Anda di halaman 1dari 20

BAB II

MENGENAL DESA HUMUSU OEKOLO

Dalam bab ini, terdapat tiga hal utama yang akan diuraikan oleh penulis

yakni: Pertama, Selayang Pandang Desa Humusu Oekolo yang terdiri dari arti

nama Humusu Oekolo, sejarah Desa Humusu Oekolo, dan letak administratif dan

keadaan geografis. Pada bagian ini penulis akan menguraikan arti nama Humusu

Oekolo, sejarah desa, dan tata letak Desa Humusu Oekolo secara administratif

dalam kepemerintahan Kabupaten Timor Tengah Utara dan juga beberapa hal lain

yang berkaitan dengan keadaan geografisnya seperti keadaan suhu dan iklim,

keadaan tanah beserta tanaman dan juga binatang yang dapat mempertahankan

habitatnya di daerah tersebut.

Kedua, kebudayaan Desa Humusu Oekolo. Pada bagian ini penulis akan

mendeskripsikan tentang pengertian kebudayaan secara umum yang disertakan

dengan wujud dan unsur-unsur kebudayaan yang tercakup di dalamnya. Selain

dari itu, penulis juga mendeskripsikan beberapa pengertian kebudayaan menurut

para ahli dan pengertian kebudayaan menurut masyarakat Desa Humusu Oekolo.

Ketiga, keadaan demografis (unsur-unsur kebudayaan) Desa Humusu

Oekolo. Pada bagian ini penulis akan mendeskripsikan tentang unsur-unsur

kebudayaan yang terdapat di dalam kebudayaan Desa Humusu Oekolo. Adapun

unsur-unsur kebudayaan itu mencakup sistem kepercayaan, sistem komunikasi,

13
sistem pemerintahan adat, sistem mata pencaharian, sistem perkawinan, jumlah

penduduk, dan pendidikan. Sedangkan pembahasan mengenai ritus Hel Keta

secara khusus akan dibahas pada bab III dalam karya ini.

2.1. Selayang Pandang Desa Humusu Oekolo

Desa Humusu Oekolo sebagai daerah penelitian ini, berada di Pulau

Timor, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Kecamatan Insana Utara. Dalam

point ini penulis akan mendeskripsikan secara umum tentang: Arti nama Humusu

Oekolo dan sejarah Desa Humusu Oekolo, keadaan geografis dan keadaan

demografis.

2.1.1. Arti Nama Humusu Oekolo

Secara etimologis istilah Humusu Oekolo berasal dari kata bahasa Dawan

yang terdiri dari tiga akar kata yakni “Humusu”, “Oe”, dan “Kolo”. “Humusu”

berarti rumput alang-alang, “Oe” berarti air, dan “Kolo” berasal dari akar kata

“Nakolo” artinya yang tersembunyi (kata dasar Kolo yang berarti burung). Jadi,

Humusu Oekolo berarti rumput alang-alang dan air yang tersembunyi.

Dasar penamaan ini bertolak dari kisah para tua adat di Desa Humusu

Oekolo secara turun-temurun. Dikisahkan bahwa pada zaman dahulu kala,

Humusu Oekolo didatangi oleh dua orang lelaki dari arah timur. Seorang bernama

Bi Koa Silu dan yang lain bernama Bi Kol Puah. Mereka melakukan perjalanan

dari timur ke barat (`Noko man se saena ntea manse mof na` artinya: `Dari

terbitnya matahari hingga terbenamnya`). Ketika melakukan perjalanan dari timur

14
ke barat, keduanya mendatangi Humusu Oekolo. Namun Bi Koa Silu melanjutkan

perjalanannya hingga tiba di Oekusi, sedangkan Bi Kol Puah tinggal tetap di

Humusu Oekolo.Seiring berjalannya waktu, Bi Kol Puah mengakhiri hidupnya di

suatu bukit di Humusu Oekolo. Bukit tersebut berbentuk kerucut seperti pucuk

alang-alang dan lebih tinggi dari bukit-bukit lain yang berada di Humusu Oekolo.

