Anda di halaman 1dari 13

Kegiatan Belajar I

A. MODERASI BERAGAMA1 DAN KETERBUKAAN

Istilah Moderasi Beragama terdengar cukup baru. Tetapi dari sisi isi, moderasi beragama
bukan ajaran baru bagi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sudah mempunyai modal sosial dan
kultural yang kuat. Mereka akrab dengan semboyan-semboyan seperti Bhinneka Tunggal Ika,
gotong royong, persatuan dan kesatuan, kerja bakti, tenggang rasa, keragaman, dan bersatu kita
teguh, bercerai kita runtuh. Memperhatikan semboyan-semboyan itu, maka dapat ditarik
kesimpulan sementara, Moderasi Beragama merangkum semua usaha yang bertujuan untuk
menghilangkan atau mengurangi keekstreman.

1 Kompetensi
Kompetensi pada bagian ini terdiri dari kompetensi inti dan kompetensi dasar.
Kompetensi inti diambil dari deskripsi capaian pembelajaran guru Pendidikan Agama
Katolik yang profesional. Kompetensi dasar diambil dari rumusan sub capaian pembelajaran
guru Pendidikan Agama Katolik yang profesional.

1.1. Kompetensi Inti


Mahasiswa mampu melaksanakan tugas keprofesian sebagai pendidik Agama
Katolik yang memesona, yang dilandasi sikap cinta tanah air, berwibawa, tegas, disiplin,
penuh panggilan jiwa, samapta, disertai dengan jiwa sepenuh hati dan kemurahatian dalam
proses pembelajaran.

1.2. Kompetensi Dasar


Mahasiswa mampu melaksanakan tugas keprofesian sebagai pendidik agama Katolik
yang mengimplementasikan Moderasi Beragama.

1.3. Indikator Capaian Kompetensi


a. Mampu melaksanakan tugas keprofesian sebagai pendidik agama Katolik.

7
b. Mampu mengimplementasikan sikap Moderasi Beragama.
c. Mampu mengajarkan kembali sikap Moderasi Beragama.
1.4. Tujuan Pembelajaran
a. Mahasiswa dapat mengukur apakah segala perilakunya selama ini sudah masuk dalam
kategori moderasi agama atau belum.
b. Mahasiswa berkomitmen untuk bermoderasi agama dalam segala segi kehidupannya.
c. Mahasiswa mau melibatkan diri dalam gerakan-gerakan yang secara khusus
mempromosikan dan mengajarkan sikap moderasi beragama.

2 Peta Konsep Moderasi Beragama

3 Uraian Materi
Pemahaman tentang konsep Moderasi Beragama menurut Kementerian Agama
Republik Indonesia (Kemenag) akan ditambah dengan konsep dalam Gereja Katolik.
Penjelasan tentang Moderasi Beragama menurut Kemenag dikelompokkan menjadi dua;
pengertian dan prinsip dasar.
Moderasi dalam konteks Gereja Katolik sama halnya dengan membicarakan status
Gereja Katolik dalam dunia dewasa ini. Status tersebut berkaitan dengan persoalan-persoalan
di dalam struktur Gereja (ad intra) dan persoalan-persoalan di luar struktur Gereja (ad extra).
Penggunaan istilah "di dalam" dan "di luar" Gereja, mungkin tidak terlalu tepat. Tetapi
sebagai sebuah "maksud", semoga istilah tersebut dapat membantu.

3.1. Pengertian Moderasi Beragama


Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan moderasi sebagai
"pengurangan kekerasan atau penghindaran keeskstreman".2 Menurut kamus yang sama,
kekerasan berarti "perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain" dan
"paksaan".3 Sedangkan keekstreman dipahami sebagai "hal yang keterlaluan" dan
"kefanatikan".4

