti Allah yang
sedemikian dekat, dan sikap itu disebut CINTA.101
Iman dalam Perjanjian Lama digambarkan dari
berbagai pengalaman sepanjang sejarah, di mana
orang Israel mempersiapkan diri untuk menerima
Mesias yang datang untuk menyelamatkan dunia.
Persiapan ini berlangsung bukan hanya melalui
pengalaman yang menyenangkan tapi juga melalui
pengalaman pahit.102 Pengalaman inilah yang
membuat orang Israel dapat memahami bahwa
Tuhan itu Penyayang dan Pengasih yang
menginginkan damai sejahtera bagi umat-Nya..
pertama-tama iman dalam Perjanjian Lama adalah
mendengarkan Sabda Allah.103 Oleh karena itu,
beriman berarti taat dan patuh kepada perintah
Allah. Dalam paham Perjanjian Lama Iman berarti
kesetiaan dalam melaksanakan kehendak Allah.
Dalam iman Perjanjian Lama, iman berarti
menaruh percaya pada Janji Allah.
5.2.2. Iman Dalam Perjanjian Baru
Dalam diri Maria, iman Perjanjian Lama memuncak
menjadi hamba Tuhan yang total (Luk. 1:38),
menjadi kepercayaan seorang wanita yang
kepadanya Allah telah melakukan perbuatan besar,
karena Allah itu setia pada janji-Nya (Luk. 1:46-
55). Allahnya Yesus bukan Allah baru, melainkan
Allahnya janji-janji perjanjian pertama sedemikian
101
Georg Kirchberger, Ibid. 12.
102
Dr. Niko Syukur Dister, OFM. Op. Cit. 110
103
Ibid. 69
177

rupa sehingga iman manusia Yesus akan Allah,


Bapa-Nya, hanya dapat dipahami dengan
dilatarbelakangi oleh horisan pewartaan Kerajaan
yang akan datang. Dalam diri Yesus, pemerintahan
Allah yang oleh para nabi dahulu dinubuatkan
sebagai akan datang. Dalam umat Israel, iman
terikat pada refleksi tentang sejarah, tetapi dalam
Perjanjian Kedua iamn dikaitkan pada sejarah
sendiri sejauh sejarah itu dipadatkan dalam
riwayat hidup Yesus, terutama pada wafat dan
kebangkitan-Nya. Itulah sebabnya dalam Perjanjian
Baru ajaran tentang Allah berpautan erat dengan
Kristologi.
Injil Sinoptik menampilkan Yesus mewartakan
kabar gembira Kerajaan Allah yang di ambang
pintu. Orang diajaknya supaya bertobat dan
percaya kepada Injil (Mrk. 1:5). Tindakan percaya
dalam Injil Sinoptik mempunyai arti sebagai
berikut. Pertama, mendengar pada apa yang
diwartakan (Mrk. 4:9). Kedua, mengerti atau
memahami apa yang didengar itu (bdk. 13:19),
maksudnya menerima pewartaan Sabda secara
positif dan melaksanakannya dalam hidup harian
(Mrk. 4:20; Luk. 8:21; 11:28). Ketiga, bertobat
yang merupakan unsur hakiki dari iman
kepercayaan (Mat. 1:15; bdk. 4:17), berbalik
kepada Allah secara lahir batin, secara total dengan
segenap pribadinya.
Dalam Kisah Para Rasul (kisah tentang awal
pewartaan Injil), iman dilukiskan sebagai sikap
batin yang menyeluruh, artinya sikap itu
melibatkan manusia seluruhnya dan mengarahkan
178

manusia kepada diri Yesus seluruhnya. Maka


menurut Kisah Para Rasul iman yang diyakini
sebagai anugerah itu merupakan sikap taat dan
melekat kepada Yesus Kristus secara total dan
mutlak (bdk. Kis. 3:16; 9:42; 11:17; 16:31).
Dalam surat-surat Santo Paulus memberikan
kesempatan kepad manusia untuk percaya kepada-
Nya atau tidak. Dengan percaya kita mengenal
misteri Allah dalam Yesus Kristus, yang baik
rencana maupun pelaksanaan penyelamatan
manusia yang dilangsungkan Allah dalam
penjelmaan, hidup, wafat dan kebangkitan Yesus
Kristus (bdk. 1 Kor. 1:17-2:4; Flp. 2:5-11).
“Mengenal” misteri Allah berarti dikaruniai untuk
bergaul dengan Allah secara akrab dari hati ke hati
sehingga ada persekutuan pikiran dan kehendak
antara manusia beriman dengan Allah yang
diimaninya itu (Flp. 3:7-11).

5.2.2.1. Pisteuein
Dalam Perjanjian Baru kata pisteuein artinya
percaya, sering kali berarti percaya kepada Sabda
Allah, mengakui Sabda Allah. Iman diarahkan
kepada apa yang ditulis di dalam Torah dan buku
para nabi (Kis. 24:14; Luk. 24:25); begitu juga
orang mengimani kata-kata Yesus (menurut Injil
Yohanes) karena Ia diutus Allah dan
mengungkapkan kata-kata Allah (Yoh. 5:38; 3:34).
Mengimani perkataan itu berarti menaatinya
secara eksistensial dan sungguh-sungguh hidup
menurutnya, sebagaimana jelas dalam Ibrani 11.
juga Paulus menekankan sifat ketaatan dalam
179

iman. Iman sebagai kepercayaan itu berarti juga


mengandalkan daya Allah untuk mengadakan
mujizat (Ibr. 11:17-19). Begitu juga dalam injil-injil
sinoptik, iman seringkali berarti orang percaya
akan daya Yesus untuk mengadakan mujizat dan
dalam iman atau kepercayaan itu mereka
disembuhkan. Sesudah peristiwa kebangkitan itu,
orang percaya akan daya rasul untuk mengadakan
mujizat (Kis. 14:9-10), juga akan daya mengadakan
mujizat yang dimiliki setiap orang dalam berdoa
(Mrk. 11:22-23; Luk. 17:6; bdk. 1 Kor. 13:2).
Perjanjian Baru juga melihat hubungan erat dan
harapan iman akan janji-janji Allah sekaligus
merupakan harapan. Iman kristiani sering
mengandung sikap “namun”, kita berpegang pada
janji Allah, meskipun kenyataan di sekitar kita
tidak mendukungnya. Iman kita juga terentang
dalam harapan akan suatu kenyataan yang belum
dapat dilihat dan dipegang. Iman harus bertahan
dalam kesetiaan, karena kesetiaanpun merupakan
satu unsur dalam iman (1 Tes 1:4).
Dalam Perjanjian Baru yang menjadi kekhasan
iman kristen adalah Yesus Kristus sebagai Tuhan
yang telah wafat dan bangkit, dengan kata lain
orang kristen mengimani karya keselamatan yang
dikerjakan Allah dalam Yesus Kristus. Dengan itu
mereka mengaku yang benar dan menerima karya
keselamatan-Nya demi diri mereka.
Iman merupakan jawaban positif atas pewartaan
tentang Yesus Kristus sebagai Tuhan (Kurios) dan
tentang karya penyelamatan yang dikerjakan Allah
dalam diri Yesus Kristus. Iman berhubungan erat
180

dengan pewartaan misioner gereja dan berarti


seorang yang sebelumnya tidak mengenal Yesus
serta Allah benar yang mengutusnya, mendengar
pewartaan misioner tentang Yesus Kritus itu,
menerima pewartaan itu yaitu mengimaninya dan
bertobat. Iman berdasarkan pewartaan itu (Fides
ex Auditus) menciptakan atau memungkinkan
suatu relasi personal dengan Kristus itu sendiri.
Dalam iman orang menerima sakramen
permandian serta sakramen-sakramen lain dan
menjadi anggota tubuh Kristus sendiri, memasuki
suatu relasi yang sangat intim dan intensif dengan
Kristus.104