Para tua adat dan masyarakat sekampung hingga saat ini meyakini bukit tersebut

sebagai tempat berdiamnya arwah Bi Kol Puah yang selalu memelihara dan

melindungi para penghuni kampung dari berbagai macam marabahaya. Keyakinan

mereka terkandung dalam suatu istilah Dawan “Mulai muskita ho etam pao ma

mtol ho suf `a ma ho ka` uf” artinya (`Mulai Muskita (arwah Bi Kol Puah), kau

yang menjaga dan melindungi anak-cucumu (keturunan penghuni kampung

Oekolo)`).9

Kisah selanjutnya ialah bahwa setelah Bi Kol Puah meninggal para

penghuni kampung mengalami kekrisisan air. Maka salah seorang dari antara

penghuni kampung yang bernama Sola pergi ke Fafinesu dan mengambil air (mata

air keramat) dengan sebuah kendi di Aunimneko lalu membawanya ke kampung

Humusu Oekolo. Sola menggali sebuah lubang di tempat yang tersembunyi lalu

mengisi air yang dibawanya. Air itu kemudian berubah menjadi satu mata air yang

limpah sehingga para penghuni kampung mengambil dan memakainya. Dengan

9
Emanuel Malafu Tikneon, (83 tahun), Wawancara di Kampung Oekolo, 02 Agustus
2021.

15
demikian mereka tidak mengalami kekrisisan lagi. Dan mata air itu masih ada

hingga hari ini. 10

Bertolak dari kisah di atas, maka kampung tersebut diberi nama Humusu

Oekolo dalam arti bahwa Humusu menunjukkan keyakinan masyarakat

sekampung khususnya para tua adat bahwa arwah Bi Kol Puah yang berdiam di

bukit itu selalu memelihara dan melindungi para penghuninya dari segala

marabahaya. Dan Oekolo menunjuk pada air yang dibawa Sola dari Aunimneko

dan diletakkan di tempat tersembunyi yang kemudian menjadi satu mata air yang

menjadi sumber hidup para penghuninya.

2.1.2. Sejarah Desa Humusu Oekolo

Pada zaman penjajahan Belanda wilayah Humusu Oekolo berada di bawah

kekuasaan kefetoran Fafinesu yang berpusat di kerajaan Maubes-Insana dengan

pemimpinnya ialah Fetor Kusi Uspupu. Seiring berjalannya waktu, dirasakan

bahwa luasnya cakupan wliayah pemerintahan kefetoran menyulitkan dalam

sistem pengontrolan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, maka Fetor Kusi

Uspupu mengutus salah seorang dari antara para penduduk pada waktu itu yang

bernama Efi Tua Banusu untuk pergi menghadap raja di Noetoko dengan tujuan

meminta agar ia bisa mendatangi dan mendiami wilayah tersebut. 11

10
Gabriel Bini, (73 tahun), Wawancara di Kampung Oekolo, 31 Juli 2021.
11
Profile BWS Desa Humusu Oekolo.

16
Ketika menghadap raja, Efi Tua Banusu ditanya demikian: “Ho mu be he

mnao mkon beb a katan ma asu nisin esan hau mak tais alu `u ma niuf alu `u?”12

(`Engkau kuat pergi injak duri gewang dan gigi anjing di dekat laut luas serta

danau luas?` atau `Sanggupkah engkau menjelajahi hutan gewang yang penuh

duri dan membahayakan bagaikan tajamnya gigi anjing di dekat lautan yang luas

dan danau yang dalam?`) Efi Tua Banusu menjawab: “Au ka ubefa” (`Saya tidak

kuat atau Saya tidak sanggup`). Pertanyaan tersebut dilontarkan sebanyak dua kali

dan utusan tersebut menjawab yang sama. Adalah sesuatu yang haram bagi raja

pada waktu itu ketika utusan melontarkan jawaban terhadap raja demikian. Maka

raja menghukum Efi Tua Banusu dengan menyuruh masuk ke kolong tempat tidur

lalu disiram dengan air panas. Karena Efi Tua Banusu merasa kesakitan maka

dengan spontan ia berteriak: “Au ube” (`Saya kuat atau Saya sanggup`) sebanyak

dua kali. Karena ia menjawab bahwa ia sanggup maka hukuman tersebut

dihentikan seketika dan ia disuruh pulang dengan pesan untuk mendatangi dan

mendiami wilayah Humusu Oekolo. Akhirnya Efi Tua Banusu bersama dengan

sesama sukunya (Banusu, Tikneon, dan Alen lalu menyusul Tulu dan Taslulu)