8
Bertolak dari definisi-definisi di atas, ditambah kesadaran akan Pancasila sebagai
falsafah hidup bangsa, kurang lebih, melalui kata moderasi, Kementerian Agama Republik
Indonesia mencita-citakan "masyarakat beragama di Indonesia yang dapat mempraktikkan
agama mereka masing-masing dengan menggunakan cara-cara yang secara aktif dapat
menghindari terjadinya cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik
atau barang orang lain, paksaan terhadap anggotanya sendiri dan orang lain, sikap-sikap
yang keterlaluan, dan kefanatikan".
Agama-agama memiliki hal-hal substansial/mendasar yang bersifat tetap. Tetapi,
mereka juga punya ungkapan dan perwujudan iman yang berubah secara dinamis sesuai
zaman/kontekstual. Jika para pemeluk agama memahami hal itu, maka mereka akan berhati-
hati dalam bersikap atau moderat. Moderat dalam KBBI adalah "berkecenderungan ke arah
dimensi atau jalan tengah; memandang/memahami secara pas" dan "mau
mempertimbangkan pandangan pihak lain".5 Jika manusia Indonesia dapat menguasai sikap
moderat ini, pasti Indonesia akan menjadi negara yang dewasa, kuat, dan maju, seperti visi
2045.
Dalam bahasa Latin, "moderat" berarti "sedang". Makna "sedang" yang dipakai di
sini berarti "tidak lebih dan tidak kurang", kata lain yang mungkin berpadanan dengan itu
adalah "pas" atau "proporsional". Dalam bahasa Inggris, kata "moderation" memuat arti
"sikap sederhana", "sifat sedang", dan "sikap tidak berlebih-lebihan". Dapat pula
ditambahkan makna lain seperti, "rata-rata" dan "tidak berpihak". Dengan demikian,
moderasi dapat dipahami sebagai "penguasaan/pengendalian diri sehingga dapat
menyeimbangkan iman dan tindakan.
Bahasa Arab memiliki kata "wasath", "wasathiyah" (pilihan terbaik), "wasith"
(orang yang melakukan wasathiyah/pilihan terbaik). Ketiga kata itu punya makna yang
mirip dengan kata "tawassuth" (tengah-tengah), "tawazun" (berimbang). Bahasa Indonesia
menyerap kosakata itu. Maka, kita mengenal kata "wasit" yang punya arti penengah,
perantara, penentu, pemimpin, pemisah, pelerai, pendamai, segala yang baik sesuai dengan
obyeknya.6 Dengan pengayaan dari istilah Arab ini, moderasi dapat dipahami sebagai
"memilih yang terbaik, menengahi, menjembatani, memisahkan diri dari yang ekstrem".

9
Maka, moderasi beragama adalah sikap beragama yang menyeimbangkan antara
mempraktikkan ajaran agamanya sendiri (eksklusif) dan menghormati praktik ajaran agama
yang berbeda dari miliknya (inklusif).
Agama Islam memperkenalkan istilah "wasathiyah" yang dapat dipahami sebagai
menjadi jembatan (berada di tengah-tengah) untuk mencapai pilihan-pilihan yang terbaik
dan berkeadilan. Maka, jika orang Islam melakukan "wasathiyah", mereka didorong untuk
bersikap seperti wasit yang bertanggung jawab memimpin jalannya pertandingan/permainan
agar berlangsung sesuai peraturan hingga selesai. "Wasathiyah" memuat makna bahwa yang
baik ada di antara dua kutub ekstrem. Alhasil, seseorang yang bersikap tidak ekstrem, pada
dasarnya ia sedang mempraktikkan "wasathiyah". Orang-orang semacam ini disebut
pribadi-pribadi yang adil (just people). Merekalah yang dapat berkontribusi besar pada
terciptanya masyarakat yang adil (just society). Dalam Islam, orang-orang yang dapat
bersikap adil (just people) adalah orang-orang pilihan (khiyar). Merekalah orang-orang (dan
kelompok mereka) yang pantas disebut saksi (syahidan) dalam Islam.
UUD 1945 menjamin kemerdekaan umat beragama dalam memeluk dan
menjalankan ajaran agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.
Amanat luhur ini menjadi tanggung jawab lembaga-lembaga negara yang terkait. Tetapi,
masyarakat sipil Indonesia tidak boleh hanya diam menunggu kebijakan-kebijakan yang
dirumuskan oleh negara. Warga Negara Indonesia perlu turut menguji produk hukum itu
dengan sungguh-sungguh. Jika ditemukan adanya aturan-aturan yang bersifat diskriminatif,
maka janganlah ragu untuk menyuarakannya agar ada perbaikan. Aturan dasar bagi bangsa
Indonesia adalah Pancasila. Dengan sedikit penyesuaian, rumusan Pancasila dapat menjadi
cermin sudah sejauh manakah gerak bangsa Indonesia dalam menuju cita-citanya yang
paripurna. Indonesia hendak menjadi negara yang berketuhanan secara beradab demi
persatuan bangsa yang seluruh rakyatnya merasa terwakili dan mendapat jaminan keadilan.
Uraian di atas menegaskan kembali peran agama. Agama (perhormatan kepada
yang sakral) merupakan unsur penting untuk menciptakan masyarakat yang teratur.7 Agama
juga berkontribusi membentuk etos hidup yang kuat.8 Tetapi, jika manusia tidak beragama
dengan nalar, maka ada kemungkinan mereka akan hidup dalam gambaran keindahan surga

