Anda di halaman 1dari 15

RESENSI BUKU : “Tempat Terbaik Didunia”

Pengarang / penulis : Roanne Van Voorst


Penerbit : Marjin kiri
Tahun Penerbit : Juli 2018
Jumlah Halaman : 192 Halaman

Disusun Oleh :
Nama : TIARA PUTRI MERIDIAN
No. Absen / NIS : 181910324

SMA NEGERI 1 KLARI


Jl. Raya Jl. Kosambi, Klari Telp. (0267) 431593
Website: www.smanoneklari.sch.id /
Email: smanoneklari@gmail.com
Karawang 41371
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena berkat
limpahan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas resensi buku novel
Tempat Terbaik Didunia. Didalam penyusunan resensi novel Tempat
Terbaik Didunia penulis telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan penulis demi penyelesaian tugas ini. Tetapi sebagai manusia
biasa, penulis tak luput dari kesalahan ataupun kekhilafan baik pada segi
teknik penulisan ataupun tata bahasa itu sendiri.
Kami menyadari tanpa suatu arahan dari guru pembimbing serta masukan –
masukan dari berbagai pihak yang telah membantu, Mungkin kami tidak
bisa menyelesaikan tugas ini tepat waktu. Resensi novel Tempat Terbaik
Didunia ini dibuat sedemikian rupa semata-mata hanya untuk
membangkitkan kembali minat baca siswa / siswi serta sebagai motivasi
dalam berkarya khususnya pada karya tulis.
Maka dengan kerendahan hati penulis hanya bisa menyampaikan ucapan
terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian
ini.
Sekian semoga karya tulis ini dapat bermanfaat dan mudah dipahami bagi
penulis khususnya serta para pembaca pada umumnya.

Karawang, 05 Maret 2021


Penulis

TIARA PUTRI MERIDIAN


RANGKUMAN

Jakarta menyimpan banyak cerita. Jakarta tak pernah kehabisan ide cerita. Ia
terus diperbincangkan. Memenuhi ruang pemberitaan di media massa.
Setiap detik, menit, jam, hari selalu muncul cerita-cerita baru.

Tak hanya soal itu. Jakarta hingga sekarang masih menjadi tempat bagi
mereka yang mencari rezeki. Terutama bagi mereka para pendatang yang
ingin merubah nasib. Tidak salah memang. Perputaran uang dan
pembangunan terpusat di Jakarta.

Sebagian masyarakat Jakarta adalah pendatang yang mencari nafkah tetapi


tak melupakan kenangan akan masa lalu mereka, keluarga, dan rumah
mereka di pedesaan. Maka tak heran jika lebaran di jakarta mendadak sepi
karena sebagian masyarakat Jakarta memilih mudik untuk bernostalgia
bersama kenangan.

Tak heran jika bertebaran buku yang terinspirasi dari kehidupan di Kota
Jakarta. Namun tak banyak buku yang menyoroti kehidupan masyarakat
kelas bawah, khususnya kehidupan warga bantaran kali. Padahal mereka
masih bagian dari cerita Jakarta.

Beruntunglah telah terbit buku terbaru dari Marjin Kiri berjudul “Tempat
Terbaik di Dunia: Pengalaman Seorang Antropolog Tinggal di Kawasan
Kumuh Jakarta”. Buku yang berisi pengalaman seorang antropolog Belanda
bernama Roanne Van Voorst yang mencoba hidup di kawasan kumuh,
banjir demi menuntaskan penelitiannya.

Buku ini merupakan kisah nyata yang terjadi di Jakarta dengan nama tokoh
dan tempat yang dikarang. Alasannya demi menjaga privasi dan
keselamatan dua orang tokoh yang diceritakan di buku ini. Sebab profesi
Neneng dan Tikus bekerja sebagai pekerja seks dan preman. Di mana
pekerjaan mereka termasuk dalam pelanggaran di Indonesia.

Tak mudah untuk beradaptasi di lingkungan yang benar-benar baru.


Terutama di lingkungan yang jaraknya ratusan kilometer dari kampung
halamanmu.

