Anda di halaman 1dari 50

DEKALOG

&
AJARAN SOSIAL GEREJA

Buku Teks Agama


Kelas XI Semester 2

Oleh:
Tim Guru Agama Kelas X

SMAK KOLESE SANTO YUSUP


Jl. Simpang Borobudur 1 Malang

KURIKULUM AGAMA SMAK KOLESE SANTO YUSUP MALANG

1
Alur Materi Kurikulum Agama SMAK Kolese Santo Yusup disesuaikan Kurikulum
Nasional:
1. Iman dan Agama
2. Kitab Suci dan Aku Percaya (Credo)
3. Gereja dan Sakramen
4. Ajaran Sosial Gereja dan Sepuluh Perintah Allah (Dekalog)
5. Panggilan Hidup
6. Perutusan

KELAS X
Semester 1
Iman dan Agama
1. Menyelami keberadaan Allah.
2. Mengimani Allah dengan beragama dengan tidak melupakan/ meniadakan
budaya setempat.
3. Dengang iman, kita mensyukuri atas keberadaan kita sebagai ciptaan-Nya
yang unik dengan segala kemampuan dan keterbatasannya.
4. Menyadari bahwa walaupun kita unik namun diciptakan segambar atau
secitra dengan Allah.
5. Tanda bahwa kita secitra dengan Allah kita dibekali suara hati dan
kebebasan oleh Allah.
6. Atas bekal suara hati kita diajak bersikap kritis dan dan atas bekal
kebebasan kita diajak untuk bertanggungjawab.
7. Lampiran Sejarah Kongregasi Murid-murid Tuhan.

Semester 2
Kitab Suci dan Aku Percaya (Credo)
1. Iman akan Yesus Kristus bersumber dari Kitab Suci.
2. Ungkapan Iman orang kristiani terangkum dalam Doa Aku Percaya (Credo).
3. Inti pewartaan Kitab Suci adalah Yesus yang mewartakan Kerajaan Allah
(kabar kebahagiaan).
4. Yesus yang mewartakan Kerajaan Allah secara total menjadikan Yesus
sebagai Sahabat Sejati, Tokoh Idola dan Juru Selamat.
5. Setelah di dunia memberi contoh bagaimana manusia harus hidup Yesus
kembali pada kodratnya sebagai Allah dan mengutus Roh Kudus.
6. Dengan demiklian kita percaya bahwa Allah kita adalah Allah Bapa, Allah
Putra (Yesus), dan Allah Roh Kudus. Ketiganya adalah satu (Tritunggal).
7. Lampiran Kongregasi Murid-murid Tuhan di Indonesia.

2
KELAS XI
Semester 3
Gereja dan Sakramen
1. Orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan disebut Gereja.
2. Gereja memiliki sifat-sifat satu, kudus, katolik, dan apostolik.
3. Struktur Gereja terdiri dari Hierarki dan Kaum Awam.
4. Gereja memiliki tugas menguduskan, mewartakan, menjadi saksi,
membangun persekutuan , dan melayani.
5. Sakramen dan sakramentali sebagai bagian dari tugas Gereja yang
menguduskan
6. Lampiran Identitas Kongregasi Murid-murid Tuhan.

Semester 4
Ajaran Sosial Gereja dan Sepuluh Perintah Allah (Dekalog)
1. Gereja berusaha hidup sesuai dengan kehendak Allah dengan
memperhatikan perintah dan menjauhi larangan (sepuluh perintah
Allah/dekalog). Dari perhatian terhadap sepuluh perintah Allah menjadi
nyata bahwa Gereja juga memperhatikan hak asasi manusia.
2. Gereja juga memiliki kepedulian dan keprihatinan terhadap situasi dunia
dengan memperhatikan, menanggapi masalah-masalah pada zamannya,
salah satunya terungkap dalam Ajaran Sosial Gereja.
3. Lampiran Semangat Kongregasi Murid-murid Tuhan.

KELAS XII
Semester 5
Panggilan Hidup
1. Panggilan Hidup
A. Panggilan Hidup Berkeluarga
B. Panggilan Hidup Membiara
C. Panggilan Karya dan Profesi
2. Memperjuangkan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat.
3. Menghargai keberagaman dalam hidup bermasyarakat.
4. Dialog dan Kerjasama antarumat beragama.
5. Peran serta umat Katolik dalam pembangunan Bangsa Indonesia.
6. Lampiran Wejangan-wejangan Celso Costantini.

Semester 6
Perutusan
1. Mengulang materi-materi penting kelas X, XI, dan XII untuk USBN.
2. Ujian Praktik Agama: Perutusan
3. Lampiran Keutamaan-keutamaan menurut Celso Costantini.

Tetap Bersemangat!

3
DAFTAR ISI
Pengantar Dekalog ........................................................ 1

Firman I .........................................................................

Firman II ........................................................................

Firman III .......................................................................

Firman IV .......................................................................

Firman V .........................................................................

Firman VI ........................................................................

Firman VII .......................................................................

Firman VIII ......................................................................

Firman IX ........................................................................

Firman X ..........................................................................

Ajaran Sosial Gereja ........................................................

Lampiran ..........................................................................

4
DEKALOG
(SEPULUH PERINTAH ALLAH)

PENGANTAR DEKALOG
Karakteristik dasar Dekalog
Pengalaman pembebasan menjadi dasar untuk umat Israel membebaskan orang-
orang yang hidup dalam penindasan, lebih tepatnya Yahwe, sang Pembebas
melarang umatNya untuk melakukan penindasan dalam bentuk apapun kepada
orang lain, terutama orang asing.
 Dekalog secara jelas mengatur hubungan antara Allah dan manusia, mencakup
hak dan kewajiban manusia. Allah menuntut hak untuk disembah dengan
segenap hati dan budi, menuntut cinta yang utuh, tidak terbagi.
 semua perintah dirumuskan secara negatif, kecuali perintah yang berhubungan
dengan Sabat dan hormat pada orang tua.
 Kalau rumusan negatif diubah menjadi rumusan positif, memungkinkan
perluasan makna. Contoh larangan membunuh dapat diubah
dengan menggunakan rumusan positif “Hormatilah kehidupan”.
 Keberadaan dua versi dekalog yang berbeda, yakni Kel. 20: 1-17 dan Ul. 5: 6-21.
menujukkan bahwa dekalog merupakan outcome dari sejarah literer yang
panjang.
 Di dalam berbagai teks, baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian
Baru, 3 perintah yang singkat selalu ditemukan “ Jangan membunuh, jangan
berzina dan jangan mencuri” ketiga perintah ini sama dengan hukum apodiktik
yang umum dalam masyarakat Timur Tengah.
 Perintah yang berkaitan dengan Institusi Sabat, ada perbedaan significant antara
motivasi Sabat dalam Kel. 20 dan Ul. 5. dalam Kel. 20 motivasi Sabat dikaitkan
dengan kisah penciptaan, meniru pola, ritme kerja Allah dalam proses
penciptaan. Sementara dalam Ulangan 5, motivasi Sabat dikaitkan dengan kisah
pembebasan umat Israel dari perbudakan Mesir. Pengalaman pembebasan yang
dialami menjadi alasan etis untuk membebaskan orang-orang yang bekerja
dalam ketergantungan. Kebebasan versus perbudakan. Sabat adalah hari
pembebasan bagi orang-orang yang bekerja dalam ketergantungan dan sekaligus
juga menjadi perayaan pembebasan bagi orang-orang bebas-merdeka. Dalam
konteks ini, dekalog dapat dikategorikan sebagai hukum kebebasan.

Kalau kita menganalisis isi setiap perintah dalam dekalog, kita dapat menemukan nilai-
nilai dasar yang mau diperjuangkan dan dilindungi, yakni:
 Monotheisme yang menuntut kesetiaan dan komitment untuk mencintai Allah
dengan hati yang tidak terbagi.
 Prinsip keadilan dalam arti memberikan kepada setiap individu atau pihak apa
yang menjadi haknya, termasuk hak Allah untuk dipuji dan dihormati, disembah.
 Perlindungan terhadap orang-orang lemah dan tidak berdaya dalam keluarga dan
masyarakat.
 Perlindungan dan penghormatan terhadap sakralitas hidup, menerima dan
melindungi kehidupan sejak awal keberadaannya.
 Perlindungan terhadap kesetiaan dan keutuhan keluarga dan kemurnian
keturunan
5
 Prinsip keadilan: melindungi hak milik orang lain
 Prinsip kebenaran: melindungi orang terhadap kesaksian palsu (saksi dusta)
tentang sesamanya, tuntutan untuk mengatakan kebenaran. Hal ini menyangkut
kehidupan sesama, terutama dalam kasus pengadilan.
 Menjaga kemurnian hati dan budi, menjaga orang agar tidak jatuh kedalam
ketamakan dan keserakahan. (mengendalikan libido possendi)

6
FIRMAN I
JANGAN ADA PADAMU ALLAH LAIN DI HADAPANKU
2.1 Maksud awal
Larangan ini harus dipahami dalam konteks pernyataan Allah: “Akulah Tuhan,
Allahmu yang telah membawa engkau keluar dari Mesir, dari tempat perbudakan”.
Dari pernyataan tersebut menjadi jelas bahwa Allah yang benar dan otentik adalah
Allah Pembebas, yang menuntut dari umatNya pengabdian khusus, ketaatan tanpa
syarat. Allah Pembebas meminta satu relasi eksklusif dari umatNYa. Allah yang telah
membawa mereka dari negeri perbudakan mengklaim sebagai satu-satunya Allah,
sehingga Israel tidak diperkenankan memberi tempat pada Allah lain. Dalam konteks
inilah pemazmur melukiskan ketakberdayaan berhala-berhala buatan tangan manusia.
“Berhala mereka adalah perak dan emas, buatan tangan manusia, mempunyai mulut
tetapi tidak dapat berkata-kata, mempunyai mata tetapi tidak dapat melihat,
mempunyai telinga tetapi tidak dapat mendengar ….” (Mzm 15,2-8).
Dari mazmur ini dapat dilihat bahwa tidak ada gunanya menaruh harapan
kepada barang-barang duniawi, berhala. Ini hanyalah ilusi. Percayalah hanya kepada
Allah yang memang sudah jelas kekuasaanNya, yang telah mereka alami dalam
peristiwa pembebasan dari negeri Mesir. Perintah ini melarang bangsa Israel untuk
menyembah dewa-dewa lain, illah-illah lain, karena di negara-negara sekitar Israel
memang ada kultus penyembahan dewa-dewa.
Perintah jangan ada padamu allah-allah lain mendasarkan klaimnya karena Israel telah
menjadi milik Yahwe , maka Ia meminta satu sikap radikal, penyembahan tunggal
dengan hati yang tidak terbagi.

2.2 Perkembangan lebih lanjut


Firman I dapat dipahami juga sebagai larangan menyembah berhala, idol-idol. Berhala
adalah nilai manusiawi/duniawi dan terbatas sifatnya yang dimutlakan: mengallahkan
apa yang bukan Allah. Pada jaman modern berhala-berhala itu dapat berupa harta
kekayaan, kekuasaan, Ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia sendiri. Sesungguhnya
dengan menyembah berhala, manusia menundukkan dirinya di bawah kuasa apa yang
diberhalakan, apa yang diTuhankan, ia ditindas, dijadikannya tidak bebas lagi. Tidak
jarang orang menjadikan barang-barang duniawi sebagai andalan hidup, penentu
segalanya, penentu kebahagiaan.
Dalam kaitannya dengan larangan menyembah dewa-dewa lain, ada larangan membuat
patung. Apakah yang dilarang itu semua pembutan patung? Bagaimana dengan
adanya kerub-kerub, dan perintah Allah kepada musa untuk membuat patung ular
tembaga?
Dasar biblis dari larangan ini adalah apa yang ditulis dalam kitab Ulangan:”Suara kata-
kata kamu dengar, tetapi suatu rupa tidak kamu lihat, hanya ada suara, supaya jangan
kamu berbuat busuk dengan membuat patung bangimu” (Ul. 4:12,16).
Yang dilarang dalam perintah ini adalah membuat patung Yahwe, sebab
dengan pembuatan patung Yahwe manusia mereduksi Allah, merendahkan ke taraf
ciptaan, dengan menghadirkan Allah dalam patung berarti manusia menguasai ruang
gerak Allah. Padahal Allah israel adalah Allah yang bebas. Hanya satu yang dapat
menjadi simbol Allah yaitu Yesus Kristus, Sabda yang menjadi manusia. Dialah gambar
Allah yang kelihatan, yang menjadi model dan contoh bagi manusia.

7
2.3 Dosa-dosa yang melanggar firman I:
1. Penyembahan berhala: mengallahkan apa yang sesungguhnya bukan Allah: uang,
kekuasaan, ideologi, ras, kebebasan, seks.
2. Ramalan dan magi: persoalan masa depan manusia tidak bisa ditentukan oleh
manusia sendiri, namun tergantung dari penyelenggaraan Ilahi. Melalui
kekuatan-kekuatan magis, manusia meminta perlindungan atau malahan
mencelakakan orang lain, yakni melalui teluh seperti banyak terjadi di jawa
barat. Di samping itu, penggunaan jimat dan susuk merupakan pelanggaran
terhadap firman I dekalog. Meminta kekayaan melalui penyembahan dewa,
ngiprit merukan pelanggaran terhadap firman I juga.
3. Mencobai Allah dengan perkataan dan perbuatan, memaksa Allah untuk
membuat mujizat. Sacrilegi: menghina,menajiskan, tidak menghormati
sakramen-sakramen, terutama ekaristi. Simoni: jual beli barang rohani, karunia
Allah, merendahkan martabat berkat/anugerah Allah. “Kamu telah menerima
dengan cuma-cuma, karena itu, berikanlah pula dengan cuma-cuma”.
4. Atheisme:
 Humanisme atheistik: manusia menjadikan dirinya sebagai tujuan, manusia
mengandalkan hidup dan usahanya mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan
hidup melulu pada kekuatan dan prestasinya sendiri. Otonomi manusia yang
diabsolutkan, akibatanya manusia menyangkal setiap ketergantungannya pada
Allah, bahkan manusia memanggap Allah sebagai rival dalam mencapai
kebebasannya.
 Atheisme: menolak keberadaan Allah.
1. Sekularisme: pandangan hidup yang bertumpu melulu pada hal-hal duniawi dan
menganggap tidak berguna segala sesuatu yang melampaui dunia yang kelihatan,
mengesampingkan nilai-nilai spiritual/rohani, hanya menganggap penting apa
yang material, sehingga manusia menghapus Allah dari kehidupannya.
2. Agnostisisme: seorang agnostik tidak mengambil sikap terhadap keberadaan
Allah karena tidak mungkin membuktikannya.

8
Firman II
JANGAN MENYEBUT NAMA TUHAN DENGAN
SEMBARANGAN
Landasan Kitab Suci: Kel. 20:7 // Ul. 5:11
Apa yang menjadi landasan larangan tersebut? Apa maksudnya menyebut nama
Allah dengan sembarangan? Bagaimana dengan penyebutan nama Allah dalam sumpah
yang dituntut dalam lingkungan profesi tertentu?
Yang menjadi landasan larangan menyebut nama Tuhan dengan sembarangan adalah
karena nama Tuhan itu kudus. Nama menunjukkan identitas diri Allah sendiri. Yahwe
yang berarti “Aku adalah Aku” (Kel. 3:14). Larangan menyebut nama Tuhan dengan
sembarangan dikaitkan dengan identitas Allah yang adalah Kudus dan benar.
„Kekudusan nama Allah menuntut bahwa orang tidak memakainya untuk hal-hal yang
tidak penting“ (Kat. Art. 2155). Dia yang kudus harus dihormati dan diesembah dengan
sikap iman. Larangan ini harus dipahami dalam konteks penyembahan Allah. Di
samping itu, nama Allah itu penuh kuasa. Oleh karenanya, jangan menyalahgunakan
nama Tuhan yang penuh kuasa untuk tujuan yang tidak seharusnya.
Apa maksudnya menyebut nama Tuhan dengan sembarangan? Dalam bahasa
Inggris kata yang digunakan untuk kata ibrani lassaw adalah mischief artinya ditujukan
untuk merugikan dan mencelakakan orang lain. Jangan memakai nama Allah untuk
mengutuk sesama. Dengan demikian, maksud dari larangan ini adalah supaya tidak
menggunakan nama Allah untuk mencelakakan orang lain. Ini berarti
menyalahgunakan kekuasaan dan kekuatan inheren nama Allah demi tujuan jahat,
yakni membahayakan hidup orang lain.
Kata lain yang digunakan adalah in vain dan vanity yang artinya kesia-siaan,
dengan sikap menghina dan merendahkan, tanpa makna, dengan sembrono. Nama
Allah tidak boleh digunakan untuk sesuatu yang sia-sia, tidak sungguh-sungguh.
Penggunaan kata vain ini dapat kita lihat juga dalam Yes.1:13 “Jangan lagi membawa
persembahan yang tidak sungguh-sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagiKU”.
Penggunaan nama Allah dalam mengambil sumpah sejauh itu dilakukan dengan
penuh kesungguhan, dapat dibenarkan. Artinya dalam mengangkat sumpah, orang
menggunakan nama Allah untuk menjamin kesungguhan, keseriusan sumpah tersebut.
Dalam hal ini, orang memanggil Allah sebagai saksi. Berkaitan dengan sumpah, Hukum
Kanonik mengatakan: “Sumpah ialah menyerukan nama Allah selaku saksi kebenaran,
hanya boleh diucapkan dalam kebenaran, kebijaksanaan dan keadilan” (HK. Kan. 1199).
Sumpah dipengadilan menggunakan kata “demi Allah atau dalam nama Allah”,
maksudnya adalah untuk menjamin kebenaran dari perkataan saksi.
Di samping itu, nama Allah boleh digunakan dalam konteks janji yang dibuat dengan
penuh kesungguhan, misalnya janji perkawinan, kaul, baptis. Maksudnya adalah bahwa
janji yang dibuat, diikrarkan sungguh-sungguh mengikat, mau dilaksanakan dengan
setia. Nama Allah dipakai sebagai jaminan kebenaran. Janji dibuat untuk dilaksanakan
bukan untuk diingkari.
Apa yang dilarang dalam konteks firman II adalah bersumpah palsu. Dalam kebiasaan
bangsa Israel kuno dan bangsa-bangsa sekitarnya, orang bersumpah atas nama langit,
bumi, tetapi bukan atas nama Allah. Dalam katekismus dikatakan “Bersumpah atau
mengangkat sumpah berarti memanggil nama Allah sebagai saksi untuk apa yang kita
ucapkan. Itu berarti memanggil kebenaran ilahi supaya ia menjamin kejujuran orang
yang bersumpah. Sumpah mewajibkan atas nama Allah. “Engkau harus takut akan

9
Tuhan, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau beribadah dan demi nama-Nya engkau
haruslah engkau bersumpah”. (Ul. 6:13). (Kat. Art. 2150).
Dalam konteks inilah, perkataan Yesus dapat kita pahami “Kamu telah
mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: jangan bersumpah palsu,
melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. Tetapi Aku berkata kepadamu:
Jangan sekali-kali bersumpah baik demi langit, karena langit adalah tahta Allah,
maupun demi bumi karena bumi adalah tumpuan kakiNya, ataupun demi Yerusalem,
karena Yerusalem adalah kota Raja Besar,……Jika ya hendaklah kamu katakan ya, jika
tidak, hendaklah kamu katakan tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat”
(Mat. 5: 33-37)..Pada intinya, orang yang bersumpah, entah nama Allah dikatakan atau
tidak, Allah yang hadir di setiap tempat turut menyaksikan apa yang disumpahkan (bdk.
Mzm 139).
Bersumpah palsu artinya orang mengangkat sumpah dengan tidak sungguh-
sungguh, bersumpah untuk kemudian diingkari. Menggunakan nama Allah dalam
sumpah palsu berarti mempertaruhkan kekudusan dan kebenaran nama Allah dengan
sia-sia. Seorang yang bersumpah palsu berarti menjadikan Allah sebagai pembohong
dan penipu. Dalam hal ini Katekismus berkata „menolak sumpah palsu adalah satu
kewajiban terhadap Allah. Sebagai Pencipta dan Tuhan, Allah adalah tolok ukur
kebenaran. Perkataan manusia itu sesuai atau berlawanan dengan Allah, yang adalah
kebenaran itu sendiri. Sejauh sumpah selaras dengan kebenaran dan sah, ia
menggarisbawahi bahwa perkataan manusia berhubungan dengan kebenaran Allah.
Sebaliknya sumpah palsu menempatkan Allah sebagai saksi untuk suatu penipuan”.
(Kat. Art. 2151).
Santo Ignatius dari Loyola berkata: “Jangan bersumpah, baik pada Pencipta
maupun pada ciptaan, kecuali dengan kebenaran, karena keperluan dan dengan hormat”
(Ignasius, Ex. Spir. 38. bdk. Kat. Art. 2164)
Nama Allah juga tidak dibenarkan untuk membenarkan tindakan kejahatan melawan
kemanusiaan. Jangan mengatasnamakan Allah demi kepentingan pribadi.

