Anda di halaman 1dari 4

Pemuda Desa di Desa Cendekia

Oleh: Irpan Ilmi

Merdeka...! Merdesa...!

Sangat tidak asing ketika mendengar kata “Merdeka” sebagai warga negara Indonesia. Setiap tanggal 17
Agustus 1945, perayaan kemerdekaan menjadi hajat besar seluruh masyarakat indonesia. Bisi dilihat
berbagai pagelaran disuguhkan; permainan tradisional, tari tradional, makanan tradisional, hingga
hingar bingar pop modern kemerdekaan. Betapa bangsa ini sudang sangat berkembang.

Seperti tidak asingnya mendengar kata “Merdesa” di komunitas belajar sabalad. Sebagian orang
mungkin bertanya-tanya, apakah ada perbedaan makna atara merdeka dan merdesa?, atau justru
komunitas belajar sabalad yang mengada-adakan suatu istilah, untuk mendongkrak popularitas nama
komunitas sabalad itu sendiri.

Merdeka adalah berdiri sendiri, merdeka adalah bebas, merdeka adalah tidak terikat, merdeka adalah
lepas dari tuntutan, begitulah ungkapan kamus besar bahasa Indonesia mengartikan istilah merdeka.
Dalam sastra jawa kuno, ditemukan istilah mahardika sebagai nama seorang tokoh. Namun demikian,
telusur punya telusur, nama tokoh itu adalah Sutasoma, yaitu tokoh yang mempunyai kebebasan
pikiran, tidak terikat oleh penjajahan –lahir maupun batin- yang memenjarakan hati, pikiran dan
perbuatan. Bahkan kata merdeka digunakan untuk nama sebuha bangunan, Istana Merdeka. Bercermin
pada sejarah Istana Merdeka di rancang oleh arsitek Drossares dan dibangun pada 1873 – 1879.
President Soekarno yang akrab di sapa Bung Karno, menamai dengan “Istana Merdeka” tentu berasal
dari sebuah alasan, yaitu, diambilalihnya gedung tersebut dari Belanda pada 27 Desember 1949. Tegas
dengan keras, ketika pengambil alihan gedung, warga Indonesia mengucapkan Merdeka, merdeka,
merdeka, maka dinamailah gedung itu dengan “Istana Merdeka”.

Pidato Soekarno sebelum membacakan teks proklamasi, akan menambah arti dari definisi kemerdekaan,
“Saudara-saudara sekalian, sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan
nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa berani yang akan dapat berdiri dengan
kuatnya.1” Ungkap Soekarno dengan tegas dan kemudian dilanjutkan dengan pembacaan proklamasi.

Berbicara mengenai merdesa, dalam bahasa Lampung, merdesa adalah sopan2. Kemudian dapat
ditemukan pula dalam KBBI bahwa merdesa adalah kepatutan, layak dan sopan. Panji Pragiwaksono,
ketika diwawancara oleh kompas, “setelah merdeka, kita harus merdesa” tandasnya. Sejalan dengan
pikiran penulis, bahasa bangsa yang beadab adalah bangsa yang luhur budi dan penuh dengan
tatakrama, mengunggulkan etika dan estetika. Bebas berpikir dan bebas bereskpresi mempunyai kode
etik kebudayaan yang menjadi framing atau batasan hidup bersosial. Baik dan buruk ditentukan oleh
kesepakatan bersama, hak dan kewajiban juga ditentukan oleh kesepakan bersama. Tatanan sosial
menjadi hukum sendiri dalam hidup bermasyarakat, baik itu bersumber dari Al Kitab ataupun
bersumber dari hukum budaya yang diadopsi menjadi hukum negara maupun agama. Kesamaan dan
keragaman hukum, budaya, tradisi, cara pandang dan cara hidup mempunyai nilai estetika sendiri dan
kemudian mempunyai nilai jual, apakah dalam bentuk nominal atau value. Begitulah budaya dinikmati.

Sebagai warga negara yang merdeka, bebas menganyam ilmu pengetahuan dan mengenyam hidup yang
dinamis dalam sebuah dinamika bernegara, pendidikan, perekoniman, perpolitikan menjadi barang
lumrah yang bisa dinikmati setiap saat. Situasi seperti itu tentu harus merubah status bangsa ini dari
status negara berkembang menjadi negara maju. Tapi sayang, kenyataan tidak semanis pernyataan.
Pendidikan menjadi ajang pengkarbitan pemikiran, ekonomi menjadi ajang menipu untuk memperkaya

1
Francer Gouda, Indonesia Merdeka Karena Amerika Serikat? (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008) Hal. 123
2
Ainun Mahya, Kamus istlah bahasa lampung, (Yogyakarta: Frasa Lingua, 20160 Hal. 101.
diri, politik menjadi bahan kajian untuk menghasut demi sebuah kekuasaan, dan agama menjadi ajang
propaganda adudomba.

