Anda di halaman 1dari 18

Orasi Ilmiah

PANCASILA
NASIONALISME
DAN
H A R G A DIRI BANGSA

Orasi untuk mengisi Kegiatan Orientasi


dan Pembekalan Mahasiswa Baru 20x1/2012
Universitas Pasundan
Bandung, 13 September 2011

Oleh:
S r i -E d i S w a s o n o .
(Guru Besar Universitas Indonesia; Penasihat Menteri PPN/BA

UNPAS
2011
Pa n c a s ila , n a s io n a l is m e d a n H a r g a d ir i b a n g s a *)
Oleh: Sri-Edi Swasono

Pengantar
Assalamualaikum. Wr. Wb.

Bapak Rektor UNPAS Yth, para Wakil Rektor, para Dekan,


para Dosen, Panitia Kegiatan Orientasi Mahasiswa dan para
Mahasiswa senior serta Mahasiswa baru, Merdeka!

Orasi ini diawali dengan satu contoh tentang malapetaka


akademik di salah satu kampus kita.
Beberapa tahun yang lalu, kuliah subtopik “interdependensi
ekonomi” yang saya buka di kias Semester ke-8 di salah satu
universitas terkemuka di Jakarta, terpaksa tidak dapat saya lanjutkan.
Bagaimana mungkin, para mahasiswa tidak mengenal Laut Sawu,
Teluk Tomini, Morotai, Sorong, Timika dan berbagai lokasi geografi
strategis lain untuk membangun pola-pola interdependensi ekonomi
yang akan dibahas di kias.
Semula saya tidak yakin bahwa mahasiswa-mahasiswa
Semester ke-8 ini benar-benar “buta” ilmu bumi Indonesia. Ketika
dengan jengkel saya tawarkan kepada mereka, siapa yang tahu di mana
Laut Sawu, Bima, Waingapu, Maumere, Ende, Larantuka dan Rote,
akan saya luluskan tanpa ujiannya saya periksa. Maka benar-benarlah
malapetaka ini terbukti: tidak seorang pun mengacungkan tangannya.
Mereka memang tidak mengenal negeri mereka sendiri. Di
kias ini ada yang mengakui berasal dari Jawa Barat (lahir Betawi) pun
tidak tahu di mana Pameungpeuk. Ada yang menyatakan Jambi di se­
belah timur Palembang. Ada yang menggambar letak Minahasa di an-

Orasi untuk mengisi Kegiatan Orientasi dan Pembekalan Mahasiswa Baru


Universitas Pasundan 2011/2012. Bandung, 13 September 2011.
tara Makasar dan Parepare. Demikian pula Boyolali (tempat asal orang
tuanya) dikatakan di sebelah Selatan Solo, dan mengatakan Cepu be­
rada di Jawa Timur. Mereka meletakkan Pontianak di antara Ketapang
dan Pangkalan Bun, padahal jelas Tugu Khatulistiwa hanya ada di kota
Pontianak. Mereka tidak lancar menyebutkan 10 nama kota besar di
Pulau Jawa, sempat berhenti pada hitungan deretan kota ke-8. Mereka
tidak bisa menyebutkan 20 sukubangsa di Indonesia (dari 520
sukubangsa yang kita miliki) dalam waktu singkat.
Kesimpulan saya, mereka tidak merasa sempit atau sesak nafas
hidup di Indonesia hanya berwawasan cekak Jabotabek, tanpa tahu the
land beyond, ibarat miopi dan berkacamata sempit cukuplah hidup ini.
Ibaratnya, tidak perlu mengenal Indonesia berikut isi dan peng­
huninya, yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke dan dari
Miangas sampai Rote. Seolah-olah mereka tidak merasa risih tanpa
tahu p o in tze r o keberadaan mereka.
Bila bangsa kita semacam yang ada di kelas itu, maka ini
merupakan suatu pelumpuhan toal (a complete disem powerm ent)
terhadap suatu bangsa. Bagaimana mungkin pemuda-pemuda kita bisa
melaksanakan tugas bela negara apabila mereka tidak tahu negerinya
sendiri, tidak tahu di mana letak negeri dan teritori yang dibelanya.
Lebih parah lagi tidak semua peta Indonesia menggambarkan teritori
Indonesia secara utuh. Dari 14 peta atau atlas Indonesia yang saya
miliki hanya 2 peta yang memuat Pulau Miangas sebagai pulau
terdepan paling utara dari wilayah Indonesia, itupun salah satu dari 2
peta ini salah cetak menulis Pulau Miangsa yang seharusnya Pulau
Miangas. Bagaimana mungkin pemuda-pemuda kita bisa menjaga
kedaulatan (sovereignty) bangsa dan negara ini bila mereka tidak
mengetahui segenap teritori berikut kekayaan dan potensi negerinya.
Pertanyaan ini juga berlaku terutama bagi para penguasa dan pejabat
negara.