5.2.2.2. Paulus105
Selain sebagai ketaatan, iman bisa digambarkan
sebagai keputusan untuk menerima dan
melaksanakan warta Injil. Iman yang diterima
dalam ketaatan berdasarkan sebuah keputusan
akan membentuk suatu keyakinan yang sungguh
mendasari seluruh hidup orang beriman. Dengan
demikian isi iman adalah: iman akan Yesus Kristus
yang wafat dan bangkit. Yesus Kristus adalah Dia
memberi orientasi baru bagi hidup orang beriman.
Iman yang merupakan rahmat Allah, tidak bisa
diperoleh manusia dengan daya sendiri, melainkan
harus dikerjakan Roh Allah dalam hati manusia.
Bila kita mulai percaya, Allah sudah lebih dahulu
memulai proses iman itu dan Dia jugalah yang
menyelesaikannya. Sebelum kita mengenal Allah,
kita sudah dikenal oleh Allah. Seperti kata St.
104
Georg Kirchberger, Op. Cit. 13
105
Ibid. 15
181

Alfonsus de Ligouri: “Kita dikenal oleh orang tua


dan sanak saudara kita ketika kita dilahirkan,
tetapi Allah telah mengenal kita sejak dalam
kandungan ibu”. Iman harus dinyatakan di muka
umum, harus diakui, dan harus mewarnai seluruh
hidup orang beriman. Seluruh hidup orang
beriman harus menjadi suatu pernyataan iman,
sehingga semua orang (termasuk yang belum
mengenal) dapat mengenal Yesus Kristus.
Iman adalah suatu konsekuensi atau resiko dalam
arti ganda. Iman itu sebuah resiko karena
pengakuan akan iman itu bisa menyebabbkan
derita bagi orang beriman; iman itu suatu resiko
juga karena iman itu hanya berdasarkan janji dari
pihak Allah, kita belum memiliki jaminan pasti
bahwa apa yang dijanjikan Allah dalam
kebangkitan Yesus Kristus sungguh akan menjadi
kenyataan dalam kehidupan kita juga. Sebab itu
iman berarti kita mendasarkan seluruh hidup kita
atas suatu janji dari pihak Allah, kita
mengharapkan bahwa janji itu akan dipenuhi,
tetapi kita belum memiliki jaminan yang pasti.
Karena iman belum merupakan suatu kepastian,
maka orang percaya adalah orang yang
berpengharapan. Harapan merupakan pelaksanaan
tepat dari iman dalam kondisi zaman ini. Orang
beriman masih menantikan penyelesaian yang
sempurna dalam Kerajaan Allah kelak. “Kita
diselamatkan dalam harapan. tetapi harapan yang
sudah dipenuhi bukanlah lagi harapan. bagaimana
orang masih akan mengaharap apa yang sudah
dipenuhi ? Jika kita mengaharapkan apa yang kita
182

lihat, maka kita akan menantikannya dengan


sabar” (Rom 8:24-25). Orang beriman menanti
dalam harapan.
“Pembenaran hanya karena iman” inilah tema
teologi Paulus berhubungan dengan iman. Dengan
bertitik tolak dari istilah “dikaiosune” (keadilan
atau kebenaran) merupakan satu istilah sentral
dalam soteriologi Paulus. Dikaiosune itu ada pda
diri Allah sebagai dikaiosune Allah dan manusia
dimasukkan ke dalam dikaiosune Allah itu
sedemikian, sehingga manusia menjadi adil atau
benar. Allah bertindaka dalam diri Yesus Kristus
demi keadilan dan kebenaran manusia dalam
peristiwa salib, dan melalui karya keadilan Allah
itu, manusia sekaligus dihakimi dan dibenarkan.
Ini berarti bahwa di dalam tindakan yang sama
Allah memperlihatkan kesalahan manusia dan
menerima manusia yang bersyarat itu sebagai anak
yang dicintai. Maka karya Allah menyebabkan
manusia sungguh menjadi sungguh benar, menjai
anak angkat Allah. Keadilan Allah sungguh
menghasilkan keadilan manusia. Sebab itu
keadilan Allah merupakan gagasan soteriologis,
manusia diselamtakan berkat keadilan Allah.
Kebenaran mengenai dikaiosune Allah yang
membenarkan manusia dirumuskan Paulus secara
polemis dalam pertentangan dengan hukum
sebagai jalan keselamatan.
Kamu tahu bahwa tidak seorangpun yang
dibenarkan oleh karena melakukan Hukum Taurat,
tetapi hanya karena iman dalam Kristus Yesus,
supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam
183

Kristus dan bukan karena melakukan Hukum


Taurat. Sebab tidak seorangpun yang dibenarkan
oleh karena melakukan Hukum Taurat (Gal 2:16).
Sebab itu, Paulus mewartakan “kebenaran
Allah karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua
orang yang percaya” (Roma 3:22) dan
merumuskan dengan tegas: “kami yakin bahwa
manusia dibenarkan karena iman dan bukan
karena ia melakukan Hukum Taurat” (Roma 3:28).
Dalam ajaran St. Paulus hukum mengandung
tuntutan-tuntutan Allah dan kehendak Allah yang
nyata dalam hukum harus dilaksanakan oleh
manusia. Tuntutan hukum ialah keadilan
(dikaiosune), perbuatan dan sikap yang adil. Sebab
itu, hukum disebut juga hukum keadilan (Roma
9:31), atau mengenai keadilan bisa dikatakan
bahwa itu terjadi dalam hukum (Flp 3:6)

5.2.2.3. Yohanes
Dalam surat Yohanes terdapat satu kali (1 Yoh 5:4)
Yohanes menggunakan kata benda “iman” tetapi
kata kerja “percaya” sangat sering digunakannya,
baik dengan kata depan “eis” (akan) maupun
dengan dativus, keduanya dalam arti sama,
sehingga percaya akan Yesus yang mewartakan dan
percaya Yesus yang diwartakan, disatukan oleh
Yohanes. Yang percaya memperoleh keselamatan.
Hal ini dinyatakan melalui berbagai rumusan:
orang beriman memiliki hidup (11:25), ia sudah
beralih dari kematian ke pada kehidupan, ia tidak
dihukum (5:24) dan sebagainya. Dalam pernyataan
ini terkandung arti, bahwa hanya iman yang
184