10
dan masa bodoh terhadap dunia saat ini dan di sini.9 Selain itu, jika manusia kurang
waspada atau cerdas beragama, peradaban agama-agama besar dapat memicu konflik.10

Peluang itu besar karena agama-agama menciptakan ikatan emosional yang kuat dalam diri
para pengikutnya.

3.1.1. Prinsip Dasar Moderasi Beragama: Adil dan Berimbang

Bahasa Indonesia menyerap kata "adil" dari Bahasa Arab. Dalam KBBI, "adil"
(kata benda) berarti orang yang disukai karena konsisten dalam keputusan dan perkataan,
orang yang memutuskan dengan setara, dan orang yang baik perangainya.11 Kata yang
kedua adalah "imbang" yang berarti setimbang, sebanding, sama (berat, derajat, ukuran).12
Orang yang seimbang memiliki prinsip dan ketetapan dalam dirinya seraya tegas
memperjuangkan keadilan, kemanusiaan, dan kesamaan. Bagi Mohammad Hashim
Kamali, konsep moderasi dalam pengertian wasathiyah mendorong para penganut agama
(Islam) untuk selalu mencari titik temu dalam perjumpaan mereka dengan orang-orang
yang berbeda.13
Sikap adil dan berimbang membutuhkan dukungan dari tiga karakter utama
manusia yaitu kebijaksanaan, ketulusan, dan keberanian. Berbekal tiga keutamaan itu, para
penganut agama akan terus belajar untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan
mereka tentang agama mereka sendiri (kebijaksanaan), mampu menempatkan
pengetahuan mereka tersebut dalam konteks zaman dan lokalitas masa sekarang
(ketulusan), dan semakin membuka diri terhadap beragam perjumpaan antarumat
beragama atau antaragama yang semakin beragam (keberanian). Pengetahuan yang
mendalam dan kontekstual tersebut perlu diterapkan dalam memahami dan
mempraktikkan Kitab Suci, liturgi, dan moral. Dengan demikian, kita membutuhkan usaha
lebih pada on going formation kepada semua umat beragama di tiap kelompok usia.
Pemahaman hidup beragama yang berkembang dalam diri para pemeluk agama akan
mendorong mereka untuk mencintai perjumpaan dengan beragam orang yang beragama
berbeda darinya.

11
3.1.2. Moderasi Beragama: Keterbukaan dalam Gereja Katolik

Gereja menghormati hidup dan pribadi manusia karena mereka adalah puncak
karya penciptaan (Kej. 1:26), gambar dan citra Allah (Kej. 1:27; 9:6), dan diangkat oleh
inkarnasi Yesus (Kol. 1:15). Hak hidup adalah hak yang paling dasar. Maka, Gereja
berusaha membela, melindungi, dan melestarikan hidup manusia. Tiap orang itu bernilai,
unik, dan tak tergantikan. Martabat mereka melekat sejak manusia ada. Tiap orang
memiliki tujuan dan finalitas masing-masing yang tidak boleh diperalat oleh orang lain.
Hidup manusia itu suci sehingga perlu dihormati. Mereka dipanggil menjadi wakil Tuhan
dan administrator atas hidupnya secara kreatif (menggunakan ilmu pengetahuan yang
bernurani akan membuat kehidupan lestari) dan bertanggung jawab (manusia tidak dapat
lepas dari lingkungan hidupnya).
Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi wakil-Nya di dunia dalam mengurus
semua ciptaan agar lestari (Kej. 1-2). Dalam menjalankan panggilannya tersebut, manusia
saling bekerja sama. Mereka yang berbeda-beda, kini mengemban tugas yang sama demi
kesejahteraan bersama (bonum commune). Perbedaan antarpribadi, perbedaan kelompok,
perbedaan budaya, dll itu perlu dihadapi dan dikelola dengan tepat. Pada saat perbedaan-
perbedaan ini tuntas dikenali dan disikapi, barulah semua manusia dapat bergerak
serempak untuk bersama-sama menjadi wakil Tuhan di dunia untuk mengelola segala
ciptaan. Tetapi sebelum hal itu terjadi, maka panggilan menjadi wakil-Nya akan selalu
dihambat oleh pertikaian antarpribadi atau kelompok yang masih mempersoalkan
perbedaan-perbedaan luaran yang jelas tidak dapat dihilangkan.
Kesadaran di atas mendorong orang Katolik untuk mengatasi perbedaan dan
menemukan titik temu yang diperluas. Salah satu contoh perjumpaan untuk memperluas
titik temu adalah pertemuan antara Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al Azhar, Syekh
Ahmad el-Tayyeb, tanggal 4 Februari 2019. Hasil pertemuan bilateral itu ditulis dalam
Dokumen Abu Dhabi; "Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup
Beragama". Menurut dokumen tersebut, musuh bersama yang perlu dihadapi oleh para
pemeluk agama adalah ekstremisme akut (fanatic extremism), hasrat saling memusnahkan