M en gap a Kita M em erlukan Pancasila

Mpu Tantular menyampaikan tuah agungnya: “Bhinneka


Tunggal Ika Tan H ana D arm a M angrw a”, yang beraneka itu adalah
satu, tidak ada kewajiban yang mendua (hanya demi bangsa dan
negara yang satu). Inilah Indonesia, sangat beranekaragam, pluralistik
dan multikulturalistik, namun satu, ikatan kesatuannya adalah

2 Pancasila dan Nasionalisme


Pancasila. Barangkali tidak terlalu figuratif mengibaratkan pecahan
1/2 yang tidak bisa dijumlah dengan 1/3, kecuali setelah 1/2
ditransformasi menjadi 3/6 dan 1/3 menjadi 2/6, maka teijumlahlah
penyatuan utuhnya menjadi 5/6. Seperenam adalah penyebut
(common denominator), sebagaimana Pancasila berfungsi sebagai
penyebut pemersatu (common platform) bagi pluralisme dan
multikulturalisme Indonesia. Artinya kita masing-masing saling
berbeda-beda, namun satu dalam kebersamaan cita-cita dan paham
bernegara sebagai sesama warganegara. Oleh karena itu Pancasila
adalah “asas bersama” yang tunggal bagi seluruh warganegara yang
bhinneka, yang menjadikannya identitas bangsa ini. Sebagai common
platform, Pancasila di dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara
merupakan “suatu kalimat yang tidak diperselisihkan” sebagaimana di
dalam perikehidupan beragama merupakan suatu kalimatun sawa di
dalam agama (Ali ‘Imran, ayat 64). ..
Ada benarnya sebagian dari kita menegaskan bahwa Pancasila
di samping merupakan nilai budaya, identitas bangsa, filsafat negara
dan ideologi nasional, Pancasila merupakan platform nasion yang
dengan penuh toleransi diterima semua agama sebagai onsensus
nasional. Pancasila adalah “paham persatuan” sekaligus e ij
nasional” untuk mempertahankan persatuan nasional. Ber<msar
platform ini, maka persatuan bukanlah sekadar persatean ya g p

Tanpa platform nasional bangsa ini alan éla élo, mudah


terombang-ambing tanpa pegangan, terlanda kebmgung , na^ ona|
tanpa pedoman arah untuk mempertahankan kemerd
yang telah kita miliki sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 -

Bhinneka Tunggal Ika: Embrio Nasionalisme Kita

Banyak di antara kita, bukan hanya mahasiswa saja, y ^ g tidak


menyadari bahwa kita hidup dalam pluralisme dan m ,
apalagi dalam konteks dinamika sosial-kulturalnya.
Kelengkapan dari tuah Mpu Tantular adalah bahwa d, dalam
kebhinneka tunggalikaan adalah dilanjutkan dengan e eng p yang
menegaskan “Tan Hana Darma Mangrwa” yang artinya tidak ada
kewajiban yang mendua (hanya demi bangsa dan negara yang sahi)’
inilah loyalitas tunggal kepada bangsa dan negara, inilah embno dari
Sri-Edi Swasono 3
nasionalisme Indonesia. Adanya bangsa dan adaanya negara berikut
loyalitas tunggalnya ini membentuk apa yang disebut Wawasan
Nusantara.1)
Bila para pemuda-pemudi kita tidak mampu berwawasan
Nusantara, tidak tahu tanah airnya sendiri, tidak tahu Sabang-
Merauke dan Miangas-Rote serta keanekaragaman di dalamnya, mate
ini merupakan cacat embrional bagi nasionalisme Indonesia.
Apa itu nasionalisme? Nasionalisme adalah cinta kepada
tanah-air, nasionalisme adalah semangat pemujaan dan kesetiaan
kepada tanah-air nusa dan bangsa. Nasionalisme adalah patriotisme.
Nasionalisme adalah doktrin ideologis untuk mengutamakan
kepentingan nasional. Nasionalisme adalah suatu gerakan untuk
meraih atau mempertahankan kemerdekaan, independency dan
kemandirian. Nasionalisme adalah kesadaran kebangsaan, harga-diri,
dan identitas diri sebagai suatu bangsa.
Nasionalisme bukanlah eksklusivisme chauvinistik yang
mengabaikan interdependensi global. Nasionalisme mengutamakan
kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggungjawab global.
NasiQnalisme dapat mengambil bentuknya untuk mencintai
produk-produk buatan bangsa sendiri termasuk mengkonsumsi dan
memajukan aneka ragam kuliner khas bangsa sendiri, tidak
ketinggalan pula memakai dan memajukan kebhinnekaan busana-
busana nasional, seni budaya nasional, beragam adat istiadat nasional
serta nilai-nilai adiluhung segenap bangsa kita. Memperkukuh
semangat nasionalisme berarti mentransformasi segala keaneka­
ragaman kekayaan budaya nasional ini menjadi kebanggaan dan
identitas nasional yang dipangku dalam suatu kebersamaan nasional.