memperoleh keselamatan (bdk 8:24). Yohanes


memperjuangkan pengertian yang benar mengenai
keselamtan itu sendiri. Keselamtan itu umumnya
disebut “hidup” (dengan kata Yunani zoe). Yohanes
mau memperlihatkan, bahwa apa yang disebut
hidup oleh dunia, sebenarnya bukan hidup, hanya
merupakan suatu hidup semu.
Dunia berada dalam keadaan dusta, dan karena
Yesus menyatakan kebenaran, maka dunia tidak
percaya (8:45-46). Perkataan Yesus bersifat gelap
bagi dunia dan baru menjadi jelas bagi orang yang
percaya yang meninggalkan cara berpikiran cara
menilai dari dunia (10:6;16:25-29). Maka iman
menuntut agar orang meninggalkan “dunia”. Dalam
iman manusia harus beralih kepada yang kelihatan
(20:29). 106
Iman dipahami sebagai berada di dalam hati, dan
tidak ada seorangpun yang tahu kecuali oleh Tuhan
sendiri. Bisa jadi seseorang yang perkataan yang
tidak baik, jorok, tidak sopan, tetapi hatinya baik.
Begitu pula orang yang perbuatan dan prilaku yang
tidak baik bisa jadi hatinya tetap baik107 Ini
memperlihatkan bahwa perbuatan itu tidak
berpengaruh terhadap hati dan sebaliknya,
keadaan hati tidak berpengaruh terhadap
perbuatan, karena masing-masingnya tidak ada
sumbangan sama sekali.
Akan tetapi secara terminologis kata “iman”berarti
juga kesatuan, keselarasan dan keserasian antara
kata hati, ucapan dan perbuatan. Di sini iman
106
Georg Kirchberger, Ibid. 24
107
Antonius Atosokhi Gea, Noor Racmat, Antonia Panca Yuni Wulansari, Relasi Dengan
Tuhan, PT Elex Mediakomputindo, Jakarta 2004, 64.
185

dimaksudkan sebagai sikap hati, dan bukan hanya


sebagai keyakinan dalam hati. Dengan sikap hati
itu manusia mempercayakan dirinya dengan
sebulat-bulatnya kepada Tuhan, mengandalkan
Tuhan dengan sepenuh-penuhnya. Dalam arti ini
iman searti dengan penyerahan diri. 108 Dengan
penyerahan dimaksud seluruh hidupnya (hati,
ucapan dan perbuatan) sesuai dengan bimbingan
imannya.
Dalam relasi manusia dengan Tuhan dapat
dikatakan bahwa iman merupakan jawaban
manusia atas pewahyuan Allah. Secara umum
agama-agama mengakui bahwa Allah telah
mewahyuhkan diriNya kepada manusia. Justru
karena telah mewahyuhkan diri-Nyalah, maka
Tuhan dari tidak dikenal menjadi dikenal dan
dapat disembah oleh manusia.109 Karenanya
pewahyuan Allah tentang diri-Nya dan cinta
kasihNya kepada manusia perlu dijawab atau
ditanggapi oleh manusia. Tanggapan atau jawaban
ini merupakan ungkapan cinta dari manusia
kepada Tuhan yang telah lebih dahulu mencintai
kita.
Iman tidak dapat dilihat pertama-tama sebagai
hasil usaha manusia, melainkan inisiatif dari Allah
sendiri. Wahyu yang disampaikan kepada manusia
membuka dan menggerakkan hati manusia untuk
menerimanya, mengakui dan mengimaninya.
Dalam iman orang meninggalkan dunia dusta,
meninggalkan ukuran dan cara menilai yang
108
Dr. C. Groenen, OFM dan Stefen Leks, Percakapan Tentang Alkitab, Kanisius,
Yogyakarta 1995, 7-8
109
Antonius Atosokhi Gea, Noor Rachmat, Antonia Panca Yuni Wulandari, Op. Cit.. 65
186

lama.110 Maka iman meresapi seluruh hidup


sebagaimana jelas dalam ajaran Yesus untuk
“tinggal”. Orang beriman harus tinggal di dalam
Yesus atau di dalam firman-Nya (1 Yoh. 8:32). Iman
mengahasilkan pengetahuan tentang kebenaran
dan sebaliknya. Iman membawa kepad
pengetahuan dan pengetahuan yang sudah
diperoleh mengahantar lebih dalam ke dalam iman
(1 Yoh. 16:30; 17:8).
5.3. Iman menurut Patristik111
Iman menurut patristik berarti bersatu erat
dengan Kristus secara peneumatis. Orang berakal
budi layak percaya bahwa Yesus Kristus adalah
Sabda Allah sendiri yang menjadi penuntun kepada
hidup kekal.

5.3.1. Para Bapa Apostolik


Ada dua pandangan pemahaman para Bapa
Apstolik (90-165) tentang iman. Yang pertama,
mereka menekankan sikap taat kepada hukum
Ilahi sehingga terdapat nuansa etis yang kuat.
Hubunngan dengan Kristus terungkap bukan
hanya dalam pandangan bahwa Dialah pemberi
hukum, melainkan juga bersatunya orang beriman
dengan Kristus secara personal-pneumatis. Yang
kedua, iman terarah kepada kebahagiaan
eskatologis: iman dan harapan bersatu padu. Orang
mendapat pelajaran iman untuk memperoleh
gnôsis yang dalam tradisi St. Paulus diartikan
sebagai penyampaian rahasia eskatologis.
110
Georg Kirchberger, Op. Cit. 24
111
Dr. Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 1, Op. Cit. 79
187

5.3.2. Para Apologet Yunani


Para apologet Yunani menghadapkan iman
kristiani pada budaya Hellenis yang sezamannya,
lalu berusaha mempertanggung-jawabkan iman
kristiani di hadapan budaya Hellenis. Para apoleget
mengambil alih pandangan filsafat Yunani bahwa
Allah demi kodrat-Nya tidak berubah-ubah.
Sehingga sulitlah bagi mereka untuk memahami
secara teologis tindakan Allah dalam sejarah.
Jasa para apologet yang berurat berakar dalam
Tradisai Yunani, adalah berhasil menemukan bagi
Allah alkitabiah yang bertindak itu Zat yang
berhakekat. Sejak itu setiap pernyataan tentang
“Nan Ilahi” berada dalam sistem koordinat karena
di satu pihak pemikiran Yunani bersifat epifani
(baginya apa yang adi-duniawi dan transenden itu
menjadi tampak), dan di pihak lain pengharapan
alkitabiah berdasarkan tindakan dan janji Allah
yang membuktikan diri sebagai yang terpercaya.
Jasa para apologet juga menunjukan bahwa
selayaknya manusia sebagai makluk berbudi itu
percaya akan wahyu biblis tentang kebangkitan
badan, nubuat para nabi, dan kedudukan serta
peranan Kristus sebagai Sabda Allah.

5.3.3. Paham Iman dalam Pustaka Anti Bidaah


Ireneus dan Tertullianus
Ireneus dari Lyon (Paroan kedua dari abad II)
mengembangkan iman dalam konfrontasi dengan
gnosis yang heterodoks. Dalam pengetahuan akan
Allah dan paham iman kepercayaan, gnotisisme
188

mengemukakan ajarannya dengan semau-maunya.