mendatangi wilayah tersebut dan berdomisili di sana. Karena Efi Tua Banusu

adalah utusan kepada raja dan mendapat hukuman maka ia dipilih sebagai Tamuku

Naek,13 Sanan Nusin sebagai Tamuku Ana, dan Saet Loka sebagai Tamuku Ana.14

12
Pertanyaan ini dilontarkan raja atas dasar keadaan wilayah Humusu Oekolo pada waktu
itu yang masih dalam keadaan hutan yang lebat dan belum ada penghuni.
13
Sebutan untuk status kepemimpinan pada waktu itu dalam sistem pemerintahan adat:
Tamuku Naek (`Temukung Besar`) sejajar dengan Kepala Desa dan Tamuku Ana (`Temukung
Kecil`) sejajar dengan Kepala Dusun sebagaimana yang berlaku dewasa ini. Dalam Andreas Tefa
Sa`u, SVD, KAMUS UAB METO-BAHASA INDONESIA, (Jakarta: Perum Percetakan Negara
Republik Indonesia (PNRI), 2020).
14
Gabriel Bini, (73 tahun), Wawancara di Kampung Oekolo, 31 Juli 2021.

17
Seiring berjalannya waktu, terjadi pergantian ketemukuan di mana Tamuku

Naek Efi Tua Banusu diganti oleh Tefa Luku sebagai Tamuku Naek dan Sali

Sunaf sebagai Tamuku Ana. Kemudian pada tahun 1942 ketika Belanda

dikalahkan oleh Jepang terjadi lagi pergantian ketemukuan di mana Tamuku Naek

Tefa Luku digantikan oleh Donatus Nome dan Tamuku Ana Sali Sunaf digantikan

oleh Aisan Mataus. Mereka menjalankan masa kepemimpinan mereka hingga

tahun 1968. Lalu terjadi lagi pergantian kepemimpinan dengan sistem

pemerintahan yang baru di mana Marselinus Alen menjabat sebagai kepala Desa

dengan bernamakan Desa Humusu B dan pada tahun 1969 disahkan menjadi Desa

definitif. Sistem pemerintahan Desa berlaku hingga tahun 2000, kemudian diganti

dengan sistem pemerintahan Kelurahan dengan bernamakan Kelurahan Humusu B

di bawah kepemimpinan Gaspar Salu, SH. Sistem pemerintahan Kelurahan

berlaku hingga tahun 2009, kemudian mengalami perubahan lagi menjadi sistem

pemerintahan Desa dengan bernamakan Desa Humusu Oekolo di bawah

kepemimpinan Kondar Siringo Ringo sebagai penjabat sementara. Lalu pada

tahun 2014 terjadi lagi pergantian kepemimpinan dan yang terpilih sebagai kepala

Desa ialah Andreas Fanu.Ia menjabat selama 2 periode. 15 Andreas Fanu kemudian

digantikan oleh Eligadus Manas, S.E. sebagai penjabat sementara pada tahun

2021. Walaupun sistem pemerintahan telah berubah sebagaimana yang terjadi saat

ini namun sebagai masyarakat yang beradat, masyarakat Humusu Oekolo tetap

mengakui dan meyakini norma adat-istiadat sebagai pusat dan sumber kehidupan.

2.1.3. Letak Administratif Dan Keadaan Geografis

15
Profile BWS Desa Humusu Oekolo.

18
Secara geografis dapat diketahui bahwa Desa Humusu Oekolo terletak di

Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Provinsi Nusa

Tenggara Timur (NTT). Desa Humusu Oekolo berada di daerah dataran rendah

yang dikelilingi oleh beberapa bukit dan desa di sekitarnya. Desa Humusu Oekolo

berbatasan dengan beberapa wilayah yang mengapitnya: bagian Timur berbatasan

dengan Desa Oepuah Selatan, bagian Barat berbatasan dengan Desa Humusu

Wini, bagian Utara berbatasan dengan Desa Oesoko, dan bagian Selatan

berbatasan dengan Desa Tainsala. Desa Husumu Oekolo memiliki luas wilayah

dan tipologinya terdiri dari persawahan, perkebunan, perladangan, peternakan,

dan perbukitan. 16 Dari tipologi tersebut dapat diidentifikasi sumber daya alam

yang dimiliki sebagai potensi pembangunan di wilayah tersebut.

Daerah Desa Humusu Oekolo beriklim tropis dan musim kemarau lebih

panjang dari musim hujan. Pada bulan Juli dan Agustus udaranya sangat panas

dan menyebabkan kelaparan bagi hewan-hewan peliharaan para penduduk. 17

2.2. Kebudayaan Desa Humusu Oekolo

Berbicara tentang kebudayaan Desa Humusu Oekolo berarti berbicara

tentang unsur-unsur yang membentuk kebudayaannya. Unsur-unsur itulah yang

menjadi dasar dalam memahami kebudayaan orang Oekolo. Karena itu, hanya

melalui unsur-unsur kebudayaan yang terdapat di dalam kebudayaan orang

Oekolo akan dapat dipahami dengan lebih baik apa itu kebudayaan orang Oekolo.

