PANCASILA
NASIONALISME
DAN
H A R G A DIRI BANGSA
Oleh:
S r i -E d i S w a s o n o .
(Guru Besar Universitas Indonesia; Penasihat Menteri PPN/BA
UNPAS
2011
Pa n c a s ila , n a s io n a l is m e d a n H a r g a d ir i b a n g s a *)
Oleh: Sri-Edi Swasono
Pengantar
Assalamualaikum. Wr. Wb.
Sri-Edi Swasono 5
budaya, bukan konsepsi biologis-genetika. Mencerdaskan kehidupan,
menurut Meutia Hatta,2> lebih jauh dari sekedar mencerdaskan otak
bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah mensosialisasikan
dan menginternalisasikan nilai-nilai pencerahan seperti dikemukakan
di atas agar kita menjadi bangsa yang tangguh dan beijaya, mampu
mendisain dan mengukir sendiri masa depannya, untuk tidak lagi
menjadi Inlander yang penuh dengan keminderan dan kemalasan,
bahkan dalam dimensi kontemporer, mampu proaktif ikut mendisain
wujud globalisasi.
Di sinilah kiranya tugas budaya kita tidaklah ringan. Kita
harus mampu melakukan urdeaming (afleren) terhadap nilai-nilai
lama yang usang dan yang tidak relevan dengan alam kemerdekaan
dan konteks mondialnya. Alam kemerdekaan dan tuntutan global
kontemporer menuntut pula kepada kita untuk mampu melakukan
leaming (leren) secara cepat dan efisien. Namun kita harus menjaga
bahwa pola-pikir kita tetap tangguh, tidak menjadi mixed-up,
ambivalen ataupun éla-élo tanpa pegangan dan pendirian.
Sri-Edi Swasono 9
berkembang lebih cepat dari GNP. Banyak ekonom lengah akan hal
ini.^
Kelima, kesejahteraan rakyat tidak kunjung tercapai, kesen
jangan antara kaya dan miskin makin meningkat.
Keenam, kesenjangan antara kaya dan miskin yang memben
tukkan kesenjangan frustasi (frustration-gap) pada pihak si miskin,
yaitu gap antara aspirasi yang berkembang oleh dorongan iklan
konsum tif mewah dan makin meluasnya tarikan hidup melimpah
(affluency) pihak yang kaya (kesenjangan antara aspirasi imaginer
dan kenyataan faktual) dengan segala absurditas yang menyertainya,
telah mendorong ketimpangan struktural dalam pemilikan (wealth).
Ibaratnya setiap detik terjadi transfer pemilikan dari yang miskin ke
yang kaya. Konsentrasi pemilikan makin timpang, wujudnya antara
lain landless peasants yang makin meningkat dan homelessness yang
makin meluas. Apakah kita telah menjadi afailed State?
Penutup:
Apa itu Pem bangunan - Kemana Kita Menuju?
-t) M estinya para ekonom tidak meremehkan gejala ini, minimal prihatin,
bahwa selisih perkem bangan antara GDP (yang territorial based) dengan GNP
(yang citizen/people-based) terhadap N ational Incom e makin besar. Dari tahun
2000 hingga 2009 selisih itu berkem bang (dalam%) dari 9,7 (2000) menjadi 12,98
(2001); 14,39 (2002); 16,72 (2003); 14,46 (2004); 15,9 (2005)', 16,50 (2006); 16,29
(2007); 12,55 (2008); 14,97 (2009).
t s) Lihat Sri-Edi Swasono, “Kue Melly Tan” dalam Sri-M Swasono Pelita
Hati: Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat (Jakarta- Ul-Press, 1992), hlm. 99-
105; Amit Baduri, The Face You Are Afraid to See (Delhi: Pinguin, 2009).
Sri-Edi Swasono 11
(4) Lebih dari itu pembangunan harus pula bermakna sebagai
peningkatan pemilikan (wealth) oleh rakyat, wealth merupakan
sumber kemakmuran dan kesejahteraannya.6*
(5) Di samping itu definisi dan dimensi pembangunan yang
selalu saya kemukakan adalah bahwa pembangunan tidak saja harus
menghasilkan “nilai-tambah ekonomi”, tetapi juga sekaligus “nilai-
tambah sosial-kulturalV) Artinya pembangunan adalah “proses
humanisasi”, proses ditingkatkannya harkat-martabat manusia,
dengan kualitas hidupnya yang mampu memahami betapa pentingnya
meraih suatu kecerdasan hidup 8), tumbuhnya harga-diri, percaya-diri,
kebanggaan-diri, identitas-diri dan kemandirian.^
Merdeka!
jorok itu bisa pula diartikan sebagai ketiadaan cinta neighborhood di mana mereka
UHaS u i" m®mP?roleh kehidupan, ketiadaan cinta lingkungan atau barangkali
kedangkalan akan kesadaran nasional
*°>Meutia Hatta, loc.it.