Pandangan menjadi kabur, bayang-bayang kegelapan seakan semakin dekat, tidak ada perbedaan antara
masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Bedanya, sekarang masyarakat dijajah oleh pemegang
kekuasaan atas nama rakyat. Selebihnya adalah kerecokan saham, bagi-bagi kue walimatun ni’mah
(perayaan atas nikmat). Betapa kesenjangan menjadi sangat jelas, kota menawarkan kerlap-kerlip warna
rupiah dan desa menawarkan keringat yang bercampur lumpur darah.

Sherlin, salah satu pengurus Tempo Institut mengungkapkan, “Harga barang-barang di Indomart jakarta
lebih murah ketimbang di Pangandaran, dan UMK di Pangandaran lebih sangat murah dibandingkan
Jakarta”. Hal ini menjadi perhatian khusus bagi penulis, betapa banyaknya orang berbondong-bondong
ke kota –yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan- untuk memenuhi hasrat hidup,
menguasai semesta yang fana, dan di desa hanya orang-orang tua yang sebagian besar bangga ketika
anaknya pulang membawa Avanza.

Pelan perlahan, orang-orang tua itu meninggalkan halaman rumah dan kembali keharibaan semesta,
dijuallah tanah wairsan oleh anaknya yang bekerja di kota, dibeli oleh tuan asing, dan lagi-lagi warga
Indonesia menjadi pembantu di tanah kelahirannya sendiri. Apakah ini bukti kemerdekaan? Apakah ini
yang dinamakan merdesa?. teringat sebuah pepatah, “Jangan pernah menjual harta warisan, bisa
kualat”. Penulis penafsirkan pribahasa tersebut sebagai bentuk keterjajahan hidup, jika kita menjual
harta warisan, karena pada hakikatnya, ketika warisan dijual, bukan milik kita lagi.

Pemuda Desa di Desa Cendekia

Puncak dari ilmu pengetahuan adalah prilaku yang baik. Setelah merdeka, haruslah merdesa. sebagai
generasi bangsa yang hidup di era milenia, akses pada ilmu pengetahuan seperti halnya mengedipkan
mata. Google seperti universitas segala jurusan yang menyediakan ilmu pengetahuan hanya dengan
enter. Tidak ada lagi batas kota dan negara, semua bisa dilihat dengan mengedipkan mata. Perdagangan
tidak hanya dari warung ke warung tetangga, kini lebih luas hingga mancanegara. Pertanyaannya,
apakah kita hanya akan menonton kemajuan jaman? Jika tidak bisa mencipta teknologi, maka
gunakanlah kuasailah teknologi.

Sumpah pemuda menjadi pembuktian bahwa pemuda adalah kata kunci untuk kemerdekaan hidup.
Sudah terlalu banyak orang yang berujar kritikan, cacian dan makian. Saatnya mencari solusi atas
permasalahan hidup yang ada. Perlu diingat, pemuda hari ini pemimpin esok hari. Dalam teori sosialogi,
orang tua dianggap gagal ketika anaknya tidak mampu untuk lebih baik dari orangtuanya. Hal ini dikenal
dengan istilah sosial vertikal top. Ciri dari kehidupan yang progresif dan dinamis. Pola hidup dinamis itu
sendiri diciptakan, dan penciptanya adalah manusia yang hidup pada zamannya untuk masa depan.

Desa dan kota hanya sebuah istilah untuk membedakan agraris dan non-agraris, jumlah pendudukan
dan keluasan wilayah serta intensitas hubungan. “Desa adalah kekuatan” ungkap iwan fals. Desa selalu
menawarkan keseimbangan, keharmonisan hidup. Apalah jadinya jika desa dihuni oleh pemuda
cendikia, maka ia akan menjadi atmosfer yang mampu menghambat sinar-sinar jahat yang mengincar
kekayaan kelompok, akan menjadi ladang pengahsilan dan lumbung kesejahteraan dan ketenangan
hidup. Syaratnya hanya satu, semua generasi harus terdidik dan pendidikan harus menyentuh nurani
sehingga mampu menjawab setiap permasalahan semesta.

Keberlangsungan hidup disyaratkan pada ketersediaan makanan, kesehatan, pendidikan, dan


kebijaksanaan. Alam adalah syarat utama, ditopang olah pendidikan, akan menghasilan kesehatan dan
kebijaksanaan. Education for building sustainable akan mengarah pada learning to know, learning to be
and learning to life togather, seperti halnya sustainable development goals. Atau jika diterjemahkan ke
bahasa daerah, hidup sauyunan, silih asah, silih asih, silih asuh sebagai wujud dari istilah “merdesa”.
Ini bukan berbicara tinggal diperkotaan atau dipedesaan, lebih kepada bagaimana kesadaran bersama
untuk membangun kualitas hidup dimanapun berada, untuk NKRI harga mati. Pemuda atau orang yang
tinggal di desa tidak boleh minder, tidak boleh pesemis, tidak boleh takut apalagi sampai menyerah
pada keadaan. Kerang hanya perlu dibuka, air mancur pengetahuan harus dialirkan, dan kanal-kanal
harus dibuat untuk menghubungkan satu dengan lainnya. Membuat manajemen pemasaran, membuat
adiministrai perkantoran, membuat strategi pemasaran, perbaiki kulitas produk, tingkatkan
kuantatasnya, dan biarkan desa menjadi desa, tapi kebahagiaan ataupun penghasilan tidak kalah
berbeda.