Sehingga Ireneus melawan ajaran ini dengan
mengembangkan pandangannya tentang tradisi
kegerejaan sebagai kriteria untuk iman
kepercayan. Secara apologetis, Ireneus berhasil
mengembangkan ajaran tentang ekonomi
keselamatan dalam dua arah yakni menyusun
teologi logos Pewahyu dan mendasarkan iman
pada wahyu Allah dalam sejarah. Iman akan Allah
dan Kristus dijadikan postulan untuk menerangkan
sejarah dunia. Ireneus mengakui bahwa sejarah
keselamatan merupakan conditio sine qua non bagi
pewarta kristiani. Dalam ajaran tentang ekonomi
keselamatan, para apologetis dan antignosis
melengkapkan ajaran tentang pengetahuan akan
Allah berdasarkan alam ciptaan.
Menurut Ireneus, kosmoteologi ini bukanlah
teodisea mandiri yang menghantar dari bawah ke
atas, melainkan selalu bertolak dari wahyu biblis.
Ireneus mengaitkan iman Kristiani dengan wahyu
alkitabiah yang nampak dalam tiga hal berikut:
pertama, iman kepercayaan diartikan sebagai
mengikuti Kristus, meneyrahkan diri kepada-Nya.
Kedua, iman Abraham sebagai contoh dalam karya
Ireneus. Dan yang ketiga, tindakan logos sebgaai
pewahyu merupakan theologoumenon yang
terpenting.
Tertulianus (160-220) merupakan apologet Afrika
yang terkenal. Menurutnya secara adikodrati ada
dua hal pendasaran iman: pertama, ajaran tentang
“pedoman iman” (regula fidei), yakni syahadat yang
merumuskan isi iman kristiani secara singkat-
189

padat berdasarkan alkitabiah sebagaimana


ditafsirkan oleh Tradisi. Kedua, ajaran tentang
karya Roh Kudus yang bersifat mengilhami dan
menggerakkan dalam Gereja. Tertulianus juga
berpendapat bahwa ada dua jalan kodrati untuk
sampai kepada iman: kosmoteologi dan kesaksian
jiwa. Pengetahuan kodrati akan Allah hanya dapat
mencapai kepenuhannya berkat iman kepercayaan
dalam arti ketat yang terarah kepada tindakan
Allah dalam sejarah keselamatan, terutama dalam
Yesus Kristus.

5.3.4.. Paham iman menurut teologi Klemens


dan Origenes
Menurut Klemens dari Alexandria (140/150-
216) percaya berarti mendengar pada logos,
dimana logos itu dipandang sebagai lanjutan dari
dabar YHWH dalam sejarah keselamatan. Allah
dikenal bukan dikenal oleh pembuktian ilmu
pengetahuan, melainkan oleh rahmat sabdanya
yang Pewahyu. Klemens menyatakan bahwa sifata
hakiki iman kepercayaan adalah keputusan bebas,
praduga (yang berakar pada kodrat manusia), dan
persetujuan. Iman terarah kepada gnosis.
Pengenalan akan Allah merupakan sifat
memandang atau menatap nan Ilahi. Tatapan
(theôria) ini, dimungkin karena logos telah
menjelma menjadi manusia sehingga disamping
kedengaran juga kelihatan.
Menurut Origenes (254), iman kepercayaan
adalah sabda Kitab Suci yang menyapa kita dalam
melawan gnostis anatara PL dan PB. Origenes
190

menegaskan bahwa daba Allah PL sama dengan


logos PB, dan Sabda Allah alkitabiah ini pun
dipersatukannya dengan logos Hellenis. Dengan
meyakini sosok logos sebagaimana berurat berakar
dalam dinamika dari kedua perjanjian ini, maka
Origenes meyakini sifat logos sebagai penyerah.
Dalam hal ini logos sebagai yang turun dari surga
yang dapat dimakan sama artinya dengan karunia
yang diberikan kepad kita untuk menatapnya.
Contoh peristiwa di gunung Tabor, dimana Petrus,
Yakobus dan Yohanes, memandang Yesus dalam
kemuliaan-Nya. Dari contoh ini Origenes mau
mengatakan kepada kita bahwa di dunia ini pun
kita sudah dapat memandang Tuhan dalam doksa,
dalam kemuliaan-Nya, apabila iman kepercayaan
dialami dan ditingkatkan sampai pada taraf
penglihatan mistik.
Origenes memandang iman sebagai sumber iman
kepercayaan adalah satu-satunya adalah Kitab Suci
yang menyapa kita. Klemens dari Alexandria iman
berarti mendengar kepada logos dimana logos itu
dipandang sebagai lanjutan dari dabar YHWH
dalam sejarah keselamatan. Paham iman Agustinus
ditentukan oleh hubungan dengan kewibahan
(auctoritas) di satu pihak dan tatapan Allah
ataupun Kristus (visio dei christi).

5.3.5. Iman menurut Tiga Pujangga besar dari


Kappadokia
Tiga pujangga besar gereja dari Kappadokia ialah
Basilius Agung, Gregorius Agung dari Naziane,
Gregorius Agung dari Nyssa. Mereka bermaksud
191

mentransposisikan iman Kristiani ke dalam alam


pikiran Yunani, sehingga ajaran rohani mereka
secara seimbang bersesuaian dengan dasar iman
yakni sabda pewartaan. Penekanan bukan logos,
tetapi Kristus-eikôn, gambar Allah Bapa. Kemudian
diarahkan kepada kontemplasi dan mistik. Namun
mistik kristiani di satu pihak berkaitan erat dengan
misteri (sakramen babtis dan ekaristi), namun di
lain pihak sama derajatnya dengan mistik filosofi.
Gregorius dari Nyssa mengembangkan teologi
eikôn, teologi gambar untuk menjelaskan Kristologi
dan antropologi teologi. Manusia diciptakan
menurut gambar Allah (Kej. 1:26-27). Bagi
Gregorius, dengan mengenal diri sendiri manusia
dimungkinkan untuk mengenal Allah, sebab saat
diciptakan, Allah menempatkan ciri corak-Nya
dalam batin manusia. Dengan mengenal gambar
saja kita akan mengenal Dia yang digambarkan.
Jiwa manusia juga dapat memandang Allah.
Manusia tidak bisa menatap logos secara langsung
tetapi harus cermin jiwa.
Menurut St. Agustinus hati manusia adalah oragan
pengenalan akan Allah. Hati yang dimurnikan
melalui askesis, iman kepercayaan dan cinta kasih
itu dapat mengenal Allah. Paham iman ditentukan
oleh kewibawaan (Auctoritas) dan dengan tatapan
Allah atau Kristus (Fisio Dei [Christi]). Auctoritas
merupakan kesatuan dari alkitab dan gereja
sebagai pedoman iman (regula Fidei) dipadatkan
dalam syahadat. Dalam Mat. 7:7, bagi Agustinus,
jiwa kristiani diajak untuk maju dari iman
kerpercayaan kepada tatapan (yang kontemplatif).
192

Program teologi “percaya untuk mengerti” (Creedo


ut Intellegam) menjadi program yang dari
auctoritas menuju illuminatio (penerangan batin
oleh Roh Kudus), sehingga secara intuisi manusia
dapat memandang Allah yang transenden. Dari
komponen iman di atas, Agustinus membuat
distingsi “Sabda lahir” dan “Sabda batin” untuk
menjelaskan illuminasi apada waktu membaca
alkitab. Mula-mula Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, para Nabi dan para Rasul harus dimengerti
sebagai “Sabda lahir”, namun ketika dipelajari dan
ditafsirkan akan ditemukan maknanya yang
terdalam dan tersembunyi, itulah “Sabda batin”
bagi mereka yang mengerti dengan baik Sabda itu.
Hal ini didorong oleh cinta kasih.