12
(destruction), perang (war), intoleransi (intolerance), dan rasa benci (hateful attitudes)
antara sesama manusia sambil mengatasnamakan agama.14
Gereja Katolik adalah persekutuan/paguyuban iman, harapan, dan cinta kasih.
Iman menggerakkan hidup dan menjadi dasar pengharapan hingga akhirnya terwujud
dalam tindakan kasih. Bertolak dari keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta semua
manusia, Nostra Aetate menegaskan bahwa Gereja Katolik tidak menolak apa pun yang
dalam agama-agama serba benar dan suci (bdk. NA 1). Gereja merenungkan cara-cara
bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran agama yang dalam banyak hal
berbeda dari yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang memantulkan
sinar kebenaran yang menerangi semua orang. Gereja menerima konsep pluralisme
agama-agama. Dalam konsep tersebut, iman kepada Tuhan yang sama diungkapkan dan
diwujudkan dengan cara yang berbeda-beda.
Gereja Indonesia berusaha terus-menerus mengembangkan jembatan yang kuat
untuk menghubungkan antaragama sehingga memperkokoh persaudaraan nasional.
Langkah yang terus diupayakan adalah dialog untuk pemulihan dan pengembangan
hubungan antaragama. Konsili Vatikan II mendorong Gereja supaya dengan bijaksana dan
penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain,
mengakui, memelihara, dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-
nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka (bdk. NA 2). Dialog yang terbuka akan
memotivasi semua orang untuk dengan setia menyambut dorongan-dorongan Roh serta
mematuhinya dengan gembira (bdk. GS 92).
Gereja mengajarkan bahwasannya dalam dialog, semua orang diundang untuk
memperdalam iman. Perjumpaan antarumat beragama, dengan demikian, membangunkan
orang dari "kelesuan rutin" supaya menemukan arah yang sejati untuk iman mereka.
Beberapa dialog yang dilakukan Gereja Katolik adalah sebagai berikut; (1) dialog
kehidupan, (2) analisis sosial dan refleksi etis kontekstual, (3) kajian tradisi keagamaan,
(4) berbagi keyakinan dalam tataran pengalaman dengan prinsip komitmen dan
keterbukaan, (5) teologi antaragama, (6) dialog aksi, dan (7) dialog intra-agama.