L,- „ Kor^>ePsi GDH ini diawali oleh Raja Bhutan sekitar 40 tahun lalu, artinya
7
f i S ? tS Domestl(r Product (GDP) saja tidaklah mencukupi. Mohammad Hatta
/■¡/r . e , me|luangkan pandangan tentang perlunya meningkatkan kebahagiaan
* & .■ * *">'»"*»"«'>• « H <*“ <“ ■"> konsep*
Sri-Edi Swasono 13
LAMPIRAN - APPENDIX')
1. Bali: (4)
Bali, Loloan, Nyama Selain, Trunyan.
2. Bengkulu: (9)
Bengkulu, Enggano, Kaur, Lembak, Muko-Muko, Pekai, Rejang, Serawai,
Suban.
3. D.I. Aceh/NAD: (11)
Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Gayo-Lut, Gayo Luwes, Gayo Serbejadi, Kluet,
Simeulu, Singkil, Tamiang.
4. DIY: (l)
Yogyakarta.
5. DKI: (1)
Betawi
6. Irian Jaya: (109)
Aero, Airo Sumaghaghe, Airoran, Ambai, Amberboken, Amungme, Anu, Arfak,
Asmat, Auyu, Ayfat, Baso, 'Baudi, Berik, Bgu, Biak, Borto, Buruai, Citak,
Damai, Dani, Dem, Demisa, Demta, Dera, Edopi, Eipomek, Ekagi, Ekari,
Emumu, Eritai, Fau, Foau, Gebe, Gresi, Hattam, Humboldt, Hupla, Inanwatan,
Irarutu, Isirawa, Iwur, Jaban, Jair, Kaburi, Kaeti, Kais, Kalabra, Kamberau,
Kamoro, Kapauku, Kapaur, Karon, Kasuweri, Kaygir, Kembrano, Kemtuk,
Ketengban, Kimaghama, Kimyal, Kokoda, Kmnai, Korowai, Kupol, Kurudu,
Kwerba, Kwesten, Lani, Maden, Mairasi, Mandobo, Maniwa, Mansim,
Manhuke, Marind Anuim, Maiyakh, Mey Brat, Mimika, Moire, Mombum,
Moni, Mooi, Mosena, Murop, Muyu, Nduga, Ngnalik, Ngnalum, Nimboran,
Palamul, Palata, Pisa, Sailolof, Samarokena, Sapran, Sawung, Sawuy, Sentani,
Silimo, Tabati, Tehid, Timorini, Uruwai, Waipam, Waipu, Wamesa, Wanggom,
Wano, Waris, Waropen, Wodani, Yahray, Wali, Yapen, Yaqay, Yei.
7. Jam bi: (6)
Anak Dalam, Batin, Jambi, Kerinci, Pengkulu, Pindah.
8. Jaw a Barat: (5)
Baduy, Banten, Cirebon, Naga, Sunda.
9. Jaw a Tengah: (5)
Sri-Edi Swasono 15
20. Sulawesi Selatan: (13)
Abung Bunga Mayang, Bentong, Bugis, Daya, Duri, Luwu, Makassar, Mandar,
Massenrengkulu, Selayar, Toala, Toraja, Towala-wala.
21. Sulawesi Tengah: (25)
Bada, Bajau, Balaesang, Balantak, Banggai, Bungku, Buol, Dampelas, Dondo,
Kaili, Muna, Mekongga, Mori, Napu, Pamona, Pipikoro, Saluan, Sea-sea, Tajio,
To Laki, Toli-Toli, Tomia, Tomini, Wakatobi, Wawoni.
22. Sulawesi Tenggara: (9)
Buton, Cina, To Laiwiu, To Landawe, To Mapute, Orang Butung, Orang Lajolo,
Orang Muna, Moronene.
23. Sulawesi Utara: (20)
Bantik, Bintauna, Bolaang Itang, Bolaanng Mongondow, Bolaang Uki, Borgo,
Gorontalo, Kaidipang, Minahasa, Mongondow, Pelahi, Ponosakan, Ratahan,
Sangir, Talaud, Tombulu, Tonsawang, Tonsea, Tontemboan, Toulour.
24. Sumatra Barat: (2)
Mentawai, Minangkabau.
25. Sumatra Selatan: (29)
Ameng Sewang, Anak Dalam, Bangka, Belitung, Enim, Kayu Agung, Kikim,
Kisam, Komering, Lahat, Lematang, Lintang, KLom, Mapur, Meranjat, Musi,
Musi Banyuasin, Musi Sekayu, Ogan, Palembang, Pasemah, Pedamaran,
Pegagan, Rambang Senuling, Ranau, Rawas, Saling, Sekak, Semendo.
26. Sumatra Utara: (14)
Angkola, Asahan, Batak, Dairi, Karo, Langkat, Mandailing, Nias, Pakpak, Psisir
Natal, Siladang, Sumalungun, Toba, Ulu Muara Sipongi.
27. Timor Timur: (2)
Ilimano, Timor Timur.
Main Source:
Melalatoa, M. Junus, Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995).
Other Sources:
Geerland, G., Atlas der Völkerkunde (Gottra: Berhaus, Heinich,
!Ö9 3 ).
Koentjaraningrat, Atlas Etnografi Sedunia (Jakarta: Penerbit Dian
Ralgat, 1969).
Ter Haar, B., Adat Law in Indonesia (New York: Institute of Pacific
Relations, 1948).
I ^ M ^ l