16
Profil BWS Desa Humusu Oekolo.
17
Raimundus Tikneon, (49 Tahun-pemelihara hewan), Wawancara di Kampung
Oekolo, 25 Juli 2021.

19
Namun, sebelum menguraikan unsur-unsur kebudayaan yang terdapat di dalam

kebudayaan Desa Humusu Oekolo, penulis akan terlebih dahulu menjelaskan

pengertian kebudayaan, baik itu secara umum, menurut para ahli, dan menurut

pandangan orang Oekolo. Penguraian ini bertujuan untuk lebih memahami

kebudayaan orang Oekolo yang tercakup di dalam unsur-unsur kebudayaannya.

2.2.1. Pengertian Kebudayaan Secara Umum

Secara etimologis kata kebudayaan berasal dari kata dasar

budaya.Sementara itu, kata budaya berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah

yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti kekuatan budi. Jadi,

berdasarkan asal katanya kebudayaan berarti apa saja yang dihasilkan oleh

kekuatan budi manusia. Namun karena manusia tidak hanya bekerja dengan

kekuatan budinya, melainkan juga dengan perasaan dan kehendak, maka secara

lebih utuh kebudayaan diartikan sebagai hasil karya budi, karsa, dan kehendak

manusia.18

Sedangkan, kebudayaan dalam bahasa asing disebut culture yang berasal

dari kata Latin “colere” yang berarti mengelola atau mengerjakan. Bertolak dari

asal kata “colere” tersebut, kemudian menjadi “culture” yang diartikan sebagai

segala daya dan kegiatan manusia untuk mengelola dan mengubah alam. 19

Bertolak dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa

kebudayaan merupakan hasil dari daya akal budi manusia yang mencakup

18
Bernard Raho, SVD, SOSIOLOGI, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2016), hlm. 124.
19
Ani Sri Rahayu, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2016),
hlm. 20.

20
keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, keseniaan, hukum, adat-istiadat, dan

setiap kemampuan lain serta kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai

anggota suatu masyarakat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kebudayaan adalah

menyelidiki bahasa dan mengenai kebudayaan; yang sudah berkembang (beradab,

maju).20 Edward Burnett Tylor dalam karyanya yang berjudul “Primitive

Culture”, mendeskripsikan kebudayaan sebagai keseluruhan kompleksitas dari

keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, keseniaan, hukum, adat-istiadat, dan

kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat.21

Sedangkan, Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem

gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat

yang dijadikan sebagai milik kita melalui proses belajar. 22

Secara ontologi, kebudayaan terdiri dari 3 wujud dan 9 unsur. 23 Ketiga

wujud kebudayaan itu adalah sebagai berikut:

1. Wujud ide berupa gagasan, nilai, norma, dan aturan yang ada dalam

kompleksitas sistem simbol yang mengandung sistem makna yang abstrak. Para

antropolog menyebutnya dengan istilah culture system.

20
Agus Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Tim Penyusun Pustaka
Pembinaan Bahasa Depdikbud, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 226.
21
H. Daeng, Antropologi Budaya, (Ende: Nusa Indah, 1986), hlm. 19.
22
Konrad Kebung, Ph. D., Filsafat Berpikir Orang Timur, (Jakarta: Prestasi Pustaka
Kasih, 2011), hlm. 247.
23
Dr. Yohanes Vianey Watu, `Manusia Dan Kebudayaan Indonesia`, (Bahan Kulia
Fakultas Filsafat), (Kupang: Fakultas Filsafat, 2013), hlm. 6-7.

21
2. Wujud aktivitas atau produksi yang berciri faktual, fisikal, dan konkret yang

terikat dengan ruang dan waktu. Para antropolog menyebutnya dengan istilah

social system.

3. Wujud artefak atau produk budaya sebagai benda-benda material yang fisikal

dan konkret, yang ada dalam ruang dan waktu (historis). Para antropolog

menyebutnya dengan istilah physical culture.

Ketiga wujud kebudayaan tersebut mencakup 9 unsur atau elemen sistemik

universal yang terdiri dari elemen sistem komunikasi, sistem organisasi, sistem

pengetahuan, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, sistem keseniaan, sistem

religi, sistem pemerintahan, sistem permainan, dan kuliner.

