&
AJARAN SOSIAL GEREJA
Oleh:
Tim Guru Agama Kelas X
1
Alur Materi Kurikulum Agama SMAK Kolese Santo Yusup disesuaikan Kurikulum
Nasional:
1. Iman dan Agama
2. Kitab Suci dan Aku Percaya (Credo)
3. Gereja dan Sakramen
4. Ajaran Sosial Gereja dan Sepuluh Perintah Allah (Dekalog)
5. Panggilan Hidup
6. Perutusan
KELAS X
Semester 1
Iman dan Agama
1. Menyelami keberadaan Allah.
2. Mengimani Allah dengan beragama dengan tidak melupakan/ meniadakan
budaya setempat.
3. Dengang iman, kita mensyukuri atas keberadaan kita sebagai ciptaan-Nya
yang unik dengan segala kemampuan dan keterbatasannya.
4. Menyadari bahwa walaupun kita unik namun diciptakan segambar atau
secitra dengan Allah.
5. Tanda bahwa kita secitra dengan Allah kita dibekali suara hati dan
kebebasan oleh Allah.
6. Atas bekal suara hati kita diajak bersikap kritis dan dan atas bekal
kebebasan kita diajak untuk bertanggungjawab.
7. Lampiran Sejarah Kongregasi Murid-murid Tuhan.
Semester 2
Kitab Suci dan Aku Percaya (Credo)
1. Iman akan Yesus Kristus bersumber dari Kitab Suci.
2. Ungkapan Iman orang kristiani terangkum dalam Doa Aku Percaya (Credo).
3. Inti pewartaan Kitab Suci adalah Yesus yang mewartakan Kerajaan Allah
(kabar kebahagiaan).
4. Yesus yang mewartakan Kerajaan Allah secara total menjadikan Yesus
sebagai Sahabat Sejati, Tokoh Idola dan Juru Selamat.
5. Setelah di dunia memberi contoh bagaimana manusia harus hidup Yesus
kembali pada kodratnya sebagai Allah dan mengutus Roh Kudus.
6. Dengan demiklian kita percaya bahwa Allah kita adalah Allah Bapa, Allah
Putra (Yesus), dan Allah Roh Kudus. Ketiganya adalah satu (Tritunggal).
7. Lampiran Kongregasi Murid-murid Tuhan di Indonesia.
2
KELAS XI
Semester 3
Gereja dan Sakramen
1. Orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan disebut Gereja.
2. Gereja memiliki sifat-sifat satu, kudus, katolik, dan apostolik.
3. Struktur Gereja terdiri dari Hierarki dan Kaum Awam.
4. Gereja memiliki tugas menguduskan, mewartakan, menjadi saksi,
membangun persekutuan , dan melayani.
5. Sakramen dan sakramentali sebagai bagian dari tugas Gereja yang
menguduskan
6. Lampiran Identitas Kongregasi Murid-murid Tuhan.
Semester 4
Ajaran Sosial Gereja dan Sepuluh Perintah Allah (Dekalog)
1. Gereja berusaha hidup sesuai dengan kehendak Allah dengan
memperhatikan perintah dan menjauhi larangan (sepuluh perintah
Allah/dekalog). Dari perhatian terhadap sepuluh perintah Allah menjadi
nyata bahwa Gereja juga memperhatikan hak asasi manusia.
2. Gereja juga memiliki kepedulian dan keprihatinan terhadap situasi dunia
dengan memperhatikan, menanggapi masalah-masalah pada zamannya,
salah satunya terungkap dalam Ajaran Sosial Gereja.
3. Lampiran Semangat Kongregasi Murid-murid Tuhan.
KELAS XII
Semester 5
Panggilan Hidup
1. Panggilan Hidup
A. Panggilan Hidup Berkeluarga
B. Panggilan Hidup Membiara
C. Panggilan Karya dan Profesi
2. Memperjuangkan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat.
3. Menghargai keberagaman dalam hidup bermasyarakat.
4. Dialog dan Kerjasama antarumat beragama.
5. Peran serta umat Katolik dalam pembangunan Bangsa Indonesia.
6. Lampiran Wejangan-wejangan Celso Costantini.
Semester 6
Perutusan
1. Mengulang materi-materi penting kelas X, XI, dan XII untuk USBN.
2. Ujian Praktik Agama: Perutusan
3. Lampiran Keutamaan-keutamaan menurut Celso Costantini.
Tetap Bersemangat!
3
DAFTAR ISI
Pengantar Dekalog ........................................................ 1
Firman I .........................................................................
Firman II ........................................................................
Firman IV .......................................................................
Firman V .........................................................................
Firman VI ........................................................................
Firman IX ........................................................................
Firman X ..........................................................................
Lampiran ..........................................................................
4
DEKALOG
(SEPULUH PERINTAH ALLAH)
PENGANTAR DEKALOG
Karakteristik dasar Dekalog
Pengalaman pembebasan menjadi dasar untuk umat Israel membebaskan orang-
orang yang hidup dalam penindasan, lebih tepatnya Yahwe, sang Pembebas
melarang umatNya untuk melakukan penindasan dalam bentuk apapun kepada
orang lain, terutama orang asing.
Dekalog secara jelas mengatur hubungan antara Allah dan manusia, mencakup
hak dan kewajiban manusia. Allah menuntut hak untuk disembah dengan
segenap hati dan budi, menuntut cinta yang utuh, tidak terbagi.
semua perintah dirumuskan secara negatif, kecuali perintah yang berhubungan
dengan Sabat dan hormat pada orang tua.
Kalau rumusan negatif diubah menjadi rumusan positif, memungkinkan
perluasan makna. Contoh larangan membunuh dapat diubah
dengan menggunakan rumusan positif “Hormatilah kehidupan”.
Keberadaan dua versi dekalog yang berbeda, yakni Kel. 20: 1-17 dan Ul. 5: 6-21.
menujukkan bahwa dekalog merupakan outcome dari sejarah literer yang
panjang.
Di dalam berbagai teks, baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian
Baru, 3 perintah yang singkat selalu ditemukan “ Jangan membunuh, jangan
berzina dan jangan mencuri” ketiga perintah ini sama dengan hukum apodiktik
yang umum dalam masyarakat Timur Tengah.
Perintah yang berkaitan dengan Institusi Sabat, ada perbedaan significant antara
motivasi Sabat dalam Kel. 20 dan Ul. 5. dalam Kel. 20 motivasi Sabat dikaitkan
dengan kisah penciptaan, meniru pola, ritme kerja Allah dalam proses
penciptaan. Sementara dalam Ulangan 5, motivasi Sabat dikaitkan dengan kisah
pembebasan umat Israel dari perbudakan Mesir. Pengalaman pembebasan yang
dialami menjadi alasan etis untuk membebaskan orang-orang yang bekerja
dalam ketergantungan. Kebebasan versus perbudakan. Sabat adalah hari
pembebasan bagi orang-orang yang bekerja dalam ketergantungan dan sekaligus
juga menjadi perayaan pembebasan bagi orang-orang bebas-merdeka. Dalam
konteks ini, dekalog dapat dikategorikan sebagai hukum kebebasan.
Kalau kita menganalisis isi setiap perintah dalam dekalog, kita dapat menemukan nilai-
nilai dasar yang mau diperjuangkan dan dilindungi, yakni:
Monotheisme yang menuntut kesetiaan dan komitment untuk mencintai Allah
dengan hati yang tidak terbagi.
Prinsip keadilan dalam arti memberikan kepada setiap individu atau pihak apa
yang menjadi haknya, termasuk hak Allah untuk dipuji dan dihormati, disembah.
Perlindungan terhadap orang-orang lemah dan tidak berdaya dalam keluarga dan
masyarakat.
Perlindungan dan penghormatan terhadap sakralitas hidup, menerima dan
melindungi kehidupan sejak awal keberadaannya.
Perlindungan terhadap kesetiaan dan keutuhan keluarga dan kemurnian
keturunan
5
Prinsip keadilan: melindungi hak milik orang lain
Prinsip kebenaran: melindungi orang terhadap kesaksian palsu (saksi dusta)
tentang sesamanya, tuntutan untuk mengatakan kebenaran. Hal ini menyangkut
kehidupan sesama, terutama dalam kasus pengadilan.
Menjaga kemurnian hati dan budi, menjaga orang agar tidak jatuh kedalam
ketamakan dan keserakahan. (mengendalikan libido possendi)
6
FIRMAN I
JANGAN ADA PADAMU ALLAH LAIN DI HADAPANKU
2.1 Maksud awal
Larangan ini harus dipahami dalam konteks pernyataan Allah: “Akulah Tuhan,
Allahmu yang telah membawa engkau keluar dari Mesir, dari tempat perbudakan”.
Dari pernyataan tersebut menjadi jelas bahwa Allah yang benar dan otentik adalah
Allah Pembebas, yang menuntut dari umatNya pengabdian khusus, ketaatan tanpa
syarat. Allah Pembebas meminta satu relasi eksklusif dari umatNYa. Allah yang telah
membawa mereka dari negeri perbudakan mengklaim sebagai satu-satunya Allah,
sehingga Israel tidak diperkenankan memberi tempat pada Allah lain. Dalam konteks
inilah pemazmur melukiskan ketakberdayaan berhala-berhala buatan tangan manusia.
“Berhala mereka adalah perak dan emas, buatan tangan manusia, mempunyai mulut
tetapi tidak dapat berkata-kata, mempunyai mata tetapi tidak dapat melihat,
mempunyai telinga tetapi tidak dapat mendengar ….” (Mzm 15,2-8).
Dari mazmur ini dapat dilihat bahwa tidak ada gunanya menaruh harapan
kepada barang-barang duniawi, berhala. Ini hanyalah ilusi. Percayalah hanya kepada
Allah yang memang sudah jelas kekuasaanNya, yang telah mereka alami dalam
peristiwa pembebasan dari negeri Mesir. Perintah ini melarang bangsa Israel untuk
menyembah dewa-dewa lain, illah-illah lain, karena di negara-negara sekitar Israel
memang ada kultus penyembahan dewa-dewa.
Perintah jangan ada padamu allah-allah lain mendasarkan klaimnya karena Israel telah
menjadi milik Yahwe , maka Ia meminta satu sikap radikal, penyembahan tunggal
dengan hati yang tidak terbagi.