o catatan: Bhinneka Tunggal Ika, lengkapnya Bhinneka Tunggal Ika Tan


Hana Dharma Mangrwa, tidak sama dengan E Pluribus Unum Amerika Serikat.
Bhinneka Tunggal Ika dikumandangkan oleh Mpu Tantular pada abad ke-14
sebagai rasa kebersamaan, persatuan dan kesatuan dari pluralisme dan
roultikulturalisme kaum anak-negeri se-Nusantara. Sedangkan E Pluribus Unum
Menjadi simbol persatuan dan kesatuan rakyat Amerika Serikat dari pluralisme dan
multikulturalisme lfanm pendatang (kaum imigran) yang dikumandangkan tatkala
Amerika Serikat merdeka pada tahun 1776.
4 Pancasila dan Nasionalisme
Kita haras menyadari Kemerdekaan Indonesia dapat kita rebii
kembali karena bangkitnya “kesadaran nasional” dan tekad kuat untu£
menolak subordinasi dan penjajahan, artinya tekad kuat untu
merdeka. . ,
Tekad untuk merdeka dipelopori oleh kaum elit yang Ke­
mudian kita kenal sebagai “para pendiri bangsa” atau “the founaing
fathers”. Mereka ini adalah elit yang telah tercerahkan oleh nilai-nilai
kemuliaan baru mengenai kemanusiaan, persamaan dan kesetaraan,
kedaulatan, kemandirian, kesadaran-diri dan harga-diri, kebangsaan
dan kerakyatan. Nilai-nilai baru yang mereka emban menjadi po a-
pikir (mindset) revolusioner yang menyisihkan nilai-nilai
membentukkan pola-pikir rendah-diri, mewajarkan ketertun
subordinatif yang nonemansipatif, melayakkan harkat-martaba a
negeri sebagai Inlander di bawah kaum Europeanen dan vree
Oosterlingen. j..
Oleh karena itu, dinamika nasionalisme dalam sp<ect
Sein dan das Sollen, menempatkan nation and character
sebagai inti perjuangan dan pembangunan nasional.
Saya kutipkan berikut ini kilas balik ruh pequangan
Kemerdekaan Indonesia:

Bung Kamo “menggugat” di Pengadilan


p leid o o i-nya beijudul “Indonesië Klaagt-Aan
Menggugat”), menegaskan: t ‘daerah
“...imperialisme berbuahkan ‘negeri-negeri orana
pengaruh’... yang di dalam sifatnya ‘menaklu^ l t Denting untuk
lain, membuahkan negerijajahan... syarat yang PJndonesia itu
pembaikan kembali semua susunan pergaulan muuy
ialah Kemerdekaan Nasional...”.
Dua tahun sebelumnya Bung Hatta menuding Pengadilan
Den Haag (1928), dalam p leidooi-nya berjudul Ind onésie ry
(“Indonesia Merdeka”), Bung Hatta menegaskan:
“...lebih baik Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada
menjadi embel-embel bangsa lain...’’.
Setelah bangsa Indonesia berhasil menjadi- bangsa yang
merdeka, tugas kultural utama bangsa ini adalah “mencerdaskan
kehidupan bangsa”. Kecerdasan kehidupan bangsa adalah konsepsi

Sri-Edi Swasono 5
budaya, bukan konsepsi biologis-genetika. Mencerdaskan kehidupan,
menurut Meutia Hatta,2> lebih jauh dari sekedar mencerdaskan otak
bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah mensosialisasikan
dan menginternalisasikan nilai-nilai pencerahan seperti dikemukakan
di atas agar kita menjadi bangsa yang tangguh dan beijaya, mampu
mendisain dan mengukir sendiri masa depannya, untuk tidak lagi
menjadi Inlander yang penuh dengan keminderan dan kemalasan,
bahkan dalam dimensi kontemporer, mampu proaktif ikut mendisain
wujud globalisasi.
Di sinilah kiranya tugas budaya kita tidaklah ringan. Kita
harus mampu melakukan urdeaming (afleren) terhadap nilai-nilai
lama yang usang dan yang tidak relevan dengan alam kemerdekaan
dan konteks mondialnya. Alam kemerdekaan dan tuntutan global
kontemporer menuntut pula kepada kita untuk mampu melakukan
leaming (leren) secara cepat dan efisien. Namun kita harus menjaga
bahwa pola-pikir kita tetap tangguh, tidak menjadi mixed-up,
ambivalen ataupun éla-élo tanpa pegangan dan pendirian.

Nasionalisme Dalam Globalisasi

Nasionalisme tidak akan usang betapapun kita menghadapi


globalisasi. Kelompok-kelompok cendikiawan yang sok ke-Barat-
Barat-an yang sekaligus gampang kagum dan tunduk terhadap
globalisasi, cenderung mencemooh semangat nasionalisme. Cemooh
mereka ini tak lain adalah persembunyian untuk menutupi
ketertundukan mereka terhadap skenario globalisme tentang dunia-
tanpa-batas (borderless-world), berakhirnya negara-bangsa (the end
o f nation-states) dan berakhirnya sejarah perang ideologi (the end o f
history) yang berhasil mencuci otak kita.
Apa itu globalisasi? Saya kutipkan beberapa catatan mengapa
globalisasi harus tetap kita waspadai.