10
FIRMAN III:
KUDUSKANLAH HARI SABAT
Maksud awal
Teks Kel.20, 8-11 Dalam teks ini motivasi dasar dari sabat adalah meniru pola
kerja Allah, bekerja selama enam hari dan pada hari ketujuh ia beristirahat. Di samping
itu, sabat merupakan antisipasi dari sabat abadi setelah manusia selesai dalam
memenuhi tugas hidupnya, beristirahat di hadirat Allah. Dengan beristirahat pada hari
ketujuh manusia diajak untuk merenungkan seluruh karya dan aktivitasnya dan
menyadarkan manusia bahwa ia tidak cukup hanya mengandalkan usahanya sendiri. -à
praxis –à Refleksi –à praxis baru.
Sabat memiliki makna penting pada saat bangsa Israel hidup di tanah
pembuangan, di mana bangsa Israel bertemu dengan bangsa-bangsa asing dan ada
godaan meniru pola hidup bangsa lain yang tidak mempunyai tradisi sabat. Institusi
sabat ini mau mengingatkan bangsa Israel agar mereka hidup sesuai dengan identitas
mereka sebagai bangsa pilihan Allah yang telah dibebaskan dari perbudakan Mesir.
Dalam Teks ulangan 5,12-15 yang menjadi motivasi awal sabat adalah
pengalaman pembebasan yang telah dialami bangsa Israel dari perbudakan Mesir.
Sebagai mana mereka telah dibebaskan Yahwe, demikian pula mereka harus
membebaskan orang.-orang yang bekerja dalam ketergantungan pada orang lain. Para
hamba laki-laki dan perempuan, bahkan lembu harus menikmati istirahat dan saat
pembebasan. Sabat memiliki dimensi sosial dan moral yakni menjadi saat pembebasan
bagi mereka yang selama enam hari bekerja dalam ketergantungan. (bdk. Katekismus
no. 2170)

Perkembangan makna
Dalam perkembangan selanjutnya, sabat direduksi pada sikap legalistis seperti
dihayati oleh kaum Farisi. Mereka membuat banyak aturan sampai ke hal-hal kecil,
mengatur jalan sampai berapa langkah, tidak boleh memasak, tidak boleh
meyembuhkan orang. Dengan banyaknya peraturan yang harus ditaati, sabat bukannya
sebagai saat pembebasan dan istirahat, tetapi justru menjadi beban yang membelenggu
dan menindas. Berhadapan dengan sikap legalistis kaum farisi, Yesus mengembalikan
sabat pada motivasi awalnya yakni sebagai hari Tuhan, saat pembebasan sehingga
berhadapan dengan orang yang sakit Yesus lebih memperhatikan hidup dan keselamatan
manusia, membebaskan manusia dari perbudakan penyakit yang selama ini
membelenggu mereka. Sabat dibuat untuk manusia bukannya manusia untuk hari sabat.
Anak manusia adalah Tuhan atas hari Sabat. Hari sabat ditujukan untuk memanusiakan
manusia bukan sebaliknya.
Dalam tradisi kristen, sabat digeser ke hari Minggu yang merupakan hari untuk
merayakan hari kebangkitan Yesus, kelahiran baru. Dalam merayakan hari Tuhan,
orang tidak dilarang bekerja dan berbuat baik. Jerome dalam surat 108,20 menceritakan
bahwa hari Tuhan ini dipraktekkan oleh kelompok religius – suster di Betlehem. Pada
hari Tuhan mereka bersama pergi ke gereja di sebelah rumah mereka, setiap kelompok
mengikuti pemimpinnya. Pulang ke rumah lalu menyelesaikan tugas mereka dan
membuat pakaian bagi mereka sendiri maupun bagi keperluan orang lain. Dengan kata
lain, setelah ibadah di hari Tuhan, pekerjaan dalam komunitas berjalan normal. Dalam
katekismus pun dijelaskan bahwa Sabat adalah saat merenung, berefleksi sehingga
manusia dapat memperkembangkan hidupnya. Institusi sabat dibuat untuk membantu
semua orang supaya mendapat istirahat dan mempunyai waktu luang secukupnya untuk

11
menghayati nilai hidup keluarga, budaya, sosial dan keagamaan. ( Kat. no. 2117 bdk.
GS no. 67).
Orang Kristen harus hati-hati agar jangan tanpa alasan berat mewajibkan orang
lain melakukan sesuatu yang dapat menghalangi mereka untuk merayakan hari Tuhan.
Dalam istilah yang lebih konkret kita beristirahat pada hari minggu bukan sebagai
tujuan tetapi sebagai sarana. Memang umat kristiani mempunyai kewajiban moral untuk
merayakan hari Tuhan melalui perayaan ekaristi dan doa-doa lainnya, tetapi hal ini tidak
berarti orang tidak boleh melakukan sesuatu. Bagi mereka yang bekerja untuk melayani
kepentingan publik, perawat di rumah sakit, para dokter, para karyawan lainnya dapat
terus melaksanakan tugas mereka dengan tenang, yang harus diperhatikan adalah bahwa
para majikan harus memberi kesempatan kepada para karyawan untuk menunaikan
tugas kewajiban keagamaannya.
Di samping itu, hari Minggu merupakan hari keluarga, saat yang tepat untuk
mengunjungi sanak saudara, memberi perhatian kepada kaum lanjut usia, orang.-orang
sakit. Walaupun tuntutan dan desakan ekonomi, para majikan hendaknya memberi
kesempatan kepada para karyawan waktu khusus untuk menunaikan kewajiban
agamanya. Ini adalah tuntutan dasar dan termasuk hak asasi yang harus diakui dan
dilindungi.
Firman ketiga ini juga mau menyoroti makna kerja bagi manusia. Dalam kitab
kejadian kerja keras untuk mencari nafkah merupakan kutukan dari Allah karena
manusia jatuh kedalam dosa: “Karena engkau mendengarkan perkataan istrimu dan
memakan dari buah pohon yang telah kuperintahkan kepadamu: jangan makan dari
padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau, dengan bersusah payah engkau akan
mencari rejekimu dari tanah seumur hidupnya” Kej. 3,17. Akan tetapi, dalam
pemahaman teologis kerja memiliki makna sebagai partisipasi dalam karya penciptaan
Allah, untuk mengolah dan mengembangkan dunia. Kerja juga memiliki arti
antropologis yakni mengembangkan dan menyempurnakan manusia, dengan dan
melalui kerja manusia semakin memanusiakan dirinya. Di samping itu, kerja memiliki
arti sosial yakni memberikan kesempatan kepada manusia untuk menjalin relasi dengan
sesamanya. Kerja juga memiliki makna ekonomis yakni memberikan nafkah kepada
manusia.
 Pada saat ini, orang menggeser makna hari sabat, hari minggu untuk rekreasi,
lebih dari pada menguduskannya bagi Allah.
 Bagi mereka yang sudah pensiun atau bagi mereka yang tidak bekerja,
menganggur, apakah makna sabat bagi mereka?
 Untuk konteks jaman sekarang, di mana orang bekerja hanya 5 hari, apakah
makna hari sabat?

12
FIRMAN IV
HORMATILAH AYAHMU DAN IBUMU
1 Maksud awal
Yang menarik dari firman atau perintah ini adalah rumusannya positif. Motif
untuk mentaatinya adalah adanya suatu janji bukannya perasaan takut dihukum.
“Supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Yahwe, Allahmu kepadamu” Kel.20,
Dalam teks keluaran motif dari firman IV adalah supaya hidup berlangsung lama di
tanah yang dijanjikan.
Dalam konteks keluaran, tanah adalah anugerah istimewa dari Yahwe. Bangsa
yang tinggal di tanah perbudakan akan memiliki tanah terjanji,sebagai milik mereka
sebagai bangsa yang bebas merdeka. Dalam teks Ulangan kita melihat adanya suatu
janji : “Supaya lanjut umurmu dan supaya baik keadaanmu di tanah yang diberikan
Yahwe, Allahmu kepadamu”. Teks ini harus dipahamai dalam kontek pembuangan.
Bangsa Israel hidup di pembuangan sehingga tanah mereka hilang, maka pada situasi
pembuangan umur panjang dab keadaan hidup yang baik menjadi anugerah Allah bagi
Israel.
Apakah yang dimaksud dengan menghormati ayah dan ibu?
 Dalam Perjanjian lama firman ini menyangkut sikap anak terhadap orang tua,
dalam arti negatif yakni tidak boleh memukul, tidak boleh mengutuk atau
menghina orang tua (bdk. Kel. 21:15,17; Im. 20:9; Ul. 27:16; Ams. 19:26 ;
20:20). Orang yang memukul dan mengina orang tua layak mendapat hukuman.
 Dalam arti positif, firman IV ini mengajak sikap hormat kepada orang tua,
generasi tua yang dipandang sebagai pewaris tradisi dan punya pengalaman
banyak, terutama pengalaman religius: Mereka yang tua-tua ini menjadi figur
dan model kebijaksanaan.
 Persoalan yang muncul sekarang adalah orang tua, lanjut usia merasa dirinya
tidak dipakai lagi, bahkan dianggap sebagai beban keluarga dan masyarakat,
terutama dalam kultur yang menekankan produktivitas.
 Menghormati orang tua pertama-tama adalah tugas dan kewajiban anak dewasa
untuk memperhatikan orang tua yang mulai melemah, tidak berpenghasilan,
maka tanggung jawab dan kewajiban anak dewasa adalah merawat dan
mengurus mereka sehingga tidak sampai terlantar. (Bdk. Sir. 3:12-13:16; Mat.
15:4-6).Anak-anak harus memperhatikan kebutuhan: material, spritual dan
psikologis.
 Problem orang tua yang dipantijompokan merasa diri dibuang, dijauhkan,
merasa diri tidak berguna lagi, mengalami kesepian mendalam.
 Hormat kepada orang tua juga mencakup sikap hormat dan mau kerja sama
antara generasi tua dan muda; yang muda mau menerima warisan tradisi secara
kritis.

2 Perkembangan makna
 Hormat kepada orang tua juga menyangkut ketaatan kepada orang tua dalam
batas-batas tertentu, sesuai dengan perkembangan jaman. Agar tidak terjadi
kesalahpahaman dan konflik maka perlu diciptakan dialog yang baik antara
anak-anak dengan orang tua.
 Firman keempat ini diperluas cakupannya pada hubungan antara orang muda
dengan orang tua, antara guru dengan murid, antara majikan dengan para
pekerja, antara pemerintah dan warga negara.

13
 Tugas dan tanggungjawab orang tua terhadap anak. Orang tua dalam tindakan
menurunkan keturunan menjadi rekan kerja Allah dalam tata penciptaan. Tugas
dan kewajiban orang tua bukan hanya melahirkan dan memberi makan,
melainkan mendidik anak-anak dalam kehidupan Iman, sosialisasi dan moral.
Keluarga menjadi basis untuk pembentukan kepribadian anak dan tempat
penanaman nilai-nilai. Bagaimanakah orang tua menciptakan suasana penuh
cinta, saling menghormati, persaudaraan, rasa setia kawan, solidaritas, kesetiaan
dalam keluarga sehingga anak dapat bertumbuh dengan baik.

Relasi antara warga negara dengan pemerintah:


 Dalam dunia yang ditandai oleh mentalitas utilitarian, di mana orang menilai
manusia berdasarkan pada produktivitas, maka firman ini memiliki relevansi dan
sekaligus menjadi tantangan besar.
.

14
Firman V
JANGAN MEMBUNUH
4.1 Maksud awal firman:
Maksud awal perintah ini adalah mau melindungi hidup manusia yang tidak
bersalah, orang israel merdeka. Kata yang gunakan untuk menunjuk pada pembunuhan
adalah ratsah dan hemit. Kata ratsah menunjuk pada pembunuhan secara keji,sengaja,
dengan maksud jahat membuat mati seseorang. Kata ratsah ini ditemukan dalam KS
sebanyak 46 kali, secara khusus dalam teks-teks hukum yang mengatur tempat-tempat
pelarian, tempat perlindungan di mana orang yang telah membunuh secara tidak
sengaja dapat melarikan diri.
Kata ratsah ini tidak termasuk pada kasus pembunuhan waktu perang, dalam
pembelaan diri, pelaksanaan hukuman mati. Jadi pembunuhan yang dilarang adalah
pembunuhan illegal. Kata ratsah memberi kualifikasi khusus pada pembunuhan keji
dengan kekerasan seorang manusia yang tidak dapat melawan serangan: “Siapa yang
memukul dengan barang besi sehingga orang itu mati, maka ia seorang pembunuh;
pastilah pembunuh itu dibunuh…” (Bil. 35,16).
Pembunuhan yang dikaitkan dengan dendam darah. Jadi yang pertama-tama mau
dilindungi adalah orang Israel merdeka. Dalam kisah pembunuhan yang pertama
dimana kakak membunuh adiknya, Allah berkata: “Darah adikmu itu berteriak
kepadaKu dari tanah. Maka sekarang terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang
mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu” (Kej. 4,10).
Pada kira-kira abad V A.C tradisi Priest meperluas cakupan perlindungan hidup
bagi setiap manusia “Siapa menumpahkan darah manusia, adarahnya akan tertumpah
oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”( Kej. 9,6)
“Siapa yang memukul seseorang sehingga mati,pastilah ia dihukum mati” (Kel. 21,12).
PL membedakan antara hidup orang merdeka dengan hidup seorang budak (Bdk. Kel.
21, 12-13) antara hidup janin dan hidup orang dewasa (bdk Kel. 21,22). Firman jangan
membunuh mau menjamin nilai kehidupan dan melindunginya dari nafsu dendam
pribadi.

4.2 Pemahaman baru


Dalam perjanjian baru, terutama dalam kotbah di bukit, Yesus memperluas
cakupan firman jangan membunuh sampai pada larangan untuk membenci dan
memarahi orang. Yesus tidak hanya melarang pembunuhan real, tetapi mengajak
untuk menghormati hidup manusia dengan menciptakan satu sikap batin yang tulus
dan baik, memiliki kepekaan dan keprihatian terhadap hidup orang lain,
membangun persaudaraan dimana setiap orang dihagai dan diperlakukan sebagai
pribadi yang bermartabat luhur.
Persaudaraan universal dan kehidupan bersama dapat dibangun bukan
hanya dengan menjauhkan nafsu balas dendam, tetapi terlebih dalam kemauan kuat
dan kehendak yang baik untuk merangkul setiap manusia yang jauh untuk menjadi
saudara. Ini adalah kasih yang otentik, mendobrak batas-batas SARA. Dengan
demikian, firman kelima dalam rumusan positifnya mengajak orang untuk mencintai,
memelihara, melindungi dan membela kehidupan mansia dari berbagai ancaman.
Berkaitan dengan firman jangan membunuh apakah dibenarkan membunuh
seseorang dalam rangka membela diri? Apakah ini memang merupakan satu
kekecualian dari larangan membunuh?Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada
baiknya kalau kita mengambil teks dari Evangelim Vitae: “Dengan otoritas yang

15
diberikan Kristus kepada Petrus dan para penggantinya dalam kesatuan dengan para
Uskup Gereja katolik, saya (Yohanes Paulus II) menegaskan bahwa pembunuhan
langsung dan disengaja manusia yang tidak bersalah adalah selalu
merupakan perbuatan immoral”, (EV no. 57). Dari pernyataan tersebut dapat dilihat
bahwa perintah jangan membunuh memiliki dua ketetapan, yakni: yang pertanma
berhubungan dengan tindakan moral yang jelas-jelas immoral dalam dirinya sendiri
per se.
Tindakan immoral adalah pembunuhan langsung dan disengaja. Ketetapan yang
kedua berkaitan dengan dengan obyek perbuatan tersebut: siapa yang
membunuh seorang manusia tak berdosa/tak bersalah adalah salah. Larangan
membunuh yang ada dalam dekalog mengacu pada tindakan kehendak bebas dan sasarn
langsung dari perbuatan membunuh adalah manusia yang tidak bersalah. Dengan
ketetapan ini, firman kelima memiliki nilai absolut tanpa kekecualian.
Pembelaan diri melawan agresor yang tidak adil bukanlah kekecualaian
dari firman jangan membunuh. Sebab, agresor yang tidak adil dalam realita bukanlah
manusia tak bersalah, sebab ia sendiri malah menghina dan menginjak-
nginjak sakralitas dan intagibilitas hidup manusia. Juga hukuman mati mendapat
pembenaran dari konsep dasar tersebut di atas, yakni membela martabat dan hak-hak
dasar manusia yang telah diinjak-injak si penjahat. Membuat mati orang yang
melakukan tindakan kriminal yang merugikan kesejahteraan umum, adalah tindakan
keadilan, mengganjar penjahat sesuai kejahatan yang dilakukan.
Tekanan dari firman kelima hendaknya dipahami dalam arti positif, suatu perintah
untuk mencintai , mengahargai, memelihara dan melindungi hidup manusia dan
intergritas pribadinya. Bagaiamanakah caranya untuk mengusahakan agar hidup
manusia berlangsung terus? Sikap hormat terhadap nilai hidup manusia, pertama-tama
harus menjadikan hidup manusia sebagai tujuan bukannya sebagai alat atau sarana
untuk mencapai tujuan lain.
Firman jangan membunuh mendapat aktualitasnya pada jaman sekarang, di mana
hidup manusia diancam dari berbagai sudut,dari saat permulaan sampai saat akhir
hidupnya, lebih-lebih dalam dunia yang ditandai oleh kultur kematian.Kemajuan ilmu
dan pengetahuan di satu pihak memberi keuntungan bagi hidup manusia, namun di lain
pihak, mengancam martabat hidup manusia itu sendiri: teknologi genetika telah
memungkinkan pembuatan manusia menurut kriteria tertentu, dengan tingkat
kecerdasan tertentu, dengan jenis kelamin tertentu melalui manipulasi genetika.
Kemajuan ilmu dan pengetahuan telah memicu eksperimen terhadap manusia, bayi
tabung, cloning, intervensi atas embrio dan pembuatan embrio semata-mata demi
kepentingan riset dan farmakologi. Manusia sudah direduksi ketaraf objek, jaringan
biologis yang siap digunakan di laboratorium. Dalam konteks inilah, katekismus gereja
katolik memperluas cakupan firman jangan membunuh.

4.3 Penerapan firman jangan membunuh


4.3.1. Penghormatan terhadap kehidupan manusia:
 pada tahap awal perkembangannya,
 larangan aborsi and intervensi atas embrio,
 pembelaan diri yang sah,
 bunuh diri dan eutanasia,
4.3.2. Hormat terhadap martabat pribadi Manusia
 Hormat pada jiwa
 Hormat pada kesehatan
 Hormat pada pribadi dalam penelitian ilmiah.