Roanne sendiri yang mempunyai penampilan berbeda dari masyarakat


setempat selalu menjadi pusat perhatian. Wajar saja jika Roanne merasa tak
nyaman dengan kondisi seperti ini. Bahkan diawal-awal diceritakan
bagaimana terjadi banyak penolakan oleh warga kepada

Roanne. Pemerintah pun tak dapat membantu banyak untuk menemukan


tempat penelitian yang cocok bagi Roanne. Bagi pemerintah kampung
kumuh merupakan aib yang menyimbolkan ketidak pedulian pemerintah
untuk mengelola warganya.

Hingga seorang anak lelaki bernama Tikus yang ditemui di dalam metro
mini mengajak Roanne untuk berkunjung ke tempatnya. Tak disangka
tempat tersebut sesuai dengan pilihan penelitiannya, berada di bantaran kali,
rawan banjir, kumuh, serta dipadati penduduk oleh miskin. Tikus pun sangat
membantu Roanne agar dapat diterima di lingkungan barunya.

Kemiskinan yang mereka alami nyatanya bukan timbul dari mereka sendiri.
Kita sudah banyak melihat seberapa kerja keras mereka bekerja, waktu kerja
yang panjang hanya diupah dengan gaji yang sangat minim.

Kesempatan masyarakat kelas atas untuk mempertahankan kekayaan jelas


lebih besar. Mereka mampu menyisihkan uangnya untuk perencanaan masa
depan tanpa perlu memikirkan uang untuk makan. Bandingkan dengan
mereka yang harus mikir berulang-ulang untuk menyisihkan sepeser
uangnya, jika ia membeli teh manis saja maka ia tidak bisa menabung.

Namun kemiskinan tidak membuat mereka berputus asa. Mereka terus


berjuang secara kelompok untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Mereka pun mempunyai sistem yang dibangun sendiri. Misalnya untuk
sinyal kedatangan banjir, mereka mengandalkan portofon. Portofon ini

terhubung langsung dengan penjaga pintu air. Mereka yang mempunyai


portofon memiliki status sosial yang lebih tinggi, bahkan disebut guru.

Banjir memang menjadi topik yang tak pernah selesai bagi Jakarta. Setiap
tahunnya beberapa daerah di Jakarta merupakan langganan banjir. Berbagai
kebijakan terus dikeluarkan, namun tak pernah menyelesaikan
permasalahan. Seperti yang dibilang Roanne banjir Jakarta lebih banyak
disebabkan oleh politik.

Budaya gotong royong pernah disebut menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Tapi kita sulit melihat budaya ini di perkotaan, terutama orang kota yang
kaya. Mereka punya kecendrungan individualisme. Dan hanya di kampung
kumuh Bantaran Kali yang masih memegang erat budaya gotong royong.

Sebagai seorang peneliti tentu sangat harus menempatkan diri pada posisi
netral. Agar hasil penelitian tak terkontaminasi. Menarik dalam catatan ini
ada beberapa cerita yang dilakukan dengan metode “observasi partisipatif”
di mana antropolog ikut serta dalam kegiatan sehari-hari yang terjadi di
lingkungan objek yang ditelitinya. Lewat metode ini dipercaya dapat
menghasilkan wawasan yang mendalam dibanding pengetahuan yang
didapat dari hasil wawancara.

Buku ini pun menyinggung sistem birokrasi negara kita yang sangat ribet.
Misalnya ketika Visa penelitian Roanne sangat lama untuk diproses. Jika
urusan ingin cepat diurus maka harus ada uang pelicin. Roanne yang
mempunyai prinsip norma jauh lebih berharga dibanding keinginan saya
untuk mempercepat urusan. Jelas menentang praktek ini.

Dari beberapa pengamatan dan wawancaranya dengan beberapa orang.


Akhirnya Roanne mendapatkan kebenaran bahwa kebanyakan orang
Indonesia ingin mendapatkan imbalan atas layanan yang mereka berikan.
Roanne pun mulai mengerti bahwa kebanyakan orang yang berada dalam
posisi terjepit. Harus diakui bahwa uang dalam budaya kita dalah media
yang berfungsi mempererat hubungan pribadi antara si pemberi dan
penerima

Tak hanya soal penyuapan, dalam buku ini pun menampilkan potret
deskriminasi yang diterima warga kelas bawah. Masyarakat miskin tidak
dapat mengakses kesehatan. Mereka banyak ditolak oleh rumah sakit
karena urusan administrasi: uang. Lagi lagi uang. Padahal rumah sakit
adalah tempat untuk memberikan kesembuhan bukan ketakutan.