2) Lihat Meutia Hatta, Masukan untuk RUU Kebudayaan, Rapat Dengar


Pendapat Umum, Panja RUU tentang Kebudayaan, Komisi X DPR-RI Jakarta, 23
Februari 2011; lihat Meutia Hatta, “Antropologi dan Integrasi Nasional”, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Tetap FISIP UI, 25 Maret 2006.
6 Pancasila dan Nasionalisme
Saya kutipkan beberapa catatan mengapa globalisasi harus kita
waspadai:
“...Dalam keadaan dunia semakin terglobalisasi... akan teijadi peru­
sakan serius terhadap kesadaran diri pada tingkat peradaban, ke­
masyarakatan dan etnis...” (Huntington, 1996). “...Globalisasi adalah
nama lain untuk dominasi Amerika...” (H. Kissinger, 1998). “...Dari
segi kultural globalisasi telah cenderung meliputi meluasnya (demi
pembaikan ataupun pemburukan) Amerikanisasi...” (T. Friedman,
2001). “...Dunia akan memiliki ekonomi global tanpa pemerintahan
global... saat ini kita memiliki ekonomi global tanpa masyarakat
global...” (G. Soros, 1998). “...Globalisasi adalah imperialism ekonomi
baru...” (Petras & Veltmeyer, 2001). Tetapi globalisasi tidak lagi
sekedar suatu proses dominasi Amerika ataupun Amerikanisasi yang
sederhana, “...globalisasi telah menciptakan perang dagang...”
(Krugman, 2001), bahkan saat ini, “...telah dengan parah
mengakibatkan perang mata uang global yang mencemaskan...”
(Swasono, 2010). “...Cara bagaimana globalisasi telah ditatalak-
sana...perlu secara radikal dipikirkan ulang... membuat globalisasi
bekeija merupakan langkah-langkah berikutnya untuk memujudkan
keadilan global...” (Stiglitz, 2007), atau, sebagaimana kita saksikan
adalah “...ekonomi teijun bebas made in Amerika... pasar-bebas dan
tenggelamnya ekonomi dunia...” (Stiglitz, 20i0).3>
Di atas telah dikemukakan bahwa nasionalisme tidak pernah
usang, dari sini saya mengharap bahwa para pemuda-pemudi kita

3) Digambarkan: “...in an increasingly globalized world ...there is an exa­


cerbation of civilizational, societal and ethnic self-consciousness...” (Huntington,
1996). “...Globalization is another name for American domination...” (H. Kissinger,
1998). “...Culturally speaking, globalization has tended to involve the spread (for
better or worse) of Americanization...” (T. Friedman, 2001). “...The world is going to
have a global economy without a global govemment...we have a global economy
without a global society...” (G. Soros, 1998). “...Globalization is a new economic
imperialism...” (Petras & Veltmeyer, 2001). But globalization is no longer as simple
as a process of American domination or Americanization, “...it has created trade
war...” (Krugman, 2001) and, “...at the moment, has severely caused an alarming
global currency war...” (Swasono, 2010). “...The way globalization has been
managed... need to be radically rethought.... Making globalization work: is the next
steps to global justice...” (Stiglitz, 2007), or, as we have been witnessing, we have
the “...made in USA free fall... the free market and the sinking of the world
economy...” (Stiglitz, 2010).
Sri-Edi Swasono 7
tid ak term akan oleh skenario the borderless world, the end o f nation
states dan the end o f ideology. Untuk itu akan saya kutipkan
pandangan-pandangan m utakhir dari ilmuan-ilmuan di Barat
m engenai nasionalism e.
Joan Robinson (1962): Ilmu ekonomi sebenarnya berakar
pada nasionalisme ... Aspirasi negara berkembang lebih tertuju
pada tercapai dan terpeliharanya kemerdekaan serta harga diri
bangsa daripada sekadar untuk makan ... Para penganut mazhab
klasik menjagoi perdagangan bebas dengan alasan bahwa hal ini
menguntungkan bagi Inggris dan bukan karena bermanfaat bagi
seluruh dunia...”.
Ho Chi Minh (awal 1970-an): “...Kami akan menang perang...
kita mempunyai senjata rahasia, yaitu nasionalisme...”.
Leah Greenfeld (2001): "... Meskipun ada yang mengatakan
bahwa dewasa ini kita berada pada masa kapitalisme tahap lanjut,
dan bahkan mungkin telah mencapai tahap pascaindustrialisasi,
tidak dapat dipungkiri bahwa nasionalisme... tidak menghilang, dan
bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera menghilang...
Nasionalisme pertama kali muncul di Inggris dan telah sangat
mempengaruhi pandangan masyarakatnya ... ciri-ciri pertumbuhan
yang berkesinambungan dari suatu perekonomian modern ternyata
tidak berlangsung secara berkesinambungan; pertumbuhan hanya
akan berkelanjutan justru jika di dorong dan di topang oleh
nasionalisme...”.
Ian Lustic (2002): “..Nasionalisme merupakan suatu ke­
kuatan pembangunan yang tak ada tandingannya di dunia masa
kini...”.
Meutia Hatta (2006): "...Nasionalisme adalah soal pe­
rasaan, soal komitmen dan soal keberkahan. Bagi saya, apakah
nasionalisme merupakan hal yang masuk akal atau tidak masuk
akal dari segi sejarah kelahirannya, hal itu tidaklah menjadi
masalah. Ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemer­
dekaannya dengan segala alasan dan tuntutan yang rasional dan
sah, tidak ada hal lain bagi kita kecuali untuk mempertahankan dan
mensyukurinya. Nasionalisme tidak saja indah, memberikan harga-
diri, percaya-diri dan jati-din, tetapi juga harus disyukuri sebagai
karunia Tuhan...”.