16
 Hormat pada integritas fisik, menyangkut tranplantasi organ.
 Pembelaan damai: perdamaian dan menghindari perang

4.3.3 Persoalan Aborsi


Ada dua kelompok yang mencoba menilai moralitas aborsi. Kelompok pertama
beranggapan bahwa dalam batas-batas tertentu aborsi itu boleh dilakukan. Argumen
mereka adalah bahwa sampai pada waktu tertentu embrio itu bukanlah manusia
individual, sehingga mengaborsi dibolehkan. Ada banyak orang yang mencoba
menentukan kapan embrio disebut manusia individual dan sebagai pribadi.
Norman M. Ford menyatakan bahwa embrio mencapai individualitasnya sebagai
manusia setelah hari ke-14, yaitu saat munculnya stria primitiva (bagian organ otak dan
sistem saraf). Penulis lain mengatakan bahwa embrio itu bukanlah manusia sebagai
pribadi karena manusia sebagai person harus memiliki kriteria-kriteria tertentu:
berkesadaran diri, rasionalitas, memiliki pemahaman moral (menurut TH. Engelhartd),
manusia sebagai person kalau ia punya kesadaran akan waktu, kesadaran diri, otonomi
(menurut Josep Fischer), mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan orang lain( R.
McCormik). Manusia itu dikatakan manusia kalau ia mempunyai kemampuan untuk
merasakan sakit dan gembira( Peter Singer).
Judith Thomson seorang feminis dalam artikelnya yang berjudul “A Defense of
Abortion”, ia mengakui bahwa embrio mempunyai hak untuk hidup, tetapi, hak dia
untuk hidup tidak berarti harus melanggar hak wanita untuk menentukan apa yang akan
terjadi atas tubuhnya, embrio tidak mempunyai hak untuk diam dalam rahim si wanita
selama sembilan bulan, jika si wanita tidak mau memberikan ijin bagi embrio yang
diam dalam rahimnya. Jadi dalam hal ini ada konflik antara hak embrio untuk hidup dan
hak wanita untuk tidak memberikan tempat/rahim pada embrio. Anak yang dikandung
di rahimnya dapat dilihat sebagai tamu yang tidak diundang, sehingga dalam kasus
kehamilan yang tidak diinginkan, wanita punya hak untuk mengusir embrio dari
rahimnya.
Kelompok yang kedua adalah mereka yang menolak aborsi karena aborsi bertentangan
dengan firman jangan membunuh. Hidup manusia sudah dimulai saat konsepsi, yakni
saat sel telur dibuahi oleh spermatozoa.
Pada saat konsepsi atau pembuahan itulah, sudah mulai manusia baru yang
hidup menurut program dan kodegenetiknya sendiri, sehingga ia bukan lagi hidup bapa
maupun hidup ibunya, tetapi hidup manusia baru yang tumbuh menurut hukum
perkembangannya. Kenyataah ini didukung oleh hasil riset ilmu pengetahuan ilmiah:
embriologi dan biologi molekular. Di samping itu, mereka yang menolak aborsi
mendasarkan argumennya pada karakter kudusnya hidup manusia, sebab manusia itu
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang ditentukan untuk bersatu dalam
kehidupanAllah sendiri.
Hidup manusia adalah anugerah Allah sendiri yang harus di rawat, dipelihara,
dilindungi dan dicintai. Manusia tidak mempunyai hak untuk mengambil hidupnya
sendiri dan hidup orang lain. Hanya Allah yang adalah Tuhan daan pemilik hidup,
manusia hanyalah sebagai administrator.
Gereja katolik sejak awal menentang aborsi karena aborsi bertentangan dengan
hukum Allah, hukum natural, melanggar prinsip keadilan dan cinta sesama dan
dikategorikan sebagai dosa pembunuhan Posisi gereja berhadapan dengan kejahatan
moral aborsi konstan dari dulu sampai sekarang. Hal ini dapat kita lihat dalam dokumen
gereja awal, misalnya dalam Didachè 2,2 dikatakan:”Engkau tidak boleh mengaborsi
dan juga tidak boleh membunuh anak yang baru dilahirkan”.

17
Dalam GS juga gereja menegaskan kembali moralitas aborsi: “Allah Tuhan
kehidupan telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia,
untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak
saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat. Pengguran dan pembunuhan
anak merupakan tindakan kejahatan yang durhaka” GS n. 51.
Dalam Ensiklik Evangelium Vitae, Paus Yohanes Paulus II menegaskan kembali
ajaran gereja mengenai aborsi: ”Saya menegaskan bahwa aborsi langsung dan
diinginkan, artinya dilakukan dan diinginkan sebagai tujuan atau sebagai cara
merupakan satu perbuatan immoral berat”. (EV no. 57). Dengan demikian menjadi
jelas, bahwa aborsi langsung apapun alasannya tidak dapat dibenarkan menurut moral.
Disamping itu ada aborsi yang dinamakan aborsi eugenetika, yakni mengaborsi janin
yang cacat karena beranggapan lebih baik mati sebelum lahir dari pada menderita
seumur hidup. Aborsi eugenetika tak dapat dibenarkan, sebab ini adalah aborsi
langsung. Aborsi tidak langsung dapat dijinkan di bawah prinsip doubel effect, yakni
prinsip moral yang berdasar pada 4 kriteria berikut:
 Tindakan/perbuatan pada pada dirinya sendiri per se adalah baik atau indiferen.
 Maksud agen hanyalah mencapai efek baik, sedangkan efek buruk hanyalah
ditolerir.
 Efek buruk bukanlah cara/sarana untuk mencapai efek baik.
 Ada proporsionalitas yang adekuat antara efek baik dan efek buruk.
Ada kasus-kasus yang bisa menggunakan prinsip double effect, misalnya kasus seorang
wanita yang sedang mengandung, namun ditemukan kanker ganas di rahim. Satu-
satunya cara untuk menyelamatkan si ibu dari kematian akibat kanker ganas tersebut
hanyalah dengan mengangkat rahimya, dengan konsekuensi kematian janin. Dalam
kasus ini, kematian janin tidak dinginkan tetapi hanya sebagai efek samping. Dalam
kasus konflik antara nilai hidup ibu dan janin, moral katolik mengajarkan harus
diselamatakan kedua hidup tersebut sebisa mungkin, tetapi kalau tidak memungkinkan
harus diselamatkan hidup yang paling bisa diselamatkan.
Dalam kasus kehamilan sebagai akibat kejahatan pemerkosaan, bebrapa teolog
moral katolik mengatakan bahwa tindakan membersihkan sperma agresif dalam vagina
si korban, sah menurut moral, namun pada saat pembuahan sudah terjadi, tidak
dibenarkan untuk menggugurkannya. Maka dalam kasus sulit demikian, yang harus
dilakukan adalah pendekatan pastoral untuk menolong si korban sehingga ia tidak
terlalu stress, down, kehilangan makna hidup, lalu diberi penadmpingan dan dukungan
moral dan spiritual sehingga akhirnya ia dapat menerima dan merawat anak yang
sedang dikandungnya dengan penuh cinta, seraya diberi bantuan finansial kalau ia
memang berkekurangan.
Dalam kasus rape(pemerkosaan) baik si wanita korban kejahatan seksual,
maupun anak yang dikandung sama-sama tidak berdosa sehingga sudah sepatutnya
dilindungi. Solidaritas dan empati dari teman-teman dan keluarga, serta jemaat sangat
diperlukan, untuk melindungi hidup manusia sejak saat pembuahannya.

4.3.4 Eutanasia
Eutanasia berasal dari kata eu artinya baik, enak dan thanatos artinya mati. Jadi
secara etimologis eutanasia berarti kematian yang tidak disertai rasa sakit, kematian
karena rasa belas kasih. Moralitas eutanasia didasarkan pada prinsip bahwa hidup itu
adalah anugerah Allah yang harus diterima dengan rasa syukur.
Eutanasia dikategorikan sebagai kejahatan pembunuhan, maka tidak seorang pun punya
hak untuk melakukan eutasia baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk orang lain yang
dipercayakan pada tanggung jawabnya. Eutanasia merupakan satu penolakan atas
18
rencana cinta Allah atas hidup manusia. Di samping itu, eutanasia bertentangan dengan
keutamaan cinta kepada diri sendiri dan kepada orang lain.
Ada dua macam eutanasia: eutanasia aktif, yakni tindakan aktif membuat mati
seorang pasien yang berada dalam sakarat maut, atau sakit taktersembuhkan, dengan
jalan memberikan obat atau suntikan letal sehingga mengakibatkan kematian secara
prematur. Yang kedua adalah eutanasia pasif, artinya membiarkan si pasien yang berada
dalam keadaan sakarat maut, atau koma dengan tidak memberikan perawatan yang
seharusnya atau malahan menghentikan pengobatan yang memang perlu sehingga
mengakibatkan si pasien mati secara cepat.
Moral katolik mengajarkan bahwa setiap jemaat kristiani hendaknya memberi
perawatan yang perlu kepada pasien sebagai wujud cinta kepada sesama. Akan tetapi
dalam kasus, segenap usaha pengobatan sudah dilakukan tetapi keadaan pasien tetap
tidak berubah, malah semakin memburuk, maka dalam situasi di mana kematian sudah
mendekat dan tidak dapat dielakkan, maka menghentikan pengobatan dapat dijikan
secara moral. Hal ini tidak dapat disamakan dengan tindakan eutanasia tetapi terlebih
sebagai ungkapan penerimaan kondisi manusiawi di mana realita kematian memang
tidak bisa dihindari. Sikap yang tepat dalam kondisi demikian adalah, mendampingi si
pasien sehingga ia sungguh dikuatkan dan didukung, seraya menyiapkan ia agar benar-
benar siap dan iklas untuk beralih ke hidup abadi.
Di samping itu, si pasien diajak untuk menyatuakan penderitaan dia dengan
penderitaan Kristus yang tersalib. Dengan demikian kita dapat membantu dia dalam
menghidupi saaat-saat akhir perjalanan hidupnya dengan penuh iman dan menghantar
dia untuk menyongsong kematiannya yang sudah mendekat.

4.3.5 Pembelaan diri yang sah


Dalam moral katolik pembelaan diri yang sah sehingga menimbulkan kematian
si aggresor yang tidak adil, dibenarkan secara moral. Hal ini sesuai dengan
kecenderungan kodrati untuk membela hidupnya sendiri. Individu yang diserang dan
hidupnya diancam mempunyai hak dan kewajiban untuk membela diri, untuk tidak
tunduk pada penyerang.
Katekismus denngan mengambil otoritas St. Thomas Aquinas mengatakan:
“Dari tindakan orang yang membela diri sendiri, dapat menyusul tindakan ganda, yang
satu ia menyelamatkan hidupnya sendiri, yang lain adalah pembunuhan si penyerang”
( Thomas Aquinas, Summa Theologiae II-II, q. 64, ad. 7; Katekismus. No. 2263. ). Dari
tindakan pembelaan diri tersebut dapat dilihat, bahwa dampak yang pertama diinginkan
sedangakan yang kedua tidak disengaja, namun sebagai efek samping. Pembunuhan si
penyerang yang tidak adil, tidak dapat dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja.
Pembunuhan ini hanyalah sebagai konseskuensi dari tindakan membela diri. Penilaian
moral pembelaan diri yang sah dapat dilihat dalam kat. No. 2264: “Siapa yang membela
hidupnya sendiri tidaklah bersalah karena pembunuhan, juga apa bila ia terpaksa
menangkis penyerangnya dengan satu pukulan yang mematikan”.
Dalam kasus pembelaan diri yang dapat diterapkan prinsip double effect. Salah
satu syarat dari prinsip ini adalah adanya proporsionalitas antara effek baik dan effek
buruk.. “Jika seorang waktu membela dirinya sendiri, mempergunakan kekuatan yang
lebih besar dari pada sewajarnya, maka ia tidak dibenarkan”. (St. Thomas Aquinas,
Summa Theologiae II-II, q. 67, a.4).
Dari semuanya ini dapat disimpulkan bahwa pembunuhan manusia yang tidak
berdosa dengan sengaja secara berat bertentangan dan melawan martabat manusia dan
sakralitas hidup manusia, bertentangan dengan kaidah emas, dengan kekudusan
Pencipta. Hukum yang melarang pembunuhan ini, mempunyai keabasahannya universal,
19
mewajibkan dan mengikat semua dan masing-masing, selalu dan di mana-mana. (Bdk.
Kat. No. 2259 dan 2261).

(Berhubungan dengan Firman V)


NARKOBA DAN HIV/AIDS
Narkoba
Arti dan Jenis Narkoba
a. Narkotika. Menurut UU RI No. 22 tahun 1997, Narkotika meliputi zat atau obat yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yaitu:
Golongan opiat: heroin, morfin, candu, dll.
Golongan kanabis: ganja, hashis, dll.
Golongan koka: kokain, crack, dll.
b. Alkohol; minuman yang mengandung etanol (etil alkohol) tetapi bukan obat.
c. Psikotropika; menurut UU RI No. 5 tahun 1997, psikotropika meliputi zat atau obat, baik
alamiah maupun sintetis bukan narkoba, seperti ecstasy, shabu-shabu, obat penenang/obar tidur,
obat anti dprresi dan obat anti psikosis.
d. Zat Adiktif; adalah inhalasia (aseton, thinner cat, lem), nikotin (tembakau) dan kafein
(kopi).
Napza tergolong zat psikoaktif. Zat psikoaktif adalah zat yang terutama mempengaruhi
otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi dan kesadaran.

Ajaran Kristiani tentang Narkoba dan HIV/AIDS


Santo Paulus mengajarkan bahwa tubuh kita dalah Bait Allah. Itu berarti, kekacauan yang
terjadi di dalam diri kita juga berarti kekacauan pada Bait Allah. Karena itu, mengkonsumsi
narkoba dan pergaulan bebas yang mengarah kepada seks bebas dan berdampak pada
HIV/AIDS berarti orang tersebut berusaha merusak Bait Allah (tubuh). Karena tubuh manusia
(Bait Allah) adalah sarana keselamatan, Gereja selalu berupaya untuk mengingatkan warganya
agar hati-hati, waspada dan menghindari kemungkinan terlibat dalam kegiatan mengkonsumsi
narkoba (atau menjadi distributor, produsen), menghindari seks bebas supaya tidak terinfeksi
virus HIV.

Apa yang Dapat Dilakukan Gereja?


a. Gereja menyatakan kutukan terhadap kejahatan pribadi dan sosial yang menyebabkan
dan menguntungkan bagi penyalahgunaan narkoba/napza.
b. Memperkuat kesaksian Injil dari orang-orang beriman yang mengabdikan dirinya
kepada pengobatan pemakai narkoba menurut contoh Yesus Kristus, yang tidak datang
untuk dilayani melainkan untuk melayani dan memberikan hidupnya.
c. Memberikan pendidikan nilai/moral bagi orang-orang, keluarga-keluarga dan
komunitas-komunitas, melalui prinsip-prinsip adikodrati untuk mencapai kemanusiaan
yang utuh dan penuh (menyeluruh dan total).
d. Memberikan informasi yang baik dan benar tentang narkoba kepada komunitas-
komunitas, orang tua, anak-anak remaja dan masyarakat.
e. Membantu orang tua meningkatkan keterampilan untuk membangun kekeluargaan yang
kuat.
f. Membantu orang tua melakukan strategi pencegahan penggunaan obat terlarang di
rumah dengan memberi contoh yang baik dan sehat, meningkatkan peran pengawasan
dan mengajari cara menolak penawaran obat terlarang oleh orang lain.
g. Menyatakan cinta kasih ke-bapa-an Allah yang diarahkan kepada keselamatan setiap
pengguna narkoba dan para penderita HIV/AIDS, melalui cinta mengatasi rasa bersalah.
“Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit (Mat 9:12; Luk 15:11-
32).
h. Melakukan tindakan pengobatan dan rehabilitasi, antara lain dengan cara: menggalang
kerja sama di antara komunitas-komunitas yang menyelenggarakan pengobatan atau

20
rehabilitasi dan menambah lembaga-lembaga yang mengelola pencegahan
penyalahgunaan narkoba dan penularan HIV/AIDS.
i. Memutuskan mata rantai permintaan atau distribusi narkoba denagn cara memperkuat
pertahanan keluarga dan pembinaan remaja di tingkat lingkungan, wilayah dan paroki.

Apa yang dapat Dilakukan oleh Setiap Orang untuk Membantu Orang Lain yang
Kecanduan Narkoba atau Menderita HIV/AIDS?
a. Jangan menjauhi atau menolak mereka yang kecanduan narkoba atau terinfeksi HIV/AIDS,
karena mereka adalah manusia yang paling kesepian di dunia ini.
b. Memberikan peneguhan bahwa mereka dapat mengatasi persoalannya dengan menjadi
sahabat dan pendamping mereka.
c. Mendengarkan keluhan para pecandu narkoba dan pengidap HIV/AIDS.

HAK ASASI MANUSIA


Makna HAM
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat dalam diri manusia, yang
dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau negara,
melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia.Hak-hak asasi merupakan hak
yang universal. Artinya, hak-hak itu menyangkut semua orang, berlaku dan harus
diberlakukan dimana-mana. Misalnya, hak hidup itu sendiri, hak untuk hidup layak, hak
untuk mendapat pendidikan dan pekerjaan, hak untuk menikah, dst. Menolak sifat
universal hak-hak asasi manusia berarti menyangkal unsur manusiawi yang terdapat
dalam setiap kebudayaan.

HAM dalam Terang Kitab Suci


Dalam Perjanjian Lama, pengalaman pembebasan hak-hak bangsa Israel dari
kukungan bangsa Mesir menjadi tanda sejarah keselamatan; sejarah pembebasan,
menjadi perhatian khusus bagi kaum miskin yang tertindas.
Orang miskin dan tak berdaya mendapat perhatian khusus dari Tuhan. Maka, hak-
hak asasi pertama-tama harus diperjuangkan untuk orang yang lemah dan yang tidak
berdaya dalam masyarakat. Dasar perjuangan itu adalah tindakan Tuhan sendiri yang
melindungi orang yang tidak mempunyai hak dan kekuatan.
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang berdaulat dan semua hak manusia
adalah hak mengembangkan diri sebagai citra Allah.

HAM dalam Terang Ajaran Gereja


Ajaran sosial Gereja menegaskan: “Karena semua manusia mempunyai jiwa berbudi
dan diciptakan menurut citra Allah, karena mempunyai kodrat dan asal yang sama, serta
karena penebusan Kristus, mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama, maka
kesamaan asasi antara manusia harus senantiasa diakui” (Gaudium et Spes, Art. 29).
Dari ajaran ini tampak pandangan Gereja tentang hak asasi, yakni hak yang melekat
pada diri manusia sebagai insan, ciptaan Allah. Hak ini tidak diberikan kepada
seseoarang karena kedudukan, pangkat atau situasi. Hak ini dimiliki setiap orang sejak
lahir, karena dia seorang manusia. Kalau hak ini diambil, ia tidak dapat hidup sebagai
manusia lagi.
Gereja mendesak diatasinya dan dihapuskannya “setiap bentuk diskriminasi, entah
yang bersifat sosial atau budaya, entah yang didasarkan pada jenis kelamin, warna kulit,
suku, keadaan sosial, bahasa ataupun agama, karena berlawanan dengan maksud dan
kehendak Allah” (Gaudium et Spes, Art. 29).

21
Sikap Yesus terhadap Kaum Lemah
Sikap dan tindakan Yesus berpihak pada kaum miskin zamanNya.
Ia sering menyerang para penguasa agama dan politik yang memperberat hidup
orang-orang kecil yang tidak berdaya.
Yesus berani berdiri pada pihak yang kurang beruntung, pendosa, orang miskin,
wanita, orang sakit dan tersingkir baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi.
Yesus mengajak orang-orang kecil untuk mengatasi kekurangan dan kemiskinan
mereka dengan kerelaan untuk saling membagi dan memberi.
Terhadap perempuan, Yesus bersikap terbuka, bergaul dengan wanita tanpa takut
kehilangan nama baik. Yesus berbicara terbuka dengan wanita dan dengan cara itu Ia
melawan arus zamanNya. Yesus menerima dan menghormati mereka. Yesus
menghargai kedudukan dan peran wanita dalam kehidupan bersama.

22
FIRMAN VI
JANGAN BERZINA
Sebelum masuk pada maksud awal firman ini, ada baiknya kalau kita mencoba
memahami apa yang dimaksud dengan zina itu sendiri. Dalam PL zinah adalah
hubungan seks yang dilakukan oleh seorang wanita yang sudah bersuami dengan
seorang pria lain yang bukan suaminya, entah dengan pria yang kawin ataupun belum.
Oleh karena itu, perzinahan hanyalah melanggar hak suami, tak pernah melawan hak
wanita. Karena dalam tradisi Yahudi yang mempunyai hak hanyalah pria.