2.2.2. Pengertian Kebudayaan Menurut Para Ahli

1. Edward Burnett Tylor

Dalam karyanya yang berjudul “Primitive Culture”, Tylor24

mendeskripsikan kebudayaan sebagai kompleksitas dari keseluruhan pengetahuan,

kepercayaan, keseniaan, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang

dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat.

2. Koentjaraningrat

24
Dr. Alo Liliweri, M. S., Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 2003), hlm. 107.

22
Dalam refleksinya berkaitan dengan kebudayaan seperti yang dikutip oleh

Kondrat Kebung, Koentjaraningrat 25 memahami kebudayaan sebagai keseluruhan

sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

masyarakat yang dijadikan sebagai milik kita melalui proses belajar. Kejayaan

hidup manusia dalam mengatasi pelbagai rintangan dalam hidupnya guna

mencapai kebahagiaan.

3. Ki Hajar Dewantara

Menurut Dewantara, kebudayaan merupakan hasil atau buah budi manusia

dalam perjuangan melawan dua kekuatan besar dunia yaitu alam dan zaman atau

waktu.26

4. Y. B. Mangunwijaya

Dalam refleksinya berkaitan dengan kebudayaan, Mangunwijaya

menyimpulkan bahwa kebudayaan adalah mencakup keseluruhan aktivitas budi

dan akal manusia sebagai upaya untuk menjawabi segala kebutuhan hidup

manusia.27

2.2.3. Pengertian Kebudayaan Menurut Masyarakat Desa Humusu Oekolo

Kebudayaan dalam bahasa daerah (Bahasa Dawan) Desa Humusu Oekolo

disebut dengan istilah Monik, Moenka,28 (`Hidup, Hidup Kita`) yang berarti hidup

25
Konrad Kebung, Loc., Cit.
26
Ibid., hlm. 248.
27
Y. B. Mangunwijaya, Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein, Esei-Esei Tentang
Kebudayaan Indonesia Abad Ke-21, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 47.
28
Asterius Taku Banusu, (70 tahun), Wawancara di Kampung Oekolo, 02 Agustus
2021.

23
atau yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia sebagai manusia.

Berdasarkan pemahaman tersebut dapat disimpulkan bahwa kebudayaan menurut

orang Humusu Oekolo ialah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik itu

materi maupun non materi. Kebudayaan berupa materi itu mencakup harta-benda

yang memiliki kegunaan secara khusus dalam keyakinan orang Humusu Oekolo

seperti rumah adat berserta peralatan dan perlengkapannya, aksesoris perhiasan

tangan, leher, dan telinga, peralatan rumah tangga, pakaian, dan lain sebagainya.

Sedangkan kebudayaan berupa non materi itu mencakup konsep norma-norma,

nilai-nilai, kepercayaan/keyakinan, dan bahasa ibu (Bahasa Dawan) yang diyakini

oleh orang Humusu Oekolo sebagai orang yang berbudaya.

2.3. Keadaan Demografis

2.3.1. Sistem Kepercayaan

Masyarakat Humusu Oekolo memiliki sistem kepercayaan lokal. Mereka

percaya akan adanya Wujud Tertinggi atau Yang Transenden melampaui segala

sesuatu. Wujud Tertinggi atau Yang Transenden melampaui segala sesuatu yang

diyakini oleh masyarakat Humusu Oekolo sering disebut Uis Neno dalam bahasa

ibu (Bahasa Dawan). Bagi etnis Dawan termasuk masyarakat Humusu Oekolo,

Uis Neno diyakini sebagai pencipta manusia, alam, dan pemelihara kehidupan di

dunia. Karena itu, Uis Neno sering disebut Amoet-Apakaet yang berarti pencipta

dan penyelenggara segala sesuatu bagi kehidupan di alam termasuk manusia. 29

29
Dra. Siti Maria, Julianus Limbeng, M.Si., dan Drs. Ahmad Sunarto, Kepercayaan
Komunitas Adat Suku Dawan Pada Siklus Ritus Tani Lahan Kering Di Kampung Maslete,
Kecamatan Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur,

24
Penjelmaan Uis Neno dikenal dalam bentuk dewa bumi yang sering

disebut Uis Pah/Uis Naijan dan arwah nenek moyang yang sering disebut Pah

Nitu yang mendiami bumi dan setiap benda yang hidup di atasnya. 30 Karena itu,

mereka sering mendatangi benda-benda bumi seperti mata air, pohon, batu, dan

lain sebagainya yang dianggap keramat karena berdiamnya arwah para nenek

moyang untuk mempersembahan kurban sajian sebagai bentuk penyembahan dan

penghormatan. Hal ini merupakan realisasi keyakinan mereka akan Wujud

Tertinggi atau Yang Transenden melampaui segala sesuatu yang memberikan

kedamaian, ketenangan, dan kesejahteraan hidup.