Pancasila dan Nasionalisme


Keprihatinan Nasional Kita

Keprihatinan nasional kita bertitik-tolak dari doktrin “Tahta


untuk Rakyat”.
Bung Hatta dikenal sebagai ‘Bapak Kedaulatan Rakyat’, Bung
Hatta yang menciptakan istilah ‘Kedaulatan Rakyat’ dari istilah
Volkssouvereiniteit.
"...Bagi kita, ra’j a t itoe jang oetama, ra’j a t oemoem jang
mempoenjai kedaoelatan, kekoeasaan (souvereiniteit). Karena ra'jat
itoe jantoeng-hati Bangsa. Dan ra’j a t itoelah jang mendjadi
oekoeran tinggi rendah deradjat kita. Dengan ra’j a t itoe kita akan
naik dan dengan ra’j a t kita akan toeroen. Hidoep ataoe matinja
Indonesia Merdeka, semoeanja itoe bergantoeng kepada semangat
ra’j at. Pengandjoer-pengandjoer dan golongan kaoem terpeladjar
baroe ada berarti, kalaoe dibelakangnja ada ra'jat jang sadar dan
insjaf akan kedaoelatan dirinja...”. (Mohammad Hatta, Daulat Ra’j a t
- terbitan pertama - 20 September 1931).
Dari doktrin kedaulatan rakyat di atas, jelaslah bahwa posisi
rakyat yang sentral-substansial, bagi Hatta pemikiran pembangunan
nasional haruslah people-centered dan people-based.
Dalam berbagai makalah saya telah saya kemukakan enam
keprihatinan nasional melalui pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
Pertama, mengapa pembangunan yang teijadi di Indonesia ini
menggusur orang miskin dan bukan menggusur kemiskinan?
Akibatnya pembangunan menjadi proses dehumanisasi.
Kedua, mengapa yang teijadi sekedar pembangunan di
Indonesia dan bukan pembangunan Indonesia? Orang mancanegara
yang membangun Indonesia dan menjadi pemegang konsesi bagi
usaha-usaha ekonomi strategis, sedang orang Indonesia menjadi
penonton atau menjadi jongos globalisasi.
Ketiga, mengapa “daulat pasar” dibiarkan begitu berkuasa,
sehingga menggusur “daulat rakyat”.
Keempat, bukankah seharusnya kita menjadi Tuan di Negeri
Sendiri, menjadi “The Master in our own Homeland, not just to
become the Host”, yang hanya melayani kebutuhan globalisasi dan ke­
pentingan mancanegara? Jadi mengapa kita tetap menjadi koelie di
Negeri Sendiri, sekedar menjadi master ofceremony? Akibatnya GDp

Sri-Edi Swasono 9
berkembang lebih cepat dari GNP. Banyak ekonom lengah akan hal
ini.^
Kelima, kesejahteraan rakyat tidak kunjung tercapai, kesen­
jangan antara kaya dan miskin makin meningkat.
Keenam, kesenjangan antara kaya dan miskin yang memben­
tukkan kesenjangan frustasi (frustration-gap) pada pihak si miskin,
yaitu gap antara aspirasi yang berkembang oleh dorongan iklan
konsum tif mewah dan makin meluasnya tarikan hidup melimpah
(affluency) pihak yang kaya (kesenjangan antara aspirasi imaginer
dan kenyataan faktual) dengan segala absurditas yang menyertainya,
telah mendorong ketimpangan struktural dalam pemilikan (wealth).
Ibaratnya setiap detik terjadi transfer pemilikan dari yang miskin ke
yang kaya. Konsentrasi pemilikan makin timpang, wujudnya antara
lain landless peasants yang makin meningkat dan homelessness yang
makin meluas. Apakah kita telah menjadi afailed State?

Penutup:
Apa itu Pem bangunan - Kemana Kita Menuju?

Pembangunan nasional, terutama pembangunan ekonomi,


haruslah berorientasi Indonesia dan mengembangkan ke-Indonesia-
an, demi Indonesia, dengan memobilisasi faktor-faktor dominan
Indonesia sebagai modal pembangunan, agar cita-cita kita untuk
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia...” dapat
terwujud.
Dimensi-dimensi pembangunan nasional perlu kita kenal
secara utuh. Dapat saya antarkan sebagai berikut:

-t) M estinya para ekonom tidak meremehkan gejala ini, minimal prihatin,
bahwa selisih perkem bangan antara GDP (yang territorial based) dengan GNP
(yang citizen/people-based) terhadap N ational Incom e makin besar. Dari tahun
2000 hingga 2009 selisih itu berkem bang (dalam%) dari 9,7 (2000) menjadi 12,98
(2001); 14,39 (2002); 16,72 (2003); 14,46 (2004); 15,9 (2005)', 16,50 (2006); 16,29
(2007); 12,55 (2008); 14,97 (2009).

10 Pancasila dan Nasionalisme


(1) Definisi populer pembangunan sebagaimana dikenal di
lingkungan ekonom mainstream neoklasikal, yaitu yang berorientasi
pada pertum buhan Gross Domestic Product (GDP), telah banyak
ditentang oleh para ilmuan sosia’ dan khususnya para ekonom
reformis yang kita kenal sebagai ekonom kontemporer strukturalistik,
yang m enekankan pentingnya humanisme dan kebersamaan. Pem­
bangunan m emang bukanlah sekedar peningkatan pendapatan (per­
tumbuhan GDP/kenaikan per capita income), semacam ini merupakan
pandangan simplistis dan ketinggalan zaman.
(2) Definisi populer pertama di atas kemudian dikoreksi
dengan tuntutan tentang siapa yang harus menikmati pembangunan.
Oleh karena itu pembangunan juga membicarakan perlunya peme­
rataan pembangunan, artinya tidak cukup dengan menimbang tinggi
rendahnya p er capita income saja, tetapi juga ketimpangan tentang
penyebaran pertumbuhan GDP. Gini ratio sebagai konsepsi korektif
telah secara rutin dibicarakan di ruang-ruang kias kita, toh belum
menjawab esensi ketimpangan distribusi GDP. Pada dasarnya GDP
merupakan “kue pembangunan”. Pertanyaan yang relevan adalah kue
pem bangunan” macam apa yang kita' buat, “kue tart yang penuh kan­
dungan im por (high import contents) atau ‘ tumpeng yang sarat
dengan kandungan lokal (heavy local contents). Makin tinggi kan­
dungan im por berarti makin besar ketergantungan kita pada luar-
negeri dan sekaligus makin kecil peranan partisipasi rakyat 1 negen
sendiri. Sebaliknya dengan membuat kue tumpeng, yang berarti makin
tinggi kandungan lokal, berarti makin tinggi tingkat kemandirian dan
sekaligus m akin luas dan intensif partisipasi dan emansipasi rakyat
dalam pembangunan, makin tinggi pula pemerataan eseja eraan
ekonomi. 5) . » ,
(3) Pembangunan dituntut sebagai upaya peningkatan ke­
mam puan produktif (productive capabihty) rakyat. Seperti dikatakan
°leh A m artya Sen, pembangunan adalah “perluasan kemampuan
rakyat”, sehingga proses pembangunan harus diartikan sebagai proses
pemberdayaan rakyat.