5.1 Maksud awal


Maksud awal firman ini adalah melindungi stabilitas keluarga untuk
mempertahankan keturunan yang sah. Melalui perzinahan, seorang pria mengganggu
dan merongrong kesatuan keluarga lain dan sekaligus merebut hak suami atas istri.
Sedangkan seorang wanita yang berzina itu sendiri merugikan dan menghancurkan
rumah tangganya dengan hidup tidak setia. Hubungan seksua antara seorang pria yang
sudah beristri dengan seorang pelacur atau wanita yang masih gadis, tidak dikategorikan
sebagai perzinahan.
Dalam pemahaman selanjutnya, firman jangan berzinah mau melindungi nilai
kesetiaan dalam perkawinan. Tata kesatuan dalam perkawinan bisa hancur karena
ketidaksetiaan salah satu partner. Kesetiaan dalam perkawinan menuntut satu relasi
cinta yang eksklusif antara suami istri.
Dalam perjanjian lama fenomen perkawinan dipakai oleh para nabi sebagai
lambang hubungan antara Yahwe dengan Israel, di mana Allah/Yahwe sebagai
mempelai pria setia kepada Israel yang adalah mempelai wanita. Walaupun Israel sering
kali tidak setia dengan menyeleweng, berzinah dengan menyembah dewa-dewa asing,
Allah tetap menunjukkan cinta dan kesetiaanNya.Gambaran yang sangat indah
dilukiskan dalam pernikahan Hosea dengan seorang pelacur (Hos. 1-3).

5.2 Pemahaman lebih lanjut


Dalam perjanjian baru, Yesus membertikan visi baru berkaitan dengan
perzinahan. Kalau dalam PL, hanya suami yang mempunyai hak dalam perkawianan,
dalam PB istri pun mempunyai hak yang sama seperti suami. Hal ini dapat dilihat dalam
perdebatan Yesus dengan orang farisi berkaitan dengan soal perceraian. “Barang siapa
menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan
terhadap istrinya itu. Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki
lain , ia berbuat zinah”. (Mrk 10,11-12). Berkaitan dengan zina, Yesus memperluas
cakupan zinah bukan hanya perbuatan lahiriah, tetapi juga menyangkut perbuatan
kehendak,keinginan dalam hati untuk mengingini seorang perempuan: “Setiap orang
yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzina dengan dia dalam
hatinya”( Mat. 5,28).
Perbuatan zinah merupakan pelanggaran terhadap nilai kesetiaan dalam
perkawinan. Dan kesetiaan yang dilanggar oleh salah satu partner dalam pandangan
Yesus, tidak dapat dijadikan alasan untuk meminta perceraian. Dalam konteks inilah,
Yesus mengembalikan makna perkawinan sesuai sesuai dengan tujuannya yang semula,
yakni apa yang telah disatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Kesetiaan
suami istri dalam untung dan malang akan menjadi gambaran kesetiaan Allah pada
umatNYa, dan gambaran kesetiaan Kristus kepada gerejaNya.

23
Katekismus memperluas cakupan firman jangan berzina yakni menjauhkan diri
dari segala tindakan yang mencemarkan kemurnian hati dan hidup, di mana setiap orang
dipanggil pada kemurnian. Kemurnian merupakan tugas dan panggilan setiap orang
secara pribadi, namun juga membutuhkan lingkungan dan kultur yang mendukung
dimensi dimensi susila dan rohani. Kemurnian adalah intergrasi seksualitas yang
membahagiakan di dalam pribadi dan selanjutnya kesatuan batin manusia dalam
keberadaannya secara jasmani dan rohani. sampai pada nilai kemurnian. Keutamaan
kemurnian menjamin keutuhan pribadi dan kesempurnaan penyerahan diri. Dalam
keutamaan ini ada keutamaan lain yakni pengendalian diri. Dengan akal budinya
manusia dapat mengatur dan mengendalikan nafsu dan dorongan seksualnya.
Keutamaan ini penting untuk menjaga kemurnian hati.
Seksualitas yang merupakan bagian dari manusia merupakan anugerah Allah
yang patut disyukuri. Seksualitas merupakan bagian integral kepribadian manusia,
artinya bahwa seksualitas ini mempengaruhi hidup seseorang, cara dia berprilaku dan
cara ia berada. Seksualitas sebagai suatu energi memang harus diatur dan diarahkan
supaya tidak liar. Dalam tata perkawinan seksualitas menjadi sarana untuk
memperdalam kesatuan antara suami dan istri demi kesejahteraan dan kebahagiaan
bersama. Pada hakikatnya seksualitas dalam konteks perkawian terarah pada prokreasi.
Dengan demikian, aktivitas seksualitas yang mengecualikan aspek prokreatif,
bertentangan dengan makna seksualitas yang sesungguhnya.

5.3 Pelanggaran-pelanggaran yang melawan kemurnian:


Pelanggaran-pelanggaran melawan kemurnian:
 Ketidakmunian yakni keinginan untuk selalu mengejar keinginan dan
kenikmatan seksual.
 Masturbasi: rangsangan alat-alat kelamin yang disengaja dengan tujuan untuk
mencapai kenikmatan seksual. Tindakan ini bertentangan dengan ajaran moral
gereja karena memisahkan seksualiatas dari hakikat dan tujuan dasarnya.
Seksualitas mengandung dimensi interrelasional, hubungan intersubjekstif.
Masturbasi merupakan pembiasan daya kekuatan seksualitas, yakni menikmati
seks secara egoistik serta memisahkannya dari dimensi prokreatif.
 Percabulan: yakni hubungan seksual diantara seorang pria dan seorang wanita
yang tidak terikat ikatan perkawinan. Pada hakikatya seksualiatas manusia
ditujukan untuk kebahagiaan suami istri yang terbuka pada kelahiran anak.
 Prostitusi: merupakan tindakan yang merendahkan martabat wanita dengan
mereduksinya hanya sebagai alat pemuas nafsu seks, merupakan satu pelecehan
terhadap nilai kemurnian dan kekudusan.
 Homosekualiatas: ada dua macam homoseksualitas, yakni homoseksualitas
karena kelainan kromosom secara kodrat dan homoseksualitas sebagai
kecenderungan. Homoseksualitas adalah daya tarik seksual terhadap orang
sejenis kelamin. Homoseksualitas ini bertentangan dengan hukum kodrat.
Dalam hubungan seksual di antara orang homoseks tidak terbuka pada
keturunan/prokreasi, kekurangan unsur saling melengkapi. Berhadapan dengan
orang-orang homoseksual, mereka harus dipahami dan dihormati sehingga
akhirnya mereka dapat memahami dirinya dan secara perlahan-lahan diajak
untuk menghayati kemurnian dengan pengendalian diri.
 Berhubungan dengan firman keenam ini juga masalah pengaturan kelahiran,
yakni menyangkut moralitas penggunaan alat kontrasepsi. Berkaitan dengan soal
pengaturan kelahiran, gereja mengajarkan supaya umat mengikuti keluarga
berencana alamiah, yakni dengan melakukan pantang berkala selama masa-masa
24
subur. Dalam KBA ini ada kerja sama antara suami dan istri, saling pengertian
dan mendukung, meningkatkan komunikasi diantara mereka.

Di samping itu, firman ini juga menyangkut moralitas inseminasi artifisial bagi
pasangan-pasangan yang tidak subur. Apakah Inseminasi artifisial dibenarkan secara
moral? Kita harus membedakan antara FIVET homolog dan FIVET heterolog.
Dalam FIVET homolog baik sel telur maupun spermatozoa berasal dari pasangan yang
sama. Oleh karena ada kelainan hormonal maka diantara mereka tidak bisa
melangsunkan pembuahan di dalam rahim si istri. Melalui FIVET ini, Zigot lalu
ditransfer ke rahim si istri.
Dalam FIVET heterolog dilibatkan pihak ketiga, sel telur atau spermatozoa berasal satu
dari pasangan dan satu dari donor, atau malahan kedua-duanya dari donor, dan lebih
parah lagi, anak hasil pembuahan ditransfer bukannya ke istri sendiri, tetapi ditransfer
ke rahim orang lain. Hal ini jelas tidak dapat dibenarkan secara moral.
Keberatan moral dari FIVET ini adalah bahwa anak harus lahir kedunia di dalam dan
melalui perkawianan yang sah sebagai buah cinta suami-istri. Anak merupakan
anugerah Tuhan bukannya sebagai hasil produk laboratorium.

25
FIRMAN VII
JANGAN MENCURI
6.1 Maksud awal
Maksud awal firman jangan mencuri dikaitkan dengan pencurian manusia,
penculikan manusia bebas. Jadi firman ini mau melindungi kemerdekaan orang Israel
yang bebas. Kata yang digunakan untuk menunjuk firman ini adalah kata ganav. Kata
ganav ini menunjuk pada tindakan pencurian manusia atau penculikan dalam bahasa
sekarang. Dalam kitab keluaran 21,16 diakatakan: “Siapa yang menculik seorang
manusia, baik ia telah menjualnya, baik orang itu masih terdapat padanya, ia pasti
dihukum mati”.
Dalam kitab Ulangan dikatakan: “Apabila sekarang kedapatan sedang menculik
orang, salah seorang saudaranya dari antara orang Israel, lalu memperlakukan dia
sebagai budak dan menjual dia, maka haruslah penculik itu mati. Demikianlah harus
kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu!” Ul. 24,7. Dari kedua ayat ini
menjadi jelas, bahwa firman jangan mencuri pertama-tama mau melindungi kebebasan
orang merdeka dan melarang penjualan manusia untuk dijadikan budak. Landasan
dasarnya jelas bahwa orang Israel pun dulu sebagai budak, namun kasih dan kebaikan
Allah telah membebaskan mereka dari status budak menjadi seorang merdeka.
Pengalaman pembebasan ini hendaknya menjadi titik acuan bagi orang Israel untuk
menghormati manusia lain sebagai manusia bebas merdeka.
Di Israel oleh karena keadaan ekonomi yang buruk dan kemiskinan membuat
orang dengan terpaksa menjual tanahnya sebagai gadaian dan bahkan menjual anak atau
dirinya sebagai budak untuk menghapus utang. Akan tetapi, ada aturan bahwa seorang
budak harus dibebaskan pada tahun ketujuh (Tahun sabat) dan pada tahun ke lima puluh
(Tahun Yobel). “Apabila engkau membeli seorang budak Ibrani, maka haruslah ia
bekerja padamu enam tahun lamanya, tetapi pada tahun ke tujuh ia dijinkan
keluar sebagai orang merdeka, dengan tidak membayar tebusan apa-apa” (Kel. 21,2).
Pada tahun kelima puluh tanah-tanah yang terpaksa dijual karena kemiskinan
harus dikembalikan pada miliknya karena tanah ini merupakan anugerah Allah bagi
bangsa Israel, tanah janganlah dijual mutlak karena Tuhanlah pemilik tanah, sedangkan
orang-orang israela adalah orang asing dan pendatang bagi Allah, (Imamat 23,23) juga
harus dibebaskan kaum budak :”Apabila saudaramu jatuh miskin di antaramu, sehingga
menyerahkan diri kepadamu, maka janganlah memperbudak dia. Sebagai orang upahan
dan sebagai pendatang ia harus tinggal di antaramu; sampai kepada tahun Yobel ia
harus bekerja padamu. Kemudian ia harus diijinkan keluar dari padamu,ia bersama
anak-anaknya , lalu pulang kembali kepada kaumnya da ia boleh pulang ke tanah milik
nenek moyangnya”(Im. 25,39-41). Motif dasar dari pembebasan ini adalah tindakan
pembebasan Allah yang dilakukan atas Israel. Hal ini menjadi tuntutan etis dan moral
bagi Israel.

6.2 Perkembangan pemahaman


Perkembangan lebih lanjut dari firman jangan mencuri diacu pada pencurian
barang. Pencurian barang milik orang lain jelas bertentangan dengan prinsip keadilan
yang memerintahkan memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.
Dalam perjanjian lama milik bukanlah hak mutlak sebab yang menjadi pemilik mutlak
adalah Allah sendiri. Yang dilarang dalam firman ini adalah pencurian dari atas, tanpa
mengabaikan pencurian dari bawah. Dalam kitab ulangan dikatakan “Jika ia seorang
miskin, janganlah engkau tidur dengan barang gadaiannya. Kembalikanlah barang

26
gadaian itu kepadanya sebelum matahari terbenam, supaya ia dapat tidur dengan
memakai kainnya sendiri dan memberkati engkau. Maka engkau akan menjadi benar di
hadapan Tuhan Allahmu”(Ul. 24, 12-13).
Para nabi terutama Amos mengkritik para penguasa dan kaya serta para
penikmat karena mereka telah bersikap masa bodoh terhadap nasib orang miskin,
bahkan mereka berbuat curang terhadap orang miskin. Nabi Mika mengkritik para
spekulan dan pencatut tanah: “Yang menginginkan ladang-ladang, mereka
merampasanya, dan rumah-rumah, mereka menyerobotnya; yang menindas orang
dengan rumahnya, manusia dengan milik pusakanya”.(Mika 2,2). Pencurian dari atas ini
dapat dilihat dalam peristiwa penyerobotan Raja Ahab yang menginginkan tanah milik
Nabot seorang miskin. Ahab bersama permaisurinya Izabel berdaya upaya untuk
merebut tanah milik Nabot dengan fitnah sehingga Nabot dihukum mati. Lalu Elia
menubuatkan hukuman berat atas raja Ahas dan keturunannya karena kejahatannya itu.
Firman jangan mencuri diperluas maknanya sampai pada makna sosial dari milik.
Kekayaan adalah anugerah Allah yang diberikan kepada semua manusia dan ditujukan
kepada seluruh manusia. Maka bertentangan dengan firman jangan mencuri tindakan
penumpukan kekayaan oleh segelintir orang sehingga menimbulkan penderitaan dan
kemiskinan bagai sebagian besar orang. Adalah satu tindakan jahat membiarkan orang
lain mati karena keserakahan dan kerakusan seseorang.
Dalam konteks sekarang, firman ketujuh memperoleh aktualisasinya dalam
memperlakukan manusia. Manusia janganlah dijadiakn objek atau direduksi hanya
sebagai alat produksi. Bagaimanapun juga, manusia harus tetap menjadi subjek, dan
tujuan dari segala aktivitasnya. Adalah bertentangan dengan dengan firman ketujuh
yang membuat manusia sebagai objek untuk memperkaya diri, misalnya seorang dokter
atau psikolog yang menggunakan kesempatan dalam proses pengobatan, kaum majikan
yang menggaji karyawan dengan gaji di bawah standar minimum. Tindakan eksploitasi
terhadap para papa miskin dan kaum buruh jelas bertentangan dengan prinsip keadilan
yang sangat erat berhubungan dengan firman ketujuh.
Jurang yang semakin lebar antara kaum kaya dan kaum miskin menuntut adanya
keadilan dalam pemerataan pembagian hasil dan pemberian kesempatan yang sama.
Untuk itu, dibutuhkan juga solidaritas antar manusia, antar golongan, antar negara.
Solidaritas menuntut kesediaan mereka yang punya untuk dengan rela hati mau
membagi kepada mereka yang miskin dan berkekurangan.
Firman ketujuh melindungi pribadi manusia melalui perlindungan pada hak
milik yang merupakan dasar untuk menjamin kebebasan sebagai manusia. Firman
ketujuh juga mengajak kita untuk memperhatikan kaum miskin sehingga merekapun
dapat memenuhi tuntutan minimal untuk hidup sebagai manusia. Prinsip keadilan dan
cinta kasih mendapat wujud konkrit dalam pelayanan kepada kaum miskin, di mana
Kristus sendiri mengidentifikasikan dirinya dalam dan melalui mereka. Hal-hal yang
perlu dipahami dalam terang firman jangan mencuri: tindakan memperlakukan manusia
sebagai budak dalam kasus para pembantu yang dibayar dengan gaji rendah dan jam
kerja non-stop (bentuk-bentuk baru perbudakan); para karyawan pabrik yang dibayar
rendah dalam sistem ekonomi kapitalis (the primacy of capital over labour). “Manusia
yang dibebaskan Allah tidak boleh dijadikan korban kepentingan ekonomi”.
Tuntutan untuk membangun persaudaraan sejati dalam terang iman kepada
Yesus, dengan memperlakukan setiap manusia sebagai saudara, tidak pernah dibenarkan
menjadikan orang lain sebagai obyek, dan kepadanya setiap orang memiliki tanggung
jawab.

27
FIRMAN VIII
JANGAN MENGUCAPKAN SAKSI DUSTA TENTANG
SESAMAMU

1. Maksud awal:
Larangan untuk bersaksi dusta erat kaitannya dengan perkara di pengadilan.
Teks kel. 20,16 saksi dusta yang berasal dari kata hibrani syaker yang artinya dusta –
àada unsur kesengajaan, tahu bahwa itu salah. Sedangkan dalam teks Ulangan 5,20
mengacu pada larangan untuk bersaksi palsu yang berasal dari kata Ibrani syave. Dalam
hal ini orang memberi kesaksian tapi tidak diverifikasi terlebih dahulu, belum
dibuktikan kebenarannya. Tujuan semula dari firman ini adalah melindungi orang dari
tuduhan palsu yang berdampak negatif, merusak nama baik atau bahkan menentukan
hidup matinya seseorang. Hal ini dapat dipahami dalam konteks tradisi Israel kuno di
mana proses pengadilan dilakukan di pintu gerbang kota.
Dalam proses pengadilan tersebut kedudukan 2 orang saksi sangat menentukan
nama baik dan hidup seseorang yang dituduh bersalah. “… maka engkau harus
membawa laki-laki atau perempuan yang telah melakukan perbuatan jahat itu ke luar
pintu gerbang, kemudian laki-laki atau perempuan itu harus dilempari dengan batu
sampai mati. Atas kesaksian dua atau tiga orang saksi haruslah mati dibunuh orang yang
dihukum mati”.
Dalam masyarakat Israel kita bisa melihat bahwa seorang benar dapat terpaksa
harus mati karena kesaksian palsu dari kedua orang saksi palsu. Karena keserakahan,
iri hati dan ambisi pribadi, raja Ahaz membunuh nabot melalui kesaksian palsu. Juga
Susana karena ia tidak memenuhi keinginan nafsu seksual kedua hakim yang bejat,
akhirnya Susana dihukum rajam karena kesaksian palsu kedua hakim jahanan (Daniel
13,1-49).
Secara positif firman jangan bersaksi dusta tentang sesamamu mengajak orang
untuk membela kebenaran demi menyelamatkan orang benar dari tuduhan yang tidak
benar. Memberi kesaksian berarti memberi keterangan dan penegasan atas apa
yang telah terjadi. Seorang saksia adalah orang yang sungguh turut menyaksikan suatu
tindak kejahatan. Maka seorang saksi yang benar dan jujur akan mendukung proses
pengadilan yang adil.
Dengan demikian firman ini mau menjamin keadilan di hadapan pengadilan,
menjamin proses pengadilan yang bersih, jujur dan benar, menegakkan kepastian
hukum sehingga orang tidak main-main dengan kebenaran. Yesus sendiri mengatakan
kalau ya katakan ya, kalau tidak katakan tidak, selebihnya berasal dari si jahat.
Kebenaran dan keadilan dalam pengadilan sering kali dirongrong oleh kebiasaan suap.
Keadilan dan kebenaran bisa dikorbankan karena uang, sehingga orang miskin
yang tidak punya uang sering kali menjadi korban. Hal ini sering dilakukan bahkan
sudah menjadi kebiasaan. Kitab suci melaporkan hal demikian: “Celakalah mereka yang
membenarkan orang fasik karena suap, yang memungkiri hak orang benar” (Yes. 5,22-
23).
Nabi Amos sendiri terkenal sebagai nabi yang berani mengkritik ketidakailan
yang dilakukan oleh para penguasa dan orang kaya: “Dosamu berjumlah besar hai kamu
yang menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap dan
mengesampingkan orang muskin di pintu gerbang” (Amos 5,12). Dalam kitab Ulangan
ditegaskan hal keadialan di pengadilan: “Dalam mengadili janganlah pandang bulu,
sebab pengadilan adalah hak Allah” (Ul. 1,17).