7
2.3 Dosa-dosa yang melanggar firman I:
1. Penyembahan berhala: mengallahkan apa yang sesungguhnya bukan Allah: uang,
kekuasaan, ideologi, ras, kebebasan, seks.
2. Ramalan dan magi: persoalan masa depan manusia tidak bisa ditentukan oleh
manusia sendiri, namun tergantung dari penyelenggaraan Ilahi. Melalui
kekuatan-kekuatan magis, manusia meminta perlindungan atau malahan
mencelakakan orang lain, yakni melalui teluh seperti banyak terjadi di jawa
barat. Di samping itu, penggunaan jimat dan susuk merupakan pelanggaran
terhadap firman I dekalog. Meminta kekayaan melalui penyembahan dewa,
ngiprit merukan pelanggaran terhadap firman I juga.
3. Mencobai Allah dengan perkataan dan perbuatan, memaksa Allah untuk
membuat mujizat. Sacrilegi: menghina,menajiskan, tidak menghormati
sakramen-sakramen, terutama ekaristi. Simoni: jual beli barang rohani, karunia
Allah, merendahkan martabat berkat/anugerah Allah. “Kamu telah menerima
dengan cuma-cuma, karena itu, berikanlah pula dengan cuma-cuma”.
4. Atheisme:
Humanisme atheistik: manusia menjadikan dirinya sebagai tujuan, manusia
mengandalkan hidup dan usahanya mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan
hidup melulu pada kekuatan dan prestasinya sendiri. Otonomi manusia yang
diabsolutkan, akibatanya manusia menyangkal setiap ketergantungannya pada
Allah, bahkan manusia memanggap Allah sebagai rival dalam mencapai
kebebasannya.
Atheisme: menolak keberadaan Allah.
1. Sekularisme: pandangan hidup yang bertumpu melulu pada hal-hal duniawi dan
menganggap tidak berguna segala sesuatu yang melampaui dunia yang kelihatan,
mengesampingkan nilai-nilai spiritual/rohani, hanya menganggap penting apa
yang material, sehingga manusia menghapus Allah dari kehidupannya.
2. Agnostisisme: seorang agnostik tidak mengambil sikap terhadap keberadaan
Allah karena tidak mungkin membuktikannya.
8
Firman II
JANGAN MENYEBUT NAMA TUHAN DENGAN
SEMBARANGAN
Landasan Kitab Suci: Kel. 20:7 // Ul. 5:11
Apa yang menjadi landasan larangan tersebut? Apa maksudnya menyebut nama
Allah dengan sembarangan? Bagaimana dengan penyebutan nama Allah dalam sumpah
yang dituntut dalam lingkungan profesi tertentu?
Yang menjadi landasan larangan menyebut nama Tuhan dengan sembarangan adalah
karena nama Tuhan itu kudus. Nama menunjukkan identitas diri Allah sendiri. Yahwe
yang berarti “Aku adalah Aku” (Kel. 3:14). Larangan menyebut nama Tuhan dengan
sembarangan dikaitkan dengan identitas Allah yang adalah Kudus dan benar.
„Kekudusan nama Allah menuntut bahwa orang tidak memakainya untuk hal-hal yang
tidak penting“ (Kat. Art. 2155). Dia yang kudus harus dihormati dan diesembah dengan
sikap iman. Larangan ini harus dipahami dalam konteks penyembahan Allah. Di
samping itu, nama Allah itu penuh kuasa. Oleh karenanya, jangan menyalahgunakan
nama Tuhan yang penuh kuasa untuk tujuan yang tidak seharusnya.
Apa maksudnya menyebut nama Tuhan dengan sembarangan? Dalam bahasa
Inggris kata yang digunakan untuk kata ibrani lassaw adalah mischief artinya ditujukan
untuk merugikan dan mencelakakan orang lain. Jangan memakai nama Allah untuk
mengutuk sesama. Dengan demikian, maksud dari larangan ini adalah supaya tidak
menggunakan nama Allah untuk mencelakakan orang lain. Ini berarti
menyalahgunakan kekuasaan dan kekuatan inheren nama Allah demi tujuan jahat,
yakni membahayakan hidup orang lain.
Kata lain yang digunakan adalah in vain dan vanity yang artinya kesia-siaan,
dengan sikap menghina dan merendahkan, tanpa makna, dengan sembrono. Nama
Allah tidak boleh digunakan untuk sesuatu yang sia-sia, tidak sungguh-sungguh.
Penggunaan kata vain ini dapat kita lihat juga dalam Yes.1:13 “Jangan lagi membawa
persembahan yang tidak sungguh-sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagiKU”.
Penggunaan nama Allah dalam mengambil sumpah sejauh itu dilakukan dengan
penuh kesungguhan, dapat dibenarkan. Artinya dalam mengangkat sumpah, orang
menggunakan nama Allah untuk menjamin kesungguhan, keseriusan sumpah tersebut.
Dalam hal ini, orang memanggil Allah sebagai saksi. Berkaitan dengan sumpah, Hukum
Kanonik mengatakan: “Sumpah ialah menyerukan nama Allah selaku saksi kebenaran,
hanya boleh diucapkan dalam kebenaran, kebijaksanaan dan keadilan” (HK. Kan. 1199).
Sumpah dipengadilan menggunakan kata “demi Allah atau dalam nama Allah”,
maksudnya adalah untuk menjamin kebenaran dari perkataan saksi.
Di samping itu, nama Allah boleh digunakan dalam konteks janji yang dibuat dengan
penuh kesungguhan, misalnya janji perkawinan, kaul, baptis. Maksudnya adalah bahwa
janji yang dibuat, diikrarkan sungguh-sungguh mengikat, mau dilaksanakan dengan
setia. Nama Allah dipakai sebagai jaminan kebenaran. Janji dibuat untuk dilaksanakan
bukan untuk diingkari.
Apa yang dilarang dalam konteks firman II adalah bersumpah palsu. Dalam kebiasaan
bangsa Israel kuno dan bangsa-bangsa sekitarnya, orang bersumpah atas nama langit,
bumi, tetapi bukan atas nama Allah. Dalam katekismus dikatakan “Bersumpah atau
mengangkat sumpah berarti memanggil nama Allah sebagai saksi untuk apa yang kita
ucapkan. Itu berarti memanggil kebenaran ilahi supaya ia menjamin kejujuran orang
yang bersumpah. Sumpah mewajibkan atas nama Allah. “Engkau harus takut akan
9
Tuhan, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau beribadah dan demi nama-Nya engkau
haruslah engkau bersumpah”. (Ul. 6:13). (Kat. Art. 2150).
Dalam konteks inilah, perkataan Yesus dapat kita pahami “Kamu telah
mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: jangan bersumpah palsu,
melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan. Tetapi Aku berkata kepadamu:
Jangan sekali-kali bersumpah baik demi langit, karena langit adalah tahta Allah,
maupun demi bumi karena bumi adalah tumpuan kakiNya, ataupun demi Yerusalem,
karena Yerusalem adalah kota Raja Besar,……Jika ya hendaklah kamu katakan ya, jika
tidak, hendaklah kamu katakan tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat”
(Mat. 5: 33-37)..Pada intinya, orang yang bersumpah, entah nama Allah dikatakan atau
tidak, Allah yang hadir di setiap tempat turut menyaksikan apa yang disumpahkan (bdk.
Mzm 139).
Bersumpah palsu artinya orang mengangkat sumpah dengan tidak sungguh-
sungguh, bersumpah untuk kemudian diingkari. Menggunakan nama Allah dalam
sumpah palsu berarti mempertaruhkan kekudusan dan kebenaran nama Allah dengan
sia-sia. Seorang yang bersumpah palsu berarti menjadikan Allah sebagai pembohong
dan penipu. Dalam hal ini Katekismus berkata „menolak sumpah palsu adalah satu
kewajiban terhadap Allah. Sebagai Pencipta dan Tuhan, Allah adalah tolok ukur
kebenaran. Perkataan manusia itu sesuai atau berlawanan dengan Allah, yang adalah
kebenaran itu sendiri. Sejauh sumpah selaras dengan kebenaran dan sah, ia
menggarisbawahi bahwa perkataan manusia berhubungan dengan kebenaran Allah.
Sebaliknya sumpah palsu menempatkan Allah sebagai saksi untuk suatu penipuan”.
(Kat. Art. 2151).
Santo Ignatius dari Loyola berkata: “Jangan bersumpah, baik pada Pencipta
maupun pada ciptaan, kecuali dengan kebenaran, karena keperluan dan dengan hormat”
(Ignasius, Ex. Spir. 38. bdk. Kat. Art. 2164)
Nama Allah juga tidak dibenarkan untuk membenarkan tindakan kejahatan melawan
kemanusiaan. Jangan mengatasnamakan Allah demi kepentingan pribadi.
10
FIRMAN III:
KUDUSKANLAH HARI SABAT
Maksud awal
Teks Kel.20, 8-11 Dalam teks ini motivasi dasar dari sabat adalah meniru pola
kerja Allah, bekerja selama enam hari dan pada hari ketujuh ia beristirahat. Di samping
itu, sabat merupakan antisipasi dari sabat abadi setelah manusia selesai dalam
memenuhi tugas hidupnya, beristirahat di hadirat Allah. Dengan beristirahat pada hari
ketujuh manusia diajak untuk merenungkan seluruh karya dan aktivitasnya dan
menyadarkan manusia bahwa ia tidak cukup hanya mengandalkan usahanya sendiri. -à
praxis –à Refleksi –à praxis baru.
Sabat memiliki makna penting pada saat bangsa Israel hidup di tanah
pembuangan, di mana bangsa Israel bertemu dengan bangsa-bangsa asing dan ada
godaan meniru pola hidup bangsa lain yang tidak mempunyai tradisi sabat. Institusi
sabat ini mau mengingatkan bangsa Israel agar mereka hidup sesuai dengan identitas
mereka sebagai bangsa pilihan Allah yang telah dibebaskan dari perbudakan Mesir.
Dalam Teks ulangan 5,12-15 yang menjadi motivasi awal sabat adalah
pengalaman pembebasan yang telah dialami bangsa Israel dari perbudakan Mesir.