5.4. Iman menurut Thomas Aquinas dan Martin


Luther 112
Iman menurut Thomas Aquinas adalah asentire
primae veritati (menyetujui kebenaran pertama)
maka jelas bahwa baginya iman mempunyai suatu
aksen intelektual, merupakan suatu tindakan yang
dilakukan intelek manusia. Sehingga bagi Thomas
iman merupakan suatu persetujuan akal budi
manusia kepad kebenaran pertama / ilahi. Tetapi
tindakan intelek saja tidak cukup, akal budi harus
digerakkan oleh kehendak supaya ia setuju.
Dengan demikian, oleh adanya unsur kehendak
dalam aktus iman, maka kebebasan iman terjamin.
Unsur intellectus dan voluntas harus bergabung
dalam aktus iman, ini bisa kita lihat dalam
112
Georg Kirchberger, Op. Cit. 35
193

penjelasannya tentang definisi iman sebagai cum


assensione cogitare (mempertimbangkan dengan
persetujuan) yang diambilnya dari Agustinus.
Mengenai definisi itu Thomas mengatakan: It ideo
assensus hic accipitur pro actu intellectus secundum
quod a voluntate determinatur ad unum (maka
dalam definisi ini persetujuan dimengerti sebagai
tindakan akal budi, sejauh akal budi didorong
untuk itu oleh kehendak).
Bagi Thomas, suatu aktus manusia hanya bisa
berkenan pada Allah, bisa merupakan actus
neritorius, kalau aktus itu berasal dari kehendak
bebas yang digerakkan oleh rahmat Allah, maka
iman yang membenarkan harus merupakan aktus
semacam itu: Ipsum autem credere est actus
intellectus assentientis veritati divinae ex imperio
voluntatis a Deo motae per gratiam (Ada pun
percaya merupakan suatu tindakan akal budi yang
menyetujui kebenaran ilahi oleh karena perintah
kehendak yang digerakkan Allah melalui rahmat).
Dalam teologi skolastik, tindakan kehendak yang
efektif itu umumnya disebut caritas, cinta kasih.
Maka Thomas mengatakan: supaya iman menjadi
suatu actus meritorium, iman itu harus dibarengi
cinta. Cinta iotu disebut forma fidei, sehingga
teologi skolastik berbicara mengenai fides caritate
firmata. Iman yang dibentuk cinta itu merupakan
iman yang membenarkan.
Luther menekankan bahwa pembenaran itu
dihadiahkan oleh Allah kepada manusia. Menurut
Luther manusia diselamatkan oleh iman, bukan
oleh perbuatan. Di sini Luther mau meninjolkan,
194

bahwa Allah sendiri membenarkan secara gratis,


tanpa menuntut pahala manusia terlebih dahulu.
Allah bertindak aktif di dalam pembenaran,
sedangkan manusia harus tingal pasif, karena
manusia tidak bisa menyelamatkan diri, kita
diselamatkan sola fide, hanya karena iman akan
Allah yang berkarya dalam Yesus Kristus untuk
kita.
Luther mengeritik, bahwwa dalam prakter Gereja
dan dalam teologi tentang iman, iman dan
perbuatan dicampuradukan dan karena itu Injil
tentang pembenaran yang diberikan Allah secara
gratis karena Yesus Kristus telah ditinggalkan dan
dihianati. Luther menolak fides caritate formata
dan menegaskan sola fide. Karena, kalau iman baru
membenarkan bila dibarengi dengan cinta, maka
perbuatan manusia (ialah cinta) yang
menyelamatkan dan perbuatan manusia itu
menyingkirkan jasa Yesus Kristus.
Luther harus menolak formula skolastik itu, karena
ia menafsirkan dengan mengerti caritas sebagai
usaha untuk mencintai sesama dan melakukan
karya amal. Sedangkan dalam teologi skolastik,
formula fides caritate formata mau mengatakan:
Allah yang mengundang dan menggerakkan
manusia untuk bertobat, tidak hanya
menggerakkan akal budi, tetapi juga kehendak
manusia. Dengan kata lain pertobatan dan
pembenaran menyangkut mansia seutuhnya. Di
sini Luther tidak mengerti konteks dan arti yang
sebenarnya dari forma fides caritate formata. Ia
mengerti cinta sebagai karya manusia, sehingga ia
195

harus menolak formula tadi sebagai suatu


penjelasan tentang iman yang pembenaran yang
mengaburkan sifat hadiah dari pembenaran dan
menjadikan pembenaran suatu hasil perbuatan
manusia.
Luther mengerti iman sebagai suatu sikap
eksistensial yang menyangkut seluruh manusia
dan tenaganya. Menurutnya, iman dalah manusia
menerima pengadilan dan pembenaran Allah atas
dirinya dan melindungi di dalam belas kasih Allah
yang nyata dalam Yesus Kristus. Maka jelas, bahwa
atas dasar pengertian demikiann tentang iman,
formula sols fide sama luas artinya seperti fides
caritate formata dalam teologi skolastik.

5.5. Pembenaran dan Iman menurut Konsili


Trente
Dekrit tentang pembenaran yang disahkan oleh
Konsisli Trente pada 13 Januari 1547,
dimaksudkan sebagai penolakan posisi reformasi
dan sekalgus sebagai penjelasan tentang
pembenaran dan peran iman di dalamnya. Trente
menegaskan, bahwa pembenaran sungguh-
sungguh merupakan karya Allah demi keselamatan
manusia. Tetapi konsili tidak menerima
kesimpulan bahwa manusia sama sekali pasif dan
tidak turut serta dalam proses pembenaran, karena
pembenaran itu dikerjakan oleh Allah. Konsili
Trente berpendapat, bahwa manusia juga terlibat
secara aktif, karena ia menerima hadia dari Allah
secara bebas, yang bisa juga menolaknya.
196

Persiapan dalam diri manusia yang dikerjakan


Allah dan yang perlu demi pembenaran,
digambarkan Konsili Trente sebagai berikut:
Orang dewasa disiapkan bagi kebenaran/keadilan
itu atas cara: Dengan dibangkitkan dan dibantu
oleh rahmat ilahi, mereka menerima iman dari
pendengaran (bdk Rm 10:17) dan dengan
demikian mereka secara bebas diangkat kepada
Allah, sambil percaya sebagai benar apa yang
diwahyukan dan dijanjikan Allah, terutama bahwa
orang berdosa dibenarkan oleh rahmat Allah
karena penebusan dalam Kristus Yesus (Rm 3:24).
Selanjutnya, kalau mereka mengerti bahwa mereka
berdosa dan merasa digoyahkan oleh rasa
ketakutan sehat terhadap keadilan Allah, mereka
akan mengingat belas kasih Allah dan akan
didorong kepada harapan penuh kepercayan
bahwa Allah akan mengasihani mereka demi
Kristus. Dengan ini, mereka akan mulai mencintai
Dia sebagai sumber segala keadilan dan melawan
dosa dengan rasa benci dan jijik, artinya dalam
pertobatan yang dilakukan sebelum permandian;
akhirnya mereka berniat menerima pembabtisan,
melalui suatu hidup baru dan mentati perintah-
perintah Ilahi (ND 1930).

Tentang iman, Konsili kurang lebih kembali kepada


teologi skolastik yang agak kuat mengerti iman
sebagai persetujuan intelek kepada kebenaran-
kebenaran yang diwahyukan. Iman itu perlu
dengan pembenaran namun iman itu tak cukup,
pembenaran tak terjadi sola fide, melainkan iman
197

harus dilengkapi denghan harapan dan cinta.


Dalam bab 7 dari dekrit itu:
Iman tanpa harapan dan cinta tidak
mempersatukan manusia secara sempurna dengan
Kristus dan tidak membuat orang menjadi anggota
hidup pada tubuh-Nya. Karena benar apa yang
ditulis: Iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak.
2:17) dan tak berguna, dan bagi orang-orang yang
berada dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak
bersunat tidak mempunyai arti, hanya iman yang
bekerja oleh kasih (Gal. 5:6). Inilah iman yang
seturut tradisi apostolik diminta oleh para calon
babtis dari Gereja sebelum mereka menerima
sakramen baptisan, jika mereka meminta iman
yang memberikan hidup abadi, karena hidup abadi
tidak bisa diberikan oleh iman tanpa harapan dan
kasih (ND 1934).