28
2 Perkembangan makna
Firman ini dalam pemahaman selanjutnya tidak hanya terbatas pada perkara
pengadilan yang harus dilakukan secara benar dan adil, tetapi juga menunjuk pada
ajakan untuk hidup dalam kebenaran. Hidup dalam kebenaran adalah konsekuensi dari
iman kepada Allah, yang adalah sumber segala kebenaran, bahkan kebenaran tertinggi.
Sabda dan hukumNya adalah kebenaran. Kristus sendiri menampilkan diriNya sebagai
kebenaran, menampilkan anugerah RohNYa sebagai Roh kebenaran (Yoh 14,17) yang
membimbing pada para murid pada kebenaran.
Kristus sendiri di hadapan Pilatus, Ia sendiri menyatakan bahwa kedatangannya
ke dunia untuk memberi kesaksian tentang kebenaran (Yoh. 18,37). Hal ini mengajak
umat Kristiani untuk berani memberi kesaksian tentang kebenaran. Kristus juga telah
menjadi saksi kebenaran sampai Ia sendiri mati karena kebenaran. Ini adalah tindak
kemartiran. Kemartiran adalah kesaksian tertinggi dalam memberi kesaksian tentang
kebenaran iman. Hal ini diungkapkan dalam pilihan kita untuk memilih nilai yang lebih
tinggi, nilai moral dan kebaikan interior atau kekudusannya sendiri. Kehidupan fisik
adalah relatif dalam hubungannya dengan kehidupan spiritual sehingga dalam situasi
konflik, secara moral orang harus memilih kehidupan spiritual. Kebenaran dan
kesetiaan Allah menjadi dasar atau motivasi bagi manusia untuk bertindak benar dan
adil.
Perintah kedelapan ini juga mau mengajak orang untuk tidak menipu dan
berbohong pada diri sendiri, sesama dan Allah. Kejujuran terhadap diri sendiri
merupakan dasar moralitas. Dalam realitas sehari-hari, ketidakberanian orang untuk
mengatakan kebenaran sering kali dikondisikan oleh faktor-faktor keamanan. Orang
yang vokal dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan biasanya tidak lama dalam
jabatan atau tugas yang dipercayakan kepadanya, ia menderita dikucilkan dan difitnah,
dipecat dll.
Katekismus memperluas cakupan firman kedelapan ini pada hal kebebasan
dalam mengungkapkan dan menyuarakan kebenaran. Sejauh manakah kita harus
mengatakan kebenaran dalam hidup sehari-hari. Apakah benar dan bijaksana
mengatakan semua apa adanya dan di mana saja? Apakah etis menelanjangi kesalahan
orang di depan banyak orang? Tentu saja dalam mengungkapkan kebenaran kita harus
memperhatikan integritas pribadi orang lain dan memperhatikan kepentingan umum.
Untuk itu, dalam mengungkapkan kebenaran orang harus bijaksana.
Berkaitan dengan hak atas informasi, maka hak tersebut harus diarahkan oleh kebenaran,
kebebasan, cinta kasih dan solidaritas. Dalam kaitan dengan persoalan ini, KV II
melalui Inter Mirica (IM) mengatakan:
„ Di dalam masyarakat manusia terdapat hak atas informasi mengenai hal-hal
yang sesuai dengan manusia baik perorangan maupun tergabung dalam masyarakat,
menurut situasi masing-masing. Akan tetapi, pelaksanaan hak ini secara tepat menuntut
agar mengenai isi, komunikasi selalu benar dan utuh, sambil memperhatikan keadilan
dan cinta kasih. Selain itu, mengenai caranya, hendaklah berlangsung dengan jujur dan
memenuhi syarat; maksudnya, hendaknya komunikasi itu mengindahkan sepenuhnya
hukum-hukum moral, hak-hak manusia yang semestinya serta martabat pribadinya, baik
dalam mencari maupun dalam menyebarkan berita; karena bukan semua pengetahuan
menguntungkan, hanya cinta membangun’ (1 Kor 8:1)“ (IM 5)
Penilaian moral atas informasi yang benar hanya keluar dari maksud demi
kebaikan umum, disesuaikan dengan prinsip keadilan, kebenaran, kebebasan dan
solidariatas. Masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang benar dan
utuh, tidak dimanipulasi.

29
Mereka yang bertanggung jawab dalam bidang percetakan dan media massa/informasi
mempunyai kewajiban moril untuk memperhatikan kebenaran dan kasih dalam
memberikan informasi yang proporsional, akurat, tepat dan tidak menyesatkan serta
tidak meresahkan dan mengganggu kesejahteraan umum. Tugas luhur mereka yang
terlibat dalam pelayanan penyebarluasan informasi adalah membentuk opini publik
yang sehat, membentuk suara hati yang benar. „setiap pelanggaran melawan keadilan
dan kebenaran membawa serta kewajiban untuk pemulihan, juga apabila pengampunan
sudah diberikan kepada pencetusnya“ (Kat. 2487).
Yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam menyampaikan kebenaran, orang
harus memperhatikan keadaan dan kesiapan orang yang akan menerimanya. Harus
dilakukan berdasarkan kasih dan bijaksana, misalnya kebenaran yang menyangkut
keadaan pasien.
Berkaitan dengan rahasia jabatan: dokter,militer, hakim: informasi pribadi yang
merugikan orang lain, tidak boleh disebarluaskan tanpa dasar yang memadai. Berkaitan
dengan kode etik dalam pengakuan dosa, pelayan pengakuan dosa tidak boleh dengan
keras membocorkan rahasia pengakuan dosa (Kan. 983).
Firman ini juga melarang orang untuk berdusta, artinya orang mengatakan yang
tidak benar dengan maksud untuk menyesatkan. Dusta berasal dari iblis: “Iblislah
bapamu, …. Ia tidak pernah memihak kebenaran, sebab tidak ada kebenaran padanya.
Kalau ia berdusta, itu sudah wajar karena sudah begitu sifatnya. Ia pendusta dan asal
segala dusta” (Yoh. 8,44). (Bdk. Kat. 2482). “dusta adalah pelanggaran paling langsung
terhadap kebenaran. Berdusta berarti berbicara atau berbuat melawan kebenaran untuk
menyesatkan seseorang yang mempunyai hak untuk mengetahui kebenaran” (Kat. 2483).
Firman ini juga melarang orang untuk memfitnah, yaitu menyampaikan
kesalahan dan pelanggaran seseorang kepada orang lain yang tidak tahu menahu
mengenai hal itu tanpa dasar yang obyektif dan sah; membuat penilaian yang lancang,
tanpa bukti yang memadai.(Bdk. Kat. 2477)
Firman jangan bersaksi dusta tentang sesamamu juga mau membangun tata hidup
bersama atas dasar kebenaran dan saling percaya. “Manusia tidak dapat hidup
bersama dalam suatu masyarakat kalau tidak saling mempercayai, sebagai orang yang
menyatakan kebenaran satu sama lain” (Summa Theologiae II-II, q. 103, a.3).
Di samping itu, firman kedelapan ini juga mengajak orang untuk tidak
berbohong kepada diri sendiri, tidak mentolerir kesalahan diri sendiri. Kita harus
menghindari sikap munafik. Sikap kita yang mendiamkan kejahatan dan ketidakadilan
berarti kita telah melanggar firman ke delapan. Hal ini didukung oleh budaya sungkan
yang dipupuk dalam kultur feodalisme.
Kesimpulan
Firman jangan bersaksi dusta dimaksudkan untuk menjamin kebenaran dan
keadilan dalam proses pengadilan, sehingga hak orang kecil dan lemah tidak
dikorbankan. Di samping itu, firman ini mau menegaskan bahwa tata hidup bersama
dapat diupayakan hanya jika kepercayaan yang menjadi dasar hidup bersama tidak
dirusak. Firman ini juga menegaskan panggilan kita dan setiap orang yang berkehendak
baik untuk hidup dalam kebenaran, menjadi saksi kebenaran, karena kebenaranlah
yang akan memerdekakan kita.(Bdk. Yoh. 8: 32)

FIRMAN IX
30
JANGAN INGIN BERBUAT CABUL

8.1 Makna awal


Rumusan asli dari perintah ini berbunyi: “Jangan mengingini istri sesamamu”
(Ulangan 5,21a). Kata Ibrani yang merujuk pada perintah ini adalah kata hamad yang
artinya mengingini. Dalam konteks ini mengingini bukan sekedar mengingini dalam
hati, tetapi sudah mengacu pada tindakan mengambil apa yang diinginkan. Dengan
demikian, mengingini istri sesamamu berarti lebih dari sekedar rangsangan hati. Dalam
perintah kesembilan ini, larangan untuk mengingini istri sesama disertai oleh usaha
untuk mengambilnya untuk dijadikan miliknya.
Yang dipertaruhkan dalam firman ini adalah kelangsungan dan stabilitas
keluarga orang lain yang dilakukan oleh pihak ketiga yang berusama memisahkan istri
dan ibu, menghancurkan keharmonisan keluarga orang lain. Dengan demikian, firman
ini bermaksud menjaga keutuhan keluarga dan melindunginya dari nafsu tak terkendali
pihak ketiga.

8.2 Perkembangan makna


Perintah jangan mengingini istri sesamamu diperluas cakupannya bukan hanya
keingingan hati yang mengarah pada tindakan mengambil istri orang lain, tetapi
mengajak orang untuk menjaga kemurnian hatinya. Kalau perintah ke-6 lebih mnegacu
pada tindakan lahiriah, sedangkan perintah ke-9 lebih ke sikap hati yang tidak murni,
yang mencanangkan kejahatan mengambil istri orang. Mengapa kemurnian ini
mendapat penekanan? Sebab pada hakikatnya segala dosa dan kejahatan berawal dari
sikap hati yang tidak murni,bersih. Yesus sendiri dalam kotbah di bukit menekankan
sikap hati/disposisi batin yang baik. ”Barang siapa memandang seorang wanita dengan
nafsu birahi birahi, dia sudah berjinah dengan wanita itu dalam hatinya” (Mat. 5,28).
Dalam teks ini kita bisa melihat bahwa moral Yesus yang radikal adalah moral
hati, sehingga zinah bukan hanya persoalan tindakan lahiriah, tetapi sikap hati yang
melanggar kemurniannya. Hati adalah tempat munculnya kebaikan dan kejahatan:
“Dari hati timbul segala pikiran jahat, perjinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu,
hujat” (Mat. 15,19). Berkaitan dengan soal keinginan, St. Yohanes membedakan tiga
macam hawa nafsu atau keinginan: keinginan daging, keinginan mata dan kesombongan
dunia. Perintah kesembilan ini mengacu pada keinginan daging. Rasul Paulus
menggunakan kata keinginan pada pemberontakan daging melawan Roh (Gal. 5,16-
17,24).
Setiap orang diajak untuk menjaga kemurnian hati, mengendalikan keinginan
dagingnya dan membiarkan diri diarahkan oleh Roh Allah. “Roh Allah sudah
memberikan kepada kita hidup yang baru, oleh sebab itu, Dia jugalah harus menguasai
hidup kita.”(Gal. 5,25). Untuk mencapai kemurnian hati, orang dituntut ungtuk
mengendalikan dirinya, tidak hidup dikuasai dan diperbudak oleh nafsu, tetapi
diarahkan oleh akal budi dan disinari oleh Roh Allah sendiri. Orang yang telah
dibebaskan dari perhambaan dosa harus selalu berjuang demi kemurnian. Dengan
bantuan rahmat Allah orang mampu hidup baik ( Bdk. Katekismus 2520).

FIRMAN X
31
JANGAN MENGINGINI MILIK SESAMAMU
1 Maksud awal
Dalam rumusan keluaran dikatakan: “Jangan mengingini rumah sesamamu;
jangan mengingini istrinya, atau hambanya laki-laki atau perempuan, atau lembunya
atau keledainya atau apa pun yang dimiliki sesamamu” (Kel. 20,17). Sedangkan dalam
versi Ulangan dikatakan: “Janganlah mengingini istri sesamamu, dan jangan
menghasratkan rumahnya atau ladangnya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya
perempuan atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu” (Ul. 5,21). Dari
kedua versi teks ini dapat kita lihat suatu perbedaan susunan.
Dalam teks keluaran istri diletakan setelah rumah sedangkan dalam teks Ulangan,
sebaliknya istri ditempatkan pertama. Hal ini menunjukkan adanya
pergeseran pemahaman bahwa dalam teks keluaran istri disejajarkan dengan barang
milik, sedangkan dalam teks ulangan istri ditempatkan diatas barang milik, sebagai
pribadi. Dalam perintah kesepuluh ini yang mau ditekankan adalah perlindungan harta
milik dalam hal ini rumah dan tanah pusaka dari tindakan penyerobotan pihak lain.
Dengan kata mengingini tidak semata-mata keinginan biasa tetapi keinginan yang sudah
mengarah pada tindakan mengambil punya orang lain secara tidak adil (bdk. Ul. 7,25).
Yang dilarang adalah mengingini sesuatu yang bukan hak dan miliknya.
Dalam tradisi PL rumah itu merupakan tempat tinggal tetap yang berbeda
nilainya dengan kemah atau gubuk untuk berteduh. Rumah beserta tanahnya
merupakan milik pusaka yang harus dilindungi dari tindakan keserakahan dan
kesewenang-wenangan penguasa. Tanah adalah basis untuk hidup, bahkan yang
dijanjikan Allah. Yang menjadi pemilik mutlak tanaha adalah Yahwe sendiri sebab
umat Israel sendiri memperolehnya dari Allah. Dengan demikian, tanah tidak boleh
dijual mutlak maka ada aturan pada tahun kelima puluh tanah yang digadekan karena
situasi kemiskinan harus dikembalikan.

2 Perkembangan makna
Selanjutnya firman jangan mengingini milik sesama diperluas jangkauannya pada
perlindungan hidup orang miskin dari tindakan sewenang-wenang: penyerobotan. Juga
firman ini menyangkut larangan untuk meminjamkan uang dengan riba, dan hal-hal
yang perlu untuk hidup tidak boleh diambil sebagai gadaian (Ul. 24,6, 12-13, 17-18).
Hal ini banyak disuarakan oleh para nabi yang melihat ketidakadilan dan penindasan
yang dilakukan oleh orang berkuasa (bdk. Amos 4,1-3).
Dalam kitab Yesaya dikatakan: “Celakalah mereka yang menyerobot rumah
demi rumah dan mencekau ladang demi ladang sehingga tak ada lagi tempat bagi orang
lain dan hanya kamu sendiri yang tinggal di dalam negeri”.( Yes. 5,8). Berkaitan dengan
penyerobotan tanah oleh penguasa dapat dilihat dalam contoh pengambilan tanah milik
Nabot secara paksa oleh raja Ahaz.
Firman “jangan mengingini milik sesamamu” memiliki relevansi sangat kuat
kalau kita kaitkan dengan tindakan penyerobotan dan penggusuran yang dilakuan oleh
para penguasa dan orang kaya. Berapa ribu hektar tanah yang digusur secara paksa oleh
penguasa untuk kepentingan proyek-proyek mereka: lapangan golf, pabrik-pabrik, real
estate dll. Berapa juta petani harus meninggalkan secara paksa tanah milik dan
warisannya hanya karena keserakahan dan kerakusan segelintir orang. (Lihat X pos
edisi no. 44/I, 31 Oktober-6 November 1998).
Dalam Katekismus gereja katolik memberikan penjelasan dari perintah X ini
dengan mengacu pada tindakan untuk mengendalikan keinginan yang berawal dalam
hati manusia. Perintah ini melarang keinginan barang orang lain karena dari keinginan
32
itu lahir pencurian, perampokkan dan penipuan. Keinginan yang tak terkontrol dapat
mengarah pada tindak kekerasan bahkan pembunuhan.
Perintah X ini melarang keserakahan dan keinginan tanpa batas akan barang-
barang duniawi, sikap rakus dan nafsu uang. Pada prinsipnya menginginkan itu sendiri
tidaklah jahat, sejauh orang hendak mendapatkannya dengan cara-cara yang benar dan
adil, tetapi menjadi buruk kalau keinginanan akan barang-barang tersebut dipenuhi
dengan melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum moral dan prinsip
keadilan.
Pada hakikatnya keinginan yang mengarah pada keserakahan berawal dari
asumsi bahwa dengan memiliki barang ini aku akan bahagia, akan tetapi yang namanya
manusia keinginannya itu selalu muncul, yang satu terpenuhi sudah menanti keinginan
lain yang harus dipuaskan. Hal ini dapat dilihat dari contoh orang yang sudah
kecanduan narkotik, ia akan selalu ingin mengecap keadaan flay ini dan begitu
kecanduannya, maka akhirnya ia akhirnya menjadi budak narkotik. Kebahagiaan
yang selama ini ia dambakan teryata malah menyiksa dirinya, membuat dirinya semakin
tidak bebas. Epikuros mengatakan: jika kamu menginginkan orang lain bahagia
janganlah menambah apa yang telah ia miliki, tetapi ambillah dari keinginan-
keinginannya. Dengan kata lain, ketamakan tak dapat dipuaskan dengan memenuhi
sesuatu yang diinginkan tetapi dapat disembuhkan dengan menghilangkan keinginan
tersebut.
Bentuk sederhana dari ketamakan adalah ketamakan atas hal-hal material, uang
dan atas hal-hal yang dapat dibeli dengan uang. Kitab suci mengatakan bahwa nafsu
uang adalah akar dari segala kejahatan: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang.
Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan
menyiksa dirinya dengan berbagai duka”. (1 Tim. 6,10).
Perintah ini juga mengajak orang untuk menjauhkan rasa iri dari hati manusia.
Rasa iri muncul pada saat melihat orang lain memiliki sesuatu lalu dalam hatinya ingin
memiliki barang tersebut, dan untuk memperoleh barang tersebut ia menempuh cara
apapun termasuk yang dilarang hukum. Rasa iri menghantar orang pada tindakan-
tindakan terjahat yang akhirnya membawa pada kematian (lihat Yakobus 4,1-2).
Untuk menjauhkan sikap tamak dan rakus maka kita harus mengembangkan
sikap murah hati sesuai dengan apa yang dikatakan Santo Fransiskus dari Asisi:
“Dengan memberi aku menerima!”. Di samping iti kita harus mengembangkan sikap
hati yang miskin, melepaskan diri dari kelekatan pada materi: “Dimana hartamu berada,
di situ juga hatimu berada” (Mat. 6,21). “Umat kristiani diminta untuk
mengarahkan keinginan hati yang tepat supaya mereka dalam mengejar cinta
kasih yang sempurna jangan dirintangi karena menggunakan hal-hal duniawi dan
melekat pada kekayaan melawan semangat kemiskinan menurut Injil” LG no. 42. Setiap
orang yang telah menerima Kristus dalam dirinya, maka ia harus menyalibkan daging
dengan segala hawa nafsu dan keinginannya (Gal. 5,24); dan membiarkan diri
dibimbing oleh Roh Kudus(Rom. 8,27). Hal ini sangat relevan dalam situasi dunia
sekarang ini dimana kita dihadapkan pada tawaran-tawaran yang menawarkan nikmat
dan firdaus dunia, terutama didukung oleh teknologi periklanan yang canggih.

Kesimpulan
Dalam firman ini yang dilarang bukan hanya mengingini rumah sesama, tetapi juga
semua yang ada didalamnya: anak-anak dan hamba laki-laki dan perempuan, serta
barang lainnya. Dengan adanya firman ini yang mau dikatakan adalah bahwa tata hidup
bersama dirongrong dan diancam bukan hanya oleh tindakan lahiriah, tetapi juga oleh
niat jahat di hati: mengingini dan menghasratkan milik sesama secara tidak benar.
33
HAK ASASI MANUSIA
Makna HAM
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat dalam diri manusia, yang
dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau negara,
melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia.Hak-hak asasi merupakan hak
yang universal. Artinya, hak-hak itu menyangkut semua orang, berlaku dan harus
diberlakukan dimana-mana. Misalnya, hak untuk hidup layak, hak untuk mendapat
pendidikan dan pekerjaan, hak untuk menikah, dst. Menolak sifat universal hak-hak
asasi manusia berarti menyangkal unsur manusiawi yang terdapat dalam setiap
kebudayaan.