Sebagai mana mereka telah dibebaskan Yahwe, demikian pula mereka harus
membebaskan orang.-orang yang bekerja dalam ketergantungan pada orang lain. Para
hamba laki-laki dan perempuan, bahkan lembu harus menikmati istirahat dan saat
pembebasan. Sabat memiliki dimensi sosial dan moral yakni menjadi saat pembebasan
bagi mereka yang selama enam hari bekerja dalam ketergantungan. (bdk. Katekismus
no. 2170)
Perkembangan makna
Dalam perkembangan selanjutnya, sabat direduksi pada sikap legalistis seperti
dihayati oleh kaum Farisi. Mereka membuat banyak aturan sampai ke hal-hal kecil,
mengatur jalan sampai berapa langkah, tidak boleh memasak, tidak boleh
meyembuhkan orang. Dengan banyaknya peraturan yang harus ditaati, sabat bukannya
sebagai saat pembebasan dan istirahat, tetapi justru menjadi beban yang membelenggu
dan menindas. Berhadapan dengan sikap legalistis kaum farisi, Yesus mengembalikan
sabat pada motivasi awalnya yakni sebagai hari Tuhan, saat pembebasan sehingga
berhadapan dengan orang yang sakit Yesus lebih memperhatikan hidup dan keselamatan
manusia, membebaskan manusia dari perbudakan penyakit yang selama ini
membelenggu mereka. Sabat dibuat untuk manusia bukannya manusia untuk hari sabat.
Anak manusia adalah Tuhan atas hari Sabat. Hari sabat ditujukan untuk memanusiakan
manusia bukan sebaliknya.
Dalam tradisi kristen, sabat digeser ke hari Minggu yang merupakan hari untuk
merayakan hari kebangkitan Yesus, kelahiran baru. Dalam merayakan hari Tuhan,
orang tidak dilarang bekerja dan berbuat baik. Jerome dalam surat 108,20 menceritakan
bahwa hari Tuhan ini dipraktekkan oleh kelompok religius – suster di Betlehem. Pada
hari Tuhan mereka bersama pergi ke gereja di sebelah rumah mereka, setiap kelompok
mengikuti pemimpinnya. Pulang ke rumah lalu menyelesaikan tugas mereka dan
membuat pakaian bagi mereka sendiri maupun bagi keperluan orang lain. Dengan kata
lain, setelah ibadah di hari Tuhan, pekerjaan dalam komunitas berjalan normal. Dalam
katekismus pun dijelaskan bahwa Sabat adalah saat merenung, berefleksi sehingga
manusia dapat memperkembangkan hidupnya. Institusi sabat dibuat untuk membantu
semua orang supaya mendapat istirahat dan mempunyai waktu luang secukupnya untuk
11
menghayati nilai hidup keluarga, budaya, sosial dan keagamaan. ( Kat. no. 2117 bdk.
GS no. 67).
Orang Kristen harus hati-hati agar jangan tanpa alasan berat mewajibkan orang
lain melakukan sesuatu yang dapat menghalangi mereka untuk merayakan hari Tuhan.
Dalam istilah yang lebih konkret kita beristirahat pada hari minggu bukan sebagai
tujuan tetapi sebagai sarana. Memang umat kristiani mempunyai kewajiban moral untuk
merayakan hari Tuhan melalui perayaan ekaristi dan doa-doa lainnya, tetapi hal ini tidak
berarti orang tidak boleh melakukan sesuatu. Bagi mereka yang bekerja untuk melayani
kepentingan publik, perawat di rumah sakit, para dokter, para karyawan lainnya dapat
terus melaksanakan tugas mereka dengan tenang, yang harus diperhatikan adalah bahwa
para majikan harus memberi kesempatan kepada para karyawan untuk menunaikan
tugas kewajiban keagamaannya.
Di samping itu, hari Minggu merupakan hari keluarga, saat yang tepat untuk
mengunjungi sanak saudara, memberi perhatian kepada kaum lanjut usia, orang.-orang
sakit. Walaupun tuntutan dan desakan ekonomi, para majikan hendaknya memberi
kesempatan kepada para karyawan waktu khusus untuk menunaikan kewajiban
agamanya. Ini adalah tuntutan dasar dan termasuk hak asasi yang harus diakui dan
dilindungi.
Firman ketiga ini juga mau menyoroti makna kerja bagi manusia. Dalam kitab
kejadian kerja keras untuk mencari nafkah merupakan kutukan dari Allah karena
manusia jatuh kedalam dosa: “Karena engkau mendengarkan perkataan istrimu dan
memakan dari buah pohon yang telah kuperintahkan kepadamu: jangan makan dari
padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau, dengan bersusah payah engkau akan
mencari rejekimu dari tanah seumur hidupnya” Kej. 3,17. Akan tetapi, dalam
pemahaman teologis kerja memiliki makna sebagai partisipasi dalam karya penciptaan
Allah, untuk mengolah dan mengembangkan dunia. Kerja juga memiliki arti
antropologis yakni mengembangkan dan menyempurnakan manusia, dengan dan
melalui kerja manusia semakin memanusiakan dirinya. Di samping itu, kerja memiliki
arti sosial yakni memberikan kesempatan kepada manusia untuk menjalin relasi dengan
sesamanya. Kerja juga memiliki makna ekonomis yakni memberikan nafkah kepada
manusia.
Pada saat ini, orang menggeser makna hari sabat, hari minggu untuk rekreasi,
lebih dari pada menguduskannya bagi Allah.
Bagi mereka yang sudah pensiun atau bagi mereka yang tidak bekerja,
menganggur, apakah makna sabat bagi mereka?
Untuk konteks jaman sekarang, di mana orang bekerja hanya 5 hari, apakah
makna hari sabat?
12
FIRMAN IV
HORMATILAH AYAHMU DAN IBUMU
1 Maksud awal
Yang menarik dari firman atau perintah ini adalah rumusannya positif. Motif
untuk mentaatinya adalah adanya suatu janji bukannya perasaan takut dihukum.
“Supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Yahwe, Allahmu kepadamu” Kel.20,
Dalam teks keluaran motif dari firman IV adalah supaya hidup berlangsung lama di
tanah yang dijanjikan.
Dalam konteks keluaran, tanah adalah anugerah istimewa dari Yahwe. Bangsa
yang tinggal di tanah perbudakan akan memiliki tanah terjanji,sebagai milik mereka
sebagai bangsa yang bebas merdeka. Dalam teks Ulangan kita melihat adanya suatu
janji : “Supaya lanjut umurmu dan supaya baik keadaanmu di tanah yang diberikan
Yahwe, Allahmu kepadamu”. Teks ini harus dipahamai dalam kontek pembuangan.
Bangsa Israel hidup di pembuangan sehingga tanah mereka hilang, maka pada situasi
pembuangan umur panjang dab keadaan hidup yang baik menjadi anugerah Allah bagi
Israel.
Apakah yang dimaksud dengan menghormati ayah dan ibu?
Dalam Perjanjian lama firman ini menyangkut sikap anak terhadap orang tua,
dalam arti negatif yakni tidak boleh memukul, tidak boleh mengutuk atau
menghina orang tua (bdk. Kel. 21:15,17; Im. 20:9; Ul. 27:16; Ams. 19:26 ;
20:20). Orang yang memukul dan mengina orang tua layak mendapat hukuman.
Dalam arti positif, firman IV ini mengajak sikap hormat kepada orang tua,
generasi tua yang dipandang sebagai pewaris tradisi dan punya pengalaman
banyak, terutama pengalaman religius: Mereka yang tua-tua ini menjadi figur
dan model kebijaksanaan.
Persoalan yang muncul sekarang adalah orang tua, lanjut usia merasa dirinya
tidak dipakai lagi, bahkan dianggap sebagai beban keluarga dan masyarakat,
terutama dalam kultur yang menekankan produktivitas.
Menghormati orang tua pertama-tama adalah tugas dan kewajiban anak dewasa
untuk memperhatikan orang tua yang mulai melemah, tidak berpenghasilan,
maka tanggung jawab dan kewajiban anak dewasa adalah merawat dan
mengurus mereka sehingga tidak sampai terlantar. (Bdk. Sir. 3:12-13:16; Mat.
15:4-6).Anak-anak harus memperhatikan kebutuhan: material, spritual dan
psikologis.
Problem orang tua yang dipantijompokan merasa diri dibuang, dijauhkan,
merasa diri tidak berguna lagi, mengalami kesepian mendalam.
Hormat kepada orang tua juga mencakup sikap hormat dan mau kerja sama
antara generasi tua dan muda; yang muda mau menerima warisan tradisi secara
kritis.
2 Perkembangan makna
Hormat kepada orang tua juga menyangkut ketaatan kepada orang tua dalam
batas-batas tertentu, sesuai dengan perkembangan jaman. Agar tidak terjadi
kesalahpahaman dan konflik maka perlu diciptakan dialog yang baik antara
anak-anak dengan orang tua.
Firman keempat ini diperluas cakupannya pada hubungan antara orang muda
dengan orang tua, antara guru dengan murid, antara majikan dengan para
pekerja, antara pemerintah dan warga negara.
13
Tugas dan tanggungjawab orang tua terhadap anak. Orang tua dalam tindakan
menurunkan keturunan menjadi rekan kerja Allah dalam tata penciptaan. Tugas
dan kewajiban orang tua bukan hanya melahirkan dan memberi makan,
melainkan mendidik anak-anak dalam kehidupan Iman, sosialisasi dan moral.
Keluarga menjadi basis untuk pembentukan kepribadian anak dan tempat
penanaman nilai-nilai. Bagaimanakah orang tua menciptakan suasana penuh
cinta, saling menghormati, persaudaraan, rasa setia kawan, solidaritas, kesetiaan
dalam keluarga sehingga anak dapat bertumbuh dengan baik.
14
Firman V
JANGAN MEMBUNUH
4.1 Maksud awal firman:
Maksud awal perintah ini adalah mau melindungi hidup manusia yang tidak
bersalah, orang israel merdeka. Kata yang gunakan untuk menunjuk pada pembunuhan
adalah ratsah dan hemit. Kata ratsah menunjuk pada pembunuhan secara keji,sengaja,
dengan maksud jahat membuat mati seseorang. Kata ratsah ini ditemukan dalam KS
sebanyak 46 kali, secara khusus dalam teks-teks hukum yang mengatur tempat-tempat
pelarian, tempat perlindungan di mana orang yang telah membunuh secara tidak
sengaja dapat melarikan diri.