Masyarakat Humusu Oekolo juga percaya akan Uem Le `u (`Rumah

Adat`) yang menjadi pusat kehidupan dan kekeramatan suatu suku atau marga.

Semua rumah adat merupakan tempat doa dan upacara-upacara adat, tempat

penyimpanan harta pusaka suku dan tempat berdiamnya arwah nenek moyang

selain di mata air, pohon, batu yang dianggap keramat, serta tempat peresmian

anggota suku baru karena kelahiran atau perkawinan.

Dewasa ini, masyarakat Humusu Oekolo telah menganut Agama Katolik

Roma yang disebarkan oleh para misionaris sewaktu zaman kolonialisme di

Indonesia. Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat Humusu Oekolo

menghayati dan menjalankan dua kewajiban religius. Hal ini nyata dalam realisasi

keyakinan mereka. Akan tetapi Wujud Tertinggi atau Yang Transenden

melampaui segala sesuatu yang diyakini oleh mereka dengan sebutan Uis Neno

(Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film,
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Tahun 2006), hlm. 72.
30
Ibid., hlm. 72-73.

25
dan Uis Pah/Uis Naijan pada intinya sama dengan Wujud Tertinggi yang diyakini

dalam ajaran Katolik Roma yakni Allah sumber segala sesuatu.

2.3.2. Sistem Komunikasi

Salah satu unsur budaya yang sangat penting adalah bahasa. Bahasa

merupakan sarana pengungkapan diri setiap orang. Sebagaimana yang dikutip

oleh Dra. Yosefina Neonbeni, M. Hum. dalam bukunya yang berjudul

“Perempuan Dawan: Intan Yang Tak Terlupakan”, William A. Haviland, seorang

antropolog University of Vermont mengatakan bahwa bahasa mencerminkan

realita. Ia menegaskan bahwa realita yang dilihat dan dialami sesorang dapat

dipahami secara lebih baik oleh orang lain melalui bahasa. Dengan bahasa,

manusia dapat mengenal orang lain dan di dunianya, karena itu bahasa tidak dapat

dipisahkan dengan kehidupan manusia seutuhnya. 31

Sarana komunikasi (Bahasa) yang lazim digunakan dalam kehidupan

setiap hari oleh masyarakat Humusu Oekolo adalah bahasa Dawan atau Uab

Meto. Uab Meto (Bahasa Dawan) yang digunakan masyarakat Humusu Oekolo

merupakan bahasa yang mempunyai konjugasi atau perubahan bentuk kata kerja

menurut subjek pelakunya. Kata-kata kerja yang dipakai pada umumnya didahului

dengan dua konsonan, misalnya: au meup = saya bekerja, ho mmeup = engkau

bekerja, in nmeup = dia bekerja, hai mmeup = kami bekerja, hit tmeup = kita

bekerja, hi mmeup = kamu/kalian bekerja, sin nmeup (nmepun) = mereka bekerja.

Selain itu, Uab Meto juga memiliki tingkatan-tingkatan (halus-kasar) menurut

31
Dra. Yosefina Neonbeni, M. Hum., PEREMPUAN DAWAN Intan Yang Tak
Terlupakan, (Yogyakarta: Yayasan Pusataka Nusatama, 2007), hlm. 17-18

26
tinggi rendahnya kedudukan lawan bicara, misalnya dalam hal makan: Tah

biasanya digunakan dalam pergaulan sehari-hari dan ditujukan kepada sesama

sederajat, Bukae biasanya ditujukan kepada orang yang lebih tua, lebih tinggi

kedudukannya, yang dihormati dan tamu, Ta`nam`ok biasanya ditujukan kepada

raja, ratu, dan anak-anaknya. Adapun ungkapan simbolis lainnya yang berlaku

bagi semua orang Dawan: “Tmeup on ate, tah on usif” yang berarti `Bekerja

seperti hamba, makan seperti raja`. Ungkapan inilah yang menjadi pedoman bagi

orang Dawan termasuk masyarakat Humusu Oekolo untuk sungguh-sungguh

memanfaatkan waktu dan kesempatan dengan bekerja keras. 32

Dalam pertemuan-pertemuan adat dan pelaksanaan ritual, para tua adat

biasanya menggunakan bahasa kiasan dan simbol yang memiliki tingkatan yang

paling tinggi. Selain itu, masyarakat Humusu Oekolo juga menggunakan bahasa

Indonesia sebagai bahasa formal dalam aktivitas sehari-hari misalnya di sekolah,

di gereja, dan di kantor-kantor.