HAM dalam Terang Kitab Suci


Dalam Perjanjian Lama, pengalaman pembebasan hak-hak bangsa Israel dari
kukungan bangsa Mesir menjadi tanda sejarah keselamatan; sejarah pembebasan,
menjadi perhatian khusus bagi kaum miskin yang tertindas.
Orang miskin dan tak berdaya mendapat perhatian khusus dari Tuhan. Maka, hak-
hak asasi pertama-tama harus diperjuangkan untuk orang yang lemah dan yang tidak
berdaya dalam masyarakat. Dasar perjuangan itu adalah tindakan Tuhan sendiri yang
melindungi orang yang tidak mempunyai hak dan kekuatan.
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang berdaulat dan semua hak manusia
adalah hak mengembangkan diri sebagai citra Allah.

HAM dalam Terang Ajaran Gereja


Ajaran sosial Gereja menegaskan: “Karena semua manusia mempunyai jiwa berbudi
dan diciptakan menurut citra Allah, karena mempunyai kodrat dan asal yang sama, serta
karena penebusan Kristus, mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama, maka
kesamaan asasi antara manusia harus senantiasa diakui” (Gaudium et Spes, Art. 29).
Dari ajaran ini tampak pandangan Gereja tentang hak asasi, yakni hak yang melekat
pada diri manusia sebagai insan, ciptaan Allah. Hak ini tidak diberikan kepada
seseoarang karena kedudukan, pangkat atau situasi. Hak ini dimiliki setiap orang sejak
lahir, karena dia seorang manusia. Kalau hak ini diambil, ia tidak dapat hidup sebagai
manusia lagi.
Gereja mendesak diatasinya dan dihapuskannya “setiap bentuk diskriminasi, entah
yang bersifat sosial atau budaya, entah yang didasarkan pada jenis kelamin, warna kulit,
suku, keadaan sosial, bahasa ataupun agama, karena berlawanan dengan maksud dan
kehendak Allah” (Gaudium et Spes, Art. 29).

Sikap Yesus terhadap Kaum Lemah


Sikap dan tindakan Yesus berpihak pada kaum miskin zamanNya.
Ia sering menyerang para penguasa agama dan politik yang memperberat hidup
orang-orang kecil yang tidak berdaya.
Yesus berani berdiri pada pihak yang kurang beruntung, pendosa, orang miskin,
wanita, orang sakit dan tersingkir baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi.

34
Yesus mengajak orang-orang kecil untuk mengatasi kekurangan dan kemiskinan
mereka dengan kerelaan untuk saling membagi dan memberi.
Terhadap perempuan, Yesus bersikap terbuka, bergaul dengan wanita tanpa takut
kehilangan nama baik. Yesus berbicara terbuka dengan wanita dan dengan cara itu Ia
melawan arus zamanNya. Yesus menerima dan menghormati mereka. Yesus
menghargai kedudukan dan peran wanita dalam kehidupan bersama.

AJARAN SOSIAL GEREJA


1. RERUM NOVARUM (KONDISI KERJA) Ensiklik Paus Leo XIII Tahun :
1891-
35
RN (Rerum Novarum) merupakan Ensiklik pertama ajaran sosial Gereja. Menaruh
fokus keprihatinan pada kondisi kerja pada waktu itu, dan tentu saja juga nasib para
buruhnya. Tampilnya masyarakat terindustrialisasi mengubah pola lama hidup bersama,
pertanian. Tetapi, para buruh mendapat perlakuan buruk. Mereka diperas. Jatuh dalam
kemiskinan struktural yang luar biasa. Dan tidak mendapat keadilan dalam upah dan
perlakuan. Ensiklik RN merupakan ensiklik pertama yang menaruh perhatian pada
masalah-masalah sosial secara sistematis dan dalam jalan pikiran yang berangkat dari
prinsip keadilan universal. Dalam RN hak-hak buruh dibahas dan dibela. Pokok-pokok
pemikiran RN menampilkan tanggapan Gereja atas isu-isu keadilan dan pembelaan atas
martabat manusia (kaum buruh).
Tema-Tema Pokok :
Promosi martabat manusia lewat keadilan upah pekerja; hak-hak buruh; hak milik
pribadi (melawan gagasan Marxis-komunis); konsep keadilan dalam konteks pengertian
hukum kodrat; persaudaraan antara yang kaya dan miskin untuk melawan kemiskinan
(melawan gagasan dialektis Marxis); kesejahteraan umum; hak-hak negara untuk
campur tangan (melawan gagasan komunisme); soal pemogokan; hak membentuk
serikat kerja; dan tugas Gereja dalam membangun keadilan sosial.
Konteks Zaman : Revolusi industri; kemiskinan yang hebat pada kaum pekerja/buruh;
tiadanya perlindungan pekerja oleh otoritas publik dan pemilik modal; jurang kaya
miskin yang luar biasa.

2. QUADRAGESIMO ANNO (SESUDAH 40 THN) Ensiklik Paus Pius XI Tahun :


1931– Dokumen Ajaran Sosial Gereja
QA (Quadragesimo Anno) memiliki judul maksud “Rekonstruksi Tatanan Sosial.”
Nama Ensiklik ini (40 tahun) dimaksudkan untuk memperingati Ensiklik Rerum
Novarum. Tetapi pada zaman ini memang ada kebutuhan sangat hebat untuk menata
kehidupan sosial bangsa manusia. Diperkenalkan dan ditekankan terminologi yang
sangat penting dalam Ajaran Sosial Gereja, yaitu “subsidiaritas” (maksudnya, apa yang
bisa dikerjakan oleh tingkat bawah, otoritas di atasnya tidak perlu ikut campur). Dalam
banyak hal QA masih melanjutkan RN mengenai soal-soal “dialog”-nya dengan
perkembangan masyarakat. Menolak solusi komunisme yang menghilangkan hak-hak
pribadi. Tetapi juga sekaligus mengkritik persaingan kapitalisme sebagai yang akan
menghancurkan dirinya sendiri
Tema-Tema Pokok :
QA bermaksud menggugat kebijakan-kebijakan ekonomi zaman itu; membeberkan
akar-akar kekacau-annya sekaligus menawarkan solusi pembenahan tata sosial hidup
bersama, sambil mengenang Ensklik RN; soal hak-hak pribadi dan kepemilikan
bersama; soal modal dan kerja; prinsip-prinsip bagi hasil yang adil; upah adil; prinsip-
prinsip pemulihan ekonomi dan tatanan sosial; pembahasan sosialisme dan tentu saja
kapitalisme; langkah-langkah Gereja dalam mengatasi kemiskinan struktural.
Konteks Zaman :
Depresi ekonomi sangat hebat terjadi tahun 1929 menggoyang dunia. Di Eropa
bermunculan diktator, kebalikannya demokrasi merosot di mana-mana.

3. MATER ET MAGISTRA (KRISTIANITAS DAN KEMAJUAN SOSIAL)


Ensiklik Yohanes XXIII Tahun : 1961–
Masalah-masalah sosial yang diprihatini oleh Ensiklik ini khas pada zaman ini. Soal
jurang kaya miskin tidak hanya disimak dari sekedar urusan pengusaha dan pekerja,
atau pemilik modal dan kaum buruh, melainkan sudah menyentuh masalah internasional.
36
Untuk pertama kalinya isu “internasional” dalam hal keadilan menjadi tema ajaran
sosial Gereja. Ada jurang sangat hebat antara negara-negara kaya dan negara-negara
miskin. Kemiskinan di Asia, Afrika, dan Latin Amerika adalah produk dari sistem tata
dunia yang tidak adil. Di lain pihak, persoalan menjadi makin rumit menyusul
perlombaan senjata nuklir, persaingan eksplorasi ruang angkasa, bangkitnya ideologi-
ideologi. Dalam Ensiklik ini diajukan pula “jalan pikiran” Ajaran Sosial Gereja: see,
judge, and act. Gereja Katolik didesak untuk berpartisipasi secara aktif dalam
memajukan tata dunia yang adil.
Tema-Tema Pokok :
Ensiklik ini masih berkaitan dengan peringatan RN, maka pada bagian awal Mater et
Magistra diingat sekali lagi semangat RN dan QA. Disadari isu-isu baru dalam
perkembangan terakhir di bidang sosial, politik dan ekonomi; peranan negara dalam
kemajuan ekonomi; partisipasi kaum buruh; soal kaum petani; bagaimana ekonomi
ditata seimbang; kerjasama antarnegara; bantuan internasional; soal pertambahan
penduduk; kerjasama internasional; ajaran sosial Gereja dan kepentingannya.
Konteks Zaman :
Kemiskinan luar biasa di negara-negara selatan; maraknya problem sosial dalam skala
luas dunia;

4. PACEM IN TERRIS (DAMAI DI BUMI) Ensiklik Paus Yohanes XIII Tahun :


1963–
Pacem in Terris menggagas perdamaian, yang menjadi isu sentral pada dekade enam
puluhan. Bilamana terjadi perdamaian? Bila ada rincian tatanan yang adil dengan
mengedepankan hak-hak manusiawi dan keluhuran martabatnya. Yang dimaksudkan
dengan tatanan hidup ialah tatanan relasi (1) antarmasyarakat, (2) antara masyarakat dan
negara, (3) antarnegara, (4) antara masyarakat dan negara-negara dalam level komunitas
dunia. Ensiklik menyerukan dihentikannya perang dan perlombaan senjata serta
pentingnya memperkokoh hubungan internasional lewat lembaga yang sudah dibentuk:
PBB. Ensiklik ini memiliki muatan ajaran yang ditujukan tidak hanya bagi kalangan
Gereja Katolik tetapi seluruh bangsa manusia pada umumnya.
Tema-Tema Pokok :
Tata dunia, tata negara, relasi antarwarga masyarakat dan negara, struktur negara
(bagaimana diatur), hak-hak warganegara; hubungan internasional antarbangsa; seruan
agar dihentikannya perlombaan senjata; soal “Cold War” (perang dingin) oleh produksi
senjata nuklir; komitmen Gereja terhadap perdamaian dunia. Penekanan pondasi uraian
pada gagasan hukum kodrat.
Konteks Zaman :
Perang dingin antara Barat dan Blok Timur, pendirian Tembok Berlin yang memisahkan
antara Jerman Barat dan Timur simbol pemisahan bangsa manusia (Agustus 1961), soal
krisis Misile Cuba (1962)

5. GAUDIUM ET SPES (GEREJA DI DUNIA MODERN)


Dokumen Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II Tahun : 1965-
Konsili Vatikan II merupakan tonggak pembaharuan hidup Gereja Katolik secara
menyeluruh. GS (Gaudium et Spes) menaruh keprihatinan secara luas pada tema
hubungan Gereja dan Dunia modern. Ada kesadaran kokoh dalam Gereja untuk berubah
seiring dengan perubahan kehidupan manusia modern. Soal-soal yang disentuh oleh GS
dengan demikian berkisar tentang kemajuan manusia di dunia modern. Di lain pihak
tetap diangkat ke permukaan soal jurang yang tetap lebar antara si kaya dan si miskin.
Relasi antara Gereja dan sejarah perkembangan manusia di dunia modern dibahas dalam
37
suatu cara yang lebih gamblang, menyentuh nilai perkawinan, keluarga, dan tata hidup
masyarakat pada umumnya. Judul dokumen ini mengatakan suatu “perubahan
eksternal” dari kebijakan hidup Gereja: Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan
manusia-manusia zaman ini, terutama kaum miskin dan yang menderita, adalah
kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Kardinal
Joseph Suenens (dari Belgia) berkata bahwa pembaharuan Konsili Vatikan II tidak
hanya mencakup bidang liturgis saja, melainkan juga hidup Gereja di dunia modern
secara kurang lebih menyeluruh. GS membuka cakrawala baru dengan mengajukan
perlunya “membaca tanda-tanda zaman” (signs of the times).
Tema-Tema Pokok : Penjelasan tentang perubahan-perubahan dalam tata hidup
masyarakat zaman ini; martabat pribadi manusia; ateisme sistematis dan ateisme praktis;
aktivitas hidup manusia; hubungan timbal balik antara Gereja dan dunia; beberapa
masalah mendesak, seperti perkawinan, keluarga; cinta kasih suami isteri; kesuburan
perkawinan; kebudayaan dan iman; pendidikan kristiani; kehidupan sosial ekonomi dan
perkembangan terakhirnya; harta benda diperuntukkan bagi semua orang; perdamaian
dan persekutuan bangsa-bangsa; pencegahan perang; kerjasama internasional. Konteks
Zaman : Perang dingin masih tetap berlangsung. Di lain pihak, negara-negara baru
“bermunculan” (beroleh kemerdekaan)

6. POPULORUM PROGRESSIO (KEMAJUAN BANGSA-BANGSA)


Ensiklik Paus Paulus VI Tahun : 1967-
Perkembangan bangsa-bangsa merupakan tema pokok perhatian dari Ensiklik Ajaran
Sosial. Gereja memandang bahwa kemajuan bangsa manusia tidak hanya dalam
kaitannya dengan perkara-perkara ekonomi atau teknologi, tetapi juga budaya (kultur).
Kemajuan bangsa manusia masih tetap dan bahkan memiliki imbas pemiskinan pada
sebagian besar bangsa-bangsa. Isu marginalisasi kaum miskin mendapat tekanan dalam
dokumen ini. Revolusi di berbagai tempat di belahan dunia kerap kali tidak membawa
bangsa manusia kepada kondisi yang lebih baik, malah kebalikannya, kepada situasi
yang sangat runyam. Kekayaan dari sebagian negara-negara maju harus dibagi untuk
memajukan negara-negara yang miskin. Soal-soal yang berkaitan dengan perdagangan
(pasar) yang adil juga mendapat sorotan yang tajam. Ensiklik ini menaruh perhatian
secara khusus pada perkembangan masyarakat dunia, teristimewa negara-negara yang
sedang berkembang. Diajukan pula refleksi teologis perkembangan / kemajuan yang
membebaskan dari ketidakadilan dan pemiskinan.
Tema-Tema Pokok :
Perkembangan bangsa manusia zaman ini; kesulitan-kesulitan yang dihadapi; kerjasama
antarbangsa-bangsa; dukungan organisasi internasional, seperti badan-badan dunia yang
mengurus bantuan keuangan dan pangan; kemajuan diperlukan bagi perdamaian.
Konteks Zaman :
Tahun enampuluhan memang tahun perkembangan bangsa-bangsa; banyak negara baru
bermunculan di Afrika; tetapi juga sekaligus perang ideologis dan antarkepentingan
kelompok manusia luar biasa ramainya; pada saat yang sama terjadi ancaman proses
marginalisasi (pemiskinan); terjadi perang di Vietnam yang sangat brutal; di Indonesia
sendiri terjadi perang ideologis (Marxis-komunis dan militer).

7. OCTOGESIMA ADVENIENS (PANGGILAN UNTUK BERTINDAK)


Surat Apostolik Paus Paulus VI Tahun : 1971-
Arti “Octogesima” adalah yang ke-80; maksudnya: surat apostolik ini dimaksudkan
untuk manandai usia Rerum Novarum yang ke-80 tahun. Paulus VI menyerukan kepada
segenap anggota Gereja dan bangsa manusia untuk bertindak memerangi kemiskinan.
38
Soal-soal yang berkaitan dengan urbanisasi dipandang menjadi salah satu sebab lahirnya
“kemiskinan baru”, seperti orang tua, cacat, kelompok masyarakat yang tinggal di
pinggiran kota, dst. Diajukan ke permukaan pula masalah-masalah diskriminasi warna
kulit, asal usul, budaya, sex, agama. Gereja mendorong umatnya untuk bertindak ambil
bagian secara aktif dalam masalah-masalah politik dan mendesak untuk
memperjuangkan nilai-nilai / semangat injili. Memperjuangkan keadilan sosial.
Tema-Tema Pokok :
Soal kepastian dan ketidakpastian fenomen kemajuan bangsa manusia zaman ini
berkaitan dengan keadilan; urbanisasi dan konsekuensi-konsekuensinya; soal
diskriminasi; hak-hak manusiawi; kehidupan politik, ideologi; menyimak sekali lagi
daya tarik sosialisme; soal kapitalisme; panggilan kristiani untuk bertindak memberi
kesaksian hidup dan partisipasi aktif dalam hidup politik.
Konteks Zaman :
Dunia mengalami resesi ekonomi dengan korban mereka yang miskin; di Amerika aksi
Martin Luther King untuk perjuangan hak-hak asasi marak dan menjadi perhatian dunia;
protes melawan perang Vietnam.

8. CONVENIENTES EX UNIVERSO (BERHIMPUN DARI SELURUH DUNIA)


atau lebih tepat dikenal: JUSTICIA IN MUNDO (JUSTICE IN THE WORLD)
Sinode para Uskup di dunia Tahun : 1971-
Dunia sedang berhadapan dengan problem keadilan. Untuk pertama kalinya (boleh
disebut demikian) sinode para uskup menaruh perhatian pada soal-soal yang berkaitan
dengan keadilan. Para uskup berhimpun dan bersidang serta menelorkan keprihatinan
tentang keadilan dalam tata dunia. Misi Gereja tanpa ada suatu upaya konkret dan tegas
mengenai tindakan perjuangan keadilan, tidaklah integral. Misi Kristus dalam
mewartakan datangnya Kerajaan Allah mencakup pula datangnya keadilan. Dokumen
ini banyak diinspirasikan oleh seruan keadilan dari Gereja-Gereja di Afrika, Asia, dan
Latin Amerika. Secara khusus pengaruh pembahasan tema “Liberation” oleh para uskup
Amerika Latin di Medellin (Kolumbia). Keadilan merupakan dimensi konstitutif
pewartaan Injil.
Tema-Tema Pokok :
Misi Gereja dan keadilan merupakan dua elemen yang tidak bisa dipisahkan; soal-soal
yang berhubungan dengan keadilan dan perdamaian: hak asasi manusia; keadilan dalam
Gereja; keadilan dan liturgi; kehadiran Gereja di tengah kaum miskin. Terminologi
kunci yang dibicarakan adalah “oppression” dan “liberation”.
Konteks Zaman : Konteks peristiwa dunia masih berada pada dokumen di atasnya.
Dunia sangat haus akan keadilan dan perdamaian. Pengaruh dari Pertemuan Medellin
(di Kolumbia) tahun 1968 sangat besar.

9. EVANGELII NUNTIANDI (EVANGELISASI DI DUNIA MODERN)


Anjuran apostolik Paus Paulus VI Tahun : 1975-
Arah dasarnya: agar Gereja dalam pewartaannya dapat menyentuh manusia pada abad
ke duapuluh. Ada tiga pertanyaan dasar: (1) Sabda Tuhan itu berdaya, menyentuh hati
manusia, tetapi mengapa Gereja dewasa ini menjumpai hidup manusia yang tidak
disentuh oleh Sabda Tuhan (melalui pewartaan Gereja)? (2) Dalam arti apakah kekuatan
evangelisasi sungguh-sungguh mampu mengubah manusia abad ke-20 ini? (3) Metode-
metode apakah yang harus diterapkan agar kekuatan Sabda sungguh menemukan
efeknya?
Tuhan Yesus mewartakan keselamatan sekaligus pewartaan pembebasan. Gereja
melanjutkannya. Hal baru dalam dokumen ini ialah bahwa pewartaan Kabar Gembira
39
sekaligus harus membebaskan pula.
Tema-Tema Pokok :
EN (Evangelii Nuntiandi) mengajukan tema-tema problem kultural sekularisme ateistis,
indi-ference, konsumerisme, diskriminasi, pengedepanan kenikmatan dalam gaya hidup,
nafsu untuk mendominasi.
Konteks Zaman :
EN dimaksudkan untuk memperingati Konsili Vatikan ke-10.

10. REDEMPTOR HOMINIS (SANG PENEBUS MANUSIA)


Ensiklik Yohanes Paulus II (Ensiklik-nya yang pertama) Tahun : 1979-
Sebenarnya Ensiklik ini tidak dikategorikan sebagai Ensiklik Ajaran Sosial Gereja.
Tetapi, lukisan tentang penebusan umat manusia oleh Yesus Kristus sebagai penebusan
yang menyeluruh memungkinkan beberapa gagasan ensiklik ini bersinggungan dengan
tema-tema keadilan sosial. Gagasan dasarnya: manusia ditebus oleh Kristus dalam
situasi hidupnya secara konkret. Yaitu, dalam hidup situasi di dunia modern.
Disinggung mengenai konsekuensi kemajuan dan segala macam akibat yang
ditimbulkan. Hak-hak asasi manusia dengan sendirinya juga didiskusikan. Misi Gereja
dan tujuan hidup manusia.
Tema-Tema Pokok :
Misteri penebusan manusia di zaman modern; kemajuan dan akibat-akibatnya; misi
Gereja untuk menjawab persoalan zaman ini.
Konteks Zaman :
Merupakan Ensiklik pertama dari kepausan Bapa Suci Yohanes Paulus II.

