Anda di halaman 1dari 5

HAKIKAT SEJATI KEBAHAGIAAN

Oleh Tevin Lory


Kelas XI Ilmu Alam I

Judul Buku : Suara Samudra (Catatan dari Lamalera)


Penulis : Maria Matildis Banda
Penerbit : PT. Kanisius
Cetakan : Pertama
Tebal Buku : 485 Halaman

Menjelajahi samudra luas serasa tidak bermakna sebelum menembus benteng pertahanan diri.
Masuk ke dalam samudra batin seraya membuka diri tanpa sekalipun memprioritaskan masa kelam,
apalagi menanam dendam.
Hakikat kebahagiaan sejati hidup berasal dari diri sendiri. Bagaimana kita membersihkan dan
melampangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lapang, lebih dalam
dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang
dari luar hati kita. Kabar baik, keberuntungan, senda gurau sekitar, semua itu tidak hakiki. Itu datang
dari luar. Saat semua itu lenyap, dengan cepat pula sirna kabahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kabar
buruk; itu semua juga datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati kita dangkal, maka hati seketika
keruh berkepanjangan. Berbeda halnya jika kita punya mata air sendiri di dalam hati. Mata air dalam
hati itu konkret. Amat terlihat. Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tak terkira. Bahkan, ketika
musuh kita mendapat kesenangan, keberuntungan, kita bisa ikut senang atas kabar baiknya.
Itulah hakikat sejati kebahagiaan. Ketika kita bisa mambuat hati bagai samudra dengan sumber
mata air sebening air mata. Memperolehnya tidak mudah. Kita harus terbiasa dengan kehidupan
bersahaja, sederhana dan apa adanya. Kita harus bekerja keras dan sungguh-sungguh, dan atas pilihan
sendiri memaksa diri kita berbagi.
Maria Matildis Banda, sastrawan lokal yang berhasil menyadarkan pembaca bahwa perjuangan
menggenggam kebahagiaan tidak sejauh yang dipikirkan. Melainkan di sini. Saat kita berhasil
menaklukan diri sendiri.
Maria Matildis Banda, seorang dosen di Fakultas Ilmu Budaya Undana Denpasar, pernah
menjadi dosen tamu pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero Maumere (2003-2010) dan menjadi
pengurus sekretariat gender dan pemberdayaan perempuan KWI Jakarta.
Adapun Novel-novelnya: Pada Taman Bahagia, Liontin Sakura Patah, Bugenvil di Tengah
Karang, Rabies, Surat-surat dari Dili, Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga, Serta Doben.
Bermula dari ditolaknya Arakian menjadi pendamping Mariana, membuat seluruh keluarga
besar Lamalera membenci si sosok Mariana itu. Maklumlah perbedaan status sosial membuat cinta
keduanya harus kandas beriringan dengan berhenti berlayarnya peledang(perahu) Martira Pukan.
Sempurna sudah kesepian Arakian disertai dengan perjuangan panjang melupakan Mariana. Keluarga
Arakian berusaha mencarikan seorang yang lain untuknya. Yosefina, seorang wanita asli lamalera
akhirnya dipinang. Malangnya antara Arakian dan Yosefina berasal dari suku yang sama yang menurut
tradisi hal itu melanggar adat. Apa mau dikata keputusan telah bulat.
Yosefina mencintai Arakian. Teramat cinta malah. Sayangnya Arakian masih menaruh hati pada
cinta pertamanya (Mariana). Bayangkan selama 20 tahun hubungan keduanya hanya seputar kesibukan
pribadi. Dimana Arakian sibuk dengan masa lalunya sedang Yosefina selalu merasa tersudutkan atas
sikap bungkam Arakian. Meski telah dikaruniai anak, hubungan keduanya tak seperti keluarga
kebanyakan. Setiap kali diajak berbincang, reaksi Arakian hanya bungkam.
Adapula anak Arakian yang berasal dari rahim Mariana, Lama dan Lyra. Lyra sedari kecil telah
merasa ganjil dengan perlakuan Ayahnya yang sebenarnya bukan Aayah kandungnya. Keduanya tidak
pernah diperlakukan lebih. Hanya saja Mariana selalu menetralkan suasana. Setelah mengatahui bahwa
Ayah kandungnya adalah seorang lamafa(nelayan khusus penikam paus) yang tinggal di wilayah selatan
Lembata, Lyra pun memutuskan bergerak mencari sang Ayah.
Kabar tentang terdamparnya Martiva Pukan membuat Lyra akhirnya menjejaki tanah asal-
usulnya.
Buku ini telah memberikan banyak inspirasi bagi para pembaca, dan juga pembaca dapat
mengetahui hal-hal seputar Lamalera seperti kebudayaan, kehidupan para nelayan dan masih banyak
lagi. Pengarang juga telah menampilkan alur cerita yang membuat pembaca penasaran. Dan yang lebih
penting adalah buku ini telah mengajarkan kita tentang hakikat sejati kebahagiaan.
Selain memiliki kelebihan, buku ini juga memiliki kekurangan. Pertama, terdapat banyak
penggunaan kosakata yang bersifat kedaerahan. Sehingga bagi sebagian pembaca mungkin terasa asing.
Dan juga nasib tokoh utama belum jelas.
Buku ini sangat membuka wawasan tentang kehidupan, apalagi bagi mereka yang kurang
menghayati hidup. Percayalah, buku ini mampu membawa Anda menemukan makna hidup lantas
menjawab petanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
DUNIA DENGAN DUA DUNIA
Oleh Mario Dhegho
Kelas XI Ilmu Sosial I