Kata ratsah ini tidak termasuk pada kasus pembunuhan waktu perang, dalam
pembelaan diri, pelaksanaan hukuman mati. Jadi pembunuhan yang dilarang adalah
pembunuhan illegal. Kata ratsah memberi kualifikasi khusus pada pembunuhan keji
dengan kekerasan seorang manusia yang tidak dapat melawan serangan: “Siapa yang
memukul dengan barang besi sehingga orang itu mati, maka ia seorang pembunuh;
pastilah pembunuh itu dibunuh…” (Bil. 35,16).
Pembunuhan yang dikaitkan dengan dendam darah. Jadi yang pertama-tama mau
dilindungi adalah orang Israel merdeka. Dalam kisah pembunuhan yang pertama
dimana kakak membunuh adiknya, Allah berkata: “Darah adikmu itu berteriak
kepadaKu dari tanah. Maka sekarang terkutuklah engkau, terbuang jauh dari tanah yang
mengangakan mulutnya untuk menerima darah adikmu itu dari tanganmu” (Kej. 4,10).
Pada kira-kira abad V A.C tradisi Priest meperluas cakupan perlindungan hidup
bagi setiap manusia “Siapa menumpahkan darah manusia, adarahnya akan tertumpah
oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”( Kej. 9,6)
“Siapa yang memukul seseorang sehingga mati,pastilah ia dihukum mati” (Kel. 21,12).
PL membedakan antara hidup orang merdeka dengan hidup seorang budak (Bdk. Kel.
21, 12-13) antara hidup janin dan hidup orang dewasa (bdk Kel. 21,22). Firman jangan
membunuh mau menjamin nilai kehidupan dan melindunginya dari nafsu dendam
pribadi.
15
diberikan Kristus kepada Petrus dan para penggantinya dalam kesatuan dengan para
Uskup Gereja katolik, saya (Yohanes Paulus II) menegaskan bahwa pembunuhan
langsung dan disengaja manusia yang tidak bersalah adalah selalu
merupakan perbuatan immoral”, (EV no. 57). Dari pernyataan tersebut dapat dilihat
bahwa perintah jangan membunuh memiliki dua ketetapan, yakni: yang pertanma
berhubungan dengan tindakan moral yang jelas-jelas immoral dalam dirinya sendiri
per se.
Tindakan immoral adalah pembunuhan langsung dan disengaja. Ketetapan yang
kedua berkaitan dengan dengan obyek perbuatan tersebut: siapa yang
membunuh seorang manusia tak berdosa/tak bersalah adalah salah. Larangan
membunuh yang ada dalam dekalog mengacu pada tindakan kehendak bebas dan sasarn
langsung dari perbuatan membunuh adalah manusia yang tidak bersalah. Dengan
ketetapan ini, firman kelima memiliki nilai absolut tanpa kekecualian.
Pembelaan diri melawan agresor yang tidak adil bukanlah kekecualaian
dari firman jangan membunuh. Sebab, agresor yang tidak adil dalam realita bukanlah
manusia tak bersalah, sebab ia sendiri malah menghina dan menginjak-
nginjak sakralitas dan intagibilitas hidup manusia. Juga hukuman mati mendapat
pembenaran dari konsep dasar tersebut di atas, yakni membela martabat dan hak-hak
dasar manusia yang telah diinjak-injak si penjahat. Membuat mati orang yang
melakukan tindakan kriminal yang merugikan kesejahteraan umum, adalah tindakan
keadilan, mengganjar penjahat sesuai kejahatan yang dilakukan.
Tekanan dari firman kelima hendaknya dipahami dalam arti positif, suatu perintah
untuk mencintai , mengahargai, memelihara dan melindungi hidup manusia dan
intergritas pribadinya. Bagaiamanakah caranya untuk mengusahakan agar hidup
manusia berlangsung terus? Sikap hormat terhadap nilai hidup manusia, pertama-tama
harus menjadikan hidup manusia sebagai tujuan bukannya sebagai alat atau sarana
untuk mencapai tujuan lain.
Firman jangan membunuh mendapat aktualitasnya pada jaman sekarang, di mana
hidup manusia diancam dari berbagai sudut,dari saat permulaan sampai saat akhir
hidupnya, lebih-lebih dalam dunia yang ditandai oleh kultur kematian.Kemajuan ilmu
dan pengetahuan di satu pihak memberi keuntungan bagi hidup manusia, namun di lain
pihak, mengancam martabat hidup manusia itu sendiri: teknologi genetika telah
memungkinkan pembuatan manusia menurut kriteria tertentu, dengan tingkat
kecerdasan tertentu, dengan jenis kelamin tertentu melalui manipulasi genetika.
Kemajuan ilmu dan pengetahuan telah memicu eksperimen terhadap manusia, bayi
tabung, cloning, intervensi atas embrio dan pembuatan embrio semata-mata demi
kepentingan riset dan farmakologi. Manusia sudah direduksi ketaraf objek, jaringan
biologis yang siap digunakan di laboratorium. Dalam konteks inilah, katekismus gereja
katolik memperluas cakupan firman jangan membunuh.
16
Hormat pada integritas fisik, menyangkut tranplantasi organ.
Pembelaan damai: perdamaian dan menghindari perang
17
Dalam GS juga gereja menegaskan kembali moralitas aborsi: “Allah Tuhan
kehidupan telah mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia,
untuk dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak
saat pembuahan harus dilindungi dengan sangat cermat. Pengguran dan pembunuhan
anak merupakan tindakan kejahatan yang durhaka” GS n. 51.
Dalam Ensiklik Evangelium Vitae, Paus Yohanes Paulus II menegaskan kembali
ajaran gereja mengenai aborsi: ”Saya menegaskan bahwa aborsi langsung dan
diinginkan, artinya dilakukan dan diinginkan sebagai tujuan atau sebagai cara
merupakan satu perbuatan immoral berat”. (EV no. 57). Dengan demikian menjadi
jelas, bahwa aborsi langsung apapun alasannya tidak dapat dibenarkan menurut moral.
Disamping itu ada aborsi yang dinamakan aborsi eugenetika, yakni mengaborsi janin
yang cacat karena beranggapan lebih baik mati sebelum lahir dari pada menderita
seumur hidup. Aborsi eugenetika tak dapat dibenarkan, sebab ini adalah aborsi
langsung. Aborsi tidak langsung dapat dijinkan di bawah prinsip doubel effect, yakni
prinsip moral yang berdasar pada 4 kriteria berikut:
Tindakan/perbuatan pada pada dirinya sendiri per se adalah baik atau indiferen.
Maksud agen hanyalah mencapai efek baik, sedangkan efek buruk hanyalah
ditolerir.
Efek buruk bukanlah cara/sarana untuk mencapai efek baik.
Ada proporsionalitas yang adekuat antara efek baik dan efek buruk.
Ada kasus-kasus yang bisa menggunakan prinsip double effect, misalnya kasus seorang
wanita yang sedang mengandung, namun ditemukan kanker ganas di rahim. Satu-
satunya cara untuk menyelamatkan si ibu dari kematian akibat kanker ganas tersebut
hanyalah dengan mengangkat rahimya, dengan konsekuensi kematian janin. Dalam
kasus ini, kematian janin tidak dinginkan tetapi hanya sebagai efek samping. Dalam
kasus konflik antara nilai hidup ibu dan janin, moral katolik mengajarkan harus
diselamatakan kedua hidup tersebut sebisa mungkin, tetapi kalau tidak memungkinkan
harus diselamatkan hidup yang paling bisa diselamatkan.
Dalam kasus kehamilan sebagai akibat kejahatan pemerkosaan, bebrapa teolog
moral katolik mengatakan bahwa tindakan membersihkan sperma agresif dalam vagina
si korban, sah menurut moral, namun pada saat pembuahan sudah terjadi, tidak
dibenarkan untuk menggugurkannya. Maka dalam kasus sulit demikian, yang harus
dilakukan adalah pendekatan pastoral untuk menolong si korban sehingga ia tidak
terlalu stress, down, kehilangan makna hidup, lalu diberi penadmpingan dan dukungan
moral dan spiritual sehingga akhirnya ia dapat menerima dan merawat anak yang
sedang dikandungnya dengan penuh cinta, seraya diberi bantuan finansial kalau ia
memang berkekurangan.
Dalam kasus rape(pemerkosaan) baik si wanita korban kejahatan seksual,
maupun anak yang dikandung sama-sama tidak berdosa sehingga sudah sepatutnya
dilindungi. Solidaritas dan empati dari teman-teman dan keluarga, serta jemaat sangat
diperlukan, untuk melindungi hidup manusia sejak saat pembuahannya.
4.3.4 Eutanasia
Eutanasia berasal dari kata eu artinya baik, enak dan thanatos artinya mati. Jadi
secara etimologis eutanasia berarti kematian yang tidak disertai rasa sakit, kematian
karena rasa belas kasih. Moralitas eutanasia didasarkan pada prinsip bahwa hidup itu
adalah anugerah Allah yang harus diterima dengan rasa syukur.
Eutanasia dikategorikan sebagai kejahatan pembunuhan, maka tidak seorang pun punya
hak untuk melakukan eutasia baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk orang lain yang
dipercayakan pada tanggung jawabnya. Eutanasia merupakan satu penolakan atas
18
rencana cinta Allah atas hidup manusia. Di samping itu, eutanasia bertentangan dengan
keutamaan cinta kepada diri sendiri dan kepada orang lain.
Ada dua macam eutanasia: eutanasia aktif, yakni tindakan aktif membuat mati
seorang pasien yang berada dalam sakarat maut, atau sakit taktersembuhkan, dengan
jalan memberikan obat atau suntikan letal sehingga mengakibatkan kematian secara
prematur. Yang kedua adalah eutanasia pasif, artinya membiarkan si pasien yang berada
dalam keadaan sakarat maut, atau koma dengan tidak memberikan perawatan yang
seharusnya atau malahan menghentikan pengobatan yang memang perlu sehingga
mengakibatkan si pasien mati secara cepat.