13
3.2. Hidup Bersama dengan Agama-Agama Lain
Antariman berbeda dari antaragama. Istilah "agama" dalam arti "orang beragama"
atau "anggota agama tertentu" erat kaitannya dengan lembaga keagamaan (hierarki,
keyakinan kelompok, ajaran, tata cara peribadatan, kitab suci, aturan, dan sanksi). Karena
itu, dalam konteks Indonesia lebih tepat menggunakan istilah “antaragama” dalam arti
perjumpaan antarlembaga keagamaan.15 Antaragama berlangsung atas nama lembaga, bukan
atas nama seseorang. Sekalipun hanya seorang individu yang melakukan kegiatan
antaragama, kita tetap menganggap orang tersebut sebagai perwakilan dari lembaga agama
atau perwakilan dari agama tertentu.
Iman adalah jawaban seseorang terhadap wahyu Allah. Jika antaragama terkait
dengan lembaga keagamaan, maka antaragama tidak memerlukan keterlibatan lembaga
keagamaan. Antaragama membutuhkan iman. Jika kita menambahkan kata dialog,
perbedaan antaragama dan antaragama menjadi lebih jelas. Dialog antaragama
menitikberatkan pada unsur-unsur yang terkandung dalam lembaga-lembaga keagamaan.
Namun, dialog antaragama berfokus pada seluk-beluk iman sebagai respons orang tertentu
terhadap wahyu. Perbedaan lainnya, lintas agama tidak harus diorganisir (pribadi atau
komunal). Sebaliknya antarumat beragama harus menata atau mempersiapkan lebih ketat
karena menyangkut keakuratan identitas. Antaragama adalah gaya hidup yang
berkelimpahan.
Agama selalu ada di ruang publik. Manifestasi globalisasi (pergerakan penduduk,
sirkulasi media, kemajuan teknologi) membuatnya semakin terekspos. Globalisasi
meningkatkan kemungkinan munculnya tradisi keagamaan baru.16 Globalisasi menjadikan
keragaman sebagai suatu keharusan. Globalisasi, modernisasi, dan sekularisasi terbukti tidak
membuat agama mati.17 Jika tidak, jumlah pemeluk agama semakin banyak. Mereka, dan
nilai-nilai ajaran agama, memengaruhi pengambilan keputusan publik. Namun, kebangkitan
tradisi keagamaan juga dapat menimbulkan masalah. Masalah kepicikan adalah salah
satunya. Terkadang, yang bangkit kembali (revival) adalah cara berpikir yang sempit.
Kebangkitan insular sama saja dengan sebuah blunder. Namun, kepicikan bukanlah
fenomena baru dalam konteks kebangkitan agama-agama. Kepicikan juga memiliki titik

14
tolak dari kosmopolitan masa lalu. Sebagai contoh, sejarah mencatat bahwa banyak praktik
intoleransi antarumat beragama di tempat yang jauh (dalam kategori waktu dan tempat) dan
berbeda tetapi memengaruhi hubungan antaragama di sini dan sekarang. Contoh lain adalah
proses westernisasi yang mengadopsi unsur-unsur Selatanisasi. Setelah menjadi kuat dan
kaya, mereka membiarkan dunia membelah, Utara yang unggul berhadapan dengan Selatan
yang terbelakang.
Agama-agama mainstream akan terus menjadi saksi lahirnya agama-agama baru,
beberapa di antaranya bersumber dari agama-agama yang telah ada sebelumnya.18 Dan yang
menarik, agama-agama baru itu laris manis. Ada tiga alasan. Pertama, pemimpin berasal dari
lingkungan mereka (otodidak dan membicarakan masalah kelompok). Kedua, ritual dan praktik
sosialnya mengadopsi perilaku para pengikutnya. Ketiga, mereka umumnya muncul di kalangan
masyarakat kelas menengah ke bawah yang memperjuangkan kesejahteraannya. Mereka
longgar terhadap simbol-simbol agama. Namun, mereka tegas dalam keramahan terhadap siapa
pun. Penganutnya cenderung memandang agama mainstream sebagai bagian dari masalah.
Agama-agama lama dianggap gagap untuk berbicara dalam bahasa dunia global, postmodern,
dan kabel. Namun, agama-agama baru juga mengulangi klaim para pendahulunya. Kadang-
kadang, mereka menyebut diri mereka "gerakan kembali ke akar sejati."
Banyaknya agama menjadikan fenomena persahabatan antaragama (inklusif atau
eksklusif, eksoteris atau esoterik, asimetris atau simetris sosio-religius) menjadi hal yang
lumrah.19 Namun, perspektif agama lain masih tidak proporsional. Ikatan sosial antaragama
merupakan hal yang lumrah dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Kecenderungannya,
pemeluk agama minoritas akan lebih terbuka dan lebih aktif membangun persahabatan
antarumat beragama. Di sisi lain, penganut agama mayoritas cenderung merasa cukup puas
dengan relasi di dalam kelompoknya yang dalam arti tertentu sudah cukup banyak.
Fenomena antaragama sangat penting. Setiap kata benda yang ditambahkan padanya
akan lebih menjelaskan esensinya. Jika kita menambahkan istilah dialog, misalnya, akan
memberi kedalaman pada kata antaragama dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hubungan
antaragama. Mereka yang terlibat dalam dialog antaragama mengarahkan dirinya untuk