Judul Buku : Kerumunan Terakhir


Penulis : Okky Madasari
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Kedua
Tebal Buku : 357 Halaman

Manusia berhak memilih jalan mana yang dihidupinya, termasuk dunia mana yang
ditekuninya. Teknologi memang pada hakikatnya digunakan untuk membantu dan menolong
manusia. Namun, teknologi pada saat bersamaan menciptakan dunia baru yang
memerangkapkan manusia pada fitur paling dicari dalam teknologi itu sendiri, yakni hiburan.
Manusia terperangkap dalam dunia hiburan teknologi. Bukan karena dunia nyata itu kejam,
melainkan bahwa dunia “hiburan” teknologi mengikutikemauan pribadi, dan jadilah manusia
kita sekarang yang hidup pada dua dunia, bahkan semakin ke arah melupakan realitas sehingga
dunia teknologi-lah yang menjadi realitas itu. Sekiranya Kerumunan Terakhir karya Okky
Madasari menyadarkan kita akan hal itu.
Manusia berhak memilih jalan mana yang dihidupinya. Pertanyaannya, apakah manusia
sadar akan jalan mana yang dipilihnya? Mungkin bila menggunakan bahasa kasar, pada saat
manusia menciptakan teknologi, manusia menciptakan tuhan itu sendiri, tuhan yang dipuja
sepenuh hati. Kerumunan Terakhir menguak hal seperti ini. Kerumunan Terakhir menyadari hal
ini, dan Okky Madasari melihat dan menyadari hal ini.
Okky Madasari ialah penulis wanita(bila gender itu penting untuk Anda) yang dikenal
denga karya-karya yang menyuarakan kritik sosial. Ia konsisten mempertanyakan hal-hal
kekinian, pertarungan manusia dengan diri sendiri dan lingkungannya, yang menjadi kegelisahan
utama generasi zaman ini.
Novel-novel yang pernah ditulisnya ialah Entrok(2010), 86(2011), Maryam(2012),
Pasung Jiwa(2013), dan buku kumpulan cerpennya ialah Yang Bertahan dan Binasa
Perlahan(2017). Oleh karena buah karyanya, Okky Madasari, ibu satu anak ini, telah
mendapatkan penghargaan Khatulistiwa Literary Award dan dalam tiga tahun berturut-turut,
karya-karyanya selalu masuk dalam lima besar penghargaan tersebut. Bahkan karya-karyanya
telah diterjemahkan dalam bahasa inggris dan jerman, dan novel Kerumunan Terakhir(2016)
merupakan salah satu karya terbaiknya.
Sesungguhnya cerita ini tidak akan dimulai tanpa adanya nafsu balas dendam seorang
anak kepada bapaknya. Jayanegara adalah pemuda berumur 20 tahun yang ditinggal oleh
ibunya oleh karena kelakuan ayahnya yang suka main serong. Meskipun ayanhnya adalah
seorang guru besar di universitas ternama dan sering keluar masuk stasiun TV, kelakuan
ayanhnya tetap tidak bisa dimaafkan oleh ibu Jayanegara, sehingga ibu Jayanegara memutuskan
untu pergi meninggalkan Jayanegara beserta ketiga adik perempuannya. Lalu, setelah itu pun
ayahnya kawin lagi.
Jayanegara sudah cukup umur untuk memahami situasi yang terjadi. Ia menjadi benci
kepada ayahnya, meskipun ayahnya tak pernah menyadari itu. Oleh karena kebencian yang
meluap, ia kabur ke Jakarta menuju kos pacarnya yang telah terlebih dahulu meninggalkannya
untuk mencari pekerjaan. Jayanegara meniggalkan bangku kuliahnya dan menetap di dalam kos
pacarnya, Maera. Maera sendiri adalah seprang jurnalis di salah satu koran lokal ternama di
Jakarta, sehingga biaya hidup mereka berdua selalu ditanggung oleh Maera, meskipun
Jayanegara masih kerap meminta uang kepada ayahnya.
Melihat Jayanegara dalam keadaan menganggur, Maera memberikan komputer lengkap
dengan jaringan internet untuk Jayanegara agar Jayanegara dapat mencari pekerjaan secara
online. Bak seorang balita, Jayanegara mulai mempelajari pemakaian internet dan menemukan
bahwa internet bukan lagi merupakan sebuah alat, melainkan dunia. Tanpa diketahui Maera,