Moral katolik mengajarkan bahwa setiap jemaat kristiani hendaknya memberi
perawatan yang perlu kepada pasien sebagai wujud cinta kepada sesama. Akan tetapi
dalam kasus, segenap usaha pengobatan sudah dilakukan tetapi keadaan pasien tetap
tidak berubah, malah semakin memburuk, maka dalam situasi di mana kematian sudah
mendekat dan tidak dapat dielakkan, maka menghentikan pengobatan dapat dijikan
secara moral. Hal ini tidak dapat disamakan dengan tindakan eutanasia tetapi terlebih
sebagai ungkapan penerimaan kondisi manusiawi di mana realita kematian memang
tidak bisa dihindari. Sikap yang tepat dalam kondisi demikian adalah, mendampingi si
pasien sehingga ia sungguh dikuatkan dan didukung, seraya menyiapkan ia agar benar-
benar siap dan iklas untuk beralih ke hidup abadi.
Di samping itu, si pasien diajak untuk menyatuakan penderitaan dia dengan
penderitaan Kristus yang tersalib. Dengan demikian kita dapat membantu dia dalam
menghidupi saaat-saat akhir perjalanan hidupnya dengan penuh iman dan menghantar
dia untuk menyongsong kematiannya yang sudah mendekat.
20
rehabilitasi dan menambah lembaga-lembaga yang mengelola pencegahan
penyalahgunaan narkoba dan penularan HIV/AIDS.
i. Memutuskan mata rantai permintaan atau distribusi narkoba denagn cara memperkuat
pertahanan keluarga dan pembinaan remaja di tingkat lingkungan, wilayah dan paroki.
Apa yang dapat Dilakukan oleh Setiap Orang untuk Membantu Orang Lain yang
Kecanduan Narkoba atau Menderita HIV/AIDS?
a. Jangan menjauhi atau menolak mereka yang kecanduan narkoba atau terinfeksi HIV/AIDS,
karena mereka adalah manusia yang paling kesepian di dunia ini.
b. Memberikan peneguhan bahwa mereka dapat mengatasi persoalannya dengan menjadi
sahabat dan pendamping mereka.
c. Mendengarkan keluhan para pecandu narkoba dan pengidap HIV/AIDS.
21
Sikap Yesus terhadap Kaum Lemah
Sikap dan tindakan Yesus berpihak pada kaum miskin zamanNya.
Ia sering menyerang para penguasa agama dan politik yang memperberat hidup
orang-orang kecil yang tidak berdaya.
Yesus berani berdiri pada pihak yang kurang beruntung, pendosa, orang miskin,
wanita, orang sakit dan tersingkir baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi.
Yesus mengajak orang-orang kecil untuk mengatasi kekurangan dan kemiskinan
mereka dengan kerelaan untuk saling membagi dan memberi.
Terhadap perempuan, Yesus bersikap terbuka, bergaul dengan wanita tanpa takut
kehilangan nama baik. Yesus berbicara terbuka dengan wanita dan dengan cara itu Ia
melawan arus zamanNya. Yesus menerima dan menghormati mereka. Yesus
menghargai kedudukan dan peran wanita dalam kehidupan bersama.
22
FIRMAN VI
JANGAN BERZINA
Sebelum masuk pada maksud awal firman ini, ada baiknya kalau kita mencoba
memahami apa yang dimaksud dengan zina itu sendiri. Dalam PL zinah adalah
hubungan seks yang dilakukan oleh seorang wanita yang sudah bersuami dengan
seorang pria lain yang bukan suaminya, entah dengan pria yang kawin ataupun belum.
Oleh karena itu, perzinahan hanyalah melanggar hak suami, tak pernah melawan hak
wanita. Karena dalam tradisi Yahudi yang mempunyai hak hanyalah pria.
23
Katekismus memperluas cakupan firman jangan berzina yakni menjauhkan diri
dari segala tindakan yang mencemarkan kemurnian hati dan hidup, di mana setiap orang
dipanggil pada kemurnian. Kemurnian merupakan tugas dan panggilan setiap orang
secara pribadi, namun juga membutuhkan lingkungan dan kultur yang mendukung
dimensi dimensi susila dan rohani. Kemurnian adalah intergrasi seksualitas yang
membahagiakan di dalam pribadi dan selanjutnya kesatuan batin manusia dalam
keberadaannya secara jasmani dan rohani. sampai pada nilai kemurnian. Keutamaan
kemurnian menjamin keutuhan pribadi dan kesempurnaan penyerahan diri. Dalam
keutamaan ini ada keutamaan lain yakni pengendalian diri. Dengan akal budinya
manusia dapat mengatur dan mengendalikan nafsu dan dorongan seksualnya.
Keutamaan ini penting untuk menjaga kemurnian hati.
Seksualitas yang merupakan bagian dari manusia merupakan anugerah Allah
yang patut disyukuri. Seksualitas merupakan bagian integral kepribadian manusia,
artinya bahwa seksualitas ini mempengaruhi hidup seseorang, cara dia berprilaku dan
cara ia berada. Seksualitas sebagai suatu energi memang harus diatur dan diarahkan
supaya tidak liar. Dalam tata perkawinan seksualitas menjadi sarana untuk
memperdalam kesatuan antara suami dan istri demi kesejahteraan dan kebahagiaan
bersama. Pada hakikatnya seksualitas dalam konteks perkawian terarah pada prokreasi.
Dengan demikian, aktivitas seksualitas yang mengecualikan aspek prokreatif,
bertentangan dengan makna seksualitas yang sesungguhnya.
Di samping itu, firman ini juga menyangkut moralitas inseminasi artifisial bagi
pasangan-pasangan yang tidak subur. Apakah Inseminasi artifisial dibenarkan secara
moral? Kita harus membedakan antara FIVET homolog dan FIVET heterolog.
Dalam FIVET homolog baik sel telur maupun spermatozoa berasal dari pasangan yang
sama. Oleh karena ada kelainan hormonal maka diantara mereka tidak bisa
melangsunkan pembuahan di dalam rahim si istri. Melalui FIVET ini, Zigot lalu
ditransfer ke rahim si istri.
Dalam FIVET heterolog dilibatkan pihak ketiga, sel telur atau spermatozoa berasal satu
dari pasangan dan satu dari donor, atau malahan kedua-duanya dari donor, dan lebih
parah lagi, anak hasil pembuahan ditransfer bukannya ke istri sendiri, tetapi ditransfer
ke rahim orang lain. Hal ini jelas tidak dapat dibenarkan secara moral.
Keberatan moral dari FIVET ini adalah bahwa anak harus lahir kedunia di dalam dan
melalui perkawianan yang sah sebagai buah cinta suami-istri. Anak merupakan
anugerah Tuhan bukannya sebagai hasil produk laboratorium.
25
FIRMAN VII
JANGAN MENCURI
6.1 Maksud awal
Maksud awal firman jangan mencuri dikaitkan dengan pencurian manusia,
penculikan manusia bebas. Jadi firman ini mau melindungi kemerdekaan orang Israel
yang bebas. Kata yang digunakan untuk menunjuk firman ini adalah kata ganav. Kata
ganav ini menunjuk pada tindakan pencurian manusia atau penculikan dalam bahasa
sekarang. Dalam kitab keluaran 21,16 diakatakan: “Siapa yang menculik seorang
manusia, baik ia telah menjualnya, baik orang itu masih terdapat padanya, ia pasti
dihukum mati”.
Dalam kitab Ulangan dikatakan: “Apabila sekarang kedapatan sedang menculik
orang, salah seorang saudaranya dari antara orang Israel, lalu memperlakukan dia
sebagai budak dan menjual dia, maka haruslah penculik itu mati. Demikianlah harus
kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu!” Ul. 24,7. Dari kedua ayat ini
menjadi jelas, bahwa firman jangan mencuri pertama-tama mau melindungi kebebasan
orang merdeka dan melarang penjualan manusia untuk dijadikan budak. Landasan
dasarnya jelas bahwa orang Israel pun dulu sebagai budak, namun kasih dan kebaikan
Allah telah membebaskan mereka dari status budak menjadi seorang merdeka.
Pengalaman pembebasan ini hendaknya menjadi titik acuan bagi orang Israel untuk
menghormati manusia lain sebagai manusia bebas merdeka.
Di Israel oleh karena keadaan ekonomi yang buruk dan kemiskinan membuat
orang dengan terpaksa menjual tanahnya sebagai gadaian dan bahkan menjual anak atau
dirinya sebagai budak untuk menghapus utang. Akan tetapi, ada aturan bahwa seorang
budak harus dibebaskan pada tahun ketujuh (Tahun sabat) dan pada tahun ke lima puluh
(Tahun Yobel). “Apabila engkau membeli seorang budak Ibrani, maka haruslah ia
bekerja padamu enam tahun lamanya, tetapi pada tahun ke tujuh ia dijinkan
keluar sebagai orang merdeka, dengan tidak membayar tebusan apa-apa” (Kel. 21,2).
Pada tahun kelima puluh tanah-tanah yang terpaksa dijual karena kemiskinan
harus dikembalikan pada miliknya karena tanah ini merupakan anugerah Allah bagi
bangsa Israel, tanah janganlah dijual mutlak karena Tuhanlah pemilik tanah, sedangkan
orang-orang israela adalah orang asing dan pendatang bagi Allah, (Imamat 23,23) juga
harus dibebaskan kaum budak :”Apabila saudaramu jatuh miskin di antaramu, sehingga
menyerahkan diri kepadamu, maka janganlah memperbudak dia. Sebagai orang upahan
dan sebagai pendatang ia harus tinggal di antaramu; sampai kepada tahun Yobel ia
harus bekerja padamu. Kemudian ia harus diijinkan keluar dari padamu,ia bersama
anak-anaknya , lalu pulang kembali kepada kaumnya da ia boleh pulang ke tanah milik
nenek moyangnya”(Im. 25,39-41). Motif dasar dari pembebasan ini adalah tindakan
pembebasan Allah yang dilakukan atas Israel. Hal ini menjadi tuntutan etis dan moral
bagi Israel.
26
gadaian itu kepadanya sebelum matahari terbenam, supaya ia dapat tidur dengan
memakai kainnya sendiri dan memberkati engkau. Maka engkau akan menjadi benar di
hadapan Tuhan Allahmu”(Ul. 24, 12-13).