t s) Lihat Sri-Edi Swasono, “Kue Melly Tan” dalam Sri-M Swasono Pelita
Hati: Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat (Jakarta- Ul-Press, 1992), hlm. 99-
105; Amit Baduri, The Face You Are Afraid to See (Delhi: Pinguin, 2009).
Sri-Edi Swasono 11
(4) Lebih dari itu pembangunan harus pula bermakna sebagai
peningkatan pemilikan (wealth) oleh rakyat, wealth merupakan
sumber kemakmuran dan kesejahteraannya.6*
(5) Di samping itu definisi dan dimensi pembangunan yang
selalu saya kemukakan adalah bahwa pembangunan tidak saja harus
menghasilkan “nilai-tambah ekonomi”, tetapi juga sekaligus “nilai-
tambah sosial-kulturalV) Artinya pembangunan adalah “proses
humanisasi”, proses ditingkatkannya harkat-martabat manusia,
dengan kualitas hidupnya yang mampu memahami betapa pentingnya
meraih suatu kecerdasan hidup 8), tumbuhnya harga-diri, percaya-diri,
kebanggaan-diri, identitas-diri dan kemandirian.^

6) Peningkatan pemilikan (wealth) ini saya artikan dalam konsepsi Triple-


Co, khususnya dalam hal co~ownership sebagai perluasan distribusi yang lebih
merata dalam pemilikan atau penguasaan aset nasional _
7) LifrgMfrPEfli SwasojKv^gfcSpose hkondYrrik a : M^ w a sp ^ g ^ G lo ^ a lisa si
Jan PasajySebas, edisi 2010 (Yogyakarta: Pustep UGM, 2010), hlm. 32. *
Mengenai kecerdasan kehidupan bangsa: menurut Meutia Hatta
ecpraasan kehidupan bangsa adalah konsepsi budaya, bukan konsepsi biologis
genetika. Mencerdaskan kehidupan bangsa lebih jauh dari sekedar mencerdaskan
°tak bangsa, meliputi upaya menghapuskan: buta ketaqwaan, buta aksara, buta
senf%«4 aya, buta peradaban, buta sejarah, buta geografi, buta spasial^btrttf'
ideologi, buta^pereatuanCkebangsaan), buta kebersamaanjCkenjkyatefijr buta
solidaritas, buta bci^HrTTTnrTnptrkj bntn buta
kemartabatan, buta kemandirian, buta kesetaraan (termasuk kesetaraan gender,
status), buta modernisasi, buta humanisme. Dengan demikian mencerdaskan
kehidupan bangsa adalah tuntutan modernisasi dan peradaban sebagai
khalifatullah, meninggalkan ketertinggalan sosial-budaya dan sosial-ekonomi (lihat
Meutia Hatta, Masukan untuk RUU Kebudayaan, Rapat Dengar Pendapat Umum,
Panja RUU tentang Kebudayaan, Komisi X DPR-RI Jakarta, 23 Februari 2011; lihat
pula Meutia Hatta, “Antropologi dan Integrasi Nasional”, Pidato Pengukuhan Guru
Besar Tetap FISIP UI, 25 Maret 2006).
9) Perjuangan anak-anak muda untuk memperoleh identitas-diri dan
kebanggaan-diri sebagai warganegara Indonesia nampak terseok-seok. Tidak ada
tembok dan bangunan yang bersih dari corat-coret anak muda, suatu graffiti salah
esensi dan ekspresi nihil untuk mencari pengakuan eksistensi terhadap
keterlantaran sosial-kultural, yang juga menggambarkan neighborhood's decline.
Mengkonsumsi makanan-makanan asing, ngerumpi di kafe-kafe asing untuk
merasa modem atau agak terkesan maju seperti Barat, barangkali bagian dari
Perjuangan memperoleh identitas-diri dan eksistensi ilusif dan delusif. Sementara
itu negara tidak memberikan kepada mereka suatu kebanggaan nasional. Graffiti
12 Pancasila dan Nasionalisme
szs^ssz cgdh)"> ,asihaSya'“»*
h „ n l ! ^ 311® j°an ac^a^a^ proses mencerdaskan kehidupan
°z l