15
mengakui “sama”, “berbeda”, dan “lain” dalam agamanya.20 Pengakuan tersebut penting untuk
melawan kecenderungan penganut agama yang berbeda untuk "saling mengabaikan".21 Jika
tidak, ancaman akan selalu menghantui kelangsungan agama. Dalam dialog antaragama, peserta
memahami agama lain sebagaimana agama lain melihat diri mereka sendiri.22 Wajah sejati
agama lain harus diperlihatkan atau dibiarkan menampakkan diri. Itu bukan wajah interpretasi
pihak lain. Dialog antaragama juga mencakup upaya untuk mengumpulkan hal-hal yang
menyatukan semua orang tanpa menyangkal perbedaan agama mereka.23 Salah satu faktor yang
mendorong orang untuk bersatu adalah kerinduan mereka akan kebebasan. Secara khusus,
istilah "banyak orang" dalam Alkitab dapat membantu kita memahami sifat dialog antaragama.
"Banyak" berarti "kesatuan dan perbedaan".24 Di dalamnya, manusia bebas melakukan tiga hal;
(a) memperkuat kompetensi antarbudaya, (b) memperkuat dan memperdalam iman mereka, dan
(c) merencanakan bersama dengan rasa hormat. Ketiga kebebasan ini diperlukan untuk
memastikan terpeliharanya "kesatuan dan perbedaan".
Orang juga menggunakan istilah pertemuan antaragama untuk menunjukkan
kontras antara pihak-pihak yang bertemu.25 Istilah perjumpaan dapat memotivasi semua
pihak yang terlibat untuk memaknai ulang tradisi masing-masing secara inovatif dan
ekstensif. Oleh karena itu, melalui dialog, hubungan antaragama didorong untuk
menciptakan hubungan antaragama yang otentik. Dan ketika hubungan berjalan dengan
baik, keramahan tercipta di dunia dengan banyak agama.26 Keramahan tidak hanya berarti
menerima pihak lain. Keramahan juga membuat kita sadar bahwa kita adalah tamu ziarah
agama lain. Artinya, kita berada di pihak yang lemah dan selalu membutuhkan perlindungan
orang lain. Namun, pertemuan antaragama juga dapat memicu konflik antaragama. 27 Dan
anehnya, hanya satu penyebab konflik antaragama yang masuk dalam domain agama.
Empat penyebab tersebut adalah; (a) sosial ekonomi, (b) politik, (c) etnis-budaya, (d)
antaragama.
Dalam dinamika antaragama, dialog merupakan kegiatan utama sedangkan bahasa
verbal merupakan alat utama yang menghubungkan kita dengan sesama.28 Namun, bahasa
verbal bukanlah satu-satunya alat. Ada juga estetika antaragama yang dapat membantu kita

16
memahami agama lain.29 Estetika antaragama bekerja dengan merasakan ekspresi iman
dalam agama yang berbeda (materi dan pertunjukan). Melalui objek dan ekspresi seni
spiritual (puasa, bentuk bangunan, gaya pakaian, warna, dll), kita dapat memahami agama
lain. Dengan menggunakan estetika antaragama, dialog antaragama akan memiliki kekuatan
transformatif. Pendekatan estetis antaragama dapat membuat keragaman diakui, terjadi
kontak dengan orang lain (others), narasi pribadi dibagikan, dan menciptakan ruang
mendengarkan.
Dialog antaragama berjalan jika orang-orang yang terlibat menerima kepribadian
mereka, kepribadian orang yang berbeda dari mereka dan orang lain. 30 Ketika sikap ini
berkembang, mereka dapat mulai berbicara tentang nilai kehidupan dan melihatnya dengan
cara baru. Pada tahap selanjutnya, mereka akan membicarakan hal-hal yang penting dalam
hidup bersama. Akhirnya, mereka tidak akan menjadi abai terhadap agama lain di sekitar
mereka. Khusus bagi Gereja, jika ingin mengadopsi model dialog antaragama ini, maka
dialog antaragama tidak hanya menjadi sarana untuk saling memahami agama. Lebih dari
itu, dialog akan menjadi evangelisasi sejati dan membentuk kesadaran religius yang
mengikuti kehendak Kristus.31
Dialog antaragama membutuhkan kecerdasan antaragama.32 Pikiran kita
dipengaruhi oleh berbagai hal. Akibatnya, terkadang, cakrawala berpikir kita sangat khusus
tentang apa pun. Jadi, kita perlu mengambil langkah-langkah untuk mendekolonisasi ide dan
praktik kita. Selain kecerdasan antaragama, dialog antaragama yang efektif membutuhkan
kepekaan antaragama dan kesadaran ideologi sosial politik.33 Dialog antaragama tumbuh
ketika para peserta selalu bersemangat untuk melakukan hal-hal yang indah. Dalam konteks
ini, pekerja seni juga dapat berkontribusi dalam proses dialog. Jika para seniman dari
berbagai latar belakang agama mau berkolaborasi untuk menciptakan karya seni religi,
karya seni ketuhanan, perjumpaan antaragama tentu akan terlihat lebih indah.
Pada titik ini, kita mungkin sepakat bahwa dialog antaragama perlu memenuhi
beberapa syarat. Sulayman S. Nyang menawarkan dua syarat.34 Pertama, para aktor harus
memahami bahwa pada dasarnya manusia ingin saling berkomunikasi dan membangun
hubungan di antara mereka. Di Indonesia, jika kita ingin mengembangkan dialog