Dalam bab 8, Konsili menegaskan bahwa iman


sungguh bersifat fundamental, supaya mansia
dibenarkan dan bahwa kebenaran itu bersifat
gratis, tidak menuntut jasa apapun dari manusia,
sehingga jelas bahwa harapan dan kasih tidak
ditafsirkan sebagai perbuatan manusia, yang harus
dilakukan manusia dahulu supaya Allah berkenan
untuk membenarkan mereka.
Sang rasul mengatakan bahwa manusia dibenarkan
oleh iman dan dengan cuma-cuma (Rm. 3:22.24).
Kata-kata ini harus dimengerti secara tepat
sebagaimana dipertahankan dan dijelaskan oleh
Gereja Katolik dengan sebulat hati. Mereka
mengatakan: Kita dibenarkan oleh iman, karena
198

iman merupakan awal keselamatan bagi manusia,


dasar dan akar setiap pembenaran; tanpa iman tak
seorangpun bisa berkenan kepada Allah (Ibr. 11:6)
dan masuk kedalam persekutuan putera-
puteraNya.
Mereka mengatakan: Dibenarkan dengan Cuma-
Cuma karena tida sesuatupun yang mendahului
pembenaran-entah iman, entah perbuatan-
memperoleh rahmat pembenaran. Karena ia
diberikan sebagai rahmat, maka ia tidak diberikan
berdasarkan perbuatan, kalau tidak demikian,
maka sebagaimana dikatakan oleh rasul yang
sama: Rahmat bukan rahmat lagi (Rm. 11:16; ND
1935).

5.6. Iman Dalam Konsili Vatikan I113


Iman dalam Vatikan I lebih menekankan suatu
hubungan antara iman dan akal budi. Tetapi di satu
pihak terdapat suatu penyimpangan rasionalisme
yang secara eksklusif memperhatikan akal dan
kodrat sambil mengesampingkan iman yang
adikodrati. Rasionalisme adalah kebenaran yang
dapat dipertanggungjawab-kan oleh akal budi
dapat menangkapnya sebagai benar.
Ajaran Konsili Vatikan I dapat dikupas disekitar
butir-butir berikut
Kewajiban: Iman sebagai kewajiban, kita wajib
percaya kepada Allah yang mewahyukan diri-Nya
sebagai pencipta dan Tuhan. Dasar kewajiban itu
terletak dari kenyatan bahwa manusia sepenuhnya
bergantung kepada Allah.
113
Dr. Niko Syukur Diester, Pengantar Teologi, Op. Cit. 136
199

Kepatuhan akal budi dan kehendak: Konsili Vatikan


I menekankan bahwa baik akal budi maupun
kehendak manusia ikut memainkan peranan dalam
iman kepercayaan kepada Allah, patuh kepada-Nya
dengan tahu dan mau.
Orang beriman harus atas dasar Allah dan Gereja,
menerima sebagai nbenar ajaran-ajaran yang
kebenarannya tidak dapat. 114 Konsili Vatikan II
berusaha menemukan suatu jalan yang
menghargai peran akal budi manusia tetapi juga
memperlihatkan perlunya wahyu atas alamia yang
harus diterima dalam iman.115

5.7. Iman Dalam Konsili Vatikan II


Iman adalah sebagai tindakan penyerahan
pribadi manusia seluruhnya kepada Allah secara
bebas. Istilah alkitabiah “ketaatan iman” (Rm.
16:26), diartikan oleh Konsili Vatikan II secara
persnal sebagai jawaban bebas dari pihak manusia
dan dengan demikian menanggapi anugerah
wahyu dari pihak Allah.
Obyek iman adalah Allah sendiri sebagai
pewahyu bukan kebenaran-kebenaran. Jadi yang
pertama-tama yang dipercayai ialah Allah yang
berbicara, Allah yang mewahyukan. Pribadi Allah
yang pertama-tama diimani manusia dalam sikap
penyerahan diri yang total kepada Dia.
Iman sebagai pertemuan personal dengan
Allah. Itu merupakan anugerah Allah kepada
114
George Kirchberger. Op. Cit. 46
115
Ibid. 45
200

manusia “supaya iman itu ada” perlu uluran tangan


dan bantuan rahmat Allah serta pertolongan batin
dalam Roh.

5.8. Iman Sebagai Pengetahuan


Teologi Fundamental yang mempelajari event
revelasi dan kredibilitas revelasi, ditampilkan juga
sebagai sebuah disiplin ilmu yang mempunyai
struktur epistemologisnya tersendiri. Itu artinya
Teologi Fundamental harus menegaskan forma-
forma, isi dan metodologi agar supaya ia
dipandang sebagai penegtahuan ilmiah tentang
iman. Tugas pertama Teologi fundamental ialah
menunjukkan bahwa ada sebuah forma
pengetahuan yang diekspresikan melalui “percaya.”
Iman, karena itu tidak bisa menjadi sebuah
‘sacrificium intellectus’ melainkan iman adalah
forma pengetahuan itu sendiri yang ada dalam diri
persona dalam mengeksplisitkan diri dan
merealisasikan diri.

5.8.1. Kitab Suci


“Percaya akan/kepada” dan “percaya dalam”
Allah sejajar dengan “tahu” karya-karya historis
Allah. Ekspresi “tahu bahwa YHWH adalah Allah”
(Yes 43:10) bisa dipandang sebagai pengakuan
iman akan Allah. Bagi manusia PL percaya-tahu
meminta sikap ‘mempercayakan diri’ dan ‘taat’
kepada dia yang dipercaya dan diketahui. Betapa
tidak mungkin meredusir iman biblis hanya kepada
salah satu komponen saja; karenanya dimensi
201

‘mengetahui’ tidak bisa dihapuskan dari iman.


Sebaliknya, justru karena karya YHHW diketahui
secara konkrit maka sabdaNya dipercaya.116
Injil Sinoptik, sembari menjelaskan sentralitas
persona Yesus Kristus, menunjukkan bahwa
pertemuan pribadi dengan Yesus adalah sumber
pengetahuan tentang eksistensi personalNya.
Untuk mengetahui Allah dan percaya akan Dia, Dia
yang diutus oleh harus diketahu dan dipercaya..
Kepada Dia perlu serah diri bagaikan seorang bayi
dimana seorang bayi bisa tahu lebih banyak
melalui jalan intuitif daripada spekulasi intelektual
(Mat 18:1-6).
Dalam Yohanes tema tentang iman adalah
sebuah kategori fondamental dalam Injil dan
teologinya. Visi tentang relasi antara percaya –
tahu, baginya me-rupakan suatu hal yang penting.
Tentang Nikodemus yang “skeptik”, Yesus me-
ngajarkan bahwa perlu “dilahirkan kembali dari
atas” – suatu cara berada di ha-dapan Yesus
Kristus, harus berada secara berbeda karena hanya
dia “yang datang dari atas adalah di atas segala-
galanya” – sebaliknya yang datang dari bawah –
dunia ini termasuk dalam dunia ini dan berbicara
dalam kata-kata dunia ini (Yoh 3:31). Yohanes
ketika berbicara tentang percaya, sebenarnya ia
menegaskan bahwa iman telah disisipkan ke dalam
‘karya publik Yesus di bumi ini dan telah dibuat
eksplisit dalam perjumpaan” dengan Yesus
Kristus.117
116
Cf. J. ALFARO, Rivelazione e fede, in Cristologia e antropologia, Assisi 1973, 225-
227.
117
R. SCHNACKENBURG, (ed. Italia), Il Vangelo di Giovanni, I, Brescia 1973, 698.
202