2.3.3. Sistem Pemerintahan Adat

Secara adat masyarakat dipimpin oleh seorang raja tertinggi (Usif Afinit).

Sebagai Usif Afinit (`Raja Tertinggi`) perintahnya disampaikan melalui Tatuin

(`Ajudan`) yang mendampinginya setiap hari dalam segala urusan kerajaan (Neno

Insana-Funan Insana) untuk diteruskan ke semua rakyat di seluruh wilayah

kerajaannya. 33

32
Ibid., hlm. 19-24
33
Alexander Un Usfinit, Maubes-Insana Salah Satu Masyarakat Di Timor Dengan
Struktur Adat Yang Unik, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 46.

27
Humusu Oekolo merupakan bagian wilayah Kefetoran Fafinesu yang

terletak di bagian Utara dari keseluruhan wilayah kerajaaan Maubes-Insana.34

Para penduduknya terdiri dari lima suku yakni Banusu, Tikneon, Alen, Tulu, dan

Taslulu yang biasanya disebut Ume Naek Nim (`Rumah Besar Lima` atau `Lima

Rumah Besar`) karena kelimanya bersaudara. Suku Banusu menduduki status

tertinggi yakni sebagai Kapitan yang bertugas menerima dan meneruskan setiap

perintah dari Tatuin (`Ajudan`) yang diperintahkan oleh Usif Afinit (`Raja

Tertinggi`) kepada seluruh rakyatnya untuk dijalankan demi perdamaian dan

kesejahteraan hidup bersama. Suku Banusu juga disebut Ama Naek sebab ia

memiliki peranan penting dalam setiap upacara adat yang dilakukan bersama.

Sedangkan suku lainnya disebut sebagai Nefu Hala35 dari suku Banusu. Dalam

suku Tikneon, Alen, Tulu, dan Taslulu, masing-masingnya memilih seorang

menjadi Tobe untuk memimpin dalam suku. Tobe ini sangat dihormati dan

dihargai dalam suku, sebab ia memiliki peranan penting dalam segala macam

urusan adat di suku tersebut.

Dewasa ini terdapat beberapa suku di Humusu Oekolo sebagai pendatang.

Suku-suku itu berasal dari wilayah Miomafo dan Naibenu. Mereka bermigrasi

demi memenuhi kebutuhan hidup. Dalam urusan adat-istiadat mereka selalu

menghadirkan Kapitan dan para Tobe sebagai bentuk penghormatan dan

penghargaan terhadap Kua Tuaf (`Tuan Kampung`).

34
Ibid., hlm. 138.
35
Andreas Tefa Sa`u, SVD, KAMUS UAB METO-BAHASA INDONESIA, (Jakarta:
Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, 2020), hlm. 519. Ungkapan untuk para
pendamping, pengikut, dan pembantu adat dalam suatu wilayah tradisional.

28
2.3.4. Sistem Mata Pencaharian

Secara umum masyarakat Humusu Oekolo tergolong masyarakat agraris.

Sebagai masyarakat agraris, mereka menggantungkan kebutuhan hidup pada hasil

pertanian yang diperoleh. 36 Jenis tanaman andalan masyarakat adalah padi dan

jagung. Selain itu hasil pertanian lainnya ialah ubi kayu, kacang-kacangan, dan

sayur-sayuran. Hal ini menyebabkan kehidupan masyarakat yang pas-pasan.

Bergantung pada hasil panen yang diperoleh, di samping itu terdapat beberapa

penduduk yang kreatif sehingga lahan perkebunannya ditanami tanaman lain

seperti pisang, jambu mente, mangga, kelapa, kayu jati, lombok, dan lain

sebagainya yang hasilnya dapat diperdagangkan sehingga pendapatannya lebih

baik dan lebih meningkat.

Masyarakat Humusu Oekolo juga mencari nafkah dengan cara beternak.

Jenis ternak yang dipelihara ialah ternak produktif yang medatangkan keuntungan

dan digunakan untuk pesta-pesta adat seperti Bijae (Sapi), Bikase (Kuda), Bijae

Meto (Kerbau), Bibi (Kambing), Fafi (Babi), Manu (Ayam), dan Asu (Anjing). Di

samping itu, mata pencaharian yang digeluti ialah menenun yang dilakukan oleh

kaum wanita. Hasil tenun mereka berupa kain Bete untuk kaum pria, kain Tais

untuk kaum wanita, Bet Ana (Selendang), dan Futu (Ikat Pinggang) yang dapat

diperdagangkan sehingga memberi keuntungan bagi mereka.