Tentunya buku ini hanya menampikan potret kecil dari masyarakat miskin
Indonesia. Namun sedikitnya kita mampu memetik pelajaran berharga, soal
menjalani kehidupan, kreatifitas, saling bantu dan hidup secara
berkelompok. Tentunya sedikit demi sedikit akan menghapus stereotip
negatif akan citra kampung kumuh.
REVIEW

Buku ini mematahkan prasangka negatif dari para pejabat dan kelas
menengah atas Indonesia yang cenderung mencap penghuni kampung
kumuh sebagai kriminal dan pemalas, sekaligus juga praduga positif dari
sebagian aktivis dan peneliti yang kerap memandang persoalan real
kemiskinan secara romantik.

“Van Voorst memiliki keberanian untuk melangkah masuk ke dalam


kehidupan keras orang-orang termiskin di Jakarta. Lewat pandangan
matanya kita mengikuti pergulatan mereka untuk bertahan hidup. Sarat
dengan derita tapi kadang juga meninggalkan tawa.” — Step Vaessen,
koresponden Al Jazeera di Jakarta

“Hanya orang yang mencintai Indonesia bisa menggambarkannya seperti


Roanne van Voorst—modern sekaligus absurd. Tempat Terbaik di
Dunia adalah potret kehidupan sebuah kampung kumuh yang menakjubkan
dan begitu menyentuh.” — Gustaaf Peek, novelis, pengarang Dover
ANALISA

"Mau ikut?" Teriak seorang pemuda ke arah saya, di atas kebisingan deru
mesin bus kota yang saya tumpangi. "Ke tempat terbaik di indonesia. O
tidak, ke tempat terbaik di dunia! Apa saja yang ingin kamu lakukan, bisa di
sana, dan apa saja yang ingin kamu punya, ada di sana."

Roanne Van Voorst, seorang antropolog yang meneliti tentang respons


manusia terhadap banjir, memutuskan mengikuti anak muda itu dan tiba di
salah satu kampung kumuh termiskin di jakarta, dia menetap di sana lebih
dari setahun, di sebuah rumah dari papan asbes. Semakin lama dia mengenal
tetangganya dan keadaan hidup mereka, kemelaratan luar biasa, ancaman
penggusuran karena pemukiman itu ilegal, dan terutama pergulatan mereka
dengan banjir dari sungai yang sangat tercemar. Dalam menghadapi masalah
tersebut, masyarakat ini menemukan cara yang efesien, inovatif dan kreatif
dan penuh humor, Roanne van Voorst memberikan wawasan unik tentang
kehidupan penghuni kampung kumuh yang keras, tetapi pantang menyerah.

Ketertarikan saya membaca buku ini diawali dari penasaran apakah benar
Jakarta mempunyai tempat tempat terbaik di dunia? Padahal teman-teman
saya sendiri beranggapan Jakarta adalah sebuah neraka.

Selain itu saya tertarik ingin melihat sudut pandang seorang bule dalam
melihat kampung kumuh Jakarta. Karena seperti yang kita tahu, hal-hal
negatif akan kampung kumuh begitu kentara: kriminalitas, kemiskinan,
sumber penyakit. Seolah-olah tak ada hal positif yang bisa diambil dari
kampung kumuh.
ULASAN

Mengulas seluruh bacaan yang ada di buku ini menurut saya, jalan cerita
sangat terstruktur dan sistematis, karena setiap jalan cerita memiliki
hubungan dengan jalan cerita yang lain sehingga isi buku mudah dimengerti
oleh pembacanya.

Lewat buku ini yang saya baca terhadap kehidupan mereka sehari - hari
yang di jelaskan "kaum miskin" itu tidak ada. Yang ada hanyalah Individu -
individu yang miskin. Pengalaman dan kelakuan penghuni kampung kumuh
itu begitu bervariasi seperti halnya kepribadian, asal - usul dan latar sosial
ekonominya, impian masa depan, dan warna sendal jepit atau kerudung
mereka.