Percaya dan tahu saling berelasi satu sama


lain dan kadang bisa dipakai bergantian; maknanya
berbeda-beda bagi dia yang mengikuti teori
gnosiologis modern. Term ghinóskein
menunjukkan sebuah ‘iman yang lebih jelas (Yoh
6:69; 10:38; 14:20) namun tidak dalam arti terang
benderang intelektual’118 melainkan dalam arti
pengetahuan tentang iman itu sendiri yang terbuka
kepada kebaruan. Forma pengetahuan ini yang
menciptakan communio. Ide ini membantu kita
untuk mengerti penggunaan term ‘mengetahui’
dalam diskursus tentang perpisahan (Yoh 14:17);
sesungguhnya percaya kepada SabdaNya dan
karyaNya bisa menghantar orang untuk tahu dan
akui Yesus sebagai rivelator dan karena itu juga
orang bisa masuk ke dalam relasi cinta
denganNya.119
Iman, dengan kata lain, menghantar kepada
sebuah pengetahuan dan inte-ligensi, iman
menghantar kepada sebuah communio yang makin
akrab dengan pribadi yang begitu dikenal hingga
kepada cinta. Pada saat yang sama, justru karena
pengetahuan ini direalisasikan dalam terang iman
maka ia diproteksi dari segala misunderstanding
mitis dan gnostis.120
Dalam teologi Paulus, tema percaya-beriman
mengungkapkan dimensi soteriologis yang
berpusat pada misteri keselamatan: derita,
kematian, salib dan kebangkitan Tuhan. Iman
mendefenisikan ada kristiani dan identitas
118
R. SCHNACKENBURG, Il Vangelo di Giovanni, I, 707
119
Cf. I. DE LA POTTERIE, οϊδα et μνόσκω les deux modes de la connaissance dans le
quatrème évangile, in “Biblica” 40 (1959), 709-7225.
120
Cf. R. SCHNACKENBURG, Il Vangelo di Giovanni I, 707
203

personal. Iman adalah sebuah realitas dinamis


yang bermula dengan menerima baptisan supaya
dijustifikasi. Justifikasi demi keselamatn
merupakan sebuah proses yang harus membawa
dia yang percaya kepada sebuah asimilasi total
dengan Tuhan; proses ini berlangsung sepanjang
hidup. Iman memiliki dimensi universal tanpa
kecuali: “Sebab kamu semua adalah anak-anak
Allah karena iman di dalam Yesus Kristus” (Gal
3:26). Iman itu adalah keterbukaan total untuk
menerima Injil yang diwartakan oleh utusan
Tuhan. Pewartaan Injil adalah perlu demi kese-
lamatan, bukan hanya pada level kerigmatis yang
tertutup dalam dirinya sendiri tetapi juga pada
level misioner yang menjangkau semua bangsa.
Subyek iman adalah komunitas umat beriman.
Komunitas umat beriman adalah Gereja yang
percaya dan mengekspresikan imannya ini dalam
berbagai aksi nyata, kesaksian hidup, perayaan
liturgis: mazmur, nyanyian, pengakuan iman.
Semua ini bergantung pada pendengaran:
fides ex auditu (Rm 10:17); iman bergantung dari
pewartaan rasul dan pewartaan didasarkan pada
Sabda Tuhan Yesus: iman bergantung dari
pewartaan dan pewartaan pada gilirannya
direalisasikan karena Sabda. Iman berelasi dengan
mendengar. Term ibrani “shema” diterjemahkan ke
dalam bahasa Yunani dengan dua makna berbe-da
yakni: yé pakoύein (taat) dan άkoύein (mendengar).
Ketaatan itu keharusan iman dan membangun
iman, itu bergantung dari mendengar dan
sebaliknya mendengar menghantar kepada
204

ketaatan. Singkat kata iman menurut Paulus


dipusatkan dalam formulasi kristologis yang
mensintesikan misteri paska: penderitaan-wafat
dan kebangkitan Tuhan. Jadi ktia wartakan apa
yang kita percaya (1 Kor 15:19).
“Percaya-tahu” dan “percaya-berserah diri”
menjadi term berpasangan yang selalu diulang
oleh Paulus. Manusia, sanggup mengenal dirinya
sendiri jika percaya: Rm 6:8-9: “Jika kita mati
bersama dengan Kristus kita percaya bahwa kita
akan hidup juga dengan Dia karena kita tahu
(èίdotes) bahwa Kristus sesudah bangkit dari
antara orang mati, tidak mati lagi”; 2 Kor 5:1:
“Kami tahu (oè idamen).....”; 2 Kor 4:14: “Kami tahu
(eè ίόdotes) bahwa Ia yang telah membang-kitkan
Tuhan Yesus, akan membangkitkan kami juga”.
Jadi menurut Kitab Suci “percaya” itu
sesungguhnya sudah merupakan sebuah forma
istimewa dari pengetahuan. Percaya itu
mengandung dalam dirinya ‘mengakui’ –
‘menerima’ – ‘melihat’ – ‘mendengar’. Di sini
inteligensi, kehendak, pengenalan diri sendiri dan
keputusan bebas dilibatkan secara aktif.

5.8.2. Konsekuensi teologis


Refelski teologis, mesti menunjukkan bahwa
dengan ‘percaya’, persona berpartisipasi pada
pengungkapan diri melalui aktivitas yang
bermakna. Dengan percaya manusia masuk dalam
relasi tidak saja dengan dirinya sendiri melainkan
juga masuk dalam relasi dengan kebenaran itu
sendiri.
205

Dua tema penting secara implisit terkandung


di dalam konsep tentang iman sebagai sebuah
pengetahuan: relasi dengan kebenaran (berkaitan
dengan obyektivitas pengetahuan tentang iman)
dan kebebasan (berelasi dengan pilihan personal).
Kebenaran dan kebebasan menentukan
pengetahuan personal, sejauh kebenaran dan
kebebasan menuntun manusia untuk mencari
identitasnya dan merealisasikan eksistensi atau
identitiasnya itu. Menjadi ‘persona’ berarti masuk
ke dalam sebuah relasionalitas dengan yang riil/
dengan ‘yang lain’ di mana setiap orang dalam
kebenaran merealisasikan dirinya sendiri melalui
ekspresi yang penuh dengan kebebasan.

5.8.2.1. Iman dan kebenaran


Patut diingat bahwa dalam relasi dengan
‘kebenaran’ muncul dua ide yang saling
bertentangan: ide Yunani dan Kristen.121 Baik
Yunani maupun Kristen kebenaran ada dalam ada
itu sendiri atau ada dalam manifestasi diri dari ada
itu; tapi bagi orang Yunani, revelasi dari ada tidak
sama arti dengan pandangan kristen. Dari sini
muncul problem besar yang melahirkan perbedaan
besar pula: makna kebenaran akan berbeda cara
menyatakan diri dari ada.