17
antaragama, (pertama-tama) semua pemimpin agama (pastor, pendeta, kyai, pedande) harus
hidup bersama sebagai orang Indonesia. Mereka harus melawan ekstrimis yang merusak
Pancasila. Kedua, setiap peserta dialog harus kembali ke Kitab Sucinya masing-masing.
Tinjau teks Alkitab secara kritis. Mereka dapat menggunakan kritik teks, kritik analisis
bahasa, kritik sastra, kritik tradisi, dan kritik editorial. Tetapi ingat, karena tulisan suci juga
merupakan teks iman, mereka yang mempelajari tulisan suci perlu memahami makna literal
dan juga makna spiritual; alegoris, moral, dan anagogis (lih. KGK 117, 118). Dialog tidak
melemahkan agama apa pun. Di sisi lain, dialog memperluas landasan bersama dan
menekankan perbedaan untuk penerimaan yang lebih baik.
Selain dua kondisi di atas, pelaku dialog harus menyadari tiga hal. 35 Satu, bahkan
dalam dialog yang paling terbuka sekalipun, simbol-simbol agama dan doktrinnya
cenderung menjadi identitas pembeda yang tidak mudah terekspos dan tersampaikan.
Kedua, dalam masyarakat majemuk, konflik akan meningkat jika ada rasa saling tidak
percaya. Dalam masyarakat majemuk, konflik lebih mudah tumbuh daripada mereda.
Ketiga, jika konflik menjadi masif, pemuka agama yang moderat dan berorientasi dialog di
pihak mana pun akan menjadi korban, dibunuh oleh anggota radikalnya. Terlepas dari
ancaman ini, kita masih perlu berdialog. Sebab, keragaman selalu berdampak pada
toleransi.36 Tentu kita berharap dampaknya positif.

3.3. Gereja dalam Dunia Dewasa ini


Gereja Katolik adalah Gereja Gaudium et Spes, Gereja yang hidup bersama dengan
realitas zaman sekarang; kemiskinan, keanekaragaman budaya, dan agama-agama (GS).
Gereja adalah Umat Allah yang berziarah. Ia turut mengalami segala pengalaman manusia.
Ia berjuang bersama seluruh umat manusia. Ia hendak menjadi suci bersama seluruh dunia,
karena Tuhan hendak menyelamatkan manusia sebagai keluarga. Oleh karena itu, Gereja
Katolik selalu terbuka kepada dunia.
Gereja Katolik mau mengenal dan bersahabat dengan dunia komunikasi sosial
(Inter Mirifica), dengan Gereja Katolik Timur (Orientalium Ecclesiarum), dengan
Protestantisme (Unitatis Redintegratio), dengan kebebasan beragama (Dignitatis Humanae),

18
dengan agama-agama bukan Kristen (Nostra Aetate). Ia mau membarui diri dalam
memahami jati diri Gereja (Lumen Gentium), cara memahami iman dan wahyu (Dei
Verbum), dalam berliturgi (Sacrosanctum Concilium), dalam memandang dunia (Gaudium
et Spes), pendidikan (Gravissimum Educationis), karya misi (Ad Gentes), pelayanan para
imam (Presbyterorum Ordinis), kerasulan awam (Apostolicam Actuositatem), pembinaan
iman (Optatam Totius), hidup religius (Perfectae Caritatis), dan tugas para uskup (Christus
Dominus).
Menengok seluruh dimensi keterbukaan Gereja di atas, mau tidak mau, dengan
bangga, sebagai orang Katolik kita harus mengatakan; "kami sudah bermoderasi!"

19

Anda mungkin juga menyukai