36
Bernard Raho, SVD, SOSIOLOGI, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2016), hlm. 161.

29
Pola bertani, beternak, dan menenun mendatangkan pendapatan yang tidak tetap.

Dewasa ini ada masyarakat yang memiliki pendapatan tetap seperti PNS, Pegawai

Swasta, Guru, dan lain sebagainya.

2.3.5. Sistem Perkawinan

Umumnya masyarakat Humusu Oekolo mengenal dan menganut sistem

perkawinan endogami dan eksogami. 37 Masyarakat Humusu Oekolo sepenuhnya

adalah suku Dawan sehingga perkawinan yang terjadi antar sesama suku Dawan

akan sangat membantu, mempererat, dan memperkuat solidaritas suku. Sedangkan

perkawinan yang terjadi dengan suku berbeda menjadi suatu keuntungan dalam

menciptakan kerjasama antar suku.

Bertolak dari sistem perkawinan yang dianut, masyarakat Humusu Oekolo

menerima bentuk perkawinan monogami dan bukan poligami yang mana

disebabkan oleh kekuatan agama dan adat. Sistem perhitungan keturunan keluarga

mengikuti garis keturunan ayah yakni sistem patrilinear, di mana anak-anak yang

dilahirkan masuk dalam fam dari suku ayah. Perkawinan menurut pandangan

masyarakat setempat merupakan suatu fase pembentukan kekerabatan keluarga

antara pria dan wanita, sehingga disebut dengan istilah Bae Mone-Bae Feto yang

mengandung arti dalam persatuan perkawinan antara seorang pria dan wanita

kedua suku bersangkutan membentuk sebuah ikatan persekutuan rumpun keluarga

besar.

2.3.6. Jumlah Penduduk

37
Ibid., hlm. 264.

30
Jumlah penduduk di Desa Humusu Oekolo sebanyak 2139 jiwa dengan

rincian laki-laki sebanyak 1060 jiwa dan perempuan sebanyak 1079 jiwa. Jumlah

KK sebanyak 544 dengan KK RTM (Rumah Tangga Miskin) sebanyak 149, dan

KK non RTM (Rumah Tangga non Miskin) sebanyak 395. Jumalah penduduk

yang memeluk agama Katolik rata-rata 99,58% dan yang memeluk agama Kristen

Protestan rata-rata 0,42%. Jumlah penduduk yang telah menikah sebanyak 922

orang, sedangkan yang belum menikah sebanyak 1161 orang, janda sebanyak 21

orang, dan duda sebanyak 2 orang.38 Kini penduduk Humusu Oekolo banyak yang

merantau (Para Pemuda) ke luar daerah ibu kota provinsi seperti Papua,

Kalimantan, Bali, dan lainnya.

2.3.7. Pendidikan

Pada era yang semakin modern ini masyarakat Humusu Oekolo telah sadar

bahwa pendidikan sangat penting dalam kehidupan mereka sendiri. Karena itu,

mereka saling bersaing dalam berpendidikan. Hal ini didukung dengan adanya

beberapa lembaga pendidikan di daerah setempat seperti 2 lembaga Pendidikan

Sekolah Dasar (SDK Oekolo dan SDN Oesusu), 1 lembaga Pendidikan Menengah

Bawah (SMPN Satap Oesusu), dan 1 lembaga Pendidikan Menengah Atas

(SMAN Oekolo). Dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan tersebut, mereka

dapat mengenyam pendidikan di sana dan ada yang melanjutkan pendidikannya

ke perguruan tinggi. Di sisi lain, berdasarkan pengamatan penulis masyarakat

setempat sering mengalami hambatan-hambatan tertentu dalam bidang pendidikan

seperti keadaan ekonomi keluarga yang tidak mendukung sehingga ada pemuda

38
Data Penduduk Desa Humusu Oekolo tahun 2021.

31
yang pendidikannya hanya sebatas SMP dan SMA. Sebaliknya para pemuda lebih

terobsesi dengan pengaruh lingkungan sosial seperti pergaulan dan lainnya

sehingga tidak melanjutkan pendidikannya ke SMA dan perguruan tinggi

walaupun keadaan ekonomi keluarga cukup mendukung.

32

Anda mungkin juga menyukai