Para nabi terutama Amos mengkritik para penguasa dan kaya serta para
penikmat karena mereka telah bersikap masa bodoh terhadap nasib orang miskin,
bahkan mereka berbuat curang terhadap orang miskin. Nabi Mika mengkritik para
spekulan dan pencatut tanah: “Yang menginginkan ladang-ladang, mereka
merampasanya, dan rumah-rumah, mereka menyerobotnya; yang menindas orang
dengan rumahnya, manusia dengan milik pusakanya”.(Mika 2,2). Pencurian dari atas ini
dapat dilihat dalam peristiwa penyerobotan Raja Ahab yang menginginkan tanah milik
Nabot seorang miskin. Ahab bersama permaisurinya Izabel berdaya upaya untuk
merebut tanah milik Nabot dengan fitnah sehingga Nabot dihukum mati. Lalu Elia
menubuatkan hukuman berat atas raja Ahas dan keturunannya karena kejahatannya itu.
Firman jangan mencuri diperluas maknanya sampai pada makna sosial dari milik.
Kekayaan adalah anugerah Allah yang diberikan kepada semua manusia dan ditujukan
kepada seluruh manusia. Maka bertentangan dengan firman jangan mencuri tindakan
penumpukan kekayaan oleh segelintir orang sehingga menimbulkan penderitaan dan
kemiskinan bagai sebagian besar orang. Adalah satu tindakan jahat membiarkan orang
lain mati karena keserakahan dan kerakusan seseorang.
Dalam konteks sekarang, firman ketujuh memperoleh aktualisasinya dalam
memperlakukan manusia. Manusia janganlah dijadiakn objek atau direduksi hanya
sebagai alat produksi. Bagaimanapun juga, manusia harus tetap menjadi subjek, dan
tujuan dari segala aktivitasnya. Adalah bertentangan dengan dengan firman ketujuh
yang membuat manusia sebagai objek untuk memperkaya diri, misalnya seorang dokter
atau psikolog yang menggunakan kesempatan dalam proses pengobatan, kaum majikan
yang menggaji karyawan dengan gaji di bawah standar minimum. Tindakan eksploitasi
terhadap para papa miskin dan kaum buruh jelas bertentangan dengan prinsip keadilan
yang sangat erat berhubungan dengan firman ketujuh.
Jurang yang semakin lebar antara kaum kaya dan kaum miskin menuntut adanya
keadilan dalam pemerataan pembagian hasil dan pemberian kesempatan yang sama.
Untuk itu, dibutuhkan juga solidaritas antar manusia, antar golongan, antar negara.
Solidaritas menuntut kesediaan mereka yang punya untuk dengan rela hati mau
membagi kepada mereka yang miskin dan berkekurangan.
Firman ketujuh melindungi pribadi manusia melalui perlindungan pada hak
milik yang merupakan dasar untuk menjamin kebebasan sebagai manusia. Firman
ketujuh juga mengajak kita untuk memperhatikan kaum miskin sehingga merekapun
dapat memenuhi tuntutan minimal untuk hidup sebagai manusia. Prinsip keadilan dan
cinta kasih mendapat wujud konkrit dalam pelayanan kepada kaum miskin, di mana
Kristus sendiri mengidentifikasikan dirinya dalam dan melalui mereka. Hal-hal yang
perlu dipahami dalam terang firman jangan mencuri: tindakan memperlakukan manusia
sebagai budak dalam kasus para pembantu yang dibayar dengan gaji rendah dan jam
kerja non-stop (bentuk-bentuk baru perbudakan); para karyawan pabrik yang dibayar
rendah dalam sistem ekonomi kapitalis (the primacy of capital over labour). “Manusia
yang dibebaskan Allah tidak boleh dijadikan korban kepentingan ekonomi”.
Tuntutan untuk membangun persaudaraan sejati dalam terang iman kepada
Yesus, dengan memperlakukan setiap manusia sebagai saudara, tidak pernah dibenarkan
menjadikan orang lain sebagai obyek, dan kepadanya setiap orang memiliki tanggung
jawab.
27
FIRMAN VIII
JANGAN MENGUCAPKAN SAKSI DUSTA TENTANG
SESAMAMU
1. Maksud awal:
Larangan untuk bersaksi dusta erat kaitannya dengan perkara di pengadilan.
Teks kel. 20,16 saksi dusta yang berasal dari kata hibrani syaker yang artinya dusta –
àada unsur kesengajaan, tahu bahwa itu salah. Sedangkan dalam teks Ulangan 5,20
mengacu pada larangan untuk bersaksi palsu yang berasal dari kata Ibrani syave. Dalam
hal ini orang memberi kesaksian tapi tidak diverifikasi terlebih dahulu, belum
dibuktikan kebenarannya. Tujuan semula dari firman ini adalah melindungi orang dari
tuduhan palsu yang berdampak negatif, merusak nama baik atau bahkan menentukan
hidup matinya seseorang. Hal ini dapat dipahami dalam konteks tradisi Israel kuno di
mana proses pengadilan dilakukan di pintu gerbang kota.
Dalam proses pengadilan tersebut kedudukan 2 orang saksi sangat menentukan
nama baik dan hidup seseorang yang dituduh bersalah. “… maka engkau harus
membawa laki-laki atau perempuan yang telah melakukan perbuatan jahat itu ke luar
pintu gerbang, kemudian laki-laki atau perempuan itu harus dilempari dengan batu
sampai mati. Atas kesaksian dua atau tiga orang saksi haruslah mati dibunuh orang yang
dihukum mati”.
Dalam masyarakat Israel kita bisa melihat bahwa seorang benar dapat terpaksa
harus mati karena kesaksian palsu dari kedua orang saksi palsu. Karena keserakahan,
iri hati dan ambisi pribadi, raja Ahaz membunuh nabot melalui kesaksian palsu. Juga
Susana karena ia tidak memenuhi keinginan nafsu seksual kedua hakim yang bejat,
akhirnya Susana dihukum rajam karena kesaksian palsu kedua hakim jahanan (Daniel
13,1-49).
Secara positif firman jangan bersaksi dusta tentang sesamamu mengajak orang
untuk membela kebenaran demi menyelamatkan orang benar dari tuduhan yang tidak
benar. Memberi kesaksian berarti memberi keterangan dan penegasan atas apa
yang telah terjadi. Seorang saksia adalah orang yang sungguh turut menyaksikan suatu
tindak kejahatan. Maka seorang saksi yang benar dan jujur akan mendukung proses
pengadilan yang adil.
Dengan demikian firman ini mau menjamin keadilan di hadapan pengadilan,
menjamin proses pengadilan yang bersih, jujur dan benar, menegakkan kepastian
hukum sehingga orang tidak main-main dengan kebenaran. Yesus sendiri mengatakan
kalau ya katakan ya, kalau tidak katakan tidak, selebihnya berasal dari si jahat.
Kebenaran dan keadilan dalam pengadilan sering kali dirongrong oleh kebiasaan suap.
Keadilan dan kebenaran bisa dikorbankan karena uang, sehingga orang miskin
yang tidak punya uang sering kali menjadi korban. Hal ini sering dilakukan bahkan
sudah menjadi kebiasaan. Kitab suci melaporkan hal demikian: “Celakalah mereka yang
membenarkan orang fasik karena suap, yang memungkiri hak orang benar” (Yes. 5,22-
23).
Nabi Amos sendiri terkenal sebagai nabi yang berani mengkritik ketidakailan
yang dilakukan oleh para penguasa dan orang kaya: “Dosamu berjumlah besar hai kamu
yang menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap dan
mengesampingkan orang muskin di pintu gerbang” (Amos 5,12). Dalam kitab Ulangan
ditegaskan hal keadialan di pengadilan: “Dalam mengadili janganlah pandang bulu,
sebab pengadilan adalah hak Allah” (Ul. 1,17).
28
2 Perkembangan makna
Firman ini dalam pemahaman selanjutnya tidak hanya terbatas pada perkara
pengadilan yang harus dilakukan secara benar dan adil, tetapi juga menunjuk pada
ajakan untuk hidup dalam kebenaran. Hidup dalam kebenaran adalah konsekuensi dari
iman kepada Allah, yang adalah sumber segala kebenaran, bahkan kebenaran tertinggi.
Sabda dan hukumNya adalah kebenaran. Kristus sendiri menampilkan diriNya sebagai
kebenaran, menampilkan anugerah RohNYa sebagai Roh kebenaran (Yoh 14,17) yang
membimbing pada para murid pada kebenaran.
Kristus sendiri di hadapan Pilatus, Ia sendiri menyatakan bahwa kedatangannya
ke dunia untuk memberi kesaksian tentang kebenaran (Yoh. 18,37). Hal ini mengajak
umat Kristiani untuk berani memberi kesaksian tentang kebenaran. Kristus juga telah
menjadi saksi kebenaran sampai Ia sendiri mati karena kebenaran. Ini adalah tindak
kemartiran. Kemartiran adalah kesaksian tertinggi dalam memberi kesaksian tentang
kebenaran iman. Hal ini diungkapkan dalam pilihan kita untuk memilih nilai yang lebih
tinggi, nilai moral dan kebaikan interior atau kekudusannya sendiri. Kehidupan fisik
adalah relatif dalam hubungannya dengan kehidupan spiritual sehingga dalam situasi
konflik, secara moral orang harus memilih kehidupan spiritual. Kebenaran dan
kesetiaan Allah menjadi dasar atau motivasi bagi manusia untuk bertindak benar dan
adil.
Perintah kedelapan ini juga mau mengajak orang untuk tidak menipu dan
berbohong pada diri sendiri, sesama dan Allah. Kejujuran terhadap diri sendiri
merupakan dasar moralitas. Dalam realitas sehari-hari, ketidakberanian orang untuk
mengatakan kebenaran sering kali dikondisikan oleh faktor-faktor keamanan. Orang
yang vokal dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan biasanya tidak lama dalam
jabatan atau tugas yang dipercayakan kepadanya, ia menderita dikucilkan dan difitnah,
dipecat dll.
Katekismus memperluas cakupan firman kedelapan ini pada hal kebebasan
dalam mengungkapkan dan menyuarakan kebenaran. Sejauh manakah kita harus
mengatakan kebenaran dalam hidup sehari-hari. Apakah benar dan bijaksana
mengatakan semua apa adanya dan di mana saja? Apakah etis menelanjangi kesalahan
orang di depan banyak orang? Tentu saja dalam mengungkapkan kebenaran kita harus
memperhatikan integritas pribadi orang lain dan memperhatikan kepentingan umum.