harga-diri b a n g s a kehidupan maka Wta meraih jati-diri dan

. . ^®n8an catatan kaki 9 di halaman 12, maka jelaslah


m„i9L ecerdasan hidup maka globalisasi dan neoliberalisme
An/fwrtrihV/iK n®Sen kita saat ini akan menjadi proses minderisasi
iaif-Mri rlan h ° ^ h adap rakyat kita. Rakyat akan terlentang tanpa
ttmpaq “PonnU^u^A n ' ^ enSan demikian itu maka doktrin pedagogi
S L n f £ ? ^ ^ amana” “Luhung Elmuna”, “Jembar Budayana”
«jiiatn VAhani enaran .^an merupakan tuntutan zaman, merupakan
j-- . j. .3'? s ra^egis bagi pendidikan tinggi untuk meraih jati-
dm, harga-dm dan kebesaran bangsa, menjadi a dignified nation.
j semoSa Orasi saya ini dapat mengisi segi
intellektualisme dan patriotisme Kegiatan Orientasi dan Pembekalan
Mahasiswa Baru Universitas Pasundan 2011/2012. Semoga para
Mahasiswa UNPAS akan menjadi bunga-bunga bangsa dan patriot
pembangunan Indonesia. Masa depan Indonesia ada di tangan kalian
semua. Hidup para pemuda!

Merdeka!

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

jorok itu bisa pula diartikan sebagai ketiadaan cinta neighborhood di mana mereka
UHaS u i" m®mP?roleh kehidupan, ketiadaan cinta lingkungan atau barangkali
kedangkalan akan kesadaran nasional
*°>Meutia Hatta, loc.it.
L,- „ Kor^>ePsi GDH ini diawali oleh Raja Bhutan sekitar 40 tahun lalu, artinya
7
f i S ? tS Domestl(r Product (GDP) saja tidaklah mencukupi. Mohammad Hatta
/■¡/r . e , me|luangkan pandangan tentang perlunya meningkatkan kebahagiaan
* & .■ * *">'»"*»"«'>• « H <*“ <“ ■"> konsep*

Sri-Edi Swasono 13
LAMPIRAN - APPENDIX')

LIST OF ETHNIC GROUPS IN INDONESIA


(27 PROVINCES, 1 9 9 5 )

1. Bali: (4)
Bali, Loloan, Nyama Selain, Trunyan.
2. Bengkulu: (9)
Bengkulu, Enggano, Kaur, Lembak, Muko-Muko, Pekai, Rejang, Serawai,
Suban.
3. D.I. Aceh/NAD: (11)
Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Gayo-Lut, Gayo Luwes, Gayo Serbejadi, Kluet,
Simeulu, Singkil, Tamiang.
4. DIY: (l)
Yogyakarta.
5. DKI: (1)
Betawi
6. Irian Jaya: (109)
Aero, Airo Sumaghaghe, Airoran, Ambai, Amberboken, Amungme, Anu, Arfak,
Asmat, Auyu, Ayfat, Baso, 'Baudi, Berik, Bgu, Biak, Borto, Buruai, Citak,
Damai, Dani, Dem, Demisa, Demta, Dera, Edopi, Eipomek, Ekagi, Ekari,
Emumu, Eritai, Fau, Foau, Gebe, Gresi, Hattam, Humboldt, Hupla, Inanwatan,
Irarutu, Isirawa, Iwur, Jaban, Jair, Kaburi, Kaeti, Kais, Kalabra, Kamberau,
Kamoro, Kapauku, Kapaur, Karon, Kasuweri, Kaygir, Kembrano, Kemtuk,
Ketengban, Kimaghama, Kimyal, Kokoda, Kmnai, Korowai, Kupol, Kurudu,
Kwerba, Kwesten, Lani, Maden, Mairasi, Mandobo, Maniwa, Mansim,
Manhuke, Marind Anuim, Maiyakh, Mey Brat, Mimika, Moire, Mombum,
Moni, Mooi, Mosena, Murop, Muyu, Nduga, Ngnalik, Ngnalum, Nimboran,
Palamul, Palata, Pisa, Sailolof, Samarokena, Sapran, Sawung, Sawuy, Sentani,
Silimo, Tabati, Tehid, Timorini, Uruwai, Waipam, Waipu, Wamesa, Wanggom,
Wano, Waris, Waropen, Wodani, Yahray, Wali, Yapen, Yaqay, Yei.
7. Jam bi: (6)
Anak Dalam, Batin, Jambi, Kerinci, Pengkulu, Pindah.
8. Jaw a Barat: (5)
Baduy, Banten, Cirebon, Naga, Sunda.
9. Jaw a Tengah: (5)