Jayanegara membentuk reputasinya dalam dunia maya lewat nama Matajaya, akun yang ia buat
agar bisa hidup dalam dunia maya. Dalam akun itulah Jayanegara membentuk cerita hidupnya
sendiri, dengan berbohong pada masyarakat dunia maya. Ia mengatakan bahwa ia telah
menghajar bapaknya untuk ibunya, menjadi stuntman, dan pergi ke New York untuk menjadi
seorang fotografer. Masyarakat dunia maya pun memujanya untuk itu.
Hidup yang terus dipuja dalam dunia maya membuat Jayanegara enggan pergi dan
tinggal pada dunia nyata. Ia menjadi masyarakat tetap yang setiap harinya berada di depan layar
komputer dan memainkan peran sebagai Matajaya. Dalam dunia maya ia mempunyai tokoh
yang selalu ia puja bernama Akardewa. Sama seperti Matajaya, namun lebih terkenal, menarik
dan berpengalaman. Bersama, mereka menjadi orang-orang yang menghibur dunia maya lewat
ceritanya.
Masalah dimulai ketika Maera masuk ke dalam dunia yang sama. Koran lokal tempat
Maera bekerja bankrut dan memaksa Maera untuk pergi ke dunia yang lebih menghibur, dunia
maya. Maera pun mulai bercerita lewat akunnya, namun kali ini ceritanya jujur. Cerita yang
menggairahkan tentang hubungannya dengan Jayanegara. Cerita-cerita tersebut menarik
perhatian Akardewa, dan Maera pun menjadi dekat dengan Akardewa melalui dunia maya.
Jayanegara yang merasa cemburu mulai menentang hubungan itu secara sembunyi-sembunyi
yang berakhir pada pertengkaran keduanya dan Jayanegara diusir oleh Maera. Jayanegara
semakin memperumit masalah dengan mencemari nama baik ayahnya lewat akun Matajaya.
Ayah Jayanegara meminta polisi untuk menangkap Matajaya, yang adalah anaknya sendiri.
Ayahnya yang baru menyadari hal itu langsung membatalkan penangkapan atas Jayanegara.
Meskipun Jayanegara bebas, akun Matajaya telah dibongkar rahasianya.
Ayahnya membawa Jayanegara pulang. Namun kebencian kaan ayahnya semakin
menjadi-jadi. Jayanegara pun kabur lagi, kali ini ke rumah ibunya, dan dengan menggunakan
ibunya, Jayanegara kembali mempermalukan ayahnya. Kali ini Jayanegara membuat ayahnya
benar-benar hancur. Ibunya dimanfaatkan dengan menulis kembali kisah hidupnya. Ayah
Jayanegara pun mendapat banyak perhatian negatif, dan mulai dibenci oleh khalayak. Dendam
Jayanegara akhirnya tuntas, namun masalah tidak berhenti sampai disitu.
Pada saat yang sama, viral sebuah foto yang menunjukkan hubungan terlarang antara
Maera dan Akardewa, yang membuat nama keduanya tercemar. Jayanegara yang masih cinta
pada Maera menjemput Maera dan membawa Maera pergi dari dunia dan masyarakat yang
menggemari dunia maya. Mereka pun pada akhirnya pergi ke rumah nenek Jayanegara
dipedalaman puncak Suroloyo, untuk mendiami dunia tanpa dua dunia.
Kerumunan Terakhir mengajak kita untuk mencari sejatinya dimana kerumunan itu
berada. Maera pada akhir novel ini, berjalan bak tentu arah mencari di mana dunia tanpa dua
dunia, mencari di man kerumunan terakhir itu yang tak pernah diketahui karena cerita berhenti
sampai di situ.
Novel ini, meskipun merupakan salah satu karya terbaik Okky Madasari, dalam
penceritaannya masih banyak hal yang membingungkan. Pembaca pada awalnya sulit
membedakan mana dunia nyata dan mana dunia maya, karena semua disapu bersih dan rata.
Nasib mengenaskan yang dialami tokoh pun membuat pembaca membaca dengan perasaan
yang monoton. Huruf yang kecil juga membuat novel ini kurang enak dipandang.
Terlepas dari semua itu, Okky Madasari berhasil memberi sentuhan dahsyat pada
ketidaksadaran pembaca akan apa yang sebenarnya terjadi di dunia sekarang ini.
Terakhir Kerumunan Terakhir bisa jadi adalah penyadaran akhir akan dunia yang
mendekati akhir tetap sadar.

Anda mungkin juga menyukai