Untuk itu, dalam mengungkapkan kebenaran orang harus bijaksana.
Berkaitan dengan hak atas informasi, maka hak tersebut harus diarahkan oleh kebenaran,
kebebasan, cinta kasih dan solidaritas. Dalam kaitan dengan persoalan ini, KV II
melalui Inter Mirica (IM) mengatakan:
„ Di dalam masyarakat manusia terdapat hak atas informasi mengenai hal-hal
yang sesuai dengan manusia baik perorangan maupun tergabung dalam masyarakat,
menurut situasi masing-masing. Akan tetapi, pelaksanaan hak ini secara tepat menuntut
agar mengenai isi, komunikasi selalu benar dan utuh, sambil memperhatikan keadilan
dan cinta kasih. Selain itu, mengenai caranya, hendaklah berlangsung dengan jujur dan
memenuhi syarat; maksudnya, hendaknya komunikasi itu mengindahkan sepenuhnya
hukum-hukum moral, hak-hak manusia yang semestinya serta martabat pribadinya, baik
dalam mencari maupun dalam menyebarkan berita; karena bukan semua pengetahuan
menguntungkan, hanya cinta membangun’ (1 Kor 8:1)“ (IM 5)
Penilaian moral atas informasi yang benar hanya keluar dari maksud demi
kebaikan umum, disesuaikan dengan prinsip keadilan, kebenaran, kebebasan dan
solidariatas. Masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang benar dan
utuh, tidak dimanipulasi.
29
Mereka yang bertanggung jawab dalam bidang percetakan dan media massa/informasi
mempunyai kewajiban moril untuk memperhatikan kebenaran dan kasih dalam
memberikan informasi yang proporsional, akurat, tepat dan tidak menyesatkan serta
tidak meresahkan dan mengganggu kesejahteraan umum. Tugas luhur mereka yang
terlibat dalam pelayanan penyebarluasan informasi adalah membentuk opini publik
yang sehat, membentuk suara hati yang benar. „setiap pelanggaran melawan keadilan
dan kebenaran membawa serta kewajiban untuk pemulihan, juga apabila pengampunan
sudah diberikan kepada pencetusnya“ (Kat. 2487).
Yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam menyampaikan kebenaran, orang
harus memperhatikan keadaan dan kesiapan orang yang akan menerimanya. Harus
dilakukan berdasarkan kasih dan bijaksana, misalnya kebenaran yang menyangkut
keadaan pasien.
Berkaitan dengan rahasia jabatan: dokter,militer, hakim: informasi pribadi yang
merugikan orang lain, tidak boleh disebarluaskan tanpa dasar yang memadai. Berkaitan
dengan kode etik dalam pengakuan dosa, pelayan pengakuan dosa tidak boleh dengan
keras membocorkan rahasia pengakuan dosa (Kan. 983).
Firman ini juga melarang orang untuk berdusta, artinya orang mengatakan yang
tidak benar dengan maksud untuk menyesatkan. Dusta berasal dari iblis: “Iblislah
bapamu, …. Ia tidak pernah memihak kebenaran, sebab tidak ada kebenaran padanya.
Kalau ia berdusta, itu sudah wajar karena sudah begitu sifatnya. Ia pendusta dan asal
segala dusta” (Yoh. 8,44). (Bdk. Kat. 2482). “dusta adalah pelanggaran paling langsung
terhadap kebenaran. Berdusta berarti berbicara atau berbuat melawan kebenaran untuk
menyesatkan seseorang yang mempunyai hak untuk mengetahui kebenaran” (Kat. 2483).
Firman ini juga melarang orang untuk memfitnah, yaitu menyampaikan
kesalahan dan pelanggaran seseorang kepada orang lain yang tidak tahu menahu
mengenai hal itu tanpa dasar yang obyektif dan sah; membuat penilaian yang lancang,
tanpa bukti yang memadai.(Bdk. Kat. 2477)
Firman jangan bersaksi dusta tentang sesamamu juga mau membangun tata hidup
bersama atas dasar kebenaran dan saling percaya. “Manusia tidak dapat hidup
bersama dalam suatu masyarakat kalau tidak saling mempercayai, sebagai orang yang
menyatakan kebenaran satu sama lain” (Summa Theologiae II-II, q. 103, a.3).
Di samping itu, firman kedelapan ini juga mengajak orang untuk tidak
berbohong kepada diri sendiri, tidak mentolerir kesalahan diri sendiri. Kita harus
menghindari sikap munafik. Sikap kita yang mendiamkan kejahatan dan ketidakadilan
berarti kita telah melanggar firman ke delapan. Hal ini didukung oleh budaya sungkan
yang dipupuk dalam kultur feodalisme.
Kesimpulan
Firman jangan bersaksi dusta dimaksudkan untuk menjamin kebenaran dan
keadilan dalam proses pengadilan, sehingga hak orang kecil dan lemah tidak
dikorbankan. Di samping itu, firman ini mau menegaskan bahwa tata hidup bersama
dapat diupayakan hanya jika kepercayaan yang menjadi dasar hidup bersama tidak
dirusak. Firman ini juga menegaskan panggilan kita dan setiap orang yang berkehendak
baik untuk hidup dalam kebenaran, menjadi saksi kebenaran, karena kebenaranlah
yang akan memerdekakan kita.(Bdk. Yoh. 8: 32)
FIRMAN IX
30
JANGAN INGIN BERBUAT CABUL
FIRMAN X
31
JANGAN MENGINGINI MILIK SESAMAMU
1 Maksud awal
Dalam rumusan keluaran dikatakan: “Jangan mengingini rumah sesamamu;
jangan mengingini istrinya, atau hambanya laki-laki atau perempuan, atau lembunya
atau keledainya atau apa pun yang dimiliki sesamamu” (Kel. 20,17). Sedangkan dalam
versi Ulangan dikatakan: “Janganlah mengingini istri sesamamu, dan jangan
menghasratkan rumahnya atau ladangnya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya
perempuan atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu” (Ul. 5,21). Dari
kedua versi teks ini dapat kita lihat suatu perbedaan susunan.
Dalam teks keluaran istri diletakan setelah rumah sedangkan dalam teks Ulangan,
sebaliknya istri ditempatkan pertama. Hal ini menunjukkan adanya
pergeseran pemahaman bahwa dalam teks keluaran istri disejajarkan dengan barang
milik, sedangkan dalam teks ulangan istri ditempatkan diatas barang milik, sebagai
pribadi. Dalam perintah kesepuluh ini yang mau ditekankan adalah perlindungan harta
milik dalam hal ini rumah dan tanah pusaka dari tindakan penyerobotan pihak lain.
Dengan kata mengingini tidak semata-mata keinginan biasa tetapi keinginan yang sudah
mengarah pada tindakan mengambil punya orang lain secara tidak adil (bdk. Ul. 7,25).
Yang dilarang adalah mengingini sesuatu yang bukan hak dan miliknya.
Dalam tradisi PL rumah itu merupakan tempat tinggal tetap yang berbeda
nilainya dengan kemah atau gubuk untuk berteduh. Rumah beserta tanahnya
merupakan milik pusaka yang harus dilindungi dari tindakan keserakahan dan
kesewenang-wenangan penguasa. Tanah adalah basis untuk hidup, bahkan yang
dijanjikan Allah. Yang menjadi pemilik mutlak tanaha adalah Yahwe sendiri sebab
umat Israel sendiri memperolehnya dari Allah. Dengan demikian, tanah tidak boleh
dijual mutlak maka ada aturan pada tahun kelima puluh tanah yang digadekan karena
situasi kemiskinan harus dikembalikan.
2 Perkembangan makna
Selanjutnya firman jangan mengingini milik sesama diperluas jangkauannya pada
perlindungan hidup orang miskin dari tindakan sewenang-wenang: penyerobotan. Juga
firman ini menyangkut larangan untuk meminjamkan uang dengan riba, dan hal-hal
yang perlu untuk hidup tidak boleh diambil sebagai gadaian (Ul. 24,6, 12-13, 17-18).
Hal ini banyak disuarakan oleh para nabi yang melihat ketidakadilan dan penindasan
yang dilakukan oleh orang berkuasa (bdk. Amos 4,1-3).
Dalam kitab Yesaya dikatakan: “Celakalah mereka yang menyerobot rumah
demi rumah dan mencekau ladang demi ladang sehingga tak ada lagi tempat bagi orang
lain dan hanya kamu sendiri yang tinggal di dalam negeri”.( Yes. 5,8). Berkaitan dengan
penyerobotan tanah oleh penguasa dapat dilihat dalam contoh pengambilan tanah milik
Nabot secara paksa oleh raja Ahaz.
Firman “jangan mengingini milik sesamamu” memiliki relevansi sangat kuat
kalau kita kaitkan dengan tindakan penyerobotan dan penggusuran yang dilakuan oleh
para penguasa dan orang kaya. Berapa ribu hektar tanah yang digusur secara paksa oleh
penguasa untuk kepentingan proyek-proyek mereka: lapangan golf, pabrik-pabrik, real
estate dll. Berapa juta petani harus meninggalkan secara paksa tanah milik dan
warisannya hanya karena keserakahan dan kerakusan segelintir orang. (Lihat X pos
edisi no. 44/I, 31 Oktober-6 November 1998).
Dalam Katekismus gereja katolik memberikan penjelasan dari perintah X ini
dengan mengacu pada tindakan untuk mengendalikan keinginan yang berawal dalam
hati manusia. Perintah ini melarang keinginan barang orang lain karena dari keinginan
32
itu lahir pencurian, perampokkan dan penipuan. Keinginan yang tak terkontrol dapat
mengarah pada tindak kekerasan bahkan pembunuhan.
Perintah X ini melarang keserakahan dan keinginan tanpa batas akan barang-
barang duniawi, sikap rakus dan nafsu uang. Pada prinsipnya menginginkan itu sendiri
tidaklah jahat, sejauh orang hendak mendapatkannya dengan cara-cara yang benar dan
adil, tetapi menjadi buruk kalau keinginanan akan barang-barang tersebut dipenuhi
dengan melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum moral dan prinsip
keadilan.