Beberapa isu besar seperti korupsi, kesehatan, dan akses terhadap jasa
finansial dibahas secara membumi lewat kehidupan sehari-hari penduduk
kampung. Sebagai antropolog, Roanne tidak memberikan nilai baik atau
buruk, pun benar atau salah, tapi hanya menggambarkan dan berusaha
memahami perilaku penduduk kampung sebagaimana adanya. tidak banyak
memberikan angka atau statistik yang mencengangkan, tapi memberikan
wajah dan narasi yang kompleks pada suatu hal yang sering kita abaikan
dan disalah artikan. Sebuah bacaan penting untuk mereka yang masih
menganggap bahwa kemiskinan adalah sepenuhnya salah orang miskin.
PENDAPAT

Buku yang menarik. Sangat dalam mengupas mengenai pola pikir dan
kebiasaan sosial dan ekonomi warga miskin Jakarta, juga sangat nyata.
Seringkali bahasan tentang kemiskinan dibahas dengan terlalu judgemental,
buku ini benar-benar cocok untuk dibaca bagi kalian yang ingin mengetahui
lebih jauh kehidupan Jakarta bahwa di kota tersebut tidak hanya ada soal
kemewahan tapi juga terdapat kehidupan orang sulit/miskin yang berjuang
merubah nasib dengan menekuni pekerjaan apapun, bahkan pekerjaan yang
dilanggar oleh pemerintah dan negara sekalipun. Melalui buku ini, pembaca
bisa melihat apakah keadilan dan kepedulian para petinggi negara sudah
diberikan kepada masyarakatnya atau tidak.

Dan juga membuka mata kita akan sisi lain dari gemerlapnya kehidupan
Jakarta dimana perkampungan kumuh yang sering kebanjiran setiap saatnya
memberikan perspektif baru tentang Jakarta. Salah satu hal yang menarik
dibuku ini ketika Roanne menceritakan pertentangan batinnya mengenai
perlukah dia memberikan bayaran lebih kepada seseorang untuk
mempermudah urusannya? Dimana hal tersebut tidak lazim di lakukan di
Belanda namun disini seringkali kita lakukan sudahlah kasih lebih sedikit
petugasnya biar urusan disini kelarnya cepat.

Buku ini membawaku melihat "Indonesia" melalui sudut pandang orang


asing. Senang sekali, karena ia banyak menggali hal-hal sederhana dan
akhirnya membuatku lebih "ngeh". Roanne mendeskripsikan masalah
kampung dengan rapi. Ia paham betul bagaimana menempatkan dirinya
diantara orang-orang baru, menjaga jarak agar datanya menjadi netral, tapi
tak lupa untuk membangun relasi kekeluargaan yang erat.
Saya merasa senang ketika membaca terjemahan buku ini, Saya pikir
awalnya Roanne menulis buku ini langsung dengan bahasa Indonesia,
karena dia memang bisa berbahasa Indonesia, tapi setelah melihat dalam
buku ini ditulis hasil terjemahan dari bahasa Belanda saya takjub.
Penerjemahnya begitu hebat, enak banget baca cerita Roanne dalam buku
ini.
MASUKAN DAN KRITIK

Saya senang membaca buku ini karena isi bacaannya jelas dan mudah di
mengerti tapi kadang ada bahasa yag saya tidak paham seperti kata
"streotip" dan masih ada kata yang lainya yang saya kurang paham. Tapi
selebih nya saya merasa senang ketika membaca terjemahan buku ini, Saya
pikir awalnya Roanne menulis buku ini langsung dengan bahasa Indonesia,
karena dia memang bisa berbahasa Indonesia, tapi setelah melihat dalam
buku ini ditulis hasil terjemahan dari bahasa Belanda saya takjub.
Penerjemahnya begitu hebat, enak banget baca cerita Roanne dalam buku
ini.