121
Cf. C. GEFFRÉ, La question de la vérité dans la théologie contemporaine, in AA. VV.,
La théologie à l’épreuve de la vérité, Paris 1984, 281-291.
206

Dalam dunia Yunani kebenaran itu berakar


dalam ada sehingga kebenaran itu meminta supaya
ada itu harus ada; makna kebenaran menurut
pandangan Yunani ialah pengalaman akan
keilahian dan kesempurnaan. Di hadapan konsep
ini, manusia Yunani dibawa untuk berkonfrontasi
dengan kebenaran hanya di dalam kontemplasi. 122
Visi Kristen memahami kebenaran sebagai
manifestasi dan revelasi Allah dalam sebuah event
historis yang membawa dalam dirinya karakter
kepenuhan final. Paham biblis tentang ‘aletheia’ tak
menunjukkan hanya manifestasi tetapi lebih dari
itu mengekspresikan ‘kesetiaan’ YHWH kepada
janji-janjiNya. Jadi Allah yang menyatakan diri, Dia
itu juga yang menuntun sejarah dalam direksi
eskatologis menuju sebuah jumpa defenitif dengan
Dia.123
Masuknya kebenaran dalam waktu-sejarah,
menunjukkan adanya relasi dengan gerakan yang
khas temporal: masa lalu-masa kini-masa akan
datang. Dalam prospektif temporal itu, kita bisa
paham bahwa pernyataan diri Allah itu bersifat
dialektik: “Deus revelatus et Deus nasconditus”.
Masa lalu, adalah aktus penciptaan (ekspresi
pertama revelasi) yang menunjukkan kebaikan
Allah. Karena itu ada kebenaran masa kini yang
bagi umat beriman adalah even inkarnasi.
Kebenaran ini ada kaitan dengan masa depan yakni

122
Cf. P. RESWEBER, Délacements récentes de la problématique de la vérité e leurs
incidences en thélogie in La théologie à l’épreuve de la vérité, 121-141.
123
Cf. H. U. v. BALTHASAR, Teologica I, La verità del mondo, Milano 1987, 42-43.
207

realisasi sempurna Kerajaan Allah yang diwartakan


oleh Yesus Kristus.124

5.8.2.2. Iman dan kebebasan


Kebebasan diekspresikan sebagai forma dari
keputusan personal dari dia yang berhubungan
dengan kebenaran revelasi. Dalam horison ini,
harus disadari bahwa ada beragam forma
pengetahuan dan salah satunya adalah
discernimen. Discernimen adalah sebuah forma
pengetahuan melalui mana orang sampai pada
keputusan praktis, keputusan praktis yang bisa
menghubungkan pilihan personal dangan
kebenaran ideal dari ada itu sendiri.
Ketika relasi ditempatkan antara kebenaran
revelasi dan kebebasan orang beriman, muncul
suatu dimensi praktis dan etis dari hidup kita.
Sejak kebenaran diekpresikan dan direvelasikan
oleh Allah sebagai hasil dari putusan bebasNya
yang tertinggi untuk masuk ke dalam waktu dan
sejarah dengan rencana kesela-matan maka
kebebasan Allah ini harus dan dapat diketahui
hanya melalui suatu kebebasan lain. Berhadapan
dengan pernyataan diri Allah yang bebas ini orang
beriman diminta pula untuk mengambil keputusan
bebas: menerima atau menolak pernyataan diri
Allah itu. Putusan bebas untuk menerima revelasi
itu mestinya buah dari sebuah ‘iman’ Jadi
kebebasan, terkandung di dalam menerima untuk

124
Cf. A. MILANO, Aletheia. La concentrazione cristologica della verità, in Filosofia e
teologia 4(1990), 13-45; G. COLOMBO, L ragione teologica, in L’evidenza e la fede, Milano
1988, 7-17.
208

mengakui ketergantungan pada kebenaran yang


direvelasikan.

5. Evaluasi/penilaian
Mahasiswa/i diminta untuk mempelajari
secara teliti seluruh materi perkuliahan lalu
membuat ringkasan yang komprehensif atas
seluruh pokok bahasan.
Rangkuman: buatlah sebuah rangkuman singkat
namun lengkap atas 8 point yang sudah anda
pelajari dalam pokok bahasan ini. Perhatikan
secara serius point mana yang anda kuasai dan
point mana yang belum anda kuasai. Pelajari sekali
lagi point-point yang anda belum kuasai dan
buatlah sekali lagi rangkuman disertai catatan
kritis atas bahan yang telah diperoleh dengan
mengemukakan pandangan lain dari referensi lain
Latihan: sebagai latihan dan evaluasi atas daya
serap anda terhadap materi ini maka dalam setiap
pertemuan anda diminta untuk menjawab 3
pertanyaan dari beberapa pertanyaan yang telah
disiapkan.
Rumusan penilaian: Jumlah jawaban benar x 1000
3
Jelaskan apa yang dimaksudkan dengan iman?
Uraikanlah pandangan Perjanjian Lama tentang
iman
Uraikanlah pandangan Perjanjian Baru tentang
iman
Jelaskanlah iman menurut tradisi apostolik
209

Jelaskan iman menurut Irenius dan Tertulianus


Jelaskan iman menurut Tiga Pujangga dari
Kappadokia
Jelaskan iman dan pembenaran menurut Thomas
Aquinas dan Martin Luther
Jelaskan iman dan pembenaran menurut Konsili
Trente
Jelaskan iman menurut Konsili Vatikan II
Jelaskanlah iman sebagai pengetahuan

6. Acuan
1. B. S. MARDIATMADJA, Beriman Dengan
Tanggung Jawab, Kanisius, Yogyakarta 1985

2. N. S. DIESTER, Pengantar Teologi, Kanisius,


Yogyakarta 1991
3. Teologi Sistematika 1, Kanisius, Yogyakarta 2004
4. J. POWELL, Beriman Untuk Hidup, Beriman
Untuk Mati, Kanisius, Yogyakarta 1991
5. H. EMBUIRU, Katekismus Gereja Katolik, Nusa
Indah, Ende 1995
6. G. KIERCHBERGER, Teologi Iman Perspektif
Kristen, Ledalero, Maumere 2002.
210

KONKLUSI
Teologi fundamental dipanggil untuk
mempelajari event revelasi dan menunjukkan
kredibilitasnya pada dunia dewasa ini. Teologi
fundamental harus menemukan alasan-alasan
tepat untuk membuat lebih intelligible event
revelasi: teologi fundamental patut mengenal seluk
beluk siarah hidup manusia menuju revelasi dan
teologi fundamental harus menjadi pembawa
makna hakiki revelasi kepada umat manusia pada
zamannya.
Tugas utama teologi fundamental ialah
membuat bermakna aktus beriman. Teologi
fundamental mesti menyampaikan alasan
sedemikian rupa sehingga Injil bisa dipercaya dan
211

dengan percaya keselamatan bisa didapatkan.


Teologi fundamental menyampaikan argumen-
argumen brilian seputar makna eksistensial
manusia. Dalam aktus ketaatan kepada Allah,
teologi fundamental mesti menjelaskan kebenaran
Allah yang diekspresikan dalam sebuah cinta yang
tahu menerima kematian di salib.
Tugas kedua teologi fundamental ialah
menjelaskan kekhasan revelasi kristiani dan
keabsahan keselamatan dalam Yesus Kristus.
Kristosentrisme sejati merupakan pendahuluan
kepada teosentrisme. Unisitas Kristus membawa
dalam dirinya formal riil universalitas.
Tugas ketiga teologi fundamental ialah
mengevaluasi secara kritis sikap indiferent
terhadap hidup religius.

Anda mungkin juga menyukai