11. LABOREM EXCERCENS (KERJA MANUSIA)


Ensiklik Paus Yohanes Paulus II Tahun : 1979-
“Kerja” merupakan tema sentral hidup manusia. Hanya dengan kerja, harkat dan
martabat manusia menemukan pencetusan keluhurannya. Manusia berhak bekerja untuk
kelangsungan hidupnya, untuk membuat agar hidup keluarga bahagia dan berkecukupan.
Ensiklik ini mengkritik tajam komunisme dan kapitalisme sekaligus sebagai yang
memperlakukan manusia sebagai alat produktivitas. Manusia cuma sebagai instrumen
penghasil kemajuan dan perkembangan. Manusia berhak kerja, sekaligus berhak upah
yang adil dan wajar, sekaligus berhak untuk makin hidup secara lebih manusiawi
dengan kerjanya.
Tema-Tema Pokok :
Sebagian besar isinya ialah tentang keadilan kerja, yang sudah dikatakan dalam Rerum
Novarum; memang Ensiklik ini dimaksudkan untuk memperingati 90 tahun Rerum
Novarum.
Kerja dan manusia; semua orang berhak atas kerja, termasuk di dalamnya yang cacat;
perlunya jaminan keselamatan / kesehatan dalam kerja; manusia berhak atas pencarian
kerja yang lebih baik di mana pun, juga di negeri orang.
Konteks Zaman :
Dalam periode zaman ini dirasakan sangat besar jumlah pengangguran. Para pekerja
migrant (tenaga asing) sangat mudah diperas dan mendapat perlakuan tidak adil.

12. SOLLICITUDO REI SOCIALIS (KEPRIHATINAN SOSIAL)


Ensiklik Paus Yohanes Paulus II Tahun : 1987-
Ensiklik ini merupakan ulang tahun ke-20 dari Ensiklik Populorum Progressio. Jurang
antara wilayah / negara-negara Selatan (miskin) dan Utara (kaya) luar biasa besarnya.
Perkembangan dan kemajuan sering kali sekaligus pemiskinan pada wilayah lain.
40
Persoalannya semakin rumit manakala dirasakan semakin hebatnya pertentangan ideologis
antara Barat dan Timur, antara kapitalisme dan komunisme. Persaingan ini semakin memblokir
kerjasama dan solidaritas kepada yang miskin. Negara-negara Barat semakin membabi buta
dalam eksplorasi kemajuan. Sementara negara-negara miskin semakin terpuruk oleh
kemiskinannya. Konsumerisme dan “dosa struktural” makin mendominasi hidup manusia.
Tema-Tema Pokok :
Ensiklik ini mengajukan makna baru tentang pengertian “the structures of sin”; pemandangan
secara teliti sumbangsih Ensiklik yang diperingati, Populorum Progressio; digambarkan pula
panorama zaman ini dengan segala kemajuannya; tinjauan teologis masalah-masalah modern;
Konteks Zaman :
Perang berkecamuk seputar ideologi pada zaman ini; Soviet menginvasi Afganistan dan setahun
kemudian menarik diri dari Afganistan; dan berbagai ketegangan yang dimunculkan oleh
persaingan ideologis yang hebat.

13. CENTESIMUS ANNUS (TAHUN KE SERATUS)


Ensiklik Yohanes Paulus II Tahun : 1991-
Menandai ulang tahun Rerum Novarum yang ke-100. Dokumen ini memiliki jalan pikiran yang
kurang lebih sama, paradigma yang ditampilkan dalam Rerum Novarum untuk menyimak dunia
saat ini. Perkembangan baru berupa jatuhnya komunisme dan sosialisme marxisme di wilayah
Timur (Eropa Timur) menandai suatu periode baru yang harus disimak secara lebih teliti.
Jatuhnya sosialisme marxisme tidak berarti kapitalisme dan liberalisme menemukan
pembenarannya. Kesalahan fundamental dari sosialisme ialah tiadanya dasar yang lebih
manusiawi atas perkembangan. Martabat dan tanggung jawab pribadi manusia seakan-akan
disepelekan. Di lain pihak, kapitalisme bukanlah pilihan yang tepat pula. Perkembangan yang
mengedepankan eksplorasi kebebasan akan memicu ketidakadilan yang sangat besar.
Centesimus Annus mengurus pula soal-soal lingkungan hidup yang menjadi permasalahan
menyolok pada zaman ini.
Tema-Tema Pokok :
Skema jalan pikiran Ensiklik ini serupa dengan dokumen-dokumen sebelumnya: pertama-tama
dibicarakan dulu mengenai Rerum Novarum yang diperingati; berikutnya dengan menyimak
pola Rerum Novarum, Ensiklik Centesimus Annus membahas “hal-hal baru zaman sekarang”;
diajukan pula catatan “tahun 1989” (adalah tahun jatuhnya tembok Berlin); prinsip harta benda
dunia diperuntukkan bagi semua orang; negara dan kebudayaan; manusia ialah jalan bagi Gereja;
soal lingkungan hidup
Konteks Zaman :
Jatuhnya komunisme di Eropa Timur yang ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin; Nelson
Mandela – sang figur penentang diskriminasi – bebas dari penjara (1990). Memang ada sekian
“hal-hal baru” yang pantas disimak.

Lampiran: (lanjutan Buku Pendidikan Nilai Costantini)


IDENTITAS KONGREGASI MURID-MURID TUHAN

Setiap ordo atau tarekat yang didirikan pasti memiliki suatu identitas yang
membedakannya dengan ordo atau tarekat lain yang telah berdiri. Identitas itulah yang
membuat suatu ordo atau tarekat mudah dikenali dan menjadi keunggulan serta
kekayaan spiritual dari setiap kongregasi.
41
6.1 Jati Diri Para Murid Tuhan
Nama kongregasi ini adalah nama yang diberikan oleh Celso Costantini selaku
pendiri. Ia terinspirasi oleh dua murid yang diajar Yesus saat perjalanan menuju Emaus.
Mereka berjalan bersama Yesus tapi tidak mengenalnya, tapi hati mereka berkobar-
kobar dan baru menyadari hal itu saat memecah-mecahkan roti. Hal serupa terjadi pada
para murid Tuhan sekarang ini. Mereka juga berjalan di antara bangsa-bangsa yang
tidak mengenal Yesus, tetapi hati mereka terbakar oleh api Roh Kudus agar orang
mengenal Kristus, dan setiap hari saat memecahkan roti, mereka mengenal Dia. Celso
Costantini memikirkan murid Tuhan, yaitu mereka yang dengan rendah hati dan setia
bekerja sama dengan Dia. Kemudian Celso Costantini menyarikan panggilan dan jatidiri
mereka sebagai murid dari perikop Injil Luk. 10:1-9; 17-20. Dari perikop itulah Celso
Costantini mengambil ciri seorang murid Tuhan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
6.1.1 Perintis Jalan Tuhan
Yesus mengutus para Murid-Nya untuk mendahului-Nya menuju kota-kota yang
hendak Ia kunjungi. Demikian pula hendaknya para murid Tuhan harus mempersiapkan
jalan bagi Sang Guru di setiap kota yang belum mengenal Yesus. Dalam
mempersiapkan jalan bagi-Nya, bapa pendiri menekankan perlunya mewartakan Kristus
melalui kearifan lokal yang telah ada di masyarakat tersebut, tidak perlu para murid
Tuhan mempertentangkan hal tersebut.

6.1.2 Berdua-Dua
Begitulah hendaknya kalian bila bepergian supaya kalian dapat menyamai murid
Tuhan yang pertama dan supaya kalian dapat saling membantu secara fisik dan secara
rohani. Bila yang satu sakit, temannya dapat membantu. Tuhan bersabda: Saudara yang
ditolong oleh saudaranya seperti kota yang kokoh (Amsal 18:19). Seorang teman dalam
perjalanan adalah seorang penghibur. Seorang teman dalam situasi cobaan seringkali
merupakan perwujudan dari keselamatan. Kalian dapat berdoa bersama, saling
mengakui kesalahan.Demikian juga sebaliknya, kalian harus melakukan perbuatan-
perbuatan belas kasih.

Jika kalian tidak selalu menyatukan diri dengan Allah, perjalanan-perjalanan kalian
sangat mungkin menjadi suatu alasan pemborosan. Berdua-dua.Dengan demikian
Kristus ada di antara kalian. Karena kalau dua orang atau lebih bersatu dalam nama-Ku,
Aku akan hadir di tengah-tengah mereka (Matius 18: 20).

6.1.3 Mitra Kerja Tuhan


Panenan memang berlimpah tetapi pekerja sedikit. Maka, berdoalah supaya yang
empunya panenan mengirimkan lagi pekerja-pekerja yang lain. Para pekerja pergi untuk
bekerja di ladang yang telah disuburkan dengan darah Kristus supaya menghasilkan
panenan penebusan. Dan panenan itu berlimpah. Maka, supaya penebusan itu dilakukan
untuk semua manusia, mari kita berdoa supaya yang empunya panenan mengirimkan
para pekerja baru lainnya. Para pekerja lain itu adalah kalian. Kalian diutus untuk
menyiapkan jalan bagi Tuhan.

6.1.4 Tanpa Uang


Para murid Tuhan telah mengucapakan kaul kemiskinan, maka sudah pantas dan
selayaknya para murid Tuhan tidak terjerat dalam kekayaan duniawi. Para murid Tuhan
42
pun harus bekerja untuk memperoleh makanan seperti halnya Santo Paulus yang juga
bekerja untuk mencukupi kebutuhan pokok hidupnya disamping mewartakan Injil. Para
murid Tuhan harus dapat memakai barang-barang duniawi selama hal tersebut
menunjang karya pewartaan mereka dan sungguh-sungguh diperlukan.

6.1.5 Pewarta Damai


Hal pertama yang harus diwartakan adalah damai. Damai adalah keinginan hati
dari anugerah yang sangat berharga dan nilai dari hidup ini. Bila damai dinilai dari segi
adikodrati, damai adalah nilai tertinggi. Damai antara Allah dan jiwa, damai antara
Allah dan manusia. Kalian hendaknya mengartikan damai dengan makna ganda ini. Di
tengah-tengah masyarakat adalah pewarta damai, para mitra kerja pengusaha damai
dalam keluarga-keluarga. Sebuah makna akan semakin penuh dan semakin tinggi jika
makna itu dimengerti dalam perspektif adikodrati: pencipta damai antara Allah dan
manusia.

6.1.6 Perawat Si Sakit


Yesus Kristus berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang
(Kisah Para Rasul 10:38). Demikianlah para rasul menghayati kebajikan-kebajikan yang
mengagumkan terhadap orang-orang sakit. Yesus Kristus telah memberikan perintah
yang sangat tegas kepada para rasul dan kepada para murid untuk menyembuhkan orang
sakit. Perintah tersebut berlaku juga bagi kalian. Namun perlu mengikuti perintah
Kristus, untuk dua alasan yang sangat jelas dan meyakinkan ini: (1) penghayatan cinta
kasih terhadap sesama dan (2) sampai kepada Tuhan melalui mereka itu.
Di samping itu, meringankan penderitaan dam kesusahan orang lain adalah suatu
perbuatan kasih yang sangat manusiawi. Kristus bersabda bahwa apa yang kalian
lakukan terhadap orang-orang kecil sekalipun yang tidak percaya kepada-Ku, itu kamu
lakukan juga terhadap-Ku. Begitu besar kewajiban cinta kasih yang diangkat Kristus
menjadi ukuran utama untuk menentukan nasib manusia pada akhir zaman.
Ia memang telah bersabda: Dan raja itu akan berkata kepada mereka yang di
sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang telah diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah
Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab, ketika aku lapar,
kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika aku
seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan (Mateus 25: 34-35).

6.1.7 Terdaftar di Surga


Tuhan bersabda: Janganlah kalian bersuka cita karena roh-roh itu takhluk
kepadamu, tetapi bersuka citalah karena nama kalian tercatat di dalam buku kehidupan
(Lukas 10: 20). Di sini Tuhan Yesus menjaga kita terhadap kesombongan rohani. Benar,
itulah bentuk khusus dari kesombongan: seseorang yang menghayati hidup dengan
biasa-biasa saja, berpikir, bekerja, berbuat baik, tetapi roh jahat dapat saja menggodanya
dengan pikiran-pikiran akan kenikmatan. Tidak ada banyak artinya kebajikan-kebajikan
yang paling indah sekalipun jikalau hati manusia tidak bersatu secara intim dengan
Allah. Demikian juga mukjizat-mukjizat tidak banyak berarti jika manusianya tidak
kudus. Kekudusan dapat mendatangkan mukjizat, tetapi mukjizat belum tentu
mendatangkan kekudusan. Oleh karena itu, hendaklah kalian senantiasa mengharapkan
tujuan tertinggi dari panggilan kalian, yaitu pengudusan personal dan penyebaran iman.

6.2 Spiritualitas Para Murid Tuhan


Spiritualitas adalah sesuatu hal yang diyakini dan dihayati dalam hidup dan yang
menjadi pendorong seseorang dalam bertindak dan bersikap di dalam kehidupannya.
43
Spiritualitas ada yang sifatnya pribadi, dimiliki oleh masing-masing individu dan ada
yang dimiliki sekelompok orang secara bersama-sama. Secara singkat spiritualitas para
murid Tuhan adalah spiritualitas kemuridan. Selayaknya seorang murid selalu
mendengarkan dan berjumpa dengan Sang Guru untuk menimba kekuatan dan
kebijaksanaan dalam menjalani kehidupannya. Demikian juga para murid Tuhan yang
selalu mencari dan mendengarkan Sang Guru sejati dalam setiap karya kerasulan
mereka. Kehadiran nyata Yesus Kristus dapat dilihat dari Sakramen Mahakudus dan
dalam diri Bapa Suci. Dua hal inilah yang menjadi sumber kekuatan utama para murid
Tuhan untuk berkarya di dunia ini.

6.2.1 Devosi kepada Sakramen Mahakudus


Seperti para murid Emaus yang menyadari kehadiran Yesus setelah pemecahan
roti. Para murid Tuhan pun hendaknya menyadari kehadiran Kristus yang nyata dalam
Ekaristi. Mereka yang terbakar oleh cinta Kristus yang mereka peroleh dari ekaristi
harus membagikan keselamatan yang telah mereka terima dari Kristus kepada semua
orang yang mereka jumpai, terutama bagi mereka yang belum merasakan kasih Kristus.

6.2.2 Kesetiaan Kepada Tahta Suci


Setelah para murid Emaus menyadari kehadiran Kristus, mereka bergegas
menuju Yerusalem untuk melaporkan kejadian tersebut kepada para rasul. Demikian
juga para murid Tuhan harus menghormati dan setia kepada pengganti Santo Petrus
sebagai pemimpin dan guru bagi Gereja. Paus juga merupakan simbol kehadiran nyata
Kristus yang menyatukan Gereja di setiap penjuru dunia.

6.3 Karisma Para Murid Tuhan


Karisma merupakan karunia istimewa yang dikaruniakan Tuhan kepada setiap
individu supaya diabdikan kepada sesama dan Gereja. Sama halnya dengan ordo atau
tarekat, mereka semua memiliki karisma sebagai perwujudan semangatnya. Karisma ini
merupakan anugerah Allah yang diwariskan oleh sang pendiri.

6.3.1 Misi Melalui Inkulturasi Kebudayaan


Misi ini merupakan sarana pewartaan yang efektif dalam karya misi. Para murid
Tuhan melalui inkulturasi harus dapat membawa dan memperbaharui kebudayaan lokal
dalam terang Injil. Hal ini akan membuat Kristus dapat diterima dengan mudah ke
dalam hidup bangsa tersebut. Celso Costantini menekankan bahwa para Murid Tuhan
tidak boleh mencampuradukkan antara objek formal dan sarana material yang adalah
netral. Contohnya, Celso Costantini memperbolehkan untuk menggunakan hio di altar,
karena pada dasarnya hio bersifat netral. Hal yang perlu diperhatikan adalah
kebudayaan lokal berfungsi dan melayani pikiran-pikiran Kristiani, bukan sebaliknya
pikiran-pikiran Kristiani berfungsi dan melayani kebudayaan lokal.

6.3.2 Pendampingan Kaum Muda


Kerasulan demi kepentingan kaum muda adalah dari sekian banyak tugas suci
imamat dan kegiatan pastoral yang paling banyak membuahkan hasil. Kaum muda
adalah jiwa jiwa yang sederhana dan masih polos. Mereka dapat dibentuk dalam
kebaikan, sebab mereka masih lembut dan membutuhkan tangan seorang pendamping
untuk membantu membentuk dirinya. Celso Costantini mengambil model seorang
kudus yang membaktikan dirinya bagi pembinaan kaum muda, yaitu Santo Yohanes
Bosco. Mendampingi kaum muda harus dengan kasih kebapakan, bukan dengan
kekerasan. Maka dalam konstitusi dikatakan bahwa karya kerasulan utama para murid
44
Tuhan adalah mendirikan sekolah, mengelola sekolah, asrama-asrama, serta pusat-pusat
kegiatan. Cara ini merupakan cara yang paling efektf untuk memperkenalkan Kristus
kepada kaum muda.

6.4 Lambang Kongregasi Murid-murid Tuhan

Kongregasi Murid-murid Tuhan memiliki lambang yang mewakili


spiritulitas dari kongregasi ini.

Arti Lambang CDD


Kongregasi Murid-Murid Tuhan atau disingkat CDD memiliki
sebuah lambang yang mengejawantahkan spiritualitas yang dihayatinya. Lambang ini
memiliki arti sebagai berikut:
1. Lambang CDD berupa sebuah salib yang masing-masing sudut sama besarnya.
Secara umum model salib yang demikian merepresentasikan simbol rahmat Tuhan.
2. Di tengah-tengah terdapat Basilika St. Petrus yang melambangkan kesetiaan para
anggota CDD kepada Tahta Suci di mana pun mereka berada.
3. Di depan basilika terdapat piala dan hosti yang melambangkan devosi khusus
Kongregasi Murid-Murid Tuhan kepada Sakramen Mahakudus yang menjadi
sumber inspirasi dan sumber kekuatan para anggota CDD dalam berkarya.
4. Di antara kaki piala terdapat tiga kuntum bunga teratai dengan bentuk yang bereda-
beda. Bunga teratai adalah bunga yang khas dan tumbuh dengan mudah di China,
tempat di mana CDD didirikan. Pemakaian simbol teratai bagi Kongregasi Murid-
Murid Tuhan menampakkan sisi lokal atau penghormatan kepada Bapa Pendiri dan
kepada tanah misi China. Dengan kuntum teratai dimaksudkan agar para anggota
CDD mampu hidup suci di tengah-tengah dunia seperti kaum teratai yang tetap
indah dan bersih walau tumbuh di dalam lumpur.Yang pertama menampakkan diri
sebagai kuntum yang sedang mekar dengan indahnya melambangkan anggota yang
sedang giat-giatnya bekerja bagi Tuhan. Yang kedua menampakkan diri seagai
kuntum yang masih berupa kuncup melambangkan anggota yang sedang berada
dalam pembinaan atau yang baru akan tumbuh. Dan yang ketiga tampak seagai
kuntum yang mulai layu melambangkan anggota yang telah bekerja untuk
kongregasi dan kini sudah memasuki usia senja. Ketiganya bersatu dalam
kongregasi tanpa ada perbedaan.
5. Selanjutnya, di bagian atas dari salib terdapat tulisan Mandarin ”Zhu” yang berarti
Tuhan. Kemudian, di sebelah kanan terdapat tulisan ”tu” yang berarti murid. Di
seelah kiri terdapat tulisan ”hui” yang berarti lembaga atau kongregasi. Jadi Zhu Tu
Hui adalah nama CDD dalam bahasa Mandarin.