Buku ini sebaiknya dibaca oleh baik pejabat pemerintah maupun aktivis dan
peneliti. Bagi pemerintah, penting untuk kemudian memahami persoalan
kemiskinan dan hunian layak bukan hanya soal 'pendudukan legal' dan
'illegal' tapi bagaimana kemudian mereka adalah 'korban' dari
ketidakmerataan pembangunan. Buku ini penting untuk memberikan
gambaran utuh mengenai persoalan kemiskinan, menjadi pengingat bahwa
advokasi2 yang dilakukan haruslah melihat ke depan dan jangka panjang.

Aspek antropologi yang terkait dalam Buku Tempat Terbaik di Dunia karya
Rooanne Van Vorst meliputi aspek-aspek ekonomi, politik, kependudukan,
kemiskinan, agama, pelacuran, kebudayaan juga bencana.

a. Aspek ekonomi berkaitan dengan perilaku masyarakat yang lebih


mengagungkan orang-orang yang terlihat lebih berada, seperti kepemiikan
Portofon dalam Bab 1 dan kemiskinan yang tidak terkendali yang
menyebabkan kebakaran dan bencana lainnya seperti pada Bab 2.
b. Aspek politik dan kependudukan yang berkaitan dengan kepedulian
pemerintah terhadap masyarakat kumuh Bantaran Kali, terdapat dalam Bab
2.

c. Aspek politik dan juga bencana bisa dilihat dalam Bab 3, ketika
pemerintah kurang tanggap terhadap masalah masyarakat

Bantaran Kali yang di kemudian hari menimbulkan bencana, baik itu berupa
banjir juga kebakaran.

d. Aspek ekonomi dan kemiskinan juga ditunjukkan dalam Bab 4 ini, yang
mengharuskan masyarakat menerima kondisi mereka dengan terpaksa. Saat
kesahatan dan rumah sakit begitu mengerihkan bagi masyarakat miskin
Bantaran Kali bahkan menyimpan trauma bagi sebagian mereka yang
pernah mengalami nasib malang di rumah sakit.

e. Aspek sosial dalam Bab 5 meliputi aspek agama dan juga penyakit
masyarakat yaitu pelacuran.

f. Aspek ekonomi dan kriminalitas juga terdapat dalam Bab 6 ini, di mana
diceritakan tentang seorang tukang kredit yang membantu masyarakat
Bantaran Kali juga sekaligus mengambil keuntungan

dari mereka, juga premanisme yang seolah lazim dilakukan para preman di
kawasan tersebut.

g. Aspek kebudayaan sangat kental dalam Bab 7 ini, di mana Roanne Van
Voorst bercerita bagaimana kebiasaan masyarakat di Bantaran Kali bahkan
di seluruh negeri ini yang tidak suka melihat orang lain pergi atau pun hanya
sendirian. Masyarakat Indonesia kurang mengenal istilah Me Time yang
kadang menjenuhkan bagi Roanne

yang sebenarnya dia sesekali butuh waktu untuk menyendiri.


PENUTUP

Demikianlah tugas akhir resensi antroplogi ini ,sebagai bukti yang nyata
dan untuk pertanggung jawaban kepada pihak sekolah, bahwa penyusun
tugas sudah selesai selama waktu yang telah ditentukan oleh pihak sekolah.
Dalam melaksanakan tugas akhir ini banyak sekali pelajaran yang penyusun
peroleh,mulai dari belajar mengenal isi buku dan pelajaran didalamnya .
Maka dari itu penyusun mengucapkan terima kasih untuk Bapak/Ibu yang
sudah memberikan tugas ini.

Dalam pembuatan karya tulis ini juga penyusun menyadari banyak sekali
kekurangan-kekurangan yang dikarenakan oleh keterbatasan materi dan
masih dalam tahap belajar, maka dari itu penyusun mohon kepada seluruh
pihak untuk memakluminya.
Sumber :

•https://bekasi.pojoksatu.id/baca/tempat-terbaik-di-dunia (senin 19 nov


2018)

•https://rupaca.wordpress.com/2018/09/05/resensi-tempat-terbaik-di-dunia/
(3 years ago)

•https://komunitasbambu.id/product/tempat-terbaik-di-dunia-pengalaman-
sseorang-antropolog-tinggal-di-kawasan-kumuh-jakarta.

Anda mungkin juga menyukai