Komunitas Belajar Sabalad

Ciri dari sebuah jaman, ada dinamika di dalamnya. Komunitas Belajar Sabalad merupakan ruang
berkeluh kesah, bertukan pikiran dan berekspresi bagi setiap orang yang haus akan ilmu pengetahuan
dan rindu akan pertemanan. “Mencari ilmu selama-lamanya, mencari kawab sebanyak-banyaknya”
adalah slogan untuk melontarkan spirit, bahwa manusia tidak boleh miskin pengatuan dan sendiri
melewati episode kehidupan.

Komunitas yang didirikan ditengah-tengah perkebunan ini menjadi sejarah gerakan pemuda Indonesia
yang dimulai dari desa. Betapa tidak, komunitas yang terletak di Dsn. Cikubang, Ds. Cintakarya, Kec.
Parigi, Kab. Pangandaran telah berkali-kali mendapatkan gelar juara dari tingkat provinsi hingga
nasional. Bukan menyoroti masalah piala atau hadiah, lebih kepada penghargaan bahwa masih ada
sekolompok pemuda yang bergerak dinamis menyerukan kebudayaan, ekologi, pendidikan di desa yang
kabupatennya berbatasan dengan samudera Hindia.

Komunitas Belajar Sabalad mewadahi siapa saja yang ingin belajar dan terhubung dengan orang lain.
Gerakan komunitas belajar sabalad menyentuh denyut nadi kehidupan masyarakat, masuk melewati
aliran darah untuk menjawab, energi baru apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Gerakan membaca,
mendongeng, berpuisi, berteater, bertani, berdagang, berpolitik menjadi suatu yang nyata, yang bisa
dikaji dan dipelajari dan diamalkan dalam kehidupan dengan bijaksana. Komunitas sabalad melestarikan
budaya lama yang baik dan berpacu dalam kehidupan baru yang baik. Komunitas belajar sabalad
konsisten menyerukan kebaikan dan perbaikan.

Ketika berbicara pertanian, ia berbicara pertanian yang bisa mengendalikan hama bukan membasmi
hama. Ketika berbicara perdagangan, ia berbicara masalah perdagangan yang bisa mensejahterakan
hidup bersama. Ketika ia berbicara pendidikan, ia berbicara pendidikan hal segala bangsa. ketika
berbicara masalah politik, ia berbicara masalah kebijakan yang mengakomodir kebutuhuan masyarakat.

Cara pandang komunitas sabalad, mengacu pada bagaimana memanusiakan manusia. Bagaimana
menghargai perbedaan dan kehendak manusia. Setiap manusia punya cara pandang yang berbeda, tapi
cara pandang itu bisa diperjelas jika suatu objek dilihat dari berbagai sudut pandang. Itu cara berpikir
cendikia.

Komunitas sabalad merangkul anak-anak bangsa untuk bersama membaca cerita dinegeri dongeng, agar
mereka tahu, bahwa masa kanak-kanak adalah masa emas untuk diisi dengan pendidikan yang
menyenangkan. Komunitas sabalad menggandeng pemuda-pemuda untuk bersama mengkaji,
mengasah dan mengimplementasi potensi yang diberikan secara kodrati oleh Tuhan Y. M. E. sebagai
bekal hidup, bahwa nasib kaum ditentukan oleh tangannya sendiri dan untuk mempermudahnya
dengan bekerjasama. Demikian komuniatas sabalad bersama orang tua, membaca perubahan jaman
dan nasihat para nabi sebagai pedoman hidup dan menciptakan garis etika dan estetika yang harus
ditempuh dan dikembangkan. Akhirnya komunitas sabalad, ada karena semua orang menginginkan
untuk ada.

Merdeka... ! Merdesa...!
*****

Biodata Penulis:

Penulis adalah Irpan Ilmi, pegiatan komunitas belajar sabalad sejak pertama kali diresmikan. Ia adalah
seorang sastrawan dan dosen di STIT NU Al Farabi Pangandaran. Selain itu ia juga sebagai kepala sekolah
di SMK Bakti Karya Parigi yang merupakan embrio dari gerakan komunitas belajar sabalad. Ia bisa
dihubungi melalui No. Tlo. 081 216 357 010 atau blog. Irpan-ilmi.blogspot.com.

Anda mungkin juga menyukai