Pada hakikatnya keinginan yang mengarah pada keserakahan berawal dari
asumsi bahwa dengan memiliki barang ini aku akan bahagia, akan tetapi yang namanya
manusia keinginannya itu selalu muncul, yang satu terpenuhi sudah menanti keinginan
lain yang harus dipuaskan. Hal ini dapat dilihat dari contoh orang yang sudah
kecanduan narkotik, ia akan selalu ingin mengecap keadaan flay ini dan begitu
kecanduannya, maka akhirnya ia akhirnya menjadi budak narkotik. Kebahagiaan
yang selama ini ia dambakan teryata malah menyiksa dirinya, membuat dirinya semakin
tidak bebas. Epikuros mengatakan: jika kamu menginginkan orang lain bahagia
janganlah menambah apa yang telah ia miliki, tetapi ambillah dari keinginan-
keinginannya. Dengan kata lain, ketamakan tak dapat dipuaskan dengan memenuhi
sesuatu yang diinginkan tetapi dapat disembuhkan dengan menghilangkan keinginan
tersebut.
Bentuk sederhana dari ketamakan adalah ketamakan atas hal-hal material, uang
dan atas hal-hal yang dapat dibeli dengan uang. Kitab suci mengatakan bahwa nafsu
uang adalah akar dari segala kejahatan: “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang.
Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan
menyiksa dirinya dengan berbagai duka”. (1 Tim. 6,10).
Perintah ini juga mengajak orang untuk menjauhkan rasa iri dari hati manusia.
Rasa iri muncul pada saat melihat orang lain memiliki sesuatu lalu dalam hatinya ingin
memiliki barang tersebut, dan untuk memperoleh barang tersebut ia menempuh cara
apapun termasuk yang dilarang hukum. Rasa iri menghantar orang pada tindakan-
tindakan terjahat yang akhirnya membawa pada kematian (lihat Yakobus 4,1-2).
Untuk menjauhkan sikap tamak dan rakus maka kita harus mengembangkan
sikap murah hati sesuai dengan apa yang dikatakan Santo Fransiskus dari Asisi:
“Dengan memberi aku menerima!”. Di samping iti kita harus mengembangkan sikap
hati yang miskin, melepaskan diri dari kelekatan pada materi: “Dimana hartamu berada,
di situ juga hatimu berada” (Mat. 6,21). “Umat kristiani diminta untuk
mengarahkan keinginan hati yang tepat supaya mereka dalam mengejar cinta
kasih yang sempurna jangan dirintangi karena menggunakan hal-hal duniawi dan
melekat pada kekayaan melawan semangat kemiskinan menurut Injil” LG no. 42. Setiap
orang yang telah menerima Kristus dalam dirinya, maka ia harus menyalibkan daging
dengan segala hawa nafsu dan keinginannya (Gal. 5,24); dan membiarkan diri
dibimbing oleh Roh Kudus(Rom. 8,27). Hal ini sangat relevan dalam situasi dunia
sekarang ini dimana kita dihadapkan pada tawaran-tawaran yang menawarkan nikmat
dan firdaus dunia, terutama didukung oleh teknologi periklanan yang canggih.
Kesimpulan
Dalam firman ini yang dilarang bukan hanya mengingini rumah sesama, tetapi juga
semua yang ada didalamnya: anak-anak dan hamba laki-laki dan perempuan, serta
barang lainnya. Dengan adanya firman ini yang mau dikatakan adalah bahwa tata hidup
bersama dirongrong dan diancam bukan hanya oleh tindakan lahiriah, tetapi juga oleh
niat jahat di hati: mengingini dan menghasratkan milik sesama secara tidak benar.
33
HAK ASASI MANUSIA
Makna HAM
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat dalam diri manusia, yang
dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau negara,
melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia.Hak-hak asasi merupakan hak
yang universal. Artinya, hak-hak itu menyangkut semua orang, berlaku dan harus
diberlakukan dimana-mana. Misalnya, hak untuk hidup layak, hak untuk mendapat
pendidikan dan pekerjaan, hak untuk menikah, dst. Menolak sifat universal hak-hak
asasi manusia berarti menyangkal unsur manusiawi yang terdapat dalam setiap
kebudayaan.
34
Yesus mengajak orang-orang kecil untuk mengatasi kekurangan dan kemiskinan
mereka dengan kerelaan untuk saling membagi dan memberi.
Terhadap perempuan, Yesus bersikap terbuka, bergaul dengan wanita tanpa takut
kehilangan nama baik. Yesus berbicara terbuka dengan wanita dan dengan cara itu Ia
melawan arus zamanNya. Yesus menerima dan menghormati mereka. Yesus
menghargai kedudukan dan peran wanita dalam kehidupan bersama.
Setiap ordo atau tarekat yang didirikan pasti memiliki suatu identitas yang
membedakannya dengan ordo atau tarekat lain yang telah berdiri. Identitas itulah yang
membuat suatu ordo atau tarekat mudah dikenali dan menjadi keunggulan serta
kekayaan spiritual dari setiap kongregasi.
41
6.1 Jati Diri Para Murid Tuhan
Nama kongregasi ini adalah nama yang diberikan oleh Celso Costantini selaku
pendiri. Ia terinspirasi oleh dua murid yang diajar Yesus saat perjalanan menuju Emaus.
Mereka berjalan bersama Yesus tapi tidak mengenalnya, tapi hati mereka berkobar-
kobar dan baru menyadari hal itu saat memecah-mecahkan roti. Hal serupa terjadi pada
para murid Tuhan sekarang ini. Mereka juga berjalan di antara bangsa-bangsa yang
tidak mengenal Yesus, tetapi hati mereka terbakar oleh api Roh Kudus agar orang
mengenal Kristus, dan setiap hari saat memecahkan roti, mereka mengenal Dia. Celso
Costantini memikirkan murid Tuhan, yaitu mereka yang dengan rendah hati dan setia
bekerja sama dengan Dia. Kemudian Celso Costantini menyarikan panggilan dan jatidiri
mereka sebagai murid dari perikop Injil Luk. 10:1-9; 17-20. Dari perikop itulah Celso
Costantini mengambil ciri seorang murid Tuhan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
6.1.1 Perintis Jalan Tuhan
Yesus mengutus para Murid-Nya untuk mendahului-Nya menuju kota-kota yang
hendak Ia kunjungi. Demikian pula hendaknya para murid Tuhan harus mempersiapkan
jalan bagi Sang Guru di setiap kota yang belum mengenal Yesus. Dalam
mempersiapkan jalan bagi-Nya, bapa pendiri menekankan perlunya mewartakan Kristus
melalui kearifan lokal yang telah ada di masyarakat tersebut, tidak perlu para murid
Tuhan mempertentangkan hal tersebut.
6.1.2 Berdua-Dua
Begitulah hendaknya kalian bila bepergian supaya kalian dapat menyamai murid
Tuhan yang pertama dan supaya kalian dapat saling membantu secara fisik dan secara
rohani. Bila yang satu sakit, temannya dapat membantu. Tuhan bersabda: Saudara yang
ditolong oleh saudaranya seperti kota yang kokoh (Amsal 18:19). Seorang teman dalam
perjalanan adalah seorang penghibur. Seorang teman dalam situasi cobaan seringkali
merupakan perwujudan dari keselamatan. Kalian dapat berdoa bersama, saling
mengakui kesalahan.Demikian juga sebaliknya, kalian harus melakukan perbuatan-
perbuatan belas kasih.
Jika kalian tidak selalu menyatukan diri dengan Allah, perjalanan-perjalanan kalian
sangat mungkin menjadi suatu alasan pemborosan. Berdua-dua.Dengan demikian
Kristus ada di antara kalian. Karena kalau dua orang atau lebih bersatu dalam nama-Ku,
Aku akan hadir di tengah-tengah mereka (Matius 18: 20).
7.1 Pengantar
Semua umat beriman percaya akan adanya Allah. Allah menjadi pusat dan
tujuan seluruh kehidupan mereka. Inilah inti seluruh ungkapan iman dan kepercayaan
manusia. Namun kepercayaan ini bukanlah tanpa tantangan dan hambatan. Dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, orang kemudian mulai
mempertanyakan keberadaan Allah. Sungguhkah Allah itu ada? Benarkah ajaran agama
yang mengatakan Allah itu hidup?
Uraian dalam buku ini tidak akan membahas dan menjawab persoalan-persoalan
tersebut secara mendetail dengan pandangan para ahli, khususnya teolog-teolog. Di sini
hanya akan dipaparkan gagasan Allah menurut pemikiran Celso Costantini. Kita akan
melihat bagaimana Celso Costantini memahami Allah dan menghayatiNya.
46
(Celso Costantini, Loc. Cit.). Semua itu merupakan daya cipta dan kreasi Allah, dan
mengalir dari eksistensi Allah.
7.3 Kesimpulan
Dalam pandangan Celso Costantini, Allah hadir dimana-mana, terutama dalam
segala karya ciptaanNya. Semesta raya, dalam Ekaristi, dan juga dlaam diri Bapa Suci
menghadirkan sosok Allah yang transenden, yang tak dapat dicerap indera manusia.
Oleh karena itu, Celso menganjurkan agar kita harus senantiasa menghidupkan
kepekaan kita terhadap cara hadirnya Allah. Kita hidup dalam genggaman dan pelukan
Allah. Sebagaimana digambarkan dengan sangat indah oleh Celso bahwa kita hidup
dalam Allah sebagaimana ikan hidup dalam air. Tanpa air, ikan-ikan akan mati,
demikian pula kita tak dapat hidup tanpa Allah. Gambaran lain yang diberikan oleh
Celso yaitu, kita hidup dengan menghirup udara. Udara yang kita hirup itu adalah Allah.
Setiap kita menarik nafas, kita memasukkan Allah ke dalam jiwa kita.
Dari dua gambaran tersebut, Celso ingin mengatakan bahwa adalah pokok hidup kita.
Kita tak dapat hidup tanpa Dia. Jika kita melihat bagaimana gambaran yang diberikan
oleh Celso, maka kita disadarkan bahwa Allah ada di dekat kita. Kita diselubungi Allah.
Dia bagaikan selimut yang menghangatkan hidup kita.
50