">(Sri-Edi Swasono, “Mutualism and Brotherhood”, WISDOM 2010, Local


Wisdom Inspiring Global Solutions and Colloquium in Honour of Dr. Ann Dunham
Soetoro and Prof. Mubyarto, University of Gadjah Mada, 5-8 Desember 2010).
14 Pancasila dan Nasionalisme
Bagelen, Banyumas, Jawa, Nagarigung, Samin.
10. Jaw a T im ur: (6)
Bawean, Jawa, Madura, Surabaya, Tengger, Osing.
11. K alim an tan Barat: (71)
Babak, Badat, Barai, Bangau, Bukat, 'Cempedek, Dalam, Darat, Darok, Desa,
Dusun, Embaloh, Empayuh, Engkarong, Ensanang, Entungau, Galik, Gun,
Iban, Jangkang, Kalis, Kantuk, Kayan, Kayanatan, Kede, Kendayan, Keramai,
Klemantan, Kopak, Koyon, Lara, Limbai, Maloh, Mayau, Mentebak,
Menyangka, Menyanya, Merau, Mualang, Muara, Muduh, Muluk, Ngabang,
Ngalampa, Ngamukit, Nganayatn, Panu, Pengkedang, Pompang, Pontianak,
Pos, Punti, Randuk, Ribun, Sambas, Sanggau, Sani, Seberuang, Sekajang,
Selayang, Selimpat, Senangkan, Senunang, Sisang, Sintan, Suhaid, Sungkung,
Suruh, Tabuas, Taman, Tingui.
12. K alim an tan S elatan: (10)
Abai, Bakumpai, Banjar, Beaki, Berangas, Bukit, Dusun Deyah, Harakit,
Pagatan, Pitap.
13- K alim an tan Tengah: (10)
Bantian, Bawo, Lawangan, Maanyan, Ngaju, Ot Danum, Paku, Punan, Siang,
Tamuan.
14 * K alim an tan T im ur: (29)
Auheng, Baka, Bakung, Basap, Benuaq, Berau, Berusu, Bem, Bulungan,
Busang, Dayak, Huang Tering, Jalan, Kenyah, Kulit, Kutai, Long Gelât, Long
Paka, Modang, Oheng, Pasir, Penihing, Saq, Seputan, Tidung, Timai, Tou,
Tukung, Tunjung.
1 5 - Lam pung: (1)
Lampung.
16. M aluku: (43)
Alune, Ambon, Ani, Babar, Bacan, Banda, Buli, Buru, Galela, Gane, Gebe,
Halmahera, Haruku, Jailolo, Kei, Kisar, Laloda, Leti, Lumoli, Maba, Makian,
Mare, Memalu, Moa, Modole, Morotai, Nuaulu, Pagu, Patani, Pelauw, Rana,
Sahu, Sawai, Seram, Tanimbar, Ternate, Tidore, Tobaru, Tobelo, Togutil, Wai
Apu, Wai Loa, Weda.
17 - N usa Ten ggara B arat: (9)
Bayan, Bima, Dompu, Donggo, Kore, Mata, Mbojo, Sasak, Sumbawa.
18. N usa T en ggara Tim ur: (48)
Abui, Alor, Anas, Atanfui, Atoni, Babui, Bajawa, Bakifan, Blagar, Boti, Dawan,
Deing, Ende, Faun, Flores, Hanifeto, Helong, Kabola, Karera, Kawel, Kedang,
Kemak, Kemang, Kolana, Kramang, Krowe Muhang, Kui, Labala, Lamaholot,
Lemma, Lio, Manggarai, Marae, Maung, Mêla, Modo, Muhang, Nagekeo,
Ngada, Moenleni, Riung, Rongga, Rote, Sabu, Sikka, Sumba, Tetun.
1 9 - Riau: (9)
Akit, Hutan, Kuala, Kubu, Laut, Lingga, Riau, Sakai, Talang Mamak.

Sri-Edi Swasono 15
20. Sulawesi Selatan: (13)
Abung Bunga Mayang, Bentong, Bugis, Daya, Duri, Luwu, Makassar, Mandar,
Massenrengkulu, Selayar, Toala, Toraja, Towala-wala.
21. Sulawesi Tengah: (25)
Bada, Bajau, Balaesang, Balantak, Banggai, Bungku, Buol, Dampelas, Dondo,
Kaili, Muna, Mekongga, Mori, Napu, Pamona, Pipikoro, Saluan, Sea-sea, Tajio,
To Laki, Toli-Toli, Tomia, Tomini, Wakatobi, Wawoni.
22. Sulawesi Tenggara: (9)
Buton, Cina, To Laiwiu, To Landawe, To Mapute, Orang Butung, Orang Lajolo,
Orang Muna, Moronene.
23. Sulawesi Utara: (20)
Bantik, Bintauna, Bolaang Itang, Bolaanng Mongondow, Bolaang Uki, Borgo,
Gorontalo, Kaidipang, Minahasa, Mongondow, Pelahi, Ponosakan, Ratahan,
Sangir, Talaud, Tombulu, Tonsawang, Tonsea, Tontemboan, Toulour.
24. Sumatra Barat: (2)
Mentawai, Minangkabau.
25. Sumatra Selatan: (29)
Ameng Sewang, Anak Dalam, Bangka, Belitung, Enim, Kayu Agung, Kikim,
Kisam, Komering, Lahat, Lematang, Lintang, KLom, Mapur, Meranjat, Musi,
Musi Banyuasin, Musi Sekayu, Ogan, Palembang, Pasemah, Pedamaran,
Pegagan, Rambang Senuling, Ranau, Rawas, Saling, Sekak, Semendo.
26. Sumatra Utara: (14)
Angkola, Asahan, Batak, Dairi, Karo, Langkat, Mandailing, Nias, Pakpak, Psisir
Natal, Siladang, Sumalungun, Toba, Ulu Muara Sipongi.
27. Timor Timur: (2)
Ilimano, Timor Timur.

Main Source:
Melalatoa, M. Junus, Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995).

Other Sources:
Geerland, G., Atlas der Völkerkunde (Gottra: Berhaus, Heinich,
!Ö9 3 ).
Koentjaraningrat, Atlas Etnografi Sedunia (Jakarta: Penerbit Dian
Ralgat, 1969).
Ter Haar, B., Adat Law in Indonesia (New York: Institute of Pacific
Relations, 1948).

16 Pancasila dan Nasionalisme


¿ /£ / Z' Ájy-Á^ A'i

I ^ M ^ l

Anda mungkin juga menyukai