6.5 Motto Kongregasi Murid-murid Tuhan


Celso Costantini dalam IVAD memberikan motto hidup kepada para murid
Tuhan. Motto tersebut berbunyi: “Nil Contra Ecclesiam, Nil Sine Ecclesia, Omnia Pro
Ecclesia”; yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai berikut: “Tidak Ada
Yang Melawan Gereja, Tidak Ada Suatupun Tanpa Gereja, Semuanya Demi Gereja.”
Dari sini dapat dilihat bahwa Celso Costantini mengharapkan agar seluruh karya
kerasulan para murid Tuhan harus berpusat pada Gereja. Bahkan, beliau menegaskan
bahwa jika tujuan kongregasi bertentangan dengan tujuan Gereja maka para murid
Tuhan harus lebih mengutamakan tujuan Gereja.
45
SPIRITUALITAS COSTANTINIAN:
KEPEKAAN AKAN KEHADIRAN ALLAH

7.1 Pengantar
Semua umat beriman percaya akan adanya Allah. Allah menjadi pusat dan
tujuan seluruh kehidupan mereka. Inilah inti seluruh ungkapan iman dan kepercayaan
manusia. Namun kepercayaan ini bukanlah tanpa tantangan dan hambatan. Dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, orang kemudian mulai
mempertanyakan keberadaan Allah. Sungguhkah Allah itu ada? Benarkah ajaran agama
yang mengatakan Allah itu hidup?
Uraian dalam buku ini tidak akan membahas dan menjawab persoalan-persoalan
tersebut secara mendetail dengan pandangan para ahli, khususnya teolog-teolog. Di sini
hanya akan dipaparkan gagasan Allah menurut pemikiran Celso Costantini. Kita akan
melihat bagaimana Celso Costantini memahami Allah dan menghayatiNya.

7.2 Gagasan Allah menurut Celso Costantini


7.2.1 Allah Yang Hidup
Pembicaraan tentang Allah selalu menjadi bahan yang paling menarik bagi
manusia. Manusia memang tidak pernah berhenti mencari Allah. Inilah kerinduan
terbesar dari dalam dirinya. Manusia begitu mendambakan Allah yang diyakini sebagai
pemberi hidupnya. Kerinduan untuk berjumpa dengan Allah ini mengandaikan bahwa
manusia yakin Allah itu ada dan hidup. Manusia percaya bahwa Allah senantiasa
bersamanya dalam mengarungi kehidupan. Allah-lah yang menganugerahkan kehidupan
ini kepadanya. Dari hidup-Nyalah mengalir seluruh kehidupan manusia.
Celso Costantini mengatakan bahwa Allah adalah Yang-Ada dalam diri-Nya
sendiri. Ia adalah Ada Mutlak, Ada Tak Terbatas, dan Ada yang harus ada (Celso
Costantini, Induite Vos Armaturam Dei, hal. 11) Dengan kata lain Allah memikul sifat
yang abadi dan kekal. Ia tidak berawal dan berakhir, juga tidak terbatas pada ruang dan
waktu. Dengan demikian, Allah menjadi penopang segala yang hidup di dunia ini,
termasuk hidup manusia sendiri. Ia menjadi tumpuan dan tujuan untuk setiap kehidupan
semesta raya ini. Dengan kata lain, semesta raya ini berasal dari Allah, hidup oleh Allah,
dan akan kembali kepada Allah. Sebagai Ada yang absolut dan yang harus ada, Allah
tidak membutuhkan manusia dan ciptaan yang lainnya. Ia ada dengan sendiriNya tanpa
suatu peng-ada yang lain. Iman Kristiani membahasakan hal ini dengan sangat indah
dalam Credo-nya,“Ia ada sebelum segala abad.” (Bdk. Credo Nicea-Konstantinopel).
Muncullah pertanyaan, lalu mengapa Allah menciptakan manusia dan alam semesta ini?
Apakah Allah merasa kurang sempurna tanpa manusia? Penciptaan manusia dan
semesta raya seolah-olah menandakan bahwa Allah membutuhkan teman. Allah
sepertinya merasa kurang lengkap tanpa kehadiran manusia yang diciptakannya tersebut.
Telah banyak filosof maupun teolog Kristiani bergumul dengan persoalan itu. Mereka
berusaha dengan berbagai cara dan metode untuk memecahkan masalah-masalah itu.
Jawaban yang umum diberikan adalah Allah menciptakan semesta raya ini melulu
karena Allah mencintai semua itu. Fakta bahwa Allah telah menciptakan semesta
memiliki alasan hanya karena kemurahan dan kebaikan Allah semata. Karena itu,
keberadaan semesta raya tergantung sepenuhnya pada sang pengada, sang penyebab ada
yaitu Allah sendiri (Valentinus Saeng, Kosmologi, sebuah diktat kuliah, Bab III). Allah
tidak merasa kekurangan dalam dirinya sehingga harus menciptakan manusia dan
semesta raya ini. Allah menciptakan semuanya karena kehendak bebas Allah sendiri

46
(Celso Costantini, Loc. Cit.). Semua itu merupakan daya cipta dan kreasi Allah, dan
mengalir dari eksistensi Allah.

7.2.2 Allah Yang Tersamar


7.2.2.1 Dalam Alam Semesta
Dalam bukunya yang berjudul "Induite Vos Armaturam Dei (Kenakanlah
Seluruh Perlengkapan Senjata Allah)" Celso Costantini mengatakan bahwa dunia
jagad raya ini bukanlah Allah, tetapi hanya ciptaanNya, hasil buah kecerdasan dan
kehendakNya yang kekal dan tidak terbatas (Celso Costantini, Loc. Cit.). Mereka
menampakkan betapa Mahabesar dan betapa Mahakuasanya Dia. Seluruh jagat raya ini
berada dalam pelukan dan genggaman tanganNya. Hal ini senada dengan apa yang
dikatakan oleh Rasul Santo Paulus,” ”Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita
ada (Kis 17:28).” Jagad raya ini berada dalam ”pengawasan” Allah. Kata ”pengawasan”
tidak memaksudkan bahwa Allah seperti seorang polisi yang selalu mengawasi gerak-
gerik orang yang dicurigai. Terminologi ini mau mengatakan bahwa Allah adalah
penyelenggara dari semesta raya ini. Tidak ada satupun yang bergerak tanpa diketahui
Allah. Dia yang menyelenggarakan dan menopang seluruh kehidupan ini.
Terminologi ”menopang” mengandung makna bahwa Allah menjadi dasar hidup
semesta alam ini. Dengan kata lain, jika tidak maka alam semesta ini akan mengalami
kematian. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Allah senantiasa hadir dalam
semesta raya ini. Ia ”berada” dibalik semesta ini untuk memberikan dan memelihara
kehidupan semesta raya. Oleh karena itu, ketika kita mengagumi keindahan alam
pegunungan, pantai laut, maupun bunga-bungan mawar yang harum mewangi, akal budi
kita tidak boleh terpaku pada apa yang tercerap oleh indera kita. Pikiran kita hendaknya
diarahkan pada sesuatu yang melampaui apa yang bersifat empriris tersebut. Dengan
kata lain, Celso secara tidak langsung mengajak kita melihat sesuatu yang ada dibalik
indahnya pemandangan alam dan wanginya sekuntum bunga mawar tersebut. Dia ingin
mengatakan kepada kita bahwa tentulah keindahan dan keharuman itu tidak datang
dengan sendirinya. Semua itu pasti mengalir dari Sang Keindahan dan Keharuman
Sejati. Itulah yang kita kenal sebagai Allah. Dia ada di ”balik” bunga mawar sehingga
mawar itu memancarkan aroma keharuman dari kehadiranNya. Ia tersamar dalam
indahnya pemandangan alam, sehingga alam itu menampilkan keindahan dan
kemegahan PribadiNya.

7.2.2.2 Dalam Sakramen Mahakudus


Dalam Kitab Perjanjian Lama, Allah dikenal sebagai sosok yang suci dan tak
terhampiri. Ia adalah Pribadi yang transenden, yang tidak dapat dicerap oleh panca
indera manusia. Namun dalam Perjanjian Baru, Allah yang transenden, suci, kudus, dan
tak terhampiri itu masuk ke dalam sejarah manusia. Ia mengambil rupa manusia, hidup
sebagai manusia, dan menjadi seperti manusia, kecuali dalam hal dosa. Allah hadir
dalam Diri Kristus dan berjalan di tengah umatNya. Allah yang dulunya terasa jauh,
kini dekat dengan umatNya. Demikianlah Kristus hadir dan menampilkan Pribadi Allah
yang tak kelihatan. Ia merepresentasikan sosok Allah yang tak terhampiri itu. Hal itu
seperti yang Ia katakan kepada Rasul Filipus,”Barangsiapa melihat Aku, ia melihat
Bapa (Yoh.14:9).” Atau pada tempat yang lain Ia mengatakan, ”Aku dan Bapa adalah
satu (Yoh.10:30).” Pernyataan-pernyataan Yesus ini, mau menunjukkan bahwa Allah
sungguh hadir dalam diri Yesus. Kita meyakini bahwa dalam Ekaristi Kristus juga hadir
di tengah-tengah kita. Kita percaya bahwa Roti dan Anggur yang dikonsekrasikan oleh
Imam sungguh-sungguh berubah menjadi tubuh dan darah Kristus. Santo Ambrosius
memberikan penjelasan yang begitu indah mengenai misteri perubahan itu. Ia
47
mengatakan bahwa jika sabda Elia mampu menurunkan hujan api dari langit, sabda
Kristus tentu mampu mengubah roti dan anggur ekaristi menjadi Tubuh dan DarahNya
sendiri (St. Ambrosius, De Mysteri, Art. 52). Dengan kata lain, Santo Ambrosius
menegaskan bahwa roti dan Anggur dalam kurban Ekaristi adalah Tubuh dan Darah
Kristus. Jadi, dengan mengikuti dan merayakan Ekaristi setiap hari, kita senantiasa
berjumpa dengan Allah. Allah menghadirkan dan menyatakan diriNya dalam rupa roti
dan anggur yang rapuh, sebagaimana dulu Ia menyatakan DiriNya dalam sosok manusia
Yesus.

7.2.2.3 Dalam Diri Sri Paus


Sri Paus merupakan suksesor dari santo Petrus. Dia mengemban kuasa yang
diberikan oleh Kristus kepada Santo Petrus tatkala Ia berkata,”kepadamu akan
kuberikan kunci Kerajaan Surga (Mat 16:19).” Inilah kekuasaan tertinggi yurdiksi Allah
yang diberikan kepada Santo Petrus. Dan sekarang, kekuasaan itu diteruskan dan
diwariskan oleh Santo Petrus kepada para suksesinya yaitu Paus. Dengan kata lain Sri
Paus adalah wakil Kristus di dunia saat ini. Ia menjadi gembala bagi Gereja dan
sekaligus mempelai Gereja dari Gereja yang suci, sebagaimana Kristus adalah
mempelai Gereja. Dalam dan melalui dirinya, Kristus hadir untuk menggembalakan
domba-dombaNya di dunia. Celso Costantini menggambarkan Sri Paus sebagai Kristus,
Mempelai Gereja. Ia menuliskan dalam bukunya IVAD, ”Para puteraku terkasih, saya
tuliskan pikiran-pikiran ini bagi kalian, di saat-saat Gereja sedang berkabung atas
wafatnya Paus agung Pius XI, sehingga untuk beberapa saat Gereja menjadi janda.”
(Celso Costantini, Op. Cit., hal. 41). Ungkapan ”Gereja menjadi janda” mengandaikan
bahwa Gereja kehilangan mempelainya. Istilah ”janda” memang dikenakan untuk
seorang wanita yang suami atau mempelainya telah meninggal. Karena itu, sebagai
mempelai Gereja Sri Paus adalah representasi dari Kristus, Sang Mempelai Gereja.
Secara lebih jelas dalam bagian lain IVAD, Celso Costantini juga berkata,”Sri Paus,
izinkan saya menyamakannya, adalah sebuah Ekaristi yang lain, karena di dalam dia, di
bawah wakil-Nya yang khusus itu, Kristus hidup dan berkarya dengan kekuasaan
tertinggi:mutlak.” (Ibidem, hal. 180). Oleh sebab itu, dalam Gereja yang kudus, Yesus
Kristus, Allah Putera, senatiasa hadir dan menyertai umatnya sebagaimana yang sudah
Ia janjikan sebelum naik ke Surga. Ia hadir dan berkarya setiap saat dalam Kurban
Ekaristi dan dalam diri Sri Paus.

7.2.3 Allah Yang Tak Dikenal


Ungkapan Allah yang tak dikenal membangkitkan memori kita kepada kisah
Santo Paulus yang berkarya mewartakan injil di Athena (Lih. Kis 17:16-34). Paulus
sepertinya mengalami suatu kegagalan total ketika ia memaparkan inti dari ajaran iman
yang ia bawa yaitu, kebangkitan Kristus dengan badan dan jiwaNya. Para filosof yang
menganut paham dualisme (Paham dualisme adalah paham yang mengatakan bahwa
manusia terdiri dua bagian yaitu badan dan jiwa. Badan dipandang sebagai penjara jiwa,
sehingga orang harus berusaha mematikan badan supaya jiwa dapat dibebaskan dari
belenggu badan), sama sekali tidak menerima kebangkitan badan. Iman yang tanpa
hambatan di Yerusalem itu, kini harus berpapasan dengan filsafat yang notabene
mendewakan rasio manusia. Akan tetapi, usaha Paulus untuk memperkenalkan Kristus
kepada orang-orang di Atena ini menjadi moment penting dalam sejarah kekristenan.
Paulus telah berhasil mempertemukan iman dengan filsafat Yunani. Ia telah menarik
perhatian orang-orang Yunani (para filosof) dengan memakai pola pemikiran mereka
untuk menjelaskan Kristus. Orang-orang Atena dibawa kepada pengenalan akan Kristus
dengan kebijaksanaan dan kebudayaan mereka sendiri. Inilah awal dari suatu inkulturasi
48
dan karya pewartaan. Celso Costantini mengapresiasi metode Paulus tersebut dengan
mengatakan bahwa episode perjumpaan iman dengan filsafat itu berisi tentang suatu
ajaran-ajaran misioner yang sangat tinggi, norma dasar metodologi misioner (Bdk. Celso
Costantini, Op.Cit., hal. 132). Celso Costantini memetik beberapa hal yang sangat
berharga bagi karya misi dari kisah pewartaan Paulus di Atena tersebut. Ia menyebutnya
dengan ”Prinsip Misiologi Paulinum” (Ibidem, hal. 134), yaitu:
a. Jangan mempersulit pendengar, tetapi tariklah perhatian dan simpati mereka.
b. Perlulah melengkapi diri dengan pengetahuan tentang budaya setempat.
c. Berangkatlah dari pengalaman nyata mereka untuk sampai ke hal yang belum
mereka ketahui, dari
kebenaran natural sampai ke kebenaran supranatural.
Celso memberikan contoh yang bagus sekali, ketika Paulus menjelaskan iman
kepada orang-orang Atena ia tidak langsung menyalahkan mereka dengan segala
penyembahan berhala. Paulus berangkat dari kebijaksanaan yang ada dan hidup dalam
masyarakat mereka untuk menghantar mereka kepada Allah yang tidak (belum) mereka
kenal. Demikian juga ketika mewartakan Kristus kepada orang-orang Cina, kita dapat
memakai pemikiran-pemikiran kuno yang telah ada seperti Konfucius yang begitu
dijunjung tinggi di sana. Dengan pemikiran itu kita dapat membawa orang-orang Cina
kepada Kristus. Celso menegaskan bahwa kebijaksanaan itu tidak dapat kita hilangkan
dan kita salahkan, sebab itu berkembang berabad-abad lamanya sebelum Kristus ada.
Mereka (para bijak) tentu tidak mungkin menulis dan mengajar tentang Kristus pada
zaman mereka tersebut. Kita yang sudah mengenal Kristus mengemban tugas untuk
menuntun kebijaksanaan itu kepada kebijaksanaan sejati, yaitu Kristus (Bdk. Ibidem, Op.
Cit., hal. 136). Karena itu, untuk mewartakan iman kepada orang-orang kafir kita juga
perlu memperhatikan kebijaksanaan yang tumbuh dalam masyarakat setempat. Mereka
sebenarnya telah memiliki konsep-konsep mengenai Allah,hanya mereka belum
mengenalNya dengan baik.

7.2.4 Allah Sang Seniman


Seniman mengandaikan adanya karya-karya seni. Seseorang dikatakan sebagai
seniman kalau ia telah membuat suatu karya yang memiliki nilai seninya. misalnya
pelukis, pematung, dsb. Seorang pelukis tentu terkenal karena lukisannya yang begitu
sedap dipandang mata. Demikian juga pematung terkenal karena patung-patungnya
yang memesona mata setiap orang yang memandangnya. Ketika hasil karya mereka
dipuji, otomatis mereka juga akan mendapat pujian, sebab orang yang memuji
lukisannya tentu juga akan memuji pelukisnya. hal ini dikarenakan suatu karya
merupakan daya cipta dan kreasi murni dari seorang seniman. Dengan kata lain, karya
seni adalah ekspresi diri seniman yang tertuang dalam bentuk lukisan, patung-patung,
maupun pernak-pernik lainnya. Karya seni menjadi gambaran dari pribadi seorang
seniman. Dengan demikian, maka ada suatu kesatuan yang tak terpisahkan antara
seniman dan karya seninya.
Celso Costantini mengatakan bahwa semesta raya ini merupakan buah karya dari
kecerdasan dan kehendak budiNya (Celso Costantini, Loc. Cit.). Dengan kata lain,
Celso mau mengatakan bahwa Allah adalah seorang seniman. Ia menciptakan sebuah
mahakarya yang luar biasa, yaitu semesta alam ini. Suatu karya yang tak ada
bandingannya. Karya yang mempesona, memukau, dan membuat mata menjadi terpana.
Semua orang terkagum-kagum menyaksikan indahnya alam semesta ini. Semua yang
menyaksikan karya mahadahsyat ini akan ikut berseru bersama Albert Einstein,”God
does not play dice.” (Diterjemahkan dengan “Tuhan tidak Bermain Dadu.”) Semua
diciptakan bukan dengan perkiraan-perkiraan tetapi dengan skema yang teratur dan
49
harmonis. Karena itu, jika sebuah karya seni melukiskan kepribadian seniman yang
membuatnya, maka semesta raya ini juga melukiskan siapa Allah. Dengan kata lain, kita
dapat menegaskan kembali bahwa Allah memang sungguh-sungguh hadir secara samar
dalam semesta raya ini.

7.3 Kesimpulan
Dalam pandangan Celso Costantini, Allah hadir dimana-mana, terutama dalam
segala karya ciptaanNya. Semesta raya, dalam Ekaristi, dan juga dlaam diri Bapa Suci
menghadirkan sosok Allah yang transenden, yang tak dapat dicerap indera manusia.
Oleh karena itu, Celso menganjurkan agar kita harus senantiasa menghidupkan
kepekaan kita terhadap cara hadirnya Allah. Kita hidup dalam genggaman dan pelukan
Allah. Sebagaimana digambarkan dengan sangat indah oleh Celso bahwa kita hidup
dalam Allah sebagaimana ikan hidup dalam air. Tanpa air, ikan-ikan akan mati,
demikian pula kita tak dapat hidup tanpa Allah. Gambaran lain yang diberikan oleh
Celso yaitu, kita hidup dengan menghirup udara. Udara yang kita hirup itu adalah Allah.
Setiap kita menarik nafas, kita memasukkan Allah ke dalam jiwa kita.
Dari dua gambaran tersebut, Celso ingin mengatakan bahwa adalah pokok hidup kita.
Kita tak dapat hidup tanpa Dia. Jika kita melihat bagaimana gambaran yang diberikan
oleh Celso, maka kita disadarkan bahwa Allah ada di dekat kita. Kita diselubungi Allah.
Dia bagaikan selimut yang menghangatkan hidup kita.

Referensi Materi Pokok


1. Dokumen Konsili Vatikan II
2. Katekismus Gereja Katolik
3. Kitab Suci
4. Kamus Teologi
5. Sejarah Gereja
6. Diutus Menjadi Murid Yesus
7. Pendidikan Niai CelsoCostantini

50

Anda mungkin juga menyukai